1
A
da tempat-tempat yang biasa didatangi oleh anakanak sepertiku. Anak pemurung, anak nakal,
anak yang bosan dan kesepian, anak-anak yang berbeda. Hari apa saja, kalau kau tahu ke mana harus mencari, kau akan menemukan kami: di belakang pertokoan, di jalan tikus, di bawah jembatan di pinggir kali dan sungai, di sekitar garasi, di gubuk-gubuk, di kebun kosong. Kami ada ribuan jumlahnya. Itu pun kalau kau memutuskan untuk mencari kami. Kalau melihat kami, biasanya orang-orang membuang muka, berpura-pura kami tak ada. Begitu lebih mudah. Jangan percaya omong kosong tentang memberikan kesempatan kepada semua orang. Saat orang melihat kami, mereka merasa lega karena kami tidak berada di sekolah bersama anak-anak mereka, mengganggu �������������������������������� pelajaran����������������������� mereka, membuat hidup
mereka menderita�� �����������. ������������������������������ Guru-guru juga begitu. Apakah menurutmu para guru kecewa kalau kami tidak datang untuk mendaftar? Yang benar saja, mereka malah tertawa. Mereka tidak menginginkan anak-anak seperti kami berada di kelas mereka, dan kami juga tak ingin berada di sana. Sebagian besar nongkrong dalam kelompok-��������� kelompok� kecil, berdua atau bertiga, menghabiskan waktu dengan percuma. Kalau aku, aku lebih suka sendirian. Aku lebih suka mencari tempat yang tidak ada orangnya, tempat aku tidak perlu memandang siapa-siapa, tempat aku tidak usah melihat nomor mereka. Itulah sebabnya aku kesal saat aku tiba di tempat nongkrong kesukaanku di pinggir kali dan mendapati seseorang sudah ada di sana sebelum aku. Kalau itu hanya orang asing, gelandangan tua atau pecandu, aku tinggal mencari tempat lain, gampang. Tapi, dasar nasib, itu salah satu anak dari kelas “khusus” Mr. McNulty: si besar mulut jangkung yang tak bisa diam, yang biasa dipanggil Spider. Dia tertawa saat melihatku, langsung menghampiri dan menggoyangkan satu jari di wajahku. “Nakal, nakal! Sedang apa kau di sini, Nak?” Aku menggerakkan bahu, menunduk.
Dia terus menggodaku. “Tak kuat seharian bersama Nutter, ya? Bukan salahmu, Jem. Dia sakit. Seharusnya dia tidak boleh dibiarkan keluar, iya, kan?� Spider bertubuh besar, jangkung. Salah satu dari orang-orang yang gemar berdiri terlalu dekat, tak tahu kapan harus mundur. Kurasa itulah sebabnya dia sering berkelahi di sekolah. Dia selalu berada di dekatmu, sampai-sampai kau bisa mencium baunya. Bahkan, kalau kau berpaling dan berputar, dia masih ada di dekatmu— sama sekali tidak pandai membaca tanda-tanda, tak pernah mengerti isyarat. Pandanganku terhalang oleh tepi tudung baju hangatku, tapi karena dia menjulang di atasku dan secara naluriah aku mengerakkan kepalaku untuk menjauhinya, mata kami bertemu sesaat dan terpampanglah di sana. Nomornya. 15122009. Itulah alasan lain mengapa dia membuatku merasa tidak enak hati. Anak malang. Dia tidak mungkin selamat, bukan, dengan nomor seperti itu? Semua orang punya nomor, tapi kurasa hanya aku yang bisa melihatnya. Yah, sebenarnya aku tidak benar-benar “melihat�-nya, cuma seperti sesuatu yang melayang di udara; nomor itu sepertinya muncul begitu saja di kepalaku. Aku merasakannya, di suatu tempat di belakang mataku. Tapi, nomor itu nyata. Aku tak peduli kalau kau tak percaya, terserah kau saja, aku tahu
nomor itu nyata. Dan, aku tahu apa artinya. Teka-teki itu terpecahkan pada hari ibuku meninggal. Aku selalu melihat nomor-nomor itu, sepanjang ingatanku. Kukira semua orang begitu. Sambil berjalanjalan, kalau aku bertemu pandang dengan orang lain, pasti ada, nomor mereka. Dulu, aku suka ���� memberitahukan����������������������������������������� nomor orang-orang itu kepada ibuku saat dia mendorong keretaku. Kukira Mum akan senang. Pasti Mum pikir aku pintar. Dasar bodoh. Kami sedang bergegas menyusuri jalan utama, menuju kantor Departemen Sosial untuk mengambil tunjangan mingguan Mum. Kamis biasanya hari yang indah. Sebentar lagi, tak lama lagi Mum bisa membeli barang dari rumah yang dipalangi di ujung jalan kami, dan dia akan merasa senang selama beberapa jam. Setiap otot tegang di tubuhnya akan mengendur, dia akan mengajakku bicara, bahkan terkadang membacakan cerita untukku. Aku memekikkan nomor orang-orang itu dengan riang sambil kami melaju. “Dua, satu, empat, dua, kosong, satu, sembilan! Tujuh, dua, dua, kosong, empat, enam!” Tiba-tiba, Mum menyentakkan kereta dorong sampai berhenti dan memutarnya sampai menghadap dirinya. Dia merunduk dan memegang kedua sisinya, membentuk kerangkeng dengan tubuhnya, mencengkeram dengan
