3 minute read

CERPEN

Next Article
BINA ROHANI

BINA ROHANI

Lelaki yang Menikah dengan Pena

Oleh ISDIYONO

Advertisement

KEMARIN istriku lahirkan dua anak “Empat Jari Hamka” dengan berat 2913 karakter dan “Sayap Lalat” dengan berat badan 1522 karakter. Lha, apakah pena berjenis kelamin? 06:38:07 09-03-11.

Entah sudah berapa lama aku mengenal lelaki itu, hingga kini tak berubah sama sekali. Selalu memegang prinsip hidupnya: “dengan menulis, maka aku ada”. Satu pameo yang digubah dari satire Socrates: “aku berpikir, maka aku ada”. Dalam benaknya, ia pikir telah menjalankan kodrat sebagai seorang manusia yang beradab. Selalu berpikir dan menjadi orang yang tak kenal lelah berjuang untuk sebuah kebenaran.

Menjadi seekor burung, terbang di atas awan yang biru untuk menemukan makna kebebasan. Kebebasan seekor burung di angkasa, berbeda dengan bebasnya singa yang terlepas dari kandangnya. Burung akan memiliki pandangan yang luas ketika dia terlepas. Sedangkan singa, harus mengaum dan mencari pengakuan ketika menemukan daerah kekuasaan yang baru. Menjadi seliar singa ataukah sebebas burung yang terbang di angkasa, itulah pilihan. Tidak akan menimbulkan kekecewaan.

Yang tak biasa baginya adalah ketika orang membicarakan cinta. Asosiasinya merembet kepada urusan-urusan perihal kekasih, pacar, simpanan hingga tragedi para kupu-kupu malam. Tak heran jika dia tak merasa tersiksa ketika satu per satu temannya telah beristri atau memiliki kekasih.

Dia masih saja belum mengerti dan berusaha berkelit dari takdir. Merangkai kata-kata pelarian dengan terus menulis. Tak pernah sedikit pun berkeinginan mengalihkan seluruh pandangannya tentang dunia. Seolah seluruh nafsunya telah terpenuhi ketika dia lihat koran di pagi buta memuat satu atau dua tulisannya. Bercinta tanpa pernah menyentuh kesucian seorang pun perempuan.

“Siapa termuat hari ini?” sms dia padaku. Dan kuyakin pada teman-teman yang lain juga. Seolah-olah dia sendiri belum membacanya. Padahal, kutebak ia sedang membolak-balik halaman koran di pinggir jalanan dekat alun-alun kota. Barulah ia sebarkan pada semua orang ketika tak ada seorangpun yang mampu menjawabnya. Terkadang, ada juga teman yang komplain padaku, “Kenapa ya, lelaki itu sms aneh akhirakhir ini?” Aku tertawa kecil di seberang handphone, membaca sms tersebut. “Seperti anak kecil saja,” katanya kemudian.

Bertahun-tahun, lelaki itu masih saja tak juga memutuskan untuk menikah. Padahal, kalau ia mau, materi bukanlah masalah. Cukup sekali dua kali berkirim artikel, dapur pasti mengepul. Masalah agama, tak usah diragukan lagi. Hampir seluruh tulisannya terdapat kandungan nilai keagamaan. Nuansa sufistik tersusun melalui kata-kata yang tersusun dengan rapi, mendayu tetapi tak berlebihan, terurai tanpa mengurangi substansi dan bobot. Jelaslah jika tujuan utamanya adalah untuk mengajak orang-orang pada kebenaran, lepas dari kebodohan, dan menegakkan keadilan.

Pada setiap pertemuan di forum yang ia bangun sendiri, mata sipit akhwat tersenyum-senyum sendiri mencuri pandang. Berharap diperhatikan atau sekedar ingin melihat reaksi ketika tulisannya dibahas. Berharap mendapat kalimat, ”Tulisanmu bagus, coba kirim ke koran Rakyat...” Dan kukira, tak sedikit yang akan rela mendampingi sisa hidupnya untuk terus menyibakkan tirai kegelapan dan menyampaikan kebenaran. Tetapi sekali-kali tidak. Baginya pena adalah segalanya. Bahkan, dia rela mengabaikan para perempuan surga demi menemani pena, siang dan malam.

Hmm, hidup memang terkadang aneh. Hingga pada akhirnya, aku berkesimpulan bahwa kehidupan ini sungguh aneh dengan orang-orang yang aneh, kejadian-kejadian aneh, dan bahkan terkadang kudengar suara-suara alam pun berden-

cerpen

ISTIMEWA

dang dengan nada yang belum kudengar sebelumnya.

Pena, setahuku hanyalah sebuah benda kecil, menghasilkan garis-garis tipis ketika tergores. Dia tak hidup tetapi dapat menghidupkan berbagai perasaan, keterikatan, dan cerita-cerita tentang perjalanan kehidupan. Berbagai warna, berbagai suara, berbagai rasa, berbagai hal yang bisa diindera ataupun yang tidak dapat diindera oleh indera manusia yang terbatas.

Kemarin Mak Darsem dikisahkan sedang meringkuk di sel tahanan khusus di Negara Seribu Satu Malam, Pak Gayus yang selalu menebarkan senyum. Pak Susno masih terus mengurai senyum kepada para wartawan, atau Pak Beye yang selalu memegang jidatnya ketika memulai pidato. Ah, berita-berita memang nikmat disajikan dengan sebening embun yang tersisa di rumput-rumput taman. Dan, seperti biasa, tak satupun tema bercerita tentang cinta.

Cinta yang telah lama menggerogoti relung-relung hati remaja yang sedang mencari jati diri. Yang ingin memiliki dan tak takut mati jika tak ada respon dari orang yang dicintainya. Dan membuat orang menjadi pujangga ketika merasa apa yang diidamkan telah menancap dalam di hatinya. Meski, pada kenyataannya, cinta bukanlah hal kebendaan. Cinta adalah rasa, yang tak bisa dibohongi, tetapi bisa membohongi orang lain untuk menemukan muaranya.

“Daun yang jatuh terbawa angin. Di antara perjalanan-perjalanan itu, ada sebersit angin, ada yang terjatuh, ada yang terbang beberapa jarak baru menerjunkan dirinya. Ada pula yang tersangkut di tempat-tempat tinggi dan tak pernah turun kembali.” Angin tetap mendayu seperti biasa. ***

“Le, mbok kowe gek ndang rabi. Simbok isin nek kowe ora ndang rabi. Rak wis iso golek duit to?”

Hari masih sore, tak ada kata yang terucap dari bibir lelaki itu. Hanya saja, dia terlihat sedikit berpikir, “Ah, aku rindu pena….”

ISDIYONO mahasiswa PGSD Fakultas Ilmu Pendidikan UNY

This article is from: