Revenue Watch Sukabumi

Page 1

EMAS BIRU, SUKABUMI, DAN MEREKA YANG TERPINGGIRKAN Y

Tabel 2 menunjuukan inkonsistensi antara volume air yang dimanfaatkan di Kabupaten Sukabumi dan jumlah pajak air bawah tanah yang diterima oleh pemerintah provinsi. Dapat dilihat bahwa pada tahun 2005 terjadi penurunan total pemanfaatan air yang cukup besar yaitu dari 771 ribu m3 menjadi 738 ribu m3 akan tetapi justru terjadi kenaikan pajak yang cukup besar yaitu dari Rp 7,1 miliar menjadi Rp 10,2 miliar. Sementara pada saat terjadi kenaikan volume pada tahun 2008 yaitu dari 681 ribu m3 pada tahun 2007 menjadi 751 3 ribu m pada tahun 2008 akan tetapi justru pendapatan dari pajak air bawah tanah turun yaitu dari Rp 10,5 miliar menjadi Rp 10,4 miliar. Pada tahun 2005 ke 2006 saat terjadi penurunan volume 3 yang cukup besar yaitu dari 738 ribu m ke 660 ribu 3 m pendapatan dari pajak air bawah tanah justru tidak berubah yaitu sama-sama Rp 10,2 miliar. Selain itu, Sukabumi juga tidak mengenal sumbangan pihak ketiga. Sementara Klaten, dengan volume pengambilan air yang tidak sebesar Sukabumi, bisa menarik sumbangan nonpajak dari perusahaan-perusahaan pengambil sumber daya air. Pada 2006, misalnya, PDAM Kota Surakarta memberi sumbangan sebesar tujuh kali pajak ABT. Pada tahun itu, keseluruhan nilai pajak ABT adalah Rp 327 juta dan nilai sumbangan dari PDAM Surakarta adalah sebesar Rp 2,3 miliar. Sumbangan ini secar jelas tercantum dalam APBD karena diatur oleh sebuah SK Bupati yang khusus mengatur mengenai sumbangan pihak ketiga dari PDAM Surakarta pada Pemda Klaten. SK tersebut menyebutkan jumlah sumbangan adalah 15 persen

dari tarif dasar air dikalikan dengan air yang diproduksi. Kemudian pada 2007, sumbangan PT Tirta Investama mencapai sepuluh kali lipat pajak ABT di tahun tersebut. Pajak ABT pada tahun tersebut adalah Rp 340 juta, dan sumbangan dari PT Tirta Investama adalah Rp 3,6 miliar. Seperti juga sumbangan dari PDAM Surakarta yang memiliki dasar peraturan yang jelas, sumbangan dari PT Tirta Investama ini pun memiliki landasan hukum yang kuat yaitu Memorandum of Understanding antara Pemerintah Daerah Klaten dengan PT Tirta Investama tertanggal 12 Mei 2005. Selain itu PT Tirta Investama juga menyediakan sumbangan bagi Desa Ponggok, Klaten, tempat mata air Sigedhang yang digunakan oleh perusahaan ini. Desa ini memperoleh Rp 1 untuk setiap liter air yang dimanfaatkan oleh perusahaan. Sementara untuk Desa Wangen yang ditempati pabrik PT Tirta Investama memperoleh sumbangan Rp 0.075 untuk setiap liter air yang digunakan perusahaan. Sumbangan-sumbangan ini diberikan setiap bulan dan dikelola oleh kepala desa. Apa yang terjadi di Sukabumi hampir kebalikan dengan Klaten. Tidak ada sepeser pun sumbangan yang tercatat APBD. Sumbangan untuk desa pun tak diketahui rimbanya oleh warga. Tentang per usahaan-per usahaan di Sukabumi yang enggan memberi sumbangan ini, jika ditanya, ”Sejak puluhan tahun Aqua datang, apa yang disumbangkan untuk kampung sini?” orang-orang Kampung Kuta, Desa Babakan Pari, akan menjawab, ”Sebuah jam dinding di masjid.”[]

