Rancang Bangun Demokrasi dalam Imaji Aceh Baru

Page 1

RANCANG BANGUN

DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU

Reza Idria Nurdin Hasan Teuku Ardiansyah



RANCANG BANGUN

DEMOKRASI

DALAM IMAJI ACEH BARU Reza Idria Nurdin Hasan Teuku Ardiansyah


Penerbitan ini terlaksana berkat kerjasama Katahati Institute, Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI)Â serta dukungan dari TIFA Foundation

Rancang Bangun Demokrasi dalam Imaji Aceh Baru , merupakan sebuah upaya sinergisasi agenda pro demokrasi yang sedang dan akan diperjuangkan oleh berbagai kelompok masyarakat sipil di wilayah Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar, Bener Meriah, Aceh Barat, dan Aceh Barat Daya. Proses ini merupakan bagian dari pendokumentasian Aceh secara berkelanjutan. Demokrasi disadari sepenuhnya merupakan jembatan perwujudan kesejahteraan yang terdiri atas berbagai nilai pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan keberagaman. Pasang surut dan cita-cita demokrasi ala Aceh dengan sejuta keterbatasan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sebuah wilayah yang sedang berdiri kembali paska bencana dan konflik berkepanjangan. Š 2012, Katahati Institute. Jl. Jurong Dagang, Lr. Tripa No.1 Ceurih, Ulee Kareng Banda Aceh 23117, Indonesia Telp. +62 651 7410466 Fax. +62 651 636947 Email: info@katahati.or.id Website: www.katahati.or.id Hak cipta dilindungi undang-undang. Penulis: Reza Idria, Nurdin Hasan dan Teuku Ardiansyah Foto: Junaidi Hanafiah Illustrator: Tauris Mustafa Desain: Edi IP Cetakan Pertama: Desember 2012 xii + 218 h. 20 x 25 cm. ISBN: 978-979-16458-5-0 Sampul dan susunan huruf diisi dengan Myriad Pro dan News Gothic MT


daftar isi

ix

KATA PENGANTAR

BAGIAN I

Narasi, Aktor dan Peta Demokrasi

Lokal di Aceh

4

A. Sinergisasi Agenda Demokrasi Aceh

14

B. Serial Diskusi Lintas Kelompok di setiap Kabupaten/Kota

59

C. Pertemuan Koordinasi

71

D. Media Briefing

71

E. Capaian dan Rekomendasi dari Lapangan

v RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


daftar isi

vi RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU

BAGIAN II

Mereka Menulis

Demokrasi Aceh

77

Rekonsiliasi Kejahatan Masa Lalu | Teuku Kemal Fasya

83

Demokrasi Berbasis Perencanaan | Juanda Djamal

89

Melirik Potensi Korupsi Pemilukada Aceh | Askhalani

95

Media dan Kualitas Demokrasi | Taufik Al Mubarak

101

Menyoal Politik Kawom | Mukhlisuddin Ilyas

107

“Setan� Demokrasi 2012| Otto Syamsuddin Ishak

111

Simalakama Pemilukada Aceh | Desi Rinasari RA

117

Menyelisik Demokrasi Aceh

Pasca Pemilukada | Amrizal J. Prang, SH., LLM

123

Gerakan Politik Perempuan Aceh | Abdullah Abdul Muthaleb

139

Menggelitik Inong Aceh| Murizal Hamzah

111

Simalakama Pemilukada Aceh | Desi Rinasari RA


daftar isi

BAGIAN III

Dinamika Politik Aceh

Paska Damai

147

Kondisi Sosial dan Politik

153

Pilkada 2006 dan Calon Independen

159

Partai Lokal dan Pemilu 2009

165

Kisruh Pemilukada 2012

171

Polemik Gubernur Versus DPRA

179

Kandidat Gubernur

185

Persoalan Klasik Data Pemilih

195

Rentetan Kekerasan

201

Pencoblosan dan Pemenang

vii RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


viii RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Kata Pengantar

M

erancang demokrasi di Aceh adalah belajar dalam pencarian sebuah konsep yang berlaku pada negeri yang telah sekian lama terkukung konflik. Menulis bentuknya berarti merangkai kisah-kisah dalam ruang damai yang masih muda. Tujuh tahun lebih sedikit, belumlah cukup untuk menemukan sebuah rancangan demokrasi yang baik. Apapun capaian demokrasi di Aceh saat ini, merupakan rangkaian yang terus bergerak, harusnya tak boleh mundur tapi terus maju. Secara objektif, masih banyak tantangan-tantangan demokrasi, seperti rendahnya kualitas pemahaman pelaku demokrasi dan masyarakat, juga masih adanya praktek kekerasan dalam proses politik. Demokrasi, dalam pengertian yang kami pahami di sini merujuk kepada yang dirumuskan oleh Robert Dahl, ilmuan politik asal Amerika Serikat. Bahwa demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan bercirikan kebebasan warga negara dalam sistem tersebut untuk

ix RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


membentuk dan ikut serta dalam organisasi, berekspresi atau berpendapat, menjadi pejabat publik, memberikan suara dalam pemilihan umum, adanya jaminan kelembagaan bahwa setiap kebijakan pemerintah tergantung pada dukungan suara dan bentukbentuk ekspresi keinginan lainnya. Robert Dahl pula yang menilai karakter demokratis dari suatu rezim haruslah dijamin oleh keberadaan beragam kelompok atau keberagaman minoritas. Lalu demokrasi disebut sebagai pemerintahan berbagai minoritas, yang nilai dari prosesnya disandarkan pada aturan yang dibuat oleh oposisi minoritas yang beragam, ketimbang membuat kedaulatan mayoritas. Berangkat dari beragam teori demokrasi dan keinginan untuk merekam proses demokrasi yang berlaku di Aceh selama ini, dengan fokus sinergisasi agenda demokrasi, baik antara sesama elemen masyarakat sipil sendiri maupun antara masyarakat sipil dengan pemerintah, kami mencoba menulis buku ini. Perdebatan tak penting lagi melihat lakon masa lalu. Menjadi tugas seluruh elemen masyarakat untuk merancang masa depan yang lebih baik, merumuskan, mengambil pelajaran-pelajaran penting demokrasi dari praktek politik, ekonomi sosial dan budaya yang selama ini berkembang dalam masyarakat Aceh. Isu-isu demokrasi dengan segala agendanya yang kami gali di sini mengambil sampel pada enam wilayah di Provinsni Aceh; Banda Aceh, Aceh Besar, Sabang, Bener Meriah, Aceh Barat dan Aceh Barat Daya. Kami sadari, banyak kekurangan dari buku ini, sama seperti ketika mencari bentuk demokrasi di Aceh. Kami hanya mencoba merancangnya dengan segala plus-minusnya, membuka wacana dan inspirasi bagi siapapun dalam membaca lalu menulis selanjutnya, tentang kisah demokrasi di Negeri Serambi.

x RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU

Katahati Institute Penerbit


I NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH



BAGIAN I Narasi, Aktor dan Peta Demokrasi Lokal di Aceh

N

arasi yang anda baca ini merupakan rekaman program yang telah dikerjakan oleh Katahati Institute dan Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI) dengan dukungan TIFA

Foundation. Ketika anda menemukan kata “kami� dalam paparan buku ini, maka kata tersebut merujuk kepada kedua lembaga pelaksana program tersebut di atas. Kegiatan-kegiatan yang dijabarkan disini adalah bagian dari upaya pembaharuan demokrasi Aceh yang kami sebut berbasiskan kesadaran akan perlunya “pengisian� ruang dan kelembagaan demokratisasi Aceh dalam mengisi dan merawat perdamaian. Termasuk di dalamnya mendorong tumbuh dan berkembangnya wacana demokrasi berkelanjutan di Aceh yang


terancam berhenti karena stagnasi dan dominasi politik sepihak yang mulai mengemuka pasca perdamaian Helsinki. Suasana damai yang dirindukan dan mampu menyudahi konflik panjang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pihak militer Republik Indonesia (baca, TNI) semestinya menjadi pintu gerbang utama demokratisasi bagi masyarakat Aceh, namun harapan itu menjelma ironi ketika demokrasi sebagai media perwujudan kesejahteraan seakan dihambat akibat ketidaksinambungan antara komitmen politik kepala daerah dan politisi dengan mekanisme perencanaan pembangunan dan pengembangan masyarakat yang tidak melibatkan elemen masyarakat itu sendiri yang berujung pada perencanaan teknokratik semata. Dalam amatan kami, kebutuhan rakyat akan kesejahteraan telah dikalahkan oleh politik transaksional (transaksi politik berbasis kepentingan satu kelompok/golongan, ed.) serta perencanaan yang berbasis politik yang tidak melibatkan masyarakat. Proses perencanaan partisipatif yang sempat menjadi harapan perwujudan ke足sejahteraan ditelikung oleh rencana praktis para politisi yang terkenal dengan berbagai motif, termasuk menggunakan istilah dana aspirasi yang diperkenalkan dalam penyusunan program anggota legislatif. Sehingga berbagai rencana perubahan dan rencana perwujudan ke足sejahteraan tak pernah terwujud secara pasti. Ada beberapa aspek yang bisa dijadikan acuan untuk mengukur keberlangsungan gagasan demokrasi di suatu kawasan. Salah satunya adalah ketika kita bicara pilar demokrasi yang menyangkut pemilihan yang bebas dan jujur. Untuk aspek politik ini, perlu kami kemukakan dari awal, pembaca akan menemukan bahwa wacana dan agenda demokrasi termutakhir di Aceh tidak bisa dilepaskan dari kenyataan politik menjelang pemilu kepala daerah tahun 2012. Ada banyak

2 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

pendapat bahwa Aceh masih dalam fase teramat dini memahami demokrasi politik. Kisruh politik di Aceh memberi gambaran problem demokrasi sangat nyata terjadi pada pemilu kepala daerah di Aceh


pada tahun 2012. Situasi tersebut bermula saat Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus pasal 256 UU no 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh atau undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Pembatalan itu sama sekali tidak berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), begitu menurut pihak legistalif provinsi. Pada aturannya, segala perubahan menyangkut isi UUPA haruslah dirundingkan dengan DPRA. Sandaran dan pernyataan DPR ditegaskan merujuk pada pasal 269 no 3 dalam undang-undang tersebut. Sehingga pembatalan pasal 256 yang terkait calon independen tersebut dinilai cacat hukum. Pihak legislatif Aceh yang saat ini didominasi oleh Partai Aceh (PA) menolak tegas keputusan MK dan menggugat sekaligus meminta lembaga tinggi negara itu mencabut kembali keputusannya. Proses gugatan terhadap tunda atau lanjut proses pemilukada di Aceh mengkondisikan masyarakat sebagai objek kepentingan terkait beberapa aksi demonstrasi yang dilakukan para pihak. Dalam beberapa diskusi yang telah dilakukan Katahati Institute dan AJMI mengemuka bahwa mobilisasi massa terkait tunda atau lanjut pemilukada Aceh merupakan bukan murni kehendak masyarakat namun bagian dari “pengerahan� para pihak dan tentu saja hal ini menimbulkan kebingungan tersendiri di tingkat masyarakat. Kisruh politik adalah satu hal, sementara persoalan demokrasi lain yang terkait hajat hidup orang banyak juga memiliki tingkat urgensi yang sama untuk dipetakan dan dicarikan solusinya. Sehingga selain masalah-masalah politik praktis, ada beberapa aspek lain yang menjadi kajian primer dalam kegiatan kami. Syariat Islam, kesehatan, pendidikan dan kebijakan-kebijakan pemerintah lokal terhadap berbagai kepentingan elemen masyarakat dapat terpetakan dalam pelaksanaan program. Akhirnya, kehendak untuk mencoba mendorong adanya sinergisasi ke arah konsolidasi dan rekonsiliasi demokrasi adalah tujuan utama yang kami harapkan. Diskusi, media kampanye, pertemuan koordinasi antar stakeholder tampaknya cukup

3 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


efektif sebagai wadah mengkampanyekan gerakan demokrasi untuk Aceh Baru. Wadah yang dibangun dalam konteks ini memiliki varian yang beragam namun mengacu pada harapan demokrasi yang digali dari pemikiran aktor-aktor di Aceh. Rangkuman kegiatan tersebut, yang disertai dengan dokumen primer hasil pemetaan aksi-aksi memperkenalkan demokrasi di tingkat lokal serta bagaimana masyarakat awam menerjemahkan proses demokrasi dalam kehidupan sehari-hari mereka menjadi tawaran kami dari Katahati Institute dan AJMI dalam menyajikan buku ini.

n n n

A. Sinergisasi Agenda Demokrasi Aceh Pada tahun 2009, Pemerintah Republik Indonesia melalui Bappenas memperbaharui Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang sebelumnya telah diperkenalkan ke publik pada tahun 2007. IDI 2009 berupaya mengukur demokrasi melalui tiga aspek penting dalam kehidupan bernegara yakni: Kebebasan Sipil, Hak-hak Politik, dan Lembaga Demokrasi. IDI bertujuan menyajikan gambaran kondisi demokrasi masing-masing

provinsi

berdasarkan

indikator-indikator

yang

dikembangkan dari tiga aspek tersebut. Oleh sebab itu hasil pemetaan di lapangan, kami dari Katahati Institute dan AJMI berupaya mengacu pada kriteria yang ada dalam penjabaran indeks demokrasi Indonesia, akan menunjukkan barometer kemajuan dalam pembangunan demokrasi di Provinsi Aceh. Deskripsi indeks demokrasi Aceh yang diperoleh dari program ini mempunyai berbagai manfaat. Pertama, secara akademis, dapat ditunjukkan tingkat perkembangan demokrasi di beberapa kabupaten

4 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

di Aceh. Hal ini menyumbang data penting bagi studi mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia, terutama untuk kawasan paling barat dalam gugus kepulauan Nusantara ini, karena tingkat


perkembangan tersebut didasarkan atas data-data yang jelas dengan tolok ukur yang jelas pula. Data-data yang diperoleh dari program ini dapat membantu mereka yang mempelajari perkembangan demokrasi dan demokratisasi di Indonesia, seperti para mahasiswa, ilmuwan, dan wartawan. Adanya IDI bagaimanapun sangat perlu diapresiasi karena merupakan kemajuan dalam studi perkembangan demokrasi di Indonesia. Untuk pertama kalinya perkembangan demokrasi di berbagai provinsi di Indonesia dapat diketahui dengan pasti. Manfaat kedua adalah bagi perencanaan pembangunan politik pada tingkat provinsi. Data-data yang mungkin terangkum dalam narasi program ini mampu menunjukkan aspek atau variabel atau indikator mana saja yang tidak ada atau kurang berkembang di sebuah kawasan sehingga dapat diketahui hal-hal apa saja yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait untuk meningkatkan perkembangan demokrasi di provinsi tersebut. Merespon kebijakan pemerintah tersebut, kami merancang program dan strategi pelaksanaan untuk turut berpartisipasi dalam mengukur ketercapaian harapan demokrasi di Provinsi Aceh. Pada tahun pertama, kami memilih beberapa kawasan berdasarkan letak geografi dan perkembangan situasi politik lokal untuk mengambil gambaran umum indeks demokrasi di Aceh. Ada enam kawasan, sebagaimana yang sudah di indikasikan dalam pengantar buku ini, yakni Sabang, Banda Aceh, Bener Meriah, Aceh Besar, Aceh Barat dan Aceh Barat Daya, yang akan dijadikan sampel wilayah dalam memetakan masalahmasalah demokrasi dan kaitannya dengan Indeks Demokrasi Indonesia yang ditetapkan oleh pemerintah. Sebelum melaksanakan kegiatan pemetaan aktor-aktor demokrasi di daerah tingkat II dan mengukur wacana demokrasi yang berkembang di sana, kami melakukan upaya penggalian isu-isu penting di tataran provinsi yang dapat dijadikan acuan untuk merumuskan agenda

5 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


demokrasi untuk Aceh. Salah satu bagian kegiatan tersebut adalah dengan mengadakan Seminar dan Lokakarya Sinergisasi Agenda Demokrasi Aceh yang bertujuan menyatukan dan menyelaraskan agenda dalam jangka lima tahun ke depan. Kami mewacanakan bahwa terbukanya peluang partisipasi masyarakat sebagai bagian dari tuntutan reformasi politik, harus diakui, telah memberi nuansa baru bagi pola interaksi antara negara dan masyarakat pada periode transisi menuju demokrasi. Bila sebelumnya (pada periode rezim otoriter) pola interaksi antara negara dan masyarakat cenderung satu arah, maka pada periode transisi menuju demokrasi mulai bergeser ke pola interaksi yang bersifat dua arah. Walaupun praktik dari pola interaksi dua arah tersebut cenderung tidak seimbang karena dalam banyak hal negara dalam hal ini penguasa masih dapat memaksakan kehendaknya atas masyarakat. Demokrasi, dalam pengertian yang kami pahami di sini merujuk kepada apa yang dirumuskan oleh Robert Dahl bahwa demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan dengan ciri-ciri berikut ini: adanya kebebasan warga negara dalam sistem tersebut untuk (1) membentuk dan ikut serta dalam organisasi, (2) berekspresi atau berpendapat, (3) menjadi pejabat publik, (4) melakukan persaingan atau kontestasi di antara warga untuk mendapatkan dukungan dalam rangka memperebutkan jabatan-jabatan publik penting, (5) memberikan suara dalam pemilihan umum, (6) ada pemilihan umum yang jurdil, (7) adanya sumber sumber informasi alternatif di luar yang diberikan pemerintah, dan (8) adanya jaminan kelembagaan bahwa setiap kebijakan pemerintah tergantung pada dukungan suara dan bentuk-bentuk ekspresi keinginan lainnya, dan karena itu harus ada jaminan pemilihan umum secara periodik

6 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

sehingga setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terbuka untuk dievaluasi dan dipertanggung jawabkan dalam pemilihan umum tersebut.


Proses sinergisasi agenda demokrasi, baik antara sesama elemen masyarakat sipil sendiri maupun antara masyarakat sipil dengan pemerintah, adalah target pertama dalam program yang dijalankan oleh Katahati Institute dan AJMI. Adapun beberapa pertanyaan kunci yang digali dalam kegiatan seminar dan lokakarya tersebut: · Pandangan peserta terhadap kualitas Demokrasi Aceh dikaitkan dengan Indeks Demokrasi Indonesia 2009; · Agenda-agenda kerja para peserta dalam penguatan isu-isu demokrasi Aceh; · Tantangan dan hambatan dalam penguatan demokrasi Aceh; · Kebutuhan dan dukungan penguatan demokrasi Aceh; serta · Mekanisme dan strategi sinergisasi agenda kerja demokrasi Aceh. Semiloka yang menghadirkan pembicara dari perwakilan eksekutif, legislatif, serta organisasi masyarakat sipil Aceh tersebut berlangsung selama sehari, dimulai dengan presentasi para pemateri yang dilanjutkan dengan penggalian agenda dan kerja-kerja penguatan demokrasi sehingga bersinergis dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Aceh. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh 45 (empat puluh lima orang) perwakilan dari lembaga masyarat sipil yang bergerak pada isu pemerintahan, demokrasi, anti korupsi, perempuan dan anak, lingkungan, masyarakat adat, kesehatan, pendidikan, kepemudaan dan struktur pemerintahan gampong/mukim. Jenis organisasi yang hadirpun beragam antara lain; berbentuk jaringan, lembaga/institusi, ormas, mukim, dan lembaga pendukung. Dua orang narasumber terpilih memaparkan dua topik yang menjadi pengantar diskusi. Topik pertama; “Peran Elemen Sipil dalam Implementasi Agenda-

7 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Agenda Demokrasi� disampaikan oleh Otto Syamsuddin Ishak dari Imparsial. Imparsial adalah lembaga kemanusiaan yang bergerak di bidang pengawasan dan penyelidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia. Dalam presentasinya Otto memaparkan bahwa implementasi agenda demokrasi masih lemah di level propinsi dan kabupaten/kota berdasarkan data hasil survey UNDP tahun 2009 yang menunjukkan memberi pembelajaran demokrasi masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Berikut adalah resume dari paparan Otto Syamsuddin Ishak. Pemateri pertama ini adalah seorang akademisi cum aktivis kemanusiaan yang baru saja terpilih sebagai ketua Komnas HAM periode 2012-2017. Otto mengajak peserta semiloka untuk tidak melupakan kondisi Aceh pada zaman sulit, ketika konflik masih berkecamuk dan sedikit sekali ruang dan wacana demokrasi yang berkembang. Berangkat dari pengalaman masa lalu, dimana menurut Otto jelas sekali terlihat bahwa elemen sipil merupakan penggerak demokrasi meskipun penikmatnya kini adalah para politisi. Konteks ini terlihat jelas di tingkat nasional dan Aceh dalam perbandingan indeks demokrasi Indonesia secara keseluruhan. Dari data tersebut disebutkannya bahwa nilai untuk lembaga demokrasi secara struktur sudah meningkat namun ini tidak dibarengi dengan peningkatan aspek manusianya sebagai pembentuk institusi. Padahal variable demokrasi adalah manusia dan secara institusi sumber daya manusia (SDM) ini perlu pengelolaan yang baik dan maksimal. Menurut Otto, masalah yang ada dalam program demokrasi di Indonesia secara umum dan di Aceh khususnya adalah persoalan dalam melembagakannya, yakni menciptakan institusi yang memiliki kewenangan. Misalnya saja, Aceh tidak memiliki institusi pemantauan Pemilukada yang kredibel. Ini yang harus dimiliki oleh elemen sipil

8 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

dalam melakukan monitoring terhadap demokrasi. Salah satu contoh paling akurat adalah proses Pemilukada 2012 di Aceh, seharusnya elemen sipil itu harus spartan dalam melakukan monitoring dan


penting sekali membuat dokumentasi setiap peristiwa, hal-hal ini akan menjadi acuan dan referensi berbagai pihak dikemudian hari. Otto menegaskan bahwa budaya kekerasan seharusnya tidak perlu terjadi di Aceh hanya karena dua pihak saja yang berselisih dalam Pemilukada Aceh. Namun jika kita lihat indeks yang dibuat oleh UNDP maka kejadian ini mengagetkan. Begitupun dengan anggota DPR Aceh, yang seharusnya adalah politisi karir dan tidak terlibat atau menyandang status sebagai mantan narapidana. Sehingga, tindakan-tindakan yang tidak dibenarkan tidak terjadi. Struktur sosial di Aceh sekarang ini memang sudah banyak berubah menurut Otto, namun perubahan tidak dibarengi dengan peningkatan kapasitas. Dalam kajian lain misalnya, lembaga pemantaunya tidak mampu menjalankan fungsi utamanya yaitu memantau. Walaupun dari dulu Panitia Pengawas (Panwas) itu memang kerdil dan jumlah anggotanya sedikit bila dibandingkan dengan jumlah pemilih, namun belum ada evaluasi dari tidak efektifnya fungsi lembaga tersebut. Kondisi politik yang sudah bercampur dengan amarah dan nafsu seperti sekarang tidak cukup hanya ada di tangan atau diselesaikan oleh hanya 5 (lima) orang anggota Panwas tersebut, demikian penegasan dari Otto Syamsuddin Ishak. Panwas pemilukada menjadi lemah karena ada unsur-unsur kepentingan Partai Politik. Ada banyak maling yang bekerja, dan akhirnya menjadikannya sebagai lembaga pemonitor maling. Hasil pemantauan Pemilukada 2012 ini bisa menjadi rujukan untuk perumusan Qanun yang baru tentang lembaga pengawas pemilu di Aceh. Otto menegaskan bahwa perlu bagi OMS melakukan percepatan revisi terhadap qanun itu di tempat yang belum dilaksanakan Pemilukada serentak seperti sekarang ini. Lobi kepada DPRA dan DPRK harus dilakukan oleh elemen-elemen sipil. Itulah yang dimaksud dengan kelengkapan instrumen demokrasi yang berkaitan dengan kebijakan legislatif dan eksekutif, dimana peran masyarakat sipil bisa

9 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


memaksimalkan kontribusinya dalam mempengaruhi kebijakan ke arah yang lebih baik. Contoh lain menurut Otto adalah bagaimana kita membicarakan tentang HAM sejak tahun 2000. Beberapa capaian ataupun kegagalan kegiatan yang dibuat ketika itu tak bisa lepas dari perilaku masyarakat Aceh. Pelaporan yang dibuat oleh korban tindakan pelanggaran HAM butuh keberanian. Saat itu ada masyarakat yang berani bersaksi dan memberikan laporan pada pihak berwajib, itu muncul dari kesadaran. Otto menganalisis bahwa masyarakat sekarang tidak berani menjadi saksi atas tindakan kekerasan yang dialaminya. Mungkin bisa kita katakan bahwa masyarakat Aceh saat ini sudah mulai apatis dalam memperjuangkan hak-haknya. Penyusunan agenda demokrasi Aceh tepat dilakukan terkait momentum politik yang langsung merefleksikan kondisi demokrasi di Aceh, hal tersebut membutuhkan energi dan intensitas kerja yang sangat tinggi. Meskipun kecepatan prosesnya yang diperkirakan akan berlangsung lama namun merancang institusional demokrasi harus dilakukan terus-menerus di Aceh saran Otto. Pemateri yang kedua pada sesi seminar ini diwakili oleh unsur Pimpinan DPRA. Wakil Ketua I DPRA, Amir Helmi menyampaikan topik “Regulasi dan Kebijakan Prioritas dalam Meningkatkan Pembangunan Demokrasi Aceh�. Dalam paparannya Amir Helmi menyatakan satu analisa bahwa proses demokratisasi di Aceh mengalami penurunan dari masa ke masa, jika melihat pada proses keberadaan partai politik di Aceh. Pada pemilihan legislatif tahun 2004, walaupun Aceh masih dalam kondisi konflik namun proses pemilu dapat berjalan normal. Langkah maju yang dilakukan oleh partai-partai nasional setelah proses damai adalah dengan membuat Qanun (peraturan

10 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

perundangan khusus untuk daerah Aceh) untuk pembentukan partai lokal. Namun dapat kita lihat konsekuensinya sekarang saat Partai Lokal hadir, Partai Nasional malah terpinggirkan dari konstituen


sebelumnya. Dalam UUPA (Undang-Undang Pemerintahan Aceh) pasal 5 yang mengisyaratkan mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka boleh berpolitik sangat diapresiasi oleh anggota legislatif saat itu. Singkatnya pasal yang sebenarnya tidak menguntungkan secara politik itu tetap diakomodir juga oleh DPRA yang berasal dari partai Nasional. Amir menambahkan bahwa keuntungan bagi Aceh dalam konteks pelajaran berdemokrasi adalah karena adanya elemen-elemen sipil yang cukup intens memperjuangkan tegaknya demokrasi sebelum maupun pasca perundingan damai yang menghentikan peperangan antara GAM dan TNI. Kondisi ini sangat luarbiasa sehingga suarasuara demokrasi terus bergema di Aceh. Syarat utama dari proses demokrasi bisa terlaksana dengan baik adalah jika elemen sipil itu tahu bagaimana penyampaian hak-hak demokrasi dengan baik pula. Sekarang, tambah Amir Helmi, dalam prosesi pemilukada Aceh banyak terjadinya gesekan-gesekan yang mengganggu stabilitas masyarakat. Padahal, berbagai upaya sudah dilakukan termasuk deklarasi Pemilukada Damai yang dibuat di depan Mesjid Raya, dan ini berbahaya sekali bila dilanggar. Langkah-langkah terbaik sudah DPRA lakukan dan pertimbangkan. Dalam proses pelaksanaannya masih saja terjadi pelanggaran-pelanggaran. Bagi Amir Helmi, hal ini menyisakan satu pertanyaan penting apakah karakter orang Aceh memang senang dengan kekerasan atau apakah ada penjelasan lain yang bisa memberi jawaban kenapa setelah proses-proses pendidikan demokrasi yang baik telah dilaksanakan oleh pihak elit, namun di lapangan kekerasan dan pelanggaran demokrasi masih terus terjadi. Helmi menambahkan bahwa maraknya kekerasan yang terjadi menjelang proses pemilukada 2012 tidak pernah terungkap atau tidak disampaikan kepada publik. Ataukah ada kekuatan lain yang menghambat proses tersebut? Inilah yang menjadi sedikit menjadi potensi pengganggu pada proses demokrasi di Aceh. Amir menyatakan komitmen DPRA sebagai instansi pembuat regulasi akan berusaha

11 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


sekuat tenaga untuk berbuat hal-hal yang baik dan mendukung adanya penguatan demokrasi di Aceh. Elemen sipil diharapkan mau memperhatikan kekurangan-kekurangan tersebut, dan dapat memberikan rekomendasi kepada DPRA dalam proses pembentukan Qanun. Meskipun komposisi besar Partai Aceh (yang mendominasi parlemen Aceh saat ini) sering menang dalam pengambilan keputusan, namun inilah satu proses demokrasi dan harus diakui. Proses demokrasi yang terbangun di Aceh, menurut Amir Helmi, dapat dilihat ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan calon Independen diakomodir dalam Pemilukada Aceh, dan konflik regulasi pun dimulai. Cara-cara yang ditempuh dalam menyelesaikan pertentangan regulasi itu bisa dinilai masih dijalankan dalam koridor demokrasi dan taat pada keputusan hukum, hal ini adalah poin positif dari atmosfer demokrasi di Aceh saat ini. Demikian materi yang diusung oleh Amir Helmi yang merupakan politisi Partai Demokrat. Dari paparan kedua pemateri di atas, pembaca dapat memperoleh bayangan bagaimana kondisi demokrasi di Aceh sangat terpengaruh oleh situasi politik transisi dari zaman perang ke zaman damai. Elemen masyarakat sipil yang tergabung ke dalam berbagai wadah, atau yang sering diistilahkan sebagai aktivis LSM pernah memainkan peran yang sangat signifikan dalam mengembangkan wacaana demokrasi di Aceh. Kondisi menjadi sedikit berubah, dalam arti bahwa wacana demokrasi meredup, seiring mendominasinya satu kelompok politik baru di Aceh yang merupakan mantan kombatan GAM dalam berbagai variabel kehidupan masyarakat Aceh, baik dalam kancah politik maupun ekonomi. Selain resume dari paparan kedua pemateri di atas, kegiatan semiloka dengan agenda rancang bangun demokrasi untuk Aceh tersebut berhasil menghimpun beberapa isu penting dan menjadi

12 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

coretan awal dari mapping kondisi indeks demokrasi di Aceh saat ini. Dari proses diskusi yang berlangsung selama setengah hari tersebut, tim dari Katahati Institute dan AJMI dapat memetakan beberapa hal:


1. Secara keseluruhan Organisasi Masyarakat Sipil di Aceh bergerak di empat isu besar; pendidikan, kampanye, advokasi dan pemantauan. 2. Jenis organisasi yang ada terdiri dari Jaringan, Lembaga Institusi, Ormas, dan lembaga pendukung. 3. Tantangan dan hambatan yang dihadapi selama ini antara lain; program yang tidak berkelanjutan, lembaga tidak kredibel (tidak professional), isu yang diusung lembaga tidak pernah fokus (disesuaikan dengan fokus donor atau project), adanya konflik antar kelompok, dukungan menurun dari sisi pendanaan dan Sumber Daya Manusia, kebijakan; meskipun UUPA mengatur dan mengundangkan qanun namun mekanismenya tidak jelas sehingga lembaga-lembaga yang selama ini mendapat support dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh adalah lembaga musiman, lembaga terkesan elitis dan masih tumpang tindihnya program karena koordinasi yang belum maksimal juga keberadaan lembagalembaga masih parsial atau terkotak-kotak. Poin-poin di atas bisa dikategorikan sebagai peta kegiatan dan isu demokrasi yang diusung oleh beberapa kelompok masyarakat di Aceh. Poin terakhr bisa dikerucutkan sebagai faktor penghambat yang harus diatasi segera. Maka dapat digambarkan kebutuhan dan dukungan untuk dapat mensinergikan agenda demokrasi Aceh, baik di level sesama masyarakat sipil maupun sipil dengan pemerintah adalah sebagai berikut: 1. Perlunya rekam jejak dan dokumentasi proses demokrasi di Aceh agar dapat dijadikan satu dokumen pembelajaran. 2. Peningkatan kapasitas bagi para aktor demokrasi dan lembaga terkait. 3. Roadmap Demokrasi Aceh dengan mengukur indeks kesehatan masyarakat sipil. 4. Rancangan kongres masyarakat sipil.

13 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Keempat agenda di atas menjadi landasan dan framework berjalannya program setelahnya, yakni penguatan demokrasi dan pemetaan aktor di beberapa kabupaten kota di Aceh yang telah dilaksanakan oleh Katahati Institute dan AJMI selama tahun 2011-2012. Bagian berikut adalah sajian tentang serial diskusi yang dilakukan di enam kabupaten/kota di Aceh. B. Serial diskusi lintas kelompok di setiap Kabupaten/kota Seperti yang telah disinggung pada bagian pengantar buku ini, lingkup sinergisasi agenda demokrasi secara keseluruhan akan sampai ke level kabupaten/ kota. Katahati Insitute dan AJMI dengan dukungan TIFA Foundation melakukan intervensi program penguatan demokrasi di 6 (enam) wilayah yaitu Aceh Besar, Sabang, Banda Aceh, Aceh Barat, Aceh Barat Daya dan Bener Meriah. Hal ini dimaksudkan agar demokrasi tidak berjalan di level provinsi saja, melainkan juga wacana demokrasi hendaknya bisa berkembang di seluruh wilayah Aceh. Pemetaan berbasis pada kegiatan-kegiatan dan penggalian pemahaman dari para stakeholder di kabupaten/kota yang tentunya yang paling dekat dengan kehidupan demokratisasi di level masyarakat akar rumput. Agenda kami yang berbasis temu-dialog dengan para stakeholder daerah beberapa kali mengalami perubahan jadwal, penyesuaian bahasa dan topik pembahasan. Kajian terhadap perkembangan situasi politik, kondisi masyarakat dan varian permasalahan yang ada di setiap kabupaten/kota menyebabkan tim Katahati dan AJMI bekerja keras untuk melakukan penyesuaian, baik tema maupun bahasa kegiatan. Ragam strategi itu tetaplah berada dalam framework mengukur indeks demokrasi dan wacana demokrasi yang berkembang di tengah

14 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

masyarakat awam. Serial diskusi terfokus bertujuan untuk membangun pemahaman, kampanye, advokasi dan pemantauan. Kegiatan berantai tersebut


menghadirkan perwakilan tokoh lintas sektor, seperti perwakilan tokoh agama, tokoh adat, kelompok etnis, organisasi tukang becak, nelayan dan tokoh strutural gampong seperti imam mukim dan keuchik yang diwakili oleh forum mukim dan forum keuchik. Kegiatan ini menjadi penting untuk menggali peran tokoh-tokoh lintas kelompok untuk mewujudkan Aceh yang demokratis dengan seluruh kompenen masyarakat yang ada. Tentu dengan dukungan sejumlah masyarakat sipil dan pemerintah serta kompenen penting lainnya, agenda demokrasi ini bisa terwujud sampai ke level kabupaten/kota. Secara umum diskusi-diskusi yang telah dilakukan tersebut diharapkan dapat memetakan tingkat perkembangan demokrasi dikabupaten/kota demi terwujudnya agenda demokrasi dilevel masyarakat. Dalam rumusannya kegiatan ini ingin mencapai beberapa hal dibawah ini: 1. Terpetakannya agenda demokrasi masyarakat sipil dan tokoh lintas sektor untuk pembangunan kabupaten/kota; 2. Mensinergikan agenda demokrasi masyarakat sipil dan tokoh lintas sektor dengan agenda pemerintah daerah; serta 3. Meningkatkan kerja–kerja demokrasi masyarakat sipil dan tokoh lintas sektor untuk pembangunan kabupaten/kota. Berikut ini adalah gambaran kegiatan dan materi pemabahasan berdasarkan wilayah intervensi program di lima kabupaten. - Sabang Sabang mungkin salah satu nama kota yang paling sering didengar dan diucapkan oleh penduduk Indonesia. Meskipun bisa dipastikan tidak banyak orang yang tahu bahwa ia hanya sebuah kota kecil di Pulau Weh yang menandai kilometer pertama dalam gugus kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Komposisi masyarakatnya beragam, kebanyakan adalah pendatang dari Aceh daratan. Pasang

15 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


surut demokrasi di Sabang diharapkan tergali dalam pertemuan yang kami lakukan di bekas kota pelabuhan bebas tersebut. Diskusi Lintas Kelompok yang dilaksanakan di Sabang bekerjasama dengan Generasi Peduli Sabang (GPS), salah satu mitra Katahati Institute dan AJMI di wilayah Sabang. Diksusi ini menghadirkan dua narasumber, Faisal Azura, yang mewakili Bappeda dan Agus Halim. Dalam pemaparannya Faisal Azura mengatakan bahwa demokrasi merupakan proses atau system pemerintahan yang berlatar belakang atas suara rakyat dan dijalankan berdasarkan kepentingan rakyat namun ada beberapa persoalan dalam proses penyerapan aspirasi masyarakat melalui musrenbang namun proses pengawalannnya tidak dilakukan bersama-sama. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; system yang tidak mendukung, misalnya tidak semua usulan masyarakat untuk pembangunan tidak bisa ditampung karena keterbatasan anggaran. Sikap apatisme masyarakat juga menjadi penyebab lainnya, misalnya kesalahpahaman dan ketidakberanian masyarakat dalam mengkritisi dan memberikan solusi kepada pemerintah daerah, padahal itu sangat diperlukan. Meskipun masih ada beberapa orang masyarakat yang masih kritis dalam menyikapi berbagai persoalan namun hanya sebatas di warung kopi saja dan tidak diteruskan menjadi usulan konkrit kepada pemerintah. Diskusi yang dilaksanakan pada tanggal 21 Juli 2012 dihadiri oleh 15 orang peserta juga menghadirkan Agus Halim yang memberikan gambaran

sejauhmana

dukungan

organisasi

masyarakat

sipil

dalam implementasi agenda-agenda demokrasi di Kota Sabang. Dalam paparannya Agus Halim menyebutkan bahwa pada dasarnya masyarakat awam di Sabang mengetahui tentang pentingnya

16 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

proses demokrasi namun tingkat kesadaran dan kedewasaan dalam berdemokrasi masih sangat rendah. Sebagian besar yang paham hanya berdiskusi diwarung kopi saja karena mereka tidak mempunyai


wadah atau semacam badan yang memberikan pemahaman tentang proses demokrasi yang terjadi di tingkat pembangunan. Banyak hal yang seharusnya dilakukan pemerintah bukan hanya sekedar memberikan modal usaha tapi berikanlah pemahaman arti penting peran masyarakat sipil dalam proses pembangunan, sehingga masyarakat dapat berperan aktif mulai dari perencanaan dan pengawalan secara bersama-sama sehingga terciptanya system demokrasi dalam proses pembangunan yang ideal. Dari diskusi yang berkembang, peserta yang hadir mengungkapkan bahwa peran pemerintah dalam memberikan pemahaman demokrasi kepada masyarakat masih sangat minim. Hal ini juga diakibatkan oleh masih kurangnya sumber daya manusia yang mengerti persoalan dan penyampaian bahasa demokrasi. Dengan kata lain masyarakat masih memerlukan pendampingan. Pun jika ada satu dua orang yang mengambil peran tersebut, pemerintah juga masih tertutup terhadap kritikan masyarakat yang sudah “sadar� tentang wacana pembangunan dengan basis demokrasi. Sebagai konklusi fasilitator menyampaikan bahwa proses demokrasi yang sebenarnya adalah proses yang melibatkan peran masyarakat dan pemerintah secara pro akif baik dalam memberikan kritik, solusi hingga pengawalan terhadap proses demokrasi dapat berjalan maksimal. Yang penting dicatat dari pertemuan tersebut adalah penjabaran tentang sektor ekonomi dan parawisata yang mestinya menjadi andalan bagi masyarakat Sabang. Mengejutkan karena dipaparkan potensipotensi ini tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat, sehingga dalam diskusi tersebut sejumlah elemen masyarakat menyatakan kecewa pada pemerintahan 2006-2012 yang tidak mampu merubah perekonomian Sabang ke arah yang lebih baik. Keberadaan pelabuhan bebas (freeport) yang semestinya menjadi basis pertumbuhan ekonomi, ternyata tidak lebih dari lembaga yang menyedot anggaran pemerintah tanpa bisa mandiri dan mampu mengelola potensi pelabuhan bebas

17 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Teluk Sabang yang tidak kunjung kembali ke posisi penting seperti beberapa dekade sebelumnya. Masyarakat Sabang masih memiliki kenangan tentang kejayaan pelabuhan bebas pada dekade 70-an. Sejarah kejayaan pulau ini sejak Aceh bergabung dengan Indonesia bisa ditelusuri pada masa awal kemerdekaan Republik. Sabang menjadi pusat pertahanan Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan wewenang penuh dari pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertahanan RIS Nomor 9/ MP/1950. Semua aset pelabuhan Sabang Maatschaappij yang sebelumnya,

dikuasai

Belanda dibeli

Pemerintah Indonesia.

Kemudian pada tahun 1965 dibentuk pemerintahan Kotapraja Sabang berdasarkan UU No 10/1965 dan dirintisnya gagasan awal untuk membuka kembali sebagai Pelabuhan Bebas dan Kawasan Perdagangan Bebas. Gagasan itu kemudian diwujudkan dan diperkuat dengan terbitnya UU No 3/1970 tentang Perdagangan Bebas Sabang dan UU No 4/1970 tentang ditetapkannya Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Ironisnya atas alasan pembukaan Pulau Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Sabang terpaksa dimatikan berdasarkan UU No 10/1985. Tahun 2000, kembali pemerintah pusat menyatakan Sabang dibuka sebagai pelabuhan bebas. Tapi proses menjadi kawasan yang menguntungkan secara ekonomi seperti empat dekade sebelumnya masih jauh dari kenyataan. Harapan masyarakat Sabang saat ini yang paling utama dalam sektor perekonomian adalah kewenangan yang seharusnya dijalankan oleh BPKS (Badan Pengelola Kapet Sabang) bisa maksimal dan mampu kembali menaikkan derajat ekonomi

18 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

masyarakat. Rangkaian dari regulasi mulai dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan


Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selaku Ketua Dewan Kawasan Sabang No.193/034 Januari 2001 tentang Pembentukan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, hingga Peraturan Pemerintah No.83 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemerintah Kepada Dewan Kawasan Sabang, tidak juga menjadi penunjang bagi majunya kawasan Sabang. Peserta diskusi menyatakan bahwa jika regulasi yang telah dikeluarkan bisa dipegang oleh masyarakat implementasinya maka kebijakan itu diyakini mampu menanggulangi masalah-masalah dalam kehidupan berdemokrasi di pulau tersebut. Dinamika politik kontemporer di Sabang justru menarik karena mempunyai beberapa kekuatan politik yang seimbang dari sisi komposisi nasional-lokal dan seimbang dari segi muatan ideologi yang diperjuangkan sejak sebelumnya. Keadaan tersebut adalah potensi positif karena semestinya memiliki fungsi sebagai penyimbang antara eksekutif dan legislatif. Khusus dalam konteks pemilukada Aceh 2012, peristiwa politik yang terjadi di Sabang cukup menarik. Munculnya surat keputusan Mahkamah Konstitusi palsu yang dibuat oleh salah satu calon walikota cukup mengejutkan khalayak. Bagaimanapun peristiwa tersebut tidak pernah mangalami titik ujung dimana pelaku tidak pernah dikenakan hukuman yang setimpal. Fakta tersebut adalah cedera kehidupan berdemokrasi di Sabang hari ini, menurut peserta diskusi. Kondisi masyarakat sipil Sabang yang tergali dari diskusi memberikan gambaran bahwa tidak banyak peran CSO dalam mewarnai proses politik, justru mereka juga terjebak dalam arus politik (contohnya banyak yang menjadi tim sukses kandidat), dan terjebak dalam manuver-manuver yang dimainkan oleh aktor kepentingan politik itu sendiri. Banyak lembaga CSO di Sabang diistilahkan oleh masyarakat sebagai LSM plat merah karena hanya bergerak atas

19 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


program pemerintah, dan sangat tertutup dari sisi transparansi pendanaan kegiatan. Hal inilah yang menyebabkan minimnya pendidikan politik bagi masyarakat Sabang secara terbuka. Sehingga berbagai akses informasi menyangkut tentang pemilukada masyarakat hanya menerima dari media-media. Karena minimnya lembaga yang melakukan pendampingan untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Pada diskusi lintas kelompok sabang, turut juga hadir dari pemerintah, yang kemudian mensinergikan pendiskusian antar masyarakat sipil dengan program pemerintahan. Kelompok yang turut berpartisipasi mulai dari kelompok nelayan, tokoh gampong, guru, pemuda dan beberapa tokoh penting Sabang yang diyakini menjadi “influecer� bagi sebuah dinamika demokrasi di Sabang. Bagi kelompok nelayan, memahami adanya fungsi demokrasi jika adanya kontrol terhadap harga pasar yang dilakukan oleh pemerintah terhadap hasil yang didapat oleh nelayan. Di beberapa tempat nelayan masih terus mengandalkan pasar tradisional untuk memasarkan hasil tangkapan mereka, dan itu luput dari perhatian pemerintah. Potensi laut yang dimiliki oleh Sabang sangatlah luas, apa lagi berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Hal ini seharusnya menjadi potensial asset bagi pemerintah untuk mengembangkan nelayan tradisional di Sabang. Bagi kelompok tani dan buruh, juga mengharapkan hal yang sama dari pemerintah yaitu adanya pengontrolan harga pasar dan upah bagi para buruh. Secara demografis, Sabang yang hanya memiliki 2 kecamatan, 7 mukim dan 18 gampong. Hal ini juga diperparah dengan tidak adanya lahan tanam padi di Sabang, sehingga secara praktis barang–barang kebutuhan pokok yang ada di sana merupakan hasil

20 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

kiriman dari kabupaten/kota lain yang ada di Aceh. Secara kelembagaan masing–masing kelompok sudah terstruktur dan terkoordinir menurut jenis dan kelompoknya. Namun pada


persoalannya, kelompok yang terorganisir dan terbentuk ini ada yang merupakan bentukan pemerintah dan banyak karena kesadaran diri mereka. Kelompok–kelompok ini seharusnya menjadi kemitraan bagi pemerintah melalui bappeda untuk merancang bentuk demokrasi yang ideal yang merupakan lahir dari arus bawah. - Aceh Besar Aceh Besar adalah teritori awal dimana kesultanan Aceh Darussalam pertama kali mengukuhkan diri sebagai salah satu kekuatan politik di Asia Tenggara. Kawasan ini dulunya menyatu dengan Kota Banda Aceh dan menjadi pusat pemerintahan bagi Provinsi Aceh. Wilayahnya yang kini melingkari ibukota provinsi membuat Aceh Besar sering luput dari dilaksanakannya ukuran-ukuran apapun, baik dalam tatakelola pemerintahan, indeks ekonomi maupun indeks demokrasi, dalam lingkup Aceh Besar itu sendiri. Serial kegiatan diskusi dan pertemuan aktor-aktor pro-demokrasi untuk wilayah kerja Aceh Besar dilakukan di Jantho, kota pedalaman yang sejak tahun 1976 menjadi ibukota kabupaten Aceh Besar. Posisi Kota Jantho yang agak sulit dijangkau oleh mayoritas masyarakat Aceh Besar menjadi salah satu kendala yang membangun jarak antara masyarakat dengan elit penguasa kabupaten tersebut. Oleh sebab itu di bagian awal ini perlu diberikan gambaran sejarah pemilihan kawasan Jantho sebagai ibukota. Sehubungan dengan tuntutan dan perkembangan daerah yang semakin maju dan berwawasan luas, Banda Aceh sebagai pusat ibukota dianggap kurang efisien lagi, baik untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang. Usaha pemindahan Ibukota tersebut dari Wilayah Banda Aceh mulai dirintis sejak tahun 1969, dimana lokasi awalnya dipilih Kecamatan Indrapuri yang jaraknya 25 km dari Banda Aceh. Usaha pemindahan tersebut belum berhasil dan belum dapat dilaksanakan sebagaimana diharapkan.

