menafsir ‘demokrasi konstitusional’: pengertian, rasionalitas dan status demokrasi konstitusional Indonesia pasca amandemen UUD 1945 menurut MK
Pengantar : Abdul Mukthie Fadjar (mantan Hakim Konstitusi) Editor: Muji Kartika Rahayu
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) 2014
menafsir ‘demokrasi konstitusional’: pengertian, rasionalitas dan status demokrasi konstitusional Indonesia pasca amandemen UUD 1945 menurut MK Hak cipta dilindungi undang-undang dilarang memproduksi atau memperbanyak baik seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk dan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit Koordinator Peneliti: Triya Indra Rahmawan Anggota Tim Peneliti : RM. Miharadi, Purnomo S. Pringgodigdo, Wahyudi Djafar, dan Ainul Yaqin Editor: Muji Kartika Rahayu Supervisor : B.Herry-Priyono (STF Diyarkara Jakarta) Reviewer: M. Ali Syafaat (Fak.Hukum Univ. Brawijaya Malang) Robertus Robet (Univ. Negeri Jakarta) Kata Pengantar : Abdul Mukthie Fadjar (mantan Hakim Konstitusi) Desain Sampul & Tata Letak: Ozzy
Diterbitkan oleh: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN)
Demokrasi Konstitusional
Pengantar
Reformasi Konstitusi di Indonesia sebagai buah dari gerakan reformasi 1998 yang tercermin dalam Perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali (1999-2002) telah membawa perubahan besar dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia dengan pergeseran orientasi dari supremasi institusi (MPR) ke supremasi konstitusi. Sebagai konsekuensinya, seluruh tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus merujuk dan bersumber kepada Konstitusi (UUD 1945) sebagai hukum yang tertinggi, sehingga diperlukan suatu institusi yang berfungsi menjaga konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan demikian, raison d’etre MK, sebagaimana tersebut dalam Penjelasan Umum UU MK (UU 24/2003 yang telah diubah dengan UU 8/2011) adalah “sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketetanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi”. Dalam tulisan saya yang berjudul “Sang Penjaga atawa Penjagal Konstitusi? (Sebuah Catatan Ringan Setahun MKRI), 2004, saya kemukakan bahwa “menjadi penjaga iii
Demokrasi Konstitusional
atau pengawas konstitusi bukan seperti aparat keamanan (polisi, satpam, hansip, dll) yang juga berfungsi menjaga sesuatu yang ditugaskan atasan untuk dijaganya, dengan sangat kaku dan formal berdasarkan juklak dan juknis atau protap (prosedur tetap), tetapi menjaga/mengawal konstitusi harus dengan kecerdasan, kreativitas, dan wawasan keilmuan yang luas, serta kearifan yang tinggi sebagai negarawan�, yang merupakan salah satu persyaratan bagi hakim konstitusi [vide Pasal 24C ayat (5) UUD 1945]. Berdasarkan raison d’etre MK tersebut di atas, maka MK diberi kewenanagan konstitusional untuk menguji konstitusionalitas suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945, selain kewenangan untuk memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, dan memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden [vide Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945]. Bagi saya, lima kewenangan konstitusional MK tersebut di atas merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam memfungsikan MK sebagai penjaga konstitusi, pelindung hak asasi manusia (HAM), dan pengontrol demokrasi dalam rangka equilibrium antara demokrasi dan nomokrasi, atau dengan kata lain untuk mewujudkan demokrasi konstitusional di Indonesia. iv
Demokrasi Konstitusional
Dalam satu dasa warsa pertama kehadiran MK (2003-2013), dengan segala keterbatasan dan kekurangannya, MK telah menunjukkan kemampuannya untuk berperan mengembangkan pemikiran dan perwujudan demokrasi konstitusional di Indonesia, khususnya melalui kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945, meskipun barangkali MK sendiri beserta para hakimnya tidak pernah berpretensi dan menyadari bahwa putusan-putusannya terkait dengan lembaga perwakilan, partai politik, pemilu dan penyelenggara pemilu, serta lain-lain terkait dengan kehidupan demokrasi, telah berimplikasi luas bagi kehidupan demokrasi konstitusional di Indonesia. Penelitian KRHN yang berjudul “Menafsir ‘Demokrasi Konstutusional’: Pengertian, Rasionalitas, dan Status Demokrasi Konstitusional pasca Amandemen UUD 1945 oleh MK” yang mengangkat tiga pertanyaan penelitian: 1) Apa pengertian demokrasi Konstitusional?, 2) Apa rasionalitas yang mendasari pengertian MK tentang demokrasi konstitusional?, dan 3) Apa status demokrasi konstitusional saat ini?, kiranya harus menggugah MK dan para hakim MK akan kesadaran bahwa betapa sangat strategisnya posisi MK dalam mengembangkan demokrasi konstitusional Indonesia. Tatkala para hakim konstitusi generasi pertama (2003-2008) telah meletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi MK dengan rumusan visinya “Tegaknya konstitusi dalam v
Demokrasi Konstitusional
rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat”, serta mengemban misi “Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang modern dan terpercaya” dan “Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi” telah menghasilkan putusan-putusan yang dapat dikategorikan “landmark” dan para hakim MK generasi kedua (2008-2013) yang mengembangkan keadilan yang bersifat substantif dan tidak semata-mata keadilan prosedural, kiranya para hakim konstitusi generasi berikutnya mampu lebih mendekatkan perwujudan Visi dan Misi MK dengan mengembangkan pemikiran untuk menangkap “the moral massage of the Constitution” (vide Ronald Dworkin, 1996). Apabila MK beserta para hakim konstitusi mampu mengembangkan pendekatan yang lebih bersifat antroposentris (vide Satjipto Rahardjo dengan paradigma hukum progesifnya) dan berperspektif konsumen (Edmond Cahn) dengan menangkap pesan moral UUD 1945 sebagai sebuah monumen kemanusiaan, kiranya putusan-putusan MK terkait pengembangan demokrasi konstitusional, apakah hanya dalam skala minimalis ataupun maksimalis tentulah lebih dahsyat, sehingga problema yang kini melilit MK yang menurut pengamatan saya memang ada “grand design” untuk mendowngrading MK kiranya akan vi
Demokrasi Konstitusional
tertepis dengan putusan-putusan yang ratio decidendi-nya brilian. Sebagai sebuah institusi baru (menapak usia 11 tahun), sebagaimana institusi-institusi baru lainnya seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Komisi Yudisial (KY), MK memang masih banyak menghadapi masalah, baik dalam pelembagaannya (mekanisme rekrutmen hakim, masa tugas para hakim yang dibatasi usia dan periodisasi lima tahunan, mekanisme pengawasan, dll), maupun terkait dengan hukum acara yang diatur dalam UU MK yang cenderung ingin mereduksi kewenangan konstitusional MK (ingat misalnya Pasal 50 UUMK 24/2003 dan Pasal 45A UU 8/2011, juga UU 4/2014 yang berasal dari Perppu 1/2013 sebelum dibatalkan MK) yang telah “memaksa� MK seolah-olah telah mengadili dirinya sendiri (jeruk minum jeruk). Bahkan Konstitusi (UUD 1945) yang harus dijaga oleh MK pun masih terus menerus dipermasalahkan dan ingin diubah lagi atau dikembalikan ke UUD 1945 yang asli, belum lagi resistensi terangterangan atau diam-diam dari pihak yang merasa terancam oleh putusan-putusan MK terkait upaya penyehatan kehidupan demokrasi konstitusional. Terlepas dari berbagai permasalahan krusial yang dihadapi MK dan ‘prahara’ yang sedang melilit MK, laporan penelitian KRHN ini beserta berbagai hasil penelitian akademik dalam bentuk desertasi, tesis, skripsi, vii
Demokrasi Konstitusional
dll yang mengambil objek kajiannya MK beserta putusanputusannya, baik yang sifatnya deskriptif, maupun yang analitis kritis akan memperkaya khazanah pemikiran untuk mengembangkan MK lebih baik di masa depan. MK yang dulu dininabobokkan oleh publik dengan ungkapan “untung ada MK”, lalu bergeser ke cemohan tatkala MK dalam kesulitan dengan ungkapan “gara-gara MK”, harus dibuktikan oleh MK beserta para hakimnya bahwa “alhamdulillah ada MK”, sehingga kehadiran MK memang dibutuhkan dan perlu. Saya ucapkan selamat kepada KRHN beserta para penelitinya atas Laporan Hasil Penelitian yang sangat berbobot ini. Sukses KRHN!
Malang, 20 Februari 2014 Abdul Mukthie Fadjar
viii
Demokrasi Konstitusional
Pengantar Penerbit Riset ini awalnya didorong oleh keinginan-keinginan ‘nonilmiah’ yang kuat untuk melihat sisi lain dari ‘kedigdayaan’ MK. Normatif-nya putusan MK itu final dan mengikat. Kesan-nya, MK adalah lembaga yang terpercaya. Bersidang di MK -apalagi jika permohonan dikabulkan- pertanda anda orang pandai, bukan pemburu kemenangan dan bermartabat. Kami tergoda untuk menelisik apakah argumentasi dalam putusan memang menunjang ‘keperkasaan’ itu? Apakah benar tidak ada kepentingan yang tersimpan dibalik argumentasi dalam putusan? Apa kontribusi putusan MK bagi proses konsolidasi demokrasi saat ini? Setelah membaca beberapa penelitian tentang putusan MK, kami pun berkeinginan untuk melakukan pendekatan yang berbeda dari penelitian-penelitian tentang putusan MK yang sudah ada. Selama proses penelitian sesungguhnya lebih banyak frustrasi dibandingkan optimis, apa iya riset ini akan nyampek pada apa yang kami obsesikan sendiri? Ketika proposal penelitian lolos dari seleksi di TIFA bukan berarti dia lolos dari cercaan supervisor. Frustrasi pertama ketika kami membaca komentar Rm Herry (panggilan untuk B. Herry-Priyono) yang intinya menulis: “Saya tidak mengerti apa yang ingin kamu cari, tapi silakan saja dilanjutkan, nanti dalam perjalanan sambil diperbaiki”. Frustrasi kedua ketika kami membaca komentar dari Pak Billah (panggilan untuk Bpk. M.M. Billah), yang memberikan komentar yang lebih banyak dari jumlah halaman ix
Demokrasi Konstitusional
proposal. Mulai judul sampai penutup, mulai pilihan kata sampai tanda baca. Setelah diskusi dengan kedua pakar tersebut, kami berkesimpulan untuk meninggalkan desain riset dan terus saja karena di tengah jalan nanti pasti terjadi perubahan-perubahan. Benar, sampai penelitian ini selesai, tidak kurang dari delapan kali kami mengubah pertanyaan penelitian dan metode. Bahkan ketika sudah sampai kesimpulan kami masih merevisi desain riset. Dengan berjalannya proses penelitian, satu demi satu tonggak limitasi kami tancapkan. Fokus pada isu kepemiluan dengan resiko lebih heavy ke demokrasi prosedural, padahal sudah muncul komentar-komentar negatif tentang putusan MK dalam isu demokrasi substansial. Fokus pada substansi putusan, dengan resiko nampak naĂŻf, mengingat sudah mulai berkembang diskusi tentang faktor-faktor non-substansi yang mempengaruhi putusan MK, seperti latar belakang hakim, kondisi internal kelembagaan MK, desakan publik, dan lain-lain. Bahkan pada saat penelitian ini hampir selesai, badai menimpa MK dengan peristiwa ditangkapnya Ketua MK (Akil Mochtar) yang sedang menerima suap di rumah dinasnya. Sontak kepercayaan publik terhadap MK pun rontok. Tentu menimbulkan keraguan kami, tidakkah penelitian yang contextless ini akan kehilangan relevansinya.? Akhirnya penelitian ini fokus pada tiga pertanyaan penelitian, yaitu: (i) apa pengertian demokrasi konstitusional menurut MK; (ii) bagaimana MK menalar pengertian demokrasi konstitusional; dan (iii) apa status demokrasi saat ini dan apa konsep yang disumbangkan oleh MK bagi masa depan demokrasi di Indonesia? Adapun metode yang digunakan adalah ‘generalisasi induktif’, intinya data-data yang bersumber dari putusan x
Demokrasi Konstitusional
MK itu diabstraksikan ke tema-tema yang general dan mendasar. Ada 5 (lima) temuan utama dalam penelitian ini. Pertama, MK memisahkan materi-materi yang menjadi isu konstitusional dan isu open legal policy. Pemisahan ini tidak ditujukan sebagai kategori konseptual melainkan kategori otoritas, apakah MK berwenang atau tidak berwenang memutuskan permohonan. Namun dari pemisahan tersebut penelitian ini menemukan konsep konstitusionalitas norma dan legalitas norma. Kedua, ada lima ciri demokrasi konstitusional menurut MK, yaitu: (i) perlindungan hak politik, (ii) penyelenggara pemilu yang mandiri, (iii( pemisahan antara Pemilu dan Pemilukada, (iv) Parpol memiliki posisi yang lebih kuat disbanding perorangan dan (v) prinsip check and balances antara legislatif dan eksekutif. Keempat, MK menggunakan nalar ‘sarana-tujuan’ (means to end) atau nalar instrumental. Ada dua bentuk penerapan nalar instrumental ini, yaitu: (i) demokrasi prosedural merupakan sarana untuk mempertahakankan konstitusional. (ii) demokrasi konstitusional sebagai sarana untuk mempertahakan prinsip-prinsip konstitusional. Kelima, kita sedang berada dalam status demokrasi yang belum ideal. Jika di-analogkan dengan skala 0-1 (0=paling belum ideal, 1=paling ideal), penelitian ini menetapkan status saat ini adalah 0,4. Yang paling menakutkan ketika melakukan riset ini adalah: “apakah penelitian ini nyampek pada tujuan (ingin menemukan wawasan mendalam (insight) tentang ‘demokrasi konstitusional’ menurut MK)?”. Sialnya, ketakutan itu dikonfirmasi oleh supervisor. Untungnya, supervisor sekaligus memberikan obat mujarab, yaitu mengubah rumusan tujuan penelitian (menjadi: mengidentifikasi tafsir MK terhadap ‘demokrasi xi
Demokrasi Konstitusional
konstitusional’). Namun, pada akhirnya yang menghentikan penelitian ini bukan apakah kami sudah nyampek pada apa yang ingin ditemukan, melainkan keterbatasan waktu. Kami harus menyelesaikan laporan penelitian tepat waktu. Kami mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang besar kepada semua pihak yang terlibat dalam penelitian ini. Mas Heryadi yang berinisiatif untuk memulai penelitian ini. Rm Herry yang masukannya membuat kepala kram tapi sekaligus memacu semangat. Pak Billah yang memberikan masukan yang detil. Mas Robet yang mengajak kami ‘bertamasya’ ke belantara teori politik. Syafaat yang hafal setiap lorong-lorong isu konstitusi. Pak Mukthie Fadjar yang bersedia memberikan Kata Pengantar. Semua tim peneliti: Mas Mihradi, Wahyudi, Purnomo, Indra, Ainul yang tetap semangat bekerja dalam kondisi krisis dan depresi. Kami juga berkonsultasi dengan teks-teks yang ditulis oleh Jimly Assidiqie, Robert Dahl, Herbert Feith, J. Sudarminta, dan lain-lain. Hormat kami kepada para penulis buku-buku tersebut. Akhir kata, kami makin sadar bahwa penelitian ini bukan hal baru dalam studi tentang konstitusi di Indonesia, tetapi hal baru bagi kami sebagai peneliti pemula. Semoga bermanfaat. Jakarta, Februari 2014 Muji Kartika Rahayu Ketua Badan Pengurus KRHN
xii
Demokrasi Konstitusional
Daftar Isi ISI Pengantar Abdul Mukthie Fadjar (Mantan Hakim Konstitusi) Pengantar Penerbit Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Singkatan Ringkasan Bab I : Mengapa merujuk pada putusan MK? A. Latar Belakang B. Rumusan masalah C. Hasil yang diharapkan D. Metode Penelitian E. Hipotesis F. Sistematika Penulisan Bab II : MK dan pembangunan ‘demokrasi konstitusional’ A. Pengantar B. Mengkonseptualisasikan Demokrasi B.1. Demokrasi Prosedural atau Elektoral atau Minimalis B.2. Demorkasi Partisipatif
HALAMAN iii ix xviii xx xxi xxv 1 8 8 8 18 18 21 22 24 28 xiii
Demokrasi Konstitusional
B.3. Poliarkhi : Demokrasi yang tidak sempurna B.4. Demokrasi Liberal B.5. Demokrasi Deliberatif B.6. Demokrasi Konstitusional C. Menilai Kualitas Demokrasi C.1. Penilaian dari posisi negara C.2. Penilaian dari posisi warga C.3. Penilaian dari gabungan posisi negara dan warga D. Menalar Demokrasi D.1. Demokrasi menghadapi krisis internal D.2. Demokrasi berhadapan dengan konsep kepentingan D.3. Demokrasi berhadapan dengan proyek nasionalisme E. MK dalam agenda transisi demokrasi F. Kesimpulan Bab III: Ciri (prosedural) demokrasi konstitusional A. Pengantar B. Tafsir MK terhadap demokrasi elektoral B.1. Putusan MK tentang independensi penyelenggara pemilu
xiv
29 32 33 37 42 43 44 46 49 50 55 56 58 66 69 70 70
Demokrasi Konstitusional
B.1.1. Penyelenggara Pemilu bukan hanya KPU B.1.2. Bawaslu merekrut sendiri petugas Pengawas Pemilu B.1.3. Dewan Kehormatan adalah Penyelenggara Pemilu yang mandiri B.2. Putusan MK tentang proses penyelenggaraan Pemilu B.2.1. Tata-cara pemungutan suara B.2.2. Penyelenggaraan Pemilu yang bertahap B.3. Putusan MK tentang Pilkada B.4. Putusan MK tentang Partai Politik B.5. Putusan MK tentang ambang batas (threshold) B.6. Putusan MK tentang lembaga perwakilan rakyat B.6.1 Sistem kamar di parlemen B.6.2. Posisi DPD B.6.3. Hak angket DPR B.6.4. Hak menyatakan pendapat DPR B.7. MK memisahkan masalah konstitusi dan open legal policy C. Kesimpulan: 5 ciri (prosedural) demokrasi konstitusional
71 74 73 80 80 81 84 89 96 101 102 106 109 111 117 121
xv
Demokrasi Konstitusional
Bab IV : Ciri (substansial) demokrasi konstitusional A. Pengantar B. Tafsir MK terhadap hak berpolitik warga B.1. Hak memilih bagi pemilih yang tidak terdaftar di DPT B.2. Hak politik bagi mantan narapidana politik B.3. Hak dipilih bagi mantan terpidana non-politik B.4. Hak politik PNS dan anggota TNI/Polri B.5. Hak (khusus) politik bagi perempuan dan Papua B.5.1. Kebijakan afirmatif bagi perempuan B.5.2. Kebijakan afirmatif bagi orang asli Papua B.6. Hak untuk menjadi calon pejabat eksekutif B.6.1. Calon kepala daerah (secara) independen B.6.2. Calon presiden (tidak) independen B.7. Hak untuk mengawasi pemerintahan B.8. Hak untuk menyatakan pendapat xvi
127 128 128 131 133 136 138 139 143 148 149 155 158 159
Demokrasi Konstitusional
C. Kesimpulan: 1 ciri demokrasi konstitusional Bab V : ‘demokrasi konstitusional’ Indonesia pasca amandemen UUD 1945 A. Pengantar B. Pengertian ‘demokrasi konstitusional’ menurut MK C. MK menalar ‘demokrasi konstitusional’ C.1. Demokrasi prosedural sebagai sarana bagi demokrasi substansial C.2. Demokrasi konstitusional sebagai sarana bagi prinsip-prinsip konstitusional C.2.1. Demokrasi konstitusional sebagai pilar bagi prinsip negara hukum (rule of law) C.2.2. Demokrasi konstitusional sebagai senjata untuk mempertahankan prinsip negara kesatuan (NKRI) C.2.3. Demokrasi konstitusional sebagai penjaga Republik D. Status ‘demokrasi konstitusional’ saat ini Daftar Pustaka Indeks Profil Peneliti
164
169 169 189 190 194 195 200
202 204 211 220 227 xvii
Demokrasi Konstitusional
Daftar Tabel NOMOR Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 xviii
ISI Pengelompokan data berdasarkan tipologi demokrasi Perbandingan ketentuan mengenai kemandirian penyelenggara Pemilu Perbandingan ketentuan pasal pencalonan dan pengangkatan anggota Panwaslu Perbandingan ketentuan tentang komposisi DKPP Pebandingan ketentuan tentang Parpol Perbandingan ketentuan tentang threshold Perbandingan desain kelembagaan MPR (sebelum dan setelah amandemen UUD 1945) Perbandingan ketentuan tentang pemakzulan presiden Pengelompokan data berdasarkan pemisahan isu Perbandingan ketentuan tentang syarat menggunakan hak memilih Perbandingan ketentuan tentang hak politik mantan narapidana politik Perbandingan ketentuan tentang syarat calon pejabat eksekutif
Demokrasi Konstitusional
Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17 Tabel 18 Tabel 19 Tabel 20
Perbandingan ketentuan tentang syarat calon kepala daerah Perbandingan ketentuan tentang syarat calon presiden&wakil presiden Ciri demokrasi konstitusional berdasarkan dua tipologi demokrasi Kewajiban berdasarkan asas-asas penyelelenggara pemilu Demokrasi prosedural sebagai sarana untuk mempertahankan demokrasi substansial Demokrasi konstitusional sebagai pilar bagi prinsip negara hukum Demokrasi konstitusional sebagai senjata untuk mempertahankan NKRI Demokrasi konstitusional sebagai penjaga Republik
xix
Demokrasi Konstitusional
Daftar Gambar Nomor Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8
xx
Keterangan Alur Pengolahan data Tipologi penilaian kualitas demokrasi Ciri demokrasi konstitusional Alur pembentukan argumentasi tentang DKPP sebagai wujud etika dalam demokrasi konstitusional Hubungan antara demokrasi prosedural dan demokrasi substansial Hubungan antara prinsip demokrasi konstitusional dan prinsip-prinsip konstitusional yang lainnya Gejala kondisi demokrasi konstitusional saat ini Status demokrasi konstitusional saat ini
Demokrasi Konstitusional
Daftar Singkatan ADI APBD APBN Bawaslu BPK Caleg Capres CEDAW DAC DI DKPP DPD DPR DPRD DPRP GAM GBHN DPT HAM IDI IMF KPU KPUD KTP LGBT MA
Asia Democratic Index Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan Belanja Negara Badan Pengawas Pemilu Badan Pemeriksa Keuangan Calon Legislatif Calon Presiden The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women Development Assistance Cooperation Daerah Istimewa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Dewan Perwakilan Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Papua Gerakan Aceh Merdeka Garis-garis Besar Haluan Negara Daftar Pemilih Tetap Hak Asasi Manusia Indeks Demokrasi Indonesia International Monetary Fund Komisi Pemilihan Umum Komisi Pemilihan Umum Daerah Kartu Tanda Penduduk Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender Mahkamah Agung xxi
Demokrasi Konstitusional
MD3
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah MK Mahkamah Konstitusi MoU Memorandum of Understanding MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat MRP Majelis Rakyat Papua NGO Non Government Organization NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia OECD European Organization for Cooperation and Development Otsus Otonomi Khusus Panwaslu Panitia Pengawas Pemilu Parpol Partai Politik PAW Penggantian Antar Waktu Permesta Perjuangan Rakyat Semesta Pemda Pemerintahan Daerah Pemilu Pemilihan Umum Perppu Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Pilkada Pemilihan Umum Kepala Daerah Pilpres Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden PKI Partai Komunis Indonesia PNS Pegawai Negeri Sipil POLRI Polisi Republik Indonesia PRRI Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia Puskapol UI Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia RIS Republik Indonesia Serikat RRC Republik Rakyat Cina SIUPP Surat Izin Usaha Penerbitan Pers xxii
Demokrasi Konstitusional
TII TNI UNDP UU UUD 1945 UUDS WNI
Transparency International Indonesia Tentara Nasional Indonesia United Nations Development Programme Undang-Undang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Dasar Sementara Warga Negara Indonesia
xxiii
Demokrasi Konstitusional
xxiv
Demokrasi Konstitusional
Ringkasan A. Latar Belakang Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi tafsir Mahkamah Konstitusi (MK) tentang demokrasi konstitusional Indonesia pasca amandemen UUD 1945, melalui argumentasi yang tersebar dalam putusan-putusan MK tentang pengujian undang-undang di isu kepemiluan. Putusan MK dinilai sebagai sumber referensi yang otoritatif untuk menemukan tafsir terhadap pengertian demokrasi konstitusional Indonesia, karena alasan konseptual dan alasan faktual. Secara konseptual ide tentang ‘pengadilan konstitusi’ merupakan prasyarat bagi beroperasinya ide tentang demokrasi konstitusional. Demokrasi konstitusional adalah konsep demokrasi positif dalam arti sebuah konsep demokrasi yang diputuskan untuk berlaku di sebuah negara, yang keberadaannya dilegalkan melalui konstitusi dan penegakannya dilakukan oleh pengadilan konstitusi. Dalam konteks Indonesia, sebagai sebuah konsep, masing-masing konsep demokrasi yang berlaku sejak era Orde Lama, Orde Baru sampai Orde Reformasi adalah demokrasi konstitusional. Namun sebagai sebuah nama, ‘demokrasi konstitusional’ merujuk pada demokrasi yang berlaku pada era reformasi. Pada era Orde Lama, nama yang umum digunakan adalah ‘demokrasi terpimpin’ dan ‘demokrasi parlementer’, sedangkan pada era Orde Baru nama yang populer adalah ‘demokrasi pancasila’. Lahirnya demokrasi konstitusional (sebagai nama) bersamaan dengan lahirnya pengadilan konstitusional xxv
Demokrasi Konstitusional
yang dioperasikan oleh MK. Baik demokrasi konstitusional maupun MK merupakan ‘anak kembar’ dari amandemen UUD 1945. Secara faktual MK adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menafsirkan isi konstitusi. Putusan MK merupakan penjelasan atas prinsip-prinsip yang dimuat dalam konstitusi. Tidak ada template atau pedoman tunggal tentang tafsir konstitusi yang menjadi rujukan MK dalam membuat keputusan. Oleh karenanya, MK menafsirkan konstitusi dengan cara menggelar kontestasi gagasan para ahli dari pendekatan yang multi disiplin keilmuan, seperti pendekatan sejarah, sosiologi, antropologi, hukum, filsafat, dsb. Argumentasiargumentasi yang dikontestasikan di persidangan tersebut menjadi dasar bagi MK untuk merumuskan pertimbanganpertimbangannya. Selanjutnya MK menetapkan putusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut. Dengan demikian, putusan MK selalu memuat kumpulan gagasan konseptual dan sekaligus keputusan tentang konsep mana yang sesuai dengan maksud konstitusi. Ada tiga materi yang ingin digali dalam penelitian ini, yang dirumuskan dalam pertanyaan penelitian, yaitu: Pertama, apa pengertian ‘demokrasi konstitusional’ menurut MK?. Kedua, bagaimana MK menalar pengertian ‘demokrasi konstitusional’ tersebut?. Ketiga, apa status demokrasi konstitusional Indonesia saat ini? B. Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah ‘generalisasi induktif’, dalam arti dari data-data (berupa argumentasi dalam putusan-putusan MK) diabstraksikan ke konsep yang lebih umum dan mendasar. Adapun tahap yang dilakukan, yaitu: xxvi
Demokrasi Konstitusional Gambar: 1 Alur pengolahan data
Penelitian ini berfokus pada putusan-putusan MK yang terkait dengan kepemiluan –terdiri dari: UU Pemilu, UU Penyelenggara Pemilu, UU Parpol, UU MD3, UU Pilpres dan UU Pemda- dengan pertimbangan bahwa meskipun pada semua tema bisa ditemukan konsep demokrasi, namun pada tema kepemiluan relatif lebih signifikan untuk menemukan konsep demokrasi konstitusional dibandingkan tema lain, karena tema kepemiluan merupakan bentuk konkrit dari demokrasi prosedural. Penelitian ini menggunakan dua tipologi umum tentang demokrasi –demokrasi prosedural dan substansialsebagai kerangka untuk mengelompokkan substansi argumentasi MK, karena dengan model pemilihan yang ekstrem seperti ini data penelitian bisa dikelompokkan secara presisif (detail, hati-hati, akurat). Dalam penelitian ini, penerapan pemilahan tersebut bisa digambarkan sebagai berikut: xxvii
Demokrasi Konstitusional Tabel 1: Pengelompokan data berdasarkan tipologi demokrasi Item
Demokrasi Prosedural
Definisi operasional
Disebut juga demokrasi elektoral atau demokrasi minimalis, yaitu konsep tentang sistem pemerintahan yang bertumpu proses dan kelembagaan, seperti Pemilu yang kompetitif.
1.
Pertanyaan evaluatif
xxviii
2.
Sejauh mana sistem Pemilu independen dari kekuasaan pemerintahan dan partai politik? Sejauh mana sistem Pemilu bebas dari intimidasi dan penyalahgunaan kewenangan?
Demokrasi Substansial Disebut juga demokrasi liberal yaitu konsep tentang sistem pemerintahan yang bertumpu pada nilainilai yang melingkupi proses seperti: rule of law, kebebasan informasi, kebebasan sipil, pertanggungjawaban pejabat negara, supremasi sipil di atas militer, pembatasan kekuasaan, penghormatan terhadap kelompok oposisi, perlindungan terhadap kelompok minoritas, keterbukaan informasi, kebebasan berpendapat, persamaan di depan hukum, dan lain-lain. 1. Sejauh mana parpol oposisi bisa berkontribusi dalam akuntabilitas pemerintahan? 2. Sejauh mana parpol terbuka terhadap perbedaan etnis, agama dan bahasa?
Demokrasi Konstitusional 3.
Sejauh mana sistem Pemilu bisa diakses oleh seluruh warga? 4. Sejauh mana keadilan prosedur dalam pendaftaran kandidat? 5. Sejauh mana para kandidat bisa berkomunikasi dengan pemilihnya secara bebas? 6. Sejauh mana komposisi legislatif dan eksekutif mencerminkan hasil Pemilu? 7. Sejauh mana kebebasan membentuk partai politik, merekrut anggota dan mengkampanyekan diri? 8. Sejauh mana efektifitas aturan tentang disiplin parpol di dalam legislator? 9. Sejauh mana sistem keuangan parpol mencegah kepentingan khusus dari parpol? 10. Sejauh mana efektifitas legislatif dalam menginisiasi, mengawasi dan mengubah peraturan?
3. Sejauh mana pemerintah yang terpilih bisa mempengaruhi atau mengontrol persoalanpersoalan yang penting bagi kehidupan masyarakat? 4. Sejauh mana pemerintah terbebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme? 5. Sejauh mana perlindungan terhadap hak sipil dan hak politik.? Hak sipil meliputi: kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan dari diskriminasi dan kebebasan berpendapat, sedangkan hak politik terdiri dari: hak memilih dan dipilih, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan. 6. Sejauh mana liberalisasi dan kesetaraan diakomodir?
xxix
Demokrasi Konstitusional 11. Sejauh mana efektifitas pengawasan legislatif terhadap eksekutif. 12. Sejauh mana kontrol sipil terhadap militer dan sejauh mana kehidupan politik bebas dari keterlibatan militer?
Data
xxx
Argumetasi MK yang berkaitan dengan: 1. Penyelenggara Pemilu, terdiri dari: independensi penyelenggara, mekanisme rekrutmen dan pembentukan pengawas Pemilu,
Liberalisasi (liberalization) merujuk pada bagaimana sektorsektor yang berbeda menerima otonomi, bagaimana pengaruh kekuatan politik otoritarian yang lama dan bagaimana pemerintah terpilih menentukan prioritasnya sendiri. Sedangkan kesetaraan merujuk pada sejauh mana kelompok minoritas –secara substansial- bisa mengakses sumber daya di berbagai sektor dan menikmati akses dan kekuasaan yang setara tersebut. Argumentasi MK yang berkaitan dengan hak politik warga, yang terdiri dari: 1. Hak memilih bagi pemilih yang tidak terdaftar di DPT 2. Hak politik bagi mantan narapidana politik.
Demokrasi Konstitusional dan DKPP. 2. Penyelenggaraan Pemilu, terdiri dari: tata cara pemungutan suara, penyelenggaraan Pemilu yang bertahap dan Pilkada. 3. Partai Politik, terdiri dari: syarat pendirian parpol, status badan hukum parpol, cara memperoleh status badan hukum dan kewenangan parpol dalam penggantian antar waktu. 4. Ambang batas (threshold), terdiri dari: electoral threshold, parliamentary threshold dan presidential threshold. 5. Lembaga Perwakilan Rakyat, terdiri dari: sistem kamar di parlemen, posisi DPD, hak angket DPR dan hak menyatakan pendapat DPR.
3. Hak dipilih bagi mantan terpidana. 4. Hak berpolitik PNS dan anggota TNI/Polri. 5. Kebijakan afirmatif, yang meliputi: kuota perempuan dalam parlemen dan warga asli Papua. 6. Calon Presiden independen 7. Calon Kepala Daerah independen 8. Hak untuk mengawasi pemerintahan. 9. Hak untuk menyatakan pendapat.
Catatan: nomor tabel adalah duplikasi dari tabel yang ada di badan laporan
Proses peng-abstraksi-an dilakukan melalui wawancara dengan narasumber (ahli), penilaian oleh tim peneliti sendiri dan persetujuan dari supervisor. Penilaian oleh tim xxxi
Demokrasi Konstitusional
peneliti didasarkan pada pengetahuan peneliti dengan merujuk pada semua bahan bacaan yang digunakan dalam penelitian dan konsultasi dengan supervisor. C. Temuan Meskipun hanya ada tiga pertanyaan penelitian, namun dalam perkembangannya penelitian ini menemukan satu konsep baru yang relevan dengan pokok pertanyaan penelitian, yaitu tentang pemisahan antara isu konstitusi dan isu kebijakan (open legal policy). Selanjutnya akan kami paparkan ringkasan temuan dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1. Pemisahan Isu Konstitusi dengan Isu Kebijakan MK memisahkan materi-materi yang masuk sebagai isu konstitusi dan isu kebijakan umum (open legal policy). Pemisahan tersebut bisa digambarkan sebagai berikut: Tabel 9: Pengelompokan data berdasarkan pemisahan isu
Definisi Operasional
Lembaga yang berwenang Hasil
xxxii
Isu konstitusi
Isu kebijakan umum
Merujuk pada materimateri yang merupakan bunyi eksplisit UUD 1945 dan atau maksud implisit dari UUD 1945. MK
Di luar materi yang masuk isu konstitusi.
Status: konstitusionalitas norma
Status: legalitas norma
Pembuat UU
Demokrasi Konstitusional Temuan pada sub tema penyelenggaraan Pemilu
a.
b. c.
d.
e.
Asas Pemilu : langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Periode Pemilu: setiap lima tahun. Tujuan Pemilu: memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden. Peserta Pemilu: partai politik dan perorangan. Penyelenggara Pemilu: komisi penyelenggara Pemilu.
a.
b. c.
d.
e. Temuan pada sub tema Lembaga Perwakilan Rakyat
a.
b. c.
Sistem kamar di parlemen, yaitu non-bikameral (unicameral). Posisi DPD Pemakzulan Presiden oleh DPR
a.
b.
Sistem Pemilu: proporsional atau semi proporsional. Daerah pemilihan Teknis pemungutan suara: mencontreng, mencoblos, electronic voting dan Pemilu serentak atau bertahap. Tata cara penyelenggaraa n Pilkada: langsung atau tidak langsung. Ambang batas. Syarat nonparpol bagi calon anggota DPD. Tata cara pemberhentian anggota DPR
Catatan: nomor tabel adalah duplikasi dari tabel yang ada di badan laporan
Pemisahan materi tersebut pertama-tama ditujukan untuk menetapkan apakah MK berwenang atau tidak berwenang memutuskan materi yang dimohonkan pengujian. MK hanya berwenang menguji materi yang termasuk isu konstitusi. Adapun yang masuk sebagai isu konstitusi adalah materi-materi yang merupakan bunyi eksplisit dari UUD 1945 dan atau maksud implisit dari UUD 1945. Di luar materi xxxiii
Demokrasi Konstitusional
tersebut masuk sebagai isu open legal policy yang bukan menjadi kewenangan MK untuk memutuskan. Tidak ada perdebatan tentang konsep yang mendasari pemisahan isu konstitusi dan isu open legal policy tersebut. Pemisahan itu bermula dari pendapat berbeda hakim (Ahmad Roestandi) dalam Perkara No. 011-017/PUU-I/200. Dalam perkara tersebut hakim Roestandi menolak pandangan mayoritas hakim yang mengabulkan permohonan pemohon, dengana alasan materi undang-undang yang diajukan merupakan bagian dari kebijakan hukum terbuka, sehingga bukan kewenangan MK untuk mengujinya. Pendapat tersebut digunakan dalam pertimbangan hukum pada putusan-putusan berikutnya, seperti Putusan No. 002/PUU-II/2004 dan Putusan No. 114/PUU-VI/2009. Meskipun pemisahan tersebut ditujukan untuk menetapkan kewenangan MK dan tidak ada perdebatan, namun penelitian ini menemukan bahwa pemisahan tersebut memiliki implikasi hasil, yaitu: isu konstitusi menghasilkan status konstitusionalitas norma, sedangkan isu open legal policy menghasilkan status legalitas norma. Dalam praktiknya, MK tidak selalu final dalam menerapkan pemisahan tersebut. Contohnya perkara DKPP. Awalnya MK berpandangan bahwa komposisi anggota DKPP termasuk dalam open legal policy, namun ketika pembuat UU tidak mengindahkan batasan yang diberikan MK, maka MK mengubah pandangannya dengan mengatakan bahwa DKPP merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggara Pemilu yang harus bersifat mandiri, dimana kemandirian tersebut ditentukan oleh komposisi keanggotaanya. Dengan kalimat lain, DKPP adalah isu konstitusi. xxxiv
Demokrasi Konstitusional
Begitu pula pada perkara penyelenggaraan Pemilu serentak. Pada Putusan Nomor: 51-52-59/PUUVI/2008, MK berpandangan bahwa Pemilu yang tidak serentak adalah konstitusional, dengan alasan bahwa aturan bisa dibentuk berdasarkan kebiasaan (desetudo) atau konvensi ketatanegaraan yang itu tidak bertentangan dengan hukum. Namun dalam Putusan Nomor: 14/PUU-XI/2013, MK berpandangan bahwa bukan berarti praktik ketatanegaraan tersebut dipersamakan dengan konstitusi, melainkan putusan tersebut harus dimaknai sebagai pilihan penafsiran Mahkamah atas konteks pada saat putusan tersebut dijatuhkan. Melalui Putusan tersebut, MK membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2) Dan Pasal 112 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wapres karena bertentangan dengan konstitusi. Dengan kalimat lain, pelaksanaan Pemilu secara serentak adalah inkonstitusional. 2. Apa Pengertian Demokrasi Konstitusional Menurut MK? Pengertian demokrasi konstitusional bukan dalam bentuk rumusan definitif, melainkan melalui identifikasi ciri-ciri yang bertolak dari pemilahan dua tipologi demokrasi (prosedural dan substansial). Penelitian ini menemukan 6 (lima) ciri demokrasi konstitusional, yang bisa digambarkan sebagai berikut:
xxxv
Demokrasi Konstitusional Gambar 3: Ciri demokrasi konstitusional
Keenam ciri tersebut terdiri dari: 1 (satu) ciri bertolak dari demokrasi substansial, yaitu perlindungan hak politik, dan 5 (lima) ciri bertolak dari tipologi demokrasi prosedural. Dari keenam ciri tersebut, hanya 1 (satu) ciri yang pengungkapannya secara implisit, yaitu adanya penegakan etika penyelenggara Pemilu. Berdasarkan 6 ciri tersebut, penelitian ini berkesimpulan bahwa demokrasi konstitusional –pada isu kepemiluan- cenderung lebih dominan pada demokrasi prosedural. Tetapi ini adalah gejala yang wajar karena isu Pemilu merupakan bentuk konkrit dari demokrasi prosedural. Apakah pada selain isu kepemiluan menunjukkan kecenderungan yang sama atau berbalik? Pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab melelui penelitian lebih lanjut. Penelitian ini mengkontribusikan pengantar untuk penelitian lebih lanjut tersebut. Penjelasan dari masing-masing ciri secara ringkas, bisa diuraikan sebagai berikut: xxxvi
Demokrasi Konstitusional Tabel 15: Ciri demokrasi konstitusional berdasarkan dua tipologi demokrasi 1.
2.
3. 4.
Demokrasi Prosedural Adanya penyelenggara Pemilu yang mandiri, dengan indikator: a. Penyelenggara Pemilu tidak berpihak pada salah satu peserta; b. Parpol tidak boleh bertindak sebagai penyelenggara Pemilu; c. Adanya lembaga pengawas yang mengawasi tindakan penyelenggara Pemilu; d. Adanya Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku etik penyelenggara Pemilu; e. Penyelenggara Pemilu tidak bertanggungjawab kepada peserta Pemilu; Ada pemisahan antara Pemilu dan Pemilukada. Pemilukada tidak termasuk rezim Pemilu melainkan rezim pemerintah daerah. Pemisahan ini berimplikasi pada penyelenggara dan badan penyelesaian sengketa hasil Pilkada. Parpol memiliki posisi konstitusional yang lebih kuat dibandingkan perorangan. Adanya prinsip mengawasi dan seimbang (check and balance) antara kekuasaan legislatif kepada eksekutif.
1.
Demokrasi Substansial Adanya perlindungan terhadap hak berpolitik, dalam bentuk: a. Pemilih yang tidak terdaftar di DPT tetap boleh memilih dengan menggunakan KTP atau Paspor yang masih berlaku. Ketentuan ini berlaku unuk Pemilu maupun Pilkada; b. Tidak ada pembenaran apapun bagi ketentuan yang mengandung nuansa hukuman politik; c. Pengakuan terhadap tindakan afirmasi terhadap perempuan dalam pemilihan legislatif. d. Hak warga untuk mengontrol jalannya pemerintahan Negara tidak serta merta hilang atau beralih kepada para wakil rakyat dengan dipilihnya anggota DPR, DPD maupun DPRD. Hak tersebut dilakukan melalui penyampaian pendapat dan pikiran tentang jalannya pemerintahan, ikut memilih dalam menentukan pemimpin Negara, mengajukan permohonan pengujian UU ke MK, melakukan survei dan penghitungan cepat hasil Pemilu.
xxxvii
Demokrasi Konstitusional 2.
xxxviii
Adanya pembatasan terhadap hak berpolitik yang berlaku untuk individu (bukan kolektif), dengan beberapa model antara lain: a. Terhadap hak berpolitik bagi mantan narapidana non-politik, syarat pembatasan adalah: 1) Tindak pidana yang dilakukan bukan tindak pidana yang bersifat kealpaan ringan dan bukan karena alasan perbedaan pandangan politik; 2) Jabatan yang dimasuki bukan jabatan yang dipilih (elected official). Pembatasan terhadap jabatan yang dipilih diperbolehkan jika pencabutan dilakukan melalui putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap; 3) Jangka waktunya dibatasi selama lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya.
Demokrasi Konstitusional 4)
b.
c.
e.
Terpidana secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. 5) Orang yang bersangkutan bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang. Terhadap hak berpolitik bagi PNS, batasannya dalam bentuk kewajiban mengundurkan diri status PNS jika mencalonkan diri dalam suatu rekrutmen politik. Terhadap hak untuk mencalonkan diri menjadi calon presiden/wakil presiden, batasannya dalam bentuk tata cara pencalonan, yakni harus melalui Parpol atau gabungan Parpol. Terhadap kebijakan afirmatif perempuan, batasannya adalah bahwa quota 30% hanya berlaku pada tahap pencalonan, sedangkan pada tahap perolehan suara yang berlaku adalah sistem suara terbanyak.
Catatan: nomor tabel adalah duplikasi dari tabel yang ada di badan laporan
Di atas telah disinggung bahwa satu ciri demokrasi konstitusional yang pengungkapannya secara implisit adalah pentingnya aspek penegakan etika dalam xxxix
Demokrasi Konstitusional
demokrasi prosedural, yang bentuk konkritnya adalah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). ‘Etika’ yang dimaksud di sini adalah Pedoman Perilaku (Kode Etik), bukan ‘sistem nilai’ dalam arti nilai-nilai moral yang menjadi pedoman penilaian baik-buruknya perilaku manusia maupun ‘filsafat moral’ dalam arti ilmu yang melakukan refleksi kritis dan sistematis tentang moralitas. Etika dalam arti Kode Etik tersebut berisi kewajibankewajiban yang diturunkan dari sumpah jabatan dan prinsip-prinsip penyelenggara Pemilu sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu (terdiri dari: mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas). Kode Etik tersebut berlaku bagi seluruh penyelenggara Pemilu (termasuk penyelenggara Pilkada) dan jajaran sekretariat penyelenggara Pemilu. Yang dimaksud ‘penegakan etika’ adalah mekanisme yudikatif untuk menangani pelanggaran Kode Etik tersebut. Sedangkan DKPP adalah penyelenggara Pemilu yang fungsinya menegakkan Kode Etik tersebut. DKPP adalah peradilan etik dalam penyelenggaraan Pemilu. Penelitian ini mengidentifikasi tahapan dan dinamika pembentukan argumentasi tentang DKPP yang cukup sistematis, sebagaimana tergambar dalam alur di bawah ini:
xl
Demokrasi Konstitusional Gambar 4: Alur pembentukan argumentasi tentang DKPP sebagai wujud etika dalam demokrasi konstitusional
Sebelum ada putusan-putusan MK tentang DKPP, Kode Etik dan DKPP sudah ada. Yang baru dari putusan MK tentang DKPP adalah menetapkan DKPP sebagai salah satu penyelenggara Pemilu yang setara dengan KPU dan Bawaslu. Implikasinya DKPP memiliki kewenangan mengawasi perilaku etis KPU dan Bawaslu. Selain itu, DKPP adalah lembaga yang independen sama seperti KPU dan Bawaslu. Implikasinya tidak ada unsur peserta Pemilu (baik pemerintah, DPR maupun parpol) dalam komposisi anggota DKPP. xli
Demokrasi Konstitusional
Putusan-putusan MK tentang DKPP telah ditindaklanjuti oleh pembuat UU. Pada tanggal 12 Juni 2012 DKPP sudah dibentuk berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2011. Selanjutnya DKPP bersama KPU dan Bawaslu menetapkan Peraturan Bersama No. 13-11-1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Sedangkan tata cara penegakan Kode Etik tersebut diatur di dalam Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu. 3. Bagaimana MK Menalar Demokrasi Konstitusional? Penelitian ini menemukan bahwa MK menggunakan nalar ‘alat-tujuan’ (means to end) atau biasa disebut nalar instrumental. Namun demikian temuan tentang rasionalitas MK ini tidak bisa dibuktikan pada semua putusan, melainkan dari beberapa putusan yang diperoleh melalui proses abstraksi. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa proses abstraksi dilakukan dengan cara wawancara dengan narasumber, penilaian peneliti dan persetujuan dari supervisor. Ada dua model rasionalitas ‘saranatujuan’ yang ditemukan, yaitu: a. Demokrasi prosedural merupakan sarana untuk mempertahankan demokrasi substansial. Model rasionalitas instrumental yang pertama ini bertolak dari hubungan antara demokrasi prosedural dan demorkasi subsansial, sebagaimana diilustrasikan pada gambar di bawah ini:
xlii
Demokrasi Konstitusional Gambar 5: Hubungan antara demokrasi prosedural dan demokrasi substansial
Sedikitnya ada 4 premis yang ditemukan. Pertama, prosedur administratif tidak boleh mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. Kedua, pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan hak memilih adalah pelanggaran hak asasi manusia. Ketiga, persyaratan untuk menggunakan hak politik tidak boleh mengurangi hak politik itu sendiri. Keempat, kebijakan afirmatif terhadap perempuan sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Semua premis tersebut merujuk pada argumentasi MK yang kutipan verbatimnya bisa dilihat pada tabel di bawah ini:
xliii
Demokrasi Konstitusional Tabel 17 : Demokrasi prosedural sebagai sarana untuk mempertahankan demokrasi substansial Nomor Putusan
Bunyi verbatim pertimbangan MK Premis 1: Prosedur administratif (dalam hal ini tata cara menggunakan hak pilih) tidak boleh mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya.
Putusan Nomor: 102/PUU-VII/2009 dan Putusan Nomor : 011-017/PUU-I/2003
“ Menimbang bahwa hak-hak warga negara untuk memilih sebagaimana diuraikan di atas telah ditetapkan sebagai hak asasi manusia dan hak konstitusional warga Negara (constitutional rights of citizen), sehingga oleh karenanya hak konstitusional tersebut di atas tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif apapun yang mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya� (Putusan Nomor: 102/PUU-VII/2009, paragraf 3.18) “ Menimbang, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga Negara� (Putusan Nomor: 011-017/PUU-I/2003, halaman 35)
xliv
Demokrasi Konstitusional Premis 2: Pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan hak memilih adalah pelanggaran hak asasi manusia.
Putusan Nomor: 102/PUU-VII/2009
“Mahkamah terlebih dahulu merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 bertanggal 24 Februari 2004 yang telah menegaskan bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (rights to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional, sehingga pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dariwarga Negara” (paragraf 3.13) Premis 3: Persyaratan untuk menggunakan hak politik tidak boleh mengurangi hak politik itu sendiri.