FOTO:IRFAN

Sebuah gedung sekolah dasar di Babakan Pari, Cidahu, Kabupaten Sukabumi, rusak dan tergenang air. Perusahaan pengambil kekayaan air di kawasan itu terkesan tak peduli dengan persoalan sosial yang dihadapi masyarakat setempat AMRTA Institute for Water Literacy | amrta_institute@yahoo.com | Penulis: Irfan Zamzami dan Nila Ardhianie | Layout: Irfan

REVENUE WATCH

7

A

Y

A

S

A

N

Amrta Institute for water literacy


EMAS BIRU, SUKABUMI, DAN MEREKA YANG TERPINGGIRKAN

EMAS BIRU, SUKABUMI, DAN MEREKA YANG TERPINGGIRKAN

Tabel 2. Pemanfaatan Air Bawah Tanah Kabupaten Sukabumi 2004-2008 Tahun

2004 2005 2006 2007 2008

Suatu pagi ketika kabut belum tuntas dari lereng Gunung Salak, Kabupaten Sukabumi, Haji Mamat (68) bergegas menuruni jalan setapak menuju mata air di bawah. Ia amat berhati-hati sebab jalanan itu tak cuma curam tetapi juga licin, dan di saat yang sama ia juga harus cepat sebab air hendak digunakan isterinya untuk memasak. Tetapi begitu tiba di dekat mata air, ia distop. “Ada perempuan yang sedang mandi,� sembari terkekeh Haji Mamat bercerita.

Oleh: IRFAN ZAMZAMI dan NILA ARDHIANIE

K

Pangrango di sebelah Timur. Di situlah kekayaan air paling besar di Sukabumi tersimpan. Sebagian besar kekayaan air terkonsentrasi di bagian bawah Gunung Salak dan Gunung Pangrango. Penyebarannya meliputi desa-desa di Kecamatan Cicurug, Cidahu, Parung Kuda, dan Parakan Salak. Pada 1998, Direktorat Geologi Tata Lingkungan yang bekerja sama dengan Bagian Lingkungan Hidup Kabupaten Sukabumi untuk mengadakan studi sumber daya air tanah di kawasan tersebut. Mereka menemukan setidaknya terdapat 37 mata air di Kecamatan Cicurug dan Cidahu dengan total debit 1.335 liter per detik. Sebagai pembanding, kebutuhan manusia untuk air minum perhari adalah sebanyak dua liter. Pabrik datang, penduduk tak kebagian Melimpahnya emas biru di Sukabumi akhirnya membuat berbagai macam industri berdatangan untuk membeli jengkal demi jengkal tanah. Proses ini dimulai 1980-an, lalu menjadi semakin pesat memasuki 1990-an. Pada Desember 2007, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Jawa Barat mencatat dalam 10 tahun terakhir tidak kurang dari 78 perusahaan

REVENUE WATCH

1

Volume Total

771,334 738,887 660,152 681,796 751,180

pemerintah daerah seperti kecolongan. Ratusan perusahaan bisa dengan bergembira menguras sumber daya air tanpa banyak dibebani oleh tanggung jawab untuk turut menyumbang daerah. Tengoklah perhitungannya. Berturut-turut dari 2006, 2007, sampai 2008, sektor air menyumbang pada PAD masing-masing 28%, 26%, dan 22%. Rasio ini sangat kecil jika dibandingkan dengan besarnya volume air yang diambil setiap bulannya. Misalnya, selama Januari 2006, PT Aqua Golden Missisipi tercatat mengambil air sejumlah 218.000 m3. Itu baru satu perusahaan. Bandingkan dengan Klaten, sebuah kabupaten di Jawa Tengah yang juga menjadi tempat mangkal pabrik Aqua. Selama bulan dan tahun yang sama, volume air yang diambil oleh pemanfaat air tanah yang terdaftar di Badan Pengelolaan Pertambangan dan Energi (BPPE) tak lebih dari 137.000 m3. Volume air yang dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan di Sukabumi memang sangat besar. Seperti disebut di atas, PT Aqua Golden Missisipi dalam satu bulan saja memanfaatkan 218.000 m3 air bawah tanah yang hanya berselisih sedikit dengan pemanfaatan yang dilakukan oleh PDAM Kota Sukabumi, untuk bulan yang sama yaitu Januari 2006, mereka 3 mengambil 232.782 m air. Bayangkan volume air