21 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Kemudian pada tahun 1976 usaha perintisan pemindahan ibukota untuk kedua kalinya mulai dilaksanakan lagi dengan memilih lokasi yang lain yaitu di Kecamatan Seulimum tepatnya kemukiman Jantho yang jaraknya sekitar 52 km dari Banda Aceh. Akhirnya usaha yang terakhir ini berhasil dengan ditandai keluarnya Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1976 tentang pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar dari wilayah Kotamadya Banda Aceh. Daerah Tingkat II Banda Aceh ke kemukiman Jantho di Kecamatan Seulimum Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar dengan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh team Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah yang bekerjasama dengan Konsultan PT. Markam Jaya. Bagaimanapun hasil keputusan para elit tentang penetapan ibukota bagi Aceh Besar yang telah berlangsung hampir 40 tahun lalu masih menyisakan kekecewaan bagi sejumlah elemen masyarakat yang berharap tentang efisiensi tata kelola administrasi pemerintahan yang cepat dan mudah di Aceh Besar. Sebagian besar peserta pertemuan aktor demokrasi Aceh Besar mengeluhkan posisi strategis ibukota kabupaten yang berjarak dari masyarakat. Kegiatan diskusi di Aceh Besar memiliki tujuan yang sama dengan yang kami lakukan di daerah-daerah lain yakni untuk memetakan para aktor atau lembaga di kabupaten tersebut yang selama ini bergerak pada agenda-agenda demokrasi. Dalam beberapa assesment yang dilakukan Katahati dan AJMI dapat diidentifikasi beberapa figur dan lembaga yang berperan aktif dalam isu-isu demokrasi di Aceh Besar, diantaranya HUDA Aceh Besar, RTA Aceh Besar, KADIN Aceh Besar, HIPMI Aceh Besar, Pimpinan Dayah, Forum Mukim Aceh Besar, Forum Keuchik Aceh Besar, HKTI, Panglima Laot, Akademisi: Mujiburrahman

22 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

(IAIN Ar-Raniry), Mustanir (MPD), Jassafat (IAIN Ar-Raniry), Hizir (Dekan MIPA), Mirza Tabrani (PD I Ekonomi Unsyiah), OKP: HIMAB, PII, KNPI Aceh Besar, ORMAS: Perti, Al-Wasliyah, Muhammadiyah, NU,


Kelompok Perempuan: PKK, Kohati. Tanggal 18 Oktober 2011 diadakan pertemuan perdana tentang agenda demokrasi di Aceh Besar. Diskusi dengan sejumlah komponen di atas membicarakan tentang pembaruan mekanisme pembangunan di tingkat gampong/desa. Disini mengemuka analisa sangat diperlukan adanya itikad baik dari eksekutif dan legislatif sehingga proses pembangunan dapat berjalan sinergis di Aceh Besar. Beberapa contoh kasus yang terjadi di tingkat gampong telah coba diselesaikan dengan reusam (aturan di tingkat gampong) namun karena tidak adanya sinergisasi maka kasusnya tetap diproses oleh aparat penegak hukum. Sehingga hukum yang telah dibuat di gampong tidak bisa berjalan sebagaimana yang telah disepakati. Pelaksanaan Musrenbang yang selama ini diharapkan mampu menjadi ruang partisipasi publik dalam proses pembangunan tidak bisa menjawab persoalan akibat tidak sampainya aspirasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan. Usulan masyarakat yang disampaikan dalam musrenbang sering tidak diakomodir, malah usulan yang tidak masuk ke dalam musrenbang menjadi program yang dilaksanakan. Terkesan musrenbang hanya formalitas saja dan program pembangunan yang dijalankan merupakan usulan program dari anggota DPRK. Ruang partsipasi masyarakat sangat tertutup, program yang dilahirkan masih bersifat top down. Musrenbang semua daerah di Aceh ternyata mempunyai wajah yang sama dengan tidak. Secara umum Aceh Besar belum mempunyai konsep pembangunan untuk sektor riil dalam menyambut konsep pembangunan nasional. Berdasarkan data BAPPENAS 2011, rencana pembangunan Indonesia Bagian Barat dititik beratkan pada sektor pertambangan dan perkebunan termasuk Aceh. Ada tiga catatan penting yang bisa dijadikan rekomendasi bersama; yang pertama; sosialisasi masih terbatas di kalangan tertentu dan butuh segera adanya sosilaisassi menyeluruh ke setiap lapisan

23 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


masyarakat. Kedua; membuat pertemuan dengan tokoh Adat, Tuha Peut dan tokoh masyarakat lainnya yang memahami aturan reusam secara turun temurun untuk menjadi aturan atau landasan membuat qanun gampong. Ketiga; melahirkan qanun yang berkekuatan hukum sehingga dapat bersinergi dengan aparat penegak hukum dalam implementasinya. Diskusi kedua yang dilaksanakan pada tanggal 12 November 2011 Diskusi untuk wilayah Aceh Besar dipilih tema “Pemilihan Kepala Daerah dan Agenda Demokrasi Aceh�. Pertemuan ini menghadirkan para pihak dan pemangku kepentingan di Aceh Besar. Kegiatan Diskusi yang dilaksanakan bertempat di Kantor KNPI Aceh Besar dihadiri oleh 15 peserta terdiri dari perwakilan tokoh adat, pemuda, tokoh perempuan, panglima laot, mukim, keuchik, organisasi kepemudaan dan organisasi kemasyarakatan mencoba menggali permasalahanpermasalahan yang terjadi di Kabupaten Aceh Besar tentang proses implementasi demokrasi di kabupaten yang terdiri dari 596 desa tersebut. Diskusi yang semula mengundang perwakilan dari Bappeda untuk sinergisasi agenda bersama, namun tidak bisa karena Ketua Bappeda berhalangan hadir, sehingga hanya dihadiri oleh satu orang narasumber dari Tokoh Adat Aceh Besar, Mawardi. Mawardi menegaskan bahwa menurut kajian adat yang ditekuninya, secara turun temurun masyarakat Aceh Besar sudah memiliki reusam (aturan gampong/desa) yang merupakan aturan yang tidak tertulis dalam menjalankan hidup sehari-hari namun reusam ini berbeda untuk setiap gampong berdasarkan kesepakatan masing-masing masyarakat gampong tersebut. Menurut Mawardi, mestinya setiap gampong kini telah memiliki

24 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

aturan baku (qanun gampong yang tertulis) setelah adanya Qanun nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan Qanun nomor 9 Tahun 2009 Tentang Rencana


Pembangunan Aceh Jangka Panjang. Mawardi menambahkan bahwa meski telah diundangkan aturan untuk membentuk qanun kabupaten, qanun gampong atau reusam, namun pemerintah belum membuat aturan detil untuk mekanismenya. Beberapa masalah di tingkat pemerintahan gampong juga terkait dengan exit strategi ketika bantuan langsung pemerintah kabupaten tidak lagi dikucurkan. Misalnya bagaimana jika pemerintah menghentikan dana Anggaran Dana Gampong (ADG) dan Bantuan Keuangan Peumakmu Gampong (BKPG) sementara masyarakat belum mempunyai aturan baku untuk membiayai operasional gampong. Dikatakannya selama ini masyarakat bergantung pada kucuran dana tersebut. Mawardi

menganilsa

bahwa

penting

bagi

pemerintah

mensosialisasikan mekanisme bagaimana menghitung harta kekayaan gampong sehingga ini dapat membuat masyarakat dapat mandiri mengelola penganggaran gampong ketika ADG dan BKPG berakhir. Pada struktur pemerintahan adat yang lebih tinggi yakni Mukim, hal yang sama juga terjadi. Meskipun qanun Mukim juga telah diberlakukan namun implementasinya belum bisa dijalankan secara maksimal karena sosialisasinya masih sangat minim. Seluruh aturan dan perangkat gampong dan mukim seharusnya sudah dipersiapkan dari sekarang untuk dapat membangun demokrasi atau untuk penguatan demokrasi dari tingkat gampong. Berdasarkan paparan salah seorang sekretaris mukim, Fuadi, sosialisasi selama ini terkendala dengan anggaran yang minim tersedia, misalnya saja saat ini Majelis Adat Aceh (MAA) sedang menggodok reusam gampong di salah satu desa sebagai pilot project namun hal ini belum sampai informasinya ke masyarakat luas karena terkendala sosilasisasi ke masyarakat luas. Selain itu juga kepada aparat penegak hukum. Sehingga koordinasi dalam implementasi resam gampong antara struktural gampong dan aparat penegak hukum dapat berjalan

25 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


dengan baik. Sosialisasi ini minimal diikuti dengan adanya tembusan dari Pemerintah Daerah yang telah mengesahkan reusam tersebut kepada pihak penegak hukum seperti kepolisian. Sehingga ini juga bisa sinkron dengan program Kemitraan Polisi dan Masyarakat. Fuadi menambahkan yang terpenting dari sebuah resam adanya sanksi hukum adat atau sanksi sosial sehingga peraturan tersebut efektif untuk diterapkan. Persoalan lainnya yang sering terjadi adalah tidak semua struktural kepemimpinan di tingkat gampong memahami mekanisme koordinasi antara masing-masing pemangku kepentingan tersebut, seperti pemuda, aparatur gampong, tuha peut, mukim dan aparatur kemukiman lainnya, sehingga struktur pemerintahan adat tersebut terkesan tidak berfungsi dengan baik. Tema diskusi selanjutnya adalah menyorot penerapan Syariat Islam. Sebagai informasi singkat, Syariat Islam diberlakukan di Aceh sejak tahun 2001 dengan mengacu pada Undang-Undang No.18/2001 tentang otonomi khusus dan keistimewaan Aceh. Setelah lebih dari satu dekade penetapan UU tersebut, pelaksanaan di lapangan masih bersifat slogan dan jumlah qanun yang digunakan untuk penegakan hukum Syariat hanya menyangkut hal-hal yang sangat privat. Pihak yang merumuskan mekanisme penerapan Syariat Islam masih sekedar berkutat pada wacana-wacana lip service. Menurut seorang peserta diskusi seharusnya sebagai salah satu aspek yang tercantum dalam agenda demokrasi, yakni bidang kebebasan beragama, maka perlu adanya implementasi berbasis aturan hukum untuk penerapan syariat islam secara menyeluruh. Untuk mewujudkan tata kebijakan penyelenggaraan Syariat Islam perlu adanya konsep penerapan Syariat Islam yang berbasis adat.

26 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

Hukuman seperti cambuk dapat menjadi solusi akhir setelah ada sanksi adat. Melaksanakan hukum cambuk memang memunculkan tanggapan yang sinis dari pihak-pihak luar, sebut saja misalnya pihak Amnesty


Internasional tahun 2011 pernah mengeluarkan statemen bahwa Syariat Islam melanggar Hak Azasi Manusia (HAM) dengan beberapa alasan yang mengikutinya, namun hal itu bisa kita anggap sebagai bagian dari masukan untuk kita perbaiki tatacara penghukuman yang benar-benar bisa memperbaiki pelaku pelanggaran. Jadi bagi Mawardi, salah satu solusi agar penyelenggaraan Syariat Islam adalah dengan kembali ke sanksi adat, karena sanksi sosial dengan penyelesaian yang mengacu pada hukum adat lebih mempunyai efek jera. Hal ini menjadi alasan kuat melihat bahwa dalam beberapa kasus yang melibatkan pejabat Negara, hukum cambuk tidak bisa dijalankan karena dalam aturan qanun tersebut diberikan ruang untuk melakukan banding, namun pihak Mahkamah Agung hingga saat ini belum mempunyai instrumen hukum terkait proses banding dimaksud sehingga proses hukum terhenti ditengah jalan, ini tentu saja menimbulkan preseden buruk bagi penerapan Syariat Islam. Sementara jika melalui hukum adat, pejabat tersebut bisa segera dihukum oleh komponen masyarakat yang diberi kewenangan. Metode ini bisa dimulai dengan pendekatan terhadap tokoh agama dan tokoh adat untuk kemudian melibatkan semua stakeholder di tingkat gampong. Dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh telah ditetapkan tentang keberadaan mukim yang mengelola dan mengatur dengan hukum adat, namun secara implementasi mukim hanya menjalankan fungsi administratif bukan fungsi politik. Mawardi menambahkan bahwa selama ini keberadaan mukim ibarat kalender mati, barang ada tapi tidak bisa dipakai, sama seperti fungsi organisasi pemuda gampong sekarang tidak ada fungsi maksimal. Sebut saja misalnya dalam setiap kasus, Wilayatul Hisbah (WH) hanya berjalan sendiri tidak mengajak pemuda gampong dalam usaha-usaha pencegahan terjadinya pelanggaran hukum Syariat. Sehingga puluhan kasus pelanggaran Syariat tetap saja terjadi setiap hari, padahal ini bisa diminimalisir dengan melibatkan unsur pemuda di dalamnya.

27 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Fenomena lainnya adalah proses hukuman cambuk, jikapun model ini yang terus dipaksakan, itu juga tidak maksimal karena anggaran tidak ada. Anggaran yang dikeluarkan untuk satu kali cambuk sejumlah 50 juta rupiah. Ini juga masih memunculkan kecurigaan tentang adanya politisasi anggaran dana dalam penerapan Syariat Islam. Apakah ide demokrasi sudah ada dalam kehidupan bermasyarakat di Aceh Besar secara umum? Pertanyaan ini dijawab oleh Fuadi, pengurus KNPI Aceh Rayeuk, yang manyatakan bahwa jika berangkat dari aturan dalam reusam Aceh yang berbunyi “Adat bak Poe Teumeureuhoem, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam Bak Laksamana,� kalimat hukum ini menunjukkan bahwa Aceh telah menerapkan agenda demokrasi dari segi distribusi hukum dan tata pemerintahan namun dengan bahasa lokal atau bahasa Aceh, sehingga istilah demokrasi menjadi semacam hal baru yang dianggap belum pernah dikenal. Bagaimanapun norma-norma hukum yang diajarkan turun temurun tersebut menjadi kabur karena sistem pemerintahan di Aceh yang tidak lagi mengacu pada bentuk pemerintahan sebelum bergabung dengan Republik Indonesia, sehingga kini harus kembali dipelajari muatan-muatan lokal yang berguna bagi kehidupan berdemokrasi dan bernegara. Menurut salah satu peserta sebenarnya tidak menjadi masalah walaupun sistem pemerintahan di Aceh sekarang mengacu pada aturan hukum dan struktur pemerintahan nasional, namun di tingkat lokal atau gampong diberikan kewenangan bagi masyarakat untuk tetap mengacu pada nilai-nilai luhur demokrasi yang sudah dimiliki dalam keseharian. Salah satu penyebab hilangnya tradisi turun temurun tersebut adalah karena kini yang menjadi aparatur gampong bukan lagi orang-orang yang dianggap sebagai Petua, namun banyak orang-

28 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

orang yang belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang adat dan agama dan diangkat menjadi Tuha Peut. Tuha Peut adalah tetua gampong yang dipilih untuk membantu Geuchik atau kepala desa.


Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah dibuatnya mekanisme yang mengatur perekrutan Tuha Peut dan perangkat desa lainnya. Sehingga jelas kriteria siapa yang bisa dituakan dalam satu komunitas masyarakat gampong. Mengacu

pada

pembangunan

kabupaten,

peserta

diskusi

banyak mengeluhkan pembangunan selama ini tidak ditunjang oleh pemahaman yang sama oleh legislatif dan eksekutif tentang agenda demokrasi sehingga pembangunan di Aceh Besar terkesan jalan di tempat. Di bagian pembahasan ini pserta diskusi menyarankan seharusnya ada lembaga yang menjembatani antara pemerintah dan masyarakat untuk menemukan ide bersama dan saling bersinergi dalam agenda pembangunan. Contoh sederhana adalah dalam konsep pembangunan ekonomi Islam di tingkat gampong, misalnya setiap petani yang mempunyai hasil panen maka ada mekanisme pembagian setiap kali panen untuk dana gampong, sehingga penerapan Syariat Islam secara bertahap menuju kepada demokrasi yang membawa kesejahteraan. Salah satu rekomendasi penting yang akan diserahkan kepada legislatif dan eksekutif terutama Bappeda Kabupaten Aceh Besar dari hasil pertemuan tersebut adalah mengembalikan penerapan agenda demokrasi berbasis kearifan lokal dan hukum adat setempat sebagai upaya pencegahan terhadap pelanggaran terutama proses penerapan Syariat Islam dan ini tentu saja harus dibarengi dengan pengkajian lebih lanjut sesuai untuk daerah masing-masing. Dalam satu pertemuan lanjutan yang dilakukan untuk proses monitoring program, kami mengundang Fuadi Yusuf, Sekretaris KNPI Aceh Besar dan dalam pertemuan tersebut bisa disarikan paparannya sebagai berikut: Gerakan demokrasi di Aceh Besar umumnya hampir sama dengan wilayah pesisir Aceh lainnya. Aktor utama yang mengelola isu masih berasal dari kelompok Partai Aceh dan Komite Peralihan Aceh (KPA).

29 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Fuadi menyebutnya kelompok Merah. Kelompok tersebut berhasil memenangkan pemilihan kepala daerah di Aceh Besar dan pemilu legislatif 2009. Aktor lainnya adalah tokoh (tua) masyarakat yang berperan dalam mendinginkan isu dan aksi-aksi demontrasi terkait demokrasi yang muncul di Aceh Besar. Wibawa tokoh tua masih berpengaruh besar di kalangan masyarakat. Selain itu, aktivis LSM juga berperan dalam memainkan isu demokrasi.

Demokrasi di Pilkada 2012 Beberapa kekerasan dan intimidasi pemilih di Aceh umumnya, memunculkan ketakutan masyarakat Aceh Besar menjelang Pilkada 2012. Pilkada dimenangkan oleh Partai Aceh. Terlepas dari itu, Fuadi menilai di Indonesia tidak ada sebuah pilkada yang jujur secara demokrasi. Siapa yang kuat, itulah yang menang. Pilkada 2012 tidak menimbulkan ekses besar terhadap demokrasi di sana. Gesekan politik pascapilkada nyaris muncul lewat aksi-aksi yang dimainkan oleh anak-anak muda di Aceh besar, tapi berhasil dipadamkan oleh para tokoh masyarakat di Aceh Besar, termasuk KNPI. Tokoh (tua) masyarakat dan Ormas kepemudaan seperti KNPI, berperan besar dalam inisiasi kampanye meredam aksi-aksi. Mereka menyuarakan persatuan untuk membangun Aceh Besar bersamasama, menyempaikan gagasan baru dan tidak perlu egois dalam perseteruan politik menjelang Pilkada. Sederhananya, masyarakat diajak untuk besinergi dengan pemerintah baru. Sebagian pemuda dan masyarakat lainnya memilih diam dan menilai isu-isu demokrasi tidak berkepentingan apapun bagi mereka, atau tidak berdampak langsung.

30 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Isu lingkungan dengan makin maraknya Galian C muncul di Aceh


Besar. Pelaku yang bermain terdiri dari banyak kalangan; TNI, Polri dan mantan kombatan. Tokoh masyarakat menjadi aktor dalam menyuarakan hal tersebut melalui dialog dengan pemerintah daerah, atas dasar penyelamatan lingkungan. Umumnya aspirasi tersebut didengar oleh pemerintah dan ditindak-lanjuti dengan menertibkan beberapa galian C.

Syariat Islam dan Kemasyarakatan Isu syariat Islam dan sosial kemasyarakat yang muncul masih seputar persoalan hukum. Banyak urusan yang seharusnya diselesaikan di masyarakat dibawa ke kantor polisi. Masyarakat mengingingkan persoalan yang muncul terkait adat dan kisruh kecil, dapat diselesaikan di tingkat desa dan kecamatan, tanpa melibatkan kepolisian. Fungsi perpolisian masyarakat (Polmas) dapat lebih maksimal.

Pertentangan Pemerintah dan Masyarakat 1. Pembebasan lahan masyarakat 2. Pengembangan kota Pembebasan lahan masyarakat oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pembangunan seringkali bermasalah dalam pembayaran. Mayarakat yang mempunyai lahan menjadi aktor untuk menyuarakan haknya. Sementara ide-ide pembangunan lainnya, melibatkan aktor dari aktivis Partai Aceh dan KPA. Inisiatif pembangunan yang berasal dari berbagai elemen masyarakat, harus masuk melalui mereka. Dalam hal ini masyarakat secara umum memilih mematuhinya untuk kepentingan pembangunan. Masyarakat belajar dari pengalaman yang sudah terjadi, kalau tak mampu bersaing maka lebih baik diam saja. Para tokoh (tua) masyarakat sebagai aktor lainnya didorong ke depan untuk menyuarakan aspirasi dalam pembangunan. Tidak

31 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


perlu melakukan mobilisasi massa. Aspirasi tersebut umumnya juga didengar oleh pemerintah daerah. Mereka mengkampanyekan agar semuanya bekerja dan tak perlu banyak bicara. Tokoh (tua) masyarakat aktif

berdiskusi dan membentuk

Forum Silaturrahmi Aceh Rayeuk, untuk memetakan masalah dan penyelesaiannya. Sejak tahun 2011 (jelang Pilkada 2012),

lewat

aksi inilah isu-isu demokrasi disuarakan dan hasil rekomendasinya disampaikan ke pemerintah. Sampai kini, forum tersebut masih didengar oleh pemerintah dalam mengambil kebijakannya. Sejauh ini, belum diketahui gerakan demokrasi yang muncul di Aceh Besar jika aspirasi mayarakat melalui para tokoh tidak didengar pemerintah. Pengalaman lima tahun lalu, para tokoh menarik diri dan cenderung mendiamkan kerja-kerja pemerintah di Aceh Besar. Hasilnya, Aceh Besar dinilai tidak berhasil dalam pembangunan. Belum diketahui apakah cara yang sama akan diambil para tokoh, bila pemerintah tidak mendengar lagi mereka.

Pemekaran Wilayah Isu pemekaran wilayah Aceh Raya yang sempat muncul sampai tahun 2008, tidak mencuat lagi. Elemen masyarakat Aceh besar, telah meminta semua pihak untuk tidak memunculkan lagi isu tersebut.

Rekomendasi Aceh Besar Input berbagai isu kepada pemerintah sebagai bentuk tanggung jawab warga melalui tokoh (tua) masyarakat dan kelompok pemenang baru di Pilkada 2012. -

32 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

Banda Aceh Sebagai wilayah urban dan pusat pemerintahan, Banda Aceh

mungkin merupakan kawasan paling banyak memilliki figur dan lembaga yang memahami wacana demokrasi dan turut berperan


dalam memperjuangkan dalam tata kehidupan masyarakat. Pertemuan terfokus di Kota Banda Aceh mengundang beberapa tokoh masyarakat lintas profesi dan keahlian. Meskipun begitu wacana yang paling ditonjolkan di sini adalah bagaimana kelompok-kelompok masyarakat non-organisasi demokrasi dan HAM memaknai proses demokrasi di Aceh. Pertemuan diselenggarakan pada tanggal 16 November 2011. Diskusi diawali dengan pengantar oleh tim Katahati dan AJMI termasuk pada penekanan pentingnya pertemuan tersebut merespon situasi kisruhnya proses demokrasi terkait pemilukada dan kebijakankebijakan pemerintah kota yang harus dilihat secara kritis. Diskusi mengetengahkan dua narasumber yang masing–masing turut memberi sudut pandang bagi berkembangnya wacana demokrasi dari sisi budaya, adat, serta syariat. Penyaji bahan pertama berkutat pada konteks masyarakat Banda Aceh yang kosmopolitan sejak dahulu kala, isu keberagaman dan toleransi telah dikenal sejak zaman Sultan Iskandar Muda, dimana berbagai suku bangsa bisa menetap dan tinggal sebagai warga Banda Aceh. Itu terbukti dengan adanya pemukiman Peunayong yang mayoritas etnis Tioanghoa, Kampung Jawa, Kampung Kling, dan beberapa tempat penting lainnya. Banda Aceh atau Banda Aceh Darussalam telah dikenal sebagai ibukota Kerajaan Aceh Darussalam sejak tahun 1205 dan merupakan salah satu kota Islam Tertua di Asia Tenggara. Kota ini didirikan pada hari Jumat, 1 Ramadhan 601H (22 April 1205) oleh Sultan Alaidin Johansyah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Hindu/Budha yang saat itu jaya dengan nama Indra Purwa. Kerajaan kuno ini ibukotanya Bandar Lamuri. Berdasarkan hal tersebut maka diaturlah Peraturan Daerah Aceh Nomor 5 Tahun 1988 yang menetapkan tanggal 22 April 1205 sebagai tanggal berdirinya kota tersebut. Banda Aceh Darussalam pernah menderita kehancuran pada waktu pecah “Perang Saudara” antara Sultan yang berkuasa dengan adikadiknya, peristiwa ini dilukiskan oleh Teungku Dirukam dalam karya

33 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


sastranya, Hikayat Pocut Muhammad. Selain itu dalam beberapa catatan sejarah, diketahu bahwa Laksamana dari kerajaan Cina, Cheng Ho pernah singgah di Banda Aceh dalam ekspedisi pertamanya antara tahun 1405 - 1407 setelah singgah terlebih dahulu di Palembang. Pada saat itu kerajaan Aceh dikenal dengan kerajaan Samudera Pasai. Pada saat itu Cheng Ho memberikan lonceng raksasa “Cakra Donya” kepada Sultan yang kini tersimpan di museum Banda Aceh. Pada saat terjadi perang melawan ancaman kolonialisme, Banda Aceh menjadi pusat perlawanan Sultan dan rakyat Aceh selama 70 tahun sebagai jawaban atas ultimatum Kerajaan Belanda yang bertanggal 26 Maret 1837. Setelah rakyat Aceh kalah dalam peperangan ini maka diatas puing kota ini pemerintahan kolonial Belanda mendirikan Kutaraja yang kemudian disahkan oleh Gubernur JenderalVan Swieten di Batavia dengan beslit yang bertanggal 16 Maret 1874. Pergantian nama ini banyak terjadi pertentangan di kalangan para tentara Kolonial Belanda yang pernah bertugas dan mereka beranggapan bahwa Van Swieten hanya mencari muka pada Kerajaan Belanda karena telah berhasil menaklukkan para pejuang Aceh dan mereka meragukannya. Setelah masuk dalam pangkuan Pemerintah Republik Indonesia baru sejak 28 Desember 1962 nama kota ini kembali diganti menjadi Banda Aceh berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43. Pada tanggal 26 Desember 2004, kota ini dilanda gelombang pasang tsunami yang diakibatkan oleh gempa 9,2 Skala Richter di Samudera Indonesia. Bencana ini menelan ratusan ribu jiwa penduduk dan menghancurkan lebih dari 60% bangunan kota ini. Pasca

34 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

tsunami Banda Aceh menjelma kembali seperti zaman kesultanan dulu, dimana berbagai macam ras manusia berbaur di kota bandar ini. Banyak wacana yang dikembangkan, termasuk tentang demokrasi


yang mungkin masih menjadi kata asing bagi penduduk Banda Aceh yang barus aja bangkit kembali dari musibah. Pemateri menyatakan, ada pandangan bahwa demokrasi yang dipopulerkan oleh Bangsa Amerika yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat dengan memposisikan bahwa suara rakyat adalah suara tuhan patut untuk dipertimbangkan kembali. Karena memang tidak ada bentuk ideal yang benar-benar bisa ditunjukkan jika berangkat dari definisi itu. Di sini lain mayoritas Muslim pada umumnya mencurigai demokrasi sebagai strategi kapitalis atau liberalis guna menguasai dunia. Demokrasi menjadi sebuah persoalan di Indonesia dan Aceh, pertama demokrasi datangnya dari Barat atau kaum Nasrani. Kedua, negara Indonesia yang masih baru dan mayoritas penduduknya Muslim memiliki Pancasila sebagai sebagai asas Negara, namun persoalannya dalam hal penerapannya asas milik Bangsa Indonesia juga masih belum jelas. Penyebab lain sulitnya berkembang demokrasi di indonesia juga karena faktor kemajemukan bahasa, sehingga bagi penamaan demokrasi pun harus dilakukan penamaan dalam konteks lokal agar dapat diterima oleh masyarakat. Di Aceh istilah demokrasi baru muncul ke khalayak umum setelah reformasi, walau sebelumnya telah di ajarkan pada mata pelajaran disekolah, yang pun saat itu belum dipahami oleh lulusan sekolah saat itu, karena belum ada wujud perubahan kehidupan masyarakat setelah dipahami atau dipelajari setelahnya. Setelah lebih satu dekade reformasi, di Aceh perkembangan masyarakat dalam menerima perbedaan, menyuarakan gagasan, dan sikap-sikap yang diinginkan dalam cita-cita demokrasi mengalami fase perubahan ke arah lebih baik dan signifikan. Harusnya aspek-aspek local juga digunakan sebagai barometer mengukur demokrasi atau apalah istilahnya itu untuk menghormati tatanan kehidupan masyarakat Aceh. Usaha pertama adalah mencari dan menemukan istilah yang cocok untuk Aceh atas kata demokrasi.

35 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Gagasan yang kontekstual dari kita bersama atas istilah dan bentuk demokrasi di Aceh. Dalam hal ini, perbedaan budaya juga mempengaruhi pola pikir dan watak dari masyarakat tersebut, sehingga tidak dapat dilakukan penyamaan antara masyarakat Amerika dan Indonesia. Pemateri kedua adalah Tgk. Aiyub, unsur pimpinan Majelis Adat Aceh yang juga seorang ahli agama, yang mencoba membedah demokrasi dari perspektif Syariat Islam. Menurutnya demokrasi telah lahir jauh sebelum manusia itu diciptakan. Hal ini digambarkan dengan ketika adanya pertanyaan yang diajukan oleh malaikat terkait dengan penciptaan manusia ke permukaan bumi ini. Dalam konteks ke-Acehan demokrasi berkembang di sini sebelum terjadinya penjajahan oleh pihak kolonial, dimana kerajaan tempo dulu yang dipimpin oleh Sultan menerapkan hukum Islam dalam sistem pemerintahnya untuk mencapai masa keemasannya. Hal ini berangsur hamper 3 abad lamanya, dan dalam menjalankan roda pemerintahannya Sultan mengandeng ulama untuk menetapkan kebijakannya sehingga muncul filosofi “adat bak poe teumeureuhom hukom bak syiah kuala�. Namun ketika Belanda kembali menjajah bangsa Indonesia disitu, awal terjadinya masa kehancuran bagi bangsa Aceh. Hal itu terjadi selama kurun waktu 30 tahun (18731908). Seorang peserta dari Gampong Lampulo menanggapi proses berkembangnya

demokrasi

dengan

mengacu

pada

situasi

bermasyarakat di desa tempat tinggalnya. Lampulo merupakan perkampungan nelayan. Di Banda Aceh, menurut peserta Lampulo ini, segregasi juga masih terjadi ditataran masyarakat, dimana dalam hal penamaan out group/in group itu masih berlaku. Misalkan, dalam pemilihan geuchik (kepala desa), masyarakat yang bukan merupakan warga setempat diistilahkan sebagai masyarakat pendatang justru

36 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

sangat sulit berkompetisi untuk memenangkan pemilihan kendati sama-sama berasal dari Aceh. Dimana pendatang sendiri dilabelkan sebagai orang yang tidak paham dengan reusam gampong setempat.


Sementara di sisi lain apa yang dipahami sebagai demokrasi bagi masyarakat Lampulo adalah sangat sederhana; bagaimana mereka bisa mencari makan dengan cara pergi melaut dan keluarga yang ditinggalkan bisa aman ketika berada di gampong tersebut. Bagi masyarakat Tionghoa yang mendominasi wilayah Peunayong, demokrasi tidak bisa dirasakan secara penuh, karena masih terjadinya perbedaan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam proses perdamaian dan membangun kembali Aceh pasca tsunami, justru masyarakat Tionghoa terisolasi dengan proses pembangunan Kota Banda Aceh. Sehingga terkesan masyarakat Tionghoa hanya mengerti soal ekomoni, tapi hak politik dan budaya justru tidak kelihatan.

Problem Demokrasi Kota Banda Aceh Dalam diskusi ini juga digali beberapa persoalan penting menyangkut tata kota dan ketersediaan ruang publik yang nyaman bagi warga kota. Pemerintah kota Banda Aceh sebenarnya sangat terbantu dengan posisinya sebagai Ibukota Provinsi Aceh sehingga menjadikannya sebagai magnet ekonomi, tetapi akses ekonomi masih menjadi monopoli kelompok-kelompok lama yang memiliki modal kuat. Semestinya keberadaan pemerintah adalah untuk mengatasi problem tersebut. Bagi sebagian peserta, yang tampak justru pemerintah kota saat ini malah menjadi pemain bisnis yang secara langsung maupun tidak langsung melalui jejaring kerja yang dikelola oleh keluarga atau pengurus partai yang mengusung mereka. Beberapa kasus lain yang mencederai wacana hidup berdemokrasi di Kota Banda Aceh turut dibahas dalam pertemuan tersebut, termasuk diantaranya: 1. Perlakuan aparatur kota terhadap anak punk dan prosedur pembinaan yang melangkahi hukum menjadikan Kota Banda Aceh menjadi tempat yang tidak humanis bagi minoritas. 2. Kemudian penutupan tempat-tempat rekreasi dengan dalih Syariat

37 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Islam oleh warga sekitar lokasi menjadi faktor penghambat program wisata Visit Banda Aceh yang dicanangkan pemerintah kota. 3. Penutupan rumah ibadah agama minoritas. 4. Larangan masyarakat berjualan di tempat-tempat tertentu yang menghambat akses ekonomi masyarakat bawah. -

Aceh Barat Dari profil kabupaten yang ditampilkan dalam situs pemerintah

kita bisa meringkas bahwa sejak tahun 2002 Kabupaten Aceh Barat daratan yang luasnya 1.010.466 Ha telah dimekarkan menjadi tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat dengan dikeluarkannya Undang-undang N0.4/2002. Sebelumnya dengan luas yang membentang hampir setengah pesisir Barat-Selatan Aceh, kabupaten ini pernah menjadi wilayah yang paling luas. Sejarah pemekaran dimulai tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, berdasarkan Undangundang Nomor 7 (Drt) Tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Propinsi Sumatera Utara, wilayah Aceh Barat dimekarkan menjadi 2 (dua) Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten Aceh Selatan. Kabupaten Aceh Barat dengan Ibukota Meulaboh terdiri dari tiga wilayah yaitu Meulaboh, Calang dan Simeulue, dengan jumlah kecamatan sebanyak 19 (sembilan belas) Kecamatan yaitu Kaway XVI; Johan Pahlwan; Seunagan; Kuala; Beutong; Darul Makmur; Samatiga; Woyla; Sungai Mas; Teunom; Krueng Sabee; Setia Bakti; Sampoi Niet; Jaya; Simeulue Timur; Simeulue Tengah; Simeulue Barat; Teupah Selatan dan Salang. Sedangkan Kabupaten Aceh Selatan, meliputi wilayah Tapak Tuan, Bakongan dan Singkil dengan ibukotanya Tapak Tuan.

38 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

Pada Tahun 1996 Kabupaten Aceh Barat dimekarkan lagi menjadi 2 (dua) Kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Barat meliputi kecamatan Kaway XVI; Johan Pahlwan; Seunagan; Kuala; Beutong; Darul Makmur;


Samatiga; Woyla; Sungai Mas; Teunom; Krueng Sabee; Setia Bakti; Sampoi Niet; Jaya dengan ibukotanya Meulaboh dan Kabupaten Adminstrtif Simeulue meliputi kecamatan Simeulue Timur; Simeulue Tengah; Simeulue Barat; Teupah Selatan dan Salang dengan ibukotanya Sinabang. Kemudian pada tahun 2000 berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5, Kabupaten Aceh Barat dimekarkan dengan menambah 6 (enam) kecamatan baru yaitu Kecamatan Panga; Arongan Lambalek; Bubon; Pantee Ceureumen; Meureubo dan Seunagan Timur. Dengan pemekaran ini Kabupaten Aceh Barat memiliki 20 (dua puluh) Kecamatan, 7 (tujuh) Kelurahan dan 207 Desa. Seperti mayoritas daerah-daerah tingkat dua lainnya di Aceh, Kabupaten Aceh Barat sejak tahun 2006 dipimpin oleh bupati yang diusung mantan kombatan GAM. Banyak perubahan relasi kekuasaan selama kepemimpinan Ramli-Fuadri yang membuat Aceh Barat menjadi salah satu wilayah yang menyita perhatian pengusung wacana demokrasi. Katahati Institute dan AJMI melakukan kajian di kawasan Aceh Barat menjelang digelarnya pemilukada, yakni pada tanggal 5 September 2011. Kajian yang dilakukan melalui pertemuan dan diskusi terfokus menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang organisasi dan keahlian yang masing-masing memaparkan mengenai progress demokrasi di kabupaten Aceh Barat.

Analisis pelaksanaan demokrasi di Aceh Barat Isu pemilukada adalah merupakan masalah penting dalam demokrasi Aceh hari ini, namun belum ada lembaga yang secara spesifik mengawasi pemilu dan parlemen dari kalangan masyarakat sipil secara berkelanjutan, jika pun ada maka itu bersifat programatik semata. Hal ini juga disebabkan karena pemahaman terhadap demokrasi sendiri kabur di berbagai kalangan.

39 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Masyarakat bingung dalam memahami kisruh pemilukada, terkait tuntutan penundaan dan nasib calon independen. Partai politik tidak melakukan pendidikan politik dengan baik, bilapun dilakukan hanya pada saat menjelang pemilu saja dan cenderung dengan tujuan untuk mencapai kepentingan partai tertentu tanpa memberikan pemahaman demokrasi secara konsep dan prosedural yang baik kepada masyarakat. Kondisi ini masih diperparah dengan adanya aktor-aktor yang anti demokrasi, terutama terkait dalam persoalan penegakan hukum. Dimana aparat penegak hukum tidak memberikan informasi yang berna kepada masyarakat yang berhadapan dengan berbagai kasus hukum (berangkat dari pengalaman LBH Pos Meulaboh). Akibat dari tidak jelasnya agenda demokratisasi di Aceh Barat, berimbas pula pada persoalan Anggaran. Partisipasi publik dalam penyusunan anggaran bisa hampir tidak ada dan dikuasai sepenuhnya oleh pihak legislatif dan eksekutif. Contoh paling nyata adalah pelaksanaan musrenbang yang melibatkan berbagai pihak, namun trend pelaksanaan tidak mengakomodir kebutuhan masyarakat. Demikian pula dengan pengesahan anggaran yang selalu molor dan perubahan anggaran yang selalu terlambat sehingga berakibat pada terkendalanya agenda-agenda pembangunan. Kontrol publik juga lemah terhadap anggaran dan program pemerintah. Akses informasi juga sangat sulit didapatkan oleh masyarakat, yang disebabkan karena tidak adanya petugas penyedia informasi di setiap dinas seperti halnya diperintahkan dalam UU No. 14/2008. Akses informasi yang terhambat ini juga mempengaruhi kinerja media massa dalam menyebarkan informasi yang benar kepada masyarakat. Setelah mendapatkan gambaran kondisi umum agenda demokrasi di Aceh Barat maka kemudian kesepakatan dibangun dengan

40 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

menggaris bawahi isu-isu penting terkait demokrasi di Aceh Barat, diantara sebagai berikut: 1. Pemilukada


2. Anggaran 3. Partisipasi 4. Penegakan Hukum

Aktor dan Agenda CEFIL- alumni dari sebuah pendidikan kepemimpinan dan demokrasi yang digagas oleh kalangan muda Aceh Barat saat ini giat melakukan upaya konsolidasi dan diskusi-diskusi terbuka mengenai wacana dan aktifitas terkait pemilukada. YPS- melakukan pemeberdayaan ekonomi terhadap masyarakat di kawasan tertinggal, namun membutuhkan dukungan untuk membantu menyadarkan masyarakat mengenai hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan memiliki akses terhadap para wakil mereka di legislatif. Para peserta lainnya tidakmemiliki agenda khusus terkait dengan pemilukada atau demokrasi di Aceh Barat, namun semua bersepakat untuk melakukan konsolidasi masyarakat sipil dan membentuk sebuah rencana aksi dan rumusan terkait agenda demokrasi untuk membuat rancang bangun demokrasi Aceh Barat agar lebih mudah dipahami dan disebarluaskan kepada masyarakat. Hal penting yang harus menjadi fokus lainnya adalah pendidikan politik dan demokrasi dengan substansi yang mengedepankan keterbukaan informasi publik serta partisipasi dan pengawasan terhadap agenda demokrasi apapun yang akan hadir di Aceh barat nantinya terlepas dari persoalan Pemilukada. Pertemuan koordinasi selanjutnya yang dilaksanakan di Aceh Barat, hadir beberapa organisasi masyarakat sipil dan tokoh lintas kelompok untuk membicarakan bentuk demokrasi yang dibutuhkan oleh masyarakat di Aceh Barat. Dalam serial diskusi beberapa OMS mendorong terbentuknya forum yang kemudian membicarakan agenda demokrasi antar sesama elemen masyarakat sipil. Adapun upaya untuk

41 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


menuju kearah pembentukan poros masyarakat sipil yaitu: a. Melalui partai politik yaitu infiltrasi ke dalam partai politik terutama

dalam program dan agenda demokrasi untuk membangun komunikasi yang intensif dengan partai politik, menjadi mitra strategis dalam perencanaan kebijakan dan anggaran program pembangun­ an. b. Membangun komunikasi dengan pemerintah guna mendorong ter-

bukannya akses informasi publik. Hal lain yang diungkapkan oleh organisasi masyarakat sipil yaitu bagaimana mensosialisasikan kepentingan dan tujuan perpolitikan demokrasi dengan memberikan pemahaman kepada elite-elite pejabat yang ada di Aceh Barat, jangan sampai kemudian menjadi seorang pejabat daerah yang tidak memiliki background perpolitikan. Namun untuk itu masyarakat sipil yang ada di Aceh Barat menganggap penting untuk didorongnya agar mengenisiasi terbentuknya good governance, sehingga dalam pelaksanaan pemerintahannya tidak mengabaikan hak–hak masyarakat pada umumnya.

