Alanna by Tamorra Pierce

Page 1


SCANRA

GRIMHOLD MOUNTAINS City of Gods Gre at R

Trebond

o a d No

GALLA

rt h

Cria Naxen

Bogolt Lake

Golden Lake The Golden Lake

Barony olan

Lake Naxen TUSAINE

Port Cayan

MOUNTAINS

Coras

Gre at Road East

G re at Ro ad So

COASTAL HILL

Lake Tarragen

Tarragen

TUSAINE

ut h

HILL COUNTRY

Black City

Coast al Way

Paranopolis

Port Legana

TORTALL r Po

ay tW

MAREN

GREAT SOUTHERN DESERT

TYRA SOUTHERN WALL

Pegunungan Carthak

Tyrs

THE GREAT

Perbukitan Jalan Kota Kota

INLAND SEA


Prolog

S

etelah berbusana lengkap, Alanna menatap pantulan dirinya di cermin. Belum pernah dia terlihat sebagus

ini. Kemeja lengan panjang dan celana kausnya yang berwarna ungu cerah, berpadu dengan tunik yang dirajut dengan benang emas. Sepatu kulit yang kokoh menutupi kakinya. Belati dan dompet kecilnya menggantung di ikat pinggang yang terbuat dari kulit. Sebenarnya, busana itu sedikit kebesaran di tubuhnya, tetapi Alanna tidak peduli. Dia terlalu terpukau dengan warna-warni yang cemerlang. Satu hal yang pasti, seragam kerajaan yang dominan dengan warna merah dan keemasan itu memberikan sesuatu yang tak ternilai. Keberanian untuk membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan. Alanna tidak akan sanggup melakukannya dengan busana yang lusuh.



1 Si Kembar “

K

eputusanku sudah bulat. Tidak perlu dibahas lagi,”

kata lelaki yang duduk di belakang meja. Kemudian,

dia kembali membaca buku. Dua anaknya meninggalkan ruangan setelah menutup pintu. “Dia tak suka jika kita berada di dekatnya,” kata si anak lelaki. “Dia tidak peduli dengan keinginan kita.” “Kita sudah tahu itu,” kata si anak perempuan. “Dia tidak peduli kepada apa pun, kecuali buku-buku dan perkamen.” Si anak lelaki memukul tembok dengan kesal. “Aku tidak mau menjadi kesatria! Aku ingin menjadi ahli sihir! Aku ingin membunuh setan dan berjalan dengan para dewa—”


“Memangnya aku mau menjadi seorang lady?” tanya saudaranya. “‘Jalannya pelan-pelan, Alanna,’” katanya sambil mencontohkan dengan jengkel. “‘Duduk yang tenang, Alanna. Tegakkan bahumu, Alanna.’ Seperti tidak ada pekerjaan lain saja dalam hidup ini!” Dia berjalan mondar-mandir. “Kita harus mencari jalan keluar.” Si anak lelaki memperhatikan saudaranya. Thom dan Alanna of Trebond adalah anak kembar. Mereka sama-sama memiliki rambut merah dan mata ungu. Satu-satunya yang membedakan mereka—sejauh yang bisa dilihat—adalah panjang rambut mereka. Wajah dan bentuk tubuh mereka benar-benar mirip, sehingga mereka������������������������������������������������ tidak bisa dibedakan satu sama lain jika mengenakan busana yang sama. “Hadapi sajalah,” kata Thom kepada Alanna. “Besok kau pergi ke konvensi. Aku ke istana. Titik.” “Mengapa selalu kau yang bisa bersenang-senang?” keluh Alanna. “Aku harus belajar menjahit dan berdansa. Sedangkan kau belajar memainkan pedang dan seni bela diri—” “Kau pikir aku suka itu?” bentaknya. “Aku benci menonjok-nonjok benda, apalagi kalau aku sampai terjatuh! Kau yang suka hal-hal semacam itu, bukan aku!”


Alanna nyengir. “Seharusnya kau menjadi Alanna. Mereka mengajarkan sihir kepada anak perempuan—” Sebuah ide muncul dalam kepalanya. Begitu mendadak hingga dia sendiri terperangah. “Thom. Aku tahu jalan keluarnya!” Dari raut wajahnya, Thom tahu saudaranya mendapatkan satu ide sinting lagi. “Apa?” tanyanya dengan curiga. Alanna melihat ke sekeliling untuk memastikan tidak ada pelayan di ruangan itu. “Besok Ayah akan memberi kita surat untuk orang yang akan melatih calon kesatria dan orang di konvensi. Kau bisa menirukan tulisannya. Jadi, tulis saja surat baru yang menjelaskan bahwa kita kembar laki-laki. Kau yang pergi ke konvensi. Katakan dalam surat bahwa kau ingin menjadi ahli sihir. Para Putri Dewi yang akan mengajarkan sihir kepada anak laki-laki. Kau ingat? Setelah kau cukup besar, mereka akan mengirimmu ke pendeta, sedangkan aku akan pergi ke istana untuk belajar menjadi kesatria!” “Ide sinting,” protes Thom. “Bagaimana dengan rambutmu. Dan kau juga tidak mungkin berenang telanjang. Belum lagi kau akan tumbuh menjadi seorang gadis—” “Aku akan memotong rambut,” jawab Alanna. “Well, selebihnya akan kuurus belakangan.”


