1
H A LT E D I V I EN N A
P
asangan basah kuyup itu bersandar di tepi danau. Hanya kepala, bahu, dan kedua lengan yang
menjulur ke luar danau. Sisanya masih terendam di air danau yang tampak dingin. Tangan mereka yang tidak tertutup sehelai benang pun memegang roti beroles. Mereka tertawa lebar, beberapa detik sebelum roti itu masuk ke mulut mereka. Mata mereka memancarkan kepuasan hidup. Di bawahnya, terpampang dengan huruf besar putih: BECAL, MARGARIN PENURUN KOLESTEROL. Wanda memandangi papan reklame sebesar rumah BTN di seberang halte bus, tempatnya berdiri saat itu.
3
Austria. Ia tersenyum sendiri. Negara satu ini memang hebat urusan reklame. Bukan saja ukurannya yang super raksasa dan kualitas gambar yang bisa diikutsertakan dalam pameran seni rupa, tapi juga penempatannya. Dari yang standar seperti di pinggir jalan, terutama di dekat lampu lalu lintas, di depan halte atau lapangan parkir, sampai yang tidak biasa, seperti di tembok rumah orang atau tergantung di depan jendela gedung tinggi. Wanda tidak bisa membayangkan kalau dirinya yang tinggal di rumah itu. Bagaimana ia harus memberitahu orang lain? Rumahku yang temboknya bergambar iklan makanan anjing. Atau, ruang kantorku tepat di balik reklame pakaian dalam. Atau, kejadian menghebohkan yang baru-baru ini muncul di penjuru kota Vienna. Seorang lelaki kurus yang sedang mandi, tentu tanpa busana, menatap histeris rumahnya yang tiba-tiba roboh. Di luar rumah, pekerja bangunan dengan buldoser menutup mulut mereka. Mimik mereka seolah berkata, Ups.... kami merobohkan rumah yang salah. Mudah ditebak. Pastinya iklan perusahaan asuransi. Apa lagi? “Ke mana kita besok?� Wanda menoleh. Bahasa Indonesia! Negeri yang lebih banyak jumlah sapi ketimbang manusianya ini belum terlalu digemari turis Indonesia. Sampai saat ini, bisa dihitung dengan jari berapa kali ia bertemu orang 4
Indonesia. Untuk itu, Wanda harus berterima kasih dengan pendengarannya. Betapa pun ramainya suasana, berapa banyak pun manusia yang ada di sekitarnya, telinganya bisa menangkap percakapan dalam bahasa Indonesia itu. Seperti sekarang, di halte bus yang penuh orang. “Terserah saja.” Laki-laki tinggi berkacamata menjawab pertanyaan lelaki lain yang tadi bertanya. Ia menarik jaket kulitnya rapat ke dada, mencoba melawan rasa dingin. “Ke Salzburg, yuk!” ujar lelaki yang berpenampilan perlente seperti seorang pengusaha. Ia berjaket wol tebal hitam panjang sampai ke lutut yang dibiarkan terbuka kancingnya, memperlihatkan setelan jas dan dasi yang tidak murah. “Wah, jangan deh. Karcis keretanya berapa lagi itu, belum beli oleh-oleh, nih,” jawab si lelaki berjaket kulit. Si lelaki perlente tertawa tanpa suara. “Mumpung sudah di Austria, aku sih sudah sering ke sini, kau itu, kapan lagi.” “Jalan-jalan di Vienna saja. Masih dua minggu lagi soalnya. Sayang uangnya, apalagi harga makanan di sini, wuih....”