Intervensi Kebijakan Negara Kemudian juga dirancang bentuk–bentuk peran masyarakat sipil untuk memastikan berjalannya demokrasi, antara lain melakukan: 1. Pengawasan terhadap negara melalui tindakan advokasi dalam berbagai bidang seperti penegakan hukum dan ham dan lingkungan hidup; 2. Pengawasan melalui media massa ; 3. Peran advokasi dlam proses legislasi dan jurisdiksi, proses politik dan birokrasi, sosialisasi dan mobilisasi; 4. Pemberdayaan melalui peningkatan kemampuan, tenaga dan

42 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

kekuatan atau kekuasaan; 5. Pendampingan

dengan

memfasilitasi

nonformal untuk pemberdayaan.

proses

pembelajaran


Analisa Syariat Islam di Aceh Barat Demokrasi yang berjalan di Aceh belum sepenuhnya mangadopsi substansi dari syariat islam, lalu menjelma sebagai sebagai hambatan demokrasi dikarenakan hal-hal berikut: 1. Elite atau aktor politik hanya memanfaatkan issue syariat islam sebagai komoditas mencapai kekuasaan; 2. Pemahaman tentang syariat islam yang kaffah itu belum membumi atau menjadi trend dalam pemerintahan, hal ini terlihat dari aturan hukum yang tidak mengakomodir poin–poin substansi syariat kedalam aturan. 3. Sosialisasi dan implementasi yang tidak menyeluruh terhadap substansi syari’at islam dalam aturan dan kebijakan daerah ; 4. Pendidikan demokrasi yang berbasis syariat yang dilakukan oleh masyarakat sipil masih kurang; 5. Acuan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dengan daerah lain berbeda, sehingga tidak terjebak seperti pelaksanaan syariat islam yang ada di Arab; 6. Adanya pemahaman mengenai demokrasi yang berbeda antara kelompok masyarakat sipil, pemerintahan; 7. Tidak ada wadah/lembaga/media yang mempublikasikan nilai-nilai demokrasi yang ada di Aceh Barat. Beberapa kondisi juga memperlihatkan kelemahan yang ada pada masyarakat sipil dalam mengembangkan kerja-kerja demokrasi. Hal itu mulai dari tidak adanya pendokumentasian agenda demokrasi yang selama ini dikerjakan oleh masyarakat sipil. Kemudian tidak adanya konsolidasi masyarakat sipil secara massif sehingga tidak terjadi pola relasi antar sesama masyarakat sipil. Hal ini juga diperparah dengan minimnya sumber dana untuk melanjutkan kerja–kerja demokrasi, sehingga seringkali mana kala program yang disepakati oleh pihak donor dengan issue yang berbeda menyebabkan kerja–kerja demokrasi yang telah dilakukan terkesan hanya sebatas project. Ditambah kondisi

43 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


kompetisi yang tidak sehat dalam memonopoli akses dengan donor, dan proses manajemen yang tidak sehat yang ada di dalam tubuh organisasi masyarakat sipil di Aceh Barat. Bagi gerakan feminisme demokrasi yang berjalan di Aceh Barat masih mengedepankan budaya patriarki, hal ini terlihat dari beberapa hambatan: (a) minimnya keterwakilan perempuan dalam parlemen dan kepengurusan partai serta jabatan–jabatan strategis dipemerintahan; (b) tidak ada affirmative action dalam mendukung perempuan yang berkapasitas untuk menduduki jabatan publik tertentu; (c) mainstreaming pemikiran laki-laki yang takut untuk disaingi oleh kaum perempuan; (d) masih terdapatnya kebijakan pemerintah yang justru menyudutkan perempuan di Aceh Barat; (e) masih adanya perlawanan terhadap kampanye gender mainstreaming karena dianggap melawan aqidah. Untuk menjawab hal ini semua, maka dibutuhkan kepercayaan dari masyarakat dan forum masyarakat sipil di Aceh Barat untuk melakukan agenda–agenda kerja organisasi masyarakat sipil. Sehingga tawaran pembentukan forum OMS dianggap penting untuk menjawab berbagai persoalan di Aceh Barat, karena dengan terbentuknya forum ini dianggap akan memecahkan stagnansi gagasan dan kembali membangun gerakan–gerakan bersama untuk mewujudkan kerja–kerja demokrasi di Aceh Barat. Pada diskusi yang diselenggarakan di kabupaten Aceh Barat mengenai demokrasi dan turut menghadirkan dua narasumber yang masing – masing memaparkan mengenai progress demokrasi dikabupaten Aceh Barat. Sebenarnya demokrasi bukanlah yang asing lagi yang didengar oleh masyarakat Aceh Barat. Masyarakat sipil selama ini dalam program kerjanya berorientasi pada demokrasi dan kesejahteraan rakyat aceh. Namun yang menjadi persoalan yaitu tidak

44 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

ada yang dilihat oleh publik secara dokumentatif yang dilakukan oleh masyarakat sipil. Dari serangkaian aksi yang dilakukan oleh masyarakat sipil hanya tercatat pada dokumen media saja, padahal harapannya


tidak hanya sebatas pemberitaan, tetapi juga akan mengakar kepada masyarakat tingkat bawah, mengenai agenda-agenda demokrasi yang selama ini dilakukan di Aceh Barat. Memahami sebuah demokrasi tentu tidak dapat dilakukan pengeneralisir dengan apa yang dipahami oleh bangsa- bangsa lain yang ada didunia ini. demokrasi di indonesia sendiri masih terbilang sangat muda dalam perjalanannya, yang tidak lebih dari 12 tahun adanya. Tentu dengan dunia demokrasi yang masih terbilang muda, pembelajaran perpolitikan juga masih terkesan lemah. Peran partai politik yang seharusnya berjalan untuk memberi pendidikan politik pada kenyataannya tidak ada sama sekali. Sebagai sebuah kirtikan, demokrasi hampir gagal juga dikarenakan pelaku reformasi lalai dalam mengawal demokrasi. Sehingga kelompok orang yang berkuasa tadi cenderung korup. Dalam konteks hak politik Kabupaten Aceh Barat baru saja melaksanakan pilkada, tentu partisipasi jumlah pemilih menjadi perhatian lebih dari masyarakat sipil . Jumlah partisipasi pemilukada 2012 dari 118.000 pemilih terdapat 77% yang mengunakan hak suaranya. Sebagai sebuah perbandingan, pada pemilihan legislative/ pilpres 2009 persentase pemilih hanya mencapai 75,50%. Ini artinya pada komposisi partisipasi masyarakat dalam mengunakan hak pilih telah mengalami sedikit peningkatan. Pilkada merupakan salah satu pesta demokrasi yang dilakukan oleh rakyat perlima tahunan. Namun hal yang sebenarnya harus dipahami ialah memastikan bahwa setiap kebijakan itu mensejahterakan rakyat merupakan hal yang paling substansial dalam sebuah peranan demokrasi. Dalam perjalanan demokrasi yang dialami oleh masyarakat Aceh Barat, ada kejadian yang tentu tidak mengembirakan masyarakat mengenai pertikaian antara DPRK Aceh Barat dengan Bupati dalam hal membahas anggaran yang diperuntukkan kepada kesejahteraan masyarakat. Pertikaian ini berlarut, menjadi sebuah preseden buruk yang dilakoni oleh pejabat daerah dengan menampilkan politik yang

45 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


korup. Sehingga masyarakat memahami bahwa pergesekan yang terjadi bukan dikarenakan agenda membangun rakyat Aceh Barat ke arah yang lebih baik, namun hanya berkutat pada persoalan pembagian proyek pejabat sehingga mengabaikan hak – hak rakyat yang terdapat dalam APBK. Pemaparan diskusi yang disampaikan oleh direktur LBH Aceh Barat yang mewacanakan dari segi teoritis dan empiris mengenai masyarakat sipil yang melaksanakan agenda demokrasi. Secara terminologi dan konsep yang masih bisa diperdebatkan diantara banyak kalangan disamping aktivis demokrasi sendiri. Melihat apa yang terjadi di Aceh semakin membuktikan kepada kita bahwa Aceh benar sedang memasuki fase transisi demokrasi meski kapasitas dan nilai-nilainya masih lemah. Sehingga, pada situasi ini masyarakat civil society mempunyai peran yang strategis dalam mengawal konsolidasi demokrasi. Tentunya peran ini bukan saja di level propinsi melainkan juga di level kabupaten/kota. Seringkali organisasi yang menjadi bagian dari masyarakat sipil adalah kalangan NGOs (Non Government Organizations/Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM) dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang berbasis komunitas dan professional yang didalamnya ada kelompok keagamaan yang kritis independen, kaum bisnis maupun media. Jika kita mengacu pada pengertian ini, tampaknya masyarakat sipil juga bisa merupakan kelas menengah. Kelas menengah oleh Hikam (1999) yang di dalamnya terdapat mahasiswa, aktivis LSM, dan kelompok-kelompok pro demokrasi. Secara mendasar masyarakat sipil menempatkan dirinya dalam posisi yang kritis terhadap negara dengan terus melakukan upaya perubahan-perubahan dalam bidang-bidang sosial, ekonomi dan

46 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

politik serta kontrol terhadap kekuasaan. Dalam realitas empirisnya masyarakat sipil mengorganisasi dirinya secara independen dari negara sekaligus mempunyai landasan pengetahuan yang menjadikan


mereka berbeda dari masyarakat biasa yang tidak kritis dan pasif dalam struktur sosial yang bisa jadi menindas mereka. Sumbangan masyarakat sipil terhadap konsolidasi demokrasi dengan berbagai peran yang dijalankannya tentu di wujudkan dalam kegiatan nyata. Ada tiga peran besar yang dilakukan oleh masyarakat sipil dalam mengawali demokrasi yaitu: yang pertama, peran pengawasan terhadap negara yaitu dimana para aktivis organisasi masyarakat sipil dan LSM menyadari peran sosial sebagai pengawas kekuasaan negara yang berada di tangan pemerintah seharusnya dibatasi dengan berbagai instrumen, termasuk pembatasan oleh masyarakat dengan pengawasan melalui media massa dan masyarakat sipil. Akan tetapi dalam implementasinya, terdapat perbedaan pola dan bentuk pengawasan, dimana hal ini berkaitan dengan kondisi aktual sosial politik daerah suatu daerah. Bentuk- bentuk umum pengawasan yang dilakukan baik pada level provinsi maupaun kabupaten/kota bervariasi, namun yang sering digunakan yaitu pernyataan melalui media massa, penyampaian aspirasi kepada lembaga legislatif, demonstrasi termasuk mobilisasi buruh untuk mogok massal. Yang kedua, peran advokasi yang harus dimainkan oleh masyarakat sipil, karena pada tataran praktis hal ini terjadi justru karena adanya tarik – menarik kepentingan pada tiga kompenen besar yaitu negara, swasta dan masyarakat. Misalkan peran advokasi digunakan manakala ada sebuah produk kebijakan yang merugikan masyarakat, baik dari segi anggaran yang tidak pro rakyat maupun kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang secara substansialnya tidak sama sekali dibutuhkan oleh masyarakat bawah. Dalam hal ini yang dirasakan oleh masyarakat Aceh Barat yaitu kebijakan penyusunan APBK yang disahkan dengan Pergub, padahal pada proses sebenarnya harus diproses melalui sidang DPRK yang kemudian menjadi qanun. Yang ketiga, yaitu adanya pemberdayaan yang dilakukan oleh masyarakat sipil terhadap masyarakat. Pada tataran implimentasi

47 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


dilapangan pemberdayaan masyarakat biasanya memerlukan sebuah “Pendampinganâ€?, yaitu kegiatan memfasilitasi proses pembelajaran secara nonformal untuk mencapai keberdayaan masyarakat. Peran sebagai pendampingan inilah, Masyarakat Sipil sangat penting. Sementara tujuan pendampingan itu sendiri pada dasarnya mencakup 2 elemen pokok, yaitu tumbuhnya kemandirian dan partisipasi aktif masyarakat. Demokrasi level provinsi maupun level kabupaten/ kota dalam implementasinya telah menghadirkan beberapa kasus persoalan yang merupakan pekerjaan rumah bagi kalangan masyarakat sipil, baik persoalan yang muncul dari masyarakat maupun pemerintahan. Tahap awal yang memperlihatkan persoalan konsolidasi demokrasi daerah adalah kasus pemilihan umum kepada daerah (Pemilukada) yang baru berlangsung beberapa waktu yang lalu. Misal, Kabupaten Aceh Barat, pada kasus pemilihan kepala daerah secara langsung tahap pertama telah muncul persoalan-persoalan mendasar. Partisipasi politik masyarakat dalam Pemilukada tidak saja dihitung secara kuantitasnya besar tetapi lebih mendasar lagi adalah apakah partisipasi tersebut telah menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi, seperti tidak adanya politik uang, ancaman dari pihakpihak tertentu dan rasionalitas memilih. Kalangan kandidat calon bupati/wakil bupati Aceh Barat pada Pemilukada 2012 yang tergabung dalam Forum Koalisi Pasangan calon mencari keadilan (FKPPK) mensinyalir beberapa kecurangan masih terjadi dalam putaran pertama Pemilu Kada kali ini, seperti pemberian uang dan materi lain yang berbentuk beras, kain sarung dan baju kepada masyarakat (pemilih) yang dilakukan oleh pasangan calon yang akan maju ke putaran kedua. Selain persoalan partisipasi politik, stabilitas sosial juga menjadi

48 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

persoalan. Kenyataan ini tidak lepas dari maraknya aksi anarkhis paska pencoblosan di beberapa daerah yang melaksanakan Pemilukada. Konflik Pemilukada yang melibatkan mobilisasi massa dan aksi


kekerasan yang berujung pengrusakan fasilitas pemerintah. Walaupun tidak terjadi di Kabupaten Aceh Barat seperti di Kabupaten Gayo Lues dan Aceh Tengah, ini tetap memberikan dampak terhadap stabilitas sosial. Jika tidak ditangani dengan pendekatan yang tepat akan menjadi budaya politik yang buruk bagi daerah-daerah lain. Tidak hanya pada persoalan pemilukada yang menjadi sumber gesekan sosial yang terjadi ditengah masyarakat. Beberapa kasus eksploitasi sumber alam daerah memberi dampak terhadap kerusakan lingkungan dan konflik sosial berupa konflik lingkungan, konflik pertanahan dan konflik-konflik lainnya. Di sini, peran masyarakat sipil menjadi sangat krusial berkaitan dengan penyelesaian konflik dan kontrol terhadap penguasa lokal yang bekerjasama dengan pihak penanam modal. Jika kita melihat kasus-kasus di atas sesungguhnya elemen-elemen sipil saat ini sedang berhadapan dengan persoalan-persoalan yang muncul dalam proses konsolidasi di tingkat kabupaten. Kalangan masyarakat perlu mensinergikan peran-peran (role enactment) yang strategis agar konsolidasi demokrasi bisa berlangsung dengan maksimal. Konsolidasi demokrasi pada dasarnya berlangsung pada dimensi kultural dan sistem. Baik mencakup persoalan pemberdayaan sosial

ekonomi

masyarakat,

pengawasan

perilaku

birokrasi

pemerintahan dan kebijakan-kebijakan lokal. Akan tetapi pada saat bersamaan kalangan sipil sendiri masih perlu melakukan sinergisasi agenda yang di usung sampai pada konsolidasi gerakan. Beberapa hal penting yang perlu dilakukan elemen masyarakat sipil baik di level propinsi maupun level kabupaten/ kota, berkaitan dengan persoalan-persoalan di atas, melalui sinergisasi agenda dalam konteks konsolidasi demokrasi daerah dapat kita lihat pada; 1) pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat lokal, 2) partisipasi politik warga berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahan dan pemilu, 3) pendidikan politik bagi elite-elite dan kelompok-kelompok politik , 4) pendampingan

49 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


(advokasi) masyarakat berkaitan dengan kebijakan pemda, dan 5) agenda mendukung pembentukan pemerintahan yang baik (good government). Kemudian dalam memahami demokrasi tidak saja pada persoalan antara pemerintah dan warga negara, tetapi juga hal–hal yang berhubungan dengan sektor swasta. Dimana sewasta dalam program CSR-nya hanya terkesan memberikan tanggungjawabnya sedemikian kecil sedangkan hal yang diraup dari hasil alam di Aceh jauh lebih besar dari CSR itu sendiri. Kemudian juga ada pendapat yang mengatakan bahwa demokrasi yang berhasil yaitu demokrasi yang mengakomodir kearifan lokal. Terkait dengan itu, pemilihan demokrasi berlandaskan syariat islam menjadi penglihatan beberapa kelompok masyarakat sipil dalam menjalankan demokrasi itu sendiri. Tantangan penguatan demokrasi yang berlandaskan syariat islam sebenarnya menjadi persoalan tersendiri, karena pada prakteknya issue syariat islam ini justru digunakan oleh penguasa demi meraup kekuasaan politik dengan mendengung–dengungkan Syariat Islam sebagai jargon. Tapi pada poin–poin secara substansial justru konsep demokrasi berasaskan syariat islam itu tidak nampak. Diskusi demokrasi juga melahirkan gagasan tentang arah perubahan gerakan perempuan dalam mengisi ruang-uang politik, sosial dan budaya yang justru dimonopoli oleh kaum laki-aki. Di Aceh Barat, keterwakilan perempuan hanya diperlihatkan melalui satu orang saja di DPRK yang terpilih pada pemilihan legislatif tahun 2009, kemudian dalam jajaran pemerintahan, perempuan juga sangat sedikit yang memegang peranan penting di pemerintahan. Hal ini menjadi persoalan sendiri bagi gerakan perempuan dalam membangun pemahaman mainstreaming masyarakat terhadap keberadaan mereka

50 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

untuk mengisi ruang-ruang publik yang kosong tersebut. Banyak hal yang kini diupayakan oleh masyarakat sipil yang ada di Aceh Barat dalam hal membangun demokrasi. Hal itu terlihat


dengan apa yang telah dilakukan oleh masyarkat sipil, misalnya HMI Meulaboh yang melakukan traning demokrasi dan politik bagi bagi mahasiswa yang diusulkan melalui musrenbang. Secara keseluruhan masyarakat sipil dalam membangun proses demokrasi mulai bekerja dari issue pendidikan, termasuk pendidikan politik bagi mahasiswa dan masyarakat, issue lingkungan mulai dari hutan sampai dengan pertambangan, melakukan pendampingan terhadap kasus-kasus dan ekses dari kebijakan pemerintah, melakukan pendampingan terhadap kasus KDRT dan perlindungan anak, melakukan pengembangan ekonomi kreatif bagi nelayan perempuan dan penguatan kapasitas masyarakat dalam memahami konteks demokrasi melalui berbagai media–media advokasi masyarakat di Aceh Barat. - Aceh Barat Daya Aceh Barat Daya adalah kabupaten otonom yang merupakan pemekaran dari Aceh Barat dan Aceh Selatan. Sebagai satu sistem pemerintahan yang masih berusia muda, Aceh Barat Daya atau yang akrab disingkat Abdya juga memiliki problem-problem dasar dalam perkembangan demokrasi. Diskusi dengan tema Sinergisasi Agenda Demokrasi Abdya difasilitasi oleh salah satu simpul mitra Katahati Institute di Aceh Barat Daya yang diwakili oleh Mustawa Samha. Diskusi yang berlangsung selama setengah hari tersebut diawali dengan pemaparan materi oleh Ketua KNPI Aceh Barat Daya yang mewakili elemen sipil dengan topik peran masyarakat sipil dalam bidang penguatan isu-isu demokrasi. Seyogyanya ada dua orang pemateri yang hadir namun Kepala Bappeda Aceh Barat Daya yang telah memberikan konfirmasi kehadiran mendadak harus menghadiri rapat pleno musrenbang di propinsi sehingga tidak hadir. Peserta yang hadir dari berbagai elemen diantaranya dari JKMA, KMI, FB, Aceh Future, RTA, KAMMI Abdya, HMI STKIP, KNPI, HMI, Sommasi, MPU, MAA, BEM STKIP, dan USM.

51 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Cukup mengejutkan hasil kajian demokrasi di Abdya jika merujuk ke beberapa statement dan pertanyaan peserta tersebut di atas. Dapat disimpulkan bahwa demokrasi yang dibangun di Aceh Barat Daya terkesan gagal total, hal ini dapat dilihat dari proses Pemilukada yang baru saja berlangsung sangat jauh dari harapan demokrasi dengan maraknya hal-hal berikut: a. Adanya intimidasi, b. Money politics, c. Kampanye di lingkungan pemerintah, d. PNS yang terlibat politik praktis e. Penyalahgunaan wewenang.

Praktik yang mengangkangi prinsip-prinsip demokrasi juga terjadi di lembaga pendidikan formal dimana ada guru yang mengancam siswa jika tidak memilih kandidat tertentu akan terancam tidak lulus. Perwakilan masyarakat melalui pertemuan tersebut mengharapkan agar

pemerintah

membuka

ruang

bagi

masyarakat

untuk

menyampaikan aspirasinya sehingga implementasi agenda demokrasi antara masyarakat dan pemerintah dapat bersinergi dengan baik. Melihat kondisi buruknya wajah demokrasi di Aceh Barat Daya maka diperlukan upaya pendidikan politik kepada masyarakat berkelanjutan dari upaya-upaya yang telah dilakukan oleh lembagalembaga masyarakat sipil selama ini yang fokus kegiatan di Kabupaten Aceh Barat Daya. Ada beberapa upaya yang telah ditempuh oleh berbagai elemen sipil untuk menyuarakan suara tentang ketimpangan implementasi demokrasi namun tidak ada perubahan yang berarti. Misalnya saja penegakan hukum yang lemah saat proses pemilukada, sehingga tidak

52 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

satupun pelanggaran yang ditindaklanjuti dan penyelenggara terkesan tidak berani mengambil sikap. Begitu pun dengan beberapa rekomendasi yang dilahirkan dari


diskusi-diskusi mahasiswa dan elemen sipil yang diberikan kepada pemerintah namun tidak pernah ditanggapi semestinya, hanya diterima tanpa tindaklanjut. Bahkan beberapa lembaga yang terus saja mengkritisi pemerintah akan diposisikan sebagai lawan. Pertemuan yang dilakukan di Abdya hanya satu kali, sehingga tidak berhasil mengeksplorasi lebih luas persoalan-persoalan lain yang menyangkut agenda demokrasi di Aceh Barat Daya. Untuk menutupi kekurang itu, pada bagian ini perlu kami tampilkan penuh transkripsi percakapan dalam diskusi yang dilaksanakan di Blangpidie, untuk kelengkapan informasi pembaca. - Bener Meriah Kabupaten Bener Meriah memiliki keunikan tersendiri dalam komposisi peta wilayah-wilayah tingkat dua di Aceh. Kabupaten yang terbilang muda ini juga merupakan pemekaran dari kawasan Bireuen dan Aceh Tengah, sehingga komposisi penduduknya berimbang antara etnis Aceh dan etnis Gayo, ditambah suku Jawa sebagai kelompok minoritas di kawasan tersebut. Secara umum profesi masyarakat adalah sebagai petani kopi, dan sebagian besar lain adalah pegawai negeri sipil dan pedagang. Wacana demokrasi yang berkembang di Bener Meriah bisa kita temukan dalam telaah Zulfan Ariga, seorang aktivis dan akademisi yang berdomisili di Radelong. Zulfan menggarisbwahi kondisi demokrasi sekarang ini telah menuntut masyarakat untuk turut terlibat dalam politik, yang berdampak tidak sehat pada masyarakat itu sendiri. Perbedaan pandangan politik telah menyebabkan adanya konflik dingin antara sesama komunitas dalam masyarakat Bener Meriah. Bukan hanya terjadi pada masa sebelum pilkada diselenggarakan, namun setelah usai pilkada suasana yang chaos masih kerap masih menyelimuti keseharian masyarakat Bener Meriah. Zulfan menyayangkan bahwa tanpa sadar kotak-kotak antar

53 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


masyarakat tercipta dan semakin mengungkung dalam suasana terpecah belah, terutama sikap-sikap yang mencerminkan kebanggaan tersendiri atas hasil yang telah diperoleh melalui pesta demokrasi. Pendapat yang berbeda telah menyebabkan akan ada suatu kelompok yang untung dan tersisih. Ini adalah fenomena yang terjadi dalam lingkup keseharian kita. Pada dasarnya politik memang mengandung senantiasa potensi konflik, yang ditandai dengan adanya persaingan, kepentingan, hingga permusuhan sulit dihapuskan melainkan dapat di cegah atau diminimalisir. Jika kepala daerah yang terpilih gagal mewujudkan situasi yang lebih baik, maka disinilah tumbuh persoalan yang baru karena sebelumnya telah ada keterbelahan politik. Semangat yang adil, amanah, jujur dan bertanggung jawab perlahan akan mulai terkikis jika dilakukan penerapan sistem yang salah dan akibat politik balas budi setelah Pilkada usai. Dikhawatirkan kepala daerah yang terpilih kurang mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat karena mengangap bahwa yang terpilih bukanlah mewakili kepentingan mereka melainkan mewakili basis atau kelompok pendukung sebelumnya sementara yang diharapkan adalah bagaimana masyarakat bisa menjaga agar pemerintahan baru yang terpilih dapat berjalan sesuai dengan koridornya. Yang terpenting sekarang ini adalah bagaimana kepala daerah yang terpilih agar tetap dapat menjaga secara simultan pengambilan kebijakan yang adil terhadap seluruh masyarakat, seimbang, menghargai profesionalitas, juga sebagai kepala birokrasi publik perlu mewujudkan diri menuju kepala daerah yang berkualitas, tanggap terhadap perubahan, mampu beradaptasi dengan lingkungan dan punya komitmen sebagai pelayan publik sehingga produk pilkada ini

54 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

baru mampu menujukan keberhasilannya dalam pembangunan daerah. Sehingga visi dan misi kepala daerah yang akan menjadi landasan dasar perencanaan pembangunan di daerah mendapat dukungan yang


besar dan menyeluruh dari seluruh elemen masyarakat. Pemaparan isu demokrasi di wilayah Kabupaten Bener Meriah kembali disampaikan oleh Ichsan, Aktivis Mahasiswa Universitas Gajah Putih, Takengon, dalam satu pertemuan untuk memonitoring berjalannya wacana demokrasi di Bener Meriah. Berikut resume dari paparan Ichsan: Gerakan demokrasi di Bener Meriah tidak seperti yang dipahami oleh sebagian besar masyarakat di Aceh. Aktor besar dalam memainkan isu tersebut adalah elit Politik dan Aktivis LSM. Masyarakat pada umumnya disibukkan dengan berkebun dan kurang memikirkan gerakan demokrasi. Tetapi masyarakat Bener Meriah peduli gerakan tersebut, mereka akan dengan sukarela ikut aksi-aksi dan menyuarakan hak-haknya bila diajak. Sederhananya,

masyarakat

Bener

Meriah

punya

keinginan

menggapai demokrasi yang lebih baik. Hanya saja inisiatif untuk melakukan gerakan-gerakan tidak muncul ke permukaan, tanpa ajakan oleh Aktor. Beberapa isu penting terkait demokrasi yang muncul di sana adalah:

Pertentangan Pemerintah dengan masyarakat a. Pembebasan lahan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan

pembangunan, seringkali bermasalah dalam pembayaran. b. Konflik agraria antara pemerintah daerah dengan masyarakat,

berupa klaim tanah negara oleh pamerintah, sementara masyarakat mengganggap tanah tersebut milik mereka. c. Penyelewengan yang dilakukan lembaga pendidikan seperti sekolah,

terhadap dana BOS dan pemungutan biaya (ilegal) sekolah kepada murid. Konflik pemerintah dan masyarakat ini sering memunculkan aksi demontrasi yang dilakukan oleh warga untuk memperjuangkan haknya.

55 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Aksi dilakukan oleh warga sendiri secara sukarela tanpa digerakkan oleh aktor intelektual. Umumnya konflik terhadap isu-isu ini tidak berakhir secara jelas. Terkait point C, masyarakat pada umumnya pasrah dengan kondisi tersebut. Budaya di Gayo, berapapun biaya untuk urusan sekolah, akan bayar. Warga merasa malu jika tidak mampu membayar uang sekolah. Aktor yang bergerak dalam menuntut transparansi di lembaga pendidikan, diwakili oleh aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Bener Meriah. Tidak ada perubahan signifikan yang terjadi setelahnya. Isu-isu hanya menjadi konsumsi berita di media, dan banyak kasus yang belum tuntas.

Demokrasi di Pilkada 2012 a. Menciptakan Pemilu Jujur dan Adil

Suasana demokrasi pemilihan kepala daerah “hidup� di Bener Meriah. Elemen masyarakat sipil bergabung bersama mahasiswa melakukan kampanye positif demi pelaksaan pilkada yang jujur dan adil. Beberapa isu kampanye yang disuarakan antara lain adalah; menolak money politics dan mengawasi pengelembungan Data Pemilih Tetap (DPT). Aktor yang bermain adalah aktivis LSM dan mahasiswa. Mereka mengajak masyarakat yang secara sadar dan sukarela ikut meramaikan aksi-aksi dalam kampanye tersebut. Pemerintah kerap tidak mendukung aksi-aksi tersebut. Misalnya ada kasus laporan LSM terhadap pengelumbungan DPT yang terjadi di Kecamatan Buket, Bener Meriah. Pemerintah cenderung tidak merespon positif, tetapi mencari simpul dalang di gerakan tersebut. Kadang juga disertai dengan ancaman terhadap aktivis.

56 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

b. Kampanye calon

Ajakan untuk memilih salah satu calon juga mewarnai Pilkada


2012. Aktor di balik aksi-aksi ini adalah calon kandidat bupati maupun tokoh partai yang mendukung salah satu calon dalam Pilkada 2012. Dalam kampanye calon, umumnya warga diajak untuk bergabung dengan iming-iming tertentu, seperti umumnya yang terjadi di sebagian besar wilayah Aceh lainnya.

Pertentangan Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Aceh a. Identitas b. Penolakan Qanun Wali Nanggroe c. Pembentukan ALA

Pertentangan antara Pemerintah Daerah Bener Meriah dan Pemerintah Aceh umumnya dipicu konflik identitas. Masyarakat dataran Gayo umumnya merasa didiskriminasi oleh Pemrintah Aceh, terkait pembangunan dan status. Penolakan Qanun Wali Nanggroe dipicu oleh salah satu point dalam pasa qanun tersebut, yang menyebutkan calon Wali Nanggroe harus mampu berbahasa Aceh. hal ini kemudian membangkitkan lagi agenda Pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) yang pernah mencuat pada masa konflik dan tahun 2007 dulunya. Aktor utama di balik agenda demokrasi tersebut adalah elit politik, dibantu oleh tokoh masyarakat dan aktivis LSM di Bener Meriah. Warga diberikan pandangan terhadap isu diskriminasi, misalnya soal bahasa bahasa Aceh (Qanun WN) yang akan menyebabkan hilangnya identitas Gayo di Provinsi Aceh. Masyarakat kemudian diajak untuk untuk melakukan gerakan-gerakan sosial dan aksi-aksi menuntut kesetaraan dengan wilayah lain. Isu pembentukan ALA adalah sebuah kerja (agenda) besar yang sedang dirancang oleh elit politik di Bener Meriah, juga wilayah dataran Gayo lainnya. Isu tersebut masih terus disuarakan sekarang dan diperkirakan terus menjadi isu demokrasi yang hangat ke depan.

57 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Kendati merupakan agenda besar, Aktor elit politik belum mempunyai kerangka yang jelas dalam perjuangannya. Mereka hanya bereaksi bila merasa kepentingannya politiknya terganggu. Selama ini, aksi-aksi demokrasi tersebut masih sebatas melempar isu di media.

Kesejahteraan Masyarakat Seperti umumnya isu demokrasi di wilayah lain, isu-isu terkait kesejahteraan masyarakat di Bener Meriah juga terus disuarakan. Aktivis LSM berperan besar sebagai Aktor dalam menuntut hal ini, dengan inisiatif dari masyarakat yang melaporkannya. bagaimana

agar

bupati

memikirkan

kepentingan

Misalnya; masyarakat

dalam memberantas kemiskinan, alokasi anggaran yang prorakyat, menciptakan pendidikan yang baik, melakukan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan rakyat. Diskusi LSM/Tokoh Masyarakat dengan eksekutif dan DPRD kerap dilakukan bagian dari aksi menuntut kesejahteraan. Masih banyak dari tuntutan yang belum terakomodir dan LSM sendiri juga tidak tahu harus melakukan apa ke depan, dalam menuntut hal tersebut. (tidak punya kerangka yang jelas) DPRD juga dinilai oleh masyarakat kurang menyuarakan aspirasi pemilihnya. Hal ini dibuktikan dengan jarangnya mereka turun untuk bertemu konstituen di wilayah pemilihannya. Bahkan ada beberapa desa yang belum tersentuh pembangunan sama sekali, seperti jalan belum layak dan belum masuknya listrik negara.

Ekonomi Isu ekonomi yang muncul di sana adalah tidak berdaulatnya masyarakat Bener Meriah atas hasil alamnya sendiri. Ekonomi

58 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

dikuasai oleh pendatang (suku Aceh) dan para pedagang, agen-agen kopi dari Sumetera Utara. Petani kopi dan sayur mayur tidak bisa menentukan harga terhadap hasil kebunnya sendiri. Harga dimainkan


oleh pedagang dan toke-toke besar. Petani terpaksa menjual hasil kebun dengan harga murah. Hal ini mulai dipikirkan oleh masyarakat, sebagian berinisiatif melaporkan isu tersebut ke Pemerintah, aktivis LSM dan media, sebagai tindak lanjut untuk dipikirkan bersama.

Rekomendasi Bener Meriah Penguatan organisasi masyarakat sipil dan agenda aksi dan kerangka demokrasi yang lebih jelas di wilayah tersebut C. Pertemuan Koordinasi Selain kegiatan mapping di sejumlah wilayah, Katahati Institute dan AJMI juga menginisiasi pertemuan-pertemuan koordinasi dengan berbagai simpul, termasuk pengambil kebijakan dari pihak eksekutif dan legislatif untuk menghasilkan pemahaman-pemahaman bersama tentang proses demokrasi dan mencari titik temu untuk menciptakan kondisi bermasyarakat yang lebih baik. Dalam beberapa pertemuan telah disepakati bahwa ada beberapa hal yang harus ditindak lanjuti kembali mengenai sinergisasi demokrasi masyarakat sipil. Masalah yang dihadapi oleh masyarakat sipil dalam membangun sinergisasi masyarakat sipil terbagi ke dalam dua hal yaitu: internal (yang ada di dalam tubuh masyarakat sipil) dan eksternal (diluar dari masyarakat sipil). Untuk faktor internal terjadi beberapa hal yaitu: program tidak berkelanjutan, issue tidak fokus, sumber daya manusia dan pendanaan. Adapun faktor eksternal yaitu: lembaga yang tidak kredibel, konflik antar kelompok, sumberdaya manusia dan pendanaan, kebijakan tanpa mekanisme, dan tumpang tindihnya program, lokasi dan implementasi. Ada dua kategori yang digunakan untuk mengidentifikasi aktor demokrasi yaitu: 1. Lembaga

59 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


2. Kelompok masyarakat tanpa kelengkapan adminsitrasi. Aksi untuk kelompok pertama adalah memastikan dan mendorong lembaga-lembaga tersebut untuk taat asas organisasi (AD/ART), kelengkapan administarasi bagi lembaga yang berbadan hukum untuk melengkapi (audit, NPWP, Annual report dan Public Report dll), harus terbentuknya transparansi dan akuntabilitas serta struktural dan fungsional Organisasi Masyarakat sipil. Bagi kelompok yang tidak berbadan hukum maka penting untuk didorong: pemberian kedaulatan dari kelompok, adanya penguatan terhadap

kelompok,

peningkatan

kapasitas

kelompok

untuk

menjalankan kewenangan dan pemetaan kelompok itu sendiri. Kemudian untuk mengatasi konflik antar kelompok maka dilakukan: 1. Koordinasi dan komunikasi untuk menyebarkan dokumen-dokumen yang disusun bersama serta memperkuat komitmen atar kelompok untuk melaksanakan kesepakatan. 2. Mediasi dan Advokasi, ini dimaksud agar dapat mengoptimalkan peran-peran tokoh adat dan tokoh-tokoh lainnya untuk menjadi mediator dalam penangganan resiko. Dan yang terakhir yaitu Dokumentasi dimana didalamnya diinisiasikan terbentuknya system informasi bersama sebagai penguatan bagi masyarakat sipil di Aceh. Untuk mengatasi SDM dan pendanaan maka dimulai dari bentuk kaderisasi yang dilakukan dimasing-masing lembaga. Dimana kaderisasi itu harus berjalan sebagaimana mestinya. Strategi bagi terwujudnya kaderisasi di lembaga-lembaga tersebut dengan membuka kelas-kelas khusus untuk rektruitment calon aktivis sesuai

60 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

dengan fokus issue, dalam prakteknya masing-masing lembaga telah melakukan kelas-kelas khusus dan cara tersindiri demi menyaring calon- calon aktivis yang akan dikaderkan dimasing-masing lembaga.


Serta memastikan bahwa terdorongnya suksesi pemilihan ketua-ketua lembaga yang demokratis. Untuk menyelesaikan masalah internal mulai dari issue yang tidak focus, maka dibutuhkan pengemasan issue sesuai dengan visi lembaga serta fund raising lebih optimal. Dalam membentuk pola relasi antara masyarakat sipil dan pemerintah maka, diperlukan keterlibatan Organisasi Masyarakat Sipil dalam musrenbang dan dalam pembentukan kebijakan. Adapun bentuk yang dipilih dengan mempertimbangkan apakah oposisi masih strategis untuk advokasi? Kemudian juga melakukan pengkajian terhadap visi dan misi pemerintah dan memastikan bagaimanan visi dan misi itu diaplikasikan dalam program pembangunan. Dan juga mengoritentasikan pentingnya intervensi terhadap pasar. Sinergisasi juga dilakukan antar sesama Organisasi masyarakt sipil, agar kemudian apa yang dilakukan antar lembaga menjadi kekuatan bersama untuk mengisi ruang-ruang demokrasi di Aceh. Dalam hal ini penting untuk dilakukan diskusi-diskusi agenda pemerintah terkait pembangunan demokrasi yang mensejahterakan. Pertemuan koordinasi melahirkan sebuah gagasan untuk menjawab semua persoalan yang ada di atas, bagaimana memastikan terjadinya sinergisasi dan pola relasi yang terjadi baik dengan pemerintah maupun antar semasa masyarkat sipil. Bagi masyarakat sipil sendiri pentingnya gagasan untuk membentuk Poros organisasi masyarakat sipil yang bertujuan menghasilkan kebijakan organisasi masyarakat sipil terkait dengan agenda sesuai kondisi aktual. Dimana tugas-tugas dari poros organisasi masyarakat sipil yaitu bridging, mediator, dll. Kemudian juga poros OMS bertugas untuk menghimpun data dan dokumen OMS. Dalam hal ini mengenai formulasi, bentuk, dan wewenang, serta tupoksi dari poros OMS ini perlu dilakukan pertemuan lanjutan untuk membahas lebih detail mengenai gagasan Poros OMS.

61 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Wacana Demokrasi dan Syariat Islam dalam Diskusi Tingkat Propinsi Serial diskusi yang bertemakan Syariat Islam dan Demokrasi kembali mencoba mempertajam nilai–nilai kearifan lokal guna membangun Aceh yang inklusif menghadirkan beberapa pembicara yang ekspert dibidangnya. Katahati dan AJMI menghadirkan tiga pemateri baik dari tokoh adat, tokoh agama, dan aktivis demokrasi yang selama ini sangat concern dalam membangun perdamaian dan demokrasi di Aceh. Dalam pemahaman Islam, nilai demokrasi bertujuan memberi arahan kepada manusia untuk berbuat benar. Islam meyakini adanya kehidupan setelah mati, untuk itu demokrasi tidak baku yang dipahami dalam konteks keagamaan. Namun juga islam mengajarkan bahwa mencintai Negara merupakan sebuah ibadah. Pedoman demokrasi adalah Al-Quran dan Hadits. Kendati konteks demokrasi berkembang pada abad ke 17, namun di zaman rasul, praktek demokrasi telah dilakukan. Konteks demokrasi di Aceh bila dipahami dengan seiring berjalannya syariat islam maka hal itu jauh lebih baik. Dalam Al-Quran masalah demokrasi banyak dibicarakan dalam surat Al Baqarah. Nilai-nilai demokrasi dalam Islam sudah ditetapkan oleh Allah. Meskipun Islam bukan Negara Demokrasi. Semua hukum-hukum demokrasi sudah diatur dalam Kitab Suci-nya. Islam adalah agama pembawa kedamaian pada hakikatnya. Demokrasi yang dipahami dalam konteks adat di Aceh tentu tidak bisa bertentangan dengan nilai-nilai yang telah ditetapkan dalam Islam. Nilai-nilai adat dan akhlak itu sering menjadi kontra. Jika membicarakan kedua hal ini dijabarkan tidak hanya dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Tetapi persolan-persoalan menyangkut

62 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

adat dalam masyarakat Aceh harus diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku di Aceh. Konflik kekuasaan terjadi sebenarnya bisa dilihat dari pengalaman


masa lalu dari kejayaan Kerajaan Aceh. Peran Ulama sangat berperan dalam mencegah dan menyelesaikan konflik yang terjadi ditengah masyarakat. Ini sudah terbukti pada kejayaan Aceh masa lalu. Peran ini lebih besar dari eksekutif dan legislatif saat ini. Dalam tradisi Aceh azaz mufakat itu sudah sejak dulu diterapkan. Itu dimulai dari tingkat Gampong sampai pemerintahan yang tertinggi. Peran Ulama sangat penting dalam mencegah terjadinya konflik. Dalam konteks Aceh kekinian pertanyaan-pertanyaan itu menjadi begitu penting untuk dipertimbangkan. Proses mufakat harus melibatkan dua unsur inti, yaitu unsur adat dan unsur hukum. Orang yang mewakili unsur adat merupakan orang-orang yang menguasai seluk-beluk administrasi pemerintahan, ekonomi dan atau segala urusan keduniaan lainnya. Sebaliknya yang mewakili unsur hukum merupakan orang-orang yang punya kewenangan dalam hal hukum syariat (Islam) dan mempunyai kapasitas dalam hal tersebut, untuk memastikan antara yang haq (benar) dan yang bathil (tidak benar/ tidak sah). Perpaduan kedua unsur tersebut terdapat pada tingkat kesultanan, kenegerian, mukim, gampong. Pada tingkat gampong pimpinan adat diwakili oleh keuchik dan pimpinan hukum diwakili oleh tengku meunasah hingga pada tingkat mukim, dimana imuem mukim sebagai pemimpin adat dan imuem mesjid sebagai pemimpin hukum. Dalam beberapa persoalan yang sangat mendalam, dan keputusan-keputusan yang diambil memerlukan pertimbangan yang matang, maka kedua belah pihak turut mengudang lembaga tuha peut, untuk memutuskan suatu perkara. Peran-peran yang dilakukan tidak hanya sebagai penyelesaian kasus di tingkat masyarakat. Dalam berbagai penyelesaian konflik kekuasaan yang terjadi dikalangan pemimpin politik dilakukan oleh pemimpin adat. Kemudian ulama juga berperan sebagai penengah dan berusaha meredakan pertikaian, dan juga berusaha menyelesaikan konflik. Peran itu telah

63 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


dijalankan oleh Nuruddin Ar-Raniry dan Syiah Kuala, Pakeh Rambayan, dan Pangulee Peunaro. Peran itu juga turut diambil oleh Tgk. Hasan Krueng Kalee dan Tgk. Hasballah Indrapuri pasca perang Jepang. Bagi parak aktivis demokrasi, pemahaman demokrasi ini adalah bentuk dari ikhtiar manusia terhadap realita yang dihadapi. Demokrasi itu adalah nilai-nilai yang harus dipelajari manusia dan tidak ada kaitannya dengan Agama. Mementum demokrasi itu adalah hal yang harus kita lalui. Dalam tahun 2012 itu proses perdamaian itu adalah demiliterisasi. Kecenderungan tidak menimbulkan konflik baru itu seharusnya ditumbuhkan. Peran institusi-institusi itu harus diperkuat untuk menghadirkan titik temu bagi kemajuan Aceh ke depan. Proses ini berlangsung seperti gelombang di laut yang mengalami banyak tantangan. Tujuan akhir adalah bagaimana demokrasi yang lahir di Aceh berada pada puncak kesuksesan Jangan sampai menukik ke bawah. Pasca lahirnya MOU Helsinki demokrasi di Aceh mengalami beberapa tantangan dan ancaman, hal ini terlihat dari beberapa hal: mulai dari keberlangsungan negosiasi, issue demiliterisasi, membangun institusi demokrasi di Aceh, adanya momentum demokrasi (pelaksanaan pemilu), mengurangi keberlanjutan konflik dan memperkuat perdamaian melalui pengembangan institusi yang mengakomodir perjuangan hak-hak politik. Demokrasi ideal tercipta apabila ketiga kompenen (masyarakat politik, masyarakat ekonomi, masyarakat sipil) bisa mengakses arena demokrasi itu sendiri. Tentu dominasi salah satu kompenen tidak akan terwujudnya demokrasi ideal tersebut. Dalam mengarungi samudera demokrasi yang di Aceh terjadi beberapa dilema: dilema horizontal, dilema vertical, dilema sistemik, dan dilema temporal.

64 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

Dilema horizontal terjadi dalam proses menentukan kelompok mana yang menjadi representasi dalam proses perdamaian dan demokratisasi di Aceh. Kemudian pola relasi yang terjadi antar elit


partai dengan mantan kombatan dan yang paling penting dalam proses demokrasi tidak terjadi kelompok yang eksklusive. Dilema kedua yaitu dilema vertical terjadi untuk mencari keseimbangan legitimasi (hubungan antara elit dan masssa politik), pembagian otoritas (sharing of Authority), dan negosiasi dapat meningkatkan kesempatan keberlanjutan proses perdamaian. Dilema ketiga yaitu dilema sistemik, hal itu terjadi karena menyeimbangkan ‘ownership’ proses demokratisasi, aksi nyata ketika proses demokrasi menjadi jalan menuju perdamian yang didalamnya mengandung antisipasi fragmentasi sosial dan stagnansi gagasan dalam kehidupan sosial. Dilema keempat yaitu dilema temporal yang terjadi untuk mengalamatkan efek jangka pendek, jangka panjang dalam membangun perdamaian dan demokratisasi. Untuk itu timbul pertanyaanpertanyaan mengenai haruskah menunggu demokratisasi sampai perdamaian terkonsolidasi dengan baik? Atau adakah demokratisasi menjadi bagian dari peace building. Pertayaan-pertanyaan dilematis ini terjadi manakala menjawab sejumlah pertanyaan mengenai hakikat demokrasi di Aceh. Kondisi-kondisi dilema di atas hendaknya dijawab dalam sebuah aksi nyata untuk membangun demokrasi yang lebih utuh di Aceh. Kemudian perlu adanya sinergisasi hukum yang berlaku di Aceh, dari beberapa system hukum yang diakui mulai hukum adat, hukum syariat, maupun hukum nasional. Sehingga peran-peran syariat, tokoh-tokoh adat yang telah diberi legitimasi melalui qanun dapat dioptimalkan. Meski prinsip dan figur ketokohan yang terjadi sekarang sangat berbeda jauh dengan tokoh-tokoh yang ada pada masa lalu, tapi hal ini tidak menjadi hambatan. Pentingnya reproduksi dan transformasi sosial yang melahirkan lebih banyak lagi gagasan untuk perubahan Aceh kedepan dalam bingkai demokrasi.

