Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompokMasyarakat Sipil di Indonesia

Page 1

Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia

Penulis Herryadi Adun, Jim Toar Matuli, Mickael B. Hoelman, Sugeng Bahagijo Editor Mickael B. Hoelman, Sugeng Bahagijo


Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia


Sangsi Pelanggaran Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (Satu-Juta-Rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (Lima Milyar Rupiah) 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

ii


Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia

Penulis

Herryadi Adun, Jim Toar Matuli Mickael Bobby Hoelman, Sugeng Bahagijo

Penyunting

Mickael Bobby Hoelman, Sugeng Bahagijo

iii


Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil Di Indonesia / Penyunting: Mickael B. Hoelman, Sugeng Bahagijo --- Jakarta : Yayasan Tifa, 2012 xx halaman+xi ; 25,5x17,5 cm2

ISBN 978-602-7590-01-4

Cetakan Pertama, Juli 2012

Penerbit Yayasan Tifa Jln. Jaya Mandala II / 14E Menteng Dalam Jakarta Selatan 12870 - INDONESIA Telp. (021) 829-2776, Fax (021) 837-83648 e-mail : public@tifafoundation.org Desain tata letak dan perwajahan : Ayoenk

iv


Daftar Isi Daftar Isi Kata Pengantar Ringkasan Eksekutif

1 2 3 4 5 6

v vi vii

Pendahuluan

1

Indonesia Menurut Analisa Lembaga-lembaga Bantuan Pembangunan

7

Isu-isu Prioritas Menurut Lembaga-lembaga Bantuan Pembangunan

13

Strategi Lembaga-lembaga Bantuan Pembangunan

19

Implikasi bagi Kelompok-kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia

29

Rekomendasi dan Jalan ke Depan

35

Daftar Rujukan Tentang Para Penulis dan Penyunting

39 41

Daftar Tabel dan Gambar Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3

Matriks Analisis Berbagai Lembaga Matriks Strategi Dua Opsi Strategi

10 25 32

Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3

Isu–isu yang Menjadi Fokus dan Perhatian Berbagai Lembaga Skala Pendanaan Cara Penyaluran Dana

16 20 22

v


Kata Pengantar

I

nisiatif kajian ini awalnya merupakan studi inventarisasi yang dilaksanakan pada April hingga Juni, 2011 yang ditujukan sebagai masukan terhadap proses perumusan Strategi Yayasan Tifa 2011–2014. Studi inventarisasi dilaksanakan melalui literature review terutama terhadap naskah–naskah perencanaan strategis, dokumen program, proyek dan hasil evaluasi dari berbagai lembaga–lembaga bantuan pembangunan. Selain itu, juga dilakukan serangkaian wawancara dengan pimpinan dan staf dari lembaga–lembaga bantuan pembangunan yang bertempat di Jakarta. Studi inventarisasi dilandasi oleh pertimbangan adanya peluang–peluang dan kesempatan– kesempatan baru bagi kerjasama bantuan pembangunan di Indonesia. Dalam kaitan tersebut, studi inventarisasi menjadi penting untuk mendapatkan informasi upaya–upaya apa saja yang telah dan sedang dilakukan oleh para pihak. Selain itu, juga untuk memahami bagaimana dukungan dan bantuan–bantuan pembangunan tersebut telah bekerja untuk mencapai dampak–dampak yang lebih bermanfaat terutama bagi warga. Studi inventarisasi karenanya, ditujukan untuk menangkap pelajaran–pelajaran berharga dan menggunakannya secara sistematis sebagai strategi kelembagaan baru di tahun–tahun mendatang. Pada perjalanannya, hasil studi inventarisasi telah berkembang menjadi kajian lebih mendalam terutama kepada kaitan temuan–temuan di dalam studi inventarisasi terhadap peranan kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia di masa depan. Dalam kaitan tersebut, kajian lanjutan dilaksanakan selama kurun waktu Maret hingga Mei, 2012 melalui wawancara lebih mendalam dengan beberapa pimpinan dan staf perwakilan lembaga– lembaga bantuan pembangunan, terutama badan–badan bantuan pembangunan bilateral. Demikian halnya, juga dilaksanakanpemeriksaan kembali terhadap setiap literatur untuk memastikan kebaruan terhadap hasil studi inventarisasi sebelumnya. Para penulis menyampaikan terima kasih kepada Imam Cahyono yang telah membantu pelaksanaan kajian ini pada tahap awal. Terima kasih juga untuk para pihak yang telah bersedia diwawancarai dan memberikan komentar serta umpan balik selama proses studi inventarisasi maupun pengayaan penulisan kajian ini.

Ketua Tim Kajian Michael Bobby Hoelman

vi


Ringkasan Eksekutif

L

ebih dari satu dekade sejak Reformasi, bantuan pembangunan internasional masih mengalir deras ke Indonesia dengan berbagai alasan latar belakang dan tujuan. Berbeda dengan masa krisis 1998 dan sebelumnya, kedudukan dan jumlah bantuan pembangunan luar negeri (ODA), secara rata–rata relatif kecil jika dibandingkan dengan volume anggaran pemerintah, yaitu kurang dari 1 persen PDB. Namun demikian, bantuan pembangunan itu memiliki andil penting dalam memulai, mempercepat, dan memicu (catalyst) reformasi serta perubahan– perubahan di berbagai sektor publik dan pemerintahan di Indonesia. Kini, strategi utama bantuan pembangunan luar negeri adalah bekerjasama lebih erat dengan pemerintah, ketimbang dengan kelompok–kelompok masyarakat sipil (non–state actors). Bantuan pembangunan internasional wajib menyesuaikan diri dengan prioritas pemerintah, atau dalam cara bekerjanya mesti mengandalkan kerjasama dengan pemerintah, termasuk didalamnya mengalirkan dana kepada kas pemerintah. Strategi ini dapat disebut sebagai Strategi Tata Pemerintahan. Strategi tersebut telah menjadi salah satu faktor yang memberi andil kepada proses gradual peminggiran peran kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia. Menyusutnya dukungan kepada kelembagaan dan organisasi–organisasi masyarakat sipil, terutama mereka yang bergiat di bidang HAM dan Demokratisasi adalah satu indikasi yang kuat. Meski, proses peminggiran itu tidak semata–mata dipengaruhi oleh faktor eksternal. Ia juga dipengaruhi oleh proses–proses di dalam, antara relasi negara dengan kelompok–kelompok masyarakat sipil yang bersifat hak dan proses internal di dalam dirinya sendiri, seperti kepemimpinan dan pelembagaan organisasinya. Sudah saatnya bagi strategi bantuan pembangunan untuk bergeser kepada Strategi Demokrasi. Asumsi utama dari strategi demokrasi adalah bahwa kelompok–kelompok masyarakat sipil merupakan arus dari berbagai aktor, gagasan dan kelembagaan yang memiliki dinamikanya sendiri, yang dapat memberikan kontribusi bagi upaya menciptakan pemerintah yang berkualitas dan masyarakat yang demokratis, berbasis hukum dan menghargai hak–hak asasi manusia. ------Kata–kata kunci: bantuan pembangunan; kelompok–kelompok masyarakat sipil; kerjasama pembangunan; Indonesia; kualitas demokrasi; kualitas pemerintahan

vii


Pendahuluan


Pendahuluan

I. Pendahuluan

Bantuan pembangunan dapat dipilah ke dalam tiga bentuk: bantuan pembangunan internasional yang dananya bersumber dari pemerintah asing (Official Development Assistance/ODA), kegiatan kemanusiaan yang dananya bersumber langsung dari masyarakat di negara–negara maju, serta dana–dana yang berasal dari yayasan swasta (seperti Yayasan Ford atau Yayasan Bill & Melinda Gates). Bantuan pembangunan pada awalnya dimulai oleh paket bantuan ekonomi Marshall Plandi tahun 1947 yang dialirkan oleh Amerika Serikat guna membantu warga dan kota–kota di Eropa yang hancur lebur akibat perang dunia kedua. Bantuan pembangunan tidak hanya berupa dana, namun juga dapat berupa keahlian teknis dan sumberdaya manusia. Kantor Marshal Plan kemudian berubah menjadi kantor Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (Organization for Economic Co–operation and Development/ OECD) pada tahun 1961. Jangan keliru, bantuan pembangunan bukan hanya berbentuk hibah, akan tetapi juga dapat berupa pinjaman yang harus dikembalikan. Secara ekonomi politik, bantuan pembangunan khususnya ODA memiliki wajah ganda yakni sebagai uluran tangan yang baik dan wujud dari solidaritas kemanusiaan, sekaligus sebagai tangan untuk merangkul kawan dan lawan politik dalam tatanan hubungan internasional. Dalam perjalanannya, motif bantuan pembangunan berkembang tidak hanya untuk tujuan kemanusiaan dan politik internasional, akan tetapi dapat pula bersifat pembangunan ekonomi (perluasaan pasar) hingga keamanan nasional di dalam kawasan. Apapun motifnya, praktik–praktik tersebut telah dijalankan selama lebih dari 60 tahun. Selama kurun waktu tersebut pula, bantuan pembangunan menuai pujian sekaligus kecaman. Kegelisahan dan kritik atas bantuan pembangunan diserukan oleh para pendukung maupun penentangnya, terutama di negara–negara maju. Salah satu kritik yang layak untuk dipertimbangkan muncul pada tahun 2006, lewat sebuah buku berjudul The White Man's Burden: Why the West's Efforts to Aid the Rest Have Done So Much Ill and So Little Good yang ditulis oleh mantan pejabat Bank Dunia yang juga Guru Besar Ekonomi di Universitas New York, William Easterly. Buku ini mengajukan bukti mengenai keraguan terhadap manfaat dan hasil–hasil bantuan pembangunan. Tiga tahun kemudian, terbit pula sebuah buku kajian berjudul Doing Good or Doing Better, Development Policies in a Globalizing World, yang berupaya mengimbangi dan menjawab kegelisahan Easterly terhadap bantuan pembangunan. Buku ini disunting oleh Monique Kramer, Peter Van Lieshout dan Robert Went dan diterbitkan oleh Scientific Council for Government Policy (WRR) di Belanda. Buku tersebut menganalisa paradigma dan strategi–strategi bantuan pembangunan yang digunakan di berbagai benua selama kurun waktu enam dekade; termasuk kendala maupun tantangannya, serta pendapat atas perlunya pendekatan baru yang dibutuhkan untuk meraih niat dan tujuan bantuan pembangunan yang lebih baik.

Yayasan TIFA, Juli 2012

|

1


Pendahuluan

Pada kenyataanya, bantuan pembangunan ternyata tidak dapat dilepaskan dari pergeseran pendekatan pembangunan (development policy). Menurut Kramer (2009), selama enam dekade pergeseran itu dapat dirumuskan sebagai berikut; Pada tahun 50–an hingga 60–an pendekatan utama adalah apa yang disebutnya sebagai paradigma bantuan keuangan dari luar (financial-push paradigm). Dalam paradigma ini, bantuan keuangan asing dianggap sebagai solusi utama untuk pembangunan. Karenanya, masalah–masalah pokok di negara–negara miskin dipandang melulu hanya bersumber dari kekurangan dana atau modal keuangan. Pinjaman dari Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) hingga negara–negara maju menjadi pilihan utama untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur, industrialisasi dan penyelenggaraan pendidikan yang dibutuhkan bagi ekonomi nasional dan kemakmuran masyarakat. Dalam perjalanannya, paradigma lama ini ditinggalkan antara lain karena membengkaknya beban utang di negara–negara miskin. Pada tahun 70–an hingga 80–an, pendekatan bantuan keuangan dari luar mulai dikesampingkan dan digantikan oleh paradigma pasar dengan sedikit peran atau campur tangan negara yang kemudian menjadi primadona di banyak benua. Meski demikian, pendekatan ini pun tidak menuai hasil pembangunan yang menggembirakan dan di banyak tempat justru menemui krisis bahkan kemandekan ekonomi. Pada periode 90–an hingga 2000–an, paradigma pembangunan secara berangsur berubah. Kegagalan paradigma pasar dipandang terutama disebabkan karena minimnya kualitas pemerintahan di negara–negara berkembang dan miskin. Secara ringkas, paradigma ini memandang bahwa ketiadaan struktur pemerintahan yang sesuai untuk menjalankan kebijakan hanya akan membuat bantuan pembangunan menjadi sia–sia. Tata kelola pemerintahan menjadi variabel utama untuk memprediksi keberhasilan bantuan pembangunan. Kini, baik dana maupun kurangnya keleluasaan pasar bukan lagi hal–hal yang utama namun justru lemahnya sistem hukum, tingginya angka korupsi hingga pemerintah yang otoriterlah yang merupakan sumber masalah utama. Dengan kata lain, jika di dekade sebelumnya paradigma pembangunan lebih didominasi oleh pentingnya pasar dan pemangkasan birokrasi, kini pandangan tersebut mulai berganti kepada pentingnya peran negara terutama dalam memerangi korupsi, menerapkan keterbukaan (transparency) dan mewujudkan demokrasi. Tata kelola pemerintahan (governance) menjadi penting bagi semua negara–negara berkembang maupun miskin untuk memperkuat berbagai kelemahan kelembagaan dan menuju negara demokrasi.

Bantuan Pembangunan Di Indonesia Di Indonesia, bantuan pembangunan dan kegiatan kedermawanan (philanthropy) internasional telah dikenal sejak era Presiden Soekarno. Lembaga–lembaga derma swasta seperti Yayasan Ford dan berbagai lembaga bilateral hadir dan menjalankan kiprahnya. Tidak sedikit elite dan lembaga–lembaga sosial ekonomi yang bermunculan di Indonesia adalah sebagian kecil dan besar karena andil bantuan pembangunan ini. Lebih dari itu, berbagai perbaikan dan inovasi di Indonesia dalam banyak lini bisnis, pemerintahan dan masyarakat sipil juga berkembang luas karena dorongan dan peranan dukungan–dukungan teknis maupun dana dari berbagai lembaga tersebut, terutama lembaga–lembaga bilateral, yayasan swasta hingga lembaga–lembaga internasional yang memperoleh dana dari masyarakat di negara maju.

