Menuju Demokratisasi Pemetaan

Page 1

MENUJU DEMOKRATISASI PEMETAAN Refleksi Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Penulis : Ahmad SJA , Aku Sulu Samuel Sau Sabu, Albertus Hadi Pramono, Anam, Bagus Priatna, Bambang Teguh, Bayu Dedie Lukito, Efraim Yaboisembut, Endan Suhendar, Hilma Safitri, Jidan, Karyanto, Lahmudin Yoto, Lorensius Owen, M.Syahril, Noach Wamebu, Restu Achmaliadi, Rizani, Sulaiman Daud, Varman Bantalidan

Editor : Albertus Hadi Pramono, Franky Samperante, Hilma Safitri, Restu Achmaliadi

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)


MENUJU DEMOKRATISASI PEMETAAN Refleksi Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

Edisi pertama : April 2009 Tata Letak : Harizajudin Foto Sampul : Pemetaan di Curah Nongko, Jember. JKPP Region Jawa Diterbitkan oleh JARINGAN KERJA PEMETAAN PARTISIPATIF Jl. Cimanuk Blok B7 Nomor 6, Perumahan Bogor Baru Bogor 16152, Jawa Barat Telp . +62 251 8379143 Fax. +62 251 831421 email : jkpp@bogor.net, website : www.jkpp.org Penerbitan ini sebagian di dukung oleh :

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Tim Penulis Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif Menuju Demokratisasi Pemetaan, Refleksi Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia Cet.1. - - Bogor : Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, 2009 xv + 248 hlm; 16 x 23 cm ISBN 978-979-19804-0-1

i

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


KATA PENGANTAR Gerakan pemetaan partisipatif berkembang cukup pesat sejak pertama kali dilakukan pertama kali di Long Uli, perbatasan Taman Nasional Kayan Mentarang Kalimantan Timur, pada tahun 1992 . Perkembangan sangat terasa pada akhir 1990-an terutama setelah pembentukan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif pertengahan tahun 1996. Perhatian lembaga-lembaga donor akan pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat memungkinkan dukungan dana yang besar bagi gerakan ini. Hal ini memungkinkan terjadinya proses pembelajaran melalui training, magang dan kegiatan Pemetaan Partisipatif dilakukan secara luas di Indonesia. Berdasarkan data yang dikumpulkan JKPP (2009), telah lebih dari 510 komunitas di wilayah kampung atau desa yang menyelenggarakan PP dengan luas areal lebih dari 2,5 juta hektar. Selama ini metode PP masih dominan digunakan oleh LSM dan masyarakat, namun beberapa tahun terakhir pemerintah pun telah mulai mengadopsi metode pemetaan dengan melibatkan masyarakat dalam mengimplementasikan program-programnya. Program Hutan Kemasyarakatan (HKM) Departemen Kehutanan mensyaratkan perencanaan partisipatif (yang menyertakan juga peta partisipatif) sebagai salah satu kelengkapan yang harus disediakan kelompok masyarakat yang ingin mengelola hutan. Selain itu Departemen Kehutanan telah melakukan tata batas partisipatif dengan metode ini di Sumba (NTT). Pemda Kutai Barat dan Pemda Jayapura – bekerja sama dengan LSM dan akademisi –menginventarisir wilayahnya dengan menggunakan metode ini. Buku ini adalah kumpulan tulisan dari berbagai pelaku pemetaan partisipatif dari Aceh sampai Papua yang diundang JKPP untuk menuliskan pengalaman atas kerja-kerja yang mereka lakukan berkaitan dengan PP. Buku ini diharapkan dapat menyumbang pengembangan pemikiran dasar dan pendekatan Pemetaan Partisipatif kepada para pengguna metode PP ini. Selain itu dapat menjabarkan peluang-peluang baru bagi pengguna metode ini agar lebih berperan dalam pemberdayaan masyarakat lokal terutama berkaitan dengan perubahan kebijakan penataan dan pengelolaan ruang serta dalam menyusun rencana pengelolaan kawasan kelola rakyat. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para penulis yang telah menuliskan pengalaman berkaitan dengan Pemetaan Partisipatif, juga kepada Dianto Bachriadi yang telah memotivasi dan membantu meletakkan dasar-dasar

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

ii


penulisan kepada para penulis. Selanjutnya, ucapatan terima kasih kami sampaikan kepada Hilma Safitri, Restu Achmaliadi, dan Albertus Hadi Pramono sebagai editor buku dan juga menuliskan catatan-catatan penting dalam evaluasi gerakan Pemetaan Partisipatif. Y.L Frangky yang membantu penulisan pengalaman masyarakat Katu. Fubertus Ipur dan Justus Pattipawae yang memberikan perspektif Early Warning System (EWS) berkaitan dengan konflik dan multikulturalisme. Terima kasih kami sampaikan kepada Yayasan TIFA yang telah mendukung terlaksananya seluruh proses kegiatan dan penulisan buku ini.

Bogor, 27 April 2009

KASMITA WIDODO Koordinator Nasional JKPP

iii 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


PETA TITIK EVALUSAI GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

iv


DAFTAR ISI Kata Pengantar

ii

Peta Lokasi Studi Kasus

iv

Daftar Isi

v

Daftar Istilah dan Singkatan

ix

Pendahuluan

1

Konflik Sumber-Sumber Agraria di Indonesia

2

Konflik dan Multikulturalisme di Indonesia

4

Apa Itu Pemetaan Partisipatif (PP)?

6

Sejarah Gerakan PP Di Indonesia Dan Perlunya Evaluasi

12

Ringkasan Tulisan

20

Mengambil Alih Hutan Lindung: Kasus Komunitas Adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong-Boru Kedang, Nusa Tenggara Timur

26

Latar Belakang

26

Komunitas Adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang

29

Munculnya Ide Pemetaan Partisipatif

32

Pandangan Komunitas Tentang Pemetaan Partisipatif.

35

Mengambil Alih Hutan Lindung: Sebelum Pemetaan Partisipatif

38

Mengambil Alih Hutan Lindung: Setelah Pemetaan Partisispatif

39

Dampak Positif Pemetaan Partisipatif.

41

Dampak Negatif Pemetaan Partisipatif

44

Penutup

45

Pemetaan Partisipatif Dan Peneguhan Kembali Keyakinan Hak-Hak Masyarakat Muluy Untuk Mengelola Hutan Adat Dan Menolak Kawasan Lindung 47 Kampung Muluy Dan Sejarah Kampung Muluy

47

Hutan Adat Vs. Hutan Lindung Di Kampung Muluy

50

Hutan Adat Dalam Peraturan dan Perundang-Undangan

54

Pemetaan Partisipatif Di Kampung Muluy

58

v

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Pengelolaan Kawasan Hutan Adat Gunung Muluy: Sebelum Dan Sesudah Dilaksanakannya Pemetaan Partisipatif

67

Kesimpulan

70

Pemetaan Partisipatif : Mempertahankan Hak Atas Tanah Leluhur, Pengalaman Orang Katu 72 Orang Katu

72

Taman Nasional Di Tanah Orang Katu

80

Pemetaan Partisipatif

83

Menolak Pindah Dari Tanah Leluhur

88

Pengakuan Balai Taman Nasional

92

Penutup

93

Pemetaan Partisipatif Multipihak : Wilayah Adat Nambluong Di Kabupaten Jayapura Papua 94 Pengantar

94

Komunitas Adat Nambluong

95

Sistem Penguasaan Tanah Dan Penataan Ruang Di Wilayah Adat Nambluong

99

Pemetaan Partisipatif Di Papua

101

Pemetaan Partisipatif Multipihak Di Nambluong

102

Alur Pemetaan Partisipatif Multipihak

103

Dampak-Dampak Pemetaan Partisipatif Multipihak

106

Penutup

107

Pemetaan Partisipatif : “Panduan“ Penyelesaian Konflik Dan Sengketa Agraria Di Jember 108 Jember Dalam Lintasan Waktu

108

Pemetaan Partisipatif Alat Bantu Perjuangan Petani

113

PP& Penyelesaian Sengketa Agraria : Tiga Contoh Kasus

115

Ancangan Ke Depan Penyelesaian Konflik & Sengketa Agraria Di Jember 123

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

vi


Penutup Peta Untuk Kampung Baru: Kasus Kampung Ciladu-Ciawi - Lebak

126 128

Kampung Ciladu-Ciawi Dan Problematikanya

128

Mengenalkan Pemetaan Partisipatif.

130

Kampung Ciladu-Ciawi Menyelenggarakan Pemetaan Partisipatif

132

Penyepakatan Peta Ciladu-Ciawi: Jalan Yang Berliku

135

Membentuk Kelompok Pelindung Kawasan Mata Air

137

Wates-Wates Kampung Ciladu-Ciawi

138

Peta Dan Negosiasi Permukiman Baru

139

Kampung Baru Itu Kampung Gelarsari

141

Telah Efektif Kah Pemanfaatan Peta Kampung Ciladu Ciawi ?

142

Upaya Kelompok Perempuan

142

Perkembangan Kampung Gelarsari

143

Penutup

143

Pemetaan Partisipatif Sebagai Upaya Masyarakat Melindungi Dan Mengelola SDA Pesisir Laut Di Pulau Pahawang 145 Sejarah Pemanfaatan SDA Pesisir Laut Di Desa Pulau Pahawang

145

Konflik Pemanfaatan Ruang di Pesisir Laut

149

PP Sebagai Upaya Melindungi Dan Mengelola SDA Pesisir Laut

153

Kesimpulan

163

Perubahan Persepsi Batas Pasca Pemetaan : Sebuah Kasus Di Kabupaten Landak Kalimantan Barat

166

Pengantar

166

Konsep Batas Masyarakat Adat Dayak Kananyatn

169

Kondisi Umum Kampung Sindur

169

Mengapa Melakukan Pemetaan Partisipatif

170

Kesadaran Kritis Tentang Sumberdaya Wilayah

176

Kesimpulan

182

Anekng Atau Andeng? Kisah Sekitar Penamaan Kampung

vii 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia

186


Pengantar

186

Anekng Dalam Persektif Sejarah

187

Kesimpulan

194

“Ukur Mengukur� Wilayah Untuk Mewujudkan Kedaulatan Rakyat Atas Ruang Di Tanah Rencong 195 Pendahuluan

195

Program Pemetaan Partisipatif Di YRBI

199

Konflik Batas Paska Pemetaan

210

Perluasan Gerakan Pemetaan Partisipatif

211

Penutup

213

Refleksi Atas Gerakan Pemetaan Partisipatif Dan Tantangan Di Masa Depan

214

Penyebaran Gerakan Pemetaan Partisipatif

215

Tujuan Pemetaan Partisipatif

217

Konsep Dasar Pemetaan Partisipatif

220

Metodologi Pemetaan Partisipatif

223

Kapasitas Dalam Pemetaan

225

Protokol Penggunaan Peta

225

Penggunaan Peta

227

Persepsi Terhadap Pemetaan Partisipatif

229

Pendanaan Kegiatan Pemetaan Partisipatif

231

Masalah-Masalah

231

Tantangan Gerakan Pemetaan Partisipatif

232

Tantangan Dan Peran Pemetaan Dalam Pengelolaan Konflik

235

Beberapa Catatan Gerakan Pemetaan Partisipatif Ke Depan

238

Catatan Akhir

240

Profil Penulis dan Editor

245

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) viii


DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN Alas lati litiye

Bekas ladang yang sudah di tinggalkan

Alas Rusak

Hutan Sekunder

Alas Royang

Hutan Primer

AMAN

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

AMASUTA

Aliansi Masyarakat Adat Sulawesi Tengah

ADB

Asean Development Bank ADB

BAKOSURTANAL

Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional

Bamuskadat

Badan Musyawarah Adat

Bapekedat

Badan Pelaksana Keputusan Adat

Bapehudat

Badan Pengelola Hukum Adat

Bawas

Ladang pertanian yang sedang di berakan (diistirahatkan) sebelum ditanami kembali dalam sistem perladangan gilir balik; ramĂŠ (Dayak Kanayatn)

Bera

Kondisi Lahan yang dibiarkan (diistirahatkan) tanpa ditanami hingga dipenuhi belukar

Binua

Federasi sejumlah kampung yang berdekatan, umumnya dalam satu aliran sungai (bahasa Kanayatn)

Blambangan

Balok Kayu

BPD

Badan Perwakilan Desa

BPDPM

Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove

BPN

Badan Pertanahan Nasional

BSP Kemala

Biodiversity Support Program - Kemala

BUMN

Badan Usaha Milik Negara

CSIADCP

Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservation Project

ix 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


DOM

Daerah Operasi Militer

DPMA

Dewan Persekutuan Masyarakat Adat

DPRD

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Erfpacht

Hak sewa turun temurun atas tanah (bahasa Belanda), tanah pertanian yang disewakan pemerintah kolonial sebagai konsesi pertanian

GAM

Gerakan Aceh Merdeka

Gampong

Kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung berada di bawah mukim yang menempati wilayah tertentu, dan dipimpin seorang Keuchik dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.

Gerhan

Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

GIS

Geographic Information System ; sistem penyimpanan dan analisis informasi geografis yang berbasis komputer

Gosong-gosong

Kumpulan terumbu karang dan pasir menyerupai gunung yang ada di laut tempat memancing.

GPS

Global Positioning Syste m; sistem penentuan koordinat di bumi dengan memakai sinyal sejumlah satelit navigasi di luar angkasa

HAM

Hak Asasi Manusia

HGU

Hak Guna Usaha; hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu tertentu untuk konsesi pertanian, perikanan atau peternakan dan dikenai pajak

HMN

Hak Menguasai Negara

HPH

Hak Pengusahaan Hutan

HTI

Hutan Tanaman Industri

IPPK

Ijin Pengolahan dan Pemanfaatan Kayu

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

x


JAGAT

Jaringan Gerakan Masyarakat Adat

Jagawana

Polisi hutan

Jatas tete ine

Air Susu Ibu

JKPP

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif

Kampokng

Satuan unit sosial politik terkecil masyarakat Dayak Kanayatn; kampung

Kaharingan

Agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Ranying), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dalam masyarakat Dayak di Kalimantan

KEL

Kawasan Ekosistem Leuser

Keuchik

Pimpinan adat gampong

Komnas HAM

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

KOMPAK

Kelompok Petani Perjuangan Ketajek

KTA

Kartu Tanda Anggota

Ku pay

Tanah dataran

Ku mendum teble-teble

Lereng perbukitan atau gunung

Ku Koan

Tanah hutan rimba

Lati

Bekas ladang

Lati bayu

Ladang yang baru dibuka

Lati litiye

Ladang yang lama sekali dan sudah menyerupai hutan belukar karena sudah ditinggalkan sekitar 5-6 tahun

Lati ono

Ladang yang sudah diberakan selama 2-3 tahun

LBH Nusra

Lembaga Bantuan Hukum Nusa Tenggara

LMDH

Lembaga Masyarakat Desa Hutan

LPPMA

Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat

LKMD

Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa

LSDP SD INPERS

Lembaga Studi Desa untuk Petani SD INPERS

xi 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


LSM

Lembaga Swadaya Masyarakat

MFP

Multistakeholder Forestry Programme

Mukim

Kesatuan masyarakat hukum adat dalam provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas-batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Mukim dipimpin oleh seorang Imeum Mukim

Muspika

Musyawarah Pimpinan Kecamatan

NAD

Nanggroe Aceh Darussalam

NTT

Nusa Tenggara Timur

NGO

Non Government Organization

NV. LMODTD

Landbouw Mij Out Djember te Deventer

Omu

Ladang

Ornop

Organisasi Non-Pemerintah

OTL

Organisasai Tani Lokal

PAFID

Philippine Association For Intercultural Development

PDP

Perusahaan Perkebunan milik Daerah

Perdasus

Peraturan Daerah Khusus

Pembakal

Kepala Desa

PG

Pabrik Gula

PIR

Perkebunan Inti Rakyat

PNPM Mandiri

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri

Polsek

Kepolisian Sektor; satuan polisi di tingkat kecamatan

PP

Pemetaan Partisipatif

PPAN

Program Pembaruan Agraria Nasional

P2DTK

Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) xii


PPI

Pelabuhan Pendaratan Ikan

PPSDAK

Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan

PRA

Participatory Rural Appraisal

PTPN

Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara

PtPPMA

Perkumpulan Terbatas Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat

Radakng betang

Rumah Panjang yang dulunya juga merupakan satu kampung

RMI

Rimbawan Muda Indonesia

RTRW

Rencana Tata Ruang Wilayah

SDA

Sumber Daya Alam

SDA Pela

Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut

Seppong

Alat peniru suara burung

SIG

Sistem Informasi Geografi

SIPER

Serikat Petani Perjuangan

Sipung

Kebun

Sipunk

Kawasan didalam kawasan hutan yang ada di dalamnya terdapat beberapa jenis tanaman, baik tumbuhan kayu dan tumbuhan non kayu

SK

Surat Keputusan

SLJPP

Simpul Layanan dan Jaringan Pemetaan Partisipatif

Timanggong

Temenggung; pemimpin sebuah binua pada masa Belanda sampai tahun 1960an

Timawakng

Tembawang; bekas pemukiman yang telah menjadi hutan dengan vegetasi dominan jenis-jenis pohon buah seperti durian, kelapa, nangka, dll.

TNC

The Nature Conservation

TNLL

Taman Nasional Lore Lindu

xiii 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


TOT

Training of Trainer

Udas

Hutan yang dimiliki kolektif oleh kampung atau seketurunan

USAID

United State Agency for International Development

UU

Undang-undang

YKSPK

Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih

YLPM-Bangwita

Yayasan Lembaga Pengembangan Masyarakat Wilayah Tana Ai

YKPHM

Yayasan Kerjasama Hukum Masyarakat

YRBI

Yayasan Rumpun Bambu Indonesia

YTM

Yayasan Tanah Merdeka

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) xiv


PENDAHULUAN Oleh : Hilma Safitri, Restu Achmaliadi, Albertus Hadi Pramono Dalam masyarakat modern wilayah dan pemetaan seperti dua sisi mata uang. Bila seseorang berbicara tentang suatu wilayah bisa dipastikan dia akan menyertakan peta wilayah tersebut. Kalau tidak lawan bicaranya yang akan menanyakannya. Dengan demikian peta merupakan salah satu artefak penting dan menjadi sesuatu yang lumrah dalam kehidupan modern. Namun kebanyakan orang luput untuk memahami peta sebagai gambaran tentang hubungan kita dengan bumi dan benda-benda di atasnya dan hubungan sosial antar penghuni bumi. Buku ini mengupas hal-hal ini terutama dalam hal yang kedua. Kumpulan tulisan ini bercerita tentang gerakan pemetaan partisipatif (PP). Dalam gerakan ini peta diletakkan dalam konteks hubungan antara masyarakat lokal dan wilayah tempat hidup mereka serta hubungan mereka dengan pihak-pihak luar yang memanfaatkan wilayah mereka. Gerakan ini masih relatif baru bila dibandingkan dengan gerakan-gerakan sosial lainnya. Gerakan ini baru muncul sekitar 15 tahun yang lalu. Namun berbeda dengan gerakan-gerakan lainnya yang menekankan pada hubungan antara kelompok-kelompok yang terpinggirkan dengan mereka yang berkuasa, gerakan ini mempunyai komponen tambahan yang sangat penting yaitu teknologi pemetaan. Peran teknologi tersebut begitu sentral dalam gerakan ini yang kemudian menimbulkan persoalan sendiri yang menjadi salah satu topik penting dalam kumpulan tulisan ini. Terlepas dari masalah tersebut, gerakan ini adalah salah satu bentuk demokratisasi teknologi pemetaan yang biasanya dikuasai oleh kelompok dominan/elit untuk menopang dan mewujudkan kepentingan mereka. Nuansa demokratisasi semacam itu sangat terasa dalam buku ini. Dominasi pembuatan pengetahuan seperti akan diurai dalam bab-bab berikutnya menimbulkan konflik ruang yang menjadi salah satu alasan lahirnya gerakan pemetaan partisipatif (PP). Konflik ruang yang ada di Indonesia terjadi di antara masyarakat lokal dan pihak luar yang dominan, terutama Negara dan pengusaha, dan di antara masyarakat sendiri. Semula gerakan ini lebih menekankan pada konflik jenis pertama (konflik vertikal), namun dengan selama perjalanannya konflik jenis kedua (konflik horizontal) juga mulai muncul dalam masyarakat seperti yang terjadi di Kalimantan, Poso dan Maluku. Untuk memahami lebih jauh tentang 1

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


kedua macam konflik tersebut kami menjabarkan secara singkat tentang masalah agraria dan multikulturalisme di Indonesia. Selanjutnya kami uraian sedikit tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan pemetaan partisipatif. Kemudian dilanjutkan dengan sejarah gerakan pemetaan partisipatif di Indonesia dan alasan kenapa pembuatan buku ini. Terakhir kami memberikan ringkasan tentang bab-bab yang dalam buku ini.

KONFLIK SUMBER-SUMBER AGRARIA DI INDONESIA Konflik sumber-sumber agraria bisa dikatakan sebagai persoalan skala dalam pemanfaatan ruang, terutama dalam hal alokasi sumber-sumber agraria. Penduduk setempat membutuhkan sumber-sumber agraria sebagai sumber kehidupan dan untuk kelanjutan hidup mereka, sehingga hanya membutuhkan alokasi sumber-sumber agraria yang relatif sedikit. Sementara para pengusaha yang mempunyai target untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, cenderung membutuhkan alokasi sumber agraria dalam skala besar. Perbedaan skala kepentingan dan kebutuhan tersebut mengakibatkan konflik di antara kedua kelompok kepentingan tersebut. Dengan demikian, konflik yang muncul bukan semata-mata karena langkanya sumber-sumber agraria seperti yang banyak diutarakan berbagai pihak. Dalam banyak kasus, seperti juga yang terjadi di dalam kasus-kasus yang diuraikan didalam buku ini, sumber-sumber agraria yang dibutuhkan oleh kepentingan ekonomi skala besar telah mengambil alih sumber-sumber agraria yang telah dikuasai oleh petani maupun kelompok masyarakat adat. Proses pengambilalihan itu umumnya difasilitasi oleh fasilitas-fasilitas pengalihan hak atas sumber-sumber agraria yang disediakan oleh negara. Uraian singkat di atas merupakan gambaran singkat tentang corak konflik agraria di Indonesia di masa Orde Baru, yang konfliknya tidak lagi terjadi antara petani miskin dan/atau tak bertanah dengan petani kaya atau tuan tanah 1a. Pada 30 tahun terakhir abad XX tersebut pola konflik agraria dapat dilihat sebagai perseteruan antara penduduk setempat (petani/petani tak bertanah, nelayan dan satuan-satuan masyarakat adat) dengan pihak lain yang hendak memanfaatkan sumber-sumber agraria sebagai media untuk menanamkan modalnya. Perseteruan kepentingan ini pun kemudian semakin tajam karena negara, yang mestinya menjadi pelindung seluruh rakyat Indonesia, kemudian menjadi lawan sengketa penduduk setempat karena justru lebih berpihak kepada penanam modal. Negara memberikan ijin kepada kelompok-kelompok yang menanamkan modalnya di atas wilayah-wilayah yang umumnya merupakan wilayah penguasaan atau kegiatan produksi penduduk setempat. Dengan kata lain, watak dari konflik agraria di Indonesia sekarang sudah berubah menjadi konflik vertikal ketimbang konflik horisontal, atau konflik antara petani/rakyat Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

2


dengan kekuatan modal atau negara, atau konflik antar petani/rakyat dengan kekuatan modal yang beraliansi dengan negara. 1b Bahkan konflik agraria di Indonesia bersifat multi-dimensional yang tidak bisa dipahami hanya sebagai persengketaan agraria an sich, karena konflik ini adalah pucuk gunung es dari beragam jenis konflik lainnya yang juga mendasar seperti konflik antar sistem ekonomi (kapitalis versus subsistensi), konflik mayoritas-minoritas, konflik antara “masyarakat modern” versus “masyarakat adat”, konflik antara Negara dengan Warga Negara, konflik antar sistem ekologi (ekosistem versus industrialisme), konflik antara sistem pengetahuan (sistem pengetahuan positivistik versus sistem pengetahuan “asli”), konflik antar budaya (budaya “modern” versus “budaya asli”), serta konflik dalam relasi gender. 1c Corak konflik semacam ini tampak jelas menimbulkan satu pola konflik yang khas dibandingkan dengan pola konflik yang terjadi antara petani (tak bertanah atau bertanah sempit) versus petani (kaya atau bertanah luas). KPA dalam Memorandum mengenai Sengketa Pertanahan 1d menyimpulkan bahwa corak dan pola konflik sumber-sumber agraria di masa Orde Baru yang semacam ini memiliki hubungan erat dengan tiga hal, yaitu: 1. Proses ekspansi dan perluasan skala akumulasi modal – baik modal domestik maupun internasional; 2. Watak otoritarianisme dari pemerintahan Orde Baru; dan 3. Berubahnya strategi dan orientasi pengembangan sumber-sumber daya agraria dari strategi agraria yang populis (membangun masyarakat sosialis) menjadi strategi agraria yang kapitalistik (mengintegrasikan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari perkembangan kapitalisme internasional). Ketiga hal ini, seperti diuraikan di dalam Memorandum KPA tersebut, melahirkan suatu corak dan pola sengketa sebagai berikut: 1. Sengketa agraria karena penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumi serta beragam tanaman dan hasil di atasnya sebagai sumber-sumber yang akan dieksploitasi secara masif. 2. Sengketa agraria akibat program swasembada beras yang pada prakteknya mengakibatkan penguasaan tanah terkonsentrasi di satu tangan dan membengkaknya jumlah petani tak bertanah, serta konflik-konflik yang bersumber pada keharusan petani untuk menggunakan bibit-bibit unggul maupun masukan-masukan non organik seperti pestisida, pupuk urea, dan sebagainya.

3

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


3. Sengketa agraria di areal perkebunan, baik karena pengalihan dan penerbitan HGU maupun karena pembangunan perkebunan-perkebunan inti rakyat (PIR) dan program sejenisnya, seperti Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). 4. Sengketa akibat penggusuran-penggusuran di atas lahan yang hendak dimanfaatkan untuk industri pariwisata, real estate, kawasan industri, pergudangan, pembangunan pabrik, dan sebagainya. 5. Sengketa agraria akibat penggusuran-penggusuran dan pengambilalihan tanah-tanah rakyat untuk pembangunan sarana-sarana yang dinyatakan sebagai kepentingan umum maupun kepentingan keamanan. 6. Sengketa akibat pencabutan hak rakyat atas tanah karena pembangunan taman nasional atau hutan lindung, dan sebagainya yang mengatasnamakan kelestarian lingkungan. Sengketa akibat penutupan akses masyarakat untuk memanfaatkan sumbersumber agraria non-tanah (perairan, udara, dan isi perut bumi) dan menggantikannya dengan hak-hak pemanfaatan terbatas untuk sekelompok kecil orang atau perusahaan tertentu meskipun sumber-sumber agraria tersebut berada dalam kawasan yang selama ini menjadi bagian dari kawasan tenurial lokal dari masyarakat setempat atau merupakan kawasan bebas.

KONFLIK DAN MULTIKULTURALISME DI INDONESIA Diskriminasi dan konflik merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Proses diskriminasi terus menerus akan berujung pada konflik, dan sebaliknya proses konflik akan diikuti oleh proses-proses segregasi yang menyebabkan pola-pola diskriminasi baru. Konflik berbau diskriminasi yang populer disebut SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) sebenarnya telah terjadi berulang-ulang sejak berabad-abad yang lalu. Belanda telah menggolong-golongkan kedudukan kelompok masyarakat; strata teratas adalah golongan putih, strata di bawahnya adalah golongan timur asing dan bangsawan feodal, serta strata paling bawah adalah rakyat jelata. Pada pertengahan abad XVIII, Belanda melakukan pengusiran ribuan keluarga Tionghoa – yang ratusan di antara mereka terbunuh karena kejadian ini — dari Batavia, karena dianggap akan menyaingi orangorang kulit putih dan menjadi sumber masalah di masa mendatang. Terbentuknya Serikat Dagang Islam (SDI) pada awal abad XX yang dipelopori oleh para pedagang muslim di Jawa Tengah tidak lepas dari politik diskriminasi Pemerintah Belanda terhadap penduduk tanah jajahan.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

4


Meskipun setelah Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945 berbagai pemberontakan terjadi, tetapi konflik besar berbau SARA pertama terjadi pada tahun 1965-1966. Gagalnya Gerakan 30 September (G30S) mengakibatkan konflik horizontal dengan korban tewas lebih dari 500.000 orang. Meskipun berbagai analisis menduga keterlibatan dan pembiaran pihak berwenang pada konflik pasca G30S ini, tetapi berbagai operasi pengganyangan terhadap orang-orang yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat yang lain. Ini konflik antar golongan terbesar yang dialami oleh bangsa Indonesia yang perlu dijernihkan. Memori menyedihkan pembantaian di pertengahan 1960-an ini kelihatannya terus berulang pada tahun-tahun setelahnya. Setelah tahun 1965 berbagai konflik berbau SARA dengan eskalasi sedang – dengan berbagai variasi pihak yang berkonflik termasuk melibatkan pihak pemerintah di dalamnya – terus berulang sampai pertengahan tahun 90-an: konflik Dayak-Tionghoa di Kalbar pada akhir 1960-an, konflik Dayak-Madura di Kalbar yang terus berulang, pengganyangan “kelompok-kelompok Islam keras” di berbagai tempat di Indonesia selama jaman Orde Baru, pembakaran assetaset golongan Tionghoa di perbatasan Jawa Timur – Jawa Tengah pada awal 1980-an, dll. Menjelang Reformasi 1998 dan sesudahnya “kesan harmonis” dalam keragaman bangsa – dilegitimasi dengan jargon Bhineka Tunggal Ika — robek dan terkoyak. Eskalasi konflik berbau SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan), frekwensi maupun wilayah konflik, membuncah dengan dahsyat. Konflik-konflik besar seperti kasus Sambas, kasus Sampit, konflik Ambon, konflik Poso, Kasus “ pembunuhan dukun santet” di berbagai lokasi di Pulau Jawa dan sejumlah konflik lainnya adalah sejumlah konflik berbau SARA yang terjadi menjelang dan sesudah Reformasi. Ribuan jiwa telah tewas dan kerugian material tidak terhitung lagi jumlahnya akibat berbagai konflik ini. Trauma paska konflik juga menjadi masalah seumur hidup yang sangat sulit disembuhkan. Identitas kebangsaan kita yang cukup dikenal sebagai bangsa yang religius, toleran, dan dibesarkan oleh keragaman terpuruk sangat parah. Potensi konflik berbau SARA ini, seperti sebuah luka, selalu menyisakan parut-parut luka yang siap untuk meledak kembali. Dipandang dari sudut mana pun berbagai konflik berbau SARA ini akan merugikan. Tidak hanya bagi kelompok minoritas, tetapi juga kehidupan berbangsa akan terancam oleh berbagai noktah berbagai konflik ini. Konflik SARA akan meruntuhkan bangunan kebersamaan yang sudah dibangun perlahan selama berabad-abad. Dengan rentetan konflik SARA bangunan itu harus ditata ulang. Resistensi, trauma, dan endapan konflik laten harus menjadi perhatian pertama sebelum berupaya mewujudkan kembali kebersamaan sebagai 5

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


masyarakat yang toleran dan bijak dalam menyikapi perbedaan kultural. Berbagai konflik berbau SARA ini menunjukkan bahwa penghargaan terhadap keberagamaan belum bisa diterjemahkan secara baik oleh berbagai kalangan di negara ini. Di sinilah perlunya membangun kesadaran bersama akan penghormatan terhadap keragaman identitas sosial termasuk identitas dan ekspresi keberagamaan, seminoritas apapun jumlah “pemilik� identitas sosial tersebut. Tidak saja mengakui akan adanya keragaman, akan tetapi juga merayakan keragaman itu dalam irama dan harmoni kehidupan. Dalam konteks ke-Indonesiaan, keragaman menjadi sebuah kekayaan multikultural. Adapun bingkai kebersamaan bisa dikibarkan dalam semangat nasionalisme. Berpijak dari berbagai pengalaman pahit itu upaya-upaya melakukan revitalisasi nasionalisme harus selalu dilakukan. Upaya ini juga harus didorong dengan penguatan wacana dan artikulasi multikulturalisme. Multikulturalisme adalah modal dasar dalam membangun dan mempertahankan eksistensi kebangsaan dan memperkuat semangat kebersamaan dalam menghadapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Asa itu nampaknya cukup bisa diharapkan dari generasi muda sebagai penerus bangsa.

APA ITU PEMETAAN PARTISIPATIF (PP)? Dari frasenya PP memiliki dua komponen, peta/pemetaan dan partisipasi/ partisipatif. Di sini kami menjelaskan secara ringkas kedua komponen tersebut agar ada pemahaman konseptual yang memadai atas istilah ini. Peta adalah bagian penting dalam keseharian kehidupan modern. Peta selalu dibutuhkan setiap kali kita ingin mengetahui posisi tertentu, atau menuju ke suatu tempat. Peta yang tersedia saat ini pun sudah sangat maju dan beragam antara lain berupa atlas, peta rupa bumi (peta topografi) dan peta kota. Bahkan, dengan memanfaatkan teknologi global positioning system (GPS), dengan mudah kini kita bisa mengakses peta melalui telepon genggam atau perlengkapan mobil pribadi. Selain itu, peta juga sudah umum digunakan untuk melakukan klaim kepemilikan suatu wilayah di muka bumi. Sertifikat tanah yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) memiliki peta tanah yang dimiliki seseorang. Untuk skala yang lebih besar Departemen Kehutanan memberikan konsesi pengusahaan hutan kepada perusahaan-perusahaan. Namun konsesi ini umumnya berada di atas tanah yang dikuasai dan dikelola masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat. Akibatnya masyarakat tersebut tiba-tiba mendapat berbagai larangan yang dibawa sekelompok ‘orang luar.’ Mereka tidak boleh lagi mengambil kayu atau bahkan masuk suatu hutan yang selama ini sudah mereka urus dan memberi penghidupan bagi mereka. Keadaan sering menjadi lebih buruk, karena klaim Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

6


orang luar yang didasarkan pada peta konsesi buatan pemerintah tersebut kerap disertai intimidasi dan aksi kekerasan terhadap mereka, bahkan kerap memakan korban jiwa. Jika kita cermati, ada suatu aspek penting yang terkait erat dengan peranan peta sebagai alat untuk mengklaim suatu wilayah, yakni fungsi ekonomi peta. Kenyataannya, selama ini peta telah menjadi alat penting dalam mengatur aset, terutama dalam bentuk peta-peta tematik (peta dengan tema tertentu), misalnya peta kawasan hutan, peta cuaca, atau peta perkebunan. Oleh karena itu, pembuatan peta adalah suatu aktivitas yang erat kaitannya dengan persoalan politik, tidak terlepas dari masalah ‘oleh siapa’ dan ‘untuk siapa’ suatu peta dibuat. Dan karenanya sarat dengan potensi kekerasan. Bukan hanya kekerasan fisik, melainkan juga wacana yang menimbulkan ketidakadilan dan kesewenangwenangan oleh suatu pihak kepada pihak lain. Kekerasan dalam pemetaan juga terjadi pada penamaan suatu tempat ( toponimy). Umumnya, nama suatu tempat berhubungan dengan sejarah, identitas kelompok, dan klaim masyarakat atas tempat tersebut. Pada jaman Hindia Belanda, misalnya banyak nama kota di tanah air yang diganti sepihak oleh penguasa saat itu dengan nama-nama Belanda, seperti Batavia untuk Jakarta, Buitenzorg untuk Bogor dan Hollandia untuk Jayapura. Belakangan, sebagian orang Papua (dulu disebut Irian Jaya) menyebut Jayapura sebagai Port Numbay. Salah satu bab dalam buku ini juga mengulas hal ini. Kedua bentuk kekerasan peta pada dasarnya adalah bentuk penghapusan masyarakat lokal dari keberadaan mereka di suatu wilayah. Untuk melawan proses ‘penghapusan’ tersebut muncullah gerakan PP untuk melawan negara dengan menggunakan ‘bahasa’ yang sama. Melalui peta-peta yang dihasilkan masyarakat lokal dengan bantuan para pendukungnya bisa menunjukkan keberadaan mereka dan untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka yang dicabut atau diabaikan. Pada dasarnya dalam proses PP para surveyor (penggiat dan anggota komunitas) mengambil data spasial berupa titik, garis dan poligon. Data titik untuk menentukan posisi, misalnya, suatu tempat; garis untuk jalan dan sungai; poligon untuk penggunanaan lahan seperti pemukiman, sawah, kebun, hutan dan batas wilayah. Selain itu juga diambil data non-spasial atau sering juga dikatakan data dan informasi sosial pada wilayah yang dipetakan, seperti sejarah komunitas dan wilayahnya, pergerakan atau perpindahan penduduk, demografi, konflik, sistem penguasaan tanah dan sebagainya. Kedua macam data inilah yang melengkapi peta partisipatif yang disajikan dengan berbagai cara dan penggunaannya. Untuk alasan kerahasiaan dan perlindungan terhadap data yang dimiliki orang kampung, sering peta partisipatif dibuat dalam beberapa 7

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


lembar tema (layer), seperti peta batas wilayah, peta pengunaan tanah, peta tempat-tempat bersejarah, peta pemukiman dan sebagainya. Namun, banyak juga peta partisipatif diproses dengan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dapat disajikan dengan berbagai ukuran kertas (skala), pewarnaan, dan legenda (keterangan peta) yang menarik. Teknologi SIG juga memungkinkan analisis mengenai tumpang tindih penggunaan lahan, konflik batas antar wilayah, kecenderungan dampak konflik, dan penggunaan sumberdaya alam. Beralih ke partisipasi, istilah ini muncul menjadi k onsepsi partisipasi muncul menjadi wacana dalam ilmu perencanaan dan studi pembangunan. Para perencana dan peneliti pembangunan merasakan banyak kegagalan dalam proyek pembangunan karena masyarakat yang menjadi sasaran tidak mengalami perubahan. Sementara ‘partisipatif’ merupakan kata keterangan (adjective) dari frase penelitian partisipatif ( participatory research ), karena pada dasarnya PP di Indonesia merupakan pengembangan dari Participatory Rural Appraisal (PRA – pengkajian desa secara partisipatif). PRA sendiri adalah salah satu varian dari penelitian partisipatif. Wacana partisipasi sudah muncul empat puluh tahun lalu dalam ilmu perencanaan ketika Sherry Arnstein menerbitkan artikel tentang tingkat partisipasi warga, sebuah artikel yang menjadi sangat terkenal. Ia menguraikannya dalam bentuk tangga yang terdiri dari delapan anak tangga. Di sini kami mengutip penjelasannya yang telah diterjemahkan secara utuh. 1e Pada anak tangga paling bawah adalah 1) Manipulasi ( Manipulation) dan (2) Terapi (Therapy). Kedua anak tangga ini menggambarkan aras ‘nirpartisipasi’ yang diusahakan sekelompok orang untuk menggantikan partisipasi yang murni. Tujuan mereka sebenarnya bukan untuk memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam perencanaan atau pelaksanaan program, tetapi untuk memungkinkan para pemegang kekuasaan untuk ‘mendidik’ atau ‘menyembuhkan’ para peserta. Anak tangga ketiga dan keempat maju ke arah tokenisme (penghargaan) yang memungkinkan orang-orang tak berpunya untuk mendengarkan dan bersuara: (3) Pemberitahuan (Informing) dan (4) Konsultasi (Consultation). Ketika mereka ditawarkan para pemegang kekuasaan sebagai keseluruhan partisipasi, warga mungkin memang mendengarkan dan didengarkan. Tetapi dalam keadaan ini warga tidak memiliki kekuasaan untuk memastikan bahwa pandangan mereka akan digubris oleh kelompok yang berkuasa. Ketika partisipasi terbatas pada aras-aras tersebut, tidak ada lanjutannya, tidak punya kekuatan, jadi tidak ada jaminan akan mengubah keadaan. Anak tangga (5), Penenteraman (Placation), pada dasarnya aras penghargaan yang lebih tinggi karena aturan dasarnya membolehkan orang yang tak berpunya untuk menasihati, tetapi Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

8


tetap mempertahankan hak pengambilan keputusan pada para pemegang kekuasaan. Pada anak tangga yang lebih tinggi adalah aras kekuasaan warga dengan tingkatan pengambilan keputusan yang makin tinggi. Warga bisa membangun sebuah (6) Kemitraan (Partnership) yang memungkinkan mereka untuk berunding dan mendapatkan timbal baik dari para pemegang kekuasaan. Pada anak tangga yang paling atas, (7) Kekuasaan yang didelegasikan (Delegated power) dan (8) Kontrol warga (Citizen control), para warga yang tidak berpunya memiliki sebagian besar suara dalam pengambilan keputusan atau bahkan kekuasaan pengelolaan penuh. Kritik yang dilancarkan Arnstein terhadap konsep partisipatisi akhirnya masuk ke dalam lingkaran lembaga-lembaga pembangunan dan mempengaruhi studi pembangunan. Perubahan ini terjadi pada tahun 1980-an ketika ilmu-ilmu sosial yang membawa perspektif manusia mulai berhasil mempengaruhi kebijakan pembangunan. Sebelum itu kebijakan pembangunan semata-mata ditentukan oleh para perencana, birokrat dan politisi yang tidak banyak mempedulikan kepentingan rakyat karena pendekatan mereka yang paternalistik dan top-down. Bank Dunia pun mulai memperkenalkan pembangunan yang partisipatif ( participatory development ). Konsep ini bertujuan untuk memberikan masyarakat kesempatan lebih banyak untuk berpartisipasi secara efektif dalam kegiatan pembangunan. Metode-metode penelitian sosial yang menangkap kepentingan masyarakat pun mulai dikembangkan terutama lewat pengkajian desa secara cepat (Rural Rapid Appraisal- RRA ) yang menempati masyarakat sebagai narasumber bagi para peneliti. Konsep penelitian partisipatif muncul sekitar awal 1980-an sebagai reaksi terhadap penelitian sosial yang cenderung tidak memperhatikan kepentingan masyarakat sehingga menjadikan mereka sebagai obyek semata yang bisa diotakatik seenaknya. Makin maraknya represi pada dekade 1960-an dan munculnya pengaruh Marxis ke dalam ilmu-ilmu sosial di tahun 1970-an mendorong pengembangan metode penelitian yang berpihak kepada kaum yang terpinggirkan. Penelitian partisipatif adalah salah satu terobosan untuk mengangkat keberpihakan tersebut. Atau dengan kata lain ilmu-ilmu sosial mengalami proses humanisasi. Pendekatan penelitian ini tidak lepas dari pengaruh kuat Paulo Freire. Beliau mengusulkan konsep conscientização (konsientisasi atau penyadaran) yaitu proses yang dilalui sebuah kelompok (kelas) dalam menyadari penindasan budaya mereka, mentalitas terjajah mereka yang menciptakan budaya bisu ( culture of silence) yang mengungkung mereka. Dalam proses tersebut mereka 9

12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


menemukan bahwa mereka memiliki budaya populer sendiri, identitas sendiri dan sebuah peran dalam masyarakat. Mereka adalah subyek yang berkepentingan untuk menciptakan masa depan baru yang demokratis sebagaimana dilakukan kelompok-kelompok dominan. Kesadaran kritis demikian membuat mereka lebih mengerti tentang realitas dunia, yang kemudian mendorong mereka untuk mengambil tindakan untuk mengubah dunia dengan cara memberi makna-makna baru dalam hubungan sosial yang tidak adil menuju masyarakat demokratis. Metode yang diajukan Freire adalah pendidikan hadap-masalah ( problem-posing education) yang mendorong ‘guru’ dan ‘murid’ untuk melakukan dialog dalam menganalisis realitas sosial para ‘murid,’ sehingga terjadi proses yang setara di antara keduanya. Konsekuensinya adalah baik guru dan murid adalah subyek berpengetahuan yang saling belajar. Jadi guru adalah juga murid, dan sebaliknya murid juga menjadi guru. Agar keadaan ini bisa dicapai baik guru dan murid harus bisa menempatkan diri pada dua sistem nilai atau dua sistem budaya, karena pengetahuan dari masing-masing pihak sangat mungkin berakar sistem nilai atau budaya yang berbeda. Ide penting Freire ini masuk ke dalam metode penelitian partisipatif yang juga menjadikan masyarakat sebagai subyek yang mampu membuat pengetahuan (knowing subject) tentang diri mereka sendiri. Implikasi dari pendekatan itu adalah pemakaian metode dialog dalam penelitian dan adanya kontrol masyarakat atas penelitian tersebut untuk mengubah keadaan yang menekan kehidupan mereka. Implikasi lain adalah ilmuwan (sosial) kehilangan otoritas satu-satunya kelompok pembuat ‘kebenaran’ tentang keadaan masyarakat. Pendekatan ini pun akhirnya masuk ke dalam lingkaran studi pembangunan dengan diperkenalkannya PRA. Gerakan PP berkembang sangat pesat sejak awal 1990-an dan menyebar ke berbagai pelosok dunia. Gerakan ini menantang negara yang mengklaim kedaulatan atas ruang dan sumber daya alam di dalamnya melalui peta modern.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 10


Upaya ini menjadi sangat mungkin karena karena teknologi pemetaan modern, terutama global positioning system (GPS) dan sistem informasi geografis (SIG), menjadi makin murah dan makin mudah digunakan. Akibatnya seseorang dengan pemahaman dasar tentang kartografi bisa membuat peta modern standar, tidak perlu lagi keahlian tinggi. Jadi teknologi pemetaan ini bisa berubah menjadi teknologi perlawanan (technologies of resistance ) yang memungkinkan kelompokkelompok lemah untuk merekonstruksi teknologi-teknologi tersebut. Dengan demikian kesan sakral dari teknologi pemetaan terbongkar. Walaupun para ahli perpetaan (kartografi) menyatakan bahwa mereka yang mampu membuat peta bukan berarti mereka adalah kartograf, dan juga tidak berarti peta yang dibuat para aktivis dan masyarakat lokal tidak mempunyai kekuatan. Masyarakat memiliki posisi tawar yang lebih baik ketika berhadapan dengan pihak luar (khususnya Negara dan pengusaha). Peta-peta yang dihasilkan pun kemudian menjadi ‘senjata’ perlawanan yang baru. Di Nicaragua (Amerika Tengah) bahkan ada ungkapan GPSistas 2a karena masyarakat adat tidak lagi mempertahankan tanahnya dengan senjata api, tetapi dengan GPS yang bisa digenggam. Jadi PP adalah sebuah bentuk gerakan sosial dan sebuah strategi untuk melawan hegemoni atas ruang. Karenanya beberapa negara seperti Malaysia dan Filipina berusaha menghambat produksi peta oleh masyarakat dengan mengharuskan para pembuat peta untuk mendapatkan lisensi agar petanya bisa dipakai dalam urusan Negara. Gerakan ini sangat dipengaruhi oleh konsep penelitian partisipatif yang muncul sekitar awal 1980-an sebagai reaksi terhadap pendekatan positivistik dalam ilmu-ilmu sosial. Pendekatan tersebut cenderung tidak memperhatikan kepentingan masyarakat dan bahkan menjadikan mereka sebagai obyek semata yang bisa diotak-atik seenaknya. Makin maraknya represi pada dekade 1960an dan masuknya masalah keadilan sosial ke dalam ilmu-ilmu sosial di tahun 1970-an mendorong pengem-bangan metode penelitian yang berpihak kepada kaum yang terpinggir-kan. Penelitian partisipatif adalah salah satu terobosan untuk mengang-kat keberpihakan tersebut. Ide penting dalam metode ini adalah menja-dikan masyarakat sebagai subyek yang mampu membuat pengetahuan (knowing subject) tentang diri mereka sendiri, suatu teori yang diusung Paulo Freire. Implikasi dari pendekatan itu adalah pemakaian metode dialog dalam penelitian dan adanya kontrol masyarakat atas penelitian tersebut untuk mengubah keadaan yang menekan kehidupan mereka. Implikasi lain adalah peneliti kehilangan otoritas sebagai satu-satunya kelompok pembuat ‘kebenaran’ tentang keadaan masyarakat. Dengan demikian, PP bisa dipahami sebagai proses pembuatan peta modern melalui proses dialog di antara masyarakat lokal dan ‘peneliti’ untuk bisa mengubah keadaan masyarakat tersebut. Dengan bantuan ‘peneliti’ yang

11 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


umumnya adalah aktivis organisasi non-pemerintah (Ornop), masyarakat diharapkan menjadi pembuat peta dan sekaligus pembuat peta karena pemetaan jenis ini adalah tentang, oleh dan untuk masyarakat. Secara khusus para ‘peneliti’ ini menerjemahkan peta mental (pengetahuan spasial atas suatu wilayah) masyarakat lokal ke dalam peta dengan standar kartografis. Selain itu, PP juga menjadi alat pengorganisasian masyarakat. Berdasarkan ciri-ciri di atas, dengan meminjam ide Nancy Peluso (seorang sosiolog yang banyak meneliti tentang masyarakat hutan di Indonesia), PP didefinisikan sebagai gerakan sosial yang menggunakan strategi pemetaan (ilmiah) untuk mengembalikan keberadaan masyarakat pada peta geografis dalam menyatakan klaim teritorial yang permanen dan spesifik atas sumber daya alam . Berdasarkan definisi kerja ini banyak nama lain dari pemetaan partisipatif karena gerakan dan metode ini sudah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Dalam sebuah artikel antropologi para pengarang menyebutkan variasi nama tersebut: subsistence mapping, subsistence use area mapping, resource use mapping, participatory mapping, participatory land use mapping, participatory resource mapping, community mapping, community-based mapping, ethnocartography, counter-mapping,self-demarcation, ancestral domain delimitation. 2b

SEJARAH GERAKAN PP DI INDONESIA DAN PERLUNYA EVALUASI Gerakan lingkungan hidup di Indonesia yang mulai marak pada awal tahun 1980-an awalnya menekankan pada persoalan perlindungan ekosistem yang makin rusak akibat pembangunan ekonomi yang eksploitatif. Gerakan ini kemudian mencari alternatif-alternatif pembangunan dan pengelolaan lingkungan yang lebih ramah lingkungan. Bersamaan dengan itu pandangan bahwa masalah lingkungan adalah masalah politik dan HAM mulai masuk ke dalam wacana gerakan ini di awal tahun 1990-an. Contoh-contoh pengelolaan lingkungan yang lestari di tingkat lokal, khususnya oleh masyarakat adat, mendorong para aktivis lingkungan untuk mempromosikan masyarakat adat. Wacana-wacana tersebut kemudian mengerucut menjadi wacana pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat (PSDABM sebagai terjemahan dari community-based natural resource management – CBNRM). Wacana baru tersebut kemudian menjadi arus utama berbagai program-program yang dikembangkan lembaga-lembaga donor, Ornop, akademisi, dan lain-lain, baik di tingkat nasional maupun internasional pada dekade 1990-an. Bahkan sampai saat ini pun wacana tersebut tetap menjadi arus utama dalam kegiatankegiatan programatik Ornop, lembaga penelitian, maupun program-program

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 12


yang dirancang pemerintah. Di Indonesia wacana ini mempengaruhi wacana baru seperti Sistem Hutan Kerak yatan (SHK) – yang ide awalnya digagas oleh beberapa LSM – sebagai padanan dari community based forest management , meskipun dalam perkembangannya menjadi sangat khas Indonesia. Pada periode yang sama gerakan masyarakat adat yang terutama diusung para aktivis lingkungan hidup juga mengalami evolusi. Dari semula sebagai perlawanan terhadap pembangunan skala besar yang merusak lingkungan, gerakan ini juga memperjuangkan pengembalian hak-hak masyarakat adat yang dilindas Negara demi pembangunan. Belakangan gerakan ini juga masuk ranah politik identitas yang makin menguat di negara ini sejak reformasi, terutama dengan adanya gelombang desentralisasi pada akhir 1990an. Bersamaan dengan itu gerakan petani pun yang lama terpendam akibat represi rejim Orde Baru muncul kembali. Revitalisai gerakan yang diberangus pada pertengahan 1960an ini kembali memunculkan hak-hak petani dan isu reforma agraria, suatu isu yang sudah mulai dibangun kembali oleh para mantan aktivis mahasiswa pendamping para petani. Tindakan-tindakan reklaiming tanah pertanian (tanahtanah perkebunan dan kehutanan) pun marak di mana-mana dan upaya perencanaan wilayah reklaiming mulai dilakukan. Dalam kedua gerakan sosial yang berbasis kampung ini berakar pada masalah keadilan sosial. Kemudian karena ada kebutuhan pembuktian klaim atas wilayah dan bagaimana kegiatankegiatan di wilayah tersebut direncanakan gerakan pemetaan partisipatif pun mulai berperan. PP tumbuh dan berkembang luas, secara langsung maupun tidak langsung, dalam kedua konteks ini terutama dalam bungkus PSDABM. Pada awalnya metodemetode pemetaan yang melibatkan masyarakat dikembangkan oleh lembagalembaga yang menggeluti isu-isu konservasi. Mula-mula penggunaan metode ini hanya untuk kelengkapan proses pengumpulan data keruangan yang lebih berperspektif masyarakat. Selain itu, metode ini juga dimanfaatkan untuk mencitrakan bahwa program yang dilakukan oleh suatu lembaga telah berlangsung secara partisipatoris. WWF Indonesia Program memakai metode ini pertama kali dalam pemetaan kampung Long Uli yang berada di pinggir kawasan konservasi yang sekarang menjadi Taman Nasional Kayan Mentarang (Kalimantan Timur). Sejak itu metode PP kemudian berkembang, baik metodologi teknisnya maupun metodologi sosialnya. Pengguna metode ini kemudian berkembang luas, bahkan berbagai organisasi yang terlibat dalam advokasi tanah pun mengembangkan metode ini untuk memperkuat program-program advokasi yang dilaku-kannya. Meskipun variasi penggunaan metode ini telah berkembang luas, tetapi yang tetap mirip adalah bahwa metode ini selalu dengan penekanan kuat pada isu-isu pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat. 3

13 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Sampai pada tahun 1995 para pelaku pemetaan yang melibatkan masya-rakat ini praktis masih berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing mencoba mengembangkan metode yang disesuaikan dengan kebutuhannya masing-masing. Taraf pengembangan metodenya pun masih dalam rangka uji coba dan terus berubah. Kemudian pada bulan Oktober 1995, PAFID – sebuah LSM yang berkedudukan di Filipina – menyelenggarakan sebuah lokakarya dengan tema perkembangan community mapping di berbagai belahan dunia. Peserta-peserta yang datang dalam acara tersebut berasal dari berbagai negara yaitu Indonesia, Panama, Kanada, Amerika Serikat, Malaysia, dan Filipina sebagai tuan rumah. Lokakarya ini memberikan inspirasi yang kuat bagi para peserta dari Indonesia untuk mengembangkan community mapping lebih jauh. Di Amerika Latin dan Kanada, community mapping telah berkembang cukup lama, dan proses-proses community mapping telah diakui negara sebagai bagian proses menuju pengakuan tenurial wilayah masyarakat adat. Filipina telah memiliki perundangan yang jelas tentang prosedur menggunakan peta-peta hasil community mapping untuk pengakuan wilayah masyarakat adat. Sangatlah jelas bahwa community mapping di Indonesia pada waktu itu ketinggalan dibandingkan pengalaman negara lain. Setelah lokakarya ini para peserta dari Indonesia sempat berkumpul bersama dan secara singkat bertukar pikiran tentang perkembangan community mapping di Indonesia. Kemudian mereka sepakat untuk melaksanakan lokakarya tentang community mapping pada bulan Mei 1996 dengan mengundang berbagai lembaga yang mulai mengembang-kan kegiatan tersebut di Indonesia. Hasil penting dari lokakarya yang diselenggarakan di Gadog-Bogor ini adalah pembentukan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) . Sejak itu mulailah gerakan pemetaan partisipatif secara formal dan masif. Sampai sekarang telah cukup panjang perkembangan community mapping di Indonesia baik metodologi, paradigma, perluasan, maupun organisasi. Pada awalnya, kegiatan pemetaan yang melibatkan masyarakat tarafnya baru uji coba, sehingga terdapat banyak ragam cara dan paradigma yang menyertainya. Ada lembaga yang menggunakan metode ini hanya untuk melengkapi informasi spasial dari suatu wilayah yang dikumpulkan lembaganya – bisa merupakan bagian dari suatu riset atau merupakan kegiatan tersendiri – sehingga informasi spasial yang diinginkan mencitrakan pendapat masyarakat. Karena pengumpulan informasi spasial atas suatu topik tertentu menjadi tujuan utamanya maka proses-proses partisipasi menjadi lebih dikesampingkan. Proses-proses ekstraksi informasi spasial dari masyarakat dilakukan sesuai dengan topik informasi spasial yang diinginkan, sesuai dengan rencana kerja dan metode yang disiapkan lembaga itu. Dengan metode ini sangatlah jelas

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 14


bahwa lembaga penyelenggaralah yang akan mendapatkan man-faat dari informasi spasial yang dikumpulkan; adapun masyarakat hanya dimintai keterangan atau bisa menjadi tukang angkut barang dalam proses di lapangan. Pada pertengahan 1990-an – ketika isu tentang pemetaan yang melibat-kan masyarakat mulai berkembang – beberapa lembaga besar mencoba mengadopsi metode ini dalam “proyek-proyeknya”. Ciri-ciri proyek-proyek ini biasanya bekerja pada suatu wilayah yang luas, bertujuan mengkombinasikan antara isu konservasi dan partisipasi masyarakat, serta cukup ambisius untuk mencapai kondisi pengelolaan sumberdaya alam yang ideal untuk suatu kawasan. Pada prakteknya proyek-proyek model ini tidak berhasil menjadikan masyarakat sebagai subyek kegiatan atau gagal “mengajak” masyarakat berpartisipasi penuh dalam proyek-proyek ini. Pada akhirnya – hampir sama dengan metode di atas – masyarakat hanya menjadi tukang angkut saja, atau setengah hati terlibat dalam proyek-proyek ini. Beberapa kemungkinan penyebab kekurang berhasilan proyek-proyek ini: perencanaan proyek dilakukan tanpa melibatkan masyarakat, bukan kebutuhan yang sebenarnya dari masyarakat, memiliki jadwal yang terlalu ketat, memiliki prosedur proyek yang “asing” bagi masyarakat. Mengajak masyarakat berpartisipasi penuh dalam suatu kegiatan tidaklah mudah. Suatu kampung – sekecil apapun kampung itu – memiliki pemangkupemangku kepentingan yang rumit. Partisipasi penuh akan timbul kalau kegiatan itu benar-benar merupakan kepentingan kampung itu. Kalau disampaikan dengan “benar” tentang kegunaan PP untuk suatu kampung, maka sebenarnya tidaklah terlalu sulit menjadikan PP benar-benar menjadi agenda kampung itu. Proses penerimaan ide atau perkembangan wacana di kampung tentang PP yang seringkali memerlukan waktu lama. Apabila PP telah menjadi agenda kampung atau apabila masyarakat telah berpartisipasi penuh dalam PP, maka proses kegiatan pemetaan akan menjadi mudah dan optimal hasilnya. Kesabaran proses seringkali gagal dipenuhi oleh proyek yang telah dirancang dengan pembagian waktu yang ketat; seringkali pelaksana di lapangan menjadi mengesampingkan partisipasi. JKPP mencoba menempatkan partisipasi masyarakat menjadi kunci dalam kegiatan PP. Dalam kegiatan PP, masyarakat lah yang harus menjadi penyelenggara, penentu manfaat peta yang akan dibuat, penentu substansi pemetaan, pengontrol hasil, dan pelaku utama kegiatan. Adapun pihak luar (fasilitator, LSM) hanya akan membantu hal-hal teknis dalam pemetaan. Kode Etik JKPP dengan tegas menjelaskan bahwa masyarakatlah yang menjadi penentu/penyelenggara kegiatan PP di kampungnya. Karena itu kampung yang akan menyelenggarakan pemetaan harus menyepakati tentang proses penyelenggaraan pemetaan, pembiayaan, menentukan orang-orang yang terlibat, 15 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


dan sebagainya. Sangatlah jelas bahwa PP merupakan kegiatan yang luar biasa dan menyibukkan orang-orang di kampung. JKPP dengan teguh menggunakan definisi “pemetaan partisipatif� untuk kegiatan pemetaan yang melibatkan masyarakat; tentunya dengan standar partisipasi seperti apa yang tersurat dalam Kode Etik JKPP yang diformulasikan dalam Forum Anggota (setingkat kongres) JKPP pada tahun 1999. Akan tetapi dalam perjalanan JKPP, tidak semua anggota JKPP berhasil menjalankan sepenuhnya Kode Etik JKPP dalam menyelenggarakan PP. Harus diakui bahwa ada anggota JKPP yang “kurang sabar� dalam mendukung proses PP, terjebak dengan jadwal proyek atau memang kurang intensif dalam bekerja di suatu tempat. Partisipasi penuh masyarakat sangat penting dalam PP, karena pada masa-masa selanjutnya masyarakat sendiri lah yang akan memanfaatkan peta yang telah dihasilkan. Pada awal 90-an, ketika metode pemetaan dengan pelibatan masyarakat mulai berkembang, hanya beberapa lembaga di Indonesia yang mulai mencoba metode ini. Itupun didominasi oleh lembaga-lembaga yang menekuni isu konservasi sumberdaya alam. Karena tarafnya baru uji coba, variasi metode dan tujuan penggunaan pemetaan yang melibatkan masyarakat juga sangat luas; dari dominasi tujuan oleh lembaga yang menginisiasinya sampai pada lembagalembaga yang benar-benar menyerahkannya kepada masyarakat tentang tujuan dan manfaat PP. Pada tahun 1996, setelah JKPP berdiri, upaya-upaya perluasan ide-ide tentang PP mulai dilakukan dengan serius. Telah cukup banyak kegiatankegiatan peningkatan kapasitas dalam PP telah dilakukan; magang, regional training, training of trainers (TOT), kunjungan silang, dsb. Pada awal 1990-an hanya beberapa lembaga saja yang mengembangkan metode pemetaan dengan melibatkan masyarakat. Saat ini hampir di seluruh provinsi di Indonesia terdapat lembaga-lembaga yang mengem-bangkan PP dan tersedia fasilitatorfasilitator PP. Kegiatan-kegiatan PP diselenggarakan oleh beragam masyarakat, baik yang memiliki wilayah hidup berbasis daratan maupun yang berwilayah hidup dengan basis laut. Berbagai permintaan PP dari komunitas-komunitas belum keselu-ruhan bisa terlayani. Materi peningkatan kapasitas bukan hanya teknik-teknik PP di lapangan, tetapi juga meliputi GIS, penggunaan peta untuk perencanaan, pengkayaan pemahaman aliran ideologi yang berpengaruh, dsb. Refleksi-refleksi penggunaan metode yang telah digunakan juga dilakukan. Meskipun berbagai proses training PP telah diselenggarakan, tetapi jumlah fasilitator PP yang masih aktif sampai sekarang sangatlah terbatas. Substansi berbagai kegiatan peningkatan kapasitas pun masih perlu banyak perbaikan.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 16


Saat ini metode ini sangat cepat perkembangan penggunaannya. Berdasarkan data yang dikumpulkan JKPP (2009), telah 510 komunitas atau kampong atau desa menyelenggarakan PP dengan luas areal lebih dari 2,5 juta hektar. Anggota JKPP berjumlah 63 lembaga dan 35 anggota perorangan. Meskipun yang sangat dominan menggunakan metode ini adalah LSM dan masyarakat, pemerintah pun telah mulai mengadopsi metode pemetaan dengan melibatkan masyarakat dalam mengimple-mentasikan program-programnya. Program Hutan Kemasyarakatan (HKM) Departemen Kehutanan mensyaratkan perencanaan partisipatif (yang menyertakan juga peta partisipatif) sebagai salah satu kelengkapan yang harus disediakan kelompok masyarakat yang ingin mengelola hutan. Departemen Kehutanan telah mencoba tata batas partisipatif dengan metode ini di Sumba (NTT). Pemda Kutai Barat dan Pemda Jayapura – bekerja sama dengan LSM dan akademisi – mencoba menginventarisir wilayahnya dengan menggunakan metode ini. Perhatian lembaga-lembaga donor akan pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat pada masa berdirinya JKPP memungkinkan dukungan dana yang besar bagi gerakan ini. Dua tahun kemudian, Soeharto mundur dari kekuasaan otoriternya yang dipegang selama 32 tahun. Kejadian ini membuka peluang yang besar dalam meredefinisi hubungan negara dan rakyat dan membuka ruang politik yang sangat besar bagi gerakan sosial. JKPP menikmati situasi ini sehingga memungkinkan gerakannya makin membesar. Perbesarannya diikuti dengan semakin memperkuat strategi gerakannya yang salah satunya adalah turut terlibat dalam pembentukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Hal ini sejalan dengan langkah awal pembentukkan JKPP, dimana dimulai dengan banyak melakukan pemetaan di wilayah-wilayah dimana komunitas adat hidup. Dengan mendorong terbentuk-nya AMAN, maka gerakan yang sedang didorong JKPP dengan PP memungkinkan untuk semakin memperjelas strategi gerakan PP didalam khususnya di komunitas adat. Terkait dengan kelembagaan yang kuat didalam komunitas adat yang dibangun oleh AMAN, maka bagi JKPP akan semakin mempertegas wilayah-wilayah kerja JKPP. Di lain pihak, perubahan politik tersebut menyebabkan perubahan prioritas lembaga donor untuk menyokong isu reformasi politik dan ekonomi, terutama melalui topik desentralisasi dan tata pengurusan yang baik ( good governance). Perubahan politik pendanaan ini berdam-pak signifikan terhadap gerakan PP sehingga mulai melesu dan seperti kekurangan darah. Repotnya JKPP terlambat, atau bahkan tidak siap, untuk mengantisipasi perubahan ini, karena masih berkutat persoalan teknis pemetaan. Sampai saat ini anggota-anggota JKPP cenderung masih menjadi “tukang ukur-ukur” dan belum sampai ‘bermain’ politik dalam pengelolaan ruang dan belum memiliki konsep yang jelas setelah

17 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


pemetaan dilakukan. Padahal visinya untuk ‘menegakkan kedaulatan rakyat atas ruang’ sangatlah politis. Jadi terasa sekali kesenjangan antara cita-cita dan kenyataan. Sementara kesulitan hidup rakyat makin berat akibat kesalahan pengelolaan negara. Hal ini tercermin pada kebijakan keruangan pemerintah yang makin condong pada kepentingan pemodal besar. Sementara rakyat kebanyakan di pedesaan dan perkotaan makin terjepit karena mereka makin tidak mampu mempengaruhi proses pengambilan kebijakan yang berdampak pada tata kuasa, tata kelola dan tata konsumsi mereka. Kesalahan tersebut akhirnya menimbulkan sederet bencana akibat kelalaian manusia. Banjir, tanah longsor, luapan lumpur panas, kekeringan adalah bentuk-bentuk bencana yang muncul akibat pemanfaatan ruang yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan, partisipasi dan keadilan. Selain itu tertutupnya komunikasi antar kelompokkelompok identitas yang dikategorikan sebagai SARA menimbulkan konflik etnis dan agama seperti di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku dan Poso. Salah satu akar persoalan yang menimbulkan konflik-konflik tersebut adalah ketidak-adilan dalam pengelolaan sumber daya alam. Menghadapi persoalan-persoalan tersebut JKPP bersama sejumlah aktivis gerakan PP dan organisasi rakyat perlu meredefinisi gerakannya dengan memperhatikan konteks-konteks politik, sosial, ekonomi dan budaya yang ada. Jaringan ini harus berubah dari sekedar ‘tukang ukur-ukur’ menjadi pendamping yang berkomitmen tinggi bagi masyarakat lokal dan kekuatan penekan yang didengarkan bagi para pembuat kebijakan dan pemodal. Secara internal JKPP yang kemudian menjadi ‘rumah’ bersama untuk dijalankannya dan dikembangkannya strategi-strategi gerakan PP sudah menyadari persoalanpersoalan ini dan berupaya untuk mengarusutamakan Pemetaan Partisipatif untuk mencapai kedaulatan rakyat atas tata kuasa, tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi. Untuk itu JKPP mengumpulkan petikan pengalaman dari kegiatan PP sampai saat ini dari berbagai daerah. Buku ini adalah kumpulan tulisan dari berbagai pelaku pemetaan partisipatif dari Aceh sampai Papua yang diundang JKPP untuk menuliskan pengalaman dan pengendapan mereka atas kerja-kerja yang mereka lakukan sebagai bagian dari gerakan PP dalam sebuah lokakarya penulisan (lokatulis) di Bogor. Para peserta dipilih dengan memperhatikan keragaman ekosistem dan penggunaan wilayah tempat kerja lembaga asal, termasuk pesisir, pertanian, pegunungan, daerah aliran sungai, kawasan konservasi, konsesi hutan/tambang, serta memperhatikan keterwakilan wilayah asal anggota JKPP

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 18


Berdasarkan kriteria tersebut Sekretariat JKPP mengundang para penulis babbab buku ini yang didampingi oleh seorang wakil masyarakat dari kampung yang menjadi studi kasus tulisan masing-masing. Para peserta yang hadir dalam lokatulis tersebut adalah wakil-wakil dari: -

Aceh yang mengalami konflik bersenjata dan merekonstruksi wilayahnya sesudah bencana tsunami

-

Lampung yang masyarakat nelayannya harus berhadapan dengan kegiatan perikanan skala besar

-

Kalimantan Barat yang memiliki gerakan masyarakat adat yang kuat di tengah maraknya ekspansi perkebunan kelapa sawit skala besar

-

Kalimantan Timur dan Flores (Nusa Tenggara Timur) dengan masalah hutan lindung di atas tanah adat

-

Sulawesi Tengah yang masyarakat adatnya tinggal di dalam sebuah taman nasional

-

Papua yang sedang berusaha merencanakan wilayah adatnya secara multipihak

-

Jawa Timur dengan konsentrasinya pada gerakan petani yang sedang memperjuangkan tanah garapan

-

Banten yang berjuang mendapatkan lahan dari kawasan hutan yang diklaim Perum Perhutani (BUMN yang memonopoli pengelolaan hutan di Jawa)

Sebelum datang ke acara lokatulis para peserta diminta untuk menjawab sejumlah pertanyaan. Mereka juga diharapkan untuk melakukan diskusi dengan masyarakat dan pejabat pemerintah untuk memenuhi harapan yang dijawabkan didalam acara lokatulis yang termasuk didalamnya adalah agenda evaluasi . Dalam mengumpulkan informasi dalam evaluasi ini metode yang dipakai berusaha untuk mendapatkan keterwakilan semua kepentingan yang terkait dalam gerakan dan memakai perspektif jender dalam semua komponen evaluasi. Tidak semua peserta melakukan hal ini, namun pertanyaan-pertanyaan dasar yang ada dalam panduan tersebut kembali dibahas dalam diskusi pendahuluan dan penutup lokatulis. Ringkasan j awaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dan hasil kedua diskusi tersebut ditulis dalam bab tersendiri. Buku ini diharapkan dapat menyumbang pengembangan pemikiran dasar dan pendekatan PP dan menjabarkan peluang-peluang baru bagi JKPP agar dapat lebih berperan dalam pemberdayaan masyarakat lokal dalam konteks saat ini dan memberikan dampak nyata dalam perubahan kebijakan penataan dan pengelolaan ruang.

19 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


RINGKASAN TULISAN Untuk menghantarkan para pembaca atas bab-bab berikutnya, kami (para penyunting) merasa perlu untuk menyampaikan ringkasan tulisan-tulisan tersebut sebagai gambaran atas apa yang akan pembaca temui. Secara umum bab-bab tersebut dibagi menjadi empat bagian yaitu PP dalam gerakan masyarakat adat, PP dalam gerakan petani, PP dalam pengelolaan sumber daya alam, dan dampak PP. Konflik keruangan sering terjadi antara komunitas adat dengan pihak lain, sebagaimana yang dialami oleh masyarakat adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang di Flores yang berkonflik dengan pemerintah. Perbedaan filosofi dan tujuan dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan dasar konflik tersebut. Pemerintah secara sepihak menetapkan sebagian besar wilayah masyarakat adat tersebut sebagai hutan lindung, sehingga kelompok ini menjadi korban dalam konflik keruangan ini. PP dipilih sebagai strategi untuk menyediakan media advokasi penyelesaian konflik keruangan yang mereka hadapi. Peta partisipatif yang telah dibuat masyarakat cukup efektif untuk menjelaskan pola-pola penataan dan pengelolaan ruang berdasarkan kearifan lokal masyarakat, sekaligus sebagai bentuk perlawanan terhadap pola penataan dan pengelolaan ruang yang dilakukan oleh pemerintah yang cenderung merugikan masyarakat. Samuel Sau Sabu menuturkan bahwa di berbagai forum dialog, pemerin-tah daerah sudah memberi pengakuan, meskipun belum tertulis atas hak-hak komunitas tersebut dalam menata dan mengelola wilayah adatnya. Tetapi perjuangan ini masih panjang karena komunitas tersebut meminta adanya aturan tertulis yang menjamin pengembalian seluruh wilayah adat komunitas ini. Walaupun demikian – menurut Samuel – PP telah memberikan kekuatan baru bagi komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang untuk tetap menjaga solidaritas dan menemukan diri mereka sebagai satu kesatuan berdasarkan hubungan genealogis. Selain itu mereka menemukan kekuatan baru dan memiliki dasar keutuhan sebagai satu wilayah, satu sejarah, satu nasib dan maju untuk melawan ketidakadilan yang memiskinkan, memenjarakan dan mendiskriminasikan mereka. Pengalaman yang dituliskan oleh Ahmad SJA dan Jidan menggambarkan bagaimana PP telah meneguhkan kembali masyarakat Kampung Muluy untuk mengelola hutan adat mereka dan secara bersamaan menolak keberadaan kawasan hutan lindung di tanah mereka. Bagi masyarakat kampung tersebut PP adalah sebuah metode, sebuah cara dan sebuah alat bagi mereka untuk dapat mengidentifikasi dengan baik persoalan yang ada dan persoalan yang mungkin muncul di kemudian hari yang pada akhirnya menunjuk-kan kekuatan PP. Masyarakat Kampung Muluy memakai seluruh dokumentasi dan inventarisasi Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 20


tentang seluruh keyakinan, pikiran dan potensi sumberdaya alam Hutan Adat Gunung Lumut sebagai alat tawar tertinggi dengan pihak manapun yang akan memanfaatkan hutan adat mereka. Selain itu kekuatan adat dan kearifan lokal yang dipetakan kemudian semakin menguatkan posisi tawar masyarakat adat Kampung Muluy untuk selalu menjaga kawasan Hutan Adat Gunung Lumut. Masyarakat Katu yang tinggal di kawasan Taman Nasional Lore Lindu memiliki pengalaman yang sangat menarik karena peta yang mereka buat menjadi dasar pengakuan bagi keberadaan mereka di dalam kawa-san konservasi tersebut, seperti yang dituliskan oleh Azar dan Lahmudin Yoto. Kawasan konservasi yang melingkupi wilayah adat Orang Katu berganti status dan nama beberapa kali sebelum akhirnya memakai nama yang sekarang ini. Seperti juga di tempattempat lain, keberadaan kawasan konservasi ditetapkan secara sepihak oleh Departemen Kehutanan dan menghapus hukum adat yang mengatur hak-hak atas tanah yang berlaku dalam masyarakat serta munculnya sederet larangan dan kriminalisasi. Pemerintah berencana untuk memindahkan Orang Katu karena dianggap mengganggu keberadaan kawasan konservasi, namun orang Katu terus melawan upaya yang menegasikan hak mereka itu. Setelah melalui perjuangan yang berliku dan belajar dari berbagai macam sumber dan tempat, pada tahun 1999 Kepala Taman Nasional Lore Lindu akhirnya mengakui wilayah adat mereka. Capaian ini sangatlah menarik, tetapi adakah jaminan bahwa pengakuan tersebut dapat terus bertahan di tengah politik kehutanan yang sangat merugikan hak-hak adat dalam hutan? Berbeda dengan PP di tempat-tempat lain yang cenderung hanya satu kampung atau desa dan melibatkan masyarakat saja, PP di Papua beberapa tahun terakhir ini mencakup wilayah yang luas dan melibatkan banyak pihak, terutama Dinas Kehutanan Papua. Noah Wamebu memaparkan pengalaman lembaganya mengorganisasi masyarakat adat Nambluong yang dalam perjalanannya menggunakan PP multipihak untuk proses pemberdayaan dan pengakuan hak. Pengorganisasian yang dilakukan dimulai dengan membangun federasi kampung-kampung adat dalam sebuah persekutuan. Kemudian dengan makin terbukanya peluang politik bagi gerakan masyarakat adat di Papua, yang dimungkin-kan dengan status otonomi khusus bagi provinsi paling timur tersebut, percepatan pemetaan wilayah adat menjadi penting. Karena pemetaan wilayah bukan lagi untuk klaim adat semata, tetapi juga untuk perun-dingan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam di dalamnya dengan berbagai pihak, maka para aktivis PP di sana meng-adopsi metode pemetaan yang sudah banyak dipakai di Amerika Latin. Metode survei batas yang banyak dipakai dalam PP di provinsi-provinsi lain di Indonesia tidak lagi dipergunakan. PP di Papua lebih menekankan pengumpulan informasi spasial yang menggabungkan kekuatan peta sketsa dan citra satelit. Untuk wilayah adat di Papua yang sangat luas metode ini memang tampaknya yang paling tepat untuk memetakan wilayah21 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


wilayah adat secara cepat guna mengantisipasi arus kuat investasi yang mengincar sumber daya alam yang belum dijamah di provinsi tersebut. Selain itu pemetaan juga bisa menjadi proses pengorganisasian masyarakat karena terjadi proses penyadaran akan sejarah dan identitas. Bayu Dedi Lukito dan Bambang Teguh Karyanto menggambarkan pengalaman PP di Jember (Jawa Timur). Tulisan mereka adalah satu-satunya bab tentang PP yang dilaksanakan kelompok gerakan petani. Berbeda dengan bab lainnya bab ini mengurai sejarah penguasaan tanah yang panjang, seperti juga dalam kasuskasus agraria lainnya di Jawa, karena catatan sejarah tertulis mudah diperoleh. Hal ini sangat mempermudah untuk menelusuri sejarah klaim tanah yang sekarang dikuasai oleh PTPN XII yang kemudian digugat oleh dua organisasi tani lokal (OTL). Sebagai dampak konflik kedua OTL melakukan reklaiming atas tanah yang disengketakan. Mereka kemudian memetakan lahan hasil reklaiming di desa Nogosari dan desa Curahnongko sebagai upaya untuk meningkatkan posisi tawar OTL dalam penyelesaian sengketa agraria. Peta yang dihasilkan selanjutnya diman-faatkan kedua OTL untuk menata ulang pengelolaan lahan yang mereka kuasai dan untuk meningkatkan semangat para anggota OTL dalam penyelesaian sengketa agraria. Seperti juga di tempat-tempat lain, harapan petani atas legitimasi peta sangatlah tinggi dalam penyelesaian sengketa agraria. Tetapi kenyataannya penyelesaian sengketa berjalan lambat yang mempunyai sehingga diperlukan ‘kesabaran revolusioner’ dalam perjuangan ini. Dalam konteks ini, menurut kedua penulis, PP bisa menjadi salah satu media untuk menumbuhkan sikap tersebut. Dengan mengusung semangat membangun penataan ruang yang berkeadilan, PP dapat menjadi panduan dalam menyelesaikan sengketa dan konflik kerua ngan di negeri ini. Sebuah harapan yang melambung memang, tetapi bukan sebuah hal yang tidak mungkin. Kemampuan peta sebagai alat negosiasi mulai tampak dalam tulisan Bagus Priatna berdasarkan pengalaman di Kampung Ciladu-Ciawi Provinsi Banten. Dengan menggunakan peta yang dihasilkan dalam proses PP, Perum Perhutani menjadi lebih mudah memahami kondisi lapangan dan pentingnya areal permukiman baru itu untuk masyarakat. Masyarakat Kampung Ciladu-Ciawi telah merasakan efektivitas hasil PP untuk memperkuat posisi mereka, khususnya ketika berdialog dan bernegosiasi tentang kebutuhan permukiman baru. Tetapi di luar soal kebutuhan permukiman baru ternyata tidaklah mudah mengajak masyarakat untuk memanfaatkan peta yang mereka buat untuk halhal yang lain. Apakah memang kebutuhan peta itu hanya untuk mengurus konflik saja? Apakah peta itu kemudian hanya disimpan dan menjadi kenang-kenangan saja ? PP yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pulau Pahawang di Lampung adalah dalam upaya melaksanakan strategi untuk melindungi dan mengelola Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 22


sumberdaya alam pesisir laut. Rizani dan M. Syahril Karim menggambarkan bahwa sesungguhnya PP baik dalam prosesnya maupun dampak yang ditimbulkan dalam masyarakat Desa Pulau Pahawang dapat memberikan kontribusi dalam penyelesaian konflik wilayah tangkap dan merosotnya sumberdaya laut di pesisir di Desa Pulau Pahawang. Yang paling mendasar proses PP telah memberikan wacana baru bagi masyarakat di Desa Pulau Pahawang tentang bagaimana seharusnya melindungi wilayahnya agar tidak habis karena kedatangan pihak luar yang juga ingin memanfaatkan sumber daya yang ada di pesisir dan lautnya. Dengan tujuan untuk melindungi wilayah pesisir dan laut di Desa Pulau P ahawang, PP pun ikut berperan dalam membentuk pola-pola relasi dalam masyarakat serta memberi jalan bagi upaya resolusi konflik melalui negosiasi dengan berbagai pihak dengan menggunakan peta yang telah dihasilkan. PP di Kalimantan Barat telah berlangsung sejak tahun 1994 dan saat ini telah mencapai lebih dari 1,5 juta ha tanah adat. Dengan demikian provinsi ini merupakan wilayah yang memiliki peta partisipatif yang paling luas di Indonesia. Pemetaan ini hampir semuanya merupakan tanggapan terhadap konflik sumber daya alam dengan pihak luar. Namun dalam tulisan ini Lorensius mengungkapkan fakta yang patut menjadi perhatian serius para penggiat PP. Berdasarkan pengamatannya di Kabupaten Landak, tiga kampung berdekatan yang telah dipetakan mengalami konflik batas terutama setelah nilai tanah meningkat pesat akibat masuknya investasi besar yang mencari lahan baru. Masyarakat Kampung Sindur yang menginginkan wilayahnya dikembangkan menjadi perkebunan kelapa sawit mengklaim tanah komunal yang dimiliki bersama dua kampung tetangganya karena menurut peta tanah tersebut masuk ke dalam wilayah kampung mereka. Setelah ditelusuri diketahui bahwa dalam proses penentuan batas Kampung Sindur wakil-wakil dari kedua kampung tetangga tidak ikut serta. Persoalan yang menarik perhatian di sini adalah keinginan kuat warga Kampung Sindur untuk mengubah lahan mereka menjadi perkebunan sawit karena mereka belum merasakan kemajuan. Padahal ekspansi perkebunan besar kelapa sawit merupakan salah satu hal yang ingin dicegah melalui PP. Lorensius berpendapat bahwa proses persiapan sebelum pemetaan tidak berjalan dengan baik, karena warga kampung tersebut tidak memakai nilai-nilai dasar gerakan PP. Keadaan ini juga menyiratkan bahwa perubahan konsepsi batas yang mungkin dibawa oleh pemetaan menimbulkan ketegangan antarkampung. Tulisan ini menyiratkan tantangan gerakan PP dalam mengantisipasi perubahan nilai dalam masyarakat dan bahkan memahami nilainilai yang dibawa oleh teknologi pemetaan. Tulisan Anam menyorot sesuatu yang jarang menjadi perhatian khalayak luas, yaitu tentang politik nama tempat dan politik identitas. Memakai pengalaman

23 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


pribadi sebagai warga Kampung Anekng (Kabupaten Landak, Kalimantan Barat) , ia mengungkapkan bagaimana nama kampungnya berubah dari masa ke masa. Sejak berdiri kampungnya bernama Anekng, namun saat pengaruh pemerintah Indonesia masuk ke pedalaman nama tersebut berubah menjadi Andeng. Bersamaan dengan itu masyarakat Dayak merasa rendah diri bila memakai nama Dayak, termasuk untuk menyebut kampungnya, karena berkonotasi ketinggalan jaman. PP yang dilakukan di kampung tersebut membuat perubahan besar karena kesadaran akan identitas kampung muncul lagi sehingga nama Anekng kembali dipakai. Selain itu lembaga ketimanggongan yang hilang pada masa penyeragaman desa kembali dihidupkan dengan memakai wilayah Desa Andeng sebagai basis teritori. Struktur adat baru ini adalah sebuah paradoks sebenarnya, karena ingin melawan struktur sosial yang dibangun negara justru dengan basis teritorial yang ditentukan negara. Gejala ini mungkin bukanlah sesuatu yang aneh karena baik aktivis maupun komunitas sudah begitu terpengaruh dengan keberadaan desa sebagai suatu unit sosial politik. Bahkan desa menjadi unit pemetaan yang dipakai, baik langsung maupun tidak, dalam gerakan PP. Terlepas dari paradoks ini, tulisan tersebut menunjukkan hubungan penting antara gerakan PP dengan politik identitas. Atau dengan kata lain, Pemetaan Partisipatif sangat mengentalkan identitas suatu tempat. Sulaiman Daud menyampaikan pengalamannya yang unik sebagai fasilitator pemetaan. Seperti kita ketahui bersama, selama 30 tahun Aceh mengalami konflik bersenjata yang baru berakhir tahun 2005 setelah provinsi tersebut mengalami musibah tsunami yang meluluhlantakkan wilayah pesisirnya. Bersamaan dengan itu program rehabilitasi dan rekonstruksi besar-besaran dilakukan. Sulaiman menceritakan dengan baik perbedaan pemetaan di dalam tiga masa: masa konflik bersenjata, masa paska tsunami dan masa damai. Di masa konflik pemetaan dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena suasana represif yang berlangsung, sehingga para fasilitator pemetaan ditantang untuk mencari taktiktaktik agar proses pemetaan bisa berlangsung. Sesudah tsunami pemetaan bisa berlangsung dengan terbuka karena menjadi kebutuhan penting dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Pemetaan yang dilakukan pada masa ini lebih menekankan penentuan batas tanah pribadi dan antar gampong (setingkat desa). Namun karena perseteruan antara GAM dan pemerintah RI belum selesai, pelaksanaan pemetaan masih penuh resiko termasuk penyanderaan fasilitator pemetaan. Pada masa damai pemetaan berjalan jauh lebih baik, namun persoalan batas antar gampong menjadi makin mencuat karena sulitnya mencari tanda-tanda batas yang dulu menjadi acuan bagi gampong-gampong yang bertetangga. Pengalaman di Aceh sangat menarik karena memberikan gambaran tentang tantangan gerakan pemetaan dalam konteks sosial politik yang berubah-ubah.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 24


Dalam bab terakhir dua dari kami, Hilma Safitri dan Albertus Hadi Pramono, mencoba menganalisis bab-bab dalam buku ini dan diskusi-diskusi yang terjadi selama lokatulis di Bogor sebagai bahan refleksi atas gerakan pemetaan partisipatif yang telah ada selama 15 tahun. Analisis tersebut mencakup berbagai aspek dari pemetaan partisipatif, mulai dari tujuan, filsafat gerakan, metodologi pemetaan, penggunaan peta sampai pada dampak peta. Di akhir bab tulisan tersebut memberikan gambaran tentang tantangan-tantangan gerakan pemetaan partisipatif di masa depan. Dengan segala macam informasi yang sudah kami sampaikan, mudah-mudahan pembaca memiliki gambaran yang cukup tentang gerakan PP di Indonesia sebelum masuk ke dalam bab-bab selanjutnya. Tanpa berpanjang-panjang lagi kami ucapkan selamat membaca dan belajar dari pengalaman-pengalaman PP yang kami himpun ini.

25 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


MENGAMBIL ALIH HUTAN LINDUNG: KASUS KOMUNITAS ADAT NIAN UWE WARI TANA KERA PU HIKONG-BORU KEDANG, NUSA TENGGARA TIMUR Oleh : Aku Sulu Samuel Sau Sabu

LATAR BELAKANG Kemiskinan adalah bagian hidup sehari-hari masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada tahun 2007, rata-rata tingkat penduduk miskin nasional adalah 16,58%, sedangkan tingkat kemiskinan Provinsi NTT adalah 27,51% 4; jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional. Masyarakat NTT pada umumnya mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok, karena kondisi musim di NTT pada umumnya hanya memungkinkan tanaman jagung yang bisa secara “aman” ditanam dan bisa panen. Program pembangunan pemerintah, yang sangat bias Pulau Jawa, telah berpengaruh dalam di Provinsi NTT pada umumnya. Pengaruh ini juga terjadi pada mulai berubahnya pola konsumsi makanan pokok masyarakat; yang semula mengkonsumsi jagung, perlahan-lahan tetapi pasti, beralih pada konsumsi beras. Padahal sangat sedikit wilayah di NTT yang bisa ditanami padi dengan “aman”. Peralihan pola konsumsi, dari jagung menjadi beras, ini menambah tekanan hidup masyarakat NTT. Pada tahun 2006, kepadatan penduduk NTT adalah 92 orang per km2; sedangkan tingkat rata-rata kepadatan penduduk nasional adalah 118 orang per km2 5. Bila dibandingkan dengan rata-rata nasional, tingkat kepadatan penduduk di NTT lebih rendah. Tetapi alam NTT tidak bersahabat kepada rakyatnya. Kondisi

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 26


musimnya terlalu kering untuk pengembangan pertanian. NTT merupakan provinsi dengan mayoritas kondisi tanah yang kurang subur. NTT termasuk salah satu provinsi daerah asal transmigrasi. Sejak tahun 1980-an telah ribuan keluarga NTT ikut program transmigrasi dan berpindah ke berbagai pelosok nusantara yang menjadi daerah tujuan program transmigrasi. Jadi tekanan penduduk terhadap tanah dan kepadatan agraria di NTT cukup tinggi. Tetapi anehnya persoalan kepadatan agraria yang tinggi ini tidak menjadi kesadaran para pihak, khususnya pemerindah daerah, di NTT. Konversi lahan pertanian rakyat untuk pengusahaan skala besar atau menjadi tanah negara terus berlangsung. Telah cukup banyak kasus-kasus yang menyebabkan ladang-ladang atau tanah pertanian masyarakat tempat areal menanam jagung dan tanaman lainnya telah dikonversi menjadi kawasan hutan atau tanah negara yang lain. Berkurangnya lahan kelola masyarakat ini makin memperparah kondisi ekonomi masyarakat petani pada umumnya. Berbagai kesulitan ini, yang berujung pada keterpurukan ekonomi petani, menyebabkan timbulnya perlawanan dan resistensi petani di NTT. Berbagai perlawanan untuk mempertahankan hak kelola terhadap lahan pertanian ini bahkan seringkali diiringi dengan perjuangan dan perlawanan fisik. Sayangnya berbagai resistensi dan perlawanan petani ini tidak terkoordinasikan dan terkonstruksikan dengan baik. Perlawanan cenderung masih sendiri-sendiri dan belum terjalin hubungan-hubungan kerjasama antara petani suatu tempat dengan tempat yang lain. Di tengah ketidak berdayaan ini pemerintah terus memperluas kawasan hutan yang semakin mendesak wilayah-wilayah kelola dan perkampungan masyarakat. Dengan alasan perluasan dan pengukuhan kawasan lindung, di beberapa tempat, masyarakat terpaksa terusir dari wilayah hidup yang telah ditempati turun-temurun. Perjuangan-perjuangan sporadis yang dilakukan masyarakat untuk mempertahankan wilayah kelolanya sering diakhiri dengan kekalahan masyarakat, karena pemerintah sering tidak segansegan menggunakan aparat keamanan dalam melaksanakan operasi-operasinya; atas nama mempertahankan kawasan lindung. Walau demikian masyarakat tidak pernah menghentikan perlawanannya. Menggarap dan mengelola kebun, yang diklaim sebagai kawasan lindung negara, terus dilakukan oleh petani di sekitar hutan tanpa mempedulikan resiko yang dihadapi. Banyak masyarakat yang telah ditangkap, didenda, bahkan dipenjarakan karena “dianggap� merambah kawasan hutan. Penangkapan atau tindakan hukum lainnya tidaklah membuat jera masyarakat. Tindakan-tindakan ini bahkan menambah kuatnya keinginan untuk terus berjuang, karena masyarakat berpegang pada hak adat atas tanah yang telah diwarisi secara turun-temurun, serta berkandungan kearifan lokal dalam penguasaan dan pemanfaatan ruang. Teror dan intimidasi pun terus dilakukan aparat yang berwenang kepada para petani ini. 27 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Pada tahun 2002, 10 orang petani di Kabupaten Flores Timur ditangkap oleh yang berwenang karena dituduh merambah kawasan hutan. Penangkapan terhadap 10 orang anggota komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu ini dilakukan oleh aparat gabungan dari Pemerintah Kabupeten Flores Timur; terjadi di kawasan hutan lindung di hamparan Baologun, terletak di antara perbatasan Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Sikka. Penangkapan terjadi pada saat mereka membersihkan bekas ladang untuk persiapan musim penghujan pada tahun 2002. Penangkapan dibarengi dengan pencabutan papan nama komunitas adat di Sekretariat komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu di pinggir jalan negara trans Larantuka, tepatnya di hamparan Baologun. Seminggu berikutnya sekitar 500 orang anggota komunitas ini, terdiri atas perempuan dan laki-laki, menyerahkan diri ke Mapolres Larantuka di Ibu Kota Kabupaten Flores Timur dengan permintaan untuk ditahan bersama ke-10 orang anggota yang ditangkap. Namun polisi tidak merespon permintaan masyarakat ini dengan alasan belum cukup bukti untuk menahan rombongan masyarakat itu. Sedangkan sepuluh orang yang telah ditangkap terdahulu memang telah terbukti melakukan penyerobotan kawasan hutan lindung. Perlawanan para petani ini belum membuahkan hasil yang menggembirakan karena hukum tetap memutuskan kesepuluh orang petani ini bersalah; masingmasing harus menjalani hukuman kurungan selama 10 bulan penjara. Selesai masa kurungan berakhir, para petani yang dipenjara ini dijemput oleh seluruh anggota komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu dan anggota komunitas yang berbatasan wilayah. Dari rumah tahanan, kesepuluh petani ini diarak ke Baologun — tempat di mana mereka ditangkap — dan dibuat serimonial adat yang disebut “laa tali lesok taga”. “Laa tali” bisa diartikan “buka tali”, sedangkan “lesok taga” berarti “buka borgol”. Secara lengkap bisa diartikan sebagai upacara pelepasan mereka dari segala ikatan dan belenggu oleh sebuah penerapan hukum yang salah. Upacara ini dibuktikan dengan pemotongan hewan sebagai korban persembahan. Perbedaan persepsi dan kepentingan tentang pengelolaan dan penguasaan ruang antara pemerintah di satu pihak dan masyarakat petani di lain bukanlah hal yang mudah dijembatani. Pemerintah, yang memposisikan sebagai wakil negara, mendasarkan klaimnya atas ruang berdasarkan berbagai generalisasigeneralisasi hukum dan kebijakan nasionaltentang penguasaan ruang yang formal yang tertulis, sedangkan masyarakat mendasarkan klaimnya atas ruang berdasarkan hak adat yang telah diwarisinya secara turun-temurun. Perbedaan ini hendaknya dijembatani secara arif. Karena pertentangan yang terus-menerus pastilah tidak menguntungkan. Petani akan semakin terpuruk kehidupannya; kemiskinan akan diwariskan ke anak cucunya. Pemerintah, sebagai representasi negara, akan tidak efektif dalam mengelola negara yang efek jangka panjangnya akan memerosotkan kualitas kehidupan bernegara. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 28


Masyarakat adat dan petani seringkali tidak memiliki bukti tertulis tentang pengetahuan dan klaim tentang wilayah hidupnya. Hampir semua pengetahuan dan klaim ini tersimpan dalam peta mental ( mental map) yang seringkali tidak mudah dipahami oleh pihak lain, termasuk peme rintah. Petani dan masyarakat adat perlu didukung untuk mendokumentasikan dan mengkomunikasikan berbagai pengetahuan dan klaimnya tentang sumberdaya alam ini. Sayang sekali apabila pengetahuan tradisional yang penuh kearifan ini hilang karena tidak dipahami oleh pihak lain. Sayang sekali apabila suatu konflik keruangan terus-menerus berlangsung karena kurangnya saling memahami tentang persepsi ruang antara dua pihak. PP atau pemetaan berbasis masyarakat adalah salah satu media untuk mendokumentasikan berbagai pengetahuan tradisional masyarakat tentang pengelolaan sumberdaya alam atau khususnya tentang klaim wilayah. Hasil PP tentang wilayah hidup suatu komunitas bisa dipahami lebih mudah oleh pihak lain. Hasil pemetaan partisipatif bisa menjadi counter terhadap berbagai prosedur penentuan suatu wilayah menjadi tanah negara yang seringkali sewenang-wenang. Prosedur pengukuhan hutan negara di NTT seringkali penuh manipulasi yang sangat merugikan hak-hak para petani. Kemiskinan petani NTT banyak diakibatkan oleh hilangnya wilayah kelola petani karena diklaim menjadi hutan negara secara sepihak. Tulisan ini akan menceritakan PP dan proses tindak lanjutnya yang terjadi di komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang. Pilihan untuk fokus pada komunitas adat ini disebabkan oleh keunikan geografi dari komunitas adat ini, yakni yang terletak pada dua kabupaten; Kabupaten Sikka dan Kabupaten Flores Timur. Pemda dua kabupaten ini ternyata memberikan respon yang berbeda terhadap konflik tenurial yang terjadi di wilayah adat masyarakat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang. Komunitas adat ini menggunakan pemetaan partisipatif untuk mengkonsolidasikan pengetahuan tradisional masyarakat, yang kemudian digunakan untuk memperjuangkan kepastian hak kelola masyarakat atas sumberdaya alam.

TENTANG KOMUNITAS ADAT NIAN UWE WARI TANA KERA PU HIKONG BORU KEDANG “Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang” dapat diartikan sebagai berikut : 1. “Nian” artinya satu kesatuan wilayah dan budaya; 2. “Uwe wari” artinya kakak beradik atau sudara saudari yang memiliki hubungan geneologis; 29 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


3. “Tana kera pu” yang terdiri dari dua kata yaitu “ tana” artinya tanah dan “kera pu” artinya ipar kandung; 4. “Hikong boru kedang” adalah nama dua wilayah administrasi desa yang tergabung dalam satu wilayah adat. Jadi secara umum diartikan bahwa tanah yang diwariskan oleh nenek moyang tidak saja dimiliki oleh kakak beradik dan saudara saudari tetapi juga dimiliki oleh ipar kandung, yaitu laki-laki dari komunitas bersangkutan atau komunitas lain yang datang kawin dengan anak perempuan di komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang. Hikong Boru Kedang adalah dua wilayah dua desa yang berbeda. Desa Hikong termasuk dalam Kecamatan Talibura Kabupaten Sikka, sedangkan Desa Boru Kedang termasuk Kecamatan Wulang Gitang, Kabupaten Flores Timur, Provinsi NTT. Tetapi dua desa ini, menurut asal-usulnya, merupakan satu kesatuan komunitas adat. Hikong dan Boru Kedang dipisahkan dari kesatuan komunitas adat asalnya ketika lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, teristimewa pada saat pembagian wilayah administrasi kabupaten. Sekalipun demikian hubungan persaudaraan sebagai kakak beradik dan saudara-saudari tetap dijalankan, termasuk wilayah kelola dan wilayah hidup lainnya tetap satu. Segala acara adat menyangkut penataan dan pengelolaan ruang tetap dijalankan secara bersama-sama. Persaudaraan mereka tidak pernah dibayangkan bahwa satu ketika mereka harus dipisahkan. Pemisahan komunitas adat ini dari sebagian tanah adatnya terjadi pada saat penetapan kawasan hutan lindung pada tahun 1984. Sebagian besar wilayah adat komunitas Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang diklaim menjadi kawasan hutan lindung. Warga komunitas adat ini diajak dan ikut memikul pilar-pilar beton untuk tapal batas hutan lindung, tetapi instansi kehutanan tidak menjelaskan apa kegunaan pilar-pilar itu. Hanya dikatakan bahwa akan dibuka jalan kuda untuk meninjau tapal batas hutan yang ditetapkan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1932. Penetapan kawasan hutan lindung ini menyebabkan lahan garapan mereka semakin berkurang. Sebagian besar lahan garapan ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Dengan demikian untuk saat ini setiap keluarga rata-rata hanya mempunyai kesempatan untuk mengelola lahan seluas 0,5 ha. Lahan kering seluas ini sangatlah tidak cukup untuk menghidupi sebuah keluarga. Penyatuan kembali – setelah terpisah puluhan tahun karena administrasi negara — komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang dideklarasikan pada pertengahan bulan April tahun 2002, di hamparan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 30


Baologun; letaknya di kawasan hutan lindung yang secara administrasi berada di perbatasan antara Kabupaten Sikka dengan Kabupaten Flores Timur. Komunitas ini memiliki tekad untuk bersatu melawan kebijakan negara yang timpang dan merugikan kepentingan masyarakat dalam penataan dan pengelolaan sumberdaya alam. Komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Keru Pu Hikong Boru Kedang adalah bagian dari suku besar Tana Ai yang terletak di bawah kaki Gunung Wuko Lawo Lero, yaitu pegunungan bagian timur Kabupaten Sikka. Topografi wilayah wilayah adat komunitas ini terdiri dari lembah, sedikit bukit dan gunung. Secara geografis, wilayah adat komunitas Nian Uwe Wari Tana Keru Pu Hikong Boru Kedang terletak antara 122 0 30’ – 122 0 341’ Bujur Timur dan 08 0,39’ – 08 0 42’ Lintang Selatan. Populasi penduduk komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang semakin lama semakin pesat. Hingga saat ini jumlah kepala keluarga komunitas ini sebanyak 386. Jumlah ini terdiri dari Hikong sebanyak 168 keluarga dan Boru Kedang berjumlah 218 keluarga. Jumlah ini belum termasuk Boru Klobong yang sudah mengajukan permohonan untuk bergabung, yang uraiannya dapat dilihat pada bagian berikutnya. Komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang menga-tur pemanfaatan wilayah adatnya menjadi tiga bagian besar, yaitu : 1) Opi dun kare dunan , adalah wilayah yang ditutup untuk selamanya sebagai kawasan hutan tutupan. Wilayah ini biasanya dari puncak gunung ke bawah dengan kemiringan 45 derajat atau lebih; 2) Opi dun kare taden, adalah wilayah kelola masyarakat untuk kepentingan produksi. Dalam wilayah ini juga terdapat tempat-tempat tertentu yang harus dijaga keselamatannya dan kalau perlu harus dilindungi. Wilayah ini untuk kepentingan pelaksanaan ritual adat. Dengan kata lain wilayah ini memiliki nilai religius, sebagaimana akan dijelaskan pada bagian tersendiri 3) Nuba nanga, adalah wilayah pesisir pantai yang menurut pemah aman lokal memiliki kekuatan magis di sekitarnya, sehingga kelestariannya tetap harus dijaga. Komunitas ini tidak memiliki nuba nanga lagi, karena telah beralih pengelolaan ke komunitas masyarakat pada masa lalu akibat kalah perang atau jual beli atau dihibahkan. Komunitas ini memiliki kearifan yang tinggi dalam mengelola sumberdaya alam. Opi dun kare dunan dan nuba nanga tidak boleh dibuka dan diolah untuk produksi pertanian. Tanah lereng yang terlalu miring dan dekat puncak gunung apabila “dijamah” untuk kepentingan produksi akan menimbulkan tada, artinya 31 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


melanggar larangan yang menyebabkan bencana longsor, erosi, kemarau panjang dan menurunnya debit air atau kekeringan mata air. Nuba nanga (daerah pesisir) juga tidak boleh “dijamah”, karena akan mendatangkan abrasi dan jenis pengrusakan daerah pantai lainnya. Selain itu, masyarakat yang melanggar akan mengalami hukuman secara alam. Biasanya hukuman fisik yang dialami berbeda-beda sesuai dengan jenis pelanggaran. Apabila pelanggaran karena membuka lahan kelola di kawasan nuba nanga maka akan mengalami hama penyakit bagi tanaman perkebunan maupun perladangan. Hama tersebut berupa belalang dan tikus. Sedangkan pelanggaran karena membuka lahan di kawasan opi dun kare dunan adalah hukuman berupa penyakit badan yang bisa sampai pada kematian. Selain hukuman alam, masyarakat juga memiliki aturan adat untuk dikenakan kepada yang melanggar kesepakatan. Hukuman tersebut disebut rebung, yakni hukuman denda harus memberi makan kepada semua anggota masyarakat dan pemangku adatnya, yang dibarengi dengan upacara “pendinginan” dengan menyembelih seekor hewan di kawasan terlarang yang dilanggar itu sebagai simbol pemulihan . Berdasarkan hasil PP pada bulan Agustus 2002, didapati bahwa wilayah adat Nian Uwe wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang seluas 2.522,5 ha. Luas ini terdiri dari : 1. Luas wilayah kelola : 1.974, 96 ha 2. Luas areal untuk tanaman palawija : 1050,65 ha 3. Luas areal untuk tanaman Agroindustri : 924,31 ha 4. Luas wilayah hutan adat : 518, 34 Ha.

MUNCULNYA IDE PEMETAAN PARTISIPATIF Salah satu program strategis Jaringan Gerakan Masyarakat Adat (JAGAT) NTT adalah PP. PP diharapkan mampu menguatkan dan mengidentifikasi komunitas adat para anggota Jagat dengan lebih teliti. Pada saat itu PP dimotori oleh beberapa aktivis NGO dan beberapa tokoh masyarakat di NTT. Para aktvis NGO ini telah memiliki kemampuan memfasilitasi proses PP. Lembaga Bantuan Hukum Nusa Tenggara (LBH Nusra) dan Yayasan Lembaga Pengembangan Masyarakat Wilayah Tana Ai (YLPM-Bangwita) adalah NGO yang berkantor di Maumere dan cukup aktif mendukung program dan perjuangan Jaringan Gerakan Masyarakat Adat NTT (JAGAT NTT). Kebetulan juga LBH Nusra, saat itu, juga memiliki program advokasi hutan dan sumber daya alam lainnya, yang menggunakan gerakan PP sebagai salah satu alat dalam proses advokasi. LBH Nusra dan YLPM-Bangwita adalah anggota Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) di NTT. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 32


FADO adalah sebuah lembaga donor internasional yang menjadikan NTT sebagai salah satu wilayah kerjanya. Kebanyakan para mitra FADO – lembaga-lembaga yang didukung pendanaannya oleh FADO, termasuk YLPM-Bangwita – berwilayah kerja di perdesaan di sekitar kawasan hutan NTT. Beberapa tempat yang menjadi wilayah kerja mitra-mitra FADO ini berkonflik dengan instansi pemerintah yang mengurus kawasan hutan. Masyarakat di tempat-tempat ini sering mengalami kekerasan oleh aparat keamanan, karena dituduh telah merambah hutan; padahal yang mereka lakukan adalah sekedar bertani di wilayah adat yang telah dilakukan secara turun-temurun. Karena itu, beberapa mitra FADO, termasuk LBH Nusra dan YLPM-Bangwita, mengusulkan agar FADO menempatkan PP sebagai salah satu isu strategis, mengingat pentingnya menyelesaikan konflik kehutanan yang sering terjadi di lokasi kerja para mitra FADO. Selain itu, hasil PP juga bisa digunakan untuk perencanaan pengelolaan wilayah adat. Sebagai mitra, YLPM-Bangwita kemudian mengusulkan program pelati-han pemetaan partisipatif kepada Fado, untuk kader-kader petani seki-tar hutan Pulau Flores dan Lembata. Pelatihan ini diselenggarakan di Desa Hikong, Kec. Talibura, Kabupaten Sikka pada pertengahan tahun 2002. Pelatihan ini juga mengundang instansi terkait yang berurusan dengan kawasan hutan. Masyarakat Desa Hikong, komunitas adat Nian Uwe Wari tan Kera Pu Hikong Boru Kedang – sangat senang di tempatnya akan diselenggarakan pelatihan PP. Karena mereka memang sedang mengalami konflik perihal hak kelola wilayah adat, dan mereka sangat membutuhkan media untuk memperjuangkan hak-hak mereka atas wilayah adat. Kebetulan pada saat itu 10 orang warga komunitas ini ditangkap oleh aparat gabungan Pemerintah Flores Timur dengan tuduhan penyerobotan kawasan hutan lindung. Berikut ini adalah beberapa hal yang hal pentingnya PP untuk wilayah kelola petani dan pentingnya memperbanyak kader-kader yang bisa memfasilitasi PP di NTT: 1. Masyarakat perdesaan di NTT adalah pihak yang seringkali dirugikan oleh kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang salah; karena itu perlu dipulihkan dan dikuatkan agar mampu memperjuangkan hakhaknya dalam mengelola sumberdaya alam di sekitarnya. 2. Kedaulatan atas ruang perlu dikembalikan kepada rakyat karena mereka lah pemilik ruang yang sesungguhnya. 3. Ruang adalah sumber kehidupan masyarakat sehingga, penataan dan pengelolaannya tidak boleh merugikan dan mengorbankan kepentingan masyarakat 33 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


4. Ruang harus memberikan segunung manfaat bagi masyarakat, baik secara sosial, politik dan ekonomi sehingga diperlukan sebuah penataan dan pengelolaan yang adil dan arif. Proses penyelenggaraan PP di komunitas adat Nian Uwe Wari tana Kera Pu Hikong Boru Kedang melalui beberapa tahapan. Tahapan-tahapan proses itu adalah sebagai berikut : 1. Kunjungan ke masya rakat dan melakukan investigasi; mendatangi masyarakat untuk mengumpulkan data dan informasi tentang sebabsebab terjadinya konflik keruangan, mulai membangun diskusi, serta menawarkan PP sebagai jalan menuju penyelesaian masalah yang dihadapi komunitas. 2. Pendidikan hukum kristis. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat memahami berbagai peraturan dan hukum yang diterapkan yang berkaitan dengan keruangan, baik itu hukum nasional maupun hukum adat, dan dampak-dampak hukum itu bagi keselamatan ruang dan masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar ruang itu sendiri. Selanjutnya masyarakat memiliki nilai kritis dan menyadari tentang berbagai kemungkinan buruk yang mengancam keselamatan ruang dan keberlanjutan kehidupan masyarakat; mulai melakukan penyesuaian berbagai aturan adat, serta mulai berjuang menentang hukum nasional yang dianggap bertentangan dengan eksistensi masyarakat sebagai pemilik ruang. 3. Sosialisasi PP. Masyarakat diberikan pema-haman kritis tentang berbagai masalah keruangan yang tengah dihadapi , mencari alternatif penyelesaiannya , serta membangun pemahaman kritis masyarakat tentang manfaat dan tujuan pemetaan partsisipatif. Selanjutnya membuat kesepakatan tentang jadwal pemetaan partisipatif dan pembagian peran masing-masing pihak 4. Pelatihan PP; masyarakat dilatih untuk mampu membuat peta wilayah adatnya secara teknis (teknik penggunaan alat pemetaan, pengumpulan data, analisis data, serta penggambaran peta). 5. PP. Berbekal pengetahuan pemetaan yang telah dilatihkan, masyarakat membuat peta sendiri dengan terus didampingi oleh aktivis lembaga pendamping 6. Pengesahan dan penyerahan peta. Peta yang telah digambar diserahkan kepada komunitas ini untuk disahkan. Dari prose-proses yang diuraikan di atas masyarakat merasa dikuatkan untuk mulai menggunakan peta sebagai alat perjuangan. Segala resiko sudah dipahami tetapi prinsipnya bahwa apapun resikonya ruang harus direbut dan dikuasai karena tidak ada sumber lain yang menjamin keberlanjutan kehidupan mereka masa sekarang maupun masa yang akan datang Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 34


PANDANGAN KOMUNITAS TENTANG PEMETAAN PARTISIPATIF Menurut masyarakat komunitas ini untuk mengetahui sumber-sumber daya yang terdapat dalam ruang secara utuh tidak cukup dengan berada di suatu tempat dan menghitungnya hanya berdasarkan cerita orang. Semua cerita itu bisa benar atau hanya sekedar cerita saja. Hasil inventaris sumber daya dengan PP ternyata lebih efektif dan jelas jika dibandingkan dengan hanya mendengarkan cerita dari orang ke orang. Semua potensi sumber daya, misalkan luasan wilayah, batas wilayah, nama tempat, jumlah dan posisi tempat keramat serta potensi lain dan ancaman-ancamannya dapat diketahui secara jelas hanya melalui PP. Selanjutnya melalui PP masyarakat digerakkan ingatannya terhadap semua sumber daya yang terdapat dalam wilayah hidup mereka. PP memberikan pengetahuan untuk warga komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang sehingga mulai terbangun rasa percaya diri bahwa mereka memiliki sesuatu yang lebih yang belum dimiliki oleh orang lain. PP memberikan ruang pemberdayaan bagi masya-rakat untuk kreatif menuangkan pengetahuan sumber daya ruang dengan menggunakan metodologi pemetaan yang dipahami dan bisa dilakukan oleh masyarakat. Terutama penempatan simbol-simbol sumber daya sesuai keinginan mereka. Di sini ternyata terbukti bahwa masyarakat sendiri mampu mengidentifikasi sumberdaya miliknya dan kemudian menggambarkannya. Penyelenggaraan PP di komunitas ini menumbuhkan perubahan persepsi dan pola bertindak: 1. Aspek sosial . Setelah PP diselenggarakan di komunitas ini, secara sosial, cukup banyak perubahan-perubahan cara pandang masyarakat terhadap sumber daya alamnya, serta terhadap berbagai masalah yang dihadapi. Berikut ini beberapa pemahaman baru yang tumbuh di masyarakat:

35 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


a. Dengan PP masyarakat jadi mengetahui dan memahami kondisi sumber daya yang terdapat dalam wilayah hidupnya dan berbagai ancaman yang dihadapi; b. masyarakat mulai membedakan siapa lawan siapa musuh dalam hal pengelolaan ruang di sekitarnya; c. Masyarakat mulai menyadari pentingnya solidaritas dan perjuangan secara kolektif; d. Masyarakan mulai menyusun langkah-langkah perjuangan selanjutnya e. Masyarakat mulai mendiskusikan dengan lebih rinci tentang penataan dan pengelolaan wilayah hidupnya; f. Konsolidasi dan dokumentasi pengetahuan lokal untuk memperkuat posisi tawar ; g. Memiliki kekuatan komunal untuk melakukan perjuangan kedaulatan rakyat terhadap ruang 2. Aspek politik . PP ternyata membawa perubahan cara pandang dalam menghadapi masalah pemanfaatan ruang. Masyarakat menjadi lebih kritis menilai konflik keruangan yang dihadapi oleh komunitas ini, baik internal masyarakat maupun dalam menghadapi pihak di luar komunitas. Dengan hasil PP, masyarakat menjadi memiliki dasar argumen yang cukup kuat tentang pengelolaan wilayah yang dilakukannya selama ini. Masyarakat mampu membandingkan dan meng counter model pengelolaan wilayah yang dipunyai oleh pemerintah. Dengan hasil PP dan berbagai diskusi tentang berbagai kebijakan keruangan yang telah dilakukan membuat masyarakat tidak raguragu lagi dalam mengelola wilayah adatnya, meskipun secara sepihak telah ditetapkan menjadi hutan lindung. 3. Aspek ekonomi. Keyakinan masyarakat dalam mengelola lahannya membuat harapan perekonomian masyarakat pada masa mendatang menjadi lebih cerah. Keberlanjutan pemenuhan kebutuhan sehari-hari menjadi lebih terjamin, karena tidak ada lagi ketakutan dalam mengelola lahan pertanian. Ketergantungan beras dari pasar atau toko mulai berkurang karena mereka bisa menghasilkan sendiri melalui lahan-lahan yang diambil alih ( reclaiming) meskipun jumlahnya masih ter-batas. Dengan PP juga menjadi lebih jelas potensi sumberdaya alam di wilayah adatnya; luas lahan yang bisa dikelola, rencana tempat permukiman, letak-letak sumber mata air, dsb.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 36


Masyarakat mulai bisa dengan tenang memikirkan nasib generasi mendatang. Populasi penduduk semakin bertambah. Ketersediaan lahan garapan saat ini belum dapat dip astikan keseimbangannya dengan pertambahan jumlah anggota keluarga masa mendatang. Jika demikian maka PP telah membuka cakrawala berpikir ke arah yang lebih maju yaitu untuk kehidupan generasi masa yang akan datang. Perubahan populasi p enduduk yang kian hari bertambah ini sebagai dasar untuk mempertahankan wilayah kelola. PP bukan akhir dari perjuangan melainkan awal dari persiapan kondisi untuk melakukan perjuangan masa sekarang dan masa mendatang. 4. Aspek budaya Semenjak penetapan hutan lindung dan “kerasnya� perlakuan pemerintah terhadap masyarakat sekitar hutan, menyebabkan tempat-tempat dan bendabenda alam yang dianggap memiliki nilai religius tidak pernah lagi dikunjungi. Ritual adat, dulu, tidak bisa lagi diselenggarakan di tempat ini; tempat ritual adat terpaksa dipindahkan ke tempat lain. Padahal cukup banyak ritual adat yang seharusnya diselenggarakan masyarakat di tempattempat yang dianggap religius ini: ritual saat ada bencana alam, kelaparan, musim penyakit, kemarau panjang, dsb. Setelah diselenggarakan PP di komunitas ini maka identifikasi kembali tempat-tempat yang bernilai religius itu bisa diselenggarakan kembali. Ternyata beberapa tempat religius itu ada yang terbawa longsor, banjir, pohonnya sudah tumbang, atau dirusak oleh manusia. Tempat-tempat ini dipulihkan kembali kondisinya dan digunakan kembali untuk berbagai ritual adat. Kebiasaan menata dan mengelola ruang berdasarkan petunjuk para orang tua dan nenek moyang mulai teridentifikasi dan dikembangkan. Semua kebiasaan menata dan mengelola ruang telah dijelaskan dan digambar melalui peta partisipatif. Antara lain misalnya mulai menetapkan zona-zona untuk hutan adat, menanami kembali tempat-tempat yang dianggap religius itu dengan tanaman yang tidak hanya dilihat nilai ekonominya , seperti pohon beringin. Selanjutnya tentang penetapan zona-zona dimaksud dapat dilihat pada bagian tersendiri tentang penataan dan pengelolaan ruang berdasarkan kearifan lokal. Budaya kola babong (diskusi) mulai dibangun, khususnya berbicara atau berdiskusi tentang pemanfaatan wilayah adat dan pertanian; sekali-sekali peta digunakan sebagai media kola babong. Kola babong mulai diawali dengan penentuan orang yang akan bertanggung jawab menyimpan peta dan bertanggungjawab untuk menyampaikan informasi dalam peta kepada pihak luar. 37 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Solidaritas antar anggota masyarakat untuk bersama-sama melakukan dan berkontribusi dalam perjuangan mulai tumbuh. Sehingga secara budaya ada kesiapan masing-masing anggota masyarakat dengan beragam kontribusi; natura, ide, gagasan maupun jenis sumbangan yang lain. Ketergantungan terhadap pihak luar mulai dikurangi karena perjuangan keruangan bertujuan untuk kepentingan kita bukan kepentingan orang lain. Melalui diskusi ini masyarakat juga mulai menerapkan budaya malu, yaitu malu mengharapkan bantuan terus menerus dari pihak lain apalagi meminta.

MENGAMBIL ALIH HUTAN LINDUNG: SEBELUM PEMETAAN PARTISIPATIF Seperti telah dijelaskan di atas, awal mula konflik antara komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang adalah ketika sebagian wilayah adat komunitas ini ditetapkan menjadi hutan lindung pada tahun 1984. Pada awalnya, penetapan hutan lindung ini tidak mendapatkan perlawanan dari masyarakat, karena proses penetapan sampai dengan pemasangan patok-patok batas hutan lindung dilakukan secara manipulatif oleh instansi kehutanan. Instansi kehutanan hanya mengatakan bahwa patok-patok batas yang dipasang itu hanya semata-mata sebagai penanda batas jalan kuda menuju batas dolo dala, yaitu batas kawasan hutan yang ditetapkan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1932. Dolo dala adalah memori yang masih diingat oleh komunitas adat ini tentang dua orang petugas kehutanan Belanda yang ikut bersama-sama masyarakat memasang patok-patok batas kawasan hutan pada jaman Belanda. Seharusnya patok batas dipasang pada patok lama yang ditetapkan Belanda pada waktu dulu; tetapi kenyataannya patok ini telah dipasang jauh menyerobot “masuk� ke tanah adat komunitas Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang. Sangatlah jelas bahwa petugas kehutanan telah menipu masyarakat; dan menyebabkan kerugian serta konflik pemanfaatan lahan yang merugikan masyarakat di kemudian hari. Tindakan manipulasi tata batas ini seharusnya bisa dituntut; proses tata batas ini tidak sah. Aturan tata batas kawasan hutanmenentukan bahwa masyarakat yang dilewati rute tata batas kawasan hutan harus mengetahui proses tata batas dengan sejelas-jelasnya. Penetapan hutan lindung yang manipulatif di atas menyebabkan keru-gian besar bagi warga komunitas adat. Warga masyarakat kehilangan lahan kelola pertaniannya tanpa ganti kerugian apapun. Akibat kehi-langan lahan pencaharian menyebabkan komunitas ini terpuruk perekonomiannya. Banyak kepala keluarga yang terpaksa alih profesi atau urbanisasi ke kota atau berangkat transmigrasi. Ini merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi masyarakat, yang merupakan salah satu hak-hak asasi manusia. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 38


Ketika kesulitan ekonomi tidak tertahankan lagi, maka sebagian warga komunitas ini nekat “masuk” kembali ke hutan lindung dan membuka kembali lahan pertanian yang dulu. Namun represi aparat keamanan sangat keras. Kekerasan fisik atau hukuman denda atau hukuman kurungan sering menimpa warga yang tertangkap oleh aparat keamanan. Hasil panen berupa padi dan jagung dibakar beserta lumbung atau pondok di kebun. Tiada hari tanpa teror dan intimidasi, sehingga tidak ada kenyamanan dalam mengelola lahan . Namun demikian upaya mengelola lahan – meskipun sembunyi-sembunyi - terus dilakukan, karena tidak ada tempat lagi selain lahan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung ini yang bisa diusahakan. Banyak yang lari meninggalkan kampung halaman untuk berurbanisasi dan transmigrasi karena merasa tidak nyaman. Nampaknya tidak ada satu cara pun yang menguntungkan masyarakat kecuali berani mengelola kawasan lindung dengan penuh resiko; siap ditangkap dan dipenjarakan. Kepanikan dan kegelisahan terus menerus melanda warga komunitas ini. Tidak ada satu pihak pun yang bisa membantu mengurangi penderitaan warga komunitas ini. Pemerintah yang diharapkan sebagai pelayan masyarakat justru sebaliknya bertindak sebagai penguasa keras, yang bahkan menindas rakyatnya sendiri.

MENGAMBIL ALIH HUTAN LINDUNG: SETELAH PEMETAAN PARTISISPATIF PP membuat perubahan besar pada komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang. PP membuat warga komunitas ini menyadari kembali apa yang mereka punyai, menumbuhkan solidaritas kembali di antara masyarakat, serta menumbuhkan keberanian untuk memperjuangkan kembali tanah mereka yang telah semena-mena ditetapkan menjadi hutan lindung. Pada bulan Oktober 2003, komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang — bersama beberapa komunitas adat lain dari dari tiga kabupaten lain di NTT — berangkat ke Kupang, Ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk bertemu dengan Gubernur dan DPRD Provinsi NTT. Delegasi masyarakat adat ini mendesak Pemda NTT agar meninjau kembali penetapan kawasan hutan lindung di Flores pada khususnya dan NTT pada umumnya. Peta partispatif pun dibentangkan guna menjelaskan bukti-bukti kepemilikan lahan dan berbagai model pengelolaan sumber daya alam ala masyarakat adat yang penuh kearifan. Selanjutnya, menyongsong musim penghujan tahun 2003 semua anggota komunitas Nian Uwe Wari Tan Kera Pu Hikong Boru Kedang memasuki kawasan hutan Lindung di hamparan Baologun untuk membuka lahan; ada juga yang melanjutkan lahan yang telah dikelola untuk menam tanaman palawija dan sejenis lainnya. 39 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Perjuangan komunitas ini dengan menggunakan media peta partisipatif terus diperluas pada berbagai forum maupun kesempatan. Ini merupakan publikasi kepada pihak luar tentang eksistensi dan kapasitas masyarakat sebagai pemilik ruang dan segala isinya. Semua bentuk perjuangan ini dengan satu tujuan agar pihak luar, khususnya pemerintah, segera mengakui hak-hak masyarakat sebagai pewaris ruang. Pengakuan yang diharapkan tidak saja secara lisan tetapi dibuktikan secara autentik berupa peraturan-peraturan, baik peraturan di daerah maupun di tingkat nasional. Sebagai wujud perjuangan untuk mendapatkan pengakuan, selain telah dipresentasikan di depan Gubernur dan DPRD NTT di Kupang, peta partisipasi f juga terus dipresentasikan juga di depan beberapa pihak, antara lain: a. Dinas Kehutanan dalam rangka pengembangan program Hutan Kemasyarakatan (HKM) pada tahun 2003 di Kantor Dinas Kehutanan Kabupaten Sikka di Maumere; b. Lokakarya Pengelolaan Hutan Berbasis masyarakat di Waiara-Maumere, di depan Muspida Kabupaten Sikka pada tahun 2004 ; c. Plan Internasional untuk kepentingan program bantuan masyarakat di bidang ekonomi-pertanian pada tahun 2006 d. Camat Talibura Kabupaten Sikka dan Camat Wulanggitang dalam penyelesaian konflik batas antara Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Sikka di perbatasan yang terletak di hamparan Baologun pada bulan Agustus 2008; e. Diskusi dengan Badan Perencanaan Daerah (Bapp peda) dan Kanwil BPN Provinsi NTT pada saat peninjauan kembali batas wilayah kabupaten Sikka dan Flores Timur pada Agustus 2008. Kegigihan masyarakat untuk berjuang mepertahankan ruang dan sumber dayanya terus berlangsung, karena melalui PP dapat diketahui dan dipahami bahwa pemerintah telah melakukan pelanggaran besar terhadap hukum dan aturan-aturan lain yang bersentuhan dengan keruan gan. Seperti dijabarkan di atas, instansi kehutanan yang telah melanggar aturannya sendiri; melakukan proses tata batas tanpa berkonsultasi dengan masyarakat yang pada akhirnya memanipulasi hasil proses tata batas yang menyebabkan wilayah adat komunitas ini, dengan semena-mena, dijadikan kawasan hutan negara. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sebagai pengganti UU No. 24/1992, menentukan hak dan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang dengan cukup jelas. Pasal 60 UU No. 26/2007 menjelaskan tentang hak warga negara dalam penataan ruang; berikut ini kutipannya: Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 40


Dalam penataan ruang setiap orang berhak untuk : a. Mengetahui rencana tata ruang b. Menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang c. Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang d. Mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di eilayahnya. e. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan tata ruang kepada pejabat berwenang f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian. Berdasarkan ketentuan pasal 60 tersebut, maka penetapan kawasan hutan lindung di wilayah adat komunitas Nian Uwe Wari Tan Kera Pu Hikong Boru Kedang jelaslah bertentangan ketentuan ini. Karena, selain tidak ada konsultasi dengan masyarakat, pengukuhan kawasan hutan itu tidak memberikan ganti rugi sepeser pun kepada masyarakat. PP yang dihasilkan masyarakat, secara terperinci, menuangkan penataan ruang yang dikembangkan masyarakat dan telah teruji secara turun-temurun. Model penataan ruang berbasis masyarakat ini, meskipun tidak eksplisit, telah mempertimbangkan aspek-aspek kesela-matan lingkungan dan keberlanjutan; cukup jelas areal yang digunakan untuk produksi dan areal yang akan dilindungi. Harusnya model-model penataan ruang tradisional, sebagaimana yang ditunjukkan oleh komunitas ini, menjadi rujukan utama pemerintah dalam membuat aturan tentang penataan ruang. Sangatlah salah, apabila pemerintah terlalu percaya pada pendekatan-pendekatan keruangan modern yang berkesan ilmiah, tetapi belum teruji bergenerasi, khususnya di NTT.

DAMPAK POSITIF PEMETAAN PARTISIPATIF PP merupakan cara sederhana dan efektif untuk menguatkan dan memperjelas kembali eksistensi masyarakat sebagai pemilik ruang yang sah. Komunitas adat Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang, sebagaimana komunitas adat yang lain, telah memiliki dan mengembangkan model penataan dan pengelolaan

41 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


ruang yang telah teruji secara turun temurun. Komunitas ini, dengan PP, telah mencoba menggali potensi, model, dan filosofi dasar pemanfaatan ruang yang telah dikembangkan nenek moyang. Model pengelolaan ruang masyarakat tradisional, sebagaimana komunitas ini, memang berbeda dengan pendekatan penataan ruang yang dibuat oleh pemerintah. Perbedaannya, biasanya, pada tujuan dan filosofi pendekatan penataan ruang. Masyarakat tradisional di Flores biasanya mempunyai tujuan pemanfaatan ruang sebagai berikut : a) memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat dari aspek sosial, politik, dan ekonomi; dan b) mengharmoniskan hubungan antara manusia dengan ruang yang dipahami sebagai sumber kehidupan yang istilah lokalnya “tana amin moret amin � (tanah kami hidup kami). Ini sangatlah berbeda dengan pendekatan penataan ruang pemerintah. Kepentingan ekonomi merupakan tujuan utama pemerintah dalam membuat aturan penataan ruang; perlindungan ataupun konservasi hanya dilihat sebagai tujuan sampiran belaka. Masyarakat tradisional memandang bahwa ruang dan manusia adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Manusia berasal dari ruang dan akan kembali ke ruang. Semua kehidupan manusia bergantung pada ruang. Dengan demikian apabila penataan dan pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan aturanaturan tradisional yang telah diyakini maka manusia akan mengalami malapetaka berupa bencana, tanah longsor, banjir, angin topan, hama tanaman, penyakit dan maut; ada keyakinan masyarakat bahwa ruang memiliki kekuatan tersendiri. Filosofi dasar pendekatan modern penataan ruang – yang dikukuhi pemerintah – memandang bahwa ruang dan sumberdaya alam hanyalah benda bernilai ekonomi yang dimanfaatkan untuk mencapai tujuan dan kemakmuran manusia. Melalui PP terjadi konsolidasi pengetahuan lokal tentang penataan dan pengelolaan ruang. Dengan PP, hak-hak dan kewenangan dalam pengelolaan ruang tergambarkan dengan jelas dalam fungsi-fungsinya sebagai berikut : a) Fungsi kedaulatan. Yang dimaksudkan dengan fungsi kedaulatan adalah bahwa komunitas merupakan suatu kesatuan institusi terkecil di tingkat bawah yang perlu memiliki batas-batas kedaulatan atas ruang dan sumber dayanya. Hal ini agar tidak ada saling klaim kedaulatan antara komunitas adat yang satu dengan yang lainnya menyangkut batas kedaulatan dan hak-hak penguasaannya. Untuk menentukan dan memperjelas fungsi ini masyarakat telah memiliki sebuah peta wilayah adat, yakni Peta Wilayah Adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 42


Fungsi ini, secara politik, memperkuat posisi tawar masyarakat terhadap pihak lain tentang batas-batas kewenangan dan hak-hak penguasaan ruang. Secara lokal batas-batas kedaulatan ini ditandai dengan tanda-tanda alam seperti: mata air, Pohon, batu besar, kali, sungai, lereng gunung dan puncak gunung. b) Fungsi produksi Fungsi produksi yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah penetapan ruang dalam bentuk zona-zona untuk kepentingan pemanfaatan berdasarkan letak geografis. Penetapan fungsi produksi dimaksudkan lebih menitikberatkan kepada tata guna lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman. Dalam PP, fungsi ini dibuktikan dengan P eta Tata Guna Lahan atau Peta Wilayah K elola. Penamaan tema ini berdasarkan keinginan masyarakat untuk bisa dipahami secara lokal oleh masyarakat sendiri maupun pihak lain. c) Fungsi konservasi dan perlindungan. Fungsi konservasi dan perlindungan adalah mempertegas kembali zonazona dan tempat-tempat yang dulu dipahami sebagai areal yang tidak boleh diganggu karena memiliki nilai religius. Tempat-tempat ini perlu dilindungi sebagai kawasan hutan adat : 1) Ilin, adalah wilayah yang memiliki kemiringan lebih dari 45 ke puncak gunung.

0

sampai

2) Repin goit raen rahat , adalah daerah terjal atau jurang. Wilayah ini perlu dijaga dan dilindungi karena dipahami sebagai tempat bermukimnya para arwah orang yang meninggal karena kecelakaan atau mati sahid. 3) Dudun piren, adalah tempat-tempat di sekitar wilayah kelola yang dipahami sebagai tempat yang memiliki kekuatan gaib. Tempat ini biasa ditandai dengan pohon besar yang dikelilingi oleh semak belukar. 4) Mahe, adalah tempat ritual adat yang dilakukan setiap 3, 5 dan 7 tahun sekali. Ritual adat ini yang sangat besar dan menelan anggaran ratusan ekor binatang untuk disembelih bagi para leluhur guna kepentingan penghapusan dosa 5) Napun wiwir, merupakan pinggir kali yang dipahami sebagai tempat yang rentan terhadap erosi 6) Lian puan wair matan , adalah mata-mata air yang dipahami sebagai sumber kehidupan masyarakat. Apabila sekitarnya dikelola untuk kepentingan lain maka akan mendatangkan kekeringan 43 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


7) Ai puan watu nareng, yakni tempat peristirahatan umum. Tempat ini bisanya digunakan untuk beristirahat jika lelah dalam perjalanan panjang ke suatu tempat. Tempat ini biasa ditandai dengan pohonpohon dan batu-batu besar 8) Sioklinok ogor wokor, adalah WC umum bagi masyarakat. Tempat ini biasanya ditandai dengan semak belukar sedikit dan terletak di pinggirpinggir kampung. Sangatlah jelas bahwa komunitas adat memiliki pola dan mekanisme sendiri dalam pemanfaatan ruang. Anggapan selama ini bahwa petani itu bodoh dan tidak mampu mengurus wilayah hidupnya adalah tidak tepat. Proses PP di komunitas ini membuktikan kemampuan mengatur ruang itu. Kemampuan komunitas mengatur pemanfaatan ruang ini bisa disandingkan dengan modelmodel modern yang dikembangkan oleh pemerintah.

DAMPAK NEGATIF PEMETAAN PARTISIPATIF PP merupakan hal yang baru. Masyarakat, kadang-kadang, merasa aneh dan mempertanyakan apa kegunaannya, betulkah bisa dipergunakan sebagai alat perjuangan, dan lain-lain. Karena itu menjelaskan tujuan dan manfaat PP pasti memerlukan waktu yang lama dan proses yang terus-menerus. Bahkan manfaat peta seringkali baru muncul jauh setelah pemetaan itu sendiri telah terlaksanakan. Harus diakui bahwa PP yang dilakukan di komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru masih terkesan sebagai bentuk mobilisasi, karena pada saat itu komunitas ini sedang memerlukan alat pendukung advokasi guna membebaskan 10 orang warga komunitas ini yang ditangkap oleh aparat gabungan dari Kabupaten Flores Timur dengan tuduhan melakukan penyerobotan kawasan hutan lindung. Proses PP di komunitas ini, mulai dari sosialisasi sampai pada pengesahan peta, masih belum maksimal penyelenggaraannya. Proses PP di komunitas ini masih ada anggapan sebagai berikut : a. Proses PP terjadi karena kepentingan sesaat dan terkesan mobilisasi aktivis NGO; b. Proses PP dilakukan terburu-buru karena untuk kepentingan advokasi 10 orang anggota komunitas yang ditangkap oleh aparat pemerintah Kabupaten Flores Timur, sehingga hal ini menyebabkan banyak warga masyarakat yang belum memahami manfaat dan kegunaan peta; c. Biaya PP sebagian besar masih bersumber dari NGO; Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 44


d. Diskusi tindak lanjut pemanfaatan peta masih lemah; e. Ide dan gagasan PP hanya diketahui oleh kalangan tertentu saja di masyarakat; f. Pengawalan ide dan gagasan PP oleh lembaga pendamping tidak berkelanjutan; g. PP masih beroriantasi proyek; h. Efektivitas penggunaan peta sesuai fungsinya hanya terjadi pada saat masyarakat mengalami masalah. Kelanjutan perjuangan untuk mencari kepastian hak kelola wilayah adat – karena masih belum tuntas – dengan menggunakan peta mulai menurun ketika 10 orang yang dipenjara telah dibebaskan. Hal ini disebabkan oleh persepsi masyarakat bahwa peta hanya untuk penyelesaian konflik. Hal-hal lain yang berhubungan dengan pengelolaan ruang bisa dilakukan tanpa menggunakan peta.

PENUTUP Penerapan hukum yang salah berakibat pada kemiskinan, kekerasan dan kriminalisasi masyarakat. Penataan dan pengelolaan ruang diatur oleh dua hukum yang berbeda. Yang pertama, pemerintah mengatur penataan ruang dengan menggunakan hukum positif modern; menggunakan teori-teori modern dalam penataan ruang. Yang kedua, sementara itu pada kenyataannya para petani perdesaan, khususnya komunitas adat, memiliki dan mempraktekkan tata cara pengelolaan ruang sebagai-mana yang diwariskan leluhurnya. Perbedaan antara kedua pendekatan ini selalu terjadi. Perbedaan tersebut seringkali menimbulkan benturan tajam, baik secara fisik maupun psikis. Konflik keruangan sering terjadi antara komunitas adat dengan pihak lain, termasuk konflik keruangan y ang dialami oleh komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang dengan pemerintah . Perbedaan tujuan dan filosofi keruangan antara Komunitas Adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang dengan pemerintah menimbulkan konflik keruangan itu. Sayangnya, komunitas ini menjadi korban akibat konflik keruangan ini. Sebagian besar wilayah adat komunitas ini telah ditetapkan dan dijadikan hutan lindung. Menurut administrasi wilayah pemerintah, warga komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang berdomisili di beberapa desa. Selain Hikong dan Boru Kedang, ada juga satu kelompok lagi yang berdomisili di Dusun Boru Klobong, Desa Boru, Kecamatan Wulanggitang Kabupaten Flores Timur Provinsi NTT. Pada awal perjuangan ini mereka enggan bergabung dengan komunitas ini karena takut ditangkap dan dipenjarakan lagi. Setelah anggota

45 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


komunitas Hikong Boru Kedang menguasai lahan kelola, mereka pun berharap untuk bergabung dalam komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang. Sebagai masyarakat adat, tentunya merasa senasib dan sepenang-gungan. Kesatuan komunitas ini menyadari bahwa mereka tercerai-berai karena rezim pemerintah masa lalu yang tidak memahami eksistensi dan keberadaan mereka. Dengan demikian komunitas Boru Klobong merupakan bagian dari Nian Uwe Wari Tana Kera Pu. Bergabungnya warga Boru Klobong diharapkan akan menambah kekuatan Nian Uwe Wari Tana Kera Pu, serta dapat memperbesar barisan pejuang untuk mempertahankan hak-hak mereka baik pada masa sekarang maupun masa yang akan datang. PP dipilih sebagai strategi untuk menyediakan media advokasi penyelesaian konflik keruangan yang dialami oleh komunitas ini. Peta partisipatif yang telah dibuat masyarakat cukup efektif untuk menjelaskan pola-pola penataan dan pengelolaan ruang berdasarkan kearifan lokal masyarakat, sekaligus sebagai bentuk counter terhadap pola penataan dan pengelolaan ruang yang dilakukan oleh pemerintah yang cenderung merugikan masyarakat Pasca PP, warga komunitas adat Nian Uwe Waru Rana Kera Pu Hikong Boru Kedang terus maju dan melakukan negosiasi dengan pemerintah tentang persoalan yang dialaminya. Respon positif telah didapatkan dari pemerintah; masyarakat telah boleh membuka lahannya kembali, meskipun telah ditetapkan sebagai hutan lindung oleh pemerintah. Di berbagai forum dialog, sudah ada pengakuan – meskipun belum tertulis – bahwa komunitas ini boleh menata dan mengelola wilayah adatnya. Tetapi perjuangan memperoleh pengakuan masih harus diteruskan, sampai dengan adanya aturan tertulis tentang kembalinya seluruh wilayah adat komunitas ini PP telah memberikan kekuatan baru bagi komunitas adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Boru Kedang untuk tetap menjaga solidaritas dan menemukan dirinya sebagai satu kesatuan berdasarkan hubungan geneologis. Selanjutnya mereka telah menemukan kekuatan baru dan memiliki dasar keutuhan sebagai satu wilayah, satu sejarah, satu nasib dan maju untuk melawan ketidakadilan yang memiskinkan, memenjarakan d an mendiskriminasikan mereka.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 46


PP DAN PENEGUHAN KEMBALI KEYAKINAN HAK-HAK MASYARAKAT MULUY UNTUK MENGELOLA HUTAN ADAT DAN MENOLAK KAWASAN LINDUNG Oleh: Ahmad SJA dan Jidan

KAMPUNG MULUY DAN SEJARAHNYA Penduduk dan Letak Geografis Kampung Muluy Menurut Jidan, Kepala Adat Kampung Muluy, “Muluy” berasal dari nama sungai yang ada di Kampung Muluy yang merupakan anak dari aliran sumber mata air (air terjun) Gunung Lumut. Kampung Muluy sebelumnya merupakan wilayah Muluy Kuaro, yang kemudian secara administratif dimekarkan menjadi dua bagian yaitu satu bagiannya menjadi wilayah transmigrasi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang wilayahnya di sebut wilayah Swanslotung dan bagian lainnya adalah Kampung Muluy. Secara administratif, Kampung Muluy terletak di Desa Swanslotung Kecamatan Muara Komam Kabupaten Pasir Provinsi Kalimantan Timur. Wilayah Kampung Muluy terletak di Pegunungan Gunung Lumut, tepatnya di sekitar sungai-sungai yang mengaliri sela-sela kaki gunung. Di selatan kampung nampak puncak Gunung Lumut yang hijau oleh tutupan hutan dan lumut yang senantiasa basah karena dicium awan. Dengan tinggi 1.888 meter dari permukaan laut, Gunung Lumut nampak perkasa. Seakan tugu raksasa yang membatasi langsung empat desa (Muluy Swanslotung, Long Sayo, Rantau Layung dan Pinang Jatus) yang berada di Kecamatan Muara Komam, Batu Sopang dan Long Kali, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur. Luas Kampung Muluy – 47 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


berdasarkan penuturan masyarakat Kampung Muluy – sekitar 13.000 hektar. Hal ini juga dibuktikan dengan data hasil PP. Kampung Muluy dihuni oleh orang-orang yang berasal dari etnis Paser , berada sekitar 120 kilometer dari Tanah Grogot ( ibukota Kabupaten Pasir) atau sekitar 250 kilometer dari kota Samarinda (ibukota Provinsi Kalimantan Timur). Saat ini, sebagian wilayah adat Kampung Muluy ditetapkan sebagai Hutan Lindung Gunung Lumut yang luas keseluruhannya adalah tiga kali luasan wilayah adat Kampung Muluy. Untuk mencapai Kampung Muluy -- dari Tanah Grogot -- dapat ditempuh selama dua setengah jam dengan kendaraan bermotor. Sepanjang jalan menuju Kampung Muluy, terdapat 8 kilometer hamparan kebun kelapa sawit , kemudian 71 km dari simpang Desa Lembok Kecamatan Longikis terdapat perusahaan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) PT. Telaga Mas, kemudian akan menemui hamparan bekas ladang bercampur semak belukar sepanjang kurang lebih 5 kilometer, setelah itu, sebelum sampai ke Kampung Muluy adalah hutan lebat.

Kampung Muluy dan Desa Swanslotung Sejarah terbentuknya Kampung Muluy lebih karena masyarakat sekitarnya berpindah ke wilayah sekitar sungai untuk memenuhi kebutuhan air untuk hidupnya. Masyarakat Kampung Muluy dipimpin oleh seorang pemimpin bergelar Pengawa Layung Jagar, pada jaman penjajahan Belanda sekitar 1800, saat itu mereka masih bekumpul di Muluy lama (wilayah Swanslotung). Karena ada perselesihan maka mereka pindah ke Kampung Muluy Tengah yang letaknya di pinggir sungai. Wilayah tersebut juga dipilih karena wilayah itu lebih banyak buah dan tersedianya air yang berlimpah. Sekitar tahun 1986 mereka harus pindah (lagi) ke area di sekitar Gunung Janas. Ini disebabkan HPH PT. Telaga Mas lokasinya pindah dari lokasi sebelumnya yang bertepatan dengan lokasi permukiman Kampung Muluy. Alasan lainnya adalah karena telah tersedianya sarana jalan, sehingga akan lebih mudah bagi masyarakat untuk menjaga kampungnya dari atas gunung. Bersamaan dengan berpindahnya lokasi HPH PT Telaga Mas, sebanyak 5 keluarga masyarakat Kampung Muluy juga turut pindah sementara sisanya masih tetap tinggal di kampung tersebut. Pada tahun 1999, masyarakat Kampung Muluy kembali berkumpul untuk mendiami permukiman di tepi Sungai Muluy yang terletak di sela kaki Gunung Lumut. Kini masyarakat Kampung Muluy mendiami 50 (lima puluh) rumah kayu beratap seng berukuran 5x7 meter. Perkampungannya terletak di area di mana sebelumnya merupakan tempat penumpukan kayu di tepi jalan HPH PT Telaga Mas. Permukiman yang didiami oleh Kampung Muluy dibangun oleh Dinas Sosial Kabupaten Pasir pada tahun 2000. Saat ini masyarakat Kampung Muluy berjumlah 130 jiwa yang terdiri dari 28 KK. Dengan fasilitas peribadatan berupa musola (1 buah) dan satu bangunan sekolah. Saat ini di sekolah tersebut ada 2 orang guru yang sudah berstatus pegawai negeri, dan 1 orang guru mengaji yang mengajar 24 Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 48


murid. Untuk kelancaran proses belajar mengajar , murid yang telah lulus diperbantukan untuk mengajar. Sebelum memeluk Islam, penduduk Kampung Muluy memeluk kepercayaan Kaharingan. Dan sejak tahun 1960 mereka mulai masuk Islam, setelah ada orang Jawa datang membawa agama Islam. Orang Jawa yang membawa ajaran Islam terkenal dengan sebutan Jawa Kurus.

Ekonomi dan Sumberdaya Alam Masyarakat Kampung Muluy memiliki pandangan sendiri tentang hutan. Hutan dianggap sama dengan gudang harta karun serta mereka juga menyebutnya jatas tete ine (air susu ibu). Karena dari hutan, mereka bisa menda patkan sumber penghidupan dan menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Mereka biasanya mengambil hasil hutan berupa buah-buahan, madu, rotan dan binatang buruan. Walaupun tidak selalu mencukupi kebutuhan, mereka tidak merasa harus meneban g pohon untuk mendapatkan kayunya. Selain untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga, hutan bagi masyarakat Kampung Muluy juga menyediakan tumbuhan obat-obatan, bahan anyaman, sayur-sayuran hingga tumbuhan perlengkapan untuk upacara adat. Tetapi lebih dari itu, hutan juga menyediakan lahan untuk berladang, dan mereka melakukan perladangan secara gilir balik atau di sebut juga sistem rotasi. Jika lahan yang dibuka adalah hutan yang belum pernah dibuat ladang, maka lahan tersebut dapat diladangi selama 2 tahun berturut-turut. Jika bekas ladang tersebut dibiarkan bera dan tidak ditanami dengan tanaman apapun, maka lahan tersebut dapat dibuka lagi setelah 5 – 8 tahun sejak ditinggalkan dan masih dapat diladangi kembali selama 2 tahun berturut-turut. Jika bekas ladang tersebut masih belum ditanami dengan tanaman lain dan saat berladang terakhir diketahui bahwa lahan tersebut masih subur dan tidak banyak tumbuh rumput, maka lahan tersebut bisa dibuka kembali setelah 5 – 8 tahun. Namun jika bekas ladang tersebut diketahui kurang subur dan saat berladang terakhir diketahui banyak rumputnya, maka ladang tersebut baru akan dibuka lagi setelah 10 – 20 tahun. Atau jika lahan bekas ladang tersebut ditanami dengan pisang, pepaya atau tanaman lain yang berumur pendek, maka lahan tersebut baru dibuka kembali setelah tanaman yang ada sudah mati. Jika bekas ladang tersebut ditanami rotan, buah-buahan atau kopi, maka lahan tersebut tidak akan dibuka lagi untuk berladang. Tetapi akan dibiarkan menjadi Sipung atau kebun. Dalam jangka waktu tertentu mereka akan kembali menanami ladang/tanah tersebut, setelah sekitar 5-6 tahun kemudian. Masyarakat Kampung Muluy memiliki beberapa sebutan tersendiri untuk: ladang yang baru di buka yaitu lati bayu; ladang dengan sebutan omu; bekas ladang 49 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


yaitu lati; ladang yang sudah diberakan selama 2-3 tahun disebut lati ono; dan ladang yang lama sekali dan sudah menyerupai hutan belukar karena sudah ditinggalkan sekitar 5-6 tahun di sebut lati litiye; bekas ladang yang sudah di tinggalkan disebut alas lati litiye; hutan sekunder disebut alas rusak; hutan primer disebut alas royang. Kebiasaan menggunakan sebutan tersebut telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu dan hingga saat ini masyarakat Kampung Muluy masih menggunakan sebutan tersebut, termasuk kebiasaan mereka melakukan kegiatan perladangan di sela-sela tegakan-tegakan pohon yang ada di hutan. Selain memiliki sumber daya hutan, sungai yang berada di sekitar pemukiman masyarakat Kampung Muluy pun bisa menopang kebutuhan hidup rumah tangga. Airnya yang jernih dengan dasar sungai yang berpasir dan berkerikil, ternyata banyak menyimpan butiran emas. Dalam waktu-waktu tertentu, masyarakat Kampung Muluy melakukan penambangan emas di sungai tersebut. Penambangan dilakukan secara tradisional dan itu tidak dilakukan tiap tahun tetapi hanya waktu-waktu tertentu saja. Mereka lakukan penambangan jika ladang ataupun buah-buahan mereka tidak berhasil. Penambangan bisa tidak mereka lakukan selama 10 tahun karena hasil bumi yang mereka dapatkan dari hasil hutan mampu mem-buat mereka bertahan untuk menyambung hidup. Hal ini membuktikan bahwa dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang mereka miliki mereka sangat memperhitungkan keberlangsungan sumberdaya alam (termasuk keberlangsungan sumber daya emas yang ada didasar sungai) dan pemanfaatannya hanya untuk maksud memenuhi kebutuhan rumah tangganya, dan sumberdaya yang ada dipertahankan terutama untuk keberlangsungan generasi selanjutnya.

HUTAN ADAT VS. HUTAN LINDUNG DI KAMPUNG MULUY Keyakinan Masyarakat Kampung Muluy Tentang Hutan Adat Sudah ratusan tahun Masyarakat Kampung Muluy tinggal dan hidup di kawasan hutan adat Gunung Lumut atau dikenal juga dengan sebutan Alas Royong. Menurut cerita yang berkembang di Kampung Muluy, kawasan ini mereka tinggali sejak jaman nenek moyang mereka, jika di urut dari keturunan pertama hingga yang hidup sekarang sudah keturunan ke-13, dimulai dari Layung Jagar hingga sekarang kepala adatnya Jidan. Filosofi seorang kepala adat adalah “ mengetahui bahwa bumi atas bumi� maksudnya adalah kepala adat memiliki hutan dan kampung dan dia mengetahui seisi kampung dan hutan adatny,a tetapi dia tidak berhak menjual ataupun membagi kepada siapapun. Diyakini oleh seluruh masyarakat Kampung Muluy dan kepala adat bahwa jika terjadi proses penjualan dan pembagian Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 50


tanah di wilayah adatnya maka akan terjadi perkelahian antar warga atau antar saudara. Sehingga dengan keyakinan tersebut hingga saat ini tanah di wilayah Kampung Muluy tidak ada yan g dibagi. Hutan, bagi masyarakat Kampung Muluy sangat tinggi harganya, bahkan lebih berharga dari nyawa mereka sendiri. Tidak heran jika masyarakat Kampung Muluy akan mengeluarkan seruan “lebih baik parang jalan duluan dari pada berbicara � ketika ada pihakpihak yang hendak memasuki kawasan hutan di wilayah Kampung Muluy. Dibalik ke’galak’an masyarakat Kampung Muluy terhadap pihak-pihak yang hendak memasuki kawasan hutannya tanpa ijin tersimpan makna yang dalam tentang bagaimana menjaga keberlangsungan sumber daya hutan mereka. Mereka tidak ingin ada pihak-pihak yang memanfaatkan hutan secara berlebih-lebihan sehingga hutannya menjadi rusak dan tidak bisa menghasilkan lagi. Hal ini didasarkan pada keyakinan mereka selanjutnya yaitu bahwa peruntukkan hutan adalah untuk anak cucu mereka, hal ini diyakini dengan diikuti praktek-praktek pemanfaatannya, walaupun kekayaan hasil hutan mereka melimpah mereka tetap arif dalam mengambil hasil hutan. Selain karena keyakinan mereka terhdap hutan, merekapun menyaksikan bagaimana jadinya jika hutan mereka rusak dan tidak ada lagi yang bisa dimanfaatkan. Ada beberapa alasan empiris kenapa masyarakat tetap menjaga hutan adat di wilayah Kampung Muluy. Mereka menyaksikan sendiri ketika mereka lewat kawasan hutan ketika mereka menuju ke Simpang untuk berbelanja atau hendak ke kota, mereka melihat bentangan kawasan perkebunan sawit yang mereka ketahui dahulunya adalah kawasan hutan. Mereka juga menyaksikan bahwa masyarakat di sekitarnya tidak dapat mencari kayu ataupun mencari buah di hutan sekitarnya. Akibatnya ketika musim panen buah atau panen madu di hutan di wilayah Kampung Muluy, warga kampung lain yang sudah tidak mempunyai hutan datang ke kampung Muluy untuk ikut memanen hasil hutan. Alasan lain adalah didasarkan pada pengalaman buruk yang terjadi sekitar tahun 1980-an yang dampaknya masih terasa hingga saat ini. Masuknya PT. Telaga Mas untuk membangun Hutan Tanaman Industri menyebabkan masyarakat banyak kehilangan kebun rotan mereka. Akibatnya mereka tidak bisa lagi mengambil rotan untuk dijual karena rotan yang tersisa hanya cukup untuk membuat anyaman dan gelang rotan (kerajinan kecil-kecilan). Dengan keyakinan dan beberapa alasan di atas, maka tidak heran jika sikap masyarakat Kampung Muluy dianggap langka dan aneh pada masa sekarang. Ketika desa lain berlomba-lomba mengajukan ijin pengolahan dan pemanfaatan kayu (IPPK) pada tahun 2001, Masyarakat Kampung Muluy justru menetapkan status siaga satu untuk menjaga kawasan hutan mereka. Mereka bersiap untuk menghadang kedatangan tim survey yang mencoba nyelonong ke wilayah 51 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


hutannya untuk kepentingan perijinan IPPK. Demikian juga ketika masyarakat desa lain beramai-ramai memanggul chain saw (gergaji mesin), membuat blambangan (balok kayu), Masyarakat Kampung Muluy tetap dengan kebiasaan mereka berladang secara tradisional. Bahkan sebagian masyarakat Kampung Muluy tetap asyik dengan seppong (alat peniru suara burung) Murai-nya untuk mencari burung. Lain halnya ketika masyarakat Kampung Muluy mendapatkan tawaran pembangunan micro hydro yang ditawarkan oleh aktivis dari salah satu LSM bernama Padi indonesia 6, mereka menyambut dengan baik dengan pertimbangan pembangunan micro hydro adalah salah satu cara untuk melanggengkan hutan mereka dan sekaligus membantu penyediaan air bagi masyarakat Kampung Muluy. Lebih dari itu, tawaran ini semakin menguatkan posisi perjuangan masyarakat dalam menjaga hutan adat mereka.

Ditetapkannya Kawasan Hutan Lindung di Kampung Muluy Pada tahun 1993, wilayah Kampung Muluy ditetapkan menjadi Hutan Lindung oleh Menteri Kehutanan, berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI No 24/Kpts/Um/ 1/1993 dengan luas 35.350 ha (Sumber: Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah Kabupaten Pasir tahun 1999/2000). Sejak saat itu pula, masyarakat Kampung Muluy melakukan perlawanan secara terbuka. Namun, menurut penuturan masyarakat Kampung Muluy, perlawanan sudah dilakukan sejak jauhjauh hari dengan cara yang tidak terbuka. Mereka melakukan perlawanan dengan cara yang halus, yaitu dimulai ketika mereka sedang belanja di pasar yang letaknya 17 km dari kampungnya, yang terletak di jalan poros Kalimantan. Mereka sengaja menggunakan kendaraan gerobak yang dilengkapi dengan stir untuk mengendalikannya, dan ketika mereka berpapasan dengan truk pengangkut kayu milik PT Telaga Mas, mereka sengaja tidak menepi sehingga truk-truk terhalangi perjalanannya. Perjalanan yang ditempuh dengan menggunakan gerobak dari kampungnya ke pasar dan kembali lagi ke kampung ditempuh dalam waktu 3 hari 3 malam. Selain untuk menghalang-halangi beroperasinya penebangan kayu oleh PT Telaga Mas, karena mereka tidak diperkenankan menumpang truk-truk pengangkut kayu tersebut. Perlawanan tidak terbuka ini berlangsung lama hingga dikeluarkannya SK penetapan kawasan hutan lindung tersebut. Namun perlawanan terus berlangsung yang puncaknya terjadi pada tahun 1999. Pada proses penetapan kawasan hutan Gunu ng Lumut menjadi hutan lindung, masyarakat Kampung Muluy tidak mengetahui karena menurut penuturan masyarakat Kampung Muluy tidak ada proses dialog antara penentu kebijakan dengan masyarakat. Masyarakat baru mengetahuinya setelah SK tersebut diterbitkan. Selain tidak ada proses dialog, masyarakat Kampung Muluy pun tidak melihat adanya kegiatan pemasangan patok atau tanda-tanda lainnya untuk menandai ditetapkannya kawasan hutan Gunung Lumut menjadi hutan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 52


lindung. Hingga saat ini, tanda-tanda fisik bahwa kasawan Gunung Lumut menjadi kawasan Hutan Lindung pun tidak ada atau belum terpasang. Dengan demikian, masyarakat Kampung Muluy pun secara sadar tetap beranggapan bahwa tidak ada perubahan status sama sekali terhadap kawasannya karena mereka tidak pernah diajak dialog secara terbuka dan tidak ada klaim sama sekali dari negara terhadap status kawasannya karena tidak ada tanda-tanda fisik. Karenanya, hingga saat ini tidak ada perubahan perilaku masyarakat Kampung Muluy terhadap kebiasaan pemanfaatan hasil hutan Gunung Muluy. Mereka menyadari bahwa jika memang kawasan hutan adatnya sudah ditetapkan menjadi hutan lindung, maka mereka memiliki keterbatasan untuk memanfaatkannya. Paling tidak, mereka harus mendapatkan ijin agar dapat berladang di atas kawasan tersebut, bahkan mereka juga menyadari kemungkinan terburuk bahwa mereka harus pindah dari kawasan tersebut karena peraturan yang berlaku mensyaratkan hal tersebut. Berdasarkan peraturan yang berlaku 7, masyarakat yang ada di sekitar kawasan hanya diperbolehkan menempati ataupun menggunakan untuk berladang pada tempat yang telah di tentukan dan harus memakai perijinan setiap menggunakan kawasan tersebut.

53 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Meskipun masyarakat Kampung Muluy yang selalu bersiaga untuk menjaga hutannya, suatu saat mereka akan berhadapan dengan kebijakan yang akan menyulitkan mereka dalam mendapatkan sumber penghidupan dari hasil hutan. Ketika kebijakan sudah diterapkan, masyarakat Kampung Muluy harus mendapat ijin yang diikuti dengan berbagai syarat. Ini akan saja menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan hak yang seharusnya milik mereka .

Hutan Adat dalam Peraturan dan Perundang-undangan Hutan Adat menurut UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan adalah “ ... hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat �8, hal ini jelas bahwa penekanannya adalah bahwa hutan adat adalah kawasan yang dikuasai oleh negara 9. Dengan merujuk kepada pelaksanaan konsepsi hak menguasai negara (HMN), maka dapat ditafsirkan bahwa hutan negara bukan di bawah kontrol penuh kelompok komunitas adat yang ada di dalamnya, karena terdapat sejumlah prosedur untuk kemudian dapat ditetapkan menjadi hutan adat. Masih merujuk kepada UU No. 41 Tahun 1999, bahwa Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional 10. Hal ini bisa ditafsirkan bahwa keberadaan komunitas adat yang sesungguhnya sudah ada sebelum perundang-undangan ini lahir, harus menunggu proses selanjutnya untuk dapat diakui sebagai komunitas adat. Dalam proses penetapan kawasan hutan Gunung Muluy menjadi hutan lindung, masyarakat Kampung Muluy berpendapat bahwa peraturan dan kebijakan yang ada tentang pengaturan kawasan hutan, tidak diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Dalam proses perumusannya, terkesan tidak melalui proses dialog yang baik, sehingga akan sulit diterapkan. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa peraturan yang ada pun tidak tersosialisasi dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan ketidaktahuan masyarakat tentang peraturan-peraturan yang ada khususnya peraturan yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan di wilayahnya. Lebih jauh lagi, masyarakat Kampung Muluy juga menilai bahwa peraturan yang ada sangat berpihak kepada kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan untuk melakukan akumulasi kekayaan. Hal ini dituturkan oleh perwakilan masyarakat Kampung Muluy, bahwa di sekitar wilayahnya terdapat perkebunan-perkebunan besar yang berdampak pada hilangnya sumber penghidupan masyarakat yang hidup di sekitarnya. Beroperasinya perkebunan besar tersebut tentunya akan sangat bergantung pada perijinan yang diberikan oleh negara, maka hal ini kembali menunjukkan bagaimana kemudahan bagi mereka yang memiliki modal untuk menjalankan usaha perkebunan dengan sama sekali tidak memperhitungkan kerugian sosial ekonomi rakyat di sekitarnya. Pendapat ini semakin diperkuat dengan apa yang tertuang dalam peraturan

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 54


yang mengatur tentang mekanisme pinjam pakai kawasan hutan yang diatur dalam peraturan Menter Kehutanan 11 yang melengkapi peraturan yang dikeluarkan sebelumnya tentang diperbolehkannya melakukan penambangan di kawasan hutan lindung 12. Sebagaimana diketahui bersama, umumnya, wilayah hutan selalu identik dengan tempat hidup komunitas-komunitas adat. Namun sayangnya, sejak kebijakan tentang kehutanan yang diterbitkan tahun 1967 13 dan kemudian diubah pada tahun 1999 14, pandangan tentang komunitas adat ini tetap tidak berubah. Kedua peraturan tersebut tetap menyebutkan akan mempertimbangkan keberadaan komunitas masyarakat adat selama memang diakui keberadaannya dan tidak mengganggu tujuan-tujuan pembangunan kehutanan 15. Perbedaan antara kedua peraturan tersebut adalah adanya rincian penggunaan hutan dengan tujuan khusus, di mana salah satu pengelolanya dimungkinkan oleh kelompok masyarakat adat 16. Walaupun demikian, untuk mendapatkan haknya, tetap harus memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi dan lagi-lagi bagi masyarakat Kampung Muluy hal ini sangat tidak logis, karena sesungguhnya pengelolaan dan pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Muluy tidak untuk kegiatan pengerukan melainkan hanya pemanfaatan sekedarnya dan lebih kepada tujuan keberlangsungan kawasan hutan. Permainan dengan pembentukan macam-macam kebijakan tentang kehutanan tidak berhenti sampai disitu, karena orientasi pemerintah terhadap pengelolaan hutan sangat kentara untuk pemenuhan kaum yang berorientasi ekonomi saja. Maka pada tahun 2007, pemerintah berupaya menyeimbangkan kebijakannya dengan mengeluarkan kebijakan agar masyarakat pun mempunyai andil dalam pengelolaan hutan. Terbitlah kebijakan tentang Hutan Kemasyarakatan 17, namun sayangnya, walupun tajuknya untuk “pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat� 18, tidak diikuti dengan kemudahan masyarakat untuk mendapatkan ijinnya. Berdasarkan peraturan ini, setidaknya sebelum masyarakat dapat berkegiatan dalam kerangka Hutan Kemasyarakatan harus melewati 7 tahapan yang keseluruhan tahapannya melibatkan instansi pemerintahan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota 19. Proses yang panjang ini, bagi masyarakat sangat sulit ditempuh, karena mereka tinggal di pelosok-pelosok hutan yang aksesnya sangat sulit menuju ibukota provinsi. Dengan keluarnya kebijakan ini, dapat diduga bahwa yang akan mengambil keuntungan dari kebijakan ini adalah kelompok-kelompok yang sama sekali bukan target sebagaimana dituangkan didalam keputusan menteri ini yaitu mereka yang memang sudah memanfaatkan hutan dan arealnya pun adalah areal yang memang sudah menjadi sumber matapencaharian masyarakat sekitar hutan 20. 55 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Keberadaan masyarakat adat di Indonesia masih belum diakui secara formal, walaupun sudah ada pengakuan dari dunia internasional dan pemerintah Indonesia pun sudah meratifikasinya. Seperti telah diuraikan di atas, peraturanperaturan yang sudah ada pun dalam pelaksanaannya masih sangat lemah dan banyak dikalahkan oleh arus lain yang lebih kuat yaitu arus yang hanya menginginkan keuntungan ekonomi saja. Sehingga, keberadaan masyarakat adat yang jika dicermati dengan baik, keberadaannya tidak diragukan lagi, dalam konteks pemanfaatan dan pengelolaan hutan, adalah pihak yang sangat menekankan keberlangsung fungsi hutan, baik secara ekologi, ekonomi dan sosial. Hutan adat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah kawasan hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat (dinyatakan dalam Pasal 1 (6), UU No. 41 Tahun 1999). Dalam pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat, masyarakat d i Kampung Muluy yang merupakan pengelola dan pengambil manfaat hutan adat di hutan Gunung Muluy, berpedoman pada aturan-aturan adat yang sudah mereka laksanakan sejak lama. Tujuannya adalah untuk keberlangsungan fungsi hutan, sebagaimana sudah diuraikan diatas, bahwa tujuan mereka adalah untuk mewariskan hutan tersebut kepada anak cucu mereka. Tujuan yang sangat sederhana ini haruslah dipahami dalam arti yang sangat luas, sebagaimana prakteknya sehari-hari, mereka tidak pernah memanfaatkan secara berlebih-lebihan. Jika dibandingkan dengan konsepsi hutan lindung yang juga tertera dalam UU No. 41 Tahun 1999 bahwa hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah (Pasal 1 (8)), maka apa yang dilakukan masyarakat Kampung Muluy adalah untuk tujuan yang sama dengan yang tertera dalam konsepsi hutan lindung. Perbedaannya hanyalah pada siapa pihak yang mempunyai kewenangan untuk menjalankan praktek-praktek untuk tujuan tersebut serta orientasi praktek pengelolaannya. Hutan adat praktik pengelolaannya tentunya dilakukan oleh masyarakat adat sekitar hutan adat tersebut, sedangkan hutan lindung pengelolanya adalah institusi Negara yang ditugaskan dan bertugas di wilayah tersebut dan pihak-pihak yang diberi ijin untuk melakukan pemanfaatan 21. Orientasi pengelolaannya juga berbeda. Hutan adat berorientasi untuk keberlangsungan hutan yang diperuntukkan untuk diwariskan ke generasi selanjutnya, dan hutan lindung lebih berorientasi pada keseimbangan ekologi yang diselingi dengan kegiatan ekstraksi yang tidak diperuntukkan menjadi sumber penghidupan masyarakat di sekitarnya. Dengan demikian, sulit untuk membenarkan jika bermaksud mempersamakan konsepsi hutan adat dengan hutan lindung.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 56


Kembali melihat persoalan yang akan timbul di kemudian hari di kawasan Gunung Lumut yang sudah ditetapkan sebagai hutan lindung, persoalan terberat adalah ketika masyarakat Kampung Muluy berhadapan dengan aparat yang bersiaga dengan alasan ketentuan yang belaku 22, bahwa mereka tidak lagi dapat mengambil hasil hutan di kawasan Gunung Lumut. Padahal, dengan bermodal keyakinan dan aturan adat yang telah berlaku ratusan tahun dan sejak nenek moyang mereka, masyarakat Kampung Muluy menjaga Hutan Adat dan mempertahankan harta yang sangat mereka banggakan. Hal ini juga diikuti dengan prinsip mereka tentang pengelolaan dan pemanfaatan hutan, seperti ucapan mereka tentang hutan bahwa hutan adalah titipan untuk anak cucu mereka. Prinsip tersebut dipahami oleh seluruh anggota masyarakat Kampung Muluy mulai dari anak-anak ataupun kaum perempuan, semua mengetahui tentang itu. Kaum perempuan sangat berperan dalam pengelolaan hutan adat mereka. Praktik-praktik masyarakat Kampung Muluy pun termasuk praktek untuk menjaganya, yaitu dengan cara yang alamiah dan dilakukan secara bergantian. Mereka melakukannya sambil berburu dengan hanya meggunakan umpan atau sambil mencari burung, dengan begitu mereka pasti berkeliling di sekitar hutan dan proses memantau keadaan hutan pun terlaksana. Seperti halnya penjagaan yang dirancang didalam penjagaan hutan lindung, tujuannya sama yaitu untuk menahan gangguan orang luar yang bermaksud merusak hutan. Sistem pengawasan yang ada dalam ketentuan hutan lindung, mensyaratkan upaya-upaya perlindungan dengan pola multipihak dan kemudian dibentuk badan pelaksana. Untuk merealisasikannya juga dialokasikan sejumlah dana untuk kelancaran sistem tersebut. Sebagaimana yang diatur didalam UU No. 41 Tahun 1999, sistem penjagaan yang di gunakan untuk menjaga hutan lindung atapun taman nasional, menggunakan polisi hutan atau jagawana, dan untuk kebutuhan profesionalisme aparat yang bertugas diperlukan biaya, paling tidak untuk menggaji sejumlah Polisi Hutan tersebut ditambah lagi untuk biaya operasional lainnya. Bandingkan dengan sistem penjagaan yang dilakukan oleh Masyarakat Kampung Muluy, relatif tidak ada biaya yang dibebankan kepada negara, bahkan sebaliknya, tujuan-tujuan penetapan hutan lindung suatu kawasan akan tercapai dengan sendirinya.

