Prolog Pada awalnya, ada seorang pemuda yang berdiri di antara pepohonan. Dia sebayaku, mungkin umurnya tujuh belas. Aku tidak yakin bagaimana bisa sampai mengetahuinya. Aku hanya bisa melihat bagian belakang kepalanya, rambutnya yang berwarna gelap ikal lembap. Ada cahaya oranye ganjil yang mengisi langit timur. Ada bau sangit tajam. Aku melangkahkan kaki ke arah pemuda itu dan tanah remuk di bawah kakiku. Dia mendengarku. Dia mulai berlari. Satu detik lagi maka aku akan bisa melihat wajahnya. Di situlah penglihatan ini meninggalkanku. Aku mengerjap. Penglihatan itu pun lenyap.
1
Punya Tujuan
A
walnya, tepatnya pada 6 November, aku terbangun
pukul dua pagi dengan rasa menggelitik di dalam kepalaku, seperti ada kunang-kunang mungil menari-nari di belakang mataku. Aku mencium bau asap. Aku bangun dan berkeliling dari satu ruangan ke ruangan lain untuk memastikan tak ada bagian rumah yang terbakar. Semuanya baik-baik saja, semua orang sedang tidur, hening. Lagi pula, bau ini seperti asap di perkemahan, tajam dan beraroma kayu. Aku menganggapnya sebagai keganjilan yang biasa terjadi dalam hidupku. Aku mencoba, tetapi tidak bisa tidur lagi. Jadi, aku turun ke lantai bawah. Aku sedang minum segelas air dari keran di dapur, ketika, tanpa peringatan apa pun, aku berada di tengah hutan yang terbakar. Bukan seperti sebuah mimpi, melainkan secara fisik aku berada di sana. Tidak lama, mungkin sekitar tiga puluh detik, kemudian
aku kembali ada di dapur, berdiri di dalam genangan air karena gelasnya terjatuh dari tanganku. Aku segera berlari membangunkan Mom. Aku duduk di kaki tempat tidurnya dan berusaha tidak tersengal-sengal sewaktu menceritakan setiap detail penglihatan yang bisa kuingat. Hanya sedikit, sungguh, hanya api, dan seorang pemuda. “Kalau terlalu banyak sekaligus akan membuatmu kewalahan,” katanya. “Itulah sebabnya penglihatan datang padamu seperti ini, sedikit demi sedikit.” “Seperti itu jugakah ketika Mom mengetahui tujuanmu?” “Kurang lebih begitu untuk sebagian besar dari kita,” katanya, dengan lihai menghindari pertanyaanku. Mom tidak mau memberitahuku tujuannya. Tujuan termasuk salah satu dari beberapa topik terlarang. Aku merasa terganggu karena kami dekat, kami selalu dekat, tetapi ada bagian besar dari dirinya yang tidak mau dia bagikan. “Coba ceritakan pohon-pohon dalam penglihatanmu,” katanya. “Seperti apa kelihatannya?” “Pinus, kukira. Berdaun jarum, bukan berdaun lebar.” Mom mengangguk-angguk sambil berpikir, seolah-olah ini petunjuk penting. Sebaliknya, aku tidak memikirkan pohon. Aku memikirkan pemuda itu. “Seandainya aku bisa melihat wajahnya.” “Kau akan melihatnya.” “Aku ingin tahu apa aku harus melindungi dia.”
Aku senang membayangkan jadi seorang penolong. Semua keturunan malaikat punya tujuan yang berbeda— beberapa di antaranya pembawa pesan, sebagian jadi saksi, sebagian lagi ditakdirkan untuk menghibur, beberapa hanya melakukan sesuatu yang menyebabkan hal-hal lainnya terjadi—tetapi pelindung kedengarannya asyik. Rasanya seperti malaikat sungguhan. “Rasanya aku percaya kau sudah cukup umur untuk mendapatkan tujuan,” kata Mom sambil menghela napas. “Membuatku merasa tua.” “Mom ‘kan memang sudah tua.” Mom tak bisa mendebat itu, mengingat usianya sudah lebih dari seratus tahun, walau tidak kelihatan sehari pun lebih tua dari empat puluh. Sebaliknya, aku merasa persis seperti diriku: remaja berusia enam belas tahun yang belum tahu apa-apa (kalau tidak mau dibilang biasa-biasa saja) yang masih harus bersekolah pada pagi hari. Saat ini, aku sama sekali tidak merasa memiliki darah malaikat. Aku memandang ibuku yang cantik dan penuh semangat. Aku tahu apa pun tujuannya, dia pasti menghadapinya dengan keberanian, selera humor tinggi, dan keterampilan. “Menurut Mom…,” kataku setelah beberapa saat, sulit rasanya mengutarakan pertanyaan ini karena aku tidak mau Mom menganggap aku pengecut. “Apa menurut Mom mungkin aku akan terbunuh dalam kebakaran?” “Clara.” “Serius.” “Kenapa kau bilang begitu?”
