Truly Madly Bab 1

Page 1


Diterjemahkan dari Truly Madly karya Heather Webber Copyright Š 2010, Heather Webber Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Hak terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ada pada PT. Ufuk Publishing House Pewajah Sampul: St. Martin’s Design Pewajah Isi: Husni Kamal Ufukreatif Design Penerjemah: Utti Setiawati Penyunting: Uly Amalia Pemeriksa Aksara: Cahyo Prasetya Cetakan I: April 2012 ISBN: 978-602-9346-50-3

UFUK FICTION PT. Ufuk Publishing House Anggota IKAPI Jl.Kebagusan III, Komplek Nuansa Kebagusan 99, Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520, Indonesia Phone: 021-78847081, 78847012, 78847037 Homepage: www.ufukpress.com Blog: www.ufukfictionmagz.blogspot.com Email: redaksi@ufukpress.com Facebook: ufuk fantastic fiction Twitter: @ufukita


LUCY VALENTINE NOVEL: Truly Madly Deeply, Desperately Absolutely, Positively



1 A

kan datang waktu dalam kehidupan setiap

gadis saat dia menyadari bahwa ayahnya tidak sempurna. Bagiku, pengetahuan itu datang bertahun-tahun lalu dan terjadi lagi dengan keteraturan yang mengguncang. Baru-baru ini kesadaran itu menghantam lagi setelah ayahku mendapat serangan jantung yang nyaris fatal saat berpartisipasi dalam tarian tango di sebuah pantai di Marblehead bersama seorang wanita yang bukan ibuku. Dia bersama orang lain bukanlah hal yang mengejutkan.


Tapi, kenyataan bahwa dia di pantai. Ayahku benci pasir. Untungnya, pacar barunya pasti pernah memiliki pengalaman menghadapi serangan jantung. Dia memastikan ayahku dinaikkan ke ambulans dan dalam perjalanan ke Rumah Sakit Umum Massachussets sebelum terjadi kerusakan permanen pada jantungnya. Itu dua minggu lalu. Saat ini, aku mengawasinya mondar-mandir di kamar tidur trendinya yang luas. Cahaya matahari mengisi kamar itu dari deretan jendela yang menjulang dari lantai sampai langit-langit dan menghadap Pelabuhan Boston, membuat kamar itu tampak terang dan ceria, meskipun suasananya sangat berlawanan. Ayahku, Oscar Valentine, tampan bak bintang film terkenal. Umurnya 55 tahun Agustus nanti, tapi bisa dengan mudah dikira berumur akhir empat puluhan. Dengan tinggi 182 sentimeter, dia memiliki perawakan ramping dan bebas lemak. Ini berkat olahraga rutin di pusat kebugaran kondominium eksklusif serta gaya hidup sehatnya. Serangan jantung itu cukup mengejutkan.


“Hentikan, Lucy,” perintahnya padaku. Dia menelusurkan tangan di rambut gelapnya yang sedikit beruban dan memandang berkeliling kamar tidur mencari sesuatu yang mungkin terlupa. Aku berusaha untuk tidak memperhatikan betapa pucatnya dia di dinding berwarna cokelat permen. “Berhenti apa?” “Menatap ranjang seperti itu.” Sejak tadi aku memang menatap. Sekeras apa pun berusaha, aku tak bisa berhenti memikirkan berapa banyak wanita yang sudah tidur di ranjang itu bersamanya. Dan, kenapa dia mempertaruhkan reputasi besarnya dengan tertangkap basah bersama seorang wanita di pantai. Setelah dua puluh delapan tahun memilikinya sebagai ayah, seharusnya sekarang aku sudah terbiasa dengan perilakunya. Tapi tidak. Aku selalu tahu ayahku punya teman selingkuh, tapi aku tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar dia membicarakannya. Sejujurnya, kuharap aku masih hidup dalam penyangkalan. “Dan kau,” katanya pada ibuku, “kau boleh berhenti menyeringai, Judith.” Ibuku, Judie, mengipasi wajahnya dengan majalah Architectural Digest. Pada usia lima puluh,