“Bagaimana dengan Coram dan Maude? Mereka akan pergi bersama kita. Dan mereka bisa membedakan kita. Mereka tahu, kita bukan kembar laki-laki.” Alanna menggigit ibu jari, berpikir keras. “Kita bilang kepada Coram bahwa kita akan menyihirnya jika dia berbuat macam-macam,” kata Alanna. “Dia benci sihir—rasanya itu sudah cukup. Dan mungkin kita bisa membujuk Maude.” Thom memikirkan ide itu sambil menatap tangannya. “Menurutmu kita bisa melakukannya?” bisik Thom. Alanna menatap wajah saudara kembarnya yang penuh harap. Sebagian dalam dirinya ingin menghentikan hal ini sebelum terlambat. Tetapi, itu cuma sebagian kecil. “Asalkan kau tidak lepas kendali,” katanya kepada Thom. Dan asalkan aku tidak lepas kendali, katanya dalam hati. “Bagaimana dengan Ayah?” Mata Thom menatap ke kejauhan, ke Kota Dewa. Alanna menggelengkan kepala. “Begitu kita pergi, dia akan lupa kepada kita.” Dia menatap Thom. “Kau benar-benar ingin menjadi ahli sihir?” desaknya. “Karena itu berarti kau harus belajar selama bertahun-tahun dan berusaha untuk kita berdua. Memangnya kau punya nyali untuk itu?”


Thom merapikan tuniknya. Sorot matanya dingin. “Tunjukkan saja jalannya!� Alanna mengangguk. “Ayo kita cari Maude.� Maude, seorang tabib desa, mendengarkan penjelasan mereka tanpa berkomentar. Selesai Alanna bicara, perempuan itu memalingkan wajah ke pintu. Matanya menerawang ke pemandangan di luar selama beberapa menit. Akhirnya, dia menatap si kembar lagi. Di luar pengetahuan mereka, sebenarnya Maude sedang menghadapi masalah. Dia telah mengajarkan segala yang diketahuinya kepada mereka. Mereka sama-sama bisa belajar jauh lebih banyak lagi. Tetapi, tidak ada guru lain di Trebond. Thom menginginkan segala yang bisa diperoleh dari sihir, tapi dia tidak menyukai orang. Dia hanya mendengarkan Maude karena mengira perempuan itu masih memiliki sesuatu yang bisa diajarkan. Thom tidak suka Coram—yang juga ditugaskan menjaga si kembar. Karena Coram membuatnya merasa seperti anak goblok. Satu-satunya orang yang dicintai Thom di dunia ini, selain dirinya sendiri, adalah Alanna. Maude memikirkan idenya Alanna dan menghela napas. Anak perempuan itu berbeda sekali dari saudaranya. Alanna takut akan kekuatan sihir. Thom harus diperintah dulu sebelum mau berburu, sedangkan


Alanna harus dibujuk dan diiming-imingi dulu sebelum bersedia mencoba mantra. Sebenarnya Maude sedang menunggu hari, ketika dia bisa menyerahkan kepengurusan si kembar kepada orang lain. Tetapi sekarang, sepertinya para dewa memberinya satu ujian lagi. Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepala. “Aku tidak bisa mengambil keputusan tanpa bantuan. Aku harus mencoba dan Melihat dulu, di perapian.” Thom mengerutkan kening. “Kupikir kau hanya bisa menyembuhkan saja.” Maude menyeka keringat di wajahnya. Dia ketakutan. “Tidak usah memikirkan apa yang bisa atau tidak bisa kulakukan,” bentaknya. “Alanna, ambil kayu. Thom, daun vervain.” Cepat-cepat mereka menjalankan perintah itu. Alanna yang pertama datang, dan langsung memasukkan kayu ke perapian yang sudah menyala. Tidak lama kemudian Thom datang, membawa daun dari pohon yang biasa digunakan untuk sihir. Maude berjongkok di depan perapian dan memberi isyarat supaya si kembar duduk di sebelahnya. Perempuan itu merasakan butiran keringat menetes di punggungnya. Orang yang berusaha menggunakan sihir yang tidak diberikan dewa sering kali mati dengan cara yang 10


buruk. Maude berdoa tanpa suara kepada Dewi Pertiwi dan berjanji akan bersikap baik sepanjang sisa usianya asalkan Dewi membantunya dalam usaha ini. Dia melemparkan daun ke perapian, bibirnya komat-kamit melantunkan kata-kata suci. Perlahanlahan kekuatan dari dirinya dan si kembar mengisi api. Kobaran itu berubah menjadi hijau dari kekuatan sihir Maude dan ungu dari sihir si kembar. Perempuan itu menarik napas dalam-dalam dan menggenggam tangan kiri si kembar, lalu menyorongkannya ke perapian. Kekuatan menyentak tangan mereka. Thom memekik dan menggeliat kesakitan karena sihir yang masuk ke dalam dirinya. Alanna menggigit bibir bawahnya sampai berdarah, menahan rasa sakit dengan caranya sendiri. Mata Maude melebar dan kosong, sementara dia menahan kedua tangan si kembar yang saling bertautan di perapian. Tiba-tiba Alanna mengerutkan kening. Sebuah gambaran terbentuk di perapian. Ini tidak mungkin. Seharusnya dia tidak Melihat apa pun. Maude-lah yang mengucapkan mantra. Seharusnya hanya Maude yang Melihat. Seolah mengabaikan segala aturan sihir yang pernah diajarkan, gambaran itu membesar dan menyebar, menampakkan sebuah kota yang tersusun dari batu 11


hitam mengilat. Alanna mencondongkan badan ke depan, menyipitkan mata supaya bisa melihat lebih jelas. Belum pernah dia melihat kota semacam ini. Sinar matahari menerpa tembok-tembok dan menaranya yang bercahaya. Alanna dicekam ketakutan…. Maude melepaskan tangan si kembar. Gambaran itu pun lenyap. Tubuh Alanna menjadi dingin, dan sekarang dia sangat kebingungan. Kota apa itu? Di mana lokasinya? Thom mengamati tangannya. Tidak ada luka bakar, atau bahkan goresan. Alhasil, tidak ada tanda apa pun yang menunjukkan bahwa Maude menahan tangan mereka di perapian selama beberapa menit. Maude berjalan mondar-mandir. Dia terlihat tua dan letih. “Aku telah banyak melihat hal-hal yang tidak kumengerti,” bisiknya setelah beberapa saat. “Banyak hal—” “Kau melihat kota itu?” tanya Alanna penasaran. Maude menatapnya dengan sorot mata tajam. “Aku tidak melihat kota.” Thom mencondongkan badan. “Kau melihat sesuatu?” Suara Thom terkesan bersemangat. “Tetapi Maude-lah yang mengucapkan mantra—” “Tidak!” bentak Alanna. “Aku tidak melihat apa pun! Apa pun!” 12


Thom memutuskan untuk menunggu. Dia akan bertanya setelah saudaranya tidak kelihatan ketakutan lagi. Dia beralih ke Maude. “Well?� desaknya. Perempuan tabib itu menghela napas. “Baiklah. Besok, Thom dan aku pergi ke Kota Dewa.� Keesokan paginya, Lord Alan memberikan sepucuk surat tertutup dan restu kepada anak-anaknya sebelum memberikan instruksi kepada Coram dan Maude. Coram belum tahu tentang perubahan rencana mereka. Alanna berniat memberitahunya setelah mereka jauh dari Trebond. Begitu Lord Alan melepas mereka, Maude membawa si kembar ke kamar Alanna, sementara Coram menyiapkan kuda. Cepat-cepat mereka membuka surat itu dan membacanya. Lord Alan memercayakan putranya ke tangan Duke Gareth of Naxen dan putrinya kepada Putri Pertama di konvensi. Dia akan mengirimkan sejumlah uang setiap tiga bulan untuk kepengurusan anak-anaknya, sampai waktu yang dirasa tepat oleh para guru itu untuk memulangkan mereka. Lord Alan sangat sibuk dengan studinya hingga dia menyerahkan segala keputusan menyangkut putra-putrinya ke tangan sang bangsawan

13


dan Putri Pertama. Dia tunduk sepenuhnya kepada penilaian mereka. Memang, konvensi dan istana banyak menerima surat semacam itu setiap tahunnya. Semua anak perempuan dari keluarga ningrat mengenyam pendidikan di konvensi sampai mereka berusia lima belas atau enam belas tahun. Itu adalah usia yang dianggap pas bagi mereka untuk berumah tangga. Adapun putra sulung keluarga ningrat biasanya mempelajari keterampilan dan kewajiban seorang kesatria di istana raja. Adik laki-laki mereka bisa mengikuti jejak kakaknya, atau mereka bisa belajar di konvensi, kemudian di biara pendeta, tempat mereka mempelajari agama atau ilmu sihir. Untuk urusan menirukan tulisan ayahnya, Thom memang jagonya. Dia menulis dua surat baru. Satu untuk “Alan�, satu untuk dirinya sendiri. Alanna membaca kedua surat itu dengan cermat. Dia merasa lega karena tidak menemukan perbedaan antara tulisan ayahnya dan tulisan Thom. Anak laki-laki itu duduk sambil menyeringai karena membayangkan tahun demi tahun yang berlalu sebelum siasat ini terbongkar. Sementara Thom mengenakan rok berkuda, Maude membawa Alanna ke kamar ganti. Anak perempuan itu mengenakan kemeja, celana selutut, dan sepatu bot. Setelah itu, Maude memangkas rambutnya. 14


“Ada sesuatu yang ingin kukatakan,” kata Maude saat sejumput rambut pertama jatuh ke lantai. “Ada apa?” tanya Alanna dengan gugup. “Kau punya bakat untuk menyembuhkan.” Guntingnya terus bekerja. “Lebih besar dari bakatku. Lebih besar dari siapa pun yang kukenal. Dan kau punya kekuatan lain. Kekuatan yang kelak kau gunakan. Tetapi menyembuhkan—itu yang paling penting. Semalam aku bermimpi. Isinya sebuah peringatan. Begitu jelas, seolaholah dewa berteriak di telingaku.” Membayangkan hal ini, Alanna cekikikan. “Tidak baik menertawakan dewa,” kecam Maude. “Meskipun tidak lama lagi kau akan mengetahuinya sendiri.” “Apa maksudmu?” “Tidak apa-apa. Dengar. Pernahkah kau memikirkan jiwa-jiwa yang tercabut ketika kau melakukan aksi hebatmu?” Alanna menggigit bibir. “Tidak,” katanya mengaku. “Kupikir juga begitu. Kau hanya memikirkan kemenangan. Tapi, ada nyawa yang melayang. Juga keluarga-keluarga yang kehilangan ayah dan mengalami penderitaan. Berpikirlah masak-masak sebelum kau bertempur. Pikirkan siapa yang kau perangi, seakanakan suatu hari kau pasti mendapatkan balasan. Dan 15


seandainya kau ingin menebus nyawa yang kau renggut, gunakanlah kekuatan penyembuhanmu. Gunakan selagi kau mampu, atau rohmu tidak akan bersih selama berabad-abad. Lebih sulit menyembuhkan daripada membunuh. Dewi Pertiwi punya alasan mengapa kau memiliki dua kekuatan itu.” Maude cepat-cepat menyisir rambut Alanna yang sudah dipangkas. “Turunkan tudungmu sedikit. Wah, kau benar-benar mirip Thom. Siapa pun bisa terkecoh, kecuali Coram.” Alanna bercermin. Saudara kembarnya membalas tatapannya, mata ungu yang lebar di wajah yang pucat. Sambil tersenyum, dia membungkus tubuhnya dalam jubah. Setelah melirik sekali lagi ke anak lelaki di cermin, dia mengikuti Maude ke pekarangan. Di sana, Coram dan Thom sudah menunggu di atas kuda mereka. Thom merapikan roknya dan mengedipkan mata ke saudara kembarnya. Maude menghentikan Alanna saat dia hendak naik ke punggung kuda poninya, Chubby. “Gunakan kekuatan penyembuhanmu, ‘nak,” kata perempuan itu menasihati. “Gunakan selagi kau bisa. Kalau tidak, kau akan merasakan akibatnya. Dewa tidak memberikan bakat untuk disia-siakan.” Alanna mengayunkan tubuhnya di pelana dan menepuk-nepuk Chubby dengan tangan yang rileks. 16


Merasa bahwa si anak kembar yang baik hatilah yang menungganginya, Chubby berhenti melonjak-lonjak. Sebaliknya, apabila Thom yang menungganginya, Chubby berusaha mendepaknya. Si kembar dan kedua pendamping mereka melambaikan salam perpisahan ke sekelompok pelayan kastil, yang datang untuk menyaksikan kepergian mereka. Perlahan mereka melewati gerbang kastil. Alanna berusaha keras memasang wajah cemberut seperti yang sering ditunjukkan Thom. Atau yang akan dilakukan Thom seandainya sekarang dia harus pergi menuju istana. Thom menatap telinga kuda poninya, berusaha tetap menunduk supaya wajahnya tak terlihat. Semua orang tahu, bagaimana perasaan si kembar karena harus meninggalkan kastil. Jalanan yang mereka lalui perlahan berubah menjadi jalur bebatuan yang rimbun dengan pepohonan. Selama kira-kira satu hari berikutnya, mereka akan berkuda melewati hutan Pegunungan Grimhold yang tidak bersahabat. Itu adalah perbatasan alamiah di antara Tortall dan Scanra. Bagi si kembar, daerah itu tidak asing lagi. Meskipun gelap dan tidak ramah bagi orang selatan, kawasan itu tidak ubahnya rumah bagi Alanna dan Thom. Menjelang siang, mereka sampai di pertemuan Jalan Trebond dan Jalan Utama. Dijaga ketat oleh 17


pasukan kerajaan, Jalan Utama ini mengarah ke selatan, menuju Kota Dewa di kejauhan. Itulah jalur yang akan ditempuh oleh Thom dan Maude. Alanna dan Coram akan bergerak ke selatan, menuju ibukota Corus, dan istana kerajaan. Dua pelayan itu saling mengucapkan selamat tinggal dan memberikan privasi kepada si kembar. Tidak ubahnya Alanna dan Thom, mereka pun akan terpisah selama bertahun-tahun. Meskipun Maude akan kembali ke Trebond, Coram tetap menemani Alanna. Dia akan berperan sebagai asisten bagi Alanna di istana. Alanna menatap saudaranya dan tersenyum kecil. “Kurasa inilah saatnya,” katanya. “Aku berharap bisa mengatakan, ‘selamat bersenangsenang,’” kata Thom terus terang, “namun aku tidak mengerti, bagaimana orang bisa bersenang-senang sementara mereka harus mengikuti pelatihan untuk menjadi kesatria. Walaupun begitu, semoga berhasil. Jika rahasia ini terbongkar, kita akan dikuliti hidup-hidup.” “Kita tidak akan ketahuan, saudaraku.” Alanna mengulurkan tangan dan mereka bersalaman dengan hangat. “Semoga berhasil, Thom. Jaga dirimu.” “Banyak ujian yang menantimu,” kata Thom dengan tulus. “Jaga dirimu.”

