Kepada Peri, Jin, Jembalang dan Manusia teman mereka
Prolog Tidak ada pohon yang tumbuh di dunia Tirfeyne. Tetapi, di sana terdapat banyak semak tinggi dan beraneka macam jenis bunga yang sebagian besar tumbuh juga di bumi. Rumah-rumah dibangun dari bahan batu dan logam, bukan dari kayu. Tirfeyne dihuni oleh bangsa peri, jin, dan bajang. Penghuni lain adalah pixie, troll, dan jembalang—tetapi mereka tidak hidup di Feyland, melainkan di negeri masing-masing. —Orville Gold, jin ahli sejarah Feyland
Kembali ke masa ketika aku masih berumur sembilan tahun, ketika orangtuaku menghilang.
Awalnya mudah saja memercayai bahwa mereka akan pulang besok atau besoknya lagi. Lagi pula, mereka kan cuma pergi untuk mencari kakakku, Jett. Tetapi ini
sama sekali tidak luar biasa. Jett kelihatannya memang tidak pernah jauh-jauh dari masalah, kendati aku tidak pernah benar-benar yakin masalah apa yang selalu menimpanya. Dan tentu saja dia tidak pernah bilang kepadaku ke mana dia pergi dan untuk apa. Ini bukan untuk pertama kalinya guruku, Beryl Danburite, menjagaku. Orangtuaku selalu memanggilnya kalau mereka mau pergi lebih dari beberapa jam saja. Aku tidak senang ada guruku menjagaku di rumah, tetapi tidak ada yang menanyakan pendapatku. Dulu, dia bahkan pernah menginap di rumahku seminggu. Kali ini dia akan menginap di rumahku selamanya. Pada hari aku diberitahu bahwa orangtuaku tidak akan pulang lagi, aku sedang duduk di sudut tenggeran yang agak tinggi sambil melihat-lihat buku Bumi milik keluargaku. Buku itu tentang pohon-pohon. Aku senang melihat gambar-gambarnya yang mengilap dan menghafal bentuk-bentuk daunnya. Miss Danburite tidak setuju. Setiap kali dia melihatku membacanya, dia akan bilang bahwa Bumi adalah tempat yang berbahaya, dan manusia adalah makhluk yang membingungkan. Tetapi dia tidak pernah benarbenar menyuruhku untuk menutup buku itu. Aku sedang melihat sebuah gambar pohon cemara biru ketika aku mendengar sebuah ketukan keras pada
pintu rumah kami. Aku meletakkan buku itu dan berlari untuk membuka pintu, sayapku gemetar. Sosok asing berdiri di ambang pintu, sesosok jin ceking dengan mata seperti manik-manik garnet menatapku dari balik hidung kentangnya. Kulitnya jingga dengan bercak-bercak keemasan, rambutnya berwarna kuningan kotor. Pada pergelangan tangannya dia mengenakan sebongkah besar batu permata rubi. “Selamat malam,” katanya dengan suara serak. “Aku Penasihat Wolframite. Kau Zaria Tourmaline?” Aku mengangguk. “Aku boleh masuk?” Sesaat aku berniat untuk membanting pintu itu. Mungkin jika aku tidak membiarkannya masuk, berita itu pun tidak akan masuk. Aku takut, karena hanya berita mengerikanlah yang membuat penasihat datang ke rumah kami. “Zaria?” Miss Danburite memanggil. “Siapa yang di luar?” Aku tidak bisa menyebutkan namanya, kendati sebenarnya aku ingat betul. Sesaat kemudian, Miss Danburite bergegas masuk. Ketika dia melihat jin itu, sayap jingganya bergetar seperti sayap anak-anak yang ketakutan. Aku belum pernah melihatnya tidak dapat mengendalikan sayapnya.
