Pendidikan Dasar Gratis Bermutu: Kajian Kebijakan dan Anggaran Daerah: Pendidikan Dasar Gratis

Page 1

PENDIDIKAN DASAR GRATIS BERMUTU

Kajian Kebijakan dan Anggaran Daerah: Pendidikan Dasar Gratis

KOTA TANGERANG, KABUPATEN TANGERANG, KABUPATEN SERANG KOTA SOLO, KABUPATEN MAGELANG, KOTA PEKALONGAN KOTA JOGJAKARTA KOTA MALANG, KABUPATEN GRESIK KABUPATEN JENEPONTO

PATTIRO INSTITUTE PATTIRO TRANSPARANCY AND ACCOUNTABILITY – RESULT 4 DEVELOPMENT TIFA FOUNDATION 2010


PENDIDIKAN DASAR GRATIS BERM U T U

KOTA TANGERANG, KABUPATEN TANGERANG, KABUPATEN SERANG KOTA SOLO, KABUPATEN MAGELANG, KABUPATEN PEKALONGAN KOTA JOGJAKARTA KOTA MALANG, KABUPATEN GRESIK KABUPATEN JENEPONTO

Kajian Kebijakan & Anggaran Daerah Untuk Penguatan Akuntabilitas Sosial (PEASA - Policy and Expenditure Analysis for Social Accountability)

PATTIRO INSTITUTE PATTIRO 2010


GLOSSARY OF TERMS APBD APBN BKM BOMM Mutu) BOS BPS Bupati DAK DASK DAU Dinas DPA-SKPD

Regional Government Budget, (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) State Budget (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) Special Assistance for Students (Bantuan Khusus Murid) Operational Assistance for Quality Management (Bantuan Operasional Manajemen

School Operational Assistance (Bantuan Operasional Sekolah) Central Bureau of Statistics (Badan Pusat Statistik) District Head Special Allocation Fund (Dana Alokasi Khusus) Work Unit Budget Document (Dokumen Anggaran Satuan Kerja) General Allocation Fund (Dana Alokasi Umum) Local Technical Agency Office Work Unit Budget Execution Document (Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah) DPRD Provincial/District House of Representatives (regional parliament) (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) GDP Gross Domestic Product GDS Governance and Decentralization Survey GER Gross Enrollment Rate (Angka Partisipasi Kasar) GoI Government of Indonesia GRDP Gross Regional Domestic Product HDI Human Development Index Kabupaten District (regency) Kepmen Ministerial Decree (Keputusan Menteri) Keppres Presidential Decision (Keputusan Presiden) Kota City (urban district) KUA General Budget Policy (Kebijakan Umum Anggaran) LG Local Government MoF Ministry of Finance MoHA Ministry of Home Affairs MoRA Ministry of Religious Affairs MoNE Ministry of National Education MSS Minimum Service Standard Musrenbang Annual Development Coordination Meeting (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) NER Net Enrollment Rate (Angka Partisipasi Murni) NGO Non-Governmental Organization PAD Own-Source Revenue (Pendapatan Asli Daerah) PEACH Public Expenditure Analysis and Capacity Harmonization PER Public Expenditure Review Perpu Regulation in Lieu of Law (Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang) Perda Regional Regulation (Peraturan Daerah) PPA Tentative Budget Ceilings and Priorities (Pagu dan Prioritas Anggaran) RAPBS Annual Budget of School (Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Sekolah) Regional Budget Consolidated Budget consisting Central Government Budget (Deconcentrated), Provincial Budget, and District Budget Renja-SKPD Work Unit Annual Work Plan (Rencana Kerja Satuan Perangkat Daerah) Renstra Educational Development Strategy (Rencana Strategis) RGDP Regional Gross Domestic Product RKA-SKPD Education Annual Work and Budget Plan (Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah) RKPD District Government Annual Work Plan (Rencana Kerja Pemerintah Daerag) RPJMD Local Government Medium-Term Development Plan (Rencana Jangka Menengah Pemerintah Daerah)


SD Primary School (Sekolah Dasar) SIKD Regional Finance Information System (Sistem Informasi Keuangan Daerah) SKPD Regional Government’s Working Unit (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) SMP Junior High School (Sekolah Menengah Pertama) STR Student Teacher Ratio Sub-national Budget Consolidated Budget consisting Provincial and District Budgets. Susenas BPS National Socio-Economic Survey (Survei Sosial Ekonomi Nasional) WB World Bank


KATA PENGANTAR Seri PEASA (Policy and Expenditure Analysis for Social Accountability) bertajuk “Pendidikan Dasar Gratis Bermutu� ini merupakan bagian dari insiatif yang dikembangkan PATTIRO Institute untuk mendorong perbaikan kebijakan menuju pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Bekerjasama dengan PATTIRO, dan didukung oleh Program Transpency and Accountability Result 4 Development Institute (USA) serta TIFA Foundation, studi dan konsultasi ini dilakukan di 15 daerah di Indonesia, dengan tujuan untuk menangkap gambaran implementasi kebijakan dan anggaran daerah terkait pelaksanaan pendidikan dasar gratis bermutu. Diharapkan laporan ini dapat memberikan masukan yang berharga bagi pembuat kebijakan baik di tingkat nasional maupun daerah, serta menguatkan proses-proses akuntabilitas sosial.

Jakarta, April 2010

PATTIRO Institute PATTIRO


DAFTAR ISI Singkatan Kata Pengantar Daftar Isi Ringkasan Bagian 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1.2 Metodologi Studi 1.3 Profil Daerah Studi Bagian 2. Konsep Pendidikan Dasar Gratis Bagian 3. Implementasi Pendidikan Dasar Gratis 3.1 Profil Capaian: Pemerataan Akses dan Peningkatan Mutu 3.2 Profil Pungutan: Gratis? 3.3 Arah dan Pola Kebijakan Daerah: Bagian 4. Belanja Pendidikan Dasar Gratis 4.1 Profil Anggaran Daerah Studi 4.2 Profil Anggaran Pendidikan 4.3 Analisa Belanja Pendidikan Dasar 4.4 Analisa Belanja Di Tingkat Sekolah Bagian 5. Monitoring Kinerja Daerah 5.1 Resume 5.2 Pembelajaran Bagian 6. Temuan Kunci dan Rekomendasi Kebijakan 6.1 Temuan Kunci 6.2 Rekomendasi Kebijakan Daftar Pustaka Lampiran


BAGIAN 1.

PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 20 tahun yang lalu dunia menyepakati gerakan Pendidikan Untuk Semua (Education For All/EFA, 1990), dimana salah satu target yang dideklarasikan dalam Dakar Framework for Action1 adalah: “menyediakan pendidikan dasar secara universal pada tahun 2015”. Gerakan ini kemudian diperkuat oleh Millenium Development Goals (MDG), yang mencantumkan target diatas sebagai salah satu targetnya, yaitu Target 3 pada Tujuan 2: Menyediakan pendidikan dasar bagi semua anak pada tahun 2015. Indonesia turut menyepakati komitmen diatas dengan menyusun Rencana Aksi Nasional Pendidikan Untuk Semua (RAN-PUS) pada tahun 2002. Salah satunya adalah melalui pencanangan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun2. Wajar Dikdas 9 Tahun mencakup jenjang pendidikan SD/MI/pendidikan setara dan SMP/MTs/pendidikan setara. Indonesia sendiri kemudian memasang target di tahun 2009 dapat mencapai tingkat partisipasi sekolah dasar (APM) 100% dan sekolah menengah pertama (APK) 96%. Pemerintah sudah berada pada jalur yang benar (on track) dengan dicanangkannya 2 kebijakan besar pada periode 2000 – 2010, yaitu Anggaran Pendidikan 20% dan Pendidikan Gratis. Pada 2007 Konstitusi memandatkan pemerintah untuk mengalokasikan setidak-tidaknya 20% belanja pemerintah untuk sektor pendidikan. Mandat ini mendorong peningkatan anggaran pendidikan secara signifikan. Dalam waktu 8 tahun terakhir belanja sektor ini meningkat 5 kali lipat, dari 42,3 milyar pada tahun 2001 (12%) menjadi lebih dari 200 trilyun pada tahun 2009 (16,8%). Dengan dimasukkannya komponen gaji dalam kategori belanja pendidikan, ambang 20% konstitusi telah tercapai pada tahun 2008. Salah satu mata anggaran yang meningkat adalah kucuran BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang lebih besar, yang dimaksudkan untuk mendanai pendidikan dasar gratis. Pada Maret 2009, di akhir kepemimpinan Presiden SBY yang pertama, akhirnya pemerintah mencanangkan Program Sekolah Gratis bagi SD dan SMP. Walaupun ditunjang anggaran yang signifikan, akan tetapi target partisipasi sekolah dan pendidikan gratis tidak kunjung tercapai. Pada tahun 2008 angka partisipasi murni (APM) tingkat SD – walau sudah sangat tinggi, yaitu 95,1% – belum mencapai 100%, sedangkan APM tingkat SMP masih jauh dari angka 100%. Selain itu, tingginya pungutan masih terjadi dan membebani masyarakat luas, khususnya kelompok miskin. Ini kemudian memunculkan pertanyaan tersendiri: bagaimana sebenarnya implementasi kebijakan pendidikan dasar gratis? Dibelanjakan untuk apa saja anggaran pendidikan untuk mendukung program ini? Apakah belanja dilakukan dengan efektif? Salah satu cara untuk melacak jawaban pertanyaan diatas adalah dengan menganalisa kebijakan dan belanja daerah. Ini mengingat seiring desentralisasi yang diterapkan sejak 2001, 1