18


“Aku akan berhasil mengatasi ujian,� kata Alanna. Dia sadar, kata-katanya terlalu berani, bahkan nyaris sembrono. Tetapi, wajah Thom menunjukkan seolaholah dia ingin mendengar kata-kata itu. Mereka membelokkan kuda poni, kemudian bergabung dengan pelayan masing-masing. “Ayo kita pergi,� kata Alanna kepada Coram dengan suara berat. Maude dan Thom mengambil jalur kiri dari Jalan Utama, sedangkan Alanna dan Coram menempuh jalur kanan. Tiba-tiba Alanna berhenti, dan membalikkan badan untuk menyaksikan kepergian saudaranya. Dia mengerjap kuat-kuat untuk meredakan rasa panas di matanya, tetapi dia tidak bisa menghilangkan rasa tercekat di tenggorokannya. Sesuatu memberitahunya bahwa Thom akan menjadi pribadi yang jauh berbeda ketika nanti mereka bertemu lagi. Sambil menghela napas, dia membawa Chubby ke arah ibukota. Coram cemberut dan memaksa tunggangannya yang bertubuh besar itu berderap maju. Dia lebih suka melakukan apa pun alih-alih memandu anak lelaki yang cerewet ke istana. Dulu, dia adalah prajurit kerajaan yang paling tegas. Sekarang, dia hanya akan menjadi bahan tertawaan. Orang-orang akan tahu, Thom tidak bisa menjadi kesatria. Dan, mereka akan menyalahkan 19


Coram, sebagai pihak yang seharusnya mengajarkan dasar-dasar keprajuritan kepada anak itu. Coram berkuda selama berjam-jam tanpa bicara. Pikirannya dibayangi gambaran-gambaran buruk yang membuat perasaannya begitu tertekan hingga dia tidak menyadari sesuatu. Thom biasanya sudah mengeluh setelah satu jam berkuda. Tetapi kali ini, dia tidak bersuara. Awalnya, Coram dilatih untuk menjadi tukang besi, tetapi dia pernah menjadi prajurit infrantri terbaik, kemudian��������������������������������������� kembali ke Kastil Trebond dan menjadi pengawal di sana. Sekarang, dia ingin menjadi prajurit kerajaan lagi, asalkan tidak menjadi bahan lelucon lantaran� ��������� majikannya adalah pemuda yang payah. Mengapa bukan Alanna saja yang ditakdirkan sebagai anak lelaki? Dia seorang petarung. Pada mulanya, Coram memang mengajarkan Alanna, karena mengajarkan seorang anak kembar berarti harus mengajarkan saudaranya juga. Alanna memiliki daya tangkap yang baik. Bisa dibilang, dia lebih pintar dari saudaranya. Dan sekarang, Coram Smythesson berharap dengan sepenuh hati, seperti dulu dia pernah berharap, bahwa Alanna adalah anak lelaki. Tanpa dia duga, harapannya itu akan terkabul, meski dengan cara yang tidak lazim. Matahari sudah tergelincir di kejauhan—waktunya makan malam. Coram 20


menyampaikan���������������������������������� perintah dengan suara menggerutu kepada anak berjubah di sampingnya. Kemudian, mereka turun dari kuda di sepetak tanah berumput di samping jalan. Setelah mengeluarkan roti dan keju dari kantong pelana, dia membagi makanan itu ke anak di sebelahnya. Dia juga mengambil kantong berisi minuman keras. “Kita akan sampai setelah malam, kalau tidak lebih cepat dari itu,” gumamnya. “Hingga saat itu, hanya ini yang bisa kita makan.” Alanna melepas jubahnya yang tebal. “Ini sudah cukup bagiku.” Coram tersedak, sampai-sampai minuman di mulutnya menyembur ke jalan. Alanna terpaksa menepuknepuk punggungnya supaya lelaki itu bisa bernapas lagi. “Tolong brandy-nya,” kata Coram menunjuk ke kantong minuman. Setelah itu, dia kembali ke persoalan di depan hidungnya. “Demi Dewa Hitam!” teriaknya, wajahnya berubah menjadi keunguan. “Kita harus kembali saat ini juga, dan aku akan mengulitimu begitu kita sampai! Mana si anak setan, saudaramu itu?” “Coram, tenanglah,” kata Alanna. “Minumlah dulu.”

21


“Aku tidak ingin minum,” bentaknya. “Aku ingin menghajar kalian berdua sampai kulit kalian kering!” Dia menenggak minumannya. “Thom dalam perjalanan menuju Kota Dewa bersama Maude,” kata Alanna menjelaskan. “Menurutnya kami mengambil keputusan yang benar.” Coram menyumpah-nyumpah dengan suara pelan. “Tukang sihir itu selalu setuju dengan keinginan kalian. Lalu, apa kata ayahmu?” “Mengapa dia harus tahu?” tanya Alanna. “Coram, kau tahu Thom tidak ingin menjadi kesatria. Akulah yang ingin menjadi kesatria.” “Aku tidak peduli sekalipun kalian berdua ingin menjadi beruang yang bisa joget!” kata Coram, menenggak� ���������� minumannya lagi. “Kau anak perempuan.” “Memangnya itu harus diumumkan?” Dia mencondongkan badan, wajah mungilnya tampak serius. “Mulai dari sekarang, aku adalah Alan of Trebond. Si bungsu dari sepasang anak kembar. Aku akan menjadi kesatria—Thom menjadi ahli sihir. Cita-cita kami akan terwujud. Maude sudah melihat tandanya di perapian.” Coram membuat isyarat mengusir setan dengan tangan������������������������������������������������ kanannya. Sihir selalu membuatnya gugup. Maude juga membuatnya gugup. Dia menenggak minumannya lagi untuk menenangkan diri. “Itu pikiran yang mulia, 22