dia tepat di pertengahan menopause dan kalah perang melawan perubahan hormon. “Pantai, Oscar? Kau tidak bisa membayar hotel bagus?” “Ayah punya uang lebih dari cukup,” imbuhku. Dia salah satu orang terkaya di negara ini, uang sama sekali tidak jadi masalah baginya. “Fifteen Beacon Hotel tempat yang bagus. Atau Charles Hotel.” Halaman-halaman majalah Architectural Digest terkepak-kepak, menimbulkan angin semilir sejuk. “Aku selalu suka Ritz-Carlton. Ooh, atau Boston Harbor Hotel. Di semua hotel itu privasi terjaga. Jauh lebih terjaga daripada pantai yang terbuka untuk umum.” Ayahku menghentikan langkahnya dan menatap kami lama dan tajam. Dia menggeleng-gelengkan kepala seolah dia pria yang sudah lama menderita, lalu kembali berkemas-kemas. Dia melipat kemeja Armani membentuk segi empat dan meletakkannya di atas enam kemeja lain yang sudah dia masukkan ke koper. “Kalian berdua tidak lucu.” “Oh, kami lucu,” balas ibuku. Dia menyikutku. “Benar, kan?” Aku sependapat. “Kami benar-benar lucu.” Kurasa ayahku menggumamkan sesuatu tentang bersyukur bahwa dia akan pergi.


Lebih tepatnya kabur. Karena di mata publik, Oscar Valentine, makcomblang top negara ini, telah dengan terangterangan mengabaikan monogami. Dia tertangkap basah, dalam arti sebenarnya, dengan celana diturunkan. Dan kalau dia tidak bisa menemukan cinta abadi, bagaimana dengan para kliennya? Tak ada hal seperti skandal yang bisa menghancurkan rekam jejak perjodohannya yang nyaris sempurna. Surat kabar, terutama Herald, bersuka ria. Para pemburu berita masih menelepon, mencoba mendapatkan wawancara eksklusif dengan sang Raja Cinta. Teman selingkuh minggu ini sudah laris. Wawancaranya muncul di kios-kios surat kabar Kamis lalu. Tak perlu lama bagi ayahku untuk tiba-tiba memutuskan bahwa dia perlu istirahat dan rekreasi. Di St. Lucia. Hal yang tidak diketahui publik adalah bahwa orangtuaku dengan senang hati menjalani kehidupan terpisah selama hampir dua puluh lima tahun. Mereka masih menikah, tapi hanya status. Keduanya sepakat bahwa seorang makcomblang terkenal yang


bercerai akan buruk bagi perusahaan keluarga dan, akibatnya, rekening bank mereka. Maka ibuku, Judie, mengklaim rumah mewah di Cohasset, dan ayahku, Oscar, mempertahankan kondominium griya tawangnya di distrik Waterfront yang eksklusif di Boston. Mereka tetap menjadi teman dekat, kadang kekasih, dan pendamping setia. Meskipun agak aneh, mereka orangtua yang baik. Tak heran aku jadi seperti ini. Hal yang juga tidak diketahui publik adalah meskipun keluarga Valentine bisa sukses mencarikan pasangan dari generasi ke generasi, mereka tidak mampu mencomblangi diri sendiri. Setiap pernikahan keluarga Valentine gagal. Itu rahasia keluarga yang tidak pernah terkuak. Yah, hampir tidak pernah. Ayahku meritsleting salah satu koper, bersiap menutup yang lain. Dia menjentikkan jari. “Lupa celana renangku.” “Ya Tuhan, semoga bukan thong ,” bisik ibuku, bergidik. “Pria di atas lima puluh tahun tidak boleh � �������� Pakaian yang biasanya digunakan sebagai pakaian dalam atau ����� ��������� ���������� �������� �������� ������ ����� baju renang di berbagai industri.

10


punya, apalagi memakainya. Sebaiknya ada orang yang memberitahunya.” “Jangan memandangku,” kataku. Ayah menjulurkan kepala dari lemari pakaiannya yang cukup besar untuk dimasuki, menatap kami. Dia mengangkat alisnya yang beruban dengan ekspresi bertanya, lalu menghilang lagi. Tapi, tidak sampai lima detik kemudian dia sudah berkata, “Sekarang dengar, Lucy.” Suaranya menggemuruh�������������� ������������������������� . “Ayah sudah menitipkan daftar detail pada ������������������� Suzannah����������� . Dia akan membuatmu betah.” Aku duduk tegak. “Membuat betah?” Kepalanya muncul lagi, seperti tikus tanah dalam permainan arcade. “Ya. Membuat betah. Di kantor.” “Kantor?” Dia mendesah, berat dan dalam. Aku mendengar desah itu berkali-kali dalam hidupku, mulai saat aku ingin mengecat rambut pirangku dengan warna merah muda cenderung ungu sampai saat kukatakan padanya aku ingin berdiri sendiri, tanpa dana perwalian yang disiapkannya untukku. Tapi, terutama saat aku memutuskan untuk meninggalkan perusahaan keluarga dan berkecimpung dalam manajemen hotel. 11


Rambut merah muda cenderung ungu itu spektakuler. Ternyata, dia benar soal urusan hotel. Tidak cocok untukku. Juga semua pekerjaan jangka pendekku, di antaranya sebagai asisten dokter gigi, barista di Starbucks, asisten pribadi, atau yang baru-baru ini bekerja di tempat penitipan anak. Dan, kadang aku merindukan uangnya. Seperti saat aku terlambat membayar uang sewa. Seperti sekarang. “Kau mendengarkan, Lucy?” Aku sadar sejak tadi dia mengoceh. “Tidak.” Dia mendesah lagi. Dua kali dalam sehari. Ini rekor pribadi. Setelah menarik tali dari pantofelku, kulepas sepatu itu. “Konyol kalau aku mengambil alih perusahaan. Ayah tahu aku tidak bisa—” “Kau akan mulai,” dia melirik arloji Cartier Roadster-nya, “dalam satu jam. Suzannah me��� nunggumu��������������������������������� . Kau ada pertemuan dengan klien sepanjang siang ini.” Memang saat ini aku sedang tidak memiliki pekerjaan, tapi aku tahu perusahaan keluarga akan berjalan lebih baik tanpaku. Dia juga pasti tahu. “Apa maksud Ayah?”

12


“Kau,” katanya pelan-pelan, kehilangan kesa����� baran���������������������������������������� . “Pertemuan. Apa yang tidak kaupahami, Lucy?” “Aku,” jawabku pelan-pelan, menirunya. “Mengambil alih pertemuan Ayah. Itu yang tidak kupahami. Apakah Ayah tidak mendengarkan ucapanku?” Dia mengeluarkan suara tegasnya, yang dia simpan untuk kesalahan terburukku. “Kau, Lucy Juliet Valentine, punya kewajiban pada keluarga.” “Sebentar, Oscar.” Ibuku mengipas kuat-kuat, pipinya merah tua. Ayahku mengangkat satu tangan. “Kau juga tahu, Judie, seorang Valentine harus berada di pucuk pimpinan perusahaan. Kalau tidak, perusahaan akan tenggelam. Coba pikirkan semua kehidupan cinta di luar sana yang akan terkatung-katung tanpa bantuan kita untuk membawa ke arah yang tepat. Aku sudah terlalu banyak meninggalkan pekerjaan, akibat serangan jantung itu dan segalanya. Harus ada orang yang mengambil alih selama aku pergi. Dan orang itu adalah kau, Lucy.” Aku bangkit dan berjalan ke jendela, karpet tebal mendesir di sela-sela jari kaki telanjangku. Di luar, matahari kalah perang dengan lapisan 13