The Dakar Framework for Actionberisikan enam tujuan utama: 1) Memperluas pendidikan untuk anak usia dini; 2) Menuntaskan wajib belajar untuk semua (2015); 3) Mengembangkan proses pembelajaran/keahlian untuk orang muda dan dewasa; 4) Meningkatnya 50% orang dewasa yang melek huruf (2015), khususnya perempuan; 5) Meningkatkan mutu pendidikan; dan 6) Menghapuskan kesenjangan gender. 2 Program ini secara resmi dicanangkan Presiden Soeharto pada tanggal 2 Mei 1994.


kewenangan penyelenggarakan pendidikan telah diberikan kepada daerah. Pelimpahan wewenang tersebut diikuti perubahan profil belanja negara secara signifikan. Pada tahun 2006, 56% anggaran pendidikan telah dibelanjakan di tingkat regional. Dari proporsi ini, pemerintah kabupaten/kota adalah pihak yang membelanjakan paling besar (51%), sementara pemerintah propinsi hanya sekitar 5%. Di banyak daerah, belanja pendidikan sudah melebihi ambang “20%� yang disyaratkan Konstitusi, bahkan hingga mencapai 50%. Laporan ini karenanya didedikasikan untuk memberikan gambaran lebih mendalam mengenai implementasi kebijakan pendidikan dasar gratis dan postur belanja yang mengikutinya. Dua hall utama yang ingin dijawab melalui laporan ini adalah: - Bagaimana implementasi pendidikan dasar gratis bermutu di daerah? - Apa pola kebijakan yang diambil pemerintah daerah? - Bagaimana pola belanja pendidikan daerah untuk mendukung kebijakan tersebut? 1.2 METODOLOGI STUDI Studi yang dilakukan selama bulan Agustus 2009 sampai dengan Februari 2010 (7 bulan) ini bertujuan untuk menganalisa kebijakan dan belanja daerah terkait Program Pendidikan Dasar Gratis Bermutu. Studi dilakukan di 10 daerah (5 kota dan 5 kabupaten) di 5 propinsi, yaitu: Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang (Propinsi Banten), Kota Solo, Kota Pekalongan, Kabupaten Magelang (Propinsi Jawa Tengah), Kota Jogjakarta (Propinsi DIY), Kota Malang, Kabupaten Gresik (Propinsi Jawa Timur), dan Kabupaten Jeneponto (Propinsi Sulawesi Selatan). Ke-10 kabupaten/kota ini dipilih menggunakan metode purposive, yaitu berdasarkan dua alasan: (i) mewakili daerah-daerah yang dikenal memiliki inovasi pendidikan dasar gratis (Sulawesi selatan dan DIY); (ii) mewakili daerah dimana kondisi masyarakat sipilnya tergolong aktif. Alasan pertama diamaksudkan untuk mengambil pelajaran baik (bestpractice) yang berguna bagi daerah lainnya, sedangkan alasan kedua dimaksudkan agar hasil penelitian bisa ditindaklanjuti dengan penguatan gerakan akuntabilitas sosial (social accountability). Analisa kebijakan dilakukan dengan metode kualitatif, dengan melakukan analisa isi atas dokumen dan data sekunder, serta wawancara mendalam dan diskusi kelompok terfokus (Regional Roundtable) bersama informan kunci. Sementara analisa belanja di tingkat anggaran pemerintah dilakukan dengan metode Public Expenditure Analysis (PEA). Selain itu dilakukan analisa lanjutan yaitu analisa belanja tingkat sekolah, menggunakan metode Public Expenditure Tracking Survey (PETS). Sampel yang diambil adalah 30 SMP (negeri) di Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kabupaten Magelang (10 SMP di tiap kabupaten/kota). Hasil akhir dari studi ini digunakan untuk memformulasikan rekomendasi kebijakan, baik untuk pemerintah pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota. Hasil studi akan didiseminasikan secara luas, untuk mendorong perbaikan kebijakan dan pengelolaan anggaran pendidikan daerah. 1.3 CAKUPAN LAPORAN Laporan ini terbagi dalam 6 bagian utama. Bagian pertama berisi pendahuluan, yang memaparkan latar belakang studi, dan metodologi studi. Bagian kedua, memaparkan konsep mengenai pendidikan dasar gratis dan biaya pendidikan. Bagian tiga berisi gambaran singkat profil daerah studi. Bagian empat berisi analisa capaian pendidikan saat ini di daerah studi,


serta analisa arah dan pola kebijakan daerah. Bagian kelima, adalah profil umum anggaran pendidikan serta analisa mendalam mengenai penggunaan anggaran pendidikan, khususnya untuk membiayai pendidikan dasar gratis bermutu. Terakhir, sebagai penutup di bagian enam, disajikan temuan-temuan kunci beserta rekomendasi kebijakan. 1.4 PROFIL WILAYAH STUDI Studi kebijakan dan anggaran daerah ini dilakukan di 10 kabupaten/kota di 5 propinsi, seperti terlihat pada Gambar 3.1 di bawah ini. Gambar 1.1 Daerah Studi

Banten (3): Kota Tangerang Kab Tangerang, Kota Serang

Jawa Tengah (3): Kota Pekalongan, Kota Solo, Kab Magelang

Yogyakarta (1): Kota Jogjakarta

Jawa Timur (2): Kab Gresik Kota Malang

Sulawesi Selatan (1): Kab Jeneponto

Dilihat dari beberapa indikator dasar, ke-10 kabupaten/kota di daerah studi dapat digolongkan kedalam 2 kluster: kluster daerah relatif maju dan sedang. Semua kota dan 1 kabupaten, yaitu Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota Jogjakarta, Kota Malang dan Kota Solo merupakan satu kluster daerah dengan pendapatan daerah (PDRB), keuangan daerah (APBD dan Kapasitas Fiskal) serta capaian pembangunan (IPM) yang cukup maju, dibandingkan dengan ke-5 daerah lainya. Oleh karena itu analisa selanjutnya akan dilakukan dengan membandingkan kondisi di dalam masing-masing kluster. TABEL 1.1 PROFIL SOSIO-EKONOMI No.

Wilayah Studi

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Kota Tangerang Kab Tangerang Kota Jogjakarta Kota Malang Kota Solo Kab Gresik Kab Magelang Kota Pekalongan Kab Serang Kab Jeneponto

PDRB 2007 (M, konstan, 2000) 24.505,12 18.789,46 4.776,40 11.412,77 4.304,29 13.573,39 3.582,65 2.834,69 8.783,68 745,30

APBD 2009 (M) 1,100 1,745 824 715 772 1,070 830 377 861 503

Sumber: diolah dari data BPS 2007, 2009 & Kabupaten Dalam Angka

Kapasitas Fiskal 2009 (indeks, kategori) 0,4232 - Rendah 0,3015 - Rendah 0,4947 - Rendah 0,1533 - Rendah 0,2998 - Rendah 0,1549 - Rendah 0,1633 - Rendah 0,1322 - Rendah 0,2794 - Rendah 0,2413 - Rendah

IPM 2007 (indeks) 74,8 72,5 77,8 76,2 76,4 70,1 70,6 69,4 68 64


BAGIAN 2. KONSEP PENDIDIKAN DASAR GRATIS 20 tahun yang lalu dunia menyepakati gerakan Pendidikan Untuk Semua (Education For All/EFA, 1990), dimana salah satu target yang dideklarasikan dalam Dakar Framework for Action3 adalah: “menyediakan pendidikan dasar secara universal pada tahun 2015”. Gerakan ini kemudian diperkuat oleh Millenium Development Goals (MDG), yang mencantumkan target diatas sebagai salah satu targetnya (Tujuan 2: Mencapai pendidikan dasar universal, Target 3: Menyediakan pendidikan dasar bagi semua anak pada tahun 2015). Indonesia turut menyepakati komitmen diatas dengan menyusun Rencana Aksi Nasional Pendidikan Untuk Semua (RAN-PUS) pada tahun 2002. Target perluasan akses kemudian menjadi satu dari 3 pilar kebijakan pembangunan pendidikan4. Salah satunya adalah melalui pencanangan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun5. Wajar Dikdas 9 Tahun mencakup jenjang pendidikan SD/MI/pendidikan setara dan SMP/MTs/pendidikan setara. Sampai dengan tahun 2009, upaya perluasan akses pendidikan ini telah menghasilkan capaian berupa: APK PAUD dari 39,1% (2004) menjadi 53,9% (2009), APM SD/MI/sederajat dari 94,1% (2004) menjadi 95,1% (2009), dan APK SMP/MTs/sederajat dari 81,2% (2004) menjadi 98% pada tahun 2009. Dalam konteks perluasan akses pendidikan inilah pemerintah meletakkan dan mencanangkan kebijakan pendidikan gratis. Kebijakan ini didorong oleh beberapa momentum. Pertama, adanya pengalihan subsidi BBM pada tahun 2005 menjadi dana kompensasi pembebasan biaya pendidikan siswa miskin. Kedua, dengan dicanangkannya anggaran pendidikan 20%. Dengan meningkatnya anggaran pendidikan, pemerintah kemudian menambah alokasi anggaran BOS (bantuan operasional sekolah) dan mensosialisasikan pendidikan gratis secara meluas. 2.1 KONSEP PENDIDIKAN GRATIS, LANDASAN HUKUM, IMPLEMENTASI Pendidikan Dasar Gratis adalah sebuah konsep dimana Negara mewajibkan warganegaranya untuk mengikuti pendidikan dasar, yang berimplikasi pada kewajiban Negara untuk menyediakan pendidikan dasar (bermutu) secara gratis. Konsep yang secara global dikenal sebagai konsep ‘universal free basic education’ ini sudah ditetapkan sebagai konsensus internasional dan termaktub dalam beberapa teks hukum/kovenan internasional seperti disajikan pada Kotak 2.1 .

