KANAL: Saluran Aspirasi Korban Lapindo

Page 1

Lelakon: Perempuan-Perempuan Tangguh

hal 3 - 4

Yok Opo Rek: Empat Lawan Satu: Hanya Promosi Bakrie

hal 5

Kabar Anyar: Warga Tanggapi Dingin Sesumbar Karsa

hal 6 - 7

Ketika Korban Masuk Bursa

g g e e l l a C C

Aroma pemilu legislatif 2009 ternyata juga melanda bumi Porong. Warga korban lumpur Lapindo pun sepertinya juga tak mau cuma menjadi sasaran kampanye. Mereka juga mengajukan diri sebagai calon legislator (caleg). Lihat saja poster, spanduk, atau baliho yang bertebaran di sekitar tanggul, di persimpanganpersimpangan jalan, maupun di bekas jalan tol PorongGempol. Di situ tidak saja terpampang wajah-wajah “Jakarta”, melainkan juga wajah “Porong”, “Jabon”, atau “Tanggulangin”—tiga kecamatan yang tertimpa apes luapan lumpur. Dan, mari lihat beberapa tampang “lokal” itu, khususnya yang tengah memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo. Wilayah korban lumpur di sini masuk daerah pilihan (dapil) 2, yakni Kecamatan Porong, Kecamatan Krembung, dan Kecamatan Tanggulangin. Beberapa calon pun sekaligus merupakan korban lumpur. Lihat saja H.M. Maksum Zuber asal Jatirejo, Hj. Machmudatul Fathiyah dan H. Fakhrur Rozi asal Renokenongo, Sapariadi yang juga asal Renokenongo, atau Siti Muliana yang dulu tinggal sebagai pengontrak di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perum TAS) 1. Dan masih banyak lainnya. Seolah tak mau kalah, korban di luar peta terdampak resmi juga turut maju. Contohnya, Mundir Dwi Ilmiawan, warga Desa Permisan. Mereka menempuh jalur partai berbeda-beda. Maksum, Mahmudatul, dan Rozi memilih ‘rumah’ Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sapariadi ada di Partai Barisan Nasional. Muliana masuk Partai Hanura.

A

Kanal | Edisi 7 | 2009

Sementara Ilmiawan, atau akrab disapa Iwan, ikut Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Nah, apapun partai mereka, dari manapun asal desa mereka, dalam peta atau luar peta, pertanyaannya: sejauhmana sebenarnya komitmen mereka terhadap perjuangan korban lumpur? Apakah mereka mempertimbangkan pentingnya merebut hati korban lumpur? Apa strategi mereka menggandeng “saudara senasib”? “Prioritas saya kesejahteraan ekonomi dan penyelesaian kasus Lapindo,” tutur Iwan. Demi prioritas ini, Iwan juga berjanji akan meangalokasikan seratus persen pendapatannya sebagai anggota legislatif untuk usaha penguatan jaringan masyarakat, termasuk untuk perjuangan korban Lapindo. Sejak tahun 2006, Iwan memang terlihat aktif dalam pergerakan warga korban lumpur guna menuntut tanggung jawab Lapindo. Cuma jika dulu, dia sering terlihat bergerak lewat demonstrasi-demonstrasi, kini dia ingin “mencoba berteriak dari dalam”. Iwan mengakui, perjuangan ini butuh kerja keras. Bahkan, jika di dewan legislatif nanti akan bertentangan dengan partainya, Iwan berjanji tetap akan berpihak pada korban. Sebab, “Bukan partai yang menjadikan atau tidak saya sebagai anggota dewan. Tapi rakyat,” tandas Iwan. Untuk itu, Iwan pun mencoba intensif mendekati rakyat, terutama korban Lapindo. Iwan membentuk tim kampanye di tiap-tiap simpul masyarakat, selain juga menggunakan struktur ranting PDIP sendiri. Maklum, Iwan bergabung di partai banteng ini sejak 1994, dan sekarang ini menjabat sebagai Sekretaris PAC PDIP Jabon. Iwan biasanya membentuk forum-forum pertemuan untuk menyampaikan visi-misi dan menangkap aspirasi. Untuk 60 hari, misalnya, Iwan bisa menjalin komunikasi dengan 72 komunitas di Porong, Tanggulangin, Jabon, dan Krembung.