2

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia


Pendahuluan

Memasuki era Orde Baru, peranan bantuan pembangunan menjadi semakin penting. Peralihan rejim Soekarno kepada Soeharto mewariskan situasi perekonomian yang buruk terutama karena agresi militer Belanda dan berbagai pemberontakan di sejumlah wilayah. Ketidakstabilan politik telah menyebabkan kemerosotan ekonomi, inflasi yang tinggi serta lonjakan defisit pada anggaran negara. Sementara itu, pemerintah yang baru memerlukan dana pembangunan untuk membiayai stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Guna mengatasi hal ini, di awal pemerintahannya, Soeharto membangun komitmen utang dengan Amerika Serikat dan bergabung kembali ke dalam keanggotaan Bank Dunia (Toussaint, 2004). Selain itu, Soeharto juga mendorong lahirnya Kelompok Antar Pemerintah Bagi Indonesia (Intergovernmental Group on Indonesia/IGGI) yakni sebuah kelompok kerjasama internasional yang diketuai oleh Belanda dan dibentuk untuk mengoordinasikan dana bantuan pembangunan multilateral kepada Indonesia. Bantuan awal IGGI ditujukan untuk penyusunan program pertama Rencana Lima Tahun Indonesia (REPELITA I). Orde Baru juga memperkenalkan konsep Trilogi Pembangunan, yakni stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan pembangunan. Sayang, dalam praktiknya, Orde Baru memasang wajah ganda, di satu sisi menampilkan tangan besi kepada rakyatnya sebagai ongkos tersedianya sandang, pangan dan papan yang murah. Sebaliknya, kepada dunia internasional Soeharto menampilkan wajah bersahabat melalui janji–janji perlindungan investasi dari ketidakpastian hukum dan ketidakstabilan politik. Terhadap bantuan pembangunan, Soeharto menyediakan ruang yang lebih terbuka bahkan terhadap pertumbuhan dan fragmentasi berbagai macam bantuan pembangunan baru, baik karena keperluan ekonomi maupun alasan keharusan politik. Selama lebih dari dua dasawarsa, wajah ganda ini berjalan beriringan hingga menemui perbenturan kepentingan di awal dekade 90–an. Terutama karena berkembangnya isu demokratisasi dan minimnya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Di masa ini pula terjadi titik balik manakala Soeharto membekukan bantuan dari Belanda sebagai penolakan terhadap kritik Perdana Menteri Belanda yang juga ketua IGGI Jan Pronk atas insiden pelanggaran HAM di Dili, Timor Timur pada tahun 1991. Meski demikian, Soeharto terbukti hanya melancarkan taktik politik semata. Alih–alih menolak bantuan internasional, Indonesia justru melanjutkan kerjasama bantuan pembangunan dan meminta Bank Dunia menjadi koordinator forum koordinasi bantuan internasional bagi Indonesia (Consultative Group on Indonesia/CGI), yaitu sebuah konsorsium negara–negara dan lembaga pemberi bantuan (hibah dan pinjaman) untuk Indonesia yang didirikan pada tahun 1992 sebagai pengganti IGGI. Tak heran bila CGI meneruskan dukungan untuk Soeharto dan menerima hujan kecaman terutama dari organisasi–organisasi non–pemerintah dan masyarakat sipil di Indonesia karena sikapnya yang tidak kritis kepada Rejim Orde Baru. Bank Dunia misalnya, dianggap tutup mata terhadap maraknya praktik korupsi dengan alasan hal–hal ini merupakan urusan dalam negeri Indonesia alias bukan urusan Bank Dunia. Dalam laporan rahasia menjelang kejatuhan Soeharto, Bank Dunia memperkirakan minimal 20%–30% dana anggaran pembangunan Indonesia telah diselewengkan (Bank Dunia, 1997). Kebocoran ini juga berlaku terhadap dana–dana pinjaman dari Bank Dunia sendiri. Bank Dunia juga hirau terhadap pelanggaran hak asasi manusia pada proyek–proyek yang didanainya. Sebuah sikap yang kemudian berubah setelah Indonesia memasuki era Reformasi. Kombinasi antara rejim otoriter dan bantuan pembangunan ternyata turut mematangkan gagasan pembaharuan. Bantuan hukum dan HAM, gerakan konsumen, dan gerakan Yayasan TIFA, Juli 2012

|

3


Pendahuluan

lingkungan serta gerakan sosial lainnya adalah gagasan dan benih–benih lokal yang tumbuh dan berkembang sebagai akibat sistem politik yang otoriter. Dengan diprakarsai oleh wakil–wakil kelas menengah yang prihatin dan mendambakan perubahan, gerakan– gerakan ini menemukan dukungan yang kuat dari lembaga–lembaga bantuan pembangunan. Keduanya sama–sama memimpikan Indonesia yang demokratis, berbasis hukum dan menghormati hak–hak asasi manusia. Meski di masa itu kelompok–kelompok masyarakat sipil memiliki ruang gerak yang terbatas karena pembatasan dana dan pengendalian politik di dalam negeri, dalam praktiknya, pembatasan dan pengendalian tersebut tidak mampu menahan gelombang protes di kalangan terpelajar dan menengah perkotaan terutama ketika harga barang–barang kebutuhan pokok meroket karena terpaan krisis keuangan di Asia. Gerakan mahasiswa dan Reformasi 1998 akhirnya berhasil menumbangkan rejim otoriter Soeharto. Sebagian, benih–benih gerakan itu telah ditanam dan disemaikan oleh gagasan berbagai tokoh dari kelompok–kelompok masyarakat sipil tersebut. Ironisnya, paska tumbangnya rejim otoriter Soeharto, kerjasama yang baik antara lembaga bantuan pembangunan dan kelompok–kelompok masyarakat sipil justru dapat dikatakan menyurut terutama memasuki era 2000–an (paska-reformasi). Sementara bantuan kemanusiaan dan peran yayasan swasta masih terus berjalan, dukungan ODA kepada kelompok–kelompok masyarakat sipil cenderung menurun, seiring dengan pergeseran perhatian dari berbagai lembaga bantuan pembangunan untuk memulihkan kembali hubungan dan kerjasama dengan pemerintah Indonesia. Selain itu, Indonesia juga mulai dipandang sebagai negara demokratis dan menunjukkan perbaikan–perbaikan ekonomi yang relative cepat. Di era paska reformasi, kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia, bak layang–layang yang diputuskan talinya, limbung dan hampir tanpa arah, baik secara pendanaan maupun orientasi gerakannya. Tradisi berhadapan dengan rejim otoriter nyaris tidak dibutuhkan lagi. Partai–partai politik dan lembaga perwakilan kini mulai berfungsi dan memiliki pengaruh penting dalam penentuan kebijakan pembangunan. Di era ini pula, bermunculan pendapat yang mempertanyakan relevansi kelompok–kelompok masyarakat sipil. Lagipula, perombakan dan penataan sistem lama (Orde Baru) ke sistem baru (Reformasi) ternyata tidak cukup banyak melahirkan deviden demokrasi kecuali kemerdekaan pers, kebebasan berbicara dan kebebasan beroganisasi. Capaian–capaian itu tentu saja tidak ringan untuk diremehkan, namun ia belum terlalu memadai bagi peran masyarakat sipil yang lebih sehat dan demokratis. Pada beberapa dimensi, tidak nampak perubahan dalam relasi negara dengan masyarakat sipil. Meski kini kelompok–kelompok masyarakat sipil tidak lagi dikendalikan, namun dukungan pendanaan dari lembaga–lembaga bantuan pembangunan belakangan justru semakin terbatas. Pemerintah Indonesia sendiri bahkan belum mengambil inisiatif kebijakan pembiayaan dari dalam negeri guna memungkinkan perluasan peran dari kelompok–kelompok masyarakat sipil. Patronase politik (elite politik tebang pilih dalam mengalokasikan sumber daya) dan kebijakan statis (negara mengatur dan memiliki semuanya) masih terus berlangsung. Sementara, kerjasama dan koalisi diantara masyarakat sipil juga nampak rapuh karena masing–masing saling bersaing sehingga mereka gagal mencapai dampak perubahan yang lebih luas (Antlov dkk, 2008). Dalam banyak kesempatan, solidaritas dan kepedulian terhadap defisit, kesenjangan dan kelemahan– kelemahanyang menyolok dari sistem politik dan ekonomiyang dulu pernah

4

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia


Pendahuluan

menjadi keprihatinan bersama, belakangan semakin luput dari pertukaran gagasan pembaharuan maupun kerjasama. Tulisan ini akan memeriksa persoalan bantuan pembangunan dan kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia. Lembaga–lembaga bantuan pembangunan yang dianalisa meliputi; (i) Lembaga bantuan multilateral, seperti Bank Dunia, Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), Bank Pembangunan Asia, dan Uni Eropa; (ii) Badan pembangunan bilateral, seperti USAID, Ausaid, CIDA, DfID, GIZ, dan lain sebagainya; (iii) Lembaga pengelola hibah internasional, seperti Hivos, Oxfam, The Asia Foundation, dan lain sebagainya; (iv) Lembaga derma swasta internasional seperti Ford Foundation dan sejenisnya; serta (v) Lembaga pengelola hibah nasional, seperti Kemitraan, KEHATI, Yayasan Tifa, dan lain sebagainya. Sementara itu yang dimaksud dengan kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia dapat meliputi; organisasi–organisasi non–pemerintah, organisasi kemasyarakatan, universitas, media massa hingga kelompok–kelompok bisnis. Secara khusus, penekanan di dalam kajian ini akan banyak ditujukan kepada organisasi–organisasi non–pemerintah. Pertanyaan utama yang hendak dibahas di dalam kajian ini adalah: bagaimana kecenderungan bantuan pembangunan selama sepuluh tahun terakhir telah membawa dampak bagi kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia? Akankah reformasi menjadi permulaan bagi kemandekan ataukah justru menjadi permulaan bagi kebangkitan? Kecenderungan di sini tidak saja dimaknai sebagai tren pendanaan, akan tetapi juga mencakup gagasan dan pendekatan, strategi serta pola–pola operasionalisinya. Dari berbagai aspek itulah, pada akhirnya akan ditarik kesimpulan berupa implikasinya bagi keberadaan dan peranan kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia.

Yayasan TIFA, Juli 2012

|

5


Indonesia menurut Analisa Lembaga-lembaga Bantuan Pembangunan


II. Indonesia menurut Analisa Lembagalembaga Bantuan Pembangunan

Analisa

Lebih dari sepuluh tahun sejak Indonesia berubah dari rejim politik otoriter ke rejim demokrasi, dalam rentang waktu itutelah banyak perubahan yang terjadi di dunia internasional. Diantaranya adalah krisis ekonomi pada tahun 2008 yang telah melumpuhkan pusat–pusat ekonomi dunia, terutama Amerika Serikat dan negara–negara di kawasan Eropa, pergolakan politik dan tuntutan demokratisasi di Mesir dan negara–negara Afrika Utara, serta berbagai bencana alam di banyak negara termasuk di Jepang dan Amerika Serikat. Selama 13 tahun paskareformasi atau setelah krisis 1998, Indonesia juga mengalami banyak perubahan. Perubahan–perubahan itu dalam catatan dan analisa berbagai lembaga bantuan pembangunan tidak hanya menyangkut sistem politik, akan tetapi juga sistem ekonomi, pemerintahan dan lain sebagainya. Beberapa ciri utama yang diidentifikasi oleh lembaga–lembaga bantuan pembangunan tersebut kiranya dapat disarikan ke dalam tiga perubahan utama, sebagai berikut: Pertama, Indonesia adalah negara berpendapatan menengah, meski Indonesia baru berada pada level lower middle income country dengan pendapatan 3,000 dollar per-kapita per tahun (2010). Namun sebagai bagian dari kelompok negara–negara berpendapatan menengah, Indonesia kini berada di kelompok dengan negara–negara yang pendapatannya 5,000 dollar per kapita, seperti Malaysia, Brasil dan Afrika Selatan. Karena pertumbuhan ekonomi dan besaran kue ekonominya (PDB), Indonesia telah ikut serta dalam keanggotaan Forum G20 yang merupakan forum negara–negara dengan kue ekonomi 20 terbesar di dunia. Keanggotan ini sama artinya bahwa Indonesia telah menyamai kue ekonomi Swedia, Belgia dan sebagainya. Selain menjadi anggota Forum Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Indonesia kini juga menjadi negara anggota peninjau dalam forum OECD, sebuah klub negara–negara maju di dunia. Secara berkala, kantor OECD telah mengeluarkan laporan tentang Indonesia. Artinya, Indonesia dipandang dalam waktu tidak lama lagi dapat menjadi sumber sekaligus penggerak pertumbuhan ekonomi dunia selain Amerika Serikat dan Eropa sebagaimana negara–negara yang tergabung di dalam keanggotaan BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan). Kedua, Indonesia menjadi negara yang menerapkan sistem demokrasi terbesar setelah India dan Amerika Serikat. Sekaligus, menjadi negara dengan mayoritas penduduk muslim yang telah menerapkan demokrasi. Demokrasi diterapkan melalui sistem multipartai, dimana telah dilaksanakan tiga kali pemilihan umum yang dipandang cukup demokratis. Indonesia kini juga menjadi negara terdesentralisasi dengan banyak wewenang dan sumberdaya di tingkat kota dan kabupaten. Kecuali dalam hal politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal serta agama, Indonesia kini lebih banyak dikendalikan oleh para pemimpin di daerah ketimbang di ibu kota Jakarta.

