Draft VNR (Voluntary National Review) TPB/SDGs 2017

Page 1

DRAF 5 APRIL 2017

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN TUJUAN 1: MENGAKHIRI KEMISKINAN DALAM SEGALA BENTUK DIMANAPUN Laporan ini berisikan tentang perkembangan pencapaian berbagai indikator tujuan 1, mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk. Pembahasan hanya difokuskan pada beberapa indikator penting seperti tingkat kemiskinan ekstrim, persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional, proporsi peserta jaminan kesehatan melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan indikator lainnya. Selain itu diuraikan pula tentang berbagai inisiatif dan capaian signifikan, emerging issues serta pembelajaran.

I. ANALISIS TREND DAN KEBERHASILAN A. Mengentaskan Kemiskinan Hasil upaya Pemerintah Indonesia dalam mengakhiri kemiskinan, dapat dilihat dari tingkat kemiskinan yang terus menurun dalam dasawarsa terakhir. Berdasarkan pengukuran kemiskinan Bank Dunia yang menggunakan pendekatan Purchasing Power Parity 1(PPP), sekitar 8,8% penduduk Indonesia hidup di bawah US$ 1,25 per kapita per hari pada tahun 2015 (Gambar 1). Selain itu bila menggunakan Garis Kemiskinan Nasional2, terdapat 10,7% atau 27,76 juta penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2016 (Gambar 2). Namun, laju penurunan kemiskinan pada 3 tahun terakhir mengalami perlambatan yang mengindikasikan perlunya kerja yang lebih keras untuk mencapai sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebesar 78%. 17.75

16.58

23.52 22.66

15.42

14.15

13.33

19.48

12.49 11.96

17.08

11.37 11.25 11.22 10.86 10.70

Target

2015

2014

2013

2012

2011

2010

2009

2007

2008

Persentase Penduduk Miskin (%)

Maret 2016

PPP US$ 1.25

7.55

2006

2015

9.73 8.80

2014

11.21

2013

12.93

2012

2011

2010

2009

2008

2007

2006

14.85

Sept 2016

28.32

Gambar 1.1. Perkembangan Pengurangan Kemiskinan Ekstrim 2006-2015 Sumber: Bank Dunia

Gambar 1.2. Perkembangan Pengurangan Kemiskinan Berdasarkan Garis Kemiskinan Nasional, 2006-2016 Sumber : BPS, Susenas (2006-2015 Angka Maret) Meskipun laju penurunan kemiskinan melambat, tingkat kesejahteraan penduduk miskin membaik. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) menurun dari 3,43 pada tahun 2006 menjadi 1,74 pada tahun 2016, mengindikasikan kesenjangan rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan semakin kecil. Begitu pula dengan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) yang menurun dari 1,00 pada tahun 2006 menjadi 0,44 pada September tahun 2016. Hal ini mengindikasikan semakin mengecilnya distribusi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin (Gambar 3).

1 2

PPP dengan batas US$ 1.25 yang sama/flat mulai dari periode 2006-2015 Garis Kemiskinan (GK) Nasional yang digunakan sesuai dengan perkembangan GK di setiap tahun 1


DRAF 5 APRIL 2017

1.74

0.76

0.68

0.58

0.55

0.47

0.43

0.44

0.53

0.53

0.44

Sept 2016

1.94

Maret 2016

1.97

2015

1.75

2014

1.75

2013

1.88

2012

2.08

2011

2.21

2010

2.50

2009

0.84

2.77

2008

1.00

2007

2.99

2006

3.43

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)

Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)

Gambar 1.3. Tingkat Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan Periode 2006-2016 Sumber: BPS, Susenas (2006-2015 Angka Maret)

3.75 4.15 4.52 5.04 5.36 5.36 5.84 6.00 6.41 6.99 7.14 7.67 8.00 8.20 8.37 8.77 9.24 10.27 10.70 11.19 11.85 12.77 13.10 13.19 13.39 13.86 14.09 16.02 16.43 17.03 17.63 19.26 22.01 24.88 28.40 Jakarta Bali Kalsel Kep Babel Banten Kalteng Kep Riau Kaltim Malut Kaltara Sumbar Riau Kalbar Sulut Jambi Jabar Sulsel Sumut Indonesia Sulbar Jatim Sultra DIY Jateng Sumsel Lampung Sulteng NTB Aceh Bengkulu Gorontalo Maluku NTT Papua Barat Papua

Persentase (%)

Disparitas laju penurunan kemiskinan antarwilayah masih menjadi tantangan berat karena laju penurunan kemiskinan terjadi secara tidak merata. Masih cukup banyak daerah yang memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata nasional. Beberapa provinsi di wilayah Indonesia Timur memiliki tingkat kemiskinan cukup tinggi, seperti Provinsi Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Secara umum, kemiskinan di wilayah perdesaan lebih tinggi dari wilayah perkotaan.

Gambar 1.4. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Berdasarkan Provinsi Sumber: BPS, Susenas (Angka September 2016) Hal ini diikuti oleh ketimpangan yang melebar antar kelompok pendapatan. Perkembangan gini rasio Indonesia pada periode 2006-2016 menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk di perkotaan relatif lebih tinggi dibandingkan di perdesaan. 0.430 0.374 0.380 0.330

0.376 0.357

0.280 0.230

0.369

0.350 0.371

0.302

0.304

2007

2008

0.276 2006

0.422

0.425

0.431

0.428

0.428

0.41

0.41

0.413

0.406

0.408

0.410

0.409

0.397

0.394

0.382 0.362 0.378 0.357

0.340 0.315

0.330

0.320

0.319

2013

2014

0.334

0.327

2015

Maret Sept 2016 2016

0.316

0.288 2009

2010

Perkotaan

2011

2012

Perdesaan

Total

Gambar 1.5. Gini Rasio Perkotaan, Pedesaan, dan Total pada Periode 2006-2016 Sumber: BPS, Susenas (2006-2015 Angka Maret) B. Upaya Perlindungan Sosial Strategi penanggulangan kemiskinan di Indonesia dalam RPJMN 2015-2019 bertumpu pada 3 pilar, yaitu perlindungan sosial yang komprehensif, peningkatan pelayanan dasar, dan penghidupan berkelanjutan. Sejalan dengan pengembangan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), pada tahun 2014 Pemerintah mulai melaksanakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Mulai pertengahan tahun 2015, dilaksanakan 4 program lainnya melengkapi SJSN, yaitu jaminan 2


DRAF 5 APRIL 2017 kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pensiun. Sejalan dengan itu, beberapa program lainnya juga mendukung keberhasilan pengurangan kemiskinan, antara lain:

Jumlah (Juta Orang)

Perluasan Kepesertaan Jaminan Kesehatan Proporsi penduduk yang tercakup dalam JKN melalui penerbitan Kartu Indonesia Sehat (KIS) terus meningkat dari 51,8% pada tahun 2014 menjadi 66,4% pada akhir 2016. Cakupan tersebut tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk meningkatkan jumlah penduduk miskin dan rentan sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI). Pada tahun 2016, jumlah PBI mencapai sekitar 36% dari total penduduk. 200.0

171.9 156.8

150.0 100.0

117.0 113.4

Jan 2014

86.4 86.4 87.8 91.1

50.0

21.3

37.9 24.3

41.0

Des 2014 24.4 19.9 13.9 5.5

3.7 8.811.2

Des 2015

15.4

Des 2016

0.0 Miskin dan Rentan

Pekerja Formal

Pekerja Informal dan Bukan Pekerja

Jaminan Kesehatan Daerah

Total

Gambar 1.6. Perkembangan Kepesertaan JKN, 2014-2016 Sumber: BPJS Kesehatan, 2016 Perluasan Cakupan Program Bantuan Sosial Bagi Penduduk Miskin Untuk mengurangi beban penduduk miskin, pelaksanaan program bantuan sosial bagi penduduk miskin dan rentan diperluas melalui komplementaritas program dan integrasi satu kartu. Dengan hal tersebut, pelaksanan bantuan sosial dapat lebih tepat sasaran dan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Upaya ini diawali dengan pengembangan Basis Data Terpadu (BDT), yang berisi data by name by address 40% penduduk dengan tingkat kesejahteraan terendah. Pengintegrasian bantuan sosial dimulai bagi penerima bantuan tunai bersyarat atau Program Keluarga Harapan (PKH) dengan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) melalui Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga penerima PKH yang terdiri dari anak balita dan usia sekolah, serta ibu hamil, penyandang disabilitas berat dan lanjut usia terlantar (>70 tahun), dilaksanakan Family Development Session (FDS) setiap bulannya. Pelatihan FDS terdiri atas modul parenting education, perlindungan anak, pola hidup sehat, dan pengelolaan keuangan keluarga. 6,000.0

Cakupan KPM (Ribu)

6,000.0

10,000.0

5,000.0 2,326.5

3,000.0 2,000.0

-

8,000.0

3,500.0

4,000.0

1,000.0

12,000.0

1,052.2

2,797.8

10,039.0

4,000.0

6,471.0

1,492.5 5,548.0

2,000.0

3,536.0 929.4 508.0 767.6 923.9 1,867.0 0.6 0.7 0.4 0.8 1,282.2 2007

2008

2009

2010

2011

Alokasi Anggaran (Milyar)

2012

2013

6,000.0

Alokasi Anggaran (Milyar)

7,000.0

2014

2015

2016

Cakupan KPM (Ribu)

Gambar 1.7. Perkembangan Jumlah Peserta dan Alokasi Anggaran PKH Sumber: Kementerian Sosial, Laporan Berbagai Tahun 3


DRAF 5 APRIL 2017 Untuk memastikan kecukupan gizi, Pemerintah menyalurkan subsidi beras sejahtera (Rastra) sebanyak 15 kg/bulan/keluarga bagi 15,5 juta Keluarga miskin dan rentan. Secara bertahap Rastra dialihkan menjadi BPNT agar keluarga miskin dan rentan dapat membeli pangan tidak hanya beras, namun juga pangan bergizi lainnya seperti gula, minyak, tepung dan telor di e-warong lokal yang menjadi agen bank. Tahun 2017 BPNT dilaksanakan di 44 kota, pada tahun 2018 akan diperluas ke seluruh kota dan sebagian besar kabupaten. Selain itu, untuk meningkatkan kondisi ekonomi penduduk miskin Pemerintah memberikan stimulan modal usaha bagi fakir miskin melalui kegiatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Program KUBE juga dilengkapi dengan rehabilitasi rumah tidak layak huni dan perbaikan sarana lingkungan di lokasi yang memerlukan. Khususnya bagi masyarakat adat di daerah terpencil, diberikan pemberdayaan sosial yang meliputi pemberian jaminan hidup, bantuan rumah, dan bimbingan sosial.

Persentase anak usia 12Persentase 23 bulan yang persalinan di mendapat fasilitas imunisasi kesehatan dasar lengkap

C. Akses terhadap Pelayanan Dasar Persalinan di Fasilitas Kesehatan dan Imunisasi Dasar Lengkap Pada Anak Salah satu upaya kunci mempercepat penurunan angka kematian ibu adalah memastikan setiap persalinan dilaksanakan di fasilitas kesehatan. Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan peningkatan persalinan di fasilitas kesehatan dari 46% (2007) menjadi 63,2% (2012). Tren peningkatan yang lebih tinggi terjadi pada kelompok 40% penduduk berpendapatan terbawah, yaitu dari 21,9% (2007) menjadi 42,5% (2012). Untuk cakupan imunisasi, data SDKI menunjukkan penurunan persentase anak usia 12-23 bulan yang mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Cakupan imunisasi dasar lengkap menurut catatan Kartu Menuju Sehat (KMS) turun dari 73,3% (2007) menjadi 66,7% (2012). Hal serupa terjadi pada 40% penduduk berpendapatan terbawah, cakupan menurun dari 68,1% (2007) menjadi 59,7% pada tahun 2012. Jika dibandingkan dengan kelompok berpendapatan tertinggi, capaian tersebut menunjukkan masih terjadinya ketimpangan akses terhadap pelayanan kesehatan. Kelompok penduduk berpendapatan tertinggi Rata-rata nasional Kelompok 40% penduduk berpendapatan terbawah Kelompok penduduk berpendapatan tertinggi Rata-rata nasional Kelompok 40% penduduk berpendapatan terbawah

21.9

0

2007

46.1 42.5

20

40

60

73.3 79.2 66.7 73.3 59.7 68.1 88.1 83.3 63.2

80

100

2012

Gambar 1.8. Capaian Persalinan di Fasilitas Kesehatan dan Imunisasi Dasar Lengkap Sumber: BPS, SDKI (2007 dan 2012) Prevalensi Penggunaan Metode Kontrasepsi (CPR) Semua Cara Pada Pasangan Usia Subur (PUS) Usia 15-49 Tahun Yang Berstatus Kawin Prevalensi pemakaian kontrasepsi (contraceptive prevalence rate/CPR) semua cara pada masyarakat miskin dan rentan (kesejahteraan 40% terendah) mengalami penurunan dari 64,53% pada tahun 2015 menjadi 64,28% pada tahun 2016. Dalam upaya meningkatkan layanan kesehatan reproduksi, perlu dilakukan edukasi mengenai manfaat pemakaian kontrasepsi bagi masyarakat miskin dan rentan.

4


Persentase (%)

DRAF 5 APRIL 2017

64.70

64.53 64.28

64.20

63.70 2015

2016

Gambar 1.9. Angka Pemakaian Kontrasepsi Semua Cara pada Pasangan Usia Subur dengan Tingkat Kesejahteraan 40% Terendah Sumber: BPS, Susenas

Persentase (%)

Peningkatan Akses Terhadap Layanan Sumber Air Minum Layak dan Berkelanjutan Akses terhadap layanan sumber air minum layak senantiasa ditingkatkan. Masyarakat miskin dan rentan (kesejahteraan 40% terendah) yang telah memperoleh air minum layak mengalami peningkatan dari 61,57% pada tahun 2015 menjadi 61,94% pada tahun 2016. 61.94

62.0 61.57 61.5

61.0 2015

2016

Gambar 1.10. Akses Terhadap Air Minum Layak pada Kelompok Masyarakat dengan Tingkat Kesejahteraan 40% Terendah Sumber : BPS, Susenas

Persentase (%)

Peningkatan Akses Terhadap Layanan Sanitasi Layak Akses sanitasi layak pada kelompok masyarakat miskin dan rentan mengalami peningkatan dari 47,76% pada tahun 2015 menjadi 54,12% pada tahun 2016. Pemerintah menargetkan pelayanan sanitasi layak kepada masyarakat terpenuhi 100% pada tahun 2019. 54.12

55 50

47.76

45 40 2015

2016

Gambar 1.11. Akses Sanitasi Layak Berdasarkan pada Kelompok Masyarakat dengan Tingkat Kesejahteraan 40% Terendah Sumber: BPS, Susenas Persentase Rumah Tangga Kumuh Perkotaan Terjadi penurunan persentase rumah tangga kumuh perkotaan berdasarkan tingkat kesejahteraan 40% terendah (miskin dan rentan) dari 12,60% pada tahun 2015 menjadi 10,53% pada tahun 2016.

5


Persentase (%)

DRAF 5 APRIL 2017 12.60

13 12 11 10 9

10.53

2015

2016

Gambar 1.12. Persentase Rumah Tangga Kumuh Perkotaan dengan Tingkat Kesejahteraan 40% Terendah Sumber: BPS, Susenas Rasio Angka Partisipasi Murni (APM) Perempuan/Laki-laki Rasio angka partisipasi murni perempuan/laki-laki di Sekolah Dasar (SD) pada kelompok masyarakat miskin dan rentan di tahun 2016 mengalami penurunan menjadi 99,93%. Sedangkan angka partisipasi murni perempuan/laki-laki di Sekolah Menengah Pertama (SMP) meningkat menjadi 107,93%, menunjukkan terjadi peningkatan jumlah murid perempuan dibandingkan lakilaki di jenjang SMP. Begitu juga angka partisipasi murni perempuan/laki-laki di Sekolah Menengah Atas (SMA) meningkat menjadi 112,19%, menunjukkan terjadi peningkatan jumlah murid perempuan dibandingkan laki-laki di jenjang SMA. 112 109 106 103 100 97 94

112.19 107.44

107.93 105.78 100.43 99.93

SD/MI/sederajat

SMP/MTs/sederajat 2015

SMA/MA/sederajat

2016

Gambar 1.13. Rasio Angka Partisipasi Murni pada Murid Perempuan/Laki-laki dengan Tingkat Kesejahteraan 40% Terendah Sumber: BPS, Susenas Kepemilikan Akta Kelahiran Untuk memastikan akses layanan dasar, kepemilikan akta kelahiran terus ditingkatkan. Pada tahun 2016, cakupan kepemilikan akta lahir penduduk usia 0-17 tahun untuk penduduk dengan tingkat kesejahteraan terendah masih perlu terus diupayakan. Beberapa upaya khusus yang dilakukan untuk mendorong kepemilikian akta kelahiran terutama di daerah tertinggal antara lain dengan mengadakan edukasi, pengadilan keliling, dan melengkapi kerangka regulasi. 100 80

70.3

88.2

83.3

78.0

93.9

60 40 20 0 Q1

Q2

Q3

Q4

Q5

Gambar 1.14. Persentase Penduduk Usia 0-17 Tahun dengan Kepemilikan Akta Kelahiran Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Sumber: BPS, Susenas Maret 2016

6


DRAF 5 APRIL 2017

Persentase (%)

Akses Sumber Penerangan Antara tahun 2015 dan 2016 terjadi peningkatan persentase rumah tangga miskin dan rentan (kesejahteraan 40% terendah) terhadap akses sumber penerangan dari 95,74% menjadi 96,22%. Meningkatnya akses masyarakat miskin terhadap penerangan akan memperbaiki kualitas hidup mereka. 96.5

96.22 96.0

95.74

95.5 2015

2016

Gambar 1.15. Persentase Rumah Tangga Miskin dan Rentan yang Sumber Penerangan Utamanya Listrik baik dari PLN dan Bukan PLN Sumber: BPS, Susenas

D. Membangun Ketahanan Masyarakat Miskin dan Rentan terhadap Bencana Pelayanan Dasar Kepada Korban Bencana

Rumah tangga miskin cenderung rentan dalam menghadapi dampak bencana dan untuk tinggal dan bekerja di daerah yang berisiko terkena bencana. Daerah dengan kepadatan penduduk miskin yang tinggi memiliki frekuensi terjadinya bencana yang tinggi. Kelompok dengan mata pencaharian yang bergantung pada cuaca dan iklim yang memiliki dampak risiko bencana paling tinggi (seperti El Nino/kekeringan) sebagian besarnya adalah rumah tangga miskin seperti buruh tani, produsen tanaman pangan, dan nelayan skala kecil. Bantuan pemerintah kepada korban bencana alam khususnya kelompok masyarakat miskin dan rentan (kesejahteraan 40% terendah) meningkat dari 66.625 korban jiwa pada tahun 2010

menjadi 200.000 korban jiwa pada tahun 2014. Begitu juga dengan jumlah petugas penanggulangan bencana meningkat dari 5.310 orang pada tahun 2010 menjadi 5.740 orang pada tahun 2014. 200,000

(a)

(b)

5,310

66,625

Korban bencana alam yang dibantu dan dilayani (Jiwa) 2010

5,740

2014

Pemantapan petugas penanggulangan bencana (Orang) 2010

2014

Gambar 1.16. Pelayanan Dasar Kepada Korban Bencana Alam Sumber: Kementerian Sosial, Laporan Tahunan

Sedangkan, bantuan pemerintah kepada korban bencana sosial diantaranya berupa bantuan kedaruratan dan pemulihan sosial meningkat dari 6.700 jiwa pada tahun 2010 menjadi 20.569 jiwa pada tahun 2014 (Gambar 17.a). Dalam pelaksanaan pemenuhan pelayanan dasar korban bencana sosial di lokasi bencana, tidak terlepas dari dukungan SDM relawan sosial Taruna Siaga Bencana (Tagana) dan tenaga pelopor yang tangguh dan berkomitmen tinggi. Pembentukan dan pelatihan tenaga pelopor meningkat dari 100 orang pada tahun 2010 menjadi 295 orang pada tahun 2014 (Gambar 17.b). 7


DRAF 5 APRIL 2017

(a)

20,569

100

6,700

2010

295

(b)

2014

Bantuan Kedaruratan dan Pemulihan Sosial (Jiwa)

2010

2014

Pembentukan dan Pelatihan Tenaga Pelopor (Orang)

Gambar 1.17. Pelayanan Dasar Kepada Korban Bencana Sosial Sumber: Kementerian Sosial, Laporan Tahunan II. TANTANGAN DAN CARA MENGATASI TANTANGAN Selain pencapaian di atas, masih dijumpai beberapa tantangan dalam pengurangan kemiskinan. Beberapa tantangan dan langkah-langkah penyelesaiannya adalah sebagai berikut: 1. Basis Data Terpadu (BDT) sebagai acuan kepesertaan program penanggulangan kemiskinan belum optimal. Hal ini disebabkan antara lain perubahan tingkat kesejahteraan rumah tangga yang sangat dinamis, mekanisme pemutakhiran belum sistematis, dan BDT belum dimanfaatkan oleh seluruh stakeholder pelaksana program kemiskinan. Langkah perbaikan yang dilakukan antara lain mengembangkan skema Sistem Layanan dan Rujukan Terpadu (SLRT) dan mekanisme pendaftaran mandiri (MPM) dengan melibatkan pemerintah daerah. 2. Disparitas Pencapaian Sasaran Penanggulangan Kemiskinan Antar Daerah. Keberadaan dan kapasitas kelembagaan penanggulangan kemiskinan yang belum merata menyebabkan perencanaan di daerah belum pro-poor sesuai dengan kondisi daerah. Langkah perbaikan yang dilakukan antara lain mengembangkan kelembagaan dan peningkatan kapasitas penanggulangan kemiskinan melalui Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD), serta sinkronisasi dan harmonisasi target penanggulangan kemiskinan di dokumen perencanaan. 3. Disparitas Pencapaian Sasaran Penanggulangan Kemiskinan Antar Daerah. Keberadaan dan kapasitas kelembagaan penanggulangan kemiskinan yang belum kuat sehingga target dalam dokumen perencanaan tidak tercapai. Langkah perbaikan yang dilakukan antara lain melakukan inovasi dalam mengatasi kerentanan, kemiskinan dan ketimpangan melalui intensifikasi program penanggulangan kemiskinan khususnya di wilayah perkotaan, dan pengembangan program yang bertujuan meningkatkan kapasitas kerja kelompok miskin dan rentan. 4. Pembangunan Perdesaan yang belum sepenuhnya terarah. Beberapa permasalahan mencakup anggaran dana desa cukup besar dan cenderung meningkat setiap tahun, formulasi alokasi dana desa menghasilkan distribusi yang timpang antar wilayah. Selain itu pemanfaatan Dana Desa belum memiliki rencana induk yang jelas dengan outcome jangka panjang yang terukur, serta kualitas pendampingan yang relatif minimal. Langkah perbaikan yang dilakukan antara lain mengintegrasikan Dana Desa sebagai bagian dari upaya pembangunan perdesaan, reformulasi alokasi dana desa agar sesuai dengan kebutuhan wilayah, penyusunan kerangka induk dan outcome jangka panjang dalam pemanfaatan dana desa, serta peningkatan keberadaan dan kualitas pendamping desa melalui seleksi dan pelatihan yang terstruktur. 5. Insiatif upaya penangulangan kemiskinan yang berbasis pada peningkatan pendapatan masih rendah. Beberapa masalah mencakup program perlindungan sosial hanya mampu mancakup kurang dari 30% total pengeluaran rumah tangga miskin. Di sisi lain peningkatan yang signifikan berpotensi menciptakan ketergantungan rumah tangga miskin dan rentan jika tidak di imbangi dengan program peningkatan pendapatan. Aspek peningkatan kapasitas kerja bagi kelompok miskin dan rentan sangat penting untuk meningkatkan pendapatan (seperti: akses pekerjaan, usaha, pembiayaan dan kemampuan). Langkah perbaikan yang dilakukan antara lain peningkatan kapasitas kerja bagi kelompok muda dan kelompok perempuan, pendampingan dan pelatihan oleh penyuluh pertanian (produksi dan pemasaran), akses pembiayaan modal UMKM 8


DRAF 5 APRIL 2017

6.

7.

8.

dan pertanian, memperkuat input produksi: supply chain diperkotaan dan akses pupuk, benih dan obat-obatan, program fokus pada keunggulan wilayah, meningkatkan produktivitas sektor industri sebagai sektor penyerapan tenaga kerja diwilayah perkotaan, pengembangan agroindustri di wilayah perdesaan, dan Program Nasional Keuangan Inkusif yang menjamin sistem keuangan yang berfungsi baik menjangkau setiap individu. Efektivitas Pelaksanaan program perlindungan sosial untuk rumah tangga/keluarga miskin dan rentan masih terkendala di beberapa aspek diantaranya BDT belum menjadi sumber data penetapan sasaran, rendahnya tingkat komplementaritas penerima manfaat program, dan pelaksanaan program yang belum sepenuhnya sesuai dengan tujuan dan rancangan program. Langkah perbaikan yang dilakukan antara lain menyempurnakan pelaksanaan program perlindungan sosial untuk keluarga miskin dan rentan, mengintegrasikan sasaran penerima manfaat program menggunakan BDT, meningkatkan komplementaritas penerima manfaat program dengan menggunakan BDT sebagai data penetapan sasaran, dan perbaikan pelaksanaan program disesuikan dengan tujuan dan rancangan program. Koordinasi Kelembagaan Program yang masih belum terintegrasi. Kelembagaan pelaksana program yang berbeda berpotensi tidak terintegrasi dan saling melengkapi antar program, seperti KIP/BSM: Kemendikbud/Kemenag, KIS/JKN: Kemenkses, dan PKH, Rastra: Kemensos. Langkah perbaikan yang dilakukan antara lain integrasi kelembagaan pelaksana program untuk Konsolidasi program nasional penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan yang mengintegrasikan program perlindungan sosial (pendekatan pengeluaran), Kelembagaan strategis penanggulangan kemiskinan bertanggungjawab penuh kepada presiden/wakil presiden, dan Kepesertaan dan tingkat kolektabilitas iuran pekerja sektor informal yang masih rendah. Edukasi, inovasi pendaftaran, pengumpulan iuran, dan pembayaran manfaat/klaim yang belum efektif dan memudahkan perluasan kepesertaan PBI. Langkah perbaikan yang dilakukan perlu didukung dengan database yang up-to-date dan targeting yang akurat, perbaikan infrastruktur kesehatan dan upaya mendekatkan akses pelayanan kesehatan kepada masyarakat, serta pengembangan strategi komunikasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya imunisasi.

III. INOVASI DAN UPAYA PENTING PENCAPAIAN TUJUAN 1.

Turunnya persentase penduduk di bawah garis kemiskinan nasional dengan sasaran penurunan kemiskinan 7-8% pada tahun 2019, serta pengembangan Indeks Kemiskinan Multidimensi. 2. Di bidang kesehatan telah dilaksanakan konsep universal coverage, meliputi: a) Pemberian jaminan kesehatan bagi penduduk miskin yang iurannya dibayarkan pemerintah sebagai peserta program jaminan kesehatan. Target cakupan PBI di tahun 2016 adalah 36% dari total penduduk, dan akan mencapai 40% penduduk pada tahun 2019. b) Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan dan Kementerian/Lembaga lain melakukan verifikasi validasi data PBI setiap 6 bulan sekali, yang hasilnya ditetapkan melalui peraturan menteri sosial. c) Konsep Universal Health Coverage yang diterapkan tidak semata-mata hanya perlindungan terhadap biaya kesehatan untuk seluruh masyarakat namun juga peningkatan akses pelayanan dan kualitas pelayanan. 3. Peningkatan Pelayanan Kesehatan bagi Ibu meliputi: a. Program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang diimplementasikan mulai tahun 2011 untuk menyediakan pelayanan gratis untuk wanita hamil yang tidak mempunyai asuransi kesehatan Pada tahun 2016 ruang lingkup Jampersal mencakup pembiayaan rumah tunggu kehamilan, biaya operasional ibu hamil, tenaga kesehatan dan pendamping, serta biaya transportasi, yang disalurkan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) non fisik. b. Persalinan di fasilitas kesehatan (faskes) mencakup persalinan di Rumah Sakit/Rumah Sakit Bersalin, Klinik/Bidan/Praktek Dokter, Puskesmas/Pustu/Polindes. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam mendorong ibu hamil agar bersalin di faskes yaitu dengan melakukan program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) dan Kelas Ibu Hamil. 9


DRAF 5 APRIL 2017

4.

5.

6.

7.

8.

9. 10.

Pemerintah juga telah memfasilitasi masyarakat di daerah yang sulit akses dengan menyediakan Rumah Tunggu Kelahiran (RTK) yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk menunggu waktu kelahiran jika rumahnya jauh dari faskes. c. Terkait dengan indikator kontrasepsi bagi Pasangan Usia Subur (PUS), Kemenkes bekerja sama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Bencana Nasional (BKKBN) untuk melakukan konseling terhadap ibu hamil agar melakukan program Keluarga Berencana (KB) pasca persalinan dan juga remaja putri melalui Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Peningkatan Pelayanan Dasar Imunisasi Dasar Lengkap meliputi: a) Pemberian imunisasi dasar lengkap pada anak usia hingga 1 tahun yang terdiri atas DPT (3 kali), Polio (4 kali), campak (1 kali), BCG (1 kali), dan hepatitis B (4 kali). b) Penyelenggaraan Pekan Imunisasi Nasional, Kampanye Campak Polio dan Gerakan Akselerasi Imunisasi Nasional Universal Child Immunization (GAIN-UCI). c) Penyediaan vaksin secara gratis untuk diberikan ke puskesmas. Program pendekatan keluarga merupakan salah satu bentuk upaya menjaring masyarakat dengan melakukan kunjungan keluarga bagi keluarga dengan balita yang tidak datang ke puskesmas untuk imunisasi. Bagi kabupaten yang mempunyai daerah-daerah sulit dijangkau, pelayanan imunisasi dilakukan pendekatan SOS, yaitu pelayanan imunisasi minimal 4 kali dalam setahun. Penempatan tenaga kesehatan strategis melalui penugasan khusus dan juga berbasis tim (Nusantara Sehat) untuk memenuhi kebutuhan SDM kesehatan terutama di daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan (DTPK). Pemenuhan kebutuhan dasar dan pelayanan dukungan psikososial bagi korban bencana. Untuk memberikan rasa aman, mengurangi reaksi-reaksi emosional yang tidak menyenangkan seta mempersiapkan untuk pengkodisian kembali ke situasi normal dan rutinitas diberikan pelayanan dukungan psikososial oleh pendamping yang terlatih. Perlindungan sosial yang terintegrasi bagi penerima bantuan PKH untuk mempercepat pengentasan kemiskinan melalui bantuan sosial dan subsidi tepat sasaran melalui penyaluran tunai (reguler) dan non tunai melalui e Warong KUBe PKH dan Agen bank Lakupandai. Verifikasi dan Validasi Basis Data Terpadu: a) Perluasan pelaksanaan metode pemutakhiran basis data terpadu melalui sistem layanan dan rujukan terpadu serta metode pemutakhiran mandiri guna menjamin efektifitas dan efisiensi pelaksanan program penanggulangan kemiskinan. b) Penguatan mekanisme pendampingan di daerah secara berkesinambungan, melalui peningkatan ketersediaan fasilitas pendukung dan kapasitas SDM dan sertifikasi pekerja sosial yang akan melakukan pemutakhiran data. c) Penyelarasan kebijakan satu kartu dan akun bantuan sosial dengan kebijakan data kependudukan (NIK) yang akurat, kelengkapan dokumen identitas hukum agar penduduk miskin dapat mengakses pendidikan, kesehatan, layanan kesejahteraan sosial, dan perlindungan hukum. Perluasan pelayanan dasar melalui peningkatan ketersediaan infrastruktur dan sarana serta pengembangan dan penguatan sistem penyediaan layanan dasar. Peningkatan efektivitas koordinasi kebijakan dan implementasi program penanggulangan kemiskinan melalui TKPKD.

