Lembata (indonesia) by Valentino Luis for National Geographic Traveler Indonesia

Page 1

Galur Pitarah

Semesta Lembata

Yustan, seorang remaja Lembata beristirahat sejenak sembari memandangi puncak Gunung Ile Ape, titik tertinggi di Pulau Lembata.

Bak terseret alur novel misteri, menyingkap jati diri orang-orang Lembata yang tak pernah kehilangan kampung asal mereka.


teks dan foto oleh va l e n t i n o l u i s

D

i k a k i b u k i t s a ­­ bana Waijarang, kira-kira sepuluh kilometer arah barat kota Lewoleba, Vincent Halimaking memandu saya m e ny ib a k t a n gk a i- t a n gk a i ilalang kering yang tingginya m e l a mp au i p a n gk a l p a h a .

“Dulu, di sekitar perbukitan ada banyak rusa, Bang,” kata Vincent ketika kami menemukan titik yang pas untuk berpijak. “Leluhur kami, klan Paji adalah empunya sebagian besar lahan ulayat di sini. Kelihaian mereka yakni berburu hewan liar, termasuk rusa. Biasanya di musim kering seperti sekarang.” Sejurus kemudian pria muda yang berprofesi sebagai guru itu bergumam lirih, “Sayang sekali, populasi rusa menghilang di akhir tahun sembilan puluhan, seiring datangnya kelompok polisi yang menembaki rusa sebagai luapan hobi. Mereka menggasak semuanya tanpa pandang usia, tanpa sisa.” Sembari menunggui saya memotret, Vincent mengisahkan hikayat leluhurnya. Sampai kami berpindah lokasi ke tanjung berpanorama lautan yang dinamai Bukit Cinta pun ia tetap semangat bercerita. Sudah seminggu saya di Lembata, dan hampir tiap hari ada saja kisah-kisah menarik mengenai sejarah leluhur yang dituturkan penduduk. Saya kerap tercengang, karena koleksi hikayat mereka tak hanya rapi dalam memori, tetapi juga mudah sekali dinarasikan ulang. Di dunia masa kini, dengan berkali-kali migrasi yang dialami manusia, kehilangan jejak kampung asal—akibat bencana, perang, maupun pencarian penghidupan—acapkali menerbitkan rasa hampa pada generasi sesudahnya. Ketiadaan jawaban untuk pertanyaan ‘dari mana dan dari siapa kita berasal’ menambah buramnya jejak asal leluhur. Belum lagi, ketidaktahuan akan alur-alur pohon keluarga. Tetapi, orang-orang Lembata, sungguh, berbanggalah mereka karena mengenal akarnya dengan baik.

42 National Geographic Traveler

“untuk itulah kenapa ada tahap Penu Koke Bale dalam ritual Pesta Kacang kampung adat kami. Selain menyatukan semua anak cucu turunan, kesempatan ini dipakai pula oleh para tetua untuk memberi wejangan, juga mengisahkan kembali sejarah para leluhur,” tutur Bapak Mikael bersemangat. “Anak-anak harus tahu dari mana asalnya, supaya bisa saling menghargai satu sama lain antar suku. Termasuk kemudian hari, jika bepergian jauh, mereka tetap sadar siapa mereka.” Saya menjumpai Bapak Mikael di kampung adat Lewohala, dalam kunjungan untuk menghadiri Pesta Kacang, sebuah tradisi tahunan untuk merayakan panen dari dua suku utama yang berdiam bersama di sisi selatan lereng Gunung Ile Ape. Ritual ini, kendati prosesnya sama, namun tidak dilakukan serentak untuk satu kampung, melainkan bergantian. Puluhan rumah suku di Lewohala beratap pelapah, berapitan menempati lereng, menghadap ke Teluk Jontona. Pagi-pagi atmosfer memikat hadir manakala fajar menerobos kisi rumah. Namun lebih sinematik pada jam empat hingga enam sore, saat tarian perang digelar di pekarangan kampung. Terpentaskan semata untuk ritual, bukan pameran bagi pejabat atau turis. Dua pasukan anak-anak menari berlawan-lawanan, diiringi rancak gong. Hentakan kaki yang lincah menerbangkan debu. Begitu matahari menebar sorot keemasan, semua elemen dalam tarian itu tak ubahnya mahakarya pertunjukan kolosal. Di rumah sukunya, keluarga Bapak Mikael menyimpan pusaka berupa gading gajah yang panjangnya dua meter. Imajinasi saya seketika terhubung pada Manfred, mamut berbulu dalam film Ice Age.

