Menggugat Pasal-pasal Pencemaran nama baik

Page 1


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK HASIL EKSAMINASI PUBLIK TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-VI/2008 TENTANG PERMOHONAN UJI MATERI PASAL 310, 311, 316 DAN 207 KUHP TERHADAP UUD 1945

i


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK HASIL EKSAMINASI PUBLIK TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-VI/2008 TENTANG PERMOHONAN UJI MATERI PASAL 310, 311, 316 DAN 207 KUHP TERHADAP UUD 1945

Penulis : M. Halim, S.H. Fulthoni, A.M., S.H. M. Nur Sholikin, S.H. Editor Muhammad Yasin, S.H., M.H. Desain Grafis Abadi Cetakan Pertama, Maret 2009 Hak Cipta : LBH Pers Perpustakaan Nasional RI : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Hasil Eksaminasi Publik Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUUVI/2008 tentang Permohonan Uji Materi Pasal 310, 311, 316 dan 207 KUHP Terhadap UUD 1945 -Cet.I- Jakarta : LBH Pers, 2009 VIII + 2008 hlm; 150 X 210 mm ISBN : 979-98905-2-9 Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH PERS) Jl. Prof. DR. Soepomo, Komp. BIER No. 1A Menteng Dalam, Jakart Selatan Tlp: (62-21) – 8295372 Fax: (62-21) – 8295701 Email : lbhpers@yahoo.com, www.lbhpers.org

ii


Kata Pengantar

Bahwa Indonesia sebagai negara yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan atas hukum mengakui bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan berekspresi, dan kemerdekaan pers merupakan hakhak dasar yang harus dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia. Para pendiri negara Indonesia telah menyadari dengan baik bahwa dalam suatu negara Indonesia yang merdeka diperlukan suatu jaminan dan juga pengakuan terhadap kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan berekspresi, dan kemerdekaan pers. Namun sayangnya, upaya untuk menjamin kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan berekspresi, dan kemerdekaan pers ini dalam UUD 1945 (asli) hanya dikumpulkan dalam 1 rumpun pada Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi: ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang”. Ketika konstitusi RI berubah menjadi Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, jaminan kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan berekspresi, dan kemerdekaan pers ini hanya ditempatkan dalam Pasal 19 yang menyatakan: ”Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat”. Hal senada juga ditemukan pada perumusan Hak-hak Asasi Manusia dan Hakhak serta Kewajiban Warga Negara yang dirumuskan oleh Konstituante yang menempatkan kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan berekspresi, dan kemerdekaan pers pada rumpun kebebasan menyatakan pendapat yang dirumuskan dalam kalimat: ”Setiap warganegara berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, baik dengan lisan maupun tulisan”. Upaya perlindungan terhadap Kemerdekaan Pers di Indonesia baru menemukan momentumnya ketika jatuhnya pemerintahan Soeharto yang diikuti dengan berbagai pengesahan intrumen hak asasi manusia seperti TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Piagam Hak Asasi Manusia, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, Perubahan II UUD RI 1945 yang ditetapkan melalui Sidang Tahunan

iii


MPR pada 7 – 18 Agustus 2000, dan UU No 12 Tahun 2005 yang meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Sungguhpun jaminan kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan berekspresi, dan kemerdekaan pers telah dinyatakan secara ekplisit, namun tak kurang banyak kasus yang menjerat warga negara Indonesia khususnya wartawan saat menyatakan pendapatnya secara lisan dan tulisan seperti contoh-contoh kasus ini: Dahri Uhum Nasution (Pemimpin Redaksi Tabloid Oposisi di Medan), Risang Bima Wijaya (Pemimpin Umum Harian Radar Yogya di DI Yogyakarta), Eddy Soemarsono (Pemimpin Redaksi Tabloid Investigasi di Jakarta), Bersihar Lubis (kolumnis di Jakarta), Karim Paputungan (Pemimpin Redaksi Harian Rakyat Merdeka di Jakarta), Simson M Dikko (Pemimpin Redaksi Tabloid Busur di Gorontalo), Darwin Ruslinur (Pemimpin Redaksi Tabloid Koridor di Lampung), Afdal Azmi Jambak (Pemimpin Redaksi Harian Transparan di Palembang), dan Bersihar Lubis (wartawan dan kolumnis). Oleh karena itu, untuk lebih menjamin kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan berekspresi, dan kemerdekaan pers di Indonesia maka LBH Pers bertindak untuk dan atas nama Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis pada hari ini Rabu 7 Mei 2008 bermaksud untuk menyampaikan permohonan uji materi di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI agar masyarakat Indonesia khususnya wartawan tidak dengan mudah dipidana karena melakukan hak dan/atau kewenangan konstitusional yang telah dijamin dalam UUD 1945 berikut perubahan-perubahannya Kami berpendapat bahwa pemberlakuan Pasal 311 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), dan Pasal 310 ayat (1) KUHP tentang fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik dengan lisan atau tulisan bertentangan dan tidak sesuai dengan Konstitusi terutama terhadap Pasal 28 E ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”, Pasal 28 E ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”, dan Pasal 28 F yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Selain itu hak dan/atau kewenangan dari para pemohon sebagai pribadi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 F UUD 1945 adalah untuk berkomunikasi

iv


dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Selain itu sebagai wartawan, hak dan/atau kewenangan konstitusional dari para pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 F UUD 1945 jo Pasal 1 angka (1) dan angka (4) UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah orang yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Ancaman pidana penjara terhadap wartawan yang masih banyak bertebaran di dalam KUHP telah menebarkan ketakutan dan meningkatkan sensor diri dalam diri Para Pemohon, sesuatu hal yang sebenarnya akan merugikan kepentingan masyarakat secara luas di masa depan. Salah satu tugas, kewajiban, dan tujuan dari negara Republik Indonesia berdasarkan Alinea IV Pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pers, dalam hal ini sangat berperan penting untuk membantu mewujudkan tujuan negara Republik Indonesia tersebut. Dengan pers yang merdeka masyarakat akan lebih melek informasi dan dengan mudah mendapatkan saluran untuk menyampaikan pikiran dan pendapatnya kepada para Pejabat negara dan atau aparat penyelenggara negara tentang apa yang dirasakan dan dialami sendiri oleh masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehari-hari. Berdasarkan Alinea IV Penjelasan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers pada Bagian Umum yang menyatakan �Pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, dan nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya�. Tentu saja dalam kemerdekaan pers dibutuhkan pers yang profesional dan juga terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Di dalam alam kemerdekaan pers, tentunya masyarakat akan mendapat dua jenis pers, yaitu pers yang profesional dan pers yang dibuat untuk tujuan-tujuan dan niat jahat tertentu. Akan tetapi dalam situasi negara dan perangkat hukum yang sering menjatuhkan pidana penjara terhadap wartawan, maka masyarakat hanya akan mendapat satu jenis pers yaitu pers yang takut untuk menyuarakan kebenaran yang pemberitaannya seringkali dibungkus dengan sensor diri dan penghalusan bahasa yang berlebihan.

v


Terbitnya buku hasil eksaminasi publik ini sebagai upaya untuk mensosialisasikan hasil second opinion beberapa ahli disiplin ilmu dari kalangan akademisi, praktisi dan alhi pers yang mencoba mengkritisi putusan Mahkamah Konstitusi. Eksaminasi publik ini sangat menarik untuk menyajikan pendapat yang berbeda dengan Mahkamah Konstitusi yang pada gilirannnya masyarakat akan menilai sejauh mana putusan Mahkamah Konstitusi dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Akhirnya dengan terbit buku ini, kami atas nama Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH PERS) mengucapkan terima kasih kepada Yayasan TIFA yang telah memfasilitasi terselenggarannya progran eksaminasi publik ini. Indonesian Legal Resource Center (ILRC) dan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK).

Jakarta

Hendrayana Direktur Eksekutif

vi


Kata Pengantar Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan Eksaminasi dan Metode C. Majelis Eksaminasi BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP A. Konsepsi tentang Hak B. Kebebasan Berekspresi dalam Sistem Demokrasi C. Konsepsi Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dalam Sistem Hukum di Indonesia D. Sanksi Pidana E. Mahkamah Konstitusi sebagai Penafsir Tertinggi Konstitusi BAB III ANALISIS PUTUSAN MK A. Proses dan Isi Putusan Mahkamah Konstitusi B. Analisis Putusan 1. Pembatasan Hak Menyatakan Pendapat 2. Permohonan adalah tentang Penerapan norma, bukan validitas norma 3. Tindakan MK Mendelegitimasi Eksistensinya sebagai Negative Legislator 4. MK Menempatkan Perlindungan Kepentingan Individu di atas Kepentingan Publik 5. MK Mengambil Posisi yang Salah Antara The Guardian atau The Interpreter of Constitution 6. MK Menegasikan Prinsip Right to Know dan Akuntabilitas Pejabat Publik BAB VI KESIMPULAN Kesimpulan

hlm. 2 hlm. 6 hlm. 8

hlm. 10 hlm. 14 hlm. 23 hlm. 26 hlm. 29

hlm. 34 Hlm. 52 hlm. 55 hlm. 57 hlm. 59 hlm. 62 hlm. 63

hlm. 66

vii


DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN I. Lampiran 01 : II. Lampiran 02 : III. Lampiran 03 : IV. Lampiran 04 :

Proses Pengajuan Uji Materi di MK RI Makalah Ahli dan Dukungan Uji Materi Legal Annotasi Majelis Eksaminasi NOTULEN PERSIDANGAN EKSAMINASI I, Rabu, 15 Oktober 2008 V. Lampiran 05 : NOTULEN PERSIDANGAN EKSAMINASI II, Kamis, 6 November 2008 VI. Lampiran 06 : Profil Majelis Eksaminator VII. Lampiran 07 : Profil Lembaga LBH Pers

viii

hlm. 67 hlm. 71 hlm. 87 hlm. 127 hlm. 159 hlm. 175 hlm. 197 hlm. 205


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

BAB I

PENDAHULUAN

1


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula, sebagai negara yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan atas hukum (rechtstaat), dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machstaat), Indonesia mengakui bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan, kebebasan berekspresi, dan kemerdekaan pers merupakan hak-hak dasar yang harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat dan sekaligus sebagai dasar dari tegaknya pilar demokrasi. Tanpa adanya kebebasan berbicara, masyarakat tidak dapat menyampaikan gagasan-gagasan dan tidak bisa mengkritisi Pemerintah. Dengan demikian, tidak akan ada demokrasi. Sebagai sarana modern, maka melalui pers, kebebasan menyatakan pikiran, opini, dan ekspresi masyarakat dapat tersalurkan secara jujur dan transparan. Hanya melalui pers yang bebas, negara/pemerintah dapat mendengar dan menangkap aspirasi dan suara masyarakat. Pers menyampaikan kebijakan Pemerintah kepada masyarakat, dan sebaliknya menyuarakan aspirasi masyarakat kepada Pemerintah. Pers seharusnya menjadi jembatan penghubung yang bebas antara Pemerintah dan masyarakat. Namun, kebebasan itu belum sepenuhnya diberikan kepada seluruh rakyat termasuk pers. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan modifikasi dari Wetboek van Straftrecht voor Netherlandsch Indie (WvS) peninggalan Hindia-Belanda banyak sekali membatasi kemerdekaan berpendapat dan berekspresi termasuk pers. Akibatnya, banyak orang kritis terhadap pemerintah harus mendekam di penjara sekalipun UUD 1945 telah memberikan jaminan kebebasan untuk mendapatkan, menggunakan, dan menyerbarkan informasi, serta kemerdekaan berpendapat. Pemberlakuan pasal-pasal di KUHP itu menjadikan Risang Bima Wijaya (jurnalis Radar Yogyakarta) dan Bersihar Lubis (kolumnis), dijerat dengan KUHP karena melakukan pencemaran nama dan mengkritik kekuasaan serta terlalu vokal untuk “menjelekkan institusi negara�. Situasi seperti ini tidak dapat dibiarkan terus. Risang dan Bersihar harus menjadi penutup atas kasus-kasus penerapan sanksi pidana dan/atau penjara yang menimpa masyarakat luas karena melakukan kritik terhadap kesewenang-wenangan. Perlu dipahami bahwa kritik seharusnya merupakan bagian dari kontrol sosial. 2


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

Upaya pembelaan yang dilakukan di pengadilan kandas. Risang sebagai wartawan mengangkat kasus dugaan pelecehan seksual oleh SMW di Harian Radar Jogja. Penulisan berita tersebut bertujuan untuk memberikan informasi atas kejadian yang dilakukan oleh tokoh masyarakat yang cukup dipandang di wilayah Yogyakarta bahkan di tingkat nasional. Walaupun telah memberitakan fakta dan menyebut narasumber yang jelas di antaranya korban yang bersangkutan dan laporan polisi terhadap dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh SMW. Pemberitaan itu menyulut amarah SMW. SMW melaporkan ke Kepolisian dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik. Perkara ini akhirnya bergulir ke meja hijau. Di muka PN Sleman pada 17 April 2004, Risang didakwa dengan Dakwaaan Pertama melanggar Pasal 311 ayat (1) jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana atau Dakwaan Kedua melanggar Pasal 310 ayat (2) jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana atau Dakwaan Ketiga melanggar Pasal 310 ayat (1) jo Pasal 64 KUHPidana. Akhirnya Risang divonis bersalah berdasarkan Putusan PN Sleman No. 39/Pid B/2004/PN Sleman tertanggal 22 Desember 2004 jo Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 21/ PID/2005/PTY tertanggal 28 Maret 2005 jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 1374 K/Pid/2005 tertanggal 13 Januari 2006. Pengadilan memutuskan Risang terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (2) jo Pasal 64 ayat (1) KUHP dan di vonis 6 bulan penjara. Seperti halnya Risang, Bersihar Lubis dijatuhi pidana karena menulis dalam kolom opini yang terbit pada tanggal 17 Maret 2007 di Koran Tempo dengan judul “Kisah Interogator yang Dungu�. Atas laporan Kejaksaan Negeri Depok kepada Polres Depok maka pada 11 Juni 2007 Bersihar dipanggil oleh penyidik. Selanjutnya, perkaranya bermuara ke pengadilan. Bersihar didakwa bersalah melanggar pasal 207 KUHP dan Pasal 316 jo Pasal 310 ayat (1) KUHP tentang pencemaran dan penghinaan sebagaimana Surat Dakwaan No. Perkara PDM-20/Depok/08/2007 atas nama Bersihar Lubis. Kemudian, melalui Putusan Pengadilan Negeri Depok No. 744/Pid.B/2007/ PN.DPK., tertanggal 20 Februari 2008, Bersihar Lubis divonis 1 (satu) bulan dengan masa percobaan 3 (tiga) bulan penjara karena terbukti melakukan penghinaan dengan tulisan terhadap penguasa umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 KUHP. Atas dasar kerugian hak konstitusional yang dirasakan oleh terpidana, baik berupa harus menjalani pidana penjara, pembatasan untuk mencari nafkah, serta ketidakadilan serta proposionalitas hukuman dan bahaya penerapan pasal-pasal serupa atas masyarakat lain, maka pasal-pasal KUHP tersebut 3


BAB I

PENDAHULUAN

dimintakan untuk diuji materi. Keinginan menguji materi pasal dimaksud dimungkinkan mengingat Indonesia telah memiliki Mahkamah Konstitusi sejak reformasi politik. Kehadiran Mahkamah Konstitusi itu secara jelas disebutkan dalam pasal 24 C ayat (1) UUD 1945, yaitu: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum�. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, MK memiliki wewenang untuk �menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945�. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 2008, LBH Pers mendaftarkan permohonan atas nama Risang Bima Wijaya, SH, dan Bersihar Lubis untuk mengajukan permohonan uji materi Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal-pasal KUHP tersebut memiliki dasar yang kuat untuk dimintakan uji materi karena langsung dialami oleh korban dan terfokus pada ancaman sanksi pidana penjara yang tercantum pada pasal-pasal tersebut. Permohonan uji materi yang diajukan juga mengkualifikasi kerugian yang dialami korban, dalam hal ini Risang dan Bersihar. Atas permohonan tersebut, Kepaniteraan MK RI memberikan register perkara Nomor 14/PUU-VI/2008. Pada tanggal 15 Agustus 2008, permohonan tersebut telah ditolak Mahkamah. Dasar penolakannya antara lain karena norma yang diujikan adalah penerapan norma, bukan konstutisionalitasnya. Nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang adalah hak konstitusional yang harus dilindungi. MK juga berpendapat bahwa permohonan uji materi bukan kompetensi MK mengingat yang dimintakan untuk diuji adalah penerapan atas norma serta kewenangan yang dimiliki oleh legislatif (legislative review). Sebagai akibat penolakan tersebut, di satu sisi, maka pasal-pasal 310, 311, 316, dan 207 KUHP yang memberikan efek menakutkan (chilling effect), masih tetap berlaku. Padahal di lain pihak, di berbagai negara 4


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

pasal-pasal pencemaran nama baik terutama untuk institusi negara dan pejabat publik sudah dihapuskan. MK juga berlindung lewat UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. MK hanya melakukan pengujian atas norma, bukan penerapan norma. Secara teknis, MK menyatakan tidak melayani “komplain atas penerapan konstitusi� sebagaimana yang berlaku di berbagai Mahkamah Konstitusi negara lain.

Diskusi Terbatas Pencemaran Nama dalam KUHP, 17 September 2008

Selain itu, MK luput mempertimbangkan biaya-biaya sosial akibat setiap kali persoalan pencemaran nama baik muncul. MK juga luput dalam mencermati perkembangan ketatanegaraan modern yang berkembang di berbagai negara dengan tetap mempertimbangan ius constituendum dan ius constitutum. Padahal, hukum terus berkembang dan dinamis sebagaimana masyarakat (das sein dan das sollen). Apalagi dikaitkan dengan KUHP yang telah berlaku ratusan tahun dengan latar belakang geopolitik, ekonomi, dan sosial yang sudah banyak berubah. Seyogianya, menyesuaikan dengan perubahan ketatanegaraan itulah Mahkamah Konstitusi berpijak. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang tetap mempertahankan 5


BAB I

PENDAHULUAN

pasal warisan kolonial tersebut, jelas merupakan lonceng kematian bagi kebebasan berekspresi, menyatakan pendapat dan kebebasan pers yang setiap dapat saat siap dipakai untuk memenjarakan setiap orang yang kritis menyatakan pendapat yang dianggap menghina/mencemarkan nama baik penguasa dan atau pejabat negera/publik. Berangkat dari hal tersebut LBH Pers bersama pemangku kepentingan lainnya berencana melakukan eksaminasi publik atas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Eksaminasi ini perlu dilakukan sebagai bentuk kontrol masyarakat terhadap putusan yang dapat membayakan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers yang dijamin konstitusi.

B. Tujuan Eksaminasi dan Metode Secara umum eksaminasi ini bertujuan untuk membentuk atau menciptakan putusan yang kredibel dan pada gilirannya lembaga yudikatif dapat melahirkan putusan yang memiliki dasar, argumentasi, dan memperhatikan perkembangan zaman. Selain itu melalui pembentukan Lembaga Eksaminasi Publik, purtusan-putusan lembaga peradilan dapat memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum, dan mampu dipertanggungjawabakan pada zamannya. Secara khusus, tujuan eksaminasi adalah: 1. Menguji putusan Mahkamah Konstitusi dari sudut filosofis, yuridis dan sosiologis dalam konteks kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan kebebasan menyatakan pendapat di Indonesia. 2. Memfasilitasi masukan masyarakat khususnya akademisi/kalangan perguruan tinggi terhadap putusan peradilan melalui eksaminasi. Aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan eksaminasi tersebut yaitu: 1. Mengumpulkan data Perkara No. 14/PUU-VI/2008 perihal pengujian pasal-pasal KUHP terhadap UUD 1945. 2. Melakukan diskusi untuk merumuskan materi, proses dan hasil eksaminasi. 3. Melaksanakan eksaminasi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi melalui sidang eksaminasi. 4. Menerbitkan dan mendesiminasikan hasil eksaminasi dalam bentuk buku. Selain ketiga aktivitas ini, kami juga melakukan serangkaian diskusi yang bertujuan memperluas diskursus tentang tindak pidana pencemaran nama baik. Dalam pelaksanaan eksaminasi atas putusan MK ini, dilakukan 6


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

berbagai kegiatan, antara lain: 1) Menguji secara seksama apakah proses persidangan dalam perkara a quo sudah sesuai dengan kaedah penerapan hukum yang berlaku berdasarkan ilmu pengetahuan hukum konstitusi; 2) Melakukan analisis terhadap proses persidangan perkara a quo guna melihat sampai sejauhmana pertimbangan hukum dimaksud sesuai ataukah bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan, baik dalam tatanan hukum materil maupun hukum formil, dan apakah sudah memenuhi legal justice, moral justice, dan social justice; 3) Melakukan analisis terhadap efektivitas penerapan sejumlah undang-undang, konvensi, perjanjian atau deklarasi lembagalembaga internasional dan atau regional, menggali norma-norma hukum dan perbandingan hukum serta penerapan di berbagai negara di dunia yang berkaitan dengan kebebsan berekspresi dan pemidanaan dalam kasus pencemaran nama. 4) Melakukan diskusi guna mendorong dan memberdayakan partisipasi publik untuk terlibat lebih jauh dalam mempersoalkan proses suatu perkara dan putusan atas perkara tersebut yang dinilai kontroversial, serta dapat mendorong perkembangan ilmu hukum sesuai kebutuhan masyarakat. 5) Mendorong dan memberdayakan partisipasi publik untuk turut terlibat lebih jauh dalam menganalisis dan mempersoalkan proses peradilan sesuatu perkara dan putusan atas perkara a quo yang dinilai kontroversial, mencerminkan tidak adanya kepastian hukum dan melukai rasa keadilan rakyat; 6) Mendorong dan mensosialisasikan lembaga eksaminasi dengan membiasakan publik melakukan penilaian dan pengujian terhadap suatu proses peradilan, dan putusan lembaga pengadilan serta putusan-putusan lembaga penegakan hukum lainnya yang dirasakan dan dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum; 7) Melakukan kontrol sosial terhadap para hakim untuk meningkatkan integritas, kredibilitas, akuntabilitas, keahlian, wawasan terhadap perangkat peraturan hukum, perundangundangan dan perkembangan yang terjadi di bidang hukum, dan profesionalitasnya di dalam memeriksa dan memutus suatu perkara agar tidak melahirkan putusan-putusan kontroversial. Eksaminasi juga merupakan salah satu bentuk dari pengawasan dan mendorong publik untuk melakukan peran serta masyarakat membantu 7


BAB I

PENDAHULUAN

menciptakan adanya kondisi yang kondusif termasuk meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan dan kesejahteraan secara lebih baik.

C. Majelis Eksaminasi Untuk melakukan eksaminasi secara luas terhadap hal-hal yang dinilai saling berkaitan dalam proses persidangan perkara a quo maka dibentuklah suatu Majelis Eksaminasi. Majelis Eksaminasi ini dibentuk untuk menjaga hasil pengujian dan pemeriksaan putusan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan. Susunan anggota Majelis Eksaminasi terdiri dari orang-orang yang memiliki perhatian besar terhadap hukum dan memiliki basis keilmuan di bidang hukum pidana, tata negara, hak asasi manusia, kebebasan informasi dan pers. Melalui diskursus dan pertimbangan yang matang serta independen, akhirnya pelaksana kegiatan ini menetapkan beberapa orang dengan dan kriteria berasal dari unsur: akademisi, mantan Ketua Komnas HAM, praktisi, dan masyarakat sipil, yang diharapkan mempunyai posisi objektif, imparsial/ tidak memihak, dan tidak terlibat dalam perkara a quo. Disamping itu, kami mempertimbangkan, majelis eksaminasi ini dari kepentingan, hubungan atau keterkaitan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang dieksaminasi. Majelis Eksaminasi yang dibentuk tersebut, beranggotakan: 1. Agus Sudibyo, S.Sip., Msc. 2. Antonius Cahyadi, S.H., L.LM 3. Drs. Asmara Nababan 4. Bambang Widjojanto, S.H., L.LM 5. Susi Dwi Harijanti, S.H., L.LM

8


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEP

9


BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEP

A. Konsepsi tentang Hak Konsepsi pemikiran tentang hak merupakan topik abadi, dan akan selalu ada dalam setiap perkembangan pemikiran. Perbincangan mengenai hak akan selalu melibatkan dua hubungan yang sangat komplek yaitu tentang siapa yang memiliki hak dan kapan hak tersebut dapat direalisasikan. Ada tiga hal yang menjadi alasan mengapa konsepsi hak penting untuk diperbincangkan. Pertama, karena masing-masing hak akan mengidentifikasi suatu pihak sebagai pemilik atau pemegangnya. Kedua, karena hak adalah suatu kebebasan atau keuntungan. Ketiga, hak yang ditetapkan secara lengkap akan mengidentifikasi pihak-pihak mana saja yang harus berperan mengusahakan kebebasan atau keuntungan yang diidentifikasi oleh ruang lingkup hak tersebut.14 Perbincangan mengenai hak juga akan mengulas tentang fungsi hak itu sendiri. Setidaknya ada dua pemikiran yang paling umum mengenai

Direktur LBH Pers sedang memberikan sambutan pada Pembukaan sidang Eksaminasi I, 15 Oktober 2008 14

10

James. W. Nickel, Hak Asasi Manusia Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 21-22.


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

fungsi hak, yaitu teori kepentingan (interest theory) dan teori keinginan (will theory). Teori kepentingan yang terkait dengan tradisi Utilitarian, menyatakan bahwa fungsi hak adalah untuk mengembangkan kepentingan orang dengan memberikan dan melindungi keuntungan. Sebaliknya, teori keinginan, yang dihubungkan dengan tradisi Kantian, menyebutkan bahwa fungsi hak adalah untuk mengembangkan otonomi dengan memberikan dan melindungi otoritas, keleluasaan, atau kontrol di sejumlah bidang kehidupan. Menurut teori ini, hak dianggap berperan untuk menjamin ruang lingkup tertentu bagi keinginan orang, yakni kapasitas-kapasitas dalam pembuatan keputusan.15 Ada dua tokoh yang dianggap mendukung teori kepentingan yaitu Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Jeremy Bentham berpendapat bahwa memiliki suatu hak berarti berada di suatu posisi diuntungkan dari kewajiban orang lain. Sedangkan John Stuart Mill berpendapat bahwa hak moral yang universal memiliki justifikasi sebagai perlindungan bagi kepentingan-kepentingan yang sama dan paling mendasar.16 Sedangkan tokoh yang dianggap mewakili teori keinginan adalah Carl Wellman. Carl Wellman menyatakan bahwa fungsi suatu hak hukum adalah untuk mengatasi konflik dengan memberikan prioritas hukum bagi keinginan dan keputusan satu pihak di atas keinginan dan keputusan pihak lain. Hak hukum adalah alokasi suatu ruang kebebasan dan kontrol kepada pemilik hak agar ia leluasa menentukan keputusan-keputusan yang efektif di dalam wilayah yang ditetapkan.17 Pada dasarnya tidak terlalu penting mempertentangkan antara fungsi hak sebagai keinginan atau kepentingan, karena memang hak dapat memiliki lebih dari satu fungsi. Menurut James W Nickel, apabila pertimbangan keinginan dan kepentingan dirumuskan tentang tesis fungsi penting yang dimiliki hak, maka pertimbangan-pertimbangan ini akan saling bersesuaian dan bahkan saling mengoreksi. Tidak ada kontradiksi antara pernyataan “memberikan suatu ruang otoritas kepada pemilik hak adalah fungsi khusus dari hak� dengan “memberikan suatu keuntungan kepada pemilik hak adalah fungsi khusus dari hak�. Menurut James, tidak ada sesuatu pun yang mengharuskan untuk menguatkan salah satu pernyataan tersebut. Memang, James mengakui ada ketegangan antara tradisi pemikiran menurut Kantian dan Utilitarian dalam filsafat moral dan filsafat hukum. Namun yang pasti, penting untuk memandang bahwa memberikan atau melindungi otoritas, 15 Ibid., hlm. 28-29. 16 Ibid., hlm. 31 17 Ibid., 29.

11


BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEP

maupun memberikan dan melindungi keuntungan sebagai fungsi penting dari hak. Dengan demikian, kedua teori ini dapat dikombinasikan, sehingga dapat dikatakan bahwa hak berfungsi untuk mengarahkan perilaku dalam cara-cara yang menjadikan tersedianya kebebasan, perlindungan, peluang, kekebalan, kekuasaan dan keuntungan bagi si pemilik hak.18 Lebih lanjut James mengatakan konsep hak tidak memiliki fungsi tunggal. Hak akan berfungsi dalam beberapa hal: (i) menyediakan suatu kategori normatif yang bersifat mengikat, berprioritas tinggi dan baku; (ii), menyediakan dan melindungi suatu ruang otoritas; (iii), memberikan dan melindungi keuntungan atau barang; (iv) menyediakan suatu kosa kata normatif yang membuka peluang untuk “mengklaim” bermacam-macam pengertian oleh pemilik hak atau oleh pihak-pihak yang berkepentingan; dan (v) memberikan suatu fokus bagi sejumlah unsur-unsur Hoveldian.19 Dalam ruang yang lebih empirik, hak dapat ditemukan pada berbagai sistem norma, seperti moralitas, aturan organisasi, dan sistem hukum, baik sistem hukum lokal dan nasional maupun hukum internasional. Dalam konteks ini, hak dapat dibedakan menjadi hak hukum positif (positive legal right) dan hak moral (moral right). Hak hukum positif adalah hak yang diakui dan diterapkan pada sistem hukum dalam suatu kelompok tertentu. Hak ini juga lazim disebut sebagai hak konstitusional. Namun seringkali terjadi, pengakuan terhadap hak seperti ini hanya menjadikan hak sebagai “hak formal” atau “hak di atas kertas”. Lain halnya dengan hak moral. Hak moral dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu hak yang eksis di dalam moralitas-moralitas yang sesungguhnya (actual moralities) dan hak-hak yang eksis sebagai bangunan teoritis di dalam moralitas-moralitas yang kritis atau yang telah dijustifikasi, atau bahkan seandainya hak-hak itu tidak menjadi bagian dari moralitas aktual manapun. Dengan demikian hak moral adalah hak yang senantiasa eksis dalam suatu moralitas aktual di sebuah atau jumlah kelompok tertentu.20 Jika suatu hak telah menjadi bagian dari moralitas aktual dalam suatu komunitas, maka hak ini dapat dipakai sebagai standar argumen dan menjadi pedoman untuk mengevaluasi perilaku dan kebijakan sosial. Mereka yang menolak akan memperoleh kecaman, diasingkan, dikucilkan, bahkan dibunuh. 18 Ibid., 32. 19 Hoveldian mengklasifikasi hak dalam hak kebebasan, hak klaim, hak kekuasaan, dan hak

kebebasan.

20 Misalnya, ada aturan moral di tempat tertentu yang melarang untuk dibuka pakaiannya

secara paksa oleh orang lain. Hak ini bisa jadi telah eksis sejak sebelum adanya sistem hukum formal, dan kemudian aturan moral ini diakui dan ditegakkan melalui hukum formal.

12


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

Terkait dengan lahirnya atau diberikannya hak kepada seseorang, menurut James setidaknya ada tiga teori utama yang mengulasnya, yaitu;21 Pertama, teori pemberian hak. Teori ini sangat mendukung penggunaan hak secara liberal. Pada umumnya teori ini berpandangan, bahwa hak adalah suatu alasan moral yang sangat kuat tentang mengapa orang harus memiliki kebebasan, kekuasaan, perlindungan atau keuntungan tertentu. Menurut H.J. McCloskey, secara positif hak merupakan pemberian hak untuk dilakukan, dimiliki, dinikmati, atau sudah dilakukan, dan tidak secara negatif sebagai suatu hal yang seharusnya dimiliki seseorang.22 Dengan demikian, menurut McCloskey, suatu hak penuh tidak perlu menentukan siapa yang menanggug beban untuk memungkinkan tersedianya hak itu. McCloskey menyadari bahwa hak memang menimbulkan kewajiban, tetapi hendaknya lebih menekankan pemberian hak daripada kewajiban. Hak berakar kuat dalam sifat umat manusia untuk menjamin hak tertentu tersedia bagi manusia. Kedua, teori pemberian hak plus. Teori ini berpendapat, bahwa suatu hak tidak dapat dibentuk dengan hanya suatu pemberian hak semata-mata. Teori ini diajukan oleh Joel Feinberg yang membedakan antara klaim atas (claims to) keuntungan dan klaim terhadap (claims against) pihak-pihak yang mensuplai keuntungan. Feinberg berpendapat bahwa suatu hak klaim yang penuh merupakan kesatuan dari satu klaim yang absah terhadap suatu pihak. Teori pemberian hak plus sejalan dengan pandangan tradisional yang menyatakan bahwa hak adalah sekedar kewajiban dari sudut pandang seseorang yang berada pada satu posisi untuk mendapatkan keuntungan dari kinerjanya. Pandangan tradisional mengasumsikan: (i) bahwa semua hak adalah hak klaim; dan (ii) bahwa hak dapat dibentuk oleh suatu norma tunggal, seperti halnya suatu kewajiban bagi seseorang. Namun kedua asumsi ini sangat meragukan, karena pada umumnya hak dibentuk oleh kebebasan, kekebalan dan kekuasaan ataupun klaim-klaim yang menjadi hak seseorang. Mengambil contoh yang dikemukakan oleh David Lyon, hak atas kebebasan berbicara dalam konstitusi Amerika Serikat merupakan hak kekebalan. Dengan demikian hak ini menghapuskan kekuasaan Kongres untuk membuat undang-undang yang membatasi kebebasan berbicara. Dengan kata lain, membuat orang kebal terhadap undang-undang yang 21 22

James W Nickel, Op.cit., hlm. 40. James W. Nickel, Ibid.

13


BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEP

membatasi kebebasan berbicara. Jadi suatu hak harus menunjukkan arah normatif bagi perilaku para penanggungjawabnya. Arah ini dapat tercapai tidak hanya dengan membebankan kewajiban, melainkan juga dengan memberikan kebebasan, kekuasaan dan kekebalan kepada si pemilik hak, serta dengan membebankan kerugian-kerugian kepada si penanggung jawab hak.23 Ketiga, teori pemberian hak yang diimplementasikan melalui hukum. Seringkali muncul bahwa hak merupakan gagasan hukum. Pandangan ini menganggap, praktek penegakan hukum adalah sentral bagi eksistensi hak, sementara hak nonhukum adalah hak-hak palsu. Menurut Jeremy Bentham, ide tentang hak yang tidak diciptakan oleh hukum adalah omong kosong belaka. Bentham berpandangan, bahwa membicarakan hak moral dan hak alamiah adalah berbahaya secara politis dan benar-benar tidak dapat dipahami. Anjuran pada hak-hak nonhukum sebagai taktik retorika belaka. Tanpa ada suatu pengadilan yang memutuskan siapa yang memiliki hak dan apa yang dimaksudkan dengan hak, perbincangan tentang hak tidak punya arti apa-apa.24 Meskipun demikian, pandangan ini tidak luput dari kritik. Sebab, tidak ada satu pun jaminan bahwa pengadilan dan hakim dapat menjawab pertanyaan apakah suatu kebijakan tertentu akan memaksimalkan utilitas.

B. Kebebasan Berekspresi dalam Sistem Demokrasi Membicarakan kemerdekaan berekspresi, otomatis akan terkait dengan hak asasi manusia. Sebab, salah satu hak paling asasi yang dimiliki manusia adalah kemerdekaan berekspresi. Beberapa kalangan menyebut, Revolusi Prancis adalah tonggak awal bagi kesadaran rasionalitas masyarakat terhadap pentingnya kemerdekaan, setelah sekian lama kemerdekaan itu diinjak-injak dan terpenjara dalam bingkai dogma keagamaan. Revolusi Prancis telah berhasil menggugah kesadaran masyarakat, walaupun kesadaran itu harus ditebus dengan ribuan nyawa dan gelimang darah yang akhirnya menumbuhkan tiga gumpalan kesadaran bersama umat manusia untuk saling menghormati harkat dan martabat kemanusiaan tanpa melihat ras, suku, agama dan warna kulit. Ketiga gumpalan kesadaran itu adalah kesamaan (equality), kebebasan (liberty) dan persaudaraan. 23 24

14

James W. Nickel, Ibid., hlm. 45-46. Ibid., hlm. 48.


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

Pada abad ke-17, JJ. Rousseau dalam bukunya Du Contract Sosial telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan bagi manusia. Rosseau mengatakan bahwa menurut kodrat alaminya manusia bersifat merdeka, tetapi kemudian terbelenggu setelah terlepas dari kodrat alamiah tersebut. Rousseau menyatakan “man, was born free, he is everywhere in chains�.25 Apa yang diungkapkan ini menunjukkan bahwa manusia itu merdeka, tetapi kemerdekaan itu terampas dari dirinya karena adanya konvensi, adat istiadat, pembatasan–pembatasan yang melibatkan lembaga-lembaga ekonomi dan politik negara. Pada akhirnya pengaturan berubah menjadi pembatasan yang bertolak belakang dengan fitrah manusia. Muhammad Hasyim Kemali mendefinisikan kemerdekaan sebagai kemampuan individual untuk mengatakan atau melakukan, atau menghindari untuk melakukannya, tanpa melanggar hak-hak orang lain atau batasan yang digariskan oleh hukum.26 Muhammad Hasyim Kamali memiliki pendapat berbeda dari Rousseau. Menurut Kamali kemerdekaan itu harus sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Sementara Rousseau menganggap, bahwa hilangnya kebebasan dan kemerdekaan seseorang justru diakibatkan oleh berbagai macam undang-undang dan ketentuan yang dibuat oleh manusia sendiri. Secara eksistensial, gagasan kebebasan berekspresi sudah dikenal sejak manusia ada di dunia. Sebab, secara fitrah manusia adalah makhluk yang merdeka dan dilahirkan dalam kemerdekaan. Kemerdekaan itulah antara lain yang telah membedakan manusia dengan makhluk lain. Kemerdekaan berekspresi adalah salah satu dari hak-hak dasari yang dimiliki setiap orang sejak ia dilahirkan. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, tanpa jaminan kebebasan manusia tidak mungkin dapat mengembangkan potensi dirinya secara wajar dalam kualitasnya yang utuh, baik jasmani maupun rohaninya, baik dalam eksistensinya sebagai individu maupun mahluk sosial. Manusia memerlukan kebebasan agar dapat berkomunikasi dengan sesamanya guna mempertukarkan pendapat, pengetahuan dan informasi baik yang faktual maupun yang normatif.27 Dalam banyak hal, terjadi reduksi terhadap kebebasan seseorang ketika lahir norma-norma sosial dalam berbagai bentuk. Meminjam analisis W.T 25

26 27

Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, (Jakarta: Darul Falah, 199), hlm. 192 Muhammad Hasyim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 19. Soetandyo Wignjosoebroto dalam pengantar dalam buku karangan Meuthia G. Rahman, dkk, HAM sebagai Parameter Pembangunan, (Jakarta: Eslam, 1997), hlm., ix-x.

15


BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEP

Jones, bahwa peraturan-peraturan adalah penjara dalam bentuk tipetipe atau struktur sosial yang telah diciptakaan oleh manusia sendiri. Menurut Jones, struktur sosial tersebut telah memperbudak manusia dan menyebabkan terjatuh dari kesejahteraan dirinya dan kebebasan.28 Frans Magnis Suseno berpendapat bahwa kemerdekaan ditandai dengan pemberian kebebasan kepada seseorang untuk mengikuti suara hatinya dan dibiarkannya kebebasan kepada seseorang untuk mengikuti suara hatinya dan diberikannya manusia hidup dan bertindak sesuai dengan suara hatinya, sejauh tidak mengurangi hak-hak anggota masyarakat lain atau bertentangan dengan kepentingan masyarakat yang wajar.29 Jadi, kemerdekaan berpendapat adalah hak dasar yang dimiliki oleh manusia untuk mengemukakan pendapatnya secara bebas dengan tetap memegang prinsip-prinsip moral dan etika kemasyarakatan. Selama ini telah terjadi dua kali Perang Dunia. Perang Dunia pertama dan perang dunia kedua. Keduanya melibatkan negara seluruh dunia, sehingga menimbulkan korban yang tak terhingga. Perang Dunia adalah sebuah tragedi kemanusiaan, yang telah merampas hak asasi manusia dan menginjak-injak martabat manusia. Dalam perjalanan sejarah umat manusia telah terjadi banyak gejolak di masyarakat, yang melibatkan antar negara atau antara masyarakat itu sendiri Masyarakat menghendaki perlindungan hak asasi manusia dan diberikan kemerdekaan untuk menentukan masa depan hidupnya. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, maka telah lahir beberapa naskah penting yang berkaitan dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Naskah tersebut antara lain:30 1. Magna Charta (Piagam Agung, 1215). Suatu dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan oleh Raja John dari Inggris kepada beberapa bangsawan bawahanya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan Raja John. 2. Bill of Rights (Undang-Undang Hak, 1689). Suatu undang-undang yang diterima oleh parlemen Inggris sesudah berhasil mengadakan perlawanan terhadap Raja James II melalui suatu revolusi tak berdarah (the Glorious Revolution of 1688). 3. Declaration des drsits de I’homme et du citoyen (Pernyataan hak-hak manusia dan warga Negara, 1789). Suatu naskah yang

28 29 30

16

Ahmad Suhelmi, Op Cit, hlm. 192. Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip – Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 149 Miriam Budiardjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 120.


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

dicetuskan pada permulaan Revolusi Prancis, sebagai perlawanan terhadap kesewenang-wenangan rezim lama. 4. Bill of Right (Undang-Undang Hak, 1789). Suatu naskah yang disusun oleh para pendiri negara Amerika Serikat pada tahun 1789 (bersamaan dengan deklaras Perancis), dan yang menjadi bagian dari Undang-Undang Dasar Amerika Serikat pada tahun 1791. Pada permulaan abad 20 beberapa naskah penting tersebut, dirasa kurang relevan dan tidak menjamin kemerdekaan atau kebebasan masyarakat terutama dalam hak-hak politik. Maka pada tahun 1942 muncul kesempakatan untuk mendirikan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam deklarasi pendirian PBB disebutkan pentingnya untuk menjaga kehidupan, kebebasan, independensi dan kebebasan beragama, serta untuk mempertahankan hak asasi manusia dan keadilan�.31 Melanjutkan gagasan Deklarasi PBB, Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt menyampaikan pesan yang ditujukan kepada Kongres Amerika Serikat beberapa hak dasar yang harus dihormati oleh setiap orang. Hak-hak yang disebut Presiden Roosevelt dikenal dengan istilah the Four Freedoms (empat kebebasan), yaitu: 1. Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech) 2. Kebebasan beragama (freedom of religion). 3. Kebebasan dari ketakutan (freedom from fear). 4. Kebebasan dari kemelaratan (freedom from want). Tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan ide Roosevelt tentang the Four Freedom sangat dipengaruhi oleh kondisi dunia pada waktu itu, khususnya reaksi terhadap agresi Nazi Jerman yang dengan bebas menginjak-injak hak asasi manusia. Klimaks dari keinginan untuk mengormati hak asasi manusia, adalah munculnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Humas Rights), 1948. Deklarasi ini kemudian disusul beberapa konvensi dan kesepakatan bersama yang memberikan pengakuan atas hak asasi manusia. Konvensi dan kesepakatan itu antara lain: Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms), 1950; Perjanjian internasional tentang hak-hak sipil dan politik (Convenant on Civil and Political Rights), 1966; Perjanjian international tentang hak-hak 31

James W. Nickel. Op.Cit. hlm. 1

17


BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEP

ekonomi, social dan budaya (Convernant of Economic, Social and Cultural Rights), 1966. Dari sekian banyak konvensi dan perjanjian internasional tersebut di atas, semuanya menghendaki penghormatan yang layak terhadap hak asasi manusia, termasuk pengormatan terhadap kebebasan berekspresi. Pengakuan dan penghormatan itu sejalan dengan pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia: “setiap orang berhak atas kebebasan beropini dan berekspresi, hak ini ini meliputi kebebasan untuk memiliki opini tanpa intervensi, serta untuk mencari, menerima dan mengungkapkan informasi serta gagasan melalui media apapun dan tidak terikat pada garis berpendapat.”32 Hal serupa disinggung dalam pasal 18: ”Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir..” Pada tahun 1950 negara-negara Eropa membuat satu konvensi yang terkenal dengan konvensi Eropa, yang ditandatangani oleh Majelis Eropa (Council of Europe) di Roma. Ada langkah yang lebih maju dari hasil konvensi ini, yaitu didirikannya Mahkamah Hak-Hak Asasi Eropa (European Court of Human Rights) pada tahun 1959. Meskipun lembaga ini belum bisa berjalan dengan maksimal dan terbatas pada beberapa negara saja seperti Australia, Belgia, Dermak, Islandia, Irlandia, Luxemburg, Negeri Belanda, Norwegia, Swedia dan Jerman Barat.33 Kebebasan berpendapat dalam konvensi Eropa termasuk dalam pasal 10 yang di dalamnya terdiri dari dua ayat, sebagai berikut: Pasal 10 ayat (1) menyebutkan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi. Hak ini harus meliputi kebebasan untuk memiliki opini serta untuk menerima dan mengungkapkan informasi serta gagasan tanpa intervensi dari otoritas pemerintah dan tidak terikat pada garis perbatasan. Pasal ini tidak boleh menghalangi negara-negara untuk mensyaratkan izin bagi usaha-usaha penyiaran, televisi dan bioskop;” Pasal 10 ayat (2) menyebutkan: “Pelaksanaan kebebasan-kebebasan ini, karena membawa kewajiban dan tanggung jawab masing-masing, boleh dikenai tata cara, syarat, pembatasan atau hukuman yang telah ditetapkan oleh hukum dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis, demi keamanan nasional, kedaulatan wilayah atau keselamatan umum, 32 33

18

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dalam James W. Nickel, Op Cit. hlm. 265 - 266 Miriam Budiardjo, Op.cit., hlm. 125.


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

demi pencegahaan kekacauan atau kejahatan demi pelindungan atau kesehatan atau moral, demi perlindungan nama baik atau hak orang lain, demi pencegahan pembenaran informasi yang diterima secara rahasia, atau demi pemeliharaan otoritas atau ketidak berpihakan pengadilan”.34 Secara substantif, isi pasal dalam Konvensi Eropa ini tidak jauh berbeda dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Bahkan terlihat ada kesamaan antara keduanya. Cuma, pada Konvensi Eropa ada beberapa catatan penting yang tetap harus diperhatikan dalam kebebasan berpendapat, agar kebebasan seseorang tidak merampas kebebasan orang lain. Hal itu terlihat dalam ayat kedua yang memberikan rambu-rambu, bahwa dalam keadaan membawa konsekuensi bagi Eropa, perlu ada pengaturan lebih lanjut termasuk di dalamnya sanksi atau hukuman bagi yang melakukan pelanggaran. Tetapi pengaturan yang dimaksud dalam Konvensi ini masih berpijak dalam koridor negara demokrasi. Sehingga peraturan tersebut hanya bersifat pengaturan, bukan pembatasan. Pasal 19 ayat (2) menyebutkan : “Setiap orang harus berhak atas kebebasan berekspresi, hak ini harus meliputi kebebasan untuk mencari, menerima serta mengungkapkan segala jenis informasi dan gagasan, terlepas dari garis perbatasan, secara lisan, tulisan atau terletak dalam bentuk karya seni, atau melalui segala media lain pilihannya sendiri.” Pasal 19 ayat (3) menyebutkan : Pelaksanaan hak-hak yang dijamin dalam ayat (2) pasal ini membawa kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab tersendiri. Karena hal ini tunduk pada pembatasan-pembatasan tertentu, tetap ini hanya boleh dilakukan sebagaimana yang ditetapkan oleh hukum dan yang diperlukan: (a) untuk menghadapi hak atau nama baik orang lain; (b) untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan atau kesesuaian umum.” 35 Kovenan internasional hak-hak sipil dan politik semakin memperkuat jaminan terhadap kebebasan berekspresi. Jaminan tersebut secara eksplisit tercantum dalam pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), sebagai berikut: 34 35

Konvensi Eropa dalam lampiran James W Nickel, Op Cit, hlm. 275 Perjanjian Internasional Tentang Hak–Hak Sipil dan Politik dalam lampiran buku James W Nickel, Ibid., hlm. 312

19


BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEP

(1) Semua orang berhak untuk memiliki pendapat tanpa sedikit pun diganggu. (2) Semua orang mempunyai hak kebebasan berekspresi yang mencakup kebebasan mencari, menerima, menyebarluaskan informasi dan gagasan dalam bentuk apapun, tanpa memandang batas-batas, baik lisan, tertulis maupun cetak, dalam bentuk seni, atau melalui media apapun yang menjadi pilihannya. Kovenan ini juga mengakomodir kemungkinan adanya pembatasan. Namun pembatasan itu harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu: (1) pembatasan harus disebutkan secara jelas dalam undang-undang (provided by law); (2) pembatasan bertujuan untuk melindungi kepentingan yang sah (for the prupose of safeguarding a legitimate interest); dan (3) pembatasan tersebut benar-benar dibutuhkan (necessary) untuk melindungi kepentingan tersebut.36 Kovenan lain yang menyinggung kebebasan berekspresi adalah Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Kovenan ini banyak mengatur masalah-masalah hak-hak sosial ekonomi. Secara tersurat dalam salah satu pasalnya yaitu pasal 15 ayat (1) butir a disebutkan: Negaranegara peserta perjanjian ini mengakui hak setiap orang untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya,�37 Kehidupan budaya tidak hanya dimaknai secara sempit yaitu seni, tetapi budaya dalam arti yang sesungguhnya yaitu seluruh prilaku masyarakat. Dalam butir ini disebutkan bahwa negara menjamin setiap partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat mengandung arti luas, termasuk di dalamnya mengeluarkan opini atau pendapat. Dengan kata lain, Konvensi tentang Hak-Hak Ekonomis, Sosial dan Budaya juga menghargai kebebasan berekspresi. Dari uraian tersebut di atas, ada kemauan yang sungguh-sungguh dari dunia internasional untuk menghormati hak asasi manusia, termasuk di dalamnya kebebasan berekspresi. Hal ini dapat menjadi landasan bagi bangsa Indonesia untuk membangun demokrasi yang sesungguhnya, dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk memikirkan masa depan bangsa dan negara dengan memberikan kemerdekaan berpendapat.