Putusan Nomor: 011-017/PUU-I/2003
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dan berdasarkan pula keterangan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat serta alat-alat bukti tertulis, saksi, dan ahli maka ketentuan Pasal 60 huruf g Undangundang Nomor 12 Tahun 2003 yang berbunyi “bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massa, atau bukan orang yang terlibat langsung maupun tak langsung dalam Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia atau organisasi terlarang lainnya”, merupakan pengingkaran
xlv
Demokrasi Konstitusional terhadap hak asasi warga negara atau diskriminasi atas dasar keyakinan politik, dan oleh karena itu, bertentangan dengan hak asasi yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 D ayat (1), ayat (3), dan Pasal 28 I ayat (2)�. Premis 4 : afirmasi terhadap perempuan adalah tindakan yang sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Putusan Nomor: 22-24/PUU-VI/2008
xlvi
“Diberlakukannya ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008, yakni setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurangkurangnya satu orang calon perempuan adalah dalam rangka memenuhi affirmative action (tindakan sementara) bagi perempuan di bidang politik sebagaimana yang telah dilakukan oleh berbagai negara dengan menerapkan adanya kewajiban bagi partai politik untuk menyertakan calon anggota legislatif bagi perempuan. Hal ini sebagai tindak lanjut dari Konvensi Perempuan se-Dunia Tahun 1995 di Beijing dan berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi [Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Hak Sipil dan Politik, Hasil Sidang Umum Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman (CEDAW)]�
Demokrasi Konstitusional � ‌.Dewasa ini, komitmen Indonesia terhadap instrumeninstrumen hak asasi manusia (HAM) yang berhubungan dengan penghapusan segala bentuk diskriminasi perempuan serta komitmen untuk memajukan perempuan di bidang politik telah diwujudkan melalui berbagai ratifikasi dan berbagai kebijakan pemerintah� (paragraf 3.15.1) Catatan: cetak tebal oleh peneliti. Nomor tabel adalah duplikasi dari tabel yang ada di badan laporan
b. Demokrasi konstitusional (baik prosedural maupun substansial) sebagai sarana untuk memper-tahankan prinsip-prinsip konstitusional. Model rasionalitas instrumental yang kedua ini melihat hubungan antara prinsip demokrasi substansial dengan prinsip-prinsip ketatanegaraan lain yang sama-sama diatur di dalam UUD 1945, yaitu: prinsip demokrasi konstitusional merupakan alat untuk membela prinsip konstitusional yang lain. Yang dimaksud prinsip konstitusional yang lain, terdiri dari: (i) prinsip bentuk negara (kesatuan); (ii) prinsip bentuk pemerintahan (Republik) dan (iii) prinsip negara berdasar hukum (rule of law). Penelitian ini menempatkan ketiga prinsip tersebut sebagai tujuan dengan tiga alasan. Pertama, UUD 1945 pasca amandemen menetapkan bahwa prinsip bentuk negara (Kesatuan) dan bentuk pemerintahan (Republik) merupakan prinsip yang tidak dapat dilakukan xlvii
Demokrasi Konstitusional
perubahan. Kedua, prinsip rule of law adalah prinsip yang dinaikkan level pengaturannya. Sebelum amandemen prinsip rule of law dimuat dalam penjelasan, sedangkan pada konstitusi pasca amandemen dimuat dalam batang tubuh. Ketiga, sedangkan prinsip demokrasi konstitusional adalah materi yang persis hasil amandemen konstitusi. Gambar 6: Hubungan antara prinsip demokrasi konstitusional dan prinsip-prinsip konstitusional yang lainnya
b.1. Demokrasi konstitusional sebagai pilar bagi prinsip negara hukum (rule of law) Ada enam premis tentang temuan ini, yaitu: pertama, negara hukum berarti tidak melanggar peraturan perundangan yang berlaku. Kedua, negara hukum berarti orang tidak bisa diminta bertanggungjawab atas tindakan yang tidak dilakukannya secara langsung. Ketiga, negara hukum berarti tidak ada hukuman yang bernuansa politik. Keempat, negara hukum berarti orang tidak dihukum seumur hidupnya. Kelima, negara xlviii
Demokrasi Konstitusional
hukum adalah legalistik. Keenam, negara hukum berarti negara memberikan perlindungan hukum bagi warga negara untuk menggunakan hak politiknya. Tabel dibawah ini menyajikan kutipan verbatim pertimbangan MK yang memperkuat masing-masing premis yang telah disebutkan. Tabel 18: Demokrasi konstitusional sebagai pilar bagi prinsip negara hukum Nomor Putusan
Putusan Nomor: 102/PUUVII/2009
Putusan Nomor: 011017/PUUI/2003
Kutipan verbatim perimbangan MK Premis1: Negara hukum berarti tidak melanggar peraturan perundangan yang berlaku “Menimbang bahwa sebelum memberikan Putusan tentang konstitusionalitas pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, agar di satu pihak tidak menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara dan di lain pihak tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Mahkamah perlu memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengatur lebih lanjut teknis pelaksanaan penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT dengan pedoman sebagai berikut:‌.â€? (paragraf 3.23). Premis 2: Negara hukum berarti orang tidak bisa diminta bertanggungjawab atas tindakan yang tidak dilakukannya secara langsung. “Menimbang bahwa suatu tanggungjawab pidana hanya dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada pelaku (dader) atau yang turut serta (mededader) atau yang membantu (medeplichtige), maka adalah suatu tindakan yang bertentangan
xlix
Demokrasi Konstitusional dengan hukum, rasa keadilan, kepastian hukum, serta prinsip-prinsip negara hukum apabila tanggungjawab tersebut dibebankan kepada seseorang yang tidak terlibat secara langsung” (halaman 36) Premis 3: Negara hukum berarti tidak ada hukuman yang bernuansa politik
Putusan Nomor : 011017/PUUI/2003 dan Putusan Nomor : 14-17/PUUV/2007
l
“….pembatasan hak dipilih seperti ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum tersebut justru karena hanya menggunakan pertimbangan yang bersifat politis. Di samping itu dalam persoalan pembatasan hak pilih (baik aktif maupun pasif) dalam pemilihan umum lazimnya hanya didasarkan atas pertimbangan ketidakcakapan misalnya faktor usia dan keadaan sakit jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility) misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan pada umumnya bersifat individual dan tidak kolektif” (Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 , halaman 35) “Menimbang bahwa dari sifatnya, yaitu pelarangan terhadap kelompok tertentu warga negara untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 60 huruf g jelas mengandung nuansa hukuman politik kepada kelompok sebagaimana dimaksud. Sebagai negara hukum, setiap pelarangan yang mempunyai kaitan langsung dengan hak dan kebebasan warga negara harus didasarkan atas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap” (Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 , halaman 35-36)
Demokrasi Konstitusional
“Yang dimaksud kejahatan karena alasan politikdalam hubungan ini terbatas pada perbuatan yang sesungguhnya merupakan ekspresi pandangan atau sikap politik (politieke overtuiging) yang dijamin dalam sebuah negara hukum yang demokratis namun oleh hukum positif yang berlaku pada saat itu dirumuskan sebagai tindak pidana semata-mata karena berbeda dengan pandangan politik yang dianut oleh rezim yang sedang berkuasa” (Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007, paragraf 3.14. 2) Premis 4: Negara hukum berarti orang tidak dihukum seumur hidupnya “….Oleh karena menurut Mahkamah ketentuan Undang-Undang tentang “syarat tidak pernah dijatuhi pidana” telah melanggar UUD 1945 maka Mahkamah berpendirian bahwa ketentuan Undang-Undang ini merupakan ketentuan yang inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional)” (paragraf 3.20) Putusan Nomor: 4/PUUVII/2009
“Norma hukum yang terkandung dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008 merupakan norma hukum yang bersifat inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), yaitu tidak konstitusional sepanjang tidak dipenuhi syarat-syarat: (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang” (Paragraf 4.4)
li
Demokrasi Konstitusional Premis 5: Negara hukum adalah legalistik, dalam arti sesuai dengan maksud konstitusi dan/ atau bunyi pasal dalam UUD 1945
Putusan Nomor: 56/PUUVI/2008
Putusan Nomor: 102/PUUVII/2009
lii
“ Bahwa frasa “partai politik atau gabungan partai politik”, dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 secara tegas bermakna bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politiklah yang dapat mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, frasa dimaksud tidak memberi peluang adanya interpretasi lain, seperti menafsirkannya dengan kata-kata diusulkan oleh perseorangan (independen) apalagi pada saat pembicaraannya di MPR telah muncul wacana adanya Calon Presiden secara independen atau calon yang tidak diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, tetapi tidak disetujui oleh MPR. Kehendak awal (original intent) dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 jelas menggambarkan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik sajalah yang dapat mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku IV “Kekuasaan Pemerintahan Negara” Jilid 1, halaman 165 – 360)” (Paragraf 3.15.3.angka 4). Premis 6: Negara hukum berarti negara memberikan perlindungan hukum bagi warga negara untuk menggunakan hak politiknya. “Menimbang bahwa ketentuan yang mengharuskan seorang warga negara terdaftar sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) lebih merupakan prosedur administratif dan tidak boleh menegasikan hal-hal yang
Demokrasi Konstitusional bersifat substansial yaitu hak warga negara untuk memilih (right to vote) dalam pemilihan umum. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat diperlukan adanya solusi untuk melengkapi DPT yang sudah ada sehingga penggunaan hak pilih warga negara tidak terhalangi�; (Paragraf 3.20) “Menimbang bahwa pembenahan DPT melalui pemutakhiran data akan sangat sulit dilakukan oleh KPU mengingat waktunya yang sudah sempit, sedangkan penggunaan KTP atau Paspor yang masih berlaku untuk menggunakan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT merupakan alternatif yang paling aman untuk melindungi hak pilih setiap warga negara. Terkait dengan hal tersebut, Mahkamah memandang bahwa penggunaan KTP atau Paspor yang masih berlaku untuk memilih tidak dapat diberlakukan melalui keputusan atau peraturan KPU; sedangkan bentuk hukum Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) juga beresiko menimbulkan masalah jika ternyata nantinya dibatalkan melalui legislative review pada saat pembahasan dalam masa sidang DPR berikutnya; Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka demi keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum, Mahkamah memutuskan dalam Putusan yang bersifat self executing yang langsung dapat diterapkan oleh KPU tanpa memerlukan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) guna melindungi, menjamin, dan memenuhi hak konstitusional warga negara untuk menggunakan hak pilihnya� (Paragraf 3.21)
Catatan: cetak tebal oleh peneliti. Nomor tabel adalah duplikasi dari tabel yang ada di badan laporan
liii
Demokrasi Konstitusional
b.2. Demokrasi konstitusional sebagai senjata untuk mempertahankan NKRI Prinsip konstitusional yang ke-2 yang dipertahankan melalui demokrasi konstitusional adalah prinsip bentuk negara kesatuan (NKRI). Sedikitnya ada dua premis tentang Negara Kesatuan, yaitu: pertama, Negara Kesatuan berarti melakukan rekonsiliasi nasional menuju masa depan yang lebih demokratis dan berkeadilan. Kedua, Negara Kesatuan berarti melindungi dan menghargai keragaman suku dan bahasa daerah. Pada tabel di bawah ini disajikan kutipan verbatim pertimbangan MK yang membuktikan kedua premis tersebut. Tabel 19: Demokrasi konstitusional sebagai alat untuk mempertahankan NKRI Nomor Putusan
Putusan Nomor : 011017/PUUI/2003
liv
Kutipan verbatim pertimbangan MK Premis 1: Negara Kesatuan berarti melakukan rekonsiliasi nasional menuju masa depan yang lebih demokratis dan berkeadilan. “Menimbang bahwa di samping pertimbangan juridis tersebut di atas, materi ketentuan sebagaimana terkandung dalam Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipandang tidak lagi relevan dengan upaya rekonsiliasi nasional yang telah menjadi tekad bersama bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih demokratis dan berkeadilan‌.â€? (halaman 37)
Demokrasi Konstitusional
Putusan Nomor: 116/PUUVII/2009 dan Putusan Nomor: 22-24/PUUVI/2008
Premis 2: Negara Kesatuan berarti melindungi dan menghargai keragaman suku dan bahasa daerah “Bahwa Provinsi Papua merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki keragaman suku dan bahasa daerah, namun dari fakta hukum dalam persidangan, orang asli Papua merasakan bahwa berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, yang berakibat pada terjadinya kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan, dan sosial politik� (Putusan Nomor: 116/PUU-VII/2009, paragraf 3.16.1) “Bahwa untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam bidang politik tidak sematamata tergantung pada factor hukum, melainkan juga faktor budaya, kemampuan, kedekatan dengan rakyat, agama, dan derajat kepercayaan masyarakat atas calon legislatif perempuan, serta kesadaran yang semakin meningkat atas peranan perempuan dalam bidang politik. Terkait dengan asas Bhinneka Tunggal Ika dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, maka setiap pilihan masing-masing orang sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan harus tetap dihargai sekalipun terdapat perbedaan satu dengan yang lain�. (Putusan Nomor: 2224/PUU-VI/2008, paragraf 3.15.1)
Catatan: cetak tebal oleh peneliti. Nomor tabel adalah duplikasi dari tabel yang ada di badan laporan
lv
Demokrasi Konstitusional
b.3. Demokrasi konstitusional sebagai penjaga Republik. Sedangkan prinsip konstitusional ke-3 yang dipertahankan melalui demokrasi konstitusional adalah bentuk pemerintahan Republik. Ada lima premis yang menjelaskan tentang prinsip Republik, yaitu: pertama, Republik berarti bertindak yang menghasilkan dampak bagi kebaikan umum. Yang dimaksud kebaikan umum di sini adalah keuntungan bagi pihak lain. Kedua, Republik berarti negara memberikan jaminan hukum bagi warga untuk terlibat aktif dalam urusan publik. Ketiga, Republik berarti tidak bertindak demi kepentingan diri. Keempat, Republik berarti yang berdaulat adalah suara terbanyak. Republik berarti menerapkan sistem politik komunal/kolegial, bukan individual. Khusus untuk premis yang pertama tidak dibuktikan melalui kutipan verbatim argumentasi MK, namun melalui analisis terhadap dampak dari dikabulkannya permohonan, apakah hanya pemohon yang menerima keuntungan atau orang lain yang berposisi sama dengan pemohon. Selebihnya dibuktikan dengan kutipan verbatim pertimbangan MK, sebagaimana bisa dilihat pada tabel di bawah ini.
lvi
Demokrasi Konstitusional Tabel 20: Demokrasi konstitusional sebagai penjaga Republik Nomor Putusan Putusan Nomor: 102/PUUVII/2009, Putusan Nomor: 011-017/PUUI/2003, Putusan Nomor : 14-17/PUUV/2009 dan Putusan Nomor: 4/PUUVII/2009
Putusan Nomor: 23-26/PUUVIII/2010
Putusan Nomor: 117/PUUVII/2009
Bunyi argumentasi MK Premis 1: Republik berarti bertindak yang menghasilkan dampak bagi kebaikan umum. Yang dimaksud kebaikan umum di sini adalah keuntungan bagi pihak lain. Premis ini tidak dibuktikan melalui kutipan verbatim argumentasi MK, melainkan melalui menganalisis dampak dari dikabulkannya permohonan, yaitu bukan hanya memberikan manfaat bagi individu pemohon namun bagi individu-individu lain yang berposisi sama dengan pemohon.
Premis 2: Republik berarti Negara memberikan jaminan hukum bagi warga untuk terlibat aktif dalam urusan publik. “Hak warga negara untuk mengontrol jalannya pemerintahan negara tidak serta merta hilang, atau beralih kepada para wakil rakyat dengan dipilihnya anggota DPR, DPD maupun DPRD….”(Putusan nomor 23-26/PUU-VIII/2010, paragraf 3.5.5) Premis 3: Republik berarti tidak bertindak demi kepentingan diri. “….para Pemohon (individu anggota DPD) bersikap mendua dan hanya berpikir untung rugi dalam menerapkan prinsip kesetaraan (ekualitas) anggota MPR baik yang berasal dari DPR maupun DPD. Di satu pihak tidak setuju apabila Ketua MPR secara serta merta berasal dari DPR, namun di lain pihak menghendaki kuota kelembagaan untuk komposisi wakil ketua MPR. Dengan
lvii
Demokrasi Konstitusional kata lain, para Pemohon menganggap sesuatu itu inkonstitusional apabila merugikan, namun di sisi lain konstitusional apabila menguntungkan, meskipun pada hakikatnya juga tidak konstitusional”.(Putusan Nomor: 117/PUUVII/2009, paragraf 3.15 huruf b)
Putusan Nomor: 2224/PUUVI/2008
Putusan Nomor: 46/PUUXI/2013
Premis 4: Republik berarti yang berdaulat adalah suara terbanyak. “Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga dalam berbagai kegiatan pemilihan umum, rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya. Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif maupun eksekutif, sebaliknya rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan” (paragraf 3.15.3). Premis 5: Republik berarti menerapkan sistem politik komunal/kolegial, bukan individual “….Dengan perkataan lain, konstruksi yang dibangun dalam konstitusi, bahwa pengusulan Pasangan Calon oleh partai politik atau gabungan partai politik mencerminkan bahwa sistem politik yang dibangun mengacu pada sistem komunal/kolegial, bukan berlandaskan pada sistem individual (perseorangan)” (paragraf 3.16 angka 2 huruf b)
Catatan: cetak tebal oleh peneliti. Nomor tabel adalah duplikasi dari tabel yang ada di badan laporan
lviii
Demokrasi Konstitusional
4. Bagaimana status ‘demokrasi konstitusional’ Indonesia saat ini? Frase ‘saat ini’ merujuk pada batasan waktu, yaitu: sejak amandemen UUD 1945 sampai suatu saat jika temuan dalam penelitian ini direvisi. Penelitian ini membagi periode ‘saat ini’ menjadi dua fase, yaitu fase sebelum ada putusan MK (berarti sumbernya adalah isi pasal UU yang diuji oleh MK) dan fase setelah ada putusan MK (berarti sumbernya adalah sikap MK terhadap ketentuan yang diuji tersebut). Karena yang dianalisis dalam penelitian ini adalah putusan MK (bukan substansi UU yang diuji) maka cara menentukan situasi sebelum putusan MK adalah dengan menggunakan logika kebalikan (a contrario). Contohnya: jika kondisi setelah putusan MK adalah ditandai dengan adanya penyelenggara Pemilu yang independen, maka kondisi sebelum ada putusan MK adalah ditandai dengan tidak adanya penyelenggara Pemilu yang independen. Yang perlu diingat bahwa baik kondisi pada fase sebelum ada putusan MK maupun setelah ada putusan MK adalah gambaran tentang kondisi saat ini. Dengan logika kebalikan (a contrario) tersebut, penelitian ini menemukan dua gejala demokrasi sebelum dan setelah putuan MK, yaitu: a. Demokrasi minus etika Sebelum putusan MK kita berada dalam krisis demokrasi dimana penegakan etika belum dianggap sebagai persoalan yang sentral. Gejala yang muncul adalah ketentuan yang menempatkan DKPP berada di bawah KPU dan ketentuan yang menempatkan DKPP sebagai lembaga yang tidak independen dengan adanya lix
Demokrasi Konstitusional
jatah kursi bagi peserta Pemilu (parpol, pemerintah dan DPR) dalam komposisi keanggotaan DKPP. Terhadap situasi ini, MK telah menyumbangkan solusi di internal demokrasi itu sendiri. Inti sumbangan gagasan MK adalah (i) menegakkan etika sama pentingnya dengan menegakkan hukum; (ii) penegakan etika dilakukan oleh lembaga yang independen; (iii) tata cara penegakan etika adalah melalui ‘peradilan etika’. b. Demokrasi untuk kepentingan diri Sebelum putusan MK kita berada dalam status demokrasi dimana demokrasi dinalar secara ‘saranatujuan’, dalam arti demokrasi digunakan sebagai sarana untuk membela kepentingan diri maupun kepentingan umum. Persoalannya adalah ketika masih ada warga negara yang menggunakan demokrasi sebagai sarana untuk mempertahankan kepentingan diri, misalnya anggota PNS dan Polri yang menolak syarat mengundurkan diri sebelum mencalonkan dalam pemilihan pejabat negara (elected official). Contoh yang lain adalah anggota DPD yang bersikap mendua, yaitu menerima sistem jatah untuk jabatan Wakil Ketua MPR tetapi menolak sistem jatah untuk jabatan Ketua MPR. Terhadap situasi ini, MK menyumbangkan gagasan bahwa betul demokrasi adalah alat, namun dia bukan alat untuk membela kepentingan diri, melainkan kepentingan umum. Demokrasi adalah alat untuk mempertahankan prinsip-prinsip yang lebih mendasar yang ditetapkan dalam konstitusi, seperti: bentuk negara (kesatuan), bentuk pemerintahan (republik), negara berdasar hukum (rule of law). lx
Demokrasi Konstitusional
Sekali lagi, baik kondisi sebelum ada putusan maupun setelah ada putusan MK merupakan gambaran tentang kondisi demokrasi saat ini, karena keduanya sedang terjadi pada saat ini. Penelitian ini menggunakan gambar untuk menjelaskan kondisi demokrasi saat ini. Gambar 7: Gejala kondisi demokrasi konstitusional saat ini
Penjelasan dari gambar tersebut dapat diringkas sebagai berikut. Saat ini kita sedang berada di ‘karpet merah’ pembentukan demokrasi konstitusional. Ada dua fase di dalamnya –sebelum dan setelah putusan MK- yang keduanya berwarna abu-abu. Warna abuabu ini ingin digunakan untuk menggambarkan bahwa dinamika pembentukan demokrasi konstitusional belum berakhir. Secara sederhana dinamika tersebut adalah: UU diuji oleh MK. Putusan MK dijalankan oleh pembuat UU dengan mengeluarkan UU baru. UU baru ini belum tentu sesuai dengan semangat yang dikandung oleh putusan MK. Jika demikian yang terjadi, maka UU tersebut akan diuji lagi ke MK, lalu keluar lagi putusan MK. Begitu seterusnya. Perjalanan lxi
Demokrasi Konstitusional
putusan MK tentang DKPP merupakan contoh yang nyata dari dinamika ini. Contoh yang lain adalah putusan tentang hak pilih mantan terpidana. Putusan MK Nomor 14-17/PUU-V/2007 tidak direspons oleh pembuat UU, bahkan pembuat UU membuat pembatasan dan/atau pelanggaran yang lebih berat dengan mengganti frasa “tidak sedang” menjadi “tidak pernah”. Warna abu-abu juga ingin digunakan untuk menggambarkan kondisi internal putusan MK sendiri. Meskipun secara normatif putusan MK bersifat final dan mengikat, namun faktanya MK tidak selalu final dalam memutuskan tema yang sama. Putusan terhadap tema penyelenggaraan Pemilu serentak sebagaimana telah diuraikan sebelumnya merupakan contoh nyata dari kondisi ini. Pengalaman tersebut memberikan peringatan bahwa mungkin saja hal tersebut akan terjadi lagi. Persoalannya bukan apakah MK harus kaku (tidak mengikuti perkembangan) tetapi apakah perubahan sikap MK semakin mendekati konsep ideal tentang demokrasi. Penelitian ini akan berakhir dengan mengkonversi kondisi demokrasi tersebut dalam angka. Caranya dengan membuat skala, yaitu 0-1, dimana 0 adalah kondisi paling belum ideal dan 1 adalah kondisi paling ideal. Kata ‘ideal’ di sini merujuk pada pengertian ‘idea’ yakni abstrak, melampaui rumusan yang definitif dan indikator-indikator. Kondisi ideal tidak berubah. Penentuan nilai dilakukan dengan cara meminta penilaian dari narasumber (ahli) dan penilaian oleh tim peneliti sendiri. Jika ada perbedaan nilai akan dilakukan negosiasi sampai menghasilkan kesepakatan lxii
Demokrasi Konstitusional
angka yang sama. Selanjutnya adalah persetujuan dari supervisor. Gambar 8: Status demokrasi konstitusional saat ini
0, 4: We are here!
Dengan menggunakan skala 0-1 tersebut, penelitian ini berkesimpulan bahwa kondisi demokrasi konstitusional Indonesia pasca amandemen UUD 1945 -sebagaimana digambarkan di atas- adalah setara dengan angka 0,4 dalam skala 0-1.
lxiii
Demokrasi Konstitusional
lxiv
Demokrasi Konstitusional
BAB I Mengapa merujuk pada putusan MK? “Mahkamah Konstitusi adalah saudara kembar dari demokrasi konstitusi. Keduanya adalah anak kandung dari amandemen konstitusi” (M. Ali Syafaat) A. Latar Belakang Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi tafsir Mahkamah Konstitusi (MK) tentang demokrasi konstitusional Indonesia pasca amandemen UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), melalui argumentasi yang tersebar dalam putusan-putusan MK tentang pengujian undang-undang di isu kepemiluan. Demokrasi konstitusional adalah konsep demokrasi positif dalam arti diputuskan sebagai konsep yang berlaku di sebuah negara yang keberadaannya dilegalkan melalui konstitusi. Dalam konteks Indonesia, sebagai sebuah konsep, masing-masing konsep demokrasi yang berlaku sejak era Orde Lama, Orde Baru sampai Orde Reformasi adalah demokrasi konstitusional. Namun sebagai sebuah nama, ‘demokrasi konstitusional’ menandai demokrasi yang berlaku pada era reformasi. Pada era Orde Lama nama yang umum digunakan adalah ‘demokrasi terpimpin’ dan ‘demokrasi parlementer’, sedangkan pada era Orde Baru nama yang populer adalah ‘demokrasi pancasila’. Lahirnya demokrasi konstitusional bersamaan
1
Demokrasi Konstitusional
dengan lahirnya pengadilan konstitusional yang dioperasikan oleh MK. Penelitian ini menilai putusan MK sebagai sumber referensi yang otoritatif untuk menemukan tafsir terhadap pengertian demokrasi konstitusional Indonesia karena alasan konseptual dan alasan faktual. Secara konseptual, ada dua pandangan tentang hubungan antara ide ‘pengadilan konstitusi’ dengan ide ‘demokrasi konstitusional’. Yang pertama adalah pandangan kelompok institusionalis, yang berpendapat bahwa ide tentang ‘pengadilan konstitusi’ merupakan agenda utama dalam reformasi hukum (melalui amandemen konstitusi). Yang kedua adalah pandangan kelompok noninstitusionalis, yang berpendapat bahwa ide ‘pengadilan konstitusi’ merupakan prasyarat bagi beroperasinya ide tentang demokrasi konstitusional. Dengan kata lain, keberadaan ‘pengadilan konstitusi’ merupakan jaminan bagi berlangsungnya transisi demokrasi itu sendiri. Amandemen konstitusi Indonesia merupakan contoh dari pendekatan institusionalis dalam melakukan reformasi. Salah satu lembaga baru yang terbentuk atas mandat amandemen konstitusi adalah MK.1 Gagasan pembentukan MK setidaknya didorong oleh tiga alasan:2 1. Bertambahnya jumlah lembaga negara dan bertambahnya ketentuan sebagai akibat perubahan UUD 1945, menyebabkan potensi sengketa antarlembaga negara menjadi semakin banyak. Sementara itu telah terjadi perubahan paradigma dari supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat 1
Lembaga baru yang lain adalah Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Menegakkan Negara Hukum yang Demokratis: Catatan Perjalanan Tiga Tahun Mahkamah Konstitusi 2003-2006, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, 2006), hal. 28. 2
2
Demokrasi Konstitusional
(MPR) kepada supremasi konstitusi, sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi negara pemegang supremasi kekuasaan yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang netral untuk menyelesaikan sengketa tersebut. 2. Sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukan bahwa suatu keputusan yang demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga yang berwenang menguji konstitusioonalitas undang-undang terhadap UUD. 3. Ada kasus aktual yang terjadi di Indonesia pada saat itu, yaitu pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenannya, oleh MPR pada sidang istimewa MPR tahun 2001. Kasus ini mengilhami tercetusnya pemikiran untuk mencari cara agar ada mekanisme hukum yang membingkai proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang tidak didasarkan atas alasan politis semata. Untuk itu, disepakati keperluan akan adanya suatu lembaga yang berkewajiban menilai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya. Secara historis, Marcus Mietzner mengungkapkan bahwa akar pendirian MK tidak bisa dilepaskan dari perselisihan politik yang terjadi pasca lengsernya Soeharto, sehingga memunculkan desakan kepada para elit politik 3
Demokrasi Konstitusional
saat itu tentang perlunya mekanisme baru untuk menyelesaikan konflik politik. Secara gamblang dikemukakan oleh Marcus Mietzner bahwa aktor-aktor politik kunci pada saat itu mempertengkarkan hukum dan peraturan yang tidak jelas, sehingga memicu konflik yang mengancam proses demokratisasi itu sendiri. Situasi ini terjadi khususnya pasca-diumumkannya hasil Pemilu 1999, ketika aktor-aktor politik baru masuk gelanggang untuk bertempur melawan aktor-aktor politik lama yang cenderung pro status-quo.3 Lebih jauh -dengan merujuk pada Jamie S. Davidson-, Marcus Mietzner menyatakan bahwa pembentukan MK merupakan respon langsung terhadap kurang jelasnya wasit peradilan dalam politik Indonesia dan juga didorong oleh ‘hasrat intrinsik’ dari para elit politik untuk bergabung dengan komunitas dunia demokrasi, yang terlebih dahulu melahirkan lembaga ini.4 Pengamat lain (Simon Butt) mengatakan bahwa peristiwa pelengseran Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001 menjadi pemicu yang paling kuat bagi lahirnya MK. Peristiwa tersebut menimbulkan kegamangan dan kontroversi di level elit politik, yang mengarah pada perlunya lembaga yang netral untuk menyelesaikan masalah kenegaraan seperti itu.5 Senada dengan itu, Tim Lindsey secara tegas mengatakan bahwa pembentukan MK merupakan jawaban langsung terhadap krisis yang dipicu oleh pemecatan Abdurrahman Wahid. Meski diakuinya juga, kelahiran pengadilan ini juga merupakan 3
Marcus Mietzner, Political conflict resolution and democratic consolidation in Indonesia: The role of the Constitutional Court, dalam Journal of East Asian Studies vol. 10 (2010), hal. 397–424. Tersedia di http://www.thefreelibrary.com/Political+conflict+resolution+and+democratic+consolidation+in...a0241627391. 4 Selengkapnya lihat Jamie S. Davidson, Dilemmas of democratic consolidation in Indonesia, dalam Journal Pacific Review Vol. 22, No. 3 (2009), hal. 293-310. 5 Simon Butt, Indonesia’s constitutional court: conservative activist orstrategic operator?, dalam Björn Dressel, The Judicialization of Politics in Asia, (London: Routledge, 2012), hal. 100.
4
Demokrasi Konstitusional
tanggapan terhadap ketiadaan mekanisme constitutional review di Indonesia. Diuraikan oleh Tim Lindsey, Soeharto yang terus mempertahankan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, menegaskan bahwa pengadilan di Indonesia tidak bisa menjalankan kekuasaan (constitutional review) tersebut. Akibatnya seluruh undangundang yang dihasilkan oleh DPR, tidak diberikan ruang penilaian dan penafsiran oleh pengadilan. Selama Orde Baru berkuasa, juga tidak ada perkembangan doktrin penafsiran konstitusi, meskipun ditemukan banyak rumusan undang-undang yang materinya tidak saja inkonstitusional tetapi juga tercela. Kondisi inilah yang menurut Tim Lindsey berpengaruh besar terhadap terus memburuknya disfungsi, korupsi dan eksploitasi politik atas sistem hukum di Indonesia semenjak tahun 1959.6 Mengapa amandemen konstitusi memilih membentuk lembaga baru dan tidak memberikan kewenangan tersebut kepada Mahkamah Agung (MA)? Mengutip Sebastian Pompe, jawabannya adalah karena reputasi MA –baik independensi maupun kompetensi- dianggap kurang memadai. Hal ini ditandai oleh tingginya angka korupsi peradilan.7 Dengan demikian, pendirian MK menjadi satusatunya pilihan untuk melaksanakan kewenangan berbagai kewenangan yang menyangkut politik dan tafsir atas konstitusi.8 Kelahiran MK disepakati oleh MPR pada perubahan ketiga UUD 1945, 9 November 2001. Perihal MK diatur
6
Tim Lindsey, Indonesian constitutional reform: Muddling towards democracy, dalam Singapore Journal of International and Comparative LawVol. 6 (2002), hal. 260-261. Tersedia di http://law.nus.edu.sg/sybil/downloads/articles/SJICL-2002-1/SJICL-2002-244.pdf. 7 Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse, (Ithaca, NY: Cornell University, 2005). 8 Simon Butt, Indonesia’s constitutional court ... dalam Op.Cit., hal. 101.
5
Demokrasi Konstitusional
dalam frase “Kekuasaan Kehakiman”, sebagaimana diatur pada Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”9 Selanjutnya mengenai kewenangan MK diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi: (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.10 (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang Dasar.11 Bertolak dari posisi dan kewenangan MK tersebut, bisa disimpulkan bahwa secara faktual MK adalah satusatunya lembaga yang berwenang menafsirkan isi konstitusi. Putusan MK merupakan penjelasan atas prinsip-prinsip yang dimuat dalam konstitusi. Tidak ada 9
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945. 11 Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945. 10
6
Demokrasi Konstitusional
template atau pedoman tunggal tentang tafsir konstitusi yang menjadi rujukan MK dalam membuat keputusan. Oleh karenanya, MK menafsirkan konstitusi dengan cara menggelar kontestasi gagasan yang bersumber dari pendekatan yang multi disiplin keilmuan, seperti pendekatan sejarah, sosiologi, antropologi, hukum, filsafat, dsb. Argumentasi-argumentasi yang dikontestasikan di persidangan tersebut menjadi dasar bagi MK untuk merumuskan pertimbangan-pertimbangannya. Selanjutnya MK menetapkan putusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut. Dengan demikian, putusan MK pada dirinya sendiri memuat kumpulan gagasan konseptual dan keputusan tentang konsep mana yang sesuai dengan maksud konstitusi. Sejak dibentuk pada Tahun 2003 sampai Tahun 2013, MK telah menerima 801 permohonan pengujian UndangUndang (UU) terhadap UUD 1945. Adapun jumlah UU yang diajukan pengujian adalah 213. Dari jumlah permohonan tersebut, MK telah mengeluarkan 481 putusan, dengan perincian: dikabulkan (125 putusan), ditolak (169 putusan), tidak diterima (139 putusan) dan ditarik kembali (48 putusan).12 Khusus tentang tema kepemiluan, yang meliputi: UU Pemilihan Umum (Pemilu), UU Penyelenggara Pemilu, UU Pemerintahan Daerah (Pemda), UU Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), UU Partai Politik (Parpol) dan UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres), ada kurang lebih 53 putusan.
12
Rekapitulasi perkara pengujian UU, diunduh dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU, diakses pada Tanggal 22 Juli 2013.
7
Demokrasi Konstitusional
B. Rumusan masalah Ada tiga tafsir tentang demokrasi konstitusional yang ingin ditemukan melalui penelitian ini, yaitu: 1. Apa pengertian demokrasi konstitusional menurut MK? 2. Apa rasionalitas yang mendasari pengertian MK tentang demokrasi konstitusional? 3. Apa status demokrasi konstitusional saat ini? C. Hasil yang diharapkan Dari pokok-pokok permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka hasil yang ingin ditemukan melalui penelitian ini adalah: 1. Identifikasi ciri-ciri demokrasi konstitusional menurut MK; 2. Jenis rasionalitas yang mendasari MK dalam menjelaskan demokrasi konstitusional; 3. Penilaian terhadap status demokrasi saat ini. D. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Tahapan Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian, penelitian ini menggunakan metode ‘generalisasi induktif’ artinya dari data-data empirik lalu digeneralisasi/diabstraksi untuk mendapatkan gagasan yang lebih mendasar dan umum. Satu-satunya data empirik dalam penelitian ini adalah putusan MK. Adapun tahapan yang dilakukan adalah:
8
Demokrasi Konstitusional Gambar 1: Alur pengolahan data
Mengapa tipologi ini yang dipilih? Penelitian ini menggunakan dua tipologi umum tentang demokrasi – demokrasi prosedural dan demokrasi substansialsebagai kerangka untuk mengelompokkan substansi argumentasi MK, karena dengan model pemilihan yang ekstrem (bipolar) seperti ini data penelitian bisa dikelompokkan secara presisif (detail, hati-hati, akurat). Bagaimana cara menggunakan tipologi ini? Dengan cara menentukan perbedaan yang tegas antara demokrasi prosedural dan demokrasi substansial dengan cara merumuskan inti pengertian dari masingmasing tipologi. Pengertian ini diperoleh dari meringkas definisi-definisi teoritis dari para ahli yang berpendapat tentang demokrasi dan meringkas pertanyaan-pertanyaan kunci yang digunakan oleh lembaga-lembaga yang melakukan penilaian kualitas demokrasi. 9
Demokrasi Konstitusional
Bagaimana cara melakukan abstraksi? Proses pengabstraksi-an dilakukan melalui wawancara dengan narasumber (ahli), penilaian oleh tim peneliti sendiri dan persetujuan dari supervisor. Penilaian oleh tim peneliti didasarkan pada pengetahuan peneliti dengan merujuk pada semua bahan bacaan yang digunakan dalam penelitian dan konsultasi dengan supervisor. Adapun penjelasan dari masing-masing tahapan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tahap pengumpulan data primer Pada tahap ini ada dua aktifitas yang dilakukan. Pertama, menyeleksi putusan. Putusan yang tidak mengandung argumentasi (istilah yang digunakan dalam putusan MK adalah “pertimbangan hakim�) akan disisihkan. Umumnya ini ditemukan pada putusan yang berisi penolakan legal standing dan penetapan mengabulkan penarikan perkara, sehingga tidak masuk pemeriksaan pokok perkara. Kedua, melakukan coding atau memberikan tanda mana materi yang akan masuk demokrasi prosedural dan mana yang akan masuk demokrasi substansial. Hasil dari tahap ini adalah argumentasi yang sudah disortir dan diberikan kode. 2. Tahap pemilahan data Pada tahap ini, ada dua aktifitas yang dilakukan. Pertama, merumuskan tema. Materi-materi yang sudah di-coding berdasar dua tipologi tersebut menjadi dasar untuk menemukan apa saja tematema utama yang dibahas. Kedua, menyusun argumentasi-argumentasi yang masuk dalam masing-masing tema. Hasil dari tahap ini 10
Demokrasi Konstitusional
identifikasi tema beserta kutipan-kutipan argumentasi-argumentasi yang relevan. 3. Tahap abstraksi/generalisasi Identifikasi tema beserta kutipan argumentasi tersebut menjadi modal untuk melakukan abstraksi. Ada tiga abstraksi yang dilakukan berdasarkan tujuannya, yaitu: a. Abstraksi untuk menghasilkan ciri-ciri demokrasi konstitusional. Caranya dengan menggabungkan ciri-ciri yang ditemukan dari masing-masing tipe, baik yang dinyatakan secara eksplisit maupun implisit. Proses abstraksi ini dibantu oleh referensi teoretik tentang ciri-ciri masing-masing tipe demokrasi. Hasilnya adalah identifikasi ciri-ciri demokrai konstitusional yang bertolak dari dua tipologi demokrasi, baik yang ditemukan dari argumentasi yang eksplisit maupun yang implisit. b. Abstaraksi untuk menghasilkan rasionalitas di balik argumentasi Caranya dengan merujuk pada teori rasionalitas. Ada dua jenis rasionalitas yaitu rasionalitas murni (pure reason) dan rasionalitas praktis (practical reason). Dalam konteks penelitian ini, cara menentukan rasionalitas adalah dengan menggunakan pertanyaan bantu, yakni: apakah demokrasi didudukkan sebagai tujuan konstitusional itu sendiri atau demokrasi didudukkan sebagai alat untuk mencapai tujuan konstitusional? Hasilnya 11
Demokrasi Konstitusional
adalah penilaian jenis rasionalitas mana yang digunakan oleh MK dan apa saja bentuknya. c. Abstraksi untuk menentukan nilai status demokrasi saat ini Frase ‘saat ini’ merujuk pada batasan waktu, yaitu : sejak amandemen UUD 1945 sampai suatu saat jika temuan dalam penelitian ini direvisi. Di sini ada dua kegiatan yang dilakukan, meliputi: Pertama, membagi periode ‘saat ini’ menjadi dua fase, yaitu fase sebelum ada putusan MK (berarti sumbernya adalah isi pasal UU yang diuji oleh MK ) dan fase setelah ada putusan MK (berarti sumbernya adalah sikap MK terhadap ketentuan yang diuji tersebut). Karena yang dianalisis dalam penelitian ini adalah putusan MK (bukan substansi UU yang diuji) maka cara menentukan situasi sebelum putusan MK adalah dengan menggunakan logika kebalikan (a contrario). Contohnya: jika kondisi setelah putusan MK adalah ditandai dengan adanya penyelenggara Pemilu yang independen, maka kondisi sebelum ada putusan MK adalah ditandai dengan tidak adanya penyelenggara Pemilu yang independen. Perlu diingat bahwa baik kondisi pada fase sebelum ada putusan MK maupun setelah ada putusan MK adalah gambaran tentang kondisi saat ini. Kedua, menentukan nilai terhadap status demokrasi saat ini, dengan mencantumkan angka. Caranya dengan membuat skala, yaitu 01, dimana 0 adalah kondisi paling belum ideal 12
Demokrasi Konstitusional
dan 1 adalah kondisi paling ideal. Kata ‘ideal’ di sini merujuk pada pengertian ‘idea’ yakni abstrak, melampaui rumusan yang definitif dan indikator-indikator. Kondisi ideal tidak berubah. Penentuan nilai dilakukan dengan cara meminta penilaian dari narasumber (ahli) dan penilaian oleh tim peneliti sendiri. Jika ada perbedaan nilai akan dilakukan negosiasi sampai menghasilkan kesepakatan angka yang sama. Selanjutnya adalah persetujuan dari supervisor. Jika supervisor berpendapat lain akan dilakukan negosiasi lagi. Jika tidak menemukan kesepakatan antara tim peneliti dengan supervisor, maka akan ditulis sebagai pendapat berbeda (dissenting opinion). Berikut ini adalah hasil pemilahan data berdasarkan dua tipologi demokrasi (demokrasi prosedural dan demokrasi substansial) tersebut. Mengapa data ini dipresentasikan di bagian metodologi, karena data ini bukan jawaban atas pertanyaan penelitian, melainkan bahan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Tabel 1: Pengelompokan data berdasarkan tipologi demokrasi Item Definisi operasional
Demokrasi Prosedural Disebut juga demokrasi elektoral atau demokrasi minimalis, yaitu konsep tentang sistem pemerintahan yang bertumpu proses dan kelembagaan, seperti Pemilu yang kompetitif.
Demokrasi Substansial Disebut juga demokrasi liberal yaitu konsep tentang sistem pemerintahan yang bertumpu pada nilai-nilai yang melingkupi proses seperti: rule of law, kebebasan informasi,
13
Demokrasi Konstitusional
Pertanyaan evaluatif
1.
2.
3. 4. 5.
6.
7.
8.
14
Sejauh mana sistem Pemilu independen dari kekuasaan pemerintahan dan partai politik? Sejauh mana sistem Pemilu bebas dari intimidasi dan penyalahgunaan kewenangan? Sejauh mana sistem Pemilu bisa diakses oleh seluruh warga? Sejauh mana keadilan prosedur dalam pendaftaran kandidat? Sejauh mana para kandidat bisa berkomunikasi dengan pemilihnya secara bebas? Sejauh mana komposisi legislatif dan eksekutif mencerminkan hasil Pemilu? Sejauh mana kebebasan membentuk partai politik, merekrut anggota dan mengkampanyekan diri? Sejauh mana efektifitas
kebebasan sipil, pertanggungjawaban pejabat negara, supremasi sipil di atas militer, pembatasan kekuasaan, penghormatan terhadap kelompok oposisi, perlindungan terhadap kelompok minoritas, keterbukaan informasi, kebebasan berpendapat, persamaan di depan hukum, dan lain-lain. 1. Sejauh mana parpol oposisi bisa berkontribusi dalam akuntabilitas pemerintahan? 2. Sejauh mana parpol terbuka terhadap perbedaan etnis, agama dan bahasa? 3. Sejauh mana pemerintah yang terpilih bisa mempengaruhi atau mengontrol persoalan-persoalan yang penting bagi kehidupan masyarakat? 4. Sejauh mana pemerintah yang terbebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme? 5. Sejauh mana perlindungan terhadap hak sipil dan hak politik? Hak sipil meliputi: kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan dari
Demokrasi Konstitusional aturan tentang disiplin parpol di dalam legislator? 9. Sejauh mana sistem keuangan parpol mencegah kepentingan khusus dari parpol? 10. Sejauh mana efektifitas legislatif dalam menginisiasi, mengawasi dan mengubah peraturan? 11. Sejauh mana efektifitas pengawasan legislatif terhadap eksekutif. 12. Sejauh mana kontrol sipil terhadap militer dan sejauh mana kehidupan politik bebas dari keterlibatan militer?
Data
Argumetasi MK yang berkaitan dengan: 1. Penyelenggara Pemilu, terdiri dari: independensi penyelenggara, mekanisme rekrutmen dan pembentukan pengawas Pemilu, dan
diskriminasi dan kebebasan berpendapat, sedangkan hak politik terdiri dari: hak memilih dan dipilih, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan. 6. Sejauh mana liberalisasi dan kesetaraan diakomodir? Liberalisasi (liberalization) merujuk pada bagaimana sektorsektor yang berbeda menerima otonomi, bagaimana pengaruh kekuatan politik otoritarian yang lama dan bagaimana pemerintah terpilih menentukan prioritasnya sendiri. Sedangkan kesetaraan merujuk pada sejauh mana kelompok minoritas –secara substansial- bisa mengakses sumber daya di berbagai sektor dan menikmati akses dan kekuasaan yang setara tersebut. Argumentasi MK yang berkaitan dengan hak politik warga, yang terdiri dari: 1. Hak memilih bagi pemilih yang tidak terdaftar di DPT 2. Hak politik bagi mantan narapidana politik.
15
Demokrasi Konstitusional
2.
3.
4.
5.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
3.
Hak dipilih bagi mantan terpidana.
Penyelenggaraan Pemilu, terdiri dari: tata cara pemungutan suara, penyelenggaraan Pemilu yang bertahap dan Pilkada. Partai Politik, terdiri dari: syarat pendirian parpol, status Badan Hukum parpol, cara memperoleh status badan hukum dan kewenangan parpol dalam penggantian antar waktu. Ambang batas (threshold), terdiri dari: electoral threshold, parliamentary threshold dan presidential threshold. Lembaga Perwakilan Rakyat, terdiri dari: sistem kamar di parlemen, posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan hak menyatakan pendapat DPR.
4.
Hak berpolitik Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI)/ Polisi Republik Indonesia (POLRI). Kebijakan afirmatif, yang meliputi: kuota perempuan dalam parlemen dan warga asli Papua. Calon Presiden independen Calon Kepala Daerah independen Hak untuk mengawasi pemerintahan. Hak untuk menyatakan pendapat.
5.
6. 7. 8. 9.
Catatan: Definisi teoritis dan pertanyaan evaluatif dirumuskan oleh peneliti dengan mengolah sumber-sumber kepustakaan; Pertanyaan evaluatif dicantumkan sebagai satu kesatuan penjelasan teoritis tentang demokrasi prosedural dan substansial, bukan karena tipologi ini akan digunakan untuk menilai kualitas demokrasi konstitusional.
16
Demokrasi Konstitusional
2. Batasan Penelitian Penelitian ini memfokuskan pada putusan-putusan MK yang terkait dengan UU Kepemiluan, yang meliputi: UU Pemilu, UU Penyelenggara Pemilu, UU Pemda, UU MD3, UU Parpol dan UU Pilpres. Pemilihan ini didasarkan beberapa alasan, yaitu: a. Betul bahwa konsep demokrasi bukan hanya bisa ditemukan pada putusan-putusan MK tentang UU Kepemiluan, melainkan pada seluruh putusan MK. Namun penelitian ini didasarkan pada pengandaian bahwa tema kepemiluan relatif lebih signifikan dibandingkan dengan tema-tema yang lain, karena tema kepemiluan merupakan bentuk konkrit dari demokrasi dalam arti minimal (demokrasi prosedural). b. Penelitian ini diharapkan menjadi fondasi bagi penelitian putusan MK pada tema-tema yang lainnya. Konsekuensi dari penetapan batasan pada tema kepemiluan adalah adanya pengisolasian tema kepemiluan dari tema-tema yang lain dan tidak pengujian apakah temuan-temuan pada tema Pemilu ini juga berlaku untuk tema yang lain. Selain pembatasan tema, penelitian ini juga membatasi sumber data yaitu isi putusan MK. Konsekuensinya penelitian ini akan mengisolasi isi putusan dengan data-data di luar isi putusan (misalnya pendapat ahli di media massa).
17
Demokrasi Konstitusional
E. Hipotesis Penelitian Penelitian ini menduga bahwa karena mandat utama MK adalah pengawal konstitusi, sedangkan konstitusi sendiri tidak memuat kata ‘demokrasi’ secara eksplisit, maka melalui tafsir MK bisa kita temukan pengertian demokrasi konstitusional. Meski demikian, demokrasi konstitusional bukan tujuan konstitusional itu sendiri, melainkan sarana untuk mempertahankan prinsip-prinsip konstitusional. F.
Sistematika Penulisan Laporan penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab yang terbagi menjadi berikut: BAB I: Mengapa merujuk pada putusan MK? Bab ini akan menguraikan alasan mengapa menetapkan putusan MK sebagai referensi yang otoritatif untuk menemukan pengertian demokrasi konstitusional. Alasan mencakup aspek konseptual, yaitu: hubungan antara ide tentang MK dan ide tentang reformasi hukum (amandemen konstitusi) maupun aspek faktual, yaitu faktor-faktor yang melatarbelakangi pembentukan MK. Bab ini juga memuat pertanyaan penelitian, hasil yang ingin dicapai, metode yang digunakan dan hipotesis. BAB II: MK dan pembangunan ‘demokrasi konstitusional’ Bab ini akan menguraikan barbagai kajian teori tentang demokrasi, metode menalar demokrasi, metode menilai kualitas demokrasi dan teori tentang pembentukan MK. Bab ini akan diakhiri dengan kesimpulan yang berisi definisi-definisi yang 18
Demokrasi Konstitusional
dirumuskan oleh penelitian ini sendiri dan bagaimana penelitian ini menggunakan deskripsi teoritis tersebut untuk menjawab pertanyaan penelitian. BAB III: Ciri (prosedural) ‘demokrasi konstitusional’ Bab ini akan menguraikan data-data (argumentasi dalam putusan MK) yang sudah disusun menjadi tujuah tema utama, yakni: independensi penyelenggara Pemilu, proses Penyelenggaraan Pemilu, Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada), Parpol, Lembaga Perwakilan, ambang batas (threshold) dan pengawasan legislatif terhadap eksekutif. Bab ini akan ditutup dengan kesimpulan yang memuat identifikasi konsepkonsep utama yang diajukan oleh MK terkait dengan demokrasi prosedural. BAB IV: Ciri (substansial) ‘demokrasi konstitusional’ Bab ini akan menguraikan data (argumentasi dalam putusan MK) yang terkait dengan demokrasi substansial. Materi yang masuk dalam demokrasi substansial adalah hak berpolitik, yang terdiri dari tujuh bentuk hak berpolitik, yaitu: hak memilih bagi pemilih yang tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT), hak politik bagi mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), hak dipilih bagi mantan terpidana, hak berpolitik bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (POLRI), kebijakan afirmatif (bagi perempuan dan orang asli papua), hak untuk menjadi calon presiden secara independen dan kepala daerah secara independen, dan kebebasan untuk berekspresi. Bab ini diakhiri dengan kesimpulan yang memuat identifikasi 19
Demokrasi Konstitusional
konsep-konsep utama yang diajukan oleh MK terkait dengan demokrasi substansial. BAB V: ‘demokrasi konstitusional’ Indonesia pasca amandemen UUD 1945: pengertian, rasionalitas dan status saat ini Bab ini merupakan jantung dari laporan penelitian ini, yang memuat uraian temuan terhadap tiga pertanyaan penelitian, yaitu pengertian demokrasi konstitusional, rasionalitas yang digunakan oleh MK dalam menempatkan demokrasi konstitusional dan status demokrasi konstitusional saat ini.
20
Demokrasi Konstitusional
BAB II MK dan pembangunan ‘demokrasi konstitusional’ “Sebagai sebuah konsep, baik ‘demokrasi terpimpin’ pada era Orde Lama,’ demokrasi pancasila’ pada era Orde Baru sampai demokrasi pada Orde Reformasi adalah demokrasi konstitusional. Namun sebagai sebuah nama, ‘demokrasi konstitusional’ menandai demokrasi yang berlaku pada era reformasi”(Robertus Robet) A. Pengantar Bab ini akan menguraikan kajian teoritis dan historis tentang konsep demokrasi, cara menalar demokrasi dan pengadilan konstitusi, yang akan dibagi menjadi beberapa sub bab. Pertama, paparan seputar pemikiran-pemikiran teoritis tentang demokrasi yang dibagi menjadi tiga tipologi yaitu pendefinisian yang bertolak dari negara, pendefinisian yang bertolak dari warga negara dan yang menggabungkan keduanya. Jenis demokrasi yang juga diuraikan adalah demokrasi konstitusional. Kedua, uraian tentang metode menilai kualitas demokrasi yang dibagi menjadi tiga tipologi yaitu penilaian yang bertolak dari posisi negara, posisi warga negara dan gabungan keduanya. Ketiga, paparan pemikiran tentang bagaimana menalar demokrasi. Keempat, uraian tentang lahirnya ide tentang ‘pengadilan konstitusi’. Bab ini akan ditutup dengan kesimpulan yang memuat definisi-definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini dan bagaimana penelitian ini menggunakan semua pemikiran terotitis tersebut untuk menjawab pertanyaan penelitian. 21
Demokrasi Konstitusional
B. Mengkonseptualisasikan Demokrasi Seperti disinggung sebelumnya bahwa penelitian ini akan menggunakan tiga tipologi pendefinisian demokrasi, yaitu pendefinisian yang berfokus pada negara, pendefinisian yang berfokus pada warga negera dan pendefinisian yang menggabungkan keduanya. Pada tipologi yang pertama (definisi demokrasi yang berfokus pada negara) kita akan berjumpa dengan beberapa istilah, seperti: demokrasi prosedural, demokrasi republikan dan pemerintahan mayoritas. Pada tipologi yang kedua (definisi demokrasi yang berfokus pada warga negara) kita akan berjumpa dengan beberapa istilah, seperti: demokrasi substansial, demokrasi liberal dan pengakuan hak individual. Sedangkan pada tipologi yang ketiga (definisi yang menggabungkan keduanya) kita akan berjumpa dengan istilah demokrasi deliberatif dan demokrasi partisipatif. Di luar tipologi tersebut, penelitian ini juga akan menguraikan pengertian demokrasi konstitusional. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa demokrasi adalah perkara konsep pemerintahan (governance). Beberapa pertanyaan yang menjadi perhatian terkait dengan konsep pemerintahan antara lain: siapa yang harus memerintah? Berapa banyak yang memerintah? Bagaimana cara mengisi jabatan-jabatan pemerintahan? Bagaimana hubungan antara ‘yang memerintah’ dan ‘yang diperintah’? Demokrasi adalah salah satu konsep pemerintahan, tetapi bukan satusatunya. Konsep pemerintahan selain demokrasi adalah tirani, aristokrasi, dan monarkhi. Aristoteles –sebagaimana dikutip oleh Robert A. Dahlmenulis dalam The Politics bahwa dalam negara demokrasi, rakyatlah (atau demos) yang berdaulat; sebaliknya dalam oligarki sedikit orang (atau oligoi) yang 22
Demokrasi Konstitusional
mempunyai tempat. Secara harfiah, demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat.13 Pernyataan Aristoteles tersebut tidak mengisyaratkan bahwa demokrasi lebih baik dari konsep yang lain. Menurut Aristoteles – sebagaimana dikutip oleh Richard Mulgan- pemerintahan yang baik bukan terletak pada berapa orang yang memerintah tetapi terletak pada dari sudut pandang mana memerintah. Pemerintahan dengan sudut pandang kepentingan publik lebih baik dari pada dengan sudut pandang privat. Mulgan menulis: “The correct forms of government are those in which the one, the few or the many govern with a view to the common interest: but the governments which rule with a view to the private interest whether of the one, or the few or of the many are deviations” (Pol. III 7, 1279a28Demokrasi prosedural menekankan praktik-praktik dan institusi-institusi 32).14 yang mencirikan rezim yang demokratis tanpa memperhatikan apa hasilnya dan bagaimana rezim tersebut dibentuk
‘Pemerintahan oleh rakyat’ (by the people) itu artinya pemerintahan untuk rakyat (for the people) dan dari rakyat (of the people). ‘Pemerintahan untuk rakyat’ didasarkan pada ide bahwa pemerintah ada demi rakyatnya, bukan demi keuntungan bagi pemerintah sendiri. Sedangkan ‘pemerintahan dari rakyat’ didasarkan pada idea bahwa pemerintah memiliki
13
Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya, jilid 1, diterjemahkan oleh Yayasan Obor Indonesia, hlm 158. 14 Richard Mulgan, Aristotle on Legality and Corruption, dalam CORRUPTION. Expanding the focus, ANU E Press, 2012, hlm 30.