57 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


PEMETAAN PARTISIPATIF DI KAMPUNG MULUY Diperkenalkannya Pemetaan Partisipatif di Kampung Muluy PP di Kampung Muluy tidak dapat dilepaskan dengan keterlibatan salah satu LSM bernama Yayasan PADI Indonesia (selanjutnya disebut PADI). PADI sebagai sebuah lembaga yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, tidak bergerak di bidang politik dan tidak mencari keuntungan (nirlaba). Sejak berdirinya PADI 24 adalah untuk memfasilitasi, mendampingi dan menjembatani partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan (pertanian, kehutananan, perikanan, perkebunan) yang berdasarkan kearifan masyarakat setempat (lokal); dilandasi nilai-nilai sosial, budaya, ekonomi masyarakat dan. PADI juga berperan aktif dalam proses pengembangan demokratisasi serta menghargai nilai Hak-Hak Asasi Manusia. PADI tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat tanpa membedakan suku, agama dan golongan. Sesuai dengan visinya yaitu Rakyat berdaulat atas pengelolaan biodiversity Sumberdaya Alam di Kalimantan. Untuk menjalankan visi besar tersebut Padi Indonesia mempunyai 2 tujuan besar yaitu [1] Mewujudkan proses pelestarian dan pemanfaatan biodiversity Sumberdaya Alam (pertanian, kehutananan, perikanan-perairangambut) yang berkeadilan sosial, peningkatan ekonomi dan kelestarian lingkungan hidup; dan [2] Membangun kekuatan rakyat dalam proses pembangunan yang berbasiskan pada demokratisasi pengelolaan sumberdaya alam. Pada tahun 1995 aktivis PADI Indonesia datang ke Kampung Muluy atas undangan masyarakat, yaitu diundang oleh Pak Lindung selaku kepala adat pada waktu itu (sekarang sudah almarhum) Pak Lindung mengundang aktivis PADI untuk bertukar pengalaman dan untuk menjajaki apakah Kampung Muluy juga bisa menjadi proses pembelajaran dengan cara melakukan pendampingan. Dalam pertemuan tersebut, masyarakat Kampung Muluy bersepakat dengan PADI untuk melakukan asesmen tentang sejarah dan asal usul Kampung Muluy. Diuraikan dalam pertemuan tersebut oleh para aktivis dari PADI bahwa keinginan tersebut bisa ditempuh dengan cara melakukan PP. Selanjutnya diuraikan secara singkat kepada masyarakat Kampung Muluy bahwa rangkaian proses PP akan mendapatkan lebih banyak dari sekedar yang diinginkan oleh masyarakat yaitu untuk mengetahui secara jelas sejarah kampung Muluy. Penjelasan singkat tersebut membuat masyarakat Kampung Muluy menjadi yakin bahwa permasalahan mendasar mereka tentang bagaimana menjaga hutan dan

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 58


kawasan mereka pun dapat diselesaikan dengan PP. Sejak saat itu, aktivis PADI memulai melakukan kerja-kerja bersama masyarakat untuk untuk sharing pendapat dan saling tukar pengalaman untuk menjaga hutan adat Kampung Muluy lebih baik lagi. Sehingga semboyan “ menjaga hutan dan seisinya untuk anak cucu karena semuanya adalah titipan yang harus dijaga dan dilestarikan dengan cara apapun juga � dapat benar-benar terlaksana.

Proses Pelaksanaan Pemetaan Partisipatif Masyarakat Kampung Muluy memiliki masalah yang kompleks. Selain hutan lindung, pada masa mendatang waraga Kampung Muluy akan berhadapan dengan berbagai pihak yang akan mengeksploitasi hutan adatnya. Hasil PP diharapkan akan menambah keyakinan dalam bertindak dan memiliki alat berjuang yang baru yaitu adanya data yang dihasilkan dari PP. Dari pengalaman, perjuangan dengan tanpa data yang cukup untuk melakukan klaim terhadap keberadaan kampung dan hutan mereka, kecenderungan hanya akan dapat sakit hati dan tidak di gubris oleh pihak pemerintah maupun pihak perusahaan sangat besar. Pengelolaan kawasan Hutan Adat Gunung Lumut di Kampung Muluy sudah dilakukan sejak lama, tetapi selama itu juga masyarakat belum melakukan dokumentasi dan inventarisasi dengan baik. Maka harapan lainnya dari kegiatan PP ini adalah terjadinya dokumentasi dan inventarisasi seluruh potensi yang ada di Hutan Adat Gunung Lumut, sekaligus mereka juga dapat mengetahui dengan pasti batas-batas Kampung Muluy dengan kampung-kampung yang ada di sekitarnya. Hal ini terkait dengan adanya pembagian kawasan hutan adat dengan masing-masing kampung di sekitarnya, serta penataan wilayah hutan adat dalam fungsinya masing-masing. Hutan ( alas) adalah kawasan yang banyak ditumbuhi tanaman yang terdiri dari banyak jenis pohon dan ukuran pohon yang besar dan umurnya tua; di sinilah terdapat tanaman lain seperti rotan, gaharu, bambu, pohon madu dan buah-buahan serta menjadi tempat hidup bermacam-macam hewan liar yang juga menjadi sumber penghidupan. Ladang (umo) adalah tempat menanam dan bercocok tanam. Sipunk adalah suatu kawasan dalam kawasan hutan yang di dalamnya terdapat beberapa jenis tanaman, baik tumbuhan kayu dan tumbuhan non kayu, serta ada beberapa sipunk di dalamnya seperti sipunk rotan, sipunk buah dan sipunk lain. Sipunk ini terbentuk secara alamiah dan berfungsi sebagai pembatas ladang. Wilayah lainnya adalah wilayah kebun, yaitu areal bercocok tanam. Di kebun ada beberapa tanaman yang selalu di rawat seperti pohon madu, pohon puti (banggris), ngoi (jelomu), bilas, guno landak dan putang (meranti).

59 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Proses PP di Kampung Muluy melalui tahapan berikut: 1. Tahap Persiapan; yaitu tahapan agar masyarakat mengetahui tentang rencana pemetaan yang akan dilaksanakan serta un tuk memperoleh dukungan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemetaan, tahap ini bisa dikatakan sebagai tahap sosialisasi tentang PP dan pelaksanaan pemetaan itu sendiri. Pada prosesnya, tahap persiapan ini juga membicarakan hal -hal teknis, misalnya proses penyusunan anggaran kegiatan pemetaan, menentukan rencana kerja pemetaan serta mempersiapkan perlengkapan dan bahanbahan yang dibutuhkan untuk kegiatan pemetaan. Tahap persiapan ini juga bertujuan untuk menghindari konflik antara masyarakat maupun antara masyarakat dengan pihak lain jika pemetaan sudah dilakukan. Sebagai bukti bahwa tahap ini sudah dilalui dan sesuai dengan maksudnya, tahap persiapan ini disusunkan dokumen berita acara yang disaksikan oleh pejabat berwenang atau tokoh masyarakat. Tahap ini dilakukan dengan melakukan rangkaian pertemuan, dimulai dari pertemuan di tingkat kampung dan pertemuan antar kampung. Secara khusus tujuan-tujuan dari pertemuan-pertemuan tersebut adalah: -

Pertemuan kampung untuk melakukan sosialisasi ke masyarakat bertujuan agar masyarakat mengetahui tentang rencana pemetaan yang akan dilaksanakan; memperoleh dukungan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemetaan; penyusunan anggaran; menentukan rencana kerja; mempersiapkan perlengkapan pemetaan; membentuk tim kerja pemetaan; serta pembagian tugas di antara masyarakat. Pada pertemuan ini, yang terutama adalah menjelaskan dan membangun kesepahaman antara anggota masyarakat Kampung Muluy bagaimana PP dilaksanakan. Penjelasannya meliputi, siapa saja yang sebenarnya melaksanakan PP, lalu apa saja pembagian tugas diantara anggota masyarakat Kampung Muluy dan yang tidak lupa untuk disampaikan adalah kegiatan PP ini merupakan kegiatan yang dimil iki oleh masyarakat Kampung Muluy, maka segala pertanggungjawabannya adalah di tangan masyarakat Kampung Muluy, walaupun selama prosesnya dibantu oleh pihak-pihak lain terutama beberapa aktivis PADI. Kesepakatan yang terbangun adalah kesepakatan tentang waktu pelaksanaan PP di Kampung Muluy.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 60


Pertemuan selanjutnya adalah pertemuan yang menandakan dimulainya kegiatan PP di Kampung Muluy, yang dihadiri oleh seluruh warga Kampung Muluy. Pada pertemuan ini, kembali diberikan penjelasan tentang bagaimana PP dilaksanakan dan dilanjutkan dengan perencanaan teknis untuk pelaksanaan PP selama 10 hari ke depan. Secara garis besar, pertemuan ini menjelaskan bahwa akan dilaksanakan pembagian tim untuk terselenggaranya PP, di antaranya adalah pembagian tim untuk melakukan pengambilan data lapangan, tim untuk melakukan pengumpulan dan pengolahan data serta tim untuk melakukan finalisasi peta. Selanjutnya akan dilaksanakan pertemuan (atau beberapa pertemuan untuk melakukan proses klarifikasi data) dan terakhir adalah pertemuan untuk proses pengesahan peta yang bisa dipergunakan untuk kepentingan penguatan keberadaan wilayah hutan adat Gunung Lumut. Hasil dari pertemuan kampung ini diketahui bahwa seluruh anggota masyarakat Kampung Muluy seluruhnya terlibat didalam kegiatan PP. Mereka terbagi kedalam tim-tim yang akan dibentuk selama proses pemetaan berlangsung. Termasuk mereka yang tergabung didalam tim yang tetap berdiam di Kampung untuk menjaga kampung ketika pelaksanaan pengambilan data lapangan berlangsung. Hambatan yang dihadapi selama proses pertemuan kampung ini dipengaruhi oleh luasnya wilayah kampung, sehingga idealnya agenda pertemuan kampung dapat dilakukan sebagaimana mestinya jika dengan persiapan yang cukup panjang. Masa persiapan untuk melakukan pertemuan menjadi agenda terpenting untuk memastikan seluruh anggota masyarakat dapat menghadiri pertemuan tersebut. Sepanjang pengalaman persiapan pertemuan kampung sejak masa persiapan PP, dalam rangkaian PP dan finalisasi, hambatan yang terberat adalah ketika akan dilaksanakan pertemuan kampung untuk persiapan PP (yang menyangkut sosialisasi dan persiapan untuk dilaksanakannya PP). Tidak bisa tidak, aktivis PADI dan tokoh-tokoh masyarakat berkeliling kampung untuk melakukan persiapan dan sedikit memberikan pengantar kegiatan PP yang akan dilaksanakan, hingga meyakinkan seluruh anggota masyarakat untuk menghadiri rangkaian pertemuan PP. Kehadiran seluruh anggota masyarakat yang berasal dari wilayahwilayah di Kampung Muluy untuk menghadiri pertemuan PP, merupakan ajang bagi mereka sendiri untuk bersilaturahmi. Selain itu mereka dapat melakukan tukar pengalaman dan tukar pikiran atas semua dinamika baik persoalan maupun hal-hal lain yang dapat menopang kualitas hidup mereka masing-masing. Sehingga akhirnya, mereka merasakan bahwa dengan adanya rangkaian pertemuan PP, mereka dapat membuktikan 61 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


bahwa kebersamaan dan kekompakan adalah segalanya bagi masyarakat Kampung Muluy. -

Pertemuan Antar Kampung yang bertujuan untuk menyepakati batas desa agar tidak terjadi konflik setelah peta selesai dibuat. Di akhir proses ini, kesepakatan yang dihasilkan dituangkan kedalam dokumen Berita Acara yang disaksikan oleh pejabat berwenang atau tokoh masyarakat. Pertemuan dilakukan di 4 kampung, yaitu kampung-kampung yang berbatasan dengan Kampung Muluy, yaitu Kampung Kepala Telake, Kampung Sayo, Kampung Rantau Layung dan Kampung Rantau Buta. Di setiap kampung, pertemuan dihadiri oleh kepala adat dan kepala desa serta perwakilan masyarakat, yang isinya, selain untuk menyepakati batas antar kampung , juga untuk menceritakan rencana kegiatan PP di Kampung Muluy. Perwakilan masyarakat Kampung Muluy pun turut mengundang perwakilan masyarakat perwakilan ke-4 kampung untuk turut serta didalam kegiatan PP di Kampung Muluy.

-

Masih termasuk kedalam tahap persiapan adalah proses pelatihan pemetaan, yang ditujukan untuk tim yang ditunjuk sebagai tim pemetaan. Pada pelatihan akan diperkenalkan tujuan membuat peta, jenis-jenis peta dan unsur-unsur peta. Sedangkan hal-hal yang bersifat teknis akan dilakukan pelatihan secara bertahap sesuai dengan tahapan proses kegiatan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pemahaman terhadap materi yang disampaikan. Kegiatan yang memerlukan pelatihan khusus adalah mulai dari penggunaan global positioning system (GPS) dan kompas, mencatat dan mengolah data GPS, memindahkan data ke peta dasar, menggambar peta dan menghitung luas wilayah. Mengingat pelatihan dilakukan secara bertahap, maka peserta pelatihan terutama yang menjadi anggota tim inti pemetaan diharapkan dapat mengikuti seluruh proses pemetaan secara terus-menerus sampai proses selesai. Proses PP, secara substansi tidak menghadapi hambatan, baik yang dihadapi oleh anggota masyarakat Kampung Muluy atau yang dihadapi fasilitator PP. Hanya saja, prosesnya terasa lebih lambat karena bagi anggota masyarakat Kampung Muluy, pelatihan yang diberikan merupakan sesuatu yang baru pertama kali didapatkan, sehingga memerlukan kesabaran untuk tidak terburu-buru menyelesaikan satu materi untuk pindah ke materi selanjutnya, khususnya dalam materi pengenalan alat-alat dan praktek untuk menggunakan alat-alat yang akan dipergunakan dalam PP. GPS dan kompas adalah alat yang baru saja mereka temukan pada saat pelatihan ini, dan mereka pun menganggap bahwa barang ini adalah barang yang sangat berharga sehingga Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 62


kekhawatiran akan terjadinya kerusakan ada di beberapa masyarakat kampung. Hal ini harus terus menerus diyakinkan, bahwa kesempatan untuk mencoba dan bertanya tentang bagaimana mengoperasikan alat ini adalah saat pelatihan ini, karena tahap selanjutnya adalah tahapan dimana mereka menjalankan proses pembuatan peta dengan peralatan tersebut. Akhirnya, mereka pun sedikit demi sedikit dapat memahami bagaimana penggunaannya, walaupun setelah menempuh waktu yang relatif lama. 2. Pembuatan Peta; pembuatan peta dilakukan oleh tim dengan cara melaksanakan apa yang sudah didapatkan selama proses pelatihan. Tahapan yang dilakukan adalah: -

Pengambilan Data Lapangan Pengambilan data lapangan meliputi pengambilan data di lokasi-lokasi untuk mengetahui batas desa dan lahan yang diusahakan oleh masyarakat seperti kebun, ladang dan hutan (termasuk didalamnya batas penguasaan atau kepemilikan lahan oleh kelompok masyarakat dan lokasi masyarakat memanfaatkan hasil hutan seperti berburu, mengambil madu, mengambil rotan), lokasi masyarakat mencari ikan, rute jalan dan sungai serta tempat-tempat penting seperti tempat keramat, muara sungai, puncak gunung, bangunan sekolah, tempat ibadah dan kantor. Survey lapangan ini juga sebagai upaya melakukan verifikasi terhadap koordinat-koordinat yang diambil dan dicocokkan dengan letak yang sudah tercantum dalam peta dasar. Pelaksanaan pengambilan data lapangan dilak ukan dengan dua cara yaitu survey melalui darat dan sungai, dan keduanya ditempuh dengan berjalan kaki. Kedua survey tersebut dilaksanakan oleh tim yang berbeda, dan masing-masing tim dibekali dengan peralatan GPS, kompas dan meteran. Jumlah tim disesuaik an dengan banyaknya peralatan yang tersedia (dalam hal ini GPS), dan pada saat itu, GPS yang tersedia hanya 2 buah, maka dibagilah tim menjadi dua tim. Hampir seluruh anggota masyarakat Kampung Muluy merupakan anggota dari kedua tim tersebut dengan komposisi orang-orang yang memiliki pengetahuan yang cukup untuk wilayah-wilayah yang menjadi tanggung jawab tim tersebut. Mengingat keseluruhan anggota tim yang banyak, karena hampir seluruh anggota masyarakat menjadi anggota tim, maka setiap tim membagi kerjanya secara bergantian setiap harinya, dan tidak lupa untuk selalu melihat komposisi orang-orang yang memiliki pengetahuan yang cukup atas wilayahnya di setiap perjalanan survey

63 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


lapangan. Masing-masing tim kemudian membagi perannya masingmasing, di mana sebagian bertanggung jawab mengoperasikan GPS, ada yang mengoperasikan Kompas, ada yang mencatat data lapangan, ada yang penunjuk jalan dan sebagian lagi terutama orang-orang tua memberikan informasi tentang tempat-tempat yang dianggap perlu untuk diambil data lapangannya. Sebelum memulai survey lapangan, tim pengambil data lapangan terlebih dahulu membuat peta sketsa, yaitu peta yang menggambarkan rute dan lokasi yang akan disusuri untuk diambil data koordinatnya dan data lapangan lainnya. Peta Sketsa tersebut digunakan sebagai acuan tim pengambil data lapangan, karenanya rute dan objek yang akan dikunjungi harus digambarkan ke dalam peta sketsa. Dengan demikian, dalam melaksanakan tugasnya, tim survey, tidak akan banyak memakan waktu dan tenaga yang terbuang karena sudah dipandu dengan panduan yang jelas, yaitu peta sketsa. Proses Pengambilan data lapangan, berlangsung selama 10 hari. Selama proses ini juga diketahui bahwa ada beberapa nama sungai yang tercantum dalam peta dasar ternyata terletak pada posisi yang kurang tepat, serta posisi jalan yang kurang tepat khususnya jalan-jalan desa yang memang letaknya jauh dari jalan utama atau jalan raya. -

Pengolahan Data Lapangan Pengolahan data lapangan yaitu kegiatan untuk menentukan skala peta yang akan dibuat dan menyesuaikan koordinat dengan skala peta. Dilanjutkan dengan penggambaran peta yaitu didahului dengan melakukan penggambaran draft peta yaitu peta dasar yang sudah dilengkapi dengan data hasil survey. Kemudian diakhiri dengan menghitung luas wilayah yaitu untuk menghasilkan informasi yang penting dari hasil pemetaan yang salah satunya adalah informasi tentang luas wilayah. Sebelum melakukan pengolahan data lapangan, terlebih dahulu anggota tim dilatih untuk melakukan pengolahan data. Tim pengolahan data terdiri dari 10 orang, yaitu mereka yang juga melaksanakan kegiatan pengumpulan data lapangan. Latihannya adalah melakukan pemindahan data-data koordinat dari lapangan ke dalam kertas sehingga dapat menunjukkan gambar wilayah. Selain itu juga dilatih untuk membaca koordinat yang sudah tersedia dalam peta rupa bumi dan juga mencocokkannya dengan data yang didapatkan dari lapangan.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 64


Pelatihan dianggap cukup ketika seluruh peserta dapat memahami dengan ditandai berhasilnya memindahkan beberapa titik koordinat ke dalam kertas dengan skala yang layak dengan mempertimbangkan lebar kertas dan luasan yang akan digambarkan. Setelah itu, dimulailah proses pengolahan data lapangan yang dimulai dengan pencatatan kembali hasil pengambilan data dengan GPS pada sebuah buku khusus. Setelah seluruhnya disalin, mulailah satu per satu data dipindahkan ke dalam peta rupa bumi, sambil mulai mencocokkan data yang sudah ada di dalam peta rupa bumi tersebut. Dalam proses ini, dapat diketahui halhal yang menjadi koreksi dari peta rupa bumi yang sudah tersedia, baik letak yang kurang tepat maupun informasi yang belum tersedia. Tidak tertutup kemungkinan data yang diambil dari lapangan tidak memadai atau tidak lengkap. Untuk melengkapinya dilakukan dengan dua cara yaitu melakukan kembali pengambilan data lapangan atau melakukan penggalian informasi dengan para Tua Kampung dengan berdasarkan informasi yang ada dalam peta rupa bumi atau kedua cara ini dilakukan sekaligus. Cara yang kedua, yaitu cara menanyakan kepada Tua Kampung, dilakukan pada saat pertemuan-pertemuan khusus yang dilakukan dalam rangkaian pengambilan data lapangan, dan idealnya penggalian informasi dilakukan oleh mereka yang memang bertugas melakukan pengambilan data lapangan dengan dibantu data-data yang diambil dari lapangan dan peta dasar yang tersedia. Tentunya, Tua Kampung yang dimintai informasi adalah mereka yang dianggap sangat memahami dan mengetahui secara pasti informasi keseluruhan wilayah Kampung Muluy atau bagian-bagian yang dibutuhkan untuk informasi yang dibutuhkan klarifikasinya. Dalam praktiknya, kegiatan pengolahan data di Kampung Muluy tidak selalu dilakukan setelah semua kegiatan pengambilan data selesai secara keseluruhan. Namun dapat dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengambilan data itu sendiri. Dengan tim yang terbagi-bagi dan secara bergantian setiap harinya melakukan pengambilan data lapangan, sekembalinya tim akan segera dilanjutkan dengan sedikit demi sedikit melakukan pengolahan data lapangan, begitu seterusnya. Hal ini menjadi sangat efektif dilakukan karena jika ada informasi yang kurang bisa segera dilengkapi. Setelah hasil pengolahan data, seluruh anggota masyarakat akan mengetahui dengan pasti informasi yang ada di wilayahnya, karena kemudian tergambar di dalam peta dengan proses yang mereka lakukan sendiri. Mereka mengetahui dengan pasti batas antar desa, batas kepemilikan lahan, nama dan letak sungai, letak kebun kopi dan rotan, 65 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


dan informasi lain seperti tempat-tempat bersejarah serta tempat-tempat di mana hewan dan tumbuhan hidup menjadi jelas diketahui. Tahap pengolahan data lapangan adalah tahapan yang bisa dikatakan syarat dengan teknik-teknik khusus yang memerlukan keahlian dan ketelitian para pelaksananya. Sejauh ini, proses pemberian pembekalan teknik-teknik yang dibutuhkan memerlukan waktu yang relatif panjang, karena memang mereka yang ditugaskan untuk melaksanakan tahap ini diharapkan tidak sebagai pengawal proses saja melainkan sebagai pelaksana yang sebenarnya. Aktivis LSM PADI memerlukan ekstra kesabaran agar target minimal penguasaan teknik-teknik yang dibutuhkan para pelaksana dapat tercapai. Hal ini sangat mutlak diperlukan mengingat umumnya anggota masyarakat Kampung Muluy tidak terlampau paham membaca dan menulis, sementara tahapan ini sesungguhnya sudah mensyaratkan keterlibatan orang-orang yang mendapatkan tugas ini adalah orang-orang yang (minimal) paham membaca dan menulis. Hal yang bisa ditarik pelajaran dari pengalaman di Kampung Muluy, dari tahap ini, bahwa pada akhirnya, walaupun memakan waktu yang cukup lama, proses pengolahan data tetap dilakukan oleh anggota masyarakat secara langsung, dengan segala keterbatasan mereka untuk memahami teknik-teknik pengolahan data lapangan. -

Klarifikasi Data adalah untuk melengkapi data hasil pengambilan data lapangan. Kegiatan ini melibatkan seluruh masyarakat termasuk masyarakat desa yang berbatasan sehingga diperoleh informasi yang lebih lengkap terutama tentang batas desa. Hal ini penting untuk menghindari konflik di kemudian hari. Secara teknis, hal-hal yang menjadi tambahan dan perbaikan langsung dikerjakan dalam pertemuan ini, yaitu dengan cara mengoreksi langsung draft peta yang sudah dihasilkan dalam tahap pengolahan data survey. Tahapan ini di lakukan selama 2 hari dengan keterlibatan tua Kampung, kepala desa, tim pengambil dan pengolah data lapangan, kepala adat dan anak muda serta kelompok perempuan. Yang menjadi poin penting untuk diklarifikasi adalah tata batas dan letak lokasi yang langsung berbatasan dengan kampung tetangga. Karenanya, dalam tahap ini kehadiran perwakilan dari kampung/desa tetangga menjadi sangat penting. Pelajaran penting yang bisa di ambil dalam tahapan ini adalah terjadinya saling bertukar pengalaman dan bertutur kata yang baik, dengan harapan agar jika di kemudian hari terjadi perselisihan akan dapat diselesaikan dengan cara saling menghargai dan setiap terjadi kesalahan bisa di perbaiki bersama. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 66


-

Finalisasi Peta yaitu melakukan penggambaran peta di kertas kalkir atau peta akhir. Hal ini dilakukan dengan cara menjiplak gambar yang ada di peta dasar ditambah dengan beberapa informasi tambahan seperti judul peta, legenda atau keterangan, skala, pewarnaan, pengarsiran, informasi waktu pembuatan peta, sumber data dan beberapa informasi lain sesuai dengan aturan standar pembuatan peta. Tahapan ini dilakukan oleh tim pemetaan secara keseluruhan dan dibantu oleh fasilitator PP. Tahapan ini juga sekaligus untuk membuat peta yang dihasilkan menjadi bagus dan mudah dimengerti serta dipahami segala informasi yang tertuang didalamnya. Tahap ini menempuh waktu selama 3 hari. Bagi tim pemetaan, tahapan ini adalah tahapan di mana mereka merasakan bahwa bekerja secara berkelompok lebih memudah-kan, karena ketika ada kekurangan atau kesalahan bisa di perbaiki bersama.

-

Pengesahan; selesainya sebuah peta ditandai dengan pengesahan dengan cara menandatangani kolom pengesahan. Penanda-tanganan dilakukan oleh masyarakat desa, tokoh masyarakat, masyarakat desa yang berbatasan dan pejabat yang dianggap penting. Pengesahan ini membuktikan bahwa peta yang dibuat sudah diakui baik oleh masyarakat desa itu sendiri maupun pihak luar. Pengesahan peta dilakukan dengan cara penandatanganan lembar peta oleh kepala desa, tua kampong dan kepala adat serta para saksi lain, yang jumlahnya 25 orang. Sebetulnya, tim pemetaan menghendaki seluruh anggota masyarakat Kampung Muluy membubuhkan tandatangannya, tetapi karena ada keterbatasan ruang pengesahan didalam lembaran peta, maka penandatanganan dilakukan oleh perwakilan masyarakat Kampung Muluy saja dengan disaksikan oleh seluruh anggota masyarakat Kampung Muluy, perwakilan LSM Padi Indonesia dan perwakilan dari desa-desa tetangga.

PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN ADAT GUNUNG MULUY: SEBELUM DAN SESUDAH DILAKSANAKANNYA PEMETAAN PARTISIPATIF Dengan berbagai permasalahan yang sejak awal sudah muncul, Masyarakat Kampung Muluy terus berpikir untuk meningkatkan kualitas perlawanannya agar perlawanan yang digunakan dapat efektif untuk mempertahankan kawasan hutan adatnya. Kedatangan aktivis PADI dan kemudian mengadakan pertemuan antar kampung merupakan titik awal mereka mengetahui dengan pasti 67 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


permasalahan yang sebenarnya. Perkenalan dengan PADI itu juga yang membuat mereka mengetahui fungsi dari keberadaan PADI, yaitu tempat mereka bertukar pikiran dan mempertajam strategi perjua ngan mereka. Sampai akhirnya mereka mengetahui dengan pasti kegunaan kegiatan PP baik untuk penguatan masyarakat Kampung Muluy juga untuk menyusun perlawanan selanjutnya. Rangkaian pertemuan dan diskusi memungkinkan mereka mengetahui bahwa kawasannya telah diserobot oleh sebuah perusahaan dengan restu pemerintah/ negara. Sejak saat itu, mereka tidak meragukan lagi bahwa mereka harus berbuat sesuatu dan salah satu strateginya adalah melakukan dokumentasi dan inventarisasi seluruh potensi hut an adat mereka sekaligus melakukan konsolidasi sesama warga kampung agar kawasannya tidak diambil alih pengelolaannya oleh pihak lain. Beberapa perubahan setelah dilakukannya PP dalam hal pengelolaan kawasan hutan adat mereka adalah disepakatinya hal-hal sebagai berikut: -

Luasan wilayah adat Kampung Muluy adalah seluas 14.000 ha dengan perincian 10.000 ha merupakan kawasan hutan adat dan 4.000 ha adalah wilayah pertanian masyarakat dan pemukiman. Berikut adalah perincian penataan wilayah adat Kampung Muluy berdasarkan hasil PP: No

Pembagian Hutan

Luas (Hektar)

%

10.000

71.43

1.

Hutan (Alas)

2.

Ladang (Umo)

2.500

17.86

3.

Lahan pertanian Gilir Balik

1.000

7.14

4.

Lahan Pemukiman

500

3.57

14.000

100

TOTAL

Sumber: PP di Kampung Muluy tahun 1996 -

Ditetapkan tata batas antar kampung/desa, yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Kampung SwanSlotung dan Kepala Telake, di sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Long Sayo dan Lusan, di sebelah barat berbatasan dengan Rantau Layong, dan di sebelatan timur berbatasan dengan Rantau Buta.

-

Ditetapkan aturan tidak diperbolehkannya menebang pohon dalam radius 1 km dari batas desa.

-

Ditetapkan bahwa tidak diperbolehkan melakukan pembagian tanah di antara warga masyarakat Kampung Muluy dan antara masyarakat Kampung Muluy dengan orang luar. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 68


-

Penebangan kayu harus seijin seluruh warga Kampung Muluy dengan cara melakukan musyawarah ( rembukan), dan tujuan penebangan kayu hanya diperbolehkan untuk tujuan pembuatan rumah.

-

Sistem penjagaan dilakukan s eperti sebagaimana mereka lakukan sebelumnya, di mana ketika masyarakat memasang jerat untuk menangkap hewan hutan atau memanen madu di hutan, pada saat itulah mereka melakukan penjagaan terhadap wilayahnya serta melakukan pengawasan terhadap keadaan hutan.

-

Kepemilikan pohon madu ataupun buah-buahan adalah milik bersa-ma. Pemanenan dapat di lakukan secara bersama. Sedangkan untuk pengambilan hasil pohon madu tersebut harus seijin orang/kelom-pok yang selama ini menjaga ataupun merawatnya.

-

Kegiatan berladang dengan m etode gilir balik hanya diperbolehkan pada area hutan yang luasnya 4.000 ha, di luar area tersebut tidak diperbolehkan.

Dokumentasi dan inventarisasi sejumlah kesepakatan tersebut tidak hanya berguna untuk diketahui dan dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakat Kampung Muluy, tetapi juga dipergunakan untuk menahan kedatangan pihak perusahaan yang bermaksud memanfaatkan hasil hutan adat Gunung Lumut. Dengan dokumentasi yang dihasilkan, mereka akan memperlihatkan dan menjelaskan secara gamblang apa dan bagaimana kawasan Hutan Adat Gunung Lumut serta apa saja prosedur yang harus diikuti jika akan memanfaatkan kawasan Hutan Adat Gunung Lumut. Pada akhirnya, mereka akan mengatakan bahwa pihak manapun yang akan memanfaatkan potensi kawasan Hutan Adat Gunung Lumut tidak memungkinkan lagi, karena mereka sudah terikat kesepakatan yang tidak hanya mengikat masyarakat Kampung Muluy tetapi mengikat masyarakat kampung yang ada di sekitar kawasan Gunung Lumut. Bagi masyarakat Kampung Muluy, hal terakhir yang terkait dengan upaya mempertahankan wilayahnya adalah hal yang paling penting dari kegiatan PP. Ketika pihak perusahaan datang dengan ijin tertulis dari pemerintah/negara, mereka pun bisa menunjukkan sejumlah dokumen yang dapat menandingi dokumen tertulis yang dibawa pihak perusahaan. Dalam masyarakat Kampung Muluy sendiri, kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan dari kegiatan PP telah membuat semakin kuat prinsip yang mereka pegang selama ini didalam pengelolaan kaw asan Hutan Adat Gunung Lumut. Keterlibatan beberapa pihak didalam kegiatan PP tidak hanya mengikat masyarakat Kampung Muluy tetapi juga pihak-pihak masyarakat kampung di sekitarnya. Hal ini menjadikan komunikasi dan kerjasama antar kampung tetap terjaga. Sedangkan bagi masyarakat Kampung Muluy, kekuatan perjuangannya 69 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


untuk tetap mengelola dan mempertahankan kawasan Hutan Adat Gunung Lumut menjadi lebih besar dan lebih kuat. Cita-cita serta prinsip bahwa keberadaan Hutan Adat Gunung Lumut adalah untuk anak cucu mereka dapat terlaksana dan terus berlangsung. Sejumlah analisis yang kemudian dipandang oleh masyarakat Kampung Muluy, di mana berbagai aturan perundangan yang dikeluarkan oleh negara yang tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat Kampung Muluy, menjadikan masyarakat memilih caranya sendiri untuk mempertahankan dan mengelola hutan adat mereka. Berdasarkan hati nurani dan didukung dengan hasil dari kegiatan PP, masyarakat Kampung M uluy melakukan perlawanan. Mereka melawan agar tidak ada pihak manapun yang memiliki tujuan memanfaatkan sumber daya alam Hutan Adat Gunung Lumut secara berlebih-lebih dan kemudian menjadi rusak. Dengan pemahaman yang lebih dalam tentang potensi sumber daya alam kawasan Hutan Adat Gunung Lumut, mereka lebih siap lagi untuk mengatakan setuju ataupun tidak setuju jika ada pihak yang akan berinvestasi dengan memanfaatkan kawasan Hutan Adat Gunung Lumut. Untuk selanjutnya mereka akan tetap waspada dan selalu menguatkan konsolidasi antar masyarakat di Kampung Muluy dan masyarakat di kampungkampung lainnya. Hal ini – kembali – mengingat apa yang menjadi analogi masyarakat Kampung Muluy terhadap kawasan hutan adat mereka yaitu “ jatas tete ine”. Keberadaannya hutan adat akan selalu dijaga sebagai sumber penghidupan bagi generasi-generasi selanjutnya, sebagaimana prinsip yang mereka anut “Hutan Adat Gunung Lumut adalah milik anak cucu mereka”.

KESIMPULAN “lebih baik parang jalan duluan dari pada berbicara ” Ungkapan masyarakat Kampung Muluy ini menunjukkan ketegasan mereka bahwa mereka dengan cara apapun akan selalu menjaga hutan adatnya demi menjaga apa yang mereka sebut dengan analogi “ jatas tete ine”. Prinsip ini sudah mereka jalankan sejak generasi pertama masyarakat Kampung Muluy tinggal di kawasan Hutan Adat Gunung Lumut. Berbagai permasalahan lambat laun mereka ketahui dan pahami hingga ada kesadaran bahwa ada ancaman besar berupa upaya perebutan sumber daya alam hutan adat Gunung Lumut. Ditetapkannya hutan adat Gunung Lumut sebagai hutan lindung oleh pemerintah disadari sebagai ancaman untuk membatasi akses mereka terhadap sumber kehidupan mereka.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 70


PP adalah sebuah metode, sebuah cara dan sebuah alat agar mereka dapat mengidentifikasi dengan baik persoalan yang ada dan persoalan yang mungkin muncul di kemudian hari. Dengan proses PP, tidak hanya lembaran-lembaran peta yang mereka hasilkan, melainkan lebih jauh dari itu. Mereka memahami dengan baik bagaimana memperkuat segala upaya yang sudah dilakukan untuk menjaga kawasan hutan adat mereka. Di tengah kehidupan bernegara yang semuanya berdasarkan hal-hal yang tertulis dan berkekuatan hukum, mereka pun dengan PP berupaya merumuskan kekuatan tandingan yang serupa. Jika sebelumnya mereka berjuang dengan segala pengetahuan yang ada di dalam keyakinan dan pikiran saja, mereka kemudian mendapatkan jalannya untuk dapat merumuskan dan menuangkan seluruh keyakinannya ke dalam doku mendokumen hasil PP. Di sinilah kekuatan PP, dengan bercermin pada pengalaman masyarakat Kampung Muluy. Seluruh dokumentasi dan inventarisasi seluruh keyakinan, pikiran dan potensi sumberdaya alam Hutan Adat Gunung Lumut, oleh masyarakat Kampung Muluy dijadikan alat tawar tertinggi bagi pihak manapun Perlengkapan Upacara Adat di Kampung Muluy yang akan memanfaatkan sumberdaya hutan adat mereka. Kekuatannya tidak hanya di tangan pihak-pihak elit masyarakat saja, karena prosesnya melibatkan banyak pihak dan seluruh masyarakat Kampung Muluy. Seluruh kesepakatan dan hasil-hasilnya diketahui secara merata oleh seluruh masyarakat. Sehingga, kepada siapapun pihak-pihak yang berkepentingan datang, baik kepada kepala pemerintahan setempat (secara adat maupun secara formal), kepada masyarakat biasa, kepada tokoh masyarakat, bahkan kepada anggota masyarakat di kampung sekitarnya, mereka akan merespon dengan cara yang sama yang pada akhirnya menyatakan bahwa mereka tidak berkehendak siapapun yang ingin memanfaatkan potensi hutan adat jika hanya untuk mengeksploitasi dan akhirnya rusak. Dalam hal ini juga, maka kekuatan adat dan kearifan lokal yang kemudian sudah selesai di petakan, semakin menguatkan posisi tawar masyarakat adat Kampung Muluy untuk selalu menjaga kawasan Hutan Adat Gunung Lumut.

71 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


PEMETAAN PARTISIPATIF : MEMPERTAHANKAN HAK ATAS TANAH LELUHUR, PENGALAMAN ORANG KATU Oleh : Azar

ORANG KATU Orang Katu adalah sebutan buat komunitas yang tinggal di Desa Kat u, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Desa Katu terletak di sekitar titik koordinat 01 °35’18,00" Lintang Selatan dan 120 °15’24,00" Bujur Timur, dan berada pada ketinggian sekitar 1.100 m dari permukaan laut. Jarak Desa Katu dari ibu kota kecamatan yakni Desa Doda, sekitar 34 kilometer dan dari ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah, Palu, sekitar 150 km, yang dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan mobil hingga ke Desa Rompo, lalu dilanjutkan dengan jalan kaki atau kendaraan motor roda dua sejauh 7 km. Orang Katu merupakan bagian dari Suku Behoa. Pengelompokan etnik ini didasarkan atas bahasa setempat yang disebut bahasa Behoa. Orang Katu bertempat tinggal dalam kawasan hutan, yang disebut kakau karena lokasi tempat tinggal dan keberadaan Orang Katu berada dan tergantung pada kawasan hutan setempat. Seringkali Orang Katu disebut Orang Behoa Kakau. “Katu” dalam bahasa setempat berarti tempat terakhir. Tidak ada informasi nilai dan makna tertentu dari pemberian nama komunitas dan nama Desa Katu. Namun, seringkali pengertian Katu dihubungkan dengan konsensus masyarakat dengan pemerintahan Kerajaan Pekurehua (Napu), yaitu: Raja Gembu dan Kepala Distrik bernama M.Bago, yang merestui permintaan Orang Katu untuk tetap tinggal di tanah Katu sebagai tempat terakhir, yang mana sebelumnya berkalikali mereka dipindahkan dari Katu.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 72


Konsensus ini diperkirakan berlangsung tahun 1959 di Katu, yang disahkan dan ditandai upacara adat dengan pemotongan kerbau putih betina dan penanaman pohon beringin. Konsensus ini memuat komitmen atau ‘sumpah’ Orang Katu, sebagai berikut: “Barang siapa orang katu yang berani meninggalkan kampungnya ia akan di tindis oleh dahan-dahan pohon beringin ini dan akan mendapatkan tula dalam kehidupannya”.(ihiana tauna toi katu to pebai mopalehi wanua katu, ina nadampangi/naupi da ’ana nunu de’e). Sedikit sekali dokumen tertulis mengenai sejarah Orang Katu, karena masyarakat setempat tidak memiliki kebiasaan menulis. Padahal Orang Katu memiliki riwayat dan sejarah di kampungnya yang sudah lama ada. Situs sejarah bekas kampung tua, hutan bekas ladang, tanaman kopi dan batu-batuan megalitik, menandakan keberadaan penduduk. Orang-orang tua di Katu bertutur, jikalau sejarah ini dituliskan cukup panjang dan ceritanya tidak selesai semalam suntuk. Ada banyak lembaga dan peneliti dari luar yang menuliskan keberadaan Orang Katu, seperti: dari perguruan tinggi yang bekerjasama dengan universitas asal Jerman, IPB Bogor dan Universitas Tadulako Palu dalam program STORMA, Dinas Kehutanan, mahasiswa asal Universitas Barkeley AS, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dalam buku tua yang dituliskan oleh peneliti asing (Walter Kaudern dan Kruyt, 1938), sedikit dituliskan migrasi penduduk, situs dan keberadaan batu megalitik di Katu. Diperkirakan leluhur Orang Katu berasal dari masyarakat kampung-kampung sekitar yang berdasarkan kelompok etnik tergolong dalam empat kelompok etnik besar, yakni: komunitas etnik To Pekurehua yang terdapat di kampung-kampung sebelah timur Katu, etnik to Behoa disebelah selatan, etnik To Uma di dataran Gimpu dan To Kulawi di sebelah barat hingga ke utara. Jarak Desa Katu dan kampung-kampung kelompok etnik tersebut berdekatan. Namun, kelompok etnik Behoa lah yang paling besar pengaruhnya, mulai dari bahasa, sistem kekerabatan dan pengetahuan tata guna lahan. Dahulu, daerah Katu merupakan lokasi ladang ( hinoe) dan bercocok tanam masyarakat kampung sekitar. Masyarakat masih dapat menceritakan gerakan migrasi kelompok penduduk dalam kegiatan berladang, antara lain membuat hinoe di kawasan Mapaohi dan Parabu pada tahun 1910 hingga 1918. Dalam perkembangannya mereka membentuk kelompok masyarakat hingga menjadi kampung dan mempunyai pemerintahan desa tahun 1978. Pada era pemerintahan Kolonial Belanda di tahun 1918, serdadu Belanda membakar lumbung makanan dan ladang masyarakat yang siap panen. Pemerintah Belanda memaksa masyarakat pindah ke daerah Behoa Ngamba, yang mana daerah tersebut merupakan daerah dataran ( ngamba) yang terbuka dan terdapat kampung yang didiami oleh kelompok etnik Behoa. Alasan 73 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


pemerintah menginginkan masyarakat, supaya lebih mudah mengkontrol kelompok masyarakat di Katu yang tinggal di kawasan hutan. Pada tahun 1925, beberapa warga asal Katu menemui Raja Kabo, pimpinan Kerajaan Pekurehua, di Kampung Wanga, yang berada dalam penaklukan pemerintah Belanda, tujuannya untuk menjelaskan kesulitan dalam membayar pajak (Blasting) kepada Belanda dan meminta supaya mereka dapat kembali ke Katu dan mengusahakan perkebunan tanaman kopi untuk dapat membayar pajak. Raja Kabo merestui permintaan masyarakat. Masyarakat Katu Kakau dipindahkan lagi ke Bangkeluho, daerah Behoa Ngamba, pada tahun 1947, karena adanya bencana kelaparan dan penyakit yang menimpa masyarakat, karena mereka juga tidak membayar Blasting (pajak). Kepala Distrik setempat berjanji untuk membantu memberikan jaminan beras, tapi kenyataanya hanya gabah yang diberikan. Karena kesulitan-kesulitan hidup di tempat baru dan tidak bebasnya orang Katu memanfaatkan tanah dan kekayaan alam lainnya yang berada dalam wilayah kampung-kampung sekitar Bangkeluho, serta rasa tidak aman karena adanya gejolak perlawanan bersenjata antara Permesta dan tentara RI, maka pada tahun 1959, tokoh masyarakat Katu, yakni: Humpui Torae, memimpin masyarakat kembali ke Katu. Meskipun perpindahan ini tidak disetujui Kepala Distrik, M. Bago, tetapi masyarakat tetap kembali ke Katu. Mereka membuat tekad bersama untuk tetap tinggal di Katu dan tinggal di sana hingga kini. Humpui Torae mengajak pula penduduk pengungsi dari daerah Rampi di dataran tinggi, wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, yang mengungsi ke Behoa Ngamba karena adanya gejolak DI/TII. Penduduk pengungsi tersebut yang sebagian besar adalah komunitas etnik Rampi, ikut serta ke Katu dan tinggal di sebuah tempat yang dinamakan Dodolo, sesuai dengan nama kampung asal mereka di Rampi. Terdapat pula dua situs batu megalitik di Katu, yakni watu arii di tempat bernama Sawuraga, berbentuk tiang rumah, dan potobua watu di tempat bernama Kanino, berbentuk tumpukan batu. Di batas Desa Katu dengan Desa Rompo, terdapat dua situs batu megalit lainnya, yakni watumeboku, berbentuk manusia dan salah satunya menggunakan sanggul, dan watumogaa, berbentuk manusia dan batunya terbelah. Meskipun tidak ada cerita khusus tentang situs megalitik ini, namun diperkirakan situs-situs ini berhubungan dengan kebudayaan leluhur dahulu.

Penduduk Dan Mata Pencaharian Penduduk di Desa Katu dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, pada tahun 1997 jumlah penduduk Katu sekitar 226 jiwa atau 68 keluarga dan pada tahun Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 74


2008 meningkat menjadi 317 jiwa atau 97 keluarga. Laju pertambahan penduduk meningkat setelah tahun 1999. Selain karena tingkat kelahiran anak meningkat dan adanya perkawinan dengan penduduk luar, alasan lain adalah semakin banyaknya penduduk yang baru datang asal keluarga Katu dan dari kampung sekitar.

doc. YTM

Perkampungan di Katu Kurang lebih delapan tahun belakangan ini, telah terjadi peningkatan pembangunan fisik, pengembangan ekonomi dan meningkatnya kesejaht eraan keluarga di Katu, misalnya rumah rakyat, pada tahun 1997 hanya 34 bangunan rumah dan sekarang sudah ada 86 bangunan rumah. Sekarang sudah ada bangunan sekolah dasar yang permanen, gedung taman kanak-kanak, kantor desa, rumah adat, pos kesehatan dan fasilitasnya, rumah ibadah, listrik tenaga surya, pembangunan dan pelebaran jalan dalam kampung dan drainase permanen. Semakin banyak warga yang memiliki lahan perkebunan menetap, sawah, alat traktor tangan untuk pertanian, mesin perontok padi dan jagung, serta kendaraan motor. Peningkatan ini boleh jadi karena adanya Surat Pernyataan (SP) pejabat Kepala Balai Taman Nasional Lore Lindu, Ir. Banjar Yulianto Laban, MM, bernomor 35/ VI-BTNLL.1/1999, yang secara tersirat menyatakan mengakui hak-hak masyarakat adat Katu dan bebas mengembangkan kesejahteraan hidupnya. SP ini dikeluarkan menyusul tekanan dan protes warga Katu menuntut pengakuan hak, menolak pemindahan dan meminta kebebasan mengelola lahan dan kawasan hutan. Mata pencaharian utama Orang Katu adalah bertani dan pemanfaatan hasil hutan. Kegiatan pertanian dan pengolahan hasil hutan yang menonjol untuk 75 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


sumber pendapatan dan pangan adalah perladangan ( hinoe), perkebunan kopi (pokopia), perkebunan cokelat (hinoe cokelat), perkebunan tanaman campuran (pampa), sawah (bonde), kolam ikan (wuhuu), memungut rotan ( me uwe), memotong damar (me hulo), berburu (mo ahu), mengambil ikan sungai ( mo hulu) dan kegiatan yang masih baru adalah mencari dan memanen kayu Gaharu. Kegiatan pemanfaatan kekayaan alam lainnya adalah anyaman dan peralatan dapur yang dikerjakan ‘sambilan’ di waktu luang, antara lain: membuat tapis beras (wara), ayakan udang (pehao), nampah (bingka), bakul pikulan (rotaa), tikar (mo ale), bubuh penangkap ikan dan sebagainya.

Perladangan Dan Sistem Pemilikan Tanah Perladangan atau dalam bahasa Behoa disebut hinoe, merupakan kegiatan pertanian paling tua dan diwariskan hingga saat ini. Sistem perladangan di Katu berkembang seiring dengan perubahan sistem sosial, budaya dan ekonomi masyarakat Katu. Kegiatan produksi padi ladang dilakukan masih secara berkelompok dan mengandalkan tenaga gotong royong ( mapalus) dan menggunakan peralatan produksi masih sederhana, seperti: parang, kampak dan kayu. Bagi anggota kelompok yang mampu, mereka tidak terlibat langsung dalam kegiatan mapalus, menggantikan tenaganya dengan uang atau menyewa tenaga kerja, alat-alat yang digunakan untuk menebang sudah menggunakan mesin chainsaw dan mesin traktor tangan untuk pengerjaan sawah, yang biasanya dilakukan oleh manusia dan kerbau. Situasi ini menggambarkan corak produksi masyarakat Katu telah bergeser. Awalnya, sumber lahan perladangan adalah dari pembukaan hutan rimba (pandulu). Semenjak awal abad ke 20, masyarakat sangat kurang membuka pandulu untuk berladang (mo hinoe) melainkan memanfaatkan hutan bekas ladang yang masih muda ( lopolehe) dan hutan bekas ladang yang sudah tua (lopontua). Lokasi kegiatan perladangan terpencar disekitar kampung. Tidak semua kawasan hutan pandulu dan bekas kebun yang dapat dibuka untuk ladang. Pengelolaan lahan harus memperhatikan situasi kesuburan tanah, kemiringan lahan dan bentuk lahan, letak dan jaraknya dengan sungai dan sumber air bersih masyarakat, kondisi lahan dan ketersediaan waktu dan tenaga untuk pengolahan, hal penting lainnya adalah status pemilikan lahan. Dahulu, masyarakat masih mempunyai kepercayaan yang bernuansa magis terhadap setiap tempat di hutan, sehingga dalam memilih dan memulai hingga memanen lahan, harus mendapat restu dari pemilik dan penunggu tempat tersebut. Tetapi sekarang sedikit sekali kepercayaan masyarakat atas hal-hal Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 76


magis. Ritual kepercayaan dan sistem nilai dalam perladangan sudah berubah digantikan dengan ritual agama Kristen Protestan,yang melakukan doa syukuran bersama setelah pemanenan . Sistem pengolahan ladang di Katu berlangsung sekali setiap tahun. Tahapan pengelolaan ladang, sebagai berikut: pemarasan (mo hoe) rumput dan belukar di lahan yang akan menjadi ladang, pekerjaan ini kebanyakan melibatkan kaum laki-laki muda dewasa; penebangan (mo tiwingi) pohon-pohon yang berukuran diatas diameter 10 cm, penebangan dilakukan dengan memperhatikan posisi pohon disekitarnya dan kemiringan lahan, dimaksudkan pohon-pohon besar yang roboh akan menimpa pohon lainnya hingga tumbang, sehingga lebih efisien dan tidak perlu lagi ditebang. Umumnya pekerjaan pembukaan ladang yang bersumber dari lopo ntua dilakukan pada bulan Juni tahun berjalan, sedangkan lopo lehe dilakukan pada bulan Agustus, dikarenakan pertimbangan lamanya waktu penjemuran (mampuai) hingga keringnya tanaman yang sudah diparas dan ditebang, biasanya berlangsung satu hingga tiga bulan. Tahapan berikutnya adalah pembakaran (me hunu) yang dilakukan setalah dianggap seluruh tanaman sudah kering dan siap dibakar. Sebelum dibakar disekeliling lahan diparas agar pembakaran tidak meluas ke tempat lainnya. Pembakaran harus memperhatikan arah angin dan kemiringan lahan. Biasanya pembakaran dilakukan pada jam 12.00 hingga jam 01.00 siang di saat terik matahari, si pembakar sebaiknya bertentangan dengan arah datangnya angin yang datang dari bawah lereng bukit, pembakaran dimulai disisi tertentu dan pindah ke sisi lainnya hingga semuanya hangus terbakar. Selanjutnya, pembersihan (mo kae) bekas-bekas kayu dan daun rumput yang tidak terbakar, lalu ditumpuk disebuah tempat dan dibakar kembali. Biasanya lahan dibiarkan beberapa saat dan pada waktu luang tersebut digunakan untuk bekerja gotong royong di lahan anggota kelompok lainnya. Pembiaran ini juga dimaksudkan agar lahan tersebut ketika siap ditanami sudah lebih dingin dan abu bakaran sudah meresap ke dalam tanah sebagai pupuk. Penanaman padi dilakukan melibatkan laki-laki dan perempuan. Hingga kini Orang Katu masih menanam padi varietas lokal yang jenisnya beragam. Beberapa jenis padi yang terkenal antara lain: l amale, toirato, pindaloko, anantawine, tobada, bongka, balintunga, mpowatu, palolo, ngkaili, moa, laro, mpodoki, banahu, lo’a, lamba . Nama-nama padi disesuaikan dengan jenis beras(pulut dan biasa), warna dan bentuk, asal padi dan nama daerah. Selain menanam padi, masyarakat menanam pula tanaman jagung, ketimun, pisang, sayur-sayuran, seperti labu, kacang panjang, ubi jalar, ubi kayu, dan sebagainya di ladang. 77 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Pemanenan padi di ladang biasanya berlangsung pada bulan Mei hingga Juni. Sedangkan Padi di sawah yang dikerjakan dua kali setahun, pemanenannya berlangsung bulan Desember dan Juni. Hasil padi di ladang dan di sawah hanya di konsumsi untuk keluarga dalam kampung. Pengerjaan ladang kembali dilakukan pada bulan Juni di lahan yang berbeda, begitu seterusnya. Pergerakan dan sistem perladangan Orang Katu dipandang kontroversial oleh pemerintah, peneliti dan kelompok pencinta alam. Orang Katu dianggap ‘ predator’ dan mengancam keanekaragaman hayati. Namun Orang Katu berpandangan tanah yang ditinggalkan tersebut bukan dibiarkan tidak diolah, melainkan tanah bekas kebun (holu) sengaja dibiarkan beberapa saat agar pulih dan menanam dengan tanaman musiman untuk sumber pangan dan obat-obatan, maupun tanaman konservasi yang dapat memulihkan fungsi lahan dan lingkungan hingga menjadi lopolehe dan lopontua. Pengetahuan budidaya pertanian dan perkebunan di Katu sudah berubah mengikuti perkembangan umum, tanah bekas ladang diusahakan menjadi kebun tanaman jangka pendek dan kebun tanaman jangka panjang, seperti: tanaman palawija, jagung, sayur-sayuran dan kacang-kacangan, buah-buahan, cokelat dan kopi, yang pengerjaannya dilakukan disela-sela waktu masyarakat tidak bekerja di ladang. Tanaman ini untuk dijual ke pasar dan pengumpul setempat. Pengaruh lingkungan eko nomi sekitar, kebebasan mengolah lahan dan inovasi dalam keragaman usaha pertanian dan pemanfaatan hasil hutan membuat kehidupan sosial ekonomi Orang Katu berkembang. Masyarakat Katu merasa kehidupannya lebih baik dari waktu sebelumnya. Mereka bangga karena Orang Katu sudah bisa melanjutkan sekolah lanjutan atas hingga ke perguruan tinggi. Posisi dan sikap mereka dapat perhatian pemerintah dan masyarakat sekitar. Perkembangan ini tidak banyak merubah perilaku sosial dan sistem nilai dalam relasi sosial Orang Katu. Solidaritas sesama warga kampung dan sistem gotong royong masih dominan berlangsung dibandingkan sistem sewa tenaga kerja. Perubahan ini tidak serta menghancurkan kehidupan ekologi sebagaimana yang dikhawatirkan orang luar. Orang Katu justru membuat rencana pengelolaan untuk dapat mengkontrol pengelolaan lahan dan lingkungan ekologi. Urusan penguasaan tanah dan pengelolaan lahan masih berdasarkan pengetahuan dan kebiasaan lama yang sangat berkaitan erat dengan sistem perladangan dan pemanfaatan hasil hutan. Dalam konsep penguasaan wilayah Orang Katu dikenal adanya wilayah adat dan wilayah kepolisian. Konsep wilayah kepolisian adalah wilayah kampung dengan batas-batas tertentu dan penguasaanya diberikan kepada pemerintahan kampung berdasarkan pemberian pemerintahan distrik yang hingga sekarang masih digunakan dan diakui masyarakat setempat dan sekitarnya. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 78


Pemerintahan kampung yang diberikan kewenangan tidak serta merta menentukan atas pemilikan dan pemanfaatan lahan, melainkan dalam norma dan praktiknya keputusan yang berhubungan dengan pemanfaatan tanah dan hasil hutan dibicarakan secara bersama dengan lembaga adat dan tokoh masyarakat. Konsep wilayah adat mencakup tanah-tanah milik individu, hutan bekas kebun, areal ladang, kebun, sawah, kolam ikan, hutan rimba, dan sebagainya, yang di klaim diperoleh dari warisan leluhur dan berada dalam wilayah dengan batasbatas alam, seperti: sungai, puncak gunung, nama tempat tertentu, yang mana nama tempat tersebut mempunyai cerita yang berhubungan dengan sebuah peristiwa yang dialami penduduk pada masa lampau. Konsep batas wilayah adat Orang Katu secara umum menggunakan batas alam berdasarkan aliran air sungai dan tanda alam. Daerah puncak bukit dan daerah sekitar yang menjadi hulu sungai hingga airnya yang mengalir ke kampung menjadi wilayah kampung tersebut. Puncak bukit, tempat tertentu dan sungaisungai tersebut menjadi batas wilayah. Masyarakat Katu menganggap batas dan wilayah tersebut miliknya karena lokasi tersebut sudah semenjak lama menjadi tanda batas yang disepakati secara defacto dan dimanfaatkan masyarakat untuk tempat berburu hewan liar, mengambil hasil sungai, mengambil rotan dan hasil hutan lainnya, mereka juga mengawasi areal hutan tersebut dari gangguan dan pemanfaatan orang luar yang ilegal. Sistem dan kebiasaan dalam pemilikan lahan pribadi diperoleh seseorang dari pertama kali membuka hutan untuk ladang, tanah yang sedang diolah dan sudah pernah diolah menjadi milik pembuka dan pengolah lahan. Ada kekhususan buat hutan bekas ladang yang disebut lopontua, meskipun hutan tersebut bekas ladang tetapi dapat bebas dimanfaatkan dan dimiliki oleh masyarakat Katu yang membuka kembali lopontua tersebut. Orang Katu mempunyai istilah tanah umum yang dapat dimanfaatkan bersama, mencakup areal hutan rimba ( pandulu), hutan bekas kebun (lopo ntua), tanah kuburan, padang rumput, tanah pemukiman dan tanah yang tidak dimanfaatkan sekitar kampung, lapangan olah raga. Demikian pula, areal sungai, pasir dan batu, tanah yang tumbuh di sungai (delta), emas, hasil ikan dan udang, yang dapat dimanfaatkan secara bersama untuk warga Desa Katu. ( peta penggunaan lahan) Belum ada kasus pelanggaran perampasan hak atas tanah milik di lingkungan wilayah kepolisian masyarakat Katu. Pengaturan pemilikan dan pengelolaan tanah selalu berdasarkan norma dan kebiasaan masyarakat Katu. Ada etika 79 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


dan ijin dari lembaga adat, orang tua kampung dan pemerintah desa, serta pemilik lahan sekitar lahan yang akan digarap. Kalaupun ada sengketa batasbatas antara wilayah adat dengan desa sekitar dapat diselesaikan dengan berunding secara damai.

TAMAN NASIONAL DI TANAH ORANG KATU Sekitar awal tahun 1970 an, petugas pemerintah mendatangi kampungkampung sekitar kawasan hutan dan termasuk Katu. Mereka mengatakan akan melakukan pengukuran dan memasang patok batas hutan. Petugas pemerintah merekrut dan memberikan gaji kepada tenaga lapangan dari penduduk setempat. Bapak Topuko (almarhum), asal Kampung Doda, Besoa Ngamba, ikut sebagai petugas lapangan membantu merintis dan menunjukkan jalan di hutan dan sekitar kampung. Pemasangan patok batas hutan dilakukan sekenanya saja, tergantung kemampuan merintis, situasi medan dan keadaan hutan dan penafsiran petugas tentang hutan, sehingga ada patok yang berada tidak jauh dari lokasi pemukiman penduduk dan berada dalam kawasan hutan bekas kebun. Masyarakat tidak pernah dapat informasi yang jelas dan jujur tentang tujuan dan manfaat pemasangan patok batas, kecuali informasi hanya sekedar tanda saja. Tidak ada musyawarah dan apalagi meminta ijin persetujuan dari masyarakat. Ada beberapa lagi survey dan penelitian tentang lingkungan hutan oleh orang-orang dari luar kampung. Awal tahun 1980-an, petugas kehutanan melarang masyarakat untuk membuka kebun ladang dan berburu di kawasan hutan negara. Petugas secara keras mengancam masyarakat disertai tindakan kekerasan. Tanaman kopi dan hasil rotan dicabut dan dirusak, dipotong-potong hingga hancur. Masyarakat dikejar dan diancam untuk dipenjarakan karena dianggap mencuri. Petugas-petugas kehutanan mengatakan Orang Katu memanfaatkan hasil hutan taman nasional milik negara tanpa ijin, merusak hutan dan peladang berpindah, merugikan negara dan mengancam kelestarian lingkungan keanekaragaman hayati. Orang Katu pasrah dan diam saja dengan intimidasi petugas dan berbagai ungkapan tudingan yang merendahkan cara hidup mereka.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 80


Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) secara definitif ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 593/Kpts-II/1993, tertanggal 5 Oktober 1993, dengan luas wilayah 229.000 hektar, yang lokasinya tersebar di dua kabupaten, yakni: Kabupaten Donggala dan Poso, Provinsi Sulawesi Tengah. Diperkirakan terdapat 117 desa yang berhubungan dengan TNLL dan dimana terdapat sekitar 122.000 jiwa yang tinggal di desa tersebut. Masyarakat Katu mulai mengerti tujuan pemasangan patok oleh petugas kehutanan. Masyarakat telah dibohongi taman nasional dan patok-patok tersebut bukan tanda biasa tetapi seperti pagar larangan dimana mereka boleh dan tidak boleh mengelola tanah dan memanfaatkan hasil hutan. Penetapan hutan Negara tidak pernah dibicarakan secara terbuka. Masyarakat tidak pernah dijelaskan zonasi pengelolaan kawasan hutan yang boleh dan tidak boleh. Laporan-laporan penelitian merekomendasikan Orang Katu dipindahkan dan dikeluarkan dari taman nasional. Masyarakat resah karena dianggap dan merasa seperti “pencuri� di tanah sendiri, apalagi semakin gencar petugas menginformasikan pemindahan, melarang, menekan, mengancam menangkap dan memenjarakan warga Katu. Ada beberapa kali petugas kehutanan dan lembaga peneliti yang mengurusi konservasi taman nasional datang ke Katu dan meminta Orang Katu untuk pindah, tetapi masyarakat menolak dan membela diri. Humpu Torea, tokoh masyarakat Katu, mengatakan mereka bukan pencuri dan sudah lama berada di Katu sebelum ada taman nasional. Masyarakat tidak mengenal taman nasional, hutan lindung, hutan negara dan sebagainya. Mereka menolak dipindahkan ke Rompo, Bariri dan tempat-tempat lain, tidak perduli dengan rayuan dan fasilitas yang ditawarkan pemerintah dan LSM Konservasi. Berkali-kali Humpu Torae pergi menemui pejabat di Kabupaten Poso dan Provinsi Sulawesi Tengah di Palu meminta perlindungan dan keadilan. Situasi saat itu, pemerintah dan aparat negara mulai dari tingk at desa, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga pusat, semuanya dianggap penguasa kuat dan represif. Masyarakat takut untuk berurusan dengan aparat negara dan hukum, masyarakat menghindari pertemuan dengan orang luar dan pihak yang tidak dikenal, mereka pe rgi ke ladang yang jauh dari kampung dan aman beraktivitas. Masyarakat diam-diam masih mengerjakan ladang, berburu dan mengambil rotan untuk dijual. Urusan rumah, pendidikan dan pembangunan dalam kampung terbengkalai dan tidak digubris oleh pemerintah. Penduduk Kampung Dodolo tetangga Desa Katu tidak kuasa menahan tekanan dan pelarangan-pelarangan. Pada tahun 1989, seluruhnya warga Dodolo pergi meninggalkan tanah dan kebun di Katu dan mengikuti keinginan pemerintah untuk pindah ke tempat baru di antara Desa Wanga dan Kaduwaa, yang 81 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


dinamakan Desa Toejaya. Ada beberapa warga asal Katu juga pindah di Toejaya, tinggal di rumah yang telah disiapkan Dinas Sosial dan mengolah sebidang tanah baru yang luasnya kurang dari dua hektar. Orang Katu sudah punya tekad dan sumpah untuk tetap tinggal di Kampung Katu. Masyarakat sudah merasa kesulitan hidup dan terbatasnya mengakses lahan di lahan orang lain. Mereka meminta patok batas taman nasional dikeluarkan dan dipindahkan hingga jauh dari kebun dan kawasan hutan wilayah kelola masyarakat. Demikian pula, kebanyakan masyarakat dari sekitar 69 desa yang wilayahnya dijadikan areal TNLL menginginkan patok tapal batas TNLL diundur hingga jauh kebatas hutan rimba.

Keterlibatan Lembaga Keuangan International Pada tahun 1997, Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah mempunyai program di TNLL bernama CSIADCP (Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservation Project). Program ini dibiayai oleh Asean Development Bank (ADB) sebesar USD 32 juta dan dana United State Agency for International Development (USAID) bekerjasama dengan NGO international bernama The Nature Conservancy sebesar USD 3,2 juta. Proyek ini bertujuan mempromosikan pembangunan sosial ekonomi masyarakat dan pengelolaan sumber daya lingkungan yang terintegrasi dan bermanfaat bagi masyarakat setempat dan TNLL. Berbeda dengan pendapat dan perasaan kelompok masyarakat dan pejabat pemerintah desa dan kecamatan yang menerima manfaat dan diuntungkan dari implementasi proyek-proyak CSIADCP, Orang Katu justru semakin resah karena proyek ini menyediakan dana untuk memindahkan Orang Katu, intimidasi dan pengrusakan tanaman kebun masyarakat meningkat. Dalam pertemuan pembahasan proyek, pemerintah dan operator proyek mengatakan jika Orang Katu menolak pindah, maka tidak akan ada dana program di Katu dan akan diberikan kepada desa lainnya. Orang Katu tidak surut sikapnya meskipun tidak dapat dana CSIADCP dan didiskriminasikan. Operator proyek malah memprovokasi kelompok masyarakat sekitar yang terlibat sebagai kontraktor proyek untuk pembangunan infrastruktur dan rehabilitasi hutan. Mereka mengatakan dana program terhambat atau tidak jadi karena Orang Katu tidak mau pindah. Cercaan kalimat-kalimat miring dan merendahkan martabat Orang Katu tidak hanya dari petugas dan LSM yang terlibat dalam program CSIADCP, tetapi datang dari masyarakat sekitar. Orang Katu disebut “ orang hutan seperti monyet � yang keras kepala dan tidak bisa dibina atau tidak mengikuti kemauan pemerintah untuk dipindahkan.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 82


Pada waktu yang sama, terdengar kabar buruknya dampak proyek CSIADCP yang memaksa dan menggusur lahan petani. Kebun cokelat dan kopi milik petanipetani Kampung Dodolo di Desa Toejaya dirusak, mereka diminta untuk tidak mengolah lahan di hutan taman nasional oleh petugas dan kelompok masyarakat sekitar yang melaksanakan proyek penghijauan kawasan hutan setempat. Orang Katu berhasil mendapatkan dukungan dari kelompok LSM, mahasiswa dan pers di ibukota Provinsi. Solidaritas Orang Katu semakin luas dan masyarakat semakin terbuka menyampaikan protes dalam pertemuan dengan operator proyek, protes ke DPRD, dialog dengan pemerintah daerah hingga ke nasional. “Kami menolak dipindahkan dari tanah adat kami � dipampang dalam gerbang masuk pemukiman Desa Katu. Rencana pemindahan tidak pernah terealisasi dan masyarakat Katu tidak pernah meminta untuk dapat dana dari ADB, dari LSM dan dari proyek-proyek yang ingin memindahkan Orang Katu.

PEMETAAN PARTISIPATIF Pejabat negara dan pihak lainnya yang membuat dan menentukan kebijakan tidak banyak yang mengetahui keberadaan dan hak-hak masyarakat disekitar TNLL. Pembuatan kebijakan dilakukan berdasarkan informasi dan kajian para peneliti. Pemerintah mengabaikan hak-hak masyarakat dan masyarakat hanya menjadi objek kebijakan dan pembangunan, mereka tidak pernah dimintakan pendapat, apalagi menentukan dan memutuskan atas kebijakan pembangunan. Orang Katu jarang sekali pergi ke kota pusat-pusat pemerintahan yang berada di kecamatan, kabupaten, Provinsi dan bahkan ke Jakarta, apa lagi untuk bertemu aparat pemerintah dan menyampaikan pendapat serta aspirasi mereka. Semenjak Orang Katu mengetahui pentingnya mempengaruhi pejabat dan proses pengambil kebijakan, maka Orang Katu mempersiapkan diri, membicarakan rencana aksi-aksi, bahan informasi dan dokumen yang diperlukan, pelaku dan penanggung jawab, serta persiapan dana. Orang Katu berdiskusi dengan kawan-kawan dari Yayasan Tanah Merdeka (YTM) dan tim dari Palu, utamanya tentang hak atas tanah, hutan dan kekayaan alam lainnya. Masyarakat menyampaikan sistem pertanian dan perladangan di Katu, pola dan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Masyarakat menyampaikan sejarah kampung dan sejarah penguasaan tanah, sistem pemilikan tanah dan penyelesaian sengketa tanah menurut kebiasaan dan hukum adat setempat. Masyarakat mengetahui hak-haknya, keadilan sosial dan bagaimana memperjuangkan haknya.

83 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Dalam pengelolaan sumberdaya alam, Orang Katu tidak kalah pikiran dan perilakunya dengan pihak pendukung konservasi taman nasional (TNLL). Orang Katu punya cara sendiri dalam mengelola sumberdaya alam dan ada aturan atau tata cara agar tidak merusak dan dapat memanfaatkan hasil hutan secara terus menerus. Dapat dilihat keadaan dan hasil hutan di sekitar perkampungan Katu masih melimpah. Ada banyak program pemerintah, seperti perkebunan di Napu dan Palolo. Kedua tempat ini berada disekitar taman nasional, yang membuka kawasan hutan ratusan bahkan ribuan hektar, yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat, tetapi pemerintah tidak menc egah dan melarang. Pandangan dan situasi tersebut disampaikan masyarakat Katu dalam Lokakarya Pemetaan Partisipasitif (tahun 2007) yang difasilitasi Yayasan Tanah Merdeka (YTM) asal Palu. Masyarakat Katu beramai-ramai mengikuti lokakarya tersebut, perempuan dan anak-anak ikut berdiskusi dan meramaikan musyawarah. Mereka ingin mendengar, berdiskusi dan ingin mengetahui apa yang terjadi dan apa sebaiknya dilakukan masyarakat Katu agar mereka tidak dipindahkan dan dapat mengelola tanahnya. Secara berkelompok peserta lokakarya membuat gambar sketsa yang memuat jalan, sungai, cerita pemanfaatan tanah, tempat-tempat berladang dan pengelolaan ladang, jenis-jenis padi lokal, tempat berkebun, tempat mengambil rotan, damar, kayu, ramuan obat-obatan, tempat mengambil ikan, berburu hewan, tempat-tempat penting, hutan yang mereka jelajahi dan batas-batas wilayah yang diklaim menjadi milik. Masyarakat memberikan tanda dimana letak patokpatok batas TNLL yang dipasang tahun 1970 an yang memagari dan membatasi seluruh hak-hak atas tanah dan termasuk perkampungan Katu. Peserta lokakarya menyepakati untuk membuat peta yang bertujuan membantu Orang Katu menjelaskan hak-hak atas tanah dan memperoleh pengakuan atas wilayah adat, meningkatkan kemampuan tawar-menawar Orang Katu de ngan pihak luar dalam penggunaan tanah adat dan untuk menyampaikan kepada pihak luar pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam lokakarya tersebut, ada dua warga dari Masyarakat Lindu, Kulawi, menceritakan suka dan duka pengalaman mereka mempertahankan hak-hak atas tanah dan menolak dipindahkan oleh proyek pembangunan bendungan di wilayah mereka. Warga Lindu ini mendukung perjuangan Orang Katu dan membagi pengalaman perjuangan mereka dengan peta. Orang Katu antusias dengan pengalaman masyarakat Lindu dan terlibat berdialog serius dengan tokoh masyarakat dan pemuda.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 84


Fasilitator pemetaan YTM mengajarkan beberapa utusan pemuda setempat mengenai pengetahuan PP dan latihan membuat peta teknis, peralatan pemetaan, tehnik su rvey dan mengumpulkan informasi. Dua warga Lindu mengungkapkan pengalaman mereka membuat peta, bahwa pendidikan formal bukan menjadi keharusan untuk mempelajari tehnik pembuatan peta. Perlahan-lahan dipelajari apa itu peta, “peta buta� dan peta rupa bumi, legenda dan simbol-simbol untuk mengganti gambaran suatu benda, arah utara peta, membuat skala besar dan kecil peta mencakup luasan bidang bumi yang sebenarnya dan jarak yang dapat digambarkan dengan ukuran tertentu, koordinat lintang dan bujur untuk mengetahui posisi suatu tempat, kontur untuk mengetahui bentuk dan ketinggian permukaan suatu tempat. Awalnya terasa sulit dan harus diulangi berkali-kali hingga paham mengenai pengetahuan pemetaan. Semangat dan keyakinan manfaat peta yang mendorong masyarakat mempelajari pemetaan. Alat-alat Kompas, GPS, meteran, membuat formulir data dan informasi, serta perlengkapan pemetaan lainnya disiapkan dan diajarkan penggunaan dan pembuatannya oleh fasilitator pemetaan YTM. Orang tua dan anak muda yang bertugas terlibat dalam survey mengambil data dan informasi. Tempat-tempat penting didatangi, beberapa batas dengan desa sekitar, letak sungai dan puncak gunung, bekas kampung tua yang letaknya jauh dari kampung Katu, yang mana sudah menjadi lopontua dan hutan rimba. Tempat berburu, tempat mengambil kayu dan rotan, tempat mengambil ikan, perladangan, kebun, sawah, bekasbekas ladang, lahan pengembalaan dan sebagainya. Sebanyak-banyaknya data diambil dan informasinya dicatat.

85 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Sudah sekitar 10 hari proses pemetaan berjalan, tetapi belum semua data dan informasi dikumpulkan. Utamanya batas-batas wilayah adat di puncak-puncak gunung sebelah utara dari Kampung Katu, diperkirakan butuh waktu berbulanbulan untuk berkeliling keseluruh batas. Masyarakat dan fasilitator menyepakati untuk mengambil informasi batas tersebut berdasarkan wawancara pengetahuan masyarakat dengan menelusuri peta sungai dan posisi gunung diatas peta dasar, serta menggunakan teknik pengukuran triangulasi dengan kompas. Teknik ini digunakan pula untuk mengetahui tempat-tempat pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, tempat berladang dan bekas ladang, ( lopo ntua, lopo lehe, hinoe, holu dan seterusnya). Dalam mengambil data batas dan menggambar, hanya dilakukan tim survey saja dan tanpa keterlibatan pihak dari masyarakat di luar sekitar Katu. Pemerintah Desa Katu hanya menyampaikan kegiatan pemetaan wilayah adat kepada pemerintah desa-desa yang ada di Behoa Ngamba dan Desa Rompo, yang wilayah kelolanya berbatasan langsung dengan pagar kebun masyarakat. Narasumber menunjukkan dengan jelas batas-batas tanah kebun dan sebuah tempat (tanda alam) yang menjadi batas antara desa dan wilayah berdasarkan klaim dan penuturan sejarah. Proses di lapangan, survey dan pengambilan data informasi kebanyakan melibatkan kelompok laki-laki (pemuda dan orang tua), sedangkan perempuan mengerjakan pekerjaan sehari-hari di ladang dan di rumah. Tidak ada kekhususan membicarakan keterlibatan perempuan dan anak-anak dalam pekerjaan survey lapangan. Namun dalam pembuatan gambar peta dan pengisian informasi, kelompok perempuan diminta berpartisipasi mengoreksi peta dan menambahkan informasi yang perlu. Tim gambar mendiskusikan bagaimana mengukur kertas, menentukan skala, membayangkan dan mulai menarik garis hingga menjadi gambar peta, mengisi data dan memperbaiki informasi peta-peta, memilih dan membuat simbol pengganti yang menarik. Sudah lama masyarakat tidak memegang pensil dan pulpen, sehingga garis-garis gambar masih terasa kaku. Simbol-simbol alam seperti kayu untuk simbol hutan, padi untuk simbol ladang dan sawah, dan sebagainya. Hampir sebulan proses pemetaan dilakukan, hasilnya ada peta dasar dan peta tema Tampo To i Katu, menyusul peta sungai, peta tempat penting dan peta penggunaan lahan. Peta-peta ini disajikan dalam musyawarah dengan masyarakat Katu. Peserta musyawarah membahas dan mengoreksi informasi peta dan akurasinya, utamanya yang berhubungan dengan batas, lahan pengelolaan, lahan milik, patok taman nasional dan tempat penting.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 86


Hasil musyawarah menyepakati tata cara penggunaan dan penyimpanan peta. Peta akan disimpan lembaga adat dan tata cara pemberian ijin dan penggunaan peta, yakni: harus melalui musyawarah masyarakat dan sepengetahuan pemerintah desa. Peta-peta ini lalu dijadikan dasar untuk pembuatan perencanaan pembangunan Katu selama 10 tahun (2000 – 2010). Peta-peta ini yang menjadi alat konsolidasi masyarakat dan alat perjuangan masyarakat berhadapan dengan pemerintah dan pihak operator proyek ADB.

Masyarakat semakin kompak dan semakin berani menyampaikan pendapat hakhak dan persoalan mereka dalam berbagai kesempatan di depan publik. Petapeta ibarat senjata untuk melindungi diri dan menekan lawan. Peta terus ada dan dibawa pergi berkeliling bertemu pejabat pemerintah di daerah hingga nasional, menjadi narasumber dalam pertemuan internasional tentang pengetahuan kearifan masyarakat mengelola sumberdaya alam yang diselenggarakan di Cina. Selain kegiatan pemetaan, masyarakat membicarakan pula organisasi lembaga adat di kampung yang akan mewakili masyarakat dalam menghadapi pihak luar dan mengatur ke dalam, serta mekanisme musyawarah yang dapat melibatkan masyarakat seluas-luasnya. Lembaga adat dapat berfungsi kembali dan kewenangannya diperbesar, termasuk dalam mewakili masyarakat berurusan dengan pihak luar, pihak-pihak yang menginginkan kerjasama, proyek pembangunan dan pembelaan hak-hak masyarakat. 87 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Pihak YTM berperan dalam proses belajar pemetaan, pemulihan fungsi lembaga adat dan interaksi dengan pihak luar lainnya, masyarakat dapat mengerti hakhaknya, mengenai pemerintahan, sistem hukum dan ekonomi politik, situasi kebijakan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam, keadilan dan hakhak universal, solidaritas masyarakat dan kepercayaan diri semakin kuat. Kehadiran pihak pendukung dari luar daerah memb antu meningkatkan kepercayaan diri masyarakat, seperti JKPP (Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif) dan anggotanya yang berada di region Sulawesi, dari daerah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, datang belajar bersama dan membantu masyarakat Katu berproses membuat peta. Alix Flavelle dari Canada pergi ke Katu membantu mengembangkan gagasan pembuatan peta.