Wisatawan menikmati rona senja di Bukit Doa. Sejatinya bukit ini merupakan sebuah tanjung yang dihiasi patungpatung kudus Bunda Maria dan perjalanan sengsara Yesus (atas). Kelompok anak-anak mempertontonkan Tarian Perang di Lewohala (kanan). Halaman sebelah: Bunga karang banyak dijumpai di perairan dangkal Jontona. Laut tenang dan tebaran koral tepat di bibir pantai menjadi daya tarik utama.


Di samping itu ada pula peti kayu lapuk, berukir kembang delapan arah mata angin yang ditempeli butiran kristal kecil. Dalam peti tersimpan piring-piring lebar serta mangkuk porselen, juga bermotif bunga. Beberapa rumah suku di Lewohala memiliki pusaka yang sama. Saya pernah ke India, dan corak pada peti maupun porselen ini kental dengan India. “Berdasarkan kisah turun-temurun, leluhur dari suku-suku di Lewohala tidak datang dari India, melainkan dari Seram, utara Maluku. Mereka meninggalkan Seram dan berlayar mengikuti arus laut, hingga akhirnya terdampar di Teluk Jontona. Mungkin gading serta peti porselen ini adalah hasil tukarmenukar, karena adapula nekara serta kain-kain tenun kuno yang dimiliki kami. Konon, banyak orang meninggalkan Seram waktu itu karena serangan makluk aneh, � tutur pria tua itu. Saya tercengang. Saya pernah mendengar legenda tentang makluk buas serupa manusia berbulu lebat di Seram. Orang Boti, demikian penduduk asli menyebutnya. Peminum darah itu menyebabkan warga hengkang. Bisa jadi, itulah penyebab migrasi. Jika dalil itu benar, di Lembata—berjarak ribuan kilometer dari Seram—saya menjumpai benang merah antara legenda tua Seram dengan asal muasal para progenitor Lewohala. Oh, menyelami perjalanan leluhur itu bagaikan diseret menembus alur novel misteri! bila pitarah lewohala diyakini datang dari Seram, beda lagi di Lamalera. Orang-orang yang dikenal sebagai suku cerdik pandai itu mengakui leluhur mereka adalah kaum pelaut ulung asal Luwuk, Sulawesi Selatan.

Oh, menyelami perjalanan leluhur itu bagaikan diseret menembus alur novel misteri! Lamalera yang kerontang terletak di pesisir selatan Lembata. Tempat ini memiliki drama tersendiri; antara mistisisme yang tersemai hingga ke sudut rumah dengan panorama terbittenggelamnya sang Surya yang impulsif, antara cadasnya alam dengan nama besar sebagai kampung para pemburu Paus. Syahdan, ketika Majapahit meluaskan kekuasaanya hingga ke belahan timur Nusantara, banyak kerajaan dilebur untuk bersatu, termasuk Kerajaan Luwuk. Tentara-tentara setempat memperbanyak jumlah kaki tangan untuk propaganda Majapahit, diutus menyebar ke berbagai penjuru. Sekelompok tentara bahari berlayar mengarungi perairan, hingga pamungkasnya singgah ke Lamalera lalu menetap beranak pinak. Syair penutur perjalanan nenek moyang Lamalera, Lia asausu, selalu dinyanyikan setiap upacara kebesaran. Hingga kini termafhumi sebagai dokumen lisan tambo silsilah mereka. Konon, Mahapatih Gajah Mada bahkan pernah

Monumen tarian Dolo-dolo berdiri megah di taman pusat kota Lewoleba. Tarian Dolo-dolo merupakan tarian khas Lembata yang umumnya dipentaskan saat perayaan panen.


