The Chocolate Box Girls: MARSHMALLOW SKYE Diterjemahkan dari The Chocolate Box Girls: Marshmallow Skye karya Cathy Cassidy Copyright Š 2011 Cathy Cassidy Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Hak terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ada pada PT. Ufuk Publishing House Desain Sampul: Julie Ingham Tata Letak: Ufukreatif Design Penerjemah: Utti Setiawati Penyunting: Nur Sofiyani Korektor: Tendy Yulianes Susanto Cetakan I: Maret 2011 ISBN: 978-602-9346-55-8 HEART PT Ufuk Publishing House Anggota IKAPI Jl.Kebagusan III, Komplek Nuansa Kebagusan 99, Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520, Indonesia Phone: 021-78847081, 78847012, 78847037 Homepage: www.ufukpress.com Blog: http://ufukfantasticfiction.blogspot.com Email: redaksi@ufukpress.com Facebook: ufuk fantastic fiction Twitter: @ufukita
Cal dan Caitlin yang selalu bersamaku, selalu...
Haiya‌
A
ku selalu bertanya-tanya seperti apa
rasanya kembar‌ punya saudara identik, belahan diri. Cukup mengasyikkan. Dulu, kukira begitu. Tapi, apakah akan terasa seperti itu? Bagaimana kalau kembaranmu berbakat, populer, sempurna‌ sementara kau selalu dalam bayang-bayangnya? Mungkin rasanya tidak begitu mengasyikkan. Skye Tanberry biasa merasa jadi yang terbaik kedua, tapi ketika dia diberi peti berisi gaun-gaun tahun 1920-an yang dulunya milik kerabat yang telah lama hilang, dia akhirnya memiliki sesuatu yang menjadi miliknya sendiri. Tak lama kemudian, dia mendapati dirinya dihantui oleh mimpi indah dan sedih tentang masa lalu, dan mulai naksir cowok yang tak pernah bisa dia miliki. Skye tidak terlalu percaya hantu‌ lalu bagaimana dia bisa naksir salah satunya?
Skye tahu dia dalam kesulitan saat bersembunyi di masa lalu sepertinya lebih aman daripada hidup di masa kini… tapi dapatkah dia menemukan kekuatan dan keberanian untuk melepas mimpi-mimpi itu? Marshmallow Skye adalah seri kedua dari The Chocolate Box Girls-ku. Kisah tentang persahabatan����������������������������� , saudara-saudara perempuan, dan belajar memercayai… dan, tentu saja, permen cokelat! Bergelunglah bersama jajanan manis favoritmu dan hanyutkan dirimu dalam kisah Skye… ikuti mimpi!
1
A
ku tidak percaya hantu.
Aku percaya papan lantai yang berderit,
embusan udara sejuk yang tiba-tiba, dan lolongan aneh ketika angin bersiul menerobos pinggiran atap. Kalau kau hidup di rumah tua besar seperti Tanglewood, itu sudah bagian dari paket. Sejak dulu, aku hidup di Tanglewood. Mum dan Dad datang untuk tinggal di sini ketika kakak perempuanku, Honey, masih bayi. Kakek meninggal ketika masih sangat muda dan Nenek Kate menikah lagi dengan orang Prancis bernama Jules. Mereka ingin hidup di Prancis, tapi Nenek Kate tidak mau menjual rumah keluarga. Jadi, dia memberikannya pada kami. Tanglewood adalah rumah besar bergaya Victoria dan letaknya hanya
selemparan batu dari pantai. Menurutku, tempat ini merupakan seiris kecil surga. Sebagian orang menganggap Tanglewood agak seram—dan kurasa aku bisa melihat alasannya. Rumah itu memang kelihatan seperti bisa ditinggali hantu. Tanaman merambat menempel ke bata merah lembutnya, lalu jendela-jendelanya tinggi, melengkung, dan bersilang-silang besi. Jenis jendela di mana kau mungkin berharap akan melihat seraut wajah sedang mengawasi: bayangan pucat bermata sayu dari masa lalu. Adegan yang mungkin kaubaca di novel—kisah saat jam berdentang dua belas kali dan kau terbangun, menemukan misteri