Kritik Radikalisme Atas Nama Islam Teringat pada film The Spirit of Sword, seorang pendekar pedang aliran Jepang datang ke Cina untuk mengumpulkan 7 macam pedang yang berbeda. Sesampainya di Cina, hasrat yang besar itu dimuntahkan kepada setiap orang yang ditemuinya jika mereka tidak menunjukkan tempat berkumpulnya tujuh pedang itu. Karena tempat itu sangat rahasia dan yang mengetehuinya hanya orang-orang khusus, maka tiada yang mengetahui. Meski mengetahuinya, pembeberan informasi kepada siapa pun, khususnya orang asing, adalah pelanggaran. pendekar tersebut bernama Da Xang. Ia adalah anak dari pendekar bertato elang dan kemudian diasuh oleh pendekar dari Jepang. Pencarian ini adalah misi tersembunyi dari ayahnya Da Xang. Tapi karena pesan dari pengasuhnya secara singkat, maka perjalananya ke Cina demi sebuah wasiat tanpa menulusuri sejarah ayahnya siapa, keluarga di mana, asal-usulnya seperti apa, membuat dirinya harus berperang dengan saudara kandungnya sendiri, yakni satu ibu, beda ayah. Meski pada akhirnya keduanya saling mengetahui identitas masing-masing, tapi idealism dan egoisme masing-masing yang dibawa sejak awal atas nama balas dendam dan misi pribadi membuat jiwa mereka sulit membuka dada mereka untuk menerima kebenaran sejarah. Di sisi lain, terjadinya konflik karena adanya pen-fitnahan terhadapa ibunya Da-Xang oleh ayahnya karena tidak suka dengan suami ibunya, yakni ayahnya Da-Xang, membuat sejarah dalam kisah tersebut hanya punya satu refrensi kebenaran yakni ibunya dan adik ipar ibunya yang akan menjelaskan secara jujur. Tapi bukan ayah Ibunya, karena tidak ingin kebenaran itu terungkap demi sebuah misi pribadi menguasai dunia persilatan. Berangkat dari cerita ini, saya ingin memulai bangunan logikaku pada sebuah misi nama radikalisme atas nama Islam. Bagi saya, penamaan ini terlalu subjektif dan berusaha menyudutkan agama Islam sebagai salah satu energi murni-suci yang dikonseptualisasikan secara apik oleh Nabi Muhammad dalam prilakunya setiap hari dan direkam oleh wahyu Allah, kitab Al-Qur’an dan dibahasakan sesuai kontekstual masanya dalam hadist. Hingga pada akhirnya, kesemuanya, melahirkan banyak penafsiran untuk mengambil intisari makna Islam waktu itu.
Petunjuk apa yang bisa digunakan untuk dijadikan penanda waktu dan tempat di mana Nabi Muhammad berlaku radikal kepada orang lain atau agama lain atas nama Islam? Apakah sebuah kitab suci al-Qur’an saja atau dengan menggabungkannya dengan Hadist, atau dengan penilitian geologi politik masa itu? Atau antropologi manusia dan budayanya? Tidak ada bukti sejarah yang valid atas tindakan radikal Nabi, kecuali hanya penafsiran tanpa akar jelas sejarahnya. Terjadinya bom bali 1 dan 2, bermula dari penafsiran dari teks al-Qur’an tentang makna jihad tanpa memperdulikan kembali faktor sejarah, asbab al-nuzul dan tujuan kembali adanya sebuah agama Islam dan makna Islam atau pun salam. Begitu juga kelompok-kelompok ber-aflisiasi ekstrim cenderung menafsirkan alQur’an secara arti kontekstual dengan meninggalkan makna trasendental yang dikandung dalam al-Qur’an atau pun hadis –bagi kelompok radikal yang masih mengakui hadis. Sehingga kata jihad seakan-akan bermakna satu, yakni memerangi kaum non-Islam dan semuanya dianggap kafir. Jika semacam itu, agama Islam tidak menjujung kemanusiaan sebagai ciri awal makna tentang manusia. Lalu apa fungsi hadist “innamâ buistu li utammima makârima al- akhlak di sini? Islam sejak awal mengajak kepada manusia bersikap santun, menghormati orang tua, cinta tanah air, toleransi atas perbedaan agama dan keyakinan, kini penamaan arti Islam saja dengan arti damai, selamat, tidak mendapatkan relasinya lagi, karena telah didekontruksi dengan makna radikalisme. Lalu siapakah yang bertanggung jawab atas pemaknaan ini? Apakah mereka yang bom diri atau media yang menginformasikan? Oke! Katakan saja, itu adalah ulah propaganda barat dengan medianya untuk membentuk opini dunia tentang agama Islam sebagai agama radikal yang patut diwaspadai. Atau katakan saja bahwa itu adalah ulah balas dendam kaum ‘Eropa’ dan ‘Barat’ karena sejarah kelam ekspansi kerajaan Islam dalam menguasai dan menjajah tanah eropa. Sehingga meninggalkan rasa sakit dalam hati mereka untuk membalas dendam kepada mereka yang beragama Islam tanpa harus mengenal apa itu Islam. Dengan begitu, alat propaganda diciptakan dengan