Yayasan TIFA, Juli 2012

|

7


Analisa

Ketiga, meski menjanjikan perubahan yang positif dan menggembirakan, lembaga– lembaga bantuan pembangunan juga mencatat bahwa Indonesia masih saja dibelenggu oleh berbagai kendala. Setidaknya terdapat tujuh permasalahan yang dapat menghambat kemajuan Indonesia di masa kini dan masa depan, yakni: (i) kemiskinan dan pengangguran; (ii) pertumbuhan ekonomi yang belum berkelanjutan; (iii) efektivitas dan kapasitas pemerintah, termasuk kendala dalam desentralisasi; (iv) korupsi yang masih luas dan sistemik; (v) minimnya penghormatan terhadap hak asasi manusia dan demokrasi; (vi) tantangan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan; serta (vii) ketimpangan perlakuan terhadap laki–laki dan perempuan (gender). Masalah lain yang selalu nampak menjadi ciri Indonesia adalah angka kemiskinan yang masih tinggi. Indonesia masih memiliki tantangan besar dalam hal penanggulangan kemiskinan. Sebanyak 49 persen penduduk masih hidup dibawah garis pendapatan 2 dolar per hari. Jika memakai ukuran garis kemiskinan pemerintah Indonesia, berdasarkan data tahun 2007, masih terdapat 17 persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Angka kemiskinan di berbagai daerah juga bervariasi. Misalnya, angka kemiskinan di Jawa lebih rendah (5 persen) ketimbang angka kemiskinan di Papua dan Papua Barat yang mencapai 40 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang semakin membaik dan positif, namun pertumbuhan itu ternyata belum optimal menyerap tenaga kerja (jobless growth). Dari 20 juta angkatan kerja usia muda yang memasuki pasar kerja, hanya 3 juta yang terserap ke dalam sektor formal. Angka pengangguran senantiasa bergerak antara 9 hingga 10 persen. Salah satu lembaga bantuan pembangunan multilateral misalnya menyatakan bahwa meski Indonesia telah banyak berhasil dalam mempertahankan kinerja ekonomi makro, namun keberhasilan ini juga masih disebutnya sebagai “gelas isi separuh” terutama karena Indonesia belum berhasil mendistribusikannya kepada perbaikan–perbaikan kehidupan dan kesejahteraan penduduknya. Ada dua skenario bagi Indonesia masa depan, yakni: Indonesia dapat menjadi “negara kelas menengah yang dinamik” atau “negara mengambang dalam keadaan hanya separuh gelasnya saja yang terisi”. Sehingga dalam bidang ekonomi, Indonesia memerlukan peningkatan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan agar dapat menyerap angkatan kerja yang puluhan juta jumlahnya. Untuk itu, yang menjadi masalah utama adalah perbaikan iklim investasi. Beberapa persoalan utama terkait dengan iklim investasi diantaranya; (i) prosedur investasi yang berliku baik ditingkat pusat maupun daerah; (ii) penegakan hukum yang lemah; (iii) tata kelola pemerintahan yang buruk, terutama di bidang bea cukai dan perpajakan yang belum berhasil mengumpulkan pendapatan bagi pemerintah dan perlakuan yang adil terhadap investor; serta (iv) kondisi pasar tenaga kerja yang kurang menarik. Kelemahan lain yang mencolok dan dirasakan langsung dalam keseharian warga adalah efektivitas pemerintah baik karena kapasitasnya yang tidak memadai maupun lemahnya akuntabilitas dari para pegawai negerinya. Kelemahan kapasitas terjadi di banyak wilayah dan lebih–lebih di tingkat pemerintah daerah. Dalam soal akuntabilitas pegawai negeri atau birokrasi, meski momentum pengendalian dan pemberantasan korupsi menjanjikan lewat kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR), namun hal ini masih terkendala oleh lemahnya penegakan hukum akibat perlawanan dari dalam institusi–institusi penegak hukum itu sendiri, terutama dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Mahkamah Agung. Kelemahan terutama dari tatakelola pemerintahan adalah masalah koordinasi diantara berbagai lembaga di dalam

8

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia


pemerintah. Kelemahan ini telah menyebabkan perancangan dan pelaksanaan kebijakan berjalan lamban bahkan tidak efektif.

Analisa

Meski desentralisasi telah membawa pengambilan keputusan lebih dekat kepada warga, di dalam perjalanannya ia juga telah memperlihatkan adanya kelemahan teknis dan administratif pada tingkat pemerintah daerah. Lemahnya pemerintahan daerah yang efektif dan demokratis dalam penyediaan pelayanan publik serta kegagalan sektor hukum dalam memberantas korupsi yang endemik dan menimbulkan ketidakpercayaan publik merupakan tantangan bagi proses konsolidasi demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Berbagai ancaman konflik di wilayah–wilayah di Indonesia dan perlawanan elit politik maupun sebagian birokrasi pemerintah atas upaya reformasi telah membuat tantangan tersebut semakin berat. Selain itu, korupsi juga menjadi momok atau kendala utama dalam memajukan kebijakan ekonomi yang memihak warga miskin, perbaikan iklim investasi dan perbaikan sistem hukum. Korupsi juga sangat mempengaruhi upaya Indonesia dalam mereformasi peran Kepolisian dan TNI, serta pembaharuan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia. Pemberantasan korupsi mengalami kendala karena adanya budaya patronase yang mengakar selama 50 tahun di dalam sistem politik Indonesia. Beberapa lembaga bantuan pembangunan bilateral juga memandang adanya kelemahan pada upaya penegakan Hak Asasi Manusia. Dalam bidang HAM, masalah impunitas terhadap pelanggaran hak asasi manusia masa lalu merupakan masalah utama yang disebabkan oleh kelemahan kelembagaan dari berbagai badan–badan kehakiman dan penegakan hukum. Perubahan iklim menjadi perhatian lembaga–lembaga bantuan pembangunan, terutama lembaga multilateral seperti PBB. Perubahan iklim dipandang dapat menghambat pencapaian Indonesia dalam memenuhi target Tujuan–tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Indonesia terutama rentan terhadap pasang naik air laut dan banjir. Perubahan cuaca dan musim juga dapat merusak produksi pertanian kelompok petani kecil dan tangkapan nelayan. Di samping itu, laju peralihan kawasan hutan dan kerusakan lingkungan telah menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara ketiga terbesar penyumbang emisi gas rumah kaca. Masalah utama lainnya adalah soal ketimpangan perlakuan terhadap laki–laki dan perempuan (gender). Akses kaum perempuan terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan masih merupakan masalah. Indonesia memiliki tingkat angka kematian ibu yang tinggi. Selain itu, perempuan juga kurang terwakili di dalam berbagai jabatan publik. Meski pemerintah telah menyatakan komitmen yang besar untuk mengatasi masalah– masalah ini, diperlukan upaya yang lebih sungguh–sungguh terutama pada tingkat pelaksanaannya. Jika tidak segera diatasi, kelompok perempuan akan terus mengalami dampak yang lebih berat sebagai akibat dari diskriminasi, penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Berbarengan dengan masih lemahnya kelembagaan demokrasi, konsolidasi demokrasi perlu melibatkan upaya yang lebih luas untuk memajukan partisipasi. Meski reformasi telah melahirkan pemerintahan yang terdesentralisasi, pemilu dan penataan kembali berbagai undang–undang, namun kebijakan negara dan program–program reformasi nampaknya masih belum berhasil menangani atau menjawab masalah kemiskinan yang mendalam dan diskriminasi yang terus–menerus dialami oleh kelompok–kelompok sosial yang terpinggirkan.

Yayasan TIFA, Juli 2012

|

9


Tabel 1. Matriks Analisis Berbagai Lembaga

LEMBAGA

ANALISIS KONTEKS INDONESIA

Lembaga Bantuan Pembangunan Mulilateral

? Transisi politik yang berhasil dalam sejarah modern ? Muncul sebagai negara berpendapatan menengah (lower middle income

country) dengan perbaikan HDI tercepat ? Tingginya angka kemiskinan dan pertumbuhan yang timpang, tidak merata atau

belum berhasil membuat pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan ? Iklim investasi yang kurang mendukung dan minimnya infrastruktur sebagai

Analisa

kendala pertumbuhan ? Kapasitas dan akuntabilitas institusi sebagai kendala utama. Desentralisasi

belum disertai kapasitas pemerintah daerah dan korupsi masih menjadi kendala besar ? Impunitas bagi pelanggar HAM masa lalu ? Perubahan iklim menjadi kendala karena dampaknya pada pertanian dan perikanan, dsb

Badan pembangunan internasional bilateral

? Perubahan politik dan desentralisasi ? Kemiskinan masih merupakan tantangan utama Indonesia ? Demokrasi dan pertumbuhan ekonomi belum berbuah kepada perbaikan

kesejahteraan (jobless growth) ? Tata kelola pemerintahan dan korupsi menjadi masalah besar. RAN–PK

? ? ? ?

Lembaga pengelola hibah internasional Lembaga derma swasta internasional

(Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi) sudah ada namun belum secara efektif terlaksana Kurangnya investasi pada anggaran nasional Kelemahan pemerintah daerah dalam penyediaan pelayanan publik Ketimpangan gender Kegagalan sektor hukum

? Desentralisasi masih ditandai oleh lemahnya kapasitas pemerintah daerah ? Partisipasi kaum perempuan masih lemah baik dalam ranah politik maupun

sosial ekonomi ? Ketidaksetaran gender masih kuat ? Kerusakan lingkungan hidup dan penanggulangan bencana ? Indonesia telah berhasil menjalankan transisi dari pemerintah militer ke

demokrasi ? Kebijakan negara masih belum reformasi: diskriminasi dan esklusi masih

dialami oleh kelompok marjinal ? Perlu dukungan kepada kelompok marjinal untuk dapat mempengaruhi

kebijakan publik

Lembaga pengelola hibah nasional

? Demokrasi belum memajukan keragaman dan kesetaraan bagi warga negara ? Impunitas masih menjadi kendala dan tantangan besar di Indonesia

paskareformasi ? Desentralisasi masih diwarnai oleh praktik buruk seperti korupsi dan minimnya

keterlibatan warga negara dalam pembuatan kebijakan ? Diskriminasi masih saja terjadi pada kelompok minoritas, kaum perempuan,

anak–anak dan orang dengan kemampuan berbeda (difable)

10

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia


Analisa

Yayasan TIFA, Juli 2012

|

11


Isu-isu Prioritas menurut Lembaga-lembaga Bantuan Pembangunan


III. Isu-isu Prioritas menurut Lembagalembaga Bantuan Pembangunan

Isu-isu Prioritas

Selama tiga dekade sebelum Reformasi, Data Komite Bantuan Pembangunan (Development Assistance Committee/DAC) OECD menunjukkan Indonesia senantiasa berada pada urutan pertama (1999/2000) dan kedua (1989/1990; 2009/2010) negara penerima bantuan ODA. Jika Indonesia kini telah menjadi negara berpendapatan menengah, dengan jumlah Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang setiap tahunnya berada diatas 1,000 triliun rupiah serta telah menjadi salah satu negara anggota G20, mengapa bantuan lembaga–lembaga pembangunan masih saja diperlukan? Atau dengan rumusan lain, jika masalah Indonesia kini bukanlah pada kelangkaan atau ketiadaan dana, apa saja alasan Indonesia masih terus menjadi negara penerima bantuan–bantuan pembangunan? Menurut Jonathan Gleenie (2011), negara kelas menengah seperti Indonesia masih layak menerima bantuan pembangunan luar negeri (ODA) karena beberapa alasan berikut; (a) dana–dana tersebut membantu proses transisi dari negara miskin (Low Income Country/ LIC) menjadi negara kelas menengah secara gradual atau bukan tiba–tiba; (b) bantuan–bantuan tersebut berperan sebagai katalis dalam mendorong dan/atau memantapkan perbaikan–perbaikan yang ada atau telah dicapai; dan (c) nilainya bukan pada sisi jumlah atau besarannya, akan tetapi pada peranannya dalam menciptakan insentif (positif) terhadap perbaikan atau perubahan. Dalam kaitan tersebut, prioritas bantuan menurut lembaga–lembaga bantuan pembangunan ditujukan untuk mendukung Indonesia yang demokratis, stabil, berbasis hukum dan HAM, serta lebih makmur. Pemilihan isu–isu kebijakan dan isu kelembagaan yang menjadi prioritas lembaga–lembaga bantuan pembangunan merupakan perkawinan dari dua hal utama, yakni kepentingan Indonesia dan kepentingan lembaga–lembaga tersebut. Dengan kata lain, di mata lembaga– lembaga bantuan pembangunan, Indonesia dipandangnya sebagai; (a) klien dan anggota yang perlu dan wajib dilayani (cara pandang ini terutama diwakili oleh pandangan Bank Dunia, UNDP dan ADB); serta (b) sebagai negara sahabat atau negara mitra yang perlu dihormati selayaknya dalam relasi saling menguntungkan dalam tatanan dan pergaulan politik internasional maupun dalam hubungan ekonomi dan perdagangan. Karena ini pulalah, lembaga–lembaga bantuan pembangunankini umumnya mengacu kepada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah Indonesia sendiri. Disamping itu, mereka juga merujuk kepada berbagai prioritas yang diusulkan oleh para ahli, kelompok swasta dan warga negara melalui prosedur konsultasi, penilaian dan sebagainya. Alasan lain, pemilihan perhatian dan prioritas isu dari beragam lembaga– lembaga bantuan pembangunan juga dibimbing atau menyesuaikan diri dengan beragam ketentuan internasional dalam kerangka efektifitas bantuan pembangunan (aid effectiveness) yang mengatur kerjasama antara pemberi bantuan dengan penerima bantuan. Beberapa ketentuan tersebut diantaranya; Deklarasi Paris untuk Efektifitas Bantuan Pembangunan (2005) dan Komitmen Jakarta (2009).

Yayasan TIFA, Juli 2012

|

13


Lembaga–lembaga bantuan pembangunan multilateral menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi, meski juga menyadari isu lain yang dapat menentukan hasil pertumbuhan ekonomi tersebut. Isu tersebut adalah kelembagaan (institusi). Bank Dunia misalnya, memusatkan perhatiannya kepada isu kelembagaan ini melalui lima kegiatan utama dan dua kegiatan pendukung (cross–cutting). Kelima kegiatan tersebut adalah; (i) pengembangan sektor swasta; (ii) infrastruktur; (iii) pengembangan masyarakat dan perlindungan sosial; (iv) pendidikan; dan (v) lingkungan/mitigasi bencana. Sementara dua kegiatan pendukungnya memusatkan perhatian kepada; (a) penguatan sistem dan kelembagaan pemerintah pusat; serta (b) penguatan sistem dan kelembagaan pemerintah daerah.

