Sekali lagi : Beberapa Film tentang Bung Karno
/ winarta adisubrata
Munculnya aktor film Ario Bayu dalam film seri film ‘ Serangoon Road’ di jaringan ‘Indovision’ , menyusul film ‘Soekarno’ yang diputar perdana pada tanggal 11-12-’13 di Ibu Kota Asean, Jakarta, menarik karena penjadwalan waktu pemutarannya. Walau pun Ario Bayu dinilai ‘kurang pas’ oleh Rachmawati selaku juru bicara keluarga almarhum Presiden Sukarno . Menurut hemat kita, dibandingkan dengan pembawa peran Bung Karno (Pramana Pmd.) dalam film semi-dokumenter ‘ Peristiwa Gestapu PKI’ hasil penyutradaraan alm. Arifin C. Noer dari Perusahaan Negara , .Ario Bayu lebih beruntung, karena beberapa hal. Pertama, selaku Ario Bayu aktor profesional yang telah cukup berpengalaman menjalankan ’tugas’nya (di bawah penyuteradaraan Hanung Bramantya) semata-mata bermain dalam sebuah film komersial belaka, hampir mutlak tanpa muatan serta beban ‘misi politik.’ Pembandingan kedua pembawa tokoh Bung Karno dalam kedua film di atas mendorong penulis merujuknya dengan ‘Five Insane Cases of Imposters Posing as World Leaders’ yang kita jumpa via ‘YouTube,’ di mana juga terekam Stalin dan Hitler yang sempat dilakonkan oleh para ‘pelakon’ (palsu.) Niat CIA sudah puluhan lalu membuat ‘fim biro’ tentang Bung Karno tersebut didasarkan desasdesus di Indonesia nya’kala itu yang mengatakan ‘adanya’ keterlibatan Bung Karno dengan ‘seorang pramugari Rusia, yang juga seorang agen rahasia KGB Uni Soviet.’ Guna mencari aktor porno yang mirip Bung Karno untuk tampil dalam film dimaksud , di mana ‘Bung Karno’ digambarkan terlibat dalam hubungan sex dengan seorang wanita berambut pirang ( yang ber peran sebagai ‘ stewardess’ Rusia ). Dengan film ini CIA bertujuan untuk menjatuhkan Bung Karno di mata rakyat Indonesia . Melalui berbagai rujukan dari dokumentasi film-film porno yang ada di Los Angeles, jatuh pilihan pelaku ‘Bung Karno’ adalah seorang Chicano (Meksiko ) . Dengan mengenakan topeng terbuat dari ‘latex’ (karet) . Hasil akhir dari film yang diprruoduksi CIA sebagai sarana propaganda dan perang syaraf (‘psy-war’) yang tergolong ‘ film biru (atau porno)’ produksi CIA itu ternyata tidak berhasil mencapai tujuannya, yakni untuk menjatuhkan Bung Karno,. Sebaliknya justru makin mendekatkan Indonesia dengan Uni Soviet dan RRC , da baru pada tahun 1967 kedudukan Presiden Sukarno diteruskan oleh Jenderal Suharto pada tahun 1967.
