Prosiding Meningkatkan Kemitraan CSR dan PNFI dalam Memberdayakan Masyarakat

Page 1


PROGRAM SARJANA DAN PEMUDA PENGGERAK`WAJIB BELAJAR, KEMITRAANNYA DENGAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY M. Ishaq Jurusan PLS FIP Universitas Malang ishaqmaula@gmail.com

Abstrak Tekad untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dihadapkan pada kenyataan bahwa kini beberapa kabupaten di Indonesia masih belum tuntas wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas). Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor penghambat yang berbeda antar-daerah. Bertolak dari kondisi daerah yang bervariasi, maka program penuntasan wajar dikdas memerlukan pendekatan yang tepat dengan melibatkan berbagai komponen bangsa dalam arti luas, baik dalam wadah organisasi maupun perorangan. Karena itu Yayasan Gerakan Nasional Penuntasan Wajib Belajar “Widya Castrena Dharma Sidda� (GNPWB-WCDS) bekerjasama dengan Direktorat PSMP Ditjen Dikdasmen Kemendikbud melaksanakan penuntasan wajar dikdas berupa program sarjana dan pemuda penggerak wajib belajar atau disingkat SP2WB. Program tersebut telah terlaksana dengan baik dalam arti sesuai dengan apa yang direncanakan, akan tetapi belum optimal sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Masyarakat mengharapkan agar program tidak hanya dalam rentang waktu sebulan atau dua bulan, melainkan paling kurang satu tahun sehingga dapat dirasakan maknanya. Untuk itu mereka menyarankan agar pelaksana program bermitra dengan corporate social responsibility (CSR). Selain itu bila ada komitmen yang kuat untuk menuntaskan program wajib belajar di Indonesia termasuk di daerah terisolasi, terpencar, dan terjauh; maka para mahasiswa dan sarjana pendidikan luar sekolah hendaknya dioptimalkan peran sertanya, baik secara kuantitatif maupun kuallitatif. Kata Kunci: Sarjana Pemuda Penggerak, Corporate Social Responsibility


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 2 M. Ishaq Latar Belakang Lokasi kegiatan sarjana dan pemuda penggerak wajib belajar (SP2WB) pada tahun 2015 adalah Kabupaten Merauke, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Sampang, dan Kabupaten Pasuruan. Distrik yang dipilih sebagai lokasi kegiatan SP2WB adalah: Distrik Merauke, Distik Semangga, dan Distrik Tanah Miring. Di Kabupaten Jayapura distrik yang dipilih sebagai lokasi kegiatan SP2WB ialah Distrik Sentani, Distrik Sentani Timur, dan Distrik Waibu. Kecamatan yang dipilih sebagai lokasi kegiatan SP2WB di Kabupaten Sampang meliputi: Kecamatan Jrengik, Kecamatan Pangarengan, dan Kecamatan Sampang. Sedangkan kecamatan yang dipilih di Kabupaten Pasuruan adalah Kecamatan Lekok dan Kecamatan Tosari. Program SP2WB bertujuan untuk: mengidentifikasi kebutuhan dan sumberdaya program penuntasan wajar dikdas; dan membantu upaya penuntasan wajar dikdas: gerakan kembali ke sekolah, pencegahan putus belajar di SMP/MTs, serta membantu upaya penyusunan program penuntasan wajar di wilayah setempat. Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan SP2WB adalah gerakan penuntasan wajar pendidikan dasar dengan rentang waktu dua bulan, yakni dimulai tgl 5 Juni hingga 4 Agustus 2015. Program SP2WB dilaksanakan oleh para sarjana dan/atau pemuda yang berdomosili di Malang dan di sekitar wilayah yang menjadi lokasi program SP2WB yang sanggup menjadi relawan penuntasan wajar dikdas. Kegiatan persiapan kerja SP2WB dimulai dengan pembentukan tim pelaksana SP2WB yang terdiri atas para alumni Menwa (IARMI), para sarjana pendidikan luar sekolah, serta para pemuda (termasuk anggota Menwa dan para mahasiswa Jurusan PendidikanLuar Sekolah FIP Universitas Negeri Malang). Selanjutnya tim menyusun rencana program SP2WB dan melaksanakan kegiatan prapembekalan, dan penandatanganan perjanjian kerjasama antara YGNPWB-WCDS dengan Direktorat PSMP yang diikuti dengan kegiatan

pembekalan di Malang dan Madura pada tgl 28 Mei sampai 4 Juni 2015 (peserta diasramakan) dengan sistem gugur dan menghasilkan rencana kegiatan SP2WB untuk tiap lokasi. Selanjutnya pada tgl 4 Juni 2015 tim berangkat ke lokasi tugas. Kegiatan Persiapan Kerja Pada tgl 5 Juni 2015 tim SP2WB tiba di bandara Merauke dan diterima oleh keluarga Ketua PC NU Kabupaten Merauke dan diantar ke rumah dinas Wakil Ketua DPRD Merauke. Selanjutnya rumah tersebut menjadi base camp tim SP2WB, khususnya yang bertugas di Distrik Merauke. Pada sore harinya diadakan koordinasi yang menghasilkan tergalangnya relawan lokal yaitu para aktifis organisasi pemuda NU yaitu IPPNU dan IPNU yang merangkap sebagai aktifis PMII. Besoknya tim mengobservasi lokasi sekaligus memohon izin kepada pihak terkait. Pada hari ke tiga dilaksanakan koordinasi dengan relawan lokal dan audiensi dengan Bupati. Audiensi itu dilakukan di tengah kegiatan harlah Muslimat NU Kabupaten Merauke untuk memohon rekomendasi kepada Bupati Merauke tentang pelaksanaan program SP2WB. Pada hari keempat dilakukan audiensi dengan pejabat Dinas Pendidikan dan Pengajaran (P dan P) untuk persiapan kegiatan di Distrik Merauke, Distrik Semangga dan Distrik Tanah Miring. Kemudian tim melanjutkan kegiatan dengan berpencar di tiga distrik itu. Tim SP2WB Kabupaten Jayapura datang di Kabupaten Jayapura pada hari Jumat tgl 5 Juni 2015. Selanjutnya tim menghadap Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Jayapura dan jajarannya untuk laporan kedatangan tim dan perkenalan. Selanjutnya tim difasilitasi transportasi menuju tempat menginap sementara di Kota Abepura. Pada tgl 6 Juni 2015 tim melaksanakan orientasi di Kampung Bambar Distrik Waibu, Kampung Mulia Distrik Sentani, dan Kampung Harapan Distrik Sentani Timur. Selanjutnya pada tgl 7 Juni 2015 tim melaksanakan koordinasi untuk menyempurnakan rencana kerja di masing-


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 3 M. Ishaq masing distrik dan tgl 8 Juni 2015 tim berkoordinasi lanjutan dengan Kepala Bidang SD, Kepala bidang SMP, dan Koordinator Pengawas di kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Jayapura sehingga selanjutnya tim difasilitasi dengan base camp di kompleks SMP Negeri 2 Sentani. Berikutnya pada tgl 9—16 Juni 2015 tim mengurus izin ke Muspika di Distrik Sentani, Distrik Sentani Timur, dan Distrik Waibu sambil melaksanakan pendataan dan sosialisasi secara hati-hati. Kegiatan persiapan kerja SP2WB dilaksanakan di Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sampang. Dalam kegiatan persiapan kerja yang berupa FGD itu Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sampang memberikan rekomendasi untuk melaksanakan kegiatan dan menugasi jajarannya untuk membantu tim agar dapat melaksanakan kegiatan atas dukungan kepala UPTD, kepala sekolah, dan camat di Kecamatan Sampang, Kecamatan Pangarengan, dan Kecamatan Jrengik. Setelah itu tim menuju Kecamatan Sampang, Kecamatan Pangarengan, dan Kecamatan Jrengik untuk memohon bantuan kepada kepala UPTD dan camat agar mengumpulkan kepala sekolah dan kades sekitar untuk melakukan FGD tentang pelaksanaan SP2WB di tiga kecamatan itu. Pada saat itu tim juga menyebarkan instrumen pendataan. Kegiatan persiapan kerja Tim SP2WB Kabupaten Pasuruan dilaksanakan di Kecamatan Lekok dan di Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Pasuruan. Tim SP2WB Kabupaten Pasuruan mengawali tugasnya di kediaman Pak Hasbullah di Desa Tambaklekok. Dalam pertemuannya dengan Pak Hasbullah, tim mendapatkan gambaran umum tentang Kecamatan Lekok. Kemudian tim mengobservasi beberapa tempat. Kegiatan persiapan kerja di Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Pasuruan dihadiri oleh para pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Pasuruaan dan para Kepala SMP/MTs dan Kepala UPTD se Kecamatan Lekok dan Kecamatan Tosari. Selanjutnya tim mengurus izin ke camat,

UPTD, kepolisian, koramil, serta ke para kades sambil merekrut relawan lokal di Kecamatan Lekok dan Kecamatan Tosari. Kegiatan Pelaksanaan Kerja Gerakan penuntasan wajar pendidikan dasar sembilan tahun dilaksanakan di empat kabupaten: Merauke, Jayapura, Sampang, dan Pasuruan. Kegiatan itu meliputi: (1) identifikasi kebutuhan dan sumberdaya program penuntasan wajar, (2) gerakan kembali ke sekolah, (3) membantu masyarakat untuk memperluas daya tampung pendidikan setingkat SMP, (4) mencegah putus belajar di SMP/MTs, (5) membantu pengembangan/pembentukan kelompok kerja guna mendukung keberhasilan upaya penuntasan wajar, (6) membantu upaya menindaklanjuti pengembangan status kelembagaan untuk pola/satuan pendidikan yang telah dirintis. Di Kabupaten Merauke dan Kabupaten Jayapura, kegiatan dilaksanakan pada tgl 5 Juni—4 Juli 2015, sedangkan di Sampang dan Kabupaten Pasuruan dilaksanakan pada tgl 5 Juni—4 Agustus 2015. Kegiatan Pelaksanaan Kerja di Kabupaten Merauke Kegiatan identifikasi kebutuhan dan sumberdaya program penuntasan wajar dikdas yang telah dilaksanakan di Distrik Merauke, Distrik Semangga, dan Distrik Tanah Miring. Identifikasi dilakukan pada tiga komponen, yakni pemerintahan seperti para petinggi kampung, masyarakat seperti orangtua siswa, dan orangtua anak putus sekolah, serta siswa dan anak putus sekolah. Metode identifikasi ialah wawancara, diskusi, curah pendapat, tukar pengalaman, dan tanya jawab. Selain itu kepada anak diterapkan metode bermain, bercerita, menyanyi, dan menari untuk memberikan motivasi kepada anak-anak. Gerakan kembali ke sekolah dilaksanakan berupa sosialisasi kepada masyarakat dan kepada anak-anak putus sekolah agar kembali bersemangat untuk bersekolah. Sosialisasi tentang apa itu wajar sembilan tahun, apa manfaat mensukseskan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 4 M. Ishaq program wajar sembilan tahun, dan menggugah orangtua untuk menyekolahkan anak-anaknya. Anak-anak diberi motivasi bahwa sekolah itu menyenangkan dengan cara-cara dan pendekatan yang menyenangkan, sehingga mereka tertarik untuk kembali ke sekolah. SMP di Distrik Merauke, Distrik Semangga dan Distrik Tanah Miring sudah mencukupi untuk menampung lulusan SD. Bahkan pada SMP Negeri Urumb cukup telah bekerjasama dengan PKBM yang menangani program Paket B yang terkadang menitipkn warga belajarnya di SMP. Ruang kelas yang digunakan sudah mencukupi meskipun beberapa ruang sudah mulai dimakan usia. Masalah yang terjadi adalah faktor eksternal yang berupa gangguan dari anak-anak putus sekolah yang mengganggu anak-anak yang sedang mengikuti kegiatan pembelajaran di dalam sekolah. Selain masalah gangguan dari anak putus sekolah, juga didapati gangguan dari hewan ternak yang masuk ke lingkungan sekolah. Pihak sekolah menyampaikan bahwa dibutuhkan pagar untuk menjaga pembelajaran supaya tetap kondusif. Kenyamanan siswa juga kurang karena hampir semua sekolah baik SD maupun SMP toiletnya kurang layak, terutama toilet untuk siswa. Di sini peran tim SP2WB adalah menyampaikan tata cara pengajuan bantuan, baik pengajuan RKB maupun membuka wawasan tentang cara-cara untuk mengumpulkan dana. Selain itu tim SP2WB menyampaikan permasalahan tersebut kepada Dinas P dan P dalam seminar, agar ada tindak lanjut oleh Dinas P dan P. Sedangkan upaya mencegah putus belajar di SMP/MTs telah dilaksanakan berupa motivasi di kelas-kelas dan di halaman sekolah. Segenap upaya penuntasan wajar dikdas yang dilakukan tim disertai dengan upaya pengembangan kelembagaan di Distrik Merauke, Distrik Semangga, dan Distrik Tanah Miring. Di Distrik Semangga upaya membantu pengembangan kelompok kerja dideteksi dari wawancara terhadap beberapa warga masyarakat dan Kepala SD Inpres Semangga 2 yang menyatakan bahwa banyak warga yang

tidak bersekolah dan setelah lewat usia sekolah ingin untuk memperoleh pendidikan kesetaraan. Salah seorang warga menyatakan anaknya putus sekolah saat usia SMP untuk bekerja sebagai pegawai bengkel, namun ingin mengikuti program Paket B karena memungkinkan untuk tidak pada jam kerja. Kepala sekolah menyatakan bahwa sebenarnya untuk tenaga pengajar dan tempat ada untuk dipakai, sedangkan orang yang mengajak warga ikut program paketpun ada. Melalui seminar tingkat distrik diberikan solusi bahwa dimungkinkan untuk dibentuk TKB di lokasi yang membutuhkan, tanpa harus membuat PKBM baru. Pada seminar tersebut juga diterangkan tentang cara untuk membentuk TKB baru dan cara untuk menjalankan TKB berikut contoh cara mengumpulkan dananya. Tim SP2WB Distrik Merauke telah membantu upaya menindaklanjuti pengembangan status kelembagaan untuk pola/satuan pendidikan yang telah dirintis. Tim SP2WB berdialog dengan Bupati Merauke di saat menghadiri acara peringatan nuzulul Qur’an di Masjid Raya Merauke dan menyarankan agar Pemkab Merauke menindaklanjuti program SP2WB yang berupa pemberian dorongan kepada anak usia SD dan usia SMP beserta masyarakat terutama orangtua anak di Kabupaten Merauke bersekolah sampai lulus SMP/sederajat serta memberikan jalan keluar agar mereka terhindar dari putus sekolah. Kegiatan Pelaksanaan Kerja di Kabupaten Jayapura Kegiatan pelaksanaan kerja merupakan gerakan penuntasan wajar pendidikan dasar sembilan tahun di Distrik Sentani, Distrik Sentani Timur, dan Distrik Waibu. Kegiatan pelaksanaan kerja SP2WB di Kabupaten Jayapura dimulai dari pengurusan surat izin ke pihak terkait, mulai dari Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Jayapura, dan Muspika di tiga distrik sasaran (Distrik Sentani, Distrik Sentani Timur, dan Distrik Waibu) pada tgl 9 s.d. 16 Juni 2015. Selanjutnya tim melaksanakan penggalian data dapodik di


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 5 M. Ishaq Kantor Dinas Pendidikan, data e-mis di Kemenag, data kependudukan di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, data penduduk prasejahtera di Kantor Dinas Sosial. Verifikasi data dapodik dilakukan tim di setiap SD dan SMP di distrik sasaran, sedangkan verifikasi data kependudukan dan keluarga prasejahtera dilakukan di seluruh kelurahan dan kampung di distrik sasaran. Kegiatan itu berlangsung pada tgl 9—20 Juni 2015. Kegiatan itu dilanjutkan dengan pengolahan data pada tgl 21 s.d. 24 Juni 2015. Gerakan kembali ke sekolah dilaksanakan berupa kegiatan upaya membantu pemerintah dalam peningkatan partisipasi masyarakat dalam penuntasan wajar dikdas. Untuk itu tim SP2WB memberi motivasi kepada anak-anak SD di SD YPK Kwadeware akan pentingnya pendidikan bagi masa depan dan cita-cita mereka dengan nyanyian dan cerita singkat agar mereka semangat untuk melanjutkan pendidikan. Tim membantu masyarakat untuk memperluasdaya tampung pendidikan setingkat SMP di Distrik Sentani, Distrik Sentani Timur, dan Distrik Waibu. Di Distrik Sentani sebenarnya daya tampung SMP sudah melebihi lulusan SD di Distrik tersebut. Banyak siswa SMP dari distrik lain bersekolah di sana. Ruang kelas yang tersedia juga mencukupi untuk menampung lulusan SD yang melanjutkan untuk bersekolah di sana. Masalah yang terjadi adalah karena terkendala jarak yang cukup jauh bagi siswa untuk mencapai sekolah terdekat. Hal ini dikarenakan jarangnya angkutan umum yang melalui rumah mereka dan mengantar mereka ke sekolah tersebut. Kebanyakan sekolah di Distrik Sentani, Distrik Sentani Timur, dan Distrik Waibu apabila siswa terlambat datang maka tidak diperbolehkan memasuki lingkungan sekolah atau dipersilakan kembali ke rumah mereka masing-masing. Hal ini menyebabkan banyak anak tidak masuk sekolah apabila tidak ada tumpangan ke sekolah yang dituju. Yang paling sering tidak masuk sekolah adalah anak yang berasal dari pulau di tengah Danau Sentani. Di sini peran tim SP2WB adalah menyampaikan

tata cara pengajuan permohonan bantuan. Upaya mencegah putus belajar dilakukan oleh tim SP2WB dengan memberikan motivasi kepada anak-anak di celah waktu bermain dan istirahat mereka agar mereka kuat memegang prinsip, yaitu “pantang putus sekolah�. Sewaktu Tim SP2WB berkunjung ke Kantor Dinas Kabupaten Jayapura, tim mendapat tambahan informasi dari pegawai bahwa banyak sekali ijazah Paket B yang menumpuk di Kantor Dinas Kabupaten Jayapura. Mereka menyatakan bahwa sebenarnya untuk tenaga pengajar dan tempat untuk dipakai ujian Paket B sudah siap. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya sudah banyak masyarakat Papua mengerti akan pentingya pendidikan, namun ada masalah yang terkait dengan syarat-syarat melamar menjadi tentara di Kabupaten Jayapura, terutama angkatan laut. Hal tersebut menyebabkan banyak siswa yang ingin menjadi tentara tidak mau mengikuti program Paket B. Mereka menganggap percuma memiliki ijazah Paket B. Untuk itu tim mendorong para tokoh masyarakat di Distrik Sentani, Distrik Sentani Timur, dan Distrik Waibu agar segera membentuk kelompok kerja pemantapan dan penuntasan wajar dikdas dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat dan pemerintah setempat. Dengan kelompok kerja yang kuat akan teratasi masalah yang terkait dengan kesalahpahaman mengenai kesetaraan ijazah Paket B dan masalah-masalah lainnya. Tim SP2WB Kabupaten Jayapura telah membantu upaya menindaklanjuti pengembangan status kelembagaan untuk pola/satuan pendidikan yang telah dirintis. Selain melakukan identifikasi terhadap program penuntasan wajar dikdas, Tim SP2WB juga melakukan upaya membimbing para pengelola satuan pendidikan di Distrik Sentani, Distrik Sentani Timur, dan Distrik Waibu agar bisa melaksanakan penuntasan wajar dikdas yang berupa memberikan dorongan kepada anak usia SD dan usia SMP beserta masyarakat terutama orangtuanya agar mereka melanjutkan sekolah sampai lulus SMP serta memberikan solusi agar


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 6 M. Ishaq mereka yang masih sekolah terhindar dari putus sekolah.

Pelaksanaan Kerja di Kabupaten Sampang Kegiatan pelaksanaan kerja merupakan gerakan penuntasan wajar dikdas di Kecamatan Sampang, Kecamatan Pangarengan, dan Kecamatan Jrengik. Sebelum melakukan kegiatan identifikasi kebutuhan dan sumberdaya program wajar dikdas tim SP2WB melakukan kegiatan sosialisasi dengan pihak UPTD beserta jajarannya, camat dan kepala sekolah di Kecamatan Sampang, Kecamatan Pangarengan, dan Kecamatan Jrengik. Adapun pelaksanaan Sosialisasi di Kecamatan Sampang dilaksanakan pada tgl 18 Juni 2015 tim SP2WB melaksanakan kegiatan di Kecamatan Sampang yang diawali dengan sosialisi tentang program SP2WB. Kegiatan sosialisasi diawali dengan meminta izin ke UPTD Kecamatan Sampang. Karena bertepatan dengan bulan puasa, maka tim sekaligus meminta tolong kepada Kepala UPTD Kecamatan Sampang untuk mengundang kepala SD dari Desa Pulau Mandangin, Desa Pangilen, Desa Gunung Maddah, Desa Baruh, Desa Aengsareh, dan Desa Pakalongan. Kepala sekolah dari 24 SD di enam desa tersebut diundang untuk hadir dalam sosialisasi dari program SP2WB yang dilaksanakan di Aula SDN Dalpenang 1 Kecamatan Sampang. Dalam kegiatan ini tim juga mengundang Kepala UPTD, Penilik PNFI, pembimbing tim SP2WB, dan Ketua Umum Yayasan GNPWB-WCDS. Kegiatan sosialisasi dimulai pukul 08.00 WIB. Awal kegiatan tersebut adalah para tamu yang hadir mengisi presensi yang telah disediakan. Kegiatan pun dimulai dengan pembukaan oleh Pak Hambali, dilanjutkan pemaparan tentang kegiatan SP2WB meliputi latar belakang, tujuan dan teknis pelaksanaan program kegiatan oleh koordinator tim SP2WB yaitu Dea dan Desty, setelah itu juga dijelaskan tentang teknis pengisian instrumen. Setelah pemaparan selesai, dibuka forum diskusi. Forum ini dilakukan untuk mendapatkan saran, masukan ataupun sanggahan dari para tamu

yang hadir tentang kegiatan yang dilakukan oleh tim. Kegiatan sosialisasi ini diakhiri dengan pembagian instrumen kepada seluruh kepala sekolah yang hadir agar tim mendapatkan data tentang siswa dari setiap sekolah, baik data siswa yang putus sekolah, maupun data siswa yang melanjutkan. Lalu tim meminta kepada setiap kepala sekolah untuk mengisi Instrumen tersebut dan selanjutnya dikumpulkan di UPTD Kecamatan Sampang yang akhirnya data tersebut diminta oleh tim untuk direkap. Setelah serangkaian acara sosialisasi ini selesai, maka acara ini ditutup dengan doa bersama. Kegiatan sosialisasi pada tgl 25 Juni 2015 di Kecamatan Pangarengan diawali dengan meminta izin kepada kepala UPTD. Kedatangan tim mendapat sambutan hangat oleh beliau, sehingga izin pun kami peroleh. Selain itu tim juga meminta tolong terhadap beliau untuk mengundang semua Kepala SD dan SMP/MTs, dan juga PKBM yang ada di Kecamatan Pangarengan. Kepala UPTD juga difasilitasi oleh tim untuk dapat melakukan sosialisasi di Aula UPTD Kecamatan Pangarengan. Tim dalam pelaksanaan kegiatan tersebut didukung oleh relawan lokal dari Menwa dan alumni Jurusan PLS FIP UM, dan pembimbing Tim SP2WB serta Camat Pangarengan. Kegitaan sosialisasi ini dimulai pukul 08.00 WIB di Aula UPTD Pangarengan. sebelum memasuki aula, para tamu melakukan presensi dan langsung mendapatkan lembar Instrumen. Kegitan dibuka Oleh Bapak Hambali dan selanjutnya sambutan oleh bapak Camat Pangarengan. Setelah itu langsung pemaparan oleh tim SP2WB tentang kegiatan SP2WB yang akan dilaksanakan di Kecamatan Pangarengan yang meliputi latar belakang kegiatan, tujuan, dan juga teknis pelaksanaan program dan juga penjelasan tentang instrumen yang dibagikan. Setelah itu dibuka forum diskusi sehingga para hadirin menyampaikan tanggapan, sanggahan, maupun masukan. Tim kami juga meminta para hadirin khususnya kepala SD dan SMP untuk mengisi instrumen


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 7 M. Ishaq yang selanjutnya dikumpulkan di UPTD Pangarengan. Setelah diskusi dirasa cukup dan teknis pengisian instrumen jelas, kegiatan sosialisasi ditutup dengan doa. Kegiatan sosialisasi di Kecamatan Jrengik dilakukan pada tgl 23 Juni 2015, bertempat di SD Negeri Bancelok 1 kegiatan sosialisasi ini dimulai pukul 08.00 WIB dan merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan dari hasil koordinasi kami dengan kepala UPTD Kecamatan Jrengik. Dari hasil koordinasi yang dilakukan oleh tim dengan kepala UPTD tersebut, tim juga telah dibantu untuk mengundang seluruh kepala SD di Kecamatan Jrengik. Kegiatan sosialisasi ini dibuka oleh kepala UPTD yang dalam hal ini Ibu Ester dan pula Bapak Agus sebagai moderator. Dalam kegiatan sosialisasi yang dihadiri oleh peserta yang dalam kegiatan ini adalah seluruh kepala SD Kecamatan Jrengik, beberapa staf UPTD dan anggota tim SP2WB. Pada awal kegiatan ini para peserta melakukan pengisian presensi dan pula dibagikan selebaran instrumen kepada setiap peserta. Isi dari kegiatan sosialisasi ini yang dikemas dalam acara FGD. Pada saat FGD itu dipaparkan mengenai program penuntasan wajib belajar oleh tim SP2WB yakni Dea dan Desty berupa pemaparan latar belakang, tujuan program dan kemudian adalah gambaran teknis pelaksanan kegiatan program penuntasan wajib belajar yang meliputi : penyisiran anak putus sekolah secara door to door sampai gerakan kembali ke sekolah. Pada kegiatan ini para peserta atau kepala sekolah tersebut diberi selebaran instrumen dan penjelasan cara melakukan pengisian instrumen program penuntasan wajar tersebut. Tidak hanya pemaparan oleh tim, namun dilibatkan pula peserta untuk berdiskusi aktif, untuk memberi pertanyaan, masukan, dan sanggahan terhadap pemaparan program dan pula cara melakukan pengisian instrumen. Kegiatan ini berlangsung cukup lancar dan kondusif dengan antusiasme para peserta yang tinggi dan ditutup pada pukul 12.00 WIB.

Petugas SP2WB melalukan upaya membantu masyarakat untuk memperluas daya tampung pendidikan SMP dan yang sederajat di Kecamatan Sampang, Kecamatan Pangarengan, dan Kecamatan Jrengik; namun berdasarkan informasi yang diperoleh dari kepala sekolah di Kecamatan Jrengik, Kecamatan Sampang, dan Kecamatan Pangarengan menyatakan bahwa daya tampung sekolah di tiga Kecamatan melebihi jumlah anak usia sekolah karena sekolah kesulitan untuk mencari murid baru. Oleh karena itu kebijakan penambahan unit sekolah baru di tiga Kecamatan tersebut tidak perlu dilakukan, karena daya tampung sekolah melebihi jumlah anak usia sekolah. Meskipun di tiga kecamatan tidak perlu penambahan unit sekolah baru, untuk memajukan kualitas pendidikan di tiga kecamatan masih perlu perbaikan gedung sekolah karena masih ada beberapa unit sekolah yang rusak sehingga tidak layak untuk ditempati proses pembelajaran; contohnya kondisi ruangan di SDN Mandangin 9 tidak layak untuk dihuni dalam kegiatan proses pembelajaran karena lokasi sekolah sangat dekat dengan pantai sehingga menyebabkan atap dan tembok terkikis oleh angin dan air laut. Upaya penuntasan wajar dikdas itu disertai dengan upaya pengembangan kelembagaan di Kecamatan Sampang, Kecamatan Pangarengan, dan Kecamatan Jrengik, yakni membantu pembentukan kelompok kerja penuntasan wajar dikdas dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat dan pemerintah setempat. Tim SP2WB Kabupaten Sampang telah membantu upaya menindaklanjuti pengembangan status kelembagaan untuk pola/satuan pendidikan yang telah dirintis. Salah satu contoh kegiatan yang dilakukan oleh tim SP2WB untuk membantu menindak lanjuti Pengembangan Kelembagaan pendidikan yaitu membantu mencarikan murit untuk MTs Sirodjul Mustofa di Pulau Mandangin dan membantu mencari murid untuk PKBM Bustanul Arifin di Kecamatan Pangarengan. Salah satu cara untuk membantu menindaklanjuti pengembangan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 8 M. Ishaq kelembagaan pendidikan yaitu mengajak anakanak yang tidak tuntas wajar dikdas di sekitar Pulau Mandangin untuk ikut outbond bersamasama dengan siswa MTs Sirojul Mustofa beserta guru. Kegiatan ini dilakukan agar anak mengetahui bahwa proses pembelajaran tidak hanya dilakukan di dalam sekolah saja karena belajar bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja, serta menjadikan guru dengan murid dekat sehingga murid bisa nyaman dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. Pelaksanaan Kerja di Kabupaten Pasuruan Kegiatan identifikasi kebutuhan dan sumberdaya program penuntasan wajar dikdas dilaksanakan di dua kecamatan meliputi kegiatan: (1) pendataan anak usia 13—15 tahun yang belum mengikuti pendidikan di SMP dan data individual anak putus sekolah di SMP/MTs. Pendataan di Kecamatan Tosari dilakukan oleh Tim SP2WB Kabupaten Pasuruan dan lima aktifis Menwa bersama seorang aktifis IARMI, relawan lokal, serta pengurus PKBM Wijaya Kusuma, Ketua RW 02 Desa Baledono dan beberapa perangkat lain di masing-masing desa yang berperan aktif dalam kegiatan pendataaan di sekitar tempat tinggal mereka. Idenfisikasi di Kecamatan Tosari dilakukan dengan wawancara dengan panduan instrumen SP2WB dan dilakukan dengan berkeliling bersama relawan lokal untuk mengidentifikasi sumberdaya pendidikan di ataranya sarana transportasi. Di Kecamatan Tosari banyak peserta didik yang putus sekolah karena terkendala oleh transportasi dan jalan yang sulit dilintasi peserta didik, misalnya Dusun Pandansari Desa Kandangan, Dusun Banyumeneng Desa Ngadiwono, Desa Podokoyo, dan Desa Sedaeng. Identifikasi juga dilakukan terhadap fasilitas, media pembelajaran, dan sarana pembelajaran yang ada. Di Kecamatan Lekok, identifikasi kebutuhan dan sumberdaya program penuntasan wajar dikdas dilaksanakan oleh Tim SP2WB Kabupaten Pasuruan bersama lima orang

relawan lokal. Selain itu juga dibantu oleh beberapa perangkat desa di beberapa desa dan para guru di sekitarnya. Identifikasi meliputi berbagai keadaan sarana jalan dan transportasi di Dusun Pasirpanjang Desa Wates, Desa Semedusari, dan Desa Alastlogo. Di kawasan itu tidak ada sarana transportasi umum, sehingga anak usia sekolah dasar tidak berminat melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Pemetaaan gugus pendidikan dasar yang terdiri atas SMP/MTs dan SD/MI yang ada di daerah jangkauan dilakukan oleh tim dengan mendata jumlah siswa SD/MI kelas 6 dan siswa kelas 7, 8, 9 SMP/MTs. Di Kecamatan Lekok terdapat 31 SD, 25 MI dan 14 SMP/MTs. Mereka tidak berminat melanjutkan ke SMP/MTs karena kurangnya motivasi dari orangtua. Di Kecamatan Tosari, pemetaan sekolah dilakukan tim menghasilkan data yaitu di Kecamatan ini terdapat 16 SD/MI dan enam SMP/MTs. Identifikasi penyebab banyak tamatan SD/MI tidak berminat mengikuti program wajar dikdas yang bermutu (di SMP/MTs sederajat). Identifikasi ini dilakukan di desa pada tiap kecamatan tersebut dan di SD/MI sederajat. Pendataan dilakukan oleh tim bersama relawan lokal dan relawan lainya. Pendataan tamatan SD/sederajat dan DO SMP/MTs di Desa Sedaeng menghadapi kendala karena masyarakat setempat sibuk bekerja dan terbatasnya waktu. Identifikasi potensi dan sumberdaya yang ada untuk penuntasan wajar dikdas yang bermutu menyangkut tenaga, sarana, dan fasilitas yang ada di sekolah maupun di lingkungan dilakukan oleh tim SP2WB dengan mendatangi SD/MI/sederajat dan SMP/MTs yang dilakukan bersamaan dengan kegiatan lain seperti pendataan siswa kelas 6, 7, 8, dan 9, dan kegiatan motivasi. Tim melakukan identifikasi fasilitas sekolah seperti beberapa sekolah yang menggunakan perpustakaan sebagai tempat pembelajaran, seperti tidak adanya papan nama sekolah, fasilitas media pembelajaran yang belum maju seperti belum tersedianya LCD, dan masih adanya penggunaan papan tulis di masingmasing sekolah yang mengakibatkan debu yang


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 9 M. Ishaq dapat mengganggu proses pembelajaran. Selain itu di Kecamatan Tosari dibutuhkan fasilitas mobil antar-jemput untuk siswa ke sekolah, sebab jarak tempuh sekolah yang diminati dan rumahnya terlampau jauh, seperti di wilayah Desa Baledono untuk ke Desa Tosari atau SMPN 1 Tosari siswa harus menempuh Âą 6 km, sedangkan di wilayah Kecamatan Tosari seperti di Dusun Pandansari, Dusun Bayumeneng, Dusun Ketuwon, Desa Sedaeng, Dusun Sunogiri Desa Podokoyo yang jalannya makadam dan sulit ditempuh oleh anak-anak yang berminat melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Selanjutnya analisis hasil pemetaan, pendataan, dan identifikasi dilakukan untuk menentukan usulan pola/satuan pendidikan yang cocok di lokasi SP2WB dengan cara mengidentifikasi melalui peminatan serta wilayah yang ada di daerah tersebut. Gerakan kembali ke sekolah dilaksanakan berupa kegiatan upaya membantu pemerintah dalam peningkatan partisipasi masyarakat dalam penuntasan wajar dikdas. Upaya tersebut akan dilaksanakan melalui kegiatan sosialisasi yang berupa kampanye (penyuluhan) baik untuk calon peserta didik maupun masyarakat, dengan menggunakan pendekatan dan strategi yang sesuai sebagai berikut: (a) menjelaskan kepada masyarakat tentang pentingnya mengikuti program wajar dikdas yang bermutu untuk mengembangkan kehidupannya menuju masyarakat maju dengan tidak meninggalkan adat yang diagungkan oleh masyarakat setempat. Tim SP2WB melakukan penyuluhan wajar dikdas dengan beradaptasi terhadap budaya yang ada di masing-masing wilayah, seperti kegiatan penyuluhan di acara haflah imtihan di wilayah Dusun Asem Sepuluh Desa Wates, dan di Kecamatan Tosari tim melakukan motivasi dan penyuluhan melalui kegiatan adat di Desa Wonokitri, yaitu tim melakukan pendekatan terhadap penduduk dan anak dalam pesta adat saat mereka menonton kegiatan adat tersebut; (b) mendorong peranserta dan kepedulian masyarakat terhadap program wajar dikdas yang bermutu dengan cara mensosialisasikan penuntasan wajar dikdas

yang bermutu. Kegiatan ini dilakukan tim bersama relawan lokal saat pendataan dan kegiatan sosialisasi di Dusun Pasirpanjang saat diadakan buka bersama dengan penduduk sekitar khususnya orangtua/walimurid TKB SMPT bertempat di SDN Wates 3 dan sosialisasi kepada masyarakat yang menghadiri pelepasan siswa atau kegiatan rapat walimurid saat kenaikan kelas atau kelulusan. Petugas SP2WB melakukan upaya membantu masyarakat untuk memperluas daya tampung pendidikan setingkat SMP di Kecamatan Lekok dan Kecamatan Tosari. Dalam hal ini yang terlaksana di Kecamatan Lekok berbeda dengan yang terlaksana di Kecamatan Tosari. Yang terlaksana di Kecamatan Lekok ialah upaya membentuk kelompok belajar dan mengarahkannya menjadi TKB pada SMP Terbuka (menjadi mediator antara TKB dengan SMP Induk), sedangkan yang terlaksana di Kecamatan Tosari ialah membantu masyarakat merencanakan pendirian Paket B. Di Kecamatan Lekok ada peminat/calon setiap tahun rata-rata sekitar 17 orang; domisili anak tersebut berdekatan sehingga memungkinkan terbentuknya tempat kegiatan belajar (TKB); ada calon guru pamongnya, yang bertempat tinggal sekitar calon TKB; ada calon TKB yang bisa dimanfaatkan untuk belajar mandiri dalam kelompok, yang kondusif untuk belajar. Lokasi upaya membentuk kelompok belajar dan mengarahkannya menjadi TKB pada SMP Terbuka tersebut ialah Dusun Pasirpanjang Desa Wates Kecamatan Lekok. Sedangkan di Kecamatan Tosari ada calon Warga Belajar program Paket B tiap tahun minimal 20 anak dalam usia 13—15 tahun dan telah tamat SD/sederajat. Selain itu juga ada calon pamong belajar atau tutor; dan tersedia tempat untuk belajar. Lokasi yang dipilih untuk Paket B ialah di Desa Baledono. Upaya mencegah putus belajar di SMP/MTs telah dilaksanakan dengan kegiatan berikut: (a) memberi contoh cara melaksanakan pembelajaran sesuai dengan kondisi lokasi dan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 10 M. Ishaq kebutuhan pembelajaran yang dilakukan oleh tim dengan cara melakaukan out bound/ice breaking sehingga dapat dicontoh oleh guru dalam pelaksanaan pembelajaran di luar atau di dalam kelas sehingga siswa dapat belajar dengan nyaman, seperti kegiatan out bound yang dilakukan oleh tim SP2WB di SMP 5 Muhammadiyah yang juga diikuti oleh guru agar bisa menyaksikan dan mengawasi sehingga dapat mencontoh kegiatan pembelajaran melalui out bound (b) membimbing guru baru supaya mampu mengajar dengan baik dan mengusahakan penyetaraan mutu mereka, kegiatan ini dilakukan oleh tim SP2WB yaitu Bu Muti kepada guru/tutor yang nantinya beliau dapat mengajar di TKB di Dusun Pasirpanjang (c) memberi contoh kepada tutor tentang cara mengajar pada program Paket B (kesetaraaan SMP) dilakukan oleh Tim SP2WB kepada guru paket sebab beliau adalah salah satu tutor dari PKBM, (d) membimbing pelaksanaan manajemen sekolah termasuk merancang pengelolaan program wajib belajar, dilakukan oleh tim SP2WB saat melakukan rancangan pembelajaran untuk TKB di Dusun Pasirpanjang Desa Wates yang berinduk di SMPN 1 Lekok (e) memberi contoh cara meningkatkan kualitas sarana dan media pembelajaran serta memenuhi kebutuhan sarana transportasi, memberikan contoh pengadaan transportasi yang pernah dan mendorong untuk pengadaan kembali agar terpenuhinya fasilitas yang media pembelajaran serta kenyamanan dari peserta didik. (f) memberi contoh cara meningkatkan gairah olahraga, kesenian, berorganisasi, serta kebersihan-keamanankesehatan lingkungan di SMP dan satuan pendidikan lain yang sederajat, kegiatan ini dilakukan oleh tim SP2WB dengan cara melakukan out bound di beberapa SD/MI dan SMP/MTs di masing-masing wilayah kecamatan seperti yang dilakukan tim SP2WB di SMP 5 Muhamadiyah Lekok yang pesertanya adalah murid yang termasuk dalam organisasi pramuka, selain itu tim juga melakukan kegiatan sepakbola di wilayah Dusun Pasirpanjang yaitu dengan peserta anak-anak

dan calon siswa TKB yang berinduk di SMPN 1 Lekok (g) memberi contoh cara menanamkan kedisiplinan pendidikan, tenaga kependidikan, dan siswa dalam hal kehadiran, aktivitas dalam pembelajaran, pemberian tugas-tugas secara teratur, pemberian ulangan harian dilakukan oleh tim SP2WB yaitu Bu Muti mengajarkan kedisiplinan waktu sebagai penujang keberhasilan proses pembelajaran; (h) memotivasi belajar siswa dan motivasi guru untuk menjadi guru yang baik, kegiatan motivasi dilakukan oleh anggota tim SP2WB diberbagai sekolah yang ada di dua kecamatan tersebut, di antaranya adalah SDN Ngadiwono 1&2, SD Wonokitri dan SMP Satap Wonokitri di Kecamatan Tosari. Sedangkan di Kecamatan Lekok adalah dilakukan pemotivasian di SD NU Lekok, haflah imtihan yang dilakukan di Dusun Asem Sepuluh Desa Wates, SMP 5 Muhammadiyah, madin di tempat relawan lokal yaitu di rumah Pak Hasbullah, dan (i) mengupayakan penyelesaian masalah dalam penuntasan wajar dikdas yang bermutu melalui musyawarah dan berdasarkan prinsip kebersamaan, kekeluargaan, terpadu, dan berencana, kegiatan ini dilakukan oleh tim melalui kegiatan FGD dan urun pendapat bersama yang dilakukan di Kecamatan Tosari dan Kecamatan Lekok seperti di Kecamatan Tosari dilakukan FGD yang diadakan di kantor kecamatan. Segenap upaya penuntasan wajar disertai dengan upaya pengembangan kelembagaan di Kecamatan Lekok dan Kecamatan Tosari, yakni membantu pembentukan kelompok kerja guna mendukung keberhasilan upaya pemantapan dan penuntasan wajar dikdas dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat dan pemerintah setempat, yakni tenaga pendidik, perangkat desa, tenaga pendidik yang ikut melakukan pendataan, perangkat desa setempat, dan Pak Hasbullah. Relawan lokal dari Kecamatan Tosari di antaranya: Deni tenaga pendidik yang membantu tim SP2WB untuk melakukan pendataan di daerah yang sulit terjangkau, bu


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 11 M. Ishaq Lilik sebagai PKBM yang memberikan motivasi kepada masyarakat sekitar, bu Rusmini tenaga pendidik yang sadar akan wajar dikdas, bu Ana seorang pedagang sebagai relawan yang mendukung kegiatan dari tim SP2WB. Ada juga relawan di luar relawan lokal yang ada di Kecamatan Tosari di antaranya, Dwi relawan desa yang peduli terhadap wajar dikdas, Nike relawan desa yang juga membantu tim SP2WB untuk melakukan pendataan serta sebagai seorang mahasiwa di desanya yang ingin membantu pendidikan di desanya, pak Sumar perangkat desa yang membantu dan mendukung kegiatan tim. Tim SP2WB Kabupaten Pasuruan telah membantu upaya menindaklanjuti pengembangan status kelembagaan untuk pola/satuan pendidikan yang telah dirintis, yakni: TKB SMP Terbuka di Dusun Pasirpanjang Desa Wates, dan (2) TKB program Paket B di Balai Desa Baledono yang menginduk ke PKBM Wijaya Kusuma Tosari. TKB SMP Terbuka di Dusun Pasirpanjang Desa Wates diarahkan menginduk ke SMP Negeri I Lekok yang masih mengelola SMP Terbuka, yang dilakukan oleh tim SP2WB dibantu oleh relawan lokal dan relawan yang peduli akan pendidikan di dusun tersebut. Penyisiran yang dilakukan yaitu dengan cara mendatangi rumah setiap warga dusun tersebut, dan tim SP2WB juga mengkomunikasikan kepada kepala sekolah dan pelaksana SMP Terbuka, selain itu tim juga mengkondisikan tempat kegiatan belajar (TKB) SMP Terbuka di Dusun Pasirpanjang Desa Wates Kecamatan Lekok. Tim mengkomunikasikan kepada Ketua PKBM Wijaya Kusuma tentang cara melaksanakan kegiatan pembelajaran program Paket B di Balai Desa Baledono dan mengkomunikasikan kepada perangkat desa tentang fasilitas TKB yang akan digunakan. Kegiatan Refleksi Pada pertengahan atau minggu terakhir di lokasi kegiatan, masing-masing tim SP2WB melaksanakan kegiatan refleksi, baik di tingkat distrik maupun di tingkat kabupaten. Refleksi di

Kabupaten Merauke berupa seminar pelaksanaan program SP2WB di Distrik Merauke tgl 22 Juni 2015, di Distrik Semangga dan Distrik Tanah Miring tgl 23 Juni 2015, lalu di tingkat kabupaten tgl 1 Juli 2015 di aula SMKN 3 Merauke. Kegiatan pra-seminar di SKB Kabupaten Merauke dilaksanakan pada tgl 29 Juni 2015. Kegiatan refleksi di Kabupaten Jayapura berlangsung pada tgl 25 Juni 2015 berupa seminar Distrik Sentani, Distrik Sentani Timur, dan Distrik Waibu. Selanjutnya tim melakukan pemaparan hasil kegiatan di tingkat kabupaten, yaitu di Kantor Dinas Pendidikan pada tgl 2 Juli 2015. Refleksi di Kabupaten Sampang dilaksanakan di Kecamatan Sampang pada tgl 7 Juli 2015, di Kecamatan Pangarengan tgl 6 Juli 2015, dan di Kecamatan Jrengik tgl 8 Juli 2015. Setelah itu refleksi tingkat kabupaten dilaksanakan pada tgl 27 Juli 2015 di aula Dinas Pendidikan Kabupaten Sampang yang diikuti oleh: (a) petugas SP2WB Kecamatan Sampang, Kecamatan Pangarengan, dan Kecamatan Jrengik, (b) para pemuda relawan penuntasan wajar dikdas dari Kecamatan Sampang, Kecamatan Pangarengan, dan Kecamatan Jrengik, (c) pejabat/staf Dinas Pendidikan Kabupaten Sampang, (d) para pejabat lintas sektoral dan tokoh masyarakat, dan (e) para Kepala Sekolah dan pengelola satuan pendidikan lain yang sederajat SD dan SMP dari Kecamatan Sampang. Sedangkan refleksi di Kabupaten Pasuruan dilaksanakan di Kecamatan Lekok dan Kecamatan Tosari. Seminar Kecamatan Tosari dilaksanakan di aula Kecamatan Tosari pada tgl 26 juni 2015, sedangkan FGD di Kecamatan Lekok dilaksanakan secara terbatas di Dusun Pasirpanjang Desa Wates pada tgl 11 Juli 2015. Setelah itu pada tgl 27 Juli 2015 dilaksanakan refleksi terbatas dan pada tgl 28 Juli 2015 dilaksanakan seminar kabupaten di ruang pertemuan Kadis Pendidikan Kabupaten Pasuruan. Kesimpulan dan Rekomendasi Dari pelaksanaan SP2WB di Kabupaten Merauke disimpulkan bahwa di SMP


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 12 M. Ishaq diperlukan asrama yang di dalamnya ada program pendidikan kecakapan hidup untuk anak-anak yang orangtuanya nomaden terutama suku Asmat di Distrik Merauke. Perlu digerakkan kegiatan ekstra kurikuler di SMP untuk mengaktualisasikan minat dan kreativitas siswa, serta perlu diadakan pelatihan baca-tulis bagi siswa SMP yang belum bisa baca-tulis (khususnya di SMP Buti). Selain itu di Kampung Semangga Jaya dibutuhkan layanan program paket, serta pemerintah dan sekolah perlu membentuk satgas penuntasan wajar dikdas di tingkat kabupaten, distrik, dan kampung, dan perlu penyeragaman rentang usia dalam pendataan kependudukan di tiap kelurahan/kampung. Dari pelaksanaan SP2WB di Kabupaten Jayapura disimpulkan: (1) perlu pengaktifan kembali SMP Satap Ayapo untuk memfasilitasi anak-anak dari Kampung Yokiwa dan Puay, sehingga pemda harus menyiapkan tenaga guru; (2) perlu didirikan SMP baru di Kampung Doyo Lama Distrik Waibu untuk menampung siswa dari Kampung Dondai, Kampung Kwadeware, dan Kampung Doyo Lama; (3) kampung terisolir Yoboi di Distrik Sentani dan Kampung Dondai di Distrik Waibu, serta untuk mengaktifkan SMP Satap Ayapo di Distrik Sentani Timur, dibutuhkan model pembelajaran khusus sesuai dengan kondisi geografis dan sosial masyarakatnya, (4) boarding school diperlukan untuk menampung siswa dari kampung terpencar dan terpencil; (5) pemerintah harus berupaya keras untuk penuntasan wajar dikdas, walaupun penuh hambatan; (6) perlu dilakukan sosialisasi terkait KPS (kartu perlindungan sosial) untuk mendukung PIP (program Indonesia pintar); (7) perlu kecermatan dalam pengolahan data agar lebih akurat dan dapat dipergunakan dengan baik; (8) perlu ditingkatkan ketertiban administrasi di sekolah terkait keluar-masuknya siswa agar dapat dideteksi angka partisipasi sekolah di Distrik Sentani; (9) perlu digalakkan pemberian pemahaman terkait pentingnya pendidikan guna mendukung gerakan kembali ke sekolah; (10) operator sekolah di Distrik

Sentani Timur perlu mengisi form dapodik secara lengkap sebagai syarat pencairan dana bantuan; (11) para kepala kampung seharusnya memberikan data tentang warga yang memiliki KPS/KKS agar dapat dideteksi kesulitan yang dihadapi; dan (12) perlu didirikan PKBM untuk anak berkebutuhan khusus di Kampung Dondai di pulau-pulau Danau Sentani. Dari pelaksanaan SP2WB di Kabupaten Sampang disimpulkan bahwasanya di Kabupaten Sampang perlu: (1) gerakan bersama untuk memotivasi anak untuk kembali bersekolah oleh perangkat desa, tokoh agama, dan pengelola lembaga pendidikan, dengan cara membuat perdes tentang wajar dikdas yang isinya tidak memberikan layanan bagi keluarga yang anaknya tidak tamat SMP/sederajat; (2) adanya tokoh agama yang menyampaikan materi wajar dikdas dalam kajian, forum pertemuan, pengajian, rapat, dan khutbah Jum’at; (3) pengembangan model pembelajaran yang menyenangkan dan berguna untuk kehidupan anak; (4) perlu upaya lebih proaktif menjemput sasaran dan meningkatkan pengelolaan pembelajaran secara optimal sehingga warga belajar benar-benar memperoleh layanan pembelajaran yang materinya setara dengan pembelajaran di SMP dan tidak hanya menunggu kenaikan dan ujian dari pengelola PKBM yang menyelenggarakan program Paket A dan B; (5) updating atau pembaharuan dan penyeragaman data pendidikan di kantor desa (monografi desa), di sekolah, di UPTD, dan di mantri statistik yang memuat tentang data pendidikan: anak usia SD yang sekolah dan yang DO, anak usia SMP yang sekolah dan yang DO, serta anak yang mendapat BSM atau KIP agar pihak terkait dapat memberikan solusi dan layanan; (6) adanya kerjasama dari lembaga pendidikan, pemerintah desa dengan dinas kesehatan dalam menangani anak berkebutuhan khusus untuk memberikan layanan kesehatan terkait dengan keterbatasan fisik pada anak-anak tersebut agar mereka bisa kembali bersekolah dan bisa tertangani secara optimal; (7) pembentukan satgas untuk menangani anak-anak yang putus


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 13 M. Ishaq sekolah baik tingkat kecamatan maupun tingkat desa. Dari pelaksanaan SP2WB di Kabupaten Pasuruan disimpulkan bahwasanya di kabupaten itu: (a) perangkat desa perlu membuat peraturan desa tentang wajar dikdas, (b) tokoh agama perlu menyampaikan materi wajar dikdas dalam kajian ataupun forum pertemuan, seperti pengajian atau rapat, (c) pengelola pendidikan perlu mengupayakan bermaknanya bersekolah dan belajar, serta pentingnya pendidikan sebagai penunjang kehidupan selain bekerja, (d) kader-kader perlu melakukan kegiatan pendidikan, (e) perlu adanya komunikasi yang baik antara masyarakat dengan pemerintah (di desa dan di kecamatan), serta dengan pihak pendidik untuk mengatur pendidikan; (f) penyelenggara pendidikan (formal, nonformal, dan informal) perlu lebih aktif dalam mengatur, memfasilitasi, menjalankan, dan mengawasi pendidikan agar kegiatan dapat terlaksana dengan baik dan penuntasan wajib belajar sukses dilaksanakan; (g) perlu penyelengaraan sekolah lanjutan di daerah terpencil seperti di Desa Pandansari dan Desa Sedaeng karena dua desa tersebut merupakan daerah terpencil dengan kendala geografis; (h) perlu adanya fasilitas yang mendukung pendidikan yaitu mobil antar jemput; (i) perlu pendirian TKB PKBM program pendidikan kesetaraan Paket B untuk menampung peserta didik yang putus sekolah akan terjawab kesenjangan pendidikan di Desa Sedaeng dan Desa Pandansari; (j) perlu segera dilaksanakan gerakan bersama untuk memotivasi dan mendorong anak putus sekolah untuk kembali belajar dan bersekolah oleh perangkat desa, tokoh agama, dan pengelola lembaga pendidikan, UPTD, dan Dinas Pendidikan Kabupaten Pasuruan; (k) perlu tindak lanjut upaya perintisan TKB SMPT di Dusun Pasirpanjang yang berinduk di SMPN 1 Lekok agar peserta didik yang telah tertampung segera menerima pelajaran; (l) perlu perintisan sebagai penjelmaan TKB SMPT di Dusun Pasirpanjang di tahun depan; dan (m) perlu upaya pembangunan ruang kelas baru di tiap

SMP/MTs di Kecamatan Lekok untuk memperluas daya tampung dan untuk peningkatan kualitas fasilitas sekolah. Dari empat kabupaten itu diperoleh kesimpulan dan rekomendasi yang sangat penting, yaitu pelaksanaan program SP2WB telah terlaksana dengan baik dalam arti sesuai dengan apa yang direncanakan, akan tetapi belum optimal sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Masyarakat mengharapkan agar program tidak hanya dalam rentang waktu sebulan atau dua bulan, melainkan paling kurang satu tahun sehingga dapat dirasakan maknanya. Untuk itu mereka menyarankan agar pelaksana program bermitra dengan corporate social responsibility (CSR). Selain itu bila ada komitmen yang kuat untuk menuntaskan program wajib belajar di Indonesia termasuk di daerah terisolasi, terpencar, dan terjauh; maka para mahasiswa dan sarjana pendidikan luar sekolah hendaknya dioptimalkan peran sertanya, baik secara kuantitatif maupun kuallitatif. Daftar Pustaka Anderson, Benedict. 1991. Imagined Community: Reflections on the Origin and Spread of nationalism. London: Verso. Direktorat Pembinaan SD. 2014. Panduan Pelaksanaan Bantuan Sosial Pdenyelenggaraan ProgramRetrievalRemedial di Sekolah Dasar Tahun 2014. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementeraian Pendidikan dan Kebaudayaan. Jakarta. Faisal, Sanapiah. 1990. Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang: YA3. Ishaq, M. 2011. Pembinaan Nasionalisme Pemuda Perbatasan melalui Program Pendidikan Luar Sekolah. Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 17, Nomor 6, Oktober 2011. Jones, B. Samuel. 1945. Boundary Making : A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners. Washington D.C: Carnagie Endowment for International Peace. Patton, Adri. 8 April 2009. Pembangunan Kawasan Perbatasan Kalimantan Timur. [online] dalam


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 14 M. Ishaq http://www.setneg.go.id/index2.php?optio n=com_content&do_pdf=1&id=3514 [akses 24 Maret 2010]. Smith, D. Anthony. 2001. Nationalism. Cambridge: Polity Press. Srebro, Haim & Maxim Shoshany. 2006. Towards a Comprehensive International Boundary Making Model. TS 63 Geodetic Infrastructure & Theory. Sudjana, H.D. 1993. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif dalam PLS. Bandung: Penerbit Nusantara Press. ---------. 1996. Pendidikan Luar Sekolah, Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah, dan Teori Pendukung Asas. Bandung: Penerbit Nusantara Press. Susilo, Wahyu. 18 Februari 2008. Problematika Perbatasan Indonesia-Malaysia. dalam http://www.migrantcare.net/mod.php?mo d=publisher&op=viewarticle&cid=3&arti d=122 [akses 19 Maret 2010]. Suyono, Haryono. 2015. Pedoman Pendataan dan Pemetaan Keluarga dalam ranggka Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya). Damandiri. Jakarta. Yayasan Sekolah Rakyat. 2007. Panduan Pelaksanaan Pelaporan Program Sarjana dan Pemuda Penggrak Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun (SP2WB). Ditjen Manajeman Pendidikan dasar dan Menengah Deapartemen Pendidikan Nasional. Jakarta.


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PELATIHAN PENGOLAHAN TANAMAN HERBAL (RISET AKSI TERHADAP IBU-IBU PKK MENTENG ATAS, JAKARTA SELATAN) Durotul Yatimah Universitas Negeri Jakarta Durotulyatimah12@gmail.com \ Abstrak Pelatihan pengolahan tanaman herbal, penting untuk meningkatkan keterampilan masyarakat dalam mengolah tanaman herbal. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengetahuan dan keterampilan peserta setelah mengikuti pelatihan mengolah tanaman herbal menjadi obat.Metode penelitian adalah penelitian tindakan. Pengumpulan data jenis tanaman herbal dan tingkat pengetahuan ibu-ibu PKK dalam mengolah tanaman herbal dengan pengamatan, tes hasil belajar, kuesioner serta dokumentasi. Instrumen telah diuji validitas dan reliabilitasnya dengan rumus person product moment. Subyek penelitian ini 20 orang ibu-ibu PKK RW 013 Menteng Atas, Jakarta Selatan. Hasil penelitian yaitu pengetahuan dan keterampilan ibu-ibu PKK dalam mengolah tanaman herbal mengalami peningkatan setelah mengikuti pelatihan. Hal ini dapat dilihat dari pemahaman dan keterampilannya dalam mengolah tanaman herbal menjadi obat, yaitu nilai rata-rata 64.50 pada siklus 1 dan 88.00 pada siklus 2. Kata kunci : Pemberdayaan masyarakat, pelatihan pengolahan tanaman herbal menjadi obat.


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR DALAM MENANGGULANGI KEMISKINAN DI KABUPATEN TANAH LAUT Rosalina Kumalawati1), Dianita Anjarini Kudiastuti2) 1)

Prodi Pendidikan Geografi, Jurusan Pendidikan IPS FKIP, UNLAM, E-mail: rosalinaunlam@gmail.com 2) S2 Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi, UGM, Email: deenssdata@gmail.com Abstrak

Kemiskinan selalu ada di setiap wilayah di Indonesia. Kemiskinan merupakan permasalahan yang membutuhkan perhatian serius baik di kota, desa dan daerah pesisir. Menanggulangi kemiskinan diperlukan keberdayaan masyarakat yang ditandai adanya kemandirian. Kemandirian dapat dicapai melalui proses pemberdayaan masyarakat. Penelitian dilakukan dengan judul “Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dalam Menanggulangi Kemiskinan di Kabupaten Tanah Laut�. Tujuan penelitian adalah mengetahui Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dalam Menanggulangi Kemiskinan di Kabupaten Tanah Laut. Penelitian dengan studi pustaka, observasi, dan wawancara menggunakan kuesioner. Metode analisis yang digunakan metode deskriptif kuantitatif dan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Analisis kuantitatif dipaparkan dalam tabel frekuensi dan uji statistik menggunakan korelasi Product Moment dari Karl Pearson. Hasil penelitian menunjukkan pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir dapat dicapai bermula dari modal fisik, manusia dan sosial. Modal fisik, manusia dan sosial mempunyai korelasi positif dengan kemandirian masyarakat. Kemandirian dapat dicapai melalui proses pemberdayaan masyarakat. Adanya kemandirian masyarakat di wilayah pesisir termasuk modal utama mengatasi kemiskinan. Kata kunci: pemberdayaan, masyarakat, pesisir, kemiskinan Abstract Poverty is always there in every region in Indonesia. Poverty is a problem that needs serious attention both in cities, villages and coastal areas. Tackling poverty requires community empowerment marked their independence. Independence can be achieved through a process of community empowerment. The study was conducted with the headline "Coastal Community Empowerment in Tackling Poverty in Tanah Laut". The research objective was to determine the Coastal Community Empowerment in Tackling Poverty in Tanah Laut. Research with the literature study, observation, and interviews using questionnaires. The analytical method used quantitative descriptive method and approach to community empowerment. The quantitative analysis presented in frequency tables and statistical correlation test of Karl Pearson Product Moment. The results showed the empowerment of communities in coastal areas can be reached starting from physical capital, human and social. Physical capital, human and social positively correlated with self-reliance. Independence can be achieved through a process of community empowerment. Their self-reliance in the coastal area including primary capital to overcome poverty. Keywords: empowerment, community, coastal, poverty

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 18 Rosalina Kumalawati1), Dianita Anjarini Kudiastuti2) PENDAHULUAN Kemiskinan selalu ada di setiap wilayah di Indonesia. Kemiskinan merupakan permasalahan yang membutuhkan perhatian serius baik di kota, desa dan daerah pesisir. Kemiskinan disebabkan oleh faktor-faktor kompleks yang saling terkait serta merupakan sumber utama yang melemahkan kemampuan masyarakat dalam membangun wilayah dan meningkatkan kesejahteraan sosialnya (Sipahelut, 2010). Kemiskinan merupakan realitas sosial ditandai dengan keterbelakangan sosial, ekonomi, budaya, politik, pendidikan maupun faktor alam yang berpengaruh langsung terhadap ketidakmampuan masyarakat, sehingga menjadi miskin (Nugrahani, 2013). Kemiskinan merupakan salah satu isu utama dalam pembangunan kawasan pesisir (Kusnadi, 2007). Sebagian besar wilayah Indonesia adalah laut dengan potensi laut yang luar biasa seperti di Kabupaten Tanah Laut. Kesejahteraan masyarakat dengan adanya potensi laut yang luar biasa tersebut diharapkan dapat meningkat. Meskipun realitasnya, kehidupan masyarakat di daerah pesisir senantiasa dilanda kemiskinan, bahkan kehidupan masyarakat pesisir sering diidentikkan dengan kemiskinan (Nasution, 1996). Tingkat kesejahteraan para pelaku perikanan di daerah pesisir masih di bawah sektor-sektor lain, termasuk sektor pertanian agraris. Kesulitan melepaskan diri dari belenggu kemiskinan karena keterbatasan di bidang kualitas sumberdaya manusia, akses dan penguasaan teknologi, pasar, dan modal. Kebijakan dan implementasi program-program pembangunan untuk masyarakat di kawasan pesisir masih belum optimal dalam memutus mata rantai belenggu kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan mereka (Kusnadi 2009). Upaya mengentaskan kemiskinan sesuai dengan program Bank Dunia dalam World Development Report (2000) dilakukan melalui tiga strategi pengentasan kemiskinan antara lain: 1. Memperluas kesempatan (promoting opportunity) kegiatan ekonomi masyarakat miskin. 2. Memperlancar proses pemberdayaan (facilitating empowerment) dengan pengembangan kelembagaan untuk masyarakat miskin dengan penghapusan hambatan sosial bagi pengentasan kemiskinan. 3. Memperluas dan memperdalam jaring pengaman (enhancing security) agar masyarakat miskin memiliki kemampuan dalam pengelolaan risiko efek

negatif dari penguatan kebijakan stabilitasi makroekonomi. Upaya lain untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat di wilayah pesisir diperlukan adanya kemandirian masyarakat. Kemandirian dapat dicapai melalui proses pemberdayaan masyarakat. Subejo dan Supriyanto (2004) memaknai pemberdayaan masyarakat sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan, dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang bersumber pada kekuatan modal sosial masyarakat sendiri telah terbukti dapat mengurangi sikap selfish dan free rider, dan akhirnya cenderung lebih efektif mendorong ke arah pemanfaatan sumberdaya yang sustainable. Melihat hal tersebut perlu dilakukan penelitian dengan judul “Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dalam Menanggulangi Kemiskinan di Kabupaten Tanah Laut�. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dalam Menanggulangi Kemiskinan di Kabupaten Tanah Laut. METODE Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Analisis secara deskriptif diharapkan dapat memberikan penjelasan fenomena proses pemberdayaan masyarakat, yang menggambarkan karakteristik masyarakat. Penelitian deskriptif penting dilakukan untuk mengarahkan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan aspek perilaku pelaku pemberdayaan dan aspek proses pemberdayaannya. Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian terdapat di wilayah administrasi Kecamatan Jorong, Panyipatan dan Tangkisung Kabupaten Tanah Laut yang meliputi 5 pantai yaitu Pantai Tabanio, Pantai Tangkisung, Pantai Batu Lima, Pantai Batakan, dan Pantai Swarangan (lihat Gambar 1).

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 19 Rosalina Kumalawati1), Dianita Anjarini Kudiastuti2) Target/Subjek Penelitian

rxy = Angka Indeks Korelasi “ r “ Product Moment. x2 = Jumlah deviasi skor X setelah terlebih dahulu dikuadratkan y2 = Jumlah deviasi skor Y setelah terlebih dahulu dikuadratkan. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Peta Daerah Penelitian Populasi dan sampel adalah KK yang ada di wilayah administrasi Kecamatan Jorong, Panyipatan dan Tangkisung Kabupaten Tanah Laut. Pengambilan data penelitian dari responden dilakukan dengan cara wawancara terstruktur menggunakan kuesioner. Sampel diambil 10 % dari jumlah populasi (Suharsimi, 1996) . Suharsimi (1996) menyatakan jika jumlah subyeknya besar yaitu lebih dari 100 maka dapat diambil antara 10-15 % atau 20-25 % atau lebih. Data, Intrumen, dan Teknik Pengumpulan Data Variabel kunci yang menjadi perhatian adalah variabel laten atau latent construct, yaitu konsep abstrak modal fisik, modal manusia, dan modal sosial. Model struktural meliputi hubungan konstruk laten dan pengukurannya menggunakan indikator. Penelitian ini menggunakan konsep dan indikator beberapa peneliti terdahulu yaitu Pranarka dan Vidhyandika (1996), Kartasasmita (1996), Slamet (2003), Widjajanti (2011) dan Jamasy (2004). Teknik Analisis Data Teknik analisis menggunakan analisis statistik korelasi product moment dari Karl Pearson (Hadi 1982; 1996; 1998). Analisis mengevaluasi pengaruh antara Variabel Terikat (Dependent Variable) yaitu pemberdayaan masyarakat dan Variabel Bebas (Independent Variable) yaitu kemandirian masyarakat. Korelasi masing-masing prediktor sebagai berikut: ∑ rxy = ∑ ………………..(Hadi, 1996) ∑ √(

)(

Keterangan :

)

Kemandirian masyarakat merupakan kondisi yang dialami masyarakat, ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan kemampuan yang dimiliki. Kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material. Kemandirian dapat dicapai melalui proses pemberdayaan masyarakat (Sumodiningrat, 2000). Masyarakat yang mengikuti proses pemberdayaan masyarakat secara bertahap akan memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan yang bermanfaat dalam proses pengambilan keputusan secara mandiri. Hasil penelitian dapat diketahui bahwa untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat pesisir dalam rangka menanggulangi kemisikinan dapat dicapai melalui langkah langkah yang bermula dari: 1. Modal Fisik Variabel modal fisik dalam penelitian ini diwujudkan dalam bentuk indikator sarana produksi pertanian, sarana dan prasarana pendidikan, sarana dan prasarana kesehatan, sarana dan prasarana ekonomi, sarana dan prasarana komunikasi, dan sarana dan prasarana transportasi (Widjajanti, 2011). Modal fisik akan dicari pengaruhnya dengan kemandirian masyarakat. Kemandirian masyarakat yang tinggi maka akan berhasil dalam pemberdayaan masyarakat. Hasil pengujian analisis korelasi menunjukkan bahwa ke enam indikator modal fisik mempunyai korelasi positif dengan kemandirian masyarakat (lihat Tabel 1). Tabel 1. Indek Korelasi Nilai r-hitung dan Nilai r-tabel Dengan Taraf Signifikansi 5% Variabe l Bebas Sarana Produks i Pertania n (X1)

Variabel Terikat Kemandiri an Masyarak at (Y)

Kor elasi rx1y

rhitung 0,300

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992

rtabel 0,062

Hasil Korela si Positif Lema h


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 20 Rosalina Kumalawati1), Dianita Anjarini Kudiastuti2) Sarana dan Prasaran a Pendidi kan (X2) Sarana dan Prasaran a Kesehat an (X3) Sarana dan Prasaran a Ekonom i (X4) Sarana dan Prasaran a Komuni kasi (X5) Sarana dan Prasaran a Transpo rtasi (X6)

Kemandiri an Masyarak at (Y)

rx2y

0,416

0,062

Korela si Positif Sedan g

Kemandiri an Masyarak at (Y)

rx3y

0,302

0,062

Korela si Positif Lema h

Kemandiri an Masyarak at (Y)

rx4y

0,306

0,062

Korela si Positif Lema h

Kemandiri an Masyarak at (Y)

rx5y

0,310

0,062

Korela si Positif Lema h

Kemandiri an Masyarak at (Y)

Rx6 y

0,308

0,062

Korela si Positif Lema h

Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Tahun 2016

Indikator yang mempunyai korelasi positif sedang yaitu indikator sarana dan prasarana pendidikan, sementara indikator lainnya mempunyai korelasi positif rendah. Sarana dan prasarana pendidikan merupakan pengukur yang representatif modal fisik karena sarana dan prasarana pendidikan yang baik akan diikuti tingkat pendidikan tinggi. Tingkat pendidikan tinggi cenderung mempunyai wawasan yang lebih besar, dengan kemandirian untuk mengambil keputusan dan dapat mendukung pemberdayaan masyarakat. Adanya tingkat keberanian dalam mengambil keputusan akan berdampak pada perubahan kemandirian masyarakat di daerah pesisir. Pelatihan perlu dikembangkan agar masyarakat lebih mandiri dan maju. Masyarakat yang mandiri dan maju akan lebih dinamis sehingga akan diikuti meningkatnya kesejahteraan. Seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat di daerah pesisir akan diikuti dengan berkurangnya kemiskinan. Dukungan Pemerintah pada peningkatan sarana dan prasarana pendidikan memungkinkan untuk bertambah jika kemandirian masyarakat suatu desa meningkat. Hal akan memudahkan komunikasi antara masyarakat, dan aliran

informasi yang dapat membuka perubahan kearah yang lebih maju. Berdasarkan hasil pengujian indikator ditunjukkan bahwa modal fisik sarana dan prasarana produksi pertanian mempunyai korelasi positif lemah yang paling kecil nilai korelasinya. Hal ini dapat dijelaskan karena sarana produksi pertanian belum sepenuhnya dapat memotivasi masyarakat agar bekerja lebih produktif sesuai dengan pencapaian tujuan masyarakat di daerah pesisir. Peran modal fisik diharapkan bisa mengubah kualitas manusia menjadi lebih berpendidikan dalam meningkatkan kemampuan berinteraksi antar sesama. Masyarakat dapat memanfaatkan usaha di masa depan apabila melakukan analisis yang berkaitan dengan menangkap peluang usaha dengan menitikberatkan pada peluasan jaringan sosial/kerja. 2. Modal Manusia Variabel modal manusia diukur dengan tiga indikator, yaitu tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, dan kemampuan berinteraksi antarsesama (Widjajanti, 2011). Varibel indikator mengacu pada teori yang menjelaskan bahwa modal manusia dapat ditingkatkan melalui tingkat pendidikan, kesehatan dan kemampuan interaksi (Widjajanti, 2011; Huseini, 1999). Modal manusia akan dicari pengaruhnya terhadap kemandirian masyarakat. Kemandirian masyarakat yang tinggi maka akan berhasil dalam pemberdayaan masyarakat. Hasil korelasi menunjukkan 3 korelasi positif (lihat Tabel 2). Tabel 2. Indek Korelasi Nilai r-hitung dan Nilai r-tabel Dengan Taraf Signifikansi 5% Variabe l Bebas Tingkat Pendidi kan (X1)

Variabel Terikat Kemandiri an Masyarak at (Y)

Kor elasi rx1y

rhitung 0,414

rtabel 0,062

Tingkat Kesehat an (X2)

Kemandiri an Masyarak at (Y)

rx2y

0,302

0,062

Kemam puan Berinter aksi Antarses ama (X3)

Kemandiri an Masyarak at (Y)

rx3y

0,412

0,062

Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Tahun 2016

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992

Hasil Korela si Positif Sedan g Korela si Positif Lema h Korela si Positif Sedan g


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 21 Rosalina Kumalawati1), Dianita Anjarini Kudiastuti2) Hasil pengujian analisis korelasi menunjukkan bahwa dua indikator mempunyai korelasi positif sedang yaitu tingkat pendidikan dan kemampuan berinteraksi antarsesama. Satu indikator yang mempunyai korelasi positif lemah yaitu indikator tingkat kesehatan. Indikator tingkat pendidikan dan kemampuan berinteraksi antarsesama merupakan pengukur yang valid untuk modal manusia. Kemampuan berinteraksi dalam masyarakat menghasilkan aktivitas yang dapat mendukung proses pemberdayaan yang akan dikembangkan ke arah kemandirian masyarakat. Hasil pengujian indikator modal manusia mendukung pendapat (Widjajanti, 2011; Huseini, 1999; dan Romer, 1990) yang menyatakan bahwa proses modal manusia dapat diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman dalam share interpretasi, sebagaimana pendapat Tobing (2005) bahwa modal manusia dapat diperoleh dengan melakukan akumulasi pada stok pengetahuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain. Hasil pengujian analisis korelasi menunjukkan indikator tingkat kesehatan kurang representatif sehingga diperoleh korelasi positif yang lemah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kecenderungan dukungan kesehatan yang ada di masyarakat kurang di perhatikan, tingkat kesehatan masyarakat belum sepenuhnya melibatkan semua aspek yang berkaitan dengan kualitas hidup layak sehat dan bersih (Widjajanti, 2011). 3. Modal Sosial Modal sosial (social capital) merupakan fasilitator penting dalam pembangunan ekonomi. Modal sosial yang dibentuk berdasarkan kegiatan ekonomi dan sosial di masa lalu dipandang sebagai faktor yang dapat meningkatkan pembangunan ekonomi dan jika digunakan secara tepat mampu memperkuat efektivitas pembangunan (Suharto dan Yuliani, 2005; Widjajanti, 2011). Variabel modal sosial diukur dengan 5 indikator, yaitu tingkat jaringan sosial/kerja, kepercayaan antarsesama, ketaatan terhadap norma, kepedulian terhadap sesama, dan keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial (Syabra, 2003; Suharto dan Yuliani, 2005; dan Widjajanti, 2011). Modal sosial akan dicari pengaruhnya terhadap kemandirian masyarakat. Kemandirian masyarakat yang tinggi maka akan berhasil dalam pemberdayaan masyarakatnya. Hasil korelasi menunjukkan 5 korelasi positif (lihat

Tabel 3). Hasil pengujian analisis korelasi menunjukkan ada 2 indikator yang mempunyai korelasi positif lemah yaitu kepercayaan antarsesama dan keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial. Sedangkan yang mempunyai korelasi positif sedang ada tiga indikator yaitu jaringan sosial/kerja, ketaatan terhadap norma dan kepedulian terhadap sesama. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat di daerah pesisir telah mempunyai jaringan sosial/kerja dan dalam aktivitas-aktivitasnya sangat memperhatikan ketaatan terhadap norma dan kepedulian terhadap sesama. Tabel 3. Indek Korelasi Nilai r-hitung dan Nilai r-tabel Dengan Taraf Signifikansi 5% Variabe l Bebas Tingkat Jaringan Sosial/K erja (X1)

Variabel Terikat Kemandiri an Masyarak at (Y)

Kor elasi rx1y

rhitung 0,400

rtabel 0,062

Keperca yaan Antarses ama (X2) Ketaata n terhadap Norma (X3) Kepedul ian terhadap Sesama (X4) Keterlib atan dalam Aktivita s Organis asi Sosial (X5)

Kemandiri an Masyarak at (Y)

rx2y

0,302

0,062

Kemandiri an Masyarak at (Y)

rx3y

0,402

0,062

Kemandiri an Masyarak at (Y)

rx4y

0,406

0,062

Kemandiri an Masyarak at (Y)

rx5y

0,300

0,062

Hasil Korela si Positif Sedan g Korela si Positif Lema h Korela si Positif Sedan g Korela si Positif Sedan g Korela si Positif Lema h

Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Tahun 2016

Tingkat kepedulian terhadap sesama meningkat, akan memperkuat budaya, menambah tali persaudaraan yang mengarah pada tujuan bersama untuk kesejahteraan yaitu menuju masyarakat yang mempunyai kemandirian. Hal ini mendukung konsep (Fukuyama, 1995; Suharto dan Yuliani, 2005) yang menyatakan bahwa modal sosial tercermin pada karakteristik yang melekat pada individu, berkaitan dengan nilai dan norma informal yang dimiliki bersama memungkinkan terjalinnya

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 22 Rosalina Kumalawati1), Dianita Anjarini Kudiastuti2) kerjasama, saling percaya, saling pengertian dan kepedulian. Modal sosial merupakan faktor isu yang penting, yang berkaitan dengan proses pemberdayaan masyarakat (Jamasy, 2004; Widjajanti, 2011). Tingkat kepercayaan antar sesama dan keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial kurang representatif sebagai pengukur modal sosial karena masyarakat dalam mengembangkan modal sosial dimulai dari perilaku ketaatan terhadap norma dan kepedulian terhadap sesama. Berdasarkan hasil uji statitistik diketahui bahwa pemberdayaan masyarakat meliputi modal fisik, modal manusia dan modal sosial mempunyai korelasi positif dengan kemandirian. Kemandirian masyarakat yang tinggi maka akan berhasil dalam pemberdayaan masyarakatnya. Masyarakat di wilayah pesisir terdapat di wilayah administrasi Kecamatan Jorong, Panyipatan dan Tangkisung Kabupaten Tanah Laut sudah mempunyai kemandirian. Masyarakat sudah mempunyai kemandirian maka masyarakat tersebut mampu mengambil keputusan dan mampu menangkap informasi untuk memanfaatkan usaha di masa depan (Slamet, 2003). Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat di daerah pesisir Kabupaten Tanah Laut telah mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan yang mengarah pada kemandirian masyarakat yang dapat memanfaatkan usaha untuk masa depan. Ketika tingkat kemandirian masyarakat meningkat, memungkinkan memperkuat budaya dalam meningkatkan keinginan untuk menambah kesempatan, memanfaatkan peluang yang mengarah pada pengoptimalan partisipasi masyarakat untuk tujuan pembangunan bersama mencapai kesejahteraan. Kesejahteraan masyarakat meningkat maka kemiskinan akan berkurang. Hal ini mendukung konsep Pranarka dan Vidhyandika (1996) yang menyatakan bahwa keberdayaan masyarakat berkaitan dengan kemandirian masyarakat. SIMPULAN 1. Proses pemberdayaan di daerah pesisir Kabupaten Tanah Laut berpengaruh secara signifikan terhadap kemandirian masyarakat, peningkatan kemandirian masyarakat dapat dicapai melalui proses pemberdayaan karena adanya peran modal fisik, manusia dan modal sosial,

2. Modal usaha yang meliputi modak fisik dan modal manusia tidak secara otomatis menghasilkan kemandirian masyarakat. Pengembangan modal fisik akan menstimulasi pengembangan modal manusia yang akan mendukung proses pemberdayaan yang pada akhirnya akan meningkatkan kemandirian masyarakat. 3. Masyarakat harus dapat melakukan perubahan yang lebih kompetitif dengan melakukan peningkatan pendidikan dan keterampilannya untuk menjadi masyarakat yang tajam dalam menangkap peluang yang berorientasi pada masa depan, 4. Meningkatnya tingkat kemandirian masyarakat, memungkinkan memperkuat budaya dalam meningkatkan keinginan untuk menambah kesempatan, memanfaatkan peluang yang mengarah pada pengoptimalan partisipasi masyarakat untuk tujuan pembangunan bersama mencapai kesejahteraan, dan mengurangi kemiskinan. DAFTAR PUSTAKA Fukuyama, 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. Free Press, ISBN 0-02-910976_0 Hadi, S., 1982. Analisis Regresi. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset. Hadi, S., 1996. Kapita Selecta Psychologi Karya. Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP – IKIP. Hadi, S., 1998. Statistik Jilid 3. Yogyakarta : Penerbit Andi Offset. Huseini, M. 1999. Mencermati Misteri Globalisasi:Menata Ulang Strategi Pemasaran Internasional Indonesia Melalui Pendekatan Resource-Based. Depok: Fisip Universitas Indonesia. Jamasy, O. 2004. Keadilan, Pemberdayaan, & Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta Selatan: Blantika. Kartasasmita, G. 1996. Power and Empowermant:Sebuah Telaah Mengenal Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Kusnadi. 2007. Jaminan Sosial Nelayan. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara. 172 hlm. Nasution, L. I. (1996). Taksonomi Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 23 Rosalina Kumalawati1), Dianita Anjarini Kudiastuti2) Nugrahani, Tri Siwi., 2013. Model Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pengurangan Kemiskinan di Dusun Kalingiwo, Girimulyo, Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Bisnis dan Ekonomi .Vol. 4, No. 1, Juni 2013, 26 – 36. Pranarka dan Vidhyandika, 1996. Pemberdayaan dalam Onny S.P dan AMW. Pranarka (ed). 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Center for Strategic and International Studies (CSIS). Romer Paul. 1990. Endogenous Technological Change. Journal of Political Economy. Syabra, R. 2003. Modal Sosial: Konsep dan aplikasi. Jurnal Masyarakat dan Budaya.Vol.V. N0.1:1-5. Slamet, M. 2003. Pemberdayaan Masyarakat. dalam Membetuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor: IPB Press. Sumodiningrat, G. 2000. Visi dan Misi Pembangunan Pertanian Berbasis Pemberdayaan. Yogyakarta: IDEA. Subejo dan Supriyanto, 2004. Harmonisasi Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan Dengan Pembangunan Berkelanjutan, Ekstensia, Deptan RI Vol 19/ Th XI/ 2004 Suharto, E. & Yuliani. 2005. Analisis Jaringan Sosial: Menerapkan Metode Asessmen Cepat dan Partisipatif (MACPA) Pada Lembaga Sosial Lokal di Subang, Jawa Barat: http://www.policy.hu/ suharto/ mak-Indo4.html. Diakses pada 28 Juli 2005. Sipahelut, Michel., 2010. Analisis Pemberdayaan Masyarakat Nelayan di Kecamatan Tobelo Kabupaten Halmahera Utara. Thesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Tobing, E. 2005. Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi. (Article on-line). Didapat dari http://www-theindone-sianinstitute. org/ janeducfile.htm. Internet. Widjajanti, Kesi., 2011. Model Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Volume 12, Nomor 1, Juni 2011, hlm.15-27.Fakultas Ekonomi Universitas Semarang. PROFIL SINGKAT Dr. Rosalina Kumalawati, S. Si., M. Si. lahir di Kabupaten Bantul pada tanggal 4 Mei 1981. Menamatkan jenjang S1 di UGM pada tahun 2003 dari Fakultas Geografi, Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah. Gelar S2 diperolehnya dari Geografi Fisik Fakultas Geografi UGM pada tahun 2005. Pendidikan Jenjang S3 bidang Perencanaan Pengembangan Wilayah untuk Mitigasi Bencana di selesaikan pada Tahun 2014 dari Fakultas Geografi UGM. Riset di bidang Perencanaan Pengembangan Wilayah telah aktif dilakukan sejak tahun 2002 melalui BPKS UGM dan PSBA UGM. Sampai saat ini Rosalina Kumalawati masih aktif melakukan penelitian perencanaan pengembangan wilayah untuk mitigasi bencana bersama berbagai pihak dan juga aktif sebagai dosen di Program Studi Pendidikan Geografi FKIP Unlam Banjarmasin Kalimantan Selatan. Sampai saat ini juga menduduki jabataan sebagai Ketua Pusat Studi Kebencanaan UNLAM. Karya yang pernah ditulis adalah Bunga Rampai Penginderaan Jauh (2012) dan Pengelolaan Bencana Lahar Gunung Api Merapi (Ombak, 2014). Dianita Anjarini Kudiastuti, S.Si. S1 di Fakultas Geografi UGM angkatan 1999. Sekarang sedang Menenmpuh S2 Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi, UGM.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


BEST PRACTICE PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI MODUS LAB SITE PLS Oong Komar PLS Universitas Pendidikan Indonesia oongkomar@yahoo.com Abstrak Profesionalisme merupakan kemampuan melakukan layanan yang baik terhadap kliennya dengan topangan disiplin ilmu yang kokoh. Sehingga bagi profesi PLS, khususnya pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan multi dimensional sebagai kajian substantif terkait konsentrasi dimensi kompetensi keahlian/kajian pendidikan luar sekolah (PLS) pun harus memiliki kemampuan melakukan layanan yang baik terhadap kliennya dan ditopang disiplin ilmu yang kokoh. Yaitu sebagai layanan bagi kebutuhan pendidikan di luar sistem sekolah, yang kehadirannya dalam rangka layanan masyarakat khusus. (1) layanan peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat tertinggal (pengentasan), dan (2) layanan pembebasan masyarakat tertindas (pemberdayaan). Ketenagaan PLS memberikan layanan profesionalnya harus: (1) merasa pangilan jiwa dalam melayani kliennya, (2) dibekali disiplin ilmu yang kokoh dalam menunaikan tugasnya, dan (3) memiliki kode etik PLS guna melindungi otonomi profesinya. Namun, persepsi mahasiswa mengenai penguasaan kompetensi masih sebatas pemilikan pengetahuan yang dipelajari dan belum sampai pada penguasaan praktis dari ilmu yang dipelajarinya. Pelaksanaan praktek lapangan yang ada pun cenderung bersifat formalitas dan tingkat keberlanjutan programnya belum memadai dalam pembentukan profesionalisasi. Oleh karena itu, Lab site PLS, menjadi media implementatif keilmuan teoritis atau penerapan konsep-teoritik yang telah diperoleh mahasiswa di perkuliahan guna peningkatan kompetensi profesionalnya. Sebagai sarana pengembangan akademis mahasiswa dalam melaksanakan “program aksi� guna mewujudkan penguasaan praktis. Dan sekaligus merupakan tempat uji petik penyiapan caloncalon tenaga profesional yang kreatif, beretos kerja tinggi dan berkompetensi menangani modus serta model penyelenggaraan program PNFI yang sesuai dengan perkembangan tuntutan kebutuhan belajar masyarakat. Oleh karena itu, usaha mewujudkan layanan profesi PLS yang baik (field of professional practice) dengan topangan disiplin ilmu yang kokoh (extraordinary knowledge), terdapat dua asumsi pemikiran PLS. Pertama, masyarakat yang tertinggal disebabkan kelemahan sendiri. Fungsi layanan PLS bagi masyarakat tertinggal adalah meningkatkan kualitas SDM menuju tarap hidup yang lebih baik. Andragogi termasuk disiplin ilmu PLS yang menopang upaya peningkatan masyarakat tertinggal. Prinsip-prinsip Andragogi: (1) menganggap manusia bersifat dewasa, (2) manusia memiliki kekayaan pengalaman, (3) siap belajar yang praktis. Kedua, masyarakat yang terlantar disebabkan struktur sosial yang hegemoni. Fungsi layanan PLS bagi masyarakat tertindas adalah melakukan pemberdayaan dan pembebasan menuju terciptanya transformasi sosial yang bebas dari struktur sosial yang hegemoni. Pedagogik Kritis termasuk disiplin ilmu PLS yang menopang upaya pembebasan terlantar/tertindas. Prinsipprinsip Pedagogik kritis: (1) penyadaran diri melalui refleksi, aksi, kreasi dan kritisi (evaluatif/ assessment), (2) transformatif emensipatoris. Selain itu, disiplin ilmu PLS pun memiliki sifat akademik dan profesional. Yang bersifat akademik adalah bidang kajian dengan obyek disiplin ilmu layanan PLS pada aktivitas yang melembaga. Sementara yang bersifat profesional adalah bidang layanan dengan obyek operasional kelembagaan dan gerakan praktisi PLS. Kata kunci: labsite PLS, layanan yang baik, keilmuan yang kokoh, pedagogi kritis, Andagogi.


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEDESAAN MELALUI PENGUATAN PENDIDIKAN MULTIKEAKSARAAN DENGAN TEKNIK PARTICIPATORY RURAL APPRAISAL Mintarsih Arbarini PLS, FIP, Universitas Negeri Semarang arbarini.mint@gmail.com Abstrak Memberdayakan masyarakat pedesaan bukan sekadar memobilisasi masyarakat untuk ambil bagian dalam pembangunan, melainkan sebagai upaya membantu masyarakat untuk mengembangkan kemampuannya sendiri sehingga bebas dan mampu untuk mengatasi masalah dan mengambil keputusan secara mandiri. Kondisi ekonomi, peluang pendidikan, dan sumber daya masyarakat pedesaan jauh tertinggal jika dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Untuk mengatasi kondisi tersebut, diperlukan kesempatan belajar yang inovatif sebagai strategi pengembangan masyarakat melalui penguatan multikeaksaraan orang dewasa. Pendidikan multikeaksaraan menyediakan dasar yang kuat untuk pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan berkesinambungan dalam mencapai masyarakat pedesaan yang stabil dan demokratis. Pendidikan multikeaksaraan yang dikembangkan lebih tepat apabila berbasis partisipasi masyarakat. Dengan penguatan pendidikan multikeaksaraan dengan tehnik participatory rural appraisal (PRA) lebih banyak menekankan pada pengkajian kebutuhan belajar masyarakat pedesaan, di sisi lain menekankan pula pengembangan motivasi, sikap modern, keterampilan vokasional yang berkaitan dengan pekerjaan yang ada di masyarakat. Dengan demikian, masyarakat pedesaan mempunyai sejumlah kemampuan yang dapat dijadikan modal untuk memberdayakan kehidupannya. Kata Kunci: pemberdayaan masyarakat, multikeaksaraan, PRA

Abstract The Empowerment of Village Society through Strengthening Multiliteracy Education with the Use of Participatory Rural Appraisal (PRA) Empowering village society is not only encouraging and moving the society to take participation in the country development, but also assisting them to develop their own ability and competence in order that they are able to solve their problems and make decisions on their own. In a village, economic condition, education opportunity, and human resources have been left behind, compared to the condition in a city. To solve this problem, it is necessary to provide innovative learning opportunity as a strategy to empower the society through strengthening multiliteracy education for adult villagers. Multiliteracy education provide strong basics to poverty alleviation and empowerment sustainability in order to achieve stability and democracy at the village society. Multiliteracy could develop more opportunities when it was based on the society participation. The strengthening of multiliteracy education with Participatory Rural Appraisal (PRA) focused on the analysis of the needs of the village society, in addition to focus on the development of motivation, modern attitudes, and vocational skills in relation to occupations present in the society. Therefore, the village society would obtain some abilities that could become their useful resources to empower their lives. Key words: society empowerment, multiliteracy, PRA.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 26 Mintarsih Arbarini

PENDAHULUAN Pemberdayaan masyarakat pedesaan sesungguhnya dapat dimulai dengan sederhana melalui proses yang berangkat dari kebutuhan, kemauan, dan kemampuan masyarakat dalam memenuhi penghidupan dan menyelenggarakan kehidupannya. Masyarakat pedesaan diyakini sebagai masyarakat yang sangat mendambakan keharmonisan atau keseimbangan. Oleh karena itu, jika dilihat dari laju perubahan masyarakat pedesaan memiliki kecenderungan perkembangan yang lambat jika dibandingkan dengan masyarakat kota. Keadaan sosial ekonomi masyarakat pedesaan masih ditandai oleh pertambahan penduduk yang cukup pesat, dan sebagian besar masih tergantung pada sektor pertanian dan sektor-sektor tradisional. Situasi masyarakat pedesaan yang terjadi, adanya tekanan terhadap sumberdaya lahan semakin besar dan rata-rata penguasaan aset lahan setiap rumah tangga semakin minim, bahkan banyak rumahtangga yang tidak memiliki lahan garapan. Sebenarnya, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi dampak keterbatasan lahan pertanian tersebut, baik melalui program intensifikasi pertanian maupun pengembangan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha dalam sektor non-pertanian di pedesaan. Namun, masyarakat pedesaan memiliki kondisi tingkat pendapatan yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum yang meliputi: pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Hal ini disebabkan terlalu besarnya jumlah anggota keluarga dan rendahnya produktivitas kerja. Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan oleh banyak faktor antara lain: menganggur atau setengah menganggur, rendahnya pendidikan, terbatasnya keterampilan, serta rendahnya tingkat kesehatan dan gizi. Hal yang lebih memprihatinkan lagi bahkan kemiskinan yang dialami masyarakat pedesaan tersebut dapat menurun kepada generasi berikutnya. Usaha untuk menekan jumlah masyarakat miskin pedesaan semakin sulit karena penduduk miskin yang tersisa adalah yang paling rendah pengetahuan dan kemampuannya untuk dapat menolong diri. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan khusus yang langsung ditujukan kepada masyarakat pedesaan dengan strategi yang diarahkan

kepada wilayah pedesaan dengan cara mengetahui sumber penyebab kemiskinan, baik yang bersifat struktural atau kultural, maupun karena kondisi lingkungan fisik. Masyarakat pedesaan yang mengalami kekurangberuntungan yang terwariskan dan terpelihara, sangat berakar dalam proses sosial, ketakberdayaan, kemiskinan, dan kebijakan yang kurang berpihak menyebabkan kemarjinalan dalam pendidikan. Akibatnya, terjadi hambatan terhadap akses pendidikan karena ketakberdayaan, kemiskinan, letak geografis, gender, dan bahasa. Pengertian terhadap berbagai penyebab tersebut sangat penting agar dapat mewujudkan intervensi maksimal dan berhasil untuk melawan kemarjinalan dalam pendidikan. Pada masyarakat pedesaan masalah kebutaaksaraan sangat penting untuk diperhatikan karena merupakan salah satu aspek penentu tingkat pembangunan masyarakat itu sendiri, diukur dari tingkat keberaksaraan penduduknya. Masyarakat buta aksara di pedesaan bekerja sebagai petani kecil, buruh, nelayan, penduduk miskin yang tingkat pendapatan atau penghasilannya sangat rendah. Masyarakat pedesaan buta huruf tertinggal di bidang pengetahuan, keterampilan, serta sikap mental terhadap pembaharuan dan pembangunan. Karena rendahnya pengetahuan tersebut, mereka tertinggal dalam memperoleh akses informasi dan komunikasi yang penting untuk membuka cakrawala kehidupan dunia yang seharusnya mereka peroleh akibat tidak memiliki kemampuan keaksaraan. Namun demikian, perkembangan masyarakat pedesaan Indonesia yang semakin pesat dan kompleks menuntut komitmen masyarakat untuk senantiasa belajar, mengikuti dan mengantisipasi perkembangan pembangunan. Tidak terkecuali keaksaraanpun mengalami pergeseran tidak saja keaksaraan tunggal atau keaksaraan dasar (membaca, menulis, berhitung) yang dibutuhkan oleh masyarakat, namun masyarakat pedesaan telah mulai membutuhkan keaksaraan ganda atau multikeaksaraan. Hal ini mengingat dalam rangka memasuki abad 21 makna keaksaraan berubah menjadi lebih luas, bukan sekadar membaca, menulis, dan berhitung saja namun konsepnya lebih luas dan berkembang untuk merespon perubahan pola komunikasi yang makin berkembang melalui multikeaksaraan.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 27 Mintarsih Arbarini Multikeaksaraan yang dimaksud meliputi keaksaraan ekonomi, keaksaraan kesehatan, keaksaraan sosial, keaksaraan informasi, keaksaraan teknologi, keaksaraan kewarganegaraan, dan keaksaraan kritis. Pendidikan multikeaksaraan akan lebih bermakna jika masyarakat aktif melibatkan diri secara keseluruhan proses baik secara mental maupun fisik. Oleh karena itu, model pembelajaran hendaknya memberikan peluang bagi masyarakat untuk mencari, mengolah, dan menemukan sendiri pengetahuannya agar warga belajar dapat mengembangkan keterampilan dasar pengetahuan yang bersangkutan. Pada model pendidikan multi keaksaraan berbasis participatory rural appraissal (PRA) ini warga masyarakat pedesaan diajak untuk mempersepsi dirinya, memenuhi kebutuhannya, dan merumuskan sendiri tujuan yang ingin dicapainya serta ikut mengutarakan atau mengambil keputusan kegiatan belajar melalui musyawarah antara warga belajar masyarakat dengan tutornya. Permasalahan yang muncul adalah bagaimanakah memberdayakan masyarakat pedesaan melalui pendidikan multikeaksaraan dengan teknik participatory rural appraisal?. Selanjutnya tujuan dalam penulisan ini adalah untuk membuka kesadaran dan motivasi masyarakat pedesaan tentang pentingnya multikeaksaraan sebagai pijakan dalam memberdayakan warga masyarakat pedesaan melalui jalur pendidikan nonformal, dan dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah maupun stakeholder yang lain dalam menerapkan program-program pendidikan multikeaksaraan pada masyarakat pedesaan sekaligus menawarkan desain model yang tepat dalam rangka akselerasi masyarakat bebas buta aksara. PEMBAHASAN Pendidikan Multikeaksaraan bagi Masyarakat Pedesaan Keaksaraan adalah alat yang sangat diperlukan agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan sosial dan ekonomi, yang akan mengarah kepada pembangunan sumber daya manusia dan pengentasan kemiskinan. Dalam LIFE (Yulaelawati, 2010: 32) keaksaraan merupakan upaya memberdayakan dan membangun masyarakat dan membantu terwujudnya pelaksanaan hak asasi manusia yang adil. Keaksaraan merupakan langkah pertama dan utama bagi

banyak bentuk pembelajaran, selanjutnya masyarakat melanjutkannya menuju multikeaksaraan. Jika dirancang dan disampaikan dengan baik, keaksaraan menjadi alat yang sangat kuat untuk memberdayakan setiap anggota masyarakat dan pembangunan sosial. Kekuatan keaksaraan dapat memperbaiki semua aspek kehidupan. Kurangnya kompetensi keaksaraan dalam membaca, menulis, dan berhitung akan menghambat pembangunan baik anggota masyarakat secara pribadi maupun masyarakat secara keseluruhan. Menurut Hunter dikutip Kusnadi (2003: 55) bahwa ada tiga kategori dasar tentang definisi keaksaraan yang setiap kategorinya didasari oleh asumsi yang sangat berbeda dari peran keaksaraan dari kehidupan masyarakat yaitu: (1) literacy as a set on basic skills, abilities, and competencies (2) literacy as the necessity foundation of higher quality of life, and (3) literacy as a reflection of political and structural realities.Filosofi keaksaraan ideologis ini secara jelas memberikan perhatian pada bentuk keaksaraan dan budaya lokal. Filosofi dari model keaksaraan ideologis bahwa pendidikan keaksaraan fungsional perlu dipikirkan untuk memastikan bahwa pemberantasan buta aksara harus relevan dan sesuai dengan pandangan hidup dan budaya masyarakatnya. Dari sinilah muncul pendidikan multikeaksaraan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pendapat di atas diperkuat oleh Beynham (2008) yang menyatakan bahwa pada dasarnya keaksaraan itu bersifat ideologis. Dengan demikian, keaksaraan itu tidak netral semuanya bergantung pada keputusan sebagai sesuatu yang tidak netral sehingga pendidikan keaksaraan fungsional harus mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi keaksaraan tersebut. Keberaksaraan dari definisi UNESCO (2003) mengenai literacy“Literacy is as a continum of learning that enables individuals to develop their knowledge and potential, pursue and achieve their goals, and participate fully in society. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa keberaksaraan merupakan kontinum pembelajaran sehingga individu mampu mengembangkan pengetahuan dan potensi dirinya, mengejar dan mencapai tujuan yang ingin diraihnya, dan berpartisipasi sepenuhnya dalam kegiatan masyarakat. Dalam artikel berjudul Pedagogy of Multiliteracy: A Design


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 28 Mintarsih Arbarini Social Future menemukan tiga realitas yang mengubah dari pendidikan keaksaraan menuju multikeaksaraan. Realitas tersebut tidak hanya berlaku di negara-negara maju saja, namun bagi negara berkembang seperti negara Indonesia. Realitas perubahan menuju multikeaksaraan bagi masyarakat pedesaan tersebut meliputi kompleksitas pekerjaan masyarakat, kehidupan personal yang akhirnya menjadi alasan kuat mengapa masyarakat pedesaan juga membutuhkan pendidikan multikeaksaraan. Multikeaksaraan menjadi dasar untuk menegakkan hak asasi manusia, hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan dasar, penyelesaian konflik, kecukupan gizi, dan peningkatan kualitas hidup secara keseluruhan. Ibu yang melek aksara dapat membuat keputusan tentang tanggung jawab dalam hal mempengaruhi keluarga, anak-anak, dan mereka sendiri, seperti praktik-praktik kesehatan, pendapatan rumah tangga, pendidikan dan kesejahteraan anak-anak mereka. Para petani yang melek aksara bisa lebih produktif dan terbuka untuk pembelajaran lebih lanjut. Teknik Participatory Rural Appraisal (PRA) dalam Pengkajian Masyarakat Pedesaan Participatory Rural Appraisal (PRA) secara harafiah berarti pengkajian keadaan desa secara partisipatif. Chambers (1996) mendefinisikan PRA sebagai pendekatan dan metode yang mendorong masyarakat pedesaan untuk turut serta meningkatkan dan menganalisis pengetahuan mereka mengenai hidup dan kondisi mereka sendiri agar mereka dapat membuat rencana dan tindakan. Semula PRA lebih banyak digunakan sebagai metodologi pengkajian bersama masyarakat, namun baru pada perkembangan berikutnya PRA menjadi teknik program yang lebih dari sekadar untuk proses pengkajian masyarakat, melainkan sebagai sebuah kerangka kerja pengembangan program secara partisipatif. Penelitian Alam dan Ihsan (2012) menunjukkan bahwa PRA merupakan salah satu pendekatan yang paling tepat untuk mengidentifikasi masalah masyarakat dan untuk memahami aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat. PRA berkembang pesat pada tahun 1990-an di kalangan LSM di seluruh dunia, dalam upaya untuk menemukan sebuah metodologi pendekatan yang bisa mendukung

proses perencanaan yang lebih terdesentralisasi dan pengambilan keputusan secara lebih demokratis, dimana masyarakat pedesaan dimungkinkan untuk belajar bersama menganalisis dan meningkatkan pengetahuannya, serta untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan mereka sendiri. Participatory Rural Appraisal (PRA) merupakan sekelompok pendekatan atau metode yang memungkinkan masyarakat pedesaan untuk saling berbagi, meningkatkan, dan menganalisis pengetahuan mereka tentang kondisi dan kehidupan desa, serta membuat rencana dan tindakan nyata (Chambers, 1996: 68). PRA mensyaratkan adanya fasilitator yang baik, terjadinya proses saling belajar antara berbagai pihak masyarakat dan lembaga pemerintah dan tumbuhnya sikap perilaku yang mengkondisikan proses tersebut saling mendengarkan, saling belajar, saling menghargai, serta adanya motivasi yang kuat bahwa setiap orang bisa belajar dan berbuat. Teknik PRA selalu menekankan pada usahausaha pihak luar untuk mendorong masyarakat yang paling miskin dan lemah untuk mengembangkan proses pembelajarannya dan mendorong daya bertindak masyarakat. Terdapat tiga pilar PRA dalam kerangka kerja pengembangan masyarakat untuk mengembangkan proses-proses partisipatif dan pembelajaran bersama dalam setiap tahap program. Tiga pilar utama PRA menurut Chambers, yaitu: (1) Sikap-perilaku orang luar yang seharusnya berperan sebagai fasilitator, bukan mendominasi (seperti instruktur, penyuluh); (2) Metode-metode PRA, sebagai alat untuk mengubah pendekatan searah (tertutup) menjadi pendekatan multi-arah (terbuka), dan (3) pendekatan individu menjadi pendekatan kelompok, teknik belajar verbal (misalnya: ceramah) menjadi visual, dan teknik analisis dengan mengukur atau menghitung menjadi teknik membandingkan. Beberapa prinsip dasar yang harus dipenuhi dalam teknik PRA antara lain adalah : saling belajar dan berbagi pengalaman, keterlibatan semua anggota kelompok dan informasi, orang luar sebagai fasilitator, konsep triangulasi, serta optimalisasi hasil, orientasi praktis dan keberlanjutan program (Chambers, 1996). Teknik PRA menjadikan masyarakat menjadi peneliti, perencana, dan pelaksana pembangunan dan bukan sekadar objek pembangunan. Penerapan pendekatan dan teknik PRA dapat memberi peluang yang


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 29 Mintarsih Arbarini lebih besar dan lebih terarah untuk melibatkan masyarakat. Selain itu melalui teknik PRA akan dapat dicapai kesesuaian dan ketepatgunaan program dengan kebutuhan masyarakat sehingga keberlanjutan (sustainability) program dapat terjamin. Selama ini pembangunan cenderung merupakan keinginan elit nasional (birokrat dan wakil rakyat) yang sesungguhnya mempunyai tujuan yang baik, tetapi pendekatan dan model serta penerapannya kurang tepat. Pendekatan dan metode partisipatif muncul sebagal alternatif terhadap pendekatan yang dominan tersebut. PRA merupakan salah satu alternatif pendekatan partisipatif yang merupakan respon terhadap dominasi pendekatan pembangunan model topdown. Prinsip–Prinsip PRA dalam program pendidikan masyarakat pedesaan meliputi: 1) prinsip mengutamakan yang terabaikan. Prinsip ini mengutamakan masyarakat yang terabaikan agar memperoleh kesempatan untuk memiliki peran dan mendapat manfaat dalam kegiatan program pembangunan. 2) Prinsip pemberdayaan masyarakat. Prinsip ini bermuatan peningkatan kemampuan masyarakat, kemampuan itu ditingkatkan dalam proses pengkajian keadaan, pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan, sampai pada pemberian penilaian dan koreksi kepada kegiatan yang berlangsung. 3) Prinsip masyarakat sebagai pelaku dan orang luar sebagai fasilitator. Dengan menempatkan masyarakat sebagai pusat dari kegiatan pembangunan dan orang luar juga harus menyadari peranannya sebagai fasilitator. 5) Prinsip Santai dan Informal. Diselenggarakan dalam suasana yang bersifat luwes, terbuka, tidak memaksa dan informal. 6) PrinsipTriangulasi, dilakukan melalui penganekaragaman keanggotaan, penganekaragaman sumber informasi (keragaman latar belakang golongan masyarakat, keragaman tempat, jenis kelamin) dan keragaman teknik. 7) Prinsip mengoptimalkan hasil, mengoptimalkan atau memperoleh hasil informasi yang tepat guna. 8) Prinsip orientasi praktis. berorientasi praktis yaitu pengembangan kegiatan. Oleh karena itu, dibutuhkan informasi yang sesuai dan memadai, agar program yang dikembangkan bisa memecahkan masalah dan meningkatkan kehidupan masyarakat. 9) Prinsip keberlanjutan dan selang waktu. Teknik PRA

bukanlah kegiatan paket yang selesai setelah kegiatan penggalian informasi dianggap cukup dan orang luar yang memfasilitasi kegiatan keluar dari desa. 10) Prinsip belajar dari kesalahan. Terjadinya kesalahan dalam kegiatan PRA adalah suatu yang wajar, yang terpenting bukanlah kesempurnaan dalam penerapan, melainkan penerapan yang sebaikbaiknya sesuai dengan kemampuan yang ada. Dan, 11) Prinsip terbuka. Prinsip terbuka menganggap PRA sebagai metode dan perangkat teknik yang belum selesai, sempurna dan pasti benar sehingga membutuhkan masukan dan saran dari seluruh tim. Pendidikan Multikeaksaraan dengan Teknik PRA Pendidikan keaksaraan pada dasarnya merupakan pengembangan konsep pendidikan keaksaraan yang telah lama dimaknai tunggal oleh masyarakat. Walau demikian, sebenarnya masyarakat telah mempraktikkan konsep pendidikan keaksaraan di lingkungan mereka masing-masing. Selanjutnya, Masyarakat melakukan praktik pendidikan multikeaksaraan karena telah menyadari bahwa realitas masyarakat kini telah berkembang pesat dibandingkan dengan dahulu. Pendidikan multikeaksaraan dibutuhkan masyarakat pada saat ini untuk membentuk masyarakat yang mandiri. Ziegler dan Davis (2008) menulis artikel Rural adult literacy in community context: from the margin to the mainstrem menguraikan tentang kondisi keaksaraan orang dewasa pedesaan dalam konteks masyarakat. Kondisi ekonomi, peluang pendidikan, dan sumber daya masyarakat perdesaan jauh tertinggal dari masyarakat perkotaan. Untuk menghadapi kondisi tersebut diperlukan kesempatan belajar yang inovatif sebagai strategi dalam pengembangan masyarakat melalui multikeaksaraan orang dewasa. Pengembangan pendidikan multikeaksaraan yang mengacu pada kemandirian masyarakat, merupakan tekanan khusus yang seringkali menjadi patokan dan prinsip dasarnya. Oleh karena itu, pendidikan multikeaksaraan yang dikembangkan akan lebih tepat apabila berbasis partisipasi masyarakat. Hal ini terlihat dari tujuan yang ingin dicapai selalu disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan yang berkembang pada masyarakat. Mengacu pada hal tersebut, maka pendidikan multikeaksaraan berbasis PRA lebih banyak menekankan pada


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 30 Mintarsih Arbarini kebutuhan belajar warga masyarakat pedesaan dan pada sisi lain juga menekankan pada pengembangan motivasi, sikap modern, keterampilan vokasional, dan keterampilanketerampilan yang berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan yang ada pada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat pedesaan diharapkan mempunyai sejumlah kemampuan yang kemudian hari dapat dijadikan modal untuk mengembangkan kehidupannya baik melalui usaha secara mandiri sehingga memperoleh keuntungan yang lebih baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun budaya. Partisipasi menjadi komponen penting untuk pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan (Craig dan Mayo, 1995), sehingga masyarakat yang terlibat dapat lebih memiliki percaya diri, harga diri, dan pengetahuan untuk mengembangkan keahlian baru. Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan untuk memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan masyarakat. Untuk menjadi mandiri perlu dukungan kemampuan berupa sumber daya manusia yang utuh. Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan melalui Penguatan Pendidikan multikeaksaraan denga Teknik PRA Kendala utama ketidakberdayaan masyarakat pedesaan disebabkan karena pemerintah selama ini masih mendominasi terhadap pendidikan keaksaraan melalui program-program yang diperuntukkan kepada masyarakat. Permasalahan yang muncul dalam penyelenggaraan pendidikan keaksaraan selama ini pendidikan keaksaraan yang diterapkan masih terbatas pada keaksaraan tunggal yaitu membaca, menulis berhitung saja. Akibatnya, masyarakat pedesaan yang dinyatakan bebas buta aksara yang sebenarnya belum mencapai standar kompetensi keaksaraan dan belum mampu memanfaatkan keaksaraannya setelah pembelajaran selesai memiliki kecenderungan menjadi buta aksara kembali. Selain itu, proses pembelajaran pendidikan keaksaraan selama ini berorientasi

pada modul yang sudah terstruktur, bukan berorientasi pada realitas kebutuhan belajar masyarakat dan tutor masih mendominasi pembelajaran belum mengarah pada pembelajaran yang melibatkan partisipasi warga belajar untuk menemukan dan memecahkan masalahnya sendiri (Arbarini, 2013). Penelitian Suryadi (2006) menemukan bahwa tutor yang memiliki kemampuan pembelajaran keaksaraan sangat terbatas dengan menggunakan pembelajaran secara searah (berpusat pada tutor). Belum ada tutor yang mampu mengelola potensi alam menjadi sumber dan bahan belajar. Potensi alam belum dianalisis dan diidentifikasi sehingga memiliki nilai tambah baik dalam proses belajar maupun secara ekonomi. Hasil penelitian Kuntoro (2007) menguraikan bahwa pelaksanaan pemberantasan buta aksara dalam keaksaraan bagi pemuda dan orang dewasa pada masyarakat pedesaan masih banyak mengalami kelemahan dalam aspek akademis dan metodologis. Penelitian Duze (2010) yang menunjukkan bahwa teknik pembelajaran dengan participatory rural appraissal (PRA) pada pembelajaran orang dewasa masyarakat pedesaan efektif digunakan tidak hanya untuk meningkatkan hasil belajar, namun juga mengembangkan sikap dan prestasi belajar. Selanjutnya Kim, Jeong, Park, & Kang (2011) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa aplikasi proses PRA dalam pemberdayaan masyarakat pedesaan hasilnya lebih dari 80% dari 95 peserta kegiatan di masyarakat memberikan respon positif terhadap penerapan pembelajaran partisipatif. Kemampuan multikeaksaraan membuka kesempatan luas bagi setiap individu mengenal dunia sekitarnya, memahami berbagai faktor yang mempengaruhi lingkungannya, berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional dan kehidupan demokrasi, serta memperkuat identitas budayanya (Kemendikbud, 2013). Penduduk dewasa dengan tingkat keaksaraan yang memadai memiliki kesempatan yang lebih besar berpartisipasi dalam dunia kerja, aktif dalam kehidupan demokrasi dan kegiatan yang bersifat volunteer, serta memiliki derajat kesehatan yang baik dan tingkat pendapatan yang tinggi. Pemerintah Indonesia dituntut untuk menuntaskan penyandang buta aksara karena sejak 2008 lalu telah bergabung dengan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 31 Mintarsih Arbarini program LIFE (literacy initiative for empowerement). Penduduk buta aksara di Indonesia usia 15 tahun ke atas pada tahun 2013 masih 8,2 juta orang, selanjutnya pada tahun 2015 masih 6%. Berdasarkan tempat tinggal, penduduk pedesaan memiliki proporsi buta aksara yang lebih tinggi.Keadaan ini konsisten untuk semua kelompok umur. Perempuan pedesaan umur 25 tahun ke atas merupakan komponen penduduk yang memiliki angka buta aksara yang tinggi (Kemendikbud, 2015). Penduduk dewasa dengan tingkat keaksaraan yang memadai memiliki kesempatan yang lebih besar berpartisipasi dalam dunia kerja, aktif dalam kehidupan demokrasi dan kegiatan yang bersifat volunteer, serta memiliki derajat kesehatan yang baik dan tingkat pendapatan yang tinggi. Pemerintah Indonesia dituntut untuk menuntaskan penyandang buta aksara karena sejak 2008 lalu telah bergabung dengan program LIFE (literacy initiative for empowerement). Menurut Yulaelawati (2010: 06) dua faktor yang berhubungan dengan pencapaian keberaksaraan yaitu pendidikan dasar dan pendidikan keaksaraan orang dewasa. Dropout sekolah dasar dengan keterampilan membaca sangat kurang menyebabkan kebutaaksaraan orang dewasa, dan kebutaaksaraan orang dewasa pada waktunya akan menghasilkan anak-anak yang tidak berpendidikan. Kondisi demikian menjadikan keaksaraan merupakan kondisi penting untuk memungkinkan orang dapat mengakses informasi dan pengetahuan serta memiliki kemampuan untuk bekerja agar lebih baik, untuk itu diperlukan upaya- upaya untuk mendorong peningkatan multikeaksaraan pada masyarakat pedesaan. Masyarakat pedesaan saat ini sungguh berbeda jika dibandingkan dengan tiga dasawarsa yang lalu. Dalam beberapa dasawarsa ini berbagai hal telah menyebabkan perubahan masyarakat pedesaan sarana transformasi yang semakin baik dan telah menjangkau sampai pelosok desa, serta kemajuan yang begitu pesat dalam teknologi maupun komunikasi yang menyebabkan desa tidak lagi menjadi suatu wilayah yang terisolasi dari dunia luarnya. Oleh karena itu, pembangunan tidak hanya melihat dari kontribusi pemikiran ahli-ahli ekonomi semata, tetapi pemikiran-pemikiran para pakar dari berbagai disiplin ilmu lainnya perlu

diperhatikan dalam perumusan dan pengambilan keputusan, sehingga kata-kata kunci dalam ukuran sosial ekonomi masyarakat seperti : kualitas manusia, kualitas masyarakat, ukuran maju, ukuran mandiri, suasana tentram, dan sejahtera lahir dan bathin menjadi jelas, baik bagi masyarakat dan juga terlebih bagi pemerintah dalam memacu pembangunan sosial ekonomi. Kenyataan-kenyataan empirik membuktikan juga bahwa kesejahteraan ekonomi tidak dapat menjamin kesejahteraan sosial, namun kondisi sosial dan budaya yang baik akan memberikan situasi ekonomi yang baik. Kenaikan pendapatan nasional tidak akan membawa kenaikan kesejahteraan sosial, jika kenaikan pendapatan itu kurang dibarengi dengan penyesuaian budaya. Wawasan sosial budaya masyarakat haruslah diubah jikalau pembangunan diharapkan dapat berjalan. Manakala terdapat hambatan sosial yang menghalangi kemajuan ekonomi, hambatan tersebut harus disingkirkan atau disesuaikan. Organisasi sosial seperti keluarga bersama, sistem kasta, warna kulit, dogma agama dan kehidupan desa harus di modifikasi sehingga selaras dengan pembangunan. Setiap perubahan budaya atau sosial akan membawa ketidakpuasan dan perlawanan di belakangnya, yang karena itu dapat berpengaruh buruk pada perekonomian. Karena kesejahteraan ekonomi hanyalah merupakan sebagian saja dari kesejahteraan sosial pada umumnya, maka yang terakhir inilah yang harus mendapatkan perhatian utama. Dimensi manusia dan kemanusiaan merupakan faktor yang paling menentukan situasi dan kondisi yang harmonis dalam sistem kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Masalah kebutaaksaraan sangat penting untuk diperhatikan mengingat hingga ke dunia internasional menjadi salah satu aspek penentu tingkat pembangunan suatu bangsa, diukur dari tingkat keberaksaraan penduduknya. Keaksaraan merupakan prasyarat bagi semua orang dan semua usia. Sejak usia dini, usia sekolah, hingga orang dewasa memerlukan pendidikan keaksaraan sebagai sarana untuk pengembangan diri dan pembangunan masyarakat. Keaksaraan sebagai sebuah upaya pendidikan telah menjadi wacana global, karena angka melek huruf merupakan salah satu yang turut menentukan indeks pembangunan manusia. Pada tahun 2010, UNESCO sebagai badan internasional yang


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 32 Mintarsih Arbarini bergerak di bidang pendidikan, ilmu, dan kebudayaan memproklamasikan gerakan melawan buta aksara secara internasional. Tujuannya adalah mengajak seluruh komunitas internasional untuk turut berpartisipasi dalam penanggulangan buta aksara di negaranya masing-masing. Indonesia salah satu negara yang memiliki angka buta huruf terbesar dan sebagai bagian dari mayoritas negara-negara yang tergabung sebagai anggota UNESCO telah menandatangani perjanjian untuk mengimplementasikan Pendidikan untuk Semua (Education for All/EFA) yang merupakan kesepakatan tingkat dunia yang dibuat pada tahun 1990 di Jomtien, Thailand dan diperkuat di Dakar, Senegal, Afrika pada tahun 2000. Penduduk buta aksara di Indonesia usia 15 tahun ke atas pada tahun 2013 masih 8,2 juta orang, selanjutnya pada tahun 2015 masih 6%. Berdasarkan tempat tinggal, penduduk pedesaan memiliki proporsi buta aksara yang lebih tinggi.Keadaan ini konsisten untuk semua kelompok umur. Perempuan pedesaan umur 25 tahun ke atas merupakan komponen penduduk yang memiliki angka buta aksara yang tinggi (Kemendikbud, 2015). Umumnya mereka adalah petani kecil, buruh, nelayan, penduduk miskin yang tingkat pendapatan atau penghasilannya sangat rendah. Masyarakat pedesaan buta huruf tertinggal di bidang pengetahuan, keterampilan, serta sikap mental pembaharuan dan pembangunan. Karena rendahnya pengetahuan tersebut, mereka tertinggal dalam memperoleh akses informasi dan komunikasi yang penting untuk membuka cakrawala kehidupan dunia yang seharusnya mereka peroleh akibat tidak memiliki kemampuan keaksaraan. Untuk itu, pemerintah Indonesia berusaha menguranginya melalui berbagai cara, salah satunya dengan percepatan pemberantasan buta aksara. Menurut Yulaelawati (2010: 06) dua faktor yang berhubungan dengan pencapaian keberaksaraan yaitu pendidikan dasar dan pendidikan keaksaraan orang dewasa. Dropout sekolah dasar dengan keterampilan membaca sangat kurang menyebabkan kebutaaksaraan orang dewasa, dan kebutaaksaraan orang dewasa pada waktunya akan menghasilkan anak-anak yang tidak berpendidikan. Kondisi demikian menjadikan keaksaraan merupakan kondisi penting untuk memungkinkan orang dapat mengakses informasi dan pengetahuan serta memiliki

kemampuan untuk bekerja agar lebih baik, untuk itu diperlukan upaya- upaya untuk mendorong peningkatan keaksaraan. Kemampuan multikeaksaraan membuka kesempatan luas bagi setiap individu mengenal dunia sekitarnya, memahami berbagai faktor yang mempengaruhi lingkungannya, berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional dan kehidupan demokrasi, serta memperkuat identitas budayanya (Kemendikbud, 2013). Penduduk dewasa dengan tingkat keaksaraan yang memadai memiliki kesempatan yang lebih besar berpartisipasi dalam dunia kerja, aktif dalam kehidupan demokrasi dan kegiatan yang bersifat volunteer, serta memiliki derajat kesehatan yang baik dan tingkat pendapatan yang tinggi. Pemerintah Indonesia dituntut untuk menuntaskan penyandang buta aksara karena sejak 2008 lalu telah bergabung dengan program LIFE (literacy initiative for empowerement). Namun demikian, perkembangan masyarakat pedesaan Indonesia yang semakin pesat dan kompleks menuntut komitmen masyarakat untuk senantiasa belajar, mengikuti dan mengantisipasi perkembangan pembangunan. Tidak terkecuali keaksaraanpun mengalami pergeseran tidak saja keaksaraan tunggal atau keaksaraan dasar (membaca, menulis, berhitung) yang dibutuhkan oleh masyarakat, namun masyarakat pedesaan telah mulai membutuhkan keaksaraan ganda atau multikeaksaraan. Hal ini mengingat dalam rangka memasuki abad 21 makna keaksaraan berubah menjadi lebih luas, bukan sekadar membaca, menulis, dan berhitung saja namun konsepnya lebih luas dan berkembang untuk merespon perubahan pola komunikasi yang makin berkembang melalui multikeaksaraan. Multikeaksaraan yang dimaksud meliputi keaksaraan ekonomi, keaksaraan kesehatan, keaksaraan sosial, keaksaraan informasi, keaksaraan teknologi, keaksaraan kewarganegaraan, dan keaksaraan kritis. Dalam Global Literacy Challenge, UNESCO berpendapat seharusnya makna keaksaraan tidak dipersempit hanya dengan keaksaraan dasar, tetapi sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, berkomunikasi dengan melibatkan kontinum pembelajaran yang memungkinkan masyarakat untuk mencapai tujuan serta mengembangkan pengetahuan dan potensinya, berpartisipasi penuh dalam


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 33 Mintarsih Arbarini komunitas masyarakat luas. Untuk itu, pendidikan multikeaksaraanlah yang saat ini sangat tepat untuk diterapkan dalam memajukan masyarakat. Penelitian Suryadi (2006) menemukan bahwa tutor yang memiliki kemampuan pembelajaran keaksaraan sangat terbatas dengan menggunakan pembelajaran secara searah (berpusat pada tutor). Belum ada tutor yang mampu mengelola potensi alam menjadi sumber dan bahan belajar. Potensi alam belum dianalisis dan diidentifikasi sehingga memiliki nilai tambah baik dalam proses belajar maupun secara ekonomi. Hasil penelitian Kuntoro (2007) menguraikan bahwa pelaksanaan pemberantasan buta aksara dalam keaksaraan bagi pemuda dan orang dewasa pada masyarakat pedesaan masih banyak mengalami kelemahan dalam aspek akademis dan metodologis. Penelitian Duze (2010) yang menunjukkan bahwa teknik pembelajaran dengan participatory rural appraissal (PRA) pada pembelajaran orang dewasa masyarakat pedesaan efektif digunakan tidak hanya untuk meningkatkan hasil belajar, namun juga mengembangkan sikap dan prestasi belajar. Selanjutnya Kim, Jeong, Park, & Kang (2011) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa aplikasi proses PRA dalam pemberdayaan masyarakat pedesaan hasilnya lebih dari 80% dari 95 peserta kegiatan di masyarakat memberikan respon positif terhadap penerapan pembelajaran partisipatif. Proses pembelajaran pendidikan multikeaksaraan akan lebih bermakna jika warga belajar aktif melibatkan diri secara keseluruhan proses baik secara mental maupun fisik. Oleh karena itu, model pembelajaran hendaknya memberikan peluang bagi warga belajar untuk mencari, mengolah, dan menemukan sendiri pengetahuannya agar warga belajar dapat mengembangkan keterampilan dasar pengetahuan yang bersangkutan. Pada model pendidikan multi keaksaraan berbasis participatory rural appraissal (PRA) ini warga belajar masyarakat pedesaan diajak untuk mempersepsi dirinya, memenuhi kebutuhannya, dan merumuskan sendiri tujuan yang ingin dicapainya serta ikut mengutarakan atau mengambil keputusan kegiatan belajar melalui musyawarah antara warga belajar masyarakat dengan tutornya. Dengan memiliki multikeaksaraan dan berpartisipasi aktif dalam mengkaji sendiri kebutuhan dan permasalahannya diharapkan

warga masyarakat pedesaan dapat meningkatkan kemandirian. Kata kunci desa mandiri dan partisipatif dalam teks Undang Undang tersebut meniscayakan kebutuhan akan pemberdayaan masyarakat desa, sedangkan pada saat yang sama, masyarakat desa yang tengah berubah secara kultural dan sosial mengarah pada perilaku yang lebih pragmatis walaupun modal sosial dan kultural belum sepenuhnya hilang. Penyelenggara pemerintahan desa sangat dimungkinkan akan menemui kendala dalam menggerakkan partisipasi masyarakat. Mobilisasi akan menjadi pilihan rasional ketika masyarakat tidak merasa menjadi bagian dari prosespenyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Tindakan-tindakan yang memungkinkan masyarakat atau unit sosial untuk meningkatkan kemampuannya mengubah masa depan mereka yang dilakukan atas pilihan mereka sendiri merupakan upaya-upaya yang sangat positif agar mereka dapat berdaya. Oleh karena itu, konsepsi pembangunan pada dasarnya sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat untuk mengendalikan masa depan. Menurut Ndraha (2003:35) pembangunan sebagai peningkatan kemampuan untuk mengendalikan masa depan mengandung beberapa implikasi yaitu 1) kemampuan(capacity). Tanpa kemampuan, seseorang tidak akan dapat mempengaruhi masa depannya. Kemampuan ini meliputi kemampuan fisik, mental dan spritual. 2) Kebersamaan (equity) atau keadilan sosial, pembangunan berarti pemerataan. Bagaimanapun tingginya laju pertumbuhan suatu bangsa, jika kemajuan tidak merata, hal itu sia-sia laka. 3) Kekuasaan (Empowerment), kelemahan atau ketidakberdayaan (powerlesness) merupakan kondisi manusia yang fatal, terutama dalam konteks politis. Empowerment berarti pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk secara bebas memilih berbagai alternatif sesuai dengan tingkat kesadaran, kemampuan dan keinginan mereka, dan memberi mereka kesempatan untuk belajar, baik dari keberhasilan maupun kegagalan mereka dalam memberi respons terhadap perubahan. 4) Ketahanan atau kemandirian(sustainable), implikasi ini mengandung arti yang luas, karena faktorfaktor pembangunan terbatas adanya, sementara tuntutan kebutuhan semakin


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 34 Mintarsih Arbarini meningkat, maka sumber-sumber yang ada haruslah dapat dikelola sedemikian rupa sehingga pada suatu saat masyarakat yang bersangkutan mampu berkembang secara mandiri dan sanggup merebut sukses berikut. Kelima, kesalingtergantungan (interde pendence),interdependensi itu sangat menguntungkan jika masyarakat telah memiliki ketahanan dan kemandirian. Di sisi lain upaya memberdayakan masyarakat pedesaan dapat dilihat dari 3 sisi yaitu : Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat(empowering). dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan(input) serta membuka akses ke berbagai peluang (opportunities) yang membuat masyarakat menjadi makin berdaya. ketiga, Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan idealnya harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity) dari pemerintah. Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan. Pemberdayaan dimaksudkan juga untuk menciptakan keberdayaan masyarakat agar mereka dapat berpartisipasi dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat(people-centered development). Pemberdayaan tidak hanya menyangkut pendanaan tetapi juga peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan kelembagaan. Pemikiran Kartasasmita di atas jelas sekali menegaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses individual dan sosial, yakni suatu penguatan kemampuan individual, peningkatan kompetensi, penumbuhkembangan kreativitas. Ketiganya memerlukan kebersamaan yang memperkenankan warga

desa untuk mengembangkan perasaan bersama yang menjadi tanggung jawab mereka secara mandiri atas dasar kebutuhan. Pemberdayaan masyarakat pedesaan berupaya meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya. Pemberdayaan masyarakat pedesaan dilakukan dengan menempatkan masyarakat sebagai pihak utama atau pusat pengembangan dengan sasarannya adalah masyarakat yang terpinggirkan. Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat guna menganalisa kondisi dan potensi serta masalah-masalah yang perlu diatasi, yang intinya adalah melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan masyarakat. Didalam melakukan pemberdayaan keterlibatan masyarakat yang akan diberdayakan sangatlah penting sehingga tujuan dari pemberdayaan dapat tercapai secara maksimal. PENUTUP Buta aksara bukan sekadar permasalahan ketidakmampuan individu atau warga masyarakat membaca dan menulis huruf, tetapi secara luas terkait dengan ketidakmampuan untuk memahami, menganalisis, dan memecahkan permasalahan kehidupan.Kegiatan pemberantasan buta aksara bukan semata-mata bersifat teknis, tetapi lebih luas terkait dengan persoalan perubahan kesadaran dan pemikiran serta tindakan untuk melakukan perubahan. Indonesia memiliki komitmen untuk mengentaskan masalah buta aksara ini sejak awal kemerdekaan hingga sekarang dengan berbagai kebijakan pemerintah melalui Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Aksara. Program pemberantasan buta aksara kini tidak lagi hanya ditujukan untuk membuat warga yang belum melek aksara menjadi mampu membaca, menulis, dan berhitung melainkan lebih diarahkan dan diintegrasikan sebagai program aplikatif dan inovatif yang membekali dan memberdayakan masyarakat pedesaan. Untuk itu, inventarisasi potensi dan sumberdaya pedesaan, serta mendokumentasikannya secara baik diperlukan perangkat pemetaan dan analisa sosial serta pendokumentasian yang dipahami secara adaptif dengan menggunakan teknik participatory rural appraisal. Selain itu, dengan media yang dapat diakses dan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 35 Mintarsih Arbarini dipahami oleh masyarakat pedesaan memudahkan dalam memberdayakan masyarakat pedesaan. Pemberdayaan masyarakat berbasis partisipasi yang dilakukan di tengah masyarakat yang sedang berubah ini memerlukan strategi yang tepat yaitu melalui pendidikan multikeaksaraan dengan teknik PRA.

DAFTAR PUSTAKA Alam, A. & Ihsan, S. (2012). Role of participatory rural Appraisal in Community Development (A Case Study of Barani Area Development Project in Agriculture, Live Stock and Forestry Development in Kohat.International journal of Academic Research in Business and Social Sciences. August, 2012, Vol.2. no.8., 25-38.

Edisi I/Maret/2010,03-19. Kim, J.R., Jeong, B., Park, K.S., & Kang Y.S. (2011). Application of the participatory learning Process in Health promotion. Journal of Agricultur Media Community Health. Korean. Jun: 36 (2): 130-142. Kuntoro, S. A. (2007). Pendidikan keaksaraan fungsional untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat. Jurnal Ilmiah VISI PTK-PNF- Vol 2. No 1- 2007, 2327. Kusnadi. (2005). Keaksaraan Fungsional Indonesia: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Jakarta: Mustika Aksara. Ndraha, Taliziduhu. (2003). Organisasi. Jakarta: Rineka Cipta.

Budaya

Arbarini, Mintarsih. (2013). Pengembangan Bahan ajar pendidikan keaksaraan Usaha Mandiri di PKBM Kabupaten Semarang. Laporan Penelitian DIPA.

Suryadi. (2006). Buta aksara penyakit sosial mesti diberantas. Retreived August, 30, 2013. www.jurnalnet.com.

BPS Provinsi Jawa Tengah. (2013). Jawa Tengah dalam Angka. Semarang

UNESCO. 2003. Literacy and empowering people.

Chambers, R. (1996). Participatory rural appraisal: memahami desa secara partisipatif (terjemahan Y.Sukoco). Yogyakarta: Kanisius. Craig, G & Mayo. (1995). Community Participation and Empowerment: The Human Face of Structural Adjusment or Tools for Democratic Transformation in Craig, G & Mayo, M (ed) 1995. Community Empowerment: A Reader in Participation and Development. London: Zed Books. Duze, C.O. (2010). Effect of participatory learning technique on achievement and attitude of B. Ed, student in educational research methods. Journals of Social Science, 22,(3), 185- 189. Kemendikbud. (2010). Pendidikan keaksaraan fungsional untuk semua. Jurnal AKRAB: Aksara agar berdaya. Vol I,

Yulaelawati, Ella dan Suharti. (2010). Kesenjangan gender di Indonesia: akses terhadap pelayanan pendidikan, hasil belajar, dan ketenagaan. Jurnal AKRAB: Gender dan Pendidikan Perempuan, Volume 1, edisi 4, Desember 2010, 3249. Profil Singkat Mintarsih Arbarini, lahir di Wonogiri, tanggal 21 januari 1968. Pendidikan S1 dari jurusan Pendidikan Luar Sekolah IKIP Semarang lulus pada tahun 1991. Menjadi staf mengajar pada tahun 1993, kemudian melanjutkan S2 pada tahun 1995. Saat ini sedang melanjutkan studi S3 di universitas Sebelas Maret pada program studi Ilmu Pendidikan.


PERAN MODAL SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Rachmawati Putri Universitas Pendidikan Indonesia rara_ce93@yahoo.com Abstrak Pemberdayaan masyarakat membutuhkan karakter kehidupan yang berkelanjutan dalam membangun dan mengejawantahkan sistem sosial yang ada. Modal-modal pembangunan sosial menjadi bagian penting dalam mengedepankan pembangunan dan pemberdayaan yang berhubungan dengan program menggerakkan masyarakat untuk mencapai akselerasi sempurna dalam bidang peningkatan kapasitasnya. Saat ini perkembangan pemberdayaan menjadi bagian penting dalam menumbuhkembangkan kekuatan masyarakat untuk membangun sistem yang lebih stabil dalam mempersiapkan masyarakat dari tiap generasi untuk dapat memberikan kontribusi dalam kehidupan yang lebih baik. Kata Kunci : masyarakat, pembangunan, modal sosial

ROLE OF SOCIAL CAPITAL IN COMMUNITY EMPOWERMENT Community empowerment requires continuous living character in building and embody the existing social system. The capitals in social development becomes an important part in promoting the development and empowerment associated with the program that moving society to achieve the perfect acceleration in the area of increasing capacity. Currently, the development of empowerment becomes an important part in developing the power of community to build a more stable system in preparing people of every generation to be able to contribute to a better life. Keywords: community, development, social capital


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 37 Rachmawati Putri PENDAHULUAN Di negeri yang besar seperti Indonesia dan dengan kompleksitas persoalannya, dimensi modal sosial hampir diabaikan, jauh berada di luar alam pikir pembangunan. Padahal, di berbagai belahan dunia dewasa ini, kesadaran kan pentingnya faktor tersebut cukup tinggi dan sedang menjadi kepedulian bersama. Modal sosial (social capital) diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan kebersamaan, ide, kesaling percayaan dan saling menguntungkankan untuk mencapai kemajuan bersama. Sebuah komunitas terbangun karena adanya ikatan-ikatan sosial di antara anggotanya. Kita sering mendengar komunitas petani, komunitas tukang becak, perkumpulan nelayan, asosiasi insinyur dan sebagainya. Kualitas ikatan sosial akan terbangun apabila di antara warga saling berinteraksi pada waktu yang relatif lama dan mendalam. Biasanya kualitas ikatan sosial tadi akan lebih baik apabila sesama warga tergabung untuk melakukan kegiatan-kegiatan bersama dalam berbagai kelompok atau organisasi atau kegiatan kegiatan yang sifatnya sesaat. Adanya ikatan sosial yang kuat akan berujung pada peningkatan kesejahteraan. Modal sosial memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat masyarakat modern. Salah satu bagian dari modal sosial yang sangat berpengaruh dewasa ini adalah modal sosial kepercayaan (trust) yang dapat memberikan andil yang besar dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Ikatanikatan sosial yang ada dalam masyarakat harus direkatkan dengan kepercayaan. Modal dasar dari adanya ikatan sosial yang kuat adalah adanya kerjasama di antara anggota kelompok atau organisasi dalam hal komunitas kelurahan ikatan sosial akan terbanguan apabila ada kerjasama di antara semua warga masyarakat. Kerjasama akan terbangun dengan baik apabila berlandaskan kepercayaan di antara para anggotanya. Jika warga masyarakat saling bekerjasama dan saling percaya yang didasarkan kepada nilai-nilai universal yang ada, maka tidak akan ada sikap saling curiga, saling jegal, saling menindas dan sebagainya sehingga ketimpangan-ketimpangan antara kelompok yang miskin dengan yang kaya akan bisa diminimalkan. Francis Fukuyama (1999) dengan meyakinkan berargumentasi bahwa Modal

Sosial memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat kehidupan masyarakat modern. Modal Sosial sebagai sine qua non bagi pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial, politik, dan stabilitas demokrasi. Di dalamnya merupakan komponen kultural bagi kehidupan masyarakat modern. Korupsi dan penyimpangan yang terjadi di berbagai belahan bumi dan terutama di negara-negara berkembang Asia, Afrika, dan Amerika Latin, salah satu determinan utamanya adalah rendahnya Modal Sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat gotong royong, memperparah kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas dan menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Modal sosial adalah sumber daya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu yang disebut daya (resource) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan dan diinvestasikan. Sumber daya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal. Dimensi modal sosial cukup luas dan kompleks. Modal sosial berbeda dengan istilah populer lainnya yaitu modal manusia (human capital). Pada modal manusia segala sesuatunya lebih merujuk ke dimensi individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu. Pada modal sosial, lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok dengan ruang perhatian terhadap pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antar sesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok. Modal sosial juga sangat dekat dengan terminologi sosial lainnya seperti yang dikenal sebagai kebajikan sosial (social virtue). Perbedaan keduanya terletak pada dimensi jaringan. Kebajikan sosial akan sangat kuat dan berpengaruh jika di dalamnya melekat perasaan keterikatan untuk saling berhubungan yang bersifat timbal balik dalam suatu bentuk hubungan sosial (Hasbullah, 2006). Menurut Eva Cox (1995) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu rangkaian proses hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma, dan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 38 Rachmawati Putri kepercayaan sosial yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan kebajikan bersama. Francis Fukuyama (1995) menekankan pada dimensi yang lebih luas yaitu segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, dan di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi. Situasi tersebutlah yang akan menjadi resep kunci bagi keberhasilan pembangunan di segala bidang kehidupan, dan terutama bagi kestabilan pembangunan telah terbiasa dengan bergotong royong serta bekerjasama dalam kelompok atau organisasi yang besar cenderung akan merasakan kemajuan dan akan mampu, secara efisien dan efektif, memberikan kontribusi penting bagi kemajuan negara dan masyarakat. Kemampuan masyarakat untuk bekerjasama demi mencapai tujuan bersama di dalam berbagai kelompok dan organisasi disebut modal sosial. Kemampuan bekerjasama muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau di bagian-bagian paling kecil dalam masyarakat. Modal sosial bisa dilembagakan (menjadi kebiasaan) dalam kelompok yang paling kecil ataupun dalam kelompok masyarakat yang besar seperti negara. PEMBAHASAN Modal Sosial adalah sumberdaya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumberdaya baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu yang disebut sumberdaya (resources) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan, dan diinvestasikan. Sumberdaya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal. Dimensi Modal Sosial cukup luas dan kompleks. Modal Sosial berbeda dengan istilah populer lainnya, yaitu Modal Manusia (human capital). Pada modal manusia segala sesuatunya lebih merujuk ke dimensi individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu. Pada Modal Sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antarindividu dalam suatu kelompok dan antarkelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antarsesama yang lahir dari anggota kelompokdan menjadi norma kelompok.

Modal sosial juga sangat dekat dengan terminologi sosial lainnya seperti yang dikenal sebagai kebajikan sosial (social virtue). Perbedaan keduanya terletak pada dimensi jaringan. Kebajikan sosial akan sangat kuat dan berpengaruh jika di dalamnya melekat perasaan keterikatan untuk saling berhubungan yang bersifat timbal balik dalam suatu bentuk hubungan sosial. Robert D. Putnam (2000) memberikan proposisi bahwa suatu entitas masyarakat yang memiliki kebajikan sosial yang tinggi, tetapi hidup secara sosial terisolasi akan dipandang sebagai masyarakat yang memiliki tingkat Modal Sosial yang rendah. Salah satu tokoh utama yang sangat berpengaruh dalam pemikiran Modal Sosial yaitu James Coleman (1990). Atas hasil studinya tentang pemuda dan pendidikan (youth and schooling) mendefinisikan konsep Modal Sosial sebagai varian entitas, terdiri dari beberapa struktur sosial yang memfasilitasi tindakan dari para pelakunya, apakah dalam bentuk personal atau korporasi dalam suatu struktur sosial. Modal sosial menurutnya inheren dalam struktur relasi antarindividu. Struktur relasi dan jaringan inilah yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi, dan menetapkan normanorma dan sangsi sosial bagi para anggotanya. Coleman dan Bourdieu memiliki kesamaan dalam fokus kajian yaitu individual, terutama yang berkaitan dengan peran dan hubungan dengan sesama sebagai unit analisis Modal Sosial. Formulasi lain tentang konsep Modal Sosial dikemukakan juga oleh Adler dan Kwon (2000) yang menyatakan bahwa Modal Sosial merupakan gambaran dari keterikatan internal yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas dan keuntungankeuntungan bersama dari proses dan dinamika Modal Sosial yang terdapat dalam struktur dimaksud. Francis Fukuyama (2003) menekankan pada dimensi yang lebih luas yaitu segala sesuatu yang membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, dan di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi. Situasi tersebutlah yang akan menjadi resep kunci bagi keberhasilan pembangunan di segala bidang kehidupan, dan terutama bagi kestabilan pembangunan ekonomi dan demokrasi. Pada masyarakat yang secara tradisional telah terbiasa dengan bergotong


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 39 Rachmawati Putri royong serta bekerjasama dalam kelompok atau organisasi yang besar cenderung akan meraskan kemajuan dan akan mampu, secara efisien dan efektif, memberikan kontribusi penting bagi kemajuan negara dan masyarakat. Masing-masing tokoh yang mempopulerkan konsep Modal Sosial memiliki perbedaan penekanan terhadap unsur-unsur yang membentuknya. Perbedaan tersebut juga dalam hal pendekatan analisis. dari berbagai konsep yang telah disebutkan di atas, intinya konsep Modal Sosial memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas kehidupan dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus. Dalam proses perubahan dan upaya untuk mencapai tujuan, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak dan bertingkah laku serta berhubungan dengan pihak lain. Beberapa acuan nilai dan unsur yang merupakan ruh Modal Sosial antara lain sikap yang partisipatif, sikap yang saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, saling percaya mempercayai, dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma yang mendukungnya. Unsur lain yang memegang peran penting adalah kemauan masyarakat atau kelompok tersebut untuk secara terus menerus pro aktif, baik dalam mempertahankan nilai, membentuk jaringan-jaringan kerjasama, maupun dengan penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Modal sosial saat ini dipandang sebagai bumbu vital bagi perkembangan pembangunan ekonomi masyarakat dunia. Francis Fukuyama menunjukkan hasil-hasil studi di berbagai negara bahwa modal sosial yang kuat akan merangsang pertumbuhan barbagai sektor ekonomi karena adanya tingkat percaya yang tinggi dan kerekatan hubungan dalam jaringan yang luas tumbuh antar sesama pelaku ekonomi. Perkembangan ekonomi yang begitu cepat dialami oleh Asia Timur misalnya tidak terlepas dari kenyataan bahwa mereka memiliki tingkat kohesifitas jaringan yang tinggi. Koneksi-koneksi yang terbentuk di Asia Timur meliputi baik koneksi keluarga maupun koneksi yang berbasis suku-suku dari China. Walaupun berbasis keluarga atau suku, tetapi kelebihan mereka terutama pada pembentukan rasa percaya diri (networks of trust) yang dibangun melewati batas-batas keluarga , suku, negara dan agama. Di awal

abad ke 21 ini, seiring dengan keterbukaan terus dicanangkan, China telah jauh melangkah maju membangun jaringan-jaringan bisnis secara luas dan memelihara semangat saling mempercayai yang tinggi (Hasbullah, 2006). Modal sosial (social capital) sangat tinggi pengaruhnya terhadap perkembangan dan kemajuan berbagai sektor ekonomi. Di sektor pertanian misalnya, upaya pemerintah terutama di negara-negara agraris Asia, untuk meningkatkan produksi seringkali mengalami kegagalan walaupun berbagai input modal telah mengucur ke pedesaan seperti pupuk, perlatan-perlatan modern, irigasi modern, dan berbagai fasilitas kredit yang melimpah. Tanpa mengabaikan beberapa tekanan struktural, seperti misalnya yang bersumber dari disparitas yang tinggi atas penguasaan lahan, kegagalan meningkatkan produksi sangat berkait erat dengan spektrum modal sosial yang sangat lemah. Faktor ini sama sekali tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah (Putnam, 1993). Pembangunan industri, baik industri besar, sedang mupun industri kecil akan mengalami hambatan di negara yang memiliki tingkat modal sosial yang rendah. Modal sosial akan menghasilkan energi kolektif yang memungkinkan berkembangnya jiwa dan semangat kewirausahaan di tengah masyarakat, yang selanjutnya akan mendorong berkembangnya dunia usaha. Industri besar yang akan dimiiliki para investor lokal maupun asing akan mungkin bertumbuih kembali di tengah masyarakat yang memiliki tradisi dan nilai kejujuran (trust), terbuka (positive externalities), dan memiliki tingkat empati yang tinggi. Tanpa itu investor akan menghindar karena suasana ketidakjujuran, kebencian, sakwasangka, intrik dan hilangnya toleransi. Faktor ini hampir tidak mendapat perhatian dari umumnya negara-negara berkembang sebagai dari upaya promosi investasi (Fukuyama,1995). Para tokoh yang dewasa ini berada di balik konsep modal sosial semuanya menyepakati akan peran penting trust sebagai energi pembangunan masyarakat. Trust erat kaitannya dan menjadi salah satu unsur dan sumber kekuatan modal sosial. James Coleman (1998) menyatakan, sistem yang terbentuk dari rasa saling percaya merupakan komponen modal sosial sebagai basis dari kewajiban-kewajiban dan harapan masa depan. Putnam (1993) lebih jauh


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 40 Rachmawati Putri mengemukakan bahwa trust atau perasaan saling mempercayai, merupakan sumber kekuatan modal sosial yang dapat mempertahankan keberlangsungan perekonomian yang dinamis dan kinerja pemerintahan yang efektif. Suatu bangsa atau masyarakat yang kurang memiliki atau telah kehilangan rasa saling mempercayai, akan menjadi lemah dan sulit keluar dari berbagai krisis yang dihadapinya. Dinamika kehidupan masyarakat akan cenderung tumpul. Kegiatan lembaga kemasyarakatan dan perkumpulanperkumpulan yang terbentuk di tengah masyarakat akan kehilangan orientasi dan jati diri. Mereka akan dihadapkan pada beragam kesulitan dalam melakukan berbagai kegiatannya secara efisien dan efektif. Rasa saling percaya adalah ruh dari institusi sosial. Negara yang memiliki tingkat rasa saling percaya rendah (low trust) disebabkan oleh pola budaya yang berkembang terutama kaitannya dengan budaya yang terbiasa menempatkan rasa saling mempercayai hanya pada lingkungan keluarga dan kalangan teman dan relasi yang sangat terbatas. Dengan kata lain, suatu masyarakat yang memiliki pola budaya dengan rentang rasa percaya yamg pendek cenderung akan memiliki modal sosial yang lemah dan memperlemah masyarakat atau negara tersebut. Ini umumnya terjadi pada negara atau daerah yang masih terbelakang dengan pola-pola kehidupan tradisional yang masih kuat mendominasi nilai, norma dan pandangan hidup masyarakatnya (Hasbullah, 2006). Secara sederhana kata etos, dapat didefinisikan sebagai watak dasar dari suatu masyarakat. Perwujudan etos itu dapat dilihat dari struktur dan norma sosial masyarakat itu (Sairin, 2002). Sebagai watak dasar dari masyarakat, etos menjadi landasan bagi perilaku diri sendiri dan lingkungan sekitarnya, yang terpencar dalam kehidupan masyarakat (Geertz, 1973). Oleh karena etos menjadi landasan bagi kehidupan manusia, maka etos itu juga berhubungan dengan aspek evaluatif yang bersifat menilai dalam kehidupan masyarakat (Abdullah, 1982). Masyarakat Indonesia sejak lama dikenal memiliki etos kerja yang rendah dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Mitos Melayu malas sering dilontarkan oleh penulis Barat dalam menilai etos kerja pribumi di Indonesia. Namun pendapat itu ada pula yang membantah dengan menunjukkan

bagaimaan kerasnya kerja yang dilakukan para petani dan buruh di berbagai tempat di Indonesia. Rendahnya tingkat kemajuan bangsa Indonesia menurut pendapat terakhir ini, tidak berkaitan sama sekali dengan etos kerja orang Indonesia, tetapi lebih berkaitan dengan politik ekonomi pembangunan. Kedua pendapat di atas jelas mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing, tetapi sukar untuk disangkal bahwa tingkat kemakmuran dan kesejahteraan suatu masyarakat juga sangat dipengaruhi oleh etos kerja yang ada pada masyarakat itu. Dari pengamatan terkesan bahwa mayoritas bangsa Indonesia masih memandang bekerja adalah untuk mencari nafkah dan mendapatkan status sosial. Pada masyarakat Indonesia, kata bekerja selalu dikaitkan dengan upaya untuk mengisi perut. Jika seseorang akan pergi ke kantor atau ke tempat ia bekerja, sering ia mengatakan pergi mencari makan. Hal ini mencerminkan bahwa orientasi nilai bangsa Indonesia dalam hubungannya dengan kegiatan bekerja hanyalah sekedar mencari nafkah. Akibatnya etos kerja menjadi sangat rendah. Ungkapan bekerja dengan makna mencari makan itu jelas merupakan ungkapan yang tumbuh pada masyarakat yang subsisten dan tradisional, yaitu masyarakat yang hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Tanpa harus bekerja lebih keras untuk mencapai tingkat produktivitas yang lebih dari itu. Rendahnya etos kerja juga dipengaruhi oleh tegas atau tidaknya suatu masyarakat dalam membedakan antara konsep waktu yang ditentukan oleh gejala alam dengan waktu yang ditentukan oleh ukuran jam. Umumnya etos kerja pada masyarakat yang dapat membedakan antara kedua waktu itu lebih tinggi dari yang tidak dapat membedakannya. Mereka yang dapat membedakan kedua waktu itu dengan tegas, akan berbeda kinerjanya dengan mereka yang mencampuradukkan antara kdua waktu tersebut. Mereka yang tahu waktu menurut jam akan bekerja memenuhi target waktu yang jelas, sedangkan yang tidak mengenal waktu menurut jam, akan selalu terbawa pada keinginan untuk mengulur-ulur pekerjaannya. Pada masyarakat Indonesia, penggunaan waktu menurut ukuran jam masih merupakan sesuatu yang langka. Umumnya masyarakat Indonesia lebih suka menggunakan waktu yang bersifat relatif, seperti nanti, sebentar, besok, dan sebagainya. Hal ini juga