% Kenaikan/ Penurunan

Pajak ABT (Miliar Rp)

- 0,1 16,8 2,1 9,4

7,1 10,2 10,2 10,5 10,4

yang dimanfaatkan oleh hanya sebuah perusahaan ternyata hampir sama jumlahnya dengan PDAM yang beroperasi untuk memasok penduduk sebuah kota. Menurut data di website resmi Pemerintah Kota Sukabumi, penduduk Kota Sukabumi pada tahun 2003 adalah 278.000 jiwa. Sangat menarik untuk secara lebih jauh melihat olahan data menyangkut manfaat yang diterima pemerintah dan masyarakat di wilayah kaya sumber daya air ini. Misalnya dengan membandingkan jumlah pendapatan dari sumber daya air dengan jumlah PAD total yang diperoleh pada tahun 2006 sampai 2008. Jumlah pendapatan dari sumber daya air nilainya relatif stagnan yaitu Rp 11 miliar, kemudian naik menjadi Rp 12,1 miliar, dan pada tahun 2008 naik sedikit menjadi Rp 12,3 miliar. Sementara nilai PAD total relatif naik secara cukup siginifikan tiap tahunnya yaitu Rp 40 miliar, Rp 46 miliar, dan Rp 56 miliar. Hal ini cukup mengherankan sebetulnya karena volume air yang dimanfaatkan perusahaan terus naik tiap tahunnya (lihat tabel 2), bahkan pada tahun 2005 ke tahun 2006 kenaikan volume air yang digunakan berbagai perusahaan di Sukabumi naik sampai 16,8% dan pada tahun 2007 ke 2008 naik sebesar 9,4%. Hanya dari tahun 2004 ke 2005 terjadi penurunan kecil volume pemanfaatan yaitu sebesar 0,1%.

Bak mandi dengan air keruh di sebuah MCK yang dibangun warga secara swadaya. Air bersih semakin sulit didapat

FOTO:IRFAN

ejadian seperti itu tidak jarang terjadi. Setiap orang yang memerlukan air, tak peduli terburu-buru atau tidak, harus rela bersabar untuk antri. Bagaimana tidak, mata air yang terdiri dari aliran kecil yang disalurkan dengan pipa itu adalah satu-satunya yang harus dibagi dengan 55 kepala keluarga lain di Desa Babakan Pari. Apalagi semua aktivitas seperti mandi dan mencuci dilakukan semua di tempat itu. Di jam-jam tertentu antrian bisa sangat parah. Ironisnya, Sukabumi adalah sebuah kabupaten subur yang amat kaya akan air. Tak hanya air permukaan (mata air, danau, sungai) tetapi juga air bawah tanah (sumur gali, sumur artesis). Terutama di kawasan Gunung Salak, Sukabumi bagian utara, tempat Haji Mamat tinggal beserta ribuan keluarga lain yang menyebar di bebukitan. Kawasan tersebut memiliki potensi air yang tinggi karena keadaan alamnya yang berada di Cekungan Sukabumi, yaitu suatu penampakan bentang alam yang secara umum memperlihatkan adanya lembah di antara gunung-gunung yang sangat luas dan memanjang dari utara ke selatan. Cekungan tersebut diapit oleh Gunung Salak dan Gunung Endut di sebelah Barat serta Gunung

Volume Pemanfaatan Non PDAM 366,789 365,884 427,370 436,284 477,100

REVENUE WATCH

6


EMAS BIRU, SUKABUMI, DAN MEREKA YANG TERPINGGIRKAN

Hanya sebuah jam dinding di masjid Anak sulung Haji Mamat tidak melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi karena biaya sudah tak ada. Maka selepas dari bangku sekolah ia harus puas dengan pekerjaannya sebagai tukang ojek, sebab mencari pekerjaan dengan ijazah yang terbatas amatlah susah. Ia bukan satu-satunya. Dan masalahnya adalah juga masalah yang dihadapi oleh ribuan pemuda lain di lereng gunung yang telah membuat berbagai perusahaan bertambah kaya itu. Padahal dengan pabrik-pabrik yang berdatangan, warga sempat berharap kondisi ekonomi mereka turut terangkat. Tetapi harapan ini menguap. Satu dari sekian sebab adalah karena perusahaan-perusahaan menetapkan standar rekrutmen hanya bagi pemegang ijazah SMA. Standar yang terlampau tinggi bagi kebanyakan warga setempat. Selain itu, jalur rekrutmen karyawan cukup berliku. Perusahaan biasanya menggunakan sistem outsourcing dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Prosedur inilah yang kerap menjadi celah bagi ”pihak ketiga” yang sengaja mencari kesempatan dalam kesempitan. Berdasarkan cerita yang dipaparkan Ridwan, setiap pelamar yang berniat masuk ke perusahaan harus membayar pada pihak ketiga ini sedikitnya uang sejumlah tujuh ratus ribu rupiah. Sumber lain menyebutkan angka yang lebih tinggi, yaitu sampai tiga juta rupiah. Tidak sedikit warga desa yang memilih mengeluarkan uang untuk memasukkan anggota keluarga mereka ke perusahaan. ”Daripada menganggur, bayar tidak apa-apa,” kata Ridwan, ”Nanti-nanti bisa ditebus dengan gaji yang diterima ketika sudah jadi karyawan.” Meskipun demikian, pada kenyataannya banyak penduduk desa yang tidak mampu membayar uang pelicin sekalipun ingin. Sehingga kebanyakan karyawan

EMAS BIRU, SUKABUMI, DAN MEREKA YANG TERPINGGIRKAN

yang dipekerjakan adalah orang-orang dari luar daerah. Kesejahteraan karyawan pabrik-pabrik di kawasan itu tidak pula menjanjikan. Secara umum UMR di Kabupaten Sukabumi memang terendah di antara daerah tingkat II lain di Jawa Barat. Gaji karyawan umumnya tidak jauh dari kisaran Rp. 600.000 per bulan. Jumlah itu sudah bersih, tanpa ada tunjangan kesejahteraan lain. Lebih parah lagi dialami oleh karyawan tidak tetap. Mereka dipekerjakan hanya di saat-saat dibutuhkan dengan upah per hari sekitar dua puluh ribuan. Sebenarnya sebelum industri datang ke tempat mereka, penduduk bagian utara Sukabumi ini adalah masyarakat agraris. Sebagai petani mereka dulunya memiliki petak-petak sawah di bebukitan Gunung Salak yang subur. Tetapi sejak emas biru mulai jadi rebutan, pola mata pencaharian warga pun buyar. Dalam sekejap tanah-tanah telah pindah pemilik dan mengalami alih fungsi lahan. Sebagian untuk mendirikan pabrik-pabrik, unit ekstraksi air, dan sisanya beralih fungsi menjadi perkebunan. Selain itu, perusahaan-perusahaan sering rewel dengan membikin banyak larangan bagi warga untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. Aqua, misalnya, melarang keras warga untuk beternak dalam radius tertentu dari pabrik mereka karena khawatir mencemari sumber air. Tentu larangan seperti ini menylitkan warga untuk bertani. Pengangguran begitu umum dijumpai di kawasn itu. Perusahaan-perusahaan semestinya tidak menutup mata pada sederet persoalan sosial ini. Karena mereka telah mengambil begitu banyak, sudah seharusnya mereka memberi secara setimpal. Sayangnya pada kenyataannya tidak demikian. Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) dan laporan penarikan pajak Nilai Perolehan Air (NPA) menunjukkan betapa