“Karena ketika aku berdiri di belakang pemuda itu, aku merasa sangat sedih. Aku tidak tahu kenapa.” Mom memelukku, menarikku mendekat hingga aku bisa mendengar detak jantungnya yang kuat dan stabil. “Barangkali alasan aku sangat sedih adalah karena aku akan mati,” bisikku. Pelukannya mengencang. “Itu jarang terjadi,” kata Mom pelan. “Tapi bisa terjadi.” “Kita akan cari tahu bersama-sama.” Mom memelukku lebih erat lagi dan menyibakkan rambut dari wajahku seperti yang biasa dilakukannya setiap aku bermimpi buruk sewaktu masih kanak-kanak. “Sekarang kau harus istirahat.” Aku tidak pernah merasa sesegar ini sepanjang hidupku, tapi kubaringkan tubuhku di tempat tidurnya dan membiarkan Mom menarik selimut menyelubungi kami. Dia memelukku. Tubuh Mom hangat, memancarkan panas seakan-akan dari tadi berdiri di bawah sinar matahari, bahkan pada tengah malam sekalipun. Aku menghirup aromanya: minyak mawar dan vanilla, parfum seorang wanita tua. Bau itu selalu membuatku merasa aman. Saat memejamkan mata, aku masih bisa melihat pemuda itu. Berdiri di sana menunggu. Menungguku. Hal yang tampaknya lebih penting daripada kesedihan atau kemungkinan melewati kematian yang mengerikan dalam kobaran api. Dia sedang menungguku.
Aku dibangunkan suara hujan dan cahaya abu-abu yang menembus tirai. Aku mendapati Mom sedang berdiri di depan kompor di dapur, menuangkan telur orak-arik ke mangkuk. Dia sudah berpakaian dan siap untuk berangkat kerja seperti hari-hari lain. Rambut pirangnya yang panjang masih basah sehabis mandi. Dia bersenandung. Kelihatannya dia gembira. “Pagi,” sapaku. Mom berbalik, meletakkan spatulanya, dan melintasi lantai linoleum untuk memberiku pelukan singkat. Dia tersenyum bangga, seperti sewaktu aku memenangi perlombaan mengeja tingkat wilayah di kelas tiga: bangga, namun tak pernah mengharapkan kurang dari itu. “Bagaimana keadaanmu pagi ini? Baik-baik saja?” “Ya, aku baik-baik saja.” “Ada apa?” kata adikku, Jeffrey, dari ambang pintu. Kami berputar memandangnya. Dia bersandar pada kusen pintu, masih terkantuk-kantuk, bau, dan merengut seperti biasanya. Jeffrey bukan orang yang biasa bangun pagi. Dia memandang kami. Sebersit ketakutan melintas di wajahnya, seolah bersiap mendengar berita buruk, berita seseorang yang kami kenal meninggal dunia, misalnya. “Kakakmu menerima tujuannya.” Mom tersenyum lagi, tetapi kali ini tidak segembira sebelumnya. Senyuman berhati-hati. Adikku menatapku dari atas ke bawah seolah akan bisa menemukan bukti suci di suatu tempat di tubuhku. “Kau mendapat penglihatan?”
“Ya. Sesuatu tentang kebakaran hutan.” Aku memejamkan mata dan kembali melihat semuanya: punggung bukit yang dipenuhi pohon pinus, langit oranye, asap yang bergulung-gulung. “Dan, seorang pemuda.” “Bagaimana kau tahu itu bukan cuma mimpi?” “Karena aku tidak sedang tidur.” “Lalu, apa artinya?” tanyanya. Semua informasi yang berhubungan dengan malaikat ini masih baru untuknya. Dia masih dalam masa saat hal-hal supernatural itu menarik dan keren. Aku iri kepadanya. “Entahlah.” jawabku. “Itulah yang harus kucari tahu.”
