PENCURIAN MASAL AIR TANAH DKI JAKARTA 2013
Y
A
Y
A
S
A
N
Amrta Institute for water literacy
g Kebutuhan dan Pemenuhan Air Bersih di Jakarta Kebutuhan air bersih DKI Jakarta terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Berdasarkan data Dinas Kependudukan DKI Jakarta, jumlah penduduk Jakarta pada tahun 2011 adalah 10.187.595 jiwa; dengan jumlah kebutuhan air bersih untuk keperluan domestik setiap satu i orang adalah 175 liter per orang per hari dan kebutuhan industri adalah 30 % dari kebutuhan domestik maka jumlah kebutuhan air di DKI Jakarta adalah 846 juta meter kubik seperti pada tabel di bawah ini. Tabel 1: Kebutuhan Air Bersih DKI Jakarta, 2011
Per tahun, total kebutuhan DKI Jakarta adalah 846 juta m3 yang terbagi atas kebutuhan domestik 651 juta m3 dan kebutuhan industri 195 juta m3.
1
g Potensi Air Bersih di DKI Jakarta Untuk mencukupi kebutuhan tersebut, DKI Jakarta memiliki potensi air yang cukup besar yang terdiri dari air tanah dan air hujan. Dengan luas sebesar 661,5 km2, jumlah suplai air hujan yang dimiliki DKI adalah 2,7 milyar liter/hari atau 986 m3/tahun. Sementara untuk air tanah, ketersediaan air tanah dangkal adalah sebesar 800 juta m3/tahun dan cadangan air tanah dalam 52 juta m3/tahun. Bagan 1: Potensi Air bersih di Wilayah DKI Jakartaiii
Tabel 2: Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih di Jakarta Tahun 2011
2
Dari total kebutuhan air bersih di DKI Jakarta, yang mampu dipenuhi oleh layanan PAM adalah sebesar 297,8 juta m3/tahun, sehingga selebihnya (548,2 juta m3/tahun) dipenuhi dari air tanah. Akan tetapi, dari jumlah sebesar ini, yang terdaftar secara resmi memanfaatkan air tanah dalam melalui Kantor Badan Pengelola Lingkungan Hidup DKI Jakarta adalah 7,86 juta m3/tahun. Di samping itu, batas aman pengambilan air tanah adalah 30% dari cadangan air tanah atau dalam hal ini adalah sebanyak 256 juta m3/tahun. Dengan pengambilan air tanah pada tahun 2011 sebesar 548,2 juta m3/tahun, atau 63,42% dari ketersediaan air tanah, ambang batas aman telah jauh terlampaui. Tabel 3: Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih di DKI Jakarta Untuk Sektor Industri dan Rumah Tanggav Kebutuhan Air bersih Rumah Tangga Ø Air PAM Ø Air Tanah (tidak terdaftar) Perusahaan dan industri Ø Air PAM Ø Air Tanah Terdaftar Ø Air Tanah (tidak terdaftar) Ø Total Air tanah yang digunakan oleh sektor komersial
Kuantitas 651 juta m?/tahun 174,12 juta m?/tahun 476,88 juta m?/tahun 195 juta m?/tahun 87,07 juta m?/tahun 7,86 juta m?/tahun 100,07 juta m?/tahun 107,93 juta m?/tahun
Persentase 100% 27% 73% 100% 45% 4% 51%
Volume total air bersih yang terdistribusi melalui jaringan perpipaan/PAM pada tahun 2011 menjangkau 27% dari total kebutuhan rumah tangga. Dengan kebutuhan air bersih sektor rumah tangga sebesar 651 juta m?/tahun, maka sisa kebutuhan air bersih untuk rumah tangga sebesar 476,88 juta m?/tahun, atau 73% dari total kebutuhan, dipenuhi dengan air tanah. Sedangkan untuk 195 juta m3 kebutuhan air bersih sektor komersial (hotel, perusahaan, toko, industri, dan lainnya) sebanyak 87,07 juta m3 di antaranya dipenuhi oleh air PAM, sehingga menyisakan 107,93 juta m? yang harus dipenuhi dengan air tanah setiap tahunnya. Selanjutnya, dengan pemakaian air tanah yang terdaftar pada tahun 2011 hanya 7,86 juta m?, atau hanya 4% dari kebutuhan sektor industri, maka sebanyak 100,07 juta m3 sisanya adalah pengambilan air tanah tidak terdaftar. Jika dihitung dari total pemanfaatan air tanah oleh pihak perusahaan dan industri (107,93 juta m?/tahun), maka nilai yang dilaporkan (7,86 juta m?/tahun) hanya 7,3% dari total pemakaian air tanah, atau berarti sebanyak 92,7% pemakaian air tanah oleh pihak perusahaan dan industri tidak dilaporkan. Air tanah sendiri terdiri dari air tanah dalam dan dangkal. Air tanah dangkal adalah air tanah yang berada pada sistem akuifer tidak tertekan yang kedalamannya kurang dari 40 meter di bawah muka tanah, sedangkan air tanah dalam adalah air tanah yang berada di sistem akuifer tertekan dengan kedalaman 40 meter hingga lebih dari 140 meter dari muka air tanah
3
(Harnandi, Dadi dan Nicodemus Rimba Raya, 2005: 3-1 – 3-10). Pemakai air tanah dibagi ke dalam dua kategori yaitu pengguna sumur bor dan sumur pantek. Sumur bor menyadap air tanah pada sistem akuifer tertekan dengan kedalaman lebih dari 40 meter di bawah muka tanah dan sumur pantek menyadap air tanah pada sistem akuifer kurang dari 40 meter di bawah muka tanah. Data memperlihatkan bahwa pengguna sumur bor jauh lebih besar ketimbang sumur pantek. Pada tahun 2004 persentase pengguna sumur bor adalah 84,5%, dan pada tahun 2011 sebesar 82%.