36 37

20

Hendrayana, dkk., Kebebasan Demokrasi dalam Negara Demokrasi, (Jakarta: LBH Pers dan Yayasan TIFA, 2007), hlm. 9-10. Perjanjian Internasional tentang Hak – Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam lampiran James W, Nickel., Op.cit., hlm. 336


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

Dalam negara demokrasi, keberadaan pers sangat strategis, sehingga menjadi penting pula memperdebatkan keberadaannya. Dalam merespon kebebasan pers, setidaknya ada dua aliran yang mengemuka, yaitu aliran social responsibility dan aliran Libertian. Salah satu manifestasi dari kebebasan berekspresi adalah kebebasan berpendapat, dan salah satu wujud dari kebebasan berpendapat adalah adanya kemerdekaan pers. Menurut Prof. Oemar Seno Adji, pers dalam arti sempit merupakan manifestasi dari kebebasan pers (freedom of the press), sedangkan dalam arti luas merupakan manifestasi dari kebebasan berpendapat (freedom of the speech), dan keduanya merupakan manifestasi dari kebebasan berekspresi (freedom of expression).38 Beberapa negara yang sistem demokrasinya telah maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris, menganggap kebebasan pers bukan hanya sekedar pemenuhan atas hak untuk bebas berpendapat, tetapi juga pemenuhan atas hak untuk memperoleh informasi (right to information). Antara hak untuk bebas berpendapat dengan hak terhadap informasi terus mencari keseimbangan (equilibrium). Sehingga pada satu sisi, pers akan melahirkan prinsip pers yang berbudi luhur (the virtuous journalism) sebagai wujud idealisme pers. Pada sisi lain, pers tidak semata-mata mengedepankan sajian yang menjadi refleksi dari kehendak para penyajinya, tetapi juga sekaligus berfungsi sebagai lahan pengabdian yang berpijak pada kebutuhan informasi pembaca.39 Kebebasan berpendapat adalah kebebasan dasar manusia yang secara yuiridis diakui oleh UUD. Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 hasil amandemen pasal 28: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang–undang�. Sementara pasal 28F menyatakan, bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Selain dijamin oleh konstitusi, kebebasan berpendapat juga dijamin oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Jaminan tersebut tertuang dalam pasal 23 ayat (2) yang menyatakan, bahwa setiap orang 38 39

Indriyanto Seno Adji, Hukum dan Kebebasan Pers, (Jakarta: Diadit Media, 2008), hlm. 89. Syamsul Wahidin, Hukum Pers, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 10-11.

21


BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEP

bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik, dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa. Terkait dengan kebebasan berpendapat, khususnya kemerdekaan pers terdapat regulasi lain setingkat Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 1 UndangUndang No. 9 Tahun 1998 menyatakan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan menurut ketentuan pasal 4 dan 6 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum sehingga pers tidak boleh dikenai penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran dan pers dijamin haknya untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Dalam konteks demokrasi, pers memiliki peran strategis dan memegang andil besar dalam menjamin berjalannya proses demokrasi. Karena stategisnya peran pers, maka di Amerika Serikat pers seringkali ditempatkan sebagai kekuatan keempat setelah kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Peran pers adalah mengawal dan memastikan agar prinsip demokrasi dan pemenuhan hak asasi setiap orang dapat terpenuhi. Pers dalam posisi ini diharapan dapat menjadi media terbuka sebagai penyalur aspirasi, media informasi dan menjadi jembatan bagi berbagai kepentingan yang ada di masyarakat, terutama mengkomunikasikan antara kepentingan masyarakat dengan pemerintah/penyelenggara negara. Indonesia merupakan negara demokrasi, sehingga negara ini juga harus menjamin kebebasan pers sebagai manifestasi dari kebebasan berpendapat. Berbagai jaminan konstitusional kebebasan berpendapat dalam instrumen hukum internasional harus menjadi spirit bagi berbagai regulasi dan kebijakan di tingkat nasional. Berbagai peraturan perundangundangan yang mengatur dan terkait dengan kebebasan pers tidak boleh mereduksi kebebasan berpendapat dan hak untuk memperoleh informasi, sebagaimana telah dijamin secara kuat dalam konstitusi.

22


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

C. Konsepsi Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dalam Sistem Hukum di Indonesia Penghinaan atau defamation secara harfiah diartikan sebagai sebuah tindakan yang merugikan nama baik dan kehormatan seseorang. Perkembangan awal pengaturan defamation telah dikenal sejak 500 SM, sebagaimana ditandai melalui rumusan “twelve tables� di era Romawi Kuno. Akan tetapi, ketentuan ini seringkali digunakan sebagai alat pengukuhan kekuasaan otoritarian dengan hukuman-hukuman yang sangat kejam. Hingga, pada era Kekaisaran Agustinus (63 SM) peradilan kasus defamation (lebih sering disebut libelli famosi) terus meningkat secara signifikan. Dan, secara turuntemurun diwariskan pada beberapa sistem hukum di negara lain, termasuk Inggris dalam lingkungan Common Law, dan Prancis sebagai salah satu negara penting pada sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law). Di Indonesia, sebagian besar muatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan duplikasi Wetboek van Strafrecht voor Nedherland Indie yang pada dasarnya sama dengan KUHP Belanda (WvS). KUHP Belanda yang diberlakukan sejak 1 September 1886, merupakan kitab undang-undang yang cenderung meniru pandangan Code Penal Prancis yang sangat banyak dipengaruhi sistem hukum Romawi. Menurut KUHP setidaknya dikenal tiga jenis tindak pidana terkait dengan penghinaan, yaitu pencemaran sebagaimana diatur dalam pasal 310 KUHP, fitnah diatur dalam pasal 311 KUHP, dan penghinaan ringan dirumuskan dalam pasal 315 KUHP. Terkait dengan pencemaran, pasal 310 KUHP mengatur: (1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau denda paling banyak Rp300 (tiga ratus rupiah). (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah karena pencemaran tertulis diancam pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp300 (tiga ratus rupiah). (3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. 23


BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEP

Sedangkan terkait dengan fitnah, pasal 311 mengatur: (1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka ia diancam dengan melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. (2) Pencabutan hak-hak tersebut dalam pasal 35 no. 1 - 3 dapat dijatuhkan. Penghinaan ringan atau sederhana diatur dalam pasal 315 KUHP: “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan maupun dimuka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirim atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu atau denda paling banyak Rp300 (tiga ratus rupiah)�. Selain delik penghinaan sebagaimana tersebut di atas, KUHP juga mengatur delik penghinaan lain, yaitu: delik penghinaan terhadap sesama rakyat/ warga (pasal 156-157, 162-163 bis), delik penghinaan terhadap pemerintah Indonesia (pasal 154, 155, 160, 161), delik penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (pasal 134, 136bis, dan 137),40 delik penghinaan terhadap kepala dan wakil kepada negara sahabat (pasal 142, 143, 144 dan 145), delik penghinaan terhadap agama (pasal 156a), delik pembocoran rahasia Negara dan jabatan (pasal 112, 113, 114, 115 dan 116), delik pornografi dan pornoaksi (pasal 281, 282, 283, 533, 534, dan 535 dan pasal 299, 346, 347, 348, dan 350). Setidaknya ada tiga unsur agar tindak pidana penghinaan terpenuhi yaitu menyerang nama baik, adanya kesengajaan, dan di depan umum. Sedangkan menurut pendapat doktrin dan yurisprudensi, penghinaan pada umumnya menggunakan ukuran pandangan masyarakat atau ukuran objektif. Penghinaan harus merupakan penghinaan dalam anggapan masyarakat dimana penghinaan itu dilakukan. Penghinaan menurut Pasal 310 ayat (1) dan (2) di atas dapat dikecualikan (tidak dapat dihukum) apabila tuduhan atau penghinaan itu dilakukan 40

24

Pasal ini telah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan Perkara No. 013/PUU-IV/2006 yang diajukan oleh Eggy Sudjana.


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

Diskusi Publik Kejahatan terhadap Kehormatan dlm rangka Desiminasi dan Sosialisasi Eksaminasi Put MK, 20-11-08

untuk membela “kepentingan umum� atau terpaksa untuk “membela diri�. Patut atau tidaknya pembelaan kepentingan umum dan pembelaan diri yang diajukan oleh tersangka terletak pada pertimbangan hakim. Menurut Muladi, yang bisa melaporkan pencemaran nama baik seperti yang tercantum dalam Pasal 310 dan 311 KUHP adalah pihak yang diserang kehormatannya, direndahkan martabatnya, sehingga namanya menjadi tercela di depan umum. Namun, tetap ada pembelaan bagi pihak yang dituduh melakukan pencemaran nama baik apabila menyampaikan suatu informasi ke publik. Pertama, penyampaian informasi itu ditujukan untuk kepentingan umum. Kedua, untuk membela diri. Ketiga, untuk mengungkapkan kebenaran. Sehingga orang yang menyampaikan informasi, secara lisan ataupun tertulis diberi kesempatan untuk membuktikan bahwa tujuannya itu benar. Kalau tidak bisa membuktikan kebenarannya, itu namanya penistaan atau fitnah. Dalam sistem hukum di Indonesia belum ada definisi hukum yang tepat tentang apa yang disebut pencemaran nama baik. Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) yang selama ini diberlakukan merupakan duplikasi Wetboek van Strafrecht voor Nedherland Indie yang pada dasarnya sama dengan KUHP Belanda (WvS). Pasal-pasal dalam KUHP yang mengatur pencemaran nama baik/penghinaan sebagai aturan pembatasan dalam kebebasan berekspresi dan kemerdekaan berpendapat, khususnya bagi kalangan pers yang seringkali tak jelas dan lebih dimotivasi keinginan dari pembuat undang-undang untuk membatasi akses masyarakat terhadap informasi, terutama terhadap beragam informasi yang mempunyai dampak terhadap kehidupan masyarakat. 25


BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEP

D. Sanksi Pidana Salah satu aspek dalam hukum pidana adalah politik pemidanaan. Salah satu tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat (social defence) dengan rumusan mencegah terjadinya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat dan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Secara umum, teori pemidanaan dibagi dalam dua kelompok besar yaitu teori absolut atau pembalasan dan teori relatif atau tujuan kelompok. Teori pembalasan memiliki turunan yang bermcam-macam, mulai dari pembalasan murni sebagai tuntutan kesusilaan dan penebusan doa, yang bersifat limitatif agar tidak melebihi bobot kesalahan, hingga yang bersifat distributif yang memungkinkan bentuk pemidaan jenis lain asalkan sepadan. Sebaliknya, teori relatif sangat menekankan adanya kebutuhan restorasi sosial dan nilai kemanusiaan yang terenggut dari masyarakat dan dari pelaku itu sendiri. Kelompok teori ini juga beragam, namun pada intinya pandangan tersebut lebih mengedepankan unsur pencegahan dan pemulihan, yang dilakukan dengan pemidanaan atau dengan model kerja sosial yang tidak selalu berupa hukuman penderitaan.41 Teori pembalasan membenarkan hukuman dengan dasar si terhukum memang layak dihukum atas kesalahan yang sudah terbukti secara sadar dilakukan. Sedangkan teori relatif membenarkan hukuman atas dasar prinsip kemanfaatan. Berdasarkan pandangan ini, sebuah hukuman akan menimbulkan dampak positif bagi masyarakat. Kedua teori mempunyai kelemahan. Pembalasan tidak dapat meyakini secara sosial bahwa setiap hukuman akan membawa konsekuensi positif pada masyarakat. Sebaliknya, teori relatif tidak dapat mengakui bahwa penjatuhan hukuman sematamata oleh karena kesalahannya dan bahwa hukuman itu merupakan kesebandingan retributif. Konflik antara dua teori ini nampaknya tidak bisa dihindari. Pada hakekatnya hukum diberlakukan untuk memberikan keseimbangan antara berbagai kepentingan yang ada di masyarakat. Lebih jauh dari itu, sebenarnya hukum juga diperlukan untuk memberikan perlindungan bagi 41

26

Miftahussurur dan Suma Mihardja, Delik-Delik Keagamaan di dalam RUU KUHP di Indonesia, (Jakarta:Elsam, 2007), hlm. 20.


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

hak-hak publik. Konsep hukum juga terkait dengan hak asasi manusia, sehingga politik pemidanaan juga sangat ditentukan oleh pemikiran hak asasi manusia. Dalam perkembangan hukum modern menunjukkan adanya penghargaan yang lebih tinggi terhadap kebebasan berekspresi dan jaminan terhadap hak asasi manusia secara integratif. Perkembangan ini merupakan turunan dari pendekatan teori relatif. Menurut teori relatif, fungsi hukum pidana adalah memerangi kejahatan sebagai realitas aktual dalam masyarakat. Dengan demikian hukum pidana juga harus mempertimbangkan aspek-aspek non hukum seperti sosial dan antropologi, sehingga hukum yang dirumuskan akan memperhatikan juga norma-norma yang hidup dalam masyarakat dan berpegang pada hak asasi manusia. Dalam tindak pidana ada dalil penting yang perlu dipertimbangkan, yaitu dalil ultimum remidium. Menurut dalil ini hukum pidana merupakan sarana terakhir dalam menentukan perbuatan apa saja yang harus dikriminalisasi. Oleh karena itu, untuk menjaga dalil ini perlu mempertimbangkan beberapa aspek agar tidak terjadi over criminalization. Dalam konteks negara demokrasi, penting mempertanyakan relevansi pemberian sanksi pidana terhadap kasus-kasus pencemaran nama baik. Di negara-negara yang secara konsisten menerapkan demokrasi, pasalpasal pencemaran nama baik dalam hukum pidana dianggap sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Oleh sebab itu, tindakan yang dianggap merugikan reputasi seseorang, biasanya akan dimintai pertanggungjawaban melalui hukum perdata, bukan pidana. Di Amerika Serikat misalnya, tidak dikenal pertanggungjawaban pidana untuk tindakan pencemaran nama baik atau penghinaan, karena dianggap bertentangan dengan First Amandement dalam Konstitusi AS yang menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Hal ini semakin tegas setelah muncul putusan Mahkamah Agung AS dalam kasus New York Times v. Sullivan pada 1964.42 Melalui putusan tersebut, Mahkamah Agung AS menyebutkan bahwa pejabat pemerintah (dan nantinya semua public figure), hanya dapat meminta pertanggungjawaban media atau mereka yang melontarkan pernyataan, jika mereka dapat membuktikan secara meyakinkan dan jelas bahwa yang dikatakan terhadap mereka secara faktual salah. Selain itu, pada saat hal itu dikatakan atau dipublikasikan, yang menyatakan atau 42

Hukumonline.com, Senin, 17 Novemper 2008, Kasus Pencemaran Nama Baik Lebih Tepat Diselesaikan Secara Perdata.

27


BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEP

mempublikasikan telah mengetahui bahwa hal itu kemungkinan salah. Sejak keluarnya putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tersebut, gugatan perdata pun sangat jarang diajukan terhadap kasus pencemaran nama. Sebab, penggugat harus membuktikan apa yang disampaikan itu salah dan ada kesengajaan untuk menyatakan atau mempublikasikan hal itu walau telah diketahui bahwa itu salah.43 Hal yang sama terjadi di Belanda, negara kelahiran KUHP yang masih dipertahankan di Indonesia sampai saat ini. Ketentuan tentang pencemaran nama baik dalam perangkat perundang-undangan Belanda telah berubah dari apa yang ada di Indonesia. Ketentuan pencemaran nama baik dalam KUHP Belanda telah berubah sejak 1978.

Bambang Widjojanto, notulen dan Antonius-Sidang II Eksaminasi, 6-11-2008

Kritik terhadap penggunaan sanksi pidana terkait dengan pencemaran nama baik juga dikemukakan oleh Toby Mendel. Toby adalah Direktur Artikel 19, sebuah organisasi internasional yang mengkampanyekan kebebasan. Menurut dia ada dua alasan mengapa pencemaran nama baik seharusnya bukan merupakan masalah pidana. Pertama, menggunakan hukum pidana menunjukkan ada ketidakseimbangan dalam menyelesaikan masalah serangan terhadap reputasi dengan membahayakan kebebasan berpendapat. Kedua, pencemaran nama baik dalam hukum perdata telah menyediakan balasan yang setara untuk reputasi yang terkoyak. Pengalaman 41

28

Ibid.


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

di berbagai negara, termasuk negara miskin seperti Ghana, Ukraina dan Srilanka, telah menunjukkan hal itu. Di negara-negara itu, penghapusan ketentuan pidana tentang pencemaran nama baik tidak mengakibatkan semakin banyaknya pencemaran nama baik, secara kualitatif maupun kuantitatif. Di berbagai negara lain, pasal pencemaran nama baik tidak menarik bagi penuntut umum. Pasalnya, ketentuan itu menuntut adanya pembuktian bahwa hal yang dituduhkan salah, dan bukti bahwa hal itu dilakukan dengan sengaja dengan tujuan menyakiti seseorang. Sehingga, sangat sulit bagi penuntut untuk membuktikan kesengajaan melakukan perbuatan itu.44

E. Mahkamah Konstitusi

Konstitusi

sebagai

Penafsir

Tertinggi

Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai salah satu instrumen demokrasi di Indonesia dibentuk melalui perubahan ketiga UUD 1945 (2001). Ide dasar pembentukan MK adalah untuk mempertegas faham konstitusionalisme dimana setiap kekuasaan politik memilik batas kewenangan. Dalam sistem katatanegaraan, MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) sekaligus sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of constitution). Selain itu, MK juga berperan untuk memberikan perlindungan atas hak asasi manusia (the protection of human rights) dan mengawal pelaksanaan demokrasi (the guardian of democracy) dalam kerangka negara hukum (the rule of law). Berdasarkan ketentuan UUD 1945, MK merupakan institusi tertinggi dan terakhir dalam menafsir konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD.45 Melalui putusan-putusannya, lembaga ini menjadi institusi yang sangat powerful dan menentukan berbagai aspek dalam bernegara. Putusan MK selalu membawa implikasi luas dan significant baik terhadap lembaga negara maupun bagi warga negara. Dalam pengujian peraturan perundang-undangan, MK akan selalu terlibat dengan ruang penafsiran. Penafsiran atas suatu teks konstitusi merupakan suatu aktivitas yang niscaya dan tidak bisa dihindari dalam kehidupan 44 Ibid., 45 Dianggap tertinggi dan terakhir, karena pada dasarnya setiap lembaga Negara, bahkan

masyarakat pada umumnya memiliki hak menafsirkan konstitusi. Tetapi penafsiran yang dapat diterima secara final adalah penafsiran Mahkamah Konstiusi.

29


BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEP

konstitusionalisme modern, khususnya Mahkamah Konstitusi. Hal ini karena dalam diri konstitusionalisme modern inheren dengan aktivitas penafsiran atas teks konstitusi. Kebutuhan melakukan penafsiran ini salah satunya timbul karena naskah konstitusi seringkali tidak memuat semua ketentuan normatif yang diperlukan dalam penataan kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan secara jelas dan komprehensif.46 Konstitusi suatu negara bersifat “tidak mewujud dengan sendirinya� (non-self-actualizing) untuk memberikan jawaban atas sebuah realitas. Keabsahan konstitusi sebagai hukum dengan hierarki tertinggi tidak bersifat statis, tetapi bersifat dinamis yang sangat tergantung pada pilihan penafsiran seorang hakim dalam memberikan putusan terbaik untuk setiap kasus konstitusional yang dihadapi. Penafsiran atas teks suatu konstitusi dapat dilihat melalui dua perspektif sekaligus, yaitu melihat ke belakang (backward looking) dan melihat ke depan (forward looking). Perspektif yang melihat ke belakang mengandaikan bahwa teks konstitusi harus dilihat dengan cara melibatkan aspek-aspek historis dan kultural yang melingkupinya dalam proses penafsiran. Dengan demikian, di satu sisi, perspektif ini menganjurkan agar teks konstitusi dibaca secara menyatu dan tidak terpisahkan dengan sirkumstansi historis-kultural yang melingkupinya pada saat ditetapkan. Di sisi lain, perspektif yang melihat ke depan mengandaikan bahwa teks konstitusi harus dilihat pula dengan sedapat mungkin mempertimbangkan persoalan-persoalan praktis yang menjadi realitas kehidupan masyarakat. Perspektif ini menganjurkan agar teks konstitusi harus dibaca secara menyatu dan tidak terpisahkan dengan sirkumstansi realitas-empiris yang muncul setelah teks konstitusi ditetapkan.47 Menurut John Hart Ely, penafsiran terhadap konstitusi pada pokoknya dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu (1) kelompok originalis atau fundasionalis yang sangat konservatif; dan (2) kelompok yang mengutamakan upaya menemukan nilai-nilai dasar yang melandasi perumusan konstitusi.48 Kelompok pertama cenderung bersikap kaku (rigid), sedangkan aliran kedua cenderung bersikap luwes (flexible). Menurut aliran pertama, dalam 46

Jimly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara (Jakarta: Ind. Hill-Co., 1997), hlm. 16. 47 Ibid. 48 John Hart Ely, Democracy and Distrust: A Theory of Judicial Review (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1980), hlm. 1.

30


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

memutuskan masalah-masalah ketatanegaraan hakim harus membatasi diri untuk menegakkan norma-norma, baik yang dinyatakan secara eksplisit maupun secara implisit dalam konstitusi tertulis. Pendukung aliran ini berpendapat bahwa dalam keadaaan apa pun teks tidak boleh ditinggalkan kecuali teks itu benar-benar telah bertentangan dengan tujuan negara yang dianut oleh konstitusi. Selain itu, aliran ini juga meyakini bahwa kelebihan aliran ini terletak pada kemampuannya mencegah terjadinya peristiwa dimana hakim memutuskan suatu perkara berdasarkan ideologi atau kepercayaan yang dianutnya dan mengabaikan obyektivitas. Kelompok kedua melihat bahwa para hakim harus berpikir di atas apa yang tertera dalam teks-teks konstitusi dan menegakkan norma-norma yang tidak ditemukan di dalamnya.49 Aliran ini meyakini bahwa konstitusi harus dilihat sebagai dokumen yang hidup (living document). Dalam aliran ini, hakim memahami asas-asas moral yang diletakkan oleh perancang konstitusi secara sangat longgar sehingga tidak tersandera oleh kebakuan teks. Kelebihan aliran ini terletak pada kemampuannya dalam memberikan jawaban saat asas-asas moral dalam konstitusi berhadapan dengan keadaan-keadaan kekinian (today’s circumstances).50 Hakim melihat konstitusi bukan sebagai cetak biru yang kaku (rigid blueprint) dan juga bukan pernyataan yang lengkap (exhaustive statement) dari pembuatnya, tetapi sebagai seperangkat asas-asas umum yang dibuat sebagai kerangka dasar suatu pemerintahan.51 Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam proses penafsiran. Pertama, asas utama dalam aktivitas penafsiran teks konstitusi adalah praduga konstitusionalitas (presumption of constitutionality). Artinya, setiap peraturan di bawah konstitusi harus dianggap tidak bertentangan dengan konstitusi (konstitusional) kecuali telah ditemukan bukti-bukti sebaliknya dalam proses persidangan. Dengan demikian, apabila hakim yang akan melakukan penafsiran mengalami keragu-raguan tentang konstitusionalitas suatu peraturan, maka peraturan itu dianggap konstitusional selama belum ada keyakinan sebaliknya dari hakim. Asas ini dibangun sesuai dengan maksim in ambigua voce legis ea potius accipienda est significatio, quae vitio caret (jika peraturan ambigu, maka menghindari ketidakabsahan peraturan yang bersifat ambigu itu menjadi pilihan).52 49 50

Ibid. Lebih Linda Greenhouse, “Sentencing Tops Justices’ Agenda as Term Begins”, <http:// www.nytimes.com/2004/10/04/politics/04scotus.html> 51 Mason A., ‘Trends in Constitutional Interpretation’, University of New South Wales Law Journal, Volume 237, 1995, hlm. 18. 52 Ibid., hlm. 37.

31


BAB II

KERANGKA TEORI DAN KONSEP

Sidang II Eksaminasi, 6 November 2008, terlihat Fasilitator Ch. Anam, Eksaminator-Agus Sudibyo, Asep-AJI, dan Leo Batubara-Dewan Pers

Kedua, persoalan lain yang juga sangat penting berkenaan dengan aktivitas penafsiran adalah keterkaitan konstitusi suatu negara dengan hukum internasional. Aktivitas penafsiran teks konstitusi harus mempertimbangkan kesesuaiannya (consistent) dengan hukum internasional. Lebih jauh lagi, pandangan ini bahkan juga menempatkan hukum internasional sebagai sumber penafsiran konstitusi (international law as a resource of constitutional interpretation). Pandangan ini didasarkan pada aspek supra-positif dari hukum internasional ketika berhubungan dengan hukum nasional. Artinya, berdasarkan aspek supra-positif, persoalan-persoalan mendasar yang diakui oleh hukum internasional secara otomatis mendapatkan pengakuan pula pada tingkat hukum positif suatu negara.53 Dengan demikian, keberadaan hukum internasional sangat strategis bagi aktivitas penafsiran teks konstitusi dalam sebuah negara.

53

32

Gerald L. Neuman, “The Uses of International Law in Constitutional Interpretation�, <http://www.law. upenn.edu/fac/npersily/calender/AGDRAFT3.pdf.>.


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

BAB III

ANALISIS PUTUSAN MK

33


BAB III

ANALISIS PUTUSAN MK

A. Proses dan Isi Putusan Mahkamah Konstitusi Pada tanggal 7 Mei 2008, LBH Pers mendaftarkan uji materi atas nama Risang Bima Wijaya, SH, dan Bersihar Lubis untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), pada kepaniteraan MK RI. Kemudian, permohonan itu mendapat register perkara nomor 14/PUU-VI/2008. Dalam permohonan yang diajukan kepada MK RI, para pemohon melalui kuasa hukum meminta MK RI untuk: 1. Menerima dan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan bahwa Pasal 310 ayat (1) KUHP sepanjang anak kalimat “pidana penjara paling lama sembilan bulan atau”; Pasal 310 ayat (2) KUHP sepanjang anak kalimat “pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau”; Pasal 311 ayat (1) KUHP sepanjang anak kalimat “dengan pidana penjara paling lama empat tahun” adalah bertentangan dengan Pasal 28 E ayat (2), Pasal 28 E ayat (3) dan Pasal 28 F UUD 1945. 3. Menyatakan bahwa Pasal 316 KUHP, dan Pasal 207 KUHP adalah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 E ayat (2), Pasal 28 E ayat (3) dan Pasal 28 F UUD 1945. 4. Menyatakan bahwa Pasal 310 ayat (1) KUHP sepanjang anak kalimat “pidana penjara paling lama sembilan bulan atau”; Pasal 310 ayat (2) KUHP sepanjang anak kalimat “pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau”; Pasal 311 ayat (1) KUHP sepanjang anak kalimat “dengan pidana penjara paling lama empat tahun”, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. 5. Menyatakan bahwa Pasal 316 KUHP, dan Pasal 207 KUHP tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.54 Pada Kamis, 22 Mei 2008, Pukul 11.00–11.39 WIB berlangsung Acara Pemeriksaan Pendahuluan (I) Ruang Sidang Panel Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat. Dalam sidang pendahuluan, pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui apakah permohonan telah sesuai dengan ketentuan hukum acara Mahkamah 54

34

Lihat Petitum: Permohonan Pengujian Kitab Undang-undang Hukum Pidana Terhadap UUD 1945, Jakarta, 5 Mei 2008


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

Konstitusi atau belum. Dengan kata lain, persidangan ingin memperjelas kualifikasi pemohon, apakah memiliki legal standing, kejelasan yang dimohonkan dalam uji materi, dan apakah persidangan dilanjutkan atau tidak. Persidangan pada tahap panel ini dihadiri hakim konstitusi: 1) Prof. H.A.S Natabaya, S.H., LL.M. (Ketua), 2) I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. (anggota) dan, 3) Maruarar Siahaan, S.H. (anggota) serta Sunardi, S.H. selaku Panitera Pengganti. Sedangkan dari pihak pemohon diwakilkan kepada kuasa hukum: Sholeh Ali, S.H., Muhammad Halim, S.H., Anggara, S.H., Nawawi Baharudin, S.H. dan Adiani Vivian, S.H. Majelis dan kuasa pemohon bersepakat untuk memperbaiki permohonan dan diberi waktu selama 14 hari. Persidangan digelar kembali dengan acara: Pemeriksaan Perbaikan Permohonan (II), Kamis, 5 Juni 2008, Pukul 11.00–11.38 WIB, di Ruang Sidang Panel Gedung Mahkamah Konstitusi RI dengan susunan persidangan dan pihak yang hadir adalah: 1) Prof. H.A.S Natabaya, S.H., LL.M. (Ketua), 2) I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. (anggota), 3) Maruarar Siahaan, S.H. (anggota) dan Sunardi, S.H. sebagai Panitera Pengganti. Sedangkan Kuasa Hukum Pemohon terdiri dari Sholeh Ali, S.H., Muhammad Halim, S.H.,

Sidang MK Putusan No. 14/PUU-VI/2008: Permohonan “di tolak�

35


BAB III

ANALISIS PUTUSAN MK

Nawawi Baharudin, S.H., Anggara, S.H., Endar Sumarsono, S.H., Adiani Viviani, S.H., dan Mimi Maftuha, S.H. Pada persidangan dibacakan letak perbaikan yang lebih difokuskan untuk menghapuskan sanksi pidana dari pasal-pasal yang dimintakan untuk diuji materi atau setidaknya menyatakan sanksi-sanksi pidana tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat. Selain itu, pemohon melalui kuasa berketetapan untuk tidak melakukan perbaikan lagi. Menurut majelis hakim panel konstitusi permohonan telah memenuhi syarat untuk diajukan di muka sidang Mahkamah Konstitusi. Majelis panel konstitusi menetapkan untuk dibawa ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan telah menetapkan bukti-bukti berjumlah 23 bukti serta Pemohon diminta untuk bersiap menghadirkan saksi maupun ahli dan nanti disampaikan kepada Panitera. Setalah mendapat undangan dan pemberitahuan dari kepaniteraan untuk menghadiri persidangan sebagaimana diputuskan oleh Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) maka pada hari Selasa, 24 Juni 2008, Pukul 10.00–12.48 WIB di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI. Agendanya mendengar keterangan Pemerintah (Cc.q Tim Revisi KUHP), ahli dan saksi dari Pemohon, serta Pihak Terkait yakni Dewan Pers dan Persatuan Wartawan Indonesia (sidang III). Persidangan dihadiri oleh para hakim konstitusi, yakni: 1) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. (Ketua), 2) Dr. Harjono, S.H., M.C L (anggota), 3) Prof. Abdul Mukhtie Fadjar, S.H., M.S (anggota), 4) I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. (anggota), 5) Maruarar Siahaan, S.H. (anggota), 6) Prof. Dr. Mahfud. M.D. (anggota), 7) Dr. H.M. Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum (anggota), 8) Soedarsono, S.H. (anggota), dan Sunardi, S.H. sebagai Panitera Pengganti. Sedangkan Kuasa Hukum Pemohon yang hadir: Anggara, S.H., Sholeh Ali, S.H., Muhammad Halim, S.H., Adiani Vivian, S.H., Hendrayana. Pihak Pemerintah sebagai Termohon diwakili oleh Mualimin Abdi, S.H., M.Hum (Kasubdit Pendampingan Persidangan Departemen Hukum dan HAM). Ahli yang diajukan oleh pemerintah adalah DR Mudzakir S.H., M.H. (Anggota Tim Revisi KUHP). Sementara, Pihak Terkait adalah Kamsul Hasan (PWI), Drs. Sabam Leo Batubara (Wakil Ketua Dewan Pers), Bambang Harymurti, M.P.A (Anggota Dewan Pers). Ahli dari Pemohon adalah Heru Hendratmoko, dan saksi dari Pemohon adalah Khoe Seng Seng. Dalam persidangan ahli yang diajukan oleh Pemerintah DR Mudzakir S.H., M.H. (Anggota Tim Revisi KUHP), menyampaikan keterangan antara lain: “Rumusan norma Pasal 310, 311, Pasal 316, dan pasal 207 KUHP baik normanya maupun mengenai ancaman sanksi pidananya tidak secara 36


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

khusus ditujukan kepada pers atau orang yang menjalankan profesi pers atau jurnalis. Pengenaan tindak pidana. Pasal 310, 311, 316, dan 207 dipakai terhadap orang yang menjalankan profesi di bidang pers apabila memenuhi syarat-syarat, satu, melanggar kode etik dan atau standar profesi yang berubah menjadi melawan hukum pidana, melawan hukum pidana administrasi atau melawan hukum pidana umum yang dilakukan dengan cara menyalahgunakan profesinya di bidang pers.” Selanjutnya dijelaskan: “Pandangan tim perumus RUU KUHP mengenai penerapan hukum pidana terhadap perbuatan yang terkait dengan pers, terkait dengan Pasal 310, 311, 316, dan 207. Tim perumus RUU KUHP telah mengambil kebijakan untuk mempertahankan rumusan tindak pidana penghinaan yang dimasukkan di dalam bab ke sembilan tentang tindak pidana penghinaan Pasal 530 sampai dengan 540 KUHP. Tindak pidana penghinaan tetap dipertahankan karena substansi dari tindak pidana tersebut dinilai relevan dengan nilai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, budaya hukum, dan hukum adat, dan agama yang dianut di Indonesia. Oleh sebab itu dalam berbagai pertemuan yang diselenggarakan oleh tim atau oleh Departemen Hukum dan HAM untuk membahas materi pasal-pasal RUU KUHP materi tindak pidana penghinaan tidak termasuk materi yang menjadi pokok pembahasan yang serius dan berat sehingga menjadi topik bahasan yang berkelanjutan seperti halnya materi lain karena semuanya sepakat bahwa materi tindak pidana penghinaan tetap dipertahankan. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai rujukan dalam rumusan norma hukum pidana yang telah mengatur hak setiap orang untuk memperoleh perlindungan atas kehormatan dan martabatnya sebagaimana dimuat dalam Pasal 28G yang dikutip selengkapnya.” “Ini yang mendasari dari kaidah hukum tentang penghinaan ini tetap mempertahankan penghinaan adalah Pasal 28G. Saya bacakan selengkapnya, “setiap orang berhak untuk perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat 37


BAB III

ANALISIS PUTUSAN MK

manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”. Mengingat isi substansi Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dan hukum yang hidup dalam masyarakat hukum Indonesia serta agama-agama yang diakui di Indonesia maka pasal-pasal yang terkait dengan penghinaan diperberat ancaman sanksi pidana penjaranya menjadi dalam KUHP 310 ayat (1) KUHP dari maksimum 9 bulan menjadi Pasal 530 ayat (1) dengan ancaman pidana 1 tahun penjara. Pasal 310 ayat (2) KUHP dari maksimum 1 tahun 4 bulan menjadi Pasal 530 ayat (2) dengan ancaman maksimum menjadi 2 tahun penjara dan Pasal 311 tentang fitnah dari maksimum 4 tahun menjadi Pasal 531 ayat (1) dengan ancaman pidana paling singkat— ini ada mininum khusus—paling singkat 1 tahun dan paling lama lima tahun penjara.” “Pasal 310 dan Pasal 311 mengenai konstitusionalitasnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa UndangUndang Dasar 1945 mengatur hak asasi setiap orang untuk memperoleh perlindungan terhadap kehormatan dan martabatnya dan setiap orang bebas dari perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia sebagaimana dimuat dalam Pasal 28G. Rumusan delik yang dimaksud Pasal 310, 311 KUHP memperoleh justifikasi konstitusional karena rumusan larangan yang melakukan pencemaran lisan, pencemaran tertulis, dan melakukan fitnah disertai dengan ancaman sanksi pidana merupakan ciri perumusan norma hukum pidana dalam melaksanakan norma konstitusi. Tindak pidana pencemaran dan fitnah menjadi bagian dari tindak pidana penghinaan. Inti dari tindak pidana penghinaan adalah sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain, maka perbuatan penghinaan adalah perbuatan tercela, bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dan termasuk perbuatan jahat dan sifat jahat dari perbuatan tersebut adalah alamiah atau kodrati atau istilah dalam hukum pidana disebut termasuk generic crime”. “Rumusan ancaman pidana yang menggunakan anak kalimat ‘dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan’ dan seterusnya yang ditempatkan setelah rumusan norma hukum pidana atau perbuatan dilarang Pasal 311 dan seterusnya adalah lazim dipergunakan dalam merumuskan ancaman pidana. Semua pengancaman pidana dimuat dalam buku kedua KUHP tentang kejahatan dan ketentuan hukum pidana di luar KUHP baik yang termasuk tindak pidana khusus, tindak pidana umum, dan tindak pidana antisipasi juga menggunakan 38


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

teknik perumusan ancaman pidana yang menggunakan anak kalimat yang demikian. Ketentuan ancaman pidana dalam Pasal 18 UndangUndang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juga menggunakan anak kalimat yang sama, “dipidana dengan penjara paling lama 2 tahun”. Selanjutnya dikatakan: “Pengujian konstitusionalitas terhadap anak kalimat dengan pidana penjara paling lama 9 bulan dan seterusnya hanya berlaku untuk Pasal 310, 311 saja atau juga berlaku untuk semua ketentuan hukum pidana. Hal ini penting dijelaskan ruang lingkup materi yang diuji jika yang ingin diuji sebatas anak kalimat sebagaimana dimaksud di atas tanpa bermaksud untuk menguji norma hukum pidana yang diancamkan dengan ancaman pidana yang menggunakan anak kalimat tersebut adalah tidak logis dalam hukum pidana karena anak kalimat tersebut tidak bermakna sebagai norma apabila tidak dihubungkan dengan norma tindak pidananya”. “Permohonan pengujian konstitusionalitas ditujukan pada yang nomor 1 dan nomor 2, maka hasil pengujian konstitusionalitas tersebut juga berlaku untuk semua tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara dan perumusan ancaman yang menggunakan margin minimum umum dan maksimum khusus baik dalam KUHP maupun dalam peraturan perundangan tersebar di luar KUHP yang memuat ancaman sanksi pidana penjara dan menggunakan perumusan ancaman pidana dengan sistem margin tersebut. Jadi, berlaku untuk semuanya. Jika permohonan pengujian konstitusionalitas ditujukan kepada yang ketiga yakni pengancaman sanksi pidana penjara terhadap tindak pidana penghinaan agar tindak pidana penghinaan cukup diancam dengan pidana denda saja tanpa disertai dengan pengujian konstitusionalitas norma tindak pidana penghinaan dan pidana penjaranya berarti Pemohon hanya menguji ketidaktepatan pengenaan sanksi pidana penjara terhadap tindak pidana penghinaan. Lebih khusus lagi pengujian terhadap pengenaan sanksi pidana penjara terhadap orang yang menjalankan profesi pers atau jurnalis karena didakwa melakukan tindak pidana penghinaan”. “Lex spesialis itu jangan dimaknai dalam suatu konteks mesti otomatis dia legi generali karena lex spesialis punya derajat atau punya tingkatan. Kalau lex spesialis dalam konteks hukum pidana itu 39


BAB III

ANALISIS PUTUSAN MK

berarti lex spesialisnya harus dalam konteks hukum pidana. Itu tidak bisa lex spesialisnya dalam konsteks hukum administrasi”. Ahli dari Pemohon: Heru Hendratmoko (Presiden Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Indonesia) “Catatan indeks ini antara lain bisa kita dapatkan di situs lembaga Reporter Sans Frontier atau Reporters Without Borders (reporter tapal batas) yang berpusat di Paris”.

Sidang di MK RI, terlihat: Majelis Hakim Konstitusi (depan), Pemohon/LBH Pers (kiri), Pihak termohon Pemerintah (kanan) dan Pihak terkait (berhdapan dengan majelis/belakang)-DOK NonLit

“Tahun 2002 kita menduduki posisi 57 di antara 139 negara yang disurvei. Tahun berikutnya, tahun 2003, kita terjun bebas ke angka 110 di antara 166 negara yang disurvei. Tahun berikutnya, tahun 2004, kita berada di 117 diantara 167 negara yang disurvei. Tahun 2005 naik sedikit prestasinya tapi tetap di atas 100, 102 di antara 167 negara yang disurvei. Tahun 2006 kita jatuh lagi satu poin 103 di antara 168 negara yang disurvei. Tahun kemarin, tahun 2007 kita tepat berada di posisi 100 di antara 169 negara yang disurvei, naik 40


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

tiga poin dibandingkan tahun sebelumnya. Tetapi tetap saja angka 100 tetap jelek”. “Diberlakukannya pasal-pasal semacam ini dalam KUHP kita sungguh telah mencederai cita-cita kita untuk menuju negara bangsa yang demokratis dan berkeadilan. Lebih-lebih perlindungan kebebasan memperoleh dan menyampaikan informasi kepada publik sudah mendapatkan perlindungan yang eksplisit di dalam Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen”. “...kebebasan pers dan profesionalisme akan tetap terancam jika pasalpasal penghinaan dan pencemaran nama baik terus diperlakukan dalam sistem peradilan kita”. Saksi dari Pemohon: Khoe Seng Seng (Penulis Surat Pembaca yang divonis bersalah PN Jakarta Utara dan sedang dalam pengadilan pidana pencemaran nama baik di PN Jakarta Timur) “Saya mengirimkan surat pembaca ke beberapa media. Salah satunya di dimuat di harian Kompas dengan judul “Duta Pertiwi Bohong.” Isi dari surat pembaca saya maupun judulnya sudah diedit oleh staf redaksi. Kemudian itu dijawab oleh developer, dia mengatakan memang itu sudah sejak awal sudah HPL, tapi pada saat menjual dia tidak menyebutkan itu HPL. Kemudian pada tanggal 11 September 2006 diadakan rapat secara umum, terbuka dikatakan itu HPL dan beberapa hari kemudian saya diberikan edaran untuk memperpanjang HPL tersebut, dimana jika saya terlambat saya akan didenda RP100.000 per hari. Saya tidak puas, saya buat lagi surat pembaca dan dimuat di “Suara Pembaruan,” saya menceriterakan mengenai denda yang dibebankan kepada saya Rp100.000 jika terlambat membayar HPL ini. Surat pembaca ini kemudian dibantah lagi dengan pihak pengembang, dia menyatakan itu katanya sudah tercantum di dalam sertifikat, di dalam kolom penunjuk dengan tulisan warta nomor sekian, tahun sekian. Kemudian dari surat pembaca itu saya dilaporkan ke Mabes Polri, saya langsung dijadikan tersangka tanpa melalui proses saksi terlebih dahulu. Saya dipanggil langsung jadi tersangka, pada saat itu saya sedikit stres sebab saya tidak pernah melakukan hal kriminal, panggilan langsung jadi tersangka dan mau sidik. Kemudian pada awal 2007—15 Januari saya datang dan saya disidik”. 41


BAB III

ANALISIS PUTUSAN MK

Pihak Terkait: Drs. Sabam Leo Batubara (Wakil Ketua Dewan Pers) “Ketua Mahkamah Konstitusi yang sangat kami hormati dan anggota Mahkamah Konstitusi. Izinkanlah kami mengemukakan, pertama, kami keberatan Pemerintah menugaskan tim KUHP menjadi mewakili Pemerintah. Mengapa? Karena KUHP buatan Belanda yang berisi 37 pasal bisa mengirimkan orang-orang pers, orang-orang pergerakan ke penjara. Itu sebenarnya apa? Dimaksudkan supaya rakyat terjajah jangan berani mengkritik, menghina, mencemarkan nama baik penguasa. Maka aktivis demokrasi, aktivis pers sudah berjuang sejak Mochtar Lubis dipenjara sembilan tahun supaya pasal-pasal itu diganti dari criminal defamation, dari pemenjaraan pidana, menjadi perdata dengan denda yang tidak memberatkan�. “Kedua, izinkanlah kami yang terhormat Ketua Mahkamah Konstitusi bahwa menurut kami pemberlakuan pasal 207, 310, 316 KUHP, kami kasih ilustrasi sedikit di zaman Belanda. Bapak pers yang namanya Tirto Adisuryo pada 1907 membuat koran namanya Medan Priyayi. Isinya adalah koran pertama di nusantara ini yang berwawasan nasional, suara orang terperintah. Inilah koran pertama di bumi nusantara kita yang berwawasan bukan suku, tapi satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan. Tapi beliau juga akhirnya didakwa dengan Pasal 207 dab 310, lalu dipenjara dan dibuang ke Ternate. Tahun lalu Beliau menjadi pahlawan nasional. Kedua, saya baru bersama Prof. Sihombing menulis sejarah perjuangan Tapanuli. Ternyata di Tapanuli pada tahun 1909 lahir koran namanya Suara Batak dipimpin oleh Hesikiel Manulang. Pada tahun 1920 dia memberitakan controller Belanda di Tapanuli saat itu memukuli rakyat. Atas dasar itu dia didakwa melanggar Pasal 207 dan 310. Maka di Tarutung dia diputuskan masuk penjara, lalu dibuang ke Cipinang. Izinkan kami sedikit mengilustrasikan dia datang keluar dari kapal berpakaian jas, pakai topi sehingga banyak orang datang, nyamuk-nyamuk pers karena mereka pada waktu mendapat informasi orang Batak itu masih nomaden, tukang makan orang, biadab, dan sebagainya. Tiba-tiba datang Hesikiel ternyata berani melawan Belanda, ternyata kedatangannya itu mengubah citra orang Batak yang tadinya pembunuh, tukang makan orang menjadi sama juga seperti orang Jawa. Itu dimuat dalam koran-koran pada tahun 1920. Dia menjadi pahlawan, dipenjarakan oleh Belanda karena melanggar Pasal 207. Ia berani memuat walaupun fakta controller menempeleng rakyat 42


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

adalah fakta tapi dianggap itu menghina penjajah. Itu dua contoh dari ratusan. Yang lain kemudian di zaman pemerintahan Sukarno, Suharto, Mochtar Lubis dipenjarakan sembilan tahun”. “Kemudian Teuku Harhas di Orde Baru, Nusantara, masuk penjara juga karena mengkritik Suharto. Kemudian Alwi Hamu juga dipenjarakan. Itu baru tiga contoh dari puluhan contoh. Di era reformasi, Dahri Uhum Nasution dari koran Oposisi Medan dipenjarakan karena berani menghina rektor IAIN. Maka sekarang dia masih dipenjara di Tanjung Gusta. Saya datangi dia. Bagaimana Pak Leo? katanya. Yah, nasibmu sama seperti Risang-lah, kenapa berani mengkritik? Karena bertentangan dengan undang-undang Belanda yang masih dicintai Pak Muzakkir dan sebagainya. Karim Paputungan juga masuk penjara karena membuat foto Akbar Tanjung setengah badan. Karim dianggap menghina Ketua Golkar, masuk penjara pula. Supratman, dari Rakyat Merdeka, karena beritanya berjudul ‘Mulut Mega Bau Solar’. Waktu itu Presiden Megawati menaikkan harga bensin. Dalam berita itu suaminya Mega (ditulis) pedagang solar, berarti bau solar dong. Masuk penjara Pak Supratman itu gara-gara (Pasal) 310 KUHP”. “Kemudian Risang saya dua kali kunjungi di penjara. Walaupun dikunjungi tetap saja dipenjara. Maka saya senang tadi dia bebas. Lalu dia mengadu pada Bapak. Yang diadukan sebenarnya bukan nasib dia. Walaupun dihukum mati sudah siap asal rakyat ini jangan lagi hak-haknya tidak ada lagi yang memperjuangkan karena fungsi pers yang mengontrol mati. Bambang Harymurti juga nasibnya di ujung tanduk karena dia menghina toke, maka dia dituntut oleh Jaksa Bastian Hutabarat sembilan tahun masuk penjara berdasarkan KUHP dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1941. Saya menjadi saksi waktu itu yang meringankan, maka saya ingat benar. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasarkan KUHP menjatuhkan masuk penjara satu tahun. Majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta KUHP masuk satu tahun, maka naik ke Mahkamah Agung. Kasasi yang dipimpin Ketua Mahkamah Agung. Maka matilah demokrasi kalau kegiatan jurnalistik dipenjarakan”. Pihak Terkait: Bambang Harymurti, M.P.A (Anggota Dewan Pers) “Saya juga ingin memberikan catatan sedikit bahwa di seluruh negara 43