Isu-isu Prioritas

Sementara itu, PBB yang memiliki posisi kuat sebagai lembaga bantuan pembangunan yang netral menekankan empat perhatian terhadap Indonesia, yakni; (i) Target Pencapaian Pembangunan Milenium (TPM) dan pengurangan kemiskinan; (ii) lingkungan, energi dan perubahan iklim; (iii) tata pemerintahan yang demokratis; serta (iv) pencegahan krisis dan pemulihan, termasuk di dalamnya pengurangan dampak bencana alam. Lembaga bantuan pembangunan multilateral lainnya ada pula yang memusatkan perhatian kepada beberapa sektor utama, seperti; (i) pendidikan, termasuk kualitas pendidikan dasar, menengah dan tinggi; (ii) perdagangan dan investasi, termasuk iklim investasi; (iii) penegakan hukum dan keadilan, termasuk pemberantasan korupsidan reformasi hukum serta pelaksanaan Rencana Aksi Nasional HAM; dan (iv) isu lintas bidang, termasuk lingkungan hidup, tata kelola pemerintahan dan HAM, pencegahan konflik, dimensi sosial dari globalisasi dan keadilan gender. Di pihak lain, badan–badan bantuan pembangunan internasional bilateral pada umumnya menekankan prioritas dukungan mereka kepada pembangunan demokrasi dan ekonomi. Salah satu lembaga bilateral misalnya memilih lima fokus prioritas bagi dukungan mereka untuk periode ke depan dengan tujuan utama mengurangi kemiskinan dan ancaman lingkungan hidup global. Kelima fokus ini juga dipilih dengan mempertimbangkan kepentingan hubungan bilateral kedua negara. Isu–isu fokus tersebut adalah; (i) pendidikan; (ii) pengelolaan sumberdaya alam; (iii) pemerintahan yang demokratis; (iv) kesehatan; dan (v) lapangan kerja. Badan bantuan pembangunan internasional bilateral yang lain menekankan prioritas pendekatan melalui apa yang disebutnya sebagai empat pilar bantuan pembangunan. Keempat pilar tersebut adalah; (i) pertumbuhan ekonomi; (ii) investasi untuk rakyat; (iii) demokrasi, keadilan dan tata kelola pemerintahan yang baik; serta (iv) keamanan dan perdamaian. Sedikit berbeda dari lembaga–lembaga bantuan pembangunan multilateral maupun bilateral, beberapa lembaga derma swasta pada umumnya lebih memilih untuk memusatkan perhatiannya kepada isu–isu penting yang kesemuanya dipayungi oleh tujuan untuk memajukan keadilan sosial. Isu–isu prioritas tersebut diantaranya; perencanaan dan penganggaran, hak–hak reproduksi dan partisipasi kaum perempuan, perlindungan sosial bagi kaum papa, media yang melayani kepentingan publik dan warga negara yang aktif, hingga pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Beberapa lembaga derma swasta yang lain juga menaruh perhatian utama mereka kepada upaya untuk memajukan tata kelola pemerintahan yang baik, demokrasi, penghargaaan atas Hak Asasi Manusia, penegakan hukum dan pengembangan ekonomi pasar. Dukungan– dukungan tersebut biasanya dilakukan melalui penguatan kapasitas bagi para aktor utama seperti pejabat pemerintah (termasuk pemimpin daerah), politisi (anggota parlemen),

14

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia


dan masyarakat sipil. Selain demokrasi, perhatian dan dukungan juga dicurahkan untuk ikut serta mengatasi berbagai masalah lingkungan hidup dan penegakan hukum, yang beberapa dilakukannya melalui kerjasama penguatan kelembagaan.

Isu-isu Prioritas

Lembaga–lembaga pengelola hibah internasional dan nasional memiliki fokus yang lebih dekat dengan prioritas lembaga–lembaga derma swasta, yakni melihat dan mendorong perbaikan Indonesia baik pada sisi kualitas tata pemerintahan maupun kualitas demokrasi ketimbang prosedur demokrasi. Lembaga–lembaga ini memandang bahwa perbaikan– perbaikan yang harus dilakukan diantaranya; (a) membuat demokrasi dan tata pemerintahan semakin berorientasi kepada warga negara, sehingga korupsi di sektor publik dapat dikurangi semaksmimal mungkin dan impunitas terhadap para pelanggar HAM harus segera dihentikan; (b) memperbaiki tata pemerintahan dan desentralisasi agar menjadi partisipatif dengan melibatkan warganegara dan meningkatkan pelayanan publik; (c) mendorong negara dan hukum semakin kuat dan tegas dalam melindungi kebhinekaan dan kohesi sosial Indonesia; serta (d) memperkuat pemerintah dan warga negara agar semakin mampu mencegah kerusakan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, termasuk memelihara hutan dan sumber–sumber air minum. Dari paparan diatas, tampak bahwa jalan keluar dan fokus perhatian berbagai lembaga memilki ciri khas dan keragaman. Secara tematik isu–isu prioritas atau fokus program yang dikerjakan oleh lembaga–lembaga bantuan pembangunan multilateral, bilateral, pengelola hibah internasional dan nasional, serta derma swasta dapat diringkas sebagai berikut: Pertama, bagaimana Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah (middle income country) dapat mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan ekonominya secara lebih berkelanjutan dan merata. Berkelanjutan dalam arti; (a) berdaya saing tinggi; (b) memiliki iklim investasi yang baik; dan (c) investasi yang memadai dalam infrastruktur. Merata (inclusive) dalam arti pertumbuhan ekonomi dapat menjadi motor bagi pengurangan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja. Kedua, bagaimana sistem pemerintahan, sistem hukum dan sistem politik Indonesia dapat berintegritas, bebas korupsi dan lebih adil bagi semua. Kelemahan kapasitas pemerintah dan tingginya angka korupsi menjadi masalah yang menyandera kemajuan Indonesia dan merugikan investor dan warga negara Indonesia. Masalah iklim investasi hingga pengadilan yang bersih merupakan perhatian hampir semua lembaga–lembaga bantuan pembangunan. Ketiga, bagaimana Indonesia dapat lebih berdaya dalam hal kebijakan dan kelembagaan guna mengatasi masalah lingkungan hidup, perubahan iklim dan bencana alam. Perbaikan situasi lingkungan hidup di Indonesia akan memberikan manfaat dan dampak besar bagi lingkungan hidup dunia. Perbaikan ini penting mengingat Indonesia sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca ketiga terbesar di dunia. Keempat, bagaimana Indonesia dapat memperkuat investasi sosial bagi warganya (investing in people) baik sebagai investasi kepada ekonomi yang berdaya saing tinggi maupun sebagai upaya untuk memberikan manfaat dan hasil–hasil ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan dan pengurangan kemiskinan. Investasi Indonesia kepada bidang pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial merupakan isu yang mulai menjadi fokus dan perhatian lembaga–lembaga bantuan pembangunan multilateral, bilateral maupun derma swasta.

Yayasan TIFA, Juli 2012

|

15


Isu-isu Prioritas

Satu isu prioritas yang belum disinggung secara mendalam oleh lembaga–lembaga bantuan pembangunan adalah masalah diskriminasi. Hanya beberapa lembaga derma swasta yang secara tegas memasukkan pluralisme dan kewarganegaraan ke dalam fokus atau isu prioritas mereka. Situasi ini sesungguhnya sangat kontekstual bagi Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir dimana fundamentalisme agama semakin meluas baik secara budaya dan politik. Meski secara politik fundamentalisme agama bukanlah merupakan ancaman, namun secara budaya dan relasi antara warga negara, pluralisme akan sangat menentukan kohesitas masyarakat Indonesia ke depan. Rendahnya kapasitas dan akuntabilitas pemerintah ikut andil bagian dalam memperparah keadaan ini. Sikap anti–pluralisme dan menipisnya kesadaraan kewarganegaraan merupakan tren nyata yang dapat mengancam demokrasi dan stabilitas Indonesia.

Lembaga bantuan pembangunan multilateral

Badan pembangunan internasional bilateral

Lembaga pengelola hibah internasional

Lembaga derma swasta internasional

Lembaga pengelola hibah nasional

Pertumbuhan Ekonomi

Tata pemerintahan, sistem hukum dan demokrasi

Investasi Sosial dan Kebijakan Sosial

Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup

Gambar 1. Isu–isu yang menjadi fokus dan perhatian berbagai lembaga

16

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia


Isu-isu Prioritas

Yayasan TIFA, Juli 2012

|

17


Strategi Lembaga-lembaga Bantuan Pembangunan


IV. Strategi Lembaga-lembaga Bantuan Pembangunan

Perubahan–perubahan seperti apa yang dibayangkan oleh lembaga–lembaga bantuan pembangunan bagi Indonesia yang lebih demokratis, berbasis hukum dan HAM serta lebih bertanggung–jawab? Bagaimana mereka melaksanakan strategi tersebut dan sejauh mana sumberdaya mereka? Dua hal tersebut akan dibahas pada bagian ini. Ulasan terhadap strategi tersebut akan bertumpu kepada salah satu isu prioritas yakni Tata Kelola Pemerintahan yang Demokratis. Penekanan ini sengaja dipilih karena nyaris menjadi fokus atau prioritas dari semua lembaga–lembaga bantuan pembangunan, baik itu multilateral, bilateral, internasional maupun nasional. Hampir semua lembaga misalnya, menyebut korupsi sebagai kendala dan penegakan hukum sebagai tantangan di Indonesia. Selain itu, beberapa kajian baru–baru ini terhadap tren dan koordinasi lembaga donor di Indonesia juga menemukan bahwa fokus lembaga–lembaga tersebut lebih banyak berpusat pada program tata kelola pemerintahan terutama pada reformasi birokrasi atau kepegawaian dan anti–korupsi (lihat Edi dan Setianingtyas, 2007). Strategi

Barangkali, meskipun dinyatakan dalam ungkapan dan formulasi yang berbeda–beda, strategi berbagai lembaga bantuan pembangunan baik multilateral, bilateral, internasional, nasional hingga derma swasta dapat digambarkan dengan kalimat yang ditulis dalam sebuah dokumen salah satu lembaga multilateral: “... bahwa masalah Indonesia bukanlah ketiadaan dana, melainkan bagaimana institusi–institusi terutama sektor publiknya bekerja mewujudkan sumberdaya itu menjadi perbaikan yang nyata dalam keseharian, misalnya saja dalam pelayanan publik”. Sebagai contoh, Badan Program Pembangunan PBB merumuskan tata kelola pemerintahan ke dalam lima wilayah, yakni; (i) integritas institusi politik, birokrasi dan hukum; (ii) akuntabilitas dan keterwakilan dari badan–badan politik; (iii) keterlibatan publik dalam penyusunan kebijakan secara transparan dan inklusif; (iv) pemberdayaan hukum untuk melindungi hak milik dan penyalahgunaan wewenang; serta (v) standar pelayanan publik dan reformasi birokrasi. Sementara itu, Bank Dunia merumuskannya ke dalam dua pokok masalah, yakni; (i) kapasitas kelembagaan;dan (ii) akuntabilitas lembaga tersebut, baik lembaga–lembaga birokrasi, hukum maupun politik. Meskipun yang dituju adalah perubahan–perbaikan pada segi kelembagaan, tidak berarti hal ini merupakan perubahan yang ringan. Di dalamya terdapat tiga level sasaran perubahan, yakni; perubahan kebijakan (first order of change), perubahan kelembagaan (second order of change) dan perubahan operasional (third order of change). Dalam bahasa lain, perubahan yang dituju sesungguhnya dapat melingkupi tiga jenis inovasi, yakni; inovasi produk, inovasi proses dan inovasi mindset. Dari berbagai dokumen strategis dan wawancara dengan berbagaistaf pelaksana program lembaga–lembaga bantuan pembangunan, beberapa ciri tentang arah perubahan itu dapat disarikan dengan singkat ke dalam satu kalimat “the second generation of reform” atau Yayasan TIFA, Juli 2012

|

19


“kualitas demokrasi”yang elemen–elemennya terdiri dari: Pertama, bagaimana Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah (middle income country) dapat mempertahankan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara lebih berkelanjutan dan merata. Berkelanjutan dalam arti (a) berdaya saing tinggi; (b) memiliki iklim investasi yang baik, dan (c) investasi yang memadai dalam infrastruktur. Merata (inclusive) dalam arti pertumbuhan ekonomi dapat menjadi motor bagi pengurangan kemiskinan dan penyerapan tenaga kerja. Kedua, sasaran perubahan tata kelola pemerintahan meliputi perubahan di berbagai kelembagaan baik birokrasi, hukum maupun politik. Termasuk di dalamnya Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan, Parlemen, berbagai Kementerian, Pemerintah Daerah dan DPRD. Ketiga, meskipun lembaga–lembaga bantuan pembangunan multilateral dan bilateral sering mengombinasikanpembaharuan dari atas (supply side) dengan pembaharuan dari bawah (demand side) dengan mengakui peranan masyarakat sipil dan media massa, namun kecenderungan yang dominan adalah reformasi dari atas dan bekerja dengan mitra pemerintah dengan tujuan memfungsikan, mengefektifkan dan membuat lembaga– lembaga pemerintah, hukum dan politik tersebut semakin bertanggung jawab, responsif dan memiliki integritas tinggi.

Strategi

Keempat, ragam perubahan meliputi upaya–upaya untuk memperkuat, memperbaiki dan memberdayakan lembaga–lembaga pemerintah, hukum dan politik melalui berbagai cara dan program. Termasuk di dalamnya, perubahan aturan, perubahan kelembagaan dan perubahan operasional. Dilihat dari mitra yang dipandang sebagai penggerak perubahaan, maka sebagian besar strategi lembaga–lembaga bantuan pembangunan bertumpu kepada pemerintah, lembaga hukum dan lembaga politik. Hanya sedikit dari lembaga bantuan pembangunan multilateral dan bilateral yang memasukkan masyarakat sipil sebagai mitra utamanya.

Lembaga bantuan pembangunan multilateral Badan Pembangunan Internasional Bilateral Lembaga Pengelola Hibah Internasional Lembaga Derma Swasta Internasional Lembaga Pengelola Hibah Nasional

Skala Kecil ( < 10 Juta US )

Skala Menengah ( < 50 Juta US )

Skala Besar ( > 50 Juta US )

Gambar 2. Skala Pendanaan

Untuk mencapai tujuan perubahan tersebut, tentu saja pendanaan merupakan faktor penting dan utama. Dari segi besaran dana, berbagai lembaga bantuan pembangunan kiranya dapat digolongkan ke dalam tiga tipe, yakni: besar, menengah dan kecil. Lembaga–lembaga bantuan pembangunan multilateral dan bilateral pada umumnya

20

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia


beroperasi dengan skala pendanaan besar dan menengah, yakni antara 50 hingga lebih dari 200 juta dollar untuk jangka waktu satu tahun. Sementara lembaga–lembaga pengelola hibah internasional dan derma swasta dapat digolongkan sebagai lembaga menengah dengan skala pendanaan hingga 50 juta dollar per tahun. Adapun skala pendanaan kecil berada di bawah sepuluh juta dollar per tahun. Dari sisi implementasi, program–program yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga bantuan pembangunan tersebut kiranya dapat dikelompokkan ke dalam beberapa model: (a) dalam bentuk pendanaanuntuk mendukung sebuah proyek yang telah disepakati bersama, yang dikelola oleh lembaga pemerintah mitra pelaksana proyek atau program; (b) dalam bentuk nasihat kebijakan sebagai hasil kajian sesuai dengan masalah atau isu yang hendak ditangani; (c) dalam bentuk bantuan teknis, seperti penempatan tenaga ahli dan konsultan dengan beragam cara perekrutan; dan (d) melalui pemberian dana hibah kepada lembaga pemerintah dan non–pemerintah dalam jangka waktu terbatas untuk pelaksanaan suatu kegiatan atau rangkaian kegiatan yang telah disepakati sebelumnya.

Strategi

Dari segi teknis penyaluran dukungan bantuan, modus dominan dari berbagai lembaga bantuan pembangunan bilateral adalah: Pertama, menyalurkan dukungan pendanaan kepada lembaga–lembaga multilateral seperti UNDP, Bank Dunia dan juga ADB, baik melalui mekanisme dana perwalian (trust fund) atau melalui dukungan terhadap bidang–bidang sektoral (Sector Wide Program/ SWP). Lembaga–lembaga seperti DSF (Decentralization Support Facility) maupun MTF (Multilateral Trust Fund untuk proyek bantuan bagi bencana Tsunami di Aceh) merupakan contoh dari forum konsorsium dana perwalian pembangunan yang didukung oleh berbagai badan bantuan pembangunan bilateral seperti DFID dan Kedutaan Besar Belanda. Sementara contoh SWP adalah dukungan kepada sektor pendidikan melalui Kantor Kementerian Pendidikan untuk mencapai taget–target pendidikan, misalnya dukungan lewat proyek Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Kedua, menyalurkan dukungan pendanaan ke dalam anggaran pemerintah melalui unit pelaksana proyek dibawah kementerian atau dinas pemerintah. Ini yang kerap pula disebut sebagai Direct Budget Support (DBS) yang belakangan dipandang sebagai salah satu cara yang baik untuk meningkatkan rasa kepemilikan (ownership) dan harmonisasi sesuai dengan prinsip Efektivitas Bantuan (Action Aid, 2008). Ketiga, menyalurkannya melalui lembaga kontraktor pembangunan swasta seperti Research Triangle Institute (RTI), Chemonics, Cowater International (Kanada) dan sejenisnya. Dan keempat, melalui modus lainnya, yakni pemberian hibah langsung kepada lembaga–lembaga swadaya masyarakat, organisasi–organisasi non–pemerintah, organisasi masyarakat, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian sebagaimana yang dilakukan oleh lembaga–lembaga derma swasta seperti Yayasan Ford dan sebagainya. Untuk saat ini, badan pembangunan internasional Australia kiranya dapat ditetapkan sebagai lembaga bantuan pembangunan bilateral terbesar di Indonesia dengan skala pendanaan hingga 1 milyar dollar Australia. Dari jumlah tersebut, porsi dukungan bantuan pendanaan umumnya disalurkan melalui lembaga kontraktor pembangunan swasta Australia. Meski begitu, saat ini Australia juga sedang merancang penyatuan pengelolaan bantuan dukungan pendanaan melalui model Kemitraan Strategis Indonesia dengan diskresi wewenang yang sangat luas. Model kemitraan strategis ini merupakan “solusi sementara” untuk ekspansi dukungan dan penataan lembaga bantuan pembangunan Australia ke depan.

Yayasan TIFA, Juli 2012

|

21


Terbuka Call for Proposal

Semi Terbuka Pro Aktif

Tender

Tender dan Call for Proposal

Lembaga Bantuan Pembangunan Multilateral Badan Pembangunan Internasional Bilateral Lembaga Pengelola Hibah Internasional Lembaga Derma Swasta Internasional Lembaga Pengelola Hibah Nasional

Gambar 3. Cara Penyaluran Dana

Strategi

Pendekatan Australia ini nampaknya akan segera diikuti oleh badan pembangunan internasional Amerika Serikat. Lembaga ini tengah menyusun kertas rancangan strategis baru yang nampaknya akan mengikuti jejak pendekatan Kemitraan Strategis Amerika Serikat–Indonesia. Disamping sumber pendanaan dari internal, lembaga bantuan pembangunan bilateral Amerika Serikat juga menghimpun dana dari kementerian– kementerian lainnya di Amerika Serikat yang dipadukan dan disalurkan melalui Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika (United States Agency for International Development/USAID). Umumnya hibah bantuan pendanaan dilaksanakan melalui tender terbuka dan bersifat implementasi, misalnya membantu penyiapan perizinan satu atap (one stop services) di 10 Kabupaten/ Kota yang telah menyatakan minat atas dukungan proyek. Contoh proyek lainnya misalnya membantu KPK untuk mengimplementasikan survei dasar (baseline survey) tentang persepsi kepuasan masyarakat terhadap layanan pemerintah daerah. Sementara itu, lembaga–lembaga bantuan pembangunan bilateral Eropa umumnya beroperasi dengan skala pendanaan 400–500 juta euro melalui Dokumen Kertas Strategis yang mencakup periode empat hingga lima tahun. Sebagian besar dana (hingga 80%) dialokasikan kepada badan pemerintah seperti Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) maupun Badan Program Pembangunan PBB (United Nations Development Programme/UNDP). Sekitar 10–15% dari total pendanaan ditujukan untuk lembaga–lembaga pengelola bantuan pembangunan internasional yang umumnya berasal dari negara–negara anggota Uni Eropa (misalnya saja Oxfam Inggris Raya). Selebihnya, dana yang tersisa diberikan bagi hibah kepada kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia. Sisa pendanaan ini biasanya berkisar antara seratus hingga 500 ribu euro dan ditujukan bagi proyek–proyek tematis yang telah ditentukan sebelumnya. Biasanya proyek–proyek tematis ini dapat memakan waktu enam hingga delapan bulan dalam proses administrasinya. Lamanya proses administrasi seringkali membatasi kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia untuk mendapatkan dukungan pendanaan, selain persyaratan mekanisme penerimaan hibah yang juga mensyaratkan berbagi pendanaan (co–sharing) lembaga antara 5–15% dari total nilai proyek. Dengan seluruh pengambilan keputusan hibah yang ditentukan di kantor pusat Uni Eropa di Brusells, kantor–kantor perwakilan negara pada umumnya hanya berfungsi sebagai kantor kepatuhan (compliance office).

22

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia


Sedikit berbeda dari lembaga–lembaga bantuan pembangunan bilateral, lembaga–lembaga pengelola hibah internasional pada umumnya beroperasi sebagai pengelola hibah internasional dengan skala pendanaan kecil dan menengah. Salah satu lembaga pengelola hibah internasional dari Eropa misalnya bekerja dengan skala pendanaan tiga hingga empat juga euro per tahun. Meski beroperasi dengan skala terbatas, mereka umumnya mengklaim diuntungkan oleh sumber daya manusianya yang unik dan gigih. Selain itu, kelebihan lainnya juga terletak pada sistem database kearsipannya yang sangat rapih. Cara kerja dan pengelolaan bantuan lembaga–lembaga pengelola hibah internasional ini menyerupai organisasi–organisasi non–pemerintah meski beroperasi pada wilayah kawasan dan secara global. Walau tidak memberlakukan mekanisme permintaan proposal secara khusus atau berkala, lembaga–lembaga ini cukup terbuka terhadap inisiatif–inisiatif dari kelompok– kelompok masyarakat sipil. Perhatian dukungan mereka ditujukan kepada kelompok– kelompok masyarakat sipil dan organisasi kecil dan menengah dengan skala dukungan pendanaan bervariasi antara seratus hingga tiga ratus juta rupiah per tahun. Lembaga bantuan pembangunan internasional ini juga melakukan mekanisme pengelolaan hibah kemitraan pro–aktif meski dengan tekanan prioritas seleksi bagi kemitraan kelompok– kelompok masyarakat sipil berbasis keanggotaan komunitas.

Strategi

Lembaga–lembaga pengelola hibah internasional ini juga menekankan programnya pada sisi pembaharuan dari bawah (demand side) ketimbang perhatian dari atas (supply side). Meski beberapa dukungan mereka seringkali juga ditujukan bagi lembaga–lembaga quasi negara seperti Komisi Nasional Perempuan dan sejenisnya. Pemilihan wilayah perhatian bagi dukungan bantuan biasanya tidak berdasarkan pada suatu strategi intervensi tertentu namun cenderung didorong oleh warisan jaringan lembaga–lembaga dengan asal negara yang sama. Beberapa prioritas perhatian lembaga nampaknya masih akan dilanjutkan misalnya saja dukungan bagi peningkatan kapasitas kelompok–kelompok masyarakat sipil. Mereka juga pada umumnya percaya bahwa peningkatan kapasitas merupakan cara tercepat dalam mentransformasikan pengetahuan (the fastest transfer of knowledge). Adapun tumbuhnya lembaga–lembaga pengelola hibah nasional kiranya layak menjadi catatan tersendiri. Lembaga–lembaga ini beroperasi secara mandiri sebagai entitas nasional untuk turut mendukung pencapaian tujuan–tujuan pembangunan. Misalnya saja, lembaga–lembaga pengelola hibah nasional yang bergerak di bidang lingkungan hidup, pembaharuan tata kelola pemerintahan dan penguatan demokrasi kewargaan. Mereka biasanya beroperasi dengan skala kecil dalam pendanaan empat hingga lima puluh milyar rupiah per tahun dan ditujukan untuk mendukung kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia. Kelebihan lembaga ini adalah kelihaiannya dalam memobilisasi sumber– sumber pendanaan. Salah satu dari mereka misalnya dipercaya untuk mengelola dana abadi yang didapatkan dari lembaga bantuan pembangunan bilateral. Dana abadi ini selanjutnya dikembangkan ke dalam bentuk reksa dana dan ditawarkan kepada dunia usaha dan publik luas untuk memperbesar skala pendanaan lembaga hingga satu dekade ke depan. Selain pengembangan dana abadi, mobilisasi sumber pendanaan juga dilakukan melalui dukungan terhadap program–program yang bersifat investasi, misalnya saja pendidikan sejak usia dini. Intervensi ini membangun konstituensi yang tebal dan diharapkan menjadi potensi bagi pengembangan sumber–sumber pendanaan berikutnya. Pada satu sisi, pengalaman ini menunjukkan kekuatan untuk selalu menciptakan peluang pendanaan alternatif dari berbagai intervensi lembaganya. Modal utamanya adalah kreatifitas. Di sisi lain,

Yayasan TIFA, Juli 2012

|

23


penyaluran bantuan hibah justru dilakukan dengan skala yang relative kecil yang sekaligus menunjukkan prioritas kepada penggalangan ketimbang distribusi dana bantuan. Meski begitu, tidak semua inisiatif lembaga pengelola hibah nasional senantiasa mencetak kisah sukses. Salah satu kasus lembaga pengelola hibah nasional baru–baru ini kiranya memberikan pelajaran yang berharga tentang bagaimana dukungan bagi kelompok– kelompok masyarakat sipil mengalami penurunan dan telah mendorong lembaga untuk memerankan fungsi menjadi lembaga penerima ketimbang pengelola bantuan hibah. Lembaga ini awalnya dirancang untuk menjadi lembaga pengelola hibah untuk masyarakat sipil dengan dukungan sumber pendanaan utama dari salah satu lembaga bantuan pembangunan bilateral. Penurunan dukungan pada satu sisi dipandang sebagai menurunnya komitmen dari lembaga bantuan pembangunan bilateral yang telah menjadi mitra selama lebih dari satu dekade. Di sisi lain, penurunan tersebut juga dikarenakan perkembangan lembaga pengelola hibah nasional yang dipandang tidak tumbuh sebagaimana yang diharapkan. Kasus ini menunjukkan tidak adanya kesepakatan tentang ukuran atau patokan atas bagaimana sebuah lembaga bantuan pembangunan nasional pengelola hibah idealnya tumbuh dan berkembang. Misalnya saja pada soal bagaimana kerjasama dukungan tersebut telah memperkuat kapasitas staff lembaga ataupun memungkinkan keberlanjutannya di masa mendatang.

Strategi

Dari pembahasan di atas, kiranya patut dicatat beberapa tren yang mengemuka selama lima hingga sepuluh tahun terakhir ini. Pertama, tentang peranan yang dominan dari berbagai lembaga kontraktor swasta yang semakin hari semakin mengambil alih peranan lembaga– lembaga pengelola hibah internasional. Kontraktor pembangunan swasta kini senantiasa menjadi mitra pelaksana program lembaga–lembaga bantuan pembangunan internasional seperti Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika, Australia, Kanada dan sebagainya. Lembaga–lembaga seperti Research Triangle Institute (RTI), Chemonics, Management Systems International (MSI) Inc, dan sejenisnya bukanlah merupakan gejala baru, akan tetapi dalam pelaksanaan proyek–proyek berskala besar ia kini telah menjadi salah satu aktor utama. Dana–dana dari lembaga–lembaga bantuan pembangunan bilateral disalurkan melalui mekanisme tender dimana mereka tampil sebagai pemenangnya. Proyek–proyek yang dimenangkan bukan hanya terbatas kepada proyek tata pemerintahan, akan tetapi juga mencakup proyek–proyek yang berkaitan dengan masalah–masalah penegakan hukum, misalnya proyek penguatan kelembagaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung hingga proyek yang berkaitan dengan demokrasi seperti penguatan institusi parlemen. Kedua, tren lain yang semakin mengemuka adalah upaya–upaya untuk memperkuat kooordinasi antar donor dan harmonisasi di antara lembaga–lembaga bantuan pembangunan ke dalam satu hingga dua isu prioritas, misalnya melalui model fasilitas dukungan (support facility) yang sesunguhnya merupakan konsorsium lembaga–lembaga bantuan pembangunan bilateral untuk perbaikan atas tema–tema pembangunan tertentu, misalnya desentralisasi, pemberdayaan masyarakat dan pengurangan kemiskinan. Biasanya lembaga–lembaga bantuan pembangunan bilateral akan menaruh dana dan selanjutnya menunjuk salah satu lembaga sebagai wali mereka. Misalnya saja DSF (Decentralisation Support Facility) yang dikoordinasi oleh Bank Dunia dan mengelola dana dari berbagai sumber. Meski demikian, kajian terhadap DSF baru–baru ini menunjukkan bahwa model koordinasi dan harmonisasi tidak selalu berhasil baik karena kendala di dalam birokrasi lembaga–lembaga bantuan pembangunan itu sendiri, maupun kendala yang berasal dari dalam birokrasi pemerintah (Winters, 2012).