3

The Dakar Framework for Actionberisikan enam tujuan utama: 1) Memperluas pendidikan untuk anak usia dini; 2) Menuntaskan wajib belajar untuk semua (2015); 3) Mengembangkan proses pembelajaran/keahlian untuk orang muda dan dewasa; 4) Meningkatnya 50% orang dewasa yang melek huruf (2015), khususnya perempuan; 5) Meningkatkan mutu pendidikan; dan 6) Menghapuskan kesenjangan gender. 4 Tiga target besar pembangunan pendidikan di Indonesia adalah: 1) Perluasan dan pemerataan akses pendidikan, (2) Peningkatan mutu dan daya saing pendidikan, (3) Penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik. 5 Program ini secara resmi dicanangkan Presiden Soeharto pada tanggal 2 Mei 1994.


Kotak 2.1. Dasar Hukum Internasional Mengenai PDG Hukum dan Kovenan Internasional memandatkan setiap Negara untuk melaksanakan pendidikan gratis bagi semua warga negaranya (terutama pendidikan dasar). Beberapa teks hukum internasional yang menjadi dasar mandat ini adalah:

Universal Declaration of Human Rights (1948): Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory.

UNESCO Convention against Discrimination in Education (1960): The State Parties to this convention undertake to formulate, develop and apply a national policy which … will tend to promote equality of opportunity and of treatment… and in particular (a) to make primary education free and compulsory.

International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights (1966): Primary Education shall be compulsory and available free for all.

Convention on the Rights of the Child (1989): State Parties recognize the right of the child to education and with a view to achieving this right progressively and on the basis of equal opportunity, they shall in particular (a) make primary education compulsory and available free for all.

Sebagian besar negara sudah sejak lama menerapkan kebijakan ini. Masing-masing negara memiliki batasan yang berbeda-beda untuk usia pendidikan wajib belajarnya. Sebagian besar mengambil usia 7 – 15 menjadi rentang usia wajib belajar 9 tahun, tetapi sangat banyak negara yang sudah meningkatkan rentang usian menjadi 12 tahun wajib belajar (7 – 19). Sebenarnya konstitusi Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, telah sejak awal secara implisit mencantumkan mandat ini. Dalam konstitusi secara tegas dinyatakan bahwa “warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”. Akan tetapi baru pada tahun 2002, ketika Konstitusi mengalami amandemen ke-3, secara tegas dicantumkan kewajiban pemerintah untuk menggratiskan pendidikan dasar, bersamaan dengan kewajiban untuk mengalokasikan minimal 20% anggaran publik untuk sektor pendidikan. Kotak 2.2. Landasan Hukum Pendidikan Dasar Wajib & Gratis Konstitusi, Undang-undang Dasar 1945 (perubahan keempat tahun 2002): • Pembukaan, alinea 4: “Salah satu tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa”. • Pasal 31 Ayat 1: “Setiap warga negara Indonesia berhak mendapat pendidikan” • Pasal 31 Ayat 2: “Warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.” • Pasal 31 Ayat 2: “Khusus untuk pendidikan dasar Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membiayainya”. • Pasal 31 Ayat 4: ‘Untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan sekurangkurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).” Undang-undang No.20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional: • Pasal 6 Ayat 1: “Warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun


• • • • • •

wajib mengikuti pendidikan dasar. “ Pasal 7: “Orangtua dari anak usia wajib belajar berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.” Pasal 34 Ayat 1: ‘Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar.” Pasal 11 Ayat 2: “Khusus untuk pendidikan dasar Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membiayainya.” Pasal 34 Ayat 2: “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.” Pasal 46 Ayat 1: “Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.” Pasal 49 Ayat 1: “Untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan sekurangkurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).”

Kebijakan pendidikan gratis sendiri di Indonesia tampak lebih didorong munculnya celah fiskal, dibanding karena dorongan pemahaman berbasis hak (right-based-approach). Ini tampak bila kita mencermati evolusi kebijakan ini serta perangkat kebijakan yang disediakan untuk mendukung program tsb. Kotak 2.3. PerkembanganWacana Sekolah Gratis di Indonesia

2001-2005: Pengalihan dana kompensasi bahan bakar minyak (BBM) berupa pembebasan pendidikan kepada siswa yang berasal dari keluarga miskin, melalui skema BKM. Tujuannya menjamin bahwa semua anak usia sekolah dari kalangan miskin terbebaskan dari biaya pendidikan, & agar bersinergi dengan Program Wajib Belajar 9 Tahun, prioritas utamanya adalah jenjang SD-SLTP.

2002: Perubahan UUD 45, konstitusi menegaskan keharusan pemerintah mengalokasikan 20 anggaran untuk pendidikan.

2003: UU Sisdiknas menjabarkan batasan 20% adalah diluar komponen gaji.

2005: Muncul skema BOS (Bantuan Operasional Sekolah), yaitu penyaluran dana ke sekolah untuk menutupi biaya operasional siswa. Penghitungan BOS didasarkan alokasi per/murid.

2007: Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan bahwa 20% adalah termasuk komponen gaji.

2009: Alokasi BOS per/siswa meningkat. Mendiknas mencanangkan Program Sekolah Gratis. Mendiknas mengeluarkan SE Mendiknas yang ditujukan kepada seluruh Gubernur/Walikota/Bupati mengenai Program Sekolah Gratis. Muncul wacana perlunya Permendiknas untuk mengatur kebijakan pendidikan gratis, tapi konsep “gratis” masih dipertanyakan, selain karena aturan perundangan diatasnya dianggap tidak memadai sebagai cantolan karena tidak secara tegas mencantumkan kata “pendidikan gratis”.

Merunut pada konsep biaya pendidikan, pendidikan gratis seharusnya didefinisikan sebagai “membebaskan siswa dari seluruh biaya pendidikan di unit satuan sekolah”. Biaya pendidikan sendiri adalah biaya yang muncul sebagai konsekuensi dari suatu Standar Penyelenggaraan Pendidikan yang ditetapkan pemerintah. Sistem pendidikan dan standar pelayanan yang


menjadi acuan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (PP-SNP), dan peraturan penjabarannya berupa Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan Nasional. Standar pelayanan ini berisi 8 standar penyelenggaraan pendidikan berkualitas, yaitu: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Biaya Pendidikan karenanya didefinisikan sebagai konsekuensi biaya yang harus ditanggung untuk menyediakan pendidikan dengan standar tersebut. Terdapat 3 kategori besar biaya dilihat dari unit munculnya kebutuhan biaya tersebut, yaitu: (i) Biaya di Tingkat Satuan Sekolah, yang terdiri dari Biaya Operasional dan Biaya Investasi; (ii) Biaya Manajemen; (iii) Biaya Personal. Biaya di Tingkat Satuan Sekolah sendiri dikategorikan lagi dalam 4 kategori, yaitu: (i) Biaya Operasional Pendidik dan Tenaga Kependidikan (personal) (ii) Biaya Operasional Belajar-Mengajar (non-personal) (iii) Biaya Investasi Pendidik dan Tenaga Kependidikan (iv) Biaya Investasi Sarana Prasarana. Sehingga secara umum pengelompokkan biaya terkait pendidikan dapat dikategorikan kedalam 3 jenis biaya, yaitu: (i) Biaya Operasional; (ii) Biaya Investasi (iii) Biaya Operasional. GAMBAR 2.1. KONSEP DAN KATEGORI BIAYA PENDIDIKAN

KOTAK 2.4. DEFINISI BIAYA PENDIDIKAN & KONSEP PENDIDIKAN GRATIS

Kompetensi Lulusan

Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 62 Ayat 1, 2, dan 3: Biaya pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. Biaya operasi mencakup biaya penyediaan sumberdaya pendidikan yang habis digunakan dalam waktu satu tahun atau kurang, seperti gaji dan tunjangan pendidik dan tenaga kependidikan lain, bahan-bahan pengajaran, daya dan jasa, pemeliharaan, dll. Biaya personal meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.

Isi (Kurikulum)

Proses

Pengelolaan

Penilaian Pendidikan

Pendidik

Sarana dan Prasarana

Tenaga Kependidikan

8 STANDAR

BIAYA

BIAYA PENDIDIKAN

I. BIAYA DI SATUAN PENDIDIKAN (SEKOLAH)

A. OPERASIONAL

II. BIAYA PENGELOLAAN (PEMDA)

B. INVESTASI

A.1 PERSONALIA (GAJI/TUNJANGAN)

B.1 PENGADAAN SARANA DAN PRASARANA

A.2 NON PERSONALIA (ALAT/BAHAN HABIS PAKAI)

B.2 PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA

Sumber: Abbas Ghozali, 2008

III. BIAYA PERSONAL/ PRIBADI (SISWA)

Konsep Pendidikan Gratis: Semua siswa (tanpa memandang status) dibebaskan dari biaya di satuan pendidikan (operasional dan investasi), kecuali biaya personal Pemerintah menanggung biaya di satuan pendidikan (operasional dan investasi) dan biaya manajemen (birokrasi) Pemerintah membantu biaya personal masyarakat miskin


Sejak resmi diluncurkan, implementasi program ini di daerah sangat bervariasi. Sebagian daerah berlomba-lomba mencanangkan pendidikan gratis sebagai salah satu program prioritas daerahnya. Khususnya pada momen-momen Pilkada, sangat banyak calon Kepala Daerah yang menjanjikan program ini sebagai janji kampanyenya. Banyak dari calon ini yang kemudian terpilih, dan benar-benar mewujudkan janji kampanye tersebut menjadi program daerah. Bahkan tidak sedikit daerah yang maju selangkah lebih ke depan dibandingkan target nasional, dengan mendeklarasikan wajib belajar 12 tahun. Walaupun demikian, tidak kurang pula daerah yang menentang kebijakan ini, dengan beberapa alasan. Pertama, kebijakan ini dianggap diskriminatif karena tidak seharusnya mereka yang mampu dan mau membayar, digratiskan biaya sekolahnya. Kedua, keuangan daerah belum mencukupi. Ketiga, sekolah dirugikan karena pelarangan pungutan akan membuat kualitas menurun. Hingga 5 tahun sejak diluncurkan, program ini belum berhasil menghapus pungutan di sekolah. Salah satu aspek penting yang menjadi bahan perdebatan adalah cukup tidaknya kemampuan fiskal pemerintah. Penelitian Abbas Ghozali (2008) menunjukkan estimasi total biaya yang dibutuhkan untuk menggratiskan pendidikan dasar di Indonesia, berdasarkan konsep yang benar, pada tahun 2009 adalah sebesar 157 trilyun, atau nyaris 他 total anggaran pendidikan Indonesia.


BAGIAN 3.

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN DASAR GRATIS 3.1 PROFIL UMUM: PEMERATAAN AKSES DAN PENINGKATAN MUTU Capaian umum pendidikan dasar dapat dinilai dari 2 indikator utama, yaitu peningkatan akses dan peningkatan mutu. Indikator ini tercermin dalam Renstra Departemen Pendidikan, yang menunjukkan tiga pilar capaian, yaitu: (i) Peningkatan dan pemerataan akses (ii) Peningkatan dan pemerataan kualitas mutu pendidikan (iii) Peningkatan tata kelola. Walaupun secara umum akses pendidikan di daerah studi meningkat, tetapi angka partisipasi sekolah tingkat SMP masih tetap rendah. Rata-rata angka partisipasi sekolah untuk tingkat SD sudah relatif tinggi dan mendekati universal coverage 100%. Akan tetapi angka ini melonjak turun untuk tingkat SMP, yaitu rata-rata sebesar 81,1% (APM). Daerah kluster maju relatif memiliki angka partisipasi sekolah yang lebih tinggi, sedangkan beberapa daerah memiliki APK dan APM SMP yang rendah, seperti Serang dan Jeneponto. Ini menunjukkan walau rata-rata siswa bisa mengenyam pendidikan SD, lulusan SD masih banyak yang tidak bisa melanjutkan sekolah. Walaupun demikian, peningkatan partisipasi SMP setiap tahunnya lebih besar dibanding partisipasi SD. TABEL 3.1 PENINGKATAN AKSES PENDIDIKAN TINGKAT SD, 2007-2009 APK No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kabupaten Kota Tangerang Kab. Tangerang Kota Yogyakarta Kota Malang Kota Surakarta Kab. Gresik Kab. Magelang Kota Pekalongan Kab. Serang Kab. Jeneponto Rata-rata

2007

2008

2009

115,5 110,0 132,1 115,7 121,4 132,7 131,5 123,3 128,9 110,3 122,1

116,7 111,1 133,3 116,5 123,0 138,5 131,7 124,9 132,2 115,9 124,4

121,5 114,9 119,7 121,8 118,1 119,9 123,6 122,5 119,5 117,6 119,9

Rata2 Kenaikan (%) 2,6 2,2 -4,7 2,6 -1,3 -4,5 -3,0 -0,3 -3,5 3,2

APM 2007

2008

2009

98,2 93,0 98,3 98,5 96,3 93,7 97,6 98,6 94,6 92,5 96,1

98,8 93,5 99,4 99,1 97,5 97,7 98,8 99,9 97,5 95,8 97,8

99,1 93,7 99,7 99,4 97,5 97,8 98,9 99,9 97,5 95,9 97,9

Rata2 Kenaikan (%) 0,5 0,4 0,7 0,4 0,6 2,2 0,7 0,6 1,5 1,8

Sumber: diolah dari data Departemen Pendidikan 2007 - 2009

TABEL 3.2 PENINGKATAN AKSES PENDIDIKAN TINGKAT SMP, 2007-2009 APK No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kabupaten Kota Tangerang Kab. Tangerang Kota Yogyakarta Kota Malang Kota Surakarta Kab. Gresik Kab. Magelang Kota Pekalongan Kab. Serang Kab. Jeneponto Rata-rata

2007 116,0 85,9 138,2 119,54 134,2 102,5 86,0 88,8 91,3 69,5 103,2

2008

2009

118,3 90,3 112,1 121,39 118,8 104,6 90,4 96,9 94,9 83,1 103,1

119,3 91,9 119,2 126,12 119,3 107,1 90,9 97,1 96,3 93,9 106,1

Sumber: diolah dari data Departemen Pendidikan 2007 - 2009

Rata2 Kenaikan (%) 1,4 3,4 -6,3 2,7 -5,5 2,2 2,9 4,7 2,7 16,3

APM 2007 75,2 66,3 108,3 94,44 106,2 77,9 66,5 68,6 68,3 53,4 78,5

2008 95,4 68,7 90,9 94,46 94,2 76,4 70,1 74,2 68,2 60,6 79,3

2009 92,2 72,1 91,4 97,06 92,1 82,9 70,2 75,1 74,0 63,8 81,1

Rata2 Kenaikan (%) 11,8 4,3 -7,8 1,4 -6,8 3,3 2,8 4,7 4,2 9,4


Dari sisi mutu, rata-rata meningkat tetapi tidak cukup besar, beberapa bahkan menurun. Kluster daerah maju tampak bisa mencapai nilai Ujian Nasional (UAN) yang lebih baik. TABEL 3.3 PENINGKATAN MUTU TINGKAT SMP, 2007-2009 No

Kabupaten/Kota 2007

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kota Tangerang Kab. Tangerang Kota Yogyakarta Kota Malang Kota Surakarta Kab. Gresik Kab. Magelang Kota Pekalongan Kab. Serang Kab. Jeneponto

Total Nilai UAN 2008 7,72 6,69 7,27 7,27 7,75 7,14 7,20 6,79 7,31 6,60 7,26 7,90 6,79 6,32 6,54 6,04 6,62 6,28 7,09 6,71

Rata-rata Kenaikan (%) 2009 8,03 7,8 7,38 7,22 6,85 8,56 6,74 6,45 7,02 7,33

3,4 3,7 -2,2 0,3 -3,0 8,6 -0,2 -0,4 3,3 1,9

Sumber: diolah dari data Departemen Pendidikan 2007 - 2009

3.2 PROFIL IURAN MASYARAKAT: GRATIS?

Sampai tahun 2009, masyarakat masih mengeluarkan uang (OOP = out-of-pocket) untuk 6 jenis biaya sekolah, antara Rp 50.000/bulan sampai dengan Rp 350.000/bulan. Data Susenas (Modul Konsumsi) mencatat 6 jenis pengeluaran Rumah Tangga untuk pendidikan, yaitu: (i) Sumbangan pembangunan sekolah (uang pangkal) (ii) Uang sekolah (SPP) dan iuran BP3/POMG (iii) Iuran sekolah lainnya (ketrampilan, les, tes, dsb.) (iv) Buku pelajaran, foto copy bahan pelajaran (v) Alat-alat tulis (pulpen, pensil, penghapus, penggaris, kalkulator, jangka, dsb.) (vi) Uang kursus. Besaran OOP ini cenderung lebih besar di kota, seperti di Tangerang, Jogja, Malang, Solo, dan Kab Tangerang. Bila dihitung dalam 1 tahun, maka besarnya OOP bisa mencapai lebih dari 4 juta (Tangerang, 2009). Tabel dibawah menunjukkan besar masing-masing pengeluaran tersebut untuk daerah studi (2009). TABEL 3.4 KOMPONEN PENGELUARAN RUMAH TANGGA UNTUK PENDIDIKAN PER-BULAN, 2007 No