Mungkin yang jauh lebih menarik untuk difilmkan adalah fakta-fakta sekian kali dilakukan upaya membunuh Bung Karno , namun selalu tidak berhasil dilakukan, baik dengan penembakan dari
pesawat udara maupun dan di daratan namun selalu gagal. Seperti gagalnya film biru produksi CIA itu berjudul ‘Happy Days” itu. Andai kan Anda berniat menonton film ‘Soekarno’, atau mengintip s film biru buatan CIA melalui ‘You Tube’) sebagai pelengkap di bawah ini adalah nukilkan inti-sari tulisan Mark Curtis bertajuk ‘US and British Complicity in the 1965 slaughters in Indonesia’ (Keterlibatan Amerika dan Inggris di dalam Pembunuhan Massal 1965 di Indonesia) yang dimuat dalam majalah ‘Third World Resources,’ no.137 tahun 2002 (http://en.wordpress.com/about-these-ads/) dengan paragraf pembuka seperti kurang lebih sebagai berikut: Dengan telah disiarkannya dokumen dokumen Pemerintah Amerika Serikat tentang kebijakan (Amerika) terhadap Indonesia pada tahun 1965 yang telah dideklasifikasi , gambaran yang lebih jelas muncul tentang dukungan Barat terhadap pertumpahan darah (bloodbaths) – yang oleh para pejabat Pemerintah Amerika disebut sebagai ‘reign of terror’ dan pejabat Inggris menamakannya ‘ruthless terror.’(terror yang keji). Masih dari paragraf pertama tulisan Mark Curtis tsb. : Berbeda dengan perisitiwa 11 September yang maha dahsyat (‘outrage’), praktis tidak suatu apa pun telah dilakukan terhadap mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan massal di Indonesia, maupun para pendukung mereka di Washington dan London. Menurut Mark Curtis, berdasarkan dokumen-dokumen yang telah dideklasifikasi itu ada ilima cara Amerika dan Inggris terlibat di dalam peristiwa (pertumpahan darah massal (‘slaughter’) itu, ketika sekelompok perwira tinggi Angkatan Darat yang setia kepada Presiden Soekarno membunuh sejumlah jendeeral pada tanggal 30 September 1965. Pertama, Amerika dan Inggris sama-sama menginginkan AD (Indonesia) bertindak dan mendorong mereka melakukannya. Kedua, Amerika dan Inggris mendukung pertumpahan darah massal itu terkait dengan ‘Konfrontasi’ antara Indonesia dan Malaysia. Ketiga, daftar tembak mati (hit lists’ ) yang disusun Amerika diberikan kepada AD Indonesia. Seperti diungkapkan oleh wartawati, Kathy Kadane, sebanyak 5.000 nama anggota pengurus dan pemimpin PKI di tingkat provinsi, kota dan daerah setempat, termasuk para pengurus serikat buruh, organisasi wanita, dan kelompok pemuda telah diserahkan kepada para Jenderal AD, yang banyak di antara mereka dibunuh., menurut Robert Martens, mantan anggota staf kedutaan Amerika, ‘merupakan ‘suatu bantuan yang besar bagi AD.’ “Mungkin mereka telah membunuh banyak orang, dan tangan saya gelepotan darah, tetapi semua itu tidak terlalu buruk. Ada kalanya Anda harus memukul keras pada saat yang tepat dan menentukan.” Keempat, sarana pendukung operasi propaganda. Pada tanggal 5 Oktober seorang ‘penasihat politik’ di markas Intelijen Inggris di Singapura melapor ke Kantor Luar Negeri di London,” bahwa kita
tidak boleh kehilangan peluang yang ada sekarang untuk memanfaatkan situasi yang menguntungkan kita…Saya merekomendasikan kita tidak boleh ragu ragu dalam melakukan segalanya guna ‘menghitamkan’ citra PKI di mata angkatan perang dan rakyat .” Kantor Luar Negeri menjawab: “ Kita pasti tidak mengabaikan pentingnya melakukan kegiatan propaganda atau perang syaraf yang akan menyumbang kepada pelemahan PKI secara permanen. Karenanya kita menyutujui dilakukannya propaganda dengan thema thema yang tepat….seperti campur tangan Cina (RRC) berupa pengiriman senjata, tindakan2 subversif di Indonesia oleh orang orang komunis asing.” Lima, Deparlu Amerika (US State Department) mencatat : Bahwa bantuan berupa peralatan kemiliteran Amerika (di masa lalu) perlu jelas bagi AD, bahwa strategi Amerika adalah mendukung di belakang mereka, manakala mereka memerlukan bantuan.’ Bagi penulis (pribadi), munculnya Bung Karno melalui film ’Soekarno’ dapat menjadikan kita tidak lagi terlalu ragu-ragu menelisik kembali sejarah, betapapun remang-remang dan memprihatinkannya. ***