24

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia


Demikian halnya dengan PSF (PNPM Support Facility) yang dikoordinasikan oleh lagi–lagi Bank Dunia untuk menunjang perluasan program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Dalam praktiknya, Bank Dunia sesungguhnya sedang mengelola dana perwalian (trust fund) yang berasal dari lembaga–lembaga bantuan pembangunan bilateral. Metode dan strategi semacam ini telah membawa dampak kepada sumber–sumber pendanaan bagi kelompok–kelompok lembaga pengelola bantuan pembangunan internasional maupun nasional. Alih–alih, dana–dana hibah akan lebih disalurkan kepada lembaga seperti Bank Dunia meski sumber–sumber pendanaan tersebut juga dapat berasal dari pemerintah asal lembaga–lembaga pengelola bantuan pembangunan internasional. Ketiga, pada sisi pendekatan geografis atau cakupan wilayah, hampir semua lembaga– lembaga bantuan pembangunan bekerja di seluruh wilayah Indonesia dan di tingkat nasional. Meski begitu, terdapat pula beberapa lembaga yang secara khas memberikan perhatian kepada pendekatan geografi dan wilayah kerja tertentu, misalnya Badan Pembangunan Internasional Kanada (CIDA) memusatkan hampir seluruh dukungan bantuan pembangunannya di Pulau Sulawesi. Atau pada kasus Badan Pembangunan Internasional Australia (Ausaid) yang secara khas memberi perhatian yang lebih kepada Kawasan Timur Indonesia (KTI) seperti NTT, NTB, Sulawesi, Maluku dan Papua.

Strategi

Keempat, dari sudut pandang demokrasi, HAM dan kelompok–kelompok masyarakat sipil, hal lain yang penting dicatat adalah sebuah tren menurunnya kuantitas dukungan bagi kelompok–kelompok masyarakat sipil yang bekerja di bidang demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Kajian Edward Aspinal (2010) menunjukkan bahwa jumlah dana untuk sektor demokrasi, HAM dan dukungan kepada kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia semakin hari semakin menurun. Sebagai gambaran, sebelumnya telah diuraikan hampir 80% dana–dana bantuan dari lembaga–lembaga bantuan pembangunan multilateral Eropa misalnya dialokasikan kepada lembaga–lembaga pemerintah dengan Bappenas sebagai penerima utamanya. Dan hanya sekitar lima persen sisanya yang dialokasikan untuk kelompok–kelompok masyarakat sipil baik melalui pengelolaan hibah oleh lembaga– lembaga pengelola hibah internasional maupun langsung ditujukan sebagai hibah bagi kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia. Tabel 2. Matriks Strategi MITRA

PENDEKATAN

Lembaga bantuan pembangunan multilateral

G

Badan Pembangunan Internasional Bilateral

G

C

R

R

Lembaga Pengelola Hibah Internasional

G

C

R

R

Lembaga Derma Swasta Internasional

G

C

R

R

Lembaga Pengelola Hibah Nasional

G

C

WAKTU

SKALA

PENYALURAN

R

R

G

Institusi Pemerintah, Hukum dan Politik

R

C

Masyarakat Sipil

R

Reform from Above ( pembaruan dari atas ) Reform from Below ( pembaruan dari bawah )

Panjang / lebih dr 3 Tahun

Besar / > USD 50 Juta

Menengah / 3 Tahun

Menengah /< USD 50 Juta

Pendek / kurang dr 3 Tahun

Kecil / < USD 10 Juta

Tender Langsung & Kompetitif

Yayasan TIFA, Juli 2012

|

25


Bagaimana kita memandang strategi dan implementasi lembaga–lembaga bantuan pembangunan tersebut? Sudahkah strategi tersebut merupakan lingkungan yang cocok bagi kebutuhan masyarakat sipil Indonesia? Pada tingkat pelaksanaan, meminjam daftar periksa Rothstein (1998) terdapat tiga elemen untuk memeriksa dan melakukan penilaian. Ketiga elemen itu masing–masing; (a) desain program; (b) organisasi untuk pelaksanaannya; dan (c) legitimasi program. Desain program mengandung dua ragam rencana yang perlu dibedakan dan memang berlainan, yakni rencana yang bersifat pengaturan (regulatory) dan intervensi dalam cara–caranya. Sementara rancangan tersebut dapat menghadapi kondisi yang statis maupun dinamis. Dalam hal organisasi pelaksanaan, dua macam pendekatan dapat diidentifikasi, yakni organisasi sebagai sistem insentif serta organisasi sebagai sebuah sistem norma. Dalam kaitan tersebut, dikenal istilah pelepasan tanggung–jawab (responsibility drift) oleh sebuah organisasi atau unit di dalam organisasi. Hal ini berkaitan dengan kasus–kasus yang disebut sebagai lubang hitam demokrasi (democracy black hole), yakni keputusan tentang sebuah kebijakan yang diambil dalam situasi ketiadaan tanggung–jawab baik secara politik maupun adminsitratif.

Strategi

Bagaimana dengan aspek legitimasi. Aspek legitimasi dapat didekati dari sisi, yakni; (i) hasil dari sebuah kebijakan; maupun (ii) relasi keuangan, dalam hal ini sumberdana yang digunakan.Dengan kata lain, strategi perubahan berbagai lembaga bantuan pembangunan nampaknya banyak bergulat pada dua aspek utama di atas, yakni pada desain kebijakan dan organisasi pelaksanaan, baik substansi maupun prosesnya. Pada derajat tertentu, berbagai kelemahan atau “penyakit” dalam hal desain dan organisasi pelaksanaan telah ditemukan dan percobaan–percobaan untuk mengobatinya juga telah dilakukan. Tingkat keberhasillan atau dampaknya hingga hari ini masih menjadi perdebatan, baik karena masalah pengukuran, atribusi maupun kriteria yang berlainan.Namun demikian, satu aspek utama yang belum menjadi perhatian penuh adalah pada sisi legitimasinya. Secara sederhana, dana dari lembaga–lembaga bantuan pembangunan memiliki kemiripan dengan dana dari minyak dan gas bumi, yakni mudah didapat dan tidak memerlukan akuntabilitas dari bawah, ketimbang misalnya mengumpulkan dan mengelola dana pajak dari warga negara. Tanpa mekanisme yang tepat, dana–dana bantuan pembangunan ini dapat menjauhkan negara dari warganya seperti pada kasus rente minyak, sehingga pengembangan kelembagaan yang akuntabel dan responsif ke bawah terasa sulit untuk dibangun dan diperkuat. Aspek legitimasi dari berbagai program lembaga–lembaga bantuan pembangunan dapat saja diperkuat jika terdapat strategi yang semakin mendorong akuntabilitas dari bawah terhadap berbagai lembaga birokrasi, hukum dan politik. Pergeseran sumber dana pembangunan dari minyak dan gas bumi (rente alam) ke sumber dana perpajakan merupakan salah satu cara strategis untuk mendorong pemerintah semakin bergantung dan akuntabel kepada warga negara (Brautigam, Fjeldstad and More, 1998). Selain itu, legitimasi juga dapat diperkuat apabila tersedia strategi yang mendorong terciptanya desakan dari bawah, melalui penciptaan konstituen penerima manfaat, misalnya melalui distribusi hasil rente minyak dan gas alam dalam bentuk transfer tunai langsung (cash transfer) kepada warga negara (Moss, 2011). Sejalan dengan analogi tersebut, satu defisit yang nampak dari berbagai strategi dan pendekatan lembaga–lembaga bantuan pembangunan terhadap kelompok–kelompok

26

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia


masyarakat sipil di Indonesia adalah ketiadaan strategi yang mendorong terciptanya mekanisme pendanaan dari pemerintah Indonesia sendiri, terutama bagi kelompok– kelompok masyarakat sipil baik melalui mekanisme tender maupun mekanisme hibah langsung kompetitif. Hampir tidak ada lembaga–lembaga bantuan pembangunan yang memiliki rencana atau gagasan untuk mendorong bagaimana mekanisme pendanaan bagi kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia bisa ditemukan, termasuk opsi sumber pendanaan dari APBN maupun perusahaan swasta. Uji coba opsi sumberdana APBN misalnya dapat ditujukan kepada upaya perbaikan lingkungan, perlindungan konsumen hingga bantuan hukum bagi warga rentan. Sementara, mengingat besarnya volume dana APBN, maka percobaan dengan dana 100–500 miliar rupiah per tahun bagi kelompok–kelompok masyarakat sipil secara kompetitif akan mengubah dan mendemokratisasikan hubungan antara negara dan masyarakat sipil, dari relasi statis dan patronase politik menuju relasi hak.

Strategi

Yayasan TIFA, Juli 2012

|

27


Implikasi bagi Kelompokkelompok Masyarakat Sipil di Indonesia


V.

Implikasi bagi Kelompok-kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia

Membaiknya kedudukan Indonesia secara politik dan ekonomi serta berubahnya ketentuan dan regulasi serta mekanisme dana bantuan pembangunan, secara keseluruhan telah membuat suara Indonesia semakin sejajar dengan suara negara–negara pemberi bantuan pembangunan. Dengan kata lain, lembaga–lembaga bantuan pembangunan kini akan lebih banyak menyesuakan diri atau melakukan harmonisasi terhadap fokus dan target–target pemerintah Indonesia. Harmonisasi dan penyesuaian itu bukanlah sesuatu yang buruk atau keliru. Hal ini sudah tepat dan dapat menumbuhkan rasa kepemilikan dan keberlanjutan, serta hasil–hasil dan manfaat yang lebih baik. Namun demikian, pada level operasi dan pelaksanaan hal tersebut juga dapat berujung pada pembajakan (capture) oleh birokrasi. Apalagi dalam situasi dimana birokrasi pemerintah masih jauh dari etika publik, integritas dan akuntabilitas. Kritik atau koreksi kepada strategi dan operasi lembaga–lembaga bantuan pembangunan telah cukup banyak. Studi William Easterly (2002) misalnya, memberi peringatan kepada lembaga–lembaga bantuan pembangunan multilateral dan bilateral terutama Bank Dunia, atas apa yang disebutnya sebagai “Kartel Niat Baik” (Cartel of Good Intentions).

Implikasi

Disebut kartel, sebab tidak ada persaingan diantara pelaku dan konsumen kesulitan atau tidak memiliki peluang untuk menagih akuntabilitas mereka. Disebut niat baik, lantaran memang bertujuan untuk memperbaiki keadaan mulai dari pengurangan kemiskinan hingga penegakan hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, meski niatnya baik, dalam kaitan strategi dan operasinya mereka terjebak ke dalam situasi pembajakan oleh birokrasi lembaga bantuan itu sendiri (aid bureaucracy). Relevansi Kartel Niat Baik di Indonesia terutama tampak pada wilayah Demokrasi, HAM dan Tata Kelola Pemerintahan. Selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, dana–dana bantuan pembangunan kepada institusi pemerintah seperti Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan berbagai kementerian maupun lembaga serta partai–partai politik ternyata tidak kunjung membuahkan hasil yang memadai, kecuali perubahan di dalam lembaga Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi, serta pada derajat tertentu, reformasi birokrasi di Departemen Keuangan. Lagipula, lembaga–lembaga bantuan pembangunan juga akan lebih terikat dengan agenda dan kebijakan pemerintah Indonesia. Implikasi lainnya adalah, lembaga–lembaga bantuan pembangunan akan cenderung bermitra dan/atau memberikan bantuan pendanaan kepada pemerintah ketimbang misalnya kepada lembaga–lembaga swadaya masyarakat sipil atau kelompok–kelompok mandiri seperti universitas, lembaga penelitian di luar pemerintah maupun kelompok–kelompok swasta atau bisnis. Lembaga bantuan pembangunan multilateral dan bilateral menggunakan dana yang besar dan memilih untuk bekerjasama dengan pemerintah ketimbang masyarakat dalam kurun waktu yang panjang antara tiga hingga lima tahun. Secara khusus, proyek–proyek lembaga–lembaga bantuan pembangunan tersebut beroperasi dengan cara tender dengan kontraktor–kontraktor Yayasan TIFA, Juli 2012

|

29


konsultan sebagai pelaksananya. Kebanyakan kelompok–kelompok masyarakat sipil hanya mendapatkan peran sebagai sub–pelaksana atau seringkali hanya pelengkap dari berbagai kegiatan. Secara khusus, bagaimana implikasi tren bantuan pembangunan dan pendaaan tersebut bagi masyarakat sipil Indonesia? Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, semakin kaya sebuah negara kelas menengah, maka masalah pembangunan bukanlah lagi soal ketiadaan dana atau sumberdaya, namun justru pada kendala distribusi dari sumberdaya daya tersebut. Bila tidak segera diatasi, hal ini hanya akan menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi yang dapat memicu ketegangan sosial atau instabilitas. Oleh karena itu, peranan kelompok–kelompok masyarakat sipil menjadi semakin penting, yakni; (a) untuk mendorong akuntabilitas negara kepada kelompok–kelompok miskin dan marjinal; maupun (b) guna memastikan penghormatan dan penegakan Hak Asasi Manusia. Kegagalan dukungan bagi kelompok–kelompok masyarakat sipil dapat menghilangkan legitimasi lembaga–lembaga–lembaga bantuan pembangunan itu sendiri (Glennie, 2011). Di Indonesia, observasi ini kiranya sangat relevan. Alih–alih mengurangi kesenjangan, kemajuan–kemajuan pada sistem politik formal Indonesia yang diwakili oleh kinerja partai politik (parpol) dan parlemen pada kenyataannya masih belum menunjukkan berkurangnya ketimpangan sosial ekonomi di masyarakat. Salah satu sebabnya, antara lain, karena parpol Indonesia belum bertumpu pada program dan pemecahan masalah (problem solving). Dengan kata lain, partai–partai politik di Indonesia masih cenderung berorientasi ke dalam atau melayani dirinya sendiri, berperilaku transaksional untuk kepentingan pribadi, pemimpin maupun kelompoknya ketimbang untuk program dan kebijakan yang dapat memperbaiki derajat kebebasan dan tingkat kesejahteraan seluruh dan setiap warga negara, laki–laki dan perempuan, kaya atau miskin.

