“Heavenly akan mencengkeram emosimu. Ditulis dengan sangat indah. Kau pasti akan menginginkannya lagi dan lagi.” —Ednah Walters, Penulis Awakened (The Guardian Legacy)
1 Aku membuka mata dan mendapati diriku berada di ruangan gelap. Di atas ranjang yang asing. Kepalaku berdenyut-denyut. Aku mencoba mengangkat tangan, tetapi tubuhku terasa berat sehingga nyaris tak dapat bergerak. Residu asam membuat bagian dalam mulutku terasa tebal. Di mana aku? Apa yang telah terjadi? Kilasan gambar berdenyut di benakku: wajah-wajah, gelak tawa, bayang-bayang. Bagaimana aku bisa berada di tempat ini? Aku harus mengerahkan seluruh tenaga untuk mengangkat kepalaku supaya bisa melihat ke sekitar. Sudut-sudut gelap. Sebuah pintu dengan bayang-bayang. Jendela bertirai. Aku masih mengenakan celana jins dan T-shirt merah berlengan panjang yang kupakai sebelum pesta, tetapi udara
2
dingin di bahuku menarik pandanganku yang kabur ke arah kain yang sobek, memperlihatkan kulitku. Dengan erangan, kepalaku terkulai kembali ke atas bantal. Ada yang salah, aku sangat mabuk, padahal aku belum menyentuh alkohol. Apa yang terjadi? Aku di mana? Kepanikan bergulir melalui darahku. Aku menarik napas panjang, bertekad untuk menopang tubuhku dengan siku agar dapat melihat tempat ini dengan jelas. Tapi, mengangkat tubuhku sendiri rasanya seperti mengangkat lempengan semen. Saat itulah aku melihatnya. Merasakan kehadirannya. Seperti matahari yang bersinar cerah di balik badai. Dia duduk di kursi seperti prajurit seusai bertempur. Kakinya yang panjang terjulur dan tangannya terentang di sisi tubuhnya, dengan telapak tangan menghadap ke atas, seakan pertempuran telah menguras tenaganya. Tetapi itu tidak mungkin. Sumber asal energinya mengalir terasa kekal. Kenyamanan yang biasa kurasakan ketika dia hadir di hadapanku berada di luar jangkauanku, menari-nari di sekitarnya dalam cahaya lembut. Satu-satunya cahaya di ruangan itu berasal dari tubuhnya, di bawah warna gading lembut pakaiannya. Dia tidak mengatakan apa-apa. Mata birunya yang jernih tampak galak, terkunci pada mataku. Rasa menggigil mengaliri tubuhku. Tatapannya bertemu dengan pandangan mataku dengan intensitas tajam, memotong terbuka jiwaku. Seolah-olah, dia akan membedah jiwaku saat itu juga untuk mengungkap 3
apakah aku bersalah atau tidak pada peristiwa malam itu. Aku membuka mulut untuk membela diri, tidak yakin balasan apa yang akan kuterima, tetapi tenggorokanku terkunci. Apakah aku sudah menyebabkan kami berada dalam bahaya? Apakah para penghuni surga akan memukul dan berteriak? Akankah dia meninggalkanku? Pikiranku dipenuhi rasa takut yang begitu pekat, tanganku gemetar. Aku hampir mengisut ke dalam kasur. “Apa yang terjadi?� suaraku serak. Tatapannya yang terkunci pada mataku membuatku tertahan, tatapan tanpa kedip yang tak bisa kuhindari. Kenangan malam itu bergulir lambat ke dalam hati nuraniku dan rasa malu memaksaku untuk memejamkan mata. Mengapa kau masuk, Zoe? Aku mendengar pertanyaannya sama jelasnya seolah dia telah berbicara kepadaku. Tapi, dia tidak berbicara kepadaku. Kami bisa membaca pikiran masing-masing, itulah indahnya, keajaiban hubungan kami. Aku tadi marah. Maafkan aku. Seharusnya aku tidak marah. Itu salah. Maafkan aku. Sunyi. Berkabut. Panas. Lembap. Tatap aku. Aku tidak bisa. Air mata menyerbu di balik mataku dan meluap melalui bulu mataku yang tertutup. Dia telah menyelamatkanku malam itu. Apa pun yang telah terjadi pasti berbahaya, seberapa seriusnya bahaya itu adalah sesuatu yang hanya bisa kuukur dari ketegangan di wajahnya—seperti
4
matahari yang mengoyak awan-awan hitam, menegaskan kekuasaannya atas langit.