memanfaatkan sumber air di Kabupaten Sukabumi. Perusahaan-perusahaan yang mengeroyok kekayaan alam Sukabumi ini bervariasi mulai dari perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), perusahaan makanan dan minuman, perusahaan peternakan, perusahaan kimia (bahan kimia dan farmasi), perusahaan elektronik, perusahaan plastik, perusahaan wisata (hotel, restoran, taman rekreasi), perusahaan air bersih (PDAM/PDAB), perusahaan pertambangan, perusahaan garmen, sampai perusahaan perkebunan. Beberapa di antaranya adalah perusahaan penghasil merek minuman yang dikenal luas, seperti Aqua, Alto, Kratingdaeng, Ale-Ale, Yakult, You-C 1000, Pocari Sweat, dan banyak lagi. Ratusan perusahaan yang sama-sama hendak menanamkan pipa di sumber air ini tentu menimbulkan semacam kompetisi untuk mendapatkan akses atas air. Tetapi persaingan yang mengkhawatirkan justr u bukan antarindustri, tetapi antara industri yang memanfaatkan air untuk tujuan komersial dengan masyarakat lokal yang memanfaatkan air untuk kebutuhan sehari-hari. Persaingan ini jelas-jelas tidak seimbang. Bagaimana mungkin penduduk setempat berkompetisi dengan industri raksasa yang kekuatan modalnya tak main-main? Itulah kenapa ketika kemudian masayarakat setempat merasakan dampak negatif dari aktivitas sejumlah industri di sana, mereka hanya bisa berbuat sedikit dan selebihnya pasrah. Padahal dampak yang ditimbulkan juga tidak

Tabel 1.Perbandingan Kelebihan Reservoir Air Tanah & Air Permukaan Air Tanah Mempunyai kapasitas tampung luas Hampir tidak ada penguapan

Secara alamiah, proses pembentukan air tanah berlangsung pada suatu wadah yang disebut cekungan air tanah (groundwater basin), yakni tempat berlangsungnya proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah. Pada kenyataannya, pembentukan air tanah sejak dari daerah imbuhan (recharge area) yang kemudian mengalir menuju daerah limpasan (discharge area) dapat terjadi dalam kurun waktu yang berbeda-beda di berbagai cekungan air tanah, yakni dari hitungan, hari, bulan, tahun bahan dapat hingga berabad-abad lamanya, tergantung pada kondisi geologi setempat.

main-main. Untuk masuk ke desa Babakan Pari, sebuah desa yang mata airnya disedot untuk produk Aqua dan Alto, pengguna kendaraan harus terguncang-guncang hebat karena kerusakan jalan yang parah. Aspalnya lebih seperti kerikil yang tersebar. Di mana-mana terdapat lubang besar menganga. Musim hujan lebih parah lagi karena jalanan itu berubah menjadi sekumpulan kubangan air yang dalam. Inilah kerusakan yang ditimbulkan akibat truk-truk pengangkut air yang setiap hari tak henti membebani badan jalan-jalan kecil di sana. Tetapi bukan kerusakan jalan yang paling menimbulkan kegelisahan. Sejak pabrik-pabrik berdatangan dan menyedot air secara besarbesaran, air menjadi sulit didapat. Cerita Haji Mamat yang harus mengantri karena berbagi satu mata air dengan puluhan kepala keluarga lain bukanlah pengalaman segelintir orang saja, tetapi hampir semua orang yang rumahnya berdekatan dengan pabrik-pabrik di lereng Gunung Salak itu. Banyak mata air yang dulunya bisa dimanfaatkan kini mampet dan kering. Ridwan, 71 tahun, menunjuk sebidang tanah di curaman di samping rumahnya suatu siang ketika ia selesai Sholat Jumat. ”Di situ dulu ada mata air yang bisa kami gunakan,” katanya mengenang. Kini sebidang tanah yang ia maksud itu lebih persis sebuah tegalan yang ditumbuhi tanaman liar ketimbang kolam dengan mata air yang memancar. Sama sekali tidak ada bekas yang terlihat. Ia meyakini sebelum Aqua mendirikan unit ekstraksi air di daerah tempat ia tinggal, air jauh lebih mudah didapat.

