Tomia & Wangi-Wangi ( Wakatobi) by Valentino Luis for National Geographic Traveler

Page 1

Hantu Laut dan Tula-Tula Di pulau permai ini, mitos dan tradisi lisan yang terus-menerus dipelihara menjadi benteng bagi kelestarian alamnya.

Caribbean van Celebes


Teks dan foto oleh Valentino Luis

Ini seperti dicucup makhluk astral. Entah apa jadinya jika Akas Hamid tidak menghela tubuh saya kuat-kuat. Dalam tempo singkat, saya tersadar bahwa kami sedang diseret arus laut nan kencang. Sigap kami berenang ke area dangkal, mlipir ke tebing koral, meninggalkan air yang berwarna biru kehitaman. Begitu merasa aman, Akas memberi aba-aba untuk muncul ke permukaan. “Untunglah kita menyelam tidak terlalu jauh dari dermaga,” ujar pria itu membuka maskernya. Saya membiarkan badan telentang mengambang demi menghindari kram pada otot kaki usai bergelut dengan arus, sedangkan Akas tidak menampakkan tanda-tanda lelah. Selang beberapa menit kemudian, “Bagaimana, Val?” tanya Akas, “gas masih banyak nih. Mau masuk lagi atau di sini saja?” Saya menebar pandang. Langit begitu cerah, air laut demikian bening. Bayangan terumbu serta ikan warnawarni bermunculan, bersamaan dengan ingatan akan lamanya penerbangan yang mesti saya tempuh sebelumnya demi datang ke Wakatobi, si “Caribbean van Celebes”. Tentu saya tak rela jika pengorbanan dan impian tergerus hanya oleh satu kali hentakan arus. “Ayo, Om Akas. Bawa saya masuk ke tebing lagi,” saya membalas dengan senyum tersungging. Arus yang baru usai tadi saya mafhumi sebagai salam persahabatan dari samudra, atau mungkin tegur sapa roh penjaga perairan ini. Hei, adakah roh penjaga laut di Wakatobi? “ya, roh penjaganya ada,” Syarhul Khair, teman baru saya, berujar seiring desau angin. Kami berdiri di tingkat teratas mercusuar putih bikinan Belanda, pada lereng bukit Wabue Bue

90 National Geographic Traveler

yang rimbun. Panorama menebar dari utara menuju selatan Pulau Wangiwangi. Bahkan, saya melihat jelas mercusuar lain di anak pulau Kapota. Kepada Syarhul, saya mengisahkan pengalaman terseret arus tatkala menyelam, juga bertanya apakah ada legenda lokal terkait dunia bawah laut mereka. “Di Waha, yang wilayahnya termasuk area mercusuar ini,” sambung Syarhul, “legenda Untu Wa Ode tertutur secara turun-temurun; bahwasanya ada jalinan kekerabatan manusia dengan imbu, hantu laut.” Syarhul lanjut berbicara, “legenda itu masih diyakini hingga sekarang. Bila perahu melewati daerah Untu Wa Ode, nelayan tidak boleh gaduh. Kawasan perairan dikawal hukum adat. Siapa yang dengan sengaja merusaknya akan terkena bala.” Saya diam-diam mencoba menarik pertalian legenda Untu Wa Ode dengan hasil observasi yang dihimpun WWF Wakatobi. Disebutkan WWF, wilayah konservasi adat Untu Wa Ode merupakan salah satu kawasan utama yang dipilih beragam ikan sebagai tempat bertelur. Alhasil, kawasan itupun kaya akan hayati lautan. Ini setidaknya membenarkan keyakinan saya bahwa tradisi lisan yang terwakili oleh mitos maupun legenda memuat berbagai nilai yang tersimpan Sepasang suami-istri dalam masyarakat, termasuk kaitannya dengan membenahi sampan di dekat Pantai Cemara. konservasi lingkungan. Masyarakat masa Halaman pembuka: lampau memakai mitologi serta legenda untuk Barisan pohon kelapa menyampaikan pesan, mendidik, dan meng­ berlatar laut biru di Pantai Hu’untete. hindari bencana akibat ulah manusia sendiri.