MENOLAK PINDAH DARI TANAH LELUHUR Setelah adanya taman nasional (1982), tekanan petugas semakin besar melarang untuk memanfaatkan hasil hutan dan mengancam untuk memberikan sanksi hukum dan denda uang puluhan juta rupiah. Pada tahun 1984, perwakilan Orang Katu pergi menghadap aparat pemerintah di Kota Palu dan meminta perlindungan. Masyarakat menyampaikan pula situasi permasala han ini dalam pertemuan dengan pengurus gereja di lingkup wilayah Behoa, mereka meminta perhatian dan mencari dukungan pengurus gereja dan tokoh masyarakat. Pada tahun 1994, Ketua Adat Besoa meminta Gubernur Sulawesi Tengah H. Abdul Asiz Lamajido untuk memindahkan tapal batas taman nasional yang meresahkan penduduk karena dilarang memanfaatkan kebun dan hasil hutan di wilayah taman nasional. Tekanan dan ancaman pemindahan penduduk Katu semakin besar menyusul Pemda Provinsi Sulawesi Tengah mendapatkan dana program CSIADCP dari ADB dan bekerjasama dengan LSM international, bernama TNC ( The Nature Conservation). Tapi Orang Katu tetap bertekad mempertahankan haknya dan menolak dipindahkan dari tanah leluhurnya. Orang Katu tidak mau mundur setapakpun bahkan sampai pada tetesan darah yang terakhir tetap berada dan hidup ditanah adat mereka. Berbagai aksi dilakukan masyarakat di luar kampung untuk memperjuangkan hak untuk tetap tinggal di Kampung Katu. Berikut catatan singkat usaha-usaha masyarakat memperjuangkan hak untuk tetap tinggal di tanah Katu: 1. Demonstrasi dan protes ; beberapa kali wakil-wakil masyarakat, para aktivis LSM dan mahasiswa, berdemonstrasi dengan mengarak spanduk dan poster yang menyuarakan protes terhadap rencana kebijakan Pemda untuk memindahkan Orang Katu. Masyarakat menyatakan sikap yang Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 88


keras dan pendapatnya secara resmi dihadapan pejabat DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Bappeda dan masyarakat luas melalui media. Awalnya, masyarakat khawatir dengan aksi demonstrasi dan protes, karena takut dianggap “melawan pemerintah� dan ditangkap petugas keamanan. Tetapi masyarakat semakin berani karena adanya solidaritas dari seluruh masyarakat Katu dan dukungan mahasiswa dan LSM. Pernah satu kali kejadian masyarakat dihadang dan diintimidasi petugas kepolisian kecamatan, tetapi masyarakat berdebat dan mengakali petugas sehingga dapat lolos ke kota untuk berdemonstrasi. Para wakil rakyat di DPRD mendengarkan, menampung dan berkomitmen untuk melanjutkan dan membahas pengaduan masyarakat. Tapi jarang sekali terdengar apa hasilnya dan sikap DPRD setelah itu. 2. Dialog Kebijakan; Orang Katu menghadiri pertemuan dan dialog kebijakan yang membicarakan keberadaan masyarakat dan taman nasional. Kebanyakan pertemuan ini dilaksanakan oleh pemerintah, operator proyek dan organisasi LSM di tingkat Kecamatan, Kabupaten, Provinsi dan Nasional. Masyarakat Katu tidak menyia-nyiakan pertemuan ini dan aktif menyampaikan sikapnya dan menyampaikan pandangan mereka dalam pengelolaan sumberdaya alam, serta meminta dukungan dan kebijakan pemerintah untuk melindungi masyarakat . Di tingkat wilayah kecamatan dan kabupaten, masyarakat Katu berdialog dengan Camat, Pemda Poso dan Bappeda Kabupaten Poso, sedangkan di tingkat provinsi, pihak Bappeda Sulteng dan Balai TNLL, merupakan dua pihak penting yang mempunyai otoritas atas wilayah dan taman nasional. Kebanyakan pihak pengambil kebijakan tidak pernah datang kewilayah Katu, apalagi mendengar dan bertatap muka dengan masyarakat. Sehingga, kebijakan yang dibuat pun hanya berdasarkan sedikit informasi yang mereka miliki. Bappeda yang mengendalikan proyek tetap bertahan pada rancangan proyek untuk memindahkan penduduk Katu, meskipun sudah berkunjung dan melihat situasi di Katu. Para pelaksana proyek CSIADCP mendukung sikap Pemda dan Bappeda. Pihak balai taman nasional memahami aspirasi masyarakat tetapi masih tergantung kepada situasi daerah dan dukungan pemerintah pusat. Dalam forum pertemuan nasional dengan pejabat pemerintah di tingkat nasional. Perwakilan Orang Katu menyampaikan harapan dan sikap mereka kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Menteri Kehutanan, DPR RI dan Menteri Lingkungan Hidup. 89 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Bahan-bahan kronologi kasus, sikap masyarakat menolak pindah, pandangan dan tata cara pengelolaan sumberdaya alam Katu. Peta wilayah Katu dijadikan bahan untuk disampaikan kepada pejabat pemerintah. 3. Seminar dan Lokakarya ; Pada tahun 1998 hingga tahun 2001, perwakilan masyarakat Katu diundang menghadiri seminar dan lokakarya di tingkat kecamatan, provinsi, tingkat nasional di Bogor, Bali dan Jakarta, serta tingkat internasional. Masyarakat Katu menyampaikan pendapat tentang pengelolaan hutan dan kondisi masyarakat, serta permasalahannya. Masyarakat mempelajari keadaan dan usaha-usaha masyarakat di daerah lain, bagaimana mereka memanfaatkan sumberdaya hutan dan usaha ekonomi lainnya, seperti: usaha pengembangan produk hasil hutan bukan kayu, pengelolaan Credit Union, pengembangan ekowisata, dan sebagainya. Pada Juli 2000, perwakilan masyarakat hadir dalam pertemuan internasional, yakni: Culture and Biodiversity Congress , mereka menyampaikan pengalaman Orang Katu dalam pengelolaan hutan. Pertemuan ini memperkaya pengalaman orang Katu dan memperbanyak dukungan dan perhatian terhadap permasalahan Orang Katu. Media massa nasional menuliskan situasi ini. Berbeda dengan lokakarya-lokakarya yang membahas proyek CSIADCP di tingkat provinsi dan kecamatan, yang dihadiri pemerintah, manajemen proyek CSIADCP, pelaksana proyek dan perwakilan pemerintah desa, mereka mencerca dengan berbagai stigma miring dan memaksa masyarakat Katu untuk menerima program tersebut. Orang Katu dianggap sebagai penghambat pembangunan, proyek tidak dapat berjalan secara keseluruhan kalau masyarakat Katu tidak dipindahkan. Tetapi sikap utusan-utusan masyarakat tidak berubah dan bersikeras mempertahankan suara masyarakat. 4. Mengikuti Pendidikan dan Pelatihan ; ada beragam pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh LSM di kota yang mendiskusikan tentang hak-hak masyarakat, merumuskan kebijakan yang melindungi masyarakat dan bagaimana masyarakat memperjuangkan hak-haknya. Masyarakat Katu sangat senang sekali karena mendapatkan pelajaran yang baru dan mengetahui hak-haknya. Mereka dapat pula menggalang solidaritas diantara para korban pembangunan dan kelompok pendukung. Mereka menjadi penggerak masyarakat sekitar dan menggalang solidaritas menuntut keadilan dan pengakuan hak-hak mereka. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 90


5. Melibatkan diri dalam organisasi; setelah lengsernya presiden Soeharo tahun 1998, ada banyak organisasi masyarakat yang muncul dan semakin keras menyuarakan kasus-kasus dan menuntut perubahan. Masyarakat Katu menghadiri Kongres Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999 di Jakarta dan mendeklarasikan organisasi AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) dan mendeklarasikan organisasi AMASUTA (Aliansi Masyarakat Adat Sulawesi Tengah). Masyarakat Katu mengutus wakiln ya pergi melakukan pertemuanpertemuan organisasi dan membangun kerjasama solidaritas dengan organisasi lainnya, melakukan tekanan dan protes-protes menuntut keadilan, mengkritik kebijakan dan meminta perubahan kebijakan. Anggota organisasi pergi juga ke Katu melihat dan mempelajari situasi di masyarakat, berdiskusi dan melakukan solidaritas dengan perjuangan Orang Katu. 6. Studi Banding; YTM memfasilitasi masyarakat melakukan studi banding untuk mempelajari situasi permasalahan dan mengetahui usaha perjuangan masyarakat disekitar taman nasional (TNLL), seperti: ke Ngata Toro, Behoa Ngamba dan Gimpu. Wakil-wakil masyarakat pergi ke daerah Landak di Pontianak Provinsi Kalimantan Barat, Bali dan Samarinda. Masyarakat mempelajari tujuan dan usaha organisasi rakyat di sana, organisasi petani rotan dan pengelolaan usaha credit union. Pelajaran ini dibahas dan dikembangkan di Katu, namun hingga saat ini belum berkembang dengan baik. Perjalanan ini membuahkan hasil yang mana masyarakat dapat merumuskan perencanaan pembangunan selama 10 tahun (tahun 2000 – 2010) dan aturan-aturan pengelolaan sumberdaya alam. Rumusan ini diterbitkan dalam dokumen: Menuju Tahun 2010: Kesepakatan To I Katu Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam . Rumusan perencanaan pembangunan ini juga merupakan tindak lanjut dari kegiatan pemetaan partisipatif yang dilakukan di Katu, yang mana pengembangan pengelolaan sumberdaya alam dilakukan dan dianalisa berdasarkan hasil pemetaan partisipatif. Masyarakat menegaskan aturan dan sanksi dalam pengelolaan sumberdaya alam, misalnya: tidak memberikan orang luar untuk datang mengambil hasil hutan orang Katu dan tidak diperbolehkan adanya penjualan tanah, kalau ini terjadi maka sanksi yang paling keras adalah Orang Katu yang melanggar akan diusir atau dikeluarkan dari Katu.

91 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Jadi dengan adanya aturan itu Orang Katu sendiri mulai dari orang dewasa sampai pada anak-anakpun sudah mengetahui aturan atau hukum yang telah dibuat itu untuk menjadi kekuatan mereka dalam mempertahankan hak dan wilayah ditanah adat mereka itu. Aturan ini membuat Orang Katu dikenal dan diakui. 7. Solidaritas; tidak kalah penting dari aksi-aksi ini adalah solidaritas dan kekompakkan masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya secara bersama. Masyarakat berbagi peran dan tanggung jawab mengurusi dalam kampung dan di luar kampung. Pengurus dalam kampung mengorganisir diri melayani pihak-pihak luar yang datang. Lebih sering mereka meninggalkan tamu petugas proyek yang datang, masyarakat tidak menggubris mereka. Atau masyarakat ramai-ramai berkumpul dan berbicara keras-keras, saling dukung mendukung dan supaya kepentingan mereka di dengar.

PENGAKUAN BALAI TAMAN NASIONAL Setelah lebih dari 20 tahun hidup di bawah tekanan pengelola hutan konservasi, Kepala Balai TNLL, Ir. Banjar Yulianto Laban membuat Surat Pernyataan Nomor 35/VI-BTNLL.1/1999 yang intinya memberikan pengakuan terhadap hak-hak Orang Katu atas wilayah seluas 1.178 ha dan sistem pengelolaannya dilakukan bersama dengan sistem pengelolaan taman nasional. Wilayah seluas 1.178 ha sebagaimana yang digambarkan dalam peta pengelolaan sumberdaya hutan Orang Katu, terdapat di dalam wilayah pemerintahan desa Katu dan ditetapkan sebagai areal taman nasional. Surat Keputusan ini didasari Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan, Peraturan Mentri Dalam Negeri No.9 tahun 1998 tentang Tata Cara Peranserta Masyarakat dan hasil Dialog Kebijakan dengan masyarakat katu di Hotel Wisata, Palu, tanggal 20 Desember 1997. Dalam beberapa kesempatan, Kepala Balai TNLL, Banjar Y. Laban menyatakan, pengakuan ini berdasarkan situasi di masyarakat, tanggung jawab pemerintah dan hukum kasih. Pengakuan ini melalui upaya perjuangan yang tidak pernah mengenal lelah bagi Orang Katu. Perjuangan tidak akan pernah berakhir selama kita hidup dan perjuangan merupakan proses yang panjang. Sekarang, masyarakat boleh sedikit merasakan kebebasan dan nyaman, tetapi tetap waspada dan berupaya untuk mendapatkan penghormatan dan pengakuan sejati.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 92


PENUTUP Perjuangan dan kegigihan orang Katu mempertahankan hak-haknya bersumber dari sejarah di masa lalu dan diperkuat oleh pengalaman untuk mempertahankan diri dari tekanan dan interaksi dengan pihak luar yang mendukung perjuangan Orang Katu. Alhasil setelah puluhan tahun bertubi-tubi tekanan dan ancaman pemindahan dari tanah leluhurnya, akhirnya keteguhan dan prinsip Orang Katu dalam perjuangan menghasilkan pengakuan untuk tetap tinggal dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) di Behoa Kakau, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, yang tertuang dalam surat keputusan TNLL yang ditanda tangani oleh Kepala Balai TNLL, Ir.Banjar Yulianto Laban MM. PP dapat menggambarkan wilayah pengelolaan sumberdaya alam Orang Katu. Peta ini dapat juga mengungkapkan dan membuktikan penguasaan dan pemilikan Orang Katu atas wilayahnya. Masyarakat menggunakan peta ini sebagai alat menuntut dan memperoleh haknya atas wilayah, masyarakat memperkenalkan model pengelolaan sumberdaya alamnya, peraturan dan sanksi-sanksinya. Sesuatu yang sering diceritakan oleh pihak luar sebagai masyarakat perusak hutan dan mengancam kelestarian hutan, ternyata tidak benar dan cenderung diskriminasi. Orang Katu mengakui mampu mengelola sumberdaya alam dan dapat bekerjasama dengan pihak TNLL, sepanjang dapat memberikan penghormatan, perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat Katu, serta semua pihak yang berkepentingan tidak dirugikan. Pengakuan tidak hanya pengakuan hukum, tetapi pemerintah harus memenuhi pemenu han kebutuhan dan hak-hak dasar masyarakat melalui program pembangunan, sehingga masyarakat dapat hidup sejahtera.

93 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


PEMETAAN PARTISIPATIF MULTIPIHAK : WILAYAH ADAT NAMBLUONG DI KABUPATEN JAYAPURA - PAPUA Oleh : Noah Wamebu

PENGANTAR Papua adalah provinsi yang kaya secara budaya dan alamnya. Provinsi yang terletak di ujung timur Indonesia ini memiliki sedikitnya 280 suku yang masingmasing mempunyai struktur dan kepemimpinan adat sendiri-sendiri. Tiap suku memiliki wilayah masing-masing dengan sederet klaim yang melekat di atasnya, termasuk hak atas tanah baik secara komunal maupun pribadi. Hak-hak ini masih dipegang erat dan berlaku dalam kehidupan masyarakat Papua. Di sisi lain, komoditi-komoditi penting terdapat di atas tanah-tanah adat tersebut seperti hutan, mineral (termasuk emas dan tembaga) dan minyak bumi menarik perhatian investor untuk membangun kegiatan ekonomi skala besar. Akibatnya usaha-usaha seperti pembalakan hutan, pertambangan mineral dan perkebunan banyak dibangun di berbagai pelosok provinsi tersebut. Keanekaragaman hayati yang tinggi dan banyaknya jenis-jenis endemik menjadikan provinsi tersebut sebagai sasaran pengembangan kawasan konservasi. Selain itu penduduk yang jarang di wilayah yang sangat luas mendorong pemerintah untuk mengembangkan wilayah-wilayah transmigrasi. Semua menjadi rongrongan serius bagi pelaksanaan hak-hak masyarakat adat. PP yang memberikan peluang bagi masyarakat adat untuk mempertahankan dan mencari pengakuan hak mereka menjadi kegiatan yang penting di provinsi tersebut. Kegiatan pemetaan yang semula berskala kecil belakangan menjadi hal penting dalam membicarakan hak-hak masyarakat adat Papua atas tanah dan sumber daya alam. Melalui Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua pemerintah mengakui hak-hak masyarakat adat Papua, terutama yang diatur melalui pasal-pasal 43 dan 44. Undang-undang ini memberi momentum yang luar biasa bagi gerakan masyarakat adat di Papua (termasuk provinsi Papua Barat) untuk mendapatkan pengakuan atas keberadaan mereka dan mempertahankan hak mereka yang sebelumnya diabaikan. Masyarakat adat Papua mulai mengorganisir diri untuk kepentingan tersebut. Selain itu, sebagai manifestasi undang-undang tersebut pemerintah provinsi Papua merancang Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 94


tiga peraturan daerah khusus (Perdasus) yang mengatur lebih lanjut hak-hak masyarakat adat Papua atas tanah, hutan dan sumber daya alam. Pada ketiga Rancangan Perdasus tersebut penentuan wilayah adat melalui pemetaan menjadi syarat mutlak. Wacana penentuan wilayah adat ini memberi ruang politik yang sangat besar bagi gerakan pemetaan partisipatif di Papua. Tulisan ini bermaksud menyorot pengalaman Perkumpulan Terbatas Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PtPPMA) Papua dalam melakukan pengorganisasian masyarakat adat dan pemetaan partisipatif multipihak. Untuk itu penulis menggambarkan bagaimana PtPPMA melakukannya bersama masyarakat adat Nambluong, di kabupaten Jayapura. Sepak terjang PtPPMA Papua dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat bukanlah sebentar. Organisasi ini memiliki sejarah sekitar 20 tahun. Menyadari persoalan-persoalan hukum yang dihadapi masyarakat Irian Jaya (pada waktu itu) sekelompok aktivis mendirikan Yayasan Kerjasama Hukum Masyarakat (YKHM) pada tahun 1988. Yayasan ini bertujuan untuk memberi pendidikan hukum kepada masyarakat Papua sehingga mereka memahami hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Kemudian pada tahun lembaga ini berganti nama menjadi Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (LPPMA) karena masyarakat luas makin mengerti hak mereka, sehingga dirasakan perlu untuk mengadakan pendidikan kritis dan pengorganisasian masyarakat. Akhirnya pada tahun 2000 nama LPPMA menjelma menjadi Pt PPMA-Papua. Perubahan nama dilakukan setelah tiga tahun mendampingi masyarakat dampingannya dengan mengusung isu-isu berupa penyadaran hak-hak dasar rakyat, kajian hukum kritis, pengorganisasi rakyat, pengelolaan sumber daya alam (SDA), dan kepemimpinan lokal masyarakat adat.

KOMUNITAS ADAT NAMBLUONG Komunitas adat Nambluong dalam satu tatanan struktur adat yang meliputi 32 kampung asli, yang dipimpin oleh satu orang Iram (ondoafi), dan membentuk suatu wilayah adat. Secara geografis wilayah Adat Nambluong terletak disebelah Barat Kabupaten Jayapura dengan batas-batas wilayah adatnya sebagai berikut: - Timur berbatasan dengan wilayah adat

: Kemtuk dan Kemtuk Gresi

- Utara berbatasan dengan wilayah adat

: Souwali dan Yokari

- Barat berbatasan dengan wilayah adat

: Unurum Guay dan Yapsi

- Selatan berbatasan dengan wilayah adat

: Klesi dan Yapsi

95 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Dalam sistem pemerintahan formal wilayah adat Nambluong terdiri dari tiga distrik dengan 30 kampung/Desa dan 4 kampung/Desa transmigrasi. Tabel. Kampung/Desa Wilayah Adat Nambluong Distrik NIMBORAN 1. Kalimaung 2. Maino 3. Samaikarang 4. Conoba 5. Kupons 6. Poheim 7. Kedeas 8. Neyu 9. Singgri 10. Oyengsi 11. Yenggu Lama 12. Yenggu Baru 13. Singgi Way 14. Kel. Tabri

14 Kampung

Distrik NIMBUKRANG 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Berap Warombuaim Numbukrang Buyom Katang Muafi Beuyom Jaya I Beuyom Jaya I Nebukrang Sari Homonggrang

9 Kampung

Distrik NIMBORAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Sarmay Atas Sarmay Bawah Imstung Sanggai Yakasib Basem Keaya Bumu

7 Kampung

30 Kampung Tidak diketahui secara pasti kapan m asyarakat adat Nambluong ini mulai ada, tetapi mereka sudah menempati wilayah tersebut sejak belum ada pengaruh agama Kristen dan Pemerintah. Agama Kristen pertama kali dibawakan oleh dua misionaris bernama Pdt.Jacob Bijkerk dan George S, yang datang dalam rangka membuka Pos Pekabaran Injil pada tahu n 1925. Pemerintah kolonial Belanda masuk Nambluong sekitar tahun 1930. Mereka memerintahkan masyarakat adat Papua yang hidupnya terpencar-pencar untuk bermukim di salah satu tempat dengan mendirikan kampung. Setelah itu beberapa kampung yang berdekatan disatukan dalam satu pemerintahan yang dipimpin seorang Korano. Pada masa kolonial empat orang Korano yang dikenal masing-masing: Korano Wilhelmus U’kong, Korano Pilemon Sanggiung Bano, Korano Apolos Waibro dan Korano Yafet Daka. Para korano ini ditunjuk sebagai pemimpin dan pengatur kampung wilayah adat Nambluong. Nambluong pada masa itu juga dikenal sebagai daerah sentra ekonomi di Jayapura. Sasaran pengembangan sentra ekonomi pada masa kolonial Belanda banyak terdapat produksi pertanian (terutama kakao) serta industri pertukangan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 96


dan perbengkelan yang dikembangkan di daerah Komunitas Adat Nambluong. Hasilnya diekspor ke daerah-daerah lain melalui koperasi bernama Koperasi Yawadatum. Koperasi tersebut dibentuk pemerintah kolonial pada tahun 1955 dan berlokasi di kampung Sarmaikarang. Akibat pola pengembangan ekonomi itu kakao menjadi komoditi unggulan di wilayah tersebut saat ini. Secara umum struktur kepemimpinan adat di kabupaten Jayapura dan sekitarnya menganut sistem kepemimpinan kepala suku. Demikian pula struktur pemerintahan masyarakat adat Nambluong yang pada umumnya sama pada 32 kampung/komunitas adat yang membentuknya. Sistem kemimpinan adat mempunyai kekuasaan yang sama dengan seorang pimpinan pemerintahan adat ini berkumpul dan mengambil keputusan untuk membuat kepemimpinan adat dari setiap kampung ini sama saja dengan sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh oleh seorang Bupati. Semua kampung asli di wilayah adat Nambluong dengan struktur adat sendiri-sendiri. Sistem kelembagaan yang ada di wilayah yang masuk dalam instansi pembangunan ini bersifat kolektif yang dipimpin oleh seorang tokoh yang dinamakan kepala suku. Kelembagaan adat tersebut memiliki beberapa jabatan yang terstruktur dengan kewenangan masing-masing. Untuk wilayah adat Nambluong dan Klisi Kemtuk struktur kelembagaannya adalah sebagai berikut: ·

Iram merupakan pemimpin adat (Ondoafi) yang melindungi nasib masyarakat adatnya, anak-anak yatim piatu, janda, duda, dan siapa saja yang datang di kampung; serta menguasai dan melindungi kawasan-kawasan hutan dan sumber daya alam yang ada untuk kepentingan bersama

·

Takay adalah wakil dari Iram untuk mengatur dan memimpin kampung sesuai dengan arahan dari pimpinan adatnya (Iram)

·

Duneskhinghow adalah pengambil keputusan adat dan pengatur pemerintahan kampung bersama Iram dan Takay; ia yang mengundang pengurus dan warga kampung untuk musyawarah.

·

Lhuwaji adalah orang yang menjalankan keuangan kampung (bendahara), juga yang mengurus ekonomi kampung.

·

Khiwaji adalah pelaksana harian dan pimpinan dalam acara-acara adat yang juga merupakan ajudan Iram.

·

Blung adalah warga di kampung tersebut yang bersama-sama menjalankan dan menjaga kesejahteraan.

97 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Struktur Adat Kampung Asli IRAM Duneskhingwou

LHUWAJI

TAKAY

KHIWAJI

BLUNG MASYARKAKAT Iram dipilih dengan harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah digariskan. Dua prasyarat utama,yaitu ada prasyarat umum dan prasyat khusus. Prasyarat umum terkait dengan cakupan kekuasaan. Prasyat khusus yang terkait dengan criteria seorang pemimpin.Kedua prasyarat sebagaimana dimaksud di dalam kedua komunitas adat ini memiliki kesamaan,hanya istilah dalam bahasa asli yang sedikit berbeda. Pola dan sistim kelembagaan adat sebagaimana ada memiliki peran dan fungsi dalam segala aspek, baik aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum. Sistem dan mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan pada musyawarah dan kesepakatan bersama. Akan tetapi Iram, Dugusan, Bona dan Ondofolo memiliki hak veto sehingga kesepakatan yang diambil sebelumnya sewaktuwaktu bisa dibatalkan dengan dua opsi, untuk ditinjau kembali atau sama sekali dibatalkan sebelum dilaksanakan. Di masa lalu masyarakat adat Nambluong banyak kehilangan tanah dan sumber daya alam. Pemerintah memberikan hak pengusahaan hutan (HPH) kepada beberapa perusahaan dengan alasan untuk mendapatkan kayu bagi pembangunan infrastruktur. Pada tahun 1976 pemerintah pertama kali membuka lahan transmigrasi di wilayah adat Nambluong. Saat ini kawasan tersebut menjadi dua kampung/Desa yaitu Basem dan Keaya Bumu. Kemudian pada tahun 1984-1985 pemerintah mendatangkan transmigran ke tiga lokasi yaitu Kampung/ Desa Benyom Jaya I, kampung /desa Beuyom Jaya II dan Kampung/desa Nembukrang Sari. Akibat berbagai program pemerintah yang berdampak merugikan mereka, masyarakat adat Nambluong merasa perlu untuk membentuk satu wadah Lembaga Adat agar dapat untuk mempertahankan hak-hak mereka. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 98


Karena ke-32 kampung asli yang ada memiliki kepemimpinan adatnya sendirisendiri yang tidak bisa diganggu dan diatur oleh kampung lain, maka bentuk lembaga adat yang dibangun adalah persekutuan (federasi). Dalam suatu pertemuan yang difasilitasi LPPMA pada bulan April 1999 yang dihadiri wakilwakil masyarakat adat Nambluong dari 32 kampung asli mereka bersepakat untuk membentuk Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA) Nambluong. Tujuan utama organisasi ini adalah agar 32 kampung asli ini berkumpul dan bisa mengambil satu keputusan adat dalam satu wadah organisasi adat untuk menata wilayah adat Nambluong yang sudah semakin hancur. Struktur Organisasi DPMA Nambluong terdiri dari: 1. Badan Musyawarah Adat (Bamuskadat) 路

Keputusan tertinggi ada di tangan Musyawarah anggota DPMA, yang dilaksanakan oleh Badan Musyawarah Adat.

Badan Musyawarah Adat adalah dari unsur Iram.

2. Badan Pelaksana Keputusan Adat (Bapekedat) 3. Badan Pengelola Hukum Adat (Bapehudat)

SISTEM PENGUASAAN TANAH DAN PENATAAN RUANG DI WILAYAH ADAT NAMBLUONG Sistem pengaturan dan penguasaan tanah di masing-masing kampung wilayah adat Nambluong pada umumnya dikuasai oleh Iram. Pertentangan terhadap Tanah dan Sumber daya alam sebagai kekuasaan bersama bukan untuk kepentingan Ondoafi/Iram. Karena dalam satu kawasan adat Iram tidak memiliki tanah dan sumber daya alam secara sendiri, tetapi yang mempunyai hutan dan SDA di kawasan tersebut adalah milik kampung/ Kepala suku ( Duneskhingwou) sebagai marga di kampung tersebut. Sistem Pengusaan adat di wilayah Nambluong terkenal ada 3 hal yaitu: (a) penguasaan untuk tanah, (b) penguasaan dusun sagu, dan (c) Penguasaan untuk anak perempuan. Ketiga hal ini ada hubungannya sehingga konflik penguasaan itu bisa terjadi kalau ada yang menguasai tanah, dusun sagu dan mengganggu anak perempuannya. Dalam konteks budaya orang Papua menganggap bahwa tanah adalah sebagai seorang Ibu yang menyusui anaknya dan dari tanah manusia dijadikan sehingga mati akan kembali ke dalam tanah. Jika terjadi konflik atas tanah itu harus diselesaikan secara adat dimana tanah menjadi sebuah alat untuk menyelesaikan konflik tersebut kalau ada pengorbanan nyawa dalam konflik tersebut dengan melepaskan sebidang tanah. 99 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Dusun Sagu di sini merupakan lahan sagu yang dianggap sebagai makanan pokok masyarakat di wilayah adat Nambluong seperti juga di wilayah Papua lainnya. Sebagai makanan pokok sagu perlu dibudidayakan dan dilindungi. Kalau anak perempuan di sini adalah sebagai harta dan perempuanlah yang melahirkan. Istilah adatnya berlaku untuk lokasi yang sudah dikelola oleh masing-masing marga/klan. Sedangkan kawasan hutan yang belum dikelola oleh marga/klan itu masih tetap menjadi milik bersama marga/klan yang mendiami kampung tersebut. Untuk mengelola dan memanfaatkan tanah, hutan dan segala potensi yang ada di atasnya masyarakat adat memiliki caranya sendiri yang berbeda dengan pembagian pada umumnya yang sering dilakukan pemerintah. Pada dasarnya pembagian dilakukan dengan melihat posisi wilayah yang dimiliki kondisi wilayah adat Nambluong terletak pada wilayah dataran sampai pada perbukitan. Pembagian tata ruang atau zona kelola sebagaimana diatur dalam adat berlangsung sejak dulu hingga saat ini yang mampu mencegah kerusakan ekologi dan ekosistem, walaupun tidak mutlak. Pengaturan tata ruang atau zona kelola sebagaimana diatur dalam adat terbagi dalam beberapa bagian sesuai letak geografis. Di wilayah adat Nambluong sebagaimana disinggung bahwa ada tiga zona kelola yang diterapkan secara umum,yaitu: 路

Tanah dataran (ku pay)

Lereng perbukitan atau gunung ( ku mendum teble-teble )

Tanah hutan rimba (ku koan).

Dalam aktivitas sehari-hari tanah di wilayah dataran lebih banyak digunakan untuk aktivitas berkebun dan berburu. Berkebun di daerah dataran dianggap lebih menjanjikan kesuburan dibanding tanah -tanah di daerah lereng atau puncak perbukitan atau gunung. Selain itu lebih banyak wilayah dataran juga yang digunakan untuk berbu ru karena binatang lebih banyak mencari makanan dan air di kawasan tersebut pada saat-saat musim kemarau. Pada daerah lereng perbukitan pada ketinggian tertentu orang di willayah Nambluong selalu melakukan aktivitas berkebun. Sedangkan memasuki lereng pada ketinggian tertentu sudah tidak ada kebun. Daerah ini adalah tempat meramu, sayursayuran dan buah-buahan serta berburu untuk mendapatkan binatang tertentu. Sedangkan di puncak gunung sudah tidak ada aktivitas lagi karena suhu pa da ketinggian itu begitu dingin. Sedangkan untuk tempat pemukiman sebelum masuknya pemerintah dan agama lebih banyak hidup di daerah lereng-lereng perbukitan yang lebih dekat d engan sumber air. Tetapi jelas bahwa aktivitas kehidupan ketiganya masih sangat Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 100


terbatas. Orang-orang pada masa itu lebih banyak meramu makanan yang tersedia di hutan daripada aktivitas berkebun. Misionaris dan pemerintah kemudian menentukan lokasi-lokasi pemukiman maka orang mulai membuka perkampungan dengan memilih tanah-tanah dataran agar penataan perkampungan lebih baik dan tertib.

PEMETAAN PARTISIPATIF DI PAPUA Karena sejarah dan kebutuhannya dalam pendampingan masyarakat adat LPPMA memutuskan untuk melakukan PP sebagai bagian dari strategi pengakuan hak. Pemetaan pertama kali dilakukan pada tahun 1997 di Kemtuk (kabupaten Jayapura). Pemetaan ini memakai kompas dan meteran dengan dibantu oleh Frank Momberg yang datang atas permintaan JKPP. Setelah itu LPPMA melakukan pemetaan di Arso (juga di kabupaten Jayapura) dan Knasaimos (bagian selatan kabupaten Sorong). Program yang mendapat bantuan dana dari BSP Kemala ini lebih menekankan penentuan batas kampung dan dinilai berhasil sebagai alat pengorganisasian masyarakat adat. Untuk memetakan sebuah kampung yang luas waktu yang diperlukan adalah sekitar sebulan. Walaupun sudah beberapa kali dilakukan gerakan PP di Papua hanyalah dikenal secara terbatas oleh beberapa LSM dan kelompok masyarakat. Dengan demikian gerakan pemetaan belum memasyarakat dalam masyarakat adat di Papua dan juga dalam Ornop (LSM) yang bergerak dalam kegiatan pe mberdayaan masyarakat adat pada umumnya. Pada tahun 2000 dengan perubahan politik yang mendasar di Papua, terutama dengan proses pembahasan RUU Otonomi Khusus, PtPPMA menilai bahwa pengorganisasian masyarakat menjadi hal krusial untuk mengantisipasi perubahan dan tantangan yang baru. Sehingga kebutuhan advokasi tidak lagi menekankan pada kampung tetapi pada skala yang lebih besar dan melibatkan lebih banyak pihak dalam proses penataan ruang dan pengakuan tanah adat. Pemetaan tanah adat menjadi isu penting baik dalam pengorganisasian maupun dalam pengelolaan wilayah. BSP-Kemala kembali memberikan dukungan untuk mengembangkan metodologi PP yang baru di Papua. Setelah melalui serangkaian pertemuan PtPPMA diminta menjadi koordinator dan adminstrator kegiatan pemetaan ini. Pemetaan pertama dimulai di ka bupaten Jayapura. Karena kebutuhan untuk memetakan wilayah yang luas dan melibatkan banyak pihak (terutama pemerintah) metode PP yang dinilai cocok adalah teknik PP dari “orang luar� yaitu Mac Chapin dari Center for the Support of Native Lands (Amerika Serikat) yang telah banyak melakukan pemetaan di Amerika Tengah. Dalam proses beliau didampingi oleh Y.I. Ketut Deddy Muliastra dari Sekala (Indonesia). Metode pemetaan baru ini disebut sebagai PP multipihak yang 101 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


pertama kali dilakukan di wilayah adat Nambluong sebagai proyek percontohan (pilot project). Untuk melaksanakan kegiatan ini PtPPMA mendapat dana dari Multistakeholder Forestry Programme (MFP ), sebuah proyek kehutanan bantuan dari Department for International Development [DFID] Inggris) pada tahun 2002.

PEMETAAN PARTISIPATIF MULTIPIHAK DI NAMBLUONG Pengetahuan masyarakat tentang wilayah sebenarnya sudah ada namun tidak pernah tertulis. Mereka menandai batas wilayah (teritorialnya) mengunakan batas-batas alam seperti pohon Besar, Kali, Gunung, dan Batu-batu Besar yang ditetapkan sebagai batu bersejarah. Hal ini sudah berlaku turun temurun bukan hanya di Nambluong tetapi juga bagi masyarakat Papua yang mendiami wilayahwilayah masing-masing. Namun pengetahuan ini tidak diketahui oleh banyak pihak luar yang bukan masyarakat adat. Menyadari hal tersebut pada bulan November 2001 masyarakat adat Nambluong dari 32 kampung asli berkumpul di salah satu kampung (Sarmaikrang) mengadakan musyawarah kampung dan menyepakati untuk membuat PP. PP ini nantinya akan berfungsi untuk mempermudah perencanaan pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya sesuai dengan keinginan dan kepentingan masyarakat adat, sekaligus merupakan bukti tertulis masyarakat adat dalam pemanfaatan lahan. Tidak kalah pentingnya ialah agar kegiatan pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah daerah maupun pihak swasta nantinya tidak berbenturan dengan pola pemanfaatan lahan oleh masyarakat adat Nambluong. Dalam pembuatan peta partisipatif tersebut masyarakat adat Nambluong mendapat bantuan teknis dari PtPPMA Papua. Untuk membicarakan lebih rinci tentang kegiatan ini, pertemuan awal PtPPMA bersama pengurus DPMA Nambluong di sekretariat mereka di kampung Keijtemung menyepakati untuk pembagian peran dalam proses pemetaan sebagai berikut:. 1. DPMA Nambluong mengambil peran organizer masyarakat adat dari setiap kampung untuk terlibat dalam proses pemetaan. 2. DPMA bertanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan di tingkat kampung. 3. PtPPMA Papua menyiapkan peran tekn is dan sosial dalam pelaksanaan proses kegiatan pemetaan. 4. Kegiatan pemetaan tersebut difasilitasi oleh PtPPAM Papua dan mendapat pendanaan dari MFP-DFID.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 102


ALUR PEMETAAN PARTISIPATIF MULTIPIHAK 1. Persiapan: Pada tahap pertama yang berlangsung di awal tahun 2002 PtPPMA Papua mengadakan serangkaian pertemuan yang melibatkan pemerintah, perguruan tinggi, LSM dan masyarakat adat untuk membangun kesepakatan tentang kegiatan pemetaan ini. Khusus bagi masyarakat adat pertemuan dilakukan dengan DPMA Nambluong yang dilanjutkan dengan anggota masyarakat adat guna menjelaskan pengertian dan kegunaan PP multipihak. Dalam tahap ini para pihak sepakat untuk melakukan PP melalui pendekatan budaya masyarakat setempat. Kemudian disepakati juga tentang waktu pelaksanaan dan dana. Terakhir para pihak membentuk tiga tim sebagai pelaksana kegiatan pemetaan: 路

Tim Administrasi, yaitu lembaga yang bertanggungjawab terhadap logistik dan administrasi , dalam hal ini dipegang PtPPMA.

Tim Sosial yang terdiri dari para fasilitator dari kampung-kampung (masing-masing kampung dua orang)

Tim Teknis yaitu para kartografer yang melibatkan perguruan tinggi, pemerintah dan LSM (kartografer utama Ketut Deddy Muliastra dan Zet Wally, ditambah dengan dua kartografer dari Badan Pengukuhan Kawasan Hutan Papua).

2. Lokakarya Pertama (Orientasi Dan Pelatihan) Lokakarya yang diikuti ketiga tim ini bertujuan untuk memberi pemahaman dasar tentang peta dan penggunaannya, pembuatan peta (termasuk isi dan simbol-simbolnya), dan pelatihan pembuatan peta sketsa. Kegiatan ini berlangsung selama seminggu pada bulan Maret 2002. D i akhir lokakarya para peserta membicarakan tentang rencana kegiatan di lapangan selama tahap berikutnya.

3. Kunjungan Lapangan Pertama (Pengumpulan Data Dan Pembuatan Peta Sketsa Di Kampung) Pada tahap yang berlangsung selama bulan Mei dan Juni 2002 ini para fasilitator kembali ke kampung mereka masing-masing. Didampingi tim teknis (kartografer) mereka berbicara dan berdiskusi dengan orang tua, ketua adat, perempuan, pemuda, dan lain-lain tentang peta dan proses pemetaan yang dilakukan. Kemudian mereka mempersiapkan peta sketsa dan mengumpulkan informasi geografis, dengan bantuan kartografer, serta menuliskan cerita-cerita tentang 103 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


setiap tempat dengan mendatangi setiap kampung. Di akhir tahapan ini para fasilitator kampung dan tim teknis mengevaluasi hasil peta sketsa.

4. Lokakarya Kedua (Transkripsi Data) Sebelum lokakarya kartografer mencari citra satelit yang mencakup wilayah adat Nambluong. Kegiatan ini berlangsung pada bulan Juli 2002 selama seminggu dan dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah presentasi dari para fasilitator dari 32 kampung yang memaparkan peta sketsa yang mereka buat ditambah dengan penjelasan tentang tantangan dan keberhasilan yang dicapai selama kunjungan lapangan pertama. Pada tahap berikutnya para peserta masuk ke dalam dua kelompok. Kelompok I adalah para kartografer dan para fasilitator kampung yang bertugas mengabungkan peta topografi, citra satelit dan peta sketsa serta informasi lain yang dicatat ataupun yang diingat oleh fasilitator. Kelompok ini menghasilkan sejumlah peta sementara. Untuk tiap kampung mereka membuat peta skala 1:7500 dan 1:20.000, sedangkan untuk gabungan seluruh Nambluong peta skala 1:50.000. Kelompok diskusi I yang terdiri dari wakil-wakil masyarakat dan tim sosial mendiskusikan masalahmasalah yang berkaitan dengan kekurangan informasi, kecurigaan masyarakat, masalah batas tanah adat (yang berpotensi konflik), masalah perbedaan penamaan tempat (karena lain suku lain nama), antisipasi konflik yang akan muncul dengan wilayah sekitar Nambluong, yaitu dengan Demta dan Kemtuk Kresi (yang perwakilannya hadir dalam lokakarya ini). Di akhir diskusi kelompok Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 104


ini menghasilkan konsep tata guna lahan menurut budaya masyarakat Nambluong yang secara umum terbagi tiga: Mno Blang Sip (tempat berburu/ mencari), Usu Sip (tempat berkebun) dan Irung Sip (tempat-tempat bersejarah). Hasil diskusi ini menjadi masukan untuk kelompok diskusi I dalam menyelesaikan peta. Pada kegiatan ini Mac Chapin juga hadir.

5. Kunjungan Lapangan Kedua (Verifikasi Data) Pada tahap yang berlangsung selama bulan Juli 2002 ini fasilitator membawa peta sementara yang telah dihasilkan ke kampung-kampung untuk melengkapi informasi yang kurang dan membahas isyu-isyu hasil diskusi pada lokakarya kedua dengan masyarakat di kampung . Dengan bantuan para kartografer para fasilitator melakukan pengecekan atas informasi yang ada dalam peta. Para kartografer juga mengambil titik-titik GPS untuk mengecek akurasi peta. Karena tahap ini merupakan kesempatan terakhir untuk melengkapi peta, maka waktu yang tersedia harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Pada tahap ini PtPPMA mulai melakukan digitasi peta sementara. Tim administrasi sudah mulai juga melakukan persiapan logistik dan manajemen untuk lokakarya ketiga yang akan menghasilkan peta akhir dan akan juga membahas proses pengesahan, pengakuan dan produksi peta.

Kelompok diskusi I sedang bekerja

105 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


6. Lokakarya Ketiga (Koreksi Peta Dan Penambahan Informasi) Pada tahap ini para kartografer dan fasilita tor melengkapi peta berdasarkan informasi dari tetua kampung dan para tokoh adat yang diundang untuk mengecek peta akhir sebelum dicetak.

7. Finalisasi Peta (Pencetakan Peta) Peta-peta yang dihasilkan selama proses ini dicetak. Pada tahap ini para pihak juga membahas kepemilikan peta.

DAMPAK-DAMPAK PEMETAAN PARTISIPATIF MULTIPIHAK Belajar dari metode pemetaan ini PtPPMA menilai bahwa metode ini paling cocok untuk memetakan wilayah adat Papua yang luas. Waktu yang dibutuhkan jauh lebih singkat dibandingkan dengan metode pemetaan sebelumnya yang harus mengunjungi batas-batas kampung secara langsung. Dengan metode lama peta baru bisa dihasilkan setelah melalui proses berbulan-bulan, sedang dengan metode baru ini hanya perlu waktu sekitar sebulan. Selain itu lebih banyak pihak yang bisa ikut terlibat dalam proses ini. Bagi PtPPMA pemetaan ini juga memperkuat advokasi masyarakat adat dan hak-hak atas sumber daya mereka (khususnya dalam pemanfaatan hutan). Batas-batas wilayah adat pun makin jelas. Masyarakat adat dan pemerintah daerah juga terkesan dengan PP multipihak ini. Bagi masyarakat adat pemetaan ini juga memperjelas tata ruang adat. Mereka tahu daerah-daerah mana saja yang bisa diolah, yang harus dilindungi dan yang bisa dibangun pemukiman. Bagi pemerintah daerah pengalaman pemetaan di Nambluong menjadi pembelajaran penting untuk pemetaan wilayah adat. Kabupaten Jayapura, paling tidak, sudah menjadikan pemetaan Nambluong sebagai model pemetaan wilayah adat di kabupaten tersebut.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 106


PENUTUP PP sebagai sebuah bentuk alternatif dalam pengelolaan tata ruang ternyata mendapat tanggapan yang baik dari berbagai kalangan untuk dilakukan secara multipihak. PP merupakan bagian dari penguatan dan pengorganisasian masyarakat adat dalam proses pembelajaran mendukung pengelolaan tata ruang tingkat Masyarakat Adat Nambluong di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. Untuk itu keterlibatan semua pihak sangat penting dalam mewujudkan suatu proses pembelajaran bersama rakyat dengan melibatkan berbagai pihak lainnya untuk mencapai hasil yang layak dan dapat memberikan informasi tentang kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan dan pengembangan kawasan-kawasan yang siap dibangun. Hal ini akan terkait pula dengan program investasi yang mencakup antara lain adalah Peremajaan dan Pembaharuan Kawasan, Penataan Kawasan, Pengembangan Kawasan Pembangunan Inprastruktur, Ekonomi Kerakyatan, Sosial Budaya dan Kesenian serta pengembangan kawasan untuk lingkungan hidup. Dengan mengacu kepada dasar konsep tersebut terlihat bahwa sesungguhnya keterlibatan masyarakat adat dalam pengembangan informasi pengelolaan tata guna lahan sebagai d ata dasar pengelolaan tata ruang tingkat pemerintahan kota/Kabupaten dan Pro vinsi sangatlah penting. Hal itu dapat dilakukan dalam bentuk PP serta pengorganisasian masyarakat adat. Dalam konteks mengembangkan nilai-nilai demokratisasi dan pengelolaan sumberdaya alam yang partisipatif dan multipihak, maka perencanaan bersama rakyat sebagai metode yang tepat untuk mengubah paradigma perencanaan yang sifatnya dari atas (top down). Proses perencanaan partisipatif dapat membantu rakyat untuk sungguh-sungguh memahami kebutuhan mereka yang layak dalam proses pembangunan agar dapat menghasilkan produk baik fisik maupun non fisik yang dapat dinikmati bersama. Selain itu, melalui PP masyarakat adat dapat mengidentifikasikan wilayahwilayah adat yang mendukung pengelolaan tata ruang bagi kesejahteraan mereka. Untuk itu dalam program PP yang terpenting adalah sebuah proses yang dicapai bersama secara multipihak ketimbang hasil yang dicapai. Penekanannya pada proses bersama sehingga perasaan memiliki (sense of belonging) menjadi tujuan dasar dalam melaksanakan proses pembelajaran PP secara multipihak.

107 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


PEMETAAN PARTISIPATIF : “ PANDUAN “ PENYELESAIAN KONFLIK DAN SENGKETA AGRARIA DI JEMBER Oleh: Dedi Bayu Lukito dan Bambang Teguh Karyanto

JEMBER DALAM LINTASAN WAKTU Kabupaten Jember Jawa Timur resmi dibentuk pada tanggal 1 Januari 1929 dan merupakan pengembangan dari Karesidenan Besuki yang meliputi: Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso serta Besuki sendiri. Berdirinya Jember sebagai daerah baru tidak lepas dari pesatnya perkembangan perkebunan swasta pada pertengahan abad 19. Dalam perkembangan selanjutnya, ondistrict 25 Jember meninggalkan daerah induknya. Saat ini, Jember menjadi pusat ekonomi, sosial dan politik di timur Pulau Jawa. Sementara itu, Kota Besuki turun pangkat dengan hanya menjadi sebuah kecamatan di Kabupaten Situbondo di pinggir jalur pantai utara (Pantura) Pulau Jawa. Jember merupakan salah satu kabupaten agraris yang penting di Jawa Timur, artinya sebagian besar matapencaharian penduduk Jember adalah petani. Kehidupan petani di Jember, mirip dengan kehidupan petani di tempat lain di Jawa Timur, masih menjadi lumbung-lumbung kemiskinan. Berdasarkan Sensus Pertanian (SP) 200326 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan meningkat 1,7 % pertahun antara tahun 1993 – 2003; dari 20,5 juta keluarga pada 1993 menjadi 24,4 juta keluarga pada tahun 2003. Di Jawa Timur, jumlah keluarga petani gurem – petani yang mengolah lahan kurang dari 0,5 hektar — mencapai 3,4 juta rumah tangga atau sekitar 25,14% dari total rumah tangga petani gurem di Indonesia. Untuk Indonesia, jumlah keluarga petani gurem meningkat 2,4 % per tahun, yakni dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 108


10,8 juta keluarga pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta keluarga pada tahun 2003. Dalam periode 1993-2003, jumlah keluarga petani gurem meningkat dari 52,1 % menjadi 56,2 %. Jadi dengan penguasaan tanah yang semakin sempit maka akan sangat sulit kesejahteraan yang lebih baik diraih oleh keluarga petani. Jember dianugerahi tanah yang subur, dikelilingi pegunungan dan bentang alam berbukit-bukit. Lingkungan yang terberi ini makin dikuatkan dengan adanya para pendatang dari daerah “Jawa Mataraman� dan Madura yang mata pencahariannya sebagian besar adalah petani. Para migran lokal yang berdatangan ini selain sebagai penyedia utama tenaga kerja pada perkebunan swasta yang baru tumbuh, juga mengharapkan perubahan dan peningkatan taraf ekonomi. Dengan latar belakang seperti ini, maka ketika dunia sibuk mencari daerah penghasil bahan baku, ondistrict Jember dengan segenap potensinya menapaki jalan sejarah menjadi bagian perubahan dunia. Karena tanahnya yang subur tersebut maka pada tahun 1858 George Birnie, seorang Belanda, membuka lahan untuk penanaman besar-besaran tembakau Na Oogst (NO). Sebagai pemilik modal, Birnie segera mengajukan ijin kepada pemerintah kolonial waktu itu guna membuka Onderneeming (perusahaan perkebunan) tembakau di daerah Jenggawah (saat ini secara administratif menjadi tiga kecamatan dari Kabupaten Jember, yaitu Kecamatan Jenggawah, Kecamatan Rambipuji dan Kecamatan Ajung, sembilan desa dan 36 padukuhan). Baru pada tahun 1870 melalui Agrariche Besluit (AB)27, Birnie mendapat hak erfpacht 28 untuk perkebunan tembakau selama 75 tahun. Sedangkan pengelolaannya dipegang oleh badan hukum milik pemerintah yaitu Landbouw Matschapij Ould Djember (NV. LMOD). Berdasarkan hal ini, ijin pengelolaan lahan perkebunan oleh NV. LMOD akan berakhir pada tahun 1945. Mengetahui bahwa Jember sangat menguntungkan secara ekonomi, maka banyak pemodal asing yang ikut membuka berbagai perkebunan. Beberapa komoditi ditanam di berbagai perkebunan besar ini pada masa kolonial sesudah 1858 seperti: tembakau, teh, kopi, tebu, karet dan kakao. Berikut ini adalah beberapa perkebunan pada jaman kolonial yang ada di Jember: NV. LMODTD (Landbouw Mij Out Djember te Deventer) di Ketajek (sekarang termasuk wilayah Kec. Panti); NV. Tabak Maatschappij Goemelar, NV.Besoeki Tabak Maatschappij te Amsterdam, dan NV. Handels di Nogosari (sekarang Kec. Rambipuji). Masa kejayaan perusahaan perkebunan terjadi pada dasawarsa 1920-an sampai tahun 1931. Saat itu perusahaan perkebunan tembakau partikelir di Jember mampu mengekspor hingga 302.900 bal tembakau, meski pada 1932 terkena juga dampak depresi global 29. Keadaan tersebut berjalan sampai Hindia Belanda kalah dari Jepang dalam perang Pasifik.

109 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Sejak pendudukan fasisme Jepang semua kegiatan ekonomi diarahkan guna mendukung perang. Banyak pemilik perkebunan lari meninggalkan kebunnya, meskipun hak sewanya belum berakhir. Keadaan tersebut membuat banyak perkebunan menjadi “tanah tak bertuan”. Hal ini membuat petani penggarap kebun-kebun itu tidak lagi terikat kontrak dengan perusahaan manapun. Kemudian penduduk, baik buruh kebun maupun petani sekitar kebun, secara hampir bersamaan menduduki kebun-kebun tersebut guna memenuhi kehidupan subsistensi mereka. Kekosongan pengelolaan kebun-kebun oleh pemilik erfpacht berlangsung sampai tahun 1953, yakni saat Pemerintah Indonesia melakukan proses nasionalisasi aset-aset asing di Indonesia. Selama kurun waktu 10 tahun tersebut, masyarakat sekitarlah yang mengelola lahan kebun ini. Kemudian, pada tahun-tahun itu pula – setelah tahun1953 — pemerintah mulai menarik pajak untuk lahan yang telah digarap petani ini. Setiap petani mendapatkan nomor pipil pajak atau Letter C/petok sebagai tanda bukti pembayaran pajak — masyarakat lebih mengenalnya dengan nama “cap singa”. Penarikan pajak oleh pemerintah inilah yang makin menguatkan asumsi petani penggarap bahwa tanah yang dikelola selama ini sudah sah menjadi hak milik mereka. Inilah yang kemudian menjadi titik pangkal utama konflik dan sengketa agraria di Jember di kemudian hari. Tahun 1960 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) disahkan. UUPA 1960 memuat tentang tata cara pendaftaran tanah untuk tanah-tanah yang digunakan masyarakat secara adat atau tanah-tanah yang dimanfaatkan masyarakat secara turun-temurun. Sedangkan terhadap tanah-tanah yang digarap dan dulunya dimanfaatkan oleh Belanda atau Jepang (berdasarkan hukum barat atau Burgelijke Wetboek 30) haruslah didaftarkan kembali untuk memohon hak kepemilikannya; dan bagi yang tidak didaftarkan akan dinasionalisasi serta dinyatakan sebagai tanah negara. Proses nasionalisasi aset asing di Jember, waktu itu, dikendalikan oleh penguasa darurat perang/militer yang sekaligus melakukan inventarisasi tanah-tanah yang dijadikan obyek landreform. Landreform adalah salah satu program utama Pemerintah Orde Lama setelah disahkannya UUPA tahun 1960. Karena keterbatasan informasi dan transportasi saat itu mengakibatkan sosialisasi UUPA seringkali terhalang. Banyak petani penggarap yang tidak mengetahui akan adanya peraturan tersebut. Inilah yang menjadi titik pangkal berikutnya konflik dan sengketa agraria di Jember. Pada akhir September 1965 terjadi konflik politik besar di Jakarta yang menyebabkan beberapa jenderal tentara diculik dan kemudian terbunuh. Peristiwa yang populer disebut Gerakan 30 September (G30S) ini berpengaruh besar terhadap kehidupan sosial politik di Indonesia, termasuk di wilayah Jember. Pembersihan besar-besaran terhadap anasir-anasir Partai Komunis Indonesia (PKI) – yang dituduh menjadi dalang G30S dan pada Maret 1966 Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 110


dinyatakan sebagai partai terlarang – dilakukan secara besar-besaran di Pulau Jawa, termasuk di Jember. Puluhan ribu nyawa masyarakat yang dituduh anggota PKI – tanpa pengadilan – melayang begitu saja. Pihak yang berwenang sangat mudah memberikan stigma “komunis”, “PKI”, “anti Tuhan”, “pemberontak”, dan lain-lain kepada pihak-pihak yang dianggap melawan pemerintah yang berwenang. Para petani penggarap yang telah mendiami tanah-tanah peninggalan perkebunan Belanda maupun masyarakat yang melakukan pembukaan lahan perkebunan baru di Jember tidak luput dari berbagai tuduhan sebagai perongrong pemerintah. Selain itu, awal rejim Orde Baru pada akhir 1960-an itu – dengan dominasi aparatus militer di dalamnya – sangat menekankan stabilitas politik dan keamanan; sehingga berbagai dinamika pemanfaatan sumber-sumber agraria dianggap sebagai suatu hal yang mengganggu program pemerintah. Maka dalam aras inilah, benih konflik dan sengketa agraria di Jember harus diletakkan. Pada awal Pemerintah Orde Baru akhir 1960-an berbagai pengusiran petani penggarap marak terjadi di Jember. PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) XXVI – yang kemudian berubah menjadi PTPN UUS Kalisanen – mengusir para petani penggarap di Curahnongko, padahal para petani penggarap ini telah melaporkan pemanfaatan tanahnya memenuhi pengumuman penguasa perang daerah Jawa Timur No.Peng. P.2.8/1958 pada sekitar tahun 1966. Masyarakat terpaksa meninggalkan garapannya; pemukiman masyarakat dihancurkan dan hanya disisakan sebuah mesjid; 22 orang ditangkap karena melawan. PTPN XXVI kemudian melakukan penanaman karet pada areal ini. Apa yang terjadi di Curahnongko merupakan contoh tindakan-tindakan aparat berwenang pada masa lalu, yang pada hakikinya merupakan reduksi dinamika pemanfaatan sumber-sumber agraria di Jember. Daftar kasus konflik dan sengketa agraria di Jember

Sumber: Data LSDP SD INPRES 2000 111 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Tabel di atas menunjukkan bahwa institusi yang terlibat sengketa dan konflik agraria sangat beragam; mulai dari Perhutani, PTPN, perusahaan perkebunan milik daerah (PDP) dan koperasi milik TNI. Pengambilalihan paksa tanah-tanah yang telah digarap masyarakat, baik sebagai legitimasi proses ambil alih hak negara yang kadaluwarsa maupun yang disebabkan kesewenang-wenangan aparat selama Orde Baru, dimulai tahun 1960-an. Sehingga bila saat ini rakyat banyak yang melakukan penuntutan balik terhadap haknya yang dirampas adalah sebuah kewajaran. Rejim Orde Baru mengubah sama sekali kebijakan pemanfaatan sumber-sumber agraria yang telah lalu. Landreform, yang menjadi semangat utama UUPA 1960, menjadi program tabu selama Orde Baru. Dalam pengusahaan perkebunan, Pemerintah Orde Baru sangat berpihak kepada pemodal besar dan cenderung melupakan petani. Berbagai usaha perkebunan besar bermunculan pada jaman Orde Baru – meskipun sebagian mendasarkannya pada hak-hak penguasaan tanah pemerintah yang lama: PDP Kebun Manggisan luas 1.839,1211 ha; PTPN XII Kebun Panti seluas 515,32 ha; PTPN XII Kebun Patemon dan Darungan seluas 1.045,8960 ha.; PTPN XII Kebun Klatakan, Selodakon, Darungan, Curah Kalong seluas 544,3000 ha; PT. Perkebunan Jember Indonesia Kebun Widodaren luas 6.125,5106 ha; PT. Dian Argopuro Kebun Kalitengah seluas 579,424 ha; PT. Yunawati Kebun Kaliduren seluas 1.587,0973 ha; NV. Cult. Mij. Toegoesari kebun Tugusari seluas 345,303 ha; Kaliduren Estate seluas 1.092, 2734 ha; institusi militer Puskopad Kodam V Brawijaya kebun Sentool seluas 537,473 ha. Semua usaha perkebunan ini berada di lereng sebelah selatan Pegunungan Argopuro. Pemanfaatan lereng selatan Argopuro untuk pemanfaatan intensif perkebunan besar ini telah melebihi daya dukung lingkungan serta mengancam kehidupan masyarakat yang tinggal di lereng Argopuro setelah lembah di bawahnya. Kondisi Jember yang bergunung-gunung seharusnya dikelola dengan penuh kehati-hatian. Banjir dan tanah longsor sangat sering terjadi di Jember. Banjir bandang di Lereng Argopuro pada Desember 2006 merupakan contoh efek samping kecerobohan pemanfaatan sumber-sumber agrar ia di Jember. Kabupaten Jember memiliki kawasan konservasi dan lindung yang cukup luas: taman nasional (39.550 ha), suaka margasatwa di Pegunungan Argopura seluas 9.150 ha, kawasan lindung terbatas seluas 34.225 ha, hutan lindung seluas 41.875, dan kawasan lindung lainnya seluas 15.525 ha. Kenyataannya lebih dari 60.000 ha kawasan konservasi dan lindung tersebut mengalami alih fungsi menjadi tegal, kebun campur, perkebunan dan pertanian. Beralihnya fungsifungsi berbagai kawasan lindung ini sangat mengancam kehidupan masyarakat Jember.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 112


PEMETAAN PARTISIPATIF ALAT BANTU PERJUANGAN PETANI Telah kita ketahui bersama bahwa “Reformasi” pada tahun 1998 telah menjatuhkan rejim Soeharto yang telah berkuasa lebih dari 30 tahun. Banyak perubahan besar terjadi dalam kehidupan masyarakat. Salah satu perubahan itu adalah kembalinya kebebasan berbicara dan berorganisasi. Perubahan utama dalam kurun sepuluh tahun setelah Reformasi adalah membaiknya iklim demokratisasi di Indonesia. Aura Reformasi juga melingkupi kehidupan petani. Setelah Reformasi Berbagai organisasi serikat petani bermunculan seperti jamur di musim hujan. Banyak organisasi petani yang pada masa Orde Baru terpaksa “mematikan” diri karena kerasnya represi, kemudian bersemi dan aktif kembali. Berbagai konflik agraria di Jember yang “terpaksa” didinginkan selama Orde Baru, kemudian membuncah kembali pasca Reformasi 1998. Aksi-aksi pendudukan lahan setelah Reformasi meningkat pesat di Jember, seperti di beberapa tempat berikut: Sukorejo, Ketajek, Nogosari, Curahnongko, Mandigu, Karang Baru, dan lain-lain. Motif meningkatnya aksi masyarakat ini sebagian besar memiliki kesamaan alasan. Pertama, pengusahaan perkebunan besar dan kehutanan (Perhutani) di Jember kebanyakan diperoleh dan dilakukan dengan cara yang sarat kekerasan pada masa lalu; kedua, masuk abad ke-21 berbagai HGU perkebunan ini telah mati atau habis masa berlakunya dan harus diurus lagi perpanjangan pengusahaannya; ketiga, gabungan dua faktor tadi, ditambah dengan kemarahan yang terpendam dari petani korban pengusiran pertengahan 1960-1970-an; keempat krisis ekonomi dan tumbangnya rezim Soeharto memungkinkan rakyat bergerak menuntut kembali haknya. Lembaga Studi Desa untuk Petani (LSDP) SD INPERS menjadi bagian dari dinamika ini, karena tanpa sengaja diminta pertolongan oleh petani wilayah “ kasus” guna membantu meningkatkan semangat perjuangan mereka. Lewat diskusi internal lembaga dan pengorganisasian terus menerus dengan petani yang mengalami sengketa agraria, serta ditambah oleh kenyataan bahwa aparat kelewat represif dalam menyikapi setiap tuntutan masyarakat terutama yang menyangkut hak atas tanah, maka pengorganisasian, penguatan serta penyadaran pentingnya berorganisasi adalah pilihan utama. Sebagai contoh ialah terjadinya “ Rabu Hitam” 21 April 1999, sebuah peristiwa tragis yang menimpa warga Ketajek. Setelah kurang lebih 8 bulan berhasil menduduki kembali perkebunan Ketajek, hari itu pihak PDP dibantu aparat Polres Jember melakukan aksi pengusiran, penganiayaan dan penembakan. Akibatnya seorang warga tewas, 11 cacat tetap dan puluhan lainnya ditahan termasuk wanita dan anak-anak. Dampak dari kejadian ini ialah rasa traumatik yang mendalam di masyarakat. Lewat penguatan serta pendampingan yang terus menerus akhirnya masyarakat pelan-pelan m ulai sedikit banyak bisa melupakan kejadian tersebut. 113 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Tindakan represif ini tidak hanya berlangsung di Ketajek, tetapi juga pada daerahdaerah sengketa agraria di Jember yang lain. Sementara dalam menghadapi tindakan kekerasan ini, petani sepakat untuk tidak melawan, tetapi lebih mengedepankan proses-proses persuasi (lobi, negoisasi, dengar pendapat, dan lain-lain). Tetapi, semua upaya ini selalu gagal bila sudah memasuki upaya verifikasi data-data. Pihak yang berwenang selalu mendasarkan pertimbangan penyelesaian konflik agraria berdasarkan berbagai peta peninggalan Belanda. Berbagai upaya menghadang terbitnya kembali hak guna usaha (HGU) suatu perkebunan – mengingat konflik agraria pada masa lalu yang belum terselesaikan — selalu dikalahkan oleh BPN yang mendasarkan keputusan ‘formalnya’ dengan tetap memakai peta-peta yang dibuat oleh Belanda. Menyadari kenyataan dan pengalaman pengorganisasian di atas, LSDP SD INPERS mempertegas sikap, yakni tiada jalan lain bahwa masyarakat harus memiliki peta yang diukur, dibuat dan dipakai guna kepentingan masyarakat sendiri. Dengan memiliki peta sendiri, diharapkan masyarakat mampu mengusulkan, merancang maupun membuat model-model pengembangan masyarakat yang sesuai keinginan mereka. Sehingga hasil akhirnya, lewat peta ini, perjuangan masyarakat dalam memperoleh kembali hak atas tanah akan menguat dan pada akhirnya cita-cita rakyat dapat terwujud. Pilihan menggunakan PP sebagai alat bantu perjuangan petani dalam penyelesaian konflik agraria disebabkan oleh hal-hal berikut. Pertama, alat perjuangan yang telah diterapkan selama ini yaitu penyadaran, penguatan organisasi tingkat lokal dan membangun jejaring hingga tingkat nasional ternyata kurang mencukupi saat perjuangan memasuki tahapan birokrasi. Kedua, berkenaan dengan sistem hukum positif Indonesia, yang masih kental dengan pengaruh hukum kolonial peninggalan Belanda, selalu mengutamakan buktibukti tertulis dalam memutuskan suatu perkara bila dibandingkan dengan sumber bukti yang lain. Ini tidak adil untuk masyarakat awam, karena banyak tempat di Indonesia yang sejak jaman penjajahan sampai sekarang tidak bisa mengakses layanan administrasi negara. Pada beberapa kasus sengketa agraria di Jember, ada masyarakat yang bisa menunjukkan surat pipil pajak pemerintah (letter C dan petok D) bahkan ada yang bisa menunjukkan peta kerawangan desa 31. Tetapi semua hal tersebut diabaikan oleh pihak-pihak berwenang (BPN dan institusi Pengadilan) yang tetap mendasarkan keputusannya dengan menggunakan peta peninggalan Belanda, sehingga argumen dan data-data yang diajukan rakyat ini gugur dan “batal demi hukum”. Menyadari kenyataan ini, perjuangan masyarakat dalam sengketa agraria di Jember haruslah ditambah dengan kemampuan dan pemahaman tek-nis pemetaan; tetapi juga menyadari bahwa ilmu pemetaan memiliki dua sisi, baik dan buruk. Berbagai tahapan persiapan telah dilalui dalam rangka mulai mengadopsi PP. Dari diskusi mendalam yang telah dilaksanakan, ada beberapa Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 114


hal yang harus diperhatikan bersama. Pertama, sebagai anak kandung modernitas pengetahuan pemetaan membawa sifat penguasaan dan hegemoni. Kedua, karena peta akan memuat informasi detail tentang wilayah yang dipetakan – baik kondisi fisik, sosial, maupun penguasaan pihak-pihak terhadap sumber-sumber agraria – maka apabila peta dan informasi yang dihasilkan ini tidak dikelola dengan baik, akan dapat menjadi persoalan serius di masa depan. Ketiga, kegiatan PP akan menyita sumber daya kelompok petani baik waktu, tenaga maupun biaya yang besar. Karena itu penyelenggaraan PP harus dipersiapkan dengan matang dan penuh perhitungan. Keempat, adalah perlunya terus mengecek kembali lan-dasan berpikir mengapa organisasi tani lokal (OTL) harus melakukan PP. Hal ini berguna untuk mengurangi disorientasi akan tujuan kegiatan PP. Inilah beberapa pra kondisi yang menjadi bahan diskusi sehari-hari serta mendalam antara OTL dan LSDP SD INPERS. Diskusi ini terus dilakukan sebagai penghitungan kembali untung rugi melaksanakan PP. Setelah dirasa cukup, PP di Jember pertama kali dilaksanakan di Desa Curahnongko. PP di Curahnongko - Serikat Petani Perjuangan Curahnongko (SIPER) menjadi tuan rumah dan penyelenggara - dilaksanakan pada tahun 2004. PP berikutnya diselenggarakan di Desa Nogosari pada tahun 2005. PP di Desa Pakis (Ketajek), yang juga mengalami sengketa agraria, terpaksa belum bisa dilaksanakan; terdapat beberapa hal teknis yang belum siap. Tetapi Kelompok Perjuangan Tanah Ketajek (KOMPAK) dan Rengganis, sebagai OTL yang bekerja di wilayah Ketajek, menyatakan sangat antusias dan siap menyelenggarakan PP. Kedua OTL ini memiliki isu konflik agraria yang berbeda; KOMPAK sedang menyelesaikan konflik agraria dengan PDP, sedangkan anggota Rengganis menghadapi sengketa lahan kelola kehutanan.

PEMETAAN PARTISIPATIF DAN PENYELESAIAN SENGKETA AGRARIA : TIGA CONTOH KASUS Kasus Curahnongko Empat tahun setelah diselenggarakannya PP di Desa Curahnongko Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember Jawa Timur. Kegiatan yang diselenggarakan oleh SIPER, JKPP dan LSDP SD INPRES Jember, menghasilkan beberapa tema peta dan sedang dalam proses penyelesaian digitalisasi spasial. Proses pengukuran, pemetaan dan pembuatan peta secara rincik (pembuatan peta persil) juga tengah diselenggarakan di lapangan sebagai tindak lanjut lebih detail dari PP yang dilaksanakan pada tahun 2004. Bisa terselenggaranya PP sampai dengan proses digitalisasi, saat ini, dapat dikatakan sebagai sebuah anugerah yang tidak terhingga. Proses ini sangat luar biasa karena penyelenggaraan PP pada tahun 115 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


2004 di Curahnongko itu, sesungguhnya, pada saat yang kritis untuk SIPER; mengingat silang sengketa, baik vertikal maupun horisontal, yang berat pada saat itu bisa memupuskan harapan mas yarakat. Proses perjuangan petani di Curahnongko untuk mendapatkan haknya kembali atas tanah – termasuk menggunakan PP sebagai media perjuangan – merupakan proses yang penuh liku-liku.

Pembentukan SIPER dilandasi oleh kenyataan bahwa sebagai petani, mereka adalah orang asing di tempat sendiri. Sebab, tanah sebagai tempat bekerja sekaligus pengukuhan jati diri bukan milik mereka. Anggota SIPER terdiri dari korban-korban pengusiran dari lahan garapan rakyat tahun 1966, tuna kisma dan buruh tani. Berangkat dar i kesadaran ini maka sejumlah petani bersetuju mendirikan OTL SIPER pada tahun 1998. Kemudian pada tahun itu pula, SIPER di akte notariskan di Jember oleh Kantor Notaris Is Hariyanto, SH. Pada tahun 1999 petani Curahnongko melakukan reklaiming tanah yang dikuasai oleh PTPN XII Jawa Timur UUS Kali Sanen Jember seluas 125 Ha. Luasan ini adalah bagian dari tanah seluas sekitar 360 hektar milik masyarakat yang diambil paksa oleh PTPN XII — dahulu PTP XXVI — setelah huru hara politik 1965. Rakyat yang bertempat tinggal di tiga dusun (Pondok Suto, Wonoasri, Wonowiri) di bawah ancaman senjata dan buldoser pegawai PTP XXVI serta aparat keamanan, dengan berat hati, membiarkan tanah mereka berpindah pemilik. Salah seorang saksi pengusiran itu ialah Karsiyah atau Bu Alan (60-an Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 116


tahun). Menurut tuturan beliau, sampai saat ini dirinya masih sakit hati bila mengingat peristiwa itu. Teringat robohnya pokok-pokok kelapa miliknya diterjang buldoser di lahan pemberian ked ua orang tuanya di Dusun Pondok Suto. Tengah hamil muda, Karsiyah pun terpaksa numpang karang 9 di rumah saudaranya sampai anaknya lahir. Oleh sebab itu, mendengar bahwa masyarakat Curahnongko mendirikan organisasi yang memperjuangkan pengembalian hak atas tanah, Bu Alan pun menjadi anggota SIPER yang setia dan gigih. Upaya perubahan, di manapun, akan selalu mendapat tentangan dan hambatan. Perjuangan SIPER untuk mewujudkan cita-citanya juga tidak lepas dari berbagai rintangan. Sejak SIPER resmi terbentuk teror setiap saat menghampiri pengurus maupun petani yang menjadi anggota SIPER. Ancaman non fisik sampai ancaman pembunuhan adalah kebiasaan baru yang dilancarkan oleh musuh-musuh SIPER, yaitu kumpulan orang dan preman yang disewa pihak PTPN XII. Kelompok penentang ini ternyata bukanlah orang lain bagi sebagian pengurus dan anggota. Dalam arti masih ada hubungan saudara antara mereka dengan beberapa anggota SIPR. Kelompok penentang, kebanyakan, adalah tuan tanah serta juragan hasil bumi di Curahnongko. Teror yang tanpa putus ini seakan memperoleh momentum karena pada tahun 2006 SIPER mendapat cobaan. Pengurus SIPER dituduh oleh kelompok penentang melakukan penipuan terhadap anggota bahwa terjadi penyimpangan iuran uang yang menjadi kesepakatan organisasi. Menjadi keprihatinan bersama, bahwa ternyata yang melaporkan hal ini adalah anggota SIPER sendiri yang masih belum kuat landasan keyakinannya. Tuduhannya ialah iuran kelompok untuk biaya organisasi dibelokkan menjadi biaya mendapat hak atas tanah (sertifi kat). Isi tuduhan yang sangat dipaksakan dan dibuat-buat ini akhirnya membawa pengurus SIPER menghuni tahanan dalam waktu cukup lama. Setelah berjuang lewat jalur pengadilan selama 1 tahun lebih, akhirnya pada bulan Juni 2007 satu tonggak kemenangan petani lahir. Pengadilan negeri Jember memutuskan bebas murni tanpa syarat apapun terhadap pengurus SIPER. “Revolusi (baca: perjuangan, pen) bukanlah jamuan makan siang gratis�, demikian ungkapan Mao Tze Tung yang cukup populer. Selama satu tahun proses pengadilan telah menyerap tenaga dan pikiran para anggota SIPER, baik material (fisik, biaya, waktu dan lain-lain) maupun immaterial (psikologi, hubungan sosial dan lain-lain). Tetapi, jamuan makan tetaplah sebuah jamuan berikut sekian kerugian dan keuntungannya. Memang energi SIPER telah terkuras, tetapi SIPER, terutama anggotanya, memperoleh pelajaran sangat berharga yaitu keberanian, kepercayaan diri dan kemandirian menyelesaikan permasalahan. Dampak yang terlihat jelas ialah, kepercayaan diri, kemandirian maupun keberanian pengurus serta anggota mencapai kulminasi. Banyak temuan

117 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


lapangan menyatakan hal tersebut semisal ungkapan: “ kemiskinan bukanlah takdir dan hal ini bisa diubah� atau “sekarang saya tak takut lagi menghadapi polisi, camat, desa dan yang lainnya bila saya benar �, serta masih banyak ungkapan lain yang menunjukkan mekarnya mental positif ini. Bahkan beberapa saat lalu, ketika melakukan diskusi kelompok terfokus (FGD ) guna refleksi pelaksanaan PP di Curahnongko, tim pemetaan Curahnongko menceritakan saatsaat pertama kali melakukan PP dengan perasaan tenang. Dalam pertemuan itu, tim pemetaan menuturkan secara terus terang bahwa perasaan mereka campur aduk antara takut dan khawatir saat melakukan pemetaan pertama kali. Bahkan karena keadaan keamanan yang tak memungkinkan, yaitu terjadinya penghadangan di lapangan oleh preman, anggota tim pemetaan pertama tersebut menalikan tali ukur ke pangkal kaki dan menariknya setiap kali melakukan pengukuran. Atau cerita lain di mana tim pemetaan menggunakan bermacam kode tertentu; salah satunya dengan menggunakan suara hewan agar tidak diketahui oleh musuh. Tetapi semua hal itu menjadi pengalaman bersama yang bisa diambil hikmahnya. Setelah proses PP ini sampai pada tahap digitalisasi, maka langkah berikutnya segera dijalankan organisasi. Peta ini kemudian digunakan untuk tindakan ke luar maupun ke dalam oleh pengurus SIPER. Ke luar, memperkuat pembelaan terhadap anggota dan menaikkan tenaga perjuangan serta kemandirian petani Curahnongko kepada semua pihak yang berkepentingan. Ke dalam, peta tersebut dipakai SIPER untuk lebih fokus membenahi organisasi dalam menertibkan keanggotaan. Kemudian peta digunakan menata kembali peruntukan tanah serta sumber daya agraria lainnya dengan mengutamakan kepentingan korban pengusiran 1966, tuna kisma dan buruh tani. Demikian juga peta hasil PP ini telah dipakai oleh SIPER meningkatkan nilai tawar kepada BPN mengenai status HGU PTPN XII UUS Kalisanen. Kepala BPN Pusat bahkan telah berkunjung ke Curahnongko dan mendengarkan langsung dari petani Curahnongko tentang sengketa agraria yang dialami. Melalui kegiatan PP pertama pada tahun 2004 diketahui bahwa ada kelebihan tanah seluas + 25 hektar yang selama ini dikuasai PTPN dan tidak pernah dilaporkan kepada BPN maupun pihak-pihak yang berkepentingan lain. Sementara tanah tersebut adalah juga bagian dari HGU PTPN XII UUS Kalisanen yang seharusnya memberikan pajak pendapatan kepada negara. Dengan tidak tercatatnya tanah ini, dimungkinkan telah terjadi penyimpangan oleh PTPN ini kepada negara. Melalui temuan ini maka SIPER bisa melakukan proses negoisasi serta proses administrasi yang lebih maju dibandingkan wilayah yang lain. Dengan kemajuan ini pula maka tahun 2006 kepala BPN Pusat, Joyo Winoto, berkesempatan menghadiri serta bertatap muka dengan petani di Desa Curahnongko, petani yang mengalami konflik agraria se-Jember, dan perwakilan petani seluruh Jawa Timur. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 118


Tetapi, kadang-kadang, tidaklah mudah menyamakan harapan antara pihak yang mengenalkan PP dengan masyarakat yang menyelenggarakan PP. Dalam sebuah FGD sebagai evaluasi penyelenggaraan PP, para petani Curahnongko masih memahami bahwa PP yang telah dilakukan Curahnongko adalah untuk memastikan hak atas tanah (sertifika si tanah). Padahal sertifikasi tanah bukanlah satu-satunya pilihan untuk sebuah kepastian hak; bahkan, sertifikasi tanah bisa menjadi boomerang perjuangan para petani di kemudian hari. Ini juga bisa diinterpretasikan, bahwa harapan petani terhadap PP sangatlah tinggi dan progresif. Akan tetapi, harus diakui, bahwa mewujudkan harapan ini bukanlah mudah; para penggiat PP harus terus mencoba tindak lanjut PP sehingga benar-benar mendukung penyelesaian sengketa agraria.

Kasus Pakis Berikut ini adalah cerita tentang perjalanan advokasi sengketa agraria di Desa Pakis Kecamatan Ketajek Kab. Jember. Di sekitar Desa Pakis terdapat areal perkebunan yang dulunya merupakan erfpacht NV. LMODTD (verponding nomor 2712 dan 2713) yang luasnya 478 hektar. Areal ini kemudian ditetapkan menjadi obyek landreform pada tahun 1964, berdasarkan SK. Menteri Pertanian dan Agraria nomor 50/KA/64. Surat keputusan ini kemudian ditindaklanjuti oleh SK. Kepala Kantor Inspeksi Agraria Jawa Timur No. 1/Agr/6/XI/122/HM/III/1964 tentang redistribusi lahan bagi 803 warga. Akan tetapi, secara sepihak, pemerintah tidak melaksanakan program landreform itu dan bahkan sejak tahun 1972 areal ini dijadikan Perkebunan Ketajek I dan Ketajek II yang dikelola oleh perusahaan daerah perkebunan (PDP), badan usaha milik Pemerintah Daerah (Pemda) Jember. PDP bahkan memperluas wilayah kelolanya dengan “menggusur� lahan pertanian masyarakat seluas 710 hektar pada tahun 1973; PDP secara paksa memberikan ganti rugi tanam tumbuh kopi rakyat dengan harga yang rendah, sementara itu tanah yang dibuka masyarakat ini tidak diberikan ganti rugi. Masyarakat yang menolak proses ganti rugi yang tidak adil diintimidasi, bahkan sebagian ditahan di Kepolisian Resort (Polsek) Kec. Panti. Beberapa orang masyarakat yang ditahan dalam kasus ini, menurut kesaksian masyarakat, antara lain: Darsimun, Midin, Djumarto, Pak Tatik, Tori, Sardji, Atmodjo, Suroso, Suman, Miskari, Ngatemin, Wakimin, dan lain-lain. Proses represi terhadap warga penggarap di sekitar Desa Pakis, waktu itu, berlanjut dengan perampasan segala surat bukti milik/garap atas tanah (petok, surat pajak, dan lain-lain) milik warga. PDP bahkan mendapatkan SK Mendagri No. 12/HGU/DA/1974 untuk legalitas pengelolaan perkebunan di Ketajek. Masyarakat penggarap areal ini merasa diperlakukan tidak adil dan terus memperjuangkan haknya atas tanah-tanah garapan yang dirampas oleh PDP.

119 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Perjuangan masyarakat Ketajek, saat ini, diteruskan melalui pembentukan OTL KOMPAK. Tuntutan mereka adalah kembalinya hak atas tanah-tanah Ketajek yang menjadi garapan mereka dulu, dan menata ulang kembali sumber daya agraria agar kemiskinan terutama di Desa Pakis dan sekitarnya bisa berkurang. Dalam perbincangan dengan LSDP SD INPRES, OTL KOMPAK setuju untuk tidak membubarkan PDP bila nantinya tanah-tanah Ketajek dikembalikan lagi kepada rakyat. PDP akan dijadikan mitra strategis dalam mengembangkan kopi, di mana masyarakat sebagai produsen dan PDP dengan kemampuan teknisnya dapat menjadi penyedia pasar maupun penjaga mutu. Hal ini didasari dari kenyataa n bahwa PDP adalah aset Kabupaten Jember, dan sebagai warga Jember KOMPAK juga ingin berkontribusi lebih besar terhadap daerahnya. Di tempat ini juga, sejak tahun 1998, terjadi sengketa antara petani dan pengelola kawasan hutan (Perhutani). Euforia Reformasi yang dimulai sejak jatuhnya rejim Soeharto pada 1998 ternyata bergema cukup kuat di Jember. Reformasi diterjemahkan oleh masyarakat sebagai kebebasan bertindak, artinya semua tindakan ’serba boleh dan bebas ’. Bagi masyarakat sekitar hutan di Jember, masa-masa itu diingat sebagai demam membabat hutan tanpa halangan. Hal ini juga menimpa hutan lereng selatan Hyang Argopuro. Kawasan hutan di wilayah ini menjadi rusak akibat praktek euforia Reformasi yang salah. Padahal, selain sebagai kawasan hutan produksi, sebagian kawasan hutan telah ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa berdasarkan Ketetapan Menteri Pertanian dan Agraria nomor : SK/12/PA/1962 dengan luas keseluruhan 14.177 ha. Ditengarai bahwa aksi perambahan dan perusakan ini didukung oleh oknumoknum aparat yang berwenang sendiri (Perhutani, kepolisian, maupun lembaga yang berkepentingan dengan hutan). Menyadari keadaan tersebut, warga berinisiatif membentuk kelompok yang bertekad menjaga kelestarian hutan. Langkah yang ditempuh adalah menghijaukan kembali hutan yang rusak tersebut dalam satu wadah organisasi petani hutan. Kemudian berdirilah OTL Rengganis pada tahun 2004. OTL Rengganis memiliki visi mewujudkan kelestarian hutan dan membentuk rimba sebagai hutan yang berdampak sosial. Dengan menggarap tetelan (lahan bukaan hutan), masyarakat sekitar hutan lereng selatan Hyang Argopuro berharap bisa mengurangi kemiskinan yang telah membelit. Pengelolaan hutan selama ini – Perhutani yang berwenang — tidak memberikan manfaat yang nyata terhadap ekonomi masyarakat sekitar hutan. Sejak tahun 2005, kelompok tani Rengganis bekerja sama dengan Perhutani dan membentuk kerjasama dalam wadah Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Menurut pengurus OTL Rengganis, keputusan membentuk LMDH adalah langkah taktis strategis menanggulangi kemiskinan sekaligus ikut melestarikan hutan. OTL Rengganis tidak hanya ikut pola pikir Perhutani lewat model Pengelolaan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 120


Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). OTL Rengganis memiliki konsep pengelolaan hutan sendiri yaitu hutan sebagai rimba sosial. Konsep hutan sosial dalam pandangan OTL Rengganis merupakan cara yang tepat dalam mengurangi kemiskinan dan sekaligus melestarikan hutan. Karena konsep ini tumbuh dari kesadaran masyarakat sendiri; bukan dipaksa dari atas. Dua OTL di Desa Pakis ini, KOMPAK dan Rengganis, telah melakukan kerjasama dalam melakukan berbagai macam kerja-kerja organisasi. Sejak terusir dari lahan garapannya yang dijadikan Perkebunan Ketajek I dan II, para petani terpaksa ikut membuka lahan dan menanam kopi, vanili, durian serta bermacammacam tanaman keras yang menghasilkan di hutan. Jadi secara tidak langsung anggota KOMPAK juga adalah anggota Rengganis. Oleh karena itu kerjasama antar lembaga diperlukan agar supaya tidak terjadi kesimpangsiuran. Kerjasama ini meliputi melakukan pendataan jumlah anggota, memetakan luas wilayah garapan, menginventarisasi jumlah tanaman sekaligus memperkirakan jumlah produksi. Kemudian sama-sama melakukan advokasi bila ada salah satu anggota yang mengalami masalah terutama dengan Perhutani dan memberikan dukungan semangat bila masuk urusan Ketajek. kedua OTL Desa Pakis ini belum melakukan PP, tetapi keduanya sudah memiliki data-data mengenai jangkauan wilayah kerja masing-masing dan tinggal menunggu kesiapan secara organisasi untuk melaksanakan PP.