1


Tapi, Iwan mengaku kesulitan menyentuh warga korban Lapindo dari dalam peta terdampak. Selain karena mereka sendiri terpencar dan datanya susah untuk didapat, juga karena, menurut Iwan, warga korban di dalam peta lebih pragmatis dalam merespon sosialisasi caleg. “Kalau korban di pinggiran (sekitar tanggul) lebih enak, lebih antusias. Tapi (korban dari) dalam peta lebih susah. Mungkin harus bawa bantuan dulu untuk bisa masuk ke sana,” tutur Iwan. Lain lagi dengan Muliana. Perempuan korban Lapindo dari kalangan pengontran Perum TAS 1 ini sadar, anggota dewan sekarang ini tidak bisa berbuat banyak terhadap nasib korban Lapindo. Namun, sebagai caleg dari Partai Hanura, Muli berjanji akan bersikap berbeda dari anggota dewan sekarang. “Saya akan serius membawa agenda kesejahteraan masyarakat korban Lapindo baik dalam peta maupun luar peta,” tegas Muli yang terlahir 31 tahun lalu ini. Muli juga berjanji akan menyuarakan aspirasi semua korban Lapindo, bukan kelompok tertentu saja. “Saya tidak memilih-milih mana yang akan diperjuangkan, semua akan saya aspirasikan,” ujarnya lagi. Muli tidak saja berjanji akan memperjuangkan nasib korban Lapindo, tapi juga melibatkan mereka dalam proses pencalonan dirinya. “Saya melibatkan beberapa kawan korban Lapindo juga untuk membantu kampanye saya, dan mereka sama sekali tanpa bayaran,” ujarnya. Ini semangat anti politik uang (money politics), menurut Muli. Dan karena tanpa uang, Muli memilih jalur personal. Muli berkunjung dari pintu ke pintu, door to door. “Setiap hari saya meyakinkan mereka, untuk kasus Lapindo ini saya serius,” tuturnya. Semangat anti politik uang itu akan dia pegang jika nanti duduk sebagai anggota dewan. “Jangan bicara dengan politik uang, tapi dengan hati nurani, karena ini masalah manusia,” sambung Muli. Dengan politik hati nurani, Muli berjanji akan konsisten membela korban Lapindo. “Saya akan konsisten menyuarakan kasus Lapindo ini. Dan tidak ikut dalam konstelasi yang akan memperburuk kondisi korban,” tandasnya. Agaknya, caleg-caleg dari kalangan korban lumpur ini sepakat untuk memperjuangan secara serius nasib saudarasaudara mereka. Seperti juga Iwan dan Muli, Sapariadi, caleg asal Desa Renokenongo juga berjanji akan menjadikan kasus Lapindo sebagai prioritas. Sapariadi mengaku pernah menjadi Ketua Forum Silaturrahmi Rakyat Korban Lumpur Lapindo, yang memperjuangkan uang kontrak, jatah hidup (jadup), dan uang boyongan rumah. Ia sendiri memutuskan untuk maju sebagai caleg dari Partai Barisan Nasional lantaran adanya dorongan dari sesama korban lumpur. Sama seperti Muli, Sapariadi tidak sepakat dengan pendekatan politik uang untuk meraih suara. Diterbitkan oleh Kanal Korban Lapindo Penanggung Jawab Mujtaba Hamdi (Lapis Budaya Indonesia) Sidang Redaksi Mujtaba Hamdi, Winarko, Rahman Seblat, Jambore C, Imam Shofwan Reporter A. Novik, Ahmad S Nizar Desain & Fotografi Rahman Seblat Alamat Jl KusumaBangsa 36 Gedang Porong Sidoarjo Telp. 0343-851823 Website www.korbanlapindo.net Email kontak[at]korbanlapindo.net

Namun, meskipun caleg-caleg dari korban lumpur menyatakan serius akan memperjuangkan saudara mereka, warga korban lumpur sendiri tak sepenuhnya yakin akan hal itu. Nur Cholifa, 37 tahun, warga Desa Jatirejo, misalnya. Belum lama ini, Cholifah didatangi salah satu tim sukses caleg DPRD Sidoarjo. Dia diberi wawasan, atau tepatnya diceramahi, soal pentingnya Pemilu 2009. Ia juga diberi sembako, kaos dan stiker bergambar si caleg. Toh, Cholifa pesimis caleg-caleg tersebut bisa meringankan permasalahan korban lumpur. “Mereka ‘kan mencalonkan sebagai caleg di DPRD Sidoarjo. Tidak mungkin bisa ngomong mampu menyelesaikan persoalan korban lumpur,” ujar Cholifa. Bahkan, Pemilu 2009 ini, bagi Cholifa, tidak akan menciptakan banyak perubahan bagi korban lumpur. “Janjijanji yang ditawarkan para caleg, menurut saya, cuma janjijanji saja. Belum tentu nanti mereka yang sudah jadi akan memperjuangkan nasib korban lumpur,” tegasnya. Pesimisme Cholifa ini bukan tanpa alasan. Ia punya pengalaman ketika berlangsung pemilihan gubernur (pilgub) Jatim 2008 silam. Saat itu, Cholifa juga didatangi salah satu tim sukses calon gubernur. Ia dijanjikan akan diberi modal usaha jika mau memilih calon yang ditawarkan. Tapi, setelah pilgub usai, bantuan modal belum juga diberikan. “Pada pilgub kemarin, saya disuruh nyoblos salah satu calon gubernur. Dijanjikan akan diberi modal, tapi kenyataannya tidak ada. Apalagi sekarang, banyak caleg yang menawarkan janji-janji perubahan pada korban lumpur. Saya tidak percaya,” tutur Cholifa. Mulyadi, 28 tahun, juga tidak antusias terhadap Pemilu 2009. Bagi pemuda asal Desa Jatirejo ini, kebanyakan parpol tidak berani berkomitmen untuk menyelesaikan kasus lumpur Lapindo. Mulyadi, yang kini tinggal di rumah istrinya di Desa Tebel, Sidoarjo, pernah ditawari menjadi salah satu tim sukses. Tapi ia menolak. Mulyadi tidak percaya adanya perubahan melalui Pemilu 2009. “Janji-janji yang ditawarkan caleg dan partai politik, untuk menuntaskan masalah korban lumpur, tidak mungkin terwujudkan. Meskipun banyak warga korban yang mencalonkan diri jadi caleg,” ujarnya. Ketidakpercayaan terhadap caleg dan Pemilu itu tampaknya telah menyebar luas di kalangan korban lumpur. Tapi, Safari, 48 tahun, warga Desa Kedungbendo masih berharap, janji dan komitmen para caleg dan parpol untuk memperjuangkan nasib korban lumpur bisa dibuktikan. Karena itu, Safari yang dulu tinggal di Kawasan Kompleks Angkatan Laut ini mendukung jika ada korban lumpur yang maju sebagai caleg. “Saya sangat mendukung warga korban yang mencalonkan jadi anggota legislatif, yang berani dan berkomitmen menyelesaikan kasus lumpur semuanya,” ujarnya. Sementara itu, Suharto, 45 tahun, asal Desa Jatirejo, mengakui memang banyak caleg dan parpol memberi janjijanji penyelesaian kasus lumpur. “Itu trik mereka meraup suara korban. Tapi seyogyanya juga bisa berkomitmen memberi penyelesaian kasus lumpur, tanpa pengecualian,” tegasnya. Meski begitu, Suharto juga mengharapkan, warga yang mencalonkan sebagai anggota legislatif itu bisa mengubah situasi korban lumpur Lapindo. Hanya saja, Suharto ragu terhadap kapasitas caleg-caleg tersebut jika akhirnya mereka nanti terpilih. Sehingga, “saya belum tahu, caleg mana yang pantas saya pilih,” ujarnya. (vik/re/ba)

Didukung oleh Lapis Budaya Indonesia dan Yayasan Tifa

2

Kanal | Edisi 7 | 2009


B

Bagaimana nasib satu keluarga pilihan lain pada Asfeiyah Kehidupannya di Renokenongo patrilinial di desa, jika suami, sekeluarga selain pindah ke memang sulit tapi di sebagai tulang punggung keluarga, pengungsian di Pasar Baru pengungsian lebih sulit lagi. tak berfungsi dengan baik atau Porong. Dan ini bagai mimpi Sekarang tak ada lagi orang lumpuh sama sekali? Bagaimana buruk buatnya. Semua yang minta dibikinin baju, keluarga ini melanjutkan hidup anggota keluarganya tak kalau ada paling-paling cuma sehari-hari? Bagaimana sekolah satupun yang bekerja dan dia satutambal baju alias vermak. anak-anak mereka? Bagaimana satunya yang banting-tulang untuk kalau mereka sakit? Dan daftar pertanyaan panjang semua anggota keluarga. lainnya masih bisa diuraikan dengan jawaban terbataTiap hari Asfeiyah musti mengumpulkan uang 50 ribu bata. Pertanyaan lebih ekstremnya: bagaimana jika rupiah untuk makan semua keluarga, dan beberapa bulan kelumpuhan ini terjadi massal? Anda akan terakhir ini pendapatannya sering kurang dari itu. membayangkan hal-hal buruk. Hanya pada bulan 2-8 Asfeiyah bisa bekerja normal Tapi ini bukan bayangan, bukan imajinasi. Ini fakta sebagai penjahit. Pada bulan-bulan itu banyak orderan yang sudah dua tahun setengah ini berlangsung di dekat dari perusahaan-perusahaan pakaian. Kalau dia bisa kita, sangat dekat. Ini kisah ribuan suami yang menyelesaikan sesuai tenggat, tiap minggu 400.000 pekerjaannya direnggut bencana lumpur Lapindo, rupiah bisa dia dapatkan. Dan ini berarti Asfiyah musti sementara istri-istri dan anak-anak perempuan, dengan enam belas jam di mesin jahit tiap harinya. Mulai jam 4 segala keterbatasannya, dipaksa menanggung beban pagi sampai jam 4 sore dan jam 8 malam hingga jam 11. keluarga semuanya. Ya, semuanya. Setelah perjuangan panjang dan melelahkan karena Perempuan itu, Asfeiyah namanya (45 tahun), masih sering dikibuli Lapindo selama 2 tahun lebih, Asfeiyah tegak sebagai ibu rumah tangga di Pasar Baru Porong. dan keluarga-keluarga lain di Pasar Baru Porong yang Suaminya Pak Sanep (45 tahun), sebelum bencana tergabung Paguyuban Warga Renokenongo Korban

