PAPUA TANAH DAMAI [kita
b i s a
b i k i n
a p a ?
]
RUMUSAN INDIKATOR PAPUA TANAH DAMAI Dirangkum Berdasarkan Hasil Diskusi Bulanan yang Dilakukan oleh Simpul Mahasiswa Peduli Damai (SIMPEDA) Papua dan Pelajar Penabur Damai (PAPEDA) Community. Didukung Oleh:
Daftar Isi Daftar Isi .......................................................................................................................................................................................... i Ringkasan ....................................................................................................................................................................................... ii Bagian 1 Pendahuluan: Kita bisa bikin apa? ........................................................................................................ 4 Bagian 2 Fakta Sosial yang Melumpuhkan ............................................................................................................ 7 1.
Terganggunya Komunikasi Agama dan Budaya ................................................................................................. 7
2.
Potensi Disintegrasi Bangsa ........................................................................................................................................ 7
3.
Ketimpangan Ekonomi .................................................................................................................................................. 8
4.
Kesehatan dan Pendidikan yang Tidak Mencerahkan ..................................................................................... 8
5.
Keamanan dan Penegakkan Hukum ........................................................................................................................ 9
6.
Pengekangan Kebebasan Berkspresi ....................................................................................................................... 9
Bagian 3 Indikator Papua Tanah Damai ................................................................................................................. 12 1.
Penghargaan Terhadap Perbedaan .......................................................................................................................... 12
2.
Komunikasi yang Positif ................................................................................................................................................ 13
3.
Partisipasi ............................................................................................................................................................................ 14
4.
Non-Diskriminasi ............................................................................................................................................................. 14
5.
Bebas Berekspresi dan Menyatakan Pendapat ................................................................................................... 15
6.
Tegaknya Supremasi Hukum dan Peraturan Perundang-undangan ......................................................... 16
7.
Kesejahteraan .................................................................................................................................................................... 17
8.
Terpenuhinya Layanan Dasar: Pendidikan dan Kesehatan ........................................................................... 17
9.
Adanya Rasa aman ........................................................................................................................................................... 18
Bagian 4 Mengatasi Kelumpuhan ................................................................................................................................ 20 1.
Tiga Kesadaran Utama ................................................................................................................................................... 20
2.
Peran Para pihak .............................................................................................................................................................. 20 A. Masyarakat Sipil ....................................................................................................................................................... 20 A.1. Kembali Pada Pemahaman Nilai-nilai Agama dan Budaya ......................................................... 20 A.2. Membangun Komunikasi dan Interaksi Keagamaan ..................................................................... 22 A.3. Membangun Komunikasi dan Interaksi Sosial ................................................................................ 23 A.4. Memiliki Kepribadian yang Positif dalam Bentuk Sikap dan Perilaku .................................. 24 A.5. Ikut Berpartisipasi Aktif dalam Pembangunan ................................................................................ 25 B. Pemerintah (Sipil dan Militer ) ........................................................................................................................... 25 B.1. Penegakkan Hukum dan Implementasi Kebijakan ......................................................................... 25 B.2. Pemerintahan yang Baik dan Tersedianya Layanan Dasar Publik .......................................... 26 B.3. Peningkatan Kesejahteraan dan Pembangunan Ekonomi .......................................................... 27 B.4. Kesediaan untuk Melaksanakan Dialog Jakarta – Papua ............................................................. 28
1i
Ringkasan Kekerasan demi kekerasan yang terus terjadi di Papua seakan tidak pernah berujung. Kisah pilu kemanusiaan ini telah melintasi waktu berdekade dan terus melahirkan dendam-dendam baru. Upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah, baik daerah maupun pusat tidak lebih dari sekedar pemadam kebakaran, yang hanya menyelesaikan percikan api kekerasan, tanpa benar-benar berhasil memadamkan sumber apinya. Berbagai kebijakan yang dianggap mampu menyelesaikan persoalan di Papua telah coba di-instal di Papua, yang terakhir adalah pemberlakukan status Otonomi Khusus melalui UU No. 21 tahun 2001. Sayangnya, rendahnya keseriusan dan ketiadaan kemauan politik pemerintah pusat untuk sungguhsungguh menyelesaikan persoalan Papua telah membuat kebijakan khusus, yang sejak awal telah ditolak oleh rakyat Papua tersebut, tidak juga berhasil memperbaiki keadaan menjadi lebih baik. Toh, rentetan tragedi kemanusiaan masih terus mewarnai daerah yang kaya ini. Menyadari stagnan-nya upaya penyelesaian persoalan Papua, lahirlah pemikiran dari sejumlah pemikir, tokoh masyarakat dan aktivis perdamaian di Papua untuk menghadirkan suasana damai di negeri ujung timur Indonesia ini. Dimulai oleh tokoh-tokoh adat masyarakat Papua yang menggaungkan istilah ‘Papua Zona Damai’, kemudian diteruskan oleh tokoh-tokoh agama yang menyebut ‘Papua Tanah Damai’, hingga kemudian lahir sebuah gerakan baru yang lebih terorganisir, yakni Jaringan Damai Papua (JDP) dengan keanggotaan yang lebih berwarna: akademisi, tokoh agama, tokoh adat, pemuda, perempuan, aktivis LSM, dan lain-lain. JDP sedikit jauh lebih maju dengan mengedepankan wacana dialog sebagai jembatan untuk menuju Papua Tanah yang Damai untuk semua. Papua Tanah Damai adalah visi besar yang harus diwujudkan oleh semua komponen bangsa. Sayangnya, referensi indikator Papua Tanah Damai sendiri belum banyak terumuskan. Hingga saat ini, tercatat baru ada dua rumusan indikator Papua Tanah Damai yang telah dihasilkan. Pertama dihasilkan oleh FKPPA pada 2002, dan JDP pada 2010. Atas dasar pemikiran untuk memperkaya wacana rumusan indikator Papua Tanah Damai, maka lahirlah sebuah rumusan indikator Papua Tanah Damai yang merupakan hasil gagasan murni kelompok mahasiswa dan siswa SMA/SMK di kota Jayapura. Rumusan ini merupakan rangkuman dari diskusi bulanan yang dilaksanakan selama sekitar empat bulan.
ii2
BAGIAN
1
Pendahuluan: Kita Bisa Bikin Apa?
Penjelasan awal mengenai latar belakang dan proses pelaksanaan program. Bagian ini juga membahas tentang kelompok yang menjadi peserta aktif diskusi bulanan yang terdiri dari dua komponen utama, yakni mahasiswa dan siswa SMA/SMK yang tersebar di kota Jayapura.
3
i
Bagian Satu: Pendahuluan: Kita Bisa Bikin Apa? Setelah sekitar 15 (limabelas) tahun masa reformasi, bangsa Indonesia masih saja dilanda ketegangan dan kekacauan sosial. Taruhannya bukan saja rongrongan terhadap eksistensi Indonesia sebagai sebuah bangsa dan sebuah negara, namun juga kehancuran nilai-nilai kemanusiaan yang mestinya dipunyai, bahkan oleh umat manusia yang tidak memiliki negara sekalipun. Di Papua, konflik yang telah mengakar dengan menghadirkan sejumlah korban dalam berbagai lintasan waktu dan panggung pada akhirnya mendorong sebuah gerakan dari beberapa tokoh masyarakat Papua untuk menjadikan negeri ini sebagai tanah yang damai. Gerakan yang kemudian populer dengan nama Papua Tanah Damai ini merupakan visi besar yang hendak ditempuh melalui jalur dialog dengan mempertemukan kepentingan pemerintah Indonesia di satu sisi dan masyarakat Papua di sisi yang lain. Bahwa visi Papua Tanah Damai hanya bisa dicapai jika kita meletakannya dalam sejumlah indikator yang memungkinkan hal tersebut tercapai. Karena indikator-indikator tersebut akan memberikan kita gambaran dan juga arahan, ke arah mana dan bagaimana kita harus bergerak dalam mencapai visi yang indah tersebut. Dilandaskan atas keinginan untuk memperkaya wacana indikator Papua Tanah Damai, maka Ilalang Papua menggagas sebuah perjumpaan intensif dengan kelompok mahasiswa di Jayapura dalam bentuk Diskusi Bulanan. Diskusi bulanan yang dimaksud di atas dilaksanakan sekitar empat bulan yang dimulai dengan menggali sejumlah pengalaman real di lapangan yang dihadapi setiap peserta, baik yang bersifat positif maupun negatif. Pengalaman-pengalaman real ini kemudian ditabulasi menjadi sejumlah permasalahan yang selanjutnya dijadikan bahan refleksi para peserta diskusi. Selanjutnya menghasilkan sebuah rumusan indikator Papua Tanah Damai. Selain mahasiswa, Ilalang Papua juga melakukan hal yang sama terhadap kelompok siswa SMA/SMK di kota Jayapura. Metodenya sama, yakni dengan menggunakan pendekatan Pendidikan Populer. Meski demikian, diskusi bulanan kedua kelompok ini tidak dilakukan secara bersamaan. Karena kedua kelompok ini memiliki dunia dan wacana pemikiran yang berbeda. Atas pemikiran tersebut, maka diskusi bulanan kedua kelompok ini dilakukan secara paralel. Hasil dari kedua kelompok diskusi bulanan ini kemudian dirangkum menjadi satu kesatuan yang saling mengisi dan melengkapi. Pada perkembangannya, mahasiswa yang terlibat dalam diskusi bulanan yang terdiri dari perwakilan pengurus BEM pada berbagai perguruan tinggi di kota Jayapura ini membentuk kelompok yang disebut SIMPEDA Papua. Ini adalah singkatan dari Simpul Mahasiwa Peduli Damai Papua. Sedangkan kelompok siswa SMA/SMK yang merupakan perwakilan dari pengurus empat OSIS, yakni SMA Negeri 1 Jayapura, SMA Muhammadiyah Jayapura, SMA PGRI Jayapura dan SMK Negeri 2 Jayapura, memilih membentuk komunitas bersama yang disebut PAPEDA Community. PAPEDA ini adalah singkatan dari Pelajar Penabur Damai. Kembali pada proses diskusi bulanan. Dengan penuh kesadaran, kami tidak menyampaikan rumusan indikator Papua Tanah Damai yang pada 2002 telah dihasilkan oleh kelompok Forum Komunikasi Para 4
Pimpinan Agama (FKPPA) kepada peserta diskusi bulanan. Pun demikian dengan indikator Papua Tanah Damai yang telah dihasilkan dalam Konferensi Perdamaian yang digagas oleh Jaringan Damai Papua (JDP) pada 2011. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa rumusan yang dihasilkan adalah murni pemikiran mahasiswa tanpa dipengaruhi oleh pemikiran dua rumusan sebelumnya. Sehingga referensi indikator Papua Tanah Damai akan semakin kaya. Tulisan ini dibagi dalam empat bagian. Bagian pertama adalah pendahuluan. Bagian Kedua adalah sejumlah fakta sosial yang dianggap melumpuhkan komunikasi hingga rentan menimbulkan konflik. Bagian ini merupakan proses infentarisasi sejumlah pengalaman real peserta diskusi. Bagian Ketiga adalah rumusan indikator Papua Tanah Damai. Ini merupakan bagian dari proses refleksi mahasiswa Papua atas berbagai potensi kekerasan sebagaimana disebutkan pada bagian Pertama. Sedangkan bagian terakhir, Keempat, adalah sejumlah peran yang harus dilakukan baik oleh masyarakat, maupun juga oleh pemerintah. Peserta diskusi percaya, bagian terakhir ini dilaksanakan dengan baik, maka proses kedamaian di Papua menjadi lebih cepat tercapai.