Air Permukaan Kandungan mineral biasanya kecil Penelitian, evaluasi, dan pangeturan relatif lebih murah

Tidak memerlukan tempat khusus untuk

Tidak diperlukan pengolahan untuk

reservoir air tanah

imbuhan air permukaan

Tidak ada kegagalan struktur bangunan

Imbuhan tergantung curah hujan

Lebih bersih, bebeas bakteri, terutama air tanah tertekan Langsung bertindak sebagai pengantar ke tempat yang memerlukannya

Sumber: Air Tanah di Indonesia dan Pengelolaannya, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral 2005

Sumber: Air Tanah di Indonesia & Pengelolaannya. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2005

REVENUE WATCH

5

REVENUE WATCH LAPORAN DARI LAPANGAN

2


EMAS BIRU, SUKABUMI, DAN MEREKA YANG TERPINGGIRKAN Sumur pun tak lagi murah hati. Anjloknya debit air ini paling parah dialami oleh Kampung Kuta yang mata airnya disedot oleh PT Tirta Investama, produsen produk Aqua. Kalau dulu warga di kampung ini bisa memancarkan sumber air dengan sumur kedalaman 10 meter saja, kini mereka harus menggali sampai paling sedikit 18 meter. Maka lengkaplah sudah, mata air dan sumur sama-sama mengering. Untuk mengatasi kesulitan air bersih, selama ini penduduk setempat mengandalkan bantuan dari Aqua. Tetapi solusi ini juga tidak mudah. Acep (53), seorang Ketua RT di Desa Babakan Pari, menceritakan betapa proses untuk mendapatkan bantuan saluran air bersih dari Aqua tidaklah mudah, sebagaimana yang ia alami belum lama ini. Pertama Acep harus menyusun sebuah proposal yang secara spesifik mencantumkan permohonan mereka dengan jelas, dalam hal ini ia mengajukan dua pusat MCK (mandi, cuci, kakus) untuk umum. Sebelum disampaikan ke Aqua, proposal ini ditandangani dulu oleh Ketua RW dan Kepala Desa Babakan Pari. Sedangkan akses mereka terhadap perusahaan, berdasarkan keterangan Acep, adalah seorang staf lapangan Aqua yang bernama Wastono. Melalui Wastono ini pula tawar menawar dengan pihak perusahaan dilakukan. Disebut tawar menawar sebab proposal yang diajukan warga tentu tidak begitu saja dikabulkan perusahaan. Dari proposal yang diajukan Acep, misalnya, Aqua menyatakan keberatan jika harus membiayai pembangunan dua MCK. Sebagai gantinya, Aqua memutuskan akan menurunkan bantuan untuk satu buah MCK dan dua buah keran umum. MCK dan sebuah keran umum akan dibangun dekat masjid, satunya

di sudut lain desa agar merata. ”Tetapi sampai saat ini belum juga direalisasikan,” kata Acep. Sebagaimana Acep, Haji Mamat juga tengah menunggu Aqua memenuhi janji mereka untuk membangun sebuah tandon air yang rencananya akan dibangun tidak jauh dari rumahnya. Bagaimana Aqua mengalirkan air ke tandon, entah dengan sumur bor atau dialirkan dari pabrik, tak jadi soal bagi Haji Mamat. Yang penting ada air bersih yang bisa ia gunakan dengan mudah, seperti sedia kala sebelum pabrik-pabrik berdatangan. Pada kenyataannya memang lebih banyak lagi orang yang mesti bersabar sampai janji Aqua terealisasi. Sebagian yang lain bahkan belum dijanjikan apapun. Pasalnya, perusahaan yang mendirikan pabrik di kawasan itu terkesan tak ambil pusing dengan kesulitan air bersih yang dialami masyarakat sekitar. Kalaupun ada bantuan yang mereka turunkan, biasanya cuma sebagai penggugur kewajiban. Di beberapa tempat menara air memang dibangun, tapi sesudah itu selesai tanpa peduli masih banyak orang yang tak bisa mengakses karena jarak. Fasilitas air bersih yang diberikan Aqua juga tidak merata ke semua kampung yang terkena dampak eksploitasi. Hanya kampung terdekat, seperti Pasir Dalem dan Kubang Jaya, yang sudah bisa memanfaatkan aliran air bersih dari Aqua. Padahal kampung lain juga sama sulitnya mendapat air bersih. Selain itu, ketidakmerataan bantuan bisa memicu konflik horizontal. Menurut Acep, ketidakmerataan ini sering disebabkan karena akses terhadap perusahaan yang berbeda dari masing-masing desa. ”Kalau di desa itu ada yang jadi pegawai Aqua, pasti gampang dapatnya,” Acep menjelaskan, ”nah, di kampung kami kan tidak ada yang kerja di Aqua. FOTO:IRFAN

