Laporan Penelitian Pendapatan dan Belanja Sektor Air

Page 1

Laporan Penelitian

Pendapatan dan Belanja Sektor Air (DKI Jakarta, Kabupaten Klaten, Kotamadya Semarang, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Wonosobo) 2009


Daftar Isi

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................................... 1 DAFTAR ISI ............................................................................................................................... 2 BAB I.

PENDAHULUAN .......................................................................................................... 3 Manajemen Air Tanah Berkelanjutan .............................................................................. 3 Pembangunan Berkelanjutan untuk Konteks Air.............................................................. 5 Permasalahan ................................................................................................................. 8 Metode Penelitian .......................................................................................................... 9

BAB II.

DAMPAK EKSTRAKSI AIR TANAH DI DAERAH PENELITIAN .......................................... 11 Dampak Pengelolaan Air Tanah ..................................................................................... 12 Pemulihan Lingkungan .................................................................................................. 20

BAB III. PERATURAN DAN KELEMBAGAAN TENTANG AIR TANAH ........................................... 22 Peraturan tentang Pajak Air Bawah Tanah .................................................................... 22 Lembaga Sektor Sumber Daya Air ................................................................................. 25 Perizinan Pengelolaan Air Tanah ................................................................................... 28 BAB IV

PENERIMAAN SEKTOR AIR DAN KEUANGAN DAERAH................................................ 32 Pendapatan Sektor Air .................................................................................................. 32 Pajak Air Bawah Tanah/Pajak Air Permukaan .......................................................... 32 Retribusi Pemanfaatan Air....................................................................................... 38 Laba Bumd Air ......................................................................................................... 39 Lain-Lain Pendapatan Dari Air ................................................................................. 39 Pendapatan dari Sumber Daya Air dan Sumbangannya bagi Pendapatan Asli Daerah .... 39 Potensi yang Hilang ....................................................................................................... 43 LAPORAN LEPAS PENDAPATAN DAN BELANJA SEKTOR AIR DKI Jakarta .................................................................................................................... 47 Kabupaten Klaten ......................................................................................................... 60 Kotamadya Semarang ................................................................................................... 74 Kabupaten Sukabumi .................................................................................................... 87 Kabupaten Wonosobo .................................................................................................. 99

2


BAB I. PENDAHULUAN Air mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan kehidupan ekosistem lainnya. Manusia membutuhkan air untuk pertanian, perkebunan, perumahan, industri, pertambangan, pariwisata, kebudayaan, keperluan rumah tangga dan air minum. Tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, air juga memberi daya hidup bagi sistem alam, beragam spesies binatang, tumbuh-tumbuhan, serta tanah agar dapat memberikan jasa ekosistem alam seperti menyediakan makanan, bahan baku dan energi yang dibutuhkan manusia. Sumber utama air yang mengisi sekitar 2/3 bagian dari bumi adalah air hujan yang turun ke bumi yang sebagian mengalir sebagai air permukaan dan kemudian mengisi sungai, danau, rawa, dll. sementara sebagian lagi meresap ke dalam tanah, kemudian membentuk air tanah. Air tanah dianggap sebagai sumber daya terbarukan dan sekaligus tak terbarukan, hal ini dipengaruhi oleh lamanya waktu tempuh aliran air tanah hingga mencapai dan mengisi ulang sistem akuifer (lapisan pembawa air bawah permukaan). Dianggap sebagai sumber daya terbarukan jika periode pengisian ulang <100 tahun, dan tak terbarukan jika membutuhkan waktu berabad-abad sampai jutaan tahun.

Gambar 1. Aliran Air Tanah dan Waktu Relatif Perjalanan Air dari Daerah Imbuhan ke Daerah Lepasan1 Air tanah merupakan sumber air tawar terbesar di planet bumi, mencakup kira-kira 30% dari total air tawar atau sekitar 10,5 juta km3. Apabila dilihat dari prosesnya, pembentukan air tanah memakan waktu sangat lama, mencakup siklus hidup lebih dari satu generasi atau bahkan ribuan generasi. Manajemen Air Tanah yang Berkelanjutan Karena biaya pengolahannya yang murah dan kualitas yang relatif baik, air tanah seringkali merupakan sumber daya yang banyak digunakan dan diandalkan baik untuk kepentingan domestik maupun industri (Foster, 2001, hal. 185). Bahkan di musim kemarau panjang dimana sumber air permukaan langka, air tanah juga diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pertanian.

1

Manajemen Air Tanah Berbasis Konservasi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), 2008, hlm 12

3


Di daerah perkotaan, dari 23 kota megapolitan dengan penduduk lebih dari 10 juta orang di tahun 2000, 12 kota sangat tergantung pada air tanah dimana 11 di antaranya ada di negara berkembang (Burke dan Moench, 2000, hal. 2). Lebih dari 75% penduduk Afrika mempergunakan air tanah sebagai sumber air bersih (Mwanza, 2003). Diperkirakan sekitar 50% penggunaan air di daerah perkotaan di seluruh dunia berasal dari sumur, mata air dan sumur dalam, dan lebih dari satu milyar penduduk perkotaan di Asia dan 150 juta penduduk di Amerika Latin tergantung pada air tanah (Clarke, Lawrence dan Foster, 1995 dalam Foster, 2001, hal. 185). Air tanah merupakan sumber daya alam milik bersama. Keadaan ini mengarahkan pada situasi dimana pemilik tanah di atas akuifer tempat air tanah berada berlomba-lomba segera memompa sebanyakbanyaknya agar mereka dapat menikmatinya sebelum sumber air ini habis dipompa orang lain. Akibatnya terjadilah eksternalitas negatif, karena deplesi dan degradasi akibat pemompaan yang berlebihan akan berpengaruh pada seluruh sistem akuifer yang bersifat lintas daerah, lintas wilayah administratif dan bahkan lintas negara. Pemompaan yang berlebihan akan merusak kantong-kantong air tanah. Akibat lainnya muka air tanah turun. Pemompaan yang berlebihan juga akan berakibat pada intrusi air laut khususnya di daerah ekosistem pantai, yang sering kali tidak dapat diperbaiki (Hoekstra, 1998, hal. 608). Ekosistem pantai sangat tergantung pada keseimbangan antara asupan air tawar, pengambilan air tanah, dan salinasi air laut (Burke dan Moench, 2000, hal. 36). Jika keseimbangan terganggu, usaha untuk memperbaikinya selain membutuhkan teknologi yang tinggi juga biaya yang besar. Tidak seperti air permukaan, deplesi dan degradasi sistem air tanah tidak dapat atau sulit diperbaiki. Karena sifatnya yang lebih kompleks, sebaiknya manajemen air tanah dipisahkan dengan manajemen air permukaan. Manajemen air tanah sangat terkait dengan struktur geologis dan harus berbasiskan sistem akuifer (Burke dan Moench, 2000, hal. 1) dalam hal ini cekungan air tanah, yang bagi banyak orang merupakan hal yang sulit dibayangkan. Dengan karakteristik seperti tersebut di atas, air tanah harus dikelola secara berkelanjutan. Oleh karena itulah Manajemen Sumber Daya Air yang Terintegrasi (IWRM) menjadi sangat relevan untuk air tanah. IWRM didefinisikan sebagai pendekatan yang berkelanjutan terhadap sumber daya air yang mempertimbangkan sifatnya yang multi dimensional –waktu, ruang, multi disiplin dan multi stakeholders (regulator, pemakai, penyedia) - dan pentingnya untuk menangani, memperhatikan dan mengaitkan semua dimensi tersebut secara holistik sehingga dapat dicapai solusi yang berkelanjutan (Thomas dan Durham, 2003, hal. 24). IWRM juga menjadi sangat penting untuk mengatasi masalah permintaan dan ketersediaan air tawar. Jumlah air di bumi ini selama dua juta tahun terakhir relatif, tetap sebaliknya permintaan akan air tawar meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk, kemakmuran penduduk dan penggunaan industri. Legislasi dan regulasi dari pemerintah dan badan-badan lainnya diperlukan untuk mengatasi masalahmasalah tersebut (Burke dan Moench, 2000, hal. 3; Palma, 2003, hal. 89) dan menjamin manajemen air tanah yang terintegrasi. Pelibatan seluruh stakeholder dalam proses governance air tanah pada satu cekungan air tanah sangat diperlukan untuk menjamin selain keberlanjutan air tanah juga keadilan. Jangan sampai stakeholder yang memiliki kemampuan ekonomi dan teknologi yang lebih tinggi mendominasi ekstraksi air tanah dan meninggalkan masalah bagi mereka yang marginal dalam hal kemampuan ekonomi dan teknologi ekstraksi air tanah.

4


Selain faktor teknis dan governance seperti tersebut di atas, faktor pembiayaan juga perlu diperhatikan benar. Untuk membiayai kegiatan manajemen air tanah - pengelolaan, konservasi, serta pelestarian air tanah - yang terintegrasi diperlukan sistem pendanaan yang berkesinambungan dan dalam jumlah yang memadai. Yang penting untuk diperhitungkan adalah bagaimana sistem pendanaan tersebut mampu memberikan keadilan bagi warga di sekitar lokasi pemanfaatan air tanah. Sebab ekstraksi, terutama untuk kepentingan industri, tidak hanya berpengaruh pada jumlah dan kualitas air tanah namun juga bagi ekositem lainnya, seperti mengeringnya sumber-sumber air setempat, berkurangnya jumlah lahan produksi karena terjadi alih fungsi, tetapi juga berubahnya struktur sosial-budaya setempat.

Pembangunan Berkelanjutan untuk Konteks Air Undang-Undang Pokok Agraria 1960 Bab I Pasal 1 tentang dasar-dasar dan ketentuan pokok agraria dan Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Sumber Daya Agraria merupakan sumber kekayaan alam yang terdiri atas bumi, tanah, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (tambang, hutan, air termasuk di dalamnya air tanah, gas alam dll.). Kekayaan alam ini sepenuhnya dikuasai oleh Negara untuk kemakmuran rakyat, termasuk juga di dalamnya sumber daya air. Dalam Undang-undang No 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA), Pasal 3 menyebutkan bahwa “Sumber daya air dikelola secara menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan SDA yang berkelanjutan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat�. Masalah kebutuhan akan air untuk memenuhi keperluan rumah tangga sehari-hari khususnya di daerah perkotaan dan ekstraksi oleh industri telah menjadikan air sebagai barang komoditas. Konsekuensinya antara lain adalah terjadinya ekstraksi air tanah besar-besaran untuk kepentingan industri, munculnya kepemilikan atas air dan penjualan atasnya, tercabutnya kontrol masyarakat atas sumber daya air berganti kontrol korporasi atau pemilik modal besar, serta meluasnya masalah kelangkaan air. Sebagai perbandingan, banyaknya penggunaan air tahun 2007 di DKI Jakarta rata-rata adalah 1.850.446 m3 /bln yang terdiri atas 1.630.142 m3 /bln air tanah dan 220.304 m3 /bln air permukaan. Sedangkan untuk Kota Semarang sekitar 624.310 m3 air tanah diekstraksi tiap bulannya pada tahun yang sama. Sedangkan di Kabupaten Sukabumi terdapat ekstraksi pada air tanah pada tahun 2006 rata-rata sebanyak 664.760 m3 /bln dan air permukaan sekitar 998.520 m3 /bln. Data di atas memberikan gambaran tingginya kebutuhan akan air yang dipenuhi dari ekstraksi air tanah dan pengolahan air permukaan. Penggunaan air yang tidak dengan cermat mempertimbangkan ketersediaan dan keterbaharuan sumber daya air akan mengarah pada masalah kelangkaan/kerawanan air. Sumber-sumber air semakin langka sementara kebutuhan akan air makin meningkat dan konflik antara berbagai komunitas dan pemanfaat air makin meluas. Perihal kerawanan sumber daya air terjadi pula di beberapa negara, sehingga mendorong dikeluarkannya deklarasi para menteri yang membidangi masalah air di Den Haag, Belanda pada Maret 2000. Point 7 dari Deklarasi ini menyebutkan komitmen untuk membangun governance untuk mengelola air secara berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengurangi kesempatan bagi generasi masa depan bisa memanfaatkan air. Hal senada kembali ditegaskan pada World Summit on Sustainable Development di Johannesburg, Afrika Selatan, awal 2002 bahwa masalah air diangkat sebagai program prioritas dalam Rencana Implementasi guna mewujudkan pembangunan air yang berkelanjutan.

5


Membicarakan prinsip pembangunan yang berkelanjutan, kita akan membicarakan mengenai etika lingkungan hidup, mengenai konsep cara pandang manusia terhadap ekosistem, dan bagaimana posisi manusia dalam relasi antara manusia dengan alam. Relasi yang terjalin antara manusia dengan alam begitu dekat, dan saling bergantung, selain itu manusia merupakan faktor pengaruh yang kuat bagi alam dan begitu pula sebaliknya serta mampu saling membentuk satu sama lain. Misalnya perubahan tata guna lahan akan berpengaruh pada kemampuan tanah menyerap dan menyimpan air, hanya saja relasi manusia dengan alam tidak lagi bersifat langsung dan dekat terutama pada era globalisasi ekonomi seperti sekarang. Manusia masih melulu memikirkan alam sebagai penyedia kebutuhan, penyokong peningkatan kualitas hidup dan beranggapan bahwa alam mampu memperbaiki diri serta mempertahankan persediaan sumber dayanya, walaupun digunakan sebanyak dan semau manusia. Adanya kesadaran, yang kemudian muncul, bahwa individu tidak mungkin hidup sendiri lepas dari komunitas dan ekosistem, telah mengawali terbentuknya etika lingkungan hidup. Keberpihakan pada alam juga dapat dilihat sebagai suatu wujud kesadaran untuk peduli dan solider pada mereka yang tidak mampu serta mudah ditindas (misalnya komunitas/kelompok manusia lain yang lebih lemah, binatang dan alam) dalam suatu relasi ekosistem yang tidak adil. Dari etika lingkungan ini pula konsep right to water atau human right to water menjadi kuat. Yang menganggap bahwa air merupakan bagian dari hak asasi yang harus dapat diakses secara sama dan mudah oleh setiap manusia dan Negara harus menjamin distribusinya secara adil, merata serta bertanggung jawab atas pengelolaan konservasi sumber daya air. Sebagai sebuah alternatif, manajemen air tanah dapat dilakukan melalui pembuatan suatu kebijakan yang mendorong pemajuan teknologi untuk mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan atau memulihkan kandungan sumber daya alam. Misalnya teknologi yang dapat mengurangi waktu pemulihan air tanah, agar terbaharui kembali dalam jangka waktu yang relatif lebih pendek. Atau dengan menerapkan kebijakan yang mendorong pemanfaatan sumber daya alam yang membutuhkan waktu regenerasi lebih pendek. Misalnya untuk memenuhi kebutuhan air didorong untuk penciptaan teknologi daur ulang air permukaan dengan biaya rendah agar dapat menekan pemanfatan air tanah. Tujuan dari kebijakan ini adalah melestarikan sumber daya alam dan menurunkan tekanan pada kemajuan teknologi yang berorientasi pada peningkatan efesiensi pemanfaatan sumber daya alam. Sehingga mampu menyeimbangkan peningkatan kebutuhan akibat pertumbuhan penduduk serta regenerasi sumber daya alam. Dengan demikian, dalam kaitan air tanah Pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan air tanah yang berbasis konservasi dengan memelihara dan melindungi keberadaan dan kondisi lingkungan air tanah guna mempertahankan kelestarian dan kesinambungan ketersediaannya. Pada PP No 43 tahun 2008 tentang Air Tanah, kegiatan konservasi air tanah meliputi perlindungan dan pelestarian air tanah, pengawetan air tanah serta pengelolaan kualitas dan pengendalian pencemaran air tanah. Untuk menjamin pelaksanaan rangkaian kegiatan konservasi ini, dibutuhkan pembiayaan yang dialokasikan dari APBN, APBD Propinsi dan APBD Kota/Kabupaten.

Anggaran Berdimensi Pembangunan Berkelanjutan Ketika seorang pemimpin wilayah mempunyai konsep etika lingkungan yang tidak mendorong konservasi dan keberlanjutan dalam melakukan perencanaan pembangunan kota maka persoalanpersoalan lingkungan tidak menjadi prioritas dan hal ini berimplikasi pada minimnya alokasi anggaran.

6


Sumber daya alam hanya diperlakukan sebagai penyedia bahan baku bagi industri yang tidak dipikirkan keberlanjutannya, serta tidak adanya keterpaduan pengelolaan sumber daya alam. Termasuk juga dalam hal ini adalah perlakuan terhadap air tanah. Contohnya di Kota Semarang, sektor air bawah tanah yang masuk dalam urusan energi dan sumber daya mineral ini tidak masuk di antara 26 urusan wajib yang menjadi prioritas pemerintah Kota Semarang tahun 2006 – 2009, sementara persoalan intrusi air laut, amblesan tanah sampai krisis air bersih begitu kasat mata dan dihadapi setiap hari oleh masyarakat kota pesisir ini. Ketiadaan keberpihakan terhadap konservasi sumber daya alam nampak misalnya pada Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 5 tahun 2003 tentang Nilai Perolehan dan Harga Dasar Air untuk Menghitung Pajak Pengambilan Air Bawah Tanah, terkait pemotongan tarif pajak sebesar 70% dengan dalih mendorong pengembangan dunia usaha. Kebijakan ini dikeluarkan tanpa memperhitungkan tingginya biaya konservasi sumber daya alam, terutama pemulihan air tanah. Pendekatan yang lebih menekankan eksploitasi seperti untuk alasan pertumbuhan ekonomi juga dapat dilihat pada dokumen Rencana Pembanguan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sukabumi Tahun 2006-2010 khususnya dalam pembahasan tentang Arah Kebijakan Ekonomi Daerah pada point 2 yaitu : �Menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan investasi guna mendorong perkembangan sektor riil dan pariwisata�. Meningkatkan investasi, merupakan kata kunci pada pendekatan pembangunan dan eksploitasi atas sumber daya alam dilakukan atas dasar ini. Minimnya keberpihakan pengambil kebijakan wilayah pada masalah konservasi sumber daya alam, akan berdampak pada proses perencanaan dan penganggaran pembangunan. Hal ini menjadi sangat penting untuk disadari sebab anggaran merupakan instrumen terpenting pada pemenuhan hak. Sehingga melakukan pemantauan terhadap proses perencanaan hingga penetapan anggaran menjadi penting untuk dilakukan. Pemahaman akan tiap tahapan prosesnya akan menentukan strategi advokasi yang akan dipilih. Secara sederhana proses penganggaran daerah (Kabupaten/Kota) dimulai dengan penyusunan Rancangan Awal RKPD (Rencana Kerja Perangkat Daerah) oleh BAPPEDA, kemudian proses Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) dari tingkat desa hingga Kabupaten/Kota sebagai media penyampaian usulan pembangunan dari masyarakat. Kemudian menjadi RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah) yang diberikan pada Walikota dan DPRD untuk penentuan prioritas program dan plafon anggaran. Dokumen tersebut menjadi acuan masing-bagi masing SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dalam menyusun RKA (Rencana Kerja dan Anggaran) yang lebih rinci. Setelah proses teknokrasi ini selesai dilanjutkan dengan proses politik, dimana dokumen RKA tersebut dibahas di DPRD hingga kemudian disetujui Walikota dan menjadi APBD Kabupaten/Kota.

7


Gambar 1. Alur Proses Perencanaan Dan Penganggaran Daerah Menurut UU 17/2003 dan UU 25/20042

Permasalahan Berdasarkan hasil penelitian Amrta Institute tentang Pemantauan Pendapatan dari sektor Air di Kabupaten Klaten, Boyolali, Magelang dan Sleman. Menyatakan bahwa secara nasional peluang pemerintah daerah memperoleh pendapatan dari sumber daya cukup besar. Hal ini dapat terjadi apabila dilakukan (i) perbaikan peraturan menyangkut aspek pemberian nilai perolehan air dan pajak air yang tepat yang sapat menyeimbangkan eksploitasi dan konservasi air tanah, (ii) penegakan hukum dan (iii) pembukaan akses bagi masyarakat, terkait dengan governance air tanah, terhadap informasi dan pengambilan keputusan. Saat ini PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah menetapkan sistem dan mekanisme penilaian perolehan air yang tidak menerapkan prinsip keberlanjutan. Berdasar data Pengambilan Air Tanah Kota Semarang tahun 2008, kurang lebih 635.000 m3 air bawah tanah diekstraksi tiap bulannya oleh sekitar 473 pemanfaat air bawah tanah mulai dari sektor non niaga hingga industri besar. Sedangkan pajak yang dikenakan hanya sebesar 10% untuk air permukaan dan 20% untuk air tanah dari Nilai Perolehan Air, ditambah dengan SK Gubernur Jawa Tengah No. 5 Tahun 2003 yang memberikan pengurangan 2

Laporan Workshop Gender Budgeting, LRC-KJHAM Semarang, 2008, hal 50

8


pungutan sebesar 70 % dari tarif pajak guna mendorong pengembangan dunia usaha yang mengambil Air Bawah Tanah (ABT). Besarnya pendapatan pemerintah dari pajak ABT, misalnya, saat ini tidak sepadan dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan air minum dalam kemasan dan juga tidak sepadan dengan biaya konservasi dan perbaikan kualitas dan kuantitas ABT. Belum lagi jika dihitung dari biaya eksternalitas yang ditanggung masyarakat kecil pengguna air lainnya. Sebagai gambaran PT Aqua Golden Missisipi Tbk di Kabupaten Sukabumi pada bulan Mei 2006 melakukan ekstraksi air tanah sebesar 215.319 m3 dimana perusahaan air minum dalam kemasan (botol plastik) ini dapat menjual produknya tersebut seharga Rp 430.638.000.000 (diperoleh dari volume ABT dikali harga jual per liter). Sementara tarif pajak yang dibayarkannya pada bulan yang sama tidak lebih dari 0,19 % dari nilai jual produk air minum dalam kemasan tersebut. Sementara tidak hanya nilai perolehan pajak air yang rendah, namun dampak dari ekstraksi seperti menurunnya muka air tanah sehingga masyarakat harus menambah kedalaman sumur tiap periode, keringnya sumber-sumber air yang menyebabkan krisis air, menurunnya produktivitas lahan karena alih fungsi, serta dampak sosial lainnya tidak mampu diberi bobot yang adil dari sistem penetapan pajak atas air. Melihat berbagai kondisi di atas Amrta Institute dan Yayasan TIFA, melakukan kerjasama untuk melanjutkan penelitian seputar pendapatan dari sumber daya air yaitu tentang �Pengembangan Kapasitas Masyarakat Lokal dan Pemerintahan dalam Pengambilan Keputusan atas Pendapatan dari Sumber Daya Air�. Penelitian ini mengumpulan data pendapatan dari sumber daya air di empat daerah yaitu Jakarta dan Semarang yang memiliki pengaruh pada skala nasional serta Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Klaten dimana ekstraksi air tanah dilakukan dalam skala besar oleh sektor industri. Hasilnya akan diintegrasikan dengan penelitian terdahulu di Kab. Sleman, Boyolali, Magelang dan Klaten. Hasil integrasi akan digunakan untuk advokasi baik di aras lokal maupun nasional.

Metode Penelitian Penelitian dilakukan di lima daerah yang terletak di tiga Propinsi yaitu Propinsi Jawa Tengah, DKI Jakarta, serta Jawa Barat. Kota Semarang, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Klaten yang terletak di Propinsi Jawa Tengah, Kota Jakarta yang terletak di Propinsi DKI Jakarta serta Kabupaten Sukabumi yang terletak di Propinsi Jawa Barat. Beberapa pertanyaan penelitian kunci dari penelitian ini adalah 1) dari mana sajakah sumber-sumber pendapatan daerah dari sektor sumber daya air, 2) seberapa besar kontribusi pendapatan dari sektor sumber daya air, 3) sektor/dinas/kantor/badan apa saja yang mempunyai program yang berkaitan dengan air, 4) bagaimana alokasi belanja air dibanding total belanja daerah dan sektor/dinas pelaksana 5) permasalahan sumber daya air yang muncul dan dialami masyarakat. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, pengumpulan data atau dokumen pendapatan dan ekstraksi air tanah di Kota Semarang, Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonosobo, DKI Jakarta dan Kabupaten Sukabumi. Jenis data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil wawancara mendalam, hasil Focus Group Discussion, foto, dokumen-dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, peraturan tentang sumber daya air baik tingkat nasional dan daerah, SOTK dan TUPOKSI, laporan bulanan Perhitungan Nilai Perolehan Air masing-masing daerah penelitian.

9


Sumber data utama penelitian ini adalah Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Jawa Tengah, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Jawa Barat, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta, Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sukabumi, DPRD Kota Semarang, DPRD DKI Jakarta, Badan Geologi, Yayasan Fitra Jakarta dan masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah eksploitasi sumber daya air. Sebagai catatan beberapa lembaga dan instansi pemerintah menunjukkan sikap defensif dan tidak bersedia memberikan akses terhadap dokumen publik yang menjadi kewenangannya sehingga diperlukan kesempatan berulang-ulang untuk mendapat kepercayaan serta mencoba mengakses dokumen-dokumen tersebut lewat lembaga non pemerintah atau instansi pemerintah lainnya yang juga mempunyai kewenangan terhadap dokumen-dokumen tersebut.

10


BAB II DAMPAK EKSTRAKSI AIR TANAH DI WILAYAH PENELITIAN

Secara alami air bawah tanah tidak bisa dibatasi oleh batas wilayah administratif maupun batas kepemilikan lahan. Sebab pada prinsipnya air tanah tersimpan dalam cekungan air tanah, yang lebih dibatasi oleh batas-batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis yang mencakup proses pengimbuhan, pengaliran, pelepasan air tanah berlangsung.

Gambar 1. Cekungan Air Tanah3

Terkadang, di suatu wilayah kabupaten/kota atau propinsi, tidak ditemukan setiap sisi batas cekungan air tanah karena berada di wilayah administratif lainnya. Sehingga pengelolaan air tanah bisa lintas kabupaten/kota, provinsi dan negara. Pendapat senada diungkapkan oleh Ir. Danaryanto, Kepala Lingkungan Badan Geologi Nasional, bahwa pengelolaan terhadap air tanah tidak bisa parsial melainkan harus dalam prinsip keterpaduan antar departemen/dinas/sektor. Permasalahan mengenai pengelolaan air tanah yang cenderung belum berbasis konservasi adalah karena cara pandang mengenai air tanah yang masih sangat berbeda-beda antar sektor yang satu dengan sektor yang lain. Misalnya pemahaman dari dinas energi sumber daya mineral dan dinas lingkungan hidup akan berbeda dengan pemahaman dari dinas pekerjaan umum. Sementara pemahaman yang diyakini oleh dinas tertentulah yang selanjutnya akan menentukan seperti apa kebijakan terkait pengelolaan air bawah tanah akan dirumuskan.

3

Air Tanah di Indonesia dan Pengelolaannya, Departemen ESDM, 2005, hlm 21

11


Dampak Pengelolaan Air Tanah Kebutuhan manusia pada umumnya akan air kira-kira sekitar 120 liter/hari. Maka kebutuhan suatu wilayah akan air akan didapat dari hasil kali jumlah penduduk dengan rata-rata kebutuhan harian akan air. Dan itu belum termasuk untuk kebutuhan pertanian, pariwisata, perkebunan, perumahan, industri, pertambangan, kebudayaan, serta keperluan lainnya. Dengan perkembangan kesejahteraan, konsumsi air global sekarang ini menjadi dua kali lipat tiap 20 tahun, melebihi dua kali jumlah pertumbuhan penduduk. Sementara kebutuhan akan air dapat terpenuhi dari sumber air berupa air permukaan, mata air dan air bawah tanah. Semula air permukaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia namun karena laju pertumbuhan penduduk yang pesat, maka kebutuhan masyarakat akan air tidak bisa dipenuhi lagi hanya dari pemanfaatan air permukaan, terlebih seiring pertumbuhan penduduk maka tumbuh pesat pula industri. Sedangkan air permukaan sangat rentan terpapar oleh limbah industri, limbah rumah tangga maupun pencemar lainnya. Manusia kemudian mulai menggunakan air bawah tanah untuk pemenuhan kebutuhannya. Hingga sekarang air bawah tanah menjadi favorit karena lebih bersih, lebih bebas bakteri dan lebih murah. Sedangkan untuk memanfaatkan air permukaan, terkendala oleh tingginya tarif yang dikenakan PDAM selaku penyedia layanan air bersih bagi masyarakat. Juga terkendala oleh kemampuan coverage area PDAM yang masih terbatas. Untuk sektor industri pun cenderung tidak terlalu memanfaatkan air permukaan karena air permukaan mudah tercemar, relatif tidak bersih dan untuk bisa digunakan dalam proses produksi perlu dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Peralatan instalasi pengolahan air permukaan tersebut tidaklah murah, sementara pelaku industri akan selalu mencari upaya minimalisasi biaya produksi dan maksimalisasi pendapatan atau keuntungan. Dalam kenyataannya, air bersih terdistribusi hanya ke sebagian kecil masyarakat. Menurut penelitian Soetrisno (2002), seperti yang dikutip Heru Hendrayana4, bahwa dari sekitar 2.000 sumur bor di Bandung sebesar 0,2 juta m3 per hari air tanah kualitas prima dimanfaatkan untuk keperluan industri dan hanya sebesar 14.000 m3 per hari air tanah kualitas rendah dimanfaatkan oleh kaum miskin perkotaan. Jadi kaum miskin perkotaan hanya menikmati air tanah sebesar 7% dari yang digunakan oleh sektor industri. Sementara dalam Peraturan Pemerintah No 43 tahun 2008 yang mengatur tentang Air Tanah, pada pasal 50 ayat (3) menegaskan bahwa penyediaan air tanah untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari merupakan prioritas utama di atas segala keperluan lain. Namun faktanya beberapa kelompok masyarakat di sekitar daerah sumber air mengalami kekeringan, dan tidak mempunyai akses atas air bersih. Sementara penggunaan air tanah oleh sektor industri semakin meningkat, tanpa disertai upaya pemulihan kualitas dan kuantitas air tanah. Bahkan untuk memperoleh akses atas air bersih, masyarakat di daerah sumber air di Sukabumi harus membuat proposal yang diajukan kepada perusahaan dan setelah mendapat persetujuan perusahaan, baru air bagi kebutuhan harian masyarakat tersebut didistribusikan dari perusahaan ke perkampungan. Logika bahwa air sudah menjadi milik perusahaan semakin menegaskan adanya pergeseran nilai tentang air yang semula komoditas sosial menjadi komoditas sosial-komersial. Padahal dalam PP no 43 tahun 2008, tegas dinyatakan bahwa setiap pemegang izin pengusahaan air wajib menyediakan 10% dari batasan debit yang tercantum dalam perizinan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari masyarakat setempat. 4

Hendrayana, Heru; “Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air Bawah Tanah yang Berkelanjutan�, kumpulan tulisan dalam buku Peluang dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia, P3-TPSLK BPPT, Jakarta, 2002, hlm 272

12


Konflik karena persoalan distribusi yang adil atas air, khususnya air tanah, yang terjadi di Sukabumi sebagai konflik antara penduduk sekitar mata air dan PT Aqua Tirta Investama serta beberapa perusahaan air minum botolan lain juga disebabkan oleh mengeringnya mata air serta sungai di daerah tersebut akibat ekstraksi air tanah yang masif sebagai air baku untuk produksi Air Minum dalam Kemasan. Konflik air di Klaten muncul karena PT Tirta Investama Aqua melakukan ekstraksi air tanah di sumber air di daerah hulu yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan air di daerah hilir. Dan untuk memenuhi kebutuhan irigasi, para petani mengupayakannya dengan membuat sumur bor yang disalurkan untuk mengairi persawahan dengan pompa disel yang berbiaya tinggi. Ekstraksi atau pemanfaatan yang terus-menerus terhadap sumber daya air bawah tanah dan mata air akan mengakibatkan penurunan kualitas atau kerusakan pada ekosistem yang lebih luas. Pada bagian berikutnya pada bab ini akan dipaparkan situasi ekstraksi atau pemanfaatan air bawah tanah di Kabupaten Klaten, Kota Semarang, Kabupaten Sukabumi dan DKI Jakarta, serta dampak-dampak yang diakibatkan dari pemanfaatan air yang berlebihan disertai perubahan lingkungan lain yang menyertainya pada daerah penelitian.

Dampak-dampak di Kabupaten Klaten Sejak masuknya PT Tirta Investama Aqua – Danone untuk melakukan eksploitasi mata air Sigedhang, terjadi beberapa perubahan baik di lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Pemanfaat air besar di Kabupaten Klaten adalah PDAM Solo atas Umbul Inggas Cokro Tulung sejak tahun 1929, Aqua Farm dengan kontrak kerja selama 35 tahun atas Umbul Kepoh dan Gedhang serta Aqua Danone dengan sertifikasi penuh atas Umbul Sigedhang. Sumber mata air Sigedhang ini diperkirakan mampu memproduksi debit air sebesar 6.307.200.000 l/tahun yang sebelumnya difungsikan untuk irigasi. Pada kasus PT.TIA, izin eksploitasi yang diberikan adalah 23 l/detik namun kenyataan jauh melebihi batas yaitu sekitar 86 l/detik yang kemudian dikecilkan hingga 65 l/detik. Perubahan yang lingkungan fisik yang langsung terlihat adalah matinya beberapa sumber air yang mengakibatkan berkurangnya debit air Cokro yang difungsikan oleh PDAM Solo dan debit air kapiler untuk kebutuhan irigasi dan domestik di daerah hilir. Salah seorang petani saat diwawancara juga menggambarkan kondisi kekurangan air untuk irigasi dengan situasi “air yang cepat habis�. Sehingga air dari hulu serasa tidak pernah sampai ke hilir. Terkait dengan masalah irigasi, seorang anggota kelompok tani di daerah hilir menyatakan bahwa untuk mengairi sawah kini dipenuhi dari air sumur bor. Ongkos produksi menjadi mahal karena harus menyewa mesin pompa dan bahan bakar mesin. Dan apabila sebelumnya hanya membutuhkan satu mesin pompa, kini harus menggunakan dua sampai tiga mesin pompa untuk mengairi sawah. Perubahan sosial yang muncul adalah potensi konflik baik horisontal antara warga di daerah hulu dan hilir, internal kelompok-kelompok tani karena isu pembagian sumbangan dari PT.TIA serta konflik vertikal antara warga dengan pemerintah kabupaten dan desa serta PT.TIA karena ketiadaan transparansi mengenai sumbangan PT.TIA pada desa dan program Corporate Social Responsibility PT.TIA yang diharapkan bisa memperbaiki kesejahteraan warga.