IV. EMERGING ISSUES 1. Indeks Kemiskinan Multidimensi (Multidimentional Poverty Index/MPI) a) Kebutuhan MPI Perkembangan studi tentang kemiskinan mengalami pergeseran yang cukup signifikan. Pada tahun 2010, United National Development Program (UNDP) dan Oxford Poverty and Human Development Initiative (OPHI) telah merumuskan suatu pengukuran baru mengenai kemiskinan yaitu melalui Multidimensional Poverty Index (MPI). MPI pertama kali muncul pada laporan Human Development Report (HDR) Tahun 2010. Metode ini digunakan guna melengkapi 10


DRAF 5 APRIL 2017 pengukuran kemiskinan yang selama ini ada dengan pendekatan kebutuhan dasar (pendekatan moneter). Beberapa keunggulan dari MPI seperti yang disebutkan pada Alkire dan Seth (2009) diantaranya adalah: ďƒź cocok dan tepat diterapkan pada data ordinal atau data yang bersifat kategorik; ďƒź fokus pada kemiskinan dan deprivasi, memperlakukan setiap dimensi secara independen terhadap dimensi lain tanpa mengasumsikan substitutabilitas antar dimensi; ďƒź fleksibel untuk menerapkan pembobot yang setimbang atau berbeda pada dimensi yang berbeda tergantung pada kepentingan relatifnya; ďƒź robust dalam mengidentifikasi individu termiskin dari penduduk miskin dengan menaikkan aggregate cutoff point; ďƒź informatif bagi kebijakan karena mampu menunjukkan dimensi apa yang dominan mempengaruhi kemiskinan multidimensi pada wilayah/penduduk tertentu. MPI melihat struktur kemiskinan secara lebih luas bukan sekedar pengeluaran atau konsumsi tapi mendefiniskan secara multidimensi seperti keterbatasan akses terhadap pendidikan, kesehatan dan kualitas hidup. b) Gagasan yang Sudah Ada Pada tahun 2015, Perkumpulan Prakarsa, suatu lembaga penelitian di Indonesia telah melakukan suatu kajian dalam menghitung kemiskinan multidimensi dengan menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2012-2014. Dalam mengukur MPI, Prakarsa menggunakan tiga dimensi, yaitu: 1. Dimensi kesehatan dengan variabel sanitasi, air bersih, akses pada layanan kesehatan maternali serta asupan gizi seimbang pada anak Balita, 2. Dimensi pendidikan dengan variabel Keberlangsungan pendidikan, melek huruf serta akses layanan pendidikan Prasekolah, 3. imensi Standar Hidup dengan variabel Sumber penerangan, Bahan Bakar untuk memasak, Atap Lantai dinding, serta kepemilikan rumah. c) Pengembangan Metode Dalam MPI global yang dikembangkan oleh OPHI, cakupan dimensi terdiri dari tiga yaitu dimensi kesehatan, pendidikan, dan kualitas hidup (Gambar 1). Namun demikian, kondisi ini dapat disesuaikan dengan kondisi masing-masing negara terutama terkait dengan ketersediaan data di negara tersebut. Untuk pengukuran MPI Indonesia, perlu dilakukan suatu kajian dalam menggunakan metode ini terkait indikator atau variabel apa yang akan digunakan, bagaimana penentuan threshold untuk masing-masing indikator/variabel, serta bagaimana menentukan bobot di masing-masing dimensi dan indikator/variabel. Tabel 1 menjelaskan beberapa indikator/variabel menurut dimensinya, serta threshold dan besarnya bobot yang dapat dijadikan sebagai alternatif dalam pengukuran MPI di Indonesia.

Gambar 1.18. Dimensi dan Indikator MPI Global

11


DRAF 5 APRIL 2017 Tabel 1.1. Dimensi dan Indikator MPI Indonesia (Alternatif) DIMENSI Kesehatan dan Nutrisi

INDIKATOR Konsumsi kalori Konsumsi protein Lama sekolah

Pendidikan

Partisipasi sekolah Angka melek huruf Sanitasi layak Air bersih

Kualitas Kehidupan

Bahan bakar untuk memasak Sumber penerangan Kepemilikan aset

Luas lantai perkapita Sumber data: Susenas

2.

THRESHOLD (Rumah Tangga Miskin jika) Konsumsi kalori rumah tangga perhari kurang dari 70% AKG Konsumsi protein rumahtangga per hari kurang dari 80 % AKG Tidak ada anggota rumahtangga yang menempuh pendidikan 6 tahun atau lebih Terdapat anak usia 7 sampai 18 tahun yang tidak bersekolah Tidak ada anggota rumah tangga 15 tahun keatas yang bisa baca tulis Tidak menggunakan sanitasil ayak Tidak mempunyai akses air minum bersih Bahan bakar yang digunakan kayubakar/arang/ briket Tidak mempunyai akses listrik Tidak punya asset lebih dari satu, kecuali mobil Luas lantai perkapita kurang dari 7,2 m2

BOBOT 1/6 1/6 1/9 1/9 1/9 1/18 1/18 1/18 1/18 1/18 1/18

Kemiskinan Anak

Presentase (%)

Kemiskinan anak menjadi isu yang semakin penting bagi strategi pengurangan kemiskinan di Indonesia. Anak-anak yang berada di keluarga miskin terdeprivasi dalam berbagai macam dimensi kehidupan yang membuat tumbuhkembang mereka tidak optimal. Hal ini dapat menyebabkan generasi muda Indonesia menjadi kurang produktif dan memiliki kapasitas yang rendah sehingga kalah bersaing dengan tenaga kerja negara-negara lain. Walaupun Pemerintah telah melakukan berbagai program perlindungan sosial untuk mendorong ketersediaan layanan dasar terhadap semua anak di Indonesia, anak dari keluarga miskin masih menghadapi hambatan dalam mengakses layanan dasar tersebut. Pada 2009, tingkat kemiskinan anak yang diukur berdasarkan garis kemiskinan nasional mencapai 17%. Sementara pengukuran dengan garis kemiskinan 1,25 USD menunjukan tingkat kemiskinan anak mencapai 22%. Tren kemiskinan anak cenderung mengalami penurunan selama periode 20092012. Pada 2012, tingkat kemiskinan anak turun dari 17% (2009) menjadi 14% (2012). Dengan menggunakan garis kemiskinan 1,25 USD untuk periode yang sama, terjadi penurunan tingkat kemiskinan sebesar 7% (dari 22% menjadi 15%). Tingkat kemiskinan anak di perkotaan relatif lebih kecil dibandingkan dengan anak di perdesaan ketika garis kemiskinan nasional menjadi acuan pengukuran (13% di perkotaan dan 21% di perdesaan pada 2009; 11% di perkotaan dan 18% di perdesaan pada 2012). 25 20 15 10 5 0

17

22

21 15

14

Garis kemiskinan nasional

13 11

PPP US$ 1.25

Perkotaan

Nasional 2009

18

Perdesaan Lokasi

2012

2009

2012

Gambar 1.19. Tingkat Kemiskinan Anak Sumber: BPS dan Bank Dunia Permasalahan yang dihadapi oleh anak tidak hanya sebatas kemiskinan dalam aspek moneter. Kebutuhan anak berbeda dari orang dewasa karena mereka berada dalam masa tumbuhkembang. 12


DRAF 5 APRIL 2017 Karena itu, diperlukan pengukuran kesejahteraan anak dari berbagai dimensi kehidupan untuk memahami kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh anak. Pada 2013, 40% dari populasi anak tidak memiliki akses terhadap sistem sanitasi yang layak. Selain itu, sebagian anak juga mengalami kesulitan dalam akses terhadap air bersih (12%) dan hunian (sekitar 40% anak tinggal di hunian dari material yang tidak layak). Tingkat putus sekolah untuk anak usia 15-17 tahun relatif lebih tinggi, mencapai 25%. Dari total populasi anak pada 2013, hanya sekitar 8% anak yang tidak teredeprivasi dalam dimensi kehidupan apapun. Satu dari tiga orang di Indonesia setidaknya terdeprivasi pada salah satu dimensi kehidupan. Sementara itu, sekitar sepertiga dari populasi anak di Indonesia mengalami deprivasi di tiga atau lebih dimensi kehidupan secara simultan.

V. PEMBELAJARAN 1.

Pengembangan Basis Data Terpadu untuk Program Perlindungan Sosial Salah satu tantangan utama dalam penanggulangan kemiskinan adalah mengidentifikasi kelompok sasaran penerima manfaat program sesuai dengan kriteria dan tujuan program. Ketepatan sasaran program akan berdampak langsung terhadap keberhasilan pencapaian tujuan penanggulangan kemiskinan dan kerentanan. Untuk meningkatkan ketepatan sasaran program, ketersediaan suatu basis data calon penerima manfaat program menjadi sangat penting. BDT dikembangkan berdasarkan pertimbangan pentingnya ketersediaan basis data untuk penetapan sasaran program perlindungan sosial. Pemerintah mengembangkan BDT yang berisikan informasi nama, alamat dan karakteristik yang mecakup sekitar 40% rumah tangga dengan status sosial ekonomi terendah. Data awal rumah tangga yang digunakan dalam pengembangan BDT dihimpun melalui Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011 oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data PPLS 2011 ini kemudian diolah lebih lanjut menggunakan metodologi ilmiah dan selaras dengan praktik terbaik internasional menjadi BDT untuk penentuan sasaran Program Perlindungan Sosial.

Gambar 1.20. Perbandingan Penetapan Sasaran Sebelum dan Sesudah Pengembangan Basis Data Terpadu Sumber: TNP2K Pengembangan basis data terpadu mendorong penajaman dan komplementaritas antar program. Dengan menggunakan BDT, penetapan sasaran program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial menjadi lebih terfokus pada kelompok sasaran yang sama. Kementerian dan lembaga pelaksana program dapat memanfaatkan BDT sesuai dengan kebutuhan program. Selanjutnya sasaran ditetapkan berdasarkan data yang terdapat dalam BDT sesuai dengan kriteria yang dirumuskan. Pada tahun 2015 telah dilakukan pemutakhiran BDT dengan tujuan untuk mempertajam ketepatan sasaran melalui pemutakhiran informasi rumah tangga dan individu agar dapat meminimalkan kekurang akuratan penetapan sasaran serta berupaya menjangkau rumah tangga miskin yang belum tercakup dalam BDT. Kegiatan utama PBDT 2015 adalah memperoleh informasi terkini rumah tangga dan individu yang dapat digunakan sebagai basis penetapan 13


DRAF 5 APRIL 2017 sasaran kepesertaan program-program perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan pada skala nasional dan daerah. Hingga saat ini BDT telah di akses oleh 21 kementerian dan lembaga, dengan 56 akses diberikan. Selain itu, BDT juga telah diakses oleh 31 provinsi dan 308 kabupaten kota dengan akses diberikan masing-masing sejumlah 65 dan 513 akses data. Masyarakat secara umum juga dapat memperoleh akses melalui website yang disediakan oleh pengelola BDT, meskipun data yang tersedia untuk masyarakat umum dibatasi. Saat ini, pengelolaan BDT dilakukan secara bersama antara TNP2K dan Kementerian Sosial. 2. Upaya Pemerintah dalam Membantu Rumah Tangga Pasca Penyesuaian Harga BBM: Bantuan Langsung Tanpa Syarat Kebijakan Pemerintah untuk menyehatkan perekonomian dengan mengurangi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat, utamanya Rumah Tangga miskin dan rentan. Untuk itu Pemerintah mempersiapkan langkah-langkah antisipatif guna mempertahankan tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah dengan menyiapkan program bantuan langsung tanpa syarat yang merupakan bagian dari kompensasi jangka pendek. 3. Program Keluarga Harapan (PKH) PKH adalah program bantuan tunai bersyarat (Conditional Cash Transfer) kepada keluarga miskin. PKH mencakup keluarga miskin yang memenuhi kriteria: (1) Memiliki anak usia 0-6 tahun; (2) Memiliki anak di bawah usia 21 tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar 12 tahun; dan (3) Memiliki ibu hamil/nifas. PKH mewajibkan Keluarga Penerima Manfaat untuk memeriksakan kesehatan Ibu hamil dan memberikan imunisasi dan pemantauan tumbuh kembang anak, termasuk menyekolahkan anak-anak. Tujuan dari hal ini adalah agar terjadi perubahan perilaku RTSM/ KSM untuk memperdulikan pendidikan dan kesehatan anak-anak. Perubahan tersebut diharapkan dapat berdampak pada berkurangnya anak usia sekolah RTSM/ KSM yang bekerja. Mulai tahun 2016, komponen bantuan ditambahkan bagi penyandang disabilitas dan lansia di atas 70 tahun yang berada di dalam keluarga PKH. Bantuan bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia tersebut dimaksudkan untuk meringankan beban ekonomi keluarga, sekaligus memenuhi kebutuhan pemeliharaan kesehatan dan mempertahankan taraf kesejahteraan sosial penyandang disabiltas dan lanjut usia.

14


DRAF 5 APRIL 2017

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN TUJUAN 2: MENGHILANGKAN KELAPARAN, MENCAPAI KETAHANAN PANGAN DAN GIZI YANG BAIK, SERTA MENINGKATKAN PERTANIAN BERKELANJUTAN Voluntary National Review (VNR) Tujuan 2 Tanpa Kelaparan, membahas beberapa indikator yang penting dari target menghilangkan kelaparan, menghilangkan segala bentuk kekurangan gizi, produktivitas pertanian. Dalam pembahasannya dicakup analisis tren dan keberhasilan, tantangan dan cara mengatasinya, inovasi dan upaya penting yang dilakukan, emerging issues dan pembelajaran.

I. ANALISIS TREND DAN KEBERHASILAN A. Menghilangkan Kelaparan Susenas melaporkan tren proporsi penduduk dengan asupan kalori minimum dibawah 1400 Kkal/kapita/hari (gambar 2.1) yang berfluktuasi pada kuintil 1 dari tahun 2006 ke tahun 2016. Akan tetapi penduduk termiskin (kuintil 1) menurun proporsinya dari 37,6% tahun 2006 menjadi 32,8% tahun 2016. Pola yang sama terjadi untuk proporsi penduduk pada kuintil 2 sampai dengan kuntil 5. Pada kuintil 5, masih dijumpai proporsi penduduk dengan konsumsi kalori perkapita per hari <1400 Kkal. 41.8

45 40 37.6 35

37.3

36.8

33.2

31.1

30

40.2

34.1

32.8

25.4

25 20

11.3

15 10 5 0 2006

2007

2008

2009

Kuantil 1

2010 Kuantil 2

2011 Kuantil 3

2012 Kuantil 4

2013

2014

2015

2016

Kuantil 5

Gambar 2.1 Proporsi Penduduk dengan Konsumsi Kalori Perkapita Sehari < 1400 Kkal Menurut Kuintil Pengeluaran Tahun 2006-2016 Sumber: BPS, Susenas B. Menghilangkan segala Bentuk Kekurangan Gizi Prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak di bawah lima tahun/balita Prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak di bawah dua tahun/baduta Prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita Prevalensi malnutrisi (kurus dan obesitas) anak pada usia kurang dari 5 tahun

1


DRAF 5 APRIL 2017 Prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada balita masih cukup tinggi yaitu sebesar 33,6% pada tahun 2016 (Sirkesnas, 2016), yang menurun dari 36,8% pada tahun 2007. Akan tetapi prevalensi pendek cenderung meningkat dari 18,0% tahun 2007 menjadi 21,9% pada tahun 2016. Usia anak sejak lahir hingga dua tahun merupakan periode kritis bagi tercapainya kualitas pertumbuhan yang optimal. Untuk itu, pada periode RPJMN 2015-2019 Pemerintah mulai mengukur kondisi status gizi masyarakat dengan indikator prevalensi stunting pada anak usia di bawah dua tahun (baduta). Prevalensi stunting pada baduta menunjukkan penurunan dari 36,8% pada tahun 2007 menjadi 26,1% pada tahun 2016. Stunting Balita 25.0 20.0

Stunting Baduta 25.0

21.9 18.018.8

18.5 17.1

19.2 18.0

15.0

20.0

10.0

10.0

5.0

5.0

0.0 2010 Pendek

2013

17.6

15.9

15.2

16.4

15.0

11.7

2007

20.9

9.7

0.0

2016*

2007

Sangat pendek

2013 Pendek

2016*

Sangat pendek

Gambar 2.2 Tren Prevalensi Stunting Pada Balita dan Baduta Sumber: Riskesdas Tahun 2007, 2010, dan 2013 * 2016: Hasil Analisis Sementara Sirkesnas Di Indonesia sanitasi yang buruk berhubungan dengan meningkatnya risiko penyakit infeksi yang dapat mengakibatkan kejadian stunting. Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan terdapat 12,9% rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas buang air besar (BAB) dan melakukan BAB sembarangan. Selain itu infeksi juga dipengaruhi oleh pelayanan kesehatan seperti imunisasi. Persentase bayi usia 12-23 bulan yang mendapatkan imunisasi dasar lengkap baru sekitar 59,2% (Riskesdas 2013). Untuk prevalensi kekurangan gizi (underweigth), pemantauan dilakukan sejak tahun 1989 sampai dengan 2016. (Catatan: 1989 sd 2005 dilakukan oleh BPS dengan integrasi dalam Susenas; 2007 – 2016 dilakukan oleh Litbangkes, dengan pemilihan blok sensus dilakukan oleh BPS). Pemantauan tersebut melaporkan terjadi penurunan prevalensi gizi kurang (underweight) pada anak usia di bawah lima tahun (balita). Namun demikian, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, prevalensi gizi kurang menunjukkan kecenderungan peningkatan. Hasil analisis sementara Survei Indikator Kesehatan Nasional (Sirkesnas) Kemenkes tahun 2016, juga menunjukkan prevalensi gizi kurang meningkat menjadi 21,0%, yang terdiri dari 4,6% balita gizi buruk dan 16,4% balita gizi kurang.

2


DRAF 5 APRIL 2017

Target MDGs 2015 Gizi Kurang: 11,9% Gizi Buruk : 3,6%

25.0 20.0 15.0

4.9

13.0

13.0

13.9

2007

2010

2013

10.0 5.0

4.6

5.7

5.4

16.4

0.0 Gizi Kurang

2016*

Gizi Buruk

Gambar 2.3 Tren Prevalensi Kekurangan Gizi (Underweight) Pada Balita, 2007-2016 Sumber: Litbangkes: Riskesdas, 2007-2013; Sirkesnas 2016 (Hasil Sementara)

Di sisi lain, prevalensi balita kurus (wasting) menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan dengan penurunan yang cukup signifikan dari 13,6% pada tahun 2007 menjadi 9,8% pada tahun 2016. 16

13.6

14

13.3

12.1

12

9.8

10 8 6 4 2 0 2007

2010

2013

2016*

Gambar 2.4 Prevalensi Balita Kurus (Wasting), 2007-2016 Sumber: Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2007 - 2013 * Hasil Analisis Sementara Sirkesnas 2016

Prevalensi anemia pada ibu hamil Salah satu faktor yang berperan penting dalam mempengaruhi status gizi balita adalah status gizi ibu hamil yang dapat ditunjukkan dari prevalensi anemia dan kurang energi khronis (KEK). Prevalensi anemia pada ibu hamil menunjukkan tren yang meningkat. Data Riskesdas 2007 menunjukkan 24,5% ibu hamil menderita anemia yang kemudian naik menjadi 37,1% pada tahun 2013. Berdasarkan hasil sementara Sirkesnas 2016, angka tersebut meningkat menjadi 54,9% pada tahun 2016. Tidak saja anemia, prevalensi KEK (lingkar lengan atas<23,5 cm) pada ibu hamil juga menunjukkan kecenderungan meningkat seperti terlihat pada gambar 2.5. Demikian halnya pada wanita usia subur yang kemungkinan akan hamil dengan kondisi anemia dan KEK, yang dapat berakibat janinnya akan mengalami hambatan pertumbuhan. Anemia juga akan meningkatkan risiko kematian ibu, apalagi bila ditambah dengan KEK, yang akan meningkatan risiko bayi dengan berat lahir rendah (BBLR), infeksi, keguguran, dan kelahiran prematur.

3


DRAF 5 APRIL 2017

25-29

30-34

35-39

20.7 11.8

20.0

17.6 10.7

45-49

Non-Pregnant

17.3 11.3

40-44

30.0

21.4 13.6

Percent 5.6 8.1

20-24

Pregnant

10.0

0.0 15-19

40.0

20.9 19.3

50.0

Non-Pregnant

10.3 7.9

10.0

12.6 8.9

12.7 10.2

20.0

16.1 13.1

30.0

Pregnant

23.8 18.2

40.0

31.3 30.9

Percent

50.0

2013

30.1 30.6

60.0

38.5 46.6

2007 60.0

0.0 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 Age group (year)

Age group (year)

Gambar 2.5 Persentase KEK pada Ibu hamil dan Tidak Hamil menurut Kelompok Umur Sumber: Riskesdas 2007 dan 2013

Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif Kondisi status gizi bayi tidak hanya dipengaruhi oleh status gizi ibu hamil yang tidak optimal namun juga diperburuk dengan masih rendahnya pola pemberian ASI eksklusif. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes, cakupan menyusui eksklusif pada bayi usia enam bulan adalah sebesar 30,2% pada tahun 2013 yang meningkat dari 15,3% pada tahun 2010. Namun demikian, hasil analisis sementara Sirkesnas tahun 2016 menunjukkan adanya penurunan persentase bayi menyusui eksklusif menjadi 22,8%. Namun demikian SDKI 2007 dan 2012 menunjukkan kecenderungan peningkatan cakupan menyusui eksklusif pada bayi usia enam bulan dari 17,8% menjadi 27,1%.

40.0 30.0 27.1

20.0 10.0

17.8

30.8 22.8

15.3

0.0 2007

2010 Riskesdas

2012 SDKI

2013

2016*

Sirkesnas

Gambar 2.6 Persentase Pemberian Menyusui Eksklusif 2002-2016 Sumber: SDKI 2007-2012, Riskesdas 2010 dan 2013, Sirkesnas 2016 * Hasil Analisis Sementara Sirkesnas 2016

Disisi lain terjadi perkembangan yang cukup menggembirakan yang dapat dilihat dari Inisasi Menyusu Dini (IMD) kurang dari 1 jam setelah lahir yang menunjukkan peningkatan dari 29,3% tahun 2010 menjadi 41,3% tahun 2013 (Riskesdas), dan 42,7% pada 2016 (Sirkesnas 2016). ASI eksklusif merupakan makanan terbaik bagi bayi untuk kecerdasan dan pertumbuhan optimal serta mencegah terjadinya dampak yang lebih buruk pada masa yang akan datang. Beberapa studi menunjukkan bahwa bayi yang diberikan ASI eksklusif walaupun berasal dari kelompok kuintil terendah mengalami deviasi pertumbuhan positif. Selain itu, South East Asean Nutrition Surveys (SEANUTS) juga menyatakan bahwa pemberian Makanan Pendamping ASI seperti susu berhubungan dengan rendahnya angka stunting. 4


DRAF 5 APRIL 2017

Kualitas konsumsi pangan Berdasarkan tolak ukur Pola Pangan Harapan (PPH), selama tujuh tahun terakhir (2009-2015) perkembangan kualitas konsumsi pangan masyarakat Indonesia berfluktuasi dengan tren membaik sejak tahun 2013. Skor PPH selama periode tersebut rata-rata sebesar 82,9 atau 90% dari sasaran yang ditetapkan pemerintah. Kualitas konsumsi pangan masyarakat di perkotaan lebih baik (skor PPH 86,5) dibandingkan di perdesaan (79,9). Kondisi ini dapat dipahami karena di perkotaan ketersediaan pangan di pasar lebih beragam dan banyak pilihan, pengetahuan tentang pangan dan gizi masyarakat lebih baik, aksebilitas fisik atau kemudahan menjangkau pasar lebih baik, dan rata-rata aksebilitas ekonomi berupa daya beli masyarakat lebih besar (Tabel 2.1). Perbaikan kualitas konsumsi pangan ini dapat dicapai melalui berbagai upaya pemerintah dan pemangku kepentingan (stakeholder) pembangunan pangan. Pada periode 10 tahun terakhir pemerintah secara terusmenerus mengupayakan ketersediaan pangan yang cukup untuk memenuhi rangka peningkatan permintaan yang terus meningkat dan semakin beragam. Sesuai dengan prinsip kedaulatan pangan yang dianut pemerintah, sumber utama penyediaan pangan diupayakan berasal dari produksi domestik. Perdagangan pangan dikelola untuk memenuhi kebutuhan seluruh konsumen pada harga yang stabil dan wajar dan sekaligus tetap menyediakan insentif berproduksi bagi produsen. Dari sisi konsumsi, peningkatan pengetahuan pangan dan gizi masyarakat merupakan salah satu faktor yang penting dalam peningkatan kualitas konsumsi pangan. Upaya yang dilakukan melalui kegiatan sosialisasi yang intensif kepada berbagai komponen masyarakat tentang pola konsumsi pangan yang beragam bergizi seimbang dan aman (B2SA) dan pemberdayaan kelompok wanita dalam pengembangan pangan dan gizi seperti pemanfaatan pekarangan untuk memproduksi pangan sumber protein nabati dan hewani serta penyuluhan pengolahan dan penyajian pangan yang sehat di dalam rumah tangga. Tabel 2.1 Perkembangan Skor Pola Pangan Harapan (PPH), Tahun 2009-2015 Uraian Ideal Sasaran1) Capaian2) - Indonesia - Perkotaan

2009 100,0 85,0

2010 100,0 86,4

2011 100,0 88,1

2012 100,0 89,8

2013 100,0 91,3

2014 100,0 93,3

2015 100,0 95,0

75,7 78,2

85,7 88,0

85,6 87,3

83,5 86,3

81,4 84,0

83,4 86,0

85,2 89,4

-Perdesaan 73,3 83,5 83,7 80,5 1) Sasaran berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009. 2) Capaian berdasarkan Angka Kecukupan Energi 2000 kkal/kap/hari. Sumber: Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian, 2016.

78,4

80,5

79,9

C. Produktivitas Pertanian Ketersediaan Pangan (termasuk uraian tentang lahan pertanian berkelanjutan, 100 Desa Mandiri Benih, dan keragaman pangan berbasis sumberdaya lokal) Sumber ketersediaan pangan dapat berasal dari produksi domestik, cadangan, dan impor. Kebijakan pangan pemerintah mengarahkan pemenuhan pangan diutamakan bersumber dari produksi dalam negeri, karena itu kebijakan operasional dan program peningkatan produksi pangan menjadi prioritas pembangunan pangan nasional, termasuk upaya untuk pencapaian swasembada bagi pangan pokok dan strategis. 5


DRAF 5 APRIL 2017 Selama 10 tahun terakhir, produksi tanaman pangan sumber karbohidrat (padi, jagung, ubi jalar, dan ubi kayu) meningkat dengan pertumbuhan pertahun yang bervariasi. Produksi padi dan jagung tumbuh sebesar 3,72% dan 6,31%, sementara ubi jalar dan ubi kayu naik sebesar 2,56% dan 1,08%. Pada tahun 2015 produksi padi mencapai 75,40 juta ton, jagung 19,612 juta ton, ubi kayu 21,8 juta ton, dan ubi jalar 2,3 juta ton. Dengan tingkat produksi itu, secara agregat Indonesia telah mampu memenuhi kebutuhan beras sebagai pangan pokok bagi seluruh masyarakat. Selain sebagai pangan sumber karbohidrat utama bagi penduduk di NTT, sebagian besar produksi jagung digunakan sebagai bahan baku industri pakan unggas. Walaupun neraca pangan jagung (produksi dikurangi kebutuhan) positif, namun Indonesia masih impor jagung untuk mengatasi kebutuhan bahan baku industri pakan yang relatif stabil sepanjang tahun, sementara produksi jagung bersifat musiman dan sebagian belum memenuhi standar industri pakan. Ubi jalar merupakan sumber pangan karbohidrat di Papua dan beberapa daerah di kepulauan Maluku. Ubi kayu merupakan pangan pokok bagi penduduk di bagian selatan Jawa, selatan Sumatera, dan beberapa daerah di Sulawesi. Produksi kedelai dalam periode tersebut meningkat 4,17%, namun dengan fluktuasi pertumbuhan tahunan yang tinggi. Pada tahun 2015 produksi kedelai sebesar 963 ribu ton atau baru mampu memenuhi sekitar 35-40% dari kebutuhan kedelai nasional. Kedelai sebagai bahan baku tahu dan tempe yang merupakan makanan khas Indonesia sumber protein nabati yang digemari seluruh masyarakat. Produksi utama hasil peternakan, yaitu daging sapi, daging ayam dan telur ayam pada periode 2006-2015 tumbuh positif. Produksi daging sapi dalam periode tersebut tumbuh 3,11%/tahun, namun sejak tahun 2013 mengalami pertumbuhan negatif dan baru meningkat lagi pada tahun 2015 yang mencapai 507 ribu ton. Jumlah produksi ini baru mampu memenuhi sekitar 60-65% dari kebutuhan daging sapi nasional. Pertumbuhan produksi telur dalam periode 10 tahun terakhir cukup tinggi, yaitu 4,50%/tahun dan untuk daging ayam pada periode 2010-2015 meningkat sebesar 5,74%/tahun. Dengan tingkat produksi ini, Indonesia sudah mampu memenuhi kebutuhan daging ayam dan telur ayam dari produksi domestik. Produk ternak unggas merupakan pangan penting dan relatif murah sebagai sumber protein hewani dalam menu makanan masyarakat. Pada tahun 2015 produksi daging ayam mencapai 2,03 juta ton dan telur ayam sebesar 1,48 juta ton. Peningkatan produksi pangan berkelanjutan menghadapi berbagai kendala teknis, tiga aspek diantaranya yang sangat esensial adalah ketersediaan lahan, benih unggul, dan pangan yang beragam bergizi seimbang. Pertama, untuk ketersediaan lahan pertanian pangan, agar kepastiannya lebih terjamin, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (UU PLP2B). Kawasan yang telah ditetapkan sebagai LP2B dilindungi dan dilarang dialihfungsikan, kecuali untuk kepentingan umum. Penetapan LP2B berupa rencatna tata ruang tata wilayah (RTRW) melalui Peraturan Daerah (Perda) provinsi dan kabupaten/kota. Untuk mengoperasionalkan UU PLP2B ini telah diterbitkan empat(4) Peraturan Pemerintah (PP) dan dua (2) Peraturan Menteri Pertanian. Dilaporkan sampai tahun 2013 paling tidak telah ditetapkan Perda tentang LP2B di 126 dari 430 kabupaten/kota dan di 12 dari 33 provinsi. Pada tahun 2016 telah terbit peraturan Menteri Agraria dan Tata Tuang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 126 Tahun 2016 tentang Penetapan LP2B pada Wilayah yang Belum Terbentuk RTRW. Tujuan Permen ini untuk menjamin ketersediaan lahan pertanian secara berkelanjutan pada daerah yang belum memiliki RTTWR dengan penetapannya cukup dilakukan melalui Peraturan Gubernur atau Bupati/ Walikota.

6


DRAF 5 APRIL 2017 Tabel 2.2 Produksi Komoditas Pangan Pokok dan Strategis, 2006-2015.

Tahun

Padi (GKG)

Jagung (PK)

Kedelai (BK)

2006 2007 2008 2009

54.455 57.157 60.326 64.399

11.609 13.289 16.317 17.630

0.748 0.593 0.776 0.975

2010

66.469

18.328

0.907

Produksi (000 ton) Ubi Ubi jalar kayu (segar) (segar) 1.854 19.987 1.887 19.988 1.882 21.757 2.058 22.039 2.051

23.918

Daging sapi

Telur Ayam

Daging ayam *)

396 339 392 409

1.011 1.162 1.123 1.070

1.202 1.238 1.292 1.300

437 485 509 505 498 507

1.121 1.215 1.337 1.419 1.429 1.481

1.539 1.665 1.734 1.895 1.939 2.031

2011 65.757 17.643 0.851 2.196 24.044 2012 69.056 19.387 0.843 2.483 24.177 2013 71.280 18.512 0.780 2.388 23.937 2014 70.846 19.009 0.955 2.383 23.436 2015 75.398 19.612 0.963 2.298 21.801 Pert/ tahun 3,72 6,31 4,17 2.56 1,08 3.11 4,50 5,74 Keterangan: GKG=Gabah Kering Giling, PK=Pipilan Kering. BK=Biji Kering *) Pertumbuhan/tahun untuk 2010-2015. Angka produksi 2006-2009 belum memasukkan daging dari ayam petelur. Sumber: BPS untuk komoditas tanaman pangan dan Kementerian Pertanian untuk komoditas peternakan (berbagai publikasi). Kedua, untuk ketersediaan benih unggul, mulai tahun 2015 pemerintah melaksanakan program Desa Mandiri Benih (DMB) yang bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan benih unggul dan kemampuan petani memproduksi benih unggul bersertifikat. Kegiatan DMB berupa pemberian fasilitasi bagi kelompok tani penangkar benih dalam meningkatkan kapasitasnya untuk memproduksi benih unggul guna memenuhi kebutuhan di wilayahnya. Melalui program DMB diharapkan tumbuh produsen benih lokal yang mampu memenuhi kebutuhan benih di daerahnya masing-masing. Pengembangan DMB ini merupakan salah satu program yang tercantum dalam Nawa Cita. Pada tahun 2015 dikembangkan 100 DMB dan pada tahun 2016-2019 ditumbuhkan 1000 DMB lainnya, sehingga selama periode lima tahun dapat ditumbuhkan 2000 DMB. Hasil evaluasi kegiatan DMB tahun 2015 diketahui walaupun masih pada tahap awal, namun telah terbina 994 unit DMB dengan produksi benih 77,6% dari sasaran program ini sebanyak 30.000 ton benih. Ketiga, untuk penyediaan pangan beragam dilakukan dengan berpedoman pada kaidah gizi seimbang, berbasis pada sumber daya pangan lokal, menjamin keamanan pangan, dan memperhatikan lingkungan. Kegiatan operasional penganekaragaman ketersediaan pangan dilakukan antara lain melalui pengenalan jenis pangan lokal baru termasuk pangan lokal yang belum dimanfaatkan, pengembangan diversifikasi usaha pertanian baik aspek produksi pangan primer ataupun olahan pangan, pengembangan teknologi dan sistem insentif bagi usaha pangan lokal, dan pengembangan industri pangan usaha kecil dan menengah (UKM) berbasis pangan lokal. Pengaturan ini dituangkan dalam PP Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi. Walaupun perkembangannya belum signifikan, namun upaya pengembangan penyediaan pangan beragam berbasis pangan lokal melalui pembinaan UKM telah mulai dilakukan sejak lima (5) tahun terakhir. 7


DRAF 5 APRIL 2017 Pengembangan Varietas Unggul Tanaman dan Ternak Pengelolaan sumber daya genetik (SDG) tanaman dan ternak dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Indonesia memiliki gen bank (bank genetik) untuk tanaman yang dikelola oleh Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetika, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) di Bogor. Lembaga-lembaga penelitian pertanian pemerintah dan berbagai perguruan tinggi pertanian, baik secara sendiri-sendiri atau bekerja sama antarlembaga dan dengan lembaga penelitian pertanian internasional memanfaatkan SDG tanaman, termasuk tanaman lokal Indonesia untuk menciptakan varietas unggul baru (VUB) yang lebih mampu beradaptasi dengan agro-ekosistem dan perubahan lingkungan, meningkatkan produktivitas dan kualitas pangan dan gizi, serta merespon dinamika preferensi konsumen/pasar. Padi, jagung, dan kedelai merupakan tiga komoditas pangan penting dalam sistem pangan nasional. Sejak pertengahan tahun 1970-an Indonesia mulai mengembangkan berbagai VUB bekerja sama dengan lembaga penelitian internasional. Untuk mengembangkan varietas padi Balitbangtan bekerja sama dengan International Rice Research Institute (IRRI). Sampai dengan tahun 2015 di Indonesia telah dilepas 403 VUB padi inbrida dan 100 VUB padi hibrida. Hampir seluruh UVB padi inbrida dihasilkan oleh lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Sebagian besar padi hibrida merupakan introduksi dari luar yang dikembangkan oleh perusahaan benih multinasional bekerja sama dengan perusahaan dalam negeri. Selama enam (6) tahun terakhir (2010-2015) Menteri Pertanian telah melepas 57 VUB padi, 25 VUB jagung, dan 10 VUB kedelai yang diciptakan oleh para peneliti Balitbangtan. VUB padi yang diciptakan dirancang untuk dapat dimanfaatkan di berbagai agro-ekosistem, yaitu sebanyak 32 untuk dikembangkan di lahan irigasi dan/atau tadah hujan, 10 di lahan kering dan 6 di lahan rawa. Selain itu, selama periode tersebut telah dilepas 9 VUB padi hibrida. Untuk VUB jagung, dari 25 VUB yang dilepas, sebanyak 21 berupa VUB hibrida (Tabel 2.3). Pemanfaatan berbagai varietas tanaman hasil peneliti pemulia (breeder) di dalam negeri cukup intensif dan meluas. Pada tahun 2016 lebih dari 95% usaha tani padi di Indonesia seluas 14,2 juta ha menggunakan benih VUB padi ciptaan para peneliti Indonesia, hanya 2% menggunakan benih VUB padi hibrida, dan sama sekali belum menggunakan benih padi hasil rekayasa genetika. Namun demikian, belum seluruh usaha tani padi menggunakan benih bersertifikat. Dalam periode 10 tahun terakhir (20062015) dari rata-rata total kebutuhan benih padi sebanyak 336 ribu ton, 52% menggunakan benih unggul bersertifikat. Benih berserifikat tersebut 55% disediakan melalui berbagai program pemerintah, sisanya diproduksi oleh penangkar benih swata atau petani. Dalam tiga tahun terakhir, peran penangkar benih swasta dan petani sudah meningkat menjadi 69%. Sekitar 56% dari luas tanam jagung sekitar 20 juta ha telah menggunakan benih jagung hibrida dari luar negeri dan hasil peneliti Indonesia. Sementara itu, sistem perbenihan kedelai belum berkembang sesuai harapan, sejalan dengan masih rendahnya produksi domestik (sekitar 35%) dibandingkan dengan kebutuhan kedelai secara nasional.

8


DRAF 5 APRIL 2017 Tabel 2.3 Pelepasan Varietas Unggul Baru Padi, Jagung, dan Kedelai, Tahun 2010-2015 Total 2010-2015 57

Varietas 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Padi 10 17 12 8 5 5  Inbrida ● Sawah 6 5 10 3 4 4 32 ● Lahan kering 3 3 1 2 1 10 ● Rawa 1 3 1 1 6  Hibrida 6 3 9 Jagung 5 7 3 5 3 2 25  Inbrida 2 2 4  Hibrida 5 5 3 3 3 2 21 Kedelai 1 1 4 3 1 10  Inbrida 1 1 4 3 1 10 Sumber: Laporan Tahunan Badan Penelitian dan Pengembangan, Pertanian Kementerian Pertanian, 2010, 2011,2012,2013, 2014, 2015. Jakarta Eksplorasi SGD hewan ternak antara lain untuk ternak lokal ayam, itik, dan domba dilakukan para peneliti pemulia ternak di Pusat Penelitian Peternakan, Balitbangtan secara terus menerus. Berdasarkan hasil eksplorasi dan karakterisasi sifat-sifat produksi ternak, selanjutnya dilakukan serangkaian proses seleksi yang bertujuan untuk mendapatkan rumpun atau galur ternak yang konsisten dan stabil dalam menghasilkan bibit unggul. Sejak 1998 Balitbangtan telah melakukan seleksi SGD rumpun ayam lokal yang ada di Indonesia untuk menghasilkan galur tetua penghasil bibit unggul petelur dan pedaging. Melalui proses pemuliaan ternak ini di antaranya telah dilepas Menteri Pertanian bibit unggul ayam lokal petelur KUB-1 (Kampung Unggul Balitbangtan) pada tahun 2014 dan bibit unggul ayam pedaging SenSi (Sentul Terseleksi) pada Januari 2017. Pada tahun 2015 telah dihasilkan itik unggul yang diberi nama itik Mojomaster-1 Agrinak dan Alabimaster-1 Agrinak. Sementara itu, pembentukan ternak domba komposit Sumatera (komposisi genetik 50% domba lokal, 25% St. Croix, 25 Barbados Blackbelly) dimulai tahun 1986 dan telah dilepas Menteri Pertanian pada tahun 2014 dengan nama domba Compass Agrinak. Proporsi Ternak Beresiko Punah Menurut definisi operasional (FAO, 2009) disebutkan suatu rumpun ternak dinyatakan beresiko punah apabila berada dalam status kritis (critical), kritis dipertahankan (critical-maintained), terancam punah (endangered) atau hampir punah yang dipelihara (endangered-maintened) berdasarkan jumlah dan proporsi ternak betina produktif (breeding females) dan jantan produktif. Sebagai contoh, status rumpun ternak beresiko jika jumlah populasi betina produktif (breeding females) ≤ 100 ekor dan jantan produktif (breeding males) ≤ 5 ekor, atau jumlah total populasi ≤ 120 ekor. Jumlah ternak lebih banyak dari itu dianggap rumpun ternak tersebut tidak beresiko. Sementara itu, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 117 Tahun 2014 suatu rumpun ternak dinyatakan tidak beresiko jika suatu rumpun ternak jantan dan betina produktif dengan perbandingan 20:40 (sapi dan kerbau), 20:50 (kambing, domba dan babi), 20:200 (ayam, itik, angsa). Status rumpun beresiko berada pada kondisi yang mengarah pada kehilangan sumber daya genetik ternak tersebut. Kambing Gembrong berada dalam status beresiko karena saat ini populasi berjumlah 52 ekor. Untuk ternak kambing ini, sedang dilakukan upaya perbanyakan populasi secara terus-menerus sehingga resiko kepunahan dapat dikurangi. Dalam Domestic Animal Diversity Information System (DAD-IS) dilaporkan di Indonesia terdapat 146 rumpun (breed) ternak asli dan lokal. Rumpun asli adalah ternak sebagai hasil domestikasi di Indonesia 9


DRAF 5 APRIL 2017 (ancestor), lokal adalah diintroduksi dan berkembang biak baik secara murni atau hasil silangan (≼5 generasi). Dari 146 rumpun tersebut sebanyak 89 rumpun lokal yaitu: kerbau 11, sapi 13, kambing 10, domba 8, ayam 31, dan itik 18 ekor. Indonesia mengembangkan dan memanfaatkan sumber daya genetik ini untuk meningkatkan penyediaan protein hewani dan melestarikannya.

II. TANTANGAN DAN CARA MENGATASI TANTANGAN A. Tantangan Tantangan untuk mencapai TPB Tujuan 2 Tanpa Kelaparan terkait erat dengan upaya semakin rumitnya penyediaan pangan dan gizi yang cukup bagi seluruh penduduk secara berkelanjutan. Bagi Indonesia dengan penduduk yang besar dan sumber daya alam yang tersedia, andalan pemenuhan kebutuhan pangan ini terutama bersumber dari produksi dalam negeri. Karena itu setiap pemerintahan di Indonesia meletakkan pencapaian swasembada dan stabilitas harga pangan pokok menjadi salah satu kebijakan prioritas ekonomi pangan. Tantangan pencapaian sasaran tanpa kelaparan dapat diurai dari permasalahan terkait produksi pangan (supply) dan kebutuhan konsumsi pangan (demand). Tanpa kelaparan atau kondisi ketahanan pangan dicapai apabila terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (UU Pangan). Secara umum dapat disimpulkan bahwa permintaan pangan secara berkelanjutan meningkat lebih cepat dari pertumbuhan produksi pangan dalam negeri. Tantangan dari sisi permintaan pangan diantaranya adalah: 1. Indonesia memiliki penduduk yang besar, masih terus tumbuh dan terdapat dinamika penduduk yang merubah pola konsumsi pangan seperti urbanisasi dan meningkatnya proporsi wanita masuk angkatan kerja; 2. Adanya keterbatasan akses fisik terhadap pangan berupa keterbatasan akses transportasi dan ada wilayah serta pulau terpencil dan tidak meratanya akses ekonomi berupa rendahnya pendapatan dan daya beli masyarakat sebagian masyarakat; 3. Terjadinya perubahan pola konsumsi pangan masyarakat ke arah pola pangan yang lebih beragam namun bukan mengandalkan keragaman sumber pangan lokal tetapi mengikuti pola makan penduduk di negara maju (western diet); dan 4. Masih rendahnya pengetahuan pangan dan gizi khususnya pola makan yang beragam bergizi seimbang dan aman. Di pihak lain, tantangan dari sisi penyediaan pangan, khususnya peningkatan produksi dalam negeri semakin berat, di antaranya disebabkan oleh: 1. Berlangsungnya secara terus menerus alih fungsi lahan pertanian; 2. Terjadinya degradasi kualitas sumber daya lahan dan air serta persaingan dalam pemanfaatannya dengan sektor industri; 3. Semakin tingginya kejadian perubahan iklim ekstrim yang dampaknya dapat menurunkan produktivitas tanaman dan meningkatan risiko gagal panen; dan 4. Masih tinginya proporsi kehilangan hasil dan pemborosan pangan mulai dari tingkat usaha tani sampai siap makan (food losses and waste from farm to table) yang mengurangi ketersedian pangan untuk dkonsumsi. Keberhasilan pembangunan pangan dan gizi adalah terbentuknya manusia Indonesia yang sehat aktif dan produktif. Dari berbagai indikator status gizi masyarakat yang disajikan di atas diketahui keberhasilan

10


DRAF 5 APRIL 2017 pembangunan manusia yang masih dihadapkan dengan beberapa tantangan. Tantangan utama yang dihadapi dalam mencapai status gizi masyarakat yang baik antara lain adalah: 1. Kecukupan gizi yang secara kuantitas belum memadai, ditandai dengan masih rendahnya penerapan pemberian ASI esklusif dan kuantitas dari Makanan Pendamping ASI yang berimplikasi pada tingginya prevalensi balita dengan gizi kurang. Hal ini ditunjukkan dengan prevalensi balita dengan gizi kurang yang belummencapai perbaikan yang siginifikan dalam 10 tahun terakhir dan bahkan cenderung meningkat menjadi 16,4% pada tahun 2016. 2. Kualitas kontribusi perbaikan gizi melalui lintas sektor juga masih belum optimal, sehingga walaupun Indonesia telah berhasil menurunkan angka stunting secara baik pada baduta (tahun 2016 sekitar 26,1%), akan tetapi angka ini masih diatas ambang batas masalah kesehatan masyarakat. Stunting merupakan indikasi dari terjadinya gangguan kognitif, serta rendahnya produktivitas dan potensi gangguan kesehatan di usai dewasa. 3. Disparitas status gizi juga masih terjadi antarkelompok pendapatan dan antarwilayah. Pada kelompok pendapatan terbawah persentase balita stunting cenderung lebih tinggi (48,4% pada tahun 2013). Disparitas capaian penurunan angka kurang gizi antarwilayah juga masih cukup lebar. Pada tahun 2013 dari 34 provinsi terdapat 15 provinsi yang mengalami permasalahan stunting yang serius (>40%) 4. Masalah gizi pada anak terkait dengan kemiskinan yang berdampak signifikan pada keterbatasan pemenuhan kecukupan gizi, sehingga berakibat terjadinya kekurangan gizi. Anak yang mengalami kekurangan gizi berimplikasi pada rendahnya kecerdasan dam produktivitas yang selanjutnya menyebabkan kemiskinan mereka. 5. Rendahnya pemahaman masyarakat akan pentingnya pengasuhan yang adekuat, menyebabkan pola asuh yang diterapkan seperti pemberian ASI eksklusif masih rendah (22,8% pada tahun 2016, Sirkesnas). Oleh karena itu pencapaian tumbuh kembang anak tidak terjadi secara optimal. 6. Kegiatan intervensi sensitif seperti ketersediaan air bersih, sanitasi, akses terhadap pangan, pendidikan, dan pemberdayaan perempuan yang belum memiliki daya ungkit tinggi terhadap upaya percepatan perbaikan gizi. 7. Masih terbatasnya evidence base efektivitas intervensi spesifik gizi seperti pemberian suplementasi gizi mikro pada ibu hamil, pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil KEK dan balita kurus, dan sebagainya. 8. Belum optimalnya pemberdayaan masyarakat dalam upaya perbaikan gizi yang memiliki peran penting dalam merubah perilaku masyarakat seperti untuk memantau pertumbuhan berat badan dan tinggi badan serta perilaku gizi seimbang.

B. Cara Mengatasi Tantangan Untuk mengatasi tantangan tersebut diperlukan pendekatan pembangunan pangan dan gizi yang terintegratif. Kebijakan produksi dan penyediaan pangan perlu diarahkan untuk menyediakan pangan yang cukup, beragam, bergizi seimbang, dan aman, serta dengan harga yang dapat terjangkau oleh daya beli sebagian besar masyarakat. Langkah yang diambil untuk mengatasi tantangan tersebut di antaranya adalah: 1. Mengintensifkan kegiatan penelitian dan pengembangan pertanian secara berkesinambungan dalam upaya untuk menciptakan inovasi teknologi pertanian dan rekayasa kelembagaan pertanian yang mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, dan daya saing produk di pasar domestik dan internasional. 2. Mendorong pemerintah daerah untuk segera menerbitkan Peraturan Daerah tentang alokasi kawasan untuk dijadikan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan pembukaan lahan pertanian baru pangan yang potensial untuk dikembangkan memproduksi pangan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.

11


DRAF 5 APRIL 2017 3. Membangun dan merehabilitasi infrastruktur pertanian pangan, mendorong/memfasilitasi swasta berinvestasi di bidang agribisnis pangan di perdesaan, dan melakukan pemberdayaan petani kecil dan kelompok tani untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, dan daya saing produk. 4. Meningkatkan upaya dalam penanganan pasca panen dan distribusinya sampai konsumen akhir untuk menurunkan secara signifikan kehilangan hasil dan pemborosan pangan. 5. Mengintensifkan sosialisasi kepada berbagai komponen masyarakat tentang pentingnya kualitas konsumsi pangan dan gizi untuk hidup aktif sehat dan produktif, termasuk sosialisasi pola konsumi pangan yang beragam bergizi seimbang dan aman (B2SA) berbasis pangan lokal. Dalam kegiatan ini termasuk pemberdayaan kelompok wanita dalam memproduksi, mengolah, dan menyajikan makanan yang B2SA dari sumber pangan di sekitarnya untuk santapan dalam rumah tangga. 6. Mengintensifkan implementasi Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yang melibatkan lintas sektor dan berbagai pemangku kebijakan untuk bekerjasama menurunkan prevalensi stunting serta bentuk-bentuk kekurangan gizi lainnya.

III. INOVASI DAN UPAYA PENTING PENCAPAIAN TUJUAN Berbagai inovasi dan upaya penting terkait dengan pencapaian TPB Tujuan 2 Tanpa Kelaparan sudah dibuat dan diimplementasikan oleh pemerintah bersama pemangku kepentingan pembangunan pangan dan gizi. Beberapa inovasi penting di antaranya: 1.

Peraturan Presiden (Perpres) No. 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi pada tanggal 24 Mei 2013 mengatur kebijakan perbaikan gizi dengan fokus 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Kebijakan ini mengintegrasikan pelayanan kesehatan, terutama kesehatan ibu, anak dan pemberantasan penyakit melalui pendekatan lintas sektor dengan melibatkan stakeholder seperti dunia usaha, masyarakat madani, mitra pembangunan, dan organisasi profesi, serta akademisi. Disamping itu juga mengatur pedoman pelaksanaan perencanaan 1000 HPK tingkat nasional dan daerah. Skema dari pendekatan gerakan 1000 HPK sebagaimana pada gambar di bawah ini:

2.

Kepersertaan Indonesia sebagai salah satu negara pertama dari 59 Negara dalam SUN Global, dan Indonesia telah menerapkan dan mengembangkan platform SUN, yaitu melakukan advokasi perbaikan gizi pada pimpinan tertinggi, meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan (Pemerintah, CSO, organisasi profesi dan akademia, dunia usaha, dan mitra pembangunan), menjamin kebijakan yang koheren dan adanya kerangka legal program, menyelaraskan program-

12


DRAF 5 APRIL 2017 program sesuai dengan kerangka program SUN Movement, dan mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan. 3.

Saat ini, tengah disusun Perpres tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi (KS-PG) yang akan menjadi panduan bagi pemangku kepentingan pembangunan pangan dan gizi di tingkat pusat dan daerah dalam mengintegrasikan pembangunan pangan dan gizi guna mencapai kedaulatan pangan, ketahanan pangan dan gizi, dan mempercepat perbaikan gizi masyarakat. Sebelumnya Bappenas telah menerbitkan Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional (RAN-PG) tahun 2005-2010; tahun 2011-2015, dan tahun 2015-2019 yang diikuti dengan penyusunan Rencana Aksi Pangan dan Gizi Daerah (RAD-PG) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu telah disusun pula oleh Dewan Ketahanan Pangan (DKP) Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) untuk dua periode lima (5) tahunan.

4.

Program uji coba integrasi intervensi spesifik gizi dan intervensi sensitif seperti sanitasi (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakah (PNPM) Generasi Sehat dan Cerdas, PKH Prestasi).

5.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif yang menjadi payung hukum dalam mendukung upaya pemenuhan hak bayi akan nutrisi terbaik dan melindungi ibu dalam memberikan ASI eksklusif.

6.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi. PP ini di antaranya mengatur tentang cadangan pangan pemerintah dan cadangan pangan pemerintah daerah; penganekaragaman pangan dan perbaikan gizi masyarakat; kriteria dan penanggulangan krisis pangan; distribusi, perdagangan, dan bantuan pangan; serta sistem informasi pangan dan gizi.

7.

Perpres Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan kepada Perum BULOG dalam rangka Ketahanan Pangan. Perpres ini mengatur penugasan kepada BULOG untuk menjaga ketersediaan pangan dan stabilitas harga pangan di tingkat produsen dan konsumen bagi 11 komoditas pangan, di antaranya dilakukan melalui pengelolaan cadangan pangan pemerintah, distribusi pangan, dan pengembangan industri berbasis pangan.

8.

Pemberdayaan masyarakat perdesaan untuk dapat lebih mandiri dalam pemenuhan pangan dan perwujudan ketahanan pangan, di antaranya melalui program Desa Mandiri Pangan dan Pemanfaatan Lahan Pekarangan.

9.

Pemberian Penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara (APN) dari Menteri Pertanian/Ketua Harian Dewan Ketahanan Pangan yang diserahkan oleh Presiden RI di Istana Negara kepada berbagai komponen pemangku kepentingan pengembangan sistem pangan dan gizi untuk memberikan apresiasi atas prestasinya dan menjadikan tauladan bagi mayarakat sekitarnya. Penghargaan ini diberikan setiap tahun.

IV. EMERGING ISSUES Prevalensi underweight dan stunting pada anak balita masih relatif tinggi, dan disparitas yang lebar di level kabupaten/kota, walaupun angka kemiskinan semakin menurun. Pada gambar 2.7 berikut dapat dilihat sebaran 497 kabupaten/kota (2013), jika dikaitkan dengan kemiskinan (penduduk termiskin – quintile 1), dimana kabupaten/kota dengan proporsi miskin tinggi, terlihat kecendrungan status gizi pada balita (underweight, dan stunting) juga tinggi.

13


DRAF 5 APRIL 2017 Underweight

Stunting

Gambar 2.7 Keterkaitan Antara Underweight dan Stunting dengan Kemiskinan Dalam melihat keterkaitan kemiskinan dengan status gizi perlu dilihat relevansinya juga dengan pendidikan dan kondisi lingkungan. Pendidikan mempengaruhi perilaku (pola asuh dan pola makan) yang pada gilirannya akan mempengaruhi status gizi anak, semakin rendah pendidikan maka status gizi anak akan cenderung lebih buruk. Hal lain adalah kondisi kesehatan lingkungan yang baik (cakupan akses sanitasi baik dan cakupan air bersih baik), akan berpengaruh pada keadaan gizi anak yang lebih baik, seperti yang dipresentasikan pada gambar berikut: Stunting versus Low Education

Stunting versus Health Environment Index

Gambar 2.8 Keterkaitan Antara Underweight dan Stunting dengan Tingkat Pendidikan dan Kondisi Lingkungan Sumber: Trihono, dkk. Buku ‘Pendek (Stunting) di Indonesia, masalah dan solusinya’, 2015

V. PEMBELAJARAN Dari banyak aspek terkait pembangunan pangan dan gizi untuk mencapai tujuan tanpa kelaparan, ada beberapa pembelajaran yang dapat dipetik dan diperlukan untuk pencapaian tujuan tanpa kelaparan ini secara berkelanjutan, yaitu: 1. Aspek perencanaan. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan atau Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) Indonesia disusun bersama oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP) dan 14


DRAF 5 APRIL 2017

2.

3.

4.

5.

6.

World Food Program (WFP). Peta ini mengandung informasi mengenai tingkat ketahanan dan kerentanan pangan di suatu daerah (sampai kecamatan untuk FSVA Kabupaten) dengan tolak ukur variabel ketahanan pangan dalam arti luas (misalnya termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih). Peta ini sangat bermanfaat untuk memfokuskan kegiatan pembangunan pada daerah yang harus diprioritaskan (targeted area). Bappenas telah memanfaatkan FSVA untuk alokasi anggaran ke daerah. Aspek teknologi. Dalam kondisi sumber daya lahan dan air yang semakin terbatas dan kompetisi dalam pemanfaatannya yang disertai perubahan iklim ekstrim, pemenuhan kebutuhan pangan yang terus meningkat sepanjang tahun hanya dapat dicapai melalui peningkatan produktivitas. Untuk itu akan selalu diperlukan ketersediaan inovasi teknologi dan rekayasa kelembagaan dari tahun ke tahun. Sehubungan dengan itu investasi di bidang penelitian dan pengembangan pertanian pangan dan gizi, termasuk untuk penelitian dasar (basic research) dan teknologi frontier (seperti bioteknologi rekayasa genetika) perlu mendapat perhatian yang cukup. Pemberdayaan masyarakat. Sasaran pembangunan pangan dan gizi adalah masyarakat. Di sisi produksi pangan adalah para petani kecil beserta keluarganya, di sisi konsumsi pangan adalah ibu rumah tangga beserta keluarganya. Pemberdayaan mereka, termasuk peningkatan pengetahuan yang relevan untuk masing-masing kelompok tersebut menjadi faktor kunci bagi keberhasilan pembangunan pangan dan gizi untuk mencapai SDG tujuan 2 tanpa kelaparan, namun bukan hanya asal kenyang tapi tanpa kelaparan dengan pola konsumsi pangan yang berkulitas. Aspek surveilans. Perbaikan program pangan dan gizi tidak terlepas dari sistem monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara periodik. Sudah dikembangkan sistem kewaspadaan pangan dan gizi sejak tahun 1980-an, dimana pemerintah daerah setempat dapat melakukan pemantauan secara terus menerus, serta memanfaatkannya untuk deteksi dini yang terjadi di masyarakat. Sistem ini sangat tergantung pada pimpinan wilayah, khususnya di tingkat kabupaten sampai ke tingkat administrasi terendah, yaitu desa. Implementasi program perbaikan gizi keluarga, yang dikenal dengan ‘Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK)’ dikembangkan sejak tahun 1970-an, yang sampai sekarang, menjadi program terintegrasi di Posyandu, lingkup kecil di tingkat masyarakat, yang dapat menjangkau seluruh keluarga untuk memantau kesehatan dan gizi ibu dan anak. Saat ini sudah tersebar hampir 300.000 Posyandu, yang menjangkau seluruh penduduk. Tahun 2016, program ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari cara kerja Puskesmas yang tidak hanya menyelenggarakan pelayanan kesehatan di dalam gedung, melainkan juga keluar gedung dengan mengunjungi keluargakeluarga di wilayah kerjanya. Ada 12 indikator keluarga sehat yang harus selalu dipantau yaitu: 1) keluarga mengikuti KB, 2) Ibu bersalin di fasilitas kesehatan, 3) Bayi mendapat imunisasi dasar lengkap, 4) Bayi diberi ASI eksklusif selama 6 bulan, 5) Pertumbuhan balita dipantau tiap bulan, 6) Penderita TB Paru berobat sesuai standar, 7) Penderita hipertensi berobat teratur, 8) Gangguan jiwa berat tidak ditelantarkan , 9) Tidak ada anggota keluarga yang merokok, 10) Keluarga mempunyai akses terhadap air bersih, 11) Keluarga mempunyai akses/menggunakan jamban sehat, 12) Sekeluarga menjadi anggota JKN/askes. Pada tahun 2016, dicanangkan ‘Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas)’ yang merupakan gerakan yang melibatkan lintas sektor yang ditujukan untuk meningkatkan perilaku hidup sehat masyarakat yang didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana serta peningkatan lingkungan hidup sehat.

15


DRAFT 5 APRIL 2017

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN TUJUAN 3: MENJAMIN KEHIDUPAN YANG SEHAT DAN MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN SELURUH PENDUDUK SEMUA USIA Voluntary National Review (VNR) untuk tujuan 3 membahas indikator penting SDGs yang meliputi kematian ibu dan bayi, penyakit menular dan tidak menular, kesehatan reproduksi, cakupan jaminan kesehatan nasional (JKN), tenaga kesehatan, obat dan vaksin. Pembahasan tujuan 3 mencakup analisis tren dan keberhasilan, tantangan dan cara mengatasinya, inovasi dan upaya penting yang dilakukan, emerging issues dan pembelajaran. I. ANALISIS TREN DAN KEBERHASILAN A. Angka Kematian Ibu Angka kematian ibu (AKI) telah mengalami penurunan dari sebesar 346 kematian (SP 2010) menjadi 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup (SUPAS 2015), yang berarti penurunan tiap tahun (Annual Reduction Rate/ARR) adalah sebesar 2,4%. Salah satu upaya kunci yang dilakukan pemerintah adalah memastikan setiap persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan. Data SDKI menunjukkan peningkatan persalinan di fasilitas kesehatan dari 46% (2007) menjadi 63,2% (2012). Proporsi kelahiran yang dibantu oleh tenaga medis profesional juga meningkat dari 73% (2007) menjadi 83% (2012). Target RPJMN pada tahun 2019 sebesar 306 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup telah tercapai. Namun, terobosan baru diperlukan untuk mencapai target global kurang dari 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Untuk itu ARR sebesar 9,5% dibutuhkan untuk mencapai target global tersebut.

MMR/100.000 Live Birth

446 390

360 334

360 307

UN/WHO

1990

1995

IDHS

2000

346

310 250

Census

359 305 244

228 Supas

126

SRS

2005 2007 2010 Reference Period

2012

2014

2015

Gambar 3.1 Tren Angka Kematian Ibu

Studi Analisis Verbal Kematian Maternal mengungkapkan bahwa penyebab utama kematian ibu masih didominasi oleh hipertensi dalam kehamilan, pendarahan, infeksi dan penyakit penyerta lain (jantung dan ginjal). Adapun faktor lain yang ikut mempengaruhi yaitu derajat kesehatan ibu sebelum hamil, akses dan kualitas pelayanan kesehatan, serta faktor sosiol budaya. Dengan memperhatikan sebab kematian pada dasarnya sebagian besar kematian dapat dicegah. Sebagian besar kematian ibu (75%) terjadi pada saat persalinan sampai 2x24 jam pasca persalinan. Berdasarkan umur, terdapat 7% kematian ibu berusia <20 tahun. Sebaliknya pada usia >35 tahun dan jumlah anak >2 anak, apabila 1


DRAFT 5 APRIL 2017 Program KB berhasil, maka AKI juga dapat diturunkan. Kondisi ini menunjukkan apabila usia pernikahan dapat ditunda, maka AKI akan dapat diturunkan. Disamping itu, perlu ditetapkan perubahan kebijakan yang mendasar terkait aksesibilitas ibu hamil dalam Ante Natal Care (ANC) dan persalinan, termasuk aspek pembiayaannya.

B. Angka Kematian Bayi, Balita dan Neonatal Angka kematian bayi 120 dan balita terus 100 97 menurun, meskipun 81 80 sejak tahun 2007 68 mengalami stagnasi. 60 58 57 Angka Kematian 46 46 44 40 40 35 34 32 32 Neonatal (AKN) pada 30 22 20 20 19 19 periode yang sama juga 0 mengalami stagnasi. SDKI 1991 SDKI 1994 SDKI 1997 SDKI SDKI 2007 SDKI 2012 Dengan memperhatikan 2002/2003 kecenderungan AKB AKBA AK-NEONATAL penurunan AKN yang stagnan tersebut, ARR sebesar 0,5% per tahun Gambar 3.2 Tren Angka Kematian Bayi, Balita dan Neonatal akan berakibat pada Sumber: SDKI, BPS sulitnya pencapaian target sebesar 12 per 1.000 kelahiran hidup pada 2030 karena ARR yang diperlukan adalah sebesar 3% untuk mencapai target tersebut. Adapun sebab-sebab kematian yang diungkapkan oleh SRS tahun 2014 (yang dilakukan di 128 kecamatan yang representasi nasional) terbanyak adalah berat badan lahir rendah/BBLR (38,8%), asfiksia (26,5%) dan kongenital malformation (12,7%). Imunisasi dasar lengkap Dalam SDKI, Imunisasi dasar lengkap didefinisikan sebagai 80.0 66.0 59.2 59.0 53.8 persentase anak usia 12-23 bulan 52.0 60.0 41.6 yang menerima imunisasi BCG, 40.0 campak, dan tiga kali untuk DPT 20.0 dan polio. Sementara itu, menurut 0.0 Riskesdas adalah jika anak 12-23 2002 2007 2010 2012 2013 bulan sudah mendapatkan semua jenis imunisasi: satu kali HB-0, SDKI Riskesdas satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, Gambar 3.3 Tren Imunisasi Dasar Lengkap empat kali polio, dan satu kali Sumber: SDKI (2002-2012), Riskesdas (2007-2013) imunisasi campak. Dari kedua sumber data ini, cakupan imunisasi terus mengalami peningkatan. Sementara itu, data Kementerian Kesehatan juga menunjukkan kabupaten/kota yang mencapai 80% imunisasi dasar lengkap pada bayi meningkat dari 71,2% (2013) menjadi 80,7% (2016). Meskipun cakupan imunisasi terus meningkat, kualitas imunisasi harus tetap terjaga agar kejadian luar biasa akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (KLB PD3I).

2


DRAFT 5 APRIL 2017

C. Tren Penyakit Menular HIV-AIDS

2010 HIV

AIDS

2013

30935

2014

610

949

6373

7864

11682

2012

1479

1353 2011

2057

10763

21031

8177 1391

7418

9804 6713 2009

21511

29037 2008

1282

931 2007

5278 1052

10362

21591 2006

6048 4809

7184 3679 864

36000 33000 30000 27000 24000 21000 18000 15000 12000 9000 6000 3000 0

32711

Prevalensi AIDS tercatat sebesar 32,95/100.000 penduduk, bervariasi dari yang terendah di Provinsi Sulawesi Barat (0,86/100.000 penduduk) dan tertinggi di Papua (470,64/100.000 penduduk). Target prevalensi HIV/AIDS dipertahankan di bawah 0,5% dan pada tahun 2016 prevalensi HIV/AIDS telah mencapai 0,37%. Selanjutnya, proporsi penduduk dengan AIDS yang meninggal menunjukkan tren yang mengecil. Jumlah ODHA (orang dengan HIV dan AIDS) yang menerima pengobatan ARV juga terus meningkat tiap tahunnya dari 2.381 orang (2005) menjadi 73.037 orang yang dilayani (2016). Saat ini, kasus AIDS sudah mencapai tingkat rumah tangga yang ditandai dengan ditemukannya kasus bayi penderita AIDS. Untuk itu, Pemerintah akan terus berupaya menjaga prevalensi HIV di bawah 0,5 diantaranya melalui upaya pengembangan layanan komprehensif berkesinambungan (LKB) di tingkat kabupaten/kota untuk mendekatkan layanan HIV/AIDS ke masyarakat yang membutuhkan.

2015

Mati

Gambar 3.4 Jumlah Kasus HIV-AIDS dan Jumlah yang Meninggal di Indonesia 2006-2015 Sumber: Laporan Surveilans P2PL, Ditjen PP & PL Kemenkes RI Update terakhir: 24 Juni 2016

Tuberkulosis Hasil survei khusus prevalensi TB dengan metode mikroskopis menunjukkan bahwa prevalensi TB menurun dari 331 (2006) menjadi 272 per 100.000 penduduk (2013). Dengan tes cepat molekuler, prevalensi TB juga menurun dari 643 per 100.000 penduduk (2015) menjadi 628 per 100.000 penduduk (2016). Malaria Tren angka kesakitan malaria berdasarkan API (Annual Paracite Incidence) menurun dari 1,75 (2011) menjadi 0,85 per 1000 penduduk (2015). Pada tahun 2015, sebanyak 232 kabupaten/kota telah menerima sertifikat eliminasi malaria dan dalam tahap pemeliharaan/bebas penularan malaria. Hal tersebut didukung oleh strategi spesifik berdasarkan stratifikasi endemisitas wilayah, yaitu: (1) strategi akselerasi di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang berfokus pada pengobatan di semua fasilitas kesehatan, penemuan kasus secara aktif dan kelambunisasi berinsektisida; (2) strategi intensifikasi di daerah fokus di luar KTI, dengan penekanan pada perlindungan kelompok berisiko; dan (3) strategi eliminasi pada daerah dengan API<1 per 1000 penduduk (endemis rendah) berfokus pada surveilans dan deteksi dini, serta penemuan kasus aktif.

3


DRAFT 5 APRIL 2017 Kusta dan Filariasis Upaya pengendalian penyakit kusta menunjukkan kemajuan ditandai dengan meningkatnya jumlah provinsi dengan eliminasi kusta dari 20 provinsi (2014) menjadi 23 provinsi (2016). Pemerintah akan terus berupaya untuk mencapai seluruh provinsi eliminasi kusta pada tahun 2019. Sementara itu, untuk mencapai eliminiasi filariasis, telah dilakukan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) di beberapa kabupaten sejak tahun 2002. Capaian POPM pada periode 2006-2012 kurang dari 50% dan meningkat menjadi 71,4%pada tahun 2016. Jumlah kabupaten/kota yang eliminasi filariasis meningkat dari 8 kabupaten/kota (2014) menjadi 17 kabupaten/kota (2015) dan 22 kabupaten/kota (2016). Pemerintah berkomitmen untuk eliminasi Filariasis pada tahun 2020 dengan terus meningkatkan pelaksanaan POPM Filariasis di kabupaten/kota endemis filariasis. D. Tren Penyakit Tidak Menular/PTM Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi hipertensi adalah sebesar 25,8% (hampir 40 juta penduduk di atas 18 tahun) dan diabetes melitus (DM) adalah sebesar 6,9%. Dari seluruh penduduk yang menderita hipertensi dan DM, hampir 2/3nya tidak menyadari bahwa mereka menderita PTM tersebut. Sementara itu, prevalensi obesitas pada penduduk di atas 18 tahun pada tahun 2013 adalah sebesar 15,4% (sekitar 23,5 juta penduduk), meningkat dari 10,3% pada tahun 2007. Perilaku merokok, selain pola makan dengan gizi tidak seimbang dan kurangnya aktivitas fisik, menyumbang pada peningkatan prevalensi PTM di Indonesia. Ditemukan bahwa prevalensi merokok di antara penduduk di atas 15 tahun meningkat dari 34,7% (2007) menjadi 36,3% (2013). Sebesar 26,1% penduduk kurang aktivitas fisik dan 93,5% penduduk di atas usia 10 tahun kurang mengkonsumsi buah dan sayur (2013). Sementara itu, data Riskesdas 2007 menunjukkan 4,6% penduduk mengonsumsi alkohol diantaranya 0,6% mengonsumsi hingga level yang berbahaya menurut standar WHO. Data Global School Health Survey (GSHS) menyatakan 4,4% anak sekolah menengah mengonsumsi alkohol. Masalah alkohol juga harus mendapatkan perhatian di masa depan. E. Kesehatan Reproduksi Angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) Indonesia mengalami stagnasi dalam satu dekade terakhir, yaitu pada angka 2,6 anak per 1000 wanita. Kehamilan remaja menjadi penyumbang angka kelahiran yang tinggi karena rentang masa reproduksinya yang lebih panjang akibat kehamilan yang dimulai pada usia muda. Struktur penduduk yang relatif muda menyebabkan jumlah kelahiran akan tetap meningkat terus dan berdampak pada pertambahan penduduk.

4


DRAFT 5 APRIL 2017

5.0 4.0

4.5 4.3

3.6 3.2

TFR

3.0

3.7

3.3 2.8

3.0 2.6

2.0

3.2

3.0

2.8

2.7 2.9

2.8

2.6

2.6

2.3

2.4

2.4

2.3

1992-1994

1995-1997

1998-2002

2003-2007

2.8 2.6 2.4

Kota+Desa Kota

1.0

Desa 0.0 1981-1983

1984-1987

1988-1991

2008-2012

Gambar 3.5 Tingkat Fertilitas di Indonesia, 1981-2012 Sumber: SDKI 2012

Walaupun angka kelahiran perempuan usia 15-19 tahun (age specific fertility rate/ASFR) menurun dari 51 (2007) menjadi 48 kelahiran per 1000 perempuan 80 usia 15-19 tahun (2012), 70 diperlukan upaya keras untuk 60 67 mencapai target RPJMN 2019 50 62 61 40 sebesar 38 kelahiran per 1000 51 51 48 30 perempuan. Tingginya angka 12.2 12.2 11.2 10.4 9.5 20 8.5 perempuan remaja yang hamil 10 dan melahirkan berisiko pada 0 kematian ibu dan stunting pada 1991 1994 1997 2002-03 2007 2012 anak. Dalam upaya ASFR 15 - 19 th Persen yang pernah melahirkan meningkatkan layanan kesehatan reproduksi, angka Gambar 3.6 Tren Angka Kelahiran Remaja 15-19 Tahun Sumber: SDKI pemakaian kontrasepsi (contraceptive prevalence rate/CPR) semua cara telah meningkat dari 61,4% pada tahun 2007 menjadi 61,9% pada tahun 2012 (SDKI). Namun, berdasarkan Susenas, capain tersebut terus mengalami penurunan sepanjang tahun 2013-2015. Kondisi ini diperkirakan menyumbang pada stagnansi angka kelahiran selama 10 tahun terakhir.

5


DRAFT 5 APRIL 2017

Sumber: SDKI(Berbagai Tahun)

Sumber: Susenas (Berbagai Tahun)

Grafik 3.7 Tren Angka Pemakaian Kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate/CPR) F. Cakupan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Jumlah penduduk yang tercakup dalam JKN terus meningkat. Sampai dengan 31 Desember 2016, sebanyak 171,9 juta penduduk (66,5%) telah menjadi peserta JKN. Dari jumlah tersebut, sebanyak 91,1 juta diantaranya merupakan peserta penerima bantuan iuran (PBI). Sedangkan, target RPJMN tahun 2019 adalah sebesar 95% dari total penduduk tercakup dalam SJSN bidang kesehatan. Kerjasama dengan fasilitas kesehatan semakin meningkat yang ditunjukkan dengan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dari 18.644 (Jan 2015) menjadi 20.708 (Des 2016) dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKRTL) dari 1.727 menjadi 2.068. Pemanfaatan pelayanan kesehatan di FKTP juga terus meningkat dari 66,8 juta (2014) menjadi 134,9 juta (2016). Sedangkan pemanfaatan rawat jalan di RS dari 21,3 juta menjadi 50,4 juta. Pemanfaatan rawat inap RS meningkat dari 4,2 juta (2014) menjadi 7,6 juta (2016). Terkait pembiayaan pelayanan kesehatan, sebesar 20,5% adalah untuk layanan primer dan 79,5% untuk layanan rujukan. Biaya yang dibayarkan ke fasilitas layanan kesehatan selama 2014-2016 sebesar Rp 166 Triliun, dimana FKTP sebesar Rp 34 Triliun dan FKTL sebesar Rp 132 Triliun. Perluasan cakupan kepesertaan JKN berdampak pada menurunnya unmet need pelayanan kesehatan, yaitu persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan dan terganggu aktifitas sehari-hari namun tidak berobat jalan. Berdasarkan data Susenas, unmet need pelayanan kesehatan terus menurun, dengan kecenderungan unmet need pelayanan kesehatan di perdesaan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan.

6


DRAFT 5 APRIL 2017

Gambar 3.8 Unmet Need Pelayanan Kesehatan (%), 2006-2016 Sumber: Susenas, BPS

G. Tenaga Kesehatan Jumlah puskesmas yang minimal memiliki lima jenis tenaga kesehatan yang meliputi tenaga kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, ahli gizi, tenaga farmasi dan analis kesehatan terus meningkat, walaupun belum mencapai target tahunan (2015 dan 2016). Sampai dengan akhir tahun 2016, baru 1.264 puskesmas dengan ketersediaan tenaga sesuai standar. Pemenuhan kebutuhan tenaga dokter dan dokter spesialis di rumah sakit juga terus menunjukkan perbaikan. Tenaga kesehatan yang didayagunakan di fasilitas pelayanan kesehatan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian, menurut laporan Kementerian Kesehatan tahun 2015, distribusi tenaga kesehatan di Pulau Jawa menempati jumlah terbesar (46,76%), diikuti Sumatera (26,30%), Sulawesi (9,41%), Kalimantan (7,79%), Bali dan Nusa Tenggara (5,96%), dan Maluku dan Papua (3,78%). Tabel 3.1 Rasio Tenaga Kesehatan per 100.000 Penduduk Tahun 2016 Jenis Tenaga Dokter Dokter Spesialis Perawat Bidan

Angka Nasional 45 13,6

Angka Terendah

Angka Tertinggi

10 (Sulawesi Barat) 2,8 (NTT)

170 162

38 (Jatim) 47(Kaltara)

170 (DKI Jakarta) 70,6 (DKI Jakarta) 453(Aceh) 501 (Aceh)

H. Obat dan Vaksin Persentase ketersediaan obat dan vaksin di puskesmas terus meningkat dari 75,5% (2014) menjadi 79,4% (2015) dan 81,57% (2016). Upaya menjamin ketersediaan obat dan vaksin dilakukan melalui optimalisasi belanja pusat untuk obat program serta pemanfaatan Dana Alokasi Khusus (DAK) subbidang pelayanan kefarmasian yang meningkat 20% pada tahun 2016. Untuk menjamin mutu dan keamanan obat yang beredar, pengawasan obat terus ditingkatkan. Hingga akhir tahun 2016, obat yang memenuhi syarat sebesar 98,55%. II.

TANTANGAN DAN UPAYA MENGATASI TANTANGAN

1. Angka Kematian Ibu

7


DRAFT 5 APRIL 2017 1) Peningkatan pengetahuan ibu hamil mengenai pentingnya pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan di fasilitas kesehatan; 2) Peningkatan kualitas pelayanan maternal termasuk peningkatan kompetensi SDM, fasilitas kesehatan, dan rumah sakit (RS) mampu PONEK; 3) Peningkatan kualitas rujukan pelayanan kesehatan maternal; dan 4) Perumusan regulasi yang mendukung optimalisasi pelayanan kesehatan maternal. 2. Angka Kematian Balita 1) Peningkatan pengetahuan ibu tentang pola asuh bayi dan anak; 2) Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan anak termasuk diantaranya peningkatan kompetensi SDM, fasilitas kesehatan mampu PONED, dan RS mampu PONEK; 3) Peningkatan kualitas rujukan pelayanan kesehatan anak; 4) Perumusan regulasi yang mendukung optimalisasi pelayanan kesehatan anak terutama JKN; dan 5) Peningkatan Posyandu. 3. Penyakit Menular 1) Perluasan screening wajib pada ibu hamil untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu dan anak; 2) Perluasan penggunaan Metode Tes Cepat Molekuler (TCM) TB ke seluruh RS untuk meningkatkan temuan kasus baru TB; 3) Multi Drug Resistance (MDR) masih tinggi yang berimplikasi pada meningkatnya pembiayaan pengobatan sehingga diperlukan upaya sistematis untuk mencegah MDR dan upaya mencari pengobatan dengan regimen baru; dan 4) Peningkatan kebutuhan logistik, SDM dan pembiayaan untuk HIV/AIDS (obat ARV, reagen dan kit diagnostic) dan TB seiring dengan perluasan screening pada ibu hamil dan penggunaan TCM. 4. Penyakit Tidak Menular 1) Penjangkauan 2/3 penderita PTM yang belum mengetahui bahwa telah mengidap PTM disertai dengan standarisasi pengobatan; 2) Upaya promotif dan preventif untuk pengendalian faktor risiko PTM; dan 3) Peningkatan SDM dan logistik seiring dengan meningkatnya jumlah penderita PTM. 5. Kesehatan Reproduksi 1) Peningkatan partisipasi pendidikan perempuan (wajib belajar 12 tahun) untuk mencegah pernikahan dini; 2) Peningkatan penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP); dan 3) Peningkatan pendidikan kesehatan reproduksi terutama bagi anak usia sekolah. 6. Jaminan kesehatan Nasional 1) Penyempurnaan tarif INA CBGS; 2) Pengembangan sistem kapitasi berbasis kinerja untuk mendorong pelayanan kesehatan preventif dan promotif; dan 3) Menjangkau kepesertaan JKN dari pekerja informal dan pekerja penerima upah. 7. Tenaga Kesehatan 1) Peningkatan kualitas tenaga kesehatan melalui uji kompetensi dan akreditasi institusi pendidikan kesehatan; 2) Meningkatkan keterlibatan organisasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan dalam peningkatan kompetensi dan profesionalisme tenaga kesehatan; 3) Pengembangan skema penempatan tenaga kesehatan terutama untuk daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan (DTPK). 8. Obat dan Vaksin 1) Meningkatkan kemandirian bahan baku obat; 2) Meningkatkan penggunaan obat yang rasional; dan 3) Memperkuat sistem pengawasan obat untuk menekan beredar obat dan vaksin palsu/ tidak memenuhi standar.

8


DRAFT 5 APRIL 2017

9. Data dan Informasi Perbaikan kualitas data dan informasi kesehatan terutama pengembangan sistem pengumpulan data kelahiran dan kematian untuk memantau dan mengevaluasi kemajuan pencapaian pembangunan kesehatan, termasuk pendataan untuk NAPZA dan kecelakaan lalu lintas. III.

1.

2. 3. 4.

5. 6. 7.

INOVASI DAN UPAYA PENTING

A. AKI dan AKB Program Jaminan Persalinan (Jampersal) merupakan program yang dimulai sejak tahun 2011 untuk menyediakan pelayanan gratis untuk ibu hamil dari keluarga miskin. Seiring dengan implementasi JKN, ruang lingkup Jampersal telah disesuaikan untuk membiayai rumah tunggu kehamilan, biaya operasional ibu hamil, tenaga kesehatan dan pendamping, serta biaya transportasi. Pengembangan sistem rujukan maternal neonatal lewat program EMAS (Expanding Maternal and Neonatal Survival) yaitu SIJARI EMAS yang telah berjalan di beberapa kabupaten/kota. Integrasi indikator kesehatan ibu dan anak dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan. Program Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) dan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), mencakup pemenuhan fasilitas kesehatan dasar dan meningkatkan kompetensi tenaga kesehatan terutama bidan untuk dapat memberikan penanganan kesehatan anak. Pemanfaatan Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) untuk pemantauan kesehatan ibu hamil, pertumbuhan dan perkembangan bayi dan anak balita. Penerapan sample registration system (SRS) pencatatan kematian dan penyebab kematian sebagai dasar pengembangan CRVS nasional. Penerapan Civil registration vital statistic (CRVS) tingkat kabupaten/kota untuk meningkatkan pencatatan kematian dan penyebab kematian dengan metode registrasi. CRVS sudah dimulai di beberapa kabupaten/kota (Solo, Pekalongan, Gorontalo, dan Yogyakarta) yang dibiayai oleh APBD.

B. Penyakit menular 1. Penerapan Screening HIV/AIDS pada ibu hamil. 2. Penajaman diagnostik TB dengan menggunakan TCM. 3. Integrasi indikator penyakit menular (HIV/AIDS dan TB) dalam SPM bidang kesehatan. 1.

2. 3. 4.

C. Penyakit Tidak Menular Penetapan Inpres No.1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat yang merupakan gerakan lintas sektor untuk meningkatkan perilaku hidup sehat masyarakat yang didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana serta peningkatan lingkungan hidup sehat. Posbindu PTM berbasis wilayah, sekolah dan tempat kerja. Pelaksanaan kawasan tanpa rokok (KTR) melalui peraturan daerah atau peraturan gubernur/bupati. Integrasi indikator penyakit tidak menular (hipertensi, diabetes dan gangguan jiwa) dalam SPM bidang kesehatan.

D. Kesehatan Reproduksi Generasi Berencana (Genre) merupakan upaya penurunan angka kelahiran usia remaja yang dilakukan melalui pembinaan kesehatan reproduksi remaja dalam rangka penyiapan kehidupan berkeluarga. 9


DRAFT 5 APRIL 2017

1. 2. 3. 4.

E. Jaminan Kesehatan Nasional Ditetapkannya UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN sebagai dasar SJSN bidang kesehatan yang mencakup seluruh penduduk. Peningkatan jumlah fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS kesehatan. Mempermudah sistem pembayaran premi melalui ribuan outlet dan sistem online. Penerapan kapitasi berbasis kinerja untuk mendorong upaya kesehatan preventif dan promotif.

F. Tenaga Kesehatan 1. Program Nusantara Sehat merupakan program penempatan tenaga kesehatan strategis melalui penugasan khusus dan juga berbasis tim untuk memenuhi kebutuhan SDM kesehatan terutama di DTPK. 2. Sistem registrasi tenaga kesehatan sebagai sistem kendali praktek profesi dan pencatatan sebaran tenaga kesehatan dilaksanakan oleh tiga lembaga independen yaitu Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia, Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil Farmasi Nasional. 3. Berdirinya Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM PTKes) yang mengakreditasi seluruh program studi bidang ilmu kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas institusi penghasil tenaga kesehatan. G. Obat dan vaksin 1. Penerapan e-cataloque untuk menjamin transparansi dalam pengadaan obat dan alat kesehatan. 2. Pembentukan konsorsium riset vaksin dengan tujuan pembuatan vaksin baru sesuai dengan karakteristik penyebab penyakit di Indonesia, diantaranya TB dan Demam Berdarah Dengue. IV.

EMERGING ISSUES

1. Pendekatan Keluarga Sebagai Salah Satu Implementasi No One Left Behind Bidang Kesehatan Pendekatan keluarga merupakan pendekatan pelayanan oleh Puskesmas yang mengintegrasikan UKP dan UKM secara berkesinambungan dengan target keluarga, didasarkan pada data dan informasi dari Profil Kesehatan Keluarga. Melalui pendekatan ini, Puskesmas tidak hanya menyelenggarakan pelayanan kesehatan di dalam gedung, namun juga di luar gedung dengan mengunjungi keluargakeluarga di wilayah kerjanya. Pendekatan keluarga bertujuan untuk: 1) meningkatkan akses keluarga terhadap pelayanan kesehatan komprehensif; 2) mendukung pencapaian SPM kabupaten/kota dan provinsi, melalui peningkatan akses dan skrining kesehatan; 3) mendukung pelaksanaan JKN dengan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjadi peserta JKN; dan 4) mengubah cara penemuan semuan jenis kasus dari pasive case detection menjadi active case detection.

10


DRAFT 5 APRIL 2017 Dengan pendekatan keluarga, Puskesmas harus mempunyai data kesehatan keluarga dari seluruh keluarga yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas. Selain itu, puskemas harus mengembangkan indikator keluarga sehat yang terdiri dari 12 indikator prioritas kesehatan, yaitu: 1) Keluarga mengikuti KB; 2) Ibu bersalin di faskes; 3) Bayi mendapat imunisasi dasar Gambar 3.9 Konsep Pendekatan Keluarga lengkap; 4) Bayi diberi ASI eksklusif selama 6 bulan; 5) Pertumbuhan balita dipantau tiap bulan; 6) Penderita TB Paru berobat sesuai standar; 7) Penderita hipertensi berobat teratur; 8) Gangguan jiwa berat tidak ditelantarkan; 9) Tidak ada anggota keluarga yang merokok; 10) Keluarga mempunyai akses terhadap air bersih; 11) Keluarga mempunyai akses/menggunakan jamban sehat; dan 12) Sekeluarga menjadi anggota JKN/askes. 2. Peningkatan Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular Pengaruh industrialisasi mengakibatkan makin derasnya arus urbanisasi penduduk ke kota besar, berdampak pada tumbuhnya gaya hidup yang tidak sehat seperti kurangnya aktifitas fisik, diet yang tidak sehat dan merokok, yang merupakan faktor risiko utama PTM. Meningkatnya faktor risiko PTM tersebut berdampak pada meningkatnya kasus PTM yang berkontribusi pada 69% dari seluruh kematian di Indonesia. Penyakit tidak menular adalah penyakit kronis dengan durasi yang panjang dengan proses penyembuhan atau pengendalian kondisi klinisnya yang umumnya lambat, serta membutuhkan biaya yang besar dan teknologi tinggi. Dengan meningkatnya PTM, beban pembiayaan pemerintah dan masyarakat akan meningkat. Kelompok penduduk termiskin akan paling terdampak oleh adanya risiko pengeluaran katastropik untuk PTM dan penurunan produktivitas, yang pada akhirnya memperparah kondisi kemiskinannya. Oleh sebab itu, pengendalian faktor risiko PTM harus menjadi perhatian pemerintah ke depan. 3. Penggunaan Obat yang Tidak Rasional Meningkatnya akses dan ketersediaan obat yang terjangkau di masyarakat dihadapkan pada tantangan penggunaan obat yang rasional. Menurut WHO, penggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dan dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat banyak. Dengan semakin meningkatnya akses, masyarakat sering melakukan pengobatan sendiri. Namun, seringkali persyaratan penggunaan obat rasional tidak diikuti. Obat-obatan juga diresepkan dan diberikan secara tidak tepat, efektif dan efisien, ditambah dengan kesulitan mendapatkan akses terhadap obat esensial. Oleh sebab itu, penggunaan obat yang rasional harus menjadi fokus pemerintah guna mencegah dampak penggunaan obat yang tidak tepat yang dapat membahayakan pasien, serta sebagai upaya untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap mutu pelayanan kesehatan.

11


DRAFT 5 APRIL 2017 V. PEMBELAJARAN JKN sebagai Reformasi Sistem Pelayanan Kesehatan JKN merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat untuk mengurangi hambatan finansial penduduk dalam mengakses pelayanan kesehatan. Dengan prinsip “no one left behind�, semua orang diwajibkan memiliki jaminan kesehatan, dimana premi untuk masyarakat miskin ditanggung oleh pemerintah. Sampai dengan akhir 2016, telah terdaftar peserta JKN sebanyak 171,9 juta orang. Indonesia merupakan penyelenggara asuransi kesehatan dengan jumlah peserta terbanyak, terdiri dari peserta penerima bantuan iuran dari pemerintah, pekerja penerima upah baik publik maupun swasta, pekerja mandiri maupun peserta bukan pekerja. Asuransi kesehatan yang dikembangkan ini adalah wujud nyata gotong royong, yang telah lama menjadi akar budaya bangsa Indonesia. Peserta JKN berhak mendapatkan manfaat pelayanan kesehatan yang sangat lengkap, mulai dari rawat jalan hingga rawat inap, sesuai dengan aturan sistem pelayanan kesehatan yang dianut dan indikasi medis. Pada tahap awal, peserta JKN akan dilayani di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama, mencakup pelayanan promotif dan preventif, pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis, tindakan medis sederhana, pemeriksaan laboratorium sederhana, dan lain sebagainya. Apabila membutuhkan pemeriksaan atau tindakan lebih lanjut, pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan lanjutan, untuk konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis, tindakan medis spesialistik, hingga rawat inap. Namun, pelayanan kesehatan tidak berlaku untuk indikasi kosmetik seperti bedah plastik untuk mempercantik diri. Untuk melaksanakan pelayanan kesehatan yang komprehensif tersebut, BPJS Kesehatan telah bekerja sama dengan 20.634 fasiltas pelayanan kesehatan tingkat pertama dan 2.175 fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut. Tabel 3.2. Jenis dan Jumlah Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama No.

Jenis Fasilitas

Jumlah

Tabel 3.3. Jenis dan Jumlah Fasilitas Kesehatan yang Melayani Rujukan Pasien JKN No.

Jenis Fasilitas

Jumlah

1

Puskesmas

8,262

1

RS Tipe A

18

2

Puskesmas Rawat Inap

1,552

2

RS Tipe B

152

3

Dokter praktek

4,614

3

RS Tipe C

329

4

Dokter gigi praktek

1,162

4

RS Tipe D

162

5

Klinik pratama

3,751

5

RS Swasta

1,006

6

Klinik TNI

711

6

RS TNI/POLRI

143

7

Klinik POLRI

568

7

RS Khusus

223

8

RSD pratama

14

8

Lain-lain

142

Total Sumber: BPJS Kesehatan

20,634

Total

2,175

Sumber: BPJS Kesehatan

Berbagai perbaikan akan terus dilakukan oleh pemerintah secara bertahap untuk memperbaiki berbagai kekurangan yang ada. Pelaksanaan JKN menjadi ruang bagi pemerintah untuk menggunakan anggaran kesehatan dengan lebih efektif dan efisien.

12


DRAF 5 APRIL 2017

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN TUJUAN 5: MENCAPAI KESETARAAN GENDER DAN MEMBERDAYAKAN KAUM PEREMPUAN Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan bukan hanya merupakan Tujuan 5 SDGs, tetapi terkait dengan hampir seluruh tujuan SDGs dengan masing-masing target spesifiknya. Pada tahun

ini, indikator gender pada SDGs yang dilaporkan meliputi diskriminasi terhadap perempuan, perkawinan usia anak, kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan, akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi, serta penggunaan teknologi untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan. Laporan ini dibuat melalui kerjasama berbagai pihak, yaitu pemerintah, organisasi kemasyarakatan, filantropi dan bisnis, serta akademisi dan pakar. Uraian pada laporan VNR ini mencakup analisis trend dan keberhasilan, tantangan dan cara mengatasi tantangan, inovasi dan upaya penting pencapaian tujuan, emerging issues, dan pembelajaran. I. ANALISIS TREND DAN KEBERHASILAN A. Mengakhiri Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Kaum Perempuan

Target untuk mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan antara lain tercermin dari meningkatnya jumlah perundang-undangan/kebijakan yang mendukung kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Pancasila sebagai Ideologi Negara (khususnya sila "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab�) menjamin hak untuk memperoleh perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif untuk laki-laki dan perempuan. Sedangkan UUD 1945 sebagai Hukum Dasar dan Landasan Konstitusional memberikan kepastian hukum untuk berlaku adil serta pelakuan yang sama. Selain itu Indonesia telah ikut meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women) yang diterjemahkan menjadi UU Nomor 7 Tahun 1984 dimana Indonesia berkomitmen untuk menghilangkan segala bentuk diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin, baik dibidang ekonomi maupun politik. Kebijakan-kebijakan penting yang terkait kesetaraan gender di Indonesia meliputi: 1. Inpres Nomer 9 Tahun 2000 yang mengharuskan pelaksanaan PUG di semua sektor pembangunan, di semua tingkat pemerintahan untuk mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. 2. UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, mengatur penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagai penghormatan terhadap hak asasi manusia tanpa adanya diskriminasi gender. 3. UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, mengatur perlindungan bagi perempuan dan anak. 4. UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum, menjamin keterlibatan perempuan dalam Pemilu, yang mengatur persyaratan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.