tebal awan. Keping-keping salju berputar dalam pola yang memikat, melayang turun, menghilang ke dalam riak-riak air keruh pelabuhan. Tak lama lagi Thanksgiving, kemudian Natal. Orang-orang tidak suka menghabiskan hari besar sendirian. Bisnis akan meledak, hati-hati yang kesepian mencari cinta. Mendatangiku untuk mencari pertolongan. Pikiran itu membuat perutku bergolak. “Bagaimana? Ayah tahu benar aku tidak memiliki—” Dia memotongku. “Berpura-puralah.” “Apakah Ayah tidak berpikir bahwa itu akan membuat klien pergi lebih cepat daripada jika orang lain yang mengelola perusahaan?” “Kunci keberhasilan kita ada dalam gen kita. DNA kita. Harus seorang Valentine yang menjalankan perusahaan ini. Kau seorang Valentine, Lucy. Yang terakhir dalam garis panjang keluarga Valentine—sampai kau punya anak sendiri.” Selama sedetik kukira dia akan menceramahiku tentang punya anak. Sudah cukup aku mendengar soal itu dari nenekku, Dovie, pada setiap kesempatan yang dia dapat. Benar setiap keluarga Valentine memiliki kemampuan untuk mencarikan pasangan. ������� Selama� 14


berabad-abad kami dikaruniai kemampuan ��� memasang������������������������������������� -masangkan orang yang mencari cinta. Menurut gunjingan dalam keluarga, kemampuan itu diberikan sendiri pada seorang leluhur kami oleh Cupid. Tapi, ayahku mengabaikan satu detail kecil. Setiap darah Valentine memiliki kemampuan ini, kecuali aku. Kemampuanku direnggut oleh sengatan listrik saat aku empat belas tahun, hanya untuk digantikan dengan kemampuan paranormal yang jenisnya sangat berbeda. Ibu meletakkan majalahnya, menatapku. “Kau tidak harus melakukannya.” “Aku mendengar!” teriak Ayah. “Senang pendengaranmu tidak terpengaruh oleh penyumbatan pembuluh darah,” ujar Ibu dengan nada mengolok-olok. Aku suka cara mereka saling meledek. Se��� benarnya���������������������������������������� , kalau mereka tidak sibuk berpura-pura bahwa pernikahan mereka palsu, mereka mungkin malah bisa tetap bersama. Tentu saja, tanpa teman selingkuh.

15


“Sialan! Aku tidak bisa menemukan celana renangku. Lucy?” Ayahku muncul, mengerjapngerjapkan mata cokelat tuanya padaku. Ibu menggeleng-gelengkan kepala, memohon padaku agar tidak melakukannya. Kupandangi mereka berdua bergantian, melihat mataku sendiri dalam tatapan mereka. Aku memiliki bentuk mata agak melorot ibuku dan campuran warna mata mereka—cokelat keemasan. Bisa kulihat sedikit diriku dalam setiap diri mereka. Sebagian kusuka, sebagian tidak. Tapi, ada satu hal yang aku tahu pasti. Dalam perang permohonan, ayahku akan selalu menang dengan mudah. Tatapan mata besar warna cokelat seperti anak anjing itu yang meluluhkanku. “Oh, baiklah,” kataku padanya. Dia mengulurkan tangan, dan aku memegangnya di antara kedua tanganku. Dalam sekejap, aku melihat celana renang itu. “Laci ketiga sebelah kanan, terjepit di belakang tumpukan majalah Playboy.” Pipinya merona. “Pengkhianat,” gumam Ibu saat Ayah masuk untuk mencari. Sambil melawan gelombang pening yang menghantam setiap kali aku mendapat visi, kujatuhkan 16


tubuhku di atas sofa untuk berdua. “Maaf. Ibu sudah selesai berkemas?” “Tas-tas Ibu di lantai bawah. Kami akan naik taksi air ke Logan.” “Ibu tidak harus melakukannya,” ucapku, menirukan kata-katanya padaku. Dia menyelipkan seuntai rambut yang keluar dari ekor kudaku ke belakang telinga. Menyelipkan rambutku adalah kebiasaannya sejak dulu. “Siapa yang bisa menolak perjalanan ke St. Lucia pada musim seperti ini? Sungguh bodoh jika Ibu menolak. Lagi pula, ada pasirnya. Ibu tidak bisa menahan godaan untuk mengolok-olok ayahmu.” “Ya sudah, tapi jangan berbuat apa pun yang tidak akan kulakukan. Dan mungkin sebaiknya, Ibu mengajak Ayah melakukan tes darah sesampainya di pulau.” Aku menatap ke arah ranjang. “Mungkin, dua tes darah.” Dia menatapku curiga. Bintik emas dalam mata cokelat mudanya berkilau. “Apakah ada sesuatu yang ingin kaulakukan? Sudah tiga tahun kau tidak berkencan.” “Aku sering berkencan.” “Hanya yang Dovie atur untukmu. Itu tidak masuk hitungan.” 17


Memang tidak. “Mungkin sudah waktunya mencarikan seseorang untukmu, LucyD,” katanya, menyebutkan panggilan sayangnya untukku. “Kenapa repot-repot?” Tak ada satu pun perkawinan keluarga Valentine yang selamat tanpa perceraian. Dalam keluarga kami, ketidakmampuan untuk bahagia dalam berumah tangga telah dikenal dengan sebutan Kutukan Cupid. Sungguh ironi yang menyakitkan—memiliki kemampuan untuk menjodoh-jodohkan... orang lain. Hidung ibuku berkedut-kedut. Begitu bila dia tahu aku benar, tapi tidak mau mengakui. Dia menjatuhkan kepalanya di bahuku, memelukku. Ujung-ujung runcing ber-gel rambut pirang model perinya yang penuh gaya menusuk pipiku. “Bukankah lebih baik mencintai lalu kehilangan daripada tidak pernah mencintai sama sekali?” “Usaha bagus, Bu.” “Aha!” teriak Ayah, celana renang thong di tangan. Ibuku menegakkan tubuh. “Apakah kau, di antara semua orang, meragukannya?” “Sama sekali tidak. Tapi, itu masih membuatku takjub.” 18


“Itu� adalah kemampuanku untuk menemukan barang hilang. Keluargaku senang menekankan peran Cupid dalam sejarah kami. Tapi kenyataannya, setiap keluarga Valentine dikaruniai kemampuan paranormal untuk membaca aura. Berkah, yang sejak beberapa generasi, keluargaku manfaatkan secara profesional untuk mencomblangi para pencari cinta berdasarkan warna aura mereka. Kemampuan itu selalu dirahasiakan. Tak seorang pun dalam keluarga kami ingin melawan persepsi publik. Kami tahu paranormal lain yang dijuluki dukun klenik dan penipu. Diperlukan upaya matimatian untuk menjaga nama keluarga agar tidak tercemar. Pertanyaan tentang tingkat keberhasilan kami diabaikan begitu saja karena terlalu jelimet untuk dijawab. Akibatnya, sebagian besar orang menganggap keluarga kami angkuh. Sama sekali tidak benar, itu hanya kesan yang dikembangkan untuk menjauhkan keingintahuan. Saat sengatan listrik mengubah kemampuanku dari membaca aura menjadi menemukan barang hilang, salah satu jenis kemampuan paranormal, itu juga dirahasiakan karena satu pengungkapan akan mengarah ke pengungkapan lain. Hanya 19


sedikit orang dalam keluarga yang tahu rahasiaku. Dan, hanya segelintir orang luar tepercaya yang tahu tentang aura itu. Ayah mengulurkan tangannya lagi dan berkata, “Paspor?” Kuraih telapak tangannya, memegangnya. Gambar-gambar yang menimbulkan rasa pening melintas. “Di perpustakaan Ayah. Laci meja paling atas, sebelah kanan.” “Terima kasih, Lucy. Kau yakin tidak apa-apa soal mengambil alih ini? Ayah tahu Ayah memang suka memaksa—” “Manipulatif,” koreksi ibuku. Ayah mengabaikannya. “Tapi, gajinya bagus, lagi pula kau akan membantu ayahmu.” “Ya ampun, tidak usah memancing rasa bersalah,� ���������� deh.” Tiga gelang emas tipis di lengan Ibu bergemerencing saat dia menggerak-gerakkan jari pada ayahku. Ayahku melempar pandangan tajam padanya, lalu melembutkan tatapannya saat bertemu tatapanku. “Lucy?” Waktunya aku membayar sewa. Ada beberapa tagihan yang harus kubayar. Lagi pula, memangnya akan berapa lama? Berapa kehidupan cinta yang bisa 20