pikiran seorang prajurit, tapi itu tidak akan berhasil. Seandainya seseorang memergokimu ketika kau mandi, habislah riwayatmu.” “Aku bisa menyembunyikan semua itu—dengan bantuanmu. Kalau tidak, aku akan menghilang.” “Ayahmu akan memburu kulitku!” Alanna cemberut. “Ayah tidak peduli pada apa pun kecuali naskah-naskahnya.” Dia menghela napas. “Coram, aku akan bersikap baik. Thom tidak akan sebaik diriku. Kau ingin melihat hal-hal yang tidak akan ada dalam sepuluh tahun mendatang? Aku bisa mengusahakannya. Kau ingat ketika Koki hendak memberi tahu Ayah, siapa yang menyantap tar ceri buatannya? Atau ketika Ibu baptis berusaha membuat Ayah menikahinya?” Wajah Coram menjadi pucat. Pada siang ketika kue tar diketahui menghilang entah ke mana, Koki mulai melihat beberapa ekor singa besar yang kelaparan membuntutinya di dapur. Lord Alan tak pernah mendengar tentang persoalan hilangnya kue tar. Ketika ibu baptis si kembar datang ke Trebond untuk merayu Lord Alan agar menjadi suaminya, wanita itu hanya sanggup bertahan tiga hari saja. Setelah itu, dia lari tunggang langgang karena melihat hantu di kastil.

23


“Tidak mungkin,” gumam Coram. Sejak dulu dia curiga, si kembarlah yang menjadi biang kerok halusinasi Koki dan hantu Lady Catherine. Tetapi, dia tidak berani mengungkapkannya. Sang Koki mengecamnya dan Lady Catherine tidak ramah kepada para pelayan. Menyadari bahwa pancingannya berhasil, Alanna mengubah taktik. “Thom tidak bisa menembak kacang polong, aku bisa. Thom tidak akan membuatmu bangga, sedangkan aku bisa, rasanya. Kau sendiri bahkan pernah berkata tidak ada orang dewasa yang bisa menguliti kelinci lebih cepat daripada aku.” Alanna memberikan potongan roti terakhirnya kepada Chubby dan menatap Coram dengan mata memohon. “Ayo kita melanjutkan perjalanan. Jika besok pagi kau masih merasa seperti ini, kita bisa kembali.” Tetapi, Alanna menyilangkan jari saat mengatakannya. Dia sama sekali tidak punya niat untuk pulang ke Trebond. “Tapi jangan terburu-buru. Ayah tidak akan tahu, kecuali saat sudah terlambat.” Coram menenggak minumannya lagi, lalu berdiri dengan kaki gemetar. Dia naik ke punggung kuda, matanya tak lepas dari Alanna. Mereka berkuda tanpa berkata-kata, karena Coram larut dalam pikirannya, dan minumannya. Ancaman Alanna bahwa dia akan membuat Coram melihat penampakan sepertinya tidak terlalu merisaukan 24


pikiran pelayannya itu. Dia malah memikirkan kemampuan����������������������������������� Thom dalam menggunakan panah. Itu tentu akan membuat seorang prajurit menangis. Tetapi, Alanna jauh lebih gesit dibandingkan saudaranya. Dia jarang terlihat lelah, sekalipun saat mendaki wilayah perbukitan yang berbatu-batu. Anak perempuan itu punya bakat dalam seni bela diri. Dan dia juga nyaris sama keras kepalanya dengan keledai. Lantaran asyik melamun, Coram tidak melihat ular kayu yang melintas di jalan. Tetapi, Alanna—dan kuda tunggangan pelayannya itu—melihatnya dalam waktu bersamaan. Kuda besar itu melonjak, nyaris membuat majikannya terlempar ke udara. Chubby berhenti mendadak, terkejut dengan kehadiran makhluk aneh itu. Coram berteriak-teriak dan berusaha mengendalikan tunggangannya yang ketakutan. Alanna tidak berhenti memutar otak. Dia memiringkan tubuh di pelana kuda, lalu menarik tali kendali Coram dengan kedua tangannya. Dengan seluruh tenaga dan kekuatan, dia berusaha menenangkan kuda yang melonjak-lonjak itu sebelum Coram jatuh dan lehernya patah. Kaget lantaran merasakan entakan baru di tali kekangnya, dengan serta merta kuda itu menghentikan keempat kakinya. Tubuhnya gemetar saat Alanna mengusap-usap hidungnya sambil membisikkan 25


kata-kata yang menenangkan. Anak perempuan itu mengeluarkan apel dari sakunya dan menyodorkannya ke kuda itu sambil terus mengusap-usapnya sampai dia tidak gemetar lagi. Ketika Alanna mengangkat wajah, Coram tengah mengawasinya dengan sorot keheranan. Alanna tidak tahu, Coram sedang memikirkan bahwa Thom tidak akan bertindak seperti itu jika berada dalam situasi yang sama. Kembarannya itu pasti sudah meninggalkan Coram sendirian. Pelayan itu tahu, butuh keberanian besar untuk menenangkan kuda besar yang sedang panik. Keberanian seperti yang dimiliki seorang kesatria. Tetapi, Alanna anak perempuan‌. Pada saat mereka sampai di tujuan, Coram dalam kondisi mabuk berat. Penjaga penginapan membantu membaringkannya di tempat tidur, sementara istrinya repot mengurusi “sang pemuda yang malangâ€?. Di ranjangnya malam itu, Alanna mendengarkan dengkur Coram dengan senyum lebar. Maude telah mengisi kantong air Coram dengan brandy terbaik milik Lord Alan. Sobat lamanya itu tentu tidak akan terlalu cerewet jika sendi-sendinya sudah cukup diberi pelumas. Keesokan paginya, Coram terbangun dalam kondisi pening luar biasa. Dia mengerang saat Alanna masuk ke dalam kamarnya. 26