Kala pagi, dermaga kayu di pesisir Patuno, sebelah utara WangiWangi, sekaligus jadi tempat bersantai warga.


Menggunakan Di Wakatobi, legenda serta mitologi dikenal Sepekan lalu, usai terombang-ambing biduknya, seorang ibu dengan sebutan tula-tula. Pembicaraan tentang lautan selama hampir enam jam dari pulau mengangkut air bersih tula-tula Untu Wa Ode itu pun menyerempet Wangiwangi, saya turun di dermaga Pulau Tomia. melewati Museum Terapung di Bajo Mola, perihal hutan bukit Wabue Bue di sebelah Di kampung Kulati, ujung timur Pulau Tomia, La Wangi-Wangi. mercusuar. Hasiri, petugas yang mendampingi Asiru, seorang pria uzur berwajah mirip Albus kami naik menara turut berbicara. “Ada mitos Dumbledore, mengisahkan legenda Pasi Koko. yang mengaitkan hutan ini dengan Untu Wa Ode. Makanya, “Pasi Koko adalah pusat berkumpulnya para imbu, bukit Wabue Bue termasuk mutika nusara kadhia atau hantu-hantu laut,” katanya. Syahdan, setiap kali para imbu kawasan hutan adat. Siapa saja tidak diperkenankan masuk hendak mengadakan pertemuan, arus laut akan bergejolak, dan menebang pohon seenaknya.” berputar bagai gasing, menyerap apa saja yang melintas di “Berarti leluhur kita berpikiran jauh ke depan tentang permukaannya. Pasi Koko terletak antara Pulau Tomia dan keberlangsungan keturunannya. Mereka punya metode sendiri Pulau Binongko. Area itu pantang direcoki isinya. “Tapi, untuk melindungi alam,” kata Syarhul. Hasiri yang sudah belakangan ini kami kerap mendengar kabar pengeboman ikan beruban itu menatap ke lautan lepas, lalu terkekeh, “orangdi sana, sama seringnya dengan berita sampan yang karam orang zaman dahulu sesungguhnya telah memahami adanya ditelan putaran arus,” ujar sang kakek. potensi ketamakan dalam diri manusia.” Dalam hal konservasi maritim, La Asiru punya cerita lain di samping legenda Pasi Koko. Dan cerita ini lebih rasional. “Kami mitologi yang dipakai leluhur sebagai pencegah ketamakan orang Tomia hidup atas berkah laut. Ikan adalah penyambung dan kerusakan alam sekonyong-konyong menjadi bumbu napas kami. Tetapi, sekitar dua dekade lalu, jumlah ikan di laut kunjungan saya ke Wakatobi. Tempat-tempat yang saya datangi menyusut. Penyebabnya yakni penangkapan dengan bahan menguarkan cerita dengan gamblang, semudah mengoleksi peledak serta potasium yang marak terjadi. Menyakitkan kasoami—pangan khas penduduk gugusan nusa di tenggara lagi, pelakunya berdatangan dari luar pulau, dibekali kapal Sulawesi itu. dan pukat besar. Awal tahun 2000, kami merasakan betul

94 National Geographic Traveler

hilanganya sumber nafkah. Tomia ini pulau karang. Kami tidak punya lahan bersawah. Laut itu sawah kami.” La Asiru mengenang kegelisahaan para nelayan waktu itu. Situasi yang lantas mencetuskan kesadaran besar. “Laut mesti dijaga. Terumbu karang sebagai rumah ikan perlu dilindungi. Kami kemudian bersatu membentuk kelompok nelayan, Komunto, dengan misi mengembalikan kejayaan produksi ikan,” ia menjelaskan. Komunto bentukan La Asiru dan para nelayan ini meng­ hasilkan kebijakan unik yang dikenal dengan sebutan Bank Ikan. Mereka menetapkan beberapa kawasan laut untuk dipulihkan. Kawasan tersebut dinetralkan, tidak boleh ada kegiatan penangkapan ikan selama beberapa tahun demi membiarkan ikan-ikan berkembang biak. “Jika populasi ikan di kawasan tersebut dirasa sudah melimpah, barulah dibuka.” Strategi Bank Ikan ini rupanya jitu. Selain panen ikan kembali dinikmati, konsep konservasi para nelayan Tomia pun mendapat banyak sanjungan serta penghargaan, baik nasional maupun internasional. “Cara kita memperlakukan alam akan berpulang kembali kepada nasib kita kelak,” ujar salah satu nelayan. Melengkapi La Asiru, ia mengisahkan legenda Liang Kuri-Kuri, sebuah area hutan adat di Kulati yang diyakini tempat bersemayamnya hiu kuning, juga para hantu laut. Tak boleh diusik. Kini, warga Kulati membidik pariwisata terkait konservasi bahari sebagai daya tarik baru. Saat saya datang, penduduk telah apik menata permukiman mereka. Rumah dan pagar berlabur cat warna-warni. Ketiadaan penginapan malah memunculkan konsep homestay. Didukung SwissContact, lembaga yang membantu pengelolaan destinasi wisata, warga dilatih membenahi kampung mereka. Sembari menilik pulau Lentea di hadapan kami, saya memikirkan berbagai mitos daerah yang acap disepelekan sebagai takhayul. Berapa pun yang telah tergerus karena tersangsikan kebenarannya, mitos dan keyakinan lokal—kata fotografer Ansel Adams—adalah perjuangan heroik manusia untuk memahami kebenaran di dunia. kembali ke wangiwangi, kampung Liya Togo menawan saya dalam bentengnya yang berada di puncak bukit. Benteng ini tersusun atas batu karang yang berlapis-lapis. Lapisan paling atas konon merupakan areal latihan perang sekaligus tempat mengintai musuh. Pemandu kami mengatakan bahwa benteng ini merupakan bagian dari ekspansi Kesultanan Buton. Anehnya, kendati dilingkupi nuansa Islami, saya meng­ endus jejak-jejak yang menyiratkan pengaruh Hindu pada

P. Wangiwangi

Wanci

P. Kapota P. Oroho Kr. Kapota

Ambeua

P. Kaledupa

Kr. Kaledupa

P. Runduma

P. Hoga P. Lentea

Waha

P. Kenteolo

Kr. Koromaha

P. Tomia P. Lentea Tomia

Rukuwa P. Binongko

Kr. Koka

P. Moromaho P.

esi law Su AREA DIPERBESAR

0

10KM

struktur benteng, model gerbang, dan waruganya. Bisa jadi, benteng beserta lingkungan penopangnya kemungkinan telah ada jauh sebelum Buton dan Islam masuk. Kami diajak menuruni lereng kampung itu pada tengah hari yang terik. Di dekat O’a Seru, teluk yang berair hijau, kami bersua sebuah gua pemandian. “Jangan menyebut nama binatang-binatang buas. Tempat ini angker,” pemandu kami mengingatkan. Konon ada buaya putih gaib berdiam di sana. Begitulah kerja mitologi sebagai mandala bagi Wakatobi. Tradisi lisan berupa mitos serta legenda terbukti mem­ perlambat kerusakan alam. Perjalanan ke Wakatobi telah melampaui rencana saya memberitakan bawah lautnya yang kesohor. Akan tetapi, bukankah cendera mata perjalanan paling membahagiakan adalah pulang ke rumah dengan kisah-kisah yang tak lazim? Oh, saya belum memberitahu Akas Hamid tentang mitos yang saya kumpulkan setelah kami terseret arus itu. Pastilah ia punya koleksi tula-tula lain. Kata orang, di dunia ini tidak ada kelompok manusia yang memiliki ode petualangan dan mitologi sedahsyat mereka yang napasnya beraroma samudra! valentino luis Pejalan, penulis, dan fotografer kelahiran Maumere. Bulan lalu, ia juga menulis untuk majalah ini, tentang jalan romantik di selatan Jerman.

95 Maret 2017


Gerombolan lumba-lumba hadir nyaris setiap pagi di dekat dermaga Sombu, Wangi-Wangi (atas). Puncak Kahianga menjadi loka paling digemari di Tomia untuk melihat panorama. Halaman sebelah: Terumbu tumbuh subur meski di perairan yang berada tidak jauh dari hunian warga.

panduan pejalan

N

Mari tersesat di antara gua-gua

ya r i s s e m u a p u l a u d i kawasan ini terbentuk dari karang, yang me­mungkin­ kan adanya celah serta rongga di daratan yang menembus laut. Di Wanci, pusatnya Wangi-Wangi sekaligus Wakatobi, bertebaran guagua permandian yang membaurkan air tawar dan air asin. Gua-gua ini pun berhias stalagtit dan stalagmit. Tee Kosapi

Gua ini berada tepat di pinggir jalan raya, di pusat kota Wanci. Airnya amat jernih membiru, sisi barat membentuk cekungan yang lumayan dalam serta gelap. Dinding Tee Kosapi disaput stalakmit.

Kontamale Lebih luas serta lapang ketimbang Tee Kosapi, pemandian Kontamale juga berisi air biru bening. Anak-anak gemar memanjati tebing lalu meloncat dari ketinggian. Cerukannya

berbentuk silinder. Pepohonan besar menjadikan Kontamale teduh sehingga pengunjung enggan beranjak jika sudah kemari. Akses lebih mudah dengan sepeda motor, karena berada di tengah permukiman penduduk, pusat kota Wanci.

Topa Ini seperti lubang besar dengan telaga hijau kebiruan di dalamnya. Letaknya pun dikitari rumah penduduk, namun terlindungi tembok serta bersih. Pengunjung akan menuruni anak tangga, atau bisa langsung menceburkan diri dari atas permukaan tanah ke dalam lubang.

Wa Pia-Pia Nama Wa Pia-Pia berarti ‘hati-hati’ dan ini menjelaskan posisi gua yang berada di lembah curam. Pengunjung mesti menuruni tebing untuk menggapainya. Wa Pia-Pia termasuk gua yang airnya disakralkan, sehingga kondisinya masih sangat natural. Stalagtit serta stalagmit berkembang tanpa gangguan.

Watu Tofengka Lagi-lagi terletak di pinggir jalan, Watu Tofengka adalah gua air yang jalurnya paling panjang. Kolam air birunya juga lebar. Bentuk

gua mirip batu yang terbelah dua. Stalagtit dan stalagmitnya berlarik-larik. Sama halnya Wa Pia-Pia, gua yang satu ini pun disakralkan penduduk. Larangan menebang pohon, bahkan mematahkan ranting, menjadikan Watu Tofengka bak Taman Firdaus.

Walobu Hanya berlokasi lima kilometer dari pusat kota Wanci, gua kolam Walobu berada di lintasan utama jurusan Wanci-Liya Mawi, selatan WangiWangi. Sehari-hari, kolam digunakan oleh warga untuk mandi, namun jika datang siang tempat ini sepi dari siapa pun.

Tee Kuea Berbeda dari yang lainnya, Tee Kuea punya kontur bebatuan yang membuatnya menyerupai air terjun. Lebar kolam mencapai 10 meter. Permandian yang berada di Dusun Limbo Fou, Desa Maleko, ini gampang diakses dengan semua jenis kendaraan. Panduan pejalan lebih lengkap ke Wakatobi telah disiapkan oleh FTKP (Forum Tata Kelola) setempat. Bisa dibaca dan diunduh cuma-cuma di www.wakatobitourism.com

97 Maret 2017


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.