Aku mendapat penglihatan lagi dua hari kemudian. Aku sedang berada di tengah putaran jogingku mengelilingi garis luar gedung olahraga Mountain View High School, dan mendadak penglihatan itu muncul, dengan begitu saja. Dunia yang kukenal—California, Mountain View, gedung olahraga—mendadak lenyap. Aku berada di hutan. Aku benar-benar bisa merasakan apinya. Kali ini aku melihat kobaran api menyelimuti punggung bukit. Dan kemudian, aku hampir menabrak seorang pemandu sorak. “Lihat-lihat kalau jalan, Lemot!” tukasnya. Aku terhuyung-huyung menepi untuk membiarkan gadis itu lewat. Aku bersandar pada tempat duduk berlipat sambil
tersengal-sengal dan mencoba mendapatkan penglihatan itu lagi. Tetapi, rasanya mirip mencoba bermimpi lagi setelah benar-benar terbangun. Sudah lenyap. Sial. Belum pernah ada yang memanggilku lemot. Kependekan dari lemah otak. Bukan pertanda bagus. “Tidak boleh berhenti,” seru Mrs. Schwartz, guru olahraga. “Kita ingin mendapatkan rekaman akurat seberapa cepat kau bisa berlari menempuh satu setengah kilometer. Yang kumaksud kau, Clara.” Wanita itu pastilah sersan pelatih baris-berbaris di kehidupan lain. “Kalau kau tidak berhasil dalam waktu kurang dari sepuluh menit, kau harus lari lagi minggu depan!” teriaknya. Aku mulai berlari. Aku mencoba berkonsentrasi pada tugas yang harus diselesaikan sambil melesat di tikungan selanjutnya, menjaga kecepatan tetap tinggi untuk menutupi waktu yang terbuang. Tetapi, pikiranku mengembara lagi pada penglihatan itu. Bentuk-bentuk pohon. Tanah hutan di bawah kakiku yang diseraki bebatuan dan daun-daun pinus. Pemuda yang berdiri memunggungiku di sana sambil menyaksikan kebakaran semakin mendekat. Jantungku yang mendadak berdebar-debar. “Putaran terakhir, Clara,” kata Mrs. Schwartz. Aku menambah kecepatan. Kenapa dia ada di sana? Aku bertanya-tanya, tidak memejamkan mata tetapi masih bisa melihat bayangannya seakan-akan terpatri di retinaku. Akankah dia terkejut kalau melihatku? Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan, tetapi 10
di balik semua itu, hanya ada satu pertanyaan: Siapakah dia? Pada saat itu, aku melesat melewati Mrs. Schwartz, berlari sekuat tenaga. “Bagus, Clara!” serunya. Dan, satu menit kemudian, “Tidak mungkin.” Sambil melambat jadi berjalan, aku berputar lagi untuk melihat catatan waktuku. “Aku mencatat waktumu lima menit empat puluh delapan detik.” Kedengarannya dia benar-benar terkejut. Dia memandangku seakan-akan sedang mendapatkan penglihatan juga, tentang aku yang tergabung dalam tim lari. Ups.... Aku tidak memperhatikan, tidak menahan diri. Aku akan mendapat kritikan pedas kalau Mom sampai tahu. Aku mengedikkan bahu. “Jamnya pasti rusak,” kataku menjelaskan, mencoba berkelit, berharap dia akan menerimanya meski itu berarti aku harus melakukan olahraga bodoh ini lagi minggu depan. “Ya,” katanya, sambil mengangguk bingung. “Pasti mulainya keliru.”
Malam itu, ketika Mom pulang, dia mendapati aku bermalas-malasan di atas sofa, menonton tayangan ulang I Love Lucy. “Seburuk itukah?” 11
“Ini rencana cadanganku karena tidak bisa menemukan Touched by an Angel,” jawabku pedas. Mom mengeluarkan sewadah es krim Ben and Jerry rasa Chubby Hubby dari kantong kertas. Seolah sudah membaca pikiranku. “Mom memang dewi,” ujarku. “Belum.” Dia mengacungkan sebuah buku: Pohon-pohon di Amerika Utara, Panduan untuk Identifikasi Lapangan. “Mungkin pohonku bukan di Amerika Utara.” “Kita mulai saja dengan ini.” Kami membawa buku itu ke meja dapur dan bersamasama membungkuk di atasnya, mencari jenis pohon pinus yang sama persis dengan yang ada dalam penglihatanku. Bagi orang luar, kami terlihat tak lebih dari seorang ibu yang sedang membantu anak gadisnya mengerjakan tugas sekolah, bukan sepasang keturunan malaikat yang sedang meneliti misi dari surga. “Itu dia,” kataku akhirnya, sambil menunjuk pada sebuah gambar dalam buku, kemudian bersandar di kursiku, merasa senang pada diri sendiri. “Pinus lodgepole.” “Daun jarum berpilin kekuningan tumbuh berpasangpasangan,” kata Mom membaca dari buku. “Bunganya cokelat berbentuk lonjong telur?” “Aku tidak melihat bunganya dengan jelas, Mom. Cuma bentuknya sama, dengan dahan-dahannya mulai tumbuh dari pertengahan batang ke atas seperti itu, dan rasanya
12
ini benar.” Aku menjawab sambil mengunyah sesendok penuh es krim. “Baiklah.” Mom memeriksa buku itu lagi. “Sepertinya pinus lodgepole hanya ditemukan di Rocky Mountains dan pesisir barat laut Amerika dan Kanada. Penduduk asli Amerika biasa menggunakan kulitnya sebagai penyangga utama wigwam—rumah tenda orang Indian. Karena itu, namanya lodgepole. Dan,” Mom meneruskan, “di sini dikatakan daun jarumnya memerlukan panas ekstrem—seperti, katakanlah, dari kebakaran hutan—untuk membuka dan melepaskan benihnya.” “Ini sungguh mendidik,” sindirku. Akan tetapi, gagasan pohon yang hanya tumbuh di tempat-tempat yang terbakar mengirimkan getaran semangat kepadaku. Bahkan, pohon pun memiliki suatu makna yang sudah ditentukan sebelumnya. “Bagus. Jadi, kita tahu kira-kira di mana ini akan terjadi,” kata Mom. “Sekarang yang harus kita lakukan hanyalah memperkecil kemungkinan yang ada.” “Setelah itu apa?” Aku mengamati gambar pohon pinus itu, tiba-tiba membayangkan dahan-dahannya terbakar. “Setelah itu, kita akan pindah.” “Pindah? Seperti meninggalkan California?” “Ya,” jawabnya. Tampaknya Mom serius. “Tapi—” Aku tergagap. “Bagaimana dengan sekolah? Bagaimana dengan teman-temanku? Bagaimana dengan pekerjaanmu?”
13
“Kau akan pindah ke sekolah baru, kurasa, dan punya teman-teman baru. Aku akan mencari pekerjaan baru, atau mencari cara untuk bekerja dari rumah.” “Bagaimana dengan Jeffrey?” Mom tertawa kecil dan menepuk tanganku seolah itu pertanyaan bodoh. “Jeffrey akan ikut juga.” “Oh ya, dia akan sangat menyukainya,” kataku, sambil memikirkan Jeffrey dengan pasukan teman-temannya dan parade tanpa akhir permainan bisbol, pertandingan gulat, latihan sepak bola, dan lain-lain. Jeffrey dan aku punya kehidupan. Untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa aku terlibat jauh lebih dalam daripada yang kubayangkan. Tujuanku akan mengubah segalanya. Mom menutup buku tentang pohon-pohon itu dan dengan tenang menatap mataku dari seberang meja dapur. “Ini penting, Clara,” katanya. “Penglihatan ini, tujuan ini—inilah alasan kau ada di sini.” “Aku tahu. Aku hanya tidak menyangka kita harus pindah.” Aku menatap keluar jendela ke arah pekarangan tempat aku tumbuh dan bermain di sana, seperangkat ayunan tuaku yang tak pernah sempat Mom bongkar, dan barisan semaksemak mawar yang tumbuh di pagar belakang yang sudah ada di sana sepanjang ingatanku. Di belakang pagar, aku hampir bisa melihat siluet samar pegunungan di kejauhan yang selama ini selalu menjadi ujung duniaku. Aku bisa mendengar kereta Caltrain bergemuruh saat melintasi Shoreline Boulevard, dan, jika aku berkonsentrasi cukup 14
keras, musik teredam dari Great America yang berjarak tiga kilometer. Rasanya mustahil kami akan meninggalkan tempat ini. Sudut bibir Mom melengkung naik menjadi senyuman simpatik. “Kau pikir kau bisa terbang ke suatu tempat di akhir pekan, memenuhi tujuanmu, dan pulang lagi?” “Yah, mungkin.” Aku mengalihkan pandangan dengan malu-malu. “Kapan Mom akan memberi tahu Jeffrey?” “Kurasa itu harus menunggu sampai tahu ke mana kita akan pergi.” “Bolehkah aku ikut melihat saat Mom memberi tahu Jeffrey? Aku akan bawa popcorn.” “Giliran Jeffrey akan tiba,” katanya, kesedihan tak terucap muncul di matanya, sorot mata yang sama dengan ketika Mom berpikir kami tumbuh terlalu cepat. “Saat dia menerima tujuannya, kau juga harus berkompromi dengan itu.” “Dan, kita akan pindah lagi?” “Kita akan pergi ke mana pun tujuannya membawa kita.” “Ini gila,” kataku, sambil menggelengkan kepala. “Rasanya semua ini gila. Mom tahu itu, ‘kan?” “Cara-cara misterius, Clara.” Dia meraih sendokku dan menyendok segumpal besar Chubby Hubby dari kotak. Mom nyengir, berubah kembali menjadi ibu yang penuh muslihat dan jenaka tepat di depan mataku. “Cara-cara misterius.”
