1 | BERTEMUDUGA
PRAKATA Suatu malam aku sedang banyak menyerap berbagai kumpulan kata-kata dari tulisan yang sebenernya tidak terlalu aku pahami dari berbagai jenis koleksi zine yang kumiliki, entah setan apa yang tiba-tiba merasuki diriku sehingga aura jiwa-jiwa wartawan seolah menjelma di diriku. Sebenarnya ini akumulasi dari semua informasi yang aku serap selama ini, bagaimana tidak video Interview Solihun mengalir deras di beranda youtube gadjet dan ada beberapa edisi Ngobamnya Gofar. Belum lagi pada saat ini banyak sekali kawan-kawan yang mulai mendengarkan podcast walaupun kemasaanya tidak melulu hanya suara. Ada beberapa keresahan yang sama ketik kaliamat “pengarsipan” terlontar jumpalitan dikuping kanan dan kiri, Ucok nampaknya selalu menekankan soal itu walaupun ranahnya adalah hip-hop di wawancara yang aku tonton. Namun poin lain yang sering sekali ia tekankan adalah “siapa lagi yang lebih paham tentang daerah itu sendiri selain kita yang tinggal di daerah itu” ini sebuah pancingan cukup baik, karena selama ini aku kadang jarang sadar dengan lingkaran sekitaranku sendiri. Memang bukan berarti tidak berkomunikasi sama sekali terus mirip sama anak-anak yang benci sosial, gak kayak gitu juga. Cuma mungkin tradisi kita selalu secara oral saja. Kita sering berbicara banyak tentang apapun, tapi jarang sekali itu direkam dalam bentuk tulisan. Mungkin masih ada peluang mengaabadikan di wadah lain seperti status di sosial media, atau gambar beku maupun gerak di galeri, tapi selalu aku rasa dalam bentuk narasi agak tidak punya tempat lagi hari ini. Ya udah aku putuskan saja mencoba membicarakan hal-hal yang sebenarnya membuat penasaran tentang kota ini, terlepas dari semua yang kurang dari sebuah media cetak aku masih ingin ini berbentuk fisik, jadi semoga saja tulisan ini cukup memberi informasi dan tentu juga menyenangkan untuk dibaca. Aku suka lupa gaes kalau masalah tanggalan-tanggalan gini, walaupun masih ada darah jawa mengalir di dalam tubuh, tapi ilmu titenku agak jauh dari kata baik. Tapi coba sedikit kuingat momennya….hem sebentar. Ketika wawancara ini berlangsung memang sebenarnya kita melakukan rutinitas kita, apalagi kalua bukan ngopi, ya bener ngopi ngobrol sampe pagi hahahha.. kita putuskan ngopi di Reog Coffe di deket alun-alun, apa ya nama jalanya Imam Bonjol kalua nggak salah. Syukur ini wawancara apa adanya bisa diselenggarakan walaupun sebenarnya sebagai manusia kita jarang puas, udah dikasih pil kuat apa juga masih aja kurang, tapi setidaknya ini obrolan sudah pernah terlaksana dan gak tau kenapa akua gak canggung Ketika tanya-tanya, pdahal kita temen ngopi…. Ya udah kasihan kayaknya kalian nungguin wawancaranya malah banca curhatku… ya maaf terlalu peka kali aku…..Ini dia wawancaranya. Eh bentar kalau kalian suka kalian bisa kasih tau yang lain, bisa juga digandakan sendiri, bebasbebas aja. Kalau nggak suka ya kalian lebih pahamlah cara tidak menyukai sesuatu.. - @graciousduck
2 | BERTEMUDUGA
SKENA MUSIK PONOROGO Berbicara Bersama Amir T: Sejak kapan skena musik Ponorogo mulai ada kalau dilihat dari sejarahnya? J : Sepertinya kalau zaman dulu itu, bahkan mungkin sebelum saya lahir sepertinya sudah banyak yang bermusik ya, di Ponorogo ini. entah musiknya seperti apa? yang jelas saya belum menemukan narasumber sampai sekarang, bahkan literatur seputar perjalanan musik di Ponorogo itu belum tentu, jadi sepertinya untuk saya ngobrol istilahe jeru banget neng wilayah musik sebelum saya lahir, sepertinya masih belum punya banyak referensi. Jadi bisa cerita saya itu sekitar paling pas masih SD paling ya, Banyak band-band waktu aku masih