serta intrik, juga orang-orang dalam pakaian bergemeresik yang berjalan menembusmu seolah kau tidak ada sama sekali. Dulu, aku berharap hal seperti itu terjadi padaku. Aku ingin masuk ke masa lalu, melihatnya sendiri. Aku tumbuh besar dengan mendengarkan kisah-kisah hantu, menghabiskan musim panas bersama saudarasaudara perempuanku sambil mencari penglihatanpenglihatan seram, dan penampakan hantu‌ Tapi, aku tidak pernah melihat satu pun. Satu-satunya hantu yang sekarang kupercaya adalah jenis hantu Halloween, kecil, berwajah
lengket, dan berdandan memakai seprai putih, mencengkeram kantong plastik penuh toffee apple dan penny chew**. “Skye! Summer!” teriak adik perempuanku, Coco, menjulurkan kepala di pintu. “Kalian berdua belum siap? Cherry sudah menunggu di lantai bawah, dan aku juga sudah siap sejak tadi. Kalau tidak bergegas, kita bisa ketinggalan pesta! Ayo cepat!” “Tenang,” ucap Summer, menyemprot rambutnya yang sempurna dengan semburan hairspray. “Kita punya banyak waktu, Coco. Pestanya baru mulai jam tujuh!” “Skye, katakan padanya!” ratap adik perempuanku. “Suruh dia bergegas!” Tapi, sulit menganggap Coco serius. Sebab, dia mengecat hijau wajahnya, menghitamkan sebagian giginya, dan membuat rambutnya berdiri menggunakan neon gel. Dia memakai jaket wol tua milik pacar Mum, Paddy, dan kurasa dia seharusnya jadi Monster Frankenstein.
����� Apel yang ditusuk tongkat lolipop dan dicelupkan ke dalam ����� �������� ���������������� ���� �������������� ������ karamel atau permen yang dilelehkan. ** Permen dengan ������� ����������������������� harga rata-rata satu ����� penny dan biasa dibeli di mesin penjaja.
“Sepuluh menit,” janjiku. “Kami akan segera turun!” Coco memutar-mutar bola mata dan berderap menuruni tangga. Summer tertawa. “Dia sangat tidak sabaran!” “Hanya bersemangat,” kataku pada kembaranku. “Dulu kita seperti itu, ingat?” “Kita masih seperti itu, Skye,” sahut Summer sambil memperbaiki gaun putih cabik-cabiknya. “Tapi, jangan beri tahu Coco! Aku suka Halloween, masa kau tidak? Asyik sekali... seperti jadi anakanak lagi.” Aku tersenyum. “Aku tahu, kan?” Dan, tentu saja Summer tahu… dia lebih mengenalku daripada siapa pun di dunia. Dia tahu bagaimana perasaanku tentang banyak hal, karena hampir sepanjang waktu dia merasakan hal yang sama. Dan memakai kostum… yah, itu satu hal yang kami berdua suka. Aku mencondongkan tubuh ke arah cermin, mengambil sisir sikat. Aku tidak sepintar kembaran��������� ku���������������������� dalam hal rambut dan make-up, tapi aku suka sihirnya, momen saat kita mendongak dan melihat,
10
selama sepersekian detik, orang yang sungguh berbeda. Gadis dalam cermin itu sekarang pucat dan mirip hantu, cewek bayangan. Ada noda segelap tinta di bawah mata biru besarnya seolah dia tidak tidur selama seminggu, dan rambutnya kusut serta liar, terbelit daun tanaman merambat dan pita beledu hitam. Dia kelihatan seperti cewek dari masa lalu, cewek dengan kisah rahasia. Dia tipe cewek yang bisa membuatmu percaya hantu. “Keren,” kataku sambil nyengir, dan cewek hantu itu nyengir juga. “Kau kelihatan hebat,” puji Summer saat aku berpaling dari cermin. “Kira-kira, apa kau akan kecantol cowok vampir imut di pesta?” “Cowok vampir menjengkelkan,” sahutku. Summer tertawa. Tapi, yang sebenarnya, kami masih dalam tahap memimpikan cowok-cowok di buku, cowok-cowok dalam film, cowok-cowok anggota band. Kami sama-sama tidak punya pacar. Aku suka begitu, dan kurasa Summer juga. Lagi pula, kalau melihat cowok-cowok di SMP Exmoor Park, kau pasti maklum. Mereka kekanakkanakan, menjengkelkan, dan sudah pasti tidak 11