***
hey Jemariku mengetik balasan SMS di ponsel merah mudaku: pa kabar?
tak ada yang baru aku bosan
kau di mana taman dengan abria
ooo, turut menyesal yeah... Aku mendongak untuk memeriksa adik perempuanku. Ayunan tempat yang dia duduki sedari tadi sekarang kosong, berayun semakin pelan. Aku memandang ke kanan, lalu ke kiri. Tidak ada. Aku melompat dari bangku, napasku membeku di dadaku dan berputar, mengamati taman yang dihiasi kerangka-kerangka pohon untuk mencarinya. Tidak ada. Aku berlari ke area memanjat yang sangat besar dari kayu cedar dan memandang ke dalam lubang-lubang bundar yang seharusnya merupakan jendela. “Abria?� “Abria!� teriakan kedua dari tenggorokanku membuat tangan dan kakiku gemetar. Aku membungkuk rendah, 5
menatap ke bagian bawah perosotan, lalu aku berlari memutar ke sisi lain area panjat. Area bermain itu kosong. Kepanikan menyerbuku, mencengkeram tenggorokanku dengan kepalan tangan yang kuat. Aku berdiri di atas pasir, tatapanku mengawasi bagian luar taman yang terjangkau untuk mencari sosoknya yang kecil. Lapangan baseball kosong terbentang di sebelah timur. Di sebelah barat: rumput dan pohon-pohon aspen yang tertidur, kurus akibat napas musim dingin. Di atas kepala, awan hitam yang ganas bertabrakan dengan uap abu-abu gelap, memenuhi udara dengan gemuruh guntur. Paviliun yang penuh bangku dan meja berada di belakangku. Paviliun itu juga kosong, kecuali piring dari kertas berwarna putih yang melayang dari satu meja ke meja lainnya, terbawa oleh angin sepoi-sepoi. Aku tidak bisa menelan gumpalan di tenggorokanku. Aku tidak bisa berhenti gemetar. Perasaan berat, yang cukup akrab denganku, membebani pundakku seakan aku telah dikubur hidup-hidup. Abria sudah pernah menghilang sebelumnya, tapi kau tidak akan pernah terbiasa dengan peristiwa anak lima tahun lenyap begitu saja di udara. Dia mengidap autisme. Orangtuaku, adik laki-lakiku, dan aku sering berharap kami mempunyai sepasang mata di belakang kepala kami. Hari ini giliranku menjaganya. Jantungku yang berdebar-debar tenggelam hingga ke kakiku saat aku mengamati taman, namun belum juga 6
melihat apa pun. Aku ingin berlari, tetapi kakiku terasa berat. Taman yang luas terbentang di depanku, pohon-pohon yang telanjang gemetar, rumput hijau berubah warna menjadi keemasan. Tidak ada orang lain di sini. Suhu udara terlalu dingin untuk berada di taman. Jadi, mengapa aku membawanya ke taman? Bayangan adikku berlari tanpa pengawasan ke tengah jalan, mengembara ke pekarangan belakang rumah seseorang, atau tersesat di hutan lebat yang menutupi pegunungan yang lokasinya cukup dekat dari taman menyumbat pikiranku. Akhirnya, aku bergerak. Kumohon, Tuhan, di mana pun dia berada, jagalah dia. Aku mulai menuju paviliun untuk memastikan dia tidak berada di belakang bangunan, meskipun aku yakin dia tidak berada di sana. Bila berlari, dia seperti bulu yang tertiup angin. Dia tidak berhenti. Sepatu tenisku berdecit di lantai semen paviliun yang kosong. “Abria?