SD, bahkan aku masih TK itu, banyak sekali pada waktu era 90 an itu kan era-era nya Rock di Indonesia yang cukup gencar, Nah gelombang musik Rock yang sedang boom pada waktu itu tentunya istilahe nyiprat ke ponorogo juga, banyak sekali saya punya teman pada waktu itu dia sering banget jadi jawara kompetisi musik, pada waktu itu banyak sekali teman-teman saya seng wes sepuh-sepuh ada nama seperti Pak Adi Metal, beliau sering menjuarai kompetisi musik tertentu, yang pada waktu itu boomingnya Rock kan, terus Pak Tomblok gitarisnya the Djadoel dulu juga sempat berkiprah dan cukup boom di masanya, kalau gak salah 80-90an ya pas wayah bapakku kui sek nom. Mungkin mereka berdua kalau ditanya secara detail “kapan nya?” mereka sudah lupa kayaknya soale kan gak ada jejak digital istilahe pada waktu itu. T: Kalau menilik kegiatan bermusik kan sudah lama banget ternyata, Cuma kalau sampai terbentuk ekosistem perskenaan gitu? J: Ekosistem perskenaan makin kesini kalau Ponorogo itu, istilahe piye yo opo yo nek ngaranii, setiap masa atau setiap dasawarsa itu selalu berganti, jadi kalau waktu itu pada jamane festival musik Rock Nasional menjamur juga band-band rock di Ponorogo beberapa itu kayak bandnya pak Adi Metal, bandnya Pak Tomblok pada waktu itu, sampai bahkan saya pernah dengar Pak Tomblok itu pernah rekaman bareng Krisdayanti pada waktu itu, juga pernah mengisi di albumnya Krisdayanti, cuma untuk detail info ini seperti apa sampai sekarang belom sempat ngobrol banyak sama beliau. Terus pada sekitar tahun 90an akhir kalau nggak 2000an awal ada band seperti ABC band kalau gak salah namanya itu dia sudah main Grunge pada waktu itu, banyak sekali kan di era-era tahun 90an, makin kesini kan di dasawarsa 2000-2010 pada waktu itu banyak juga muncul band-band koyo jenenge kalau gak salah dulu Kapur Barus terus Art Devine, Mummy kayak gitu cuma mereka sudah di tahap mayor label, kalau yang kayak Mummy. Cuman gak tau kenapa di mayor label itu apa mungkin secara persaingan opo yo istilahe ‘menghalalkan segala macam cara’ dadi dimana kamu istilahe nduwe modal okeh kamu bakal ya bisa di promosikan lebih gencar lagi istilahnya begitu sih, seperti itu kurang lebih ekosistemnya pada tahun 2000-2010.
3 | BERTEMUDUGA
Jadi banyak parade-parade musik, festival musik kecil-kecil gitu lho, terus kalau lomba-lomba musik kayak musik kompetisi masih banyak pada zaman dulu itu, setiap berapa bulan sekali atau berapa tahun sekali bahkan pasti ada minimal satu dua bulan sekali pasti ada acara pensi kecil-kecil gitu lho, juga rutin juga waktu itu kompetisi musik, kalau teman-teman nyebutnya festivalan musik di sekolahsekolah. T : Kira-kira dari event yang masif tadi, adakah yang cukup melejit? J: Nah yang paling melejit ada festival musik dengan nama “Grebeg Suro Festival” jurinya itu kalau gak salah personilnya Power Metal. Cuma kalau di ranah perkompetisian saya kurang bisa banyak cerita karena jarang sekali ada di wilayah situ sih, bukan pelaku juga, walaupun satu dua kali pernah sih pas jaman kae kan sek bocah nom toh, ora nduwe kesibukan liyo toh dari pada ora nduwe kesibukan mending ayo wes melu festival neng kene ae. Cuman makin kesini kan namanya bermusik kan nyari mana yang lebih nyaman, akhirnya saya mengerucut ke wilayah Independen sih, musisi Independen yang benar-benar pure sebagai pembuat lagu. Kan ada session player , ada musisi yang bikin lagu dan memainkan lagu, ada juga musisi yang cuma bikin lagu gak pernah manggung cuma lagunya dikasihkan ke penyanyi-penyanyi tertentu, banyak sekali jenisnya. Dulu sempat saya pernah sampai berpikiran pada teman-teman itu “wah koe