DESEMBER 2016
{ TRAVEL}
TINGGAL DI
FLORENCE?
INFLIGHT MAGAZINE OF BATIK AIR
Bilamana indra terjerat sejarah dan aroma makanan. Pun nama besar Leonardo da Vinci serta Michelangelo yang membayangi langkah. TEKS & FOTO VALENTINO LUIS
Panorama terbaik Kota Florence didapatkan di Piazza Michelangelo.
40
41
DESEMBER 2016
Fountain of Neptune di alun-alun Piazza della Signoria.
S
etengah berlari dari arah Piazza San Trinita, Andrea Manelli mendekati saya. “Kamu jalannya cepat sekali,” kata pria Italia itu sembari menyodorkan kudapan yang dibelinya. “Wow, bagus ya?” ujar saya, lupa menanggapi Andrea. Ia mengikuti arah tatapan saya, ke utara, dimana
42
Jembatan Ponte Vecchio melintangi Sungai Arno dengan bilik-bilik berjendela hijau. “Jadi kamu mau cepat-cepat ke sini karena Ponte Vecchio? Itu satusatunya jembatan kuno yang selamat dari bom Nazi saat Perang Dunia bergejolak. Konon Hitler mengurungkan niat begitu melihat Ponte Vecchio. Terlalu elok untuk
dihancurkan, katanya,” ucap Andrea. Andrea adalah teman semasa kuliah dulu di Jerman. Ia berasal dari Florence, tepatnya dari Grassina, sebuah desa perbukitan, lebih kurang 10 km dari pusat Kota Florence. Saya menginap di rumah keluarganya yang terkitari kebun zaitun. Sedari tiba dua
hari lalu, saya tergila-gila pada masakan ibunda Andrea. Hidangan autentik bistecca alla fiorentina, dinikmati bersama di taman belakang berpanorama aduhai. Pada hari ketiga, baru saya sadar tujuan utama saya adalah melihat isi Kota Florence. Memang, siapa pun akan melupakan banyak hal jika disodori makanan lezat!
Sembari terus memandangi Ponte Vecchio, kami pelan menyeberang Ponte Trinita ke arah Palazzo Pitti. Saya berhenti lagi mengamati penginapan yang berdiri di sisi timur sungai. “Kamu tahu yang mana Hotel Degli Orafi?” tanya saya ke Andrea. Ia menggeleng. “Itu hotel yang jadi lokasi film klasik A Room With A View. Saya mulai mengkhayal tentang Florence setelah secara kebetulan sempat menonton filmnya beberapa tahun lalu.” terang saya antusias. Bisa dibayangkan, saya mulai meracau tentang film garapan James Ivory tersebut, disusul Andrea memberitahu film-film lain yang dibuat di Florence, hingga akhirnya kami masuk Taman Giardino Boboli, lalu selonjoran melepas penat di kaki Benteng Forte Belvedere. Kota ini tetap punya titik-titik syahdu untuk menyepi, kontras dengan reputasinya sebagai sasaran 13 juta turis tiap tahun. ‘’Areal bagian timur sungai ini disebut Risanamento, terbentuk menjadi sub-urban ketika Florence ditetapkan sebagai Ibu Kota Italia pada 1869. Maka tata ruangnya agak beda, ada boulevardnya, tangga-tangga, serta taman hijau. Lebih bercorak neo-klasik,” kata Andrea, menambah pengetahuan saya. Rahim Renaisans Firenze, begitu orang lokal menyebut kota berpenduduk
INFLIGHT MAGAZINE OF BATIK AIR
kurang dari 400 ribu jiwa ini, ternyata bukan hanya Ibu Kota Provinsi Toskana, tapi tempat tercetusnya Renaisans (Renaissance), gerakan yang merombak budaya Italia, lantas memengaruhi Eropa secara luas dari abad ke14 hingga 17 setelah sekian lama dibayangi Kebudayaan Romawi serta ajaran Kristiani. “Renaisans muncul sebagai transformasi intelektual. Inspirasi baru politik, sosial, dan banyak tersalurkan secara artsistik melalui seni. Pikiranpikiran manusia tentang rahasia kehidupan dan dunia luar terlecut pada zaman itu,” kata Andrea menguraikan. Tokoh-tokoh tersohor semisal Michelangelo, Leonardo da Vinci, Raphael, Donatello, Galileo Galilei, dan Amerigo Vespucci lahir serta tumbuh di Florence dan menjadi ikon Renaisans. ‘’Lihatlah, betapa agung kota ini. Jangan lupa, bahasa Italia yang kini dipakai sebagai bahasa nasional sejatinya adalah bahasa daerah Florence,” ujar Andrea menambahkan. Kami tiba di Piazza Michelangelo dan saya terkesima oleh pemandangan ke segala penjuru Florence, membayangkan kehidupan masa lalu para seniman, filsuf, arsitek, dan penjelajahnya. Jejak Renaisans kian kentara manakala kami beranjak kembali ke pusat kota dan menekuri lorong-lorong serta area seputaran Piazza
43
DESEMBER 2016
INFLIGHT MAGAZINE OF BATIK AIR
(kiri) Batu pualam putih melekat di dinding Katedral Florence. (kanan) Jembatan Ponte Vacchio dengan kamar-kamar di atasnya.