bikin kita naksir. Misalnya Alfie Anderson, si badut kelas, yang masih menganggap lucu menjentikkan keripik di seputar kantin dan meledakkan bom kentut di koridor. Berkelas. Summer duduk di pinggir ranjangnya, memulas kilauan perak di tulang pipi, mengecat bibirnya agar serasi. Pakaian kami sama, rok yang terbuat dari cabikan-cabikan jala berjumbai dan berlapis, sifon, dan sobekan-sobekan seprai yang dijahit tergesa-gesa pada rompi putih lama. Di tubuh Summer, tanpa upaya apa pun, pakaian itu kelihatan cantik. Tapi, saat aku menoleh kembali ke cermin, bisa kulihat aku sedang mengolok-olok diri sendiri—di tubuhku, pakaian itu kelihatan agak konyol dan tidak masuk akal. Aku bukan gadis hantu, hanya bocah yang bermain-main memakai kostum, dan itu tidak sebagus kembaranku. Kurasa selalu seperti itu sejak dulu. Summer dan aku kembar identik. Mum benarbenar menjalani scan saat sedang hamil. Kami berdua bergelung bersama dalam tubuhnya seperti anak kucing. Kami tampak seperti sedang bergandengan tangan. Fotonya kabur dan abu-abu, seperti layar TV saat gelombangnya buruk dan segalanya kelihatan 12
retak-retak serta patah, tapi tetap saja itu foto yang paling menakjubkan. Summer muncul di dunia lebih dulu, empat menit lebih cepat daripada aku. Dia memesona, berani, dan penuh tekad. Aku mengikuti setelahnya, berwajah pink dan melolong. Mereka membasuh kami, mengeringkan tubuh kami, membungkus kami dengan selimut senada, dan meletakkan kami di lengan Mum. Dan, apa hal pertama yang kami lakukan? Benar. Kami bergandeng tangan. Selalu seperti itu sejak dulu, sungguh. Kami seperti dua sisi mata uang yang sama, bocah yang sangat mirip, masing-masing pantulan sempurna dari yang lain. Sejak awal, masing-masing tahu apa yang sedang lainnya pikirkan. Kami menyelesaikan kalimat satu sama lain, pergi ke mana-mana bersama, berbagi harapan dan mimpi, juga mainan, makanan, pakaian, dan teman. Kami sahabat bagi satu sama lain. Tidak—lebih daripada itu. Kami adalah satu sama lain. “Mereka cantik, kan?� orang-orang berkata. “Bukankah mereka hal termanis yang pernah kau lihat dalam hidup?� 13
Summer akan meremas tanganku dan ��� memiringkan����������������������������������� kepala ke satu sisi, dan aku akan melakukan hal yang sama. Lalu, kami tertawa dan melarikan diri dari orang dewasa, kembali ke dunia kecil kami sendiri. Dalam waktu yang sangat lama, aku tidak tahu di mana Summer berakhir dan aku mulai. Aku memandangnya untuk mengetahui apa yang sedang kurasakan, dan kalau dia tersenyum, aku juga tersenyum. Kalau dia menangis, aku akan mengusap air matanya, melingkarkan tangan di tubuhnya, dan menunggu rasa sakit di dalam memudar. Kedengarannya payah, tapi kalau dia sedih, aku juga sedih. Kukira akan seperti itu selamanya, tapi ternyata tidak. Dulu, kami berdua ikut kelas balet—kami gila balet. Kami punya tas balet berwarna pink dengan sepatu balet kecil dan ikat rambut yang juga berwarna pink, buku-buku penuh kisah balet, sebuah kardus di rumah penuh rok balet, sayap peri, dan tongkat. Saat mengingat-ingat, kurasa sebenarnya sejak dulu aku agak lebih suka berdandan daripada menari, tapi perlu waktu beberapa lama baru aku melihat 14