ki op? ben-benan ora tau nggawe lagu ae” cuman makin kesini saya makin berfikir juga ternyata orang bermusik beda-beda sih, ada pemusik seng kur ben-benan tok kur ngge seneng-seneng tok, ada pemusik yang tujuannya menghasilkan uang dari dia bermain musik, contohnya teman-teman saya banyak yang reguleran main-main santai di cafe, main di kondangan orang akhirnya dia pulang dibayar, itu gak ada salahnya dan bagus, ada lagi teman-teman saya yang bikin lagu sendiri dimainkan sendiri sama bandnya dipromosikan sendiri , terus ada teman saya bikin lagu yang nyanyiin orang lain, ada juga teman saya bikin lagu jarang manggung juga ada. Jadi banyak sekali jenis orang bermain musik di Ponorogo. T: Kalau kita melihat dimanapun, di Amerika, Inggris, Bandung, Jakarta dan daerah lainnya, biasa dimasing-masing daerah ada veneu khusus yang biasanya disitulah skena itu hidup, kalau di Ponorogo sendiri bagaimana? J: Sepertinya di setiap daerah punya permasalahan yang sama ya untuk masalah veneu, bahkan sampai sekarang pun sangat jarang sepertinya setiap kota punya satu ikon tempat yang sifatnya itu benar-benar pure menaungi teman-teman bermusik itu sangat-sangat jarang. Kita juga merasakan hal itu, nah solusinya apa? Jadi setiap teman-teman dapat tempat yang asyik itu ya akhirnya ngundang-ngundang gitu lho, dan itu gak cuma satu tempat, ada dua tiga tempat yang memang benar-benar asyik buat temanteman buat ngobrol, buat jamming dan lain sebagainya, akhirnya kita bikin tempat ngumpul gitu sih, kalau masalah basecamp benar-benar pure basecamp sejauh ini ya cuma di studio musik, ada di warung kopi kebetulan warung punya teman. T : Nah, studio musik mana yang kira-kira menaungi teman-teman skena ini? J: Sejauh ini banyak sih, kalau saya sih sering-sering di Strato, yang biasanya dipakai teman-teman buat ngegigs kalau ada band-band dari luar negri biasanya dibikinkan gigs disitu, kebetulan tempatnya lumayan luas dan lumayan aman juga untuk dipakai buat istilahnya gigs-gigs bawah tanahlah ya, biasa dan pasti indoor, sebenarnya studio ada 3 tempat disitu, cuman kan kalau untuk mampu menampung banyak orang kan harus diluar, biasanya kan set tempat yang buat nongkrong di set buat veneu ngegiggs gitu aja sih sejauh ini.
4 | BERTEMUDUGA
T : Berbicara tentang skena kita kan bicara soal infrastruktur, apakah di satu studio itu saja yang memberi kontribusi besar, karna jika berbicara tentang kebhinekaan ragam genre lalu kemudian studio dengan engginernya dalam keahlian mengomposisi jenis musik tertentu, maka tidak mungkin satu studio saja yang berperan, bagaimana itu? J: Kalau itu sih mungkin lebih ke ini sih, kalau dulu sekitar taun 2010an lah ya, masuk tahun 2010 dan selepas tahun itu, wabah bukan wabah opo yo istilahe genre yang benar-benar paling booming di Ponorogo ada Reggae dulu, setiap kamu bikin acara pada waktu itu kok bintang tamunya Reggae bek pasti tak jamin. Pada waktu itu ada pionir-pionir Reggae Ponorogo seperti The Moonlight terus Simpang Empat dari teman-teman UNMUH pada waktu itu kebetulan teman saya juga, nah The Moonlight itu kebetulan juga kakak-kakak senior saya waktu di UNMUH, berangkat dari UKM musik, terus ada lagi Polyphonic, terus Seven Six makin kesini banyak band-band Reggae, cuman pada waktu itu apa karena istilahe opo yo ‘Nyekoki’ membikin satu sudut pandang anak-anak muda pada waktu itu gampang sih, istilahe pensi dicekoki Reggae terus radio-radio, soalnya menurut saya band yang paling produktif pada waktu itu ya Reggae, salah satunya apa Polyphonic itu dia sering manggung di pensipensi dia juga sering mengeluarkan singgle sendiri, apa mungkin karna