Perempuan-Perempuan Lapindo, adalah seorang pengrajin emas, tapi sudah lebih dari tiga tahun tidak bekerja lagi. “Orangnya bodoh, buta huruf, bisa baca tapi tak bisa nulis, jadi pemalu,” Asfeiyah mencoba menerangkan kenapa suaminya jadi pengangguran. Suaminya memang berhenti jadi perngrajin emas beberapa tahun sebelum bencana lumpur. Saat itu, keluarga Asfeiyah masih tinggal di Renokenongo. Asfeiyah menjadi tukang jahit dan suaminya bekerja serabutan. “Kalau ada yang mengajak bekerja, (ya bekerja), kalau tidak ya tidak. Nggak bisa cari sendiri,” jelas Asfeiyah. Di Renokenongo, sebelum bencana Lapindo, Asfeiyah sering mendapat orderan dari tetangga yang minta dibikinin baju. Seminggu dua kali dia dapat order, itu menurut itungan paling jarang bagi Asfeiyah. “Lumayan bisa dapat 50 ribu (per potong),” jelas Asfeiyah. Kehidupannya di Renokenongo memang sulit tapi di pengungsian lebih sulit lagi. Sekarang tak ada lagi orang yang minta dibikinin baju, kalau ada paling-paling cuma tambal baju alias vermak. Kalau boleh memilih, Asfeiyah tentu memilih untuk bertempat tinggal di rumahnya di Renokenongo. Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Bencana lumpur Lapindo datang begitu tiba-tiba dan tak memberi

Kanal | Edisi 7 | 2009

Tangguh

3


Lapindo (Pagar Rekorlap) mendapatkan 20 persen uang aset mereka. Meski tak sesuai keinginan, warga tak bisa menolak cara pembayaran yang dilakukan Minarak Lapindo, yakni dengan cara mencicil. Bulan ini Asfeiyah mendapatkan cicilan yang keempat dan karena tidak ada pekerjaan dia menggunakan uang tersebut untuk modal dagang pakaian. Meski tak ramai, Asfeiyah tiap harinya bisa dapat pemasukan sekitar 30.000 rupiah sementara uang untuk makan semua keluarganya adalah 50.000. Asfeiyah tak punya pilihan lain selain menggunakan uang rumahnya untuk makan. Bayangan untuk bisa mendapat rumah lagi pun perlahan-lahan mulai dia hapus. “Yang penting semua keluarga bisa makan, Mas,” kata Asfeiyah. Marah, sedih, putus asa, perasaan-perasaan ini dipendam Asfeiyah karena tak ingin keluarganya pecah. “Kalau marah, cek-cok, takut kehilangan suami,” tutur Asfeiyah. “Tapi kalau nggak marah nggak tahan, Mas.” Tak hanya Asfeiyah yang dipaksa menjadi tulang punggung keluarga. Ribuan lainnya mengalami nasib serupa. Seorang ibu warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera I juga mengalami nasib yang sama. Nama ibu itu, Noor Hani (44 tahun), kini mengontrak rumah di Sidokare, Sidoarjo. Alasannya tentu jelas karena rumahnya sudah punah dimakan lumpur. Bu Hani, begitu siswa Madrasah Aliyah Khalid bin Walid biasanya memanggil namanya, adalah guru di MA tersebut. Sebelum ada lumpur, suaminya Hendra Jaya (44 tahun) punya bengkel reparasi dinamo di rumahnya. Dia sudah punya langganan dari tetangga-tetangga di sekitarnya. Namun lumpur Lapindo menenggelamkan bengkel itu dan suaminya pun praktis tidak bisa bekerja lagi. Bagi guru swasta yang gajinya tak lebih dari 100 ribu rupiah per bulan dan suami yang menganggur tentu bencana Lapindo jadi pukulan yang berat bagi keluarga ini. Keluarga ini mesti pontang-panting untuk menutup kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Dengan tiadanya pemasukan Hani mencoba memperkecil pengeluaran. Caranya dengan mengurangi jatah makan sehari-hari. “Berasnya saya kurangi dan ganti singkong yang sama mengandung karbohidrat,” Hani berusaha menahan air matanya saat mengatakan ini. Hani juga berusaha supaya dapat pemasukan tambahan. Dia melukis dan bikin gambar meja-kursi belajar dan suaminya diminta membikin barangnya. Namun itu belum cukup menutupi kebutuhan keluarga. Hani lantas berdagang keliling pakaian dan kue supaya asap dapurnya tak padam. Empat orang anaknya tak semuanya bisa menerima kesulitan ini. Hanum Anggraini (15 tahun), anak