Implikasi

Seperti halnya tujuan berbagai lembaga bantuan pembangunan, kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia juga memimpikan Indonesia ke arah yang lebih demokratis, berbasis hukum dan HAM, toleran dan tumbuh dengan kapasitas warga negaranya yang kuat. Dalam kaitan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan sarana dan bukanlah tujuan. Pertumbuhan ekonomi akan tidak bermakna jika status sosial warga negara Indonesia tidak meningkat sebagaimana tercermin dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pertumbuhan ekonomi tidak berarti jika diskriminasi kepada berbagai kelompok warga negara tidak dapat diatasi oleh negara. Yang penting dan tengah diperjuangkan oleh kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia adalah kemajuan yang nyata dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia dan demokrasi, termasuk di dalamnya, diakhirinya impunitas bagi para pelanggar HAM, partisipasi kaum perempuan dan kelompok rentan dan marjinal, perlindungan terhadap kebhinekaan Indonesia, perubahan radikal dalam hal kapasitas dan akuntabilitas pemerintah, termasuk didalamnya pengurangan tingkat korupsi serta keberlanjutan ekologi Indonesia dari berbagai kebijakan dan pengerukan sumberdaya alam. Slogannya kini mungkin bukan lagi Liberty, Equality and Fraternity, namun justru Liberty, Equality and Ecology. Dengan semangat masyarakat terbuka, maka negara dan masyarakat yang dibayangkan oleh kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia adalah suatu keadaan dimana nilai–nilai kebebasan dan kesetaraan dapat ditunaikan secara bersama–sama. Pada tingkat kelembagaan, peran pemerintah yang optimal menjadi syaratnya, yaitu sedikit campur

30

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia


tangan dalam ekonomi dan hal–hal privat seperti keyakinan beragama dan konsepsi tentang hidup yang baik. Akan tetapi, di saat yang sama, negara juga harus memiliki kemampuan dan kecakapan untuk menegakkan hukum, memelihara keamanan dan ketertiban guna menjamin terciptanya masyarakat yang kohesif dan rukun. Setiap individu dihargai dan dilindungi, untuk meraih kesempatan yang setara bagi seluruh warga negara. Dalam kaitan tersebut, isu–isu prioritas dari lembaga–lembaga bantuan pembangunan sebelumnya baru menunjukkan dua upaya besar, yakni; (a) mendorong institusi–institusi birokrasi, hukum dan politik agar dapat bekerja dengan baik dan efektif; serta (b) merubah atau memperbaiki institusi–institusi tersebut agar dapat akuntabel, transparan dan responsif. Keduanya merupakan ciri–ciri dari pemerintah yang baik (good government). Pada kenyataannya, hanya sedikit lembaga bantuan pembangunan yang mendorong isu prioritas (c) merubah institusi–institusi itu untuk dapat bekerja dengan efektif, akuntabel sekaligus imparsial. Imparsialitas artinya lembaga–lembaga birokrasi dan penegakan hukum memperlakukan, melayani serta menyediakan hak kepada warga tanpa pandang bulu. Mereka yang miskin dan kaya diperlakukan secara setara. Kaum perempuan dihargai sama dengan kaum laki–laki, anak–anak dan lansia (equal concern and respect). Karena itu, hendaknya yang menjadi isu prioritas bukanlah pemerintah yang baik (good government), akan tetapi pemerintah yang berkualitas (quality of government). Tanpa imparsialitas dari berbagai kebijakan dan operasi berbagai lembaga birokrasi, hukum dan politik, maka legitimasi pemerintahakan semakin lemah. Imparsialitas ini penting dan mewakili dua soal, yaitu diskriminasi dan ekslusi yang dialami setiap hari oleh kelompok marjinal, mereka yang miskin, kaum perempuan, minoritas, lansia, penyandang cacat dan anak–anak. Imparsialitas barangkali mewakili satu kata yang hilang dalam seluruh perilaku, pola pikir dan motif dari berbagai lembaga–lembaga birokrasi, hukum dan politik. Pemerintah yang baik wajib memiliki kapasitas dan akuntabilitas yang memadai. Namun, pemerintah semacam ini masih akan disandera oleh sikap diskriminatif dan ekslusi baik karena alasan suku, patronase politik maupun alasan–alasan lainnya. Imparsialitas karenanya, wajib dimiliki dan menjadi pola pikir kolektif dari berbagai institusi negara. Implikasi

Secara skematik, berdasarkan apa yang sedang berlangsung dalam operasi lembaga– lembaga bantuan pembangunan, dapatlah disusun dua model skenario atau pendekatan. Pertama, model Tata Kelola pemerintahan dengan ciri khas pemerintah dan institusi negara sebagai sekutu utamanya, sasaran perubahan sekaligus penggerak perubahan. Kedua, model Demokrasi, yang sebaliknya lebih mengandalkan tenaga dan inovasi kelompok–kelompok masyarakat sipil, organisasi–organisasi non–pemerintah, universitas, media massa hingga masyarakat bisnis. Skenario pertama akan berarti ruang gerak yang semakin sempit bagi masyarakat sipil dan hanya melalui upaya yang beratlah masyarakat sipil masih dapat bekerja dan memberikan sumbangan meski berada dipinggir. Sementara skenario kedua dapat membuka ruang– ruang yang lebih luas bagi upaya–upaya kreatif dari masyarakat sipil untuk melakukan advokasi dan perubahan–perubahan di berbagai wilayah dan dalam banyak skala kebijakan maupun kelembagaan. Dengan kata lain, skenario pertama tersebut cukup layak (feasible) karena telah dilakukan selama bertahun–tahun dan memiliki pendukungnya sendiri baik di kalangan lembaga–lembaga bantuan pembangunan maupun pemerintah. Namun, skenario ini belum tentu yang diinginkan (desirable)oleh kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia. Sebaliknya,skenario kedua boleh jadi sangat diinginkan (desirable), meski belum tentu cukup layak (feasible), karena gagasan dan tradisi statis dikalangan birokrat Yayasan TIFA, Juli 2012

|

31


serta patronase politik di kalangan politisi dan para pengambil kebijakan dapat saja resisten kepada model kedua ini. Skenario a la tata kelola pemerintahan yang meletakkan seratus persen kepercayaan kepada kaum pembaharu dari dalam tubuh lembaga birokrasi, hukum dan politik harus diimbangi dan dibarengi dengan model intervensi ala demokrasi, yang menaruh kepercayaan dan inovasi dari para pembaharu dan gagasan di luar birokrasi, seperti; kelompok–kelompok masyakat sipil, masyarakat bisnis dan media massa. Jika tidak, maka skenario ini akan sangat rentan terhadap pembajakan oleh birokrasi dan lembaga–lembaga negara lainnya seperti lembaga–lembaga hukum dan politik. Kecuali juga ditempuh cara–cara lain dimana sumberdaya tidak diletakkan seluruhnya ke tangan mereka, tetapi disebarkan pula kepada aktor–aktor lain di luar birokrasi dan lembaga–lembaga negara lainnya.

Implikasi

Tabel 3. Dua Opsi Strategi DIMENSI

MODEL TATA KELOLA PEMERINTAHAN

MODEL DEMOKRASI

Kendala Utama

Aktor / Agensi

Aktor dan gagasan

Asumsi Perubahan

Kecukupan kaum pembaharu di dalam institusi negara

Kecukupan gagasan dan pembaharu di masyarakat

Penggerak Perubahan

Negara (state building)

Masyarakat dan Negara

Legitimasi

Formal prosedural

Substansial dan Sosial

Mitra

Institusi pemerintah: birokrasi, hukum dan politik

Institusi masyarakat : organisasi non–pemerintah, universitas, media massa dan warga negara

Intervensi

Inovasi dan modernisasi institusi

Inovasi gagasan dan institusi

Skala Dana

Besar

Menengah

Penyaluran Dana

Tender atau penawaran

Langsung dan Kompetitif

Sumber Dana

Internasional

Internasional dan Nasional

Keberlanjutan

Penyertaan pembiayaan (co–finance) dari APBN/APBD

Mekanisme hibah kompetitif dari APBN/APBD dan Dana Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR)

Akuntabilitas

Teknikal

Teknikal dan Sosial

Selain itu, intervensi lembaga–lembaga bantuan pembangunan sebaiknya juga dibarengi dengan perubahan terhadap pola pikir birokrasi (legitimasi, imparsialitas dan integritas), atau bukan hanya sekedar perubahan operasional (misalnya komputerisasi) maupun kelembagaan (misalnya reformasi penggajian pegawai negeri, keterbukaan informasi, dan lain–lain). Perubahan di tingkat operasional dan kelembagaan adalah perlu namun belum memadai dan tidak berkelanjutan. Beberapa lembaga–lembaga bantuan pembangunan telah memulai hal ini dengan kata kunci “penguatan sektor pengetahuan”.

32

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia


Sementara skenario model demokrasi mensyaratkan perubahan dan diversifikasi terhadap sumber–sumber dukungan pendanaan bagi kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia misalnya saja dari anggaran negara. Meski, tentulah akan tidak mudah untuk melakukan realokasi anggaran negara baik di tingkat nasional maupun daerah dan segera mendistribusikannya sebagai hibah kompetitif kepada kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia. Hal ini juga memerlukan peran dan campur tangan dari kaum pembaharu di dalam pemerintah sendiri. Tanpa itu, model demokrasi tidak dapat lekas terwujud. Secara pendanaan, Indonesia kini bukanlah negara yang miskin. Indonesia memiliki ruang pendanaan yang cukup memadai. Dengan anggaran yang telah melampaui 1.000 triliun rupiah per tahun, Indonesia sangat mampu membiayai berbagai program dan kegiatan yang dilaksanakan langsung oleh berbagai kelompok masyarakat sipil untuk tujuan menciptakan barang–barang publik, misalnya; perbaikan kualitas lingkungan hidup, perlindungan konsumen, pengurangan kemiskinan, hingga perlindungan sosial bagi seluruh warga negara. Beberapa diantaranya dapat dilakukan dengan cara mendorong andil dan iuran dari anggaran negara di tingkat nasional maupun daerah. Bentuknya dapat beragam dan bisa dimulai dari mekanisme hibah kompetitif sebagaimana yang telah lama dipraktikkan oleh negara–negara anggota OECD. Andil dana ini penting bukan saja dari segi jumlah, akan tetapi juga sebagai bentuk dan wujud legitimasi, yaitu bagaimana prinsip dan cara untuk merubah relasi yang statist maupun model patronase politik untuk menjadi relasi hak antara negara dengan warga negaranya.

Implikasi

Yayasan TIFA, Juli 2012

|

33


Rekomendasi dan Jalan ke Depan


VI. Rekomendasi dan Jalan ke Depan

Kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia adalah kekuatan sosial yang tumbuh dari dalam (home grown) dan dimotori oleh kalangan menengah perkotaan dan berpendidikan. Namun demikian kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia bukanlah aktor yang serba sempurna. Sebaliknya ia juga memiliki banyak kelemahan–kelemahan internal baik soal kapasitas maupun model kelembagaannya. Hans Antlov, dkk (2008) misalnya menyebut beberapa defisit dalam kelompok–kelompok masyarakat sipil di Indonesia, antara lain; (i) terlalu mengandalkan diri pada metode konfrontasi; (ii) kapasitas lembaga yang lemah karena terlalu mengandalkan tipe kepemimpinan–pengikut yang menghambat pelembagaan dan regenerasi, serta (ii) kurangnya kerjasama antar kelompok–kelompok masyarakat sipil sehingga gagal atau tidak berhasil dalam mencapai dampak yang lebih besar. Di sisi lain, demokrasi dan pembangunan di Indonesia dan dimana saja bukanlah suatu proses yang linier antara input, proses terhadap output, akan tetapi juga melibatkan proses politik dengan berbagai aktor dan gagasan. Misalnya saja, proses perubahan kebijakan umumnya memerlukan tiga elemen, yakni; peristiwa politik (pemilu atau krisis ekonomi), pengakuan adanya masalah, serta usulan kebijakan (Stone, 2007). Bantuan pembangunan sekurang–kurangnya dapat berperan dalam dua hal, yaitu mendorong adanya usulan kebijakan oleh warga negara dan kelompok–kelompok masyarakat sipil, serta mendorong elite politik dan pemerintahan untuk mengagendakan pembahasannya. Dalam proses itu, demokrasi yang berjalan setidaknya setiap lima tahun sekali menyediakan celah sempit bagi perubahan.

Rekomendasi

Pada titik inilah peran kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia menjadi krusial, yaitu memastikan bahwa elite politik menggunakan momentum politik untuk memperbaiki keadaan. Atas dasar pengalaman empiris warga negara, kelompok–kelompok masyarakat sipil dapat berperan untuk mendorong dan memunculkan kehendak politik dari para elite melalui berbagai kegiatan baik melalui advokasi kebijakan publik maupun penyediaan pengetahuan dan model–model inovasi yang baik. Dengan kata lain, ada banyak titik dan ruang yang konvergen antara kelompok–kelompok masyarakat sipil, lembaga–lembaga bantuan pembangunan dan pemerintah. Demikian halnya antara kualitas pemerintah, kualitas demokrasi dan peran pemerintah yang optimal. Konvergensi tujuan ini dapat ditingkatkan dari proposisi teori yang abstrak menjadi sikap dan aksi bersama. Namun demikian, konvergensi tetap harus menyediakan kebebasan bagi perbedaan pendekatan, dan metode terhadap pemecahan masalah. Hendaknya, tidak terdapat dominasi atau hegemoni antara satu pihak dengan lainnya. Pendekatan pembaharuan dari atas sama pentingnya dengan pembaharuan dari bawah, demikian sebaliknya. Oleh karena itu, prinsip kemitraan dan saling melengkapi hendaknya menjadi semangat yang patut diwujudkan. Dalam kaitan tersebut, berikut adalah beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan oleh semua pihak baik pemerintah, lembaga bantuan Yayasan TIFA, Juli 2012

|

35


pembangunan maupun kelompok–kelompok masyarakat sipil guna mendorong peran yang lebih luas dan meningkat bagi kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia di masa lima hingga sepuluh tahun mendatang. Kepada Pemerintah 1. Pemerintah yang demokratis yang dipilih dalam pemilu setiap lima tahun sekali berkepentingan agar semakin dipercaya oleh warga negaranya. Sebaliknya, warga negara semakin dituntut untuk mematuhi kewajiban membayar pajak sebagai kewajiban mutlaknya. Pemerintah semakin lama semakin dituntut untuk menciptakan relasi berbasis hak, antara lain melalui penyediaan barang publik yang dananya berasal dari pajak rakyatnya sendiri. Dalam kaitan inilah, pemerintah perlu mencari jalan dan mengujicoba jalan tersebut untuk memperluas peran kelompok–kelompok masyarakat sipil dalam proses pembangunan. 2. Pemerintah memerlukan kebijakan tentang relasi pemerintah dengan kelompok– kelompok masyarakat sipil dalam kaitannya dengan pembangunan dan demokrasi. Salah satu cara memulai hal ini adalah dengan mengembangkan skema barang publik yang didanai oleh anggaran negara. Misalnya saja, model inisiatif bantuan hukum yang didanai oleh APBN dan dilaksanakan oleh kelompok–kelompok masyarakat sipil telah mulai diperkenalkan, meskipun belum tertata dan terlembaga. 3. Pemerintah perlu melakukan penyelidikan sistematis dan uji coba untuk memperluas praktik penyediaan barang publik oleh kelompok–kelompok masyarakat sipil di luar bidang bantuan hukum. Sebagai negara kelas menengah dengan skala APBN setiap tahun yang telah melebihi angka 1.000 triliun rupiah, sudah waktunya barang publik ikut serta didanai oleh negara. Beberapa pemerintah daerah misalnya di Sinjai dan Makassar (Sulawesi Selatan) hingga Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ulu (Sumatera Selatan) telah mengalokasikan dana APBD untuk bantuan hukum gratis bagi warga miskin.