Tak berbekas: Lahan ini dulunya adalah kolam mata air

REVENUE WATCH

3

Jalanan rusak parah akibat beban kendaraan berat yang setiap hari mengangkut barang dari dan ke pabrik FOTO:IRFAN

Makanya susah mau minta bantuan.” Dugaan Acep boleh jadi salah, tapi ia mampu menyebutkan kampung-kampung yang sudah mendapatkan bantuan memang ada warganya yang menjadi pegawai Aqua. Meski demikian, realisasi juga tidak terjadi dalam waktu singkat. Di Kampung Darmaga, warga harus menunggu tidak kurang dari satu tahun sampai bantuan senilai 200 juta rupiah dari Aqua cair. Bantuan ini pun masih mentah. Untuk benar-benar berdiri sebuah MCK umum, warga harus bergotong royong untuk membangunnya. Kalau nanti proposal yang diajukan Acep disetujui, mekanisme bantuan juga tidak jauh beda. Aqua akan mencairkan sejumlah dana dan mengirimkan material bahan bangunan. Masyarakat sendiri lah yang membangunnya. Di luar itu Aqua tidak akan menanggung, termasuk jika warga masih membutuhkan aliran air yang lebih dekat ke rumah mereka. Untuk kepentingan itu, warga mesti mengeluarkan biaya sendiri. Sehingga jika pun ada bantuan dari Aqua, bukan berarti mendapat air bersih menjadi lebih mudah. Sebenarnya masalah seperti ini tidak boleh terjadi. Kesulitan penduduk memperoleh air untuk kebutuhan sehari-hari merupakan pelanggaran terhadap beberapa peraturan yang dimiliki oleh bangsa ini. Tidak hanya itu, sebauah konvenan Perserikatan Bangsa-bangsa, yaitu General Comment Nomor 15 International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang disepakati sejak 2002, menegaskan bahwa akses atas air adalah hak asasi manusia. Jika penduduk sulit memperoleh air bersih, maka pelanggaran hak asasi manusia

terjadi. Indonesia pun punya landasan hukum yang tak kalah tegas. Undang Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pasal 5 menyatakan bahwa Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok sehari-hari guna memenuhi kebutuhannya yang sehat, bersih, dan produktif. Selanjutnya, Pasal 29 mengenai prioritas penggunaan menyatakan bahwa penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama penyediaan sumber daya air di atas semua kebutuhan. Selain UU, ada juga Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah. Pasal 50, mengenai penyediaan, menyatakan bahwa Penyediaan air tanah untuk kebutuhan pokok sehari-hari merupakan prioritas utama di atas segala keperluan lain Tetapi antara peraturan dan realitas sering kali senjang. Di lereng Gunung Salak, warga toh hanya bisa menjadi saksi industri yang berdatangan lalu menghisap air dengan pipa-pipa raksasa dan membuat mata air di tanah leluhur mereka itu kering. Banyak orang yang dulu tak sedikitpun menyadari akibat yang bisa ditimbulkan oleh aktivitas industri, kini cuma menyesal telah melepas tanah mereka pada perusahaanperusahaan, seperti Ridwan. ”Dua puluh juta uang yang saya terima dulu tidak ada apa-apanya dengan kesulitan yang kini harus saya alami,” ungkapnya.

REVENUE WATCH

4


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.