BAB III

ANALISIS PUTUSAN MK

di dunia terutama yang modern, sekarang yang namanya penghinaan itu umumnya bergeser menjadi perdata. Contohnya adalah siapapun yang ingin menjadi anggota Uni Eropa harus menghormati hak dan wewenang dari Mahkamah Agung di Eropa di Strassborg yang tidak akan memberikan izin kepada pengadilan di Eropa untuk menghukum orang yang dituduh menghina atau mencemarkan nama baik karena pernyataannya atau tulisannya masuk penjara. Kalau negara tersebut tetap ngotot, dia harus keluar dari Uni Eropa. Hal yang sama juga berlaku di Amerika Latin yang sudah mempunyai Regional Human Rights Court. Di Amerika Serikat apalagi, karena US Supreme Court punya First Amandment. Bahkan, Hakim yang mulia, saya juga sedih sekali harus melaporkan, ini juga berlaku di negara-negara Afrika yang mengakui yurisdiksi dari Regional Human Right Court di Afrika�. Persidangan pada tanggal 23 Juli 2008 beragendakan acara mendengar keterangan ahli dari Pemohon dan Pemerintah, serta pihak Terkait (PWI, Dewan Pers, AJI Indonesia dan IJTI) (IV). Susunan persidangan teridri dari haklim konstitusi: 1) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., (Ketua) 2) Dr. Harjono, S.H., M.C L (anggota), 3) Prof. Abdul Mukhtie Fadjar, S.H., M.S. (anggota), 4) Prof. H.A.S Natabaya, S.H., LL.M. 5). I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. (anggota) 6) Maruarar Siahaan, S.H. . (anggota), 7) Prof. Dr. Moh Mahfud. M.D. (Anggota), 8) Dr. H.M. Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum (anggota), 9) Dr. Muhammad Alim, S.H., M.Hum (anggota) dan Sunardi, S.H selaku Panitera Pengganti. Sementara kuasa hukum Para pemohon adalah Anggara, S.H, Sholeh Ali, S.H., Muhammad Halim, S.H., Adiani Vivian, S.H. dan Hendrayana, S.H. Pihak termohon atau Pemerintah diwakili oleh Ashwin Sasongko (Sekjen Departemen Komunikasi dan Informasi), Susilo Hartono (Sesditjen Depkominfo), Edmon Makarim (Staf Ahli Menkominfo Bidang Hukum), Netty Firdaus (Direktur TUN Kejagung), Mualimin Abdi, S.H., M.Hum (Kasubdit Penyiapan Keterangan Pemerintah dan Pendampingan Persidangan Departemen Hukum dan HAM), dan dua orang staf yaitu Antonius Budi Satria dan Liana Sari. Sejumlah ahli juga diajukan dan diperiksa di muka sidang Mahkamah Konstitusi. Ahli dari Pemohon adalah 1) Atmakusumah Astraatmadja, 2) Nono Anwar Makarim, 3) Yenti Garnasih, dan Toby Daniel Mendel (teleconference langsung dari Inggris). Sementara ahli dari Pemerintah adalah 1) Dr. Mudzakir S.H., M.H. (Anggota Tim Revisi KUHP), dan 2) Djafar Assegaf, wartawan senior. Untuk memperkuat permohonannya, para 44


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

Pemohon mengajukan saksi, yakni; Ahmad Taufik dan pihak terkait yang juga menghadiri dan mengajukan pendapat dalam persidangan terdiri dari: 1) Ichlasul Amal (Ketua Dewan Pers), 2) Drs. Sabam Leo Batubara (Wakil Ketua Dewan Pers), 3) Bambang Harymurti, M.P.A (Anggota Dewan Pers), 4) Torotojulo Mendrova, S.H. (PWI), 5) Heru Hendratmoko (Ketua Umum AJI Indonesia), dan 6) Rizal Mustary (Ketua Bidang Pendidikan dan Pengembangan IJTI). Persidangan dimulai dengan memeriksa dan meminta keterangan saksi yang diajukan oleh para Pemohon, yakni; Ahmad Taufik (aktivis, kolumnis, dan jurnalis). Taufik menerangkan pemenjaraan dan tuntutan pidana yang pernah dikenakan kepadanya dalam kasus ”pencemaran nama baik”. Antara lain ia mengatakan: “...menurut jaksa, maksud saya, para terdakwa dianggap terbukti telah melakukan perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan menyebarluaskan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat dan juga terbukti mencemarkan nama baik pengusaha besar Tommy Winata. Akibat dakwaan jaksa tersebut berdampak pada diri dan pekerjaan saya. Ada dua: dari dalam, dan dari luar. Dalam diri saya pemanggilan polisi dan BAP yang berlama-lama dan melelahkan akhirnya membuat saya, produktifitas saya menurun. Waktu saya berkurang banyak. Akhirnya berdampak pada semua apa yang terjadi pada diri saya. Pertama misalnya juga gaji tidak naik selama empat tahun, saya tidak naik gaji karena produktifitas menurun, karena ada panggilanpanggilan dan sebagainya. Kemudian juga saya dipindahkan ke bagian yang tidak saya kuasai misalnya menjadi staf di ”Tempo Interaktif.” Kemudian dari luar juga terjadi saya tidak bacakan, saya lebih persingkat biar waktunya banyak. Dari luar saya juga ditolak oleh beberapa narasumber saya karena dikhawatirkan informasi yang diberikan kepada saya dapat digunakan untuk mencemarkan nama baik narasumber tersebut. Konfirmasi berita yang saya peroleh di lapangan tidak bisa dikonfirmasikan, sehingga tidak dapat diberitakan. Kemudian juga ada teror lewat SMS, telepon pada diri dan keluarga saya. Kemudian juga trauma terhadap diri saya, mungkin juga media saya, ada self-cencorship. Saya juga ketakutan menulis, memperoleh apa yang saya peroleh di lapangan, juga membuat saya ketakutan apa yang saya peroleh tersebut. Kebetulan saya punya blog. Jadi apa yang saya peroleh kadang-kadang tidak bisa dimuat oleh media, kadang saya tulis juga di blog. Saya khawatir, apalagi dengan adanya 45


BAB III

ANALISIS PUTUSAN MK

undang-undang yang terbaru Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik itu juga menambah saya sebagai pemilik dan pengelola blogger, ancaman pidana karena apa yang saya tulis...55 Ahli dari Pemohon: DR. Yenti Garnasih, S.H., M.H. “...Hukum pidana dalam hal-hal tertentu juga mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan. Berkaitan dengan hal tersebut maka dalil ultimum remedium betul-betul harus menjadi perhatian yang sangat fokus bagi para pembuat undangundang termasuk juga dari para pemikir yang untuk mendekriminalisasi suatu perbuatan yang tadinya tindak pidana di dalam suatu kurun waktu tertentu dianggap sudah tidak relevan lagi. Pemikiran dari van Bemmelen yang pada pokoknya orang yang melanggar hukum ini sebagai suatu syarat mutlak (conditio sine qua non) bahwa perbuatan itu melanggar hukum dan menurut pengalaman memang tidak dapat dicegah dengan sarana apapun selain pidana dan kemudian ancaman pidana itu disebut sebagai ultimum remedium. Hal ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan. Namun harus selalu dipertimbangkan untung ruginya ancaman tersebut, harus juga menjaga jangan sampai obat yang diberikan justru lebih jahat dari penyakit yang akan diobati. Artinya, untuk mencapai tujuan pemidanaan maka negara sengaja memberikan pemidanaan akan memberikan penderitaan pada pelaku-pelaku yang disebabkan perbuatannya mendapatkan suatu perlakuan-perlakuan...� “...dengan hukum pidana ketika diberlakukan maka akan diberlakukan suatu hukum acara pidana, dimana di sana akan diberlakukan suatu keleluasaan dari negara, dalam hal ini mulai dari penyidikan dan penuntutan, dimana jangan sampai pada hal-hal tersebut justru ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai berkaitan dengan kebebasan freedom of expression, kebebasan berkumpul, berserikat justru itu akan terabaikan...� selanjutnya dikatakan ahli:

55

46

Dikutip dari risalah peridangan MK RI No. 14/PUU-VI/2008, 23 Juli 2008, lihat www. mahkamahkostitusi.go.id


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

“...Penjelasan keterangan ahli saya juga menekankan bahwa dalam hal untuk dekriminalisasi atau untuk merumuskan kembali adalah juga perlu adanya suatu langkah atau pendekatan komparatif dengan berbagai negara. Sebab, berkaitan dengan rasa keadilan, berkaitan dengan martabat manusia karena dari United of Nations sendiri sudah mengatakan bahwa dalam differentiation of crime on human defender dinyatakan bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara terutama pada umumnya bersifat absolut dan uncharge. Sudah usang dan tidak adil lagi. Serta sudah out of date dan unreal, sudah ketinggalan zaman dan tidak lagi sesuai dengan kenyataan. Ini secara universal dari United Nations...� Ahli Pemohon: Atmakusumah Astraatmadja “Kriminalisasi dengan menjatuhkan sanksi hukum pidana berupa hukuman penjara atau pun denda yang tinggi berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dipandang tidak lagi sesuai dengan standar internasional tentang kebebasan berekspresi dan kebebasan menyatakan pendapat bagi : 1. Wartawan karena karya jurnalistiknya; 2. Demonstran atau penceramah dan pembicara dalam diskusi karena ekspresi dan pendapatnya; dan 3. Bagi aktivis advokasi karena sikap dan pendiriannya. Karena itu sejumlah negara menurut pengamatan saya selama lima tahun terakhir menghapus ketentuan hukum pidana tentang pencemaran nama baik atau defamation, penghinaan (insult), fitnah (slander, liabel) dan bahkan kabar bohong, atau kalau tidak salah dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana kita kabar tidak pasti atau false news. Pasal-pasal hukum itu tadi semakin tidak populer di banyak negara karena, pertama sukar dapat dibuktikan secara faktual karena seringkali lebih merupakan pendapat, bukan pernyataan fakta. Kedua, sifatnya relatif, sangat bergantung pada perasaan dan pendapat yang subjektif. Ketiga, karena bukti itu bersifat interpretable atau menimbulkan banyak penafsiran. Keempat tidak menimbulkan kerusakan yang bersifat tetap atau permanent damage dalam hal yang menyangkut karya jurnalistik, kerugian sementara �akibat pemberitaan pers dapat selalu diperbaiki melalui

47


BAB III

ANALISIS PUTUSAN MK

upaya perbaikan dalam waktu cepat seperti klarifikasi, konfirmasi, ralat, hak koreksi dan hak jawab.”56 “...Ada negara yang memang mensyaratkan bahwa penghapusan ketentuan hukum itu berlaku bagi pers sepanjang karya jurnalistiknya dibuat dengan niat baik (in good faith) dan demi kepentingan publik (in public interest). Setidaknya beberapa negara mengubah ketentuan hukum pidana itu menjadi ketentuan hukum perdata dengan sanksi denda proporsional, yaitu sesuai dengan kemampuan pembayaran denda agar: pertama, tidak menyulitkan kehidupan pembayar denda atau tidak membankrutkan perusahaan pembayar denda; kedua, tidak membuatnya takut untuk tetap dapat berekspresi serta mengemukakan pendirian dan sikap takut berekspresi dan takut menyatakan pendapat dapat berakibat timbulnya rasa takut untuk berkarya jurnalistik, untuk berkarya seni dan untuk berkarya intelektual termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan. Bila ini terjadi tentulah sangat mengganggu dan bahkan sangat menghambat kemajuan suatu bangsa...” Setelah menjalani proses persidangan hampir tiga bulan sejak tanggal 7 Mei 2008, pada hari Jumat, 15 Agustus 2008, Pukul 14.00 – 16.25 WIB, bertempat di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat, dilakukan “Pengucapan Putusan”. Berbeda dengan sidang-sidang sebelumnya, pada sidang kelima kali ini para pihak hadir semua. Hadir juga pihak dari Kejaksaan Agung, Deparetemen Hukum dan HAM, dan Kementerian Komunikasi dan Informasi yang sebelumnya menyampaikan surat dari Jaksa Agung, Menkumham dan Menkominfo. Susunan persidangan dihadiri oleh delapan hakim konstitusi dan panitera. Pada pokoknya, Majelis Hakim Konstitusi yang mengadili permohonan uji materi No. 14/PUU-VI/2008 berpendapat: Terhadap dalil Pemohon I tersebut, Mahkamah berpendapat, jika yang dimaksud oleh Pemohon I dengan dalil-dalilnya adalah adanya anggapan Pemohon I bahwa pasal-pasal dalam KUHP yang dimohonkan pengujian itu meniadakan atau menghilangkan hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani, hak untuk mengeluarkan pendapat, dan hak untuk bebas berkomunikasi, maka menurut Mahkamah, anggapan demikian 56

48

Dikutip dari risalah peridangan MK RI pada 23 Juli 2008


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

tidaklah benar. Konstitusi menjamin hak-hak tersebut dan karena itu negara wajib melindunginya. Namun, pada saat yang sama negara pun wajib melindungi hak konstitusional lainnya yang sama derajatnya dengan hak-hak tadi, yaitu hak setiap orang atas kehormatan dan martabat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28G UUD 1945 yang berbunyi: (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi; (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Karena adanya kewajiban untuk melindungi hak konstitusional lain itulah, in casu hak atas kehormatan dan martabat, maka negara dibenarkan melakukan pembatasan terhadap hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani, hak untuk mengeluarkan pendapat dan bebas berkomunikasi tersebut, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Bahkan, tanpa ada ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 itu pun sesungguhnya pada diri setiap pemilik hak atas kebebasan itu seharusnya telah ada kesadaran bahwa dalam setiap hak akan selalu melekat kewajiban, setidak-tidaknya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan hak itu. Oleh sebab itulah, Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 menegaskan, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Lebih-lebih untuk hak-hak yang bersubstansikan kebebasan, kesadaran akan adanya pembatasan yang melekat dalam hak itu merupakan suatu keharusan. “...bahwa delik penghinaan seringkali dijatuhkan kepada warga 49


BAB III

ANALISIS PUTUSAN MK

negara Indonesia yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyatakan pikiran dan pendapat, serta mereka yang melakukan aktivitas penyebarluasan informasi. Di samping itu juga, ketentuan tersebut mudah disalahgunakan oleh mereka yang tidak menyukai kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan berekspresi, dan kebebasan pers. Hal demikian merupakan argumentasi yang mempersoalkan penerapan norma, bukan mempersoalkan konstitusionalitas norma. Kelemahan atau kekurangan yang terjadi dalam proses penerapan norma tidaklah benar jika diatasi dengan jalan mencabut norma itu. Sebab, jika itu dilakukan maka setiap kali kita dikecewakan oleh praktik penerapan suatu norma undangundang, in casu norma undang-undang hukum pidana, dan hal itu diatasi dengan cara mencabut norma undang-undang hukum pidana tersebut, maka hukum pidana kiranya tidak akan pernah mempunyai alasan dan tempat untuk hidup dalam masyarakat. Lagipula, bagian terbesar dari kasus-kasus yang dikemukakan sebagai contoh oleh Pemohon...� Selanjutnya dikatakan: “Bahwa dalam kaitan pemberlakuan Pasal 207 KUHPidana bagi delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana halnya dengan penghinaan terhadap penguasa atau badan publik (gestelde macht of openbaar lichaam) lainnya, memang seharusnya penuntutan terhadapnya dilakukan atas dasar pengaduan (bij klacht). Di beberapa negara antara lain Jepang, penghinaan terhadap Kaisar, Ratu, Nenek Suri, Ibu Suri, atau ahli waris kekaisaran hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan. Article 232 (2) The Penal Code of Japan menentukan bahwa Perdana Menteri akan membuatkan pengaduan atas nama Kaisar, Ratu, Nenek Suri, Ibu Suri guna pengajuan penuntutan, dan apabila penghinaan dimaksud dilakukan terhadap seorang raja atau presiden suatu negeri asing, maka wakil negeri yang berkepentingan itu yang akan membuat pengaduan atas namanya. Penuntutan terhadap pelaku pelanggaran atas Pasal 207 KUHPidana oleh aparat penyelenggara negara memerlukan penyesuaian di masa depan sejalan dengan pertimbangan Mahkamah mengenai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana tersebut di atas; Dengan demikian, telah jelas pendapat Mahkamah bahwa Pasal 207 KUHP adalah konstitusional. Dalam konsklusi pada akhir naskah putusannya Majelis Hakim Konstitusi, berpendapat sebagai berikut: 50


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

4. KONKLUSI Berdasarkan seluruh pertimbangan terhadap fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: 1. Bahwa nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang adalah salah satu kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana karena merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 maupun hukum internasional, dan karenanya apabila hukum pidana memberikan ancaman sanksi pidana tertentu terhadap perbuatan yang menyerang nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang, hal itu tidaklah bertentangan dengan UUD 1945; 2. Bahwa permohonan para Pemohon sesungguhnya lebih merupakan permasalahan penerapan norma undang-undang, bukan konstitusionalitas norma undang-undang; 3. Bahwa oleh karena itu, dalil para Pemohon tidak beralasan, sehingga permohonan harus ditolak. 5. AMAR PUTUSAN Dengan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316), maka berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mengadili, Menyatakan permohonan para Pemohon ditolak; Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Rabu, tanggal tiga belas bulan Agustus tahun dua ribu delapan, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari ini Jumat, tanggal lima belas bulan Agustus tahun dua ribu delapan, oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu H. Harjono, sebagai Ketua Sidang, H.A.S. Natabaya, Maruarar Siahaan, I Dewa Gede Palguna, H. Abdul Mukthie Fadjar, Moh. Mahfud MD, H.M. Arsyad Sanusi, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, didampingi oleh Sunardi sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/ Kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, Pemerintah atau yang mewakili, Pihak Terkait Aliansi Jurnalis Independen, Pihak 51


BAB III

ANALISIS PUTUSAN MK

Terkait Dewan Pers, Pihak Terkait Persatuan Wartawan Indonesia, dan Pihak Terkait Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia. Ditandatangani oleh delapan hakim. Dengan demikian putusan ini telah dibacakan. Dengan demikian sidang kami tutup. (Sidang ditutup pukul 16.25 wib)�. Dengan putusan itu berarti pasal-pasal yang dimintakan uji materi tidak mengalami perubahan. Artinya, tetap dapat digunakan untuk menjerat pihak-pihak yang dianggap mencemarkan nama baik.

B. Analisis Putusan Bagian ini merupakan analisis atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Analisis terbagi dalam empat bagian yaitu pembatasan hak menyatakan pendapat, permohonan adalah tentang penerapan norma bukan validitas norma, penghapusan pidana diganti denda bukan wewenang MK, menempatkan perlindungan kepentingan individu di atas kepentingan Publik 1. Pembatasan Hak Menyatakan Pendapat Pada kategori pertimbangan pertama, MK membangun argumentasi berdasarkan konstruksi hukum, bahwa kedudukan pasal-pasal yang dimohonkan merupakan instrumen bagi negara dalam melindungi hak dan martabat warga negara yang dilindungi dalam pasal 28 G ayat (1) dan juga diakui oleh berbagai hukum internasional yaitu Pasal 12 Universal Declaration on Human Rights dan Pasal 17 ICCPR. Lebih lanjut, MK memandang bahwa keberadaan pasal-pasal yang dimohonkan merupakan pembatasan terhadap hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani, hak untuk mengeluarkan pendapat dan bebas berkomunikasi tersebut. Dalam konteks hukum, pembatasan terhadap HAM merupakan sebuah keharusan karena HAM, terlepas dari kedudukannya yang memiliki derajat fundamental dibandingkan hak-hak lainnya, juga merupakan bagian dari hak. Sebagai sebuah hak, HAM juga merefleksikan kepentingan dari individu-individu atau kelompok-kelompok. Untuk mencegah perbenturan dan mengharmonisasikan kepentingan-kepentingan tersebut, maka diperlukan pengorganisasian dan pengaturan oleh hukum dari hukum. Lebih lanjut dalam UUD 1945 hal ini juga menemukan justifikasinya dalam 52


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

pasal 28 J UUD 1945. Oleh karenanya pertimbangan MK dalam konteks ini memiliki kontruks yang solid dan menemukan konteksnya dalam wilayah teoritis maupun hukum positif. Namun dalam konteks HAM, perlu dilihat bahwa permohonan ini merupakan benturan dari hak-hak. Pada kasus ini ada dua hak yang saling berbenturan, yaitu (i) hak atas kebebasan berekspresi; dan (ii) hak atas martabat dan kehormatan pribadi. Keduanya adalah bentuk hak asasi manusia, dan keduanya juga dijamin oleh konstitusi (constitutional rights). Tetapi kalau dilihat lagi, dalam putusan ini MK tidak melihat bahwa benturan ke dua hak itu adalah benturan hak individu dengan penguasa dan badan hukum. Badan hukum atau penguasa tidak termasuk dalam konteks subyek yang memiliki hak asasi. Subyek pemegang hak asasi manusia adalah manusia itu sendiri atau individu. Namun demikian dalam pertimbangan lebih lanjutnya, MK telah memberikan penafsiran yang sempit seolah-olah pembatasan terhadap HAM, khususnya dalam perkara a quo, hanya bisa dilakukan melalui ketentuan hukum pidana. Terhadap pandangan ini muncul keberatan. Hal ini terkait dengan pertanyaan, apakah dengan ketiadaan pasal-pasal yang domohonkan, perlidungan HAM sebagaimana dimaksud dalam pasal 28G ayat (1) menjadi terlindungi/terabaikan? Perlindungan HAM tidak harus selalu dilakukan dengan menerapkan ketentuan hukum pidana. Namun juga, dapat dilindungi dengan area hukum lainnya. Terdapat beberapa pertimbangan untuk memperkuat argumentasi ini. Pertama, secara formal pasal 28J ayat (2) tidak menentukan bahwa pengaturan terhadap HAM harus dilakukan dengan ketentuan pidana. Oleh karena itu, pengaturan tersebut dapat dilakukan dengan wilayah hukum lainnya. Kedua, pada dasarnya sebagaimana juga diakui oleh MK, bahwa kepentingan yang dilindungi oleh pasal ini adalah pada wilayah kepentingan individu. Oleh karenanya, dalam konteks ilmu hukum secara umum, pengaturan kepentingan antar individu lebih menitikberatkan pada penggunaan upaya hukum perdata dibandingkan hukum pidana. Ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk penerapan sanksi pidana dalam kasus ini. Pertama, sejauh mana pembatasan itu relevan atau pas dengan rasa keadilan di Indonesia. Kedua, dalam konteks benturan antara hak menyatakan pendapat yang melibatkan warga negara di satu sisi, dan berhadapan dengan penguasa di sisi lain, maka sanksi pidana tidak bisa diterapkan. 53


BAB III

ANALISIS PUTUSAN MK

Berdasarkan argumentasi di atas, MK telah tidak dengan cermat melihat upaya perlindungan hukum selain pidana (upaya hukum perdata), sebagai sebuah bentuk perlindungan terhadap harkat dan martabat warga negara. Sehingga jika seandainya pasal-pasal yang dimohonkan pun tidak pernah ada atau dibatalkan, bukan berarti tidak secara otomatis menghilangkan perlindungan hak warga negara yang terdapat di dalam Pasal 28G UUD 1945. Hal ini disebabkan, dalam hukum positif Indonesia, perlindungan terhadap harkat dan martabat pribadi sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 28G juga diberikan dalam area hukum perdata yang tercantum di dalam Pasal 1372– 1379 KUH Pedata. Maka ketiadaan perlindungan hukum, jika pasal-pasal yang dimohonkan dibatalkan, terhadap HAM yang dijamin dalam Pasal 28G UUD 1945 sebagai dalil tidak cukup kuat dipertahankan. Perlu ditambahkan pula bahwa pilihan untuk menggunakan instrumen hukum perdata dibandingkan hukum pidana untuk memberikan perlindungan terhadap korban pelanggaran kode etik jurnalistik oleh pekerja pers, telah banyak digunakan di berbagai negara di dunia. Perkembangan internasional dinafikan oleh MK dalam pertimbangannya, dengan mengemukakan alasan bahwa perkembangan internasional tidak menyebabkan pasal-pasal tersebut menjadi bertentangan dengan UUD 1945. Lebih lanjut, MK menyatakan dalam pertimbangannya, bahwa hal tersebut sangat relatif dan tipikal berdasarkan situasi dan kondisi negara masing-masing (situationgenbudenheit). Pada konteks tersebut MK telah tidak dengan cermat menafsirkan UUD 1945 baik berdasarkan penafsiran original maupun instrumental. Dalam khasanah keilmuan hukum tata negara, metode penafsiran original didefinisikan sebagai penafsiran berdasarkan konteks pembentukan UUD 1945, dalam hal ini maksud dan tujuan Amandemen UUD 1945. Pada metode instrumental, konstitusi (UUD 1945) ditafsirkan dan diterapkan di dalam nilai dari kondisi sosial masyarakat kontemporer. Jika diteliti secara cermat, proses perubahan UUD 1945, secara sengaja didesain untuk mengukuhkan institusi-institusi demokrasi di Indonesia. Dalam khasanah keilmuan politik, kebebasan pers merupakan salah satu pillar tambahan terhadap cabang kekuasaan negara bagi sebuah negara demokratis, yang dikenal dengan pilar keempat, dari cabang-cabang kekuasaan lainnya. Gagasan ini berangkat dari sebuah pemikiran bahwa kontrol eksternal dari sebuah institusi di luar institusi negara sangat perlu dilakukan untuk menjamin keberlangsungan sistem demokrasi, yang dilakukan oleh publik. Untuk itu, pers yang dapat melakukan perannya hanyalah pers yang mendapat jaminan kebebasan dan

54


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

perlindungan oleh hukum. Dalam konteks ini lah maksud pembuat UUD 1945 (amandemen) membuat ketentuan Pasal 28F UUD 1945. Hal tersebut secara paralel, juga merupakan argumentasi dari komunitas internasional (negara-negara yang membatalkan) dalam membatalkan pasal-pasal yang dimohonkan. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah Amicus Brief yang diberikan oleh Article 19 sehubungan dengan perkara di dalam constitutional cases No. 19/98, dalam salah satu dalilnya, Article 19, menyatakan bahwa criminal defamation law are not necessary in democratic society. Sehingga kesimpulan yang diambil, bahwa penggunaan pidana untuk menjerat pers secara faktual seringkali menggunakan pasalpasal yang dimohonkan tidaklah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi perkembangan. Hal ini disebabkan efeknya yang menakutkan (chilling effect), yang pada akhirnya mengganggu perkembangan demokratisasi di Indonesia. Terhadap hal tersebut, MK berdalih dengan dalih partikularitas dalam pemahaman konteks pasal-pasal tersebut dihubungkan dengan kebebasan berekspresi, sehingga berkesimpulan perkembangan dunia internasional tidak relevan dengan kondisi Indonesia. Gagasan partikularitas dari konsep HAM dalam kebebasan berekspresi atau kebebasan pers tidaklah tepat dan menjadi sangat tradisional. Partikularitas dari norma HAM hanya wilayah teknis penerapan di masing-masing negara. Sedangkan pada kasus ini perdebatannya terletak pada wilayah prinsip/substansi norma, oleh karenanya memiliki karakteristik universal. Relativitas dari kebebasan berekspresi atau kebebasan pers, hanya pada wilayah penyampaian pendapat, yang terangkum pada wilayah kode etik jurnalistik. Sedangkan pada wilayah pasal-pasal yang dimohonkan, hal tersebut masuk pada wilayah substansi yang sifatnya universal dan argumentasi lokalitas/ partikularitas tidaklah dapat diterima sepenuhnya. 2. Permohonan adalah Tentang Penerapan Norma, Bukan Validitas Norma Dalam pertimbangannya, MK melihat bahwa persoalan yang dibawa oleh pemohon bukan pada persoalan validitas norma dari pasal-pasal yang dimohonkan. Namun merupakan kesalahan penerapan norma. Sehingga MK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian terhadap perkara yang diajukan oleh pemohon. Pendapat hukum MK butir 3. 23. 2 antara lain menyatakan bahwa setelah 55


BAB III

ANALISIS PUTUSAN MK

membaca dengan cermat permohonan para pemohon maupun keterangan para pemohon dalam persidangan, sesungguhnya yang dipermasalahkan para pemohon lebih merupakan constitutional complaint dari pada judicial review atau constitutional review. Namun apabila dibaca lebih lanjut putusan tersebut tidak ditemukan argumentasi secara lengkap mengapa MK memandang bahwa permohonan ini adalah constitutional complaint bukan judicial review atau constitutional review. Jadi dalam putusan itu MK tidak bisa menguraikan secara komperhensif dimana problem constitutional complaint atau constitutional review. Ada definisi yang dikemukakan MK tentang constitutional complaint dan constitutional review. Dari permohonan telah terlihat bahwa permohonan permohon termasuk constitutional review. Tetapi MK kemudian menjelaskan apa yang disebut constitutional condition jika itu diterapkan. Jadi, ada isu mengenai penerapan. Penerapan adalah argumen yang diajukan MK untuk memperkuat pendapatnya bahwa permohonan pemohon masuk kategori constitutional review.

Eksaminator Antonius Cahyadi mempresentasikan Legal Annotasinya, Sidang II 6 November 2008

MK memang tidak memiliki kewenangan untuk menilai kesalahan penerapan norma yang dilakukan oleh pejabat publik. Namun demikian, terdapat persoalan mendasar dari cara pandang MK terhadap kasus ini, yakni dengan menganggap bahwa persoalan permohonan hanya terbatas pada wilayah penerapan. Padahal terdapat persoalan secara substansi dari rumusan-rumusan norma yang dirumuskan. 56


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

Persoalan pokok cara pandang MK tersebut adalah MK telah gagal melihat hubungan yang sistemik antara rumusan norma yang kabur dengan penerapan norma tersebut, yang pada akhirnya membuat para hakim secara konsisten telah melakukan penerapan yang merugikan hak-hak konstitusonal dari warga negara, yang dijamin di dalam Pasal 28F. Persoalan pada norma tersebut terletak pada rumusan unsur yang sifatnya karet, sehingga tidak memenuhi prinsip lex certa dalam suatu perumusan delik pidana. Kelenturan dari rumusan pasal-pasal yang dimohonkan, pada akhirnya mampu menjerat segala pemberitaan dan informasi yang sifatnya kritis terhadap pemerintah ataupun individu dari pemerintahan atau badan publik lainnya, terhadap tidak hanya insan pers namun juga masyarakat umum. Oleh karenanya, suatu hal yang dapat diduga bahwa dengan rumusan yang demikian akan menyebabkan pelanggaran hak konstitusional kebebasan berpendapat secara konsisten melalui penerapan norma pasal-pasal yang dimohonkan, terhadap kebebasan berekspresi yang dijamin di dalam UUD 1945. 3. Tindakan Mahkamah Konstitusi Mendelegitimasi Eksistensinya sebagai Negative Legislator Dalam pertimbangannya MK menyatakan tidak berwenang untuk mengubah ketentuan mengenai sanksi, sebagaimana yang diminta oleh pemohon terhadap Pasal 310 ayat (1) dan (2), serta Pasal 311 ayat (1) KUHP. Terhadap pertimbangan MK ini terdapat beberapa persoalan pokok. Pertama, substansi yang dimohonkan oleh pemohon tidak terletak pada penggantian sanksi, namun lebih terletak pada penghapusan sanksi pidana dari pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 311 ayat (1) KUHP. Kedua, alasan yang diberikan oleh MK tidak begitu jelas mengenai perbedaan dengan Pengujian Nomor 4/PUU-V/2007. Karena secara substansi permohonan penghapusan sanksi pidana di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran dengan pasal-pasal yang dimohonkan memiliki kesamaan substansi permohonan dan tidak terdapat karakteristik khusus yang dapat dijadikan titik pembeda. Pertimbangan hukum MK dalam Pengujian Nomor 4/PUU-V/2007 butir Ad. B adalah sebagai berikut: “Lebih lanjut, Mahkamah akan mempertimbangkan apakah ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 75 Ayat (1), Pasal 76, serta Pasal 79 huruf 57


BAB III

ANALISIS PUTUSAN MK

a dan huruf c UU Praktik Kedokteran yang berupa ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun dan ancaman pidana kurungan paling lama satu tahun telah cukup proporsional�.

Peserta sidang Eksaminasi II sedang mendengarkan Presentasi Hasil Eksaminasi, 6-11-08

Terhadap masalah ini, Mahkamah berpendapat bahwa ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidana kurungan adalah tidak tepat dan tidak proporsional karena pemberian sanksi pidana harus memperhatikan perspektif hukum pidana yang humanistis dan terkait erat dengan kode etik. Dengan demikian, menurut Mahkamah: (i) ancaman pidana tidak boleh dipakai untuk mencapai suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penderitaan dan kerugian yang lebih sedikit; (ii) ancaman pidana tidak boleh digunakan apabila hasil sampingan (side effect) yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan dikriminalisasi; (iii) ancaman pidana harus rasional; (iv) ancaman pidana harus menjaga keserasian antara ketertiban, sesuai dengan hukum, dan kompetensi (order, legitimation, and competence); dan (v) ancaman pidana harus menjaga kesetaraan antara perlindungan masyarakat, kejujuran, keadilan prosedural dan substantif (social defence, fairness, procedural and substantive justice). Selanjutnya, MK menilai bahwa ancaman hukuman dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran tersebut tidak proporsional dengan pelanggaran yang dilakukan. Kondisi ini telah menimbulkan perasaan tidak aman dan ketakutan. MK berpandangan bahwa hal ini tidak sesuai dengan maksud pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: 58


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak kasasi.” Majelis mengidentifikasi bahwa KUHP memiliki sifat umum, hal ini tampak sedikit meragukan dan tidak relevan dengan konteks permohonan penghapusan sanksi pidana. Sebab, setiap ketentuan pidana baik yang bersifat khusus maupun umum, tetap mengacu pada KUHP terkait dengan sistem pemidanaan, yang diatur dalam Bab II Pasal 10 sampai dengan Pasal 43 KUHP. Jika kemudian MK memandang bahwa eksistensi pasal tersebut tetap dipertahankan, maka dengan dihapuskannya ketentuan pemidanaan badan tidak serta merta menghilangkan unsur pidana dari rumusan norma yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) dan (2), serta pasal 311 ayat (1) KUHP. Dalam arti tidak membatalkan ketentuan norma, sehingga aspek perlindungan di dalam rumusan pasal tersebut menjadi terjamin. Hal ini disebabkan adanya beberapa jenis pemidanaan lain, yang disebutkan di dalam rumusan pasal-pasal tersebut, yakni Pasal 310 ayat (1) dan (2) sepanjang anak kalimat, ”denda paling banyak tiga ratus rupiah” dan pasal 311 ayat (2), yang berbunyi ”pencabutan hak-hak tersebut dalam Pasal 35 no. 1 -3 dapat dijatuhkan”. Kedua sanksi tersebut (denda dan pencabutan hak) juga diakui sebagai bentuk pemidanaan sebagaimana tercantum di dalam Pasal 10 huruf a, angka 4 jo Pasal 30 KUHP untuk pidana denda dan Pasal 10 huruf b angka 1 jo pasal 35 KUHP sampai dengan Pasal 38 KUHP untuk bentuk pemidanaan pencabutan hak. Tindakan MK dalam pertimbangan ini, secara langsung telah mendelegitimasi eksistensinya sebagai ”negative legislator”. 4. Mahkamah Konstitusi Menempatkan Perlindungan Kepentingan Individu di atas Kepentingan Publik Putusan MK ini akan membawa dampak yang cukup besar terhadap kebebasan pers di Indonesia. Dengan kata lain bahwa ada kepentingan individu yang dihadapkan dengan kepentingan publik (fungsi pers). Pada putusan ini MK telah gagal dalam menangkap esensi bahwa media bekerja untuk kepentingan publik

59


BAB III

ANALISIS PUTUSAN MK

Publik berkepentingan terhadap pelembagaan kebebasan pers karena pers berurusan langsung dengan upaya untuk mewujudkan hak masyarakat untuk mengetahui, pembentukan pendapat umum, fungsi pengawasan, kritik, koreksi terhadap hal-hal kepentingan publik, penegakan nilai-nilai dasar demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme dan keadilan sosial. Pasal 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (Undang-Undang Pers) menegaskan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Selanjutnya, pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pers menyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Di Indonesia saat ini, ketika saluran aspirasi politik bagi publik terbatas, ketika sumber dan medium informasi dan komunikasi terbatas, ketika fungsi-fungsi komunikasi politik dalam berbagai bidang tidak dilaksanakan dengan baik oleh negara, kebebasan pers sangat identik dengan kepentingan publik. Masyarakat sangat tergantung pada informasi dan wacana media, cetak maupun elektronik. Hampir tidak ada media alternatif yang mampu menandingi kemampuan pers dalam melakukan fungsi mediasi perbedaanperbedaan pendapat, memfasilitasi diskus-diskusi publik dan memberi ruang bagi begitu banyak pihak untuk mengekspresikan dirinya, baik secara politis maupun estetis. Hak publik atas pers yang bebas menjadi semikian identik dengan hak atas informasi, hak untuk tahu, kebebasan politik warga negara dan penguatan nilai-nilai demokrasi. Dalam konteks ini pula, kebebasan pers sangat mempengaruhi dan sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan pasal-pasal dalam UUD, yaitu: a. Pasal 28E ayat (2) UUD yang menegaskan “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”. b. Pasal 28 ayat (3) UUD yang menegaskan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. c. Pasal 28F yang menegaskan “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoeh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, meyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

60


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

Dalam konteks ini, kesimpulan dalam putusan berikut menjadi sangat problematik bagi pers. Bahwa nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang adalah salah satu kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana karena merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 ataupun hukum internasional. Oleh karena itu, apabila hukum pidana memberikan sanksi pidana tertentu terhadap perbuatan yang menyerang nama baik, martabat atau kehormatan seseorang, hal itu tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Dari sisi kebebasan pers perlu dipertanyakan bagaimana jika perlindungan atas kehormatan individu itu berbenturan dengan perlindungan atas kepentingan publik terhadap informasi dan wacana media, terhadap ruang publik demokratis? Benarkah perlindungan atas kehormatan pribadi lebih tinggi daripada kepentingan publik? Apakah untuk melindungi kehormatan individu, kepentingan publik dapat dikorbankan? Poin ini perlu ditekankan karena pada kesimpulan MK sama sekali tidak menyinggung pentingnya perlindungan atau jaminan atas perwujudan kepentingan publik. Problem yang sama juga bisa dirujuk pada pendapat MK No. 3.19 yang menyatakan: menimbang menurut doktrin hukum yang diterima secara umum dalam hukum pidana, baik sifat umum tindak pidana atau delik adalah perbuatan melanggar norma sedemikian rupa sehingga memperkosa kepentingan hukum orang lain atau membahayakan kepentingan orang lain. Sementara itu, ada tiga kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan individu, kepentingan masyarakat dan kepentingan negara. Dalam pendapat ini MK mengakui kepentingan masyarakat bagian dari kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana. Namun perlindungan atas kepentingan masyarakat ini tidak dijelaskan atau ditegaskan lebih lanjut dan sepertinya tidak dijadikan dasar untuk mengambil keputusan. Pada bagian selanjutnya, MK hanya menjelaskan bagaimana kehormatan pribadi harus dilindungi oleh hukum pidana. Bagaimana menyeimbangkan antara kepentingan publik di satu sisi dan kepentingan atau kehormatan individu pada sisi lain, tidak menjadi perhatian MK. Dapat disimpulkan bahwa terkait dengan pasal-pasal yang diujimateriilkan, MK menempatkan kepentingan individu di atas perlindungan hukum kepentingan masyarakat atau publik.

61


BAB III

ANALISIS PUTUSAN MK

5. Mahkamah Konstitusi Mengambil Posisi Yang Salah Antara The Guardian atau The Interpreter of Constitution Mengenai standing posision MK, sebagai the guardian atau the interpreter of constitution, dapat dicermati dari pertimbangan. Putusan tersebut memperlihatkan bahwa MK menempatkan dirinya dalam mengeluarkan putusan ini sebagai the guardian of constitution, bukan sebagai the interpreter of constitution. Penempatan pada posisi tersebut akan berimplikasi pada metode penanganan permohonan yang diajukan pemohon. Kalau MK menempatkan diri sebagai the guardian of constitution, posisi demikian terkesan sangat formalistik. Sebaliknya, kalau menempatkan diri sebagai the interpreter of the constitution maka MK akan mulai meneliti menggunakan filsafat dasar untuk pengujian pasalpasal yang dimohonkan. Dalam salah satu pernyataannya, MK ingin mengatakan bahwa pasal 317 KUHP sudah betul walaupun asalnya dari Belanda, tetapi di Indonesia pasal itu bisa efektif. Sebetulnya materi yang diatur bukan nilai-nilai kita tapi tetap dipakai. Hal ini memperlihatkan bahwa prinsip the guardian of constitution lebih kental daripada the interpreter of constitution. Yang diajukan MK adalah pasal 317, 318, dan 207 KUHP sebagai pijakan adalah pasal-pasal yang dipakai oleh kolonial dan itu mempunyai posisi hukum tersendiri. Justru MK harus bertindak sebagai the interpreter of constitution, meletakkan apakah filsafat dasar yang dikembangkan oleh pasal ini masih relevan atau sudah tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang. Salah satu contoh lagi mengenai Undang-Undang Praktik Kedokteran. Dalam putusan mengenai UU Praktik Kedokteran, MK menempatkan diri sebagai the interpreter of constitution. Dalam dunia kedokteran sekarang banyak terjadi malpraktek yang berujung pada kehilangan nyawa. Tetapi kualifikasi kejahatan itu menurut MK hanya bersifat administratif saja. MK mencoba mengidentifikasi dan memberikan interprestasi mengapa MK membuat putusan atas UU Praktik Kedokteran demikian, dan menempatkan diri pada the interpreter of constitution. Dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran, persoalan-persoalan di dalamnya bersifat administratif tapi sanksinya pidana. Jika ada penguasa yang terhina maka penguasa itu harus melaporkan diri kepada kepolisian karena merasa terhina. Seperti pada akhir Orde Baru, kasus aktivis Front Aksi Mahasiswa diseret ke pengadilan karena membawa spanduk “seret Soeharto�. Dalam proses hukum, pengadilan mengatakan perbuatan aktivis itu merupakan pencemaran. Lantas, apakah Soeharto benar-benar merasa terhina dan tercemar? Dalam hal ini 62


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

pengadilan menempatkan diri sebagai orang yang mewakili kepentingan Soeharto. 6. Mahkamah Konstitusi Menegasikan Prinsip Right to Know dan Akuntabilitas Pejabat Publik Putusan MK tidak membedakan antara individu pejabat publik dan individu non pejabat publik sebagai obyek dari tindakan-tindakan yang diasumsikan mengandung muatan pencemaran nama baik, fitnah dan kebohongan. Padahal kedua pihak ini mempunyai urusan dan kedudukan yang berbeda. Pejabat publik karena jabatannya, karena mandat yang diberikan kepadanya, karena penggunaan dana publik dalam kerja mereka, mempunyai kewajiban untuk memberi informasi dan membuka diri kepada publik, termasuk dalam hal ini pers. Pejabat publik harus legitimate, akuntabel dan transparan di depan publik. Hubungan pers dengan pejabat publik sebagai sumber atau obyek berita, harus diletakkan dalam konteks hubungan publik dengan pejabat publik terkait dengan isu right to know dan kedaulatan publik. Pejabat publik harus memberikan informasi kepada publik karena hal ini menjadi bagian integral dari kewajiban publik. Sementara itu, di hadapan prinsip-prinsip kebebasan informasi dan transparansi, KUHP tidak membedakan kedudukan pejabat publik dan non pejabat publik. KUHP tidak mempertimbangkan hak publik untuk mengetahui kinerja pejabat publik dan sebaliknya kewajiban pejabat publik untuk membuka diri dan memberikan informasi. Maka tepat sekali keterangan tertulis ahi Nono Anwar Makarim yang disampaikan di Kepaniteraan pada tanggal 23 Juli 2008, yang menjelaskan (i) pasal 207 dan pasal 208 KUH Pidana melanggar asas kedaulatan rakyat yang amat fundamental, yaitu bahwa status pejabat dan pemerintah diperoleh sepenuhnya atas hak suveren rakyat, dan oleh karena itu wajib membuka diri serta tunduk pada kritik rakyat�. (ii) pasal 207 dan pasal 298 KUH Pidana merupakan suatu abominasi dari setiap prinsip kedaulatan rakyat, diskriminasi fragran atas yang memerintah dan yang diperintah, dan pelanggaran yang disengaja atas kebebasan mengutarakan pendapat. Persoalannya kemudian, alih-alih mengoreksi kesalahan pasal-pasal KUHP dalam kaitannya dengan prinsip hak publik untuk tahu sebagai bagian dari kedaulatan rakyat tersebut, putusan MK malah menggarisbawahi dan menegaskan hak-hak istimewa pejabat publik untuk menutup diri dan membatasi akses informasi publik dengan alasan kredibilitas, kewibawaan dan kapabilitas lembaga atau jabatan. 63


BAB III

ANALISIS PUTUSAN MK

Pertimbangan MK poin 3. 24 menegaskan bahwa pasal 207 KUHP yang memberikan perlindungan tersendiri kepada pejabat-pejabat negara yang sedang menjalankan tugas berdasarkan hukum. Perlunya perlindungan tersendiri terhadap pejabat publik yang sedang menjalankan tugas karena di dalam jabatan dimaksud terkandung disamping unsur subyektif pribadi pejabatnya, juga melekat unsur obyektif institusinya yang membutuhkan kredibilitas, kewibawaan dan kapabilitas agar efektif dalam menjalankan tugas publik. Pertimbangan yang disusun MK dalam putusannya dapat dipandang sebagai suatu langkah mundur dalam kaitannya dengan upaya mewujudkan good governance. Konsep good governance mengedepankan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, partisipatori, legitimitasi dan akseptabilitas sebagai dasar fundamental reformasi birokrasi pemerintahan. Prinsip-prinsip ini ternegasikan dalam pertimbangan MK tersebut. Pertimbangan MK lebih menekankan pada prinsip kredibilitas, kewibawaan dan kapabilitas pejabat publik. Sesungguhnya dapat dipertanyakan mungkinkah membangun kredibilitas dan kewibawaan tanpa akuntabilitas dan transparansi? Pada konteks yang sama, putusan MK juga menegasikan fakta betapa buruknya kinerja badan-badan publik di Indonesia akibat tidak ditegakkan dan dilembagakannya prinsip akuntabilitas, transparansi, dan kebebasan informasi. Buruknya kinerja badan-badan publik yang juga berkaitan dengan sejumlah privilese yang diberikan kepada badan publik atau pejabat publik (atas nama kewibawaan lembaga, rahasia instansi, rahasia jabatan) untuk tidak memberikan akses memadai kepada masyarakat terhadap kinerja dan profesionalisme mereka.

64


MENGGUGAT PASAL-PASAL PENCEMARAN NAMA BAIK

BAB IV

KESIMPULAN

65


BAB IV

KESIMPULAN

Pertama, Majelis salah dalam memahami konteks permohonan. Permohonan yang diajukan oleh pemohon terkait dengan kebebasan berekspresi yang merupakan hak dasar warga negara yang dijamin dalam konstitusi, bukan kebebasan pers. Kedua, bahwa pertimbangan MK terkait dengan pembatasan kebebesan ekspresi tidak tepat. Pembatasan hak mutlak dilakukan untuk menjaga ketertiban di dalam masyarakat. Namun demikian, pembatasan terhadap HAM tidak selalu harus dilakukan dengan menggunakan instrumen hukum pidana, namun juga dapat menggunakan instrumen hukum lainnya. Ketiga, bahwa pertimbangan MK yang menyatakan permohonan para pemohon merupakan bagian dari constitutional complaint, memiliki kelemahan dasar karena MK mengabaikan fakta bahwa persoalan norma yang terjadi disebabkan rumusan delik yang kabur, sehingga hakim akan secara konsisten melanggar hak-hak yang dilindungi dalam Pasal 28F UUD 1945. Keempat, bahwa MK secara kabur menjelaskan argumentasi pembeda antara putusan perkara Nomor 4/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran terhadap UUD 1945 dengan permohonan pada kasus a quo. Sehingga tidak ditemukan alasan mengapa permohonan penghapusan sanksi tidak dapat dikabulkan. Kelima, MK kehilangan momentum untuk memimpin gagasan pembaharuan hukum. MK tidak mengkoreksi hukum yang masih berlaku meskipun hukum tersebut jelas-jelas dipengaruhi oleh paradigma kolonial. Sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan, masyarakat menghendaki adanya perubahan terhadap ketentuan-ketentuan yang diajukan pemohon. Keenam, dalam putusan a quo terlihat jelas bahwa MK tidak sepenuhnya berperan sebagai penafsir konstitusi.

66


DAFTAR PUSTAKA

67


Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan,Jakarta: Darul Falah, 1999. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dalam James W. Nickel Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip – Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 1994. Hairus Salim HS dan Angger Jati Wijaya (Peny.), Demokrasi dalam Pasungan Politik Perizinan di Indonesia, Jogjakarta: Forum LSM/LPSM, 1996. Hendrayana, dkk, Kebebasan Demokrasi dalam Negara Demokrasi, Jakarta: LBH Pers dan Yayasan TIFA, 2007. Indriyanto Seno Adji, Hukum dan Kebebasan Pers, Jakarta: Diadit Media, 2008. James W. Nickel, Hak Asasi Manusia Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Jakarta: Gramedia, 1996. Jimly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Jakarta: Ind. Hill-Co., 1997 John Hart Ely, Democracy and Distrust: A Theory of Judicial Review, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1980. Mason A., ‘Trends in Constitutional Interpretation’, University of New South Wales Law Journal, Volume 237, 1995. M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Jakarta: Rajawali Pers, 2003. Meuthia G. Rahman, dkk, HAM sebagai Parameter Pembangunan, Jakarta: Eslam, 1997. Miftahussurur dan Suma Mihardja, Delik-delik keagamaan di dalam RUU KUHP di Indonesia, Jakarta:Elsam, 2007.