Kasus Nogosari Nogosari adalah nama sebuah desa di Kecamatan Rambipuji Kab. Jember. NV. Tabak Maatschappij Goemelar, sebuah perusahaan perkebunan tembakau, mendapatkan erfpacht dari Pemerintah Belanda untuk mengelola lahan – yang kemudian menjadi Desa Nogosari — yang berlaku mulai 1891 ini dan berakhir 1966. Tetapi dalam perjalanannya, hak erfpacht ini mengalami “pindah tangan” sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 1914, 1916 dan 1927. Seperti perusahaan partikelir lainnya yang harus meninggalkan Indonesia karena Hindia Belanda kalah perang melawan Jepang, NV. Handels Vereniging Amsterdam (pengelola terakhir perkebunan di Nogosari) juga meninggalkan tanah ini, dan kemudian perkebunan ini menjadi kebun tak bertuan . Seperti tempat-tempat lain, petani, bekas buruh dan masyarakat sekitar juga menggarap perkebunan di Nogosari ini selama bertahun-tahun. Berdasarkan UU No. 86/1958 yang diikuti dengan Peraturan Pemerintah No. 19/1959 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda, lahan perkebunan di Nogosari kemudian menjadi hak guna usaha (HGU) PTP. XXIV-XXV (Persero) — saat ini PTPN. XI. PTPN. XI lebih dikenal masyarakat dengan Pabrik Gula (PG) Semboro. Keberadaan PG. Semboro ini kemudian digugat oleh warga Nogosari, karena masyarakat mengganggap bahwa leluhur mereka telah menempati tanah 121 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


tersebut sejak tahun 1916. Leluhur masyarakat Nogosari lah yang telah membuka hutan dan mengusahakan tanah ini menjadi permukiman. Menanggapi gugatan masyarakat ini maka PTPN XI (PG. Semboro) melakukan upaya dialog dengan warga Nogosari yang diadakan pada tanggal 15 Mei 2000, dan bertempat di aula PG. Semboro. Dialog ini dihadiri wakil PG. Semboro, wakil Desa Nogosari, wakil BPN Jember, Kades Nogosari, Kapolsek Rambipuji dan Tanggul, serta instansi terkait. Dalam pertemuan ini didapat beberapa kesepakatan, antara lain: a. Kedua belah pihak yang bersengketa tidak akan melakukan cara-cara penyelesaian yang bertentangan dengan hukum. b. Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) akan melakukan penyuluhan kepada masyarakat. c. Kedua belah pihak yang bersengketa akan mencabut plang yang telah dipasang dengan disaksikan oleh instansi terkait. Kemudian, menindak lanjuti dialog ini segera dilakukan penelitian lapangan dan administrasi oleh BPN. Penelitian ini menghasil kan data bahwa tidak ditemukan tanah bekas hak milik adat ( yasan) kepunyaan warga di lokasi tersebut. Hal ini termaktub dalam surat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Jember tanggal 12-02-2004 No. 570.135.34-297. Tetapi terdapat saran untuk penyelesaian perselisihan tersebut dibawa ke lembaga peradilan. Hal ini ditujukan kepada penggugat (masyarakat) dengan syarat membawa bukti kuat yang menyebutkan bahwa tanah Nogosari memang milik rakyat. Untuk menambah media penyelesaian konflik agraria di Nogosari, maka maka petani Nogosari yang terlibat konflik ini berinisiatif menyelengarakan PP. PP telah diselenggarakan di Desa Nogosari pada tahun 2005. Masyarakat mengukur kembali tempat-tempat peninggalan leluhur yang sekarang telah masuk ke dalam wilayah kelola PG. Semboro. Masyarakat menapaki kembali tempattempat penting yang dulunya dibuka dan dimanfaatkan oleh leluhur masyarakat Nogosari. Hasil PP ini digunakan untuk lebih menguatkan organisasi dan meningkatkan keyakinan bahwa masyarakat mampu dan bisa me ngelola tanah tersebut untuk kemandirian mereka. Habisnya HGU PG. Semboro pada tahun 2007 membuat masyarakat Nogosari kian bersemangat untuk bisa memperoleh hak kelola atas tanah Nogosari. OTL Nogosari telah melakukan reklaiming kedua atas tanah yang dise ngketakan pada bulan Nopember 2008. OTL Nogosari menggunakan hasil PP untuk menertibkan organisasi, menjaga semangat perjuangan, dan mempersiapkan kegiatan reklaiming yang kedua – reklaiming tahap pertama kurang berhasil. KOMPAK dan Rengganis tertarik menyelenggarakan PP karena melihat manfaat PP yang telah diselenggarakan di Curahnongko dan di Nogosari. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 122


ANCANGAN KE DEPAN PENYELESAIAN KONFLIK DAN SENGKETA AGRARIA DI JEMBER Sebagai daerah yang dari awalnya dibangun untuk “melayani” perkembangan perkebunan, maka Jember memang akan sangat rentan terhadap kesenjangan penguasaan sumber-sumber agraria. Luas Kabupaten Jember adalah 264.968 hektar; terbagi dalam 247 desa dan kelurahan, serta 31 kecamatan. Dari keseluruhan luas Jember tersebut, kurang lebih, 189.709,3 hektar atau 71,6 % merupakan tanah-tanah negara yang terbagi-bagi menjadi berbagai areal perkebunan besar dan berbagai tipologi hutan negara (hutan produksi, hutan produksi terbatas, cagar alam, taman nasional, hutan lindung, suaka margasatwa) 32 . Berbagai tanah negara ini dikelola oleh beberapa pihak: berbagai perusahaan perkebunan besar, Perhutani (mengelola hutan produksi dan hutan lindung), atau langsung dikelola oleh pemerintah (suaka margasatwa, cagar alam dan taman nasional). Jadi, di Jember, wilayah yang diduduki dan dikelola masyarakat kurang dari 30% dari total luas wilayah. Jelas hal ini merupakan ketimpangan yang sangat mencolok dan rentan terjadinya konflikkonflik agraria. Fakta-fakta lapangan menunjukkan bahwa kantong-kantong kemiskinan di Jember justru berada di sekitar tanah-tanah negara itu. Berbagai sengketa agraria yang terjadi di Jember merupakan puncak dari upaya sistematis menancapkan idiologi modernisme yang telah dilakukan sejak pertengahan abad XIX. Sejak tanah Jenggawah diubah Birnie menjadi kebun tembakau - pengelo-laannya mengguna-kan teknik moderen - maka sejak saat itu daerah pedalaman bagian timur Pulau Jawa ini telah menga-lami apa yang disebut Kuntowidjoyo seba-gai “monetisasi desa” (penyusupan uang ke desa) 33. Akibat yang terlihat dari peruba-han ini ialah tanah-tanah serta hasil kerja mereka dapat “dinilai” dan “diganti” dengan alat tukar yang baru, yaitu uang. Hal inilah kemudian mengubah semua tata produksi di desa maupun hubungan antar manusia serta alam sekitarnya. Penyusupan uang ke desa selain menggoncang tatanan penguasaan kuno, juga membawa sistem penguasaan model baru. Penguasaan model baru ini berlandasan pola pikir modern yang penuh perhitungan, jelas, terorganisasi, terukur, memiliki tujuan, menguasai dan lain-lain. Sehingga tidak heran, sistem penguasaan model baru secepat kilat menguasai sumber daya agraria di nusantara. Kemiskinan yang membelit sebagian besar perdesaan ternyata merupakan kemiskinan struktural, tak terkecuali di Jember. Dengan jumlah petani gurem dan jumlah buruh tani yang besar maka sangat sulit mengharapkan berbagai perdesaan ini bisa lepas dari jerat kemiskinan, baik generasi sekarang maupun para generasi yang akan datang. Kondisi riil kemiskinan di perdesaan ini – dengan aksesibilitas ekonomi yang sangat terbatas – akan diwariskan kemudian 123 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


ke anak cucunya nanti. Dengan kondisinya yang miskin, para kepala keluarga akan sulit memberikan pendidikan layak kepada anaknya, memberikan fasilitas tempat tinggal yang layak, memberikan fasilitas kesehatan yang layak, serta hampir tidak mungkin memberikan dorongan untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Menjadi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri (TKI), saat ini, merupakan alternatif perbaikan nasib bagi keluarga-keluarga petani di perdesaan, termasuk di Kabupaten Jember. Tetapi ini merupakan fenomena sementara dan semu. Tidak masuk akal mengharapkan perbaikan nasib penduduk perdesaan hanya dari “devisa” para TKI. Ini juga merupakan bentuk kebijakan pemerintah yang “lepas tanggung jawab” terhadap nasib dan kesejahteraan warganya. Rendahnya tingkat pendidikan para TKI menyebabkan rendahnya jenis pekerjaan yang bisa didapatkan oleh para TKI. Pemerintah ternyata juga setengah hati mendukung keberadaan para TKI ini. Sangat banyak pelanggaran-pelanggaran dan perlakuan semena-mena dialami oleh para TKI, baik dalam proses pemberangkatan maupun setelah bekerja di negeri orang. Paparan di atas semuanya terbaca suram serta begitu gelap guna mengarungi masa depan dan hal ini tidak bisa dipungkiri oleh penulis. Pertanyaannya kemudian: “masih adakah cahaya terang yang menanti di ujung sana?”. Setelah diskusi mendalam serta terus setia menemani petani yang sedang mengalami sengketa agraria di Jember selama 10 tahun, LSDP SD INPERS sadar bahwa untuk mengakhiri kekalahan struktural ini ialah langsung memotong inti masalahnya. Masalahnya, mesin kolonialisme dan kapitalisme justru menyerang langsung di pusatnya, yaitu desa. Kekuatan ini mampu mengkerdilkan dan menghancurkan semua tenaga kreatif desa. Tatanan produksi — dalam arti luas — telah diubah besar-besaran dengan hanya menonjolkan sisi ekonomi saja dan meninggalkan sisi sosial (hubungan antara sesama manusia dan alam lingkungannya). Oleh sebab itu, tatanan produksi saat ini harus diubah drastis dan segera dibuat peta jalan (road map) guna menghidupkan lagi kemandirian di desa. “Peta jalan” itu oleh LSDP SD INPERS disebut Reforma Pedesaan yaitu di mana tata kuasa, tata guna lahan dan tata produksi dibentuk ulang dengan peran serta masyarakat yang lebih besar dan terorganisasi. Hadirnya wacana PP — yang semoga bisa menjadi gerakan yang sesungguhnya — adalah sebuah ikhtiar dalam menata kembali penggunaan serta penguasan sumber-sumber agraria yang selama ini hanya milik sekelompok kecil masyarakat saja. Harapan untuk bisa menghadirkan ilmu pemetaan yang lebih memihak kepada mayoritas petani ini sejalan dengan keinginan mewujudkan Reforma Pedesaan. Melalui peta yang didesain, dirancang dan digunakan oleh masyarakat akan makin mendekatkan kepada tujuan akhir yaitu rakyat mandiri menentukan nasibnya dan kuasa dalam penggunaan sumber daya agraria. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 124


Menata ulang kepemilikan ruang serta sumber daya agraria yang lain harus menjadi tujuan penyelesaian konflik dan sengketa agraria di seluruh Indonesia, termasuk juga di Jember. Bila selama ini pengaturan pemanfaatan ruang lebih berpihak kepada kepentingan kapital dan keuntungan yang sebesarbesarnya, maka ke depan semangat pemerataan dan kemakmuran bersama menjadi kata kuncinya. Kemudian, untuk menjaga agar tidak tumbuh lagi kelas penindas baru di kalangan masyarakat, organisasi rakyat yang kuat, disiplin dan mandiri sangat diperlukan. Mengapa sangat dibutuhkan organisasi rakyat yang kuat, hal ini berkaca dari temuan lapang di Curahnongko. Setelah selesai melakukan PP, diketahui ada beberapa orang anggota SIPER yang ternyata merupakan tuan tanah. Sempat terjadi tarik ulur kepentingan antara para “tuan tanah” lama ini dengan anggota SIPER yang lain. Akhirnya melalui persetujuan organisasi disepakati bahwa tidak ada anggota yang secara pribadi boleh memiliki tanah di atas 2 hektar. Pembagian tanah adalah mendahulukan janda, tuna kisma, korban penggusuran 1966, dan buruh tani. Masing-masing disepakati akan mendapat 1/8 hektar (1.250 m 2). Model ini memang masih menyisakan sekian kekurangan. Tetapi keinginan untuk membangun masyarakat dengan bingkai sosial yang lebih kuat sudah tertera dengan jelas. Kenyataan yang ditemui di Curahnongko akhir-akhir ini, untuk urusan makan “sehari tiga kali” sudah bukan halangan lagi. Dari penggunaan lahan reklaiming, berbagai komoditi pertanian seperti kacang tanah, tembakau, singkong, pisang dan kelapa merupakan sumber pendapatan yang mencukupi kebutuhan sehari-hari bahkan beberapa di antara mereka sudah mampu menabung. Kemudian dalam pandangan LSDP SD INPERS masih ada satu hal lagi yang perlu ditata ulang. Yaitu harus dicapai satu pengertian baru terutama dalam pemahaman agama mengenai kemiskinan. Penekanannya adalah bahwa kemiskinan bukan semuanya “bikinan langit”. Hal tersebut menjadi penting untuk didedahkan. Sebab, seringkali masyarakat umum, teru-tama masyarakat Jember yang dikenal cukup agamis, menyandarkan bahwa kemiskinan, kebodohan dan kekalahan nasib mereka 125 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


sudah kepastian yang “di atas dan sudah takdir”. Takdir seringkali dianggap sebagai hal yang “gaib” dan “tak boleh disentuh”. Bahkan ada ungkapan yang lazim dipakai: “biarlah miskindi sini (bumi), tapi kita nanti pasti punya istana di sana (sorga)”. Celakanya lagi, kekuasaan model kuno juga bermain-main di wilayah pemahaman ini. Salah satunya adalah dengan menggunakan simbolsimbol yang terus mengkaitkan dengan kekuatan adi kodrati 13. Padahal melalui tafsir-tafsir terkini (baca = sesuai konteks) serta pembacaan yang lebih kritis, diketahui bahwa kemiskinan ternyata lebih banyak merupakan bikinan manusia. Dan ini berarti, kemiskinan, dalam arti fisik, bisa dirubah, dikurangi bahkan kemungkinan dapat dihilangkan. Tidak ada yang benar-benar baru di bawah langit. Sebagai sebuah peta jalan penyelesaian konflik dan sengketa agraria, Reforma Pedesaan memang masih terlihat “kasar”, “kurang tertata rapi”,”masih melangit” dan sepertinya belum ada langkah teknis praktis. Oleh karena itu peran serta berbagai pihak terutama yang berkecimpung dalam kegiatan pengorganisasian masyarakat dan pemerhati penataan ruang yang lebih berkeadilan sangat dibutuhkan. Sebab seperti keyakinan penulis, mustahil ada sistem yang benar-benar tertutup dari pengaruh luar. Yang jamak terjadi ialah sebuah sistem saling dipengaruhi mempengaruhi dan berjalan bolak-balik antara keduanya. Demikianlah sebagai sebuah usulan, Reforma Pedesaan sangat layak dan sangat terbuka untuk perbaikan dalam mengawal perubahan.

PENUTUP Penyelesaian berbagai sengketa agraria, khususnya di Kabupaten Jember, merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pada masa mendatang. PP diharapkan bisa menjadi pendukung penyelesaian berbagai sengketa agraria ini. Tulisan ini memiliki beberapa benang merah yang perlu disimak. Pertama, sampai hari ini nasib kaum petani dan mayoritas rakyat pada umumnya tidak pernah lepas sebagai bagian terbesar dan terbawah piramida korban kemanusiaan. Kaum petani serta mayoritas rakyat pada umunya selalu saja diperas keringat dan darahnya untuk kemakmuran golongan di atasnya 34. Apakah kemiskinan sebuah takdir Tuhan atau hanya buah konspirasi busuk bermacam kepentingan lapisan elit? Perlu ketekunan yang panjang untuk menyingkap misteri kemiskinan. Kedua, semangat kolonialisme yang berkait kelindan dengan sistem kapitalisme telah menghancurkan semua daya kreatif desa dan perdesaan. Sejalan dengan hal ini - serta adanya suatu alasan kuat, pandangan filosofis, ideologis, ditambah dengan hasil dialektika mendalam dengan petani - kami (LSDP SD INPERS) berniat mengembalikan fungsi dan meninggikan harkat desa sebagai penghela sejarah. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 126


Ketiga, PP harus berubah dan berwujud menjadi gerakan, serta tak berhenti hanya sebagai wacana saja. PP bisa menjadi ikhtiar dalam menata ketimpangan penggunaan serta penguasan sumber-sumber agraria yang tidak adil selama ini. Peranan PP dalam penyelesaian konflik dan sengketa agraria di Jember adalah sebagai “penjaga� agar semangat perjuangan tersebut terus menyala. Dengan memiliki kemampuan mengenali kembali lingkungannya, menceritakan serta dapat menerakan diatas peta, perjuangan saudara-saudara petani dimanapun, termasuk di Jember, bisa lebih maju. Keempat, Tidaklah mudah mewujudkan benar-benar harapan petani terhadap PP. Pada umumnya, harapan petani terhadap PP sangatlah tinggi dalam penyelesaian sengketa agraria. Akan tetapi, kenyataannya, dukungan PP terhadap penyelesaian sengketa agraria tidaklah sebesar harapan petani. PP harus terus dicoba dalam berbagai penyelesaian sengketa agraria, sehingga bisa menjadi sumber legitimasi baru dalam penyelesaian sengketa agraria. Kelima, OTL yang kuat, mandiri, tertib administrasi dan dilengkapi kemampuan teknis adalah langkah penting guna mewujudkan cita-cita membentuk tata ruang dan kehidupan yang lebih berkeadilan. Pengurus Serikat Petani Perjuangan (SIPER) Curahnongko divonis bebas tak bersyarat pada tahun 2007 karena anggota SIPER bisa menunjukkan kartu tanda anggota (KTA) dan pembukuan keuangan yang tertib. Kelompok Petani Perjuangan Ketajek (KOMPAK) mampu menaikkan nilai tawar dengan pihak-pihak luar disebabkan karena rapinya catatan surat keluar masuk lembaga. Kesabaran yang revolusioner sangat diperlukan untuk mewujudkan penyelesaian sengketa agraria. Dengan terus memperbaharui diri, menguatkan basis, memperkuat dan memperluas jejaring, serta tidak kenal lelah belajar hal-hal baru adalah sikap revolusioner yang sebenarnya. PP bisa menjadi salah satu media untuk menumbuhkan sikap-sikap tersebut. Dengan mengusung semangat membangun penataan ruang yang berkeadilan, PP dapat menjadi panduan dalam menyelesaikan sengketa dan konflik keruangan di negeri ini. Sebuah harapan yang melambung memang, tetapi bukan sebuah hal yang tidak mungkin.

127 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


PETA UNTUK KAMPUNG BARU: KASUS KAMPUNG CILADU-CIAWI - LEBAK Oleh: Bagus Priatna

KAMPUNG CILADU-CIAWI DAN PROBLEMATIKANYA Kampung Ciladu-Ciawi — salah satu dusun di Desa Mekarsari – termasuk wilayah Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Komunitas ini merupakan masyarakat adat yang secara geografis berada di dalam kawasan sekumpulan perbukitan dan gunung-gunung yang lebih populer disebut Kawasan Gunung Halimun. Kawasan ini merupakan salah satu hutan hujan tropis yang kaya akan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati. Desa Mekarsari berjarak 15 Km dari pusat ibukota Kecamatan Cibeber; sedangkan dari pusat ibukota kabupaten (Rangkas Bitung) berjarak 160 Km. Pencapaian dari pusat kec amatan sekitar 1 jam dengan menggunakan kendaraan pribadi atau 1,5 jam menggunakan kendaraan umum; meskipun angkutan umum ini terbatas hanya dari jam 06.00 sampai 13.00 WIB. Dari pusat kota kabupaten ataupun sebaliknya dapat ditempuh dengan lama perjalanan 5-7 jam, dengan menggunakan kendaraan umum melalui pesisir Kecamatan Bayah. Luas wilayah Desa Mekarsari sekitar 3.697,9 ha, serta mempunyai jumlah penduduk 3.075 jiwa 35. Penduduknya tersebar di delapan kampung (Ciladu, Ciawi, Lebak Larang, Ciburial, Tipar, Cibeber, Gelarsari, Babakan Cangkuang). Kampung Ciladu berjumlah penduduk 543 jiwa, yang terdiri atas 257 orang laki-laki dan 286 perempuan; Kampung Ciawi berpenduduk 276 jiwa (169 jiwa perempuan dan 107 orang laki-laki). Secara umum mata pencaharian pokok masyarakat Desa Mekarsari 36 adalah bertani 37 dengan sistem pertanian tradisional. Selain Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 128


bertani di sawah dan huma (ladang), kebanyakan juga mengelola lahan kebun yang biasanya ditanami pohon kayu, pohon buah-buahan, pisang, kopi, cengkeh, palawija, dan singkong. Luas kebun campuran yang dikelola masyarakat adalah 1.865 hektar. Luas kawasan hutan yang ada di Desa Mekarsari adalah 318,70 ha. Hasil kebun sangat penting perannya dalam membantu keuangan masyarakat Desa Mekarsari, karena hasil yang diperoleh dari kebun dapat dijual. Sumberdaya hutan di sekitar Desa Mekarsari cukup kaya. Akan tetapi masyarakat yang sudah menetap secara turun temurun di tempat itu hanya dapat menonton pemanfaatan sumberdaya hutan di sekitarnya. Masyarakat Desa Mekarsari memiliki pengetahuan turun-temurun dalam memanfaatkan sumberdaya alam di sekitarnya. Seperti misalnya hutan yang berada di hulu/sirah cai (areal sekitar mata air) selalu dipertahankan keutuhannya oleh masyarakat; areal ini penting untuk sumber air bersih dan air untuk mengairi sawah masyarakat. Akan tetapi telah puluhan tahun berbagai sirah cai yang penting bagi masyarakat Desa Mekarsari ini telah diklaim oleh Perum Perhutani — perusahaan negara yang diberikan kuasa oleh pemerintah mengelola kawasan hutan di seluruh Pulau Jawa — sebagai bagian dari hutan produksi; yang pada saatnya bisa dipanen hasil kayunya. Masyarakat Mekarsari menganggap bahwa Perum Perhutani terlalu mengutamakan kepentingan produksi kehutanan, dan kurang memperhatikan aspek ekologi yang penting untuk masyarakat sekitar hutan. Masyarakat Mekarsari telah merasakan berkurangnya sumber air akibat kerusakan hutan. Pada tahun 1999 terjadi bencana longsor di Kampung CiladuCiawi/Ciladu-Babakan (Blok Pasir Jirak) yang dihuni oleh 8 keluarga. Masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat Mekarsari adalah mulai terbatasnya lahan pertanian. Masyarakat Mekarsari telah diijinkan oleh Perum Perhutani untuk menggarap sebagian kawasan hutan. “Pajak garapan” yang mencapai 25% dari hasil panen sangat dirasakan memberatkan masyarakat. “Pajak” ini juga tidak jelas apakah benar-benar merupakan pungutan resmi Perum Perhutani atau hanya sekedar improvisasi petugas lapangan Perum Perhutani. Ancaman longsor masih akan terjadi di Mekarsari pada masa mendatang. Selain itu akibat semakin meningkatnya jumlah penduduk, lahan permukiman dirasakan semakin kurang oleh masyarakat Mekarsari, khususnya di Kampung Ciladu-Ciawi. Masyarakat berinisiatif mengajukan permohonan kepada Perum Perhutani agar dialokasikan lahan untuk permukiman baru. Administratur Perum Perhutani KPH Banten merespon permohonan masyarakat ini dengan ungkapan, “.....harus melalui prosedur hukum ... Di bagian permukiman mana yang terkena bencana dan lokasi bagian mana yang akan dimohon jadi permukiman”. Respon Perum Perhutani ini membingungkan masyarakat, karena tidak terbayangkan bagaimana akan memenuhi “prosedur hukum” itu. Tetapi 129 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


respon ini juga berarti positf; pada prinsipnya masyarakat bisa mendapatkan alokasi lahan untuk permukiman baru. Masyarakat kemudian mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan hasil dialog dengan Perum Perhutani itu. Bersamaan dengan persoalan permukiman yang dihadapi masyarakat Kampung Ciladu-Ciawi ini, secara kebetulan Rimbawan Muda Indonesia (RMI) – sebuah LSM yang berkantor di Bogor – sedang berkegiatan di Desa Mekarsari. RMI mulai berkegiatan di Mekarsari sekitar tahun 1999. Fokus kegiatan RMI adalah keprihatinan terhadap kerusakan sumberdaya hutan di sekitar Kawasan Gunung Halimun. Pada awalnya RMI berkegiatan di Kampung Cihaneut; kemudian juga dilakukan di Kampung Ciburial. Masyarakat dan RMI melakukan berbagai kegiatan diskusi tentang kerusakan sumberdaya hutan di sekitar Mekarsari. Salah satu temuannya adalah telah dirasakan oleh masyarakat hilangnya sumber mata air yang berada di Blok Pasir Jirak, Blok Pasir Kikiping, dan Blok Gunung Cangkuang; semua sumber mata air ini berada di kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani. Persoalan kebutuhan lahan permukiman di Kampung Ciladu-Ciawi merupakan hal baru dan sebetulnya tidak terduga untuk RMI. RMI, kemudian, mulai aktif berkegiatan di Kampung Ciladu-Ciawi. Mulai tumbuh kedekatan dan saling percaya antara aktivis RMI dengan masyarakat Kampung Ciladu-Ciawi. Aktivis RMI aktif dalam mendapatkan informasi dan menggalang berbagai diskusi mencari solusi kebutuhan tanah untuk permukiman. Masyarakat pun cukup aktif membangun dan memelihara hubungan baru ini. Para tokoh masyarakat dan kalangan anak muda menyambut baik berbagai diskusi bersama yang diselenggarakan. Kekeringan mata air dan mengatasi bencana longsor merupakan tema yang sering menjadi bahan diskusi. Aktivis RMI mencoba menginformasikan tentang pentingnya PP untuk mendokumentasikan dan menggambarkan wilayah hidup masyarakat, serta rencana yang akan dilakukan pada masa mendatang.

MENGENALKAN PEMETAAN PARTISIPATIF Masyarakat Ciladu-Ciawi merasakan pentingnya segera merespon hasil dialog dengan Perum Perhutani perihal areal baru untuk permukiman. Masyarakat memerlukan media untuk menunjukkan kondisi kampung mereka, pada bagian mana yang telah longsor, serta areal mana yang akan dimohonkan untuk permukiman. Peta dirasakan perlu untuk menggambarkan kondisi Kampung Ciladu-Ciawi. Karena itu memasukkan ide dan pentingnya PP kepada masyarakat Ciladu-Ciawi, yang memang membutuhkan media ini, menjadi masuk akal. Alasan yang paling bisa dipahami oleh masyarakat dengan PP ini adalah ketika ingin menceritakan kondisi kampung dan apa yang akan direncanakan maka peta merupakan salah satu alat yang mampu akan menjelaskan. Tetapi untuk Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 130


mengajak keseluruhan masyarakat Ciladu-Ciawi memerlukan liku-liku yang cukup panjang. Perkembangan pertemuan kampung selanjutnya sudah lebih mengarah pada tema-tema PP; meskipun masih belum diterima oleh semua pihak yang ada di masyarakat. Masyarakat Kampung Ciladu relatif menyambut positif ide tentang PP, karena masyarakat Kampung Ciladu terkena dampak langsung hilangnya mata air yang berada di kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani. Salah satu yang dirasakan adalah keringnya lahan sawah, sebagai lahan yang berfungsi utama menopang sumber kehidupan masyarakat. Mereka segera ingin menun-jukkan dan menggambarkan berba gai mata air yang ada di Mekarsari dan mata air mana saja yang telah kering akibat rusaknya hutan. Masyarakat Kampung Ciladu-Babakan, yang terkena dampak tanah longsor dan sekaligus kekeringan mata air, pada awalnya tidak terlalu memberikan respon positif terhadap gagasan-gagasan PP. Masyarakat Ciladu Babakan belum percaya sepenuhnya kepada RMI – yang memperkenalkan ide PP. Memang keterlibatan masyarakat Kampung Ciladu Babakan dalam beberapa pertemuan tidak seintensif masyarakat Kampung Ciladu-Ciawi. Akan tetapi kesadaran tentang ancaman longsor pada masa mendatang yang menimpa kampung Ciladu Babakan sedikit membuka pemahaman pentingnya untuk berkumpul dengan kampung lainnya. Tetapi, bagaimanapun, tidaklah mudah menumbuhkan kepercayaan masyarakat Ciladu Babakan. Ada ungkapan masyarakat berikut, “sing kahade bisi dibawa ka pulau kosong ” yang bermakna belum jelas akan kemana arahnya. Tidak semua masyarakat yang tinggal di Kampung Ciawi merespon gagasan PP dengan positif. Tetapi muncul individu-individu penggiat masyarakat di Kampung Ciawi yang aktif berdiskusi dengan masyarakat dari Kampung Ciladu yang relatif lebih positif terhadap ide PP. Diskusi-diskusi ini mampu memberikan gambaran tentang bencana yang menimpa di sekitar mereka, meskipun ancaman longsor di Kampung Ciawi tidak sebesar seperti yang terjadi di Kampung Babakan Ciladu dan Kampung Ciladu. Penolakan paling keras terhadap ide PP datang dari masyarakat Kampun g Cibeber. Penolakan bukan saja terhadap gagasan PP, akan tetapi juga terhadap upaya RMI masuk ke Kampung Cibeber. Kampung ini merupakan satu-satunya kampung di Desa Mekarsari yang bukan warga kasepuhan . Ungkapan masyarakat di Desa Mekarsari terhadap kondisi ini, “ lain turunan incu-putu kasepuhan” atau “teu ngolotkeun ka kasepuhan” , artinya di luar keturunan adat. Dalam berkegiatan di Mekarsari, RMI berusaha konsisten melalui pendekatan berdasarkan pemahaman dan kelembagaan adat atau kasepuhan (CiptagelarSirnaresmi). 131 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Pemerintah Desa Mekarsari pada waktu itu belum menunjukan respon yang pasti. PP belum menjadi agenda penting di tingkat pemerintah desa, karena dianggap tidak terkait dengan isu-isu pembangunan yang bers ifat fisik, seperti umumnya program atau proyek pembangunan yang selama ini sering diintroduksikan oleh pihak pemerintah daerah atau pusat. Meskipun situasinya seperti ini, masyarakat Kampung Ciladu-Ciawi tetap menjaga komunikasi dengan pemerintah desa. P ara penggiat masyarakat di Kampung Ciladu-Ciawi selalu menginformasikan perkembangan kampung kepada pemerintah desa. Munculnya penolakan dari masyarakat Cibeber tidak menjadi penghalang bagi masyarakat Ciladu-Ciawi untuk menyelenggarakan PP. Apalagi para sesepuh kasepuhan sangat mendukung ide ini. Penolakan masyarakat Cibeber bukan menjadi ancaman utama. Penolakan masyarakat Cibeber juga bisa dimaklumi, karena masyarakat yang bermukim di Kampung Cibeber tidak terancam oleh bencana alam longsor yang menimpa sekitar Kampung Ciladu-Ciawi.

KAMPUNG CILADU-CIAWI MENYELENGGARAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF Dukungan para pihak di tingkat lokal terhadap ide PP sangat beragam. Meskipun demikian masyarakat Kampung Ciladu-Ciawi memutuskan untuk tetap menyelenggarakan PP dengan alasan, “ wilayah urang di cicingan ku urang lamun teu diurus ku urang rek ku saha deui ” (kalau tidak diurus dan diusahakan oleh kita siapa lagi yang akan mengurus). Ungkapan ini merupakan persepsi atas pemahaman yang berkembang di masyarakat terhadap pemetaan partisipatif; di samping alasan awal desakan alokasi pemukiman baru akibat longsor. Proses diskusi dan dialog masyarakat Ciladu-Ciawi dengan berbagai pihak ini – didukung RMI — dimulai pada akhir tahun 2000; bermuara pada kepastian penyelenggaraan PP pada awal tahun 2002. Jadi selama satu tahun terjadi proses penjajakan dan membangun kepercayaan, serta mendiskusikan wacana sumberdaya alam sekitar hutan dikaitkan dengan PP. PP merupakan aktivitas yang menggabungkan aspek filosofis keruangan dan kemampuan teknis penggunaan teknis-teknis kartografi modern. Tahapan PP di Kampung Ciladu-Ciawi adalah : a) penggalian pengetahuan keruangan setempat; b) pelatihan teknis PP; c) survey lapangan; d) penggambaran peta; dan e) verifikasi dan pengesahan peta. Pengembangan substansi filosofis keruangan yang dilengkapi dengan penggalian pengetahuan-pengetahuan lokal tentang keruangan masih terus berlangsung sampai saat ini; dan tidak cukup hanya pada saat penyelenggaraan PP saja.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 132


Pada awal penyelenggaraan PP di Kampung Ciladu-Ciawi dilakukan penggalian pemahaman masyarakat terhadap pengetahuan-pengetahuan keruangan di sekitarnya; di dalam proses ini termasuk juga menggali peta mental ( mental map), yang nantinya akan menjadi dasar dalam tahapan PP selanjutnya. Seluruh aspek kehidupan masyarakat selalu berkaitan dengan ruang di sekitarnya. Adat kasepuhan yang dianut oleh masyarakat setempat – baik kelembagaannya, berbagai aturan tentang adat, bahasa, maupun praktiknya – juga selalu berkaitan dengan ruang di sekitarnya. Karena itu pengetahuan keruangan masyarakat setempat sangatlah penting dalam penyelenggaraan PP di tempat itu. Jadi adat tentu saja bukan hanya soal ritual-ritual upacara adat, tetapi juga berhubungan dengan wilayah hidup, cara bercocok tanam, dan lain-lain. Tantangan yang muncul dalam proses pengenalan teknis PP, yang merupakan kelanjutan dari proses penggalian pengetahuan-pengetahuan keruangan setempat, adalah bagaimana membumikan beberapa istilah teknis kartografi dasar – yang cukup rumit, penuh hitun gan-hitungan, serta banyak menggunakan bahasa asing – menjadi lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Berikutnya adalah pemahaman teknis tentang penggunaan berbagai peralatan pemetaan seperti GPS dan kompas. Selain penggunaan alat, juga dilatihkan tentang bagaimana melakukan pencatatan dan mengorganisir data lapangan. Fase terakhir pelatihan teknis pemetaan adalah menentukan tim dan pembagian kerja; dibentuk 4 kelompok dengan rute lapangan yang berbeda. Setiap kelompok dibagi sesuai perannya masing-masing (ada yang nyacar membuka jalan; ada pengambil titik koordinat dengan GPS; ada pembawa kompas; ada yang penunjuk jalan; ada yang membawa perbekalan; setiap kelompok didampingi oleh satu orang aktivis RMI). Setiap kelompok terdiri dari sekitar 15 orang. Survey lapangan berlangsung selama tiga hari, yakni pada tanggal 22 – 24 Agustus 2002. Aktivis RMI dalam proses survey lapangan ini tidak terlalu banyak turun tangan, karena masyarakat Ciladu-Ciawi sendiri telah mampu melakukan survey lapangan — menggunakan peralatan pemetaan dan melakukan pencatatan — dengan baik. Batas wilayah adat adalah salah satu tema dari peta partisipatif yang akan dibuat. Nuansa kebutuhan akan lahan sangat terlihat (kebutuhan untuk pemukiman baru), termasuk mengetahui wilayah garapan masyarakat yang ada di dalam kawasan kelola PT Perum Perhutani. Pertimbangan lain yang muncul berdasarkan pengetahuan masyarakat meliputi lahan calon pemukian harus memenuhi beberapa kriteria. Kriteria itu antara lain adalah bahwa lahan itu sebaiknya relatif datar, dekat dengan sumber air, mampu manampung atau mengakomodaskan fasilitas adat ( bale pertemuan), mendekati jalan yang banyak dilewati oleh masyarakat. Dengan beberapa pertimbangan tersebut diputuskan

133 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


melalui pertemuan kampung bahwa wilayah yang akan dipetakan meliputi wilayah Kampung Ciladu-Ciawi, yang dalam administrasi desa termasuk dalam satu rukun kampung (RK). Kata “partisipatif� memiliki makna yang beragam. Partisipasi dan dukungan masyarakat dalam penyelenggaraan pemetaan di Ciladu-Ciawi cukup besar. Masyarakat Ciladu-Ciawi, dengan dipimpin oleh beberapa tokoh masyarakat, berbagi peran dalam penyelenggaraan PP. Diskusi-diskusi persiapan penyelenggaraan pemetaan cukup baik berlangsung. Kelembagaan kasepuhan dan kokolot lembur cukup aktif mendukung proses pemetaan, khususnya dalam mendiskusikan batas-batas wilayah adat kasepuhan yang kemudian juga termasuk dalam target survey lapangan. Masyarakat secara bersama-sama menanggung kebutuhan logistik selama penyelenggaraan PP; masyarakat mengumpulkan iuran berupa beras untuk logistik pemetaan. Kaum perempuan setiap hari menyiapkan bekal makanan dan minuman untuk tim yang melakukan survey lapangan. Kaum laki-laki dan para pemuda ikut aktif dalam proses survey lapangan; para bapak aktif menunjukkan batas-batas wilayah adat selama survey berlangsung; para pemuda bertanggung jawab secara teknis dalam proses pemetaan. Selain itu juga dibentuk tim khusus yang akan menindak lanjuti hasil pemetaan, yakni melakukan dialog-dialog dan negosiasi dengan pihak lain. Fase berikutnya dari proses PP adalah proses penggambaran peta. Sebelum proses penggambaran peta dimulai, data lapangan terlebih dahulu harus dirapikan sehingga aka n memudahkan pemindahan titik-titik koordinat hasil survey ke dalam peta. Masyarakat Ciladu-Ciawi pada awalnya tidak yakin apakah mereka akan bisa menggambarkan hasil surveynya ke dalam selembar peta, seperti dalam ungkapan berikut : “ can kapikiran nanaon eta mah, teuing bisa teuing henteu ngan boga sumanget� (tidak terpikirkan bagaimana ini jadinya, entah bisa atau tidak, yang penting harus semangat). Proses menggambar peta Kampung Ciladu-Ciawi dilakukan di kantor RMI di Bogor, karena keterbatasan fasilitas di kampung. Empat orang pemuda dan satu tokoh masyarakat berangkat ke Bogor, mewakili masyarakat Ciladu-Ciawi dalam menggambar peta. Transfer pengetahuan tentang bagaimana menggambar peta merupakan hal yang menarik. Lima orang warga yang mewakili Kampung Ciladu-Ciawi ini semuanya petani, yang hampir-hampir tidak pernah menggunakan berbagai peralatan menggambar peta (kertas kalkir, pulpen rapidograf, dll.). Selain itu berbagai perhitungan dan rumus tentang koordinat dan kartografi tidak pernah dipelajari dan digunakan oleh petani. Tetapi kelima warga ini sangat bersemangat mempelajari berbagai teori dasar geografi dan kartografi.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 134


Materi dasar tentang geografi dan kartografi, yang dipelajari dalam proses menggambar peta, antara lain tentang pengertian koordinat, skala, teknik menggambar peta, jenis-jenis peta, legenda, peta referensi, bagaimana menggambarkan hasil survey ke dalam peta, dan lain-lain. Ternyata para wakil masyarakat ini – meskipun profesi sehari-harinya petani – mampu menyerap berbagai teori yang diajarkan serta mampu menggambar sendiri peta Kampung Ciladu-Ciawi. Para wakil masyarakat Ciladu-Ciawi ini, setelah peta kampungnya selesai digambarkan, merasa bangga; ternyata petani pun mampu membuat peta kampungnya sendiri. Perasaan bangga ini sangat penting untuk masyarakat yang menyelenggarakan PP. Dengan menggambar sendiri peta kampungnya, secara teknis, akan memperdalam pemahaman isi peta yang digambar itu, sehingga pada masa mendatang kelima orang wakil masyarakat Ciladu-Ciawi ini bisa mewakili dalam menceritakan berbagai substansi dan proses pemetaan Kampung Ciladu-Ciawi.

PENYEPAKATAN PETA CILADU-CIAWI: JALAN YANG BERLIKU Peta yang telah digambar kemudian dikembalikan dan diverifikasi oleh masyarakat Ciladu-Ciawi. Masyarakat cukup teliti dalam melihat ulang peta hasil survey yang telah digambar, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan batas-batas kampung. Kampung Ciladu-Ciawi ternyata memiliki luas 274 Ha. Bentang alam Kampung Ciladu-Ciawi meliputi permukiman, lahan pertanian (sawah, kebun, huma, sebaran mata air), sebaran 17 sungai. Kampung CiladuCiawi dengan kampung yang lain dibatasi oleh batas-batas alam; Sungai Cidikit yang membatasi bagian barat kampung, Sungai Cimusung yang membatasi bagian utara kampung, Sungai Cibuluh yang membatasi bagian selatan kampung, sedangkan bagian timur dibatasi oleh bukit-bukit atau dalam bahasa setempat lazim disebut dengan pasir (Malang, Cadas Bodas, Cangkuang, Jirak, Kikipeng, Citample, Ki Asrip, Emad). Masyarakat merasa bangga telah berhasil menyelesaikan gambar peta kampungnya, karena pada awalnya menggambar peta ini dianggap tidak masuk akal dan sangat berat. Fase selanjutnya adalah kembali mengumpulkan para pihak di kampung untuk menyepakati hasil PP. Proses mengundang para pihak ini sangat menarik. Yang diundang dalam penyepakatan peta bukan hanya pihakpihak yang menyetujui PP, tetapi juga pihak-pihak yang mungkin menentang proses PP; Perum Perhutani yang wilayah kerjanya merasa dilangkahi; Pemerintah Desa Mekarsari yang masih belum jelas sikapnya; perwakilan masyarakat selain Kampung Ciladu-Ciawi yang belum tentu memiliki pandangan yang sama tentang PP.

135 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Pertemuan pertama penyepakatan peta partisipatif Cidu-Ciawi gagal, karena para pihak di luar Kampung Ciladu-Ciawi kebanyakan tidak hadir. Kemudian pertemuan kedua dijadwalkan dan dipersiapkan dengan lebih baik. Undangan tidak hanya sekedar “disebar�, tetapi juga diikuti dengan proses negosiasi; menerangkan dengan sejelas-jelasnya maksud dari PP dan agenda yang akan dibicarakan dalam penyepakatan peta. Para undangan ini, dengan proses penyampaian undangan beserta negosiasi, relatif lebih memahami agenda apa yang akan dibicarakan dalam pertemuan. Para undangan ini sebagian besar hadir dalam pertemuan penyepakatan peta partisipatif Kampung Ciladu-Ciawi. Akhirnya peta partisipatif kampung Ciladu-Ciawi berhasil disepakati oleh para pihak pada pertengahan tahun 2002, bertempat di rumah Pak Muhani (Kepala Rukun Kampung). Wujud kesepakatan ini adalah penandatanganan peta partisipatif Kampung Ciladu-Ciawi oleh para pihak.

Cukup banyak para pihak yang menandatangani peta partisipatif Kampung Ciladu-Ciawi. 75 orang warga Kampung Ciladu -Ciawi menandatangani peta ini, yang terdiri dari 56 orang laki-laki dan 19 orang perempuan. Aparat Desa Mekarsari juga menandatangani peta ini, yang meliputi: kepala desa, ketua BPD, polisi desa, dan anggota LKMD. Petugas lapangan Perum Perhutani – atau lebih sering disebut mantri hutan – ikut hadir dan menandatangani peta ini. Masyarakat wakil kampung sebelah yang ikut hadir dan menandatangani peta ini adalah wakil-wakil dari Cihaneut, Ciburial, Lebak Larang. Tidak mau kalah, wakil-wakil dari kokolot lembur Kasepuhan Ciptagelar dan Kasepuhan Sirnaresmi ikut juga menandatangani. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 136


MEMBENTUK KELOMPOK PELINDUNG KAWASAN MATA AIR. Hasil PP menunjukkan bahwa di Kampung Ciladu-Ciawi terdapat 25 buah mata cai atau hulu cai (mata air) yang ke mudian bermuara di 17 anak sungai. Masyarakat menyadari tentang pentingnya keutuhan mata cai ini agar kebutuhan air masyarakat Ciladu-Ciawi, baik untuk pengairan sawah maupun kebutuhan sehari-hari, bisa terus terjaga. Perlunya menjaga keutuhan mata cai ini menjadi pokok diskusi yang hangat di Ciladu-Ciawi. Akan tetapi mewujudkan ide yang bagus ini menjadi suatu aksi nyata melindungi berbagai mata cai itu ternyata tidak mudah. Berbagai diskusi informal telah dilakukan untuk membahas persoalan keutuhan mata cai. Para aktivis RMI berupaya sekuat tenaga memfasilitasi proses ini. Tetapi, sekali lagi, proses ini tidaklah mudah; membangun kepercayaan masyarakat kepada lembaga RMI tidaklah mudah, karena para aktivis dan lembaga RMI pada mulanya masih tetap dianggap “orang asing� bagi masyarakat Ciladu-Ciawi. Proses membangun kepercayaan ini perlu waktu. Para anak muda Kampung Ciladu-Ciawi merupakan kelompok yang paling nyata berupaya melindungi mata cai di kampungnya. Limabelas orang pemuda CiladuCiawi membentuk Kelompok Pelindung Kawasan Mata air. Kelompok anak muda ini, secara swadaya, mengumpulkan berbagai bibit tanaman untuk ditanam di kawasan mata cai yang dianggap rawan longsor. Jenis-jenis tanamannya merupakan kombinasi antara berbagai tanaman yang punya fungsi lindung dan tidak dimanfaatkan kayunya ( karoya, picung, dadap), serta dengan berbagai tanaman buah-buahan, seperti kadu (Durian) dan Nangka. Model kombinasi penanaman seperti ini biasa disebut dengan kebun campuran atau kebon dudukuhan. Sebenarnya kelompok pemuda ini menginginkan agar ada aturan khusus tentang perlindungan berbagai mata cai di Ciladu-Ciawi, misalnya dalam bentuk peraturan desa. Tetapi sampai saat ini keinginan para anak muda agar ada aturan tentang perlindungan kawasan mata cai belumlah terwujud. Pemerindah Desa Mekarsari kelihatannya belum menganggap penting adanya aturan yang melindungi kawasan mata cai. Perlu waktu dan pendekatan khusus kepada aparat desa agar keinginan kelompok anak muda ini terwujud. Selain itu, agenda mewujudkan aturan ini terkalahkan dengan desakan untuk segera mendapatkan areal untuk permukiman baru.

137 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


WATES-WATES KAMPUNG CILADU-CIAWI Masyarakat Ciladu-Ciawi, sebagaimana masyarakat lainnya, memiliki mental map (peta mental) tentang wilayah hidup di sekitarnya. Pengetahuan tentang batas-batas wilayah hidup adalah mental map yang diwariskan secara turuntemurun dari nenek moyang. Batas-batas kampung ini biasa disebut wates atau bates. Wates-wates Kampung Ciladu-Ciawi – yang diwariskan nenek moyang – dengan kampung yang lain cukup jelas. Para kokolot lembur (sesepuh kampung) sangat memahami wates-wates ini. Wates menjadi landasan dalam penentuan penggunaan lahan masyarakat. Penggunaan lahan di Ciladu-Ciawi meliputi permukiman (lembur), sawah, kebun, hutan lindung ( leuweung titipan/dungus ), leuweung tutupan . Wates-wates ini berwujud batas-batas alam seperti bukit (pasir) dan sungai (wahangan/walungan). Sayangnya sebagian lahan di Ciladu Ciawi yang telah dikembangkan penggunaannya oleh masyarakat telah diklaim menjadi hutan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani. Perum Perhutani, khususnya Unit III Jawa Barat-Banten, mulai mengelola kawasan hutan yang dianggap hutan negara di sekitar Mekarsari adalah sekitar tahun 1970-an. Perum Perhutani Unit III mendasarkan wilayah kelolanya pada peta penunjukan kawasan hutan jaman Pemerintahan Kolonial Belanda tahun 1924-1932. Berdasarkan peta Belanda ini maka konstruksi batas – berupa pemasangan patok-patok sebagai tanda batas wilayah kelola — dilakukan pada tahun 1980-an. Tetapi proses pemasangan patok ini tanpa melibatkan masyarakat. Sedangkan masyarakat jauh sebelumnya telah menjadikan tempat itu wilayah hidup, memiliki konsep batas wilayah melalui tutuguan yang terbuat dari tumpukan tanah dan menanam pohon hanjuang. Akan tetapi memang mengkomunikasikan konsep masyarakat Ciladu-Ciawi tentang wilayah hidup kepada Perum Perhutani sangatlah sulit. Perum Perhutani hanya bisa menerima bukti tertulis, yakni peta peninggalan Belanda itu. Bukti yang hanya berupa mental map, meskipun telah digambarkan dalam selembar peta, sangat sulit dipahami oleh Perum Perhutani. Berdasarkan PP kampung Ciladu-Ciawi, dari total luas wilayah Ciladu-Ciawi yang luasnya 274 hektar maka yang diklaim menjadi wilayah kerja Perum Perhutani adalah 109,6 hektar atau 40% dari total luas keseluruhan wilayah. Luas garapan masyarakat Ciladu-Ciawi yang berupa hak milik hanya 164,4 hektar. Tanah seluas ini, apalagi sebagian besar adalah lahan tadah hujan, jelas tidak cukup untuk menghidupi warga Ciladu-Ciawi yang berjumlah 819 jiwa.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 138


PETA DAN NEGOSIASI PERMUKIMAN BARU Pasca PP, berbagai diskusi informal tentang apa saja isi dari peta yang telah dibuat terus berlangsung. Di tengah berbagai diskusi informal ini – pada akhir tahun 2002 – terulang lagi bencana tanah longsor di Kampung Ciladu-Ciawi. Untung saja tidak ada korban jiwa pada saat longsor terjadi. Kerugian masyarakat cukup besar. 10 buah lumbung padi ( leuit) dan beserta isinya hancur oleh longsor. Sementara itu lahan yang dialokasikan untuk permukiman baru seluas 2,5 hektar – tercantum di dalam peta – yang masuk dalam wilayah kelola Perum Perhutani belum jelas benar boleh dan tidaknya ditempati oleh masyarakat. Situasi ini membuat masyarakat Kampung Ciawi-Ciladu tergugah kembali untuk menegosiasikan kembali status lahan itu kepada para pihak. Salah satu pihak yang didesak oleh masyarakat adalah RMI; dituntut untuk mencari strategi mengatasi longsor yang terus berulang dan mengancam masyarakat. Tanggapan Perum Perhutani terhadap permohonan masyarakat tentang cadangan areal permukiman baru belum jelas benar. Karena itu beberapa wakil masyarakat Ciladu-Ciawi, dengan didampingi oleh aktivis RMI, melakukan dialog kembali dengan Perum Perhutani Unit III KPH Banten di Serang. Berbagai argumen tentang pentingnya lokasi areal permukiman baru – peta partisipatif, kronologis kejadian longsor, berbagai hasil diskusi di masyarakat, dan lain-lain – dijadikan bahan dialog oleh para wakil masyarakat ini. Peta hasil PP ternyata menjadi alat yang cukup efektif untuk melakukan negosiasi. Dengan menggunakan peta, Perum Perhutani menjadi lebih mudah memahami kondisi lapangan dan pentingnya areal permukiman baru itu untuk masyarakat. Di dalam peta partisipatif Kampung Ciladu-Ciawi telah dirinci dengan cukup jelas areal-areal yang rawan longsor dan mengancam permukiman Kampung Ciladu-Ciawi. Dengan peta itu juga ditunjukkan tempat-tempat yang mengalami longsor, baik yang sekarang maupun pada kejadian sebelumnya. Di samping itu juga ditunjukkan – dengan peta partisipatif – berbagai mata air yang berada di dalam wilayah kelola Perum Perhutani yang penting untuk masyarakat CiladuCiawi tetapi kondisinya mulai mengering. Meskipun hasil dialog ini masih belum memberikan kepastian jawaban, akan tetapi Perum Perhutani Unit III KPH Banten siap hadir jika diundang oleh masyarakat dalam rangka pertemuan pencadangan lokasi permukiman baru untuk masyarakat Ciladu-Ciawi. Para wakil masyarakat Ciladu-Ciawi juga berkunjung dan berdiskusi dengan Bagian Hukum Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Lebak. Kabag Hukum Pemda Lebak cukup mendukung upaya masyarakat Ciladu-Ciawi memperoleh lahan permukiman baru. “ Kami akan mencoba dialog dengan pihak Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten KPH Banten, termasuk untuk mencari 139 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


pengganti lahan yang dialokasikan untuk permukiman masyarakat Ciladu-Ciawi ”, demikian kata beliau. Pemda Lebak juga siap hadir ke lapangan apabila diperlukan. Hasil berbagai kunjungan dan negosiasi da ri para pihak ini disampaikan kembali kepada masyarakat Ciladu-Ciawi. Mendengar hasil positif berbagai kunjungan ini membuat semangat masyarakat Ciladu-Ciawi bertambah. Pertemuan antar masyarakat digelar kembali, dengan dihadiri oleh pihak kokolot lembur dan Pemerintah Desa Mekarsari (diwakili oleh Polisi Desa). Pertemuan ini memunculkan agenda baru, yakni kesepakatan membuka lahan untuk permukiman di Blok Pasir Kikipeng seluas 2,5 Ha. Agenda lainnya adalah menentukan peta penataan areal permukiman baru yang berbasis adat leluhur. Berbagai model dan fasilitas permukiman baru yang direncanakan benar-benar mencerminkan model kampung ala adat setempat. Pada hari yang telah ditentukan, masyarakat Ciladu-Ciawi mulai membuka lokasi permukiman baru secara simbolis, yang dalam bahasa setempat disebut ngalelemah pikeun pilembureun . Kegiatan ini mengundang Pemerintah Desa Mekarsari, polisi desa, wakil LKMD, wakil kasepuhan, kokolot lembur , petugas lapangan Perhutani, dan RMI. Sekitar satu bulan kemudian, Perum Perhutani membuat reaksi yang tidak terduga; Perum Perhutani akan memperkarakan tindakan masyarakat Ciladu-Ciawi yang mulai “membuka” lahan permukiman – yang terletak dalam kawasan pangkuan Perum Perhutani – ke Kepolisian Sektor Cikotok. Reaksi ini tidak diduga oleh masyarkat, karena pada saat kunjungan dan negosiasi di kantor Perum Perhutani KPH Banten pihak Perum Perhutani memberikan respon positif terhadap rencana masyarakat. Bukannya membuat surut semangat masyarakat, respon Perum Perhutani yang negatif ini malahan membuat masyarakat bertekad bulat untuk membuat pertemuan besar yang mengundang semua pihak; dengan agenda utama mencari kejelasan status lahan yang akan menjadi permukiman baru. Masyarakat Ciladu-Ciawi mempersiapkan benar pertemuan besar yang akan dilakukan. Pihak-pihak yang memiliki wewenang penting, baik mendukung maupun kurang mendukung, kepentingan masyarakat tentang permukiman baru diundang. Mereka itu antara lain Kabag Hukum Pemda Kabupaten Lebak, Camat Kecamatan Cibeber, Pemerintah Desa Mekarsari, Perhutani KPH Banten dan petugas lapangannya , kasepuhan. Masing-masing pihak ini sebelumnya pernah diajak diskusi tentang persoalan Kampung Ciladu-Ciawi. Tetapi para pihak ini belum pernah bertemu secara bersama-sama, melihat kondisi lapangan dan bersama-sama membicarakan masalah masyarakat Ciladu-Ciawi. Pagelaran pertemuan pun dilakukan di lahan baru yang telah dibuka dan telah mulai ditempati; telah berdiri bangunan rumah 2 unit. Hampir seluruh masyarakat di Kampung Ciladu-Ciawi, baik kelompok perempuan maupun lakiJaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 140


laki serta anak-anak, dengan tekun mengikuti seluruh diskusi dan dialog selama pertemuan itu.berkumpul, untuk mendengarkan hasil dialog antara individu penggiat yang mewakili masyarakat. Dalam dialog itu wakil masyarakat menceritakan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat Ciladu-Ciawi serta mempertegas keinginannya untuk membuat permukiman baru di tempat yang telah direncanakan. Semua pihak berwenang yang hadir akhinya menyepakati apa yang diusulkan oleh masyarakat Kampung Ciladu-Ciawi. Di hadapan masyarakat Ciladu-Ciawi, Camat Kecamatan Cibeber – sebagai juru bicara yang berwenang – mengumumkan bahwa masyarakat diperbolehkan menempati kampung baru tersebut. Pada pertemuan ini, Perum Perhutani membuat langkah yang mengeju tkan lagi. Perum Perhutani memberikan tambahan areal permukiman baru seluas satu hektar. Jadi total luas permukiman baru masyarakat Ciladu-Ciawi adalah 3,5 hektar. Luas tambahan tersebut agar permukiman baru tersebut tidak enclave di kawasan kelola Perhutani, tetapi langsung bersambungan dan menyatu dengan lahan yang sudah menjadi milik masyarakat di Kampung Ciladu-Ciawi. Proses pengukuran dan penataan batas lahan permukiman baru ini dilakukan bersamasama antara masyarakat dan petugas lapangan Perum Pe rhutani. Perum Perhutani baru menyadari bahwa dalam proses penataan batas sangatlah penting melibatkan masyarakat setempat. Yang luput dari pengawalan masyarakat dan para aktivis RMI dalam proses mendapatkan lahan baru untuk permukiman adalah bentuk kesepakatan tertulis dari proses kesepakatan ini. Yang telah ada adalah baru pernyataan lisan dari pihak yang berwenang (Perum Perhutani dan Pemda Lebak) yang diwakili oleh Camat Kecamatan Cibeber. Masyarakat harus terus mengupayakan aturan tertulis tentang areal permukiman baru itu. Perum Perhutani dan Pemda Kabupaten Lebak berjanji untuk menuntaskan status lahan permukiman dalam dialog multipihak di lokasi permukiman itu.

KAMPUNG BARU ITU KAMPUNG GELARSARI Hasil PP yang ditindak lanjuti dengan penataan bagian areal untuk permukiman baru seluas 3,5 Ha telah diserahkan kepada masyarakat. Masyarakat pun mulai menempati areal itu dengan mendirikan bangunan rumah dengan konstruksi panggung. Dua unit rumah milik dua keluarga dari Kampung Ciladu Babakan telah dibangun sesuai dengan panataan ruang pemukiman yang sebelumnya telah disusun. Pemberian nama kampung menjadi berarti sangat penting bagi masyarakat di kawasan Banten Kidul. Sebelum ditempati areal permukiman yang nantinya akan menjadi kampung baru terlebih dahulu akan diberi nama oleh pihak 141 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


kasepuhan (Ciptagelar-Sirnaresmi). Kasepuhan memberi nama areal permukiman baru ini Kampung Gelarsari. Dalam bahasa Sunda, “ gelar” berarti awal berdiri atau terlahir, sedangkan “ sari” bermakna rasa, atau bisa diartikan bahwa kampung itu terlahir diawali dengan kodisi pahit yang dialami masyarakat, yang kemudian menjadi terwujud sesuai dengan keinginan masyarakat. Perkembangan berikutnya, empat unit rumah telah dibangun di lokasi permukiman baru. Fa silitas untuk pertemuan adat juga telah dibangun, yakni balai pertemuan (ajeng). Ajeng sangat penting fungsinya untuk masyarakat, karena selain untuk tempat musyawarah masyarakat, sekaligus juga digunakan untuk menyimpan gamelan peninggalan kokolot kampung jaman dahulu; kadangkadang dipergunakan untuk tempat hiburan/pertunjukan .

TELAH EFEKTIF KAH PEMANFAATAN PETA KAMPUNG CILADU CIAWI ? Masyarakat Kampung Ciladu-Ciawi telah merasakan cukup efektifnya hasil PP untuk memperkuat posisi masyarakat, khususnya ketika berdialog dan bernegosiasi tentang kebutuhan permukiman baru. Tetapi di luar soal kebutuhan permukiman baru, ternyata tidaklah mudah mengajak masyarakat memanfaatkan peta hasil PP dalam hal-hal yang lain. Apakah memang kebutuhan peta itu hanya untuk mengurus konflik saja? Apakah peta itu kemudian hanya disimpan dan menjadi kenang-kenangan saja? Kebingungan masyarakat untuk memanfaatkan peta lebih jauh ini, mungkin, juga diakibatkan oleh kurangnya transfer pengetahuan tentang pemanfaatan peta dari para aktivis RMI. Harus diakui bahwa memang tidak ada aktivis RMI yang secara reguler mendampingi masyarakat Ciladu Ciawi pasca keberhasilan dalam negosiasi. Peta Kampung Ciladu-Ciawi itu sebenarnya sangat strategis apabila dipergunakan untuk membuat perencanaan kampung dengan lebih detail. Tetapi untuk mewujudkan ini memerlukan energi khusus yang tidak ringan. Apalagi persoalan permukiman baru masih belum selesai benar.

UPAYA KELOMPOK PEREMPUAN Hasil PP menunjukkan bahwa ada lahan-lahan kosong yang bisa dimanfaatkan untuk menambah penghasilan rumah tangga. Kelompok perempuan di CiladuCiawi mencoba memanfaatkan peluang ini untuk menambah penghasilan rumah tangga. Kelompok perempuan ini mencoba membuat kebun percontohan palawija di lokasi permukiman baru. Tetapi luas kebun percontohan ini masih kecil, yakni hanya seluas 50 m2. Komoditi pada lahan percobaan ini adalah jagung, jahe, pisang, dan singkong. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 142


Kelompok perempuan mulai menc oba membuat makanan olahan dari bahan singkong, yakni keripik singkong. Tetapi pengelolaan kebun percobaan yang diurus oleh kelompok perempuan ini belum memenuhi harapan. Tanaman palawija yang ditanam tidak menghasilkan secara optimal. Kekurangberhasil an kebun percobaan ini menjadi bahan introspeksi untuk kelompok perempuan ini dan lembaga pendamping (RMI). Dalam mengelola kebun percontohan, teknis budidaya tanaman harus menjadi perhatian penting. Proses dan mekanisme manajerial kelompok harus dibuat agar lebih efektif.

PERKEMBANGAN KAMPUNG GELARSARI Sampai akhir tahun 2006 baru 12 unit rumah yang dibangun di lokasi permukiman baru. Padahal areal permukiman ini direncanakan, paling tidak, untuk 50 rumah. Hambatan utama yang dilontarkan oleh masyarakat perihal lambatnya proses perpindahan masyarakat dari kampung lama ke kampung baru adalah masalah biaya pindah dan membuat rumah baru yang mahal. Hal lain yang menjadi pertimbangan masyarakat adalah bahwa Kampung Gelarsari bukan hanya tempat untuk masyarakat yang kena longsor, tetapi juga untuk permukiman bagi generasi muda yang akan datang. Ternyata perencanaan pemanfaatan lahan permukiman yang dilakukan bersamasama di antara masyarakat – dengan memanfaatkan hasil PP – tidak dihargai sebagaimana mestinya. Proses pembuatan rumah di Kampung Gelarsari cenderung sembarangan saja, serta kurang menghargai hasil perencanaan bersama. Sebenarnya ini agak mengherankan. Alasan kenapa kesepakatan itu tidak dipergunakan juga kurang jelas. Sebagian masyarakat Ciladu-Ciawi menganggap bahwa Kampung Gelarsari belum nyaman. Ada yang menganggap bahwa tata cara adat tertentu – dalam membuka kampung – terlewatkan atau belum diselenggarakan. Salah satu acara yang belum diselenggarakan adalat ngaruwat lembur yang dianggap akan memberikan keselamatan apabila ketidaknyamanan terasa pada penghuni kampung. Tetapi alasan mengapa belum dilakukan ngaruwat lembur di Kampung Gelarsari sampai saat ini belum terjawab, karena alasan tersebut merupakan etika yang hanya bisa diketahui oleh kasepuhan dan kokolot lembur.

PENUTUP Sebelum berkegiatan di suatu wilayah, penjajakan kebutuhan – fisik geografis, sosial, ekonomi – sangatlah penting. Pemilihan PP sebagai alat bantu resolusi konflik atau dalam pengelolaan sumberdaya alam pun juga memerlukan penjajakan kebutuhan yang mendalam. Pilihan penggunaan PP harus diiringi kesadaran masyarakat yang cukup tentang konsekuensi penggunaan metode 143 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


ini, baik akibat positif maupun akibat negatifnya. Pemahaman yang kurang terhadap metode ini akan menyebabkan masyarakat terjebak hanya membicarakan “ sisi teknis� metode ini, atau bahkan kemudian peta yang dihasilkan hanya sekedar disimpan saja serta tidak dipergunakan lebih lanjut. Masyarakat pada umumnya sangat terbiasa dengan budaya tutur (lisan). Pengetahuan lisan masyarakat tentang ruang hidup di sekitarnya ini sangat penting dalam pemetaan partisipatif. Pada hakikatnya pemetaan partisipatif adalah menerjemahkan berbagai pengetahuan ker uangan masyarakat tentang ruang hidup di sekitarnya – sebagian besar lisan – ke dalam gambar kartografi modern. Partisipasi masyarakat dalam PP memiliki makna yang luas. Semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam PP maka akan semakin baik proses PP itu. Penyelenggaraan PP meliputi berbagai hal: logistik, musyawarah, teknis, penggambaran, pengesahan, sampai tindak lanjut. Semakin tinggi tingkat keterlibatan masyarakat dalam berbagai sektor ini, maka akan semakin bai k proses PP yang diselenggarakan. Peran perempuan sering kurang diperhatikan dalam proses PP, padahal pengetahuan perempuan tentang ruang hidup di sekitarnya tidaklah kalah dengan pengetahuan laki-laki; karena itu sangat penting meningkatkan peran partisipasi perempuan dalam penyelenggaraan PP. Yang paling penting adalah masyarakat memimpin proses PP di kampungnya sendiri, serta mampu menggunakannya untuk berbagai kepentingan masyarakat, baik untuk negosiasi, resolusi konflik, maupun perencanaan pemanfaatan sumberdaya. Sangatlah baik apabila masyarakat sendiri mampu memanfaatkan peta yang telah dihasilkan dalam proses PP, baik untuk resolusi konflik maupun untuk berbagai keperluan masyarakat yang lain. Akan tetapi, seringkali, kapasitas masyarakat untuk memanfaatkan peta ini tidaklah cukup. Proses pendampingan lebih lanjut, seringkali, masih diperlukan dalam penggunaan peta partisipatif untuk tahap-tahap berikutnya.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 144


PEMETAAN PARTISIPATIF : SEBAGAI UPAYA MASYARAKAT MELINDUNGI DAN MENGELOLA SUMBERDAYA ALAM PESISIR LAUT DI PULAU PAHAWANG Oleh : Rizani dan M. Syahril Karim

SEJARAH PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM PESISIR LAUT DI DESA PULAU PAHAWANG Kondisi Geografis Desa Pulau Pahawang berada di Kawasan Teluk Lampung, secara administrasi berada di Kecamatan Punduh Pedada, Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung dengan luas wilayah berdasarkan PP tahun 1999 adalah 1.046 hektar. Secara geografis berada pada 5°40, 2’ - 5°43,2’ LS dan 105°12,2’ - 105°15,2’BT. Wilayah Desa Pulau Pahawang merupakan kawasan pesisir, terdiri dari laut, pantai, rawa, daratan dan daerah perbukitan, serta termasuk bagian pulau-pulau kecil yang ada di kawasan Teluk Lampung. Desa ini terbagi menjadi 6 dusun yaitu, Suak Buah, Penggetahan, Jaralangan, Kalangan, Cukuhnyai dan Dusun Pahawang.

Sejarah Terbentuknya Desa Berdasarkan cerita masyarakat setempat, nama Desa Pulau Pahawang berasal dari nama seorang nakhkoda kapal yang bernama Pak Hawang dan Mandara yang terdampar dan pada akhirnya menetap di pulau tersebut. Keberadaan Pak Hawang yang menetap di pulau, akhirnya menjadikan pulau tersebut dikenal dengan nama Pahawang. Perkembangan selanjutnya (tidak diketahui dengan pasti tahunnya), beberapa orang datang dan tinggal di Desa Pulau Pahawang. Mereka berasal dari berbagai 145 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


tempat. Dari wilayah Banten - Jawa Barat 38, mereka adalah Jahari menetap di dusun Penggetahan dan Ruslan yang menetap di Dusun Cukuh Nyai Jaralangan. Haji Dul Malik dari Putih Doh, Kecamatan Cukuh Balak, Kabupaten Tanggamus – Lampung menetap di Dusun Pahawang. Kedatangan mereka bertujuan membuka lahan untuk berkebun. Desa Pulau Pahawang saat itu berstatus kampung dan masuk dalam wilayah Marga Punduh. Oleh karena itu secara adat istiadat warga Pulau Pahawang mengikuti aturan Marga Punduh. Untuk urusan pemerintahan dipimpin oleh Mandara dan urusan keagamaan dipimpin oleh H. Dul Malik. Pada tahun 1980 secara definitif Pulau Pahawang ditetapkan menjadi desa.

Penduduk Sebagian besar masyarakat yang tinggal di Desa Pulau Pahawang adalah orang yang berasal dari suku Sunda (khususnya dari wilayah Banten) dan sebagian kecil adalah berasal dari Lampung Pesisir, Bugis, Padang dan Jawa. Jumlah penduduk berdasarkan sensus penduduk tahun 2007 adalah 1665 jiwa atau sekitar 427 kepala keluarga 39. Sebagian besar bekerja sebagai nelayan dan sebagian kecil bekerja petani kebun, pedagang, buruh tani, karyawan keramba jaring apung dan pegawai negeri/guru. Matapencaharian Penduduk Desa Pulau Pahawang Tahun 2007 No.

Jenis Matapencaharian

Jumlah

%

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Nelayan Petani Kebun Karyawan Keramba Jaring Apung Buruh Tani Pedagang Pegawai Negeri/Guru Honorer

313 270 187 94 28 2 8

34,70 29,93 20,73 10,42 3,10 0,22 0,9

Total Penduduk yang Bekerja

902

100%

Sumber: Profile Desa Pulau Pahawang tahun 2007

Sumberdaya Alam Yang Dimiliki Sebagai sebuah wilayah kepulauan, Desa Pulau Pahawang memiliki sumberdaya alam yang sangat beragam, baik yang terdapat di daratan maupun yang terdapat di pesisir dan laut. Sumberdaya alam yang ada dipesisir laut berupa hutan mangrove (masyarakat setempat menyebut dengan istilah hutan Bakau), rawa, gobah 40, gosong-gosong 41, terumbu karang, pantai, padang lamun 42 dan potensi perikanan laut. Sementara di wilayah daratan sumberdaya alam yang ada berupa kebun yang ditanami kelapa, kakau, tangkil, cengkeh dan jenis buahbuahan (duku, durian, jambu, rambutan, dan mangga) Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 146


Desa ini memiliki sumber daya alam pesisir laut yang lengkap di banding kepulauan lain yang ada di Provinsi Lampung. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan hutan mangrove seluas 141,94 hektar dengan berbagai jenis tumbuhan bakau, tingi dan nipah. Gosong-gosong yang tersebar di sekitar perairan Pulau Pahawang mencapai 60 buah. Terumbu karang tersebar dan ada disekeliling pulau mencapai 80,52 hektar. Berbagai jenis ikan laut seperti kepiting, simba, ikan tongkol, ikan selar merupakan jenis hewan laut yang ada dan hidup di perairan Pulau Pahawang . Keberadaan sumberdaya alam terutama yang ada di pesisir laut memberikan dampak yang baik bagi kehidupan nelayan tradisional yang ada di Desa Pulau Pahawang. Rebon yang tersedia di sekitar perairan Pulau Pahawang dapat didapatkan dengan mudah. Rebon digunakan sebagai umpan untuk memancing ikan. Selain itu, nelayan dapat memasang alat tangkap ikan – yaitu bubu, pancing rawe dan jaring rampus tanpa harus khawatir terbawa oleh Jaring Trawl (pukat harimau). Dengan alat tangkap tradisional tersebut, nelayan di Desa Pulau Pahawang mendapatkan hasil tangkapan yang cukup, begitu juga jika mereka memancing ikan disekitar g osong-gosong yang tersebar di perairan, hasil tangkapannya tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, melainkan hasilnya dapat untuk mengisi tabungan untuk kebutuhan tidak terduga (seperti untuk biaya kesehatan atau perawatan jika ada anggota keluarga yang sakit). Berdasarkan hasil PP 43 yang dilakukan pada tahun 1999, sumberdaya yang dimiliki Desa Pahawang adalah sebagai berikut Sumberdaya Alam di Desa Pulau Pahawang No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Sumberdaya

Luas (ha)

Gobah Pasir Padang Lamun/Jerangau Rawa-rawa Terumbu Karang Daratan

21,73 ha 35,50 ha 111,52 ha 70,37 ha 80,51 ha 824,28 ha

Sumber : Hasil Pemetaan Partisipatif tahun 1999

Keberadaan potensi sumberdaya alam pesisir dan laut yang melimpah menyebabkan berbagai cara dilakukan untuk memanfaatkannya, termasuk caracara pemanfaatan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak/bom, penggunaan potasium sianida, dan penangkapan ikan dengan menggunakan jaring trawl.

147 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Pemboman ikan, yang biasanya dilakukan oleh orang dari luar Pulau Pahawang, berlangsung pada siang hari. Si pelaku mencari lokasi yang banyak ikannya. Setelah mendapat lokasi yang dicari ia akan mengamati apakah banyak nelayan di sekitarnya. Jadi kegiatan ini dilakukan dengan cara kucing-kucingan. Semua jenis ikan besar dan kecil akan mati. Yang lebih memprihatinkan lagi, terumbu karang tempat hidup dan perkembangbiakan ikan pun ikut hancur. Pihak-pihak yang berkompeten (atau memiliki kewenangan) untuk menangani masalah ini, TNI Angkatan Laut (TNI AL), tidak mampu atau tidak berdaya untuk melarangnya. Bila ada laporan dari nelayan atau masyarakat, TNI AL tidak bisa menindaklanjuti karena keterbatasan alat operasional untuk menangani masalah ini. Dalam beberapa kasus mereka berhasil menangkap pelaku pemboman, namun kasusnya akan segera selesai hanya dalam waktu hitungan hari atau bahkan jam, dengan proses yang tidak diketahui oleh masyarakat (tersembunyi). Setelah itu proses pemeboman berlangsung kembali. Potasium sianida adalah jenis obat bius yang sering dipergunakan dalam penangkapan udang besar (lobster), udang kecil (rebon) dan ikan-ikan karang baik ikan hias maupun ikank konsumsi seperti ikankerapu, ikan baronang, dan lain-lain. Zat kimia tersebut dilarutkan dalam air, kemudian dimasukan ke dalam botol plastik seperti botol kecap plastik atau botol spiritus atau alat semprot khusus. Penangkapan dilakukan dengan cara menyelam menggunakan masker atau kompresor. Si penyelam akan menyemprotkan ikan-ikan atau udang yang ditemui disela-sela terumbu karang dan digosong-gosong. Biasanya ikan-ikan atau udang-udang ini akan mabuk dan sehingga mudah ditangkap. Penggunaan bahan kimia ini, selain berdampak berkurangnya ikan-ikan karang, juga akan merusak dan mematikan terumbu karang serta berdampak juga bagi kesehatan si pengguna. Jaring trawl, sama halnya dengan pemboman ikan, banyak beroperasi di sekitar Pulau Pahawang dengan pelakunya orang luar, terutama dari Teluk Betung. Hanya orang bermodal besar yang memiliki jaring trawl ini karena kapalnya menggunakan mesin diesel mobil. Semua jenis ikan bukan hanya yang besar saja yang terangkut, tetapi ikan kecil (yang seharusnya ditangkap pada saat sudah menjadi ikan besar) pun terjaring oleh trawl. Selain ikan, terumbu karang pun ikut terangkat oleh jaring trawl. Akibat kegiatan-kegiatan merusak ini kondisi terumbu karang di sekitar Desa Pulau Pahawang sangat memprihatinkan. Berdasarkan Peta Keadaan Terumbu Karang tahun 1999 kondisi terumbu karang yang baik hanya tinggal 15% saja. Kerusakan terumbu karang disebabkan oleh penggunaan bahan peledak/bom untuk mengambil ikan di sekitar perairan laut Pulau Pahawang, yaitu penggunaan bius ikan potasium sianida , juga disebabkan karena terjadi pengambilan karang yang dipergunakan oleh penduduk untuk bahan membuat Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 148


pondasi dan dinding rumah, serta pengoperasian jaring trawl. Rusaknya terumbu karang kemudian mengancam kondisi ekositem laut yang juga turut rusak. Fungsi terumbu karang terutama adalah sebagai pendukung ekosistem laut, yaitu sebagai tempat ikan berlindung dan berkembang biak, pengatur perimbangan suhu air laut, dan sebagai pelindung kawasan pantai dari gelombang air laut. Di sepanjang pesisir Teluk Lampung dan Padang Cermin telah banyak sekali konversi hutan baku menjadi lahan tambak udang. Dampak negatif yang nyatanyata telah dirasakan masyarakat di pesisir pantai timur yang perkampungannya hancur dan menyatu dengan air laut, akibat abrasi air laut. Selain itu juga limbah dari tambak di sepanjang pesisir ini berdampak pada pencemaran air laut. Inilah salah satu kekhawatiran masyarakat Pulau Pahawang bercermin pada daerah yang telah terjadi. Konversi hutan bakau menjadi lahan tambak telah teridentifikasi berdampak pula terhadap penyebaran wabah nyamuk demam berdarah atau malaria, karena habitatnya yang banyak terdapat di hutan bakau habis dibabat. Kerusakan hutan mangrove yang disebabkan oleh adanya penebangan kayu bakau juga terjadi untuk tujuan sebagai bahan dasar pembangunan rumah dan pembuatan arang oleh penduduk setempat. Namun menurut penduduk setempat, kerusakan hutan mangrove dimulai secara besar-besaran dengan kedatangan perusahaan asing yang berasal dari Taiwan pada tahun 1975. Perusahaan tersebut melakukan penebangan secara besar-besaran. Penebangan secara besar-besaran pada saat itu telah mengganggu ekosistem laut di Desa Pulau Pahawang. Kegiatan itu juga telah menyebabkan abrasi pantai. Selain itu juga, habitat satwa (monyet dan kera) rusak dan satwa-satwa tersebut harus mencari habitat lain untuk mendapatkan makanan, dan akibatnya mereka “menyerang� tanaman di kebun-kebun petani setempat. Hal yang paling mengganggu masyarakat Desa Pulau Pahawang, yang mayoritas penduduknya mengandalkan pada hasil laut, adalah hilangnya tempat ikan untuk berkembang biak atau bertelur. Akibatnya mereka tidak dapat lagi mendapatkan ikan dengan mudah di sekitar pantai karena memang tidak ada lagi ikan yang berkembang biak dan hidup di wilayah pesisir pantai.

KONFLIK PEMANFAATAN RUANG PESISIR LAUT Kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Desa Pulau Pahawang, khususnya sumberdaya perikanan laut, memberikan keuntungan besar bagi penduduk. Tidak saja nelayan tradisional Desa Pulau Pahawang yang merasakannya, tetapi juga bagi nelayan tradisional yang berada di luar desa Pulau Pahawang. Para nelayan, baik nelayan tradisional maupun nelayan besar yang berasal dari Desa Gebang, Lempasing, Durian, Sanggi Kecamatan Padang Cermin, serta dari Desa Suka Jaya Punduh, Kampung Baru, Sukarame Kecamatan Punduh Pedada dan nelayan 149 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


tradisional se-Teluk Lampung juga memanfaatkan sumberdaya perikanan laut yang berada di wilayah Desa Pulau Pahawang. Banyaknya orang yang tertarik pada sumberdaya alam pesisir di Desa Pulau Pahawang mengakibatkan konflik pemanfaatan sumberdaya alam pesisir pantai. Berikut ini adalah paparan tentang konflik-konflik yang terjadi di Desa Pulau Pahawang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir pantai.

Konflik Antara Nelayan Tradisional dan Nelayan Besar Jaring trawl merupakan salah satu alat tangkap yang dilarang penggunaannya sejak tahun 1980. Kemudian pada tahun 1983, pemerintah saat itu menghapuskan secara total penggunaan jaring trawl oleh kapalkapal penangkap ikan. Jaring trawl dapat menangkap berbagai jenis ikan dan biota laut, Kapal Jaring Trawl dengan berbagai ukuran baik besar maupun kecil. Padahal para pengguna jaring trawl biasanya hanya menyasar ikan-ikan yang dia butuhkan, misalnya ikan tuna, tongkol, kembung, simba, dan selar. Akibatnya ikan hasil tangkapan yang tidak dibutuhkan, terutama yang berukuran kecil, dibuang/tidak dimanfaatkan. Sementara ikanikan kecil itu seharusnya menjadi faktor keberlanjutan sumberdaya pesisir pantai. Di sinilah sisi baik pelarangan penggunaan jaring trawl yang dibenci oleh kelompok nelayan tradisional di manapun. Berikut adalah ringkasan tentang larangan penggunaan Jaring Trawl secara hukum di Indonesia 44 : 路

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Keputusan Presiden RI No.39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl: kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan jaring trawl dihapus secara bertahap;

Berdasarkan Pasal 2 Keputusan Presiden RI No.39 Tahun 1980, terhitung mulai tanggal 1 Juli 1980 sampai dengan tanggal 1 Juli 1981 kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl dikurangi jumlahnya, sehingga seluruhnya tinggal menjadi 1000 (seribu) buah;

Berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1980; bahwa Presiden RI mengintruksikan terhitung mulai tanggal 1 Januari 1983 di seluruh Indonesia tidak lagi terdapat kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 150


Ironisnya, walaupun larangan sudah diberlakukan sejak tahun 1983, jaring trawl mulai beroperasi sejak tahun 1996 di perairan Desa Pulau Pahawang. Seperti yang menjadi dasar dari pelarangannya, biota laut dan yang lainnya yang sesungguhnya tidak dikehendaki tertangkap. Di samping itu alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan tradisional Desa Pulau Pahawang seperti, bubu 45, pancing rawe 46, jaring Rampus 47, dan juga rumpon yang dipasang hilang terbawa/tertarik jaring trawl begitupun biota laut lainnya yang sesungguhnya tidak dikehendaki oleh para nelayan pengguna jaring trawl. Sebagian besar kapal-kapal nelayan yang menggunakan Jaring Trawl ini adalah nelayan-nelayan yang berasal dari Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Lempasing dan Gudang Lelang, Bandar Lampung. Bagi nelayan tradisional, khususnya yang tinggal di Desa Pulau Pahawang, pemakaian jaring trawl membuat penghidupan mereka terancam. Mereka selalu khawatir karena alat tangkapnya akan hilang, dan terancam karena kemudian semakin habis sumberdaya ikan karena ikan-ikan kecil sudah terjaring dengan jaring trawl. Nelayan Desa Pulau Pahawang kemudian harus mencari lokasi yang masih banyak ikannya tetapi sangat jauh dari desanya. Hal ini menyebabkan ongkos melaut menjadi makin mahal.

Klaim Hutan Mangrove Hutan mangrove yang tumbuh di sekitar kawasan pesisir laut memiliki manfaat untuk melestarikan fungsi pantai. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, bahwa perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan bakau dilakukan untuk melestari-kan hutan bakau sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau Patok Daerah Perlindungan Mangrove dan tempat berkembang biaknya berbagai biota laut di samping sebagai pelindung pantai dari pengikisan air laut. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan No. 550/Kpts-4/1984 mensyaratkan lebar jalur hijau pantai (mangrove) minimal 200 meter dari garis pantai. Peraturan tersebut menjadi landasan hukum yang kuat atas upaya melindungi kawasan ini dari kepemilikan baik perorangan ataupun perusahaan.