itu ya akhirnya pada waktu itu branding wis kabeh setiap ada event misal ada Reggae mesti rame. Cuman makin kesini itu lambat laun luntur, kenapa luntur itu mungkin karna input yang didapat khususnya generasi milenial mungkin ada dari spotify, youtube, televisi, majalah, google, facebook, twitter, dan sebagainya. Lek biyen kan paling songko MTV, yek ra ngunu songko radio ngerequest, paling sering bajakan atau mixtape. Sejauh ini makanya belom ada satu studio memplot dengan genre tersendiri. T : Adakah dari pemilik studio ini berangkat dari orang-orang studio, bukan seorang yang paham musik saja tapi memang pernah menjadi pelaku skena? J: Kalau pemilik studio di Ponorogo itu rata-rata pelaku musik itu sendiri, jadi maksudnya pelaku musik itu ya dia punya band, pemain musik juga, walaupun untuk sekarang dia sudah tidak sempat ben-benan mungkin ya, akhirnya terjun total ke bisnis musik mereka masing-masing, akhirnya bikin studio itu tadi untuk teman-temannya yang sampai sekarang masih main musik, akhirnya bikin studio recording itu juga ada. T : Fenomena unik apa kira-kira dalam ranah musik yang cukup menarik perhatian di Ponorogo? J : Ada satu fenomena yang cukup menarik pada waktu itu, apa mungkin memang teman-teman itu secara manajerial sangat bagus, dan publishing sangat-sangat mantap pada waktu itu, ada band yang mungkin sudah pada tau, apalagi yang generasi milineal iku ono Fun Fun For Me band Pop Punk pada waktu itu, band satu-satunya mungkin ya, masih satu-satunya band Ponorogo yang punya pencapaian bisa tour Jawa-Bali, dan saya merindukan momen-momen seperti itu, maksudnya harus adalah band Ponorogo yang menembus kancah nasional, dia bisa membuat tour Jawa-Bali, tour Indonesia, atau tour luar negri, siapa tahu kan?.
5 | BERTEMUDUGA
Saya sangat merindukan momen itu, soalnya kenapa?, pada waktu Fun Fun For Me booming itu saya masih belum menemukan dan belum begitu dekat dengan orang-orangnya, cuma cukup istilahnya tau aja sih, makin kesini akhirnya bahkan semua genre, semua komunitas itu sudah gak dewe-dewe, yo wes kumpul jadi satu sekarang. T : Berarti di awal skena musik Ponorogo itu masih sendiri-sendiri ya, kemudian ada fenomena itu tadi baru bisa saling menyatu? J : Ada momen-momen tertentu yang membuat kita gabung, atau mungkin memang pelaku musik pada waktu itu, yang sebelumnya dewe-dewe, istilahe cah Punk dewe, cah Metal dewe, cah Hardcore dewe, dan lain sebagainya, makin kesini kan makin bertambahnya umur, karena lek dewe-dewe iku gak solid, gak masok lah, kuto cilik terus dewe-dewe, apa ya mungkin makin kesini makin bisa mikir kan, yo wes, Ponorogo yo kuto ne cilik toh, misal “coh kae cah Metal aku cah punk kok gah aku awur cah kae” cuman setiap hari ketemu di warung kopi, canggung kan?, akhire mau gak mau sering ketemu sering ngobrol-ngobrol. T : Pernahkah di Ponorogo ada konflik karena perbedaan genre? J : Pernah, saya bikin acara sama teman-teman namanya “One Love One Harmony” itu satu momen dimana geger kae, wah chaos, tapi itu yang akhirnya menyatukan teman-teman. T : Di era kapan tepatnya tuh? J : Tepatnya saya lupa sekitar tahun berapa, 2011 atau 2012 neng Kedai Langit, pada waktu itu saya kuliah semester 3 kalau gak 5, wah lali pokoknya antara itu lah, sempet chaos dan sempet ada adu fisik wes, sampe kepruk-keprukan kursi, sampe uncal-uncalan wes sak sembarange di uncalne, chaos banget kae, sampek ngerusak beberapa peralatan-peralatan yang ada di cafe tersebut, bahkan sampai ada yang bawa alat-alat tertentu yang sifatnya untuk mengancam nyawa lainnya. Dimaklumilah pada waktu itu emang dari teman-teman dari sisi egonya, sisi