KABUPATEN/KOTA

U. Pangkal

SPP

2007 (Rata-rata/bulan, Rp) Iuaran Lain Buku

ATK

Total

Kursus

1

Kota Tangerang

77.000

77.351

41.063

29.968

6.922

22.611

254.915

2

Kab. Tangerang

307.723

56.450

24.341

34.372

8.956

49.778

481.620

3

Kota Yogyakarta

148.623

152.959

37.532

9.919

6.794

55.094

410.921

4

Kota Malang

185.500

104.576

54.530

25.394

6.799

22.545

399.344

5

Kota Surakarta

124.555

110.963

33.958

41.157

9.659

276.500

596.792

6

Kab. Gresik

1.222

37.029

13.535

1.975

2.906

13.117

69.784

7

Kab. Magelang

3.914

29.000

7.315

4.815

2.228

3.697

50.969

8

Kota Pekalongan

-

58.875

58.184

3.834

4.500

-

125.393

9

Kab. Serang

22.797

18.305

20.394

6.702

3.650

3.215

75.063

10

Kab. Jeneponto

28.750

18.449

3.593

4.019

1.865

-

56.676

Rata-rata

90.008

66.396

29.445

Sumber: diolah dari data SUSENAS (Modul Konsumsi) 2007 & 2009

16.216

5.428

44.656

252.148


TABEL 3.5 KOMPONEN PENGELUARAN RUMAH TANGGA UNTUK PENDIDIKAN PER-BULAN, 2009 2009 (Rata-rata/bulan, Rp)

KABUPATEN/KOTA No

U. Pangkal

SPP

Iuaran Lain

Buku

ATK

Kursus

Total

1

Kota Tangerang

45.926

166.135

27.064

6.052

3.880

105.110

354.167

2

Kab. Tangerang

10.219

97.966

56.914

6.532

2.313

31.512

205.456

3

Kota Yogyakarta

71.549

129.364

80.258

22.031

12.683

34.870

350.755

4

Kota Malang

84.983

107.422

42.623

32.726

9.624

-

277.378

5

Kota Surakarta

1.906

114.318

9.600

35.963

5.092

94.660

261.539

6

Kab. Gresik

11.718

75.349

11.513

12.174

2.775

22.989

136.518

7

Kab. Magelang

7.443

29.303

7.089

6.719

2.229

3.782

56.565

8

Kota Pekalongan

-

68.077

5.505

15.500

7.642

9.150

105.874

9

Kab. Serang

1.496

44.436

9.101

4.590

4.287

26.811

90.721

10

Kab. Jeneponto

21.500

34.320

118.033

11.242

2.823

-

187.918

25.674 86.669 36.770 Rata-rata Sumber: diolah dari data SUSENAS (Modul Konsumsi) 2007 & 2009

15.353

5.335

32.888

202.689

Besar pengeluaran RT di daerah studi menurun sebesar 20% dalam 3 tahun terakhir, akan tetapi di beberapa daerah justru meningkat. Tabel dibawah menunjukkan di 5 daerah besaran OOP tersebut justru meningkat, sementara di 5 daerah lainnya menurun. Peningkatan terbesar terjadi di Kab Jeneponto (lebih dari 200%) dan Kab Gresik. Sementara penurunan terbesar terjadi di Kab Tangerang dan Kota Solo (menurun lebih dari 50%). TABEL 3.6 BESARNYA TOTAL PENGELUARAN RUMAH TANGGA/BULAN UNTUK PENDIDIKAN, 2007 & 2009

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

KABUPATEN/KOTA Kota Tangerang Kab. Tangerang Kota Yogyakarta Kota Malang Kota Surakarta Kab. Gresik Kab. Magelang Kota Pekalongan Kab. Serang Kab. Jeneponto Rata-rata

2007 (Rp) 254.915 481.620 410.921 399.344 596.792 69.784 50.969 125.393 75.063 56.676 252.148

2009 (Rp) 354.167 205.456 350.755 277.378 261.539 136.518 56.565 105.874 90.721 187.918 202.689

Sumber: diolah dari data SUSENAS (Modul Konsumsi) 2007 & 2009

Naik/ Turun Meningkat Turun Turun Turun Turun Meningkat Meningkat Turun Meningkat Meningkat Menurun

% 39 (57) (15) (31) (56) 96 11 (16) 21 232 (20)


TABEL 3.1 BESARNYA PENGELUARAN RUMAH TANGGA UNTUK PENDIDIKAN (PERBULAN), 2007 & 2009

Kota Tangerang Kota Yogyakarta Kota Malang Kota Surakarta Kab. Tangerang Kab. Jeneponto Kab. Gresik Kota Pekalongan Kab. Serang Kab. Magelang

2007 2009

-

100.000

200.000

300.000

400.000

500.000

600.000

700.000

Sumber: diolah dari data SUSENAS (Modul Konsumsi) 2007 & 2009

Bila dilihat secara rata-rata, penurunan terbesar terjadi pada Uang Pangkal, tapi tampaknya diimbangi oleh meningkatnya SPP (dan sejenisnya) serta iuran lain. Dua komponen yang meningkat besarnya justru SPP (dan sejenis), dan iuran lain. Ini mengherankan mengingat justru jenis iuran ini yang menjadi target utama Program Sekolah Gratis. Akan tetapi menurunnya uang pangkal sangat signifikan merupakan berita baik, mengingat ini salah satu biaya yang menghalangi akses sekolah, khususnya lulusan SD ke SMP. TABEL 3.7 KOMPONEN PENGELUARAN RUMAH TANGGA UNTUK PENDIDIKAN (PER-BULAN), 2007 & 2009 Komponen OOP U. Pangkal SPP & sejenis Iuaran Lain Buku ATK Kursus

Total

2007 Rp

90.008 66.396 29.445 16.216 5.428 44.656 252.148

2009 %

36 26 12 6 2 18 100

Rp

25.674 86.669 36.770 15.353 5.335 32.888 202.689

%

13 43 18 8 3 16 100

% Peningkatan/ Penurunan*) (71) 31 25 (5) (2) (26) (20)

*) Peningkatan/penurunan OOP 2009 terhadap 2007 Sumber: diolah dari data SUSENAS (Modul Konsumsi) 2007 & 2009

Akan tetapi bila dicermati, meningkat atau menurunnya komponen-komponen biaya tersebut berbeda-beda. Di semua daerah Uang Pangkal menurun, SPP hampir sama atau bahkan meningkat, Iuran Lain umumnya menurun, Buku dan ATK tidak berbeda jauh, dan Kursus yang sebagian besar meningkat.


TABEL 3.8 PERBANDINGAN KOMPONEN PENGELUARAN RUMAH TANGGA/BULAN UNTUK PENDIDIKAN DI DAERAH STUDI UNTUK TAHUN 2007 DAN 2009 Kab Tangerang