begitu erat sampai-sampai aku bisa melihat urat-urat di lengannya menonjol, lebam dan bekas jarum suntiknya semakin kentara. Dia menatap mataku dengan tajam, amarah terpampang jelas di wajahnya. “Dengar, Jem,� kata-katanya menghambur dari wajahnya, “aku tak tahu apa yang kau ocehkan itu, tapi kumau kau menghentikannya. Bikin kepalaku pusing. Aku tidak membutuhkan itu hari ini. Mengerti? Aku tidak membutuhkannya. Jadi... tutup... mulutmu.� Kata-katanya menyengat seperti lebah mengamuk, ludah berbisanya muncrat ke arahku. Dan sementara itu, saat kami duduk di sana saling menatap, nomornya ada di sana, tertatah di bagian dalam tengkorakku: 10102001. Empat tahun kemudian, aku memperhatikan seorang pria yang mengenakan jas lecek menuliskannya di atas selembar kertas: Tanggal kematian: 10.10.2001. Aku menemui Mum pagi-pagi. Aku bangun tidur, seperti biasanya, memakai baju hendak berangkat sekolah, mengambil sereal untukku sendiri. Tidak pakai susu, karena susunya basi saat kukeluarkan dari kulkas. Aku meletakkan kotak susunya di samping kulkas, menjerang air dan mengunyah Coco Pops-ku sambil menunggu airnya mendidih. Setelah itu, aku membuatkan kopi hitam untuk Mum dan mengantarkan ke kamarnya
dengan hati-hati. Mum masih di tempat tidur, ���������� kelihatannya����������������������������������������������� sedang bersandar. Matanya terbelalak, dan ada sesuatu, muntahan, di bagian depan tubuhnya dan di atas seprai. Aku meletakkan kopi di lantai, di samping jarum suntik. “Mum?” kataku, walaupun aku tahu dia tidak akan menjawab. Tidak ada orang di sana. Mum sudah pergi. Dan nomornya juga hilang. Aku masih ingat, tapi tak bisa melihatnya lagi saat aku menatap mata hampanya yang kosong. Aku berdiri di sana selama beberapa menit, beberapa jam—entahlah—kemudian turun dan menceritakannya kepada wanita yang tinggal di flat di bawah flat kami. Dia naik untuk memeriksa. Menyuruhku menunggu di luar flat, seolah-olah aku belum melihatnya, dasar bodoh. Wanita itu hanya menghilang selama tiga puluh detik, lalu tergopoh-gopoh melewatiku dan menumpahkan isi perutnya di lorong. Begitu selesai, dia mengelap mulutnya dengan saputangan, membawaku ke flatnya dan menelepon ambulans. Setelah itu, orang-orang pun berdatangan: orang-orang berseragam—polisi, petugas ambulans; orang-orang berjas—seperti lelaki yang membawa papan catatan dan kertas itu; dan seorang wanita, yang berbicara kepadaku seakan-akan aku anak terbelakang dan membawaku pergi dari sana, dengan
begitu saja, membawaku dari satu-satunya tempat yang pernah kukenal. Di dalam mobilnya, dalam perjalanan yang hanya Tuhan yang tahu ke mana, aku terus memutar rekaman itu di benakku. Kali ini bukan nomor, melainkan katakata. Dua kata. Tanggal Kematian. Tanggal Kematian. Kalau saja aku tahu bahwa nomor itu adalah tanggal kematian, aku bisa memberi tahu Mum, ������������� menghentikannya����������������������������������������������� , entahlah. Apakah akan ada bedanya? Kalau Mum tahu bahwa kami hanya punya waktu tujuh tahun untuk bersama? Apa Mum akan tetap jadi pecandu. Tak ada di dunia ini yang bisa menghentikannya. Dia sudah terjerat. Aku tak suka berada di kolong jembatan dengan Spider. Aku tahu itu termasuk luar ruangan, tapi aku merasa tersekap, terperangkap di sana bersamanya. Spider seolah-olah memenuhi tempat ini dengan lengan dan tungkainya yang panjang dan kurus, yang terus menerus bergerak—tersentak-sentak, tepatnya—belum lagi baunya yang minta ampun itu. Aku menghindar melewatinya dan keluar ke jalan di pinggir kali. “Mau ke mana kau?” dia berseru di belakangku, suaranya yang menggelegar, memantul di tembok beton. “Jalan,” gumamku.
“Baik,” katanya, sambil mengejarku. “Jalan dan ngobrol,” katanya, “jalan dan ngobrol.” Dia berjalan mengiringi langkahku, terlalu dekat dengan bahuku, menyenggolku. Aku terus berjalan, menunduk, tudung dipasang, petak-petak jalan dan sampah melesak di bawah sepatuku. Spider berjalan dengan santai di sampingku. Kami pastilah kelihatan tolol, aku yang bertubuh terlalu kecil untuk anak berumur lima belas tahun dan dia yang seperti jerapah hitam yang berlari. Dia mencoba mengajakku mengobrol sedikit, tetapi aku tak menggubrisnya. Sambil berharap dia menyerah dan pergi. Tidak ada harapan. Kurasa aku harus mengusirnya dengan kata-kata untuk membuatnya menyingkir, dan bahkan itu pun mungkin belum tentu membuatnya pergi. “Jadi, kau anak baru di sini, ya?” Aku menggerakkan bahu. “Dikeluarkan dari sekolahmu yang lama? Kau cewek bandel, ya?” Dikeluarkan dari sekolah, dikeluarkan dari “rumah” terakhirku, dan yang sebelumnya dan yang sebelumnya lagi. Orang-orang hanya tidak mengerti aku. Tidak mengerti bahwa aku butuh sedikit ruang. Selalu mendikte apa yang harus kulakukan. Mereka pikir peraturan, rutinitas, tangan bersih, dan memperhatikan kata-kata 10
guru akan membuat semuanya baik-baik saja. Mereka sama sekali tidak tahu. Spider merogoh sakunya. “Mau rokok? Aku punya, lihat.” Aku berhenti dan memperhatikan saat dia mengeluar���������� kan��������������������������������������������� satu pak rokok yang sudah lecek. “Ambillah.” Dia menyodorkan sebatang dan menyalakan korek untukku. Kucondongkan tubuhku ke depan dan menarik napas sampai rokok terbakar, dan pada saat yang sama menghirup bau badannya. Dengan cepat aku mundur dan mengembuskan napas lagi. “Trims,” gumamku. Spider mengisap rokoknya, seakan-akan itu benda paling enak sedunia, lalu mengembuskan asapnya dengan dramatis dan nyengir. Dan kupikir, kurang dari tiga bulan lagi, hanya itu. Yang dilakukan anak malang ini hanyalah bolos sekolah dan merokok di pinggir kali. Itu tidak bisa disebut kehidupan, bukan? Aku duduk di atas tumpukan bekas bantalan rel kereta. Nikotin mengurangi sedikit kegelisahanku, tapi tak ada yang mampu membuat Spider tenang. Dia naikturun, memanjat bantalan rel, meloncat turun, berjalan di atas ujung kakinya sambil berusaha menyeimbangkan diri di bantaran sungai, melompat lagi. Kupikir, begitulah caranya dia pergi nanti, dasar bocah sinting, meloncat
11
turun entah dari mana, mengakibatkan leher celakanya itu patah. “Apa kau tak bisa diam?” kataku. “Tidak, aku bukan patung. Bukan patung lilin seperti di museum Madame Tussauds. Aku punya banyak energi, Sob.” Spider berjingkrak-jingkrak di sana, di jalanan pinggir kali. Mau tak mau aku nyengir. Rasanya seperti untuk yang pertama kalinya setelah beberapa tahun. Anak muda itu membalas cengiranku. “Senyummu manis,” katanya. Itu membuatku jengkel, aku tak suka komentar pribadi. “Tutup mulutmu, Spider,” kataku, “jangan banyak omong.” “Santai, Sob. Aku tidak bermaksud apa-apa.” “Yah, nah... Aku tidak suka.” “Kau juga tak suka menatap orang, kan?” Aku menggerakkan bahu. “Kata orang kau sombong, garagara kau selalu menunduk, tak mau melihat mata orang lain.” “Nah, itu juga urusan pribadi. Aku punya alasan sendiri.” Spider berputar dan menendang batu ke dalam kali. “Terserah. Dengar, aku tak akan bermanis-manis lagi denganmu, mengerti?” “Baiklah,” jawabku. 12
Ada bel tanda bahaya berbunyi di dalam kepalaku. Sebagian dari diriku menginginkan ini lebih dari apa pun di dunia—punya seseorang untuk berbagi, bersikap seperti orang lain untuk sejenak. Sebagian lagi menjerit menyuruhku menyingkir dari sana, agar jangan terjerat. Kau terbiasa dengan seseorang—mulai menyukai mereka—dan mereka meninggalkanmu begitu saja. Pada akhirnya, semua orang akan pergi. Aku menatapnya, dia melompat ke sana kemari dari satu kaki ke kaki lainnya, lalu meraup kerikil dan melemparkannya ke air. Jangan melangkah ke arah situ, Jem, pikirku. Dalam waktu beberapa bulan dia akan pergi. Sewaktu punggung Spider berbalik, aku bangkit diam-diam dari tempatku bertengger di atas bantalan rel dan mulai berlari. Tanpa penjelasan, tanpa ada ucapan selamat tinggal. Aku bisa mendengar Spider memanggil dari belakangku, “Hei, mau ke mana kau?” Aku ingin dia tetap di sana, tak usah mengikuti. Semakin jauh jarak yang kurentangkan di antara kami, suaranya semakin samar-samar “Ya sudah. Sampai besok, Sob.” *
13
2
N
utter sedang melecutkan cambuknya. Pasti ada yang mengguncangkan kandangnya—apa pun
itu, yang jelas dia sedang memperhatikan kami. Tak boleh macam-macam, tak boleh mengobrol, kepala tertunduk, ulangan Bahasa Inggris, tiga puluh menit. Intinya, kalau ada yang menyuruhku melakukan sesuatu, aku selalu bermasalah. Aku ingin menyuruh mereka agar jangan menggangguku. Aku akan mengerjakannya sesuai dengan keinginanku. Bahkan, kalau itu sesuatu yang memang ingin kulakukan. Tapi, yang ini tidak. Jangan salah, aku bisa membaca, kurang lebih, tapi tidak bisa terlalu cepat. Otakku sepertinya perlu waktu untuk mencerna kata-kata. Kalau aku mencoba membaca dengan cepat, semuanya jadi tumpang-tindih, kata-kata itu jadi tak ada artinya. Omong-omong, aku 14
sedang berusaha keras kali ini. Sungguh. Karen, ibu angkatku, membacakan sanksi dari peraturan tidak boleh membolos sekolah. Kau tahu bagaimana rasanya, bukan? “Sudah waktunya belajar... mendapatkan kualifikasi itu penting... hidup ini bukan geladi resik...” Karen sudah bicara dengan pihak sekolah, dengan petugas sosialku—para tersangka yang biasa—dan kurasa aku tidak butuh omelan lagi. Aku akan menuruti semuanya, sambil terus menundukkan kepalaku���������� ������������������ sedikit, agar mendapat ruang untuk bernapas. Herannya, anak-anak lain juga tenang. Mereka bisa merasakan suasana hati si Nutter yang kejam dan memutuskan untuk tidak memancing-mancing. Ada sedikit kasak-kusuk dan keluh-kesah, tetapi pada dasarnya semua orang duduk diam dan mengerjakan soal-soal—atau berpura-pura begitu—ketika, tanpa peringatan, sesuatu merangsek masuk ke dalam ruangan. Pintu mengayun di engselnya dan terbanting ke dinding di belakangnya, lalu Spider pun menerobos masuk solah-olah ditembakkan oleh meriam, sambil terhuyung-huyung, nyaris tersungkur. Suasana langsung meledak. Anak-anak mulai bersorak-sorai dan memekik, berteriak-teriak kepada Spider.
15
Nutter tidak terkesan. “Apa maksudmu dengan menerobos masuk seperti itu? Pergilah keluar ke lorong, dan masuk lagi seperti manusia yang beradab.” Spider terenyak sambil menghela napas secara berlebihan dan memutar kepalanya ke langit-langit. “Ah, ayolah, Sir. Sekarang aku sudah masuk, bukan? Aku ada di sini.” McNulty berbicara dengan pelan, tetapi dengan kekuatan, kalau kau mengerti maksudku, seakan-akan dia baru saja berhasil menahan segala sesuatunya agar tetap terkendali. “Lakukan saja seperti yang kuminta, dan kita akan mulai dari awal lagi.” “Untuk apa Anda melakukan ini, Sir? Aku tidak perlu berada di sini, tapi aku toh ada di sini. Aku siap untuk belajar, Sir.” Tatapan ironisnya melayang ke arah kami, disambut dengan seruan riuh-rendah. “Mengapa Anda harus membuatku menderita seperti ini?” Si Nutter menarik napas dalam-dalam. “Aku tak tahu mengapa kau memutuskan untuk bergabung dengan kami hari ini, tapi sesuatu sudah membawamu kemari. Sekarang, kalau kau ingin bergabung, dan kuharap demikian, kau harus keluar, masuk dengan tenang, seperti yang kuminta, dan kita akan meneruskan pelajaran.”
16
Ada jeda panjang, sementara mereka saling menatap. Kami semua terdiam, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Untuk pertama kalinya, Spider nyaris berdiri diam-diam di sana, matanya menatap Nutter, hanya satu kakinya yang bergoyang-goyang. Dia kemudian berputar dan keluar, dengan begitu saja. Setiap mata di dalam kelas itu memperhatikan dia pergi dan tetap mengamati pintu yang kosong melompong. Apakah dia pergi tanpa kembali? Ada gumaman pelan saat dia muncul kembali, berdiri dengan tegak, sesantai-santainya. Dia berhenti sejenak di depan pintu. “Pagi Sir,” katanya dan mengangguk ke arah Nutter. “Selamat pagi, Dawson.” Ada kesan waspada di mata McNulty, tak yakin bagaimana menghadapi sikap Spider yang jelas-jelas menyerah itu. Khawatir, karena kemenangan itu terlalu mudah diraih. Guru itu meletakkan kertas soal, beberapa lembar kertas dan pulpen di meja Spider. “Duduklah, Nak, dan kerjakan ulangan ini sebaik-baiknya.” Dengan santai, Spider menghampiri mejanya, sementara����������������������������������������������� McNulty kembali ke depan kelas dan berdiri di sana, mengawasi kami. “Baiklah, Anak-anak, tenanglah. Dua puluh lima menit lagi. Mari kita lihat seberapa baik kemampuan kalian.”
17
Tetapi, kembalinya Spider yang tak disangka-sangka itu sudah merusak suasana. Kami merasa resah sekarang, ada suara-suara pelan di sana-sini. Semua orang gelisah; ada yang mengobrol, kaki kursi terseret di lantai. McNulty menepuki beberapa anak, mencoba untuk kembali mengendalikan situasi: “Tolong perhatikan soalnya, ya.” Dia berjuang dengan sia-sia. Sementara aku, kata-kata di hadapanku berenang dan menari-nari. Tidak ada artinya, sebuah pola, tak lebih dari itu, tidak ada bedanya dengan aksara Cina atau Arab. Karena aku tidak bisa berhenti bertanyatanya, akukah alasan kembalinya Spider. Sewaktu di pinggir kali, kupikir aku merasakan awal dari sebuah hubungan, dan itu membuatku ketakutan setengah mati. Sejak saat itu, aku menghindari Spider, tetapi kupikir dia tak akan menanggapiku, sampai hari ini. Sebab, aku berani sumpah saat dia berjalan ke mejanya, dia mengedipkan sebelah matanya kepadaku. Beraniberaninya. Memangnya dia pikir dia itu siapa? Sesudah istirahat makan siang, Nutter tak tahan lagi. Dilatarbelakangi kebisingan, tawa canda riang, obrolan, tiba-tiba dia berhenti. “Baiklah, singkirkan buku, pulpen, dan kertas. Semuanya. Sekarang!” Nah, mau apa lagi dia sekarang? “Ayolah, lakukanlah. Semuanya singkirkan. Kita harus 18
bicara.” Mata diputar, ada yang menguap—ya ampun, kami mengerti, sebentar lagi pasti ada wejangan. Kami menaruh alat-alat tulis di tas atau menjejalkannya ke saku, dan menunggu kedatangan omong-kosong standar: “Sikap kurang ajar... mengecewakan diri kalian sendiri... tidak punya rasa hormat...” Ternyata tidak. Alih-alih, McNulty berjalan di antara meja-meja, berhenti dan mengatakan sesuatu kepada kami satu per satu sebelum melanjutkan ke anak lain. “Pengangguran.” “Kasir.” “Tukang sampah.” Sewaktu sampai giliranku, dia bahkan tidak berhenti. “Tukang bersih-bersih,” katanya sambil terus berjalan. Terus begitu sampai kembali ke depan, berputar dan menghadap kami. “Baiklah, bagaimana perasaan kalian?” Kami menatap meja atau ke luar jendela. Rasanya persis seperti yang dia ingin kami rasakan. Seperti sampah. Kami semua tahu masa depan seperti apa yang menanti kami selepas sekolah, tidak perlu pecundang seperti dia untuk mengingatkan kami. Spider kemudian memecah keheningan. “Aku merasa baik-baik saja, Sir. Itu hanya pendapat Anda saja, bukan? Tidak ada artinya. Aku bisa melakukan apa pun yang kumau, iya, kan?” “Tidak, Dawson, itulah intinya, dan aku ingin kalian semua mendengarkan baik-baik. Saat ini, dengan sikap 19
kalian seperti ini, ke sanalah tujuan kalian. Akan tetapi, kalau kalian mau sedikit bekerja keras, berkonsentrasi, berusaha sebaik-baiknya selama tahun terakhir kalian di sini, keadaan bisa saja berbeda. Kalau kau mendapatkan nilai GCSE , mendapatkan rapor yang bagus dari sekolah, jauh lebih banyak yang bisa kalian capai.” “Ibuku bekerja jadi kasir.” Itu Charmaine, dua bangku dariku. “Ya, dan tidak ada salahnya dengan pekerjaan itu. Tapi, kau, Charmaine, bisa jadi manajer toko kalau kau mau. Kalian semua perlu memandang sedikit lebih jauh, menyadari apa yang bisa kalian raih. Menurut kalian, apa yang akan kalian kerjakan? Ayolah, apa yang akan kalian lakukan dalam waktu setahun, dua tahun, lima tahun? Laura, kau duluan.” Dia berkeliling kelas. Sebagian besar anak tidak punya bayangan. Atau, mereka tahu bahwa penilaian pertama McNulty sangatlah tepat. Sewaktu tiba giliran Spider, aku menahan napas. Anak yang tidak punya masa depan, apa yang akan dia katakan?
* General Certificate of Secondary Education (GCSE) adalah kualifikasi akademik yang diberikan untuk beberapa mata pelajaran tertentu, yang umumnya diambil oleh pelajar berusia 14–16 tahun pada sekolah tingkat menengah di Inggris, Wales, dan Irlandia Utara.
20
Tentu saja, dia menjawab tantangan tersebut sambil berdiri. Dia duduk di sandaran kursinya, seakan-akan hendak berpidato. “Lima tahun dari sekarang, aku akan berjalan-jalan dengan BMW hitamku, sambil menyetel musik dengan sound system-ku, banyak uang di sakuku.” Anak-anak lelaki bersorak. McNulty menatapnya dengan putus asa. “Dan bagaimana, Dawson, caramu untuk mewujudkannya?” “Dengan melakukan ini-itu, Sir. Jual-beli.” Air muka McNulty berubah. “Pencurian, Dawson? Menjual narkoba?” katanya dingin. McNulty menggelengkan kepalanya. “Aku hampir tak tahu mau bilang apa, Dawson. Melanggar hukum, menjual penderitaan. Hanya itukah yang bisa kau angankan?” “Itu satu-satunya cara orang seperti kami agar bisa mendapatkan uang. Mobil Anda apa, Sir? Astra merah kecil yang di parkiran itu? Mengajar? Bekerja selama dua puluh tahun? Begini, ya, aku tidak mau punya mobil Astra.” “Duduklah, Dawson, dan tutup mulutmu. Yang lain, silakan. Jem, bagaimana dengan kau?” Bagaimana aku bisa tahu apa yang akan terjadi kepadaku? Aku bahkan tidak tahu di mana aku akan tinggal setahun dari sekarang. Mengapa pria ini menyiksa kami, membuat nyali kami ciut seperti ini? Aku menarik 21
napas dalam-dalam dan berkata, semanis mungkin, “Aku, Sir? Aku tahu apa yang kuinginkan.” “Oh, bagus. Lanjutkan.” Aku memaksakan diri menatap matanya secara langsung������������������������������������������� . 25122023. Berapa usianya sekarang? Empat puluh delapan? Empat puluh sembilan? Dia akan hidup sampai tiba saatnya pensiun kalau begitu. Pada hari Natal, lagi. Hidup ini memang kejam, bukan? Suasana Natal akan rusak bagi keluarganya untuk selamalamanya. Sudah sepantasnya dia mendapatkan itu, dasar jahat. “Sir,” jawabku, “aku ingin menjadi... seperti... Anda.” Untuk sesaat, wajahnya jadi cerah, ada senyuman yang separuh terbentuk, kemudian menjadari bahwa aku sedang memperolok dirinya. Wajahnya meredup, dan McNulty menggelengkan kepalanya. Mulutnya membentuk garis keras, semua orang bisa melihat tulangtulang menyembul saat dia mengatupkan rahangnya. “Keluarkan buku matematika kalian,” bentaknya. “Membuang-buang waktuku saja,” rutuknya pelan. “Buang-buang waktu.” Sambil keluar kelas, Spider dan aku saling menepukkan sebelah tangan. Biasanya aku tidak melakukan itu,
22
tetapi tanganku teracung untuk menyambut tangannya seolah-olah punya kehendak sendiri. “Gayamu boleh juga, Sob,” katanya, sambil mengangguk tanda setuju. “Kau bikin dia KO. Telak.” “Trims,” kataku. “Spider?” “Ya.” “Kau tidak jual narkoba, kan?” “Ah, tidak, bukan yang berat-berat, aku cuma becanda. Gampang sekali, kan, kadang-kadang? Kau mau pulang?” “Tidak, ada hukuman.” Aku perlu waktu ��������� beberapa� menit, untuk membiarkan arus anak-anak yang berbondong-bondong keluar itu menipis. Karen akan menunggu di luar gerbang. Dia menemaniku berjalan pergi dan pulang sekolah sekarang, hanya sampai aku “bisa dipercaya”. Tidak mungkin aku akan membiarkan anak-anak ini melihatku bersamanya. “Sampai nanti kalau begitu.” “Yah, sampai nanti.” Dia menendang-nendang tasnya sambil melewati pintu kelas dan setelah itu menyampirkannya. Dan, sambil memperhatikan pemuda itu, aku membatin, Jauhi narkoba, Spider, demi Tuhan. Benda itu sangat berbahaya. * 23
3
H
ari ini adalah salah satu hari di bulan Oktober kelabu yang tidak pernah benar-benar ada
cahaya. Hujan turun dengan enggan, hanya air yang menggantung di udara, di wajah, menetes di manamana. Aku bisa merasakannya merembesi tudung baju hangatku, mulai membuat bahu dan puncak punggungku kedinginan. Kami sedang menikung di bagian belakang pusat pertokoan, tempat dinding betonnya bertemu dengan aliran kali yang berwarna hijau kusam. “Seharusnya kita masuk ke pertokoan saja, setidaknya di sana kering,� aku menyarankan. Spider menggerakkan bahunya dan mendengus. Bahkan, gerakannya agak teredam hari ini, seakan-akan cuaca telah menyerap energinya.
24