memojokkan Negara Islam atau pun agama Islam serta pemeluknya dengan cara menjajah mereka dalam ideologi, budaya, atau penjajahan fisik. Proyek ini dilakukan dengan tujuan Agar kemudian akhirnya muncul dalam benak orang Islam bahwa harus ada pembaharuan atas Islam dengan menghancurkan pos kunci peradaban barat, yakni di Amerika (Ini adalah salah satu kemungkinan tentang pembacaan ). Pemojokan itu menuai hasilnya dengan munculnya gerakan al-Qaedah adalah sikap responsif dari keadaan Islam yang di lecehkan oleh propaganda tersebut. Setelah itu, datanglah peristiwa bom gedung putih WTC adalah sebagai jalan meruntuhkan pusat kerjaaan politik kolonial Barat dalam menguasai Negara Islam. Atau bisa juga cara meruntuhkan mental musuh agar tidak mencoba melecehkan kembali agama Islam? Apakah tindakan itu sesuai kemanusian dan dapat dibenarkan dalam ilmu humaniora? Tidak seutuhnya tindakan itu benar, karena propaganda tidak bisa dilawan dengan kekerasan, tapi juga dengan propaganda. Ini berkaca pada film di atas bahwa dengan siasat pula dan kerja sama musuh paling utama dapat dikalahkan. Islam adalah agama yang menjujung tinggi kedamaian, sebagaimana sabda nabi bahwa seorang muslim adalah yang menjada lidahnya dari menyakiti sesame muslim, begitu juga orang beriman adalah orang yang membersihkan hatinya dari perkara syirik. Kedua makna Islam dan iman di sini saling melengkapi, sebagaimana ilmu tenaga dalam dan gerakan fisik semua saling mengisi. Sehingga orang Islam yang pada masa Nabi tetap menghargai perbedaan, kemanusiaan dengan selalu menepati janji dan tidak saling menyakiti. Oleh karena itu, saya setuju apa yang dikatakan oleh syeikh Ali Jum’ah dalam kitab al-Bayan Lima Yasgulu al-Adhan, bahwa tuduhan oreintaslis dan orang barat terhadap Islam sebagai agama pedang adalah keliru, karena Islam tidak pernah menggunakan pedang untuk menyebarkan agamanya, tapi Islam menggunakan pedang untuk menjaga dirinya, agamanya dan tanah airnya. Jika ada orang mengaku Islam tapi dalam prilakunya menyakiti orang lain atau pun memerangi orang lain lebih dahulu maka dia tidak Islam, sebagaimana sabda Nabi : Saya perintahkan kalian untuk menjalankan lima perkara dari Allah yang diperintahkan
hal itu kepadaku, yaitu berkelompoklah, patuh, taat, berhijrah, dan jihad dalam jalan Allah. Maka sesungguhnya siapa saja yang keluar dari sebuah kelompok atau pun masyarakat, maka dia keluar dari ikatan kelompok. Sesungguhnya dia tidak lagi menggunakan ajaran Islam dalam dirinya, kecuali ia kembali kekelompok benar-benar memegang ajaran Islam. Siapa saja yang mengajak ke dalam ajaran Jahiliah, (membunuh, menfitnah, berzina, menjadikan wanita harta warisan, merusak bangunan, menyakiti orang lain, menghalalkan riba, menjual agama atas nama kepentingan, dll) adalah bagian dari neraka jahanam. Lalu para sahabat bertanya: walaupun dia berpuasa dan menjalankan solat? Lalu Nabi menjawab : walaupun dia menjalankan solat dan berpuasa serta mengaku beragama Islam. Karena Islam adalah agama yang mengajarkan kemudahan bukan kesulitan, keramahan bukan peperangan, kemuliaan bukan kehinaan. Maka mengatas namakan radikaslime di bawah panji Islam adalah penganiaan sejarah dan merusak nilai toleransi keberyakinan. Dari sinilah, penafsiran apapun terhadap sebuah teks jika tidak mencoba mengenali watak sejarah yang melingkupi di mana teks itu berada maka penafsirannya telah memutus makna relasional yang terjalin di dalamnya dan tidak menfungsikan dengan baik makna peristiwa dan makna arti dalam sebuah lafadz atau kalimat. Karena penafsiran selain mengenali gramatikal juga harus mampu mengenali perubahan lafadz dari satu bentuk ke bentuk lainnya karena perubahan itu adalah isi dari makna sebuah lafadz. Untuk itu sebagai penafsir yang baik jangan pernah melupakan sejarah dan peristiwa yang melingkupi data sejarah itu ada. Perhatikan dengan baik-baik relasi-relasinya untuk menemukan pertanda waktu dan sebab dari terjadinya sebuah sejarah agar tidak semerta meninggalkan harga martabat manusia demi memperoleh kebenaran untuk tektur sifatnya, tapi tetap jagalah makna martabat manusia dan makna agama yang dipeganginya, karena kita hadir tidak secara kebetulan tapi ada nilai yang telah dipendarkan dalam hati kita untuk dipahami hikmahnya.