“Selamat malam,” kata jin kurus itu lagi. “Selamat malam, Penasihat.” “Aku ke sini untuk membicarakan Zaria denganmu.” Dia melihat ke bawah, padaku sekali lagi, setelah itu dia hanya memandang Miss Danburite. “Aku prihatin sekali,” katanya, “tetapi orangtuanya sudah dinyatakan indeterminum detu.” Kendati aku masih kecil, aku tahu arti istilah dalam bahasa kuno itu. Pergi, tidak akan pernah kembali. Rasanya sebuah jendela terbuka pada malam hari di dalam hatiku. Gelap tanpa bintang, dan sangat dingin udaranya. “Kami yakin mereka ditangkap oleh manusia,” lanjut Penasihat itu. “Terakhir kalinya, mereka terpantau sedang keluar dari gerbang yang menuju Bumi.” “Tetapi mereka…” kata Miss Danburite. “Mereka sudah pergi satu bulan. Dan kami harus memutuskan sesuatu tentang putri mereka.” Dia menyentuh batu rubi pada pergelangan tangannya. Aku melihat sebuah mahkota terukir pada batu tersebut. “Aku harus bertanya kepadamu, Miss Danburite. Kau mau menjadi walinya?” “Saya tidak mengerti,” sahut Miss Danburite “Orangtua Zaria menunjukmu sebagai walinya jika mereka wafat,” kata Penasihat.
Aku mendongak ke arah Miss Danburite dan menantinya untuk mengatakan bahwa mereka salah perkiraan, bahwa orangtuaku belum wafat, hanya terlambat pulang. Tetapi ketika dia tidak mengatakan apa pun, jendela hatiku terkuak lebih lebar sehingga malam masuk dengan lebih leluasa. Penasihat itu mengernyit. “Miss Danburite?” “Dia tidak punya kerabat?” tanya Miss Danburite. “Zaria tidak mempunyai saudara dekat,” jawab Penasihat Wolframite. “Keluarganya benar-benar tidak beruntung.” Mata Miss Danburite yang berwarna kuning pudar menyala sekejap lalu berair. Untuk beberapa saat dia berdiri diam, mulutnya cemberut. “Orangtuanya menunjukmu,” kata Penasihat. “Mungkin karena kau tidak mempunyai anak.” Suara Miss Danburite meninggi, seperti yang kadang-kadang dilakukannya di dalam kelas. “Umur saya dua ratus delapan belas tahun,” katanya. “Anda meminta saya untuk pindah ke Galena demi mengurusi peri yatim-piatu?” Peri yatim-piatu. Apakah itu aku? “Dia tidak punya siapa-siapa lagi.”
Miss Danburite menelan ludah dan mengerjapkan matanya, lalu mengendalikan sayapnya. “Baiklah,” katanya. “Terima kasih.” Penasihat Wolframite membungkuk kepadanya. “Aku akan kembali lagi besok untuk mengesahkanmu sebagai wali Zaria.” Miss Danburite tidak membungkuk. Dia juga tidak mengucapkan salam perpisahan, jadi aku juga tidak melakukannya. Setelah Penasihat pergi, Miss Danburite menatapku. “Kau mengerti, Zaria? Aku akan tinggal di sini bersamamu sampai kau dewasa.” Aku ingin bicara tetapi badanku dingin sekali rasanya. “Aku ikut berduka cita,” kata Miss Danburite. “Ayah dan ibumu tidak akan pulang. Kakakmu juga hilang.” Ketika dia mengucapkan kata-kata itu, terjadilah suatu yang mengagumkan. Aku merasa seakan-akan ada sehelai tirai muncul di dalam hatiku, terbuat dari tenunan sesuatu yang kuat dan berat sehingga dapat menutup jendela malam itu. Miss Danburite menghela napas. “Aku akan berusaha untuk menjadi wali yang baik bagimu. Jangan bikin jengkel aku, ya.”