23
Demokrasi Konstitusional
kewenangan hanya melalui rakyat yang melakukan pemilihan.15 Selain tidak mengatakan bahwa demokrasi lebih dari konsep yang lain, pendapat Aristoteles tersebut juga tidak bisa dimasukkan dalam tiga tipologi yang digunakan dalam penelitian ini. Selanjutnya akan dipaparkan pengertian setiap jenis demokrasi berdasarkan tiga tipologi. B.1. Demokrasi Prosedural atau Elektoral atau Minimalis Joseph Schumpeter menuliskan bahwa pada sekitar abad ke-18 berkembang pemahaman tentang sebuah metode disebut demokratis jika ada pengaturan yang terlembaga untuk menghasilkan kebijakan politik yang bisa mewujudkan kebaikan bersama, dengan cara membuat masyarakat memutuskan sendiri persoalanpersoalan penting mereka melalui pemilihan yang diikuti oleh setiap individu. Pandangan ini mengandaikan adanya kebaikan bersama (common good) yang menerangi kebijakan politik, yang bisa dilihat oleh siapapun yang menggunakan rasio secara jernih. Adanya kebaikan bersama ini mengisyaratkan bahwa realitas sosial bisa dikelompokkan dalam kelas baik dan buruk. Asumsi yang lain adalah anggota masyarakat sadar akan tujuan, mengetahui mana yang baik dan yang buruk, mengambil peran secara aktif dan bertanggungjawab, dan aktif mengawasi urusan publik mereka.16 Persoalan muncul ketika faktanya tidak ada kehendak bersama yang tunggal. Bagi individu-individu yang berbeda, kebaikan bersama merujuk pada hal yang berbeda pula. Ini mungkin terjadi karena konsepsi tentang 15 16
Jonathan Wolff, An Introduction to Political Philosophy, revised edition, oxford, 2006, hlm 62-63 Joseph Schumpeter, Capitalism, Socialism & Democracy, Routledge, 2003, hlm 250-251
24
Demokrasi Konstitusional
kehidupan dan bagaimana masyarakat yang ideal tidak hanya dipengaruhi oleh rasionalitas. Selain itu, andaikan telah disepakati bahwa yang dimaksud kebaikan bersama adalah kepuasan ekonomi maka persoalan akan muncul pada indikator kepuasan, misalnya kepuasan saat ini melawan masa yang akan datang atau kepuasan menurut kapitalisme melawan sosialisme, dan lain-lain. Tidak sedikit pernyataan penolakan telah dikemukakan, seperti setiap orang menolak doktrin ini secara total, sinis dan jujur. Basis teori yang digunakan yaitu nalar utilitarian telah mati karena tidak ada yang menerimanya sebagai teori yang benar dalam politik.17 Menurut Schumpeter ada tiga alasan yang membuat doktrin klasik ini tetap bertahan sampai saat ini dan memiliki tempat di hati masyarakat dan pemerintah. Pertama, doktrin klasik ini mungkin tidak didukung oleh analisis empiris tetapi dia didukung oleh kelompok agama. Melalui keyakinan agama, kebaikan bersama (common good) dan nilai tertinggi (ultimate value) tidak lagi memerlukan penjelasan rasional. Kedua, di beberapa negara doktrin klasik itu terkait dengan peristiwa sejarah yang disetujui oleh mayoritas, sehingga kelompok oposisi pun akan menggunakan doktrin itu apapun makna dan akarnya. Ketiga, ada pola sosial dimana dokrin klasik sesuai, misalnya terhadap kelompok masyarakat yang primitif.18
17 18
Joseph A. Schumpeter, 2003, hlm 251, 265 Joseph A. Schumpeter, 2003, hlm 265-267
25
Demokrasi Konstitusional
Adam Przeworski mendukung konsep demokrasi yang diajukan oleh Schumpeter (demokrasi adalah sistem dimana pemerintah dipilih melalui Pemilu yang kompetitif) tersebut dengan menggabungkannya dengan konsep minimalis yang diajukan oleh Karl Popper (demokrasi adalah sistem dimana warga bisa mengganti pemerintah tanpa pertumpahan darah). Kedua konsep minimal tersebut perlu dipertahankan dengan asumsi bahwa kita ingin menghindari pertumpahan darah dalam penggantian pemerintahan dan menyelesaikan konflik tanpa menggunakan kekerasan.19 Penggantian pemerintahan perlu dilakukan karena barangkali pemerintah yang baru akan menghasilkan regulasi untuk menyelesaikan konflik secara damai. Menggantikan pemerintah melalui pemilihan lebih baik dibandingkan melalui lotere karena dengan metode pemilihan, konflik kekuatan politik bisa diatur, dibatasi dan berjalan sesuai aturan. Ini bukan sebuah konsensus tetapi hanya membatasi konflik menjadi konflik tanpa pembunuhan. Selain itu, dengan Pemilu, incumbent bisa terawasi dan pihak yang kalah menunggu peluangnya untuk memenangkan pemerintahan. Konsep minimal demokrasi : pemerintah Namun demikian, dipilih melalui Pemilu yang kompetitif demokrasi dan warga negara bisa mengganti prosedural seperti ini pemerintah tanpa pertumpahan darah hanya akan bertahan di negara yang sehat (jika tidak ada kesenjangan pendapatan), tidak ada satu partai 19
Adam Przeworski, Minimalist Coception of Democracy: A Defence, dalam The Democracy Sourcebook, 2003, hlm 12-13
26
Demokrasi Konstitusional
yang sangat dominan (menguasai lebih dari 2/3 suara) dan kepala negara tidak terlalu sering diganti (minimal 5 tahun sekali).20 Jonathan Wolff mengingatkan dua isu yang mendasar dalam merumuskan teori demokrasi. Pertama, tegangan antara demokrasi sebagai sistem pemerintahan mayoritas dan demokrasi sebagai sistem yang mempertimbangkan individu-individu. Tegangan antara demokrasi sebagai jalan untuk mencapai kebaikan bersama dan demokrasi sebagai ekspresi kebebasan dan kesetaraan. Keduanya saling menegasikan, baik di level konseptual maupun empirikal. Demokrasi sebagai pemerintahan mayoritas mengandaikan adanya kehendak bersama (common will) atau kebaikan bersama (common good). Menurut pandangan Rousseau -sebagaimana dikutip oleh Jonathan Wolff- demokrasi hanya akan bisa menghasilkan kebijakan yang memenuhi kehendak bersama jika membatasi kebebasan individu. Dengan kalimat lain, jika demokrasi sah secara instrumental dia tidak akan bisa mencapai dua nilai dasarnya sendiri yaitu kebebasan dan kesetaraan.21 Wolff juga mengajukan kekhawatiran John Stuart Mill tentang tirani mayoritas. Kadang-kadang kelompok mayoritas akan memenangkan pemilihan demi pemilihan itu sendiri dan meninggalkan kelompok minoritas seperti perempuan, budak dan sejenisnya.22
20
Adam Przeworski, 2003, hlm 15-16. Jonathan Wolff, An Introduction to Political Philosophy, revised edition, oxford, 2006, hlm 101. 22 Jonathan Wolff, 2006, hlm 100 21
27
Demokrasi Konstitusional
B.2. Demokrasi Partisipatif Terhadap tegangan di antara dua mazhab ini, Wolff menguraikan konsep demokrasi partisipatif (participatory democracy). Dengan merujuk pada pemikiran Rousseau, ada beberapa tesis yang dia kemukakan. Pertama, demokrasi partisipatif adalah jalan untuk menemukan ruang yang memungkinkan keterlibatan individu dalam diskusi dan pengambilan kebijakan. Forum tersebut harus menghormati pendapat yang berbeda. Kedua, tentu semua warga negara tidak mungkin mengikuti setiap pengambilan kebijakan, tetapi itu bukan alasan untuk meniadakan keterlibatan individu dalam pengambilan kebijakan. Barangkali seluruh warga negara seharusnya terlibat dalam pengambilan kebijakan yang paling penting, misalnya pernyataan perang. Ketiga, keterlibatan individu dalam pengambilan kebijakan bukan hanya di level legislasi tetapi juga di semua kebijakan yang berdampak padanya, Demokrasi partisipatif : artinya bukan warganegara sebagai subyek hanya di forum yang berdaulat, yang publik tetapi menentukan kebijakan untuk juga di ruang dijalankan oleh pemerintah. kerja, keluarga dan institusi civil society yang lainnya. Keempat, demokrasi partisipatif mengandaikan memberikan kekuasaan kepada pejabat sekecil mungkin dan kekuasaan masyarakat sebanyak mungkin. Warga negara membuat hukum, pejabat yang menjalankan atau warga negara memilih pejabat untuk membuat dan menjalankan hukum. Demokrasi partisipatif penting karena warga negara adalah subyek dari kebijakan 28
Demokrasi Konstitusional
(nasional maupun lokal) dalam arti mereka harus mematuhi aturan, sehingga mereka seharusnya memainkan perannya sebagai perumus dari kebijakan tersebut. Pada saat merumuskan kebijakan itulah warga negara sungguh-sungguh menjadi subyek yang 23 menggabungkan nilai kebebasan dan kedaulatan. Kedua, debat tentang prosedur pengambilan kebijakan, antara demokrasi langsung atau perwakilan. Demokrasi langsung yang dimaksudkan adalah warga negara melakukan referendum terhadap kebijakankebijakan tertentu. Sedangkan demokrasi perwakilan yang dimaksud adalah warga negara memilih untuk menentukan siapa yang akan mewakili mereka di level pemerintahan yang lalu akan membuat kebijakan.24 Demokrasi perwakilan bukan hanya prosedur pengambilan kebijakan, tetapi juga upaya untuk menjamin adanya perwakilan kelompok minoritas di parlemen, meskipun keterwakilan itu tidak serta merta berarti melindungi kepentingan minoritas.25 B.3. Poliarkhi : Demokrasi yang Tidak Sempurna Kekhawatiran tentang demokrasi prosedural juga bisa kita temukan pada pendapat Robert A. Dahl yang menyebutkan tiga
Poliarkhi adalah sebutan untuk praktik demokrasi yang tidak benar-benar demokratis (demokrasi yang tidak sempurna).
23
Jonathan Wolff, 2006, hlm 90-93 Jonathan Wolff, 2006, hlm 65 25 Jonathan Wolff, 2006, hlm 100 24
29
Demokrasi Konstitusional
potensi kegagalan proses demokrasi yaitu: pertama, kelompok mayoritas akan membajak demokrasi dalam arti menggunakan instrumen demokrasi untuk melanggar hakhak yang penting bagi demokrasi itu sendiri seperti kebebasan berbicara. Kedua, faktor-faktor eksternal yang penting bagi demokrasi seperti buta-huruf, kemiskinan, status rendah justru tidak dilindungi secara memadai. Ketiga, keputusan yang diambil secara demokratis justru bertentangan dengan nilai intrinsik demokrasi itu sendiri, misalnya orang yang dituduh berbuat jahat tidak memperoleh peradilan yang adil. Dengan kata lain, tampaknya konflik yang muncul adalah antara demokrasi prosedural dan substansial, tetapi sesungguhnya konflik terjadi antara proses dengan proses itu sendiri, dalam arti pencarian mana proses yang dapat diandalkan untuk mencapai hasil substantif yang terbaik.26 Terhadap tiga kemungkinan pelanggaran demokrasi prosedural tersebut, Dahl menawarkan empat alternatif cara, yaitu : 1) mengganti rezim demokratis dengan rezim jenis lain; 2) memperbaiki prores demokrasi yang tidak sempurna; 3) memberikan pembenaran terhadap kegagalan-kegagalan khusus yang ditimbulkan oleh proses demokrasi (yang sempurna maupun tidak sempurna) melalui proses yang tidak demokratis; 4) menerima tingkat kekerasan tertentu sebagai harga yang harus dibayar dari keuntungan-keuntungan proses demokrasi.27 Yang menjadi kepedulian Dahl adalah bagaimana negara demokrasi itu nyata, bukan hanya cita-cita. Menurutnya dalam kenyataannya negara-negara demokrasi itu tidak pernah sepenuhnya demokratis. 26
Robert Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya, Jilid I, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin, Yayasan Obor Indonesia, 1992, hlm 273-274. 27 Robert Dahl, jilid I, 1992, hlm 274
30
Demokrasi Konstitusional
Mengapa demokrasi (yang sempurna) tidak pernah ada? Karena dua syarat utamanya –para warga negara terlibat dalam kehidupan politik sebagai orang-orang yang sama secara politik dan rakyat percaya pada demokrasi- tidak mungkin dan sudah pasti tidak dapat diadakan. Kalaupun mungkin, itu belum diadakan lagi. Mengapa syarat-syarat itu tidak dapat diadakan? Mungkin karena mayoritas warga ingin mengadakan syarat itu tetapi tidak dapat melakukannya karena ketidaksempurnaan proses demokrasi. Mungkin juga karena mayoritas warga negara tidak menginginkan syarat-syarat tersebut.28 Untuk itu Dahl tidak menggunakan istilah demokrasi melainkan poliarkhi untuk menyebut demokrasi yang tidak sempurna.29 Ada tujuh ciri utama poliarkhi, yaitu: 1) Para pejabat yang dipilih dalam arti secara konstitusional kekuasaan berada di tangan para pejabat yang dipilih. Implikasinya mereka memiliki kewenangan yang tinggi yaitu mengawasi kebijakan pemerintah. 2) Pemilu yang bebas dan adil, dalam arti pemilihan pejabat dilakukan melalui Pemilu yang adil dan tidak menggunakan pemaksaan; 3) Hak suara yang inklusif, dalam arti semua orang dewasa berhak memberikan suara dalam pemilihan para pejabat; 4) Hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan, dalam arti semua orang dewasa berhak mencalonkan diri untuk mengisi jabatan yang diisi berdasarkan Pemilu; 5) Kebebasan menyatakan pendapat, dalam arti warga negara berhak menyatakan pendapat termasuk mengritik pemerintah tanpa bahaya hukuman yang keras; 6) Informasi alternatif, dalam arti warga negara berhak mencari sumber informasi alternatif, yang sumber tersebut 28 29
Robert Dahl, Jilid I, 1992, hlm 276-277 Robert Dahl, Jilid I, 1992, hlm 275
31
Demokrasi Konstitusional
dilindungi UU; 7) Otonomi asosiasional, dalam arti warga negara berhak berorganisasi untuk memperjuangkan hakhaknya yang bermacam-macam.30 B.4. Demokrasi Liberal Perluasan dari demokrasi prosedural adalah demokrasi substansial yang intinya melihat prosedur sebagai kebutuhan tetapi tidak cukup membawa hasil yang demokratis.31 Ada hal-hal lain yang perlu dicakup oleh demokrasi elektoral, seperti pemerintahan berdasarkan hukum (rule of law), kebebasan informasi, kebebasan sipil, distribusi kekuasaan yang menghasilkan pertanggungjawaban horizontal di antara para pejabat negara.32 Salah satu bagian dari demokrasi substansial adalah demokrasi liberal. Sebagai tambahan dari demokrasi elektoral, dia (demokrasi liberal) mensyaratkan absennya kekuatan militer atau kekuatan lain yang tidak bertanggungjawab melalui pemilihan baik secara langsung maupun tidak langsung, adanya pertanggungjawaban horizontal diantara sesama penyelenggara negara, memuat ketentuan yang luas bagi pluralisme politik.33 Ada beberapa ciri dari demokrasi liberal. 1) militer berada di bawah kekuatan sipil yang dipilih; 2) kekuasaan eksekutif dibatasi oleh cabang kekuasaan yang lain seperti peradilan yang bebas, parlemen dan mekanisme pertanggungjawaban horizontal yang lainnya; 3) pengakuan dan penghormatan terhadap partai politik alternatif atau suara opisisi; 4) tidak ada larangan bagi 30
Robert Dahl, Demokrasi dan Para Pengritiknya, Jilid II, diterjemahkan oleh A. Rahman Zainuddin, Yayasan Obor Indonesia, 1992, hlm 17. 31 Robert Dahl, The Democracy Sourcebook, London, 2003, hlm viv 32 Larry Diamond, Defining and Developing Democracy, dalam The Democracy Sourcebook, London, 2003, hlm 31 33 Larry Diamond, 2003, hlm 34
32
Demokrasi Konstitusional
kelompok minoritas (berbasis budaya, etnis, agama, dan lain-lain) untuk mengekspresikan kepentingannya dalam proses politik atau mempraktikkan budayanya; 5) warga negara memiliki banyak saluran untuk mengekspresikan kepentingan dan nilai-nilai yang diyakininya, termasuk bergabung dalam organisasi-organisasi; 6) ada alternatif sumber informasi (termasuk kebebasan media) dimana warga negara tidak memiliki hambatan secara politik untuk mengaksesnya; 7) individu-individu memiliki kebebasan untuk berkeyakinan, berpendapat, berdiskusi, berbicara, publikasi, demonstrasi dan memberikan petisi; 8) warga negara berkedudukan yang sama di depan hukum; 9) kebebasan individu dan kelompok dilindungi oleh peradilan yang bebas dan tidak diskriminatif yang keputusannya ditegakkan akan dihormati oleh pusat kekuasaan yang lainnya; 10) hukum melindungi warga negara dari penahanan, pengasingan, terror, penyiksaan dan gangguan yang tidak semestinya dalam kehidupannya yang tidak sah, baik yang dilakukan oleh negara maupun oleh kekuatan non negara yang terorganisir.34 B.5. Demokrasi Deliberatif Doktrin klasik tentang demokrasi juga dikritik Habermas –sebagaimana dipaparkan oleh F. Budi Hardiman- yang menyatakan bahwa demokrasi deliberatif bertolak dari fakta bahwa pada masyarakat yang semakin kompleks dewasa ini, tidak ada kehendak tunggal dimana kehendak pemerintah identik dengan kehendak rakyatnya. Bahkan ketika diantara rakyat sendiri kehendaknya berbeda-beda, bagaimana rakyat bisa mengendalikan pemerintah? Selain kehendaknya yang berbeda-beda, 34
Larry Diamond, 2003, hlm 35
33
Demokrasi Konstitusional
kontrol rakyat terhadap pemerintah sudah tidak mungkin dilakukan secara langsung, melainkan melalui kekuatan opini publik. Pertanyaannya bagaimana menguji keabsahan opini publik tersebut sebagai opini yang mencerminkan kepentingan semua orang yang tidak mengabaikan kepentingan minoritas?35 Demokrasi deliberatif (berasal dari kata Latin deliberatio kemudian dalam bahasa Inggris deliberation artinya “konsultasi” atau “menimbang-nimbang”) adalah sebuah diskursus praktis dalam arti bagaimana prosedur menjalankan kedaulatan rakyat, dengan kata lain bagaimana opini dan aspirasi politik dibentuk secara demokratis. Dia tidak memusatkan diri pada daftar aturan yang memuat kewajiban warga negara melainkan fokus pada prosedur yang menghasilkan aturan tersebut sehingga seluruh warga negara dapat mematuhinya. Menurutnya sebuah aturan harus diuji secara publik sedemikian rupa sehingga alasan-alasannya bisa diterima oleh seluruh warga negara dan tidak menutup kemungkinan adanya kritik dan revisi. Dengan Dalam demokrasi deliberatif ada demikian, tiga prinsip –resiprositas, keabsahan publisitas dan akuntabilitas- yang sebuah aturan mengatur proses politik dan ada tidak terletak tiga nilai dasar –kebebasan, peluang dasar dan peluang yang pada hasil adil- yang membangun materi komunikasi kebijakan. politik, melainkan pada prosesnya. Semakin terbuka proses 35
F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif. Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Kanisius, 2009, hlm 127-128.
34
Demokrasi Konstitusional
pembuatan sebuah kebijakan publik, maka semakin legitim pula hasilnya36. Meskipun diantara para pengaju teori demokrasi deliberatif37 terdapat perbedaan, namun sedikitnya ada tiga ciri dari demokrasi deliberatif yang sama. Pertama, mementingkan aturan main demokratis, jaminan hak-hak kebebasan, adanya partai-partai yang berkompetisi, pemilihan umum yang fair, asas mayoritas, debat publik, dan seterusnya. Kedua, peka terhadap konteks dalam arti memperhitungkan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat yang kompleks yang terglobalisasi dewasa ini. Ketiga, memberi perhatian pada pentingnya bentuk argumentasi, inklusivitas para peserta, kebebasan dari paksaan, pencapaian konsensus, dsb.38 Demokrasi deliberatif bukan berarti demokrasi minimalis dalam arti hanya keikutsertaan dalam pemilihan umum, melainkan proses-proses di antara pemilihan umum yang satu dan yang lain juga dilihat sebagai proses demokratis karena di ‘ruang antara’ ini dapat terjadi berbagai hal yang menghasilkan kesenjangan antara keputusan-keputusan pemilihan umum dan keputusan-keputusan konkrit pemerintah. Dengan kata lain, pemilihan umum tetap memiliki makna besar karena merupakan locus para warga negara menentukan diri mereka, namun pemilihan umum bukanlah locus satusatunya. Pada ‘ruang antara’ ini para warga negara memiliki kemungkinan untuk mengungkapkan pendapatpendapat mereka sendiri secara publik dan mempersoalkan 36
F. Budi Hardiman, 2009, hlm 128-130 Para pengaju demokrasi deliberatif antara lain : Seyla Benhabib, Joseph Bessette, Joshua Cohen, John S. Dryzek, James Fishkin, Charles Larmore, Bernard Manin (Lihat : Amy Gutman and Dennis Thompson, Democracy and Disagreemet, dalam The Democracy Sourcebook, 2003, hlm 19) 38 F. Budi Hardiman, 2009, hlm 132 37
35
Demokrasi Konstitusional
segala tema yang relevan untuk masyarakat agar suarasuara tersebut dikelola oleh sistem politik yang ada.39 Tentang demokrasi deliberatif, Amy Gutmann dan Dennis Thompson40 menggaris bawahi beberapa premis penting. Ide utama dari demokrasi deliberatif adalah ketika warga negara menolak secara moral, mereka (negara dan warga negara) tetap melanjutkan proses berargumentasi bersama untuk mencapai kebijakan yang bisa diterima. Di sini argumentasi moral menjadi kata kunci, dalam arti argumentasi moral selalu hadir dalam kehidupan politik kita, lalu kita mengkritisi dan memperluasnya sehingga mempengaruhi kehadiran prinsip-prinsip yang lain. Yang dimaksud argumentasi moral 窶電isebut juga generalitas- adalah cara melihat persoalan dari sudut pandang moral yang berlaku sama terhadap setiap orang yang berada dalam situasi yang sama, misalnya ketika melihat perempuan miskin yang ingin melakukan aborsi, laki-laki kulit putih yang gagal mendapatkan promosi, dsb. Ketika melihat persoalan yang tidak biasa tersebut, tidak tepat jika diajukan pertanyaan formal yang standar. Pertanyaan substantial yang relevan misalnya apa perhatian secara moral yang relevan bagi siapapun yang berada dalam situasi yang sama? Pertanyaan seperti ini akan menggiring kita pada pertimbangan apakah relevan membedakan laki-laki dan perempuan, kulit hitam dan kulit putih, dsb. Ada tiga prinsip utama dalam demokrasi deliberatif. Pertama, timbal balik (reciprocity) maksudnya warga negara mencoba menemukan sendiri cara yang saling bisa diterima untuk menyelesaikan perselisihan moral. Jadi 39
F. Budi Hardiman, 2009, hlm 132-133. Amy Gutman and Dennis Thompson, Democracy and Disagreement, dalam The Democracy Sourcebook, London, 2003, hlm 18-24. 40
36
Demokrasi Konstitusional
deliberatif bukan hanya cara untuk mencapai tujuan tetapi juga cara untuk memutuskan cara apa yang bermoral untuk mencapai tujuan bersama. Proses pengambilan keputusan bukan hanya di forum legislatif, proses persidangan dan dengar pendapat dengan pemerintah, tetapi juga pertemuan dengan organisasi akar rumput, kelompok profesional, pemangku kepentingan organisasi warga di Rumah Sakit, dsb. Kedua, publisitas (publicity) maksudnya argumentasi moral itu kontekstual dan dipengaruhi oleh fakta-fakta yang tersembunyi, kemungkinan resiko, kemungkinan-kemungkinan, kepercayaan terhadap karakter manusia dan proses sosial. Kadang-kadang asumsi-asumsinya dikagumi tetapi kontroversial, kadang nyaris benar. Ketiga, akuntabilitas (accountability) maksudnya perbedaan moral diantara para pihak (misalnya antara warga negara dan pemerintah) harus bisa dipertanggungjawabkan, misalnya melalui Pemilu. B.6. Demokrasi Konstitusional Secara historis, ide tentang demokrasi konstitusional lahir dari gerakan revolusioner yang panjang di Amerika dalam mempertahankan kemerdekaan masyarakat melawan aristokrasi. Gerakan tersebut memperjuangkan kesetaraan, baik di level personal maupun komunal. Pada level personal, para revolusioner mengklaim bahwa manusia diciptakan setara dan setiap manusia memiliki kemampuan dasar yang sama. Sedangkan pada level komunal, mereka mengklaim bahwa masyarakat harus menjadi organisasi yang mandiri (self-governing). Dengan kata lain mereka mempertahankan gagasan agar setiap
37
Demokrasi Konstitusional
organisasi –baik negara, keluarga maupun kelompokdiatur atas nama masyarakat secara luas.41 Amerika adalah contoh demokrasi konstitusional tertua di dunia. Lebih dari 2 (dua) abad mereka hidup dibawah opresi, tirani dan kesulitan ekonomi. Di sisi lain jutaan orang memiliki mimpi besar terhadap Amerika. Mimpi itu tidak berlebihan mengingat industri terpusat di Amerika. Bahkan Amerika ditempatkan sebagai tanah impian sejak kelahirannya. Namun tidak semua mimpi menjadi kenyataan di Amerika. Dennis C. Muller dalam bukunya Constitutional Democracy menguraikan problemproblem yang dihadapi Amerika dan negara-negara di belahan dunia yang lain seperti Eropa, Jepang, India, Amerika Latin dan Afrika. Dalam paparannya, Muller tidak berorientasi pada elaborasi problem itu sendiri, melainkan lebih menguraikan kemungkinan solusi, yakni pilihan-pilihan tentang pemerintahan konstitusional yang berbeda-beda.42 Dalam konteks Indonesia, Herbert Feith dalam bukunya The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, menggambarkan dinamika politik Indonesia pada rentang waktu 1949- 1957. Menurutnya, periode yang sering disebut ‘demokrasi terpimpin’ ini merupakan potret demokrasi konstitusional, karena memenuhi 6 karakter yang memenuhi kriteria dari ide tentang demokrasi konstitusional. Pertama, masyarakat sipil (civilian) memainkan peran yang dominan. Kedua, partai politik memiliki peran yang penting. Ketiga, para oposan tetap menunjukkan penghormatan terhadap aturan main yang berhubungan erat dengan keberadaan konstitusi. 41
Roberto Gargarella, The Legal Foundation of Inequality. Constitutionalism in the Americas, 17761860, Cambridge University Press, New York, 2010, hlm 1 42 Dennis C. Moeler, Constitutional Democracy, Oxford University Press, 1996, hlm 3-4
38
Demokrasi Konstitusional
Keempat, anggota dari elit politik memiliki komitmen terhadap ciri-ciri yang terhubung dengan demokrasi konstitusional. Kelima, kebebasan sipil (civil liberty) jarang dilarang. Keenam, pemerintah menggunakan paksaan (coercion) secara hati-hati.43 Feith melihat gambaran demokrasi konstitusional pada periode tersebut melalui perdebatan para cendekiawan dan praktik politik yang berkembang pada saat itu. Dari sisi praktik politik, dengan merujuk pada konstitusi dan platform 40 partai politik, dia menemukan bahwa ide demokrasi nyaris diterima tanpa syarat oleh partai politik, namun apa yang mereka tuliskan sebagi demokrasi tidak identik dengan demokrasi konstitusional dalam tradisi Barat. Umumnya mereka menulis demokrasi sebagai ‘kedaulatan rakyat’, ‘kerakyatan’, ‘suara rakyat suara tuhan’ dan ‘pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’. Umumnya mereka mendukung ide tentang persamaan semua warga negara, kritik terhadap kediktatoran dan hak dasar bagi masyarakat seperti kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan berpendapat dan kebebasan untuk bertempat tinggal. Parpol pada periode tersebut juga memberikan perhatian pada bagaimana ide demokrasi menjelma dalam institusi seperti parlemen dan parpol. Hal lain yang juga menjadi perhatian adalah peran mayoritas dan hak bagi minoritas, hak bagi individu dan pelembagaan oposisi.44
43
Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Equinox Publishing, JakartaKuala Lumpur, 2007, hlm xi. 44 Herbert Feith, 2007, hlm 39
39
Demokrasi Konstitusional Pengertian demokrasi konstitusional bisa lahir dari perenungan konseptual yaitu dengan menggabungkan ide tentang demokrasi dan ide tentang konstitusionalisme. Namun pengertian demokrasi konstitusional juga lahir dari perjuangan pembentukan negara.
Sedangkan dari perdebatan para cendekiawan, Feith mencatat beberapa cara mendefinisikan demokrasi. Pertama, demokrasi didefinisikan dari sudut pandang mistik/tradisional, yaitu bersatunya Tuhan dan hambanya ‘manunggaling kawulo lan Gusti’ (istilah oleh peneliti), seperti yang disampaikan oleh Soetardjo Kartohadikusumo dari Partai Indonesia Raya. Dari sudut pandang mistik ini, demokrasi dikaitkan dengan ide kepemimpinan, dimana pemimpin adalah orang yang secara spiritual lebih tinggi dari pada masyarakat umum. Kedua, demokrasi dipandang sebagai pembebasan individu yang menderita akibat tradisi yang hirarkhis. Demokrasi adalah cara untuk memberikan peluang kepada mereka untuk mengembangkan personalitasnya dan menghargai mereka berdasarkan bakat dan capaiannya. Pandangan seperti ini dia temukan pada pemikiran Syahrir dan anakanak muda yang berlajar di Barat, juga pada novelis Takdir Alisyahbana dan sastrawan Chairil Anwar. Ide mereka –demokrasi sebagai pembebasan individu- juga didasarkan pada praktik tradisi masyarakat adat yang mengedepankan musyawarah. Dalam tradisi ini pemimpin tidak harus memaksakan keinginannya tapi cukup mempengaruhi masyarakat untuk mengikutinya. Pemimpin harus konsultasi kepada masyarakat dan mengambil pandangan masyarakat tersebut untuk menjadi pertimbangan sebelum mengambil kesimpulan.45 45
Herbert Feith, 2007, hlm 40
40
Demokrasi Konstitusional
Berbeda dengan Gargarella, Muller dan Feith yang mendefinisikan demokrasi konstitusional sebagai praktik politik yang dinamis, Walter F. Murphy menjelaskan pengertian demokrasi konstitusional dengan menggabungkan konsep ‘demokrasi’ dan konsep ‘konstitusionalisme’. Menurutnya baik teori demokrasi maupun teori konstitusionalisme memberi perhatian pada persoalan otonomi dan martabat manusia. Namun perbedaannya terletak pada bagaimana metode melindungi kedua nilai tersebut. Teori demokrasi menekankan perlindungan terhadap kedua nilai tersebut dengan cara mempromosikan hak warga untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan teori konstitusi mengajukan metode pembatasan kekuasaan negara. Tujuan dari konstitusionalisme bukan untuk membiarkan masyarakat dari kematian di jalan tapi dari kematian di penjara akibat melakukan kejahatan terhadap manusia yang lain. Sedangkan tugas demokrasi –yang dijalankan dengan batasan konstitusi- adalah untuk memungkinkan masyarakat memilih di dalam pilihan-pilihan yang tersedia. Jadi proyek dari Demokrasi Konstitusional adalah memulai atau meneruskan politik yang damai melalui proses yang lebih terbuka bagi tujuan tertentu dengan selalu menghormati kepentingan oposan sebagai sama pentingnya dengan kepentingan anggota.46
46
Walter F. Murphy, Civil Law, Common Law and Constitutional Democracy, Louisiana Law Review, Vol. 52. Number 1, September 1991, hlm 109-113
41
Demokrasi Konstitusional
C. Menilai Kualitas Demokrasi Seperti halnya tipologi konseptualisasi demokrasi, kami mengelompokkan assessment terhadap kualitas demokrasi ini juga menjadi dua kubu, yaitu yang berposisi pada negara dan yang berposisi pada warga negara. Yang berposisi pada negara bisa kita temukan pada Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dilakukan oleh Bappenas dengan dukungan oleh UNDP. Sedangkan yang berposisi pada warga negara bisa kita temukan pada Asia Democratic Index (ADI) yang untuk Indonesia dilakukan oleh Demos. Di level yang lebih luas, Idea Internasional juga melakukan penilaian terhadap kualitas demokrasi dengan posisi berdiri pada warga negara. Yang ingin kami paparkan di sini bukan hasil penilaiannya melainkan metode menilai. Dari posisi berdiri itu bagaimana si assessor mendefinisikan demokrasi dan menilai kualitas demokrasi. Gambar 2: Tipologi penilaian kualitas demokrasi
42
Demokrasi Konstitusional
C.1 Penilaian Dari Posisi Negara Pada tahun 2008 yang lalu pemerintah Indonesia dengan dukungan dari UNDP mengeluarkan IDI.47 Selanjutnya pada tahun 2009 Laporan IDI diluncurkan lagi. IDI merupakan penilaian kualitas demokrasi yang diinisiasi oleh pemerintah sendiri yang tujuannya untuk mengukur secara kuantitatif perkembangan demokrasi yang khas Indonesia. Dalam proses perumusannya, pemerintah melibatkan akademisi, aktifis Non Government Organization (NGO) dan jurnalis di setiap propinsi dengan cara masuk ke dalam kelompok kerja yang tugasnya memberikan dukungan terhadap proses pengumpulan data di lapangan dan sebagai penjaga quality control di dalamnya. Penilaian kualitas demokrasi ini bertolak dari konsep poliarkhi yang dikembangkan oleh Robert A. Dahl sebagai pengganti dari konsep demokrasi populistik (demokrasi adalah sistem pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat). Poliarkhi dinilai lebih realistik untuk menggambarkan sebuah fenomena politik tertentu dalam sejarah peradaban manusia sebab poliarkhi mengacu pada sistem pemerintahan oleh banyak rakyat (bukan semua rakyat), oleh banyak orang (bukan semua orang). Demokrasi dalam pengertian poliarkhi ini adalah sebuah sistem pemerintahan yang memberikan kebebasan kepada warganya untuk : (1) membentuk dan ikut serta dalam organisasi, (2) berekspresi atau berpendapat, (3) menjadi pejabat publik, (4) melakukan persaingan atau kontestasi di antara warga untuk mendapatkan dukungan dalam rangka memperebutkan jabatan-jabatan publik yang penting, (5) memberikan suara dalam pemilihan umum, (6) 47
UNDP bukan hanya memberikan dukungan kepada pemerintah Indonesia untuk menilai kualitas demokrasinya sendiri, melainkan juga Negara-negara lain.
43
Demokrasi Konstitusional
ada pemilihan umum yang jujur dan adil (jurdil), (7) adanya sumber-sumber informasi alternatif di luar yang diberikan pemerintah dan (8) adanya jaminan kelembagaan bahwa setiap kebijakan pemerintah tergantung pada dukungan suara dan bentuk-bentuk ekspresi keinginan lainnya dan karena itu harus ada jaminan pemilihan umum secara periodik sehingga setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terbuka untuk dievaluasi dan dipertanggungjawabkan dalam Pemilu tersebut. Bertolak dari konsep poliarkhi dari Robert A. Dahl tersebut, IDI mendefiniskan demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang ditandai antara lain oleh adanya kebebasan yang diatur dalam UU yang berkaitan dengan kepentingan publik.48 Ada tiga indikator yang diukur dalam IDI, yaitu kebebasan sipil (terdiri dari kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan dari diskriminasi dan kebebasan berpendapat), hak-hak politik (terdiri dari hak memilih dan dipilih, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan) dan lembaga-lembaga demokrasi (terdiri dari Pemilu, DPRD, partai politik, birokrasi pemerintahan daerah dan peradilan).49 C.2. Penilaian dari posisi warga DEMOS dan Puskapol 窶電engan merujuk pendapat Burhanuddin Muhtadi (Direktur Hubungan Publik Institut Survei Indonesia)- menilai bahwa tiga indikator yang digunakan oleh pemerintah Indonesia itu mengisyaratkan konsep yang sempit tentang demokrasi karena tidak memasukkan aspek penting seperti budaya 48
UNDP, Menakar Demokrasi Di Indonesia. Indeks Demokrasi Indonesia 2009, hlm 10-11. UNDP, 2009, hlm 16-22.
49
44
Demokrasi Konstitusional
politik. Akibatnya sulit bagi IDI untuk memunculkan gambaran yang utuh tentang demokrasi di Indonesia. Penelitian yang mereka lakukan bertolak dari perspektif bahwa perkembangan demokrasi di Asia membutuhkan kerangka kerja (framework) baru untuk menilainya yang bisa menjelaskan kompleksitas dari demokratisasi di Asia. ADI berbasis pada dua prinsip demokrasi yaitu liberalisasi dan kesetaraan (liberalization and equalization). Liberalisasi untuk mengukur sejauh mana sektor-sektor yang berbeda menerima otonomi dan kebebasan dari kekuatan politik otoritarian lama dan lalu bagaimana mereka menentukan prioritasnya sendiri. Sedangkan kesetaraan digunakan untuk menilai sejauh mana kelompok minoritas –secara substansial- bisa mengakses sumber daya di berbagai sektor dan menikmati akses dan kekuasaan yang setara tersebut. Dua prinsip tersebut dikembangkan dalam empat indikator yaitu: 1) hukum dan hak asasi manusia, 2) keterwakilan politik, 3) pemerintahan yang demokratis dan akuntabel, 4) partisipasi dan keterlibatan warga negara. Dalam survei ini, data diperoleh melalui wawancara mendalam dengan ahli yang memenuhi tiga kriteria yaitu: 1) ahli di bidang ekonomi, politik atau masyarakat sipil, 2) memandang pemerintah dari sudut pro-pemerintah, moderat dan anti-pemerintah, 3) peran dalam masyarakat yaitu sebagai akademisi, praktisi atau politisi.50
50
Anton Pradjasto, dkk, (De) Monopolization of Democracy in Indonesia? The Indonesian Report on the Asian Democracy Index 2011, hlm 109-111.
45
Demokrasi Konstitusional
C.3. Penilaian dari gabungan posisi negara dan warga Penilaian kualitas demokrasi yang dilakukan oleh Bappenas maupun Demos bukanlah hal baru. Patrick Molutsi (IDEA International) mencatat sedikitnya ada lima kelompok yang melakukan penilaian terhadap kualitas demokrasi, dilihat dari tujuannya. Pertama, assessment yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang peduli pada situasi politik dan ekonomi dunia.51 Kelompok ini melakukan monitoring kecenderungan lalu menilainya. Tujuan mereka adalah memandu kepentingan investasi bisnis bukan membantu negara meningkatkan kualitas demokrasinya. Assessment yang dilakukan oleh kelompok ini seringkali menerima kritik dan kontroversial disebabkan oleh subyektifitas dan ketidakterbukaan metodenya. Kedua, assessment yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang peduli pada perkembangan reformasi di sektor publik dan institusi pemerintahan di negara berkembang, seperti World Bank Institute dan European Organization for Cooperation and Development (OECD)’s Committee on Development Assistance Cooperation (OECD-DAC). Kedua lembaga ini mengembangkan indikator untuk mengevaluasi pemanfaatan bantuan yang diberikan dan menelusuri perkembangan dan performa reformasi di negara-negara penerima bantuan tersebut. Ketiga, assessment yang dilakukan oleh lembaga donor, seperti World Bank, IMF, UNDP. Keempat, assessment yang dilakukan oleh kampus, 51
Lembaga-lembaga tersebut adalah : Freedom House (berdiri pada tahun 1941), The Economic Intelligence Unit (berdiri pada tahun 1949), Gallup International (1947) dan World Bank/University of Basel (WDR, berdiri sejak tahun 1945), Business Environment Risk Intelligence (BER), The Wall Street Journal Centre European Economic Review (CEER), Standard and Poor’s DRI/McGraw-Hill (DRI), European Bank for Reconstruction and Development (EBRD), World Economic Forum (GCS, GCSA), Heritage Foundation/Wall Street Journal (HFWSJ), Political Risk Services, International Country Risk Guide (PRS/ICRG), Political Economic Risk Consultancy (PERC), Institute Management Development (WCY).
46
Demokrasi Konstitusional
seperti Global Governance Survei of the UN University in Tokyo. Kalangan kampus umumnya melakukan assessment untuk mengetahui memahami faktor-faktor yang mempengaruhi dan implikasi dari demokrasi liberal. Kelima, assessment yang dilakukan oleh NGO seperti Transparency International Indonesia (TII) yang mengukur tingkat korupsi melalui Indeks Persepsi Korupsi dan Civicus yang mengukur tingkat kesehatan masyarakat sipil.52 International IDEA sendiri membuat kerangka assessment terhadap kualitas demokrasi di lebih dari 20 negara. Kerangka yang dikembangkan oleh International IDEA ini mengkombinasikan komitmen terhadap prinsipprinsip dasar demokrasi, “nilai turunan� yang berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut dan prinsip-prinsip dan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan performa demokrasi.53 Menurut mereka demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang atraktif karena prinsip-prinsipnya merangkul semua kebutuhan dan keinginan manusia dan mewujudkannya dalam kenyataan. Demokrasi yang ideal –pada dirinya sendiri- menjamin persamaan dan kebebasan dasar, memperkuat masyarakat biasa, menyelesaikan perselisihan melalui dialog damai, menghargai perbedaan dan membawa pembaruan sosial dan politik tanpa konflik. Demokrasi bukan perkara semua atau tidak sama sekali, tapi soal tahapan. Negara-negara kurang lebih demokratis secara umum, juga kurang lebih demokratis dalam aspek-aspek tertentu dalam kehidupan sosial politiknya.54 52
Patrick Molutsi, Tracking Progress in Democracy and Governance around the World: lessons and methods (tanpa tahun), hlm 10-11. 53 David Beetham, Edzia Carvalho, Todd Landman, Stuart Weir, Assessing the Quality of Democracy. A Practical Guide, International IDEA, Stockholm, 2008, hlm 6 54 David Beetham, 2008, hlm 17
47
Demokrasi Konstitusional
Ada tiga tujuan assessment yang dikembangkan oleh International IDEA, yaitu mengevaluasi sudah sebaik apa demokrasi bekerja, meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengidentifikasi wilayah mana yang perlu ditingkatkan. Dengan demikian, assessment ini akan memprioritaskan pada aspek-aspek yang ingin ditingkatkan, berdasrakan kepentingan lokal. Aktor utama dalam melakukan assessment adalah warga negara yang tinggal di Negara yang dinilai, karena merekalah –melalui pengalamannya- yang paling paham kultur negaranya, tradisi dan aspirasi yang memenuhi syarat untuk menilai demokrasinya. Selain itu, assessment ini ingin menempatkan masa depan demokrasi di Negara itu ada di tangan warga negaranya sendiri. Assessment ini bertolak dari proposisi bahwa demokrasi harus pertama-tama didefinisikan berdasarkan prinsipprinsip dan nilai dasarnya, yaitu kontrol publik dan kesetaraan politik, artinya publik memiliki hak mengawasi pembuat dan pembuatan kebijakan dan setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam mempraktikkan kontrol tersebut. Pertanyaannya lantas di mana kebebasan? Di dalam kedua prinsip tersebut, kebebasan bisa dibuktikan melalui adanya kontrol publik atau pengaruh publik dalam pengambilan kebijakan, dimana setiap warga negara bisa menyampaikan pikirannya secara bebas, berdebat dengan yang lain secara terbuka, bebas untuk berorganisasi dan mendapatkan informasi. Kedua prinsip tersebut dinilai sangat abstrak sehingga dalam kerangka assessment dijabarkan dalam nilai-nilai antara, yaitu: partisipasi, otorisasi, representasi, akuntabilitas, transparansi, responsibility dan solidaritas.
48
Demokrasi Konstitusional
D. Menalar Demokrasi Cara menalar demokrasi adalah dengan menghadapkan demokrasi dengan ‘yang bukan demokrasi’, misalnya krisis demokrasi, tujuan bernegara atau konsep kepentingan. Jika dihadapkan pada krisis demokrasi, pertanyaannya apakah solusi terhadap krisis demokrasi dicari di dalam demokrasi itu sendiri atau di luar demokrasi. Jika dihadapkan pada tujuan bernegara, pertanyaannya apakah demokrasi merupakan tujuan bernegara itu sendiri atau demokrasi sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan bernegara? Jika dihadapkan pada konsep kepentingan, pertanyaannya adalah apakah demokrasi merupakan konsep kepentingan itu sendiri atau demokrasi sebagai sarana untuk mempertahankan kepentingan. Jika demokrasi sebagai alat bagi kepentingan, pertanyaannya kepentingan siapa yang dipertahankan, apakah kepentingan diri (self-interest) atau kepentingan umum (common-interest)?
49
Demokrasi Konstitusional
D.1. Demokrasi menghadapi krisis internal. Tentang krisis demokrasi, Walter F. Murphy mengingatkan bahwa sebagai sebuah praktik politik, demokrasi konstitusional belum pernah kebal dari ancaman, krisis, kegagalan, resesi, depresi dan sejenisnya.55 Salah satu contoh potret kegagalan demokrasi konstitusional adalah Amerika, yang ditandai dengan: kriminalitas yang tinggi, sistem pendidikan yang menurun, angka kemiskinan yang tinggi dan krisis ekonomi. Bukan hanya itu, Amerika juga tidak jarang dilanda perang sipil, korupsi, pembunuhan. Dalam catatan Dennis C. Muller, kegagalan semacam itu bukan hanya terjadi pada era 1970-an atau 1980-an, bahkan sudah sejak 1870-an. “Kegagalan pemerintah semacam itu bukan hal baru di Amerika�, kata Muller.56 Bagaimana menghubungkan kegagalan tersebut dengan bekerjanya demokrasi konstitusional? Muller menyimpulkan dua hal: pertama, mungkin ada hal yang melekat di dalam politik yang membawa hal buruk pada siapapun yang menjadi partisipannya. Problem seperti ini bukan khas di Amerika tapi gejala umum pada sistem demokrasi. Kedua, ada sesuatu yang mendasar di dalam institusi politik di Amerika yang bisa menghasilkan dampak yang tidak diharapkan. Dengan demikian, menjawab problem tersebut dengan mengamandemen konstitusi adalah hal yang sia-sia.57 Fenomena krisis demokrasi semakin menjadi perhatian masyarakat Internasional akhir-akhir ini. Dalam perkembangannya muncul problem-problem setelah semua 55
Walter F. Murphy, Civil Law, Common Law and Constitutional Democracy, Louisiana Law Review, Vol. 52. Number 1, September 1991, hlm 112. 56 Dennis C. Moeler, hlm 4-7. 57 Dennis C. Moeler, hlm 17-18.
50
Demokrasi Konstitusional
negara menyelenggarakan Pemilu pada tahun 2000-an, seperti meningkatnya konflik, korupsi, kecurangan dan intimidasi. Global Commission on Election, Democracy and Security (selanjutnya disebut The Global Commission) yang terbentuk atas inisiatif bersama Yayasan Kofi Annan dan International IDEA juga memberi perhatian pada persoalan tersebut. Lembaga ini mencari jawaban pada konsep internal demokrasi. Menurutnya, persoalanpersoalan tersebut muncul karena Pemilu diselenggarakan tanpa memperhatikan aspek integritas. Pemilu telah digunakan oleh pemerintah autokrasi untuk membungkus dirinya dalam selimut legitimasi demokratis. The Global Commission mempromosikan pentingnya Election with Integrity ( selanjutnya disebut ‘Pemilu berintegritas’) yaitu Pemilu yang didasarkan pada prinsipprinsip demokrasi universal (yakni persamaan politik dan hak berpolitik) dan Pemilu yang diselenggarakan secara profesional, imparsial dan transparan. Sedikitnya ada lima hal yang harus dilampaui untuk mencapai ‘Pemilu berintegritas’ yaitu: pertama, membangun ‘rule of law’ untuk memastikan adanya Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan elektoral. Kedua, membangun lembaga Pemilu yang profesional, kompeten, independen. Ketiga, menciptakan sistem yang menjamin kompetisi multipartai. Keempat, menggeser hambatan –seperti administrasi hukum, politik, ekonomi dan sosial– menjadi partisipasi politik yang setara dan universal. Kelima, mengatur keuangan politik yang tidak terkontrol, tidak transparan dan tidak akuntabel. Apa itu integritas? Menurutnya, orang yang memiliki integritas tinggi adalah orang yang dipandu oleh kompas etik dan tidak bisa dikorupsi oleh pertimbangan material atau kepentingan golongan. Ketika diterapkan dalam 51
Demokrasi Konstitusional
Pemilu, integritas itu tampak pada bagaimana prinsip demokrasi yang telah diterima secara universal diterapkan dalam Pemilu. Kesetaraan politik (political equality) sebagai prinsip demokrasi maksudnya adalah semua pemilih memiliki peluang yang sama untuk terlibat dalam debat publik. Selain itu, Pemilu berintegritas berarti Pemilu dijalankan dengan kompetensi dan 58 profesionalitas. Berbeda dengan pandangan para demokrat yang mencari jalan di internal demokrasi, beberapa ahli berpandangan bahwa kita tidak bisa berharap kepada demokrasi sebagai satu-satunya jalan untuk menyelesaikan krisis demokrasi. Robertus Robet dalam bukunya Republikanisme dan Keindonesiaan, melakukan penelusuran pemikiran beberapa ahli.59 Ian Saphiro – sebagaimana ditulis oleh Robertus Robet- berpandangan bahwa kaum demokrat menempatkan demokrasi sebagai obat mujarab atas semua persoalan publik seperti korupsi, kemiskinan, ketidakadilan, kesejahteraan, pelanggaran HAM, perang dan kekerasan. Mereka menafsirkan demokrasi secara luas dengan memasukkan kebutuhan akan kesetaraan dan keadilan sebagai elemen intrinsik demokrasi. Ketika dihadapkan pada realitas yang berkebalikan, yaitu partisipasi meningkat tapi pertanggungjawaban elit menurun, kaum demokrat akan mengatakan bahwa ‘demokrasi dibajak elit’. Berbeda dengan pandangan tersebut, Saphiro berpendapat bahwa 58
Global Commission on Election, Democracy and Security (selanjutnya disebut The Global Commission) terbentuk pada tahun 2012 atas inisiatif bersama Yayasan Kofi Annan dan International IDEA (Lihat: Global Commission on Election, Democracy & Security, Deepening Democracy: the integrity. The Report of The Global Commission on Election, Democracy and Security, September 2012). 59 Robertus Robet, Republikanisme dan Keindonesiaan. Sebuah Pengantar, Marjin Kiri, 2007, hlm 80124.
52
Demokrasi Konstitusional
demokrasi adalah sarana atau fasilitas kebebasan, sehingga selalu merupakan arena kosong yang terbuka. Apakah akan berisi elit atau bukan, tergantung pada bagaimana dan siapa yang mengisi ruang kosong tersebut. Demokrasi bukan urusan norma atau moralitas siapa menjabat apa, melainkan bagaimana mengisi dan mengambil alih fasilitas kosong tersebut melalui jalur kekuasaan. Jika demokrasi didominasi oleh elit maka solusinya adalah menghadirkan ‘yang bukan elit’. Dengan kata lain, demokrasi tidak memiliki sistem etis di dalamnya. Ketika dihadapkan pada realitas absennya keadilan sosial dan keadaban politik di dalam demokrasi, kaum demokrat akan mengatakan ‘defisit demokrasi’. Menurut Robet pertanyaan tentang ‘defisit demokrasi’ itu sudah tepat diajukan, tetapi sayangnya ketika mencari solusi, tidak berani keluar dari demokrasi. Menurutnya mungkin ketakutan itu dipengaruhi oleh faktor psiko-politik, yaitu ada ‘perasaan’ bahwa demokrasi baru saja diraih maka penjelasan yang bukan demokrasi bisa dituding sebagai meninggalkan demokrasi atau lawan dari demokrasi. Untuk itu, Robet menyarankan dua hal secara bersamaan. Pertama, menyempitkan dan mengembalikan demokrasi kepada pengertian awalnya yaitu sebagai prosedur atau fasilitas bagi setiap orang (dewasa) untuk telibat dalam pengambilan keputusan pemerintahan secara damai. Kedua, memperluas pengertian tentang konsep politik. Politik dikembalikan sebagai ibu dari demokrasi, hak asasi, keadilan dan kewargaan. Demokrasi pasti politik, tetapi politik bukan hanya demokrasi. Politik mencakup demokrasi dalam arti politik mensyaratkan tindakan yang damai tanpa kekerasan. Politik adalah etika dalam arti politik mensyaratkan diseminasi etis yang universal. Politik juga berarti republik dalam arti politik 53
Demokrasi Konstitusional
mensyaratkan kepentingan umum, kebersamaan dan kesetaraan. Sejarah pembentukan negara (seperti Athena, Romawi Kuno, Perancis) pertama-tama bukan membangun demokrasi melainkan membangun sebuah Republik. Suatu bangsa bisa tumbuh tanpa demokrasi (seperti Singapura dan RRC) tetapi tidak ada negara yang bisa tumbuh tanpa republik. Republik sebagai sebuah ide sudah ada sebelum ide tentang demokrasi. Daniel S. Lev –sebagaimana ditulis oleh Robet- memberikan empat landasan Republik yang terpenting, yaitu (i) pemisahan antara pemerintah dan masyarakat dalam arti bahwa masyarakatlah yang utama dan pemerintah didirikan untuk melayani keperluan masyarakat; (ii) lembaga-lembaga pemerintah yang mempunyai fungsi terbatas dan ditetapkan hukum; (iii) lembaga pemilihan dan kepartaian politik untuk menyalurkan pendapat umum; (iv) pers yang berfungsi baik sebagai sumber penerangan dan pengawas lembaga negara. Dalam pengertian tersebut, demokrasi berarti semua orang (dewasa) langsung ikut serta dalam pemerintahan. Demokrasi menyediakan prosedur dan fasilitas tetapi tidak menyediakan sistem etis di dalam dirinya. Demokrasi tidak menyediakan bagaimana menghargai martabat manusia, keadilan sosial, kesejahteraan atau perdamaian. Dengan kata lain, para penganut Republikanisme ini berpandangan bahwa yang bisa mengatasi krisis demokrasi bukan hanya demokrasi itu sendiri, melainkan induk dari demokrasi yaitu politik/republik. Mengatakan bahwa politik adalah solusi atas krisis demokrasi, sama saja dengan mengatakan bahwa demokrasi alat untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu Republik. 54
Demokrasi Konstitusional
D.2. Demokrasi berhadapan dengan konsep kepentingan Herbert Feith mencatat pandangan Hatta tentang bagaimana menalar demokrasi. Hatta-sebagaimana dicatat oleh Feith- menempatkan demokrasi sebagai alat dan sekaligus tujuan pada dirinya sendiri. Demokrasi sebagai alat bagi pembentukan bangsa (nation-building), alat bagi pendidikan masyarakat agar memiliki nasionalisme yang lebih besar dan kepedulian serta membuat masyarakat lebih aktif dalam memperjuangkan kepentingan yang nyata. Demokrasi sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dalam arti demokrasi merupakan prinsip dasar atau kebenaran baru untuk membangun negara. Ini bisa dicapai jika otoritas Tuhan digantikan oleh masyarakat melalui prosedur baru (parlementer). Demokrasi adalah tujuan di masa depan, yaitu masyarakat yang adil dan sejahtera.60 Hatta –dalam catatan Robet- juga menganjurkan demokrasi atau kedaulatan rakyat sebagai basis legitimasi kekuasaan. Kedaulatan rakyat itu di satu sisi memberikan kekuasan yang tinggi kepada rakyat, di sisi lain meletakkan tanggungjawab yang terbesar juga kepada rakyat. Kedaulatan rakyat tersebut didasarkan pada kehendak umum. Negara bukan merupakan kesepakatan individual melainkan kehendak bersama. Dengan kata lain, demokrasi Indonesia bukanlah berdasarkan individualisme.
60
Herbert Feith, hlm 38-45
55
Demokrasi Konstitusional
D.3. Demokrasi berhadapan dengan proyek nasionalisme Dengan fakta keberagaman yang ada (baik keberagaman berbasis agama, suku, wilayah, dan lain-lain) mengapa bentuk negara Indonesia harus kesatuan? Mengapa bukan federasi atau konfederasi? Bung Hatta – sebagaimana ditulis oleh Jimly Asshiddiqie- adalah salah satu pendiri bangsa yang berpandangan bahwa bentuk negara federal lebih tepat untuk bangsa Indonesia yang sangat majemuk. Pandangan tersebut sudah dia kumandangkan sejak tahun 1930-an sampai tahun 1945, namun setelah melalui proses diskusi dengan para pemikir yang lain, pandangan tersebut tidak lagi diperjuangkan pada sidang-sidang BPUPKI61. Saafroedin Bahar dan Nanie Hudawati62 menyebutkan bahwa dari perdebatan dalam sidang-sidang BPUPKI itu dapat disimpulkan bahwa hakikat Negara kesatuan adalah Negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah Negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan – atau nasionalisme- yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu Negara yang sama walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik atau golongannya. Selanjutnya disebutkan bahwa dalam merumuskan filsafat kenegaraan para pendiri Negara menimba ilham dari (1) esensi kultur politik tradisional yang dianut masyarakat Indonesia yang majemuk dan (2) institusi kenegaraan modern yang dianut oleh para pemimpin pergerakan kemerdekaan sendiri. Dari kultu politik tradisional melahirkan kesepakatan tentang pengutamaan masyarakat dari pada orang-per-orang, pengakuan 61 62
Jimly, hlm 205 Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998, hlm xlix-li
56
Demokrasi Konstitusional
terhadap otonomi desa dan masyarakat adat sejenis serta adanya tanggungjawab moral para pemimpin yang ‘bersatu-jiwa’ dengan rakyat. Sedangkan dari paham dan institusi kenegaraan modern melahirkan kesepakatan tentang prinsip ‘negara berdasar atas hukum’, bentuk pemerintahan republik, kedaulatan rakyat atau demokrasi, pemilu, sistem pemerintahan presidensiial, pengawasan oleh dewan perwakilan rakyat, otonomi daerah serta jaminan hak warganegara dan penduduk. Pasca kemerdekaan cita-cita negara kesatuan seperti yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa tersebut justru menjadi pengalaman yang penuh frustasi. B. Herry Priyono mencatat dua sebab. Pertama, pada dataran pengalaman sehari-hari yang terjadi adalah deret kekerasan yang terus berlangsung secara massif. Kekerasan itu bukan lagi kriminal melainkan politik, seperti kekerasan terhadap petani, suku terasing, terhadap buruh dan mahasiswa, terhadap perempuan dan kelompok minoritas. Kekerasan terhadap rakyat. Deret panjang kekerasan tersebut melahirkan kesangsian bersama: apakah persatuan sebuah bangsa yang bernama ‘Indonesia’ masih mungkin? Kedua, pada tataran konseptual: ada hubungan yang problematis antara bangsa, negara dan rakyat. Menurutnya jantung dari hubungan problematis tersebut adalah pada hubungan kekuasaan antara ‘penguasa’ dan ‘rakyat’. Sebelum nasionalisme: hubungan kekuasaan tersebut mengambil bentuk kerajaan. Pada masa nasionalisme: hubungan tersebut mengambil bentuk negara-bangsa (nation-state). Namun baik kerajaan maupun nasionalisme tidak berhasil memecahkan hubungan problematik tersebut. Untuk itu Herry-Priyono mengajukan gagasan untuk mencari solusi di luar nasionalisme, yaitu demokrasi. Menurutnya 57
Demokrasi Konstitusional
demokrasi adalah cara baru untuk menata kembali hubungan bangsa-negara-rakyat. Dalam demokrasi bukan negara yang menentukan bangsa dan rakyat, melainkan rakyat-lah yang mengontrol negara dan bangsa63. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa pasca reformasi konstitusi (pasal 18, 18A dan 18B) ada perubahan bentuk negara, dari negara kesatuan yang kaku kepada bentuk negara kesatuan dinamis, yang ditandai oleh dua hal. Pertama, dimungkinkan ada pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistis tentang hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kedua, dalam dinamika hubungan pusat dan daerah tersebut dimungkinkan kebijakan yang pluralis dalam arti bahwa setiap daerah dapat diterapkan pola otonomi yang berbeda-beda. Implikasinya adalah adanya keleluasaan yang luas kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Yang menjadi landasan bagi penyelenggaraan otonomi daerah adalah prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan keadilan dan keanekaragaman potensi daerah64. E. MK dalam agenda transisi demokrasi Telah diuraikan sebelumnya bahwa sebuah negara yang menganut demokrasi konstitusional tidak serta merta demokratis. Juga telah diuraikan bahwa krisis demokrasi bukan semata problem sosiologis, melainkan problem filosofis, sehingga solusi yang ditempuh adalah merefleksikan konsep demokrasi atau kembali ke konsep politik (sebagai induk dari demokrasi). Selain dua solusi tersebut, masih ada satu lagi konsep yang perlu 63
B. Herry-Priyono, Bangsa, Negara, dan Rakyat (dari Sketsa tentang Nasionalisme), dalam Retrospeksi dan Rekonstruksi Masalah Cina, (ed): I. Wibowo, Gramedia, Jakarta, 1999, hlm 174-222. 64 Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, hlm 215-216.
58
Demokrasi Konstitusional
direformasi yaitu konsep demokrasi konstitusional itu sendiri. Persis ketika berbicara tentang reformasi konsep demokrasi konstitusional inilah, kita akan berjumpa dengan ide tentang MK. Pertanyaannya adalah apa hubungan konseptual antara ide tentang MK dan ide tentang demokrasi konstitusional? Foto : Pengadilan Konstitusi
Ada dua kelompok yang melihat posisi ide tentang MK dalam gagasan tentang reformasi hukum (melalui amandemen konstitusi). Pandangan yang pertama adalah dari kelompok institusionalis yang menempatkan ide tentang MK merupakan agenda utama dalam amandemen konstitusi. Pandangan kedua adalah dari kelompok non institusionalis yang menempatkan MK sebagai pemandu arah amandemen konstitusi itu sendiri. MK sebagai penjamin bagi berlangsungnya transisi demokrasi itu sendiri. Kelompok institusionalis berpandangan bahwa reformasi hukum harus ditopang dengan penguatan institusi (institutional strengthening), pembangunan kapasitas (capacity-building), dan kebutuhan perubahan
59
Demokrasi Konstitusional
kebijakan (necessary policy changes).65 Dalam level yang lebih teknis, penganut institusionalisme ini menggunakan sejumlah kata kunci, seperti: transparency, public participation, accountability, dan predictability, yang merupakan anti-tesis dari korupsi, organisasi kekerasan, dan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan lainnya.66 Seluruh kata kunci tersebut dikompilasi dalam satu bingkai yang bernama the rule of law. Dengan demikian, rule of law mengandung makna peningkatan pertumbuhan ekonomi, modernisasi politik, perlindungan hak asasi manusia, dan tindakan anti korupsi.67 Secara umum ada tiga episode transisi demokrasi yang diagendakan oleh kelompok institusionalis ini, yaitu:68 (i) estabhlisment the constitutional courts; devolved forms of state authority; and independent constitutional bodies – created with the purpose of fragmenting and taming state power; (ii) produce new variations in the division of power, between centre and periphery and between different organs of government, as well as new conceptions of 65
Derick W. Brinkerhoff and Jennifer M. Brinkerhoff, Governance Reforms and Failed States: Challenges and Implications, dalam Journal International Review of Administrative Sciences,Vol. 68 (2002), hal. 513. Lihat juga Derick W. Brinkerhoff (ed.), Governance in Post-Conflict Societies: Rebuilding Fragile States, (London: Routledge, 2007). 66 Paul H. Brietzke, The Politics of Legal Reform, dalam Washington University Global Studies Law Review Vol. 3 No. 1 (2004), hal. 4. 67 Nadirsyah Hosen, Reform of Indonesian Law In The Post-Soeharto Era (1998-1999), (A Thesis Doctor of Philosophy University of Wollongong, 2003), hal, 29. 68 Heinz Klug, Postcolonial Collages: Distributions of Power and Constitutional Models: With Special Reference to South Africa, dalam Journal International Sociology, edisi March 2003, Vol 18 (1), hal. 115–116. Hal itu menurut Klug ditujukan sebagai, “guarantees for the creation and protection of market economies, independence of national banks controlling the value of a state’s currency, independent oversight of state expenditures and an emphasis on the new state’s recognition and incorporation of international or global norms rather than the nationalist assertion of local identity so common in the rhetoric of state formation”. Selengkapnya baca juga Heinz Klug, Post-Colonial Collages: Distributions of Power and Constitutional Models, with Special Reference to South Africa, dalam Saïd Amir Arjomand (ed.), Constitutionalism and Political Reconstruction, (Leiden: The Netherlands Koninklijke Brill NV, 2007), hal. 139.
60
Demokrasi Konstitusional
the relationship between different branches of government; dan (iii) the mass adoption of bills of rights and constitutional courts as well as the creation of a range of new independent institutions designed to both protect democracy on the one hand and simultaneously circumscribe the powers of legislative majorities and democratically elected governments on the other. Dari tiga episode tersebut jelas nampak bahwa MK merupakan agenda pertama dalam melakukan reformsi konstitusi. Model seperti ini bisa kita temukan pada Amerika Latin, Eropa Timur, Afrika Tengah dan Selatan, serta negara-negara Asia pada periode 1980-an sampai dengan 1990-an. Dengan kata lain, menurut kelompok ini, agenda pembaruan hukum selalu dicirikan dengan pembentukan MK (Constitutional Court), atau dengan cara penambahan (injeksi) kewenangan Mahkamah Agung (Supreme of Court) untuk melakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan, yang dihasilkan oleh lembaga legislatif dan eksekutif. Kelompok non institusionalis berpandangan bahwa fenomena pelembagaan MK dalam setiap transisi demokrasi merupakan panduan bagi transisi demokrasi itu sendiri. MK dibentuk untuk memastikan berjalannya konstitusi baru hasil amandemen. Said Amir Arjomand menjelaskan: “in the new constitutionalism, just as the constitutional courts have assumed the function of guiding the transition to democracy�, seperti di Afrika Selatan dimana MK menjadi bagian terpenting setelah berakhirnya politik
61
Demokrasi Konstitusional
apartheid, baik dalam perubahan konstitusi maupun tata politik.69 Lebih jauh -dengan mendasarkan pada pandangan Ruti G. Teitel- Arjomand menjelaskan bahwa MK memberikan legalisasi dalam proses rekonstruksi politik dan tegaknya hukum, dari yang semula otoritarian menjadi demokratis. Secara lengkap dikemukakannya berikut ini: “The post-ideological reconstruction of legality by the constitutional courts in the period of transition to democracy requires a ‘transitional’ politicization of public law and an instrumental use of law. This inevitable instrumentalization of law for the purpose of political reconstruction creates some tension with the rule of law in the old and narrow sense of prevention of abuse and arbitrary exercise of power through institutional devices”.70 Dalam artikelnya yang lain, Arjomand menjelaskan bahwa lahirnya MK merupakan tanggapan atas kemungkinan lahirnya kembali ideologi totalitarian. Sebagai penjaga konstitusi, MK diharapkan dapat terus menjaga supremasi konstitusi sehingga dapat membendung kembali hadirnya pemerintahan totaliter. Mengapa demikian? Sebab konstitusi baru dinarasikan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia serta
69
Said Amir Arjomand, Law, Political Reconstruction and Constitutional Politics, dalam Journal International Sociology, edisiMarch 2003 Vol. 18 (1), hal. 12. Baca juga Saïd Amir Arjomand,Constitutional Development and Political Reconstruction from Nation-building to New Constitutionalism, dalam Saïd Amir Arjomand (ed.), Constitutionalism and Political Reconstruction, (Leiden: The Netherlands Koninklijke Brill NV, 2007), hal. 3. 70 Lihat Ibid. Selengkapnya baca juga Ruth G. Tietel, Transitional Justice, (New York: Oxford University Press, 2000). Penyelidikan lebih jauh baca pula Brian Z. Tamanaha, AGeneral Jurisprudence of Law and Society, (New York: Oxford University Press, 2001), hal. 238.
62
Demokrasi Konstitusional
persamaan di muka hukum, yang itu tidak mungkin diakui keberadaannya dalam sebuah pemerintahan totaliter.71 Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, L.W. Beer memberikan pernyataan bahwa dalam menilai keberhasilan transisi demokrasi dan pembaruan hukum suatu negara, salah satunya ditentukan oleh adanya suatu badan peradilan yang berfungsi untuk melakukan judicial review terhadap produk-produk legislasi dan kebijakan pemerintah lainnya. Sedangkan indikator lainnya adalah ketika proses demokrasi menjadi penentu bagi siapa yang memegang otoritas organisasi negara serta adanya jaminan dan penegakan hak asasi manusia.72 Tokoh yang lain adalah Ruth G. Teitel, berpandangan bahwa dalam konteks keadilan transisional, kelahiran MK dimaksudkan, “... as guardians of the new constitutional orders is largely due to their being instruments of unconditional enforcement of individual rights. As such, they have a critical role in the reconstruction of legality in the amplified sense implicit in the new constitutionalism�.73 Dikatakan Teitel bahwa setelah berakhirnya pemerintahan otoritarian, perbincangan mengenai demokrasi dan antidemokrasi dan di luar konstitusi adalah suatu masalah penafsiran konstitusi, sementara MK dalam situasi tersebut berperan sebagai pelindung tatanan demokrasi yang baru. Sedangkan AlecStone Sweet memberikan pandangan dengan pijakan yang sedikit banyak dipengaruhi oleh Hans Kelsen- mengenai struktur norma. Dikatakannya bahwa misi dari MK adalah untuk mempertahankan 71
Said Amir Arjomand, Constitutions and the Struggle for Political Order: Astudy in the Modernization of Political Traditions, dalamEuropean Journal of Sociology, 1992 33 (4), hal. 39–82. 72 L.W. Beer (ed), Constitutional Systems in Late Twentieth Century Asia, (Seattle: Washington University Press, 1992), hal. 18. 73 Lihat Ruth G. Tietel, Transitional Justice, (New York: Oxford University Press, 2000), hal. 23-26.
63
Demokrasi Konstitusional
status superior dari hukum yang lebih tinggi. Langkah ini diwujudkan dengan memastikan bahwa semua norma yang urutannya lebih rendah, termasuk undang-undang, haruslah sesuai dengan konstitusi. Melalui model semacam inilah kemudian negara hukum disebut sebagai negara hukum konstitusional. Dalam kalimat Sweet disebutkan: “the mission of constitutional courts is to defend the superior status of the higher law, by ensuring that all lower order norms, including statutes, conform to it. Thus the Rechtsstaat is today the constitutional Rechtsstaat, and the ĂŠtat de droit has been constitutionalizedâ€?.74 Dalam ulasan yang lain, dengan menggunakan pendekatan teori delegasi, Sweet menguraikan bahwa hakim konstitusi memiliki kekuasaan yang luas untuk mengatur, dalam hubungannya dengan pejabat negara lainnya, berdasarkan tindakan eksplisit delegasi. Dalam terminologi teori delegasi, menurutnya MK adalah agen yang dapat menjadi solusi fungsional untuk berbagai dilema kelembagaan.75 Pandangan ini senada dengan yang diungkapkan oleh Heinz Klug yang menitikberatkan pendapatnya pada upaya untuk menjaga supremasi konstitusi. Kajian yang dilakukan Klug sampai pada satu kesimpulan bahwa maksud pendirian MK -dalam proses transisi negara dari otoriter ke demokrasi- adalah untuk memberikan efek kepada supremasi konstitusi dan memperkenalkan budaya baru hak asasi manusia, dengan komitemen kepada ideologi konstitusionalisme.76 Menguatnya ideologi 74
Lihat A. Stone Sweet, Governing with Judges: Constitutional Politics in Europe, (New York: Oxford University Press, 2000). 75 Lihat A. Stone Sweet, Constitutional Courts and Parliamentary Democracy, dalam Mark Thatcher dan Alec Stone Sweet (eds.), The Politics of Delegation, (London:Frank Cass & Co. Ltd, 2003), hal. 71. 76 Heinz Klug, Postcolonial Collages ...Op. Cit. Baca juga Heinz Klug, Constituting Democracy: Law, Globalism and South Africa's Political Reconstruction, (Cambridge: Cambridge University Press, 2000).
64
Demokrasi Konstitusional
konstitusionalisme inilah yang kemudian mendorong adanya proses judisialisasi politik (politik yang bersandar pada hukum). Dalam proses judisialisasi politik ini, MK memiliki peran untuk menilai konstitusionalitas suatu produk legislasi, melalui mekanisme judicial review77. Menguatnya judisialisasi politik ini diakui telah memberikan dampak positif bagi tegaknya negara hukum, khususnya bagi negara-negara konstitusionalisme baru. Hal ini cukup nyata pada judisialisasi proses Pemilu, yang di dalamnya mencakup penyelesaian perselisihan penghitungan suara, konstitusionalitas undang-undang Pemilu, dan proses pencalonan.78 Lebih jauh, keberadaan MK merupakan asuransi bagi sistem demokrasi konstitusional yang baru dibangun. Hipotesis ini menurutnya menunjukkan sebuah konsekuensi dari suatu desain kelembagaan judicial review yang merefleksikan realitas politik pasca-transisi. Kehadiran MK yang diberikan otoritas untuk melakukan judicial review—termasuk terhadap kebijakan atau keputusan-keputusan politik, merupakan upaya untuk menjawab dari segala kemungkinkan ketidakpastian politik. Secara tegas Ginsburg mengatakan, penyebaran judicial review di seluruh dunia, khususnya pada negara77
Tentang istilah ‘judicial review’, Jimly Asshidiqie membedakan antara ‘constitutional review’ dan ‘judicial review’. Constitutional review adalah menguji konstitusionalitas sebuah peraturan perundangan dengan batu uji konstitusi, sedangkan judicial review adalah pengujian legalitas peraturan perundangan. Baik Constitutional review maupun judicial review dilakukan oleh pengadilan. Untuk menyebut pengujian peraturan perundangan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, Asshidiqie berpendapat bahwa istilah ‘constitutional review’ lebih tepat. (Lihat: Jimly Asshidiqie, Judicial Review di beberapa Negara). 78 Lihat Ran Hirschl, The New Constitution and the Judicialization of Pure Politics Worldwide, dalam Fordham Law Review Vol. 721 (2006). Tersedia di http://ir.lawnet.fordham.edu/flr/vol75/iss2/14. Namun Hirschl juga memberikan catatan kritis, bahwa kuatnya judisialisasi politik yang merupakan imbas dari ideologi konstitusionalisme, telah melahirkan dampak buruk pada munculnya juristocracy, situasi ketika putusan peradilan dicurigai berdasarkan pertimbangan pribadi atau politik ketimbang hukum yang ada. Selengkapnya lihat Ran Hirschl, Towards Juristocracy: The Origins and Consequences of the New Constitutionalism, (Cambridge: Harvard University Press, 2004).
65
Demokrasi Konstitusional
negara yang mengalami transisi politik, merupakan gelombang baru dari penulisan konstitusi demokratis. Penyebaran judicial review ini menurutnya tidak hanya mencerminkan norma antara perancang konstitusi, akan tetapi juga respon terhadap masalah ketidakpastian Pemilu—proses politik lainnya, yang mungkin mereka hadapi.79 F. Kesimpulan Dari paparan pemikiran teoritis tersebut di atas, penelitian ini mencatat beberapa substansi pokok, yakni: 1. Ada tiga tipe pendefinisian demokrasi, yaitu: pertama, pendefinisian yang berporos pada negara. Tipe ini kita temukan pada demokrasi prosedural (disebut juga demokrasi elektoral atau demokrasi minimalis) dan poliarkhi. Kedua, pendefinisian yang berporos pada warga negara. Tipe ini kita temukan pada demokrasi substansial dan demokrasi partisipatif. Ketiga, pendefinisian yang menggabungkan keduanya. Tipe ini kita temukan pada demokrasi deliberatif. Sejalan dengan tipologi pendefinisian demokrasi, ada tiga tipologi metode menilai kualitas demokrasi. Pertama, penilaian yang bertolak dari posisi Negara, seperti yang dilakukan oleh Bappenas. Kedua, penilaian yang bertolak dari posisi warga negara, seperti yang dilakukan oleh Demos. Ketiga, penilaian yang menggabungkan keduanya, seperti yang dilakukan oleh IDEA International. Penelitian ini hanya menggunakan dua tipologi yaitu ‘demokrasi prosedural’ dan ‘demokrasi substansial’. Sedangkan metode penilaian kualitas demokrasi, 79
Lihat Tom Ginsburg, Judicial Review ... Op.Cit., hal. 31-33.
66
Demokrasi Konstitusional
penelitian ini lebih banyak merujuk pada tipe ketiga. Baik tipologi pendefinisian demokrasi maupun metode penilaian kualitas demokrasi digunakan sebagai satu kesatuan untuk memilah data, bukan untuk menentukan kualitas demokrasi konstitusional Indonesia. Penjelasan metodologis tentang pemilahan data ini sudah dipaparkan pada Bab I bagian metodologi penelitian. 2. Ada dua cara mendefinisikan ‘demokrasi konstitusional’, yaitu: (a) dengan menggabungkan ide tentang ‘demokrasi’ dan ide tentang ‘konstitusionalisme’. (b) dengan mendiskripsikan perkembangan dinamika demokrasi yang terjadi pada Negara tertentu. Penelitian ini berkesimpulan bahwa: Demokrasi konstitusional adalah konsep demokrasi positif dalam arti diputuskan sebagai konsep yang berlaku di sebuah negara yang keberadaannya dilegalkan melalui konstitusi. Dalam konteks Indonesia, sebagai sebuah konsep, masing-masing konsep demokrasi yang berlaku sejak era Orde Lama, Orde Baru sampai Orde Reformasi adalah demokrasi konstitusional. Namun sebagai sebuah nama, ‘demokrasi konstitusional’ menandai demokrasi yang berlaku pada era reformasi. Pada era Orde Lama nama yang umum digunakan adalah ‘demokrasi terpimpin’ dan ‘demokrasi parlementer’, sedangkan pada era Orde Baru nama yang populer adalah ‘demokrasi pancasila’. Lahirnya demokrasi konstitusional bersamaan dengan lahirnya pengadilan konstitusional yang dioperasikan oleh MK. 3. Cara menalar demokrasi adalah dengan menghadapkan demokrasi dengan ‘yang bukan demokrasi’, misalnya krisis demokrasi, tujuan bernegara atau konsep 67
Demokrasi Konstitusional
kepentingan. Jika dihadapkan pada krisis demokrasi, pertanyaannya apakah solusi terhadap krisis demokrasi dicari di dalam demokrasi itu sendiri atau di luar demokrasi. Jika dihadapkan pada tujuan bernegara, pertanyaannya apakah demokrasi merupakan tujuan bernegara itu sendiri atau demokrasi sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan bernegara? Jika dihadapkan pada konsep kepentingan, pertanyaannya adalah apakah demokrasi merupakan konsep kepentingan itu sendiri atau demokrasi sebagai sarana untuk mempertahankan kepentingan. Penelitian akan menggunakan rasionalitas demokrasi konstitusional dengan dua titik tolak. Pertama, bertolak dari hubungan antara demokrasi prosedural dan demokrasi substansial. Kedua, bertolak dari hubungan antara prinsip demokrasi konstitusional dan prinsip-prinsip ketatanegaraan lain yang diatur di dalam UUD 1945. 4. Paparan tentang MK memberikan justifikasi bahwa putusan MK merupakan referensi yang otoritatif untuk menemukan konsep tentang demokrasi konstitusional.
68
Demokrasi Konstitusional
BAB III Ciri (prosedural) demokrasi konstitusional “Kita harus evaluasi mengenai pemahaman hukum, pemahamanan kita mengenai negara hukum. Hukum itu hanya salah satu sistem norma. Oleh karena itu kita ingin membicarakan etika. Saat ini perlunya bersinergi antara hukum dan etika. Hubungan norma agama dan etika bukan lagi hubungan atas bawah, mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah. Mestinya hukum itu jasad, roh adalah etika� (Jimly Asshiddiqie) A. Pengantar Pada Bab I sudah dipaparkan bahwa penelitian ini merangkum demokrasi prosedural disebut juga demokrasi elektoral atau demokrasi minimalis, yaitu konsep tentang sistem pemerintahan yang bertumpu proses dan kelembagaan, seperti Pemilu yang kompetitif. Hal-hal yang menjadi perhatian dari demokrasi prosedural antara lain: Sejauh mana sistem Pemilu independen dari kekuasaan pemerintahan dan partai politik? Sejauh mana sistem Pemilu bebas dari intimidasi dan penyalahgunaan kewenangan? Sejauh mana sistem Pemilu bisa diakses oleh seluruh warga? Sejauh mana keadilan prosedur dalam pendaftaran kandidat? Sejauh mana para kandidat bisa berkomunikasi dengan pemilihnya secara bebas? Sejauh mana komposisi legislatif dan eksekutif mencerminkan hasil Pemilu? Sejauh mana kebebasan membentuk partai politik, merekrut anggota dan mengkampanyekan diri? Sejauh mana efektifitas aturan tentang disiplin parpol di dalam legislator? Sejauh mana sistem keuangan parpol 69
Demokrasi Konstitusional
mencegah kepentingan khusus dari parpol? Sejauh mana efektifitas legislatif dalam menginisiasi, mengawasi dan mengubah peraturan? Sejauh mana efektifitas pengawasan legislatif terhadap eksekutif. Sejauh mana kontrol sipil terhadap militer dan sejauh mana kehidupan politik bebas dari keterlibatan militer? B. Tafsir MK terhadap demokrasi elektoral Selanjutnya akan dipaparkan data (argumentasi dalam putusan MK) yang dibagi dalam lima tema, yaitu: Pertama, penyelenggara Pemilu, terdiri dari: independensi penyelenggara, mekanisme rekrutmen dan pembentukan pengawas Pemilu, dan DKPP . Kedua, penyelenggaraan Pemilu, terdiri dari: tata cara pemungutan suara, penyelenggaraan Pemilu yang bertahap dan Pilkada. Ketiga, Partai Politik, terdiri dari: syarat pendirian parpol, status Badan Hukum parpol, cara memperoleh status badan hukum dan kewenangan parpol dalam penggantian antar waktu. Keempat, ambang batas (threshold), terdiri dari: electoral threshold, parliamentary threshold dan presidential threshold. Kelima, Lembaga Perwakilan Rakyat, terdiri dari: sistem kamar di parlemen, posisi DPD, hak angket DPR dan hak menyatakan pendapat DPR. B.1. Putusan MK tentang independensi Penyelenggara Pemilu Cukup banyak putusan MK yang di dalamnya memperdebatkan mengenai independensi penyelenggara Pemilu, khususnya pada beberapa perkara pengujian UU Penyelenggara Pemilu, baik UU No. 22 Tahun 2007 maupun UU No. 15 Tahun 2011. 70
Demokrasi Konstitusional
B.1.1. Penyelenggara Pemilu bukan hanya KPU Siapakah penyelenggara Pemilu? Menurut MK, frasa “suatu komisi pemilihan umum” pada Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 tidak merujuk pada sebuah nama institusi— yang bernama Komisi Pemilihan Umum—tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan Pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dengan demikian fungsi penyelenggaraan Pemilu tersebut bukan hanya dilaksanakan oleh KPU melainkan termasuk juga lembaga pengawas dan dewan kehormatan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merupakan lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas melakukan pengawasan pelaksanaan Pemilu. Sedangkan DKPP bertugas mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu. Baik KPU, Bawaslu maupun DKPP, merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu yang menjamin kemandirian penyelenggara Pemilu, karenanya harus bersifat nasional, mandiri dan tetap (Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010, paragraf 3.18). Lantas apa tafsir MK terhadap kemandirian penyelenggara Pemilu? MK—dengan merujuk pada latar belakang historis proses perubahan UUD 1945 (pendekatan original intent)—mendefinisikankata “mandiri” sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (5) dengan mengaitkannya pada konsep non-partisan. Artinya, kemandirian yang dimiliki oleh penyelenggara Pemilu adalah kemandirian yang tidak memihak kepada partai politik atau kontestan manapun. Konsep mandiri atau non-partisan menegaskan bahwa penyelenggara Pemilu tidak boleh berpihak kepada salah satu peserta Pemilu (Putusan MK No. 81/PUU-IX/2011, paragraf 3.14). 71
Demokrasi Konstitusional
Ada beberapa alasan mengapa penyelenggara Pemilu tidak boleh berpihak pada peserta Pemilu. Pertama, keberpihakan itu akan mengakibatkan ketidakpercayaan (distrust) dan proses yang tidak adil (unfair), sehingga menghilangkan makna demokrasi yang berusaha diwujudkan melalui Pemilu yang luber dan jurdil. Kedua, keterlibatan partai politik—sebagai peserta Pemilu— secara langsung dalam organisasi penyelenggara Pemilu akan membuka peluang keberpihakan atau konflik kepentingan penyelenggara Pemilu kepada salah satu kontestan. Keterlibatan secara langsung ini bisa terjadi dalam bentuk anggota Parpol menjadi anggota penyelenggara Pemilu atau orang yang bukan anggota Parpol tetapi memiliki kepentingan politik yang sama dengan Parpol tertentu. Ketiga, tidak ada pembenaran secara etika. Secara teleologis, keterlibatan Parpol sebagai penyelenggara Pemilu hanya mungkin dengan mengandaikan anggota Parpol yang memegang jabatan publik tersebut tidak berpihak kepada Parpol asalnya. Akan tetapi ini mensyaratkan tingkat kedewasaan berpolitik dan sifat kenegarawanan serta berada di atas kepentingan semua golongan dan semua kelompok. Kenyataannya netralitas atau kemandirian tersebut tidak dengan sendirinya terjadi begitu saja. Secara deontologis tetap diperlukan proses yang tepat untuk mencapai tujuan yang diinginkan. (Putusan MK No. 81/PUU-IX/2011, paragraf 3.14). Kemandirian penyelenggara Pemilu berarti membatasi hak Parpol peserta Pemilu untuk bertindak sekaligus sebagai penyelenggara Pemilu. Parpol yang dimaksud meliputi anggota Parpol yang masih aktif atau mantan anggota Parpol yang masih memiliki keberpihakan kepada Parpol asalnya, atau masih memiliki pengaruh dalam 72
Demokrasi Konstitusional
penentuan kebijakan Parpol tersebut. Oleh karena itu, untuk menjamin kemandirian penyelenggara Pemilu tersebut, MK merekomendasikan dua hal yang harus diperhatikan yaitu penguatan proses seleksi dan penguatan sistem yang mendukung seleksi. Di level undang-undang sendiri, ketentuan mengenai kemandirian penyelenggara Pemilu ini mengalami evolusi, terutama pada syarat bagi anggota KPU dan Bawaslu. Hal ini bisa kita lihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2: Perbandingan ketentuan mengenai kemandirian penyelenggara Pemilu UU 22/2007 Tentang syarat anggota KPU: Pasal 11 huruf i: i. tidak pernah menjadi anggota partai i. politik yang dinyatakan dalam surat pernyataan yang sah atau sekurangkurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik yang dibuktikan dengan surat keterangan dari pengurus partai politik yang bersangkutan. i. Tentang syarat anggota Bawaslu: Pasal 86 huruf i: i. tidak pernah menjadi anggota partai politik yang dinyatakan secara tertulis dalam surat pernyataan yang sah atau sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik yang dibuktikan dengan surat keterangan dari pengurus partai politik yang bersangkutan;
UU 15/2011 Tentang syarat anggota KPU: Pasal 11 huruf i: mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik, jabatan politik, jabatan di pemerintahan, dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah pada saat mendaftar sebagai calon. Tentang syarat anggota Bawaslu: Pasal 85 huruf i: mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik, jabatan politik, jabatan di pemerintahan, dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah pada saat mendaftar sebagai calon.
\Sumber: diolah dari undang-undang
73
Demokrasi Konstitusional
Pada UU 22/2007 jelas disebutkan bahwa syarat bagi calon anggota KPU maupun Bawaslu adalah tidak pernah menjadi anggota Parpol, sedangkan pada UU 15/2011 syarat tersebut diubah menjadi mengundurkan diri dari keanggotaan Parpol pada saat mendaftar sebagai calon. Menurut MK, persoalan yang muncul pada UU 15/2011 terletak pada ketiadaan batasan waktu dalam pengunduran diri dari keanggotaan Parpol. Dengan tidak adanya batasan waktu ini dapat dipergunakan sebagai celah oleh Parpol untuk memasukan kadernya ke dalam tubuh penyelenggara Pemilu. Hal ini justru bertentangan dengan sifat mandiri sebagaimana dimandatkan konstitusi. Menyikapi hal itu MK berpendapat, bahwa syarat pengunduran diri dari keanggotaan parpol tersebut harus diberikan batasan waktu, sekurang-kurangnya lima tahun sebelum yang bersangkutan mengajukan diri sebagai calon penyelenggara Pemilu. Angka lima tahun ini bertepatan dengan periodesasi tahapan Pemilu (Putusan MK No. 81/PUU-IX/2011, paragraf 3.14). B.1.2. Bawaslu merekrut sendiri petugas Pengawas Pemilu Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya bisa terwujud jika diselenggarakan oleh penyelenggara yang memiliki integritas, profesionalitas dan akuntabilitas. Oleh karenanya diperlukan suatu pengawasan agar Pemilu benar-benar dilaksanakan berdasarkan asas Pemilu dan peraturan perundangundangan. Memperkuat pengawasan hanya bisa dilakukan dengan cara memberikan jaminan terhadap kemandirian Bawaslu beserta jajarannya, untuk melakukan pengawasan secara efektif dan substantif (bukan sekedar formalitas). Jaminan kemandirian itu diberikan melalui undang-undang, penegasan tugas dan wewenang yang jelas 74
Demokrasi Konstitusional
dan anggota yang mandiri. Hal ini bermula dari mekanisme rekrutmen anggota pengawas Pemilu (Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010, paragraf 3.18). Sementara di dalam undang-undang yang saat itu berlaku, ketentuan Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 95 UU 22/2007 pada intinya menyebutkan bahwa calon anggota Panwaslu diusulkan oleh KPU dan ditetapkan oleh Bawaslu. Menurut MK, mekanisme pencalonan seperti demikian tidak memenuhi sifat mandiri sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, karena calon yang akan mengawasi justru diusulkan oleh lembaga yang akan diawasi. Sistem pencalonan seperti ini akan mengakibatkan ketergantungan anggota Panwaslu pada KPU dan berpotensi mengakibatkan saling menghambat dalam penggantian anggota Panwaslu antara Bawaslu dan KPU. Ketentuan demikian juga menimbulkan ketidakpastian hukum serta mengganggu terselenggaranya Pemilu (Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010, paragraf 3.19). Dengan kata lain, untuk menjamin kepastian hukum yang adil dan menghindari terganggunya penyelenggaraan Pemilu, maka pencalonan dan pengangkatan anggota Panwaslu cukup diakukan oleh satu lembaga saja, yaitu Bawaslu atau Panwaslu (Putusan MK No. 11/PUUVIII/2010, paragraf 3.20). Dengan adanya putusan MK yang membatalkan sejumlah frasa dalam pasal-pasal tersebut, mengakibatkan terjadinya perubahan rumusan pasal, sebagaimana tergambar pada tabel berikut ini (Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010, paragraf 3.21):
75
Demokrasi Konstitusional Tabel 3: Perbandingan ketentuan pasal pencalonan dan pengangkatan anggota Panwaslu
(1)
(2)
Sebelum Putusan MK Pasal 93: Calon anggota Panwaslu Provinsi diusulkan oleh KPU Provinsi kepada Bawaslu sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya ditetapkan dengan keputusan Bawaslu sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Provinsi terpilih setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan.
Setelah Putusan MK Pasal 93 : Anggota panwaslu propinsi ditetapkan dengan keputusan Bawaslu sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota panwaslu propinsi terpilih setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan.
Pasal 94: Calon anggota Panwaslu Kabupaten/Kota (1) untuk Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah provinsi diusulkan oleh KPU Kabupaten/kota kepada Panwaslu (2) Provinsi sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kabupaten/Kota setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu. Calon anggota Panwaslu Kabupaten/Kota untuk Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Bawaslu sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kabupaten/Kota setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu.
Pasal 94: Anggota panwaslu kabupaten/kota untuk Pemilu legislatif, Pemilu presiden dan Pemilukada propinsi dipilih sebanyak 3 (tiga) orang setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan bawaslu. Anggota panwaslu kabupaten.kota untuk Pemilukada kab/kota dipilih sebanyak 3 (tiga) orang setelah melalui uji kelayakan dan kepatutan dan ditetapkan dengan keputusan Bawaslu.
76
Demokrasi Konstitusional Pasal 95: Calon anggota Panwaslu Kecamatan diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota kepada Panwaslu Kabupaten/Kota sebanyak 6 (enam) orang untuk selanjutnya dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kecamatan dan ditetapkan dengan keputusan Panwaslu Kabupaten/Kota.
Pasal 95 : Anggota Panwaslu Kecamatan dipilih sebanyak 3 (tiga) orang sebagai anggota Panwaslu Kecamatan dan ditetapkan dengan keputusan Panwaslu kabupaten/kota.
Sumber: diolah dari undang-undang
Selain implikasi normatif, pada saat itu putusan MK tersebut juga memiliki implikasi teknis yaitu terhadap 192 anggota Panwaslu yang telah direkrut berdasarkan ketentuan sebelum keluarnya putusan MK. Terhadap 192 anggota Panwaslu tersebut, MK menyatakan sah dan dapat menjalankan tugas, fungsi dan wewenang sesuai dengan undang-undang—putusan MK bersifat prospektus (Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010, paragraf 3.22). B.1.3. Dewan Kehormatan adalah Penyelenggara Pemilu yang mandiri Pada mulanya MK berada pada posisi bahwa jumlah dan komposisi DKPP, adalah merupakan wilayah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-undang. Pada UU 22/2007 Dewan Kehormatan diatur dalam Pasal 111- Pasal 113, selanjutnya dalam perubahannya melalui UU 15/2011 diatur pada Pasal 109- Pasal 115. Namun ada perubahan yang cukup signifikan mengenai komposisi DKPP:
77
Demokrasi Konstitusional Tabel 4: Perbandingan ketentuan tentang komposisi DKPP UU 22/2007 Pasal 111 ayat (2): Pembentukan Dewan Kehormatan ditetapkan dengan KPU.
a. b. c.
Pasal 111 ayat (3): d. Dewan Kehormatan e. berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 3 (tiga) orang anggota KPU dan 2 (dua) orang dari luar anggota KPU.
UU 15/2011 Pasal 109 ayat (4): DKPP terdiri dari : 1 (satu) orang unsur KPU; 1 (satu) orang unsur Bawaslu; 1 (satu) orang utusan masing-masing parpol yang ada di DPR; 1 (satu) orang utusan pemerintah; 4 (empat) orang tokoh masyarakat dalam hal jumlah utusan paprol yang ada di DPR berjumlah ganjil atau 5 (lima) orang dalam hal utusan parpol berjumlah genap. Pasal 109 ayat (5) : Dalam hal anggota DKPP yang berasal dari tokoh masyarakat berjumlah 4 (empat) orang, Presiden dan DPR masing-masing mengusulkan 2 (dua) orang. Pasal 109 ayat (6): Dalam hal anggota DKPP yang berasal dari tokoh masyarakat berjumlah 5 (lima) orang, Presiden mengusulkan 2 (dua) orang dan DPR mengusulkan 3 (tiga) orang.
Sumber: diolah dari undang-undang
Jika memerhatikan perubahan pengaturan pada kedua undang-undang di atas, nampak alurnya adalah: awalnya ketentuan Pasal 111 ayat (2) dan ayat (3) UU 22/2007 telah dicabut oleh MK, kemudian ketentuan tersebut diperharui melalui perumusan UU 15/2011. Perubahan kembali terjadi setelah MK membatalkan ketentuan Pasal 109 UU 15/2011. Secara ringkas pandangan MK mengenai DKPP dapat terbaca dalam narasi berikut: 78
Demokrasi Konstitusional
Terhadap ketentuan mengenai Dewan Kehormatan pada UU 22/2007, MK memberikan pertimbangan bahwa meskipun komposisi Dewan Kehormatan merupakan open legal policy namun untuk menjamin kemandirian dalam penyelenggaran Pemilu yang luber dan jurdil oleh KPU dan Bawaslu, anggota Dewan Kehormatan harus diisi oleh anggota KPU dan Bawaslu secara seimbang. Dalam kerangka pemikiran ini, diperlukan hanya satu DKPP baik untuk mengawasi perilaku anggota KPU maupun Bawaslu. Sehingga komposisi anggota Dewan Kehormatan baik untuk tingkat nasional maupun daerah harus terdiri dari perwakilan KPU (KPU, KPU propinsi atau KPU Kab/kota) serta Bawaslu (Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kab/Kota) secara seimbang/sama jumlahnya dan ditambah satu dari pihak luar yang independen (Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010, paragraf 3.23). Dalam prosesnya, pembentuk undang-undang rupanya tidak mengindahkan batasan yang diberikan MK tersebut terkait dengan komposisi DKPP. Pembangkangan ini dilakukan dengan menghadirkan unsur pemerintah dan DPR dalam komposisi DKPP, sebagaimana diatur UU 15/2011. Selanjutnya, terhadap komposisi anggota DKPP yang ada di dalam UU 15/2011 tersebut, MK berpandangan bahwa Dewan Kehormatan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggara Pemilu yang harus bersifat mandiri. Kemandirian tersebut—salah satunya— ditentukan oleh komposisi keanggotaan. Jika Dewan Kehormatan diisi oleh peserta Pemilu (Parpol) maka akan berpotensi menyandera atau mengancam kemandirian penyelenggara Pemilu, karena pihak yang seharusnya diawasi (parpol sebagai peserta Pemilu) oleh penyelenggara Pemilu dapat berganti peran menjadi pihak yang mengawasi penyelenggara Pemilu. Selain unsur dari 79
Demokrasi Konstitusional
DPR, unsur dari pemerintah pun perlu ditiadakan karena mengingat keberadaan pemerintah dalam sistem politik Indonesia tidak dapat dipisahkan dari keberadaan parpol pemenang Pemilu. Atas dasar pertimbangan tersebut, MK memberikan rumusan norma baru pada Pasal 109 ayat (4) UU 15/2011 menjadi: DKPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. 1(satu) orang unsur KPU; b. 1 (satu) orang unsur Bawaslu; c. 5 (lima) orang tokoh masyarakat (Putusan MK No. 81/PUU-IX/2011, paragraf 3.15). B.2. Putusan MK tentang proses penyelenggaraan Pemilu Sedikitnya ada dua persoalan terkait penyelenggaraan Pemilu yang diputuskan oleh MK, yaitu tentang tata cara pemungutan suara dan penyelenggaraan Pemilu yang bertahap. B.2.1. Tata-cara pemungutan suara Mengenai tata cara pemungutan suara, sedikitnya ada tiga metode yang pernah diterapkan yaitu mencoblos, mencontreng dan menggunakan electronic voting (e-voting). Metode mencoblos diterapkan pada Pemilu tahun 2004, sebagaimana diatur di dalam Pasal 88 UU 32/2004 yang menyatakan “pemberian suara untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara�. Metode mencontreng diterapkan pada Pemilu tahun 2009, sebagaimana diatur di dalam Pasal 153 UU 10/2008. Sedangkan e-voting dengan KTP ber-chip telah dipraktikkan di pemilihan tingkat desa di Kabupaten Jembrana, Bali, yaitu pemilihan kepala dusun di Desa Yehembang, di Desa Pohsanten, Kecamatan Mendoyo dan di Desa Perancak, Kecamatan Jembrana. 80
Demokrasi Konstitusional
Menurut MK—melalui Putusan No. 147/PUUVII/2009—ketiga cara tersebut sama-sama konstitusional, dengan tiga argumentasi. Pertama, dengan kemajuan teknologi, Pemilu bisa dilakukan dengan e-voting. Cara ini telah dilakukan di berbagai negara dan cara tersebut apabila disiapkan dengan baik dapat secara signifikan mengurangi kelemahan cara pencoblosan dan pencentangan. Kedua, cara memberikan suara, baik dengan mencontreng, mencoblos maupun e-voting tidak mempengaruhi keabsahan pemberian suara, sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas Pemilu yang luber dan jurdil. Ketiga, e-voting mensyaratkan kesiapan dari sisi teknologi, sumber daya manusia maupun soft sistemnya. Atas dasar argumentasi tersebut, MK memutuskan bahwa ketentuan dalam Pasal 88 UU 32/2004 yang menyatakan bahwa pemberian suara untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara, harus dimaknai dapat menggunakan metode e-voting dengan dua syarat kumulatif, yakni tidak melanggar asas luber dan jurdil dan daerah yang menerapkan metode evoting sudah siap baik dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia, maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah yang bersangkutan, serta persyaratan lain yang diperlukan. B.2.2. Penyelenggaraan Pemilu yang bertahap Tentang penyelenggaraan Pemilu yang bertahap ini diatur di dalam Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pilpres.80 Pada Pilpres berikutnya diatur kembali -dengan 80
Pasal 4 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pilpres: “Pemungutan suara untuk pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilaksanakan selambat-
81
Demokrasi Konstitusional
menghilangkan batasan selambat-lambatnya 3 bulandidalam Pasal 3 ayat (5) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres.81 Ada dua putusan yang terkait tema penyelenggaraan Pemilu serentak ini, yaitu Putusan No. 001/PUU-II/200482 dan Putusan No. 51-52-59/PUUVI/2008.83 Pada Putusan No. 001/PUU-II/2004, para pemohon mempersoalkan pelaksanaan Pilpres yang tidak serentak dengan pemilihan legislatif, sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 UU 23/2003. Menurut mereka hal tersebut mengakibatkan tiga dampak buruk yaitu biaya yang mahal, situasi politik yang rawan konflik sehingga mudah terprovokasi dan pemilih yang bekerja sebagai pegawai belum tentu bisa mengikuti tiga kali Pemilu (Pemilu legislatif, Pemilu presiden dan Pemilu presiden putaran kedua). Terhadap argumentasi tersebut, MK memutuskan untuk tidak menerima karena tidak ada kausalitas antara pelaksanaan Pemilu yang tidak serentak dengan status pemohon sebagai calon pemilih (bukan calon presiden atau pimpinan Parpol).84 Dengan demikian MK tidak mempertimbangkan pokok perkara.
lambatnya 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasilPemilu bagi anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota�. 81 Pasal 3 ayat (5) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres: “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD�. 82 Putusan No. 001/PUU-II/2004 ini memuat 3 tema (pelaksanaan Pemilu serentak, presidential threshold dan larangan gabungan Parpol mengajukan 1 pasangan capres, karenanya pada tema yang lain masih akan menggunakan putusan ini. 83 Pada Putusan No. 51-52-59/PUU-VI/2008 ini ada tiga pemohon dan dua tema (penyelenggaraan Pemilu serentak dan syarat capres). Untuk tema penyelenggaraan Pemilu serentak hanya dimohonkan oleh Pemohon II. 84 Isi lengkap amar Putusan MK No. 001/PUU-II/2004: 1) Tidak dapat diterima karena pemohon tidak bisa membuktikan kerugian konstitusionalnya akibat berlakunya Pasal 4 , Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), Pasal 101, Pasal 1 butir 5, Pasal 26 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003. Dan 2) Para pemohon adalah calon pemilih, bukan calon presiden atau pimpinan parpol.
82
Demokrasi Konstitusional
Sedangkan pada Putusan No. 51-52-59/PUU-VI/2008, Pemohon mendalilkan bahwa para pembuat UUD tidak menghendaki adanya pelaksanaan Pemilu secara bertahap. MK juga menolak dalil ini dengan mengatakan bahwa aturan juga bisa dibentuk berdasarkan pengalaman praktik hukum (bukan hanya logika hukum). Kebiasaan ini disebut juga desetudo atau konvensi ketatanegaraan yang menggantikan ketentuan hukum. Kebiasaan demikian telah diterima dan dilaksanakan, sehingga tidak dianggap bertentangan dengan hukum. Terhadap pandangan tersebut, ada pendapat berbeda (dissenting opinion) dari tiga hakim konstitusi (Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan dan Akil Mochtar) yang intinya menyatakan bahwa dengan menafsirkan konstitusi secara tekstual, original intent dan sistematik maka jelas bahwa pembentuk konstitusi menghendaki pelaksanaan Pemilu secara serentak. Frase “sebelum pelaksanaan pemilihan umum” yang tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 194585 tidak dapat dipisahkan dari pengertian pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E ayat (2) UUD 1945,86 yaitu bahwa pemilihan umum adalah untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD sebagai satu kesatuan sistem dan proses dalam penyelenggaraannya (electoral laws and electoral processes) oleh “suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri” [vide Pasal 22E ayat (5) UUD 1945]. Bahkan menurut tiga hakim konstitusi ini cukup diperlukan satu Undang-Undang tentang Pemilu 85
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. 86 Pasal 22E ayat (2) UUD 1945: “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
83
Demokrasi Konstitusional
(tidak perlu ada undang-undang khusus Pilpres dan Pilkada). B.3. Putusan MK tentang Pilkada Ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyatakan “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis�.Terhadap ketentuan tersebut, MK—pada Putusan No. 072-073/PUU-II/2004—memiliki beberapa tafsir. Pertama, untuk melaksanakan Pasal 18 UUD 1945 diperlukan UU Pemda yang substansinya antara lain memuat ketentuan tentang Pilkada. Apakah Pilkada dilakukan dengan cara pemilihan langsung atau cara-cara demokratis lain, merupakan kewenangan dari pembuat undang-undang. Konstitusionalitas Pilkada bukan terletak pada cara (pemilihan langsung atau cara lain) melainkan pada kesesuaiannya dengan asas-asas Pemilu yang berlaku secara umum. Asas-asas penyelenggaraan Pemilu harus tercermin dalam penyelenggaraan Pilkada yaitu langsung, umur, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber-jurdil) yang diselenggarakan oleh lembaga yang independen. Kedua, Pilkada langsung tidak termasuk dalam kategori Pemilu sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945, namun Pemilu yang secara materiil untuk mengimplementasikan Pasal 18 UUD 1945. Oleh karenanya dalam penyelenggaraannya dapat berbeda dengan Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945, misalnya dalam hal regulator, penyelenggara dan badan yang menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada, meskipun tetap harus didasarkan atas asas-asas Pemilu yang berlaku umum. 84
Demokrasi Konstitusional
Ketiga, tentang siapa penyelenggara Pilkada merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Ketika pembentuk undang-undang menetapkan KPUD sebagai penyelenggara Pilkada langsung, maka menurut MK yang terpenting adalah jaminan independensi KPUD. Meski demikian, ke depan pembentuk UU sebaiknya menetapkan komisi pemilihan umum sebagai penyelenggara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E UUD 1945 dengan segala perangkat kelembagaan dan pranatanya. Independensi KPUD ini bisa dilihat dari kewenangan dan mekanisme pertanggungjawabannya. KPUD bertanggungjawab kepada publik baik menyangkut keuangan maupun pelaksanaan tugasnya. MK menolak ketentuan pada Pasal 57 ayat (1) UU 32/2004 yang mengatur kewajiban KPUD bertanggungjawab kepada DPRD. Menurut MK, terhadap DPRD yang perlu dilakukan oleh KPUD hanyalah menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya, seperti yang ditentukan dalam Pasal 57 ayat (2) UU Pemda. KPUD tidak mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD karena dalam penyelenggaraan Pilkada dana yang dipergunakan tidak hanya bersumber dari APBD tetapi juga dari APBN, oleh karenanya pertanggungjawaban penggunaan anggaran harus dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, pertanggungjawaban penggunaan anggaran kepada DPRD justru dapat mengancam independensi KPUD sebagai penyelenggara Pilkada, karena DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah yang bersifat politik sehingga memiliki kepentingan politik dalam arena persaingan kekuasaan di tingkat daerah. Independensi KPUD yang lain adalah terkait dengan kewenangan menetapkan calon dan 85
Demokrasi Konstitusional
mengenakan sanksi pembatalan pasangan calon. MK menolak ketentuan Pasal 82 ayat (2) UU 32/2004 yang memberikan kewenangan kepada DPRD untuk memberikan sanksi pembatasan pasangan calon. Menurut MK, karena Pasal 66 ayat (1) huruf g UU 32/2004 telah jelas memberikan kewenangan kepada KPUD untuk menetapkan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah (prinsip a contrario actus), maka pembatalan harus dilakukan oleh lembaga yang sama dengan cara yang sama. Keempat, tentang peran pemerintah daerah. Menurut MK, bentuk peraturan pelaksana apakah dengan Peraturan Pemerintah atau bentuk lain merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. Ketika pembentuk undang-undang menetapkan peraturan pelaksana tersebut adalah dalam bentuk Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur pada beberapa pasal dalam UU 32/2004, hal tersebut bukan merupakan intervensi pemerintah melainkan karena diperintahkan oleh undang-undang. Kelima, tentang penyelesaian sengketa hasil Pilkada. Menurut MK, secara konstitusional pembuat undangundang dapat saja memastikan bahwa Pilkada langsung merupakan perluasan pengertian Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga perselisihan hasilnya menjadi bagian dari kewenangan MK. Namun pembentuk undang-undang juga bisa menentukan bahwa Pilkada langsung bukan Pemilu dalam arti formal yang disebut dalam Pasal 22E UUD 1945, sehingga perselisihan hasilnya ditentukan sebagai tambahan kewenangan MA sebagaimana dimungkinkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945,“MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan 86
Demokrasi Konstitusional
di bawah UU terhadap UU dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh UU�. Terhadap pendapat-pendapat MK tersebut, terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dari tiga hakim konstitusi, yaitu Laica Marzuki, Mukthie Fadjar dan Maruarar Siahaan. Ketiganya bertolak dari pertanyaan apakah Pilkada merupakan rezim Pemda atau rezim Pemilu dan apa implikasinya? Ketiganya berpandangan bahwa Pilkada adalah masuk rezim Pemilu sebagaimana dimaksud Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Laica Marzuki berpendapat bahwa jika pemilihan anggota DPRD tergolong Pemilu menurut Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, mengapa Pilkada tidak? Konsekuensi ketika Pilkada masuk pada rezim Pemilu adalah diselenggarakan oleh komisi pemilihan umum dan sengketa hasilnya diselesaikan oleh MK. Hakim Mukthie Fadjar berpendapat bahwa pembentuk UU 32/2004 berangkat dari paradigma bahwa Pilkada langsung adalah urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga masuk pada rezim Pemda bukan rezim Pemilu, meskipun tidak segan-segan mengadopsi prinsip-prinsip hukum Pemilu, meminjam aparat Pemilu (KPU propinsi dan KPU Kab/Kota) yang merupakan aparat Pemilu yang tidak terpisahkan dari KPU dengan diberi baju KPUD (sehingga lepas ikatannya dengan KPU) dan ruh independensinya dikurangi (antara lain harus bertanggungjawab kepada DPRD). Ketentuan Pilkada langsung yang didesain pembentuk undangundang melalui Pasal 56 sampai dengan Pasal 119 UU 32/2004 telah dibuat sedemikian rupa dalam perspektif pemberian peran yang besar kepada pemerintah dan DPRD untuk mengendalikan Pilkada langsung dengan mengabaikan peran KPU sebagai sebuah lembaga negara 87
Demokrasi Konstitusional
yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Pencomotan KPUD dari mata rantai ikatannya dengan KPU dengan diberi label KPUD adalah sebuah desain untuk melumpuhkan kemandiriannya sebagai penyelenggara Pilkada langsung. Menurut Mukthie Fadjar, pandangan-pandangan MK tersebut mendua. Seharusnya MK berdiri pada posisi yang jelas, bahwa Pilkada secara demokratis adalah Pilkada langsung, Pilkada langsung adalah Pemilu dan Pemilu adalah Pemilu yang secara substansial berdasarkan prinsip-prinsip yang ditentukan dalam Pasal 22E UUD 1945. MK sebagai pengawal konstitusi sebaiknya memberikan pencerahan dalam membangun sistem ketatanegaraan dan sistem demokrasi yang berkelanjutan bukan yang patah-patah seperti gelang karet. Semua demokrasi modern memang melaksanakan pemilihan tetapi tidak semua pemilihan adalah demokratis. Amanah demokratis pada Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 memiliki ukuran-ukuran tertentu, seperti ada pengakuan dan perlindungan HAM, adanya kepercayaan masyarakat terhadap Pilkada langsung yang bisa menghasilan pemerintahan yang legitimate dan terdapat persaingan yang adil dari para peserta Pilkada langsung. Ukuranukuran tersebut harus tercermin dalam electoral laws (asas, sistem, hak pilih, penyelenggara, dan lain-lain) dan electoral process (peserta, pendaftaran pemilih, kampanye, pemungutan suara, penentuan hasil dan penyelesaian sengketanya, dan lain-lain). Maruarar Siahaan berpendapat bahwa Pasal 18 ayat (4) merupakan hasil perubahan kedua yang berada dalam Bab VI tentang Pemerintah Daerah sedangkan Pasal 22E merupakan hasil perubahan ketiga yang diletakkan dalam bab baru yaitu Bab VIIB tentang Pemilu. Sesuai dengan 88
Demokrasi Konstitusional
asas perundang-undangan yang berlaku juga dalam UUD seharusnya pembuat undang-undang membaca dan menafsirkan Pasal 18 ayat (4) dalam konteks perubahan ketiga yang menghasilkan Pasal 22E dalam Bab VIIB tersebut, sehingga tidak bisa ditafsir lain bahwa Pilkada secara demokratis dalam Pasal 18 ayat (4) adalah Pemilu yang dimaksud Pasal 22E UUD 1945. Meskipun Pilkada diatur dalam Bab VI UUD 1945 tentang Pemda, namun pemilihan pejabatnya sama dengan Bab III tentang kekuasaan presiden dan Bab VII tentang DPR dan Bab VIIA tentang DPD. Masing-masing menyebut juga rekrutmennya dengan pemilihan tetapi kemudian disebut juga dalam Bab VIIB tentang Pemilu. Selanjutnya Maruarar berpandangan bahwa konsekuensi dari Pilkada masuk rezim Pemilu maka penyelenggara Pilkada adalah komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Artinya KPU beserta KPUD yang telah ditetapkan menjadi penyelenggara Pemilu adalah menjadi penyelenggara Pilkada. Konsekuensi lain adalah peserta atau partisipan dalam Pilkada tersebut tidak ikut serta dalam penyelenggaraan dan pengaturan Pilkada. B.4. Putusan MK tentang Partai Politik Parpol adalah organisasi yang posisinya sangat tinggi, yang ditandai dengan diaturnya parpol di dalam konstitusi. UUD 1945 mengatur partai politik dalam tiga hal, yaitu parpol sebagai peserta Pemilu, parpol sebagai pengusung capres dan pembubaran parpol. Implikasinya adalah semua ketentuan tentang parpol di luar tiga hal tersebut merupakan wilayah kewenangan legislatif untuk mengaturnya. 89
Demokrasi Konstitusional
Parpol sebagai peserta Pemilu diatur di dalam Pasal 22E ayat (3) yang berbunyi: “Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah parpol�. Sedangkan peserta untuk Pemilu presiden dan DPD adalah perorangan. Parpol sebagai pengusung capres diatur di dalam Pasal 6A ayat (2) yang berbunyi: “Pasangan capres dan wapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu sebelum pelaksanaan Pemilu�. Meskipun peserta dalam Pemilu Presiden adalah perseorangan, namun yang mengusulkan capres dan cawapres hanya parpol atau gabungan parpol. Dengan kalimat lain, posisi parpol pada Pemilu presiden sangat menentukan. Sedangkan tentang pembubaran parpol diatur di dalam Pasal 24C ayat (1) yang berbunyi: MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil Pemilu. Dengan demikian, memutus pembubaran partai politik merupakan salah satu kewenangan MK.87 Ada beberapa putusan MK yang terkait dengan parpol, yaitu menyangkut syarat pendirian parpol, status badan hukum, cara memperoleh status badan hukum tersebut dan yang terbaru tentang kewenangan parpol dalam penggantian antar waktu (PAW) anggota legislatif. Tentang syarat pendirian parpol, bisa kita temukan pada Putusan No. 15/PUU-IX/2011dan Putusan No. 35/PUUIX/2011. Kedua putusan tersebut sama-sama menyangkut 87
Pembubaran parpol oleh MK hanya salah satu modus pembubaran parpol. Modus yang lain adalah karena membubarkan diri atas keputusan sendiri dan menggabungkan diri dengan perpol lain (vide Pasal 41 UU 2/2011).