15
Selama dua minggu berikutnya, penglihatan itu berulang setiap dua atau tiga hari. Aku asyik mengerjakan sesuatu, tiba-tiba dor—aku jadi Humas bagi tokoh kartun Smokey the Bear, si maskot dinas perhutanan Amerika Serikat yang melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan. Aku mengalaminya pada waktu-waktu yang ganjil, dalam perjalanan ke sekolah, sedang mandi, atau makan siang. Pada waktu-waktu tertentu, aku hanya mendapatkan sensasi tanpa penglihatan. Aku merasakan panas. Aku mencium bau asap. Teman-temanku menyadarinya. Mereka menjuluki aku dengan nama panggilan baru yang menyebalkan: Kadet, seperti di film Space Cadet. Kurasa itu tidak seberapa buruk. Guru-guruku juga menyadarinya. Tetapi, PR-ku selesai semua. Jadi, mereka tidak terlalu membuatku menderita saat aku menghabiskan waktu di kelas dengan asyik menulis sesuatu dalam sebuah buku yang mustahil adalah catatan pelajaran. Jika kau melihat buku harianku beberapa tahun lalu, diari merah muda berhias bulu lembut yang kumiliki ketika berusia dua belas tahun, dengan Hello Kitty di sampulnya, dikunci dengan anak kunci emas tipis yang kusimpan dengan cara mengalungkannya di leherku dengan rantai agar aman dari si tukang intip Jeffrey, kau akan melihat perjalanan seorang gadis yang sangat normal. Ada gambar bunga-bunga dan putri-putri, tulisan tentang sekolah dan cuaca, film-film yang kusukai, musik yang bisa membuatku menari, mimpimimpiku tentang memerankan Peri Sugar Plum dalam kisah 16
The Nutcracker, atau bagaimana Jeremy Morris menyuruh salah satu temannya untuk memintaku menjadi pacarnya. Tentu saja aku tolak karena untuk apa berkencan dengan seseorang yang terlalu pengecut untuk mengajakku jalan secara langsung? Lalu, muncul diari malaikat, yang kumulai saat berusia empat belas tahun. Yang ini berupa buku catatan berjilid spiral berwarna biru gelap dengan gambar sesosok malaikat di atasnya. Malaikat feminin, tenang, yang sangat mirip Mom, dengan rambut merah dan sayap keemasan, berdiri di atas sepotong bulan sabit dikelilingi bintang-bintang, dengan cahaya memancar dari kepalanya. Di dalamnya aku mencatat semua yang Mom pernah ceritakan tentang malaikat dan keturunan malaikat, setiap fakta atau kepingan spekulasi yang bisa kukorek darinya. Aku juga mencatat berbagai eksperimenku, seperti ketika aku mengiris lengan bawahku dengan pisau hanya untuk melihat apakah aku akan berdarah (dan aku berdarah, banyak) dan secara hati-hati mencatat berapa lama yang diperlukan untuk sembuh (sekitar dua puluh empat jam, sejak mengiris hingga saat garis merah bekasnya benar-benar lenyap), ketika aku bicara bahasa Swahili kepada seorang lelaki di bandara San Fransisco (bayangkan betapa terkejutnya kami), atau bagaimana aku bisa melakukan dua puluh lima gerakan grands jetĂŠs maju-mundur melintasi lantai studio balet tanpa kehabisan napas. Saat itulah Mom mulai menceramahiku dengan serius tentang bersikap tidak menarik perhatian, setidaknya di depan umum. Saat itulah aku mulai mendapati 17