Tabel 4: Perbandingan Pemakaian Sumur Bor dan Pantek Antara Tahun 2005 dan 2011
Pemakaian Air tanah Sumur Bor Sumur Pantek Total
Tahun 2004 (m3/tahun) 17.675.150 (84,5%) 3.240.898 (15,5%) 20.915.942 (100%)
Tahun 2011 (m3/tahun) 6.459.992 (82%) 1.404.795 (18%) 7.864.787 (100%)
Bagan 2: Penggunaan Air Tanah dari Tahun 1945-2011
4
Dari grafik di atas terlihat konsumsi air tanah di Jakarta sejak kemerdekaan Indonesia terus mengalami kenaikan, dan puncaknya terjadi pada tahun 1990-an dengan nilai 35.893.307 m3, setelah itu turun dan stabil pada kisaran 20 juta m3 hingga tahun 2007. Volume air tanah terlihat turun cukup drastis pada tahun 2009 dari 18.750.945 m3 menjadi 10.049.814 m3 pada tahun 2010. Penurunan yang tajam ini sampai hampir separuh dari nilai air tanah tahun sebelumnya yaitu sebesar 46,4%. Tabel 5: Volume Pemanfaatan Air Tanah Pasca Kenaikan Tarif Tahun 2009 2010 2011
Volume Air Tanah (m?) 18.750.945 10.049.814 7.209.189
Perubahan volume (m?) 8.701.131 2.840.625
Persentase (-46,4%) (-28,3%)
Penurunan tajam terjadi bersamaan dengan diberlakukannya kenaikan tarif air tanah setelah selama sembilan tahun tidak mengalami vi kenaikan melalui SK Gubernur No. 37 Tahun 2009 . Nilai kenaikannya memang signifikan. Berdasarkan SK Gubernur No. 4554/1999, nilai tarif yang berlaku adalah Rp. 650 sampai Rp. 4.400 dan berdasar SK Gubernur No. 37/2009/ Pergub 86/2012 rentang tarif yang berlaku adalah Rp. 26.833 sampai dengan Rp. 116.664. Untuk mengetahui apakah penurunan volume pengambilan air tanah dipengaruhi oleh kenaikan pajak air tanah sehingga pelanggan beralih menggunakan air PAM, oleh karenanya juga harus dilihat kenaikan volume peningkatan air bersih pada tahun 2009 hingga 2011 apakah mengalami kenaikan yang signifikan atau tidak dan data menunjukkan bahwa suplai air baik terdistribusi maupun terjual dari aliran air perpipaan tidak mengalami kenaikan signifikan. Pada tahun 2009 ke 2010 persentase kenaikannya hanya 6,3% dan pada 2011 hanya naik 4,9%. Tabel 6: Perubahan Cakupan Air PAM 2009-2011
5
Pertanyaan kritis atas rangakain data di atas adalah, dengan volume penggunaan air tanah turun secara drastis sementara volume pemakaian air perpipaan tidak naik, dari mana para pengguna air tanah tersebut memenuhi kebutuhannya?
g Praktik Pencurian Air Tanah Jakarta secara Massal Pengambilan air tanah di DKI Jakarta sudah melebihi ambang batas aman 30% dari potensi yang tersedia. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, masyarakat kebanyakan menggunakan air tanah dangkal yang life cycle-nya cepat karena terisi kembali di saat musim hujan, sehingga tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan. Akan tetapi, yang berbahaya adalah pengambilan pada kedalaman hingga 60 meter yang banyak dilakukan oleh industri, perkantoran, hotel, dan apartemen.x Pelanggan air tanah pada tahun 2011 adalah sebanyak 4.231 pelanggan yang terbagi atas lima wilayah di DKI Jakarta. Pelanggan air tanah terbanyak di Jakarta Selatan yaitu 1.495 pelanggan, namun pelanggan industri besar lokasinya paling banyak berada di Jakarta Timur yaitu mencapai 379 pelanggan dari total 664 industri besar yang terdaftar sebagai pelanggan air tanah. Tabel 7: Tarif pajak air tanah DKI Jakarta
g Pendapatan Pajak Air Tanah dan Kerugian
Pemerintah Daerah Pengambilan air tanah secara masif jauh melebihi ambang batas hingga mencapai 64% dari total ketersediaan air tanah di tahun 2011. Namun pemakaian air tanah yang terdaftar hanya 7,3% dari estimasi penggunaan air tanah oleh sektor komersial.