68


Miriam Budiardjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993. Muhammad Hasyim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam, Bandung: Mizan, 1996 Samsul Wahidin, Hukum Pers, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Soetandyo Wignjosoebroto ‘Pengantar’ dalam buku karangan Meuthia G. Rahman, dkk, HAM sebagai Parameter Pembangunan, (Jakarta: Eslam, 1997), hlm. Ix-x. Peraturan Perundang-Undangan Undang-undang Dasar tahun 1945 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) Perjanjian Internasional tentang Hak – Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam lampiran James W, Nic Indriyanto Seno Adji, Hukum dan Kebebasan Pers, (Jakarta: Diadit Media, 2008),

Makalah Permohonan Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Terhadap UUD 1945, Jakarta, 5 Mei 2008 Legal Annotasi Eksaminasi: Agus Sudibyo, S.Ip., M.A. Antonius Cahyadi, S.H., L.LM Bambang Widjojanto, S.H., L.LM Susi Dwi Harijanti, S.H., L.LM. Permohonan uji materi KUHP ke MK, LBH Pers Naskah Kesimpulan Uji Materi ke MK

69


Kumpulan Pendapat Ahli Pemohon Uji Materi ke MK- LBH Pers Putusan MK RI No. 14/PUU-VI/2008 Website www.mahkamahkostitusi.go.id, Risalah peridangan MK RI No. 14/PUUVI/2008, 23 Juli 2008, lihat Linda Greenhouse, “Sentencing Tops Justices’ Agenda as Term Begins”, <http://www.nytimes.com/2004/10/04/politics/04scotus.html> Gerald L. Neuman, “The Uses of International Law in Constitutional Interpretation”, <http://www.law. upenn.edu/fac/npersily/calender/ AGDRAFT3.pdf.>. Media Massa Hukumonline.com, Kasus Pencemaran Nama Baik Lebih Tepat Diselesaikan Secara Perdata, Senin, 17 Novemper 2008. Koran Tempo, pemberitaan Bersihar Lubis

70


LAMPIRAN 01

PROSES PENGAJUAN UJI MATERI DI MK RI

71


LAPORAN PERKEMBANGAN PERKARA Nama Perkara Nomor Perkara Kepala Panitera Panitera Pengganti OC Panitera No

Tempat, Hari dan Tanggal

: Uji Materi KUHP terhadap UUD ’45 : No. 14/ PUU-VI/2008 : H. Ahmad Fadlil Sumadi : Sunardi, S.H. : Masyhuri Hasan, S.H. Agenda

Keterangan

1.

LBH Pers, Senin, 25-02-08

Hearing dengan Elsam

2.

LBH Pers, Rabu, 5-03-2008

Membahas Drafting Judicial Review. Rapat Persiapan Pengajuan Dibahas pula daftar saksi maupun JR ahli yang akan dihadirkan di persidangan. Dibuat pula draft surat untuk meminta kesedian sebagai saksi dan surat pernyataan kesediaan sebagai ahli yang menurut hukum acara MK harus menyertakan itu sebagai syarat administratif.

3.

Jawa Pos, Rabu, 12-03-08

4.

LBH Pers, Senin, 17-03-08

Rapat Koordinasi

membahas tentang adanya beberapa ahli yang tidak bersedia untuk menjadi ahli dalam JR ini. Untuk itu dicarikan solusi baik dengan rencana menghubungi ulang atau mengganti dengan ahli yang lain. Disepakati pula tentang time frame teknis persiapan JR. target awal Maret permohonan hak uji Materi sudah dapat diajukan.

5.

Rabu, 19 -03-08

Penandatanganan Surat Kuasa

Penandatanganan Surat Kuasa a.n. Pemohon I Risang Bima Wijaya, S.H.

6

LBH Pers, Senin, 24-03-08

Penandatanganan Surat Kuasa

Penandatanganan Surat Kuasa a.n. Pemohon II Bersihar Lubis

72

Hearing dengan ELSAM terkait dengan teknis pengajauan Judicial Review, memaparkan proses-proses Judicial Review.

Melakukan koordinasi dengan Pihak Jawa pos terkait dengan akan diajukannya Judicial Review.


7.

LBH Pers, Selasa, 25-03-08

Rapat Koordinasi

Rapat membahas persiapan Judicial Review. Untuk Ahli sudah menyatakan kesediaan secara lisan dan surat permohonan kesediaan sebagai ahli sudah dikirimkan. Untuk draft JR juga sudah difinalisasi. Selanjutnya tinggal menunggu konfirmasi dari para calon ahli. untuk saksi yang akan dihadirkan juga akan segera dipersiapkan surat permohonan kesediaan sebagai saksi.

8.

KHN, Rabu, 02 Apr 08

Mengumpulkan Data Bukti

Mengambil Buku Kesimpulan Dan Rekomendasi SPHN 2004 sebagai salah satu bukti dalam sidang Judicial Revew KUHP.

9.

Komnas HAM, Rabu, 02 Apr 08

Menyampaikan Surat

Menyampaikan Surat untuk Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, perihal Permohonan Menjadi Ahli dalam sidang Judicial Review KUHP di MK.

10. Rumah Nono Anwar Makarim Rabu, 09 Apr 08

Menyampaikan Surat

meminta tanda tangan untuk surat kesediaan Nono Anwar Makarim sebagai ahli. Oke, sudah dapat.

11. Tempo Proklamasi, Selasa, 15 Apr 08

Konfirmasi

Mengambil surat kesediaan sebagai saksi dalam sidang MK dan curriculum vitae atas nama Ahmad Taufik

12. LBH Pers, Selasa, 22 Apr 08

Rapat Koordinasi

Mematangkan Persiapan. Oke, sudah siap. Sudah tentukan tanggal pengajuan judicial review, tanggal 5 Mei 2008.

13. Kantor Pos Pasar Baru, Jum’at, 2 Mei 08

Meleges BuktiBukti

Meleges bukti-bukti (P.-1 sampai dengan P.-22) yang akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi dalam sidang Judicial Review KUHP.

14. Mahkamah Konstitusi, Rabu, 7 Mei 08

Mendaftarkan Permohonan JR KUHP

Mendaftarkan permohonan Uji Materiil atas pasal 310, 311, 316, dan 207 KUHPterhadap UUD 45. Secara keseluruhan dokumen yang terkait dengan syarat administrasi sudah lengkap, hanya perlu membelikan KUHP sebagai bukti yang diujimaterikan.

15. Gramedia Gatot Subroto, Kamis, 8 Mei 08

Membeli KUHP Membeli 2 (dua) buah KUHP sebagai bukti tambahan P-23 yang akan di ajukan ke Mahkamah Konstitusi

73


16. Kantor Pos Mampang, Jumat, 9 Mei 08

Meleges Bukti Tambahan

Meleges Fotocoy atas asli bukti P-23 yang akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi

17. Mahkamah Konstitusi, Jum’at, 9 Mei 08

Menyerahkan Bukti Tambahan

Menyerahkan kelengkapan permohonan JR, yang masih kurang yaitu P-23 dan cover bukti-bukti P-1 sampai dengan P-22 yang sudah dileges serta memperbaiki Akta Bukti. Kelengkapan bukti-bukti tersebut diterima oleh Widi Atmoko, S.H., dengan surat tanda terima No. 197/PAN. MK/V/2008

18. LBH Pers, Rabu, 14 Mei 08

Konfirmasi Ke Kepaniteraan MK

Menghubungi MK terkait dengan kelengkapan permohonan JR KUHP., telepon diterima oleh Pak Widi, dan kemudian diberikan kepada Pak Kaerudin. Permohonan telah memenuhi kelengkapan dan sudah dicatat (pada tanggal 12/Mei/2008) dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan No. Perkara : No. 14/PUU-VI/2008. Namun MK belum menetapkan hari sidang pertama. Pemberitahuan jadwal sidang paling lambat adalah 14 hari setelah pencatatan permohonan dalam buku registrasi perkara konstitusi.

19. LBH Pers, Rabu, 14 Mei 08

Briefing untuk acara di Dewan Pers

Briefing untuk persiapan acara pertemuan para ahli dan saksi yang akan dihadirkan dalam sidang JR KUHP

20. Dewan Pers, Kamis, 15 Mei 08

Briefing ahli dan saksi

Pertemuan dengan para ahli dan saksi dengan agenda briefing terkait dengan hal-hal yang akan disampaikan oleh para saksi dan ahli. Acara ini dihadiri oleh 5 ahli dari keseluruhan 7 ahli, dan 2 orang saksi dari 4 orang, serta seorang pemohon (Bersihar Lubis). Dalam briefing ini mereka menyampaikan poin-poin yang akan disampikan dalam sidang di MK mendatang.

21. LBH Pers, Rabu, 21 Mei 08

Rapat Koordinasi

Briefing untuk sidang panel pemeriksaan pendahuluan.

74


22. Mahkamah Konstitusi, Kamis, 22 Mei 08

Sidang Panel I

Sidang Panel dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Majelis Panel konstitusi dipimpin oleh HAS Natabaya. Natabaya dan anggota majelis panel lainnya (Maruarar Siahaan dan I Dewa Gede Palguna) mengingatkan (memberi nasihat) kepada para pemohon untuk membedakan persoalan inkonstitusionalitas norma Undang-Undang dengan praktik penerapan yang keliru terhadap norma Undang-Undang. Para Pemohon menerima nasihat para Hakim, dan akan merevisi poin-poin sebagaimana yang dinasehatkan. Sidang selanjutnya adalah 14 hari setelah 22 Mei 2008, dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Tempat sidang di Ruang Sidang Panel Gedung MK Lantai IV.

23. Komnas HAM, Kamis, 22 Mei 08

Briefing

Briefing dan koordinasi dengan Bapak Ifdhal Kasim terkait beliau sebagai ahli yang akan dihadirkan dalam sidang JR KUHP di MK. Pak Ifdhal bersedia sebagai ahli, dan telah menyiapkan naskah mengenai hal-hal yang akan beliau jelaskan dalam sidang keterangan ahli nanti. Beliau juga menyampaikan kemungkinan dirinya ditarik oleh MK sebagai Ahli . Pada akhir pembicaran, Pak Ifdhal memberi masukan; untuk kesimpulan sidang nanti kita bisa cek beberapa putusan MK (seperti: judicial review UU Perfilman, UU Peradilan HAM (kasus Abilio), sebagai salah satu bahan acuan.

24. LBH Pers, Rabu, 28 Mei 08

Rapat Koordinasi

Koordinasi mengenai revisi permohonan JR yang akan diajukan kembali ke MK. Membahas juga mengenai kemungkinan penambahan saksi ahli linguistik untuk dihadirkan dalam sidang nanti, persiapan penerjemah, menghubungi para saksi ahli terkait dengan naskah keterangan saksi/ ahli yang akan mereka sampaikan.

75


25. LBH Pers, Kam, 29 Mei 08

Rapat Koordinasi

Membahas finalisasi permohonan uji materiil kuhp

26. Mahkamah Konstitusi, Selasa, 3/06/2008

Menyerahkan Revisi Permohonan

Menyerahkan perbaikan Permohonan Uji Materiil KUHP. Berkas perbaikan permohonan sebanyak 12 dokumen diserahkan ke bagian kepaniteraan, diterima oleh Bpk Widi Atmoko. Dengan surat tanda terima No. 213/PAN.MK/ VI/2008.

27. Mahkamah Konstitusi, Rabu, 04/06/2008

Menyerahkan Asli Revisi Permohonan

Menyerahkan asli perbaikan Permohonan Uji Materiil KUHP yang semestinya diserahkan bersamaan dengan copy perbaikan permohonan.

28. LBH Pers, Rabu, 04/06/2008

Rapat Koordinasi

Rapat persiapan sidang panel II

29. Mahkamah Konstitusi, Kamis, 05/06/08

Sidang Panel II

Sidang panel; tanggapan majelis hakim MKRI atas revisi JR KUHP. Lanjut ke Pleno.

30. LBH Pers, Senin, 16/06/07

Rapat Koordinasi

Rapat Pasca Panel II dan Membahas Persiapan Pleno

31. LBH Pers, Senin, 23/06/08

Rapat Koordinasi

Rapat koordinasi membahas persiapan sidang Pleno I dan hal-hal terkait lainnya

32. Mahkamah Konstitusi, Selasa, 24/06/08

Sidang Pleno I

Sidang Pleno I dengan agenda mendengarkan keterangan dari pemerintah, tim perumus kuhp, pihak terkait dan ahli dari pemohon. Dari pihak tim perumus kuhp yaitu Achmad Mudzakir, sedangkan pihak terkait yaitu Dewan Pers (Bambang Harymurti, Ichlasul Amal, dan Leo Batubara), dan PWI. Adapun Ahli pihak Pemohon adalah Heru Hendratmoko (Ketua Umum AJI Indonesia). dalam sidang kali ini, pemohon juga menghadirkan seorang saksi yaitu Khoe Seng Seng (mewakili masyarakat yang dirugikan hak konstitusinya). Dalam persidangan Ketua Majelis Hakim menekankan bahwa yang menjadi pokok materi persidangan adalah mengenai persoalan norma (apa yang salah dengan norma) bukan

76


penerapan norma. Majelis konstitusi akan emmbuka persidangan lagi, waktu belum ditentukan. 33. LBH Pers, Senin, 30/06/08

Rapat Koordinasi

Rapat koordinasi membahas persiapan acara konsolidasi para ahli dan para pihak terkait JR KUHP sebagai persiapan untuk sidang Pleno II di MK RI.

34. Dewan Pers, Rabu, 2 Juli 2008

Konsolidasi Ahli dan Saksi

Untuk menindaklanjuti hasil sidang pleno I MK, dan untuk mengantisipasi sidang Pleno II, maka diadakan konsolidasi para ahli, pihak terkait, dan saksi. dalam konsolidasi ini, masing-masing pihak menyampaikan poin-poin yang akan disampaikan dalam sidang Pleno II.

35. Mahkamah Konstitusi, Rabu, 16 Juli 2008

Rapat Koordinasi dengan MK

Terkait dengan diadakannya videoconference untuk mendengarkan keterangan ahli Toby Daniel Mendel dari Kanada (Ahli Pemohon), maka pihak Kepaniteraan MK RI mengundang kuasa hukum para pemohon, pihak terkait, pemerintah, untuk rapat koordinasi membahas persiapan teknis sidang Pleno 23 Juli 2008 mendatang. Rapat ini dipimpin oleh kepala kepaniteraan MK RI. Dalam rapat ini masing-masing pihak (terutama MK dan Pemohon) menyampaikan kesiapan-kesiapan dan perkembangan terakhir dari masing-masing pihak. Pihak MK telah menyiapakan para teknisi dari Telkom, PLN, dan Interpreter. Dari pihak Pemohon menyediakan satu interpreter.

36. Dewan Pers, Senin, 21 Juli 2008

Konsolidasi dengan Pihak Terkait

Konsolidasi dengan Para Pihak Terkait untuk membicarakan garis besar yang akan disampaikan oleh para pihak terkait dalam sidang Pleno 23 Juli 2008 mendatang. Acara ini dihadiri oleh IJTI ( Imam Wahyudi, Rizal Mustary, Syaifurrahman), AJI Indo (Asep Komarudin), Dewan Pers (Chelsia, Abdullah Alamudi, Irwansyah). Pada prinsipnya Dewan Pers sangat mendu

77


kung JR KUHP ini, namun konteksnya Dewan Pers tetap pada penegakkan UU No. 40 tahun 1999. Sedangkan dari pihak AJI sejalan dengan Pemohon, bahwa perjuangan JR kita adalah untuk kepentingan semua warga negara. Demikian juga dengan pihak IJTI, mereka sepakat. Jika wartawan saja takut untuk menyampaikan informasi dan berekspresi (karena pidana dalam pasal-pasal pencemaran nama baik), maka bagaimana dengan masyarakat. Disamping itu kita / wartawan notabene adalah tools untuk kepentingan masyarakat. 37. Mahkamah Konstitusi, Senin, 21 Juli 2008

78

Rapat Koordinasi Dengan MK

Pihak Panitera MK RI kembali mengundang kuasa hukum pemohon untuk rapat koordinasi persiapan teknis sidang Pleno 23 Juli mendatang. Rapat ini dipimpin oleh kepala Kepaniteraan MK RI. Dalam rapat ini masing-masing pihak menyampaikan kesiapanya. Toby Daniel Mendel akan memberikan keterangannya pada pukul 13. 00 WIB14.00 WIB atau pukul 07.00 am-08.00 am, waktu UK. Pada saat videoconference nanti posisi Toby berada di Scotland city. Ia sendiri menggunakan peralatan yang disewanya dari sebuah company.Pada persidangan jarak jauh nanti Toby tidak akan diambil sumpahnya, karena yang bersangkutan tidak memiliki agama atau non religion sehingga pihak MK hanya akan mengambil janji saja. Dari pihak MK sendiri menyarankan agar peralatan yang digunakan tidak melebihi 3 BRA. Pihak MK akan mendatangkan PLN dan Telkom untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam rapat ini disepakati untuk uji coba videoconference, pada Selasa 22 Juli 2008 pukul 13.30 WIB di MK. Panitera juga menyampaikan draft skenario persidangan, karena masing-masing


pihak akan menghadirkan banyak Ahli dan Saksi juga terkait dengan Videoconference, maka Majelis Hakim MK RI menyarankan untuk alokasi waktu masing-masing Ahli dalam menyampaikan keterangannya adalah selama 20 menit.Dalam sidang Pleno II nanti pihak pemerintah akan mendatangkan 2 (dua ) orang Ahli yaitu A. Mudzakkir dan Jaffar Asegaf. 38. Mahkamah Konstitusi, Selasa, 22 Juli 2008

Uji Coba Videoconference

Seperti yang telah disepakati pada rapat 21 Juli 2008 lalu, pihak MK mengadakan uji coba videoconference. Dalam uji coba ini semuanya berjalan lancar, tidak ada gangguan berarti.

39. LBH Pers, Selasa, 22 Juli 2008

Rapat Koordinasi

Rapat Koordinasi persiapan sidang Pleno II.

40. Mahkamah Konstitusi, Rabu, 23 Juli 2008

Sidang Pleno II Sidang Pleno II dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli Pemohon, Saksi Pemohon, dan Ahli Pemerintah. Sidang bertempat di Ruang Sidang Pleno MK RI lantai II, berlangsung dari pukul 10.00 WIB - 16.00 WIB. Sidang ini dipimpin Hakim Ketua (Jimly Assidiqi), anggota majelis hakim (8 orang) juga hadir semuanya. Dari pihak pemerintah diwakili oleh DepkumHam, Depkominfo, dan kejaksaan, Ahli Pemerintah (A. Muzdakkir dan Jaffar Asegaf). Seperti yang telah disepakati pada Pleno I, dari pihak terkait dihadiri oleh Dewan Pers, IJTI, AJI Indo dan PWI Pusat. Sedangkan Ahli Pemohon, yaitu Nono Anwar Makarim, Atmakusumah Astraatmadja, Dr.Yenti Garnasih, S.H.,MH dan Toby Daniel Mendel Ahli dari Canada (Ahli Hukum International, aktifis HAM, Kebebasan berekspresi dan berpendapat), sedangkan Ifdhal Kasim, karena berhalangan hadir sehingga menyampaikan keterangan Ahli secara tertulis. Dalam sidang ini Pemohon

79


juga menghadirkan satu orang saksi yaitu Ahmad Taufik, wartawan Majalah Tempo yang dijatuhi pidana Pasal 310 dan 311 KUHP.Para pihak terkait sejalan dengan Permohonan Pemohon bahwa hak konstitusional para pemohon/ warga negara dibatasi oleh pasalpasal pencemaran nama baik. Adalah suatu ketidakadilan dan sangat esesif, bekerja untuk kepentingan publik/ memberikan informasi, berpendapat, berekspresi, dijawab sebagai suatu penghinaan. Ahli Toby juga menyampaikan bahwa kebebasan berekspresi adalah titik dasar dari demokrasi, hukum international tidak hanya menlindungi pembicara, tetapi juga pendengar. Majelis Hakim menawarkan kepada para pihak untuk membuka 1 (satu) kali lagi persidangan, mereka berpendapat bahwa apa yang dimohonkan Para pemohon adalah perkara yang serius dan penting. Pemohon menyetujui untuk sidang sekali lagi. Mengenai jangka waktu adalah sekitar 2 minggu setelah Pleno II. 41. LBH Pers, Jum’at , 25 Juli 2008

Konfirmasi ke Panitera MK

Menghubungi Panitera MK by phone mengkonfirmasikan jadwal sidang terkait dengan adanya penawaran dari ketua Majelis Hakim untuk di buka sekali lagi sidang pleno.

42. LBH Pers, Senin, 28 Juli 2008

Menerima Konfirmasi dari MK

Menerima konfirmasi dari Panitera MK by phone. Panitera menjelaskan bahwa dari pihak MK belum menjadwalkan sidang Pleno III. Ahli dari Pemerintah Amir Samsudin dan Pak Seno yang semula direncanakan akan hadir mewakili pihak ahli pemerintah dalam pleno III, tidak dapat hadir. Amir samsudin hanya akan menyerahkan keterangan tertulis saja. Sedangkan pak Seno tidak dua-duanya.

80


43. LBH Pers, Selasa, 29 Juli 2008

Menerima Surat dari MK

MK mengirimkan salinan Risalah Sidang Pleno III dan Salinan Keterangan Mudzakkir, Jaffar Asegaf, dan Heru Hendratmoko, serta PBHI.

44. LBH Pers, Kamis, 31 Juli 2008

Menerima Konfirmasi dari MK

Menerima Konfirmasi dari Panitera MK by phone. Panitera menjelaskan bahwa MK sudah menerima surat resmi dari Pemerintah perihal Pihak Pemerintah tidak akan mengajukan ahli lagi dalam persidangan. Amir Samsudin hanya akan memberikan keterangan tertulis (itupun jika diminta oleh Pemerintah) sedangkan Seno tidak bisa hadir maupun memberikan keterangan tertulis. Pihak panitera menanyakan bagaimana dengan kesiapan Pemohon? Apakah akan mengajukan ahli lagi atau tidak.

45. LBH Pers, Kamis, 31 Juli 2008

Menerima Menerima konfirmasi dari Panitera MK konfirmasi dari by phone. Panitera MK kembali menMK jelaskan perihal tidak jadinya Pemerintah mengajukan ahli dalam Pleno. Panitera juga meminta pada Pemohon, jika Pemohon akan menghadirkan Ahli lagi, supaya disampaikan secara tertulis kepada MK.

46. PBHI, Kamis, 31 Juli 2008

Koordinasi

Koordinasi dengan Pak Anggara mengenai persiapan pembuatan drfat kesimpulan dan persiapan (kemungkinan) sidang Pleno III.

47. LBH Pers, Kamis, 31 Juli 2008

Konfirmasi dengan AJI Indonesia

Konfirmasi dengan AJI Indonesia (Asep Komarudin) Perihal Ahli yang diusulkan oleh AJI Indonesia, untuk dihadirkan dalam Pleno III. Sampai saat ini AJI masih konfirmasi dengan Harkristuti Harkrisnowo, dan Abdul Hakim Garuda Nusantara

48. LBH Pers, Jum’at, 1 Agustus 2008

Konfirmasi dengan Risang Bima W.

Konfirmasi dengan Risang Bima W. (Pemohon I) perihal data-data terkait dengan kasus perdata Risang (sebagai bahan tambahan dalam draft kesimpulan), dan menyampaikan mengenai perkembangan Up date Judicial Re

81


view. Pada intinya Pemohon menyerahkan persiapan dan kesiapan JR kepada Kuasa hukum. 49. LBH Pers, Jum’at 1 Agustus 2008

Rapat Koordinasi

50. LBH Pers, Selasa, 5 Agustus 2008

Mengirim surat ke MK

Mengirim Surat (by Fax) ke MK No. 078/ SK-Litigasi/ LBH Pers/ VIII/ 2008 perihal Pemberitahuan tidak Mengajukan Ahli Pemohon.

51

LBH Pers, Selasa, 5 Agustus 2008

Konfirmasi ke Panitera MK

Konfirmasi dengan pihak Panitera MK (by Fhone) bahwa dari pihak Pemohon sudah mengirimkan pernyataan resmi secara tertulis untuk tidak mengajukan ahli lagi, sekaligus menyampaikan secara lisan perihal penambahan ad informandum.

52

MK, Kamis 7 Agustus 2008

Menyampaikan Kesimpulan Tertulis dan bukti ad informandum

Menyampaikan hard copy/ kesimpulan tertulis pemohon ke panitera MK sebanyak 12 rangkap. Kesimpulan diterima oleh Bpk. Widi Atmoko, S.H. (bagian adm. Kepaniteraan MK) dengan surat tanda terima no. 283/ PAN.MK/VIII/2008. Sedangkan Untuk bukti ad informandum berupa kliping koran Media Indonesia kolom editorial, atas permintaan panitera harus dileges dulu, baru diserahkan ke MK. Pada pertemuan ini, pihak Panitera MK juga menyerahkan relaas sidang Pengucapan Putusan, No. Surat 342. 14/MK/VIII/2008. Jadwal sidang yaitu pada Kamis, 14 Agustus 2008 pukul 14.00 WIB.

53

Kantor pos Pasar Baru, Jum’at 8 Agustus 2008

Meleges bukti ad informandum

Meleges tambahan bukti ad informandum, kemudian diperbanyak sebanyak 12 rangkap untuk diserahkan kepada Panitera MK.

54

MK, Jum’at 8 Agustus 2008

Menyampaikan bukti ad informandum

Menyampaikan bukti ad informandum yang sudah di leges. Diterima oleh Bpk. Widi Atmoko, S.H. (bagian administrasi panitera) dengan surat tanda terima No. 287/ PAN.MK/VIII/2008.

82


55

LBH Pers, Jum’at 8 Agustus 2008

Mengirim soft copy kesimpulan

Mengirim soft copy kesimpulan by email ke alamat email panitera mk (bangsaku_tercinta@yahoo.com)

56

LBH Pers, Jum’at 8 Agustus 2008

Konfirmasi dengan Panitera MK

Konfirmasi dengan panitera MK bahwa soft copy kesimpulan pemohon sudah dikirim dan terkirim by email.

57

LBH Pers, Jum’at 8 Agustus 2008

Menyampaikan perkembangan up date

Mengirim surat perihal perkembangan ter update JR KUHP dengan dilampiri relaas sidang putusan, kepada para ahli dan saksi by email.

58

LBH Pers, Selasa 12 Agustus 2008

Konfirmasi ke para ahli, saksi, dan Pemohon

Konfirmasi kepada para ahli dan saksi (by phone), perihal sidang Putusan MK. Pak Atmakusumah tidak bisa hadir karena ada empat agenda pada tanggal 14 Agustus diantaranya adalah Pelatihan Kode Etik Jurnalis. Bu Yenti tidak bisa hadir karena pada saat yang bersamaan sedang berada di FH UGM, Ahmad Taufik tidak bisa hadir karena pada saat yang bersamaan sedang berada di Bandung, sedangkan Khoe Seng Seng akan hadir dalam sidang. Begitu juga Bersihar Lubis.

58

LBH Pers, Selasa 12 Agustus 2008

Konfirmasi ke Panitera MK

Konfirmasi kepada Panitera MK menanyakan apakah sudah ada pemberitahuan mengenai jadwal sidang putusan dari MK ke Para Pihak Terkait. Karena beberapa pihak terkait menanyakan kepada Pemohon mengenai jadwal sidang dan perkembangan terbaru. Pihak panitera akan mengecek ulang ke bagian kepaniteraan.

59

LBH Pers, Rabu, 13 Agustus 2008

Konfirmasi ke Panitera MK

Menanyakan kembali (by phone) kepada Panitera MK apakah sudah ada pemberitahuan resmi mengenai jadwal sidang kepada pihak terkait, karena konfirmasi dari IJTI belum menerima apapun dari MK. Panitera menjelaskan bahwa relaas sudah dikirim ke semua pihak termasuk IJTI. Panitera juga menanyakan siapa saja dari kuasa hukum Pemohon yang akan hadir dalam sidang putusan besok.

83


60

LBH Pers, Rabu, 13 Agustus 2008

Menerima Menerima konfirmasi dari Panitera MK konfirmasi dari (by phone) bahwa karena padatnya Panitera MK jadwal ketatanegaraan pada bulan Agustus 2008 dan berdasarkan RPH, jadwal sidang putusan perkara diubah, semula Kamis tanggal 14/08/08 menjadi Jum’at 15/08/08 pukul 13.30. Kita meminta pula surat tertulis resmi dari MK perihal perubahan jadwal tersebut. Kita meminta untuk diundur jamnya, terkait dengan pelaksanaan sholat Jum’at. Kita juga menanyakan bagaimana dengan pihak terkait apakah sudah ada pemberitahuan resmi dari MK? Panitera MK sudah menyampaikan ke Dewan Pers, IJTI dan AJI.

61

LBH Pers, Rabu, 13 Agustus 2008

Menerima Konfirmasi dari MK

Menerima konfirmasi dari Panitera MK (by phone), bahwa surat tertulis resmi dari MK sudah difaks. MK meminta pihak Pemohon untuk membantu menghubungi PWI.

62

LBH Pers, Kamis 14 Agustus 2008

Menerima Konfirmasi dari MK

Menerima konfirmasi dari MK, panitera MK menanyakan nama-nama kuasa hukum yang akan hadir dalam sidang putusan besok. Panitera MK juga menanyakan apakah Pemohon prinsipal juga datang?

63

LBH Pers, Kamis 14 Agustus 2008

Briefing

Briefing crew non litigasi membicarakan kesiapan dan hala-hal teknis serta list perlengkapan untuk sidang putusan.

64

MK RI, Jum’at 15 Agustus 2008

Sidang Putusan

Sidang yang semula dijadwalkan Kamis, 14 Agustus 2008, diundur menjadi Jum’at 15 Agustus 2008. Majelis Hakim terdiri dari 8 orang, sebab Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie tidak bisa hadir karena ada agenda dengan presiden, maka sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Harjono. Para Pihak Terkait hadir semua (kecuali AJI, datang saat sidang hampir selesai). Sidang dibuka Pukul 14.00 WIB, Majelis hakim menolak permohonan para pemohon. Dasar

84


penolakannya diantaranya: karena norma yang diujikan adalah penerapan bukan konstutisionalitasnya, dan nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang adalah hak konstitusional yang harus dilindungi. Setelah Majelis hakim mengetuk palu, putusan setebal 288 dibagikan kepada para pihak. Pada bagian pertimbangan hukum terdapat beberapa revisi. Untuk revisi akan dikirim di kemudian hari. 65

LBH Pers, Selasa 19 Agustus 2008

Koordinasi

Koordinasi dengan Pak Anggara perihal contact person para pihak yang terkait dengan judicial review KUHP, untuk kepentingan surat ucapan terima kasih.

66

LBH Pers, Rabu 20 Agustus 2008

Rapat Koordinasi

Membahas mengenai agenda pasca putusan. Direncanakan untuk diadakan eksaminasi publik terhadap putusan judicial review KUHP. Diagendakan dilaksanakan selama tiga bulan (September – November).

Penanggung Jawab

Muhammad Halim, S.H Non Litigasi

Sholeh Ali, S.H. Litigasi

Adiani Viviana, S.H. In charge officer

85


86


LAMPIRAN 02

MAKALAH AHLI DAN DUKUNGAN UJI MATERI

87


Kepada Yth: Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI Melalui Ketua Mahkamah Konstitusi RI Di Tempat Perihal : Tambahan Informasi Dalam Perkara No 14/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 (1), Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dengan hormat Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Perkenankan kami, Gerakan Rakyat Anti Korupsi Indonesia (Gerak Indonesia), hendak mengajukan tambahan informasi untuk mendukung permohonan Pengujian Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Risang Bima Wijaya, SH dan Bersihar Lubis. Oleh karena itu, tambahan informasi ini kami ajukan melalui Tim Kuasa Hukum dari Para Pemohon, Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), untuk dapat memberikan informasi kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi terkait dengan hubungan antara kebebasan berpendapat dengan gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Dukung Terhadap Kebebasan Berbicara dan Berekspresi 1.

88

Bahwa GERAK Indonesia (Gerakan Rakyat Anti Korupsi Indonesia ) adalah _________. Gerak Indonesia didirikan pada ______ di ________ melalui _____ yang diikuti oleh _____ anggota pendiri sebagai wadah berhimpun setiap orang yang peduli atas gerakan pemberantasan korupsi.


2.

Bahwa Gerak Indonesia sejak didirikannya telah dikenal di masyarakat sebagai organisasi yang memiliki perhatian dan kepedulian yang tinggi dan selalu berusaha melakukan advokasi terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.

3.

Bahwa kepentingan dari Para Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian ini adalah terkait erat dengan kepentingan dari Gerak Indonesia untuk mempromosikan pemberantasan anti korupsi di Indonesia.

4.

Bahwa Kebankrutan ekonomi dan moral bangsa Indonesia diyakini salah satunya adalah karena korupsi yang tumbuh subur di seluruh Indonesia.

5.

Bahwa sesungguhnya korupsi merupakan bentuk penghianatan sang koruptor (penguasa) pada rakyat Indonesia. Karena seluruh aktivitas pemerintahan dijalankan dari pengumpulan uang masyarakat berupa pajak yang kemudian dikumpulkan menjadi APBN atau APBD.

6.

Bahwa dari anggaran negara dan daerahlah roda pemerintahan dapat digerakan. Sebagian untuk anggaran pembangunan dan sebagian besar untuk anggaran rutin. Akan tetapi sebagian penguasa tidak merasa cukup dengan pendapatan yang diterimanya. Kemudian jalan pintas diambil yaitu korupsi. Anggaran di atur untuk menguntungkan kepentingan kelompok atau kroni. Proyek diatur agar dimenangkan oleh keluarga dekat atau kroni. Sehingga anggaran untuk rakyat sangat kecil atau proyek berkualitas rendah.

7.

Bahwa secara sederhana dapat kita katakan rakyat dirugikan oleh sang koruptor. Oleh karena itu sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dan penyumbang pajak terbesar, rakyat layak mengawasi kinerja pemerintah.

8.

Bahwa berpartisipasinya rakyat dalam upaya pemberantasan korupsi tentu dengan alasan yang kuat. Pertama fungsi kontrol dan pengawasan yang sampai saat ini tidak berjalan dengan baik. Lembaga kontrol dan pengawasan bisa dinego oleh koruptor dengan uang sehingga control menjadi lemah. Kedua fungsi penegakan hukum belum juga berjalan dengan baik. Penegak hukum juga bernegosiasi dengan koruptor. Contoh terbaru dalah kasus jaksa Urip.

89


9.

Bahwa ditengah harapan yang terus merosot, tumbuh kembanglah upaya pengawasan langsung oleh rakyat. Bentuk nyatanya adalah lahirnya LSM anti korupsi di seluruh Indonesia. Kerja – kerja LSM ini berupa pengumpulan informasi dan bukti dugaan korupsi. Lalu melaporkanya pada pihak yang berwenang. Mengkampanyekanya pada khalayak rame melalui media. Berdemontrasi mendesak agar kasus diselesaikan oleh Kejaksaan, Kepolisian KPK maupun Pengadilan.

10.

Bahwa upaya – upaya pengawasan yang dilakukan oleh LSM ini tentu tidak dibiarkan oleh koruptor. Tindakan yang paling sering terjadi adalah pelaporan pencemaran nama baik oleh sang koruptor terhadap aktivis LSM yang melaporkan koruptor ke lembaga berwenang. Sebagai contoh sebut saja pencemaran nama baik yang dialami anggota kami Saudara Akhiruddin di Aceh. Dituduh melakukan pencemaran nama baik oleh salah satu Bupati di Aceh. Contoh lain anggota kami di Lombok Tengah dituduh melakukan pencemaran nama baik oleh Bupati dan hampir semua kepala dinas disana. Tuduhan ini diikuti ancaman masa, preman dan lain sebagainya. Hal ini berdampak buruk bagi kebebasan masyarakat mengawasi prilaku tercela para penyelenggara negara . Sehingga rakyat sebagai pemegang saham negeri ini terus dirugikan.

11.

Bahwa sesungguhnya hak masyarakat untuk mengumpulkan data informasi dan melaporkannya pada pihak berwenang sudah dijamin oleh UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal tersebut tertuang dalam bab V mengenai peran serta masyarakat pada pasal 41 poin 1-5. Akan tetapi banyak sekali pejabat didaerah yang berprilaku seperti raja kecil maupun preman yang mendahulukan ancaman dan serangan balik apabila kejahatannya diketahui oleh publik.

12.

Bahwa aktivitas pemberantasan korupsi memerlukan jaminan penuh terhadap kebebasan berpendapat, karena tanpa kebebasan berpendapat maka akan banyak terjadi laporan-laporan atau kriminalisasi dengan menggunakan pasal – pasal penghinaan dan/ atau fitnah.

13.

Bahwa masalah korupsi pada hakikatnya merupakan masalah ketertutupan informasi dan masih banyaknya ancaman terhadap kebebasan berpendapat yang dapat membuka peluang untuk

90


mengirimkan para “peniup seruling� ke penjara dengan dakwaan penghinaan dan/atau fitnah 14.

Bahwa oleh karena itu, kami 31 organisai anti korupsi diseluruh Indonesia yang tergabung dalam gerakan rakyat anti korupsi Indonesia merasa perlu mendukung pengujian pasal – pasal mengenai kebebasan berekspresi ini.

Berdasarkan pertimbangan dan alasan-alasan diatas, maka kami memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk mengabulkan Permohonan dari Para Pemohon untuk seluruhnya. Apabila Mahkamah Konstitusi berkenan untuk mengabulkan permohonan dari Para Pemohon terkait dengan Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP, maka putusan Mahkamah akan membawa angin segar perubahan baru bagi kebebasan berpendapat dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Jakarta , 4 Juli 2008

Harlans M Fachra Konsulat Nasional

91


FINAL VERSION 08/04/07

Presentation on International Defamation Standards For the Jakarta Conference on Defamation 28-29 July 2004 – Jakarta Toby Mendel Law Programme Director ARTICLE 19 The issue of defamation law has become a serious one in Indonesia in recent years, with a growing number of defamation cases exerting a significant chilling effect on freedom of expression. Criminal defamation charges bring the risk of extremely harsh penalties. For example, in September and October 2003, Paputungan and Supratman, of the daily Rakyat Merdeka, were given, respectively, 5-month and 6-month suspended sentences after conviction for criminal defamation. Even more shocking was the one-year imprisonment sentence for defamation imposed on Bambang Harymurti, editor of Tempo magazine, in September 2004, although this was overruled by the Supreme Court in February 2006, on the basis that the Press Law, not the Criminal Code, should apply to defamation cases against the media. Criminal defamation continues to cast its shadow over the media, however, and in February 2007, an investigation into criminal defamation allegations was launched against newspaper Harian Kursor. Civil defamation cases can also lead to excessive damage awards and a resultant chilling effect on freedom of expression. An example is the Rupiah 8.4 billion (approximately US$1,000,000) awarded to businessman Tomy Winata in January 2004 in a defamation case against the magazine Koran Tempo, although this was reduced to Rupiah 1 billion on appeal in January 2006. The growing reliance on Indonesia’s harsh defamation laws is not entirely unexpected. Many countries in transition to democracy experience significant growth in reliance on defamation cases as politicians and other public figures, unaccustomed to being criticised by a formerly largely subservient 92


media, turn to defamation law as means of stifling such criticism. To some extent, this is a positive development as defamation laws are often less repressive than the means of control employed previously. At the same time, defamation laws in many countries in transition are unduly repressive and can, if they are not amended, seriously undermine the newly won freedoms. This is precisely the situation in which Indonesia finds itself today. In my paper, I will focus on international, and to some extent comparative, standards in relation to defamation law. In my view, Article 19 of the Universal Declaration of Human Rights,57 guaranteeing freedom of expression, is binding on Indonesia, along with other countries, as a matter of customary international law. Indonesia acceded to the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR),58 a formally binding treaty which guarantees freedom of expression, also at Article 19, on 23 February 2006. In most cases, however, the standards I rely upon in this paper are not directly binding on Indonesia. Nevertheless, jurisprudence from international judicial bodies in other regions of the world, and other non-binding standard-setting, such as authoritative international declarations and statements, illustrate the manner in which leading experts around the world have interpreted the (relatively brief) guarantees of freedom of expression found in international law. As such, they are good evidence of generally accepted understandings of the scope and nature of international guarantees of freedom of expression, as well as of Articles 28, 28E and 28F of the Constitution of Indonesia, which also guarantee of freedom of expression. In this paper, I address a number of areas which I believe are relevant to the question of defamation law in Indonesia, in each case making specific recommendations for further development of Indonesian law. I start with a brief consideration of whether or not the 1999 Indonesia Press Law can be relied on as a form of lex specialis for the media, so that claims of defamation should be dealt with under its rubric. Other issues addressed include whether or not defamation should be a criminal offence, which individuals and bodies should have a right to sue in defamation, issues relating to proof of truth in defamation cases, the defence of reasonable publication and the question of sanctions.

57 58

UN General Assembly Resolution 217A(III), 10 December 1948. UN General Assembly Resolution 2200A (XXI), 16 December 1966, entered into force 3 January 1976.

93


The 1999 Press Law A matter of some debate in Indonesia at the moment is whether the 1999 Press Law of Indonesia represents lex specialis for the media, so that, in practice, any defamation case should be considered under its provisions, rather than the specific defamation provisions found in the Civil and Criminal codes. As noted above, in the Harymurti case, the Supreme Court held precisely this, in what was widely considered to be a victory for press freedom. At the same time, this has not been followed by all courts and the matter is still very much an open debate in the country. In commenting on the Press Law, I should disclose my own involvement in its development. I am not an expert on Indonesia law in general, and the question of the interrelationships of different laws within that legal system. However, I was closely involved in the development of the Press Law and hence have some relevant knowledge concerning its provisions. I fully understand the motivation of those who wish to argue that all legal matters relating to the media should be dealt with under the Press Law. It is, by and large, a very progressive piece of legislation, adopted at the height of the reformasi movement and embodying the aspirations of the media community for freedom. The present political climate is such that progressive reform of the defamation laws is likely to be an uphill struggle. The lex specialis approach thus provides media freedom advocates with an effective means of addressing the problem of repressive defamation laws. At the same time, it is my view that the claim that defamation cases involving the media should be addressed under the Press Law suffers from serious flaws from a legal perspective. There are several reasons for this. First, and foremost, the Press Law does not even mention defamation and fails to provide for any framework for addressing this very complex area of law. A judge, faced with the need to assess a defamation case under the Press Law, would need either to make up the legal rules entirely from scratch, hardly a legitimate or stable outcome, or to revert to the existing body of defamation law for guidance, which would fail to achieve the desired outcome. Second, if the Press Law is indeed a lex specialis for the media, there is no obvious reason to restrict this to defamation law. Logically parallel claims would apply to other restrictions on freedom of expression such as hate speech, protection of privacy, obscenity and blasphemy laws, protection of national security and so on. The legal implications of this are broad indeed, 94


particularly as the Press Law, for the most part, as in the case of defamation, fails to provide any framework or guidance on how to deal with these issues. Significant areas of law would simply be swept away and replaced with silence, creating significant legal uncertainty. Third, and closely related, there is no indication whatsoever either in the Press Law itself, or anything in the drafting process, to indicate that its intended effect was to replace existing content restrictions insofar as they might be applied to the media. It is hardly reasonable to suggest that such a far-reaching legal regime could have been established without even the merest indication that this was intended. Fourth, using the Press Law for defamation involving the media would lead to the peculiar result of one set of defamation principles applying to those who publish via the media and another set of principles applying to those who publish in any other form, including, for example via books or films. There is no apparent justification for this distinction, rarely recognised in other systems of law. It may, therefore, be concluded that the appropriate approach to reforming the Indonesian defamation laws is through direct amendment of the existing criminal and civil defamation provisions. Although this is no doubt more difficult and time-consuming than simply assigning cases involving the media to the 1999 Press Law, it at least holds out the promise of more far-reaching reform, applicable to everyone charged with defamation, not just the media. At the same time, the system set up by the 1999 Press Law is far from irrelevant to the question of defamation. The Press Law establishes a Press Council which has the responsibility, among other things, to deal with complaints from the public regarding press abuses. Such complaints may include cases of defamation. To the extent that these complaints are resolved through the Press Council, this should affect any possible future sanction that may be applied through the courts (see below, under Sanctions). Criminal Defamation Criminal defamation laws have produced a serious chilling effect on freedom of expression in many countries where such laws are not only oppressive in themselves, but are also roundly abused. It is submitted that these laws, in and of themselves, breach the right to freedom of expression. 95


International guarantees of freedom of expression do allow for restrictions on this fundamental right, but only where these meet certain conditions, including that they are necessary in a democratic society. Necessity implies that there is a pressing social need for the restriction and that the restriction is proportionate. This latter implies, at a minimum, that the least intrusive available measures which effectively address the problem must be employed, as opposed to measures which more seriously limit the right to freedom of expression. Criminal defamation laws have their origins in the need to maintain public order during a period when insults and attacks on reputation posed a real risk of engendering violence, in particular in the form of a duel. This risk no longer applies and, as a result, their public order roots should no longer be used as a justification for criminal defamation laws. The origins of criminal defamation in the United Kingdom provide a good insight into their public order rationale. Criminal defamation in the United Kingdom dates back to the Statute of Westminster of 1275, which established the offence of Scandalum Magnatum, providing that: … from henceforth none be so hardy to tell or publish any false news or tales, whereby discord or occasion of discord or slander may grow between the king and his people or the great men of the realm.59 The purpose of Scandalum Magnatum seems to have been mainly to promote peaceful means of redress in a context characterised by constant threats to public order, rather than to protect reputations per se. In his renowned History of English Law, Holdsworth notes that the purpose of these statutes was, “not so much to guard the reputation of the magnates, as to safeguard the peace of the kingdom,” adding, “this was no vain fear at a time when the offended great one was only too ready to resort to arms to redress a fancied injury.”60 At the time, information was scarce and hard to verify and false rumours could all too easily lead to violence, for example in the form of public duels or even insurrection. According to the Supreme Court of Canada, “the aim of the statute was to prevent false statements which, in a society dominated by extremely powerful landowners, could threaten the security of the state.”61 59 60 61

96

Scott, F., “Publishing False News” (1952) 30 Canadian Bar Review 37, pp. 38-9. A History of English Law, v. III, 5th Ed. (London, Methuen & Co., 1942), p. 409. R. v. Keegstra, [1990] 2 SCR 697, p. 722.


It is clear that the social conditions which were originally used to justify this rule no longer pertain. Indeed, they seem to have disappeared some time ago. In a 1964 case, the US Supreme Court noted: Even in Livingston’s day [circa 1830s], however, preference for the civil remedy, which enabled the frustrated victim to trade chivalrous satisfaction for damages, had substantially eroded the breach of the peace justification for criminal libel laws.62 And, further: . . . under modern conditions, when the rule of law is generally accepted as a substitute for private physical measures, it can hardly be urged that the maintenance of peace requires a criminal prosecution for private defamation.63 It is everywhere accepted that reputations should be protected by law and that certain types of statements which undermine reputations should attract liability of some sort. There are two principled reasons why defamation should be dealt with through the civil law, rather than as a matter of criminal law. First, use of the criminal law represents a disproportionate means of addressing the problem of unwarranted attacks on reputation and, as a result, exerts an unacceptable chilling effect on freedom of expression. This is particularly so in relation to statements regarding public officials or on matters of public interest, which is often the context in which such laws are used. In Lingens v. Austria, the European Court of Human Rights recognised that criminal sanctions for defamation can lead to the suppression of important expression. Referring to the fine imposed on the applicant for defamation, the Court stated: In the context of political debate, such a sentence would be likely to deter journalists from contributing to public discussion of issues affecting the life of the community. By the same token, a sanction such as this is liable to hamper the press in performing its task as purveyor of information and public watchdog.64 62 63 64

Garrison v. Louisiana, 379 U.S. 64 (1964), p. 69. Ibid., quoting from Emerson, “Toward a General Theory of the First Amendment” (1963) 72 Yale L. J. 877, p. 924. Lingens v. Austria, 8 July 1986, Application No. 9815/82, para.44.

97


As a result of this threat, the Court recognised the need for general restraint when applying criminal sanctions in the context of restrictions on the right to freedom of expression. The chilling effect of criminal sanctions has also been noted by the InterAmerican Commission on Human Rights, which notes, in the conclusion of its Report on the Compatibility of “Desacato” Laws With the American Convention on Human Rights, “the inevitable chilling effect [criminal sanctions] have on freedom of expression”.65 Second, civil defamation laws, on their own, provide adequate redress for harm to reputation. The experience of a number of countries, including countries in transition to democracy and relatively poor countries, conclusively demonstrates this. Countries such as Bosnia and Herzegovina, Central African Republic, Chile, Ghana, Georgia, Ivory Coast, Sri Lanka, Togo and Ukraine have all abolished their criminal defamation laws. These countries have not experienced any noticeable increase, of either a qualitative or quantitative nature, in defamatory statements since they abolished criminal defamation. If civil laws are an effective remedy, they are preferable to criminal defamation laws, as restrictions on freedom of expression must be carefully designed so as to limit the right as little as possible. The sufficiency of civil defamation laws in redressing harm to reputation is also illustrated by the growing number of jurisdictions where they are either the preferred means of redress or growing in popularity, even though criminal defamation laws are still on the books. In many European countries, criminal defamation laws have fallen into virtual desuetude. For example, there has been no successful attempt to bring a criminal prosecution for defamation in the United Kingdom for many years and no private actor has even attempted to do so for some 25 years.66 It may be noted that, where criminal defamation laws respect fundamental criminal principles – unfortunately rarely the case67 – they are normally significantly less attractive to plaintiffs than civil defamation laws. An 65 66

67

98

1994 Annual Report of the Inter-American Commission on Human Rights, Chapter V. Historical attempts include Goldsmith v. Pressdram, [1977] QB 83, Gleaves v. Deakin, [1980] AC 477 and Desmonde v. Thorpe, [1982] 3 All ER 268. None of these cases have gone to trial because either the plaintiffs failed to obtain leave to proceed or the cases were discontinued. Frequently, for example, criminal defamation laws fail to place an appropriate onus on the party bringing the case to prove all of the elements of the offence or to require proof of those elements beyond all reasonable doubt.


important criminal principle is the presumption of innocence, which requires the party bringing the case to prove all of the elements of the offence to the criminal standard of beyond all reasonable doubt. In defamation cases, this should arguably include proof of the falsity of the impugned statements, proof that they were made with actual knowledge of falsity, or recklessness as to whether or not they were false, and proof of a specific intention to cause harm.68 This represents a very high standard for plaintiffs to meet and, if required in practice, would significantly reduce the attractiveness of criminal defamation. There is a growing body of authoritative international standards to support this position. The UN Human Rights Committee has not yet had the opportunity to address the issue of criminal defamation in the context of an individual communication alleging a breach of the right to freedom of expression. However, it has repeatedly expressed its concern about criminal defamation and, in particular, the use of custodial sanctions for defamation, in the context of its regular reviews of country reports.69 Every year, the UN Commission on Human Rights, in its resolution on freedom of expression, notes its concern with “abuse of legal provisions on defamation and criminal libel”.70 The three special international mandates for promoting freedom of expression – the UN Special Rapporteur, the OSCE Representative on Freedom of the Media and the OAS Special Rapporteur on Freedom of Expression – called on States to repeal their criminal defamation laws in their joint Declarations of November 1999, November 2000 and again in December 2002. The 2002 statement read: Criminal defamation is not a justifiable restriction on freedom of expression; all criminal defamation laws should be abolished and replaced, where necessary, with appropriate civil defamation laws.71 68 69

70 71

See ARTICLE 19, Defining Defamation: Principles on Freedom of Expression and the Protection of Reputation (London, ARTICLE 19, 2000). For example, in relation to Iceland and Jordan (1994), Tunisia and Morocco (1995), Mauritius (1996), Iraq (1997), Zimbabwe (1998), Cameroon, Mexico, Morocco, Norway and Romania (1999), Kyrgyzstan and Trinidad and Tobago (2000), Azerbaijan, Guatemala and Croatia (2001), and Slovakia (2003). See, for example, Resolution 2004/42, 19 April 2004, para. 3(a). Joint Declaration of 10 December 2002.