Santa Croce hingga Piazza della Signoria, berlanjut ke Piazza degli Uffizi. Di sini segala hal mengenai Renaisans bermekaran. Bermula dari sepak terjang keluarga bangsawan Medici yang kaya raya. Mereka mendanai banyak proyek di Florence, termasuk mendorong intelektualitas anak-anak muda kota ini. Saya rasa, butuh waktu berhari-hari untuk betul-betul mengamati bangunan maupun monumen yang ada. Semuanya seperti magnet, seperti laboratorium, seperti museum abadi. ‘’Barangkali kamu harus menetap lebih lama,”
44
Andrea berkata tatkala kami beranjak pulang ke rumahnya di Grassina. “Tinggal di Florence?” seru saya. “Itu usulan menggiurkan.” D a r i Pa s a r k e K at e dr a l Saya kembali lagi ke kota keesokan hari. Andrea hanya mengantar saya sampai parkiran dekat Piazza della Stazione. Saya agak pening mesti menandai begitu banyak piazza (alun-alun) di Florence demi mempermudah awal dan akhir penelusuran. Kotakota di Italia memang selalu bertaburan piazza, mensinyalir bahwa sejak berabad-abad
lampau penduduknya gemar bersosialisasi secara terbuka. Mengarah ke barat, saya berjalan kaki menempuh jalan via San Antonio, dengan sasaran Mercato Centrale, sentra dagang. Kendati di rumah Andrea saya mengenal sejumlah produk hasil bumi Florence, di lokasi sentra dagang pasti lebih beragam. Giana, ibunda Andrea, memberitahu sejumlah merek anggur dan saya ingin melihatnya di sini. Bayangan mengenai kuliner Toskana yang terkenal terjawab lewat beraneka bumbu, keju, truffles, toko-toko daging, hingga stal penjual makanan siap santap.
Hidung saya dibuat kembang kempis menghirup aroma pangan, dan terobati sedikit dengan seporsi gelato. Langkah saya lanjutkan ke Piazza San Marco, jantung pendidikan modern Florence. Terdapat biara tua para rahib Dominikan yang sekarang berstatus museum, interior bangunan-bangunannya berhias lukisan religius Katolik pada dinding hingga langitlangit nan mengagumkan. Dari Piazza San Marco, saya menjurus Piazza della SS Annunziata, tempat Patung Grand Duke Fernando berdiri, seakan mengamati lalu lalang para pelajar. Pada akhirnya, saya tidak bisa mangkir dari kemegahan Il Duomo, Florence Cathedral yang sekaligus meraih
prestisius sebagai landmark kota. Saya seolah bermain kucing-kucingan dengan gereja terbesar ketiga di dunia ini. Melihat kubah merah gigantisnya dari berbagai sudut kota, tapi berusaha tidak mendekat. Ya, saya ingin menyimpannya di ujung penelusuran. Save the best for the last. Tiba menjelang sore, fasade katedral yang terbuat dari pualam putih, merah jambu, dan hijau terbuntal drama. Butuh 150 tahun untuk menyeselesaikan bangunan yang dimulai pada 1296 ini. Seniman lintas masa memberikan sentuhan ketrampilan mereka, padupadan gotik dari pintu hingga kepala yang, jika dilihat dari udara, akan tampak seperti
tangkai bunga. Begitulah memang dasar konsep bangunannya, mengikuti penamaan aslinya, Santa Maria del Fiore (St Mary of Flower), pujian metafor bagi Bunda Maria sebagai kuntum bunga. Setiap struktur bangunan, entah luar dan dalam, entah badan utama atau menaranya, memaparkan ornamen sarat pesan serta simpul simbol Katolik. Lagi-lagi saya terpana, lagi-lagi saya merasa butuh waktu berhari-hari untuk betul-betul mengamatinya. Di ujung senja, ketika langit malam membiru, Andrea menjemput saya. Saat mobil bergerak pergi, saya memalingkan wajah menatap lagi kota ini. “Tinggal di Florence?” tanya saya dalam hati.
45