diriku sebagai Clara keturunan malaikat, Clara yang ajaib, bukan hanya Clara si anak perempuan biasa. Sekarang buku harianku (sederhana, hitam, bersampul kulit) berfokus sepenuhnya pada tujuanku: sketsa, catatan dan detail dari penglihatan, khususnya ketika melibatkan si pemuda misterius. Dia terus-menerus melekat di ujung pikiranku, kecuali saat-saat membingungkan ketika tanpa dinyana dia bergerak ke panggung utama. Aku mulai mengenalnya melalui siluet bentuk badannya di mata pikiranku. Aku mengenali ayunan bahunya yang lebar, rambutnya yang terurai rapi, berwarna cokelat gelap, cukup panjang untuk menutupi kedua telinganya dan menyentuh kerah belakangnya. Tangan terbenam dalam saku jaket hitamnya, yang tampak agak kabur, mungkin terbuat dari bulu domba. Bobotnya selalu sedikit condong ke satu sisi, seolah sedang bersiap-siap pergi menjauh. Dia tampak ramping, tapi kuat. Saat mulai berbalik, aku bisa melihat sedikit garis tulang pipinya, dan itu tak pernah gagal membuat jantungku berdetak lebih cepat dan napasku tercekat di tenggorokan. Apa yang akan dia pikirkan tentangku? Aku ingin tahu. Aku ingin membuatnya terkesan. Ketika aku muncul di depannya di hutan, ketika dia akhirnya berbalik dan melihatku berdiri di sana, aku ingin setidaknya tampak mirip keturunan malaikat. Aku ingin berpendar-pendar dan melayang seperti ibuku. Tampangku tidak jelek-jelek amat, aku tahu itu. Keturunan malaikat adalah kaum yang 18
cukup menarik. Kulitku mulus dan bibirku berwarna alami semerah mawar, jadi aku tidak pernah memakai apa pun selain pelembap bibir. Lututku sangat menarik, atau konon begitulah kata orang. Tapi, aku terlalu tinggi dan kurus. Aku juga tidak gemulai bak supermodel, tetapi kekar dengan lengan dan tungkai yang panjang. Kelebihanku terletak pada rambut, panjang dan bergelombang, terang keemasan dengan semburat merah, tergerai mengikuti di belakangku ke mana pun aku pergi, seperti sebuah pikiran yang timbul kemudian. Masalah dengan rambutku adalah sulit diatur. Kusut. Tersangkut di berbagai benda: kancing tarik, pintu mobil, makanan. Menguncir atau mengepangnya tidak pernah menyelesaikan masalah. Rambut itu seperti makhluk hidup yang mencoba membebaskan diri. Saat sedang berusaha menaklukkannya, beberapa helai jatuh di wajahku. Dalam jangka waktu satu jam, biasanya rambut itu sudah tergerai bebas dari ikatannya. Rambut itu membawa kata “tak dapat diatur� ke tingkat yang sama sekali baru. Jadi, dengan peruntunganku yang seperti itu, bisa-bisa aku tidak akan pernah bisa menyelamatkan pemuda di hutan tepat pada waktunya gara-gara rambutku tersangkut di ranting pohon satu setengah kilometer dari tempatnya berada.