13


Kota Semarang Beberapa dampak lingkungan fisik yang terjadi akibat pemanfaatan air bawah tanah yang melebihi kemampuan daya dukung lingkungan adalah rob atau intrusi air laut, amblesan tanah, turunnya muka air tanah dan turunnya kualitas air. Ringkasan hasil wawancara di Bandarharjo, Kemijen dan Tambaklorok memberikan gambaran nyata akan masalah-masalah yang terjadi di Kota Semarang akibat ekstraksi air tanah yang berlebihan.

Air Rob Masalah yang selalu muncul baik di Bandarharjo, Kemijen, maupun Tambaklorok adalah air rob. Untuk mengatasinya, penduduk di daerah tersebut harus meninggikan rumah terus- menerus paling tidak satu tahun sekali dengan biaya sekitar lima juta rupiah. Sekali waktu sekitar 5 tahun sekali, rumah harus dibongkar dengan biaya sampai 15 juta rupiah. Situasi ini tentu sangat memberatkan karena kebanyakan bukanlah dari kelompok ekonomi kuat. Padahal, serangan rob bisa berakibat sangat parah. Sebagaimana yang dialami Ulfa (35), ketika suatu malam rob tiba-tiba masuk ke rumahnya. Ia dan keluarganya yang sedang tertidur lelap sama sekali tidak waspada terhadap kedatangan rob. Akibatnya, banyak barang-barangnya yang terseret rob dan hilang, termasuk alat-alat memasak dan buku pelajaran anak-anaknya. Rendaman rob bahkan bisa berlangsung selama berhari-hari. Dalam keadaan seperti itu tidak ada pilihan selain mengungsi ke rumah tetangga yang tidak terendam rob. Sahili mungkin lebih beruntung dibanding Ulfa karena ia bisa meninggikan rumahnya. Akan tetapi bukan berarti permasalahan rob selesai. Sekalipun tidak memasuki rumah, air rob yang terus menggenang di luar tetap membuat lingkungan tidak sehat. Sampah, misalnya, akan tersebar di mana-mana sehingga akan sulit menciptakan lingkungan yang bersih dan higienis.

Ketersediaan air bersih Hampir semua narasumber mengungkapkan tidak ada masalah dengan ketersediaan air bersih, meskipun dengan modus operandi yang berbeda. Di Kemijen, keluarga yang lebih mampu secara ekonomi berlangganan air PDAM. Bagi yang tidak berlangganan, umumnya mereka membeli air dari pengecer (air gerobak) atau berbagi dengan tetangga yang berlangganan. Sama sekali tidak ada keluhan sulit mendapatkan air bersih. Di Bandarharjo dan Tambaklorok, kebanyakan warga menggunakan air sumur bor. Polanya, rata-rata setiap RT ada satu keluarga yang memiliki sumur bor, kemudian si pemilik menyalurkan air melalui pipa kepada tetangganya. Berdasarkan pengakuan Khotimah (48), biaya sambungan sekitar Rp. 125.0000,termasuk pipa dan meteran untuk mengukur. Sedangkan tarifnya dihitung per meter kubik Rp. 3000 (sebagai catatan tarif PDAM untuk kelompok rumah tangga yang sama hanya Rp. 600). Mereka mengaku sumur bor ini berkualitas dan lebih segar dibandingkan air PDAM. Tetapi belum ada bukti ilmiah tentang kesehatan air yang mereka gunakan. Ironis. Di daerah yang menderita akibat ekstraksi air tanah yang berlebihan justru harus menggantungkan hidupnya dengan mengekstraksi air tanah yang akibatnya malah membuat mereka menderita akibat penurunan tanah, makin sulitnya mendapat air bersih karena muka air tanah turun 14


dan intrusi air laut, serta penurunan tanah membuat mereka yang tidak mampu menaikkan lantai rumahnya harus lebih menderita akibat rob yang menggenangi rumah mereka yang berlantai rendah.

Sanitasi Kebanyakan warga di Kemijen dan Bandarharjo memiliki kakus sendiri di rumah masing-masing. Kakus tersebut harus ikut ditinggikan pada saat yang sama ketika rumah ditinggikan. Tidak ada masalah dengan septic tank, hanya pipa untuk jamban yang perlu ditinggikan. Air limbah rumah tangga dialirkan di selokan-selokan kecil di sekitar rumah, bercampur dengan rob sehingga sewaktu-waktu rob meninggi limbah rumah tangga akan terbawa masuk rumah. Di Tambaklorok berbeda. Kakus disediakan sebagai sarana umum. Limbah kakus dialirkan langsung ke air laut. Tidak jarang kakus terlihat berada di sekitar perahu-perahu yang ditambatkan yang sering digunakan untuk beraktivitas. Sementara untuk keperluan mandi, banyak yang memiliki kamar mandi masing-masing di rumah karena mereka memiliki sambungan air bersih sendiri. Sampah belum dikelola secara terencana. Sahili mengatakan sampah cukup dibuang di lahan-lahan kosong yang ada di sekitar rumah. Tentu saja ketika datang rob, sampah-sampah tersebut bisa tersebar. Keadaan ini justru membuat warga enggan untuk bersih-bersih lingkungan karena jika sewaktu-waktu rob kembali datang sampah akan tersebar kembali.

Ekonomi Pekerjaan yang dianggap paling menjanjikan adalah sebagai pegawai di perusahaan garmen Glory. Penghasilan mereka yang bekerja di sana lebih dari satu juta rupiah. Bahkan anak sulung Ulfa, yang setelah menunggu tiga tahun baru bisa diterima di Glory, akhirnya bisa mewujudkan keinginannya untuk mengangsur pembelian motor. Di Bandarharjo, pekerjaan yang paling banyak ditekuni warga adalah di pengasapan ikan. Namun kesejahteraan mereka sangat minim. Gaji dihitung harian antara Rp. 20.000 – Rp. 30.000, sudah bersih tanpa ada tunjangan lain. Belum lagi lingkungan kerja yang tidak sehat. Zawida (51) mengaku ia sering memakai sepatu boot saat bekerja karena air rob sering menggenangi. Masalah bau yang menyengat juga menjadi keluhan utama. Akan tetapi, mereka yang tinggal di daerah tepi laut tersebut tidak semuanya mencari nafkah berbasis laut. Suami Ulfa, misalnya, bekerja sebagai penjahit pada seorang kyai di Sampangan. Ulfa memang bekerja serabutan mengupas kerang, tetapi penghasilannya sangat minim. Mereka menempati rumah di daerah tersebut karena harganya yang murah, yaitu per tahun 750.000 rupiah. Hampir semua narasumber mengaku, jika ada pilihan, mereka tidak akan tinggal di tempat yang kini mereka tinggali. Dengan penghasilan yang tidak banyak, para narasumber tersebut masih harus terbebani dengan biaya peninggian rumah tiap lima tahun sekali. Akibatnya, keperluan makan sehari-hari dan biaya kesehatan menjadi ditekan. Zawida dan Sahili mengaku makanan sehari-hari mereka adalah nasi sambal dan krupuk. Jika sakit, mereka selalu enggan ke dokter. Bahkan anak-anak Ulfa yang sudah mentas masa balita belum pernah diimunisasi.

15


Kabupaten Sukabumi Di Kecamatan Cicurug dan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, setidaknya terdapat 12 mata air (32 titik sumber) yang telah dikuasai oleh sekitar 21 perusahaan pengguna air. Padahal fungsi mata air tersebut sangat penting untuk menjamin keberlanjutan hidup komunitas desa di kedua Kecamatan tersebut. Beberapa perubahan lingkungan fisik yang terjadi akibat ekstraksi air bawah tanah yang berlebihan adalah matinya beberapa sumber air, turunnya debit mata air, turunnya permukaan sungai. Secara rinci terdapat delapan dampak negatif akibat penguasaan dan pemanfaatan sumber air oleh 27 perusahaan yang beroperasi di Kecamatan Cidahu dan Cicirug, Kabupaten Sukabumi, yaitu (1). Warga tidak dapat/sulit memanfaatkan air secara langsung dari mata air yang telah dikuasai/dieksploitasi pihak perusahaan karena sumber tersebut telah ditutup oleh pihak perusahaan atau membatasi akses pihak lain ke mata air. Dari hasil observasi yang dilakukan tim peneliti, PT Aqua Golden Mississippi dan PT Tirta Investama melakukan pemagaran di sekeliling lokasi titik mata air dengan tembok yang tinggi serta melakukan pengamanan dengan menempatkan petugas Satpam untuk berjaga 24 jam. (2). Turunnya muka air tanah pada sumur gali milik warga dengan kisaran 1-8 meter serta keringnya sumur gali warga. Di kecamatan Cidahu dampak seperti ini ditemukan di enam desa yang mencakup 20 kampung. Adapun di kecamatan Cicurug, dampak penurunan muka air tanah pada sumur gali warga ditemukan di empat desa. (3). Sumber-sumber air alternatif -seperti air pancuran dan air rembesan- yang biasa dimanfaatkan warga untuk MCK, mengalami kekeringan atau penurunan debit. (4). Mata air yang dieksploitasi perusahaan mengalami kekeringan/penurunan debit pada musim kemarau sehingga warga tidak dapat memanfaatkan sumber air tersebut. (5). Saluran air (selokan) yang melewati perkampungan warga mengalami kekeringan karena tidak ada/kecilnya pasokan air dari mata air. (6). Debit air sungai menurun secara drastis pada musim kemarau sehingga warga tidak dapat/sulit memanfaatkan air sungai untuk MCK. (7). Terhentinya aliran air yang menuju ke rumah warga akibat pembersihan (pengurasan) sumber air yang dilakukan perusahaan, dan (8). Jumlah debit air (mata air) yang tersedia atau yang dapat dimanfaatkan oleh warga desa, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih rumah tangga sehari-hari. Berdasarkan hasil studi Widarti (1995) di dalam Laporan Akhir Kegiatan Inventarisasi Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam (Balai TNGHS-JICA, 2006) disebutkan bahwa kebutuhan air bersih untuk setiap rumah tangga adalah sebesar 204,6 M続/KK/tahun. Berdasarkan data penelitian dapat dihitung total jumlah kebutuhan air bersih untuk RT warga di ke-12 desa diatas adalah sebesar 4.519.203 m3/tahun. Sementara total jumlah volume air yang dieksploitasi oleh 27 perusahaan yang beroperasi di Kecamatan Cidahu dan Cicurug selama tahun 2006 mencapai jumlah 5.960.671 m3. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah volume air yang telah dieksploitasi pihak perusahaan (selama tahun 2006) lebih besar daripada jumlah kebutuhan air bersih untuk rumah tangga warga.

16


Kenyataan ini semakin mempertegas fakta terjadinya ketimpangan/ketidakadilan dalam pemanfaatan sumber daya air antar pihak (masyarakat/sektor publik vs perusahaan/sektor privat) dan antar sektor (sektor industri vs sektor pertanian). Dampak negatif lain yang dirasakan warga adalah yang berpengaruh langsung dengan pemenuhan air untuk irigasi pertanian, yaitu: (1). Sulit/berkurangnya akses warga dalam memanfaatkan sumber air (mata air) secara langsung yang mengalir melalui saluran irigasi atau sungai untuk irigasi lahan pertanian karena telah dikuasai/dieksploitasi pihak perusahaan dengan cara menutup sumber air tersebut. (2). Turunnya debit air sungai (sungai besar) secara drastis, karena sumber air (mata air) mengalami penurunan debit/kering setelah adanya eksploitasi air yang dilakukan pihak perusahaan. Akibatnya warga di daerah hilir tidak dapat/sulit memenuhi kebutuhan air untuk irigasi lahan pertanian (sawah). (3). Berkurangnya debit air saluran irigasi (selokan/sungai kecil) yang mengalirkan air ke lahan pertanian (sawah) karena sumber air (mata air) yang memasok air ke saluran tersebut telah dikuasai perusahaan dengan cara ditutup. Penutupan ini menyebabkan berkurangnya debit air yang keluar dari mata air yang menuju ke saluran irigasi di daerah hilir (4). Pada musim kemarau sebagian besar lahan sawah milik warga mengalami kekeringan dan ditelantarkan (tidak digarap) selama 4-5 bulan karena kekurangan air untuk irigasi lahan pertanian (sawah). (5). Meningkatnya alih fungsi pola tanam dari tanaman padi (sawah) menjadi tanaman palawija (lahan kebun) karena kekurangan air untuk irigasi lahan pertanian (6). Berkurangnya hasil produksi pertanian baik hasil produksi padi (sawah) maupun hasil produksi palawija (kebun) karena tanaman kekurangan air. (7). Pada musim kemarau sumber air (mata air) yang dieksploitasi perusahaan mengalami kekeringan/penurunan debit yang dikuti oleh upaya pengeboran dilokasi sumber air oleh perusahaan, sehingga debit air yang berasal dari sumber air melalui saluran irigasi dan sungai untuk keutuhan irigasi lahan pertanian mengalami kekeringan. (8). Keringnya sumber-sumber air alternatif -seperti air rembesan, kubangan air di sekitar area persawahan. Air tersebut merupakan salah satu satu sumber air alternatif yang biasa dimanfaatkan warga untuk irigasi lahan pertanian (9). Ketidakseimbangan antara debit (mata air) yang tersedia dengan kebutuhan air untuk memenuhi irigasi lahan pertanian yang semakin meningkat setiap tahun akibat adanya eksploitasi air secara besarbesaran oleh perusahaan. Sedangkan perubahan sosial yang terjadi adalah pergeseran nilai air atau cara pandang terhadap air yang semula adalah sumber hidup dan lebih bernilai sosial serta kultural. Kini sejak menjamurnya perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) dan beberapa industri lain yang mengekstraksi air bawah tanah, bergeser menjadi lebih bernilai ekonomi dan diperlakukan seperti komoditi. Hal ini berakibat pada beberapa lahan produktif atau yang mempunyai potensi air bawah tanah besar dijual ke perusahaan, sehingga air dimaknai sebagai hak milik. Kemudian terjadinya alih fungsi lahan, dari lahan produktif menjadi lahan tegalan karena tanah menjadi kering.

17


Kedua, terjadinya peralihan mata pencaharian yang semula di sektor pertanian menjadi ke sektor industri dan jasa. Bagi beberapa pemuda, pilihan menjadi tukang ojek terasa lebih memberikan keuntungan dibanding menekuni mata pencaharian sebagai petani. Dengan hadirnya perusahaanperusahaan ini - perusahaan makanan dan minuman (mamin), perusahaan peternakan, perusahaan kimia (bahan kimia dan farmasi), perusahaan elektronik, perusahaan plastik, perusahaan wisata (hotel/restoran/taman rekreasi), perusahaan air bersih, perusahaan pertambangan, perusahaan garmen dan perusahaan perkebunan - semula warga berharap agar anak atau anggota keluarga mereka bisa direkrut menjadi tenaga kerja. Namun syarat pendidikan minimal SMA menjadi berat untuk dipenuhi warga, ditambah munculnya kelompok preman dimana warga yang ingin menjadi tenaga kerja harus membayar sejumlah uang sebagai pelicin namun tetap tidak menjadi jaminan diterima sebagai tenaga kerja. Ketiga, ternyata kemampuan serap tenaga kerja oleh perusahaan-perusahaan yang ada di dua Kecamatan di Kabupaten Sukabumi di atas yang menjadi lokasi penelitian, hanya sekitar 28% saja. Dan sebagian besar pemenuhan kebutuhan tenaga kerja perusahaan berasal dari tenaga kerja di luar daerah. Meskipun di beberapa desa sudah membuat kesepatan yang tertuang dalam Peraturan Desa tentang jaminan warga lokal untuk diprioritaskan menjadi tenaga kerja, namun hal ini tidak kunjung terwujud. Permasalahan yang menghambat adalah karena adanya pungutan uang dalam proses rekrutmen tenaga kerja yang tidak mampu dipenuhi sebagian besar penduduk lokal, sehingga mereka kemudian memilih tidak bekerja di perusahaan-perusahaan pemanfaaat air di daerah mereka tersebut. Keempat, adanya persyaratan administrasi dalam proses rekrutmen tenaga kerja di perusahaan. Bagi penduduk yang rata-rata hanya lulusan SMP atau bahkan lebih rendah tentu dianggap tidak memenuhi persyaratan bekerja di perusahaan yang mensyaratkan minimal pendidikan adalah lulusan SMA. Masyarakat desa dimiskinkan karena tercerabutnya akses atas sumberdaya air di tempat mereka sendiri dan kembali disisihkan dalam proses ekonomi dengan adanya pembatasan akses untuk bekerja di perusahaan-perusahaan yang sudah mengeruk keuntungan dari daerah mereka. Dampak sosial –politik yang terjadi adalah tidak dilibatkannya golongan masyarakat biasa dalam berbagai pengambilan keputusan strategis yang menyangkut soal air maupun aktivitas dan keberadaaan perusahaan. Sementara yang paling terkena dampaknya adalah masyarakat biasa ini. Kedua, lahirnya golongan elite masyarakat yang mendukung keberadaan perusahaan. Aktor individu yang terlibat adalah oknum anggota masyarakat seperti tokoh masyarakat, oknum RT, Oknum kepala Desa, Tokoh pemuda, dll. Sedangkan organisasi sosial yang lahir dan dibentuk sejak adanya perusahaan terdiri atas berbagai kategori Organisasi massa, Lembaga Swadaya Masyarakat, Yayasan Rekrutmen Tenaga kerja, Organisasi Preman Desa. Peran kelompok ini antara lain menjalankan fungsi pengamanan perusahaan serta menjaga stabilitas dari misalnya aksi protes warga, menjadi perantara dalam proses rekruitmen tenaga kerja, sebagai penyalur atau pelaksana berbagai proyek bantuan dari perusahaan kepada masyarakat. Potensi konflik horisontal pun cukup tinggi menyangkut penyaluran bantuan tersebut. Sedangkan bagaimana mekanisme yang berjalan dan aspek keadilan dalam distribusi tidak menjadi tanggung jawab perusahaan lagi, dengan dalih sudah melibatkan kelompok masyarakat dalam pendistribusian bantuan. Kelompok ini juga mengambil keuntungan dari isu eksploitasi air sebagai komoditas politik mereka. Sebagai contoh ada sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat melakukan aksi protes pada perusahaan hanya agar mereka memperoleh imbalan atau keuntungan lainnya dari perusahaan dan kepentingan masyarakat hanya merupakan kedok.

18


Relasi warga dengan perusahaan pun mencerminkan ketidakadilan, warga yang mengalami kekeringan karena ekstraksi berlebihan perusahaan hanya difasilitasi pembuatan kamar mandi umum yang jauh dari memadai untuk memenuhi kebutuhan warga. Beberapa desa yang lokasinya dekat sumber air namun jauh dari lokasi perusahaan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan air karena tidak adanya fasilitas saluran air, sementara akses langsung ke sumber air yang terdapat di desanya tidak mungkin karena sudah diisolasi oleh perusahaan. Keberadaan perusahaan-perusahaan pengguna air secara umum tidak cukup mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat di mana perusahaan itu beroperasi atau mengeksploitasi air. Sebaliknya, keberadaan perusahaan di lokasi penyelidikan justru telah membawa kerugian secara ekonomi terhadap usaha produktif warga desa terutama di sektor pertanian, serta tidak cukup mampu membangun kesadaran dan keberdayaan politik warga desa untuk bersikap dan bertindak secara kritis terhadap pihak perusahaan.

DKI Jakarta Pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang cenderung meningkat, khususnya air tanah pada sistem akuifer tertekan, menyebabkan terjadinya perubahan kedudukan muka air tanah. Empat daerah kerucut penurunan muka air tanah (cone of depression) utama yang merupakan bukti jumlah pengambilan dan pemanfaatan air tanah yang telah melebihi potensinya. Di daerah dataran bagian barat terdapat dua kerucut penurunan muka air tanah yakni di sekitar daerah Kamal (Jakarta Utara), Dadap, Jurumudi, dan Porisgaga (Kota Tangerang), Kebon Jeruk, Jelambar, Kali Deres, Cengkareng, dan Kapuk (Jakarta Barat), kedudukan muka air tanah antara 22,87 m – 47,08 m bml, terdalam dijumpai di daerah Kamal (PT. Mundo). Kerucut penurunan muka air tanah lainnya meliputi daerah Tanah Abang, dan Senen (Jakarta Pusat), dengan kedudukan muka air tanah > 20 m bml, terdalam dijumpai di kompleks PT. Jakarta Land. Di daerah dataran bagian timur tedapat dua kerucut penurunan muka air tanah, yaitu, meliputi daerah Pulogadung, Cakung, Ujung Menteng (Jakarta Timur), Pejuang, dan Medan Satria (Kota Bekasi), muka air tanah berada pada kedudukan antara 21,42 m – 44,06 m bml, terdalam dijumpai di kompleks PT. Bridgestone, Medan Satria, Kota Bekasi. Kerucut lainnya terdapat di daerah Sunter (Jakarta Utara), dengan kedudukan muka air tanah > 20 m bml, terdalam dijumpai di kompleks PT. Astra Motor. Amblesan tanah (land subsidence) secara umum terjadi karena proses pemampatan/konsolidasi baik karena faktor pembebanan maupun terkait dengan pengambilan air tanah. Penurunan muka air tanah pada sistem akuifer tertekan mengakibatkan penurunan tekanan hidrolika (hydraulic pressure), sementara tekanan antar butir (intergranular pressure) bertambah. Akibatnya terjadi penurunan permukaan tanah. Mengingat material lempung sebagai lapisan penutup (confining layer) sistem akuifer tertekan sangat mudah termampatkan, pertambahan tekanan antar butir akan menyebabkan lapisan lempung tersebut termampatkan. Hal ini berarti mengurangi kesarangan (porosity) lempung yang mengakibatkan air yang mengisi pori-pori lempung akan terperas ke bawah ke dalam akuifer. Indikasi adanya amblesan tanah di daerah Jakarta ini ditunjukkan antara lain oleh : - Retaknya bangunan gedung di kompleks kantor Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta kompleks toko Sarinah di Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat. - Terjadinya genangan air laut pasang di daerah Kapuk, dan Cengkareng (Jakarta Barat) serta Kamal (Jakarta Utara) yang semakin meluas dan semakin tinggi air genangannya.

19


- Miringnya Menara Museum Bahari di daerah Pasar Ikan, Pademangan (Jakarta Utara). Hasil pengkajian amblesan yang dilakukan oleh Dinas Pertambangan DKI Jakarta, kecepatan amblesan tanah di wilayah Jakarta selama tahun 1982 - 1997 berkisar antara 0,7 – 12,0 cm/tahun. Adapun daerah yang mempunyai amblesan tertinggi terjadi di daerah Tegal Alur dan Cengkareng (Jakarta Barat), dengan kecepatan amblesan tanah mencapai 12,0 cm/tahun. Dari hasil wawancara dengan beberapa penduduk di daerah Muara baru, Jakarta Utara, diperoleh informasi bahwa setiap harinya mereka mengalami banjir air laut. Bahkan berbeda dengan banjir air laut di Semarang, banjir di wilayah Muara Baru merupakan banjir dengan arus gelombang tinggi. Seperti dikatakan salah seorang narasumber yang menyatakan rasanya seperti kena tsunami setiap hari. Bahkan karena arus gelombang yang tinggi tersebut, pernah di sepanjang gang dipasang tali tambang besar untuk membantu penduduk berjalan agar tidak terseret arus. Bahkan karena banjir yang datang tiba-tiba dan sering tidak bisa diperkirakan waktunya, beberapa warga menjadi kehilangan potensi penghasilan. Misal karena banjir yang datang pagi hari, penjual nasi uduk dan penjual jamu gendong tidak bisa berjualan karena rumahnya tergenang banjir. Bahkan seorang narasumber memilih memiliki persediaan baju hanya dua pasang, karena toh akan hanyut atau terendam ketika banjir. Kelompok perempuan menghadapi persoalan yang pelik karena bukan hanya harus bertanggung jawab atas kebersihan rumah yang setiap hari tergenang, atau air bersih untuk minum dan masak yang susah didapat, namun juga kerentanan kesehatan reproduksi karena buruknya sanitasi dan kualitas air untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Terlebih karena buruknya saluran drainase, limbah rumah tangga dan limbah industri pengolahan ikan yang berada dekat wilayah itu menjadi tercampur baur dengan banjir air laut menggenangi rumah-rumah warga. Daerah Muara Baru memang sebuah kawasan industri yang tidak layak untuk menjadi tempat hunian, namun ketiadaan pilihan dan ketidakmampuan untuk pindah ke lokasi pemukiman yang lebih layak membuat masyarakat tetap bertahan dan beradaptasi dengan banjir.

Pemulihan Lingkungan Berbagai masalah lingkungan seperti amblesan tanah, penurunan muka air tanah berlebihan, intrusi air laut serta penurunan kualitas air tanah atau pencemaran air tanah disebabkan salah satunya oleh pengambilan air tanah yang lebih besar dari usaha pemulihan. Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Teknologi Bandung dalam Laporan “Penilaian Atas Pajak Air Tanah Dalam Rangka Konservasi� telah mengidentifikasi secara detil tentang kebutuhan biaya pemulihan lingkungan. Berikut adalah hasil analisis tim tersebut. Secara umum upaya pemulihan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara langsung dan tidak langsung. Cara langsung adalah dengan mengalihkan sebagian pemakaian air tanah kepada air permukaan. Cara langsung ini memerlukan infrastruktur yang memadai diantaranya provisi (pentarifan) air tanah dan air permukaan yang proporsional, adanya insentif terhadap penggunaan air permukaan dan insentif terhadap penggunaan teknologi daur ulang serta ditunjang oleh infrastruktur air bersih yang baik. Cara yang bersifat langsung dilakukan melaluui teknologi imbuhan buatan seperti sumur resapan, injeksi langsung serta teknologi ASR (aquifer storage and recovery). Sesungguhnya biaya yang telah diketahui untuk melakukan pemulihan yang bersifat langsung ini dapat dijadikan referensi bagi alokasi belanja untuk konservasi air tanah di wilayah-wilayah yang telah mengalami defisit air tanah.

20


1. Pembuatan sumur resapan Sumur resapan adalah adalah sistem resapan buatan yang berfungsi sebagai penampung air hujan, dapat berupa sumur, parit atau alur taman resapan, berguna untuk pemulihan akuifer dangkal. Biaya yang dibutuhkan untuk membuat sumur resapan kapasitas 3 m3 adalah Rp 4.000.000. Dengan biaya sejumlah ini sumur resapan dapat bertahan sampai 5 tahun. Per tahun sumur resapan ini dapat meresapkan air hujan sebanyak 450m3. Apabila dihitung ongkos pemulihan lingkungan per m3 maka nilainya adalah Rp 1.700/m3 untuk kurun waktu lima tahun.

2. Pembuatan sumur injeksi

Merupakan teknologi imbuhan buatan dengan cara memasukkan air ke dalam akuifer (penampungan air) sampai kedalaman 80-100 meter, sebagai upaya mengembalikan ketersediaan air, teknologi ini berguna untuk pemulihan akuifer dalam. Sebagai gambaran biaya yang dibutuhkan untuk pemulihan akuifer Cekungan Air Tanah Bandung adalah Rp 12.476/m3. Sementara menurut tim Badan (BPPT) pembuatan sumur injeksi membutuhkan biaya hingga Rp 1,5 juta untuk setiap satu meter kedalaman pengeboran. Pembuatan sumur injeksi karena berupaya untuk memulihkan akuifer dalam maka membutuhkan kualitas air yang prima sehingga tidak justru mencemari air tanah dalam. Kualitas air yang dibutuhkan minimum adalah setara dengan kualitas air bersih yang diproduksi oleh PDAM.

21


BAB III PERATURAN DAN KELEMBAGAAN TENTANG AIR TANAH

Peraturan tentang Pajak Air Bawah Tanah Beberapa peraturan yang terkait dengan pengelolaan air tanah adalah UU no 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang menegaskan keleluasaan kepada daerah untuk menggali pendanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi. Sedangkan mengenai sistem bagi hasil untuk sumber daya air diatur dalam UU No 34 tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah menegaskan peran pemerintah propinsi dalam melakukan program konservasi air tanah berikut penarikan pajaknya. Dan mengatur pula sistem bagi hasil untuk sumber daya air sebanyak 30% untuk propinsi dan 70% untuk kabupaten/kota asal daerah pemanfaatan air. Bagi hasil untuk kabupaten/kota tersebut tidak hanya digunakan untuk program peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah sumber air yang mempunyai pendapatan di sektor air yang tinggi namun juga merupakan subsidi silang bagi daerah yang pendapatan di sektor air kecil namun punya masalah kelangkaan air. Namun dalam faktanya, 70% bagian dari bagi hasil ini masih hanya diberikan ke kabupaten/kota tempat pengusahaan air dan belum ke daerah yang mengalami kelangkaan air. Sesuai dengan PP No 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah, para pemanfaat air dikenakan tarif pajak sebesar 10% untuk pemanfaatan air permukaan dan sebesar 20% untuk pemanfaatan air bawah tanah5. Perhitungan nilai perolehan air tanah sendiri diatur berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 1451 tahun 2000. Beberapa konsep penting dalam keputusan ini adalah nilai perolehan air, harga dasar air, harga air baku, faktor nilai air, dan kompensasi. Satu-satunya nilai yang relatif dapat berubah adalah harga air baku. Harga air baku diperhitungkan dengan cara membagi nilai investasi untuk mendapatkan air tanah dengan volume produksinya. Nilai moneter investasi relatif dapat berubah dari satu periode ke periode berikutnya, meskipun demikian periode perubahannya relatif panjang sepanjang umur investasiya. Nilai lainnya sifatnya relatif tetap. Akibatnya harga perolehan air tanah selama satu periode investasi punya kecenderungan tetap, sementara nilai air alternatif bagi air tanah seperti air PDAM nilainya biasanya mengikuti nilai pasar yang perubahannya salah satunya ditentukan oleh nilai inflasi. Akibatnya nilai air tanah cenderung lebih murah dibandingkan dengan air PDAM. Hal inilah yang mengakibatkan orang cenderung memilih air tanah dibandingkan dengan air PDAM. Untuk komponen kompensasi pemulihan berlaku sistem progresif yaitu semakin besar besar volume pengambilan air tanah maka semakin besar pula risiko kerusakannya sehingga besarnya kompensasi ditentukan secara progresif tergantung besarnya pengambilan air tanah. Secara umum, pajak progresif adalah tarif pemungutan pajak dengan persentase yang naik dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, dan kenaikan persentase untuk setiap jumlah tertentu setiap kali naik. Di Indonesia contohnya tarif pajak penghasilan untuk wajib pajak orang pribadi. Untuk penghasilan seribu sampai 25 juta dikenakan tarif pajak 5 persen. Untuk penghasilan 25 juta sampai 50 juta dikenakan tarif pajak 10 persen. Pada air tanah progresifitasnya terletak pada bobot komponen kompensasi, semakin besar volume air yang diektrasi bobot komponen kompensasinya semakin besar. 5

Peraturan Pemerintah No 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah, Pasal 36

22


Misalnya untuk kelas niaga kecil, apabila sebuah badan usaha memanfaatkan air tanah sebanyak kurang dari 50m3 maka bobot kompensasinya adalah 1, sementara bila menggunakan lebih dari 2.500 m3 maka bobot nya meningkat menjadi 1,4. Untuk industri besa yang mengambil kurang dari 50m3 bobot kompensasi kurang dari 5,dan untuk pengambilan lebih dari 2.500 m3 dikenakan bobot kompensasi 7. Hubungan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan air tanah, diatur dalam UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Salah satu syarat teknis pembentukan daerah otonom adalah faktor kemampuan ekonomi (Pasal 5 ayat 4). Urusan yang diserahkan kepada daerah otonom adalah sumber pendanaan otonomi daerah, sarana dan prasarana, dan kepegawaian. Yang menghantui bagi pemerintah daerah adalah bunyi pasal 6 ayat satu yang menyatakan bahwa daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Pasal-pasal di atas mendorong pemerintah daerah berlomba-lomba untuk mencari dana pembiayaan termasuk di dalamya adalah pemberian ijin eksploitasi air tanah yang dapat menghasilkan tambahan pendapatan dari pajak air tanah. Dan dalam PP No 43 tahun 2008 pasal 26 ditegaskan bahwa rencana pengelolaan cekungan air tanah lintas provinsi dan negara menjadi kewenangan menteri (pemerintah), rencana cekungan air tanah lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan Gubernur (pemerintah provinsi) sedangkan untuk pengelolaan cekungan air tanah dalam wilayah kabupaten/kota itu sendiri menjadi kewenangan Bupati/Walikota. Beberapa peraturan di atas memperlihatkan adanya desentralisasi kewenangan dalam pengelolaan air tanah, sehingga pada masing-masing provinsi atau kabupaten/kota bisa memiliki kebijakan rencana pengelolaan air tanah yang berbeda. Hal ini, salah satunya, dipengaruhi oleh penekanan kepentingan dan keberpihakan pemangku kebijakan atas masalah pengelolaan air tanah. Namun perlu dicermati beberapa kelemahan pengelolaan air tanah oleh pemerintah, yaitu desentralisasi pengelolaan sampai tingkat Kabupaten/Kota yang cenderung mengabaikan prinsip pengelolaan akuifer lintas batas. Kewenangan yang dimiliki daerah otonom terbatas dalam lingkup wilayah administrasi pemerintahan, sehingga daerah cenderung hanya berkepentingan atas sumberdaya air yang ada di wilayahnya, sedangkan sifat air tidak mengenal batas kewenangan tersebut. Kedua, kebijakan pengelolaan yang mengingkari karakteristik air tanah, tidak menjamin hak dasar masyarakat, terutama masyarakat miskin, dalam mendapatkan akses penyediaan air bersih, tidak mengakomodasi kebutuhan dan keinginan masyarakat lokal, kurang/tidak melibatkan partisipasi para pihak lain yang berkepentingan serta kurang memberdayakan sumberdaya lokal. Ketiga, masih banyak dijumpai kegiatan pengeboran dan pengambilan air tanah tanpa ijin (SIP, SIPPAT). Keempat, belum tertibnya pelaporan rencana pelaksanaan pengeboran berupa pemasangan saringan, uji pemompaan, pemasangan pompa dan pemasangan meter air; serta belum tertibnya laporan pelaksanaan pengeboran meliputi gambar penampang litologi, hasil logging, analisa uji pemompaan, penampang konstruksi sumur, analisa kimia dan fisika Serta kelima, adanya keterbatasan sumberdaya (manusia, peralatan, biaya) baik di pusat maupun daerah, menyebabkan pengelolaan air tanah kurang efektif dilaksanakan. Beberapa peraturan tingkat provinsi dan Kabupaten/Kota yang terkait dengan pengelolaan air tanah adalah :