Tirai itu kian menebal. Semakin rapat tirai itu menutup, semakin pudar juga kenanganku pada keluargaku yang hilang. Dan, aku menatap Beryl Danburite tanpa merasakan apa pun juga. *
10
1 Lima Tahun Kemudian
Manusia salah mengerti tentang sihir makhluk gaib; manusia kelihatannya percaya bahwa sihir entah bagaimana dapat mengubah kekuatan jasmani. Kenyataannya, makhluk gaib sama rentannya dengan manusia. Kekuatan sihir tidak dapat melindungi kami dari pisau, peluru, atau ledakan. Kami biasanya bergerak cepat untuk menghindari anak panah atau pisau, tetapi hanya mereka yang paling gesit di antara kamilah yang mampu menghindar dari terjangan peluru. Ketika pertama kali seorang manusia menembak makhluk gaib, dewan penasihat Feyland langsung mengeluarkan maklumat bagi makhluk
11
gaib, yang isinya memerintahkan agar semua penghuni alam gaib untuk tidak memperlihatkan diri kepada manusia —Orville Gold, jin ahli sejarah Feyland
Temanku Leona jarang sekali gemetar, tetapi ketika
melewati Gerbang Galena yang besar itu untuk pertama kalinya, sayap peraknya bergetar seperti cermin yang tidak rata. Andalonus berjalan tepat di belakangnya, tidak dapat menahan diri untuk tidak terus menerus melanting ke atas ke bawah. Poni birunya melambailambai di sekitar kepalanya. Kebetulan Meteor melayang di sampingku, tetapi di pintu gerbang dia berhenti. “Kau duluan, Zaria,� katanya, matanya berkilauan seperti batu zamrud yang dipotong dengan baik. Meluncur melewati pilar-pilar ajaib yang melindungi Galena, aku tidak dapat menghentikan getaran sayapku. Aku kelewat gembira. Kami semua terpaksa untuk menunggu sampai seluruh anggota kelas kami mencapai umur empat belas tahun, sebelum salah satu dari kami boleh pergi ke Oberon City. Hukum yang menjengkelkan dan 12
bodoh, namun, seperti juga semua hukum di Feyland, dijalankan dengan disiplin. Kami telah terperangkap di Galena—tempat tinggal bagi bayi-bayi, balita, dan anakanak—hingga aku, Zaria Tourmaline, murid termuda di kelas kami yang jumlah muridnya lima puluh peri dan jin, berumur empat belas tahun. Aku prihatin karena telah menyebabkan empat puluh sembilan peri dan jin lainnya menanti hingga aku berulang tahun. Jika saja aku bisa mempercepatnya, aku akan dapat merayakannya bersama Andalonus ketika dia berulang tahun lima minggu sebelum ulang tahunku. Begitu aku melewati gerbang itu dan memasuki Oberon��������������������������������������������� City, guru kami, Mr. Bloodstone, memerintahkan kami untuk berjalan kaki. Bayangkan, berjalan kaki! Seolah kami akan mengalami kecelakaan jika kami terbang. Ini benar-benar tidak masuk akal, karena kami semua telah bisa terbang sejak kami berumur empat tahun. Kaki kami menyentuh lapisan batu granit yang keras dan bukan pasir lembut yang terhampar di Galena demi keselamatan. Kami harus menengadahkan kepala kami untuk melihat gedung-gedung itu. Wah, hebat sekali gedung-gedung itu! Di Galena, semua bangunan dibuat rendah di atas tanah, untuk mencegah peri-peri dan jin13
jin muda terluka. Tetapi di Oberon City kubah-kubah indah menjulang di sekitar kami, perak, emas, platina, dan tembaga berkilauan. Di antara kubah-kubah, aku dapat melihat menara-menara kokoh bertabur mutu manikam. Sambil memekik kegirangan, Portia Peridot melayang setinggi lima rentangan sayap sebelum Mr. Bloodstone berteriak padanya. “Tetap di tanah, Portia, kalau tidak, kuikat sayapmu!” Portia turun terlalu cepat sehingga mungkin lututnya memar karena mendarat di atas jalan keras. Dia terpincang��������������������������������������������� -pincang, sementara sayap hijaunya terkulai. Aku mendelik ke punggung Bloodstone. Dia memang suka begitu, walaupun kami sudah berada di Oberon City, tetap saja dia memperlakukan kami seperti anak kecil. Mr. Bloodstone memandu kami melalui sebuah gerbang melengkung dari pualam dan memasuki sebuah stasiun pengamatan yang dipenuhi oleh peri-peri dan jin-jin dewasa. Dengan mengabaikan mereka, Bloodstone menggiring kami ke ruangan yang terpisah. Seperti anak-anak balita melihat asap berwarna, kami menatap dengan terpesona. Bilik-bilik dari kristal sebening air hujan termurni, menjorok keluar dari dinding barat. Setiap bilik berisi sebuah teropong, sebuah alat ajaib yang dapat melihat Bumi dari dunia kami. 14