19
“Clara, teleponmu bunyi!” teriak Mom dari dapur. Aku melompat, terkejut. Buku harianku tergeletak terbuka di atas meja di depanku. Di halamannya tergambar sebuah sketsa detail bagian belakang kepala anak lelaki itu, leher, rambut kusut, sedikit pipi, dan bulu matanya. Aku tidak ingat pernah menggambarnya. “Baiklah!” balasku berteriak. Aku menutup buku harian dan menyelipkannya di bawah buku aljabar. Kemudian, aku berlari menuruni tangga. Tercium aroma seperti toko roti. Besok hari Thanksgiving, dan Mom membuat banyak pai. Dia memakai celemek ibu rumah tangga tahun lima puluhan (yang dimilikinya sejak sekitar tahun lima puluhan meskipun saat itu belum jadi istri, katanya) dan celemek itu berlepotan tepung. Dia menyodorkan telepon itu kepadaku. “Ayahmu.” Aku menaikkan sebelah alis sebagai isyarat bertanya tanpa suara. “Aku tidak tahu,” ujar Mom. Dia memberikan teleponnya kepadaku, lalu berbalik dan perlahan keluar ruangan. “Hai, Dad,” kataku ke telepon. “Hai.” Jeda. Baru tiga patah kata terucap dan dia sudah kehabisan bahan pembicaraan. “Jadi, ada apa?” Untuk sesaat, dia tidak mengatakan apa-apa. Aku menghela napas. Selama bertahun-tahun aku sering melatih pidato tentang betapa aku marah kepadanya karena meninggalkan Mom. Aku berusia tiga tahun ketika mereka 20
berpisah. Seingatku mereka tidak pernah bertengkar. Hal yang kuingat tentang masa-masa mereka bersama hanyalah beberapa kilasan singkat. Sebuah pesta ulang tahun. Suatu sore di pantai. Dad bersandar di wastafel sambil bercukur�� ����������. Dan kemudian, kenangan menyakitkan tentang hari kepergiannya. Aku berdiri bersama Mom di jalan masuk, sambil menggendong Jeffrey di pinggangnya dan menangis patah hati sewaktu Dad pergi naik mobil. Aku tak bisa memaafkan Dad karena melakukan itu. Banyak yang tak bisa kumaafkan darinya. Karena pindah jauh ke seberang negeri agar bisa menyingkir dari kami. Karena tidak cukup sering menelepon. Karena tidak pernah tahu apa yang harus diucapkannya ketika menelepon. Tetapi, yang terutama, aku tak bisa melupakan bagaimana wajah Mom yang seperti tersengat setiap mendengar Dad disebut-sebut. Mom tidak akan mau membahas apa yang terjadi di antara mereka sama seperti dia enggan membahas tujuannya. Tetapi, inilah yang aku tahu: ibuku sangat mendekati sosok wanita sempurna yang ingin dilihat dunia. Bagaimanapun, dia separuh malaikat, meskipun ayahku tidak tahu itu. Dia cantik. Dia pandai dan kocak. Dia ajaib. Dan, Dad mencampakkannya. Dad mencampakkan kami semua. Oleh karena itu, Dad sama saja dengan orang bodoh. “Aku hanya ingin tahu apa kau baik-baik saja,” katanya akhirnya. “Kenapa aku bisa tidak baik-baik saja?” Dad terbatuk.
21
“Maksudku, jadi remaja itu berat, bukan? SMA. Cowokcowok.” Sekarang percakapan ini telah berubah dari tidak biasa menjadi benar-benar aneh. “Benar,” kataku. “Yah, memang berat.” “Ibumu bilang nilai-nilaimu bagus.” “Dad bicara dengan Mom?” Sunyi lagi. “Bagaimana rasanya hidup di Big Apple?” tanyaku, untuk mengalihkan pembicaraan tentang diriku. “Seperti biasa. Lampu-lampu terang. Kota besar. Aku melihat Derek Jeter di Central Park kemarin. Hidup memang mengerikan.” Dia juga bisa memesona. Aku selalu ingin marah kepadanya, memberitahunya agar tidak usah bersusah payah membangun hubungan batin denganku, tetapi tidak pernah bisa melakukannya. Kali terakhir aku bertemu dengannya dua tahun lalu, musim panas ketika aku beranjak empat belas tahun. Aku sudah melatih pidato istimewa “aku benci padamu”-ku di bandara, di pesawat, di luar gerbang, di terminal. Dan kemudian, aku melihatnya sedang menungguku di samping tempat pengambilan bagasi, lalu aku dipenuhi kebahagiaan yang aneh. Aku menghambur ke dalam pelukan Dad dan mengatakan betapa aku merindukannya. “Aku cuma berpikir,” sekarang Dad bicara. “Mungkin kau dan Jeffrey bisa berlibur di New York.” Aku hampir tertawa pada pilihan waktunya.