23


(1). Perda Provinsi Jawa tengah No 6 tahun 2002 tentang Pengambilan Air Bawah Tanah. Aturan hukum ini masih belum sesuai dengan PP No 43 tahun 2008, dan saat ini sedang disusun Raperda Provinsi Jawa Tengah tentang Pemberian Rekomendasi Teknis terhadap Izin Pemakaian dan Pengusahaan Air Tanah pada Cekungan Air Tanah lintas Kabupaten/Kota yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota. Namun agar tidak terjadi kekosongan pelayanan perizinan air tanah maka masih diberlakukan Perda No 6 tahun 2002 tersebut; Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Tengah No 5 tahun 2003 tentang Nilai Perolehan dan Harga Dasar Air untuk Menghitung Pajak Pengambilan Air Bawah Tanah; Keputusan Gubernur Jateng No. 188.3/02/2003 tentang Petunjuk Teknis Perhitungan Nilai Perolehan dan Harga Dasar ABT; Keputusan Gubernur Jateng No. 073/155 Tahun 2004 tentang Pemberian keringanan Pajak Pengambilan ABT kepada PDAM di Provinsi Jawa Tengah sebesar 10-20%. (2). Perda kabupaten Sukabumi No 7 tahun 2002 tentang Pertambangan Umum; Perda Kabupaten Sukabumi no 8 tahun 2002 tentang Pengelolaan ABT; SK Gubernur No 29 tahun 2002 tentang Tata Cara Perhitungan Harga Dasar Air sebagai dasar penetapan Nilai Perolehan Air Air Bawah Tanah dan air Permukaan; Peraturan Bupati Sukabumi No 22 tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Penyediaan Air Bawah Tanah Untuk Kepentingan Masyarakat di Kabupaten Sukabumi. Perda Kabupaten Sukabumi No 7 tahun 2002 termasuk di dalam peraturan tentang pengelolaan air tanah sebab berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi tentang Pertambangan Umum ini, pengambilan air bawah tanah termasuk salah satu jenis usaha/kegiatan pertambangan umum. Pada pasal 1 Perda No. 7 Tahun 2002 disebutkan bahwa air bawah tanah termasuk salah satu jenis bahan galian yang terjadi secara alami dan mempunyai nilai ekonomis. Terkait dengan alokasi anggaran untuk konservasi, pemerintah Kabupaten Sukabumi mengeluarkan Peraturan Bupati No 22 tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Penyediaan Air Bawah Tanah untuk Kepentingan Masyarakat di Kabupaten Sukabumi, yang merupakan penjabaran dari Perda No 8 tahun 2002 pasal 12 ayat 3 huruf F tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah. Dalam Perbup ini diatur mengenai alokasi 10% dari bagi hasil penerimaan pajak yang harus digunakan untuk program konservasi air bawah tanah. Kebijakan ini sudah sangat maju karena menjamin adanya program konservasi untuk pemulihan air bawah tanah. Dalam Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 5 tahun 2003 disebutkan adanya potongan pada wajib pajak air bawah tanah sebesar 70%, sehingga wajib pajak hanya perlu membayar 30% dari penetapan nilai pajak. Selain karena perbedaan dalam penetapan Harga Dasar Air sebagai dasar perhitungan Nilai Perolehan Air yang menentukan besaran Pajak Air Tanah yang harus dibayar wajib pajak ke kas daerah masing-masing, peraturan tingkat Provinsi semacam ini yang menyebabkan terjadinya perbedaan Nilai Perolehan Air di tiap daerah. Seturut dengan prinsip pengelolaan air tanah bisa dibedakan menjadi tiga hal yaitu (1). Penekanan pada konservasi, (2). Penekanan pada keseimbangan, dan (3). Penekanan pada pertumbuhan ekonomi. Maka keberpihakan yang ditunjukkan oleh pemerintah daerah lewat Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah adalah pada konsep pengelolaan air tanah yang masih lebih menekankan pada aspek pertumbuhan ekonomi, dengan dalih untuk lebih mengembangkan dunia usaha. Sedangkan pada pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi sudah ada jaminan anggaran untuk program konservasi dari pendapatan sektor air. Meskipun belum diatur dalam peraturan pelaksanaan untuk PP No 43 tahun 2008 tentang Air Tanah, Pasal 84 ayat 5 PP tersebut menyatakan bahwa ’Hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat 4 merupakan penerimaan negara bukan pajak.’ Sementara ayat 4-nya

24


berbunyi ’Hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan air tanah ... merupakan dana yang dipungut oleh Pemerintah dari pemegang izin untuk biaya pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan dalam kegiatan konservasi air tanah.’ Pada penjelasan Pasal 84 ayat 1 (c) dikatakan bahwa ’yang dimaksud dengan hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan air tanah adalah biaya jasa pengelolaan sumber daya air pada cekungan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.’ Sementara Penjelasan Pasal 77 ayat 3 huruf c UU No. 7 tahun 2004 berbunyi ’Hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan sumber daya air diperoleh dari para penerima manfaat pengelolaan sumber daya air, baik untuk tujuan pengusahaan sumber daya air maupun untuk tujuan penggunaan sumber daya air yang wajib membayar.’ Tidak secara eksplisit dinyatakan apakah biaya jasa tersebut termasuk di dalamnya adalah pajak air tanah. Menurut UU No. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Pasal 8 dinyatakan bahwa sebagian dana dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut oleh instansi yang bersangkutan. Kegiatan tersebut meliputi, salah satunya adalah pelestarian sumber daya alam. Artinya ada jaminan, meskipun tidak seluruh dana pajak air tanah (itupun jika penerimaan biaya jasa identik dengan pajak air tanah saat ini), bahwa sebagian penerimaan pajak air tanah dapat digunakan langsung oleh instansi terkait dalam hal ini Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral atau Dinas terkait untuk kegiatan yang salah satunya adalah konservasi. Hal ini berbeda jika kategorinya adalah penerimaan negara dari pajak. Seluruh dana masuk ke dalam APBN atau APBD dan instansi terkait tidak punya kewenangan langsung untuk memanfaatkan dana untuk kepentingan konservasi sumber daya seperti air tanah, misalnya.

Lembaga di Sektor Sumber Daya Air Dinas yang berwenang untuk melakukan pengelolaan soal sumber daya air semula adalah Dinas Pertambangan dan Energi, namun karena restrukturisasi organisasi di kalangan pemerintah daerah atau adanya perubahan SOTK (Struktur Organisasi Tata Kelola) membuat kewenangan pengelolaan sumber daya air menjadi urusan dinas yang berbeda. Yaitu antara Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk kewenangan pengelolaan air bawah tanah dan Dinas Energi dan Sumber Daya Air (ESDA) untuk kewenangan pengelolaan air permukaan. Dan hal ini bisa berbeda di masing-masing daerah, tergantung pada kebijakan yang dibuat oleh pemimpin wilayah. Di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat terjadi perubahan struktur dimana yang semula Dinas Pertambangan dan Energi yang mempunyai kewenangan di sektor air bawah tanah, kemudian menjadi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, sedangkan untuk air permukaan menjadi wewenang Dinas Energi dan Sumber Daya Air. Karena luasnya wilayah yang menjadi kewenangannya maka untuk Provinsi Jawa Tengah dibantu oleh empat Unit Pelaksana teknis (UPT)/Balai ESDM Pati (wilayah Kendeng-Muria), Balai ESDM Solo, Balai ESDM Purworejo (Serayu Selatan) dan Balai ESDM Banyumas (Serayu Utara). Kewenangan untuk pengambilan air tanah di Kabupaten Klaten berada di bawah Balai ESDM Solo, sedangkan wilayah Kota Semarang berada di bawah Dinas ESDM Provinsi langsung, termasuk juga untuk di daerah Demak, Kendal, Kabupaten Semarang dan Salatiga. Sedangkan di DKI Jakarta, semula kewenangan pengelolaan air bawah tanah ada pada Dinas Pertambangan dan Energi namun kemudian Dinas ini dipecah menjadi beberapa Dinas. Dan kewenangan pengelolaan air bawah tanah menjadi urusan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah

25


(BPLHD). Hal ini tertuang dalam Perda Propinsi DKI Jakarta No 10 tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Pada pasal 121, ayat 2 Perda tersebut dinyatakan bahwa untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Badan Pengelola Lingkungan Hidup daerah mempunyai fungsi (poin e) Pengelolaan limbah dan air permukaan, (poin g) pengoordinasian pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan pencemaran, kerusakan lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan, (poin p) pemantauan, pengawasan, pengendalian, dan penerbitan, pemanfaatan air bawah tanah, limbah industri, dan pemulihan sumber daya air permukaan. Terkait dengan berubahnya struktur lembaga yang mempunyai kewenangan atas pemanfaatan air yaitu dari Dinas menjadi Badan tentu ada beberapa kelemahan serta kelebihan. Namun terkait hal ini Ibu Dian Wiwekowati menyatakan bahwa masih terlalu cepat untuk menilai keefektifan struktur yang baru ini dan perlu dilihat nanti ke depan. Apakah dengan struktur yang baru ini, membuat BPLHD mampu membuat kebijakan yang lebih strategis bagi upaya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan perlindungan sumber daya air, itu merupakan salah satu parameter dalam menilai struktur yang baru ini.

26


Gambar 1. Badan Pengelola Lingkungan Hidup daerah (BPLHD) DKI Jakarta6

6

Sumber diperoleh dari dokumen lampiran Perda No 10 tahun 2008, DKI Jakarta

27


Perizinan Pengelolaan Air Tanah Guna menjaga kelangsungan ketersediaan sumberdaya air tanah, maka diperlukan langkah-langkah sistematis untuk pelaksanaan pengelolaan air tanah. Sehingga pemanfaatan air tanah untuk pemenuhan kebutuhan manusia yang makin meningkat dapat meminimalkan dampak negatifnya seperti penurunan muka air tanah, degradasi kualitas maupun terjadinya penurunan muka tanah/amblesan. Salah satu aspek penting dalam pengelolaan air tanah tersebut pengaturan tentang rekomendasi teknis sebagai dasar untuk penerbitan izin pengeboran eksplorasi air tanah, izin pengeboran eksploitasi air tanah (SIP), izin pemanfaatan air tanah (SIPA), izin penurapan dan izin pemanfaatan air mata air (SIPMA). Pemberian izin pengeboran eksplorasi air tanah, izin pengeboran eksploitasi, izin pemanfaatan air tanah, izin penurapan, dan izin pemanfaatan mata air diberikan oleh Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Sedangkan rekomendasi teknis pada Cekungan Air Tanah lintas Provinsi atau lintas negara diberikan oleh Direktur Jenderal dan pada Cekungan Air Tanah lintas Kabupaten/Kota diberikan oleh Gubernur. Rekomendasi teknis untuk Izin Pengeboran Eksplorasi Air Tanah harus dilengkapi dengan proposal kegiatan yang mencantumkan maksud dan tujuan kegiatan, rencana kerja dan peralatan, peta topografi, daftar ahli bidang air tanah serta Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK), Sertifikat Badan Usaha (SBU) dan Sertifikat Juru Bor Air. Ketentuan lain yang harus dicantumkan dalam rekomendasi teknis ini adalah laporan uji pemompaan dan analisis fisika serta kimia air tanah, kewajiban pemohon untuk mengirimkan laporan hasil kegiatan pengeboran pada Bupati/Walikota dengan tembusan ke Direktur jenderal dan Gubernur, mengirimkan contoh batuan hasil pengeboran serta mengajukan permohonan izin pemanfaatan air tanah (SIPA) yang berlaku untuk tiga tahun. Rekomendasi teknis untuk Izin Pengeboran Eksploitasi Air Tanah (SIP) harus dilengkapi dengan peta situasi dan peta topografi; rencana pengeboran; salinan SIUJK, SBU dan Sertifikat Juru Bor Air; dokumen UKL dan UPL untuk pemanfaatan air tanah kurang dari 50 l/detik, jika lebih besar dari 50 l/detik di satu sumur atau lebih di areal pemanfaatan kurang dari 10 hektar harus dilengkapi dengan AMDAL; tanda bukti kepemilikan satu sumur pantau yang dilengkapi dengan alat perekam otomatis muka air/AWRL; serta adanya kewajiban Pemohon untuk mengirimkan laporan hasil kegiatan pada Bupati/Walikota dengan tembusan ke Direktur jenderal dan Gubernur, yang berisi gambar penampang litologi, gambar penampang penyelesaian konstruksi sumur, hasil analisis data uji pemompaan, dan data analisis fisika dan kimia air tanah. Rekomendasi teknis untuk Izin Pemanfaatan Air Tanah (SIPA) harus dilengkapi laporan penyelesaian pengeboran yang dilengkapi dengan SIP, berita acara pengawasan pemasangan konstruksi sumur, berita acara uji pemompaan beserta laporan hasilnya, hasiul analisis fifika dan kimia air tanah. Rekomendasi teknis ini mengikat Bupati/Walikota menyangkut jumlah maksimum air tanah yang boleh dimanfaatkan serta kapasitas dan kedudukan pompa. Kewajiban pemohon adalah memasang meter air standar PDAM, melaporkan jumlah pemanfaatan per bulan pada Bupati/Walikota dan menyediakan air tanah untuk masyarakat lokasi pemanfaatan air sebanyak-banyaknya 10 % dari batas debit yang ditetapkan dalam ijin. Persyaratan yang harus dilengkapi untuk mendapatkan Rekomendasi teknis untuk Izin Penurapan Mata Air sama dengan Rekomendasi teknis untuk Izin Pengeboran Eksploitasi Air Tanah (SIP) adalah peta situasi dan peta topografi, rencana penurapan mata air beserta gambar rancang bangunan, kajian hidrogeologi, dan dokumen UKL dan UPL ataupun dokumen AMDAL.

28


Di Provinsi Jawa Tengah Biaya, biaya Retribusi yang harus dibayarkan adalah Retribusi atas izin yaitu untuk sumur pertama sebesar 1 juta rupiah, untuk sumur kedua sebesar 1,5 juta rupiah, untuk sumur ketiga sebesar 2 juta rupiah, untuk sumur keempat sebesar 2,5 juta rupiah dan sumur kelima sebesar 3 juta rupiah. Kemudian Retribusi untuk gali pasak pada sumur dangkal sebesar 250 ribu rupiah. Serta ada biaya tidak mengikat berupa biaya jasa untuk pembuatan Peta topografi sebesar 500 ribu rupiah/lembar dan biaya jasa Analisa laboratorium atas Air (sebagai lampiran untuk SIPA) sebesar 50 ribu rupiah/sampel. Pendapatan yang berasal dari retribusi Izin serta biaya Jasa/ Ketatausahaan yang sifatnya tidak mengikat akan dikelola oleh bendahara Dinas Kabupaten/Kota yang kemudian disetor ke kas daerah yaitu ke Dinas Pendapatan Daerah Provinsi. Pada tabel berikut dapat dilihat besarnya retribusi izin yang dipungut atas setiap pengeluaran izin. Tabel 1. Retribusi Izin Pemanfaatan Air Tanah di Provinsi Jawa Tengah7 No 1.

Jenis Izin Setiap pemberian SIP, SIPA, SIPMA a. Sumur gali/pasak

b. Sumur bor

2.

c. Mata air Setiap perpanjangan SIP, SIPA, SIPMA a. Sumur gali/pasak b. Sumur bor c. Mata air

Banyak Sumur

Besar Retribusi (Rp.)

Sumur I Sumur II Sumur III Sumur IV, dst Sumur I Sumur II Sumur III Sumur IV Sumur V, dst

250.000 350.000 450.000 550.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 1.500.000 250.000 1.000.000 1.500.000

Setelah izin diberikan, langkah selanjutnya adalah pengawasan penggunaan air tanah. Pengawasan ini ditujukan untuk menjamin kesesuaian antara pelaksanaan penggunaan air tanah dengan ketentuan teknis yang tercantum dalam izin seperti pemasangan konstruksi sumur, uji pemompaan, pemasangan meter air, debit pengambilan air tanah kemudian pelaksanaan UKL, UPL dan AMDAL serta kemungkinan terjadinya pencemaran dan kerusakan air tanah. Pengawasan ini dilakukan secara periodik dan, menurut staf dari ESDM Propinsi jawa Tengah, tidak keseluruhan wajib pajak selalu dipantau melainkan hanya beberapa wajib pajak dengan sistem sampel. Hal ini untuk mengatasi kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh Dinas ESDM Propinsi. Saat ini hanya terdapat 11 orang personil di kantor Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah dibantu sekitar 10 orang di masing-masing balai ESDM yang harus melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan air tanah di tingkat Provinsi. Selain keterbatasan kuantitas, terdapat 7

Nugroho, Imam; “Kebijakan Pengelolaan Air Tanah di Provinsi Jawa Tengah, dalam mendukung Potensi Sumber daya Air di Kabupaten Klaten�, makalah tidak diterbitkan dalam Seminar tentang Air Tanah di Kabupaten Klaten, pada 27 Juni 2009

29


persoalan masih sedikitnya personil yang mempunyai kualifikasi menguasai kegiatan pelaksanaan pengawasan. Hal ini kemudian diatasi dengan peningkatan kapasitas staf lewat pelatihan, pendidikan lanjutan serta pendampingan lapangan oleh petugas yang lebih senior. Kegiatan pengawasan yang dilakukan meliputi (1). Kegiatan Wasdal (Pengawasan dan Pengendalian) yang dilakukan rutin per bulan dengan melibatkan aparat Kabupaten/Kota dan Dinas Pendapatan Daerah. Karena keterbatasan personil maka kegiatan Wasdal hanya dilakukan karena ada kasus atau laporan (misal ditemukan adanya kecurigaan terhadap laporan perusahaan atau karena ada laporan dari masyarakat) dan secara rutin hanya mengambil beberapa perusahaan sebagai sampel; (2). Intensifikasi perhitungan NPA dengan pencatatan penggunaan sumur; (3) Peningkatan pelayanan perijinan, terutama yang berkaitan dengan laporan kajian. Beliau juga menambahkan bahwa saat melakukan pengawasan ini ada beberapa kendala yang ditemui, seperti wajib pajak yang tidak mau mengakui jumlah sumur yang masih aktif atau mengatakan bahwa sumurnya sudah ditutup padahal masih aktif, pengambilan yang melebihi debit yang tertera dalam perizinan, membuat seolah usaha sudah tutup padahal masih melakukan proses produksi, dan sebagainya. Sebab ada prosedur khusus untuk menutup sumur bor. Sehingga keberadaan sumur pantau menjadi penting untuk mengindikasikan adanya titik pengambilan lain di luar lokasi dalam perizinan serta pengambilan melebihi debit dalam perizinan. Masyarakat juga berperan aktif untuk memberikan informasi seputar kegiatan yang dilakukan perusahaan pemanfaat air atau terkait adanya sumur bor baru. Sedangkan saat ditemui di kantornya, staf BPLHD Propinsi DKI Jakarta menceritakan pengalamannya yang ditinggal selama berjam-jam di basement suatu perusahaan besar saat akan melakukan pengawasan terhadap beberapa sumur bor yang berada di kawasan industri tersebut padahal ia membawa surat tugas resmi dari Dinas. Ia menyayangkan sikap pihak perusahaan yang seolah meremehkan petugas pemerintah. Terkadang pihak perusahaan mempersulit kegiatan pengawasan, dengan memperlama prosedur atau hanya membatasi area pengawasan sehingga petugas tidak bisa dengan mudah menemukan bukti jika ada indikasi pelanggaran ketentuan dalam perizinan. Setelah izin pemohon disetujui maka pemohon pemanfaat air tanah menjadi wajib pajak yang harus membayar pajak air tanah sesuai ketentuan yang berlaku. Secara periodik, dinas yang berwenang atas pengambilan air tanah akan membuat laporan pemanfaatan air untuk tiap wajib pajak dengan mencantumkan volume pengambilan, untuk kemudian dilakukan perhitungan penetapan pajak. Salinan dari daftar besaran pajak yang harus dibayar oleh para wajib pajak air tanah ini diberikan kepada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota atau Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) untuk penagihan. Khusus untuk Kota Semarang, pajak air tanah dibayarkan langsung ke Dispenda Provinsi yaitu lewat Unit Pelayanan Pemerintah Daerah dan Pemberdayaan Aset Daerah (UP3AD). Kesulitan dari mekanisme ini adalah Dinas pelaksana teknis yaitu Dinas ESDM hanya mengetahui potensi pendapatan saja namun tidak bisa memastikan apakah wajib pajak yang bersangkutan benar membayar pajak pemanfaatan sumber daya air, sebab belum ada mekanisme laporan dari UPTD kepada Dinas ESDM tentang tingkat pembayaran pajak. Masalah pungutan pajak ini juga terkendala oleh belum adanya Perda di Propinsi Jawa Tengah yang mengatur tentang Pungutan Pajak Air Bawah Tanah yang menjadi dasar atau legalitas dilakukannya pungutan pajak pada para wajib pajak sesuai mandat Peraturan Pemerintah No 43 tahun 2008. Tanpa adanya Perda ini, pemerintah Propinsi Jawa Tengah akan terkendala secara hukum dan dianggap menerima pendapatan tidak sah. Terhadap kondisi di atas, saat ini Pemerintah Propinsi Jawa Tengah

30


telah mengajukan upaya hukum berupa Judicial Review ke Mahkamah Agung agar bisa menggunakan peraturan mengenai pungutan pajak yang lama yaitu Perda Provinsi Jawa Tengah No.6 tahun 2002 tentang Pengambilan Air Bawah Tanah sebelum terbitnya Perda pungutan pajak air bawah tanah yang baru. Kedua, kesulitan untuk membuat catatan mengenai penerimaan pajak pemanfaatan sumber daya air secara riil tiap bulannya. Sebab seringkali wajib pajak membayar dimuka untuk beberapa bulan tarif pemanfaatan sumber daya air, sementara belum keluar penghitungan riil besarnya tarif yang harus dibayar berdasarkan pemanfaatan riil atas air tiap bulan. Ketiga, adanya beberapa wajib pajak yang tidak membayar tarif pajak yang dikenakan. Namun belum ada tindak lanjut terkait hal ini, meskipun ada sanksi hukumnya yang menyebutkan bahwa “Wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda paling banyak 4 kali jumlah retribusi yang terutang’. Padahal ini harus dipandang sebagai potensi pendapatan yang hilang. Hal ini terkait dengan kurangnya jumlah SDM di lingkup Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral untuk melakukan monitoring terhadap volume pengambilan air bawah tanah per bulan pada para wajib pajak. Serta belum adanya penegakan hukum terhadap mekanisme sanksi yang efektif pada penunggak pajak, yang sudah dilakukan adalah menggunakan data pembayaran pajak sebagai pertimbangan memberikan ijin perpanjangan atau pencabutan ijin melakukan ekstraksi. Terkait pelaksanaan kewenangan Dinas ESDM di Propinsi Jawa Tengah terdapat beberapa hambatan, yaitu kurangnya SDM untuk melakukan keseluruhan rangkaian kegiatan pengelolaan air bawah tanah. Hal ini terutama terkait kerja-kerja lapangan yang harus dilakukan misalnya ketika melakukan penyelidikan ke calon pemanfaat air bawah tanah yang mengajukan ijin pengeboran. Kemudian monitoring rutin ke para wajib pajak untuk mengecek kesesuaian praktek pemanfaatan air sesuai yang disetujui dalam perijinan, seperti jumlah sumur, debit yang diambil, kedalaman sumur, dll. Terkait hambatan SDM ini, dapat diindikasikan adanya potensi pendapatan yang hilang karena praktek pemanfaatan air yang tidak sesuai ijin. Kemudian terkait kewenangan melakukan kegiatan-kegiatan pengelolaan Sumber Daya Air, Dinas ESDM propinsi dianggap merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat, namun serasa tidak mempunyai pengaruh di kabupaten/kota. Hal ini terkait dengan praktek desentralisasi pemerintahan dan pemberlakukan berbagai peraturan mengenai Otonomi Daerah. Tidak adanya keterpaduan antar instansi dan antara kabupaten/kota dengan propinsi merupakan persoalan yang masih memperlambat gerak ke arah konservasi sumber daya air. Hal senada mengenai masalah kurangnya pengaruh Dinas ESDM Propinsi di Kabupaten/kota, serta tidak adanya keterpaduan antar dinas dinyatakan oleh seorang sumber di Dinas ESDM Propinsi Jawa Barat. Bahwa Dinas Propinsi hanya lebih pada fungsi koordinasi dan fasilitasi sehingga tidak punya kewenangan memerintah atau memaksa kabupaten/kota menjalankan satu program tertentu terkait konservasi sumber daya air.

31


BAB IV PENERIMAAN SEKTOR AIR DAN KEUANGAN DAERAH

Seiring dengan makin banyaknya kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada daerah maka tuntutan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga semakin besar. Dalam koridor peraturan yang berlaku, daerah sekarang dituntut lebih kreatif dalam meningkatkan PAD-nya. Sumbersumber penerimaan yang potensial terutama pajak dan retribusi secara maksimal digali untuk meningkatkan penerimaan daerah. Berdasarkan Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disebutkan bahwa pajak terkait dengan sumber daya air terbagi dua yaitu pajak air tanah dan pajak air permukaan. Pajak air permukaan merupakan pajak provinsi dengan pembagian 50 : 50 dengan kabupaten/kota, sedangka pajak air tanah adalah pajak kabupaten/kota. Peraturan baru ini mengubah peraturan sebelumnya yaitu UU No 34 tahun 2000 yang mengatur bahwa pajak air tanah dan air permukaan adalah pajak provinsi. Seluruh data penelitian ini masih mengacu pada peraturan yang lama karena data yang diambil adalah sampai dengan tahun 2008 dan undang-undang baru berlaku mulai 2010.

A. Pendapatan Sektor Air Pendapatan dari sumber daya air dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu pajak dan non pajak. Pajak daerah terbagi lagi menjadi dua yaitu pajak air bawah tanah dan pajak air permukaan. Sementara penerimaan dari non pajak terdiri atas retribusi daerah, laba BUMD dan pendapatan lain yang sah biasanya berupa sumbangan pihak ketiga dari pemanfaat air. Jenis-jenis pendapatan secara lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

1. Pajak Air Bawah Tanah/Pajak Air Tanah dan Air Permukaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan. Dikecualikan dari obyek pajak air tanah adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk untuk keperluan dasar rumah tangga dan pertanian dan perikanan rakyat serta peribadatan. Subyek pajak air tanah adalah pribasi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air.8 Air bawah tanah adalah air yang berada di perut bumi, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah. Sedangkan air permukaan adalah air yang berada di atas permukaan bumi seperti air sungai, danau, waduk dan tidak termasuk air laut.

8

Undang-undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.

32


Tabel 1. Jenis Pendapatan dari Sumber Daya Air PENDAPATAN DARI SUMBER DAYA AIR

JENISNYA

DASAR HUKUM

PAJAK Pajak Daerah

Air Bawah tanah (ABT) Air Permukaan

Retribusi Daerah

NON PAJAK Retribusi Air Bersih Retribusi Tempat Rekreasi Air Retribusi Pengairan

• UU No 28 tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah • UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah • Diatur Perda masing-masing daerah

Retribusi MCK Rertribusi Lainya Laba BUMD

PDAM

Perda masing-masing daerah

Perusahaan Daerah AMDK Pendapatan Lainnya

Sumbangan Pihak ke Tiga

• Perda masing-masing daerah

Dasar pengenaan pajak adalah menurut PP No 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dilakukan dengan menetapkan nilai perolehan air yang dihitung menurut sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut: a. b. c. d. e. f. g. h.

Jenis sumber air; Lokasi sumber air; Tujuan pengambilan/pemanfaatan; Volume air yang diambil; Kualitas air; Luas areal tempat pemakaian air; Musim pengambilan air; Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan atau pemanfaatan air.

Nilai Perolehan Air (NPA) kemudian dijadikan dasar penetapan nilai pajak bagi wajib pajak sumber daya air. Untuk air bawah tanah penetapannya dilakukan oleh Balai Pengelolaan Pertambangan dan Energi (BPPE) atau Dinas Pertambangan dan Energi9, sedang untuk air permukaan dilakukan oleh Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA). Biasanya kedua institusi ini mempunyai wilayah kordinasi beberapa kabupaten, sedangkan daerah yang tidak termasuk dalam wilayah koordinasi balai tersebut, penetapan dilakukan oleh Unit Pelayanan Pajak Daerah. Sebelum melakukan penetapan, baik BPPE maupun BPSDA melakukan pengecekan langsung ke obyek pajak untuk mencatat volume air dengan menggunakan meteran air. Volume air ini kemudian dikalikan dengan NPA untuk diketahui nilai pajak yang harus dibayar dan disampaikan ke obyek pajak. Wajib pajak kemudian membayar ke Unit Pelayanan Pajak Daerah di masing-masing Kabupaten/Kota dan selanjutnya disetorkan ke Dinas Pendapatan Daerah Propinsi. Dinas Pendapatan Daerah Propinsi kemudian melaporkan pendapatan ke Pemerintah Propinsi untuk dilakukan penghitungan nilai bagi 9

Nama badan dengan fungsi yang sama dapat berbeda. Sangat tergantung pada kondisi masing-masing kabupaten/kota.

33


hasil. Kemudian berdasar UU No 34 tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah yang mengatur bahwa pajak pegambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan masuk kedalam wewenang propinsi untuk mengelolanya maka propinsi (Kepala Biro Keuangan Sekretariat Daerah Propinsi dengan rekomendasi dari Kepala Dinas Pendapatan Daerah Propinsi) melakukan pembagian bagi hasil yaitu 30 persen untuk propinsi dan 70 persen untuk kabupaten/kota. Bagi hasil kemudian ditetapkan oleh gubernur dalam sebuah Keputusan Gubernur yang berisi daftar alokasi bagi hasil untuk setiap kabupaten/kota dalam wilayah kerja yang bersangkutan. Dasar penetapannya adalah 60 persen berdasar potensi dan 40 persen dibagi dengan persentase tertimbang atas (i) luas wilayah, (ii) jumlah penduduk, (iii) jumlah penduduk miskin, (iv) pendapatan asli daerah dan (v) realisasi penerimaan pajak pengambilan air bawah tanah. Berdasar Pasal 2B UU No 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU RI No 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan bahwa gubernur berwenang untuk mengalokasikan hasil penerimaan pajak tersebut apabila penerimaan pajak kabupaten/kota dalam suatu propinsi terkonsentrasi pada sejumlah kecil daerah daerah kabupaten/kota. Pada tingkat operasional, bagi hasil ini kemudian diterima Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten setiap tiga bulan sekali dan selanjutnya dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. (lihat flow chart 1. Mekanisme Penerimaan Pajak ABT dan AP). Terhitung sejak tahun 2010 peraturan ini tidak akan berlaku lagi karena pajak air tanah berdasar UU No. 28/2009 adalah merupakan pajak kabupaten.

34


FLOW CHART MEKANISME PEMUNGUTAN PAJAK AIR BAWAH TANAH DAN AIR PERMUKAAN

35


Dua aturan dasar penetapan Dalam hal penetapan harga dasar air, Indonesia memiliki dua buah aturan yang satu sama lain tidak sinkron. Dua aturan tersebut adalah PP 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dengan penjabaran seperti yang disebutkan di atas dan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU 7/2004). Undang undang ini dalam pasal 77 tentang pembiayaan pengelolaan sumber daya air menyatakan bahwa komponen biaya adalah meliputi: a. biaya sistem informasi; b. biaya perencanaan; c. biaya pelaksanaan konstruksi; d. biaya operasi, pemeliharaan; dan e. biaya pemantauan, evaluasi dan pemberdayaan masyarakat. Disebutkan pula dalam pasal tersebut bahwa sumber dana untuk setiap jenis pembiayaan dapat berupa anggaran pemerintah, anggaran swasta; dan/atau hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan sumber daya air. Sementara menurut penjelasan pasal 77 ayat 2 dinyatakan bahwa setiap pembiayaan dimaksud mencakup tiga aspek pembiayaan sumber daya air yaitu konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air dan pengendalian daya rusak air. Tabel 2. Perbedaan Dasar Penetapan Biaya Pengelolaan Air PP No 65/2001 Tentang Pajak Daerah

UU No 7/2004 Tentang Sumber Daya Air

a. Jenis sumber air;

a. biaya sistem informasi;

b. Lokasi sumber air;

b. biaya perencanaan;

c. Tujuan pengambilan/pemanfaatan;

c. biaya pelaksanaan konstruksi;

d. Volume air yang diambil;

d. biaya operasi, pemeliharaan; dan

e. Kualitas air;

e. biaya

f.