151 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Di Pulau Pahawang kawasan hutan mangrove yang dibuka dan dijadikan lahan tambak sering menjadi persengketaan antar penduduk. Yang membuka kawasan hutan mangrove menjadi lahan tambak adalah pengusaha atau orang-orang lain yang punya modal. Namun pembukaan lahan umumnya dilakukan tanpa pemberitahuan kepada penduduk setempat dan tanpa persetujuan dari masyarakat (pemerintahan desa). Hal ini yang di kemudian hari menjadi masalah besar. Akibatnya adalah persengketaan yang didapat, terutama dengan para pemilik kebun di sekitar tambak tersebut. Di Pulau Pahawang paling tidak 50-an hektar hutan mangrove sudah dibuka untuk pembangunan tambak. Pada umumnya pembebasan lahan rawa di hutan bakau dibayar dengan harga yang rendah karena pengusaha memakai jasa perantara (calo) untuk membelinya dari masyarakat Pahawang. Sebagai contoh, masyarakat Dusun Kalangan memperoleh pembayaran Rp 400/m 2 atas lahan milik mereka. Di samping itu mereka diperbolehkan untuk memungut hasil komoditi pertanian seperti kelapa sebelum lahan dibuka menjadi areal tambak. Namun setelah pembebasan selesai janji tersebut tidak ditepati. Karena hutan mangrove yang merupakan penyaring pengaruh lautan ke daratan maupun daratan ke lautan makin terancam keberadaannya, masyarakat menjadi khawatir bahwa pembukaan hutan bakau akan mengakibatkan masuknya air laut ke lahan mereka dan juga penggerusan lahan. Padahal lahan tersebut merupakan penopang utama kehidupan keluarga. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum oleh pemerintah menjadi penyebab adanya tambak di wilayah kepulauan. Salah satunya adalah perizinan yang sangat mudah didapat yang menjadi daya tarik bagi para pengusaha dari luar desa. Pemberian izin pun tanpa pernah ditindaklanjuti dengan pengawasan, sehingga pembukaan yang merusak kawasan hutan mangrove terus terjadi.

Budidaya Kerang Mutiara Di Teluk Lampung terdapat dua perusahaan modal asing dari Jepang, yaitu PT.Hikari dan PT.Kyoko Sinju, yang bergerak di bidang pembudidayaan mutiara. PT. Hikari di Tanjung Putus yang berdekatan dengan Pulau Pahawang telah mengkapling paling tidak 5.000 hektar laut di sekitar gosong-gosong yang merupakan daerah tangkapan nelayan tradisional. Areal laut yang telah dikapling tersebut mutlak tidak bisa dimasuki oleh nelayan. Bahkan sering terjadi pengusiran terhadap nelayan yang sengaja atau tidak sengaja mendekat ke pelampung-pelampung pembatas areal budidaya. Daerah ini juga selalu dijaga seorang anggota marinir yang selalu siaga di kantor perusahaaan, maka sering pula terjadi intimidasi oleh AL terhadap nelayan. Padahal bagi masyarakat Pulau Pahawang areal kaplingan perusahaaan tersebut dulunya merupakan areal tangkap ikan mereka. Dengan demikian, daerah tangkapan yang dimiliki nelayan semakin sempit. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 152


PP SEBAGAI UPAYA MELINDUNGI DAN MENGELOLA SDA PESISIR LAUT (PELA) Sejarah Masuknya PP Di Desa Pulau Pahawang Sejarah PP di Desa Pulau Pahawang diawali oleh kedatangan aktivis Mitra Bentala. Sebagai organisasi lingkungan, kegiatan yang dilakukan dikonsentrasikan pada isu-isu pesisir laut dan pulau-pulau kecil di Lampung. Mitra Bentala mengamati maraknya kegiatan eksploitasi sumberdaya laut – khususnya di Desa Pahawang – yang memiliki kecenderungan merusak lingkungan, penerapan berbagai kebijakan – baik nasional maupun lokal – yang tidak pro-lingkungan serta lemahnya penegakkan hukum terutama di wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil. Maka, pada tahun 1997, Mitra Bentala memulai kegiatan advokasi dengan melakukan kegiatan pendampingan di Desa Pulau Pahawang. Pemilihan wilayah untuk kegiatan advokasi oleh Mitra Bentala ini adalah semakin rusak/hancurnya lingkungan, terutama sumber daya alam pesisir laut Desa Pulau Pahawang, yang mengancam sumber kehidupan bagi masyarakat pesisir yang bekerja sebagai nelayan. Dengan titik pijak bahwa kerusakan pesisir dan laut makin mengancam sumber penghidupan masyarakat, Mitra Bentala mengembangkan strategi advokasinya dengan mengirimkan beberapa aktivisnya untuk tinggal dan berada bersama dalam kehidupan masyarakat Desa Pulau Pahawang. Rangkaian proses pendampingan yang dilakukan secara intensif hingga tahun 1999 dimaksudkan untuk terus menerus menggali persoalan yang diakibatkan oleh semakin hancurnya sumberdaya pesisir dan laut di Desa Pulau Pahawang. Proses ini dinilai sangat efektif karena bersama dengan masyarakat Desa Pulau Pahawang para aktivis dapat mengidentifikasi dengan baik tentang apa dan bagaimana dinamika persoalan penghidupan masyarakat di Desa Pulau Pahawang. Selain proses pendampingan yang intensif, kegiatan-kegiatan yang dilakukan bersama ini telah membangun interaksi yang baik di antara aktivis-aktivis Mitra Bentala dengan masyarakat. Komunikasi terjalin baik. Setiap permasalahan yang muncul atau agenda-agenda yang terkait dengan pemerintahan setempat, masyarakat selalu melibatkan Mitra Bentala begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, forum-forum diskusi selalu dimanfaatkan untuk memperkuat relasi di antara kedua pihak, misalnya forum-forum atau pertemuan yang bersifat resmi/formal yang melibatkan pemerintahan desa maupun tidak resmi/non formal, terutama untuk membahas persoalan-persoalan menyangkut permasalahan yang dihadapi oleh nelayan. 153 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Pada tahun 1997 rangkaian proses PP mulai dilakukan di Desa Pulau Pahawang. Hingga tahun ini telah menghasilkan beberapa peta, yaitu: Peta Wilayah Tangkap Nelayan Tradisional, Peta Sumberdaya Alam Pesisir Desa Pulau Pahawang, Peta Keadaan Terumbu Karang dan Tubiran 48, Peta Sumberdaya Hutan Mangrove Desa Pulau Pahawang serta Peta Sebaran Vegetasi Hutan Mangrove Desa Pulau Pahawang. Mitra Bentala juga melakukan pelatihan-pelatihan dengan tema-tema tertentu yang dimaksudkan untuk memperkuat pemahaman masyarakat tentang hakhak mereka dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Kristalisasi dari proses pendampingan dan pelatihan tersebut adalah pelaksanaan PP. Metode ini dapat dipergunakan untuk membangun keterlibatan masyarakat secara penuh dalam upaya mencari penyelesaian masalah. Keterlibatan seluruh masyarakat dalam PP mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi diharapkan mampu membangkitkan rasa tanggung jawab bersama dalam menjaga sumber daya alam. Pada akhirnya diharapkan masyarakat dapat mengelola sumberdaya mereka secara mandiri dengan prinsip demokratis dan berkelanjutan.

Proses Pemetaan Partisipatif Di Desa Pulau Pahawang Proses PP yang dilakukan di Desa Pulau Pahawang melalui tahapan sebagai berikut : 1) Tahap Persiapan yaitu tahap untuk menegaskan kembali dan mengetahui secara bersama-sama tentang tujuan pelaksanaan PP di Desa Pulau Pahawang. Selain itu juga, tahap ini untuk menemukenali isu-isu yang berkembang dalam masyarakat serta menyampaikan isu-isu di luar desa yang berpengaruh pada kehidupan di desa Pulau Pahawang. Tahap ini dilakukan melalui serangkaian pertemuan di tingkat kampung dan dusun. Hal ini dilakukan agar informasi yang akan disampaikan dan ingin didapatkan relatif lengkap dan merata dari dan ke seluruh anggota masyarakat desa. Berikut rangkaian pertemuan yang dilakukan di Desa Pulau Pahawang terkait dengan tahapan persiapan: a. Pertemuan Kelompok/kampung Pertemuan ini untuk mengetahui permasalahan yang berkembang di tingkat kelompok masyarakat, seperti kelompok nelayan tradisional, atau kampung. Pada pertemuan tingkat kampung masyarakat menyampaikan permasalahan dan isu-isu yang berkembang yaitu pemboman ikan, pemakaian potasium sianida, jaring trawl, proyek tambak udang, budidaya mutiara, pariwisata, hama penyakit tanaman dan harga jual komoditi pertanian yang cenderung menurun. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 154


Tujuan setiap pertemuan, mulai dari tingkat kelompok sampai tingkat desa, adalah untuk mempertemukan berbagai tokoh masyarakat dan membicarakan secara musyawarah permasalahan-permasalahan yang ada. b. Pertemuan tingkat dusun Pertemuan ini bertujuan untuk menangkap isu yang berkembang dan mendiskusikan permasalahan yang dialami kelompok masyarakat di dusun/kampung. Pada setiap pertemuan dusun jumlah peserta yang hadir rata-rata sekitar 30 orang dari berbagai elemen masyarakat seperti kepala dusun (1 Orang), pengurus masing-masing RT (2 orang), perwakilan tokoh masyarakat (1 orang yang dituakan), perwakilan dari BPD (1 orang), tokoh agama (2 orang), kaum perempuan (5 orang), pemuda (1 orang Ketua Pemuda), petani (5 orang) dan nelayan (6 orang). Permasalahan yang ditemui di tingkat dusun yaitu pemboman ikan, penggunaan jaring trawl dan potasium sianida, pembukaan lahan mangrove untuk tambak, pengaplingan lahan oleh perusahaan mutiara (PT Hikari). Berdasarkan permasalahan diatas dan adanya keinginan untuk mengatasi masalah yang dialami kelompok tapi juga menjadi permasalahan semua pihak yang ada di dusun. Maka masyarakat mendukung untuk dilakukan pemetaan. Proses pengambilan keputusan dilakukan dengan keputusan bersama saat dalam pertemuan. c. Pertemuan tingkat desa Pertemuan ini untuk menyampaikan permasalahan yang berkembang pada masing-masing dusun agar mendapat kesepakatan tentang permasalahan yang dihadapi desa. Tidak ada perbedaan yang menonjol di antara semua dusun karena permasalahan yang dialami sama. Pada pertemuan tingkat desa ini perwakilan masyarakat secara bersama-sama mengambil keputusan untuk melakukan PP. Komposisi dan Jumlah Perwakilan Masyarakat dalam Pertemuan Tingkat Desa No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Pihak-pihak Dusun Suak Buah Dusun Penggetahan Dusun Jaralangan Dusun Cukuh Nyai Dusun Kalangan Pemerintahan Desa Tokoh Masyarakat Mitra Bentala Jumlah

Perwakilan 5 orang 10 orang 2 orang 3 orang 3 orang 3 orang 5 orang 2 orang

Keterangan Terdiri dari Kepala dusun, RT, nelayan, petani Terdiri dari Kepal Dusn, RT, nelayan, petani Kadus dan warga Kadus dan warga Kadus dan warga Kades, sekdes, kaur Agama, masyarakat Staf lapangan

33 orang

155 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


2) Tahap Pembuatan Peta Masyarakat bersama aktivis membuat sejumlah peta berdasarkan pada kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi, terutama yang dapat merusak sumberdaya yang ada. Tahap ini ditempuh dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: a. Pelatihan pembuatan peta Kegiatan ini pada dasarnya adalah pelatihan bagaimana melakukan pemetaan itu sendiri; mulai dari penggunaan alat, pengambilan data dan penggambaran, serta untuk memahami arti dari PP. Pemetaan ini sendiri diikuti oleh masyarakat Desa Pulau Pahawang. Pelatihan teknis dan penggunaan alat berlangsung selama sehari. Peserta yang terlibat pada kegiatan ini adalah tokoh masyarakat dari setiap dusun dan seorang pemuda dari tiap dusun. Pelatihan dan pembuatan peta ini melibatkan LSM dari luar daerah seperti JALA (Jaringan Advokasi Nelayan Sumatera Utara) dan Walhi Sumatera Selatan yang pada saat itu ingin belajar bagaimana melakukan PP Pesisir dan Laut. Karenanya dalam pelatihan dilakukan pula diskusi bersama organisasi-organisasi tersebut tentang masalah-masalah yang dihadapi nelayan tradisional. Keseluruhan proses pelatihan dilalui dengan dua metode yaitu metode ceramah dan diskusi serta metode praktek. -

Ceramah dan Diskusi Bersama adalah media pemaparan sejumlah teori dan konsep dalam PP oleh Pelatih (Fasilitator) yang dilanjutkan dengan diskusi tanya jawab agar seluruh peserta benar-benar paham. Metode ini secara khusus bertujuan untuk: (1) memperkenalkan secara teoritis bagaimana membuat peta di wilayah pesisir dan laut dan apa yang akan dihasilkan dari proses pemetaan partisipatif ini; (2) memperkenalkan peralatan yang dipergunakan, yaitu kompas, meteran dan gps. Pelatih membahas apa kegunaan dan kelebihan masing-masing alat itu. Ia juga memperkenalkan peta dasar serta apa perbedaannya dengan peta yang akan dihasilkan nanti; (3) memperkenalkan teknik pemetaan yang dilakukan di perairan laut untuk pengambilan data ekosistem pesisir, yang meliputi data gosong dan pengamatan terumbu karang di tubiran. Khusus untuk melihat keberadaan dan kondisi terumbu karang di dalam laut dipakai teknik Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 156


manta tow, seorang surveyor berenang di atas terumbu pada jalur yang ditentukan. (4) menjelaskan bagaimana penggunaan masing-masing alat yang akan dipergunakan; (5) membagi tugas di antara para peserta latih yang akan melakukan survei siapa yang mengambil titik koordinat dengan GPS, mengukur dengan meteran, mencatat, dan membuka jalur. -

Praktek adalah kegiatan yang memberi kesempatan seluruh peserta latih untuk mempraktekkan apa yang sudah diuraikan dan didiskusikan supaya mereka benar-benar paham. Umumnya setelah melakukan praktek, peserta akan menemui beberapa kendala dan permasalahan. Pelatih/fasilitator senantiasa menemani dan memberikan penjelasan serta membantu dalam penggunaan alat dan praktek-praktek lainnya. Selama proses ini, beberapa yang menjadi pertanyaan adalah: (1) Kesulitan menggunakan GPS, terutama dalam mengoperasikan alat serta memfungsikan menu-menu yang terdapat dalam GPS (2) Kesulitan menggunakan kompas khususnya dalam membaca arah mata angin dan besarnya sudut bacaan.

Hasil lain dari proses pelatihan ini adalah peta sketsa. Peta ini akan memandu tim lapangan untuk proses pengambilan data selanjutnya. b. Pengambilan Data Dalam tahap ini tim pemetaan bersama warga masyarakat lainnya mengambil data-data lapangan seperti titik koordinat batas-batas desa dan sumberdaya yang ada di desa. Lama pengambilan data adalah satu minggu, jumlah peserta kurang lebih 13 orang, yang terdiri dari dua orang perwakilan tiap dusun ditambah tiga orang dari LSM luar Lampung dan tiga orang pendamping dari Mitra Bentala. Wakil tiap dusun adalah seorang pemuda dan seorang tokoh masyarakat. Alasannya adalah tokoh masyarakat biasanya lebih paham tentang sejarah keberadaan wilayah/dusun/ desa, sedangkan para pemuda diharapkan dapat meneruskan segala sesuatu yang berhubungan dengan dusun atau desa kelak, di samping mereka lebih gesit dan kuat secara fisik. Mereka semua bekerja dalam sebuah tim lapangan (tidak ada pengelompokan). Pengambilan data dilapangan dilakukan dalam tiga tahap yang meliputi: Pengambilan data gosong atau daerah tangkapan, pengambilan data ekosistem 157 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


pesisir, dan pengamatan terumbu karang di tubiran dengan teknik manta tow. Dalam proses pengambilan data dilakukan sepenuhnya oleh masyarakat berdasarkan peta sketsa yang telah mereka buat saat pelatihan. c. Kompilasi data Kegiatan ini adalah pengumpulan semua data hasil survei lapangan oleh lima orang yang berlangsung selama sehari. Data yang dikompilasi meliputi titik-titik koordinat yang ada dalam GPS dan hasil-hasil pencatatan selama proses pengambilan data lapangan. d. Verifikasi Peta Peta yang dibuat berdasarkan data lapangan disampaikan kepada masyarakat untuk dikoreksi. Hal ini untuk mengantisipasi jika ada kesalahan sehingga dapat diperbaiki sebelum peta disahkan dan ditanda tangani oleh perwakilan masyarakat. Hal-hal yang ditanyakan adalah letak wilayah desa beserta isinya seperti posisi jalan, wilayah tangkapan ikan, hutan mangrove, terumbu karang, gosong-gosong, dan pantai. Verifikasi peta dilakukan selama sehari. Pesertanya 30-an orang yang terdiri dari aparat desa, kepala dusun, ketua RT masing-masing dusun, tokoh masyarakat, pemuka agama, pemuda dan para peserta pembuat peta. Ada beberapa hal yang diperbaiki setelah proses verifikasi, antara lain penamaan tempat, posisi kebun dan pemukiman, tempat-tempat fasilitas umum (masjid, jembatan), batas-batas wilayah dan lainlain. e. Pengesahan Peta Jika peta yang dibuat tidak ada lagi kesalahan, maka peta sudah bisa ditanda tangani pada kolom yang sudah disediakan. Pembubuhan tandatangan dilakukan oleh tokoh masyarakat, tokoh pemuda, aparat desa, para kepala dusun dan RT, dan wakil ibu-ibu yang seluruhnya berjumlah 60 orang. Dalam acara ini para peserta juga membahas kesepakatan dan aturan penggunaan peta. Kesepakatan mencakup syarat pemegang peta dan aturan dalam penggunaan peta. Syarat bagi pemegang peta harus dapat menyimpan rahasia tentang peta tersebut (terutama daerah-daerah yang potensial untuk usaha) dan dapat memahami dan menjelaskan peta (baik Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 158


gambar maupun informasi yang ada di dalam peta). Aturan-aturan dalam penggunaan peta harus berdasarkan musyawarah desa (baik untuk kepentingan masyarakat Desa Pulau Pahawang maupun pihakpihak dari luar yang memakai/menggunakan peta).

Tahap Paska Pembuatan Peta Peta yang dihasilkan disosialisasikan kepada masyarakat setempat dan kepada masyarakat yang lebih luas yaitu masyarakat di luar Desa Pulau Pahawang, unsur pemerintahan seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung dan pihak keamanan (TNI Angkatan Laut), serta pihak-pihak lain yang berkepentingan seperti nelayan-nelayan tradisional di Teluk Lampung dan PT Hikari. Sosialisasi ini terutama berkaitan dengan pengakuan atas hak wilayah tangkap nelayan tradisional. a. Sosialisasi Keseluruh Masyarakat Desa Pulau Pahawang Peta yang sudah ada disosialisasikan kepada seluruh masyrakat yang ada di Desa Pulau Pahawang dimaksudkan agar masyarakat mengetahui keberadaan peta dan kegunaannnya. b. Sosialisasi Kepada Masyarakat yang Lebih Luas Kepada Masyarakat di Luar Desa Pulau Pahawang Pertemuan nelayan se-Teluk Lampung dilakukan di Desa Pulau Pahawang untuk mensosialisasikan hasil pemetaan wilayah sumberdaya alam yang ada di desa tersebut agar diperoleh kesepakatan bersama mengenai wilayah tangkap nelayan tradisional yang ada dalam wilayah desa. Kepada Unsur Pemerintahan Pertemuan dengan Menteri Kelautan dan Perikanan (saat itu Sarwono Kusumaatmaja) dalam rangka sosialisasi hasil pemetaan dan sebagai dasar untuk memperjuangkan hak nelayan tradisional Kepada Pihak-pihak yang Berkepentingan Lainnya Bentuk lain dari kegiatan sosialisasi PP adalah dengan mengikuti pameran, festival Krakatau di Lampung, menjadi peserta perwakilan dari NGO dalam pameran Bakosurtanal di Jakarta. Tujuan sosialisasi bentuk ini adalah agar peta yang dibuat dapat membantu masyarakat untuk memperjuangkan hak nelayan tradisional.

159 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


PP Sebagai Alat Untuk Membuka Sudut Pandang Terhadap Permasalahan Masyarakat Laut bagi masyarakat Desa Pulau Pahawang adalah ruang bersama, wilayah yang dihaki secara bersama-sama karena pada prinsipnya tidak ada satu orang pun yang memiliki. Sehingga siapa saja berhak untuk mengambil atau memanfaatkannya. Pada akhirnya tidak ada upaya yang dilakukan masyarakat untuk mencegah setiap bentuk perusakan terhadap sumberdaya yang ada. Apalagi kekompakan masyarakat untuk melarang dan meminta pertanggungjawaban jika terjadi perusakan di wilayahnya kurang. Pemahaman masyarakat tentang arti penting keberadaan sumberdaya alam masih sangat kurang, apalagi rasa kepedulian dan memiliki. Adapun masyarakat yang memahami pentingnya sumber daya alam pesisir laut tidak mampu mencegah dan merasa bukan menjadi tanggung jawabnya. Bahkan pemerintah yang berwenang pun tidak pernah memberikan arahan atau sosialiasi tentang manfaat sumberdaya alam, aturan tentang trawl dan penggunaan bahan peledak, apalagi untuk mengamankan perairan laut Desa Pulau Pahawang dari ancaman rusaknya sumberdaya kepada masyarakat desa Pada akhirnya tidak ada upaya yang dilakukan masyarakat untuk mencegah setiap bentuk perusakan. Hal tersebut dapat dilihat dengan sering beroperasinya jaring trawl di sekitar wilayah perairan Pulau Pahawang, maraknya penggunaan bahan peledak/bom dan penggunaan potasium, serta pengambilan kayu bakau secara berlebihan di kawasan hutan mangrove untuk bahan bangunan dan untuk kebutuhan arang. Pengambilan cacing yang kemudian merusak akar pohon bakau juga merupakan kegiatan rutin yang biasa mereka temukan. Hilangnya alat tangkap seperti bubu, pancing rawe, jaring rampus yang dipasang oleh nelayan tradisional karena tertarik trawl, atau rusaknya rumpon milik nelayan Pulau Pahawang dianggap sebagai pelanggaran biasa yang akan selesai permasalahannya jika sudah ada ganti rugi. Terumbu karang yang sudah mati diambil untuk keperluan pembuatan rumah dan pondasi bangunan dianggap tidak bermasalah karena dianggap masyarakat tidak memiliki fungsi ekologis. Akhirnya melalui kegiatan PP oleh Mitra Bentala sudut pandang atau pola pikir yang ada pada masyarakat desa Pulau Pahawang diharapkan dapat berubah. PP yang dilakukan menjadi media untuk pembelajaran bagi masyarakat untuk mengenal, menjaga dan bahkan mengelola sumberdaya yang ada. Rasa memiliki diharapkan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pada akhirnya permasalahan yang ada dapat mereka selesaikan sendiri. Pendampingan dan proses pemetaan yang dilakukan oleh Mitra Bentala mulai dari proses persiapan hingga pembuatan peta menjadi kunci berubahnya sudut pandang masyarakat. Masyarakat mendapat visualisasi atau gambaran tentang Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 160


sumberdaya alam yang menjadi hak mereka dan merupakan kekayaan alam yang mereka miliki dan patut mereka lindungi. Keterlibatan semua kelompok masyarakat yang ada di Desa Pulau Pahawang dalam mendukung kegiatan pemetaan memperkuat keyakinan akan hak yang mereka miliki. Bagian-bagian masyarakat seperti aparat dusun (ketua Dusun, ketua rukun tetangga), tokoh agama, tokoh masyarakat, kelompok pemuda, kelompok nelayan dan aparat pemerintahan desa memberi dukungan yang besar dalam proses sehingga memperkuat rasa memiliki. Peta yang dihasilkan menjadi bahan diskusi bagi masyarakat dalam menumbuhkan kesadaran untuk menjaga sumber daya alam di sekitar mereka dan untuk memahami manfaat dan dampak buruknya. Penggunaan bahan peledak dan potasium berkurang. Masyarakat mulai berani mengusir trawl dan menindak pelaku penangkapan ikan yang di wilayah tangkap nelayan tradisional. Mereka tidak lagi mengambil karang, melakukan tebang pilih kayu bakau dan membentuk daerah perlindungan mangrove. Mereka pun sudah mau menyampaikan permaslahan pada pihak-pihak terkait seperti Dinas Kelauatan, TNI AL, polisi perairan (Airud), dan pemerintah Kecamatan Punduh Pedada.

PP Sebagai Alat Pengorganisasian Untuk Melindungi Dan Mengelola SDA PP yang dilakukan menghasilkan informasi sumberdaya yang dimiliki oleh Desa Pulau Pahawang dan memberikan gambaran besarnya permasalahan yang ada, maka yang dilakukan adalah dengan menjaga dan melindungi sumberdaya yang ada dengan melibatkan masyarakat setempat. Salah satu caranya dengan mengorganisir masyarakat melalui kelompok-kelompok. Pembentukan kelompok berdasarkan pada isu yang berkembang. Untuk mengamankan keberadaan ikan dan penyelamatan ekosistem laut (terumbu karang) dibentuklah kelompok rumpon. Kelompok nelayan dibuat untuk menjaga sumberdaya ikan dan perairan Pahawang. Untuk menjaga dan mengelola kawasan hutan mangrove dibentuklah Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM). Pengorganisasian ini bertujuan untuk membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya sumberdaya yang ada. Melalui Surat Keputusan Nomor 04/007/KD-BPDPM/11.2/2006 Kepala Desa Pulau Pahawang mensahkan pembentukan Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM) dengan Bapak M. Syahril Karim sebagai ketua. Sebagai organisasi desa yang bersifat otonom BPDPM berfungsi melakukan pengawasan terhadap hutan mangrove yang ada di Desa Pulau Pahwang. Kerja-kerja organisasi ini meliputi perencanaan dan penyusunan program kerja, membuat aturan-aturan dalam perlindungan mangrove, pelatihan dan pendidikan, 161 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


pembinaan dan melakukan pengawasan terhadap ancaman kelestarian dan kerusakan kawasan hutan mangrove. Sebagai organisasi yang diberikan otonomi untuk mengelola hutan mangrove BPDPM memiliki empat buah divisi dalam struktur organisasinya. Masingmasing divisi dan unsur di dalam struktur organisasi tersebut adalah sebagai berikut: STRUKTUR ORGANISASI BADAN PENGELOLA DAERAH PERLINDUNGAN MANGROVE (BPDPM) DESA PULAU PAHAWANG

PELINDUNG KEPALA DESA PULAU PAHAWANG

KETUA BPDPM

DIVISI I ADMINISTRASI & KEUANGAN

DIVISI II

DIVISI III

DIVISI IV

PENGELOLAAN

HUBUNGAN MASYARAKAT

PENGAWASAN

1) Pelindung adalah yang berhak menerima segala pelaporan kerja dari BPDPM, merupakan pelindung tertinggi dalam organisasi dan bertanggungjawab atas keberhasilan organisasi. 2) Ketua adalah koordinator tertinggi kelembagaan BPDPM yang tugasnya melakukan koordinasi dalam organisasi. 3) Divisi I (administrasi dan Keuangan) bertugas mengelola keuangan, menangani surat menyurat, inventarisasi alat-alat (alat tulis kantor dan barang lainnya), serta melakukan inventarisasi dokumen-dokumen lembaga 4) Divisi II (Pengelolaan), fungsinya melakukan perencanaan dan pelaksanaan program kerja organisasi dan menetapkan aturan-aturan daerah perlindungan mangrove. 5) Divisi III (Hubungan Masyarakat) fungsinya melakukan pembinaan pada masyarakat dan melakukan pelatihan dan pendidikan

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 162


6) Divisi IV (Pengawasan) dengan fungsinya melakukan pengawasan terhadap daerah perlindungan mangrove, mecegah terjadinya kerusakan daerah perlindungan mangrove dan menjaga kelestarian daerah perlindungan mangrove

PP Sebagai Alat Negosiasi Dan Penyelesaian Konflik Peta yang dihasilkan dari proses PP digunakan sebagai bahan untuk memaparkan permasalahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap sumberdaya alam pesisir laut di Desa Pahawang. Peta yang dihasilkan oleh masyarakat digunakan sebagai alat untuk mempertahankan dan menjaga wilayah mereka. Peta pun disosialisasikan kepada publik yang lebih luas untuk mendapatkan dukungan serta menjadi faktor pendorong bagi kelompokkelompok yang melakukan advokasi di tingkat nasional dan internasional. Peta juga berdampak pada pengurangan jumlah dan tingkat konflik pemanfatan sumberdaya alam pesisir laut. Perusahaan yang mengkapling wilayah laut mulai menurunkan tekanannya dengan memperbolehkan nelayan mencari ikan di wilayah gosong-gosong tempat nelayan mencari ikan. Masyarakat sering kali melarang kapal trawl yang beroperasi dan bahkan mengusirnya dari perairan Desa Pulau Pahawang. Dari upaya-upaya yang sudah dilakukan tersebut beberapa keberhasilan yang dicapai yaitu: -

Adanya kesepakatan untuk mengakui kawasan tangkap nelay an tradisional di Teluk Lampung yang dituangkan dalam sebuah dokumen yang ditandatangai semua pihak yang hadir dalam pertemuan antar stakholder pada tahun 2000. Isi kesepakatan tersebut antara lain larangan pengoperasian Trawl di Teluk Lampung, dan khususnya di perairan Pulau Pahawang dan sekitarnya, serta larangan menangkap ikan dengan pemboman dan potasium sianida . Semua kesepakatan tersebut sebenarnya telah tercantum pada banyak peraturan yang dibuat pemerintah sendiri, namun pelaksanaannya tidak efektif.

-

Peta sangat efektif untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi, khususnya permasalahan yang melibatkan pihak-pihak dari luar dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan maupun sumberdaya laut di Desa Pulau Pahawang. Contohnya, dengan menunjukan hasil kesepakatan bersama dan peta yang dibuat masyarakat Pahawang merampas jaring trawl dan para awak kapal pun mengakui kesalahan mereka, padahal mereka mendapat perlindungan dari anggota TNI AL. Selain alat tangkap mereka dirampas, mereka juga harus membayar denda berupa uang.

163 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


-

Masyarakat mampu ’mengusir’ atau melakukan pencegahan terhadap beroperasinya jaring trawl di sekitar perairan Desa Pulau Pahawang. Terhadap setiap kapal trawl yang beroperasi di perairan Desa Pulau Pahawang masyarakat beramai-ramai mengusir trawl. Masyarakat pernah menyandera kapal ikan yang berasal dari Kepulauan Seribu yang beroperasi di perairan Desa Pulau Pahawang.

-

Masyarakat juga berhasil mendorong pemerintah desa untuk mengeluarkan peraturan desa tentang perlindungan kawasan Hutan Mangrove (No. 02/ 007/Perdes-phm/XI/2006). Peraturan ini memuat arti penting kawasan hutan mangrove sebagai sabuk hijau pada daerah pantai dan pulau-pulau kecil guna menghindari terjadinya pengikisan pantai, tempat perkembangan dan perlindungan berbagai biota dan satwa serta semakin besarnya kerusakan yang dapat mengancam keberadaan hutan mangrove.

-

Pimpinan perusahaan dan pihak keamanan perusahaan budidaya kerang mutiara memperbolehkan nelayan tradisional untuk mencari ikan di dekat areal budidaya berdasarkan hasil lobi masyarakat dalam pertemuan/dialog dengan pihak perusahaan dengan memperlihatkan peta wilayah tangkap nelayan tradisional.

KESIMPULAN Sumberdaya alam yang komplit di Desa Pulau Pahawang menjadikan daya tarik tersendiri bagi pihak manapun, tidak hanya pemanfaatan untuk kebutuhan sehari-hari tetapi juga pemanfaatan dalam skala besar yang memungkinkan terjadinya kerusakan sumberdaya alam laut di desa Pulau Pahawang. Sementara masyarakat di Desa Pulau Pahawang memiliki pandangan sendiri soal wilayahnya, termasuk wilayah lautnya, karena mereka tidak merasa sebagai pemilik. Mereka tidak berpikir untuk melakukan pelarangan bagi pihak manapun yang memanfaatkan secara berlebihan hingga terjadi kerusakan. Padahal mereka sangat menggantungkan hidupnya pada hasil sumberdaya pesisir dan laut. Akhirnya mereka menyadari bahwa sumberdaya laut dan pesisir mereka semakin lama semakin punah karena pemanfaatan yang berlebihan. Masalah ini mendapat perhatian dari pihak-pihak yang pro terhadap kelangsungan sumberdaya alam (khususnya pesisir dan laut), yaitu Mitra Bentala. Lembaga ini kemudian diminta bantuannya untuk memberikan arahan guna memecahkan permasalahan yang ada di Desa Pulau Pahawang. Diskusi demi diskusi dilangsungkan hingga kemudian disepakati untuk melakukan pemetaan secara partisipatif oleh seluruh masyarakat dengan bantuan teknis dari Mitra Bentala. Kesepakatan demi kesepakatan dicapai mulai dari persiapan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 164


pemetaan sampai pada bagaimana masyarakat selanjutnya memanfaatkan peta untuk tujuan perlindungan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Desa Pulau Pahawang. Selama prosesnya, yang sesungguhnya hingga sekarang masih berlangsung, upaya-upaya untuk perlindungan dan pengelolaan berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat di Desa Pulau Pahawang. Sandaran utamanya adalah bagaimana agar pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di Desa Pulau Pahawang tidak mengakibatkan kerusakan yang bisa berdampak pada hilangnya sumberdaya yang menjadi tumpuan penopang hidup masyarakat Desa Pulau Pahawang. Hal ini ditandai dengan pembentukan kelembagaan khusus untuk pengelolaan wilayah pesisir dan lautnya yaitu Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM) melalui Surat Keputusan Kepala Desa Pulau Pahawang Nomor 04/007/KD-BPDPM/11.2/2006 tahun 2006, serta pengesahan peraturan desa yang mengatur tentang pengelolaan Kawasan Hutan Mangrove (diterbitkannya Perdes No. 02/007/Perdes-phm/XI/2006 tentang Perlindungan Hutan Mangrove). Hasil lainnya adalah masyarakat mampu melakukan negosiasi dengan pihak-pihak yang bertentangan – khususnya perusahaan yang melarang nelayan untuk mengambil hasil laut di kawasan yang sudah dikuasainya – sehingga kemudian nelayan bisa kembali menangkap ikan di wilayah tersebut. Diakui bahwa proses terpenting dalam PP yang dilakukan di Desa Pulau Pahawang adalah perubahan cara berpikir masyarakat tentang pemanfaatan sumberdaya alam agar tidak rusak dan habis. Masyarakat yang semula berpandangan bahwa sumberdaya laut bukanlah milik mereka akhirnya menyadari bahwa sebenarnya mereka telah membiarkan proses perusakan karena tidak melakukan kontrol ketika ada pihak-pihak yang memanfaatkan secara berlebihan. Mereka tidak terhindar dari kerugian yang mereka rasakan langsung ketika sumberdaya tersebut semakin lama semakin habis. Perubahan sudut pandang tersebut menyebabkan masyarakat berupaya untuk mengorganisir diri dengan membentuk kelompok-kelompok yang kemudian digunakan sebagai alat untuk negosiasi dan menyelesaikan konflik dengan pihakpihak dari luar desa Pahawang dan dinas terkait. Keberadaan sumberdaya alam, terutama yang ada di pesisir dan laut, harus dijaga dan dilindungi dari berbagai macam ancaman. Dan yang lebih penting adalah memahami akan hak atas sumberdaya alam yang mereka miliki.

165 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


PERUBAHAN PERSEPSI BATAS PASCA PEMETAAN :

SEBUAH KASUS DI KABUPATEN LANDAK KALIMANTAN BARAT Oleh : Lorensius Owen

PENGANTAR Ide atau gagasan PP di Kalimantan Barat yang dikembangkan Pemberdaaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK) Pancur Kasih awalnya adalah untuk menghambat laju ekspansi eksploitasi sumberdaya alam dan hutan di Kalimantan Barat terutama pada wilayah-wilayah masyarakat Dayak yang saat itu tidak berdaya menghadapi kek uatan Negara dan pemilik modal. Peminggiran terhadap masyarakat Dayak dari tanah mereka telah terjadi sejak masa kolonial yang diteruskan oleh pemerintahan Orde Baru dan bahkan terus dilanjutkan hingga saat ini. Bentuk-bentuk penguasaan Negara atas tanah tersebut baik dalam bentuk pemberian konsesi-konsesi pembalakan hutan (dalam bentuk Hak Penguasaan Hutan), Hutan Tanaman Industri (HTI), Perkebunan Inti Rakyat (PIR), dan Pertambangan; maupun dengan penetapan kawasankawasan Transmigrasi dan kawasan konservasi (Hutan Lindung, Taman Nasional dan Cagar Alam) serta peruntukan lainnya. Semua itu dilakukan atas nama Negara dan kesejahteraan, tapi faktanya bahwa masyarakat adat tetap miskin dan bahkan hak-hak mereka hilang dirampas, termasuk oleh kekuatan modal. Akibat proses tersebut pada titik tertentu masyarakat Dayak akan kehilangan identitasnya karena tanah, hutan dan sungai sebagai basis tradisi budaya Dayak rusak akibat investasi modal dalam skala besar. Apalagi semua itu dilakukan tanpa keterlibatan dan p artisipasi masyarakat sehingga peruntukan dan klaimklaim penguasaan tersebut tumpang tindih dengan hak-hak masyarakat adat di Kalimantan, terutama masyarakat adat Dayak. Proses pengasingan dan peminggiran tersebut menyebabkan identitas Dayak hilang sehingga warga masyarakat Dayak “takut� mengakui dirinya sebagai orang Dayak apalagi mengembangkan tradisi budaya Dayak. Padahal budaya dan tradisi serta adat istiadat suku Dayak sangat tergantung dengan tanah, hutan dan sungai. Apabila ketiga unsur ini hilang maka identitas Dayak sebagai suku dan budaya serta tradisi akan hilang. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 166


Menghadapi situasi yang semakin memburuk demikian, beberapa orang Dayak yang tinggal di Pontianak bersepakat untuk melawan proses pengasingan tersebut dan berupaya melindungi tanah mereka demi masa depan anak-anaknya dan kecintaan mereka pada hutan, tanah dan sungai. Oleh sebab itu Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih (YKSPK) yang berdiri tahun 1981 memutuskan untuk mengembangkan kegiatan pemetaan wilayah kelola rakyat (tanah adat) guna mengkampanyekan dan mendokumentasikan wilayah-wilayah tempat masyarakat Dayak hidup dan berkembang. Kegiatan Pemetaan ini akan menjelaskan secara rinci tentang model-model pengelolaan sumber daya alam masyarakat Dayak kepada pihak luar, agar hak-hak mereka dapat diketahui, dipahami, dihargai dan diakui untuk memimalisir konflik pengelolaan sumberdaya alam dan lahan di Kalimantan Barat. Dengan demikian YKSPK merupakan salah satu lembaga yang memelopori gerakan PP di Kalimantan Barat. Yayasan tersebut membentuk unit kerja yang dinamakan Pembinaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kemasyarakatan pada tahun 1994, yang pada tahun 2000 berubah menjadi Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan, yang dikenal dengan singkatan PPSDAK Pancur Kasih. PP merupakan salah satu bentuk kampanye kearifan lokal tentang pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat. Selain itu dalam konteks Kalimantan Barat PP adalah sebuah bentuk counter atas klaim pengelolaan sumberdaya alam oleh Negara yang menyebabkan hilangnya hak-hak masyarakat adat yang dirampas oleh kepentingan investasi skala besar berupa HPH, PIR Trans, Perkebunan, konsesi lahan lainnya dan peruntukan kawasan konservasi oleh Negara. Era Orde Baru yang bercirikan kekuasaan Negara (pusat) yang begitu dominan menyebabkan daerah-daerah tidak berdaya. Sumberdaya alam yang menjadi aset daerah habis dikuras untuk kepentingan pusat dan melahirkan kemiskinan, kemelaratan dan kerusakan alam, dan bahkan bencana ekosistem. Akibatnya daerah semakin tidak berdaya. Melalui kegiatan pemetaan kondisi tersebut semakin terlihat dengan jelas. Proses-proses pengorganisasian yang dilakukan dapat memberi dorongan pada kelompok-kelompok masyarakat adat untuk mengorganisir diri. Akibatnya terjadi proses penyadaran akan hak dan tanggungjawab mereka sebagai warga masyarakat dalam wilayah tersebut. Peta dan pemetaan paling tidak mampu membuka wacana baru tentang paradigma pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di daerah-daerah. Namun kondisi ini tidak beriringan dengan perubahan politik Negara dari sentralisasi ke desentralisasi yang justru berdampak negatif terhadap eksistensi sumberdaya alam. Otonomi daerah membuka peluang lebih besar bagi pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan di daerah yang pada kenyataan justru semakin 167 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


mengancam keberlanjutan sumberdaya alam di wilayah mereka masing-masing. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat, proyeksi pertumbuhan kelapa sawit Kalimantan Barat tahun 2005-2008 mencapai 4 % per tahun dan proyeksi produksinya mencapai 15% per tahun. Sementara proyeksi pertumbuhan komoditas karet hanya 1% dan proyeksi produksinya hanya 2%. Proyeksi ini tidak akan jauh berbeda dari realisasinya bahkan bisa lebih dahsyat. Misalnya, tahun 2005 pemerintah mencanangkan 1,5 juta hektar lahan perkebunan sawit, ternyata di lapangan sudah lebih dari 3 juta hektar lahan yang sudah diberikan izinnya. Padahal sebelumnya pemerintah mencabut 148 izin perkebunan sawit seluas 4,1 juta hektar dari 261 perkebunan sawit yang ada di Kalimantan Barat, karena tidak melaksanakan kegiatan hingga tenggat waktu perizinan berakhir sementara minat investor perkebunan sawit di Kalbar sangat besar. Pemberian izin dalam rentang waktu 2006-2007 cukup luar biasa. Pada tahun 2006 saja, izin yang diberikan sudah mencapai 3,5 juta hektar. Dan hingga Mei 2007, menjadi 4,145 juta hektar untuk 261 perusahaan, namun baru sekitar sembilan persen atau 380 ribu hektar yang berupa kebun. Izin-izin tersebut diterbitkan bupati yang sekarang memiliki kewenangan sebagai akibat dari pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat dan provinsi dalam konteks desentralisasi. Dengan latar belakang kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang eksploitatif dan berorientasi pada usaha ekonomi skala besar demikian upaya pembuktian hak atas tanah menguat. Melalui informasi dari aktivis yang berkunjung ke kampung-kampung dan belajar dari kampung lainnya, masyarakat mulai mengetahui kegiatan PP. Dalam waktu singkat permintaan pemetaan kampung membanjir. Hingga Nopember 2008 PPSDAK Pancur Kasih telah berhasil memetakan 309 kampung/desa yang tersebar di 34 kecamatan di sembilan kabupaten di Kalimantan Barat dengan total luas wilayah 1.285.954,25 ha atau sekitar 8,76 % dari luas wilayah Kalimantan Barat yang 14.680.700 ha. Namun capaian kuantitas pemetaan tersebut belum berkorelasi positif dengan agenda penyelamatan ekosistem dan kerusahan hutan dan lahan di Kalimantan Barat. Walaupun kegiatan pemetaan di Kalimantan Barat telah mencapai jumlah yang begitu luas yang mencakup 36 kecamatan dari 163 kecamatan di provinsi ini, dalam tulisan ini penulis hanya membahas persoalan tapal batas antar warga masyarakat kampung Pate dan kampung Nangka di desa Sahapm (Kecamatan Sangah Tumila) dengan warga masyarakat kampung Sindur desa Agak (Kecamatan Subangki) pasca PP. Persoalan yang muncul ini menarik untuk kita simak bersama terutama pegiat PP atau organisator-organisator lapangan. Perspektif ruang dan batas akan menjadi persoalan manakala masalah mendasar dalam warga masyarakat tersebut tidak tertangani. Selain itu ruang dan batas yang memuat aset ekonomis bisa menjadi masalah manakala pengelolaan sumberdaya alam oleh masyarakat bergeser dari tradisi budaya Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 168


setempat ke arah komersialisme yang melihat sumberdaya alam dan hutan sebagai aset ekonomis semata. Dalam hal ini kearifan lokal berbenturan keras dengan konsumerisme yang berjiwa materialistik. Dalam konteks inilah PP bisa memberi pemahaman kepada para pihak tentang interaksi di antara warga masyarakat, negara dan modal untuk bersinergi dalam membangun kesejahteraan dengan tetap memperhatikan kelangsungan ekosistem (investasi vs kelangsungan ekosistem). .

KONSEP BATAS MASYARAKAT ADAT DAYAK KANANYATN Konsep batas masyarakat Dayak, terutama Dayak Kanayatn, secara umum sebenarnya lebih cair dan terbuka. Walaupun demikian batas dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam dan wilayah telah ada turun-temurun yang ditentukan berdasarkan kesepakatan antar kampung yang ditandai dengan upacara adat. Konsep pengelolaan sumberdaya alam yang dikenal dengan istilah “ Palasar palaya’ merupakan sebuah konsep klaim wilayah yang sulit dibuat dalam sebuah gambar peta karena batas yang dimaksud dalam klaim tersebut lebih bersifat imajiner (semu). Pada tingkat yang lebih kecil ada tiga macam kepemilikan yang memiliki batas klaim. Pertama, lahan yang diklaim secara pribadi berupa ladang ( uma), ladang yang sedang diberakan ( rame), kebun karet (kabon gatah) dan sawah (bancah), sehingga masing-masing disebut batas uma, batas rame, batas kabon gatah, dan batas bancah. Kedua, klaim wilayah secara kolektif berdasarkan garis keturunan atau “parenean.” Ketiga, klaim pengelolaan kolektif bagi seluruh warga satu kampung atau “sakampongan” yang diakui oleh warga kampung tetangganya. Selain itu masih ada lagi batas wilayah berdasarkan perbedaan tradisi budaya yang umumnya dalam cakupan satu binua (suatu federasi beberapa kampung yang dipimpin seorang timanggong).

KONDISI UMUM KAMPUNG SINDUR Kata Sindur diambil dari salah satu jenis kayu yang cukup banyak dijumpai di daerah tersebut. 49 Jumlah penduduk kampung Sindur berkisar 47 KK atau sekitar 230 an jiwa. Etnis mayoritas di kampung Sindur adalah suku Dayak dari sub suku Dayak Kanayatn. Kampung Sindur terletak di bagian timur kecamatan Subangki. Namun letaknya yang terpisah dari kampung-kampung lain membuat jalan ke kampung ini masih dalam bentuk jalan setapak, bukan jalan aspal atau jalan perkerasan seperti di kampung-kampung lain sedesa. Hal ini juga menyebabkan kampung ini menjadi terisolir dari kampung-kampung lain yang ditambah lagi dengan minimnya infrastruktur dasar bagi warga masyarakat seperti sarana pendidikan (sekolah), kesehatan dan penerangan (listrik). Dan 169 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


bahkan sampai dilaksanakannya kegiatan pemetaan pada tahun 2001 untuk mencapai kampung ini melewati jembatan kayu bulat — titi50 — yang dibuat oleh warga masyarakat setempat. Dalam administrasi Negara, kampung Sindur masuk ke dalam desa Agak Kecamatan Subangki (Kabupaten Landak). Kecamatan Subangki sendiri merupakan hasil pemekaran dari kecamatan Sangah Tumila. Dari kota kecamatan Sangah Tumila, Pahauman, menuju kampung Sindur kita akan melalui jalan beraspal yang melalui beberapa kampung hingga kampung Sanunuk, kemudian menempuh jalan setapak sekitar 3 km untuk mencapai kampung tersebut .

MENGAPA MELAKUKAN PEMETAAN PARTISIPATIF Di wilayah kecamatan Sangah Tumila sekitar tahun 1980an beroperasi sebuah perusahaan pemegang HPH PT. Gelora Agung kemudian dilanjutkan lagi oleh PT. Kota Niaga di atas wilayah yang sama. Perusahaan tersebut secara sepihak menguasai dan menggarap hutan adat masyarakat atau mencaplok lahan dan wilayah mereka tanpa ada koordinasi dan kompromi apalagi negosiasi, sehingga hak-hak masyarakat terutama atas hutan adat ( Udas 51 ) dirampas. Ketidakberdayaan masyarakat dalam menghadapi investasi tersebut menyebabkan masyarakat di wilayah tersebut berupaya mempertahankan wilayah adat mereka melalui pemetaan. PPSDAK membantu pemetaan kampung Nangka pada tahun 1996 , kampung Pate pada tahun 1998 dan kampung Sindur pada tahun 2001. Pada saat itu anggapannya adalah bahwa pemetaan cukup mampu menjawab persoalan-persoalan masyarakat terutama dalam mempertahankan wilayah mereka dari ancaman pihak perusahaan HPH. Harapan mereka bahwa sumberdaya hutan bukan diperuntukkan pada pihak-pihak yang luar yang secara de facto tidak memelihara wilayah tersebut yang tanah dan isinya menjadi unsur penting dalam hidup dan kehidupan masyarakat adat setempat. Oleh sebab itu apabila wilayah dan sumberdaya mereka diganggu oleh pihak luar akan berhadapan dengan mereka. Kondisi ini akan menjadi persoalan besar apabila pengabaian hak terus menerus terjadi. Peta yang akan dihasilkan diharapkan mampu melawan kecenderungan tersebut dengan cara menerjemahkan pemanfaatan lahan masyarakat lengkap dengan luas wilayah masing-masing kampung. .

Proses Pemetaan Partisipatif Agak berbeda dengan di wilayah-wilayah lain, PPSDAK melakukan sebagian besar tahapan pemetaan, proses pemetaan wilayah Kampung Sindur melibatkan empat unit kerja yang ada di Gerakan Pancur Kasih 52, yaitu : Area Development Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 170


Program (ADP), Credit Union Pancur Kasih (CUPK), Koperasi Pancur Dangeri (KPD), dan PPSDAK. Masing-masing unit ini secara kolaboratif melakukan kegiatan di wilayah kecamatan Saengah Tuemila Kabupaten Landak. Berikut ini metode yang diterapkan di kampung Sindur.

Persiapan Sosial Kampung Sindur merupakan salah satu wilayah dampingan dari kerja-kerja Pancur Kasih melalui ADP yang mendapat hibah dari World Vision International (WVI). 53 Selain itu beberapa dari warga masyarakat kampung Sindur telah menjadi anggota CUPK dan anggota KPD wilayah Sinakin. Oleh sebab itu sebelum kegiatan PP dilakukan, beberapa warga kampung telah mengetahui tentang adanya PP berdasarkan informasi dari kampung-kampung lain dan para aktivis yang melakukan pengorganisasian dan penyadaran. Pihak yang secara khusus mengorganisir kampung ini adalah staf dari ADP dan KPD serta CUPK yang setiap pertemuan selalu menyampaikan informasi tentang PP dan arti pentingnya dalam upaya mempertahankan wilayah, apalagi dalam kegiatankegiatan lembaga-lembaga ini berbasiskan pengelolaan aset-aset sumberdaya wilayah. ADP secara khusus menekankan pada strategi perencanaan dan pengelolaan wilayah, CUPK pada strategi pengelolaan anggaran keluarga dan KPD khusus mengorganisir petani karet. Dalam konteks ini seluruh persiapan sosial untuk kegiatan pemetaan semua dilakukan oleh ketiga lembaga yang kebetulan juga tergabung dalam gerakan pemberdayaan Pancur Kasih. Hal penting yang disampaikan dalam kegiatan adalah bahwa kegiatan pemetaan dilakukan oleh warga masyarakat sendiri, adapun pihak dari PPSDAK atau ADP, CUPK dan KPD hanya sebagai fasilitator. Dalam persiapan sosial ini pendamping ( community organizer ) perlu menyampaikan kelemahan atau sisi negatif yang kemungkinan muncul pasca pemetaan terutama yang menyangkut data dan informasi dari hasil kegiatan pemetaan wilayah dan strategi warga masyarakat menghadapi pihak luar terutama pemilik modal. Pertemuan kampung dalam tahap ini menentukan apakah pemetaan akan dilakukan atau tidak..Proses sosialisasi terus dilaksanakan agar keputusan yang diambil tidak keliru. Di kampung Sindur proses ini bahkan telah dilakukan tidak lama sejak PPSDAK berdiri, namun baru tahun 2001 kegiatan pemetaan dapat dilaksanakan. Setelah masyarakat Sindur sepakat untuk memetakan wilayah mereka dengan mengirimkan surat permohonan kepada lembaga pendamping yaitu PPSDAK melalui ADP. Permintaan formal ini penting agar penjadwalan kegiatan dapat ditentukan karena ketersediaan tenaga fasilitator pemetaan di PPSDAK terbatas. Barulah kemudian lembaga ini melanjutkan pendampingan secara teknis untuk melakukan pemetaan. 171 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Persiapan Teknis Pemetaan 1. Musyawarah tokoh-tokoh adat (Mustodat) Sebelum PP dimulai dilaksanakan musyawarah adat di kampung Sindur. Satu orang staf dari PPSDAK, satu orang dari Community Mapper wilayah Kabupaten Landak dan dua orang staf ADP, tiga orang staf KPD Sinakin ikut dalam proses pertemuan Mustodat di Kampung Sindur. Dalam pertemuan seorang pemuka kampung Sindur memiliki peran yang besar dalam menentukan keputusan pelaksanaan kegiatan pemetaan. Tahap ini sangat penting dan harus dilaksanakan dengan hati-hati, itikad baik dan keterbukaan untuk mencegah konflik perbatasan wilayah di masa yang akan datang. Fasilitator perlu berhati-hati untuk menyakinkan seluruh kelompok agar mampu memahami sepenuhnya tujuan, fungsi dan guna peta bagi mereka. Sebenarnya dalam penentuan kesepakatan tapal batas antar kampung tokoh-tokoh masing-masing kampung diundang, namun karena jarak yang cukup jauhmaka tokoh dari kampung Pate dan Kampung Nangka tidak dapat hadir. Selama musyawarah dengan tokoh-tokoh adat melukiskan peta batin/ mental tentang wilayah mereka dalam peta sketsa. Peta sketsa ini akan dipresentasikan kepada para peserta lainya dan selanjutnya didiskusikan. Kehadiran para tokoh masing-masing kampung yang berbatasan sebenarnya sangat menentukan kualitas hasil yang dicapai. Proses ini juga merupakan forum yang sangat strategis bagi kaum muda karena mereka mendapat kesempatan untuk memperoleh pengetahuan baru tentang konsep pengelolaan sumberdaya alam dan wilayah, mereka. Pemetaan adalah salah satu cara untuk menelusuri sejarah kampung, termasuk sejarah penguasaan lahan. . 2. Penentuan batas antar kampung Penentuan batas antar kampung merupakan satu hal yang cukup penting dan menentukan dalam kegiatan PP tahap berikutnya. Proses kegiatan ini dilakukan dengan menghadirkan para tetua kampung/wilayah terutama yang cukup paham tentang batas masing-masing wilayah. Dalam proses yang normal kegiatan penentuan batas biasanya tidak banyak mengalami persoalan, walapun demikian ada beberapa hal yang sangat sensitif terutama penentuan tapal batas pada tempat-tempat yang bersifat kepemilikan komunal “ parenean sakampongan 54 dan bernilai ekonomis misalnya hutan atau lahan. Dalam diskusi ini perlu ditekankan bahwa

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 172


tempat yang dijadikan tapal batas tidak menghilangkan hak atas tanah (kepemilikan) yang telah warga kuasai. Dengan penjelasan demikian diharapkan warga tidak khawatir akan kehilangan hak-hak yang telah mereka miliki. Penjelasan yang tidak utuh dan menyeluruh tentang tujuan, fungsi dan manfaat peta bagi warga masyarakat dapat menyebabkan peta justru dapat menimbulkan konflik di kemudian hari terutama tentang pengelolaan sumberdaya alam yang masih bersifat komunal (Parenean=Dayak Kanayatn) . Berdasarkan hasil penelusuran sejarah ketiga kampung tersebut mengakui bahwa batas wilayah mereka bertemu di tiga sungai utama di wilayah tersebut, yaitu Sungai Saranakng, Sungai Amalo dan Sungai Adasatn yang berada di kawasan udas. Namun warga kampung Pate dan warga kampung Nangka tidak hadir dalam pertemuan tersebut. Karena itu warga masyarakat diminta untuk menyampaikan daftar nama tapal batas sesuai dengan hasil pertemuan dengan warga kepada warga masyarakat kampung Pate dan Nangka sebelum survei dilakukan. Hal ini penting agar pengambilan data dan proses penyelesaian peta baik di lapangan mapun kantor tidak terhambat atau mengalami persoalan. Namun karena nama tempat yang menjadi titik tapal batas antara ketiga kampung ini sudah menjadi kesepakatan sejak dahulu yang ditandai dengan tempat keramat (panyugu) warga kampung Pate yang berada di wilayah Sindur, maka hasil pertemuan warga kampung Sindur tidak disampaikan ke warga kampung Pate dan Nangka 3. Pelatihan pemetaan bagi warga masyarakat PP bagi warga masyarakat merupakan sebuh rangkaian proses pemetaan selanjutnya. Keterbatasan orang di kampung Sindur sehingga kegiatan pelatihan tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Kegiatan ini diisi dengan penjelasan pemahaman proses pemetaan parisipatif. Sebenarnya kegiatan pelatihan bagi warga masyarakat mesti dilakukan mengingat pada proses pengambilan titik GPS akan dilakukan oleh warga masyarakat sendiri. Adapun lembaga pendamping hanya memfasilitasi dalam teknik pengambilan dan akurasi data yang diambil sehingga data dan informasi yang diperoleh dapat dipertangungjawabkan. 4. Bentuk - bentuk partisipasi atau keterlibatan warga masyarakat Bentuk partisipasi warga masyarakat kampung Sindur saat itu, yang pertama adalah menyiapkan tenaga yang akan mengantar ke tempattempat batas antar kampung. Kemudian menyediakan tempat tinggal untuk tenaga fasillitator lapangan dan beberapa orang-orang tokoh

173 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


kampung menemani fasilitator dalam mengisi peta kampung mereka seperti tataguna lahan, aliran sungai, dan tempat-tempat stratetgis masyarakat yang masuk dalam wilayah kampung Sindur. Bentuk partisipasi lainya antara lain berupa beras dan uang yang nominalnya tidak ditentukan, hal ini sangat bergantung pada keikhlasan masingmasing warga. Secara khusus biaya konsumsi kegiatan ini dibebankan pada ADP karena memang dalam program kerja ADP memasukan kegiatan pemetaan wilayah, sementara PPSDAK membantu dalam pengadaan tenaga fasilitator dan alat kebutuhan survei lainya. 5. Persiapan lembaga pendamping / fasilitator Dalam melakukan kegiatan PP, PPSDAK harus mempersiapkan peralatan teknis yang dibutuhkan dilapangan, pada saat itu kebutuhan pemetaan di kampung Sindur antara lain; GPS, Meteran, Kompas dan peta dasar. Alat pendukung lainya baterai Alkalin kecil, stabilo ( warna-warni), mistar, kertas millimeter blok untuk kebutuhan penggambaran peta pemukiman penduduk, kertas plano untuk kebutuhan diskusi PRA (untuk menggali pola hubungan lembaga lokal, penelusuran sejarah kampung, daftar aneka sumber daya alam tanaman tumbuh, binatang dan data lainya yang berhubungan dengan pemetaan). 6. Survei batas kampung Sindur Kegiatan pemetaan survei batas merupakan kegiatan yang mengasyikan karena warga bersama fasilitator mengelilingi tapal batas wilayah, masuk hutan keluar hutan sambil menikmati indahnya panorama hutan dan sumberdaya yang dimiliki wilayah tersebut. Survei batas juga mau menunjukkan bahwa peta yang akan dihasilkan nantinya benar-benar akurat sesuai dengan data yang ada di lapangan. Survei batas merupakan penelusuran tapal batas berdasarkan hasil kesepakatan bersama masyarakat, namun karena pertemuan penentuan tapal batas antar kampung tidak dihadiri oleh warga dari kampung Pate dan Nangka maka titik batas yang diambil juga hanya berdasarkan hasil penunjukan warga Sindur sendiri. Ditambah lagi banyaknya batas yang berada di sekitar hutan (Udas) sehingga penentuannya dapat saja keliru atau salah. Adapun data GPS dan Kompas alat ini hanya sebagai pembantu surveyor dalam menentukan koordinat di bumi dan arah sehingga kesalahan pada orang yang mengoperasikanya juga terbuka. Hasil survei yang diperoleh letak geografis kampung Sindur berada pada interval 337.914 BT – 346.730 BT dan 25.462 LS – 30.722 LS.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 174


7. Diskusi pengisian peta wilayah dengan pendekatan PRA Pengisian data peta kampung Sindur secara keseluruhan dilakukan dengan survei langsung di lapangan dan diskusi dengan metode PRA (Participatory Rural Appraisal) . Fasilitator memasukkan data hasil survei berupa titik GPS dengan dibantu oleh teman-teman dari ADP dan CUPK. Setelah data hasil survei dimasukkan dan masih terdapat ruang yang belum terisi baru dilakukan diskusi den gan tokoh-tokoh warga masyarakat. Proses ini tidak selesai karena salah satu fasilitator pemetaan tiba-tiba sakit setelah menyelesaikan survei batas sehingga harus dibawa ke luar dari kampung untuk mencari pertolongan dengan cara ditandu 55 oleh warga masyarakat karena jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor tidak ada. 8. Penyelesaian peta akhir di “bengkel� Pada bagian ini fasilitator pemetaan memilih perwakilan dari masyarakat Sindur untuk ikut ke kantor PPSDAK di Pontianak. Saat itu Pak Loboh, salah satu tokoh kampung Sindur, terpilih menjadi perwakilan warga masyarakat untuk terlibat di Pontianak yang nantinya bertugas untuk melihat proses penyelesaian akhir peta kampung Sindur. Kegiatan di ‘bengkel’ pemetaan di kantor PPSDAK adalah untuk melakukan koreksi data dan informasi pada peta yang akan dibuat serta klarifikasi dan perbaikan atau melengkapi data dan informasi yang masih kurang sebelum peta dicetak. Kegiatan di bengkel tersebut berkisar antara 2-3 hari tergantung pada data dan informasi yang ada dan peta yang akan dihasilkan. 9. Pengesahan Peta wilayah Hasil fasilitasi peta kampung kembali diserahkan ke masyarakat lewat ADP sebagai lembaga pendamping. PPSDAK sebagai institusi membantu teknis pemetaan sehingga pada saat penyerahan hasil pemetaan kampung boleh hadir. Namun apabila berhalangan atau tidak ada yang dapat meghadiri proses tersebut kedua lembaga telah sepakat bahwa hasil peta kampung harus diserahkan ke warga kampung agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya sesuai dengan kesepakatan warga kampung. Kesepakatan siapa dan bagaimana proses penyerahan hasil pemetaan sangat tergantung dari warga masyarakat. Proses penyerahan hasil pemetaan ini diikuti dengan penandatanganan berita acara oleh yang memfasilitasi acara dengan warga kampung. Selain itu juga proses penandatanganan pengurus kampung dan tokoh adat pada lembar peta yang dihasilkan.

175 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


KESADARAN KRITIS TENTANG SUMBER DAYA WILAYAH Peta dan pemetaan membuka cakrawala baru bagi setiap warga masyarakat di kampung Sindur. Mereka akhirnya tahu bahwa luas wilayah mereka adalah 2.547,96 ha, dengan aneka sumberdaya di dalamnya seperti : Hutan atau Udas (795,86 ha), Ladang/ bawas atau rame, kebun karet atau kabon gatah (284,24 ha), rawa atau tawakng. Sumberdaya yang dimiliki tersebut mulai mengganggu perhatian warga masyarakat secara umum sehingga mulai terjadi dinamika sosial yang beragam dalam warga kampung Sindur. Perdebatan yang muncul adalah apakah mereka perlu terus mempertahankan wilayah berikut sumberdaya alam yang dimiliki atau mengusahakan komoditi yang bernilai ekonomis tinggi, termasuk membuka hutan. Interaksi sosial baik dalam kampung Sindur maupun ke luar kampung semakin tinggi. Hal ini dipicu dengan pemekaran kecamatan Sengah Temila yang melahirkan Kecamatan Subangki. Akibatnya pola interaksi sosial masyarakat semakin beragam. Isolasi wilayah dan minimnya infrastruktur dasar kampung Sindur semakin mendorong keinginan warga masyarakat untuk melakukan perubahan. Selain hal tersebut ada beberapa hal yang membuat dinamika sosial warga masyarakat Sindur dalam memahami sumberdaya wilayah menjadi lain dari kesepakatan awal kegiatan pemetaan. Berikut ini penjelasannya.

Nilai Sosial Budaya Bagi Masyarakat Adat Sumberdaya alam bagi warga masyarakat Dayak berfungsi jamak, yang merupakan unsur dan tumpuan harapan utama bagi kehidupan maupun kelangsungan hidup umat manusia (Fadholi Hermanto, 1989;32) 56. Bagi orang Dayak tanah, hutan dan sungai adalah tiga elemen penting yang secara bersamasama membentuk suatu identitas tersendiri yang berumur ribuan tahun yang berwujud “suku, budaya dan kepercayaan Dayak.� Dengan kata lain, ketiga unsur tersebut menjadi inti penting bagi identitas “orang Dayak,� karena unsur-unsur tersebut tidak hanya sebagai penopang kehidupan melainkan juga menentukan harkat dan martabat orang Dayak (John Bamba, 1998;23) 57. Warga masyarakat Sindur sebenarnya sadar akan pentingnya hutan, tanah dan sungai bagi kehidupan mereka. Setelah kegiatan pemetaan warga masyarakat Sindur mulai menyadari nilai strategis ketiga komponen lingkungan itu bagi kehidupan mereka. Hanya saja mereka dihadapkan pada persoalan yaitu kondisi sosial ekonomi warga masyarakat yang minim dan tidak berdaya. Dengan masuknya paradigma baru tentang kesejahteraan mereka berubah sikap. Beberapa warga masyarakat mulai menghitung kekayaan sumberdaya yang dimilikinya, sehingga aneka sumberdaya hutan, tanah dan sungai yang ada mulai menjadi rebutan. Akibatnya timbul kesan bahwa nilai-nilai sosial budaya Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 176


menjadi hal yang perlu diabaikan. Di sisi lain bahwa kekayaan sumberdaya di wilayah mereka sangat memungkinkan untuk melakukan meningkatkan “kesejahteraan� tersebut. Perubahan konsep ruang dan waktu menjadi hal yang sangat menentukan perubahan pandangan warga masyarakat tentang pengelolaan sumberdaya alam mereka.

Kelangsungan Generasi Berikutnya Tanah dan suberdaya alam yang tersimpan dalam wilayah terus mengalami penurunan dari waktu ke waktu baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Oleh sebab itu kegiatan pemetaan menjadi penting untuk mengingatkan pada warga masyarakat bahwa sumberdaya alam mereka suatu saat akan dapat habis apabila tidak di kelola dengan baik, sementara generasi terus saja tumbuh dan berkembang. Dalam pandangan saat ini mungkin saja ketersediaan sumberdaya alam cukup, namun pada tahun-tahun berikutnya akan terjadi perubahan sumberdaya alam itu sendiri. Peta mengingatkan warga Sindur agar mulai berhati-hati dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam. Pemanfaatan sumberdaya untuk kepentingan kesejahteraan warga dan kelangsungan hidup menjadi hal penting untuk dipertimbangkan demi generasi warga masyarakat Sin dur berikutnya.

Pertambahan Penduduk Di Kampung Sindur Pertambahan penduduk dalam satu wilayah tidak dapat dibantah karena hal itu pasti terjadi. Begitu juga halnya yang terjadi di kampung Sindur. Pada saat pemetaan dilaksanakan pada tahun 2001 penduduk kampung ini berjumlah 47 KK (Kepala keluarga) dan pada tahun 2008 sudah bertambah menjadi 104 kepala keluarga (data program Bantuan Langsung Tunai tahun 2008). Peningkatan jumlah penduduk ini disebabkan karena kelahiran dan perpindahan penduduk. Apalagi saat ini kampung ini menjadi pusat perhatian warga di sekitarnya, terutama kecamatan Subangki maupun Sengah Temila atau warga di sekitar Kabupaten Landak, dengan dibukanya perkebunan kelapa sawit oleh salah satu pengembang perkebunan kelapa sawit. Dengan pertambahan penduduk tersebut menyebabkan dinamika sosial warga masyarakat di kampung Sindur semakin tinggi. Tidak bisa dipungkiri pada masa yang akan datang pertumbuhan penduduk di kampung Sindur mungkin akan lebih cepat dibandingkan dengan kampungkampung lainnya. Dinamika sosial ini sangat mungkin juga akan semakin menggerus nilai-nilai dan kearifan lokal tentang pengelolaan sumberdaya alam karena berbenturan dengan nilai-nilai ekonomis dan politis yang baru serta modernisasi. Bahkan saat ini kampung Sindur telah mulai mengalami perubahan yang cukup signifikan antara lain terbukanya sarana transportasi dan informasi di wilayah tersebut. Perubahan ini merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu 177 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


warga Sindur karena pada masa lalu untuk mencapai kampung ini sangatlah susah. Sarana transportasi merupakan hal yang sangat vital dalam membuka akses wilayah. Namun pertanyaannya adalah sejauh kesiapan warga Sindur untuk menerima pengaruh yang dibawa dengan makin mudahnya mobilitas orang dan barang.

Dampak Desentralisasi Perubahan sistem kekuasaan Negara pasca reformasi tahun 1998 terutama pelaksanaan UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (yang direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004) memberi peluang otonomi daerah yang luas. Salah satu buahnya adalah pembentukan Kabupaten Landak pada tanggal 4 Oktober tahun 1999 berdasarkan UU Nomor 55 tahun 1999 yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Pontianak. Setelah itu pemerintah daerah kabupaten Landak menetapkan Kecamatan Subangki sebagai sebuah administrasi kecamatan secara definitif pada tahun 2002 sebagai pecahan dari Kecamatan Sangah Tumila. Pembentukan wilayah baru tentulah dibarengi dengan keharusan untuk mencari sumber pendanaan bagi pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembangunan. Selain menyandarkan pada dana yang diberikan pemerintah pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus, pemerintah daerah harus mencari sendiri sumber pendapatan. Akibatnya Pemda harus menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan wewenangnya yang besar, pemerintah kabupaten bisa memberikan ijin eksploitasi sumber daya alam. Seperti kabupatenkabupaten lain di Kalimantan Barat, Kabupaten Landak menyandarkan PAD dari industri kelapa sawit. Untuk itulah ijin-ijin baru perkebunan kelapa sawit diberikan. Akibatnya interaksi sosial ekonomi dan politik di daerah semakin kuat. Pengelolaan aset-aset sumberdaya alam di masing-masing wilayah semakin terbuka. Namun karena tanah yang menjadi sasaran konsesi perkebunan adalah tanah rakyat, sebagian besar diatur dalam hukum adat, konflik tanah meningkat, baik antara masyarakat dengan perusahaan maupun di antara masyarakat sendiri. Hal terakhir inilah yang terjadi di kampung Sindur. Kampung Sindur yang merupakan daerah yang cukup terisolir di kecamatan Subangki tapi memiliki sumber kekayaan alam menjadi pusat perhatian para pihak, termasuk pemerintah kecamatan, yang mengusung jargon pengembangan wilayah untuk kesejahteraan rakyat. Letak kampung yang terisolir dari daerah lain menjadikan warga kampung Sindur mulai tertarik untuk mengembangkan wilayahnya agar dapat terbuka. Apalagi kampung-kampung sekitar Sindur sudah mulai terbuka (terutama akses transportasi ). Oleh sebab itu warga masyarakat bersepakat memohon secara resmi kepada pemerintah kabupaten Landak lewat Dinas Perkebunan dan Pertanian untuk menetapkan hutan yang masuk wilayah Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 178


kampung terbuka untuk lahan perkebunan kelapa sawit. Permohonan tersebut dipenuhi pemerinah daerah dengan ditetapkanya wilayah kampung Sindur menjadi kawasan yang diperuntukan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian kampung tersebut menjadi bagian dari konsesi perkebunan PT Satria Multi Sukses (SMS) yang mencakup bagian utara wilayah kecamatan Subangki ke arah sungai Landak .58 Apabila dilihat dari posisi atau letak kampung Sindur memang sedikit kurang menguntungkan, karena untuk mencapai kampung ini tidak ada jalan lain dan tidak dilewati oleh jalan poros yang menghubungkan antar kampung di kecamatan Subangki. Memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat mengembangkan kampung ini, maka pemerintah daerah untuk membuka isolasi kampung ini ditawarkan pada investor terutama para investor perkebunan kelapa sawit. Hal ini gayung bersambut dengan keinginan beberapa warga masyarakat kampung Sindur yang menginginkan adanya perkebunan kelapa sawit di daerahnya. Namun apabila dilihat dari sumberdaya yang dimiliki kampung ini maka ceritanya akan lain, karena aset sumber daya wilayah kampung Sindur dibanding dengan jumlah penduduk dalam kampung cukup luar biasa. Dari tataguna lahan yang dimiliki kampung Sindur sebagian besar termasuk hutan primer yang relatif terjaga dengan kontur bentang alam yang terhampar luas memberi kesan tersendiri. Di hutan tersebut terdapat ribuan meter kubik kayu yang tersimpan di dalamnya, ditambah lagi dengan aneka macam flora dan fauna yang menghuni hutan ini. Bahkan ikan arwana merah ada di sungaisungai yang melintasi hutan tersebut. Hasil hutan Non kayu juga tidak ternilai harganya seperti penyerapan oksigen yang tersimpan dalam hutan. Wilayah ini juga cukup dikenal dengan ikon penghasil rotan terbesar dengan kerajinan tikar lampir yang mereka sebut bide. Ada tanaman hutan yang merupakan penyedap rasa alami yaitu sansakng yang mereka ambil daunnya dan cukup enak apabila dicampur dengan daun ubi. Minimnya infrastruktur dasar bagi warga kampung Sindur menjadi dasar mereka untuk membuka perkebunan kelapa sawit di wilayahnya. Tentu pilihan ini bukanlah pilihan yang secara baik dan strategis apabila dilihat dari letak dan struktur tanah di wilayah Sindur yang dataran rendah atau rawa dan kadar keasaman tanah cukup tinggi dan berpasir. Namun pilihan ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah daerah yang hingga tahun 2007 tidak pernah menyediakan pelayanan publik bagi mereka, terutama sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana transportasi, sarana penerangan, dan bahkan sarana air bersih. Dengan diserahkanya lahan mereka ke perusahaan perkebunan kelapa sawit mereka berharap dapat menikmati kemajuan zaman dengan adanya sarana jalan untuk 179 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


membuka isolasi kampung serta pembangunan infrastruktur dasar (pendidikan, kesehatan dan penerangan) untuk kampung dapat dipenuhi. Selain itu mereka juga berharap dapat bekerja menjadi karyawan di perusahaan tersebut. Semua hal ini yang belum juga disediakan pemerintah dijanjikan oleh pihak perusahaan,. Dari perspektif itu tergambar jelas bahwa warga kampung Sindur memiliki pandangan yang berbeda tentang wilayah dan sumberdaya alam mereka. Akibatnya pengembangan perkebunan kelapa sawit skala besar ini menjadi sumber konflik batas antar kampung Pate-Nangka dan Sindur.

Sengketa Batas Antar Kampung Sengketa ini muncul karena warga kampung Sindur mengklaim lahan seperti yang tergambarkan dalam peta kampung mereka, sedangkan kampung Pate dan kampung Nangka juga memiliki klaim di atas bidang lahan yang sama. Kedua kampung terakhir ini tidak bersedia menyerahkan wilayahnya ke perusahaan. Apabila diamati lebih jauh konflik muncul di kawasan hutan adat ( udas) parenean yang kepemilikannya komunal. Padahal pada masa sebelumnya keharmonisan antar warga di tiga kampung cukup baik. Saat itu bila warga kampung Sindur mengambil kayu di wilayah kampung Pate atau Nangka, mereka taat dengan aturan yang dikenakan oleh kedua kampung (termasuk membayar iuran pada pengurus kampung). Hal inilah yang kemudian memunculkan konflik batas di sekitar hutan yang menjadi titik batas ketiga kampung. Persoalan menjadi bertambah rumit karena wilayah yang menjadi sengketa tersebut masih milik komunal warga masyarakat masing-masing kampung sehingga apabila terjadi pelepasan hak maka warga masing-masing kampung harus bersepakat terlebih dahulu. Warga kampung Nangka dan Kampung Pate telah sepakat untuk tidak menyerahkan wilayahnya pada perusahaan perkebunan tersebut karena, antara lain:, 1) cakupan wilayah yang dimiliki kedua kampung ini terasa kurang apalagi peningkatan jumlah penduduk di masing-masing kampung tiap tahun terus meningkat; 2) ketika perusahaan pemegang HPH (PT. Gelora Agung – PT Kota Niaga) beroperasi di hutan milik mereka (Udas kanuis) yang mereka tetapkan sebagai hutan adat (hutan cadangan masyarakat ) antara tahun 1980-1995 warga kedua kampung tidak menikmati hasil hutan mereka, bahkan hanya menjadi penonton; 3) keberadaan HPH di wilayah mereka membuat konf lik horizontal semakin kuat (penentuan batas wilayah antar kampung); 4) warga semakin sadar karena semakin berkurangnya sumberdaya alam di wilayah mereka.. Mereka juga berpendapat bahwa perkebunan kelapa sawit tidak akan memperbaiki ekonomi rumah tangga mereka.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 180


Penolakan ini selain disampaikan warga masyarakat kedua kampung pada pertemuan-pertemuan di kecamatan maupun pada saat menghadiri pertemuan sosialisasi dari pihak pemerintah dan perusahaan. Selain itu mereka juga melakukan penahanan alat-alat kerja dari perusahaan, seperti chainsaw (mesin gergaji rantai), yang saat itu sedang melakukan tebas tebang di wilayah hutan dan melakukan pengawasan di sekitar perbatasan wilayah kampung Pate, Nangka dan Sindur. Dalam pengumpulan data untuk proses evaluasi ini dalam pertemuan dengan warga dari beberapa kampung di kampung Agak, beberapa orang warga kampung Sindur menyalahkan peta sebagai sumber masalah. Dalam diskusi juga terjadi perdebatan sengit soal batas di kampung-kampung lain yang juga menerima perkebunan kelapa sawit PT SMS. Kelompok-kelompok yang bersengketa akhirnya sepakat untuk melakukan pembicaraan untuk menyelesaikan persoalan. Hingga saat penulisan bab ini koordinasi dan negosiasi batas antar kampung Pate, Nangka dan Sindur sedang dilakukan . Namun masih belum ada titik temu, sementara pihak perusahaan terus melakukan pembebasan lahan di daerah perbatasan tersebut.

Persepsi Batas Dalam Konteks Sumberdaya Ekonomis Kawasan Peta wilayah yang dihasilkan memang mengundang perhatian banyak pihak, tidak terkecuali para pihak luar, termasuk investor. Dalam konteks klaim atas wilayah maka peta yang dihasilkan menjadi rujukan warga masyarakat dalam mengklaim wilayah tersebut. Aneka sumberdaya alam yang masuk dalam wilayah klaim tersebut akan menjadi titik penentu. H al ini sangat tergantung pada nilai yang terkandung dalam wilayah klaim tersebut. Itulah yang terjadi dalam konflik batas antar warga antara kampung Pate, Nangka dan kampung Sindur. Dalam perspektif ini batas berdasarkan sejarah yang telah turun temurun diakui masing-masing warga digambarkan lewat PP dianggap sebagai sebuah kesalahan yang berakibat merugikan pihak kampung Sindur. Padahal sebelum dilakukannya pemetaan di ketiga kampung keharmonisan antar warga sangat terlihat. Ada beberapa hal yang menunjukkan hubungan sedemikian.Pertama, t empat keramat warga kampung Pate berada di wilayah kampung Sindur. Kedua, apabila ada pihak yang mau mengambil kebutuhan hidup mereka saling minta izin. Bila seseorang dari kampung yang satu ingin mengambil kayu sebagai bahan bangunan di kampung tetangga ia cukup meminta izin ke kepala kampung di kampung yang bersangkutan. Begitu pula apabila ada kegiatan untuk mengambil ikan yang berada di sungai Saranakng, Amalo dan Adasatn masing-masing warga kampung memberi tahu. Keharmonisan antar warga kampung cukup terjalin dengan baik, bahkan pasca pemetaan dari tahun 2001 – 2008 antar kampung

181 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


tidak ada persoalan terutama dalam pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah tersebut. Pertanyaan kemudian muncul mengapa pada akhir tahun 2008 konflik batas antar kampung Pate, Nangka dan Sindur mencuat ? Dan mengapa peta yang dihasilkan oleh warga masyarakat dipersalahkan? Padahal bila dilihat dari prosesnya sudah cukup baik dan peta kampung Pate, Nangka dan Sindur yang dihasilkan merupakan gambaran rekaman sejarah tapal batas antar kampung yang sejak kampung-kampung tersebut terbentuk. Di sinilah peta menjadi suatu klaim atas wilayah yang kaku “tembok.� Dengan demikian esensi PP menjadi berubah. Seharusnya peta adalah media resolusi konflik. Namun dalam kasus ini peta malah dituduh sebagai media untuk memunculkan konflik. Tuduhan semacam ini sebenarnya hanya pengkambinghitaman peta saja. Sehingga muncul pertanyaan lain: bagaimana masyarakat adat Dayak kampung Sindur memaknai kebersamaan atau solidaritas antar sesama ?.

KESIMPULAN Awalnya warga masyarakat merasa bahwa peta adalah salah satu alternatif untuk mempengaruhi pihak luar yang selama ini tidak pernah mengetahui atau memahami bahkan menghormati hak-hak masyarakat adat, terutama tentang pengelolaan sumberdaya alam dan wilayah. Memang saat itu kondisi Negara sangat represif sehingga aset-aset sumberdaya alam dan wilayah dirampas oleh penguasa dan pengusaha atas nama Negara. Kini kondisi sistem politik Negara mulai bergeser sejak tergulingnya rejim Orde Baru. Namun kondisi ini tidak berdampak positif terhadap warga masyarakat, terutama karena paradigma pengelolaan sumberdaya alam dan wilayah yang dianut Negara. Pada kenyataannya, atas nama Negara pemerintah daerah yang diperkuat lewat otonomi daerah semakin mempercepat proses degradasi sumberdaya alam dan wilayah tersebut. Ekploitasi tanpa aturan yang jelas demi proses berjalannya sistem pemerintahan di daerah makin marak. Oleh sebab itu tantangan yang mesti dan akan dihadapi warga masyarakat saat ini adalah bagaimana mempertahankan wilayah yang menjadi klaim mereka. Hasil pemetaan dapat berdampak ganda. Pada satu sisi apabila warga masyarakat kompak dan sepakat maka klaim atas wilayah dapat dipertahankan atas dasar peta. Namun sebaliknya apabila kondisi warga masyarakat labil, apalagi secara ekonomis belum berdaya, maka hasil pemetaan berupa klaim wilayah oleh masyarakat akan memudahkan investor masuk. Melalui peta secara kualitatif wilayah tersebut telah tergambar dengan baik, sehingga memungkinkan untuk ekploitasi sumberdaya dan wilayah hanya untuk kepentingan ekonomi semata. Berikut ini beberapa hal mengapa hasil pemetaan menjadi persoalan bagi masyarakat.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 182


Peta yang dilakukan secara partisipatif menjadi media empuk bagi masyarakat untuk mengatakan bahwa konflik batas antar warga di kampung Pate, Nangka dan Sindur terjadi akibat PP dilaksanakan. Hal ini diperkeruh oleh meningkatnya proses pemanfaatan lahan dan sumberdaya alam di wilayah kecamatan Subangki terutama di kawasan hutan produksi (udas) antara kampung Pate dan Nangka di desa Sahapm kecamatan Sangah Tumila dan kampung Sindur desa Agak kecamatan Subangki untuk kepentingan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) kabupaten Landak sebagai konsekuensi dari pemekaran wilayah dan desentralisasi. Konflik batas antar warga kampung Pate, Nangka dan Sindur juga dipicu dengan ketidakpahaman terhadap proses pemetaan partisipatif oleh pelaksana di lapangan terutama saat persiapan sosial masyarakat dan penentuan tapal batas antar kampung, yang berujung pada konflik batas antar kampung di hutan kampung Sindur. Kolaborasi strategis yang dilakukan antara ADP, KPD, CUPK dan PPSDAK belum menjamin pelaksanaan program yang baik, walaupun ke empat lembaga ini merupakan satu kesatuan dalam gerakan Pemerdayaan Masyarakat Adat Pancur Kasih. Pemahaman masing-masing pihak terutama pelaksana program di lapangan menjadi titik penentu apakah proses ini berjalan baik atau tidak. Di samping itu juga bahwa para pelaksana teknis di lapangan 59 juga memiliki kelemahan sehingga proses tidak matang dan menyebabkan kegagalam pemetaan di kampung Sindur, terutama dalam pertemuan kesepakatan tapal batas antar kampung.

183 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Mengabaikan proses sosial (diseminasi gagasan) pemetaan partisipatif dapat berakibat fatal karena batas wilayah yang dipahami dalam sebuah peta dapat di-interpretasikan kaku. Akibatnya tapal batas akan didefinisikan sebagai pembatasan ruang gerak warga masyarakat tersebut, di samping klaim atas wilayah tersebut. Padahal konsep pengelolaan dan pemanfaatan ruang oleh masyarakat Dayak terutama Dayak Kanayatn secara umum dan khususnya warga kampung Sindur desa Agak kecamatan Subangki sebenarnya lebih cair dan terbuka. Konsep pengelolaan sumberdaya alam dalam konteks Palasar palaya’ merupakan sebuah konsep klaim wilayah yang sulit dibuat dalam sebuah gambar peta karena batas yang dimaksud dalam klaim tersebut lebih bersifat imajiner (semu). Berubahnya persepsi batas di kalangan warga kampung Sindur membuka mata para pegiat PP bahwa ke depan perlu protokol yang tegas dan jelas dalam memetakan suatu wilayah. Prasyarat utama yang mesti diperkuat dalam proses pemetaan ini antara lain 1) persiapan sosial lebih dalam dan menyeluruh bagi warga masyarakat, 2) kepentingan kaum perempuan di kampung perlu diakomodir dalam pengambilan keputusan terutama keputusan dalam akses dan kontrol sumberdaya wilayah, 3) keputusan penentuan tapal batas harus disepakati oleh masing-masing kampung yang berbatasan dan diupayakan oleh tetua-tetua kampung yang paham dan tahu tentang batas dalam bentuk rapat terbuka tokoh adat kampung, 4) bentuk partisipasi warga masyarakat kampung mesti jelas dan muncul agar kemudian hari proses pemetaan benar-benar berakar dalan masyarakat, 5) anggota tim yang akan memfasilitasi pemetaan perlu tinggal lebih lama di kampung tersebut agar mendapat pemahaman yang utuh tentang kondisi sosial warga masyarakat dan wilayah, 6) para pihak yang akan menfasilitasi kegiatan PP harus benar-benar paham dan mengerti secara detil proses pemetaan sehingga tahapan pemetaan tidak ada yang diabaikan. Dalam kasus pemetaan kampung Sindur ada beberapa pelajaran penting yang perlu kita simak antara lain; 1) persiapan yang tidak matang menyebabkan masih adanya warga masyarakat yang tidak tahu bahwa ada kegiatan pemetaan partisipatif dilaksanakan di kampung Sindur karena proses sosial yang dibangun kurang maksimal yang berujung pada adanya pihak yang merasa tidak dilibatkan, 2) peta yang dihasilkan ternyata membuka pemahaman baru warga masyarakat kampung Sindur terutama dalam memahami sumberdaya alam tanah, hutan dan sungai bagi kehidupan mereka, , 3) pengabaian warga kampung tetangga (terutama kampung Pate dan Nangka) dalam penentuan tapal batas antar kampung adalah sebuah pengingkaran terhadap proses pemetaan, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 184


4) letak kampung yang kurang strategis (terisolir) dan ketimpangan tingkat ekonomi dari kampung-kampung lainnya menyebabkan warga kampung Sindur menerima perkebunan kelapa sawit, 5) ) pembentukan kecamatan Subangki membuka peluang masuknya investasi untuk peningkatan kesejahteraan dan pengembangan wilayah apalagi wilayah kampung Sindur berdasarkan peta perencanaan kabupaten Landak diperuntukan hutan konversi, 6) nilai ekonomis sumberdaya wilayah terutama hutan dan lahan i dalam batas teritori berdasarkan pemetaan, 7) pemahaman keliru tentang batas peta yang dibuat “tembok� membuat persepsi tentang batas wilayah menjadi kabur.

Peta klaim wilayah antara kampung Pate, Nanga dan Sindur

185 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


ANEKNG ATAU ANDENG? KISAH SEKITAR PENAMAAN KAMPUNG Oleh : Anam

PENGANTAR Tulisan ini memaparkan bagaimana sebuah kebijakan pemerintah membuat masyarakat adat tercerabut dari asal-ususlnya dan bagaimana proses pemetaan menjadi sebuah kegiatan yang “menyadarkan” begitu pentingnya sebuah sejarah. Pada tahun 1980an Gubernur Kalimantan Barat memutuskan untuk melakukan proses penataan ulang batas-batas administrasi desa ( Regrouping Desa) yang membuat perubahan sangat mendasar dalam tatanan sosial politik masyarakat Dayak. . Kebijakan ini ada lah turunan dari upaya penyeragaman desa gaya Jawa yang dilakukan rejim Orde Baru melalui Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Desa-desa di seluruh Indonesia mengalami yang serupa akibat kebijakan ini. Kegiatan pemetaaan partisipatif menimbulkan kesadaran baru untuk menimbang ulang atas semua yang telah terjadi akibat upaya penyeragaman tersebut. Dari berbagai dampak yang ada tulisan ini akan menjabarkan dampak politik penyeragaman tersebut terhadap kehidupan orang Dayak. Dalam kesempatan ini regrouping desa ditempatkan sebagai sebuah kebijakan yang mengacaukan dan sebuah penundukan atas tatanan sosial yang membuat komunitas adat setempat seperti “tamu” di tanah sendiri, sehingga mengusik berbagai sendi sosial masyarakat adat. Untuk i tu penulis ingin memaparkan bagaimana perubahan nama kampung akibat kebijakan regrouping desa, dengan mengambil contoh kasus kampung Anekng, sebuah desa yang termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Sangah Tumila kabupaten Landak (yang sebelumnya adalah bagian dari kabupaten Pontianak provinsi Kalimantan Barat) . Dalam hal ini penulis ingin menekankan nama desa yang berubah-ubah selama 40 tahun terakhir dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan tersebut dari masa ke masa. Untuk itu tulisan ini mem akai tiga periode: masa sebelum regrouping desa, masa sesudah regrouping desa, dan masa sesudah pemetaan partisipatif. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 186


ANEKNG DALAM PERSEKTIF SEJARAH Anekng adalah nama sebuah kawasan hunian adat ( kampokng atau kampung dalam bahasa Indonesia) yang berbatasan dengan binua Tungkalakng di utara, binua /wilayah ketemenggungan Ayo di selatan, binua Sapari’di di timur, dan binua Samaroa’ di barat. Dinilai dari sisi fonetik dan geografi nama Anekng mempunyai makna tersendiri. Kampung tersebut terletak tepat di punggung bukit (tajur). Karenanya warga komunitas ini harus berteriak untuk berbicara dengan orang-orang yang tinggal di kaki bukit tersebut. Bila tidak terdengar, maka orang yang diajak bicara akan berteriak “ lanekng-lanekng ”(lantang). Akhirnya kata lanekng berubah menjadi Anekng sebagai nama tempat (Kampung). Posisi yang di punggung bukit tidak lepas dari sejarah kampung yang pernah mengalami bencana banjir, sehingga mereka membangun pemukiman di tempat yang tinggi untuk menghindari banjir. Orang Anekng sebetulnya berasal dari dua binua. Kelompok pertama adalah penduduk Binua Sapari yang kemudian bermukim di suatu tempat yang sekarang disebut timawakng Palu’ (sekarang tempat ini telah berubah menjadi areal persawahan). Kampung ini berada di dataran rendah nan datar dekat sungai Tungkalakng. Suatu ketika sebuah banjir besar menghancurkan rumah panjang (radakng betang) dan dango (lumbung padi) serta menghanyutkan segala macam ternak. Akibat peristiwa tersebut komunitas ini pindah ke tempat yang agak tinggi yang kemudian disebut Timawakng Punti (tempat ini pun telah berubah menjadi areal persawahan). Karena ada suatu wabah penyakit, komunitas Timawakng Punti akhirnya pindah lagi ke Kampung Anekng sekarang. Kelompok kedua berasal dari binua Sangah. Mereka mengembara dan kemudian berladang dan menetap di Timawakng Pade’ untuk beberapa saat. Kemudian kelompok ini melanjutkan lagi perjalanannya ke pemukiman Sinompok. Di pemukiman ini ada ketidakjelasan tentang perpindahan penduduk selanjutnya. Diduga sebagian pindah ke hilir menuju kampung Anekng, sedangkan sebagian lainnya memilih pindah ke arah hulu dan membuka kampung baru yang disebut Barangan. Hingga sekarang tempat ini masih dihuni oleh satu keluarga. Dalam perkembangan sekarang timawakng Sinompok telah berubah menjadi bawas. Sebelum tahun 1945 kampung Anekng merupakan bagian dari binua Kalampe yang ditinggalkan karena sebuah peristiwa pada jaman Belanda. Warga kampung tersebut kemudian berpindah ke arah barat dan bermukim di tempat yang kemudian dinamai kampung (sekarang dusun) Tonakng.

187 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Anekng Menuju Desa Gaya Lama (Sebelum 1987) Seperti juga kampung Dayak lainnya, kampung Anekng berada di dekat aliran sungai, yaitu sungai Tungkalakng, dan semua warganya tinggal dalam sebuah rumah panjang. Bangunan ini bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga pusat kegiatan sosial dan budaya di kampung. Di rumah panjang tiap keluarga tinggal di sebuah bilik yang memiliki ruang tidur dan dapur. Di bagian depan bilik-bilik ini terdapat ruangan terbuka yang memanjang yang menjadi ruang publik bagi seluruh penghuni rumah panjang. Di ruang yang memanjang inilah warga berkumpul untuk bercengkerama, orang tua mendongeng, kegiatan kesenian berlangsung, dan upacara-upacara adat dilakukan. Seperti kampung-kampung Dayak lainnya, di rumah panjanglah kebudayaan orang Anekng dipelihara dan diturunkan. Pada masa ini tatanan adat kampung Anekng masih di bawah kendali Timanggong untuk tingkat binua, pasirah untuk tingkat kampung dan pamanae di tingkat kelompok pemukiman penduduk yang jumlahnya ditentukan berdasarkan kesepakatan komunitas yang bersangkutan. Timanggong merupakan figur pengurus adat tertinggi yang independen dan berwibawa . Ia adalah soko teladan dalam kehidupan sosial, memiliki pengetahuan adat yang luas,dihargai pendapat dan kedudukannya, serta menjadi penjaga segala norma. Kampung mengurus semua urusan sendiri mencakup apa yang sekarang dikenal sebagai aspek-aspek eksekutif, legislatif dan yudikatif sekaligus. Penyelenggara adat saat itu sangat otonom dan bebas dari pengaruh kekuasaan dan kepentingan. Pemilihan seseorang sebagai perangkat adat ditentukan berdasarkan profesionalismenya, tanpa harus ada pendidikan formal. Pengurus adat pada masa ini memiliki posisi yang sangat kuat. Semua orang patuh kepada tetua adat dan para pemimpin yang kharismanya sangat besar. Kata-kata seorang Timanggong sangat menentukan dan praktis tidak ada perlawanan, bagaikan titah seorang raja. Namun keputusan tersebut tidak diambil sendiri, secara semena-mena. Seorang Timanggong adalah seorang organisator kebijakan yang memusyawarahkan dulu masalah yang dihadapi bersama para gapit Timanggong dan perangkat adat lainnya untuk mendapatkan kata mufakat. Jarang sekali muncul perselisihan tentang putusan adat karena memang pengambilan keputusan dilakukan secara demokratis dan bijaksana. Orang yang bertikai, misalnya, dibuat sedapat mungkin untuk menyadari dasardasar pengambilan keputusan sehingga paham akan kekeliruan kedua belah fihak, bukan keputusan sefihak yang semata-mata mengandalkan kekuasaan yang menyebabkan orang terpaksa dan diperlakukan tidak adil. Rasa bangga

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 188


dan kuatnya posisi pengurus adat menyebabkan warga kampung bangga pula melafalkan nama kampungnya sebagaimana mestinya, Anekng. Namun rasa bangga tersebut mulai berubah pada tahun 1960an. Pada dekade 1960an pengaruh pemerintah Indonesia mulai terasa dalam kehidupan kampung. Pemerintah mendorong warga kampung Anekng untuk membongkar rumah panjang, sehingga masing-masing keluarga membangun rumah tinggal pribadi. Pembongkaran ini berdampak pada berkurangnya ikatan sosial di antara para warga. Pada masa ini terjadi pemisahan pengurusan kampung antara kekuasaan adat dan otoritas pemerintahan. Pemimpin kampung, yang sebelumnya disebut tuha kampung, mendapat gelar jabatan baru yaitu kepala kampung yang dibantu oleh seorang kabayan (setaraf dengan sekretaris desa) dan sejumlah pengurus lainnya. Mereka bertugas mengurus administrasi pemerintahan. Sementara struktur pemerintahan adat juga tetap dipertahankan pada masa itu yang terdiri dari Timanggong, pasirah, dan pamane. Kampung Anekng pada saat itu menjadi bagian dari ketimanggongan Sanyiupm. Awalnya pengurus kampung dan pengurus adat bisa saling melengkapi, duduk bersanding bagai kedua mempelai. Mereka memiliki pembagian wewenang yang jelas. Tetapi lama kelamaan kedua struktur tersebut saling bersaing bagai dua kubu yang berseteru yang menimbulkan dualisme kepemimpinan desa. Mereka saling bersaing dalam hal kepentingan, legalitas, kekuasaan , dan lain-lain. Perebutan pengaruh itu terjadi karena minat yang kuat untuk dekat dengan pusat kekuasaan dan sumber uang. Apalagi proyek dan subsidi pemerintah mulai masuk. Bahkan subsidi menjadi daya tarik untuk menjadi kepala kampung. Pembagian wewenang yang sebelumnya jelas menjadi kacau. Salah satu dampaknya adalah seorang Kepala Kampung bisa mengurus sengketa adat. Hal ini dianggap wajar bahkan bisa dianggap sebagai sebuah prestasi yang super, biarpun putusannya kurang bahkan tidak memenuhi rambu-rambu hukum adat. Kemerosotan sistem sosial ini berdampak sangat serius terhadap jati diri orang Anekng. Bersamaan dengan adanya perhatian pemerintah itulah nama Andeng mulai dikenal. Perubahan lafal tersebut kemungkinan karena pengaruh bahasa Melayu yang kesulitan melafalkan kata Anekng. Namun perhatian pemerintah secara perlahan justru mengubah pandangan warga Anekng tentang kampung mereka. Salah satunya adalah pendapat warga yang melihat perubahan nama kampung sebagai bentuk kemajuan. Makin lama nama Anekng berkonotasi kampungan, kolot, udik dan tidak mengikuti perke mbangan. Akhirnya warga kampung malu menyebut nama Anekng.

189 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Setelah UU Pemerintahan Desa berlaku pada tahun 1979 semua kampung di Kalimantan Barat kemudian diubah statusnya menjadi desa, yang sekarang dikenal sebagai desa gaya lama. Struktur organisasi kamp ung pun berubah harus mengikuti undang-undang, sehinggal kepala kampung pun berubah nama jabatan menjadi kepala desa. Perubahan ini membuat goncangan baru terhadap kehidupan warga Anekng dan masyarakat Dayak lainnya di provinsi tersebut.

Andeng Sebagai Desa Gaya Baru (1987-1997) UU Pemerintahan Desa memandatkan bahwa pembentukan desa harus memperhatikan “syarat-syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan syarat-syarat lain� (pasal 2 ayat 1). Menteri Dalam Negeri kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 4 tahun 1981 tentang Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Desa sebagai peraturan pelaksanaan yang dimandatkan UU. Untuk menjalankan peraturan tersebut di tingkat provinsi pada tanggal 9 September 1987 Gubernur Kalimantan Barat mengeluarkan surat keputusan No. 353/1987 tentang Penyatuan Desa dalam Rangka Penataan Kembali Desa di Kalimantan Barat. Surat keputusan inilah yang menjadi dasar program penataan desa secara besar-besaran di provinsi tersebut yang membentuk desa gaya baru. Program ini kemudian dikenal dengan istilah Regrouping Desa. Untuk menjadi suatu desa gaya baru, desa yang ditata ulang harus memenuhi syarat: luas wilayah, jumlah penduduk mininal, memiliki akses pelayanan publik, dan lain-lain. Di antara berbagai syarat tersebut, persyaratan jumlah penduduk minimal yang menjadi persoalan besar. Sebuah desa harus memiliki penduduk minimal 500 KK atau 2500 jiwa. Sementara desa-desa di Kalimantan Barat umumnya memiliki wilayah yang luas namun penduduknya sedikit. Akibatnya beberapa desa yang berdekatan harus digabungkan untuk memenuhi syarat jumlah penduduk tersebut. Hal inilah yang terjadi dengan kampung Anekng. Kampung Anekng yang telah berubah nama menjadi desa Andeng pun mengalami regrouping. Namun proses pembentukan desa gaya baru ini sama sekali tidak melibatkan masyarakat dan tidak memperhatikan sejarah masyarakat, sehingga binua-binua yang ada dicampur aduk tak karuan. Inilah yang terjadi dengan desa Andeng. Desa gaya baru ini merupakan gabungan dari 9 kampung yang berasal dari tiga binua, yaitu: 1) Kampung Anekng yang merupakan sebuah kampung dari binua Kalampa 2) Seluruh wilayah binua Tangkalakng yang terdiri dari kampung Tampi, Bide, Pakatatn, Tampalaas, dan Talo’ Manuk 3) Seluruh wilayah binua Sairi yang terdiri dari Bajamu Sairi, Pinyaho ’, dan Kamayo Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 190


Karena posisi kampung Anekng yang strategis, yaitu berada di persimpangan jalan, maka kampung tersebut ditetapkan sebagai pusat desa. Sehingga nama desa pun dipilih Andeng. Sementara kampung-kampung lain menjadi dusundusun dalam wilayah desa gaya baru ini. Namun dari sembilan kampung tersebut hanya dibentuk lima dusun sebagai berikut: 1. Kampung Anekng menjadi dusun Andeng 2. Kampung Bajamu Sairi, Kamayo dan Pinyaho digabung menjadi dusun Bajamu Sairi 3. Kampung Tampi dan Bide menjadi dusun Tampi Bide 4. Kampung Pakatatn menjadi dusun Pakatatn 5. Kampung Tampalaas dan Talo’ Manok menjadi dusun Tampalaas Struktur pengurusan desa pun berubah. Seperti juga desa gaya lama, pemerintahan desa dipimpin oleh kepala desa. Namun sekarang di bawahnya terdapat kepala-kepala dusun yang memimpin dusun-dusun. Selanjutnya dusun dibagi lagi menjadi rukun tetangga (RT) yang dipimpin oleh ketua rukun tetangga. Struktur yang baru ini hanya mengurus administrasi pemerintahan desa, tidak lagi mengurus adat. Karenanya dibentuk pengurus adat di desa. Di tingkat desa pengurus ini disebut pasirah, sedangkan di tingkat dusun disebut pamane. Pada awal 1990an pemerintah membentuk binua-binua baru. Masing-masing binua terdiri dari beberapa desa dengan pimpinan seorang Timanggong yang ditunjuk pemerintah daerah. Desa Andeng sendiri menjadi bagian dari binua Temila Ulu I. Pengurus-pengurus adat ini kemudian dihimpun pemerintah dalam suatu Dewan Adat Kecamatan. Akibatnya, banyak orang yang tidak paham adat tetapi berambisi menjadi pengurus adat. Perebutan pengaruh yang sudah lama terjadi ini diperparah lagi dengan makin merosotnya kebanggaan orang Dayak akan jati dirinya. Yang paling mencolok adalah keengganan orang Dayak memakai nama, atribut dan barang yang telah dimilik turun temurun, karena Dayak pada masa itu diidentikkan dengan orang primitif, kolot, kotor dan sebagainya. Orang-orang Dayak kemudian cenderung menamai anak-anaknya dengan nama-nama Jawa, Kristen, Melayu atau Cina. Belum lagi negara tidak mengakui pelaksanaan hukum adat Dayak yang tidak tertulis. Negara tidak mengakui pernikahan adat karena tidak adanya surat nikah. Begitu pun dengan klaim atas tanah tidak diakui karena tidak adanya surat bukti. Dalam kasus warga Anekng mereka tidak mendapatkan pelayanan administrasi pemerintahan bila tetap memakai nama asli kampungnya. Semua hal tersebut membuat warga tidak menginginkan nama Anekng sebagai nama desa dan lebih suka memakai nama Andeng seperti yang diberikan oleh pemerintah. Namun perubahan drastis terjadi setelah PP di desa Andeng.

191 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Kembali Ke Anekng.(1997-Sekarang) Pada saat pemetaan pertama di Kalimantan Barat berlangsung di Sidas Daya pada tahun 1994, penulis adalah salah satu aktivis Pancur Kasih yang tergabung dalam Koperasi Pancur Dangeri di Pontianak. Dari cerita-cerita tentang pemetaan yang beredar di kalangan aktivis, penulis kemudian mengunjungi kantor PPSDAK Pancur Kasih pada tahun 1996. Informasi yang penulis dapat kemudian disampaikan ke rekan-rekan sedesa. Berdasarkan informasi ini kemudian kepala desa Andeng mengirimkan surat permohonan pemetaan ke PPSDAK pada bulan Januari 1997. Dua bulan berikutnya serombongan aktivis PPSDAK datang ke desa untuk melakukan sosialisasi pemetaan. Pada pertemuan sosialisasi warga dan tim PPSDAK memutuskan untuk melakukan pemetaan pada bulan Juni 1997. Pemetaan dilakukan selama beberapa hari. Kelima dusun dalam desa Andeng disurvei satu per satu. PPSDAK menyerahkan peta kepada masyarakat pada akhir 1997. Dalam proses pemetaan, khususnya dalam kegiatan PRA, masyarakat digugah untuk membedah sejarah, tata ruang, budaya, tempat keramat dan lain-lain. Dari proses inilah kemudian orang Anekng tahu bahwa penyebutan Andeng untuk wilayah komunitasnya merupakan pengaburan sejarah. Begitu pula tentang tatanan sosial yang telah terusik. Dalam kegiatan PRA tersebut terjadi penyadaran pentingnya sebuah identitas. Namun sanga t disayangkan dalam pemetaan di Anekng kegiatan ini tidak teragendakan dengan baik. Padahal inilah titik yang menghubungkan antara proses pemetaan dengan kebangkitan masyarakat desa Anekng untuk ‘menggugat sebuah kebijakan ’ yang tidak berpihak. Gugatan tersebut memunculkan kesadaran akan kejanggalan, peninaboboan, dan pengebirian hak-hak masyarakat adat yang berlangsung selama ini. Pemetaan kawasan adat Desa Andeng membuat orang sadar dan terperangah bahwa penggabungan wilayah dan perubahan nama Anekng menjadi Andeng adalah tindakan yang melecehkan kearifan dan sejarah masyarakat di wilayah tersebut. Nama masing-masing kampung pembentuk desa Andeng punya sejarahnya sendiri-sendiri. Dengan demikian identitas dan keberadaan masingmasing kampung perlu dihormati dan dijaga. Jadi bila dalam peta pemerintahan hanya ada nama desa Andeng, bagaimana dengan keberadaan kampungkampung lainnya? Warga desa baru tersadar akan nilai sebuah nama, sejarah, dan hak ulayatnya selama proses pemetaan. Setelah pemetaan warga desa kembali memakai nama Anekng sebagai nama yang benar, bukan Andeng yang lebih merupakan kecelakaan sejarah. Kesadaran ini menimbulkan kebangkitan atas kebanggaan terhadap identitas Dayak dan keinginan untuk merevitalisasi budaya Dayak. Kebangkitan ini mendapat momentum ketika Cornelis, sekarang Gubernur Kalimantan Barat, saat masih menjadi bupati Landak mendorong pemakaian kembali nama-nama asal. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 192


Selain dampaknya terhadap penguatan adat, peta yang dihasilkan juga berhasil membatalkan maksud Dinas Kehutanan untuk memperluas hutan lindung sampai ke pemukiman desa.

Pembentukan Ketimanggongan Tungkasa Kesadaran sejarah dan upaya revitalisasi adat ini terus bergulir pasca pemetaan. Dalam sebuah rapat desa pada tahun 1998 yang dihadiri wakil PPSDAK masyarakat desa Anekng memutuskan untuk membentuk ketimanggongan sendiri sebagai wadah revitalisasi adat. Akhirnya warga desa mengadakan pertemuan dengan dampingan aktivis PPSDAK untuk membentuk ketimanggongan baru tersebut. Dalam rapat kemudian sampai pada pembicaraan nama ketimanggongan. Sebagian peserta mengusulkan nama Tungkalakng. Namun karena nama itu dinila i bisa menimbulkan konflik, maka sekretaris desa saat itu mengusulkan untuk memakai nama TungKaSa sebagai jalan tengah dan untuk menjaga persatuan warga desa. Nama ini adalah singkatan dari Tungkalakng, Kalampe dan Sairi yang merupakan nama-nama binua pembentuk desa Anekng. Wilayah ketimanggongan ini persis sama dengan wilayah desa gaya baru ini. Pada bulan Maret 2008 warga memilih timanggong TungKaSa yang pertama yang dikukuhkan pada bulan November 2008. Figur seorang timanggong terkesan tidak jauh dari pada periode regrouping desa, tetapi mulai nampak ada upaya pencitraan diri yang positif. Gaya pengurusan yang kurang berkenan mulai mengalami perbaikan, seiring dengan keinginan warga Anekng. Memang harus diakui bahwa beberapa proses di atas belum berhasil mempengaruhi struktur pemerintahan di kampung, tetapi mulai ada. Kedudukan timanggong mulai mendapat porsi dalam berbagai pertemuan tingkat kampung. Segala sengketa dan persoalan adat sedapat mungkin selesai di tingkat Timanggong. Karena itu para timanggong juga mulai membenahi kapasitas perangkatnya, agar semakin tumbuh pengakuan dan kepercayaan masyarakat. Proses revitalisasi ini tidak hanya terjadi di tingkat desa, namun juga sudah menjadi perjuangan masyarakat adat secara luas. Salah satu isi perjuangan tersebut adalah mengembalikan posisi binua dalam sistem pemerintahan kabupaten Landak. Usulan struktur telah dituangkan dalam bentuk Raperda Sistem Pemerintahan Binua yang telah diserahkan ke pemerintah dan DPRP Landak. Namun sampai saat ini usulan tersebut belum digubris. Salah satu isi usulan tersebut adalah mengembalikan nama kampung/desa sesuai dengan ejaan dan lafal nama aslinya.

193 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


KESIMPULAN Anekng adalah nama sebuah kampung yang memiliki sejarah yang terkait erat identitas warganya. Nama tersebut terkait dengan sejarah migrasi penduduk dan posisi geografis kampung. Namun masuknya pengaruh pemerintah Indonesia, yang memuncak pada regrouping desa, mengubah kampung secara drastis dan mencerabut warganya dari sejarahnya. Bentuk yang paling mencolok adalah pemberian nama Andeng untuk kampung yang sama dan akhirnya menjadikannya sebagai nama desa gaya baru. Perubahan nama dan pembentukan desa baru ini seolah merupakan sekumpulan kabut yang menutup delapan kampung lainnya. Struktur sosial dan pelaksanaan adat pun mencari carut marut, bahkan seperti kehilangan makna. PP di desa Andeng menggugah kembali kesadaran akan sejarah dan identitas kampung. Kegiatan tersebut mendorong warga untuk menimbang ulang semua yang telah terjadi selama proses Regrouping Desa. Dalam kesempatan ini regrouping desa ditempatkan sebagai sebuah kebijakan yang mengacaukan dan menindas tatanan sosial yang ada, sehingga komunitas adat setempat menjadi tamu di tanahnya sendiri. Pemetaan bukan saja mendorong warga untuk memakai nama-nama asli untuk kampung-kampung mereka, tetapi juga bahkan membentuk struktur adat yang independen melalui pembentukan ketimanggongan.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 194


“UKUR MENGUKUR� WILAYAH UNTUK MEWUJUDKAN KEDAULATAN RAKYAT ATAS RUANG DI TANAH RENCONG Oleh : Sulaiman Daud

PENDAHULUAN Sejarah Aceh yang terkenal dengan sebutan Kuta Raja, Serambi Meukah, juga Tanah Rencong merupakan daerah yang kaya akan budaya yang bernuansa Islami. Sekarang provinsi ini dikenal dengan sebutan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sedangkan sebelumnya dikenal sebagai Daerah Istimewa Aceh. Keistimewaan tersebut berdasarkan Agama, pendidikan dan budaya. Letaknya yang di sisi barat Selat Malaka, yang merupakan salah satu jalur laut utama di dunia, menjadikan provinsi tersebut sebagai pintu gerbang lalu lintas perdagangan dan kebudayaan yang menghubungkan Timur dan Barat sejak berabad-abad yang lalu. Akibatnya penduduk Aceh merupakan perbedaan dari berbagai suku dan bangsa. Bahkan nama Aceh sendiri terkadang juga merupakan singkatan dari Arab, Cina, Eropa dan Hindia, oleh karena itu penduduk Aceh sekarang merupakan keturunan dari ke empat etnis tersebut disamping etnis dari Minang dan dari daerah lainnya di Indonesia. Provinsi Indonesia yang paling barat ini memiliki 119 buah pulau besar dan kecil yang mengelilinginya. Secara administratif NAD terdiri dari 23 Kabupaten dan Kota. Luas Aceh keseluruhan adalah 57.365,57 km atau 5.736.557 Ha, yang terdiri dari hutan tua, hutan muda, pegunungan, areal pertanian, perkebunan, padang rumput, danau/rawa-rawa, sungai, laut, kota, gampong dan lain-lain. Penduduk Aceh berjumlah 4,163,20 jiwa, yang terdiri dari 2.059.471 laki-laki 195 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


dan 2.103.679 perempuan berdasarkan data BPS (Juni 2008) dengan mata pencaharian sebagian besar sebagai petani, nelayan, pedagang, pegawai negeri, buruh dan pengusaha. Provinsi ini memiliki catatan sejarah yang penting dalam hubungannya dengan Republik Indonesia. Rakyat provinsi ini memberi modal penting bagi pendirian republik yang pada dekade ked ua tahun 1940an mengumpulkan emas yang kemudian dipakai untuk membeli pesawat angkut. Namun dalam proses pembentukan negara-bangsa rakyat Aceh merasa dikecewakan oleh pemerintah pusat. Kejadian pertama adalah ketika gagalnya pemerintah Indonesia pada masa Presiden Soekarno memenuhi permintaan masyarakat Aceh untuk menjadi daerah provinsi yang berdiri sendiri terlepas dari provinsi Sumat era Utara dan memiliki sistem pemerintahan yang berdasarkan syariat Islam. Gubernur Aceh saat itu, Daud Beureueh, kemudian menyusun strategi untuk membentuk negara Islam yang dikenal nama Darul Islam dan yang dilengkapi dengan pasukan pertahanan Tentara Islam Indonesia . Menanggapi keadaan ini pemerintahan Soekarno mengirim pasukan ke Aceh untuk menumpas gerakan DI/TII pa da tahun 1959. Setelah itu muncul upaya perundingan yang disebut Misi Hardi dan berujung pada pemberian hak istimewa bagi Aceh dalam tiga hal yaitu bidang agama, pendidikan dan budaya. Tetapi pemberian gelar ini pun hanya sebatas nama saja, karena pelaksanaannya jauh dari harapan. Kekecewaan kedua muncul dari pengurasan sumber daya alam di Aceh. Minyak dan gas bumi merupakan kekayaan alam yang memberikan pendapatan yang sangat besar bagi perusahaan pemegang konsesi, seperti Mobil dengan konsesi pengusahaan gas alamnya, dan kas negara. Namun sebagian besar, kalau bukan hampir semua, pendapatan tersebut dibawa ke Jakarta, sementara dana yang kembali ke Aceh untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat sangatlah kecil. Akibatnya masyarakat Aceh tidak berkembang dan tertinggal jauh dari provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. S arana jalan, misalnya, masih seperti pada masa Indonesia baru saja ‘merdeka’ karena kebanyakan masih berupa jalan setapak. Keadaan ini menimbulkan rasa perlawanan para tokoh Aceh yang kemudian berpikir untuk mendirikan negara sendiri tanpa harus bergantung pada Jakarta. Pada tanggal 4 Desember 1976, Tengku Hasan Tiro dari T iro Pidie memproklamirkan Negara Aceh yang berbentuk Kerajaan. Gerakan ini dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Menghadapi tindakan yang dianggap makar ini pemerintah Orde Baru mengirimkan pasukan untuk membasmi pemberontakan tersebut. Mulailah masa panjang konflik bersenjata antara ABRI dengan GAM yang berlangsung sampai tahun 2005. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 196


Selama masa konflik tersebut terjadi pasang surut kekerasan. Pada tahun 1999, Aceh memasuki masa reformasi. Jalur informasi mulai terbuka sehingga masyarakat dunia mengetahui gejolak di Aceh. Pemerintah Indonesia mengadakan perundingan dengan GAM yang menghasilkan gencatan senjata yang disebut jeda kemanusiaan (I). Kemudian pada tahun 2000 sampai tahun 2002 keadaan perang kembali berlaku di Aceh dengan status sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) I. Eskalasi kekerasan ini mendorong Henri Dunant Center untuk memfasilitasi perundingan, sehingga Aceh kembali mengalami masa jeda kemanusian (II) sampai tahun 2003, Gencatan senjata ini pecah lagi karena kedua belah pihak tidak mampu menjaga isi kesepakatan, sehingga tahun 2003 pemerintah Indonesia memberlakukan lagi DOM tahap II. Pada tahun 2003 pemerintah mengubah nama operasi militer tersebut dengan nama operasi darurat sipil yang berlangsung sampai bencana tsunami menghantam Aceh. Pada hari Minggu pagi tanggal 26 Desember 2004, warga Aceh dikejutkan oleh gempa yang hebat dengan kekuatan 9,8 skala Richter. Gempa ini kemudian mengakibatkan gelombang tsunami yang menyapu dan meluluhlantakkan wilayah pesisir NAD, mulai dari Kota Banda Aceh sampai ke wilayah pantai Barat dan Selatan. Hantaman tsunami tersebut mengakibatkan lebih dari 130.000 jiwa meninggal dan ratusan ribu rumah hancur. Kehancuran fisik tersebut dan dampak psikologis yang ditimbulkan bencana tersebut mengundang upaya tanggap darurat besar-besaran yang dilanjutkan dengan program rehabilitasi dan rekonstruksi yang masif pula. Musibah ini membuka akses informasi kepada dunia luar yang sebelumnya sangat tertutup. Melalui mediasi Marti Ahtisaari (mantan Presiden Finlandia), GAM dan pemerintah RI akhirnya berunding untuk mengakhiri konflik. Akhirnya tanggal 15 Agustus 2005 Pemerintah RI dan GAM menandatangani memorandum kesepahaman ( Memorandum of Understanding/ MoU) yang mengakhiri perang yang berkepanjangan. Muncullah Aceh baru dalam masa damai. Bab ini menceritakan pengalaman Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI) dalam melakukan pemetaan dalam tiga situasi politik di Aceh: masa konflik, masa sesudah tsunami dan masa damai. Sebelumnya itu penulis menjabarkan secara singkat sistem sosial politik di Aceh dan alasan YRBI mengadopsi PP.

Sistem Pemerintahan Mukim Aceh Berdasarkan sejarahnya sistem pemerintahan Aceh dibagi atas tiga hirarki, yaitu kesulthanan (Provinsi), Sago/negeri (Kabupaten), Mukim dan Gampong. Sistem pemerintahan di Aceh sama seperti sistem pemerintahan lainnya di Indonesia, tetapi masih ditambah satu unit lagi yang berada di bawah kecamatan yaitu mukim. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang 197 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


mempunyai batas-batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Mukim dipimpin oleh seorang Imum Mukim, yang dibantu oleh seperangkat pengurus adat lainnya, dan bertanggung jawab ke camat. Suatu wilayah terbagi habis ke dalam unit-unit wilayah terkecil, demikian pula dengan wilayah administrasi. Provinsi terbagi atas wilayah Kabupaten dan terbagi lagi hingga wilayah Kecamatan, mukim dan gampong. Dalam sistem Pemerintahan di NAD yang berlaku sekarang, keberadaan Mukim yang terbentuk atas beberapa Gampong sudah terakomodasi seperti yang tercantum dalam Qanun No.4 tahun 2003. Wilayah Mukim cakupannya lebih kecil dari pada wilayah Kecamatan, namun Mukim mempunyai peranan yang sangat besar dalam pengelolaan wilayah dan mengatur sendi-sendi kehidupan anggota masyarakatnya. Berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi dan urusan tugas pembantuan serta segala urusan pemerintahan lainnya, mukim punya wewenang untuk melaksanakan pembangunan baik pembangunan ekonomi, pembangunan fisik maupun pembangunan mental spritual. Seorang Imum Mukim adalah sebagai pembina kemasyarakatan di bidan g pelaksanaan Syari’at Islam, pendidikan, peradatan, sosial budaya, ketentraman dan ketertiban masyarakat. Peningkatan percepatan pelayanan kepada masyarakat, penyelesaian sengketa atau perkaraperkara adat dan hukum adat. Lembaga Mukim merupakan salah satu lembaga yang sudah tumbuh dan mengakar dalam sistem kehidupan sosial masyarakat adat Aceh. Lembaga Mukim ini dituntut untuk dapat berperan aktif dalam menjaga dan melestarikan sumber daya alam yang ada di wilayahnya, baik sebagai suatu habitat, penataan fungsi lingkungan hidup, maupun melestarikan sumber-sumber daya alam yang indah dan asri. Demikian juga kepada lembaga-lembaga non pemerintah dituntut untuk memberi kontribusi/sumbangan yang berkaitan dengan sumber daya alam, kegunaan, manfaat sumber daya alam bagi manusia baik ditinjau secara langsung maupun tidak langsung seperti pengaturan tata air, pencegahan banjir dan pencegahan erosi dan lain-lain sebagainya. Di bawah mukim terdapat gampong yang hampir sama dengan sistem desa di tempat lain di Indonesia. Gampong adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung berada di bawah mukim yang menempati wilayah tertentu, dan dipimpin seorang Keuchik dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. Batas antar mukim cukup jelas dengan memakai tanda-tanda alam seperti gunung, sungai, teping, alur (anak sungai), batu besar, pohon-pohon besar dan lain-lain sebagainya. Namun setelah keluarnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeragamkan desa di seluruh Indonesia, mukim Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 198


tidak lagi memiliki wewenang karena wewenang tersebut ada pada gampong yang setingkat desa. Sampai pada masa tersebut batas antar gampong tidaklah terlalu jelas, sehingga timbullah masalah di antara gampong. Kalau pada jaman konflik hampir semua kepala dan perangkat gampongnya menunjukkan perbatasan gampong yang lebih kecil daripada batas sebenarnya. Praktik ini bertujuan untuk mempermudah keuchik dalam mempertanggungjawabkan wilayahnya dalam dua hal. Pertama, retribusi pajak yang harus dikeluarkan oleh gampong tidaklah terlalu besar. Kedua, praktik tersebut untuk menghindari persoalan yang muncul setelah terjadinya kontak senjata antara GAM dan tentara/Brimob di wilayah gampong yang bersangkutan. Misalnya ada sweeping (pemeriksaan) gampong pasca kontak senjata, atau harus mengangkat mayat jika ada korban, atau harus gotong royong untuk membersihkan gampong, baik di jalan yang sudah menjadi semak-semak maupun di belakang gampong yang dianggap rawan persembunyian musuh. Keadaan ini berbalik setelah perjanjian perdamaian tercapai, hampir seluruh gampong di Aceh mengklaim wilayah yang lebih luas, terutama. Bila ada sumber daya alam yang menjanjikan untuk kesejahteraan warga.

PROGRAM PEMETAAN PARTISIPATIF DI YRBI YRBI Melaksanakan Pemetaan Partisipatif Pada tahun 1996 PT. Indonusa Indrapuri (sekarang PT. Acehnusa Indrapuri) , menggunakan tanah dalam wilayah gampong Lam Kubu tanpa adanya kesepakatan dengan masyarakat setempat untuk dijadikan lahan Hutan Tanaman Industri (HTI). Masyarakat Lam Kubu dan sekitarnya melakukan protes kepada camat, bupati dan gubernur atas perampasan tanah yang dilakukan perusahaan tersebut, namun protes masyarakat dianggap angin lalu oleh aparat pemerintahan. Pada pertengahan 1998 masyarakat melakukan aksi demontrasi ke gedung DPRD Tingkat II Aceh Besar dan akhirnya sebagian tanah dibebaskan kembali pada masyarakat, namun masyarakat belum puas. Konflik Aceh yang meluas ke Aceh Besar pada tahun 2000 akhirnya menghentikan seluruh kegiatan perusahaan tersebut. Masyarakat kemudian mengambil kembali tanah tersebut dan merasa perlu untuk menata kembali klaim mereka atas wilayah adatnya. Dari keadaan tersebut YRBI menyimpulkan bahwa masyarakat membutuhkan kedaulatan/pengakuan atas ruang dalam bentuk dokumen hak-hak ulayat. Salah satu komponen penting dokumen tersebut a dalah peta wilayah. Karena itulah PP menjadi cara untuk memperoleh dokumen tersebut. Kebutuhan mengharuskan

199 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


YRBI berjaringan dengan LSM-LSM yang bergerak di bidang tersebut. Karena JKPP sedang mengadakan program pelatihan PP maka YRBI mengirim salah seorang staf ke JKPP agar dapat ikut magang ke Kalimantan Barat pada akhir Agustus 1999 selama tiga minggu. Untuk mengembangkan PP di Aceh, pada tahun 1999 YRBI melakukan pemetaan. Kemudian pada 28 Agustus s/d 14 September 2000 melaksanakan Regional Training PP yang diikuti oleh teman-teman LSM lokal dan organisasi masyarakat. Fasilitator utama pelatihan ini adalah Tono dari lembaga Lembar (Jambi). Lokasi kegiatan ini di Kelurahan Paya Seunara, Pulo Sabang. Sebagai tindak lanjut dari hasil magang dan pelatihan PP tersebut YRBI melakukan pemetaan gampong di Alue Naga di dalam wilayah kota Banda Aceh, dan selanjutnya di gampong Lamteh, Lamkubu, Lampanah di Aceh Besar.

Proses Pemetaan Partisipatif PP yang dilakukan oleh YRBI terdiri dari delapan tahap. Kesemua tahap tersebut dipakai sejak masa konflik dan masih dipakai sampai saat ini. 1. Sosialisasi Dan Pertemuan Masyarakat Kegiatan ini dilakukan setelah adanya penjajakan lapangan oleh orang yang menjadi kontak (contact person) YRBI di kampung, yang juga salah seorang tetua adat setempat. Pada pertemuan ini disampaikan informasi tentang kegiatan pemetaan dan fungsi peta yang akan dihasilkan. Yang hadir dalam pertemuan ini adalah pimpinan adat gampong (keuchik), tetua adat lainnya dan masyarakat. Pada tahap ini kesepakatan adat tentang pelaksanaan kegiatan pemetaan diambil. Sementara untuk pertemuan masa konflik harus dihadirkan lagi tokoh masyarakat tingkat kecamatan yang memiliki kewenangan khusus dalam suasana Aceh yang sedang dilanda konflik. Pada saat damai tokoh-tokoh luar cukup dengan pemberitahuan saja tidak perlu dihadirkan lagi dalam pertemuan tersebut. 2. Musyawarah Gampong Kegiatan musyawarah gampong yang dilaksanakan sebenarnya merupakan lanjutan dari proses sosialisasi untuk mendapatkan penegasan ulang atas pelaksanaan pemetaan yang telah disepakati pada tahap sosialisasi. Tahap ini juga untuk melakukan perencanaan kegiatan secara rinci. Terakhir para peserta membuat peta sketsa yang menjadi dasar diskusi penentuan batas dan perencanaan rute survei. Pada masa konflik para penyelenggara harus bisa melakukan penyesuaian materi berdasarkan pertimbangan saat itu.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 200


3. Pengenalan Alat Dan Cara Penggunaannya Sebelum pengambilan data lapangan, baik dengan menggunakan GPS maupun kompas, masyarakat yang akan berpartisipasi dalam kegiatan pemetaan terlebih dahulu dibekali dengan pengetahuan praktis tentang PP dan teknik penggunaan alat (GPS, Kompas dan meteran). Tiap peserta kemudian mempraktekkan cara penggunaan alat tersebut. 4. Survei Lapangan / Pengambilan Data GPS Dan Kompas Pengambilan data GPS dan Kompas dilakukan di lokasi yang telah disepakati sebelumnya, sesuai dengan jumlah GPS dan kompas yang dapat dipakai untuk kegiatan ini. Tiap kelompok terdiri dari enam orang ditambah satu orang pendamping dari YRBI. 5. Pengolahan Data Karena keterbatasan alat/sarana pendukung, kegiatan pengolahan data secara detail dilakukan di Banda Aceh (di Kantor YRBI ) dengan mengikut sertakan wakil dari masyarakat. 6. Klarifikasi Peta : Setelah data selesai diolah dan menjadi peta final dilakukan klarifikasi ulang dengan masyarakat. Semestinya klarifikasi peta ini dilakukan langsung di gampong, namun karena kondisi tidak memungkinkan maka kegiatan ini dilakukan di Banda Aceh dengan menghadirkan tetua adat dan tokoh masyarakat yang memahami benar seluk beluk gampong. 7. Penyelesaian Akhir Peta Kegiatan ini juga dilakukan di kantor Y RBI dan akan menghasilkan peta akhir yang diinginkan oleh masyarakat Gampong. Kegiatan PP yang menghasilkan tiga jenis peta tersebut – peta referensi, peta tata guna lahan dan peta pemukiman – menimbulkan dua dampak penting. Pertama, selama proses PP terjadi pewarisan pengetahuan dari generasi tua kepada yang lebih muda tentang sejarah kawasan dan nama-nama tempat, batasbatas wilayah, pemanfaatan oleh masyarakat setempat. Kedua, peta-peta tersebut dapat dipergunakan oleh masyarakat, baik untuk kepentingan penataan ruang, penegakan adat, maupun dalam rangka mempertahankan hak-hak adatnya.

201 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Proses Pemetaan Partisipatif Fase Konflik Bersenjata PP di Gampong Lam Kubu pada tahun 2000. Karena kegiatan tersebut berlangsung dalam masa konflik, banyak tantangan yang dialami mulai persiapan awal sampai ke proses pemetaan itu sendiri. Strategi pelaksana kegiatan pemetaan di gampong ini dimulai dengan kunjungan awal di gampong, yang difasilitasi oleh mukim. Tim sosialisasi pemetaan menemui seorang kontak person yang sebelumnya melaporkan persoalan tanah masyarakat yang dirampas oleh PT. Indonusa Indrapuri ke YRBI. Berdasarkan laporan tersebut tim pemetaan turun ke lapangan untuk berdiskusi dengan kepala gampong serta mengutarakan rencana kegiatan PP di gampong tersebut sebagai jalan untuk merebut kembali tanah yang dikusai oleh PT Indonusa. Setelah ada kesepakatan pelaksanaan pemetaan maka tim sosialisasi bersama-sama dengan kepala gampong menjumpai Imum Mukim untuk mendorong pertemuan sosialisasi pemetaan dengan jumlah peserta lebih banyak yang mewakili dari semua dusun di gampong. Karena Imum Mukim merupakan bahagian pemerintah maka lembaga mukimlah yang boleh melakukan pertemuan yang berkenaan dengan kepentingan masyarakat secara umum. Oleh karena itu fasilitas Imum Mukim sangat diharapkan untuk mempermudah keluar izin pertemuan. Surat permohonan izin kegiatan dibuat oleh mukim berdasarkan konsep yang dibuat oleh YRBI. Imum mukim hanya menandatangani dan mengantarkannya ke kecamatan untuk mendapatkan surat izin pertemuan dari camat. Surat izin pertemuan dari camat setempat diketahui oleh Kapolsek dan di disetujui oleh Koramil setempat. Di dalam surat izin tersebut biasanya ada hal-hal yang harus dipenuhi oleh panitia pelaksana, misalnya hasil notulensi pertemuan harus diserahkan ke pihak kecamatan. Selama dalam pet emuan pihak mupika harus memantau pertemuan, biasanya yang datang adalah dua orang dari Polsek setempat. Kepada petugas keamanan ini juga harus diberikan uang rokok. Strategi penyampaian materi pemetaan disesuaikan dengan kondisi pertemuan dan peserta yang hadir. Fasilitator yang memimpin pertemuan harus menilai sejauh mana penjelasan perlu diberikan. Bila dinilai memungkinkan, mereka menceritakan proses pemetaan secara rinci dengan penjelasan tentang tujuan, manfaat dan fungsi pemetaan itu sendiri. Namun bila dinilai sebaliknya fasilitator (tim sosialisasi pemetaan) akan menceritakan hal-hal lain yang ada hubungannya juga dengan pemetaan tapi dengan titik berat pada pentingnya untuk menjaga wilayah lingkungan sekitar dari hal-hal yang mengganggu keamanan dan diarahkan agar semua peserta untuk dapat berpartisipasi dalam menjaga gampongnya masing-masing.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 202


Bila kesepakatan di antara tim sosialisasi dan masyarakat gampong tercapai, maka akan dilakukan pemetaan. Namun pada tahap inilah kadang-kadang terjadi hambatan yang paling mendasar, misalnya soal keamanan alat – alat pemetaan terutama GPS dan foto peta topografi. Untuk penggunaan GPS pihak tim pemetaan mensiasatinya dengan cara mencari lembaga yang dianggap aman sebagai pemilik peralatan tersebut. YRBI kemudian meminta proyek Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) untuk seolah-olah menjadi pemilik unit GPS tersebut karena hanya mereka yang boleh memilikinya untuk menjaga kawasan hutan tersebut. KEL kemudian membuat surat yang menjelaskan bahwa GPS tersebut dipinjam YRBI. Sementara untuk peta topografi tim pemetaan memotong lembar peta menjadi bagian-bagian kecil agar dapat dipakai sebagai kertas pembungkus. Setelah tim pemetaan sampai di gampong yang dituju potongan-potongan tersebut baru dirangkai kembali sebagai pedoman untuk melakukan pemetaan. Walaupun proses pemetaan pada masa ini begitu rumit bukanlah berarti PP tidak bisa dilaksanakan di Aceh. Akan tetapi untuk memperkenalkan dan mengembangkannya diperlukan energi lebih, kemauan dan juga s emangat juang. Atas dasar itu pula YRBI mendahulukan pendekatan-pendekatan berupa kegiatan praktis untuk memperkuat adat sebagai dasar sebelum melakukan kegiatan pemetaan. Proses pemetaan yang di jabarkan di atas merupakan pengalaman di Lamkubu. Dalam pelaksanaan pemetaan tidak semua rangkaian proses dapat dilakukan sekaligus di lapangan. Saat pemetaan berlangsung daerah/kawasan kemukiman Lamtamot, dengan Lamkubu adalah salah satu gampong pembentuknya, menjadi daerah pantauan pihak Polri/TNI karena dua minggu sebelumnya mereka menyisir gampong Panca, yang berbatasan dengan gampong Lam Kubu, untuk mencari anggota GAM. Namun demikian karena masyarakat sudah bertekad untuk menata ulang tata ruang gampong mereka, maka pada tahap pelaksanaan kegiatan tetap dilakukan. Mereka melakukan diskusi-diskusi tentang tata ruang yang sudah ada dan memutuskan untuk melakukan pemetaan batas-batas gampong. Sehubungan dengan kondisi keamanan di Aceh Besar yang kurang kondusif maka ada beberapa kendala yang dihadapi selama melakukan pemetaan. Dua kali diskusi harus dilakukan di Banda Aceh karena masih dikhawatirkan akan menimbulkan kecurigaan dari pihak yang bertikai, sehingga menimbulkan biaya tinggi di kalangan masyarakat. Tingkat partisipasi dalam survei kurang karena kebanyakan warga tidak bisa meninggalkan pekerjaan mereka, walaupun mereka setuju atas pelaksanaan pemetaan. Pemakaian alat, terutama GPS dan kompas yang harus terlindungi dari kedua belah pihak yang bertikai dalam konflik bersenjata.

203 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Pada saat survei lapangan anggota TNI/Polri sering mendatangi tim pemetaan untuk melakukan interogasi dan sering akhirnya mereka minta uang rokok. Kejadian seperti ini berulang-ulang dengan orang-orang yang berbeda-beda. Bila dinilai sudah menganggu kegiatan biasanya tim pemetaan akan memberikan uang rokok agar mereka cepat-cepat pergi dari wilayah tersebut. Di sisi lain proses pemetaan bagi masyarakat tidak mendapat hambatan yang berarti karena masyarakat menginginkan adanya peta gampong. Mereka sangat antusias mengikuti proses survei lapangan meski tanpa bayaran. Bahkan ada warga yang menjamu tim pemetaan, baik di warung ,maupun di rumah.

Proses Pemetaan Partisipatif Fase Pasca Tsunami Bencana tsunami mengakibatkan rusaknya sarana dan prasarana, hancurnya pemukiman, hilangnya pemilik lahan (hilangnya ahli waris), bergesernya garis pantai ke daratan dan berubahnya rupa bumi. Pada fase ini tujuan dan manfaat PP adalah untuk memberikan kepastian atas pemilikan lahan individu, memberikan jaminan kepemilikan atas lahan yang sudah tidak ada ahli warisnya, meminimalisasi konflik batas pemilikan antar individu dalam sebuah gampong ini. Melalui PP batas gampong akan jelas, lahan milik individu atau milik ulayat juga akan jelas, sehingga tidak ada lagi pihak-pihak yang menggugatnya.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 204


Berbeda dengan pada fase sebelumnya, PP pada masa ini tidak memerlukan izin dari pihak keamanan. Pertemuan dengan pihak kepala gampong tidak lagi memerlukan bantuan dari imum mukim. Tim hanya memberitahu imum mukim tentang pelaksanaan pemetaan gampong di dalam wilayahnya, sesuatu hal yang tidak mungkin pada masa konflik. Kegiatan PP saat itu sangat dibutuhkan karena peta merupakan pedoman yang penting dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan oleh berbagai pihak baik pihak pemerintah maupun berbagai LSM. YRBI bekerja sama dengan JKPP juga ikut dalam upaya ini dengan melakukan PP di kecamatan Mesjid Raya dan kecamatan Peukan Bada Aceh Besar. Dalam kesepakatan kerjasama antara YRBI dan JKPP untuk pemetaan Gampong di wilayah yang terkena bencana tsunami terdapat pembagian peran di antara keduanya. JKPP mencarikan dana untuk pelaksanaan kegiatan ini dan mengirim relawan pemetaan yang berasal dari beberapa lembaga anggotanya di luar Aceh (Jawa, Sulawesi, Sumatra dan Kalimantan) untuk membantu pelaksanaan kegiatan. Selain itu JKPP menyediakan peralatan dan semua kebutuhan pemetaan. Sementara peran YRBI adalah menjadi ‘ tuan rumah’ bagi kegiatan ini, menentukan lokasi kegiatan pemetaan dan mengkoordinasi kegiatan lapangan. Sebelum ke lapangan p ara relawan ini mendapat pengarahan dari YRBI tentang rambu-rambu budaya Aceh, misalnya larangan penggunaan anting-anting, gelang kaki dan celana pendek selama di kampung. Di samping itu YRBI juga menyampaikan kondisi Aceh yang masih belum damai serta apa saja trik-trik yang perlu diketahui bila bertemu dan berbicara dengan pasukan dari kedua belah pihak yang berperang. Para relawan juga diminta untuk bisa menahan diri agar tidak terlibat dalam pembicaraan/ perkataan yang berhubungan dengan soal-soal politik. Untuk proses pemetaan sendiri sama seperti kegiatan pemetaan sebelumnya, pertama sekali dilakukan sosialisasi awal dengan cara YRBI mengundang semua kepala Gampong dan tokoh-tokoh masyarakat ke kantor YRBI untuk membuat kesepakatan pelaksanaan kegiatan pemetaan serta jadwalnya disusun bersamasama. Setelah itu barulah semua relawan berangkat ke gampong-gampong dengan didampingi oleh tenaga lapangan YRBI. Tiap gampong mempunyai tim yang terdiri dari dua orang relawan dan satu orang pendamping dari YRBI. Koordinator lapangan dari YRBI yang mengkoordinasi semua kegiatan pemetaan gampong. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di lapangan maka para relawan tersebut didampingi oleh relawan dari Aceh sendiri a gar relawan dari luar Aceh dapat beradaptasi dengan lingkungan tempat kegiatan dan dapat dengan mudah beraktivitas di lapangan. Biarpun begitu masih juga terjadi kasus 205 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


penyanderaan para relawan oleh pasukan bersenjata di suatu lokasi yang agak jauh dari pemukiman penduduk. Pasukan ini sengaja menghilangkan identitas diri untuk menjebak siapa saja yang mereka jumpai di lapangan. Namun dengan bekal pengetahuan yang diperoleh dari pengarahan di kantor YRBI mereka tanggap terhadap keadaan. Mereka dapat melewati berbagai interogasi yang dilakukan oleh pihak keamanan dengan baik. Gelombang bantuan untuk bencana tsunami membuka isolasi Aceh ke dunia luar. Masyarakat di seluruh dunia dapat melihat langsung peristiwa-peristiwa yang terjadi Aceh. Masyarakat luar berbondong-bondong datang ke Aceh dengan berbagai macam label yang disandangnya. Ada yang datang untuk membantu mengevakuasi mayat-mayat korban tsunami. Ada pula yang datang untuk membantu mendistribusi berbagai jenis makanan dan obat-obatan.ke seluruh pelosok Aceh, bukan saja dalam wilayah yang terkena tsunami namun juga wilayah non tsunami. Keterbukaan informasi dan tantangan pembangunan kembali Aceh akhirnya mendorong GAM dan pemerintah RI untuk membuka kembali pembicaraan perdamaian. Upaya rehabilitasi dan rekonstruksi menyebabkan banyak pihak, termasuk NGO internasional menawarkan program-program bantuan seperti pembangunan perumahan, peningkatan ekonomi, perbaikan sarana air bersih, dan pelayanan kesehatan ke gampong-gampong . Akibatnya kepala gampong atau tokoh masyarakat lainnya sibuk menerima kunjungan dari berbagai pihak. Untuk kegiatan PP staf YRBI melakukan kunjungan awal sambil memberikan bantuan peralatan pembersihan gampong. Di sela kegiatan pembersihan itu staf lapangan YRBI mensosialisasikan program PP kepada gampong-gampong yang didampinginya. Kepala gampong dan tokoh masyarakat duduk berdiskusi tentang tawaran pemetaan gampong. Keputusan dalam pertemuan tersebut baru ditindaklanjuti dalam beberapa waktu setelah ada musyawarah di kantor YRBI. YRBI akan menerjunkan tim pemetaan ditambah relawan-relawan ke lapangan atau ke gampong yang sudah sepakat melakukan pemetaan. Para tim relawan pemetaan yang berkerja untuk membantu masyarakat yang terkena tsunami tidak saja mereka melulu melakukan kegiatan pemetaan, tapi mereka juga membantu kepala gampong membenahi administrasi gampong, misalnya tentang demografi dan surat-menyurat dan lain-lain sebagainya. Kedatangan tim pemetaan di gampong banyak membantu soal-soal administrasi gampong. Kendala PP saat itu biasanya tentang penentuan batas-batas gampong. Kegiatan pemetaan gampong kurang tersosialisasi dengan baik di antara masyarakat. Sehingga saat tim pemetaan dan pemuda gampong menarik garis meteran, ada warga yang mengatakan bahwa yang berhak mengukur tanah hanya petugas pertanahan saja. Ada pula warga yang menduga kepala gampong ada main Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 206


mata dengan pihak proyek gampong. Di samping itu ada juga kendala masih terbatasnya data pendukung antara lain peta topografi yang belum lengkap. Banyak gampong yang tanda batasnya hilang tersapu tsunami. Ada pula yang kabur batasnya sehingga menyebabkan konflik antar gampong yang sebelumnya tidak muncul ke permukaan. Padahal sebelum pemetaan batas antar gampong tidak pernah menjadi persoalan, namun saat pemetaan muncul konflik sehingga keharmonisan antarwarga terusik. Ada beberapa yang bisa diselesaikan dengan pendekatan musyawarah dan mufakat dan duduk bersama di gampong dengan melibatkan tokoh-tokoh kunci yang tertinggal untuk mencari solusi penyelesaian sengketa batas tersebut. Ada yang bisa diselesaikan dengan difasilitasi oleh tim pemetaan dan ada pula yang belum terselesaikan. Namun demikian permintaan PP semakin hari semakin banyak. Hal ini tampak dengan banyaknya surat permintaan pemetaan yang masuk ke lembaga pelaksana pemetaan gampong. Lembaga pelaksana kegiatan PP pun harus bekerja keras dan melakukan negosiasi dengan pihak jaringan dan mitra kerja untuk mendapat dukungan pelaksanaan kegiatan tersebut. Banyak gampong yang minta dipetakan, tetapi partisipasi masyarakat menjadi persoalan tersendiri. Hal ini muncul akibat program cash for work yang memberi upah harian bagi warga gampong yang terlibat dalam pembersihan gampong. Sementara dalam kegiatan pemetaan partisipatif warga gampong diharapkan secara sukarela bekerja karena kegiatan ini untuk kepentingan mereka sendiri. Setelah selesai tahap pemetaan batas gampong tim pemetaan kemudian memfasilitasi perencanan gampong sebagai pilot project, karena tidak semua gampong yang dipetakan kemudian dilakukan perencanaan gampong. Khusus untuk program pemetaan pasca tsunami dalam wilayah kecamatan Mesjid Raya hanya satu gampong yang dilakukan perencanaan gampong yaitu Gampong Beurandeh. Karena gampong ini dinilai bahwa selama proses pemetaan gampong masyarakatnya kompak. Sebelumnya tim pelaksana pemetaan melakukan diskusi-diskusi awal dengan masyarakat untuk mendapatkan kesepakatan tentang kegiatan perencanaan gampong. Setelah ada kesepakatan tercapai, maka tim JKPP-YRBI mengundang seorang fasilitator dari SALAM Bogor (Baehaqie) yang berpengalaman dalam memfasilitasi kegiatan perencanaan gampong. Pada saat itu belum ada staf YRBI yang memiliki kemampuan untuk memfasilitasi perencanaan gampong tersebut. YRBI dan relawan JKPP beserta masyarakat gampong Beurandeh membuat pertemuan persiapan untuk mendiskusikan hal-hal yang dibutuhkan pada saat kegiatan dilakukan. Kemudian mereka membentuk panitia pelaksana yang bertugas menjamin kelancaran kegiatan termasuk menyediakan konsumsi. Kegiatan ini.

207 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Kegiatan perencanaan Gampong yang berlangsung selama tiga hari tiga malam berjalan sangat meriah bagaikan sebuah pesta rakyat, karena warga masyarakat berduyun-duyun mengikutinya. Hari pertama dimulai dengan pembukaan acara secara serimonial, (kata pengantar dari YRBI, kata sambutan dari kepala Gampong, dan pembacaan doa). Kemudian fasilitator mulai dengan penjelasan perencanaan Gampong, dilanjutkan dengan perkenalan, pembagian kelompok kerja (kelompok usulan materi selama tiga hari: kelompok aturan main, kelompok kesepakatan jadwal dan kelompok klarifikasi peta). Hari kedua diisi dengan diskusi-diskusi kelompok tentang sumber daya alam, sumber daya buatan, sumber daya ekonomi, sumber daya sosial kelembagaan, dan juga pembahasan tentang rehabilitasi dan rekonstruksi. Kemudian dilanjutkan pembahasan tentang para pemangku kepentingan ( stakeholder) yang akan mengimplementasikan hasil dari perencanaan gampong. Dan yang terakhir pembentukan tim percepatan realisasi hasil perencanaan gampong, yang anggota timnya adalah wakil-wakil masyarakat gampong. Hasil perencanaan gampong tersebut antara lain adalah peta rencana pembangunan dan pembentukan tim percepatan pembangunan. Anggota tim tersebut semuanya adalah warga masyarakat gampong, yang terdiri dari kepala gampong sebagai penanggung jawab, pelaksana tugas sebagai ketua umum, dan ditambah dengan bidang-bidang antara lain nelayan, pembangunan, perdagangan, perkebunan, kehutanan, penghidupan ( livelihood ), dan bidang kelembagaan. Untuk implementasi rencana percepatan pembangunan gampong masyarakat juga menyusun skala prioritas: prioritas utama, menengah dan jangka panjang. Pada hari ketiga adalah pemaparan hasil hasil perencanaan gampong. Untuk itu panitia pelaksana mengundang berbagai pihak di antaranya pemerintah kabupaten, DPRD, konsultan swasta, NGO-NGO luar, NGO-NGO lokal dan gampong-gampong tetangga. Setelah pemaparan yang dilakukan seorang warga gampong, dokumen perencanaan tesebut kemudian diserahkan kepada para undangan yang diharapkan dapat mengimplemetasikan hasil perencanaan gampong tersebut. Ternyata hasil perencanaan gampong ini mendapat tanggapan positif dari pihak donor. Ketua umum tim percepatan pembangunan gampong akhirnya menjadi orang yang paling sibuk, mungkin lebih sibuk dari seorang bupati. Pihak donor yang ingin membantu gampongnya selalu mencari dan menjumpai beliau. Sehingga hampir semua yang direncanakan gampong tersebut bisa terpenuhi. hal ini menyebabkan gampong-gampong tetangga ingin juga melakukan pemetaan dan perencanaan gampong mereka.

Proses Pemetaan Partisipatif Fase Pasca Aceh Damai PP pada masa damai lebih mudah dalam prosesnya, bila dibandingkan dengan pemetaan waktu konflik dan tsunami. Sejak dari kunjungan awal ke lokasi yang Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 208


akan dipetakan penerimaan masyarakat terhadap pendatang sangat baik. Mereka beranggapan bahwa para pendatang akan membuka akses gampong mereka menuju kemajuan. Apalagi dengan kedatangan tim sosialisasi pemetaan yang sudah mereka tunggu-tunggu karena mereka sudah lama memintanya ke YRBI melalui Imum Mukim. Kegiatan pemetaan pada fase ini difo kuskan pada wilayah mukim Sarah Raya, sebuah wilayah yang tak terkena tsunami dan jauh dari kebisingan kota yang berada di kecamatan Teunom (Kabupaten Aceh Jaya ),. Dalam proses sosialisasi yang dilakukan oleh tim pemetaan (YRBI) di mukim Sarah Raya, yang merupakan pusat kemukiman setempat, pertemuan sosialisasi PP dilakukan di balai desa. Dalam pertemuan ini masyarakat menyatakan pentingnya kejelasan batas antar gampong karena sebagian gampong-gampong di mukim Sarah Raya sering mengalami Salah satu kegiatan PP paska Aceh Damai di sengketa batas. Sengketa ini Mukim Sarah Raya terus berlanjut karena selama ini tidak ada kesepakatan tertulis. Pertemuan tersebut menyepakati bahwa mukim Sarah Raya yang berjumlah lima gampong harus dipetakan menjadi satu peta kemukiman. Beberapa alasannya antara lain adalah untuk menjaga dan memelihara potensi gampong dan mukim yang ada dalam mukim Sarah Raya, untuk mempermudah proses pembangunan di gampong-gampong, dan untuk melengkapi administrasi gampong dan mukim. Proses pemetaan dimulai dengan pembuatan peta sketsa gampong yang bertujuan untuk mempermudah proses pengambilan titik di lapangan. Proses ini sangat akrab antara tim sosialisasi pemetaan dengan masyarakat setempat khususnya yang terlibat dalam pertemuan sehingga tim sosialisasi tidak mendapat kendala sedikit pun. Setelah kesepakatan pemetaan dan jadwal diperoleh, t im sosialisasi kembali ke Banda Aceh untuk mempersiapkan tim PP. Pada tanggal 2 Oktober 2006 tim pemetaan datang ke mukim Sarah Raya. Tim pelaksana terdiri dari empat orang pemetaan ditambah empat orang relawan. Karena pemetaan dilakukan secara bersamaan maka tim ini dibagi lagi ke dalam dua kelompok. Masing-masing memetakan satu gampong. Kedua tim tersebut bekerja dari satu gampong ke gampong lain sampai kelima gampong dalam mukim tersebut selesai dipetakan. 209 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Hampir semua dari 17 gampong yang dipetakan pada fase damai tidak memiliki konflik yang laten. Masyarakat sudah melaporkan p ersoalan-persoalan tata batas gampong-gampong ke Pemda dan DPRD pada saat lokakarya diseminasi PP tingkat kabupaten Aceh Jaya. Pada kesempatan tersebut pemerintah daerah memberikan tanggapan positif dan berjanji akan membentuk tim khusus penyelesaian konflik batas gampong. Namun sampai saat ini pembentukan tim tersebut masih tidak jelas.

KONFLIK BATAS PASCA PEMETAAN Ada banyak temuan kasus atau sengketa batas gampong di Aceh, khususnya yang dijumpai dalam wilayah kegiatan PP. Salah satu contoh adalah sengketa batas di antara gampong Beurandeh dengan gampong Paya Kameng Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar. Dalam pertemuan tahap awal kedua gampong sudah sepakat tentang batas karena kedua belah pihak sudah menyepakatinya. Namun pada saat pengambilan titik koordinat batas terjadi perbedaan pendapat. Di sinilah muncul benih-benih sengketa yang menyebabkan perdebatan sengit di antara kedua belah pihak, karena masing-masing mempertahankan prinsipnya. Melihat perdebatan yang makin memanas maka seorang anggota tim survei yang berasal dari Sulawesi mencoba mendinginkan suasana dengan memberi penjelasan dan pemahaman yang lebih mendalam tentang makna tata batas. Ia menjelaskan bahwa batas hanya kepentingan administrasi gampong, sementara tanah dan hak pribadi tetap masih dipegang oleh masing-masing pemilik yang bersangkutan. Dengan penjelasan ini kedua gampong dapat menerimanya dan sekaligus meletakkan tanda patok batas serta melakukan ikrar adat yang dipandu oleh anggota tim. Lain halnya yang terjadi di gampong Meunasah Mon, Meunasah Kulam dan Meunasah Keudee. Sampai selesai pemetaan ketiga gampong tersebut tetap tidak dapat menuntaskan konflik batas. Akhirnya mereka hanya membuat tanda batas semu, dan akan diperbaiki ulang setelah ada kesepakatan adat. Para sesepuh (tokoh masyarakat) gampong sudah berusaha keras untuk menyelesaikan konflik batas mulai dari pertemuan tingkat gampong, mukim bahkan sudah sampai ke tingkat kecamatan. Namun sampai saat penulisan masalah ini belum juga ditemukan jalan penyelesaiannya. Konflik batas terjadi hampir di semua gampong dalam Kabupaten Aceh Besar. Masyarakat sangat menginginkan gampong mereka tidak memiliki persoalan sengketa batas. Ini merupakan hal yang posistif dari hasil pemetaan gampong, karena masyarakat akan mengetahui tata batasnya, mengetahui kepemilikan lahan dan mudah menjelaskan kepada generasi penerus selanjutnya. Jelasnya batas wilayah mukim dan gampong dengan membuat kesepakatan batas baik Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 210


batas alam seperti; sungai, alur, gunung, dan batu atau batas kesepakatan seperti membuat patok kecamatan-mukim-gampong melalui musyawarah. Rencana tata ruang, hak kelola wilayah mukim diserahkan kepada imum mukim seperti hutan, batang air, padang meurabee (padang gembala), tambang, tanah ulayat.

PERLUASAN GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF YRBI berencana memperluas gerakan PP di Aceh untuk mempermudah para pelaksana roda pemerintahan di tingkat gampong dan mukim sehingga mereka dapat melakukan pengelolaan ruang dan sumber-sumber daya alam menuju kehidupan masyarakat yang lebih berdaya dan mandiri. Perluasan tersebut dilakukan khususnya dengan mengembangkan gagasan distribusi ruang mulai dari tingkat gampong hingga mukim. Masalah-masalah penting yang dialami oleh masyarakat NAD adalah mulai memudarnya nilai-nilai lokal dan menyempitnya penguasaan wilayah, baik di tingkat gampong maupun mukim. Kedua hal tersebut mengakibatkan hilangnya hak dan akses ruang yang dapat dimanfaatkan atau dikelola secara komunal. Hal ini dialami oleh seluruh mukim di Aceh akibat kebijakan pembangunan yang mengabaikan batas-batas wilayah mukim sehingga menimbulkan persoalan atau konflik kebijakan, peraturan, kewenangan institusi maupun program pemerintah di antara (Pemda, institusi Mukim dan gampong). Oleh karena itu ide perluasan gerakan PP menjadi salah satu solusi untuk menjawab tantangan di masa depan, pergerakan perluasan pemetaan merupakan salah satu cara /metode memperkuat jaringan pemetaan sampai ke seluruh pelosok daerah serta mendorong pemerintah untuk mengadoksi tehnis pemetaan secara partisipatif. ,

Simpul Layanan Dalam upaya memperluas gerakan tersebut, kita perlu menempatkan gerakan PP sebagai bagian dari “gerakan sosial.� Gerakan ini mengusung nilai dan prinsipprinsip: (a) Partisipatif, (b) Kesetaraan, (c) Demokrasi, (d) Transparan, dan (e) Akuntabilitas. Gerakan tersebut perlu motor yang memfasilitasi, mendorong dan menggerakkan gagasan PP. Motor tersebut berbentuk Simpul Layanan dan Jaringan Pemetaan Partisipatif (SLJPP), yang berkedudukan di tingkat kabupaten/ kota. Fungsi dan peran SLJPP (saat ini), adalah: 1. Membangun kemitraan dengan lembaga adat, NGO, Pemerintah Daerah. 2. Melakukan advokasi, lobi dan negosiasi agar PP menjadi program kerja pemerintah daerah yang dianggarkan dalam APBD. 3. Membangun simpul layanan yang efektif dengan lintas pendekatan daerah, pendekatan akses dan kapasitas PP.

211 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


4. Membangun komunikasi dengan dinas-dinas terkait dan juga orangorang pemerhati pemetaan secara partisipatif. 5. Memperkuat simpul dengan pelatihan, magang dan pertukaran masyarakat (people exchange) 6. Mendorong masyarakat adat agar punya kemampuan memperjuangkan hak-haknya. Gerakan ini dilakukan untuk memberdayakan masyarakat dan kelembagaan sosial agar mereka dapat mengurusi dan menata ruang berdasarkan hak-hak dan pengetahuan masyarakat atas ruang dengan proses dan metodologi yang komperehensif, mencakup aspek sosial budaya, sosial ekonomi, politik, hukum dan ekologi. Jaringan yang diusung dalam gerakan ini berbasis gampong dan mukim serta hak-hak masyarakat. Untuk itu pengetahuan masyarakat tentang peta dan potensi sumber daya masyarakat perlu dikembangkan. Selain itu diperlukan upaya terus menerus untuk mengembangkan berbagai gagasan inovatif yang berdaya guna bagi masyarakat guna merwujudkan masa depan Gampong dan Mukim yang berdaulat, berkeadilan dan memajukan kemakmuran rakyat. Sebuah gerakan PP masih harus menelusuri liku-liku yang panjang. Salah satu pelajaran penting yang dapat ditarik adalah bahwa PP merupakan sebuah metode yang secara efektif dipergunakan oleh komunitas-komunitas dalam melakukan pembelaan untuk persoalan-persoalan konservasi dan eksploitasi potensi sumber daya alam. Gencarnya pembangunan fisik dan infrastruktur yang sekarang sedang berlangsung hampir seluruh pelosok Aceh menyebabkan kondisi lingkungan yang semakin memprihatinkan. Di samping itu sumber daya hutan mulai mengalami penyusutan luas kawasan serta terjadi peralihan hak tanah. Jika persoalan-persoalan tersebut tidak dibenahi sejak awal maka akumulasi persoalan ini menjadi bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu. Namun dalam persoalan tersebut peran-peran tokoh adat di tingkat mukim cenderung diabaikan. Peran dan fungsi mereka pun sering dipolitisir sehingga melemahkan kedudukan mereka dalam mengatur wilayah.

PENUTUP Penerapan PP di Aceh melalui beberapa masa, yaitu: Masa Konflik, Pasca Tsunami dan Pasca Damai. Diawali dari kegiatan magang staf YRBI pada tahun 1999 di Kalimantan Barat, gerakan ini mengalami pendalaman metodologi seiring dengan bertambahnya pengalaman lapangan. Gerakan PP dilakukan untuk

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 212


mewujudkan keberdayaan masyarakat dan kelembagaan sosial untuk mengurus dan menata ruang berdasarkan hak-hak dan pengetahuan masyarakat. Tulisan ini bermaksud untuk mempertegas kembali tujuan gerakan PP agar dapat terukur keberhasilannya dan dapat teridentifikasi kelemahannya. Konsep dan metode tentang perluasan PP perlu diperkaya kembali untuk menjadi satu komponen gerakan rakyat yang komprehensif. Salah satunya adalah dengan merefleksi metode pemetaan dan perencanaan partisipatif serta penggunaannya yang telah dilakukan baik di Aceh maupun di tempat-tempat lain. Para aktivis perlu memahami konsep sistem kelola gampong dan mukim atau unit-unit yang setara di tempat lain sebagai basis pengelolaan sumber daya alam, serta memahami kondisi dan tantangan penataan ruang gampong, mukim serta wilayah kabupaten dan provinsi. Di samping itu, mereka juga perlu mengembangkan strategi perluasan partisipasi masyarakat untuk merealisasikan hak-hak masyarakat dalam penataan ruang. Perluasan dan percepatan gerakan pemetaan dapat dilakukan dengan memperluas gagasan PP dalam berbagai sektor gerakan rakyat, terutama dengan mengembangkan simpul layanan sebagai ujung tombak gerakan PP di Indonesia. Berdasarkan pengalaman selama hampir sepuluh tahun pelaksanaan PP di Aceh memiliki berbagai hambatan, di antaranya: 1) Sulitnya melakukan survei lapangan karena faktor keamanan, dan adanya sengketa tata batas antar gampong/mukim. 2) Kurang tersosialisasinya program PP di tingkat masyarakat. 3) Masih kurangnya data pendukung, misalnya peta dasar yang kurang rinci, 5) Sulitnya mengumpulkan para tokoh masyarakat (kesibukan pasca tsunami), 6) Psikologi masyarakat yang rentan pasca konflik & tsunami.

213 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


REFLEKSI ATAS GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF DAN TANTANGAN DI MASA DEPAN Oleh : Hilma Safitri dan Albertus Hadi Pramono Dalam bab ini kami mencoba merefleksi tentang gerakan PP di Indonesia berdasarkan bab-bab sebelumnya, juga berdasarkan tanggapan atas kuesioner yang dikirimkan kepada para peserta sebelum pelaksanaan lokatulis dan diskusi-diskusi yang berlangsung selama lokatulis di Bogor. Refleksi ini mempunyai bias karena hanya meninjau pengalaman-pengalaman JKPP dan para anggotanya, lebih khusus lagi para peserta lokatulis. Namun kami yakin refleksi ini tetap sahih karena posisi JKPP yang sentral dalam gerakan PP di Indonesia. Berdasarkan refleksi tersebut, pada bagian akhir, kami mencoba menjabarkan tantangan gerakan PP di masa depan. Para peserta terlibat dalam pembahasan mendalam, baik secara jelas maupun samar-samar, tentang apa sesungguhnya tujuan besar (visi) dan konsep dari pelaksanaan PP dalam sebuah rangkaian penguatan kelompok-kelompok rakyat marjinal maupun untuk konteks pembelaan kelompok-kelompok tersebut. Dalam hal ini yang menjadi perhatian khusus adalah pemaknaan istilah Partisipatif/ Partisipasi. Catatan pertama ini kemudian akan sangat berpengaruh pada identifikasi tantangan-tantangan yang ada dalam setiap gerak langkah pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Catatan selanjutnya adalah terjemahan konsep-konsep tersebut ke dalam kegiatan Pemetaan Partisipatif dan apa saja dampaknya. Catatan terakhir terkait dengan apa saja tantangan-tantangan dari Pemetaan Partisipatif itu sendiri , khususnya terkait masalah internal gerakan (konsep dan metodologi) serta strategi yang dijalankan di masing-masing wilayah ketika berhadapan dengan dinamika politik lokal (kebijakan, birokrasi dan pihak-pihak yang ada di wilayah). Yang perlu diperhatikan adalah ketiga catatan ini hendaklah diletakkan dalam konteks kewilayahan masing-masing serta konteks visi dan misi organisasi atau kelompok rakyat tersebut. Dengan demikian ketiga catatan tersebut akan benar-benar hidup dan berkembang dengan harapan menjadi satu pendorong untuk upaya-upaya penguatan rakyat seutuhnya. Sebelum memaparkan ketiga hal tersebut perlu dicatat bahwa JKPP adalah sebuah organisasi yang cair, dalam arti memiliki keberagaman yang disebabkan karakter organisasi anggotanya. Salah satu contoh keberagaman tersebut adalah Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 214


tujuan organisasi anggotanya. Di satu sisi ada organisasi anggota JKPP yang mandat utamanya adalah melakukan aksi-aksi merebut kembali hak-hak rakyat atas tanah mereka, sedangkan di sisi lain ada organisasi yang memiliki strategi lain dalam pembelaan kelompok-kelompok rakyat marjinal, misalnya melalui penguatan pengakuan wilayah dan pendampingan komunitas dengan isu-isu tertentu. Hal ini pula yang menyebabkan bahwa bagian akhir tulisan ini yang pada awalnya menghendaki memberikan sebuah refleksi, menjadi sangat tidak mudah untuk dirumuskan menjadi sebuah poin diskusi yang bulat. Karenanya, beberapa catatan di bawah ini diharapkan akan terus mengisi tema-tema refleksi gerakan PP di wilayah-wilayah agar terus-menerus dapat memperkuat gerakannya dan memaksimalkan PP di setiap langkah perjuangan rakyat di wilayah.