Rekomendasi

4. Pemerintah dapat mempertimbangkan perubahan atau revisi peraturan mengenai pengadaan barang dan jasa pemerintah, terutama yang menyangkut barang publik seperti penanggulangan kemiskinan, perlindungan konsumen, pendidikan, HAM, pelestarian lingkungan hidup, pemberdayaan perempuan, pengurangan resiko bencana hingga perlindungan terhadap kebhinekaan Indonesia. Revisi diperlukan untuk memungkinkan kelompok–kelompok masyarakat sipil yang memiliki keahlian dan rekam jejak pengalaman yang baik dapat mengakses sumberdaya anggaran negara melalui tata–cara dan mekanisme yang kompetitif. Kepada Lembaga-lembaga Bantuan Pembangunan : 1. Mendorong kembalinya mekanisme permintaan inisiatif untuk dukungan hibah kompetitif guna membuka dan memperluas akses dan kesempatan bagi kelompok– kelompok masyarakat sipil Indonesia, terutama mereka yang berada di luar Jakarta dan luar Jawa. Bantuan pembangunan dari berbagai lembaga multilateral dan bilateral hendaknya juga berkepentingan untuk memastikan bahwa hasil dukungan–dukungan mereka dapat diterima secara sosial oleh warga negara Indonesia selain efektif secara teknis. Peranan kelompok–kelompok masyarakat sipil karenanya menjadi penting untuk memastikan penerimaan secara sosial itu.

36

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia


2. Memperluas keterlibatankelompok–kelompok masyarakat sipil dalam proses perumusan strategi bantuan pembangunan (country strategy), termasuk pada tahap penyusunan program atau proyek, evaluasi dan monitoring serta akuntabilitas program. 3. Meningkatkan percobaan mekanisme keterlibatan kelompok–kelompok masyarakat sipil dalam pelaksanaan program hibah multi–donor seperti pada model PNPM Peduli. Mekanisme ini merupakan sebuah terobosan dari sudut pandang meluasnya peran kelompok–kelompok masyarakat sipil dalam pelaksanaan sebuah program dan proyek. Di masa mendatang, keterlibatan ini diharapkan meningkat hingga pada perumusan kebijakan strategi bantuan pembangunan. 4. Memperluas kerjasama dengan lembaga pengelola hibah nasional, dalam perumusan dan pelaksanaan program. Beberapa kerjasama dengan lembaga pengelola hibah nasional sesungguhnya telah dicoba misalnya pada tema perlindungan lingkungan hidup dan penguatan pemerintahan. Namun demikian, praktik semacam ini belum meluas dan dilanjutkan terhadap bidang–bidang yang lain. Kepada Kelompok-kelompok Masyarakat Sipil : 1. Secara pro-aktif menciptakan ruang konsultasi dalam upaya mempengaruhi kebijakan dan program–program bantuan pembangunan terutama di lembaga–lembaga multilateral dan bilateral dengan tujuan untuk memastikan akuntabilitas dan dampak sosial dari setiap bantuan pembangunan internasional. Termasuk di dalamnya, menciptakan forum–forum dialog yang terukur dan terlembaga. 2. Mengambil inisiatif dalam perumusan dan pengawasan strategi bantuan pembangunan internasional. Kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia sesungguhnya memiliki pengalaman ini, namun belakangan memerlukan upaya yang lebih luas dan mendalam untuk tujuan memastikan efektifitas bantuan–bantuan pembangunan tersebut.

Rekomendasi

3. Memperbanyak kerjasama dan kordinasi misalnya melalui model kerjasama konsorsium antar kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia untuk meningkatkan kualitas, signifikansi dan dampak advokasi kebijakan publik. Sudah waktunya persaingan antar kelompok dikurangi atau dikelola secara lebih sehat. Para pemimpin kelompok– kelompok masyarakat sipil perlu berpikir dalam gambar besar (macro) tentang hambatan dan kendala utama Indonesia dan menggabungkan pendekatan serta keahlian diantara sesama kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia. Masalah korupsi, kerusakan lingkungan hidup dan meluasnya perilaku anti–toleransi di Indonesia merupakan sedikit contoh. 4. Memperbaiki tata kelola dan kepemimpinan di dalam kelompok–kelompok masyarakat sipil guna memastikan pelembagaan akuntabilitas dan regenerasi. Kelompok–kelompok masyarakat sipil Indonesia semakin hari semakin memerlukan tenaga–tenaga muda dengan visi sekaligus keterampilan yang tinggi. Para pemimpin kelompok–kelompok masyarakat sipil perlu menata kelembagaan dan mengakhiri praktik gerontology (kekuasaan oleh kaum tua) dalam dirinya agar dapat mempertahankan kaum muda yang berkomitmen dan memiliki keterampilan teknis yang tinggi.

Yayasan TIFA, Juli 2012

|

37


Rekomendasi

38

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia


Daftar Rujukan ActionAid. 2008. Direct Budget Support. The best way of doing Aid? Report of International Seminar. February 26, 2008. Andrew Rogerson, 2011. What If Development Aid Really Rewarded Results? Revisiting The Cash on Delivery (COD) Aid Model. OECD Development Brief No 1–2011. Antlov, Hans., Brinkerhoff, Derrick., Rapp, Elke. 2008. Civil Society Organizationsand Democratic Reforms: Progress, Capacities and Challenges in Indonesia. Paper presented at37th Annual Conference Association for Research on Nonprofit Organizations and Voluntary Action Philadelphia PA.November 20–22, 2008. Aspinall, Edward. 2010. Assesing Democracy Assistance: Indonesia. Project report. FRIDE and The World Movement for Democracy.www.fride.org. AusAID. Australia Indonesia Partnership Country Strategy 2008–13. www.ausaid.gov.au/publication. ________. Strategi Kerjasama Pembangunan Australia Indonesia 2008–2013. Brautigam, Deborah A., Fjeldstad, Odd–Helge., Moore, Mick (eds). 2008. Taxation and State Building in Developing Countries: Capacity and Consent. Cambridge University Press. Carothers, Thomas. 2009. Revitalizing US Democracy Assisstance: The Challenge of USAID. Carnegie Endowment for International Peace. http://www.carnegieendowment.org/files/revitalizing_democracy_assistance.pdf. ____________________. 2009. Democracy Assistance: Political Vs. Developmentals? Journal of Democracy Vol 20 No 1 January 2009. CIDA. Wilayah Kerja CIDA Indonesia di Sulawesi. DFID. 2011. Country Plan 2008–2011. www.dfid.gov.uk/Indonesia. Easterly, William. 2006. The White Man's Burden: Why the West's Efforts to Aid the Rest Have Done So Much Ill and So Little Good.The Penguin Press, New York. Edi, Jepri and Setianintyas, Ayu. 2007. Donor Proliferation and Donor Coordination in Indonesia: The Case of Governance Reform.Paper prepared for Centre for the Future State. Institute of Development Studies. University of Sussex. European Commission. Indonesia–European Community Strategy Paper 2007–2013. Frot, Emmanuel and Santiso, Javier. 2008. Development Aid and Portfolio Funds: Trends, Volatility and Fragmentation. OECD Development Centre Working Paper No. 275 December 2008. Gleenie, Jonathan. 2011. The Role of Aid to Middle–income Countries: A Contribution to Evolving EU Development Policy.Working Paper 331. Overseas Development Institute. Hivos. Promoting Pluralism. http://www.hivos.net/Hivos–Knowledge–Programme/ Themes/Promoting–Pluralism/Countries/Indonesia.

Yayasan TIFA, Juli 2012

|

39


Kemitraan. Annual Report 2010 dan 2009. www.kemitraan.org. ___________. Strategic Planning: Democratic Governance. http://www.kemitraan.or.id/main/content3/69/83/84. Kramer, Monique., et.all. 2009. Doing Good or Doing Better, Development Policies in a Globalizing World. Amsterdam University Press. Moss, Todd. 2011. Oil to Cash: Fighting the Resource Curse through Cash Transfer. Working paper 237. Center for Global Development. www.cgdev.org. OECD. 2011. Updated statistical data. http://www.oecd.org/dataoecd/42/12/47458336.xls. Rothstein, Bo. 1998. Just Institutions Matter. The Moral and Political Logic of the Universal Welfare State. Cambridge: Cambridge University Press. Stone, Diane. 2007. Recycling Bins, Garbage Cans or Think Tanks? Three Myths Regarding Policy Analysis Institutes. Public Administration. Vol.85 (No.2). pp. 259–278. The Asia Foundation, Indonesia: Overview. http://www.asiafoundation.org/publications/pdf/749. Tifa Foundation. Program dan Kemitraan. http://www.tifafoundation.org/index.php?comp=program&lang=id. Toussaint, Eric. 2004. IMF and WB: The Destruction of Indonesia's Sovereignty. http://www.cadtm.org/IMF–and–WB–the–destruction–of#nb2–6. UNDP. 2010. Draft Country Programme for Indonesia (2011–2015). _______. UNDP Country Programme Action Plan 2011–2015. USAID. A Partnership for Prosperity. Country Strategy 2009–2014 _______. Program Representasi (ProRep). _______. Program KINERJA. _______. Changes for Justice (C4J). _______. Educating and Equipping Tomorrow Justice Reformers (E2J). Winters, Matthew S. 2012. The Obstacles to Foreign Aid Harmonization: Lessons from the Decentralization Sector in Indonesia. Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=2009992. World Bank. 1997. Internal Memorandum by Stephen Dice, member of World Bank's Resident Staff, Indonesia, Summary of RSI Staff Views Regarding the Problem of “Leakage” from World Bank Project Budgets (Aug. 1997). ____________. 2008. Investing in Indonesia's Institutions. Country Partnership Strategy FY09–12. www.worldbank.org. Yappika. MP3 Audiensi dengan WaMenPAN dan RB. http://www.yappika.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=353&Itemid=74

40

| Satu Dekade Bantuan Pembangunan dan Peran Kelompok–kelompok Masyarakat Sipil di Indonesia


Tentang Para Penulis dan Penyunting

HERRYADI ADUN, mengelola Program Demokrasi di Yayasan Tifa sejak tahun 2006. Ia bertanggung–jawab mengembangkan inisiatif dan kemitraan dengan organisasi–organisasi masyarakat sipil di Indonesia dalam membangun demokrasi substantif, khususnya pada tema kepemimpinan yang bertanggung–gugat baik di kalangan masyarakat sipil maupun masyarakat politik.Sebelumnya, ia pernah bertugas untuk misi kemanusiaan di Aceh bersama Canadian Red Cross dan memiliki pengalaman cukup panjang keluar masuk hutan di Kalimantan Timur ketika masih bergabung sebagai konsultan Proyek Pengelolaan Hutan Berkelanjutan pada Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ/ SFMP).

JIM TOAR MATULI, berpengalaman dalam pengelolaan program bantuan pembangunan, audit kepatuhan, keuangan dan akuntasi serta administrasi dan pengelolaan sumber daya manusia. Selama lebih dari 12 tahun menjadi spesialis di berbagai lembaga internasional seperti Oxfam Great Britain, Catholic Relief Services dan Australian Red Cross untuk program–program kemanusiaan, tanggap darurat dan proyek–proyek pembangunan di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Sejak satu tahun yang lalu ia bergabung dengan proyek dukungan CIDA untuk Support to Indonesia's Islands of Integrity Program for Sulawesi (SIPS) bersama Cowater International Inc. Canada.

MICKAEL BOBBY HOELMAN, pernah berkiprah di masa awal berdirinya ICW (Indonesia Corruption Watch). Berpengalaman bekerja pada Department for International Development (seperti Bappenas pemerintah Inggris Raya). Sebelumnya ia juga sempat menjadi penasihat advokasi dan tata pemerintahan untuk kantor Oxfam Great Britain perwakilan Indonesia dan saat ini dipercaya mengelola Program Demokrasi dan Pemerintahan di Yayasan Tifa. Menamatkan sarjana di bidang ekonomi dan studi lanjutan pada disiplin ilmu politik. Selain gemar melakukan kajian, ia juga kerap menjadi fasilitator dan nara sumber di berbagai diskusi terutama terkait dengan tema akuntabilitas sosial.

SUGENG BAHAGIJO, aktif melakukan kajian–kajian kebijakan sosial. Beberapa publikasinya antara lain; “Mimpi Negara Kesejahteraan: Telaah Dinamika Peran Negara dalam Produksi dan Alokasi Kesejahteraan” (Jakarta: co–author, LP3ES, 2006) dan “Globalisasi Menghempas Indonesia” (Jakarta: editor, LP3ES, 2006). Mantan Deputy Director INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) pada kurun waktu 2002–2004, Associate Director Perkumpulan Prakarsa (2005–2009)dan Direktur Eksekutif Komunitas Indonesia untuk Demokrasi/ KID (2010–2011). Ia juga pernah menjadi penasihat teknis untuk Deputi Menteri Bappenas Urusan Otonomi dan Kerjasama Daerah (2004–2005) serta penasihat kebijakan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (2006–2007). Selain menulis, menjadi nara sumber dan fasilitator,ia juga secara berkala membantu kajian–kajian di berbagai lembaga studi dan think–tank, termasuk Yayasan Tifa.

Yayasan TIFA, Juli 2012

|

41


YAYASAN TIFA Jl. Jaya Mandala II No. 14E, Menteng Dalam Jakarta Pusat 12870 - INDONESIA Ph. +62 (21) 829-2776 | Fax. +62 (21) 837-836-48 e-mail to : public@tifafoundation.org www.tifafoundation.org


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.