DRAF 5 APRIL 2017

5. Perpres Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial, mengatur perlindungan perempuan dan anak disaat terjadinya konflik sosial 6. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, mengatur mengenai partisipasi warga (termasuk perempuan) dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pembangunan desa. 7. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 6 Tahun 2015 tentang Sistem Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Peraturan Mentri ini mengatur mengenai akses perempuan dan anak dalam pelayanan di bidang ekonomi, politik, hukum, sosial, dan budaya. 8. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 136 & 137 tentang Kesehatan Reproduksi mengatur tanggung jawab Pemerintah untuk memberikan informasi, pendidikan dan layanan kesehatan reproduksi untuk remaja B. Menghilangkan semua praktek berbahaya Terhadap Perempuan dan Anak Perempuan. Kemajuan dalam hal ini ditunjukkan oleh: (1) Menurunnya proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum berusia 15 tahun dan sebelum berusia 18 tahun; (2) Menurunnya perkawinan usia anak; (3) Meningkatnya median usia kawin pertama perempuan; (4) Menurunnya angka kelahiran pada remaja; dan (5) Meningkatnya APK SMA/SMK/MA/sederajat (laki-2 dan perempuan). Uraian masing-masing indikator adalah sebagai berikut: Perkawinan Usia Anak Gambar 5.1. menunjukkan proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin atau berstatus hidup bersama sebelum umur 15 tahun dan sebelum umur 18 tahun yang cenderung menurun. 30.0

27.4

25.8

24.5

24.7

25.0

24.2

24.3

22.8

22.4

25.0 20.0 15.0 10.0 5.0

3.0

2.5

2.5

2.4

2.0

1.9

1.8

1.1

1.1

2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

0.0 Usia Perkawinan Pertama < 15 tahun

Usia Perkawinan Pertama < 18 tahun

Gambar 5.1. Prevalensi Perkawinan Usia Anak di Indonesia, 2008-2016 Sumber: BPS, Susenas 2008-2016 Data menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan yang menikah di usia anak masih hidup dalam rumah tangga pada tingkat kesejahteraan terendah1. Data pada tahun 2016 menunjukkan bahwa sekitar 2 dari 10 perempuan usia 20-24 tahun yang pernah kawin, menikah pertama kali sebelum usia 18 tahun. Angka tersebut lebih rendah hampir 20% dibandingkan tahun 2008, meskipun demikian tren selama 1

Kemajuan yang Tertunda, Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia, BPS dan UNICEF, 2016


DRAF 5 APRIL 2017 sewindu terakhir menunjukkan penurunan yang lambat. Penurunan yang lebih cepat terjadi pada usia perkawinan pertama kurang dari 15 tahun. Pada tahun 2016 persentase perempuan usia 20-24 tahun yang pernah kawin dan menikah pertama kali sebelum usia 15 tahun telah menurun hingga sepertiga dari angka pada tahun 2008. Median usia kawin pertama perempuan pernah kawin umur 25-49 tahun. Menurunnya prevalensi perkawinan di usia anak berdampak pada meningkatnya median umur kawin pertama. Gambar 5.2 dan Tabel 5.1 menunjukkan median umur kawin pertama perempuan pernah kawin umur 25-49 tahun telah mengalami trend kenaikan dari 17,1 tahun pada tahun 1991 menjadi 20,1 tahun pada 2012. Gambar 5.2.

Tabel 5.1. Median usia kawin pertama perempuan pernah kawin umur 25-49 tahun Perubahan SDKI SDKI 1997 1997 2012 2015 Total Perkotaan Perdesaan

18.6 20.4 17.9

20.1 21.2 19.0

1.5 0.8 1.1

Jika dibandingkan data SDKI 1997 dan SDKI 2012, terlihat bahwa sejak tahun 1997 perempuan telah mulai menunda pernikahan selama satu setengah tahun. Peningkatan median umur kawin pertama lebih tinggi pada perempuan yang tinggal di daerah pedesaan (sebesar 1,1 tahun) dibandingkan daerah perkotaan (sebesar 0,8 tahun). Namun, secara umum, perempuan umur 25-49 tahun yang tinggal di perkotaan menikah dua tahun lebih lambat dibandingkan perempuan yang tinggal di perdesaan (21,5 tahun dibanding 19,1 tahun). Hubungan yang positif terlihat pada median umur kawin pertama dan tingkat pendidikan. Sebaliknya, terdapat hubungan negatif antara median umur kawin pertama dengan tingkat ekonomi. Perempuan pada kuintil kekayaan teratas menikah lebih lambat dibandingkan perempuan pada kuintil kekayaan terbawah. Median umur kawin pertama perempuan umur 25-49 tahun pada kuintil kekayaan teratas adalah 22,6 tahun dan pada perempuan kuintil kekayaan terbawah adalah 19,1 tahun. Pola yang sama juga terjadi pada perempuan pernah kawin umur 25-49 tahun. Angka kelahiran pada perempuan umur 15-19 tahun (Age Specific Fertility Rate/ASFR) Penurunan prevalensi perkawinan usia anak dan meningkatnya median usia kawin pertama

perempuan menyebabkan penurunan angka kelahiran pada perempuan umur 15-19 tahun, seperti terlihat pada Gambar 5.3.


DRAF 5 APRIL 2017

67

80

62

61

60

51

51

48

10.4

8.5

9.5

40 12.2

20

11.2

12.2

0 1991 1994 ASFR 15 - 19 th

1997

2002-03 2007 2012 Persen yang pernah melahirkan

Gambar 5.3. Tren Angka Kelahiran Pada Remaja 15-19 tahun per 1000 kelahiran (SDKI ) Sumber: SDKI Jika diperhatikan Tabel 5.2. Penurunan ASFR tersebut terjadi di daerah perdesaan. Namun demikian ASFR kelompok umur 15-19 perempuan yang tinggal di daerah pedesaan masih dua kali lebih tinggi dibandingkan perempuan yang tinggal di daerah perkotaan. Hal ini antara lain disebabkan oleh median umur kawin pertama di perdesaan masih sekitar 19 tahun, sedangkan di perkotaan sudah mencapai 21,2 tahun (SDKI 2012). Tabel 5.2. Age-Specific Fertility Rates Menurut Wilayah SDKI 1997 32 79 62

Perkotaan Perdesaan Total

SDKI 2012 32 69 48

Perubahan 0 -10 -14

Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA/SMK/MA/ Sederajat. Data capaian pendidikan menunjukkan bahwa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan pada jenjang sekolah menengah sudah tercapai (Gambar 5.4). Hal ini terlihat sejak tahun 2011, dimana rasio APK perempuan terhadap laki-laki pada jenjang SMA/SMK/ MA/sederajat adalah sekitar 100, yang berarti partisipasi perempuan pada jenjang sekolah menengah sama dengan laki-laki.

74.0 74.5

74.0 74.5

66.0 67.2

68.5 69.1

63.9 65.9

2007

63.0 62.7

2006*

59.7 58.4

40.0

59.7 59.2

50.0

56.0 57.4

60.0

62.5 62.6

70.0

74.0 74.5

80.0

Laki-laki Perempuan

30.0 20.0 10.0 0.0 2008

2009

2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016


DRAF 5 APRIL 2017 Gambar 5.4. Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA/SMK/MA/sederajat menurut Jenis Kelamin di Indonesia, 2006-2016 * Angka tahun 2006 hanya mencakup pendidikan formal Sumber: BPS, Susenas 2006-2016 C. Kesempatan Yang Sama Bagi Perempuan Untuk Memimpin Di Semua Tingkat Pengambilan Keputusan Kemajuan yang dicapai dalam rangka menjamin partisipasi penuh dan efektif, dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan masyarakat dapat dilihat dari: (1) Meningkatnya proporsi perempuan di lembaga legislatif di tingkat pusat dan di sejumlah daerah; dan (2) Meningkatnya proporsi perempuan yg berada di posisi managerial. Uraian masing-masing indikator adalah sebagai berikut: Proporsi Kursi yang Diduduki Perempuan di Lembaga Legislatif di Tingkat Pusat Proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR tingkat nasional memiliki trend meningkat, walaupun berfluktuasi (Gambar 5.5). Pada pemilu tahun 2004 keterwakilan perempuan di DPR sebesar 11,84% dan meningkat menjadi sebesar 17,86% pada tahun 2009. Namun pada tahun 2014 sedikit menurun menjadi 17,3%.

17.32

2009

2014

8.80

11.82

12.50

12.40

11.80 9.13

8.04

10

6.74

15

5.88

Persentase

20

17.86

25

5 0 1955

1971

1977

1982

1987 1992 1997 Tahun Pemilu

1999

2004

Gambar 5.5. Persentase Anggota DPR Perempuan Hasil Pemilu Tahun 1950-2014 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015 Selain itu, setiap provinsi mempunyai empat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Gambar 5.6 menunjukkan pada periode 2014-2019 terdapat 3 provinsi yang mempunyai anggota DPD perempuan lebih banyak dari laki-laki (3 banding 1), 6 propinsi memiliki anggota DPD perempuan dan laki-laki sama (masing-masing 2 orang), serta 13 provinsi mempunyai anggota DPD perempuan lebih sedikit dibanding laki-laki (1 banding 3). Sebelas propinsi lainnya tidak memiliki anggota DPD perempuan.


DRAF 5 APRIL 2017

4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 1 1 1

Jumlah

3 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 3 3 3 0

Laki-laki

Perempuan

Gambar 5.6. Jumlah Anggota DPD Perempuan Periode 2014-2019 menurut Provinsi Sumber Badan Pusat Statistik, 2015 Proporsi perempuan yang berada di posisi managerial Gambar 5.7. menunjukkan proporsi perempuan di posisi managerial (Eselon 1-IV) di lembaga eksekutif yang cenderung meningkat dalam periode 2011-2015, walaupun pada tahun 2015 menurun dibanding tahun 2014.

Persentase

25.86 24.54 15.85

32.38

33.39

31.12

31.18

19.58 16.41

9.17

12.84

20,60 20.09

34.39

30.47 21.19 20.66

15.04

16.39

2013

2014

33.19

Eselon I

32.64

Eselon II

19.72

Eselon III

15.67

Eselon IV Eselon V

13.04

8,30 2011

2012

2015

Gambar 5.7. Persentase PNS Perempuan yang Menduduki Jabatan Eselon IIV Tahun 2011-2015 Sumber: BPS RI, Statistik Indonesia 2012-2016/Badan Kepegawaian Negara D. Akses Universal Terhadap Kesehatan Seksual Dan Reproduksi Capaian dalam menjamin akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi seperti yang telah disepakati dalam Programme of Action dari ICPD (the International Conference on Population and Development; the Beijing Platform for Action) adalah sebagai berikut:

Unmet need KB (Kebutuhan Keluarga Berencana/KB yang tidak terpenuhi).


DRAF 5 APRIL 2017 Unmet need mengindikasikan demand terhadap alat dan obat kontrasepsi yang tidak terpenuhi. Pengetahuan, biaya, dan jarak dari tempat tinggal ke fasilitas layanan, dan belum optimalnya kualitas layanan dapat menjadi faktor penyebab unmet need. Data menunjukkan, terjadi penurunan unmet need dari 17,0% pada tahun 1991 menjadi 13,1% dan 11,4% pada tahun 2007 dan 2012. Namun angka ini masih tinggi, di atas Unmet need nol persen sesuai harapan universal coverage. 17

1991

15.3

13.6

1994

1997

13.2

2003

13.1

2007

11.4

2012

Gambar 5.8. Tren Unmet Need di Indonesia (SDKI 1991 – 2012) Pengetahuan dan pemahaman Pasangan Usia Subur (PUS) tentang metode kontrasepsi modern. Gambar 5.9. menunjukan pengetahuan tentang metode kontrasepsi untuk semua perempuan kawin umur 15-49 dan pria kawin umur 15-54. Hampir semua perempuan dan pria kawin di Indonesia (99 % dan 97 %) pernah mendengar dan mengetahui paling tidak satu alat/cara KB. Hampir semua responden yang mengetahui paling tidak satu alat/cara KB tersebut mengetahui tentang alat/cara KB modern.

Suatu Cara

Suatu Cara Modern 99.0 98.9

98.6 98.3

97.3 97.2 94.5 94.1

Perempuan Menikah

Laki-laki Menikah 2007

Perempuan Menikah

Laki-laki Menikah 2012

Gambar 5.9. Pengetahuan PUS Tentang Alat KB Sumber: SDKI Tahun 2007 - 2012 Suntikan dan pil merupakan alat/cara KB yang paling banyak diketahui oleh perempuan di Indonesia (96 %). Di antara metode kontrasepsi modern, metode yang paling sedikit diketahui responden adalah kontrasepsi darurat, diafragma, dan metode amenore laktasi (MAL). Secara umum, pria kurang mengetahui tentang metode kontrasepsi daripada perempuan, kecuali untuk kondom di mana pengetahuan pria lebih tinggi daripada perempuan. Perempuan mengetahui rata-rata 7 metode kontrasepsi, sedangkan pria kurang dari 6 metode kontrasepsi.


DRAF 5 APRIL 2017

Undang-undang atau Peraturan Pemerintah (PP) yang menjamin perempuan umur 15-49 tahun untuk mendapatkan pelayanan, informasi dan pendidikan terkait kesehatan seksual dan reproduksi Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pada pasal 136 & 137 tentang Kesehatan Reproduksi mengatur tanggung jawab Pemerintah untuk memberikan informasi, pendidikan dan layanan untuk remaja selama itu tidak bertentangan dengan norma moral dan agama. Lebih lanjut sebagai pelaksanaan UU tentang Kesehatan, maka Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dalam Pasal 8 ditegaskan bahwa setiap perempuan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan ibu untuk mencapai hidup sehat dan mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu. Pelayanan kesehatan ibu harus dilakukan sedini mungkin mulai dari masa remaja sesuai dengan perkembangan mental dan fisik. Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan ibu melalui: 1. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja 2. Pelayanan Kesehatan Masa sebelum Hamil, Hamil, Persalinan, dan Sesudah Melahirkan 3. Pengaturan Kehamilan, pelayanan kontrasepsidan kesehatan seksual

4. Pelayanan Kesehatan Sistem Reproduksi. Sementara UU No. 52 tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, Pasal 20-22 menjelaskan bahwa pemerintah menyelenggarakan Program KB yang bertujuan antara lain untuk meningkatkan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling, dan pelayanan KB dan Kespro. Selanjutnya Pasal 23 menjelaskan Pemerintah dan Pemda wajib meningkatkan akses dan kualitas informasi pendidikan, konseling, dan pelayanan kontrasepsi.

E. Meningkatkan penggunaan teknologi yang memampukan, khususnya teknologi informasi & komunikasi untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan Proporsi individu yang menguasai/memiliki telepon genggam Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah menghadirkan berbagai kemudahan dan membuka peluang bagi seluruh manusia, termasuk untuk para perempuan agar lebih berdaya dengan membuka akses bagi perempuan terhadap ilmu pengetahuan untuk kepentingan pendidikan maupun pengembangan karir, memberi peluang untuk menjadi pengusaha sambil tetap menjalankan peran domestiknya, serta memungkinkan perempuan untuk berinteraksi dengan komunitas yang lebih luas.

64.4

63.4

52.1

50.4

2015

Laki-laki

Perempuan

2016

Gambar 5.10. Proporsi individu yang menguasai/memiliki telepon genggam menurut jenis kelamin di Indonesia, 2015-2016


DRAF 5 APRIL 2017 Sumber: BPS, Susenas 2015-2016 Gambar 5.10. menunjukkan peningkatan proporsi individu (perempuan dan laki-laki) di Indonesia yang menguasai/memiliki telepon genggam dalam dua tahun terakhir. Persentase perempuan yang memiliki telepon genggam lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Beberapa faktor yang menghambat perempuan dalam mengakses teknologi informasi, termasuk telepon genggam, adalah biaya, kemampuan membaca dan penguasaan bahasa, termasuk juga peran perempuan dalam pengambilan keputusan di rumah tangga.2

II. TANTANGAN DAN CARA MENGATASI 1. Keterwakilan perempuan di parlemen belum mencapai 30% seperti ditargetkan dalam affirmative action (UU No. 8/ Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum), karena streotipi gender yang mengatakan bahwa politik adalah ranah kaum laki-laki. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan pemahaman ranah politik juga mencakup kaum perempuan dalam bentuk sosialisasi, public awareness dan program pengkaderan serta peningkatan kapasitas secara berkala kepada kader maupun caleg perempuan. 2. Masih tingginya angka ASFR 15-19 tahun yaitu 48 per 1000 perempuan yang disebabkan rendahnya usia kawin pertama perempuan, dan tingginya angka pernikahan anak. diperlukan upaya promosi melalui program KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) di masyarakat dan institusi formal dan meningkatkan APK SMA/MA/SMK/sederajat. 3. Regulasi pada Pengarus Utamaan Gender (PUG) di Indonesia sudah cukup kuat, namun implementasinya masih menghadapi tantangan seperti mindset dan political will terkait PUG yang masih beragam, dan ketersediaan data terpilah yang belum optimal. Diperlukan peningkatan pemahaman dan pengetahuan (best practices) serta mempelajari dan mengidentifikasikan apa yang berhasil dan apa yang tidak berhasil. Selain itu, perlu dilakukan adalah dengan fokus pada kasus yang operasional tanpa harus menanti semua prasyarat untuk melakukan PUG terpenuhi. Meskipun kecil dalam skala, tetapi lebih strategis dan instrumental untuk mencapai tujuan.

III. INOVASI DAN UPAYA PENTING PENCAPAIAN TUJUAN Inovasi dalam pelaksanaan PUG terkait penetapan dasar hukum: 1. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, yang menginstruksikan kepada seluruh kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah untuk mengintegrasikan gender pada setiap tahapan proses pembangunan (perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi) pada seluruh bidang pembangunan. 2. Rencana Pembangunan Nasional (jangka panjang-20 tahun, menengah-5 tahun, dan pendek-1 tahun) sejak tahun 2000 - saat ini menetapkan gender sebagai salah satu prinsip pengarusutamaan untuk seluruh program/kegiatan pembangunan. Kebijakan PUG diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan dan penganggaran, yang memuat kebijakan, indikator, dan sasaran yang terpilah gender dari berbagai K/L, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait dalam penyusunannya.

2

Hafkin, N. J., & Taggart, N. (2001). Gender, information technology, and developing countries: An analytic study. Office of Women in Development, Bureau for Global Programs, Field Support and Research, United States Agency for International Development.


DRAF 5 APRIL 2017 3. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 119/PMK.02/2009 yang terus diperbaharui setiap tahun dan menjadi PMK Nomor 163 tahun 2016 terkait dengan penyusunan dan penelaahan rencana kerja dan anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-K/L), yang di dalamnya memuat Anggaran Responsif Gender (ARG). 4. Permendagri No. 67/2011 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah, sebagai bentuk upaya percepatan kelembagaan PUG di Pemerintah Daerah. 5. Strategi Nasional Percepatan PUG melalui PPRG (Stranas PPRG) 2012-2014 yang disertai dengan Petunjuk Pelaksanaan PPRG untuk K/L dan Pemerintah Daerah dan ditandatangani melalui Surat Edaran Bersama (SEB) empar Menteri yaitu Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, Menteri PP dan PA, dan Menteri Dalam Negeri. Tujuan disusunnya Stranas PPRG adalah agar pelaksanaan PUG dalam tataran siklus pembangunan menjadi lebih terarah, sistematis dan sinergis, serta berkelanjutan, baik di tingkat nasional, maupun di tingkat daerah. 6. UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang memandatkan ‘partisipasi perempuan’ dalam pelaksanaan pembangunan desa, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan pembangunan desa. 7. PP dan PA No. 6 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Data Gender dan Anak, yang bertujuan untuk membantu K/L dalam penyusunan PPRG. Peraturan menteri tersebut diperbaharui denganPermen PP dan PA No. 5 Tahun 2014 tentang Sistem Penyelenggaraan Data Gender dan Anak Inovasi terkait tools/alat bantu pelaksanaan strategi PUG melalui PPRG: 1. Pada tahun 1998 dilakukan pengembangan peranti analisis gender yaitu GAP (Gender Analysis Pathway) oleh Bappenas bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Canadian International Development Agency (CIDA). GAP merupakan peranti analisis gender khusus untuk para perencana dalam melakukan analisis dan perumusan kebijakan/program/kegiatan pembangunan agar menjadi responsif gender. 2. Dalam rangka mempercepat pelaksanaan PUG, perspektif gender tidak hanya diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan tetapi juga penganggaran. Kemudian Kementerian Keuangan mengembangkan peranti untuk penganggaran yang responsif gender yaitu Gender Budget Statement (GBS), yang kemudian dikenal dengan Lembar Anggaran Responsif Gender (Lembar ARG). Inovasi terkait implementasi PUG di Kementerian/Lembaga/Pemda: 1. Anugerah Parahita Ekapraya (APE) merupakan bentuk penghargaan bagi K/L dan Pemda yang peduli terhadap kesejahteraan perempuan dan laki-laki dalam upaya perwujudan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak. APE tahun 2016 yang mendapatkan penghargaan kategori mentor untuk tingkat K/L yaitu: Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dan Kementerian Pertanian; tingkat Provinsi yaitu: Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Kepulauan Riau; dan tingkat Kabupaten/Kota yaitu: Surabaya, Badung, Denpasar, Bandung, dan Rembang. 2. Komitmen yang kuat dari Kementerian Keuangan dalam pelaksanaan PUG dapat terlihat dari beberapa inovasi berikut yaitu: 1) perlombaan implementasi PUG tahunan pada satker vertikal lingkup Kementerian Keuangan; 2) Kantor Pajak Ramah Anak di KPP Pratama Demak yang memiliki ruang khusus bermain bagi anak; 3) jalur layanan khusus bagi perempuan hamil, lansia, dan penyandang disablitasi di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Surakarta dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Subang; dan 4) integrasi isu gender dalam SOP kegiatan diklat di Balai Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Palembang melalui penyediaan kamar khusus (double bed) dan ruang bermain anak bagi peserta diklat yang memiliki balita.


DRAF 5 APRIL 2017 3. Inovasi juga ditunjukkan oleh Kementerian Pertanian, antara lain: 1) alat analisis gender MultiDimension Scaling yaitu pengembangan piranti analisis gender yang digunakan untuk menemukan isu gender pada program/kegiatan yang diadaptasi dari metode evaluasi di bidang perikanan (Rapfish Software berbasis MS Excel); dan 2) integrasi gender dalam kebijakan teknis seperti Pedoman Pengelolaan Kegiatan Responsif Gender, Panduan Sistem Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Kegiatan Kementerian Pertanian, Pedoman Pengelolaan Irigasi Partisipatif yang Responsif Gender. 4. Inovasi di Kementerian Pendidikan adalah ditetapkannya Permendiknas No. 84 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan dan Kerangka Kerja Pegarusutamaan Gender Bidang Pendidikan, sebagai berikut.

5. Untukmengetahui prevalensi kekerasan kekerasan terhadap perempuan, Kementerian PP dan PA bekerjasama dengan BPS melakukan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) pada akhir tahun 2016 untuk pertama kali.

IV. EMERGING ISSUES Isu Kekerasan terhadap Perempuan tercantum pada Tujuan 5 SDGs yaitu Target 5.2 Menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan di ruang publik dan pribadi, termasuk perdagangan orang dan eksploitasi seksual, serta berbagai jenis eksploitasi lainnya. Adapun indikator yang diukur adalah: (1) Proporsi perempuan dewasa dan anak perempuan (umur 15-64 tahun) mengalami kekerasan (fisik, seksual, atau emosional) oleh pasangan atau mantan pasangan dalam 12 bulan terakhir; (2) Prevalensi kekerasan terhadap anak perempuan; (3) Proporsiperempuan dewasa dan anak perempuan(umur 15-64 tahun) mengalami kekerasan seksual oleh orang lain selain pasangan dalam 12 bulan terakhir; (4) Persentase korban kekerasan terhadap perempuan yang mendapat layanan komprehensif. Untuk mengukur indikator kekerasan terhadap perempuan, saat ini BPS melakukan Survei Kekerasan terhadap Anak (SKtA) dan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN). Survei Kekerasan terhadap Anak (SKtA) Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), BPS, Kementerian PPN/Bappenas melakukan kerja sama untuk Survei Kekerasan terhadap Anak (SKtA) untuk pengukuran indikator kekerasan terhadap anak perempuan. Data tentang kekerasan anak sangat terbatas dan kurang comprehensive, selama ini hanya dari laporan kasus, bersifat administratif dan bukan prevalensi. Survei-survei terkait kekerasan (SDKI, Riskesdas, MICS) masih terbatas, baik secara


DRAF 5 APRIL 2017 metodologi maupun geografis. RPJMN tahun 2010-2014 menjadikan data perlindungan anak sebagai salah satu prioritas, hal ini menjadi suatu tantangan tersendiri bagi Pemerintah Indonesia, karena data dan informasi yang menyeluruh akan menjadi dasar untuk merencanakan, mengimplementasikan, memonitor, mengevaluasi kebijakan dan program perlindungan anak dengan tepat. Untuk itu Kemensos, melalui Badiklit mengadakan Survei Kekerasan terhadap Anak (SKtA) dengan metodologi yang kuat untuk mendapatkan data Prevalensi atau gambaran estimasi. Kuesioner yang digunakan merupakan kuesioner yang dikembangkan oleh Centre of Disease Control and Prevention (CDC Atlanta/USA), yang telah digunakan di beberapa negara serta diadaptasi sesuai kondisi di Indonesia. Oleh karenanya perlu dilakukan 3 adaptasi kuesioner agar sesuai dengan situasi dan budaya Indonesia. Survei ini juga mempertimbangkan Etik dan Perlindungan Anak, dengan melampaui ethical clearance dari Komite Etik, Litbangkes /Kemenkes dan memperoleh Ethical Approval dengan nomor: LB.02.01/5.2/KE.24.5/2013 tanggal 13 Juni 2013. Namun demikian survei ini masih memeiliki keterbatasan, diantaranya: (1) data konteks pada setiap responden yang mengalami lebih dari satu kejadian untuk setiap jenis kekerasan tidak dapat dikumpulkan; (2) seorang dewasa yang memiliki pengalaman kekerasan seksual pada masa kanak-kanak dan tidak mengingat kembali kejadian tersebut, (recall bias) khususnya saat kejadian kekerasan seksual pada usia yang sangat muda oleh seseorang yang kenal dengan korban; (3) Ada kecenderungan responden kurang mengemukakan suatu kejadian jika pelakunya dikenal oleh mereka. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), BPS, Kementerian PPN/Bappenas melakukan kerja sama untuk Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016. Survei ini dilakukan dalam rangka untuk mengumpulkan data yang terkait dengan pengalaman hidup perempuan Indonesia, yang dapat digunakan sebagai indikator untuk menyusun kebijakan dan evaluasi program perlindungan hak-hak perempuan serta menyajikan data serta informasi yang bermanfaat untuk kajian maupun penyadaran semua pihak bahwa kaum perempuan itu harus dilindungi. Adapun tujuan khusus pelaksanaan SPHPN adalah untuk: (1) Mengetahui prevalensi perempuan yang pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya; (2) Mengetahui prevalensi perempuan yang pernah mengalami kekerasan dari selain pasangan; (3) Mengetahui prevalensi yang pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangan dan atau selain pasangan.

. V. PEMBELAJARAN 1. Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan (Musrenbang) Perempuan - Tingkat Kabupaten di Lombok Timur dan Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, 2016 3 Musrenbang perempuan merupakan salah satu inisiatif penerapan kebijakan di Indonesia terutama Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasionaldi Indonesia. Secara umum, Musrenbang Perempuan di Indonesia belum populer bahkan hanya sedikit pemerintah daerah memiliki komitmen untuk menyelenggarakannya. Kabupaten Lombok Timur

3

Ditulis oleh Tim Institut KAPAL Perempuan, sebuah organisasi perempuan non pemerintah yang didirikan tahun 2000 dengan kegiatan utama melakukan pemberdayaan perempuan melalui pendidikan kepemimpinan perempuan untuk membangun kesadaran kritis yang berkeadilan gender dan inklusif. Kontak person: Misi dan Justin, email: misi@kapalperempuan.org, office@kapalperempuan.org, telp. 021-7988875, website: www.kapalperempuan.org


DRAF 5 APRIL 2017 dan Lombok Utara merupakan salah pemerintah kabupaten yang mempelopori Musrenbang Perempuan di provinsi Nusa Tenggara Barat.

Musrenbang perempuan ini berperan dalam mengisi kesenjangan musrenbang reguler yang selama ini cenderung meninggalkan kepentingan perempuan sehingga menghambat upaya kesetaraan gender. Musrenbang Perempuan telah dirasakan manfaatnya oleh perempuan terutama dalam mewadahi partisipasi, membuka akses untuk menyuarakan kepentingan perempuan agar masuk kedalam kebijakan, program dan penganggaran pemerintah. Dengan demikian, Musrenbang perempuan berkontribusi dalam mendorong terwujudnya perencanaan dan penganggaran yang pro-poor dan responsif gender. Musrenbang perempuan juga merupakan upaya melibatkan kelompok yang selama ini tertinggal dalam pembangunan, merealisasi “No one left behind” dan secara khusus “No woman left behind”. Musrenbang Perempuan dapat terwujud dari adanya kolaborasi antara pemerintah daerah, organisasi perempuan dan kelompok perempuan dari kalangan akar rumput. Keberhasilan mengembangkan inisiatif musrenbang perempuan ini dipengaruhi oleh tiga pihak yaitu:  Keterbukaan kepala daerah dalam hal ini bupati dan wakil bupati, dan komitmen dan kemauan keras dari para SKPD dalam hal ini Bappeda, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, serta BPMPD dari kedua kabupaten, Lombok Timur dan Lombok Utara Propinsi NTB.  Inisiatif dan dorongan dari masyarakat sipil khususnya gerakan perempuan yaitu organisasiorganisasi perempuan yang melakukukan upaya-upaya pemberdayaan perempuan yang tergabung dalam “Gerakan Gender Watch” di NTB yaitu Lembaga Pemberdayaan Sumber Daya Mitra (LPSDM), Nusa Tenggara Barat dan Institut KAPAL Perempuan, Jakarta.  Kesiapan perempuan terutama perempuan akar rumput yang telah memiliki kesiapan berpartisipasi. Mereka telah memiliki kapasitas untuk mengidentifikasiisu-isu gender, melakukan analisa dan kemampuan menyuarakan kepentingannya dalam forum-forum pengambilan keputusan. Kapasitas ini diproses oleh LPSDM dan Institut KAPALPerempuan melalui pendidikan non formal yaitu Sekolah Perempuan yang dikembangkan di desa-desa. Musrenbang Perempuan di Lombok Timur dan Lombok Utara ini telah mencapai tujuan sebagaimana yang diharapkan, antara lain (a) mendorong peningkatan partisipasi perempuan kelompok perempuan independent diluar PKK, khususnya perempuan miskin dan kelompok marjinal untuk terlibat dalam proses perencanaan pembangunan, (b) memastikan isu-isu perempuan dan kelompok marginal masuk dalam perencanaan dan penganggaran sebagai upaya mengisi kesenjangan dalam musrenbang reguler selama ini lebih mementingkan pembangunan fisik seperti pembangunan jalan dan jembatan; (c)


DRAF 5 APRIL 2017 mempersiapkan keterwakilan perempuan untuk menjadi tim delegator pada Musrenbang reguler supaya dapat mengawal usulan perempuan masuk dalam dokumen perencanaan dan penganggarannya. Program dan anggaran yang berhasil didorong melalui proses Musrenbang Perempuan ini adalah: 1. Di Lombok Utara:  Tahun 2017 pemerintah kabupaten Lombok Utara mereplikasi “Sekolah Perempuan” sebuah model pemberdayaan perempuan untuk kesetaraan gender yang dikembangkan oleh organisasi LPSDM dan Institut KAPAL Perempuan dalam Gerakan Gender Watch.  Pemerintah kabupaten Lombok Utara memasukkan Sekolah Perempuan menjadi program pemerintah untuk meningkatkan kesetaraan gender dalam RPJMD tahun 2016-2021 di 33 desa.  Pemerintah kabupaten Lombok Utara memberikan prioritas pencegahan dan penghentian perkawinan anak dengan mengintervensi hukum adat atau Awig-Awig di Desa Bayan kecamatan Bayan Lombok Utara  Tahun 2017 ini di kabupaten Lombok Utara akan menjadi musrenbang Perempuan dan Anak dari kelompok remaja dan kelompok muda (pemuda dan mahasiswa). 2. Di Lombok Timur:  Kabupaten Lombok Timur menyediakan anggaran untuk partisipasi perempuan dengan mendanai Musrenbang Perempuan pada tahun 2016 sebesar Rp. 12.000.000 dan pada tahun 2017 sebesar Rp. 25.400.000 yang mencakup 20 kecamatan.  Dinas Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak menganggarkan kegiatan Pendidikan Politik untuk Perempuan sebesar Rp. 54.890.000,-. Program dan penganggaran ini dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik.  Bappeda Kabupaten Lombok Timur bekerjasama dengan LPSDM dan Mitra Samya menyusun Modul Musrenbang yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan Musrenbang Perempuan.  Pemerintah kabupaten Lombok Timur memberikan prioritas pencegahan dan penghentian perkawinan anak dengan mengintervensi hukum adat atau Awig-Awig di Desa Montong Betok kecamatan Montong Gading, Lombok Timur yang isinya mencegah perkawinan anak.

1. 2.

Pelaksanaan Musrenbang Perempuan Kabupaten Lombok Utara 2016 dan Peserta Musrenbang perempuan dari delegasi Anggota Sekolah Perempuan di Kabupaten Lombok Utara Tahun 2016 Anggota Sekolah Perempuan aktif dalam Proses Diskusi Klinis (Musrenbang Perempuan Kabupaten Lombok Timur Tahun 2014)


DRAF 5 APRIL 2017

Usulan Prioritas Masing-masing kelompok yang akan difinalisasi oleh Tim Perumus (Lombok Timur, 2014)

Proses Diskusi Klinis Masing-masing Kelompok (Musrenbang Perempuan Kabupaten Lombok Timur Tahun 2015).

Musrenbang perempuan telah dilaksanakan di Lombok Timur yang pertama pada 24 – 25 Februari tahun 2014 dan kedua pada 24 – 25 Februari 2015, dan sejak tahun 2016 hingga tahun 2017 pelaksanaan musrenbang perempuan sampai pada tingkat kecamatan. Sedangkan di Lombok Utara, Musrenbang Perempuan yang pertama dilaksanakan pada tanggal 22 Maret 2016. Peserta Musrenbang Perempuan terutama perwakilan dari anggota Sekolah Perempuan dipersiapkan untuk mengikuti Musrenbang dan mereka aktif dalam forum terutama dalam mengungkap data, mengidentifikasi masalah, menganalisis penyebab dan menyusun usulan-usulan. Di setiap Musrenbang Perempuan ini rata-rata dihadiri oleh 100 perempuan yang terdiri dari unsur perwakilan SKPD-SKPD (BPMPPKB, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan lain-lain), perwakilan dari semua desa, perwakilan komunitas (anggota Sekolah Perempuan, kelompok minoritas, perempuan miskin), kader perempuan tingkat desa, LSM, media, dan organisasi keagamaan.


VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN TUJUAN 9: MEMBANGUN INFRASTRUKTUR YANG TANGGUH, MENINGKATKAN INDUSTRI INKLUSIF BERKELANJUTAN, SERTA MENDORONG INOVASI

Voluntary National Review (VNR) Tujuan 9 dengan tema “Industri, Inovasi dan Infrastruktur� tahun 2017 membahas sebagian target dan indikator dengan fokus VNR pada pengembangan infrastruktur yang berkualitas, andal, berkelanjutan dan tangguh, promosi industrialisasi inklusif, berkelanjutan dan industri kecil, serta akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi. Fokus tersebut sesuai dengan salah satu sasaran utama serta arah kebijakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan dan percepatan pembangunan infrastruktur untuk pertumbuhan dan pemerataan pembangunan. Peningkatan pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan dititikberatkan pada transformasi industri berkelanjutan, sehingga perekonomian Indonesia akan berbasis kepada nilai tambah ekonomi yang lebih tinggi dan peningkatan partisipasi usaha kecil dan menengah. Lebih jauh, pembangunan industri, inovasi dan infrastruktur tersebut juga dalam jangka panjang diharapkan dapat tumbuh secara signifikan dan berkelanjutan menurunkan kemiskinan, serta meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat.

A. ANALISIS TREN a.1 Mengembangkan Infrastruktur yang Berkualitas, Andal, Berkelanjutan dan Tangguh Indonesia adalah negara dengan ekonomi terbesar ke-16 di dunia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tahun 2016 mencapai 5,02 persen, meskipun belum sesuai harapan namun termasuk salah satu yang tertinggi di dunia dalam kondisi ekonomi global yang masih lesu. Menurut Global Competitiveness Report 2016-2017, Indonesia berada pada peringkat 41 dari 138 negara. Permasalahan di bidang infrastruktur merupakan salah satu tantangan Indonesia untuk memperbaiki peringkat daya saing Indonesia. Tabel 1 menunjukkan peringkat daya saing Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Peringkat daya saing Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia dan Thailand selama periode 2011-2016. Tabel 1. Peringkat Daya Saing Indonesia

Negara Filipina Indonesia Kamboja

2011 75 46 97

Peringkat Indeks Total 2012 2013 2014 65 59 52 50 38 34 85 88 95

2015 47 37 90

2016 57 41 89 1


Peringkat Indeks Total Negara 2011 2012 2013 2014 Malaysia 21 25 24 20 Singapura 2 2 2 2 Thailand 39 38 37 31 Vietnam 65 75 70 68 Sumber: World Economic Forum

2015 18 2 32 56

2016 25 2 34 60

Kualitas infrastruktur Indonesia berada pada skor 4,2, yang berada di bawah rata-rata negara ASEAN dengan skor 4,4. Proporsi biaya logistik Indonesia mencapai 26 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dan dalam peringkat Logistic Performance Index (LPI) Indonesia berada di peringkat 63 dari 160 negara. Kemudian dari Tabel 2 terlihat bahwa Indonesia menempati peringkat ke-4 dalam hal kualitas logistiknya bersama-sama dengan Vietnam di negara ASEAN dilihat dari skor LPI. Penurunan biaya logistik melalui perbaikan infrastruktur bagi Indonesia bukan hanya penting untuk pertumbuhan ekonomi, namun juga untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan, karena dapat meningkatkan aksesibilitas dan keterjangkauan masyarakat terhadap pasokan barang dan jasa. Tabel 2. Logistic Performance Index

Negara 2007 Indonesia 3,01 Laos 2,25 Singapura 4,19 Thailand 3,31 Malaysia 3,48 Filipina 2,69 Vietnam 2,89 Kamboja 2,5 Myanmmar 1,86 Sumber:World bank

2010 2,76 2,46 4,09 3,29 3,44 3,14 2,96 2,37 2,33

Tahun 2012 2,94 3,5 4,13 3,18 3,49 3,02 3 2,56 2,37

2014 3,08 2,39 4 3,43 3,59 3 3,15 2,74 2,25

2016 2,98 2,07 4,14 3,26 3,43 2,86 2,98 2,8 2,46

Percepatan pembangunan infrastruktur diperlukan untuk pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Kawasan Timur. Peningkatan infrastruktur dititikberatkan pada upaya untuk meningkatkan konektivitas nasional, sehingga integrasi rantai nilai domestik ini akan meningkatkan efisiensi ekonomi dan kelancaran arus barang dan jasa antar wilayah di Indonesia. Distribusi barang yang lebih lancar membuat biaya logistik lebih murah, sehingga membuat penduduk di daerah terpencil mendapatkan barang kebutuhan pokok lebih terjangkau. Kondisi tersebut akan membantu meringankan beban pengeluaran, terutama bagi penduduk yang berpendapatan rendah dan miskin.

2


Meski dengan keterbatasan infrastruktur yang ada, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih relatif baik. Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan infrastruktur, terutama Kawasan Timur Indonesia, berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi semakin besar dan lebih inklusif. Tabel di bawah ini menggambarkan perkembangan pembangunan infratruktur yang sesuai dengan target 9.1 SDGs, seperti kondisi jalan nasional, panjang jalan tol, jalur kereta api, bandara dan pelabuhan. Grafik 1. Kondisi Mantap Jalan Nasional Capaian Kemantapan Jalan Nasional (Km) Periode 2010-2014 33,833.72

31,726.46

6,838.26

2010

35,030.77

4,736.11

35,850.44

3,538.97

2011 Mantap

2012 Tidak mantap

36,234.47

2,719.38

2013

2,335.26

2014

Sumber: Buku Informasi Statistik Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (2015)

Kondisi mantap jalan nasional tahun 2010 baru mencapai 82,27 persen dari total jalan nasional 38.564 kilometer. Jalan yang mantap merupakan urat nadi kehidupan masyarakat karena sebagai prasarana mobilitas manusia, serta distribusi barang dan jasa. Persentase jalan mantap yang semakin tinggi akan mendukung kelancaran barang dan jasa, mengurangi biaya logistik dan pada akhirnya menekan inflasi. Inflasi yang rendah, terutama pada bahan makanan, akan mengurangi beban pengeluaran penduduk miskin. Di tahun 2014, panjang jalan nasional meningkat menjadi 38.569 kilometer dengan kondisi jalan mantap mencapai 94 persen, dan target tahun 2019 kondisi jalan mantap nasional mencapai 98 persen.

Grafik 2. Persentase Panjang Jalan Nasional Persentase Panjang Jalan Nasional dalam Kondisi Mantap 2010-2014 (%)

92.95

93.95

90.82 87.72 82.27

2010

2011

2012

2013

2014

Sumber: Buku Informasi Statistik Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (2015)

3


Grafik 3. Panjang Pembangunan Jalan Tol Progres Pembangunan Panjang Jalan Tol di Indonesia (Km) Tahun 2014 949

Beroperasi

905.15

Penandatanganan Perjanjian Konsensi (PPJT)

40.57

233.84

Dalam Proses Tender

Persiapan Tender

Sumber: Buku Informasi Statistik Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (2015)

Disamping menjadi tumpuan mobilitas penduduk secara cepat dan aman, jalan tol juga masih menjadi tumpuan utama pergerakan logistik antar wilayah. Biaya logistik akan lebih murah bila kualitas dan jangkauan jalan tol semakin panjang. Kawasan industri baru juga akan tumbuh di sekitar jalan tol, sehingga akan terjadi penyerapan tenaga kerja maupun pemerataan pusat-pusat pertumbuhan. Sampai dengan tahun 2014 jalan tol yang beroperasi di Indonesia ada sebanyak 33 ruas dengan panjang 949 km. Jalan tol tersebut berada di empat pulau besar, yaitu Sumatera, Jawa, Bali dan Sulawesi. Jalan tol yang dalam tahap penandatanganan Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) telah ada sebanyak 25 ruas dengan panjang 905,15 km. Sementara itu jalan tol yang masih dalam proses tender sepanjang 40,57 km dan persiapan tender sepanjang 233,84 km. Grafik 4. Panjang Pembangunan Jalur Kereta Api Jumlah Kumulatif Pembangunan, Peningkatan dan Rehabilitasi Jalan Rel (Km), 2011-2015 3,567.15 3,131.40 2,655.40 1,834.37

2,036.30

2011

2012

2013

2014

2015

Sumber: Buku Informasi Transportasi (2015)

Disamping menjadi tumpuan mobilitas penduduk, jalur rel kereta api pada akhirnya akan menjadi sarana tumpuan pergerakan barang, karena relatif lebih cepat, murah dan aman sehingga secara signifikan akan mengurangi biaya logistik. Rendahnya biaya logistik bukan hanya mempengaruhi pengurangan inflasi, namun juga medukung pemerataan harga barang antar wilayah. Dalam kurun waktu 2011 hingga 2015, jumlah kumulatif pembangunan, peningkatan dan rehabilitasi rel meningkat sebesar 95 persen, dari 1.834 km menjadi 3.567 km. Sebagian 4


besar panjang jaringan jalan rel kereta api yang beroperasi di Indonesia berada di Pulau Jawa dan Sumatera, namun pada tahun 2015 rel kereta api yang beroperasi bertambah di Pulau Sulawesi dan diikuti dengan Pulau Kalimantan. Grafik 5. Jumlah Bandara Jumlah Bandara Menurut Hierarki Bandar Udara tahun 2015 173

39 10

17

Pengumpul Skala Primer

Pengumpul Skala Sekunder

Pengumpul Skala Tersier

Pengumpan

.

Sumber : Statistik Transportasi Udara 2015, BPS

Disamping memfasilitasi perpindahan orang secara domestik maupun internasional, bandara udara terutama di daerah-daerah terpencil, seperti beberapa wilayah pegunungan dan hutan di Papua, sangat dibutuhkan untuk menembus keterisolasian dan mengurangi ketimpangan. Pada tahun 2015, terdapat 305 jumlah bandara yang terdiri dari 10 bandara pengumpul skala primer, 17 bandara pengumpul skala sekunder, 39 bandara pengumpul skala tersier, 173 bandara pengumpan dan 66 bandara yang belum terklasifikasi. Adapun bandar udara pengumpul skala primer dikategorikan mampu melayani penumpang lebih besar atau sama dengan 5 juta orang per tahun, pengumpul skala sekunder melayani penumpang lebih besar atau sama dengan 1 juta orang dan lebih kecil dari 5 juta orang per tahun, dan pengumpul skala tersier melayani penumpang lebih besar atau sama dengan 500 ribu orang dan lebih kecil dari 1 juta orang per tahun.

5


Grafik 6. Jumlah Pelabuhan Perkembangan Jumlah Pelabuhan di Indonesia 2011-2014 1,739 1,652 1,574 1,495

2011

2012

2013

2014

Sumber: Buku Informasi Transportasi (2015)

Sebagai negara dengan lebih dari 17 ribu pulau dan 70 persen wilayah berupa lautan, prasarana laut sangatlah vital untuk perpindahan manusia dan barang antarpulau. Kelancaran dan rendahnya biaya transportasi laut akan mendukung pergerakan barang lebih murah sehingga perbedaan harga antarpulau akan makin kecil. Bukan hanya inflasi yang menggerus daya beli dan beban pengeluaran berkurang, kondisi ini juga akan mendukung pemerataan maupun keadilan bagi seluruh penduduk Indonesia. Dalam mendukung hal tersebut, pelabuhan merupakan sarana vital penyelenggaraan transportasi laut dalam rangka naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang dari kapal. Hingga tahun 2014, keberadaan pelabuhan laut di Indonesia mencapai 1.739 pelabuhan, atau naik sebesar 244 pelabuhan dari tahun 2011.

a.2 Mempromosikan Industrialisasi Inklusif dan Berkelanjutan Sektor industri merupakan salah satu sektor yang sangat penting dan sebagai penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB nasional. Kontribusi sektor industri dalam pembentukan PDB menjadi yang teratas diikuti oleh sektor pertanian. Namun, kontribusi sektor industri menunjukkan adanya penurunan dari tahun 2008 hingga tahun 2016. Pada tahun 2010, proporsi nilai tambah sektor industri terhadap PDB sebesar 22,04 persen, kemudian mengalami penurunan menjadi 21,03 persen pada tahun 2013. Penurunan terus berlanjut setiap tahunnya hingga tahun 2016 menjadi sekitar 20,51 persen.

6


Grafik 7. Proporsi Nilai Tambah Sektor Industri Manufaktur terhadap PDB dan per Kapita (%) Proporsi Nilai Tambah Sektor Industri Manufaktur terhadap PDB (%), 2010-2016

Proporsi Nilai Tambah Sektor Industri Manufaktur per Kapita (%), 2010-2016

23.55 23.07

6.34 22.04

21.76

21.45

21.03 21.08 20.97

7.04

7.53

8.07

2011

2012

2013

8.83

9.47

9.84

2015

2016

20.51

2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

2010

2014

Sumber: Badan Pusat Statistik

Krisis global pada tahun 2008 menyebabkan perekonomian dunia mengalami perlambatan sehingga menyebabkan permintaan global menurun. Hal tersebut juga berdampak pada penurunan investasi pada beberapa industri, yaitu industri logam dasar bukan besi, industri bambu, kayu, dan rotan, industri minyak dan lemak, industri mesin, industri tekstil, dan industri pengilangan minyak, serta industri barang dari karet. Beberapa industri tersebut merupakan industri yang memiliki multiplier investasi tinggi, sehingga perlambatan investasi yang dialami sektor-sektor tersebut berpengaruh besar terhadap kinerja perekonomian secara keseluruhan. Grafik 8. Kontribusi Industri Pengolahan Migas dan Non-Migas terhadap PDB (%)

Kontribusi Industri Pengolahan Migas dan Non-Migas terhadap PDB (%)

17.99

17.74

17.88

18.19

18.2

3.46

3.29

3.19

2.78

2.31

2013

2014

2015

2016

2012

Industri Batu Bara dan Pengilangan Migas

Industri Pengolahan Non Migas

Sumber: Badan Pusat Statistik

7


Meski secara agregat kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDB menurun, namun tren penurunan yang terjadi terutama pada industri batu bara dan pengilangan migas. Hal tersebut, seiring dengan turunnya harga komoditas di tingkat global. Meskipun tidak tumbuh secara cepat, namun pada industri pengolahan non-migas tren yang terjadi justru sebaliknya yaitu konsisten mengalami peningkatan pada empat tahun terakhir (2013-2016). Berbeda dengan kontribusi sektor industri yang mengalami penurunan, nilai tambah sektor industri per kapita justru mengalami peningkatan. Pada tahun 2010, nilai tambah sektor industri per kapita sebesar Rp 6,34 juta. Peningkatan terus terjadi setiap tahunnya hingga tahun 2016 yang mencapai Rp 9,84 juta.

Grafik 9. Laju pertumbuhan PDB industri manufaktur (%) Laju Pertumbuhan PDB Industri Manufaktur Periode 2011-2016

6.26 5.62 3.79

1.07 2009

2010

2011

2012

4.37

4.64

4.33

4.29

2013

2014

2015

2016

Sumber: Badan Pusat Statistik

Laju pertumbuhan PDB industri manufaktur digunakan untuk mengetahui apakah terjadi kenaikan/penurunan dari nilai tambah industri manufaktur pada periode waktu tertentu dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pada kurun waktu 2011-2016 terlihat bahwa laju pertumbuhan nilai tambah industri manufaktur cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2011, pertumbuhan nilai tambah industri manufaktur sebesar 6,26 persen, kemudian menurun 4,37 persen pada tahun 2013. Selanjutnya pada tahun 2016, pertumbuhan industri manufaktur ada di level 4,29 persen.

8


Grafik 10. Proporsi Tenaga Kerja pada Sektor Industri Manufaktur (%) Proporsi Tenaga Kerja pada Sektor Industri Manufaktur (%) Periode 2010 -2016

13.88 13.54 13.31

13.27

13.29 13.12

12.78 2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

Sumber: Badan Pusat Statistik

Sektor industri manufaktur merupakan lapangan pekerjaan yang cukup banyak menyerap tenaga kerja setelah sektor pertanian, sektor perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi, serta sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan. Sektor industri manufaktur mampu menyerap tenaga kerja lebih dari 12 persen terhadap total tenaga kerja setiap tahunnya. Pada kurun waktu 2010 – 2016, penyerapan tenaga kerja pada sektor industri manufaktur cenderung mengalami sedikit peningkatan. Sektor ini mampu menyerap tenaga kerja sebesar 12,78 persen dari total tenaga kerja pada tahun 2010 dan mengalami kenaikan pada tahun 2012 menjadi 13,88 persen. Namun, kenaikan tersebut tidak berlanjut hingga tahun 2016, dan justru terjadi penurunan pada tahun 2016 menjadi 13,12 persen. Grafik 11. Proporsi Nilai Tambah Industri Kecil terhadap Total Nilai Tambah Industri (%) Proporsi Nilai Tambah Industri Kecil terhadap Total Nilai Tambah Industri (%) 6.28 4.36

3.93

3.74

2.14 1.09

2010

2011

2012

2013

2014

2015

Sumber: Badan Pusat Statistik

Pada kurun waktu 2010 – 2015, proporsi nilai tambah industri kecil terhadap total nilai tambah industri cenderung mengalami peningkatan. Sektor ini mampu memberikan kontribusi terhadap nilai tambah sektor industri sebesar 2,14 persen pada tahun 2010, walaupun sempat mengalami penurunan pada tahun 2011 menjadi 1,09 persen, kontribusi industri kecil mengalami kenaikan selama dua tahun berikutnya hingga tahun 2013 hingga menjadi 6,28 persen. Namun,

9


kenaikan tersebut tidak berlanjut dua tahun kemudian. Pada tahun 2015, terjadi penurunan kontribusi industri kecil menjadi 3,74 persen. a.3 Meningkatkan Akses terhadap Teknologi Informasi dan Komunikasi yang Signifikan Internet menjadi alat yang penting bagi publik untuk mengakses informasi, yang juga relevan dengan keterbukaan fundamental terhadap informasi. Selain itu, internet juga dapat menjadi indikator kunci yang digunakan oleh pengambil kebijakan untuk mengukur pembangunan masyarakat bidang informasi dan pertumbuhan akses internet. Pemerataan akses teknologi informasi dan komunikasi sangat diperlukan untuk mengurangi kesenjangan digital yang pada akhirnya berakibat pada kesenjangan ekonomi. Akses teknologi informasi dan komunikasi dari waktu ke waktu makin penting untuk peningkatan pengetahuan, informasi dan membuka peluang ekonomi. Berdasarkan Grafik 12, persentase penduduk berumur 5 tahun ke atas yang mengakses internet dalam 3 bulan terakhir adalah sebesar 11,09 persen pada tahun 2015 dan jumlah tersebut meningkat menjadi 25,37 persen pada tahun 2016. Hal ini menunjukkan peningkatan akses terhadap internet lebih dari dua kali lipat dalam waktu satu tahun Hingga pertengahan tahun 2014, 361 kabupaten/kota (72 persen dari total 497 kabupaten/kota) dijangkau oleh jaringan tulang punggung (backbone) serat optik pita lebar nasional yang sebagian besar terdapat di wilayah Barat Indonesia. Tahun 2019, ditargetkan jangkauan layanan akses telekomunikasi universal dan internet mencapai 100 persen di wilayah universal service obligation (USO). Grafik 12. Proporsi Individu yang menggunakan Internet (%) Persentase Penduduk Berumur 5 Tahun ke Atas Yang Mengakses Internet (Termasuk Facebook, Twitter, BBM, Whatsapp) dalam 3 Bulan Terakhir (%) 25.37 21.98

11.09

12.39

2010

2011

14.7

15.07

2012

2013

17.29

2014

2015

2016

Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)

Kemudian, tingkat akses masyarakat terhadap komunikasi dan informasi melalui jaringan bergerak (mobile) Fixed Wireless Access dan seluler dapat diketahui dengan indikator proporsi individu yang menguasai/memiliki telepon genggam/telepon seluler, termasuk smartphone. Berdasarkan Grafik 13, penduduk berumur 5 tahun ke atas yang menguasai/memiliki telepon seluler (hp) adalah sebesar 38,5 persen pada tahun 2015 yang kemudian meningkat menjadi 58,30 persen pada tahun 2016. Hal ini menunjukkan bahwa akses masyarakat untuk berkomunikasi meningkat separuhnya selama 6 tahun. 10


Grafik 13. Proporsi Individu yang menguasai/memiliki Telepon Genggam (%) Persentase Penduduk Berumur 5 Tahun ke Atas yang menguasai/memiliki Telepon Seluler (HP)/Nirkabel dalam 3 Bulan terakhir (%)

38.5

39.19

2010

2011

47.99

50.94

51.49

2012

2013

2014

56.92

58.3

2015

2016

Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)

B. KEBERHASILAN b.1 Keberhasilan dalam Pembangunan Infrastruktur Pembangunan infrastruktur dan perbaikan sistem logistik dalam beberapa tahun terakhir telah menunjukkan pencapaian yang berarti. Biaya logistik per kontainer berhasil dihemat menjadi USD 200/kontainer. Penambahan jalur pelayaran internasional mengurangi waktu ekspor asal wilayah Timur Indonesia, misalnya waktu ekspor ke China dari 24 hari menjadi 16 hari, ke Jepang dari 28 hari menjadi 18 hari dan ke Korea dari 27 hari menjadi 17 hari. Fokus pembangunan infrastruktur untuk mengurangi ketimpangan pembangunan di Kawasan Timur juga membuahkan hasil, karena pada tahun 2016 untuk pertama kalinya pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut lebih tinggi dari Kawasan Indonesia Barat, sebesar 6,05 persen. Percepatan pembangunan infrastruktur ditujukan untuk pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI), kawasan terdepan dan terluar Indonesia. Kurangnya ketersediaan infrastruktur yang memadai menyebabkan wilayah-wilayah tersebut merupakan daerah yang relatif lebih miskin, memiliki pelayanan sosial terbatas, serta harga-harga barang kebutuhan sehari-hari di daerah tersebut relatif lebih mahal. Mahalnya harga barang bagi penduduk miskin akan membuat beban semakin berat. Pembangunan infrastruktur yang dilaksanakan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir telah berdampak mengurangi keterisolasian, meningkatkan ketersediaan barang kebutuhan pokok masyarakat, dan membuat harga-harga barang di wilayah tersebut relatif turun. Pembangunan infrastruktur juga menjadi landasan untuk mengembangkan industri ke depan. Pertumbuhan industri didukung oleh kegiatan pembentukan 14 Kawasan Industri (KI) di luar Pulau Jawa, selain untuk menambahkan populasi industri, hal ini juga dapat berpotensi menyerap hingga 962.800 tenaga kerja. Hingga tahun 2016, tiga kawasan industri sudah beroperasi yaitu Sei Mangkei, Morowali dan Bantaeng, untuk tiga tahun kedepan pembangunan Kawasan Industri yang lain akan dipercepat. Di Pulau Jawa, pembangunan jalan tol Trans Jawa telah mendorong tumbuhnya Kawasan Industri Kendal seluas 2.700 hektar kerjasama dengan perusahaan 11


Singapura yang berpotensi menyerap 500 ribu tenaga kerja. Proses pembangunan infrastruktur secara keseluruhan terlihat telah memberikan tambahan kesempatan tenaga kerja cukup banyak, yang selanjutnya berdampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan pengurangan kemiskinan, Tol Trans Jawa yang akan segera tersambung sepanjang 661 kilometer berperan mendorong distribusi industri, agar perekonomian bukan hanya terkonsentrasi Jakarta dan sekitarnya, namun juga sepanjang Pulau Jawa. Dukungan kelancaran logistik tersebut juga akan makin lancar dan murah melalui penyelesaian pembangunan rel ganda (double track) sepanjang 727 kilometer yang akan dijadwalkan tersambung seluruhnya tahun 2019. Tahap awal pembangunan rel ganda fase Jakarta-Semarang yang telah diselesaikan berhasil meningkatkan muatan logistik maupun frekuensi perjalanan kereta.

b.2 Pembangunan Industri Salah satu tujuan pembangunan industri adalah mendorong penguatan struktur industri dan nilai tambah. Salah satu kebijakan yang sudah diimplementasikan adalah berupa larangan ekspor mineral mentah dengan adanya pembangunan industri smelter di Sulawesi, Kalimantan maupun Jawa. Adanya industri smelter di berbagai daerah tersebut akan dapat meningkatkan nilai tambah industri dengan menggunakan bahan baku lokal, pengolahan yang berorientasi ekspor, dan menyerap tenaga kerja. Penggunaan sumber daya dan tenaga kerja lokal akan mendorong penciptaan pendapatan bagi masyarakat sekitar yang nantinya dapat mengurangi kemiskinan. Di Sulawesi, Kawasan Industri berbasis smelter akan dibangun seluas 2.000 hektar, tahap awal hingga akhir tahun 2016 beberapa perusahaan telah berjalan dan kebutuhan tenaga kerja telah mencapai 13 ribu orang. b.3 Inovasi Inovasi di Indonesia akan terus berkembang jika jaringan informasi dan komunikasi sudah merata. Indonesia telah berhasil mengurangi kesenjangan digital (digital divide) antar wilayah, dengan memasukkan jaringan telekomunikasi dan informasi dalam mendukung konektivitas nasional. Pengurangan kesenjangan digital ini dilaksanakan dengan pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan informasi di luar Pulau Jawa, maupun memperluas jaringan tulang punggung serat optik pita lebar serta jaringan bergerak (mobile broadband) ke seluruh Indonesia, dengan memprioritaskan kabupaten/daerah yang terdepan, terluar dan tertinggal. Terkait dengan ranking inovasi, Tabel 3 menunjukkan bahwa Indonesia saat ini berada di ranking ke-3 di bawah Singapura dan Malaysia dan berada di atas Thailand. Tabel 3. Ranking Inovasi Country Filipina Indonesia

2011 108 36

2012 94 39

Inovasi 2013 2014 69 52 33 31

2015 48 30

2016 62 31

12


Inovasi 2011 2012 2013 2014 2015 Kamboja 85 67 91 116 122 Malaysia 24 25 25 21 20 Singapore 8 8 9 9 9 Thailand 54 68 66 67 57 Vietnam 66 81 76 87 73 Sumber: Global Competitiveness Report WEF, berbagai edisi Country

2016 118 22 9 47 73

C. TANTANGAN DAN CARA MENGATASI TANTANGAN Ada beberapa tantangan yang masih dihadapi dalam pembangunan industri, infrastruktur dan inovasi terutama dikaitkan dengan pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan. Beberapa tantangan penting yang saat ini dihadapi Indonesia dalam pembangunan industri, infrastruktur dan inovasi di antaranya (i) Permasalahan keterbatasan anggaran, (ii) Penurunan kontribusi sektor industri, (iii) Kesenjangan digital, (iv) Pembangunan industri dengan orientasi pro-poor atau pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan. c.1 Permasalahan Keterbatasan Anggaran Dengan memprioritaskan pembangunan infrastruktur untuk mendukung pembangunan industri, mengurangi biaya logistik, mendukung konektivitas nasional dan meningkatkan pemerataan pembangunan, Indonesia masih mengalami keterbatasan anggaran untuk mencapai seluruh target pembangunan infrastruktur. Keterbatasan anggaran pemerintah ini akan diatasi dengan beberapa skema pembiayaan, yaitu: a. Menarik investor asing dengan mempermudah birokrasi investasi b. Pelaksanaan kemitraan pemerintah-swasta (Public-Private Partnership/PPP) yang efektif c. Penggunaan Dana Desa, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang tepat sasaran d. Pemanfaatan skema pembiayaan baru, misalnya seperti Pembiayaan Investasi Non-APBN (PINA), dan Lembaga Penjaminan Pembiayaan Infrastruktur (LPPI). c.2 Penurunan Kontribusi Sektor Industri Saat ini laju pertumbuhan industri nasional lebih lambat dari pertumbuhan ekonomi, sehingga terjaditren penurunan share industri nasional terhadap produk domestik bruto (PDB). Oleh sebab itu, beberapa hal yang sedang dan akan dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah: 1. Pembangunan Kawasan Industri (KI) seperti yang telah ditetapkan di dalam agenda prioritas pembangunan nasional 2. Adanya kebijakan yang mendukung prioritas nasional dalam pengembangan industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) 3. Perbaikan iklim investasi melalui kemudahan dan penyederhanaan perijinan. 13


4. Perencanaan pengembangan kawasan industri dan Kawasan Ekonomi Khusus dengan pendekatan yang lebih holistik dan terintegratif, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1 Program Prioritas Nasional Pengembangan Industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

Sumber: Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2017

c.3 Kesenjangan Digital Tantangan lain yang masih dihadapi adalah masih adanya kesenjangan digital yang salah satunya disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang luas dan terdiri dari 13 ribu pulau. Kesenjangan digital ini akan dipersempit dengan pembangunan jaringan serat optik nasional, yang akan menjangkau 440 kota/kabupaten di seluruh Indonesia, atau yang lebih dikenal dengan proyek Palapa Ring. Oleh karena itu, perkembangan inovasi ke depan diharapkan semakin meningkat di seluruh Indonesia dengan adanya pemerataan akses informasi dan teknologi digital tersebut.

c.4 Pembangunan Industri dengan Orientasi Pro-Poor Pembangunan industri sering diiringi dengan ketimpangan antara penduduk kota dan desa. Migrasi ke perkotaan yang cukup besar menyebabkan desa tidak berkembang dan akhirnya kemiskinan di perdesaan tetap menjadi permasalahan. Oleh karena itu, tantangan kebijakan pembangunan industri saat ini ialah tidak hanya mendorong daya saing industri nasional tetapi juga berusaha baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pengentasaan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat baik di perkotaan maupun di perdesaan. Kebijakan 14


industri untuk mendorong daya saing dan sekaligus pro-poor yang saat ini perlu dikembangkan yaitu: 1. Kebijakan industri berbasis pertanian dan sumber daya lokal atau agro-based/local-based industrialization Kebijakan industri berbasis pertanian dan sumber daya lokal ini akan secara langsung berdampak kepada keterlibatan seluruh masyarakat baik di perkotaan maupun perdesaan. Utilisasi sumber daya lokal dan hasil pertanian seperti tanah, produk pertanian, kearifan lokal (indigineous knowledge) dan tenaga kerja akan mendorong penciptaan pendapatan (income generation) yang dalam jangka panjang dapat menurunkan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan industri yang berbasis pertanian ini juga diharapkan dapat mendorong semakin banyak usaha mikro dan kecil (IMK) yang tumbuh menjadi usahausaha menengah dan besar. 2. Kebijakan industri padat tenaga kerja atau labor-intensive industrialization Kebijakan industri padat tenaga kerja akan mendorong penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Industri padat tenaga kerja di Indonesia juga akan mendorong daya saing produk di tingkat internasional karena buruh tenaga kerja di negara berkembang termasuk Indonesia lebih murah dibandingkan negara maju. Industri padat tenaga kerja tidak selalu berteknologi rendah. Sebagai contoh, industri otomotif sebagai salah satu industri dengan teknologi cukup tinggi masuk dalam industri padat tenaga kerja karena penggunaan tenaga kerja yang cukup besar. Beberapa wilayah saat ini sudah dikembangkan dan perlu terus didorong menjadi pusat keunggulan industri berbasis pertanian di antaranya Sumatera untuk industri dengan bahan kelapa sawit, karet dan gula; Kalimantan untuk industri dengan bahan kelapa sawit dan kayu; Sulawesi untuk industri dengan bahan kakao dan perikanan; Bali, Papua, Maluku dan Nusa Tenggara untuk industri berbasis peternakan dan perikanan. Industri yang termasuk dalam industri berbasis agro atau pertanian di antaranya ialah industri makanan minuman; industri tembakau; industri kertas dan kayu; industri tekstil, alas kaki dan pakaian jadi; industri kulit dan industri karet. Industri makanan dan minuman, industri pakaian jadi, dan industri tekstil dan industri kayu merupakan industri berbasis agro yang juga padat karya. Tabel 4. Penyerapan Tenaga Kerja Industri Berbasis Agro Tahun Industi Makanan Industri Minuman Industri Tembakau Industri Tekstil Industri Pakaian Jadi Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki Industri Kayu dan Barang dari Kayu

2013 18,01% 1,03% 7,25% 9,55% 11,42%

2014 16,94% 1,02% 6,87% 10,56% 12,29%

2015 13,95% 0,90% 6,42% 10,52% 11,53%

5,33% 4,59%

5,39% 4,40%

6,30% 3,80% 15


Industri Kertas dan Barang dari Kertas Total Sumber: BPS, diolah

2,72% 59,91%

3,49% 60,96%

3,78% 57,19%

Tabel 4 menunjukkan kontribusi penyerapan tenaga kerja dari beberapa industri yang berbasis agro terhadap total penyerapan tenaga kerja di industri manufaktur besar dan sedang. Industri makanan, minuman, kemudian diikuti oleh industri pakaian jadi, dan tekstil menyerap tenaga kerja yang paling besar. Secara keseluruhan, industri berbasis agro di atas memiliki kontribusi rata-rata sebesar 59,35% terhadap total penyerapan tenaga kerja di industri manufaktur selama periode 2013-2015.