5
BAGIAN
2
Fakta Sosial yang Melumpuhkan
Bagian ini berisi penjelasan mengenai berbagai masalah pokok yang menyebabkan situasi Papua berada dalam situasi yang tidak damai. Masalahmasalah telah terjadi selama berpuluh tahun tersebut diyakini sebagai fakta utama kelumpuhan sosial.
6i
Bagian Dua: Fakta Sosial yang Melumpuhkan Bahwa berbagai kenyataan di lapangan selama beberapa dekade terakhir telah menunjukan sejumlah hal yang sebenarnya tanpa kita sadari telah membawa kita pada situasi kelumpuhan sosial. Kontribusi terbesar yang mengakibatkan kelumpuhan tersebut tentu saja disumbangkan oleh pemerintah, yang tidak saja lalai dalam mengelola jalannya pemerintahan, namun juga sering kali tidak hadir dalam keseharian kehidupan warganya. Selain itu, warga masyarakat juga secara tidak sadar berkontribusi dalam menciptakan kelumpuhan tersebut. Kedua komponen ini sadar atau tidak sadar telah memberikan andil yang sangat besar dalam terjadinya kelumpuhan tersebut. Berbagai fakta sosial yang melumpuhkan komunikasi tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Terganggunya Komunikasi Agama dan Budaya. Kenyataan bahwa hubungan agama dan budaya di Papua tidak berjalan baik dapat dilihat dari pola komunikasi yang cenderung hanya sekedar formalitas dan tingginya kecurigaan satu sama lain. Ungkapan-ungkapan bernada sinis dari kelompok agama tertentu kepada kelompok agama lain dan larangan pendirian rumah ibadah agama tertentu hanya bagian kecil dari sejumlah permasalahan mendasar yang mengganggu komunikasi antariman ini. Agama yang seharusnya hadir untuk kemuliaan manusia justru telah berubah menjadi alat untuk menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Pada tataran komunikasi budaya juga menunjukan hal yang kurang lebih sama. Ungkapan, sikap dan tindakan yang merendahkan berdasarkan suku ataupun etnik sering kali melahirkan ketegangan sosial di antara warga masyarakat sendiri. Hal ini tidak saja terjadi antara kelompok masyarakat Papua dengan etnis pendatang, namun juga telah terjadi di antara masyarakat Papua sendiri. Misalnya istilah ‘gunung’ dan ‘non-gunung’ dan lain sebagainya. Pada tataran nilai, budaya tidak lagi ditempatkan dengan mengedepankan kearifan dan nilai-nilainya yang luhur. Ketidakmampuan mengelola perjumpaan antara satu budaya dengan budaya yang lain menjadi penyumbang terganggunya komunikasi antarbudaya ini. Selain itu, beberapa praktek pembangunan dan pemerintahan yang terjadi selama ini telah menghancurkan tatanan adat dan kearifan lokal orang Papua.
2. Potensi Disintegrasi Bangsa. Sejarah integrasi Papua ke dalam pemerintahan republik Indonesia pada 1963 telah banyak digugat oleh berbagai kelompok pergerakan Papua. Gugatan politik yang telah lahir sejak tahun 1960-an ini hadir dalam berbagai bentuk perlawanan, baik bersenjata maupun mencari dukungan internasional hingga kemudian ke jalur diplomasi. Imbasnya, sejarah panjang perlawanan ini telah melahirkan sejumlah praktek pelanggaran hak asasi manusia. Ini adalah dampak yang muncul akibat pendekatan pemerintah Indonesia yang senantiasa 7
menggunakan kekerasan melalui operasi militer. Upaya lain yang ditempuh pemerintah Indonesia melalui pendekatan hukum justru hanya memberangus kebebasan orang untuk berekspresi. Puluhan bahkan ratusan orang Papua telah dihadapkan ke pengadilan hingga dijebloskan ke penjara, namun kedua pendekatan ini juga tidak berhasil membuat orang Papua untuk terus menyuarakan keyakinan politiknya. Pada saat yang sama, pemerintah membuka selebar-lebarnya pintu kapitalisme untuk mengeruk dan menguras serta menguasai seluruh sumberdaya alam di Papua. Kolaborasi ekonomi antara penguasa dan pengusaha ini tidak saja membuat orang Papua tersingkir dari tanahnya sendiri, melainkan telah mencabut orang Papua dari tatanan nilai-nilai budaya dan adat istiadatnya. Pada tataran sosial, situasi ini semakin diperparah ketidakmampuan pemerintah mengontrol gelombang migrasi ke Papua yang tidak terbendung, baik yang dilakukan melalui jalur pembangunan (transmigrasi) maupun migrasi spontan. Kesenjangan sosial yang timpang dan juga perilaku diskriminatif pemerintahan orde baru ketika itu, semakin memperparah keterpecahan bangsa ini.
3. Ketimpangan ekonomi. Kekayaan bumi Papua yang berlimpah ternyata tidak mampu membuat sekitar dua juta orang Papua menjadi hidup layak sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena kekayaan tersebut telah dikeruk oleh negara yang diperalat dan berkolusi dengan kelompok kapitalis. Banyaknya perusahaan yang masuk mengeruk kekayaan alam Papua, baik tambang, minyak hingga pada hutan mestinya memberikan dampak positif terhadap orang Papua sebagai pemilik atas kekayaan alam tersebut. Namun kenyataan di lapangan menunjukan sebaliknya, orang Papua justru hanya menonton kesombongan kapitalis yang dibantu oleh kesewenangan aparat negara. Inilah salah satu penyumbang terbesar pada tingginya angka kemiskinan di Papua, di mana disebutkan mencapai angka 80%. Kenyataan pada era pemberlakuan status otonomi khusus pun, di mana salah satu misi utamanya adalah untuk meningkatkan ekonomi rakyat, tidak membawa pengaruh signifikan terhadap peningkatan taraf hidup rakyat Papua. Angka 80% di atas justru dilaporkan pada saat Papua telah diberlakukan status khusus tersebut. Karena kita masih melihat di berbagai sudut pulau ini, orang Papua yang masih harus berjualan pinang hanya untuk menyekolahkan anaknya atau untuk memenuhi kebutuhan hidupnya setiap hari. Sehingga tidak mengherankan jika Indeks Pembangunan Manusia (IPM) provinsi Papua adalah yang terendah di seluruh Indonesia.
4. Kesehatan dan pendidikan yang tidak mencerahkan. Kampanye pemerintah yang menyatakan bahwa rakyat Papua boleh mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis adalah jauh panggang dari api. Kenyataan di banyak kampung di Papua, masyarakat bahkan tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan karena ketiadaan sarana dan prasarana kesehatan, baik obat maupun petugas kesehatan. Sedangkan masyarakat di perkotaan, mereka harus menjerit dengan tingginya harga obat. Sedangkan pada dunia pendidikan, di samping permasalahan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak memadai, ketiadaan guru di berbagai daerah pedalaman di Papua juga telah melahirkan 8
permasalahan tersendiri. Selain itu, pendidikan di Papua juga ‘hanya mampu’ menjadikan orang Papua sebagai PNS. Pendidikan di Papua belum mampu menciptakan rakyat Papua tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, yang tidak hanya menggantungkan tujuan hidupnya sebagai PNS. Selain itu, kebijakan pemberlakuan kurikulum pendidikan yang diatur secara nasional justru sering kali dirasakan tidak kontekstual.