bertandang ke Lamalera, meninggalkan sebilah keris pusaka, juga menahbiskan perburuan paus dan mamalia laut sebagai sumber penghidupan bagi abdi-abdi yang tinggal di tanah gersang itu. Demikianlah paus dipandang sebagai anugerah para leluhur yang dihadirkan demi menyelamatkan warga dari kelaparan, sebab potongan dagingnya sanggup bertahan sepanjang tahun dan lelehan minyaknya berkhasiat. “Nenek moyang kami telah meletakkan dasar juga kiat bertahan hidup. Cara menghargainya adalah dengan menjaga apa yang telah diwariskan,� ujar Bapak Petrus Blikololong, seorang Ata Mola, ahli pembuat Peledang, sampan untuk berburu Paus. Di cekungan pantai kecil Lamalera, berjejer pondok-pondok yang dibuat khusus sebagai garasi Peledang. Di sekitar sinilah denyut hayat Bapak Petrus dan para lelaki Lamalera bisa dijumpai. Saban hari mereka duduk di pantai, memperbaiki sampan atau mengerjakan kriya penopang hidup lainnya, sembari mengawasi bocah-bocah bermain air sekaligus berlatih menikam paus dengan tongkat-tongkat kecil. Jika ada kerusakan pada Peledang, segera pula diperbaiki. Tidak sulit mengenali kepemilikan Peledang, lantaran tiap sampan mempunyai nama sebagai simbol suku. Kerabat Bapak Petrus dari suku Blikololong dan Bataona misalnya, merupakan empunya Paledang terbanyak. Jafa Tena, Sikka Tena, Horo Tena, Sinu Sapang, Demo Sapang, dan banyak lagi namanya. Itu barulah satu suku, belum yang lain. Mereka juga menambahkan tulisan pada sampan yang dikutip dari Injil, umumnya berbahasa Latin, seperti Tempora Mea (Nasibku dalam tangan-Mu), Ora et Labora (Berdoa dan bekerja), atau In Verbo Tuo (dalam perintah-Mu). Di tengah-tengah jejeran pondok bagi Peledang, berdiri sebuah Kapel berwarna biru cerah, pusat kegiatan religius sebelum musim berburu paus dimulai. Lokasi Kapel itu, dulunya adalah altar sesajen para leluhur yang masih animis, tempat tumpukan tengkorak manusia, namun diubah kekeramatannya begitu agama Katolik diterima penduduk.

Wairiang

10

Kabupaten Flores Timur

Sela tB

0KM

ng ole

Lamauu

Lewolaha Waipukang Hadakewa Lewoleba E M Waijarang L a er ak Kalikasa . m P La Loang S. Wulandoni Lamalera

Para nelayan Lamalera menaikkan layar sampan mereka yang terbuat dari jalinan daun gebang.

Balauring

Ile Ape

B

A

T

A

Selat A l o r Kabupaten Alor

AREA DIPERBESAR

NUSA TENGGARA TIMUR

47 Maret 2016


panduan pejal an

Pai tite tai teti, Lembata! t r a n s p o r ta s i Melalui jalur udara, dengan terlebih dahulu transit di Kupang. Maskapai yang setiap hari beroperasi yakni Trans Nusa dan Susi Air. Jalur laut dilayani oleh sejumlah armada, seperti KM Bukit Siguntang (0383 41521/41031) rute MakassarMaumere-Lewoleba, Fery cepat Cantika Ekspres rute KupangLewoleba setiap Rabu. Bisa juga dari Larantuka (Flores Timur) setiap hari, pagi dan siang, oleh KM Lewoleba Karya, KM Sinar Mutiara, Kapal cepat Fantasi Express, dan Ina Maria Ekspress.

Sisa tulang ekor paus biru (Balaenoptera musculus) yang pernah terdampar hidup-hidup di pesisir kampung Ohe. Lamalera dan paus adalah dua hal yang saling berkaitan dalam tradisi masyarakat. Paus pun tampil pada tenun tradisional orang Lamalera.

Aroma daging paus akan tercium manakalah kaki melangkah ke sisi timur Kapel karena disitu memang dagingdaging dijemur hingga mengeras. Tulang-tulang paus yang telah kering dijadikan hiasan di gang-gang kecil dan halaman rumah. Demikian besar arti koteklema (sebutan setempat untuk paus) bagi orang Lamalera sehingga gambar mamalia raksasa ini pun ditampilkan pada motif kain tenunan mereka. Bapak Petrus menjelaskan bahwa sekalipun dipandang sebagai berkah, tidak berarti paus datang dengan mudahnya. Nyawa adalah taruhan. “Kami terikat peraturan adat. Tabu memakai senjata lain selain apa yang sudah diwariskan turun temurun,” kata lelaki ini dengan arif. Sejujurnya, saya kontra dengan praktik perburuan paus. Namun di Lamalera, menghabiskan beberapa hari di sini akan mengubah pandangan kita. Tanpa diminta, tanpa dipaksa, kita akan meninggalkan Lamalera dengan pemahaman baru. Berpikir kembali lagi ke sini, apapun rupa kampung ini. napas saya tersengal. Saya harus tetap bergerak cepat. Bila tidak, saya kehilangan momen matahari terbit di kaldera Ile Ape, mahkota Lembata. Orang-orang yang berdiam di kaki gunung ini lebih akrab menyebutnya Ile Lewotolok. Mereka percaya, penduduk asli Lembata berasal darinya. “Di mana letak pemukiman leluhur kalian?” tanya saya sesampainya di tengah lapangan kaldera. Yustan dan Vergi,

48 National Geographic Traveler

dua remaja yang menemani saya mendaki itu saling menatap bingung. Lalu, keduanya tersenyum berbarengan. Paham. “Bukan di tengah kaldera ini, tapi di lereng, dekat jalur pendakian kita tadi pagi,” jawab Yustan. Ia lantas menjelaskan bahwa lubang kecil tepat di balik kaldera tak jauh dari lokasi kemah kami adalah tempat berdiamnya leluhur pemula. “Tanahnya landai dan ditumbuhi rumput seperti permadani.” Saya menyeritkan kening. Bukankah itu ideal untuk berkemah? “Jangan, Bang. Menginap di sana tidak akan tenang malammalam,” sambungnya pelan. Ia membaca pikiran saya dengan jitu. Lalu seperti Vincent, Bapak Mikael, dan Bapak Petrus Blikololong, kedua teruna ini pun mengisahkan cerita berplot okultis, sejarah bahaduri leluhur mereka. Angin mendesis, iring-iringan mega mendekati Ile Ape. Saya menyukai Lembata, beserta segala yang ada di bawah duli semestanya. Rasanya ingin menggali galur pitarah pulau ini lebih dalam, meski saya tahu bahwa tidak akan sampai ke tujuan semestinya. Seperti para pejalan lain, saya tidak pernah puas dan tidak bakalan betul-betul paham tatkala menyibak masa lalu, bahkan di titik di mana orang mungkin berpikir bahwa saya telah paham.

valentino luis Pejalan, penulis, dan fotografer kelahiran Maumere. Pernah menggelar pameran foto tentang Indonesia di Napoli, Italia.

wa k t u b e r k u n j u n g Mungkin, sebagian pejalan menyukai kondisi jalan yang buruk karena memang akan ada drama tersendiri saat melintasinya. Jalan buruk, namun pejalan digoda panorama memukau. Bagi yang ingin nyaman, hindari kunjungan pada musim hujan, sebab jalanan berkubang dan berlumpur. Sekitar Mei-November adalah waktu yang tepat. Pecinta lanskap, kunjungan terbaik pada Juni. kala rerumputan dan pohon sedang transisi warna. Ritual-ritual adat seperti Pesta Kacang digelar pada Oktober.

Di nusa imut bernama Pulau Komba, antara Lembata dan Solor, menyembul sebuah gunung berapi, Batutara. Gunung ini sedang aktif, dengan semburan lava menuju lautan. Terjadi setiap hari tanpa henti, tiap dua puluhan menit. Saksikan kala malam, ketika bunyi gemuruh disambut letusan awan, yang diikuti pijar lahar tak ubahnya pendaran kembang api. e r u p s i b at u Ta r a

dilaporkan ole h vale ntino lu is

Saung di Bukit Cinta, tempat favorit warga untuk menikmati matahari tenggelam.

eksotika WIsata timur

BERGAUL

Petualangan Alam dan Budaya

Orang Muda Lembata

Pada peta-peta zaman Hindia Belanda, Pulau Lembata dikenal dengan Pulau Lomblen. Lembata ditakdirkan memiliki anugerah alam yang menawan, dari gunung hingga dasar laut. Alam dan budaya Lembata mulai membuka tangannya untuk merangkul mereka yang datang untuk mengenal. Pulau di barisan Nusa Tenggara Timur ini sangat ideal bagi mereka yang mendamba petualangan penuh. Rasakan antusiasme dan keterbukaan warga! Pai tite tai teti, Lembata!—Mari pergi ke Lembata!

“Pelangi Adventure” adalah komunitas pecinta alam yang bersemangat mengenalkan alam, pantai, dan budaya Lembata. Taman baca sekaligus warung kopi “Taman Daun” yang bisa jadi oase untuk menimbah sejarah dan cerita lokal.

Goris Batafor dengan karyanya berupa miniatur peledang, sampan untuk berburu paus.

kearifan

Teluk Jontona Budaya penangkapan ikan yang masih alami telah menjaga kelestarian koral di sepanjang garis pantai, bahkan hingga di pinggir jalan raya! Temukan sendiri di sepanjang bibir Teluk Jontona, dari kaki Gunung Ile Ape sebelah selatan hingga ke Liwo Lein.

49 Maret 2016


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.