D. EMERGING ISSUES Sampai dengan saat ini, pertumbuhan industri masih perlu ditingkatkan secara signifikan. Dalam perencanaannya, telah dirumuskan tiga fase pertumbuhan industri yang selaras dengan tujuan pembangunan nasional: 1) fase perkuatan pilar pertumbuhan (2016 – 2025), 2) fase peningkatan peran global (2026 – 2035), dan 3) fase pertumbuhan berbasis inovasi (2036 – 2045). Mengingat bahwa periode pelaksanaan TPB/SDGs adalah 2015 sampai dengan 2030, maka fase pertumbuhan industri yang pertama dan kedua merupakan fase yang terkait dengan pelaksanaan TPB/SDGs. Pada fase pertama difokuskan pada pembangunan infrastruktur industri dan penyiapan SDM industri yang berkualitas. Hal ini menjadi dasar pertumbuhan industri yang dapat meningkatkan produktivitas, penurunan biaya logistik yang signifikan, peningkatan pusatpusat industri baru, peningkatan industri skala menengah, serta peningkatan investasi asing terhadap industri manufaktur. Fase kedua berfokus pada pertumbuhan industri lokal yang sesuai dengan standar internasional, antara lain dengan pengembangan industri domestik berorientasi ekspor, pengembangan aglomerasi yang didukung oleh sektor jasa industri, serta penyiapan industri berbasis inovasi. Fase kedua ini berdampak pada peningkatan kerjasama industri dan ekonomi internasional yang dapat berupa peningkatan perusahaan multinasional dengan basis produksi di Indonesia dan peningkatan jumlah brand global asal Indonesia yang akan meningkatkan proporsi industri bernilai tambah tinggi. Kedua fase ini juga perlu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku yang tinggi dan mendorong daya saing produk untuk masuk ke pasar global. Infrastruktur menjadi salah satu prioritas pembangunan Indonesia, yang ditandai dengan adanya perhatian khusus pada penciptaan konektivitas nasional, yang sebagian besar pendukungnya merupakan bagian infrastruktur. Pembangunan dan percepatan penyediaan infrastruktur menjadi prioritas yang dapat turut mendukung integrasi dan hubungan untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah. Percepatan pembangunan konektivitas/infrastruktur di wilayah pertumbuhan, antar wilayah pertumbuhan serta antar wilayah koridor ekonomi atau antar pulau melalui percepatan pembangunan infrastruktur pelabuhan, kereta api, bandara, jalan, informasi dan telekomunikasi, serta pasokan energi. Tujuan penguatan konektivitas adalah:

16


a) menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi untuk memaksimalkan pertumbuhan berdasarkan prinsip keterpaduan melalui inter-modal supply chained system; b) memperluas pertumbuhan ekonomi dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi ke wilayah belakangnya (hinterland); c) menyebarkan manfaat pembangunan secara luas melalui peningkatan konektivitas dan pelayanan dasar ke daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan. Dalam rangka upaya pembangunan konektivitas tersebut antara lain Pemerintah akan membangun 2.650 kilometer jalan arteri dan 1.000 kilometer jalan tol, membangun 3.258 kilometer jalur kereta api, mengembangkan 24 pelabuhan untuk mendukung tol laut, 15 bandara baru dan mengembangkan bandara yang ada, mengembangkan 9 bandara untuk pelayanan kargo udara, modernisasi sistem pelayanan navigasi penerbangan dan pelayaran, membangun Bank Pembangunan dan Infrastruktur, serta mendorong BUMN untuk mempercepat pembangunan infrastruktur. Kesemuanya dilaksanakan secara terintegrasi dan dengan meningkatkan peran Kerjasama Pemerintah-Swasta/Kerjasama Pemerintah-Badan Usaha (KPS/KPBU). Pemerataan pembangunan industri berbasis sumber daya lokal dan pertanian serta padat tenaga kerja memerlukan kebijakan yang selaras antara pusat dan daerah. Keselarasan kebijakan industri pusat dan daerah diperlukan dalam membangun industri unggulan dan berbagai infrastruktur pendukungnya. Tanpa adanya keselarasan kebijakan industri antara pusat dan daerah, pembangunan industri unggulan padat karya berbasis sumber daya lokal dan pertanian tersebut sulit diwujudkan. Saat ini Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035 memberikan arahan kebijakan industri nasional yang didalamnya memasukkan kebijakan industri berbasis agro sebagai industri andalan.

E. PEMBELAJARAN e.1 Belajar dari Pembangunan Infrastruktur Sesuai Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2016 tentang Proyek Strategis Nasional, terdapat lebih dari 225 proyek yang menjadi prioritas pembangunan. Dari pengalaman dalam pembangunan infrastruktur, dan untuk memastikan bahwa pembangunan dilakukan sesuai perencanaan, implementasi proyek infrastruktur perlu dimonitor dan dievaluasi secara rutin. Salah satu contoh yang berhasil adalah pembangunan jalan Trans Papua sepanjang 4.330 kilometer. Total panjang jalan yang berhasil dibangun telah mencapai 3.851 kilometer dengan melewati medan yang sulit, membelah gunung, hutan belantara dan melewati sungai. Proyek yang terlihat nyaris mustahil ini berhasil karena selalu dimonitor dan diawasi perkembangannya. Kemudian pembangunan tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu juga contoh yang lain mengenai keberanian terhadap keputusan yang berat, disertai monitoring dan pengawasan pelaksanaan proyek secara terusmenerus. Pembangunan jalan tol tersebut telah berhenti sejak krisis ekonomi tahun 1998 dan tidak pernah disentuh lagi selama 22 tahun. Semenjak tahun 2015, tol tersebut dibangun kembali dan tahun 2017 tahap satu proyek selesai dan bisa dioperasikan, tahap selanjutnya akan selesai di akhir tahun 2018. Pembangunan tol tersebut secara simultan disertai dengan pembangunan light rapid train (LRT) dan mass rapid transportation (MRT) di Jakarta dan kota sekitarnya, 17


diharapkan kemacetan kota megapolitan dan metropolitan tersebut segera teratasi dengan sistem transportasi publik yang modern. e.2 Belajar dari Pembangunan Industri Salah satu kebijakan industri yang saat ini akan berdampak terhadap peningkatan nilai tambah industri dan penyerapan tenaga kerja adalah kebijakan pembangunan smelter atau bermitra dengan perusahaan smelter yang sudah ada serta pembangunan industri di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi. Landasan pembangunan smelter adalah Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 5 Tahun 2017. Untuk memastikan kebijakan smelter ini berjalan dengan baik perlu dilakukan secara terus-menerus berbagai monitoring disertai kebijakan strategis pendukungnya seperti insentif dan perbaikan infrastrukturnya. Tahapan pembangunan smelter yang memerlukan biaya investasi yang cukup besar tersebut juga harus diperhatikan agar kebijakan pembangunan smelter tersebut dapat berkesinambungan sehingga permintaan relaksasi kebijakan pembangunan smelter yang saat ini kembali mengemuka dapat dihindari ke depannya. Pembelajaran lain dari pembangunan hilirisasi industri untuk meningkatkan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja adalah: a. Pengolahan Produk Hilir Kelapa Sawit: 

PT Unilever Oleochemical Indonesia telah diresmikan berdiri pada akhir tahun 2015 di KEK Sei Mangke. Pabrik PT Unilever Oleochemical Indonesia telah menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 600 orang dan merekrut tenaga kerja tidak langsung sebanyak 2.000 orang. Termasuk di dalamnya petani pemasok sawit. Pabrik Unilever Oleochemical berdiri di atas lahan seluas 18 hektare dengan nilai investasi Rp 2 triliun. Dalam dua tahun, Unilever akan melakukan ekspansi seluas 9 hektar dengan total nilai Rp 4 triliun. Pabrik ini didesain untuk mengolah 165 ribu ton crude palm kernel oil per tahun dan menghasilkan 206 ribu ton produk oleochemicals per tahun, seperti fatty acid, surfactant, glycerin, serta soap noodle, yang merupakan bahan baku pembuatan sabun, sampo, dan detergen.



PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III) berencana membangun pabrik minyak goreng di Sei Mangke, Sumatera Utara dan membuka kesempatan kepada swasta untuk terlibat. Ekspansi bisnis PTPN III ini didorong oleh kebutuhan minyak goreng dalam negeri yang belum mencukupi. PTPN III akan mengelola pabrik minyak goreng yang memiliki kapasitas 600.000 ton per tahun atau investasi mencapai Rp 558 miliar. Pabrik tersebut akan berdiri di atas lahan seluas 2.000 hektare. Pembangunan pabrik dimulai tahun 2016

b. Pengolahan Karet: PT Multi Kusuma Cemerlang (MKC) yang merupakan usaha patungan investor dalam negeri dan investor luar negeri menanamkan investasi sebesar Rp 500 miliar untuk industri olahan karet di Samarinda, Kalimantan Timur. Perusahaan tersebut nantinya berbentuk pabrik pengolahan karet mentah menjadi bahan setengah jadi. Karet yang airnya telah 18


disisihkan, kemudian dijadikan bahan baku seperti untuk pembuatan ban, maupun bahan-bahan yang berhubungan dengan industri karet lain. PT MKC diperkirakan akan menyerap tenaga kerja sebanyak 400 orang.

19


Versi 31 Maret 2017

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN Voluntary National Review (VNR) untuk Tujuan 14 menyajikan indikator mengenai rencana tata ruang laut nasional, manajemen Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang berkelanjutan, tangkapan jenis ikan yang berada dalam batasan biologis yang aman (MSY), pengelolaan kawasan konservasi perairan, pemberantasan Illegal, Unregulated, Unreported (IUU) Fishing, kerangka hukum untuk perlindungan nelayan kecil, serta peningkatan akses untuk nelayan kecil. Dalam uraian setiap indikator akan menyajikan analisis tren dan keberhasilan, tantangan, berbagai inovasi untuk mengatasi tantangan, emerging issues, dan pembelajaran. I. ANALISIS TREN DAN KEBERHASILAN a. Rencana Tata Ruang Laut Nasional Berdasarkan mandat UU No. 32/2014 tentang Kelautan, Rencana Tata Ruang Laut Nasional harus disusun melalui proses yang sistematis termasuk partisipatif, transparansi dan pendekatan berbasis science. Rencana Tata Ruang Laut Nasional telah disusun dan saat ini dalam proses formalisasi melalui Rancangan Peraturan Pemerintah. Di tingkat provinsi, rencana zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil telah disusun di beberapa provinsi, dan ditargetkan pada tahun 2019, rencana zonasi ditetapkan di 34 provinsi. Rencana Tata Ruang Laut Nasional (RTLN) dan rencana zonasi dimaksudkan untuk pengelolaan sumber daya laut secara berkelanjutan melalui peningkatan perlindungan terhadap lingkungan laut, pesisir dan pulau-pulau kecil; perlindungan terhadap kepentingan sosial budaya maritim, masyarakat adat, dan nelayan tradisional; dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi kelautan dan kemaritiman, serta memberi kepastian hukum untuk mendorong investasi.

b. Manajemen Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang Berkelanjutan Berdasarkan Peraturan Menteri KP No.18/2014, Perairan nasional dibagi ke dalam 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). WPP merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia (Gambar 1). Rencana Pengelolaan Perikanan untuk semua WPP telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan Perikanan yaitu: No. 75/2016 (WPP 571), No. 76/2016 (WPP 572), No. 77/2016 (WPP 573), No. 78/2016 (WPP 711), No. 79/2016 (WPP 712), No. 80/2016 (WPP 713), No. 81/2016 (WPP 714), No. 82/2016 (WPP 715), No. 83/2016 (WPP 716), No. 84/2016 (WPP 717), dan No. 54/2014 (WPP 718). RPP WPP dimaksudkan menyeimbangkan antara tujuan ekologi, sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (termasuk untuk kesejahteraan nelayan dan keadilan pemanfaatan sumber daya ikan). RPP-WPP tersebut juga mengatur pembagian wilayah penangkapan melalui mekanisme perizinan sehingga nelayan dapat memanfaatkan sumber daya perikanan

1


Versi 31 Maret 2017

secara lestari dan tidak melampaui batasan biologis yang aman. Hal ini dapat mendukung keberlanjutan sumber daya perikanan sebagai sumber penghidupan nelayan.

Gambar 1. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia

Sumber: Permen Kelautan dan Perikanan Nomor: PER.47/MEN/2016 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

c. Tangkapan Jenis Ikan yang Berada Dalam Batasan Biologis yang Aman (MSY) Selama lebih dari dua dekade data MSY Indonesia tetap pada 6,4 juta ton ikan. Sejak 2011, MSY untuk semua WPP terus diperbaharui dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011, MSY mengalami peningkatan menjadi 6,5 juta ton, kemudian pada tahun 2014 meningkat menjadi 7,3 juta ton. Pada tahun 2015, telah dilakukan proses pembaharuan secara signifikan seperti: meningkatkan pengumpulan data di seluruh tempat pendaratan ikan, kapal, dan menghitung spesies baru (yang tidak dipertimbangkan sebelumnya). Estimasi baru dari MSY ditentukan melalui Permen KP No. 47/2016 yaitu sebesar 9,93 juta ton pada tahun 2016. Total produksi penangkapan ikan pada tahun 2016 adalah 6,58 juta ton yang berarti masih berada di bawah tangkapan yang diperbolehkan. Tabel 1. Potensi dan produksi perikanan tangkap, serta proporsi tangkapan ikan yang berada dalam biologis yang aman 2008-2014 2008 Potensi lestari SDI (MSY), ton Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB/TAC), ton Produksi perikanan tangkap laut, ton Proporsi tangkapan ikan yang berada dalam biologis yang aman, % Sumber: Laporan 15 tahun MDGs

2011

2012

2013

2014

6.400.000

6.520.100

6.520.100

6.520.100

7.305.699

5.120.000

5.216.080

5.216.080

5.216.080

5.844.559

3.982.783

4.803.462

4.881.809

5.111.572

5.349.960

91,83%

92,09%

93,59%

98,00%

91,54%

2


Versi 31 Maret 2017

d. Peningkatan Kawasan Konservasi Perairan Pada Tahun 2020, Pemerintah Indonesia menargetkan untuk memiliki 20 juta hektar kawasan konservasi perairan (marine protected area, MPA). Sampai tahun 2016 telah dicapai kawasan konservasi perairan seluas 17,9 juta hektar yang terdiri atas 165 MPA. Rasio kawasan konservasi perairan terhadap total luas perairan teritorial juga terus mengalami kenaikan mulai dari tahun 1990 sebesar 0,14 persen dan pada tahun 2016 meningkat menjadi 5,31 persen.

Tabel 2. Luas kawasan konservasi perairan dan rasionya terhadap toal luas perairan territorial

13.56

13.95

15.41

15.78

15.76

16.45

17.9

17.3

9.62

4.29

4.17

2.96

4.74

4.86

4.85

5.06

5.13

5.31

0.14 1990

2008

2009

2010

2011

2012

Luas KKP, juta hektar

2013

2014

2015

2016

persen

Sumber: KKP, 2017

Di samping peningkatan luas MPA, pemerintah Indonesia juga fokus pada efektivitas pengelolaan MPA dan telah mengembangkan alat untuk mengukur efektivitas manajemen MPA yang disebut dengan E-MPA. E-MPA telah digunakan secara rutin, termasuk untuk memberikan penghargaan kepada pengelola MPA lokal. Pengelolaan MPA yang efektif mampu memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan terkelolanya MPA, wilayah yang menjadi tempat pemijahan (nursery ground) dan tempat ruaya (spawning ground) akan terjaga kelestariannya, sehingga ikan-ikan yang bernilai ekonomis dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar secara berkelanjutan dan bertanggung jawab. Pemanfaatan ekonomi kawasan-kawasan konservasi tersebut dilakukan melalui kegiatan perikanan tangkap, budidaya, pariwisata bahari, dan penelitian serta pendidikan. Ijin pemanfaatan diberikan kepada masyarakat lokal, adat, dan swasta sesuai dengan daya dukung dan aspek kelestarian lingkungan. Saat ini, telah disusun Pedoman Pemanfaatan Zonasi Perikanan Berkelanjutan di Kawasan Konservasi Perairan untuk kegiatan penangkapan ikan oleh masyarakat lokal dan tradisional.

e. Pemberantasan IUU Fishing Pemberantasan perikanan yang melanggar hukum, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU Fishing) merupakan masalah yang memerlukan komitmen tingkat tinggi dan kerjasama 3


Versi 31 Maret 2017

perikanan pada tingkat operasional. Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan terluas di dunia, telah memiliki dasar hukum yang kuat untuk memerangi IUU Fishing. Dalam rangka pemberantasan IUU Fishing, sebagai amanat UU No. 31/2004 j.o UU No. 45/2009 tentang Perikanan, Pemerintah Indonesia telah mengembangkan pemantauan, pengendalian, dan sistem pengawasan, peningkatan kerjasama lintas-lembaga terkait dengan melakukan patroli laut, kerja sama regional dengan negara-negara asing dalam memerangi IUU Fishing, serta peningkatan pengawasan berbasis partisipasi masyarakat. Upaya tersebut diperkuat dengan adanya Peraturan Presiden No. 115/2015 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal (illegal fishing). Penurunan tingkat pelanggaraan IUU Fishing akan menjaga kelestarian sumber daya ikan dan meningkatkan peluang nelayan dalam penangkapan ikan.

f. Kerangka Hukum untuk Perlindungan Nelayan Kecil Kerangka hukum untuk melindungi nelayan kecil telah dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia melalui UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. UU ini bertujuan untuk (a) menyediakan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha; (b) memberikan kepastian usaha yang berkelanjutan; (c) meningkatkan kemampuan dan kapasitas nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam; (d) menguatkan kelembagaan dalam mengelola sumber daya Ikan dan sumber daya kelautan serta dalam menjalankan usaha yang mandiri, produktif, maju, modern, dan berkelanjutan dan mengembangkan prinsip kelestarian lingkungan; (e) menumbuh kembangkan system, serta kelembagaan pembiayaan yang melayani kepentingan usaha; (f) melindungi dari risiko bencana alam, perubahan iklim, serta pencemaran; dan (g) memberikan jaminan keamanan dan keselamatan serta bantuan hukum. Disamping UU tersebut pada tahun 2011 telah pula dikeluarkan Instruksi Presiden No. 15/2011 tentang Perlindungan Nelayan, yang menugaskan pada instansi pemerintah terkait untuk membuat program-program yang mengangkat kesejahteraan nelayan kecil. Dalam rangka perlindungan nelayan kecil, telah diberikan bantuan asuransi, sertifikasi hak atas tanah nelayan, pembentukan koperasi, dan sistem informasi untuk nelayan.

g. Peningkatan Akses Pendanaan untuk Nelayan Skala Kecil Akses pendanaan untuk nelayan skala kecil telah menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Selama periode 2012-2016, kredit kecil untuk sektor perikanan telah berkembang ratarata 10 persen per tahun. Selama periode yang sama, jumlah penerima kredit kecil di sektor perikanan juga meningkat secara signifikan. Rata-rata tingkat pertumbuhan mencapai 158 persen per tahun. Dari 6.644 penerima (2012), 16.532 penerima (2014) dan melonjak menjadi 48.513 penerima (2016).

4


Versi 31 Maret 2017

Gambar 4. Akses pendanaan nelayan skala kecil

Sumber: KKP, 2016

II.

TANTANGAN DAN UPAYA MENGATASI

Berbagai tantangan yang muncul dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan, serta upaya mengatasinya antara lain: a) Kawasan konservasi perairan yang telah ditetapkan perlu dikelola secara lebih efektif. Hal ini membutuhkan upaya peningkatan kelembagaan dan sarana prasarana dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan. b) Belum termanfaatkannya potensi produksi perikanan dengan adanya peningkatan pemberantasan IUU fishing. Untuk itu diperlukan dukungan ketersediaan sarana prasarana dan kapasitas sumber daya manusia yang memadai dalam memanfaatkan potensi perikanan yang sebelumnya dimanfaatkan oleh kapal-kapal asing secara illegal. c) Dalam memberikan bantuan kepada nelayan kecil perlu mempertimbangkan ketersediaan sumber daya ikan sehingga tidak berdampak terjadinya over fishing. Penyusunan regulasi yang tepat dalam mengatur pemanfaatan bantuan pendanaan bagi nelayan skala kecil yang tetap dapat menjaga pemanfaatan sumber daya ikan secara berkelanjutan merupakan hal yang perlu diwujudkan.

III.

INOVASI DAN UPAYA PENTING PENCAPAIAN TUJUAN

Berbagai inovasi dan upaya penting yang telah dilakukan untuk pencapaian tujuan antara lain: a) Pengkajian stok ikan (stock assessment) pada WPP, penataan perijinan kapal, serta penerapan regulasi lainnya terkait usaha perikanan tangkap, telah mendorong terjadinya pemulihan sumber daya ikan (SDI). Selain itu, dilakukan inisiasi pembentukan kelembagaan WPP. b) Terkait konservasi, telah dilakukan penerapan sistem zonasi dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan yang memberikan ruang bagi nelayan untuk melakukan pemanfaatan secara terbatas. Partisipasi aktif pemerintah daerah terus ditingkatkan dalam rangka pencadangan perairan sebagai kawasan konservasi. Selanjutnya, 5


Versi 31 Maret 2017

dilakukan pula upaya untuk menggalang pendanaan internasional untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi perairan yang berpihak pada masyarakat pesisir dan nelayan skala kecil. c) Dalam rangka perlindungan terhadap nelayan sesuai amanat UU No.7/2016, telah dilakukan pemberian bantuan premi asuransi bagi nelayan sejak tahun 2016.

IV. EMERGING ISSUES Berdasarkan UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, telah diatur perubahan pembagian urusan bidang kelautan dan perikanan. Kewenangan pengelolaan laut yang sebelumnya dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota, diubah menjadi kewenangan pemerintah provinsi yang berimplikasi pada perubahan tata kelola ruang laut.

V. PEMBELAJARAN Dalam pengelolaan wilayah laut di Indonesia terdapat bentuk-bentuk pengelolaan yang berkelanjutan yang merupakan kearifan lokal. Kearifan lokal adalah aturan-aturan/tradisi masyarakat yang diwarisi secara turun temurun sehingga disebut juga sebagai hukum adat dan berlaku bagi masyarakat pesisir. Nilai-nilai kearifan lokal dan hukum adat tersebut cukup efektif dalam pengelolaan sumber daya alam kelautan dan perikanan, serta menjaga pelestarian ekosistem laut dari berbagai aktivitas yang bersifat destruktif dan merusak. Beberapa contoh kearifan lokal adalah tradisi/Hukum Adat Laot di Propinsi Nangroe Aceh Darusalam, tradisi Ponggawa Sawi di Propinsi Sulawesi Selatan, tradisi Pamali Mamanci Ikang di Desa Bobaneigo Maluku Utara, tradisi Awig-awig di Lombok Barat, NTB, dan tradisi/Hukum Adat Sasi di Maluku.

6


Versi 30 Maret 2017

Draft Voluntary National Review (VNR) Tujuan 17: Menguatkan Sarana Pelaksanaan dan Merevitalisasi Kemitraan Global untuk Pembangunan Berkelanjutan (Kemitraan Untuk Mencapai Tujuan) Terdapat dua isu yang dilaporkan oleh Indonesia untuk Tujuan 17, yaitu isu tentang Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST) serta Data dan Statistik dalam upaya pelaksanaan pencapaian SDGs. Kedua pembahasan ini ditampilkan pada review nasional kali ini karena memiliki arti penting bagi Indonesia dalam pelaksanaan politik bebas aktif sebagai prinsip kerjasama internasional Indonesia. Indonesia telah menunjukkan komitmen untuk mewujudkan pencapaian Tujuan 17 dalam kedua isu tersebut dengan melakukan upaya konkrit dan terukur. Dalam isu KSST, Indonesia telah menunjukkan upaya pencapaian dan sebagai dasar peningkatan kerjasama selanjutnya yang penting dari Tujuan 17. Indonesia juga sudah melakukan persiapan penyediaan data dengan telah dikeluarkannya potret awal data SDGs Indonesia sebagai angka dasar (baseline) data SDGs berdasar pada metadata SDGs Indonesia yang telah disusun. Metadata ini disusun dengan menerapkan prinsip inklusif dan no-one left behind yang melibatkan semua pihak dan menerapkan konsultasi publik secara aktif. I.

ANALISIS TREN DAN KEBERHASILAN

A. Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST) Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan peran KSST, sebagaimana telah tertuang dalam Nawacita dan RPJMN 2015-2019. Komitmen Indonesia ini sejalan dengan perwujudan Tujuan 17 SDGs terkait dengan revitalisasi kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan. Dengan peningkatan KSST ini, Indonesia berkontribusi untuk membantu negara-negara berkembang lain dalam mewujudkan SDGs dan memastikan no-one left behind di negara Selatan-Selatan. KSST dilaksanakan untuk lebih memperjuangkan kepentingan sesama negara-negara Selatan dalam menciptakan tatanan dunia yang lebih adil dan sejajar dan saling menguntungkan, termasuk dalam mendorong diplomasi ekonomi tanpa menghilangkan esensi solidaritas sesama negara berkembang. Kerjasama pembangunan antara Indonesia dan negara-negara berkembang di Asia dan Afrika telah dimulai sejak pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955 yang menghasilkan komitmen politik untuk mempromosikan perdamaian dunia dan kerjasama internasional antarnegara berkembang. Dalam perkembangannya, Indonesia mulai berpartisipasi aktif dalam berbagai program Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST) sejak tahun 1980. Berbagai kegiatan dalam kerangka KSST telah diberikan Indonesia kepada negara-negara berkembang lainnya dalam bentuk pelatihan, workshop, pemagangan, pengiriman tenaga ahli (expert dispatch), beasiswa, pemberian bantuan peralatan, dan sebagainya. Namun demikan, dalam pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan yang tersebar di berbagai Kementerian/Lembaga/instansi lainnya tersebut belum terstruktur serta belum

1


Versi 30 Maret 2017

memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan, sehingga dinilai kurang memberikan manfaat bagi pembangunan Indonesia. Sebagai upaya meningkatkan koordinasi pelaksanaan kegiatan KSST, pada tahun 2010 dibentuk Tim Koordinasi Nasional (Tim Kornas) KSST. Tim Kornas KSST terdiri dari Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan dan Kementerian Sekretariat Negara. Pembentukan Tim Kornas KSST merupakan upaya untuk meningkatkan koordinasi pelaksanaan KSST yang sejalan dengan amanat RPJMN 20092014. Pembentukan Tim Kornas KSST ini dimaksudkan agar pelaksanaan KSST Indonesia dapat berjalan dengan optimal, berkelanjutan dan berkontribusi terhadap pembangunan nasional dan global. Dalam rangka pelaksanaan KSST yang inklusif sehingga dapat berjalan dengan efektif, efisien dan berkelanjutan, Pemerintah Indonesia telah melibatkan berbagai stakeholders antara lain akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat dan pihak swasta. Pelaksanaan KSST Indonesia juga diarahkan untuk mendukung program pengentasan kemiskinan dalam konteks yang lebih luas baik di Indonesia maupun di negara-negara berkembang lainnya. Beberapa program KSST yang mendukung pengentasan kemiskinan antara lain dukungan program ketahanan pangan untuk petani, peternak dan nelayan, bantuan peralatan dan mesin pertanian, pendampingan tenaga ahli bidang pertanian tanaman pangan dan knowledge sharing program pengentasan kemiskinan seperti PNPM dan PKH. Kementerian PPN/Bappenas juga melakukan koordinasi program Reverse Linkage yang antara lain difokuskan pada pengentasan kemiskinan melalui model pemberdayaan masyarakat. Program Reverse Linkage adalah kerjasama Triangular yang melibatkan Indonesia, IDB dan negara-negara anggota IDB. Berikut adalah indikator SDGs Indonesia yang menjadi prioritas pembangunan terkait KSST: 1.

Jumlah Kegiatan Saling Berbagi Pengetahuan dalam Kerangka Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular

Tren untuk jumlah kegiatan saling berbagi pengetahuan dalam kerangka KSST dapat ditampilkan dalam tiga tahun terakhir dari tahun 2014 hingga 2016.

Jumlah Kegiatan KSST

Gambar 1. Jumlah Kegiatan KSST

100 84 50

57

2014 2015 2016

26 0 2


Versi 30 Maret 2017

Berdasarkan laporan Tim Koordinasi Nasional KSST, kegiatan KSST mengalami peningkatan yang signifikan. Selama periode 2014 – 2016 jumlah kegiatan KSST meningkat lebih dari tiga kali lipat. Peningkatan jumlah kegiatan KSST tersebut memperlihatkan komitmen Indonesia yang makin meningkat dalam pelaksanaan KSST. Pencapaian program KSST dapat diukur salah satunya dengan data tentang jenis program atau modalitas yang telah dilaksanakan. Berikut adalah persentase capaian dari setiap jenis program atau modalitas yang diberikan dalam KSST oleh Indonesia kepada negara penerima selama tahun 2014 hingga 2016. Tabel 1. Jenis Program atau Modalitas KSST Tahun 2014 - 2016 Jenis Program

2014

2015

2016

Training

63%

51%

49%

Workshop/Seminar

7%

12%

23%

Expert Dispatch

15%

12%

10%

Scholarship*)

7%

2%

4%

Multi-event activities

8%

19%

13%

-

4%

2%

Knowledge sharing Catatan: *) termasuk internship

Secara umum, kegiatan training mendominasi jenis program atau modalitas dalam kegiatan KSST pada periode 2014-2016, diikuti dengan jenis program seperti workshop/seminar, expert dispatch dan multi-event activities. Meningkatnya jumlah kegiatan KSST dari tahun ke tahun mengindikasikan bahwa semakin diakuinya kapasitas Indonesia untuk berbagi pengetahuan dengan negara-negara Selatan lainnya. Beberapa program training yang telah dilakukan diantaranya adalah program triangular antara Pemerintah Indonesia, Timor-Leste dan Japan International Cooperation Agency (JICA) untuk peningkatan kapasitas bagi insinyur jalan Timor Leste pada tahun 2014. Contoh kegiatan lain adalah pelatihan pengembangan strategi kemitraan antara organisasi berbasis keagamaan dengan pimpinan umat Muslim dalam hal Keluarga Berencana di tahun 2014 dan 2015 yang melibatkan negara-negara seperti Afghanistan, Bangladesh, Ethiopia, Ghana, Nepal, Nigeria, Pakistan dan Filipina. 2. Jumlah Indikasi Pendanaan untuk Pembangunan Kapasitas dalam Kerangka KSST Indonesia.

3


Versi 30 Maret 2017

Indikasi Pendanaan (milyar Rupiah)

Gambar 2. Jumlah Indikasi Pendanaan KSST

150 100 50

100.7 74 83.25

2016 2017 2018

0 Selain jumlah kegiatan KSST yang meningkat, Indonesia juga memiliki komitmen untuk meningkatkan jumlah pendanaan yang mendukung program KSST khususnya sejak tahun 2016. Diharapkan peningkatan jumlah anggaran ini dapat dimanfaatkan untuk memenuhi demand dari negara mitra yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai contoh pada Agustus 2016, Direktorat Kerja Sama Teknik Kementerian Luar Negeri menerima 296 permintaan bantuan teknik dari 41 negara. Selain dari capaian yang ditunjukkan pada analisis tren di atas, keberhasilan dalam pencapaian kemajuan program KSST Indonesia juga terlihat pada sejumlah ukuran lain yang mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Tim Koordinasi Nasional KSST telah mengembangkan Standard Operation Procedures (SOP) pelaksanaan koordinasi KSST yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja Kementerian/Lembaga dalam pemberian bantuan. 2. Dalam kurun waktu 2000-2012, Indonesia telah menyelenggarakan program KSST untuk negara-negara Asia, Afrika, Pasifik dan Amerika Latin dengan mengalokasikan anggaran sebesar USD 49,8 juta. Pada tahun 2015, teridentifikasi 57 program KSST untuk 652 peserta di berbagai bidang seperti inseminasi buatan, disaster risk management, family planning, perencanaan dan penganggaran dan pemberdayaan masyarakat. Pada tahun 2016, teridentifikasi 84 program KSST di berbagai bidang dengan jumlah peserta yang kurang lebih sama. Indonesa juga berhasil berbagi pengetahuan dan melakukan pelatihan di bidang pengamanan pemilu, pendidikan vokasi, perawatan jalan nasional, transportasi, usaha-kecil menengah, pendidikan untuk perdagangan, industri kerajinan dan kearsipan. Output yang dihasilkan bermanfaat bagi negara-negara penerima karena bidang tersebut sesuai dengan permintaan. 3. Jumlah peserta yang berpartisipasi dalam program KSST meningkat dari tahun 2014 (451 peserta) ke tahun 2015 (652 peserta). Jumlah data peserta KSST Indonesia di sepanjang tahun 2016 saat ini masih dikalkulasi dari beragam proyek KSST yang telah dilakukan oleh Kementerian/Lembaga. Di tahun-tahun mendatang jumlahnya direncanakan akan meningkat seiring dengan peningkatan alokasi anggaran KSST. 4. Pelibatan berbagai pihak dalam pelaksanaan KSST, termasuk swasta, akademisi dan CSO. Salah satu contoh pelibatan pihak swasta adalah kerjasama pada tahun 2014 antara 4


Versi 30 Maret 2017

Kementerian Pertanian RI dan Kementerian Pertanian Sudan yang melibatkan produsen traktor di Indonesia. Dalam hal ini, pihak swasta memberikan pelatihan terkait mekanisasi pertanian. Selain di bidang pertanian, bidang lain yang melibatkan swasta diantaranya dalam bidang perbankan untuk pelatihan pembiayaan mikro (microfinance) dengan melakukan expert dispatch dari pihak perbankan Indonesia dalam pelatihan microfinance di Myanmar. 5. Sejauh ini, KSST juga memberikan manfaat bagi Indonesia, baik manfaat ekonomi maupun politik. Salah satu contoh manfaat ekonomi adalah kerjasama perdagangan komoditas frozen semen dengan Kyrgyzstan maupun peralatan dan mesin pertanian dengan Sudan, Madagaskar, dan Namibia. B. Data dan Statistik Penyediaan data dan statistik menjadi salah satu pembahasan utama yang disampaikan pada VNR tahun ini karena Indonesia telah melakukan persiapan, pengumpulan, dan pengukuran angka dasar (baseline) untuk sebagian besar indikator SDGs baik indikator nasional yang telah sesuai dengan indikator global maupun indikator proksi. Di bawah koordinasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, BPS (Badan Pusat Statistik/Statistics Indonesia) yang diberi mandat untuk penyediaan data statistik pembangunan telah menyusun angka dasar SDGs sebagai potret awal indikator SDGs di Indonesia. Meskipun tidak semua indikator global yang terkait dengan data Tujuan 17 diukur pada potret awal SDGs Indonesia, namun Indonesia telah menetapkan beberapa indikator proksi yang relevan dengan konteks nasional serta mendekati pengukuran indikator global. Di dalam sub bagian ini, akan dibahas tren beberapa indikator terkait data baik yang sudah sesuai dengan global maupun yang merupakan proksi untuk menggambarkan kesiapan Indonesia dalam penyediaan data baik dari segi kapasitas sumber daya manusia, tingkat pelayanan, dan penggunaan data untuk perencanaan. Sub bagian ini juga membahas tentang keberhasilan yang telah dicapai Indonesia di tahun pertama pelaksanaan SDGs terkait penyediaan data, tantangan yang dihadapi, inovasi yang sedang dan akan dikembangkan, serta pembelajaran yang dapat dibagikan di tingkat global. 1. Persentase Konsumen Badan Pusat Statistik (BPS) yang Merasa Puas dengan Kualitas Data Statistik Gambar 3. Persentase Konsumen yang Merasa Puas dengan Kualitas Data Statistik, 2016 10.70% Puas

89.30%

Sumber: Survei Kebutuhan Data BPS, 2016 Data tahun 2014 menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen (80%) merasa puas dengan kualitas data BPS sedang data kepuasan konsumen pada tahun 2015 tidak mencakup 5


Versi 30 Maret 2017

kepuasan konsumen akan kualitas data BPS melainkan kepuasan konsumen terhadap layanan. Tingkat kepuasan konsumen akan kualitas data BPS pada tahun 2016 meningkat menjadi 89.3%, yang mencerminkan adanya peningkatan upaya dari BPS sebagai penyedia data yang berkualitas dan dapat diandalkan oleh pengguna data. Indikator ini merupakan ukuran terhadap tingkat kepuasan pengguna terhadap kualitas data BPS serta sebagai bentuk pengawasan dan evaluasi untuk penyempurnaan dan peningkatan kualitas pelayanan terhadap konsumen. Dari tahun-ke-tahun diharapkan tingkat kepuasan ini akan semakin meningkat sehingga data yang dihasilkan BPS semakin memenuhi prinsip-prinsip fundamental dari statistik resmi yang berkualitas. 2. Persentase Konsumen yang Menjadikan Data dan Informasi Statistik BPS sebagai Rujukan Utama Gambar 4. Persentase konsumen yang selalu menjadikan data dan informasi statistik BPS sebagai rujukan utama, 2016 8.65% Rujukan Utama Bukan Rujukan Utama 91.35%

Sumber: Survei Kebutuhan Data BPS, 2016 Indikator ini dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepercayan pengguna terhadap data BPS.Tingginya persentase pengguna data yang menjadikan data dan informasi statistik BPS sebagai rujukan utama menunjukkan adanya tingkat kepercayaan konsumen yang tinggi terhadap data dan informasi statistik yang disediakan dan dihasilkan oleh BPS. Sebagai lembaga yang diperintahkan menjadi rujukan utama data pembangunan maka BPS harus dapat meningkatkan tingkat kepercayaan ini sehingga menjadi rujukan utama untuk data pembangunan oleh berbagai pemangku kepentingan. Terjadi peningkatan persentase konsumen yang menjadikan data dan informasi statistik BPS sebagai rujukan utama pada tahun 2016 sebesar 1,35% yaitu dari 90% pada tahun 2015 menjadi 91,35% di tahun 2016. 3. Jumlah Metadata Kegiatan Statistik Dasar, Sektoral, Dan Khusus yang Terdapat dalam Sistem Informasi Rujukan Statistik (SIRuSa)

6


Versi 30 Maret 2017 Gambar 5. Jumlah metadata kegiatan statistik dasar, sektoral, dan khusus yang terdapat dalam Sistem Informasi Rujukan Statistik (SIRuSa), 2011 - 2016 880

1000 702

800 600

705 540

438

444

2011

2012

400 200 0 2013

2014

2015

2016

Sumber: Sistem Informasi Rujukan Statistik, BPS

Indikator ini menampilkan banyaknya jumlah kegiatan statistik dasar, sektoral, dan khusus yang metadatanya berhasil dikompilasi dan disajikan dalam Sistem Informasi Rujukan Statistik BPS. Indikator ini merupakan salah satu indikator penting dalam rangka menunjang Sistem Statistik Nasional (SSN) karena dapat digunakan sebagai ukuran kemampuan lembaga statistik dalam menghimpun metadata dari ketiga kegiatan statistik tersebut. Jumlahnya berfluktuasi dari tahun 2013 hingga ke tahun 2016, terjadi penurunan jumlah metadata kegiatan statistik tahun 2015 namun pada tahun 2016 jumlah ini kembali bertambah seiring dengan banyaknya permintaan kegiatan statistik sektoral. 4. Jumlah Negara yang Memiliki Undang-Undang Statistik Nasional yang Tunduk pada Prinsip-Prinsip Fundamental Statistik Resmi Indonesia telah memiliki UU No. 16 tahun 1997 tentang Statistik yang mengatur tentang jenis statistik dan cara pengumpulan data dari ketiga jenis statistik yang terdiri dari statistik dasar, statistik sektoral dan statistik khusus; penyelenggara statistik dari setiap jenis statistik; diseminasi, serta hak dan kewajiban dari penyelengara statistik. 5. Jumlah Pejabat Fungsional Statistisi Kementerian/Lembaga (K/L) Tahun 2016

dan

Pranata

Komputer

pada

Tabel 2. Jumlah Pejabat Fungsional Statistisi dan Pranata Komputer K/L Tahun 2016 No.

Nama Instansi

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Badan Pusat Statistik Kementerian Dalam Negeri Kementerian Pertahanan Kementerian Agama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Keuangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kementerian Kesehatan Kementerian Sosial

8. 9.

Jumlah Pranata Fungsional Komputer Statistisi 33 3.672 21 41 105 4 23 302 38 56 32

1 7


Versi 30 Maret 2017

No.

Nama Instansi

10. 11. 12. 13.

Kementerian Ketenagakerjaan Kementerian Perindustrian Kementerian Perdagangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kementerian Perhubungan Kementerian Komunikasi dan Informatika Kementerian Pertanian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Kementerian Sekretariat Negara Arsip Nasional Republik Indonesia Badan Kepegawaian Negara Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Badan Informasi Geospasial (BAKOSURTANAL) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) Badan Pengawas Obat dan Makanan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Lembaga Ketahanan Nasional Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Badan SAR Nasional Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Mahkamah Agung Mahkamah Konstitusi Sekretariat Jenderal DPR JUMLAH

14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39.

Jumlah Pranata Fungsional Komputer Statistisi 43 10 26 1 15 1 23

-

62 7 20 49

1 1 13 -

4 6 22 99 39

21 2 6

5

1

12

4

10

-

66 1 46 16 15 6 10 5 10 3 14 10 18 1.323

3.728

Sumber: Bagian Jabatan Fungsional, Badan Pusat Statistik Data tahun 2016 menunjukkan bahwa jumlah pejabat fungsional statistisi dari seluruh Kementerian/Lembaga adalah sebanyak 3.728 orang. Dari jumlah tersebut sebanyak 98% (3.672 orang) berada di kantor BPS, sementara sisanya tersebar di duabelas (12) instansi pemerintahan lainnya. Informasi ini memperlihatkan masih banyaknya Kementerian/Lembaga yang belum memiliki pejabat fungsional statistisi, padahal ketersediaan pejabat fungsional statistisi ini sangat diperlukan agar Kementerian/Lembaga dapat menyediakan data sektoral yang lebih berkualitas. Selanjutnya untuk pejabat pranata komputer hampir semua Kementerian/Lembaga telah memiliki tenaga pranata komputer untuk pengolahan data dan informasi statistik. 8


Versi 30 Maret 2017

6. Jumlah Pengunjung Eksternal yang Mengakses Data dan Informasi Statistik melalui Website Gambar 6. Jumlah pengunjung eksternal yang mengakses data dan informasi statistik melalui website, 2016 160,000 140,000 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0 Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Agt

Sep

Okt

Nov

Des

Sumber: Seksi Pengemasan Informasi Statistik, Badan Pusat Statistik

Website BPS setiap bulan rata-rata dikunjungi oleh 100.000 pengunjung. Selama periode Januari – Desember 2016, total jumlah pengunjung mencapai 1.258.381 orang. Pada periode tersebut, jumlah pengunjung terbanyak tercatat pada bulan Februari dan Oktober dengan jumlah pengunjung yang mencapai lebih dari 140 ribu orang. Tujuan indikator proksi ini adalah untuk mengetahui pengguna eksternal yang dapat mengakses data melalui website BPS, sehingga dapat menggambarkan banyaknya pengguna yang menjadikan data BPS sebagai rujukan karena data dan informasi statistik BPS yang cepat tersedia, mudah diakses serta dapat dipertanggungjawabkan. 7. Persentase Konsumen yang Puas terhadap Akses Data Badan Pusat Statistik (BPS)

100% 80%

Gambar 7. Persentase Konsumen yang Puas terhadap Akses Data BPS, 2013-2016 16,53%

27%

23,62%

73%

76,38%

73,65%

83,47%

2013

2014

2015

2016

26,35%

60% Tidak Puas 40%

Puas

20% 0%

Sumber: Survei Kepuasan Konsumen, Badan Pusat Statistik Selain tingkat kepuasan terhadap kualitas data yang dihasilkan BPS, indikator lain yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan penggunan data BPS adalah tingkat kepuasan pengguna terhadap akses data. Indikator ini mengukur kemampuan BPS dalam memberikan 9


Versi 30 Maret 2017

kemudahan mengkases data dan informasi statistik bagi konsumen data. Selama empat tahun terakhir dari tahun 2013 hingga 2016, jumlah penggunaan data yang merasa puas dengan akses data BPS berkisar antara 73 persen hingga lebih dari 83 persen. 8. Persentase Konsumen yang Menggunakan Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Perencanaan dan Evaluasi Pembangunan Nasional Gambar 8. Persentase konsumen yang menggunakan data BPS dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan nasional, 2016 4.14% 1.27% 17.36%

50.80%

14.97%

11.46% Penyebaran Informasi Perencanaan Penelitian

Skripsi/Tesis/Disertasi Tugas sekolah/Tugas Kuliah Evaluasi

Sumber: Survei Kebutuhan Data, Badan Pusat Statistik Hal lain yang menarik untuk dilihat adalah terkait dengan pemanfaatan data yang diakses oleh pengguna data. Hasil Survei Kebutuhan Data 2015 menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna data memanfaatkan data untuk perencanaan (36 persen) dan monitoring dan evaluasi (27 persen). Namun jumlah ini menurun pada tahun 2016 menjadi hanya 11,46% konsumen yang menggunakan data BPS untuk perencanaan dan lebih banyak jumlah konsumen yang menggunakan data dan informasi BPS untuk penulisan skripsi/tesis/disertasi. Penurunan jumlah konsumen yang menggunakan data untuk perencanaan ini karena sesuai dengan periode penyusunan perencanaan pembangunan jangka menengah khususnya dalam rangka penyusunan RPJMN. Walaupun demikian, penyusunan perencanaan pembangunan tahunan tetap dilaksanakan di setiap tahunnya, dimana data yang digunakan oleh Kementerian/Lembaga sebagian besar adalah data sektoral. Hasil survei ini secara langsung juga menunjukkan kontribusi yang besar dari BPS terhadap penyediaan data dan informasi statistik untuk proses penyusunan perencanaan pembangunan dan penyusunan kebijakan. Selain dari hasil yang disebutkan di atas berdasarkan indikator-indikator capaian di tingkat nasional yang terkait dengan ketersediaan dan kualitas data dan informasi statistik, maka dalam tahun pertama pelaksanaan SDGs, Indonesia telah menampilkan beberapa capaian lainnya, yaitu: 1. Disusunnya potret awal data indikator SDGs Indonesia yang dilakukan oleh BPS, bekerja sama dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas yang telah menghasilkan dokumen metadata SDGs Indonesia sebagai dasar dari potret awal indikator tersebut. Dokumen metadata SDGs Indonesia disusun dengan menerapkan prinsip inklusif dan no-one left behind, yang melibatkan keempat platform partisipatif di Indonesia. Terdapat 134 indikator dari 321 indikator SDGs

10


Versi 30 Maret 2017

Indonesia yang bersumber dari data BPS. BPS melakukan inventarisasi dan validasi data yang menjadi baseline dan potret awal SDGs Indonesia tersebut. 2. Prestasi dan peran BPS Indonesia telah mendapat pengakuan di tingkat internasional. Ketua BPS terpilih sebagai Ketua Komite Statistik di UN-ESCAP untuk periode selama dua tahun dari 2017 – 2018, hal ini merupakan pengakuan negara-negara Asia Pasifik atas kredibilitas kemampuan BPS. BPS juga berperan aktif dalam memberikan masukan terhadap pembahasan indikator-indikator SDGs di tingkat global melalui UNSD. BPS Indonesia juga terlibat dalam pembahasan beberapa indikator SDGs seperti indikator pada goal 16. 3. Dalam kaitan dengan saling berbagi pengetahuan dan pengalaman, maka BPS Indonesia menjadi salah satu rujukan oleh negara Asia Pasifik lainnya, diantaranya berbagi pengetahuan tentang Sensus Ekonomi yang dilakukan BPS tahun 2016. Nepal adalah salah satu negara yang belajar tentang sensus ekonomi di Indonesia. II.

TANTANGAN DAN UPAYA MENGATASI TANTANGAN

A. Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST) Sejak dibentuk pada tahun 2010, telah cukup banyak capaian dan keberhasilan dari Tim Koordinasi Nasional (Tim Kornas) KSST. Peran Indonesia dalam KSST pun mulai mendapat pengakuan dari negara-negara Selatan-Selatan lainnya dan juga oleh stakeholders di dalam negeri sendiri. Meskipun demikian berbagai upaya yang dilakukan masih menemui berbagai tantangan, sebagaimana di bawah ini. 1. Dalam upaya mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan KSST di berbagai Kementerian/Lembaga (K/L) agar lebih terstruktur, efektif dan efisien, Tim Kornas KSST mengembangkan Standard Operation Procedures (SOP) yang mengatur mekanisme kerja antar masing-masing Working Group. Pengembangan SOP ini dilakukan sebagai upaya penguatan koordinasi pelaksanaan KSST yang mengatur hubungan antara Tim Kornas KSST yang menjalankan fungsi koordinasi dengan berbagai stakeholders dalam pelaksanaan KSST. 2. Salah satu tantangan yang dihadapi Tim Kornas KSST adalah menghitung secara akurat total alokasi anggaran dalam pelaksanaan KSST. Untuk mengatasi hal tersebut, Tim Kornas memasukkan KSST sebagai salah satu anggaran tematik yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan No.143/PMK.02/2015 Tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Kegiatan. Dengan demikian, dalam proses perencanaan dan penganggaran, alokasi anggaran untuk kegiatan KSST dapat diidentifikasi di berbagai Kementerian/Lembaga. 3. Evaluasi pelaksanaan kegiatan KSST belum dilaksanakan sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang berlaku. Untuk mendorong pelaksanaan evaluasi tersebut, Tim Kornas KSST menyusun panduan evaluasi yang meliputi pelaksanaan ex-ante, on going dan expost evaluation. Panduan evaluasi tersebut dikembangkan berdasarkan lima kriteria yaitu Relevansi, Efektifitas, Efisiensi, Dampak dan Keberlanjutan. 4. Keterlibatan Indonesia dalam KSST terus meningkat dari waktu ke waktu, tetapi belum diikuti dengan peningkatan awareness publik terhadap KSST Indonesia itu sendiri. Hal ini disebabkan belum adanya strategi komunikasi yang komprehensif (aktivitas promosi 11


Versi 30 Maret 2017

dan public relations) baik secara internal maupun eksternal untuk meningkatkan exposure KSST Indonesia. Hal ini lah yang melatarbelakangi Tim Kornas KSST mengembangkan strategi komunikasi (strakom) KSST. Upaya peningkatan exposure KSST Indonesia dilakukan dengan mempromosikan kegiatan KSST Indonesia kepada masyarakat luas melalui website, newsletter, serta forum-forum publik. 5. Terbatasnya sumber pendanaan dalam negeri untuk implementasi kegiatan KSST. Untuk itu, Tim Kornas KSST telah menjalin kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk mitra pembangunan (development partners). Pelibatan mitra pembangunan diharapkan dapat mendukung pelaksanaan KSST Indonesia dengan lebih efektif dan berkesinambungan, tidak hanya dalam hal pendanaan, namun juga di bidang peningkatan kapasitas kelembagaan, pelaksanaan pilot projects, dan pengembangan modalitas kerjasama triangular yang inovatif. B. Data dan Statistik 1. Penyediaan disagregasi data dengan menganut prinsip no-one left behind masih menjadi tantangan. Upaya yang dilakukan dalam waktu dekat adalah dengan melaksanakan review survei-survei yang telah ada yang memungkinkan untuk didisagregasikan hingga level kabupaten/kota. 2. Sebagai negara yang menerapkan sistem desentralisasi, maka ketersediaan data yang meliputi seluruh wilayah menjadi sebuah tantangan. Desentralisasi menyebabkan munculnya daerah administrasi baru yang juga membutuhkan ketersediaan berbagai jenis data dan informasi statistik untuk mendapatkan gambaran yang sebenarnya mengenai kondisi dan permasalahan yang dihadapi di setiap daerah. Indikator SDGs Indonesia tidak semua dapat didisagregasikan hingga level kabupaten/kota khususnya wilayah baru, sehingga perlu ditetapkan proksi indikatornya yang dapat diperbandingkan dengan wilayah lain yang setingkat serta menampilkan capaian SDGs di tingkat kabupaten/kota. 3. Belum maksimalnya pemanfaatan sistem Teknologi, Informasi dan Teknologi (TIK) pada saat ini menghambat proses pengolahan data hasil kegiatan statistik terutama dari Kementerian/Lembaga lain. 4. Belum tersedianya data untuk beberapa indikator global SDGs karena belum pernah dilakukan pengumpulan datanya dan/ atau data yang tersebar di beberapa tempat. Dari 241 indikator global, Indonesia sudah mengidentifikasi 87 indikator (35,7%) yang sesuai dengan indikator global dan data tersedia, 76 indikator global (31,5%) yang diukur dengan menggunakan proksi di tingkat nasional dan nantinya akan dikembangkan dan diukur sesuai dengan metadata di tingkat global, 73 indikator global (30,7%) yang akan dikembangkan karena Indonesia belum memiliki metode pengukuran atau data tersebar di beberapa sumber data dan harus dilakukan pengumpulan data, serta 5 indikator global (2,1%) yang tidak relevan dengan konteks Indonesia sehingga untuk saat ini belum akan diukur.

12


Versi 30 Maret 2017

Gambar 9. Pengelompokan 241 Indikator SDGs Global Berdasar Ketersediaan Data

5.

Banyaknya kegiatan statistik sektor di Kementerian/Lembaga yang membutuhkan dukungan BPS, sehingga BPS mengalami kesulitan untuk menangani dan memberikan dukungannya. BPS harus didudukkan sebagai koordinator Sistem Statistik Nasional dan sebagai jembatan dalam pembuatan metadata.

III. INOVASI DAN UPAYA PENTING UNTUK PENCAPAIAN TUJUAN A. Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST) 1. Dalam upaya untuk mengoptimalkan potensi dukungan swasta terhadap KSST, Tim Kornas KSST sedang merancang model insentif untuk pelibatan pihak swasta. Hal ini juga sejalan dengan salah satu strategi kebijakan pembangunan untuk meningkatkan peran Indonesia dalam KSST yang dicantumkan dalam RPMNJ 2015-2019. Model insentif ini diharapkan dapat meningkatkan pelibatan pihak swasta dalam kegiatan KSST mulai dari tahapan perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi program. 2. Pelaksanaan KSST berupa knowledge sharing, merupakan salah satu modalitas utama Indonesia dalam pemberian bantuan ke negara-nagara Selatan. Pada tahun 2012, Indonesia telah mendeklarasikan sebagai Country-Led Knowledge Hub (CLKH). Pelaksanaan knowledge sharing berfokus pada tiga area yang menjadi flagship yaitu isu pembangunan (development issues), tata kelola pemerintahan yang baik dan penciptaan perdamaian (good governance & peace building), serta isu ekonomi (economic issues). B. Data dan Statistik 1.

Indonesia sedang berupaya untuk mengembangkan mekanisme satu pintu untuk keluar masuk data secara nasional atau disebut dengan Satu Data (onedata). BPS akan menjadi koordinator dan pusat kebijakan Satu Data tersebut.

13


Versi 30 Maret 2017

Gambar 10. Portal Satudata dan Platform Visualisasi Data SDGs

2.

Indonesia telah berupaya mengembangkan metadata SDGs Indonesia dengan menghasilkan sebanyak 321 indikator dari 87 indikator nasional yang telah sesuai dengan indikator global dan 76 indikator global yang memiliki proksi di tingkat nasional yang jumlahnya 234 indikator proksi. Pengembangan metadata SDGs Indonesia ini bertujuan untuk menjadi acuan dalam penyusunan rencana aksi baik tingkat nasional maupun daerah yang menerapkan prinsip inklusif dan no-one left behind.

3.

Usulan Indonesia untuk pembaruan 10 Indikator SDGs yang akan dibahas pada Inter Agency Experts Group (IAEG).

4.

Standardisasi data juga telah dilakukan dengan melalui penguatan terhadap lembaga pengelola data yang dimiliki Kementerian/Lembaga.

IV.

EMERGING ISSUES

A. Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST) 1. Pelaksanaan KSST memerlukan penguatan kerangka regulasi khususnya pada bisnis proses. Penyusunan kerangka regulasi tersebut bertujuan untuk meningkatkan efektivitas hasil pelaksanaan kegiatan KSST dan efisiensi penggunaan sumber daya anggaran. Selain itu, diperlukan penyusunan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pemberian hibah oleh Pemerintah Indonesia kepada pihak asing. Hal ini bertujuan untuk mendorong peran Indonesia yang hanya berperan sebagai penerima bantuan (recipient) tetapi juga sebagai penyedia bantuan (provider) kepada sesama negara berkembang. 2. Dalam rangka penguatan kelembagaan, maka koordinasi diarahkan menuju one gate policy, yang pada masa mendatang akan dilakukan oleh suatu single agency. Saat ini, Tim Kornas KSST sedang memformulasikan bentuk kelembagaan yang paling tepat untuk single agency tersebut. Salah satu opsi bentuk kelembagaan yang sedang dijajaki adalah lembaga yang dapat mengelola mekanisme pooling of fund.

14


Versi 30 Maret 2017

3. Selain itu diperlukan penguatan kerangka pendanaan program KSST. Pendanaan program KSST diupayakan untuk terus ditingkatkan baik melalui pendanaan dari Pemerintah (termasuk pemerintah daerah), swasta, filantropi maupun dari development partners. B. Data dan Statistik 1. Indonesia akan melakukan review atas UU no.16 tahun 1997 tentang Statistik sehingga UU dapat lebih mengikuti prinsip-prinsip fundamental statistik resmi. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan lembaga statistik (BPS) dalam memonitor perkembangan kebutuhan statistik nasional. 2. UU No. 23 tahun 2014 (bagian matriks lampiran berisikan Pembagian Urusan pemerintahan bidang statistik) menjadi dasar pembentukan dinas statistik di tingkat daerah, dengan tugas dan pembagian yang tidak jelas dan cenderung tumpang tindih. Dengan demikian, perlu dikaji kembali atas lampiran UU No. 23/2014 tersebut, mengingat pembagian tugas antara dinas statistik dengan BPS di tingkat kab/kota belum sesuai dengan kaidah-kaidah penting kegiatan statistik. Kondisi ini dapat mempengaruhi proses dan kualitas pengumpulan data SDGs di daerah, dan kesulitan dalam proses koordinasi pengumpulan dan analisis data SDGs antar unit statistik di daerah. V.

PEMBELAJARAN

A. Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST) 1. Sebagai salah satu emerging countries yang berada dalam level lower middle income country, Indonesia disamping negara recipient, juga mulai berperan sebagai negara ‘provider’ yang memberi bantuan untuk negara Selatan lainnya. Hal ini sebagai wujud dari penerapan politik bebas aktif Indonesia dalam ikut memperjuangkan kepentingan bersama negara Selatan-Selatan dalam upaya menciptakan tatanan dunia yang lebih adil dan sejajar. 2. Praktek KSST yang menekankan pada knowledge sharing memberi manfaat bagi Indonesia, tidak hanya dalam hal berbagi pengetahuan dengan negara lain, namun Indonesia juga memperoleh pembelajaran dari negara penerima bantuan (proses secara dua arah). 3. KSST menjadi instrumen untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia di fora internasional, khususnya dalam bidang politik dan ekonomi. B. Data dan Statistik 1.

Peningkatan penggunaan IT dalam pelaksanaan survei-survei yang dilakukan BPS, yaitu antara lain dalam pelaksanaan Survei Kesehatan dan Pengalaman hidup di Papua

2.

Meningkatnya peran BPS dan staf BPS di fora internasional.

3.

Proses penyediaan data SDGs telah menciptakan wadah komunikasi yang baik antar pelaku kepentingan, terutama dalam proses pengumpulan data, pemanfaatan data, dan analisis data yang melibatkan semua pihak. Proses penyediaan data SDGs ini pun telah membantu para pemangku kepentingan untuk memahami dan memberikan arah pembangunan secara lebih terintegrasi dan lebih jelas.

15


Versi 30 Maret 2017

4.

Pengembangan metadata SDGs Indonesia memberikan pembelajaran tentang pentingnya metadata indikator sehingga indikator yang ada dapat dioperasionalisasikan dan menjadi rujukan dalam perencanaan pembangunan. Proses pengembangan data dan penyusunan metadata yang melibatkan semua pihak merupakan salah satu penerapan dari prinsip-prinsip utama SDGs yang inklusif dan no-one left behind. Dokumen metadata yang telah disusun tersebut akan menjadi rujukan penting dalam pelaksanaan SDGs di Indonesia, karena dokumen tersebut berisi hasil identifikasi ketersediaan indikator SDGs yang mencakup sumber data dan cara perhitungannya, identifikasi data yang perlu dikembangkan lebih lanjut, serta kebutuhan terhadap pengembangan indikator yang saat ini belum dimiliki oleh Indonesia.

16


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.