Foto: Rahman

pertamanya yang duduk di SMU II Sidoarjo, bisa menerima kenyataan ini dan bisa bersabar. “Tapi yang kecil suka protes, saya mencoba mengarahkannya dengan agama,” tutur Hani. Tapi namanya juga anak-anak masih suka rewel dan protes. Tak hanya ibu-ibu yang rumahnya sudah terendam lumpur yang merasakan dampak bencana Lapindo ini. Ibu Crhristina, warga Glagaharum, juga merasakan dampak tidak langsung bencana Lapindo. Christina adalah istri Hafidz Affandi, kepala desa Glagaharum periode 1990-1998 dan 1998-2007. Keluarganya cukup terpandang dan kaya. Tanahnya luas, punya toko bangunan, dan pabrik sepatu di pasar wisata Tanggulangin. Setelah tidak jadi kepala desa, praktis pendapatan mereka bertumpu dari toko bangunan dan pabrik sepatu. Toko ini sebelum ada lumpur mendatangkan pendapatan yang luar biasa besar bagi keluarga Christina. Seharinya bisa 9-12 juta. Saat itu, semua kebutuhan delapan anaknya bisa dipenuhi bahkan berlebih. Misalnya, semua anaknya kalau sudah masuk SMP pasti dibelikan sepeda motor dan dibikinkan SIM. Lalu kalau anaknya minta dibelikan laptop atau sepatu yang harganya jutaan, saat itu juga akan dibelikannya. Dulu kalau mau datang ke pesta kawan-kawannya, pasti bajunya baru,” kenang Crhistina. Sekarang semua sudah berubah. Sejak Bencana Lapindo dua tahun lalu, satu per satu langganan Christina hilang. “Dulu langganan saya dari Siring, Ketapang, Kedungbendo, Jatirejo, Renokenongo, dan lainnya,” tutur Christina. Sekarang desa-desa itu sudah tenggelam dalam lumpur dan tak ada lagi pesanan buat Christina. Pendapatannya menurun drastis hingga 500 ribu hingga 1 juta seharinya. Lima dari 6 karyawannya di toko bangunan dia pulangkan dan kini tinggal dia dan seorang pelayan toko yang masih bertahan. Gudang-gudang tempat penyimpanan semen dan kayu juga sekarang kosong karena permintaan yang terus berkurang. Akhir tahun lalu, Christina meminjamkan secara gratis gudang ini untuk Yayasan Khalid bin Walid dan digunakan untuk sekolah. Christina tak tega melihat gedung sekolah Khalid bin Walid di Renokenongo tenggelam. “Saya juga punya banyak anak yang masih sekolah, bagaimana kalau ini menimpa saya,” tutur Christina. [mam]

4

Kanal | Edisi 7 | 2009


Empat Lawan Satu: Hanya Promosi Bakrie Tayangan baru ANTV bertajuk Empat Lawan Satu mendapat tanggapan sinis dari korban Lapindo. Maklum tayangan perdana, pada 5 Februari, yang menampilkan Abu Rizal Bakrie, Menkokesra sekaligus pemilik Group Bakrie itu, membicarakan banyak hal soal nasib korban Lapindo. Imam (30 tahun), korban asal Jatirejo, bahkan hafal apa saja yang dibicarakan Bakrie dalam acara tersebut. Setidaknya ada enam perkataan Bakrie yang dia garisbawahi: (bencana Lapindo) karena fenomena alam, para korban yang tidak punya surat dikasih rumah, waktu Bakrie datang ke Sidoarjo dicium tangannya, putusan pengadilan menetapkan Lapindo tidak bersalah, ada provokasi, dan yang dilakukan Bakrie sesuai dengan Peraturan Presiden. Satu-per satu pernyataan Bakrie ini ditanggapi oleh Imam. Menurutnya, tidak benar kalau bencana ini adalah fenomena alam, ini karena kesalahan teknis pemboran. Lebih lanjut menurut Imam, dari awal Lapindo ingin membeli tanahnya. “Pernah ditawar tapi tidak dikasihkan, izinnya buat peternakan,” tutur Imam. Lebih jauh, Imam merujuk pada ahliahli geologi dunia di Cape Town yang memutuskan lumpur Lapindo disebabkan oleh kesalahan pemboran. Sementara,

gempa Yogja, yang kerap diklaim Lapindo sebagai penyebab, terlalu jauh untuk menjadi pemicu semburan lumpur. Soal para korban tak bersurat yang dikasih rumah ditanggapi keras oleh Imam. Menurutnya, Lapindo pernah bilang hanya mau membayar korban yang memiliki surat dan itu juga yang dilaksanakan Lapindo hingga sekarang. Kemudian, soal kedatangan Bakrie di Sidoarjo yang disambut dengan cium tangan, menurut Imam itu tidak benar. Dia tidak pernah melihat Bakrie datang ke Sidoarjo. Bahkan kalau, misalnya, Bakrie datang ke Sidoarjo akan digasak ramai-ramai karena sudah menyengsarakan banyak orang. Imam juga tidak sepakat dengan putusan pengadilan yang memutus Lapindo tidak bersalah. Menurutnya, pengadilan bukan ahli pemboran dan tidak mempertimbangkan sisi kemanusiaan dari para korban. Ada provokasi terhadap korban lumpur juga ditolak oleh Imam. Menurutnya korban yang menuntut haknya itu memang benar korban yang belum dilunasi haknya. Tentang langkah Lapindo yang sesuai dengan Perpres itu juga tidak benar, karena berkali-kali Lapindo mangkir dan tidak sesuai dengan keputusan presiden. Lilik Kamina, korban di PBP, juga menanggapi sinis acara Empat Lawan Satu. Dia bilang kalau acara itu hanya untuk mempromosikan Lapindo dan Bakrie. “Lihat saja tak ada korban yang diberi kesempatan bicara.”

Tanah Dongkel Menyisakan Masalah Pembelian sawah dongkel di Desa Besuki, Kecamatan Jabon, masih menyisakan persoalan di warga. Pasalnya, dari 93 petak tanah hanya 41 petak yang akan dibeli oleh Pemerintah. Keseluruhan tanahnya seluas 5 hektar dan hanya 2 hektar lebih sedikit yang dibeli oleh Pemerintah. Desa Besuki adalah salah satu desa korban Lapindo yang mendapat ganti rugi dari APBN. Meski semua Desa Besuki terkena lumpur, tapi hanya sebagian desa yang mendapatkan ganti rugi. Sawah dongkel ini adalah salah satu contohnya. Samasama terkena lumpur dan kini tidak produktif namun tidak semua masuk peta dan dibeli oleh Pemerintah. Hanya yang

Barat jalan tol yang dibeli, sementara yang di sebelah timur tol dibiarkan saja menjadi tanah mati. Sebenarnya tidak hanya sawah dongkel saja yang terkena lumpur di Besuki. Ada tiga persawahan lain yang juga kena lumpur, yakni; sawah Kepuh Barat, Kepuh Timur dan Gempol. Pembedaan ini, menurut seorang warga Besuki Adib Rosadi, terjadi karena pemerintah tidak melibatkan warga dalam penentuan daerah yang masuk peta. “Kalau kami dilibatkan kami akan minta semua tanah dongkel dibeli,” kata Adib. Adip tak habis fikir kenapa pemerintah membedakan tanah yang sama-sama kena lumpur dan kini sama-sama tidak bisa berfungsi tersebut.

Tinggal di Pengungsian, Semakin Tak Nyaman Nyaris tiga tahun sudah warga Renokenongo tinggal berdesak-desakan di pengungsian Pasar Baru Porong (PBP). Belakangan, dengan datangnya ratusan pedagang sayur di lokasi pengungsian mereka, ‘rumah’ mereka kian terasa tak nyaman. Para pedagang ini mulai pindah secara bertahap sejak 10 Januari lalu. Sebelumnya, mereka berdagang di depan stasiun Porong, di tanah milik Perusahan Jawatan Kereta Api (PJKA). Meski penjualan bagus namun lokasi sempit, tanahnya becek kalau hujan. “Sekarang tanah itu akan digunakan perbaikan stasiun,” tutur Iwan, seorang pedagang rempah di Pasar Baru Porong. Belum genap sepuluh hari mereka berdagang di PBP, mereka sudah didemo oleh para pengungsi korban Lapindo, yang menempati PBP sejak luapan lumpur dua setengah tahun lalu, yang merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Pengungsian yang sumpek jadi tambah sumpek. Selain itu, soal keamanan juga menjadi alasan terganggunya para pengungsi. Sesuai perjanjian, para pengungsi ini tidak mau Kanal | Edisi 7 | 2009

meninggalkan PBP sebelum Minarak Lapindo Jaya membayar 20% aset mereka yang tenggelam lumpur. “Pengungsian jadi tambah sumpek, selain itu soal keamanan juga,” tutur Darmi, seorang pengungsi yang tidak bisa keluar dari bilik pengungsiannya karena mobil-mobil sayur parkir tepat di depan biliknya. Untuk mencegah terjadinya keributan antara pedagang dan para pengungsi. Dinas Pasar dan Himpunan Pedagang Pasar sudah berunding dengan tokoh pengungsi. “Untuk sementara dikasih garis batas di mana pedagang tidak boleh berjualan di batas itu,” tutur Darmi. Selain itu, para pengungsi juga dibagi penghasilan dengan menjaga toilet sementara petugas pasar mengurusi parkir dan kebersihan. Tuntutan para pengungsi sederhana mereka mau dilunasi pembayaran 20% aset mereka yang sudah 2,5 tahun ini belum juga tuntas dibayarkan. Mereka akan meninggalkan Pasar Baru Porong kalau tuntutan ini dilunasi.

[Lilik]

5


Warga Menanggapi Dingin Sesumbar Karsa Begitu ditetapkan sebagai pemenang pilgub Jatim pada 30 Januari lalu, pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur Soekarwo-Syaifullah Yusuf (Karsa) menjanjikan, dalam seratus hari, pemerintahannya akan memperketat prioritas program, di antaranya penuntasan kasus Lapindo. Warga korban di luar peta terdampak akan diberi ganti rugi, kata Syaifullah. Warga korban sendiri tak terlalu antusias menanggapi pernyataan Gus Ipul itu. “Ya, setengah percaya, ya, setengah tidak,” ujar Jarot Suseno, koordinator warga Siring Barat. Siring Barat termasuk wilayah terdampak di luar peta versi Perpres 14/2007 maupun versi Perpres 48/2008. Sudah sejak April 2008, desa ini dan dua desa lainnya, Jatirejo Barat dan Mindi, direkomendasikan Gubernur Jawa Timur untuk ditangani segera karena dinilai tidak layak huni. Namun, sampai hari ini, tidak ada penanganan konkrit. Padahal, kondisi Siring Barat semakin parah. “Sudah sekitar 70 persen rumah warga rusak,” tutur Jarot. Siring Barat dihuni sekitar 319 keluarga yang menempati 250 rumah. Sekitar 175 rumah mengalami berbagai kerusakan, mulai retak-retak akibat amblesan tanah (land subsidence), munculnya gas liar berbahaya (bubble gas), hingga air yang tercemari logam berat. Bahkan, pada 5 Januari lalu, akibat amblesan tanah, salah satu rumah warga roboh. Pemerintah sudah menjanjikan alokasi 82 miliar untuk penanganan Siring Barat dan tiga desa lainnya: Jatirejo Barat, Mindi dan Besuki Barat. “Tapi sampai sekarang, belum ada realisasi apaapa,” tambah Jarot. Lebih parah lagi, suplai air bersih justru dihentikan. “Sudah dua minggu lebih, kami tidak memperoleh pasokan air bersih,” ujar Jarot, lagi. Berbagai janji tak berwujud itu mungkin yang membuat warga menanggapi datar-datar saja sesumbar Karsa menuntaskan kasus Lapindo dalam seratus hari, meski masih berharap. “Semoga saja kali ini beneran,” imbuh Jarot.