5. Keamanan dan penegakan hukum. Kedamaian di negeri ini seringkali tiba-tiba dihentakan oleh berita-berita kekerasan, baik yang bersifat individual maupun komunal, yang hampir terjadi di berbagai daerah di Papua. Kekerasan yang juga sering kali hadir dalam bentuk vertical dan horizontal ini senantiasa menimbulkan korbankorban yang tidak berdosa. Sayangnya, berbagai kasus kekerasan, terutama yang bersifat vertical sering kali tidak mampu diselesaikan oleh aparat keamanan. Praktek pelanggaran hak asasi manusia oleh aparat negara menjadi hal yang lumrah terjadi tanpa ada satu pun pelaku tindak kekerasan yang dipidana. Begitu juga dengan rentetan pembunuhan misterius yang juga tidak mampu diungkap oleh aparat keamanan, baik pelaku maupun motif di balik kekerasan tersebut. Kekerasan lain bahkan secara telanjang dipertunjukan secara kasat mata bahkan di depan hidung aparat keamanan, tanpa ada tindakan tegas terhadap pelakunya. Di sisi yang lain, berbagai dugaan tindakan praktek korupsi yang telah mengakibatkan rakyat di negeri ini bagaikan ayam yang mati di lumbung padi tidak pernah tersentuh oleh hukum. Indikasi adanya praktek korupsi jelas terlihat dari ketidakmampuan puluhan trilyun dana otonomi khusus mengentaskan taraf hidup sekitar dua juta rakyat Papua. Indikasi lainnya adalah laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memberikan status disclaimer terhadap laporan pertanggungjawaban APBD Papua sepanjang tiga tahun berturut-turut.
6. Pengekangan kebebasan berekspresi. Sikap pemerintah Indonesia yang terlalu kaku ketika menghadapi perbedaan politik senantiasa terlihat dalam berbagai bentuk penanganan aksi demonstrasi, baik yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa maupun oleh masyarakat adat Papua. Dengan dalih keamanan negara, orang Papua bukan hanya tidak diizinkan untuk berkumpul, melainkan juga dibunuh, bahkan ketika mereka ikut merayakan hari Indigenous People sedunia. Penerapan UU yang mengatur tentang penerapan kebebasan berpendapat di muka umum juga dilaksanakan dengan tidak konsekuen. Padahal alasan ini yang senantiasa menjadi dalih aparat keamanan untuk menolak sekelompok orang untuk melakukan aksi demonstrasi. Misalnya aparat keamanan menyatakan tidak memberikan izin untuk melaksanakan demonstrasi, padahal dalam aturan tersebut jelas diatur bahwa pihak yang hendak melakukan aksi wajib untuk ‘memberitahu’ aparat keamanan selambat-lambatnya tiga hari sebelum pelaksanaan aksi. Selain itu, aparat negara yang disiagakan untuk menghadapi gelombang demonstrasi masyarakat Papua sering kali tidak lagi mengindahkan prosedur tetap penanganan aksi massa. Hal ini terlihat dari banyaknya korban luka bahkan meninggal dunia yang timbul setelah aksi masyarakat tersebut dibubarkan secara paksa oleh aparat keamanan. 9
Dari segi budaya, banyak orang asli Papua merasa ekspresi budayanya selalu dicurigai sebagai manifestasi gagasan separatis. Konflik budaya terjadi pada tataran simbolis ketika lagi-lagu tradisional dan bentuk kesenian lainnya oleh orang Papua dipandang sebagai ekspresi jati diri pada satu sisi, sedangkan pada sisi lainnya dicurigai oleh aparat keamanan sebagai perlawanan simbolis terhadap negara.
10
BAGIAN
3
Indikator Papua Tanah Damai
Bagian ini menjelaskan tentang point-point indikator Papua Tanah Damai yang telah dihasilkan melalui diskusi bulanan yang panjang oleh kalangan mahasiswa dan siswa SMA/SMK di kota Jayapura.
11 i
Bagian Tiga: Indikator Papua Tanah Damai
Mengingat kompleksitas permasalahan yang terjadi di Papua, maka dibutuhkan sebuah kesamaan pandang dari seluruh stakeholder di Papua tentang konsep damai itu sendiri. Karena dengan menemukan kesamaan visi terhadap sejumlah indikator damai, maka sejumlah langkah prioritas untuk menghadirkan damai akan bisa diidentifikasikan dengan baik. Selain itu, peran para pihak untuk menghadirkan damai juga bisa dengan mudah ditemukan. Sebagai bentuk kontribusi mahasiswa dalam menghadirkan wacana indikator Papua Tanah Damai, maka telah dihasilkan sejumlah point yang dirasa mampu menghadirkan situasi damai. Setidaknya ada Sembilan point utama yang harus diusahakan diwujudkan oleh semua pihak, yakni:
1. Penghargaan terhadap perbedaan. Adalah kenyataan bahwa tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang benar-benar sama dengan yang lainnya. Ketika manusia dilahirkan ke bumi, masing-masing kita telah dianugerahi oleh Tuhan dengan segala sifat dasar dan bentuk fisik yang dimilikinya. Bahkan sepasang manusia kembar sekalipun, terdapat perbedaan pada bentuk sidik jari mereka. Perbedaan mulai tampak ketika seorang anak dilekatkan dengan identitas etnik pada saat dia mulai diperkenalkan dengan bahasa ibu. Kemudian berkembang mengenal identitas agama ketika orang tuanya mulai memperkenalkan simbol-simbol yang menghubungkan dengan sang Maha Pencipta. Identitas-identitas sosial yang tidak dengan sadar melekat pada dirinya ini semakin dramatis bertambah banyak seiring dengan pertumbuhan anak tersebut menjadi dewasa dan mengenal lingkungan yang lebih luas seperti pola pikir, pandangan dan keyakinan hidup, aspirasi politik, dan lain sebagainya. Di Papua sendiri, perbedaan sosial masyarakat terbagi dalam berbagai dimensi. Penduduk asli Papua sendiri umumnya terbagi dalam 3 agama besar, yakni Protestan di sebagian besar daerah utara pulau Papua, Katholik di sebagian besar wilayah selatan, berbagi dengan sebagian penduduk Islam. Penduduk Papua yang merupakan ras Melanesia ini, berbeda dengan penduduk Papua yang datang dari luar Papua, terbagi dalam ratusan suku dan etnik. Setidaknya tercatat 252 suku dengan jumlah bahasa suku yang saling berbeda satu sama lain. Di sisi lain, penduduk Papua yang berasal dari luar Papua juga terbagi dalam berbagai suku dan etnik serta bahasa yang juga berbeda-beda. Umumnya mereka beragama Islam, Protestan, Katholik dan Hindu serta Budha. Ini adalah kenyataan sosial yang tidak bisa kita pungkiri dan sering kali menghadirkan ketegangan di antara penduduk Papua sendiri. Bahwa pengalaman selama ini telah mengajarkan betapa ketidakmampuan kita ‘berinteraksi’ dengan perbedaan atas beragamnya identitas sosial tersebut sering kali menjadi awal mula lahirnya sebuah ketegangan, bahkan tidak jarang berujung pada situasi saling menghilangkan identitas. Di beberapa wilayah di Papua, sering kali kita mendengar atau bahkan menyaksikan ungkapan atau juga sikap yang tendensius dan mengabaikan penghargaan terhadap perbedaan. Di wilayah-wilayah tertentu, kita mengetahui bahwa sekelompok umat beragama tertentu tidak diizinkan untuk membangun 12
rumah ibadah hanya karena kelompok tersebut adalah minoritas di daerahnya. Atau juga orang tidak bisa menjadi PNS hanya karena berasal dari agama atau etnik tertentu. Atau juga ungkapan-ungkapan yang didasarkan sentiment ras dan suku bercampur tendensi politik. Misalnya pendatang di Papua sini hanya cari makan sambil menyebarkan agama Islam, menghina orang Papua, tidak memiliki empati terhadap penderitaan orang Papua. Jika Papua sudah merdeka, mereka harus pulang. Bahwa penghargaan terhadap perbedaan yang dimaksud di sini tidak sekedar didasarkan atas ketulusan untuk menerima kenyataan bahwa setiap kita memang diciptakan berbeda. Setiap entitas sosial adalah berbeda dengan entitas lainnya dan tidak mungkin dipaksakan melebur menjadi entitas yang kita inginkan. Kesadaran bahwa setiap kita berbeda adalah bentuk pengakuan kita terhadap martabat setiap manusia dan menjadi bentuk ketaatan theologies kita terhadap keagungan Tuhan yang telah menciptakan perbedaan itu sendiri. Hanya dengan kesadaran inilah, kita bisa menjadikan perbedaan tersebut menjadi hal yang positif untuk kemaslahatan manusia. Karena jika kesadaran ini telah melekat dalam diri setiap manusia, maka isu SARA yang dibungkus dengan model apapun tidak akan lagi menjadikan kita saling meniadakan satu sama lain. Karena yakinlah, bahwa Tuhan tidak mungkin salah ketika menciptakan perbedaan.
2. Komunikasi yang positif. Komunikasi yang terjadi di masyarakat sering kali menjadi penyebab utama munculnya kesalahpahaman yang berujung pada konflik. Hal ini tidak saja terjadi karena tidak akuratnya informasi yang disampaikan, namun juga disebabkan oleh gaya dan sikap kita ketika menyampaikan informasi tersebut. Gaya berkomunikasi sering kali dipengaruhi oleh latar belakang budaya dari orang yang menggunakan komunikasi tersebut. Dua orang yang memiliki latar belakang budaya sama tidak akan mengalami masalah ketika membangun komunikasi. Namun hal ini sering kali menimbulkan kesalahpahaman ketika komunikasi dilakukan oleh dua orang atau lebih dari latar belakang suku dan budaya yang berbeda. Sebagaimana diketahui, bahwa gaya bicara orang Indonesia Timur yang cenderung keras dan kasar berbeda jauh dengan kelompok masyarakat yang berasal dari bagian barat Indonesia misalnya. Karena itu, setiap kita yang berkomunikasi hendaknya memahami masing-masing latar belakang dan kedekatan masing-masing di antara mereka. Karena budaya berkomunikasi juga banyak ditentukan oleh kebiasaan dan pembawaan masing-masing individu. Dalam konteks kedekatan misalnya, di Papua sering kali kita menemukan komunikasi yang disampaikan dengan gaya yang kasar bahkan cenderung disertai dengan kalimat-kalimat cacian, namun hal tersebut justru menunjukan kedekatan sosial di antara mereka. Bagi yang tidak memahaminya, hal ini tentu saja menjadi tidak biasa dan cenderung melahirkan persepsi yang negatif. Pada bagian ini, pemahaman terhadap konteks lokal dan budaya komunikasi setempat menjadi mutlak diperlukan. Komunikasi positif yang dimaksud di sini adalah adanya kesadaran setiap kita untuk menyampaikan informasi yang benar dan berimbang tanpa adanya tendensi tertentu. Selain itu juga tidak menjadikan rumor atau isu yang belum tentu kebenarannya menjadi seakan-akan sebuah kebenaran. Hal lain yang juga menjadi syarat di sini adalah, orang yang menerima informasi mesti 13
sebisa mungkin mengolah informasi yang diterimanya dengan kesadaran kritisnya agar tidak mudah terhasut. Dalam konteks keagamaan, komunikasi yang dibangun terhadap orang yang berbeda agama tidak dilakukan dengan mengedepankan kebenaran theologies agama masing-masing, melainkan dibangun dengan mengedepankan dimensi horizontal yang mempertemukan hajat sosial bersama di antara pemeluk agama yang berbeda. Komunikasi yang demikian ini akan meningkatkan taraf komunikasi menjadi interaksi sosial yang positif, karena di dalamnya terdapat proses timbal balik yang menguntungkan satu sama lain.
3. Partisipasi. Partisipasi warga negara mesti didorong, tidak saja untuk menumbuhkan peran serta masyarakat dalam pembangunan, namun juga untuk memastikan bahwa suara rakyat menjadi penentu utama dalam proses pembangunan di Papua. Tidak hanya itu, partisipasi di sini juga mesti dilaksanakan dalam bentuk pengawasan rakyat terhadap penyelenggaraan pembangunan di Papua. Dalam proses ini rakyat tidak lagi menjadi penonton dan obyek dalam pembangunan, melainkan sebagai pelaku utama yang ikut berhak menentukan arah kebijakan pembangunan. Semua bentuk kebijakan yang menyangkut hajat hidup rakyat, baik yang bersifat ekonomi maupun politik, harus dipastikan keterlibatan rakyat dalam penentuannya. Karena rakyat adalah sebagai subyek utama kebijakan apapun yang akan dihasilkan, sehingga partisipasi di sini tidak lagi sekedar ‘kewajiban’, melainkan ‘hak’ rakyat untuk ikut serta menentukan arah hidupnya. Karena itu, pemerintah harus dengan secara sadar membuka ruang untuk meminta pendapat rakyatnya terhadap satu kebijakan yang hendak dibuat, terutama juga untuk menjamin suara kelompok marjinal terpenuhi. Karena bentuk partisipasi manipulative seperti yang terjadi selama ini tidak akan pernah menempatkan rakyat sebagai subyek pembangunan itu sendiri. Selain itu, partisipasi juga mesti dimaknai sebagai bentuk keterbukaan warga masyarakat untuk bekerjasama satu sama lain dalam mencapi tujuan bersama. Sehingga interaksi yang positif akan terbangun di kalangan masyarakat umum. Partisipasi ini juga didorong dengan melahirkan sebuah kepentingan bersama, karena kepentingan kolektif disadari akan melahirkan sebuah solidaritas sosial yang tinggi di kalangan rakyat. Bentuk nyata partisipasi ini dapat dilakukan oleh masyarakat dengan ikut terlibat dalam setiap proses pembangunan. Diskusi-diskusi di tingkat kampung seperti musrenbang, atau ikut terlibat dalam sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang mendukung tercapainya tujuan bersama.
4. Non-diskriminasi. Bahwa pengertian non-diskriminatif di sini adalah mengandaikan setiap orang berhak bebas dari perlakukan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakukan yang bersifat diskrimnatif. Tanpa diskriminasi, setiap orang berhak untuk diperlakukan sama di depan hukum, menjalankan agama dan kepercayannya, mendapatkan kesempatan yang sama dalam dunia pendidikan dan kesehatan yang layak, hak untuk memenuhi kebutuhan ekonominya dan lain sebagainya. 14
Sayangnya, praktek-praktek yang menjurus pada diskrminasi ini masih juga kita dapatkan dalam kehidupan sosial kita setiap hari, terutama terhadap kelompok yang minoritas. Dalam konteks sosial, ini biasanya lahir dalam bentuk ungkapan-ungkapan yang melecehkan martabat satu kelompok tertentu dan juga bisa lahir dalam bentuk pembatasan untuk mendapatkan hak yang sama. Situasi yang damai, tidak akan pernah terjadi selama perilaku diskriminatif masih menjadi bagian dari diri kita sendiri. Orang yang mengidap penyakit HIV misalnya dibatasi hak ekonominya karena mendapatkan penolakan untuk bekerja baik di sektor-sektor formal dan non-formal, bahkan dijauhkan dari pergaulan lingkungan sosialnya. Kelompok agama tertentu misalnya tidak boleh mendirikan rumah ibadah pada satu wilayah tertentu. Atau juga kelompok etnis tertentu tidak bisa mengaktualisasikan hak politiknya untuk memilih dan dipilih. Situasi non-diskriminasi ini mengandaikan segala bentuk pengabaian hak atas dasar tendensi apa pun tidak lagi terjadi di Papua.
5. Bebas berekspresi dan menyatakan pendapat. Kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat tanpa adanya tekanan dan perasaan takut adalah esensi dasar negara yang demokratis. Situasi di mana setiap orang dapat mengekspresikan apa yang dirasakan dan ingin disampaikan secara bebas dan penuh tanggung jawab serta memperhatikan kepentingan umum adalah salah satu syarat yang mesti dipenuhi untuk menciptakan Papua Tanah Damai. Bebas berekspresi di sini adalah suasana di mana tidak ada satu kelompok pun yang boleh membunuh ekspresi manusia, baik yang teraktualisasikan melalui seni budaya, membuat perkumpulan dan berdiskusi, melalui tulisan, aksi demonstrasi massa, bahkan aspirasi politik sekalipun. Negara dalam hal ini harus menjamin bahkan memberikan perlindungan hukum terhadap setiap warga negara untuk bebas berekspresi dan menyampaikan apa yang hendak disampaikannya dengan bertanggungjawab. Karena kebebasan berekspresi di sini adalah wahana partisipasi politik masyarakat untuk mengintegrasikan pemikiran, gagasan dalam sebuah tuntutan demi menjaga kesetaraan dari segala konsekuensi kebijakan-kebijakan pemerintah. Kenyataan selama ini telah menunjukan betapa rakyat Papua benar-benar telah dipasung untuk mengekspresikan pendapatnya. Setiap warga negara yang berbeda pandangan politiknya senantiasa dikekang untuk tidak menyuarakan hal yang berbeda dari keyakinan dan ideologi negara. Di Papua, pembatasan orang untuk berkumpul untuk menuntut hak justru sering kali berujung pada peniadaan hak untuk hidup mereka oleh aparat negara. Kalangan aparat keamanan mestinya mampu membuat definisi operasional yang jelas dan tegas antara tindakan politik warga sipil sebagai perwujudan aspirasi dalam rangka demokrasi secara damai yang didukung oleh UU, dengan tindakan politik yang menggunakan kekerasan baik terhadap aparat negara maupun warga sipil lainnya. Defenisi yang jelas dan tegas dapat digunakan sebagai instrumen untuk menghindari kriminalisasi ekspresi politik rakyat Papua oleh aparat keamanan. Atau sebaliknya, politisasi tindakan kriminal baik oleh warga sipil maupun oleh aparat negara.