6
Bagan 3: Pendapatan dari pajak air tanah DKI Jakarta
7
Pendapatan sektor air tanah pada tahun 2011 adalah Rp. 121.959.891.669. Jika jumlah pemakaian air tanah oleh sektor swasta yang dilaporkan hanya 7,3% maka potensi kerugian pendapatan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dari sektor pajak air tanah 13 kali lipat dari jumlah pendapatan saat ini. Apabila penertiban pembayaran pajak air tanah benarbenar dilaksanakan, Pemda akan memiliki sumber pendapatan yang jauh lebih besar, yang pada gilirannya bisa dimanfaatkan untuk mengelola kerusakan lingkungan akibat eksploitasi air tanah. Jakarta sudah mengalami kerugian ekonomi yang sangat besar beserta kerusakan daya dukung lingkungan akibat eksploitasi air tanah. Dari penggunaan air tanah yang dilaporkan pun, 56% diantaranya adalah pelanggan yang meterannya tercatat 0 m3, sehingga bebas dari kewajiban membayar pajak. Penerimaan praktis hanya berasal dari 44% pelanggan sisanya. Padahal, menurut BPLHD, semuanya adalah pelanggan aktif. Jika diasumsikan 56% pelanggan 0 m3 tersebut pemakaiannya sama dengan 44% pelanggan pembayar pajak, maka potensi kerugian bisa diperkirakan sebagaimana perhitungan berikut:
44% : Rp 121.959.891.669 100% : 100/44 x 121.959.891.669 = 277.181.571.974 Maka potensi pemasukan yang hilang dari 56% pelanggan adalah: Rp 155.221.680.305
Perhitungan ini didasarkan pada data resmi pemakaian air tanah yang jumlahnya hanya 7 juta m3. Jika asumsi pemakaian riil untuk di sektor komersial adalah 13 kali lipat dari yang resmi dilaporkan, maka potensi kerugiannya menjadi:
Rp. 1.552.738.723.000 – Rp 121.959.891.669 kerugian pajak : Rp. 1.430.778.831.000,(Catatan: Rp 121.959.891.669 x 13 = Rp 1.552.738.723.000)
8
g Pelanggan Air Tanah Nol Meter Kubik Total pelanggan air tanah adalah sebanyak 4.252 titik sumur. Sebanyak 57,6% dari jumlah itu, atau 2.449 titik sumur, sepenuhnya menggunakan air tanah saja atau tidak berlangganan air perpipaan. Dari pelanggan yang hanya berlangganan air tanah tersebut, sebanyak 1.306 pelanggan, atau 55,9%, nilai meteran air tanahnya adalah nol meter kubik. Angka ini tentu tidak logis; dari mana mereka memenuhi kebutuhan air jika tidak berlangganan air perpipaan? Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan penggunaan air tanah di DKI Jakarta. Lebih jauh, data penggunaan air tanah oleh perusahaan dan industri yang secara legal terdaftar jumlahnya hanya 7,3%. Dari 7,3% yang terdaftar pun, penulisan alamat pelanggan air tanahnya banyak yang dicantumkan tidak akurat, informatif, dan detail sehingga sulit dilakukan penelusuran. Di beberapa alamat dalam data tersebut setelah dicek ternyata tidak ada perusahaan sebagaimana dicantumkan. Pemerintah perlu membuat sistem baku pelaporan evaluasi penggunaan air tanah yang lebih baik sehingga mudah dilakukan verifikasi dan pertanggungjawaban. Dari kategori bentuk usaha, berikut contoh perbandingan pelanggan kategori hotel dan Perusahaan Daerah Pasar Jaya dengan jumlah kegiatan usaha yang ada di Jakarta. Tabel 8: Hotel dan Pasar Daerah dengan Meter Air Nol Meter Kubik Kategori Jumlah usaha di Jakarta Jumlah usaha dengan meteran air
Hotel
Pasar Daerah
375
150
19
8
tanah 0 m?
Dari jumlah total 375 hotel yang ada di Jakarta, terdapat 19 Hotel pelanggan air tanah yang nilai penggunaan air tanahnya nol meter kubik. Beberapa hotel tersebut adalah hotel berbintang. Sementara itu, dari 150 Pasar Daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah, terdapat 8 Pasar Daerah pelanggan air tanah yang nilai penggunaan air tanahnya nol meter kubik. Pasar Daerah tersebut sebagian besar adalah Pasar Daerah yang besar.
i
Badan Regulator PAM Jakarta 2009 Badan Regulator PAM Jakarta 2009 iii BPLHD 2012 iv BPS 2012 v BPS 2012 vi BPLHD 2012. vii ISEI Jakarta Fiskal viii ISEI Jakarta Fiskal ix BPS 2012 x Megapolitan.kompas.com/read/2010/09/22/20374063/Hentikan.Pengambilan.Air.Tanah.Dalam ii
9