kuhancurkan dalam waktu satu atau dua minggu? Dan mungkin, mungkin saja, aku bisa memanfaatkan waktu ini untuk memikirkan apa sebenarnya yang ingin kulakukan dalam hidup. “Oke.” Ayah menarikku ke dalam pelukannya, merangkulku erat-erat. “Itu baru anakku. Semua akan baik-baik saja. Ikuti saja instingmu.” Instingku kacau, tapi kusimpan informasi itu untuk diriku sendiri. “Kau juga boleh tinggal di sini. Lebih dekat dengan kantor.” Aku mempertimbangkannya sejenak sebelum menolak. Aku suka pondokku, bahkan dengan kenyataan bahwa aku menyewanya dari Nenek Dovie. Lagi pula, kalau tinggal di sini, aku tidak akan bisa mengajak Grendel karena ayahku alergi kucing. “Ayah sudah bicara pada Nenek Dovie?” Selama tiga puluh tahun nenekku sudah gatal ingin mencoba menjadi makcomblang tapi ditolak. Alasannya, dia menantu di dalam keluarga dan tidak memiliki kemampuan Valentine. Dia tidak akan bisa menerima dengan baik mendengar aku memimpin perusahaan karena dia tahu benar aku juga tidak memiliki kemampuan. 21


“Biar aku yang mengurus Dovie,” kata Ibu sambil berdiri. Tinggi dan montok, dia mengenakan atasan tunik memikat dan jeans denim warna gelap. Dia menyelipkan kakinya ke sepatu balet emas dan menjepit selendang kasmir cantik warna krem dengan bros emas besar. Ayahku meritsleting koper terakhirnya. Kuberi mereka berdua pelukan, menuntut janji untuk mengirim kartu pos, dan mengeluarkan komentar tajam agar jauh-jauh dari pantai. “Jangan muram begitu, Lucy,” kata Ayah, mengabaikan ejekanku. “Kau berurusan dengan persoalan����������������������������������������� hati. Bukan seperti persoalan hidup dan mati.” “Kurasa Ayah benar.” Tapi, mau tidak mau aku merasa bahwa dia salah. Salah besar. *

22


2 V

alentine, Inc. terletak di dekat persimpangan

Beacon dan Charles, tepat di pinggir Beacon Hill yang mewah. Daun-daun musim gugur berputar turun ke jalan, berkas-berkas terang menari masuk dan keluar lalu lintas. “Tidak ada apa-apa, kecuali lampu lalu lintas di depan,” kataku. “Waktunya makan siang.” “Benar. Makan siang.” Perutku berkeriut seperti roda gigi berkarat karena pikiran tentang makanan. Aku bergeser di jok kulit mobil, membetulkan sabuk pengaman. Ayah telah meminjamiku Mercedes-nya dan pelayanan Raphael, sopir yang merangkap valet, pelayan, dan pekerja serabutannya selama dia 23


pergi. Awalnya aku menolak menerima kemewahan itu, tapi kupikir kalau harus pergi ke kota setiap hari dari Cohasset di South Shore, Raphael akan membuat hidupku jauh lebih mudah. “Gugup?” tanya Raphael padaku. Aku mengenal Raphael sejak umurku tiga tahun. Dalam beberapa hal, kurasa dia lebih mengenalku daripada orangtuaku. Bagaimanapun, dialah yang bermain Monopoli secara maraton denganku bila ayahku pergi menghadiri pertunjukan simfoni atau berbagai acara lain. Watak asli sering terlihat dalam permainan Monopoli yang berisiko tinggi. “Ya.” “Akan baik-baik saja, Uva.” Dia memanggilku Uva, bahasa Spanyol “anggur”. Pada umur lima tahun, aku ���������� melampiaskan��������������������������������������� kemarahan demi drama epik di atas dek Mayflower II dan mengubah diriku jadi seungu anggur Concorde. Tidak apa-apa. Aku sendiri punya nama ke��� sayangan���������� untuknya. “Aku tahu kau tidak akan bohong padaku, Pasa.”

24


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.