15
6. Tegaknya supremasi hukum dan peraturan perundang-undangan. Banyaknya pelanggaran HAM yang pernah dilakukan oleh aparat negara dan tidak sekalipun tersentuh hukum telah mengakibatkan ketidakpercayaan warga terhadap penyelenggara negara. Bahwa kekuasaan pemerintahan orde baru yang otoriter militeristik telah berhasil menempatkan posisi TNI dan polisi (ketika itu ABRI) di atas supremasi sipil. Citra yang terbangun bahwa TNI lebih superior dibanding elemen lain bangsa ini secara tidak sadar kemudian berdampak pada perilaku aparat militer yang cenderung bertindak sewenang-wenang dan mengabaikan hukum. Lahirlah sejumlah praktek impunitas aparat negara yang justru semakin memperbesar ketidakpercayaan itu. Bahkan di masa reformasi sekalipun, kekerasan negara melalui aparat militer dan juga polisi masih sering kali dipertontonkan dengan sangat telanjang di negeri ini. Misalnya melalui upaya pembubaran paksa sebuah demonstrasi atau pertemuan rakyat yang tidak jarang telah menimbulkan korban jiwa di kalangan warga sipil. Anehnya, tidak ada satu pun pelaku kekerasan dan penghilangan nyawa secara paksa tersebut yang diadili oleh negara. Pengalaman pahit dan kelam inilah yang harus diakui telah menjadi sebuah pekerjaan besar yang menuntut penyelesaiannya saat ini. Pada tataran horizontal, berbagai tindak kekerasan dan kriminalitas terjadi tanpa ada upaya penyelesaian hukum terhadap pelakunya. Sebagian besar kasus justru tidak diselesaikan oleh pihak kepolisian. Pun jika pemerintah daerah ikut membantu proses penyelesaian konflik komunal yang terjadi, hal itu biasanya hanya dilakukan dalam bentuk proses perdamaian yang seremonial dan sama sekali tidak menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya. Biasanya dilakukan dalam bentuk penandatanganan berita acara perdamaian di antara para pihak yang bertikai. Dalam proses ini, lagilagi eksistensi hukum diabaikan karena tidak ada sama sekali tindakan hukum yang diberikan kepada pelaku kekerasan tersebut. Dalam banyak kesempatan juga kita melihat betapa polisi abai terhadap tugasnya sebagai aparat penegak hukum dan pencipta ketertiban dalam masyarakat. Bahwa tumbuhkembangnya berbagai aksi kekerasan oleh masyarakat (individu dan kelompok) juga disebabkan karena sikap ketidakpercayaan dan pembangkangan rakyat terhadap hukum. Hukum yang tidak adil dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan, penegakan hukum yang lemah serta aparat penegak hukum yang korup, membuat masyarakat merasa tidak mungkin memperoleh keadilan melalui mekanisme hukum negara. Akibatnya, keadilan ditegakkan melalui cara masing-masing orang atau kelompok. Dalam situasi yang demikian, kita tidak akan pernah menemukan situasi kedamaian. Dalam upaya menciptakan perdamaian, keberdayaan dan kewibawaan hukum yang disertai dengan aparat yang berintegritas tinggi, adalah salah syarat utama untuk dipenuhi. Negara tidak boleh lagi kalah oleh perilaku sekelompok orang yang mengabaikan dan menistakan hukum. Pun negara harus hadir melalui aparatnya dalam tampilan yang tegas dan bersih serta berwibawa namun santun terhadap rakyat. Karena hanya dengan demikian, rakyat akan memberikan kepatuhannya kepada negara sehingga upaya mendorong perdamaian di Papua akan menjadi lebih mungkin dicapai.
16
7. Kesejahteraan. Bahwa penguasaan sumber-sumber ekonomi oleh negara terbukti telah gagal dalam mensejahterakan rakyat. Dalih negara untuk memanfaatkan sumber-sumber ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ternyata justru membuat rakyat terpinggirkan dari aset-aset ekonomi yang sebenarnya menjadi hak milik mereka akibat penguasaan oleh sekelompok orang atas nama negara. Kita telah mencatat bahwa berbagai konflik komunal yang terjadi sering kali disebabkan oleh perebutan terhadap asset-aset ekonomi. Upaya pembangunan perdamaian tidak akan mampu tercapai jika negara gagal memenuhi kebutuhan ekonomi buat warga negaranya. Selain itu, eksploitasi alam yang terjadi di Papua tidak saja telah menghancurkan sumber-sumber daya alam, melainkan telah menghancurkan tatanan adat istiadat. Tidak itu saja, dalam banyak hal kita mengetahui bahwa eksploitasi alam di Papua telah mengabaikan bahkan mengancam kehidupan lingkungan alam dan keselamatan manusia Papua. Di satu sisi, budaya ekonomi, pengetahuan dan keterampilan yang masih kurang dalam bidang wirausaha juga ikut menyebabkan orang Papua terkadang tidak memanfaatkan peluang usaha yang tersedia. Hal ini semakin diperparah dengan budaya konsumtif yang berlebihan di masyarakat, telah ikut mempengaruhi gaya hidup generasi muda saat ini dan sangat berimbas pada timbulnya berbagai masalah sosial dan ekonomi. Namun di sisi yang lain, kenyataan bahwa penguasaan akses ekonomi oleh kebanyakan orang nonPapua disebabkan oleh sistem yang lemah dan tidak memihak telah membuat jurang ketimpangan sosial ekonomi sangat terlihat jelas. Undang-undang Otonomi Khusus yang seharusnya memberikan keberpihakan kepada orang Papua, ternyata dijalankan secara tidak konsisten. Sistem yang dijalankan pemerintah saat ini belum sepenuhnya memberikan ‘hak keistimewaan’ kepada orang Papua dalam bidang ekonomi. Akibatnya, orang Papua masih kalah dalam pertarungan ekonomi. Karena itu, upaya pemberdayaan ekonomi terhadap rakyat Papua mestinya dijalankan secara komprehensif, mulai dari permodalan, produksi, manajemen sampai pada pemasaran. Karena kebijakan ekonomi yang parsial, tidak akan banyak menolong masyarakat Papua keluar dari permasalahan ekonominya. Dan ini juga berarti pembangunan perdamaian di Papua akan terus gagal. Hal yang paling fundamental adalah, negara harus memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat menyangkut makanan, tempat tinggal dan air bersih dan juga pekerjaan yang layak. Sehingga kita tidak lagi mendengar ada rakyat di Papua yang meninggal karena kelaparan seperti pada beberapa tahun lalu terjadi di kabupaten Yahukimo.
8. Terpenuhinya layanan dasar: pendidikan dan kesehatan. Bahwa pembangunan perdamaian harus disertai dengan memperkuat dunia pendidikan yang baik, bukan hanya hanya dalam penguasaan ilmu pengetahuan, tapi juga pendidikan yang mampu mengembangkan potensi setiap peserta didik, membentuk pribadi yang berkarakter guna menjawab
17
berbagai persoalan dalam kehidupan. Untuk keberhasilannya, maka pendidikan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. Sistem pendidikan yang baik dan tepat dalam penerapan kurikulum serta metode belajar yang baik dan didukung oleh sarana/prasarana serta kesejahteraan tenaga pengajar. b. Tenaga pengajar yang professional dan berdedikasi serta memiliki integritas yang tinggi. c. Motivasi dan orientasi belajar peserta didik. Selain itu, akses masyarakat terhadap layanan kesehatan tidak dapat dipisahkan dari upaya pembangunan perdamaian. Negara wajib menyediakan layanan kesehatan dasar bagi warga negara dalam hal ketersediaan tenaga kesehatan yang berintegritas, ketersediaan obat-obatan dan juga sarana kesehatan yang memadai. Karena itu, akses masyarakat terhadap dunia pendidikan dan kesehatan mesti dibuka dengan sangat mudah dan selebar-lebarnya oleh negara. Tidak ada seorang pun warga negara yang tidak mengenyam dunia pendidikan dan layanan kesehatan dengan alasan tidak mampu secara ekonomi. Dalam situasi ini, negara berkewajiban penuh dalam memenuhi hak warga negara dalam hal mendapatkan pendidikan yang baik dan pengobatan yang memadai.
9. Adanya rasa aman. Salah satu syarat utama kedamaian adalah adanya perasaan aman pada diri setiap warga. Rasa aman ini bisa lahir dari dua hal, yakni pertama negara yang senantiasa hadir memberikan rasa aman pada warga negaranya dalam bentuk penegakan hukum. Setiap pelaku tindak kekerasan yang mengakibatkan tidakadanya rasa aman ditindak tegas dengan tetap memperhatikan unsur-unsur hak asasi. Dan kedua, adanya konsesus bersama setiap warga negara untuk secara sadar menciptakan situasi di mana tidak ada perilaku kesewenangan satu kelompok terhadap kelompok lain atas dasar apapun juga. Setiap warga harus bertanggungjawab untuk menghadirkan rasa aman pada diri dan lingkungan mereka dengan tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang meresahkan warga lainnya. Selain sebagai salah satu prasyarat kedamaian, rasa aman juga akan berimplikasi luas pada meningkatnya tingkat kesejahteraan warga. Karena rasa aman di sini adalah mengandaikan adanya kebebasan warga negara dalam melakukan aktivitas setiap harinya tanpa disertai perasaan cemas dan kekhawatiran akan keselamatan diri dan keluarganya.
18
BAGIAN
4
Mengatasi Kelumpuhan
Penjelasan awal mengenai latar belakang dan proses pelaksanaan program. Bagian ini juga membahas tentang kelompok yang menjadi peserta aktif diskusi bulanan yang terdiri dari dua komponen utama, yakni mahasiswa dan siswa SMA/SMK yang tersebar di kota Jayapura.
19 i
Bagian Empat: Mengatasi Kelumpuhan 1. Tiga Kesadaran Utama Bahwa sejumlah indikator sebagaimana telah disebutkan di atas, mengantarkan kita pada sebuah pemahaman tentang pentingnya menghidupkan Tiga Kesadaran Utama. Dalam pandangan mahasiwa, mengatasi kelumpuhan sosial ini mesti dijalankan secara bersamaan dan bersama-sama dengan seluruh komponen bangsa, yang didasarkan atas tiga kesadaran utama ini. Kesadaran Utama yang Pertama adalah kesadaran setiap individu warga negara, untuk kembali kepada pemahaman nilai-nilai agama dan budayanya masing-masing. Karena kita mengetahui dan sangat memahami, bahwa ajaran suci agama akan mampu menghindarkan kita dari setiap perbuatan negatif. Tidak ada satu pun agama di dunia yang mengajarkan untuk meniadakan entitas milik Tuhan lainnya. Budaya pun juga mengajarkan betapa penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan menjadi hal yang sangat utama. Kesadaran utama yang kedua adalah, bahwa pemahaman-pemahaman yang positif terhadap nilainilai luhur agama dan budaya tersebut mesti menjadi landasan utama setiap warga negara dalam membangun interaksi satu sama lain. Pandangan untuk saling mengasihi orang lain, memuliakan makhluk ciptaan Tuhan, mendepankan cinta kasih dan menghormati martabat kemanusiaan adalah nilai-nilai yang mesti terus didorong untuk dikembangkan dalam kehidupan setiap hari. Dan yang terakhir, ketiga, mesti ada peran aktif negara, dalam hal ini pemerintah, untuk mewujudkan situasi di mana nilai-nilai dan juga interaksi sosial tersebut mampu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Pemerintah sebagai entitas yang telah diserahi kewenangan politik untuk mengurusi warga negara harus senantiasa mengedepankan bentuk pembangunan yang bertumpu pada pemenuhan kepentingan dasar warga negaranya.
2. Peran Para Pihak A. Masyarakat Sipil Dalam pandangan mahasiswa, bahwa Tiga Kesadaran Utama itu mesti dilaksanakan pada dua level. Pertama adalah level masyarakat, selaku entitas utama sebuah negara. Pada level ini, masyarakat mesti ikut bertanggungjawab dalam melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
A.1. Kembali pada pemahaman atas nilai-nilai agama dan budayanya. Bahwa pada dasarnya tidak ada satu agama pun di dunia ini yang mengajarkan hal-hal negatif bagi setiap penganutnya. Juga tidak ada satu agama pun di muka bumi ini yang menganjurkan untuk melakukan tindakan-tindakan tercela terhadap pemeluk agama lainnya. Setiap agama, kita yakini mengajarkan cinta dan kasih, baik terhadap Tuhan yang menciptakan kita, maupun kepada sesama umat manusia serta kepada setiap makhluk Tuhan lainnya yang ada di muka bumi ini. 20
Meski demikian, kita masih terus saja disuguhi kenyataan bahwa betapa agama telah menjadi alasan utama untuk saling meniadakan satu sama lain. Diskusi menyangkut agama telah menjadi hal yang sangat sensitif di sebagian besar kalangan masyarakat. Selain itu, kalimat-kalimat yang cenderung mendiskreditkan agama tertentu menjadi hal yang lumrah kita temui dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Tidak itu saja, bahkan untuk mendirikan rumah ibadah, bangunan suci yang menghubungkan komunikasi keimanan kita terhadap Tuhan justru telah menjadi ajang untuk saling mencela, bahkan meniadakan satu sama lain. Di tempat-tempat tertentu, agama justru menjadi kendaraan politik untuk meraup kekuasaan, bahkan juga agama menjadi simbol atas wilayah-wilayah tertentu. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana mungkin, agama, yang memerintahkan umatnya untuk memuliakan nilai-nilai kemanusiaan, justru menjadi alasan utama para umatnya untuk meruntuhkan peradaban kemanusiaan itu sendiri? Bagaimana mungkin, agama yang mengajarkan cinta kasih terhadap sesama malah dihancurkan pilar-pilar keagamaannya justru oleh umatnya sendiri? Tidakkah ada yang salah dengan diri kita ketika memahami dan mempelajari inti ajaran agama kita masing-masing? Ini adalah fakta, betapa kita sendiri tidak memahami nilai luhur ajaran agama kita sendiri. Ini juga fakta, bahwa kita sebenarnya tidak sedang menjalankan perintah agama yang kita anut. Atau, jangan-jangan malah kita sudah tidak beragama? Rendahnya pemahaman terhadap ajaran suci agama yang kita anut harus kita akui telah berkontribusi besar dalam penghancuran nilai-nilai kemanusiaan kita sendiri. Bahwa pemahaman yang baik terhadap nilai-nilai agama yang kita anut akan membentuk keyakinan pada diri setiap orang terhadap nilai-nilai positif baik yang berhubungan dengan tanggungjawab keTuhanannya, juga tanggungjawab terhadap kemanusiaan. Jika dua tanggungjawab yang lahir atas pemahaman yang baik terhadap nilai-nilai agama mampu kita wujudkan dalam kehidupan kita setiap hari, maka niscaya kita akan terhindarkan dari segala rasa dengki, iri hati, dendam dan kecemburuan sosial serta perasaan negatif lainnya. Keyakinan inilah yang mestinya terus diberi ruang untuk berkembang setiap saat hingga kemudian mampu terwujudkan dalam tindakan nyata. Karena melakukan tindakan pelecehan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dengan segala nilai yang ada padanya dalam bentuk apapun adalah juga dimaknai sebagai menghina eksistensi dan kehendak Tuhan. Selain itu, setiap kita juga mesti mengedepankan kearifan atas nilai-nilai budaya yang kita miliki. Budaya memang sering kali menjadi awal petaka kemanusiaan, namun budaya juga memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menjadi alat pendamai. Selain itu, setiap budaya juga pasti memiliki aturan dan kemampuan untuk menerima entitas dari luar dirinya. Karena kesadaran kemanusiaan yang tinggi dan penghormatan terhadap alam disertai dengan kepatuhan terhadap Tuhan pencipta juga menjadi nilai yang paling fundamental dari budaya apapun.
21
Kesadaran atas nilai-nilai luhur budaya inilah yang mesti kita dorong ketika berinteraksi dengan pemilik budaya lain. Sehingga perjumpaan antarbudaya boleh terjadi dalam situasi yang damai.
A.2. Membangun komunikasi dan interaksi keagamaan. Bahwa pemahaman yang baik terhadap nilai-nilai keimanan terhadap Tuhan kita berdasarkan ajaran agama yang kita anut dirasa belum cukup. Karena sikap ini bisa jadi akan memunculkan sikap eksklusifitas agama. Pemahaman yang baik atas ajaran agama sendiri mesti didorong juga hingga pada sikap keterbukaan terhadap pemeluk agama lain. Sikap keterbukaan ini tidak harus dimaknai sebagai menerima dan melaksanakan setiap ajaran agama orang lain, melainkan sikap untuk memberikan kebebasan terhadap penganut agama lain untuk melaksanakan kewajiban agamanya masing-masing. Karena sikap yang cenderung fanatik terhadap agama tidak akan memungkinkan munculnya interaksi yang positif. Kenyataan saat ini, bahwa komunikasi keagamaan yang kita ciptakan cenderung dibangun di atas pondasi yang rapuh. Kondisi ini terjadi karena kampanye kerukunan agama hanya dilaksanakan pada tingkatan elit dan cenderung dilakukan dalam bentuk yang seremonial. Model perjumpaan iman yang hanya mengedapankan pada simbol-simbol seperti ini sering kali gagap ketika diterjemahkan pada situasi real di lapangan. Komunikasi iman tidak dibangun dengan mencari titik temu dalam hubungannya dengan Tuhan, melainkan lebih dikedepankan pada pemenuhan kebutuhan bersama pada dimensi horizontal. Karena itu harus dibuka ruang yang memungkinkan para penganut agama untuk tidak saja saling membangun komunikasi yang baik, namun juga mampu menciptakan interaksi yang positif dan saling menguntungkan di antara mereka. Hal ini dapat saja dilakukan dengan berpartisipasi dalam ibadah perayaan hari besar agama tertentu, membangun kerjasama di antara organisasi keagamaan pada tingkatan basis dalam upaya membangun perdamaian sosial, bahkan ikut membantu tetangga yang beragama lain ketika menyambut hari besar keagamaannya. Kerjasama yang memungkinkan pelibatan setiap individu umat beragama juga dapat dilakukan dengan tanpa harus didasarkan atas nama agama. Seperti membangun sebuah usaha ekonomi bersama di antara kelompok keagamaan, menjaga kebersihan dan sanitasi lingkungan, atau ikut berpartisipasi dalam keamanan lingkungan di mana kita tinggal serta kegiatan-kegiatan sosial lainnya yang mendorong tumbuh dan kembangnya ruang-ruang interaksi umat beragama di dalamnya. Menjaga dan menumbuhkan ruang seperti ini juga mesti dibangun atas rasa penghormatan terhadap agama lain. Artinya, tindakan ataupun perkataan yang sekiranya dapat menimbulkan ketersinggungan umat lain harus sebisa mungkin dihindari. Misalnya dengan tidak mengganggu rasa nyaman ketika umat lain sedang menjalankan ibadahnya, melarang orang lain yang hendak melaksanakan agama dan kepercayaannya, baik melalui ritual keagamaan maupun dalam bentuk larangan penggunaan busana tertentu sebagai 22
bentuk kepatuhan dia terhadap ajaran agamanya. Selain itu tidak menyinggung perasaan umat agama lain dalam materi khutbah pada setiap kegiatan keagamaan, atau pun juga tidak menyelenggarakan aktivitas peribadatan secara berlebihan adalah hal yang juga harus diperhatikan bersama. Hal lain yang juga penting adalah perlu dikembangkannya sebuah upaya yang diletakan di atas nilai-nilai ketuhanan, cinta kasih akan manusia dalam setiap menyelesaikan kesalahpahaman yang bertendensi keagamaan yang sekiranya muncul dalam proses bermasyarakat. Setiap upaya penyelesaian masalah mesti dilalui dalam sebuah proses dialog yang santun dan bersahabat. Setiap orang sebisa mungkin menghindarkan diri dari tindakan kekerasan dan destruktif serta menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri, karena hal itu justru mengkhianati kepatuhan dan ketaatan kita terhadap Tuhan.
