4 minute read

CERPEN

Next Article
BINA ROHANI

BINA ROHANI

Pemetik Hujan

Oleh EKO TRIONO

Advertisement

beda muasal. Dear, apa di Afrikamu juga begitu?

Di kota kita, aku hanya mau melihat hujan dari kotak hujanmu yang bening dengan suara anak-anak berlarian, katak bernyanyi. Aku tak tahan mendenar angin hujan mengirim tangis bayi dari rumah kardus setiap kali deras melanda, rumah mereka lempuh, sungai meluap, situ jebol, orang-orang pinggiran itu panik mengumpat pejabat. Pejabat panik sepatunya basah mengumpat musim. Musim terus diumpat sebab kata orang-orang, setiap kali hujan turun, sepatu bakal kotor, jemuran tak kering, jadwal penerbangan tertunda, dan seterusnya. Di kota hujan telah jadi ancaman, sayangku. Butiran itu mendera dan menderasi jalanan dengan amukan yang tajam, seolah mereka, butiran-butiran air yang sejatinya lembut itu adalah orang-orang kalap yang anarkis. Mereka membuat banjir, menumbangkan pohon, membuat orang menunggu pada sebuah kafe sambil mengumpat, atau membuat padam listrik.

Dear, apa di Afrika sana orang-orang juga takut dan khawatir pada hujan yang sering mendera dan menderasi jalanan? Atau mereka sama sepertimu, merindukan hujan yang turun dengan lembut dan suara katak dan suara kanak yang bermain di bawahnya?

Aku sempat khawatir petugas bandara akan menyita kirimanku padamu. Alasannya pasti banyak, sebagaimana setiap birokrasi selalu punya alasan, mungkin mereka dilahirkan untuk pandai beralasan. Mungkin mereka akan beralasan: hujan di Indonesia sangat berbahaya, anginnya kencang, bisa menimbulkan gelombang tinggi, nanti nelayan Afrika tidak ada yang melaut, dan ikan-ikan bakal tak tertangkap, gizi buruk melanda, dan seterusnya. Atau mungkin dengan gaya filosofis, petugas bandara kita akan berkata bahwa hujan kirimanku padamu itu bisa mengganggu stabilitas politik.

Bagaimana bisa?

Kalau logikaku mungkin mereka berpikir hujan akan menginspirasi orang untuk turun ke jalan. Bukankah hujan turun sebab mendung di langit, dan orang-orang turun sebab mendung di hati, dan di hidup mereka masing-masing?

Lihatlah, sayang, awan yang hitam akan terasa lega bila telah menurunkan anak-anaknya ke jalan. Mungkin manusia juga demikian. Mereka sama-sama berteriak, dan yang lain, mempias. Menjeritkan satu kemendungan yang harus dihalau. Tapi di kota-kota kita, hujan sudah tak dihiraukan suaranya, mereka telah jadi ancaman yang harus dihindari, tak perlu didengarkan.

Dear, apabila telah sampai kirimanku dengan utuh kepadamu, nikmatilah rasa rindumu pada hujan dan diriku.

Simaklah air hujan yang turun dengan lembut dari langitlangit kotak kaca beningmu, bukan hujan yang turun den-

DEAR, kabarmu di Afrika sudah sampai ke hadapanku kemarin senja. Juga tentang hujan yang mengalami kelangkaan di tempatmu menimba nasib untuk kita kelak, dan, seperti katamu: orang-orang yang mendadak jadi beringas. Terus terang, aku khawatir. Dalam pada itu, malam tadi aku telah menuju tempat paling rahasia di antara kita berdua semasa berpacaran. Telah kuambil kotak hujan. Kotak bening kaca, hadiah ulang tahun darimu, di mana senantiasa dapat kulihat hujan turun yang kau abadikan entah bagaimana caranya itu; mungkin suatu hari kau akan berbagi tentang caranya mengabadikan hujan dalam kotak kaca yang bening dan cemerlang.