5
“Jangan dibandingkan dengan di Jakarta, dong. Kalau semua dihitung dengan rupiah, memang jadi mahal kelihatannya. Di sini....” Suara si lelaki perlente lenyap tertelan suara bus yang baru datang. Bus itu membuka pintu otomatisnya. Orang-orang dengan tertib menanti sampai tidak ada lagi orang yang keluar dari bus, baru mereka masuk ke dalamnya. Otomatis, pintu tertutup lagi dan bus melaju pergi. “Enam menit lagi.” Si lelaki perlente menatap jadwal bus di dinding halte. “Enaknya di sini, kendaraan umum selalu tepat waktu,” ujarnya lagi. “Kadang-kadang tidak manusiawi, biarpun sudah di depan mata, kalau terlambat dan pintu sudah tertutup, penumpang tidak akan diangkut.” “Daripada semuanya telat karena satu dua orang? Ah enak, haltenya jadi sepi, semuanya pergi .” Tertegun, si lelaki perlente menatap Wanda. Satu-satunya yang tersisa di halte itu. “Excuse me, entschuldigung, Indonesia?” Ia mendekati Wanda dengan senyum sopan. “Ya, Anda juga?” jawab Wanda pura-pura baru tahu kalau ada mereka di halte itu. “Wah, ketemu cewek Indonesia di Vienna! Kerja atau kuliah, Mbak?” 6
“Anda sendiri?” “Urusan bisnis, konsultan. Nama kerennya, asset management. Panggil Alex saja. Mbak, tinggal di mana?” Senyum Wanda mengembang. Umur pria itu kelihatannya tidak lebih muda darinya. “Saya Wanda, di sini kuliah, tepatnya belajar. Karena bukan di universitas, tinggal di Studentheim, seperti asrama pelajar.” “Belajar apa? Sudah lama? Tadi katanya bukan kuliah, tapi kayaknya sudah bukan anak SMA.” Mata Wanda yang besar dan bulat kini berbentuk sabit karena tertawa, “Bukan, bukan... saya belajar masak, dapat beasiswa, ambil spesialisasi kue.” “Dapat beasiswa... wow, beruntung sekali. Berapa lama sekolahnya?” “Tiga tahun, tapi sudah selesai, tinggal urusan administrasi. Dua minggu lagi saya balik ke Jakarta.” “Sudah tiga tahun di Vienna? Hebat juga. Banyak Mbak yang dapat beasiswa?” “Tiap tahun sekitar sepuluh orang dari Indonesia. Tapi, tergantung penempatan dan keahliannya. Ada yang perhotelan, biasanya di Salzburg atau masak. Maksudnya makanan besar seperti di restoran, ada yang spesialisasi roti, nantinya jadi ahli roti di hotel-hotel atau seperti saya, kue.” 7
“Baru tahu ada beasiswa buat ahli kue dan roti,” gumam Alex terpana. Ia menatap takjub Wanda bagaikan menemukan tumpukan emas. “Mas Alex sendiri sudah lama di sini?” tanya Wanda jengah. “Alex saja, tanpa mas. Belum, baru satu minggu, tapi saya sudah sering bolak-balik ke Austria. Kantor pusat saya di sini, dua minggu lagi juga balik ke Jakarta. Kita satu pesawat jangan-jangan....” Alex tersenyum simpul. “Emmm... Sabtu sore kalau tidak salah.” “Berarti satu pesawat!” Wanda menatap Alex setengah percaya. “Penerbangan ke Jakarta dari Vienna cuma dua kali seminggu, Selasa dan Sabtu. Jadi, kalau Mbak pulang hari Sabtu, bakal sepesawat dengan kami. Ah ya, Dhi! Dari tadi diam saja. Ini Mbak teman saya, Sidhi, dari Jakarta juga.” Pria yang dipanggil Sidhi membetulkan letak kacamatanya sebelum mengulurkan tangan, “Sidhi.” “Wanda.” Sidhi berdiri di belakang Alex, seperti enggan meneruskan pembicaraan. “Emm... Mas Sidhi kerja di konsultan juga?” “Bukan, arkeolog.” 8
“Echt?” cetus Wanda spontan. “Benarkah?” Sidhi mengangguk cepat-cepat, membuat rambutnya yang ikal sebahu bergoyang. “Dia diundang seminar Mbak,” lanjut Alex. “Ada perusahaan pembersih batu, kurang lebih seperti itu, ya kan Dhi? Mengundang arkeolog dari Asia dan Eropa ke kantor pusat mereka di Vienna.” Alis Wanda bertaut. “Kok bisa saling kenal? Kebetulan?” “Oh bukan, kami teman sejak Taman Kanak-Kanak, SD, SMP, SMA satu sekolah tapi beda jurusan. Waktu kuliah juga bareng di Universitas Indonesia, biarpun fakultasnya beda. Makanya ketika dia bilang dapat undangan ke Vienna, bersamaan dengan jadwal saya ke kantor pusat, ya sudah.” Wanda memandangi Alex yang menampilkan deretan gigi putih terawatnya dan Sidhi yang tersenyum simpul. “Naik bus nomor 45 juga Mbak?” tanya Alex tibatiba. Ia menatap jam tangan berlapis emasnya. “Tidak, 40, empat menit setelah 45.” “Sayang.” Alex menarik hidungnya. Wanda mengangkat bahu, tanpa tahu apakah juga harus merasa sayang tidak satu bus dengan mereka.
9
“Besok ada acara Mbak? Lumayan Sabtu jalanjalan. Terutama buat Sidhi yang baru pertama kali ke Vienna.” Sidhi menyikut Alex. “Lho benar kan Mbak, selagi di sini, harus jalan-jalan.” “Sudah ke Schoenbrunn? Istana kaisar Austria?” Wanda mencoba bersikap ramah. “Saya sudah, dia belum. Tapi kalau Mbak mau ikut, saya juga ikut. Bagaimana Mbak? Besok, jam sembilan pagi di halte Schoenbrunn?” Wanda terperangah. Baru kali ini ia bertemu orang penuh percaya diri seperti Alex. “Jarang-jarang kan jalan dengan orang Indonesia? Apalagi tinggal dua minggu di Austria. Diresapi suasana istana kaisarnya,” rayu Alex. “Mungkin Mbak Wanda sudah punya rencana lain,” ujar Sidhi pelan. “Kami tidak menggigit kok, Mbak, hehehe....” Alex merendahkan volume suaranya sambil tersenyum. “Kalau cuma sama saya, pasti Sidhi bilang tidak. Kalau ada orang lain, pasti dia bakal mau jalan-jalan.” Ia mendekatkan kepalanya ke Wanda, tapi dengan sengaja mengeraskan suaranya. “Kasihani teman saya ini, Mbak. Dia butuh pencerahan biar wawasannya terbuka.” 10
Sidhi yang ikut mendengar langsung merah padam. “Kasihan itu Mbaknya. Sudah, Lex. Mbaknya juga punya acara sendiri....” Bus nomor 45 mendadak muncul. Pintu otomatisnya terbuka, beberapa orang keluar dari dalam bus. “Besok ya, Mbak. Jam sembilan, halte Schoenbrunn. Bilang iya, Mbak,” Alex masih terus merayu Wanda. Sidhi masuk ke dalam bus sambil menarik ujung jaket Alex. Dari mimiknya, tampak sekali ia ingin memasukkan kepalanya ke dalam ember saking malunya. Atau lebih baik, memasukkan kepala Alex saja ke dalam ember. Alex melangkah ke dalam bus, tapi tetap menoleh ke arah Wanda, setengah berteriak, “Setuju ya, Mbak?” Wanda tertawa dan menggangguk. “Iya! Dhi, dia bilang Iya!” Pintu bus tertutup dan menderu pergi. Menyisakan wajah Alex dengan mulut membentuk kata: besok. ***
11
2
C I N T A DAR I P ERUT
N
“
ah bagaimana kesannya?” Alex mengerjapngerjapkan mata. Sinar matahari kini mencorong
tajam menghujam mata dan kulit. Langit biru bersih tak berawan, seperti habis dicuci. Lucunya, suhu udara tidak bergerak dari delapan derajat. “Coba itu, kaisar Austria saja menghargai seni dari Asia, sampai beliau membuat kamar khusus dengan barang-barang dari Asia,” kata Wanda sambil mengeratkan ikat pinggang jaketnya. “Menurutmu, Dhi?” tanya Alex. Tak ada jawaban.
12