“Jangan berjalan terlalu berisik,” katanya memohon. Alanna menyodorkan cangkir yang masih mengepul. “Minumlah. Menurut Maude, ini akan membuat kondisimu lebih baik.” Lelaki itu menyesap dengan lahap hingga tersedak karena cairan yang panas membakar tenggorokannya. Namun, akhirnya, dia benar-benar merasa lebih baik. Coram turun dari tempat tidur dan menggosok-gosok kepalanya dengan lembut. “Aku ingin mandi.” Alanna menunjuk bak mandi yang sudah menunggu di sudut. Coram meliriknya. “Pesan sarapan! Sepertinya sekarang aku harus memanggilmu ‘Alan’?” Alanna kegirangan. Dia berlari meninggalkan kamar. Empat hari kemudian, pagi-pagi sekali mereka berangkat menuju Corus. Segera saja mereka menjadi bagian dari arus manusia yang menuju ibukota karena hari itu adalah hari pasar. Coram memimbing kudanya di antara kerumunan, sementara Alanna berusaha mengendalikan Chubby tidak jauh di belakangnya. Belum pernah dia melihat orang sebanyak ini! Ada pedagang, budak, pendeta, dan bangsawan. Dia bisa membedakan Bazhir—orang gurun—dari jubah mereka yang panjang dan bertudung. 27


Begitu juga pelaut, dari rambut mereka yang dikepang. Alanna beruntung karena Chubby terus membuntuti kuda Coram. Kalau tidak, dia pasti sudah tersesat. Pasar itu sendiri membuat anak perempuan dari kastil di pegunungan ini terpukau. Alanna mengerjapkan mata melihat warna-warni yang cerah. Ada bertumpuktumpuk buah berwarna oranye dan kuning, gantungangantungan biru dan hijau cerah, serta rantai yang terbuat dari emas dan perak. Sebagian orang juga membelalakkan mata seperti Alanna. Yang lainnya menyodorkan barang, berteriak-teriak kepada para pembeli. Kaum perempuan berbaju ketat mengincar lelaki di ambang pintu rumah mereka. Dan anak-anak berlarian dengan kaki telanjang, menyusupkan tangan ke dompet dan saku orang. Coram tidak kehilangan apa pun. “Jaga kantong pelanamu,” katanya sambil menoleh kepada Alanna di belakang. “Sebagian orang di sini bahkan tidak segan-segan mencuri gigi ibunya sendiri!” Sepertinya Coram menujukan komentarnya kepada seorang pemuda jangkung yang berdiri di dekat Alanna. Pemuda itu nyengir saja. Giginya yang putih berkilau di wajahnya yang kecokelatan terbakar matahari. “Siapa? Aku?” katanya, pura-pura tidak tahu. Coram mendengus dan menendang kudanya agar bergerak maju. Pemuda itu mengedipkan mata cokelatnya 28


kepada Alanna, lalu menghilang di antara kerumunan. Alanna mengawasi pemuda itu sampai seseorang berteriak supaya dia berhati-hati. Dalam hati dia bertanya-tanya, benarkah pemuda itu seorang pencuri? Kelihatannya dia baik hati. Mereka meninggalkan pasar, menempuh Jalan Pasar yang merupakan jalur perbukitan yang panjang dan berbelok-belok. Mereka melewati beberapa distrik, tempat tinggal para pedagang kaya, juga vila-vila kediaman kaum bangsawan yang bahkan lebih kaya lagi. Persimpangan antara Jalan Pasar dan Jalan Harmoni menandai awal Distrik Kuil. Di sini, Jalan Pasar berganti menjadi Jalan Istana. Coram meluruskan sadelnya. Setelah bertahuntahun berkecimpung di dunia prajurit, ini tak ubahnya perjalanan pulang. Begitu banyak kuil yang mereka lewati hingga Alanna tak sanggup menghitungnya. Kabarnya ada seratus dewa yang disembah oleh warga Corus. Tak heran ada begitu banyak kuil di sini. Alanna bahkan melihat sepasukan perempuan berbaju zirah. Mereka adalah penjaga Kuil Dewi Pertiwi. Perempuan-perempuan ini memegang senjata berupa kapak besar berkepala dua. Dan sudah pasti, mereka mahir menggunakannya. Tugas mereka adalah menjaga kesucian wilayah yang dinisbahkan kepada Dewi Pertiwi, dari kaki para lelaki. 29