Kami di sini diizinkan melihat untuk pertama kalinya tanah antah berantah yang didiami manusia. Kami juga akan melihat ibu peri, yang menjaga bayi perempuan, dan bapak jin, bagi bayi laki-laki, memberikan hadiah atas kelahiran seorang bayi. Meteor berada di depanku. Aku melihatnya melangkah memasuki sebuah bilik lalu menempelkan matanya pada terepong sementara Bloodstone berdiri di dekatnya dengan senang. (Mungkin Meteor jin paling cerdas yang pernah menjadi murid Bloodstone, sehingga Bloodstone menganggap Meteor sebagai jin terhebat yang pernah ada) Ketika Bloodstone melambaikan tangannya ke arahku, aku sama sekali tidak mengira bahwa setelah itu kehidupanku akan berubah selamanya. Dengan lembut aku menekankan dahi pada tempat yang sudah disediakan di atas mata teropong itu. Selama beberapa saat, aku hanya melihat pohon-pohon dan langit. Sambil mengamatinya aku merasakan dorongan aneh untuk melompat keluar dari bilik dan mencari portal menuju Bumi. Aku ingin melayang ke langit itu, serta menyentuh dedaunan itu dengan ujung jemariku. “Carilah bayi yang akan kau amati di Bumi, Zaria,� kata Bloodstone di telingaku. Bisa tidak sih dia berada jauh dari bilik ini? 15
Aku menyentuh sebuah tombol yang menyalakan sederetan petunjuk ke arah sesosok bayi manusia yang terbungkus selimut lembut bewarna kuning. Kulit bayi itu cokelat, sedikit lebih terang daripada kulit Meteor, rambutnya seperti gumpalan jerami lurus mirip rambut kurcaci. Kelihatannya manusia tidak punya banyak pilihan dalam hal warna kulit dan rambut. Aku melihat mata bayi itu bercahaya, kaki kecilnya menendang-nendang, dan jemari mungilnya merapat membentuk kepalan kecil. Sebuah genta berdentang menandakan kesempatan yang membawaku ke sini untuk mengamati: pemberian sifat kepada bayi manusia—kesempatan bagiku untuk melihat sosok ibu peri beraksi. Aku melihat sebuah hadiah bergerak turun, mengambang seperti kabut, lalu mendarat pada kulit bayi itu. Walaupun aku tidak ingin tahu, tetapi kekuatan sihirku mengatakan kepadaku bahwa hadiah yang akan dimiliki bayi itu adalah perasaan ingin tahu yang tidak terlalu besar. Mata bayi itu meredup. Aku tidak mengerti. Mengapa ibu peri tersebut memberikan hadiah semacam itu? Bagiku itu bukan satu hadiah sama sekali, bahkan lebih mirip sebuah kutukan yang merampas kebaikan.
16
Aku menyipitkan mata ke arah bilik di samping bilikku. Aku melihat ibu peri bayi itu bertengger di sana. Wajah pipihnya berpaling dari anak walinya tanpa menengok lagi ke belakang. Sebelum dia meninggalkan bilik itu, dengan jelas aku melihat rambutnya yang berwarna kunyit di kepang dengan untaian pengantin. Ujung hidung rampingnya turun, dan sayapnya putih. Sikuku menyentuh pipa teropong sehingga aku tidak dapat melihat bayi itu lagi. Aku mencoba untuk melihatnya lagi. Teropong itu bergerak-gerak, dan selanjutnya aku melihat gambar seorang remaja putra yang kira-kira sebaya denganku. Warnanya sangat mencolok, sehingga bisa saja sebenarnya dia jin: rambut merah keemasan yang menyala seperti api, mata seperti kacang hazel dengan cahaya kekuningan. Teropong itu menangkapnya tepat ketika dia sedang menatap ke arahku juga. Aku terlonjak, menabrak teropong itu hingga terjatuh. Wajah berkulit kelabu Mr. Bloodstone mengerut ketika bibirnya membentuk seringai yang sudah kukenal. “Kau akan terbiasa dengan pemandangan seperti itu,� katanya. Itu merupakan salah satu kebohongan terbesar yang pernah diucapkan kepadaku. * 17
2 Sejak maklumat tidak-kasat-mata dilaksanakan, salah persepsi manusia terhadap makhluk gaib semakin menjadi-jadi. Misalnya, ketika manusia menceritakan peri dan jin dalam buku-buku, mereka tidak hanya menampilkan peri-peri betina dan jin-jin jantan, melainkan juga peri jantan dan jin betina. Sungguh absurd. Peri adalah makhluk gaib betina; sedangkan jin selalu jantan. Peri bersayap, sementara jin memiliki kekuatan sihir dan berkaki kuat, namun kedua jenis itu dapat terbang dengan kecepatan yang sama. Agaknya manusia yakin bahwa peri bertubuh mungil sementara jin besar sekali. Padahal kenyataannya tidak demikian. Baik peri maupun