Tim 16 Demo BPLS dan Minarak Setelah kesepakatan tanggal 3 Desember lalu dilanggar Minarak Lapindo Jaya, sekira 4.000 korban Lapindo dari Perumahan Tanggul Angin Sejahtera I kembali mendemo kantor Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan kantor Minarak Lapindo Jaya, pada 11 Febuari ini. Massa ini terorganisir rapi dalam kelompok Tim 16. “Ada sekitar 2.000 sepeda motor dengan satu truk komando, satu motor dua orang,” tutur Ruli Syarif Hidayat (49 tahun), salah seorang warga Tim 16. Warga menuntut Minarak Lapindo Jaya

6

melaksanakan janji yang diucapkan di depan Presiden bulan Desember lalu. Saat itu, Nirwan Bakrie berkomitmen untuk segera membayar 80% sisa uang aset korban Lapindo. Caranya dengan dicicil 30 juta perbulan plus 2,5 juta untuk memperpanjang kontrak. Meski warga sudah memberi toleransi dengan menerima pola cicilan ini namun MLJ kembali mangkir dari omongannya sendiri. “Kurang dari 2% dari Tim 16 yang dicicil sesuai dengan janji (3 Desember),” tutur Ruli. Sisanya ada yang dicicil 15 juta dan ada pula yang dicicil 2,5 juta. Tim 16 meminta supaya MLJ segera menuntaskan persoalan ini.

Tuntut Penuntasan Kasus Lapindo, Koalisi Korban Lumpur Meluruk Grahadi Ada yang beda dari demo korban Lapindo 16 Februari lalu. Biasanya mereka turun ke jalan dalam kelompokkelompok kecil dan menyuarakan tuntutan kelompok mereka. Namun demo pagi ini lebih kompak, mereka tergabung dalam Koalisi Kelompok Korban Lapindo (K3L). K3L ini terdiri dari Gerakan Pendukung Perpres 14/2007 alias Geppres (tuntutan: cash and carry), Laskar Korban Lumpur atau Lasbon Kapur (tuntutan: 20% cash dan 80% diganti rumah), Pengungsi Pasar Baru Renokenongo atau Persatuan Warga Renokenongo Korban Lapindo alias Pagar Rekorlap (belum tuntas 20% dan belum menentukan sikap untuk 80%), dan Persatuan Warga Perum TAS I alias Tim 16. Koalisi ini terbentuk karena kesamaan nasib sial, yakni: hampir tiga tahun tak satu pun kelompok yang sudah tuntas tuntutannya. Mereka juga merasa gubernur baru, yang belum genap seminggu dilantik, yaitu: pasangan Sukarwo dan Syaifullah Yusuf. Korban mendesak gubernur untuk berkomitmen kepada korban Lapindo. Akhir Januari lalu Sukarwo sesumbar akan segera menyelesaikan kasus Lapindo. Kasus Lapindo masuk dalam agenda 100 hari pertama Gubernur. Korban lumpur tak begitu yakin dengan sesumbar ini dan ingin kerja nyata Pakde Karwo. Zainal Arifin, koordinator aksi, bilang gubernur musti berkomitmen dan mendesak pemerintah mengambil alih proses ganti rugi lewat dana apa pun. Korban lainnya, Sumitro, menuntut pemerintah untuk memberikan dana talangan untuk para korban. Haji Sunarto, pimpinan Pagar Rekorlap, menyatakan akan memboikot pemilu jika persoalan korban ini tidak selesai sampai pemilu 2009. “Jika sampai pemilu 2009, ganti rugi korban belum terselesaikan, maka kami akan memboikot pemilu. Buat apa memilih pemimpin jika tidak perduli dalam penderitaan kami,” tegas Sunarto. Usai menemui perwakilan korban, Sukarwo bilang meminta persiden Susilo Bambang Yudoyono untuk mendesak PT lapindo Brantas untuk segera membayar sisa ganti rugi 80% yang sudah telat hampir satu tahun. Selain itu Sukarwo berjanji kepada ribuan masa akan mencarikan dana talangan dari pemerintah daerah maupun pusat untuk ganti rugi semua korban. Warga membubarkan diri setelah Sukarwo mengumbar janji. Kanal | Edisi 7 | 2009