Kota Tangerang 200.000 150.000 2007

100.000

2009 50.000 U. Pangkal

SPP

Iuaran Lain

Buku

ATK

350.000 300.000 250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 -

2007 2009

U. Pangkal

Kursus

SPP

Iuaran Lain

Kota Jogjakarta

Buku

ATK

Kursus

Kota Malang

200.000

200.000

150.000

150.000 2007

100.000

2007

100.000

2009

2009

50.000

50.000

-

U. Pangkal

SPP

Iuaran Lain

Buku

ATK

U. Pangkal

Kursus

SPP

Iuaran Lain

Buku

ATK

Kursus

Kab Gresik

Kota Solo 200.000

300.000 250.000

150.000

200.000

2007

150.000

2007 100.000

2009

2009

100.000

50.000

50.000

-

U. Pangkal

SPP

Iuaran Lain

Buku

ATK

U. Pangkal

Kursus

SPP

Iuaran Lain

Buku

ATK

Kursus

Kota Pekalongan

Kab Magelang 80.000

80.000

60.000

60.000 2007

40.000

2009

2007 40.000

2009

20.000

20.000

-

U. Pangkal

SPP

Iuaran Lain

Buku

ATK

U. Pangkal

Kursus

SPP

Kab Serang

40.000 30.000

2007

20.000

2009

10.000 SPP

Iuaran Lain

Buku

Buku

ATK

Kursus

Kab Jeneponto

50.000

U. Pangkal

Iuaran Lain

ATK

140.000 120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000 -

Kursus

Sumber: diolah dari data SUSENAS (Modul Konsumsi) 2007 & 2009

2007 2009

U. Pangkal

SPP

Iuaran Lain

Buku

ATK

Kursus


3.3 ARAH DAN POLA KEBIJAKAN DAERAH: Semua pemerintah daerah di wilayah studi meletakkan pendidikan sebagai salah satu prioritas pembangunan di daerahnya. Ini terlihat dari dicantumkannya pendidikan sebagai prioritas dalam RPJM atau Arah Kebijakan Umum daerah. Mengikuti Rencana Strategis Departemen Pendidikan, beberapa target utama yang dijumpai di semua Renstra Dinas Pendidikan daerah adalah: pemerataan akses pendidikan dasar & menengah, peningkatan mutu, dan perbaikan tata kelola. Tidak semua pemerintah daerah secara eksplisit mencantumkan pendidikan gratis sebagai salah satu kebijakan untuk pemerataan akses. 4 dari 10 daerah, yaitu Solo, Serang, Magelang dan Malang, secara eksplisit mencantumkan kebijakan PDG dalam dokumen kebijakannya, baik dalam dokumen RPJP, Perda, Pebub, maupun Ranperda yang akan disahkan. Selebihnya lebih memilih mencantumkan frase seperti pendidikan murah atau terjangkau. Konsepsi ‘Pendidikan Dasar Gratis’ (PDG) diinterpretasikan beragam oleh kebijakan daerah. Pada dasarnya ada dua konsepsi atau arah kebijakan PDG di daerah, yaitu: (i) Gratis Penuh, dalam artian arah yang ingin dicapai adalah semua siswa menikmati pendidikan secara gratis tanpa dipungut biaya; dan (ii) Gratis Terbatas, dalam artian hanya siswa miskin yang menikmati pendidikan secara gratis tanpa mengeluarkan biaya, sementara kelompok non-miskin menikmati pendidikan secara murah/terjangkau. Solo, Jogja, Magelang dan Gresik adalah 4 dari 10 daerah studi yang memformulasikan kebijakan ke arah Gratis Penuh, sementara Serang, Tangerang (kab), Tangerang (kota), Pekalongan, Malang, dan Jeneponto memilih formulasi Gratis Terbatas. Ada dua faktor utama yang menyebabkan perbedaan formulasi daerah mengenai implementasi PDG.. Pertama, ketidak-sepakatan mengenai konsepsi gratis. Semua pemerintah daerah studi pada dasarnya keberatan dengan konsepsi gratis, dengan beragam alasan: tidak realistis, menyesatkan, tidak mendidik, komoditas politik, atau bahkan membohongi publik. Sebagian mengkaitkan dengan alasan bertentangan dengan rasa keadilan, karena subsidi negara diberikan pada kelompok mampu. Selain itu karena alasan tidak mendidik pada masyarakat. Sedangkan alasan kedua, karena anggaran pemerintah tidak mencukupi. Pemerintah daerah sadar bahwa tidak mungkin menanggung semua biaya pendidikan untuk saat ini. Apabila iuran masyarakat benar-benar dihentikan, dikhawatirkan akan menurunkan kualitas belajar karena banyak aktivitas pembelajaran harus dihilangkan. Walaupun masih semrawutnya konsepsi PDG di daerah, 6 daerah studi sudah berani mendeklarasikan rentang yang lebih panjang dari target nasional, yaitu Pendidikan Gratis 12 tahun. Serang, Malang dan Jeneponto secara eksplisit mencantumkan pendidikan gratis 12 tahun, sementara Solo, Jogja dan Gresik ‘mengarah ke 12 tahun’. Bentuk umum perangkat aturan untuk mendukung kebijakan diatas adalah Perda mengenai Penyelenggaraan Pendidikan, dan aturan turunan mengenai kebijakan pungutan di sekolah serta beasiswa. 5 daerah sudah memiliki Perda Pendidikan, 1 Perbub Pendidikan, dan 3 Ranperda Pendidikan, dengan isi umumnya bersifat general. Aturan turunan berupa petunjuk teknis diatur dalam bentuk Perwal, Perbub, ata SK Kepala dinas, mengenai: aturan pelarangan pungutan, aturan penggunaan dana partisipasi masyarakat, dan beasiswa. Hanya 1 daerah yang sudah membuat Grand Desain atau Road Map mengenai Pendidikan, yaitu Gresik. Skema daerah untuk menambah alokasi ke sekolah dilakukan melalui 2 cara: universal (BOSDA) dan targeting (beasiswa). BOSDA menjadi salah satu andalan daerah untuk mencapai PDG. Dari 10 daerah studi, 7 diantaranya sudah memiliki skema ini. Dana operasional ini disalurkan langsung ke sekolah, seringkali disebut dana pendamping BOS, disalurkan melalui skema yang mirip BOS, sehingga lazim disebut BOSDA (BOS Daerah). Besarnya biasanya dihitung dari kekurangan biaya operasional siswa (setelah mendapat BOS), atau hanya sejumlah yang bisa dipenuhi daerah. Karena itu besarnya sangat beragam, dari hanya sebesar Rp 60.000/tahun (Pekalongan) hingga Rp 625.000/tahun (Jogjakarta). Walaupun penting karena bersifat universal, sayangnya BOSDA sebagai andalan menunjukkan


paradigma daerah yang sama dengan pusat: hanya menyasar pos biaya operasional siswa. Konsepsi gratis tampaknya lebih diartikan pada gratis iuran untuk pos operasional siswa (SPP, LKS, ujian, dll), sehingga berasosiasi dengan program tambahan operasional siswa. Tidak ada satupun daerah yang menghitung unit cost untuk kategori biaya lainnya, yaitu: pendidik (gaji dan peningkatan kualitas) serta sarana/prasarana, dan membuat skema/instrumen/program khusus untuk menggratiskan iuran siswa terkait pos-pos ini. Skema lain sebagai andalan yang bersifat targeting adalah beasiswa, menunjukkan turunan dari konsepsi gratis terbatas. Beragam beasiswa diberikan oleh pemerintah, mulai dari yang konvensional hingga bentuk yang dikembangkan Solo dan Jogja, yaitu Jaminan. Solo dan Jogja menerapkan sistem kartu, yang dibagikan pada masyarakat tidak mampu, baik di sekolah negeri maupun swasta.


BAGIAN 4.

BELANJA PENDIDIKAN DASAR 4.1 POSTUR UMUM ANGGARAN DAERAH STUDI Anggaran daerah studi meningkat stabil dalam tiga tahun terakhir, tetapi dengan pertambahan makin lambat. Jika pada tahun 2007-2008 rata-rata pertumbuhan APBD adalah 12%, maka pada tahun berikutnya (2008-2009) meningkat hanya 8%. GRAFIK 4.1 TOTAL APBD 2007 – 2009

2.000 1.500 1.000 500 -

Kota Kota Solo Kota Jogja Kota Kab Serang Kab Kab Kab MalangKab Gresik Kab Tangerang Pekalongan Tangerang Magelang Jeneponto 2007

2008

2009

Sumber: diolah dari APBD wilayah studi 2007 - 2009

Sumber dominan pendapatan APBD masih berasal dari Dana Alokasi Umum, sehingga fluktuasi transfer DAU dari pusat yang mempengaruhi pertumbuhan APBD. Sumbangan PAD berkisar antara 11-12%, dibandingkan DAU + DAK yang membentuk 65% pendapatan daerah. Kontribusi DAU menurun menjadi 59% di tahun 2009. Pada Tabel 3.4 terlihat bahwa jika pada tahun 2007-2008 DAU meningkat sebesar 12%, maka pada tahun berikutnya hanya meningkat sebesar 1%. Periode 2008-2009 ditandai pertambahan DAU yang lebih kecil dibanding periode sebelumnya, ditambah membesarnya belanja daerah, menyebabkan belanja modal daerah di 2998-2009 menurun signifikan, termasuk anggaran pendidikan. TABEL 4.1 KOMPOSISI PENDAPATAN 2007 - 2009 Rata-rata % 2007 2008 PAD 12 11 DBH 10 12 DAU 63 62 DAK 5 5 Lain-lain 10 9 Total 100 100 Sumber: diolah dari APBD wilayah studi 2007 - 2009

TABEL 4.2 PERTUMBUHAN JENIS PENDAPATAN 2007 – 2008 DAN 2008-2009

2009 12 12 59 6 11 100

Rata-rata Pertumbuhan (%) 2007-2008 2008-2009 PAD 3 19 DBH 49 10 DAU 12 1 DAK 24 32 Lain-lain 2 5 Sumber: diolah dari APBD wilayah studi 2007 - 2009

Seiring meningkatnya anggaran daerah, dalam tiga tahun terakhir belanja di daerah studi meningkat tajam, tetapi sebagian besar dialokasikan untuk belanja aparatur daerah. Trend yang sudah umum diketahui ini relatif tidak berubah dalam kurun 3 tahun terakhir. Komposisi belanja berdasarkan kategori ekonomi juga masih didominasi belanja pegawai.