bahwa aku hanya gila balet karena Summer begitu. Aku melihat antusiasmenya pada tari, dan kukira aku juga merasakannya… tapi sebenarnya aku hanya gadis cermin, memantulkan kembaranku. Aku mulai muak pada ujian-ujian balet ketika Summer menang dengan terhormat, sementara aku berjuang tersaruk-saruk untuk lulus; muak pada pertunjukan tari ketika Summer mendapat peran utama, sementara aku tersembunyi di bagian belakang kelompok. Dia memiliki bakat menari, aku tidak… dan sedikit demi sedikit, itu mengikis kepercayaan diriku. Setelah salah satu pertunjukan saat semua orang naik dan memberi tahu Summer betapa hebatnya dia, akhirnya aku menemukan keberanian untuk mengaku bahwa aku tidak ingin ikut balet lagi. Itu terjadi pada saat Dad pergi dan segalanya berubah. Mengubah satu hal lagi sepertinya bukan kejadian besar, setidaknya menurutku. Tapi, Summer tidak paham. “Kau tidak boleh berhenti, Skye!” debatnya. “Karena kau marah atas kepergian Dad, ya? Kau cinta balet!” “Tidak,” kataku padanya. “Dan ini tidak ada kaitannya dengan Dad. Kau yang cinta balet, Summer. Aku tidak.” 15
Summer memandangku dengan wajah kusut dan bingung, seolah dia tidak memahami gagasan tentang kau dan aku. Well, aku sendiri baru mulai belajar. Sampai saat itu, hanya kami yang selalu ada. Akhir-akhir ini, aku bertanya-tanya apakah urusan tari itu adalah awal. Kadang, bila kita mengubah satu hal, seluruh pola jadi berantakan, hancur, seperti potongan-potongan kecil dalam kaleidoskop. Kurasa aku mengeruhkan suasana antara kembaranku dan aku, dan tiga tahun kemudian kami masih menunggu debunya mengendap. Aku menoleh kembali ke cermin, dan sesaat aku melihat gadis hantu itu lagi, rambut awutawutan dan mata sayu, ketakutan, bibir terbuka seolah berusaha mengatakan sesuatu padaku. Lalu, dia lenyap.
16
2
D
apur berbau toffee dan cokelat.
Mum sedang
berada di depan Aga, sebuah kompor berikut oven, sedang menusuk apel dan mencelupkannya ke panci berisi toffee leleh keemasan untuk kami bawa ke pesta, dan Paddy telah membawakan setumpuk perpaduan truffle toffee-apple dari bengkel cokelat untuk kami coba. “Coba cicipi,” katanya. “Mungkin saja ini, rasa yang akan melontarkan kita pada ketenaran dan kekayaan…” Paddy dan putrinya, Cherry, pindah ke rumah kami pada musim panas, dan rasanya seolah mereka sudah diterima. Mereka seperti dua potongan teka-teki yang hilang bahkan tanpa kami ketahui. Masih ada lubang tidak rata di tempat Dad dulu, 17
tapi kami jadi makin tangkas mengitarinya. Lagi pula, memiliki Paddy dan Cherry di sini sangat membantu. Cherry keren, baik hati, dan lucu, seperti persilangan antara saudara perempuan dan teman. Paddy banyak tertawa dan pandai bermain biola. Dia telah mengubah kandang lama menjadi bengkel kerja untuk bisnis yang dia dan Mum luncurkan. The Chocolate Box. Bau cokelat leleh menyelimuti rumah akhir-akhir ini, dan tidak mungkin itu sesuatu yang buruk. Mum dan Paddy akan menikah pada bulan Juni, jadi saat itu kami akan menjadi keluarga yang sesungguhnya. Cherry dan Paddy membuat segalanya jadi lebih menyenangkan. Yah, hampir segalanya. Kami berkerumun untuk mencicipi adonan itu: dua gadis hantu, Frankenstein yang nyengir (Coco), dan seorang penyihir (Cherry). Racikan truffle itu terasa persis seperti Halloween, gelap, manis, dan berkaitan dengan musim gugur. Pacar Cherry, Shay Fletcher, juga ada di sini, memakai topeng manusia serigala dengan gumpalan bulu abu-abu menempel, pura-pura menggigit Fred, anjing kami. Aku agak terkejut melihatnya. Dulu dia berkencan dengan kakak perempuanku, 18