22
“Aku ingin sekali,” kataku, “tetapi ada semacam hal penting saat ini.” Misalnya, menemukan kebakaran hutan. Hal yang menjadi satu alasan keberadaanku di Bumi ini. Sesuatu yang takkan pernah bisa kujelaskan kepadanya dalam seribu tahun. Dad tidak mengatakan apa-apa. “Maaf,” kataku, dan aku mengejutkan diriku sendiri karena benar-benar tulus. “Aku akan memberitahumu kalau ada perubahan.” “Kata ibumu kau juga lulus ujian mengemudi.” Dia jelas-jelas berusaha mengubah topik pembicaraan. “Ya, aku mengikuti ujiannya, berhasil parkir paralel dan semuanya. Aku enam belas tahun. Aku sudah sah menurut undang-undang sekarang. Tapi, Mom tidak mau membiarkanku membawa mobil.” “Mungkin sudah waktunya kita mempertimbangkan kau punya mobil sendiri.” Mulutku menganga. Dad benar-benar penuh kejutan. Lalu, aku mencium bau asap. Apinya pastilah lebih jauh kali ini. Aku tidak melihatnya. Aku tidak melihat pemuda itu. Embusan angin panas bercampur pasir membuat rambutku kabur dari kuncirannya. Aku terbatuk dan berbalik pergi dari hempasan itu, menyingkirkan rambut dari wajahku. Saat itulah aku melihat truk berwarna perak. Aku berdiri beberapa langkah dari tempat kendaraan itu diparkir di ujung jalanan tanah. AVALANCHE, itulah yang tertulis 23
dengan huruf-huruf perak di bagian belakangnya. Truk itu sangat besar dengan tempat tidur pendek berselimut. Truk milik pemuda itu. Entah bagaimana aku mengetahuinya. Lihat plat nomornya, kataku kepada diriku sendiri. Fokus pada itu. Plat nomor itu bagus. Warnanya hampir semua biru: langit, dengan awan-awan. Sisi kanannya didominasi oleh gunung berbatu-batu yang berpuncak rata, samar-samar rasanya sudah tidak asing lagi. Di sisi kiri ada siluet hitam seorang koboi menunggang kuda, sedang melambaikan topinya di udara. Aku pernah melihatnya, tetapi tidak langsung mengenalinya. Aku mencoba membaca plat nomornya. Tadinya aku hanya bisa melihat angka besar di sisi kiri: 22. Dan kemudian, empat digit di sisi lain koboi itu: 99CX. Aku menyangka akan merasa sangat senang, bersemangat karena kepingan informasi yang sangat menolong ini diberikan kepadaku dengan semudah itu. Tetapi, aku masih berada dalam penglihatan, dan itu berlanjut. Aku menjauh dari truk dan berjalan dengan cepat ke pepohonan. Asap melayang melewati tanah hutan. Di suatu tempat yang dekat aku mendengar bunyi patahan, seperti cabang jatuh. Lalu, aku melihat pemuda itu, sama persis dengan penampakannya selama ini. Punggungnya berbalik, api tiba-tiba menjilat punggung bukit. Bahayanya sangat jelas, sangat dekat. Hantaman kesedihan melingkupiku seperti tirai yang diturunkan. Tenggorokanku menutup. Aku ingin menyebutkan namanya. Aku melangkah maju ke arahnya. “Clara? Kau baik-baik saja?� 24
Suara ayahku. Aku melayang kembali ke diriku sendiri. Aku bersandar pada lemari es, menatap jendela dapur tempat seekor burung kolibri terbang di dekat tempat memberi makan burung milik Mom, sayap-sayapnya tampak buram. Burung itu melesat masuk, mematuk, lalu terbang pergi. “Clara?� Dad terdengar cemas. Masih linglung, aku mengangkat telepon ke telingaku. “Dad, kurasa aku akan meneleponmu lagi.�
*
25
2
SELAMAT DATANG DI JACKSON HOLE
B
anyak sekali markah jalan di sepanjang perjalanan
menuju Wyoming. Kebanyakan berisi semacam peringatan bahaya. AWAS ADA RUSA. AWAS TEBING LONGSOR. TRUK, PERIKSA REM. SIMAK BERITA PENUTUPAN JALAN�������������������������� . AREA PENYEBERANGAN RUSA �� 3 ����� KM DI DEPAN. DAERAH LONGSORAN SALJU, DILARANG PARKIR ATAU BERHENTI. Sepanjang hari aku ������ mengemudikan����������������������������������������������� mobilku di belakang mobil Mom dari California bersama Jeffrey yang duduk di bangku penumpang. Aku mencoba tidak mencemaskan semua penanda jalan yang mengisyarat-kan��������������������������������������� bahwa kami sedang menuju suatu tempat yang liar dan berbahaya. Saat ini aku sedang menyetir melalui sebuah hutan pinus lodgepole. Sangat surealis. Aku tidak bisa menghentikan diri dari memperhatikan semua plat nomor Wyoming di 26