jiwa muda seng seneng tawur dan lain sebagainya pun, pada waktu itu masih menjangkiti remaja waktu itu. T : Tapi ada keunikan, biasa ketika suda sampai bentrok begitu, berarti mobilitas dari masingmasing skena genre tadi, sudah besar ketika itu? J: Wouhh, besar dan fanatik-fanatik, saya ngomong seperti itu karna pada waktu itu acara yang tidak ada izinnya, dadi seng marai ketar-ketir konco panitia yo ora ono ijine dan ternyata bisa mendatangkan masa yang sangat-sangat banyak, bahkan fansnya Fun Fun For Me yang dari luar kota, kalau gak salah Ngawi, Madiun, Nganjuk. Ada beberapa oknum yang menjadi provokator waktu itu, provokator dari kubu anak-anak ini sama kubu anak-anak lainnya, di ingger-inggerne karo seng lewih tuo jaman sak munu, dadi beberapa bulan kui suasanane mencekam. Akhirnya aku krungu selintingan yang gak enak, bahkan sudah sampai di warung, kemaren ada acara genre musik iki, karo genre musik kae, keprukan ngene-ngunu, bahkan dari warung ke warung omongan itu.
6 | BERTEMUDUGA
T : Bagaimana meredamkan keaadaan paska kejadian? J : Pertama saya tahu bahwa konflik itu bisa menurun ketika dari masing-masing orang, katakanlah anak Punk, anak Pop Punk, anak Metal, itu beberapa orang sempat ngobrol dan cerita sama saya, si A ini kerja sama dalam bisnis dengan golongan yang sempat gegeran tadi, mulai dari situ saya berpikir bahwa ini sepertinya iso dadi siji meneh, mulai dari bisnis mungkin, tapi sepertinya bukan dari faktor itu saja, cuman makin kesini pemikirannya makin dewasa, dia juga ketika itu sudah berfikir tentang bisnis, istilahnya pengen berdikari lah, akhirnya itu yang membuat pemikirannya makin dewasa. Sampai sekarang sejak kejadian momen itu belum ada sih benturan yang sifatnya sampai ke adu fisik, kayak itu belom ada lagi sih. T : Dahulu masyarakat Ponorogo mampu menerima musik-musik keras seperti itu, bagaimana segmen musik masyarakat Ponorogo hari ini? J : Regenerasi tentunya, saya juga cukup bingung sih, kenapa kok Ponorogo gak seantusias, sefanatik, semilitan kayak dulu, gak bisa jawab sih jujur. Apa ya mungkin karena gelombang perkembangan zaman? Makin kesini makin banyak refrensi yang didengar , bahkan saya sendiri jujur gak punya kefanatikan dengan genre musik tertentu, teman-teman pun berfikir seperti itu juga. Seperti ini istilahnya, setiap momen tertentu kan ada genre musik yang mewakili, saya sangat suka musik Metal, cuma ketika saya pengen ngewe, gak mungkin saya dengerin musiknya Lamb of God, dengerin musiknya Megadeath, kan gak mungkin. Lah ketika pagi saat mau pergi kerja, gak mungkin dengerin Cigarettes After Sex pasti dengerinnya Lamb of God, nah menurut saya teman-teman sudah berfikir kesitu sih, dadi idealisme seputar musik itu hanya dianut dan dilakukan ketika dia bermain dengan band masing-masing, cuma kalau menikmati musik sepertinya mereka gak begitu kaku kayak dulu. T : Perlu tidak sih sebuah band punya karakteristik dan attitude agar tidak mudah ikut-ikutan zaman? J : Menurut saya lho, mau gak mau kita harus mengikuti perkembangan zaman, sebagai contoh Tame Impala dahulu ketika pertama kali keluar itu yang diadopsi band-band macam Pink Floyd, The Beatles era Revolver ke atas album yang sudah masuk psychedelic, nah makin kesini dia kan juga paham musik yang lagi booming yang macam EDM, RnB dan sebagainya lah, Akhirnya dia bikin terakhir tuh di judul lagu “Borderline” itu sudah memasukan unsur-unsur seperti Elektro Pop ala Bee Gees gitu. Banyak teman yang suka dan selektif dengan musiknya Tame Impala, makin kesini di nyebut bahwa Tame Impala udah gak terlalu psychedelic lagi. Ya menurut saya ya bosan lah, dari