� Namanya bergema, lalu menghilang. Serbuan air mata menyelubungi pandanganku. Aku seharusnya tidak mengalihkan pandangan darinya. Aku seharusnya tinggal di rumah saja, menjaganya di dalam rumah. Aku bisa saja membuatnya duduk di depan TV dan memutar DVD... Itu cara yang mudah, dan aku sudah melakukannya terlalu sering hingga tak terhitung lagi. Menjaganya dengan cara yang mudah berarti aku bisa melakukan apa pun yang ingin kulakukan: mengobrol di telepon, online di Internet sementara dia duduk ternganga di depan sesuatu yang bodoh. 7
Membawanya ke taman mungkin terdengar seperti tindakan tak mementingkan diri sendiri bagiku, tetapi nyatanya tidak seperti itu. Karena itulah rasa bersalah ini terasa begitu berat, kini membuatku tercekik. “Taman.” Hanyalah satu dari sedikit kata yang dikenal Abria. Dia mengucapkan kata itu seperti bayi seekor burung. “Bawa dia, Zoe,” Ibu menyuruhku tak lebih dari sejam yang lalu. Menjaga adikku adalah hal terakhir yang sudi kulakukan. “Kuberi sepuluh dolar jika kau membawanya keluar selama sejam,” Ibu akhirnya mendesah. Jadi, di sinilah aku. Uangnya terselip di saku depan celana jinsku. Angin dingin menggigit pipiku. Aku menarik kerudung jaket cokelatku lebih erat di sekitar kepalaku. Aku seharusnya membawa mantel, tapi aku tidak berencana untuk berlama-lama di taman. Rencanaku hanya sepuluh menit di taman, lalu lima belas menit mengemudi pulang dengan mobilku diiringi musik yang kencang. Berkendara merupakan hal termudah kedua untuk membuat Abria terbuai. “Di mana kau?” Aku berteriak. Dia tidak pernah menjawab. Dia tidak akan merespons dengan menjulurkan kepala dari tempat persembunyian seperti anak normal lain. Jika dia normal seperti anak-anak lain, hal seperti ini tidak mungkin terjadi. Dia akan menjawabku. Dia akan bermain denganku. Dia akan benar-benar menjadi adik 8
perempuan dan bukan seperti alien dari planet lain yang tidak bisa kuajak bicara, tidak bisa kupahami. Separuh waktu kusayangi dan kubenci pada separuh waktu sisanya karena hidupku bukan lagi milikku sendiri sejak dia dilahirkan. Bahkan dengan seluruh perbedaan kami, aku selalu merasakan suatu pertalian tak lazim dengan Abria. Mungkin karena aku telah menjadi ibu kedua baginya, merasakan dalamnya keprihatinan orangtuaku akan hidupnya, kebahagiaannya dan keselamatannya seakan dia adalah bagian dari diriku. Aku berdiri mematung, memejamkan mata dan mendengarkan, berharap akan mendengar tawa ringannya yang terbawa angin, berharap segera menemukannya. Abria, di mana kau? Angin berbisik melalui cabang-cabang pohon yang gundul—desisan kutukan dan rasa bersalah. Aku kembali memutari sisi paviliun tepat saat awan meretih dan berdentum. Aku harus menelepon Ibu dan memberitahunya, tetapi aku menghindari hal itu. Aku muncul di sekitar sudut tembok batu bata dan berhenti. Di sana, ada seorang lelaki muda yang berdiri di hadapanku. Dia menggandeng Abria. Debaran di dadaku semakin kencang. Tadinya aku benar-benar yakin kami hanya berdua di taman itu. Dari mana pemuda itu muncul?