Luas areal tempat pemakaian air;

pemantauan,

evaluasi

dan

pemberdayaan masyarakat.

g. Musim pengambilan air; h. Tingkat

kerusakan

lingkungan

yang

diakibatkan oleh pengambilan air.

36


Contoh Penetapan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan PT. ABC adalah sebuah perusahaan tekstil yang beroperasi di Kabupaten Magelang yang setiap bulannya mengambil air bawah tanah untuk keperluan industrinya dengan izin dari Pemerintah Daerah Magelang sebagai berikut: Debit air dalam izin yang diminta adalah 10 liter/detik; Jam nyala air per hari

= 10 jam

Jumlah jam kerja

= 26 hari/bulan

Harga dasar air

= Rp 100/m3

Tarif pajak air bawah tanah

= 20 %

Potongan pajak

= 70 %

Maka nilai pajak yang harus dibayar oleh PT ABC adalah: 10 x 3.600 x 10 x 26 x 1m3 = 9.360 m3 1.000 Pajak yang terutang dalam 1 bulan = (9.360 m3 x Rp 100/m3) x 20 % = Rp 9.360.000 x 20 % = Rp 1.872.000 Dikurangi potongan 70 % = Rp 1.872.000 x 30 % = Rp 561.600 Jadi nilai pajak terutang total PT ABC adalah Rp 561.600

37


Sumber: http://dipenda.jakarta.go.id/modules/perundangan/perda.php?idReklame=YWlyYmF3YWh0YW5haA

2. Retribusi pemanfaatan air Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Untuk retribusi pemanfaatan air jenis-jenisnya adalah retribusi izin pemanfaatan air, air bersih, tempat rekreasi, pengairan, Mandi Cuci Kakus (MCK) dan lainnya. Retribusi izin pemanfaatan air adalah retribusi atas setiap pemberian izin pengambilan atau penggunaan dan/atau pengusahaan pembayaran atas pemberian izin kepada orang pribadi atau badan. Obyek retribusi adalah pemberian izin untuk melakukan pengambilan, penggunaan dan/atau pengusahaan air tanah dan air permukaan. Sementara retribusi air bersih biasanya diberikan oleh badan usaha/perorangan yang menggunakan air untuk usahanya dan membayarkan sejumlah uang sebagai kompensasi. Berbagai PDAM yang wilayahnya tidak memiliki sumber air dan harus mengalirkan air dari wilayah lain biasanya membayar sejumlah uang yang dikenal sebagai retribusi air bersih baik kepada PDAM di wilayah tempat sumber air berada ataupun kepada pemerintah daerah setempat. Untuk tempat rekreasi yang berbasis air seperti air terjun, pemandian umum, danau diwajibkan memungut retribusi tempat rekreasi yang hasilnya disetorkan ke Dinas Pariwisata. Retribusi lain adalah retribusi pengairan yang dibayarkan oleh petani pemakai air dari saluran irigasi. Retribusi jenis ini sebetulnya telah diatur oleh pemerintah daeray yaitu mengenai pemanfaatan air permukaan akan tetapi pada pelaksanaannya masih sulit diterapkan karena dianggap memberi beban yang berlebihan kepada petani.

38


Diberbagai tempat umum seperti terminal, stasiun dan taman rekreasi, umumnya pemerintah daerah setempat menyediakan fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) dan untuk fasilitas ini pemakai dikenakan retribusi yang disebut retribusi MCK. 3. Laba BUMD air Sebagai sebuah badan usaha yang dimiliki daerah, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) adalah satusatunya badan usaha milik daerah yang bergerak di sektor air. Selama ini diseluruh Indonesia, PDAM yang masih dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah kabupaten/kota dan belum menjalin kerjasama dengan swasta diwajibkan membayar sejumlah dana sebagai kontribusi terhadap pendapatan daerah masing-masing. Bagi PDAM yang telah memperoleh keuntungan, kontribusi kepada pemerintah adalah merupakan bagian dari pembagian laba, sementara bagi PDAM belum memperoleh keuntungan dan operasional perusahaan, biasanya harus mengambil sebagian biaya operasional untuk disetorkan kepada pemerintah kabupaten/kota setempat. 4. Lain-lain pendapatan dari air Pendapatan lain-lain dari sektor sumber daya air biasanya berbentuk sumbangan pihak ketiga yang langsung diserahkan kepada pemerintah daerah setempat. Jumlah sumbangan ini sifatnya sukarela dan tidak ada rumusan yang dapat dijadikan dasar penghitungannya.

B. Pendapatan dari sumber daya air dan sumbangannya bagi Pendapatan Asli Daerah Pendapatan dari sumber daya air sejauh ini belum terlalu banyak diperhitungkan sebagai sumber pendapatan yang signifikan bagi daerah. Padahal Indonesia memiliki sampai 6% sumber daya air yang ada di Bumi. Melihat potensi sumber daya air yang dimiliki ini maka sesungguhnya peluang Indonesia untuk memperoleh pendapatan dari sektor air masih terbuka lebar. Hal ini karena sebagian besar pulaupulau Indonesia masih mengalami surplus air. Dengan peraturan yang baik dan penegakan hukum yang optimal seharusnya potensi pendapatan dari sumber daya air dapat diandalkan sebagai sumber penerimaan negara yang signifikan. Di wilayah-wilayah yang potensi sumber daya air surplus berlebihan, pemerintah secara hati-hati dapat memberikan izin eksplorasi dan memperoleh manfaat dari pajak dan retribusi air yang digunakan dengan catatan perlu dilakukan perubahan yang mendasar atas tarif pajak yang diberlakukan dan peruntukkannya jelas salah satunya dengan prioritas untuk konservasi. Pada daerah penelitian diketahui bahwa tidak tiap daerah memperoleh pendapatan dari keempat jenis pendapatan secara lengkap. Masing-masing daerah memiliki variasi pendapatannya sendiri-sendiri. Tidak semua daerah memiliki pendapatan yang bersumber dari laba BUMD sektor air, begitu juga tidak semua daerah memiliki pendapatan dari sumbangan pihak ketiga yang mengusahakan sumber daya air di daerah tertentu. Persentase perbandingan antara pendapatan di sektor air dengan keseluruhan pendapatan daerah memang belum besar, padahal keseluruhan lokasi penelitian adalah mewakili wilayah-wilayah dengan eksploitasi air tinggi. Diantara empat daerah penelitian diketahui bahwa Kabupaten Sukabumi adalah daerah dengan persentase pendapatan dari sektor air dibanding pendapatan daerah yang paling tinggi. Di daerah lain persentasenya masih kurang dari 1% sementara di Sukabumi sejak 2004 – 2009, nilainya selalu di atas 1%.

39


Salah satu penyebab lokasi-lokasi lain khususnya Provinsi Jawa Tengah tidak memperoleh pendapatan yang besar adalah karena penerapan Peraturan Gubernur Jawa Tengah No 5 tahun 2003, dimana pengenaan tarif pajak air bawah tanah diberi pengurangan sampai 70% sehingga berdampak pada berkurangnya potensi pendapatan dari sektor air dan menyebabkan tidak maksimalnya pendapatan dari sektor air di Kota Semarang dan Kabupaten Klaten yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan untuk DKI Jakarta pada tahun 2009 tercatat prosentase pendapatan dari sektor air adalah 0,78 dari keseluruhan pendapatan. Di wilayah yang merupakan basis industri berbahan baku air, nilai penerimaan dari air dibanding keseluruhan PAD ternyata sangat signifikan. Di Sukabumi, kontribusi penerimaan dari mencapai 28,2% pada tahun 2006. Sementara untuk tahun lainnya (2004 – 2008) berkisar antara 21,46 – 28,01%. Di Klaten yang menjadi basis industri air minum dalam kemasan dengan penjualan terbesar di dunia, kontribusi penerimaan dari air adalah antara 13,74 – 15,74%. Untuk wilayah perkotaan dengan karakteristik pemanfaat terbesar adalah beragam industri dan niaga baik besar maupun kecil, kontribusi sektor air terhadap PAD tidak signifikan. Di Semarang persentase terbesarnya adalah 1,7%. Di Klaten, pendapatan dari air terus meningkat jumlahnya secara stabil dari tahun ke tahun. Di kabupaten ini seluruh pendapatan dimasukkan ke dalam penghitungan anggaran pendapatan dan belanja dan dimasukkan ke dalam pos penerimaan oleh Dinas Pendapatan Daerah atau Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah. Dibandingkan dengan keseluruhan pendapatan daerah, persentase pendapatan dari air terlihat stagnan mulai tahun 2006 – 2008 (0,74% - 072% - 073%), hal ini dikarenakan pendapatan secara keseluruhan meningkat dengan tingkat yang lebih besar dibanding peningkatan pendapatan dari air sehingga rasionya menjadi lebih kecil. Mekanisme sumbangan pihak ketiga yang hanya ada di Kabupaten Klaten berjalan cukup baik dan didasarkan pada perjanjian tertulis antara pemanfaat dan pemerintah daerah. Setiap tahun Kabupaten Klaten menerima sumbangan dari PDAM Surakarta sebesar 15% dari harga tarif dasar air dari air yang diproduksi oleh PDAM Surakarta akan masuk ke kas daerah. Hal ini merujuk pada Surat Keputusan Bupati Klaten nomor 303/1621/2000 tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga yang berlaku sejak November 2000. Selain itu Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten juga menerima sumbangan dari PT Tirta Investama Aqua - Danone (PT.TIA) berupa pembagian keuntungan Rp. 4,00 dalam setiap liter debit air yang keluar untuk pendapatan Kabupaten dan pembagian keuntungan Desa Ponggok sebesar Rp. 1,00 per liter debit air yang terjual dan pada Desa Wangen sebesar Rp. 0,075 per liter yang terjual. Hal ini mengacu pada MoU antara pemerintah Kabupaten Klaten dengan PT.TIA pada tanggal 20 Maret 2002. Kesemua penerimaan dari hasil dua perjanjian ini dicatat dalam APBD Kabupaten Klaten. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Kabupaten Wonosobo, di kabupaten ini catatan mengenai sumbangan dari pihak ketiga hanya dapat ditemukan pada dokumen APBD tahun 2005. Pada tahun-tahun yang lain tidak ada data sama sekali mengenai sumbangan pihak ketiga di sektor air meskipun tim peneliti pada saat pencarian data diperlihatkan oleh petugas tanda terima penerimaan sumbangan pihak ketiga dari PT.TIA sejumlah Rp 15 juta selama beberapa tahun. Di Kabupaten selain sumbangan pihak ketiga, daerah ini juga menerima pemasukan dalam bentuk lain diantaranya adalah pembuatan rencana tata ruang yang berbasis lingkungan oleh PDAM Surakarta dan program corporate social responsibility yang dilakukan oleh PT.TIA, yang jika dikonversi ke Rupiah bernilai miliaran rupiah setiap tahunnya. Sementara di Kabupaten Wonosobo tidak ada penerimaan lain yang sah yang diterima daerah tersebut dari perusahaan AMDK yang sama dengan yang beroperasi di Klaten.

40


Di Sukabumi, perusahaan memberi sumbangan dalam berbagai bentuk diantaranya proyek penyediaan air bersih dan dana sumbangan yang diberikan langsung kepada masyarakat. Selain itu perusahaan juga memberi sumbangan berupa sumbangan rutin yang biasa dibayarkan oleh pihak perusahaan pengguna air kepada pemerintah desa yang biasa disebut iuran/urunan desa (Urdes). Secara umum, nilai Urdes yang harus dibayarkan oleh pihak perusahaan adalah senilai 20-40 persen dari besarnya nilai pajak PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang telah disetorkan pihak perusahaan ke kas pemerintah. Biasanya target besarnya nilai Urdes yang hendak ditagih ke pihak perusahaan pengguna air dituangkan dalam Rencana Anggaran dan Belanja Desa (RAPBDes) yang kemudian disahkan dengan Peraturan Desa (Perdes). Perusahaan yang membayar Urdes dengan nilai yang relatif besar adalah PT Aqua Golden Mississippi Tbk (15 juta rupiah per tahun) dan PDAB Kab. Sukabumi-Cidahu (8 juta rupiah per tahun). Nilai Urdes yang disanggupi/disepakati oleh PDAB sebesar 12 juta rupiah tapi yang dibayarkan hanya 8 juta rupiah. Persentasi kontribusi perusahaan pengguna air berupa Urdes terhadap nilai total pendapatan asli desa (PAD) dalam satu tahun rata-rata hanya sekitar 4,5% dan rata-rata hanya sekitar 7,1 % dari total nilai PBB yang dibayarkan masyarakat desa. Di Klaten, PT Tirta Investama memberikan sumbangan kepada dua lokasi yaitu lokasi tempat pabrik berdiri dan desa tempat sumber air. Nilainya pada tahun 2008 adalah Rp 116 juta untuk Desa Wangen, desa dimana pabrik air botolan tersebut berdiri. Dan Rp 605 juta di desa tempat sumber air berada yaitu Desa Ponggok. Pada tahun 2009, jumlahnya berubah menjadi Rp 444 juta untuk Desa Wangen Rp 592 untuk Desa Ponggok.

41


-

356,407 527.957,749 0,07% 31.976,440 1,11%

-

-

610.371,171 1,71% 37.173,141 28,01% -

512.574,563 1,39% 33.311,377 21,46% -

% pendapatan sektor air dan PD Pendapatan Asli Daerah %Pendapatan Sektor Air dan PAD Wonosobo Pendapatan dari sektor air 160,800 644,353 Pendapatan Daerah 293.714,708 305.328,040 % Pendapatan sektor air dan PD 0,05% Pendapatan Asli Daerah 11.888,607 % Pendapatan Sektor Air dan PAD 1,35% Sumber: APBD Kab.Klaten, Kota Semarang, Kab. Sukabumi, DKI Jakarta, Kab. Wonosobo 2004-2008

% Pendapatan sektor Air dan PAD DKI Jakarta Pendapatan dari sektor Air Pendapatan Daerah

% pendapatan sektor air dan PD Pendapatan Asli Daerah 28,20%

40.157,799

855.801,383 1,32%

11.323,809

-

26,27%

46.169,185

1.025.871,527 1,18%

12.130,709

1.121.695,884 0,14% 232.798,694 0,68%

10.412,913

% Pendapatan Sektor Air dan PAD Sukabumi Pendapatan dari sektor Air Pendapatan Daerah

962.651.503.983 0,14% 119.797,405 1,09%

7.150,050

1.575,213

15,69%

725.466,657 0,41% 173.493,610 1,71%

1.309,182

15,74%

40.775,724

631.791,997 0,30% 147.298,469 1,29%

13,85%

13,74%

35.864,742

0,72%

881.645,647

6.399,479

2.967,020

33.466,710

0,74%

0,86%

25.825,599

765.025,526

534.080,227

550.222,146 0,64%

5.646,324

4.636,083

3.548,812

2007

1.895,219

Kota Semarang Pendapatan dari sektor Air Pendapatan Daerah % pendapatan sektor air dan PD Pendapatan Asli Daerah

%Pendapatan Sektor Air Dan PAD

Pendapoatan Asli Daerah

Klaten Pendapatan dari sektor Air Pendapatan Daerah % pendapatan sektor air dan PD

Tabel 3. Prosentase Pendapatan Sektor Air dengan Total Pendapatan ( juta rupiah ) 2004 2005 2006 TAHUN 2008

393,385 594.789,100 0,07% 36.904,132 1,07%

18.791.528,569 0,3% 8.540.450,580 0,67%

57.752,910

22,07%

56.154,951

1.138.475,665 1,09%

12.390,937

1.225.605,689 0,16% 237.004,661 0,81%

1.930,781

13,90%

51.334,445

0,73%

979.888,318

7.135,633

42


Tabel 4. Kontribusi PT.TIArta Investama (produsen AMDK “AQUA�) di Kabupaten Klaten

Tahun

Kontribusi

Jumlah

ABT

Dipenda

Wangen

Ponggok

2003

31,544,200

733,224,800

14,900,699

198,675,989

978,345,688

2004

50,512,050

1,171,211,250

25,056,687

334,089,160

1,580,869,147

2005

75,109,967

2,390,606,000

35,675,898

475,679,072

2,977,070,937

2006

81,887,292

2,761,560,000

33,690,943

449,212,567

3,326,350,802

2007

108,034,697

4,802,295,070

38,475,102

513,001,359

5,461,806,228

2008

97,905,612

4,293,479,960

116,662,385

605,788,231

5,113,836,188

2009

94,447,707

4,623,120,201

444,096,923

592,129,230

5,753,794,061

(Sumber: PT. Aqua Tirtainvestama) C. Potensi yang hilang Penelitian ini menemukan ketidaksinkronan data yang dikeluarkan oleh instansi yang berbeda. Di Kabupaten Sukabumi ditemukan data mengenai jumlah pajak air tanah yang terdapat di dalam dokumen Perubahan APBD yang disampaikan oleh dua instansi yang berbeda, nilainya ternyata juga berbeda satu sama lain. Data pajak tahun sejak 2006 versi APBD DPRD membuat angka yang selalu lebih kecil dari data yang dikeluarkan oleh Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah. Pada tahun 2006, selisihnya bahkan sampai mencapai lebih dari Rp 2 miliar. Tabel 5. Perbedaan data pajak air bawah tanah di Kabupaten Sukabumi

Tahun

2006 2007 2008

APBD

10.206.305.000 10.509.784.000 10.464.657.000

Dinas Pengelola Keuangan & Aset Daerah 12.315.457.000 10.166.072.356 10.115.647.500

Selisih

2.109.152.000 343.711.644 349.009.500

Selain perbedaan data di atas, peneliti juga menemukan data yang berbeda mengenai jumlah volume air yang diekstrasi dari Kabupaten Sukabumi pada bulan yang sama. Hal ini cukup mengejutkan karena dua buah data tersebut sama-sama dibubuhi tanda tangan pejabat berwenang. Pada dokumen penetapan Nilai Perolehan Air Bawah Tanah Kabupaten Sukabumi terdapat dua data yang berbeda, yang satu menyebutkan volume air yang dimanfaatkan adalah 826 ribu m3 sementara data lain menyebutkan hanya 689 ribu m3. Dua penetapan berbeda ini menimbulkan selisih potensi penerimaan sebesar Rp 652 juta.

43


Sepintas melihat bahwa kontribusi sektor air di Sukabumi terhadap PAD adalah cukup besar (mencapai 28,2 % terhadap PAD pada tahun 2006 dan paling kecil adalah pada tahun 2004 yaitu sebesar 21,46%), maka sangat mudah bagi siapapun untuk mengatakan bahwa industri berbasis air memberikan keuntungan bagi daerah. Akan tetapi apabila diperhatikan lebih mendalam, sesungguhnya tidak demikian. Hal ini karena industri berbasis air memperoleh keuntungan yang luar biasa besar dari penjualan produk mereka. Dengan nilai yang sangat tidak seimbang dengan kontribusi balik yang diberikan kepada daerah. Seperti misalnya produk air minum dalam kemasan “AQUA”, produk ini setelah dilempar ke pasar dihargai Rp 1.600 untuk kemasan 600 ml dan Rp 2.950 untuk kemasan 1.500 ml. Setelah dikurangi harga botol Rp 500 untuk kemasan 600 ml dan Rp 1.500 untuk kemasan 1.500 maka perusahaan masih akan memperoleh pendapatan Rp 1.100 untuk botol 600 ml dan Rp 1.450 untuk botol 1.500 ml. Untuk mengetahui secara lebih rinci angka ini dapat dikurangi lagi keuntungan yang diambil oleh toko dan distributor dimana untuk kemasan 600 ml dan 1.500 ml, toko mengambil keuntungan Rp 100 maka masing-masing tipe dikurangi lagi Rp 200 (asumsi distributor dan toko mengambil keuntungan dengan nilai yang sama). Dengan demikian pendapatan produsen adalah Rp 900 untuk kemasan 600 ml dan Rp 1.250 untuk kemasan 1.500 ml. Di bandingkan dengan “harga air” di Sukabumi yang terdiri dari pajak air tanah maka perbandingan untuk setiap m3 air tanah yang digunakan untuk produksi, produsen harus mengeluarkan Rp 1.333 dan memperoleh pendapatan Rp. 1,2 juta.

Tabel 6. Prediksi Pendapatan dari “Aqua Danone” dan harga air di Kabupaten Sukabumi No

Tipe Harga Botol Toko/Dist produk (Rp) (Rp) (Rp) 1 600 ml 1.600 500 200 2 1.500 ml 2.950 1.500 200 Rata-rata pendapatan per liter Rata-rata pendapatan per m3 “Harga Air” (pajak, sumbangan dll) per m3 “Harga Air” (pajak, sumbangan dll) per liter

Keterangan 900 x 1.000.000/600 = 1.500.000 1.250 x 1.000.000/1.500 = 833.000 Rp. 1.167 Rp. 1.166.500 Rp. 1.333 Rp. 1.3

Dengan volume ekstrasi rata-rata per bulan sekitar 750 ribu m3 pada tahun 2008 di Sukabumi, maka produsen memperoleh pendapatan Rp 10,5 triliun pada tahun 2008. Sebuah nilai yang sangat tidak seimbang dibandingkan dengan kontribusi yang dikembalikan ke daerah tempat ekstrasi air berupa pajak air tanah yang sejumlah Rp 11 miliar. Seandainya pun dari volume air yang diekstrasi hanya separuhnya yang digunakan untuk produksi maka perusahaan memperoleh Rp 5,25 triliun pada tahun 2008. Tetap jumlah yang tidak sebanding dengan nilai pajak yang dibayarkan. Sementara untuk Klaten dengan volume ekstrasi sekitar 2,6 juta m3 pada 2008 maka produsen dapat memperoleh pendapatan Rp 1 triliun atau minimal Rp 0,5 triliun apabila volume air yang digunakan untuk produksi adalah separuh dari ekstrasi. Pendapatan sebesar ini bisa diperoleh dengan hanya membayar harga air sejumlah Rp 5 miliar. Keuntungan yang bahkan lebih besar juga potensial diperoleh perusahaan lain yang menggunakan air sebagai basis produksinya. PT. Amerta Indah Otsuka produsen “Pocari Sweat” dengan model penghitungan yang sama bahkan memperoleh pendapatan jauh lebih besar dari PT Tirta Investama dan PT Aqua Golden Missisipin produsen Aqua. PT Amerta Indah Otsuka selama tahun 2008 dapat

44


memperoleh pendapatan Rp 3 triliun dengan hanya mengeluarkan Rp 960 juta untuk harga bahan baku produk utama yaitu air. Hal ini karena produk dapat dijual dengan nilai yang jauh melebihi Aqua. Aqua per m3 hanya Rp 1,1 juta sementara Pocari Sweat bisa dijual sampai Rp 6,6 juta. PT Djojonegoro C-1000 produsen You C-1000 potensial memeproleh pendapatan sampai mendekati Rp 800 miliar dengan hanya mengeluarkan biaya untuk bahan baku utama yaitu air sebesar Rp 132 juta. Perhitungan di atas memang hanya memasukkan unsur biaya botol dan jalur distribusi berupa toko dan distributor, biaya lain-lain seperti pemasaran, tenaga kerja dan konsentrat produk tidak dapat dihitung dikarena ketidak tersediaan data. Akan tetapi seperti banyak disampaikan oleh kalangan industri air minum dalam kemasan, unsur biaya tertinggi untuk industri ini adalah untuk kemasan. Satu hal yang menarik yang muncul dari penghitungan-penghitungan di atas adalah terlihatnya potensi kehilangan pendapatan dari pajak yang cukup besar. Berawal dari proses penghitungan pendapatan di atas, terlihat bahwa seharusnya pendapatan dari pajak air tanah jauh lebih tinggi dari pada yang diperoleh saat ini. Dari PT Aqua Golden Mississipi dan PT Tirta Investama sendiri saja seharusnya pajak yang diterima sudah berjumlah Rp 11 miliar atau sudah melampui penerimaan seluruh pajak air tanah di Sukabumi yang dalam dokumen APBD disebutkan hanya bernilai Rp 10 miliar. Dengan menambahkan beberapa perusahaan besar lainnya yaitu PT Yakult Indonesia Persada, PT Indolakto, PT Tri Banyan Tirta dan PT Amerta Indah Otsuka maka pendapatan dari pajak sudah mencapai Rp 13,6 miliar. Atau selisih Rp 3,6 miliar dari nilai yang diklaim di terima oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi. Potensi pajak yang hilang sebenarnya telah terjadi sejak di tingkat peraturan. Pemberlakuan tarif yang hanya 20% dari nilai perolehan air sudah tentu mengurangi potensi penerimaan pajak oleh pemerintah daerah. Melihat analisis di atas betapa sumber daya air memberikan potensi pendapatan dan keuntungan yang sangat besar maka sudah seharusnya nilai tarif yang dikenakan dinaikkan. Sebagai gambaran di Semarang pada tahun 2008, potensi penerimaan dari pajak air tanah adalah Rp 19,8 miliar. Akan tetapi karena tarif hanya dikenakan 20% maka nilai penerimaan yang diperoleh pemda adalah Rp 4 miliar. Karena Semarang terletak di Jawa Tengah angka ini kemudian masih dikurangi lagi dengan pemotongan sebanyak 70% akibat SK Gubernur No 5/2003, sehingga keseluruhan nilai pajak akhirnya hanya terkumpul Rp 1,2 miliar. Ke depan SK Gubernur ini tidak akan relevan lagi dikarenakan telah terbitnya peraturan baru yaitu UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menetapkan bahwa pajak air tanah adalah pajak kabupaten/kota sehingga penanganannya tidak lagi terkait dengan provinsi. Sehingga SK Gubernur ini dengan sendirinya tidak berlaku lagi. Di Semarang potensi pendapatan yang cukup besar hilang dikarenakan masih banyaknya obyek pajak yang tidak tercatat sebagai obyek pajak. Dari sepuluh industri besar yang ada di Semarang yaitu industri plastik, kimia dan barang kimia, tekstil, logam dll secara rata-rata hanya 26% yang tercatat sebagai obyek pajak air tanah. Padahal kita tahun bahwa hampir semua industri membutuhkan air dalam jumlah besar. Dan karena harga air dari saluran perpipaan PDAM lebih mahal maka besar kemungkinan sebagian besar industri ini adalah pengguna air tanah yang tidak membayar pemakaian air tanah mereka. Sementara untuk DKI Jakarta, potensi pendapatan yang hilang akibat pencurian air tanah atau belum terdaftarnya pemakai air sebagai obyek pajak air tanah juga besar. Menurut data Bank Indonesia jumlah kantor bank yang ada di Jakarta adalah 2.556 buah, dari jumlah ini hanya 93 buah kantor yang terdaftar sebagai obyek pajak air tanah. Apabila 75% dari seluruh kantor bank ini terletak di mal atau gedung perkantoran besar sehingga pembayarannya dilakukan secara bersama-sama oleh pemilik gedung maka hanya 14,6% dari kantor bank di DKI yang tercatat sebagai obyek pajak air tanah.

45


Data BPS menyatakan bahwa terdapat 1.872 industri besar di DKI dan ternyata hanya 34% diantaranya yang tercatat sebagai obyek pajak air tanah. Rumah sakit yang juga merupakan kelompok bisnis yang banyak menggunakan air ternyata juga cukup banyak yang berpotensi tidak menjadi obyek pajak. Dari 131 rumah sakit yang terdaftar di BPS hanya 87 buah atau 66% yang terdaftar sebagai obyek pajak air tanah. Di Semarang potensi kehilangan juga dapat dilihat dari jumlah wajib pajak yang tidak konsisten dari bulan ke bulan di dalam daftar penerimaan pajak air tanah. Intervalnya cukup besar seperti pada thun 2008, intervalnya adalah antara 424 – 537 obyek pajak, atau terdapat selisih 113 obyek pajak. Bulan Januari di tahun 2008, adalah bulan dimana jumlah obyek pajak di Semarang paling patuh membayar pajaknya. Sebanyak 537 obyek pajak membayar pajak pada bulan tersebut, setelah itu jumlah pembayar pajak terus turun jumlahnya dengan pola yang tidak beraturan. Titik terendah jumlah pembayar pajak adalah Agustus dan November yaitu hanya sebanyak 424 obyek pajak. Ini artinya di berbagai bulan meskipun telah terdaftar sebagai obyek pajak akan tetapi cukup banyak yang tidak melakukan pembayaran. Karena hampir dapat dipastikan pemanfaatan air tidak akan berhenti setiap saatnya. Potensi kehilangan pendapatan juga dapat dilihat dari jumlah obyek pajak hotel di Semarang yang terus berubah setiap bulannya pada tahun 2008. Pada bulan Juli hanya sejumlah 28 obyek pajak yang membayar pajak sementara pada bulan Februari terdapat 47 obyek pajak yang membayar pajak. Jumlah seluruh hotel yang membayar pajak ini jumlahnya masih lebih kecil dibanding dengan jumlah hotel yang terdaftar di BPS yaitu 92 buah hotel.

46


Pendapatan dan Belanja Sektor Air di DKI Jakarta Gambaran Umum Lokasi Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata kurang lebih 7 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah Propinsi DKI Jakarta adalah berupa daratan seluas 662,33 km2. Wilayah DKI memiliki tidak kurang dari 110 buah pulau yang tersebar d Kepulauan Seribu, dan sekitar 27 buah sungai/saluran/kanal yang dipergunakan sebagai sumber air minum, usaha perikanan dan usaha perkotaan. Wilayah administratif propinsi DKI Jakarta terbagi menjasi lima wilayah kota administratif dan satu Kabupaten administratif, yaitu Kota Administratif Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Daerah di sebelah Selatan dan Timur Jakarta terdapat rawa/situ yang digunakan sebagai daerah resapan air. Sebagai daerah ibu kota negara, Jakarta pun menjadi pusat roda perekonomian dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Jumlah penduduk DKI Jakarta tahun 2007 sebanyak 9,06 juta jiwa. Dengan luas wilayah 662,33 km2 berarti kepadatan penduduknya mencapai 13,7 ribu/ km2, sehingga propinsi ini menjadi wilayah terpadat penduduknya di Indonesia. Sedangkan jumlah perusahaan industri besar dan sedang di Jakarta pada tahun 2006 mencapai 1.898 perusahaan. Masalah pengelolaan sampah, banjir, intrusi air laut, amblesan tanah, akses terhadap air bersih, kemiskinan, semakin sempitnya lahan perumahan dan tingginya jumlah industri merupakan beberapa hal yang berpengaruh pada ketersediaan dan kualitas air tanah di Jakarta. Kebutuhan masyarakat akan air di Jakarta dipenuhi sebagian oleh PDAM, yang memanfaatkan air permukaan, serta sumur bor dan sumur pantek. Pada tahun 2007 tercatat pelanggan PDAM terbesar adalah dari kelompok non niaga yaitu sekitar 662.495 sedangkan dari kelompok niaga dan industri hanya sekitar 84.090 pelanggan. Pada tahun yang sama jumlah pelanggan sumur bor dan sumur pantek sekitar 3.739 pelanggan per bulan, dimana jumlah dari kelompok niaga besar mencapai 54,7% dari keseluruhan pelanggan. Sedangkan volume air yang diekstraksi mencapai rata-rata 1.850.446 meter kubik per bulan. Salah satu dampak dari ekstraksi air yang tinggi ini adalah terjadinya amblesan tanah di beberapa daerah di Jakarta. Menurut Ir. Dian Wiwekowati, Kepala Sub Dinas Pengelolaan Air Tanah BPLHD Provinsi DKI Jakarta, masalah meniadakan ekstraksi air tanah menjadi suatu keniscayaan untuk mengatasi masalah amblesan tanah. Namun juga harus disadari bahwa masyarakat membutuhkan suplai air terutama untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan sektor industri yang saat ini dipenuhi dengan mengekstraksi air tanah. Yang kemudian harus diupayakan untuk menjamin keberlanjutan sumber daya air adalah membuat sumur injeksi, menjaga kualitas Ruang Terbuka Hijau dan konservasi daerah tangkapan air, daur ulang air permukaan untuk kebutuhan industri, pembatasan ekstraksi air tanah, serta mendorong suplai kebutuhan air masyarakat oleh PDAM. Dikatakan bahwa DKI Jakarta kini sudah memiliki teknologi untuk memantau lokasi dan volume ekstraksi air tanah sebagai langkah monitoring untuk mencegah pembuatan sumur bor di luar ijin atau ekstraksi yang melebihi volume yang diijinkan. Air mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan kehidupan ekosistem lainnya. Manusia membutuhkan air untuk pertanian, perkebunan, perumahan, industri, pertambangan, pariwisata, kebudayaan, keperluan rumah tangga dan air minum. Tidak hanya digunakan untuk

47


memenuhi kebutuhan manusia, air juga memberi daya hidup bagi sistem alam, beragam spesies binatang, tumbuh-tumbuhan, serta tanah agar dapat memberikan jasa ekosistem alam seperti menyediakan makanan, bahan baku dan energi yang dibutuhkan manusia. Karena alasan kualitas yang lebih baik dan harga yang lebih murah akibat pajak air tanah yang rendah, air tanah menjadi sumber air andalan bukan hanya untuk kebutuhan domestik saja seperti untuk konsumsi, kebutuhan higienis atau kebutuhan domestik lainnya, namun juga untuk kebutuhan industri, perkotaan dan bahkan pada musim kemarau air tanah diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pertanian. Akibatnya air tanah dipompa habis-habisan tanpa memperdulikan keberlanjutannya. Pemompaan yang berlebihan akan berpengaruh pada seluruh sistem akuifer yang bersifat lintas daerah, lintas wilayah administratif dan bahkan lintas negara. Pemompaan yang berlebihan juga akan berakibat pada intrusi air laut khususnya di daerah ekosistem pantai, yang sering kali tidak dapat diperbaiki (Hoekstra, 1998, hal. 608). Ekosistem pantai sangat tergantung pada keseimbangan antara asupan air tawar, pengambilan air tanah, dan salinasi air laut (Burke dan Moench, 2000, hal. 36). Jika keseimbangan terganggu, usaha untuk memperbaikinya selain membutuhkan teknologi yang tinggi juga biaya yang besar. Untuk itu, air tanah perlu dikelola dengan baik mengingat sifat air tanah yang merupakan barang milik bersama yang eksploitasinya cenderung mengarah pada eksternalitas negatif, berupa deplesi dan degradasi akibat pemompaan yang berlebihan. Eksternalitas negatif terjadi bukan hanya pada situasi dimana ada pengebor air tanah yang memiliki kekuatan ekonomi dan teknologi, tetapi juga terjadi saat pemerintah dengan kekuatan politiknya memberikan ijin pengeboran. Untuk menghindari terjadinya eksternalitas negatif, masalah keadilan bagi pengguna yang punya kemampuan ekonomis dan teknologi yang rendah, serta untuk menjaga keberlanjutannya diperlukan legislasi dan regulasi dari pemerintah. Legislasi dan regulasi dari pemerintah seharusnya dimulai dari pembuatan visi bersama antara seluruh aktor dalam governance air tanah.