musisinya pun harus perlu eksplorasi, nah yang dimaksud perlu berkarakter itu di wilayah mana? Di wilayah musik pun kalau tahu Superman Is Dead, pada waktu itu saya sempat ngefans banget karena diomongne Punk Rock yo banget, lirik-liriknya boso Inggris kabeh saat itu era albun Black Market Love, wah iki band sangar banget, out of the box men enek band Indonesia koyo ngene ki, dulu mungkin refrensiku sekadar dari Dahsyat, saya gak memungkiri saya suka lihat acara itu, pada waktu Dahsyat belum norak sih, MTV Ampuh, makin kesini opo yo Hip Hip Hura, Sampai pertama kali aku tahu Efek Rumah Kaca ya dari Dahsyat, dikala musik kayak gitu kok ada band dari Bali, seng nggarape musik-musik seng sangar banget. 7 | BERTEMUDUGA
Cuman makin kesini kok liriknya berbahasa Indonesia, apa mungkin mereka perlu inovasi tertentu ya, musiknya pun makin ngepop dan mengikuti pasar Indonesia, Itu menurut saya. Tapi poin plus yang saya ambil dari situ, ya memang butuh inovasi, sepertinya tidak mungkin mereka mampu meraih banyak jumlah fans se-Indonesia ini ketika mereka cuma bertahan di lagu Punk Rock yang lirikal nya bahasa Inggris saja. T : Apa perlu bila ingin go internasional harus memakai lirik berbahasa Inggris? J : Tidak perlu juga, mana yang menurutmu asyik dan mewakili karya mu mainkan aja, kalau saya lebih enak bikin lirik bahasa Inggris, karna kalau kita membicarakan tentang cinta di lirik bahasa Inggris menurut saya terdengar masih cukup keren, cuma ketika dimasukan kata-kata “Rindu” itu menurut saya beda kedengarannya lebay, karna eksplorasi lirikal menggunakan bahasa Indonesia sangat sulit. T : Dalam sekana musik Ponorogo adakah musisi yang fokus menggedepankan kedaerahan ? J : Ada dahulu Reyogland Hip Hop di era 90an sempat membuat lagu dengan memasukkan unsurunsur gamelan Reyog, sepertinya di youtube dicari jejaknya masih ada. T : Dengar-dengar Hip Hop pernah besar dulu ya di Ponorogo? J : Kalau dikatakan besar, seberapa sih kalau dikatakan besar di Ponorogo?, kalau pengen besar ya keluar juga dari Ponorogo, kerena konsumen musik di Ponorogo kan terbatas, beda dengan kota besar. T : Bagaimana teman-teman musisi Ponorogo dalam berjejaring dengan daerah lain? J : Kalau jaringan bisa dibilang Se-Indonesia ya teman-teman, cuma di wilayah pertemanan aja sih, belom di wilayah band yang katakan tour bareng se Indonesia. Bahkan luar negri pun kita punya kontaknya, kira-kira begitulah. T : Branding apa yang disepakati teman-teman di Ponorogo untuk sama-sama di usung ke permukaan? J : Itu masih jauh sih, kalau pesimis enggak ya, cuma melihat ekosistem permusikan di Ponorogo itu menurut saya masih jauh, ketika teman-teman di luar kota itu sudah memikirkan bagaimana caranya untuk membuat band saya bisa keluar dari kota saya, disini masih harus berfikir “Kapan rekaman?” “Kapan ya ? memenuhi equipment supaya maksimal dalam bermain”. Ketika teman-teman diluar kota sana sudah terbentuk, khususnya kota besar, disini masih berfikir “Latihan dimana?” “Rekaman dimana?” karna menurut saya di Ponorogo tempat recording yang cukup “Okay” ya di tempat Pak Job, di luar kedekatan emosional saya dengan beliau tentunya. Berbeda ketika di kota besar kalau ingin rekaman tinggal nunjuk “Aku pengen rekaman seng grade segini.....segitu ” itu ada semua di kota besar. Tahapan apa yang teman-teman lakukan?, ketika faktanya seperti tadi, sejauh pandangan saya, harusnya kita menjaga konsistensi ekosistem ini, karna kecil kemungkinan bisa bikin event di Ponorogo sebesar “Soundrenaline” cuma saya yakin bisa bikin band dari Ponorogo bisa keluar dan bisa main di “Soundrenaline” kurang lebih gitu ya.
8 | BERTEMUDUGA
T : Apakah agenda yang dilakukan teman-teman di Ponorogo akan menjadi suatu kerutinan? J : Untuk sementara waktu demi menjaga konsistensinya teman-teman, sepertinya 1-2 bulan sekali harus diadakan agenda, wong duwe band otomatis main kan. Ketika hal mendasar manggung itu tadi sulit di dapatkan di dalam kota, sepertinya untuk menjaga nafas band itu tadi juga sulit, kecuali kamu punya akses keluar kota, itupun masih harus ‘ditodong’, maksudnya mereka akan bertanya ‘produk’ apa nih yang ditawarkan di luar kota. Jadi sementara waktu yang paling relevan di Ponorogo ya membuat gigs, kumpul-kumpul, yang pada akhirnya dari kumpul tadi tercetus ide-ide bikin benbenan.com ya itu buah dari berwacana itu sendiri ya ketemunya dimana?, ya ketika ada event ngegigs gitu. T : Apakah benbenan.com bisa dikatakan sebagai sebuah pergerakan kira-kira? J : Ya bisa dikatakan seperti itu, soalnya di dalam musik itu sendiri banyak sekali selain pelaku musik itu sendiri, ada pelaku industri kreatif, ada pelaku seni rupa, bermacam-macam lah. Jadi bisa dibilang ini menjadi satu ekosistem. Kenapa di luar kota itu bisa progres menaikan band ke permukaan sangat cepat? Karena disana ekosistem terbangun, seumpama ada band ingin menggarap video clip nah di lingkaran ekosistem itu tadi udah ada yang ahli videography, butuh foto bagus ada photographernya, bahkan mereka punya home recording yang kualitasnya bagus dan tidak memakan aggaran banyak, lah disini masih sangat kerepotan. Makanya di bio Instagram saya tertulis “ siasat sembarang kalir ” bukannya “siasat partikelir”, kenapa kok begitu ? karna media bikin sendiri bareng konco-konco, foto pakai kamera sendiri, video bikin sendiri, nulis press release sendiri dan dikirim sendiri, karna aku sadar ekosistem disini belum sempurna terbangun. T : Dalam ranah kemenejemenan, bagaimana band-band di Ponorogo? J : Sebagian besar band di Ponorogo belum mempunyai sosok yang benar-benar memegang manajemen band itu sendiri, belum ketemu ya, cuma kalau saya pribadi dan beberapa band teman-teman sudah memikirkan hal itu, walaupun dihandle sendiri. Ada satu sosok namanya Neon dan itu kebetulan manajernya Fun Fun For Me, dia cukup suka mencari informasi seputar manejerial band, dan itu masih kurang jika berkaca dengan banyaknya jumlah band di Ponorogo. Tapi kita kembalikan, jika ingin punya manajer, band itu tadi seperti apa sih, sampai harus perlu dimanajeri.
9 | BERTEMUDUGA
T : Kemana kira-kira kiblat skena Ponorogo? J : Kalau kiblat Ponorogo ke kota besar tentunya dan kota-kota kecil yang sedang berkembang, Katakanlah Jogja yang jelas, kalau Jakarta dan Bandung, siapa sih yang gak tau, bisa dibilang kota musiklah, cuma kita lebih ke Jogja sih ya, Soalnya disana ekosistem yang bersifat kolektif masih banyak, ada beberapa contoh itu ada Ruang Gulma, Jogja Nasbombe, dan banyak lainnya. Itu mereka masih pure kolektif dan disokong banyak orang, dan saya sangat berharap teman-teman di Ponorogo bisa seperti itu. Kalau kiblat hampir kota besar Jogja, Jakarta, Badung, Malang, Surabaya, Bali dan lain lain. Seperti di Bali kan Jrx pernah ngomong “sukses gak harus ke jakarta” dan gak sedikit band-band di bali yang gak pernah masuk tv , tapi dia bisa tour sampai ke Viva Las Vegas seperti The Hydrant, itu kan ada satu hal yang harus kita pelajari dari situ bahkan perlu kita adopsi di kota ini. Kalau kota kecil kurang lebih yang aktif seperti di Sidoarjo, Lamongan, Banyuwangi, Jember, Madiun, Pacitan, bahkan teman-teman dari Pacitan sempat membuat album kompilasi, itu menunjukan ada banyak peregerakan yang menghidupi skena kota itu sendiri. Itu bisa jadi contoh, minimal Ponorogo harus bisa seperti mereka.