GRAFIK 4.2 KOMPOSISI EKONOMI BELANJA (BL VS BTL) 2007 - 2009 2 .5 0 0 ,0 2 .0 0 0 ,0 1 .5 0 0 ,0 1 .0 0 0 ,0 5 0 0 ,0 Kota T ang erang 2 0 0 7 -2 0 0 9

Ko t a S o lo 2 0 0 7 -2 0 0 9

K o t a J o g ja 2 0 0 7 -2 0 0 9

Kota P e k a lon g a n 2 0 0 7 -2 0 0 9

Ka b S e rang 2 0 0 7 -2 0 0 9

Kab Ka b T a ng e r a ng M a g e la n g 2 0 0 7 -2 0 0 9 2 0 0 7 -2 0 0 9

B e l a n j a ti d a k l a n g s u n g

K a b M a la ng 2 0 0 7 -2 0 0 9

K a b G r e sik 2 0 0 7 -2 0 0 9

Kab Je ne ponto 2 0 0 7 -2 0 0 9

B el a n j a l a n gs u n g

Sumber: diolah dari APBD wilayah studi 2007 - 2009

4.2 POSTUR UMUM ANGGARAN PENDIDIKAN Belanja sektoral tertinggi di semua daerah studi adalah belanja pendidikan. Belanja pendidikan, pemerintahan umum, kesehatan, pekerjaan umum, dan pertanian, merupakan urutan besar belanja dari sisi sektoral. Walaupun anggaran pendidikan meningkat sangat tajam dari sisi prosentase, tetapi alokasi sektor lain juga tetap menunjukkan peningkatan. Ini menunjukkan tambahan belanja pendidikan berasal dari pertambahan anggaran, tanpa mengganggu alokasi sektor lainnya. GRAFIK 4.3 KOMPOSISI BELANJA SEKTORAL 2007 - 2009 2007 Pendidikan Kesehatan Pekerjaan umum Sosial Perhubungan Pemerintahan umum Lainnya Total

2008 29 7 16 0 1 23 24 100

2009 31 5 11 0 1 18 34 100

34 7 15 0 2 14 28 100

Sumber: diolah dari APBD wilayah studi 2007 - 2009

Total belanja pendidikan semua daerah studi sudah diatas ambang 20%, yaitu berkisar antara 31% hingga 47%. Bahkan pada tahun 2007, total belanja pendidikan sudah lebih dari 20% dari total belanja daerah. Ini berarti ke-10 daerah studi sudah sudah memenuhi mandat Konstitusi untuk mengalokasikan minimal 20% anggarannya untuk pendidikan, sesuai dengan interpretasi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK)6 yang memasukkan komponen gaji ke dalam perhitungan ambang tersebut. Proporsi sebesar ini sebenarnya tergolong sangat tinggi untuk daerah dengan kapasitas fiskal rendah. Akan tetapi angka tersebut akan merosot jauh bila anggaran pendidikan diinterpretasikan tidak meliputi belanja gaji. Anggaran belanja pendidikan yang dibelanjakan diluar gaji, hanya berkisar antara 6% hingga 8% untuk rata-rata daerah ini, kecuali untuk daerah kaya (Kota Tangerang dan Kab Tangerang) yang prosentase belanja langsung pendidikannya cukup besar. Walau trend-nya meningkat, tapi proporsi ini tergolong masih terlalu kecil.

6

Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: MK No.24/PPU-IV/2007


TABEL 4.4. PROPORSI BELANJA PENDIDIKAN TERHADAP TOTAL BELANJA DAERAH STUDI - 2007-2009 Total Belanja Pendidikan 2007 2008 2009 Kota Tangerang 226,3 356,1 452,9 Kota Jogjakarta 196,5 246,3 281,3 Kota Pekalongan 108,9 141,3 136,8 Kab Serang 355,6 392,5 456,0 Kab Tangerang 420,9 358,8 689,9 Kab Malang 212,9 262,0 269,1 Kab Jeneponto 124,9 137,9 173,6 Sumber: diolah dari APBD wilayah studi 2007 - 2009

% Blj Pendd thd total belanja 2007 2008 2009 26,8 33,1 37,1 31,4 32,8 34,1 31,3 37,5 35,0 34,5 37,8 47,8 25,5 22,0 31,4 32,8 34,1 34,3 30,8 29,0 34,5

% BL Pendd thd total belanja 2007 2008 2009 10,2 16,1 15,2 6,1 6,7 10,1 6,5 7,3 8,4 7,3 8,3 8,1 8,3 8,7 9,6 7,9 8,9 10,4 6,8 7,1 6,6

Pertumbuhan anggaran pendidikan cenderung terjadi pada komponen belanja tidak langsungnya (gaji), dibanding belanja langsung. Ini terlihat dari pertumbuhan belanja langsung pendidikan yang relatif rendah, bahkan menurun di 3 daerah (Tangerang, Serang dan Jeneponto). Sebaliknya pengecualian terjadi untuk Kota Jogjakarta, yang melonjak cukup tajam dari 6,7% menjadi 10,1%. Belanja langsung pendidikan tersebut umumnya dibelanjakan menjadi 9 jenis program, dimana program pendidikan dasar (WAJAR) sangat mendominasi. Program pendidikan dasar menyerap hampir 70%, sementara sisanya diserap oleh Program Pendidikan Menengah (29%). TABEL 4.5 KOMPOSISI BELANJA PROGRAM ANGGARAN PENDIDIKAN 2007-2009

Pendidikan Dasar Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan Menengah Pendidikan Non-formal Peningkatan sarana/prasarana aparatur Peningkatan mutu pendidik Manajemen pelayanan pendidikan Administrasi kantor Lain-lain (semuanya) Sumber: diolah dari APBD wilayah studi 2007 - 2009

2007 74 0 23 1 0 1 1 1 (0)

2008 68 0 29 0 0 0 0 1 2

2009 68 0 29 0 0 0 0 1 (0)

4.3 ANALISA BELANJA PENDIDIKAN DASAR Anggaran program pendidikan dasar dibelanjakan secara sangat beragam di daerah studi. Secara umum belanja kegiatan di program WAJAR bisa dikategorikan dalam 3 kategori, yaitu: (i) Belanja Operasional Siswa (= biaya operasional non-personal) (ii) Belanja Tenaga Pendidik (= biaya operasional pendidik & biaya investasi pendidik, keduanya diluar gaji) (iii) Belanja Sarana/Prasarana (=biaya investasi sarana/prasarana). Di Kota Tangerang, 61% dibelanjakan untuk Tenaga Pendidik (insentif tambahan), 28% untuk Sarana/Prasarana, dan hanya 10% yang dibelanjakan untuk Operasional Siswa. Sebesar 48% dari pos Operasional Siswa ini berupa BOSDA, dimana bisa dikatakan hanya skema inilah anggaran pendidikan yang langsung disalurkan untuk dibelanjakan di sekolah. Sisanya, bagian terbesar, dibelanjakan di tingkat dinas.


TABEL 4.6 KOMPOSISI BELANJA PROGRAM ANGGARAN PENDIDIKAN KOTA TANGERANG 2007-2009 2007 8

Operasional Siswa - Lomba - Ujian/PSB - Pengadaan buku/kelengkapan belajar - Manajemen/akreditasi/kurikulum - BOSDA

13 35 0 9 42

Tenaga Pendidik - Insentif - Peningkatan kualitas guru

62

Investasi Sarana/Prasarana - Pengadaan sarana - Rehab

26

2008 8 16 15 0 2 66 49

100 0

Lain-lain

4 TOTAL 100% Sumber: diolah dari APBD wilayah studi 2007 - 2009

4 13 35 0 48 61

99 1 33

82 18

2009 10

99 1 28

84 16 10 100%

22 88 1 100%

Sementara Serang, otomatis membelanjakan hampir semua anggaran Program WAJAR ke pos Sarana/prasarana (78%), dan pos Operasional Siswa (19%). Dalam pos Operasional Siswa ini, alokasi BOSDA cukup besar, akan tetapi sayangnya penurunan anggaran pendidikan di tahun 2010 membuat pos BOSDA ini dihilangkan. TABEL 4.7 KOMPOSISI BELANJA PROGRAM ANGGARAN PENDIDIKAN KABUPATEN SERANG 2007-2009 2007 Operasional Siswa - Lomba - Ujian/PSB - Pengadaan buku/kelengkapan belajar - Manajemen/akreditasi/kurikulum - BOSDA

2008

2009

22 9 8

19 2 14

19 5 19

18 16 49

14 20 50

0 32 44

Tenaga Pendidik - Insentif - Peningkatan kualitas guru

2 0 100

1 0 100

1 0 100

Investasi Sarana/Prasarana - Pengadaan sarana - Rehab

73 7 16

76 12 16

79 6 16

3

3

0

Lain-lain Sumber: diolah dari APBD wilayah studi 2007 - 2009


BAGIAN 5.