90
Demokrasi Konstitusional
persyaratan parpol, tetapi perbedaannya adalah pada putusan 15/2011 syarat yang menjadi keberatan para pemohon adalah sebagaimana diatur di dalam Pasal 51 ayat (1), sedangkan pada putusan 35/2011 syarat yang menjadi keberatan para pemohon adalah selain sebagaimana diatur di dalam Pasal 51 ayat (1) juga Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2) huruf c. Pasal-pasal dalam UU No. 2 Tahun 2011 tentang Parpol tersebut dinilai bertentangan dengan hak untuk berserikat sebagaimana dilindungi melalui Pasal 28, 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Tabel 5: Perbandingan ketentuan tentang Parpol UUD 1945 Pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UU. Pasal 28C ayat (2): Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
UU Nomor 2 Tahun 2011 Pasal 2 ayat (1) : Parpol yang didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit tiga puluh orang WNI yang telah berusia dua puluh satu tahun atau sudah menikah dari setiap propinsi. (1a) Parpol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan oleh paling sedikit lima puluh orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri parpol dengan akta notaris. (1b) pendiri dan pengurus parpol dilarang merangkap sebagai anggota perpol lain. Pasal 3 ayat (2) huruf c : Kepengurusan pada setiap propinsi dan paling sedikit 75% dari jumlah kabupaten/kota pada propinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan.
91
Demokrasi Konstitusional Pasal 51 ayat (1): Parpol yang telah disahkan sebagai Badan Hukum berdasarkan UU 2/2008 tetap diakui keberadaannya dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut UU ini dengan mengikuti verifikasi. (1a) verifikasi parpol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan parpol yang dibentuk setelah UU ini diundangkan, selesai paling lambat 2 ½ tahun sebelum hari pemungutan suara Pemilu. (1b) dalam hal perpol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi syarat verifikasi, keberadaan parpol tersebut tetap diakui sampai dilantiknya anggota DPR, DPRD propinsi dan DPRD kabupaten/kota hasil Pemilu tahun 2014. (1c) anggota DPR, DPRD propinsi dan DPRD kabupaten/kota dari parpol sebagaimana dimaksud pada ayat (1b) tetap diakui keberadaannya sebagai anggota DPR, DPRD propinsi dan DPRD kabupaten/kota sampai akhir periode keanggotaannya. Sumber: diolah dari UUD 1945 dan UU
Dari argumentasi yang diajukan oleh MK, jelas ditegaskan bahwa parpol adalah infrastruktur sekaligus bagian dari mekanisme demokrasi yang dilindungi konstitusi. Peran parpol dalam sistem ketatanegaraan sangat besar. Betapa tidak, parpol mengusulkan calon presiden dan wapres, parpol adalah peserta Pemilu DPR dan DPRD dan parpol –melalui DPR dan Presidenmenentukan UU. Untuk itu, keberadaan parpol harus mendapatkan kepastian hukum. Menurut MK, ketentuan yang diatur pada Pasal 51 ayat (1) tersebut telah merancukan tiga materi pokok -yaitu status Badan 92
Demokrasi Konstitusional
Hukum Parpol, syarat parpol menjadi peserta Pemilu dan kelembagaan DPR- yang seharusnya diatur sendiri-sendiri. Terkait dengan status Badan Hukum Parpol, Pasal 51 ayat (1) justru telah menghilangkan perlindungan hukum yang telah diberikan oleh UU 2/2008 dan UU 10/2008. Jika parpol gagal mendudukkan wakilnya di lembaga perwakilan, maka dia tidak serta merta kehilangan statusnya sebagai badan hukum dan tetap mempunyai hak konstitusional untuk ikut dalam Pemilu berikutnya dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan. Jika pun parpol tersebut tidak mengikuti Pemilu berikutnya, dia tetap tidak kehilangan statusnya sebagai Badan Hukum (Putusan No. 15/PUU-IX/2011, paragraf 3.14). Atas argumentasi tersebut, MK memutuskan untuk mencabut Pasal 51 ayat (1) UU 2/2011 tersebut. Terkait dengan syarat bagi parpol untuk mendapatkan status Badan Hukum, diatur dalam UU Parpol yang materinya selalu berbeda antara UU Parpol yang satu dengan UU Parpol berikutnya yang menggantikannya.88 Menurut MK, hal tersebut merupakan kebijakan hukum (legal policy) dari pembentuk undang-undang di bidang kepartaian dan Pemilu yang bersifat obyektif dan merupakan upaya alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia (Putusan No. 35/PUU-IX/2011, paragraf 3.13). Dengan demikian, syarat pendirian dan pembentukan parpol sebagaimana di atur dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan syarat yang wajar dan tidak berlebihan. Jika dibandingkan dengan UU 2/2008 memang lebih berat, tetapi jika dikaitkan dengan fakta pertambahan jumlah penduduk, maka syarat tersebut wajar dan mudah 88
UU Parpol yang dimaksud adalah UU 2/1999, UU 31/2002, UU 2/2008 dan UU 2/2011.
93
Demokrasi Konstitusional
dipenuhi oleh parpol baru (Putusan No. 35/PUU-IX/2011, paragraf 3.12). Tentang syarat pembentukan parpol baru, diatur sedemikian rupa karena didasarkan pada pertimbangan bahwa tujuan pembentukan parpol bukan hanya untuk ikut Pemilu, tetapi juga untuk : (i) pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi WNI yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (ii) pencipataan iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk menyejahterakan masyarakat; (iii) penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara; (iv) wahana partisipasi politik warga Negara dan (v) rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender (Putusan No. 35/PUU-IX/2011, paragraf 3.13). Sedangkan argumentasi MK tentang hak parpol dalam penggantian antar waktu (PAW) anggota legislatif, bisa kita temukan pada Putusan No. 39/PUU-XI/2013.Dasar hukum bagi parpol untuk melakukan PAW adalah Pasal 12 huruf g UU No. 8 Tahun 2008 tentang Parpol yeng berbunyi “Parpol berhak mengusulkan pergantian antarwaktu anggotanya di DPR dan DPRD sesuai dengan peraturan perundang-undangan�. Isu PAW ini berhubungan erat dengan keanggotaan parpol sebagaimana diatur di dalam Pasal 16 ayat (3) UU 2/2008 sebagaimana telah diubah dengan UU 2/2011 tentang Parpol yang intinya menyatakan bahwa dalam hal anggota parpol yang diberhentikan adalah anggota 94
Demokrasi Konstitusional
DPR/DPRD, pemberhentian dari keanggota parpol diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di DPR/DPRD. Menurut MK, Parpol sebagai peserta Pemilu bukan hanya berwenang mengisi anggota DPR/DPRD secara regular, melainkan juga pada antar waktu (PAW). PAW diperlukan agar tidak terjadi kekosongan keanggotaan pada DPR/DPRD. Menurut MK, pengisian tersebut harus didasarkan pada parpol sebagai peserta Pemilu sebagaimana diatur di dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan pada figur calon anggota DPR/DPRD yang dipilih oleh masyarakat dengan perolehan suara terbanyak. Meskipun peran parpol dalam proses rekrutmen telah selesai dengan dipilihnya calon anggota DPR/DPRD oleh rakyat melalui Pemilu, namun parpol tetap memiliki hak dan kebebasan untuk melakukan pemberhentian terhadap anggota sesuai dengan aturan internal partainya. Jika parpol melakukan pemberhentian anggota karena yang bersangkutan menjadi anggota parpol lain, maka selanjutnya parpol yang bersangkutan berhak melakukan penggantian antar waktu sebagaimana diatur di dalam Pasal 12 huruf g UU Parpol. Begitu pula jika ada anggota DPR/DPRD yang mengundurkan diri atau mangkat maka mekanisme penggantian antarwaktu anggota DPR/DPRD merupakan hak dari parpol yang bersangkutan. Permasalahannya adalah apakah seseorang yang pindah parpol serta merta berhenti menjadi anggota legislatif yang didudukinya? Terhadap pertanyaan ini, MK menjawab dua hal. Pertama, tentang orang yang berpindah parpol, menurut MK, konstitusi tidak membatasi seseorang tidak boleh pindah menjadi anggota parpol lain atau bahkan pada saat yang sama seseorang tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu parpol. Kedua, apakah orang yang pindah parpol serta merta berhenti 95
Demokrasi Konstitusional
menjadi anggota DPR/DPRD, menurut MK tergantung pada parpol yang bersangkutan. Jika parpol yang mencalonkannya menariknya (recall) maka anggota yang bersangkutan wajib berhenti menjadi anggota DPR/DPRD, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, MK menilai apa yang sudah diatur di dalam Pasal 16 ayat (3) UU 2/2011 sudah konstitusional. Recall oleh parpol tersebut tidak berlaku jika parpol yang bersangkutan tidak lagi menjadi peserta Pemilu atau kepengurusan parpol tersebut sudah tidak ada lagi. Bergitu pula, jika parpol yang bersangkutan tidak memiliki calon pengganti yang terdaftar dalam Daftar Calon Tetap. B.5. Putusan MK tentang ambang batas (threshold) Ada tiga jenis ambang batas yang bisa kita temukan melalui putusan MK, yaitu electoral threshold, parliamentary threshold dan presidential threshold. Pada prinsipnya MK berpandangan bahwa segala hal yang terkait dengan tata cara pelaksanaan Pemilu—termasuk ketentuan mengenai ambang batas—merupakan kebijakan hukum terbuka yang berarti pembentuk undang-undang berwenang untuk mengaturnya, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang digariskan UUD 1945. Kebijakan mengenai ambang batas yang berkaitan dengan bidang kepartaian dan kepemiluan sekaligus, meski dibolehkan, perumusannya harus dilakukan secara objektif. Mekanisme ini sendiri dimaksudkan sebagai seleksi alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai yang hidup kembali di Indonesia di era reformasi, setelah dianutnya tiga partai pada masa Orde Baru melalui penggabungan partai yang dipaksakan (Putusan No. 16/PUU-V/2007, paragraf 3.15). 96
Demokrasi Konstitusional
Mengenai istilah electoral threshold atau parliamentary threshold, bagi MK dianggap memiliki esensi yang sama, yakni kebijakan yang dipilih dalam rangka membangun sistem kepartaian dan sistem perwakilan yang kuat dalam kehidupan ketatanegaraan dan politik melalui cara-cara yang demokratis dan konstitusional. Ketentuan tentang electoral threshold dikenal pertama kali dalam Pemilu tahun 1999, dimana pembuat undang-undang menyepakati electoral threshold sebesar 2% (UU 3/1999 tentang Pemilu). Angka tersebut kemudian dinaikan pada Pemilu berikutnya (Pemilu 2004), menjadi 3% (UU 12/2003). Menurut MK, ketentuan tentang electoral threshold tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dilindungi dalam konstitusi, bahkan yang termasuk dari moralitas konstitusi, seperti prinsip persamaan di muka hukum. Electoral threshold juga tidak menimbulkan ancaman ketakutan Parpol untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Menurut MK, tidak tepat jika mengatakan bahwa electoral threshold adalah suatu kebijakan yang diskriminatif (Putusan No. 16/PUU-V/2007, paragraf 3.15). Namun demikian dalam perkembangannya kebijakan ini kemudian mengalami perubahan pada Pemilu 2009, menjadi parliamentary threshold, sebagaimana diatur di dalam Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008. Tabel 6: Perbandingan ketentuan tentang threshold UU 12/2003 Pasal 9 : Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, parpol peserta Pemilu harus: (i) memperoleh minimal 3% jumlah kursi DPR; atau (ii) memperoleh
UU 10/2008 Pasal 8 ayat (2) : Parpol peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dapat menjadi peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya.
97
Demokrasi Konstitusional minimal 4% jumlah kursi DPRD propinsi yang tersebar minimal ½ (setengah) jumlah propinsi seluruh Indonesia; atau (iii) memperoleh minimal 4% jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia; Bagi parpol yang tidak memenuhi ketentuan tersebut hanya dapat mengikuti Pemilu berikutnya apabila: (i) bergabung dengan parpol peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan nomor (1); atau (ii) bergabung dengan parpol yang tidak memenuhi ketentuan nomor (1) dan selanjutnya menggunaka nama dan tanda gambar salah satu parpol yang bergabung, sehingga memenuhi perolehan suara minimal jumlah kursi; atau (iii) bergabung dengan parpol baru dengan nama dan tanda gambar baru, sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah kursi.
Pasal 202 Parpol peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Sumber: diolah dari undang-undang
Selain itu, mengubah mekanisme ambang batas, dari electoral ke parliamentary, pembentuk undang-undang dengan alasan transisi juga memutuskan bahwa partai politik yang memiliki kursi di DPR, meski tidak lolos electoral threshold Pemilu 2004, otomatis bisa menjadi peserta Pemilu 2009. Hal itu sebagaimana diatur Pasal 316 huruf d UU 12/2008. Rumusan ini telah menimbulkan polemik di lingkaran partai politik, sebab partai politik peserta Pemilu sebelumnya, yang sama-sama tidak lolos electoral thershold, karena tidak memiliki satu pun kursi di DPR, tidak dapat menjadi peserta Pemilu 2009. 98
Demokrasi Konstitusional
Menyikapi situasi tersebut, partai politik yang tidak bisa secara otomatis menjadi peserta Pemilu 2009, ramairamai menguji ketentuan ini ke MK, dengan dalil bahwa mereka telah mengalami perlakuan diskriminatif. Dalam proses pengujian, mengemuka perdebatan tentang apakah norma yang diuji termasuk bagian dari open legal policy atau bukan? Sebab pada putusan-putusan sebelumnya, MK selalu mengatakan terkait dengan sistem Pemilu yang dipilih, termasuk kebijakan ambang batas, merupakan ranah pembentuk undang-undang untuk merumuskannya, sebagai bagian dari kebijakan hukum terbuka, dan MK tidak berwenang mengujinya. Dalam pertimbangan hukum putusannya, MK terlebih dahulu menegaskan, bahwa sebagai sebuah open legal policy, MK tidak mempersoalkan perubahan mekanisme electoral thresold menjadi parliamentary treshold oleh pembentuk undang-undang. Akan tetapi menurut MK, meski munculnya ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008 adalah sepenuhnya wewenang pembentuk undang-undang untuk merumuskannya, namun ketentuan tersebut tidak jelas ratio legis-nya apabila dikaitkan dengan masa peralihan dari prinsip electoral threshold ke parliamentary threshold. Tidak jelas maksudnya, antara memberikan kemudahan untuk menjadi peserta Pemilu 2009 kepada seluruh Parpol Peserta Pemilu 2004, yang sebelumnya tidak memenuhi electoral threshold, atau karena pertimbangan bahwa UU 10/2008 menganut parliamentary threshold, maka kemudahan bersifat terbatas hanya diberlakukan kepada partai politik yang sudah memiliki kursi di parlemen. Menurut MK, jika yang dimaksud adalah memberi kemudahan, maka seharusnya semua Parpol Peserta Pemilu 2004 dengan sendirinya langsung dapat menjadi 99
Demokrasi Konstitusional
peserta Pemilu 2009, tanpa harus melalui proses verifikasi KPU. Apabila bermaksud memberikan kemudahan terbatas, maka seharusnya, kemudahan tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008, yakni memenuhi ambang batas perolehan suara sah 2,5% dari suara sah secara nasional, berdasarkan hasil Pemilu 2004. Bukan berdasarkan perolehan kursi sebagaimana ketentuan Pasal 316 huruf d UU 10/2008. Ditambahkan MK, bahwa nilai kursi dalam sistem Pemilu 2004 tidak selalu mencerminkan besarnya perolehan suara, ada Parpol yang jumlah perolehan suaranya secara nasional lebih banyak daripada perolehan suara Parpol yang memperoleh kursi di DPR. Oleh karenanya ketentuan Pasal 316 huruf d UU Pemilu justru menunjukkan perlakuan yang tidak sama dan tidak adil terhadap sesama Parpol Peserta Pemilu 2004 yang sejatinya sama-sama tidak memenuhi electoral threshold. Perlakuan yang tidak adil tersebut ditunjukkan dengan kenyataan bahwa ada Parpol yang hanya memperoleh satu kursi di DPR, meski pada faktanya perolehan suaranya lebih sedikit dari pada Parpol yang tidak memiliki kursi di DPR, bisa secara otomatis ikut Pemilu 2009. Sementara Parpol yang perolehan suaranya lebih besar, karena tidak memiliki kursi di DPR, terlebih dahulu harus kembali mengikuti verifikasi KPU untuk dapat ikut Pemilu. Akibatnya jelas, ketentuan dimaksud telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan terhadap sesama Parpol Peserta Pemilu 2004. Sementara ketentuan mengenai presidential threshold diatur di dalam Pasal 5 ayat (4)89 dan Pasal 10190 UU No. 89
Pasal 5 ayat (4) UU 23/2003:Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15%
100
Demokrasi Konstitusional
23 Tahun 2003. Masalahnya, terkait dengan rumusan undang-undang ini ialah, meskipun legislator telah menetapkan presidential threshold untuk mengusung capres sebesar 15% dari perolehan kursi di DPR atau 20% perolehan suara secara nasional, namun mereka membuat pengecualian khusus untuk Pemilu 2004, yaitu 3% dari perolehan kursi di DPR atau 5% dari perolehan suara secara nasional (vide Pasal 101). Pengecualian ini enmalig artinya hanya berlaku untuk waktu tertentu. Pada Pemilu 2009 persyaratan tersebut diubah menjadi 20% dari perolehan kursi di DPR atau 25% perolehan suara secara nasional—tanpa pasal pengecualian—sebagaimana diatur di dalam Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008.91 Menyikapi adanya kebijakan ini, beberapa orang telah mempersoalkannya di MK, melalui mekanisme pengujian undang-undang. Setidaknya ada dua perkara terkait dengan presidential threshold, Perkara No.001/PUU-II/2004 dan No. 51-52-59/PUU-VI/2008. B.6. Putusan MK tentang lembaga perwakilan rakyat Ada beberapa tema yang diputuskan MK terkait dengan lembaga perwakilan, mulai sistem kamar, MPR, posisi DPD, hak angket DPR, hak menyatakan pendapat DPR dan pemakzulan.
(lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR. 90 Pasal 101 UU 23/2003: Khusus untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan suara pada Pemilu anggota DPR sekurang kurangnya 3% (tiga persen) dari jumlah kursi DPR atau 5% (lima persen) dari perolehan suara sah secara nasional hasil Pemilu anggota DPR tahun 2004 dapat mengusulkan Pasangan Calon. 91 Pasal 9 UU 42/2008: Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
101
Demokrasi Konstitusional
B.6.1. Sistem kamar di parlemen Topik sistem kamar merupakan bagian dari bagaimana mengatur pelembagaan representasi. Berdasarkan praktik ketatanegaraan, ada dua model yang berkembang, yaitu sistem satu kamar (unicameral) dan sistem dua kamar (bicameral). Sistem bikameral umumnya dipilih karena ada transisi dari aristokrasi menuju demokrasi, seperti di Inggris dan Jepang. Tentang sistem kamar di MPR, konstitusi hanya mengatur pada satu ayat, yaitu pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan UU. Setelah amandemen konstitusi, telah terjadi perubahan desain kelembagaan MPR yang meliputi susunan keanggotaan, cara rekrutmen anggota dan kewenangannya, yang bisa kita lihat pada tabel di bawah ini: Tabel 7: Perbandingan desain kelembagaan MPR (sebelum dan setelah amandemen UUD 1945) Sebelum amandemen Keanggotaan MPR terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusanutusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan. Catatan: di sini tidak ditentukan apakah direkrut melalui Pemilu atau tidak. Kewenangan a. Menetapkan UUD dan GBHN (Pasal 3); b. Memilih presiden dan wakil presiden - Pasal 6 ayat (2); c. Mengubah UUD (Pasal Susunan keanggotaan
102
Setelah amandemen Pasal 2 ayat (1) : MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang kesemuanya dipilih melalui Pemilu.
a. b.
Mengubah dan menetapkan UUD 1945Pasal 3 ayat (1); Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden –Pasal 3 ayat (2);
Demokrasi Konstitusional 37).
c.
d.
e.
f.
Memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD –Pasal 3 ayat (3); Melantik wakil presiden apabila presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya –pasal 8 ayat (1) juncto Pasal 3 ayat (2); Memilih presiden dari dua orang calon yang diusulkan oleh presiden apabila terjadi kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa jabatannya –Pasal 8 ayat (2); Memilih presiden dan wakil presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya –Pasal 8 ayat (3).
Sumber: diolah dari UUD 1945 sebelum dan setelah amandemen
Ketentuan tentang sistem kamar di parlemen mulai dipersoalkan ketika pada tanggal 1 September 2009 beberapa anggota DPD mengajukan judicial review kepada MK, mempersoalkan pasal 14 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3, yang intinya tentang ketua 103
Demokrasi Konstitusional
MPR yang dipastikan berasal dari DPR. Menurut para pemohon ketentuan tersebut melanggar nilai kesetaraan yang dijamin melalui konstitusi. Dengan pengaturan demikian, sama saja dengan menempatkan DPD lebih rendah dari DPR. Selain itu, ketentuan tersebut juga telah mendiskriminasi sesama anggota MPR, yakni menutup peluang anggota DPD untuk memilih dan dipilih sebagai ketua MPR. Terhadap permohonan tersebut, MK menegaskan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) tersebut, menunjukkan bahwa desain lembaga perwakilan Indonesia bukan dengan sistem bikameral, karena baik DPR maupun DPD bukanlah kamar MPR. Bisa dimaknai kamar jika rumusannya adalah MPR terdiri atas DPR dan DPD (tidak ada kata ‘anggota’).92 Selanjutnya MK berpendapat bahwa anggota MPR, baik yang berasal dari DPR maupun DPD, pada dasarnya sudah merupakan satu kesatuan sebagai sesama anggota MPR, sehingga tidak dibedakan lagi asal usul dari mana anggota MPR tersebut berasal.93 Implikasinya adalah hakikat, kedudukan, hak dan kewajiban anggota MPR, dari manapun asal usul keanggotaannya adalah setara atau sederajat, termasuk haknya untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan 92
Bandingkan dengan rumusan konstitusi di Negara-negara yang menganut system bicameral, seperti Amerika : article 1 section 1 “All legislative powers herein granted shall be vested in Congress of the United, which shall consist of a senate and House of Representatives” (Putusan Nomor 117/PUUVII/2009, tanggl 30 September 2009, paragraf 3.14, huruf d). 93 Pendapat ini sejalan dengan pandangan beberapa ahli hukum tata Negara, antara lain Arbi Sanit dan Fajrul Falaakh. Arbi Sanit –sebagai ahli di persidang- intinya mengatakan bahwa UU 27/2009 berwatak oligarkhi yang salah satunya diwujudkan dengan penyingkiran kesempatan anggota DPD untuk menjadi ketua MPR. Sedangkan Fajrul Falaakh menyatakan bahwa baik anggota DPD maupun DPR merupakan sumber perekrutan anggota MPR, sehingga ada kesetaraan kedudukan dan hak sebagai sesame anggota MPR, termasuk hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan pimpinan MPR. Sedangkan pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 telah menghilangkan prinsip kesetaraan antara anggota DPR dan anggota DPD, karena pasal tersebut telah menunjukkan perlakuan diskriminatif yaitu menyebabkan anggota DPD tidak dapat dipilih sebagai ketua MPR.
104
Demokrasi Konstitusional
pimpinan MPR (Putusan Nomor: 117/PUU-VII/2009, tanggl 30 September 2009, paragraf 3.14, huruf b,c dan d). Sistem non-bikameral yang dianut oleh konstitusi berimplikasi pada mekanisme pemilihan pimpinan MPR. Maksudnya, pimpinan MPR dipilih dari dan oleh anggota MPR sendiri dalam forum persidangan MR, bukan dipilih dan/atau ditentukan oleh sidang atau forum lain di luar MPR, termasuk lembaga dari mana anggota MPR masingmasing berasal (paragraf 3.14, huruf e). Faktanya, jumlah anggota DPR tiga kali lebih banyak dari pada anggota DPD. Dengan perbandingan seperti itu, apabila MPR dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam forum sidang paripurna MPR, akan menyebabkan kemungkinan pimpinan MPR semuanya akan diisi oleh anggota MPR yang berasal dari anggota DPR. Oleh karena itu, MPR – melalui Tata Tertibnya- bisa membuat konsensus politik menampung aspirasi yang merefleksikan keterwakilan, namun hal tersebut tidak perlu dinormakan dalam UU 27/2009 (Putusan Nomor: 117/PUU-VII/2009, paragraph 3.14, huruf f). Melalui Putusan Nomor 117/2009 tersebut, MK membatalkan seluruh pasal 14 UU 27/200994 dan membuat rumusan norma baru, menjadi : “Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR”. Kata “ditetapkan” harus dimaknai sebagai “dipilih”. MK
94
Putusan ini melebihi yang dimohonkan adalah inti dari ultra petita. Menurut MK dalam perkara konstitusi yang berkaitan dengan pengujian konstitusionalitas UU sesungguhnya tidak mengenal istilah ultra petita, karena UU merupakan satu kesatuan system yang jika sebagian pasalnya diuji pasti akan berpengaruh terhadap pasal-pasal lain yang mungkin tidak dimohonkan pengujian. Selain itu pasal 14 merupakan satu kesatuan. Jika ayat (1) dinyatakan inkonstitusional maka mutatis mutandis ayat (2) sampai ayat (5) dengan sendirinya juga inkonstitusional, oleh karenanya harus dihapuskan. (Putusan Nomor 117/PUU-VII/2009, tanggl 30 September 2009, paragraf 3.15, huruf h).
105
Demokrasi Konstitusional
menilai bahwa Pasal 14 tersebut didasarkan pada pola pikir bikameralisme dan pendekatan sektoral institusional. B.6.2. Posisi DPD Amandemen UUD 1945 melahirkan lembaga baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, yaitu DPD, yang kehadirannya mendukung dan memperkuat sistem perwakilan di DPR. Jika DPR merupakan lembaga perwakilan berdasarkan aspirasi dan paham politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan, sedangkan DPD merupakan lembaga perwakilan penyalur keanekaragaman aspirasi daerah. Keberadaan DPD merupakan upaya menampung prinsip perwakilan daerah (vide Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003: 180 dan Sekretariat jenderal MPR RI, 2006:93, sebagaimana dikutip dalam Putusan Nomor 10/PUUVI/2008, 25 Juni 2008, paragraf 3.18.1, huruf b). Berdasarkan risalah-risalah persidangan MPR, MK menguraikan bahwa perubahan pasal 2 ayat (1) UUD 1945 diputus melalui pemungutan suara dengan 475 suara mendukung, 122 suara memilih alternatif lain (memasukkan utusan golongan) dan 3 suara abstain. Dengan perubahan ketentuan tersebut MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD (bukan lembaga DPR dan lembaga DPD) yang semuanya dipilih oleh rakyat dalam Pemilu sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan atas dasar pemilihan (vide Sekretariat Jenderal MPR RI, 2006 sebagaimana dikutip dalam Putusan Nomor 10/PUUVI/2008, 25 Juni 2008, paragraf 3.18.1, huruf a). Sistem perwakilan yang dianut Indonesia merupakan sistem yang khas Indonesia karena dibentuk sebagai perwujudan kebutuhan, kepentingan serta tantangan bangsa dan negara Indonesia. Keberadaan DPD dalam 106
Demokrasi Konstitusional
struktur ketatanegaraan di Indonesia dimaksudkan untuk: 1) memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah; 2) meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah; 3) mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang. Dengan demikian, keberadaan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) dan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (5) berjalan sesuai dengan keragaman daerah dalam rangka kemajuan bangsa dan negara ( vide Sekretariat Jenderal MPR RI, 2003: 80 dan 2006: 93, sebagaimana dikutip dalam Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008, 25 Juni 2008, paragraf 3.18.1, huruf c). Fungsi DPD berkaitan erat dengan sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sebagaimana diatur dalam pasal 22D ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945. Sedangkan cara rekrutmen calon anggota DPD dipilih dari setiap propinsi melalui Pemilu. Berdasarkan pertimbangan original intent dan original meaning tersebut, MK menyimpulkan beberapa pendapat: a) DPD merupakan representasi daerah (territorial representation) yang membawa dan memperjuangkan aspirasi dan kepentinagn daerah dalam kerangka kepentingan nasional, sebagai imbangan atas dasar prinsip “check and balances� terhadap DPR yang merupakan representasi politik (political representation) dari aspirasi dan kepentingan politik parpol; b) Keberadaan DPR dan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang seluruh anggotanya menjadi anggota MPR bukannya berarti bahwa sistem 107
Demokrasi Konstitusional
perwakilan Indonesia menganut bikameral, melainkan sebagai gambaran tentang sistem perwakilan yang khas Indonesia; c) Meskipun kewenangan konstitusional DPD terbatas, namun dari seluruh kewenangannya di bidang legislasi, anggaran, pengawasan dan pertimbangan sebagaimana diatur dalam pasal 22D UUD 1945, kesemuanya terkait dan berorientasi kepada kepentingan daerah yang harus diperjuangkan secara nasional berdasarkan postulat keseimbangan antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah; d) Sebagai representasi daerah dari setiap propinsi, anggota DPD dipilih melalui Pemilu dari setiap propinsi dengan jumlah yang sama, berdasarkan pencalonan secara perseorangan, bukan melalui parpol, sebagai peserta Pemilu. Permasalahannya adalah apakah calon DPD harus berdomisili di propinsi yang diwakilinya dan harus nonparpol? Kedua syarat tersebut tidak disebutkan secara eksplisit dalam konstitusi, sehingga MK harus menafsirkan apakah keduanya merupakan norma yang implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) dan (2) dan Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Jika keduanya merupakan norma yang implisit, maka implikasinya adalah harus diatur di dalam UU. Terhadap permasalahan dua syarat ini, MK berpendapat bahwa: a) Syarat berdomisili di propinsi yang diwakilinya merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada ketentuan Pasal 22C ayat (1) yang berbunyi “Anggota DPD dipilih dari setiap propinsi melalui Pemilu� dan Pasal 22C ayat (2) yang berbunyi “Anggota DPD dari setiap propinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari 108
Demokrasi Konstitusional
sepertiga jumlah anggota DPR”. Implikasinya adalah syarat ini harus dirumuskan secara eksplisit dalam UU (dalam konteks putusan ini adalah Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008). Dengan kata lain, jika ada pasal yang tidak memuat secara eksplisit ketentuan tersebut, harus dipandang inkonstitusional. (Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008, 25 Juni 2008, paragraf 3.23) b) Syarat non-parpol bagi calon anggota DPD bukan merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi “Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan”. Kata “perseorangan” pada pasal tersebut mengandung makna bahwa seseorang mencalonkan diri sendiri, bukan dicalonkan oleh parpol. Hal tersebut berbeda dengan calon anggota DPR yang dicalonkan oleh parpol. Dalam praktik di Indonesia pada era Konstitusi RIS 1949 dan era berlakunya kembali UUD 1945 tidak pernah ada syarat non-parpol bagi keanggotaan senat Republik Indonesia Serikat (RIS) dan utusan daerah. Dalam perkembangannya parpol-parpol juga telah membuka diri dengan merekrut perseorangan yang bukan anggota atau kader parpol untuk dicalonkan menjadi angggota DPR dan DPRD. Implikasi dari pandangan bahwa syarat non-parpol bukan norma implisit adalah bahwa syarat tersebut tidak wajib dirumuskan secara eksplisit dalam UU atau bersifat fakultatif (Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008, 25 Juni 2008, paragraf 3.24). B.6.3. Hak angket DPR Permohonan tentang hak angket DPR diajukan oleh warga negara individu yang merupakan simpatisan dari Presiden SBY dan wapres Boediono. Para pemohon 109
Demokrasi Konstitusional
mengajukan keberatan atas berlakunya dua UU yang mengatur tentang hak angket, yaitu UU Nomor 6 Tahun 1954 Tentang Penetapan Hak Angket DPR dan UU Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MD3. Menurutnya UU 6/1954 seharusnya tidak konstitusional karena didasarkan pada UUD Sementara yang menganut sistem parlementer. Secara normatif UU 6/1954 didasarkan pada pasal 7095 dan pasal 90 ayat (2)96 jo pasal 8997 UUDS 1950. Pembentukan UU 6/1954 ini mengacu kepada sistem pemerintahan parlementer berdasar UUDS 1950, yang tujuannya adalah memberikan perlindungan/kepastian hukum terhadap panitia angket, jikalau presiden membubarkan DPR. Secara formal, pembentukan UU 6/1954 telah konstitusional karena sesuai dengan ketentuan UUDS yang berlaku saat itu. Namun secara substansial, telah terjadi perubahan sistem pemerintahan presidensiil berdasarkan konstitusi yang berlaku saat ini, dimana presiden tidak bisa membekukan DPR (3.16, 3.17). Atas dasar perbedaan sistem pemerintahan yang mendasarinya, MK berpendapat bahwa UU 6/1954 termasuk UU yang tidak dapat diteruskan keberlakuannya, apalagi tata cara pembentukan dan mekanisme kerja panitia angket telah diatur di dalam UU 27/2009. Dengan tetap diberlakukannya UU 6/1954 justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Dengan demikian UU 6/1954 telah dicabut keberlakuannya (Vide Putusan MK Nomor 8/PUU-VIII/2010).
95
Pasal 70 UUDS 1950: DPR mempunyai hak menyelidiki (enquete), menurut aturan-aturan yang ditetapkan dengan UU. 96 Pasal 90 ayat (2) UUDS 1950: DPR berhak memajukan usul UU kepada pemerintah. 97 Pasal 89 UUDS 1950: kecuali apa yang ditentukan dalam pasal 140 maka kekuasaan perundangundangan, sesuai dengan ketentuan-ketantuan bagian ini, dilakuan oleh pemerintah bersama dengan DPR.
110
Demokrasi Konstitusional
B.6.4. Hak menyatakan pendapat DPR Hak menyatakan pendapat DPR diajukan oleh dua pemohon, yang pertama warga negara sebagai individu dan kedua warga negara sebagai anggota DPR. Keduanya mengajukan keberatan atas berlakunya persyaratan untuk pemakzulan terhadap presiden sebagaimana diatur di dalam pasal 184 ayat (4) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (Selanjutnya disebut UU MD3). Menurut mereka pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 7B ayat (3) pasal 20 ayat (1,2,3) UUD 1945. Tabel 8: Perbandingan ketentuan tentang pemakzulan presiden UU 1945 Pasal 7B ayat (3): Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Pasal 20A ayat (1): DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Pasal 20A ayat (2): Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain UUD ini, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. Pasal 20A ayat (3) : Selain hak yang diatur dalam pasal pasal lain dalam UUD ini, DPR mempunya hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
UU Nomor 27 Tahun 2009 Pasal 184 ayat (4): Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 他 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 他 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR yang hadir.
Sumber: diolah dari UUD 1945 dan UU
111
Demokrasi Konstitusional
Para pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya akibat berlakunya pasal 184 ayat (4) tersebut. Hak konstitusional yang dimaksud adalah hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan negara dan hak untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan (Putusan Nomor: 23-26/PUU-VIII/2010, paragraf 3.5.3). Terhadap permohonan tersebut, MK berpandangan bahwa hak menyatakan pendapat merupakan kemajuan dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Pada masa pra amandemen konstitusi, hak menyatakan pendapat didefinisikan sebagai hak yang dimiliki oleh DPR untuk menyampaikan pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional. Hak menyatakan pendapat tidak diatur di level konstitusi, melainkan diakomodasi di level UU yaitu UU tentang Susunan kedudukan MPR, DPR dan DPRD (UU Nomor 16 Tahun 1969 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 1985, diubah lagi dengan UU Nomor 4 Tahun 1999 dan diubah lagi dengan UU Nomor 22 Tahun 2003). Bahkan pada saat Indonesia menerapkan sistem parlementer, yaitu pada saat berlakunya UUDS Tahun 1950, hak mengajukan pendapat ini tidak diatur di dalam konstitusi (Putusan Nomor: 23-26/PUU-VIII/2010, paragraf 3.15). Meski demikian, dalam praktik ketatanegaraan, DPR telah beberapa kali menggunakan hak menyatakan pendapat, antara lain: mengajukan usul dan pendapat tentang penggantian Panglima TNI (Tahun Sidang 20042005), menyatakan pendapat tentang kebijakan antisipatif pemerintah atas kenaikan harga pokok yang murah dan terjangkau bagi masyarakat (Tahun Sidang 2007-2008) dan menyatakan pendapat tentang presiden telah 112
Demokrasi Konstitusional
melakukan pelanggaran tergadapan UU Nomor 41 Tahun 2008 tentang APBN 2009 (Tahun Sidang 2008-2009). Amandemen Konstitusi menghendaki adanya prinsip check and balances yang dikembangkan dari system pemisahan kekuasaan eksekutif, legislative dan yudikatif. Prinsip check and balances intinya adalah ada keseimbangan dan saling mengawasi antara lembaga Negara untuk menghindari kekuasaan yang absolut. Dalam konteks inilah DPR dan DPD melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan oleh presiden, yang aktifitas pengawasan ini perlu dijamin oleh konstitusi, sebagaimana diatur di dalam pasal 20A UUD 1945 (Putusan Nomor: 23-26/PUU-VIII/2010, paragraf 3.16). Konstitusi pasca amandemen mengatur dua hak menyatakan pendapat yang karakternya berbeda. Pertama, hak menyatakan pendapat yang bersifat khusus (lex specialis) yaitu yang terkait dengan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden, atau yang popular disebut pemakzulan (atau impeachment). Hak yang diatur di dalam pasal 7A dan 7B UUD 1945 ini bersifat terbatas, dalam arti tata caranya sekaligus diatur di konstitusi (bukan diserahkan kepada UU). Tata cara yang dimaksud adalah bahwa pemakzulan hanya bisa dilakukan melalui sidang paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 2/3 anggota DPR dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 anggota DPR yang hadir. Kedua, hak menyatakan pendapat yang bersifat umum (lex generalis) yaitu yang terkait dengan kebijakan pemerintah atau kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau luar negeri. Hak ini diatur di dalam pasal 20A UUD 1945.
113
Demokrasi Konstitusional
Berbeda dengan impeachment, syarat dan tata cara untuk menggunakan hak menyatakan pendapat yang kedua ini tidak dibatasi, melainkan diserahkan untuk diatur dalam UU (Putusan Nomor: 23-26/PUU-VIII/2010, paragraf 3.17.1 dan 3.17.2). Bertolak belakang dengan DPR yang bisa memberhentikan presiden, konstitusi (amandemen ke-3) tidak memungkinkan presiden membubarkan DPR. Hal ini diatur di dalam pasal 7C UUD 1945 yang dengan tegas menyebutkan bahwa presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR. Meski demikian, bukan berarti anggota DPR tidak bisa diberhentikan dari jabatannya. Berbeda dengan pengaturan tentang pemberhentian presiden (yang diatur dalam konstitusi), syarat dan tata cara pemberhentian anggota DPR diatur dalam UU. Syarat, prosedur dan mekanisme pemakzulan sebagaimana diatur di dalam konstitusi merupakan cermin bahwa konstitusi memperkuat sistem presidensial. Pemakzulan harus melewati tiga lembaga (DPR, MK dan MPR). Di DPR syaratnya adalah dihadiri minimal 2/3 dari jumlah DPR dan disetujui minimal oleh 2/3 dari anggota yang hadir. Sedangkan di MPR syaratnya adalah dihadiri minimal 他 dari jumlah MPR dan disetujui minimal 2/3 dari anggota yang hadir. Menurut MK syarat tersebut sudah cukup berat, sehingga jika UU memperberat syarat tersebut, itu sama saja dengan melemahkan demokrasi (Putusan Nomor: 23-26/PUU-VIII/2010, paragraf 98 3.17.4). 98
Pandangan ini sejalan dengan pendapat beberapa ahli Hukum Tata Negara yang dihadirkan sebagai ahli dalam persidangan (Prof. Dr. Saldi Isra, Muhammad Fadjrul Falaakh, Aidul Fitriciada Azhari, Adnan Buyung Nasution dan Iberamsjah). Aidul mengatakan bahwa prosedur pemberhentian presiden diatur sangat limitative oleh konstitusi bahkan tidak ada delegasi provisio, sehingga tidak ada pendelegasian peraturan kepada UU Organik. Saldi Isra intinya mengatakan bahwa pengaturan
114
Demokrasi Konstitusional
Terhadap pengaturan tentang hak menyatakan pendapat sebagaimana diatur di dalam Pasal 184 ayat (4) UU Nomor 27 Tahun 2009 tersebut, MK menyatakan bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan konstitusi dan akibatnya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, pengaturan yang mencampuradukkan antara hak menyatakan pendapat secara umum (sebagaimana diatur di dalam Pasal 20A) dan hak menyatakan pendapat secara khusus (sebagaimana diatur di dalam pasal 7A dan 7B) adalah bertentangan dengan maksud dan semangat UUD 1945 (3.17.2). Kedua, syarat pemakzulan yang diatur di dalam Pasal 184 ayat (4) tersebut lebih berat dari syarat yang diatur di dalam konstitusi. Menurut MK, penambahkan syarat ini akan mempersulit pelaksanaan hak dan kewenangan konstitusional DPR yang ditentukan secara tegas dalam konstitusi. Pengaturan demikian juga berpotensi melahirkan tidak efektifnya kontrol DPR terhadap presiden (Putusan Nomor: 23-26/PUUVIII/2010, paragraf 3.17.4). Lebih lanjut MK berpandangan bahwa jika syarat yang berat itu masih ditambah lagi, itu sama saja melemahkan demokrasi. Dengan kata lain, demokrasi hanya akan menjadi kuat jika DPR bisa mengawasi prosedur dan syarat quorum yang sudah ada dalam pasal 7B UUD 1945 dan syarat untuk memulai proses pemakzulan Presiden bukan merupakan legal policy para pembentuk UU. Kalaupun ada pengaturan dalam UU, pengaturan tersebut tidak boleh mengebiri syarat yang telah ada di konstitusi. Adanya syarat yang lebih berat dari ketentuan konstitusi akan dapat melindungi Presiden yang melakukan pelanggaran hukum sampai akhir masa jabatannya. Fadjrul berpendapat bahwa persyaratan yang diatur di dalam pasal 184 ayat (4) tersebut merintangi hak DPR untuk menyatakan pendapat terkait pemakzulan presiden, sehingga menciderai hak warga Negara melalui wakilnya untuk mengontrol pemerintah. Adnan berpendapat bahwa pasal 184 ayat (4) tersebut adalah pemasungan hak-hak konstitusional yang sudah baku. Jika syarat pengawasan DPR diperberat maka pengawasan tersebut tidak bisa berjalan. Sedangkan Iberamsjah berpendapat bahwa secara check and balances system, hal tersebut merupakan pelemahan DPR. Secara politik akan menyulitkan dan membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara terutama ketika substansi konstitusi bisa diubah dengan mudah melalui UU.
115
Demokrasi Konstitusional
presiden dengan kuat pula. MK menempatkan isu pengawasan DPR kepada presiden ini pada posisi yang sangat sentral. Menurutnya hak menyatakan pendapat adalah dalam rangka berjalannya system demokrasi yaitu check and balances antara DPR dan Presiden. Sedikitnya ada dua argumentasi yang menunjukkan bahwa MK menempatkan isu ini cukup sentral. Pertama, khusus untuk isu “hak menyatakan pendapat” ini, MK mengabulkan legal standing anggota DPR. Pada Putusan sebelumnya (Putusan Nomor 20/PUU-V/2007, tanggal 17 Desember 2007 dan Putusan Nomor 151/PUU-VII/2009, tanggal 3 Juni 2010) MK berpendirian bahwa anggota DPR tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan judicial review dengan alasan bahwa pengertian “perseorangan warga negara indonesia” sebagaimana diatur di dalam pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK tidak sama dengan WNI yang berkedudukan sebagai anggota DPR. Sedangkan anggota DPR sudah memiliki hak konstitusional dalam bentuk membentuk UU atau mengajukan usul perubahan UU, yang tidak dimiliki oleh warga negara yang bukan anggota DPR (3.6). Terkait dengan hak menyatakan pendapat ini, MK berpandangan bahwa hak ini adalah hak eksklusif anggota DPR, artinya DPR sebagai institusi hanya bisa menggunakan hak tersebut, jika ada persetujuan para anggota DPR. Oleh karenanya anggota DPR harus memiliki hak tersebut (3.7). Kedua, MK berpandangan bahwa bahkan seharusnya pada “tingkat usul” penggunaan hak menyatakan pendapat, persyaratan pengambilan keputusan DPR harus lebih ringan dari persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 7B ayat (3) UUD 1945, karena untuk menindaklanjuti 116
Demokrasi Konstitusional
pendapat tersebut kepada MK harus melalui persyaratan yang lebih berat lagi. Ini juga berlaku untuk hak menyatakan pendapat yang secara umum (3.17.5). Syarat yang lebih ringan yang dimaksudkan oleh MK adalah “ketentuan mayoritas sederhana�. B.7. MK memisahkan masalah konstitusi dan open legal policy Di luar tema-tema tersebut di atas, penelitian ini mencatat adanya pemisahan isu menjadi dua, yaitu isu konstitusi dan isu kebijakan terbuka (open legal policy). Penjelasan atas temuan ini dimulai dari cakupan materi kepemiluan dalam konstitusi dan permohonan pengujian ke MK. Prinsip, tujuan, peserta, dan penyelenggara Pemilu telah diatur di dalam Pasal 22E UUD 1945. Lebih jauh, ketentuan mengenai penyelenggaraan pemilihan umum akan diatur melalui UU. Secara lengkap ketentuan Pasal 22E UUD 1945 menyebutkan: (1) Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. (2) Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD. (3) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah parpol. (4) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan. (5) Pemilu diselenggarakan oleh suatu KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. (6) Ketentuan lebih lanjut tentang Pemilu diatur dengan UU. 117
Demokrasi Konstitusional
Selain itu, konstitusi juga mengatur beberapa materi lain terkait dengan penyelenggaraan Pemilu, seperti halnya ketentuan mengenai penyelesaian sengketa hasil Pemilu yang diselesaikan oleh MK, yang diatur di dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945; penyelenggaraan Pemilu presiden yang diatur dalam Pasal 6A UUD 1945; dan ketentuan mengenai pemilihan umum kepala daerah sebagaimana diatur Pasal 18 ayat (3) UUD 1945. Sejalan dengan amanat dari konstitusi, selanjutnya materi-materi tersebut diatur lebih detail dan rigid di dalam undangundang paket politik, yang meliputi: UU Partai Politik, UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU Penyelenggara Pemilu, dan UU Pemerintahan Daerah yang di dalamnya mengatur mengenai pemilihan umum kepala daerah. Bagi MK sendiri, Pemilu merupakan bentuk atau mekanisme yang diwajibkan dalam suatu sistem pemerintahan dalam rangka mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat. Demokrasi sebagai kata lain dari kedaulatan rakyat memiliki (salah satu) pilar penting yaitu kesetaraan dan independensi tiap-tiap cabang kekuasaan negara, agar masing-masing cabang kekuasaan tersebut dapat saling mengawasi dan mengimbangi (check and balances). Dalam konteks itu, Pemilu memiliki peran penting untuk mengisi jabatan-jabatan kepala pemerintahan dan anggota lembaga perwakilan (Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010, paragraf 3.18). Banyaknya ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kepemiluan telah melahirkan banyak perdebatan perihal konstitusionalitas aturan tersebut. Oleh karena itu, dalam beberapa putusannya MK berulangkali memberi penegasan mengenai batasan mana 118
Demokrasi Konstitusional
yang termasuk problem konstitusi dan mana yang termasuk problem kebijakan. Pendeknya menurut MK, segala hal yang memiliki relasi ekstrinsik dengan ketentuan Pasal 22E UUD 1945 merupakan problem konstitusi, yang menjadi ranah MK untuk menyelesaikannya. Di luar itu, merupakan bagian dari kebijakan hukum yang terbuka, yang merupakan wewenang dari pembentuk undang-undang untuk merumuskannya. Model pembedaan dua hal di atas sesungguhnya mengemuka pertama kali dalam pendapat berbeda (disenting opinion) yang dikemukakan oleh hakim konstitusi Ahmad Roestandi dalam perkara No. 011017/PUU-I/2003. Dalam perkara tersebut hakim Roestandi menolak pandangan mayoritas hakim yang mengabulkan permohonan pemohon, menurutnya materi undang-undang yang diajukan pengujian termasuk bagian dari kebijakan hukum terbuka, sehingga bukan wewenang MK untuk mengujinya. Pendapat ini digunakan dalam pertimbangan hukum putusan MK dalam perkara No.002/PUU-II/2004. Pada perkara ini MK mengatakan bahwa substansi pasal-pasal UU Pemilu yang dimohonkan pengujian oleh pemohon sepenuhnya berada dalam ranah kewenangan pembentuk UU, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 (open legal policy). Lebih jauh menurut MK, karena bagian dari open legal policy, pembentuk UU bebas dalam menentukan isi undang-undang, kecuali hal-hal yang secara tegas sudah digariskan oleh UUD 1945, seperti yang mencakup asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, periodisasi (setiap lima tahun sekali), tujuan Pemilu (memilih anggota DPR dan DPRD), peserta Pemilu (partai politik), dan penyelenggara Pemilu (KPU). Dijelaskan, hal-hal yang 119
Demokrasi Konstitusional
termasuk dalam kebijakan hukum terbuka yang merupakan wewenang dari pembentuk undang-undang untuk merumuskannya, antara lain pengaturan mengenai: (i) sistem Pemilu yang digunakan, apakah sistem pluralistis mayoritas (distrik), semi proporsional atau proporsional dengan segala variannya, (ii) daerah pemilihan apakah berbasis pembagian wilayah/daerah administrasi atau bukan, dan (iii) hal-hal lain yang bersifat teknis, sepenuhnya merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang. Pendapat MK tersebut kembali dikuatkan di dalam perkara No. 114/PUU-VII/2009. Pada perkara ini MK kembali menegaskan, konstitusi sebagaimana dikatakan dalam Pasal 22E UUD 1945 hanya mengatur: a) Pemilu dilakukan secara periodik setiap lima tahun sekali; b) dianutnya asas Pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil; c) tujuan Pemilu adalah untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden; d) peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik, sedangkan peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan; dan e) penyelenggara Pemilu adalah suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Lalu dalam konteks kebijakan hukum yang terbuka, selain terkait dengan sistem dan daerah pemilihan, yang dicontohkan dalam putusan sebelumnya, syarat-syarat untuk ikut Pemilu, hak pilih, mekanisme penyelesaian sengketa hasil Pemilu, dan sebagainya, juga termasuk kewenangan dari pembentuk undang-undang untuk merumuskannya. MK hanya memberi garis bawah, dalam merumuskan seluruh kebijakan tersebut tidak boleh menegasikan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam UUD 1945, seperti prinsip negara hukum, prinsip 120
Demokrasi Konstitusional
kedaulatan rakyat, prinsip persamaan, prinsip keadilan, dan prinsip non-diskriminasi. C. Kesimpulan: 5 ciri (prosedural) demokrasi konstitusional Berdasarkan uraian tema-tema tersebut di atas, kami mencatat empat ciri pokok demokrasi konstitusional yang diajukan secara eksplisit oleh MK, yaitu: 1. Penyelenggara Pemilu yang independen Ada beberapa indikator dari ‘kemandirian’ penyelenggara Pemilu menurut MK. Pertama, nonpartisan, artinya penyelenggara Pemilu tidak boleh berpihak kepada salah satu peserta Pemilu (Vide putusan No. 81/PUU-IX/2011). Kedua, membatasi hak parpol peserta Pemilu untuk bertindak sekaligus sebagai penyelenggara Pemilu (Vide Putusan No. 81/PUUIX/2011). Ketiga, adanya fungsi pengawasan dalam penyelenggara Pemilu yang dipegang oleh Lembaga Pengawas yang kuat, untuk menjaga agar penyelenggara Pemilu memiliki integritas, professional dan akuntabilitas (Vide Putusan No. 11/PUU-VIII/2010). Keempat, adanya DKPP yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggara Pemilu, yang harus bersifat mandiri, yang berfungsi untuk mengawasi perilaku anggota KPU maupun Bawaslu (Vide Putusan No. 11/PUU-VIII/2010 dan Putusan No. 81/PUU-IX/2011). Kelima, penyelenggara Pemilu tidak bertanggungjawab kepada peserta Pemilu, seperti KPUD bertanggungjawab kepada DPRD (Vide Putusan No. 072-073/PUU-II/2004).