65 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Sikap Organisasi Masyarakat Sipil Terhadap Pemilukada Aceh 2012 Katahati Institute dan AJMI menyadari bahwa Pemilukada 2012 menjadi momentum politik masyarakat Aceh untuk memilih pemimpin yang

mampu

mengorientasikan

pembangunan

kesejahteraan

masyarakat. Tetapi saat agenda itu dilaksanakan, masyarakat dihadapkan pada realitas politik yang penuh dengan ketimpangan informasi, teror dan kekerasan. Perkembangan politik seperti itu sangat meresahkan dan mengkhawatirkan masyarakat. Menurut data temuan lapangan dari survey yang dilakukan di beberapa tempat, masyarakat sipil turut mendapatkan teror dan intimidasi. Fakta itu berbanding terbalik dari harapan banyak pihak yang menilai pemilukada 2012 akan berlangsung dalam suasana damai, demokratis dan mensejahterakan. Bagaimanapun, implementasi agenda demokrasi di Aceh dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini memperoleh mementum untuk diukur dengan digelarnya pesta demokrasi 9 April 2012 lalu. Gugatan demi gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Kontitusi untuk meminta tahapan Pemilukada dibatalkan atau dilanjutkan diajukan beberapa pihak secara silih berganti. Akibatnya jadwal pemungutan suara Pemilukada Aceh sempat bergeser sampai tiga kali, dan terakhir ditetapkan 9 April 2012. Pergeseran jadwal ini juga menambah daftar panjang persoalan penyelenggaraan. Salah satunya bertambahnya jumlah para pemilih yang berhak memberikan hak suaranya. Pada penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) 7 Januari 2012, KIP mengumumkan jumlah warga yang berhak memilih adalah sebanyak 3.227.586 orang. Terakhir jumlah pemilih yang berhak memilih dalam Pemilukada Aceh 9 April 2012 adalah sebanyak 3.244.729 orang. Tahapan yang bergeser juga berimplikasi pada penganggaran ulang

66 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

yang semula sudah dianggarkan. Pengesahan qanun sebagai payung hukum penyelenggaraan pemilukada juga sangat menyita energi dan perhatian masyarakat Aceh. Seluruh konsentrasi berpusat pada


putaran kisruh pemilukada dan diwarnai juga berbagai aksi kekerasan yang belum ada titik temu hingga proses “kenduri raya” tersebut usai. Dalam merespon keadaan yang tidak menentu saat itu, Katahati Institute dan AJMI bersama dengan beberapa perwakilan masyarakat sipil lainnya sepakat untuk membentuk Jaringan Masyarakat Sipil Untuk Perdamaian. Jaringan ini beranggotakan ACSTF-AJMI-The Aceh Institute-Balai Syura-Katahati Institute-An-nisa Centre-Walhi AcehPCC-Saree School- YRDPI-YRB -AWPF-Flower Aceh-FP3-LingkaranSolidaritas Perempuan Aceh-Suloh Aceh-JKMA-MPK Aceh-PEMA USMPEMA Unmuha-BEM FE Unmuha-GEPAR-Bungong Jeumpa, RPUK. Jaringan ini bersepakat untuk beberapa hal, salah satunya untuk jangka pendek menyampaikan gagasan dan pemikirannya supaya terjadi perubahan keadaan politik menjadi lebih demokratis, dimana para pihak yang terlibat dalam proses pemilukada dapat mengorientasikan pendukungnya untuk menciptakan keadaan yang demokratis. Berikut ikrar bersama yang menjadi landasan pijak JMSP pada saat launching: 1. Menyediakan ruang-ruang informasi yang mudah di akses oleh semua golongan supaya dapat berpartisipasi dalam pemilukada, memperkuat perdamaian dan melaksanakan pembangunan yang mensejahterakan masyarakat. 2. Menjadikan momentum politik sebagai ruang bagi masyarakat untuk membangun komunikasi politik yang konstruktif dan demokratis antar komponen, menghormati dan menghargai perbedaan pandangan politik dan mendorong pemerintah pun untuk berperan aktif dalam membangun tatanan sosial dan politik yang mensejahterakan masyarakat. 3. Menjadikan hukum sebagai aturan utama dalam mewujudkan keamanan dan kenyamanan masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal, partisipasi masyarakat ditumbuhkan atas dasar kesadaran bersama atas pentingnya penegakan hukum

67 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


dalam mensejahterakan masyarakat. 4. Membangun sistem ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat dengan mempersiapkan sumber daya manusia yang kuat, membangun institusi pasar yang memihak pada kepentingan produksi masyarakat dan intervensi tekhnologi yang mempercepat tumbuhnya kesejahteraan masyarakat. 5. Menjadikan Aceh sebagai daerah yang terbuka dan menghargai kerjasama antar bangsa dan budaya dunia serta keberagaman etnis, budaya, agama, dengan menjunjung tinggi agama, pendidikan dan adat istiadat Aceh. Koordinasi dengan Lembaga pemantau Pemilukada Aceh 2012 Katahati Institute dan AJMI turut berperan aktif dalam melakukan pemantauan dan pembalajaran bagi publik tentang pentingnya menjungjung tinggi nilai-nilai demokrasi dalam pemilukada. Koordinasi antar lembaga pemantau yang sudah terdaftar di KIP yakni: 1. Forum LSM, 2. Aceh Institute, 3. Katahati Institute, 4. IPI, 5. IRI, 6. LPPN, 7. Aceh Future, 8. MATA, 9. GeRAK Aceh, 10. ANFREL, 11. Angkatan Muda Muhammadiyah,

68 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

12. JPPR, ) Serta lembaga pendukung yang melakukan pemantauan; IRI, UNDP, IFES, TIFA, TAF. Temuan-temuan penting selama pemilukada


Aceh 2012:

Pelanggaran administrasi DPT selalu bermasalah, data awal yang digunakan data statistic 2010, tidak ada proses chek/verivikasi oleh penyelenggara (keberatan masyarakat karen tidak terdaftar atau masyarakat apatis yang tidak menggunakan hak pilihnya). • Tidak ada data pemilih divable, DPT untuk pemilih yang sakit, DPT untuk Napi. • Azas Luber tidak berlangsung untuk pemilih yang sakit dan memilih di rumah. • Validitas data pemilih ganda, undangan untuk orang yang sudah meninggal. • Peng-acakan TPS. • Pengelembungan suara. • Saksi disuruh pulang. • Di masa tenang media kampanye masih banyak terpasang. • Curi start kampanye (pemasangan spanduk didepan kantor panwas dan diabaikan). • TPS masih diwarnai dengan media-media kampanye. • Bilik suara dapat dipantau dari luar. • Kertas suara sudah tercoblos sebelum hari H (Aceh Barat Daya, Aceh Timur). • Kertas suara cadangan semuanya habis terpakai (ANFREL). • Design TPS yang tidak sesuai ketentuan (bilik suara yang transparan, terlalu rendah). • Pelibatan anak-anak dalam proses kampanye

Pelanggaran Intimidasi dan Kekerasan • Perusakan terhadap atribut kampanye • Pembakaran posko, mobil timses

69 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


• Ancaman dari Partai Demokrat bagi PNS di Aceh Barat Daya • Partai Aceh menampar timses kandidat gubernur diselesaikan dengan damai. • Pemukulan terhadap 3 orang timses kandidat Bupati Partai Aceh (Aceh Barat Daya). • Sekelompok orang menggunakan avanza mengeluarkan senjata tajam di depan kantor Partai Aceh Aceh Barat Daya. • Simpatisan kandidat Gub No.2 dipukul oleh simpatisan kandidat gubernur lainnya. • Intimidasi kepada relawan yang merekam proses (pembuktian). • Intimidasi untuk orang-orang tertentu (menyebarkan rasa takut kepada yang lainnya). • Intimidasi via sms. • Pemantau yang diawasi oleh intelejen

Pelanggaran Politik Uang • Bagi-bagi uang oleh kandidat incumbent (Aceh Barat Daya) • Timses Irwandi Janji untuk membayar biaya transportasi kampanye tukang becak Rp 100.000,- hanya dibayarkan Rp. 50.000. Aksi ini nyaris membakar Seuramoe Irwandi-Muhyan (Banda Aceh) • Kandidat Bupati No. 1 Aceh Barat Daya membagikan uang dan daging kerbau, dilaporkan ke Polres Abdya. • 22 kasus politik uang di Bener Meriah dilakukan oleh satu kandidat bupati. • Politik uang bermotif sedekah • 191 lember seng untuk masyarakat sudah dilaporkan ke panwas dan sedang di tindak lanjuti). • Pembagian kendaraan roda dua untuk imam mesjid di Bener Meriah,

70 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

yang tidak memilih kandidat Bupati tertentu tidak mendapatkan bantuan. • Politik uang banyak terjadi pada masa kampaye terbuka


Pelanggaran Penyalahgunaan Kekuasaan • Penyalahgunaan kekuasaan oleh kandidat bupati No. 5 Bener Meriah, • Pengajuan proposal program yang akan dikabulkan jika terpilih • Pelibatan PNS, camat dan Keuchik untuk kampanye (ada bukti foto) • Pelibatan PPL dan KPPS kepada kandidat tertentu D. Media Briefing Kegiatan media briefing dilaksanakan pada periode Maret hingga Mai 2012, dengan mengundang sejumlah jurnalis dan pemilik media publik di Aceh. E. Capaian dan Rekomendasi dari Lapangan Pelaksanaan program ini menunjukkan beberapa capaian yang signifikan untuk mengaplikasikan Indeks Demokrasi Indonesia. Salah satunya adalah dengan terbentuknya Poros Demokrasi Aceh sebagai simpul multi stakeholder dalam mengawal implementasi agendaagenda demokrasi di Aceh. Capaian kedua; sebagai bagian dari kegiatan mengawal proses pelaksanaan Pemilukada Aceh, Katahati dan AJMI juga melakukan kegiatan pemantauan di enam kabupaten/ kota wilayah intervensi program; Aceh Besar, Banda Aceh, Sabang, Aceh Barat, Aceh Barat Daya dan Bener Meriah. Fokus pemantauannya adalah terkait penyediaan hak pilih warga negara. Hak pilih warga negara dalam Pemilihan Umum maupun Pemihan Kepala Daerah adalah salah satu substansi terpenting dalam perkembangan demokrasi. Ini menjadi bukti adanya eksistensi dan kedaulatan yang dimiliki rakyat dalam pemerintahan. Selain untuk mengukur kualitas penyelenggara dan sistem pemilihan yang dipergunakan (merujuk kepada standar dan sistem pemilihan di berbagai tempat lainnya, seperti yang dikembangkan oleh IDEA International maupun Komisi Pemilihan Umum Indonesia), proses

71 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


pemantauan ini juga bertujuan untuk menghasilkan temuan-temuan dan catatan-catatan kritis dalam penyelenggaraan Pemilukada Aceh 2012 dikaitkan dengan pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak dasar warga. Capaian ketiga; Sebagai bagian dari mendorong penguatan terhadap kualitas pemilu, Katahati Institute dan AJMI juga melakukan serangkaian kegiatan penguatan terhadap saksi kandidat calon kepala daerah dengan menyediakan Buku Panduan Saksi lengkap dengan Video petunjuk prosedural menjadi seorang saksi baik pra pemilihan, hari pemilihan maupun pasca pemilihan. Capaian keempat; Katahati Institute sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil yang menginisiasi pembentukan Jaringan Masyarakat Sipil untuk perdamaian bersama dengan beberapa OMS lainnya yang fokus pada isu-isu demokrasi mencoba untuk melakukan kajian-kajian terkait proses tahapan pemilukada dengan melihat berbagai aspek dan membangun koordinasi dengan lembaga yang melakukan pemantauan pemilu sebagai bagian dari upaya pengawalan proses pemilukada oleh masyarakat sipil.

Pembelajaran dan Rekomendasi Proses pelaksanaan kegiatan pada periode Januari-April 2012 yang telah dilakukan dengan berbagai rangkaian kegiatan memberikan gambaran pembelajaran antara lain; 1. Perlu adanya koordinasi menyeluruh disetiap tingkatan pemerintahan untuk sosialisasi sejumlah aturan yang telah disahkan. 2. Pemahaman masyarakat terhadap demokrasi terpasung pada informasi apa yang didapat dari beberapa kalangan saja karena hegemoni beberapa kelompok tertentu saja.

72 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH

3. Program yang dilakukan oleh berbagai lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat baik lokal, nasional hanya sebatas project semata. 4. Belum terbangunnya sinergisasi konkrit antara program OMS


dengan sesama OMS dan OMS dengan pemerintah. Berangkat dari pembelajaran diatas maka perlu direkomendasikan beberapa hal berikut ini; adanya pendampingan terhadap masyarakat untuk mendapatkan akses informasi yang berimbang. Pelaksaan kegiatan tahap ke-dua periode Januari-April 2012 Katahati Institute telah berhasil menyelesaikan beberapa output program sebagai berikut: 1. Terselenggaranya rangkaian pertemuan konsolidasi di tingkat kabupaten/kota. 2. Adanya Jaringan Masyarakat Sipil untuk Perdamaian (JMSP). 3. Adanya pemuatan dan penguatan opini demokratisasi serta Features Demokrasi. 4. Berlangsungnya serangkaian proses diskusi demokrasi lintas kelompok dan wilayah. 5. Tersebarluasnya perkembangan informasi tentang implementasi agenda demokrasi, khususnya dalam proses pemilukada. 6. Berlangsungnya semiloka sinergisasi agenda demokrasi antara masyarakat sipil dengan eksekutif yang diwakili Bappeda dan legislative yang diwakili oleh unsur pimpinan DPRA.

n n n

73 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


74 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH


II MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH



Rekonsiliasi Kejahatan Masa Lalu Oleh: Teuku Kemal Fasya (Antropolog. Peneliti tema demokrasi, HAM, demiliterisasi, dan syariat Islam)

S

ebuah pertanyaan kritis dalam kajian konflik dan rekonsiliasi perlu dimunculkan di sini. Apakah semua kejahatan masa lalu harus diselesaikan dengan cara rekonsiliasi? Ternyata sejarah

dunia mencatat: tidak! Rusia dan China, contohnya. Saat Joseph Stalin selama tigapuluh tahun memimpin Uni Soviet (1922-1953) dan Mao Zedong atau Mao Tse Tung memimpin China dan partai komunis (1945-1976) telah menjadi aktor utama penderitaan dan kematian massal di kedua negara itu akibat kebijakan totalitarianisme. Kejahatan kemanusiaan di kedua negara itu termasuk yang paling menonjol dalam sejarah modern.

77 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Kebijakan tangan besi Stalin baik sebelum atau pada masa Perang Dunia II telah menyebabkan sedikitnya 25 juta penduduk negara Beruang Merah itu tewas. Terma­ suk praktik ideologi komunisme yang secara kasar bertumbal pada kemiskinan, perang saudara, dan pembunuhan dengan dalih pro-borjuisme. Demikian pula strategi reorganisasi desa Mao Zedong telah menyebabkan tak kurang 20 juta orang meninggal. Itu juga dihitung pembunuhan atas kelompok kelas menengah karena dituduh antekantek kapitalis dan kontra-revolusioner. Dua negara itu tidak pernah melakukan “pertobatan terbukaâ€? dan menjalankan proyek rekonsiliasi setelah dua diktator itu meninggal meski mereka menjadi negara terbuka paska-perang dingin (Uni Soviet di era Michael Gorbachev dan China di era Deng Xiaoping). Banyak analisis yang menunjukkan mengapa dua negara ini tidak melaksanakan proyek rekonsiliasi baik analisis nasionalisme, ideologi negara, geopolitik, dan juga geoekonomi. Namun sebagian besar sejarah dunia modern mengambil jalan rekonsiliasi.Yang paling mengemuka adalah Afrika Selatan dan Rwanda. Negara-negara lain juga mengambil jalan rekonsiliasi termasuk Vietnam, Kamboja dan Sierra Leone.Australia yang melakukan permintaan maaf resmi terbuka atas kejahatan yang mereka lakukan terhadap masyarakat Aborigin pada era Perdana Menteri Kevin Rudd (31 Januari 2008). Pilihan itu ternyata membuat negara itu semakin sehat dan demokratis. Pertanyaannya, bagaimana dengan Aceh? Apakah kejahatan masa lalu juga harus diselesaikan dengan cara rekonsiliasi atau tidak? Saya tidak berhak memberikan kesimpulan untuk itu.Saya cuma melihat dari penanda-penanda linguistik yang dikemukakan korban

78 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

(survivor). Salah satunya adalah dari seorang korban penembakan Simpang KKA, 3 Mei 1999. Kasus Simpang KKA sendiri adalah penembakan sporadis oleh aparat keamanan terhadap masyarakat


yang berdemonstrasi karena dianggapakan menganggu proyek vital di sekitar tempat aksi. Penembakan itu menyebabkan sedikitnya 21 orang meninggal, 156 orang ­

me­ninggal, dan 10 orang hilang.

Saat testimoni dilaksanakan para aktivis HAM tiga-empat tahun lalu, saya mendengar pengakuan penting. Sang korban yang saat itu masih kanak-kanak mengatakan orang tuanya ditembak di depan matanya. Ia mengatakan, jika korban lain mau memaafkan pelaku terserah, tapi dia tak akan memaafkan sehingga pelaku penembakan dihukum. Dalam acara-acara yang melibatkan para korban konflik, saya juga sering mengajukan pertanyaan yang sama. Ternyata beragam sikap yang muncul: antara memaafkan dan menghukum, namun tak ada yang sudi melupakan. Itulah sebenarnya esensi rekonsiliasi. Rekonsiliasi menjadi mekanisme yang diperlukan untuk membahasakan kejahatan masa lalu secara jernih, realistik, dan objektif, tanpa kehilangan semangat keadilan di masa sekarang. Konsep rekonsiliasi menyandarkan pada pemahaman bahwa tidak ada kejahatan yang kebal oleh faktor hukum (impunitas) meskipun tak ada garansi mengembalikan situasi seperti sediakala. Konsep rekonsiliasi ini diberlakukan untuk negara-bangsa yang sedang menyonsong era baru: demokratisasi. Kejahatan kemanusiaan seperti

pembunuhan

tanpa

pengadilan(extra-judicial

killing),

perkosaan, penyiksaan, perampasan harta benda, penghilangan paksa menyertai situasi konflik, ditambah riasan propaganda, seruan kebencian, stigmaisasi dan “kejahatan-kejahatan lembut” lain. Situasi itu tak akan duduk sebagai perkara yang benar dan adil jika tidak dikronologikan dengan semangat kemanusiaan dan keadilan. Untuk Aceh, aneka kekerasan dan kedegilan peradaban membuat kita tak berhenti bersin di masa sekarang akibat ada aroma busuk masa lalu yang belum dibersihkan. Masalah ini bukan faktor yudisial-legal semata – seperti belum ada payung hukum setelah

79 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


MK membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan DPR belum menyusun UU rekonsiliasi baru bersemangatkan HAM dan demokrasi ueber alles – tapi juga menyangkut masalah sosiokultural dan ekonomis yang harus ditanggung negara, terutama demi para tertanggung derita seperti korban konflik. Konsep rekonsiliasi mendudukkan dengan tepat dan beradab, siapa yang menjadi korban (the victim) dan siapa pelaku (the perpetrator).Atau karena situasi, siapa pula yang telah bercampur, dari korban kemudian menjadi pelaku kejahatan, atau sebaliknya. Hal lain yang juga penting dalam konteks rekonsiliasi - dan harus dibedakan dengan konsep islah atau berdamai dengan semangat melupakan (to forget)-

ialah bagaimana menempatkan konsep

menghukum (to punish) atau memaafkan (to forgive) dengan kredibilitas tinggi dan bukan permainan kata-kata atau politik semata. Saya mengambil konsep ini dari JankĂŠlĂŠvitch yang dikutip Hannah Arendt dalam TheHuman Condition.Hannah adalah seorang filusf Jerman perempuan, seangkatan dengan Martin Heidegger, yang juga menjadi korban politik anti-Yahudi Hitler. Ia terpaksa mengungsi dari Jerman ke Amerika Serikat demi menyelamatkan nyawanya akibat politik pembantaian tentara Nazi.Buku itu sendiri bicara tentang konsep maaf dan hukum terkait sejarah kelam holocaust itu. “Seseorang tidak berhak untuk memaafkan apa-apa yang tak dapat ia hukum, dan ia juga tak memiliki hak untuk menghukum apaapa yang nyata-nyata tak termaafkan (that people would be incapable of forgiving what they cannot punish, and that they would be incapable of punishing what reveals itself as unforgivable). Frasa di atas menjadi dalih bahwa memaafkan dalam konteks rekonsiliasi tidak berarti membenarkan situasi ketakberdayaan

80 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

korban. Korban tidak berhak menyatakan maaf jika ia sesunguhnya tidak memiliki pilihan untuk menyatakan sebaliknya. Korban berhak memaafkan seleluasa ia minta pelaku dihukum. Dalam konteks


rekonsiliasi, korban harus dimenangkan dari segala hal yang bisa menyebabkan ia kembali kalah untuk kedua kali. Demikian pula sebaliknya, konsep menghukum dalam konteks rekonsiliasi adalah berbagi keadilan (shared justice) dalam perspektif hukum positif.Hukuman bagi pelaku kejahatan di dunia tidak secara otomatis memaafkan atau melupakan sejarah konflik yang pernah mengharu-biru itu. Apakah hukum di dunia bisa memaafkan kejahatan yang tak terperikan, seperti yang dilakukan Hitler, Stalin, Mao Zedong, Charles Taylor, George W. Bush, Omar Al-Bashir? Apakah dengan menampilkan fakta kejahatan masa lalu seperti penyiksaan dan perkosaan di Rumoh Geudong, pembantaian Tgk Bantaqiyah dan murid-muridnya, Simpang KKA,

Jembatan Arakundo, Geuredong Pasee, Bireuen, Montasik,

serta-merta boleh menghapus hukuman atas pelakunya? Jawaban etis, tentu saja tidak.Sebab kejahatan itu belum benar-benar berlalu, masih tersangkut di benang-benang ingatan korban dan keluarganya. Salah satu tugas berat bagi pemimpin Aceh terpilih adalah menjalankan

rekonsiliasi

dengan

segala

macam

resiko

dan

rintangannya. Hal itu demi perbaikan demokrasi dan sejarah Aceh ke depan. Jangan pernah melupakan kejahatan masa lalu, seperti angin menerbangkan debu, dan berpikir tidak pernah terjadi apa-apa di negeri ini. n

81 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


82 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH


Demokrasi Berbasis Perencanaan

83 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU

Oleh: Juanda Djamal (Aktifis Konsorsium Aceh Baru)

K

eadilan, kebebasan, saling menghormati dan menghargai keberagaman merupakan nilai-nilai (values) yang dapat

mendefinisikan

demokrasi,

dimana

semuanya

menjadi

katalisator untukmenciptakan keseimbangan tata kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Selama ini, banyak pihak belum menempatkan demokrasi secara substantif, tetapi cenderung melihat dasar pengembangannya bahwademokrasi berasal dari barat, demokrasi bukanlah budaya timur, demokrasi kontradiktif dengan Islam dan demokrasi produk barat yang gagal tapi dipaksakan berjalan di timur. Barat dan timur, utara maupun selatan pada dasarnya memiliki ruang


dan kesempatan yang sama untuk menerapkan demokrasi menjadi nilai mempersatukan, menghilangkan permusuhan, menciptakan keadaan yang jauh daripada perilaku kekerasan, mengatur tata pemerintahan baik, menegakkan hukum tanpa diskriminatif, tidak mendominasikan pengaruhnya, menciptakan keadilan dalam sistem distribusi dan akses yang merata, dan menciptakan sistem politik yang mensejahterakan. Mendemokrasikan tata kehidupan sosial sangat dipengaruhi oleh kemampuan seseorang menempatkan nilai-nilai demokrasi dalam setiap interaksinya secara sosial, baik pada tingkat akar rumput maupun penyelenggara pemerintahan negara. Keadaan itulah yang mendorong semua individu sosial belajar dari proses pengimplementasian demokrasi itu sendiri. Oleh karena itu, tidak ada satu negara pun dapat mengklaim bahwa negaranya telah berhasil menerapkan nilai-nilai demokrasi dalam setiap sikap, perilaku dan tindakannya. Karena pendemokrasian itu berlangsung sepanjang masa, tumbuh dan berkembang sesuai perkembangan sosial, budaya, politik dan ekonomi suatu bangsa. Demokrasi di Aceh Era baru Aceh sangat dipengaruhi oleh faktor demokrasi. Dialog damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia pada Mei 2000 yang difasilitasi Henry Dunant Centre (HDC) merupakan awal tumbuhnya nilai-nilai demokrasi. Usaha para pihak untuk belajar membangun rasa keadilan, menciptakan kebebasan berpikir dan berpendapat, saling menghormati perbedaan dan keberagaman, dan berusaha mempertemukan kepentingan politik atas masa depan Aceh. Langkah-langkah penting seperti Jeda Kemanusiaan (Humanitarian

84 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

Pause), Damai Untuk Dialog (Peace for Dialogue) dan Penghentian Permusuhan (Cessesation of Hostilities) merupakan proses perdamaian yang mengacu pada pendekatan demokrasi.


Meskipun Mei 2003 negosiasi GAM dengan pemerintah RI gagal dan diputuskan Darurat Militer (Martial Law) di Aceh, tapi proses pendemokrasian di Aceh tetap berlangsung. Ruang demokrasi yang didominasi kebijakan penguasa militer mempengaruhi kualitas pembangunan di Aceh, penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang tidak tepat sasaran, penegakan hukum lemah dan akuntabilitas publik pun sangat rendah. Bencana alam gempa bumi dan tsunami 24 Desember 2004 membuka ruang demokrasi lebih luas.Atas kepentinganpenyaluran bantuan kemanusiaan masyarakat internasional maka Pemerintah Indonesia mesti menghentikan pengisolasian Aceh di bawah darurat sipil.Keadaan ini membuka kesempatan baru bagi masyarakat Aceh untuk memperkuat demokrasi. Hal itu juga dimanfaatkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk melanjutkan negosiasi dengan pimpinan GAM. Perjanjian damai di Helsinki merupakan kesepakatan politik yang disepakati oleh sebuah proses demokrasi, begitu pula dengan UU No.11/2006. Produk hukum yang disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia tersebut dirumuskan melalui proses demokrasi untuk mewujudkan perdamaian dan pembangunan berkelanjutan di Aceh. Tantangan demokrasi Aceh Demokratisasi Aceh paska konflik berlangsung secara terencana, hal tersebut dapat kita analisa dari keberlangsungan tahapan proses perdamaian setelah 15 Agustus 2005, dimana agenda demobilisasi (demobilisation) pasukan

militer

dan

penghancuran

senjata

(decommisioning).Kedua tahapan itu merupakan upaya menciptakan ruang demokrasi untuk pelaksanaan agenda-agenda perdamaian selanjutnya. Keberhasilan demiliterisasi (demobilisation and decommisioning) telah menciptakan ruang komunikasi politik secara internal Aceh.

85 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Hal tersebut tampak oleh tersepakatinya draf final UU No.11/2006 secara bersama antara pihak GAM,DPRD Aceh dan organisasi masyarakat sipil. Suasana itu tidak lepas daripada pendekatan demokrasi, termasuk saat advokasi di tingkat nasional, keterlibatan para ahli dan OMS nasional didasari oleh adanya kepentingan politik bersama untuk menjadikan Aceh sebagai model yang mempraktekkan sistem desentralisasi semakin luas dibandingkan daerah lain. Apalagi dalam draf UU No.11/2006 sudah dimasukkan klausul politik lokal yang mengatur tentang partai politik lokal dan mengatur tentang mekanisme kandidat perseorangan dalam pemilihan kepala daerah. Tantangan besar pemerintah dan masyarakat Aceh saat ini adalah menjadikan tradisi kekerasan dalam proses politik sebagai pengalaman dan pembelajaran penting untuk menciptakan kondisi sosial tanpa kekerasan. Pilkada 2006, Pemilu 2009 dan Pemilukada 2012 merupakan contoh kuat atas pengalaman politik kekerasan, walaupun demikian keadaan itumerupakan suatu proses untuk menciptakan keadaan lebih demokratis. Momentum politik selanjutnya adalah Pemilu 2014, pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, memilih anggota DPR-RI, DPD, DPRA dan DPRK. Dua tahun menuju Pemilu 2014, masyarakat Aceh memiliki tantangan besar dalam mempersiapkan diri untuk memiliki kesadaran politik yang kuat supaya tidak lagi memilih kandidatkandidat yang tidak punya kapasitas, kandidat yang mengedepankan kekerasan dan kandidat yang selama ini sudah menjabat tapi keberdaan mereka tak berguna bagi pembangunan kesejahteraan masyarakat. Proses seleksi sosial mesti ditumbuhkan dari sekarang, agar pemimpin-pemimpin Aceh di masa akan berangkat dari proses kontrak sosial.

86 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

Untuk menciptakan masyarakat yang memiliki kesadaran politik yang kuat maka peran pemerintah, partai-partai politik dan Organisasi Masyarakat Sipil sangatlah penting.Partai politik memiliki tanggung


jawab utama dalam mencerdaskan masyarakat secara politik.Oleh karena itu,pendidikan-pendidikan politik harus dilakukan sejak sekarang karena berdampak pada terbangunnya konsolidasi basis konstituen partai politik.Kader-kadernya dapatmemahami program politik partai secara kuat, bukan lagi atas dasar uang dan materi. Sehingga mereka bisa menempatkan wakil-wakil yang representatif di parlemen, memiliki kapasitas dan komitmen untuk mengedepankan kepentingan publik. Begitu pula Organisasi Masyarakat Sipil, penguatan masyarakat akar rumput seperti yang sudah dilakukan selama ini perlu terus diperkuat.Basis masyarakat yang selama ini berkonsentrasi pada pemberdayaan ekonomi mesti diberikan pemahaman politik yang kuat demi menghasilkan kandidat-kandidat yang punya kapasitas dan komitmen pada kepentingan publik, memiliki komitmen untuk mengedepankan perilaku demokrasi dan jauh dari aksi-aksi kekerasan (intimidasi). Gambaran

keadaan

di

atas

merupakan

tantangan

untuk

diwujudkan pada Pemilu 2014.Oleh karena itu peran pemerintah untuk mendukung kuatnya partai politik dan kuatnya Organisasi Masyarakat Sipil merupakan tindakan strategis yang wajib dilakukan jelang Pemilu 2014.Sehingga Pemilu 2014 menjadi momentum bagi berakhirnya tradisi politik kekerasan di Aceh, sehingga akanmemasuki era baru dimana keberlangsungan politik semakin demokratis. Semakin menguatnya proses demokrasi pada Pemilu 2014 maka milestone bagi terwujudnya peradaban baru Aceh yang gemilang dapat kita rasakan pada Pemilukada 2017. Semua pembelajaran dan pengetahuan (knowledge) yang berlangsung di Aceh sejak tahun 2004 paska gempa dan bencana dapat menjadi potensi besar bagi ahli dalam menginspirasikan pembangunan dunia yang damai, demokratis dan mensejahterakan. n

87 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


88 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH


Melirik Potensi Korupsi Pemilukada Aceh Oleh: Askhalani (Koordinator Badan Pekerja GeRAK Aceh)

P

emilihan umum kepala daerah (Pemilukada) merupakan salah satu ajang pesta demokrasi lima tahunan.Pemilukada bukan saja menjadi ajang kenduri untuk perebutan kekuasaan semata,

tetapi juga bagian terpenting dalam mengembangkan misi dan meletakkan pondasi demokrasi yang baik bagi masyarakat, terutama mendidik dalam menentukan pilihan pemimpin baru. Pemilukada Aceh secara substansial mempunyai makna sangat penting, sebab titik kritis adalah melanjutkan perdamaian pasca MoU Helsinki. Pemilukada Aceh 2012 diikuti oleh kontestan dari latar belakang yang berbeda, untuk calon gubernur maupun bupati dan walikota baik yang diusung partai berbasis nasional, partai lokal dan jalur perseorangan. Aceh menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang selalu menjadi icon perubahan, apakah dari sektor perencanaan pembangunan,

89 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


maupun dalam membangun pondasi tata demokrasi secara baik di daerah. Salah satu contoh yang paling penting adalah Aceh menjadi bagian terpenting dalam mendorong lahirnya calon perseorangan atau dikenal dengan istilah calon independen di Indonesia. Mencermati keberhasilan tersebut, hal lain yang mesti diikuti bagaimana membangun trust (kepercayaan) demokratisasi yang berkesinambungan, rekonsiliasi perdamaian dan mendorong lahirnya Pemilukada lebih baik lagi. Sehingga Aceh akan dikenal dengan lumbung demokrasi untuk perwujudan tata kelola demokrasi yang baik di Indonesia. Terlepas dari substansi perdebatan proses Pemilukada yang terjadi dalam beberapa waktu sebelumnya, mengenai perdebatan dasar hukum yang digunakan maupun proses Pemilukada yang pada ujungnya menjadi perhatian semua kalangan baik nasional maupun internasional. Salah satunya yang paling heroik adalah gugatan Pemilukada yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tetapi, hal paling penting dan menarik untuk dicermati adalah bagaimana mendorong perwujudan Pemilukada bersih, jujur, demokratis dan terbebas dari unsur kepentingan serta menimalisir lahirnya Pemilukada yang sarat korupsi dan permainan. Hal ini pula yang menjadi salah satu titik kritis dalam setiap pelaksanaan Pemilu di Indonesia. Potensi Kecurangan Pemilukada Aceh sangat potensial “dirasuki� tindak pidana korupsi, sehingga menihilkan proses perwujudan tatakelola pemerintahan yang baik yang seharusnya menjadi prasyarat untuk membangun proses demokrasi berkualitas. Salah satu indikatornya, sebagian peserta Pemilukada 2012 adalah bekas incumbent, para anggota dewan

90 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

(DPRA/DPRK), mantan kepala dinas dan mereka dapat ditenggarai mempunyai potensi indikasi melakukan tindakan manipulasi atas kewenangan publik baik dari sisi kebijakan maupun anggaran.


Ada beberapa wilayah “rawan” korupsi dalam proses Pemilukada yang dapat dilakukan, baik oleh kandidat peserta maupun penyelenggara. Secara analisa dapat diketahui bahwa ada tiga wilayah yang masuk kategori “rawan” korupsi, sehingga sangat potensial menyebabkan terjadinya kecurangan dan pelanggaran dalam Pemilukada Aceh 2012, yaitu sebagai berikut: Pertama, sebagian besar peserta Pemilukada 2012 merupakan pejabat publik dan bekas kepala pemerintahan, petinggi partai politik baik lokal maupun nasional, atau setidaknya mantan kepala dinas yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan anggaran. Pihak-pihak yang mempunyai afiliasi dan kedekatan politik tertentu memiliki hasrat dalam mengusulkan anggaran untuk kepentingan kandidat tertentu, dan dapat dipastikan pejabat publik itu mempunyai potensi untuk menggunakan sumber daya didasarkan pada jabatan publiknya untuk kepentingan peserta Pemilukada. Pada level paling rendah “easy” atau sangat gampang untuk diketahui adalah tindakan para pejabat publik dalam penggunaan atau pemberian sarana dan kesempatan atas fasilitas. Seolah-olah untuk kepentingan publik, tetapi itu digunakan sebagai logistik. Misalnya saja penggunaan aset pemerintahan berupa mobil, anggaran dan kegiatan terutama melakukan perjalanan dinas yang menggunakan uang daerah tapi kegiatan ini dipakai untuk melakukan konsolidasi baik atas nama partai maupun tim pemenangan di seluruh wilayah. Kemudian pada tingkat yang lebih tinggi ”hard”, kewenangan yang melekat dan dimiliki pejabat publik, kepala pemerintahan di daerah sering digunakan untuk mendapatkan “rente” ekonomi dan politik dari pihak lain. Misalnya, pemberian kewenangan yang berkaitan dengan perizinan untuk eksploitasi SDA, dana aspirasi, bantuan ekonomi (proposal bodong) maupun rekomendasi-rekomendasi proyek dengan menggunakan sistem logika “barter” kepentingan dengan harapan mendapatkan “sumbangan dana” atau kompensasi dari pihak tertentu

91 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


terutama untuk keuntungan logistik bagi tim pemenangan kandidat yang dimaksud. Kedua, penyusunan anggaran pada dinas terkait, baik kegiatan SKPA maupun SKPD yang dananya bersumber dari APBA/APBK, serta pelaksanaan proyek yang dibiayai dari dana APBN. Contoh paling krongkit atas hal itu, seorang mantan kepala daerah (incumbent), anggota dewan (DPRA/DPRK), kepala dinas atau pejabat publik dapat melakukan tindakan ilegal lewat bank milik daerah atau kalangan profesional untuk “menggunakan” dana APBA/APBK melalui permainan yang hasilnya disumbangkan kepada para peserta Pemilukada. Hal serupa juga potensial terjadi pada BUMD atau perusahaan yang didirikan oleh Pemerintah. Misalnya perusahaan daerah (BUMD) melalui kuasa direkturnya melakukan program bantuan sosial (dana CSR) yang akuntabilitasnya sulit dipertanggungjawabkan dan sangat sulit mendeteksi tentang keabsahan dari proses pemberian bantuan yang dilakukan, tetapi pada intinya adalah untuk kepentingan meraup keuntungan suara dari pemberian bantuan ini atau istilah lain disebut “bantuan politik”. Ketiga, potensi adanya dugaan indikasi penyelenggara Pemilukada menyiasati proses pengadaan barang dan jasa

melalui tender

“kolusif” atau penunjukan langsung dengan alasan situasi “darurat”. Hal ini sering terjadi pada tender proyek kertas surat suara dan logistik lain. Dana Pemilukada yang diberikan untuk penyelenggara merupakan sumber anggaran dari dana sharing APBN, APBA dan APBK. Dalam hal ini faktor utama biasanya keterlambatan pengeluaran dana dan tahapan yang menumpuk biasanya berpeluang terjadinya penyalahgunaan

92 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

kewenangan

dalam

penyelenggaraan

tahapan

Pemilukada. Kebanyakan dari indikasi potensi korupsi dalam Pemilukada akan sangat sulit diusut karena lemahnya pengaturan, dan banyaknya


lubang penyiasatan dalam undang-undang dan peraturan tentang Pemilukada. Juga karena lemahnya pengawasan lembaga pengawas pemilu (Panwaslu) yang terbentur dengan aturan perundangan yang banyak menimbulkan multitafsir serta kelemahan atas aturan yang mengatur soal pelaksanaan Pemilukada. Sementara dari sisi publik dalam pengawasan (masyarakat dan media) juga masih memiliki keterbatasan dan ruang untuk ikut serta mengawasi secara berjenjang atas proses pelaksanaan Pemilukada. Selain karena faktor berada diluar, hal lain juga dipengaruhi kelemahan yang dimiliki atas peraturan yang mengatur soal Pemilukada terutama menyangkut azas transparansi dan akuntabilitas. Potensi korupsi anggaran saat Pemilukada terjadi karena tak adanya aturan pelarangan yang tegas terkait dengan penggunaan uang negara untuk kepentingan Pemilukada. Ini terlihat dari maraknya program populis menjelang pelaksanaan Pemilukada sehingga memudahkan penggunaannya oleh calon yang memiliki akses ke kekuasaan. Lemahnya pengawasan dan tindak lanjut atas indikasi korupsi Pemilukada adalah salah satu kelemahan di institusi penyelenggara yang terkesan membiarkan terjadinya korupsi Pemilukada. Pemetaan potensi kecurangan dan tindak korupsi, beserta modus operandi kejahatan setiap tahapan Pemilukada seperti diuraikan di atas, harus dicegah dan diminimalkan karena ini akan sangat mempengaruhi kualitas penyelenggaraan Pemilukada di Aceh. Selain itu, bilamana kecurangan dan korupsi yang terjadi di dalam penyelenggaraan Pemilukada bersifat masif, maka Pemilukada akan kehilangan justifikasi moral politik dan dapat saja memicu tindakan yang membuat menghancurkan struktur demokrasi. Pemilukada Aceh 2012 yang dipenuhi oleh tindakan kecurangan dan pelanggaran yang bersifat masif tidak akan pernah mampu menghasilkan kepala pemerintahan yang baik dan berkualitas serta mempunyai integritas dan profesionalitas tinggi terutama dalam mendorong percepatan tata

93 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


kelola pemerintahan yang lebih baik (good governence), sebagaimana dan harapan masyarakat Aceh pasca konflik berkepanjangan. n

94 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH


Media dan Kualitas Demokrasi Oleh: Taufik Al Mubarak (Jurnalis)

B

anyak yang menyebutkan, media atau pers sebagai pilar keempat demokrasi, setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tanpa pers bebas, demokrasi sering menjadi tumbal. Tanpa

media yang independen, kebenaran hanyalah bualan belaka. Kita tahu, kekuasaan cukup dekat dengan praktik korup.Kekuasaan yang tidak diawasi dengan baik sering berujung pada salah jalan, dan cenderung korup. Tak selamanya, ketiga pilar demokrasi: eksekutif, legislatif dan yudikatif berjalan pada rel yang benar. Ketiganya sering bersekutu dan menjadi ancaman bagi keberlangsungan demokrasi, serta masa depan kebebasan pers. Kita sering disuguhkan fakta legislatif berselingkuh dengan

95 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


kekuasaan (eksekutif) dan yudikatif menjadi momok menakutkan sebagai alat penindas.Ketika kita dihadapkan pada kondisi ini, pilihannya adalah mempertahankan independensi sebagai pengontrol. Sebab, ketika pers juga ikut berselingkuh dengan kekuasaan, maka kita patut was-was terhadap masa depan demokrasi. Ada cerita menarik, datang dari Italia, negeri yang dulu pernah diperintah fasisme Bennito Mussolini.Seperti negara Eropa lainnya, Italia kini sangat menjunjung tinggi kebebasan menyatakan pendapat dan melonggarkan kontrol atas media.Namun, Italia bukan tanpa cela. Kita tahu, beberapa waktu lalu, sebuah undang-undang dirancang dengan memberi wewenang kepada polisi untuk mengatur soal penyadapan.Undang-undang ini berisi denda berat kepada media yang menerbitkan transkip hasil sadapan. Anehnya, rancangan itu mendapat dukungan dari anggota senat meski kalangan media dan hakim menentangnya. Pasalnya, RUU itu dianggap akan menghambat perjuangan mereka melawan korupsi dan kejahatan tergorganisasi. Sadar bahwa kebebasan pers terancam, koran berhaluan kiri La Repubblica, dalam edisi Jumat (11/06/2010) terbit dengan halaman satu yang kosong. Bersih dari berita seperti biasanya. Agar protes efektif, mereka memuat sebuah memo kuning kecil bertuliskan: Undang-undang pemberangusan akan mencabut hak bagi warga negara untuk mendapatkan informasi. Pemimpin Redaksi La Repubblica, Ezio Mauro, mengatakan, mereka sengaja terbit dengan halaman depan kosong agar pembaca tahu bahwa kebebasan sedang terancam. “Kami terbit dengan sebuah halaman kosong untuk memberitahu para pembaca bahwa demokrasi telah dibuat korslet.�

96 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

Cerita kedua berasal dari rakyat Polandia, salah satu sekutu Soviet (kini Rusia) saat berjuang melepaskan diri dari cengkeraman rezim komunis. Dalam Sembilan Elemen Jurnalisme, Bill Kovach,


menceritakan, bagaimana seorang warga Polandia, Anna, ingin menyimak acara kesukaannya 60MPH (Sixty Minutes Per Hour) di radio yang tergolong kritis untuk ukuran rezim komunis. Namun, yang terdengar hanyalah suara statis, dia mencoba stasiun lain juga sama, bahkan ada yang tidak ada suara sama sekali. Ibunya kemudian memanggil dan memintanya melihat keluar jendela.Di luar, tank-tank milik serdadu pemerintah sedang melaju di jalanan.Pemerintahan militer Polanda telah mendeklarasikan keadaan darurat, dan menyatakan gerakan Solidaritas pimpinan Lech Walessa sebagai organisasi terlarang. Saat itu, 13 Desember 1981.Pemerintah komunitas Polanda juga membungkam media dan menyumbat kebebasan menyatakan pendapat.Era keterbukaan yang sempat dinikmati rakyat Polandia, telah berakhir. Namun, rakyat Polandia tidak tinggal diam. Kovach menulis, di sebuah kota kecil, Swidnik, dekat perbatasan Cekoslowakia, orang-orang bermunculan dengan anjing di jalan-jalan kota setiap malam pukul 19.30, ketika stasiun televisi pemerintah ditayangkan. Sementara di Gdanks, terjadi pembalikan layar televisi. Orang-orang di sini memindahkan pesawat televisi ke jendela dengan menghadap ke jalan. Rakyat di kedua kota ini sedang mengirimkan pesan kepada pemerintah: “Kami tidak sudi menonton, kami menolak kebenaran versimu!� Inilah protes harian dan solidaritas tanpa kata-kata melawan pemerintahan komunis yang mengekang kebebasan pers dan kebebasan menyatakan pendapat. Media dan Demokrasi Ada dua hal menarik disimak dari dua cerita di atas.Pertama, kekuasaan yang dipegang oleh rezim otoriter sama sekali tak memberi tempat bagi hadirnya media yang benar-benar independen dan berpihak pada kepentingan publik. Berbagai cara digunakan, seperti