A.3. Membangun komunikasi dan interaksi sosial. Nilai-nilai kebudayaan dan adat istiadat telah dianggap sebagai sebuah tatanan sosial pertama yang telah berhasil tidak saja membangun, namun juga menjaga peradaban manusia hingga saat ini. Setiap kebiasaan adat diyakini memiliki nilai kearifan yang tinggi dalam menjaga hubungan religius dengan sang pencipta, kemanusiaan dan juga keharmonisan dengan alam semesta. Bahwa perkembangan peradaban manusia yang terus bergerak maju pada satu sisi telah mengakibatkan nilai-nilai luhur budaya menjadi tergerus. Sayangnya, perkembangan ini terkadang tidak mampu diantisipasi oleh pengguna budaya tersebut untuk melakukan penyesuaian terhadap segala perubahan yang terjadi. Adaptasi yang dilakukan oleh umat manusia lebih banyak dilakukan tidak dengan secara sadar, yang di waktu lain justru menghancurkan tatanan budaya itu sendiri. Perkembangan tekhnologi informasi yang pesat dan arus migrasi yang tinggi serta kepentingan ekonomi dunia yang merupakan konsekuensi dari globalisasi, diyakini telah menjadi penyebab utama dari ketergerusan kearifan-kearifan lokal. Hal ini dilakukan lewat berbagai cara, baik melalui metode pendidikan, tayangan informasi global melalui media, dan lain-lain. Akibatnya kita tidak lagi menghormati budaya kita sendiri dan justru ‘memilih’ untuk hidup dalam iklim dan suasana budaya yang asing dengan kebiasaan kita. Di sisi lain, kehadiran berbagai entitas pengguna budaya lain dalam kehidupan satu budaya tertentu sering kali menimbulkan ketegangan sosial tersendiri ketika perjumpaan tersebut tidak dilandasi atas kearifan masing-masing budaya. Kita justru disibukkan dengan mengembangkan perasaan mencurigai kelompok suku dan etnis tertentu sebagai musuh yang akan mengganggu kehidupan kita. Karena itu kita sendiri secara tidak sadar telah membangun benteng – dan kalau perlu menyerang mereka lebih dulu. Hilangnya penghormatan terhadap budaya dan manusia dari luar kelompok kita telah benar-benar menempatkan kita pada tubir jurang yang terdalam. Bahwa budaya yang melekat pada sebuah entitas sosial telah membentuk gaya komunikasi pemilik budaya menjadi sangat khas. Seperti di banyak daerah di Indonesia, beberapa 23
budaya di Papua juga banyak yang menggunakan suara yang keras ketika berkomunikasi. Meski demikian, budaya berkomunikasi yang cenderung kasar tersebut tidak mesti dipahami sebagai sifat kasar dan merendahkan orang lain. Karenanya, pemahaman dan penerimaan akan konteks budaya setempat akan banyak menolong kita dalam melakukan adaptasi sosial dan membangun perdamaian. Guna menghindari keterpecahan dan ketegangan sosial yang sering kali muncul akibat dari kesalahpahaman nilai-nilai budaya ini, setiap kita harus mampu mengenali dan mengetahui budaya setempat di mana kita berada. Sehingga mereka mampu beradaptasi dan bertindak yang tidak bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan lokal. Pandangan eksklusifitas budaya dengan menganggap budaya sendiri sebagai yang paling unggul dibanding budaya lain harus dihindari. Sebab ini akan memunculkan klaim-klaim kebenaran menurut pandangan mereka sendiri. Superioritas ini sering kali diterjemahkan dengan tidak menghargai budaya dan kebiasaan orang lain yang kemudian menggiring kita pada stigma-stigma negatif terhadap pemilik budaya lain. Stigma sering kali muncul dalam bentuk antara lain pandangan buruk terhadap kelompok lain, sikap melecehkan dan meremehkan, ataupun juga sikap menghina kelompok lain, menganggap kelompok lain lebih rendah dan terbelakang. Stigma akan selalu membuat kelompok-kelompok dalam masyarakat saling menjauh satu sama lain. Bahwa kebiasaan yang cenderung melekat pada perilaku orang berdasarkan suku dan budayanya mestinya tidak serta-merta dipahami menjadi pandangan dan kebiasaan dari semua orang dari pemilik budaya tertentu. Pandangan yang positif pada orang lain yang mendorong perbuatan baik pada orang lain tersebut adalah sebaik-baiknya cara untuk melawan stigma. Selain itu, komunikasi mesti didorong untuk berada pada tingkatan saling berinteraksi dan saling membutuhkan dalam makna yang positif. Di banyak tempat di Papua, penggunaan simbol-simbol lokal mesti didorong untuk membangun terciptanya kohesi sosial. Seperti ikut makan pinang, memakai noken, penggunaan musik dan tarian serta kebiasaan menautkan tangan di kalangan orang Papua yang berasal dari daerah pegunungan. Kebiasaan ini diyakini mampu membangun rekatan sosial di antara orang Papua dan non-Papua dan membantu mengikis stigma-stigma negatif bahkan cenderung mengarah pada sikap yang rasis pada diri kedua belah pihak. Pun jika terjadi persoalan yang muncul karena perbedaan budaya, maka mekanisme dialog yang dilakukan dalam semangat budaya merupakan jalan yang baik. Karena kita tahu, bahwa penyelesaian konflik adalah roh dari kearifan lokal yang tentunya berasal dari kebudayaan-kebudayaan masyarakat.
A.4. Memiliki pribadi yang positif dalam bentuk sikap dan perilaku. Bahwa manisfestasi atas pemahaman terhadap nilai-nilai agama dan juga budaya diharapkan mampu melahirikan pribadi yang positif yang terwujud dalam bentuk sikap dan perilaku yang baik. Menumbuhkan pandangan-pandangan yang positif terhadap orang
24
lain, yang akan melahirkan sikap dan perbuatan yang baik, diyakini akan mampu menghadirkan respon yang juga baik dari orang lain. Menghadirkan kepribadian yang positif, yang terwujud dalam bentuk perilaku dan perbuatan yang baik kepada orang lain, mesti ditempatkan menjadi sebuah ‘keyakinan’ atas perintah nilai-nilai yang baik. Berbuat baik tidak lagi didasarkan sebagai ‘mengharap pamrih’ dari orang lain. Keyakinan dan kesadaran ini mesti terus didorong dan dikembangkan dalam kehidupan bersosial. Pandangan yang positif terhadap orang lain, yang akan melahirkan respon yang juga positif sudah pasti akan melahirkan sebuah rekatan sosial yang kuat. Sikap egois, iri, cemburu dan emosi-emosi negatif lain akan cenderung hilang dalam pergaulan setiap hari. Dengan terus mengembangkan sikap-sikap positif, kita akan mampu mengikis segala prasangka buruk, stigma dan pandangan-pandangan negatif lainnya.
A.5. Ikut berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Partisipasi warga negara mesti didorong, tidak saja untuk menumbuhkan peran serta masyarakat dalam pembangunan, namun juga untuk memastikan bahwa suara rakyat menjadi penentu utama dalam proses pembangunan di Papua. Tidak hanya itu, partisipasi di sini juga mesti dilaksanakan dalam bentuk pengawasan rakyat terhadap penyelenggaraan pembangunan di Papua. Dalam proses ini rakyat tidak lagi menjadi penonton dan obyek dalam pembangunan, melainkan sebagai pelaku utama yang ikut berhak menentukan arah kebijakan pembangunan. Selain itu, partisipasi juga mesti dimaknai sebagai bentuk keterbukaan warga masyarakat untuk bekerjasama satu sama lain dalam mencapi tujuan bersama. Sehingga interaksi yang positif akan terbangun di kalangan masyarakat umum. Partisipasi ini juga didorong dengan melahirkan sebuah kepentingan bersama, karena kepentingan kolektif mampu melahirkan sebuah solidaritas sosial yang tinggi di kalangan rakyat. Bentuk nyata partisipasi ini dapat dilakukan oleh masyarakat dengan ikut terlibat dalam setiap proses pembangunan. Diskusi-diskusi di tingkat kampung seperti musrenbang, atau ikut terlibat dalam sebuah organisasi sosial kemasyarakatan.