121
Demokrasi Konstitusional
2. Pemisahan antara Pemilu dan Pemilukada Terhadap pertanyaan apakah Pilkada termasuk rezim Pemilu (pasal 22E UUD 1945) atau rezim pemda (Pasal 18 UUD 1945), MK berposisi bahwa Pilkada masuk dalam rezim pemda. Implikasinya penyelenggaraan Pilkada boleh berbeda dengan Pemilu, misalnya dalam hal regulasi, penyelenggara dan badan penyelesaian sengketa hasil Pilkada. Meski demikian penyelenggaraan Pilkada tetap harus didasarkan pada asas Pemilu yang berlaku umum dan penyelenggaranya mandiri. 3. Parpol memiliki posisi konstitusional yang lebih kuat dibandingkan perorangan Parpol memiliki status konstitusional yang lebih tinggi dari perorangan, dibuktikan dengan tiga hal. Pertama, parpol adalah peserta Pemilu anggota DPR dan DPRD. Kedua, parpol sebagai satu-satunya jalur pencalonan presiden dan wapres yang konstitusional. Artinya tidak memungkinkan ada jalur di luar parpol, seperti jalur independen. Ketiga, parpol hanya bisa dibubarkan oleh MK. Hal-hal yang terkait dengan syarat pendirian parpol, status badan hukum, cara memperoleh status badan hukum, kewenangan parpol dalam PAW anggota legislatif bukan merupakan ciri konstitusional melainkan ciri legal. 4. Ada check and balance antara legislatif dan eksekutif Prinsip mengawasi dan seimbang (check and balances) merupakan pengembangan dari sistem pemisahan kekuasan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Prinsip ini diperlukan untuk menghindari kekuasaan yang absolut. Prinsip ini juga sangat menentukan kekuatan demokrasi. Bentuk yang paling nyata adalah pengawasan yang dilakukan oleh DPR dan DPD terhadap pelaksanaan 122
Demokrasi Konstitusional
pemerintahan oleh presiden. Pengawasan ini dilindungi oleh konstitusi yaitu Pasal 20A UUD 1945. Ada dua hak menyatakan pendapat, yaitu yang bersifat khusus yaitu pemakzulan dan yang bersifat umum. Keduanya berbeda dan tidak bisa dicampuradukkan. Terhadap hak menyatakan pendapat ini, ada tiga premis MK yang penting untuk dicatat: a. Hak dan tata cara pemakzulan diatur di dalam konstitusi (Pasal 7A dan 7B UUD 1945) sedangkan tata cara menyatakan pendapat yang bersifat umum diserahkan kepada pembuat UU (Vide Putusan Nomor: 23-26/PUU-VIII/2010) b. Pemakzulan adalah hak eksklusif anggota DPR terhadap Presiden dan bukan sebaliknya. Artinya DPR berhak membubarkan Presiden sedangkan Presiden tidak berhak membekukan atau membubarkan anggota DPR. Tetapi bukan berarti anggota DPR tidak bisa diberhentikan. Tata cara pemberhentian anggota DPR diatur dalam UU. c. Tata cara pemakzulan tidak boleh menegasikan hak eksklusif tersebut, misalnya adanya ketentuan mayoritas sederhana pada tingkat usul. 5. Pemisahan isu konstitusi dan isu kebijakan umum (Open Legal Policy) Selain keempat ciri demokrasi konstitusional tersebut, penelitian ini juga menemukan adanya pemisahan antara isu konstitusi dan isu kebijakan hukum terbuka (open legal policy). MK memisahkan materi-materi yang masuk sebagai isu konstitusi dan isu kebijakan umum (open legal policy). Pemisahan materi tersebut pertama-tama ditujukan untuk menetapkan apakah MK berwenang atau tidak berwenang memutuskan materi yang dimohonkan 123
Demokrasi Konstitusional
pengujian. MK hanya berwenang menguji materi yang termasuk isu konstitusi. Adapun yang masuk sebagai isu konstitusi adalah materi-materi yang merupakan bunyi eksplisit dari UUD 1945 dan atau maksud implisit dari UUD 1945. Di luar materi tersebut masuk sebagai isu open legal policy yang bukan menjadi kewenangan MK untuk memutuskan. Tidak ada perdebatan tentang konsep yang mendasari pemisahan isu konstitusi dan isu open legal policy tersebut. Pemisahan itu bermula dari pendapat berbeda hakim (Ahmad Roestandi) dalam Perkara No. 011-017/PUUI/200. Dalam perkara tersebut hakim Roestandi menolak pandangan mayoritas hakim yang mengabulkan permohonan pemohon, dengana alasan materi undangundang yang diajukan merupakan bagian dari kebijakan hukum terbuka, sehingga bukan kewenangan MK untuk mengujinya. Pendapat tersebut digunakan dalam pertimbangan hukum pada putusan-putusan berikutnya, seperti Putusan No. 002/PUU-II/2004 dan Putusan No. 114/PUU-VI/2009. Penelitian ini menggunakan pemisahan isu konstitusional dan kebijakan tersebut sebagai konsep unttuk memisahkan antara ciri konstitusional dan ciri legal demokrasi konstitusional. Keempat ciri demokrasi konstitusional yang diuraikan di atas bersumber dari isu konstitusional. Adapun data yang masuk dalam isu konstitusi dan data yang masuk isu kebijakan bisa digambarkan sebagai berikut:
124
Demokrasi Konstitusional Tabel 9: Pengelompokan data berdasarkan pemisahan isu
Definisi Operasional Lembaga yang berwenang Hasil
Temuan pada sub tema penyelenggaraan Pemilu
Isu konstitusi Merujuk pada materimateri yang merupakan bunyi eksplisit UUD 1945 dan atau maksud implisit dari UUD 1945.
Isu kebijakan umum Di luar materi yang masuk isu konstitusi.
MK
Pembuat UU
Status: konstitusionalitas norma 1. Asas Pemilu : langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. 2. Periode Pemilu: setiap lima tahun. 3. Tujuan Pemilu: memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden. 4. Peserta Pemilu: partai politik dan perorangan. 5. Penyelenggara Pemilu: komisi penyelenggara Pemilu.
Status: legalitas norma 1. 2. 3.
4.
5. 1. Temuan pada sub tema Lembaga Perwakilan Rakyat
2. 3.
Sistem kamar di parlemen, yaitu nonbikameral (unicameral). Posisi DPD Pemakzulan Presiden oleh DPR
1. 2.
Sistem Pemilu: proporsional atau semi proporsional. Daerah pemilihan Teknis pemungutan suara: mencontreng, mencoblos, electronic voting dan Pemilu serentak atau bertahap. Tata cara penyelenggaraan Pilkada: langsung atau tidak langsung. Ambang batas. Syarat non-parpol bagi calon anggota DPD. Tata cara pemberhentian anggota DPR
Sumber: diolah dari berbagai sumber
125
Demokrasi Konstitusional
Dalam praktiknya MK tidak selalu final dalam menerapkan pemisahan tersebut. Contohnya perkara DKPP. Awalnya MK berpandangan bahwa komposisi anggota DKPP termasuk dalam open legal policy, namun ketika pembuat UU tidak mengindahkan batasan yang diberikan MK, maka MK mengubah pandangannya dengan mengatakan bahwa DKPP merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggara Pemilu yang harus bersifat mandiri, dimana kemandirian tersebut ditentukan oleh komposisi keanggotaanya. Dengan kalimat lain, DKPP adalah isu konstitusi. Begitu pula pada perkara penyelenggaraan Pemilu serentak. Pada Putusan Nomor: 51-52-59/PUU-VI/2008, MK berpandangan bahwa Pemilu yang tidak serentak adalah konstitusional, dengan alasan bahwa aturan bisa dibentuk berdasarkan kebiasaan (desetudo) atau konvensi ketatanegaraan yang itu tidak bertentangan dengan hukum. Namun dalam Putusan Nomor: 14/PUU-XI/2013, MK berpandangan bahwa bukan berarti praktik ketatanegaraan tersebut dipersamakan dengan konstitusi, melainkan putusan tersebut harus dimaknai sebagai pilihan penafsiran Mahkamah atas konteks pada saat putusan tersebut dijatuhkan. Melalui Putusan tersebut, MK membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres karena bertentangan dengan konstitusi. Dengan kalimat lain, pelaksanaan Pemilu secara serentak adalah inkonstitusional.
126
Demokrasi Konstitusional
BAB IV Ciri (substansial) demokrasi konstitusional Di dalam kehidupan setiap negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum, akan selalu terjadi tarik menarik antara dua kepentingan yang sama-sama fundamental, yaitu kepentingan untuk membentuk hukum (undang-undang) guna menjamin dan memastikan bekerjanya tertib hukum dalam masyarakat, sekaligus untuk melindungi kepentingan masyarakat (umum) dan kepentingan untuk menjaga hak atau kebebasan individu (individual liberty) sebagai unsur inheren. (Putusan MK Nomor: 22-24/PUU-VI/2008, paragraf 3.14) A. Pengantar Pada Bab I telah disebutkan bahwa penelitian ini meringkas bahwa demokrasi substansial (disebut juga demokrasi liberal) merupakan konsep tentang sistem pemerintahan yang bertumpu pada nilai-nilai yang melingkupi proses seperti: rule of law, kebebasan informasi, kebebasan sipil, pertanggungjawaban pejabat negara, supremasi sipil di atas militer, pembatasan kekuasaan, penghormatan terhadap kelompok oposisi, perlindungan terhadap kelompok minoritas, keterbukaan informasi, kebebasan berpendapat, persamaan di depan hukum, dan lain-lain. Beberapa pertanyaan yang menjadi perhatian antara lain: Sejauh mana parpol oposisi bisa berkontribusi dalam akuntabilitas pemerintahan? Sejauh mana parpol terbuka terhadap perbedaan etnis, agama dan bahasa? 127
Demokrasi Konstitusional
Sejauh mana pemerintah yang terpilih bisa mempengaruhi atau mengontrol persoalan-persoalan yang penting bagi kehidupan masyarakat? Sejauh mana pemerintah yang terbebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme? Sejauh mana perlindungan terhadap hak sipil dan hak politik? B. Tafsir MK terhadap hak berpolitik warga Ada beberapa putusan MK yang terkait dengan demokrasi substansial yang dikelompokkan dalam 8 (delapan) tema, yaitu: Pertama, hak memilih bagi pemilih yang tidak terdaftar di DPT. Kedua, hak politik bagi mantan narapidana politik. Ketiga, hak dipilih bagi mantan terpidana. Ketiga, hak berpolitik PNS dan anggota TNI/Polri. Keempat, kebijakan afirmatif, yang meliputi: kuota perempuan dalam parlemen dan warga asli Papua. Kelima, Calon Presiden independen. Keenam, Calon Kepala Daerah independen. Ketujuh, hak untuk mengawasi pemerintahan. Kedelapan, hak untuk menyatakan pendapat. B.1. Hak memilih bagi pemilih yang tidak terdaftar di DPT Pada Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, masalah yang diangkat adalah ketentuan yang melarang pemilih yang tidak terdaftar di DPT untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu. Keberatan ini diajukan oleh individu warga negara, yang telah berusia 17 tahun tetapi pada Pemilu legislatif 2009 telah kehilangan hak pilihanya karena tidak terdaftar di DPT dan pada Pemilu Presiden 2009 juga terancam tidak bisa menggunakan hak pilihnya karena alasan yang sama. Ketentuan yang dimaksud adalah Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil 128
Demokrasi Konstitusional
Presiden. Ketentuan ini dinilai melanggar Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan (3) UUD 1945. Tabel 10: Perbandingan ketentuan tentang syarat menggunakan hak memilih UUD 1945 Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya”. Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pasal 28D ayat (3): “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
UU No. 42 Tahun 2008 Pasal 28 : Untuk dapat menggunakan hak memilih, WNI sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 harus terdaftar sebagai pemilih. Pasal 111 ayat (1) : Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di TPS meliputi : a. Pemilih yang terdaftar pada DPT pada TPS yang bersangkutan; dan b. Pemilih yang terdaftar pada DPT.
Sumber: diolah dari UUD 1945 dan UU
Menurut MK ketentuan yang ada di dalam Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1) UU Pilpres tersebut merupakan ketentuan dan prosedur administratif bagi seorang warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. Hal prosedur administratif tersebut tidak boleh menegasikan hal-hal yang bersifat substansial, yaitu hak warga untuk memilih dalam pemilihan umum. Oleh karena itu, MK memutuskan bahwa ketentuan tersebut tetap konstitusional dengan syarat diartikan mencakup warga yang tidak terdaftar dalam DPT (Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, paragraf 3.18 dan 3.20). Implikasi dari putusan MK tersebut adalah KPU harus melakukan pemutakhiran DPT. Hal ini sulit dilakukan 129
Demokrasi Konstitusional
oleh KPU mengingat waktunya sudah semakin sempit jelang pelaksanaan Pilpres 2009 saat itu, sedangkan alternatif yang paling aman adalah menggunakan KTP atau Paspor yang masih berlaku. Terkait dengan penggunaan KTP atau Paspor ini, MK berpandangan bahwa diperlukan dasar hukum dalam bentuk Perppu (tidak bisa hanya berdasarkan Keputusan atau Peraturan KPU), akan tetapi penggunaan Perppu juga beresiko menimbulkan masalah jika ternyata nantinya dibatalkan melalui legislative review pada saat pembahasan dalam masa sidang DPR berikutnya. Menyikapi sitausi tersebu MK kemudian mengambil pilihan dengan memutuskan bahwa ‘penggunaan KTP atau Paspor yang masih berlaku’ ini bersifat self executing, dalam arti langsung dapat diterapkan oleh KPU tanpa memerlukan Perppu guna melindungi, menjamin dan memenuhi hak konstitusional warga negara untuk menggunakan hak pilihnya (Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, paragraf 3.21).99 Putusan ini dibuat setelah pelaksanaan Pemilu legislatif dan menjelang Pemilu Presiden 2009, artinya ada kemendesakan waktu. Tidak mau mengambil resiko terlalu besar, selain putusannya bersifat self executing, dalam memeriksa perkara ini MK juga tidak merasa perlu mendengar pendapat pemerintah maupun DPR100 dan putusan ini berlaku sejak diputuskan (tanpa ada penundaan). Tentang hak memilih bagi pemilih yang tidak terdaftar di DPT ini juga berlaku dalam pelaksanaan 99
Kewenangan MK untuk mengeluarkan putusan yang bersifat self executing ini didasarkan pada pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang intinya adalah Mahkamah diwajibkan menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (3.22). 100 Dasar hukum yang memungkinkan MK tidak menghadirkan pemerintah dan DPR adalah pasal 54 UU MK yang berbunyi : MK dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperika kepada MPR, DPR, dan/atau Presiden (3.24).
130
Demokrasi Konstitusional
Pemilu Kepala Daerah (Pilkada). Pada Putusan No. 85/PUU-X/2012, MK menggunakan argumentasi yang sama untuk membatalkan Pasal 69 ayat (1) UU Pemda yang menyatakan, “untuk dapat menggunakan hak memilih, WNI harus terdaftar sebagai pemilih”. B.2. Hak politik bagi mantan narapidana politik Kasus ini mengemuka pada saat awal berdirinya MK, dalam perkara No. 011-017/PUU-I/2003 ini para pemohon mempersoalkan konstitusionalitas larangan orang-orang yang pernah terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan organisasi terlarang, untuk menggunakan hak pilihnya—pasif dalam Pemilu. Larangan ini diatur di dalam Pasal 60 huruf g UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Tabel 11: Perbandingan ketentuan tentang hak politik mantan narapidana politik UUD 1945 Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerinathan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tidak ada kecualinya”. Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pasal 28I ayat (2) : Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
UU No. 12 Tahun 2003 Pasal 60 huruf g: “Bukan bekas anggota organisasi terlarang/PKI termasuk organisasi massa atau bukan orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam Gerakan G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya”.
Sumber: diolah dari UUD 1945 dan UU
Dari argumentasi yang dipaparkan, MK berpandangan bahwa tidak ada alasan pembenar bagi ketentuan yang 131
Demokrasi Konstitusional
mengandung nuansa hukuman politik. Selanjutnya MK menguraikan pandangan terhadap beberapa alasan diberlakukannya Pasal 60 huruf g tersebut. Pertama, terkait dengan adanya Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis�. Terhadap alasan tersebut MK berpendapat bahwa pembatasan itu hanya dapat dilakukan dengan maksud “semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis�, sedangkan pembatasan dalam Pasal 60 huruf g ini justru hanya menggunakan pertimbangan yang bersifat politis. Kalaupun ada pembatasan dalam hal hak pilih (baik aktif maupun pasif) umumnya karena faktor ketidakcakapan (misalnya faktor usia dan keadaan sakit jiwa) dan ketidakmungkinan (misalnya karena dicabut hak pilihnya oleh putusan pegadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, individual dan tidak kolektif). Bahkan Pasal 60 huruf g ini mengandung nuansa hukuman politik kepada kelompok tertentu, sebagaimana disebutkan undangundang. Kedua, MK berpandangan bahwa terkait dengan Tap MPR yang membubarkan dan melarang hidupa 132
Demokrasi Konstitusional
ajaran komunisme/marxisme-leninisme, menurut MK Tap MPR tersebut adalah mengatur tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia dan bukan pencabutan atau pembatasan hak pilih warga negara, termasuk bekas anggota PKI. MK berkesimpulan bahwa pelarangan sebagaimana diatur di dalam Pasal 60 huruf g tersebut merupakan pengingkaran terhadap hak asasi warga negara atau diskriminasi atas dasar keyakinan politik, sehingga bertentangan dengan hak asasi yang dijamin konstitusi. Selain itu, pembatasan tersebut juga tidak lagi relevan dengan upaya rekonsiliasi nasional yang telah menjadi tekad bersama bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih demokratis dan berkeadilan. Mantan anggota PKI juga dilarang mencalonkan diri menjadi calon presiden, sebagaimana diatur Pasal 6 huruf s UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Sayangnya pada Putusan No. 008/PUUII/2004, yang dimohonkan oleh Gus Dur dan Alwi Sihab, MK menolak permohonan tersebut, dengan alasan para pemohon bukan mantan anggota PKI, sehingga tidak memenuhi legal standing dalam permohonan ini. MK tidak masuk pada pokok perkara dalam pemeriksaannya. B.3. Hak dipilih bagi mantan terpidana non-politik Ada beberapa putusan MK yang berkaitan dengan persyaratan “tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih�. Putusan-putusan MK yang dimaksud adalah Putusan Nomor 11-17/PUU-I/2003, 133
Demokrasi Konstitusional
Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007 dan Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009). Syarat tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara yang ancaman pidananya minimal lima tahun tersebut telah digunakan dalam beberapa undang-undang, antara lain Pasal 58 huruf f UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pasal 6 huruf t UU No. 23 Tahun 3003 tentang Pilpres, Pasal 16 ayat (1) huruf d UU MK, Pasal 7 ayat (2) huruf d UU Mahkamah Agung, Pasal 13 huruf g UU No. 16 Tahun 2006 tentang BPK, dan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. MK berpandangan bahwa syarat tersebut tidak bisa diberlakukan secara umum, melainkan tergantung pada jenis tindak pidana, jenis jabatannya, jangka waktunya, sikap serta tindakan terpidana. Syarat tersebut dikecualikan untuk tindak pidana yang bersifat kealpaan ringan (culpa levis) dan tindak pidana karena alasan perbedaan pandangan politik (vide Putusan MK No. 1417/PUU-V/2007, paragraf 3.14 dan 4.1). Sedangkan untuk pengecualian yang lain adalah: (i) syarat tersebut tidak berlaku untuk jabatan yang dipilih (elected official) sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap; (ii) Syarat tersebut berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang (vide Putusan MK No. 4/PUUVII/2009, tanggal 24 Maret 2009, paragraf 4.4). 134
Demokrasi Konstitusional
Menurut MK jika syarat tersebut diberlakukan secara umum maka akan menegasikan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Tindakan tersebut juga melanggar hak seseorang atau warga negara atas perlakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Padahal dua prinsip tersebut pada hakikatnya merupakan moralitas hukum dan moralitas konstitusi (Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009, tanggal 24 Maret 2009, paragraf 4.3). MK juga membandingkan dengan putusannya yang memberikan amnesty terhadap mereka yang terlibat dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta) dan Gerakan Aceh Meredeka (GAM) serta ditiadakannya persyaratan tidak terlibat secara langsung atau tidak langsung dengan PKI untuk menjadi calon anggota DPR, DPD dan DPRD. Adalah hal yang tidak adil jika warga yang terlibat dalam gerakan-gerakan tersebut menerima amnesty sementara warga yang pernah menjadi narapidana tidak mendapatkannya. Menariknya, meskipun MK sudah menegaskan agar pembuat undang-undang segera meninjau kembali semua undang-undang sepanjang yang berkaitan dengan hak pilih mantan terpidana sebagai hak konstitusional dalam pemilihan pejabat publik, namun sampai saat ini belum direspon oleh pembentuk undang-undang. Bahkan pembuat undang-undang menciptakan pembatasan dan/atau melakukan pelanggaran yang lebih berat dengan mengganti frasa “tidak sedang� menjadi “tidak pernah� melakukan tindak pidana (Putusan Nomor 4/PUUVII/2009, tanggal 24 Maret 2009, paragraf 3.19).
135
Demokrasi Konstitusional
B.4. Hak politik PNS dan anggota TNI/Polri Menurut MK, keharusan bagi PNS untuk mengundurkan diri jika mencalonkan diri dalam suatu rekrutmen politik bisa dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif pembatasan hak asasi dengan undang-undang, dan perspektif sebagai kewajiban hukum. Merujuk pada perspektif pembatasan HAM, keharusan mengundurkan diri tersebut menurut MK sejalan dengan ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.101 Dijelaskan MK, ketika seseorang telah memilih untuk menjadi PNS maka dia telah mengikatkan diri dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur birokrasi pemerintahan, sehingga pada saat mendaftarkan diri untuk menjadi calon dalam jabatan politik yang diperebutkan melalui mekanisme pemilihan umum, maka undang-undang dapat menentukan syaratsyarat yang diantaranya dapat membatasi hak-haknya sebagai PNS. Dilihat dari perspektif kewajiban, keharusan mengundurkan diri sebagai PNS tersebut tidak harus diartikan pembatasan HAM karena tidak ada HAM yang dikurangi dalam konteks ini, melainkan sebagai konsekuensi yuridis atas pilihannya sendiri untuk masuk ke arena pemilihan jabatan politik, sehingga wajib mengundurkan diri dari PNS guna mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang birokrasi pemerintahan. Perkara ini mengemuka ketika seorang PNS di Sumatera Selatan, dalam perkara No. 45/PUU-VIII/2010 mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 12 huruf k berikut Penjelasannya dan Pasal 67 ayat (2) huruf h UU Pemilu. Ketentuan tersebut mensyaratkan calon anggota DPD yang berstatus PNS, TNI/Polri untuk mengundurkan diri 101
Dalam pertimbangan mengenai pembatasan HAM pada putusan terdahulu dalam perkara No. 132/PUU-VII/2009 tanggal 29 Desember 2009, yang juga menguji UU No. 10 Tahun 2008.
136
Demokrasi Konstitusional
terlebih dahulu sebelum pencalonannya. Pemohon merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya, karena akibat keharusan pengunduran diri tersebut, hak-hak pemohon sebagai PNS, seperti hak atas gaji, asuransi kesehatan dan pensiun, tidak lagi didapatkannya. Lebih jauh dalam permohonannya, pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya dilanggar akibat berlakunya ketentuan-ketentuan a quo. Hak-hak konstitusional dimaksud menurut pemohon adalah hak kesamaan kedudukan di dalam hukum (equality before the law) dan pemerintahan (to have access, on general terms of equality, to public service), sehingga menurut pemohon pasal a quo bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) danPasal 28D ayat (3) UUD 1945. Ketentuan a quo juga dianggap pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena merugikan hak konstitusional pemohon atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (right of legal certainty and equal treatment or non discriminative treatment). Selain itu pemohon juga menyatakan, hak konstitusionalnya untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif dan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif, sebagaimana diatur Pasal 28I ayat (2) UUD1945, dirugikan akibat berlakukanya ketentuan a quo. Menggunakan argumentasi yang sama, Sofwat Hadi yang juga seorang anggota DPD, dalam perkara No. 024/PUU-IV/2006 juga mempersoalkan konstitusionalitas keharusan pengunduran diri ketika seorang PNS atau anggota TNI/Polri hendak turut serta dalam sebuah kontestasi politik elektoral. Namun MK menyatakan pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan itu, karena tiadanya hubungan kausalitas 137
Demokrasi Konstitusional
antara pemohon dengan undang-undang yang diuji, sehingga putusanya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). B.5. Hak (khusus) politik bagi perempuan dan Papua Dalam sejarahnya di dunia internasional, tindakan afirmatif difokuskan terutama pada perempuan dan kelompok kulit berwarna. Tindakan ini telah memiliki dampak yang luas bagi perempuan, khususnya keterlibatan mereka dalam ruang publik. Selain perempuan, beberapa kelompok rentan lain seperti LGBT, difabel, juga mulai menjadi sasaran dari tindakan afirmatif, guna membebaskan mereka dari berbagai tindakan yang kerap berwatak diskriminatif.102 Di Indonesia, khususnya setelah bergulirnya reformasi 1998, juga nampak kian menguatnya kebijakan tindakan afirmatif. Kebijakan ini antara lain diwujudkan dengan adanya keharusan kuota 30% bagi calon anggota legislatif perempuan. Tidak hanya perempuan, dalam bentuk yang lain, dan tentu alasan yang lain pula, kebijakan khusus diterapkan untuk sejumla daerah, seperti adanya partai politik lokal di Aceh, sebagai kelanjutan dari perjanjian damai Aceh melalui MoU Helsinki. Tindakan afirmatif juga diberikan bagi orang asli Papua dalam penyelenggaraan pemerintahan di Papua, sebagai mandat otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat. Setidakanya ada dua alasan penerapan kebijakan khusus bagi dua daerah itu, pertama, demi menjaga integrasi atau keutuhan wilayah nasional; kedua, merupakan amanat dari UUD 1945, sebagaimana termaktub di dalam Pasal 18B ayat (1), yang menyebutkan: “Negara mengakui dan menghormati 102
Lihat Rachel Kranz, Affirmative Action, (New York: Facts On File, Inc, 2002).
138
Demokrasi Konstitusional
satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang�. Sementara terkait dengan kebijakan tindakan afirmatif, UUD 1945 juga secara khusus memberikan mandat ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan�. Dalam perkembangannya, isu mengenai tindakan afirmatif juga telah menjadi perdebatan yang krusial dalam beberapa permohonan pengujian undang-undang di MK. Sejumlah kasus yang memiliki korelasi dengan isu kebijakan tindakan afirmatif antara lain sebagai berikut: B.5.1. Kebijakan afirmatif bagi perempuan Menurut MK affirmative action bagi perempuan sebagaimana diatur di dalam Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD adalah kebijakan yang konstitusional, dengan beberapa alasan. Pertama, tindakan afirmatif disebut juga sebagai reverse discrimination adalah tindakan memberi kesempatan kepada perempuan demi terbentuknya kesetaraan gender dalam lapangan peran yang sama antara perempuan dan laki-laki. Selama ini keikutsertaan perempuan dalam pengambilan kebijaksanaan, baik di bidang hukum maupun dalam pembangunan ekonomi dan sosial politik, masih relatif kecil. Kini disadari bahwa jumlah penduduk Indonesia yang terbesar adalah perempuan. Pemberian kuota 30% dan keharusan satu calon perempuan dari setiap tiga calon merupakan diskriminasi positif dalam rangka menyeimbangkan antara keterwakilan perempuan dan laki-laki untuk menjadi 139
Demokrasi Konstitusional
legislator di DPR dan DPRD. Adanya tindakan afirmatif ini diharapkan akan berpengaruh pada makin besarnya peluang keterpilihan bagi calon anggota legislatif perempuan. Kedua, jika sistem kuota bagi perempuan dipandang membatasi hak laki-laki, bukan berarti pembatasan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pembatasan tersebut dibenarkan oleh konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) dan 28H ayat (2) UUD 1945. Ketiga, komitmen Indonesia terhadap instrumen HAM yang berhubungan dengan penghapusan segala bentuk diskriminasi perempuan serta komitmen untuk memajukan perempuan di bidang politik telah diwujudkan melalui berbagai ratifikasi dan berbagai kebijakan pemerintah (Putusan Nomor 22-24/PUUVI/2008, tanggal 23 Desember 2008, paragraf 3.15.1). Mengapa diperlukan tindakan afirmatif atas kuota perempuan? Pemenuhan kuota perempuan dilandasi pada argumentasi keadilan, pengalaman dan kepentingan. Perempuan mewakili setengah dari populasi dan punya hak untuk setengah dari kursi (justice argument). Perempuan mempunyai pengalaman yang berbeda dari laki-laki baik secara biologis maupun sosial (experience argument). Perempuan dan laki-laki mempunyai pertentangan kepentingan sehingga laki-laki tidak dapat mewakili perempuan (interest group argument). Politisi perempuan juga memiliki peran penting untuk mendorong perempuan lain untuk mengikuti. Inti ide di belakang kuota gender pemilihan adalah merekrut perempuan ke dalam institusi politik dan memastikan bahwa perempuan tidak terisolasi dalam kehidupan politik (Hanna Pitkin, The Concept of Representation, 1967, sebagaimana dikutip 140
Demokrasi Konstitusional
oleh Maria Farida dalam dissenting opinion Putusan MK No. 22-24/2008). Meskipun afirmative action dibenarkan, namun perolehan kursi tetap didasarkan pada suara terbanyak, karena menurut MK, sistem suara terbanyak merupakan pelaksanaan dari prinsip kedaulatan rakyat. Dalam pertimbangan hukum putusannya MK menjelasan, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga dalam berbagai kegiatan Pemilu, rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya. Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh para calon legislatif maupun eksekutif, begitu pula sebaliknya. Kedaulatan rayat bukan hanya norma dasar (basic norm) melainkan merupakan moralitas konstitusi bagi semua kehidupan negara dan bangsa baik di bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Prinsip kedaulatan rakyat ini harus menjunjung tinggi hak asasi manusia yang membentuk dan menjadi dasar harkat dan martabat manusia. Selain itu menurut MK, Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 juga memberikan pesan bahwa rakyat merupakan subjek utama dalam prinsip kedaulatan, bukan objek bagi peserta Pemilu untuk mencapai kemenangannya (Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008, paragraf 3.15.3). Lebih lanjut dikemukakan MK, bahwa perolehan kursi berdasarkan suara terbanyak memiliki beberapa kelebihan. Pertama, memberikan kemudahan kepada pemilih dalam menentukan pilihannya. Kedua, lebih adil bagi pemilih maupun calon yang dipilih karena kemenangan seseorang tidak digantungkan pada parpol melainkan sejauh mana besarnya dukungan suara rakyat yang diberikan kepada 141
Demokrasi Konstitusional
calon tersebut. Ketiga, mengurangi konflik internal parpol yang bisa berimbas kepada masyarakat. Keempat, jika pada Pemilu presiden, DPD dan kepala daerah, Indonesia telah menganut sistem pemilihan langsung, maka cukup adil jika pada Pemilu DPR dan DPRD juga bersifat langsung yang diwujudkan dengan perolehan kursi berdasarkan suara terbanyak (Putusan MK No. 2224/PUU-VI/2008, paragraf 3.15.3). MK tidak setuju dengan rumusan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang, yang menentukan perolehan kursi berdasarkan nomor urut, sebagaimana diatur di dalam Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e UU Pemilu. Menurut MK, sistem nomor urut sama dengan menempatkan kekuasaan parpol lebih tinggi dari pada kekuasaan rakyat. Selain itu, dikatakan MK bahwa Pasal 214 UU Pemilu juga telah menerapkan standar ganda, yaitu berdasarkan nomor urut dan perolehan suara masing-masing caleg. Ditegaskan MK, kekuasaan parpol telah selesai dengan dipilihnya calon-calon yang cakap, selanjutnya yang menentukan keterpilihan calon-calon tersebut adalah rakyat yang berdaulat itu sendiri (Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008, paragraf 3.15.3). Pendapat berbeda dikemukan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida, yang berpandangan bahwa penolakan MK terhadap sistem nomor urut adalah tidak sejalan dengan kebiajakan affirmative action yang merupakan tindakan “dari hulu ke hilir�. Tindakan dimaksud berarti mengkombinasikan antara proteksi dalam internal partai (pencalonan dan penempatan dalam daftar calon) dan mekanisme eksternal partai berupa dukungan konstituen yang diraih calon anggota DPR dan DPRD melalui perjuangan di daerah pemilihan yang bersangkutan. 142
Demokrasi Konstitusional
Lalu, apakah sistem suara terbanyak sejalan dengan kebijakan tindakan afirmatif? MK berpandangan bahwa kebijakan affirmative action benar bersumber dari CEDAW,103 namun konstitusi mengamanatkan kedaulatan rakyat yang jika diterjemahkan dalam sistem perolehan kursi adalah sistem suara terbanyak. Oleh karena itu, MK berpandangan bahwa affirmative action cukup terpenuhi dengan kuota 30% dan satu calon perempuan dari setiap tiga calon anggota legislatif (Putusan MK No. 22-24/PUUVI/2008, paragraf 3.16). B.5.2. Kebijakan afirmatif bagi orang asli Papua Di atas telah disinggung perihal tindakan afirmatif bagi orang asli Papua dalam penyelenggaraan pemerintahan di Papua. Kebijakan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Propinsi Papua merupakan bagian dari wilayah NKRI yang memiliki keragaman suku dan 103
Pasal-pasal CEDAW yang terkait dengan affirmative action di bidang politik: (1) Pasal 4 ayat (1): Pembentukan peraturan-peraturan dan melakukan tindakan khusus sementara oleh Negara-negara pihak yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan “de facto” antara laki-laki dan perempuan, tidak dianggap sebagai diskriminasi seperti ditegaskan dalam konvensi ini dan sama sekali tidak harus membawa konsekwensi pemeliharaan standar-standar yang tidak sama atau terpisah, maka peraturan-peraturan dan tindakan tersebut wajib dihentikan jika tujuan persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai;(2) Pasal 7: Negara-negara pihak wajib mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat di negaranya, khususnya menjamin bagi perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki, hak: (a) Untuk memilih dalam semua pemilihan dan agenda public dan berkemampuan untuk dipilih dalam lembaga-lembaga yang dipilih masyarakat. (b) Untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya serta memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di semua tingkatan. (c) Untuk berpartisipasi dalam organisasi-organisasi dan perkumpulan-perkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik Negara; (3) Rekomendasi Umum Nomor 23 tentang Kehidupan Politik dan Publik Pasal 7 dan pasal 8 CEDAW, Sesi ke-16 Tahun 1997 yang menegaskan: “… di bawah Pasal 4, konvensi mendorong digunakannya tindakan khusus sementara guna memebrii efek penuh pada Pasal 7 dan 8, di mana Negara-negara telah mengembangkan strategi sementara yang efektif dalam upayanya mencapai kesetaraan partisipasi, berbagai jenis tindakan telah diimplemenasikan, termasuk merekrut, membantu secara financial dan melatih kandidat perempuan, mengubah prosedur pemilihan, merancang kampanye yang ditujukan pada partisipasi yang setara, menetapkan target angka dan quota dan menargetkan perempuan untuk ditunjuk pada jabatan publik seperti hakim atau kelompok.”
143
Demokrasi Konstitusional
bahasa daerah, namun orang asli Papua merasakan bahwa berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mendukung terwujudnya penegakan hukum dan menampakkan penghormatan terhadap HAM di Papua. Situasi tersebut telah berakibat pada terjadinya kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan, terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan sosial politik (Putusan MK No. 116/PUU-VII/2009, paragraf 3.16.1). Perlakuan khusus bagi Papua setidak-tidaknya mulai bergulir semenjak awal reformasi 1998, ketika MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004, terutama Bab IV huruf (g) angka 2, yang menetapkan perlunya pemberian status Otonomi Khusus kepada Propinsi Irian Jaya. Selanjutnya pada tahun 2000, MPR kembali mengeluarkan Tap MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang isinya antara lain menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus tersebut melalui penetapan UU Otsus bagi propinsi Irian Jaya. Disamping Tap MPR, konstitusi pasca-amandemen juga mengakui dan menghormati adanya pemerintahan yang bersifat khusus sebagaimana diatur di dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Mandat konstitusional tersebut selanjutnya ditindak lanjuti dengan lahirnya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Dari penjelasan umum UU Otsus Papua ini, nampak dengan jelas adanya maksud untuk melakukan tindakan afirmatif bagi Papua, yakni pengistimewaan untuk sementara waktu yang bertujuan memberikan peluang kepada masyarakat asli Papua untuk 144
Demokrasi Konstitusional
memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) melalui pengangkatan (Putusan MK No. 29/PUUIX/2011, paragraf 3.17). Pemberian otonomi khusus bagi Papua pada dasarnya adalah pendelegasian kewenangan yang lebih luas bagi propinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalam kerangka NKRI. Kewenangan tersebut berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi masyarakat Papua untuk ikut merumuskan kebijakan daerah dan menentukan strategi pembangunan, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama dan kaum perempuan, salah satunya dengan menjadi anggota DPRP sebagaimana diatur di dalam Pasal 6 ayat (4) UU Otsus Papua (Putusan MK No. 116/PUU-VII/2009, paragraf 3.16.3, juga Putusan MK No. 29/PUU-IX/2011, paragraf 3.17). DPRP adalah lembaga perwakilan rakyat dari pemerintahan daerah Papua yang bersifat khusus dan berbeda dengan daerah propinsi lain. Kekhususan tersebut antara lain terletak pada adanya sebagian anggota DPRP yang diangkat—bukan dipilih dalam Pemilu. Dengan kalimat lain, anggota DPRP ada yang dipilih dan ada yang diangkat. Jumlah anggota DPRP adalah ¼ jumlah anggota DPRD Propinsi Papua. Dengan adanya DPRP maka anggota DPRD Propinsi Papua menjadi 56 kursi, terdiri dari 45 kursi ditambah 11 kursi (¼ kali 45). Untuk anggota DPRP yang dipilih berlaku mekanisme pemilihan pada umumnya—melalui partai politik, tetapi terhadap anggota DPRP yang diangkat menggunakan mekanisme tersendiri yang diatur melalui Perdasus (Putusan MK No. 145
Demokrasi Konstitusional
116/PUU-VII/2009, paragraf 3.16.4, paragraf 3.16.7 dan paragraf 3.18). Menurut MK, keberadaan DPRP dan mekanisme perekrutan yang khusus tersebut justru sejalan dengan semangat konstitusi sebagaimana diatur pada pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan�.Selanjutnya MK berpendapat bahwa praktik pengisian anggota DPRP melalui Pemilu oleh KPU pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 merupakan tindakan yang melampaui kewenangan dan bertentangan dengan Pasal 18B ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 serta Pasal 6 ayat (2) dan ayat (4) UU 21/2001 (Putusan Nomor: 116/PUU-VII/2009, paragraf 3.16.5 dan paragraf 3.16.6). Selain DPRP, tindakan afirmatif action bagi orang asli Papua adalah adanya Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagaimana diatur di dalam Pasal 19 ayat (1) UU Otsus Papua. MRP merupakan representasi kultural penduduk asli Papua yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil adat, wakil-wakil agama dan wakil perempuan. MRP diberikan kewenangan tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Lembaga seperti MRP tersebut tidak dikenal di daerah lain di Indonesia. Meski demikian, MRP bukan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat supra dan membawahi berbagai masyarakat hukum adat di propinsi papua, melainkan merupakan salah satu lembaga pemerintahan daerah bentukan negara berdasarkan undang-undang. Oleh 146
Demokrasi Konstitusional
karena itu, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, MRP tidak berhak mengabaikan hak-hak asli masyarakat hukum adat yang ada di propinsi papua (Putusan MK No. 29/PUU-IX/2011, paragraf 3.17 dan paragraf 3.2). Selaras dengan hal itu, MK berada dalam posisi menolak ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a UU Otsus Papua yang menentukan bahwa MRP mempunyai tugas dan wewenang memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP. Menurut MK, ketentuan tersebut kabur dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil serta dapat menimbulkan pelanggaran hak-hak konstitusional yang dijamin oleh konstitusi (vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945) baik bagi suku-suku asli di Papua sebagai kesatuan masyarakat hukum adat maupun bagi perseorangan warga suku asli tersebut. Hal ini berkaitan dengan kriteria apa yang dipergunakan MRP untuk menentukan orang asli Papua sebagai bakal calon gubernur atau wakil gubernur Papua, baik kriteria yang dibuat melalui peraturan perundang-undangan maupun kebijakan yang diputuskan oleh MRP. Menurut MK, ketentuan tersebut telah melanggar hakhak konstitusional baik hak konstitusional kesatuan masyarakat hukum adat maupun hak konstitusional dari anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Ketentuan tersebut akan tetap konstitusional sepanjang dimaknai bahwa pertimbangan dan persetujuan MRP mengenai status seseorang sebagai orang asli Papua sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf t UU Otus Papua, pertimbangan bagi bakal calon gubernur dan/atau calon wakil gubernur didasarkan atas pengakuan suku asli di Papua asal bakal calon gubernur dan/atau wakil gubernur 147
Demokrasi Konstitusional
yang bersangkutan (Putusan MK No. 29/PUU-IX/2011, paragraf 3.20 dan paragraf 3.22). B.6. Hak untuk menjadi calon pejabat eksekutif Perdebatan mengenai kandidat independen dalam pemilihan umum—politik eletoral setidaknya mengemuka dalam dua ruang besar, pemilihan umum kepala daerah serta pemilihan umum presiden. Konstitusi sendiri memberikan rumusan yang berbeda dalam konteks pemilihan dua level kekuasaan tersebut. Dalam pemilihan presiden dan wakil presiden terlebih dahulu harus melalui pengusulan dari partai politik, sementara dalam pemilihan kepala daerah hanya dikatakan musti dilakukan secara demokratis. Tabel 12: Perbandingan ketentuan tentang syarat calon pejabat eksekutif Tentang calon presiden Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 : “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu sebelum pelaksanaan Pemilu”.
Tentang calon kepala daerah Pasal 18 ayat (4) UUD 1945: “Gubernur, Bupati dan walikota masingmasing sebagai kepala pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.
Sumber: diolah dari UUD 1945 dan UU
Dalam praktiknya MK memang memberikan penafsiran yang berbeda dalam konteks dua pemilihan tersebut. MK membolehkan adanya calon independen— tanpa dukungan partai politik dalam pemilihan umum kepala daerah, tetapi MK menyatakan bahwa calon presiden independen—tanpa dukungan partai politik adalah inkonstitusional. Mengapa demikian?
148
Demokrasi Konstitusional
B.6.1. Calon kepala daerah (secara) independen Mula-mula pada Putusan No. 006/PUU-III/2005, MK menolak permohonan agar dimungkinkan adanya calon kepala daerah independen, dengan tiga argumen utama. Pertama, isu calon kepala daerah independen bukan soal hak melainkan soal tata cara pengisian jabatan kepala daerah; Kedua, pencalonan oleh individu atau oleh parpol adalah sama-sama demokratis;Ketiga, isu calon kepala daerah independen ini termasuk open legal policy, yang merupakan wewenang dari pembentuk undang-undang, bukan aras konstitusional.104 Jika suatu saat ada peraturan yang memungkinkan calon perseorangan, maka peraturan tersebut tetap demokratis. Selain itu, tiadanya ruang bagi calon kepala daerah independen menurut MK juga tidak termasuk sebagai suatu tindakan yang diskriminatif. Pengusulan pasangan kepala daerah yang harus melalui parpol merupakan mekanisme atau tata cara bagaimana pemilihan kepala daerah dilaksanakan dan sama sekali tidak menghilangkan hak perseorangan untuk ikut dalam pemerintahan, sepanjang syarat pengusulan melalui parpol dilakukan. Oleh karena itu tindakan tersebut tidak berseberangan dengan larangan diskriminasi yang diatur oleh Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (3) UU Hak Asasi Manusia, yang mendefinisikan diskriminasi sebagai “jika ada persyaratan yang tidak berlaku sama terhadap semua orang, atas dasar perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, 104
MK dalam Putusan Nomor 072-073/PUU-II/2004 pernah menyatakan bahwa menjadi pilihan kebijakan (policy) pembentuk UU untuk mengatur tata cara pemilihan kepala daerah. UU Pemda telah menjabarkan perintah pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tersebut dengan menetapkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan dengan Pemilu secara langsung yang calonnya diajukan oleh parpol atau gabungan parpol. Hal demikian merupakan kebijakan pembentuk UU (Vide putusan Nomor: 5/PUU-V/2007, paragraf 3.15.4).
149
Demokrasi Konstitusional
status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik�. Dalam perkembangan berikutnya, pada Putusan No. 5/PUU-V/2007 MK mengabulkan permohonan yang memberikan ruang bagi adanya calon kepala daerah independen. Putusan ini diambil dengan bersandar setidaknya pada tiga pertimbangan: Pertama, kebijakan ini termasuk open legal policy dan pembentuk undangundang telah mengatur ketentuan yang memungkinkan adanya calon kepala daerah independen, melalui UU Pemerintahan Aceh; Kedua, partai politik hanya salah satu wujud partisipasi masyarakat, sehingga wajar jika dibuka mekanisme lain di luar partai politik; Ketiga, dimungkinkannya calon kepala daerah independen telah memberikan dampak kemajuan pada dinamika ketatanegaraan. Tabel 13: Perbandingan ketentuan tentang syarat calon kepala daerah UU Pemerintahan Aceh Pasal 67 ayat (1) : Pasangan calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam pasal 65 ayat (1) diajukan oleh: a. partai politik; b. partai politik lokal atau gabungan parpol lokal; c. gabungan parpol dan parpol lokal; d. perseorangan.
150
UU Pemerintahan Daerah Pasal 56 : (1) Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. (2) Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh parpol atau gabungan parpol. Pasal 59 (1) Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau
Demokrasi Konstitusional gabungan partai politik. (2) Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. (3) Dan seterusnya. Sumber: diolah dari UU
Putusan tersebut memang dikeluarkan setelah pemerintah dan DPR menyepakati pembentukan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang di dalamnya mengakomodasi adanya calon kepala daerah independen dalam Pilkada Aceh untuk yang pertama kalinya. Pasal 67 ayat (1) UU Pemerintahan Aceh menyebutkan, pasangan calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) diajukan oleh: (a) partai politik; (b) partai politik lokal atau gabungan partai politik lokal; (c) gabungan partai politik dan partai politik lokal; (d) perseorangan. UU Pemerintahan Aceh ini membatalkan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi DI Aceh, namun tetap mempertahankan keberadaan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi DI Aceh. Artinya sifat keistimewaan Aceh tetap berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999 yang meliputi penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Sedangkan calon 151
Demokrasi Konstitusional
kepala daerah perseorangan bukan termasuk keistimewaan Aceh (Putusan MK No. 5/PUU-V/2007, paragraf 3.15.9). Menurut MK ketentuan yang terdapat dalam Pasal 65 ayat (1) UU Pemerintahan Aceh tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Hubungan antara UU Pemerintah Aceh dan UU Pemda juga bukan hubungan antara hukum yang khusus di satu pihak dan yang umum di pihak lain. Maka jika kedua ketentuan tersebut berlaku bersama-sama tetapi untuk daerah yang berbeda akan menimbulkan akibat adanya dualisme dalam melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Akibat lebih lanjut dari dualisme tersebut adalah tidak ada kedudukan yang sama antara Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di Aceh dan yang bertempat tinggal di propinsi lain. Artinya pula tidak ada persamaan di depan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Agar tercapai persamaan hak warga negara, maka yang harus dilakukan bukan mencabut ketentuan yang ada di dalam UU Pemerintahan Aceh, melainkan dengan mengharuskan UU Pemda menyesuaikan dengan perkembangan baru yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang sendiri. Adanya ketentuan yang memungkinkan calon kepala daerah independen pada UU Pemerintahan Aceh telah melahirkan realitas baru dalam dinamika ketatanegaraan yang menimbulkan dampak kesadaran konstitusi secara nasional, yakni dibukanya kesempatan bagi calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah (Putusan MK No. 5/PUU-V/2007, paragraf 3.15.9, paragraf 3.15.10 dan paragraf 3.15.12). Lebih jauh dijelaskan MK dalam pertimbangan hukumnya, bahwa calon kepala daerah independen juga diakui di dalam UU 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. 152
Demokrasi Konstitusional
Pengakuan ini bersandar pada empat alasan. Pertama, partai politik hanya salah satu (bukan satu-satunya) wujud partisipasi masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi, sehingga wajar jika dibuka mekanisme partisipasi yang lain di luar partai politik. Kedua, kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah jabatan perseorangan. Ketiga, partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat. Keempat, yang menjadi Pemohon dalam perselisihan hasil Pemilukada adalah pasangan kapala daerah dan wakil kepala daerah sebagai perseorangan dan bukan partai poltik atau gabungan partai politik yang semula mencalonkan (Putusan MK No. 5/PUU-V/2007, paragraf 3.15.13 dan paragraf 3.15.14). Namun demikian, terhadap calon independen kepala daerah harus dibebani kewajiban yang berkaitan dengan persyaratan jumlah dukungan minimal agar terjadi keseimbangan dengan partai politik yang disyaratkan mempunyai jumlah wakil minimal tertentu di DPRD atau jumlah perolehan suara minimal tertentu untuk dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah.105 Meski demikian, syarat bagi calon independen tidak boleh lebih berat dari calon partai politik, karena syarat bagi calon partai politik dipenuhi dengan biaya dari APBN 105
Terkait dengan syarat perolehan kursi di DPRD atau perolehan jumlah suara tertentu bagi parpol pengusung calon kepala daerah, MK pada Putusan No. 005/PUU-III/2005 membatalkan penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU 32/2004 yang berbunyi: parpol atau gabungan parpol dalam ketentuan ini adalah parpol atau gabungan parpol yang memiliki kursi di DPRD. Pembatalan ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, telah terjadi pertentangan antara substansi pasal dan penjelasan yang mengandung inkonsistensi yang melahirkan interpretasi ganda dan menyebabkan keragu-raguan dalam pelaksanaannya. Kedua, sesuai kebiasaan yang berlaku dalam praktik pembentukan perundangundangan yang juga diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan.
153
Demokrasi Konstitusional
sedangkan calon independen harus mengumpulkan sendiri pernyataan dukungan dari pendukungnya. Syarat bagi calon independen juga tidak boleh terlalu ringan, untuk mencegah calon yang tidak bersungguh-sungguh yang justru akan menurunkan nilai dan citra demokrasi yang dapat bermuara pada turunnya kepercayaan rakyat terhadap pemilihan kepala daerah. Kewenangan untuk menentukan syarat bagi calon kepala daerah independen tersebut ada pada pembentuk undang-undang (Putusan MK No. 5/PUU-V/2007, paragraf 3.15.9, paragraf 3.15. 20 dan paragraf 3.15.22). Khusus untuk Aceh, perkembangan baru juga muncul menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung untuk yang kedua kalinya di Aceh. Perkembangan ini terkait dengan adanya pembatasan keterlibatan calon perseorangan dalam Pilkada Aceh sebagaimana diatur Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh. Ketentuan ini pada intinya mengatur bahwa ketentuan yang mengatur calon perseorangan berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak diundangkannya UU Pemerintahan Aceh. Dalam prosesnya, ketentuan tersebut dinyatakan oleh MK tidak konstitusional. Menurut MK, calon independen dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak boleh dibatasi pemberlakuannya, karena bisa mengakibatkan perlakuan yang tidak adil dan ketidaksamaan kedudukan di muka hukum dan pemerintahan antara WNI yang bertempat tinggal di propinsi Aceh dan yang bertempat tinggal di propinsi lainnya. WNI yang bertempat tinggal di propinsi Aceh akan menikmati hak yang lebih sedikit karena tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan yang berarti tidak terdapat perlakuan yang sama di depan hukum dan 154
Demokrasi Konstitusional
pemerintahan sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D (ayat 1) dan ayat (4) UUD 1945 (Putusan MK No. 35/PUUVIII/2010, Paragraf 3.13.6). B.6.2. Calon presiden (tidak) independen Pengaturan mengenai mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden dirumuskan secara khusus di dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang kemudian diatur lebih lanjut di dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pilpres dan diperbaharui kembali melalui UU No. 42 Tahun 2008. Khusus mengenai pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden UUD 1945 dan UU Pilpres mengaturnya sebagai berikut: Tabel 14: Perbandingan ketentuan tentang syarat calon presiden&wakil presiden UUD 1945 Pasal 6A ayat (2) : pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu sebelum pelaksanaan Pemilu.