99


In October 2000, the Inter-American Commission on Human Rights adopted a Declaration of Principles on Freedom of Expression. Paragraph 10 of this Declaration states, among other things: “[T]he protection of a person’s reputation should only be guaranteed through civil sanctions in those cases in which the person offended is a public official, a public person or a private person who has voluntarily become involved in matters of public interest.”72 The Commission’s Report on the Compatibility of “Desacato” Laws With the American Convention on Human Rights goes further, suggesting that all matters relating to the protection of reputation should be dealt with as a matter of civil law: The Commission considers that the State’s obligation to protect the rights of others is served by providing statutory protection against intentional infringement on honor and reputation through civil actions and by implementing laws that guarantee the right of reply.73 In two cases decided in 2004, the Inter-American Court of Human Rights took a strong stand against criminal defamation laws, while stopping short of ruling outright that they breach the right to freedom of expression. In both cases, the Court held that the statements on which the national criminal defamation convictions were based related to matters of public interest. These decisions make it clear that, in the context of such statements, it will be very difficult, it not impossible, to justify a criminal defamation conviction. In the first case, the Court also made it clear that a journalist should not be expected to prove the truth of statements that were originally reported in respected foreign newspapers.74 The European Court of Human Rights has never actually ruled out criminal defamation and there are a small number of cases in which it has allowed criminal defamation convictions. Nonetheless, the Court has clearly recognised that there are serious problems with criminal defamation; it has frequently reiterated the following statement in the context of defamation cases: 72 73 74

100

Adopted at the 108th Regular Session, 19 October 2000. 1994 Annual Report of the Inter-American Commission on Human Rights, Conclusion. See Herrera-Ulloa v. Costa Rica, 2 July 2004, Series C, No. 107 and Ricardo Canese v. Paraguay, 31 August 2004, Series C, No. 111.


[T]he dominant position which the Government occupies makes it necessary for it to display restraint in resorting to criminal proceedings, particularly where other means are available for replying to the unjustified attacks and criticisms of its adversaries or the media.75 In Castells v. Spain, the Court stated that criminal measures should only be adopted where States act “in their capacity as guarantors of public order”.76 It is significant that, in that case, which involved a conviction for defamation, the Court referred to the application of criminal measures only as a means of maintaining public order and not as a means of protecting reputations. As noted above, in my view defamation laws can no longer be justified as a means of ensuring public order. In those cases in which the ECHR has formally upheld criminal convictions for defamation, it has been at pains to point out that the sanctions were modest and hence met the requirement of proportionality (see below, under Sanctions). My own organisation, ARTICLE 19, also takes the clear position that criminal defamation laws are illegitimate. Principle 4(a) of our standards in this area, Defining Defamation: : Principles on Freedom of Expression and Protection of Reputation (Defining Defamation), states categorically: All criminal defamation laws should be abolished and replaced, where necessary, with appropriate civil defamation laws. Steps should be taken, in those States which still have criminal defamation laws in place, to progressively implement this Principle.77

75 76 77

Castells v. Spain, 24 April 1992, 14 EHRR 445, para. 46. Ibid. Note 68. These principles were adopted by a group of highly recognised experts in the area of freedom of expression and protection of reputation. They were endorsed in the Joint Declaration of 30 November 2000 of the three special international mandates dealing with freedom of expression – the United Nations Special Rapporteur on Freedom of Opinion and Expression, the Organisation for Security and Cooperation in Europe Representative on Freedom of the Media and the Organisation of American States Special Rapporteur on Freedom of Expression – and have also been endorsed by a large number of other organisations and individuals.

101


The above points to the following recommendation: • All criminal defamation laws in Indonesia should be repealed. To the extent that this leaves gaps in the system of protection of reputations, these should be addressed through the civil law. Who May Sue Courts in different common law jurisdictions have restricted the right of certain public bodies to sue for damage to reputation, even under the civil law. Elected bodies, for example, have been denied standing because of the importance of free criticism of their activities. In recent years, courts have extended the scope of this prohibition, blocking suits by other public bodies, including State-owned corporations and even political parties. Courts have recognised the danger of giving the government the right to sue its critics for defamation. In the case of Derbyshire County Council v. Times Newspapers Ltd., the UK House of Lords ruled that the common law does not allow a local authority to maintain an action for damages for libel. As an elected body, it “should be open to uninhibited public criticism. The threat of a civil action for defamation must inevitably have an inhibiting effect on freedom of speech.”78 The House of Lords put forward a threefold rationale for restricting the ability of elected bodies to sue. First, criticism of government is vital to the success of a democracy and defamation suits inhibit free debate about vital matters of public concern. The Lords emphasised this point when distinguishing the plaintiff county council from private corporations.79 Second, defamation laws are designed to protect reputations. Elected bodies should not be entitled to sue in defamation because any reputation they might have would belong to the public as a whole, which on balance benefits from uninhibited criticism. Furthermore, elected bodies regularly change membership so, as the Derbyshire court noted, “it is difficult to say the local authority as such has any reputation of its own.”80 Finally, the government has ample ability to defend itself from unwarranted criticism by other means, for example by responding directly to any allegations. Allowing public bodies to sue is, therefore, an inappropriate use of taxpayers money, one which may well be open to abuse by governments intolerant of criticism.81 78 79 80 81

102

[1993] 1 All ER 1011, p. 1017. Ibid., p. 1017. Ibid., p. 1020. See Die Spoorbond and Anor. v. South African Railways, [1946] AD 999, pp. 1012-1013.


The Indian Supreme Court followed Derbyshire’s lead in Rajagopal v. State of Tamil Nadu, finding that “the Government, local authority and other organs and institutions exercising governmental power” cannot bring a defamation suit.82 A similar position has been taken in the United States.83 In 1999, the UN Human Rights Committee, in its observations on Mexico’s fourth periodic report, stated that it “deplores the existence of the offence of ‘defamation of the state,’” and called for its abolition.84 While the European Court of Human Rights has not entirely ruled out defamation suits by governments, it appears to have limited such suits to situations which threaten public order, implying governments cannot sue in defamation simply to protect their honour.85 Courts have applied the Derbyshire reasoning to public bodies that are not elected. State-owned corporations, for example, have failed to win standing in at least two important cases. As far back as 1946, in Die Spoorbond v. South African Railways, a South African court ruled that the national railway could not sue for defamation. The court acknowledged that corporations can sue for defamation but could recall no instance of the Crown suing for injury to its reputation: “Had such a right existed, one would have expected to find reports of cases in which it had been claimed.”86 About 50 years later, the Supreme Court of Zimbabwe ruled that the State-run Post and Telecommunications Corporation could not sue in defamation. Relying on Die Spoorbond, it found that while some “artificial persons” may sue for defamation, organs of the State may not. It denied the right to sue to “those artificial persons which are part of the governance of the country,”87 as determined by the body’s degree of organisational and financial autonomy, whether it provides essential public services and the effect of stifling criticism of it.88 In 1997, an English court denied a political party the right to bring a defamation action. In Goldsmith v. Bhoyrul, the Referendum Party and its 82 83

(1994) 6 Supreme Court Cases 632, p. 650. In City of Chicago v. Tribune Co., 307 Ill 595 (1923), the court ruled a city could not sue a newspaper for defamation. It said, “no court of last resort in this country has ever held, or even suggested, that prosecutions for libel on government have any place in the American system of jurisprudence.” See p. 601. 84 UN International Covenant on Civil and Political Rights, Concluding Observations of the Human Rights Committee: Mexico, UN Doc. CCPR/C/79/Add. 109, 27 July 1999, para.14. 85 Castells v. Spain, note 75, para. 46. 86 Note 81, p. 1008. 87 Posts and Telecommunications Corporation v. Modus Publications (Private) Ltd., (1997), Judgment No S.C. 199/97, p. 9. 88 Ibid., pp. 14-15.

103


founder Sir James Goldsmith sued a newspaper and two journalists for an article that suggested the party had lied to its supporters.89 The court held that political parties are analogous to elected bodies and, following Derbyshire, found that it was in the public interest to promote unfettered debate about them: “Defamation actions or the threat of them would constitute a fetter on free speech at a time and on a topic when it is clearly in the public interest that there should be none.”90 While individual party members maintain the right to sue, political parties, like the government, must defend their reputations in other ways. The above points to the following recommendation: • Indonesian law should, to the extent that this is not already the case, introduce limits on who may bring an action in defamation. Public bodies – either elected or commercial in nature – should be prohibited from bringing such suits. Consideration should also be given to extending this prohibition to political parties. Proof of Truth Proof of the truth of any impugned statements of fact should fully absolve defamation defendants of any liability in relation to an allegation of harm to reputation. This is recognised in many countries around the world and reflects the basic principle that no one has the right to defend a reputation they do not deserve. If the matter complained of is true, the plaintiff has no right to claim that it should not be publicised. A number of authoritative international statements back this up. For example, the Declaration of Principles on Freedom of Expression in Africa, adopted by the African Commission on Human and Peoples’ Rights, states: 1.

States should ensure that their laws relating to defamation conform to the following standards: • no one shall be found liable for true statements, opinions or statements regarding public figures which it was reasonable to make in the circumstances;91

89 90 91

Goldsmith and Anor. v. Bhoyrul and Others, [1997] 4 All ER 268, p. 271. Ibid., pp. 270-71. Adopted by the African Commission on Human and Peoples’ Rights at its 32nd Session, 17-23 October 2002. Principle XII: Protecting Reputations.

104


This is also reflected in Principle 7(a) of Defining Defamation, which states: “In all cases, a finding that an impugned statement of fact is true shall absolve the defendant of any liability.”92 It would appear that under Indonesian defamation law, proof of truth is permitted only where the defendant also claims to have acted in the public interest or under compulsion to self-defence. The former issue came before the UK House of Lords in Gleaves v. Deakin, a case involving criminal defamation, which required not only proof of the truth of the statements, but also proof that publication was for the public benefit. As Lord Diplock stated: “This is to turn article 10 of the [European Convention on Human Rights, guaranteeing freedom of expression] on its head ... article 10 requires that freedom of expression shall be untrammelled [unless interference] is necessary for the protection of the public interest.”93 International and national courts have also held that a defendant in a defamation case should never be prevented from proving the truth of his or her statements. In Castells v. Spain, Castells, then a senator, had been charged with insulting the government in a magazine article about violence in the Basque Country. The Court ruled that the failure of the Spanish courts to allow Castells to prove the truth of his statements was a violation of his right to freedom of expression which could not be justified in a democratic society.94 A closely related question is whether or not falsity should be presumed in relation to a statement of fact or, to put it another way, should the burden of proof on this important matter lie with the defendant (i.e. to prove truth) or with the plaintiff (to prove falsity). The guarantee of freedom of expression places a heavy onus on the State to justify any restriction on freedom of expression. It is thus argueable that, at least in relation to a statement on a matter of public concern,95 this onus dictates that truth be presumed unless and until the contrary is shown.

92 93 94 95

Note 77. [1980] AC 477, p. 483. Castells v. Spain, note 75, para. 48. I prefer this to the more common term ‘public interest’, as the latter would seem to include matters which are mainly or entirely salacious in nature and of no public consequence.

105


A number of courts have adverted to the chilling effect of a requirement to prove truth for purposes of civil defamation law. For example, the House of Lords, holding that a local authority did not have a right to sue for damages for defamation, noted: The threat of a civil action for defamation must inevitably have an inhibiting effect on freedom of speech. … What has been described as ‘the chilling effect’ … is very important. Quite often the facts which would justify a defamatory publication are known to be true, but admissible evidence capable of proving those facts is not available. This may prevent the publication of matters which it is very desirable to make public.96 Courts in a few countries, notable the United States, have held that a requirement that the defendant prove the truth of allegations relating to public figures breaches the right to freedom of expression.97 There are also official statements at the international level to back this up. The three special international mandates for promoting freedom of expression, in their Joint Declaration of 2000, noted that, “the plaintiff should bear the burden of proving the falsity of any statements of fact on matters of public concern”.98 Similarly, Defining Defamation states: In cases involving statements on matters of public concern, the plaintiff should bear the burden of proving the falsity of any statements or imputations of fact alleged to be defamatory.99 The above points to the following recommendations: • No one should be held liable in defamation law for a statement which has been shown to be true. No additional requirements, for example that the statements must relate to matters of public interest, should be imposed. 96

97 98 99

106

Derbyshire County Council v. Times News¬papers Ltd, note 78, pp. 1017-1018. Similarly, the US Supreme Court has stated: “Allowance of the defense of truth … does not mean that only false speech will be deterred. … Under such a rule, would-be critics of official conduct may be deterred from voicing their criticism, even though it is believed to be true and even though it is, in fact, true, because of doubt whether it can be proved in court or fear of the expense of having to do so.” New York Times v. Sullivan, 376 US 254, 279 (1964), pp. 278-9. New York Times Co. v. Sullivan, ibid., p. 279. Joint Declaration of 30 November 2000. Note 77, Principle 7(b).


• •

No one should be denied the opportunity, in the context of a defamation case, to prove the truth of his or her statements. In relation to a statement of fact on a matter of public concern, the onus should be on the plaintiff in a defamation case to prove that the statement is false, not on the defendant to prove that it is true.

Reasonable Publication It has been widely recognised that defamation laws which do not allow for any errors in relation to statements of fact, even if the author has acted in accordance with the highest professional standards, cannot be justified. A strict liability rule of this nature is particularly untenable for the media, which are under a duty to satisfy the public’s right to know and often cannot wait until they are sure that every fact alleged is true before they publish or broadcast a story. Even the best journalists make honest mistakes and to leave them open to punishment for every false allegation would be to undermine the public interest in receiving timely information. A more appropriate balance between the right to freedom of expression and reputations is to protect those who have acted reasonably, while allowing plaintiffs to sue those who have not. In Tromsø and Stensås v. Norway, a case involving statements held by national courts in Norway to be false and defamatory, the European Commission of Human Rights stated: [F]reedom of the press would be extremely limited if it were considered to apply only to information which could be proved to be true. The working conditions of journalists and editors would be seriously impaired if they were limited to publishing such information.100 The Judicial Committee of the Privy Council101 has similarly noted the chilling effect of a rule which penalises any statement which is inaccurate: [I]t was submitted that it was unobjectionable to penalise false statements made without taking due care to verify their accuracy.... [I]t would on any view be a grave impediment to 100 Tromsø and Stensås v. Norway, Application No. 21980/93, Report of 9 July 1998, para.

80.

101 This is the final court of appeal for a number of common law countries and is comprised

of judges from the House of Lords.

107


the freedom of the press if those who print, or a fortiori those who distribute, matter reflecting critically on the conduct of public authorities could only do so with impunity if they could first verify the accuracy of all statements of fact on which the criticism was based.102 In National Media Ltd v. Bogoshi, the South African Supreme Court of Appeal recognised the unacceptability of a strict liability rule for inaccurate statements, noting, “nothing can be more chilling than the prospect of being mulcted in damages for even the slightest error.”103 Similarly, the United States Supreme Court, in the New York Times v. Sullivan case, noted: Under such a rule, would-be critics of official conduct may be deterred from voicing their criticism, even though it is believed to be true and even though it is in fact true, because of doubt whether it can be proved in court or fear of the expense of having to do so. They tend to make only statements which “steer far wider of the unlawful zone.”104 Courts and legislators around the world, in recognition of the above, have developed various alternative defences to proof of truth, which I refer to here generically as ‘reasonableness defences’, while noting that these vary considerably in nature. All of these defences, or rules for liability, apply to statements of fact, even where such statements are false and defamatory. Their effect is to absolve the defendant of any liability in defamation for his or her statements, as long as he or she acted reasonably, or sometimes in good faith. In Tromsø and Stensås v. Norway, the European Court of Human Rights held that to punish certain defamatory statements, even though they were in fact false, breached the guarantee of freedom of expression. The Court placed some emphasis on the fact that the statements concerned a matter of great public interest which the plaintiff newspaper had, overall, covered in a balanced manner.105 Also important was the fact that the newspaper had relied on an official report of a seal hunting inspector. The Court noted that “the press should normally be entitled, when contributing to a debate on matters of legitimate concern, to rely on the contents of official reports 102 103 104 105

108

Hector v. Attorney-General of Antigua and Barbuda, [1990] 2 AC 312, p. 318. 1998 (4) SA 1196, p. 1210. Note 96, p. 279. Quoting Speiser v. Randal, 357 U.S. 513 (1958), 526. 20 May 1999, Application No. 21980/93, para. 33.


without having to undertake independent research.”106 Although the Court did not use the term reasonableness, this case, in conjunction with other case law of the Court, suggests that where the media acts reasonably, taking into account all of the circumstances, the Court will not uphold a finding of defamation liability. The leading US case in this area is New York Times Co. v. Sullivan. In that case, which also involved allegations containing factual errors, the Court ruled that a public official could only recover damages if he or she could prove “the statement was made with ‘actual malice’ – that is, with knowledge that it was false or with reckless disregard for whether it was false or not.”107 Rajagopal, decided by the Indian Supreme Court, followed Sullivan in substance, holding: In the case of public officials ... the remedy of action for damages is simply not available with respect to their acts and conduct relevant to the discharge of their official duties. This is so even where the publication is based upon facts and statements which are not true, unless the official established that the publications was made (by the defendant) with reckless disregard for truth.108 Similarly, in Lange v. Atkinson,109 the New Zealand Court of Appeal held that statements concerning the functioning of government were covered by qualified privilege. As a result, they could attract defamation liability only if they had been made with malice. In such cases, furthermore, the plaintiff bore the onus of proving malice. The law in the US and New Zealand clearly goes beyond the reasonableness standard, requiring instead at least reckless disregard for the truth. Courts in Australia have adopted an explicit standard of reasonableness. In Lange v. Australian Broadcasting Corporation, the Australian High Court held that everyone “has an interest in disseminating and receiving information, opinions and arguments concerning government and political matters.... The duty to disseminate such information is simply the correlative of the 106 107 108 109

Ibid., para. 68. Note 96, pp. 279-80. Rajagopal & Anor v. State of Tamil Nadu, [1994] 6 SCC 632 (SC), p. 650. Lange v Atkinson, [2000] 1 NZLR 257.

109


interest in receiving it.”110 As a result, such communications were covered by the defence of qualified privilege. However, unlike traditional common law qualified privilege, which could be overcome only by malice, the Court held that the relevant standard for these cases was one “of reasonableness ... which goes beyond mere honesty”.111 Furthermore, in Australia, the onus is on the defendant to prove reasonableness, because the information required to do so is “peculiarly within the knowledge of the defendant.”112 The UK House of Lords adopted an analogous, but slightly different, approach in its 1999 decision in Reynolds v. Times Newspapers.113 The Lords rejected the idea of a general category of privilege covering statements containing political information, as well as the idea of a defence of reasonable care in relation to political statements. Instead, Lord Nicholls elaborated ten factors to be taken into account in determining whether, in all the circumstances, qualified privilege ought to be extended, including the seriousness of the allegation, the source of the information and steps taken to verify its accuracy, the urgency of the matter, whether comment was sought from the plaintiff and the tone of the article.114 An assessment of these factors will determine whether or not qualified privilege applies, which can then only be defeated by malice. The 10 factors which trigger this protection can bee seen as an elaboration of when it is reasonable in all of the circumstances to go ahead with publication, although the term ‘responsible journalism’ is more commonly used in UK jurisprudence. In application, the Reynolds test has not always been kind to journalists. However, a recent judgment of the House of Lords, Jameel v. Wall Street Journal Europe,115 sought to redress the balance more in favour of freedom of expression. The judgment makes it quite clear that the ten factors elaborated by Lord Nicholls are not “hurdles to be negotiated by a publisher” but, rather, pointers as to what constitutes responsible journalism.116 Furthermore, in assessing this, considerable allowance must be given to editorial judgment.117 The impact of Jameel remains to be seen but it was widely hailed as a victory for press freedom at the time. 110 111 112 113 114 115 116 117

110

(1997) 71 ALJR 818, p. 832-3. Ibid. Theophanous v. Herald & Weekly Times Ltd (1994) 124 ALR 1, p. 24. Reynolds v. Times Newspapers Ltd and others, [1999] 4 All ER 609. Ibid., p. 625. 11 October 2006. Ibid., Judgment of Lord Bingham, para. 33. Ibid., Judgment of Lord Hoffman, para. 51.


Recognition of the undue harshness of a strict liability rule in relation to truth is not restricted to common law jurisdictions. A reasonableness defence for defamation has been recognised in South Africa, which has a Roman-Dutch system of law.118 In Germany, the Federal Constitutional Court has held that while statements must not be given in a thoughtless manner, the requirement of truth must not be so stringent as to deter persons from making statements for fear of prosecution.119 In addition, where the public interest is involved, there is a presumption in favour of freedom of expression.120 Similarly, in the Netherlands, the press is not required to provide conclusive evidence of the correct factual basis of its reporting.121 Section 261(3) of the Criminal Code provides that journalists do not need to prove the truth of their accusations as long as they acted in good faith in the public interest.122 In Hungary, as well, the simple fact that an assertion is untrue is not sufficient, at least where public officials are involved, to sustain an action in defamation.123 The three special international mandates for promoting freedom of expression have also recognised the need for a defence of this sort, stating that, “it should be a defence, in relation to a statement on a matter of public concern, to show that publication was reasonable in all the circumstances”.124 Defining Defamation also provides for a ‘reasonableness’ defence as follows: Even where a statement of fact on a matter of public concern has been shown to be false, defendants should benefit from a 118 See National Media Ltd v. Bogoshi, 1998 (4) SA 1196. 119 54 FCC 208 (1980) (Heinrich Böll case) and 85 FCC 1 (1994) (Auschwitz-Luege case). See

120 121

122 123

124

the Declaration of Dr. Ulrich Karpen, Written Comments on Comparative European Law Submitted by ARTICLE 19 and INTERIGHTS to the European Court of Human Rights in Prager & Oberschlick v. Austria, p. 9. 7 FCC 198 (1958) (Lueth case). Ibid. See 6 March 1985, Nederlandse Jurisprudentie 1985, 437 (Herrenberg/Het Parool case), noted in Dommering, E., “Unlawful publications under Dutch and European law defamation, libel and advertising” (1992) 13 Tolley’s Journal of Media Law and Practice 262 , p. 264. See van Lenthe, F. and Boerefijn, I., in ARTICLE 19, Press Law and Practice (1993, London), p.105. See Decision 36/1994. (VI.24) AB, Constitutional Court. See also the Declaration of Dr. Agnes Frech, Written Comments on Comparative European Law Submitted by ARTICLE 19 and INTERIGHTS to the European Court of Human Rights in Prager & Oberschlick v. Austria, p. 5. See their Joint Declaration of 30 November 2000, note 98.

111


defence of reasonable publication. This defence is established if it is reasonable in all the circumstances for a person in the position of the defendant to have disseminated the material in the manner and form he or she did. In determining whether dissemination was reasonable in the circumstances of a particular case, the Court shall take into account the importance of freedom of expression with respect to matters of public concern and the right of the public to receive timely information relating to such matters.125 The Commentary to this Principle notes: “For the media, acting in accordance with accepted professional standards should normally satisfy the reasonableness test.” The values that underpin these decisions rest on the ideas that open debate must be promoted in the interest of the public’s right to know and that open debate is the best way for the truth to emerge. If a journalist cannot publish critical comments without being sure that he or she can prove that they are true, to the satisfaction of a court, taking into account the rules of evidence and the fact that he or she may have relied on confidential sources, open debate will be fettered and many true allegations will be suppressed. Furthermore, even where allegations are false, the promotion of open debate is in many cases the best way for this to be exposed and for the target of those allegations to clear his or her name. Often, the allegations will be circulating in some form among at least a sector of the population and the effect of the published statements will essentially be to raise these to the level of a national debate. The above points to the following recommendation: • Indonesian law should recognise a reasonableness defence for statements on matters of public concern which should apply whenever the defendant acted reasonably in publishing the impugned statements, even if they ultimately prove to be false.

125 Note 77, Principle 9.

112


Sanctions It is clear that unduly harsh sanctions, even for statements found to be defamatory, breach the guarantee of freedom of expression. In the case of Tolstoy Miloslavsky v. the United Kingdom, the European Court of Human Rights stated that “the award of damages and the injunction clearly constitute an interference with the exercise [of the] right to freedom of expression.”126 Therefore, any sanction imposed for defamation must bear a “reasonable relationship of proportionality to the injury to reputation suffered” and this should be specified in national defamation laws.127 In the Miloslavsky case, the Court held that an award of damages which was three times larger than the largest amount ever previously awarded represented a breach of the right to freedom of expression, even though it accepted that the impugned statements were grossly defamatory. The United Kingdom responded by making important amendments to its rules relating to damages, which are assessed by the jury, in particular by requiring judges to provide direction to juries regarding the quantum of damages in personal injury cases and by allowing the Court of Appeal to vary damage awards imposed by a jury. As a result of these changes, the level of damage awards in the United Kingdom has dropped significantly. The idea that excessive sanctions may, on their own, represent a breach of the right to freedom of expression finds support in a number of authoritative international statements on this issue. For example, Principle XII of the African Commission on Human and Peoples’ Rights’ Declaration of Principles on Freedom of Expression in Africa states, in part: 2.

States should ensure that their laws relating to defamation conform to the following standards: … • sanctions shall never be so severe as to inhibit the right to freedom of expression, including by others.128

The three special international mandates for promoting freedom of expression addressed this issue specifically in their Joint Declaration in 2000, stating:

126 13 July 1995, Application No. 18139/91, para. 35. 127 Ibid., para. 49. 128 Note 91.

113


At a minimum, defamation laws should comply with the following standards: … • civil sanctions for defamation should not be so large as to exert a chilling effect on freedom of expression and should be designed to restore the reputation harmed, not to compensate the plaintiff or to punish the defendant; in particular, pecuniary awards should be strictly proportionate to the actual harm caused and the law should prioritize the use of a range of non-pecuniary remedies.129 Similarly, in a Declaration on Freedom of Political Debate in the Media, the Committee of Ministers of the Council of Europe stressed the need for sanctions both to be proportionate and to take into account any other remedies provided: Damages and fines for defamation or insult must bear a reasonable relationship of proportionality to the violation of the rights or reputation of others, taking into consideration any possible effective and adequate voluntary remedies….130 Defining Defamation deals at some length with the issue of pecuniary awards for defamation, based on the serious chilling effect that excessive damages can have. Principle 15: Pecuniary Awards, states: (a) Pecuniary compensation should be awarded only where nonpecuniary remedies are insufficient to redress the harm caused by defamatory statements. (b) In assessing the quantum of pecuniary awards, the potential chilling effect of the award on freedom of expression should, among other things, be taken into account. Pecuniary awards should never be disproportionate to the harm done, and should take into account any non-pecuniary remedies and the level of compensation awarded for other civil wrongs. (c) Compensation for actual financial loss, or material harm, caused by defamatory statements should be awarded only where that loss is specifically established. (d) The level of compensation which may be awarded for non-material harm to reputation – that is, harm which cannot be quantified 129 Note 98. 130 Adopted 12 February 2004.

114


in monetary terms – should be subject to a fixed ceiling. This maximum should be applied only in the most serious cases. (e) Pecuniary awards which go beyond compensating for harm to reputation should be highly exceptional measures, to be applied only where the plaintiff has proven that the defendant acted with knowledge of the falsity of the statement and with the specific intention of causing harm to the plaintiff.131 One aspect of the requirement of proportionality for damages is that less intrusive remedies, and in particular non-pecuniary remedies, should be prioritised over pecuniary remedies.132 Another aspect is that any remedies already provided, for example on a voluntary or self-regulatory basis, should be taken into account in assessing court-awarded damages. To the extent that remedies already provided have mitigated the harm done, this should result in a corresponding lessening of any pecuniary damages. The right of reply, in particular, is understood by many as a cost-effective, relatively non-intrusive, non-pecunciary means of redressing defamation and potentially other wrongs.133 It is significant that Article 14 of the American Convention on Human Rights actually requires States to provide for a right of reply for anyone who has been injured by statements in the media.134 While this article specifically preserves any other legal remedies that may be available to the individual, it can be understood both as ensuring that everyone has access in practice to a remedy and as providing an effective remedy for harmful statements which is less intrusive than damages, fines or other harsh sanctions. As noted above, the 1999 Press Law of Indonesia provides for a complaints system for individuals who believe they have been negatively affected by media coverage. It also provides for a right of reply in such cases. At a minimum, where individuals have benefitted from these remedies, this should be taken into account by courts or juries when considering legal 131 Note 77. 132 See, for example, Ediciones Tiempo S.A. v. Spain, 12 July 1989, Application No. 13010/87

(European Commission of Human Rights).

133 The appropriateness of the right of reply in this regard depends, of course, on the

conditions under which it is engaged. An unduly broad or onerous right of reply may be offensive to media freedom. 134 Adopted at San JosÊ, Costa Rica, 22 November 1969, O.A.S. Treaty Series No. 36, 1144 U.N.T.S. 123, entered into force 18 July 1978. See also Resolution (74)26 on the right of reply – position of the individual in relation to the press, adopted by the Committee of Ministers of the Council of Europe, 2 July 1974.

115


remedies for defamation. Indeed, it may be appropriate to require those wishing to bring a defamation case first to take advantage of these more appropriate, and less intrusive, remedies. In this way, the 1999 Press Law could play a significant role in defamation cases. It may be noted that the primary goal of remedies should be to redress the harm done to reputation and not to punish the defendant. Given the importance of freedom of expression, punitive remedies can only be justified in the most egregious cases where this is justified by the wholly unacceptable behaviour of the defendant. These principles apply with at least equal force to criminal sanctions as to civil sanctions, given the additional chilling effect of the former due to the social sanction which accompanies them. Indeed, one of the more serious problems with criminal defamation, as noted above, is precisely the severe nature of the sanctions normally associated with it. The European Court of Human Rights, as noted previously, has upheld criminal defamation convictions on occasion but, in these cases, it has been at pains to point out that the sanctions were modest and hence met the requirement of proportionality. For example, in Tammer v. Estonia, the Court specifically noted, “the limited amount of the fine imposed” in upholding the conviction; the total fine in that case was ten times the daily minimum wage.135 In its Report on the Compatibility of “Desacato” Laws With the American Convention on Human Rights, the Inter-American Commission on Human Rights also noted the particular problem with sanctions of a criminal nature, stating: The fear of criminal sanctions necessarily discourages people from voicing their opinions on issues of public concern particularly when the legislation fails to distinguish between facts and value judgments.136 As noted above, Defining Defamation calls for the replacement of all criminal defamation laws with appropriate civil defamation laws. At the same time, 135 6 February 2001, Application No. 41205/98, para. 69. See also Constantinescu v. Romania,

Application No. 28871/95, 21 March 2000 (European Court of Human Rights).

136 1994 Annual Report of the Inter-American Commission on Human Rights, Chapter V, Part

IV(B).

116


in recognition of the fact that many States still have criminal defamation laws in force, Principle 4(b) states, in part: (iv) prison sentences, suspended prison sentences, suspension of the right to express oneself through any particular form of media, or to practice journalism or any other profession, excessive fines and other harsh criminal penalties, should never be available as a sanction for breach of defamation laws, no matter how egregious or blatant the defamatory statement.137 The above points to the following recommendations: • Subject to criminal defamation laws being repealed in their entirety – the primary recommendation of this paper – all criminal sanctions should be reviewed to ensure that they meet the conditions set out above. • Sanctions in civil defamation cases should be strictly proportionate to the harm done. Mechanisms should be put in place to ensure that damage awards are not unduly high, in breach of this principle. • Provision should be made for the right of reply, preferably on a selfregulatory basis. Where a defamation plaintiff has benefited from a reply or other non-pecuniary remedy, this should be taken into account in the assessment of damages, so that it is only any residual harm to reputation – that is any harm that has not been already addressed – that is compensated. • Consideration should be given to requiring those wishing to bring defamation cases against the media first to take advantage of the remedies offered under the 1999 Press Law. Conclusion It has been widely observed that as countries emerge from under the shadows of non-democratic rule, and as respect for freedom of expression increases, the number of defamation cases also tends to increase, often dramatically. In most cases, defamation laws, unchanged from the previous era, are seriously at odds with international and constitutional guarantees of freedom of expression and their use exerts a significant chilling effect on the exercise of that key right. This naturally gives rise to calls for reform, calls which, however, are resisted by conservatives and those who are not committed to human rights. This is precisely the situation in which Indonesia finds itself today. 137 Note 77.

117


At the same time, there are important moves globally to reform outdated defamation laws, and to bring them into line with modern notions of democracy and human rights. This paper highlights some of the key issues on which those reforms have focused and which those advocating reform in Indonesia might wish to consider. It is of some importance for Indonesia to do away with imprisonment for defamation, at least in practice, if it wishes to retain its image as a democratic nation and its recent achievements in the area of freedom of expression. Abolishing criminal defamation entirely would be even more welcome. Reform of the criminal defamation law, however, is not enough. As the Koran Tempo case noted at the outset of this paper makes clear, reform of the civil defamation law is also needed. It is perhaps unreasonable to expect the civil defamation laws to conform to all of the standards advocated above; but some key reforms would go a long way to mitigating the chilling effect of these laws. Requiring public officials to tolerate a greater degree of criticism, recognising a defence of reasonable publication and imposing strict limits on damage awards would be a good start.

118


Kebebasan Berekspresi, Pembatasan-Pembatasannya dan Penghapusan Pemenjaraan Ifdhal Kasim Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Keterangan Ahli disampaikan pada Sidang Mahkamah Konstitusi, 23 Juli 2008 ----------------------------------------------------------------------------------------------------

I. Kebebasan Berekspresi dan Hak atas Kehormatan 1. Kebebasan Berekspresi Kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat strategis dalam menompang jalan dan bekerjanya demokrasi. Sulit membayangkan sistem demokrasi bisa bekerja tanpa adanya kebebasan menyatakan pendapat, sikap, dan berekspresi. Dalam kaitannya dengan hal ini, relevan diketengahkan disini pendapat Lord Steyn yang menyatakan: ”Freedom of expression is, of course, intrinsically important: it is value for its own sake. But it is well recognized that it is also instrumentally important. It serves a number of broad objectives. First it promotes the self-fulfillment of individuals in society. Secondly, in the famous word of Holmes (echoing Jhon Stuart Mill), ’the best test of truth is the power of the thought to get it itself accepted in the competition of the market’. Thirdly, freedom of speech is the lifeblood of democracy. The free flow of information and ideas informs political debate. It is a safety valve: people are more ready to accept decisions that go against them if they can in principle seek to influence them. It acts as a brake on the abuse of power by public officials. It facilitates the exposure of errors in the governance and administration of justice of the country.”138 UUD 1945, Amandemen ke II, menjamin kebebasan tersebut. Pasal 28E (ayat 2) menyatakan, “setiap orang berhak atas kebebasan menyakini 138 Dikutip dari Richard Clayton dan Hugh Tomlinson, The Law of Human Rights (New York:

Oxford University Press, 2000). Hal 1007.

119


kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Selanjutnya pada ayat 3 ditegaskan lagi bahwa, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.” Jaminan konstitusional ini dielaborasi lebih jauh dalam UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dikatakan pada Pasal 23 (ayat 2) UU tersebut, bahwa “setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak eletronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.” Kebebasan berekspresi juga telah mendapat pengakuan secara universal. Pengakuan tersebut tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan Kovenan Internasional Hakhak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights). Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan, “setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide melalui media, tanpa memandang batas-batas negara”. Sedangkan Pasal 19 (ayat 2) Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik merumuskannya sebagai berikut: “setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan, baik secara lisan, tertulis atau bentuk cetakan, karya seni, atau media lain sesuai dengan pilihannya”. Pada pundak Negaralah terletak tanggungjawab untuk menjamin dan melindungi hak-hak tersebut. Tanggungjawab ini dikenal dengan istilah “State Responsilibity”. 2. Hak atas Kehormatan Selain menjamin kebebasan berekspresi, rezim hukum hak asasi manusia juga menjamin hak induvidu atas kehormatan atau reputasi (right to honour or reputation). Dalam kepustakaan hak asasi manusia, soal kehormatan dan reputasi ini dimasukkan ke dalam bagian hak-hak privasi (privacy rights). Sebagai bagian dari hak-hak privasi, maka hak atas kehormatan atau reputasi ini harus pula mendapat perlindungan yang setara dengan hakhak privasi lainya. Apalagi kehormatan atau reputasi merupakan atribut yang melekat pada setiap induvidu. Tanpa atribut itu, maka seseorang 120


akan kehilangan martabat atau integritasnya sebagai manusia. Makanya hak ini dirumuskan secara negatif. Marilah kita baca salah satu ketentuan dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yaitu Pasal 17 (ayat 1) --yang menandaskan pentingnya jaminan perlindungan negara terhadap hak ini, sebagai berikut: “Tidak seorangpun dapat secara sewenangwenang atau secara tidak sah dicampuri masalah pribadinya, … atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya.” Kemudian ditambahkan dalam ayat berikutnya (ayat 2), bahwa: “Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan tersebut.” Negara dengan demikian bertanggungjawab melindungi hak-hak tersebut. Salahsatu bentuk perlindungan Negara terhadap hak atas kehormatan atau reputasi tersebut adalah dengan mencantumkannya ke dalam hukum pidana nasionalnya. Yaitu dengan melakukan kriminalisasi terhadap setiap serangan atau perbuatan yang merampas atau merusak integritas setiap orang (crimes against integrity of person). Sebutlah mulai dari perbuatan seperti pencemaran nama baik (demafation), penghinaan (slander), hingga kepada fitnah atau menista (libel). Semua perbuatan ini dinyatakan sebagai tindak pidana (delik). Hampir semua negara demokratis telah melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut sebagai bentuk proteksi terhadap martabat manusia. Biasanya perbuatan-perbuatan itu dikelompokkan ke dalam “crimes against honour and reputation”. Jelas sekali tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan terhadap integritas seseorang (integrity of the person). Hukum nasional kita juga memberikan perlindungan yang memadai terhadap hak tersebut. Melalui Amandemen ke-II UUD 1945, hak atas kehormatan atau reputasi ini telah pula mendapat perlindungan konstitusionalitasnya. Lebih gamblangnya marilah kita simak bunyi ketentuan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, bahwa: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, …” Begitu pula melalui undang-undang organiknya, hak atas kehormatan dan reputasi ini mendapat penegasan lagi, sebagaimana dikutip berikut ini: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya” (Pasal 29 ayat (1) UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia). Begitu pula dengan kriminalisasi terhadap hak-hak ini sudah tertuang dalam hukum pidana nasional kita, antara lain yang tertuang pada Pasal 310 dan 311 KUHP, dan Pasal 316 dan 207 KUHP. Dengan demikian, pelanggaran terhadap hak-hak ini akan berurusan dengan hukum pidana. 121


Tetapi perlindungan terhadap kehormatan dan reputasi induvidu tersebut juga harus dilihat relasinya dengan keberadaan hak yang lain, yakni hak atas kebebasan berbicara (free speech), berekspresi (freedom of expression), dan kebebasan pers (freedom of the press) --yang juga harus diproteksi oleh Negara sebagaimana dipaparkan di atas. Jangan sampai kriminalisasi terhadap perbuatan yang menyerang kehormatan dan reputasi tersebut menjadi senjata ampuh dalam menghadapi kebebasan berbicara atau kebebasan pers, seperti yang pernah terjadi di masa Orde Baru. Kehormatan dan reputasi --sebagai bagian dari rights of privacy-- memang harus dilindungi, tetapi tanpa harus mengurangi atau mengancam free speech. Dalam kaitannya dengan hal ini, relevan diketengahkan putusan Bonnard v. Perryman di pengadilan Inggris, yang menyatakan: “The rights of free speech is one which it is for the public interest that individuals should posses and, indeed, that they should exercise without impediment, so long as no wrongful acts is done; and unless as alleged libel is untrue there is no wrong commited... Maka untuk alasan inilah, dewasa ini, sudah semakin banyak negara yang telah meninggalkan tindak pidana menyerang reputasi dan kehormatan; mereka telah menghapus defamation, slander, insult, false news (kabar bohong) sebagai tindak pidana dalam hukum pidananya. II. Pembatasan terhadap Kebebasan Berekspresi Pemaparan di atas telah menunjukkan relasi antara hak atas kebebasan bereskpresi dengan hak atas kehormatan atau reputasi. Keduanya harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Dalam konteks tanggungjawabnya itu, Negara dapat melakukan ‘derogation’ dalam bentuk pengurangan atau pembatasan terhadap kedua hak tersebut. Sebab keduanya masuk dalam kategori ‘non-derogable rights’. Tetapi dengan izin ini bukan berarti Negara boleh bertindak semaunya yang dapat membahayakan esensi hak. Makanya ketentuan derogation ini dipagari dengan ketentuan ini: “Tidak satupun ketentuan dari Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak pada suatu Negara, kelompok atau perorangan untuk melakukan kegiatan yang ditujukan untuk menghancurkan hak-hak dan kebebasankebabasan yang diakui dalam Kovenan ini, atau untuk membatasinya lebih daripada yang telah ditetapkan dalam Kovenan ini” (Pasal 5 ayat (1) Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik). Pembatasan dengan demikian tidak boleh merusak perlindungan HAM secara keseluruhan.

122


Jadi meskipun hak-hak tersebut dapat dikurangi atau dibatasi pemenuhannya, pengurangan atau pembatasannya harus dilandaskan pada: (i) dinyatakan melalui hukum (prescribed by law); (ii) ketertiban umum (public order); (iii) kesehatan dan moral publik (moral and public health); (iv) keamanan nasional (national security); (v) keamanan publik (public safety); (vi) hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom of others); (vii) hak dan reputasi orang lain (rights and reputations of others); dan (x) diperlukan dalam masyarakat yang demokratis (necessary in a democratic society). Ketentuanketentuan inilah yang menjadi prinsip pembatasan, dan menjadi koridor yang harus dipenuhi oleh Negara. Lebih lanjut Komentar Umum (General Comment) Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik menggarisbawahi pula: “Negara-negara Pihak harus menahan diri melakukan pelanggaran terhadap hak-hak yang diakui dalam Kovenan, dan pembatasan apa pun terhadap salah satu atau lebih dari hak-hak tersebut harus memiliki alasan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Kovenan. Ketika pembatasan semacam itu dibuat, maka Negara-negara harus menunjukkan kebutuhan mereka dan hanya mengambil langkah-langkah yang proporsional guna mencapai tujuan-tujuan yang sesuai dengan hukum untuk menjamin perlindungan yang berkelanjutan dan efektif terhadap hak-hak yang diakui dalam Kovenan, Pembatasan-pembatasan tidak boleh diterapkan atau dilakukan dengan cara yang dapat melemahkan esensi suatu hak yang diakui oleh Kovenan�.139 Prinsip pembatasan yang hampir sama juga dianut oleh konstitusi kita. Pasal 28J UUD 1945, merumuskan prinsip-prinsip pembatasan sebagai berikut: (i) ditetapkan dengan undang-undang; (ii) penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain; (iii) tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral; (iv) nilai-nilai agama; (v) keamanan; dan (vi) ketertiban umum dalam suatu demokratis. Prinsip-prinsip pembatasan ini juga harus diterapkan dengan cara yang tidak melemahkan esensi suatu hak yang diakui oleh UUD. Itu artinya, adanya suatu undang-undang tidak dapat dijadikan “excuse� untuk melanggar satu atau lebih hak yang diakui oleh UUD. Pasal 28J dengan demikian tidak dapat digunakan secara serampangan untuk membenarkan pelanggaran hak-hak yang diakui oleh UUD melalui sebuah Undang-Undang. Justru Undang-Undang semacam itu harus dicabut atau diharmoniskan dengan perlindungan hak-hak yang diakui dalam UUD dan instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional yang sudah kita ratifikasi.

139 CCPR/C/21/Rev.1/Add.13, General Comment No. 31 (80) Nature of the General Legal

Obligation Imposed on States Parties to the Covenant.

123


Secara lebih spesifik, dalam kaitannya dengan pembatasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi dengan tujuan untuk penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, khususnya hak atas kehormatan dan reputasi orang lain (rights to honour and reputations of others), dapat diberlakukan apabila memang ditujukan secara benar untuk kepentingan melindungi reputasi atau kehormatan seseorang (protection of a legitimate reputation interest). Bukan baliknya, digunakan untuk membungkam kritik. Atau seperti yang dirumuskan dalam “Principles on Freedom of Expression and Protection of Reputation”, yang dirancang oleh organisasi Article 19, yang menyatakan: defamation laws cannot be justified if their purpose or effect is to: (i) prevent legitimate criticism of officials or the exposure of official wrongdoing or corruption; (ii) protect the ‘reputation’ of objects, such as State or religious symbols, flags or national insignia; (iii) protect the ‘reputation’ of the State or nations. Dalam situasi legitimasi bagi perlindungan reputasi tidak dapat ditunjukkan, maka kebebasan berekspresi tidak dapat dibatasi. Begitu pula sebaliknya, hak atas kehormatan dan reputasi orang lain (rights to honour and reputations of others) tidak dapat lagi diproteksi. Contohnya adalah, orang yang dituduh koruptor tidak dapat menggunakan pasal pencemaran nama baik (defamation) atau penghinaan (libel) untuk melindungi dirinya dari laporan atau kritik orang lainnya, seperti yang sering terjadi di sini. Dalam konteks inilah hak atas kebebasan berekspresi, yang salah satunya adalah free speech, menjadi sangat penting. III. Pemenjaraan sebagai Sanksi yang Tidak Absah Berdasarkan pembahasan di atas, relevan apabila kita mengajukan pertanyaan: apakah adil orang yang menjalankan profesinya atau bukan dengan itikad baik, dengan mengungkap penyalahgunaan kewenangan, diganjar dengan hukuman penjara karena dituduh melakukan tindak pidana pencemaran nama baik atau penghinaan? Delik pencemaran nama baik atau penghinaan dalam KUHP kita gagal memberikan perlindungan terhadap hak atas kebebasan berekspresi. Gagal dalam arti rumusan yang terlalu luas, dan tidak sebandingnya kerugian yang disebabkan dengan hukuman yang ditimpakan kepada pelanggarnya. Tidak proporsional antara “harm” dan “sanction”. Apalagi terlalu sering delik ini disalahgunakan, seperti yang menjadi concern Komite Hak Asasi Manusia

124


PBB, yang memantau hampir diseluruh dunia telah terjadi: “the abuse of legal provisions on criminal libel�.140 Makanya Komite Hak Asasi Manusia PBB untuk Hak-hak Sipil dan Politik berulang-ulang sudah menghimbau agar Negara-negara Pihak dari Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik segera meninjau kembali pemberlakuan sanksi penjara bagi tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik. Begitu pula dengan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Menyatakan Pendapat dan Ekspresi, juga memberi penilaian bahwa pemenjaraan bukanlah sanksi yang absah bagi tindak pidana p.encemaran nama baik atau penghinaan (imprisonment is not a lgitimate sanction for defamation and libel).141 Dalam laporannya tahun 2000 dan 2001, Pelapor Khusus PBB tersebut kembali mengingatkan Negara-negara agar menghapus sanksi pemenjaraan untuk tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik. Sejalan dengan kecenderungan internasional tersebut, sudah saatnya pula bagi kita sekarang untuk meninjau dan menghapus sanksi pemenjaraan bagi tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik. Penerapan sanksi yang demikian ini jelas bertentangan dengan semangat konstitusi, yang menjamin “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum� (Pasal 28D UUD 1945). Jelas penerapan sanksi pemenjaraan untuk tindak pidana pencemaran nama baik atau penghinaan, tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Apalagi tindak pidana ini sering disalahgunakan oleh memiliki power yang besar dalam menghadapi kritik. ***

140 Lihat Resolusi 2000/38, 20 April 2000. para.3. 141 Lihat Promoting and protecting of the right to freedom of opinion and expression, UN

Doc. E/CN.4/1999/64, 29 Januari 1999, para 28.