97 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


melalui regulasi atau dengan kekuatan militer, untuk membungkan media dan kebebasan. Kedua, sekalipun hidup di bawah rezim otoriter, rakyat selalu memiliki cara melawan praktik sewenang-wenang.Dalam banyak kasus, gerakan demokratisasi sering keluar sebagai pemenang. Betapa pun kuatnya sebuah rezim otoriter, dia selalu tumbang oleh perjuangan gigih rakyatnya, termasuk dukungan media. Dalam sejumlah literatur, kita tahu bahwa penguasa otoriter mengabaikan

prinsip-prinsip

demokrasi

dan

keterbukaan.Bagi

mereka, media independen dan kritis menjadi batu sandungan bagi keberlangsungan kekuasaan yang dipegangnya. Siapa pun pemimpin otoriterakan menjadikan media dan orang-orang kritis sebagai musuh dan objek pemusnahan. Kita memiliki pengalaman bagaimana Indonesia saat dipegang oleh rezim otori足ter Orde Baru selama 32 tahun.Media-media kritis dibredel, dan orang-orang kritis dibungkam.Kasus pembredelan Tempo, Detik dan Realitas, atau penangkapan aktivis pro-demokrasi bisa menjelaskan bagaimana berkuasanya rezim Soeharto saat itu.Tak ada pengadilan, kecuali pengadilan sandiwara untuk melanggengkan kekuasaan. Aceh punya pengalaman kelam demokrasiketika berlangsung Darurat Militer (2003-2005).Militer menutup Aceh dari dunia luar. Media-media di Aceh harus menulis seperti kehendak penguasa darurat militer. Sumber-sumber resmi pemerintah dan militer menjadi sajian utama dalam pemberitaan, sementara sumber dari pihak lain dilarang. Jika ada media yang memuat berita dari sumber Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dituduh tidak nasionalis dan patriotis.Akibatnya, kebenaran sering menjadi taruhan.Malahan, penguasa darurat militer

98 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

melarang media mengutip pernyataan dari anggota GAM. Penguasa darurat militer juga memberlakukan aturan ketat terhadap media dan wartawan.Jurnalis yang ingin meliput di Aceh


harus sepengetahuan dan mengantongi izin dari militer.Kepada mereka diberi pilihan; ikut kami (militer) atau berpihak pada mereka (GAM). Akibatnya, beberapa jurnalis yang meliput kegiatan GAM menjadi korban, seperti yang dialami Ersa Siregar, wartawan RCTI yang tewas saat terjadi kontak senjata antara pasukan TNI dan anggota GAM setelah beberapa pekan disandera GAM. Jalan Demokrasi di Aceh Angin segar bagi keterbukaan informasi mulai dirasakan pascabencana gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004 dan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005. Aceh mulai terbuka bagi dunia luar. Banyak media baru lahir di Aceh seperti Harian Aceh, Rakyat Aceh, Aceh Independen, dan Rajapost.Tak ada lagi kontrol terhadap media dari pemerintah.Selain itu, jurnalis asing bebas berdatangan ke Aceh, sesuatu yang sangat sulit dilakukan saat darurat militer dan darurat sipil. Perkembangan ini menarik.Bahwa bisnis media (cetak) di Aceh cukup menjanjikan, apalagi jumlah media harian masih sangat minim. Dengan jumlah penduduk 4,5 juta jiwa di 23 kabupaten/kota, idealnya Aceh harus memiliki sedikitnya 15 media cetak, yang tersebar di seluruh pelosok. Dengan banyaknya mediamassa, tak hanya daerah dan masyarakat yang diuntungkan, melainkan pihak media sendiri, terutama dalam menghasilkan karya liputan mendalam. Masing-masing media ini akan berlomba mengemas isi sebagus mungkin untuk menarik minat pembaca. Selain itu, berkontribusi dalam pembangunan daerah sebagai lembaga kontrol sosial. Namun, faktanya kini, jumlah media cetak harian di Aceh sangat sedikit.Suatu kondisi yang patut disesali.Sebab, ada segelintir media berjalan sendiri, nyaris tanpa pesaing.Mereka memonopoli opini dan menulis sesuka hati. Konten apapun dimuat di koran tetap ada yang

99 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


baca. Akibatnya, masyarakat tak pernah mendapatkan berita-berita mencerahkan dan layak dibaca.Tak jarang, berita-berita yang muncul sarat kepentingan pemilik media maupun pemerintah. Padahal, yang kita butuhkan dari media adalah bagaimana menghasilkan berita-berita kredibel, relevan dan penting.Informasi yang muncul di media benar-benar penting, berguna dan membela kepentingan publik.Kualitas demokrasi kita sangat tergantung pada seberapa bagus media mengelolanya.Pengambilan keputusan oleh masyarakat dan kualitas hasilnya sangat bergantung pada informasi yang mereka terima sebelum berbagai keputusan itu dibuat. Jika masyarakat mendapat suguhan informasi yang tepat dan berguna, yakinlah rakyatdapat membuat keputusan yang tepat dan bermartabat. n

100 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH


Menyoal Politik Kawom Oleh: Mukhlisuddin Ilyas (Peneliti dan Direktur Bandar Publishing, Banda Aceh)

D

alam banyak referensi, terminologi demokrasi dipandang sebagai kerangka berpikir melakukan pengaturan urusan umum atas dasar prinsip dari, oleh dan untuk rakyat sebagai

sebuah ide, norma dan sistem sosial maupun wawasan. Mantan Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln ikut mempopulerkan roh demokrasi dengan ungkapan“Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat�.Implementasi demokrasi tentu harus berjalan atas rambu-rambu yang telah digariskan. Dalam banyak bahan bacaan disebutkan pula bahwa ada beberapa asas dasar dari pilar demokrasi seperti persamaan didepan hukum, proses hukum yang wajar, toleransi, pragmatisme, kerja sama dan mufakat serta juga

101 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


jaminan HAM, pemilihan yang bebas dan jujur. Berbicara salah satu pilar demokrasi yang menyangkut pemilihan yang bebas dan jujur di Aceh, banyak pendapat bahwa Aceh masih dalam fase transisi.Tentu akan “miskin ruh� demokratisasinya. Namun ada kontribusi lain juga bahwa eksistensi perdamaian Aceh menjadi rule baru dalam penyelesaian konflik untuk negara-negara lain. Banyak juga pihak yang berbangga bahwa eksistensi damai di Aceh karena peran serta para pihak, dan adanya klaim Aceh tidak akan konflik lagi. Aceh setelah konflik dan tsunami menjadi tantangan bagi scholar dari berbagai negara untuk meneliti dalam berbagai perspektif, tak terkecuali tentang demokratisasi yang sedang berjalan. Di tengah transisi ini, demokrasi di Aceh bukan berjalan atas asas persamaan hak, melainkan atas persamaan politik kawomnya.Untuk itu, Aceh harus dibangun dengan pemikiran-pemikiran objektif, bukan partisan dan parsial untuk kepentingan kawom-kawomnya. Politik Kawom Saya hanya dapat menulis saat ini bahwa berbicara tentang demokrasi yang sedang berlangsung di Aceh, maka kita seakanakan diarahkan melihat perilaku politik kawom.Kita bisa saksikan suhu politik menjelang pemilihan Gubernur/Bupati/Walikota tahun 2012.Saling tuding-menuding tumbuh subur dengan beragam sifat keangkuhan politisi Aceh kontemporer. Itulah yang menarik dari Aceh.Kalau lagi konflik, semua merapat, kompak dan saling peduli menyatukan energi perjuangan menuju kedamaian. Sebaliknya, ketika kondisi keamanan kondusif seperti saat ini, masyarakat sudah terbebas dari ketakutan, ekonomi mulai tumbuh, semua energi politisi dan kawom-kawomnya merapat untuk

102 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

membawa Aceh kedalam perdebatan politik kekuasaannya. Munculnya kedua kubu gerakan itu, memperkuat analisis kami bahwa politik kawom (golongan dan pendukungya) lebih penting


ketimbang

memikirkan

keutuhan

damai

yang

berkelanjutan,

kesejahteraan rakyat, dan kehidupan normal masyarakat Aceh kedepan. Pada era konflik, politik kawom didominasi oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan Pemerintah (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Keduanya memiliki kawom politik untuk kemudian menjelma menjadi kekuatan saling bertentangan baik fisik (perang senjata) maupun perang argumentasi (propoganda).Esensi pertentangan itu karena perbedaaan pandangan dalam pengelolaan Aceh yang lebih baik. Banyak analis politik menamai kondisi itu sebagai konflik vertikal; Aceh versus Jakarta. Masa kini, setelah damai dan diperparah menjelang Pilkada 2012, kedua kawom itu (RI dan GAM) terpecah berkeping-keping dalam artian tidak saling bertetangan dalam mengimplementasikan undangundang dan peraturan lain. Yang kemudian alur konflik bermain di ranah provinsial dengan melibatkan sesama mantan GAM dan politisi partai nasional. Banyak analis mengatakan, Aceh akan segera masuk kedalam fase konflik horizontal. Analisis ini diperkuat dengan laporan International Crisis Group mengenai GAM Vs GAM dalam Pemilu Aceh 2012. Artinya konflik Aceh kedepan akan lebih parah dampak sosialnya karena yang muncul ialah konflik horizontal, yaitu konflik sesama orang Aceh. Ini yang kemudian yang dinamai dengan politik kawom atau konflik kawom. Politik kawom, salah satu penyebab munculnya konflik kawom sesama orang Aceh.Tujuan utama politik kawom ialah merebut kekuasan

untuk

memenangkan

kawomnya.

Muncul

politik

kawom karena kesadaran untuk merebut kekuasaan dalam upaya meningkatkan ekonomi kawomnya semata, dengan meninggalkan hal-hal yang bersifat ideologis.Ini yang kemudian selanjutnya dinamai sebagai politik ekonomistik yang sedang mendera di Aceh.

103 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Persoalan penundaan Pilkada 2012 merupakan indikator kuat untuk mengatakan bahwa politik kekuasaan dan uang bekerja sangat dominan dalam pesta demokrasi ini. Apa yang disebut dengan kultur politik ekonomistik, kekuasaan adalah investasi menemukan wujudnya kelak. Para analis mengatakan bahwa kultur politik ekonomistik adalah sebuah kultur politik yang memandang kekuasaan hanya sebagai investasi. Apa yang ada di benak para calon gubernur dan bupati di Aceh bukan idealisme untuk membawa Aceh yang lebih baik, melainkan nilai tukar kekuasaan. Seorang kandidat gubernur atau bupati rela membayar milyaran rupiah kepada partai politik dan sejenisnya

karena tahu bahwa

investasinya itu akan membuahkan hasil lebih besar. Sampai-sampai lembaga survey pun harus dibiayai untuk memenangkan salah satu kandidat untuk kemudian mendongkrat elektabilitasnya.Supaya ada nilai justifikasi kepada kawomnya bahwa kandidat tertentu memiliki peluang menjadi penguasa. Beginilah Aceh hari ini, dibangun berdasarkan kepentingan sesaat (perjuangan praktis, bukan ideologis).Aceh tidak lagi dibangun berdasarkan kepentingan bersama.Politik praktis Aceh hari ini terkesan sangat arogan, diskriminatif, intimidatif dan kemudian memunculkan politik-politik permusuhan antar kawom kedaerahaan.Ini yang perlu diwaspadai. Politik kawom dalam artian perbedaan aliran politik tidak menjadi persoalan untuk dihiraukan, dan itu sah-sah saja.Malah istilah politik aliran sangat akrab ditelinga kita.Istilah politik aliran ini datang dari hasil penelitian Clifford Greetz untuk menggambarkan dinamika relegiusitas masyarakat Jawa; santri-modernis, tradisional, abangan

104 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

dan sekuler. Politik kawom yang berbasis aliran kalau kita memakai patron Clifford bisa saja kita gambarkan aliran politik berbasis partai nasional,


aliran politik partai lokal dan aliran politik berbasis jalur independen. Itu semua sangat wajar dilakukan dalam sistem kenegaraan kita. Terlepas ada sedikit gonjang-ganjing dalam penafsiran sebuah peraturan, namun yang pasti politik kawom dalam hal perbedaaan aliran politik sangat kecil memunculkan permusuhan politik. Dan perdamaian tidak akan goyang. Namun, yang menjadi kekhawatiran munculnya politik huru hara, dan kedamaian Aceh dapat goyang bila politik kawom dengan membangun basis kebencian. Basis kebencian dibangun antar satu kabupaten dengan kabupaten lain dalam Pilkada 2012, ini sangat membahayakan eksistensi perdamaian Aceh. Gejala kebencian berbasis politik kawom antar kabupaten setidaknya pernah menjadi batu sandungan perpolitikan Aceh ketika munculnya gerakan ALA dan ABAS. Ini yang kemudian menjadi kekhawatiran apabila politik kawom orang Pidie membenci kawom orang Bireun misalnya, begitu juga kabupaten lain. Maka Aceh akan tercerai berai dalam ranah konflik kedaerahan dengan dalil-dalil apa saja. Kekhawatiran ini diperkuat dengan kepemimpinan kawom politik orang Pidie di pucuk ketua sejumlah partai berbasis nasional dan lokal.Kemudian muncul sejumlah kandidat gubernur dari Pidie. Sedang kabupaten yang tidak memiliki orang-orang besar di pucuk kepemimpinan partai-partai besar dan tak ada kandidat gubernurnya, membangun konsolidasi dan kebencian yang kemudian terjadilah gerakan politik seperti ALA dan ABAS. Bila ALA dan ABAS kemunculan awalnya dari proses ketidakadilan pembangunan, maka politik kawom Pidie, kawom Bireun, Aceh Utara dan seterus足nya, bisa-bisa membangun gerakan baru karena gagal merebut kekuasaan gubernur dalam Pilkada. Atau bisa jadi, bila kawom Pidie yang memimpin Aceh, maka bisa saja kawom Aceh Utara berontak karena merasa dimarginalkan oleh kawom Pidie. Terus sebaliknya. Hal seperti ini bisa membahayakan eksistensi perdamaian

105 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Aceh.Untuk kemudian menjadi bumerang politik sosial antar daerah lokal Aceh. Akhirnya mari kita sikapi dan memberi kontribusi positif dalam damai Aceh melalui penguatan demokratisasi dan mendukung kekuasan yang diberikan rakyat untuk siapa saja, serta dijalankan demi kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat harus di足utamakan dan politik kawom harus ditinggalkan. n

106 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH


“Setan” Demokrasi 2012

107 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU

Oleh: Otto Syamsuddin Ishak (Sosiolog)

K

etika

Hakim

Konstitusi

di

Mahkamah

Konstitusi(MK)

bersepakat untuk menyatakan “Dalam Pokok Perkara: Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ada konsekuensi

logis yang memilukan dan berkepanjangan dalam Pemilukada Aceh di masa mendatang. Kita bisa saja turut berteriak: Horee…! Atau, sebagaimana yang disimpulkan anggota KIP Ilham Saputra bahwa ini adalah “kemenangan rakyat Aceh, kemenangan kita semua.” Sebagai aktivis demokrasi, kita bertanya: rakyat dan kita yang mana yang bersuka ria dengan keputusan itu? Kita pun bisa membayangkan bagaimana Pemilu ke depan dengan mempertimbangkan penolakan MK atas hal-hal berkenaan dengan tindak kekerasan dalam berdemokrasi, “yaitu mengenai teror,


rencana penembakan kepada Irwandi Yusuf, pembantaian warga etnis Jawa di Aceh, berita mengenai teror dan penembakan di Aceh yang ditayangkan di satu stasiun televisi swasta, foto-foto mengenai teror serta intimidasi kepada Panwaslu tidak dapat digunakan untuk membuktikan kebenaran dalil Pemohon karena bukti-bukti tersebut masih perlu pembuktian lebih lanjut.” Bahkan MK mengatakan: “tanda bukti laporan dan penerimaan laporan dari Panwas dan kepolisian tidak serta merta dapat membuktikan kebenaran pelanggaran sebagaimana dalil Pemohon.” Keputusan MK, sebetulnya menyatakan bahwa kekerasan dan Pilkada adalah dua hal yang seiring tapi tidak bisa ditemukan korelasinya dalam ranah hukum dan konstitusi. Namun, kekerasan dan Pilkada sebagai fakta sosial adalah realitas empiris yang dialami oleh banyak orang, khususnya para tim sukses para kandidat peserta Pemilukada Aceh 2012. Sesungguhnya, siapapun yang berada di Aceh sejak masa prakampanye, kampanye dan hari pemungutan suara tidak mungkin memungkiri adanya kekerasan terkait dengan Pemilukada. Apakah KIP, Panwas maupun Polri berani mengucapkan dihadapan publik bahwa tidak ada tindakan kekerasan di Aceh selama Pemilukada 2012, dengan tanpa bersembunyi di punggung keputusan MK? Dalam lain cara melihat keputusan MK itu, kita bisa juga mengatakan bahwa keputusan tersebut mengakui eksistensi para pelaku tindak kekerasan, pemakai serta penikmatnya dalam berdemokrasi di Aceh telah berhasil menjelmakan dirinya sebagai “setan demokrasi”. Para pekerja hukum -- mulai dari level peraturan hingga konstitusi-- tidak mampu menangkap setan kekerasan dalam berdemokrasi. Sebagaimana dalam kehidupan sehari-hari, seorang warganegara

108 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

tidak bisa melaporkan bahwa anggota keluarganya sudah disantet ke pihak penegak hukum.Demikian pula halnya dengan seorang kandidat dan timsesnya tidak perlu melaporkan pada Panwas dan KIP bahwa


dirinya telah disantet oleh lawan politiknya.Sekali lagi, bahwa setan itu bekerja di ranah sosial, bukan di ranah hukum. Oleh karena banyak penyelesaian kasus setan (dukun santet) cenderung dilakukan dengan aksi-aksi sosial di luar hukum. Maka, dengan adanya keputusan MK itu, dalam Pemilukada di kemudian hari, para kandidat dan timsesnya terbuka peluang untuk berpikir destruktif, yakni memobilisasi setan demokrasi lebih besar peluangnya untuk menang daripada membangun jaringan sosial, yang memang jauh lebih sulit dan mudah berkhianat.Akibatnya, Pemilukada merupakan pekan politik berdemokrasi yang hiruk-pikuk dengan benturan antar tindakan di luar hukum. Tindakan kekerasan di Aceh adalah juga mendestruksi sumpah sosial yang merupakan salah satu wujud dari konsolidasi demokrasi, yang dinyatakan dalam setiap mesjid agung di wilayahnya.Baik kandidat, timses, lembaga penyelenggara Pemilukada, aparat keamanan dan pertahanan, elite politik maupun masyarakat luas telah menyatakan berkomitmen untuk Pemilukada damai.Meskipun demikian, aksi setan demokrasi tetap saja masih bisa mendominasi ranah sosial yang tak terjangkau oleh instrumen dan aparat hukum. Fenomena itu menunjukkan, di satu pihak, konsolidasi demokrasi berhasil menciptakan norma yang luhur dalam berdemokrasi. Tetapi dalam kenyataannya, setan demokrasi masih dilepaskan untuk melakukan aksi pemenangan bagi kandidatnya, di lain pihak. Norma tak memiliki korelasi lagi dengan tindakan dalam berpolitik.Ini sesungguhnya, juga sebuah tragedi bersyariat. Memang, sejak abad ke 5-4 SM, demokrasi adalah sebuah sistem untuk meraih kekuasaan yang berada ditangan rakyat, yang tumbuh seiring dengan kesadaran politik non-diskriminatif pada setiap warga negara. Konon, terutama, setelah terjadi revolusi sosial yang menghancurkan hak-hak istimewa kaum feodal. Dalam konteks historis yang demikian, maka berdemokrasi adalah sebuah pekan

109 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


di mana para elite –baik elite politik, elite agama, elite cendekiawan maupun elite preman—berlomba-lomba untuk merebut suara yang berada di dalam kantong setiap warganegara. Mereka bisa datang langsung atau tidak langsung ke setiap warga negara.Kedatangan langsung biasanya dengan menyungging senyuman dan janji lisan yang melangit.Akan tetapi, mereka bisa juga menggunakan agensi dari yang berperilaku iblis hingga malaikat. Dari sisi warga negara, pekan itu bisa menjelma sebagai sebuah pasar untuk menjual suara secara langsung, yakni berhadapan langsung dengan kandidat.Namun, karena luasnya ruang geografis dan besarnya populasi pemilih, agak mustahil dapat bertatap muka dengan kandidat atau timsesnya dalam rentang waktu terbatas oleh peraturan Pemilukada. Karena itu, warga negara pun akan menggunakan agensi yang berwatak aneka ragam. Sebaliknya, kenyataan demikian juga digunakan oleh agensi untuk

bertindak

agresif dalam rangka mendapatkan rente ekonomi. Ini merupakan satu bandul demokrasi yang negatif. Namun, satu bandul yang positif adalah menjadikan Pemilukada sebagai momentum untuk memilih seorang khalifah yang merentang antara Umar bin Abdul Aziz hingga Bayazid. Peraih suara terbesar menunjukkan itulah takdir politik bagi kaum itu semua dalam kurun 5 tahun. Jadi demokrasi memiliki dua sisi, yakni positif dan negatif. Kemana arah demokrasi akan ditarik di dalam prakteknya, sebetulnya, merefleksikan kadar umum moralitas kaum yang sedang berpemilukada itu sendiri. Semakin kuat peran setan demokrasi, maka semakin negatif kadar moral jaman. Namun, semakin kuat peran malaikat dalam pemenangan seorang elite yang menjadi kandidat, semakin positif kadar moral kaum itu sendiri pada kurun

110 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

zaman tertentu. n


Simalakama Pemilukada Aceh Oleh: Desi Rinasari RA (Ibu Rumah Tangga dan Mahasiswa Magister Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh)

P

emilukada Aceh sudah dua kali ditunda. Pemberitaan yang sedang hangat di Aceh pun masih sama saja, seputaran Pemilukada yang diharapkan untuk ditunda lagi. Permintaan

itu datang dari Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).Pihak DPRA mendesak Komisi Independen Pemilihan (KIP) membuka lagi pendaftaran calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota di Aceh. Tentu saja hal itu menuai reaksi politik dari berbagai kalangan.Mulai dari calon yang sudah mendaftar, KIP, Mendagri, MK, pakar hingga kalangan mahasiswa.Konflik Pemilukada babak baru pun segera dimulai, pro dan kontra dari berbagai kalangan tak bisa dihindari. Alhasil, gugat-menggugat seolah menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja seperti menghela nafas.Begitu mudahnya gugatan diumbar para

111 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


pihak pada Pemilukada Aceh kali ini. Begitu juga dengan tahapannya, sudah dua kali digeser. Kisruh politik di Aceh bermula saat Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus pasal 256 UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang sering disebut (UUPA). Pembatalan itu sama sekali tidak berkonsultasi dengan DPRA. Pada aturannya, segala perubahan menyangkut isi UUPA haruslah dirundingkan dengan DPRA.Begitulah penyataan yang ditegaskan pada pasal 269 No 3 dalam undangundang tersebut.Sehingga pembatalan pasal 256 yang terkait calon independen tersebut dinilai cacat hukum. Pihak legislatif Aceh yang didominasi Partai Aceh (PA) menolak tegas keputusan MK itu dan menggugat sekaligus meminta lembaga tinggi negara itu mencabut kembali keputusannya.Sedangkan pihak eksekutif dalam hal ini gubernur menyambut baik keputusan tersebut. Tentu saja keputusan MK telah memberi peluang untuk Gubernur Aceh Irwandi Yusuf selaku incumbent dalam Pemilukada Aceh setelah sebelumnya resmi tak lagi disokong PA.Maka perselisihan antara dua kekuatan besar di Aceh itu tak dapat dibendung.Kedua kubu tersebut kemudian sama-sama tidak mau mengalah. DPRA yang mayoritas para mantan kombatan GAM merasa perlu mempertahankan kemurnian UUPA yang notabenenya undang-undang warisan perdamaian yang harus tetap sesuai keinginan orang Aceh. Kekeliruan MK dalam memahami UUPA berakhir pada gugatan DPRA.Meski digugat, MK tetap bergeming. Mahfud MD selaku ketua MK malah mengatakan konsultasi dengan DPRA tak perlu dilakukan, karena dalam undang-undang MK disebutkan pengujian atau uji materi terhadap undang-undang perlu didengar pendapat DPR atau pihak terkait, kalau diperlukan.

112 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

Disini jelas terlihat antara pasal 269 UUPA dan UU MK saling berbenturan. Dengan adanya ketidaksingkronan antar undang-undang dimaksud. Kini giliran DPRA atau PA dan MK yang saling berhadap-


hadapan.Kedua pihak itu pun sama-sama kokoh pada pendirian masing-masing.DPRA terus menempuh berbagai upaya untuk mengembalikan pasal 256 seperti sedia kala dan MK sebaliknya. Sementara Pemerintah Aceh terus melangkah maju menyokong KIP mempersiapkan tahapan Pemilukada. Sedangkan PA mengancam akan memboikot Pemilukada dengan tidak mengirim wakilnya maju sebagai kandidiat, selama keputusan MK terkait calon dari jalur independen belum dicabut. Kenyataannya KIP Aceh terus melakukan tahapan

Pemilukada

sesuai

keputusan

MK.PA

pun

akhirnya

membuktikan komitmennya dengan tidak ikut mendaftarkan calonnya pada ajang pesta demokrasi terbesar di Indonesia itu. Topik politik pun berganti dengan kesibukan KIP yang melaksanakan tahapan demi tahapan Pemilukada. Mulai memeriksa berkas calon, tes kesehatan, hingga tes baca Alquran. Sementara di sisi lain, PA terus melakukan berbagai perundingan dengan Jakarta terkait ketidaksetujuan mereka terhadap calon independen. Ketika masalah calon independen kemudian mencair, masalah lain pun bermunculan. Partai Aceh yang sudah menerima keberadaan calon

independen,

menyatakan

keinginannya

untuk

kembali

berpartisipasi pada ajang Pemilukada.Namun masalahnya tidak segampang itu, tahapan Pemilukada yang sudah setengah jalan sangat tidak memungkinkan bagi PA untuk bergabung kembali. Meski demikian, DPRA tetap mendesak KPU untuk membuka kembali pendaftaran agar calon kepala daerah yang belum sempat mendaftar memiliki kesempatan dan hak yang sama dengan calon-calon yang sudah mendaftar. Menurut undang-undang yang berlaku, KPU tidak bisa memenuhi keinginan DPRA.Lagi pula tidak ada alasan bagi KPU untuk membuka kembali pendaftaran.Bukankah pendaftaran secara resmi sudah dibuka sebelumnya dan sudah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada semua pihak untuk mendaftarkan diri sebagai calon.

113 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Masalah ini ikut mengundang respon Mentri Dalam Negeri (mendagri) Gamawan Fauzi dengan menggugat KPU ke MK terkait dengan pasal penyelenggaraan Pemilikada Aceh.Gugatan itu dilakukan agar KPU memberikan dispensasi waktu kepada partai politik untuk mendaftar calonnya. Selain Mendagri, usulan untuk menunda Pemilukada Aceh dan membuka kembali pendaftaran calon juga datang dari DPR RI. Dewan mengusulkan hal itu karena melihat kondisi Aceh saat ini sedang memanas.Rangkaian peristiwa kekerasan di Aceh menjelang Pemilukada telah menyita perhatian pusat.Penembakan yang telah menewaskan para pekerja asing di Aceh menjadi alasan penundaan Pemilukada. Wakil ketua DPR RI Priyo Budi Santoso mengatakan jika Pemilukada tetap diteruskan, konflik di Aceh akan tambah memanas. Demi alasan keamanan tersebut, penundaan Pemilukada juga disuarakan sekjen DPP PPP Muhammad Romahurmuziy.Menurutnya, dugaan kuat kekerasan yang muncul di Aceh berkaitan dengan aspirasi sejumlah pihak yang tidak tercapai, sehingga semua itu bisa dijawab dengan penundaan Pemilukada. Namun tidak semua pihak mendukung penundaan Pemilukada. Termasuk Gubernur Aceh Irwandi Yusuf sendiri.Gubernur Aceh menyatakan dengan tegas bahwa tindak kekerasan di Aceh tidak ada kaitannya dengan Pemilukada. Penundaan Pemilukada diyakini Irwandi tidak akan menjamin keamanan di Aceh. Begitupun dengan Bawaslu.Ketua Bawaslu Bambang Eka Cahya menegaskan pihaknya merekomendasikan agar Pemilukada Aceh tak ditunda. Bawaslu beralasan, jika ditunda salah satu tahapan dalam Pemilukada akan menyebabkan tahapan lainnya terhambat. Termasuk menghambat proses pengadaan surat suara dan tahapan lainnya.

114 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

Yang ujung-ujungnya dikhawatirkan KPU dan KIP bakal terkena sanksi pe足langggaran dan sanksi kode etik. Pengamat-pengamat politik dan hukum Aceh pun mulai angkat


bicara, salah satunya seperti Otto Samsuddin Ishak.Otto menilai Mendagri tak perlu melakukan gugatan terhadap MK, karena sejak awal Pemilukada Aceh sudah cacat hukum. Meski demikian, pemerintah masih berupaya mencari jalan agar kisruh Pemilukada Aceh cepat teratasi. Namun di tengah banyaknya benturan-benturan hukum yang dipakai dan pihak-pihak yang saling gugat-menggugat akan membuat persoalan Pemilukada Aceh kian rumit.

Banyak hal yang harus diperhatikan, mulai dari untung rugi

calon yang sudah terlebih dahulu mendaftar, anggaran negara yang sudah terpakai, hingga persoalan keamanan di Aceh. Melihat keinginan banyak pihak yang ingin Aceh tetap dalam bingkai perdamaian, maka langkah yang diambil kedepan harus lebih condong kepada upaya meredam kondisi politik dan keamanan di Aceh yang sedang memanas, yaitu dengan menunda Pemilukada. Untuk menunda Pemilukada dan membuka kembali pendaftaran tidak ada payung hukumnya. Bila calon-calon yang sudah mendaftar tidak ikhlas dengan keputusan tersebut, mereka juga juga akan melayangkan gugatan. Sehingga mau tidak mau kisruh Pemilukada Aceh harus diselesaikan secara politis, karena meakanisme hukum dinilai tidak mampu mnelelesaikannya. Pengamat politik dari Lembaga Centra Politika Gading HS mengatakan

semua

pihak

harus

menyadari

bahawa

proses

pembangunan perdamaian di Aceh beserta produk hukum turunannya dalam hal ini UUPA tercapai melalui mekanisme keputusan politik. Sehingga jalan masuk untuk penyelesaiannya juga harus menggunakan saluran politik. Jadwal pencoblolan yang telah ditetapkan KIP Aceh tinggal beberapa minggu lagi, namun sampai sekarang belum ada kejelasan bagaimana nasib Pemilukada Aceh.MK masih sibuk dengan sidangsidang yang digelar secara marathon.Mendagri pun memperbaiki gugatannya terhadap KPU, Mendagri yang menjadi pemohon agar

115 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


pendaftaran calon dibuka kembali itu menggugat KPU dan KIP. Diselasela itu, para kandidat yang sudah mendaftar pun mengancam akan menggugat mendagri dan KIP bila Pemilukada ditunda. Pemilukada Aceh kali kedua ini sungguh bagaikan memakan buah simalakama. Tak ada pilihan lain, kecuali mengharapkan keiklasan semua pihak terhadap keputusan politik pemerintah atau apa yang diputuskan MK. Para pihak yang terlibat dalam Pemilukada harus melihat proses perpolitikan Aceh yang sedang berjan ini dengan kacamata nurani. Pilih kekuasaan satu periode atau perdamaian untuk generasi mendatang! n

116 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH


Menyelisik Demokrasi Aceh Pasca Pemilukada Oleh Amrizal J. Prang, SH., LLM (Mahasiswa Program Doktor USU, Medan dan Dosen Hukum Tata Negara FH Unimal Lhokseumawe)

A

ceh adalah satu daerah yang mempunyai background historis kontroversial dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kontroversi pertama adalah ketika Acehmembantu

NKRI dalam bentuk bantuan para militer, politik, dan ekonomi menghadapi agresi kedua kolonial Belanda, pada 1948. Sehingga, Presiden, Soekarno, menyatakan Aceh sebagai daerah modal Indonesia. (Nazaruddin Sjamsuddin; 1999:282). Sementara, kontroversi lain adalah pascakonflik tahun 1976-2005 antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sampai akhirnya lahirMoU Helsinki (nota kesepahaman) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki. Pasca perdamaian itu, Presiden Susilo Bambang

117 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Yudhoyono (SBY), menyebutkan Aceh sebagai daerah model perdamaian, diplomasi, dan demokrasi. (Serambi Indonesia, 22/08 2012). Dari pernyataan kedua Presiden tersebut, menunjukkan betapa besar andil dan peran Aceh terhadap pembangunan ekonomi, politik dan demokrasi, sehingga menjadi daerah modal dan model Indonesia. Fenomena ini, tentu saja akan menjadi catatan sejarah dan terus dikenang oleh generasi sekarang maupun akan datang dalam konteks keindonesiaan secara umum dan Aceh khususnya. Penemuan hukum Sejarah memang tidak boleh dilupakan. Hal ini pernah diungkapkan Presiden Soekarno dan Hasan Muhammad Ditiro, pimpinan GAM. “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Namun demikian, jangan pula larut dalam sejarah, karena kehidupan bukan hanya ‘hari kemarin’, tetapi masih ada ‘hari ini’ dan ‘hari esok’, yang keniscayaan akan terus dilalui dengan penuh tantangan. Dalam konteks kekinian hubungan Aceh dalam NKRI, masihkah Aceh sebagai daerah modal dan model? Secara realitas, tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak Sumber Daya Alam (SDA), yang dikeruk dalam perut bumi Aceh dijadikan sebagai pendapatan Indonesia, baik pertambangan minyak, gas, batu-bara, emas, hasil hutan dan alam lainnya. Begitu juga sebagai daerah model demokrasi. Salah satunya, Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), yang dilaksanakan serentak 9 April 2012 lalu, untuk memilih Gubernur/Wakil Gubernur serta 17 Bupati/Wakil Bupatidan Walikota/Wakil Walikota, berhasil digelar secara sukses dan damai. Meskipun, sebelumnya sempat

118 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

menimbulkan korban nyawa dan kekisruhan regulasi. Konsekuensinya, saat proses Pemilukada muncul gugatan dan judicial review (uji materil) UUPA kepada Mahkamah Konstitusi (MK).


Namun, dalam konteks hukum dan demokrasi, gugatan tersebut bukanlah merupakan kecacatan hukum dan demokrasi, tetapi menjadi bagian demokrasi itu sendiri sekaligus hak warga negara dan peserta Pemilukada sebagaimana diatur dalam undang-undang dan konstitusi (UUD 1945). Bahkan, menurut saya, putusan MK Nomor 108/PHPU.D-IX/2011, dihubungkan dengan pengetahuan ilmu hukum adalah satu penemuan hukum (rechtvinding). Menurut MK dalam poin [3.3.5] putusan tersebut, pada dasarnya permohonan secara formil belum memenuhi syarat sengketa pemilihan sebagai kewenangan MK karena masih dalam proses pendaftaran. Sebagaimana, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 joncto Pasal 10 ayat (1) UU No. 24/2003 tentang MK, menyatakan MK memiliki empat kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final, salah satunya memutus perselisihan tentang hasil Pemilu (termasuk Pemilukada). Namun, menurut MK karena proses akan menentukan hasil Pemilukada, jika tidak diputuskan akan menimbulkan ketidakpastian hukum proses dan hasil akhir. Selanjutnya, karena kekhususan Pemilukada Aceh diatur dengan Qanun dan menyangkut hak konstitusionalitas masyarakat, maka MK meng足anggap berwenang menangani gugatan tersebut. Interpretasi (penafsiran) hakim seperti ini merupakan metode rechtvinding, melalui interpretasi teleologis atau sosiologis. Disini peraturan

perundang-undangan

(UUMK)

disesuaikan

dengan

hubungan dan situasi sosial (Aceh) yang baru. Hal ini dibenarkan bagi hakim berdasarkan asas ius curia novit (hakim dianggap tahu hukum). (Soedikno Mertokusumo, 1993:15). Terlepas pro-kontra putusan tersebut, namun penemuan hukum oleh hakim berupa putusan pengadilan adalah hukum dan berlaku sebagai positif (Res judicata proveritate habetur).

119 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Pasca-Pemilukada Pemilukada Aceh 9 April 2012, boleh dikatakan perhelatan demokrasi yang melelahkan dan berlarut-larut. Meskipun demikian, akhirnya terlaksana dan terpilih Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf dari Partai Aceh (PA), serta pada 26 Juni 2012 lalu dilantik menjadi Gubernur/ Wakil Gubernur Aceh. Keberadaan mereka dalam Pemerintahan Aceh saat ini tentu saja tidak terlepas dari pilihan rakyat. Oleh karena itu, ketika sudah menjadi bagian supra struktur politik (pemerintahan), maka bukan lagi milik PA an sich, tetapi sudah menjadi milik rakyat Aceh. Ekspektasi rakyat bahwa mereka yang dipilih secara demokrasi, akan menjunjung demokrasi dalam menjalankan roda pemerintahan. Ada lima prinsip utama dalam suatu pemerintahan demokratis: pertama, adanya hak yang sama antara rakyat yang satu dengan lainnya (equality before the law). Kedua, adanya partisipasi efektif yang menunjukan adanya proses dan kesempatan sama bagi rakyat. Ketiga, adanya “kemengertian yang tercerahkanâ€? (enlightened understanding) yang menunjukan bahwa rakyat mengerti dan paham terhadap keputusan yang diambil negara (daerah). Keempat, adanya kontrol akhir yang diagendakan oleh rakyat (final control on the agenda by the demos), yang menunjukkan rakyat memiliki kesempatan istimewa untuk membuat keputusan. Dan, kelima,inclusiveness, yakni suatu pertanda yang menunjukkan bahwa yang berdaulat adalah seluruh rakyat. (Samugyo Ibnu Re­djo, 2001: 73-74). Lalu, adakah pasca-Pemilukada Pemerintahan Aceh sudah menjalankan prinsip-prinsip demokrasi? Menelisik kelima prinsip di atas dan mengkomparasikan dengan realitas, implementasi demokrasi di Aceh boleh dikatakan belum maksimal. Artinya, meskipun prinsip demokrasi dilaksanakan namun masih terkesan formalitas.