Peraturan tentang Air Tanah Beberapa peraturan yang terkait dengan pengelolaan air tanah adalah : 1. UU No 34 tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, menegaskan peran pemerintah propinsi dalam melakukan program konservasi air tanah berikut penarikan pajaknya serta sistem bagi hasil untuk sumber daya air sebanyak 30% untuk propinsi dan 70% untuk kabupaten/kota asal daerah pemanfaatan air. UU ini telah diubah dengan UU No 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2. UU No 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. UU No 34 tahun 2000 masih dicantumkan di atas, karena sesuai dengan ketentuan peralihan Pasal 180 UU No 28 tahun 2009 ayat 3 yang menyatakan bahwa peraturan daerah tentang pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan (yang tentunya masih berdasar UU No 34 tahun 2000) tetap berlaku paling lama satu tahun sejak diberlakukannya undang-undang ini (15 September 2009), sepanjang peraturan daerah kabupaten/kota tentang pajak air tanah belum diberlakukan berdasarkan undang-undang ini.

48


3. UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air 4. UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, mengatur hubungan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan air tanah. 5. PP No 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah, menyatakan pengenaan tarif pajak sebesar 10% untuk pemanfaatan air permukaan dan sebesar 20% untuk pemanfaatan air bawah tanah 6. PP No 43 tahun 2008 tentang Air Tanah, yang didalamnya menegaskan bahwa hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan air tanah merupakan penerimaan negara bukan pajak sehingga dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut oleh instansi yang bersangkutan, salah satunya adalah pelestarian sumber daya alam. 7. Keputusan Menteri ESDM No. 1451 tahun 2000, mengenai konsep penting dalam perhitungan nilai perolehan air tanah yaitu nilai perolehan air, harga dasar air, harga air baku, faktor nilai air, dan kompensasi. 8. Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta No 4 tahun 2002 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah. 9. Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta No 1 tahun 2004 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. 10. Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 37 tahun 2009 tentang Nilai Perolehan Air sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfataan Air Bawah Tanah. Beberapa peraturan di atas memperlihatkan adanya desentralisasi kewenangan dalam pengelolaan air tanah, sehingga pada masing-masing provinsi atau kabupaten/kota bisa memiliki kebijakan rencana pengelolaan air tanah yang berbeda. Pasal 2 ayat 2 poin h UU No 28 tahun 2009 menyatakan bahwa pajak air tanah termasuk jenis pajak kabupaten/kota. Hal ini, salah satunya, dipengaruhi oleh penekanan kepentingan dan keberpihakan pemangku kebijakan atas masalah pengelolaan air tanah. Namun perlu dicermati beberapa kelemahan pengelolaan air tanah saat ini, yaitu pertama desentralisasi pengelolaan sampai tingkat Kabupaten/Kota yang cenderung mengabaikan prinsip pengelolaan akuifer lintas batas. Kewenangan yang dimiliki daerah otonom terbatas dalam lingkup wilayah administrasi pemerintahan, sehingga daerah cenderung hanya berkepentingan atas sumberdaya air yang ada di wilayahnya, sedangkan sifat air tidak mengenal batas kewenangan tersebut. Kedua, kebijakan pengelolaan yang mengingkari karakteristik air tanah, tidak menjamin hak dasar masyarakat, terutama masyarakat miskin, dalam mendapatkan akses penyediaan air bersih, tidak mengakomodasi kebutuhan dan keinginan masyarakat lokal, kurang/tidak melibatkan partisipasi para pihak lain yang berkepentingan serta kurang memberdayakan sumberdaya lokal. Ketiga, masih banyak dijumpai kegiatan pengeboran dan pengambilan air tanah tanpa ijin (SIP, SIPPAT). Keempat, belum tertibnya pelaporan rencana pelaksanaan pengeboran; serta laporan pelaksanaan pengeboran.

49


Serta kelima, adanya keterbatasan sumberdaya (manusia, peralatan, biaya) baik di pusat maupun daerah, menyebabkan pengelolaan air tanah kurang efektif dilaksanakan.

Kelembagaan tentang Air Tanah Semula kewenangan pengelolaan air bawah tanah di DKI Jakarta ada pada Dinas Pertambangan dan Energi namun kemudian Dinas ini dipecah menjadi beberapa Dinas. Dan kewenangan pengelolaan air bawah tanah menjadi urusan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD). Hal ini tertuang dalam Perda Propinsi DKI Jakarta No 10 tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Pada pasal 121, ayat 2 Perda tersebut dinyatakan bahwa untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terkait air tanah, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah mempunyai fungsi (poin e) Pengelolaan limbah dan air permukaan, (poin g) pengoordinasian pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan pencemaran, kerusakan lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan, (poin p) pemantauan, pengawasan, pengendalian, dan penerbitan, pemanfaatan air bawah tanah, limbah industri, dan pemulihan sumber daya air permukaan. Terkait dengan berubahnya struktur lembaga yang mempunyai kewenangan atas pemanfaatan air yaitu dari Dinas menjadi Badan tentu ada beberapa kelemahan serta kelebihan. Namun terkait hal ini Ibu Dian Wiwekowati, Ka. Bidang Pencegahan Dampak Lingkungan dan Pengelolaan Sumber Daya Perkotaan BPLHD DKI Jakarta, menyatakan bahwa masih terlalu cepat untuk menilai keefektifan struktur yang baru ini dan perlu dilihat nanti ke depan. Apakah dengan struktur yang baru ini, membuat BPLHD mampu membuat kebijakan yang lebih strategis bagi upaya menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan perlindungan sumber daya air, itu merupakan salah satu parameter dalam menilai struktur yang baru ini. Salah satu aspek penting dalam pengelolaan air tanah adalah mengenai pengaturan tentang rekomendasi teknis sebagai dasar untuk penerbitan izin pengeboran eksplorasi air tanah, izin pengeboran eksploitasi air tanah (SIP), izin pemanfaatan air tanah (SIPA), izin penurapan dan izin pemanfaatan air mata air (SIPMA) yang diberikan oleh Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Sedangkan rekomendasi teknis pada Cekungan Air Tanah lintas Provinsi atau lintas negara diberikan oleh Direktur Jenderal dan pada Cekungan Air Tanah lintas Kabupaten/Kota diberikan oleh Gubernur. Setelah izin diberikan, langkah selanjutnya adalah pengawasan penggunaan air tanah. Pengawasan ini ditujukan untuk menjamin kesesuaian antara pelaksanaan penggunaan air tanah dengan ketentuan teknis yang tercantum dalam izin seperti pemasangan konstruksi sumur, uji pemompaan, pemasangan meter air, debit pengambilan air tanah kemudian pelaksanaan UKL, UPL dan AMDAL serta kemungkinan terjadinya pencemaran dan kerusakan air tanah. Beberapa kendala yang ditemui saat melakukan kegiatan pengawasan adalah seperti wajib pajak yang tidak mau mengakui jumlah sumur yang masih aktif atau mengatakan bahwa sumurnya sudah ditutup padahal masih aktif, pengambilan yang melebihi debit yang tertera dalam perizinan, membuat seolah usaha sudah tutup padahal masih melakukan proses produksi, dan sebagainya. Sehingga keberadaan sumur pantau menjadi penting untuk mengindikasikan adanya titik pengambilan lain di luar lokasi dalam perizinan serta pengambilan melebihi debit dalam perizinan. Masyarakat juga berperan aktif untuk memberikan informasi seputar kegiatan yang dilakukan perusahaan pemanfaat air atau terkait adanya sumur bor baru.

50


Seorang staf BPLHD Propinsi DKI Jakarta menceritakan pengalamannya yang ditinggal selama berjamjam di basement suatu perusahaan besar saat akan melakukan pengawasan terhadap beberapa sumur bor yang berada di kawasan industri tersebut padahal ia membawa surat tugas resmi dari Dinas. Ia menyayangkan sikap pihak perusahaan yang seolah meremehkan petugas pemerintah. Terkadang pihak perusahaan mempersulit kegiatan pengawasan, dengan memperlama prosedur atau hanya membatasi area pengawasan sehingga petugas tidak bisa dengan mudah menemukan bukti jika ada indikasi pelanggaran ketentuan dalam perizinan.

Gambar 1. Badan Pengelola Lingkungan Hidup daerah (BPLHD) DKI Jakarta10

10

Sumber diperoleh dari dokumen lampiran Perda No 10 tahun 2008, DKI Jakarta

51


Untuk DKI Jakarta, yang mempunyai kewenangan untuk memberikan ijin SIPA dan melakukan penyegelan adalah BPLHD. Sedangkan Dinas Pelayanan Pajak mempunyai kewenangan untuk memungut pajak sesuai dengan data objek pajak air tanah yang diberikan oleh BPLHD. Sedang untuk prosedur pembayaran pajak air tanah, Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta sebagai lembaga yang berwenang atas pengambilan air tanah secara periodik akan membuat laporan pemanfaatan air untuk tiap wajib pajak dengan mencantumkan volume pengambilan, untuk kemudian dilakukan perhitungan penetapan pajak. Terhadap daftar pemakaian air tanah oleh objek pajak air tanah ini, BPLHD akan membuat dokumen Berita Acara yang disertai tanda tangan dari Wajib Pajak. Berita Acara tersebut akan dikirimkan ke Bagian Inforda pada Dinas Pelayanan Pajak, yang kemudian akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) dan surat pemberitahuan. SKPD akan diberikan pada Bank yang ditunjuk sebagai tempat pembayaran pajak air tanah sementara surat pemberitahuan akan dikirimkan kepada Wajib Pajak air tanah. Berdasarkan dokumen SKPD per Wajib Pajak dari bagian Inforda, maka Suku Dinas bertanggung jawab atas penerimaan pembayaran pajak dari Wajib Pajak. Dan kewenangan dari Suku Dinas ini akan dikontrol pelaksanaannya oleh Bidang Pengendalian di Dinas Pelayanan Pajak. Dengan prosedur seperti tersbut di atas, untuk pemakaian pada bulan April, baru akan terbit SKPD pada bulan Mei dan Wajib Pajak akan membayar pada bulan Juni. Jadi terdapat selisih waktu dua bulan pada data pemakaian air tanah dan data pendapatan daerah dari air tanah. Masalah yang muncul berkaitan dengan mekanisme tersebut adalah tidak adanya kewenangan pada Dinas Pelayanan Pajak untuk turut melakukan sidak terhadap pemakaian air tanah oleh wajib pajak untuk kemudian dapat digunakan untuk menyusun proyeksi mengenai potensi pendapatan daerah dari pajak air tanah sekaligus sebagai mekanisme cross check atas pendataan yang dilakukan oleh BPLHD. Hal ini akibat Dinas Pelayanan Pajak tidak punya kewenangan untuk menarik pajak di luar data yang dibuat oleh BPLHD. Diperlukan perbaikan organisasi dan tata kerja agar memungkinkan bagi Dinas Pelayanan Pajak untuk mencek kebenaran ijin-ijin yang dikeluarkan oleh BPLHD termasuk di dalamnya untuk mengenakan pajak bagi sumur yang tidak berijin. Dengan peraturan yang berlaku saat ini Dinas Pelayanan Pajak hanya dapat memungut pajak berdasarkan data BPLHD saja, padahal bisa saja BPLHD kilaf dalam mencek ijin. Untuk itu beberapa perbaikan dapat dilakukan terhadap mekanisme ini, misalnya dengan adanya kegiatan pencatatan meter air bersama antara BPLHD dengan Dinas Pelayanan Pajak. Kedua dengan merubah meknisme penerbitan SKPD pada Wajib Pajak. Dimana SKPD dan surat pemberitahuan ke Wajib Pajak diterbitkan oleh Suku Dinas dan langsung dikirimkan pada Wajib Pajak. Wajib Pajak kemudian bebas akan melakukan pembayaran ke Bank manapun. Namun dalam tawaran mekanisme ini, prasyarat yang harus dipenuhi adalah adanya Nomor Pokok Wajib Pajak air tanah yang sama dengan NPWP sedangkan yang berlaku sampai sekarang adalah nomor Wajib Pajak air tanah ditentukan oleh BPLHD yaitu berdasarkan pada nomor register ijin sumur atau nomor register SIPA. Pada Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta terdapat Bagian Renbang yang bertugas untuk memperkirakan potensi pendapatan. Namun cara yang dilakukan hanya terbatas pada interpolasi data historis, yaitu dengan melakukan kategorisasi terhadap Wajib Pajak air tanah, kemudian dibuat perbandingan fluktuasi nilai pajak yang kemudian digunakan untuk memproyeksikan nilai pajak tahun yang akan datang. Kebijakan manajemen air tanah sudah dibuat sedemikian rupa agar manajemen air tanah terintegrasi dan melibatkan bukan saja kepentingan pemerintah dan sektor swasta namun juga civil society untuk membangun governance dalam pengelolaan air tanah. Mekanisme yang sudah dilakukan dan bisa memberikan kontribusi pada local governance air tanah adalah seperti apa yang sudah dilakukan oleh

52


BPLHD Provinsi Jakarta yang secara rutin melakukan pertemuan setiap hari Jum’at yang melibatkan pihak PDAM, dinas terkait dan beberapa perusahaan pemanfaat air tanah. Hasil pertemuan digunakan untuk pengambilan keputusan pemberian atau perpanjangan ijin pemanfaatan air tanah. Hanya saja memang belum ada usaha untuk melibatkan kelompok miskin dan marginal yang menjadi korban eksploitasi air tanah yang berlebihan. Keterlibatan masyarakat yang kemungkinan terkena dampak negatif hanya mungkin jika masyarakat tersebut diberdayakan. Termasuk keterlibatan Dinas Pelayanan Pajak juga belum maksimal dalam pertemuan tersebut. Usaha pelibatan kelompok-kelompok miskin dan marginal dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara adalah melalui monitoring pendapatan dan belanja sektor air pada APBD Kabupaten/Kota. Akan lebih lengkap lagi jika data pendapatan dan belanja di cross-check dengan data Nilai Perolehan Air (NPA). Diharapkan ketika masyarakat umum dapat melakukan monitoring pada akhir proses manajemen air tanah, dalam hal ini penerimaan pendapatan dan alokasi belanja, masyarakat akan dengan lebih mudah termotivasi dan terlibat dalam manajemen air tanah secara keseluruhan. Sayangnya keterbukaan informasi masih jauh dari harapan dan tanpa kontrol efektif masyarakat manajemen air tanah akan mudah diwarnai perilaku koruptif.

Pendapatan dan Belanja Sektor Air Berdasarkan data pemakaian Air Bawah Tanah di DKI Jakarta pada bulan Januari 2009 terdapat 3.961 Obyek Pajak, angka ini mengalami peningkatan dari bulan Desember tahun 2008 yang berjumlah 3.959 Obyek Pajak, dengan jumlah pemanfaatan mencapai 1.821.247 m3. Menurut keterangan Ir. Dian Wiwekowati, Kepala Sub Dinas Pengelolaan Air Tanah Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Propinsi DKI Jakarta, membuat peraturan yang melarang ekstraksi air bawah tanah merupakan hal yang mustahil. Sebab ada kebutuhan masyarakat yang terus meningkat atas air yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Hal tersebut sama sulitnya membuat peraturan mengenai pengembangan teknologi untuk pemanfaatan air permukaan, maksimalisasi pemanfaatan air dalam sektor industri lewat daur ulang air proses produksi atau kewajiban pembuatan sumur injeksi, karena biaya yang harus dikeluarkan menjadi sangat mahal dan akan mengurangi margin keuntungan perusahaan.

53


Tabel 1. Pendapatan Sektor Air DKI Jakarta tahun 200911

Ayat

Jenis Pendapatan

Realisasi 2009

I

PENDAPATAN ASLI DAERAH RETRIBUSI DAERAH Izin pembuangan limbah cair Penyediaan lokasi instalasi pengolahan air buangan (LIPAB) JUMLAH RETRIBUSI DAERAH

11.995.000,00 83.460.000,00 95.455.000

II 2,1

POS BAGIAN LABA BUMD/PERUSDA PDAM JUMLAH POS BAGIAN LABA BUMD

0 0

III

BAGIAN LAIN2 PENERIMAAN YANG SAH Jasa pelayanan angkutan sungai, penyeberangan Izin kolam renang Izin selam Izin jet ski Pemanfaatan air bersih JUMLAH PENERIMAAN LAIN YANG SAH

3,1

IV 4,1 4,2

danau

dan 60.658.500,00 150.000,00 200.000,00 200.000,00 36.502.000,00 97.710.500

POS PENERIMAAN DARI PROPINSI Bagi hasil P3ABT Bagi hasil P3AP JUMLAH PENERIMAAN DARI PROPINSI

80.000.000.000,00 0 80.000.000.000

JUMLAH PENDAPATAN DAERAH DARI SEKTOR AIR JUMLAH KESELURUHAN

80.193.165.500 10.268.822.118.135,00

Terutama untuk industri, kebutuhan atas air didorong agar dapat dipenuhi oleh PDAM. Namun jika PDAM menyatakan tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut, maka yang dilakukan oleh pemerintah adalah membuat peraturan tentang tarif atas pemanfaatan air tanah yang adil dan menjamin konservasi dan pembatasan ekstraksi air tanah. Masalahnya memang kemudian pada apakah besaran tarif pajak yang berlaku sekarang sudah memenuhi rasa keadilan? Belum lagi masalah bagaimana mengubah pandangan bahwa membuat peraturan yang melarang ekstraksi air tanah adalah hal yang mustahil dan bahwa usaha mengurangi ekstraksi air tanah tidak mungkin dilakukan karena akan mengurangi keuntungan perusahaan pengekstraksi. Dalam profil Kota Jakarta tahun 2008, dinyatakan bahwa pendapatan dari sektor air yang mencapai 0,78 % dari total pendapatan daerah, telah dikelola dengan pendekatan manajemen konservasi, misalnya dengan menambah luas kawasan hutan kota setiap tahunnya, yang semula hanya seluas 381,58 ha pada 11

Sumber diperoleh dari dokumen APBD Perubahan DKI Jakarta tahun 2009

54


tahun 2006 meningkat menjadi 571,24 ha pada tahun 2007. Serta DKI Jakarta mampu tetap mempertahankan luas lahan untuk hutan lindung dan cagar alam yang seluas 453,24 ha di tahun 2004 yang merupakan upaya untuk melindungi daerah serapan air. Sedangkan kegiatan monitoring kandungan air tanah, dilakukan tidak hanya dengan menggunakan sumur pantau namun mengembangkan penggunaan teknologi yang mampu mendeteksi jumlah titik pengambilan air, besarnya volume pengambilan serta waktu pengambilan air, sehingga dapat diperoleh data mengenai dinamika ekstraksi air tanah yang dilakukan dalam suatu lokasi. BPLHD selaku badan yang berwenang di masalah pemanfaatan air tanah juga mengadakan pertemuan multipihak tiap hari Jum’at yang melibatkan pihak PDAM dan beberapa perusahaan pemanfaat air bawah tanah. Dalam pertemuan tersebut, hasil pantauan BPLHD di atas, yang berupa data mengenai dinamika ekstraksi air bawah tanah, dipresentasikan dan selanjutnya dilakukan konfirmasi atas hasil pantauan BPLHD pada pihak perusahaan pemanfaat air bawah tanah dan PDAM. Kebutuhan air diupayakan sejauh mungkin dipenuhi oleh PDAM, jika tidak bisa baru mengarah pada ekstraksi air bawah tanah. Hasil dari pertemuan ini akan digunakan sebagai rekomendasi atau dasar pengambilan keputusan mengenai pemberian serta perpanjangan ijin pemanfaatan air bawah tanah. Untuk menekan penggunaan air bawah tanah, pemerintah mendorong pemanfaatan air permukaan untuk memenuhi kebutuhan air baku PDAM dan pengembangan teknologi daur ulang air permukaan untuk kepentingan industri. Sehingga jangan sampai sektor industri tetap memanfaatkan air bawah tanah yang berkualitas prima dengan tarif murah sementara masyarakat menggunakan air permukaan dengan kualitas yang kurang baik dengan tarif yang semakin tinggi. Salah satu tindakan yang dilakukan BPLHD untuk merespon hal ini adalah dengan menaikkan nilai pajak air tanah. Diharapkan nilai pajak air tanah akan mampu bersaing dengan tarif Perusda Air Minum PDAM. Kebijakan tersebut diambil sebagai langkah untuk meminimalisir penggunaan air tanah yang ketersediaan serta kualitasnya sudah semakin memprihatinkan. Namun yang perlu dicermati adalah apabila besarnya pajak terlalu tinggi dan perusahaan-perusahaan pemanfaat air menolak membayarnya maka sangat mungkin terjadi akan muncul pelanggaran berupa tingkat pembayaran pajak yang rendah atau siasat untuk memindahkan perusahaan ke daerah pinggiran perbatasan yang sudah tidak terjangkau aturan mengenai tarif pajak tersebut namun tidak terlalu jauh dari lokasi awal. Atau makin banyak muncul pengeboran/ekstraksi air tanah tanpa ijin alias ilegal, sehingga ekstraksi air tanah tetap tidak terkontrol. Pendapatan dari sumber daya air terdiri dari empat macam pendapatan yaitu Pajak Daerah, Retribusi daerah, Laba BUMD dan Pendapatan lainnya berupa sumbangan pihak ketiga dari perusahaan pemanfaat air. Mekanisme sumbangan pihak ketiga dilakukan oleh Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukabumi dari perusahaan pemanfaat air tanah yang besar. Demikian halnya dengan DKI Jakarta dimana jumlah pemanfaat air tanah dari sektor Industri dan Niaga mencapai 3.087 wajib pajak atau sama dengan 77,93% dari keseluruhan Wajib Pajak air tanah bulan Januari tahun 2009 dengan jumlah ekstraksi air tanah mencapai 1.413.120 m3 atau sekitar 77,59% dari total ekstraksi air tanah pada bulan Januari 2009. Maka mekanisme sumbangan pihak ketiga perlu dipertimbangkan sebagai salah satu upaya pengendalian pemanfaatan air tanah di kala pengenaan tarif dirasakan masih kurang berpihak pada kebutuhan konservasi lingkungan dan sumber daya air. Dilihat pada Grafik 1, potensi untuk memperoleh pendapatan dari sektor air masih terbuka lebar. Dengan penetapan peraturan yang tepat, penegakan hukum yang optimal serta pengelolaan keuangan daerah yang baik akan mengoptimalkan potensi pendapatan dari sektor air. Apabila melihat tingginya volume air tanah yang diekstraksi oleh perusahaan-perusahaan besar, maka sudah seharusnya

55


pendapatan di sektor air diarahkan untuk mampu mengatasi dampak yang ditimbulkan. Seperti kebutuhan untuk anggaran kegiatan konservasi dan pemulihan sumber daya air mulai dari daerah imbuhan hingga pelepasan, anggaran untuk menjamin adanya distribusi air yang adil untuk memenuhi kebutuhan harian masyarakat dan irigasi pertanian rakyat, anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah asal pemanfaatan sumber air, serta pengembangan teknologi alternatif untuk memastikan adanya keseimbangan antara ketersediaan sumber daya air dengan kebutuhan ekstraksi. Dari ketiga wilayah penelitian, yaitu Klaten, Semarang dan Sukabumi, pendapatan sektor air yang paling tinggi adalah Kabupaten Sukabumi dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Untuk tahun 2006, pendapatan dari sektor air di Kabupaten Sukabumi mencapai Rp. 11,32 milyar, Kabupaten Klaten mencapai Rp. 5,62 miyar, sedangkan Kota Semarang hanya Rp. 1,31 milyar. Meskipun pendapatan sektor air Kabupaten Klaten terus mengalami peningkatan, nampak bahwa penerapan SK Gubernur Jawa tengah No 5 tahun 2003 menyebabkan hilangnya potensi pendapatan sektor air sebesar 70% dibandingkan dengan Kabupaten Sukabumi yang tidak mempunyai peraturan tentang pemotongan tarif pajak air tanah. Sedangkan untuk Kota Jakarta pendapatan sektor air tahun 2009 sebesar Rp. 80,19 milyar, angka yang jauh melebihi ketiga wilayah penelitian yang lain. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air tanah, yang sering disebut dengan pajak air tanah merupakan salah satu jenis pajak provinsi. Dan berdasarkan UU no 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka sebesar 70% dari penerimaan pajak air tanah tersebut dikelola oleh pemerintah daerah tempat pemanfaatan air tanah. Sehingga bagi hasil pajak dari air tanah tersebut menjadi Pendapatan Asli Daerah yang bisa langsung dimanfaatkan oleh dinas yang terkait dengan asal pendapatan untuk dikelola sesuai kebutuhan dinas tersebut, dalam hal ini misalnya untuk konservasi air tanah. Untuk kasus Jakarta, terbitnya Peraturan Gubernur No 37 tahun 2009 terbukti telah mendongkrak pendapatan daerah yang berasal dari air tanah. Target pendapatan dari air tanah sebesar Rp. 80 milyar untuk tahun 2009, pada awal Oktober 2009 target tersebut sudah terlampaui. Peraturan Gubernur ini berusaha untuk memperbaiki tarif untuk eksploitasi air tanah yang selama belasan tahun tidak pernah disesuaikan. Berdasarkan peraturan yang lama (No 4554 tahun 1999) tarif terendah adalah Rp. 525 sementara tarif tertinggi sebesar Rp. 3.300 per meter kubik air tanah yang dieksploitasi. Berdasarkan Peraturan Gubernur yang baru tarif dibedakan menjadi dua yaitu untuk lokasi dalam jangkauan PDAM dan lokasi di luar jangkauan PDAM. Untuk lokasi dalam jangkauan PDAM tarif terendah per meter kubik adalah Rp. 43.749 sementara tertinggi Rp. 116.664. Untuk lokasi di luar jangkauan PDAM tarif terendah per meter kubik adalah Rp. 26.249 sementara tertingi Rp. 99.164. Dengan struktur tarif seperti tersebut di atas diharapkan pemanfaat air tanah terdorong untuk menggunakan air PDAM atau air permukaan. Belanja Sektor Air Anggaran merupakan instrumen terpenting bagi pelaksanaan hak, sebab anggaran merupakan implementasi dari komitmen pemerintah untuk memastikan terpenuhinya hak lewat alokasi anggaran untuk pembiayaan program-program yang tepat dan menuju pada pemenuhan hak secara utuh. Pada Grafik 2 terlihat perbandingan belanja sektor air pada 4 wilayah penelitian, dan terlihat bahwa belanja sektor air DKI Jakarta jauh melebihi ketiga wilayah penelitian lain, walaupun prosentasenya terhadap total belanja daerah untuk tahun 2009 hanya mencapai 8,89%.

56


Grafik belanja sektor air di 4 wilayah

90 80.19

80 70 60 50 40 30 20 10 0

11.32 2.691.31 2006

K laten

12.13 5.64 1.57

12.39 4.23 1.93

2007

S emarang

2008

2009

S ukabumi

J akarta

Proses perencanaan dan penganggaran merupakan hasil proses teknokrasi dan politis, sehingga besaran alokasi anggaran ke suatu program bisa sangat dipengaruhi oleh prioritas masalah, cara pandang terhadap masalah, pemahaman atau penguasaan tentang masalah dan proses politik yang terjadi antara eksekutif dan legislatif. Dan besarnya alokasi anggaran untuk sektor air tentu akan berbeda di tiap daerah. Apabila dilihat dari kecenderungan Belanja Daerah untuk sektor air, terlihat masih memprioritaskan pada pembangunan sarana fisik untuk eksploitasi atau pemanfaatan air. Hal ini ditunjukkan dari alokasi anggaran belanja paling besar terdapat pada Dinas Pekerjaan Umum, yang memang membiayai kegiatan pembangunan sarana fisik yang memperlancar kegiatan pemanfaatan air. Proyek fisik yang dijalankan oleh Dinas Pekerjaan Umum adalah seperti pembebasan lahan untuk Banjir Kanal, Pemeliharaan dan Operasional Infrastrukur Pengendali Banjir; Penataan dan penertiban sepadan sungai, situ, saluran dan waduk; Pengerukan dan Pemeliharaan Sungai; Pengembangan Sistim Drainase; Program Peningkatan Kinerja Pengelolaan Air Limbah; Program penataan dan pembangunan situ dan waduk; dan sebagainya. Sama seperti Kabupaten/kota lain, dalam tabel tentang prosentasi belanja air terhadap keselutuhan belanja daerah memperlihatkan bahwa alokasi belanja tertinggi adalah pada Dinas Pekerjaan Umum. Dengan alokasi sebesar 78,58% ini, maka hanya menyisakan 21,42% untuk dibagi-bagi ke dinas-dinas lain di tingkat provinsi DKI Jakarta.

57


Tabel 2. Prosentase Belanja Air berdasarkan Dinas/Sektor di DKI Jakarta No

Dinas/Sektor

2009

1.

SEKDA

0,45%

2.

DPU

78,58%

3.

Dinas Perumahan Pemukiman dan Gedung 0,015% Pemda

4.

Dinas Pertamanan dan Pemakaman

0,08%

5.

Dinas Perhubungan

0,029%

6.

Dinas Kelautan dan Pertanian

3,94%

7.

Dinas Perindustrian dan Energi

0,12%

8.

Badan Pengelolaan keuangan daerah

0,12%

9.

Dinas Pelayanan Pajak

0,005%

10.

Dinas Tata Ruang dan Pertanahan

0,02%

11.

BPLHD

0,52%

12.

Dinas Kebersihan

0,09%

13.

Sudin PU – Tata Air, Jakpus

6,13%

14.

Sudin PU – Tata Air, Jakut

4,45%

15.

Sudin PU – Tata Air, Jakbar

5,35%

16.

Sudin PU – Tata Air, Kep. Seribu

0,05%

Pada APBD DKI Jakarta tahun 2009, tercatat proyek terbesar adalah program pembebasan Banjir Kanal Timur yang anggarannya mencapai 750 milyar rupiah, sangat besar dibandingkan dengan keseluruhan anggaran BPLHD yang hanya sebesar 9,4 milyar rupiah. Padahal Badan inilah yang mempunyai kewenangan atas pencegahan perusahan dan pemulihan lingkungan hidup termasuk sumber daya air tanah yang semakin menurun serta dampak lingkungan yang diakibatkan oleh adanya ekstraksi air tanah secara intensif. Namun yang masih menjadi cacatan adalah walaupun sudah terdapat alokasi untuk sektor air yang semakin meningkat di beberapa wilayah namun masih belum menyentuh kebutuhan untuk melaksanakan konservasi sumber daya air secara terintegrasi. Baik karena anggaran yang ada masih

58


melulu berbicara tentang pembangunan fisik, juga belum terlihat keterpaduan antar sektor dalam memahami pentingnya alokasi anggaran di sektor air untuk kepentingan konservasi. Dalam hal belanja, alokasi anggaran belanja didominasi belanja dari dinas pekerjaan umum (total 94,56%) yang sifatnya fisik dan mendorong pemanfaatan air lebih banyak. Demikian juga alokasi untuk dinas lainnya, porsi belanja untuk mengembalikan air tanah yang diekstraksi berlebihan dan konservasi seperti untuk pembuatan sumur injeksi, ruang terbuka hijau, dan konservasi daerah tangkapan air prosentasinya sangat kecil. Perlu dipikirkan mekanisme anggaran belanja untuk konservasi dari satu wilayah administratif untuk kegiatan konservasi di wilayah administratif lain. Minimnya keberpihakan pengambil kebijakan wilayah pada masalah konservasi sumber daya alam, akan berdampak pada proses perencanaan dan penganggaran pembangunan. Hal ini menjadi sangat penting untuk disadari sebab anggaran merupakan instrumen terpenting pada pemenuhan hak. Sehingga melakukan pemantauan terhadap proses perencanaan hingga penetapan anggaran menjadi penting untuk dilakukan. Pemahaman akan tiap tahapan prosesnya akan menentukan strategi advokasi yang akan dipilih.

59


Penelitian Pendapatan dan Belanja Sektor Air di Kabupaten Klaten

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Wilayah Kabupaten Klaten terletak antara Kota Yogyakarta dan Surakarta, merupakan daerah dengan luas sebesar 65.556 hektar yang terbagi atas tiga dataran yaitu dataran lereng Gunung Merapi, dataran rendah dan dataran Gunung Kapur. Sebagian wilayah kabupaten dengan penduduk 1,3 juta8 jiwa ini adalah dataran rendah dan didukung dengan banyak sumber air. Kabupaten Klaten adalah salah satu penyangga beras yang besar di Jawa Tengah. Dan sebagai wilayah yang terletak di lereng Merapi, Klaten juga merupakan penghasil kapur, batu kali dan pasir yang berasal dari Gunung Merapi. Ratusan mata air yang dimiliki oleh kabupaten ini banyak muncul di dataran lereng. Pada tahun 1970 jumlah mata air yang tercatat adalah 250 buah, pada tahun 2002 berkurang sampai hampir separuhnya yaitu 162 buah dan yang hidup hanya 132 buah, pada tahun 2005 jumlahnya berkurang lagi menjadi hanya 127 buah. Hal ini disebabkan oleh eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan seperti penambangan bahan galian C (pasir dan batu gunung) serta kurangnya pengendalian. Sari Bahagiati, Dekan Fakultas Teknik Geologi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta dalam salah satu wawancara dengan tim peneliti menyatakan merajalelanya penambangan pasir dan bahan galian C lainnya di wilayah Merapi dapat mengancam sumber air tanah yang menjadi pemasok kebutuhan warga yang tinggal di sekeliling Merapi. Apalagi saat ini lahan yang dikeruk baik oleh penambangan rakyat maupun perusahaan pasir tidak sebatas dasar sungai dan tebingnya tetapi merambah pada lahan pertanian produktif dan pekarangan warga. Ketua Jurusan Teknik Lingkungan FTSP UII Yogyakarta Ir. Kasam mengatakan bahwa penambangan di kawasan Merapi sudah sangat berlebihan. Dikhawatirkan apabila kegiatan eksploitasi penambangan galian C tetap dibiarkan akan memunculkan dampak lingkungan yang sangat besar khususnya di kawasan sekitar Merapi maupun lingkungan sepanjang sungai yang berhulu di Merapi. Dalam penelitiannya Ir. Kasam antara lain menyebutkan bahwa volume penambangan galian C (pasir dan batu gunung) di kawasan Merapi setiap tahunnya mencapai empat juta meter kubik. Jumlah tersebut lebih besar daripada volume lava yang dikeluarkan oleh Gunung Merapi yang hanya 1,2 juta meter kubik. Dengan perbandingan tersebut berarti setiap tahun terjadi defisit sebanyak 2,8 juta meter kubik. Hal ini akan menimbulkan kerusakan lingkungan aliran sungai yang berhulu di Gunung Merapi dan menyebabkan penurunan permukaan air.

60


Grafik 1. Proyeksi Volume Penjualan Industri AMDK di Indonesia (milyar liter)

Air tanah perlu dikelola dengan baik mengingat sifat air tanah yang merupakan barang milik bersama yang eksploitasinya cenderung mengarah pada eksternalitas negatif, berupa deplesi dan degradasi akibat pemompaan yang berlebihan. Eksternalitas negatif terjadi bukan hanya pada situasi dimana ada pengebor air tanah yang memiliki kekuatan ekonomi dan teknologi, tetapi juga terjadi saat pemerintah dengan kekuatan politiknya memberikan ijin pengeboran. Untuk menghindari terjadinya eksternalitas negatif, masalah keadilan bagi pengguna yang punya kemampuan ekonomis dan teknologi yang rendah, serta untuk menjaga keberlanjutannya diperlukan legislasi dan regulasi dari pemerintah. Legislasi dan regulasi dari pemerintah seharusnya dimulai dari pembuatan visi bersama antara seluruh aktor dalam governance air tanah.

Peraturan dan Kelembagaan tentang Air Tanah

Peraturan tentang air tanah yang berlaku untuk Kabupaten Klaten adalah : 1. Perda Provinsi Jawa tengah No 6 tahun 2002 tentang Pengambilan Air Bawah Tanah 2. Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Tengah No 5 tahun 2003 tentang Nilai Perolehan dan Harga Dasar Air untuk Menghitung Pajak Pengambilan Air Bawah Tanah, mencantumkan adanya potongan pada wajib pajak air bawah tanah sebesar 70%, sehingga wajib pajak hanya perlu membayar 30% dari penetapan nilai pajak.

61


3. Keputusan Gubernur Jateng No. 188.3/02/2003 tentang Petunjuk Teknis Perhitungan Nilai Perolehan dan Harga Dasar ABT 4. Keputusan Gubernur Jateng No. 073/155 Tahun 2004 tentang Pemberian keringanan Pajak Pengambilan ABT kepada PDAM di Provinsi Jawa Tengah sebesar 10-20% 5. MoU antara Pemda Klaten dan PT.TIA, tanggal 20 Maret 2002 tentang sumbangan pihak ketiga dan pembelian penuh atas sumber air Sigedhang

Pendapatan dan Belanja Sektor Air Pendapatan dari sumber daya air terdiri dari empat macam pendapatan yaitu Pajak Daerah, Retribusi daerah, Laba BUMD dan Pendapatan lainnya berupa sumbangan pihak ketiga dari perusahaan pemanfaat air. Dilihat pada Grafik 2, potensi untuk memperoleh pendapatan dari sektor air masih terbuka lebar. Dengan penetapan peraturan yang tepat, penegakan hukum yang optimal serta pengelolaan keuangan daerah yang baik akan mengoptimalkan potensi pendapatan dari sektor air. Apabila melihat tingginya volume air tanah yang diekstraksi oleh perusahaan-perusahaan besar, maka sudah seharusnya pendapatan di sektor air diarahkan untuk mampu mengatasi dampak yang ditimbulkan. Seperti kebutuhan untuk anggaran kegiatan konservasi dan pemulihan sumber daya air mulai dari daerah imbuhan hingga pelepasan, anggaran untuk menjamin adanya distribusi air yang adil untuk memenuhi kebutuhan harian masyarakat dan irigasi pertanian rakyat, anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah asal pemanfaatan sumber air, serta pengembangan teknologi alternatif untuk memastikan adannya keseimbangan antara ketersediaan sumber daya air dengan kebutuhan ekstraksi. Grafik 2. Pendapatan dari Sektor Air di 3 Kota/Kabupaten 14 12 10

10.41

8 6 4

4.63 2.96

2

5.62

12.39

12.13

11.32

6.39

7.13

Klaten Semarang Sukabumi

1.31

1.57

1.93

2006

2007

2008

0 2005

Selain dilakukan penelitian di Kabupaten Klaten, tim juga melakukan penelitian di Kota Semarang, Kabupaten Sukabumi dan DKI Jakarta. Dari ketiga wilayah penelitian yaitu Klaten, Sukabumi dan Semarang, pendapatan sektor air yang paling tinggi adalah di Kabupaten Sukabumi dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Untuk tahun 2005, pendapatan dari sektor air di Kabupaten Sukabumi mencapai Rp. 10,41 milyar, Kabupaten Klaten mencapai Rp. 4,63 miyar, sedangkan Kota Semarang hanya Rp. 2,96 milyar. Meskipun pendapatan sektor air Kabupaten Klaten terus mengalami peningkatan,

62


nampak bahwa penerapan SK Gubernur Jawa tengah No 5 tahun 2003 menyebabkan hilangnya potensi pendapatan sektor air sebesar 70% dibadingkan dengan Kabupaten Sukabumi yang tidak mempunyai peraturan tentang pemotongan tarif pajak air tanah. Sedangkan untuk Kota Jakarta pendapatan sektor air tahun 2009 sebesar Rp. 80,19 milyar, angka yang jauh melebihi ketiga wilayah penelitian yang lain. Pendapatan dari sektor air di Kabupaten Klaten terus mengalami peningkatan. Serta adanya kontribusi dari PDAM Surakarta sebagai pemanfaat mata air Cokro Tulung yang membayar kontribusi di luar pajak yang nilainya terus naik dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001 nilai kontribusinya adalah Rp 1,2 milyar dan tahun 2006 meningkat menjadi Rp 2,1 milyar. Pendapatan lainnya yang berupa sumbangan pihak ke tiga yaitu PT Tirta Investama yang mencapai Rp 453.381.300,00 pada tahun 2003 dan meningkat menjadi Rp 1,14 milyar pada tahun 2004. Mekanisme sumbangan pihak ketiga berjalan baik di Kabupaten Klaten, yaitu sumbangan dari PDAM Surakarta sebesar 15% dari harga tarif dasar air dari air yang diproduksi oleh PDAM Surakarta akan masuk ke kas daerah. Hal ini merujuk pada Surat Keputusan Bupati Klaten nomor 303/1621/2000 tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga yang berlaku sejak November 2000. Dan sumbangan dari PT Tirta Investama Aqua - Danone (PT.TIA) berupa pembagian keuntungan Rp. 4,00 dalam setiap liter debit air yang keluar untuk pendapatan Kabupaten dan pembagian keuntungan Desa Ponggok sebesar Rp. 1,00 per liter debit air yang terjual dan pada Desa Wangen sebesar Rp. 0,075 per liter yang terjual. Hal ini mengacu pada MoU antara pemerintah Kabupaten Klaten dengan PT.TIA pada tanggal 20 Maret 2002 tentang alih kepemilikan sumber air Sigedhang dari negara menuju swasta. Oleh beberapa perwakilan masyarakat dan kalangan NGO, proses MoU antara Pemerintah Kabupaten Klaten dengan PT.TIA ini menandai terjadinya komodifikasi sumber mata air. Sebab mekanisme sumbangan pihak ketiga ini dianggap hanya menutupi proses pengalihan tanah kas desa di sumber air Sigedhang menjadi milik PT.TIA dengan sertifikasi tanah. MoU ini juga menyisakan perdebatan tentang prosedur AMDAL yang tidak sesuai, pemanfaatan air yang jauh melebihi debit yang diizinkan, pengisolasian lokasi sumber air, janji penyerapan tenaga kerja dari Desa sekitar lokasi sumber air, serta semakin terabaikannya tuntutan dan harapan petani.

Grafik 3. Perbandingan sumbangan pihak III dengan jumlah pendapatan dari sektor air

10

5

0 2005

2006

2007

2008

Sumbangan Pihak III

4.08

4.9

5.77

6.44

Pendapatan Sektor Air

4.63

5.62

6.39

7.13

Pada Grafik 3 terlihat besarnya porsi dari Sumbangan Pihak III pada jumlah Pendapatan dari Sektor Air Kabupaten Klaten. Sumbangan Pihak III ini meliputi sumbangan dari PT Tirta Investama Aqua – Danone, sumbangan dari PDAM Surakarta yang memanfaatkan sumber air Inggas Cokro Tulung, serta bantuan dari PT Tirta Investama Aqua – Danone untuk pembangunan jalan.

63


Pada Grafik 2 nampak bahwa pendapatan sektor air untuk Kabupaten Klaten terus meningkat dari tahun ke tahun, seiring juga peningkatan jumlah sumbangan pihak ketiga dalam struktur pendapatan dari sektor air maka hal yang berbeda terlihat dari Grafik 4. Apabila kenaikan pendapatan dari sektor air tersebut dilihat dari keseluruhan pendapatan daerah Kabupaten Klaten, maka justru terlihat penurunan. Artinya kenaikan pendapatan dari sektor air belum berpengaruh signifikan terhadap tren pendapatan daerah. Sebab ketika pendapatan sektor non air menurun maka tren pendapatan daerah pun ikut menurun, meskipun pendapatan dari sektor air meningkat.

64


326.859.733 0 326.859.733

311.517.381 15.830.000 327.347.381

4.636.083.606 534.080.227.347

JUMLAH PENDAPATAN DAERAH DARI SEKTOR AIR JUMLAH KESELURUHAN

12

4.900.000.000

Sumber dari dokumen APBD Perubahan Kabupaten Klaten tahun 2005 - 2008

5.626.859.733 765.025.526.210

-

2.600.000.000 2.300.000.000

400.000.000 400.000.000

2006 Realisasi

4.083.736.225

100.000.000

2.130.000.000 1.853.736.225

225.000.000 225.000.000

2005 Realisasi

Lain-lain PAD Yang Sah Sumbangan Pihak III PT. Tirta Investama Sumbangan Pihak III PDAM Surakarta Bantuan Pihak Ke III PT. Tirta Investama (Utk Pembgnan Jln) JUMLAH PENERIMAAN LAIN-LAIN PAD YANG SAH POS PENERIMAAN DARI PROPINSI Pen. Bagi hasil Pajak ABT/AP Bagi hasil P3AP JUMLAH PENERIMAAN DARI PROPINSI

POS BAGIAN LABA BUMD/PERUSDA Perusda Air Minum JUMLAH POS BAGIAN LABA BUMD

Jenis Pendapatan

Tabel 1. Pendapatan Kabupaten Klaten dari Sektor Air12

6.399.479.418 881.645.647.780

339.696.253 20.539.890 360.236.143

5.779.243.275

-

3.600.000.000 2.179.243.275

260.000.000 260.000.000

2007 Realisasi

65

7.135.633.138 979.888.318.298

338.689.775 23.570.803 362.260.578

6.440.864.160

10.000.000

4.422.049.940 2.008.814.220

332.508.400 332.508.400

2008 Realisasi


Grafik 4. Pendapatan dari Sektor Air dibanding Keseluruhan Pendapatan Daerah 2.9

3 2.5 2

1.9

1.8

1.5

1.3

1.5

Miliar R upiah

1 0.5 0 2004

2005

2006

2007

2008

Pajak pengambilan dan pemanfaatan air tanah, yang sering disebut dengan pajak air tanah merupakan salah satu jenis pajak provinsi. Dan berdasarkan UU no 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka sebesar 70% dari penerimaan pajak air tanah tersebut dikelola oleh pemerintah daerah tempat pemanfaatan air tanah. Sehingga bagi hasil pajak dari air tanah tersebut menjadi Pendapatan Asli Daerah. Yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Nilai perolehan Air (NPA). Adapun nilai NPA (rupiah) dihitung berdasarkan (sebagian atau seluruh) faktor-faktor berikut yaitu: jenis sumber air, lokasi sumber air, volume air yang diambil, kualitas air, fungsi air, luas areal tempat pemakaian air, musim pengambilan air dan tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan atau pemanfaatan air. Penghitungan NPA dilaksanakan oleh Dinas Teknis13 dengan mengalikan volume air yang diambil dengan Harga Dasar Air. Pengenaan Harga Dasar Air didasarkan atas 8 faktor yang telah disebutkan di atas. Untuk perhitungan Pajak Air Tanah di Kabupaten Klaten terdapat dua dasar hukum yang mengaturnya, yaitu PP No 65 tahun 2001 yang menyatakan tarif pengenaan pajak air tanah sebesar 20% dari nilai NPA; serta Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 5 tahun 2003 tentang potongan pada wajib pajak air bawah tanah sebesar 70%, sehingga wajib pajak hanya perlu membayar 30% dari penetapan nilai pajak. Data yang disajikan pada Tabel 2 menegaskan adanya potenasi pendapatan yang hilang karena penerapan SK Gubernur No 5 tahun 2003 tersebut.

13

Dinas teknis terkait air tanah adalah Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah dan Balai ESDM

66


Tabel 2. Rekapitulasi Perhitungan NPA Kabupaten Klaten14

Tahun

Pajak berdasar PP No 65 tahun 2001 (Rp.)

Pajak setelah potongan : SK Gub. No 5 tahun 2003 (Rp.)

Bagi hasil pajak ABT (Rp.)

1. 2006

674.978.751,80

202.493.625,54

326.859.733

2. 2007

823.817.259,40

247.145.177,82

339.696.253

3. 2008

916.226.006,00

274.867.801,80

338.689.775

Apabila dibuat perbandingan antara pajak yang masuk ke kas Pemerintah Daerah Kabupaten Klaten dengan bagi hasil pajak ABT dari Provinsi Jawa Tengah terlihat semuanya di atas nilai pajak yang masuk. Namun apabila dilihat lagi sejauh mana pendapatan tersebut bisa dikembalikan kepada masyarakat di mana perusahaan mengeksploitasi air? Apakah keuntungan yang diperoleh perusahaan karena memanfaatkan air tanah kualitas prima tersebut sebanding dengan besarnya pajak yang dibayarkan ke pemerintah daerah? Karena sejauh ini tidak ada ketentuan yang mengatur hal itu maka dapat dikatakan bahwa besarnya nilai pajak air yang berhasil dihimpun dari perusahaan-perusahaan pengguna air, tidak menjamin bahwa pendapatan ataupun potensi pendapatan tersebut akan kembali (dalam bentuk anggaran pembangunan) ke kecamatan-kecamatan/desa-desa di mana perusahaan-perusahaan mengeksploitasi air. Sebab walaupun jumlah bagi hasil ABT dari Provinsi lebih besar dari nilai pajak yang masuk ke kas daerah, namun jika dibandingkan dengan potensi pendapatan yang hilang akibat penerapan SK Gub. No 5 tahun 2003 ternyata sangatlah besar. Untuk tahun 2006, total air tanah kualitas prima yang diekstraksi oleh PT Tirta Investama-Aqua (PT TI-A) adalah 674.934 m3 sedangkan total pajak air tanah yang dibayarkan perusahaan ke pemerintah daerah hanyalah Rp. 82.545.740,00. Sangat kecil sekali dibandingkan keuntungan yang diperoleh PT TI-A dari penjualan Air minum dalam kemasan yang menggunakan air mata air sebagai air baku. Harga rata-rata Aqua per liter adalah Rp. 1.500,00, yang berarti harga rata-rata Aqua per m3 adalah Rp. 1.500.000,00. Jika total ekstraksi Aqua pada tahun 2006 adalah 674.934 m3 maka dari penjualan pada tahun tersebut diperoleh pendapatan sebesar Rp. 1.012.401.000.000,00. Hanya 0,0081% dari hasil penjualan tersebut yang disetorkan ke pemerintah daearah dalam bentuk retribusi pajak air tanah.

14

Sumber diperoleh dari dokumen Perhitungan NPA Kabupaten Klaten tahun 2006-2008

67


Tabel 3. Pajak dan Kontribusi PT Tirta Investama – Aqua ke Pemerintah Kabupaten Klaten No

Uraian

Tahun 2006 (Rp.)

1.

Pajak ABT Klaten

2.

Sumbangan pihak ketiga

2007 (Rp.)

2008 (Rp.)

82.545.741

90.957.209

90.483.030

2.600.000.000

3.600.000.000

4.432.049.940

Selain kontribusi perusahaan melalui pembayaran pajak air, pada tabel Pendapatan Kabupaten Klaten dari sektor air memperlihatkan bahwa terdapat pemasukan pendapatan berupa sumbangan dari pihak ketiga yaitu PT TI-A serta PDAM Surakarta. Pada tahun 2005 besarnya mencapai Rp. 4.083.736.225,00 dan semakin meningkat hingga pada tahun 2008 mencapai besaran Rp. 6.440.864.160,00. Pada tahun 2008, total sumbangan yang diberikan oleh PT TI-A ke pemerintah daerah adalah sebesar Rp. 4.432.049.940,00. Sedangkan total ekstraksi air tanah kualitas prima dari mata air Sigedhang oleh PT TI-A pada bulan Februari-Desember 2008 adalah 764.653 m3. Dan total pajak air tanah yang dibayarkan ke kas daerah sebesar Rp. 90.483.030,00 jauh lebih kecil dibanding sumbangan yang diberikan oleh PT TI-A pada tahun yang sama.

Belanja Sektor Air Anggaran merupakan instrumen terpenting bagi pelaksanaan hak, sebab anggaran merupakan implementasi dari komitmen pemerintah untuk memastikan terpenuhinya hak lewat alokasi anggaran untuk pembiayaan program-program yang tepat dan menuju pada pemenuhan hak secara utuh. Grafik 4. Persentase Belanja Sektor Air dengan Total Belanja

10 8

7.17

K laten

6

S emarang

4

S ukabumi

3.61

J akarta

2 0.99 0 2006

2007

2008

0 2009

Dibandingkan dengan total belanja daerah, maka alokasi belanja sektor air di Kabupaten Klaten cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006, persentase belanja air terhadap total belanja daerah adalah 7,17% dari total belanja daerah yang sebesar Rp. 787.030.950.000,00. Pada tahun 2006 alokasi ini turun drastis hanya menjadi 0,99% yaitu belanja sektor air hanya sebesar Rp.

68


8.653.084.000,00 dari total belanja daerah yang mencapai Rp. 873.586.845.00,00 dan naik menjadi 3,61% dimana belanja air sebesar Rp. 37.348.177.000,00 dari total belanja yang sebesar Rp. 1.032.951.973.000,00. Beberapa proyek besar pada tahun 2008 yang dibiayai dari anggaran ini yang nilainya diatas 1 milyar rupiah adalah biaya pemeliharaan irigasi, pemeliharaan bangunan sungai, program peningkatan operasional dan pemeliharaan irigasi, pembangunan air bersih pedesaan, dimana kesemua anggaran ini masuk ke dalam anggaran Dinas pekerjaan Umum kabupaten Klaten. Di Kabupaten Klaten, alokasi belanja sektor air pada tahun 2006 dan 2008 didominasi oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Klaten. Namun pada tahun 2007, alokasi belanja sektor air didominasi oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan. Pada tahun 2006 Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Klaten menggunakan 94,11 persen total belanja air. Sedangkan 5,89 persen lainnya dibagi antara Kantor Lingkungan Hidup sebesar 2,95% sedangkan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan sebesar 1,89% dan sisanya merupakan alokasi sektor air ke BAPPEDA dan Dinas Pariwisata. Beberapa kegiatan besar yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum yang menggunakan alokasi anggaran sektor air adalah program pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai, danau dan sumber daya air lainnya, pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi serta pengembangan kinerja pengelolaan air minum dan air limbah. Sedangkan bberapa program konservasi hanya mendapat porsi kecil seperti program perlindungan dan konservasi sumber daya alam yang dilakukan Kantor Lingkungan Hidup mendapat alokasi 0,64 persen dari total belanja sektor air. Namun pada tahun 2007, dominasi alokasi belanja sektor air berada pada Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan yang menerima 98,8 persen alokasi dari keseluruhan belanja sektor air. Sedangkan 1,2 persennya dibagi ke dinas BPKD serta Pemerintahahn Umum dan Pertanahan. Beberapa program besar Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan adalah kegiatan DAK Pertanian, program budidaya perikanan, serta belanja modal pengadaan konstruksi jaringan air. Pada tahun ini tidak ada alokasi anggaran sektor air yang dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum. Pada tahun 2008, Dinas Pekerjaan Umum kembali mendominasi anggaran sektor air yaitu mendapat 96,85 persen alokasi anggaran. Sedangkan 3,13 persen sisanya dialokasikan ke dinas KLH, Pariwisata, BPKD serta Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial. Program yang penting untuk peningkatna kualitas lingkungan dan sumber daya air seperti monitoring industri potensial pencemaran yang dilakukan oleh Kantor Lingkungan Hidup hanya mendapat porsi 0,13 persen dari keseluruhan anggaran untuk sektor air. Pada Chart 1 hingga 3 disajikan data mengenai besaran atau pembagian alokasi anggaran sektor air untuk dinas-dinas terkait di Kabupaten Klaten. Pada chart tersebut nampak bahwa anggaran sektor air masih lebih dimanfaatkan untuk pembangunan fisik dan kecil porsinya untuk kegiatan pemulihan dan konservasi sumber daya air.

69


Chart 1. Belanja Sektor Air Kabupaten Klaten tahun 2006

2,95 1,89

DPU

0,95

Pertanian&Ketahanan pangan

KLH

94,11

BAPPEDA

0,08

Pariwisata

Chart 2. Belanja Sektor Air Kabupaten Klaten tahun 2007

Pertanian&Ketahanan Pangan

1.15 98.8

0.03

0.03

BPKD Umum&Pertanahan

70


Chart 3. Belanja Sektor Air Kabupaten Klaten tahun 2008

1.09 1.9

DPU KLH Pariwisata BPKD Dinkes&Kesos

0.09

0.13

96.85

0.04

Namun yang masih menjadi cacatan adalah alokasi untuk sektor air masih belum menyentuh kebutuhan untuk melaksanakan konservasi sumber daya air secara terintegrasi. Baik karena anggaran yang ada masih melulu berbicara tentang pembangunan fisik, juga belum terlihat keterpaduan antar sektor dalam memahami pentingnya alokasi anggaran di sektor air untuk kepentingan konservasi.

Tabel 4. Persentase Belanja DPU dengan Total Belanja Daerah No

(Dlm ribuan)

2006

2008

1.

Belanja sektor air

DPU

27.089.338.000

36.172.127.000

2.

Belanja DPU non sektor air

78.280.073.000

62.845.347.000

3.

Belanja daerah non dpu

659.656.115.210

880.870.844.298

71


Grafik 5. Persentase Belanja DPU terhadap Total Belanja Kabupaten Klaten

1,200,000,000,000 1,000,000,000,000 800,000,000,000 600,000,000,000 400,000,000,000 200,000,000,000 0

2006 B elanja D aerah Non-D P U

2008 B elanja D P U Non-S ektor Air

B elanja D P U S ektor Air

Pada Grafik 5 diperlihatkan bahwa pada tahun 2006 alokasi belanja untuk sektor air membutuhkan sekitar 25,7 persen alokasi anggaran yang dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum dari APBD Kabupaten Klaten. Sedangkan pada tahun 2008 alokasi belanja sektor air menyerap kurang lebih 36,53 persen alokasi anggaran yang dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum dari APBD kabupaten Klaten. Sedangkan alokasi anggaran yang dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang pada tahun 2006 adalah sekitar 13,38% dari keseluruhan APBD Kota. Dan pada tahun 2008, Dinas Pekerjaan Umum mengelola sekitar 9,58% dari total anggaran belanja Kabupaten Klaten. Pada grafik 6 dibawah ini terlihat jenjang antara pendapatan dan belanja sektor air di Kabupaten Klaten. Walaupun terlihat bahwa belanja sektor air sangat tinggi dibandingkan dengan pendapatan sektor air yang masuk ke daerah namun belum berarti bahwa Pemerintah Daerah sudah berpihak pada konservasi. Sebab sebagaimana dibahas pada tabel sebelumnya bahwa alokasi belanja sektor air yang tinggi belum ditujukan untuk kegiatan konservasi dan pemulihan sumber daya air. Sementara volume air tanah yang diekstraksi menunjukkan jumlah yang semakin meningkat.

72


Grafik 6. Perbandingan Pendapatan dan Belanja Sektor Air Kabupaten Klaten

60 50 40 30

P endapatan

20

B elanja

10 0 2006

2007

2008

73


Pendapatan dan Belanja Sektor Air di Kotamadya Semarang

Gambaran Umum Kota Semarang Letak geografi Kota Semarang ini dalam koridor pembangunan Jawa Tengah dan merupakan simpul empat pintu gerbang, yakni koridor pantai Utara, koridor Selatan ke arah kota-kota dinamis seperti Kabupaten Magelang, Surakarta yang dikenal dengan koridor Merapi-Merbabu, koridor Timur ke arah Kabupaten Demak/Grobogan dan Barat menuju Kabupaten Kendal. Dalam perkembangan dan pertumbuhan Jawa Tengah, Semarang sangat berperan, terutama dengan adanya pelabuhan, jaringan transport darat (jalur kereta api dan jalan) serta transport udara yang merupakan potensi bagi simpul transport Regional Jawa Tengah dan kota transit Regional Jawa Tengah. Posisi lain yang tak kalah pentingnya adalah kekuatan hubungan dengan luar Jawa, secara langsung sebagai pusat wilayah nasional bagian tengah. Potensi air di Kota Semarang bersumber pada sungai - sungai yang mengalir di Kota Semarang antara lain Kali Garang, Kali Pengkol, Kali Kreo, Kali Banjirkanal Timur, Kali Babon, Kali Sringin, Kali Kripik, Kali Dungadem dan lain sebagainya. Kali Garang yang bermata air di gunung Ungaran, alur sungainya memanjang ke arah Utara hingga mencapai Pegandan tepatnya di Tugu Soeharto, bertemu dengan aliran Kali Kreo dan Kali Kripik. Kali Garang sebagai sungai utama pembentuk kota bawah yang mengalir membelah lembah-lembah Gunung Ungaran mengikuti alur yang berbelok-belok dengan aliran yang cukup deras. Kali Garang mempunyai debit 53,0 % dari debit total dan kali Kreo 34,7 % selanjutnya kali Kripik 12,3 %. Oleh karena Kali Garang memberikan airnya yang cukup dominan bagi Kota Semarang, maka langkah-langkah untuk menjaga kelestariannya juga terus dilakukan. Karena Kali Garang digunakan untuk memenuhi kebutuhan baku bagi pasokan PDAM untuk warga kota Semarang. Penduduk Kota Semarang yang berada di dataran rendah, banyak memanfaatkan air tanah bebas dengan membuat sumur-sumur gali (dangkal) dengan kedalaman rata-rata 3 - 18 m. Air Tanah Bebas merupakan air tanah yang terdapat pada lapisan pembawa air (aquifer) dan tidak tertutup oleh lapisan kedap air. Permukaan air tanah bebas ini sangat dipengaruhi oleh musim dan keadaan lingkungan sekitarnya. Sedangkan untuk peduduk di dataran tinggi hanya dapat memanfaatkan sumur gali pada musim penghujan dengan kedalaman berkisar antara 20 - 40 m. Air Tanah Tertekan adalah air yang terkandung di dalam suatu lapisan pembawa air yang berada diantara dua lapisan batuan kedap air sehingga hampir tetap debitnya disamping kualitasnya juga memenuhi syarat sebagai air bersih. Debit air ini sedikit sekali dipengaruhi oleh musim dan keadaan di sekelilingnya. Untuk daerah Semarang bawah lapisan aquifer di dapat dari endapan alluvial dan delta sungai Garang. Kedalaman lapisan aquifer ini berkisar antara 50 - 90 meter, terletak di ujung Timur laut Kota dan pada mulut sungai Garang lama yang terletak di pertemuan antara lembah sungai Garang dengan dataran pantai. Kelompok aquifer delta Garang ini disebut pula kelompok aquifer utama karena merupakan sumber air tanah yang potensial dan bersifat tawar. Untuk daerah Semarang yang berbatasan dengan kaki perbukitan, air tanah artois ini terletak pada endapan pasir dan konglomerat formasi damar yang mulai diketemukan pada kedalaman antara 50 - 90 m. Pada daerah perbukitan kondisi artois masih mungkin ditemukan, karena adanya formasi damar yang permeable dan sering mengandung sisipan-sisipan batuan lanau atau batu lempung.

74


Gambar 3. Peta Konservasi15

Selain potensi hidrologi, Kota Semarang memiliki masalah lingkungan akut yang salah satunya disebabkan oleh eksploitasi air tanah yang berlebihan. Masalah lingkungan tersebut terutama dialami oleh mereka yang tinggal di Semarang bagian bawah yang juga merupakan daerah pantai Semarang. Rob air pasang laut, penurunan permukaan air tanah, penurunan permukaan tanah dan intrusi air laut adalah masalah-masalah utama yang dialami penduduk Semarang bagian bawah. Belum lagi banjir akibat air hujan. Banjir merupakan masalah utama yang dihadapi Kota Semarang, khususnya di bagian Utara kota, yang dari hari ke hari frekuensi dan intensitasnya semakin sering dan tinggi. Menurut Bappeda Kota Semarang (2003), genangan yang diakibatkan oleh air limpasan telah mencapai 190 ha dari semula hanya 70 ha. Pada dasarnya banjir di Semarang dapat dikategorikan ke dalam tiga sebab. Pertama, banjir yang diakibatkan hujan di Kota Semarang. Kedua, banjir akibat pasang air laut yang di Semarang dikenal sebagai rob. Dan ketiga, banjir yang diakibatkan oleh hujan di daerah lain di selatan Kota Semarang yang letaknya lebih tinggi dari Semarang. Menurut Bappeda Kota Semarang (2003), ada beberapa faktor yang membuat banjir semakin parah: 1. Berkurangnya kapasitas drainase akibat sedimentasi dan kapasitas saluran pembuangan yang tidak memadai. 2. Penurunan permukaan tanah yang berkisar 5-9 cm per tahun. 3. Perencanaan pembangunan infrastruktur dan implementasinya yang tidak tepat.

Penelitian Partner voor Water (2008), misalnya, menunjukkan bahwa penurunan permukaan tanah di Semarang bawah berkisar antara 5-7 cm/tahun, bahkan di Semarang Utara mencapai 9 cm/tahun. 15

Air Tanah di Indonesia dan Pengelolaannya, Departemen ESDM, 2005, hlm 128

75


Gambar 4. Tinggi Area dan Penurunan Tanah di Wilayah Banger Semarang Air mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan kehidupan ekosistem lainnya. Manusia membutuhkan air untuk pertanian, perkebunan, perumahan, industri, pertambangan, pariwisata, kebudayaan, keperluan rumah tangga dan air minum. Tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, air juga memberi daya hidup bagi sistem alam, beragam spesies binatang, tumbuh-tumbuhan, serta tanah agar dapat memberikan jasa ekosistem alam seperti menyediakan makanan, bahan baku dan energi yang dibutuhkan manusia. Pemompaan yang berlebihan akan berpengaruh pada seluruh sistem akuifer yang bersifat lintas daerah, lintas wilayah administratif dan bahkan lintas negara. Pemompaan yang berlebihan juga akan berakibat pada intrusi air laut khususnya di daerah ekosistem pantai, yang sering kali tidak dapat diperbaiki (Hoekstra, 1998, hal. 608). Ekosistem pantai sangat tergantung pada keseimbangan antara asupan air tawar, pengambilan air tanah, dan salinasi air laut (Burke dan Moench, 2000, hal. 36). Jika keseimbangan terganggu, usaha untuk memperbaikinya selain membutuhkan teknologi yang tinggi juga biaya yang besar. Air tanah perlu dikelola dengan baik mengingat sifat air tanah yang merupakan barang milik bersama yang eksploitasinya cenderung mengarah pada eksternalitas negatif, berupa deplesi dan degradasi akibat pemompaan yang berlebihan. Eksternalitas negatif terjadi bukan hanya pada situasi dimana ada pengebor air tanah yang memiliki kekuatan ekonomi dan teknologi, tetapi juga terjadi saat pemerintah dengan kekuatan politiknya memberikan ijin pengeboran.

76


Untuk menghindari terjadinya eksternalitas negatif, masalah keadilan bagi pengguna yang punya kemampuan ekonomis dan teknologi yang rendah, serta untuk menjaga keberlanjutannya diperlukan legislasi dan regulasi dari pemerintah. Legislasi dan regulasi dari pemerintah seharusnya dimulai dari pembuatan visi bersama antara seluruh aktor dalam governance air tanah.

Peraturan dan Kelembagaan tentang Air Tanah

Peraturan tentang air tanah yang berlaku untuk Kota Semarang adalah : 1. Perda Provinsi Jawa tengah No 6 tahun 2002 tentang Pengambilan Air Bawah Tanah 2. Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Tengah No 5 tahun 2003 tentang Nilai Perolehan dan Harga Dasar Air untuk Menghitung Pajak Pengambilan Air Bawah Tanah, mencantumkan adanya potongan pada wajib pajak air bawah tanah sebesar 70%, sehingga wajib pajak hanya perlu membayar 30% dari penetapan nilai pajak. 3. Keputusan Gubernur Jateng No. 188.3/02/2003 tentang Petunjuk Teknis Perhitungan Nilai Perolehan dan Harga Dasar ABT 4. Keputusan Gubernur Jateng No. 073/155 Tahun 2004 tentang Pemberian keringanan Pajak Pengambilan ABT kepada PDAM di Provinsi Jawa Tengah sebesar 10-20%

Yang memiliki kewenangan pengelolaan air tanah adalah Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, sedangkan untuk air permukaan menjadi wewenang Dinas Energi dan Sumber Daya Air. Hingga kini perijinan pemanfaatan air tanah di Provinsi Jawa Tengah mengacu pada Peraturan Daerah ( Perda ) Provinsi Jawa tengahNo.6 tahun 2002. Dalam Perda disebutkan untuk perijinan pengambilan air tanah yang memiliki kewenangan adalah Gubernur, sedangkan Bupati hanya memberikan rekomendasi dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Setiap kegiatan pemboran dan pengambilan air bawah tanah dilakukan setelah mendapat surat ijin dari Bupati dalam hal ini Kepala Dinas Pengairan,Pertambangan Dan Penganggulangan Bencana Alam. Surat ijin Pemboran dan pengambilan air bawah tanah diberikan kepada perorangan atau Badan hukum dan terdiri dari Surat Ijin Pemboran (SIP) dan Surat ijin Pengambilan/pemakaian Air Bawah Tanah (SIPA) Setelah izin diberikan, dinas terkait melakukan pengawasan penggunaan air tanah yang dilakukan secara periodik. Kegiatan pengawasan yang dilakukan meliputi (1). Kegiatan Wasdal (Pengawasan dan Pengendalian) yang dilakukan rutin per bulan dengan melibatkan aparat Kabupaten/Kota dan Dinas Pendapatan Daerah. Karena keterbatasan personil maka kegiatan Wasdal hanya dilakukan karena ada kasus atau laporan (misal ditemukan adanya kecurigaan terhadap laporan perusahaan atau karena ada laporan dari masyarakat) dan secara rutin hanya mengambil beberapa perusahaan sebagai sampel; (2). Intensifikasi perhitungan NPA dengan pencatatan penggunaan sumur; (3) Peningkatan pelayanan perijinan, terutama yang berkaitan dengan laporan kajian.

77


Sedang untuk prosedur pembayaran pajak air tanah adalah secara periodik, dinas yang berwenang atas pengambilan air tanah akan membuat laporan pemanfaatan air untuk tiap wajib pajak dengan mencantumkan volume pengambilan, untuk kemudian dilakukan perhitungan penetapan pajak. Salinan dari daftar besaran pajak yang harus dibayar oleh para wajib pajak air tanah ini diberikan kepada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota atau Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) untuk penagihan. Khusus untuk Kota Semarang, pajak air tanah dibayarkan langsung ke Dispenda Provinsi yaitu lewat Unit Pelayanan Pemerintah Daerah dan Pemberdayaan Aset Daerah (UP3AD). Kesulitan dari mekanisme ini adalah Dinas pelaksana teknis yaitu Dinas ESDM hanya mengetahui potensi pendapatan saja namun tidak bisa memastikan apakah wajib pajak yang bersangkutan benar membayar pajak pemanfaatan sumber daya air, sebab belum ada mekanisme laporan dari UPTD kepada Dinas ESDM tentang tingkat pembayaran pajak.

Pendapatan dan Belanja Sektor Air Pendapatan dari sumber daya air terdiri dari empat macam pendapatan yaitu Pajak Daerah, Retribusi daerah, Laba BUMD dan Pendapatan lainnya berupa sumbangan pihak ketiga dari perusahaan pemanfaat air.

Grafik 1. Pendapatan dari sektor air di Kota Semarang 2.9

3 2.5 2

1.9

1.8

1.5

1.3

1.5 Miliar Rupiah

1 0.5 0 2004

2005

2006

2007

2008

Pendapatan Kota Semarang dari sektor air pada tahun 2004 mencapai Rp. 1.895.219.000,00 dan melonjak cukup tinggi pada tahun 2005 menjadi Rp. 2.967.020.500,00 dan mulai menurun drastis pada tahun berikutnya hanya menjadi Rp. 1.309.182.500,00 kemudian mulai merambat naik menjadi Rp. 1.575.213.000,00 pada tahun 2007 dan naik lagi menjadi sebesar Rp. 1.930.781.000,00 di tahun 2008. Pajak ABT selalu menjadi kontributor utama pendapatan dari sektor sumber daya air. Pada tahun 2004 nilainya 42% dari pendapatan sektor air, tahun 2005 turun menjadi hanya 24%, kemudian naik lagi berturut-turut pada 2006 menjadi 61%, 2007 55% dan 2008 46%.

78


16

1.895,219 631.791,997

2.967,020 725.466,657

738,146 75 813,146

8,100 8,100

Sumber diambil dari dokumen APBD Perubahan Kota Semarang Tahun 2004-2008

DARI

813,146 0 813,146

POS PENERIMAAN DARI PROPINSI Bagi hasil P3ABT Bagi hasil P3AP JML PENERIMAAN DARI PROPINSI

JML PENDAPATAN DAERAH SEKTOR AIR JUMLAH KESELURUHAN

6,450 6,450

1.000 1.000

99,900 1.145,774

99,900 1.075,623

0 0

56,700 639,792 349,382

2005 Realisasi

87,120 575,280 313,323

2004 Realisasi

PENERIMAAN YG SAH LAIN2 Taman rekreasi JML PENERIMAAN LAIN YANG SAH

POS BAGIAN LABA BUMD/PERUSDA PDAM JML POS BAGIAN LABA BUMD

RETRIBUSI DAERAH Pengurasan kakus Ret. Kolam renang Ret tempat rekreasi Hasil Sewa Air Sewa laboratorium JML RET DAERAH

Jenis Pendapatan

1.309,182 962.651,503

800 95 895

8,100 8,100

0 0

406,082

56,700 0 349,382

2006 Realisasi

Tabel 1. Pendapatan dari Sektor Air Kota Semarang16 ( juta rupiah)

1.575,213 1.121.695,884

860,394 641,219 1.501,613

16,900 16,900

0 0

56,700

56,700 0 0

2007 Realisasi

79

1.930,781 1.225.605,689

882,121 849,740 1.731,861

9,120 9,120

0 0

189,800

56,700 0 0 133,100

2008 Realisasi


Grafik 2. Persentase Pendapatan Sektor Air dengan Total Pendapatan17

1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0

Klaten Smg Skbumi Jkt

2004

2005

2006

2007

2008

Dari tabel di atas terlihat persentase pendapatan dari sektor air dibandingkan dengan keseluruhan pendapatan daerah, maka pada tahun 2004 terlihat pendapatan dari sektor air adalah 0,30%, pada tahun 2005 meningkat menjadi 0,41%, pada tahun 2006 menurun menjadi 0,14%, pada tahun 2007 meningkat tipis menjadi 0,14% dan pada tahun 2008 naik sangat tipis menjadi 0,16%. Salah satu hal yang menyebabkan tidak maksimalnya pendapatan dari sektor air di Kota Semarang dan Kabupaten Klaten adalah diterapkannya Peraturan Gubernur Jawa Tengah No 5 tahun 2003, sehingga berdampak pada berkurangnya potensi pendapatan dari sektor air. Justru dikhawatirkan menjadikan pajak air tanah begitu rendah sehingga tidak mampu mengimbangi biaya yang dibutuhkan untuk monitoring pemanfaatan air tanah dan konservasi untuk menjaga ketersediaan ataupun keseimbangan air tanah dalam lingkup pengelolaan air tanah berbasis cekungan air tanah. Tabel 2. Rekapitulasi Perhitungan NPA Kota Semarang Tahun

2004 2005 2006 2007 2008

Pajak berdasar PP No 65 tahun 2001 (Rp.)

Pajak setelah potongan: SK Gub. No 5 tahun 2003 (Rp.)

Bagi hasil pajak ABT (Rp.)

1.173.083.994 2.680.270.471 4.186.094.107 3.828.539.680 4.165.158.307

351.925.198,3 804.081.141,3 1.255.828.232 1.148.561.904 1.249.547.492

813.146.000 738.146.000 800.000.000 860.394.000 882.121.000

Dari tabel Rekapitulasi Perhitungan NPA Kota Semarang terlihat bahwa pada tahun 2004, jumlah bagi hasil pajak ABT dari pemerintah Provinsi Jawa Tengah lebih tinggi dari penerimaan sektor pajak ABT. Namun pada tahun-tahun berikutnya, jumlah bagi hasil ABT dari pemerintah provinsi lebih rendah dari 17

Sumber data dari APBD Perubahan Kabupaten Klaten, Kota Semarang, kabupaten Sukabumi dan DKI Jakarta

80


total pajak yang disetor ke kas daerah. Sistem kontrol yang memungkinkan masyarakat umum mengetahui mengapa hal seperti ini terjadi sangat diperlukan agar semua transaksi keuangan transparan dan akuntabel. Basis yang digunakan untuk menentukan nilai bagi hasil tidak diketahui secara pasti dan tampaknya tidak didasarkan pada penghitungan rumus yang baku. Hal ini tercermin dari Jumlah pendapatan bagi hasil yang nilainya relatif stabil dari tahun ke tahun yaitu berkisar antara Rp 740 juta sampai Rp 882 juta. Hal ini cukup janggal karena diketahui bahwa jumlah wajib pajak air tanah yang jumlah relatif terus naik sejak 2004 (grafik 3). Kejanggalan ini akan makin nyata terlihat dengan membandingkan jumlah waji pajak pada taun 2004 yang hanya 277 wajib pajak dan berhasil menyetor pajak sejumlah Rp 813 milyar sedangkan pada tahun 2008 jumlah wajib pajak naik hampir dua kali lipat menjadi 537 wajib pajak akan tetapi nilai pajaknya hanya Rp 882 juta. Padahal dilihat dari nilai NPA terjadi lonjakan setoran pajak yang luar biasa dari tahun 2004 ke 2008, dari Rp 351 juta menjadi Rp 1,2 milyar. Pada grafik di bawah ini diperlihatkan perkembangan jumlah wajib pajak ABT di Kota Semarang, yang diambil dari data tiap bulan Januari, yang secara umum mengalami kenaikan tiap tahun. Pada Januari 2007, jumlah wajib pajak mengalami penurunan dari 490 wajib pajak menjadi 454 wajib pajak. Namun pada Januari tahun berikutnya yaitu 2008, kembali meningkat jumlahnya menjadi 537 wajib pajak. Menurut keterangan seorang staf Dinas ESDM Provinsi Jawa Tengah, fluktuasi jumlah wajib pajak ini lebih dikarenakan adanya beberapa wajib pajak yang sama sekali tidak melakukan ekstraksi pada sumur yang dikenai izin atau ada penurunan penggunaan air tanah pada periode tersebut. Namun mungkin tetap melakukan memanfaatkan air tanah dari sumur lain, sebab ada beberapa wajib pajak dari sektor niaga yang mempunyai lebih dari satu sumur bor.

Grafik 3. Perkembangan Jumlah Wajib Pajak ABT (per bln Januari) 600

537 490

500 400 300

454

366 277

Wajib Pajak ABT

200 100 0 2004

2005

2006

2007

2008

Pendataan wajib pajak adalah faktor penting dalam upaya memperoleh pemasukan yang optimal dari pajak. Tetapi justru jumlah wajib pajak ini tidak menentu alias tidak konsisten. Seperti dapat dilihat pada tabel 3 di atas, pada bulan Januari 2008, jumlah wajib pajak yang membayar pajak air bawah tanah adalah 537 wajib pajak, pada bulan berikutnya turun sebesar 16% menjadi hanya 452 wajib pajak yang melakukan pembayaran pajak air bawah tanah. Angka ini terus naik-turun dengan pola yang tidak jelas kadang naik kadang turun dengan interval jumlah yang cukup besar antara bulan terendah dan bulan terbanyak wajib pajak membayar pajak air bawah tanah, yaitu 424 – 537 wajib pajak. Januari adalah bulan terbanyak wajib pajak melakukan kewajibannya sedang Agustus dan November adalah bulan dimana paling banyak wajib pajak mangkir dari kewajibannya.

81


Seiring dengan hal ini, dalam satu tahun yaitu tahun 2008, jumlah hotel yang menjadi wajib pajak pun berubah-ubah jumlahnya. Angka terendah pada bulan Juli terdapat 28 hotel wajib pajak, sedangkan tertinggi pada Februari berjumlah 47 hotel (selisih 19 hotel). Jika diasumsikan jumlah tertinggi tersebut yang paling mendekati akurasi, berarti pada bulan Juli ada tak kurang dari 40% wajib pajak tidak membayar, atau tidak dituntut untuk membayar. Apalagi jika dibandingkan dengan data yang dimiliki Badan Pusat Statistik (BPS). BPS mencatat di Semarang ada 92 hotel, atau selisih 45 hotel dengan jumlah hotel tertinggi pada 2008 di NPA. Jika data BPS dijadikan acuan, pada puncak pembayaran bulan Februari 2008 pun hanya 51% hotel yang membayar pajak air bawah tanah. Melihat bahwa penggunaan air adalah sangat vital dalam penyelenggaraan bisnis perhotelan dan biaya penyedotan air tanah jauh lebih murah dari langganan PDAM maka dapat dipastikan hotel-hotel pasti memiliki sumur untuk menyedot air tanah. Jadi dapat dikatakan pada tahun 2008, separoh sisanya bebas menyedot air tanah tanpa bayar. Saat data dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral dibandingkan dengan data dari Dinas Perindustrian, akan terlihat betapa banyaknya pemanfaat air tanah sama sekali tidak terdaftar sebagai wajib pajak air bawah tanah. Sebuah potensi pendapatan besar yang hilang. Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa hanya 26% industri besar di kota Semarang yang terdaftar sebagai wajib pajak air tanah. Padahal dapat dipastikan industri besar pasti memerlukan air dalam jumlah besar baik untuk kebutuhan karyawan maupun untuk proses produksi, dan mengingat bahwa tarif air PDAM jauh lebih mahal dibanding mengambil air tanah yang relatif tanpa biaya maka besar kemungkinan berbagai industri besar ini juga memiliki sumur air tanah.

Tabel 4. Industri besar terdaftar sebagai wajib pajak air tanah No

Jenis Industri

Persentase

1 2

Industri plastik Industri kimia dan barang kimia

40 33

3 4

Industri minuman Industri makanan

33 33

5

Industri tekstil

17

6

Industri logam

58

7 8 9

Industri percetakan Industri keramik & kaca Industri minuman & jamu

0 57 25

10

Industri pengolahan kayu Rata-rata

19 26

Seperti terlihat pada tabel 4, industri percetakan besar yang terdaftar di Dinas Perindutrian tidak satupun yang menjadi wajib pajak air tanah. Industri tekstil yang diketahui membutuhkan banyak air dalam proses produksinya hanya 17% yang menjadi wajib pajak air tanah. Hanya industri logam dan keramik kaca yang cukup banyak menjadi wajib pajak air tanah, itupun jumlahnya hanya 58% dan 57%.

82


Sementara data lain dari Departemen Perindustrian mengenai industri besar yang memiliki karyawan lebih dari 1.000 orang menunjukkan bahwa hanya 31% dari perusahaan ini yang tidak terdaftar sebagai wajib pajak air tanah.

Belanja Sektor Air Anggaran merupakan instrumen terpenting bagi pelaksanaan hak, sebab anggaran merupakan implementasi dari komitmen pemerintah untuk memastikan terpenuhinya hak lewat alokasi anggaran untuk pembiayaan program-program yang tepat dan menuju pada pemenuhan hak secara utuh.

Grafik 4. Persentase Belanja Sektor Air dengan Total Belanja

10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0

9.26 7.91 5.54

2004

2005

2006

Klaten Semarang Sukabumi Jakarta

6 5

2007

2008

0 2009

Dibandingkan dengan total belanja daerah, maka alokasi belanja sektor air di Kota Semarang cukup tinggi namun menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004, persentase belanja air terhadap total belanja daerah adalah 7,91% dari total belanja daerah yang sebesar Rp. 808.505.818.000,00. Pada tahun 2005 alokasi ini naik menjadi 9,26%, pada tahun 2006 agak sedikit menurun menjadi 5,54%. Kemudian pada tahun 2007 kembali naik alokasinya menjadi 6% terhadap total belanja dan pada tahun 2008 kembali turun menjadi 5% dimana total belanja sektor air adalah sekitar Rp. 75.179.337.700,00 dengan beberapa proyek besar terkait pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi serta program pengendalian banjir. Belanja Dinas Pekerjaan Umum di Kota Semarang sangat dominan. Untuk tahun 2004, Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarng menggunakan 99,32% total belanja air dan menyisahan hanya 0,659% untuk dibagi-bagi ke dinas lainnya yang juga menyelenggarakan kegiatan di sektor air. Namun dominasi DPU Kota Semarang semakin berkurang tiap tahunnya ditunjukkan dari semakin kurangnya anggaran sektor air untuk DPU. Pada tahun 2005, anggaran DPU untuk sektor air menurun cukup banyak menjadi 88,55%, namun pada tahun 2006 kembali naik menjadi 95%. Pada tahun 2007, alokasi anggaran sektor air yang dikelola oleh DPU berkurang drastis menjadi 77,29% dan terus turun di tahun berikutnya menjadi 76,85%.

83


DPU

Chart 1. Belanja Sektor Air Kota Semarang tahun 2004

BAPPEDA SETDA

0,039

DTKP

0,36 99,32

BAPEDALDA

0,659 0,15 0,11

Chart 2. Belanja Sektor Air Kota Semarang Tahun 2005

DPU BAPPEDA SETDA

11,05

BAPEDALDA 0,25

0,39 88,55

0,14

Chart 3. Belanja Sektor Air Kota Semarang Tahun 2006

95

4,661

DPU 0,004

DISTAN

0,69

BAPPEDA

0,87

DISPAR

0,98

BAPEDALDA DIS P&K

1,92

DISDIK

0,11

DISBERSIH

0,087

84


Chart 4. Belanja Sektor Air Kota Semarang Tahun 2007

0.05 16.43

1.22 1.52

6.245

0.095 3.36

77.29

Chart 5. Belanja Sektor Air Kota Semarang Tahun 2008

1.45 11.34

0.46 0.05

11.77

8.66

76.85 1.13

DPU DISTAN BAPPEDA DTKP BAPEDALDA DISTAMAN DIS P&K

DPU DISTAN BAPPEDA SETDA DTK & P DIS TAMAN DIS P & K DISNAKERTRANS

0.02

Pada Chart 1 sampai dengan 5 diperlihatkan alokasi anggaran sektor air ke beberapa dinas yang terkait, dari chart tersebut nampak jelas bahwa mayoritas anggaran dimanfaatkan oleh Dinas Pekerjaan Umum. Beberapa contoh proyek yang mendapat pembiayaan adalah pengendalian banjir dan rob serta penaggulangan sampah Kali Banger, pembangunan saluran pompa, pembangunan sumur artesis, normalisasi saluran Gebangsari, peningkatan jalan dan saluran Pasar Higienis, O&M peralatan pengairan, biaya pemeliharaan bangunan air, belanja modal instalasi air bersih dan beragam proyek serupa. Namun yang masih menjadi cacatan adalah alokasi untuk sektor air masih belum menyentuh kebutuhan untuk melaksanakan konservasi sumber daya air secara terintegrasi. Baik karena anggaran yang ada masih melulu berbicara tentang pembangunan fisik, juga belum terlihat keterpaduan antar sektor dalam memahami pentingnya alokasi anggaran di sektor air untuk kepentingan konservasi.

85


Tabel 4. Persentase Belanja DPU dengan Total Belanja Daerah No

(Dlm ribuan)

1.

Belanja sektor air (dr belanja DPU) Belanja (dari belanja)

2.

DPU total

Total Belanja Daerah

2004

2005

2006

2007

2008

63.555.887

70.095.632

54.682.033

68.073.534,3

57.772.550

(46,7%)

(59,29%)

(43,08%)

(42,94%)

(41,74%)

135.836.016

118.215.585

126.915.609

158.523.865,2

138.396.190,3

(16,8%)

(13,84%)

(12,27%)

(11,61%)

(9,21%)

808.505.818

853.915.568

1.034.242.784

1.365.377.234,6

1.501.549.313,1

Grafik 5. Persentase Belanja DPU terhadap Total Belanja Kota Semarang 1,600,000,000 1,400,000,000 Belanja Daerah NonDPU Belanja DPU NonSektor Air Belanja DPU Sektor Air

1,200,000,000 1,000,000,000 800,000,000 600,000,000 400,000,000 200,000,000 0 2004

2005

2006

2007

2008

Pada Grafik 5 diperlihatkan bahwa alokasi belanja untuk sektor air membutuhkan rata-rata sekitar 47% alokasi anggaran yang dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum dari APBD Kota Semarang tiap tahunnya. Sedangkan alokasi anggaran ayng dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang tiap tahunnya rata-rata adalah 12,72% dari keseluruhan APBD Kota. Pada grafik tersebut terlihat jelas bagaimana minimnya keberpihakan Pemerintah Kota Semarang dalam mengelola ketersediaan dan keberlanjutan sumber daya air, dimana kenaikan alokasi belanja tiap tahun tidak serta merta membuat alokasi belanja untuk sektor air juga meningkat.

86


Pendapatan dan Belanja Sektor Air di Kabupaten Sukabumi

Gambaran Umum Lokasi

Dalam peta makro ekonomi Jawa Barat, Jawa Barat Selatan termasuk Kabupaten Sukabumi, selama ini praktis merupakan wilayah yang relatif tertinggal. Padahal jika dilihat dari potensi sumber daya alam baik hutan, tambang, laut, pertanian dan perkebunan sangat kaya. Kondisi pemiskinan ini erat kaitannya dengan struktur ketimpangan agraria, dimana luas penguasaan tanah yang terbesar adalah ditangan negara dalam hal ini Perum Perhutani (Hutan Negara) dan oleh swasta/BUMN (Perkebunan besar)18 bukan oleh rakyat. Namun upaya perlindungan terhadap potensi sumber daya alam di Kabupaten Sukabumi sudah dilakukan, hal ini dapat dilihat dari kebijakan tentang penetapan fungsi konservasi pada beberapa kawasan hutan seperti pada Kawasan Suaka Margasatwa Cikepuh, Cagar Alam Cibanteng, Cagar Alam dan TWA Sukawayana, Taman Nasional Gede-Pangrango, Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, dan Cagar Alam Tangkuban Perahu19. Meskipun secara geografis dan topografis, memperlihatkan potensi besar di bidang pertanian, hal ini juga didukung data yang menunjukkan bahwa mata pencaharian dibidang pertanian menyerap hampir separuh angkatan kerja Kabupaten Sukabumi20. Namun tercatat pula tingginya tenaga kerja perempuan yang mayoritas berasal dari pedesaan menjadi TKW ke Saudi Arabia, Uni Emirat Arab dan Yordania. Salah satu hal yang menyebabkan adalah terjadinya alih fungsi lahan pertanian yang dibeli oleh perusahaanperusahaan yang memanfaatkan air bawah tanah yang jumlahnya mencapai 77 perusahaan21, seperti AMDK (Air Minum dalam Kemasan), minuman ringan, industri garment, elektronik, peternakan, perusahaan air minum atau industri pariwisata, ataupun karena lahan menjadi tidak produktif karena kesulitan mendapatkan air untuk irigasi persawahan. Perempuan-perempuan yang tersingkir dari sektor pertanian ini sebagian besar tidak mampu bersaing dengan tenaga kerja dari luar daerah karena tingkat pendidikan yang rendah. Perusahaan-perusahaan menggunakan dalih ini untuk mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah atau menerapkan upah rendah pada mereka. Sehingga harapan iming-iming gaji besar, cerita keberhasilan beberapa orang yang sudah bekerja di luar negeri menjadi magnet bagi tenaga kerja perempuan ini, menenggelamkan fakta lemahnya perlindungan Negara terhadap mereka serta banyaknya jumlah TKW yang mengalami kekerasan. Kondisi Air Bawah Tanah

Total Volume Air Bawah Tanah yang dimanfaatkan oleh perusahaan pemanfaat air bawah tanah dalam satu tahun (bulan Januari-Nopember 2006) mencapai 7.747.811 m続 22. Peningkatan volume air bawah tanah yang diekstraksi ini berkorelasi positif dengan jumlah pajak pengambilan air bawah tanah dan

18 19

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Profil Kabupaten Sukabumi Tahun 2004/2005 Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Profil Kabupaten Sukabumi Tahun 2005/2006

20

Penduduk Berumur 10 tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan di Kabupaten Sukabumi 2002-2004, BPS Jawabarat Susenas 2002-2004 21 Data dari Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA) Provinsi Jawa Barat UPPD Wilayah V-Cibadak Sukabumi per Desember 2006 22 Data dari Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA) Provinsi Jawa Barat UPPD Wilayah V-Cibadak Sukabumi per Desember 2006

87


jumlah perusahaan pengekstraksi air bawah tanah. Kondisi seperti ini menjadi kerangka penetapan kebijakan pemerintah yang melulu menekankan pada pertumbuhan ekonomi semata. Pandangan yang bertumpu pada kekuatan investasi dapat dilihat pada RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Kabupaten Sukabumi tahun 2006-2010. Khususnya dalam pembahasan tentang Arah Kebijakan Ekonomi Daerah pada point 2 yaitu :”Menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan investasi guna mendorong perkembangan sektor riil dan pariwisata”. Pernyataan yang sama secara ekplisit juga tertuang dalam pembahasan prospek ekonomi Kebupaten Sukabumi tahun 20062010 yang menyatakan bahwa sasaran yang akan di capai tahun 2006-2010 adalah : meningkatkan Investasi akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara bertahap mencapai 5,5 %; untuk mencapai sasaran tersebut dibutuhkan investasi sebesar 1,50 trilyun (harga berlaku). Politik ekonomi yang dianut Pemerintah Kabupaten Sukabumi seperti diatas ditopang oleh potensi sumber daya air yang besar, yaitu adanya cekungan Sukabumi. Cekungan tersebut diapit oleh Gunung Salak, Gunung Endut sebelah Barat dan Gunung Pangrango sebelah Timur dengan potensi mata air sebanyak ± 37 buah dengan total debit 1.335 liter per detik. Dan cekungan Jampang Kulon, yang terletak di sisi selatan Kabupaten Sukabumi. Namun potensi sumber daya air yang besar ini jika tidak disertai dengan pengelolaan air bawah tanah, akan mengarah pada situasi dimana penduduk di lokasi sumber air akan mengalami kelangkaan air dan emas biru yang mereka miliki justru semakin meminggirkan mereka. Dan inilah yang sekarang sudah dialami oleh penduduk di Kabupaten Sukabumi23 Peraturan tentang Air Tanah

Beberapa peraturan yang terkait dengan pengelolaan air tanah adalah : 1. UU No 34 tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, menegaskan peran pemerintah propinsi dalam melakukan program konservasi air tanah berikut penarikan pajaknya serta sistem bagi hasil untuk sumber daya air sebanyak 30% untuk propinsi dan 70% untuk kabupaten/kota asal daerah pemanfaatan air. 2. UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air 3. UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, mengatur hubungan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di dalamnya pengelolaan air tanah. 4. PP No 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah, menyatakan pengenaan tarif pajak sebesar 10% untuk pemanfaatan air permukaan dan sebesar 20% untuk pemanfaatan air bawah tanah 5. PP No 43 tahun 2008 tentang Air Tanah, yang didalamnya menegaskan bahwa hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan air tanah merupakan penerimaan negara bukan pajak sehingga dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut oleh instansi yang bersangkutan, salah satunya adalah pelestarian sumber daya alam.

23

Baca laporan lapangan “Sukabumi, Emas Biru dan Mereka yang Terpinggirkan”, Amrta Institute

88


6. Keputusan Menteri ESDM No. 1451 tahun 2000, mengenai konsep penting dalam perhitungan nilai perolehan air tanah yaitu nilai perolehan air, harga dasar air, harga air baku, faktor nilai air, dan kompensasi. 7. Peraturan Bupati No 22 tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Penyediaan Air Bawah Tanah untuk Kepentingan Masyarakat di Sukabumi Beberapa peraturan di atas memperlihatkan adanya desentralisasi kewenangan dalam pengelolaan air tanah, sehingga pada masing-masing provinsi atau kabupaten/kota bisa memiliki kebijakan rencana pengelolaan air tanah yang berbeda. Hal ini, salah satunya, dipengaruhi oleh penekanan kepentingan dan keberpihakan pemangku kebijakan atas masalah pengelolaan air tanah. Namun perlu dicermati beberapa kelemahan pengelolaan air tanah oleh pemerintah, yaitu desentralisasi pengelolaan sampai tingkat Kabupaten/Kota yang cenderung mengabaikan prinsip pengelolaan akuifer lintas batas. Kewenangan yang dimiliki daerah otonom terbatas dalam lingkup wilayah administrasi pemerintahan, sehingga daerah cenderung hanya berkepentingan atas sumberdaya air yang ada di wilayahnya, sedangkan sifat air tidak mengenal batas kewenangan tersebut. Kedua, kebijakan pengelolaan yang mengingkari karakteristik air tanah, tidak menjamin hak dasar masyarakat, terutama masyarakat miskin, dalam mendapatkan akses penyediaan air bersih, tidak mengakomodasi kebutuhan dan keinginan masyarakat lokal, kurang/tidak melibatkan partisipasi para pihak lain yang berkepentingan serta kurang memberdayakan sumberdaya lokal. Ketiga, masih banyak dijumpai kegiatan pengeboran dan pengambilan air tanah tanpa ijin (SIP, SIPPAT). Keempat, belum tertibnya pelaporan rencana pelaksanaan pengeboran; serta laporan pelaksanaan pengeboran. Serta kelima, adanya keterbatasan sumberdaya (manusia, peralatan, biaya) baik di pusat maupun daerah, menyebabkan pengelolaan air tanah kurang efektif dilaksanakan.

Pendapatan dan Belanja Sektor Air

Dibandingkan dengan daerah penelitian yang lain, Kabupaten Sukabumi mempunyai prosentase pendapatan di sektor air yang paling tinggi, yaitu berkisar 1,1 - 1,7% di sepanjang tahun 2004 sampai 2008. Dengan adanya Peraturan Bupati No 22 tahun 2006 tentang Pedoman Teknis Penyediaan Air Bawah Tanah untuk Kepentingan Masyarakat di Sukabumi, maka seharusnya terdapat potensi alokasi anggaran yang memadai untuk menjamin pelaksanaan rangkaian kegiatan konservasi air bawah tanah. Kandungan air bawah tanah yang ada di Sukabumi merupakan yang terbesar di Jawa Barat dengan adanya Cekungan Sukabumi. Namun bukannya tidak mungkin bahwa simpanan air bawah tanah ini akan habis dalam kurun waktu puluhan tahun ke depan karena ekstraksi yang dilakukan begitu intensif dan tidak memberi kesempatan waktu yang mencukupi bagi proses pengisian kembali air bawah tanah di wilayah tangkapan air. Dampak yang bisa dilihat saat ini adalah mengeringnya beberapa titik mata air, semakin turunnya muka air tanah - yang berarti kelangkaan air bagi warga di lokasi sumber air -, penurunan produktivitas lahan

89


akibat alih fungsi lahan hingga mengakibatkan dampak sosial seperti perubahan struktur dan relasi sosial masyarakat. Sama seperti Kabupaten Klaten, pendapatan dari sektor air yang menjadi pendapatan daerah terdiri dari pendapatan dari pajak air tanah, serta sumbangan pihak ketiga pada pemerintah kabupaten atau iuran/urunan desa. Selama tahun 2006, besarnya pajak air yang disetorkan oleh 24 perusahaan pemanfaat air di dua kecamatan (Kecamatan Cidahu dan Cicurug) Kabupaten Sukabumi kepada pemerintah melalui kas Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Jawa Barat mencapai sekitar 17.233.763.250 rupiah atau sekitar 17,23 milyar rupiah24. Berdasarkan UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, 70 persen dari nilai pajak air tersebut atau sekitar 12,1 milyar seharusnya dimasukkan ke kas Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi. Kontribusi terbesar dari pajak air yang dibayar ke-24 perusahaan, berasal dari dua perusahaan yang tergabung dalam AQUA grup yaitu PT Aqua Golden Mississippi Tbk dan PT Tirta Investama. Nilai pajak air yang dibayar kedua perusahaan ini senilai 12.518.461.841 rupiah atau sekitar 72,6 persen dari total pajak air yang dibayar oleh ke-24 perusahaan yang dihitung pajak airnya. Pada tahun 2006, besarnya dana bantuan dari pemerintah Kabupaten Sukabumi yang diberikan untuk 12 desa di dua kecamatan (Kecamatan Cidahu dan Kecamatan Cicurug)25 secara keseluruhan mencapai nilai 738,597,630 rupiah. Jika dipersentasi, nilai dana bantuan dari Pemda Kabupaten tersebut hanya sekitar 4,3 % dari total pajak air yang dibayarkan perusahaan ke kas pemerintah. Hal ini dapat menjadi salah satu indikasi kecilnya dana dari pajak air (via pemerintah kabupaten) yang bisa kembali ke desa.