UU Pilpres Pasal 25 UU 23/2003 : calon presiden dan/atau wakil presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu. Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008: Bakal pasangan calon didaftarkan oleh parpol atau gabungan parpol.
Sumber: diolah dari UUD 1945 dan UU
Apabila merujuk pada ketentuan tersebut, maka UUD 1945 maupun UU Pilpres materinya tidak memberikan ruang bagi kehadiran calon presiden independen. Pasangan calon presiden dan wakil presiden harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu.Menyikapi pengaturan yang demikian, telah cukup banyak warga negara yang mempersoalkannya ke MK melalui mekanisme pengujian undang-undang. Terhadap 155
Demokrasi Konstitusional
UU Pilpres tahun 2003 saja, setidaknya ada empat permohonan yang petitumnya menghendaki kehadiran calon presiden independen, yaitu: Perkara No.007/PUUII/2004,106Perkara No. 054/PUU-II/2004,107 Perkara No. 057/PUU-III/2004,108 dan Perkara No. 23/PUUVI/2008.109Menjelang dan sesudah pelaksanan Pemilu presiden tahun 2009 sejumlah warga negara juga ramairamai menguji UU Pilpres tahun 2008, yang pada intinya lagi-lagi menghendaki kehadiran calon presiden independen. Sejumlah permohonan tersebut meliputi: Perkata No. 56/PUU-VI/2008,110 Perkara No. 51-5259/PUU/2008, Perkara No. 26/PUU-VII/2009,111 Perkara No. 38/PUU-X/2012,112 dan Perkara No. 46/PUU-XI/2013. Semua permohonan yang intinya meminta agar dimungkinkan adanya capres independen ini ditolak oleh MK, dengan alasan utama bahwa konstitusi sudah mengatur secara jelas, sehingga MK tidak perlu menafsirkannya lagi. Menurut MK, dengan pengusulan calon presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik, tidak ada hak warga negara yang dilanggar.
106
Dimohonkan oleh Agus abdul Djalil dari Yayasan Pengembangan Reformasi Nasional, Dimohonkan oleh Yislam Alwini (swasta), Berar Fathia (ibu rumah tangga), Tatang Isalhansuah (swasta), Encep Rukmana (swasta), Ridwan Mursid (swasta), Sucipto (swasta), Suta Widya (swasta), Endang Aryakusuma (swasta). 108 Dimohonkan oleh Mulyo Wibisono (capres) dan Dion Bambang Soebroto (calon wapres) 109 Dimohonkan oleh M. Fadjroel Rachman, dkk, yang mencabut permohonannya karena pada saat persidangan sedang berlangsung, sudah terbit UU Pilpres baru yang menggantikan UU yang sedang dimohonkan. Penarikan tersebut dinilai masuk akal, sehingga dikabulkan oleh MK. 110 Dimohonkan oleh M. Fadjroel Rachman (Swasta), Mariana (Karyawati), dan Bob Febrian, para pemohon mengajukan argumentasi pada metode tafsir terhadap konstitusi. 111 Dimohonkan oleh Sri Sudarjo. Menariknya pemohon sebelumnya mengajukan permohonan pengujian UU32/2004 yang diubah dengan UU 12/2008, terkait dengan calon independen untuk Gubernur dan Bupati/walikota. Permohonan tersebut dikabulkan oleh MK, sehingga pemohon menjadikan putusan tersebut (Putusan No. 5/PUU-V/2007) sebagai yurisprudensi. 112 Dimohonkan oleh Moh. Tanwir Abdur Rahman, pemohon mendalilkan bahwa dia diberlakukan secara diskriminatif untuk dapat melakukan pengabdian terhadap negara akibat pembatasan capres yang harus diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol. 107
156
Demokrasi Konstitusional
Dari argumentasi yang dikemukakan MK dalam pertimbangan hukum putusan-putusannya yang menolak kehadiran pasangan calon presiden independen, dapat dirangkum dalam beberapa pendapat berikut: Pertama, frase “parpol atau gabungan parpol� dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 secara tegas bermakna bahwa hanya parpol atau gabungan parpol yang dapat mengusulkan pasangan capres dan/atau cawapres dalam Pilpres. Dengan demikian tidak ada peluang bagi interpretasi lain. Pada saat pembahasan di MPR, sempat diusulkan adanya capres independen, namun tidak disetujui oleh MPR (vide Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, Buku IV “Kekuasaan Pemerintahan Negara� jilid 1, hlm 165-360 sebagaimana dikutip oleh MK dalam Putusan No. 56/PUU-VI/2008 paragraf 3.15.3). Kedua, jika Pasal 6A ayat (2) ditafsirkan sedemikian rupa sehingga memungkinkan capres indepen maka hal itu bertentangan dengan makna yang dimaksudkan oleh MPR, artinya pula MK telah mengubah UUD 1945 yang berarti bertentangan dengan kewenangan MK itu sendiri. Pengusulan calon presiden oleh partai politik menunjukkan bahwa sistem politik yang dibangun mengacu pada sistem komunal/kolegial, bukan berlandaskan pada sistem individual (perseorangan). Untuk menjadi presiden atau wakil presiden merupakan hak setiap warga negara untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. Pencalonan oleh parpol merupakan tata cara yang tentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang tidak menegasikan hak tersebut (Vide Putusan No. 46/PUUXI/2013, paragraf 3.19 dan 3.24). Berangkat dari sejumlah argumentasi yang ditandaskan MK dalam putusan-putusannya, sikap 157
Demokrasi Konstitusional
berbeda MK terhadap calon independen kepala daerah dan calon presiden independen, membawa pada beberapa kesimpulan berikut: Pertama, calon presiden independen tidak dimungkinkan sedangkan calon kepala daerah independen dimungkinkan karena dilihat dari bunyi pengaturan di konstitusi. Pasal 6A ayat (2) dengan jelas membatasi mekanisme pencalonan presiden (hanya melalui partai politik atau gabungan partai politik), sedangkan untuk mekanisme pencalonan kepala daerah tidak dibatasi (diserahkan kepada pembentuk undang-undang). Kedua, untuk calon kepala daerah, karena merupakan kebijakan hukum terbuka maka baik dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik maupun calon perseorangan, sama-sama konstitusional sepanjang diatur di dalam undang-undang. B.7. Hak untuk mengawasi pemerintahan Bagaimana pandangan MK terhadap partisipasi warga negara dalam politik bisa kita temukan pada beberapa putusannya tentang hak angket (Putusan Nomor 8/PUUVIII/2010, tanggal 31 Januari 2011), putusan tentang hak menyatakan pendapat (Putusan Nomor 23-26/PUUVIII/2010, tanggal 12 Januari 2011) dan putusan tentang pemakzulan. Meskipun putusan-putusan tersebut menyangkut hubungan DPR dan Presiden, namun MK berpandangan bahwa warga negara berhak melakukan kontrol dan memiliki kerugian konstitusional. Oleh karenanya MK mengabulkan legal standing para pemohon. Tentang hak pengawasan warga negara ini, di kedua putusan tersebut MK menyatakan: “Hak warga negara untuk mengontrol jalannya pemerintahan negara tidak serta merta hilang, atau beralih kepada para wakil rakyat dengan dipilihnya 158
Demokrasi Konstitusional
anggota DPR, DPD maupun DPRD. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang berhak mengontrol atau mengawasi jalannya pemerintahan negara, akan kehilangan konstitusionalnya apabila tidak diberi kedudukan hukum (legal standing) karena pembentuk UU telah ternyata tidak melakukan koreksi terhadap produk hukum yang telah dibuatnya (paragraf 3.9 pada putusan 8/2010 dan paragraf 3.5.5. pada putusan 2326/2010). Pendapat ini didasarkan pada prinsip negara hukum yang mencakup supremasi hukum (supremacy of law), persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law), segala tindakan negara harus berdasar atas hukum dan melalui proses hukum (due process of law), pembatasan kekuasaan, perlindungan hak asasi manusia, menjalankan prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, dan kontrol sosial serta berorientasi pada upaya mewujudkan tujuan bernegara untuk membangun kesejahteraan umum (welfare state). Atas dasar prinsip tersebut, ada beberapa bentuk partisipasi warga negara, antara lain: ikut mengontrol jalannya pemerintahan negara berdasarkan hukum, baik secara langsung dalam bentuk penyampaian pendapat dan pikiran tentang jalannya pemerintahan negara, ikut memilih dalam menentukan pemimpin negara serta mengajukan permohonan pengujian UU ke MK untuk meluruskan jalannya pemerintahan negara, maupun secara tidak langsung melalui mekanisme perwakilan rakyat yaitu DPR, DPD dan DPRD. B.8. Hak untuk menyatakan pendapat Salah satu latar belakang lahirnya gerakan reformasi yang kemudian mengantar pada reformasi konstitusi dan 159
Demokrasi Konstitusional
tatanan politik adalah karena pada masa lalu telah terjadi pelanggaran HAM dalam bentuk kekerasan-kekerasan politik yang antara lain berupa pelanggaran atas kebebasan berekspresi. Pada saat itu kebebasan pers dipasung, kebebasan berorganisasi dikekang, bahkan kebebasan akademik-ilmiah juga dipagari dengan restriksi yang sangat merugikan upaya pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Putusan Nomor 9/PUUVII/2009, 30 Maret 2009, paragraf 3.15). Sejak era reformasi negara telah memberikan jaminan yang tegas atas perlindungan kebebasan untuk menyatakan pendapat baik dengan lisan maupun tulisan sebagai hak konstitusional warga negara dan lembagalembaga kemasyarakatan. Jaminan tersebut diberikan mulai dengan pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan segala bentuknya sebagaimana dimuat di dalam UU 40/1999 tentang Pers yang kemudian diperkuat posisinya melalui ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Tahapan perkembangan demokratisasi menuju konsolidasi yang sedang berlangsung di Indonesia, didukung sepenuhnya oleh kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, kebebasan untuk menyimpan dan menyebarkan informasi, serta kebebasan untuk memperoleh informasi. Baik secara akademis maupun non-akademis, yang disiarkan media pers maupun dengan media lain, maka kebebasan demikian di ranah publik menjadi salah satu kontrol sosial dan penyeimbang (check and balances) (Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, 30 Maret 2009, paragraf 3.17). Atas dasar argumentasi tersebut, MK telah membatalkan ketentuan-ketentuan yang memberikan ancaman hukum terhadap kebebasan maupun kegiatan 160
Demokrasi Konstitusional
ilmiah yang lain (seperti survei). Tentang kebebasan pers, MK berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan yang memberikan sanksi terhadap pers seperti Pasal 98 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)113 serta Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2)114 UU 10/2008 harus dinyatakan inkonstitusional, yaitu bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945 (Putusan Nomor 32/PUU-VI/2008, tanggal 24 Pebruari 2009, paragraf 3.18). Pada putusannya yang lain (Putusan Nomor 005/PUU-I/2003) MK menyatakan bahwa penjatuhan sanksi, terlebih lagi sanksi yang mematikan seperti pencabutan izin penyiaran, harus mengindahkan asas “due process of law�. Terkait dengan kebebasan akademis, MK berpendapat bahwa di dalam peraturan perundang-undangan tentang perguruan tinggi telah ditegaskan berlakunya prinsip kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik. Kebebasan akademik adalah kebebasan untuk melakukan penelitian atau kegiatan ilmiah sesuai dengan prinsipprinsip dan metode ilmiah, sedangkan kebebasan mimbar akademik adalah kebebasan untuk mengolah dan mengumumkan temuan atau informasi ilmiah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa boleh dihalangi oleh siapapun, kecuali dengan tujuan yang jelas-jelas 113
Pasal 98 ayat (2) UU 10/2008 : Dalam hal terdapat bukti pelanggaran atas ketentuan dalam pasal 93, 94 dan 95 Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan pers menjatuhkan sanksi sebagaimana diatur dalam UU ini. Ayat (3): penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada KPU dan KPU propinsi. Ayat (4) dalam hal KPI atau Dewan Pers tidak menjatuhkan sanksi sebagaimana dimaksud oada ayat (3) dalam jangka waktu 7 (tujuh) dari sejak ditemukan bukti pelanggaran kampanye, KPU, KPU propinsi dan KPU Kab/Kota menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye. 114
Pasal 99 ayat (1): Sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (2) daoat berupa: a) teguran tertulis; b) oengehntian sementara mata acara yang bermasalah; c) pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran dan iklam kampanye Pemilu; d) denda; e) pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye Pemilu untuk waktu tertentu atau f) pencabutan izin penerbitan media massa cetak. Ayat (2) : ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan pemberian sanksi sebagaimana dimaskud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPI atau Dewan Pers bersama KPU.
161
Demokrasi Konstitusional
melanggar hukum (Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, 30 Maret 2009, paragraf 3.16). Terkait dengan survei hasil Pemilu, MK berpandangan bahwa meskipun tidak dilakukan oleh akademisi atau civitas akademika perguruan tinggi, kegiatan survei atau perhitungan cepat tentang hasil Pemilu merupakan kegiatan berbasis ilmiah yang juga harus dilindungi dengan jiwa dan prinsip kebebasan akademik-ilmiah dan kebebasan mimbar akademik-ilmiah karena hal tersebut dijamin bukan saja oleh pasal 31 ayat (1), ayat (3) dan ayat (5) UUD 1945 tetapi juga oleh pasal 28F UUD 1945 yang memuat jaminan kebebasan untuk menggali, mengolah dan mengumumkan informasi termasuk informasi ilmiah. Survei maupun penghitungan cepat dengan menggunakan metode ilmiah adalah suatu bentuk pendidikan, pengawasan dan penyeimbang dalam proses penyelenggaraan Negara termasuk Pemilu (Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, 30 Maret 2009, paragraf 3.16 dan 3.18). Tentang kekhawatiran bahwa hasil survei dan penghitungan cepat dapat menimbulkan kekisruhan dan mempengaruhi masyarakat pada masa tenang menjelang Pemilu, MK menolaknya dan menyatakan bahwa kekhawatiran tersebut tidak faktual dan agak mundur. Seandainyapun pengumuman hasil survei dan penghitungan cepat bertendensi menguntungkan atau merugikan salah satu kontestan peserta Pemilu, maka surveior atau lembaga penyelenggaranya bisa dikenakan pasal 89 UU 10/2008 dan sanksi yang menyertainya. Selain itu, sejauh ini tidak ada data yang akurat untuk menunjukkan bahwa pengumuman cepat hasil quick count telah mengganggu ketertiban umum atau menimbulkan 162
Demokrasi Konstitusional
keresahan masyarakat, sebab sejak awal hasil quick count tersebut memang tidak dapat disikapi sebagai hasil resmi (Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, paragraf 3.20). Jika pelarangan pengumuman hasil survei dalam masa tenang didasarkan pada alasan ketertiban umum, keadilan bagi peserta Pemilu dan keamanan serta mencegah konflik antar peserta Pemilu, menurut MK hal tersebut bisa ditempuh dengan menggunakan instrumen hukum yang relevan. Jika pelarangan tersebut didasarkan pada pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis, menurut MK pembatasan tersebut tidak melalui perumusan delik formil, yaitu melarang perbuatannya, melainkan dengan melarang akibatnya (delik materiil) untuk dipertimbangkan sendiri oleh penyelenggara survei (Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, paragraf 3.21). Dalam UU 10/2008, survei masuk bab tentang partisipasi masyarakat (bukan bab tentang kampanye), artinya survei dan lembaga survei harus independen dan bukan bagian dari strategi kampanye satu peserta Pemilu. Sebagai kegiatan ilmiah, dalam melakukan pengumuman hasil survei, lembaga survei harus tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan masa tenang dalam kampanye Pemilu. Dengan demikian, ketentuan yang melarang pengumuman hasil survei pada masa tenang sebagaimana diatur pada pasal 245 ayat (2) UU 10/2008115 bisa diterapkan sepanjang bermuatan rekam jejak atau bentuk lain yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu yang sudah diatur dalam pasal 89 ayat (5) UU 10/2010. Begitu pula ketentuan yang hanya membolehkan pengumuman hasil penghitungan cepat 115
Pasal 245 ayat (2) UU 10/2008 : pengumuman hasil survey atau jajak pendapat tidak boleh dilakukan pada masa tenang.
163
Demokrasi Konstitusional
paling cepat pada hari berikutnya sebagaimana diatur pada pasal 245 ayat (3) UU 10/2008, menurut MK tidak sesuai dengan hakikat suatu penghitungan cepat dan menghambat hak seseorang untuk mengetahui (right to know). Hasil penghitungan suara tidak akan mempengaruhi kebebasan pemilih untuk menjatuhkan pilihannya karena penghitungan cepat pasti dilakukan setelah pemungutan suara. Atas argumentasi tersebut, ketentuan tentang ancaman pidana maupun denda harus dianggap tidak relevan (Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, paragraf 3.24 dan 3.25). C. Kesimpulan: 1 ciri (substansial) demokrasi konstitusional Argumen-argumen MK yang diuraikan pada bab ini bermuara pada hak berpolitik warga negara. Di satu sisi, konstitusi memberikan perlindungan terhadap hak berpolitik, di sisi lain konstitusi sekaligus memberikan batasan. Penjelasan MK tentang hal tersebut dapat diringkas sebagai berikut: 1. Perlindungan Hak Berpolitik Ada tiga bentuk hak berpolitik yang diputuskan oleh MK, yaitu hak untuk memilih, hak untuk dipilih dan hak untuk mengawasi pemerintahan. Premisnya adalah hak politik merupakan hak konstitusional dan prosedur harus diabdikan kepada pemenuhan hak konstitusional tersebut. Implikasinya: a. Pemilih yang tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT) tetap boleh memilih dengan menggunakan KTP atau paspor yang masih berlaku. Ini berlaku baik untuk Pemilu maupun 164
Demokrasi Konstitusional
Pilkada (Vide Putusan No. 102/PUU-VII/2009 dan Putusan No. 85/PUU-X/2012). b. Tidak ada pembenaran apapun bagi ketentuan yang mengandung nuansa hukuman politik. c. Pengakuan dan perlindungan terhadap tindakan afirmatif. Konstitusionalitas kebijakan khusus ini sudah pernah diputuskan dalam isu kuota 30% bagi calon anggota legislatif perempuan (Vide Putusan No. 22-24/PUU-VI/2008) dan perlakuan khusus bagi warga asli Papua dalam penyelenggaraan pemerintahan di Papua (Vide Putusan No. 116/PUU-VII/2009). d. Hak warga negara untuk mengontrol jalannya pemerintahan negara tidak serta merta hilang, atau beralih kepada para wakil rakyat dengan dipilihnya anggota DPR, DPD maupun DPRD. Kontrol tersebut misalnya dilakukan melalui penyampaian pendapat dan pikiran tentang jalannya pemerintahan negara, ikut memilih dalam menentukan pemimpin negara, mengajukan permohonan pengujian UU ke MK untuk meluruskan jalannya pemerintahan negara, melakukan survei dan penghitungan cepat hasil Pemilu, maupun secara tidak langsung melalui mekanisme perwakilan rakyat yaitu DPR, DPD dan DPRD (Vide Putusan Nomor 8/PUUVIII/2010, Putusan Nomor 23-26/PUU-VIII/2010 dan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009). 2. Pembatasan Terhadap Hak Berpolitik Meskipun berpolitik adalah hak asasi yang dilindungi oleh konstitusi, hak berpolitik merupakan hak yang bisa dibatasi. Prinsipnya pembatasan dapat dilakukan dengan 165
Demokrasi Konstitusional
tujuan untuk menjamin pengakuan dan penghormatan hak itu sendiri dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Bukan pertimbangan politis. Ada beberapa model pembatasan hak politik, yaitu: a. Umumnya pembatasan dilakukan karena alasan ketidakcakapan (misalnya karena faktor usia atau sakit jiwa) dan ketidakmungkinan (karena dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap). Pembatasan semacam ini berlaku untuk individu dan bukan kolektif (Vide Putusan No. 011-017/PUU-I/2003). b. Terhadap kriminal non politik, pembatasan hak politik dinilai konstitusional dengan beberapa syarat. Pertama, tindak pidana yang dilakukan bukan tindak pidana yang bersifat kealpaan ringan dan bukan karena alasan perbedaan pandangan politik. Kedua, jabatan yang dimasuki bukan jabatan yang dipilih (elected official). Pembatasan terhadap jabatan yang dipilih diperbolehkan jika pencabutan dilakukan melalui putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Ketiga, jangka waktunya dibatasi selama lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya. Keempat, terpidana secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Kelima, orang yang bersangkutan bukan pelaku kejahatan yang berulangulang (Vide Putusan No. 4/PUU-VII/2009). c. Terhadap Pegawai Negeri Sipil, pembatasan hak berpolitik dalam bentuk kewajiban mengundurkan diri dari status PNS jika mencalonkan diri dalam suatu rekrutmen politik. Pembatasan ini diatur di dalam ketentuan yang mengatur birokrasi pemerintahan. 166
Demokrasi Konstitusional
Pembatasan seperti ini konstitusional. (Vide Putusan No. 45/PUU-VIII/2010). d. Terhadap calon presiden independen, pembatasan diberikan dalam tahap pencalonan. Premisnya adalah menjadi calon presiden atau wakil presiden adalah hak asasi tetapi pencalonannya harus melalui partai politik. Pembatasan ini konstitusional karena dinyatakan secara tegas di dalam pasal 6 UUD 1945 (Vide Putusan No. 007/PUU-II/2004, Putusan No. 054/PUU-II/2004, Putusan No. 057/PUU-III/2004, Putusan No. 23/PUUVI/2008, Putusan No. 56/PUU-VI/2008, Putusan No. 51-52-59/PUU/2008, Putusan No. 26/PUU-VII/2009, Putusan No. 38/PUU-X/2012 dan Putusan No. 46/PUU-XI/2013). e. Terhadap kebijakan afirmasi Batasan quota perempuan hanya pada tahap pencalonan, sedangkan pada tahap perolehan suara kembali kepada sistem suara terbanyak.
167
Demokrasi Konstitusional
168
Demokrasi Konstitusional
BAB V ‘demokrasi konstitusional’ Indonesia pasca amandemen UUD 1945: pengertian, rasionalitas dan status saat ini “Demokrasi juga merupakan grammar baru politik untuk menata-kembali hubungan-segitiga yang problematis antara negara, bangsa dan rakyat” (B.Herry-Priyono) A. Pengantar Uraian pada bab ini akan bertolak dari pertanyaan penelitian: (1) apa pengertian demokrasi konstitusional menurut MK; (2) bagaimana MK menalar pengertian demokrasi konstitusional; (3) apa status demokrasi konstitusional saat ini? Uraian pada bab ini tidak akan diakhiri dengan kesimpulan. B. Pengertian ‘demokrasi konstitusional’ menurut MK Pengertian demokrasi konstitusional bukan dalam bentuk rumusan definitif, melainkan melalui identifikasi ciri-ciri yang bertolak dari pemilahan dua tipologi demokrasi (prosedural dan substansial). Jika bab Bab III sudah menemukan 4 (empat) ciri demokrasi konstitusional dan pada Bab IV sudah menemukan 1 (satu) ciri demokrasi konstitusional, maka pada bab ini akan menambahkan 1 lagi ciri (prosedural) demokrasi konstitusional yang ditemukan dari pernyataan implisit. Penelitian ini menemukan 6 (lima) ciri demokrasi konstitusional, yang bisa digambarkan sebagai berikut:
169
Demokrasi Konstitusional Gambar 3: Ciri demokrasi konstitusional
Keenam ciri tersebut terdiri dari: 1 ciri bertolak dari demokrasi substansial dan 5 ciri yang bertolak dari tipologi demokrasi prosedural. Yang bertolak dari tipologi demokrasi substansial adalah perlindungan hak berpolitik. Dari keenam ciri tersebut, hanya 1 ciri yang pengungkapannya secara implisit, yaitu adanya penegakan etika penyelenggara Pemilu. Berdasarkan 6 ciri tersebut, penelitian ini berkesimpulan bahwa demokrasi konstitusional –pada isu kepemiluan- cenderung lebih dominan pada demokrasi prosedural. Tetapi ini adalah gejala yang wajar karena isu Pemilu merupakan bentuk konkrit dari demokrasi prosedural. Apakah pada selain isu kepemiluan menunjukkan kecenderungan yang sama atau berbalik? 170
Demokrasi Konstitusional
Pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab melelui penelitian lebih lanjut. Penelitian ini mengkontribusikan pengantar untuk penelitian lebih lanjut tersebut. Penjelasan dari masing-masing ciri secara ringkas, bisa diuraikan sebagai berikut: Tabel 15: Ciri demokrasi konstitusional berdasarkan dua tipologi demokrasi
1.
Demokrasi prosedural Adanya penyelenggara Pemilu yang mandiri, dengan indikator: a. Penyelenggara Pemilu tidak berpihak pada salah satu peserta; b. Parpol tidak boleh bertindak sebagai penyelenggara Pemilu; c. Adanya lembaga pengawas yang mengawasi tindakan penyelenggara Pemilu; d. Adanya Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku etik penyelenggara Pemilu; e. Pnyelenggara Pemilu tidak bertanggungjawab kepada peserta Pemilu;
1.
Demokrasi Substansial Adanya perlindungan terhadap hak berpolitik, dalam bentuk: a. Pemilih yang tidak terdaftar di DPT tetap boleh memilih dengan menggunakan KTP atau Paspor yang masih berlaku. Ketentuan ini berlaku unuk Pemilu maupun Pilkada; b. Tidak ada pembenaran apapun bagi ketentuan yang mengandung nuansa hukuman politik; c. Pengakuan terhadap tindakan afirmasi terhadap perempuan dalam pemilihan legislatif. d. Hak warga untuk mengontrol jalannya pemerintahan Negara tidak serta merta hilang atau beralih kepada para wakil rakyat dengan dipilihnya anggota DPR, DPD maupun DPRD. Hak tersebut dilakukan melalui penyampaian pendapat dan pikiran tentang jalannya pemerintahan, ikut memilih dalam menentukan pemimpin Negara, mengajukan permohonan pengujian UU ke MK, melakukan survei dan penghitungan cepat hasil Pemilu.
171
Demokrasi Konstitusional 2.
3.
4.
172
Ada pemisahan antara Pemilu dan Pemilukada. Pemilukada tidak termasuk rezim Pemilu melainkan rezim pemerintah daerah. Pemisahan ini berimplikasi pada penyelenggara dan badan penyelesaian sengketa hasil Pilkada. Parpol memiliki posisi konstitusional yang lebih kuat dibandingkan perorangan. Adanya prinsip mengawasi dan seimbang (check and balance) antara kekuasaan legislatif kepada eksekutif.
2.
Adanya pembatasan terhadap hak berpolitik yang berlaku untuk individu (bukan kolektif), dengan beberapa model antara lain: a. Terhadap hak berpolitik bagi mantan narapidana non-politik, syarat pembatasan adalah: 1) Tindak pidana yang dilakukan bukan tindak pidana yang bersifat kealpaan ringan dan bukan karena alasan perbedaan pandangan politik; 2) Jabatan yang dimasuki bukan jabatan yang dipilih (elected official). Pembatasan terhadap jabatan yang dipilih diperbolehkan jika pencabutan dilakukan melalui putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap; 3) Jangka waktunya dibatasi selama lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya. 4) Terpidana secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. 5) Orang yang bersangkutan bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang. b. Terhadap hak berpolitik bagi PNS, batasannya dalam bentuk kewajiban mengundurkan diri status PNS jika mencalonkan diri dalam suatu rekrutmen politik.
Demokrasi Konstitusional c.
d.
Terhadap hak untuk mencalonkan diri menjadi calon presiden/wakil presiden, batasannya dalam bentuk tata cara pencalonan, yakni harus melalui Parpol atau gabungan Parpol. Terhadap kebijakan afirmatif perempuan, batasannya adalah bahwa quota 30% hanya berlaku pada tahap pencalonan, sedangkan pada tahap perolehan suara yang berlaku adalah sistem suara terbanyak.
Sumber: diolah dari paparan Bab III dan Bab IV
Di atas telah disinggung bahwa satu ciri demokrasi konstitusional yang pengungkapannya secara implisit adalah pentingnya aspek penegakan etika dalam demokrasi prosedural, yang bentuk konkritnya adalah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). ‘Etika’ yang dimaksud di sini adalah Pedoman Perilaku (Kode Etik), bukan ‘sistem nilai’ dalam arti nilai-nilai moral yang menjadi pedoman penilaian baik-buruknya perilaku manusia maupun ‘filsafat moral’ dalam arti ilmu yang melakukan refleksi kritis dan sistematis tentang moralitas. Sebagai diketahui bahwa kata “etika” berasal dari kata Yunani “ethos” yang artinya “adat kebiasaan, watak atau kelakuan manusia”. Secara etimologis, kata “etika” sebenarnya sama dengan kata “moral”, berasal dari kata Latin “mos” atau “moris”, yang artinya adat kebiasaan. J. Sudarminta dalam bukunya yang berjudul Etika Umum116 mengatakan bahwa dalam pemakaian sehari-hari 116
J. Sudarminta, Etika Umum. Kajian tentang beberapa masalah pokok dan teori etika normatif, Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STF Driyarkara, Jakarta, 2010, hlm 3.
173
Demokrasi Konstitusional
sekurang-kurangnya dapat dibedakan tiga arti kata “etika”. Pertama, etika sebagai “sistem nilai”, dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan hidup atau sebagai pedoman penilaian baik-buruknya perilaku manusia baik secara individual maupun sosial dalam suatu masyarakat. Contohnya “etika jawa” dan “etika protestan”. Kedua, etika sebagai “kode etik”, dalam arti kumpulan norma dan nilai moral yang wajib diperhatikan oleh pemegang profesi tertentu, contoh “etika kedokteran” atau “etika jurnalistik”. Ketiga, etika sebagai filsafat moral, dalam arti ilmu yang melakukan refleksi kritis dan sistematis tentang moralitas. Secara historis, isu etika politik sudah diperdebatkan oleh para pendiri bangsa. Saafroedin Bahar dan Nanie Hudawati117 mencatat bahwa ada empat amanah pendiri bangsa, yaitu: konteks filsafati, konteks kesejarahan, pentingnya etika politik dan etika pemerintahan dan terakhir konteks dinamika kenegaraan. Etika politik dan etika pemerintahan tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, Umum, angka IV: “Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara adalah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan. Meskipun demikian UUD yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara, para pemimpin pemerintah itu bersifat perseorangan, UUD tadi tentu tida ada artinya dalam praktik. Sebaliknya meskipun UUD itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para penyelenggara pemerintahan baik, UUD itu tentu tidak 117
Sekretarian Negara Republik Indonesia, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Jakarta, 1998, hlm liii
174
Demokrasi Konstitusional
akan merintangi jalannya negara tadi. Jadi yang paling penting ialah semangat. Maka semangat itu hidup, atau dengan lain perkataan dinamis�. Selanjutnya Saafroedin Bahar dan Nanie Hudawati menuliskan bahwa kaidah yang sangat bersifat moralistik, idealistik serta komunitarian ini jelas merupakan sumbangan wawasan kultur politik tradisional. Unsur modern dari wawasan ini lebih bernuansa yuridis, seperti tercermin dalam Pasal 9 UUD 1945 tentang Sumpah Jabatan Presiden, UU serta peraturan pelaksanaanya dengan selurus-lurusnya dan seadil-adilnya. Dalam perkembangannya persoalan etika ini dikukuhkan dalam peraturan perundangan, sehingga etika menjadi hukum positif, contohnya Tap MPR No. VI/MPR/2002 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Namun demikian, persoalan muncul karena walaupun di setiap sektor kenegaraan dan pemerintahan selalu ada tata tertib dan pedoman organisasi yang bersifat internal, meskipun di setiap organisasi masyarakat memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, namun umumnya tidak dilengkapi dengan Kode Etik. Kalaupun ada Kode Etik -bersama pedoman organisasi yang lain-, namun belum sungguh-sungguh dipatuhi. Hal ini karena pedoman etika tersebut tidak dilengkapi dengan mekanisme dan lembaga penegak etika118. Bagaimana MK membangun argumentasi tentang Dewan Kehormatan sebagai wujud dari etika demokrasi, bisa digambarkan sebagai berikut:
118
Jimly Assidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, 2003, hlm 304
175
Demokrasi Konstitusional Gambar 4: Alur pembentukan argumentasi tentang DKPP sebagai wujud etika dalam demokrasi konstitusional
Dari alur tersebut, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Menafsirkan penyelenggara Pemilu Berawal dari siapa penyelenggara Pemilu, pada tahun 2010 MK menafsirkan frase ‘komisi penyelenggara Pemilu’ pada Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Inti dari tafsir MK adalah bahwa ‘komisi penyelenggara Pemilu’ bukan sebuah lembaga melainkan sebuah fungsi, artinya secara konstitusional dimungkinkan ada lembaga lain selama tugasnya masih berada 176
Demokrasi Konstitusional
dalam satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu, seperti tugas pengawasan pelaksanaan Pemilu dan tugas pengawasan penyelenggara Pemilu (Vide Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010). Tafsir ini mempengaruhi perubahan substansi UU yang mengatur tentang mekanisme rekrutmen anggota Bawaslu. Jika sebelumnya anggota panwas diusulkan oleh KPU lalu ditetapkan oleh Bawaslu menjadi dipilih dan ditetapkan oleh Bawaslu sendiri. Dengan kalimat lain perubahannya adalah jika sebelumnya posisi Bawaslu berada dibawah KPU berubah menjadi setara dengan KPU. 2. Menetapkan posisi DKPP Masih tentang siapa penyelenggara Pemilu, MK juga memutuskan keberadaan Badan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (selanjutnya disebut DKPP) –yang pada UU 22/2007 merupakan alat kelengkapan di internal KPU- diubah menjadi lembaga yang posisinya setara dengan KPU dan Bawaslu karena sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu. Artinya DKPP juga harus memiliki watak mandiri, tetap (bukan ad hoc) dan nasional seperti KPU dan Bawaslu. 3. Menetapkan komposisi keanggotaan DKPP MK menolak keberadaan wakil pemerintah dan DPR di dalam DKPP karena berpotensi mengancam independensi penyelenggara Pemilu. Bahkan ketika tafsirnya tentang DKPP tidak diindahkan oleh DPR, MK membuat norma sendiri tentang komposisi DKPP, yaitu 1 (satu) orang dari KPU, 1 (satu) orang dari Bawaslu dan 5 (lima) 177
Demokrasi Konstitusional
orang dari tokoh masyarakat. Meski demikian, anggota DKPP yang berasal dari tokoh masyarakat tetap direkrut oleh DPR dan Presiden (Vide Putusan MK No. 81/PUU-IX/2011). Sikap MK terhadap DKPP ini mempengaruhi substansi UU khususnya yang mengatur tentang DKPP. Pada tanggal 12 Juni 2012 DKPP sudah dibentuk berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2011, dengan komposisi keanggotaan yang terdiri dari tiga perwakilan unsur DPR yakni Jimly Asshiddiqie, Nur Hidayat Sardini, dan Saut Hamonangan Sirait, sedangkan unsur pemerintah Abdul Bari Azed dan Valina Singka Subekti, serta dari unsur penyelenggara KPU dan Bawaslu, Ida Budhiati, dan Nelson Simanjuntak119. Selanjutnya DKPP bersama-sama KPU dan Bawaslu merumuskan substansi Kode Etik, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Bersama KPU, Bawaslu dan DKPP Nomor 13-11-1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu, yang disahkan pada tanggal 1 September 2012. Peraturan Bersama ini menggantikan Peraturan KPU Nomor 31 Tahun 2008 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu, seturut dengan perubahan posisi Bawaslu dan DKPP yang menjadi setara dengan KPU. Secara hierarki peraturan perundangan –sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata urutan peraturan perundangan- Kode Etik merupakan peraturan yang levelnya paling rendah. Dia merupakan pelaksanaan dari peraturan yang lebih tinggi. Konsisten dengan hal tersebut, pada konsideran ‘menimbang’ Kode Etik Penyelenggara Pemilu ini disebutkan bahwa Kode 119
http://dkpp.go.id/index.php?mod=static&page=sejarah, diakses pada 22 Desember 2013.
178
Demokrasi Konstitusional
Etik ini ditetapkan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 122 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, yang berbunyi: “Kode Etik Penyelenggara Pemilu dan Pedoman Tata Laksana Penyelenggaraan Pemilu dibentuk dalam peraturan bersama antara KPU, Bawaslu, dan DKPP�. Namun jika kita memperhatikan substansinya, kita akan menemukan betapa luasnya kewajiban etis penyelenggara Pemilu. Moralitas penyelenggara Pemilu bukan hanya ditentukan oleh kemandiriannya sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 22E UUD 1945, tetapi juga prinsip-prinsip moral yang ditentukan di dalam Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Tap MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa , UU, sumpah/janji jabatan dan asas penyelenggara Pemilu. Materi Kode Etik Penyelenggara Pemilu ini juga mempertegas dan menjabarkan tafsir MK tentang penyelenggara Pemilu. Secara teknis penulisan peraturan (legal drafting), kewajiban etik penyelenggara Pemilu dibagi menjadi dua, yaitu kewajiban yang merupakan prinsip dasar etika (yang bersumber dari Pancasila, UUD, Tap MPR) dan kewajiban yang merupakan pelaksanaan dari asas penyelenggara Pemilu (yang disebutkan dalam Pasal 2 UU 16/2011 tentang Penyelenggara Pemilu). Kewajiban yang merupakan prinsip dasar etika, diatur di dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9, yang berbunyi: Pasal 6 : a. menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan; 179
Demokrasi Konstitusional
b. menjunjung tinggi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. menunjukkan penghargaan dan kerjasama dengan seluruh lembaga dan aparatur negara untuk kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan d. menjaga dan memelihara nama baik Negara Kesatuan Republik Indonesia. a. b. c.
d. e.
Pasal 7: memelihara dan menjaga kehormatan lembaga Penyelenggara Pemilu; menjalankan tugas sesuai visi, misi, tujuan, dan program lembaga Penyelenggara Pemilu; menjaga rahasia yang dipercayakan kepadanya, termasuk hasil rapat yang dinyatakan sebagai rahasia sampai batas waktu yang telah ditentukan atau sampai masalah tersebut sudah dinyatakan untuk umum sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; menghargai dan menghormati sesama lembaga Penyelenggara Pemilu dan pemangku kepentingan Pemilu; dan melakukan segala upaya yang dibenarkan etika sepanjang tidak bertentangan dengan perundangundangan sehingga memungkinkan bagi setiap penduduk yang berhak memilih terdaftar sebagai pemilih dan dapat menggunakan hak memilihnya.
Pasal 8: a. menjaga dan memelihara penyelenggaraan Pemilu; 180
tertib
sosial
dalam
Demokrasi Konstitusional
b. mengindahkan norma dalam penyelenggaraan Pemilu; dan c. menghormati kebhinnekaan masyarakat Indonesia.
a. b.
c.
d.
e.
f.
g.
Pasal 9: beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; menjunjung tinggi sumpah/janji jabatan dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggungjawabnya; menjaga dan memelihara netralitas, imparsialitas, dan asas-asas penyelenggaraan Pemilu yang jujur, adil, dan demokratis; tidak mengikutsertakan atau melibatkan kepentingan pribadi maupun keluarga dalam seluruh pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajibannya; melaksanakan tugas-tugas sesuai jabatan dan kewenangan yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, undang-undang, peraturan perundang-undangan, dan keputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu; mencegah segala bentuk dan jenis penyalahgunaan tugas, wewenang, dan jabatan, baik langsung maupun tidak langsung; menolak untuk menerima uang, barang, dan/atau jasa atau pemberian lainnya yang apabila dikonversi melebihi standar biaya umum dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) jam, dalam kegiatan tertentu secara langsung maupun tidak langsung dari calon peserta Pemilu, peserta Pemilu, calon anggota DPR dan DPRD, dan tim kampanye; 181
Demokrasi Konstitusional
h. mencegah atau melarang suami/istri, anak, dan setiap individu yang memiliki pertalian darah/semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami/istri yang sudah bercerai di bawah pengaruh, petunjuk, atau kewenangan yang bersangkutan, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, pemberian, penghargaan, dan pinjaman atau bantuan apapun dari pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan Pemilu; i. menyatakan secara terbuka dalam rapat apabila memiliki hubungan keluarga atau sanak saudara dengan calon, peserta Pemilu, atau tim kampanye. Sedangkan kewajiban yang merupakan penjabaran dari asas penyelenggara Pemilu diatur di dalam Pasal 10Pasal 16, sebagaimana tergambar dalam tabel di bawah ini. Tabel 16: Kewajiban berdasarkan asas penyelenggara Pemilu Prinsip Dasar Etika dan Perilaku Mandiri dan Adil a. b.
c.
d.
e.
182
Kewajiban bertindak netral dan tidak memihak terhadap partai politik tertentu, calon, peserta Pemilu, dan media massa tertentu; memperlakukan secara sama setiap calon, peserta Pemilu, calon pemilih, dan pihak lain yang terlibat dalam proses Pemilu; menolak segala sesuatu yang dapat menimbulkan pengaruh buruk terhadap pelaksanaan tugas dan menghindari dari intervensi pihak lain; tidak mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang bersifat partisan atas masalah atau isu yang sedang terjadi dalam proses Pemilu; tidak mempengaruhi atau melakukan komunikasi yang bersifat partisan dengan pemilih;
Demokrasi Konstitusional
f.
g.
h.
i.
j.
k.
Kepastian hukum
a.
b.
c.
d.
tidak memakai, membawa, atau mengenakan simbol, lambang atau atribut yang secara jelas menunjukkan sikap partisan pada partai politik atau peserta Pemilu tertentu; tidak memberitahukan pilihan politiknya secara terbuka dan tidak menanyakan pilihan politik kepada orang lain; memberitahukan kepada seseorang atau peserta Pemilu selengkap dan secermat mungkin akan dugaan yang diajukan atau keputusan yang dikenakannya; menjamin kesempatan yang sama kepada setiap peserta Pemilu yang dituduh untuk menyampaikan pendapat tentang kasus yang dihadapinya atau keputusan yang dikenakannya; mendengarkan semua pihak yang berkepentingan dengan kasus yang terjadi dan mempertimbangkan semua alasan yang diajukan secara adil; tidak menerima hadiah dalam bentuk apapun dari peserta Pemilu, calon peserta Pemilu, perusahaan atau individu yang dapat menimbulkan keuntungan dari keputusan lembaga penyelenggara Pemilu. melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu yang secara tegas diperintahkan oleh peraturan perundangundangan; melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu yang sesuai dengan yurisdiksinya; melakukan tindakan dalam rangka penyelenggaraan Pemilu, menaati prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; dan menjamin pelaksanaan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan Pemilu sepenuhnya diterapkan secara tidak berpihak dan adil.
183
Demokrasi Konstitusional
Jujur, keterbukaan dan akuntabilitas
a.
b.
c.
d.
e. f.
g.
Kepentingan umum a. b. c.
d.
e.
Proporsionalitas
184
a.
menjelaskan keputusan yang diambil berdasarkan peraturan perundang-undangan, tata tertib, dan prosedur yang ditetapkan; membuka akses publik mengenai informasi dan data yang berkaitan dengan keputusan yang telah diambil sesuai peraturan perundang-undangan; menata akses publik secara efektif dan masuk akal serta efisien terhadap dokumen dan informasi yang relevan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; menjelaskan kepada publik apabila terjadi penyimpangan dalam proses kerja lembaga penyelenggara Pemilu serta upaya perbaikannya; menjelaskan alasan setiap penggunaan kewenangan publik; memberikan penjelasan terhadap pertanyaan yang diajukan mengenai keputusan yang telah diambil terkait proses Pemilu; dan memberikan respon secara arif dan bijaksana terhadap kritik dan pertanyaan publik. memberikan informasi dan pendidikan pemilih yang mencerahkan pikiran dan kesadaran pemilih; memastikan pemilih memahami secara tepat mengenai proses Pemilu; membuka akses yang luas bagi pemilih dan media untuk berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan Pemilu; menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemilih untuk menggunakan hak pilihnya atau memberikan suaranya; dan memastikan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung bagi pemilih yang membutuhkan perlakuan khusus dalam menggunakan dan menyampaikan hak pilihnya. mengumumkan adanya hubungan atau keterkaitan pribadi yang dapat menimbulkan situasi konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas penyelenggara Pemilu;
Demokrasi Konstitusional
b.
c.
Profesionalitas, Efisiensi dan Efektivitas
a.
b.
c.
d. e.
f. g.
Tertib
a. b.
c.
d.
menjamin tidak adanya penyelenggara Pemilu yang menjadi penentu keputusan yang menyangkut kepentingan sendiri secara langsung maupun tidak langsung;dan tidak terlibat dalam setiap bentuk kegiatan resmi maupun tidak resmi yang dapat menimbulkan konflik kepentingan. menjamin kualitas pelayanan kepada pemilih dan peserta sesuai dengan standar profesional administrasi penyelenggaraan Pemilu; bertindak berdasarkan standar operasional prosedur dan substansi profesi administrasi Pemilu; bertindak hati-hati dalam melakukan perencanaan dan penggunaan anggaran agar tidak berakibat pemborosan dan penyimpangan; melaksanakan tugas sebagai penyelenggara Pemilu dengan komitmen tinggi; menggunakan waktu secara efektif sesuai alokasi waktu yang ditetapkan oleh penyelenggara Pemilu; tidak melalaikan pelaksanaan tugas yang diatur dalam organisasi penyelenggara Pemilu; dan menggunakan keuangan yang bersumber dari APBN dan APBD atau yang diselenggarakan atas tanggungjawab Pemerintah dalam melaksanakan seluruh kegiatan penyelenggaraan Pemilu. memastikan seluruh informasi yang disampaikan kepada publik berdasarkan data dan/atau fakta; memastikan informasi yang dikumpulkan, disusun, dan disebarluaskan dengan cara sistematis, jelas, dan akurat; memberikan informasi mengenai Pemilu kepada publik secara lengkap, periodik dan dapat dipertanggungjawabkan; dan memberitahu kepada publik mengenai bagian tertentu dari informasi yang belum sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan berupa informasi sementara.
185
Demokrasi Konstitusional Sumber: diolah dari Peraturan Bersama KPU, Bawaslu dan DKPP tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu, Pasal 10- Pasal 16
Kode Etik ini berlaku untuk semua penyelenggara Pemilu (sebagaimana telah ditetapkan oleh MK). Kode Etik ini memerinci bahwa yang dimaksud KPU meliputi anggota KPU Propinsi atau KIP Aceh, KPU Kabupaten/Kota atau KIP Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS,PPLN dan KPPSLN. Sedangkan yang dimaksud Bawaslu meliputi Bawaslu Propinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. Bahkan Kode Etik ini juga berlaku bagi jajaran sekretariat penyelenggara Pemilu (Vide Pasal 2 Kode Etik Penyelenggara Pemilu). Kode Etik ini juga memberikan perincian kewajibankewajiban yang harus dijalankan oleh penyelenggara Pemilu sebagai implikasi dari indikator sifat mandiri (yang juga telah ditetapkan oleh MK). Bukan hanya itu, Kode Etik ini juga memberikan perincian kewajiban yang merupakan implikasi dari sumpah jabatan dan asas-asas penyelenggara Pemilu sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 2 UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, yang terdiri dari mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Sebagai sebuah hukum positif, Kode Etik ini juga memuat sanksi etis jika kewajiban-kewajiban tersebut dilanggar, yang berupa: sanksi teguran tertulis, pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap. Dengan cara apa Kode Etik itu ditegakkan? DKPP sebagai lembaga penegak Kode Etik menetapkan mekanisme ‘peradilan etik’ sebagai cara untuk 186
Demokrasi Konstitusional
menegakkan etika. Yang khas dari ‘peradilan’ adalah ada yang bertindak sebagai hakim yang independen, ada proses verifikasi fakta, ada pembelaan dari orang yang dituduh melanggar etika dan putusannya mengikat dan bisa dieksekusi. Lebih rinci tentang hukum acara peradilan etika tersebut diatur di dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Beberapa substansi pokok dari peraturan ini dapat diringkas sebagai berikut: 1. Hukum acara ini merupakan hasil pembahasan bersama antara DKPP, KPU dan Bawaslu dan konsultasi dengan DPR dan Pemerintah. 2. Dugaan pelanggaran Kode Etik dapat berupa pengaduan/laporan dan atau Rekomendasi DPR. Bedanya adalah siapa yang mengadukan. Disebut pengaduan/laporan jika diajukan oleh penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu, tim kampanye, masyarakat atau pemilih. Para pelapor bisa melaporkan sendiri atau menguasakan kepada orang lain. Sedangkan disebut rekomendasi jika laporan disampaikan oleh DPR. 3. Pengaduan harus memuat identitas pengadu, identitas teradu dan uraian tindakan. Pengaduan harus disertai dengan minimal 2 (dua) alat bukti, yang dapat berupa: keterangan saksi, keterangan ahli, surat/tulisan, petunjuk, keterangan para pihak atau informasi yang dapat dibaca/didengar/dilihat. 4. Pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan kelengkapan administrasi. Jika sudah memenuhi kelengkapan administrasi dilanjutkan dengan ‘verifikasi material’ untuk menentukan apakah pengaduan memenuhi unsur pelanggaran Kode Etik atau tidak. Hasil dari ‘verifikasi material’ ada dua kemungkinan, yakni bisa 187
Demokrasi Konstitusional
terdapat dugaan pelanggaran Kode Etik, bisa juga tidak terdapat dugaan pelanggaran Kode Etik. Selanjutnya pengaduan yang telah memenuhi verfikasi administrasi dan material dicatat dalam buku Registrasi perkara untuk dijadwalkan persidangan. Persidangan yang dilakukan secara terbuka bertugas memeriksa kedudukan hukum pengadu/pelapor, keterangan pengadu/pelapor di bawah sumpah, keterangan dan pembelaan teradu, keterangan saksi di bawah sumpah, keterangan ahli di bawah sumpah, keterang pihak lain yang terkait dan pemeriksaan alat bukti. Tahap selanjutnya adalah rapat pleno DKPP yang dilakukan secara tertib untuk menetapkan putusan. 5. Ada tiga kemungkinan isi putusan DKPP: pengaduan tidak dapat diterima, Teradu terbukti melanggar atau Teradu tidak terbukti melanggar. Dalam hal Teradu terbukti melanggar, maka kemungkinan sanksinya adalah: teguran tertulis, pemberhentian sementara atau pemberhentian tetap. Sedangkan dalam hal Teradu tidak terbukti melanggar, maka DKPP melakukan rehabilitasi kepada Teradu. (vi) Putusan DKPP bersifat final dan mengikat, yang wajib dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari sejak dibacakan. Pelaksanaan putusan DKPP diawasi oleh Bawaslu. (vii) Jika dalam pemeriksaannya DKPP menemukan dugaan pelanggaran lain di luar Kode Etik, maka DKPP menyampaikan rekomendasi kepada lembaga terkait untuk ditindaklanjuti. Sebelum ada putusan-putusan MK tentang DKPP, Kode Etik dan DKPP sudah ada. Yang baru dari putusan MK tentang DKPP adalah menetapkan DKPP sebagai 188
Demokrasi Konstitusional
salah satu penyelenggara Pemilu yang setara dengan KPU dan Bawaslu. Implikasinya DKPP memiliki kewenangan mengawasi perilaku etis KPU dan Bawaslu. Selain itu, DKPP adalah lembaga yang independen sama seperti KPU dan Bawaslu. Implikasinya tidak ada unsur peserta Pemilu (baik pemerintah, DPR maupun parpol) dalam komposisi anggota DKPP. C.