120 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

Misalnya, dalam konteks legal policy (politik hukum) pembentukan Qanun Lembaga Wali Nanggroe (LWN), yang secara materil sudah sah karena sudah disetujui eksekutif dan legislatif. Meskipun, secara


formil masih memerlukan executive review (Mendagri) dan pengesahan gubernur. Dalam pembentukannya, legislatif telah memenuhi prinsip demokrasi dengan melibatkan masyarakat melalui proses partisipasi publik atau Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Namun sayangnya, sebagian substansi (materil) qanun belum memihak pada kedaulatan rakyat. Antara lain, tidak adanya syarat mampu baca Al-Qur’an, sebagaimana syarat calon pemimpin lain dalam pemerintahan; hak imunitas Wali Nanggroe tanpa batasan ruang dan tempat, sehingga dapat ditafsirkan kebal hukum; dan, membatasi syarat menjadi Wali Nanggroe harus pasih bahasa Aceh. Bukankah, selain etnis Aceh, terdapat etnis-etnis lainnya, seperti Gayo, Alas, dan Aneuk Jamee, tidak bisa berbahasa Aceh secara pasih? Implikasinya, dikhawatirkan qanun tersebut akan bermasalah dikemudian hari, ditolak atau digugat oleh masyarakat Aceh. Bentuk ini yang disebut Mahfud MD, sebagai produk hukum konservatif/ortodoks/elitis. Dimana,

isinya

lebih

mencerminkan

visi sosial elit politik, keinginan pemerintah, bersifat positivis instrumentalis.Sifatnya lebih tertutup terhadap tuntutan kelompok maupun individu dalam masyarakat.Berbeda dengan produk hukum responsive/populis, yaitu mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat, proses pembuatannya memberikan peranan dan partisipasi penuh kelompok sosial atau individu. (Mahfud MD, 1998:25). Akhirnya, kalau kaedah hukum Qanun LWN hanya berlandaskan yuridis semata, maka akan menjadi kaedah yang mati (dode regel). Sementara, jika hanya berlandaskan sosiologis dalam arti machttheorie/ power theory (teori kekuasaan), maka akan menjadi aturan pemaksa (dwangmaatregel). Sedangkan, jika hanya mengacu landasan filosofis (konteks Aceh atau Indonesia), maka jadilah sebagai qanun yang dicita-citakan (ius constituendum), tanpa bisa dilaksanakan. Untuk itu, agar terwujudnya Aceh yang demokratis serta good

121 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


governance, maka keniscayaan ditegakkannya supremasi hukum, equality before the law, transparansi, peduli pada stakeholder, berorientasi pada konsensus,efektifitas dan efesiensi, akuntabilitas, visi strategis dan inclusive. Kalau prinsip-prinsip ini tidak diwujudkan de­ngan baik, saya khawatir kedepan yang muncul di Aceh adalah demokrasi formalitas. Wallahu’alam. n Lhokseumawe, 6 November 2012

122 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH


Gerakan Politik Perempuan Aceh Oleh: Abdullah Abdul Muthaleb (Manager Program dan Operasional LSM Masyarakat Transparansi Aceh)

D

emokrasi dan partai politik seperti dua sisi mata uang.Bahkan sering dikatakan tak ada demokrasi tanpa partai politik.Begitu pun halnya dalam konteks Aceh.Perubahan fundamental yang

diidamkan sangat ditentukan oleh dinamika politik. Dengan dinamika politik sehat, maka pengelolaan sumber daya pembangunan akan mampu direncanakan dan dialokasikan dengan baik. Tetapi, menjadi sia-sia ketika partai politik lebih banyak “membawa mudharat” ketimbang kebaikan.Fakta selama ini menunjukkan bila partai politik justru masih berselemak masalah krusial, yang dapat disembuhkan dengan resep “demokratisasi internal”.Dalam konteks ini, keberadaan dan kiprah politik perempuan sebagai kader sekaligus politisi sejati

123 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


menjadi urgen untuk direalisasikan dalam kancah perpolitikan Aceh saat ini. Demokratisasi Partai Politik Demokratisasi partai politik merupakan sebuah upaya secara serius dan kontinu dalam tubuh partai politik dengan menerapkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas dan partisipasi dalam setiap proses dan kegiatan partai politik, tanpa mengabaikan gender mainstreming. Dalam proses ini, tetap dikedepankan pendelegasian wewenang dan otonomi yang diatur secara jelas sehingga pola pengambilan keputusan dan kebijakan partai politik berlangsung secara demokratis pula. Demokratisasi dimaksud meliputi tujuh variabel penting yaitu kepengurusan partai, seleksi kandidat legislator, seleksi kandidat kepala daerah, pengambilan kebijakan partai, pemilihan pimpinan partai, transparansi dan akuntabilitas, serta mainstreaming gender. Ketujuh variabel ini harus dilakukan secara optimal menuju demokratisasi partai politik.Tulisan ini akan difokuskan pada bagaimana seharusnya gendermainstreaming menjadi perhatian partai politik di Aceh? Terobosan apa saja yang mesti segera menjadi fokus partai politik? Lalu dimana civil society berperan agar arah gerakan politik perempuan tidak maju selangkah, sekaligus mundur dua langkah? Pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) merupakan sebuah strategi yang kini semakin digalakkan di Indonesia, termasuk dalam bidang pembangunan politik.Upaya strategis ini mengalami pasang surut, termasuk dalam paket undang-undang politik.Dari hasil kajian penulis, rumusan paket undang-undang tersebut, isu

124 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

gendermainstreaming memang menunjukkan perubahan positif.Jika pada UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, isu ini sama sekali tidak ada, maka pada regulasi berikutnya baik UU No. 31 Tahun


2002, UU No. 2 Tahun 2008, hingga UU No.2 Tahun 2011 sebagai perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 itu, semakin terbuka peluang bagi perempuan untuk lebih eksis di partai politik (termasuk menuju kursi di parlemen) semakin terbuka lebar. Demokratisasi partai politik di tingkat kepengurusan partai politik ditegaskan jika pada setiap tingkatan yang harus dipilih secara demokratis sesuai AD dan ART, termasuk dalam pengambilan keputusan partai politik di setiap tingkatan.UU juga menentukan bahwa kedaulatan partai politik berada ditangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART.Dan anggota partai politik mempunyai hak dalam menentukan kebijakan serta hak memilih dan dipilih. Aspek transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan partai politik juga telah didiatur, termasuk aspek gender yang membicarakan soal kepengurusan partai politik dan pendidikan politik. Secara keseluruhan, penulis melihat adanya perubahan penting gendermainstreaming dalam partai politik. Perubahan ini mengaju pada tujuh variabel di atas.Dengan demikian, menguatnya gerakan advokasi politik perempuan dalam kepengurusan sebuah partai politik bukan tanpa sebab.Upaya ini guna meningkatkan jumlah legislator perempuan di parlemen, termasuk Aceh.Tetapi, posisi parlemen akan mudah dicapai jika demokratisasi partai politik sudah memberikan peran starategis bagi perempuan untuk menjadi kader potensial. Sebab, menurut Anie Soetjipto1 keberadaan kader perempuan dalam partai politik mempunyai beberapa fungsi strategis. Fungsi tersebut mulai dari peluang akan lahirnya perubahan prioritas politik partai politik dan budaya internalnya. Di samping itu, keterlibatan perempuan sebagai pengurus harian partai akan mampu mempengaruhi pembuatan keputusan partai. Harus diingat pula bahwa partisipasi perempuan secara aktif tidak saja dalam merubah Anie Soetjipto merupakan salah seorang akademisi Fisipol Univ. Indonesia. Ia juga dikenal luas sebagai aktivis perempuan yang banyak melakukan riset dan menuliskan buku tentang gender dan politik di Indonesia. Beberapa bukunya seperti Politik Perempuan Bukan Gerhana: Esai-Esai Pilihan (2005), Menyapu Dapur Kotor: Refleksi Perempuan dan Politik Era Reformasi (2010), dan Politik Harapan: Perjalanan Politik Perempuan Indonesia Pasca Reformasi (2011). 1

125 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


demokrasi internal partai, tapi juga dalam program-program yang dilakukan oleh partai politik yang lebih pro-rakyat dan kelompok marginal. Tidak kalah penting juga jika keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan politik juga dapat mencegah terjadinya diskriminasi terhadap perempuan yang selama ini terjadi dalam masyarakat seperti diskriminasi di tempat kerja, perlakuan hukum dan ekonomi dan dan berbagai bentuk diskriminasi yang lain. Namun, harus disadari bahwa advokasi untuk meningkatkan gerakan politik perempuan baik di partai politik hingga ke parlemen, bukan hal mudah.Selain dihadapkan pada sisi internal perempuan itu sendiri, penulis juga melihat beberapa masalah yang hingga kini masih terjadi dalam partai politik di Aceh.Pemahaman dan kesadaran para pengambil keputusan mengenai kebijakan afirmatif untuk perempuan dalam partai politik masih bermasalah. Afirmatif tersebut masih sekedar memenuhi angka, bukan pada tataran subtantif.Ironis memang ketika elit tersebut memaknai identitas perempuan sebagai jenis kelamin.Padahal yang diinginkan gerakan perempuan ialah kebijakan afirmatif untuk perempuan sebagai identitas gender.Jadi mereka merasa tidak bersalah ketika sudah mencalonkan 30 persen perempuan dengan kualifikasi tertentu.Hal tersebut sudah dianggap sangat progresif.Padahal jika gerakan politik perempuan menghendaki yang masuk dan dicalonkan oleh partai adalah perempuan dengan ideologi gender yang matang. Bukan sekedar perempuan, tapi juga punya kapasitas, moralitas dan integritas yang baik. Tak dapat dipungkiri pula bila masih adanya persoalan internal partai politik dalam melakukan seleksi kandidat yang tidak menguntungkan perempuan. Penulis melihat jika bidang atau

126 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

departemen pemberdayaan perempuan tidak terlibat secara totalitas dalam proses pengambilan keputusan kunci elit partai. Selain itu, isu gendermainstreaming yang menitikberatkan pada upaya peningkatan


peran strategis perempuan dalam partai politik masih dihadapkan pada kendala yang bersifat kultural. Persoalan ini dikarenakan konsep kesetaraan dan keadilan gender di bidang politik tidak terlepas dari konsep pembangunan pemberdayaan perempuan secara umum di Indonesia.Ditambah lagi dorongan dari internal partai politik sendiri untuk meningkatkan derajat demokratisasi yang tak mengabaikan peran strategis perempuan didalamnya masih amat terbatas. Ragam persoalan di atas menyebabkan kompisisi parlemen yang menempatkan perempuan sebagai politisi di parlemen masih sangat minim. Di DPR RI saja, kuantitas perempuan sebagai legislator belum pernah tembus angka 20 persen, sejak tahun 1950 hingga sekarang. Begitupun, secara keseluruhan upaya mengintervensi perempuan dalam partai politik dan parlemen cukup membawa hasil. Menurut Ani Soetjipto, jumlah perempuan di parlemen tingkat nasional meningkat dari 11,6 % pada Pemilu 2004, menjadi 18% pada Pemilu 2009, dari 65 orang menjadi 101 orang. Penambahan juga terjadi di DPD, dari 21% menjadi 27,7%, atau dari 27 orang menjadi 36 orang, dari total anggota DPD sebanyak 132 orang. Sedangkan di tingkat provinsi, perwakilan perempuan juga bertambah, dari 10% menjadi 21%, atau dari 374 orang menjadi 1.778 orang dari 33 provinsi di Indonesia. Sayangnya, Aceh mengalami stagnasi sehingga provinsi ini secara nasional berada pada ketegori “rendah�.Pada level provinsi, baik Pemilu 2004 maupun Pemilu 2009, jumlah perempuan yang terpilih hanya 4 orang. Sedangkan secara keseluruhan, baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota, pada kedua Pemilu itu, jumlah legislator perempuan masing-masing sebanyak 42 orang (2004) dan 49 orang (2009). Bahkan saat ini terdapat tiga DPRK di Aceh tanpa politisi perempuan, seperti Aceh Jaya, Aceh Selatan. Dan enam DPRK lainnya hanya mempunyai satu politisi perempuan, yaitu Banda Aceh, Aceh Besar, Bener Meriah, Aceh Utara, Aceh Barat, dan Gayo Lues. Kondisi ini ditegaskan sebagai dampak dari proses direkrutnya

127 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


perempuan hanya untuk memenuhi kuota yang ditetapkan sebesar 30 persen saja. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar calon-calon ini tidak memperoleh cukup suara individual untuk dipilih. Dengan kata lain dapat dikatakan jika beberapa calon merupakan politisi yang tidak berpengalaman yang direkrut hanya untuk memenuhi kuota, dan tidak melakukan kampanye secara aktif. Banyak calon perempuan tidak dikenal masyarakat, kecuali oleh pengurus partai politik sendiri. Sebab, tidak sedikit diantara mereka merupakah “ahli famili� atau “persahabatan� dari kalangan internal saja. Otomatis, situasi demikian amat memprihatinkan.Di satu sisi, terkesan bahwa keberpihakan perempuan pada partai politiknya tak sesuai dengan yang mereka dapat dari partai politiknya.Tetapi di sisi lain, politikus perempuan yang berada dalam struktur pengurus inti dalam partai politik, baik pada level DPP, DPW, DPD hingga DPC, sebagai pihak yang menentukan kebijakan masih cukup terbatas. Kondisi tentu akan berdampak tidak baik di tengah demokratisasi partai politik yang masih jauh panggang dari api. Dapat ditebak jika kemudian calon legislatif perempuan tidak terlibat dalam mekanisme penempatan nomor urut akhir pencalegan. Pengalaman penulis selama lima tahun terakhir pun dalam berelasi dengan puluhan anggota parlemen perempuan di Aceh menunjukkan bahwa adanya serangkaian hambatan bagi mereka untuk lebih terlibat dalam kepartaian. Selain sistem yang ada cenderung diskriminatif, juga dibarengi dengan rasa percaya diri akan kapasitas yang dimilikinya. Akibatnya, keterwakilan perempuan baik dalam kepengurusan partai politik hingga menjadi calon legislator dan pemimpin di daerah semakin terbatas.Perempuan menghadapi dua tahapan sekaligus yaitu tahap penentuan bakal calon dan tahapan pemilihan yang

128 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

notabene dibutuhkan kemampuan berkompetisi dengan laki-laki. Di sisi lain, mereka juga acapkali terkendala dengan dana kampanye, termasuk setelah lolos jadi calon legislatif adalah luasnya


daerah pemilihan. Beberapa riset menunjukkan bahwa semakin kecil kursi yang diperebutkan di suatu daerah pemilihan maka semakin kecil perempuan terpilih.Sebaliknya, semakin besar daerah pemilihan maka semakin besar peluang calon legislator perempuan untuk terpilih asalkan perempuan tersebut berada pada nomor jadi. Lima Tesis Versi Faridah Pembicaraan antara keterwakilan perempuan dan parlemen menarik untuk dicermati pada empat faktor eksistensi partai politik oleh Faridah (2006) dalam penelitiannya tentang “Kebijakan Partai Politik Dalam Meningkatkan Keterwakilan Perempuan di Parlemen (Studi Kasus Partai Golkar Periode 2004-2009”. Ia menguraikan bahwa: HULU: Pengarusutamaan Gender di Partai Politik

1.

Mekanisme internal mendorong ke arah otonomi anggota berha­ dapan dengan fraksi

2.

Pengawasan proses legislasi di parlemen oleh gerakan perem­ puan.

3. 4.

HILIR: Pengarusutamaan Gender di Parlemen

1.

Pengkaderan dengan modul materi berperspektif gender

2.

AD/ART mendorong 30% dalam kepengurusan partai

3.

Tindakan afirmatif dalam posisi pimpinan alat kelengkapan (wajib)

Paradigma kepartaian yang pro keadilan dan kesetaraan

4.

Kaukus berdasarkan isu pro ke­ setaraan gender.

Pencalonan legislatif memuat 30% perempuan

5.

Afirmatif mendorong keterpilihan caleg perempuan lebih besar.

Pertanyaannya adalah bagaimana dengan Aceh? Apakah lima tesis Faridah berlaku? Atau apakah demokratisasi internal, baik di partai lokal maupun partai nasional di Aceh sudah cukup serius menjadikan perempuan sebagai kader sekaligus politisi yang “setara” dengan lakilaki? Apakah mekanisme rekrutmen, format kepengurusan, hingga

129 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


proses pengambilan keputusan sudah benar-benar responsif dengan perempuan sebagai aktor politik? Deretan pertanyaan ini idealnya menjadi pangkal kajian selanjutnya untuk melihat sejauhmana peta politik Aceh yang berubah pasca-damain terhadap politik perempuan secara keseluruhan.Berdampak positif ataukah malah sebaliknya. Arah Gerakan Politik Perempuan Lalu, dari mana memulai gerakan untuk mengoptimalkan advokasi politik yang gender mainstremaing ini dimulai? Menurut Ani Soetjipto, gerakan advokasi harus dilakukan baik di hulu maupun di hilir. Tidak cukup hanya berhenti pada level partai politik, atau hanya fokus di parlemen, tetapi keduanya harus dilakukan secara paralel.

1. Semakin terpusat stuktur partai politik yang bertanggungjawab, maka semakin besar kesempatan bagi keterwakilan perempuan; 2. Semakin melembaga sebuah partai politik, yaitu diatur oleh seperangkat aturan yang transparan, non diskriminasi, dapat dipahami dan adil, semakin terbuka bagi rakyat di luar struktur tradisional, termasuk perempuan untuk menjadi calon; 3. Partai yang melekat pada ideologi progresif secara sosial lebih mungkin men足 dukung wakil perempuan, karena pemikiran egalitarianisme dan dukungan mereka, secara umum, bagi mereka yang berada di luar struktur kekuasaan tradisional; 4. Semakin tinggi jumlah aktivis perempuan diantara anggota partai politik, dan khusunya yang berkerja di dalam kantor eksekutif internal partai politik, sema足 kin besar pula kesempatan bagi perempuan untuk terpilih dalam pencalonan kontes yang mungkin dimenangkan.

Makanya, elemen masyarakat sipil di Aceh harus terus mendorong partai politik untuk melakukan demokratisasi internal yang secara proaktif mengakomodasikan suara dan kepentingan perempuan

130 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

didalamnya.Setelah itu, dilanjutkan dengan memfokuskan advokasi pada upaya meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Menurut penulis, perlu terus didorong perubahan dalam struktur


dan arah agenda kerja internal partai politik yang lebih demokratis, transparan yang memungkinkan perempuan dapat terlibat menjadi anggota atau fungsionaris dalam partai tersebut. Selain itu, tetap dibutuhkan reformulasi tentang kualifikasi menjadi kandidat legislatifdengan prinsip kesetaraan gender yang harus dapat diukur dan transparan. Dengan demikian, perempuan lebih mudah untuk kiprah dan berkompetisi dalam mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif. Proses ini dapat beriringan dengan membentuk sejenis task force yang bertugas mengkaji ulang berbagai aturan dan kebijakan dalam perekrutan kandidat dan posisi kepemimpinan dalam partai politik. Jika hal itu sudah dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana menjadikan partai politik dapat merealisasikan minimal 20%-30% calon legislatif perempuan yang didasarkan pada penetapan metode silang.Nama-nama calon legislatif dituliskan secara berselangseling antara laki-laki dan perempuan.Ini artinya, bukan dimulai dengan nomor urut tiga bagi calon perempuan. Tentu, ini harus didahului pada ranah “hulu� dengan mendorong adanya minimal 30% perempuan sebagai calon anggota pengurus partai politik sehingga tersedia personal-personal yang siap menjadi aktor politik yang ikut kompetisi (Pemilu). Sebab, bagaimana mungkin warna parlemen akan berubah, jika partai politik sendiri belum berubah? Terakhir, dan ini yang amat mengelitik dalam penalaran penulis adalah bagaimana peran civil society sendiri.Apakah selama ini advokasi hanya menyentuh personal perempuan politik, dan mengabaikan partai politik sebagai sebuah institusi?Lalu, apakah sudah begitu mendesakkan bagi aktivis perempuan untuk terjun bebas menjadi politisi? Atau hanya masih relevan untuk menjadi “teman belajar�, berperan sebagai penyedia forum fasilitasi dalam berbagai training bagi calon legislatif dan anggota parlemen untuk capacity building? Ini tentu menjadi sebuah anomali.Satu sisi, kualitas

131 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


calon yang belum siap terus disorot oleh publik, tetapi di sini lain, banyak aktivis perempuan sendiri dengan kapasitas yang memadai masih “enggan� untuk menjadi aktor politik. Penutup Dorongan semakin aktifnya perempuan dalam politik di Aceh bukan berarti hanya sekadar memperbanyak kursi parlemen yang diduduki perempuan.Itu hanya bagian kecil dari cita-cita mulia advokasi bagi perempuan politik.Penulis meyakini bahwa tujuan tekad ini melampai batas-batas hitungan matematis, sekadar persentase antar Pemilu.Semua ini adalah semangat mewujudkan keadilan bagi politik perempuan yang tak hanya untuk perjuangan hak individu, tetapi sebagai praktik nyata untuk menjaga kelangsungan damai berkeadilan di Aceh.Politik tanpa perempuan telah menunjukkan kegersangan dalam kehidupan. Karena itu pula, layak kiranya jika partai politik lokal dan partai politik nasional yang ada di Aceh, dapat disebut semakin demokratis apabila suara perempuan tak lagi sekadar didengar, tetapi harus dilibatkan secara total dalam partai politik. Inilah warna baru perpolitikan yang diharapkan, the reallypolitics of hope for Aceh. n

132 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH


Kekuatan Demokrasi yang Tersembunyi Oleh: Daspriani Y Zamzami (Jurnalis di Banda Aceh)

T

ak perlu heran, jika partisipasi perempuan selaku politisi untuk ikut sebagai kontestan dalam Pemilukada di Aceh April 2012 sangat sedikit, bahkan mungkin lebih sedikit

dari pemilu legislatif 2009. Alasannya masih sama, kurang kuatnya dukungan terhadap calon-calon politisi perempuan, bahkan dari kaum perempuan itu sendiri, hingga rasa kurang percaya diri dan tidak diberi kepercayaan oleh pihak laki-laki. Politik antara kekuatan dan sedikit kelicikannya memang memberi apriori kepada kaum perempuan, termasuk perempuan di Aceh. Tak sanggup menjalankan demokrasi dengan hal-hal yang diluar kekuatan dan rasa kemanusiaan serta kejujuran, juga menjadi

133 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


alasan ketidakmampuan atau bisa dikatakan ketidaksetujuan kaum perempuan untuk bermain diranah politik.Namun demikian, jika ditilik lebih jauh kedalam, justru kiprah-kiprah demokrasi lebih banyak dilakukan perempuan dalam kesehariannya. Hal paling kecil sangat terlihat bagaimana ketika para kaum peremuan ini kemudian berkumpul bersama dalam kelompok pengajian atau “diskusi� harian di pedesaan. Disana mereka biasa membahas suatu masalah dan kemudian mencari solusinya. Muncul menjadi pemimpin dirumah tangga manakala suami tak lagi mampu atau bahkan tidak ada lagi sama sekali, dilakukan langsung tanpa harus menunggu intruksi dari siapapun. Kemudian memberi dan membagi tugas kepada anak-anak dirumah agar kehidupan rumah tangga bisa berjalan dengan baik, walau harus tertatih.Tugas-tugas memimpin seperti ini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari aktifitas kehidupan perempuan. Di sebuah desa pelosok Kabupaten Aceh Selatan, saya menemukan ada banyak praktik demokrasi yang dilakukan kaum perempuan tidak hanya untuk kaumnya sendiri, bahkan untuk seluruh komponen masyarakat.Saya menemukan sosok Bunyani, perempuan muda yang aktif menjadi anggota tuha peut di desanya. Keberadaan Bunyani sebagaituha peut

memberi angin segar dan kemudahan

bagi masyarakat Desa Alay, Kecamatan Kluet Timur, Aceh Selatan, khususnya kaum perempuan. Dimana mereka merasa lebih nyaman menguraikan sesuatu yang menjadi masalah bagi mereka baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan sosial lainnya. Sosok lain yang pernah saya temui adalah sosok Raibah. Banyak hal yang kini digeluti Raibah di tengah warga, yang membangun spirit kebersamaan dan kebijaksanaan serta membangun jiwa

134 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

kepemimpinan dilingkungan masyarakat didesanya. Â Antara lain, ia menjadi paralegal bagi warga desanya, sehingga setiap permasalahan bisa diselesaikan dengan hukum, baik itu hukum adat maupun


hukum positif. Masyarakat menjadi melek hukum.Selain itu, Raibah juga menjadi anggota Forum Pala, sebuah organisasi petani pala di tempatnya, dan Ketua Koperasi Sukses di Desa Kemumu Hulu, Kecamatan Labuhan Haji Timur.Aktifitas-aktifitas ini selalu memberi kesempatan bagi masyarakat untuk bisa memanage diri mereka menuju kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan fisik dan mental. Kedua perempuan ini mulai berpikir, memajukan rakyat, menyamakan perlakuan didalam aktifitas mereka sebagai warga, serta memberi pendidikan lebih maju, adalah bagian dari demokrasi, tanpa harus berpolitik. Jadi politik tak sekadar urusan perburuan kekuasaan semata, tapi juga sebagai panggilan (perasaan) kemanusiaan.Persis pada titik inilah relevansi serta urgensi kebangkitan nalar kekuasaan perempuan Aceh ini.Karena seperti yang kita lihat, realitas (eskalasi) politik Aceh hari ini sudah tercerabut dari perasaan kemanusiaan, dengan kian masifnya politik anti-nalar. Untuk itu para perempuan “perkasa� ini harus betul-betul melakukan persiapan yang matang dan sungguh-sungguh dalam memanage aktifitas kesehariannya dalam mengurus berbagai kebutuhan masyarakat sekitarnya, yang terkait dengan upaya penyelesaian persoalan mendasar masyarakat dan kepemimpinan. Makin majunya zaman, tentu semakin tinggi pula tantangan global yang harus dihadapi kaum perempuan. Untuk Aceh, pasca mangkatnya para ratu dan pejuang perempuan di Aceh, sepertinya kondisi lingkungan semakin menutup peluang berdemokrasi bagi kaum perempuan. Faktor kemiskinan dan minimnya pendidikan, yang ditunjang oleh konflik bersenjata semakin memperkeruh pandangan mata perempuan terhadap demokrasi. Kabut itu, baru-baru ini saja mulai sedikit demi sedikit tersibak.Ini dibuktikan dengan mulai maraknya aktifitas perempuan, meski baru hanya tingkat gampong.Adanya perempuan-perempuan pemegang

135 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


jabatan sebagai tuha peut, kepala desa, bahkan camat, hingga aktifis pos yandu dan PKK, membuka tirai kelamnya ruang demokrasi bagi perempuan di Aceh. Bahkan aktitifitas musyawarah rencana aksi perempuan (musrena) yang sekarang mulai aktif dilaksanakan.Dalam musrena ini, kini perempuan tidak lagi hanya menjadi objek pembangunan, melainkan subjek dari pembangunan di kawasan tersebut.Kondisi ini tentunya memberikan pencerahan terhadap perkembangan perempuan dan kekuatan demokrasi yang dimiliki oleh kaum hawa ini. Masrizal, MA, pengamat politik dan akademisi, dalam sebuah tulisannya menyatakan, tiga upaya yang bisa diberikan kepada perempuan dalam menghadapi tantangan global. Pertama, upaya menanamkan kesadaran pada perempuan untuk menghargai dirinya sebelum dihargai orang lain. Hal ini bisa dilakukan baik melalui pendidikan formal maupun informal.Melalui pendidikan dihadapkan perempuan memperoleh ilmu dan keteladanan.Sehingga dengan ilmu dan keteladanan itu, mereka bisa menggali dan menumbuhkembangkan potensi dirinya. Ketika potensinya berkembang, maka akan melahirkan kemandirian. Kedua, upaya mengamalkan ajaran agamanya.Agama memberikan panduan kepada perempuan tentang bagaimana mereka mesti bersikap dalam mengarungi kehidupan ini. Melalui tuntunan ajaran agama para perempuan akan terselamatkan dari berbagai perbuatan yang tak bernilai manfaat, bahkan tercela. Perempuanpun bisa berkontribusi dalam kehidupannya secara seimbang di berbagai bidang kehidupan baik domestik maupun publik sesuai tuntunan agama. Dengan tuntunan agama itulah perempuan akan terus bisa berkontribusi membangun bangsa ini menjadi lebih baik. Perempuan

136 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

Aceh, adalah bagian dari sejarah Aceh yang idealnya berorientasi untuk memerdekakan diri mereka sendiri dari berbagai bentuk hegemoni politik dan ekonomi (baru).


Ketiga, meningkatkan kapasitas perempuan. Setelah perempuan sadar akan kondisinya, dan mengamalkan ajaran agamanya, maka dalam hal ini pemerintah ataupun lembaga sosial perlu sejak dini meningkatkan kapasitas perempuan sesuai dengan hasil pemetaan sumberdayayang telah dilakukan. Tak hanya sekadar memberikan pelatihan akan tetapi ada tindak lanjut dan manfaat langsung yang dirasakan. Perempuan adalah aset bangsa yang diharapkan bisa menjadi pilar dalam memajukan bangsa. Ketika kapasitas mereka meningkat, Insya Allah kontribusinya juga akan semakin meningkat. Dalam hal ini perempuan juga mesti sadar akan empat hal, yakni: apa saja kekuatan mereka, apa kelemahannya, tantangan apa yang mereka hadapi dan kesempatan apa saja yang bisa diraih. Sehingga kontribusi dan peranan yang dilakukan bisa lebih terukur dan berdaya guna. Keberhasilan perempuan menghadapi berbagai tantangan zaman ditandai dengan terhindarnya perempuan dari korban budaya, life style dan konsumeristik. Untuk itu, perlu terus didorong agar perempuan meningkatkan wawasan keilmuan.Perempuan pun harus mampu mempersiapkan generasi yang dapat merubah peradaban ini menjadi bermartabat. Suksesnya perempuan juga tidak terlepas adanya lingkungan kondusif, serta adanya keseimbangan dalam peran di sektor domestik dan publik yang memang keduanya penting. Disadari atau tidak, inilah potensi yang tersembunyi, yang memiliki kekuatan dahsyat untuk membentuk suatu wilayah tangguh dan bermartabat. Sepertinya kita tidak perlu menunggu, untuk memunculkan kekuatan ini menjadi sebuah gelombang pembangunan yang luar biasa, untuk menuju masyarakat sejahtera dan daerah madani, jika semua saling memahami bahwa membangun perlu kerja bersama dan semua pihak menjadi subjek dalam pembangunan. n

137 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


138 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH


Menggelitik Inong Aceh Oleh: Murizal Hamzah (Editor buku Dari Aceh ke Helsinki)

T

idak dibantah lagi, perempuan Aceh menjadi salah satu ujung tombak pada masa konflik.Ghalibnya, mereka seolaholah tergeser dalam koridor perdamaian. Jika ditilik secara

cermat, sejak palu godam Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh dihajar pada 1989 hingga diteken Nota Kesepakatan Damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tahun 2005, perempuan rajin mengulirkan protes-protes kecil hingga besar. Sebaliknya, pasca RI-GAM berjabat tangan, peran yang dulu ikut dilakoni perempuan, secara bertahap dan terstruktur, nyaris terdepak ke sudut-sudut relung gelap-gulita. Menelaah rangkaian konflik Aceh, maka perempuan yang terparah

139 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


terimbas jeratan konflik vertikal.Mereka diperkosa atau disuguhi pelecehan seksual sebagai bagian dari shock theraphy untuk mematikan tuntutan keadilan.Naluri keibuan yang memompa keberanian untuk hilik-mudik di antara ujung bedil pihak yang bertikai.Mereka siap menerima risiko mengevakuasi mayat di hutan atau tepi jalan.Kaum Hawa juga rajin berdemo ke markas militer untuk memohon warganya dibebaskan.Di mana kaum Adam berada kala itu? Dengan alasan keamanan, kaum pria tiarap di rumah atau menyelamatkan diri ke wilayah lain. Jangan lupakan, perempuan juga merintis perdamaian di Bumi Seulanga ini melalui hajatan Duek Pakat Inong Aceh.Kongres perempuan Aceh pertama ini dihadiri 437 peserta pada Februari 2000.Gebrakan perempuan bersinar pada masa konflik lalu terkesan sirna di ruang damai.Kelaziman daerah pascakonflik dikenal siklus perdamaian yaitu peace making, peace keeping dan peace building.Dalam tiga fase itu, perempuan berperan menjadi juru perdamaian, membuat komitmen dan sebagainya. Aceh memang ironi. Dalam dentuman senjata, banjir air mata plus darah bersimbah, perempuan aktif menggeliat. Justru dalam alam perdamaian, suara mereka tenggelam atau kembali ke ranah pribadi dari ranah publik. Pada masa kegalauan, mencuatlah antara lain Farida Hariyani yang pada 1999 dan Suraiya Kamaruzzaman yang tahun 2001 meraih penghargaan Yap Thiam Hien Award untuk mereka yang berdedikasi di bidang hak asasi manusia dan kemannusiaan. Pertanyaan selanjutnya, di mana peran perempuan pada masa damai?Apakah tugasnya sudah selesai?Atau disingkirkan melalui topeng regulasi atau faktor sosial?Di mana mereka sekarang?Apa yang mesti dilakukan?Jika telah bertindak, apakah gaungnya terlempar ke pelosok dusun?

140 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

Perdamaian Aceh masih seujung kuku. Merawat perdamaian sama sulitnya mengiring pihak yang bertikai ke meja dialog. Damai tidak hanya diartikan tidak terdengar lagi salak senjata, kondisi bebas


dari kekerasan atau peperangan.Arti perdamaian lebih luas yakni mendorong terwujud keadilan sosial ekonomi yang seimbang antara perempuan dan laki-laki secara proporsional. Pada sudut lain, perdamaian Aceh bukan milik sepihak. Ketika konflik membahana, perempuan yang menjadi orang tua tunggal karena suami hilang atau disandera oleh pihak tertentu. Perempuan Papua dan Aceh mengalami tragis yang sama yakni dipaksa ke hutan untuk mencari suaminya. Salah satu pihak yang mampu mengisi relung-relung perdamaian ini adalah kaum perempuan.Setengah dari sekitar hampir 5 juta penduduk Aceh adalah kaum hawa.Dengan kekuatan itu menjadi modal perempuan untuk melakukan hal-hal mendasar seperti masalah ekonomi keluarga, kesehatan dan pendidikan.Perempuan lebih memahami masalahnya daripada kaum lelaki yang kadangkala sok paham tapi tidak bisa mengerti. Bagaimana

cara

perempuan

mengisi,

merawat

dan

mempertahankan perdamaian di Bumi Cut Nyak Dhien ini? Tidak ada kata lain, perempuan yang memiliki modal sosial, kapasitas dan jaringan ke akar rumput, layak ditandu bertanding ke jalur legislatif dan eksekutif. Perubahan kesejahteraan atau kebijakan bisa digulirkan melalui dari dalam sistem dengan menjadi kepala daerah dan anggota parlemen serta di luar sistem dengan menjadi parlemen jalanan alias rajin mengelar aksi unjuk rasa. Partisipasi aktif inong Aceh menjadi kepala daerah atau anggota dewan merupakan bagian dari memperkukuh perdamaian.Keberadaan perempuan di ranah politik menjadi syarat utama bagi setiap tiang perdamaian berkelanjutan dan bertahan.Ketika konflik berkecamuk, perempuan mendorong pihak yang bertikai ke perundingan.Hasilnya, setelah benih damai ditanam, justru perempuan sering tersisih. Seolah-olahnya tugas perempuang selesai untuk kembali ke dapur, kasur dan sumur. Selanjutnya, kembali kaum pria yang memimpin.

141 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Di sisi lain, masih tergiang-giang klaim perempuan yang mencalonkan sebagai bupati, walikota, gubernur, anggota dewan bertentangan dengan syariat Islam dan tidak sesuai dengan budaya Aceh. Ucapan ini dilontarkan oleh pihak yang tidak ingin perempuan tampil ke pentas demokrasi.Kita masih mendengar miris stigma perempuan subordinasi dalam budaya patriarki.Faktor kesetaraan gender yang bermakna belum semua pria dapat menerima perempuan sebagai mitra kerja. Pada dimensi lain, pernyataan tendesius tersebut merupakan bagian dari kampanye hitam untuk menjatuhkan peran perempuan. Islam secara tegas menyatakan tidak ada beda muslimah dengan muslim hanya pada kadar taqwa. Secara kodrat alam, yang membedakan perempuan dengan pria yakni perempuan secara umum dianugerahi tiga M yang tidak dialami oleh pria mana pun yakni menstruasi, melahirkan dan menyusui. Perempuan di Parlemen Kerajaan Aceh Tuduhan

keji

yang

merendahkan

kemampuan

perempuan

disuarakan oleh pihak yang tidak membaca utuh sejarah Tanah Rencong. Mari kita menguak lipatan karpet sejarah Aceh dengan jalinan kekuatan manajerial, selama 60 tahun, Aceh dipimpin oleh sultanah alias perempuan. Bukan oleh sultan gelar untuk pria. Setali dengan itu, perempuan Aceh sudah biasa menjadi anggota parlemen pada masa Kerajaan Aceh seperti Datu Beru (Qurrata‘aini), Tajul Alam Syaifiatuddin, Nurul Alam Nakiyatuddin, Inayatsyah Zakiyatuddin, Laksaman Perang Keumalahayati, sosok ulama perempuan Teungku Fakinah, Po Cut Limpah dipercaya sebagai Ketua

142 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH

Dewan Rahasia Kerajaan (badan intelijen negara), Cut Meuligoe, Cut Meurah Gambang, Cut Meurah Intan dan sebagainya. Dengan demikian, dari aspek syariat dan budaya, masalah apakah perempuan boleh memimpin sudah basi dibahas


Sebagai ulang kaji, maka selayaknya siapa pun dapat belajar dari kegigihan Cut Nyak Dhien yang menjadi ahli strategis perang untuk suaminya Teuku Umar. Mental Cut Nyak tidak takluk kepada Belanda ketika suaminya tewas diberondong oleh pasukan Marsose Belanda di Meulaboh, Aceh Barat. Dalam kamus wanita jenius ini tidak ada kata menyerah.Padahal mata sudah rabun memimpin pertempuran di belantara Beutong hingga ke dataran tinggi Gayo.Perjuangan yang melelahkan ini berakhir hingga jasad Cut Nyak Dhien terbaring di Sumedang, Jawa Barat, yang berjarak ribuan kilometer dari tanah kelahirannya di Aceh. Secuil pemamparan ini bukan sekedar bernostalgia karena ketidakmampuan melahirkan sosok-sosok sekaliber Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren, Sri Sultanah Safiatuddin dan lain-lain pada masa sekarang. Paparan ringkas ini adalah wadah gelitik untuk inong (perempuan) sekaligus agam (pria) untuk mewujdukan Aceh bermarwah, berkeadialan, rakyat yang makmur dengan lingkungan hidup yang lestari dan bijak. Aceh butuh pemimpin yang komit pada cita perjuangan yang ditancapkan sejak awal.Yang utama dan penting yakni memetik semangat dari warisan indatu (nenek moyang) yang cerdas, berhati mulia, ikhlas berjuang untuk diterapkan pada masa kini.Setiap zaman melahirkan pahlawan untuk masa itu.Tidak berlebihan jika generasi sekarang bercermin yakni jika dulu bisa mengapa sekarang tidak? Karena itu, kita patuh memberikan penghormatan dan dukungan kepada perempuan yang mendaftar sebagai bakal calon kepala daerah pada tahun 2012. Paling kurang ada sembilan kandidat bertanding pada Pemilukada memperlihatkan keberanian menerima tantangan untuk mengebrak perubahan. Jumlah ini sangat minim (hanya 2 persen) dibandingkan jumlah calon kepala daerah yang terdaftar di KIP Aceh yanag mencapai 260 orang (130 pasangan) yang dominan laki-laki.

143 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Menggelitik perempuan ke tahta nomor satu di wilayah masingmasing merupakan kerja bersama yang berstruktur.Dukungan moril dan materil mesti diusung bersama sebagai bukti nyata perempuan memimpin daerahnya.Kandidat perempuan mesti akrab dengan media cetak atau elektronik.Tidak salah pro aktif memperkenalkan diri kepada media.Rajin-rajinlah mengirim siaran pers atau mengundang pekerja media dalam berbagai aktivitas. Semua pihak bisa melakukan kampanye yang berdampak dahsyat yakni dari mulut ke mulut keuntungan memilih calon perempuan.Ilmu pemasaran mengakui, iklan terbaik dari mulut ke mulut yang sekarang bisa dilakukan melalui pesan singkat telepon seluler.Tentu saja dalam hal ini, menanglah Pemilukada secara beretika sesuai dengan syariat Islam dan peraturan pilkada lainnya. Menggelitik inong Aceh ke ranah publik untuk menjadi anggota dewan, bupati, walikota bahkan gubernur merupakan langkah bijak dalam pendidikan perpolitikan.Berbagai pelatihan, seminar politik, diskusi berbusa-busa, lokakarya kesetaraan gender tak hanya berakhir di ruang seminar berhawa sejuk, tapi perlu aksi nyata.Karena itu, kita patut memberikan penghargaan kepada perempuan yang mendaftarkan diri menjadi kandidat kepala daerah. Kalau dulu bisa, mengapa sekarang tidak? n

144 MEREKA MENULIS DEMOKRASI ACEH


III DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI


146 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI


Kondisi Sosial dan Politik

S

etelah tumbangnya era Orde Baru pimpinan bekas Presiden Soeharto pada tahun 1998, Indonesia terus menggaungkan reformasi di berbagai sektor kehidupan berbangsa baik

hukum, sosial politik maupun ekonomi. “Reformasi� menjadi kata yang menyulut bara perubahan setelah Indonesia bebas dari cengkraman politik Soeharto dengan kendaraan politiknya, Golongan Karya (Golkar). Kebijakan politik nasional pun berubah. Berakhirnya rezim Orde Baru telah membuka peluang lahirnya banyak partai politik baru. Sebelumnya, partai politik hanya dibenarkan tiga saja yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pemilihan umum (Pemilu) 1999 diikuti

147 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


oleh 48 partai politik peserta Pemilu. Ini merupakan Pemilu pertama setelah berakhirnya era Orde Baru untuk memilih para anggota MPR, DPR dan DPRD. Sementara pemilihan presiden dan wakilnya tetap dilakukan anggota MPR. Pemilihan presiden secara langsung baru dilaksanakan dalam Pemilu 2004. Hal serupa juga akhirnya berlaku untuk pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota). Pemilu 2009 adalah Pemilu kedua secara langsung untuk memilih anggota parlemen setelah era Orde Baru. Tapi, ini Pemilu pertama untuk memilih presiden. Secara umum, Pemilu 2009 dapat dikatakan berlangsung lancar. Tetapi ada berbagai masalah terkait penyelenggaraannya. Salah satunya adalah tentang Daftar pemilih tetap (DPT). Bahkan, Prabowo Subianto, calon wakil presiden yang diusung PDI-Perjuangan dan Gerindra, sempat mewacanakan penundaan Pemilu. Hal itu karena ada dugaan penggelembungan pemilih di hampir seluruh daerah. Kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) dipertanyakan. Kemenangan besar Partai Demokrat dalam Pemilu 2009, dan terpilihnya kembali Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden untuk periode yang kedua telah membuat partai politik terbelah dalam dua kelompok. Pertama adalah partai pendukung pemerintah dan barisan partai oposisi. Partai Demokrat, Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah koalisi pendukung pemerintah. Sementara sisa partai lainnya yang mendapat kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) memilih menjadi oposisi di parlemen.

148 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

Perdebatan partai politik di parlemen atas suatu kebijakan pemerintah hampir setiap hari mewarnai wajah media di tanah air. Intensitas ketengangan dibalut kepentingan masing-masing partai juga


mencuat di hadapan publik. Kritikan terhadap pemerintah maupun partai politik semakin gamblang digulirkan elemen masyarakat sipil, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun media massa. Itu tak pernah ditemukan sebelum gelombang reformasi berhembus yang ditandai jatuhnya rezim Orde Baru. Dampak sosialnya, pemerintah kini benar-benar dikontrol rakyat. Meski memiliki banyak celah dengan dimainkan berbagai aturan hukum oleh penguasa, kebijakan pemerintah tak lagi bisa diputuskan tanpa ada kesepakatan dengan parlemen dan kerap mendapat kritikan rakyat melalui media massa. Seiring berubahnya kondisi sosial politik di Indonesia, angin reformasi juga berhembus di Aceh. Setelah tumbangnya pemerintahan otoriter Soeharto, Aceh pun mulai bergolak. Berbagai “kejahatan yang tersembunyi” selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) mencuat ke permukaan. Sejumlah tempat yang diduga menjadi lokasi penyiksaan dan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terungkap. Masyarakat tidak ltakut mengungkapkan apa yang mereka alami. Berbagai tim dari Jakarta turun ke Aceh untuk menginvestigasi kasus-kasus pelanggaran HAM. Pemerintah pun meminta maaf atas “kesalahan” yang terjadi selama pemberlakuan DOM. Pada saat bersamaan, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) terus menggalang kekuatan sambil merekrut para pemuda guna dilatih menjadi gerilyawan. Tokoh-tokoh GAM yang selama masa DOM berdomisili di Malaysia pulang kampung dan mengajak masyarakat melawan Jakarta. Berbagai operasi dilancarkan pemerintah untuk menghancurkan kekuatan GAM, dengan mengirim tambahan pasukan TNI/Polri. Aceh makin berdarah-darah. Hampir tak ada hari, tanpa korban dari kedua pihak dan masyarakat sipil jatuh. Sama seperti konflik bersenjata di belahan dunia lain, korban paling banyak tentu saja warga sipil. Begitupun, perundingan juga diupayakan sejak pemerintahan

149 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Difasilitasi Henry Dunant Center (HDC), perunding pemerintah dan pimpinan GAM di luar negeri sempat beberapa kali menandatangani kesepakatan damai sejak 2000. Tapi, semuanya buyar saat diimplementasi di lapangan. Para pihak bertikai saling menuding lawannya yang melakukan pelanggaran sampai akhirnya Pemerintahan Megawati Sukarnoputri menetapkan Aceh dalam status darurat militer pada Mei 2003 selama setahun dan kemudian dilanjutkan dengan darurat sipil juga setahun. Bentrokan senjata antara pasukan TNI/Polri dan petempur GAM hampir setiap hari terjadi. Korban pun berjatuhan dari kedua pihak dan masyarakat sipil. Bencana gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 meluluhlantakkan sebagian besar wilayah pesisir Aceh. Lebih dari 170.000 orang tewas dan hampir setengah juta lainnya kehilangan tempat tinggal. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjajaki lagi upaya perundingan dengan GAM. Tak tanggungtanggung, tim negosiator pemerintah langsung dikontrol Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan mengandalkan “geng Bugis�. Upaya perundingan tersebut sebenarnya telah dijajaki Jusuf Kalla sejak dia masih menjabat Menko Kesra di bawah Pemerintahan Presiden Megawati. Tsunami makin mempercepat kedua pihak yang bertikai untuk segera berdamai. Upaya pemulihan pascabencana yang ditandai berdatangannya bantuan dari seluruh penjuru dunia membutuhkan situasi kondusif. Akhirnya setelah lima putaran perundingan yang difasilitasi oleh mantan Presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, melalui organisasinya Crisis Management Initiative (CMI), delegasi pemerintah dan pimpinan GAM menandatangai Memorandum of Understanding (MoU) di Helsinki, ibukota Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Pakta perdamaian bersejarah itu untuk mengakhiri konflik bersenjata hampir

150 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

30 tahun di Aceh, sehingga bisa mempermulus pembangunan kembali provinsi ujung barat Indonesia ini, yang luluhlantak disapu tsunami dan sekaligus tonggak awal mewujudkan demokrasi.


Setelah tercipta perdamaian, rakyat Aceh bebas dari belenggu konflik berkepanjangan. Sesuai kesepakatan MoU Helsinki, Aceh mendapat kekhususan dibanding provinsi lain di Indonesia. Aceh memiliki aturan pelaksanaan pemerintahanan seperti dituangkan dalam Undangundang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Undang-undang ini menjadi rujukan tata kelola pemerintahan di Aceh sebagai bentuk otonomi khusus, yang diharapkan mempercepat pembangunan untuk mewujudkan kemakmuran masyarakat Aceh. n

151 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


152 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI


Pilkada 2006 dan Calon Independen

P

elaksanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) adalah momentum penting untuk keberlanjutan pembangunan. Pemilukada bukan hanya ajang memilih pemimpin, tapi juga

untuk menentukan arah pembangunan yang diharapkan lebih baik lagi selama lima tahun ke depan. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung pertama kali digelar di Indonesia pada 1 Juni 2005, untuk memilih Bupati dan Wakil Bupati Kutai Kartanegara. Sebelumnya, kepala daerah baik tingkat I (provinsi) maupun tingkat II (kabupaten/kota) dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pilkada secara langsung ialah tonggak baru proses demokratisasi di Indonesia setelah berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto. Malahan, berdasarkan Undang-Undang No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dimasukkan sebagai bagian rezim Pemilu sehingga sebutan Pilkada berubah menjadi Pemilukada.