TEMUAN KUNCI DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 5.1 TEMUAN KUNCI 1. Implementasi Pendidikan Dasar Gratis (Sekolah Gratis) hanya berhasil menurunkan tingkat pungutan (di daerah studi) sebesar 20%. Sampai tahun 2009, masyarakat masih mengeluarkan uang (OOP = out-of-pocket) untuk 6 jenis biaya pendidikan, antara Rp 50.000/bulan sampai dengan Rp 350.000/bulan. Di 5 daerah besaran OOP tersebut justru meningkat, sementara di 5 daerah lainnya menurun. Peningkatan terbesar terjadi di Kab Jeneponto (lebih dari 200%) dan Kab Gresik. Sementara penurunan terbesar terjadi di Kab Tangerang dan Kota Solo (menurun lebih dari 50%). 2. Pendidikan Dasar Gratis sebagai sebuah kebijakan belum dirancang sebagai kebijakan yang utuh dan matang, dan didukung perangkat aturan yang memadai. Kebijakan ini belum dirancang sebagai kebijakan pendidikan gratis sebagai implikasi dari konsep “wajib belajar”, sesuai norma internasional. Secara historis Program Sekolah Gratis lebih didorong kenaikan alokasi skema BOS, dan karenanya program ini kemudian selalu ‘hanya’ dikaitkan dengan alokasi pos operasional, seakan-akan gratis bisa dicapai hanya dengan menutupi pos operasional di sekolah. Pola ini kemudian diikuti oleh sebagian besar pemerintah daerah dalam mengimplementasikan pendidikan gratis. Hal diatas menyebabkan hilangnya basis kebijakan yang penting di tingkat pusat, yang bisa secara komprehensif menjadi acuan bagi daerah, seperti: konsep gratis, batasan gratis (komponen yang wajib dibiayai pemerintah), dan pembagian tugas pembiayaan pusatpropinsi-daerah. Basis aturan yang ada hanya berupa SE Mendagri, dan wacana peraturan yang sempat akan dibuat (Permendiknas) belum terealisasi hingga kini. 3. Karena itu kebijakan pendidikan gratis tidak sepenuhnya diadopsi oleh daerah, dengan implementasi yang beragam. Terdapat dua pola kebijakan daerah terkait arah implementasi PDG: Gratis Penuh, dan Gratis Terbatas. Hanya 4 daerah yang memformulasikan PDG ke arah Gratis Penuh, sisanya memilih Gratis Terbatas karena berbagai alasan. Daerah mempunyai keberatan tersendiri, baik secara paradigmatis maupun alasan kondisi keuangan daerah. Perbedaan interpretasi dan formulasi kebijakan di daerah juga mengakibatkan kurang fokus dan kurang efektifnya kebijakan daerah. Sebagian besar kebijakan PDG di daerah lebih ditopang kebijakan yang bersifat populis dibandingkan sistematis. Kebijakan populis seperti melarang pungutan, tidak menyelesaikan masalah karena tidak didukung kebijakan sistemik, seperti meningkatkan anggaran sekolah dengan mekanisme BOSDA misalnya. 4. Anggaran pendidikan daerah secara umum sudah berada pada ‘track’ yang tepat, tetapi penjabaran alokasi menunjukkan indikasi kurang efisien, menyebabkan pendidikan gratis tidak kunjung tercapai. Total anggaran daerah dan total anggaran pendidikan sempat mengalami peningkatan signifikan, tapi kemudian cenderung melambat. Anggaran pendidikan meningkat signifikan di paruh 2007-2008, tetapi cenderung melambat, bahkan menurun di 2008-2009. Kenaikan anggaran pendidikan lebih terserap oleh belanjatidak langsung (gaji), sehingga prosentase belanja langsung pendidikan (belanja program) relatif tetap kecil. Anggaran program terbesar di anggaran pendidikan adalah untuk Program Pendidikan Dasar, tetapi penggunaan alokasi ini tidak memiliki pola yang jelas antar berbagai daerah. Sebagian daerah mengalokasikan sangat besar untuk insentif guru, sementara daerah lain


hampir tidak melakukannya. Porsi sarana/prasarana di program ini relatif besar untuk semua daerah. Anggaran langsung pendidikan sebagian besar dibelanjakan di tingkat aparat, hanya sebagian sangat kecil yang dibelanjakan langsung di sekolah. Ini diduga mempengaruhi efisiensi atau ketepatan anggaran dengan kebutuhan belajar mengajar. 5. Dua instrumen anggaran yang menjadi andalah pemerintah daerah terkait implementasi PDG adalah BOSDA (pendekatan universal) dan beasiswa/jaminan (pendekatan targeting). BOSDA, skema daerah yang didesain mengikuti BOS ini, menjadi andalan daerah mengikuti terbitnya peraturan daerah yang melarang pungutan. Skema ini merupakan salah satu bentuk kebijakan anggaran yang populis tetapi juga sistematis, karena 3 sifatnya: penyaluran anggaran langsung ke sekolah, penentuannya diserahkan pada sekolah, dan basis penentuan besaran anggaran sederhana dan tepat sasaran. Akan tetapi karena paradigma pemerintah yang hanya mengkaitkan kebutuhan PDG dengan skema operasional siswa, kurang terlihat upaya untuk mengembangkan skema pos biaya lainnya (investasi sarana/prasarana dan pendidik), misalnya dengan menghitung unit cost, menghitung costing, menyiapkan skema khusus, dll. 6. Kota Jogjakarta, Kota Solo & kota Tangerang merupakan daerah-daerah yang bisa menjadi percontohan, dilihat dari sisi capaian, kebijakan, dan anggaran. Yaitu: (i) Capaian: cukup berhasil menurunkan pungutan dengan tetap menjaga perluasan akses dan peningkatna mutu; (ii) Kebijakan: konsistensi kebijakan dan kelengkapan peraturan; (iii) Anggaran: postur umum anggaran yang sehat (besarnya anggaran langsung, keseimbangan skema universal & targeting, inovasi berupa memperkenalkan sistem jaminan pendidikan). 5.2 REKOMENDASI KEBIJAKAN/TINDAKAN Pemerintah Pusat: 1. Membuat basis peraturan yang memadai untuk menjamin keberlanjutan dan pengembangan kebijakan pendidikan gratis. Misalnya melanjutkan rencana pembuatan Permendagri (atau bahkan aturan diatasnya) mengenai Pendidikan Dasar Gratis. Aturan ini akan menjadi acuan dasar kebijakan daerah, sehingga mendorong efektivitas implementasi pendidikan gratis. Termasuk didalamnya adalah: konsep gratis, batasan gratis dan sekuensial implementasi (bertahap), skema pembiayaan (unit cost, costing), serta pembagian pembiayaan antara pusat-propinsidaerah. Batasan yang jelas dan sekuensial implementasi yang disesuaikan kemampuan anggaran pemerintah, akan mempercepat implementasi pendidikan gratis tanpa mengorbankan mutu pendidikan. 2. Membuat instrumen monitoring pelaksanaan Pendidikan Dasar Gratis di daerah. Pemerintah pusat perlu membuat instrumen untuk memonitoring capaian pendidikan dasar wajib-gratis-bermutu, meliputi: capaian, kebijakan daerah, dan postur anggaran daerah. 3. Dalam jangka menengah memperbaiki aturan mekanisme pendanaan ke sekolah. Mekanisme penyaluran pendanaan ke sekolah saat ini sangat rumit, menyulitkan administrasi, akuntabilitas dan monitoring. Penyederhanaan mekanisme (seperti ide ‘one school one account’) akan mengefektifkan capaian pendanaan, termasuk pendidikan gratis.


Pemerintah Daerah: 1. Menetapkan standar Pendidikan Dasar Gratis yang akan dicapai daerahnya secara realistis tetapi sistemik (universal), serta menetapkan perangkat kebijakan yang dibutuhkan. Pemerintah daerah perlu mempunyai road-map pendidikan wajar-gratis-bermutu, termasuk sekuensial implementasinya, dan menurunkan aturan yang dibutuhkan (perda, SK, unit cost). Pemerintah daerah harus lebih terfokus pada kebijakan yang bersifat universal dan sistemik, seperti meningkatkan total biaya operasional/investasi sekolah, dibandingkan kebijakan populis. Mendorong BOSDA sebagai salah satu instrumen utama implementasi Pendidikan Dasar Gratis. 2. Menciptakan skema pendanaan daerah yang mendukung kebijakan universal diatas. Sangat penting untuk mendorong skema BOSDA (sistematis, sederhana, akuntabel), tetapi diperluas cakupannya. Selain menyalurkan pos operasional, skema semacam bisa dikembangkan untuk menyalurkan pos biaya terkait pendidik (tambahan diluar gaji dan peningkatan mutu) dan investasi sarana/prasarana. Mengevaluasi kebijakan larangan pungutan oleh sekolah. 3. Melaksanakan monitoring pelaksanaan Pendidikan Dasar Gratis yang lebih sistemik. Melarang pungutan sekolah secara total sekaligus bisa membahayakan mutu, bila tanpa diikuti peningkatan anggaran pemerintah daerah ke sekolah. Penting melakukan sekuensial implementasi, seperti menetapkan jenis pungutan yang dilarang pada tahap awal, dibarengi peningkatan anggaran pemerintah untuk pos tersebut, & melakukan pengawasan konsisten. Kemudian bertahap ke jenis pungutan lainnya, sesuai kemampuan anggaran pemerintah daerah. Masyarakat Sipil: 1. Mengawal dan mendorong paradigma berbasis-hak (right based approach) sebagai landasan implementasi kebijakan pendidikan dasar gratis. Masih adanya ’gap’ paradigma ini menuntut masyarakat sipil (termasuk dunia usaha) untuk terus mensosialisasikan paradigma berbasis-hak dan mendorong kebijakan berjalan di lajur tersebut. 2. Selain mendorong alokasi anggaran, lebih penting mengawasi efektivitas anggaran. Keberhasilan menetapkan ambang ”20%” tidak akan berarti apa-apa tanpa diikuti pengawalan efektivitas pengalokasian anggaran besar tersebut. Perlu menetapkan satu set indikator tambahan (”20% +”), seperti ambang alokasi anggaran langsung, besaran belanja program yang dialokasikan langsung ke sekolah, dsb.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.