9
Dia memiliki mata biru yang sangat tajam menusuk. Matanya terkunci pada mataku, kokoh. “Hai....” Suaranya dalam dan tenang, seperti aliran air hangat. “Uh... hai.” Aku melangkah maju dan menggendong Abria ke dalam pelukanku, lalu mundur. “Kau di sini.” Aku memeriksanya dari kepala sampai jari kaki dengan cepat. Apakah pemuda itu menyentuhnya? Menyakitinya? Aku tidak akan pernah tahu, Abria tidak bisa memberitahuku, suaranya terkunci di suatu tempat di dalam dirinya. Menyadari bahwa Abria dan aku hanya bertiga dengan pemuda asing ini membuat sarafku mengerut. Jantungku berdegup lebih kencang dan kegelisahan yang kurasakan merayap naik ke tenggorokanku dan praktis membuatku tercekik. “Kau menemukannya. Terima kasih,” aku bergumam. Dia tersenyum, rasanya seakan seberkas cahaya matahari mengelilingi kami, menaikkan suhu udara musim dingin ke tingkat suhu yang menyenangkan. Mata birunya yang bening tampak tajam, namun menenangkan seperti mengintip ke sungai yang mengalir di belakang rumah kami, suara lembut yang sering menenangkanku ketika aku merasa jengah. “Dia sedang berlari-lari,” katanya. “Yeah, dia sering begitu.” Aku menggigil meskipun kehangatan mengelilingiku. Aku heran bagaimana bisa dia berada di luar dalam suhu udara yang dingin menggigit dalam pakaian yang mengesankan, seolah dia baru saja meninggalkan pantai: celana pantalon berwarna gading 10
dan kemeja putih dari bahan selembut sutra yang sama. Tetapi, kulitnya tidak berwarna kecokelatan seperti orang yang sering ke pantai. Cenderung lebih pucat ketimbang warna kulitku dan bersih tanpa cacat, seperti salju yang baru jatuh. “Um, terima kasih.” “Sama-sama.” “Bagaimana kau menemukannya? Maksudku, aku tadi tidak melihatmu.” Bagaimana jika dia telah bersembunyi, mengawasi kami, menunggu. “Aku melihatnya berlari.” Aku melangkah mundur lagi, meskipun aku tahu tidak akan sanggup berlari lebih cepat darinya. Dia tampak kurus dan gesit dalam balutan pakaiannya yang ringan itu. Usianya sepertinya tak berbeda jauh denganku. Sementara hendak melakukan apa pun yang menjadi tujuannya datang ke tempat ini, dia telah menemukan kami berdua. Aku merenggut Abria ke tubuhku. “Well, terima kasih lagi,” kataku, bergerak menjauh perlahan-lahan. Abria tidak suka dipeluk, dia menggeliat dan menggeram di pinggulku. Tubuhnya menegang di tanganku dan aku merasakan dia pelan-pelan bergerak menolak peganganku. Pemuda itu tidak bergerak, hanya berdiri dengan senyuman lembut. Tapi, aku tidak mudah dibodohi. Betapa seringnya aku melihat wajah-wajah seperti pemuda itu muncul di berita? Well, mungkin tidak persis seperti wajahnya. Dia lebih tampan daripada kebanyakan psikopat. 11
Aku hampir luluh pada ketenangan yang mencoba menyebar ke dalam diriku setiap kali aku menatap matanya. “Selamat tinggal, Abria.” Dia melambai singkat kepada Abria. Abria membalasnya dengan sebuah tatapan, meskipun dia masih sibuk berusaha melepaskan diri dari tanganku. “Bagaimana kau bisa tahu namanya?” tanyaku. Kebingungan tersirat di wajahnya. “Aku mendengarmu memanggilnya.” “Oh. Benar. Terima kasih lagi. Dia tidak memahami dengan baik. Dia mengidap autisme.” Dia tampaknya merenungkan kata-kataku, ekspresinya berpikir. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi tatapannya tetap terpaku pada Abria dalam cara simpatik. Kebanyakan anak remaja yang kuceritakan tentang kecacatan Abria menatapnya dengan tertarik dan kasihan, yang disertai dengan rasa takut yang cukup besar. Dia pasti lebih dewasa daripada penampilannya, pikirku, karena sama sekali tidak ada kecanggungan tidak nyaman yang sering kali diperlihatkan oleh teman-temanku sewaktu mereka melihat adikku. Akhirnya Abria bergerak hingga terlepas dari peganganku, tetapi dengan cepat aku menangkap pergelangan tangannya. “Tidak, kau tidak boleh pergi ke mana pun.” Dia mengeluarkan lolongan bernada tinggi. Aku mengernyit. Pemuda asing itu pastinya akan terkejut. Tapi, wajahnya tetap tenang dan yang lebih mengejutkanku
12