PENYEBARAN GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF Para peserta mulai terlibat dalam gerakan PP melalui beberapa cara. Lembagalembaga yang memelopori gerakan PP mendapatkan ide PP dari kegiatan pemetaan yang dilakukan di Indonesia dan/atau dari pengalaman negara-negara yang sebelumnya telah melakukan pemetaan bersama masyarakat. Seperti telah diuraikan pada Pendahuluan, pemetaan di kampung Long Uli memberi inspirasi bagi para penggiat lingkungan yang makin peduli dengan hak-hak masyarakat adat untuk memetakan tanah-tanah adat. PPSDAK Pancur Kasih belajar tentang PP lewat lingkaran ini. Setelah mempelajari pemetaan yang dilakukan di TN Kayan Mentarang, lembaga-lembaga yang bernaung di bawah bendera Pancur Kasih melakukan pemetaan di kampung Sidas Daya (sekarang bagian dari Kabupaten Landak) pada tahun 1994. Dalam kegiatan ini Alix Flavelle dari Silva Forest Foundation (Kanada) bersama Frank Momberg (seorang geograf dari Jerman) mendampingi para penggiat Pancur Kasih untuk melakukan pemetaan. Setahun kemudian, tahun 1995, PPSDAK berdiri. Lembaga yang berkantor di Pontianak tersebut belakangan diminta JKPP – yang berdiri tahun 1996 – menjadi pusat pelatihan Pemetaan Partisipatif di Indonesia. Alix Flavelle juga berpengaruh dalam menularkan ide PP kepada Yayasan Tanah Merdeka (YTM). Dalam sebuah kunjungan ke Kanada yang diadakan YAPPIKA, sebuah lembaga yang banyak membangun kerjasama antara LSM Indonesia dan Kanada, Direktur YTM, Arianto Sangaji, mendapatkan jalan keluar dari masalah ketiadaan bukti tertulis penguasaan wilayah oleh masyarakat adat melalui pemetaan, berdasarkan paparan Alix Flavelle tentang pengalamannya melakukan pemetaan wilayah masyarakat adat (First Nation) di Kanada. YTM kemudian mengundang Alix Flavelle untuk memberikan pelatihan pemetaan di Taman Nasional Lore Lindu pada tahun 1995. Peserta pelatihan tersebut adalah 215 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


penggiat-penggiat dari YTM, penggiat dari wilayah Nusa Tenggara Timur, Toraja – Sulawesi Selatan, dan Makasar – Sulawesi Selatan serta beberapa orang Lindu dan mahasiswa pencinta alam. Selain di PPSDAK dan YTM, Alix Flavelle juga memberi pelatihan di Kepulauan Kei dan Kalimantan Timur. Sementara Frank Momberg juga mendampingi pemetaan antara lain di Sumba dan Papua. Kebanyakan lembaga asal para peserta belajar PP adalah dari PPSDAK, baik dengan mengikuti program magang di Kalimantan Barat, pelatihan yang diadakan JKPP di suatu tempat, atau melalui pelatihan di provinsi masingmasing. YRBI termasuk kelompok yang ikut magang pemetaan di Kalimantan Barat. Penggiat dari YRBI ikut magang bersama-sama dengan penggiat dari Riau, Jambi dan Lombok pada tahun 1999. YRBI sendiri pun mendapat pelatihan lagi pada tahun 2003 dari seorang fasilitator pemetaan dari Jambi. Sementara penggiat Mitra Bentala ikut pelatihan pemetaan kelautan partisipatif yang diadakan JKPP pada tahun 1999 di Kepulauan Togean (Sulawesi Tengah). Pemetaan di Pahawang mendapat bantuan dana dari Program PeFor (People Forest and Reef) yang dikelola PPSDAK Pancur Kasih. Dalam pemetaan tersebut Mitra Bentala mengundang Lembaga JALA (Sumatera Utara) dan dari Universitas Sriwiyaja Palembang untuk belajar bersama. Contoh pelatihan yang dilakukan PPSDAK di provinsi asal lembaga adalah pemetaan di kampung Muluy (Kalimantan Timur) pada tahun 1996 yang diadakan PADI Indonesia (yang waktu itu masih bernama Rekari). Selain lembaga yang berbasis di Balikpapan ini ada beberapa lembaga yang aktif dalam gerakan PP di Kalimantan Timur seperti SHK Kaltim, Plasma, Bikal dan lainnya. Namun kebanyakan lembaga tersebut sekarang tidak aktif lagi. Gerakan petani yang baru menggunakan metode PP pada tahun 2000an kebanyakan belajar dari JKPP. Pemetaan pada gerakan ini menjadi bagian dari proses reklaiming tanah untuk para petani. PPRTS memutuskan untuk melakukan PP setelah ketuanya berdiskusi dengan Koordinator Region Jawa dari JKPP yang menemukan kesamaan tujuan yaitu mengupayakan terciptanya kedaulatan hak atas tanah. Mereka mendapat pelatihan langsung dari JKPP pada tahun 2004. Pada tahun yang sama SD Inpers – lembaga di Jember Jawa Timur – juga melakukan pemetaan untuk pertama kalinya. Ketika salah satu penggiat lembaga ini menjadi anggota pengurus Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) ide pemetaan ini ditularkan ke tempat-tempat lain termasuk ke sebuah organisasi petani Jambi. Organisasi di Jambi tersebut kemudian mendapat bantuan dari Sekretariat Nasional JKPP untuk melakukan pemetaan k laim para petani. Dari uraian ini tampak jelas beberapa organisasi menjadi pelopor pembentukan gerakan PP di Indonesia. Organisasi-organisasi ini kemudian menjadi pendiri Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 216


JKPP dan menjadi motor utama JKPP pada tahun-tahun awal berkiprahnya organisasi jaringan tersebut. Secara perlahan JKPP mengambil alih peran itu dan menjadi pelaku utama dalam upaya-upaya menyebarkan konsep PP baik di tingkat nasional maupun di wilayah-wilayah, sehingga sampai saat ini gerakan tersebut terus berkembang dengan berbagai dinamikanya.

TUJUAN PEMETAAN PARTISIPATIF Para peserta lokatulis pada dasarnya berasal dari tiga macam gerakan sosial yaitu gerakan lingkungan hidup, gerakan masyarakat adat dan gerakan petani/ nelayan. Keterlibatan para peserta dalam gerakan PP sangatlah beragam. Sebagian ada yang sudah lebih dari sepuluh tahun, kebanyakan dari mereka bergelut dengan isu lingkungan dan masyarakat adat. Sementara peserta dari gerakan petani umumnya masih baru dalam gerakan ini. Hal ini tidaklah mengherankan karena gerakan PP di Indonesia memang mulai dengan upaya mempertahankan wilayah adat yang kebanyakan memiliki ekosistem yang terjaga baik. Setelah gerakan ini bersinggungan dengan gerakan pembaruan agraria, gerakan petani mulai memakai pendekatan PP. Para peserta pada dasarnya menempatkan masyarakat adat dan petani/nelayan sebagai masyarakat korban politik pembangunan dan pengelolaan wilayah yang bertumpu pada kegiatan eksploitatif skala besar dan berpusat pada Negara. Kelompok-kelompok masyarakat adat dan para petani/nelayan menjadi tersingkir atau terpinggirkan akibat pola kebijakan tersebut. Dengan politik pembangunan demikian ‘lawan’ mereka adalah para pengusaha yang mendapat perlindungan dan sering bekerja sama dengan Negara. Kadang-kadang, ‘lawan’ mereka juga adalah institusi agama seperti dalam kasus tanah adat di Flores (NTT). Dengan latar belakang ini gerakan PP menguat di wilayah-wilayah asal para peserta sebagai suatu gerakan sosial yang berupaya mengembalikan klaim teritorial masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat dan petani/nelayan. Dengan karakter yang demikian gerakan Pemetaan Partisipatif melakukan dua macam advokasi: advokasi hak dan advokasi penataan ruang. Advokasi hak sangat terkait dengan wacana hak asasi manusia yang sangat mewarnai gerakan sosial 20 tahun terakhir, yang juga membawa isu partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Sementara advokasi penataan ruang makin marak dengan makin banyaknya bencana-bencana ekologis yang disebabkan kesalahan pengelolaan sumber daya alam. Penataan ruang sebenarnya menjadi sandaran hukum utama bagi gerakan ini terutama dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Advokasi yang dekat dengan isu-isu gerakan lingkungan ini pun tidak lepas dari wacana keadilan 217 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


sosial karena penataan ruang di Indonesia sampai saat ini lebih menekankan pada investasi skala besar. Kedua bentuk advokasi ini tidak secara tegas dibicarakan dalam diskusi-diskusi, namun pesan yang disampaikan terasa sangat kuat. Dari pengalaman-pengalaman mereka melakukan kegiatan PP di berbagai wilayah yang tersaji dalam buku ini dan juga dalam diskusi-diskusi selama lokatulis dapat disarikan bahwa tujuan PP adalah membuat peta wilayah kelola komunitas melalui penerjemah an pengetahuan yang mereka miliki ke dalam media yang lebih modern sebagai perjuangan untuk mengembalikan harkat dan martabat mereka. Rumusan ringkas ini dapat dipilah-pilah kedalam tiga frase kunci yaitu (1) membuat peta wilayah; (2) upaya menerjemahkan pengetahuan; dan (3) perjuangan untuk mengembalikan harkat dan martabat.

Menghasilkan Peta Wilayah Pada umumnya, tujuan ini menjadi tujuan antara pelaksanaan PP di wilayahwilayah, karena mereka memiliki satu tujuan besar yang juga beragam di masingmasing komunitas. Jika dikaitkan dengan kata kunci ketiga dari tiga frase kunci di atas, maka kata kunci ketiga tersebut bisa dianggap sebagai salah satu tujuan besar PP, di samping tujuan besar lainnya adalah – yang seringkali disuarakan oleh JKPP – yaitu untuk menuju kedaulatan rakyat atas ta ta kuasa, tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi. Bagi komunitas petani, seperti pengalaman di Jember (Jawa Timur), mereka melakukan PP untuk mempertegas wilayah-wilayah garapan pertanian mereka di atas tanah-tanah bekas perkebunan. Bagi komunitas masyarakat adat, seperti halnya pengalaman Masyarakat Adat Muluy di Kalimantan Timur, PP adalah untuk mempertegas batas-batas wilayah adat mereka. Baik di Jawa Barat dan Kalimantan Timur, upaya-upaya mempertegas batas-batas wilayah dengan PP ditujukan kepada pihak-pihak yang menjadi ‘lawan’ sengketa mereka, misalnya perusahaan perkebunan dan Dinas Kehutanan. Peta yang sudah dihasilkan itu akan dipergunakan untuk menjadi alat utama untuk melawan pihak-pihak yang masyarakat nilai akan merusak wilayah komunitas. Selain itu, peta menjadi alat advokasi untuk mendapatkan pengakuan atas tanah-tanah yang mereka sudah ‘kuasai’ secara de facto. Pengalaman di Aceh, peta yang dihasilkan bertujuan untuk mempertegas batasbatas tanah yang dimiliki secara pribadi dan batas antar gampong pasca bencana tsunami tahun 2004.

Penerjemahan Pengetahuan Pengetahuan-pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan tentang namanama daerah maupun pola-pola pengelolaan wilayah baik untuk kepentingan penghidupan masyarakat maupun untuk kepentingan umum (terutama Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 218


konservasi yang bertujuan menjaga keberlangsungan daya dukung lingkungan wilayah yang bersangkutan). Pengalaman di Kampung Anekng (Kabupaten Landak, Kalimantan Barat) menyiratkan tujuan ini (lihat. Dalam proses PP warga kampung tersebut mendapat gambaran bahwa nama-nama kampung sudah berubah sedemikian rupa dan mempengaruhi kesadaran identitas mereka. Contoh penerjemahan untuk pengetahuan jenis kedua adalah pengalaman masyarakat adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang di Pulau Flores. Masyarakat adat tersebut memiliki pola pengelolaan wilayah yang khas – yang sering disebut sebagai kearifan lokal – dan sangat berbeda dengan pola pengelolaan modern yang diusung pemerintah, khususnya Dinas Kehutanan setempat. Melalui PP masyarakat tersebut dapat menjelaskan pola-pola penataan dan pengelolaan ruang mereka kepada pihak luar dalam bahasa kartografis.

Perjuangan Untuk Mengembalikan Harkat Dan Martabat Pengalaman-pengalaman Pemetaan Partisipatif menunjukkan bahwa Pemetaan Partisipatif dapat berkontribusi dalam upaya-upaya untuk menemukan jati diri masyarakat dan meningkatkan solidaritas mereka dalam perjuangan menuju kehidupan yang lebih baik. Pengalaman masyarakat Anekng menunjukkan proses penemuan jati diri tersebut yang berujung pada tumbuhnya kepercayaan diri mereka untuk kembali menggunakan nama-nama yang dahulu dipergunakan oleh generasi sebelumnya. Begitu juga dengan pengalaman masyarakat adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong Boru Kedang yang menemukan kembali bahwa mereka adalah satu kesatuan berdasarkan hubungan gene alogis (pengalaman di NTT). Bagi masyarakat Desa Pulau Pahawang di Lampung pemetaan memberikan wacana baru untuk secara bersama-sama melindungi wilayah mereka agar sumberdaya laut dan pesisirnya tidak habis. Perjuangan tersebut terwujud dalam beberapa proses yang tertuang dalam beberapa tujuan khusus PP yang terungkap dari isian kuesioner dan diskusi, yaitu untuk: ·

menjadi alat pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat di tingkat akar rumput

·

mendapatkan pengakuan hak dan perlindungan hukum atas sumber daya yang diklaim masyarakat

·

memungkinkan masyarakat untuk mengetahui potensi sumber daya alam mereka

·

mendorong pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam secara demokratis, adil dan berkelanjutan

219 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


·

menjadi alat/media resolusi konflik sumber daya alam dengan pihak luar (terutama negara dan pengusaha) dan dalam masyarakat (terutama dalam gerakan petani)

·

mendapatkan kepastian batas-batas garapan dan luasan yang digarap secara rinci (khusus untuk gerakan petani)

KONSEP DASAR PEMETAAN PARTISIPATIF Walaupun gerakan PP sudah cukup lama hadir di Indonesia namun pembahasan konseptual tentang gerakan tersebut tampaknya belum tuntas. Hal ini tampak dalam pemahaman tentang konsep partisipasi dan partisipatif. Seorang peserta menjabarkan bahwa peta dan proses pemetaan adalah media belajar bagi penggiat dan komunitas agar dapat lebih memahami satu sama lain. Dialektika dalam proses pemetaan adalah sebuah pembebasan ketika para penggiat dan komunitas saling berbaur dan untuk sementara meninggalkan ‘ego’ masing-masing. Dalam ungkapan ini terasa sekali pengaruh Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan dari Brazil yang pemikirannya sangat berpengaruh dalam pendidikan orang dewasa dan metode penelitian sosial. Namun pertanyaannya sejauh mana para penggiat Pemetaan Partisipatif memahami dan memaknai kata ‘partisipasi’ atau ‘partisipatif.’ Dalam diskusi selama lokatulis para peserta memaknai dan memahami partisipasi sebagai ketersediaan logistik – sering dikiaskan sebagai ‘ batere alkalin’ 60 oleh para penggiat pemetaan – dalam pelaksanaan PP di suatu komunitas. Yang dimaksudkan dalam ungkapan ini adalah seluruh komunitas secara bergotong royong mengupayakan agar kebutuhan logistik dapat terpenuhi, sehingga pelaksanaan PP terlaksana dengan baik. Wakil-wakil masyarakat yang menjadi peserta memahami partisipatif sebagai dukungan masyarakat terhadap kegiatan pemetaan, menyediakan bantuan atau kehadiran dalam kegiatan. Bahkan ada yang menyatakan bahwa “hanya mengetahui wilayahnya dipetakan, terlepas menyetujui atau menolak” adalah bentuk partisipasi. Pemahaman ini cukup mengagetkan karena kebanyakan peserta sudah lama berkecimpung dalam gerakan sosial dan bahkan banyak yang berpengalaman dalam pengorganisasian masyarakat. Tampaknya kata partisipatif dalam PP yang dipahami para peserta dan juga para penggiat lainnya adalah turunan dari kata partisipasi. Padahal istilah ‘partisipasi’ dan ‘partisipatif’ sebenarnya adalah dua istilah yang artinya mirip tetapi punya sejarah perkembangan yang berbeda, sebagaimana sudah diuraikan di bagian awal buku ini (lihat Bab 1.). Berdasarkan penjelasan tersebut, pemaknaan istilah ‘Partisipasi’ sebagai penyiapan logistik oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 220


masyarakat untuk pelaksanaan PP jelaslah jauh dari harapan dan juga konsep yang mendasarinya. Padahal dalam gerakan PP ada tetapan bahwa komunitas adalah kelompok yang paling tahu kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri serta cara mengelola wilayah mereka. Gerakan ini berupaya membuka ruangruang politik bagi komunitas agar mereka dapat merencanakan sendiri kehidupan dan wilayah mereka. Namun dengan pemahaman seperti yang diungkapkan di atas tampaknya partisipasi yang dimaksudkan berada pada dua anak tangga terbawah dalam tangga partisipasi Arnstein. Senada dengan penjelasan tersebut, sebuah evaluasi atas gerakan PP yang dilakukan oleh Nawakamal pada tahun 2002 juga menemukenali persoalan ini dan menyimpulkan bahwa konsepsi partisipasi yang dipergunakan dalam kenyataannya lebih berarti mobilisasi. Keadaan yang berbeda terlihat dalam penggunaan metode riset partisipatif dalam PP. Metodologi yang dikembangkan para penggiat yang akan dibahas kemudian tampaknya lebih mendekati konsep dasarnya. Partisipasi pun mestinya tidak hanya dimaknai dalam rangkaian kegiatan persiapan dan pelaksanaan PP di komunitas, namun perlu dilihat dalam konteks pengorganisasian yang utuh. Salah seorang peserta diskusi mengungkapkan bahwa bila pengorganisasian belum matang PP justru bisa menjadi bumerang. Pemetaan mestinya merupakan sebuah produk dalam proses pengorganisasian. Sehingga bila peta hadir dalam masyarakat secara tiba-tiba, potensi konfliknya akan tinggi. Pengalaman masyarakat kampung Sindur di Kalimantan Barat (lihat Bab 9) memperlihatkan masalah ini. Beberapa pengalaman di dalam buku ini juga menunjukkan bahwa hal terberat dalam PP adalah bagaimana komunitas atau organisasi komunitas yang bersangkutan memanfaatkan peta yang dihasilkan. Lagi-lagi, hal ini berkait dengan kesiapan komunitas atau organisasi komunitas itu sendiri. Pemanfaatannya hendaklah sudah dirumuskan sejak masa persiapan pemetaan, bahkan sejak masa upaya-upaya pengorganisasian komunitas. Bila hal tersebut tidak dilakukan, seperti sering dijumpai di berbagai tempat, peta yang dihasilkan kemudian tidak bermanfaat atau minimal tidak diketahui bagaimana cara memanfaatkannya. Di sinilah pentingnya tentang kekuatan atau kesiapan komunitas atau organisasi komunitas dalam merumuskan strategi pelaksanaan PP. Kami akan membahas masa-lah penggunaan peta ini lebih lanjut pada bagian berikut dari bab ini. Dengan uraian di atas JKPP, komunitas atau organisasi komunitas dan para penggiat PP yang mestinya terus menerus meningkatkan kualitas pelaksanaan PP di Indonesia, dan terus menerus melakukan perbaikan tampaknya belum bergeser dari awal pemahaman konseptual saat lahirnya gerakan ini 13 tahun

221 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


lalu. Pemaknaan kata ‘partisipasi’ yang dikritik dalam penelitian Nawakamal masih belum banyak berubah, walaupun sudah mulai banyak yang menyadari kesalahan. Sehingga tidak terlalu berlebihan jika kemudian istilah PP diubah menjadi pemetaan alternatif, karena terdapat sebuah proses yang berbeda dengan pemetaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintahan namun belum sampai membuat komunitas dalam posisi yang setara dalam pengambilan keputusan dan membuat peta. Dalam praktiknya di tingkat komunitas hasil evaluasi ini tidaklah keliru, karena masih terdapat kesan bahwa Pemetaan Partisipatif yang dilakukan sangat diwarnai dengan kepentingan-kepentingan pihak tertentu, yaitu kepentingan tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh adat dengan LSM/Ornop. Dari pengalaman-pengalaman PP yang diuraikan di dalam buku ini, juga berdasarkan pengalaman lainnya selama JKPP melakukan kegiatannya untuk menyebarkan metode dan gerakan ini, serta menimbang teori partisipasi di atas terdapat tiga hal yang menjadi pemaknaan Partisipasi. Pertama, sebuah proses menuju sebuah pemahaman utuh tentang PP itu sendiri oleh seluruh anggota komunitas yang diwujudkan kemampuan mereka mengontrol pengambilan keputusan dan proses dalam kegiatan PP. Mereka mampu melakukan pengawalan secara langsung ataupun tidak langsung terhadap setiap proses yang dilalui didalam rangkaian kegiatan PP. Mereka juga menentukan isi peta dan penggunaan atau perlakuan peta tersebut baik oleh anggota komunitas maupun oleh pihak-pihak luar yang membutuhkan. Kedua, Partisipasi dimaknai sebagai keikutsertaan masyarakat untuk memberikan dukungan pada pemetaan sebagaimana dikonsepsikan oleh penggiat pendampingnya dan dijalankan secara bersama-sama oleh komunitas. Pemahaman ini muncul karena sebagian komponen JKPP berpendapat bahwa dengan memperkenalkan PP para pendamping lapangan dan komunitas mendapat inspirasi dan peluang untuk mengembangkan strategi-strategi penguatan komunitas dengan tujuan-tujuan spesifik masing-masing. Umumnya, tujuan-tujuan yang ada adalah untuk menggalang pengakuan dalam konteks memperjuangkan pengakuan atas penguasaan teritorinya. Ketiga, Partisipasi dimaknai hanya sebagai keterlibatan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan teknis PP saja, khususnya dalam pengambilan data lapangan. Dalam hal ini pengambilan data lapangan memang dilakukan langsung bersama dengan anggota komunitas karena merekalah yang mengetahui secara pasti keberadaan wilayah yang akan dipetakan dan akan diambil datanya. Namun peran anggota komunitas sebenarnya hanya sekadar sebagai penunjuk jalan, menjadi ‘tukang angkut’ berbagai peralatan pengambilan data, atau bahkan penggembira. Banyak penggiat yang menceritakan bagaimana anggota komunitas

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 222


beramai-ramai mengikuti rombongan survei. Hal ini dipakai sebagai indikator tingginya partisipasi. Sementara kontrol atas penggunaan, pengambilan titik dan sebagainya ada di tangan penggiat yang mendampingi. Ketiga pemaknaan tersebut menentukan bagaimana komunitas kemudian membuat turunan kegiatan mereka, khususnya dalam konteks penggunaan peta. Makin baik mereka memaknai konsep Partisipatif/Partisipasi ini mereka makin mengerti tentang penggunaan peta yang mereka buat. Pemahaman tipe pertama adalah kondisi yang relatif ideal karena komunitas dan anggota-anggotanya secara keseluruhan akan memiliki apa yang dihasilkan dari kegiatan PP. Sementara pada pemahaman tipe kedua dan ketiga komunitas cenderung hanya menjadi kelompok pendukung atau hanya menjadi kelompok pembantu dalam kegiatan PP. Kontrol atas pembentukan pengetahuan pun tidak berada di tangan komunitas melainkan di tangan para pendampingnya. Hal ini tentulah bukan bentuk partisipasi yang diharapkan karena akan merugikan komunitas dalam mengontrol proses pemetaan dan penggunaannya. Pada saat inilah sesungguhnya kesiapan komunitas yang terorganisir dalam sebuah kumpulan atau organisasi dituntut kesiapannya. Ketersediaan logistik yang dipenuhi dengan cara bersama-sama dari seluruh anggota komunitas menjadi salah satu ukuran kesiapan organisasi atau kumpulan anggota komunitas tersebut. Namun hal tesebut perlu dilihat sebagai satu turunan dari rangkaian besar kegiatan untuk mencapai satu tujuan yang sudah dirumuskan oleh komunitas atau organisasi komunitas tersebut. Pemaknaan Partisipasi tipe pertama yang ideal sebagaimana diuraikan di atas akan menghasilkan sebuah pembagian kerja dalam pelaksanaan PP pada suatu komunitas. Pembagian kerja tersebut tidak hanya terbatas di kalangan anggota komunitas, melainkan juga didistribusikan ke pihak-pihak luar, misalnya (dan terutama) para PP dan LSM/Ornop. Bila keadaan ideal terjadi, keadaan akan terbalik. Jika sebelumnya LSM/Ornop dominan dalam proses PP, dengan pemaknaan tersebut LSM/Ornop yang bersangkutan akan mendapatkan mandat dari komunitas untuk berperan dalam hal-hal yang telah ditentukan komunitas atau organisasi rakyat dalam rangkaian kegiatan PP.

METODOLOGI PEMETAAN PARTISIPATIF Metodologi pada dasarnya adalah terjemahan dari konsep-konsep dasar dalam melakukan suatu kegiatan. Dalam konteks ini metodologi PP perlu juga menerjemahkan konsep-konsep yang sudah dibahas di atas.

223 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Dari bab-bab terdahulu secara umum proses pemetaan PP yang dilakukan lembaga-lembaga asal para peserta dapat dibagi dalam lima tahap. Pada tahap pertama adalah kegiatan penyadaran komunitas atas masalah hak dan keruangan yang mereka hadapi dan bagaimana PP bisa memberi peluang untuk memecahkan masalah. Tahap berikutnya adalah persiapan pelaksanaan pemetaan. Tahap ketiga adalah perundingan tentang isi peta termasuk batasbatas wilayah yang akan dipetakan. Tahap keempat adalah pemetaan wilayah termasuk pelatihan pemetaan serta pembuatan dan verifikasi peta. Tahap terakhir adalah pengesahan peta dan pembicaraan tentang penggunaannya. Secara konseptual metodologi yang dipakai sudah menunjukkan percikanpercikan pemikiran yang diurai di atas. Metode pemetaan seperti ini dikembangkan pertama kali oleh PPSDAK Pancur Kasih dalam pemetaan mereka di Kalimantan Barat. Lembaga ini sendiri belajar PP dari beberapa sumber terutama magang pemetaan di Kayan Mentarang (Kalimantan Timur) dan pelatihan pemetaan manual (dengan kompas dan meteran) bersama Alix Flavelle (Kanada) dan Frank Momberg (Jerman). Metode pemetaan ini kemudian menyebar ke berbagai tempat di Indonesia, karena pada tahun-tahun awal keberadaannya (1997-2000) JKPP meminta PPSDAK menjadi sekolah PP bagi penggiat PP. Berdasarkan tahapan dasar tersebut para penggiat di berbagai wilayah mengembangkan varian-varian metode Pemetaan Partisipatif di lembaga masing-masing. Beberapa di antaranya menuliskan, dan menerbitkan, manual sendiri seperti YTM. Dalam metodologi PP ini tekanan diberikan pada penentuan batas wilayah dengan kampung atau desa sebagai unit pemetaannya. Penentuan batas wilayah menjadi penting sebagai bukti klaim teritorial bagi komunitas yang wilayahnya dipetakan. Namun pada akhirnya gerakan ini lebih banyak berkutat pada advokasi hak, sementara advokasi penataan ruang yang memberi ruang politik bagi perkembangan gerakan justru kurang digarap, kalau tidak bisa dikatakan terabaikan. Metode ini memakai peta rupa bumi sebagai dasar pembuatan peta. Seorang peserta menyatakan bila tidak ada peta rupa bumi yang mencakup wilayah yang akan dipetakan maka pemetaan tidak bisa dilakukan. Hal ini menunjukkan ketergantungan para penggiat pada penge tahuan yang diproduksi negara karena pembuat peta rupa bumi yang dipakai dalam PP adalah Dinas (sekarang Direktorat) Topografi Angkatan Darat dan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), keduanya lembaga negara.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 224


KAPASITAS DALAM PEMETAAN Kecuali PPSDAK Pancur Kasi h yang menjadi lembaga spesialis PP, anggotaanggota JKPP sering mengalami masalah dalam kapasitas pemetaan, seperti yang tergambarkan pada lembaga-lembaga asal para peserta. Lembaga-lembaga tersebut tidak memiliki divisi khusus yang men angani pemetaan. Penggiat yang menjadi fasilitator pemetaan biasanya memiliki tugas utama lain. PPRTS, misalnya, memasukkan kegiatan pemetaan sebagai bagian dari pendidikan petani. Jumlah fasilitator yang masih aktif melakukan pemetaan juga berkurang dari jumlah yang dilatih. Mitra Bentala bahkan sekarang tidak memiliki seorang fasilitator pun, padahal dulunya lembaga tersebut menjadi salah satu barometer gerakan PP di Sumatera. Peralatan pemetaan yang dimiliki juga banyak yang tidak berfungsi. Yayasan Tanah Merdeka (YTM) yang dulunya juga motor JKPP sekarang sudah berpindah fokus ke isu pertambangan dan konflik komunal, walaupun masih memiliki tim pemetaan yang bisa dikirim sewaktu-waktu. PPRTS memiliki masalah yang mirip. Organisasi tersebut mengirim 30 orang dalam pelatihan fasilitator pemetaan namun hanya seorang yang masih aktif dan tidak memiliki peralatan pemetaan sama sekali. Fokus lembaga dan keberadaan fasilitator sangat mempengaruhi jumlah kampung/desa yang sudah dipetakan. PPSDAK karena sangat fokus sudah berhasil memetakan lebih dari 300 kampung/desa mencakup hampir 1,3 juta hektar wilayah adat dalam 13 tahun. Sementara lembaga peserta lainnya ada yang hanya memetakan dua desa saja selama sembilan tahun. Kebanyakan lembaga asal peserta sudah memetakan belasan kampung.

PROTOKOL PENGGUNAAN PETA Sebagai senjata bagi komunitas untuk mempertahankan wilayah mereka, peta tentulah harus dijaga dan diatur penggunaannya agar tidak dipakai sembarangan terutama oleh pihak luar yang memiliki minat untuk mengeksploitasi wilayah mereka. Di dalam komunitas pun harus jelas bagaimana penggunaannya. Untuk itulah sebuah protokol penggunaan peta menjadi sangat penting setelah selesainya rangkaian pemetaan. Masyarakat Desa Pulau Pahawang (Lampung) , misalnya, mempunyai kesepakatan penggunaan peta sebagai berikut: 1. Kriteria/syarat pemegang peta a. Dapat menyimpan rahasia tentang peta tersebut 225 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


b. Bisa memahami dan dapat menjelaskan peta 2. Aturan-aturan penggunaan Peta a. Penggunaan peta hanya untuk masyarakat Desa Pulau Pahawang b. Warga Pahawang yang akan menggunakan peta untuk kepentingan dengan pihak luar harus melalui keputusan dan kesepakatan musyawarah desa c. Pihak-pihak luar yang akan menggunakan peta harus melalui musyawarah desa yang dihadiri oleh seluruh dusun. d. Peminjam peta tidak dapat menggandakan peta dan jumlah lembaran petanya di luar ketentuan yang sudah disepakati dalam berita acara. 3. Sanksi-sanksi Sanksi-sanksi yang dibuat ada dua kriteria, yaitu sanksi ringan dan sanksi berat. Untuk penentuan san ksi diputuskan oleh masyarakat berdasarkan keputusan desa yang dihadiri oleh semua dusun. Sayangnya tidak semua kegiatan PP membicarakan protokol sampai serinci ini. Pembicaraan umumnya lebih ditekankan pada siapa yang menyimpan peta. Pihak luar yang ingin menggunakan peta harus seijin komunitas yang diputuskan dalam sebuah musyawarah kampung, atau paling sedikit berdasarkan kesepakatan dari para pemegang peta seperti kasus di Katu (Sulawesi Tengah). Melihat contoh protokol di atas dan dari di skusi-diskusi di antara penggiat PP ada kecenderungan untuk membuat peta yang dibuat masyarakat sebagai sesuatu yang rahasia, karena kalau dibuka luas akan merugikan komunitas yang bersangkutan. Menanggapi masalah ini seorang wakil masya rakat yang menjadi peserta lokatulis menyampaikan rasa frustrasinya atas keadaan ini: “Peta [yang dibuat masyarakat adalah sebuah] dokumen. [Jadi] ketika sudah selesai dibuat, peta tersebut disimpan dan terus menjadi rahasia. ... [Karena] kalau orang [luar] tahu akan berbahaya. Akhirnya [peta] menjadi ekslusif. Saat ada orang yang mau membuat proyek di Desa Pahawang dan meminta peta tersebut, dokumen tersebut tidak diperlihatkan tetap disembunyikan. Saya pikir hal itu bagus [di satu sisi], tetapi [di sisi lain] ... kerahasiaan [itu menjadi masalah. Mestinya] ketika ada orang yang mau memanfaatkan wilayah tersebut atau ada kepentingan terhadap wilayah bisa menggunakan peta.� Rasa frustrasi tersebut bisa timbul karena ada kesan bahwa peta menjadi sesuatu yang sakral.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 226


Kesakralan tersebut pada tahap tertentu bisa dipahami bahwa karena untuk membuatnya memerlukan perjuangan yang panjang dan, dalam konteks masyarakat adat, sudah melalui serangkaian upacara adat. Namun penempatan kesakralan yang berlebihan justru kontra-produktif terhadap perjuangan komunitas. Karena dengan perlakuan yang demikian bisa jadi komunitas pun enggan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Peta akhirnya hanya menjadi sekadar pajangan atau, lebih parah lagi, hanya disimpan di lemari tanpa pernah dibuka selama bertahun-tahun, seperti yang terjadi dalam banyak kasus. Banyak anggota komunitas bahkan belum pernah melihat peta yang dibuat. Alih-alih menjadi media untuk perjuangan peta malah menjadi artefak yang tak digubris. Dalam sebuah pembicaraan beberapa tahun lalu seorang penggiat menyatakan bahwa peta belum melembaga dalam kehidupan masyarakat. Sebuah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan keadaan ini. Gejala ini memang tidak digeneralisasi untuk semua komunitas yang telah memetakan wilayah mereka, tetapi sudah menimbulkan kekhawatiran di antara para penggiat. Tantangannya sekarang adalah bagaimana mencari cara penggunaan peta agar tetap dapat menjaga wilayah yang dikuasai komunitas dari pencaplokan dan eksploitasi sumber daya alam dari luar tanpa menghambat mereka untuk berubah agar penghidupan mereka lebih baik. Namun di balik aura pesimisme ini gerakan pemetaan partisipatif memiliki banyak kemenangan kecil dalam penggunaan peta.

PENGGUNAAN PETA Seperti sudah disinggung sebelumnya, peta hasil PP akan secara otomatis berguna jika komunitas/organisasi komunitas mampu merumuskan strategi pemanfaatan peta tersebut sejak awal. Penggunaan ini tidak lepas dari konteks advokasi hak dan advokasi penataan ruang. Kebanyakan komunitas menggunakan peta untuk mengklaim wilayah, sehingga banyak di antara mereka yang melakukan negosiasi dengan pihak yang bersengketa dengan mereka. Para peserta memberikan beberapa contoh kemenangan kecil dalam advokasi hak ini. Komunitas Katu di Sulawesi Tengah berhasil mempertahankan klaim wilayah adat mereka di dalam kawasan taman nasional berdasarkan peta yang mereka buat. Dalam kasus ini peta secara efektif terus menerus dipergunakan dan dimanfaatkan. Paling sedikit peta menjadi pegangan bersa ma seluruh anggota komunitas bahwa wilayah Katu sudah diakui dan diusahakan secara bersama-sama oleh seluruh anggota komunitas adat Katu. Komunitas di Mekarsari (Banten) juga berhasil mendapatkan tanah untuk permukiman dari Perum Perhutani seluas tiga hektar. Namun setelah diberikan, komunitas masih ragu tentang status tanah, apakah

227 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


sudah menjadi hak masyarakat atau belum. Selain itu, dengan peta organisasi petani di Jember juga berhasil menemukenali kelebihan lahan konsesi PT Perkebunan Nusantara XII seluas 25 hektar yang tidak pernah dilaporkan ke BPN. Berdasarkan peta yang mendapat pengakuan dari pihak PTPN dan pejabat pemerintahan setempat, perusahaan melepaskan klaim atas tanah tersebut. Penggunaan peta di Kampung Sindur (Kalimantan Barat) memperlihat kasus yang sangat berbeda karena peta justru menimbulkan konflik antarkampung. Perbedaan kepentingan dan perubahan persepsi tentang wilayah adat menjadi faktor yang penting dalam konflik tersebut. Warga Kampung Sindur menginginkan kemajuan bagi kampung m ereka dengan menjadikan wilayah mereka sebagai perkebunan kelapa sawit. Dalam proses penyerahan lahan mereka mengabaikan keberadaan tanah komunal yang dimiliki bersama kampung tetangga mereka. Di sini klaim hak justru bertabrakan secara horizontal, bukan lagi konflik vertikal yang selama ini dihadapi. Advokasi tata ruang dalam gerakan PP juga sudah makin menguat, terutama setelah makin banyaknya dampak dari kebijakan tata ruang yang termaktub dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), baik di tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Kita perlu memahami bahwa RTRW juga menjadi acuan bagi pengaturan sumber-sumber agraria di wilayah yang dicakupnya. Dengan demikian, seluruh aktivis PP perlu tetap selalu memperhatikan dinamika RTRW di masing-masing wilayah. Salah satu contohnya adalah kasus yang dihadapi SEKTI (Jember) di Provinsi Jawa Timur. Setelah organisasi tersebut melakukan PP mereka berhadapan dengan rencana pengembangan proyek-proyek besar, seperti pertambangan dan pembangunan jalan raya lintas selatan Pulau Jawa, yang dialokasikan dalam RTRW. Proyek-proyek pembangunan ini tentunya akan terkait dengan tanahtanah pertanian atau tanah-tanah yang dikuasai oleh rakyat sebelumnya. Selain PP yang dilaksanakan untuk memberikan argumentasi pentingnya memperhatikan keberlangsungan penghidupan manusia di wilayah tersebut, upaya-upaya advokasi kebijakan juga perlu dilakukan agar berbagai keputusan yang akan dikeluarkan dalam rangka pembangunan proyek-proyek tersebut tidak merugikan rakyat setempat. Selain itu, beberapa komunitas menggunakan peta mereka untuk merencanakan kegiatan di wilayah mereka. Ada komunitas yang mengerjakan sendiri kegiatan mereka, ada pula yang didanai pihak luar, khususnya pemerintah. Penggunaan peta Desa Pulau Pahawang merupakan contoh kelompok pertama. Masyarakat memakai peta mereka untuk membangun kesepakatan untuk penangkapan ikan, terutama oleh nelayan besar. Dampaknya adalah berkurangnya penggunaan

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 228


pukat harimau (trawl), bom dan obat bius (potasium sianida) dalam penangkapan ikan. Selain itu, mereka memakai peta sebagai dasar pembuatan peraturan desa (Perdes). Penggunaan peta wilayah Katu adalah contoh dari kelompok kedua. Peta-peta tersebut dipakai untuk membuat usulan kegiatan ke Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK). Contoh penggunaan peta masyarakat untuk tujuan pembangunan yang paling menonjol adalah di Aceh setelah tsunami. Upaya rekonstruksi dan rehabilitasi memakai peta-peta yang dibuat bersama masyarakat secara besar-besaran. Dari beberapa kasus peta yang dihasilkan akan sangat efektif ketika situasi dan kondisi dalam komunitas atau organisasi sedang mengalami masa-masa sulit. Saat ada tekanan dari pihak ‘lawan,’ komunitas akan menunjukkan partisipasi yang tinggi termasuk dalam memanfaatkan peta yang sudah dihasilkan untuk melakukan advokasi atas kasus-kasus yang mereka hadapi. Pengalaman di Flores menunjukkan hal ini. Masyarakat menggunakan peta untuk memperjuangkan pembebasan kawan seperjuangan mereka dari tahanan polisi. Namun ketika situasi sudah relatif aman, pemanfaatan peta menjadi tidak lagi partisipatif. Padahal, peta tersebut sudah dihasilkan sejak beberapa waktu yang lampau. Di satu sisi hal ini positif atau baik, tetapi di sisi lain, hal ini bisa dikatakan bahwa komunitas atau organisasi komunitas tersebut sejak lama tidak mengetahui secara pasti apa yang harus dilakukan dengan peta yang sudah mereka hasilkan.

PERSEPSI TERHADAP PEMETAAN PARTISIPATIF Persepsi Masyarakat Terhadap Pemetaan Partisipatif Ada dua macam persepsi masyarakat terhadap kegiatan PP. Bagi yang sudah setuju dan menyelesaikan pemetaan, mereka mempunyai harapan yang sangat tinggi akan dampak peta-peta yang mereka buat terhadap pengambilan keputusan yang mempengaruhi wilayah mereka. Mereka berpendapat bahwa PP adalah kegiatan yang sah. Dengan demikian klaim mereka juga sah di muka hukum dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sebagian bahkan mengharapkan pengakuan tertulis dari pemerintah. Kalau bisa malah tercantum dalam lembar negara. Bagi masyarakat yang belum melakukan atau sedang dalam proses pemetaan kadang-kadang timbul kerugian bahwa kegiatan ukur-ukur kampung sebagai bagian dari usaha menjual kampung. Kasus seperti ini sempat terjadi di Aceh pasca tsunami. 229 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Persepsi Pejabat-Pejabat Pemerintahan Terhadap Peta-Peta Masyarakat. Peta-peta dari kegiatan PP mendapat reaksi yang beragam dari para pengambil keputusan. Masyarakat Desa Pahawang mengundang pejabat-pejabat dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, Syahbandar, TNI Angkatan Laut dan kecamatan setempat sebagai bagian dari sosialisasi peta yang mereka buat. Kemampuan masyarakat dalam membuat peta mendapat apresiasi yang baik terutama sebagai bagian dari upaya menjaga sumber daya pesisir dan laut dari kerusakan. Para pejabat juga mengakui keberadaan wilayah tangkap nelayan tradisional Pulau Pahawang. Namun peta-peta hanya dilihat sebagai pendukung, tidak ada pengakuan atas hak-hak yang termuat dalam peta. Sehingga peta seolah-olah hanya pajangan saja. Akibatnya ketika masyarakat melarang seorang pengusaha yang hendak membuat karamba apung di wilayah tangkapan masyarakat, sang pengusaha tetap meletakkan karamba karena telah mendapatkan ijin dari Dinas Perikanan. Kasus serupa juga terjadi di Flores. Pada tahun 2002 peta yang dihasilkan masyarakat yang berkonflik dengan Dinas Kehutanan dipaparkan kepada Menteri Kehutanan di Kantor Gubernur NTT. Dalam pertemuan juga hadir pejabatpejabat Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten. Saat itu mereka menerima konsep dan gagasan PP sebagai sebuah jembatan untuk menyelesaikan konflik yang sedang berlangsung. Dinas Kehutanan juga meminta agar stafnya bisa ikut terlibat dalam kegiatan PP karena metode yang dikembangkan ini baru dan cukup sejuk bagi pelayanan masyarakat. Tetapi ketika ada proyek yang mendapat pendanaan dari pusat seperti Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), rencana tersebut sirna semua. Mereka bahkan mengatakan bahwa LSM tidak memiliki kewenangan untuk membuat peta. Walaupun begitu, peta tetap memiliki pengaruh dalam hubungan dengan pejabat pemerintah. Masyarakat yang dulu ditangkap jika memasuki kawasan hutan, setelah mereka memiliki peta dan bisa membangun dialog dengan DPRD dan bupati tidak ada lagi penangkapan. Pemerintah sudah memberi pengakuan secara de facto atas keberadaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan, namun belum ada pengakuan de jure. Persepsi yang sangat berbeda terjadi di Katu. PP yang berlangsung di penghujung era Orde Baru ini dinilai pejabat-pejabat tingkat kecamatan, termasuk Kepolisian Sektor (Polsek) dan Koramil awalnya me nilai kegiatan tersebut sebagai upaya provokasi dan menjelek-jelekkan pemerintah. Namun setelah melihat peta yang dihasilkan oleh masyarakat, mereka menilai bahwa peta tersebut kelihatan profesional sekali. Mereka pun kemudian mengakui bahwa PP sangat bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat. Mereka pun berujar “Hanya desa yang terbelakang yang tidak mau dipetakan.� Mereka tidak habis pikir mengapa pemerintah tidak mengadopsi metode pemetaan yang dilaksanakan LSM ini. Ungkapan terakhir ini memperlihatkan bahwa persepsi yang baik ini Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 230


tidaklah banyak berpengaruh dalam pembuatan kebijakan, karena perubahan kebijakan terjadi pada aras kabupaten dan aras-aras di atasnya bukan di tingkat kecamatan. Di provinsi-provinsi lain tidak banyak penggiat PP yang memperlihatkan petapeta yang dibuat bersama masyarakat kepada pejabat aras kabupaten dan yang lebih tinggi, kecuali di Aceh pasca-tsunami dan Papua.

PENDANAAN KEGIATAN PEMETAAN PARTISIPATIF Untuk membiayai kegiatan pemetaan s ebagian masyarakat mengumpulkan sendiri dana, baik sebagian maupun seluruhnya, namun sebagian besar masih sangat tergantung dari pendanaan lembaga pendamping. Lembaga pendamping pun sering kesulitan mendapatkan dana yang umumnya dicari dari lembagalembaga pendanaan dari luar negeri. Ketergantungan dana dari lembaga donor menjadi masalah besar dalam gerakan ini, suatu hal yang sangat umum dijumpai dalam dunia LSM di Indonesia. Akibat keadaan ini peran Sekretariat Nasional JKPP sangat sentral untuk membiaya i kegiatan pemetaan yang dilakukan anggotanya. Untuk kegiatan pemetaan yang dibiayai sendiri oleh masyarakat banyak pula kendalanya. Salah seorang peserta lokatulis menceritakan pengalamannya berhadapan dengan hal ini. Para petani yang wilayahnya hendak dipetakan sudah setuju untuk melakukan pemetaan secara swadaya. Saat pemetaan berlangsung para petani mengalami kelangkaan pupuk. Pada hari pelaksanaan pemetaan pupuk yang ditunggu datang. Akibatnya para petani menggunakan uangnya untuk membeli pupuk dan bukan menyumbang kegiatan pemetaan. Akibatnya sang fasilitator pemetaan menggadaikan telepon selulernya untuk membeli kertas kalkir dan buku milimeter block . Pemetaan pun tetap bisa dilakukan. Akhirnya peta selesai dan ditandatangani para petani, namun sang fasilitator sudah kehabisan uang untuk ongkos pulang sehingga ia terpaksa berjalan kaki untuk mencapai rumahnya.

MASALAH-MASALAH Ada kecenderungan bahwa setelah peta jadi dan diserahkan kepada masyarakat, penggiat tidak lagi mendampingi masyarakat untuk mengawal komitmen bersama. Padahal dalam sebulan saja pemikiran mereka bisa berubah. Sementara pejabat pemerintah sangat efektif dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat karena hampir tiap minggu mereka ada di tengah-tengah masyarakat.

231 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


Persoalan lainnya a dalah kurangnya peran orang-orang yang tidak bisa baca tulis dan perempuan dalam proses pemetaan. Kedua kategori ini pada kenyataan sering tumpang tindih karena yang tidak bisa baca tulis kebanyakan adalah perempuan yang punya kesempatan lebih kecil untuk mengakses pendidikan. Umumnya perempuan hanya menyediakan konsumsi selama kegiatan, sehingga tidak pernah terlibat aktif. Akibatnya mereka sering bingung bila ditanya soal pemetaan kampung mereka. Kelompok perempuan di Katu, misalnya, ada yang sekedar ikut bergembira karena ada pihak luar yang prihatin terhadap masalah kampung mereka. Namun ada pula yang bingung karena harus ada kegiatan pemetaan, padahal bagi mereka persoalan di kampung mereka biasa-biasa saja. Bagi mereka pemetaan adalah hal yang sangat canggih untuk hal-hal yang luar biasa, bukan yang biasa-biasa saja. Di lain pihak, kelompok lelaki umumnya merasa senang, karena kampung mereka mempunyai kawan yang mau mendampingi perjuangan mereka.

TANTANGAN GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF Seluruh pengalaman PP yang diuraikan di dalam buku ini, menunjukkan bahwa PP menghadapi tantangan-tantangan yang serius. Tantangan-tantangan tersebut baik dalam penguatan komunitas maupun yang datang dari luar, atau dari pihakpihak yang mungkin bisa mengganggu keutuhan komunitas. Tantangan yang berkaitan dengan penguatan komunitas adalah hal-hal yang berhubungan dengan terdapatnya jarak budaya antara teknologi yang dipergunakan dengan pengetahuan yang dimiliki oleh komunitas, isu-isu seputar konsep ‘partisipasi’, dan isu-isu pemanfaatan peta yang sudah dihasilkan. Sementara tantangan yang berasal dari luar komunitas adalah dinamika kebijakan pengaturan ruang oleh negara melalui RTRW. Walaupun ada tantangan eksternal, tantangan terbesarnya adalah dalam aspek penguatan komunitas. Teknologi yang dimanfaatkan dalam kegiatan PP adalah teknologi modern yang relatif baru, bahkan asing, di kalangan komunitas. Peta (yang berupa lembarlembar kertas) adalah teknologi yang sebelumnya tidak ada atau tidak berkembang di kalangan komunitas. Sehingga dalam proses PP muncul ungkapan titik tidak sama dengan garis. Maksudnya adalah batas-batas wilayah bagi komunitas-komunitas di pedesaan dan komunitas masyarakat adat pada umumnya biasanya ditandai dengan tanda-tanda alam, yang apabila diterjemahkan ke dalam peta (tulisan dalam lembaran kertas) akan dihubungkan dengan garis. Bagi komunitas-komunitas yang masih berprinsip kuat dengan adat yang mereka miliki, batas-bat as wilayah akan sangat sulit diterjemahkan ke dalam garis-garis lurus. Bagi mereka hal ini bukanlah hal teknis, tetapi berhubungan erat dengan pengertian mereka terhadap wilayah. Dampaknya

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 232


adalah seringkali komunitas setempat tidak dengan serta merta bisa m engakui kepemilikan peta yang mereka hasilkan, karena memang pada kenyataannya, diakui ataupun tidak diakui, PP sendiri masih ‘berjarak’ dengan komunitas yang bersangkutan. Tantangan ini kemudian menuju pada tantangan untuk mengembangkan metodologi dan teknologi pemetaan yang inklusif. Metodologi yang ada selama ini meminggirkan peran orang-orang yang tidak bisa membaca dan menulis. Peran perempuan pun sangat marjinal dalam pelaksanaan kegiatan karena lebih banyak berperan dalam mengurus konsumsi selama kegiatan. Metode yang perlu dikembangkan adalah metode yang memungkin kan kedua kelompok ini (yang sering tumpang tindih, karena banyak perempuan yang tidak bisa membaca dan menulis) untuk bisa ikut dalam proses pemetaan, terutama dalam proses pengambilan keputusan untuk mengontrol proses pemetaan dan isi peta. Teknologi pemetaan yang ada pun perlu dikembangkan agar bisa memasukkan fenomena sosial yang kompleks dalam penguasaan wilayah. Di dalam pelaksanaan PP di Indonesia tidak bisa dipungkiri bahwa tenagatenaga ahli yang dikirimkan dari luar komunitas beperan sangat besar, kalau tidak bisa dikatakan dominan. JKPP adalah salah satu lembaga yang aktif melakukan pengiriman sejumlah fasilitator dan pelatih untuk melaksanakan PP di berbagai komunitas di Indonesia. Hal ini dilakukan karena – seperti sudah diuraikan di atas – PP mensyaratkan penggunaan teknologi modern yang memerlukan keahlian yang memadai . Sementara anggota komunitas, walaupun sudah melalui proses seleksi tentang kecakapan membaca dan menulis, pada awal lahirnya gerakan tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan. Namun secara perlahan penggiat PP dari LSM/Ornop mengalihkan keterampilan tersebut kepada beberapa anggota komunitas yang dianggap memiliki ketekunan untuk terus menekuni ilmu PP. Proses ini tidak akan berlangsung cepat, karena banyak faktor yang mempengaruhi kecepatan proses alih pengetahuan ini. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah “jarak budaya” untuk menerima pengetahuan baru dan kesulitan mereka membagi waktu dengan kegiatan sehari-hari. Faktor lain adalah, walaupun proses alih pengetahuan telah dilakukan, pertanyaan besarnya kemudian adalah sejauh mana anggota komunitas (yang tergabung dalam Organisasi Tani, Organisasi Masyarakat Adat) bisa mengadopsi konsepsi PP. Proses alih pengetahuan ini pun seringkali terhenti dengan faktor “keterbatasan” aktivis LSM/Ornop itu sendiri. Beberapa hal yang dimaksud “keterbatasan” LSM/ Ornop adalah bahwa para penggiat LSM/O rnop umumnya bekerja berdasarkan garis program yang sudah dirumuskan dalam jangka waktu tertentu. Mereka pun mengalami perubahan tugas dan tanggungjawab dari garis program yang sudah mereka susun. LSM/Ornop juga memiliki keterbatasan finansial. Yang 233 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


paling ekstrim adalah LSM/Ornop dapat saja bubar sewaktu-waktu karena berbagai alasan. Jika hal ini terjadi, komunitas yang pernah didampingi atau dilatih untuk menjadi fasilitator PP harus kehilangan tempat bertanya bahkan terputus proses alih pengetahuannya sehingga kemudian mereka lupa akan pengetahuan yang sudah diberikan. Seperti yang telah diungkapkan di muka, gerakan PP di Indonesia sampai saat ini masih menekankan pada advokasi hak dan kurang banyak bekerja dalam advokasi penataan ruang. Dengan makin banyak bencana ekologis akibat kesalahan dalam pengambilan kebijakan, advokasi penataan ruang menjadi sangat penting. Wacana penataan ruang pun makin menguat dalam pembicaraan pengelolaan wilayah. Banjir bandang di Jember pada tahun 2006, misalnya, membuka mata semua pihak tentang kaitan penataan ruang dengan konservasi, pertanian, dan kehidupan masyarakat sehari-hari. Penataan ruang menuntut pendekatan dengan skala yang cukup besar, tidak hanya desa atau kampung, karena di antara unit-unit tersebut ada keterkaitan ekologis dan ekonomis yang kuat yang tidak mungkin hanya dibatasi pada tingkat kampung/desa. Beberapa lembaga sudah melakukan advokasi tata ruang beberapa tahun terakhir, seperti yang dilakukan RMI sejak tahun 2004. Lembaga yang berkantor di Bogor ini melakukan transformasi wacana dari hak-hak dasar agraria, yang menjadi dasar argumen untuk alas kehidupan masyarakat, menjadi penataan ruang di kampung-kampung. Namun demikian, lembaga tersebut tidak meninggalkan advokasi adat sama sekali karena mereka masih mendorong adanya Peraturan Daerah tentang Masyarakat Adat di kawasan Banten Kidul. Masyarakat beberapa kasepuhan yang ada di daerah tersebut menginginkan Perda serupa dengan Perda Kabupaten Lebak (No. 32 Tahun 2001) tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Keinginan ini tidak mudah untuk diwujudkan karena ada 334 kampung yang berada di dalam kawasan hutan yang diklaim Departemen Kehutanan, berbeda dengan kawasan adat Baduy yang berada di luar kawasan hutan. Keadaan serupa ini dijumpai di seluruh pelosok Indonesia dan memberi tantangan tersendiri bagi gerakan PP untuk bisa mempengaruhi pembuatan kebijakan tentang pengakuan wilayah adat. Pembaruan agraria yang sedang marak dibicarakan belakangan ini menjadi tantangan lain. Lewat Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berupaya memenuhi janji kampanye pada Pemilihan Presiden 2004. Namun konsep pembaruan agraria yang diusung berbeda dengan konsep yang selama ini digaungkan para penggiat reforma agraria, karena pada dasarnya mempertahankan status quo dan berorientasi pasar. Walaupun tidak memuaskan, beberapa lembaga terus mengawal program pemerintah ini khususnya lewat pengembangan program di kawasan Jawa bagian selatan. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 234


Beberapa tahun belakangan ini pemetaan wilayah pesisir dan laut sangat sedikit, kecuali di Aceh dan Nias yang memerlukan informasi spasial untuk kebutuhan rehabilitasi an rekonstru ksi pasca tsunami. Lembaga seperti Mitra Bentala yang fokus di wilayah pesisir sekarang justru tidak memiliki fasilitator pemetaan lagi. Padahal dengan sifat kewilayahannya yang sangat terbuka, tantangan pengelolaan pesisir dan laut sangat besar. Di masa depan gerakan PP perlu mendorong kembali pemetaan di kawasan ini. Sebagai gerakan yang berbasis teknologi pemetaan masalah akurasi peta dan kejelasan status hukum juga menjadi isu yang penting. Hal ini tampak dari pernyataan para pejabat pemerintah yang sering mempertanyakan kemampuan masyarakat dalam membuat peta. Kemudian setelah terkejut dengan peta yang ditunjukkan pertanyaan soal keabsahan peta pun muncul. Komunitas pun kebanyakan mempertanyakan status hukum dari peta yang dibuat. N amun sampai sekarang tidak ada payung hukum untuk peta-peta yang dibuat bersama masyarakat. Peta-peta itupun berada di wilayah abu-abu. Secara hukum tidak punya kekuatan, tetapi nyatanya bisa mempengaruhi keputusan pihak-pihak luar dalam bernegosiasi soal wilayah.

TANTANGAN DAN PERAN PEMETAAN DALAM PENGELOLAAN KONFLIK Politik identitas memang perlu mendapat perhatian serius saat ini. Hancurnya kesakralan SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) yang diusung Orde Baru menyebabkan berbagai kelompok berlomba untuk mengekspresikan identitas masing-masing. Dengan alasan menjaga keutuhan negara, pembicaraan tentang identitas — sebelum Suharto mundur — dilarang dan cenderung ditentukan oleh Negara. Setelah keruntuhan Orde Baru dialog antar identitas yang sebelumnya buntu, kemudian, menjadi terlalu berlebihan dan menyebabkan tabrakan antar kelompok. Berbagai konflik horisontal yang timbul — yang paling menonjol adalah konflik Dayak-Madura di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, dan konflik bernuansa agama di Poso dan Maluku – merupakan luapan ekspresi identitas yang saling bertabrakan satu dengan lainnya. Dalam konteks inilah gerakan pemetaan partisipatif (PP) memiliki tantangan yang sangat besar, karena PP memiliki potensi dalam pengentalan dan revitalisasi identitas. Dari contoh-contoh yang diungkapkan dalam buku ini, PP berpengaruh besar terhadap penguatan identitas komunitas yang wilayahnya telah dipetakan. Contoh yang paling menonjol adalah kasus Kampung Anekng. Bersamaan dengan itu kontrol terhadap wilayah (teritorialitas) juga makin menguat, apalagi komunitas tersebut makin menyadari sumber daya alam yang dimilikinya. Batas yang sebelumnya sangat cair mulai mengental dan kaku sehingga mendorong 235 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


konflik antar kampung yang sebelumnya tidak diduga. Kasus Kampung Sindur menunjukkan gejala ini. Hal ini menjadi tantangan yang sangat besar dalam konteks hubungan masyarakat yang multikultural di Indonesia. Sayangnya tulisan-tulisan tentang pemetaan wilayah adat, yang kental dengan nuansa politik identitas, tidak menampilkan kasus hubungan multikultural. Penjelasan tersebut menyiratkan bahwa kondisi wilayah (bentang alam) dan sosial terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan sosial budaya masyarakat. Perubahan ini perlu diketahui dan dipantau untuk mengurangi potensi konflik yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Untuk itu kita perlu menyiapkan berbagai sistem peringatan dini ( early warning system - EWS) terhadap potensi konflik, termasuk konflik SARA. Di sini PP bisa mengambil peran tersebut. Dalam salah satu diskusi Fubertus Ipur dari Elpagar menyampaikan bahwa pendekatan baru ini sangat mungkin karena dasar data yang dipakai sama. Metode PP selama ini pada dasarnya membangun kesadaran tentang keberadaan konflik struktural yang semula samar-samar menjadi nyata dalam prosesnya. Dalam banyak hal pemetaan memang dilakukan sebagai bagian dari resolusi konflik. Sementara seseorang yang bekerja dengan metode EWS akan mengumpulkan dan mengolah data, kemudian menganalisis dan membuat semacam rekomendasi kepada pihak-pihak yang berkompeten dalam mengatasi kekerasan komunal. Dengan demikian, PP punya potensi yang sangat besar untuk menjadi bagian dari pengelolaan konflik. Untuk melakukannya, pelaku PP perlu merekam perubahan fisik dan sosial dari suatu wilayah dalam data dan informasi yang dimiliki peta wilayah tersebut. Penggunaan teknologi SIG bisa membantu pemutakhiran data peta (sistem input) dan penyajian serta analisis peta (sistem output) agar lebih cepat dan bisa mencakup area analisis yang lebih luas. Data dan informasi sosial dalam proses pemetaan dimungkinkan untuk disajikan dengan bantuan teknologi SIG. Misalnya, konflik penggunaan tanah antara masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit dapat disajikan dengan melakukan analisis tumpang tindih peta masyarakat dengan peta hak guna usaha (HGU) perusahaan. Hal ini akan sangat sulit jika kedua peta tersebut bentuknya lembaran peta dengan skala peta yang berbeda. Pemetaan dan penggunaan teknologi SIG juga sangat membantu dalam pemutakhiran data konflik dan analisis kecenderungannya. Peta administrasi dan wilayah pengungsi menjadi peta dasar yang dapat dilengkapi dengan data dan informasi terbaru berkaitan dengan konflik di wilayah tersebut, seperti pergerakan pengungsi, cakupan wilayah dan jenis aktivitas ekonomi seharihari, pola hubungan dan komunikasi dengan pihak di luar pengungsian, perkembangan penduduk dan sebagainya. Data korban dari setiap peristiwa Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 236


konflik yang meledak berdasarkan info lapangan (data primer) maupun data sekunder seperti dari berita di media massa dan media informasi lainnya dapat digunakan untuk analisis konflik yang terjadi, serta potensi dan kecenderungannya. Sistem pemutakhiran dan penyajian data berdasarkan peta tematik atau lembar tema (layer) peta sangat membantu dalam memuat data yang lebih spesifik dan baru. Misalnya, peta demografi yang diklasifikasi menggunakan lembar tema berdasarkan komposisi etnik, agama, jenis kelamin, kelompok usia serta tingkat kelahiran (fertilitas) dan kematian (mortalitas). Lembar tema demografi ini sangat erat kaitannya dengan daya dukung wilayah berkaitan dengan aktivitas ekonomi (tata produksi dan konsumsi), jumlah dan perkembangan tempat-tempat ibadah dan kepadatan penduduk. Lembar tema sistem penguasaan tanah/wilayah seperti tanah adat, hutan adat, dan wilayah-wilayah keramat sangat penting diketahui dan disajikan untuk diketahui para pihak di suatu wilayah yang memiliki potensi maupun yang sudah terjadi konflik. Pelanggaran batas atau wilayah yang diklaim oleh etnik atau kelompok tertentu dapat memicu konflik terbuka, apalagi persoalan tanah sangat sentisitf di masyarakat. Keragaman lembar dalam peta konflik dengan informasi yang dibutuhkan dan selalu diperbaharui dapat membantu dalam proses analisis potensi konflik dan pencegahannya. Dengan demikian, PP sebenarnya mempunyai dua sisi yang terkait erat dalam konteks konflik seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, PP bisa menimbulkan konflik karena pengentalan identitas dalam komunitas yang wilayahnya dipetakan. Di sisi lain, metode ini pun, terutama dengan bantuan teknologi SIG, bisa juga menjadi alat untuk mengantisipasi dan mengelola konflik. Dengan berbagai informasi yang ditampilkan dalam berbagai lembar tema, masyarakat bisa membicarakan persoalan-persoalan yang mereka hadapi dan mulai mencari pemecahannya. Para pengambil keputusan pun bisa memanfaatkannya agar bisa mengambil keputusan dengan informasi yang baik sehingga bisa menekan potensi konflik dari keputusan yang diambil dan mengantisipasi konflik yang mungkin mewujud. Untuk itu peta perlu dilihat sebagai dokumen yang hidup, bukan sebagai tujuan dalam gerakan PP seperti kecenderungan selama ini. Peta yang ada perlu terus menerus diperbarui dengan informasi termutakhir tentang berbagai aspek spasial maupun non spasial. Pendekatan ini bisa mendorong masyarakat untuk terus terlibat dalam proses pengisian informasi dan, bersamaan dengan itu, membangun dialog di antara mereka. Para penggiat pun perlu mencari metodologi yang lebih inklusif. Salah satu bentuknya adalah memetakan wilayah yang berbasis ekosistem. Dengan membicarakan keterkaitan fungsi ekologis dan peran masing-masing kelompok dalam ekosistem tersebut perbedaan budaya, sosial dan agama bukan menjadi 237 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


penghalang, tetapi justru menjadi sumber untuk mencari pemecahan masalah bersama. Dengan kata lain, persoalan bersama dalam wilayah tersebut menjadi jembatan bagi dialog antar kelompok dengan berbagai latar belakang. Tidak lepas kemungkinan bahwa ada kelompok yang ingin mendominasi, namun masalah ini perlu dilihat sebagai tantangan untuk membangun hidup bersama bukan sebagai menjadi hambatan untuk berdialog.

BEBERAPA CATATAN GERAKAN PEMETAAN PARTISIPATIF KE DEPAN Dari pengalaman PP yang disajikan dalam buku ini banyak hal yang perlu dipikirkan ulang dan menjadi pertimbangan untuk merumuskan kembali strategi gerakan ini ke depan. Perbaikan strategi-strategi PP di Indonesia perlu dikaitkan dengan banyaknya organisasi-organisasi rakyat yang tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika sosial politik di Indonesia pasca Reformasi. Berikut hal-hal krusial yang harus dipikirkan untuk dikembangkan ke depan adalah: 1) Gerakan PP memerlukan satu kampanye yang masif untuk menanggapi isuisu keruangan yang sudah dirumuskan oleh pemerintah serta mengkampanyekan wacana tandingan tentang isu-isu keruangan yang berpihak kepada kepentingan rakyat. 2) Gerakan PP perlu lebih gencar lagi untuk masuk ke komunitas-komunitas petani yang sedang mengalami konflik pertanahan, serta juga perlu bekerja lebih leluasa dalam kerangka agenda-agenda yang sudah mereka susun. 3) Gerakan PP juga perlu memikirkan untuk melakukan penambahan tenagatenaga ahlinya yang dapat dikirimkan ke mana saja untuk melakukan PP, dimana saat ini dari segi kuantitas, tenaga-tenaga ahli tersebut jumlahnya semakin menipis. 4) Gerakan PP, berdasarkan sejumlah catatan tentang makna Partisipatif/ Partisipasi, sudah saatnya untuk merumuskan indikator perkembangan ag ar lebih mudah untuk melakukan evaluasi. 5) Para penggiat PP perlu mempertimbangkan untuk menyusun batasan-batasan wilayah kerja PP. Hal ini menjadi penting mengingat isu PP sudah mulai diadopsi oleh pi hak-pihak lain, khususnya pihak-pihak yang sebelumnya sangat menentang pelaksanaan ide PP. Kelima catatan ini bukan muncul pada saat ini saja, tetapi sudah menjadi bahan pemikiran pelaku gerakan PP se jak lama. Namun, pelaksanaannya belum maksimal karena masih terbentur pada persoalan siapa yang memimpin Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 238


pemikiran-pemikiran ini. Lebih dari itu, yang menjadi pemikiran mendasar untuk mengembangkan gerakan PP ke depan adalah apakah PP itu akan tetap menjadi sesuatu yang sifatnya teknis, hanya berfungsi untuk “ ukur-ukur,� atau berubah menjadi sebuah gerakan yang sistematis dan dapat merumuskan strategi-strategi yang cakupannya lebih luas dan skalanya lebih besar. Di sinilah titik pijaknya bagaimana menyikapi harapan-harapan gerakan PP ke depan. Kedua hal tersebut akan memiliki turunan strategi yang berbeda dan memerlukan karakter kelembagaan yang berbeda pula. Dengan demikian, sampailah kepada pertanyaan besar yang harus kita jawab bersama yaitu “Akan kita bawa k e mana gerakan Pemetaan Partisipatif yang sudah kita bangun bersama ini?�.

239 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


CATATAN AKHIR 1a

Mengenai hal ini beberapa kajian sudah disajikan dalam banyak tulisan, misalnya Sartono Kartodirdjo (1975), Protest Movement in Rural Java , Kuala Lumpur: Oxford University Press; Sartono Kartodirdjo (1984), Ratu Adil, Jakarta: Sinar Harapan; Kuntowijoyo (1993), “Masyarakat Desa dan Radikalisasi Petani” dalam Esei-Esei Sejarah Dr. Kuntowijoyo , halaman 1-42, Jogjakarta: Penerbit Bentang; Margo L. Lyon (1984), “Dasar-dasar Konflik di Daerah Pedesaan Jawa” dalam Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (penyunting), Jakarta: YOI dan Gramedia; Dianto Bachriadi (1998), Sengketa Agraria dan Perlunya Menegakan Lembaga Peradilan Agraria yang Independen , Paper untuk Lokakarya Pola Penanganan Sengketa yang diselenggarakan Lembaga Bantuan Hukum Bandung, YLBHI. Bandung, 29 Mei 1998.

1b

1c

Lihat Dianto Bachriadi (1998), Sengketa Agraria dan Perlunya Menegakkan Lembaga Peradilan Agraria yang Independen , Paper untuk Lokakarya Pola Penanganan Sengketa yang diselenggarakan Lembaga Bantuan Hukum Bandung, YLBHI. Bandung, 29 Mei 1998. Lihat juga makalah yang ditulis oleh Loekman Soetrisno (1991), Politik Agraria dan Penghargaan atas Hak-hak Rakyat atas Tanah, Makalah untuk Rakernas YLBHI, Jogjakarta 13-15 Februari 1991 yang menyatakan hal yang sama.

Lihat: George J. Aditjondro (1993), Dimensi-dimensi Politis Sengketa Tanah , Makalah Latihan Analisis Sosial “Tanah”, Medan 1993.

1d

1e

2a

Lihat Memorandum Sengketa Tanah yang disusun oleh KPA yang berjudul: Wawasan Sengketa Tanah Nusantara: Keharusan Penyelesaian yang Adil dan Beradab (KPA, 1995) atau memorandum yang sama tetapi ditulis dalam edisi bahasa Inggris dengan judul: Wawasan Sengketa Tanah Nusantara: The Necessity for Just and Civilized Resolution – KPA’s Memorandum on Land Disputes (KPA, 1995).

Sherry R. Arnstein. (1967). A Ladder of Citizen Participation. Journal of American Institute of Planners. Juli . hal. 216-224.

Istilah ini tampaknya terpengaruh dari nama Sandinista (gerakan perlawanan di Nicaragua yang berhaluan Marxis pada tahun 1970an dan berkuasa pada dekade 1980an) yang banyak melibatkan kelompok-kelompok masyarakat adat

2b

Mac Chapin, Zachary Lamb, dan Bill Threlkeld. (2005). Mapping Indigenous Lands. Annual Review of Anthropology 34:619–38. ( http:// www.annualreview.org)

3

“Mencermati Perkembangan Pemetaan Partisipatif”. Restu Achmaliadi. Kabar JKPP No. 11/2006. Bogor

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 240


4

Anonymus. 2008. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia : Maret 2008. Biro Pusat Statistik. http://www.bps.go.id

5

Ibid

6

Padi Indonesia mendapat suport dana dari GEP-SGP dan Pemda Kabupaten Pasir untuk pembangunan Micro Hydro di wilayah Kampung Muluy.

7

Berdasarkan PP No. 6 Tahun 2007 dan direvisi oleh PP No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan

8

Lihat pasal 1 ayat 6 dan pasal 5 ayat 2

9

Perlu dicermati bahwa konsepsi Hutan Negara merujuk pada konsepsi Hak Menguasai Negara yang pelaksanaannya jauh dari ide awalnya pada saat perumusan konsepsi Hak Menguasau Negara, mengenai hal ini lihat Fauzi dan Bachriadi . “Hak Menguasai Dari Negara Yang Harus Diselesaikan”, dalam “ Usulan Revisi UUPA“ , KNRH-KPA. Bandung. 1998.

10

Lihat Pasal 4 (3), pasal 39 dan pasal 67.

11

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.14/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan,

12

PERPU No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undng Nomor 4I Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU RI No. 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi UU.

13

Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan

14

Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

15

Lihat Pasal 17 UU No. 5 Tahun 1967 dan Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999

16

Lihat Pasal 8 dan Pasal 34 UU No. 41 Tahun 1999

17

Peraturan Menteri Kehutanan No: P. 37/Menhut-II/2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan

18

Lihat Pasal 3Peraturan Menteri Kehutanan No: P. 37/Menhut-II/2007

19

Lihat Pasal 8 Peraturan Menteri Kehutanan No: P. 37/Menhut-II/2007

20

Lihat Pasal 7 Peraturan Menteri Kehutanan No: P. 37/Menhut-II/2007

21

Lihat Pasal 26 UU No. 41 Tahun 1999

22

Berdsarkan Pasal 51 (1) UU No. 41 Tahun 1999 dinyatakan “Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaann ya diberikan wewenang kepolisian khusus”.

241 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


23

PADI Indonesia didirikan terhitung sejak bulan Juni 1996, dan telah memiliki catatan Badan Hukum No.1, Tgl. 03 Oktober 1998. Akte Notaris Bambang Soemito SH, di Balikpapan.

24

Berdiri sejak tahun 1980-an dengan nama REKARI, nama PADI Indonesia sejak tahun 1996, pergantian nama tersebut didasarkan pada pertimbangan politik pada waktu itu.

25

Satuan wilayah pada jaman colonial Belanda di bawah regenschap atau kabupaten; kira-kira sama dengan kecamatan sekarang

26

Badan Pusat Statistik, 2003

27

Agrarische Besluit (AB) : semacam surat keputusan kepemilikan tanah. Keputusan hukum ini merupakan Agrarische Wet atau undang-undang pertanahan 1870

28

Konsesi yang diberikan kepada pengusaha untuk membuka perkebunan pada jaman Belanda; mirip dengan hak guna usaha (HGU) sekarang

29

“Warisan yang Belum Terselesaikan”, Tri Chandra Aprianto . Dokumen tidak diterbitkan. 2005

30

Burgelijke Wetboek (BW) setelah kemerdekaan diubah menjadi Kitab UndangUndang Hukum Perdata

31

Peta kerawangan desa serupa dengan peta penggunaan tanah di desa

32

Data Potensi Desa (Podes) Jawa Timur 2006, Badan Pusat Statistik (BPS)

33

“Radikalisasi Petani”, Kuntowijoyo, Gramedia Bandung, 1993

34

Berger, Peter, L“Piramida Korban Manusia”, LP3EIS. Jakarta. 2005

35

Monografi Desa Mekarsari dan Riset Partisipatif Masyarakat dan RMI Tahun 2007.

36

Masyarakat Desa Mekarsari sebagian besar adalah masyarakat yang menganut tata cara dan tradisi adat kasepuhan. Kasepuhan yang mereka anut adalah Kasepuhan Ciptamulya, Sirna resmi dan Ciptagelar.

37

Sistem pertanian yang diterapkan oleh masyarakat Desa Mekarsari adalah sistem pertanian tradisional yang diturunkan oleh karuhun (leluhur) mereka. Hasil pertanian yang diperoleh tidak diperkenankan untuk dijual seperti beras, beras ketan, waluh, dan hasil huma pada khususnya. Sehingga untuk mendapatkan cash money mereka bergantung kepada hasil kebun

38

Dahulu wilayah Banten termasuk wilayah di Provinsi Jawa Bara t, sejak tahun 2000 menjadi provinsi tersendiri berdasarkan UU no. 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten.

39

Profile Desa Pulau Pahawang tahun 2007 Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 242


40

Gobah adalah Daerah cekungan yang dalam dalam laut biasanya berada sebelum tubiran.

41

Gosong-gosong adalah Kumpulan terumbu karang dan pasir menyerupai gunung yang ada di laut tempat memancing.

42

Padang Lamun adalah jenis tumbuhan seperti pandan yang tumbuh di peraiaran berpasir

43

Tentang Pemetaan Partisipatif akan diuraikan lebih lanjut di Bag II Tulisan ini.

44

Sumber: http://www.dkp.go.id/index.php/ind/newsmenus/260/ketentuanpenggunaan-alat-penangkapan-ikan-yang-dibolehkan-dan-dilarang

45

Bubu adalah Perangkap ikan yang terbuat dari bahan bambu atau kawat yang dipasang di dasar laut

46

Pancing Rawe adalah sejumlah pancing yang dipasang berjejer di tali yang terbentang

47

Jaring Rampus adalah alat tangkap yang terbuat dari benang yang dianyam.

48

Tubiran adalah batas antara laut dangkal dan laut dalam

49

Saat ini kayu sindur ini sudah semakin berkurang akibat penebangan kayu tersebut sebagai bahan bangunan terutama saat HPH masuk di wilayah hutan tersebut, selain itu semakin mengecilnya kawasan hutan rawa di wilayah tersebut yang menjadi habitat kayu

50

Titi adalah jembatan yang terbuat dari satu atau lebih batang kayu bulat yang utuh dan biasanya hanya digunakan untuk kurun waktu yang singkat.

51

Udas adalah wilayah kawasan hutan primer yang kepemilikanya komunal/ kolektif.

52

Karena unit-unit yang didirikan atau berafiliasi dengan YKSPK makin banyak mereka kemudian menyatukan diri dalam suatu Gerakan Pancur Kasih.

53

WVI adalah sebuah lembaga internasional yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan yang lebih banyak melakukan pendampingan pada kelompokkelompok ekonomi bawah /marginal sedangkan bentuk kerjanya lebih banyak bersifat karitatif. Area Development program (ADP) merupakan program utamanya di Kalimantan Barat melalui pemberian s antunan bagi anak asuh untuk mengenyam pendidikan formal .

54

Parenean sakampongan adalah sebuah klaim atas kepemilikan wilayah atau barang yang secara turun temurun.

55

Tandu atau pikul. Alat yang dibuat secara khusus biasanya menggunakan karung yang diberi kayu di samping sehingga orang yang membawanya bisa lebih banyak tergantung dari berat badan yang bersangkutan atau beben yang akan dibawa.

243 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


56

Bahari Sinju, Pengelolaan sumberdaya alam pada masyarakat adat Dayak Kanayatn, buku Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat, PPSDAK, 1998

57

John Bamba, Pengelolaan sumberdaya alam menurut budaya Dayak dan tantangan yang dihadapi, Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakatPPSDAK, 1998

58

Perusahaan tersebut sebenarnya baru mengantongi izin prinsip yang dikeluarkan oleh Bupati Landak pada tahun 2005-2006 .

59

Pelaksana teknis merupakan tenaga yang terlebiah lansung dalam mempersiapkan hingga melaksanakan kegiatan pemetaan partisipatif.

60

Batere alkalin adalah jenis batere yang memiliki daya yang jauh lebih besar daripada jenis batere biasa. Dalam survei yang menggunakan GPS tim pemetaan biasanya menyediakan batere jenis ini dalam jumlah banyak untuk menjamin pengambilan titik koordinat yang tidak terputus.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 244


PROFIL PENULIS DAN EDITOR AHMAD SJA, aktivis dari PADI Indonesia di Kalimantan Timur. Telah dua kali memfasilitasi pemetaan partisipatif di Kabupaten Paser. Tulisan ini merupakan suatu pengalaman baru bagi dia.

AKU SULU SAMUEL SAU SABU, Koordinator Region JKPP Nusra. Telah memfasilitasi pemetaan sejak tahun 2001 sampai sekarang. Kemampuan memfasilitasi pemetaan di dapat dengan mengikuti magang pemetaan laut dan pesisir di Manado yang diselenggarakan oleh Yayasan Kelola pada tahun 2000 dan mengikuti TOT pemetaan partisipatif di Papua pada tahun 2001. Samuel belum memiliki pengalaman dalam menulis. ALBERTUS HADI PRMONO , kandidat Doktor dalam program Geografi di Universitas Hawii, Honolulu (AS). Minat utamanya saat ini adalah tentang hubungan sistem pengetahuan dalam proses pembuatan peta. Sejak tahun 1991 telah berkecimpung di dalam dunia NGO terutama dalam masalah pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. ANAM, masyarakat dari Kampong Anekng, Desa Andeng, Kecamatan Sangah-Tumila, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Sehari-hari bekerja sebagai petani. Pada tahun 1997, ketika masyarakat kampong Anekng melakukan pemetaan, dia banyak memotivasi masyarakat yang lainnya untuk terlibat dalam kegiatan ini. Dalam hal tulis menulis, ini merupakan pengalaman pertama bagi dia. AZAR TORAE, masyarakat dari Komunitas Behoa Desa Katu, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Sehari-harinya bekerja sebagai petani. Pengalaman dalam bidang kegiatan Pemetaan dimulai sejak tahun 1997 menjadi anggota tim PP dan inventarisasi partisipatif di Desa Katu. Pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2000 ikut memfasilitasi pemetaan di 5 desa wilayah Behoa Emba (Ngamba) di Kecamatan Lore Tengah dan 3 desa di Kecamatan Lore Utara. Walaupun ini merupakan pengalaman pertama dalam penulisan namun dia punya harapan besar dapat memiliki kemampuan menulis. 245 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


BAGUS PRIATNA, salah satu aktivis dari Rimbawan Muda Indonesia (RMI) Bogor. Mulai mefasilitasi pemetaan sejak tahun 2002. Beberapa wilayah yang difasilitasi seperti wilayah Adat Banten Kidul dan wilayah Adat Kasepuhan Cibedug Lebak Banten, Pemetaan dan Perencanaan Penataan Ruang Partisipatif di Kampung Nyuncung dan Kampung Parigi Kecamatan Nanggung Bogor Jabar, 5 kampung sekitar kecamatan Sukajaya dan Nanggung Bogor Jabar. Beberapa tulisan Bagus sudah dimuat dalam media-media terbitan RMI dan sektetariat Nasional JPPP. BAMBANG TEGUH KARYANTO, aktivis dari SD INPERS Jember Jawa Timur. Telah memfasilitasi pemetaan partisipatif di Kabupaten Jember, Blitas dan Cianjur. Dia pernah menjadi penulis di Majalah “Berita Massa� Jember.

BAYU DEDIE LUKITO, aktivis dari SD INPERS salah satu NGO di Jember. Menjadi anggota PP di Desa Curah Nongko, Kabupaten Jember. Pengalaman menulis di dapat ketika menjadi Staf redaksi Tabloid Budaya Lembaga GNI Jember pada tahun 2003-2004 dan menjadi relawan pada Media Partisipasi CDHRE Koordinator daerah Banyuwangi pada tahun 2008. ENDAN SUHENDAR, Kelompok Pemuda Pelindung Mata Air Kampung.Ciladu, Desa Mekarsari, Banten. Ketika pelaksanaan PP di kampungnya dia berperan sebagai penggerak para pihak dalam kelompok kepemudaaan, melakukan pemetaan, penggambaran. Belum memiliki pengalaman dalam melakukan penulisan. EFRAIM YABOISEMBUT, masyarakat dari Kampung Sabron Samon, Distrik Kemtuk, Kab Jayapura, Papua. Beliau telah aktif berkegiatan bersama beberapa NGO sejak tahun 1990 sampai saat ini bersama Pt PPMA, YPMD Papua dan YPPWI Papua.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 246


HILMA SAFITRI, alumnus Antropologi Universitas Padjadjaran. Sejak tahun 1998 turut terlibat dalam gerakan pembaharuan agraria dan pemetaan partisipatif. selain itu juga terlibat dalam beberapa penelitian tentang pertanahan dan gerakan petani di Indonesia JIDAN, Kepala adat Muluy Gunung Lumut Kabupaten Paser Kalimantan Timur. Terlibat dalam pemetaan dan pengumpulan informasi sejarah masyarakat adat Muluy.

KARYANTO, Masyarakat Adat Nian Uwe Wari Tana Kera Pu Hikong-Boru Kedangdari Sikka Flores NTT

LAHMUDIN YOTO, salah satu aktivis YTM. Telah memfasilitasi pemetaan di desa Rabah Menjalin, POntianak Kalbar, di LindoKatu, di Doda, Hanggira, Badiri, Lempe, Wanga, Dodolo (TOE), Toro, Moa, Pilimakujawa serta memfasilitasi PP di Aceh.

LORENSIUS OWEN, fasilitator PP dari Lembaga Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK)Kalimantan Barat

M.SYAHRIL, Ketua BPDPM Pulau Pahawang. Beliau terlibat aktif ketika pemetaan di desanya, mulai dari mengikuti pelatihan, diskusi-diskusi, memotivasi masyarakat yang lain sampai dengan kegiatan paska PP.

247 12 Tahun Gerakan Pemetaan Partisipatif di Indonesia


NOACH WAMEBU, aktivis Pt PPMA Papua. Mulai terlibat dalam PP pada tahun 2002. Beberapa daerah yang pernah di fasilitasi diantaranya Nambluong pada tahun 2002 dan Klisi Kemtuk pada tahun 2003, Kampung Sensosa Distrik Unurum Guay Kab Jayapura tahun 2007. Belum ada pengalaman dalam hal tulis menulis. RIZANI, aktivis dari Mitra Bentala Lampung. Walaupun secara teknis pemetaan belum menguasai penuh namun dia terlibat banyak dalam proses pemetaan hutan mangrove di Desa Pulau Pahawang. Salah satu tulisan yang pernah dia buat adalah “Hutan dan Manusia”

RESTU “GANDEN” ACHMALIADI , sejak tahun 1992 bekerja dengan NGO-NGO. Aktif sebagai fasilitator pemetaan partisipatif, fasilitator training pemetaan partisipatif dan fasilitator pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh NGO SULAIMAN DAUD, aktivis di YRBI Banda Aceh NAD. Pengalaman pemetaan diawali dengan ikut magang PP ke Kalbar tahun 1999. Sebelum bencana Tsunami Aceh pada tahun 2004 telah memfasilitasi 11 gampong di Aceh. Paska bencana tsunami menjadi koordinator PP dan Perencanaan Gampong di 34 gampong. Namun sayangnya pengalaman yang sangat banyak belum pernah dia buat menjadi tulisan-tulisan, di buku inilah untuk pertama kali beliau menuliskan pengalamannya tersebut. VARMAN BANTALIDAN, Fasilitator PP dari gampong Alue Punti, Mukim Sarah Raya Kecamatan Teunom Kabupaten Aceh Jaya NAD. Telah aktif memfasilitasi PP mulai tahun 2007 sampai dengan sekarang.

Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) 248


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.