18
jin setelah dewasa rata-rata t ingginya antara seratus lima puluh sampai sekitar seratus delapan puluh sentimeter, seperti manusia. —Orville Gold, jin ahli sejarah Feyland
Setelah keluar dari bilik pengamatan, aku mencoba
melupakan ibu peri yang sinis dan bayi yang di bawah perlindungannya itu. Satu-satunya yang ingin kuingat hanyalah Bumi. Aku masih merindukan berada di antara pepohonan yang pernah kulihat, benar-benar berada di antara pohon-pohon itu, bukan sekadar melihat mereka dari dunia lainnya melalui lensa bertabur berlian. Tetapi menurut hukum, aku harus sudah berumur enam belas tahun dan terdaftar pada Dewan Penasihat sebelum boleh melakukan perjalanan, meskipun hanya sekali saja, ke Bumi. Aku tidak bisa membayangkan harus menunggu dua tahun lagi. “Bagaimana?” aku berbisik pada teman-temanku. “Kusangka seru, tapi ternyata yang kulihat hanya bayi tanpa rambut,” gerutu Leona. “Mungkin akan berbeda kalau aku memiliki anak manusia yang harus kujaga sendiri.” 19
Aku ingin tahu mungkinkah teman-temanku juga mendapat kisikan dari kekuatan sihir mereka mengenai hadiah yang diberikan kepada bayi manusia yang mereka amati. Aku membuka mulut untuk bertanya, namun Andalonus menyikutku. “Kudengar Bloodstone bilang kau terkena serangan Bumi-mania.” “Apa?” aku mendongak dan menangkap mata Bloodstone sedang menatapku, dan aku berharap sesosok peri jahat akan memasukkannya ke dalam sebuah botol jin kuno. Leona melangkah di depanku, menghalangi pandang�������� an���������������������������������������������� Bloodstone padaku. Leona memang tidak pernah takut pada Bloodstone—karena dia adalah keponakan Bloodstone. Bloodstone tidak pernah memarahinya, apa pun yang dilakukannya. “Apakah bayi laki-laki manusia punya rambut?” tanya Leona kepada Meteor dan Andalonus. Selagi mereka bercakap-cakap, ingatanku melayang ke Bumi. Mungkinkah aku sudah tersihir? Jika bukan itu, bagaimana aku menjelaskan hal-hal yang salah dalam diriku? Jika bukan itu, mengapa aku bisa begitu tertarik pada dunia yang telah membunuh orangtuaku? * 20
3 Kekuatan sihir peri dan jin baru benar-benar matang setelah mereka mencapai umur empat belas tahun. Tingkatan kekuatan magis bawaan satu sosok dengan sosok lainnya bisa sangat nyata perbedaannya. Tingkatan memberikan kapasitas untuk menggunakan mantra dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit. Misalnya, kekuatan sihir tingkat 1 bisa untuk menciptakan gelembung sabun besar dan rapalan lain yang rendahan‌ tingkat 3 memberikan kemampuan kepada peri dan jin untuk menciptakan hadiah-hadiah kecil yang kurang berarti kepada seorang anak wali manusia (seperti kecakapan untuk memegangi sendok) ‌ tetapi t ingkat 75—yang sangat langka—dibutuhkan untuk penciptaan portal-portal ke bumi 21
Untuk melakukan perjalanan melalui portal antara tirfeyne dan bumi, kami harus memiliki setidaknya tingkat kekuatan sihir 5. Bertahuntahun yang lalu, hampir semua jin dan peri dapat melakukan perjalanan itu dengan mudah; tetapi sekarang 89 persen peri dan jin tidak memiliki kekuatan sihir yang mencukupi untuk meninggalkan tirfeyne dan hanya mampu mengamati bumi dari teropong pengamatan. —Orville Gold, jin ahli sejarah Feyland
Setibanya di Galena, segalanya kelihatan kebayibayian. Gedung-gedung tampak terlalu dekat ke tanah. Pasir terasa lebih lembut. Begitu Bloodstone membubarkan kami, kami semua membubung ke angkasa. Meteor dan Andalonus melesat ke depan, dan tak lama kemudian menghilang. Leona dan aku terbang secepat kilat juga, berlomba untuk tiba di air terjun Galena. Ada sebuah daerah yang terletak di puncak karang barat air terjun itu, tempat kesukaan kami untuk dudukduduk. Diteduhi oleh karang dan tanaman, lokasi itu menjadi tempat kami sejak kami masih kecil. Ketika 22