Alanna tersenyum lebar. Suatu hari nanti dia akan mengenakan baju zirah juga. Tetapi, dia tidak akan ditempatkan di kuil! Jalur yang mereka tempuh tiba-tiba menjadi curam. Ini adalah ujung akhir Distrik Kuil. Di atas mereka adalah istana kerajaan. Alanna memandangnya dan napasnya tercekat. Di hadapannya adalah Gerbang Kota yang bersepuh emas, dengan ukiran yang berbentuk ribuan tokoh. Melalui gerbang inilah para raja dan ratu pergi ke kota pada hari-hari perayaan. Melalui gerbang ini pula rakyat berbaris untuk melihat pemimpin mereka pada Hari Pertunjukan Besar. Gerbang itu sama tingginya dengan tembok di belakangnya. Tembok yang dijaga oleh barisan prajurit berbusana khas kerajaan, dengan warna dominan merah dan keemasan. Di balik tembok, terdapat bangunan yang berdiri setingkat demi setingkat, juga menara-menara, hingga ke istana itu sendiri. Area ini dilengkapi dengan sejumlah taman, sumur, kandang kuda, barak, dan lapangan pelatihan tersendiri. Sementara di sebelah luar tembok, terbentanglah Hutan Kerajaan. Alanna sudah mengetahui semua ini dari buku dan peta milik ayahnya. Namun, tetap saja, kenyataan di hadapannya membuat dirinya terpana, lebih dari yang ditimbulkan tulisan dalam buku. 30


Coram memimpinnya ke pekarangan istana di samping kandang kuda. Di sini, para pelayan telah menunggu untuk menunjukkan ruangan masing-masing tamu. Mereka juga bertugas mengarahkan para pelayan yang datang mendampingi majikannya dan mengurus kuda mereka. Salah seorang pelayan istana menghampiri mereka. Coram turun dari kudanya. “Aku Coram ����������� Smythesson� dari Trebond. Aku datang bersama Tuan Alan of Trebond, untuk memulai pengabdiannya di Istana.” Sang tuan rumah membungkukkan badan. Suatu tata krama yang biasa diperoleh seorang pemuda bangsawan, tetapi lebih rendah dibandingkan yang diperoleh seorang bangsawan yang sudah dewasa. “Aku akan mengurus kuda Anda, Sir,” katanya. Suaranya tebal dan mengandung��������������������������������������� logat orang kota. “Timon!” panggilnya. Seorang pemuda ceking bergegas datang. “Ya, Stefan?” “Antar Tuan ini. Aku akan mengurus tasnya.” Alanna turun dari kuda dan memeluk Chubby sesaat, seolah-olah dia adalah teman terakhirnya. Kemudian, anak itu bergegas mengikuti Timon dan Coram. “Tunjukkan rasa hormat kepada Yang Mulia,” geram Coram di telinganya. “Dia sangat mahir menggunakan

31


pedang, dan pemimpin terbaik yang pernah kau temui.� Alanna menggosok-gosok hidungnya dengan gelisah. Bagaimana jika rencananya tidak berjalan mulus? Bagaimana jika Pangeran bisa menerka identitasnya? Alanna melirik Coram. Lelaki itu berkeringat. Alanna mengatupkan gigi dan mengangkat dagunya. Dia akan menghadapi semuanya dengan berani.

*

32


2 Asisten Bangsawan

D

uke Gareth of Naxen adalah lelaki tinggi-langsing, dengan rambut cokelat kusam yang jatuh ke mata

cokelatnya yang muram. Meskipun penampilannya biasabiasa saja, dia memiliki aura seorang pemimpin. “Alan of Trebond, ya?” Suaranya tipis dan sengau. Dia mengerutkan kening saat membuka surat Alanna. “Kuharap kau bisa menjadi orang yang lebih baik dibandingkan ayahmu. Dulu, dia tak pernah lepas dari buku.” Tenggorokan Alanna tercekat. Sang Duke membuatnya gugup. “Sampai sekarang pun masih seperti itu, Sir.” Bangsawan itu menatapnya tajam, tidak bisa memastikan apakah Alanna asal bicara atau tidak. “Hmph. 33


Kukira juga begitu.” Dia tersenyum dan mengangguk ke pendamping Alanna. “Coram Smythesson. Sudah lama sejak Pertempuran di Hutan Gembira.” Coram membungkuk dan tersenyum. “Kupikir Yang Mulia tidak ingat. Kejadiannya dua puluh tahun yang lalu, aku masih pemuda waktu itu.” “Aku tidak akan melupakan orang yang menyelamatkan nyawaku. Selamat datang di istana. Kalian akan senang tinggal di sini. Meskipun kau, anak muda, harus bekerja keras.” Duke Gareth beralih ke Alanna. “Silakan duduk, kalian berdua.” Mereka pun duduk. “Alan of Trebond, kau datang ke sini untuk belajar menjadi seorang kesatria dan bangsawan Tortall. Ini tidak mudah. Kau harus belajar membela kaum yang lemah, patuh kepada atasanmu, dan mendahulukan kebenaran. Suatu hari, kau mungkin bisa menentukan apa kebenaran itu.” Sulit sekali membedakan apakah dia bercanda atau serius. Namun, Alanna memutuskan untuk tidak bertanya. “Kau akan menjadi asisten bangsawan sampai usiamu empat belas tahun,” lanjut Duke. “Kau harus menunggu di meja saat waktunya makan malam. Kau harus membantu lord atau lady yang menjadi atasanmu. Kau akan menghabiskan separuh hari untuk mempelajari seni bertarung. Separuhnya lagi, kau lewati dengan membaca 34


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.