125


126


LAMPIRAN 03

LEGAL ANNOTASI MAJELIS EKSAMINASI

127


Legal Annotasi: SUSI DWI HARIJANTI, S.H., L.LM

Eksaminasi Putusan Mahkamah Konstitusi

Perkara Nomor 14/PUU-VI/2008 Perihal Pengujian Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Terhadap UUD 1945

Pendahuluan Keberadaan Pasal 310 ayat (1) dan (2), Pasal 311 dan 316 KUHP dalam prakteknya telah menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, lebih khusus masyarakat pers Indonesia. Keberadaan pasal-pasal tersebut bagi masyarakat pers Indonesia dianggap merupakan sebuah hal yang menakutkan dan mengancam kebebasan pers. Hal ini disebabkan seringkali pasal-pasal tersebut digunakan untuk melakukan kriminalisasi (pemidanaan) terhadap aktivitas pers. Kriminalisasi terhadap aktivitas pers dengan menggunakan pasal-pasal tersebut, bukan merupakan fenomena baru namun telah terjadi sejak KUHP diundangkan di Hindia Belanda. Melihat fenomena tersebut LBH Pers yang mewakili Risang Bima Wijaya (pemohon pengujian terhadap Pasal 310 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 311 KUHP) dan Bersihar Lubis (pemohon pengujian Pasal 316 KUHP). Keduanya adalah pekerja pers yang dijerat dengan pasal-pasal tersebut (Risang, Pasal 310 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 311 KUHP sedangkan Bersihar, Pasal 207 dan Pasal 316 KUHP). Keduanya merasa hak-hak konstitusionalnya telah dilanggar oleh pasal-pasal tersebut. Oleh karenanya, keduanya memohonkan pengujian terhadap konstitutionalitas Pasal 310 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 311 KUHP (Risang) dan norma pidana Pasal 207 dan Pasal 316 KUHP (Bersihar), karena bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap permohonan kedua pemohon, setelah melalui serangkaian proses persidangan pada tanggal 15 Agustus 2008, dengan nomor putusan Nomor 14/PUU-VI/2008, majelis hakim dengan pertimbangan-pertimbangan hukum 128


yang diajukan di dalam putusan tersebut, memutuskan bahwa permohonan para pemohon tidak dapat diterima. Berlatar belakang pada hal-hal tersebut di atas, tulisan ini dimaksudkan untuk memeriksa (eksaminasi) pertimbangan dan konstruksi hukum yang diberikan oleh Majelis Hakim di dalam memutus perkara tersebut. Tulisan ini terbagi 4 bagian, yakni, latar belakang, kasus posisi dan ringkasan pertimbangan hukum, eksaminasi pertimbangan hukum dan kesimpulan. Kasus Posisi dan Ringkasan Pertimbangan Hukum Pada kasus ini, permohonan pengujian terbagi menjadi dua bagian. Pertama, ialah permohonan terhadap ketentuan Pasal 310 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 311 yang dimohonkan oleh Pemohon I (Risang Bima Wijaya). Kedua, terhadap ketentuan Pasal 207 dan Pasal 316 KUHP yang dimohonkan oleh Pemohon II (Bersihar Lubis). Pada pokoknya, pemohon I dan pemohon II memohonkan kepada Majelis Hakim untuk menyatakan tidak konstitusionalnya sanksi pidana yang diterapkan pada masing-masing pasal tersebut karena bertentangan dengan UUD 1945. Sanksi pidana yang ditetapkan oleh Pasal 310 ayat (1), ayat (2) dan Pasal 311 KUHP didalilkan oleh pemohon bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 28F UUD 1945. Sedangkan, Pasal 207 dan Pasal 316 KUP didalikan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan (3) dan Pasal 28F UUD 1945. Menanggapai permohonan tersebut, MK dengan berbagai pertimbangan berikut di bawah, menyatakan menolak permohonan dari para pemohon. Dengan pertimbang-pertimbangan hukum sebagai berikut : - bahwa tujuan dari hukum pidana pada umumnya adalah untuk menjaga kepentingan individu, masyarakat dan negara. Dalam konteks pasalpasal yang dimohonkan, perlindungan diberikan kepada individu dan hal ini merupakan perwujudan dari Pasal 28G ayat 1 UUD 1945, yang kemudian diakui pula di dalam norma-norma hukum internasional, diantaranya, Pasal 12 UDHR dan Pasal 17 ICCPR; - bahwa persoalan yang diajukan pemohon bukanlah merupakan persoalan pada konstitusionalitas dari norma (constitutional review), namun pada wilayah pengaduan konstitusi (constitutional complaint) yakni persoalan pada perbuatan pejabat publik yang telah secara keliru dalam menafsirkan dan menerapkan norma, sehingga melanggar hak

129


-

- -

-

-

dasar dari warga negara. Sehingga, MK sampai saat ini tidak memiliki kewenangan tersebut dan tidak diatur dalam UUD; bahwa sanksi pidana di dalam pasal-pasal yang dimohonkan merupakan bentuk perlindungan bagi warga negara terhadap harkat dan martabat pribadinya. Oleh karenanya, negara memiliki kewajiban untuk melindungi berdasarkan Pasal 28G UUD 1945. Sehingga, negara dibenarkan untuk membatasi hak kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani, hak untuk mengeluarkan pendapat dan bebas berkomunikasi; bahwa fakta ketentuan pasal-pasal tersebut, telah banyak dihapuskan di banyak negara dan merupakan warisan kolonial tidak serta merta membuat norma tersebut menjadi kehilangan raison d’etre –nya; bahwa permohonan untuk mengubah jenis pidana yang terdapat di dalam Pasal 310 ayat (1) dan (2), serta Pasal 311 KUHP. Bukan merupakan kewenangan mahkamah, namun kewenangan pembentuk undang-undang melalui legislatif review; bahwa norma di dalam pasal-pasal yang dimohonkan merupakan norma umum, dan karenanya tidak semata-mata ditujukan kepada pers. Sehingga, norma ini tidak ditujukan untuk memasung kebebasan pers karena berlakunya umum; dan bahwa norma di dalam Pasal 207 dan 316 KUHP, hadir guna untuk memberikan perlindungan terhadap pejabat-pejabat negara yang sedang menjalankan tugasnya, sehingga keistimewaan itu diperlukan untuk menjaga kewibawaan dari kedudukan yang dipegangnya.

Eksaminasi Pertimbangan Hukum Pada eksaminasi pertimbangan ini, penulis membatasi pada pertimbanganpertimbangan kunci sebagai berikut. Pertama, pasal-pasal yang dimohonkan merupakan pembatasan yang perlu dilakukan untuk menjaga hak individu dari warga negara. Kedua, pokok persoalan yang diajukan oleh pemohon bukan merupakan persoalan konstitusionalitas dari norma (constitutional review), namun merupakan pada wilayah penerapan norma (constitutional complaint). Ketiga, penghapusan pidana dan menggantikannya dengan pidana denda bukan merupakan kewenangan dari MK. Pasal 310 ayat (1) dan (2), Pasal 311, Pasal 207 dan Pasal 316 sebagai pembatasan hak kebebasan menyatakan pendapat. Pada kategori pertimbangan pertama, MK membangun argumentasi berdasarkan konstruksi hukum, bahwa kedudukan pasal-pasal yang 130


dimohonkan merupakan instrumen bagi negara dalam melindungi hak dan martabat warga negara yang dilindungi dalam Pasal 28G ayat (1) dan juga diakui oleh berbagai hukum internasional, yakni, Pasal 12 UDHR dan Pasal 17 ICCPR. Lebih lanjut, MK memandang bahwa keberadaan pasal-pasal yang dimohonkan. Merupakan pembatasan terhadap hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani, hak untuk mengeluarkan pendapat dan bebas berkomunikasi tersebut. Dalam konteks hukum, penulis sepakat bahwa pembatasan terhadap HAM merupakan sebuah keharusan. Hal ini disebabkan HAM, terlepas dari kedudukannya yang memiliki derajat fundamental dibandingkan hak-hak lainnya, juga merupakan bagian dari hak. Sebagai sebuah hak, HAM juga merefleksikan kepentingan dari individu-individu atau kelompok-kelompok. Untuk mencegah perbenturan dan mengharmonisasikan kepentingankepentingan tersebut, maka diperlukan pengorganisasian dan pengaturan oleh hukum dari hukum. Lebih lanjut, dalam UUD 1945 hal ini juga menemukan justifikasinya dalam Pasal 28J UUD 1945. Oleh karenanya, pertimbangan MK dalam konteks ini memiliki konstruk yang solid dan menemukan konteksnya di dalam wilayah teoritis maupun hukum positif. Namun demikian, dalam pertimbangan lebih lanjutnya, MK telah memberikan penafsiran yang sempit bahwa seolah-olah pembatasan terhadap HAM, khususnya dalam perkara a quo, hanya bisa dilakukan melalui ketentuan hukum pidana. Pada wilayah ini penulis memiliki keberatan terhadap pandangan yang demikian. Hal ini terkait dengan pertanyaan, apakah dengan ketiadaan pasal-pasal yang dimohonkan, perlindungan HAM sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28G ayat (1) menjadi tidak terlindungi/terabaikan?. Penulis berpendapat bahwa perlindungan HAM tidak harus selalu dilakukan dengan menerapkan ketentuan hukum pidana. Namun juga, dapat dilindungi dengan area hukum lainnya. Terdapat beberapa pertimbangan untuk memperkuat argumentasi ini. Pertama, secara formal Pasal 28J ayat (2) tidak menentukan bahwa pengaturan terhadap HAM harus dilakukan dengan ketentuan pidana. Oleh karenanya, pengaturan tersebut dapat dilakukan dengan wilayah hukum lainnya. Kedua, pada dasarnya sebagaimana juga diakui oleh MK, bahwa kepentingan yang dilindungi oleh pasal ini adalah pada wilayah kepentingan individu. Oleh karenanya, dalam konteks ilmu hukum secara umum, pengaturan kepentingan antar individu lebih menitikberatkan penggunaan upaya hukum perdata dibandingkan hukum pidana.

131


Berdasarkan argumentasi di atas, MK telah tidak cermat melihat upaya perlindungan hukum selain pidana (upaya hukum perdata), sebagai sebuah bentuk perlindungan terhadap harkat dan martabat warga negara. Sehingga jika seandainya pasal-pasal yang dimohonkan pun tidak pernah ada atau dibatalkan, bukan berarti secara otomatis menghilangkan perlindungan hak warga negara yang terdapat di dalam Pasal 28G UUD 1945. Hal ini disebabkan, dalam hukum positif Indonesia, perlindungan terhadap harkat dan martabat pribadi sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 28G juga diberikan dalam area hukum perdata yang tercantum di dalam Pasal 1372-1379 KUHPerdata. Maka ketiadaan perlindungan hukum, jika pasal-pasal yang dimohonkan dibatalkan, terhadap hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 28G UUD 1945 sebagai dalil tidak cukup kuat untuk dipertahankan. Dapat ditambahkan pula, bahwa pilihan untuk menggunakan instrumen hukum perdata dibandingkan pidana untuk memberikan perlindungan terhadap korban pelanggaran kode etik jurnalistik oleh pekerja pers, telah banyak digunakan di berbagai negara di dunia. Perkembangan internasional ini dinafikan oleh MK dalam pertimbangannya, dengan mengemukakan alasan bahwa perkembangan internasional tidak menyebabkan pasal-pasal tersebut menjadi bertentangan UUD 1945. Lebih lanjut, MK menyatakan dalam pertimbangannya, bahwa hal tersebut sangat relatif dan tipikal berdasarkan situasi dan kondisi negara masing-masing (situationgenbudenheit). Pada konteks tersebut di atas, penulis melihat persoalan terhadap metode penafsiran yang digunakan oleh MK. MK telah tidak cermat menafsirkan UUD 1945 baik berdasarkan penafsiran secara original maupun instrumental. Dalam khasanah keilmuan hukum tata negara, metode penafsiran original didefinisikan sebagai penafsiran berdasarkan konteks pembentukan UUD 1945, dalam hal ini maksud dan tujuan dari Amandemen UUD 1945. Pada metode penafsiran instrumental, konstitusi (UUD 1945) ditafsirkan dan diterapkan di dalam nilai dari kondisi sosial-masyarakat kontemporer. Jika diteliti secara cermat, proses perubahan UUD 1945, secara sengaja, didesain untuk mengukuhkan institusi-institusi demokrasi di Indonesia. Dalam khasanah keilmuan politik, kebebasan pers merupakan salah satu pilar tambahan terhadap cabang kekuasaan negara bagi sebuah negara demokratis, yang dikenal dengan pilar keempat (the fourth estates), dari cabang-cabang kekuasaan negara lainnya. Gagasan ini berangkat dari sebuah pemikiran, bahwa kontrol eksternal dari institusi diluar institusi negara sangat perlu untuk dilakukan untuk menjamin keberlangsungan sistem demokrasi, yang dilakukan oleh publik. Dalam konteks ini, pers diposisikan sebagai representasi dari publik. Untuk itu, pers yang dapat 132


melakukan perannya hanyalah pers yang mendapat jaminan kebebasan dan perlindungan oleh hukum. Dalam konteks inilah maksud pembuat UUD 1945 (amandemen) membuat ketentuan pasal 28F UUD 1945. Hal tersebut secara paralel, juga merupakan argumentasi dari komunitas internasional (negara-negara yang membatalkan) dalam membatalkan pasal-pasal yang dimohonkan. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan ialah Amicus Brief yang diberikan oleh Article 19, sehubungan dengan perkara di dalam constititutional cases N 19/98, dalam salah satu dalilnya Article 19, menyatakan bahwa criminal defamation law are not necessary in democratic society. Sehingga kesimpulan yang diambil, bahwa penggunaan pidana untuk menjerat pres, secara faktual seringkali menggunakan pasalpasal yang dimohonkan, tidaklah compitabel dengan situasi dan kondisi jaman yang ada, karena effectnya yang menakutkan (chilling effect) yang pada akhirnya menganggu perkembangan demokratisasi di Indonesia. Terhadap hal tersebut di atas, MK berdalih dengan dalih partikularitas dalam pemahaman konteks pasal-pasal tersebut dihubungankan dengan kebebasan berkespresi, sehingga berkesimpulan perkembangan dunia internasional tidak relevan dengan kondisi Indonesia. Terhadap hal ini, penulis beranggapan bahwa gagasan partikularitas dari konsep HAM dalam kebebeasan berekspresi/kebebasan pres, tidaklah tepat dan menjadi sangat tradisional. Penulis menganggap bahwa partikularitas dari norma HAM hanya wilayah teknis penerapan dimasing-masing negara. Sedangkan pada kasus ini perdebatannya terletak pada wilayah prinsip/substansi norma, oleh karenanya memiliki karakteristik universal. Relatifitas dari kebebasan berekspresi atau kebebasan pers, hanya pada wilayah penyampaian pendapat, yang terangkum pada wilayah kode etik jurnalistik. Sedangkan pada wilayah pasal-pasal yang dimohonkan, penulis beranggapan bahwa hal tersebut masuk pada wilayah substansi yang sifatnya universal dan argumentasi lokalitas/partikularitas tidaklah dapat diterima sepenuhnya. I.

Persoalan yang dimohonkan merupakan persoalan penerapan norma (constitutional complaint) bukan persoalan validitas norma (constitutional review).

Dalam pertimbangannya MK melihat bahwa persoalan yang dibawa oleh pemohon bukan pada persoalan validitas norma dari pasal-pasal yang dimohonkan. Namun merupakan kesalahan penerapan norma dari pejabat publik (hakim) sehingga menimbulkan pelanggaran terhadap

133


konstitusionalitas norma. Sehingga MK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian terhadap perkara yang diajukan oleh pemohon. Terhadap pertimbangan tersebut, penulis dapat memahami alur pikiran pertimbangan bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk menilai kesalahan penerapan norma yang dilakukan oleh pejabat publik. Namun demikian, terdapat persoalan mendasar dari cara pandang MK terhadap kasus ini, yakni dengan menganggap bahwa persoalan permohonan hanya terbatas pada wilayah penerapan. Padahal, terdapat persoalan secara substansi dari rumusan-rumusan norma yang dimohonkan. Persoalan pokok pada cara pandang MK tersebut, ialah MK telah gagal melihat hubungan yang sistemik antara rumusan norma yang kabur dengan penerapan dari norma tersebut, yang pada akhirnya membuat para hakim secara konsisten telah melakukan penerapan yang merugikan hak-hak konstitusional dari warga negara, yang dijamin di dalam Pasal 28F. Persoalan pada norma tersebut terletak pada rumusan unsur yang sifatnya “karet�, sehingga tidak memenuhi prinsip lex certa dalam suatu perumusan delik pidana. Kelenturan dari rumusan pasal-pasal yang dimohonkan, pada akhirnya mampu menjerat segala pemberitaan dan informasi yang sifatnya kritis terhadap pemerintah ataupun individu dari pemerintahan atau badan publik lainnya, terhadap tidak hanya insan pres namun juga masyarakat umum. Oleh karenanya, suatu hal yang dapat diduga bahwa dengan rumusan yang demikian akan menyebabkan pelanggaran hak konstitusional kebebasan berpendapat secara konsisten, melalui penerapan norma pasal-pasal yang dimohonkan, terhadap kebebasan berekspresi yang dijamin di dalam UUD 1945. II.

Penghapusan pidana dan menggantikannya dengan pidana denda bukan merupakan kewenangan dari MK

Dalam pertimbangannya MK menyatakan tidak berwenang untuk mengubah ketentuan mengenai sanksi, sebagaimana yang diminta oleh pemohon terhadap Pasal 310 ayat (1) dan (2), serta Pasal 311 ayat (1) KUHP. Terhadap pertimbangan dari MK ini terdapat beberapa persoalan pokok. Pertama, bahwa substansi yang dimohonkan oleh pemohon tidak terletak pada penggantian sanksi, namun lebih terletak pada penghapusan sanksi pidana dari Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 311 ayat (1) KUHP. Kedua, alasan yang diberikan oleh MK tidak begitu jelas mengenai perbedaan dengan 134


pengujian Nomor 4/PUU-V/2007. Karena secara substansi permohonan penghapusan sanksi pidana di dalam UU 29 Tahun 2004 Tentang praktek kedokteran dengan pasal-pasal yang dimohonkan memiliki kesamaan substansi permohonan dan tidak terdapat karakteristik yang khusus yang dapat dijadikan titik tolak pembeda. Jika kemudian majelis mengidentifikasi bahwa KUHP memiliki sifat umum, hal ini tampak sedikit meragukan dan tidak relevan dengan konteks permohonan penghapusan pidana sanksi. Karena setiap ketentuan pidana baik yang bersifat khusus maupun umum, tetap mengacu pada KUHP terkait dengan sistem pemidanaan, yang diatur dalam Bab II Pasal 10 sampai dengan Pasal 43 KUHP. Selain hal tersebut, jika kemudian MK memandang bahwa eksistensi pasal tersebut tetap dipertahankan. Penulis berpendapat bahwa dengan dihapuskannya ketentuan pemidanaan badan tidak serta merta menghilangkan unsur pidana dari rumusan norma yang terdapat di dalam Pasal 310 ayat (1) dan (2), serta Pasal 311 ayat (1) KUHP, dalam pengertian tidak membatalkan ketentuan norma sehingga aspek perlindungan di dalam rumusan pasal tersebut menjadi terjamin. Hal ini disebabkan masih terdapat jenis pemidanaan lainnya, yang disebutkan di dalam rumusan pasal-pasal tersebut, yakni Pasal 310 ayat (1) dan (2) sepanjang anak kalimat, “denda paling banyak tiga ratus rupiah� dan Pasal 311 ayat (2), yang berbunyi “pencabutan hak-hak tersebut dalam Pasal 35 no. 1-3 dapat dijatuhkan�. Hal ini disebabkan, kedua sanksi tersebut (denda dan pencabutan hak-hak), juga diakui sebagai bentuk pemidanaan di dalam sebagaimana tercantum di dalam Pasal 10 huruf a, angka 4 jo Pasal 30 KUHP untuk pidana denda dan Pasal 10 huruf b angka 1 jo Pasal 35 KUHP sampai dengan Pasal 38 KUHP untuk bentuk pemidanaan pencabutan hak. Kesimpulan Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, bahwa pertimbangan MK terkait dengan pembatasan kebebesan ekspresi. Penulis memandang bahwa, pembatasan hak adalah mutlak dilakukan untuk menjaga ketertiban di dalam masyarakat. Namun demikian, pembatasan terhadap HAM tidak selalu harus dilakukan dengan menggunakan instrumen hukum pidana, namun juga dapat menggunakan instrumen hukum lainnya. Kedua, bahwa pertimbangan MK yang menyatakan permohonan para pemohon merupakan bagian dari constitutional complaint, memiliki kelemahan dasar karena tidak MK mengabaikan fakta bahwa persoalan norma yang terjadi disebabkan rumusan delik yang kabur, sehingga hakim akan secara konsisten melanggar hak-hak yang dilindungi 135


dalam Pasal 28F UUD 1945. Ketiga, bahwa MK secara kabur menjelaskan argumentasi pembeda antara putusan perkara Nomor 4/PUU-V/2007 dengan permohonan pada kasus a quo. Sehingga penulis tidak menemukan kejelasan mengapa permohonan penghapusan sanksi tidak dapat dikabulkan.

136


LEGAL ANNOTASI AGUS SUDIBYO, S.Ip., M.A.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI : LEGITIMASI HUKUM ATAS KRIMINALISASI PERS142 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 14/PUU-VI/2008 tentang Penolakan Atas Permohonan Uji Materi Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 316 dan Pasal 207 KUHP Terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis berdampak serius terhadap pelembagaan kebebasan pers di Indonesia. Dengan putusan ini, Mahkamah Konstitusi tidak memberikan kontribusi untuk mereduksi tindakan-tindakan kriminalisasi terhadap pers sebagaimana sudah sering terjadi di Indonesia sejauh ini, akibat pemberlakuan pasal-pasal KUHP tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi justru memberikan legitimasi hukum kepada pihakpihak dan penegak hukum untuk melakukan tindakan kriminalisasi pers lebih lanjut. Berikut ini disampaikan beberapa catatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi di atas dari perspektif kebebasan pers: 1. Penegasian Kedudukan dan Peran Pers Sebagai Institusi Sosial. Tindakan-tindakan kriminalisasi terhadap aktivitas dan produk pers yang dilakukan berdasarkan delik pencemaran nama baik, penghinaan dan fitnah sebagaimana terdapat dalam pasal 310, 311, 316 dan 207 KUHP menunjukkan lemahnya pemahaman penegak hukum atau aparat negara terhadap kedudukan dan fungsi pers sebagai institusi sosial. Dalam kasuskasus pemidanaan terhadap institusi dan individu media, pers semata-mata dilihat sebagai institusi bisnis/privat yang oleh karenanya diperlakukan sebagaimana institusi bisnis/privat yang lain di hadapan hukum. Jika urusannya adalah di luar lingkup jurnalistik, hal ini tentu wajar dan semestinya. Namun jika persoalannya menyangkut aktivitas atau produk jurnalistik, semestinya hukum melihat dan memutus perkara dengan selalu mempertimbangkan pers sebagai institusi sosial yang mengemban fungsifungsi publik. Memang, media massa adalah institusi ekonomi yang berjalan 142 Penilaian Atas Keputusan Mahkamah Konstitusi No 14/PUU-VI/2008 ini diberikan oleh

Agus Sudibyo, Deputi Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET) Jakarta.

137


berdasarkan rasionalitas bisnis. Pihak-pihak mendirikan media bukan hanya karena idealisme tertentu, tetapi juga dan terutama untuk alasan bisnis pada bidang komunikasi dan informasi. Namun pada sisi lain, media adalah institusi sosial. Tugas media di sini memfasilitasi masyarakat menjalankan diskursus sosial untuk merumuskan berbagai agenda perbaikan kehidupan bersama dan untuk pelaksanaan kontrol terhadap penyelenggaraan kekuasaan. Media adalah struktur intermedier untuk perwujudan hak-hak politik warga negara secara komunikatif. Media juga dirumuskan sebagai ruang publik politis di mana setiap individu dapat menyampaikan pendapat secara diskursif dan bebas tekanan. Dalam negara hukum demokratis, ruang publik politis berfungsi sebagai sistem alarm dengan sensor-sensor peka yang menjangkau seluruh komponen masyarakat. Media mengidentifikasi situasi dan problem sosial, lalu menjadi mediator keanekaragaman gaya hidup dan orientasi nilai masyarakat di satu pihak dan sistem ekonomi-politik di pihak lain.143 Media dalam konteks ini adalah ruang-simbolik tempat bersemainya “cakrawala” kesadaran, pemikiran dan nilai-nilai bersama dalam mana setiap tindak komunikasi, saling pemahaman dan pembentukan konsensus berlangsung. Rasionalitas komunikatif media memegang peran kunci dalam mewujudkan kedaulatan publik atas totalitas bentuk dan isi komunikasi tentang persoalan-persoalan publik yang berlangsung baik di dalam sistem politik (eksekutif, legislatif, yudikatif) maupun di dalam masyarakat luas. Media massa berfungsi menyambungkan realitas penyelenggaraan kekuasaan di berbagai level dan lini pemerintahan dengan realitas-realitas yang berlangsung dalam masyarakat. Media massa pada aras yang sama juga sering disebut sebagai cermin masyarakat. Bukan hanya dalam arti tempat di mana masyarakat dapat melihat dirinya sendiri, tetapi juga tempat di mana diharapkan terjadi pembentukan watak kultural masyarakat.144 David Marquand pernah berpendapat, “Apa yang sentral bagi konsepsi ruang publik adalah nilainilai kewargaan, persamaan, pelayanan dan kepentingan umum….”. Nilainilai inilah yang perlu dihadirkan media guna membentuk watak kultural masyarakat. Media dibayangkan sebagai perangkat kebudayaan yang turut menciptakan jiwa-jiwa dan komunitas yang multikulturalis, solider, berbudaya dan sadar politik. 143 Lihat F. Budi Hardiman,

“Ruang Publik Politik, Komunikasi Politik Dalam Masyarakat Majemuk”, dalam Republik Tanpa Ruang Publik (kumpulan tulisan), IRE Press dan Yayasan SET, 2005, hlm. 41 - 53. 144 Ashadi Siregar, Etika Komunikasi, Pustaka Book Publisher, 2006, hlm. 241.

138


Prinsip pers sebagai institusi sosial, bahkan ditegaskan Pasal 3 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers: 1) Pers Nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial 2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Dalam pasal ini, jelas bahwa fungsi sebagai lembaga ekonomi atau bisnis ditempatkan sebagai fungsi kedua dari institusi pers. Dalam pasal ini juga ditegaskan secara eksplisit fungsi pers untuk menjalankan kontrol sosial. Dengan demikian, kedudukan dan fungsi sebagai institusi sosial adalah keutamaan dari beroperasinya sebuah institusi pers. Karena fungsi-fungsi sosial yang dijalankannya, semestinya pers tidak disamakan dengan institusi lain di hadapan hukum. Bukan berarti hukum harus memberikan keistimewaan kepada lembaga atau individu media di sini. Yang dimaksudkan adalah agar setiap tindakan hukum terhadap institusi atau insan pers, senantiasa mempertimbangkan kepentingan publik di belakang media. Dalam konteks ini, memidanakan seorang jurnalis karena perkara jurnalistik, tidak hanya akan mengganggu kehidupan sang jurnalis, tetapi juga merugikan publik yang kehilangan satu sumber daya manusia dalam proses transfer informasi dan wacana sosial, apalagi jika pemidanaan itu kemudian menimbulkan efek ketakutan kepada jurnalis lain dalam menjalankan kerja jurnalistik. Juga jika karena suatu kasus pidana sebuah media mengalami kebankrutan atau penurunan kualitas jurnalistiknya (karena kehilangan daya kritis atau harus melakukan self-sensorship) yang dirugikan bukan hanya media dan karyawannya, tetapi juga para pembaca. Para pembaca kehilangan sumber informasi dan wacana sosial. Para pembaca kehilangan ruang-publik politis di mana mereka dapat mencerna realitas-realitas kekuasaan dan memberikan respon sebagai warga negara. Media atau jurnalis yang melakukan kesalahan jurnalistik, tetap dapat dihukum. UU Pers telah mengatur hal ini. Namun hukumannya seharusnya bersifat mendidik dan mendisiplinkan, tidak sampai menganggu kerja-kerja jurnalistik dan eksistensi media sebagai ruang publik politik. Pendapat Mahkamah Konstitusi (3.19) pada halaman 273, menyatakan : “Menimbang, menurut doktrin hukum yang diterima secara umum dalam hukum pidana, bahwa sifat umum tindak pidana atau delik (delict) adalah perbuatan yang melanggar norma

139


sedemikian rupa sehingga memperkosa kepentingan hukum orang lain atau membahayakan kepentingan orang lain.� Dengan logika yang sama, sesungguhnya dapat juga dinyatakan bahwa “dengan memidanakan kerja atau produk jurnalistik dengan maksud melindungi kepentingan hukum seseorang, lembaga peradilan juga dapat mengorbankan atau memperkosa kepentingan orang banyak, para pembaca media. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa melindungi kepentingan hukum orang lain dalam urusannya dengan pers, memang menjadi tugas Negara. Namun Negara juga berkewajiban melindungi kepentingan banyak orang yang menggantungkan diri pada media dalam hal suplay informasi dan wacana sosial-politik. Perlu digarisbawahi bahwa Uji Materi yang diajukan Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis sesungguhnya bukan dimaksudkan untuk menghapuskan substansi sebagaimana diatur dalam pasal 310 ayat (1), 310 ayat (2), 311 ayat (1), 316 dan 207 KUHP. Namun lebih pada penghapusan pidana penjara pada pasal-pasal tersebut. Sejauh pokok persengketaan adalah pemberitaan, pemidanaan dan pembungkaman terhadap institusi atau individu media tidak dapat dibenarkan. Sejauh berkaitan dengan produk jurnalistik, penegak hukum semestinya menjatuhkan vonis hukum yang tidak menyebabkan media berhenti beroperasi atau kehilangan keseimbangan dalam menjalankan fungsi kontrol. Jika pokok persengketaan di luar pemberitaan, institusi dan individu media diperlakukan sama dengan hamba hukum yang lain. Namun di sinilah persoalannya, Mahkamah Konstitusi gagal dalam menangkap esensi media atau pers sebagai institusi sosial yang menjalankan fungsi-fungsi publik pada bidang informasi dan komunikasi. 2. Menempatkan Perlindungan Kepentingan Publik.

Kepentingan

Individu

di

atas

Paralel dengan kesimpulan di atas, juga dapat disimpulkan Mahkamah Konstitusi gagal dalam menangkap esensi bahwa media bekerja untuk kepentingan publik. Apa kepentingan publik dibalik beroperasinya sebuah institusi media atau kerja jurnalistik? Jawabannya ada pada Pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers: Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut: a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya 140


supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan; c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap halhal yang berkaitan dengan kepentingan publik; e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran; Publik berkepentingan terhadap pelembagaan kebebasan pers karena pers berurusan langsung dengan upaya untuk mewujudkan: hak masyarakat untuk mengetahui, pembentukan pendapat umum, fungsi pengawasan, kritik, koreksi terhadap hal-hal kepentingan publik, penegakan nilai-nilai dasar demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme dan keadilan sosial. Bahkan sebagaimana ditegaskan Pasal 2 UU Pers berikut: “Kemerdekaan pers adalah salah-satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.� Juga sebagaimana ditegaskan Pasal 4 ayat (1) UU No. 40/1999 : “Kemerdekaan Pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara.� Di Indonesia saat ini, ketika saluran aspirasi politik bagi publik begitu terbatas, ketika sumber dan medium informasi dan komunikasi terbatas, ketika fungsifungsi komunikasi politik dalam berbagai bidang tidak dilaksanakan dengan baik oleh Negara, kebebasan pers menjadi sangat identik dengan Kepentingan Publik. Masyarakat sangat tergantung pada informasi dan wacana media untuk menangkap dan merespon fenomena sosial-politik. Diskursus sosialpolitik begitu memusat pada presentasi media, cetak maupun elektronik. Hampir tidak ada media alternatif yang mampu menandingi kemampuan pers dalam memediasi perbedaan-perbedaan pendapat, memfasilitasi diskusi-diskusi publik dan memberi ruang bagi begitu banyak pihak untuk mengekspresikan dirinya secara politis maupun estetis. Hak publik atas pers yang bebas, menjadi sedemikian rupa identik dengan hak atas informasi, hak untuk tahu, kebebasan politik warga negara dan penguatan nilai-nilai demokrasi. Dalam konteks ini pula, kebebasan pers sangat mempengaruhi dan sangat dipengaruhi oleh pelaksanaan pasalpasal dalam Konstitusi berikut ini :

141


Pasal 28 E ayat (2) UUD 1945 : “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Pasal 28 F UUD 1945 : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Dalam konteks ini, kesimpulan/Konklusi 4.1 (halaman 287) berikut ini menjadi sangat problematik bagi pers : “Bahwa nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang adalah salah-satu kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana karena merupakan bagian dari hak konstitusional warga Negara yang dijamin oleh UUD 1945 ataupun hukum internasional, dan karenanya apabila hukum pidana memberikan ancaman sanksi pidana tertentu terhadap perbuatan yang menyerang nama baik, martabat atau kehormatan seseorang, hal itu tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.” Dari sisi kebebasan pers, perlu dipertanyakan, bagaimana jika perlindungan atas kehormatan individu itu berbenturan dengan perlindungan atas kepentingan publik terhadap informasi dan wacana media, terhadap ruang publik demokratis ? Benarkah perlindungan atas kehormatan pribadi lebih tinggi daripada kepentingan publik ? Apakah untuk melindungi kehormatan individu, kepentingan publik dapat dikorbankan ? Ini perlu ditekankan karena pada KONKLUSI Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak menyinggung pentingnya perlindungan atau jaminan atas perwujudan kepentingan publik. Problem yang sama juga bisa dirujuk pada Pendapat Mahkamah Konstitusi No (3.19) halaman 273 : Menimbang, menurut doktrin hukum yang diterima secara umum dalam hukum pidana, bahwa sifat umum tindak pidana atau delik (delict) adalah perbuatan yang melanggar norma sedemikian rupa sehingga memperkosa kepentingan hukum orang lain atau membahayakan kepentingan orang lain. Sementara itu, ada tiga kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan individu, kepentingan masyarakat dan kepentingan negara. 142


Dalam pendapat ini, Mahkamah Konstitusi mengakui kepentingan masyarakat sebagai bagian dari kepentingan hukum yang dilindungi hukum pidana. Namun perlindungan atas kepentingan masyarakat ini tidak dijelaskan atau ditegaskan lebih lanjut dan sepertinya tidak dijadikan dasar untuk mengambil keputusan. Pada bagian selanjutnya Mahkamah Konstitusi hanya menjelaskan bagaimana kepentingan individu harus dilindungi oleh hukum pidana, serta bagaimana kehormatan pribadi harus dilindungi oleh hukum pidana. Bagaimana menyeimbangkan antara kepentingan publik di satu sisi dan kepentingan atau kehormatan individu pada sisi lain, tidak menjadi perhatian Mahkamah Konstitusi. Maka dapat disimpulkan, terkait dengan pasal-pasal yang diujimaterialkan, Mahkamah Konstitusi menempatkan perlindungan hukum atas kepentingan individu di atas perlindungan hukum atas kepentingan masyarakat/publik. 3. Menegasikan Prinsip Right to Know dan Akuntabilitas Pejabat Publik Putusan Mahkamah Konstitusi tidak membedakan antara individu pejabat publik dan individu non pejabat publik sebagai obyek dari tindakan-tidakan yang diasumsikan mengandung muatan pencemaran nama baik, fitnah dan kebohongan. Padahal kedua pihak ini mempunyai urusan dan kedudukan berbeda, misalnya saja di hadapan pers. Pejabat publik karena jabatan yang diembannya, karena mandat yang diberikan kepadanya, karena penggunaan dana publik dalam kerja mereka, mempunyai kewajiban untuk memberikan informasi dan membuka diri kepada publik, termasuk dalam hal ini pers. Pejabat publik harus legitimate, akuntabel dan transparans di depan publik. Hubungan antara pers dengan pejabat publik sebagai sumber atau obyek berita misalnya, harus diletakkan dalam konteks hubungan antara publik dan pejabat publik terkait dengan isu right to know dan kedaulatan publik. Pejabat publik harus memberikan informasi kepada publik/pers karena hal ini menjadi bagian integral dari kewajiban pejabat publik. Pasal 7 UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menyatakan : 1) Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan. 2) Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik yang akurat, benar dan tidak menyesatkan. 143


Pasal 10 UU No. 14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik menyatakan: “Badan publik wajib mengumumkan secara serta-merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum” Di sinilah kita temukan kelemahan KUHP terkait dengan isu kebebasan informasi (right to know) dan transparansi. Di hadapan prinsip-prinsip kebebasan informasi dan transparansi (yang juga menjadi keutamaan dalam dunia pers), KUHP tidak membedakan kedudukan pejabat publik dan non pejabat publik. KUHP tidak mempertimbangkan hak publik untuk mengetahui kinerja pejabat publik, dan sebaliknya kewajiban pejabat publik untuk membuka diri dan memberikan informasi. Maka tepat sekali Keterangan Tertulis Ahli Nono Anwar Makarim, yang disampaikan di Kepaniteraan pada tanggal 23 Juli 2008 (halaman 121) : “Pasal 207 dan Pasal 208 KUH Pidana melanggar asas kedaulatan rakyat yang amat fundamental, yaitu bahwa status pejabat dan pemerintah diperoleh sepenuhnya atas hak suveren rakyat, dan oleh karena itu wajib membuka diri serta tunduk pada kritik rakyat.” “Pasal 207 dan Pasal 298 KUH Pidana merupakan suatu abominasi dari setiap prinsip kedaulatan rakyat, diskriminasi flagran atas yang memerintah dan yang diperintah, dan pelanggaran yang disengaja atas kebebasan mengutarakan pendapat.” Persoalannya kemudian, putusan Mahkamah Konstitusi bukannya mengoreksi kesalahan pasal-pasal KUHP dalam kaitannya dengan prinsip hak publik untuk tahu sebagai bagian dari kedaulatan rakyat tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi justru menggarisbawahi dan menegaskan hak-hak istimewa pejabat publik untuk menutup diri dan membatasi akses informasi publik dengan alasan kredibilitas, kewibawaan dan kapabilitas lembaga atau jabatan. Menimbang 3.24 halaman 286 dari Putusan Mahkamah Konstitusi : “…Pasal 207 KUHP yang memberikan perlindungan tersendiri kepada pejabat-pejabat Negara yang sedang menjalankan tugas berdasarkan hukum. Perlunya perlindungan tersendiri terhadap 144


pejabat publik yang sedang menjalankan tugas karena di dalam jabatan dimaksud terkandung di samping unsur subyektif pribadi pejabatnya, juga melekat unsur obyektif institusinya yang membutuhkan kredibilitas, kewibawaan dan kapabilitas agar efektif dalam menjalankan tugas publiknya� Pertimbangan yang disusun Mahkamah Konstitusi dalam putusannya dapat dipandang sebagai suatu langkah mundur dalam kaitannya upaya mewujudkan good governance. Konsep good governance mengedepankan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, partisipatori, legitimitasi dan akseptabilitas sebagai dasar fundamental reformasi birokrasi pemerintahan. Prinsip-prinsip ini ternegasikan dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi di atas. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi lebih menekankan prinsip kredibilitas, kewibawaan dan kapabilitas. Pun sesungguhnya juga dapat dipertanyakan, mungkinkan membangun kredibilitas dan kewibawaan tanpa akuntabilitas dan transparansi? Pada konteks yang sama, putusan Mahkamah Konstitusi juga menegasikan fakta betapa buruknya kinerja badan-badan publik di Indonesia akibat tidak ditegakkan dan dilembagakannya prinsip akuntabilitas, transparansi dan kebebasan informasi. Buruknya kinerja badan-badan publik yang juga berkaitan dengan sejumlah privilese yang diberikan kepada badan atau pejabat publik (atas nama kewibawaan lembaga, rahasia instansi, rahasia jabatan) untuk tidak memberikan akses memadahi kepada masyarakat terhadap kinerja dan profesionalisme mereka. Pokok permasalahan dari problem-problem korupsi yang begitu mengakar dan sulit diberantas di negeri ini salah-satunya adalah karena esensi kedaulatan rakyat tidak pernah benar-benar ditegakkan. Kedaulatan itu hanya terwujud 5 tahun sekali, dalam momentum pemilu yang bahkan dalam prakteknya lebih mengakomodasi kepentingan elit politik daripada kepentingan publik dalam arti sesungguhnya. Kedaulatan rakyat tidak benar-benar diimplementasikan sebagai keterlibatan warga negara secara aktif dalam proses pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Kedaulatan rakyat tidak pernah dimaknai sebagai tersedianya perangkat politik dan mekanisme hukum bagi setiap warga negara untuk mengontrol proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan, serta untuk memeriksa dan menguji akuntabilitas pejabat dan badan-badan publik. Yang kita hadapi sejauh ini adalah fenomena negara yang telah menjadi dirinya sendiri (state of its own) dan terlepas dari realitas-realitas di masyarakat. 145


Tidak ada kekuatan alternatif yang mampu mengontrol penyelenggaraan kekuasaan karena pemerintah begitu kuat dan dominan, dengan struktur birokrasi yang tertutup, ekslusif dan proteksionis. Diciptakan kondisikondisi, mekanisme dan regulasi yang memungkinkan pemerintah mengisolir proses-proses penyelenggaraan pemerintahan dari keterlibatan unsur-unsur publik. Tak pelak, begitu sedikit yang dapat diketahui publik tentang kinerja birokrasi, ikwal lahirnya sebuah kebijakan, manajemen pengelolaan sumber daya publik, akuntabilitas pejabat pemerintah, dan lain-lain. Kita bukan hanya menghadapi rejim otoriter, namun juga sebuah rejim kerahasiaan. Pada level kultural, kita dihadapkan pada perilaku pejabat publik yang umumnya masih dipengaruhi mentalitas priyayi sebagai kaum pangreh praja dalam kosmologi era kolonial. Persis seperti yang terjadi pada kaum pangreh praja pada jaman VOC, para pejabat publik itu merasa tidak mempunyai ikatan moral dengan masyarakat. Meminjam istilah Ong Hok Ham, mereka melihat diri sebagai the rulling class (kasta penguasa) yang secara hierarkhi lebih tinggi dari masyarakat. Konsekuensinya, apa yang mereka rumuskan sebagai kepentingan pemerintah boleh jadi tidak ada urusannya dengan kemaslahatan publik. Para pejabat mempunyai sejenis privasi yang tidak dapat dikorbankan meskipun untuk melindungi kepentingan yang lebih besar. Dengan mentalitas ini, para pejabat publik tak merasa perlu untuk membuka diri dan memberikan akses informasi kepada masyarakat. Mereka tidak mempunyai cukup kesadaran bahwa menjadi pejabat publik mengandung sejumlah konsekuensi: hilangnya sebagian privasi, keharusan untuk memisahkan urusan pribadi dan urusan jabatan, serta keharusan terbuka untuk diperiksa dan diinvestigasi. Keengganan anggota DPR, para menteri dan pejabat lain untuk menyerahkan daftar kekayaan kepada KPKPN tadi menjadi contoh yang nyata dalam hal ini. Dengan latar belakang yang seperti ini, kita patut mempertanyakan sikap Mahkamah Konstitusi dalam putusan di atas, terhadap upaya untuk mereformasi birokrasi di atas fundamen prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi.

146


ANNOTASI: ANTONIUS CAHYADI,S.H., L.LM.

Hukum, Konstruksi Ruang Publik dan Logika Kuasa

Studi tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-VI/2008

Abstrak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Nomor 14/PUU-VI/2008 dalam perkara Permohonan Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan sebuah miniatur dari ruang publik Indonesia yang dirupa oleh wacana tentang batas merdeka yang diijinkan oleh penguasa. Sebagai wacana tentu saja putusan MK dibentuk oleh berbagai pernyataan dari pihak-pihak yang terjalin dalam relasi kuasa, yang secara sederhana dapat dilihat dalam tegangan dua kutub oposisi biner: yang mendominasi dan yang meresistensi. Putusan MK yang sebenarnya juga menjadi hukum bagi relasi di ruang publik, merupakan produk budaya yang memanifestasikan konstruk ruang publik dan juga logika kuasa yang mengatur bekerjanya relasi sosial dalam ruang publik. Dengan pendekatan yang multidisipliner terhadap hukum (dalam genre kajian socio legal) paper ini akan melihat putusan MK sebagai produk budaya. Tulisan ini terdiri dari dua bagian. Bagian yang pertama lebih terfokus pada refleksi tentang wacana yang ada dalam putusan MK. Di bagian ini akan coba dilihat kuasa yang begitu positivistik dan proseduralistik (menggunakan gaya Kelsenian) menjerat para partisipan wacana dalam logikanya. Tidak dipentingkan “ketersambungan” substansial tetapi mengedepankan “rigoritas normatif” untuk membalut kekhawatiran akan hilangnya kuasa. Maka kata-kata kuasa itu begitu kosong dan formal. Juga akan dipaparkan betapa di sisi yang lainnya, salah satu partisipan, dengan rasa yang begitu romantis, menampilkan substansi wacana yang sebenarnya diharapkan -dari semula semenjak proses permohonan review- menjadi tema yang menghubungkan para peserta wacana. Di bagian kedua dari tulisan ini akan digambarkan refleksi kritis mengenai “ruang publik pers” yang dihasilkan oleh putusan itu. Ruang publik yang 147


dewasa, yang dipenuhi oleh pertimbangan partisipatif dan emansipatoris dari masyarakat warga menjadi titik referensi ideal. Akan terlihat di bagian ini bahwa kuasa tidak begitu mementingkan makna dari demokratisasi ruang publik dan edukasi masyarakat. Yang dipentingkan adalah “status quo� dari keberadaannya. Maka, kata-kata kuasa terlihat begitu formal dan kosong mementingkan ketertundukan dan kepatuhan bentuk dari yang dikuasainya. Wajar apabila dalam kata-kata kuasa dijumpai inkonsistensi dan pernyataanpernyataan yang tidak logis (penarikan kesimpulan tidak didasarkan pada premis-premis yang ada, apabila mau dirujukkan pada silogisme yang sederhana). Ruang publik pers dengan demikian dihubungkan dalam relasi kuasa formal yang secara substantif inkonsisten.

148


Quote of the Day LOQUENDI LIBERTATEM CUSTODIAMUS (let us protect the freedom of speech – marilah kita jaga kemerdekaan berpendapat) Metodologi • Analisis wacana secara “sinkronis” (bukan “diakronis”) • Hanya memfokuskan pada paparan diskursif yang ada dalam putusan MK tidak melihat dokumen-dokumen lain seperti risalah sidang, atau catatan dari para pihak yang terlibat dan juga wawancara mendalam dengan informan kunci yang terlibat dalam sidang-sidang yang menghasilkan putusan tersebut. • Berdasarkan sumber yang begitu terbatas itu diadakan refleksi secara sosio-legal. Melihat putusan MK tersebut sebagai sebuah forum diskursif yang menggambarkan “ruang publik” kemerdekaan menyatakan pendapat. “Ruang Publik” dalam Putusan MK • Pihak yang berpartisipasi dalam “ruang publik”: pemohon, pihak pemerintah, yang mendukung pemohon, yang mendukung pihak pemerintah dan MK. • Memperhatikan tuturan mereka sebagai sebuah sistem penanda hadirnya ruang publik bagi kemerdekaan menyatakan pendapat. Sistem itu adalah diskurs tentang ruang tersebut. • Ia menandakan (signification; menjadi tanda) ruang publik yang terdiri dari penanda (diskurs yang terjadi) dan yang ditandakan (ruang publik yang diputuskan). Pemohon Pasal 310 ayat (1) KUHP sepanjang anak kalimat “pidana penjara paling lama sembilan bulan atau”, Pasal 310 ayat (2) KUHP sepanjang anak kalimat “pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau”, Pasal 311 ayat (1) KUHP sepanjang anak kalimat “dengan pidana penjara paling lama empat tahun” bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2), Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945. ( (2) Setiap orang 149


atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28F: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.) à Substantif (objek materiil dari diskurs atas ruang publik yang merdeka). Pasal 310 ayat (1) KUHP sepanjang anak kalimat “pidana penjara paling lama sembilan bulan atau”, Pasal 310 ayat (2) KUHP sepanjang anak kalimat “pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau”, Pasal 311 ayat (1) KUHP sepanjang anak kalimat “dengan pidana penjara paling lama empat tahun”, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Prosedur (objek formal dari diskurs yang tercipta). Bersifat formal. • Ahli yang diajukan lebih banyak menekankan sisi substantif permohonan. Pemerintah • Menggunakan 28G UUD 1945 untuk menanggapi substansi dari pemohon. Cat: justru mengafirmasi pemohon. Tetapi dalam diskursus tidak dielaborasi lagi. Justru fokus pada yang formal dan prosedural. Ada mekanisme hak jawab di media massa untuk mengelaborasi ini. • “...pemidanaan atau penjatuhan sanksi pidana terhadap perbuatan pidana penghinaan, adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.” Pidana selalu diartikan berkenaan terhadap tubuh, padahal tidak (Studi Michel Foucault dan Jeremy Bentham sebelumnya tentang Panopticon: disiplin tubuh). • Mengajukan contoh hukum fitnah dan hukum adat sirri: “cukup keterlaluan” (ciri khas positivist). Juga mengenai “nasionalisasi hukum nasional”. • Dengan argumentasi yang “cukup sama” dengan pemohon setuju untuk melindungi hak dan martabat individu dengan sanksi pidana yang belum beranjak pada sanksi yang melekat pada tubuh. 1. Menyatakan bahwa para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing); 2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon (void) 150


seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard); 3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan; 4. Menyatakan Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 311 ayat (1); Pasal 316 dan Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Menyatakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tetap mempunyai kekuatan hukum dan berlaku mengikat diseluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; Mahkamah Konstitusi • Oleh karena itu, Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya. • Mahkamah berpendapat bahwa baik Pemohon I maupun Pemohon II telah memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku Pemohon dalam permohonan a quo. Oleh karena itu, selanjutnya Mahkamah harus mempertimbangkan pokok permohonan. • Pemerintah telah memberikan keterangan tertulis yang isinya pada dasarnya sama dengan keterangan yang diberikan oleh Tim Penyusun Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. • constitutional review dan constitutional complaint. • yang dipermasalahkan para Pemohon lebih merupakan constitutional complaint daripada judicial review atau constitutional review. • Perlindungan masih dimengerti secara “klasik”, sanksi denda yang proporsional dan mekanisme hak jawab merupakan juga upaya perlindungan. MK tidak melihat hal ini. • Karena adanya kewajiban untuk melindungi hak konstitusional lain itulah, in casu hak atas kehormatan dan martabat, maka negara dibenarkan melakukan pembatasan terhadap hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani, hak untuk mengeluarkan pendapat dan bebas berkomunikasi tersebut. Menggunakan argumentasi substantif tetapi mengambil kesimpulan yang begitu prosedural. “Membunuh demokrasi dengan demokrasi”. Credo tentang “suara rakyat” misalnya, atau melindungi rakyat, etc. 151


• Sungguh tidak terbayangkan akan ada ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, atau bahkan akan ada kehidupan bersama yang dinamakan masyarakat, jika masing-masing orang menggunakan kebebasan dengan sesuka hatinya. Mekanisme hak jawab dan sanksi denda yang proporsional tidak menandakan sesuka haitnya. Masih dalam paradigma jera bisa ditimbulkan karena mengenai tubuh, bukannya kesadaran. • Tentang argumentasi Pemohon I bahwa delik penghinaan seringkali dijatuhkan kepada warga negara Indonesia yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyatakan pikiran dan pendapat, serta mereka yang melakukan aktivitas penyebarluasan informasi. Di samping itu juga, ketentuan tersebut mudah disalahgunakan oleh mereka yang tidak menyukai kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan berekspresi, dan kebebasan pers. Hal demikian merupakan argumentasi yang mempersoalkan penerapan norma, bukan mempersoalkan konstitusionalitas norma. • Pernyataan MK ini sebenarnya juga menyatakan sikap MK yang tidak menanggapi persoalan substantif yang diakukan pemohon tetapi justru yang dilihat penerapan normanya. Penilaian MK ini adalah penilaian yang aneh, ada semacam dasar epistem yang terselip tetapi tidak disadari oleh MK sendiri. • Namun dalam menguji konstitusionalitas suatu norma hukum, Mahkamah tidak semata-mata mendasarkan diri pada perkembangan atau kecenderungan yang terjadi di negara-negara lain, meskipun tidak berarti menutup mata terhadap dinamika perkembangan atau kecenderungan demikian. • MK sebagai “penjaga gawang” hak-hak konstitusional warga negara terlihat begitu positivistik, tidak melihat substantif hakhak warga negara. Hak-hak itu terus didefinisikan sesuai dengan berjalannya zaman. Sayang!!! • Lagi pula, ketentuan tentang tindak pidana peghinaan atau pencemaran nama baik dalam KUHP yang dimohonkan pengujian tersebut telah cukup proporsional karena dirumuskan sebagai delik aduan (klacht delict). Proporsionalitas hanya ditafsirkan secara prosedural. Ini justru memiskinkan prinsip proporsionalitas yang menjadi salah satu inti dari good governance.

152


MK: Kesimpulan • Bahwa nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang adalah salah satu kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana karena merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 maupun hukum internasional, dan karenanya apabila hukum pidana memberikan ancaman sanksi pidana tertentu terhadap perbuatan yang menyerang nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang, hal itu tidaklah bertentangan dengan UUD 1945; • Bahwa permohonan para Pemohon sesungguhnya lebih merupakan permasalahan penerapan norma undang-undang, bukan konstitusionalitas norma undang-undang; • Bahwa oleh karena itu, dalil para Pemohon tidak beralasan, sehingga permohonan harus ditolak. Tanda Yang Kosong • Kosong tidak bermakna apa-apa • Ruang publik yang terdiri dari penanda (diskurs yang terjadi) dan yang ditandakan (ruang publik yang diputuskan). Ruang publik yang ditandakan itu tidak bermakna apa-apa: kosong. • Berbicara tentang ruang merdeka untuk berbicara di ruang publik tetapi memaknai ruang yang tidak merdeka. • Yang ditandai: ruang merdeka tetapi penandanya justru ruang yang begitu represif (formal/prosedural). Ruang merdeka yang disediakan hanya “ruang omong kosong”. Beberapa Catatan • Hukum acara di MK tidak mengenal constitutional complaint karena MK memang tidak mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa constitutional complaint. • Constitutional complaint adalah merupakan concrete review yang menyangkut hak - hak individual sedangkan constitutional review lebih bersifat abstract karena menyangkut kebijakan umum yang dituangkan dalam Undang - Undang, jadi tidak menyangkut hak hak individual secara khusus. • Lihat: Conference Report dari Johns Hopkins University dan Richard J. Barnett’s paper. • Sumber-sumber pustaka penting: Linguistik Umum oleh Ferdinand 153


de Saussure, Empty Signifiers oleh Ernesto Laclau, The Birth of the prison oleh Michel Foucault. • Diskurs yang terjadi merupakan pertemuan antara kubu positivistik dan kubu “realis”. • Mengenai sanksi; Kelsen menanggapi Austin bahwa sanksi tidak merupakan bagian dari norma, Austin sebaliknya. Kepatuhan yang dikehendaki oleh norma tidak semata-mata muncul dari sanksi. Dan norma dalam rangka pure theory of law Kelsen tidak melibatkan sanksi sebagai term penandanya. • Lon Fuller yang dikutip ahli dari pemerintah adalah seorang Ultra Nasionalis, seharusnya kutipan itu diambil dari pemikir seperti Kelsen. Sebuah pemikiran tidak bebas nilai dan kepentingan (no value free).

154


LEGAL ANNOTASI BAMBANG WIDJOJANTO, S.H., L.LM I. KUALIFIKASI PERMOHONAN Permohonan dan Permasalahan Pemohon & keterangan Pemohon di persidangan, lebih merupakan constitutional complaint daripada judicial review atau constitutional review • Pengujian konstitusionalitas norma undang-undang (constitutional review) -> dipersoalkan -> apakah suatu norma undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi; • Persoalan akibat penerapan suatu norma UU masuk ruang lingkup persoalan gugatan atau pengaduan konstitusional (constitutional complaint) -> dipersoalkan -> apakah suatu perbuatan pejabat publik (atau tidak berbuat sesuatunya pejabat publik) telah melanggar suatu hak dasar (basic rights) seseorang • Kesimpulan Majelis MK tidak di dapatkan dan dasarkan atas uraian, dan analisa yuridis yang komprehensif sehingga menjadi dasar kesimpulan;(3.23.1 dan 3.23.2); • Tindakan MK -> unprofessional conduct yg jarang terjadi; • Permohonan sudah memuat constitutional review dan constitutional complaint; • Constitutional Review -> Pemohon mempersoalkan norma materiil dalam Pasal 310, 311, 316 dan 317 KUHP yang dikualifikasi bertentangan dengan Pasal 27 (1), 28E dan 28F UUD; • Constitutional Complaint -> Pemohon ajukan soal -> adanya constitution conditionally yang potensial menyebabkan kerugian karena tidak dipenuhinya hak-hak dasar yg dijamin konstitusi II. GUARDIAN VS INTERPRETER CONSTITUTION • Ada berbagai pendapat atau pernyataan Majelis MK yang menempatkan MK hanya sebagai “The Guardian of Constitution” bukan “The Interpreter of Constitution”; • Pernyataan MK I -> “sanksi pelanggaran atas pembatasan tdk lagi pidana penjara di beberapa negara à tidak serta-merta menjadikan sanksi pidana penjara Pasal 310 (1) & (2), Pasal 311 ayat (1) KUHP tersebut inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 à sudah berada di wilayah budaya yang berkait dengan persoalan nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat tentang sesuatu yang dianggap baik, patut, adil, benar, dan sebagainya yang acapkali

155


berbeda-beda antara negara yang satu dan negara yang lain”. • Pernyataan MK II ---“proporsional-tidaknya suatu sanksi pidana yang diancamkan terhadap suatu perbuatan, hal itu pun bergantung pada nilai-nilai yang dianut oleh suatu masyarakat. Nilai-nilai itu akan selalu berubah dan berkembang dan bergantung pada acuan yang digunakan oleh suatu masyarakat tentang sesuatu yang dianggap ideal. Sesuatu yang dianggap ideal itu akan tercermin dalam politik hukum yang kemudian diejawantahkan dalam wujud peraturan perundang-undangan. Mahkamah tidak mungkin menilai dan menguji konstitusionalitas gagasan politik yang belum menjadi produk hukum dan kemudian menyatakannya bertentangan dengan konstitusi. Mahkamah hanya berwenang menguji norma hukum sebagai perwujudan gagasan politik tersebut, yakni dalam bentuk undang-undang. • rumusan suatu norma undang-undang tidak serta-merta kehilangan raison d’etre-nya hanya karena ia merupakan warisan pemerintahan penjajah, kecuali jika norma tersebut nyata-nyata dibuat sematamata demi kepentingan penjajah sehingga bertentangan dengan hakikat Indonesia sebagai negara merdeka yang dengan demikian bertentangan dengan UUD 1945 • Tindakan MK yang mendelegitimasi eksistensinya sebagai “Negative Legislator”; • Bandingkan dengan Putusan MK No. 4/PUU-V/2007 tanggal 19 Juni 2007 -> JR UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran yang jalankan fungsi Negative Legislator. • MK menyatakan -> Sanksi pidana penjara dalam Pasal 75 ayat (1) dan Pasal 76 sepanjang mengenai kata-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau” dan Pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau” serta Pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata “atau huruf e” dalam UU aquo bertentangan dengan UUD 1945. • Alasan hukum sebagai dasar pertimbangan MK -> pelanggaran yang diancam pidana penjara pada UU a quo -> pelanggaran administratif, sanksi pelanggaran pidana denda, tidak perlu dengan pidana penjara. • Tindakan MK mengingkari peran strategisnya untuk membangun sistem “check and balances” dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis;

156


• MK telah gagal melindungi substansi prinsip universalitas yang bermaksid melindungi human rights; (kepentingan pribadi vs publik); • MK menyerahkan interpretasi konstitusi pada hakim pengadilan. • Hal ini dapat dilihat dari pernyataan MK, yaitu: Tindak pidana peghinaan atau pencemaran nama baik dalam KUHP yang dimohonkan pengujian tersebut telah cukup proporsional karena dirumuskan sebagai delik aduan (klacht delict). Penghinaan akan tergantung -> apakah seseorang menganggap dirinya sebagai korban karena merasa terhina atau tercemar nama baiknya oleh kata-kata atau kalimat itu; -> apakah hakim sepakat dengan pengadu (aanklager), kata atau kalimat itu -> menghina atau mencemarkan nama baik. Seseorang yang buat pernyataan untuk membela kepentingan umum atau kepentingan membela diri, tergantung pada penilaian hakim yang mengadili perkara itu III. FILSAFAT DASAR • Ada beberapa pasal dalam Konstitusi yg berkaitan dengan pasal yang di mohon untuk dijudicial review; • Pasal dimaksud: Pasal 28E ayat (2) & (3), Pasal 28F, Pasal 28G, 28J ayat (1) dan (2) UUD 1945; • Pasal dimaksud -> Hak atas kebebasan menyatakan pikiran, sikap, mengeluarkan pendapat, berkomunikasi dan mengelola informasi versus Kewajiban menghormati HAM org lain dan wajib tunduk pd pembatasan yg ditetapkan org lain dan berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan dan martabat • MK harus menempatkan dirinya sebagai “the Interpreter of Constitution” bilamana ada sengketa antara pasal-pasal konstitusi; • Filsafat Dasar: • Siapa yang perlu dilindungi “publik ><perorangan; • Apa mekanisme dan sanksi untuk menyelesaikan dispute; • Kantianisme >< Utilitarianisme; • Materialisme >< Formalisme • LEX POSTERIORI -> UU PERS dibandingkan dengan KUHP

157


158


LAMPIRAN 04

NOTULEN PERSIDANGAN EKSAMINASI I

Tanggal 15 Oktober 2008

159


REKAM PROSES SIDANG EKSAMINASI I Rabu, 15 Oktober 2008

Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 14/ Puu-VI/2008 Tentang Pengajuan Pasal 310 Ayat (1) dan ayat (2); Pasal 311 Ayat (1); Pasal 316 dan Pasal 207 KUHP Terhadap UUD 1945 Hari/tanggal : Rabu, 15 Oktober 2008 Materi : Presentasi pendapat para eksaminator, masukan dari panelis dan sidang eksaminator Eksaminator: 1. Ahli Konstitusi : Susi Dwi Hardjanti 2. Ahli HAM : Asmara Nababan 3. Ahli Pers : Agus Sudibyo Peserta diskusi/panelis: 1. Adiani Viviana (LBH Pers) 2. Afrilia Sulistiani (LBH Pers) 3. Anggara (PBHI) 4. Arsil (LeiP) 5. Asep K (AJI Indonesia) 6. Choirul Anam (HRG-Fasilitator) 7. Dian Trisnawati (Individu) 8. Giri Ahmad Taufik (Staf Pengajar FH UNPAD) 9. Hendrayana (LBH Pers) 10. Herlin Herawati (LBH Pers) 11. Muhammad Halim (LBH Pers) 12. M. Nur Sholikin (PSHK) 13. R. Kristiawan (TIFA) 14. Tommy Awalia P. (ILRC) Moderator: Choirul Anam

160


MC Assalamu’alaikum Wr. Wb. Peserta dan tamu undangan yang kami hormati. Sebelum mulai saya bacakan acara sidang eksaminasi publik hari ini. Penyampaian pandangan eari eksaminator. Masukan dari panelis dan diskusi Sidang eksaminator Untuk para eksaminator dan panelis silahkan menempati tempat yang telah disediakan. MODERATOR: Salam sejahtera, Assalamu Alaikum Wr Wb. Sebelum mulai perkenalan, mungkin ada pengantar sedikit dari LBH Pers atau dari yayasan TIFA Hendrayana (Direktur LBH Pers) Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih pada para eksaminator, mungkin ini pertemuan pertama kita. Sebelumnya mengapa LBH Pers bersama teman-teman bulan juni mengadakan judicial review trhdp pasalpasal terkait permohonan kita. Ada dua pemohon yakni Bersihar Lubis dan Risang Bima Wijaya. Lubis dikenai tahanan 1 bulan, Risang divonis 6 bulan dan pas. Permohonan itu disampaikan ketika dia sudah menjalani tahanan 6 bulanan. Mengapa kita perlu mengadakan eksaminasi ini, karena bisa ada penahanan terhadap pers mengenai pemberitaan yang ditulis. Dari catatan LBH pers, ada banyak kasus terkait kebebasan pers. Seperti Lubis yang dkenai tuduhan penghinaan terhadap pers. MK tidak konsisten dengan putusanputusannya. Semoga apa yang kita bahas ini bisa kita share di publik, sehingga masyarakat luas mengetahui. LBH pers sendiri menangani sekitar 15 kasus, dan memang rentan terhadap wartawan. Hakim terlalu menyempitkan pada masalah profesi jurnalis, padahal ini terkait pada kepentingan masyarakat luas. Ada Bambang Wijayanto, dari UI Pak Antonius, dan 1 lagi dari Yayasan SET, Agus Sudibyo MODERATOR: Memulai perkenalan dan melanjutkan dengan acara selanjutnya, presentasi pendapat dari eksaminator.

161


AHLI HUKUM KONSTITUSI: Susi Dwi Hardjanti (Eksaminator) Dalam presentasinya, Susi Dwi Hardjanti menyampaikan bahwa putusan tetaplah putusan, sehingga opini dia lebih pada pertimbangan yang digunakan MK dalam mengambil keputusan. Putusan MK sendiri terbagi atas 3 pertimbangan kunci. 1.

Pasal-pasal yang dimohonkan merupakan pembatasan yang perlu dilakukan untuk menjaga hak individu dari warga negara. Dalam konteks hukum, ia sepakat bahwa pembatasan terhadap HAM merupakan sebuah keharusan, karena HAM memiliki derajat fundamental dibandingkan hak-hak lainnya. Terlebih Indonesia memilki justifikasinya dalam pasal 28 J UUD 1945. oleh karena itu, pertimbangan MK dalam konteks ini memiliki konstruksi yang solid dan menemukan konteksnya di dalam wilayah teoritis maupun hukum positif. Menurutnya perlindungan HAM tidak harus selalu dilakukan dengan menerapkan ketentuan hukum pidana. Namun juga, dapat dilindungi dengan area hukum lainnya. Terdapat beberapa pertimbangan untuk memperkuat argumentasi ini. Pertama, secara formal Pasal 28J ayat (2) tidak menentukan bahwa pengaturan terhadap HAM harus dilakukan dengan ketentuan pidana. Oleh karenanya, pengaturan tersebut dapat dilakukan dengan wilayah hukum lainnya. Kedua, pada dasarnya sebagaimana juga diakui oleh MK, bahwa kepentingan yang dilindungi oleh pasal ini adalah pada wilayah kepentingan individu. Oleh karenanya, dalam konteks ilmu hukum secara umum, pengaturan kepentingan antar individu lebih menitikberatkan penggunaan upaya hukum perdata dibandingkan hukum pidana.

2.

Pokok persoalan yang diajukan oleh pemohon bukan merupakan persoalan konstitusionalitas dari norma (constitutional review), namun merupakan pada wilayah penerapan norma (constitutional complaint). Dalam pertimbangannya MK melihat bahwa persoalan yang dibawa oleh pemohon bukan pada persoalan validitas norma dari pasal-pasal yang dimohonkan. Namun merupakan kesalahan penerapan norma dari pejabat publik (hakim) sehingga menimbulkan pelanggaran terhadap konstitusionalitas norma. Konsekuensinya MK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian terhadap perkara yang diajukan oleh pemohon. MK tidak memiliki kewenangan untuk menilai kesalahan penerapan norma yang dilakukan oleh pejabat publik. Namun demikian, terdapat persoalan mendasar dari cara

162


pandang MK terhadap kasus ini, yakni dengan menganggap bahwa persoalan permohonan hanya terbatas pada wilayah penerapan. Padahal, terdapat persoalan secara substansi dari rumusan-rumusan norma yang dimohonkan. Persoalan pokok pada cara pandang MK tersebut, ialah MK telah gagal melihat hubungan yang sistemik antara rumusan norma yang kabur dengan penerapan dari norma tersebut, yang pada akhirnya membuat para hakim secara konsisten telah melakukan penerapan yang merugikan hak-hak konstitusional dari warga negara, yang dijamin di dalam Pasal 28F. Persoalan pada norma tersebut terletak pada rumusan unsur yang sifatnya “karet�, sehingga tidak memenuhi prinsip lex certa dalam suatu perumusan delik pidana. 3.

Penghapusan pidana dan menggantikannya dengan pidana denda bukan merupakan kewenangan dari MK. MK dalam pertimbangannya menyatakan tidak berwenang untuk mengubah ketentuan mengenai sanksi, sebagaimana yang diminta oleh pemohon terhadap Pasal 310 ayat (1) dan (2), serta Pasal 311 ayat (1) KUHP. Dalam itu, terdapat beberapa persoalan pokok. Pertama, bahwa substansi yang dimohonkan oleh pemohon tidak terletak pada penggantian sanksi, namun lebih terletak pada penghapusan sanksi pidana dari Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 311 ayat (1) KUHP. Kedua, alasan yang diberikan oleh MK tidak begitu jelas mengenai perbedaan dengan pengujian Nomor 4/PUU-V/2007.

AHLI PERS: Agus Sudibyo (Eksaminator) 1.

Bentuk penegasian kedudukan dan peran pers sebagai institusi sosial. Banyak yang masih melihat media sebagai institusi bisnis dari pada institusi sosial. Dalam kasus pers, hakim melihat pertimbangkan media sebagai institusi bisnis. Memang media masa adalah institusi ekonomi yang berjalan sesuai dengan logika bisnis akan tetapi Pers adalah institusi sosial yang terkait dengan kepentingan publik yang merupakan perwujudan hak berpolitik warga negara dalam hal komuikasi, dimana semua individu berhak mengeluarkan pendapat dan sudah ditegaskan dalam pasal 3 UU pers. Karena fungsi sosial pers, pers tidak bisa diposisikan sama dengan posisi warga negara yang lain.

2.

Menempatkan perlindungan kepentingan individu di atas kepentingan publik. Bisa disimpulkan MK gagal menangkap esensi bahwa media 163


berkerja untuk kepentingan publik. Bagaimana menyeimbangkan kepentingan individu dan publik, tidak menjadi pertimbangan MK. 3.

Menegasikan prinsip right to know dan akuntabilitas pejabat publik. Putusan MK tidak membedakan antara pejabat publik dengan warga biasa, padahal pejabat publik mempunyai mandat yang membuat posisinya berbeda dengan warga biasa, sehingga pejabat publik wajib memberikan informasi dan membukan diri di hadapan publik

AHLI HAM: Asmara Nababan (Eksaminator) 1.

2.

3.

Dari segi HAM, kasus ini merupakan benturan dari hak-hak. Terdapat dua jenis benturan yakni benturan antara hak atas kebebasan berekspresi, dan hak atas martabat dan kehormatan pribadi. Benturan kedua, antara penguasa dengan kebebasan berekspresi yang tidak dilihat oleh MK. Faktanya, yang mempunyai HAM adalah manusia individu bukan badan hukum dan penguasa. Harus ada batas terhadap kebebasan itu dan dalam kasus ini batas terhadap hak lain, yang keduanya adalah hak yang dapat dibatasi. Persoalan yang timbul, apakah pembatasan itu harus ikut sanksi pidana atau instrumen lain. Pada saat sekarang, tahun 2008, sanksi pidana tidak bisa dikenakan dalam kebebasan berekspresi, ke dua, clash hak ekspresi dengan penguasa, sanski pidana tidak bisa dikenakan. Demikian pendapat saya dengan membandingkan dengan beberapa negara

Moderator kemudian mempersilahkan panelis untuk mengungkapkan pendapatnya. Arsil (LeiP) 1. 2.

3.

164

Ia menyatakan sepakat bahwa harus ada pemisahan mengenai penghinaan terhadap pejabat hukum dengan pejabat publik. Ia juga menyampaikan adanya indikasi MK menggiring persoalan mengenai kasus tersebut sebagai kasus pers dan bukan kebebasan berpendapat. Argumentasi MK cukup kuat bahwa delik hukum ini masuk sebagai constitutional complaint. Terdapat ketidakkonsistenan dalam penerapan pasal mengenai penghinaan, misalnya penghinaan ringan bisa dikenai pasal yang lebih berat. Dengan demikian, standar mengenai penghinaan harus jelas.


4. 5.

Sanksi perdata belum tentu memulihkan hak korban penghinaan, karena bisa saja hak korban bisa dipulihkan dengan pidana. Pada prinsipnya, individu yang telah kehilangan haknya berhak dipulihkan. Ketika korban tidak bisa mengidentifikasi yang siapa menghinanya, maka ia bisa melibatkan pemerintah untuk menyidk siapa pelakunya dan itu masuk wilayah pidana. Maka perlu jadi pertimbangan sebuah kasus hal itu masuk pidana atau tidak.

Menanggapi pendapat Arsil, Anggara dari PBHI kemudian memberi tanggapannya. Anggara (PBHI) 1. 2.

3.

4. 5.

Di negara-negara Eropa sanksi pidana dalam kasus penghinaan telah dihilangkan Sanksi pidana bertentangan dengan perlindungan rakyat karena perlindungan rakyat membutuhkan perluasan ide dan gagasan. Sementara sanksi pidana dalam kasus penghinaan menghambat perluasan ide dan gagasan. Padahal perluasan ide dan gagasan memberikan nilai-nilali demokrasi. Dengan demikian, Pembatasan ide dan gagasan hanya menghambat demokrasi. Penggunaan pasal 311 dan 316 bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pejabat publik, sehingga rentan terhadap perlindungan rakyat atau juga konsumen. Seperti surat pembaca yang mengajukan komplain bisa dikenai pasal tersebut. Ada dua unsur yang mesti dipertimbangkan MK, apakah penghinaan tersebut di depan umum atau berkaitan dengan kepentingan umum. Misalnya di ruang sidang jaksa menghina hakim. Satu lagi, yakni mengenai partikularisme. MK memandang bahwa kondisi Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara-negara lain yang telah tidak memberlakukan sanksi pidana dalam kasus penghinaan. Budaya Indonesia, menurut MK berbeda dengan negaranegara tersebut, sehingga mempunyai hukum yang berbeda. Padahal Srilanka menghapuskan penghinaan, Kamboja menghilangkan pidana penjara, Timor Leste juga demikian, dan semuanya memiliki sifat budaya yang hampir mirip dengan Indonesia.

Selanjutnya Arsil dari LeiP menambahkan terkait dengan penghinaan individu sebagai constitutional complaint.

165


Arsil (LeiP) Argumentasi MK tepat bahwa pengajuan delik tersebut masuk dalam constitutional complaint, jika dari awal kita juga menariknya dalam kasus pers. Moderator kemudian mempersilahkan pihak yang mengikuti proses hukum dari awal. Anggara (PBHI) 1.

Dari kuasa hukum sama sekali tidak memasukkan kasus penghinaan Risang dan Lubis sebagai kasus pers, dan dasar pengajuan tersebut juga individual, tapi MK-lah yang menariknya dalam kasus pers.

2.

Pihak kuasa hukum juga tidak memahami mengapa banyak organisasi pers yang dilibatkan oleh MK dan Pemerintah

Pendapat Anggara Hendrayana.

kemudian

diperkuat

oleh

Direktur

LBH

Pers,

Hendrayana (LBH PERS) Majelis sudah berpikir bahwa ini persolan pers. Bahkan dari kuasa hukum sama sekali tidak menyinggung UU Pers, dan hanya menyampaikan persoalan dalam kebebasan pernyataan pendapat. MK-lah yang mempersempitnya menjadi masalah pers. Pernyataan Hendrayana kemudian dipertanyakan oleh Susi Dwi Hardjanti karena dalam delik yang diajukan juga mencatumkan pasal 1 UU Pers. AHLI HUKUM KONSTITUSI: Susi Dwi Hardjanti (Eksaminator) 1.

2.

166

Dengan memasukkan pasal 1 UU Pers dan menjelaskan mengenai status pemohon sebagai wartawan Dengan demikian, justru melemahkan ide utama mengenai kebebasan berpendapat. Dalam hal ini pencantuman pemohon sebagai wartawan dan Pasal 1 UU Pers sebagai supporting idea telah melemahkan ide utamanya. Mestinya supporting ideanya bukanlah Pasal 1 UU Pers Masukan bagi LBH Pers, supaya tidak memasukkan bukti yang tidak kuat sehingga tidak ada celah untuk dihantam.


3.

4. 5. 6. 7. 8.

Constitutional cases tidak sama dengan kasus biasa. Oleh sebab itu Constitutional cases memiliki constitutional lawyer. Sehingga, lebih baik LBH Pers mulai mempelajari mengenai hal itu dan constitutional interpretation. Definisi pejabat publik harus dilakukan secara berhati-hati, sebab definisi pejabat publik bisa berbeda dengan pejabat pemerintah atau pejabat administrasi. Pendefinisian kapan pejabat publik dikenakan pidana atau administrasi harus jelas. Sebab pejabat publik memang memiliki privelege mengenai kapan ia dikenai sanksi pidana atau administratif Mengenai pendapat Asmara Nababan soal Johannesburg Principle, Susi menilai tidak ada kebebasan mutlak sehingga memang harus dibatasi. Perbandingan dengan negara lain harus pula dilakukan secara hatihati. Apakah perbandingan yang dilaklukan itu comparable atau tidak. Saat ini banyak negara di dunia mendorong hukum pidana ke arah restorative justice.

Terkait wacana bahwa perdata jauh lebih baik dari pada pidana, Agus menyampaikan pendapatnya AHLI PERS: Agus Sudibyo (Eksaminator) 1. 2.

Sanksi perdata belum tentu mampu menyelesaikan persoalan, termasuk persoalan pers. Oleh sebab itu, berhati- hati jika menggiringnya ke penyelesaian perdata. Tidak soal kalau individu dihukum tapi tidak mengganggu kepentigan publik dan media.

Kemudian Moderator menyampaikan contoh pada masa Orde Baru yang langsung membredel majalahnya atau mengenakan sanksi perdata yang membuat media menjadi bankrut, yang berarti mematikan media dan semangatnya memang mematikan pers. Sehingga lebih baik individu wartawannya saja yang dikenakan sanksi. Pernyataan Moderator dibantah lagi oleh Agus Sudibyo

167


AHLI PERS: Agus Sudibyo (Eksaminator) Tapi jika hanya dikenakan pada wartawan saja, berarti individu

melanggar hak

Moderator menambahkan bahwa harus berhati-hati dalam menentukan kasus pidana atau perdata karena kasus perdata pun bisa mematikan pers, seperti kasus ditutupnya Medan Priyayi akibat dikenai denda yang tinggi. Menanggapi wacana perdebatan mengenai sanksi perdata atau pidana, Ahli HAM, Asmara Nababan mempunyai pendapat berbeda. AHLI HAM: Asmara Nababan (Eksaminator) 1.

Bagaimanapun sanksi perdata relatif lebih baik dibanding sanksi pidana terlepas akan menimbulkan dampak kebankrutan bagi media dan memang harus ada sanksi.

2.

Yang menjadi persoalan adalah mengenai pejabat publik. Penghinaan terhadap simbol negara misalnya juga dipidanakan. Di Papua misalnya mengencingi bendera Merah Putih meski tidak di tempat umum dan hanya disaksikan oleh satu orang, bisa dihukum pidana padahal hal itu ekspresi kemuakan.

Menanggapi soal penghinaan terhadap simbol negara, Susi menyampaikan beberapa contoh. AHLI HUKUM KONSTITUSI: Susi Dwi Hardjanti (Eksaminator) 1. 2.

Di Amerika Serikat misalnya ada UU pelarangan bakar bendera dan karena seringnya terjadi pembakaran bendera, masyarakat menuntut dihapuskannya larangan pembakaran bendera dalam konstitusi. Privelege tertentu terhadap pejabat publik bisa muncul melalui kebiasaan seperti Ratu dan Raja di Inggris. Hanya tergantung dari masyarakat apakah akan dipertahankan atau tidak

Kemudian, Asmara Nababan mengingatkan bahwa dalam kasus penghinaan yang diajukan deliknya tersebut, memang menyangkut kebebasan pers. Menanggapi kritik dari Susi, Anggara menyampaikan bahwa sulit untuk menghindari kasus penghinaan tersebut sebagai bukan kasus pers. 168


Anggara (PBHI): 1.

Memang sulit memisahkan status pemohon sebagai seorang wartawan dan Pasal 1 UU Pers tidak banyak digunakan

2.

Dasar argumennya adalah mengeluarkan pendapat adalah hak setiap orang termasuk wartawan. Kita sebenarnya tidak menggiring ke kebebasan pers tapi kebebasan warga negara.

Menjawab itu, Susi mempertanyakan jalan pemikiran MK yang menyatukan ajuan delik ke dua pemohon. AHLI HUKUM KONSTITUSI: Susi Dwi Hardjanti (Eksaminator) “Mengapa kedua pemohon itu dijadikan satu padahal pemohon kedua kan bukan wartawan. Saya tidak mengerti jalan pemikiran MK� Pernyataan tersebut lalu dibenarkan oleh Ahli HAM, Asmara Nababan dan Anggara (PBHI), bahwa memang ada niat untuk menggiring kasus ke kasus pers dan bukan kasus kebebasan berpendapat. Sementara menurut Arsil (LeiP) hal itu tidak bisa dihindari. Arsil (LeiP) 1. 2.

Memang tidak bisa dihindari, bahwa kasus penghinaan itu menjadi kasus kebebasan pers dan bukan ke kebebasan berpendapat. Dijelaskan dulu ke MK bahwa ini bukan mengenai kebebasan pers tapi kebebasan berekspresi.

Perdebatan mengenai hal itu terus mengalir dan Anggara (PBHI) menyatakan bahwa MK mungkin tidak membaca draft delik aduan tersebut. Sementara Halim (LBH Pers) mengungkapkan keberatan dia terkait opini Susi, bahwa putusan MK tetaplah putusan hukum yang harus dipatuhi. Akan tetapi Susi sendiri mengambil kesimpulan bahwa MK tidak bisa menjelaskan mengapa sanksi pidana terhadap Risang dan Lubis dikabulkan. Muhammad Halim (LBH Pers)-Program Officer Eksaminasi 1.

MK menyatakan bahwa KUHP merupakan kasus umum dan berbeda dengan UU Praktik Kedokteran karena berlaku khusus. Sementara kasus yang dijudicialreviewkan merupakan kasus umum. 169


2.

MK mempertanyakan definisi sanksi dan sempat bias dalam mendefinisikan sanksi. Semisal, di awal MK mendefinisikan sanksi sebagai norma. Namun, pada pertengahan proses, MK mendefinisikan sanksi bukanlah norma, dan di akhir proses definisi sanksi menjadi semakin kabur.

Giri Ahmad Taufik (Staf Hukum UNPAD) Definisi sanksi selalu merujuk pada pasal 10, sehingga definisi sanksi tidak akan kabur. Meski pencabutan hak merupakan sanksi pidana, namun tidak menghapuskan rumusan sanksi dalam norma. Menguatkan pernyataan Giri, Susi memberikan contoh Segregation Act, yang untuk pertama kalinya muncul, dimana hakim meleburkan sekolah kulit hitam dan kulit putih dan memandingkannya di Indonesia yang dinilai memiliki kemajuan. AHLI HUKUM KONSTITUSI: Susi Dwi Hardjanti (Eksaminasi) Indonesia sendiri mengalami kemajuan berarti seperti sekarang ini. MK mempunyai sumber-sumber hukum yang banyak. MK mengakui instrumen hukum nasional dan kebiasaan. Kemudian Arsil (LeiP) memberikan pendapatnya mengenai kewenangan MK dalam mendefinisikan sanksi. Arsil (LeiP): MK memang mempunyai kewenangan namun penyusunan mengenai sanski pidana harus sistematis. Antara perbuatan dan perbuatan lain harus dilihat kadar kejahatannya. Moderator kemudian mempertanyakan kewenangan MK itu dan mencontohkan kemajuan di Indonesia seperti kasus Nunukan, dimana judicial review menang dan menghasilkan putusan bahwa pemerintah harus mengambil keputusan konkrit mengatasi kasus Nunukan. Akan tetapi putusan itu tidak tegas karena tidak ada bentuk konkritnya dan batas tanggalnya kapan dilaksanakan. Ahli Pers, Agus Sudibyo membenarkan hal itu.

170


AHLI PERS: Agus Sudibyo (Eksaminator) 1.

Yang dicontohkan oleh moderator memang menjadi tren hampir di semua putusan MK.

2.

Respon MK terkait hal yang politis sangat cepat, seperti mengenai calon perseorangan. Lain halnya dengan kasus kebebasan berpendapat atau pers.

3.

Ancaman yang diatur dalam UU tidak proposional dengan pelanggaran, seperti dalam UU Praktik Kedokteran. Salah satu contoh, pidana dihapus tapi perdatanya tidak.

Halim (LBH Pers) kemudian mempertanyakan mengapa hanya pers yang lebih sering merespon isu kebebasan berpendapat dibanding masyarakat lainnya. Pertanyaan itu lalu dijawab oleh Agus Sudibyo. AHLI PERS: Agus Sudibyo (Eksaminator) 1.

Tidak hanya kebebasan pers yang identik dengan pers tapi juga kebebasan berpolitik. Sementara, masyarakat lain minim kesadarannya depolitisasi selama 32 tahun, sehingga pers yang paling berkepentingan.

2.

Begitu banyak UU yang membatasi kebebasan pers. Banyak produk pembatasan kebebasan ekspresi maupun pers sehingga mereka yang paling pertama menangkap pengajuan materi. SIUP dihidupkan lagi di UU Pers yang baru. Demikian juga dengan sensor, dihidupkan lagi. KUHP ini tidak sendiri tapi satu paket juga dengan UU Pers dan UU Rahasia Negara dan yang paling berhadapan dengan itu adalah pers. Setiap kali meliput mereka berhadapan langsung dengan rahasia institusi dan rahasia negara.

Moderator menutup sesi dan memberitahukan break makan siang. Break makan siang Sidang Eksaminasi I: (Lanjutan: SESI II) Moderator mengajukan skema draft eksaminasi yang terdiri atas dua garis besar, yakni segi pandangan hukum dan analisis putusan. Giri memberikan pendapat yang berbeda. 171


Giri Ahmad Taufik (Staf Hukum UNPAD) Pertimbangan MK baru analisis terhadap pertimbangan MK Moderator Pertimbangan MK sudah masuk dalam analisis putusan. Jadi ada dua yaitu: 1. Pandangan Hukum 2. Analisis Putusan Akhirnya usulan Moderator disepakati dan terjadi diskusi mengenai isi dari Pandangan Hukum dan Analisis Putusan. Berikut hasil yang diperoleh: A.

Pandangan Hukum 1. Hak: a. Hak berekspresi dan bukan kebebasan Pers b. Hak integritas pribadi (pejabat publik diletakkan dalam prinsip kedaulatan rakyat) c. Melihat sejarah sosiologi 2. Prinsip: a. Prinsip pembatasan dengan prinsip Johannesburg b. Hal di atas dilakukan dengan berbagai instrumen (pidana, perdata dll) c. Constitutional Complaint & Constitutional Review • Constitutionl Complaint merupakan norma yang lentur, sehingga penerapannya pasti salah. d. Sanksi • Prinsipnya bukan pemenjaraan akan tetapi restorasi dan proposional 3. Ruang Lingkup • Standar penghinaan terdapat pada pasal 1372 KUH Perdata.

B.

Analisis Putusan 1. Substansi • Pada halaman 286, pasal 207 KUHP mengenai privelege pejabat publik, bukanlah merupakan hak integritas pribadi. • Penghapusan pidana digantikan denda bukan wewenang MK • putusan MK inkonsisten sehingga tidak kredibel dan menyebabkan ketidakpastian hukum • MK tidak mempertimbangkan perkembangan hukum di dunia

172


internasional, padahal mampu memperkuat nilai demokrasi di Indonesia dan pasal-pasal tersebut Comparetible bagi Indonesia. • MK tidak meneliti lebih lanjut budaya Indonesia yang menjadi alasan mengapa hukum di dunia internasional tidak perlu diterapkan di Indonesia • Permohonan ini merupakan Constitutional Review (halaman 273) • Pembatasan boleh tapi tidak bersifat pemenjaraan (proposional dan 2. Proses selama sidang (belum bisa dibahas, menunggu catatan dari pihak yang mengikuti proses) Moderator kemudian menutup sidang dan memberitahukan bahwa sidang ke dua akan dilakukan tanggal 4 November 2008. Sementara penyusunan draft akan dikirimkan paling lambat tanggal 29 Oktober 2008.

173


174


LAMPIRAN 05

NOTULEN PERSIDANGAN EKSAMINASI II

Tanggal 6 November 2008

175


NOTULEN SIDANG EKSAMINASI II PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI NO. 14/ PUU-VI/2008 TENTANG PENGAJUAN PASAL 310 AYAT (1) DAN AYAT (2); PASAL 311 AYAT (1); PASAL 316, DAN PASAL 207 KUHP TERHADAP UUD 1945 Hari/tanggal : Kamis, 6 November 2008 Waktu : 10.00 – 13.30 WIB Materi : Presentasi pendapat para eksaminator, presentasi penulisan hasil eksaminasi Eksaminator: 1. Ahli Hukum Konstitusi 2. Ahli Hukum Pidana 3. Ahli Sosiologi Hukum 4. Ahli Pers

: : : :

Susi Dwi Hardjanti, S.H., L.LM. Bambang Widjojanto, S.H., L.LM. Antonius Cahyadi, S.H., L.LM. Agus Sudibyo, S.Ip., M.A.

Peserta: 1. Adiani Viviana (LBH Pers) 2. Afrialia Sulistiani (LBH Pers) 3. Choirul Anam (HRG) 4. Drs. Leo Batubara (Dewan Pers) 5. Asep K (AJI Indonesia) 6. Giri Ahmad Taufik (Staf Pengajar FH UNPAD) 7. Prasetyo (IJTI) 8. Fulthoni (ILRC) 9. Hendrayana (LBH Pers) 10. Herlin Herawati (LBH Pers) 11. Muhammad Halim (LBH Pers) 12. Taufik Nur Y (Individu) Choirul Anam (Fasilitator-HRWG) Assalamualaikum Wr.Wb, seperti dalam sesi pertama kemarin forum ini akan kita bagi menjadi 2 sesi besar, yang pertama adalah diskusi dan yang kedua adalah sidang atau eksaminasi. Silahkan mas Anton terlebih dahulu.

176


Drs. Leo Sabam Batubara (Wakil Ketua Dewan Pers) Sebelum dimulai karena saya baru pertama kali hadir, boleh nggak dijelaskan eksaminasi sasaran kita apa? Supaya arahnya jelas. Muhammad Halim (LBH Pers-Program Officer Eksaminasi) Kita ingin agar putusan pengadilan itu terutama Mahkamah Konstitusi memenuhi rasa keadilan serta dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman, terutama ini adalah faktor-faktor yang dianggap krusial dalam kebebasan berekspresi. Hendrayana (Direktur Eksekutif LBH Pers) Dalam eksaminasi ini kita hanya menganalisis putusan MK, sama halnya dengan kemarin kita melakukan eksaminasi kasus majalah Time. Kita ingin mengkomunikasikan atau mensosialisasikan ini sebagai bentuk kepedulian dari putusan MK. Karena baru sedikit yang menyangkut kebebasan berekspresi, yang kemarin juga ada beberapa inkonsistensi dari Mahkamah Konstitusi ini yang terkait permohonan judicial review yang dilakukan oleh Eggy Sudjana dan putusan-putusan lainnya yang menurut pendapat kami di sini ada beberapa putusan yang bertolak belakang, padahal ini dalam kerangka satu hukum yang sama dalam arti ada pasal-pasal yang senafas tetapi menghasilkan putusan yang berbeda. Ini perlu diketahui juga oleh masyarakat kita terutama untuk pers. Sebagai gambaran maksud kita mengapa melakukan eksaminasi terhadaap putusan itu. Antonius Cahyadi, S.H., L.LM. (Ahli Sosiologi Hukum-Eksaminator) (lihat file presentasi) 1.

Karena latar belakang saya mengajar sosiologi hukum dan filsafat hukum, saya ingin sedikit memberi tentang putusan MK dan saya mendasarkan diri pada dokumen putusan MK yang waktu itu dikirim melalui email oleh Mas Halim. Pada waktu jalan-jalan ke Rotterdam saya melihat patung seseorang berkepala botak bernama Vimportin, seorang rasis, kebetulan gay dan sangat terobsesi dengan gereja Katholik. Setelah ditembak lalu dibunuh kemudian patungnya ada di tengah-tengah Kota Rotterdam. Di bawah patung ada tulisan quetem dilibertaa di estamos. Menarik, karena Belanda yang bebas kemudian orang yang terakhir Theo van Gogh mengatakan dengan “sebebas177


bebasnya� kebencian mereka terhadap Islam dan imigran asal Maroko. Tetapi yang menarik sikap dari pemerintah. Walaupun mereka sudah mengalami hal sepeti itu tapi mereka tidak semena-mena secara ad hoc mengeluarkan aturan-aturan yang melarang orang untuk bebas kembali berbicara di ruang publik lewat koran dan sebagainya. Saya punya kolega yang mengatakan bahwa masyarakat kami sudah menjadi masyarakat tribal, masyarakat yang semaunya sendiri. Tapi menurut saya tidak, itu adalah mekanisme publik yang secara alami orang akan saling belajar dewasa di ruang publik Ternyata kebebasan berpendapat berbicara sudah menjadi domain yang dijaga apakah sudah disakralisasi saya tidak tahu. 2.

Berdasarkan itu, saya melakukan analisis terhadap putusan MK. Yang saya ambil adalah ini metodologi pertanggungjawaban yang saya gunakan, saya melakukan analisis wacana secara sinkronis bukan diakronis. Sebab, kalau secara diakronis saya harus melihat rekaman risalah sidang yang ada dari awal sampai akhir secara kronologis dan kemudian harus mewawancarai informan kunci dari berbagai pihak sehingga pemetaan akan diskurs agar wacana menjadi lengkap. Sinkronis, menurut ilmu linguistik tidak persis demikian. Saya mencoba merefleksikan putusan MK menjadi obyek yang ada pada saya. Yang kedua, hanya memfokuskan pada paparan diskurtif yang ada pada putusan MK. Berdasarkan sumber yang terbatas, saya coba merefleksikan secara sosiologis melihat putusan MK sebagai sebuah forum diskursif yang menggambarkan ruang publik kemerdekaan menyatakan pendapat.

3.

Putusan MK sebagai miniatur masyarakat kita yang mencoba memformat bersama sebuah ruang publik dan kemudian diputuskan MK nantinya seperti apa, tapi ruang publik yang mau memberikan rasa kemerdekaan bagi banyak orang untuk berpendapat. Kemudian konsekuensi metodologis. Sebab melihat putusan MK sebagai ruang publik pihak yang berpartisipasi dipetakan menjadi tiga pemohon, 1). pihak pemerintah 2). pihak yang mendukung pemohon 3) .pihak yang mendukung pemerintah, karena ada ahli yang dimintai pendapatnya dari pemerintah sangat tidak variatif. Tetapi kalau melihat temanteman LBH sangat banyak yang sebenarnya logika yang diusung pemerintah banyak diadopsi oleh MK. Kemudian memperhatikan tuturan pemerintah sebagai sistem penanda. Putusan MK menjadi tanda, dari sisi pemohon menonjolkan sesuatu yang substansif, jika kita bicara demokrasi substansif yang sangat material dan yang

178


menyangkut hak-haknya bukan hanya prosedural dan formal tetapi ini isi atau roh demokrasi yang akan diusung. Tidak hanya sisi substansif tetapi sisi prosedural juga harus diperhatikan, karena sesuatu yang substansif akan tidak berarti jika tidak ada tata cara prosedur yang digunakan seperti apa. Yang diminta pemohon adalah penghapusan sanksi pidana penjara yang kemudian bersifat formal walaupun sanksi pidana dihapus tetapi tetap ada denda dan mekanisme jawab publik. Jadi pemohon percaya pada kekuatan masyarakat untuk saling bisa dewasa menumbuhkan diskursus dalam ruang publik. Dari sisi pemerintah, Pemerintah menggunakan substansi 28G yang mengankirmasi pemohon. Jadi menghormati hak individual lalu martabat hanya dijadikan sebagai pemanis dan itu hanya digunakan sebagai formal dan prosedural. 4.

Pemidanaan atau penjatuhan sanksi. Yang dilihat dari pemerintah, dalam ilmu hukum pernah ada debat sanksi apakah selalu pidana dan pidana selalu dijatuhkan pada soal tubuh. Penjara pertama kali memberatkan pada hukuman tubuh tetapi kemudian jaman semakin modern yang dikenai adalah kesadaran, pematuhan hukum atas kesadaran manusia. Pemerintah masih menggunakan asumsi yang tradisional bahwa dalam masyarakat tribal itu pidana selalu menyangkut tubuh, pemenjaraan dan “penyiksaan tubuh�.

5.

Ahli yang menganjukan mengapa memakai internasional bukan mengambil hukum nasional, ini metodologi sosiologi yang tidak sesuai karena terlalu menkomparasikan tetapi tidak dalam tataran yang sama.

6.

Dengan argumentasi yang sama pemohon setuju untuk melindungi hak dan martabat individu dengan sanksi pidana yang belum beranjak. Jadi setuju dengan argumentasi pemohon tetapi tidak beranjak dari sanksi pidana yang melekat pada tubuh. Mk menentukan bagaimana wajah ruang publik dalam kebebasan menyataan pendapat. MK berwenang untuk memeriksa dan mengadili. Mahkamah berpendapat baik pemohon I atau II telah memenuhi syarat kedudukan hukum, jadi masalah legal standing wewenang MK tidak bermasalah. Pemerintah telah memberikan keterangan tertulis yang isinya pada dasarnya sama dengan Tim Penyusun RUU KUHP. Masalah constitutional review dan constitutional complaint, kalau membaca undang-undang dan kewenangan MK memang kita tidak mengenal perbedaan ini. MK masih melihat sanksi pidana yang melekat pada tubuh masih 179


kuat. Putusan MK kewajiban melindungi hak konstitusional dalam argumentasi yang diajukan MK menggunakan argumentasi substansi, tetapi mengambil kesimpulan yang prosedural. Istilahnya membunuh demokrasi dengan demokrasi. Jadi kepercayaan tentang suara rakyat selalu digunakan oleh orang-orang atau kelompok-kelompok yang yang berkepentingan. MK tidak bisa membayangkan bahwa sanksi itu adalah selalu sanksi tubuh, sanksi yang menyakitkan dan selalu berkaitan sanksi yang harus keras tidak bisa dengan sesuatu yang berkaitan dengan kesadaran pendewasaan masyarakat, edukasi publik. Pernyataan MK menunjukkan sikap MK yang tidak menanggapi persoalan substansif yang diajukan pemohon tetapi justru yang dilihat adalah penerapan normanya. Dalam argumentasi yang sama bahwa MK masih sangat positif padahal hak-hak konstitusional sangat berkembang dan kemudian tidak bias dilihat hitam - putih. Saya melihat bahwa MK tidak memberikan apa-apa, kalau secara liguistik ruang publik yang terdiri dari penanda diskurs yang terjadi dan yang ditandakan saling ambivalensi. Yang ditandai ruang merdeka tetapi yang menandai ruang yang represif, formal dan prosedural. ruang kosong itu ternyata menyediakan ruang bagi para pelacur yang dirazia sekarang untuk bermimikri karena yang dirazia hanya hotelhotel tingkat bawah. Sanksi bukan bagian dari norma, jadi kalau mau membuat norma jangan pikirkan sanksinya dulu. Bambang Widjojanto, S.H., L.LM. (Ahli Hukum Pidana-Eksaminator) (lihat file presentasi) 1.