B. Pemerintah (Sipil dan Militer) Sedangkan yang kedua, yakni level negara, sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam menghadirkan kesejahteraan dan kedamaian bagi warga negaranya. Pada level ini, negara mesti berperan aktif dalam melakukan:
B.1. Penegakan hukum dan mengimplementasikan kebijakan. Negara dapat dikatakan sebagai negara hukum bilamana hukum telah dijadikan sebagai aturan main bersama dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, terutama dalam memelihara ketertiban dan perlindungan terhadap hak-hak warganya. Artinya, hukum 25
harus berfungsi sebagai sarana penggerak aktifitas kehidupan bernegara, berpemerintah dan bermasyarakat yang bersendikan prinsip persamaan di hadapan hukum dengan dilandasi nilai dan rasa keadilan. Masalahnya adalah klaim pemerintah Indonesia sebagai negara hukum, namun hukum kerap kali lalai hadir dalam kehidupan bermasyarakat dan berpemerintahan. Pedang dewi keadilan begitu tajam ketika berhadapan dengan kalangan rakyat kecil, namun senantiasa tumpul ketika berhadapan dengan kekuasaan. Pelaku kekerasan kemanusiaan berdimensi pelanggaran HAM yang terjadi di Papua senantiasa melenggang bebas tanpa pernah tersentuh hukum. Begitu juga dengan kasus-kasus pencemaran lingkungan dan pengrusakan serta pencurian kekayaan alam di Papua yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan yang di-back up penuh oleh penguasa. Pada kasus-kasus yang demikian, hukum begitu tidak berdaya. Dalam konteks mewujudkan perdamaian di Papua, peran negara untuk menegakan hukum dan mengimplementasikan kebijakan dengan baik dan benar di sini dimaksudkan sebagai upaya serius dari pemerintah untuk bersungguh-sungguh melaksanakan dan menegakkan hukum tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Selain itu, kebijakan-kebijakan negara yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan mesti juga dijalankan dengan penuh tanggungjawab. Sehingga dengan demikian, penegakan hukum tidak hanya bermakna sebagai law enforcement, melainkan juga sebagai bentuk peace maintenance, karena penegakan hukum merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian dan keadilan sosial.
B.2. Pemerintahan yang baik dan tersedianya layanan dasar publik. Prinsip tata kelola pemerintahan yang baik menjadi peran yang paling fundamental yang harus dilaksanakan oleh pemerintah untuk mewujudkan kedamaian di Papua. Empat pilar good governance yang meliputi Akuntabilitas, Transparansi, Prediktabilitas dan Partisipasi harus dilaksanakan benar dalam proses berpemerintahan. Yang paling penting, bahwa peran tata kelola pemerintahan yang baik ini mensyaratkan adanya perubahan mental dari pejabat pemerintah dari ‘dilayani’ menjadi ‘melayani’. Selain itu, aparat pemerintah juga dituntut untuk luwes dan inovatif dalam memberikan layanan kepada warga. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan informasi yang komprehensif kepada warga tentang layanan yang ditawarkan, sehingga warga bisa menilai dan bisa memutuskan untuk menolak atau menerima layanan tersebut. Selain itu, pemerintah juga harus membuat layanan dapat diakses dengan mudah, baik dari segi waktu maupun tempat. Dan terakhir memperbaiki kualitas hubungan dengan warga melalui evaluasi tingkat kepuasan warga terhadap layanan yang diberikan. Akses layanan ini lebih dititikberatkan pada pemenuhan layanan dasar umum, yakni pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar. Pada sektor pendidikan, pemerintah tidak saja berhasil dan mampu menyediakan sarana gedung sekolah, namun harus memastikan keberadaan seluruh sarana pendukung yang memungkinkan proses pembelajaran berjalan 26
dengan baik. Yang paling penting, pemerintah harus mampu menyediakan tenaga pendidik yang memiliki integritas tinggi dan professional dalam melaksanakan tugas yang didukung oleh tingkat kesejahteraan mereka. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan bahwa seluruh warga negara dapat mengakses pendidikan yang disediakan oleh pemerintah. Sedangkan pada sektor kesehatan, peran pemerintah dituntut untuk tidak saja mampu menyediakan sarana gedung rumah sakit dan puskesmas serta balai-balai pengobatan. Namun lebih dari itu, pemerintah harus memastikan ketersediaan peralatan medis dan obat serta tenaga medis yang senantiasa siap memberikan layanan tersebut kepada masyarakat. Pada sektor infrastruktur dasar, akses terhadap peningkatan ekonomi dan sarana air bersih menjadi hal yang paling penting pemenuhannya oleh pemerintah.
B.3. Peningkatan kesejahteraan dan pembangunan ekonomi. Bahwa penguasaan sumber-sumber ekonomi yang cenderung dikuasai oleh negara terbukti telah gagal dalam mensejahterakan rakyat. Dalih negara untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya buat kemakmuran rakyat ternyata justru membuat rakyat terpinggirkan dari aset-aset ekonomi yang sebenarnya menjadi hak milik mereka akibat penguasaan oleh sekelompok orang atas nama negara. Eksploitasi alam yang terjadi di Papua tidak saja telah menghancurkan sumber-sumber daya alam, melainkan telah menghancurkan tatanan adat istiadat. Tidak itu saja, dalam banyak hal kita mengetahui bahwa eksploitasi alam di Papua telah mengabaikan bahkan mengancam kehidupan lingkungan alam dan keselamatan manusia Papua. Kita telah mencatat bahwa berbagai konflik komunal yang terjadi sering kali disebabkan oleh perebutan terhadap asset-aset ekonomi. Upaya pembangunan perdamaian tidak akan mampu tercapai jika negara gagal memenuhi kebutuhan ekonomi buat warga negaranya. Di Papua, budaya ekonomi, pengetahuan dan keterampilan yang masih kurang dalam bidang wirausaha juga ikut menyebabkan orang Papua terkadang tidak memanfaatkan peluang usaha yang tersedia. Hal ini semakin diperparah dengan budaya konsumtif yang berlebihan di masyarakat, sedikit banyaknya mempengaruhi gaya hidup generasi muda saat ini dan sangat berimbas pada timbulnya berbagai masalah sosial dan ekonomi. Namun di sisi yang lain, penguasaan akses ekonomi oleh kebanyakan orang non-Papua disebabkan oleh sistem yang lemah dan tidak memihak telah membuat jurang ketimpangan sosial ekonomi sangat terlihat jelas. Undang-undang Otonomi Khusus yang seharusnya memberikan keberpihakan kepada orang Papua, ternyata dijalankan secara tidak konsisten. Sistem yang dijalankan pemerintah saat ini belum sepenuhnya memberikan ‘hak keistimewaan’ kepada orang Papua dalam bidang ekonomi. Akibatnya, orang Papua masih kalah dalam pertarungan ekonomi.
27
Karena itu, upaya pemberdayaan ekonomi terhadap rakyat Papua mestinya dijalankan secara komprehensif, mulai dari permodalan, produksi, manajemen sampai pada pemasaran. Karena kebijakan ekonomi yang parsial, tidak akan banyak menolong masyarakat Papua keluar dari permasalahan ekonominya. Dan ini juga berarti pembangunan perdamaian di Papua akan terus gagal. Hal yang paling penting adalah, negara harus memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat menyangkut makanan, tempat tinggal dan sarana air bersih.
B.4. Kesediaan untuk melaksanakan Dialog Jakarta – Papua. Upaya rakyat Papua yang hendak memisahkan diri dari negara kesatuan republik Indonesia telah melintasi berbagai lintasan sejarah dan waktu. Sejarah telah mencatat bahwa berbagai upaya pendekatan telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meredam keinginan merdeka tersebut. Dimulai dengan melakukan pendekatan operasi militer pada dekade 1960-an hingga 1980-an. Kemudian melakukan pendekatan hukum terhadap oknum atau kelompok orang yang dilabeli separatis, OPM. Terakhir adalah pendekatan kesejahteraan melalui status daerah otonomi khusus. Sekitar setengah abad pertentangan politik itu telah berlalu, namun keinginan untuk merdeka terus digaungkan. Di lain pihak, pemerintah Indonesia juga tidak pernah sedikit pun menurunkan derajat cengkeramannya terhadap setiap kelompok yang dianggap sebagai separatis. Sayangnya, upaya yang dilakukan baik pemerintah Indonesia maupun rakyat Papua senantiasa dilakukan melalui pendekatan kekerasan. Akibatnya nyawa berbilang angka telah menjadi korban dari pertikaian politik ini. Kedua belah pihak mestinya sadar dan mulai mencari alternative model penyelesaian yang lain atas pertentangan ini. Model penyelesaian sengketa yang lebih bermartabat, yang lebih damai dengan menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar utama keduanya. Tentu saja model penyelesaian ini mesti dilakukan dengan penuh kejujuran dan dalam suasana yang penuh kedamaian, yang disebut Dialog Jakarta–Papua. Dalam konteks ini, kedua belah pihak, pemerintah Indonesia dan rakyat Papua mesti duduk bersama dan menyamakan persepsi serta menyepakati hal-hal fundamental menyangkut prinsip-prinsip dasar, tujuan, target, agenda, mekanisme/tahapan, hingga pada penentuan tempat dan fasilitator dialog. Diskusi-diskusi ini menjadi sangat vital, tidak saja untuk mengikis sikap saling curiga dan meningkatkan sikap saling percaya antara pemerintah dan rakyat Papua sebelum dialog dimulai, melainkan juga untuk melahirkan suatu kerangka atau format dialog yang dapat diterima dan disetujui oleh keduabelah pihak. Yang paling penting adalah, Dialog Jakarta–Papua dimaksud di atas harus diletakan dalam kerangka dan kesadaran yang sungguh-sungguh untuk menciptakan tanah Papua yang damai, untuk semua orang.
28