Ketika kuambil, kotak kaca hujanmu masih gemuruh.

Masih seperti saat pertama kau berikan: masih kudengar suara rintik dari air yang dijatuhkan dari langit dan udara yang sejuk dingin mengambang.

Seperti katamu, hujan itu kau ambil dari pegunungan. Dari desa-desa di kaki bukit. Di antara jeda jalan kecil, semak, dan hutan hijau yang mengambar. Dengar sayang, katamu lagi, ini bukan hujan dari kota.

Dear, benar katamu. Sampai kubuka tadi, dan sepanjang malam, sebelum kukirimkan padamu, masih kudengar suara katak yang disimpan angin hujan yang lembab itu. Mereka berkotek, bernyanyi dengan riangnya. Dan sesekali samar, sayup sampai, kudapati suara kanak-kanak yang berlarian di bawah hujan. Mungkin mereka sedang berplesetan di jalan becek yang lembut, atau berbaris antri, bahkan mungkin berebut di bawah talang rumah yang mengucur, atau mungkin mereka sedang saling bergundu, atau diam saja suatu ketika. Diam tiduran di tanah becek yang lembut memandang langit dengan mata waspada dan mulut mungil yang terbuka berlomba menangkap sebanyak mungkin butiran hujan yang terkadang terasa sedikit jahil itu.

Aku juga masih mendengar, dan kuharap nanti kaupun mendengarkannya sendiri, sayang, suara daun yang dipeluki butiran hujan, dicoleki tiap butir yang turun membumi. Dan sungai-sungai di balik bukit yang gemuruh, bebatuan yang tergores, juga ibu burung-burung yang bernyanyi bagi anaknya yang kedinginan. Ah, aku juga ingin segera jadi ibu, sayang.

Dear, dalam pada itulah, setiap kali aku bertugas di kota, selalu kubawa kotak hujanmu.

Sebab tahu benar, di kota-kota kita, hujan seringkali turun sebagai ancaman bagi semua orang. Jalan-jalan yang memang berlubang itu, bakal menggenang. Kendaraan kuyup. Pejalan terkeciprat. Pohon-pohon sering kali tumbang. Dan orang-orang seringkali bakalan marah satu sama lain, saling mengumpat, seolah mereka adalah mahluk-mahluk yang ber-

cerpen

ISTIMEWA

gan ganas memangsa kota dan apa saja. Lihatlah hujan yang jernih itu, bukan asam dan penuh debu lalu asap dalam satu. Dengarlah nyanyian kanak lugu yang telanjang menghadapi hujan, menikmatinya bahkan. Mereka tidak takut dan jirih pada musim. Mereka selalu siap menerima musim dengan tawa, musim hujan mendekat, mereka menyiap permainan di bawah hujan, musim kemarau menjelma secara mendadak: layang-layang tahun silam masih kuat untuk diterbangkan. Alangkah indah dan berpadunya hidup dengan kenikmatan seperti itu, sayang.

Kau juga masih dapat melihat bukit hijau yang melatari turunnya hujan dalam kotak beningmu. Entah bagaimana, kau begitu hebat. Lihatlah, kau pasti bakal kembali menciptakan seribu puisi tentang hujan, juga tentangku, yang katamu mataku adalah mata hujan yang indah, hujan yang lembut.

Kalau sempat, ajaklah teman-temanmu di Afrika sana untuk ikut serta menyimak dan memperhatikan kota hujan ini. Dengan suara katak, ricik lembut, dan anak-anak yang bebas bermain di bawah hujan tanpa takut dengan ancaman apapun. Ceritakanlah bahwa hujanmu adalah hujan di kaki bukit pedalaman dengan jalan kecil yang basah dan penuh dengan rahasia. Semoga mereka sedikit terhibur dari cengkraman matahari yang lebih lama dan lebih sering memangsa kebebasan mereka menikmati hujan.

Peluk jauh, cintamu.

Yogyakarta, 2011

EKO TRIONO mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNY

This article is from: