Baringan
Daftar Isi :
1
KAPSUL WAKTU : TARIKH MASA KECIL DAN CINTA PERTAMA BERNAMA SEPAKBOLA YANG TAK LAZIM
9
Risalatu al-Hindiy al-Hudday 1950 untuk Abad Modern
14
Menulis Sepakbola Di Antara Kecintaan Dan Kegilaan
17
Cerpen : Di Pinggir Lapangan
Baringan
Salam Redaksi : Salam Olahraga! Sepertinya ditengah kesibukan menghadapi pandemi global rupanya kita dituntut selalu berusaha meningkatkan imunitas, sehingga niat untuk berolahraga mulai dihidupkan kembali, mengingat berita kematian berseliweran sampai akrab kita dengar tiap hari yang kita lalui. Pada dasarnya sebagai manusia modern, mengabadikan momen adalah kewajiban, tanpa disadari, namun ia menggelitik diantara jari-jemari kita, sayangnya media paling mudah adalah dengan menangkap gambar melalui gawai.
Kita mungkin lupa caranya menuliskan kata-kata untuk menceritakannya pada hal yang kita sukai. Jadi seumpama kalian punya pengalaman tentang apapun yang ada kaitannya dengan sepakbola, alangkah menyenangkannya untuk dibagikan bersama. Tak perlu harus bagus, mencoba saja yang utama. Majalah ini tak lebih dari sebuah refleksi agar kita bisa saling bertukar fikiran. Menjadi menyenangkan bila bisa saling mengerti sudut pandang berbeda-beda pada olahraga yang samasama kita senangi. Silahkan menulis! lalu kami akan muat -graciousduck
Baringan|1
KAPSUL WAKTU : TARIKH MASA KECIL DAN CINTA PERTAMA BERNAMA SEPAKBOLA YANG TAK LAZIM -graciousduck
P
ada awalnya sebagai seorang bocah dengan banyak tingkah dan sulit untuk mencegah diri dari perbuatan berdiam diri selepas sekolah dan tidur siang di rumah, aku bemain entah kemana saja. Mulai dari berkelana menjelajah sungai satu ke sungai lainya sampai beregu maupun secara individu. Masa kecilku cukup menyenangkan atau kalau tidak bisa dibilang masih belum adanya invasi koneksi jaringan secara masal. Ada banyak musim dalam permainan yang dalam setahun selalu bergulir, siklusnya tidak pasti entah itu bulanan, atau bahkan mingguan, namun permainan selalu tak pernah selalu bertahan kecuali satu yang selalu mampu berdampingan dengan musim permainan apapun, dan itu adalah sepak bola. Istilahnya sepak bola selalu punya porsinya pada sore hari setelah siang hari lelah bermain dengan hal-hal yang musiman. Tidak tau pasti kapan kakiku pertama menendang bola, karna ini adalah cerita lampau, kalian pasti mengerti bagaimana rasanya untuk berdamai dengan ingatan yang selalu tidak pernah utuh, ia kadang bergelimangan menjadi pecahanpecahan, berhamburan tapi selalu datang sekelebatan. ada yang akan ingin bunuh pada kejadian memalukan dan menyakitkan, ada yang masih kita pelihara, dan untuk momen yang selalu diingat ia tak pernah mati.
ia mungkin hanya berganti bumbu pada penceritaan satu dengan lainya untuk merasakannya kembali. Sebelum 2006 usiaku bahkan belum genap satu dekade maklum saja seperti kebanyakan anak masa itu aku adalah pengagum berat “Peterpan” bahkan setelah itu aku melihat bagaimana seorang gitaris paling ikonik adalah personil “Radja” kalian bisa tebak siapa namanya, namun setelah itu dunia pengetahuan sepakbolaku tak pernah lagi sama setelah melihat tayangan ulang di pagi hari. Tayangan ulang cuplikan piala dunia di Jerman mempertemukan Italia berhadapan dengan tuan rumah. Uniknya sosok botak itu selalu menancap di kepalaku, entah bagaimana tak habis pikir kalimat sang narator berita olahraga buru-buru “Lensa Olahraga” ANTV (kalau itu betul?) itu menggambarkan bagaimana seorang pemain pengganti yang baru masuk dari bangku cadangan mampu mencetak gol dengan begitu indah, ia menceploskan bola di area kotak pinalti melewati kiper menuju bagian atas tiang jauh dan membuat Italia mempecundangi seisi lapangan penghelat piala dunia dengan skor 2-0 di waktu akhir perpanjangan babak. Anak kecil selalu suka dan akan takjub pada hal-hal yang baru ia ketahui, dan momen itu merupakan salah satu hal menakjubkan.
Baringan|2
Ta n p a p i k i r p a n j a n g a k u menyukai seragam tim biru itu hingga hari ini. Magis memang tahun itu bagiku sesudah melihat momen piala dunia itu esok harinya aku akan mendukung dengan sepenuh hati Gli Azzurri, kalau soal nasionalisme ditanyakan pada anak usia belum baligh, kira-kira apa jawaban yang keluar? tentu saja, saat itu bahkan
hari ini akan sama jawabanya, sama saja tak terlalu peduli dengan hal itu. Dulu mungkin aku mengetahui Italia adalah salah dua dari tujuh keajaiban dunia berada, kenapa begitu? karena kadang yang dimaksud dalam keajaiban dunia menara Pisa yang tidak berdiri tegak lurus, saat yang lain adalah gelanggang Koloseum yang tak utuh dicantumkan
Baringan|3
Dalam pertempuran laga pamungkas Italia berhadapan dengan Prancis, ya aku pun hanya mengetahuinya sebagai negara dimana menara Eiffel berdiri tegak. Hampir selalu melihat pertandingan tidak pada waktu jam tayang langsungnya, aku melihat cuplikanya saja tapi dengan durasi tambahan, dan momen magis itu selalu teringat. Penalti Zidane didapat s etelah Malouda dilanggar oleh Materazzi, ya walaupun kontroversial tapi tanpa itu mungkin takkan ada kontroversi ajaib selanjutnya. Eksekusi dua belas pas Zidane adalah yang terbaik selama yang aku tahu kala itu, bagaimana bola bisa membentur tiang bagian atas melewati garis, memantul tak beraturan dan keluar lagi, Gila! Skor 1-0 untuk keunggulan Prancis. Tak berselang lama biang keladi terjadinya pinalti si Materazzi membayar dosanya, dengan tandukan sepak pojok, lunas sudah dosanya. Skor bertahan hingga perpanjangan babak. Hal tak lazim kembali dipertunjukkan, Zidane dan Materazzi berjalan beriringan, bukannya menanduk bola ia malah menanduk dada Materazzi, What's the matter?.
Mana aku tahu kala itu karena yang terlihat itu bukan momen lazim dalam pertandingan sepakbola, yang aku lihat ini hal yang tak pantas, dan wajar diganjar kartu merah, bahkan hal itu membuatnya bukan hanya keluar lapangan, hingga mengakhiri karirnya sebagai pemain sepakbola. Aku tak mengetahui penyebabnya karena memang ini bukan cuplikan yang disajikan berita olahraga buru-buru, ini murni ku tonton di layar kaca tetangga pemilik digital dengan hak siar piala dunia, merknya “Matrix Soccer” dengan komentator bahasa Inggris yang belum kumengerti. Rupanya Zidane terprovokasi ujaran kebencian tentang hinaan Materazzi perihal ibu dan saudara perempuanya. Mana tau juga aku kalau Italia memang erat dengan “Furbizia” sumpah masih polos pokoknya.
Baringan|4
Belum berhenti sampai disitu kejadian menakjubkan datang tak terduga-duga, setelah tandukan Zidane skor tak berubah hingga menuju babak tendang-tendangan pinalti. Adalah Trezeguet mengulangi momen Zidane di area titik putih namun ceritanya berbeda, jika Zidane membidik bagian kanan gawang, ia membidik kiri gawang, pantulannya pun hanya sekali dan keluar tanpa hasil. Dan eksekutor selanjutnya tak mampu membendung kegagahan Italia menjadi juara dunia. Tentu si botak nomer tujuh yang aku lihat kemarin menjadi salah satu penendang, dan akhirnya aku mengetahui namanya adalah Del Piero. Cerita soal piala dunia membuatku selalu berusaha mengimitasi apapun yang dilakukan Del Piero, namun tentu tidak pernah benarbenar sempurna. Selanjutnya setelah dengan rela mendukung Italia aku mulai jatuh cinta dengan sosok yang kuanggap sebagai panutan.
Mari kita melihat keadaanku ketika itu, sekali lagi dan mudahmudahan tidak terlalu berlebihan meromatisirnya, walaupun mustahil begitu. Demam bola kala itu memang merubah banyak hal yang kualami dan cara melewatinya sebagai anak kecil, ibarat pandemi ia selalu datang dengan perubahan-perubahan menuju kenormalan bahkan menuju keadaan yang tak wajar. Aku selalu ingat dengan arsitektur rumahku yang penuh papan, dan kala itu baru kujejaki, setelah sebelumnya tingal di Kuala Cenaku, Rengat, Indragiri Hulu. Rumahku dulu adalah rumah panggung, dengaan model memanjang ke belakang dan penuh dengan kayu sebagi lantainya, hari-hari aku tak pernah mengingat pasti, hanya ada dua momen yang terekam. Pertama di belakang rumahku ada sungai yang cukup besar, sehari-hari selalu dilewati kapal minyak, dan masih dipergunakan sebagai tempat mandi dan mencuci di pinggiranya oleh warga sekitar lengkap dengan jamban-jamban alternatifnya.
Aku pernah berhadapan dengan maut akibat tergelincir dan tenggelam dan syukurnya dengan segala kepanikan orang tuaku aku masih bisa selamat. Kedua yang kuingat poster pada kalender dengan Megawati sebagai presidennya dan aku lupa akan nama perempuan lainya yang mengenakan jilbab berwarna hijau di salah satu kabinetnya, mungkin kalian tahu?. Dan pindah ke Sungai Bawang, Kuantan Singingi, aku kira ini bukan rumah milik orang tuaku, rupanya ini adalah rumah pertama mereka saat program transmigrasi jaman Harto masih menjabat sebagai presiden. Agak aneh karena rumah ini tak berpanggung, dan semennya tidak rata menutupi lantai, sebagian tersemen sebagian tidak, dan sudah ada keluarga yang menempatinya, rupanya itu adalah keluarga yang dititipkan tinggal sementara. Televisi pun mustahil aku temui di rumah itu, sehingga untuk menontonya aku harus hijrah ke rumah tetangga, dan lebih menyebalkannya lagi memiliki televisi harus sepaket dengan parabola dan digitalnya, karena antena biasa takan mampu menangkap sinyal di daerah itu. Berkali-kali merengek meminta hasil juara kelas dengan hadiah televisi agar tak perlu jauh-jauh untuk menonton orang tuaku selalu bergeming. Terlebih untuk mendapatkan akses hak siar piala dunia harus membeli digital dan parabola merk tertentu, ditambah jatah listrik lokal hanya nyala ketika jam tujuh malam sampai jam tujuh pagi, itupun tidak mesti selalu begitu, untuk mereka yang berpunya diesel pribadi itu hal yang mewah, sehingga sempat melihat ulangan piala dunia di rumah tetangga adalah momen teramat berharga.
Baringan|5 . Arus informasi di daerahku juga tak secepat daerah teman-temanku, ini aku cocokkan dengan berbagai macam obrolan setelah aku ke jawa dan bertemu dengan banyak orang dari berbagai penjuru daerah. Ada yang bilang bila informasi masuk ke Indonesia terlambat, ibarat di negri asalnya itu sudah basi disini kita menghangatkan ulang kebasiaan sehingga jadi bahan perbincangan dan membentuk atmosfernya. Tentu di tempatku lebih menyebalkan, kehanggatan itu baru terbit jauh setelah kebasian. Aku ingat jika ke pasar menemani ibu, jika meminta dibelikan mainan pasti yang ada hanya perdebatan menyebalkan antara anak kecil dan orang tua dan nirhasil, namun untuk membeli kaset CD dan majalah baru tapi bekas (mana aku tau itu udah kelewat tahun keluarnya, mana tau juga CD itu rupanya bajakan). Biasanya majalah Bobo yang kudapatkan sudah ada bagian yang terpotong-potong di lembar halamanya, tapi ada masanya aku tertarik dengan majalah BolaVaganza dengan sampul Superman membawa lambang Lega Calcio bertajuk “SERIE A RETURN”. Tentu sudah kelewat basi dari pertama edarannya, karena bukan di 2006 kiranya aku membelinya, dan untuk harganya, disana walapun bekas masih sama dengan harga asli keluarnya, menyebalkan bukan?. Tapi syukur, setelah itu aku akhirnya mampu berdamai dengan anjuran Ayahku jika menonton televisi jangan agar menonton berita, karena aku dengan khidmat selalu menunggu berita olahraga, satu-satunya berita yang aku minati, sesudah menonton kartun sebelum berangkat sekolah. Ini penting sebagai modal untuk berdebat sengit dengan mereka yang
Baringan|6
kadang sok tau membanggakan klub jagoannya. Di sekolah, sebelum ada ataupun sudah ada guru, kami selalu membicarakan tentang pertandingan apa yang berlangsung pada malam sebelumnya maupun yang malam selanjutnya akan dihelat. Obrolan tak pernah memandang entah itu dengan abang-abangan atau dengan teman sebaya maupun adik-adikan, yang pasti masing-masing dari kami punya jagoan sendiri-sendiri dan idola yang berbedabeda. Sebelum dominasi dua orang pemegang Baloon D'or hampir dua dekade mewarnai hari-hari kita sekarang. Rata-rata orang mampu membicarakn sosok-sosok dan tim yang mereka jagokan, momen yang aku ingat adalah ketika AC Milan menjuari Liga Champions 2007 dan abang-abangan itu memajang poster Inzaghi dan Kaka di ruang tamu rumahnya, ini memang secara keluarga punya DNA milanisti yang kuat, apa boleh buat mereka sedang berjaya, hanya saja kala itu aku
bersyukut menemukan sesama penyuka Liga Italia, selebihnya kami selalu berdebat. Untuk hal ini nampaknya kita bercerita lebih kalau ada kesempatan lagi dan kalian tertarik. Ketika sore hari tiba waktunya kita menuju tanah lapang, ya apapun lapangannya kami hanya ingin bermain bola, entah menggunakan lapangan voli atau medan lainya, dengan gawang dari tumpukan sandal, dan bola voli yang sudah agak kempes namun masih ada sisa anginnya, kami selalu mencoba membuktikan omongan kami ketika pagi hari, , berdebat soal tim mana yang paling jago dengan bermain di lapangan ketika sore, meminjam kaos tim idola lengkap nomer punggung dan nama mereka. Kaos itu begitu mudah ditemukan dipasaran, mana ada urusan dengan keaslian, yang penting kami berusaha menduplikat dalam cara kami bermain, sampai urusan merayakan gol. Tanpa alas kaki dan lapangan yang gundul tak ada rumputnya, kami bermain dengan penuh canda tawa kadang penuh emosi. Ada banyak tipe lapangan yang ada di sekitar daerahku, tapi bagiku paling ikonik di lapangan voli itu karena memang dekat dari rumahku, entah bagaiman tanpa ada janji-janji palsu kami berkumpul saja ketika sore. Hujan bukan masalah justru itu hal yang selau ditunggu, rasanya semakin segar ketika bermain dibawah rintik ataupun derasnya hujan, dengan konsekuensi pulang dimarahin ibu lagi dan lagi.
Baiklah mari bercerita tentang varian lapangan yang ada di sekitaran tempatku, ada lapangan di sekolah, walaupun untuk main bola kami harus memainkan permainan kasti telebih dahulu, entah apa yang terjadi apa itu bagian dari kurikulum atau bukan, tapi jika ada guru olahraga kami harus menunda sampai permainan yang membosankan itu selesai dan barulah kami main bola. Lapangan depan sekolah adalah lapangan dengan rumput Jepang, sehingga bermain disitu akan selalu ada saja pemain yang berani menjatuhkan diri untuk menekel bola, nah untuk gawangnya karna kami bersepatu maka biasa menggunakan tumpukan sepatu atau batako, namun tetap untuk bermain selalu nyeker. Lapangan lainya adalah lapangan di area rumahan, jangan membayangkan ini di jalanan, karena memang lahan kami untuk bermain bola cukup banyak, ia berada diantara pekarangan kebun sawit dengan diameter yang tak terlalu luas, ia ada dimana-mana bahkan jika ingatan ku masih benar ada sekitar 3 lapangan dengan jenis ini, tanpa rumput dan hanya tanah, tapi tiang gawangnya agak bagus karena menggunakan bambu. Ada kok ada lapangan yang seharusnya sebagai tempat bermain sepak bola, hanya saja sangat menyebalkan dengan banyak tumbuh rumput jarum, walaupun kadang tak pakai sepatu tapi selalu gatal ketika tersangkut di celana atau di baju, dan lapangan itupun tak seluruhnya ditumbuhi rumput masih dominan hanya tanah. dengan tiang gawang dari besi, tapi fluktuasi digunakannya sedikit, jika hanya bermain biasa tak pernah kami
Baringan|5 gunakan, kami lebih memilih bagian yang banyak tertutupi rumput dan menumpuk sandal untuk menjadikanya tiang gawang. Secara peraturan tak jauh berbeda mungkin lazim diantara kami, jika postur kiper tak dapat menghalau bola udara maka gol tidak akan sah, jadi tiang gawang atas diukur sesuai postur kiper, jika bola kedapatan mengenai tumpukan sandal maka itu dianggap tak sah sebagai gol, untuk jarak gawang sangat-sangat tergantung, bisa lima langkah bahkan tujuh, jaraknya pun tak akan pernah sama hari ini dengan hari lainya, terlebih si pengukur tak pernah orang yang sama. perihal pinalti pun begitu dihitung dengan langkah kedepan dari gawang kadang lima kadang tujuh, mana sempat kami memikirkan garis pinalti apalagi susah susah membuat titik putih. Lebih sering tanpa alas kaki, jadi ketika ada yang bersepatu habis dikomentari sebagai anak kelas atas, hingga dirundungi sampai ia melepas sepatunya, gila aja yang lain tanpa alas kaki dia bersapatu dengan spul, sakit gak tuh kalau kena injak. Untuk bola kami tak pernah mematok harus bola apa, apapun bolanya asal bisa ditendang dan ada maka kami pakai. Makanya aku agak heran hanya disini saja menggunakan bola plastik, ditempatku lebih baik mengguakan bola yang mudah terbang ketika ditendang dari pada plastik. Kalian pasti juga tau kalau batas pemain tak pernah ditentukan, tanpa ada yang menunggu di luar lapangan pokoknya datang silahkan menjadi tim bagian mana, asal genap, sama jumlahnya dengan tim lawan.
Baringan|8 Kick-Off dilakukan dengan melambungkan bola keatas dan pada pantulan ketiga baru boleh dikusai, pelanggaran kadang bisa berupa tendangan bebas atau kadang menggunakan metode yang sama ketika Kic-Off tergantung keputusan bersama. Selain batas pemain yang tidak ada pekemnya, berakhirnya pertandingan selalu tak tentu, entah ketika pemilik bola pulang, bola bocor, atau paling sering terjadi adalah adzan magrib, bahkan kadang bisa terus berlanjut sampai pemain kehabisan tenaga.
My position is this-street soccer is the most natural educational system that can be found -Rinus Michels-
Baringan|9
Risalatu al-Hindiy al-Hudday 1950 untuk Abad Modern -Syifaurrahman
Tim Sepakbola India Di Olimpiade
Baringan|10
R
isalah bisa diartikan dengan surat, catatan, kabar, dan yang semisal. Biasanya para cendikiawan muslim memakainya sebagai judul pada tulisan kecil mengenai suatu masalah. Namun, artikel ini bukan seperti risalah pada umumnya, tidaklah seperti arRisalah karya Muhammad bin Idris, ar-Risalah ila Ahli Tsagr bi Baabi alAbwab, bukan juga Risalatu fi as-Say wa al-Qahwah, apalagi seperti banyaknya risalah-risalah yang ditulis Ibnu Taimiyah. Ini hanya artikel kecil lagi ringkas yang memuat bacaan ringan terkait sepakbola yang kita cinta, walaupun setiap dari kita dipikat oleh pesona anggun sepakbola dengan cara yang berbeda-beda.
Belakangan ini saya mendapat pelajaran dari berbagai jurnal dan artikel, tentang bagaimana cara untuk menarik perhatian pembaca lewat judul yang anti-mainstream dan pembukaan yang mind blowing, untung-untungnya tidak clickbait. Agaknya merasa aneh, karena saya mencoba meniru metode tersebut, kemudian memilih judul tertera untuk menyuratkan sepotong kisah sepakbola dari Negara Bollywood. Apa yang unik dari sepakbola India? Mungkin tipe pembaca ahli tafsir lagi mujtahid mutlaq dengan teori-teori gilanya mengira akan sama seperti Negara Brasil, di mana corak budaya lokalnya melekat pada karakteristik sepakbola mereka, sebagaimana tarian samba yang dintegrasikan dengan dribble pada umumnya dan beberapa skill khas pemain brasil yang lain.
Baringan|11
Saya tidak menyoroti karakteristik atau bagaimana cara mereka mengolah bola sepak di kaki mereka. Namun, lebih dari itu sepakbola memiliki hal-hal yang subtantif seperti kesederhanaan. Sebagaimana Santiniketan, sebuah kota kecil di India, dengan kesederhanaan dan kedamaiannya telah sukses menginspirasi dan diadopsi menjadi sebuah gagasan pendidikan. Sejenak kita time traveling mengilas balik masa lalu mengenai kelahiran Republik India. Pada tahun 1947 India memproklamirkan kemerdekaan atas kolonialisme Inggris, kemudian disusul dengan penyusunan undang-undang pada 1949. Setahun kemudian mengesahkan diri sebagai negara republik. Pada tahun itu, pasca kemerdekaan, Presiden Soekarno diundang ke Istana Kepresidenan India untuk merayakan kebebasan dari jajahan Inggris. Mungkin kurang lebih saat itu Soekarno mengatakan, “Gue turut bahagia, Bro. Gue tau dijajah tuh gak enak banget,” kepada Rajendra Prasad yang terpilih sebagai presiden pertama Republik India. Namun, pada tahun yang sama Soekarno juga berkunjung ke Pakistan untuk menyampaikan penghargaan kepada prajurit mereka yang berjuang di pihak Indonesia. Sebagaimana telah diketahui bahwa pada tahun-tahun tersebut konflik sedang memanas diantara India dan Pakistan, keduanya tengah memperebutkan wilayah Kashmir yang berbatasan juga dengan Cina.
Pada 1947 Bentrok antar militer bersenjata juga telah terjadi, dari sini kita tahu bahwa India tidak kunokuno amat. Dengan ulasan sejarah singkat tadi, kita dapat menghitung umur Republik India, mengukur kondisi sosial dan perkembangan sepakbolanya. Pada Olimpiade London tahun 1948 India tampil impresif menghadapi Prancis, walaupun harus ketinggal satu gol, tentu ini adalah suatu pencapaian yang mengesankan bagi negara yang baru setahun merasakan indahnya kebebasan. Itu adalah laga skala internasional yang pertama bagi India setelah merdeka dari jajahan Kerajaan Inggris. Namun, penampilan apik India pada laga tersebut bukanlah sorotan utamanya, melainkan ada suatu hal yang tidak lazim pada pertandingan sepabola skala internasional, melihat fakta para punggawa Timnas India turun ke lapangan menyusuri rerumputan hijau menghadapi punggawa Prancis tanpa menggunakan sepatu atau bahkan sepasang alas kaki yang melindungi kulit ceker mereka, walau-pun terlihat ada beberapa pemain yang menggunakan sepotong kaus kaki tidak utuh. Entah ini kesederhaan atau memang minimnya perlengkapan. Jika melihat kemajuan militer India pada masa itu, keterbatasan perlengkapan bukan menjadi alasan yang dapat mudah diterima.
Baringan|12
Belum cukup sampai di situ petualangan kesebelasan Timnas India di kancah dunia. Pada tahun 1950 India lolos kualifikasi Piala Dunia setelah serangkain peristiwa, dan menjadi satu-satunya wakil Benua Asia. India duduk satu grup dengan Swedia, Italia, dan Paraguay. Lagi-lagi suatu pencapaian diraih India, memungkinkan upaya perebutan juara melawan 15 negara besar Eropa. Namun, India batal tampil di kompetisi sepakbola paling bergengsi di dunia itu. Ada beberapa sebab yang sulit diklarifikasi, yang paling populer adalah penolakan atas wajibnya menggunakan alas kaki saat pertandingan, pada sumber yang berbeda menyatakan bahwa India tidak tahu betapa berharganya partisipasi di Piala Dunia FIFA tersebut, adapun alasan yang paling realistis adalah minimnya keuangan negara untuk memberangkatkan Timnas Sepakbola ke Brasil. Lagi-lagi saya tidak bisa menghukumi latar belakang keputusan India, mencari informasi kasus ini cukup sulit bagi saya, tapi tidak masalah. Jadi, katakanlah Timnas India saat itu lebih menyukai sepakbola tanpa alas kaki, maka saya sebagai seorang yang baru terbiasa menggunakan alas kaki saat bersepakbola merasa seperti I know how you feel. Melangkah dengan atau tanpa alas kaki pun rasanya sudah berbeda, menggunakan sol tebal atau tipis juga berbeda. Saya yakin, seseorang yang telah mencapai maqam tertinggi pada kenyaman nyeker saat sepakbola akan kesulitan
beradaptasi dengan sepatu. Dia tidak lagi bisa merasakan sentuhan magis, saat kulitnya dan kulit yang dicinta saling bersentuhan; tidak lagi ada keselarasan tingkat wihdatul wujud pada setiap putaran. Bagi saya pengalaman nyeker cukuplah berharga, tentu saja, bagaimana rasanya memiliki telapak kaki dengan daya tahan serupa kulit unta. Kekuatan magis itu saya dapatkan setelah perjalanan panjang walaupun hanya bertahan selama kurang lebih 4 tahun, dan hilangnya daya tahan tersebut terjadi ketika saya membiasakan diri untuk menggunakan alas kaki saat bersepakbola. Ada banyak hal yang berkurang dari teknik yang saya kembangkan sebelum beralas kaki, umumnya seperti akurasi tembakan dan fleksibilitas kaki. Dan nyeker bagiku bukan cuma keterbatasan belaka, lebih jauh dari itu melibatkan bahagia, yang bersamaku ketika bersepakbola. Barefoot atau tanpa alas kaki dalam olahraga, tidak selamanya berdampak buruk. Mungkin benar akan berdampak buruk jika anda berlari tanpa alas kaki di atas banyak pecahan kaca. Namun, saya pun mengakui bahwa bersepakbola nyeker cukup berbahaya, karena seringkali dilakukan di jalan beraspal, paving sekitar komplek, dan semen yang kasar. Di sisi lain, berjalan-jalan atau berlari ringan tanpa alas kaki juga memiliki dampak positf, seperti menguatkan otot kecil pada kaki dan mengembalikan cara berjalan alami manusia.
Baringan|13
Bagian ini dicukupkan sekian, jika terus dilanjutkan mungkin akan mengambil alih bagian alodokter.com dalam memberikan edukasi kesehatan pada masyarakat Indonesia. Poin-nya, sepakbola nyeker boleh saja, tapi alangkah baiknya membiasakan diri menggunakan sepatu untuk melindungi kulit kaki dari luka gores yang cukup mengganggu. Kembali lagi ke Timnas India, yang bertanding tanpa alas kaki. Saya tidak menghukumi apakah itu kesederhanaan atau keterbatasan. Singkatnya saya melihat bahwa kebahagiaan dan kenyamaan yang selalu menjadi tujuan setiap individu manusia tidaklah terbelenggu oleh gemerlap dunia, dia ada sejak kita lahir ke dunia, sisanya tergantung bagaimana kita hidup dan bersahabat dengannya.
Baringan|14
Menulis Sepakbola Di Antara Kecintaan Dan Kegilaan Oleh Taufik Nandito
Tulisan ini dipinjam pakai dari : rusamenjanabooks.wordpress.com
Tak lama setelah melihat teman meliuk-liukkan Alvaro Recoba di gim sepakbola Playstation, saya memutuskan memberi hati untuk Internazionale Milano. Itu terjadi jauh sebelum saya dikhitan. Pada waktu itu, saya belum mahir memainkan gim Winning Eleven dan jam tidur saya masih diatur orangtua, sehingga saya tak pernah sempat menyaksikan laga sepakbola di larut malam—utamanya laga Serie-A. Setelah menahbiskan diri sebagai pendukung Internazionale, saya berlatih keras memainkan gim Winning Eleven, bersikeras menyaksikan laga-laga Serie-A di larut malam dan rutin mencari poster-poster pemain Internazionale di korankoran olahraga seperti Bola, Soccer, dan Go!. Tak ada yang bisa menghentikan kegilaaan saya akan sepakbola di masa-masa itu. Tidak guru-guru di sekolah. Tidak pula orangtua saya di rumah. Kala itu, berahi saya akan sepakbola diimbangi dengan pesatnya peredaran koran-koran sepakbola. Bonus poster para pemain dan jadwal pertandingan dari pembelian koran sepakbola seperti harta karun yang menenteramkan hati. Kalau beruntung kita dapatkan poster pemain atau tim kesayangan, keesokan harinya saya dan kawan-kawan akan saling membanggakan temuan masing-masing di sekolah. Tak berhenti sampai di situ, pengaruh koran sepakbola pun sampai menjalar ke ranah intim dalam kehidupan saya: dinding kamar. Pelbagai poster bonus dari koran-koran sepakbola menggantung di sana. Banyak guntingan koran
Baringan|15
juga saya lekatkan di dinding kamar. Ia seakan menjadi pertanda machoisme saya perlahan mulai tumbuh. Pada waktu itu, kalau saya berbantahan dengan teman mengenai sepakbola, emosi selalu dikedepankan. Seiring bergulirnya zaman, perilaku membaca saya bergeser bersamaan dengan berubahnya pola emosi sebagai seorang remaja separuh matang. Sudah barang tentu, di fase coming of age, seorang remaja mencari pegangan yang seolah-olah kekal, termasuk soal sepakbola. Di fase ini, saya dan teman-teman pun mulai meninggalkan poster dan koran sepakbola sebagai pegangan identitas seorang fans sepakbola. Selepas itu yang terjadi adalah pergulatan batin sebagai seorang fans sepakbola. Di waktu saya SMA, koleksi jersey sedang marak. Teman-teman saya beranggapan bahwa koleksi jersey seolah menjadi upaya untuk mengekalkan identitas sebagai fans sebuah klub. Dan saya yang enggan mengikuti jalan itu, mencari pelarian di dunia maya dan bertemu dengan situs Bolatotal.com. Situs ini menyajikan artikel sepakbola yang berbeda dari media-media kebanyakan. Tulisan-tulisan di sana bisa menggambarkan kehidupan lain dari pesepakbola atau dimensi berbeda dari eksistensi sebuah klub. Inilah untuk pertama kali saya tahu bahwa artikel sepakbola bisa ditulis dengan sentuhan khusus yang menyenangkan dan tidak hanya seperti menulis ulang jalannya sebuah pertandingan. Perkenalan saya dengan Bolatotal dimulai dari sebuah artikel yang menceritakan sisi lain dari kemalasan seorang Juan Roman Riquelme, seorang playmaker klub Boca Juniors yang kerap berbantahan dengan pelatihnya lantaran dinilai egois dan sering mendapat label sebagai pemain yang hanya ingin jalan-jalan di lapangan. Tetapi di Bolatotal, semua label itu mendapat pembenaran. Seingat saya, dalam artikel itu, Riquelme diberi puja-puji yang menggambarkan bahwa kemalasannya adalah keniscayaan dari seorang maestro si kulit bundar. Semua pengibaratan untuk Riquelme, dari kutipan-kutipan orang yang tak saya kenal, ditulis secara ringan. Selain itu, banyak informasi yang tak pernah saya dapatkan di koran-koran sepakbola biasa, mencuat lincah dari paragraf ke paragraf. Berkat artikel itu saya jadi menaruh banyak hormat sekaligus merasa lebih dekat dengan sosok Riquelme. Lewat Bolatotal pula, saya mengenal istilah fans kardus, fans karbitan, dan jongos bola. Sebutan-sebutan itu merupakan cara bagi keredaksian Bolatotal dan pembaca setianya membedakan diri dari fans sepakbola yang mudah tersulut emosi jika tengah berbantahan dengan rivalnya. Karena konten-konten Bolatotal, pendewasaan saya dari fanatisme bola berproses dari yang mulanya meluap-luap tanpa rasionalisasi, menjadi lebih tenang dan disiplin mencerna informasi.
Baringan|16
Usai Bolatotal mengakhiri perjalanan, saya mengenal kanal-kanal artikel sepakbola yang menyenangkan seperti Pandit Football dan Football Fandom. Meski saya tak tahu pasti usia keduanya, artikel-artikel di dua situs tersebut sama menggairahkan seperti Bolatotal. Dan dengan polesannya masing-masing, sepakbola serasa berjalan lebih panjang dari 90 menit waktu normal sebuah laga. Sama seperti Bolatotal, kedua situs itu seakan memberi kedekatan yang lain dari arus utama pendukung sepakbola yang hanya ingin tahu menang-kalah, benarsalah, dan hitam-putih antara klub mereka dan klub rival. Cara berpikir yang serba biner ini, adalah kekonyolan fans sepakbola yang agaknya ingin diberi sentuhan berbeda oleh pendiri situs-situs tersebut. Akan tetapi, situs-situs itu seperti halnya media baru di masa sekarang, mengada, mencari pembaca dan mempertahankan eksistensinya. Mereka akan terus bertahan kalau para penulis bola rutin bermunculan dari kantung-kantung komunitas maupun lone-wolf penggemar sepakbola. Lantas, apa materi dasar guna untuk bergeliat lebih jauh di ranah football writing? Karena saya sendiri belum bisa dikatakan survive di ranah itu, saya hanya bisa memberi hasil pengamatan mendasar. Tapi secara umum, etos itu bisa dimulai dari sepakbola dan obsesi literer masing-masing penulis—persilangan itu yang saya amati ada pada banyak penulis bola yang telah malang melintang seperti Sindhunata, Zen RS, dan Eddward S. Kennedy. Deretan penulis senior tersebut, sanggup memetakan anasir-anasir yang tepat antara sepakbola dan obsesi literer. Pada sepakbola terdapat pelbagai turunan aspek seperti taktik, sejarah, budaya klub, dan mentalitas. Sementara pada obsesi literer semuanya kembali pada referensi yang paling sering dilahap oleh para penulis, entah itu filsafat, sastra, atau sejarah.
Perpaduan itu bukan hanya menghasilkan tulisan sepakbola belaka, tapi juga produk literasi yang multi-dimensional. Itu mengapa, ketika saya menjadi pembaca rutin tulisan-tulisan dari Sindhunata atau Zen RS misalnya, secara sadar saya mengalami perubahan perilaku sebagai fans sepakbola. Sebab, selain mendapat pengetahuan baru di luar sisi-melik klub dan pemain kesayangan, saya seperti diberi panduan kritis dalam menyikapi isu yang beredar di publik sepakbola dunia. Meski begitu, tanpa kecintaan dan kegilaaan, musykil kiranya ada orang yang mau mengaitkan banyak hal di sepakbola ke dalam penyajian yang kompleks dan kritis. Tapi, dengan kecintaan dan kegilaan, seorang fans sepakbola akan selalu mencari tahu, hal-hal menarik apa yang bisa ia peroleh guna terus membekali hasratnya di sepakbola. Maka, football writing hadir di sana untuk menghadirkan sisi cerdas dari kegilaan dan kecintaan itu. Dan itu senada dengan kata-kata pelatih Juventus, Massimiliano Allegri bahwa sepakbola, “adalah permainan bodoh yang diperagakan orang-orang cerdas.”
Cerpen : Di Pinggir Lapangan
Baringan|17
-Ruly R
Hari cerah. Secerah raut muka Dul yang bersiap menyambut rezeki. Meski nasib tak ubahnya cuaca akhir-akhir ini yang cepat berubah, namun Dul tampak optimis dengan peruntungannya hari ini. Bocah penjual pisang goreng yang tubuhnya kerempeng, dan berumur sebelas tahun itu sudah ngendon di warung Yu Jum sedari tadi. Dia duduk tepat di samping Karso. Menyimak tiga botoh ngomyang ngalor-ngidul. “Tiga juta!” gertak Jonidun. Membuat kaget Yu Jum yang sedang menata rentengan minuman sachetan. Dul juga kaget. “Buat tim Senso FC. Aku yakin hari ini mereka menang.” Jumawa Jonidun mengatakan itu. Karso dan Warto yang ada di hadapannya saling berbisik. Masih pukul dua siang. Namun tiga botoh dan penjaja dagangan itu sudah ada di sana. Mereka ambil start, tak kalah dengan panitia penyelenggara turnamen yang terdiri dari karang taruna sekitar. Sore nanti final pertandingan tarkam digelar. Lapangan Banjar Rejo disulap. Bopeng tanah lapang kemarin sudah ditambal dengan rumput ala kadarnya. Tali rafia berwarna hitam guna batas jarak penonton dan lapangan kini dilebihkan mundur sekitar setengah meter. Final bal-balan yang sempurna betul-betul diusahakan panitia. “Wani?!” tanya Jonidun pada Karso dan Warto yang kali ini terlihat ciut nyali ditilik dari raut wajah mereka.
Baringan|18 “Kami tunggu Jabrik saja.” Karso menyahut setelah jeda sebentar. Jarinya kali ini sibuk memainkan ponsel. Dul diam, sesekali manggut-manggut. Dia sudah hafal dengan wajah botoh itu. Pedagang geser. Begitu julukan yang melekat pada Dul dan Yu Jum. Mereka sering berpindah ketika dagang karena memang tidak punya tempat yang pasti untuk itu. Kadang mereka jualan di pasar malam, orang hajatan, dan paling sering di saat seperti ini—di pinggir lapangan kalau ada tarkam. Bulan Agustus dan September semacam menjadi panen raya bagi Dul dan Yu Jum. Banyak tarkam dengan embel-embel PORDES dihelat. Hal semacam itu menjadi arena pertarungan nasib menjajakan dagangan. Juga pertarungan para botoh semacam Jonidun, Karso, Warto, juga Jabrik. *** Berduyun penonton datang. Tepi lapangan mulai sesak. Pendukung masingmasing tim yang akan segera tanding tampak bungah, tidak ada pesimis di wajah mereka. Tentu masing-masing yakin kalau tim jagoannya akan meraih juara. Yu Jum sibuk meladeni pembelinya, dagangan Dul sesekali juga laku meski belum banyak. Hari ini, semua tampak senang sebelum peluit sepak mula dibunyikan, kecuali Dul karena dagangannya tak laris-laris amat. Jonidun melirik bocah itu sebentar. Pemain mulai memasuki lapangan, seakan prajurit penentu nasib dan pesta perang sudah bersiap saling tanding. Jonidun girang bukan kepalang. Penuh hati yakin akan menang banyak sore ini begitu melihat wasit yang memimpin pertandingan terhitung masih satu desa dengannya. Pundi tiga juta sudah menempel dalam benak Jonidun begitu Jabrik langsung mengiyakan tantangannya meski dia datang sedikit terlambat dari waktu yang disepakati. “Tenang Dul. Nanti kubeli semua daganganmu. Wis to tak tambahi bonus karena hari ini aku menang,” ucap Jonidun masih dengan jumawa. Kick-off dimulai. Penonton jejingkrakan. Yel-yel diteriakan, dukungan saling bersahutan. Keceriaan terus membuncah dari wajah pendukung masing-masing tim, seakan bal-balan menjadi penghalau segala derita mereka. Tim Senso FC terus ditekan serangan lawan di sepuluh menit awal. Cepat waktu terus berjalan, namun belum ada peluang yang benar-benar mengancam, belum ada gol tercipta, hanya sesekali jantung penonton berdesir ketika timnya melepas sontekan ke gawang lawan.
Baringan|19
Tangan Yu Jum masih cekatan. Menuang air dan mengaduk minuman. Dul masih saja longgar, tidak ada pembeli yang menjamah dagangannya. Sesekali kepala Dul melongok ke lapangan di antara berjibun penonton di tepi lapangan. Wajah Jonidun sedikit pucat, tidak sebungah dan setenang sebelumnya, lain dengan raut muka Jabrik, Karso, dan Warto, yang terus saja berbisik sembari sesekali tersenyum kecil. Senso FC masih terus diserang dan akhirnya pecah telur untuk tim lawan. “Offside!” teriak Jonidun. Pendukung Senso FC menyoraki wasit yang menganggap gol itu sah. Pemain Senso FC menghampiri dan coba memprotes. Perdebatan terjadi di lapangan, namun wasit tak hirau. Pertandingan kembali berjalan. Sesekali gulir bola ditingkahi peluit wasit. Wajah Jonidun bertambah cemas. Sementara Karso sibuk memainkan ponselnya. Jabrik dan Warto saksama melihat pertandingan sembari terus menyimpul senyum. Dul juga ikut menyimak pertandingan. Apes bagi Senso FC di penghujung babak pertama karena kembali dihajar gol lawan, lewat tendangan penalti yang bermula dari kejanggalan. Dari cemas, Jonidun kini lemas. Jabrik, Warto, dan Karso jingkrak-jingkrak kegirangan. Ponsel Karso jatuh. Dul jelas membaca siapa yang dihubungi Karso sebelum buru-buru si pemilik mengambil benda itu. Babak pertama selesai. Dul beringsut dari duduknya. Dia mendekat pada Jonidun yang wajahnya tampak kian lemas dan melas. Tampak Dul seakan bingung harus memulai percakapan dari mana. “Pisang, Pak.” Pendek kata yang keluar dari mulut Dul, namun Jonidun menepis apa yang ditawarkan bocah kerempeng itu. Dagangannya jatuh ke tanah, padahal dia hanya ingin mengatakan apa yang dilihatnya tadi. Sore itu, di pinggir lapangan, pundi uang yang banyak tak jadi didapat Jonidun, juga Dul.
*Ruly R, bagian dari Komunitas Kamar Kata Karanganyar dan Rusamenjana Books Store & Club. Bisa disapa di twitter @ruly_r_
Baringan|20
“Dengan atau tanpa alas kaki, tetaplah bola yang dimainkan”