180

Saya membuat tiga issue yang ingin saya sampaikan: soal kualifikasi permohonan, constitutional complaint dan constitutional review. Yang menarik dari putusan MK itu adalah bagian awal pendapatnya MK langsung menunjuk bahwa ini ada issue antara constitutional complaint dan constitutional review. Tetapi begitu diperiksa argumenargumen yang menjelaskan mengapa constitutional complaint dan constitutional review itu sama sekali tidak dielaborasi. Jadi dalam putusan pertama itu MK tidak bisa menguraikan secara komprehensif dimana problem constitutional complaint dan constitutional review. Ada definisi yang dikemukakan MK apa itu constitutional complaint dan constitutional review. Kalau membaca permohonan, itu termasuk constitutional review. Tetapi dia menjelaskan apa yang disebut constitutional condition jika itu diterapkan. Jadi ada issue mengenai penerapan. Penerapan adalah argumen yang diajukan untuk


memperkuat constitutional review. Dari hal itu saya melihat sebetulnya ada tendensi unprofessional productnya MK. Karena putusan MK kali ini terlihat terburu-buru dan beda dengan putusan-putusan MK yang sebelumnya. Yang kedua adalah soal standing position MK, the guardian atau the interpreter of constitution. 2.

Saya melihat MK menempatkan dirinya dalam mengeluarkan putusan ini sebagai the guardian of constitution tidak sebagai the interpreter of constitution. Kalau MK sebagai the guardian of constitution ini akan sangat formalistik, kalau dia sebagai the interpreter of the constitution maka dia akan mulai meneliti menggunakan filsafat dasar untuk diuji betul. Dalam salah satu pernyataan MK, dia ingin mengatakan bahwa pasal 317 itu sudah betul walaupun asalnya dari Belanda tapi di Indonesia itu efektif, sebetulnya itu bukan nilai-nilai kita tapi tetap dipakai. Hal ini memperlihatkan bahwa prinsip the guardian konstitusinal itu lebih kental dari the interpreter of konstitusional. Yang diajukan MK adalah pasal 317. 318, 207 itu adalah pasalpasal yang dipakai oleh kolonial dan itu mempunyai posisi hukum tersendiri, justru MK harus bertindak sebagai the interpreter of the constitution meletakkan apakah filsafat dasar yang dikembangkan oleh pasal ini masih relevan atau tidak. Salah satu contoh lagi mengenai Undang-Undang Praktik Kedokteran. Pada pengujian UU ini, MK menempatkan diri sebagai the interpreter of constitution. Dalam dunia kedokteran sekarang banyak terjadi malpraktek yang beujung pada nyawa tetapi kualifikasinya menurut MK hanya bersifat administratif saja. MK mencoba mengidentisifikasi dan memberikan interprestasi kenapa dia membuat putusan ini dan menempatkan diri pada the interprenter of constitution. Jika dalam undang-undang kedokteran persoalan-persoalan didalamnya bersifat administratif tapi sanksinya pidana. Jika ada penguasa yang terhina maka penguasa itu harus melaporkan diri kepada kepolisian karena merasa terhina. Seperti pada akhir orde baru kasus Front Aksi Mahasiswa diseret ke pengadilan karena membawa banner “seret Soeharto�. Kemudian pengadilan mengatakan itu pencemaran. Padahal apakah Soeharto benar-benar merasa terhina dan tercemar? Pengadilan menempatkan diri sebagai orang yang mewakili kepentingan Soeharto.

3.

Kalau dibaca-baca antara permohonan dan pertimbangan hukum MK sebenarnya ada berbagai pasal yang bisa digunakan sebagai analisis. Mengajukan permohonan menggunakan 24E dan 24F sementara pertimbangan hokum menggunakan 28G dan 28I ayat 1 181


dan 2, pertanyaannya adalah jika dalam sebuah sengketa ada pasal yang berhadap-hadapan antara satu dan lainnya apa yang harus dilakukan?, MK mengatakan itu dilindungi haknya. Seperti kasus BPK dalam undang-undang pajak, karena BPK menurut konstitusi mempunyai kewenangan untuk melakukan audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan Negara, maka dia mau mengaudit pajak tapi undang-undang pajak mengatakan seluruh audit yang dilakukan harus ada ijin dari menteri kemudian dimasukkan issue bahwa informasi wajib pajak itu adalah hak asasi manusia. Ketika informasi pajak sudah diberikan kepada Direktorat Jenderal Pajak apakah itu masih menjadi rahasia pribadi? Jika diperiksa oleh BPK, maka BPK juga bisa kena karena ada etika. Sehingga ada pertarungan. 4.

Jika ada pertarungan pasal yang digunakan bersengketa satu dan lainnya harusnya MK itu berkedudukan sebagai the interpreter of the constitution harusnya kalau konteksnya bertarung atau bermasalah maka dia harus masuk kepada teori agar masuk filsafat, yang menjadi masalah dalam putusan ini tidak dijelaskannya falsafat dan teoriteori dasar apa yang dipakai, padahal teks yang satu bersambung dengan teks yang lain. Contohnya ada pertarungan antara kalau ada kepentingan publik yang mesti diungkapkan kemudian ada hak individual yang tidak dapat diganggu maka kita akan memilih yang mana?, Apakah hak individual boleh berlindung di balik kepentingan publik. Pasal 28 F UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis salauran yang tersedia�. Jangan sampai kebebasan mengeluarkan pendapat dilakukan secara absolut, itu harus dengan consebelity supaya seluruh kebebasan itu punya makna dan berguna bagi kemaslahatan. Seperti kalau private to private apakah sanksinya harus dengan hukuman badan? Kalau private to private sanksinya privat saja. Dalam perdebatan sengketa pasal-pasal ini apakah prinsip dasar yang diletakkan itu apakah kasihanisme atau yudistrialisme? Apa mekanisme dan sanksi untuk menyatukan fungsi publik dengan perorangan?

5.

Ini semuanya yang menurut saya harus dipakai oleh MK dan MK bisa kehilangan kesempatan untuk menempatkan dirinya sebagai the interpreter of the constitution padahal dia adalah the interpreter of the constitution. Ada tiga hal lain yang menarik, yaitu: 1). Dengan

182


putusan ini MK sebenarnya sejauh tidak menempatkan dirinya untuk membangun check and balance system padahal mestinya sistem kekuasaan ada check and balance. MK mempunyai kesempatan untuk kontrol terhadap kekuasaan yang disebut constitutional complaint sehingga dengan ini MK kehilangan momentum dengan pengujian undang-undang ini untuk mendorong mekanisme check and balance ini lebih bagus lagi; 2). MK kehilangan momentum untuk memimpin gagasan pembaharuan hukum, karena dengan dia melakukan pembaharuan hukum dia bertindak sebagai negative legislator. Fungsi dari negative legislator untuk mengontrol itu; 3). Apakah sekarang kita sudah bisa disebut menuju konsolidasi demokrasi? Menurut saya ini masih dalam transisi karena indikator dalam konsolidasi demokrasi yang sederhana adalah jumlah partai semakin kecil dan semakin kuat. Tapi saat ini jumlahnya semakin banyak. Itu berarti fragmentasinya juga semakin banyak. Ini yang disebut system build transition. Seminggu lalu ada international conference di Athena, kalau dulu kita ngomong mengenai hak-hak sipil dan politik dan yang menjadi target human rights defender, tapi sekarang ini ukuran balik dari proses transisi demokratik ini adalah koruptor dan partai busuk bersatu. Yang dijadikan target adalah pembiak anti korupsi. Di Nigeria orang yang membawa kasus presiden Sani Abaca dan ditarik kekayaan hasil korupsinya itu untuk negara ternyata sekarang dia lari keluar negeri karena pemerintahan baru menjadikan dia sebagai DPO. Choirul Anam (Fasilitator-HRWG) Sebelum overview sebaiknya kita buka dengan diskusi dulu. Antonius Cahyadi, S.H., L.LM. (Ahli Sosiologi Hukum-Eksaminator) Dalam putusan MK memang tidak ada terlihat tentang konstitusional review dan konstitusional complain, kalau undang-undang tidak mengatur seharusnya MK memberikan light, apa yang dimaksud dengan komplain dan itu secara yuridis memang tidak terelaborasi dengan baik. Sehingga kalau ini tidak selesai, ini akan menjadi preseden buruk bagi teman-teman yang ingin mengajukan judicial review soal undang-undang, kemudian patah hanya gara-gara itu. Susi Dwi Hardjanti, S.H., L.LM. (Ahli Hukum Konstitusi-Eksaminator) Saya sepakat dengan Mas Anton dan Mas Bambang bahwa MK tidak 183


menjelaskan tentang constitutional complaint atau constitutional review. Kita harus hati-hati ketika membahas tentang constitutional complaint karena kalau dibaca dari pendapat-pendapat di luar MK mereka selalu mereportnya pada pengalaman Jerman. Biasanya report private yang digunakan biasanya sebagian besar produk Jerman. Pengalaman di Jerman juga banyak pemohon yang gagal dengan constitutional complaint karena pemohon mendatangkan pengertian dari constitutional complaint dan ditolak karena mereka tidak puas dengan putusan pengadilan umum. Seperti pengalaman di Jerman tentang constitutional complaint adalah masalah seorang muslim, di sana penyembelihan hewan tidak diatur dalam undangundang, dan merasa haknya terganggu karena dia tidak tahu hewan-hewan itu disembelih bagaimana. Drs. Leo Sabam Batubara (Wakil Ketua Dewan Pers) 1.

Check and balances di Amerika Serikat itu contohnya dalam pembentukan undang-undang antara Kongres dan Presiden. Di situ sangat memperlihatkan mekanisme check and balances, dua kekuatan yang saling mengontrol dan menyeimbang. Kenapa itu disebut mekanisme check and balances karena Presiden tidak terlibat dalam pembentukan undang-undang dan ketika Kongres menyetujui dan diberikan pada Presiden, Presiden berhak memveto, dan memberikan lagi ke Kongres. Artinya ada interaksi antara dua pihak . Menurut saya antara DPR dan MK itu tidak ada interaksi, apakah tepat kita menempatkan hubungan antara DPR dengan fungsi MK ketika dia melakukan constitutional review kondisi itu dalam check and balances.

2.

Dalam konstitusi kita tidak ada payung hukum bahwa kemerdekaan berekspresi dalam pers itu adalah hak warga negara. Penemuan saya ketika konstitusi dibahas tanggal 15 Juli pokok bahasannya adalah apakah warga negara kita mempunyai hak konstitusional kebebasan pers atau berekspresi. Tapi, Soekarno dan Soepomo mengatakan kebebasan pers itu adalah buah dari liberalisme individualisme dan sebagainya. Kesimpulannya kebebasan pers itu membahayakan. Maka dalam perjalanannya nasib kemerdekaan pers tergantung pada pembuat peraturan. Dalam sejarahnya nasib kemerdekaan berekspresi dalam pers itu ada dua dan kita sedang menuju yang ketiga. Pertama di zaman Orde Baru ada Undang-Undang Pokok Pers yang status kemerdekaan pers berdasarkan mandat yang diberikan Pemerintah karena Pemerintah diberi otoritas oleh undang-undang

184


untuk membuat Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri. Ketika Surya Paloh mengadu ke Mahkamah Agung melakukan judicial review bahwa itu tidak sah justru Mahkamah Agung membela PP. Jadi, waktu itu payung hukum kemerdekaan pers adalah sesuai mandat yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Undang-Undang Pers saat ini yang sudah memerdekakan pers payung hukumnya baru tergantung pada pembuat undang-undang. Karena sekarang ini Pemerintah dan DPR sedang tidak senang dengan kebebasan pers, maka akan dibuat undang-undang pers yang baru seperti yang dulu. Karena konstitusi belum melindungi pers, pasal-pasal 28 E dan 28 F belum konstitusional. Dr. Muzakir berpendapat untuk masyarakat adat kita dan dalam ajaran agama tindak pidana penghinaan termasuk kategori berat mengacu pada pasal dan hukum yang ciut dalam masyarakat hukum Indonesia serta agama yang diakui di Indonesia, maka pasal-pasal yang terkait dengan penghinaan diperberat sanksi ancaman pidana penjara. Kita ingin memasukkan bahwa tidak boleh ada peraturan perundangundang yang membatasi kebebasan pers. Agus Sudibyo, S.Ip., M.A. (Ahli Pers-Eksaminator) Mas Bambang tadi bilang putusan MK itu terlihat terburu-buru. Bagaimana kita bisa mempersoalkan unkompabilitas proses kerja MK ini, karena tadi Mas Bambang bilang beda dalam menyelesaikan proses yang lain. Mungkin ini yang bisa menjadi elaborasi, apakah undang-undang mengatur soal itu, lalu bagaimana mereka melihat perkara, memproses, tenggang waktu dan seterusnya. Absennya landasan filosofis dalam konteks proses dan produk putusan MK. Jika kita bicara mengenai landasan filosofis atau filsafat hukum yang seharusnya ada atau tergambar dalam putusan MK ini kira-kira landasan filosofis yang mana? Mungkin itu yang perlu dibahas. Giri Ahmad Taufik (Dosen FH Unpad) Mengenai the guardian of the constitution di MK mustinya ada suatu terobosan yang mengubah mainset mereka tidak hanya sebagai the guardian. Terakhir ketika kami mengadakan semacam training di MK pemahaman mereka terhadap media rendah termasuk hakim-hakim konstitusinya. Harusnya ada suatu pencerahan bagi mereka, karena tidak paham sehingga mereka mengambil acuannya dari konstitusional yang harus dijaga.

185


Antonius Cahyadi, S.H., L.LM. (Ahli Sosiologi Hukum-Eksaminator) Yang menarik adalah Hakim MK kekurangan kemampuan melihat atau menganalisis itu. Saya sebagai pendidik di fakultas hukum, fakultas hukum kita tidak memberi pengetahuan dasar tentang bahasa hukum yang baik dan mereka tidak belajar nalar hukum seperti apa. Misalkan di UI tidak ada pengantar filsafat tidak ada dasar-dasar logika, yang masuk adalah pengantar ilmu hukum dengan ideologi tertentu. Ketika orang tidak mempunyai bekal infra struktur dilapangan maka ketika jadi Hakim tidak akan mempunyai kesadaran semacam itu. Bambang Widjojanto, S.H., L.LM. (Ahli Hukum Pidana-Eksaminator) Pemahaman saya mengenai cek and balance memang ada beberapa argument, cek and balance yang kuat contohnya di Amerika jadi secara konstitusional hak presidennya diatur dalam undang-undang. Di Indonesia kewenangan membuat undang-undang tetap di Pemerintah karena bisa dihitung berapa banyak undang-undang yang dibikin sendiri oleh DPR. Dalam konteks check and balances salah satu fungsi MK adalah jika ada sengketa kewenangan. Yang tidak pernah diuji di MK adalah pembubaran partai, apakatidak bertentangan dengan konstitusi hak berserikat dan berkumpul. Yang jarang diuji MK adalah putusan sengketa kewenangan contohnya BI lawan KPK, KPUD dan Gubernur provinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan tetapi tidak ada yang menang. Yang terakhir sengketa kewenangan KPUD Maluku karena menggangap wewenang dirinya diambil alih oleh Presiden. Jadi Presiden menentukan sesuatu yang bukan hasil dari KPUD. Sedangkan jika berbicara mengenai kelemahannya adalah accountability rekrutmen. Yang kemarin dibuka oleh Pemerintah adalah mekanisme pencarian orang juga dari Pemerintah. Dalam Undang-Undang Mahkamah Agung disebutkan mekanisme bagaimana hakim yang tidak cakap walaupun hakim independen tapi bisa dikontrol jika hakim di bawah Mahkamah Agung. MK dalam lembaga atau hakimnya tidak termasuk kualifikasi yang bisa dikontrol dan mempunyai mekanisme sendiri. Jadi belum ada accountability untuk mengontrol mekanisme MK. Salah satu caranya adalah dengan kontrol media mengkritisi. Mestinya setiap triwulan putusan-putusannya harus direview. Mengenai constitutional complaint dan constitutional review, apa posisi kita ketika eksaminasi ini untuk mendorong posisi MK. Kalau ini belum diatur MK harus menempatkan dirinya dalam constitutional complaint. Justru dalam keadaan dimana kekuasaan menyalahgunakan kewenangannya dan 186


bertentangan dengan konstitusi itulah sebenarnya peran MK untuk mengisi kekosongan hukum. Drs. Leo Sabam Batubara (Wakil Ketua Dewan Pers) Kalau melihat kondisinya fakta yang kami temukan baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi selalu pro pemerintah. Sekarang KPI menurut Undang-Undang menerbitkan izin penyiaran sedangkan Mahkamah Agung keputusannya dari pemerintah. Kami bersama masyarakat mau menolak revisi Undang-Undang Perfilman dan akhirnya kalah juga. Mahkamah Konstitusi menyikapi bahwa menurut UU Penyiaran, Pemerintah bersama KPI menuju Peraturan Pemerintah. Akhirnya Mahkamah Konstitusi mengatakan tidak sesuai dengan ketatanegaraan kita. KPI boleh membuat peraturan bersama Pemerintah. Choirul Anam (Fasilitator-HRWG) Kita masuk pada sidang eksaminasi, overview dari dari hasil pertemuan pertama teman-teman coba membuat tulisan karena dalam sidang yang petama kemarin kita mencari dan dibuat deskripsi dalam bentuk tulisan untuk mempermudah dipertemuan sekarang arahnya mau kemana. Perangkat eksaminatornya juga belum disepakati. Antonius Cahyadi, S.H., L.LM. (Ahli Sosiologi Hukum-Eksaminator) Saya usul target kita harus di RUU KUHP kalau konstitusional saya setuju tapi mungkin agak kejauhan dan dalam jangka panjang. Karena RUU sudah masuk kelegislatif nasional, bukan hanya menguji mempersoalkan putusan MK ini harus punya impact pada RUU itu. Cerita kebebasan pers itu belum dipahami, mengapa pers perlu bebas? Itu yang musti dirumuskan. Saya setuju ada analisis historikal, tapi pikiran kenapa kebebasan pers harus diajukan ketidakmampuan Soepomo dan Soekarno untuk menangkap kebebasan pers itu kegagalan yang sampai sekarang harus dibayar. Agus Sudibyo, S.Ip., M.A. (Ahli Pers-Eksaminator) Saya usul juga ketika kemarin apakah ini akan masuk kepada kebebasan pers apakah akan diperluas pada kebebasan berekspresi dan berpendapat, didiskusi kemarin lebih memilih untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat 187


Choirul Anam (Fasilitator-HRWG) Kemarin ada pertimbangan sebenarnya konstruksi dari teman-teman LBH Pers mau ke ekspresi bukan kekebebasan pers. Tapi contohnya tentang kebebasan pers karena dalam salah satu putusan MK ada kekhususan kebebasan pers yang ditentang sehingga kemarin muncul usulan untuk ditarik kembali kekebebasan berekspresi dan berpendapat. Drs. Leo Sabam Batubara (Wakil Ketua Dewan Pers) Kongres tidak boleh membuat undang-undang yang membatasi kebebasan berbicara atau kebebasan pers atau menghalangi hak-hak masyarakat untuk berkumpul secara damai dan untuk menyampaikan petisi kepada pemerintah untuk menyalurkan keluhan-keluhan mereka. Muhammad Halim (LBH Pers-Program Officer Eksaminasi) Atau kita melihatnya pada basis permohonannya saja tentang pencemaran nama baik dan itu tidak secara eksplisit bahwa itu adalah kebebasan pers. Agus Sudibyo, S.Ip., M.A. (Ahli Pers-Eksaminator) Jika yang ingin diambil tema itu, maka itu salah satu poin dalam bab, kelemahan atau ketidakmampuan MK dalam menangkap permohonan, dan konstruksi terhadap kebebasan pers. Muhammad Halim (LBH Pers-Program Officer Eksaminasi) Ketika mempersoalkan pasal 317 KUHP, Hakim MK itu tidak ada yang ahli pidana. Drs. Leo Sabam Batubara (Wakil Ketua Dewan Pers) Yang kita perjuangkan bukannya tidak ada hukuman. Kita hanya memperjuangkan untuk tidak dipenjarakan dan hukumnya menjadi hukum denda. Susi Dwi Hardjanti, S.H., L.LM. (Ahli Hukum Konstitusi-Eksaminator) Secara implisit MK sudah memakai continunity, sehingga kaum minoritas ini siapa yang melindungi. 188


Antonius Cahyadi, S.H., L.LM. (Ahli Sosiologi Hukum-Eksaminator) Saya pikir jika kita mengarah pada aliran-aliran dalam filsafat saya takut terjebak dalam pengkotak-kotakan dan ketika kita sudah memilih itu saya takut kita menjadi tidak kritis lagi. Yang perlu digarisbawahi adalah MK salah menangkap pemohon dan itu bisa dibilang “bodoh� karena argumentasi pemohon begitu detail sedangkan argumen MK ketika memutuskan seperti tidak ada sambung-menyambung sehingga saya memakai analisis linguistik. Yang menarik kebebasan pers di Perancis soal nabi Muhammad, kenapa kemudian mereka tetap tidak mau memenjarakan pers tetap menjadi pilar yang sangat bagus untuk demokrasi ruang publik mereka yang sekuler. Kasus di Belanda, kenapa vin portin dan tio van Gogh dibiarkan karena ada ruang publik yang mau dipelihara dan kebebasan berpendapat malah dijaga. Yang perlu digarisbawahi dalam putusan MK ini mereka tidak mempunyai landasan filsafat sama sekali untuk menangkap itu. Choirul Anam (Fasilitator-HRWG) Saya ingatkan kembali seperti kemarin jika ini adalah forum eksaminasi yang lain memberikan sumbang saran tetapi tergantung pada eksaminasinya sehingga ada bedanya antara diskusi dan sidang majelis eksaminator. Kita mulai saja sidangnya. Fulthoni (ILRC-Tim Asistensi Eksaminasi) 1.

Kita akan overview dari perdebatan kemarin yang sempat muncul, kerangka konsep yang kemarin kita bahas pertama soal konsep dan teori tentang hak itu yang akan menjadi dasar dan disini ada konsep teoritistiknya termasuk juga hak terhadap kehormatan dan sebagainya. Yang kedua karena consernnya pada kebebasan berekspresi kemudian kita juga melihat aspek-aspek teoritik kebebasan berekspresi. Yang ketiga terkait dengan konsepsi tindak pidana pencemaran baik. Di sini kita akan ada sedikit perbandingan dengan beberapa negara yang menerapkan dan ini dikaitkan dengan tafsir-tafsir pencemaran nama baik dan juga unsur-unsur yang kemungkinan dalam pidana ada penghapusan pidana. Misalkan yang terkait dengan kepentingan umum dan yang terakhir terkait dengan sanksi. Jadi ada tiga kerangka konsep yang akan kita jadikan sebagai pisau analistik terhadap putusan ini.

2.

Soal teoritis kita bicara tentang hak, kebebasan berekspresi, tindak 189


pidana pencemaran baik dan sanksi. Kita masuk kepada analisisnya, yang sempat masuk kemarin adalah pertama adanya pembatasan hak untuk menyatakan pendapat. Dari analisis ini sebenarnya banyak yang kita ambil dari diskusi kemarin karena yang sempat menjadi perbincangan pada sidang kemarin adalah adanya pembatasan hak untuk menyatakan pendapat. Ada beberapa analisis yang disampaikan MK bahwa perlindungan HAM tidak harus dengan hukum pidana, MK mengatakan HAM itu tidak absolut tetapi ada pembatasan-pembatasan dan terkait dengan pembatasan itu seharusnya perlindungan terhadap HAM tidak harus dengan hukum pidana tetapi ada mekanisme lain yang bisa ditempuh misalnya denda dan sebagainya. Yang kedua terkait dengan penghapusan pidana, kriminal kepada denda itu dianggap bukan wewenang MK dan disini ada kesalahan esensi menangkap permohonan. Kita tidak terkait dengan penerapan tetapi kita menggugat soal konsepsi sanksinya terkait dengan norma-norma itu sendiri. Jadi kita sepakat ada kesalahan MK dalam melihat permohonan yang diajukan. Yang ketiga terkait dengan perdebatan antara kepentingan individu dan kepentingan publik, jadi MK tidak secara cermat dan tepat bagaimana seharusnya kepentingan individu ditegakkan dengan pertimbanganpertimbangan kepentingan publik. Sebenarnya kemarin yang kita bahas dan kemudian coba kita konstruksi dalam putusan itu baru empat item itu saja, yaitu: 1). Terkait dengan kebebasan menyatakan pendapat 2) penerapan norma 3) terkait dengan penghapusan pidana diganti dengan denda yang dianggap bukan wewenang MK 4) terkait dengan bagaimana kita menempatkan perlindungan individu diatas kepentingan publik. Mungkin banyak yang akan perlu untuk ditambah untuk dijadikan analisis baik dari proses persidangannya, soal constitutional complaint dan lainnya. Prasetyo (IJTI) Sebenarnya ada beberapa yang belum muncul di sini seperti pilihan untuk tidak mempidanakan, sanksi tetap ada tapi ada batasan prinsip proposional dan prinsip eksplorasi jadi bukan menghancurkan. Walaupun pilihannya tidak memidana tetapi denda yang proposional. Yang baru absennya landasan filosofi. Apakah itu akan diambil atau tidak nanti akan didiskusikan karena ini akan menentukan arahnya kemana. Juga mengenai kredibilitas, akuntabilitas, check and balance, menentukan ini adalah kebebasan berekspresi, bukan hanya kebebasan pers saja.

190


Agus Sudibyo, S.Ip., M.A. (Ahli Pers-Eksaminator) Menurut saya itu dibagi menjadi dua saja. Ada yang berkaitan langsung dengan putusannya ada yang tidak berkaitan langsung dengan kinerjanya. MK tidak menempatkan diri sebagai lembaga yang the interpreter of the constitution jadi dia mempunyai kekuasaan dan keleluasaan yang mendalam sehingga dengan putusan seperti ini MK kehilangan kesempatan untuk memimpin gagasan pembaharuan hukum ke depan. Choirul Anam (Fasilitator-HRWG) Sekarang kita akan membicarakan nilai-nilai dasar yang telah kita sepakati dan minta teman-teman asisten untuk breakdown di-sharing dan didiskripsikan secara lebih konkrit Antonius Cahyadi, S.H., L.LM. (Ahli Sosiologi Hukum-Eksaminator) Saya pikir ini menjadi penting tapi kita sama-sama harus mendifinisikan maksud landasan filosofis mau seperti apa atau nilai filosofis mau mengacu pada nilai dasar sebuah pemikiran.. Sholeh Ali, S.H (Fasilitator 2) Dari review sidang eksaminasi kemarin terkait dengan nilai dan sebagainnya saya pikir itu sudah selesai. Hak itu harus dibatasi. Kalau Mas Bambang bilang ada pertarungan antar teks yang kemarin tidak ada pertarungan antara pasal 28 mengenai hak berekspresi dan pasal 28 mengenai hak-hak dan martabat. Tapi konteks penyelarannya pada wilayah mana dan kita bersepakat masingmasing mempunyai limitasi, bahwa kemudian membatasi hak berekspresi ini tidak perlu dengan instrumen pidana, melainkan ada instrumen hukum lainnya. Jadi yang seolah-olah menafsirkan ini ada pertentangan justru MK sendiri tapi berdasarkan estimasi yang kemarin ini memang tidak ada pertabrakan bahwa setiap hak dibatasi apapun itu. Itu memang penting. Tapi pembatasannya tidak harus dengan pidana tapi dengan instrumen yang lain salah satunya dengan denda. Bambang Widjojanto, S.H., L.LM. (Ahli Hukum Pidana-Eksaminator) Ini kan ada isu accountability, kenapa kebebasan perlu dikasih sanksi karena takut kebablasan. Tapi dinegara yang kebebasannya akuntabel itu ada sebuah sensor yang muncul dari dalam sehingga lembaga politiknya itu tidak harus 191


muncul, orang malu juga melakukan itu. Jika begini kita akan ngomong idealnya atau ini karena dalam proses transisi. Kenapa hak untuk melindungi terdakwa itu ada? pada jaman itu kekuasaan selalu menyalahgunakan kewenangannya dan merugikan terdakwa. Tapi sekarang sudah berbeda, ada proses pergeseran korban yang harus dilindungi bukan hanya terdakwanya dan korban itu adalah publik bukan individu, di konstitusi kita banyak pasal yang tidak selesai contohnya pasal-pasal hak asasi masuk semua di situ. Itu sebenarnya hanya mengambil alih dari pasal 39. Agus Sudibyo, S.Ip., M.A. (Ahli Pers-Eksaminator) Problem yang kita hadapi di sini kan bukan satu hak berhadapan dengan hak yang lain, tetapi ketika negara coba melindungi hak ini kemudian mengorbankan hak yang lain bisa hak pribadi dan bisa juga publik. Pengadilan negara mencoba melindungi hak kehormatan seorang pejabat kemudian muncul sanksi yang merugikan pribadi juga publik yang sangat tergantung oleh pelayanan informasi yang diberikan oleh media itu. Landasan filosofis yang mana yang kita bisa gunakan untuk mengatakan ini salah. Antonius Cahyadi, S.H., L.LM. (Ahli Sosiologi Hukum-Eksaminator) Negara mempunyai kewenangan di ruang publik dengan hukum-hukumnya untuk memanusiawikan penggunaan kekuasaan. Kita harus percaya institusi negara dan negara harus bertanggung jawab terhadap edukasi publik untuk mendewasakan ruang publik terutama dengan berkomunukasi. Fulthoni (ILRC-Tim Asistensi Eksaminasi) Negara mempunyai peran jika dikaitkan dengan Pembukaan UUD 1945, dalam konteks negara atau negara rakyat tetapi negara juga harus mewujudkan kedaulatan rakyat. Ketika negara menjalankan kedaulatan rakyat tetapi negara juga memproduksi hukum karena mempunyai kewenangan, jika dikomparasi hukum harus berpihak pada kepentingan rakyat, harus mewujudkan kedaulatan rakyat. Jadi hukum yang tidak berkedaulatan rakyat dianggap bertentangan. Jika memakai HAM, kedaulatan rakyat yang mengakomodasi prinsip-prinsip HAM. Jadi ada kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum dan prinsip-prinsip HAM yang diletakkan di situ. Choirul Anam (Fasilitator-HRWG) Semua hak memang bisa dibatasi kecuali memang hak yang tidak bisa 192


dibatasi dalam konteks ini memang ada dua hak yang bukan dibenturkan tapi duduk saling tinggi antara hak kebebasan berekspresi dan berpendapat dan hak intergritas pribadi. Keduanya bisa diatur jika melihat pasal-pasal yang digugat oleh teman-teman apakah pasal itu layak untuk mengatur kebebasan integritas pribadi apakah tidak, apakah pasal tersebut bisa menyentuh juga kebebasan berekspresi atau tidak. Kemarin telah disimpulkan kebebasan berekspresi memang bisa dibatasi tapi dengan syarat tidak dipidana tubuhnya dan jika denda juga harus ada proposionalnya. Di level integritas pribadi diingatkan bahwa pasal-pasal yang sekarang itu lentur dan ada beberapa pasal yang memang tidak pas. Antonius Cahyadi, S.H., L.LM. (Ahli Sosiologi Hukum-Eksaminator) Ada yang menarik mengenai general comment nomor 22 ada elaborasi yang menarik dari bawah bicara mengenai forum internum dan forum eksternum mungkin ini bisa dielaborasi ketika bicara entitas negara. Kalau dihukum ada yang dikenal dengan public sphere dan private sphere ini bisa dielaborasi sejauhmana negara bisa mengintervensi forum internum seseorang dalam domain private negara artinya setelah kita berkutat dengan landasan pemikiran bahwa negara sebagai entitas diruang publik tetapi juga mempunyai kewenangan tetapi juga melindungi dan dimana kebebasan berekspresi itu ditempatkan. Menurut saya itu akan menjadi lebih tajam. Agus Sudibyo, S.Ip., M.A. (Ahli Pers-Eksaminator) Mungkin itu akan terlalu jauh kalau memang kita mau menyambungkan begitu dekat antara berekspresi berpendapat dengan berkeyakinan dan berpikir karena forum internum dan forum eksternum itu selalu berhubungan dengan berpikir dan berkeyakinan. Kalau kita mau paksa untuk saling berdekatan antara berekspresi dan berpendapat tapi itu agak susah. Jika keduanya didekat-dekatkan, mungkin kita tidak akan sejauh itu. Choirul Anam (Fasilitator-HRWG) Selain membicarakan pikiran tadi juga bagaimana posisi kita melihat MK, apakah cukup eksaminasi membicarakan putusan ini saja ataukah lebih dari putusan itu? Agus Sudibyo, S.Ip., M.A. (Ahli Pers-Eksaminator)

193


Pertama mungkin yang harus dijawab adalah posisi MK apakah dia sebagai the guardian, walaupun the guardian tidak hanya secara pasif saja karena bukan hanya menjaga teks tapi menjaga spirit konstitusi juga. Bambang Widjojanto, S.H., L.LM. (Ahli Hukum Pidana-Eksaminator) Jika the guardian, maka spirit yang harus dijaga adalah spirit ketika teks itu dibuat dan jika sudah meletakkan sesuai konteks itu sudah menjadi the interpreter. Kita harus mendorong MK menjadi the interpreter tapi jika dengan accountability yang rendah akan berbahaya. Kita lihat bahwa didalam MK ada pasang surut dan public opinion itu yang harus mengawal dia. Susi Dwi Hardjanti, S.H., L.LM. (Ahli Hukum Konstitusi-Eksaminator) Menurut saya kenapa MK memilih the guardian dan the interpreter karena desainya nggak jelas sehingga tidak bisa menentukan peran dia. Ketidakjelasan ini dibuktikan dengan dia tidak pernah berargumentasi kenapa judicial review di-split antara MK dan MA. Kemarin ketika BPK dan MA “berseteru� di dalam salah satu pasalnya dikatakan bahwa MA tidak boleh menjadi pihak dalam fungsi yudisial. Tapi ketika menjalankan fungsi nonyudisial itu dia bisa menjadi pihak. Choirul Anam (Fasilitator-HRWG) Jika tadi sempat berkembang sebenarnya ada dua harapannya 1). Ekstaminasi ini tidak hanya membicarakan kasus yang memang ada tetapi juga 2). Suntikan efek kasus yang sudah ada.dan salah satu efeknya adalah bagaimana melihat posisi MK Antonius Cahyadi, S.H., L.LM. (Ahli Sosiologi Hukum-Eksaminator) Yang bisa saya simpulkan adalah bahwa MK seharusnya bersikap aktif terhadap permohonan yang diajukan misalkan memanggil saksi ahli. Dalam rangka memutuskan mana yang benar dan mana yang salah MK dapat memanggil saksi ahli tambahan atas dasar inisiatifnya. Susi Dwi Hardjanti, S.H., L.LM. (Ahli Hukum Konstitusi-Eksaminator) Ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat mempunyai batasan-batasan dalam constitutional review, ada tiga batasan antara lain constitutional 194


limitation, politic limitation, salah satu hak badan peradilan beranggapan bahwa undang-undang itu adalah konstitusional. Kalau ada yang mempertanyakan konstitusionalitasnya maka pihak yang mempertanyakan konstitusionalitasnya itulah yang berkewajiban membuktikan. Antonius Cahyadi, S.H., L.LM. (Ahli Sosiologi Hukum-Eksaminator) Apakah penerapan asas hukum pidana yang digunakan, kita pertanyakan MK seharusnya mempertimbangkan karakteristik dan keunikan masingmasing permohonan Agus Sudibyo, S.Ip., M.A. (Ahli Pers-Eksaminator) Untuk mempertegas posisi MK dimana, pilihannya kalau kita memaknainya memang ada konsekuensi antara the guardian dan penafsir mungkin kita akan lebih condong ke penafsir dan sesuai dengan konteks permohonan kita. Ketika kita memilih penafsir itu tidak akan menyalahi karena MK sering mendengung-dengungkan itu bahwa MK adalah sebagai penafsir. Choirul Anam (Fasilitator-HRWG) Posisi MK sudah jelas menjadi the interpreter tetapi tadi ada harapan supaya ada perbaikan ini relevan dengan sense yang tidak tertangkap. Susi Dwi Hardjanti, S.H., L.LM. (Ahli Hukum Konstitusi-Eksaminator) Ketika Hakim memutuskan perkara itu tidak hanya menggunakan satu penafsiran saja tapi semua penafsiran harus dia gunakan meskipun juga ada metode-metode penafsiran yang lebih utama digunakan. Choirul Anam (Fasilitator-HRWG) Menurut saya beberapa tambahan kunci sudah ada, menurut saya ini bisa berjalan maksimal kalau drafnya agak awal dikasihkan jadi kita harus mempunyai kesepakatan pasca ini sebelum launching. Apakah masih ada poin yang penting yang harus kita bahas?. Agus Sudibyo, S.Ip., M.A. (Ahli Pers-Eksaminator) Jika dari catatan draf yang kemarin kita mempunyai 4 poin dan sekarang kita identifikasi saja misalkan lima atau enam hal yang itu harus menjadi 195


kesimpulan walaupun tadi dari perbincangan kita sudah menangkap bahwa kesimpulannya yang pertama adalah bahwa problem yang mendasar dari putusan MK diletakkan di kesimpulan. Kemudian nanti lebih dieksplorasi ke dalam narasi. Susi Dwi Hardjanti, S.H., L.LM. (Ahli Hukum Konstitusi-Eksaminator) Atau dikesimpulannya lebih melihat fungsi MK sebagai the interpreter. Dari the interpreter ini akan mengalir ke berbagai tugas dan wewenang MK termasuk salah satunya ketika dia menafsirkan konstitusionalitas undang-undang terhadap konstitusi dan dalam putusan yang ini MK tidak melakukannya. Giri Ahmad Taufik (FH Unpad) Yang kita sepakati misalnya majelis salah memahami konteks permohonan kemudian kita elaborasi, tidak bisa membedakan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, ketika MK menarik konklusi tidak didasarkan pada fakta dan alat untuk memeriksa fakta itu sehingga metode untuk menarik kesimpulannya tidak jelas. Choirul Anam (Fasilitator-HRWG) Baik kita akhiri saja sidang eksaminasi pada hari ini, terima kasih atas kehadiran semuanya Ass Wr. Wb Pukul 13.30 WIB Selesai dan dilanjutkan makan siang.

196


LAMPIRAN 06

PROFIL MAJELIS EKSAMINATOR

197


Agus Sudibyo, S.Ip., M.A. Tempat & Tgl Lahir : Malang, 8 Juni 1974 Pendidikan Terakhir • Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, tahun 1992-1998 • Mahasiswa Magister Filsafat STF Driyarkara Jakarta Pengalaman Kerja • Peneliti pada Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta • Koordinator Program Monitoring Media untuk Pemilu 2004 (ISAI/ Koalisi Media Untuk Pemilu Bebas dan Adil, (Maret 2004-Oktober 2004) • Koordinator Program Monitoring Media untuk Konflik Aceh, (ISAI – (April 2003-Februari 2004) • Koordinator Kampanye Koalisi (Ornop) untuk Kebebasan Informasi, (Maret 2000-Juli 2003) • Anggota redaksi jurnal/majalah media watch Pantau, (1999-2003) • Wartawan Jawa Pos Biro Yogyakarta (1998-1999) Pengalaman Internasional • Partisipan dalam Annual Meeting The Council of Asia-Pacific Press Institutes (CAPPI), di New Delhi (3-8 November 2003) • Partisipan dalam Internasional Visitor Program yang diselenggarakan US State Department untuk studi banding tentang kebebasan pers dan kebebasan informasi di 5 kota : Washinton DC, New York, Tampa/St.Petersburg, Salt Lake City dan Los Angeles (1-25 April 2004) • Partisipan dalam South East Asian Press Association (SEAPA) Fellowship Program Tahun 2004, untuk studi tentang “Malaysiakini. com dan Gerakan Reformasi di Malaysia (25 Juni-30 Juli 2004) • Narasumber dalam Workshop on the Regulation of Broadcasting in Indonesian: A Review of the First Three Years “University of Wollongong Australia, on 31 January-2Februari 2007)

198


Aktivitas Sekarang • Deputi Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET) Jakarta • Koordinator Lobby Koalisi untuk Kebebasan Informasi (Koalisi NGO yang berubah memperjuangkan pengesahan UU Kebebasan Informasi/Freedom of Information Act, berdiri sejak Desember 2000) Penghargaan • Penerima Press Freedom Award 2007 dari AJI Indonesia dan DRSPUSAID Buku Yang Pernah Terbit • Citra Bung Karno : Analisis Berita Pers Orde Baru (Bigraf Publishing, Yogyakarta, 1999) • Kabar-Kabar Kebencian, Prasangka Agama di Media Massa (ISAI Jakarta, anuari 2001, bersama Ibnu Hamad dan M. Qodari) • Politik Media dalam Pertarungan Wacana (LKIS, 2000) • Ekonomi Politik Media Penyiaran LKIS-ISAI, 2004) • Salah satu penulis dalam buku 100 Tahun Bung Karno, Berdialog Dengan Sejarah (Kompas, 2001) • Salah satu penulis dalam buku Neraca Gus Dur (Lakspesdam, 2002) Kegiatan Lain Aktif menulis isu-isu kebebasan informasi dan kebebasan pers untuk Kompas, Tempo, Forum Keadilan, Gamma, Tajuk, D&R, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Republika, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Suara Merdeka, Duta Masyarakat Baru, Karya Dharma, Majalah Kebudayaan Basis, Jurnal Wacana, Jurnal ISP, Jurnal Taswirul Afkar, Jurnal KUPAS, Jurnal Elsam, Jurnal MWCC Habibie Center.

199


Antonius Cahyadi, S.H., L.LM Tempat&Tanggal Lahir : Jakarta, 27 Oktober Alamat Rumah : Jl. Kampung Baru II, Rt.10/02 No. 11 Ulujami Pesanggrahan Jakarta Selatan E-mail : ombo_2000@yahoo.com Telp/Fax : (021)-5857175 HP : 0813-17836119 Pekerjaan

: Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Alamat Kantor

: Kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok Jawa Barat : (021)-7270003

Telp/Fax Pendidikan

• Fakultas Hukum Utrecht University, tahun 2003 Riwayat Pekerjaan • Staf Ahli Badan Legislasi DPR, tahun 2001-2003 • Dosen FH Universitas Indonesia, tahun 1999-sekarang dengan mengajar filsafat hukum dan sosiologi hukum Publikasi • Pengantar Ke Filsafat Hukum (dalam bentuk buku) • Runtuhnya Sekat Perdata-Pidana (dalam bentuk buku bersama Sulistyowati Irianto)

200


Asmara Victor Michael Nababan Place & Date of Birth : Siborongborong, North Sumatera, September 2,1946 Office Address : Gedung Griya Upakara Lantai III Unit 3, Jl. Cikini IV No. 10 Jakarta 10330 Phone : (021)-39899777 Fax : (021)-3147897 Email : asmara@demos.or.id Working Experince 2003- Now Executive Director, Demos-Center for Democracy and Human Rights Studies 2000-2002 General Secretary of the Indonesia National Commission of Hman Rights 1999 Secretary for KPP-HAM (Inguiry Commission of Human Rights Violation) in East Timor. The Commission produced a strong recommendation that deemed what happened in East Timor as Crime Against Humanity, which perpetrators have to be tried in a Human Rights Tribunal. 1997-2000 Secretaryfor Sub-Commission of education and Public Awareness. In this position organized Human Rigths trainings or strategic groups such as military, police, religious leaders, NGOs, Judges, Prosecutors and lawyers. 1994-1998 Member of the Indonesian National Comission of Human Rights. Being engaged in several missions from Aceh to West Papua to investigate human rights violations. 1994-1998 Executive Secretary of International NGOs Forum on Indonesia Development (INFID)

201


Others Activities • Chairperson of Elsam board organization along with several other human rights activists who initially established Elsam. • Coordinator of Komite Solidaritas untuk Munir (Committee of Solidarity for Munir)-KASUM. • Co-founder several NGOs such as KSPPM (foundation of study Group for People’s Initiative) in North Sumatera, Elsam (the Intitution for Human Rights Research and Advocacy).

202


Bambang Widjojanto Tempat&Tanggal Lahir : Alamat Rumah : E-mail : Telp/Fax : HP : Pekerjaan

Jakarta, 18 Oktober 1959 Depok Timur wsa_lawfirm@cbn.net.id (021)-25556741 / (021)-25556740 0816-1488182

: Lawyer

Alamat Kantor : WSA Law Office Gd. City Loft Lt. 21, R. 2108 Jl. KH. Mas Mansyur No. 121 Jakarta Pusat Pendidikan • S-1 Hukum • Post Graduate di Soas Inggris • S-2 Universitas Padjajaran • S-3 Universitas Padjajaran Riwayat Pekerjaan • Lawyer di WSA Law Firm • National Advisor di Parthership • Dosen Universitas Trisakti Publikasi • Mendobrak Rezim Otoritarianisme

203


Susi Dwi Harijanti, S.H., L.LM. Tempat & Tgl Lahir Alamat Rumat Email Telp/Fax Handphone

: : : : :

Malang, 16 Januari 1966 Jl. Nayaga No. 35 Bandung sdharijanti@yahoo.com/ s.harijanti@unpad.ac.id Kantor : (022)-2508514 0813-22388066

Pekerjaan

: Staf Pengajar Fakultas Hukum UNPAD

Alamat Kantor Telp/Fax

: Jl. Imam Bonjol No. 21 Bandung : (022)-2508514

Pendidikan • S.H : Universitas Padjajaran, tahun 1990 • L.LM : Universitas Melbourne, tahun 1998 • PhD : Riwayat Pekerjaan • Dosen Tetap FH UNPAD (tahun 1993 – sekarang) • Dosen Tidak Tetap FH UNPAR (tahun 2006 – sekarang) Publikasi • Indepenensi Kekuasaan Kehakiman • Women And Migration • Constitutional Court And General Election In Indonesian

204


LAMPIRAN 07

PROFIL LEMBAGA LBH Pers

205


Profil LBH Pers - Legal Aid Center for Press Alamat : Jl. Prof. Soepomo No 1A Menteng Dalam Jakarta Selatan – 12870 Telp. (021) 829-5372 Fax. (021) 829-5701 Website lbhpers.org Email : lbhpers@yahoo.com Bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui media sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dilaksanakan secara bertanggungjawab, selaras, seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Konstitusi Negara Republik Indonesia Pasal 28 F, serta pasal 19 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Oleh sebab itu segala bentuk pengebirian atau penindasan terhadap kebebasan memperoleh informasi melalui media tidak boleh kita berikan tempat di bumi tercinta ini. Maka sebagai wujud kepedulian serta komitmen untuk menjaga kebebasan pers tetap eksis, diproklamirkanlah berdirinya Lembaga Bantuan Hukum Pers yang disingkat LBH Pers yang diprakarsai oleh beberapa orang Advokat Muda yang tergabung dalam Komite Pembela Kebebasan Pers bersama dengan Aliansi Jurnalis Independen Jakarta pada tanggal 11 Juli 2003 bertempat di Tugu Proklamasi Jakarta. LBH Pers berazaskan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. VISI LBH Pers Terwujudnya masyarakat sipil yang demokratis melalui upaya bantuan hukum dan perlindungan terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. MISI LBH Pers • Melakukan pembelaan hukum terhadap kasus kebebasan pers dan kebebasan berekspresi • Melakukan pembelaan hukum terhadap kasus kekerasan terhadap pers • Melakukan pembelaan hukum terhadap kasus perburuhan pers

206


• Melakukan advokasi kebijakan dan mensosialisasikan makna kebebasan pers dan kebebasan berekspresi SUSUNAN ORGANISASI LBH Pers PERIODE 2006-2009 DEWAN PENYANTUN • Bambang Widjojanto • Asmara Nababan • Atmakusumah Astraatmadja • Don K. Marut • Bambang Harymurti DEWAN PENGAWAS • Jajang Jamaluddin • Tubagus H. Karbyanto • Bayu Wicaksono • Christina Widiantarti PENGURUS HARIAN DIREKTUR EKSEKUTIF Hendrayana KEPALA DIVISI LITIGASI Sholeh Ali KEPALA DIVISI NON LITIGASI Arief Ariyanto KEUANGAN Rina Erayanti Lenna Octavia SEKRETARIS Linda Fitriani STAF: Adiani Viviana Endar Sumarsono

207


PEMBANTU UMUM: Slamet Haryanto LAWYERS: Ari Subagyo Bayu Wicaksono Christina Widiantarti Indrayana Misbahuddin Gasma Novia Hendriyati Tubagus Haryo Karbyanto Nawawi Bahruddin

208


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.