MK menalar ‘demokrasi konstitusional’ Sebagaimana disinggung pada Bab II bahwa cara menalar demokrasi adalah dengan menghadapkan demokrasi dengan ‘yang bukan demokrasi’, misalnya krisis demokrasi, tujuan bernegara atau konsep kepentingan. Jika dihadapkan pada krisis demokrasi, pertanyaannya apakah solusi terhadap krisis demokrasi dicari di dalam demokrasi itu sendiri atau di luar demokrasi. Jika dihadapkan pada tujuan bernegara, pertanyaannya apakah demokrasi merupakan tujuan bernegara itu sendiri atau demokrasi sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan bernegara? Jika dihadapkan pada konsep kepentingan, pertanyaannya adalah apakah demokrasi merupakan konsep kepentingan itu sendiri atau demokrasi sebagai sarana untuk mempertahankan kepentingan. Penelitian ini juga menggunakan dua konsep kepentingan, yaitu kepentingan diri (self-interest) dan kepentingan umum (common-interest). Penelitian ini menemukan bahwa MK menggunakan nalar ‘alat-tujuan’ (means to end) atau biasa disebut nalar instrumental. Namun demikian temuan tentang rasionalitas MK ini tidak bisa dibuktikan pada semua putusan, melainkan dari beberapa putusan yang diperoleh melalui proses abstraksi. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa proses abstraksi dilakukan dengan cara wawancara 189
Demokrasi Konstitusional
dengan narasumber, penilaian peneliti dan persetujuan dari supervisor. Ada dua model rasionalitas ‘sarana-tujuan’ yang ditemukan yaitu: demokrasi prosedural sebagai sarana untuk memenuhi demokrasi substansial dan demokrasi konstitusional (prosedural dan substansial) sebagai sarana untuk mempertahankan prinsip-prinsip konstitusi (prinsip Negara kesatuan, prinsip Republik dan prinsip rule of law). Selanjutnya akan dipaparkan satu per satu. C.1. Demokrasi prosedural sebagai sarana bagi demokrasi substansial Model rasionalitas instrumental yang pertama ini bertolak dari hubungan antara demokrasi prosedural dan demorkasi subsansial, sebagaimana diilustrasikan pada gambar di bawah ini: Gambar 5: Hubungan antara demokrasi prosedural dan demokrasi substansial
Sedikitnya ada 4 premis yang ditemukan: pertama, prosedur administratif tidak boleh mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. Kedua, 190
Demokrasi Konstitusional
pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan hak memilih adalah pelanggaran hak asasi manusia. Ketiga, persyaratan untuk menggunakan hak politik tidak boleh mengurangi hak politik itu sendiri. Keempat, kebijakan afirmatif terhadap perempuan sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Semua premis tersebut merujuk pada argumentasi MK yang kutipan verbatimnya bisa dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 17: Demokrasi prosedural sebagai sarana untuk mempertahankan demokrasi substansial
Nomor Putusan
Bunyi verbatim pertimbangan MK
Putusan Nomor : 102/PUU-VII/2009 dan Putusan Nomor : 011-017/PUUI/2003
Premis 1: Prosedur administratif (dalam hal ini tata cara menggunakan hak pilih) tidak boleh mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya. “ Menimbang bahwa hak-hak warga negara untuk memilih sebagaimana diuraikan di atas telah ditetapkan sebagai hak asasi manusia dan hak konstitusional warga Negara (constitutional rights of citizen), sehingga oleh karenanya hak konstitusional tersebut di atas tidak boleh dihambat atau dihalangi oleh berbagai ketentuan dan prosedur administratif apapun yang mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya� (Putusan Nomor: 102/PUU-VII/2009, paragraf 3.18) “ Menimbang, bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional, maka pembatasan penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga
191
Demokrasi Konstitusional
Putusan Nomor: 102/PUU-VII/2009
Negara” (Putusan Nomor: 011-017/PUU-I/2003, halaman 35) Premis 2: Pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan hak memilih adalah pelanggaran hak asasi manusia. “Mahkamah terlebih dahulu merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUUI/2003 bertanggal 24 Februari 2004 yang telah menegaskan bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (rights to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional, sehingga pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dariwarga Negara” (paragraf 3.13)
Putusan Nomor: 011-017/PUUI/2003
Premis 3: Persyaratan untuk menggunakan hak politik tidak boleh mengurangi hak politik itu sendiri. “Menimbang bahwa berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut di atas dan berdasarkan pula keterangan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat serta alat-alat bukti tertulis, saksi, dan ahli maka ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 yang berbunyi “bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massa, atau bukan orang yang terlibat langsung maupun tak langsung dalam Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia atau organisasi terlarang lainnya”, merupakan pengingkaran terhadap hak asasi warga negara atau diskriminasi atas dasar keyakinan politik, dan oleh karena itu, bertentangan dengan hak asasi yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 28 D ayat (1), ayat (3),
192
Demokrasi Konstitusional dan Pasal 28 I ayat (2)”. Putusan Nomor: 22-24/PUUVI/2008
Premis 4 : afirmasi terhadap perempuan adalah tindakan yang sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. “Diberlakukannya ketentuan Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008, yakni setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang calon perempuan adalah dalam rangka memenuhi affirmative action (tindakan sementara) bagi perempuan di bidang politik sebagaimana yang telah dilakukan oleh berbagai negara dengan menerapkan adanya kewajiban bagi partai politik untuk menyertakan calon anggota legislatif bagi perempuan. Hal ini sebagai tindak lanjut dari Konvensi Perempuan se-Dunia Tahun 1995 di Beijing dan berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi [Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Hak Sipil dan Politik, Hasil Sidang Umum Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman (CEDAW)]” ” ….Dewasa ini, komitmen Indonesia terhadap instrumeninstrumen hak asasi manusia (HAM) yang berhubungan dengan penghapusan segala bentuk diskriminasi perempuan serta komitmen untuk memajukan perempuan di bidang politik telah diwujudkan melalui berbagai ratifikasi dan berbagai kebijakan pemerintah” (paragraf 3.15.1)
Sumber: diolah dari putusan MK
193
Demokrasi Konstitusional
C.2. Demokrasi konstitusional sebagai sarana bagi prinsip-prinsip konstitusional Model rasionalitas instrumental yang kedua ini melihat hubungan antara prinsip demokrasi substansial dengan prinsip-prinsip ketatanegaraan lain yang samasama diatur di dalam UUD 1945, yaitu: prinsip demokrasi konstitusional merupakan alat untuk membela prinsip konstitusional yang lain. Yang dimaksud prinsip konstitusional yang lain, terdiri dari: (i) prinsip bentuk negara (kesatuan); (ii) prinsip bentuk pemerintahan (Republik) dan (iii) prinsip negara berdasar hukum (rule of law). Penelitian ini menempatkan ketiga prinsip tersebut sebagai tujuan dengan tiga alasan. Pertama, UUD 1945 pasca amandemen menetapkan bahwa prinsip bentuk negara (Kesatuan) dan bentuk pemerintahan (Republik) merupakan prinsip yang tidak dapat dilakukan perubahan. Kedua, prinsip rule of law adalah prinsip yang dinaikkan level pengaturannya. Sebelum amandemen prinsip rule of law dimuat dalam penjelasan, sedangkan pada konstitusi pasca amandemen dimuat dalam batang tubuh. Ketiga, sedangkan prinsip demokrasi konstitusional adalah materi yang persis hasil amandemen konstitusi.
194
Demokrasi Konstitusional Gambar 6: Hubungan antara prinsip demokrasi konstitusional dan prinsip-prinsip konstitusional yang lainnya
C.2.1. Demokrasi konstitusional sebagai pilar bagi prinsip negara hukum Prinsip rule of law adalah prinsip yang dinaikkan level pengaturannya. Konstitusi pra amandemen memuat keterangan tentang Negara yang berdasar atas hukum hanya dalam Penjelasan UUD 1945 dan tidak terdapat secara eksplisit dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Mengingat bahwa kultur politik tradisional lebih sering didasarkan pada konsep kekuasaan sentral yang sangat mempribadi, ada suatu kebutuhan obyek untuk mencantumkan asas Negara berdasar atas hukum ini di dalam pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945 itu sendiri120. Pasca amandemen, penegasan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dimuat di dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Menurut Jimly Asshidiqie prinsip negara hukum berarti hukum yang memegang komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Prinsip ini sejalan dengan 120
Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998, hlm li-lii
195
Demokrasi Konstitusional
pengertian ‘nomocratie’ yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum (nomos). Penerapan prinsip negara hukum dilakukan menurut prinsip-prinsip demokrasi, dalam arti hukum tidak dibuat, ditetapkan, ditafsiran dan ditegakkan dengan tangan besi kekuasaan121. Ada enam premis tentang prinsip Negara hukum, yaitu : pertama, negara hukum berarti tidak melanggar peraturan perundangan yang berlaku. Kedua, negara hukum berarti orang tidak bisa diminta bertanggungjawab atas tindakan yang tidak dilakukannya secara langsung. Ketiga, negara hukum berarti tidak ada hukuman yang bernuansa politik. Keempat, negara hukum berarti orang tidak dihukum seumur hidupnya. Kelima, negara hukum adalah legalistik. Keenam, negara hukum berarti negara memberikan perlindungan hukum bagi warga negara untuk menggunakan hak politiknya. Tabel dibawah ini menyajikan kutipan verbatim pertimbangan MK yang memperkuat masing-masing premis yang telah disebutkan. Tabel 18: Demokrasi konstitusional sebagai pilar bagi prinsip negara hukum Nomor Putusan Putusan Nomor: 102/PUUVII/2009
121
Kutipan verbatim perimbangan MK Premis1: Negara hukum berarti tidak melanggar peraturan perundangan yang berlaku. “Menimbang bahwa sebelum memberikan Putusan tentang konstitusionalitas pasal-pasal yang dimohonkan pengujian, agar di satu pihak tidak menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara dan di lain pihak tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Mahkamah perlu
Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, hlm 55-56
196
Demokrasi Konstitusional memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengatur lebih lanjut teknis pelaksanaan penggunaan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT dengan pedoman sebagai berikut:….”(paragraf 3.23). Putusan Nomor: 011-017/PUUI/2003
Premis 2: Negara hukum berarti orang tidak bisa diminta bertanggungjawab atas tindakan yang tidak dilakukannya secara langsung. “Menimbang bahwa suatu tanggungjawab pidana hanya dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada pelaku (dader) atau yang turut serta (mededader) atau yang membantu (medeplichtige), maka adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum, rasa keadilan, kepastian hukum, serta prinsip-prinsip negara hukum apabila tanggungjawab tersebut dibebankan kepada seseorang yang tidak terlibat secara langsung” (halaman 36)
Putusan Nomor: 011-017/PUUI/2003 dan Putusan Nomor: 14-17/PUUV/2007
Premis 3: Negara hukum berarti tidak ada hukuman yang bernuansa politik “….pembatasan hak dipilih seperti ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum tersebut justru karena hanya menggunakan pertimbangan yang bersifat politis. Di samping itu dalam persoalan pembatasan hak pilih (baik aktif maupun pasif) dalam pemilihan umum lazimnya hanya didasarkan atas pertimbangan ketidakcakapan misalnya faktor usia dan keadaan sakit jiwa, serta ketidakmungkinan (impossibility) misalnya karena telah dicabut hak pilihnya oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan pada umumnya bersifat individual dan tidak kolektif” (Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 , halaman 35) “Menimbang bahwa dari sifatnya, yaitu pelarangan terhadap kelompok tertentu warga negara untuk mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 60 huruf g jelas
197
Demokrasi Konstitusional mengandung nuansa hukuman politik kepada kelompok sebagaimana dimaksud. Sebagai negara hukum, setiap pelarangan yang mempunyai kaitan langsung dengan hak dan kebebasan warga negara harus didasarkan atas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap” (Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 , halaman 35-36) “Yang dimaksud kejahatan karena alasan politikdalam hubungan ini terbatas pada perbuatan yang sesungguhnya merupakan ekspresi pandangan atau sikap politik (politieke overtuiging) yang dijamin dalam sebuah negara hukum yang demokratis namun oleh hukum positif yang berlaku pada saat itu dirumuskan sebagai tindak pidana semata-mata karena berbeda dengan pandangan politik yang dianut oleh rezim yang sedang berkuasa” (Putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007, paragraf 3.14. 2) Putusan Nomor: 4/PUU-VII/2009
Premis 4: Negara hukum berarti orang tidak dihukum seumur hidupnya. “….Oleh karena menurut Mahkamah ketentuan Undang-Undang tentang “syarat tidak pernah dijatuhi pidana” telah melanggar UUD 1945 maka Mahkamah berpendirian bahwa ketentuan Undang-Undang ini merupakan ketentuan yang inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional)” (paragraf 3.20) “Norma hukum yang terkandung dalam Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU 10/2008 serta Pasal 58 huruf f UU 12/2008 merupakan norma hukum yang bersifat inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), yaitu tidak konstitusional sepanjang tidak dipenuhi syarat-syarat: (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama 5 (lima) tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang” (Paragraf 4.4)
198
Demokrasi Konstitusional Putusan Nomor: 56/PUU-VI/2008
Premis 5: Negara hukum adalah legalistik, dalam arti sesuai dengan maksud konstitusi dan/ atau bunyi pasal dalam UUD 1945: “ Bahwa frasa “partai politik atau gabungan partai politik”, dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 secara tegas bermakna bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politiklah yang dapat mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, frasa dimaksud tidak memberi peluang adanya interpretasi lain, seperti menafsirkannya dengan kata-kata diusulkan oleh perseorangan (independen) apalagi pada saat pembicaraannya di MPR telah muncul wacana adanya Calon Presiden secara independen atau calon yang tidak diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, tetapi tidak disetujui oleh MPR. Kehendak awal (original intent) dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 jelas menggambarkan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik sajalah yang dapat mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku IV “Kekuasaan Pemerintahan Negara” Jilid 1, halaman 165 – 360)” (Paragraf 3.15.3.angka 4).
Putusan Nomor: 102/PUUVII/2009
Premis 6: Negara hukum berarti negara memberikan perlindungan hukum bagi warga negara untuk menggunakan hak politiknya. “Menimbang bahwa ketentuan yang mengharuskan seorang warga negara terdaftar sebagai pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) lebih merupakan prosedur administratif dan tidak boleh menegasikan hal-hal yang bersifat substansial yaitu hak warga negara untuk memilih (right to vote) dalam pemilihan umum. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat diperlukan adanya solusi untuk melengkapi DPT
199
Demokrasi Konstitusional yang sudah ada sehingga penggunaan hak pilih warga negara tidak terhalangi�; (Paragraf 3.20) “Menimbang bahwa pembenahan DPT melalui pemutakhiran data akan sangat sulit dilakukan oleh KPU mengingat waktunya yang sudah sempit, sedangkan penggunaan KTP atau Paspor yang masih berlaku untuk menggunakan hak pilih bagi Warga Negara Indonesia yang tidak terdaftar dalam DPT merupakan alternatif yang paling aman untuk melindungi hak pilih setiap warga negara. Terkait dengan hal tersebut, Mahkamah memandang bahwa penggunaan KTP atau Paspor yang masih berlaku untuk memilih tidak dapat diberlakukan melalui keputusan atau peraturan KPU; sedangkan bentuk hukum Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) juga beresiko menimbulkan masalah jika ternyata nantinya dibatalkan melalui legislative review pada saat pembahasan dalam masa sidang DPR berikutnya; Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka demi keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum, Mahkamah memutuskan dalam Putusan yang bersifat self executing yang langsung dapat diterapkan oleh KPU tanpa memerlukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) guna melindungi, menjamin, dan memenuhi hak konstitusional warga negara untuk menggunakan hak pilihnya� (Paragraf 3.21) Sumber: diolah dari putusan MK
C.2.2. Demokrasi konstitusional sebagai senjata untuk mempertahankan prinsip negara kesatuan (NKRI) Prinsip konstitusional yang ke-2 yang dipertahankan melalui demokrasi konstitusional adalah prinsip bentuk negara kesatuan (NKRI). Sedikitnya ada dua premis tentang Negara Kesatuan, yaitu: pertama, Negara Kesatuan berarti melakukan rekonsiliasi nasional menuju masa depan yang lebih demokratis dan berkeadilan. 200
Demokrasi Konstitusional
Kedua, Negara Kesatuan berarti melindungi dan menghargai keragaman suku dan bahasa daerah. Pada tabel di bawah ini disajikan kutipan verbatim pertimbangan MK yang membuktikan kedua premis tersebut. Tabel 19: Demokrasi konstitusional sebagai senjata untuk mempertahankan NKRI Nomor Putusan Putusan Nomor: 011-017/PUUI/2003
Putusan Nomor: 116/PUUVII/2009 dan Putusan Nomor: 22-24/PUUVI/2008
Kutipan verbatim pertimbangan MK Premis 1: Negara Kesatuan berarti melakukan rekonsiliasi nasional menuju masa depan yang lebih demokratis dan berkeadilan. “Menimbang bahwa di samping pertimbangan juridis tersebut di atas, materi ketentuan sebagaimana terkandung dalam Pasal 60 huruf g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipandang tidak lagi relevan dengan upaya rekonsiliasi nasional yang telah menjadi tekad bersama bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih demokratis dan berkeadilan….” (halaman 37) Premis 2: Negara Kesatuan berarti melindungi dan menghargai keragaman suku dan bahasa daerah. “Bahwa Provinsi Papua merupakan bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki keragaman suku dan bahasa daerah, namun dari fakta hukum dalam persidangan, orang asli Papua merasakan bahwa berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di Provinsi Papua, yang berakibat pada terjadinya kesenjangan pada hampir semua sektor kehidupan,
201
Demokrasi Konstitusional terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan, dan sosial politik� (Putusan Nomor: 116/PUU-VII/2009, paragraf 3.16.1) “Bahwa untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam bidang politik tidak semata-mata tergantung pada factor hukum, melainkan juga faktor budaya, kemampuan, kedekatan dengan rakyat, agama, dan derajat kepercayaan masyarakat atas calon legislatif perempuan, serta kesadaran yang semakin meningkat atas peranan perempuan dalam bidang politik. Terkait dengan asas Bhinneka Tunggal Ika dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, maka setiap pilihan masing-masing orang sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan harus tetap dihargai sekalipun terdapat perbedaan satu dengan yang lain�. (Putusan Nomor: 22-24/PUU-VI/2008, paragraf 3.15.1) Sumber: diolah dari putusan MK
C.2.3. Demokrasi konstitusional sebagai penjaga Republik Ada lima premis yang menjelaskan tentang prinsip Republik, yaitu: pertama, Republik berarti bertindak yang menghasilkan dampak bagi kebaikan umum. Yang dimaksud kebaikan umum di sini adalah keuntungan bagi pihak lain. Kedua, Republik berarti negara memberikan jaminan hukum bagi warga untuk terlibat aktif dalam urusan publik. Ketiga, Republik berarti tidak bertindak demi kepentingan diri. Keempat, Republik berarti yang berdaulat adalah suara terbanyak. Republik berarti menerapkan sistem politik komunal/kolegial, bukan individual. Khusus untuk premis yang pertama tidak dibuktikan melalui kutipan verbatim argumentasi MK, namun melalui analisis terhadap dampak dari dikabulkannya permohonan, apakah hanya pemohon yang menerima 202
Demokrasi Konstitusional
keuntungan atau orang lain yang berposisi sama dengan pemohon. Selebihnya dibuktikan dengan kutipan verbatim pertimbangan MK, sebagaimana bisa dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 20: Demokrasi konstitusional sebagai penjaga Republik Nomor Putusan Putusan Nomor: 102/PUUVII/2009, Putusan Nomor: 011-017/PUUI/2003, Putusan Nomor : 14-17/PUU-V/2009 & Putusan Nomor: 4/PUU-VII/2009 Putusan Nomor: 23-26/PUUVIII/2010
Putusan Nomor: 117/PUUVII/2009
Bunyi argumentasi MK Premis 1: Republik berarti bertindak yang menghasilkan dampak bagi kebaikan umum. Yang dimaksud kebaikan umum di sini adalah keuntungan bagi pihak lain. Premis ini tidak dibuktikan melalui kutipan verbatim argumentasi MK, melainkan melalui menganalisis dampak dari dikabulkannya permohonan, yaitu bukan hanya memberikan manfaat bagi individu pemohon namun bagi individu-individu lain yang berposisi sama dengan pemohon. Premis 2: Republik berarti Negara memberikan jaminan hukum bagi warga untuk terlibat aktif dalam urusan publik. “Hak warga negara untuk mengontrol jalannya pemerintahan negara tidak serta merta hilang, atau beralih kepada para wakil rakyat dengan dipilihnya anggota DPR, DPD maupun DPRD….”(Putusan nomor 23-26/PUU-VIII/2010, paragraf 3.5.5) Premis 3: Republik berarti tidak bertindak demi kepentingan diri. “….para Pemohon (individu anggota DPD) bersikap mendua dan hanya berpikir untung rugi dalam menerapkan prinsip kesetaraan (ekualitas) anggota MPR baik yang berasal dari DPR maupun DPD. Di satu pihak tidak setuju apabila Ketua MPR secara serta merta berasal dari DPR, namun di lain pihak menghendaki kuota kelembagaan untuk komposisi wakil ketua MPR. Dengan kata lain, para Pemohon menganggap sesuatu itu inkonstitusional apabila merugikan, namun di sisi lain konstitusional apabila menguntungkan, meskipun pada hakikatnya juga tidak konstitusional”.(Putusan Nomor: 117/PUU-VII/2009,
203
Demokrasi Konstitusional
Putusan Nomor: 2224/PUUVI/2008
Putusan Nomor: 46/PUUXI/2013
paragraf 3.15 huruf b) Premis 4: Republik berarti yang berdaulat adalah suara terbanyak. “Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga dalam berbagai kegiatan pemilihan umum, rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya. Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif maupun eksekutif, sebaliknya rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan” (paragraf 3.15.3). Premis 5: Republik berarti menerapkan sistem politik komunal/kolegial, bukan individual. “….Dengan perkataan lain, konstruksi yang dibangun dalam konstitusi, bahwa pengusulan Pasangan Calon oleh partai politik atau gabungan partai politik mencerminkan bahwa sistem politik yang dibangun mengacu pada sistem komunal/kolegial, bukan berlandaskan pada sistem individual (perseorangan)” (paragraf 3.16 angka 2 huruf b)
Sumber: diolah data putusan MK
D.
Status ‘demokrasi konstitusional’ saat ini Pada Bab I telah disebutkan bahwa frase ‘saat ini’ merujuk pada batasan waktu, yaitu : sejak amandemen UUD 1945 sampai suatu saat jika temuan dalam penelitian ini direvisi. Penelitian ini membagi periode ‘saat ini’ menjadi dua fase, yaitu fase sebelum ada putusan MK (berarti sumbernya adalah isi pasal UU yang diuji oleh MK ) dan fase setelah ada putusan MK (berarti sumbernya adalah sikap MK terhadap ketentuan yang diuji tersebut). Karena yang dianalisis dalam penelitian ini adalah putusan MK (bukan substansi UU yang diuji) maka cara 204
Demokrasi Konstitusional
menentukan situasi sebelum putusan MK adalah dengan menggunakan logika kebalikan (a contrario). Contohnya: jika kondisi setelah putusan MK adalah ditandai dengan adanya penyelenggara Pemilu yang independen, maka kondisi sebelum ada putusan MK adalah ditandai dengan tidak adanya penyelenggara Pemilu yang independen. Yang perlu diingat bahwa baik kondisi pada fase sebelum ada putusan MK maupun setelah ada putusan MK adalah gambaran tentang kondisi saat ini. Dengan logika kebalikan tersebut, penelitian ini menemukan dua gejala demokrasi sebelum dan setelah putuan MK, yaitu: D.1. Demokrasi minus etika Sebelum putusan MK kita berada dalam krisis demokrasi dimana penegakan etika belum dianggap sebagai persoalan yang sentral. Gejala yang muncul adalah ketentuan yang menempatkan DKPP berada di bawah KPU dan ketentuan yang menempatkan DKPP sebagai lembaga yang tidak independen dengan adanya jatah kursi bagi peserta Pemilu (parpol, pemerintah dan DPR) dalam komposisi keanggotaan DKPP. Terhadap situasi ini, MK telah menyumbangkan solusi di internal demokrasi itu sendiri. Inti sumbangan gagasan MK adalah (i) menegakkan etika sama pentingnya dengan menegakkan hukum; (ii) penegakan etika dilakukan oleh lembaga yang independen; (iii) tata cara penegakan etika adalah melalui ‘peradilan etika’. D.2. Demokrasi untuk kepentingan diri Sebelum putusan MK kita berada dalam status demokrasi dimana demokrasi dinalar secara ‘saranatujuan’, dalam arti demokrasi digunakan sebagai sarana untuk membela kepentingan diri maupun kepentingan 205
Demokrasi Konstitusional
umum. Persoalannya adalah ketika masih ada warga negara yang menggunakan demokrasi sebagai sarana untuk mempertahankan kepentingan diri, misalnya anggota PNS dan Polri yang menolak syarat mengundurkan diri sebelum mencalonkan dalam pemilihan pejabat negara (elected official). Contoh yang lain adalah anggota DPD yang bersikap mendua, yaitu menerima sistem jatah untuk jabatan Wakil Ketua MPR tetapi menolak sistem jatah untuk jabatan Ketua MPR. Terhadap situasi ini, MK menyumbangkan gagasan bahwa betul demokrasi adalah alat, namun dia bukan alat untuk membela kepentingan diri, melainkan kepentingan umum. Demokrasi adalah alat untuk mempertahankan prinsip-prinsip yang lebih mendasar yang ditetapkan dalam konstitusi, seperti: bentuk negara (kesatuan), bentuk pemerintahan (republik), negara berdasar hukum (rule of law). Sekali lagi, baik kondisi sebelum ada putusan maupun setelah ada putusan MK merupakan gambaran tentang kondisi demokrasi saat ini, karena keduanya sedang terjadi pada saat ini. Penelitian ini menggunakan gambar untuk menjelaskan kondisi demokrasi saat ini. Gambar 7: Gejala kondisi demokrasi konstitusional saat ini
206
Demokrasi Konstitusional
Penjelasan dari gambar tersebut dapat diringkas sebagai berikut. Saat ini kita sedang berada di ‘karpet merah’ pembentukan demokrasi konstitusional. Ada dua fase di dalamnya –sebelum dan setelah putusan MK- yang keduanya berwarna abu-abu. Warna abu-abu ini ingin digunakan untuk menggambarkan bahwa dinamika pembentukan demokrasi konstitusional belum berakhir. Secara sederhana dinamika tersebut adalah: UU diuji oleh MK. Putusan MK dijalankan oleh pembuat UU dengan mengeluarkan UU baru. UU baru ini belum tentu sesuai dengan semangat yang dikandung oleh putusan MK. Jika demikian yang terjadi, maka UU tersebut akan diuji lagi ke MK, lalu keluar lagi putusan MK. Begitu seterusnya. Perjalanan putusan MK tentang DKPP merupakan contoh yang nyata dari dinamika ini. Warna abu-abu juga ingin digunakan untuk menggambarkan kondisi internal putusan MK sendiri. Meskipun secara normatif putusan MK bersifat final dan mengikat, namun faktanya MK tidak selalu final dalam memutuskan tema yang sama. Putusan terhadap tema penyelenggaraan Pemilu serentak sebagaimana telah diuraikan sebelumnya merupakan contoh nyata dari kondisi ini. Pengalaman tersebut memberikan peringatan bahwa mungkin saja hal tersebut akan terjadi lagi. Persoalannya bukan apakah MK harus kaku (tidak mengikuti perkembangan) tetapi apakah perubahan sikap MK semakin mendekati konsep ideal tentang demokrasi. Penelitian ini akan berakhir dengan mengkonversi kondisi demokrasi tersebut dalam angka. Caranya dengan membuat skala, yaitu 0-1, dimana 0 adalah kondisi paling belum ideal dan 1 adalah kondisi paling ideal. Kata ‘ideal’ di sini merujuk pada pengertian ‘idea’ pada pemikiran Platon, yang intinya sebuah prinsip yang dipostulatkan 207
Demokrasi Konstitusional
supaya pikiran kita bisa mengetahui dan menata dunia yang nampak di depan kita. Idea adalah paradigma atau cakrawala bagi kita maupun kosmos itu sendiri. “Idea manusia” tidak sama dengan manusia. Adanya “idea manusia” juga tidak sama dengan adanya manusia. “Idea manusia” bersifat kekal sedangkan manusia bisa mati. Begitu pula idea tentang segitiga tidak pernah bersudut tiga. Gambaran lain untuk memahami idea adalah dengan merenungkan isi dunia semacam ini. Tidak ada dunia yang berisi kuda ideal, manusia ideal atau tempat tidur ideal. Yang ada hanyalah ada, diam, gerak, sama dan beda. Kuda ada jika ia sama atau beda atau diam atau gerak dengan kuda yang lain.122 Yakni abstrak, melampaui rumusan yang definitif dan indikator-indikator. Kondisi ideal tidak berubah. Penentuan nilai dilakukan dengan cara meminta penilaian dari narasumber (ahli) dan penilaian oleh tim peneliti sendiri. Jika ada perbedaan nilai akan dilakukan negosiasi sampai menghasilkan kesepakatan angka yang sama. Selanjutnya adalah persetujuan dari supervisor. Dengan menggunakan skala 0-1 tersebut, penelitian ini berkesimpulan bahwa kondisi demokrasi konstitusional Indonesia pasca amandemen UUD 1945 -sebagaimana digambarkan di atas- adalah setara dengan angka 0,4 dalam skala 0-1.
122
A. Setyo Wibowo, Idea Platon sebagai Cermin Diri, BASIS Nomor 11-12, Tahun ke-57, NovemberDesember 2008, hlm 4-8.
208
Demokrasi Konstitusional Gambar 8: Status demokrasi konstitusional saat ini
0, 4: We are here!
209
Demokrasi Konstitusional
210
Demokrasi Konstitusional
Daftar Pustaka A. Referensi Arifin, Firmansyah, 2004, Hukum dan Kuasa Konstitusi. Catatan-Catatan untuk Pembahasan Rancangan UU Mahkamah Konstitusi, Ed. 1, Cet. 1, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta. Arjomand, Said Amir, 1992, Constitutions and the Struggle for Political Order: Astudy in the Modernization of Political Traditions, dalam European Journal of Sociology, Volume 33, Issue 01. ______, 2003, Law, Political Reconstruction and Constitutional Politics, dalam Journal International Sociology, edisi March Vol. 18 (1). ______, 2007, Constitutional Development and Political Reconstruction from Nation-building to New Constitutionalism, dalam Sa誰d Amir Arjomand (ed.), Constitutionalism and Political Reconstruction, Leiden: The Netherlands Koninklijke Brill NV. Asshiddiqie, Jimly, 2004, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Jakarta. ______, 2010, Konstitusi Ekonomi, Kompas, Jakarta. Baggini, Julian and Fosl, Peter, S., 2010, The Philosopher's Toolkit: A Compendium of Philosophical Concepts and Methods, second edition, Wiley-Blackwell. Beer, L.W. (ed), 1992, Constitutional Systems in Late Twentieth Century Asia, Washington University Press, Seattle.
211
Demokrasi Konstitusional
Beetham, David, et al, 2008, Assessing the Quality of Democracy. A Practical Guide, International IDEA, Stockholm. Brietzke, Paul H. 2004, The Politics of Legal Reform, dalam Washington University Global Studies Law Review Vol. 3 No. 1. Brinkerhoff, Derick W., and Brinkerhoff, Jennifer M., 2002, Governance Reforms and Failed States: Challenges and Implications, dalam Journal International Review of Administrative Sciences,Vol. 68. ______, (ed.), 2007, Governance in Post-Conflict Societies: Rebuilding Fragile States, Routledge, London. Dahl, Robert A., 1992, Demokrasi dan Para Pengritiknya, Ed.1, Cet. 1, diterjemahkan oleh Zainuddin, A. Rahman, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. ______, 2001, How Democratic is the American Constitution?, Yale University Press, New Haven & London. ______, 2003, The Democracy Sourcebook, The MIT Press, London. Davidson, Jamie S., 2009, Dilemmas of Democratic Consolidation in Indonesia, dalam Journal Pacific Review, Vol. 22, No. 3. Diamond, Larry, 2003, Defining and Developing Democracy, dalam The Democracy Sourcebook, The MIT Press, London. Eldridge, Philip J., 2002, Human Rights in Post-Suharto Indonesia, dalam The Brown Journal of World Affairs Spring, Vol. 10, Issue 1. Feith, Herbert, 2007, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Equinox Publishing, Kuala Lumpur. 212
Demokrasi Konstitusional
Ginsburg, Tom, 2003, Judicial Review in New Democracies Constitutional Courts in Asian Cases, Cambridge University Press, Cambridge. Global Commission on Election, 2012, Democracy & Security, Deepening Democracy: the integrity. The Report of The Global Commission on Election, Democracy and Security. Gutman, Amy and Thompson, Dennis, 2003, Democracy and Disagreement, dalam The Democracy Sourcebook, The MIT Press, London. Hardiman, F. Budi, 2009, Demokrasi Deliberatif. Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Kanisius, Yogyakarta. Herry-Priyono, B. 1999, Bangsa, Negara, dan Rakyat (dari Sketsa tentang Nasionalisme), dalam Retrospeksi dan Rekonstruksi Masalah Cina, (ed): I. Wibowo, Gramedia, Jakarta. Hirschl, Ran, 2004, Towards Juristocracy: The Origins and Consequences of the New Constitutionalism, Harvard University Press, Cambridge. ______, 2006, The New Constitution and the Judicialization of Pure Politics Worldwide, dalam Fordham Law Review, Vol. 721. Hosen, Nadirsyah, 2003, Reform of Indonesian Law In The Post-Soeharto Era (1998-1999), (A Thesis Doctor of Philosophy University of Wollongong. Idea International, Assessing the Quality of Democracy. A Practical Guide Indrayana, Denny, 2008, Indonesian Constitutional Reform 1999-2002. An Evaluation of Constitution-Making in Transition, Kompas, Jakarta. 213
Demokrasi Konstitusional
Klug, Heinz, 2000, Constituting Democracy: Law, Globalism and South Africa's Political Reconstruction, Cambridge University Press, Cambridge. ______, 2003, Postcolonial Collages: Distributions of Power and Constitutional Models: With Special Reference to South Africa, dalam Journal International Sociology, edisi March, Vol 18 (1). ______, 2007, Post-Colonial Collages: Distributions of Power and Constitutional Models, with Special Reference to South Africa, dalam Sa誰d Amir Arjomand (ed.), Constitutionalism and Political Reconstruction, Leiden: The Netherlands Koninklijke Brill NV. Kranz, Rachel, 2002, Affirmative Action, Facts On File, Inc, New York. Lay, Cornelis, State Auxiliary Agencies, 2006, dalam Jurnal Jentera, Edisi 12 Tahun III. Lindsey, Tim, 2002, Indonesian Constitutional Reform: Muddling Towards Democracy, dalam Singapore Journal of International and Comparative Law, Vol. 6. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, Menegakkan Negara Hukum yang Demokratis: Catatan Perjalanan Tiga Tahun Mahkamah Konstitusi 2003-2006, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta. Mietzner, Marcus, 2010, Political conflict resolution and democratic consolidation in Indonesia: The role of the Constitutional Court, dalam Journal of East Asian Studies, Vol. 10. Mulgan, Richard, 2012, Aristotle on Legality and Corruption, dalam Corruption. Expanding the Focus, ANU E Press, Canberra. 214
Demokrasi Konstitusional
Muller, Dennis C., 1996, Constitutional Democracy, Oxford University Press, New York. Pompe, Sebastian, 2005, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse, NY: Cornell University, Ithaca. Pradjasto, Anton, dkk, 2012, (De) Monopolization of Democracy in Indonesia? The Indonesian Report on the Asian Democracy Index 2011, dalam Asian Democracy Review. Vol. 1. Przeworski, Adam, 2003, Minimalist Coception of Democracy: A Defence, dalam The Democracy Sourcebook, The MIT Press, London. Rauf, Maswadi, dkk, 2009, Menakar Demokrasi Di Indonesia; Indeks Demokrasi Indonesia 2009. United Nations Development Programme, Indonesia, Jakarta. Robet, Robertus, 2007, Republikanisme dan Keindonesiaan. Sebuah Pengantar, Marjin Kiri, Jakarta. Schumpeter, Joseph, 2003, Capitalism, Socialism and Democracy, Routledge, New York. Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. 28 Mei 1945-22 Agustus 1945, Jakarta. Siahaan, Maruarar, 2005, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta. Simon Butt, 2012, Indonesia’s Constitutional Court: Conservative Activist Orstrategic Operator?, dalam BjÜrn Dressel, The Judicialization of Politics in Asia, Routledge, London. 215
Demokrasi Konstitusional
Sudarminta, J., 2010, Etika Umum. Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STF Driyarkara, Jakarta. Sweet, A. Stone, 2000, Governing with Judges: Constitutional Politics in Europe, Oxford University Press Inc, New York. ______, 2003, Constitutional Courts and Parliamentary Democracy, dalam Mark Thatcher dan Alec Stone Sweet (eds.), The Politics of Delegation, Frank Cass & Co. Ltd, London. Syafaat, M. Ali, dkk, 2011, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. Tamanaha, Brian Z., 2001, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford University Press Inc, New York. Tietel, Ruth G., 2000, Transitional Justice, Oxford University Press Inc, New York. Tรถrnquist, Olle, 2005, The Political Deficit of Substantial Democratisation, dalam John Harriss, Kristian Stokke and Olle Tornquist, Politicising Democracy. The New Local Politics of Democratization, Palgrave Macmillan, New York. ______, et al, 2009, Popular Politics of Representation: New Lessons from the Pioneering Project in Indonesia, Kerala and the Philippines, dalam Rethinking Popular Representation, Palgrave Macmillan. ______, 2013, The political Deficit of Substantial Democratization, dalam John Harriss, Kristian Stokke and Olle Tornquist, Politicising Democracy. 216
Demokrasi Konstitusional
The New Local Politics of Democratization, Palgrave Macmillan, New York. Wolff, Jonathan, 2006 An Introduction to Political Philosophy, revised edition, Oxford University Press Inc, London. Wibowo, A. Setyo, Idea Platon sebagai Cermin Diri, BASIS Nomor 11-12, Tahun ke-57, November-Desember 2008. B. Daftar Bacaan Bellamy, Richard, 2008, Republicanism, Democracy and Constitutionalism, dalam Republicanism and Political Theory, Blackwell Publishing. Benn, Pers, 1998, Ethics, University of Leeds Press. Bloomfield, Paul, (ed), 2008, Morality and Self-Interest, Oxford University Press. Crozier, Michel, et al, 1975, The Crisis of Democracy. Report on the Governability of Democracies to the Trilateral Commission, New York University Press, New York. Diamond, Larry, and Morlino, Leonardo, (ed), 2005, Assesing the Quality of Democracy, The Johns Hopkins University Press, Baltimore. Force, Pierre, 2003, Self-Interest before Adam Smith. A Genealogy of Economic Science, Cambridge. Gargarella, Roberto, 2010, The Legal Foundations of inequality. Constitutionalism in the Americas, 17761860, Cambridge University Press, Cambridge. Global Commission on Election, 2012, Democracy and Security, Deepening Democracy: A Strategy for Improving the Integrity of Election Worldwide. IDEA, Assessing the Quality of Democracy. An Overview of the International IDEA Framework. 217
Demokrasi Konstitusional
Kalyvas, Andreas, 2008, Democracy and the Politics of the Extraordinary. Max Weber, Carl Schmitt, and Hannah Arendt, Cambridge. Levine, Daniel, H., and Molina, Jose E., (ed), 2011, The Quality of Democracy in Latin America, Lynne Rienner Publisher, London. Munck, Gerardo L., 2009, Measuring Democracy. A Bridge between scholarship & politics, The Johns Hopkins University Press, Baltimore. Murphy, Walter F., 1991, Civil Law, Common Law and Constitutional Democracy, Lousiana Law Review, Vol. 52, Number 1. Revitch, Diane and Thernstrom, Abigail (ed), 2005, Demokrasi. Klasik dan Modern, diterjemahkan oleh Hermoyo, Yayasan Obor Indonesia. Rosenfeld, Michel, The Rule of Law and the Legitimacy of Constitutional Democracy, Southern California Law Review Vol. 74. Schumpeter, Joseph A., Capitalism, Socialism and Democracy, Routledge, London and New York. Smith, Carl, 2008, Toward a Theory of Democratic Constitutionalism, dalam Democracy and the Politics of the Extraordinary. Max Weber, Carl Schmitt, and Hannah Arendt, Cambridge. Suseno, Franz Magnis, 1987, Etika Dasar. MasalahMasalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius. C. Makalah dan Artikel Molutsi, Patrick, (tanpa tahun), Tracking Progress in Democracy and Governance Around the World: Lessons and Methods. Diunduh dari http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/document s/un/unpan005784.pdf 218
Demokrasi Konstitusional
Rekapitulasi perkara pengujian UU, diakses dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?p age=web.RekapPUU, pada 22 Juli 2013. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi, diakses dari http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?p age=web.ProfilMK&id=1, pada 21 Juli 2013. http://www.thefreelibrary.com/Political+conflict+resolutio n+and+democratic+consolidation+in...a0241627391. http://dkpp.go.id/index.php?mod=static&page=sejarah, diakses pada 22 Desember 2013. http://ir.lawnet.fordham.edu/flr/vol75/iss2/14. http://storage.globalcitizen.net/data/topic/knowledge/uploa ds/20121210154843804822_Eldridge.pdf. http://law.nus.edu.sg/sybil/downloads/articles/SJICL-20021/SJICL-2002-244.pdf.
219
Demokrasi Konstitusional
Indeks A Abdul Mukthie Fadjar 76 Abdurrahman Wahid .... 4 Adam Przeworski ... 23, 24 ADI ....................... 38, 40 affirmative action ... xxxiv, 128, 131, 178 Ahmad Roestandi .... xxii, 109, 114 Akil Mochtar.......... iv, 76 AlecStone Sweet.......... 57 amandemen .. i, x, xi, xiii, xxxv, xlvii, li, 1, 2, 5, 11, 17, 18, 54, 56, 93, 94, 95, 103, 104, 105, 133, 155, 179, 180, 190, 194 ambang batas .. ix, 17, 64, 88, 89, 90, 91 Amy Gutmann ............ 32 aristokrasi ........ 20, 34, 93 Aristoteles .............. 20, 21 asas penyelenggara Pemilu ....................165 B B. Herry Priyono ........ 51 Bappenas ......... 38, 41, 60
220
Bawaslu viii, xxix, 65, 66, 67, 68, 69, 71, 72, 73, 111, 163, 164, 171, 172, 173, 174 BPUPKI . 50, 51, 160, 200 Burhanuddin Muhtadi . 40 C Chairil Anwar .............. 36 check and balances ... v, 99, 104, 105, 106, 108, 112, 148 common good ..... 22, 23, 24 constitutional review . 4, 59 D Daniel S. Lev ............... 49 demokrasi deliberatif .. 20, 30, 32, 33, 60 demokrasi elektoral ...viii, xvi, 12, 29, 60, 63, 64 demokrasi konstitusional ... i, iv, v, vii, viii, ix, x, xii, xiii, xiv, xv, xxiv, xxv, xxviii, xxix, xxxv, xxxvi, xlii, xliv, xlvii, xlix, li, 1, 2, 7, 10, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 34,
Demokrasi Konstitusional
35, 37, 45, 53, 59, 60, 61, 62, 63, 111, 113, 114, 117, 151, 155, 156, 157, 159, 162, 174, 175, 179, 180, 186, 190, 192, 194 demokrasi liberal. xvi, 12, 20, 29, 42, 117 demokrasi minimalis . xvi, 12, 32, 60, 63 demokrasi pancasila .. xiii, 1, 19, 61 demokrasi parlementer ...................... xiii, 1, 61 demokrasi partisipatif 20, 25, 60 demokrasi prosedural .. iv, v, xii, xv, xxiv, xxviii, xxx, xxxi, 8, 9, 12, 15, 16, 17, 20, 24, 27, 29, 60, 62, 63, 156, 159, 175, 176 demokrasi republikan.. 20 demokrasi substansial . iv, x, xii, xxiv, xxx, xxxi, xxxv, 8, 9, 12, 17, 20, 29, 60, 62, 117, 118, 156, 175, 176, 177, 179 demokrasi terpimpin . xiii, 1, 19, 35, 61 Demos....... 38, 41, 60, 214 Dennis C. Muller ......... 45 Dennis Thompson ....... 32
dissenting opinion . 12, 76, 79, 130 DKPP ... xi, xii, xix, xxiii, xxviii, xxix, xlviii, l, 14, 64, 65, 71, 72, 111, 115, 159, 162, 163, 164, 171, 172, 173, 174, 191, 192 DPD ...... ix, xix, xxi, xxii, xxv, xlv, xlviii, 2, 14, 64, 75, 76, 81, 82, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 102, 104, 108, 110, 112, 114, 115, 121, 125, 126, 127, 128, 131, 146, 147, 152, 157, 188, 189, 191, 213 DPR ...... ix, xix, xxi, xxii, xxv, xxix, xl, xlv, xlviii, 4, 14, 64, 71, 72, 75, 76, 81, 82, 83, 84, 86, 87, 89, 90, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 110, 112, 113, 114, 115, 120, 121, 125, 128, 131, 139, 146, 147, 152, 157, 163, 164, 167, 173, 174, 184, 188, 189, 191 DPRD .. xxi, xxv, xlv, 40, 75, 76, 78, 79, 80, 82, 83, 84, 86, 87, 89, 100, 221
Demokrasi Konstitusional
102, 103, 108, 110, 111, 112, 114, 121, 125, 128, 131, 134, 138, 141, 146, 147, 152, 157, 167, 188, 213 DPT. ix, xix, xxv, xxxvii, xl, 14, 18, 118, 119, 120, 151, 157, 181, 184 E elected official . xxv, xlviii, 124, 153, 157, 191 electoral threshold . xix, 14, 64, 88, 90, 91, 92 elit politik ............ 3, 4, 35 era reformasi .... xiii, 1, 19, 61, 88, 147 e-voting ................... 73, 74 F F. Budi Hardiman 30, 31, 32 G Gargarella .......34, 37, 202 Global Commission 46, 47, 197, 202 H hak angket xix, 14, 64, 93, 101, 102, 146 Hanna Pitkin .............130 Hans Kelsen................ 57 Hatta ..................... 49, 50 Herbert Feith... vi, 35, 36, 37, 49, 50 222
I Ian Saphiro ................. 47 IDEA International ... 41, 60 IDI ................... 38, 39, 40 IMF............................. 42 impeachment .......... 3, 104 incumbent .................... 24 Indeks Persepsi Korupsi ................................ 42 International IDEA, .. 43, 197 J J. Sudarminta ...... vi, 159 Jamie S. Davidson ......... 4 Jimly Asshiddiqie . 50, 63, 164 John Stuart Mill .......... 25 Jonathan Wolff21, 24, 25, 26 Joseph Schumpeter ..... 22 judicial review .. 55, 57, 59, 95, 107 K Karl Popper ................ 23 kebebasan informasi ..xvi, 12, 29, 117 kebebasan sipil .... xvi, 12, 29, 35, 40, 117 Kekuasaan Kehakiman 4, 5, 120
Demokrasi Konstitusional
kelompok minoritas .. xvi, 12, 13, 25, 26, 30, 41, 52, 117 Kode Etik .... xxviii, xxix, 159, 161, 164, 165, 171, 172, 173, 174 konstitusionalisme 37, 58, 59, 61, 214 konvensi ketatanegaraan ................ xxiii, 76, 116 KPU viii, xxix, xxxvii, xl, xlviii, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 80, 81, 91, 92, 108, 110, 111, 119, 134, 148, 163, 164, 171, 173, 174, 181, 184, 191 KPUD 77, 78, 80, 81, 111 kualitas demokrasi . xii, 9, 15, 17, 19, 38, 39, 41, 42, 60 kultur politik tradisional .................. 51, 161, 180 L L.W. Beer ................... 57 Laica Marzuki ............. 79 legal standing . 9, 106, 123, 127, 146 lembaga negara ... 2, 6, 49, 80, 82, 214 lex generalis ................104 lex specialis ................104 liberalisasi ....... xvi, 13, 40
logika kebalikan (a contrario) ..xlvii, 11, 190 M MA .......................... 5, 79 Marcus Mietzner ........ 3, 4 Maruarar Siahaan. 76, 79, 81 masyarakat sipil ... 35, 41, 42 MK i, iii, iv, v, vii, viii, ix, x, xiii, xiv, xv, xix, xx, xxi, xxii, xxiii, xxiv, xxv, xxix, xxx, xxxi, xxxvi, xxxvii, xlii, xliv, xlv, xlvii, xlviii, xlix, l, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 61, 62, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 82, 84, 85, 86, 87, 88, 90, 91, 93, 95, 96, 97, 98, 99, 101, 102, 103, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 127, 128, 130, 131, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 223
Demokrasi Konstitusional
151, 152, 155, 157, 161, 162, 163, 165, 171, 172, 174, 175, 176, 177, 179, 181, 185, 186, 187, 188, 190, 191, 192, 193 monarkhi .................... 20 MPRxi, xxxix, xlv, xlviii, 2, 3, 5, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 102, 103, 105, 120, 122, 133, 144, 145, 161, 165, 184, 189, 191 N Nanie Hudawati . 51, 160, 161 nasionalisme .. viii, 50, 51, 52 negara hukum ........ x, xii, xxxvi, xxxvii, xxxviii, 3, 58, 59, 63, 110, 117, 146, 180, 181, 182 NGO ...................... 39, 42 O OECD-DAC ................ 42 open legal policy iv, ix, xx, xxii, xxiii, 71, 72, 90, 91, 107, 109, 113, 115, 137, 138 Orde Baru .... xiii, 1, 4, 19, 61, 88 Orde Lama ........ xiii, 1, 61 Orde Reformasi xiii, 1, 19, 61 224
original intent .. xxxix, 65, 76, 99, 184 P Panwaslu.... xi, 68, 69, 70, 72, 172 parlementer .. 50, 101, 103 Parpol ... v, xi, xv, xxv, 7, 15, 17, 36, 66, 67, 73, 75, 82, 83, 85, 86, 89, 91, 92, 112, 157 Patrick Molutsi ..... 41, 42 pemakzulan xi, 3, 93, 102, 104, 105, 106, 112, 113, 146 pembatasan kekuasaan ..... xvi, 12, 37, 117, 146 pembubaran partai politik .................. 6, 82 Pemda ... xv, 7, 15, 77, 78, 79, 80, 81, 120, 137, 140 pemerintah autokrasi .. 46 pemerintahan mayoritas .......................... 20, 24 pemerintahan presidensiial ............. 51 Pemilu . v, viii, xi, xv, xvi, xix, xxi, xxiii, xxiv, xxv, xxviii, xxix, xlvii, xlviii, l, 7, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 23, 24, 28, 34, 40, 46, 47, 59, 60, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 71, 72, 73, 74,
Demokrasi Konstitusional
75, 76, 77, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 98, 99, 100, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 114, 115, 116, 118, 120, 121, 124, 126, 128, 130, 131, 134, 136, 137, 143, 148, 149, 150, 151, 156, 157, 159, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 190, 191, 193 pendapat berbeda (dissenting opinion) 12, 76, 79 pengadilan konstitusi xiii, 2, 19 pengadilan konstitusional ...................... xiii, 1, 61 pengakuan hak individual ................ 20 penyalahgunaan kewenangan. xvi, 13, 63 penyelenggara Pemilu xxi, xxviii, xlvii, 11, 65, 66, 68, 73, 81, 110, 111, 114, 162, 165, 168, 172, 190 persamaan di depan hukum xvi, 12, 117, 140
pertanggungjawaban pejabat negara . xvi, 12, 117 pertimbangan hakim ..... 9 Pilkada .. ix, xix, xxi, xxv, xxviii, 14, 17, 64, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 111, 114, 120, 139, 142, 151, 157 Pilpres ... xv, 7, 15, 75, 76, 116, 119, 123, 142, 143, 144 PKI ....... 18, 121, 123, 125 Poliarkhi ......... vii, 27, 39 presidential threshold ..xix, 14, 64, 75, 88, 92 pro status-quo ............... 4 pro-pemerintah ........... 41 Puskapol ..................... 40 putusan MK .... iii, iv, xiii, xiv, xxix, xlvii, xlix, l, 1, 6, 11, 16, 62, 70, 109, 123, 174, 190, 192, 193 Q quick count ................. 149 R reformasi hukum 2, 17, 54 representasi daerah ...... 99 representasi politik ...... 99 Republikanisme.... 47, 49, 200 rezim demokratis ......... 27 Richard Mulgan .......... 21 225
Demokrasi Konstitusional
Robert A. Dahl 20, 27, 39 Robertus Robet .. i, 19, 47 Rousseau ............... 24, 25 rule of law .... x, xvi, xxxv, xxxvi, xlix, 12, 29, 46, 54, 56, 117, 175, 179, 180, 191 Ruth G. Teitel,............ 57 S Saafroedin Bahar 51, 160, 161 self executing.. xl, 120, 184 Simon Butt ........ 4, 5, 200 sistem dua kamar ........ 93 sistem satu kamar ....... 93 Soeharto .......3, 4, 54, 198 Soetardjo Kartohadikusumo ... 36 status demokrasi .. i, iv, v, xiv, xlviii, 7, 10, 11, 18, 155, 191 Syahrir........................ 36 T Takdir Alisyahbana .... 36 teori delegasi ............... 58 TII .............................. 42 Tim Lindsey.............. 4, 5
226
tipologi demokrasi .xi, xii, xvi, xxiv, xxv, 10, 12, 155, 156, 157 tirani ................ 20, 25, 34 U UNDP ........ 38, 39, 40, 42 UUD 1945 ..... i, x, xi, xiii, xxi, xxii, xxxv, xxxix, xlvi, xlvii, li, 1, 2, 5, 6, 7, 11, 18, 62, 64, 65, 68, 76, 77, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 87, 88, 93, 94, 95, 97, 98, 99, 100, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 118, 119, 121, 122, 125, 126, 128, 129, 130, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 140, 142, 143, 144, 145, 147, 148, 149, 153, 155, 160, 161, 162, 165, 179, 180, 183, 184, 189, 190, 194 W Walter F. Murphy . 37, 45 World Bank........... 41, 42 World Bank Institute .. 42
Demokrasi Konstitusional
Profil Kontributor 1. Muji Kartika Rahayu Muji Kartika Rahayu atau yang seharihari dipanggil Kanti adalah pegiat bantuan hukum yang mulai berkenalan dengan kasus-kasus struktural –seperti konflik petani, buruh, miskin kota, perkosaan, penodaan agama, dsb- sejak bergabung dengan LBH Surabaya pada 1998. Tujuh tahun kemudian (tepatnya awal 2006) Kanti bergabung dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan tugas utama membela whistle blower yang mengalami kriminalisasi. Pada saat yang sama, Kanti terlibat dalam advokasi kasus pembunuhan aktifist HAM (Munir). Sejak bergabung dengan KRHN pada tahun 2009, Kanti mulai menggeluti minatnya pada isu konstitusi. Saat ini, Kanti bertugas sebagai Ketua Badan Pengurus KRHN. Pada saat yang sama dia sedang meneruskan studi pada program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara Jakarta. 2. RM. Mihradi Mihradi lahir di Bogor, 12 Agustus 1974. Lulusan Universitas Pakuan Bogor pada tahun 1997 ini merupakan salah satu anggota badan pendiri Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) di Jakarta dan sempat menjadi peneliti di ILR. Dia merampungkan Program Magister Ilmu Hukum (S2) di Universitas Tarumanagara Jakarta (2008). Mihradi 227
Demokrasi Konstitusional
mengawali profesi sebagai pegiat hukum di LBH Jakarta (1997). Pernah terlibat menjadi Peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR) untuk Cetak Biru (Blue Print) Komisi Yudisial. Hingga saat ini dia masih aktif sebagai Staf pengajar tetap di almamaternya, sekaligus pengajar tidak tetap pada Akademi Teknologi Bogor dan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta (2010-2011). 3. Triya Indra Rahmawan Pria kelahiran Lumajang Jawa Timur ini menyelesaikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang (2010). Setelah itu melanjutkan studinya di Program Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta (2012). Sejak tahun 2011 Dia aktif sebagai peneliti di Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) hingga sekarang. 4. Wahyudi Djafar Wahyudi Djafar. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) ini pernah bergabung se bagai Peneliti Hukum dan Konstitusi di Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan Peneliti pada Center for Democracy and Human Rights Studies (Demos). Saat ini Wahyudi terlibat sebagi Peneliti Hukum dan HAM di ELSAM, sekaligus Program Officer pada Divisi Pemantauan Kebijakan.
228
Demokrasi Konstitusional
5. Purnomo S. Pringgodigdo Purnomo S. Pringgodigdo lahir di Surabaya, 23 Oktober 2981. Setelah lulus dari SMUN 9 di Surabaya (1996), Purnomo melanjutkan studi S1 di FH Univ. Brawijaya Malang (1999). Kemudian dia meneruskan studi S2 di Program Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta. Purnomo memulai karirnya di LBH Pos Malang, kemudian ke LBH Surabaya. Pada 2007, dia hijrah ke Jakarta dan bergabung di Lembaga Independensi Peradilan (LeIP) dari tahun 2007-2010. Pada 2010-2011, dia juga bergabung di South East Asia People’s Center (SEAPC). Pernah terlibat aktif di Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) sebagai Kadiv. Legal (2011-2012). Saat ini, sehari-sehari aktifitasnya adalah sebagai peneliti di Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN). 6. Ainul Yaqin Pria asal Mojokerto Jawa Timur ini menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Syariah & Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (2010). Pria yang sempat aktif di Komite Mahasiswa Pemuda Anti Kekerasan (KOMPAK) Ciputat ini memulai karir sebagai Support Program Data Base di Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) dari tahun 2007 sampai dengan 2010. Sejak akhir 2012 sampai sekarang, aktifitasnya adalah sebagai peneliti tetap di Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN). 229