24

Miharja, Arif dan Daniel Mangoting; “Dampak Eksploitasi Air oleh perusahaan-perusahaan pengguna air terhadap masyarakat desa di Kecamatan Cidahu dan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat”; Laporan Penelitian ELSPPAT-KruHA, November 2007 25 Miharja, Arif dan Daniel Mangoting; “Dampak Eksploitasi Air oleh perusahaan-perusahaan pengguna air terhadap masyarakat desa di Kecamatan Cidahu dan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat”; Laporan Penelitian ELSPPAT-KruHA, November 2007

90


Tabel 8.

Jumlah Dana Bantuan dari Pemerintah Kabupaten Sukabumi tahun 2006 yang Dialokasikan ke 12 Desa yang Diteliti di Kecamatan Cidahu dan Cicurug26 No.

Nama Desa

Jumlah (Rupiah)

1.

Jaya Bakti

23,327,400

2.

Pasir Doton

23,327,400

3.

Pondokaso Tengah

23,327,400

4.

Babakan Pari

23,327,400

5.

Cidahu

23,327,400

6.

Pondokaso Tonggoh

23,327,400

7.

Kutajaya

99,772,205

8.

Pasawahan

99,772,205

9.

Cisaat

99,772,205

10.

Nyangkowek

99,772,205

11.

Caringin

99,772,205

12.

Tenjolaya

99,772,205

Jumlah

738,597,630

Jumlah pemanfaat air bawah tanah sepanjang tahun 2006 rata-rata adalah 174 pemanfaat tiap bulan, volume ekstraksi air bawah tanah rata-rata adalah 664.760m3/bulan. Dan ekstraksi air bawah tanah per bulan oleh perusahaan AMDK terbesar yaitu PT Aqua Golden Missisipi mencapai sekitar 31 % dibanding dengan total volume ekstraksi air rata-rata tiap bulannya. Dengan volume ekstraksi sedemikian besar, maka sudah seharusnya bagi PT Aqua Golden Missisipi untuk menjadi penyumbang besar serta ikut bertanggungjawab untuk konservasi atau pemulihan kembali sebagai dampak perubahan lingkungan di wilayah sumber-sumber air di Kabupaten Sukabumi. Dan karena air bawah tanah yang mereka ekstraksi telah mendatangkan keuntungan yang sangat besar bagi perusahaan. Menurut keterangan beberapa warga, PT Aqua GM juga memberikan sumbangan ke kas desa namun uang tersebut malah masuk ke kantong pribadi pemimpin daerah setempat dan tidak ada transparansi mengenai besaran serta alokasi sumbangan tersebut. Masyarakat pun tidak mempunyai akses terhadap dana tersebut. Seolah menutup mata, beberapa perusahaan yang memberikan bantuan pun hanya menyerahkan bantuan tersebut pada beberapa organisasi lokal untuk dikelola, dimanfaatkan serta didistribusikan pada masyarakat setempat. Namun organisasi-organisasi lokal yang menjamur seiring bertambahnya jumlah perusahaan pengekstraksi air bawah tanah ini, sama juga tidak memberikan transparansi terkait anggaran dan mekanisme untuk mengakses bantuan. Situasi ini kemudian hanya menimbulkan kerentanan terhadap munculnya konflik horisontal. Sedangkan bantuan lainnya dapat diakses oleh masyarakat dengan cara mengajukan proposal pada perusahaan, yang terjadi adalah hanya 26

Sumber diperoleh dari dokumen Profil Desa, Badan pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Sukabumi tahun 2006

91


daerah dekat lokasi pabrik yang dipenuhi permintaannya sedangkan beberapa daerah dekat sumber air yang lokasinya jauh dari pabrik hanya dibiarkan menunggu sekian lama tanpa kepastian kapan proposal mereka dipenuhi. Pada prakteknya pemberian bantuan semacam ini hanya digunakan oleh perusahaan untuk meredam konflik masyarakat dengan perusahaan. Dana rutin yang biasa dibayarkan oleh pihak perusahaan pengguna air kepada pemerintah desa adalah berupa iuran/urunan desa (Urdes). Secara umum, nilai Urdes yang harus dibayarkan oleh pihak perusahaan adalah senilai 20-40 persen dari besarnya nilai pajak PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) yang telah disetorkan pihak perusahaan ke kas pemerintah. Biasanya target besarnya nilai Urdes yang hendak ditagih ke pihak perusahaan pengguna air dituangkan dalam Rencana Anggaran dan Belanja Desa (RAPBDes) yang kemudian disahkan dengan Peraturan Desa (Perdes). Perusahaan yang membayar Urdes dengan nilai yang relatif besar adalah PT Aqua Golden Mississippi Tbk (15 juta rupiah per tahun) dan PDAB Kab. Sukabumi-Cidahu (8 juta rupiah per tahun). Nilai Urdes yang disanggupi/disepakati oleh PDAB sebesar 12 juta rupiah tapi yang dibayarkan hanya 8 juta rupiah. Persentasi kontribusi perusahaan pengguna air berupa Urdes terhadap nilai total pendapatan asli desa (PAD) dalam satu tahun rata-rata hanya sekitar 4,5% dan rata-rata hanya sekitar 7,1 % dari total nilai PBB yang dibayarkan masyarakat desa. Hal ini menjadi sangat kontradiktif terhadap kanyataan bahwa perusahaan telah mengam,bil keuntungan luar biasa besar atas eksploitasi sumber-sumber air masyarakat dan menimbulkan dampak negatif pada kesehatan lingkungan secara umum. Yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan sumbangan dari pihak ketiga ini adalah diterapkannya prinsip transparansi dan akuntabilitas, sehingga masyarakat setempat pun dapat mengaksesnya sesuai dengan kebutuhan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kontribusi lain yang diberikan oleh perusahaan pemanfaat air di Kabupaten Sukabumi adalah memberikan sumbangan pada masyarakat yang berbentuk pembangunan fisik (pembangunan saluran air, sarana MCK, sumur bor), bersifat sosial-karitatif (sumbangan untuk hari raya, fakir miskin dan anak yatim piatu, bantuan untuk organisasi keagamaan dan organisasi masyarakat setempat), serta tidak terkait dengan pemenuhan kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat namun lebih untuk meredam konflik, menciptakan citra positif pada perusahaan serta mencegah meunculnya gangguan atau ancaman dari pihak-pihak yang dianggap merugikan perusahaan. Masalah utama yang dihadapi masyarakat berupa kesulitan akan air bersih serta masalah kemiskinan (karena banyaknya alih fungsi lahan, kekeringan, dsb) tidak mampu terjawab dari kontribusi yang dilakukan perusahaan. Namun setidaknya cukup efektif untuk meredam gejolak aksi protes masyarakat karena perubahan lingkungan yang dialami sebagai dampak masifnya ekstraksi air tanah yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut.

92


27

Tabel 9. Pendapatan Sektor Air Kabupaten Sukabumi PENDAPATAN ASLI DAERAH

2004

2005

PAJAK DAERAH

2006

2007

2008

(Dalam Juta Rupiah)

Kolam Renang

31,200

62,520

60,000

61,500

65,500

Pemancingan

0,900

1,500

1,500

1,800

5,000

15,000

5,000

0,000

6,000

6,000

9,450

9,925

11,404

10,200

10,200

-

-

-

-

-

--

-

-

-

-

Sewa Tempat untuk MCK Pasar

-

35,500

35,500

34,000

34,000

Sewa Tempat untuk MCK Terminal

-

14,000

14,000

13,750

0,000

Retribusi Jasa Usaha Pengolahan Limbah Cair

-

0,000

35,000

13,750

13,750

Retribusi Pemeriksaan Hewan dan Ikan (Balai benih Ikan)

-

3,500

2,500

0

0

9,450

131,945

159,904

141,000

134,450

PDAM

0

0

0

120,000

200,000

JUMLAH POS BAGIAN LABA BUMD

0

0

0

120,000

200,000

7.140,600

10.280,968

10.206,305

10.509,784

10.464,657

Taman Rekreasi Arung Jeram

RETRIBUSI DAERAH Pengurasan kakus Retribusi Kolam renang Tempat rekreasi taman lele

JUMLAH RETRIBUSI DAERAH

POS BAGIAN LABA BUMD/PERUSDA

JUMLAH PENERIMAAN LAIN YANG SAH POS PENERIMAAN DARI PROPINSI Bagi hasil P3ABT Bagi hasil P3AP

0

0

957,600

1.359,925

1.591,831

JUMLAH PENERIMAAN DARI PROPINSI

7.140,600

10.280,968

11.163,905

11.869,709

12.056,488

JUMLAH PENDAPATAN DAERAH DARI SEKTOR AIR

7.150,050

10.412,913

11.323,809

12.130,709

12.390,938

512.574,563

610.371,171

855.801,383

1.025.871,527

1.138.475,665

JUMLAH KESELURUHAN

Terutama untuk industri, kebutuhan atas air didorong agar dapat dipenuhi oleh PDAM. Namun jika PDAM menyatakan tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut, maka yang dilakukan oleh pemerintah adalah membuat peraturan tentang tarif atas pemanfaatan air tanah yang adil dan menjamin konservasi dan pembatasan ekstraksi air tanah. Masalahnya memang kemudian pada apakah besaran tarif pajak yang berlaku sekarang sudah memenuhi rasa keadilan? Belum lagi masalah bagaimana mengubah pandangan bahwa membuat peraturan yang melarang ekstraksi air tanah adalah hal yang mustahil dan bahwa usaha mengurangi ekstraksi air tanah tidak mungkin dilakukan karena akan mengurangi keuntungan perusahaan pengekstraksi. Pendapatan dari sumber daya air terdiri dari empat macam pendapatan yaitu Pajak Daerah, Retribusi daerah, Laba BUMD dan Pendapatan lainnya berupa sumbangan pihak ketiga dari perusahaan

27

Dokumen APBD Perubahan Kabupaten Sukabumi tahun 2004-2008

93


pemanfaat air. Mekanisme sumbangan pihak ketiga dilakukan oleh Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sukabumi dari perusahaan pemanfaat air tanah yang besar. Maka mekanisme sumbangan pihak ketiga perlu dipertimbangkan sebagai salah satu upaya pengendalian pemanfaatan air tanah dikala pengenaan tarif dirasakan masih kurang berpihak pada kebutuhan konservasi lingkungan dan sumber daya air. Dilihat pada Grafik 1, potensi untuk memperoleh pendapatan dari sektor air masih terbuka lebar. Dengan penetapan peraturan yang tepat, penegakan hukum yang optimal serta pengelolaan keuangan daerah yang baik akan mengoptimalkan potensi pendapatan dari sektor air. Apabila melihat tingginya volume air tanah yang diekstraksi oleh perusahaan-perusahaan besar, maka sudah seharusnya pendapatan di sektor air diarahkan untuk mampu mengatasi dampak yang ditimbulkan. Seperti kebutuhan untuk anggaran kegiatan konservasi dan pemulihan sumber daya air mulai dari daerah imbuhan hingga pelepasan, anggaran untuk menjamin adanya distribusi air yang adil untuk memenuhi kebutuhan harian masyarakat dan irigasi pertanian rakyat, anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah asal pemanfaatan sumber air, serta pengembangan teknologi alternatif untuk memastikan adanya keseimbangan antara ketersediaan sumber daya air dengan kebutuhan ekstraksi. Dari ketiga wilayah penelitian, yaitu Klaten, Semarang dan Sukabumi, pendapatan sektor air yang paling tinggi adalah Kabupaten Sukabumi dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Untuk tahun 2006, pendapatan dari sektor air di Kabupaten Sukabumi mencapai Rp. 11,32 milyar, Kabupaten Klaten mencapai Rp. 5,62 miyar, sedangkan Kota Semarang hanya Rp. 1,31 milyar. Meskipun pendapatan sektor air Kabupaten Klaten terus mengalami peningkatan, nampak bahwa penerapan SK Gubernur Jawa tengah No 5 tahun 2003 menyebabkan hilangnya potensi pendapatan sektor air sebesar 70% dibandingkan dengan Kabupaten Sukabumi yang tidak mempunyai peraturan tentang pemotongan tarif pajak air tanah. Sedangkan untuk Kota Jakarta pendapatan sektor air tahun 2009 sebesar Rp. 80,19 milyar, angka yang jauh melebihi ketiga wilayah penelitian yang lain. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air tanah, yang sering disebut dengan pajak air tanah merupakan salah satu jenis pajak provinsi. Dan berdasarkan UU no 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maka sebesar 70% dari penerimaan pajak air tanah tersebut dikelola oleh pemerintah daerah tempat pemanfaatan air tanah. Sehingga bagi hasil pajak dari air tanah tersebut menjadi Pendapatan Asli Daerah yang bisa lansung dimanfaatkan oleh dinas yang terkait dengan asal pendapatan untuk dikelola sesuai kebutuhan dinas tersebut, dalam hal ini misalnya untuk konservasi air tanah.

94


Grafik 1. Pendapatan dari Sektor Air di 3 Kota/Kabupaten

90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

80.19

K laten S emarang S ukabumi J akarta

12.13 6.39 1.57

11.32 5.62 1.31 2006

12.39

7.13 1.93

2007

0

2008

2009

Belanja Sektor Air

Anggaran merupakan instrumen terpenting bagi pelaksanaan hak, sebab anggaran merupakan implementasi dari komitmen pemerintah untuk memastikan terpenuhinya hak lewat alokasi anggaran untuk pembiayaan program-program yang tepat dan menuju pada pemenuhan hak secara utuh. Pada Grafik 2 terlihat perbandingan belanja sektor air pada 4 wilayah penelitian, dan terlihat bahwa belanja sektor air DKI Jakarta jauh melebihi ketiga wilayah penelitian lain, walaupun prosentasenya terhadap total belanja daerah untuk tahun 2009 hanya mencapai 8,89%. Grafik 2. Belanja Sektor Air di 4 Wilayah

90 80.19

80 70 60 50 40 30 20

2.69 0

5.64 1.31 2006

K laten

12.39

12.13

11.32

10

1.57 2007

4.23

S emarang

1.93 2008

2009

S ukabumi

J akarta

95


Seperti telah disinggung sebelumnya, proses perencanaan dan penganggaran merupakan hasil proses teknokrasi dan politis. Sehingga besaran alokasi anggaran ke suatu program bisa sangat dipengaruhi oleh prioritas masalah, cara pandang terhadap masalah, pemahaman atau penguasaan tentang masalah dan proses politik yang terjadi antara eksekutif dan legislatif. Dan besarnya alokasi anggaran untuk sektor air tentu akan berbeda di tiap daerah. Apabila dilihat dari kecenderungan Belanja Daerah untuk sektor air, terlihat masih memprioritaskan pada pembangunan sarana fisik untuk eksploitasi atau pemanfaatan air. Hal ini ditunjukkan dari alokasi anggaran belanja paling besar terdapat pada Dinas Pekerjaan Umum, yang memang membiayai kegiatan pembangunan sarana fisik yang memperlancar kegiatan pemanfaatan air. Proyek fisik yang dijalankan oleh Dinas Pekerjaan Umum adalah sama seperti Kabupaten/kota lain, dalam tabel tentang prosentasi belanja air terhadap keselutuhan belanja daerah memperlihatkan bahwa alokasi belanja tertinggi adalah pada Dinas Pekerjaan Umum. Dengan alokasi sebedar ini, maka hanya menyisakan untuk dibagi-bagi ke dinas-dinas lain di tingkat.

Tabel 2. Prosentase Belanja Air berdasarkan Dinas/Sektor di Kabupaten Sukabumi28 No

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Dinas/sektor

Badan penelitian & perencanaan daerah Kantor kebersihan, pertamanan, dan pemakaman Dinas perikanan dan kelautan Dinas kehutanan Badan lingkungan hidup Dinas permukiman dan bangunan BPKAD Distamben Dinas PSDA Dinas Kesehatan Dinas Binamarga Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan

2004

2005

2006

2007

8,09

-

-

-

1,74

-

2,85

0,46

19,99 8,19 2,02 59,95 -

21,93 3,65 1,53 72,86 -

8,24 1,56 1,66 16,78 0,81 59,85 0,04 8,17 -

7,15 2,61 2,65 33,44 0,11 51,93 0,48 1,12

Dari tabel di atas terlihat bahwa prosentase belanja di sektor air pada tahun 2004 terbesar dialokasikan pada Dinas Permukiman dan Bangunan yaitu sebesar Rp 2.962.840.000,00 atau 59,95%. Sedangkan untuk tahun 2005-2007, alokasi belanja daerah terbesar adalah pada Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air. Dimana alokasi pada tahun 2005 terbilang sangat tinggi yaitu sebesar 72,86%, namun presentasenya terus menurun yaitu tahun 2006 sebesar 59,85% dan menurun lagi di tahun berikutnya menjadi sebesar 51,93%.

28

APBD Kabupaten Sukabumi tahun 2004-2007

96


Namun tingginya alokasi belanja sektor air pada Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air ini belum mencerminkan keberpihakan pada konservasi lingkungan. Sebab proyek dalam Dinas PSDA yang mendapat pembiayaan bersifat fisik seperti peningkatan & perbaikan jaringan irigasi, pembangunan embung, rehabilitasi jaringan irigasi, perbaikan jaringan irigasi akibat bencana. Namun yang masih menjadi cacatan adalah walaupun sudah terdapat alokasi untuk sektor air yang semakin meningkat di beberapa wilayah namun masih belum menyentuh kebutuhan untuk melaksanakan konservasi sumber daya air secara terintegrasi. Baik karena anggaran yang ada masih melulu berbicara tentang pembangunan fisik, juga belum terlihat keterpaduan antar sektor dalam memahami pentingnya alokasi anggaran di sektor air untuk kepentingan konservasi. Dalam hal belanja, manajemen air tanah saat ini menunjukkan banyak alokasi belanja yang salah sasaran. Alokasi anggaran belanja didominasi belanja dari dinas pengelolaan sumber daya air, yang sifatnya untuk proyek untuk mengeksploitasi air lebih banyak. Demikian juga alokasi untuk dinas lainnya, porsi belanja untuk mengembalikan air tanah yang diekstraksi berlebihan dan konservasi - seperti untuk pembuatan sumur injeksi, ruang terbuka hijau, dan konservasi daerah tangkapan air - prosentasinya sangat kecil. Perlu dipikirkan mekanisme anggaran belanja untuk konservasi dari satu wilayah administratif untuk kegiatan konservasi di wilayah administratif lain. Minimnya keberpihakan pengambil kebijakan wilayah pada masalah konservasi sumber daya alam, akan berdampak pada proses perencanaan dan penganggaran pembangunan. Hal ini menjadi sangat penting untuk disadari sebab anggaran merupakan instrumen terpenting pada pemenuhan hak. Sehingga melakukan pemantauan terhadap proses perencanaan hingga penetapan anggaran menjadi penting untuk dilakukan. Pemahaman akan tiap tahapan prosesnya akan menentukan strategi advokasi yang akan dipilih.

Pengelolaan Sumber Daya Air

Seperti yang nampak dalam paparan data di atas, bahwa yang terjadi di Kabupaten Sukabumi adalah besarnya akses sektor swasta atas pemanfaatan sumber daya air dan menyebabkan tertutupnya atau minimny akses penduduk sekitar lokasi sumber air. Baik dalam akses air maupun distribusi keuntungan dari pemanfaatan sumber daya air tersebut. Peran Pemerintah kabupaten disini tidak lebih dari pembuka dan penjaga pintu gerbang kepentingan para investor dan semakin meminggirkan penduduk dari proses pengambilan keputusan atas sumber daya alam di daerahnya. Air merupakan hak setiap orang dan harus dapat diakses secara adil oleh masyarakat, sehingga akses pada air tidak boleh diserahkan pada kekuatan pasar. Akan timbul dampak mendasar yang terlampau buruk, yaitu mengenai siapa kebagian air (hanya mereka yang mampu membayar), dampak keputusan (yang menyangkut air) pada lingkungan (kekeringan, menurunnya muka air, mengeringnya mata air/ sumber air, menurunnya permukaan sungai), sosial (perubahan struktur masyarakat, sistem nilai, relasi sosial-ekonomi, relasi kultural manusia-alam) serta sederet masalah lain. Tujuan dari sektor swasta (perusahaan) adalah akumulasi modal yang tidak menyisakan tempat bagi kepentingan publik dan keberlangsungan laingkungan. Seharusnya mekanisme pajak air tanah menjadi alat bagi pemerintah untuk mendistribusikan akses atas air pada masyarakat, khususnya di sekitar lokasi sumber air secadar adil, dan memanfaatkan sebagian keuntungan operasi perusahaan pemanfaat sumber daya air untuk menjamin kelestarian sumber daya alam. Regulasi seharusnya menjadi cara untuk memasukkan kepentingan publik dalam kontrak (ijin) pemanfaatan sumber daya alam kepada swasta.

97


Dan pelibatan masyarakat dalam proyek-proyek pemanfaatan sumber daya alam harus terus didorong, sehingga masyarakat bisa ikut dalam proses pengambilan keputusan strategis, melakukan monitoring dan evaluasi terkait pemanfaatan sumber daya alam di daerahnya. Sehingga masyarakat Kabupaten Sukabumi, khususnya, tidak mengalami kekeringan di tanahnya yang kaya akan sumber daya air tersebut.

98


Penelitian Pendapatan dan Belanja Sektor Air di Kabupaten Wonosobo Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Wonosobo terletak di Provinsi Jawa Tengah dan berjarak 120 Km dari ibu kota provinsi yaitu Kota Semarang. Kabupaten Wonosobo terletak di wilayah yang cukup tinggi dibanding wilayah lain di Jawa Tengah yaitu berkisar antara 270 meter sampai dengan 2.250 meter di atas permukaan laut. Wilayah Wonosobo terletak dibagian tengah-tengah dan berbatasan dengan beberapa kabupaten tetangga; sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Kendal dan Batang, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Temanggung dan Magelang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Kebumen dan Purworejo, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara dan Kebumen. Sektor pertanian adalah andalan utama kabupaten yang terdiri atas 13 kecamatan itu. Sektor ini memberi kontribusi yang cukup besar bagi kegiatan ekonomi Kabupaten Wonosobo dari tahun ke tahun. Sebagai daerah yang terletak di sekitar gunung api muda, tanah di Wonosobo tergolong subur. Hal ini sangat mendukung untuk pengembangan pertanian sebagai mata pencaharian utama masyarakat Wonosobo. Banyaknya gunung di Wonosobo juga menjadi sumber mata air yang mengalir ke beberapa sungai seperti Serayu, Bogowonto, Kali Putih, Kali Semagung dan Luk Ulo. Sumber air yang ada di Wonosobo juga dimanfaatkan oleh wilayah sekitarnya. PDAM Temanggung misalnya memanfaatkan air dari Kabupaten Wonosobo untuk pasokan air bagi pelanggannya. Sayangnya berbagai mata air yang ada belakangan mengalami masalah yang serius, beberapa telah mengering dan banyak yang debitnya berkurang secara signifikan. Kepala Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Wonosobo Dwiyama mengatakan, krisis air menjadi masalah serius. Khusus di Dieng saja, saat ini 125 dari 500 mata air telah mati. Sisanya, kalau tidak sumbernya surut, debit airnya pun turun saat kemarau. �Sabuk-sabuk hijau kawasan pegunungan nyaris tidak lagi terbentuk, gundul dan tandus,�29 PDAM Kabupaten Temanggung merasakan benar bahwa suplai dari mata air berkurang. PDAM Temanggung selama ini memperoleh air dair 14 sumber air, dan 12 mata air di antaranya terletak di lereng Gunung Sindoro-Sumbing. Dan biasanya pada bulan Januari atau Februari, air di bak penampung sudah meluap akan tetapi pada tahun 2008, tandon air baru meluap pada Bulan Maret. Menurut berbagai nara sumber yang dihubungi, merosotnya debit air terjadi karena penggundulan hutan dan penjarahan kayu di kawasan hutan di lereng Gunung Sumbing. Penjarahan kayu marak terjadi pada saat krisis ekonomi tahun 1998. Karena tidak terkendali, Perhutani akhirnya membuka kesempatan bagi warga bercocok tanam sayur-mayur di kawasan hutan, dengan syarat pada bagian terasering harus ditanami dengan tegakan kayu. Kesepakatan ini sempat dipatuhi oleh warga. Namun, setelah tumbuh semakin tinggi dan besar, pohon-pohon itu akhirnya kembali ditebang oleh masyarakat, dan pedesaan dataran tinggi Wonosobo kembali gundul. Akhirnya dalam lima tahun terakhir Perhutani menutup kawasan Gunung Sindoro untuk warga dan melakukan penanaman bibit pohon dengan melibatkan

29

Menjaga Gunung, Menjaga Air. Kompas 24 Desember 2008.

99


warga. Dan dari observasi lapangan yang dilakukan tim peneliti, secara kasat mata, penghijauan ini sekarang telah mulai terlihat hasilnya.

Peraturan dan Kelembagaan tentang Air Tanah

Peraturan tentang air tanah yang berlaku untuk Kabupaten Wonosbo adalah : 1. Perda Provinsi Jawa tengah No 6 tahun 2002 tentang Pengambilan Air Bawah Tanah 2. Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Tengah No 5 tahun 2003 tentang Nilai Perolehan dan Harga Dasar Air untuk Menghitung Pajak Pengambilan Air Bawah Tanah, mencantumkan adanya potongan pada wajib pajak air bawah tanah sebesar 70%, sehingga wajib pajak hanya perlu membayar 30% dari penetapan nilai pajak. 3. Keputusan Gubernur Jateng No. 188.3/02/2003 tentang Petunjuk Teknis Perhitungan Nilai Perolehan dan Harga Dasar ABT. 4. Keputusan Gubernur Jateng No. 073/155 Tahun 2004 tentang Pemberian keringanan Pajak Pengambilan ABT kepada PDAM di Provinsi Jawa Tengah sebesar 10-20%

Pendapatan dan Belanja Sektor Air

Pendapatan dari sektor air di Kabupaten Wonosobo paling besar disumbang dari pajak air bawah tanah dan air permukaan. Nilainya dari data dapat kami peroleh terus naik secara konstan. Pendapatan dari laba BUMD di sektor air tidak pernah diperoleh oleh pemerintah daerah karena perusahaan daerah air minum di kabupaten tersebut masih belum dapat membukukan keuntungan. Pada tahun 2004 dan 2005, pemerintah daerah memperoleh pendapatan yang cukup besar dari retribusi kolam renang yang ada di daerah tersebut. Pada tahun 2005, nilainya mencapai Rp 392 juta akan tetapi pada tahun-tahun berikutnya dalam dokumen APBD pendapatan jenis ini tidak lagi kami temukan. Hal ini membuat keseluruhan jumlah pendapatan dari sektor air yang sempat naik secara signifikan pada tahun 2005 menjadi turun pada tahun-tahun berikutnya. Dari penelusuran berita di surat kabar diketahui bahwa tahun 2005 diselenggarakan kejuaraan renang oleh Persatuan Renang Seluruh Indonesia dengan dukungan dari PT. Tirta Investama (produsen air minum dalam kemasan merek Aqua). Kejuaraan renang tersebut disebut Aqua Cup. Di Desa Mangli, Wonosobo, PT Tirta Investama (PT. TI) telah beroprasi sejak tahun 2001, lebih dahulu dibanding operasi perusahaan tersebut di Kabupaten Klaten. Berbeda dengan di Kabupaten Klaten, dimana pemerintah daerah memperoleh pendapatan yang cukup besar dari sumbangan PT TI, di Wonosobo perusahaan hanya memberikan sumbangan yang sangat kecil kepada pemerintah daerah yaitu Rp 15 juta setiap tahunnya. Jumlah sumbangan ini tidak naik dari tahun ke tahun meskipun jumlah air yang digunakan naik dari tahun ke tahun. Sumbangan ini pun hanya terdokumentasi secara jelas pada APBD tahun 2005 saja. Pada tahun sebelum dan sesudahnya tidak ada satupun catatan pada APBD yang menunjukkan bahwa PT TI menyampaikan sumbangan pihak ketiga kepada pemerintah daerah.

100


IV

III

II

I

4.1

3.1

2.1

1.1 1.2 1.3

Ayat

JUMLAH PENDAPATAN DAERAH DARI SEKTOR AIR JUMLAH KESELURUHAN PENDAPATAN DAERAH

POS PENERIMAAN DARI PROPINSI Pajak Air bawah Tanah Pajak Air Permukaan JUMLAH PENERIMAAN DARI PROPINSI

BAGIAN LAIN2 PENERIMAAN YANG SAH Sumbangan Pihak Ke Ketiga Sumbangan PT. Tirta Investama JUMLAH PENERIMAAN LAIN YANG SAH

POS BAGIAN LABA BUMD/PERUSDA PDAM JUMLAH POS BAGIAN LABA BUMD

PENDAPATAN ASLI DAERAH RETRIBUSI DAERAH Retribusi MCK Pemancingan Kolam renang/Pemandian JUMLAH RETRIBUSI DAERAH

Jenis Pendapatan

644.353.500 305.328.040.000

293.714.708.000

236.356.000

236.356.000

15.000.000 15.000.000

0 0

33.615.000 10.000.000 349.382.500 392.997.500

2005

160.800.000

0 0 0

0 0

60.800.000 3.000.000 97.000.000 160.800.000

2004

na

na

na

na na na

2006

527.957.749.000

356.407.000

179.353.000 68.439.000 247.792.000

0 0

108.615.000 0 0 108.615.000

2007

PENDAPATAN DAERAH DARI SEKTOR AIR KABUPATEN WONOSOBO

101

594.789.100.000

384.265.000

184.474.000 91.176.000 275.650.000

0 0

108.615.000 0 0 108.615.000

2008

Dalam Ribuan


Hal ini menunjukkan bahwa pencatatan atau proses adminstrasi pada pemerintah daerah Kabupaten Wonosobo kurang cermat karena tim peneliti saat bertemu dengan Edi Suprayitno, kepala bagian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kabupaten Wonosobo, ditunjukkan bukti penerimaan sumbangan dari PT TI yang dari tahun ke tahun jumlahnya memang tidak pernah naik. Edi sendiri mengaku Dispenda tak bisa berbuat banyak. Sumbangan sejumlah Rp. 15 juta per tahun itu sudah berlangsung sejak PT TI didirikan dan ia tinggal melanjutkan. Pihaknya juga pernah mengusulkan agar sumbangan dari PT TI dinaikkan, tetapi hal ini ditolak karena PT TI mengaku sulit menyisihkan keuntungan dari biaya operasional yang besar. Beberapa pertemuan serupa hasilnya juga mentah. Selain itu, Edi juga tak yakin dengan mekanisme sumbangan dari PT TI ke pemerintah daerah. Pasalnya, tak seperti daerah lain, di Wonosobo PT TI tak “membeli” air dari pemerintah daerah tetapi dari PDAM. “Aqua bayarnya ke PDAM. Berapa jumlahnya, saya tak tahu. Tetapi semestinya besar,” papar Edi. Tetapi PDAM selama ini juga tak memberi sumbangan ke pemerintah daerah. “Mereka selalu mengaku rugi. Padahal itu perhitungannya kan laba yang telah dikurangi dengan utang ke Departemen Keuangan. Ya jelas rugi terus,” jelas Edi. Kalaupun ada sumbangan, baru dimulai tahun ini dengan jumlah hanya Rp. 250 juta. Setelah itu ada pula rencana untuk menaikkan sumbangan menjadi Rp. 1 milyar. Tetapi realisasinya belum ada.

Belanja Sektor Air

Data belanja yang akurat yang berhasi kami peroleh dari Pemerintah Kabupaten Wonosobo adalah data tahun 2007 dan 2008. Data tahun sebelumnya kami dapatkan akan tetapi saat dilakukan verifikasi terhadap data-data tersebut ditemukan beberapa ketidaklengkapan informasi sehingga dalam analisis kami hanya menggunakan data tahun 2007 dan 2008. Pada tahun 2007, belanja terkait sumber daya air hanya menyerap sekitar 3,7% dari keseluruhan anggaran belanja. Persentase ini menurun pada tahun berikutnya, dimana untuk belanja terkait sumber daya air, pemerintah kabupaten hanya mengalokasikan 2,3% dari anggarannya. Penurunan anggaran ini disebabkan pada tahun 2007 ada proyek besar pembangunan sarana air bersih perdesaan yang selesai pembangunannya pada tahun tersebut. Seperti yang terjadi di daerah lain, anggaran terbesar digunakan oleh Dinas Pekerjaan Umum (DPU) dan sebagian besar untuk kegiatan-kegiatan fisik peningkatan penyediaan air bersih dan irigasi. Jenis belanja DPU adalah pembangunan saluran drainase atau pembuangan air, pemeliharaan jaringan irigasi, pembangunan prasarana air bersih perdesaan, penyediaan sarana

102


air bersih dan sanitasi dasar masyarakat miskin, konstruksi jaringan air dan pengelolaan ruang terbuka hijau. Meskipun hanya mengalokasikan 1% dari anggarannya untuk mengelola ruang terbuka hijau, hal ini patut mendapat perhatian karena di daerah penelitian yang lain, hal ini jarang sekali dilakukan oleh DPU. Yang juga cukup menarik adalah 1% nilai anggaran DPU Kabupaten Wonosobo ini ternyata nilainya lebih besar dibanding keseluruhan anggaran Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang terkait dengan pelesatarian hutan, dimana 1% anggaran DPU nilainya Rp 200 juta sementara keseluruhan anggaran Dinas Kehutanan dan Perkebunan untuk rehabilitasi hutan hanya Rp 115 juta. Alokasi belanja terkait dumber daya air di Kabupaten Wonosobo digunakan Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kehutanan – Perkebunan, Dinas Pertanian, Dinas Kesehatan dan Badan Perencanaan Daerah.

Chart 1 : Prosentase belanja air Kab. Wonosobo tahun 2007

11.55

20.4

2.35 0.63

Dinas Kehutanan badan Pernc Daerah DPU Dinas Pertanian Dinas Peternakan

84.63

103


Chart 2 : Prosentase belanja air Kab. Wonosobo tahun 2008

4.41

DPU

0.56

10.33

Disnakertrans

3.32

Dinas Pertanian Dinas Peternakan& Perikanan Dinas Kesehatan 81.38

104


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.