Diasuh oleh Tim Advokasi Hukum Posko Bersama Korban Lapindo

HUKUM

Pemerintah Mengambil Alih Penyelesaian Masalah Sosial? Warga korban Lapindo sudah berkali-kali disuguhi kesepakatan pelunasan aset tanah dan bangunan mereka yang tenggelam. Tapi hingga hampir tiga tahun ini, seluruh skema itu tidak juga ditaati oleh PT Minarak Lapindo Jaya sebagai juru bayar Lapindo Brantas, Inc. Sementara, kondisi kehidupan warga terus memburuk. Bagaimana jika Pemerintah saja yang mengambil alih penyelesaian ini? Apakah memungkinkan secara hukum? Pada dasarnya, Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi rakyatnya. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (4) menyatakan, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah. Oleh karena itu, Pemerintah seharusnya tidak membiarkan rakyatnya diombangambingkan oleh korporasi PT Lapindo Brantas, sebuah lembaga swasta. Adanya Perpres 14/2007 tidak serta merta menunjukkan Pemerintah telah melakukan perlindungan atas rakyatnya. Sebab, faktanya, skema penyelesaian masalah sosial yang tercantum dalam Perpres tersebut sama sekali tidak efektif, dioper-oper, berbelit. Pemerintahan meneyerahkan pada Lapindo, lalu Lapindo menyerahkan pada PT Minarak Lapindo Jaya. Penyelesaian pembayaran uang muka aset korban sebesar 20 persen belum juga tuntas. Sedangkan pelunasan 80 persen terus berputar-putar. Ada yang disuguhi tanah pengganti, yang ternyata juga bermasalah. Ada yang dijanjikan rumah, tapi belum juga dibangun. Ada yang diberi cicilan, namun juga tak ditepati. Ada yang sama sekali tidak mendapat pembayaran apa-apa meski menurut Perpres sudah jatuh tempo pelunasan 80 persen. Ujungnya, rakyat korban dibiarkan berhadap-hadapan langsung dengan korporasi. Pemerintah bertindak seolah-olah sebagai penengah konflik antara Lapindo dan warga korban. Padahal, seharusnya Pemerintah berada dalam posisi melindungi rakyatnya. Toh, Lapindo yang mengingkari janji berkali-kali justru tidak mendapat konsekuensi hukum apa-apa. Apakah Pemerintah bisa mengambil alih penyelesaian? Bisa. Selain landasannya adalah UUD 1945 di atas, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sendiri dalam laporannya pada 29 Mei 2007 sudah memberikan rekomendasi pengambilalihan dan penyelamatan masyarakat setempat tersebut. Pemerintah juga bisa menyediakan anggaran penyelesaian masalah sosial tersebut dalam APBN Perubahan dengan memperoleh persetujuan DPR. Ini dijamin Undang-Undang 17/2003

Kanal | Edisi 7 | 2009

Tentang Keuangan Negara Pasal 27 ayat (4) dan ayat (5). Dengan Pemerintah mengambil alih penanganan masalah sosial tersebut, tidak berarti Lapindo lepas tanggung jawab. Pengambilalihan ini bukan upaya menyelamatkan Lapindo, melainkan upaya menyelamatkan warga korban. Pemerintah harus tegas menuntut tanggung jawab Lapindo secara finansial maupun administratif. Bahkan melalui Pasal 25 UU 23/ 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gubernur Jatim berwenang melakukan paksaan terhadap penanggung jawab usaha Lapindo untuk menanggung beban biaya atas penyelamatan, penanggulangan, maupun pemulihan akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh Lapindo. Jadi, keseluruhan biaya itu ditagihkan ke Lapindo, bahkan Pemerintah bisa menyita aset-aset Lapindo dan pemegang tanggung jawab (Bakrie Group). Jika Lapindo mengelak karena merasa belum diputuskan bersalah oleh pengadilan, berdasarkan UU 23/1997 tersebut, Gubernur selaku pejabat administrasi negara berwenang menilai ada tidaknya palanggaran dalam kasus lingkungan hidup, tanpa menunggu putusan pengadilan. Bukti-bukti yang ada, baik dokumen realtime chart, daily drailing report, SOP, dokumen audit BPK, keterangan ahli di Konferensi Cape Town yang lalu, dan lain-lain bisa dijadikan landasan keputusan Gubernur. (Baca rubrik Hukum Edisi Nomor 5) Sementara, perangkat hukum yang sering dirujuk sebagai ‘penyelesai masalah’, yakni Perpres 14/2007 dan Perpres 48/2008 dianggap (ditafsir) sebagai pelengkap. Dan seharusnya, pejabat negara tak perlu berdalih dengan kedua produk hukum itu. Posisi UU jelas lebih tinggi dari Perpres. *

7


” u k A h a l h “Pili ihlah Aku” “Pil

Baliho di mana-mana. Di pinggiran tanggul, di bekas rumah korban Lapindo, di pengungsian—semua seperti hendak berteriak: “Pilihlah aku”. Partai apakah yang jadi pilihan korban lumpur nanti? Ada korban lumpur yang enggan menyontreng partai manapun, memilih golput. Tapi jangan kuatir, korban lumpur akan memilih partai-partai itu, mungkin semuanya sekaligus. (Foto: AS Nizar/A Novik )

8

Kanal | Edisi 7 | 2009


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.