adalah keharuan yang kulihat membuat nuansa matanya menjadi semakin biru. Aku begitu terpaku oleh perubahan nuansa pada tatapannya, aku berdiri terpaku, menatap lekat-lekat. Abria menggeram dan menggeliat melawan pelukanku. Dia ingin berlari lagi karena itulah yang dia lakukan di ruang terbuka yang luas seperti ini. Satu sentakan sengit membangunkanku dari kebingungan, dan aku menyentakkan Abria ke tubuhku, disiram rasa malu dan marah karena pemuda itu berdiri begitu tenang sementara aku berjuang agar tidak menjadi sangat marah, memukul pantat Abria keras-keras, dan menyeretnya ke mobil. “Hentikan. Aku sebaiknya pergi. Terima kasih lagi,” kataku. “Tentu.” Abria melolong dan berusaha menggigitku. Aku mulai melangkah ke arah mobil, kesal karena adikku bersikap seperti binatang liar. Amukannya selalu membuatku merasa telanjang—seolah-olah seluruh kemarahan dan kebencian yang kupendam di dalam hatiku kepadanya dapat dilihat oleh penonton yang memvonis, yang akan menertawakanku dan mengatakan, Kasihan kau, lihat kau terjebak dengan anak seperti apa! “Ayo.” Aku menariknya di sisiku, tidak memedulikan apa yang dipikirkan oleh pemuda itu atau betapa aku terlihat gila dan marah. Abria telah mencuri soreku yang menyenangkan. Sebagian dari diriku selalu menikmati ketika memarahinya di depan umum. Seakan 13
aku bisa berdiri bersama seluruh penghuni dunia dan menertawakannya. Mengasihaninya. Menjaga jarak darinya. Kenikmatan itu hanya berlangsung sesaat. Rasa malu yang tak bisa diacuhkan pun muncul. Tidak seorang pun, bahkan aku, memahami ekspresi tak berdosanya yang terjebak dalam area “terlupakan�. Dan, aku tidak bisa menyelamatkannya dari area yang terasing itu. Seperti orang-orang lain, aku berdiri dengan pasrah di luar area itu. Apa yang akan dipikirkan oleh pemuda asing itu tentang sikap ala remajaku? Pastinya akan ada rasa simpati di wajahnya, mengerti bahwa kesabaranku sudah mencapai batasnya dan aku tidak dapat menjalani tantangan ini lebih dari satu detik lagi. Ketika rasa frustrasiku akhirnya menyurut dan digantikan oleh rasa penasaran, aku mencuri pandang melalui bahuku. Pemuda itu telah pergi.
*
14
2 Keuntungan memiliki saudara kandung yang tidak bisa bicara hanya sedikit. Tapi sementara aku mengemudi ke arah rumah, takut dan bingung karena bertemu dengan pemuda itu di taman, aku lega Abria tidak akan mengatakan apa-apa tentang kelalaianku pada Ibu dan Ayah. Aku menatapnya dari kaca spion tengah. Dia duduk, terlilit sabuk pengaman di tempat duduk khusus balita, mengepakkan tangannya. Aku tidak suka kalau dia sedang bertingkah seperti itu. “Berhenti mengepak. Kau tampak seperti burung.� “Bur. Bur.� Yeah, apalah. Suasana hatiku lebih tenang daripada biasanya. Namun, dia duduk di sana sambil tersenyum, dengan ceria menatap keluar jendela seakan peristiwa lima belas menit terakhir tidak pernah terjadi. Seluruh
15
peristiwa yang kuingat, tidak menyisakan kenangan apa pun untuknya. Entah memang keadaannya seperti itu atau dia senang menempatkanku dalam rasa ngeri yang baru saja kualami. Aku menyalakan radio, mengencangkan volume lagu rock. Aku harus menjernihkan pikiranku dan satu-satunya cara yang mujarab adalah tenggelam dalam dentuman musik. Dia tidak suka suara musik kencang yang lagi-lagi alasannya tidak kami pahami. Kami hanya bisa mengatakan bahwa banyak anak autis memiliki pendengaran yang hiper-sensitif. Bahkan, sering kali musik klasik membuatnya merengek-rengek. Aku menatapnya lagi. Setidaknya dia sudah berhenti mengepak-ngepak. Sekarang dia benar-benar duduk diam seolah mendengarkan alunan musik yang tak bisa kudengar, dan dia memandang keluar jendela seperti patung. Bagus. Kemenangan terasa begitu manis, tapi kepahitan segera menyusul. Aku tidak bisa membiarkan suara musik mengganggu pendengarannya tanpa rasa bersalah, jadi aku mengecilkan volumenya dan melihat reaksinya. Dia berkedip dan mulai bergerak lagi. Aku mendesah. Sementara kami berkendara, aku mendengarkan musik dan ocehannya. Aku memikirkan pemuda di taman itu. Mata birunya, yang menenangkan dan menggairahkan, terpahat dalam ingatanku. Aku berusaha mengingat detail wajahnya. Aku tidak memperhatikan apa warna rambutnya. Aku tidak bisa membayangkan hal lain selain matanya. 16