153 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Sebenarnya, peluang menggelar Pilkada secara langsung pertama di Indonesia terbuka lebar untuk dilaksanakan di Aceh, sesuai UndangUndang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Meski DPRD NAD telah mengesahkan Qanun Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pilkada secara langsung tetap tak dapat digelar tepat waktu akibat konflik bersenjata yang sedang membara di Aceh. Di tengah situasi dan kondisi keamanan tak menentu akibat bentrokan senjata yang kerap terjadi antara pasukan TNI/Polri dan GAM, sudah tentu pesta demokrasi lima tahunan untuk memilih para kepala daerah di Aceh tidak mungkin dilaksanakan secara demokratis. Karena masa jabatan telah berakhir, posisi gubernur dan sebagian besar bupati/walikota di Aceh dipegang penjabat. Apalagi Gubernur Aceh Abdullah Puteh terlilit kasus dugaan korupsi sehingga wakilnya Azwar Abubakar diangkat menjadi Penjabat Gubernur. Begitu masa jabatannya berakhir, Presiden melalui Menteri Dalam Negeri mengangkat Mustafa Abubakar sebagai Penjabat Gubernur Aceh pada 2005. Selain itu, sebagian besar bupati dan walikota di Aceh juga habis masa jabatannya sehingga ditunjuk penjabat. Setelah ditetapkan UUPA, maka peluang menggelar Pilkada Aceh secara langsung dapat dilaksanakan. Sebagai bentuk kekhususan Aceh seperti tercantum dalam UUPA, Pilkada menggunakan aturan hukum, berupa Qanun. Maka, DPRA untuk kedua kalinya merevisi kembali qanun tentang Pilkada guna disesuaikan dengan UUPA. Setelah Qanun Nomor 7 Tahun 2006 disahkan sebagai landasan hukum pelaksanaan Pilkada di Aceh, pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil

154 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

bupati dan walikota/wakil walikota pun digelar di Aceh pada 11 Desember 2006. Inilah pemilihan kepala daerah secara langsung pertama. Menariknya,


Pilkada Aceh yang digelar serentak untuk memilih gubernur dan 19 bupati/walikota membolehkan calon perseorangan (independen) untuk bertarung memperebutkan tampuk kekuasan dengan syarat dukungan Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga. Sejak keberhasilan Aceh tersebut, berbagai daerah lain di Indonesia pun akhirnya membuka kran calon independen untuk bertarung memperebutkan kursi gubernur dan bupati/walikota. Malah ada desakan dari sejumlah pihak agar pemilihan presiden pun diperbolehkan calon independen, sehingga pesta demokrasi bukan hanya menjadi dominasi partai politik. Dalam Pilkada 2006, terdapat delapan pasangan calon yang bertarung untuk gubernur. Lima pasangan calon diusung partai politik. Mereka ialah Ir. H Iskandar Hoesin, MH dan Drs H.M. Saleh Manaf (Partai Bulan Bintang); Letjen TNI (Purn) H. Tamlicha Ali dan Drs. Tgk. Harmen Nuriqmar (Partai Bintang Reformasi, Partai Persatuan Nahdatul Ummah Indonesia, dan Partai Kebangkitan Bangsa); Drs. H. A. Malik Raden, MM dan H. Sayed Fuad Zakaria, SE (Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia); DR. Ir. H. A. Humam Hamid, MA dan Drs. H. Hasbi Abdullah, M.Si (Partai Persatuan Pembangunan); dan Ir. H. Azwar Abubakar, MM dan M. Nasir Djamil, S.Ag (Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera). Sedangkan, tiga pasangan lain maju melalui jalur independen. Mereka adalah Mayjen (Purn) H.M Djali Yusuf dan Drs. H. R.A. Syauqas Rahmatillah, MA; drh Irwandi Yusuf, M.Sc dan Muhammad Nazar, S.Ag; dan Drs. Ghazali Abbas Adan dan H. Salahuddin Alfata. Begitu pula di kabupaten dan kota, banyak pasangan calon melalui jalur independen yang bertarung memperebutkan posisi bupati dan walikota. Para mantan anggota GAM juga ikut memperebutkan tampuk kekuasaan level provinsi dan kabupaten/kota melalui jalur independen, karena partai politik lokal sesuai kesepakatan MoU Helsinki dan UUPA belum terbentuk di Aceh. Hal itu terjadi karena belum keluarnya

155 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Peraturan Pemerintah (PP) tentang pembentukan partai politik lokal. Pilkada 2006 juga dipantau banyak tim monitoring baik dari dalam maupun luar negeri. Kendati ada kekhawatiran dari sejumlah kalangan akan terjadi kerusuhan, tetapi Pilkada 2006 berlangsung dalam suasana damai dan demokratis. Begitupun tetap saja beberapa kasus kekerasan terjadi. Yang paling menonjol ialah pemukulan terhadap Humam Hamid dan pengrusakan kendaraan yang dipakai rombongan kandidat gubernur itu di kawasan Matang Glumpang Dua, Kabupaten Bireuen, pada 22 November 2006. Hasil Pilkada 2006, para calon independen meraih kemenangan baik di provinsi maupun sejumlah kabupaten dan kota. Pasangan Irwandi dan Nazar meraup kemenangan hanya dalam satu putaran dengan perolehan suara 38,20 persen. Banyak pengamat menyebut kemenangan pasangan yang mengusung slogan kampanye “IRNA” karena mendapatkan dukungan kuat dari para mantan kombatan meski tokoh-tokoh senior GAM mendukung pasangan Humam dan Hasbi, disingkat H2O. Kemenangan Irwandi – Nazar merontokkan ramalan pengamat dan analis politik yang memprediksi bahwa Pilkada Aceh 2006 bakal berlangsung dalam dua putaran. Sebelum hari pencoblosan, sejumlah pengamat politik memperkirakan pasangan Human – Hasbi dan Malik Raden – Sayed Fuad yang akan maju ke putaran kedua. Di beberapa kabupaten/kota, pasangan calon independen yang didukung mantan GAM juga memperoleh kemenangan. Daerah-daerah tersebut antara lain Kota Sabang, Pidie, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Aceh Timur, Aceh Jaya, dan Aceh Barat. Beberapa kabupaten yang menggelar Pilkada belakangan seperti Bireuen, Aceh Selatan, dan Pidie Jaya juga dimenangkan calon yang mendapat dukungan mantan gerilyawan. Tampaknya pengaruh para bekas kombatan begitu

156 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

merasuki pemilih Aceh. Tetapi ada juga pendapat yang menyatakan terjadi intimidasi dan teror terhadap rayat untuk memilih kandidat yang didukung bekas GAM. n


157 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


158 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI


Partai Lokal dan Pemilu 2009

S

alah satu butir kesepakatan dalam MoU Helsinki adalah diperbolehkannya masyarakat Aceh mendirikan partai politik lokal. Sebagai bentuk implementasi MoU Helsinki, aturan

tentang partai lokal dituangkan dalam Pasal 95 UUPA. Setahun setelah UUPA disahkan, Pemerintah Indonesia menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Dalam PP itu dipaparkan bagaimana cara partai lokal dibentuk untuk bertarung memperebutkan kursi parlemen provinsi dan kabupaten/kota serta jabatan gubernur dan bupati/walikota. Sejak itu, kalangan politisi, aktifis masyarakat sipil dan mantan

159 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


anggota GAM disibukkan dengan agenda membentuk partai lokal. Tentu saja partai lokal berbagai latar belakang dan kepentingan berbeda antara satu dengan yang lain. Tujuannya, ingin mewujudkan demokrasi Aceh di tengah transisi pascakonflik berkepanjangan dan bencana tsunami. Dengan begitu, diharapkan Aceh menjadi contoh bagi provinsi lain di Indonesia. Apalagi, sejak Aceh mendapat kekhususan pendirian partai lokal, beberapa daerah berharap agar diberikan juga “kesempatan� membentuk partai lokal. Tercatat ada 14 partai lokal dibentuk. Tapi, setelah dilakukan verifikasi administrasi dan faktual, hanya enam partai lokal lolos sebagai peserta pemilu legislatif 2009. Keenam partai lokal tersebut adalah Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Bersatu Aceh (PBA), dan Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) dan Partai Aceh (PA). Sisanya gagal bertarung dalam Pemilu 2009 yaitu Partai Aceh Meudaulat (PAM), Partai Darussalam, Partai Geuneurasi Adjheh Beusaboh Ta’at dan Taqwa (GABTHAT), Partai Lokal Aceh (PLA), Partai Aliansi Rakyat Aceh Peduli Perempuan (PARA), Partai Pemersatu Muslimin Aceh (PPMA), Partai Serambi Persada Nusantara Serikat (PSPNS), dan Partai Nurani Aneuk Nanggroe Aceh (NUANA). Ada yang menarik dalam pembentukan Partai Aceh. Majalah ACEHKINI edisi Juni 2008 melaporkan bahwa para bekas kombatan itu mendeklarasikan partai lokal bentukannya dengan nama Partai GAM pada 7 Juli 2007. Partai GAM menggunakan bendera Gerakan Aceh Merdeka sebagai lambang partai: bulan sabit dan bintang, dihiasi garis hitam putih di sisi atas dan bawah dengan warna merah sebagai latar belakang. Meskipun petinggi GAM mengaku sudah mendapat restu presiden, nama dan lambang tetap ditolak Pusat. Alasannya asumsi

160 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

orang masih mengarah pada gerakan menuntut kemerdekaan kendati para pendirinya mengaku tidak ada kepanjangan dari kata GAM. Polisi bahkan meminta GAM menurunkan plang nama yang terpampang di


kantor partai tersebut. Masih menurut majalah yang sudah tidak terbit lagi, pada 25 Februari 2008, para pendiri Partai GAM memutuskan untuk mengubah lambang: membuang gambar bulan bintang dan menggantinya dengan tulisan GAM. Latar belakang tetap sama: didominasi warna merah dengan garis hitam putih pada sisi atas dan bawah. Kali ini, kata GAM memiliki kepanjangan: Gerakan Aceh Mandiri. Penambahan kepanjangan itu gampang ditebak, untuk menghilangkan konotasi tuntutan merdeka. Rupanya, inipun tidak menyelesaikan masalah. Langkah GAM masih terhadang. Bagi Jakarta, stigma GAM sebagai gerakan menuntut kemerdekaan bagi Aceh tak hilang selama tiga huruf itu masih dipakai. Partai GAM pun dihadapkan pada pilihan: mempertahankan nama GAM dengan konsekuensi tidak lolos verifikasi atau mengganti nama baru. Pilihan jatuh pada opsi kedua: mengganti nama partai. Akhirnya pilihan jatuh pada nama Partai Aceh. Ada yang mengatakan nama itu muncul saat sejumlah bekas tokoh GAM mengadakan pertemuan dengan Jusuf Kalla yang waktu itu masih menjabat Wakil Presiden pada pertengahan April 2008. Meskipun didaftarkan sebagai Partai GAM, tetapi Partai Aceh tetap diloloskan dalam verifikasi baik administrasi maupun faktual sehingga menjadi peserta Pemilu 2009. Dalam kampanyenya, Partai Aceh mengklaim sebagai satu-satunya partai amanah MoU Helsinki. Para peserta Pemilu 2009 mengaku mereka mendapat kekerasan dan teror dari pendukung dan kader Partai Aceh. Beberapa kasus kekerasan mencuat menjelang dan ketika berlangsungnya masa kampanye. Kekerasan itu antara lain pemukulan terhadap calon anggota legislatif, penurunan atribut partai lain, dan berbagai bentuk ancaman lainnya. Ketika hari pencoblosan, para pendukung dan kader Partai Aceh dituding mengarahkan rakyat untuk memilih partai besutan para mantan gerilyawan itu. Hasilnya seperti telah diketahui bahwa 33

161 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


dari 69 kursi parlemen Aceh diduduki kader Partai Aceh. Di sejumlah kabupaten dan kota, terutama daerah-daerah bekas basis GAM saat Aceh didera konflik bersenjata, kader Partai Aceh juga menguasai mayoritas kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kabupaten dan Kota. Hanya Partai Daulat Aceh (PDA) yang berhasil mengantarkan seorang kadernya ke DPR Aceh. Sedangkan, partai lokal lain tak satu pun mendapat kursi parlemen Aceh meskipun ada partai yang didirikan oleh para bekas aktifis dan politisi kawakan. Tetap saja mereka gagal mendapatkan “kepercayaan” rakyat Aceh. Sisanya diperoleh partai politik berbasis nasional. Partai Demokrat mendapat sepuluh kursi, Partai Golkar meraih delapan kursi, Partai Amanat Nasional (PAN) memperoleh lima kursi. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masing-masing mendulang empat kursi. Empat partai lain masing-masing hanya mampu mendapat satu kursi yaitu Partai Patriot, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia dan Partai Bulan Bintang. Kalangan politisi yang kalah mengaku kader mereka diteror dan diintimidasi

pendukung dan kader Partai Aceh. Calon anggota

legislatif partai lokal dan partai berbasis nasional yang bertarung memperebutkan kursi DPR Aceh dan DPR Kabupaten/Kota mengaku tak dapat “bekerja” maksimal akibat ancaman dan intimidasi pendukung Partai Aceh, yang merupakan bekas petempur GAM. Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) juga tidak bisa berbuat banyak. Berbagai laporan yang mereka terima tak bisa seluruhnya diproses. Tetapi, pengurus Partai Aceh dalam berbagai kesempatan mengatakan, tak ada perintah dari pimpinan partai itu untuk melakukan teror dan intimidasi kepada kader partai lain dan masyarakat pemilih. Malah, mereka mengklaim ikut menjadi korban karena sempat terjadi

162 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

beberapa kasus pelemparan granat dan upaya pembakaran kantor Partai Aceh di sejumlah lokasi. Dengan keberhasilan yang diraih Partai Aceh, partai lokal bentukan


para mantan GAM itu secara otomatis lolos sebagai peserta Pemilu 2014. Sedangkan partai lokal lain tidak ada satu pun yang mencapai parlementary threshold sebagaimana diatur dalam Pasal 90 UUPA. Bunyinya: “Untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya, partai politik lokal peserta pemilu harus: a. memperoleh sekurang-kurangnya 5% (lima persen) jumlah kursi DPRA; atau b. memperoleh sekurangkurangnya 5% (lima persen) jumlah kursi DPRK yang tersebar sekurangkurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota di Aceh.� Menjelang Pemilu 2014, semangat membentuk partai lokal tidak begitu heboh seperti yang terjadi pada pemilu lima tahun sebelumnya. Kali ini hanya ada dua partai baru yang mendaftar ke Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia Aceh yaitu Partai Nasional Aceh (PNA), yang dimotori pendukung mantan Gubernur Irwandi Yusuf saat Pemilukada 2012 dan Partai Damai Aceh (PDA), reinkarnasi Partai Daulat Aceh. Partai lokal yang dulu digagas para aktifis seperti PRA dan Partai SIRA memilih tak mendaftarkan diri. Sebagian pengurus PRA malahan ikut bergabung dalam PNA. n

163 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


164 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI


Kisruh Pemilukada 2012

P

emilukada Aceh untuk memilih gubernur/wakil gubernur, 13 bupati/wakil bupati, dan empat walikota/wakil walikota digelar 9 April 2012. Jadwal itu ialah perubahan keempat

yang dilakukan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh akibat terjadi kekisruhan terkait aturan pelaksanaan Pemilukada. KIP pertama menjadwalkan Pemilukada Aceh pada 14 November 2011. Pertimbangan waktu itu adalah masa jabatan Gubernur Aceh berakhir, Februari 2012. Tapi, kemudian digeser menjadi 24 Desember 2011 setelah KIP menerima sepucuk surat Menteri Dalam Negeri yang meminta penjadwalan ulang tahapan Pemilukada selama sebulan menyusul kesepakatan ‘cooling down’ antara para pihak untuk

165 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


mendinginkan situasi politik Aceh yang memanas. Selain itu, ada gugatan hukum tahapan Pemilukada oleh dua warga Aceh ke Mahkamah Konstitusi (MK). Setelah masa ‘cooling down’ berakhir dan keluarnya putusan MK, KIP kembali menetapkan hari pemungutan suara, pada 16 Februari 2012. Akhirnya Menteri Dalam Negeri menggugat KIP ke MK, sehingga “memaksa” KIP harus menggeser lagi hari pemungutan suara menjadi 9 April 2012. Kekisruhan bermula karena penetapan tahapan Pemilukada oleh KIP ditentang Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), yang mayoritas anggotanya dari Partai Aceh. Sebanyak 33 dari 69 kursi DPRA dikuasai politisi Partai Aceh, hasil Pemilu Legislatif 2009. Alasan DPRA minta pembatalan tahapan Pemilukada karena lembaga penyelenggara Pemilu di Aceh itu “tidak melibatkan” DPRA ketika menetapkan tahapan Pemilukada. Maksudnya, DPRA belum memberitahukan pada KIP tentang habisnya masa jabatan gubernur/wakil gubernur sebagai dasar bagi KIP untuk memulai tahapan Pemilukada. Ketua DPRA, Hasbi Abdullah, bahkan sempat menyatakan tahapan Pemilukada yang ditetapkan KIP “ilegal”. Politisi Partai Aceh juga sempat minta DPRA untuk membubarkan KIP karena dianggap telah “melanggar aturan”. Aturan pelaksana yang mendasari KIP menetapkan tahapan Pemilukada dianggap tidak kuat. Qanun Nomor 7 tahun 2006 tentang Pilkada oleh sebagian pihak diyakini “memiliki beberapa kelemahan” sehingga tak sesuai lagi diimplementasi dalam kondisi Aceh saat ini. Apalagi regulasi Pemilukada tingkat nasional telah berubah. KIP diminta menunggu Qanun yang baru, sehingga aturan pelaksanaan Pemilukada jelas dan tak menimbulkan gugatan terhadap hasil di kemudian hari. Pemerintah Aceh mengajukan Rancangan Qanun tentang Pemilihan

166 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota atau biasa disebut Raqan Pemilukada di Aceh sebagai perubahan terhadap Qanun No. 7/2006 kepada DPRA pada Oktober


2010. Dalam Raqan itu tidak mengakomodir klausul calon perseorangan atau independen karena menurut pasal 256 UUPA, masalah ini hanya diatur satu kali untuk Aceh yaitu dalam Pilkada tahun 2006. Pasal 256 berbunyi: “Ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-undang ini diundangkan.” Tetapi empat warga Aceh – Tami Anshar Mohd Nur, Faurizal, Zainuddin Salam dan Hasbi Baday – melalui kuasa hukumnya: Mukhlis Mukhtar, SH., Safaruddin, SH., dan Marzuki, SH mengajukan judicial review pasal 256 UUPA ke MK pada 20 Mei 2010. Setelah beberapa kali sidang, MK akhirnya mengabulkan “gugatan” para pemohon. Dalam amar putusannya pada 28 Desember 2010, majelis hakim MK memutuskan bahwa Pasal 256 UUPA bertentangan dengan Undangundang Dasar (UUD) 1945 dan Pasal 256 UUPA diputuskan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Intinya, Pasal 256 UUPA tidak berlaku lagi dan calon independen kembali terbuka lebar untuk maju dalam Pemilukada di Aceh. Menyusul

keputusan

tersebut,

Pemerintah

Aceh

pada

12

Januari 2011 mengajukan lagi Raqan Pemilukada ke DPRA dengan memasukkan klausul calon independen. Raqan yang diajukan sebelumnya belum dibahas DPRA karena anggota dewan sibuk dengan agenda pembahasan Rancangan Qanun Anggaran Pembangunan dan Belanja Aceh (APBA). Lalu, DPRA membentuk Panitia Khusus (Pansus) Qanun Pemilukada, yang diketuai oleh Adnan Beuransyah – seorang politisi Partai Aceh. Raqan Pemilukada yang mengakomodir klausul calon independen tak segera dibahas dewan, selain menggelar beberapa kali rapat dengar pendapat untuk mencari masukan dari berbagai stakeholders. Waktu yang diberi pada Pansus hingga April 2011 terlewati. Qanun tak

167 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


selesai dibahas. Pimpinan dewan pun memperpanjang lagi masa kerja Pansus Qanun Pemilukada hingga awal Juni 2011. Pansus Qanun Pemilukada baru efektif bekerja setelah APBA disahkan pada April 2011. Setelah melalui serangkaian rapat dengar pendapat umum yang melibatkan berbagai kalangan, studi banding anggota Pansus ke beberapa daerah untuk mencari masukan, melakukan pertemuan dengan Departeman Dalam Negeri (Depdagri), dan pembahasan intensif dengan tim Pemerintah Aceh, Rancangan Qanun Pemilukada selesai disiapkan pada awal Juni 2011. Namun, dua hal tak dicapai kesepakatan antara eksekutif dan legislatif

yaitu mengenai calon independen dan penyelesaian

perselisihan atau sengketa hasil Pemilukada. Alasan Pansus Qanun Pemilukada yang didominasi politisi Partai Aceh menolak masuknya calon perseorangan karena putusan MK dianggap awal upaya “menggerogoti� UUPA. Alasan itu dianggap sejumlah pihak sebagai akal-akalan untuk membendung banyaknya calon gubernur. Sesuai perolehan kursi parlemen Aceh, satu-satunya partai yang boleh mengajukan calon gubernur adalah Partai Aceh. Sedangkan, partai lain harus berkoalisi. Menyangkut

penyelesaian

sengketa

hasil

Pemilukada,

Pansus

berpegang kepada UUPA yaitu oleh Mahkamah Agung (MA), padahal secara nasional sengketa Pemilukada harus diselesaikan oleh MK. Karena tidak dicapai kata sepakat hingga berakhirnya masa kerja Pansus, kedua masalah krusial itu diputuskan untuk diselesaikan pada sidang paripurna dewan. Ketika menyampaikan sambutan dalam pembukaan sidang paripurna pada 22 Juni 2011, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menyatakan, dengan dicabutnya Pasal 256 UUPA melalui putusan MA Nomor 35/

168 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

PUU-VII/2010, pasal itu tak berlaku lagi sebagai pembatas bagi calon independen. Putusan itu menimbulkan implikasi hukum terbukanya peluang untuk calon independen bertarung dalam Pemilukada tahun


2011 dan seterusnya. Tetapi seperti telah diprediksi banyak kalangan, Raqan Pemilukada akhirnya “disahkan” DPRA melalui voting terbuka dalam sidang paripurna pada 28 Juni 2011, tanpa klausul calon independen. Padahal sebelumnya banyak pihak berharap pada sidang paripurna akan tercapai kesepakatan dengan mempertimbangkan dampak yang mungkin muncul bila putusan MK tak diakomodir dalam Qanun Pemilukada. Ketika berlangsung sidang paripurna, sekitar 2.000-an warga yang menamakan dirinya ‘Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh’ melancarkan demonstrasi di luar gedung dewan. Mereka menolak calon independen dimasukkan dalam Qanun Pemilukada itu. Sebagian kalangan menyakini aksi demonstrasi tersebut dikerahkan para pendukung Partai Aceh. Di waktu bersamaan, puluhan mahasiswa juga melakukan unjukrasa di Kantor KIP Aceh yang mendesak lembaga penyelenggara Pemilu itu mengakomodir calon independen. Ketika voting dilakukan, 40 anggota dewan memilih menolak pasal calon perseorangan. Mereka terdiri atas 35 anggota Fraksi Partai Aceh dan lima lainnya anggota dewan dari Partai Amanat Nasional (PAN). Alasan anggota dewan dari PAN menolak masuk calon perseorangan “untuk menjaga keutuhan UUPA.” Tapi, banyak kalangan menuding sikap PAN sebagai upaya untuk mendapat “bargaining politik” dengan Partai Aceh soal posisi pimpinan dewan yang masih kosong karena PAN merupakan pemenang keempat Pemilu Legislatif 2009. Sementara itu Partai Aceh juga menginginkan posisi Wakil Ketua III DPRA menjadi jatah mereka karena PAN hanya memiliki lima kursi DPRA. Dengan begitu tak bisa membentuk satu fraksi. Hingga akhir Desember 2012, kursi pimpinan dewan ketiga tetap dibiarkan kosong meski Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan surat keputusan bahwa posisi Wakil Ketua III jatuh kepada anggota dewan dari PAN, namun tidak juga dilantik padahal keanggotaan mereka hanya tersisa

169 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


1,5 tahun lagi. Dalam sidang paripurna penentuan masuk tidaknya calon independen dalam Qanun, 27 anggota dewan lain memilih abstain. Sementara dua orang tak hadir saat berlangsung voting terbuka tersebut. Voting terbuka itu sempat tertunda, karena dihujani interupsi tentang mekanisme voting. Tetapi, akhirnya dewan yang didominasi politisi Partai Aceh bersepakat bahwa mekanisme voting dilakukan dengan cara berdiri bagi yang memilih opsi setuju calon independen, tidak setuju independen, dan abstain. Ketika Ketua DPRA yang jadi pimpinan sidang, Hasbi Abdullah, minta anggota dewan yang setuju independen, tak ada satu pun berdiri. Sebelumnya, dalam pandangan akhir fraksi hanya Fraksi Partai Aceh yang secara tegas menyatakan, penolakannya terhadap calon independen. Tiga fraksi lain yaitu Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi PPP-PKS – menyatakan dapat menerima klausul calon independen dalam Qanun Pemilukada karena putusan MK sifatnya final dan mengikat. n

170 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI


Polemik Gubernur Versus DPRA

S

etelah

disahkan

Raqan

Pemilukada,

171 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU

kemelut

regulasi

pelaksanaan Pemilukada Aceh semakin meruncing. Gubernur Irwandi menyatakan, tidak akan menandatangani qanun

itu, tanpa klausul calon perseorangan sesuai putusan MK. Dalam sambutannya pada penutupan sidang paripurna, Selasa malam (28 Juni 2011), Irwandi menyatakan bahwa Pemerintah Aceh belum dapat mengimplementasikan Qanun Pemilukada yang disahkan DPRA karena ada klausul dalam qanun yang belum disepakati bersama antara eksekutif dan legislatif. Ia juga menganggap qanun itu masih merupakan rancangan. Meski qanun itu belum bisa diimplementasi, tahapan Pemilukada


yang telah ditetapkan KIP terus dilanjutkan dengan menggunakan aturan yang ada. Irwandi juga meminta KIP terus bekerja sesuai tahapan yang telah disusun. Sementara itu, kalangan politisi Partai Aceh menganjurkan dibentuk Pansus untuk mengusut “dugaan” penyimpangan aturan yang dilakukan KIP Aceh. Kalangan politisi Partai Aceh tetap berharap Gubernur Irwandi menandatangani qanun yang telah disahkan. Selanjutnya, dimasukkan dalam lembaran daerah. Dengan begitu, qanun itu dapat menjadi pegangan bagi KIP untuk menggelar Pemilukada di Aceh. Ketua DPRA, Hasbi Abdullah, malah sempat menyatakan bila setelah 30 hari qanun disahkan, otomatis berlaku meski tidak ditandatangani gubernur. Penolakan Irwandi menandatangani qanun tersebut berulang kali ditegaskannya dalam beberapa kesempatan. Malahan dia sempat menyatakan, “Haram hukumnya (qanun itu) singgah di meja saya. Kalau masih berupa rancangan qanun, peue kuteken teuma (apa yang perlu saya teken).” Irwandi juga sempat menyebutkan mengenai berlakunya qanun setelah 30 hari kalau gubernur tak menandatangani bila sudah disepakati kedua pihak yaitu eksekutif dan legislatif. Polemik “Qanun” Pemilukada di Aceh antara Gubernur dan DPRA kian meruncing ketika anggota Pansus mendatangi Kantor Gubernur untuk menyerahkan qanun itu, pada 5 Juli 2011. Mereka yang datang adalah para politisi Partai Aceh: Adnan Beuransyah, Abdullah Saleh, Ramli Sulaiman, Ridwan Abubakar dan Nasruddinsyah. Saat mereka tiba di Kantor Gubernur, anggota dewan sempat tak diperhatikan pejabat Sekretariat Daerah (Setda) Aceh dan terkatung-katung di lobi selama sekitar 45 menit. Pada hari itu, Gubernur Irwandi sedang melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Gayo Lues. Sedangkan, Wakil Gubernur Muhammad

172 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

Nazar ada agenda di Takengon, ibukota Aceh Tengah. Sementara itu Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, T. Setia Budi, sedang tidak berada di kantor karena ada pelantikan pejabat Badan Narkotika Provinsi


(BNP). Karena tidak ada pejabat berwenang, akhirnya anggota dewan itu mengantar naskah qanun itu ke Biro Hukum dan Humas Sekretariat Aceh. Di tempat ini, qanun itu diserahkan kepada Kepala Bagian Tata Usaha Biro Umum Setda Aceh, Zainuddin. Penyerahannya disaksikan Asisten Bidang Pemerintahan Marwan Sufi dan Kepala Biro Hukum dan Humas, Makmur Ibrahim. Abdullah Saleh berharap, Gubernur Irwandi segera menandatangani qanun agar dapat dimasukkan ke lembaran daerah. “Dengan sedikit waktu yang kita berikan semoga gubernur menandatangani rancangan qanun ini dan dimasukkan ke lembaran daerah agar menjadi sebuah regulasi yang sah,” katanya kepada wartawan. Tetapi, Kepala Biro Hukum dan Humas Setda Aceh Makmur Ibrahim mengatakan, qanun itu tidak bisa diterima karena belum ada kesepakatan bersama antara pihak legislatif dan eksekutif. Meski demikian pihaknya tetap menerima titipan dewan tersebut. Sesaat usai penyerahan qanun Pemilukada dan anggota dewan telah meninggalkan ruangan, Makmur mendapat telepon dari Gubernur Irwandi yang memerintahkan pengembalian segera dokumen qanun itu ke DPRA. Makmur menindaklanjuti dengan memerintahkan staf membuat surat yang ditujukan kepada Ketua DPRA perihal pengembalian Qanun Pemilukada Aceh. Surat bernomor 188.342/21855 tanggal 5 Juli 2011 itu, awalnya hendak diteken Sekda Aceh, T. Setia Budi. Tetapi menjelang dibawa ke ruang Sekda, sekitar pukul 18.30 WIB, Gubernur Irwandi menelepon lagi Makmur yang mengatakan surat itu akan ditekennya. “Kami ubah lagi sesuai arahan Pak Gubernur. Termasuk tanggal surat diubah jadi 6 Juli 2011 dan diteken oleh Gubernur Irwandi Yusuf,” kata Makmur kepada wartawan. 6 Juli 2011, Gubernur Irwandi menandatangani surat pengantar pengembalian berkas “qanun” yang diserahkan anggota DPRA. Surat tersebut ditandatangani Irwandi di atas kap mobil Kijang Innova sesaat

173 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


setelah dia turun dari helikopter di Lhokseumawe seusai berkunjung ke Gayo Lues. Surat pengantar tersebut diantar secara khusus oleh Kepala Biro Hukum Setda Aceh, Makmur Ibrahim, ke Lhokseumawe untuk diteken Irwandi. Dalam surat pengantar yang tembusannya disampaikan ke Mendagri, Menko Polhukam, Pangdam Iskandar Muda, Kapolda Aceh, Kajati Aceh, dan Ketua KIP Aceh, disebutkan bahwa karena belum ada persetujuan bersama tentang pasal-pasal calon perseorangan dan penyelesaian sengketa hasil Pemilukada, Raqan Pemilukada belum bisa diteken dan tidak diundangkan dalam lembaran daerah. Sehari kemudian, Pansus Qanun Pemilukada berangkat ke Jakarta untuk menyerahkan dokumen Qanun Pemilukada Aceh kepada Mendagri dan melapor detil perkembangan pembahasannya, termasuk pernyataan Gubernur Aceh yang menolak menandatangani qanun itu. Delegasi DPRA terdiri dari lima politisi Partai Aceh yaitu Adnan Beuransyah, Abdullah Saleh, Ramli Sulaiman, Nasruddinsyah dan Ridwan Abubakar serta seorang anggota dewan dari PAN, Muslim Aiyub. Menurut Adnan Beuransyah, Rancangan Qanun Pemilukada dihasilkan sesuai tata tertib dewan dan demokratis. ”Sama sekali tak ada yang salah atau melanggar dalam proses pengambilan keputusan Qanun Pilkada,” katanya. Soal belum diteken gubernur sebagai bentuk kesepakatan bersama antara eksekutif dan legislatif, Adnan mengatakan ketika pembahasan selalu diikuti dan dihadiri utusan eksekutif. Sikap ngotot Irwandi yang tetap tak bersedia menandatangani Qanun Pemilukada serta statemen “haram hukumnya (qanun itu) singgah di meja saya” telah membuat politisi Partai Aceh semakin gerah. Seorang di antaranya, Abdullah Saleh, sempat melontarkan pernyataan agar Irwandi mengundurkan diri dari posisi gubernur.

174 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

“Kalau tidak sanggup memimpin Aceh, kenapa tidak mundur saja dari gubernur,” katanya. Alasannya, Irwandi tak cocok lagi memimpin Aceh. Di masa pemerintahan Irwandi, kata Abdullah, ada tiga qanun yang


tidak ditandatanganinya, yaitu Qanun Jinayat, Qanun Wali Nanggroe, dan terakhir Qanun Pemilukada. “Irwandi seharusnya melihat aspirasi rakyat. Tiga qanun ditolak. Kalau ditolak seperti ini, kan tidak efektif dia memimpin Aceh,” kata Abdullah. Mendapat desakan mundur tersebut, Irwandi balik menantang anggota

DPRA

untuk

memberhentikan

dirinya.

Irwandi

juga

menegaskan, tetap tidak akan menandatangani Qanun Pemilukada jika tak ada klausul calon perseorangan. Irwandi juga mengharapkan agar DPRA kembali membahas Rancangan Qanun Pemilukada dengan memuat klausul calon perseorangan di dalamnya sesuai keputusan MK. Upaya delegasi DPRA melobi Menteri Dalam Negeri ternyata gagal dan mereka hanya diterima Direktur Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan. Dalam pertemuan pada Kamis (7 Juli 2011), delegasi DPRA gagal meyakinkan pejabat Depdagri bahwa Qanun Pemilukada sudah dapat diberlakukan di Aceh meskipun tidak ditandatangani gubernur. Djohermansyah menyatakan, Qanun yang diserahkan delegasi DPRA ke Depdagri “telah mati alias terhenti”, begitu ditolak Gubernur Aceh. Dengan demikian, Kemendagri tak akan mengevaluasi qanun tersebut karena belum mendapat persetujuan bersama antara legislatif

dan eksekutif. Naskah qanun yang

diserahkan tim pansus dewan dikembalikan ke DPRA, 11 Juli 2011. Kalau Kemendagri mengevaluasi qanun itu, maka menyalahi undangundang, kata Djohermansyah. Di saat polemik antara Irwandi dan politisi Partai Aceh kian meruncing yang ditandai dengan “perang kata-kata” di media massa, tiba-tiba hari Jumat (8 Juli 2011), Gubernur Aceh memecat Sekretaris Dewan (Sekwan), Iskandar A. Gani. Dia diganti sementara oleh Burhan, Kepala Bagian Tata Usaha Sekretariat DPRA. Menurut Irwandi, pergantian Sekwan dilakukan karena Iskandar tidak memahami tugas dan fungsinya. “Loyalitas dan integritasnya diragukan,” kata Irwandi. Pergantian secara mendadak diyakini terkait

175 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


keterlambatan Iskandar saat menerima tim Pemerintah Aceh yang mengembalikan Qanun Pemilukada ke Dewan, pada 6 Juli 2011. Tim Pemerintah Aceh sempat “telantar” satu jam di gedung dewan. Irwandi menyatakan, “Dia (Iskandar) bekerja untuk Partai Aceh. Ideide sesat orang Partai Aceh banyak berasal dari dia.” Iskandar tidak menduga akan diberhentikan dari jabatannya tanpa teguran sebelumnya. Dia mengaku sempat tersentak kaget saat menerima sepucuk surat yang ditandatangani Gubernur Irwandi Yusuf, tanpa paraf pejabat lain – termasuk Sekda Aceh, T. Setia Budi. Iskandar yang pernah menjabat Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Aceh menyatakan akan kembali ke kampus sebagai dosen pada Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Dia menjadi Sekretaris Dewan (Sekwan) sejak 23 Desember 2010. Pemecatan Iskandar dari Sekwan mendapat reaksi keras dari Fraksi Partai Aceh di DPRA. Adnan Beuransyah, seorang anggota Partai Aceh, ketika ditanya wartawan mengatakan pihaknya tak bisa menerima Iskandar dicopot dari jabatannya. Sebagai protes, mereka mengusulkan dewan menggunakan hak angket untuk mengusut kinerja Irwandi sebagai Gubernur Aceh. Adnan juga membantah pernyataan Irwandi yang mengatakan Iskandar bekerja untuk Partai Aceh. “Itu anggapan salah, dia bekerja untuk dewan bukan untuk Partai Aceh. Ada skenario dari Irwandi untuk menekan DPRA,” katanya. Menurut Adnan, pemecatan Iskandar dari Sekwan adalah “tindakan keterlaluan.” Mendapat “tantangan” pembentukan Pansus hak angket, Irwandi tak mau tinggal diam. Ia segera bereaksi dengan mempersilakan DPRA agar mengusulkan hak angket. “Silakan saja mengajukan hak angket. Menurut saya itu sama saja mereka ingin menelanjangi diri sendiri karena pencopotan itu tak ada urusan dengan DPRA,” ujar Irwandi.

176 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

Pencopotan Iskandar dari Sekwan, menurut Irwandi, tak ada kaitannya dengan polemik yang terjadi antara dirinya dan DPRA terkait Qanun Pemilukada.


Manuver juga dilancarkan 14 partai nasional dan partai lokal dengan membentuk Koalisi Lintas Partai. Mereka menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meminta Pemilukada ditunda. Pertemuan pertama dihadiri bekas Perdana Menteri Pemerintahan GAM di pengasingan Malik Mahmud, bakal calon gubernur Partai Aceh Zaini Abdullah, Sekretaris Partai Aceh Yahya Muadz, Ketua Partai Demokrat Mawardy Nurdin, Ketua Partai Keadilan Sejahtera Ghufran Zainal Abidin, Ketua PDI Perjuangan Karimun Usman, Ketua PKPI Firmandez, Ketua Partai Daulat Aceh Muhibbussabri serta sejumlah politisi lain. Desakan 14 partai itu meminta penundaan diambil setelah melihat kondisi politik Aceh yang terus memanas. Alasannya, untuk mencegah munculnya konflik baru. Tetapi, manuver itu dilawan oleh mereka yang telah mendaftar diri sebagai kandidat, dengan meminta tahapan Pemilukada tetap diteruskan. n

177 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


178 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI


Kandidat Gubernur

B

erbagai lobi dan manuver ditempuh untuk menyelesaikan kisruh politik baik di Aceh maupun Jakarta. Di Aceh, sempat terjadi aksi demonstrasi damai yang menentang

calon independen. Sementara di Jakarta beberapa pertemuan yang difasilitasi Kementerian Dalam Negeri digelar, tetapi tetap tak ada titik temu. Pada saat bersamaan setelah masa cooling down berakhir, KIP Aceh melanjutkan lagi proses tahapan yang sempat tertunda sebulan. Sampai batas pendaftaran berakhir, untuk gubernur hanya terdapat tiga bakal calon mendaftarkan diri. Mereka adalah Irwandi Yusuf yang masih menjabat Gubernur Aceh, berpasangan dengan Muhyan Yunan (Kepala Dinas Bina Marga Aceh), Muhammad Nazar yang juga

179 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Wakil Gubernur Aceh, berpasangan dengan Nova Iriansyah (anggota DPR RI Partai Demokrat asal Aceh) dan Ahmad Tajudin atau Abi Lampisang (pimpinan pesantren di Aceh Besar) berpasangan dengan Teuku Suriansyah (bekas Direktur utama PT Kertas Kraft Aceh yang juga pernah menjadi anggota DPR RI dari Partai Golkar). Dari ketiga pasangan bakal calon itu, hanya Nazar – Nuva yang didukung partai politik yaitu koalisi bersama Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai SIRA. Sedangkan, pasangan Irwandi – Muhyan dan Ahmad – Suriansyah maju melalui jalur perseorangan. Manuver politik terus dilakukan untuk membendung langkah KIP yang ingin menggelar Pemilukada 24 Desember 2011 setelah jadwal pertama tertunda akibat cooling down. Target komisioner KIP, menghadirkan para kepala daerah tepat waktu karena sebagian besar mereka berakhir pada Februari dan Maret 2012. Tapi, langkah itu terhenti setelah dua warga Aceh – T.A Khalid (bekas Ketua DPR Kota Lhokseumawe yang calon anggota DPD RI) mengaku sebagai bakal calon Gubernur dan Fadhlullah yang mengaku bakal calon Bupati Pidie menggugat proses tahapan Pemilukada ke MK, akhir Oktober 2011. Setelah melalui serangkaian persidangan, akhirnya MK mengeluarkan putusan sela pada 2 November 2011, yang memerintahkan KIP Aceh membuka kembali masa pendaftaran selama seminggu. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Darni M. Daud (Rektor Universitas Syiah Kuala) untuk mendaftarkan diri ke KIP Aceh sebagai bakal calon gubernur, yang berpasangan dengan Ahmad Fauzi (dosen Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh). Mereka maju melalui jalur independen. Di kabupaten/kota juga terdapat beberapa pasangan calon bupati dan walikota yang mendaftarkan diri melalui jalur perseorangan. Calon partai politik berbasis nasional telah mendaftar waktu masa

180 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

pendaftaran sebelumnya, kecuali untuk tingkat provinsi yang hanya dimanfaatkan Partai Demokrat dan PPP. Partai Golkar, PAN dan PKS memilih tak mendaftarkan calonnya untuk bertarung memperebutkan


kursi gubernur. Tapi yang aneh, T.A Khalid tak mendaftarkan diri sebagai bakal calon gubernur Aceh padahal dia yang menggugat tahapan Pemilukada yang ditetapkan KIP ke MK agar bisa mendaftar sebagai bakal calon gubernur Aceh. Manuvernya dianggap sengaja untuk memperkeruh suhu politik yang kian memanas. Banyak kalangan memprediksi, Partai Aceh bakal mendaftarkan kandidat gubernurnya, Zaini Abdullah, bekas Menteri Luar Negeri Pemerintahan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di pengasingan yang juga seorang negosiator GAM saat berunding dengan Pemerintah Indonesia. Dia berpasangan dengan Muzakir Manaf (mantan Panglima Tentara Negara Aceh). Tetapi, prediksi itu meleset karena Partai Aceh tetap tak mendaftarkan calonnya baik di level provinsi maupun kabupaten dan kota. Malahan, ada kadernya di Aceh Utara yang mendaftarkan diri jadi bakal calon bupati setempat dicopot dari jabatannya, Wakil Ketua DPR Kabupaten Aceh Utara. MK dalam putusan akhirnya atas gugatan T.A Khalid dan Fadhlullah pada 24 November 2011 menegaskan kembali bahwa kandidat perseorangan dalam Pemilukada Aceh sah demi hukum dan tidak bertentangan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki seperti sering dijadikan alasan oleh elit Partai Aceh. Setelah putusan MK, situasi bukan kondusif tetapi malah kian memanas. Berbagai demonstrasi terjadi di sejumlah daerah, menuntut penundaan Pemilukada. Lobilobi dan manuver politik terjadi di Aceh maupun Jakarta. Sementara itu KIP terus melanjutkan tahapan Pemilukada seperti memverifikasi surat dukungan pasangan bakal calon dan memutakhirkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT). Langkah KIP akhirnya kembali terhenti setelah Menteri Dalam Negeri menggugat komisi penyelenggara Pemilu di Aceh ke MK pada 11 Januari 2012. Inilah yang pertama terjadi di Indonesia, Menteri Dalam Negeri menggugat penyelenggara Pemilu ke MK. Gugatan itu ditempuh karena dari serangkaian lobi-lobi politik untuk memberikan

181 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


“kesempatan” kepada Partai Aceh tidak menghasilkan kata sepakat. Apalagi, menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat dan Bawaslu, tidak ada aturan hukum untuk menunda Pemilukada Aceh. Malah, sempat berkembang isu bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang). Dalam putusan sela pada 17 Januari 2012, MK untuk kedua kali kembali memerintahkan KIP Aceh membuka kesempatan pendaftaran pasangan bakal calon selama seminggu. Belum pernah terjadi dalam sejarah sejak terbentuk, MK memutuskan dua kali terhadap masalah yang sama. Akhirnya, Partai Aceh mendaftarkan pasangan bakal calonnya baik untuk level provinsi maupun kabupaten/kota pada 20 Januari 2012. Beberapa bakal calon lain melalui jalur perseorangan juga mendaftarkan diri. Malah ada dua pasangan bakal calon melakukan manuver dengan mendaftarkan ke KIP Aceh untuk maju sebagai gubernur. Tetapi karena tidak lengkap syarat administrasi, akhirnya kedua pasangan bakal calon itu digugurkan KIP Aceh meski mereka telah ikut tes kesehatan dan tes baca al-Quran, satu syarat tambahan bagi calon kepala daerah di Aceh karena provinsi ini memberlakukan syariat Islam. Kedua pasangan itu adalah Hendra Fadli (bekas Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras Aceh) berpasangan dengan Yuli Zuardi Rais (Direktur Eksekutif Save Emergency for Aceh (SEFA), satu LSM lokal di Aceh. Sedangkan, satu pasangan lain ialah Fakhrulsyah Mega, staf ahli Kementerian Kesejahteraan Rakyat RI yang berpasangan dengan Zulfinar, lulusan IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Banyak pihak menyebutkan, langkah kedua

182 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

pasangan itu “konspirasi” Partai Aceh supaya tertundanya Pemilukada sampai Irwandi Yusuf tidak lagi menjabat Gubernur Aceh. Hal itu terbukti dengan diangkat Hendra Fadli sebagai Sekretaris Partai Aceh


Kota Banda Aceh beberapa pekan kemudian. Dampak dari putusan sela MK adalah bergesernya pemungutan suara yang sebelumnya ditetapkan pada 16 Februari 2012. Itu terjadi ada pasangan calon dari jalur independen yang mendaftarkan diri sehingga butuh waktu untuk verifikasi dukungan, terutama di kabupaten dan kota. KIP mengusulkan pemungutan suara digelar 9 April 2012. Usulan itu disetujui MK dalam putusan akhir pada 27 Januari 2012. Kendati dinilai terkesan agak janggal oleh pengacara KIP Aceh dan kalangan pengamat, tapi lembaga yang berwenang melaksanakan Pemilu di Aceh itu tetap melaksanakan amar putusan tersebut. Setelah itu, Partai Aceh yang menguasai parlemen Aceh bersedia “membahas� kembali Qanun Pemilukada dengan memasukkan klausul calon independen. n

183 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


184 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI


Persoalan Klasik Data Pemilih

H

ak untuk memilih ialah hak warga negara yang dilindungi Undang-undang. Pemerintah diwajibkan menjamin semua warga negara yang berhak memilih mendapatkan haknya.

Semua tugas dan tanggung jawab itu diamanahkan pada penyelenggara. Di Aceh, Komisi Independen Pemilihan (KIP) dimandatkan untuk menggelar Pemilu, pemilihan presiden dan Pemilukada. Katahati Institute dan Aceh Judicial Monitoring Institute (AJMI) memantau pelaksanaan Pemilukada Aceh 2012. Fokus pemantauannya adalah menyangkut penyediaan hak pilih warga negara. Hak pilih warga negara pada Pemilu maupun Pemilukada merupakan satu substansi penting dalam perkembangan demokrasi. Ini menjadi bukti adanya

185 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


eksistensi dan kedaulatan yang dimiliki rakyat dalam pemerintahan. Pemilu menjadi sarana bagi perwujudan kedaulatan rakyat sekaligus sebagai artikulasi kepentingan warga negara untuk menentukan wakilwakil mereka. Pemilu merupakan implementasi atas berdirinya tonggak pemerintahan yang elemen-elemen di dalamnya dibangun oleh rakyat. Konsep demokrasi demi terwujudnya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat menyimpulkan bahwa bangunan demokrasi bertujuan sebagai upaya perwujudan kesejahteraan hakiki. Ketersediaan informasi dan data pemilih dalam Pemilukada Aceh 2012 menjadi alasan utama penyelenggaraan pemantauan. Selain mengukur kualitas penyelenggara dan sistem pemilihan yang digunakan (merujuk pada standar dan sistem pemilihan di berbagai tempat lain, seperti dikembangkan IDEA International maupun Komisi Pemilihan Umum), proses pemantauan ini juga bertujuan untuk menghasilkan temuan-temuan dan catatan-catatan kritis dalam penyelenggaraan Pemilukada Aceh 2012 dikaitkan dengan pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak dasar warga negara. Kemerdekaan dan kebebasan atas hak-hak pribadi (hak-hak sipil dan politik) merupakan bagian upaya negara untuk memberikan jaminan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia, sebagaimana diatur pada Pasal 28 A sampai Pasal 28 J Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945) dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Ketentuan Pasal 28 UUD 1945 menyebutkan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.” Selanjutnya pada ketentuan Pasal 28 E Ayat (2) yang menyebutkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,

186 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.” Pasal 28 E Ayat (3) menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”


Ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menyebutkan, “setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya; dan setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.� UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 mengarahkan bahwa negara harus memenuhi segala bentuk hak asasi setiap warga negaranya, khususnya berkaitan dengan hak politik warga dan secara lebih khusus lagi berkaitan dengan hak pilih setiap warga negara dalam Pemilu di Indonesia. Makna ketentuan itu menegaskan bahwa segala bentuk produk perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilu, khususnya mengatur hak pilih warga negara, seharusnya membuka ruang seluasluasnya bagi setiap warga negara untuk dapat menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu, sebab pembatasan hak pilih warga negara merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Salah satu kovenan internasional yang secara khusus mengatur mengenai hak-hak sipil dan politik warga negara adalah International Covenant On Civil And Political Right (ICCPR 1966). Berkaitan dengan hak pilih warga negara, ICCPR menegaskan dalam Pasal 25 yang bunyinya, “Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk tanpa pembedaan apapun�. Pasal 2 ICCPR disebutkan, tanpa pembatasan tak wajar baik untuk berpartisipasi dalam menjalankan segala urusan umum baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas. Selanjutnya untuk memilih dan dipilih pada pemilihan berkala yang bebas dan dengan hak pilih yang sama dan universal serta diadakan melalui pengeluaran suara tertulis dan rahasia menjamin pemilih menyatakan kehendaknya dengan bebas dan mendapatkan pelayanan

187 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


umum di negaranya sendiri pada umumnya atas dasar persamaan. Ketentuan di atas ditujukan untuk menegaskan bahwa hak pilih merupakan hak asasi. Pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan hak tersebut adalah bentuk pelanggaran hak asasi warga negara. Dalil-dalil hukum dan alasan itu menjadi pedoman Katahati Institute dan AJMI untuk melakukan pemantauan masalah klasik yang sering terjadi dalam Pemilu di Indonesia. Terjaminnya hak warga negara untuk memilih dalam Pemilukada Aceh merupakan hal mutlak diwujudkan penyelenggara. Katahati dan AJMI menyebar relawan di beberapa daerah untuk melakukan pemantauan saat pemungutan suara dan setelah pemungutan suara untuk mendapat data-data dan sampel pelengkap. Fokus pemantauan dilakukan di enam wilayah yaitu Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, dan Bener Meriah. Pemantauan ini dilakukan secara kualitatif deskriptif dengan menggunakan pendekatan pengumpulan data, observasi, wawancara dengan responden pilihan, serta penggalian tambahan dari berbagai sumber. Hasil pemantauan diharapkan bisa menjadi masukan kepada penyelenggara, para kandidat, maupun masyarakat Aceh pada umumnya guna terwujudnya pesta demokrasi seperti dikendaki. Ini juga diharapkan menjadi masukan bagi penyelenggara untuk memperbaiki kekurangan dalam penyelenggaraan terutama menyangkut hak warga negara memberikan pilihannya. Dalam konsep demokrasi, warga pemegang amanat tertinggi kekuasaan. Warga negara menjadi penentu lahirnya otoritas pemerintahan sah lewat pemilihan. Rakyat diberikan kebebasan memilih pemimpin sesuai hati nurani dan tanpa paksaan. Pada

188 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

praktiknya disadari atau tidak, otoritas sipil, penyelenggara, partai politik serta kandidat, juga menempatkan warga sebagai objek dalam penyelenggaraan pemilihan. Tanpa adanya warga yang aktif ikut


memilih, pelaksanaan pemilihan tak mungkin digelar. Oleh karena itu penyelenggara diamanahkan menjamin terpenuhinya hak-hak warga negara untuk dapat turut serta dalam pemilihan. Pemenuhan hak pilih juga harus sesuai aturan yang telah ditetapkan oleh otoritas kekuasaan lewat aturan hukum berlaku. Hak pilih warga dikelola sedemikian rupa sehingga tak terjadi pengunaan kepemilihan ganda dan tindakan kecurangan lain yang bisa membuat pelaksanaan pemilihan terciderai. Pemilukada Aceh yang sempat bergeser sampai empat kali membuat daftar pemilih juga bertambah secara otomatis, karena bertambahnya jumlah pemilih pemula. Pergeseran jadwal pemcoblosan mustinya dapat membuat penyelenggara mampu menyusun DPT secara cermat agar tidak ada warga yang berhak memilih tak bisa mengunakan hak pilihnya. Dalam rilis media yang dikeluarkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh pada 7 Januari 2012, jumlah warga yang berhak memilih adalah sebanyak berjumlah 3.227.586 orang, dengan jumlah pemilih pemula sebanyak 77.479 orang. Saat itu Pemilukada Aceh masih dijadwalkan pada 16 Februari 2012. Karena adanya gugatan ke MK yang meminta Pemilukada Aceh diundur, KIP harus memperbaiki DPT dengan mengakomodir pemilih pemula dan warga yang belum terdaftar. Pada 5 Maret 2012, KIP Aceh mengumumkan bahwa warga yang berhak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilukada Aceh 9 April 2012 adalah sebanyak 3.244.680 orang. Angka ini bertambah 17.094 orang dari daftar pemilih tetap yang telah ditetapkan sebelumnya. Dari 3.244.680 warga Aceh yang berhak menggunakan hak pilihnya, sebanyak 2.381.183 suara dinyatakan sah. Dari total jumlah DPT, terdapat 863.497 warga Aceh yang berhak memilih dalam Pemilukada 2012 tidak menggunakan hak pilihnya. Maka jumlah pemilih yang tak menggunakan hak pilihnya (termasuk suara rusak) mencapai 26,6 persen atau hampir mendekati perolehan suara yang diraih pasangan

189 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Irwandi-Muhyan. Angka tersebut menunjukkan peningkatan jumlah pemilih yang tak memberi suara alias golput dibanding Pilkada 2006. Jumlah golput dalam Pilkada saat itu mencapai 528.196 atau 20,06 persen dari jumlah DPT 2.632.935 orang. Sebenarnya upaya Komisi Independen Pemilihan (KIP) melakukan sosialisasi agar warga dapat menggunakan hak pilihnya dan terdaftar dalam Pemilukada bisa dikatakan cukup maksimal. KIP melakukan sosialisasi sampai ke tingkat kecamatan, mengajak pemilih memastikan dirinya terdaftar. KIP juga melibatkan media baik cetak, audio maupun visual dalam melakukan serangkaian kegiatan sosialisasi. Tetapi masalahnya banyak juga ditemukan warga yang mengaku tidak pernah didatangi petugas pendaftaran pemilih. Menurut warga, ini berbeda dengan pengalaman Pemilu maupun Pilkada sebelumnya, dimana petugas pendaftaran datang untuk melakukan pendataan ulang. Sesuai aturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, sebenarnya DPT Pemilukada Aceh 2012 berasal dari data DPT yang ditetapkan pada Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden 2009. Saat itu jumlah warga yang berhak menggunakan hak pilihnya sebanyak 3.003.222 orang. Apabila dilihat dari selisih angkanya, maka jumlah warga yang berhak memilih pada Pemilukada Aceh 2012 tidak berbeda jauh dari Pemilu 2009. Sementara pada Pilkada Aceh tahun 2006, jumlah pemilihnya lebih sedikit yakni 2.632.935 orang. Terkait pemenuhan hak pilih, terdapat berbagai masalah yang muncul. Bahkan sebelum pemungutan suara digelar. Misalnya, terjadi perselisihan jumlah pemilih di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Timur, dimana warga dari lima desa di Aceh Timur masuk dalam DPT

190 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

Bener Meriah. Lima desa itu adalah Desa Sarah Gele, Sarah Reje, Ranto Panyang, Garut, dan Kampung Sejuk. Sebenarnya kelima desa itu masuk ke dalam wilayah Aceh Timur, yang berbatasan langsung


dengan Bener Meriah. Aksi protes terhadap penetapan DPT yang dilakukan KIP Bener Meriah meluas, bahkan harus melibatkan KIP Aceh untuk menyelesaikan kisruh tersebut. Warga dan mahasiswa sempat beberapa kali menggelar unjukrasa. Mereka menuding masuknya warga lima desa di Aceh Timur ke dalam DPT Bener Meriah sebagai upaya pengelembungan suara untuk memenangkan salah satu calon yang ikut Pemilukada di kabupaten pemekaran Aceh Tengah itu. Mereka juga sempat minta Ketua KIP Bener Meriah diberhentikan. Pemerintah Aceh dan KIP Aceh akhirnya turun tangan dengan menggelar rapat untuk mencari solusi bersama pejabat kedua kabupaten itu. Ahkirnya diputuskan bahwa 735 pemilih yang masuk DPT Bener Meriah harus dicoret, dan hanya berhak memilih di Aceh Timur. Dengan begitu jumlah DPT di Aceh Timur bertambah menjadi 255.646 orang dari sebelumnya 255.605 orang. Sementara pemilih tetap di Bener Meriah menjadi 89.566 orang, dari sebelumnya yang ditetapkan berjumlah 90.342 orang. Persoalan juga muncul jelang pelaksanaan pemungutan suara saat nama-nama warga yang berhak memilih dikeluarkan dan ditempel pada lokasi dekat Tempat Pemungutan Suara (TPS). Warga banyak mengeluhkan keakuratan data tersebut. Terdapat kesalahan penulisan nama, jenis kelamin pemilih dan juga lokasi tempat tinggal pemilih. Warga yang memiliki nama sama kebingungan menemukan nama mereka karena data tidak akurat. Bahkan ada warga yang telah meninggal dunia masih masuk DPT. Semua daerah yang dilakukan pemantauan ditemukan kasus seperti itu. Laporan dari beberapa media juga menyebutkan kasus serupa di hampir seluruh wilayah di Aceh. Selain itu, warga yang sebelumnya pernah ikut Pemilu tak terdaftar dalam Pemilukada Aceh 2012. Hal itu terjadi di Bener Meriah dimana seorang warga mengaku tidak bisa menggunakan hak pilihnya dalam

191 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Pemilukada kali ini karena namanya tak masuk dalam DPT. Temuan itu merupakan hasil wawancara yang dilakukan relawan ketika melakukan pemantauan. Dia bernama Muhammad Yunus, 26 tahun, warga Simpang Tritit. Sementara di Banda Aceh ditemukan ada warga yang dapat memilih di dua Kecamatan berbeda. Irwansyah, 38 tahun, warga Ulee Kareng, mengaku mendapatkan dua lembar surat undangan untuk memilih. Hal itu terjadi karena ketidakakuratan dan tidak adanya pembaruan daftar penduduk di masing-masing desa, sehingga kemudian masuk dalam Daftar Pemilih Tetap. Tapi ia sadar akan kesalahan itu hanya menggunakan hak pilihnya disatu tempat. Di Banda Aceh juga ditemukan kasus tidak ada pemutakhiran data pemilih. Warga yang sebelumnya ikut Pemilu, tak dapat menggunakan hak pilihnya dalam Pemilukada 9 April 2012. Padahal anggota keluarga yang lain mendapat undangan dan dapat memberikan suaranya. Kasus lain terkait pendataan pemilih dan DPT juga terjadi di beberapa rumah tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan di Aceh. Malah terjadi insiden penyanderaan kotak suara Pemilukada di Lembaga Pemasyarakatan Lhokseumawe. Kasus itu berpunca pada persoalan banyak penghuni Lapas tidak terdaftar sebagai pemilih. Hasil pemantauan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyebutkan persoalan data pemilih di lembaga pemasyarakatan, rumah sakit, dan kelompok rentan tidak diperbaiki. Sehingga banyak warga penghuni Lapas, rumah sakit dan penyandang cacat tak dapat memberi suaranya dalam Pemilukada Aceh. Di Lapas Kelas II A Banda Aceh, hanya 18 tahanan masuk DPT dan berhak memberikan suara. Padahal jumlah tahanan di LP itu mencapai 473 orang. Untuk mengindari kecemburuan antar sesama penghuni LP,

192 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

petugas terpaksa membatalkan proses pemungutan suara Pemilukada. Persoalan tak akurat data pemilih menjadi masalah sering mencul. Petugas Pendaftaran pemilih di beberapa daerah bahkan tidak


melakukan pendataan pemilih. Mereka hanya mengambil data pemilih di tingkat kecamatan dan tidak mengecek kembali kebenaran data. Akibatnya data tidak valid. Beberapa warga mengaku tidak pernah didatangi oleh petugas pendaftaran pemilih yang seharusnya mengecek kembali kebenaran data yang ada, untuk kepentingan memperbaharui data. Beberapa hari sebelum hari pencoblosan, petugas datang untuk menempelkan stiker yang menandakan bahwa rumah warga itu telah didata dan penghuninya masuk dalam DPT. Sebenarnya persoalan data pemilih bukan masalah baru. Sebab di beberapa pemilihan sebelumnya masalah yang sama juga muncul. Dalam Pilkada 2006, masalah data pemilih juga terjadi dan bahkan banyak korban tsunami 2004 tidak masuk dalam DPT. Selain itu, dalam Pilkada Aceh 2006 juga banyak warga tak bisa memilih karena tidak masuk dalam DPT. Padahal pada Pemilu 2004 mereka dapat menggunakan hak suaranya. Pemilukada Aceh yang jadwalnya sempat tertunda empat kali seharusnya memberikan banyak waktu bagi petugas pendaftaran untuk memverifikasi data pemilih. Sehingga persoalan klasik ini tak muncul lagi dalam Pemilukada Aceh 2012. Tapi apa mau dikata, persoalan itu tetap saja muncul akibat tidak profesionalnya penyelenggara Pemilukada. Masalah data pemilih juga menjadi hal krusial yang dilakukan selain memastikan bahwa pelaksanaan Pemilukada berjalan lancar, tanpa intimidasi. Ketidakakuratan data pemilih membuat proses pemungutan suara Pemilukada terciderai. Dalam pesta demokrasi lima tahunan, pemutakhiran DPT merupakan hal yang penting dan vital. Pemutakhiran data pemilih memerlukan usaha yang benar-benar serius dari pihak penyelenggara agar semua warga yang berhak memilih dapat menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara. Untuk menghasilkan DPT akurat, pemutakhiran data pemilih wajib dilaksanakan dengan teliti, cermat, sistematis dan serinci mungkin. Pada kenyataannya pemutakhiran

193 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


seringkali menghadapi banyak tantangan, sehingga menimbulkan masalah menjelang hari pencoblosan atau timbulnya gugatan dari pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil pemungutan suara. Beberapa hal yang dianggap menjadi tantangan besar dalam proses pendataan pemilih di antaranya mengenai rendahnya kesadaran masyarakat untuk melakukan pendaftaran dirinya jika tak tercantum dalam DPT. Kesibukan masyarakat dan ketidaktahuan tentang hak dan penentuan DPT juga menjadi kendala tersendiri. Belum akuratnya pendataan penduduk juga dianggap menjadi kendala. Selain itu, rendahnya kesadaran masyarakat untuk mengurus data kependudukan yang berbasiskan pada nomor identitas tunggal secara nasional dapat mengakibatkan berbagai macam kekeliruan dalam pemutakhiran data seperti tidak tercatatnya warga yang pindah domisili, meninggal dunia dan bahkan banyak warga tercatat di dua tempat pemilihan berbeda. Kesan yang timbul dari kasus-kasus data pemilih yang terjadi dalam Pemilukada Aceh 2012 ialah penyelenggara pemilihan tak belajar dari pengalaman pemilihan sebelumnya. Penyelenggara cenderung mengabaikan dan menganggap persoalan data pemilih tidak terlalu penting. Warga tentu tidak bisa disalahkan atas keengganan atau ketidaktahuan mereka mendaftarkan diri agar dapat menggunakan hak pilihnya. Sebagai pemegang kedaulatan di negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, rakyat patut dijamin hak-hak dasarnya. n

194 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI


Rentetan Kekerasan

K

ekerasan bersenjata yang diduga terkait Pemilukada Aceh pertama terjadi pada 22 Juli 2011. Seorang bekas kombatan GAM yang menjabat Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA)

Kabupaten Bireuen, Amiruddin Husen alias Saiful Cagee, 42, ditembak mati oleh orang tak dikenal di Matang Geulumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Bireuen. Cagee disebut-sebut mantan GAM yang menolak pencalonan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf untuk gubernur dan wakil gubernur dari Partai Aceh saat berlangsung pertemuan partai lokal tersebut. Cagee adalah pendukung setia Irwandi Yusuf. Pimpinan Partai Aceh dan KPA Pusat juga memecat sejumlah kader karena mendukung Irwandi sebagai calon gubernur. Mereka antara lain

195 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Ligadinsyah (jurubicara Partai Aceh), Muharram (Ketua KPA Kabupaten Aceh Besar), Irwansyah alias Mukhsalmina (jurubicara KPA pusat), dan beberapa tokoh lain baik dari Partai Aceh maupun KPA. KPA merupakan organisasi yang dibentuk untuk menampung bekas kombatan GAM setelah tercapainya perjanjian damai dengan pemerintah Indonesia, dalam upaya mempercepat reintegrasi. Tapi dalam perjalannya, KPA menjadi kekuatan tersendiri dalam percaturan politik Aceh. Saat kisruh politik pada tingkat elit menyangkut aturan pelaksanaan Pemilukada Aceh, banyak pihak memperkirakan situasi Aceh kian memanas karena elit tak juga mencapai kesepakatan hingga akhir tahun 2011. Rentetan kekerasan mulai mewarnai keseharian Aceh. Pada 29 November 2011, kantor tim sukses pasangan calon Gubernur Aceh yang diberi nama “Seuramoe Irwandi-Muhyan” di Banda Aceh dilempari granat oleh orang tak dikenal, tetapi tidak ada korban jiwa. Hanya beberapa bagian kantor rusak ringan terkena serpihan granat. Dua hari kemudian, granat kembali dilemparkan ke rumah yang sering dipakai pejabat Kementerian Polhukam apabila berkunjung ke Banda Aceh sehingga mengakibatkan tiga warga yang sedang melintas di jalan menderita luka ringan akibat terkena serpihan. Letak Mess itu berkisar 100 meter dari “Seuramoe Irwandi-Muhyan.” Pada 4 Desember 2011, sejumlah pria tak dikenal bersenjata laras panjang mengenakan penutup wajah menyantroni kawasan perkebunan karet PT Setya Agung di Kecamatan Geureudong Pasee, Kabupaten Aceh Utara, sekitar pukul 23:30 Wib. Setelah bertanya asal para pekerja yang sedang menonton televisi di kantin PT Setya Agung, kelompok bersenjata melepaskan tembakan ke arah para pekerja yang sebagian besar berasal dari Sumatera Utara. Tiga orang tewas di tempat dan lima lainnya menderita luka tembak.

196 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

Kapolda Aceh Irjen Pol Iskandar Hasan ketika ditanya wartawan sehari setelah kejadian, menyatakan dugaan motif penembakan itu berlatar belakang faktor ekonomi. Kapolda Aceh juga mengungkapkan,


800 – 1.000 pucuk senjata api ilegal masih beredar di tangan warga tak berhak. Dia meyakini senjata-senjata itu sisa konflik. Guna memburu senjata api illegal, Kapolda Aceh mengeluarkan maklumat pada 14 Februari 2012, supaya warga yang masih menyimpang senjata api ilegal untuk menyerahkan kepada polisi sampai batas waktu 20 Februari 2012. Hingga deadline berakhir, hanya 13 pucuk senjata yang diserahkan warga kepada polisi. Jajaran polisi di Aceh juga melancarkan “Operasi Kilat Rencong 2012” untuk memburu senjata api ilegal. Menurut Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol Gustav Leo, operasi yang berakhir 11 Maret 2012 dengan target utama di kabupaten-kabupaten Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Kota Lhokseumawe. Sedangkan, kabupaten lain digelar operasi rutin. Hingga berakhirnya batas operasi, polisi menyita sejumlah senjata api ilegal. Tahun 2011, jajaran polisi di Aceh menerima penyerahan 43 pucuk senjata, puluhan granat dan lebih dari 7.000 butir peluru. Publik kembali dikejutkan dengan penembakan Malam Tahun Baru 2012 di dua lokasi terpisah. Seorang pria yang mengendarai sepeda motor memberondong senjata jenis AK ke arah para pekerja kabel optik PT Telkomsel yang sedang beristirahat di baraknya, Gampong Blang Cot Tunong, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen. Tiga orang tewas di lokasi dan tujuh lainnya mengalami luka tembak. Mereka ada para pekerja dari Pulau Jawa. Di waktu hampir bersamaan, seorang warga yang bertugas menjaga toko mainan “Istana Boneka” di Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, juga ditembak mati oleh orang tidak dikenal. Korban juga warga etnis Jawa. Dalam waktu 24 jam, lima pria bersenjata menembak warga yang sedang minum kopi di Desa Seurekey, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara. Seorang warga tewas dan satu lagi menderita luka tembak. Aksi penembakan tak berhenti karena pada 5 Januari 2012, tiga buruh bangunan yang sedang beristirahat di Aneuk Galong, Kecamatan

197 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Sukamakmur, Aceh Besar, ditembak oleh dua pria tak dikenal. Seorang korban meninggal dunia sehari kemudian. Lagi-lagi, korban ialah pekerja dari Pulau Jawa. Akibat serangkaian kekerasan itu telah memaksa para pekerja dari Pulau Jawa memilih meninggalkan Aceh. Kekerasan bersenjata terus berlanjut. Pada 10 Januari 2012, rumah seorang calon Bupati Aceh Utara, Misbahul Munir di Gampong Keude Krueng, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara, ditembak sejumlah orang tak dikenal. Saat kejadian, Misbahul sedang tak berada di rumah. Tidak ada korban jiwa dalam insiden itu. Misbahul menjabat Wakil Ketua DPR Kabupaten Aceh Utara yang dipecat oleh Partai Aceh karena maju sebagai calon bupati setelah MK memerintahkan KIP untuk membuka perdaftaran calon, November 2011. Kemudian, 5 Februari 2012, rumah Asnawi Abdul Rahman, anggota tim sukses pasangan Irwandi-Muhyan di Kecamatan Peureulak, Aceh Timur, ditembak oleh orang tak dikenal. Tidak ada korban jiwa dalam insiden karena Asnawi dan keluarga tak berada di rumah. Lalu, Ketua DPR Kota Lhokseumawe Saifuddin Yunus ditembak oleh dua pria tak dikenal sesaat korban tiba di rumahnya di Gampong Alue Awe, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Akibat aksi penembakan yang terjadi pukul 2:30 Wib tanggal 8 Maret 2012, korban yang merupakan politisi Partai Aceh menderita luka tembak di pinggang kanan. Selain kekerasan bersenjata, pembakaran juga ikut mewarnai pelaksanaan Pemilukada Aceh. Pada 15 Februari 2012, rumah orangtua calon wakil Bupati Pidie, Muhammad MTA di Gampong Sagoe, Kecamatan Simpang Tiga, dibakar orang tidak dikenal dengan menyiram minyak. Hanya bagian pintu belakang rumah yang terbakar, karena api segera dipadamkan. Lalu 23 Februari 2012, rumah orangtua Thamren Ananda (Sekjen Partai Rakyat Aceh –partai lokal yang tidak

198 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

memiliki kursi di DPR Aceh) dan anggota tim sukses Irwandi-Muhyan di Kayee Raya, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya, juga dibakar orang tak dikenal dengan pola sama seperti upaya pembakaran rumah


orangtua MTA. Kendati tak ada korban jiwa, dapur rumah itu hangus dilalap api. Baik MTA maupun Thamren meyakini aksi itu bentuk teror jelang Pemilukada. Aksi teror dan intimidasi semakin gencar terjadi jelang dan saat berlangsung kampanye meskipun para kandidat gubernur sepakat mendukung Pemilukada damai yang ditandai dengan suatu deklarasi bersama di halaman Masjid Raya Baiturrahman tanggal 14 Maret 2012. Dalam deklarasi damai Pemilukada itu, para calon sepakat untuk menggelar pesta demokrasi demi terwujudnya Aceh yang bermartabat, aman, damai dan sejahtera. Poin kedua berbunyi, “Memastikan massa pendukung untuk berkampanye sesuai aturan dan norma yang berlaku.� Mereka juga berjanji, saling menghormati antara sesama peserta Pemilukada dengan tidak mengintimidasi, memprovokasi atau melakukan tindakan yang dapat menciderai perdamaian dalam segala bentuk demi pemilihan demokratis di Aceh. Para pasangan calon gubernur Aceh juga menyatakan siap menerima kekalahan dengan lapang dada dan menghargai yang menang. Deklarasi Pemilukada damai itu dihadiri oleh Menko Polhukam Djoko Suyanto, Mendagri Gamawan Fauzi, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ketua Bawaslu, sejumlah anggota DPR RI serta DPD RI, para anggota DPR Aceh, pejabat teras pemerintah Aceh, dan para calon bupati/walikota dari seluruh Aceh serta ratusan warga Banda Aceh. Namun, fakta di lapangan sangat jauh dari harapan deklarasi Pemilukada damai. Selama masa kampanye mulai 22 Maret hingga 5 April 2012, seolah tiada hari tanpa kekerasan. Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Aceh mencatat 57 kasus kekerasan teror dan intimidasi terhadap warga dan tim sukses pasangan calon. Selain itu, bentrokan fisik antara para pendukung kandidat di beberapa lokasi, pengrusakan alat kampanye hingga pembakaran mobil terjadi

199 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


selama masa kampanye. Polisi dibantu Detasemen Khusus (Densus) 88 anti-teror berhasil membongkar jaringan yang melakukan penembakan jelang Pemilukada Aceh. Polisi menangkap belasan orang yang diduga pelaku aksi kekerasan tersebut dalam beberapa penggerekan selama Maret 2012. Menurut polisi, dalang utama serangkaian penembakan itu adalah Vikram alias Ayah Banta, seorang tokoh Partai Aceh yang juga mantan anggota GAM. Demi alasan fokus pengamanan Pemilukada, para tersangka diangkut ke Jakarta untuk diperiksa di Mabes Polri. Para tersangka itu dijerat dengan pasal terorisme. Hingga Desember 2012, proses hukum terhadap mereka masih berlangsung di Jakarta. n

200 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI


Pencoblosan dan Pemenang

T

anggal 9 April 2012, masyarakat Aceh memilih satu dari lima pasangan calon gubernur yang diharapkan mampu mengubah sistem pemerintahan menuju ke arah lebih baik dan bisa

meningkatkan perekonomian Aceh. Selain itu, rakyat Aceh juga memilih empat walikota dan 13 bupati. Melalui pemilihan langsung kedua itu, kedaulatan politik benar-benar berada di tangan rakyat. Rakyat menentukan sendiri pemimpin eksekutif daerah tanpa keterlibatan dan intervensi pihak manapun. Namun, sejauh mana kepala daerah hasil Pemilukada benar-benar bertanggungjawab dan berpihak terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat, barangkali masih menimbulkan pertanyaan besar. Begitu pula,

201 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


kualitas demokrasi dan tata pemerintahan daerah hasil Pemilukada, mungkin masih memerlukan waktu untuk mengevaluasi dan menilainya. Sebagian pihak menilai, pesta demokrasi di Aceh mulai membaik. Ini tercermin dalam proses persiapan pemilihan kepala daerah yang membutuhkan waktu panjang lebih dari setahun. Kehadiran partai lokal dalam Pemilukada Aceh juga memberi proses demokrasi menjadi lebih baik dari sebelumnya. Meski kekerasan dan intimidasi selama pelaksanaan pesta demokrasi di Aceh, menurut laporan pemantauan Uni Eropa, Aceh saat ini dalam proses demokrasi untuk menjalankan agenda sangat penting ini. Jutaan orang yang terdaftar sebagai pemilih mendatangi 9.786 tempat pemungutan suara (TPS) mulai pukul 8:00 hingga 14:00 Wib. Sehari sebelum hari pencoblosan, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Aceh mengimbau masyarakat Aceh untuk tak perlu merasa takut terhadap berbagai bentuk provokasi dan intimidasi karena aparat keamanan akan mengamankan tahapan Pemilukada, termasuk pemungutan dan penghitungan suara. “Kepada para calon dan pendukungnya diminta menciptakan kondisi aman, tenteram dan tertib dalam suasana kekeluargaan dengan tidak mengintimidasi, memprovokasi dan melakukan tindakan yang dapat menciderai perdamaian di Aceh.” Begitu imbauan yang ditandatangani Penjabat Gubernur Aceh Tarmizi A. Karim, Kapolda Aceh Irjen Pol. Iskandar Hasan, Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Adi Mulyono, Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah dan Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh T.M Syah Rizal. Seluruh masyarakat Aceh diminta berperan aktif mengawasi proses pemungutan dan penghitungan suara sehingga Pemilukada dapat berjalan demokratis. Warga yang terdaftar sebagai pemilih diminta memberi hak pilih sesuai keyakinan.

202 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

Kabid Humas Polda Aceh, Kombes Pol. Gustav Leo menyebutkan, polisi mengerahkan 8,776 personel dibantu 1,730 anggota TNI untuk mengamankan Pemilukada. Selain itu, terdapat 20.000 lebih personel


Linmas untuk mengamankan TPS-TPS. Gustav mengaku potensi intimidasi dan ancaman terhadap pemilih tinggi, terutama di Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Kota Lhokseumawe. Kawasan pantai timur dan utara Aceh itu merupakan basis kekuatan GAM ketika Aceh masih didera konflik bersenjata. Sehari sebelum “Hari H”, Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah (Panwaslu) Aceh, Nyak Arief Fadhillah Syah, menyatakan, potensi kecurangan Pemilukada sangat besar mulai dari masa tenang, hari pencoblosan hingga penghitungan suara. “Potensi kecurangan sangat besar, karena ada teror dan intimidasi terhadap masyarakat, kepala desa dan penyelenggara di tingkat desa untuk memenangkan calon tertentu,” katanya kepada wartawan. Meskipun tak sebanyak Pilkada 2006, Pemilukada 2012 juga masih mendapat perhatian

dari masyarakat internasional. Ketua

Pokja Pemantauan KIP Aceh, Yarwin Adi Dharma, menyatakan ada tiga pemantau internasional serta 15 pemantau lokal dan nasional. Ketiga pemantau asing adalah Asian Network for Free Elections (ANFREL) dari Thailand, Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Selain itu, Kedutaan Besar Jerman, Perancis, Belanda, Swedia, dan Norwegia mengirim utusan untuk meninjau Pemilukada Aceh. Saat pencoblosan, jalan-jalan utama di Banda Aceh dan ibukota kabupaten/kota terlihat sepi dan lengang hingga jelang siang. Tokotoko tutup. Sekolah dan kantor pemerintah diliburkan. Begitu kotak suara dibuka pukul 8:00 Wib, terlihat warga antusias memberi hak pilihnya. Pada beberapa TPS pinggiran Banda Aceh terlihat pemilih antri dan sabar menunggu panggilan petugas TPS. Menjelang petang, dua lembaga yaitu Lingkaran Survei Indonesia dan Lembaga Survei Indonesia mengumumkan hasil quick count Pemilukada Gubernur. Candra Hendarnoto, peneliti Lingkaran Survei Indonesia dalam konferensi pers, menyatakan bahwa pasangan ZainiMuzakir meraup 54,40 persen suara, disusul Irwandi-Muhyan yang

203 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


meraih 29,88 persen suara. Posisi ketiga ditempati pasangan NazarNova yang mendapat 7,77 persen suara, disusul pasangan DarniAhmad dengan perolehan suara 4,11 persen dan di posisi buncit pasangan Abi Lampisang-Suriansyah yang memperoleh 3,84 persen suara. Hasil Lembaga Survei Indonesia tidak diumumkan secara resmi, tetapi ditampilkan pada sebuah layar. Hasilnya tidak jauh berbeda dengan Lingaran Survei Indonesia. Pasangan Zaini-Muzakir meraih 55,74 persen suara disusul Irwandi-Muhyan 28,7 persen, Nazar-Nova 7,62 persen, Darni-Ahmad 4,24 persen dan Abi Lampisang-Suriansyah 3,7 persen. KIP Aceh baru mengumumkan hasil resmi Pemilukada Gubernur dalam rapat pleno dan rekapitulasi hasil pada 17 April 2012. Dalam rapat terbuka yang digelar di Gedung DPR Aceh, Zaini-Muzakir meraih 1.327.695 atau 55,75 persen suara, disusul Irwandi-Muhyan sebanyak 694.515 atau 29,18 persen suara. Lalu berturut-turut disusul NazarNova yang mendapat 182.676 atau 7,65 persen suara, Darni-Ahmad memperoleh 96.767 atau 4,07 persen suara. Sedangkan pasangan Abi Lampisang-Suriansyah meraih 79,338 atau 3,33 persen suara. Proses rekapitulasi suara itu tak dihadiri saksi pasangan IrwandiMuhyan. Seperti telah diprediksi, mereka akhirnya menggugat hasil Pemilukada ke MK. Setelah melakukan beberapa kali persidangan dengan memeriksa saksi-saksi, MK memutuskan menolak gugatan Irwandi-Muhyan. Para kandidat yang diusung Partai Aceh juga meraih kemenangan di Kota Sabang, Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Aceh Timur, Kota Langsa, Aceh Jaya, Aceh Barat Daya, dan Bireuen. Berbeda dengan hasil Pilkada 2006, kali ini tidak ada satu pun calon

204 DINAMIKA POLITIK ACEH PASKA DAMAI

independen yang meraih kemenangan. Seluruh tampuk kekuasaan di provinsi dan kabupaten/kota dimenangkan para kandidat yang diusung partai politik. n


205 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


206 NARASI, AKTOR DAN PETA DEMOKRASI LOKAL DI ACEH


LAMPIRAN


Isu Demokrasi • Kurangnya respon pemerintah terhadap isu-isu demokrasi • Belum terjaminnya kesejahteraan masyarakat • Pelabuhan bebas (freeport) dinilai masyarakat, menjadi lahan korupsi pemerintah. • Organisasi Masyarakat Sipil terlibat dalam politik praktis Isu Demokrasi • Pengelolaan sumberdaya alam dan Kerusakan lingkungan • Penyelesaian sengketa yang belum berbasis masyarakat • Relasi sosial yang terganggu akibat dinamika politik pemilihan, pasca-Pilkada 2012.

SABANG

ACEH BESAR

Agenda Demokrasi • Memperkuat forum silaturahmi tokoh-tokoh di Aceh Besar yang sudah menjadi agenda rutin, sebagai ajang mencari solusi terhadap berbagai berbagai kendala demokrasi • Memberikan masukan dan rekomendasi-rekomendasi pembangunan kepada pemerintahan baru

Agenda Demokrasi • Melakukan pelatihan-pelatihan tentang demokrasi • Mendorong pemerintah untuk mengontrol harga pasar

Isu, Agenda Demokrasi dan Rekomendasi

Rekomendasi • Input berbagai isu demokrasi dan pembangunan kepada pemerintah sebagai bentuk tangung jawab warga, melalui tokoh masyarakat dan tokoh partai yang menguasai pemerintahan

Rekomendasi • Mendorong kelompok masyarakat sipil untuk lebih terorganisir, efektif dan efisien dalam menyuarakan isu-isu demokrasi

RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU

208


Isu Demokrasi • Isu demokrasi masih terkait kekerasan dan ketidakadilan dalam Pilkada Aceh 2012 • Praktek yang dilakukan partai politik tidak mencerminkan proses demokrasi yang baik • Adanya aktor-aktor yang anti demokrasi, terutama terkait dalam persoalan penegakan hukum. • Penyusunan anggaran pemerintah tidak melibatkan partisipasi publik • Sulitnya akses informasi oleh masyarakat dan kelompok sipil lainnya.

ACEH BARAT

LAMPIRAN

209

Isu Demokrasi • Isu Demokrasi (dicurigai) dimainkan sebagai strategi pemilik modal untuk penguasaan ekonomi. • Akses ekonomi masih menjadi monopoli kelompok-kelompok lama yang memiliki modal kuat • Pemerintah kota belum bersikap adil terhadap kelompok minoritas

BANDA ACEH

Agenda Demokrasi • Konsolidasi rencana aksi dalam merumuskan agenda penguatan demokrasi di masa akan datang • Pemberdayaan ekonomi terhadap masyarakat di kawasan tertinggal

Agenda Demokrasi • Konsolidasi antar Organisasi Masyarakat Sipil untuk terlibat dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah terkait isu-isu demokrasi

Rekomendasi • Penguatan proses demokrasi ke arah yang lebih baik perlu terus dilakukan dalam berbagai isu; politik, hukum, sosial masyarakat dan pembangunan

Rekomendasi • Organisasi Masyarakat Sipil harus mampu masuk dalam sistem untuk mempengaruhi pengambil kebijakan


Isu Demokrasi • Adanya perilaku anti demokrasi yang diperankan kelompok tertentu dalam Pilkada 2012, seperti intimidasi kepada masyarakat • Adanya praktik money politics dalam Pilkada 2012 • Kecurangan demokrasi di lingkungan pemerintah seperti penyalahgunaan wewenang dan keterlibatan pegawai dalam politik praktis • Organisasi Masyarakat Sipil yang mengkritisi pemerintah masih diposisikan sebagai lawan Isu Demokrasi • Masih adanya dominasi kekuasaan oleh pemerintah terkait isu-isu demokrasi • Konflik agraria antara pemerintah Konflik Agraria • Tata kelola pemerintahan yang belum sesuai dengan keinginan rakyat • Warga belum berdaulat atas ekonomi di wilayahnya • Kualitas pendidikan yang rendah

ACEH BARAT DAYA

BENER MERIAH

Agenda Demokrasi • Penguatan kelompok prodemokrasi dan aktor-aktor politik • Mendorong kepala daerah untuk mampu memperjuangkan keinginan rakyat dalam mencapai kesejahteraan

Agenda Demokrasi • Pendidikan politik kepada masyarakat dan pemerintah secara berkelanjutan • Memperkuat gerakan sipil untuk memberikan berbagai rekomendasi kepada pemerintah

Rekomendasi • Penguatan Organisasi Masyarakat Sipil dan merumuskan agenda aksi, kerangka demokrasi yang lebih jelas di wilayah tersebut

Rekomendasi • Mendorong pemerintah agar merespon dan lebih peduli terhadap isu-isu demokrasi yang disuarakan Organisasi Masyarakat Sipil

RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU

210


KONTRIBUTOR

RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU

Nama

Lembaga

Aduwina

Sombep

Andilia Frisma

DPC Granat A.B

Ainul

LBH

Anwar

Antara/RRI

Aswin Nasution Abral Bumah

YPS

Asmaini

masyarakat

Alja Yusnadi

ACSTF

Andi Rizal

Sare School

Agus Jumaidi

SOMAP

Abdullah

Tunas Bangsa

Asnawi

Mukim SIEM

Asmawati Achmad

PKBI

Agusta Mukhtar

MPD

Asyraf Fuaddy Aries Irwansyah

KNPI

Agus Rizal

BSM

Aditya

SAIN

Abdul Majid

KNPI

Almudassir

Kaukus Pemuda A.Besar

211 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


Ailisa Desri Yanti

Perempuan Gampoeng

Agus MT

MPD

Aiyub Ys

MAA A.Besar

Akrullah

masyarakat

Aulia Rahmatika

masyarakat

Abdullah

masyarakat

Askhalani

Gerak Aceh

Afrizal Tjoetra

ADF

Asy-ary

masyarakat

Baiksyah

masyarakat

Baihaqi

MaTa

Bahagia Arbi Bob Fakrulrazi

HMI STKIP

Bachtiar

HMI

Cut Pramesyukri R.F

GPS

Dedy Satria Darul Arkam

212 LAMPIRAN

Dedi Muzani

HMI Serambi Mekkah

Debby Sartika

KNPI A. Besar

Dayana

masyarakat

Dasmi Husin

An-Nisa

Desi Jumaidir

LPA

Darzam

Mukim Lubuk Ingin Jaya

Debby Fartika

DPD KNPI

Eva Khovivah

Flower Aceh

Edy Maryono

Asoh

Eri Firdaus

Kammi Abdya

Eka Panca Oktian

PII

Elly Misra Devita

YAB

Edi

masyarakat

Fatimah Syam

RPUK

Firdaus

MDPM Aceh


Fuadi Yusuf

DPD KNPI

Faridah

masyarakat

Feriyanto

HMI

Feri Yanto

masyarakat

Fuadi Yusuf

KNPI A. Besar

Firdaus

masyarakat

Firmasyah SE

ADC Waket I DPRA

Fitria Susiana

GPS

Fatimah Syam

RPUK

Ferryzal Umar

Kobar-GB

Gusrizal

masyarakat

Hartono Ibda

FB

Hendri Syafrizal

P4l- Meulaboh

Hendrik

JKMA

Hanif Sofyan

Walhi Aceh

Hendra

masyarakat

Husaini M.nur

masyarakat

Hasan

Â

Hilmaliani

KNPI A. Besar

Hairil Adha

masyarakat

Iskandar Roby

CTB

Irfandi

FLSM

Iskandar

PCC

Indra Saputra

MPM- USM

Iskandar

masyarakat

Irzam

Orkal Gampoeng

Iqbal Faraby

KAB

Ismu Ridha

BKPRMI

Jalisal Efendi

FB

Jehalim Bangun

YAB

Juanda Djamal

ACSTF

Jarjani

unsur gampong

213 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


214 LAMPIRAN

Jefriadi

masyarakat

Juanda Delian

masyarakat

Lizadayani

KIA

Lismawati

masyarakat

Liza Dayani

Katahati Institute

Lola Alfita

Radio Fas

M.Husaini, S.Ag

masyarakat

Muhammad Nur

masyarakat

Mawardi Juned

Mukim

M. Isra

masyarakat

M.Haikal

masyarakat

M.Hatta

masyarakat

M.Rizal

Pertiba

Mahyudin

masyarakat

Mudatsir

masyarakat

Murdani

PII

Muhajir

PII

Maulana

Mahaiswa

M. Yahya AR

masyarakat

M. Irvan syah Putra

MPM- USM

Mukhlis diyanto

Somasi

M.Ansari

masyarakat

Marzuki

masyarakat

M. Syahkian

MPM- USM

Mizan

Bem STKIP Abdya

Muhammad Fitri

Bem STIT

Mustawa Samlia

Abdya

M. Hasbi

SMUR

Muliadi

Gerak A.Bar

Maulana Ridha

MPK Aceh

Marzuki

YAB

Maimunzir

YRDPI


Mukhlis

Diliputnews

M. Bilal Habibi

Solidaritas Mahasiswa Peduli (Somap)

Mulyadi

YRDPI

Mizan

SOMAP

Nurdin

MAA Kota

Nursiti

Balai Syura

Nurbaiti

masyarakat

Nasrul Yunan

MAA

Nyak Dewiana

masyarakat

Nurrahman

Pertiba

Nurul Azis

PII

Konadi Adhami

masyarakat

Raihani

masyarakat

Rusli

masyarakat

Rusdi Putra

masyarakat

Rika jayanti

masyarakat

Reza Maldasi

masyarakat

Rahmat Darmawan

masyarakat

Riza Nasser

AJI Banda Aceh

Reza Rizki

FP3

Rusliadi

JKMA Aceh

Ruslan

Tengku Dayah

Riezky Ikhwan

masyarakat

Ridha Wahyuni

YBJ

Reza Idria

IAIN

Raihana

Mahasiswa A.Besar

Ramli

Tuha Peut

Rusli

Tuha Peut

Rusman

Cefil

Rusman

AF

Rusli

HMI

215 RANCANG BANGUN DEMOKRASI DALAM IMAJI ACEH BARU


216 LAMPIRAN

Sudirman

HMI

Sufriadi

AJMI

Syukran

CEI

Subki

Abdya Besedek

Safrizal

CEI

Said Marwan

MPU

Sa’dan

Nelayan

Subki

masyarakat

Syarifudin

masyarakat

Safri Isma

masyarakat

Supriadi

masyarakat

Saddam Fathani

masyarakat

Sabki Mustafa Habli

YPK

T.M Zulfikar

Walhi Aceh

T. Farhad Wardhana

MJC

T. Kasman

KMI

Tgk Fahrizal

RTA

Tarmizi

masyarakat

Tugino

SAIN

Tanzilurahman

masyarakat

Oma Arianto

FK-Gemab

Usman Bakri

masyarakat

Vira perdez

AOC

Yusra

masyarakat

Yeni Budiyarti

masyarakat

Zulfan Herman

PII

Zainal Fikri

Aceh Institute

Zulhelmi Ridwan

SMUR

Zainal Fikri

Aceh Institute

Zulkarnain

Tuha Peut

Zulfikar

masyarakat

Zulfan diara ST

masyarakat



Lalu demokrasi disebut sebagai pemerintahan berbagai minoritas, yang nilai dari prosesnya disandarkan pada aturan yang dibuat oleh oposisi minoritas yang beragam, ketimbang membuat kedaulatan mayoritas.

ISBN 978-979-16458-5-0

9 789791 645850

Jl. Jurong Dagang, Lr. Tripa No.1. Ceurih, Ulee Kareng Banda Aceh 23117, Indonesia Telp. +62 651 7410466 | Fax. +62 651 636947 Email: info@katahati.or.id Website: www.katahati.or.id


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.