T : Seperti apa sih perkembangan frekeunsi fluktuasi skena di Ponorogo, atau pernah sampai benar-benar vakum? J : Sejauh ini sepetinya gak ada sih, sejauh ini minimal 1-2 bulan sekali ada acara lah di genre manapun, ketika ada satu genre bikin acara, kemudian lama tidak bikin lagi, tapi tetap ada temann-teman dari genre lain yang bikin acara, misal bulan ini anak Metal bikin acara, ternyata anak Punk terpicu karna acara tadi, akhirnya mereka buat acara juga saling terpicu begitulah. T : Apa sih kegelisahan awal sehingga terbentuk benbenan.com? J : Sejauh pengamatan saya di Ponorogo, awal mula terbentuknya benbenan.com pengen sinau bareng masalah publikasi di wilayah press release dan memanfaatkan media sosial yang ada. Karena sangat jarang bahkan 1 dari 10 band saja yang sangat sadar akan pentingnya press release, jadi setiap pergerakan mereka itu harus dinaikan ke permukaaan, nah yang nomor 1 tanggung jawab mereka ke media sosial, karena ketika kita tidak bisa memanfaatkan gadget, melalui media apa lagi? Kita bisa memblow up ke luar sana, dan cara ini sudah diterapkan jauh hari di kota lain, menutup mata di wilayah ini bisa dikatakan kemunduran, harusnya kita sudah mempelajari itu. Kembali lagi saat band di luar kota sana, katakanlah mengeluarkan album dan siap untuk mengebom media nasional dengan press release, kita masih di tahap belajar di ranah itu, itu juga bisa menjadi stimulus, Gampangnya seperti ini semisal ada band yang release single, kemudian silahkan bikin press release nya, nanti kita terbitkan di portal benbenan.com, kan enak gimmick nya kalau seperti itu, kalau kita punya portal musik, dan kebetulan kan itu juga dari teman-temannya juga yang mengelola, nah edukasinya ya lewat situ jadinya. Walaupun kita dari pihak benbenan.com yang menuliskan press release tadi. Kalau teman-teman di kota lain kan istilahnya mereka sudah punya format khusus, ketika ingin publikasi, katakanlah aku kudu nyiapne tulisan, nyiapne foto profil, nyiapne artwork, nyiapne alamat email media online, nah mereka itu sudah punya hal-hal itu.
10 | BERTEMUDUGA
T : Bagaimana caranya kita ketika ingin tau dokumentasi skena musik di Ponorogo? Dimana kira-kira kita bisa menjumpai foto-foto arsip, atau hal apapun mengenai itu? J : Sejauh ini belum ada, paling yo sekadar koleksi-koleksi pribadi aja sih, tapi sebenere setiap rilisan itu dikumpulkan, dan pasti mereka ada yang punya, cuma belum ada tempat khusus untuk mengarsipkan. Harusnya ada sih tempat yang didedikasikan untuk mengarsipkan di wilayah permusikan tadi. T : Pesan untuk teman-teman di skena maupun di luar skena apa nih? J : Bermain musik tidak sekadar bermain musik, ada sangat banyak unsur di dalam bermain band itu, selain membuat lagu, masih harus memikirkan nulis press release dikirimkan ke media sosial, anual benar-benar bikin progres terus, setelah release single kamu harus bikin gimmick lagi, bikin karya lagi, karena ketika bermain musik dan tidak ada progres ke depannya diwaktu yang sama bakal bosan. Intine kita harus bisa “siasat sembarang kalir” kecuali kamu Taylor Swift, ora usa nyapo-nyapo, wes nyanyio tok ae, wes payu, lah kita ini siapa? Kalau tidak mau belajar, ya sulit rasanya. Kemudian jika di suatu kota itu tidak ada diskusi, tidak ada wacana tentang apa yang kamu lakukan, itu sangat mustahil menuju fase selanjutnya.
11 | BERTEMUDUGA
12 | BERTEMUDUGA