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 41 Rachmawati Putri membawa pengaruh pada etos kerja masyarakat Indonesia. Gambaran lain yang mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia adalah adanya nilai-nilai tertentu dan juga norma sosial yang sangat tidak menguntungkan dari perspektif untuk tumbuh kembangnya Modal Sosial. Konsep baik, terutama bila seseorang disebut baik, bukan terletak pada perilaku orang tersebut yang sejalan dengan ajaran agama atau dengan nilai-nilai universal, melainkan apakah orang atau individu tersebut memiliki atau menunjukkan perilaku yang sesuai atau tidak dengan tuntunan adat. Pandangan tentang hidup yang melakat dalam kebudayaan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam adalah ketimpangan dalam pemahaman tentang hidup di dunia dan pandangan tentang hari kemudian. Untuk apa bekerja keras, karena hidup di dunia sangat sementara, hidup yang sebenarnya adalah di hari kemudian. Biar miskin di dunia, asal kaya di akhirat. Masyarakat pun kemudian menjalani kehidupan dengan pasif. Pandangan bahwa hidup di dunia adalah sesuatu yang berharga dan manusia harus mampu menjadi pemimpin bagi alam semesta sedikit sekali memberi sentuhan. Modal Sosial, tidak diragukan, merupakan energi pembangunan. Pembangunan yang mengabaikan dimensi ini sebagai pendorong munculnya kekuatan masyarakat dan bangsa, tidak saja akan kehilangan fondasi kemasyarakatan yang kuat, tetapi juga akan mengalami stagnasi dan kesulitan untuk keluar dari berbagai krisis yang dialami. Sebagai energi, Modal Sosial akan efektif memberikan dorongan keberhasilan bagi berbagai kebijakan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta. Keyakinan ini didasarkan pada kekuatan yang dimilikinya guna merangsang masyarakat membangun secara swadaya, yang hasilnya akan memaksimalkan pencapaian dari setiap kebijakan pembangunan yang dibuat oleh pemerintah. Secara historis, negara tidak memiliki tradisi penciptaan Modal Sosial. Seperti yang dikemukakan oleh Fukuyama (1999), Modal Sosial tersebut bersumber atau by product dari agama, tradisi dan pengalaman-pengalaman bersama yang selalu berulang di tengah masyarakat, dan ini di luar kemampuan dan kontrol pemerintah. Ketika kebijakankebijakan dirancang, semestinya pemerintah

menyadari bahwa Modal Sosial yang tumbuh di masyarakatnya merupakan produk dari masyarakat itu sendiri. Pemerintah tetap dapat berperan sebagai pendorong untuk tumbuh dan munculnya energi Modal Sosial itu kembali, tetapi bukan pencipta. Agama, menurut Francis Fukuyama, merupakan salah satu sumber utama Modal Sosial. Prkumpulan-perkumpulan keagamaan sangat potensial untuk menghadirkan dan membangun suatu bentuk dan ciri tertentu dari Modal Sosial. Ajaran agama merupakan salah satu sumber dari nilai dan norma yang menuntun perilaku masyarakat. Agama lah yang menjadi sumber utama inspirasi, energi sosial, serta yang memberikan ruang bagi terciptanya orientasi hidup penganutnya. Tradisi yang telah berkembang secara turun temurun juga sebagai sumber terciptanya norma-norma dan nilai, hubungan-hubungan relasional antarmasyarakat serta kelompokkelompok sosial. Tatanan yang terbangun merupakan produk kebiasaan yang turun temurun, dan kemudian membentuk kualitas Modal Sosial. Kelompok-kelompok masyarakat yang terbangun oleh suatu organisasi sosial yang khas dan berbasis kepada garis keturunan merupakan salah satu dari sekian sumber yang melahirkan Modal Sosial. Modal Sosial yang terbentuk dari produk-produk yang disebutkan di negara dengan kehidupan masyarakat yang masih tradisional perlu dicermati. Kaitannya dengan kehidupan kelompok, biasanya memiliki radius Modal Sosial yang pendek yang dapat menghasilkan pandangan-pandangan negatif terhadap kelompok di luarnya (negative externalities). Melalui lembaga-lembaga pendidikan, Modal Sosial juga dapat tumbuh. Lembaga pendidikan tidak hanya memberikan pelajaran-pelajaran keilmuan semata, tetapi idealnya sebagai tempat membangun Modal Sosial dalam bentuk aturan-aturan dan norma serta nilai. Kemungkinan ini tidak hanya melalui lembaga-lembaga pendidikan di tingkat dasar dan menengah, tetapi juga melalui lembaga pendidikan tinggi. Produk lembaga pendidikan tinggi sebaiknya tidak hany beruruan dengan keilmuan semata, tetapi juga menciptakan nilai-nilai baru yang berorientasi pada dimensi kebebasan berpendapat, kesamaan kedudukan, dan etika yang tinggi.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 42 Rachmawati Putri Di tengah kuatnya arus sekularisasi di dunia, peran agama tetap memiliki kedudukan sentral dalam memperlemah atau memperkuat dimensi Modal Sosial. Walaupun pada agamaagama tertentu kian meluntur terutama di dunia Barat, namun secara umum saat ini justru terjadi kebangkitan kesadaran manusia terhadap pentingnya agama dalam memperkaya dimensi spiritual dalam kehidupannya. Agama yang memberikan inspirasi terhadap perubahan-perubahan sosial saat ini tumbuh kuat terutama di dunia Islam yang membentang dari Afrika Utara sampai Nusantara. Ajaran agama yang dianut oleh para pengikutnya dengan mencampuradukkan antara pesan murni yang terdapat pada kitab sucinya dan adat istiadat turun temurun yang umumnya berasal dari nilai-nilai animisme akan sangat potensial dalam memperlemah Modal Sosial. Islam yang dianut oleh sebagian besar orang Indonesia adalah agama yang memiliki eksternalitas positif yang tinggi. Islam mendorong kerjasama yang kuat dalam kelompok, tetapi dengan sikap yang inklusif yang memungkinkan diperluasnya jaringanjaringan kerjasama dengan pihak di luarnya. Kejujuran, semangat memberi yang tinggi (tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah), kebebasan, persamaan, dan kemajemukan merupakan intisari ajaran Islam yang sangat berkait erat dengan dimensi Modal Sosial. Ajaran-ajaran luhur tersebut, dalam praktiknya, kurang menjiwai perilaku para pengikutnya. Apa yang menonjol justru menciptakan ekslusifisme dan, pada kelompok-kelompok, cenderung memiliki eksternalitas negatif yang begitu kuat. Ajaran Islam tentang perlunya keterbukaan dan membentuk jaringan-jaringan kerjasama antarindividu maupun antarkelompok masyarakat telah dipersempit menjadi fanatisme kelompok. Semangat kejujuran juga belum menjadi jiwa massal para pengikutnya. Jika benar korupsi, penipuan, kebohongan, dan beragam tindakan penyimpangan lainnya di Indonesia telah menjadi sesuatu yang massal dan massive, bukankah kata massal tersebut sebenarnya merujuk ke umat Islam yang merupakan 88,22 persen dari jumlah penduduk Indonesia (SP 2000; Suryadinata, 2003). Ini terjadi karena ajaran agama terpinggirkan. Yang lebih terasa dominan adalah semangatinward looking dalam

koridor extended family, kelompok kecil dan individu itu sendiri. Seseorang tidak merasa bersalah untuk mengambil hak orang lain, walaupun ajaran agama dengan keras melarangnya. Kekuatan tradisi kelompok yang bonding dan inward looking jauh lebih besar, yang dimanifestasikan dalam bentuk tuntutan dan legalisasi kejahatan oleh keluarga, kelompok, dan dari dalam individu itu sendiri yang kehilangan empati terhadap yang lain. Semangat memberi dengan ikhlas yang merupakan unsur resiprositas Modal Sosial, merupakan salah satu jiwa dan semangat agama, tetapi dalam praktiknya, tanpa mengabaikan beberapa kelompok yang berbuat nyata untuk menyantuni orang miskin dan anak yatim, masih jauh dari yang diidealkan oleh misi agama. Pembagian zakat dan fitrah yang dilakukan lebih terkesan sebagai sekedar memenuhi tuntutan kewajiban, bukan karena didasari oleh semangat altruisme dan empati untuk saling membantu sesama umat, terutama orang miskin. Dalam kehidupan keseharian, semangat resiprositas dan merasakan penderitaan antarsesama hampir tidak memperlihatkan warnanya. Masyarakat hidup dalam sekat-sekat yang terpisah, dan yang miskin akan tetap dalam kemiskinan dan ketidakberdayaannya. Ajaran Islam juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai persamaan dan kebebasan (yang juga menjadi inti jiwa Modal Sosial). Yang terjadi di tengah masyarakat, semangat persamaan dan kebersamaan dalam memperoleh berbagai kesempatan begitu terpinggirkan. Elite masyarakat, baik yang didasarkan oleh kemampuan ekonomi, keturunan, pengetahuan agama, yang mendominasi tidak hanya atas kesempatankesempatan ekonomi, tetapi juga dalam setiap dimensi pengambilan keputusan. Hal ini bersumber dari akomodatifnya para pemuka agama di bawah dominasi adat-istiadat feodal dengan hirarki-hirarki tradisional yang sesungguhnya tidak diidealkan oleh ajaran agama itu sendiri. Kenyataan-kenyataan ini telah memperlemah bahkan memusnahkan potensi Modal Sosial yang seharunya tumbuh kuat di masyarakat. Salah satu kata kunci mengatasi berbagai permasalahan sosial tersebut di atas adalah dibangunnya gerakan bersama untuk kemungkinan mengkaji ulang metodologi dakwah yang lebih membumi, mengutamakan praktik daripada kata-kata, dan mampu


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 43 Rachmawati Putri membebaskan umat dari belenggu budaya yang melilit mereka. Dengan kata lain, kita membutuhkan reformasi besar. Dalam konteks Modal Sosial, interpretasi ajaran membutuhkan penekanan yang sangat kuat pada dimensi yang mencakup keseluruhan elemen dari Modal Sosial tersebut sebagai prasyarat terbentuknya kebudayaan unggul. Tanpa dilakukan reformasi besar, untuk meluruskan praktik keagamaan dan membangun modal sosial yang memang sejalan dengan amanat agama, beragam stimulus pembangunan yang dilakukan akan mengalami kendala dan bahkan kegagalan. Bersamaan dengan reformasi besar dalam interpretasi ajaran agama, reformasi budaya juga merupakan kebutuhan. Budaya lokal yang feodal, hierarkies, penuh dominasi kelompok dalam suatu entitas, membelenggu kebebasan, menghindari kerja keras dan prestasi. Di beberapa daerah di Nusantara, kehidupan sosial didominasi oleh kelompok bangsawan (nobelity) yang relatif makmur, sementara rakyat biasa hidup dalam kemiskinan. Dalam konteks tertentu, mereka hidup dalam situasi ketidakmerdekaan yang menyedihkan. Hubungan sosial yang tercipta didasarkan atas hirarki dari masing-masing kelompok sosial garis keturunan. Beberapa dimensi budaya yang mendesak untuk dikaji ulang tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh semua komponen bangsa, terutama yang berkaitan dengan dominasi kelompok sosial tertentu atas kelompok sosial yang lain, nilai-nilai dan norma yang mengentalkan orientasi budaya inward looking, hilangnya semangat resiprositas, kohesifitas yang dibatasi temboktembok keluarga, suku, kelompok kecil, dan sejenisnya. Nilai dan norma tradisionallah yang telah membentuk pandangan hidup yang cenderung menghindari produktivitas, memupuk kohesitivitas sosial ke dalam kelompok yang tinggi tetapi menghindari eksternalitas.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 44 Rachmawati Putri Kerangka Berpikir

KONSEP MODAL SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Modal Sosial (Social Capital)

Hasil studi James Coleman (1990) tentang pemuda dan pendidikan (youth and schooling) mendefinisikan konsep Modal Sosial sebagai varian entitas, terdiri dari beberapa struktur sosial yang memfasilitasi tindakan dari para pelakunya dalam bentuk personal atau korporasi dalam suatu struktur sosial.

Menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok dengan ruang perhatian terhadap pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antar sesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok. Modal sosial juga sangat dekat dengan terminologi sosial lainnya seperti yang dikenal sebagai kebajikan sosial (social virtue)

Sumber daya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru

 sikap partisipatif,  sikap yang saling memperhatikan  saling memberi dan menerima  saling percaya mempercayai  memperkuat nilainilai dan norma yang mendukungnya  kemauan masyarakat atau kelompok untuk secara terus menerus pro aktif

Memperbaiki kualitas kehidupan dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus

Mencapai Kemajuan Bersama

Modal sosial kepercayaan (trust)

Meminimalkan ketimpangan-ketimpangan antara kelompok miskin dengan kelompok kaya

- Meredupkan semangat gotong royong, - Memperparah kemiskinan, - Meningkatkan pengangguran - Kriminalitas - Menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk

- Kehilangan fondasi kemasyarakatan yang kuat - Mengalami stagnasi dan kesulitan untuk keluar dari berbagai krisis yang dialami


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 45 Rachmawati Putri PENUTUP Kehidupan kelompok masyarakat yang kohesif tidak selamanya memiliki Modal Sosial yang tinggi, tetapi tergantung kepada orientasi dan dimensi historis terbentuknya nilai, norma, dan kelompok tersebut. Suatu kelompok yang menyandarkan pada pola budaya inward looking cenderung akan menghasilkan negative externalities bahkan kontra produktif terhadap pengembangan Modal Sosial tersebut yang berdampak pada lemahnya kemampuan masyarakat dan bangsa secara keseluruhan untuk memperbaiki kualitas kehidupan. Kelambanan pembangunan manusia di Indonesia merupakan akibat dari diabaikannya dimensi Modal Sosial sehingga melahirkan masyarakat yang bukan berkebudayaan unggul melainkan berkebudayaan inferior. Beragam aspek diduga telah menghambat perkembangan Modal Sosial seperti lemahnya semangat kebersamaan untuk membangun kelompok/perkumpulan, hancurnya rasa saling mempercayai, metodoloi pengajaran dan interpretasi yang keliru terhadap beberapa ajaran agama, pola-pola budaya yang hirarkis dan feodal, lembaga-lembaga pendidikan yang kurang mampu menjadi panutan moralitas, perilaku politik dan beragam penyebab lainnya. Dampak nyata dari situasi tersebut adalah kekurangoptimalan pencapaian dari berbagai program pembangunan yang dilaksanakan. Setiap etnis berikut setting sosial yang ada di dalamnya, memiliki karakteristik dan strategi of survival yang khas. Apabila energi kolektif etnis dan nilai-nilai positif yang ada bisa diperluas menjadi energi kolektif bangsa melalui tumbuhnya kesadaran jaringan dan kesadaran outward looking yang kuat, niscaya keuntungan-keuntungan besar akan diraih. Hal ini tidak hanya dalam batas upaya merekatkan kehidupan kebangsaan, melainkan akan terbangun enrgi kolektif untuk bangkit dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan kestabilan demokrasi. Budaya yang telah turun temurun, yang diwarnai oleh berkembangnya nilai-nilai tertentu di masing-masing kelompok, klan, dan etnis tidak harus dihancurkan, melainkan harus terus dipupuk selama hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang menghendaki persamaan, keadaban, kemanusiaan, dan pencapaian. Kekuatan setiap

entitas sosial dalam wujud warna-warninya kebudayaan etnis-etnis adalah kekayaan kebudayaan bangsa itu sendiri. Jika rasa percaya (trust) tumbuh kembang melintasi batas-batas budaya lokal, kemungkinan besar semangat membangun bersama akan lebih kuat. Perilaku yang bersifat destruktif yang muncul dari masyarakat yang kehilangan trust akan dapat dikurangi. Jalannya pemerintahan akan lebih efektif. Pembangunan pun dapat dilaksanakan dengan lebih efisien. DAFTAR PUSTAKA Adler, P & S Kwon. 2000. Social Capital: The Good, the Bad and the Ugly. In E. Lasser (ed.). Knowledge and Social Capital: Foundations and Applications. Butterworth-Heinemann. Ali, S. Husin. 1985. Rakyat Melayu Nasib dan Masa Depannya. Inti Sarana Aksara. Jakarta. Coleman, J.S. 1988. Social Capital In The Creation Of Human Capital. The American Journal of Sociology, Page : 94 (Suplplement). Cox, Eva. 1995. A Truly Civil Society. ABC Books: Sydney. Evers, Hans-Dieter. 1995. Sosiologi Perkotaan Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia. LP3ES. Jakarta. Fukuyama, Francis. 1995. The End Of History And The Last Man. NY: Free Press. Fukuyama, Francis. 1999. Social Capital and Civil Society. Institute of Public Policy. George Mason University. Fukuyama, Francis. 2003. Social Capital and Economic Development. Routledge. London. Hasbullah, Jousairi. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia). MR-United Press: Jakarta. Putnam, Robert. 1993. Social Capital. Pricenton University: Princenton. Putnam, Robert D. 2000. Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. Simon and Schuster. New York. Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif Antropologi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 46 Rachmawati Putri Suryadinata, Leo, et al. 2003. Penduduk Indonesia Etnisitas dan Agama dalam Era Perubahan Politik.LP3ES. Jakarta.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 47 Rachmawati Putri RIWAYAT HIDUP Assalamu’alaikum Wr. Wb. Penulis bernama Rachmawati Putri dilahirkan di Nganjuk tanggal 7 Maret 1993, merupakan anak pertama dan satu-satunya dari pasangan Titik Pribadi Indrawati, S.Pd. dan Suparno, SH, M.Hum. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Ganungkidul I Nganjuk, lulus tahun 2005 dan SMP Negeri 1 Nganjuk lulus tahun 2008. Pendidikan lanjutan atas ditempuh di SMA Negeri 3 Madiun dan lulus pada tahun 2011. Kemudian pada tahun 2011 penulis melanjutkan ke perguruan tinggi Universitas Negeri Surabaya (UNESA) jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) lulus bulan Juli tahun 2015. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi kampus Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan (BEM-FIP) dan juga organisasi di luar kampus serta bekerja paruh waktu di Kursus Matematika Kumon. Setelah lulus dari UNESA, tahun 2015 penulis melanjutkan ke perguruan tinggi UPI tahun pada Prodi PLS. Banyak kegiatan yang penulis ikuti selama menjadi mahasiswa S1 di Surabaya, maupun di program Pasca Sarjana UPI seperti seminar-seminar pendidikan, lokakarya, dan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya. Aktifitas penulis sampai saat ini aktif pada bidang pendidkan home private Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) Tridaya, Tata Kecantikan Kulit (TKK) dan Tata Rias Pengantin LKP Yuwita Tasikmalaya. Sekian riwayat hidup penulis. Terima kasih. Wassalamu’alaikum. Wr. Wb


ETIKA SOSIAL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SUNDA ANSORI Pendidikan Luar Sekolah, STKIP Siliwangi Bandung ansoryalb@gmail.com

Abstrak Pemberdayaan masyarakat membutuhkan karakter dasar dari masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan sebagai sebuah proses dalam pemungkinan, pendayaan dan perlindungan menjadi salah satu proses utama dalam mengembangkan sistem sosial yang lebih baik. Oleh karenanya membutuhkan nilai dasar budaya masyarakat yang terlembagakan sebagai etika sosial sebagai modal dasar pembangunan masyarakat. Masyarakat Sunda dipilih sebagai populasi penelitian karena identitasnya yang khas dan memiliki karakter kekhasan dari masyarakat Jawa lainnya. Dimana masyarakat Sunda telah melembagakan budayanya dalam berbagai bentuk yang memasuki standar sebagai budaya yang telah maju. Proses pemberdayaan masyarakat Sunda membutuhkan pendekatan kultural yang dekat dengan proses kesehariannya, sehingga mampu membangun kesadaran entitas kolektivitas namun pada sisi yang lain dapat memberikan dampak penguatan pemberdayaan secara menyeluruh. Kata Kunci : Pemberdayaan masyarakat, etika sosial, Sunda

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 49 Ansori

PENDAHULUAN Pemberdayaan masyarakat dalam sebuah komunitas atau wilayah sering memerlukan basis atau produk unggulan sebagai lokomotif pemberdayaan komunitas tersebut. Produk unggulan atau sektor lokomotif biasanya digali dari potensi komunitas atau wilayah dengan memperhitungkan parameter pemberdayaan lainnya dan peluang yang paling mungkin untuk bisa berhasil. Produk yang diunggulkan harus mampu untuk menjadi penopang dalam mendukung pemberdayaan masyarakat dalam komunitas tersebut. Sehingga mampu menjadi salah satu pendukung dalam peningkatan kualitas kehidupan masyarakat di dalam komunitas yang menjadi sasaran program pemberdayaan. Pada kondisi tertentu pemberdayaan komunitas mungkin dimulai dari pengembangan pertanian, pengembangan produksi industri, perkebunan, energi, religius dan bahkan juga melalui pengembangan budaya dan kesenian. Pengembangan komunitas atau wilayah melalui basis pengembangan budaya menjadi menarik karena memiliki sejumlah tantangan. Pendekatan yang berbeda harus dilakukan untuk membangun kawasan berbasis pengembangan budaya dibanding melalui pemberdayaan ekonomi semisal pertanian, peternakan, perikanan dan lainnya. Pengembangan kawasan berbasis pengembangan budaya mensyaratkan kemampuan mendorong kawasan memiliki karakter budaya dan ikon budaya yang kuat sehingga memicu branding yang kuat sebagai mesin dasar pemasaran produk budaya kawasan tersebut. Budaya yang didorong mungkin saja berupa budaya klasik dan adat istiadat yang punya daya tarik tinggi, maupun mendorong budaya kontemporer yang diperkirakan mampu menjadi modal bagi pemberdayaan kawasan berbasis budaya ini. Karena pada prinsip dasarnya bukanlah kemampuan secara fisik semata, melainkan kemampuan secara moral. Jepang dan China telah menunjukkan bagaimana etika sosial mereka dapat bertahan di tengah berbagai tantangan globalisasi dan justru menjadi salah satu sumber daya utama dalam membangun masyarakatnya saat ini. PEMBAHASAN Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empoworment) berasal kata “Power” (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan

bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dengan keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Istilah “Pemberdayaan” adalah terjemah dari istilah asing “Empowerment”. Secara leksikal, pemberdayaan berarti penguatan. Secara teknis, istilah pemberdayaan dapat disamakan atau setidaknya diserupakan dengan istilah pengembangan. Bahkan dalam dua istilah ini dalam batas-batas tertentu bersifat interchangeable atau dapat dipertukarkan. Pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, perberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan untuk atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individuindividu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka perberdayaan menuju pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial yaitu masyarakat yang berdaya memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan. Robinson (1980; 87) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Sedangkan Ife (2008; 105) mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti memberi daya, memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Payne menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Orangorang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, ketrampilan serta sumber lainnya dalam rangka

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 50 Ansori

mencapai tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat atau komunitas adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Pemberdayaan komunitas dapat disebut sebagai suatu upaya untuk menciptakan/ meningkatkan kapasitas atau kemampuan masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraannya. Pemberdayaan komunitas sejalan dengan konsep Community Development, yaitu: proses pembangunan jejaring interaksi dalam rangka meningkatkan kapasitas dari semua komunitas, mendukung pembangunan berkelanjutan, dan pengembangan kualitas hidup masyarakat. Sehingga masyarakat mampu menjadi sebuah entitas yang jelas dan tegas di tengah berbagai perkembangan sosial kemasyarakatan yang ada saat ini, terutama dalam kancah pergaulan global yang semakin ketat dan dinamis.

Tujuan dan Strategi Pemberdayaan Masyarakat Tujuan pemberdayaan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat terutama dari kemiskinan dan keterbelakangan/ kesenjangan/ ketidakberdayaan. Kemiskinan dapat dilihat dari indikator pemenuhan kebutuhan dasar yang belum mencukupi/ layak. Kebutuhan dasar itu, mencakup pangan, pakaian, papan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Sedangkan keterbelakangan, misalnya produktivitas yang rendah, sumberdaya manusia yang lemah, terbatasnya akses pada tanah padahal ketergantungan pada sektor pertanian masih sangat kuat, melemahnya pasar-pasar lokal/ tradisional karena dipergunakan untuk memasok kebutuhan perdagangan internasional. Dengan perkataan lain masalah keterbelakangan menyangkut struktural (kebijakan) dan kultural (Sunyoto Usman, 2004). Ada beberapa strategi yang dapat menjadi pertimbangan untuk dipilih dan

kemudian diterapkan dalam pemberdayaan masyarakat, yaitu : Menciptakan iklim, memperkuat daya, dan melindungi.Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu ;pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia,setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering).Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumbersumber kemajuan ekonomiseperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, dimana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat,tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilainilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat didalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, pengamalan demokrasi. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 51 Ansori

pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertikarkan dengan pihak lain). Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan. Pemberdayaan masyarakat dalam menjadi salah satu kata kunci dalam pembangunan manusia Indonesia di masa yang akan datang. Dalam Kamus Inggris Indonesia, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sartini, 2004). Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007). Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai ‘kearifan/ kebijaksanaan’. Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan harmonis. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh,yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat

yang penuh keadaban. Pada akhirnya kearifan lokal dijadikan pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka yang meliputi seluruh unsur kehidupan: agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka,dengan memperhatikan lingkungan dan sumber daya manusia yang terdapat pada wargamereka. Masyarakat tanpa konflik yang majemuk jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan sosial yang mengedepankan semangat demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Dalam masyarakat tanpa konflik yang majemuk, warga bekerja sama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-govermental untuk mencapai kebaikan bersama. Beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai ukuran dalam mewujudkan tercapainya masyarakat tanpa konflik yang majemuk, yaitu: 1) terpeliharanya eksistensi agama atau ajaran-ajaran yang ada dalam masyarakat; 2) terpelihara dan terjaminnya keamanan,ketertiban, dan keselamatan; 3) tegaknya kebebasan berpikir yang jernih dan sehat; 4) terbangunnya eksistensi kekeluargaan yang tenang dan tenteram dengan penuh toleransi dan tenggang rasa; 5) terbangunnya kondisi daerah yang demokratis, santun, beradab serta bermoral tinggi; dan 6) terbangunnya profesionalisme aparatur yang tinggi untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih berwibawa dan bertanggung jawab. Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia di era globalisasi, paradigma hubungan dialogal atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa dengan masuknya budaya-budaya luar harus mengupayakan adanya filterisasi budaya. Oleh karena itu, multikulturalisme bukan sekedar mengakui yang berbeda dan lebih merupakan pembedaan yang simetris (symetrical differentiated citizenship) dengan mengakui adanya pluralitas identitas dalam masyarakat. Hal inilah yangmestinya didorong oleh

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 52 Ansori

kebijakan Otonomi Daerah dalam rangka mengeliminir munculnya loyalitas sempit atas dasar agama maupun ikatan kesukuan belaka. Selain itu, melalui pluralitas identitas, maka perjuangan kepentingan masyarakat lokal tidak lagi terjebak pada isu-isu primordial dan sekterian yang bisa mengancam harmoni lokal itu sendiri. Implementasi Otonomi Daerah juga meniscayakan pemberian ruang politik dan aspirasi kepada masyarakat untuk berpartisipasi secara luas. Prinsip penerimaan dan penghargaan terhadap keberagaman nilai-nilai merupakan pembiakan dari prinsip demokrasi yang tidak saja mendorong terciptanya partisipasi dari dan pemberdayaan bagi semua golongan masyarakat. Akan tetapi pembiakan dari prinsip demokrasi ini juga akan terwujud dalam bentuk mengakui dan menghargai keberagaman budaya serta ide atau pendapat yang saling berbeda maupun mengakui dan menghargai prinsip Otonomi Daerah yang luas dan nyata yaitu keberadaan hak-hak asli daerah dan hak-hak rakyat didaerah. Globalisasi merupakan suatu proses meningkatnya saling ketergantungan ekonomi, kultural, lingkungan, sosial dan lingkungan lintas negara yang bebas, serta munculnya kecenderungan bentuk dan proses homogenisasi, hibridisasi dan diferensiasi kultur (nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, dan perilaku masyarakat) global. Selain itu, globalisasi adanya perkembangan dalam proses penyatuan integrasi ekonomi masyarakat yang disebabkan oleh kemajuan teknologi komunikasi-informasi, yang menjadikan dunia semakin kecil sehingga faktor faktor produksi dapat bergerak antar bangsa dengan cepat nyaris tidak dapat dikontrol di masyarakat. Di masyarakat Indonesia, perkembangan globalisasi semakin pesat dan canggih. Dengan adanya globalisasi maka semakin hilang jati diri bangsa Indonesia yang dahulunya adanya budaya rewang sekarang mulai hilang yang digantikan dengan catering. Kemajemukan (pluralitas) dan keanekaragaman (heterogenitas atau diversitas) masyarakat dan kebudayaan di Indonesia merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan, nilai asli masyarakat Indonesia adalah nilai yang didalamnya melekat dengan konsep multikultural,nilai-nilai seperti toleransi beragama, agregasi sosial, kemajemukan kultural dan etnik, menjadi alasan mengapa para pendiri bangsa ini memilih Pancasila dari pada pada ideologi bernuansa agama. Keniscayaan ini harus kita akui secara

jujur, terima dengan lapang dada, kelola dengan cermat, dan jaga dengan penuh rasa syukur; bukan harus kita tolak, abaikan, sesalkan, biarkan, dan diingkari hanya karena kemajemukan dan keanekaragaman itu menimbulkan berbagai ekses negatif, antara lain benturan masyarakat dan kebudayaan lokal di pelbagai tempat di Indonesia, apalagi zaman sekarang adanya arus globalisasi yang sudah merajalela dalam bidang transportasi, teknologi dan komunikasi, dan pengembangan media massa. Strategi pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal di era globalisasi yakni dengan memperkuat nilai-nilai dan normanorma leluhur dari nenek moyang yang ada di masyarakat agar terjaga utuh kearifan lokal; mempertahankan budaya yang ada di masyarakat dengan bertindak secara rasional sebagai akibat dari arus globalisasi; menyaring budaya dari luar (globalisasi) dengan menilai baik buruknya pengaruh dalam bidang teknologi dan komunikasi, transportasi, pengembangan media massa, perubahan gaya hidup, pendidikan, budaya, politik, agama, hukum dan lain-lain. PENUTUP Potensi kehidupan masyarakat global saat ini menjadi salah satu tren yang penting dalam membangun masyarakat. Bukan hanya tren, tetapi juga menjadi salah satu bagian utama untuk mengembangkan berbagai tantangan menjadi peluang. Masyarakat pada dasarnya telah mampu untuk mengembangkan berbagai potensi yang ada. Namun demikian, seringkali tidak menyadari bahwa potensi tersebut bukan hanya berupa sumber daya alam, infrastruktur atau pendanaan semata, melainkan pemanfaatan nilai setempat sebagai modal dasar dalam membangun kualitas kehidupan yang lebih baik. Etika dan norma sosial telah menunjukkan bahwa kehadirannya bukan semata sebagai dasar dalam mengembangkan berbagai sistem yang berlaku di tengah masyarakat melainkan pula menjadi salah satu bagian penting dalam upaya pembangunan masyarakat itu sendiri. Etika dapat menjadi pembatas, namun pula dapat menjadi salah satu trigger dalam mengembangkan berbagai potensi di tengah masyarakat untuk membangun masyarakat yang lebih baik.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 53 Ansori

DAFTAR PUSTAKA Cristenson and Robinson.(1980). Community Development in Iowa. Iowa State University; Iowa. Ife, Jim dan Frank Tesoriero. (2008). Community Development. Penerjemah. Sastrawan Manullang dkk. Jogjakarta : Pustaka Pelajar Usman Sunyoto. (2004). Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. Ridwan. (2007). Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Jurnal Studi Islam dan Budaya. Vol. 37 Nomor 1, 27-38.

Sartini.

(2004). Menggali Karifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. Jurnal Filsafat. Jilid 37 (2) :

PROFIL SINGKAT Ansori lahir di Cilacap, 5 Juni 1983 Meraih gelar Sarjana Pendidikan Luar Sekolah tahun 2008 dan Magister Pendidikan Luar Sekolah tahun 2012 di STKIP Siliwangi Bandung. Pada tahun 2015 melanjutkan S3 Pendidikan Luar Sekolah di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Dari tahun 2008 sampai sekarang menjadi dosen PLS di STKIP Siliwangi Bandung.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


POS PEMBERDAYAAN KELUARGA SEBAGAI MODEL DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI DESA CIKARAWANG KECAMATAN DRAMAGA KABUPATEN BOGOR. Abdul Karim Halim 1) , Wartini 2), Muhammad Nur Ali 3) UIKA BOGOR karim_halim@ymail.com Abstrak Penelitian ini membahas tentang program Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) yang dijadikan model dalam pemberdayaan masyarakat dan bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang : 1) Peranan pengurus Pos Pemberdayaan Keluarga, 2) Tingkatan kesejahteraan masyarakat dan 3) Hubungan antara Peranan Pengurus Pos Pemberdayaan Keluarga dengan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Desa Cikarawang Kec. Dramaga Kab. Bogor. Peranan Pengurus Pos Pemberdayaan Keluarga dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dilakukan melalui pelaksanaan program lintas sektoral yang dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perubahan sikap masyarakat menuju kearah masyarakat mandiri, melalui pengelolaan program Posdaya sejak menyusun perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pendampingan, evaluasi serta memberikan tindak lanjut program. Penelitian yang menggunakan metode kuantitatif deskriptif dan teknik pengumpulan data berupa angket, observasi, studi pustaka dan wawancara, dengan responden sebanyak 36 orang anggota posdaya, menetapkan hipotesisnya; “Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara peranan Pengurus Pos Pemberdayaan Keluarga dengan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor “. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan; “Terdapat hubungan yang signifikan dengan interpretasi kuat antara peranan pengurus Posdaya dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor”. Dengan Koefisien Diterminan sebesar 44 %, sementara sisanya 56 % merupakan pengaruh dari faktor lain. Kata Kunci ; Posdaya, Pemberdayaan Masyarakat, Kesejahteraan Masyarakat.

1) Dosen/Ka. Prodi PLS FKIP UIKA Bogor. 2) Alumni PLS Bekerja pada Disnakersostran Kota Bogor. 3) Ketua Posdaya Mandiri Desa Cikarawang Kec. Dramaga Kab. Bogor.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal Abdul Karim Halim 1) , Wartini 2), Muhammad Nur Ali 3)

PENDAHULUAN Peran Dunia pendidikan dalam Pemberdayaan Masyarakat menuju Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya, dihadapkan pada tantangan yang sangat besar, antara lain Dunia Pendidikan dituntut untuk : 1) Dapat mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dalam menghadapi era globalisasi dan pasar kerja Internasional sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan dan pengetahuan pada umumnya. 2) Dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai dan terus meningkatkan kualitas hasil pembangunan guna mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus melaju meninggalkan kemampuan dunia pendidikan itu sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan belajar masyarakatnya. 3) Sehubungan dengan diberlakukannya era otonomi daerah maka dianggap perlu merumuskan sebuah model pendidikan yang lebih mengedepankan pemenuhan kebutuhan hidup dan kebutuhan belajar masyarakat lokal (local content) sehingga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat. Sebagai salah satu model pendekatan dalam Pemberdayaan Masyarakat dan Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia, Posdaya yang merupakan salah satu satuan pendidikan sejenis dalam jalur pendidikan luar sekolah mempunyai kedudukan yang strategis dalam upaya membentuk manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan harkat dan martabatnya agar terlahir sebagai insan kamil, sebagaimana diharapkan oleh tujuan pendidikan nasional. Sementara itu Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor memiliki letak yang sangat Strategis, sebab selain berbatasan langsung dengan wilayah Kota Bogor, di desa ini terdapat pula wilayah hutan buatan yang menjadi tempat penelitian para akhli hutan se dunia dibawah koordinasi United Nation Organization (UNO), masyarakat di desa ini mengenalnya dengan Hutan CIFOR (Centre for International Forestry Research). Sebagai desa yang terletak pada lingkar kampus Institut Pertanian Bogor, masyarakat di desa ini secara khusus mendapat perhatiaan dan pendampingan dari Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (P2SDM) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB, bahkan operasionalisasi kerjasama kampus IPB dengan dengan PT Akzonober Car Refinising Indonesia

dalam rangka pemberdayaan masyarakat ditempatkan di desa ini. Selain itu masih di desa ini, terdapat kebun khusus untuk pengembangan buah Jambu Kristal, yaitu salah satu species jambu batu yang memiliki keunggulan bijinya yang lembut seperti kristal. Jambu species ini dikembangkan di kebun percontohan milik Pengusaha asal Thaiwan (Thaifarm). Melihat situasi dan kondisi serta pembinaan yang didapat masyarakat desa ini, maka sudah selayaknya mereka mampu menampilkan diri sebagai masyarakat desa yang maju dan makmur dengan menunjukan ciri khasnya sebagai desa wisata atau desa yang mempunyai ciri khusus dan dapat diteladani oleh desa-desa lain di sekitarnya. Walaupun bila kita melihat dari pada pola hidup masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari tampak tidak ada perbedaan dengan masyarakat desa lain pada umumnya, di beberapa wilayah Rukun Warga tampak lebih rapih dan sudah mampu memanfaatkan halaman dan lahan di sekitar rumah mereka dengan tanaman buah jambu kristal secara teratur, baik untuk pengembangan buahnya maupun bibit (cangkokan) tanaman jambu kristal untuk dijual. Selain mendapat banyak pembinaan dari Kampus IPB dan dari pemerintah sebagaimana layaknya desa-desa di Indonesia, melalui berbagai lembaga sosial kemasyarakatannya seperti Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, Badan Permusyawaratan Desa, Kelompok Kerja Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (Pokja PKK), Pos Pelayanan Terpadu dan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda Karang Taruna, di desa ini terdapat Lembaga Kemasyarakatan yang berhasil mengkoordinasikan berbagai kegiatan yang ada di desa ini yaitu Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya). Posdaya bertujuan untuk meningkatkan jumlah keluarga sejahtera dan membantu mencapai sasaran pembangunan abad milenium atau Millennium Development Goals (MDGs) oleh masyarakat secara mandiri. Dari sekian banyak Posdaya yang ada di Indonesia, satu diantara Posdaya yang dianggap berhasil meningkatkan kesejahteraan anggota masyarakatnya adalah Posdaya ‘Mandiri’ yang ada di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor yang dipimpin oleh Sdr. Drs Muhammad Nur Ali, seorang alumni Pogram Studi Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Ibn Khaldun Bogor yang secara langsung didampingi oleh


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 56 Abdul Karim Halim 1) , Wartini 2), Muhammad Nur Ali 3) Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Institut Pertanian Bogor. Gagasan untuk memotivasi masyarakat luas melakukan proses pembelajaran secara mandiri (wirausaha) ini, dilakukan oleh Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang dipimpin oleh Prof. Dr. Haryono Suyono. Beliau menangkap anjuran Presiden Republik Indonesia ke 6 Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada Kongres Nasional Pembangunan Manusia tahun 2006. Berawal dari sini kemudian dikembangkanlah sistem dan program operasional pembangunan sumber daya manusia dan pengentasan kemiskinan di tingkat akar rumput. Program tersebut pada saat ini dikenal dengan Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya). Berdasarkan hasil identifikasi dan observasi terhadap para anggota Posdaya ‘Mandiri’ di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor ditemukan beberapa masalah, diantaranya adalah ; 1. Bagaiamana peranan pengurus Pos Pemberdayaan Keluarga ‘Mandiri ‘ dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 2. Bagaimana peranan aparatur Pemerintahan Desa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 3. Bagaimana peranan para Tokoh Masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 4. Bagaimana proses pelaksanaan program Pos Pemberdayaan Keluarga ‘Mandiri’ dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat 5. Bagaimana kondisi berbagai program Pos Pemberdayaan Keluarga ‘Mandiri’ dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 6. Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dalam mengikuti program Pos Pemberdayaan Keluarga ‘Mandiri’. 7. Bagaimana kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat Desa Cikarawang setelah mengikuti berbagai program Pos Pemberdayaan Kelurga ‘Mandiri’. Untuk lebih memudahkan mengukur hasil dari penelitian ini, maka dirumusan masalah dalam penelitian ini menjadi; “Bagaimana Hubungan Peranan Pengurus Pos Pemberdayaan Keluarga ‘Mandiri’ Dengan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor “. Agar lebih fokus lagi, maka penelitian ini pun dibatasi hanya pada hal-hal yang berhubungan dengan ; 1. Peranan pengurus Pos Pemberdayaan Keluarga ‘Mandiri’ dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.

2. Kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat setelah mengikuti program Pos Pemberdayaan Keluarga ‘Mandiri’. 3. Hubungan antara peranan pengurus Pos Pemberdayaan Keluarga ‘Mandiri’ dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui “Peranan Pengurus Pos Pemberdayaan Keluarga ‘Mandiri’ dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor“ dan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondidi obyektif tentang ; 1. Peranan pengurus Pos Pemberdayaan Keluarga ‘Mandiri’ dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 2. Tingkat kesejahteraan masyarakat setelah mengikuti berbagai program Pos Pemberdayaan Keluarga ‘Mandiri’. 3. Hubungan antara peranan pengurus Pos Pemberdayaan Keluarga ‘Mandiri’ dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. KAJIAN TEORITIS. 1. Posdaya Sebagai Konsep, Teori dan Praktek Pendidikan Luar Sekolah dan Pembangunan Masyarakat. Pada Dasarnya dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Depdiknas : 2003 : 12) telah ditetapkan, bahwa : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Mencermati isi dari pada fungsi dan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka selayaknya sistem pendidikan nasional kita mampu memenuhi berbagai tuntutan peran yang multi dimensional, agar mampu menghasilkan manusia yang memiliki; 1) Kepribadian kuat, religius dan menjunjung tinggi budaya luhur bangsa, 2) Kesadaran berdemokrasi, sadar bahwa dirinya lahir dilengkapi dengan berbagai perbedaan dengan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal Abdul Karim Halim 1) , Wartini 2), Muhammad Nur Ali 3)

orang lain yang sebangsa dan setanah air, lebih mengedepankan musyawarah untuk mencapai permufakatan demi tercapainya cita-cita bangsa yang merdeka, berdaulat serta memiliki tanggung jawab untuk menciptakan perdamaian dunia, 3) Kesadaran moral dan hukum yang tinggi untuk mampu hidup lebih tertib dan aman antar sesama anak bangsa, serta 4) Kehidupan yang lebih subur, makmur dan sejahtera. Suatu kehidupan yang mampu mencari, menemukan dan melaksanakan hal-hal baru, inovatif dan inventif untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan individu, masyarakat, bangsa dan negara. Karakteristik masyarakat seperti itu, pada dasarnya harus dimiliki oleh mereka yang memilih jalan kehidupan sebagai wirausahawan. Memilih sektor wirausaha bukan berarti tanpa resiko, orang yang memilih sektor wirausaha justru harus mempersiapkan dirinya untuk berani menghadapi resiko, terutama resiko kegagalan dan ketidak mapanan yang tidak berpihak pada keuntungan yang senantiasa memihak kepada dirinya, yaitu keuntungan yang selalu naik setiap waktu tetapi justru penurunan keuntungan dan ketidak stabilan dalam berusaha. Dalam kondisi seperti ini maka seorang wirausahawan harus punya intuisi untuk terus bangkit dan menuju kemasa depan yang lebih menguntungkan. Kemampuan untuk berani mengambil resiko sangat jarang ditanamkan dalam dunia pendidikan formal, akan tetapi masyarakat akan dapat banyak menemukannya dalam program pendidikan norformal di masyarakat dan/atau dalam pendidikan informal dalam keluarga. Agar mampu dengan segera memenuhi berbagai hal yang diinginkan seperti tersebut di atas, maka sudah selayaknya sistem pendidikan kita meratifikasi 4 (empat) pilar penting pendidikan secara terpadu, sebagaimana dicanangkan oleh UNESCO (Fasli Jalal dalam Dedi Supriyadi : 2001 : 67, Soedijarto ; 2007 : 22-23 dan Ace Suryadi ; 2009 : 137) yang menyatakan; “Pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan belajar untuk mengetahui (learning to know), belajar untuk melakukan sesuatu (learning to do), belajar menjadi seseorang (learning to be) dan belajar menjalani kehidupan bersama (learning to livetogether)“. Dalam kontek sistem pendidikan di Indonesia, penerapan konsep ini mengandung arti bahwa negara berkewajiban untuk mempersiapkan seluruh warga negaranya agar mampu berperan aktif dalam semua sektor

kehidupan guna mewujudkan masyarakat yang cerdas, aktif, kreatif, serta mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa yang berlandaskan nilai-nilai luhur Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan mengedepankan musyawarah untuk mufakat. Dengan demikian maka kita akan mampu memenuhi target sebagaimana disepakati dalam Deklarasi Dakar (Kusnadi; 2005:27), yang bertujuan untuk; 1) Memperluas dan memperbaiki perawatan dan pengembangan Anak Usia Dini (PAUD) secara konprehensif, khususnya anak yang paling rawan dan kurang beruntung, 2) Menjamin semua anak pada tahun 2015, khususnya anak perempuan dan anak dalam keadaan susah dan anak-anak kelompok minoritas, harus mendapat akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bermutu dengan gratis, 3) Menjamin semua kebutuhan belajar bagi anak-anak muda dan orang dewasa terpenuhi melalui kesempatan yang sama untuk memperoleh program-program pembelajaran dan keterampilan kehidupan (life skill), 4) Mencapai perbaikan tingkat keaksaraan orang dewasa sebesar 50 % pada tahun 2015 khususnya wanita dan kesamaan akses pendidikan dasar dan pendidikan berkelanjutan bagi semua orang dewasa, 5) Menghilangkan perbedaan gender dalam pendidikan yang bermutu, 6) Memperbaiki semua aspek mutu pendidikan dan menjamin keunggulan semua sehingga hasil belajar yang diakui dan terukur dapat dicapai oleh semua, khususnya dalam keaksaraan, keterampilan berhitung dan keterampilan hidup. Sehingga setiap tahunnya Indek Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Developmen Index (HDI) Indonesia diharapkan terus meningkat. Pada tanggal 16 November 2011 dilaporkan, Indek Pembangunan Manusia Indonesia berada pada urutan 124 (skord 0,617) dari 187 negara, skord yang diperoleh menunjukkan kenaikan walaupun sangat tipis yaitu dari 0,600 ke 0,617. Nampak jelas IPM bangsa kita masih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga sekali pun. Mengacu pada beberapa pernyataan dan upaya yang dilakukan pemerintah tersebut di atas, maka peranan pendidikan luar sekolah menjadi sangat strategis sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia agar memiliki daya saing dalam menghadapai era globalisasi dengan menguasai berbagai keterampilan fungsional, yaitu


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 58 Abdul Karim Halim 1) , Wartini 2), Muhammad Nur Ali 3) keterampilan hidup yang dapat dipergunakan dalam bidang pekerjaan yang dibutuhkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari maupun kebutuhan lainnya, seperti; penguasaan teknologi komputer dan informatika, perbengkelan, menjahit, pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, pertukangan dan/atau industri kreatif lainnya, sehingga warga masyarakat diharapkan mampu mengaplikasikan keterampilan yang dimilikinya dalam hidup dan kehidupannya sehari-hari untuk kepentingan dirinya dan/atau pengembangan masyarakat. Dalam upaya mengembangkan potensi diri seperti berwirausaha dan kehidupan mandiri lainnya, serta untuk kepentingan pengembangan masyarakat adalah dengan cara mentransfer berbagai ilmu pengetahuan, teknologi termasuk teknologi tepat guna dan keterampilan yang dimilikinya kepada pihak lain yang membutuhkan dalam kedudukannya sebagai instruktur, pelatih, tutor, pengajar atau bahkan menjadi tenaga akhli, maka peran pendidikan luar sekolah nampak sekali kegunaan dan manfaatnya. Namun demikian lebih dari setengah abad negeri ini merdeka, ternyata masih belum mampu mencerdaskan kehidupan bangsa dengan sesungguhnya, hal ini nampak dari ketidak mampuan kita dalam banyak hal yang mendasar seperti yang digambarkan oleh Sudiarto (2007: 18) dimana kita belum mampu untuk; 1) Tidak kekurangan air bersih dan bahan makanan dimusim kering atau paceklik, 2) Mengatasi banjir dan tanah longsor dimusim hujan, 3) Menemukan obat bagi penyakit yang berulang (secara periodik) mewabah di Indonesia, seperti demam berdarah, malaria, kusta, dll, 4) Menghilangkan ketergantungan kita kepada hasil teknologi negara lain, 5) Menemukan, mengolah, mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, 6) Menghilangkan ketergantungan kita pada impor hasil bumi yang seharusnya kita menjadi negara pengekspor, 7) Menjaga keutuhan negara dan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan wawasan nusantara, 8) Mengembangkan strategi pembangunan yang konprehenshif dan terintegrasi dengan dukungan yang kuat dari seluruh rakyat Indonesia. Ketidak mampuan kita dalam mengatasi krisis multi dimensi merupakan indikator belum cerdasnya kehidupan bangsa ini, sehingga mengalami kondisi yang sangat menghawatirkan, yaitu; 1) Makin tergantungnya tenaga kerja Indonesia pada

kesempatan kerja di luar negeri, 2) Terus meningkatnya impor hasil bumi dan peternakan (beras, gula, kedelai, terigu, bahkan garam, daging ayam dan sapi bakalan), 3) Sebagian besar potensi sumber daya alam dan ekonomi (seperti kelapa sawit, emas, tembaga, minyak dan gas bumi dan perbankan) kita secara ekonomi sudah dikuasai asing, 4) Masih banyaknya rakyat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan, 5) Tingginya angka Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di seluruh lapisan masyarakat Indonesia, 6) Rentannya rasa persatuan dan kesatuan bangsa serta gotong royong, 7) Rendahnya budaya demokrasi politik dan musyawarah untuk mufakat, 8) Belum ada persepsi yang sama tentang makna kepentingan nasional diantara para elite politik dan para pemimpin negara, 9) Menurunnya kualitas budaya dan bekerja mandiri, terutama dikalangan generasi muda. Kondisi tersebut di atas sangat berhubungan dengan keberhasilan dari pada praktek pendidikan di Indonesia, khususnya pada sektor pendidikan formal yang mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah dibandingkan dengan pendidikan nonformal yang sangat minim perhatian. Belajar dari kekurang berhasilan pendidikan formal dalam menghasilkan masyarakat yang mandiri, pendidikan luar sekolah diharapkan mampu memperkecil kelemahan daripada pendidikan persekolahan, melalui berbagai program dan satuan pendidikannya, salah satu diantaranya adalah pendidikan keluarga yang dipadukan dengan berbagai pendidikan kecakapan hidup dan pendidikan kemasyarakatan seperti dilakukan oleh Pos Pemberdayaan keluarga (Posdaya). Melihat pengalaman yang dilakukan masyarakat desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor yang memiliki segudang kegiatan dalam pengelolaan Pendidikan Luar Sekolah dan Pengembangan Masyarakat melalui koordinasi kegiatan Posdaya. Dengan berhasilnya Posdaya dijadikan model pembangunan masyarakat, penulis yakin kita akan mampu mengantisipasi dampak Bonus Demografi yang akan diterima pada tahun 2020 – 2030, sehingga tidak menjadi bencana melainkan menjadi anugrah, pada saatnya nanti masyarakat kita siap menerima Bonus Demografi, dimana 70 % penduduk Indonesia berada pada posisi usia produktif. Bila hal itu menjadi kenyataan, maka kita akan tampil menjadi negara industri besar di dunia dan akan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal Abdul Karim Halim 1) , Wartini 2), Muhammad Nur Ali 3)

terus berkembang seiring dengan kearifan lokalnya dan berwawasan lingkungan. 2. Posdaya Sebagai Sarana Pemberdayaan Masyarakat. Kita sadari bahwa untuk memenuhi tuntutan dari tujuan pendidikan nasional dan konsep yang digagas UNESCO tersebut di atas, tidak mungkin hanya ditanggulangi oleh jalur pendidikan persekolahan, akan tetapi memerlukan peran aktif dari jalur Pendidikan Luar Sekolah, yang memiliki fungsi (Djudju Sudjana: 2004 : 74) pemecahan masalah, yaitu sebagai pelengkap (complementary education), sebagai penambah (supplementary education), dan sebagai pengganti (substitute education) dari pada fungsi pendidikan pesekolahan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahawa pembentukan dan pengembangan Posdaya dapat dilakukan oleh anggota masyarakat sendiri, seperti oleh Pokja PKK, pengurus masjid atau tempat ibadah lainnya, pengurus panti asuhan, pengurus Koperasi, atau lembaga lain yang ada di desa. Posdaya dapat juga distimulasi oleh LPM dan siswa-siswa SMA yang dibimbing oleh guru–gurunya. Posdaya dapat juga dikembangkan oleh Pemda dan seluruh aparatnya di Kecamatan dan di desa. Dalam setiap Posdaya, keluarga yang mampu diharapkan dapat menolong keluarga yang belum mampu, sehingga terjadi peningkatan kemampuan semua anggota (Haryono Suyono; 2009 : 22). Kegiatan Posdaya dapat dikembangkan melalui perluasan kegiatan yang cakupan sasaranya bukan saja keluarga dengan ibu hamil dan balita ( 0-14 tahun) terutama anggota keluarga sedang mengandung, tetapi juga keluarga dengan anak remaja 15-24 tahun, keluarga dengan anak dewasa 25-35 tahun dan keluarga dengan keluarga lansia. Posdaya diharapkan memberi dukungan terhadap upaya pemberdayaan keluarga dengan kelompok saasarannya sebagaimana tersebut di atas, terutama anggota keluarga sedang mengandung, keluarga dengan usia remaja 15-24 tahun dan keluarga dengan anak dewasa usia 25-35 tahun. Posdaya juga dapat dibentuk dengan dukungan anggota keluarga yang berusia lanjut (60 tahun ke atas), baik sebagai forum silahturahmi maupun membantu keluarga lain yang lebih muda. Oleh karena itu jika dalam suatu desa telah terbentuk posdaya, segera dapat dikembangkan kelompok-kelompok Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), Bina Keluarga Dewasa (BKD) dan Bina

Keluarga Lansia (BKL). Posdaya dapat mengembangkan dan membentuk kelompok Bina Keluarga Cacat (BKC) untuk menampung keluarga yang salah satu anggotanya mempunyai kecacatan, kelompok keluarga yang sedang membangun atau Bina Keluarga Ekonomi (BKE). Agar kegiatan tersebut dapat menjadi bagian dari pemberdayaan keluarga secara paripurna maka perlu dilakukan penajaman, serta dikerjakan secara gotong royong. Melalui dukungan pemberdayaan yang berkelanjutan disertai komitmen yang tinggi dari para pemimpin disegala tingkatan, diharapkan masyarakat secara mandiri berani mengembangkan inisiasi, yaitu mengawali langkah dan program nyata secara mandiri dengan mengajak dan mendampingi seluruh target keluarga. Penduduk tertinggal memperoleh akses pelayanan paripurna yang dibutuhkannya dengan lebih mudah. Dipihak lain keluarga dan penduduk tertinggal diharapkan bekerja keras dan cerdas menjemput pelayanan yang dibutuhkannya melalui fasilitasi oleh pemerintah dalam rangka menyempurnakan kemampuannya melaksanakan delapan fungsi keluarga yang utama untuk membangun seluruh anggotanya. Pengembangan Posdaya ditujukan untuk tercapainya hal-hal sebagai berikut; 1) Dihidupkannya dukungan sosial budaya atau social capital seperti budaya hidup gotong royong dalam masyarakat untuk saling peduli sesama anak bangsa, saling tolong menolong antar keluarga dengan keluarga lain, saling mengulurkan bantuan pemberdayaan secara terpadu atau bersama-sama memecahkan masalah kehidupan yang komplek melalui wadah atau forum yang memberi kesempatan setiap keluarga untuk saling asah, asih dan asuh dalam memenuhi kebutuhan membangun keluarga bahagia dan sejahtera, 2) Terpeliharanya infrastruktur sosial kemasyarakatan yang terkecil dan solid, yaitu keluarga yang menjadi perekat atau kohesi sosial, sehingga tercipta suatu kehidupan yang rukun, damai dan memiliki dinamika yang tinggi, 3) Terbentuknya lembaga sosial dengan keanggotaan dan partisipasi keluarga di desa atau kelurahan yang dinamis dan menjadi wadah atau wahana partisipasi sosial dimana setiap keluarga dapat memberi dan menerima pembaharuan yang dapat membantu proses pembangunan kehidupan keluarga dengan mulus dan sejuk.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 60 Abdul Karim Halim 1) , Wartini 2), Muhammad Nur Ali 3) Untuk tercapainya tujuan tersebut di atas, maka posdaya dapat menempuhnya melalui langkah-langkah dengan muatan kegiatan, sebagai berikut; 1) Peningkatan Kepedulian dan Komitmen pemimpin atau Sesepuh Masyarakat pada umumnya, 2) Pemberdayaan Fungsi Keagamaan dan Budi Pekerti, 3) Pemberdayaan Fungsi Keluarga Berencana dan Kesehatan, 4) Pemberdayaan Fungsi Penmdidikan, 5) Pemberdayaan Fungsi Kewirausahaan, 6) Pemberdayaan Lingkungan Hidup dan Keluarga Bergizi. 3. Kesejahteraan Masyarakat Sebagai Tujuan Posdaya. Pada dasarnya tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kesejahteraan, baik secara individu maupun kelompok yaitu terpenuhinya setiap kebutuhan hidup baik secara moral maupun material, seperti terpenuhinya kebutuhan sandang pangan dan papan serta kebutuhan yang sifatnya rohaniah seperti rasa aman, merdeka dalam menjalankan sistem kehidupan dan memiliki jaminan kepastian hukum. Secara yuridis kesejahteraan didefinisikan dalam Undang-undang No 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan sosial (Wisnu Setiawan, 2009 : 6); sebagai berikut; “Kesejahteraan Masyarakat adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan masyarakat baik materil maupun spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat mengembangkan fungsi sosialnya”. Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami hambatan dalam melaksanakan fungsi sosialnya sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat. Beberapa Konsep tentang Kesejahteraan menyatakan bahwa tingkat kepuasan dan kesejahteraan adalah dua pengertian yang saling berkaitan. Tingkat kepuasan merujuk kepada keadaan individu atau kelompok, sedangkan tingkat kesejahteraan mengacu kepada keadaan komunitas atau masyarakat luas. Kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan individuindividu. Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat

melaksanakan fungsi sosialnya. Konsep kesejahteraan menurut Nasikun (1993 ; 27) dapat dirumuskan sebagai; “Padanan makna dari konsep martabat manusia yang dapat dilihat dari empat indikator yaitu; 1) rasa aman (security), 2) Kesejahteraan (welfare), 3) Kebebasan (freedom), dan 4) jati diri (Identity)”. Sementara itu Todaro (2003 ; 231) mengemukakan bahwa; “Kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah dapat direpresentasikan dari tingkat kehidupan masyarakat”. Tingkat kehidupan masyarakat ditandai dengan terentaskannya dari kemiskinan, tingkat kesehatan yang lebih baik, perolehan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan tingkat produktivitas masyarakat. Dalam memahami realitas tingkat kesejahteraan, Taslim (2004; 48) menyatakan; “Pada dasarnya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan tingkat kesejahteraan, antara lain; 1) sosial ekonomi rumah tangga atau masyarakat, 2) struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumah tangga atau masyarakat, 3) potensi regional (sumberdaya alam, lingkungan dan insfrastruktur) yang mempengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi, dan 4) kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran pada skala lokal, regional dan global. Pernyataan tersebut di atas menunjukan bahwa pada dasarnya kesejahteraan masyarakat akan tercipta apabila terjadi peningkatan kesejahteraan pada tingkat keluarga, yang ditunjukan dengan terjadinya peningkatan pendapatan, kesehatan dan pendidikan. 4. Parameter Kesejahteraan Masyarakat. Masyarakat yang sejahtera adalah masyarakat yang setiap anggota keluarganya memiliki keadaan serba baik, atau suatu kondisi masyarakat dimana orang-orangnya dalam keadaan makmur, sehat dan damai. Sejahtera juga mengandung pengertian aman sentosa, makmur, serta selamat, terlepas dari berbagai gangguan. Keadaan sejahtera digambarkan dalam Undang-Undang No 6 tahun 1974 tentang Kesejahteraan Sosial, sebagai suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin dan seterusnya. Lebih lengkap, Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat memberi pengertian sejahtera yaitu; “Suatu kondisi masyarakat yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya”. Kebutuhan dasar tersebut


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal Abdul Karim Halim 1) , Wartini 2), Muhammad Nur Ali 3)

berupa kecukupan dan mutu pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan dasar lainnya seperti lingkungan yang bersih, aman dan nyaman, karena itu kita sering mengukur kesejahteraan dari sisi fisik atau ekonomi. Terpenuhinya hak asasi dan partisipasi serta terwujudnya masyarakat beriman dan bertaqwa kepadaTuhan Yang Maha Esa, sering dijadikan alat ukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Terdapat berbagai perkembangan pengukuran tingkat kesejahteraan dari sisi fisik, seperti Human Development Index (Indeks Pembangunan Manusia), Physical Quality Life Index (Indeks Mutu Hidup); Basic Needs (Kebutuhan Dasar); dan GNP/Kapita (Pendapatan Perkapita). Pendidikan sudah seharusnya menjadi prioritas pembangunan sumber daya manusia Indonesia, sebab besar kecilnya persentase penduduk melek aksara dewasa, dan rata-rata lama sekolah penduduk suatu negara turut menentukan Indek Pembangunan Manusia (Human Development Rata – Rata Usia Harapan Hidup. Indeks Kesehatan

Tingkat Melek Aksara Penduduk Dewasa.

Index) negara tersebut, artinya apakah negara tersebut masuk kedalam katagori negara-negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang, dan/atau dapat pula dipergunakan untuk mengukur pengaruh dari kebijakan ekonomi terhadap kualitas kesejahteraan hidup bangsa tersebut, disertai dengan dimensi lain yang juga turut menentukan Human Depelovmen Index, yaitu Indeks kesehatan dan Perekonomian. Tiga dimensi pencapaian pembangunan sumber daya manusia, yaitu : 1) Indeks Kesehatan; yang diukur dari rata-rata harapan hidup. 2) Indeks Pendidikan yang diukur dari dua aspek, yaitu : a) Angka/tingkat melek aksara orang dewasa. b) Rata- rata lama Sekolah, dan 3) Indeks perekonomian yangdiukur dari pengeluaran perkapita (purchasing power parity). Dalam hubungannya dengan hal tersebut, Ace Suryadi (2009 : 99) menggambarkannya dalam bentuk, sebagai berikut: Rata-Rata Lama Sekolah

Indeks Pendidikan

Pendapatan Perkapita(Pur chasing Power

))Parity )

Indeks Perekonomian

HUMAN DEVELOPMENT INDEX Gambar 2. 1 : Komponen – komponen Penentu Human Depelovmen Index

METODE PENELITIAN. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dalam melakukan suatu pekerjaan selalu diperlukan cara atau metode yang benar. Demikian pula dalam melakukan kegiatan penelitian diperlukan metode yang tepat dan benar. Metode penelitian penelitian pada hakekatnya adalah merupakan cara kerja yang digunakan oleh peneliti untuk dapat memahami objek penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metoda deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang dipergunakan untuk menyelidiki dan memecahkan permasalahan yang ada pada masa sekarang. Mengingat masalah yang diteliti merupakan tentang

peristiwa yang terjadi pada saat ini, yaitu tentang Peranan Pengurus Pos Pemberdayaan Keluarga ‘Mandiri’ Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Untuk membantu mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian ini, digunakan beberapa teknik pengumpulan data yang berupa; 1) Angket, yaitu; Pertanyaan atau pernyataan yang disusun secara khusus untuk menggali dan menghimpun keterangan atau informasi yang cocok untuk dianalisis. Teknik ini dimaksudkan untuk mengajukan pertanyaan atau pernyataan yang harus diisi oleh responden secara tertulis. Dalam penelitian ini,


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 62 Abdul Karim Halim 1) , Wartini 2), Muhammad Nur Ali 3) angket disusun dalam satu bagian, yaitu hanya untuk mengungkap data tentang variabel X (Peranan Pengurus Posdaya ‘Mandiri’), dan angket untuk mengungkap data variabel Y (Kondisi kesejahteraan Masyarakat Desa Cikarawang yang menjadi anggota Posdaya ‘Mandiri’), 2) Studi Literatur (Studi Kepustakaan), yaitu; suatu teknik penelitian komunikasi tidak langsung dimana peneliti dalam mencari dan memperoleh data harus membaca dan mempelajari buku-buku, dokumen yang dibuat oleh ahli yang ada hubungannya dengan masalah penelitian, dengan maksud untuk memperoleh gambaran teoritis yang dapat menunjang dalam penulisan penelitian ini. Dengan teknik ini, penulis melakukan penelaahan melalui membaca, menyusun dan mempelajari dokumen-dokumen dan sumbersumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan masalah penelitian. Dokumen-dokumen yang dibaca dan ditelaah meliputi dokumen yang sifatnya milik lembaga / organisasi atau dokumen yang dipublikasikan, 3) Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi tambahan tentang berbagai masalah yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Selain itu digunakan pula teknik 4) observasi, yang bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi tambahan yang tidak bisa didapat dengan menggunakan ketiga teknik sebelumnya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh warga masayarakat Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, yang menjadi pengurus Posdaya ‘Mandiri’, dan berjumlah 36 orang. Karena jumlah populasi yang ada kurang dari seratus (kecil), sehingga peneliti menjadikan seluruh anggota populasi menjadi sampel. Untuk melakukan analisis data, penulis menempuh prosedur dengan langkah mengumpul data yang dibutuhkan dan kemudian diolah dengan menggunakan perhitungan statistik, sehingga diperoleh data kuantitatif yang kemudian dijadikan sebagai dasar perhitungan dalam upaya pembuktian hipotesis yang telah dirumuskan. Teknik analisis data untuk mencari hubungan antara variabel X dengan Y dan pengujian hipotesis dalam penelitian ini digunakan rumus statistik product moment dari Karl Pearson. Sementara itu untuk mengetahui tingkat korelasi variabel X dengan variabel Y dalam penelitian ini ditetapkan dengan mengunakan tabel pedoman interpretasi tingkat hubungan yang dikemukakan Soegiyono (2002 : 148) sebagai berikut :

TABEL 3.1 PEDOMAN INTERPRETASI TINGKAT HUBUNGAN Besarnya “r” Product Moment

Interpretasi

(rxy) 0,000 0,200 0,400 0,600 0,800

– – – – –

0,199 0,399 0,599 0,799 1,000

Sangat lemah atau sangat rendah Lemah atau rendah Sedang atau cukup Kuat atau tinggi Sangat kuat atau sangat tinggi

Sementara itu untuk menguji besarnya persentase hubungan antara variabel X dan variabel Y maka dilakukan uji koefisien determinasi (KD). TEMUAN HASIL PENELITIAN 1. Peranan pengurus Posdaya mandiri (Variabel X) Dalam penelitian yang berjudul “Pos pemberdayaan keluarga (Posdaya) sebagai model dalam pembangunan masyarakat di desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor”. Peranan Pengurus Pos pemberdayaan Keluarga dinyatakan sebagai variabel bebas (X). Pernyataan/Pertanyaan yang diberikan kepada responden berkaitan dengan 1). Perencanaan 2). Pengorganisasian 3). Pelaksanaan Program 4). Pembinaan 5). Penilaian program, dan 6). Tindak lanjut program. Masing-masing pernyataan tersebut telah disebarkan kepada 36 angota posdaya Mandiri di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil pengolahan data hasil penelitian yang berhubungan dengan pernyataan/pertanyaan dengan peranan pengurus posdaya dalam meningkatkan kesejahteran masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor dapat disimpulkan bahwa, distribusi skor yang diperoleh dalam variabel X, setengahnya (50,00%) berada pada kelompok data 133-138 yaitu sebanyak 18 responden, dan kurang dari setengahnya (25,0%), berada pada kelompok data 127-132, yaitu sebanyak 9 responden, kemudian sebagian kecil (22,2%) berada pada kelompok data139-


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal Abdul Karim Halim 1) , Wartini 2), Muhammad Nur Ali 3)

144 yaitu sebanyak 8 responden, (2,8%) berada pada kelompok data 109-114 yaitu 1 responden. 2. Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat (Variabel Y) Peningkatan Kesejahteraan masyarakat dalam penelitian ini merupakan variabel terikat atau terpengaruh atau disebut variabel Y. Pada variabel ini dikemukakan berbagai pernyataan/pertanyaan yang terkait dengan; 1) Prilaku beragama 2), Kondisi rumah tinggal, 3) Prilaku Komsumsi, 3) Prilaku hidup sehat, 4) Kondisi Pendidikan keluarga, 5) Nilai investasi keluarga, 6) Prilaku bergotong royong, 7) Kemampuan kdeluarga untuk mendapatkan hiburan dan informasi. Dari hasil pengolahan data yang berhubungan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat, didapat data yang menunjukkan bahwa, distribusi skor yang diperoleh dalam variabel Y kurang dari setengahnya (47,20%) berada pada kelompok data dengan skor 122-129 sebanyak 17 responden, (25,00%) berada pada skor 130-137 sebanyak 9 responden, dan sebagian kecil (19,40%) berada pada skor 138-145 sebanyak 7 responden, (2,80%) berada pada skor 98-105 yaitu sebanyak 1 responden. 3. Perbandingan Homogenitas Data. Perbandingan homogenitas data dilakukan dengan cara membandingkan nilai standar deviasi variabel X (Peranan Pengurus Posdaya Mandiri) dengan variabel Y (Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat). Dari hasil perhitungan dapat dilihat bahwa nilai standar deviasi variabel X adalah 5,840 dan nilai standar deviasi variabel Y adalah 8,174. Hal ini menunjukkan bahwa data variabel X lebih homogen dibandingkan dengan data variabel Y (5,840 < 8,174), sehingga dapat disimpulkan bahwa jawaban responden pada variabel X (Peranan Pengurus Posdaya) lebih homogen dibandingkan dengan jawaban responden pada variabel Y (Peningkatan Kesejahteraan masyarakat). 4. Perhitungan Korelasi Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang “Peranan Pengurus Posdaya Mandiri dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor”. Untuk mengetahui hal

tersebut maka dilakukan penyebaran angket penelitian kepada 36 responden, sehingga diperoleh data yang merupakan hasil perhitungan dengan rumus korelasi Product Moment, sebagai berikut: a. Koefisien Korelasi Product Moment Dari hasil perhitungan nilai Korelasi Product Moment (r) diperoleh nilai rhitung sebesar 0,66. Berdasarkan tabel interpretasi nilai “r”, maka nilai rhitung sebesar 0,66 berada pada interval 0,60-0,799 dengan interpretasi KUAT. Hal ini menunjukkan bahwa Hubungan variabel X (Peranan pengurus Posdaya) dengan variabel Y (Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat) berada pada posisi yang KUAT. sedangkan nilai rhitung jika dikonsultasikan dengan harga tabel Product Moment dengan N = 36 pada taraf nyata 95% = 0,329, menunjukkan bahwa rhitung lebih besar daripada rtabel (0,66 > 0,329). Hal ini menyunjukan, terdapat hubungan yang yang KUAT antara Peranan Pengurus Posdaya Mandiri dengan Peningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan dramaga Kabupaten Bogor. b. Koefisien Determinasi Untuk mengetahui kontribusi yang diberikan variabel X terhadap variabel Y dilakukan perhitungan koefisien determinasi. Dari hasil perhitungan tersebut menunjukkan nilai koefisien determinasi sebesar 44 %, artinya Peranan Pengurus Posdaya Mandiri memiliki kontribusi sebesar 44% terhadap Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, sedangkan sisanya sebesar 56 % disebabkan oleh faktor-faktor lain. c. Menguji Koefisien Korelasi dengan Uji “t” Selanjutnya untuk mengetahui besarnya koefisien korelasi (kekuatan pengaruh) variabel X terhadap Variabel Y dilakukan pengujian dengan mempergunakan thitung pada taraf nyata 0,05 atau pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil thitung dibandingkan dengan ttabel. Dari hasil perhitungan terhadap thitung diperoleh nilai t hitung sebesar 5,129, sementara itu nilai t tabel pada derajat bebas 34 pada taraf nyata 5 % (0,05) adalah 2,03224. Dengan demikian t hitung > t tabel (5,129>2,03224). Sehingga daerah penerimaan dan penolakannya dapat digambarkan seperti berikut ;


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 64 Abdul Karim Halim 1) , Wartini 2), Muhammad Nur Ali 3)

t hitung

5,12

Daerah Penolakan Hipotesis Nol

Daerah Penerimaan Hipotesis Nol

Daerah Penolakan Hipotesis Nol

5,129 -2,03224

2,03224

Gambar .4.1 Daerah Penerimaan dan Penolakan Hipotesis Nol (Ho) Dari gambar di atas terlihat bahwa nilai t > t tabel, berarti t hitung berada pada daerah hitung penolakan hipotesis nol (Ho), dengan demikian hipotesis alternative (H1) diterima dan hipotesis nol (Ho) ditolak. Penelitian ini menolak Hipotesis nol (Ho) yang yang berbunyi : “Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Peranan Pengurus Posdaya Mandiri dengan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor” dan penelitian ini menerima Hipotesis alternative (H1) yang berbunyi : “Terdapat Hubungan yang Signifikan antara Peranan pengurus posdaya Mandiri dengan Peningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor”. d. Menguji Regresi Linier Sederhana Regresi Linier sederhana didasarkan pada hubungan fungsional ataupun kausal satu variabel independen dengan satu variabel dependen. Dalam hal ini akan diuji hubungan kausal antara variabel X (Peranan Pengurus Posdaya mandiri) dengan variabel Y (Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat). Persamaan garis regresinya adalah Y = a + bX, yaitu : Y = Varibel dependen (Peranan Pengurus Posdaya), X = Variabel independen (Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat), a = Konstanta regresi, artinya harga Y = a, bila X = 0, b = Koefisien regresi (angka arah), yang menunjukkan angka peningkatan ataupun penurunan variabel dependen yang didasarkan pada variabel independen. Bila b (+) maka Y naik, dan bila b (-) maka Y terjadi penurunan. Dari hasil perhitungan di atas, diperoleh nilai a = 5 dan nilai b = 0,93 maka persamaan garis regresinya adalah :Y= a + bX  Y= 5 + (0,93)X. Hal ini dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi peningkatan peranan pengurus

posdaya mandiri 1 satuan skor, maka terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat sebesar 5,932, apabila terjadi peningkatan peranan pengurus posdaya mandiri 2 satuan skor, maka upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan meningkat pula sebesar 6,86 dan apabila terjadi peningkatan peranan pengurus posdaya mandiri 4 satuan skor, maka upaya akan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat sebesar 8,72, dan apabila terjadi peningkatan peranan pengurus posdaya mandiri 6 satuan skor, maka peningkatan kesejahteraan masyarakat akan meningkat pula sebesar 10,58 begitu seterusnya. Dari analisis garis linear ini memiliki kesesuaian dengan analisis Koefisien Korelasi Product Momen Pearson yaitu memiliki hubungan yang KUAT antara Peranan Pengurus Posdaya Mandiri dengan Peningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. PEMBUKTIAN HIPOTESIS. Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis nol (H0) penelitian ini ditolak, dan menerima hipotesis alternative (H1), yang berbunyi : “Terdapat Hubungan yang Signifikan antara Peranan Pengurus Posdaya Mandiri dengan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor”. Hal ini didukung oleh halhal sebagai berikut: 1. Nilai rhitung sebesar 0,329 setelah dikonsultasikan dengan tabel interpepretasi nilai “r”, maka nilai rhitung sebesar 0,66 berada pada interval 0,60 – 0,799 dengan tingkat hubungan yang KUAT. Demikian pula setelah dikonsultasikan dengan nilai rtabel product moment, dengan N = 36 pada taraf kepercayaan 95% = 0,329, diperoleh rtabel


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal Abdul Karim Halim 1) , Wartini 2), Muhammad Nur Ali 3)

sebesar 0,329, menunjukkan rhitung .> rtabel (0,66 > 0,329). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang KUAT antara peranan pengurus posdaya mandiri dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. 2. Nilai thitung sebesar 5,129 jika dikonsultasikan dengan harga ttabel pada taraf kepercayaam sebesar 0,05% dan n 34, maka diperoleh ttabel sebesar 2,03224, sehingga thitung sebesar 5,129 lebih besar daripada ttabel sebesar 2,03224 atau thitung > ttabel (5,129 > 2,03224). Hal ini berarti nilai thitung berada pada wilayah penolakan hipotesis Uji. Dengan demikian maka penelitian ini menolak Hipotesis uji atau Hipotesis nol (H0), dan menerima hipotesis alternatif (H1), yang berbunyi: “Terdapat hubungan yang signifikan antara peranan pengurus posdaya mandiri dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor�. 3. Harga koefisien determinasi (KD) sebesar 44%. Mengandung arti besarnya peranan pengurus posdaya mandiri dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat di desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, sebesar 44%, atau dengan kata lain peranan pengurus posdaya memberikan kontribusi sebesar 44% terhadap upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, sedangkan sisanya sebesar 56% merupakan kontribusi dari faktor-faktor lain. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan. Dari berbagai permasalahan yang telah dibahas pada bab sebelumnya, maka penulis menarik kesimpulan yang terdiri dari kesimpulan umum dan kesimpulan khusus. Kesimpulan umum mengandung keseluruhan dari isi pembahasan, sedangkan kesimpulan khusus merupakan jawaban dari pengujian hipotesis yang dilakukan. Selanjutnya kesimpulan penelitian ini dijadikan dasar untuk mengajukan saran kepada pihak yang terkait. a. Simpulan Umum Kesimpulan umum dari penelitian yang penulis lakukan yaitu sebagai berikut: Kegiatan Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) yaitu harus menunjukan adanya; 1) Perkembangan pada Penguatan Kelembagaan, yang meliputi

Administrasi dan Teknis, 2) Peningkatan kualitas sumber daya manusia, baik pada pengelola program atau pun masyarakat yang menjadi sasaran, 3) Terdapat program unggulan yang dihasilkan oleh proses pemberdayaan keluarga, 4) Terdapat produk barang atau jasa yang dihasilkan secara berkesinambungan, 5) Pemanfaatan sarana/Prasarana (fasilitas) yang lebih mengutamakan sumber daya lokal, 6) Terjalin jaringan kemitraan dalam pengembangan dan pemasaran produk barang dan/atau jasa yang dihasilkan, 7) Terjadi proses pengendalian mutu dengan melakukan pemantauan, penilaian dan pembinaan terhadap proses dan hasil produksi barang dan/atau jasa secara berkesinambungan dan 8) Terjadinya pengembangan/perputaran anggaran dari hasil produksi barang dan/atau jasa, sehingga terjadi proses kemandirian dalam pengembangan dana/anggaran untuk kegiatan selanjutnya dengan tidak lagi mengandalkan atau tergantung pada anggaran dan bantuan pemerintah. b. Kesimpulan Khusus Setelah dilakukan perhitungan dan analisis data pada kedua variabel penelitian, maka penulis menarik kesimpulan khusus dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1) Pengurus Posdaya Mandiri Terdapat hubungan yang signifikan antara peranan pengurus Posdaya Mandiri dengan peningkatkan kesejahteraan masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Hal ini bisa di lihat dari data yang diperoleh variabel X (Peran Pengurus Posdaya Mandiri) yaitu nilai tertinggi 143 dan nilai terendah 109, dengan rata-rata hitung (Mean) skor responden 134,00 sedangkan rata-rata hitung skor pertanyaan 134,00/30 = 4,466. Hal ini menunjukkan bahwa responden pada umumnya menyatakan sangat setuju dan setuju dengan pernyataan-pernyataan yang ada pada variabel X. Dengan demikian secara umum pengurus Posdaya Mandiri diakui dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Sementara untuk variabel Y (Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat) yaitu skor tertinggi 143 dan skor terendah 100, dengan rata-rata hitung (Mean) skor responden 129,5 sedangkan rata-rata hitung skor pertanyaan 129,5/30 = 4,316. Hal ini menunjukkan bahwa para responden pada umumnya menyatakan sangat setuju dan setuju dengan pernyataan-pernyataan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 66 Abdul Karim Halim 1) , Wartini 2), Muhammad Nur Ali 3) yang ada pada variabel Y. Dengan demikian secara umum bahwa diakui bahwa telah terjadin peningkatan kesejahteraan pada anggota Posdaya Mandiri setelah mendapatkan pembinaan dari para pengusus Posdaya Mandiri dengan interpretasi yang KUAT dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Kondisi tersebut di atas seara umum dapat dilihat pada hasil perhitungan sebagai berikut; a. Nilai rhitung sebesar 0,66 setelah dikonsultasikan dengan tabel interpretasi nilai “r”, maka nilai rhitung sebesar 0,66 berada pada interval 0,60 – 0,799 dengan tingkat hubungan atau interpretasi KUAT. Hal ini membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara variabel X (Peranan Pengurus Posdaya Mandiri) dengan variabel Y (Peningkatkan Kesejahteraan Masyarakat) di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. b. Nilai thitung sebesar 5,129 dan ttabel sebesar 2,03224, menunjukan bahwa thitung lebih besar daripada ttabel atau thitung > ttabel (5,129 > 2,03224). Hal ini mengandung arti nilai thitung berada pada wilayah penolakan hipotesis Uji. Dengan demikian maka penelitian ini menolak Hipotesis uji atau Hipotesis nol (H0), dan menerima hipotesis alternatif (H1), yang berbunyi: “Terdapat hubungan yang signifikan antara Peranan Pengurus Posdaya Mandiri dengan peningkatkan kesejahteraan masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor”. c. Harga koefisien determinasi sebesar 44%. Mengandung arti bahwa Peranan Pengurus Posdaya Mandiri memberikan kontribusi sebesar 44% dalam meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat di Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, sedangkan sisanya sebesar 56% merupakan kontribusi dari faktor-faktor lain. 2. Saran Dari hasil penelitian ini, penulis bermaksud menyampaikan saran kepada pihakpihak yang terkait, yaitu sebagai berikut : a. Pihak pengurus Posdaya Mandiri Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, hendaknya mampu mempertahankan program-program yang telah berjalan selama ini dan bila dianggap perlu dapat menambahkan program baru guna menambah kemajuan dan keberhasilan

anggota Posdaya khususnya dan masyarakat Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga pada umumnya. b. Kepada seluruh anggota Posaya Mandiri Desa Cikarawang Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor agar terus semangat dalam mengikuti dan malaksanakan programprogram yang ada dilakukan oleh pengurus Posdaya serta berperan aktif untuk memajukan organisasi / lembaga posdaya yang sudah ada. c. Kepada pemerintah desa dan/atau pemerintah di atasnya sudah selayaknya mendukung dan terus memantau perkembangan posdaya dengan membuka kerjasama dan melakukan pembinaan secara berkala demi kemajuan posdaya. d. Untuk Perguruaan Tinggi Pembina Posdaya, dalam hal ini IPB dan Univeritas Ibn Khladun Bogor diharapkan dapat lebih memperluas kemitraan dalam rangka meningkatkan kualitas hasil pembinaannya sehingga dapat membantu para pengurus Posdaya dalam nenerapkan iniovasi baru.

DAFTAR PUSTAKA Ace Suryadi (2009), Mewujudkan masyarakat pembelajaran. Bandung, WIDYA AKSARA PRESS. Depdiknas(2003), Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Umbara, Bandung Djudju Sudjana (2010), Pendidikan Nonformal, Fallah Production, Bandung. .....................(2000), Manajemen pendidikan luar sekolah, Fallah Production, Bandung. Edi Suhardono (2001), Metode Riset, Gramedia, Jakarta. Fasli Jalal dan Dedi Supriyadi (2001), Reformasi Pendidikan Dalam Kontek otonomi Daerah, Adicita Nusa, Jakarta. Hadari Nawawi (2002), Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada University, Yogyakarta Haryono Suyono dan Rohadi Haryanto (2009), Pedoman pembentukan dan pengembangan posdaya, Yayasan DAMANDIRI, Jakarta


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal Abdul Karim Halim 1) , Wartini 2), Muhammad Nur Ali 3)

Hermawan Wasito (2000), Pengantar Metode Penelitian, Universitas Indonedia, Jakarta Kemendikbud (2010), Petunjuk Teknis Kursus wirausaha Pedesaan 2011, Dir. Bin Kursus dan KelembagaanDitjen PAUDNI-Kemendikbud RI, Jakarta. .....................(2013), Permendikbud Nomor 38 Tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penilik dan Angka Kreditnya, Setjen Kemendikbud RI, Jakarta .....................(2013), Permendikbud Nomor 39 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Pamong Belajar dan Angka Kreditnya, Sekertariat Negara RI, Jakarta .....................(2013), Permendikbud Nomor 81 Tahun 2013 tentang Pendirian Satuan Pendidikan nonformal, Sekertariat Negara RI, Jakarta .....................(2006), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional, Sekertariat Negara RI, Jakarta Kemenpora (2009), Undang- Undang No 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, Setjen Kemenpora. Jakarta Kusnadi (2005), Pendidikan Keaksaraan, Dirdikmas-Ditjen FNFI Depdiknas RI. Jakarta Muhammad Aliffudin (2011), Kebijakan Pendidikan Nonformal, Gramedia, Jakarta M Djauzi Moedzakir (2013), Pendidikan Luar Sekolah Revatalisasi Konsep, Adytia Media Publishing, Malang. Suharsimi Arikunto (2000), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, MAGNAScript, Jakarta S. Margono (2001), Metodelogi Penelitian Pendidikan, Renika Cipta, Bandung Suwito dan Fauzan (2001), Filsafat Pendidikan Islam, Mitraahmad.net, Malang

Sukardi (2007), Metode Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Prakteknya, Bumi aksara, Jakarta. Soedijarto (2007), Kurikulum Yang Mencerdasan Visi 2030 dan Pendidikan alternatif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Umiarso dan Nur Zazin (2011), Pesantren di tengah arus Mutu Pendidikan, Rasail Media Gruf, Semarang Uyoh Sadullah (2007), Filsafat pendidikan, Alfabeta, Bandung Wahyu dan Muhammad Masduki (2001), Petunjtuk Praktis Membuat Skripsi, Alkausasr, Jakarta Wisnu Setiawan (2010), Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelengaraan Pendidikan.Jakarta, Sekertariat Negara RI ....................(2005) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Sekertariat Negara RI, Jakarta .....................(2006), Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dan Pemberantasan Buta Aksara, Sekertariat Negara RI, Jakarta .....................(2005), Undang-Undang Nomor Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, Sekertariat Negara RI, Jakarta .....................(2011), Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Sekertariat Negara RI, Jakarta .....................(2005), Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 68 Abdul Karim Halim 1) , Wartini 2), Muhammad Nur Ali 3) Standar

Nasional

Pendidikan,

Sekertariat Negara RI, Jakarta.


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PADA ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Rivo Nugroho Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya rivonugroho@unesa.ac.id Abstrak Tahun 2015, telah disepakati sebagai pembentukan komunitas ekonomi ASEAN dan mengubah ASEAN menjadi daerah dengan perdagangan bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja. Adanya MEA bagi negara Indonesia akan berdampak pada beberapa indikator yaitu pertumbuhan ekononomi, laju inflasi, penanggulangan kemiskinan, penyerapan tenaga kerja dan pengurangan pengangguran. Meskipun pemberdayaan masyarakat bukan semata-mata sebuah konsep ekonomi, pemberdayaan masyarakat secara implisit juga mengandung arti menegakkan demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi secara harafiah berarti kedaulatan rakyat di bidang ekonomi, di mana kegiatan ekonomi yang berlangsung adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep ini menyangkut masalah penguasaan teknologi, pemilikan modal, akses ke pasar dan ke dalam sumber-sumber informasi, serta keterampilan manajemen. Agar demokrasi ekonomi dapat berjalan, maka aspirasi masyarakat yang tertampung harus diterjemahkan menjadi rumusan-rumusan kegiatan yang nyata. Untuk menerjemahkan rumusan menjadi kegiatan nyata tersebut, negara mempunyai birokrasi. Birokrasi ini harus mampu menjabarkan dan melaksanakan rumusan-rumusan kebijaksanaan publik dengan baik. Kata kunci: pemberdayaan masyarakat, masyarakat ekonomi ASEAN Community Empowerment In the Era of the ASEAN Economic Community (AEC) Abstract 2015, has been agreed as the establishment of the ASEAN Economic Community and ASEAN transform into a free trade area in goods, services, investment, labor. The presence of MEA for the Indonesian state will have an impact on several indicators that ekononomi growth, inflation, poverty alleviation, employment and reduction of unemployment. Although empowerment is not merely an economic concept, community empowerment implicitly also connotes economic democracy. Economic democracy literally means the people's sovereignty in the economic field, where economic activity takes place is of the people, by the people and for the people. This concept comes to the mastery of technology, ownership of capital, access to markets and to the sources of information, as well as management skills. To be economically viable democracy, the aspirations of the people accommodated must be translated into formulas practical actions. To translate the formula into concrete activities, the state has the bureaucracy. Bureaucracy should be able to outline and implement public policy formulations well. Keywords: Community Empowerment, ASEAN Economic Community (AEC)

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 70 Rivo Nugroho

PENDAHULUAN

ASEAN Economic Community (AEC) telah bergulir, arus barang dan jasa bisa masuk ke semua negara ASEAN dengan mudah dan murah semua bisa bersaing sesuai kemampuan masing-masing, kesiapan semua sektor dalam menghadapi MEA/AEC harus dikaji lagi meskipun beberapa regulasi pemerintah sudah mulai berpihak pada masyarakat lokal. Regulasi mengenai pekerja asing, sektor perdagangan bahkan juga pada sektor pendidikan. Semua diupayakan agar masyarakat Indonesia tidak tertinggal dalam menghadapi MEA. Ada beberapa skala prioritas yang menjadi acuan Indonesia pada pelaksanaan pasar bebas Asia Tenggara atau biasa disebut dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sudah dimulai pada tahun 2015. Berdasar data dari dari P3DI Setjen DPR RI seperti yang yang dikutip dari Wangke bahwa ASEAN telah menyepakati sektor-sektor prioritas menuju momen tersebut. Ketika berlangsung ASEAN Summit ke-9 tahun 2003 ditetapkan 11 Priority Integration Sectors (PIS). Namun pada tahun 2006 PIS yang ditetapkan berkembang menjadi 12 yang dibagi dalam dua bagian yaitu tujuh sektor barang industri dan lima sektor jasa. Ke-7 sektor barang industri terdiri atas produk berbasis pertanian, elektronik, perikanan, produk berbasis karet, tekstil, otomotif, dan produk berbasis kayu. Sedangkan kelima sektor jasa tersebut adalah transportasi udara, e-asean, pelayanan kesehatan, turisme dan jasa logistik (Wangke, 2015,p.5) Pada era perdagangan bebas ASEAN di ke-12 sektor yang telah disepakati, Indonesia telah melahirkan regulasi penting yaitu UU No 7 Tahun 2014 tentang perdagangan yang telah diperkenalkan ke masyarakat sebagai salah satu strategi Indonesia membendung membanjirnya produk impor masuk ke Indonesia. UU ini antara lain mengatur ketentuan umum tentang perijinan bagi pelaku usaha yang terlibat dalam kegiatan perdagangan agar menggunakan bahasa Indonesia didalam pelabelan, dan peningkatan penggunaan produk dalam negeri. Melalui UU ini pula pemerintah diwajibkan mengendalikan ketersediaan bahan kebutuhan pokok bagi seluruh wilayah Indonesia. Kemudian menentukan larangan atau pembatasan barang dan jasa untuk kepentingan nasional misalnya untuk melindungi keamanan nasional. Regulasi tersebut terasa penting bila mempertimbangkan kondisi perdagangan Indonesia yang selama ini

belum optimal memanfaatkan potensi pasar ASEAN. Hal ini diperkuat dengan data P3DI Sekjen DPR RI yang menyatakan pada periode Januari-Agustus 2013 misalnya, ekspor Indonesia ke pasar ASEAN baru mencapai 23% dari nilai total ekspor Hal ini antara lain karena tujuan ekspor Indonesia masih terfokus pada pasar tradisional seperti Amerika Serikat, Tiongkok dan Jepang. Tingkat utilitisasi preferensi tarif ASEAN yang digunakan eksportir Indonesia untuk penetrasi ke pasar ASEAN baru mencapai 34,4%. Peringkat Indonesia menurut global competitivenes index masih berada pada posisi ke-38 dari 148 negara. Sementara Singapura menempati posisi ke 2, Malaysia di posisi ke 24, Thailand di posisi 37, Vietnam ke 70 dan Filipina di posisi 59. (Wangke, 2015,p.7) Dalam menghadapi AEC, Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan baik eksternal maupun internal. Tantangan eksternal yang dihadapi antara lain adalah tingkat persaingan perdagangan yang semakin ketat, semakin besarnya defisit neraca perdagangan Indonesia dengan negara ASEAN lainnya, dan bagaimana Indonesia dapat meningkatkan daya tarik investasi. Sementara itu, tantangan internal Indonesia antara lain adalah rendahnya pemahaman masyarakat terhadap AEC, ketidaksiapan daerah menghadapi AEC, tingkat pembangunan daerah yang masih sangat bervariasi dan kondisi SDM dan ketenagakerjaan Indonesia. Disamping tantangan yang ada, Indonesia tetap memiliki peluang besar untuk dapat mengambil manfaat dari implementasi MEA bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sampai saat ini, Indonesia masih menjadi tujuan investasi pemodal dalam negeri ataupun luar negeri. Tingginya investasi tersebut telah mendorong pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. (KEMENKEU, 2014) Kondisi persaingan di tingkat ASEAN ini msh blm diimbangi dengan kondisi kemiskinan yang ada dinegara Indonesia berdasar data BPS yang tahun 2010 jumlah penduduk miskin masih sekitar 31,02 juta penduduk. Dan sekitar 64,23 persen penduduk miskin berada di daerah pedesaan, bagaimanapun juga kondisi kemiskinan di pedesaan tetap akan berpengaruh dalam aktivitas pembangunan di pedesaan. Kondisi kemiskinan ini kurang lebih sama dengan yang digambarkan oleh Kindervatter yaitu “According to a

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 71 Rivo Nugroho

comprehensive report on the state of third world development more than 800 million people still living in absolute poverty (World Bank, 1978). Absolute poverty means that this people earn an annual income of 5250 (US) or less; have minimal employment an educational oppurtinoities; and live each the without adequate food, selter, rest, or health care.� (Kindervater S, 1979: 1) Dari ungkapan Kindervater tersebut menjelaskan bahwa kemiskinan masih dialami sebagian besar dari negara dunia ketiga atau negara berkembang termasuk Indonesia, bahkan kemiskinan tersebut termasuk kategori kemiskinan absolut yang berarti pendapatan pertahunya kurang dari 5250 US. Lebih lanjut menurut Kindevater kalau kondisi kemiskinan tersebut diperparah dengan kurangnya kesempatan bekerja dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, bahkan diantara mereka tidak mendapat cukup makanan, tempat tinggal yang layak dan perawatan kesehatan yang baik. Lebih lanjut menurut Sajogyo seperti yang dikutip dalam Soetomo membuat klasifikasi tingkat kecukupan rumah tangga khususnya di pedesaan dalam tiga golongan. Golongan pertama, rumah tangga dikatakan sangat miskin apabila rata-rata pengeluaran konsumsi per kapita perbulan setara dengan nilai beras di bawah 19 kg per bulan, dikatakan miskin apabila rata pengeluaran konsumsi per kapita per bulan setara dengan nilai beras berkisar antara 20 sampai 27 kg beras per bulan, dan dikatakan tidak miskin apabila rata-rata pengeluaran konsumsi per kapita per bulan setara dengan nilai beras lebih dari 27 kg per bulan. (Soetomo, 2009: 169)

Permasalahan kemiskinan memang menjadi momok bagi negara Indonesia, MEA sendiri salah tujuanya adalah adanya pengurangan angka kemiskinan dari negaranegara di ASEAN sementara angka kemiskinan di negara Indonesia masih sangat besar. Pada era MEA saat ini seharusnya penguatan programprogram pemberdayaan pemerintah harus sudah dirasakan bagi masyarakat yang tidak mampu. PEMBAHASAN Konsep Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kapasitas anggota masyarakat hal ini sesuai dengan ungkapan dari Kartasasmita bahwa Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat kita yang dalam kondisi

sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.(Kartasasmita,1997:1) Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Meskipun pemberdayaan masyarakat bukan semata-mata sebuah konsep ekonomi, pemberdayaan masyarakat secara implisit juga mengandung arti menegakkan demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi secara harafiah berarti kedaulatan rakyat di bidang ekonomi, di mana kegiatan ekonomi yang berlangsung adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep ini menyangkut masalah penguasaan teknologi, pemilikan modal, akses ke pasar dan ke dalam sumber-sumber informasi, serta keterampilan manajemen. Agar demokrasi ekonomi dapat berjalan, maka aspirasi masyarakat yang tertampung harus diterjemahkan menjadi rumusan-rumusan kegiatan yang nyata. Untuk menerjemahkan rumusan menjadi kegiatan nyata tersebut, negara mempunyai birokrasi. Birokrasi ini harus dapat berjalan efektif, artinya mampu menjabarkan dan melaksanakan rumusan-rumusan kebijaksanaan publik (public policies) dengan baik, untuk mencapai tujuan dan sasaran yang dikehendaki. Dalam paham bangsa Indonesia, masyarakat adalah pelaku utama pembangunan, sedangkan pemerintah (birokrasi) berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing, serta menciptakan iklim yang menunjang. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangankan potensi ekonomi rakyat, tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya, terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan sebagai konsep sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat, tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial budaya. Menurut Simon (1990) dalam bukunya yang berjudul Rethinking Empowerment, seperti yang dikutip oleh Harry Hikmat : Pemberdayaan adalah suatu aktivitas reflektif, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subjek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri (self determination). Sementara proses lainnya hanya dengan memberikan iklim, hubungan, sumbersumber dan alat-alat prosedural yang melaluinya masyarakat dapat meningkatkan kehidupannya. Pemberdayaan merupakan sistem yang

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 72 Rivo Nugroho

berinteraksi dengan lingkungan sosial dan fisik. (Hikmat, 2010: x) Berkaitan dengan aspek ekonomi Suzane Kindervatter (1979) mendefinisikan pemberdayaan sebagai “People gaining un understanding of and control over social, economic, and/or political forces in other to improve their standing in society.� (Kindervatter,S 1979:13) Berdasar dari ungkapan Kindervatter tersebut dapat dapat diketahui bahwa pemberdayaan merupakan suatu proses peningkatan kemampuan seseorang baik dalam arti pengetahuan, keterampilan, maupun sikap agar dapat memahami dan mengontrol kekuatan sosial, ekonomi dan atau politik sehingga dapat memperbaiki kedudukannya dalam masyarakat. Bila dijabarkan lebih lanjut Kindervatter mengemukakan strategi yang perlu ditempuh dalam pelaksanaan proses pemberdayaan, yakni melalui lima pendekatan yaitu: 1. Pendekatan yang berorientasi pada kebutuhan individu (need oriented) 2. Pendekatan yang berorientasi pada kondisi dan kenyataan yang berlangsung di masyarakat setempat (endogenous). 3. Pendekatan yang berorientasi pada rasa mampu diri, percaya diri dan mandiri (self-reliant). 4. Pendekatan yang melibatkan aspek lingkungan (ecologically sound) 5. Pendekatan yang berorientasi pada perubahan struktur dan sistem (based on structural transformation). (Kindervatter, 1979:45) Aktivitas pemberdayaan juga akan terkait dengan kekuasaan terhadap individu atau masyarakat untuk memberikan suatu kekuatan atau kekuasaan. Kekuatan itu mencakup aspek fisik, material, ekonomi, kelembagaan, kerja sama, intelektual (meningkatnya sumber daya manusia) dan komitmen masyarakat untuk mencapai tujuan. Menurut Alinsky (1969) seperti yang dikutip Jim Ife pemberdayaan adalah Empowerment is a process of helping disadvantaged group and individual to a compete more effectively with other interest, by helping them to learn and use skills in lobbyng, using the media, engaging in political action, understanding how to work the system and so on. (Ife,1997:57) Pemberdayaan adalah suatu proses untuk membantu kelompok dan individu yang kurang

beruntung agar bisa bersaing secara efektif dengan kepentingan lain, dengan membantu mereka belajar dan menggunakan keterampilan dalam melakukan kerjasama, menggunakan media, melibatkan diri dalam tindakan politik, dan memahami dalam menjalankan sistem. Pemberdayaan juga merupakan salah satu metode pembangungan dimana masyarakat diperlakukan sebagai subyek pembangunan sejak dari memilih aspek, merumuskan program sampai melaksanakan pembangunan tersebut. Lebih luas lagi Menurut Ife mengartikan bahwa pemberdayaan berarti : Empowerment means providing people with the resources, opportunities, knowledge and skills to increase their capacity to determine their own future, and to participate in and affect the life of their community. Ife (1997:182): Dari kutipan diatas, pemberdayaan berarti membekali masyarakat dengan sumber daya, peluang, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk menentukan masa depannya, untuk berpartisipasi, dan untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat sekitarnya. Pemberdayaan juga mempunyai fungsi untuk meningkatkan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki antara lain dengan transfer daya dari lingkunganya. Lebih lanjut menurut Kenny: Empowerment raises awareness of the ways in which power exerted, and of identities and right of subordinates groups. But empowerment is not just a matter of consciuosness raising. It changes the material living conditions of those who are oppresede and disadvantaged in society, it changes acces to resources and alters the balanced of power towards subordinates groups. They increase their acces to and control over assets and information� (Kenny,1994:118) Proses pemberdayaan juga dapat membangkitkan kesadaran akan identitas dan hak dari kelompok-kelompok tersubordinasi akan tetapi pemberdayaan bukan hanya masalah tumbuhnya kesadaran, tetapi pemberdayaan itu juga akan merubah kondisi hidup material dari orang-orang yang tertekan dan kurang beruntung dalam masyarakat, selain itu pemberdayaan juga akan merubah akses terhadap sumberdaya dan merubah keseimbangan kekuatan untuk kelompok-kelompok sehingga mereka dapat meningkatkan akses dan informasi. Pemberdayaan terjadi manakala masyarakat memiliki kemampuan memecahkan

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 73 Rivo Nugroho

problem yang mereka hadapi dan memiliki kemampuan untuk memperjuangkan kondisikondisi yang tidak adil. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan dengan metode pemberdayaan berangkat dari dasar pemikiran dari oleh dan untuk rakyat, dimana masyarakat mempunyai kekuatan, kesadaran dan kemampuan untuk memberdayakan kelompoknya, karena pemberdayaan secara umum bertujuan untuk menuju manusia yang lebih baik, dan manusia merupakan pelaku utama dari pembangunan di masyarakatnya. Dari waktu ke waktu pola pembangunan yang dilakukan oleh manusia selalu berubah. Jika pembangunan dilihat dari sektor ekonomi dengan mengemukakan teori ekonomi pertumbuhan, maka pembangunan dimaknai sebagai usaha pengumpulan modal, peningkatan simpanan dan investasi. Dari pemahaman teori tersebut, jika pertumbuhan nasional dapat dicapai maka hasil pembangunan dapat mengalir ke bawah dan dinikmati masyarakat secara merata. Kegagalan pembangunan yang terjadi di negara berkembang salah satu faktornya adalah kurang memberi kesempatan berpartisipasi pada masyarakat. Hal yang perlu dilakukan adalah program memberdayakan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan pembangunan. Salah satunya adalah program Kursus Para Profesi dimana warga belajar dapat memecahkan masalah yang mereka hadapi. Melalui kegiatan yang mereka ikuti dalam kursus para profesi mereka memperoleh suatu keahlian atau keterampilan yang dapat digunakan untuk hidup. Dengan kata lain mereka diberikan suatu bekal kail sehingga mereka dapat bekerja bukan diberi ikan yang mendorong ketergantungan. Dengan kegiatan pemberdayaan yang diberikan pada mereka akan bisa bersifat jangka panjang atau memandirikan. Maksudnya adalah bahwa masyarakat tidak diberikan sesuatu yang berbentuk material tetapi masyarakat diberikan peluang dan kesempatan agar mereka sendiri yang melakukanya dengan dukungan instansi dan lembaga yang. Secara mendasar tidak ada satu orangpun yang dapat membangun atau memberdayakan orang lain, akan tetapi orang lain hanya sebatas untuk membantu, mengarahkan atau memfasilitasi orang yang bersangkutan agar mereka berdaya membangun diri, keluarga dan masyarakatnya. Dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat harus menyadari atau mengetahui kemampuan dirinya, karena pemberdayaan dapat dilakukan dengan

dua cara, yaitu : pertama dengan mengalihkan atau memberikan kekuasaan, kekuatan dan kemampuan kepada mereka (yang menjadi sasaran) agar individu menjadi berdaya, kedua menstimulasi, mendorong atau memotivasi invidu agar dapat memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog atau diskusi. Secara kritis menurut Freire (1972:52) bahwa pemberdayaan dari kelompok lemah bertujuan agar kelompok tersebut bisa keluar dari masalah hidupnya adalah dengan cara “problem-possing’ education, responding to the essence of consciousness-intentionality-rejects communiques and embodies communicationâ€?, yaitu dengan cara membangkitkan kesadaran diri untuk mengenali masalah yang dihadapi yang pada waktunya akan muncul pemahaman dan tindakan. Lebih lanjut menurut Freire konsep mengenai konsientisasi (penyadaran) yang merupakan faktor antara (intervening) dalam proses pemberdayaan (process of empowerment). Istilah konsientisasi (conscientization) dalam bukunya yang berjudul Pedagogy of the oppressed. Buku yang menjadi master Piece-nya ini mengandung muatan pemikiran mengenai kemampuan untuk mengontrol lingkungannya. Freire menjelaskan pengertian conscientization sebagai berikut: Every human being, no matter how ignorant or submerged in the cultured of silence he maybe, is capable of looking critically at his world in dialogical encounter with others. Provided with the proper tools for such an encounter, he can gradually perceive his personal and social reality as well as contradiction in it, become conscious of his own perception of that reality, and critically with it‌. The stimulation of selfreflected critical awareness in people of their social reality and of their ability to transform that reality by their concius collective action. (dalam Harry Hikmat, 2010:42) Kesadaran kritis dalam diri seseorang dapat dicapai dengan cara melihat ke dalam diri sendiri (looking inward), serta menggunakan apa yang didengar, dilihat, dan dialami untuk memahami apa yang sedang terjadi dalam kehidupannya. Konsientisasi merupakan proses pemahaman situasi yang sedang terjadi sehubungan dengan hubungan-hubungan politis, ekonomi, dan sosial. Seseorang menganalisa sendiri masalah yang dihadapinya, mengidentifikasi sebab-sebabnya, menetapkan

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 74 Rivo Nugroho

skala prioritasnya, dan memperoleh pengetahuan daru darinya. Konsientisasi merupakan sesuatu yang terjadi dalam diri seseorang (inner space) yang tidak dapat dipaksakan dari luar. Analisis realitas harus dilakukan oleh orang yang dapat memutuskan sendiri apa kebutuhannya yang sesungguhnya dan pengalaman yang penting baginya, bukan diputuskan oleh orang lain atau para pakar yang tidak memahami kelebihan dan kekurangan dirinya. Sedangkan Mali (1978) dan A.M.W. Pranaka (1996) mengatakan pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang lemah serta mempesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil pembangunan. Dari perspektif lingkungan pemberdayaan mengacu pada pengamanan akses, mengacu pada sumber daya alami dan pengolahan secara berkelanjutan (Nawawi, 2009: 142) Menurut Ife (1997: 60-62), pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan klien atas: 1) Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup: kemampuan dalam membuat keputusankeputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan. 2) Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan kenginannya. 3) Ide atau gagasan: kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan. 4) Lembaga-lembaga: kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan. 5) Sumber-sumber: kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan. 6) Aktivitas ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi dan pertukaran barang dan jasa. 7) Reproduksi: kemampuan dalam kaitanya dengan proses kelahiran,

perawatan sosialisasi.

anak,

pendidikan

dan

Konsep MEA Konsep Masyarakat Ekonomi ASEAN sejalan dengan dinamika hubungan antar-bangsa di ASEAN yang menyadari pentingnya integrasi negara-negara di Asia Tenggara. Pada pertemuan informal para Kepala Negara ASEAN di Kuala Lumpur tanggal 15 Desember 1997 disepakati ASEAN Vision 2020 yang kemudian ditindaklanjuti dengan pertemuan di Hanoi yang menghasilkan Hanoi Plan of Action (HPA). Visi 2020 termasuk HPA berisi antara lain: kondisi yang ingin diwujudkan di beberapa bidang, seperti orientasi ke luar, hidup berdampingan secara damai dan menciptakan perdamian internasional. Beberapa agenda kegiatan yang akan dilaksanakan untuk merealisasikan Visi 2020 adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, ekonomi, lingkungan hidup, sosial, teknologi, hak cipta intelektual, keamanan dan perdamaian, serta turis melalui serangkaian aksi bersama dalam bentuk hubungan kerjasama yang baik dan saling menguntungkan diantara negaranegara anggota ASEAN. Selanjutnya pada KTT ASEAN ke-9 di Bali pada tahun 2003 dihasilkan Bali Concord II yang menyepakati pembentukan ASEAN Community untuk mempererat integrasi ASEAN. Terdapat tiga komunitas dalam ASEAN Community yang disesuaikan dengan tiga pilar di dalam ASEAN Vision 2020, yaitu pada bidang keamanan politik (ASEAN PoliticalSecurity Community), ekonomi (ASEAN Economic Community), dan sosial budaya (ASEAN Socio-Culture Community). MEA adalah tujuan akhir integrasi ekonomi seperti yang dicanangkan dalam ASEAN Vision 2020 adalah: "To create a stable, prosperous and highly competitive ASEAN economic goods, services, investment, skill labor economic development and reduced poverty and socioeconomic disparities in year 2020." Untuk membantu tercapainya integrasi ekonomi ASEAN melalui AEC, maka dibuatlah AEC Blueprint yang memuat empat pilar utama yaitu (1) ASEAN sebagai pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal yang didukung dengan elemen aliran bebas barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik dan aliran modal yang lebih bebas; (2) ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi tinggi, dengan elemen peraturan

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 75 Rivo Nugroho

kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan, dan ecommerce; (3) ASEAN sebagai kawasan dengan pengembangan ekonomi yang merata dengan elemen pengembangan usaha kecil dan menengah, dan prakarsa integrasi ASEAN untuk negara-negara Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam; dan (4) ASEAN sebagai kawasan yang terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global dengan elemen pendekatan yang koheren dalam hubungan ekonomi di luar kawasan, dan meningkatkan peran serta dalam jejaring produksi global. Dengan berlakunya MEA 2015, berarti negara-negara ASEAN menyepakati perwujudan integrasi ekonomi kawasan yang penerapannya mengacu pada ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint. AEC Blueprint merupakan pedoman bagi negara- negara Anggota ASEAN dalam mewujudkan AEC.(Abdurofiq, 2015)

PENUTUP Sebagai kesimpulan dari tulisan ini maka ada beberapa hal yang bisa kita kaji berkaitan dengan program pemberdayaan masyarakat di Indonesia utamanya ketika era MEA sudah bergulir seperti saat ini. Dengan potensi jumlah penduduk 252 juta jiwa, masyarakat Indonesia sebenarnya memiliki porsi keuntungan paling besar dengan 50 persen penduduk dari 600 juta penduduk ASEAN. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 50 persen dari penduduk ASEAN dan jumlah pendapatan perkapita yang lebih kecil dibandingkan negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Singapore dan Thailand, maka MEA 2015 sebenarnya lebih menguntungkan bagi pengembangan ekonomi Indonesia, terutama dalam pemerataan pendapatan, namun jika pemerataan itu tidak dilakukan dalam waktu yang cepat, Indonesia akan dapat kehilangan sumber daya manusia terbaik yang berpindah tempat untuk mencari penghidupan yang layak di luar Indonesia. (Abdurofiq, 2015) Sebagai contoh bila dilihat dari aspek ketenagakerjaan, pembukaaan peluang kerja yang luas harus disertai dengan penguatan kapasitas masyarakat Indonesia. Kasus Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan pengiriman sumber daya manusia dengan kualitas profesionalitas yang rendah hanya akan menjadikan masyarakat Indonesia menjadi “budak” di negara tetangga. Program pemberdayaan yang ada sudah seharusnya mengarah kepada peta persaingan

dalam kancah global khususnya dalam cakupan ASEAN. Program tersebut harus bisa dirasakan langsung dampaknya baik dari segi ekonomi, sosial budaya serta pendidikan. Bila hal ini dilakukan maka bangsa kita tidak hanya bisa bersaing di negeri sendiri tapi juga akan bisa bersaing di negera ASEAN lainnya. DAFTAR PUSTAKA

Buku : Freire,

P. (1972). Pedagogy Of The Oppressed. New York: Penguin Books, Madison Avenue. Hikmat, Harry. (2010). Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung : Humaniora Utama Press. Ife, Jim. (1997). Community Development. Printed In Malaysia Through Longman Malaysia. Kenny,

Susan. (1994). Developing communities for the future: community development in Australia. Northwestern University. Kindervater, S (1979) Nonformal Education as an Empovering process Which case studies from Indonesia and Thailand. Massachusettes : Center for International Education University of Massachusettes. Nawawi, Ismail. (2009). Pembangunan dan Problema Masyarakat. Surabaya : CV. Putra Media Nusantara. Dari E-journal : Abdurofiq, A. (2015). MENAKAR PENGARUH MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015 TERHADAP PEMBANGUNAN, (95). Retrieved from https://www.google.co.id/url?sa=t&rct= j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&cad=r ja&uact=8&ved=0ahUKEwiA_vn6weXL AhXi46YKHczgDAwQFggpMAM&url=h ttp://journal.uinjkt.ac.id/index.php/sala m/article/download/1543/pdf&usg=AF QjCNEXcceXlbMaKXykLOcukhyZBBd Hrw&bvm=bv.117868183 KEMENKEU. (2014). Riset Kajian PKRB, (Analisa Daya Saing dan Produktivitas Indonesia Menghadapi MEA). Retrieved

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 76 Rivo Nugroho

from http://kemenkeu.go.id/sites/default/file s/Kajian Daya Saing dan Produktivitas Indonesia Menghadapi MEA.pdf

Wangke, H. (2015). PELUANG INDONESIA DALAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015, VI(10), 5–8. Retrieved from http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files /info_singkat/Info Singkat-VI-10-IIP3DI-April-2014-4.pdf

PROFIL SINGKAT

Penulis merupakan kelahiran Ngawi pada tanggal 5 april 1981, jenjang sarjana strata 1 lulus tahun 2006 dari jurusan pendidikan luar sekolah universitas negeri surabaya pernah bekerja di lsm serta bidang swasta lainnya, kemudian melanjutkan strata 2 pada jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Yogyakarta lulus tahun 2012 dan saat ini penulis sebagai staf pengajar di jurusan Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


PERAN PROGRAM CSR PADA PENDIDIKAN FORMAL DAN NONFORMAL DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL Fitta Ummaya Santi1), Heru Raharjo2) Universitas Negeri Yogyakarta1), SMK Negeri 1 Ngawen Gunungkidul2) fitta_us@uny.ac.id.1), heru_pascauny@yahoo.co.id2) Abstrak Corparate Social Responsibility (CSR) merupakan suatu bentuk tanggung jawab perusahaan dalam pemberdayaan masyarakat (community development). Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan kemandirian masyarakat serta mampu mengembangkan potensi masyarakat. Perusahaan dan BUMN menyelenggaraan CSR dengan berbagai bentuk program, salah satunya adalah pendidikan. Makalah ini akan menggambarkan pelaksanaan CSR di bidang pendidikan formal dan nonformal di Kabupaten Gunungkidul, yaitu: (1) pengembangan Program Keahlian Tata Busana di SMKN 2 Gedangsari yang dilakukan oleh PT Astra Internatioal Tbk., (2) pengembangan program studi Teknik Alat berat di SMKN 1 Ngawen yang dilakukan oleh PT Komatsu Indonesia Tbk., (3) pemberdayaan masyarakat di Desa Wisata Goa Pindul yang dilakukan oleh Bank Central Asia Tbk., dan (4) pemberdayaan masyarakat di Desa Wisata Nglanggeran yang dilakukan oleh Bank Mandiri Tbk. Perusahaan melaksanakan program CSR bervariasi sesuai dengan kebutuhan dan potensi wilayah. Program CSR memberikan manfaat bagi masyarakat, yaitu: (1) meningkatkan pengetahuan dan keterampilan; (2) mengembangkan potensi daerah; (3) mengembangkan semangat kewirausahaan; (4) mengurangi urbanisasi; dan (5) tersedianya fasilitas publik yang bermanfaat langsung bagi masyarakat. Kata kunci: CSR, pendidikan, pemberdayaan masyarakat

PENDAHULUAN Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki potensi wilayah yang sangat beragam, mulai dari pertanian, perikanan dan peternakan, hutan, flora dan fauna, industri, tambang serta potensi wisata. Sektor wisata di Kabupaten Gunungkidul memberikan kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) terbesar dibanding sektor lainnya. Hal ini tidak dipungkiri karena Gunungkidul memiliki destinasi wisata yang cukup banyak seperti pantai, goa, gunung, embung dan wisata alam lainnya. Setiap tahun PAD sektor wisata selalu naik dan melampaui target yang diharapkan. Di bidang pendidikan, Kabupaten Gunungkidul memiliki potensi yang perlu cukup membanggakan. Seluruh kecamatan sudah memiliki SMK Negeri dengan berbagai pilihan program keahlian yang membuat akses pendidikan masyarakat semakin luas. Lulusan SMK juga semakin berkualitas sehingga mereka mampu untuk mengembangkan daerah atau

meningkatkan taraf hidup dengan bekerja di sektor industri. Peran serta masyarakat dalam pendidikan nonformal juga semakin besar. Berdirinya lembaga pendidikan nonformal seperti PAUD, PKBM, lembaga pendidikan dan pelatihan yang ada di beberapa desa wisata merupakan hal positif yang perlu diapresiasi. Lembaga pendidikan nonformal ini telah melakukan upaya pemberdayaan masyarakat di wilayah sekitar. Pemerintah Kabupaten Gunungkidul tidak hanya mengandalkan peran pemerintah dalam mengembangkan daerah, akan tetapi telah menjalin kerja sama dengan perusahaan dalam bentuk program Corparate Social Responsibility (CSR). Perusahaan daerah, nasional bahkan multinasional telah memberikan kontribusinya dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Gunungkidul. Tulisan ini akan mendeskripsikan penyelenggaraan CSR yang dilakukan oleh PT Astra International, PT Komatsu Indonesia, Bank Central Asia, dan Bank Mandiri yang dilaksanakan di Kabupaten Gunungkidul. Tulisan ini juga akan membahas mengenai


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 78 Fitta Ummaya Santi, Heru Raharjo dampak penyelenggaraan program CSR terhadap masyarakat. PEMBAHASAN Peran Pendididkan dalam Memberdayakan Masyarakat

Upaya

Pendidikan merupakan upaya sadar dan terencana dalam rangka mengembangkan potensi manusia. Pendidikan adalah elemen penting dalam pembentukan generasi penerus bangsa. Di Indonesia terdapat tiga jalur pendidikan, yaitu pendidikan formal, nonformal, dan informal. Telah dijelaskan dalam Undangundang No 20 tahun 2003 pasal 13 ayat 1 bahwa: (1) pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan disekolahsekolah pada umumnya, seperti: SD, SMP, SMA, dan PT; (2) pendidikan nonformal merupakan jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang, seperti: pendidikan anak usia dini, kursus, PKBM dan majelis taklim; (3) pendidikan informal yaitu jalur pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri yang dilakukan secara sadar dan bertanggungjawab. Menurut Mohammad Ali (2009, p.58) dalam buku “Pendidikan untuk Pembangunan Nasional” menyatakan bahwa “pendidikan merupakan sektor yang sangat strategis dalam pembangunan nasional”. Pendidikan ditujukan pada terjadinya perubahan kehidupan masyarakat yang lebih baik, yaitu masyarakat yang berdaya dan memiliki bekal pengetahuan juga keterampilan sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan masyarakat. CSR dalam Pemberdayaan Masyarakat Konsep CSR menurut Wineberg dan Rudolph (2004, p.72) adalah: “the contribution that a company makes society throug its core business activities, its social investment and philanthropy programs, and its engagement in public policy” Sedangkan menurut Schermerhorn (1993) CSR didefinisikan sebagai suatu kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara-cara mereka sendiri dalam melayani kepentingan organisasi dan kepentingan publik eksternal.

Saat ini pelaksanaan CSR makin berkembang di Indonesia. Namun masih banyak anggapan keliru mengenai konsep CSR yaitu sebagai upaya membangun imej (building image). Secara konsep, CSR merupakan suatu bentuk tanggung jawab perusahaan dalam pemberdayaan masyarakat (community development). Pengertian tersebut serupa dengan yang disampaikan oleh Arif Budimanta (2008: 21) bahwa CSR merupakan komitmen perusahaan untuk membangun kualitas kehidupan yang lebih baik bersama dengan pihak terkait, utamanya masyarakat di sekitar perusahaan tersebut berada secara berkelanjutan Dari pengertian di atas CSR dapat didefinisikan secara sederhana sebagai tanggungjawab perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan CSR ini dapat ditandai dengan adanya peningkatan kualitas kehidupan masyarakat baik secara ekonomi, sosial, pendidikan maupun dalam lingkungannya. CSR menawarkan konsep pembangunan yang lebih kepada “doing with the community” dibandingkan dengan “doing for the community”. Doing with community mendorong masyarakat berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan melalui berbagai program yang bertujuan mengembangkan masyarakat, karena pada prinsipnya, partisipasi masyarakat adalah kunci utama keberhasilan sebuah program pemberdayaan. Keterlibatan perusahaan dalam program CSR dilatarbelakangi dengan beberapa kepentingan. Menurut Mulyadi (2003, p.4) setidaknya bisa diidentifikasi tiga motif keterlibatan perusahaan, yaitu: motif menjaga keamanan fasilitas produksi, motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja, dan motif moral untuk memberikan pelayanan sosial pada masyarakat lokal. Motif moral inilah yang seringkali dilakukan oleh CSR melalui programprogram pendidikan maupun pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses memampukan masyarakat agar mandiri secara sosial, ekonomi, dan politik. Menurut Tila’ar (2000, p.231) masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang hidup dalam suatu masyarakat madani (civil society), yakni masyarakat yang percaya atas kemampuan para anggotanya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik serta masyarakat menyadari akan hakhak dan kewajibannya dalam hidup


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 79 Fitta Ummaya Santi, Heru Raharjo bermasyarakat dan adanya kesempatan agar semakin berdaya. Proses pemberdayaan masyarakat dapat melalui berbagai proses pendidikan, baik secara formal, informal maupun nonformal. Masyarakat perlu didampingi agar mampu mengembangkan potensi yang dimiliki, yaitu potensi sumber daya manusia maupun sumber daya alam yang ada. Pendekatan yang perlu ditekankan dalam proses pemberdayaan menurut Kindervatter dalam Kusnadi (2007, p.222) terdiri atas: 1. Community organization, yaitu karakteristik yang mengarah pada tujuan untuk mengaktifkan masyarakat dalam usaha meningkatkan dan mengubah keadaan sosial ekonomi mereka. 2. Participatory approach, yaitu pendekatan yang menekankan pada keterlibatan setiap anggota dalam seluruh kegiatan, seperti pelibatan pemimpin, tokoh masyarakat serta tenaga-tenaga ahli setempat. 3. Education for justice, yaitu pendekatan yang menekankan pada terciptanya situasi yang memungkinkan masyarakat tumbuh dan berkembang analisisnya dan memiliki motivasi untuk berperan serta. Keterlibatan berbagai pihak dalam proses pemberdayaan tentu sangatlah diperlukan untuk mendukung keberhasilan perubahan masyarakat yang lebih luas. Terutama peran CSR sebagai pemilik komitment perusahaan. CSR akan lebih berdampak positif bagi masyarakat, sangat bergantung dari orientasi dan kapasitas organisasi lain, termasuk pemerintah. Program CSR dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan bermacam-macam, yaitu mulai dari kegiatan peningkatan kesejahteraan masyarakat, perbaikan lingkungan, pemberian beasiswa, bantuan dana fasilitas umum, dan sumbangan untuk desa/fasilitas yang bersifat sosial. Perusahaan harus bertanggung jawab secara moral terhadap masyarakat dan lingkungan dalam bentuk program CSR. Di bawah ini akan digambarkan beberapa kegiatan CSR perusahaan nasional di bidang pendidikan.

International Tbk. Perusahaan yang awalnya hanya perusahaan kecil kini telah berkembang dengan pesat. Berbagai bidang usaha telah dilakukan dan sampai saat ini telah memiliki 190 anak perusahaan sehingga menjadikan Astra sebagai salah satu perusahaan yang vital bagi Indonesia (www.astra.co.id). Bidang usahanya terdiri dari enam segmen yaitu: otomotif, jasa keuangan, alat berat dan pertambangan, agribisnis, infrastruktur, logistik, dan teknologi informasi. Pada akhir 2015, PT Astra International mencatat laba bersih sebesar 15 trilyun, dan hampir 50% berasal dari laba bersih usaha bidang otomotif yaitu sebesar 7,464 trilyun (www.astra.co.id). Hal inilah yang menyebabkan PT Astra International diidentikkan dengan perusahaan otomotif terbesar di indonesia. Sebagai perusahaan multinasional PT Astra International memiliki tanggung jawab moral kepada masyarakat melalui program CSR. PT Astra International terus menggulirkan berbagai program tanggung jawab perusahaan yang dirangkum dalam Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia (SATU Indonesia) melalui sembilan yayasan yang ada pada perusahaan tersebut. Empat pilar utama bentuk CSR PT Astra International adalah bidang pendidikan, lingkungan, usaha kecil menengah (UKM), dan kesehatan. Menurut Arif Budimanto (2008) penyelenggaraan CSR oleh perusahaan dilakukan melalui empat model, yaitu: (1) melalui keterlibatan secara langsung pada masyarakat sasaran program; (2) melalui yayasan atau organisasi sosial; (3) bermitra dengan pihak lain; dan (4) bergabung dengan konsorsium. PT Astra International memilih model yang kedua yaitu melalui yayasan yang dibentuk oleh perusahaan tersebut. Yayasan PT Astra International sebagai penyelenggara CSR kepada masyarakat ada 9 yaitu: (1) Yayasan Pendidikan Astra - Michael D. Ruslim (YPA-MDR); (2) Yayasan Toyota dan Astra; (3) Yayasan Dharma Bhakti Astra; (4) Yayasan Astra Bina Ilmu; (5) Yayasan Astra Honda Motor; (6) Yayasan Amaliah Astra; (7) Yayasan Karya Bhakti United Tractors; (8) Yayasan Astra Agro Lestari; dan (9) Yayasan Insan Mulia Pamapersada Nusantara. Yayasan Pendidikan Astra – Michael D Ruslim (YPA-MDR) merupakan salah satu yayasan PT Astra International yang menyelenggarakan CSR di bidang pendidikan.

CSR PT Astra International Tbk. di SMKN 2 Gedangsari PT Astra International Tbk. merupakan perusahaan yang didirikan pada tahun 1957 dengan nama awal PT Astra International Inc., dan pada tahun 1990 berubah menjadi PT Astra 79


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 80 Fitta Ummaya Santi, Heru Raharjo Michael D Ruslim diambil dari nama Presiden Direktur PT Astra International, yaitu Bapak Michael D Ruslim. YPA-MDR memiliki visi untuk membantu sekolah-sekolah yang berada di daerah prasejahtera agar siswa siswinya mampu meningkatkan kualitas, intelektual dan kompetensi kecakapan hidup (life skill) serta memiliki karakter yang didasarkan pada nilai luhur bangsa Indonesia (www.astra.co.id). Sesuai dengan visinya untuk membantu sekolah yang berada di daerah prasejahtera, YPA-MDR telah melaksanakan program CSR di Kabupaten Gunungkidul yaitu di kecamatan Gedangsari, tepatnya di SMK Negeri 2 Gedangsari. Program CSR yang dilakukan yaitu pengembangan Program Keahlian Tata Busana. Perusahaan otomotif terbesar di Indonesia ini memilih mengembangkan Program Keahlian Tata Busana khususnya pada produksi batik. Visi jangka panjangnya yaitu membuat SMK menarik bagi masyarakat desa yang pada akhirnya akan membangun serta mensejahterakan desa tersebut sesuai dengan potensi yang ada. Program-program CSR yang dilakukan oleh PT Astra International di SMK Negeri 2 Gedangsari adalah: 1. Membangun sarana pendidikan berupa gedung sekolah. Gedung sekolah Program Keahlian Tata Busana terdiri atas ruang kantor, ruang kelas, perpustakaan, ruang laboratorium komputer dan bahasa, ruang unit produksi dan teaching factory, ruang peragaan dan busana, ruang unit pengembangan usaha, mushola dan beranda batik. Gedung seharga 14,9 miliar ini diresmikan pada tanggal 5 Maret 2015 oleh Mendikbud Anies Baswedan. 2. Pelatihan bagi guru dan siswa. Pelatihan bagi guru dan siswa berupa pelatihan dan pendampingan keterampilan seni batik dengan harapan nantinya siswa memiliki kompetensi menjadi desainer pemula dalam pembuatan busana butik batik. 3. Beasiswa pendidikan. Beasiswa pendidikan diberikan kepada lulusan SMP yang akan melanjutkan di Program Keahlian Tata Busana di SMK Negeri 2 Gedangsari.

PT Komatsu Indonesia di SMKN 1 Ngawen PT Komatsu Indonesia (PT Komi) merupakan salah satu perusahaan alat berat yang ada di Indonesia. Perusahaan ini merupakan perusahaan alat berat terbesar kedua setelah PT Caterpillar yang memproduksi alat berat dengan merk CAT. Sebagai tanggung jawab sosial perusahaan PT Komatsu Indonesia juga melaksanakan program CSR melalui Yayasan Komatsu Indonesia Peduli (YKIP). Program CSR Yayasan Komatsu Indonesia Peduli terdiri dari tiga aktivitas utama, yaitu: pengembangan masyarakat sekitar perusahaan, beasiswa pendidikan dan bantuan kemanusiaan (www.komi.co.id/ina/care-society.html). Kepedulian YKIP dalam dalam bidang pengembangan masyarakat dilakukan dalam bentuk penyediaan fasilitas publik dan pemberdayaan ekonomi. Hal ini lebih banyak dilaksanakan pada masyarakat wilayah sekitar perusahaan. Di bidang pendidikan, YKIP menyediakan program bantuan pendidikan seperti bantuan fasilitas pendidikan dan beasiswa untuk mahasiswa perguruan tinggi. Komatsu Indonesia juga memberikan bantuan kemanusiaan untuk membantu korban bencana alam di seluruh indonesia dengan program pertolongan kondisi darurat, program-program pemulihan dan program-program rehabilitasi. SMK Negeri 1 Ngawen Gunungkidul merupakan satu-satunya SMK di DIY yang memiliki Program Keahlian Teknik Alat Berat. Berdirinya Program Keahlian Teknik Alat Berat di SMK Negeri 1 Ngawen ini mendapat support langsung dari perusahaan alat berat yaitu PT Hexindo Adi Perkasa yang memproduksi alat berat merk Hitachi. Dalam perkembangannya PT Komatsu Indonesia juga berperan serta dalam pengembangan Program Keahlian Teknik Alat Berat di SMK Negeri 1 Ngawen. Program CSR yang dilakukan oleh PT Komatsu Indonesia melalui Yayasan Komatsu Indonesia Peduli di SMK Negeri 1 Ngawen berupa bantuan sarana pendidikan, magang siswa, dan guru tamu. 1. Bantuan sarana pendidikan. Sarana pendidikan yang diberikan berupa alat praktek alat berat yaitu mesin hydraulic excavator dan mesin bulldozer. Sarana pendidikan ini sangat membantu guru dan siswa Program Keahlian Alat Berat dalam mempelajari dan menguasai kompetensi alat berat. Peralatan alat berat ini sangat mahal harganya, sehingga dengan adanya CSR dari


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 81 Fitta Ummaya Santi, Heru Raharjo perusahaan alat berat sangat membantu sekolah dalam melengkapi sarana praktek di Program Keahlian Teknik Alat Berat SMK Negeri 1 Ngawen. 2. Magang siswa. Program magang siswa atau praktek kerja industri (prakerin) dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kompetensi siswa dengan cara terjun langsung di perusahaan selama tiga bulan. 3. Program guru tamu. Program guru tamu dilakukan dengan cara mengirimkan trainer perusahaan ke sekolah untuk memberikan materi alat berat kepada siswa Program Keahlian Teknik Alat Berat. Program ini merupakan kolaborasi antara sekolah vokasi UGM, PT Hexindo Adi Perkasa dan PT Komatsu Indonesia.

infrastruktur dan fasilitas yang diberikan BCA kepada komunitas Wirawisata Goa Pindul antara lain: pembangunan fasilitas outdoor training, home stay dan fasilitas cave tubing. 2. Pelatihan peningkatan kemampuan dan keterampilan pengelolaan desa wisata. Kegiatan ini difokuskan pada peningkatan

pemahaman dan kemampuan pengelola untuk memberikan pelayanan yang prima bagi pengunjung, pengembangan experiential learning/outdoor training dan pelatihan bagi pemandu wisata Goa Pindul. 3. Pengembangan program pendidikan Omah pasinaon dan sekolah pindul. Program ini sebagai tanggung jawab BCA dalam pemberdayaan masyarakat di bidang pendidikan untuk masyarakat dari anak-anak, pemuda dan orang tua di wilayah desa wisata Goa Pindul.

CSR Bank Central Asia di Desa Wisata Goa Pindul Program CSR BCA berada di bawah payung program Bakti BCA yang dilakukan secara berkesinambungan dan dituangkan dalam tiga pilar program, yaitu: Solusi Cerdas BCA, Solusi Sinergi dan Solusi Bisnis Unggul BCA (www.bca.co.id). Program Solusi Cerdas BCA merupakan program CSR BCA di bidang pendidikan. Program CSR bidang pendidikan terdiri dari beberapa kegiatan antar lain: beasiswa bakti BCA, Sekolah Binaan dan Kemitraan Pendidikan. Program Solusi Sinergi BCA merupakan program CSR BCA yang bersinergi dengan beberapa lembaga di bidang budaya, kesehatan, lingkungan, olah raga, dan empati. Contoh kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain pementasan seni tradisi, pendirian klinik kesehatan, bantuan bencana alam dan penyelenggaraan even olah raga. Solusi Bisnis Unggul BCA merupakan program CSR BCA yang ditujukan untuk menciptakan keadaan di mana masyarakat mampu tumbuh dan mencapai kemajuan secara mandiri. Salah satu kegiatan pada program ini adalah kemitraan dengan komunitas Wirawisata di Goa Pindul Gunungkidul. Komunitas Wirawisata Goa Pindul merupakan sekelompok pemuda karang taruna Desa Bejiharjo Karangmojo Gunungkidul yang mengelola wisata Goa Pindul. Program-program CSR yang telah dilakukan antara lain: 1. Bantuan infrastruktur dan fasilitas yang mendukung pariwisata Goa Pindul. Bantuan

CSR Bank Nglanggeran

Mandiri

di

Desa

Wisata

Program CSR Bank Mandiri terdiri dari dua program, yaitu Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. Program Kemitraan bertujuan untuk mendorong kemajuan ekonomi suatu kawasan sehingga masyarakat mampu memiliki kreativitas dan produktivitas secara mandiri. Sedangkan program bina lingkungan bertujuan untuk mendukung keberlangsungan pendidikan yang berkualitas. Bentuk-bentuk programnya yaitu: Program Wirausaha Muda Mandiri, Program Mandiri bersama Mandiri, Mandiri Peduli Pendidikan, dan fasilitas ramah lingkungan. Bank Mandiri mulai melaksanakan program CSR di desa wisata Nglanggeran berawal dari kompetisi Wirausaha Sosial (sekarang Wirausaha Muda Mandiri) yang diselenggarakan Bank Mandiri pada tahun 2012. Salah satu pemuda Desa Nglanggeran Patuk Gunungkidul bernama Sugeng Handoko menjadi pemenang kompetisi tersebut dengan mengangkat tema Pengembangan Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Desa Nglanggeran Patuk Gunungkidul. Bank Mandiri melakukan berbagai pendampingan dan pembinaan untuk mengembangkan Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Desa Nglanggeran melalui program CSR Bank Mandiri. Bentuk-bentuk program 81


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 82 Fitta Ummaya Santi, Heru Raharjo CSR yang dilakukan oleh Bank Mandiri di Desa Wisata Nglanggeran antara lain: 1. Pembangunan fasilitas yang mendukung wisata seperti: pembangunan Embung Nglanggeran, penataan kawasan wisata dan pengembangan destinasi wisata baru di sekitar Nglanggeran. Pembangunan kawasan wisata ini juga didukung oleh pihak yang lain seperti Pertamina dan Pemerintah Daerah. 2. Pelatihan peningkatan kemampuan pengelola Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba. Kegiatan ini dilakukan kepada pengelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) dan Karang Taruna Desa Nglanggeran.

3.

Bentuk-bentuk program CSR tersebut bersifat pembinaan dan pendampingan berkelanjutan, sehingga masyarakat akan berusaha untuk mengembangkan diri yang pada akhirnya mereka akan mandiri untuk mengembangkan program yang telah dilaksanakan. Dampak Program CSR Program CSR yang dilakukan oleh beberapa perusahaan seperti yang telah dikemukakan di atas telah memberikan dampak positif bagi masyarakat. Masyarakat sebagai sasaran program CSR telah memiliki kemampuan dalam pengembangan dirinya. Hal ini sesuai pendapat yang dikemukakan oleh Mukti Fajar (2010, p.8) bahwa keberhasilan program CSR adalah berdasarkan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat di sekitarnya. Beberapa dampak program CSR yang dilakukan oleh perusahaan dalam pendidikan formal dan nonformal di Kabupaten Gunungkidul antara lain: 1. Meningkatnya pengetahuan dan keterampilan masyarakat. Pada sekolah formal, siswa mendapatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan program keahlian masing-masing. Siswa memiliki kompetensi di bidang batik dan alat berat. Para pengelola desa wisata memiliki pengetahuan dan keterampilan mengelola desa wisata secara profesional sehingga desa wisata yang dikelola semakin maju dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 2. Mengembangkan potensi daerah. Di Kecamatan Gedangsari batik merupakan

4.

5.

potensi lokal yang perlu dikembangkan, untuk itu perlu disiapkan sumber daya manusia yang mampu untuk mengembangkan potensi tersebut melalui SMK. Potensi desa wisata di Goa Pindul dan Nglanggeran merupakan potensi daerah yang menjadi daya tarik wisatawan. Program CSR telah membawa dua desa wisata tersebut menjadi destinasi wisata yang memberi kesejahteraan kepada masyarakat dan daerah. Mengembangkan semangat kewirausahaan. Pengembangan semangat kewirausahaan dapat ditandai dengan munculnya kewirausahaan baru di desa wisata Goa Pindul dan Nglanggeran. Masyarakat yang semua hanya sebagai pemuda pengangguran, petani dan ibu rumah tangga kini telah berkembang menjadi wirausaha dengan membuka usaha yang mendukun pariwisata seperti sebagai pemandu wisata, pengelola, usaha kuliner dan lain sebagainya. Usaha batik di wilayah Gedangsari kini berkembang pesat karena banyak alumni SMK dan masyarakat telah kembali mengembangkan usaha batik yang telah lama surut di daerah tersebut. Bahkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menetapkan Gedangsari sebagai sentra batik di Yogyakarta. Mengurangi urbanisasi. Pengembangan Program Keahlian Tata Busana Batik di SMK Negeri 2 Gedangsari diharapkan dapat mengurangi urbanisasi. Hal ini disampaikan oleh Mendikbud Anies Baswedan agar siswa dan masyarakat sekitar mengembangkan batik di daerahnya masing, masing berwirausaha dan tidak perlu mencari pekerjaan ke luar kota. Begitu pula halnya para pemuda di desa wisata, mereka dapat bekerja di sektorsektor yang mendukung pariwisata di desa tersebut tanpa harus bekerja ke kota. Tersedianya fasilitas publik yang mendukung pemberdayaan masyarakat. Fasilitas gedung sekolah, fasilitas pendidikan dan fasilitas pendukung pariwisata dapat digunakan oleh masyarakat atau siswa untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka. Fasilitas yang dibangun melalui program CSR cukup besar biayanya, hal ini tentu sangat membantu bagi masyarakat sasaran program.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 83 Fitta Ummaya Santi, Heru Raharjo Schermerhom, John T. (1993). Management for productivity. New York: John Wiley & Sons.

PENUTUP Simpulan dari pembahasan di atas bahwa program CSR yang dilakukan oleh perusahaan memiliki program yang berbedabeda sesuai dengan potensi wilayah sasaran program. Program CSR sangat membantu dalam pemberdayaan masyarakat baik di lembaga formal maupun nonformal. Maka dari program CSR perlu dikembangkan secara luas di daerah lain dengan dukungan semua pihak baik pemerintah, masyarakat, maupun perusahaan.

Tilaar, H.A.R. (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No 23 tahun 2003. Wineberg, Danette and Phillp H. Rudolph. (2004). Corporate Social ResponsibilityWhat Every In House Counsel Should Know, dalam ACC Doclet.

DAFTAR PUSTAKA

www.komi.co.id/ina/care-society.html. tanggal 10 April 2016.

Arif Budimanta, dkk. (2008). Corporate Social Responsibility: Alternatif Bagi Pembangunan Indonesia. Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development (ICDS).

diakses

PROFIL SINGKAT Fitta Ummaya Santi, S. Pd., M. Pd lahir di Kebumen, 28 Maret 1987. Memperoleh gelar Sarjana pada program studi PLS FIP UNY dan gelar Magister pada program studi PLS PPs UNY. Saat ini penulis aktif sebagai Dosen pada Program Studi PLS di UNY

Astra International/Ruang Media-Siaran Pers. www.astra.co.id. diakses tanggal 10 April 2015. Astra International/Profil-Tentang Astra. www.astra.co.id. diakses tanggal 10 April 2015.

Heru Raharjo, M.Pd. lahir di Gunungkidul 21 Oktober 1982. Memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Pendidikan Teknik Mesin Otomotif Fakultas Teknik UNY dan gelar magister pada Program Studi Pendidikan Teknologi Kejuruan Program Pasca Sarjana UNY. Mengawali karir sebagi dosen di Teknik Mesin Politeknik UMY dari tahun 2006-2009. Tahun 2009-sekarang sebagi guru PNS di SMKN 1 Ngawen Gunungkidul pada Program Keahlian Teknik Alat Berat dan Teknik Kendaraan Ringan.

CSR-BCA. www.bca.co.id. diakses tanggal 10 April 2015. Kusnadi, dkk. (2005). Pendidikan Keaksaraan. Filosofi, Strategi, Implementasi. Jakarta: Direktorat Pendidikan Masyarakat. Mohammad Ali. (2009). Pendidikan untuk Pembangunan Nasional. Bandung: PT Imperial Bhakti Utama. Mukti Fajar. (2010). Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Di Indonesia: Studi tentang Penerapan Ketentuan CSR Pada Perusahaan Multinasional, Swasta Nasional dan BUMN di Indonesia, Jakarta: Pustaka Pelajar. Mulyadi. (2003). Pengelolaan Program Corporat Social Responsibility: Pendekatan, Keberpihakan dan Keberlanjutan. Yogyakarta: Center for Population Studies, UGM. 83


PERAN PEMBERDAYAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (PKK) DALAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DESA (Studi kasus pada kelompok PKK Desa Tegalsari Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember Juara tingkat Nasional) Lutfi Ariefianto1) PLS FKIP Universitas Jember1),2) Lutfipls.fkip@unej.ac.id1), 2) Abstrak

Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan upaya dilakukan PKK dalam rangka pemberdayaan perempuan, khususnya di Desa Tegalsari Kabupaten Jember. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis data model interaktif. Hasil penelitian Pelaksanaan pemberdayaan perempuan oleh PKK desa Tegalsari sudah berjalan baik. ada kesadaran mandiri pentingnya keterlibatan perempuan desa dalam program pemberdayaan bukan hanya sebagai sasaran kegiatan tetapi juga terlibat proses pelaksanaan program. pemberdayaan bidang ekonomi melalui kelompok UPPKS, bidang politik melalui kelompok politik perempuan namun tidak ada aktifitasnya. Strategi dilakukan PKK menerapkan Strategi internal, Memperkuat kapasitas kelembagaan untuk motor penggerak pemberdayaan perempuan desa dan pengembangan SDM. Strategi eksternal, Membangun kerja sama dengan pemerintah daerah dalam bidang teknis, keterampilan, pendanaan, Menjalin kerja sama dengan TP.PKK Kecamatan dan Kabupaten dalam pameran produk PKK dalam rangka perluasan pasar, pelatihan kader, dan bantuan dana, Menjalin kerja sama dengan lembaga keuangan lokal. Kata kunci:1 pemberdayaan Perempuan, PKK dan Strategi Pemberdayaan.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 84 Lutfi Ariefianto

PENDAHULUAN

Menurut Fakih dalam Rogib (2003:4) menerangkan bahwa perempuan dilarang keluar rumah, mengenyam pendidikan, dan mendapatkan pekerjaan yang layak sebagai mana laki-laki. Munculnya kaum perempuan yang memperjuangkan hak mereka yang dirasakan tersubordinasi, dengan tidak memberikan porsi yang cukup signifikan untuk memperoleh hak di berbagai bidang (baik bidang politik, pendidikan, sosial, ekonomi, hukum, dan hak asasi manusia) merupakan salah satu masalah yang saat ini menjadi sorotan publik. Populasi penduduk khususnya perempuan cenderung bertambah, dan pada sisi tertentu sering dipandang sebagai masalah pembangunan yakni dari segi kuantitas, karena pada tingkat tertentu menjadi beban pembangunan. Namun pada sisi lain perempuan dipandang sebagai aset pembangunan karena hakekatnya merupakan suatu sumber daya insani yang memiliki potensi yang dapat di dayagunakan dalam berbagai bidag dan sektor. Maka benang merah/ kontek yang menjadi sorotan adalah bagaimana mengelola berbagai aset yang melekat pada perempuan itu menjadi modal atau pendorong pembangunan nasional. GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) tahun 1999-2004 kebijakan tentang perempuan merupakan pengakuan prestasi perempuan terakhir ini. Intinya adalah adanya kesempatan yang pantas bagi perempuan untuk ikut serta dalam pembangunan dan kontribusi perempuan telah diakui dalam rencana kebijakan nasional sebagai suatu pernyataan niat politik warga negara Indonesia. menurut Roqib (2003:111) menerangkan Peran laki-laki dan perempuan yang dikontruksikan oleh kondisi sosial dan kultural inilah yang dapat menimbulkan ketidakadilan gender dalam bentuk marjinalisasi, subordinasi, stereotip, diskriminasi, kekerasan, beban kerja ganda, dan ketidak proposionalan.

Rangkaian solusi terhadap fenomena tersebut di atas, telah diupayakan suatu aturan dasar dan peraturan yang intinya mengangkat sosok perempuan sejajar dengan pria walaupun peran perempuan dalam berbagai bidang sosial, politik, ekonomi, pendidikan semakin mendapat perhatian, tetapi tidak pelak peran perempuan sering mengalami pasang surut. Kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual, perdagangan terhadap perempuan, merupakan kendala serius peningkatan kesetaraan perempuan. Meskipun beragam faktor yang melatarbelakangi pemberdayaan perempuan dan segala berbagai gejala penyebab ketidakberdayaan perempuan khususnya perempuan desa termasuk miskin, dibebani berbagai pekerjaan, buta aksara, bertanggung jawab atas kesehatan dan kesejahteraan anggota keluarganya tetapi dalam relitas komunitas masyarakat tertentu justru mereka diberi kesempatan untuk memainkan perannya sebagai insan yang memiliki potensi untuk diunjukkerjakan. Bertolak dari hal tersebut di atas Kabupaten Jember sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Timur telah mendinamisasikan komunitas perempuan berpartisipasi dalam pembangunan daerah. Pendinamisasi perempuan pedesaan telah mampu mengaktualisasikan perannya dengan membentuk kader-kader perempuan dalam membangun desa. Dalam rangka mendorong partisipasi perempuan dalam pembangunan dikembangkan kegiatan perempuan desa diantaranya melalui Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Gerakan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) adalah gerakan nasional dalam pembangunan masyarakat yang tumbuh dari bawah yang pengelolaannya dari, oleh, dan untuk masyarakat menuju terwujudnya keluarga yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, beraklak mulia, berbudi luhur, sejahtera, maju, mandiri, kesetaraan dan keadilan gender serta kesadaran hukum dan lingkungannya.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 85 Lutfi Ariefianto

Gerakan PKK bertujuan untuk memberdayakan keluarga untuk meningkatkan kesejahteraan menuju terwujudnya keluarga yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, beraklak mulia, berbudi luhur, sejahtera, maju, mandiri, kesetaraan dan keadilan gender serta kesadaran hukum dan lingkungannya. Sasaran gerakan PKK adalah keluarga baik di pedesaan maupun di perkotaan yang perlu ditingkatkan dan dikembangkan kemampuan dan kepribadiannya, dalam bidang Mental spiritual meliputi sikap dan perilaku sebagai insan hamba Tuhan, anggota masyarakat warga negara yang dinamis dan bermanfaat, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta Fisik material meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan, kesempatan kerja yang layak serta lingkungan hidup yang sehat dan lestari melalui peningkatan pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan. Dalam mencapai sasaran tersebut di atas gerakan PKK dengan 10 program pokoknya yaitu : (1) Pengahayatan dan pengamalan Pancasila, (2) Gotong royong, (3) Pangan (4) Sandang (5) Perumahan dan tata laksana rumah tangga (6) Pendidikan dan keterampilan (7) Kesehatan (8) Pengembangan kehidupan berkoprasi (9) Kelestarian lingkungan hidup dan (10) Perencanaan sehat. Kegiatan Pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga (PKK) ini dilakukan dari tingkat Kabupaten sampai ke tingkat Desa sebagaimana salah satunya yang berada di Kabupaten Jember di antaranya di Desa Tegalsari Kecamatan Ambulu memiliki program PKK yang di nobatkan sebagai peraih reward/penghargaan juara tingkat nasional. METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian bermaksud untuk menemukan, memahami, menjelaskan dan memperoleh suatu cerita tentang apa yang tersembunyi dibalik upaya pemberdayaan perempuan desa melalui Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Selanjutnya, bentuk yang dipilih dalam penelitian ini adalah “studi kasus�. Penelitian studi kasus adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif dan mendalam, terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu. Sehubungan dengan itu, dalam penelitian lapangan, peneliti akan mengumpulkan sejumlah informasi tentang pemberdayaan perempuan desa melalui kegiatan PKK dari Desa Tegalsari secara mendalam dan mendetail agar peneliti dapat menemukan dan menggambarkan berbagai aspek tindakan, sikap, perasaan, dan kata-kata tentang program PKK Desa dalam pemberdayaan perempuan di desa Tegalsari untuk menunjang kesejahteraan keluarga, strategi yang dilakukan PKK desa Tegalsari dalam program pemberdayaan perempuan desa. TempatPenelitian

Penelitian ini dilakukan di desa Tegalsari Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember. Lokasi tersebut memiliki kekhasan tersendiri khususnya kaum perempuan baik yang menjadi pengurus maupun anggota PKK Desa, dimana selain sebagai ibu rumah tangga, mereka aktif dalam memberdayakan dirinya dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang telah diprogramkan oleh PKK di desanya, dalam melaksanakan perannya dalam turut mensejahterakan keluarganya. Selain itu karena keberagaman penduduk, hal ini memudahkan penulis dapat memperoleh data yang diperlukan. Dan penulis berdomisili tidak jauh dari tempat lokasi penelitian sehingga dapat menekan waktu dan dana penelitian. Fokus Penelitian Moleong (2005) bahwa dengan penetapan fokus penelitian yang tepat dan jelas akan dapat menolong peneliti untuk mengambil keputusan yang tepat tentang data mana yang akan dikumpulkan dan mana yang kurang relevan. maka fokus penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Program pemberdayaan perempuan di Desa Tegalsari melalui PKK Desa.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


2.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 86 Lutfi Ariefianto

Strategi yang dilakukan PKK Desa Tegalsari dalam peningkatan program pemberdayaan perempuan desa.

Target/SubjekPenelitian

Informan ditentukan dengan memakai teknik ”snow-ball” artinya setelah memasuki lapangan penelitian, peneliti menghubungi informan tertentu untuk meminta keterangan padanya, kemudian informan tersebut ditanya juga siapa lagi kiranya menarik untuk dihubungi. Selanjutnya, informan itupun ditanya menunjuk beberapa orang lagi untuk dihubungi pada tahap berikutnya. Jadi, peneliti tidak akan berhenti pada satu atau beberapa informan saja tetapi semakin lebih banyak informan semakin banyak data dan informan yang diperoleh sehingga semakin lengkap pula data dan informasi yang didapat dan dengan sendirinya informan akan habis serta menunjukkan tingkat kejenuhan. Semua informan yang diwawancarai dipilih dengan cara ”purposive” dan atas dasar kelayakan yang bersangkutan. Informan khusus yang dipilih adalah pengurus dan anggota PKK Desa Tegalsari Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember, informan awal adalah ketua dan wakil Tim Penggerak PKK Desa Tegalsari yang menjadi penggerak dalam organisasi, informan selanjutnya para pengurus, kader, anggota, masyarakat lainnya. Penggunaan tehnik ini baru dihentikan apabila data yang diperoleh dianggap jenuh atau fenomena yang diteliti sudah tidak berkembang lagi sehingga sama dengan data yang telah diperoleh sebelumnya. Data, Intrumen, dan TeknikPengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif, proses pengumpulan data bergerak dari lapangan empiris dalam upaya membangun teori dan data, Proses pengumpulan data ini meliputi tahap-tahap sebagai berikut : 1. Proses Memasuki Lokasi Penelitian (Getting in) Proses memasuk penelitian adalah dimana peneliti melakukan try

out atau penelitian pendahuluan sebagai aktivitas pendeteksian lapangan. Sebelumnya peneliti mengadakan pendekatan yang sifatnya informal terhadap subyek penelitian untuk menjelaskan rencana dan maksud kedatangan peneliti secara etis dan simpati. Setelah ada kesepahaman, peneliti menjalin hubungan baik dengan sumber data (informan) yang dilakukan baik secara formal maupun informal. Untuk mendapatkan data yang valid dan reliabel, peneliti melakukan adaptasi dan proses belajar dengan sumber data sehingga dapat mengurangi jarak sosial antara peneliti dan sumber data.

2. Ketika Berada di Lokasi Penelitian

Pada tahap ini, peneliti berusaha melakukan hubungan langsung secara pribadi yang akrab dengan subyek penelitian. Dengan menggunakan tehnik snowball peneliti melakukan wawancara maupun observasi untuk mencari informasi yang tepat dan lengkap sesuai dengan fokus penelitian serta menangkap dan mencerna makna dari intisari dari informasi dan fenomena yang diperoleh tentang pemberdayaan perempuan desa melalui PKK Desa, baik yang dilakukan sendiri oleh perempuan desa maupun yang dilakukan oleh pihak lain. 3. Mengumpulkan data (Logging the Data) Untuk mengumpulkan data, peneliti menggunakan teknik-teknik pengumpulan data sebagai berikut : a. Wawancara mendalam (in-deptinterviewing) : teknik ini dilakukan dengan cara mewawancarai secara langsung dengan informan kapan saja dan dimana saja mereka berada tentang hal-hal yang berkaitan dengan fokus penelitian. Wawancara mendalam dimaksudkan untuk memperoleh data yang valid guna menjawab masalah penelitian b. Observasi/pengamatan terlibat : Teknik ini digunakan untuk melakukan studi kasus terhadap setiap gejala yang

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 87 Lutfi Ariefianto

berkaitan dengan pengembangan sejumlah kategori guna menjawab masalah penelitian dan memperjelas fokus penelitian. Pengamatan terlibat merupakan salah satu teknik pengumpulan data dan informasi pada saat peristiwa sedang berlangsung yakni : pada saat melaksanakan programprogam kegiatan, dan mengamati situasi sosial di lingkungan sekitarnya.. c. Teknik Dokumentasi: Melalui teknik ini, penulis mengutip isi dokumen yang berhubungan dengan data sekunder yaitu : Jumlah penduduk desa dan perinciannya sesuai dengan mata pencarian dan sebagainya, Monografi desa, potensi desa dsb, Jumlah perempuan yang menjadi pengurus PKK Desa, jumlah perempuan desa yang menjadi anggota PKK, dan bukti dari hasil-hasil kegiatan yang menunjang kesejahteraan keluarga. TeknikAnalisisData

Pengumpula n Data Penyajia n Data

Reduk si Data

Kesimpula nkesimpulan :

Gambar 1 : Analisis Data Model Interaktif. Teknik Analisis Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis model interaktif (interactive model of analysis) sebagaimana yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992) bahwa analisis tersebut meliputi 3 tahapan yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Analisis model interaktif menurut Miles dan Huberman sebagaimana gambar 1. Yaitu :

a. Reduksi Data (reduction data), yakni data yang diperoleh di lokasi penelitian (data lapangan) dituangkan dalam uraian atau laporan yang lengkap dan terinci. Laporan lapangan akan direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting kemudian dicari tema atau polanya. Reduksi data berlangsung secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung. Selama pengumpulan data berlangsung diadakan tahap reduksi data, selanjutnya membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema membuat gugus-gugus dan menulis memo. b. Penyajian Data (data display), yakni memudahkan bagi peneliti untuk melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian. c. Penarikan Kesimpulan (conclucying drawing), yakni melakukan verifikasi secara terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung, yaitu : sejak awal memasuki lokasi penelitian dan selama proses pengumpulan data, peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang dikumpulkan dengan cara mencari pola, tema, hubungan persamaan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan sebagainya.yang dituangkan dalam kesimpulan yang masih bersifat tentatif. Akan tetapi dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi secara terus menerus, maka akan diperoleh kesimpulan yang bersifat �grounded�.

HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Tegalsari Desa Tegalsari Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember Propinsi Jawa Timur telah banyak dikenal berbagai masyarakat Jawa. Karena desa ini merupakan desa migrasi konon dari asal ceritanya berasal dari kabupaten ponorogo dan sekitarnya. Kehidupan masyarakatnya selalu dinamis

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 88 Lutfi Ariefianto

dan ingin maju, hal ini terlihat dari banyaknya sarana dan prasarana desa yang dibentuk dan didirikan oleh masyarakat poskampling, balai kasun, dsb. Demikian pula dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan diantaranya adalah lembaga Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) desa. Lembaga PKK Desa Tegalsari adalah merupakan salah satu wadah perempuan Desa Tegalsari untuk memberdayakan dirinya dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan sebagai mitra kerja pemerintah dengan melalui pelaksanaan berbagai kegiatan yang telah diprogram dan dalam rangka pengoptimalan pelaksanaan 10 program pokok PKK. Terbentuknya lembaga PKK Desa Tegalsari ini sejak tahun 1999 sejalan dengan Desa Tegalsari ditetapkan sebagai desa definitif. Tujuan dari gerakan PKK adalah memberdayakan keluarga untuk meningkatkan kesejahteraan menuju terwujudnya keluarga yang beriman dan bertaqwa Kepada Tuhan YME, beraklak mulia dan berbudi luhur, sehat sejahtera, maju mandiri, kesetaraan dan keadilan gender serta kesadaran hukum dan lingkungan. 1. Visi Terwujudnya keluarga yang beriman dan bertaqwa Kepada Tuhan YME, beraklak mulia dan berbudi luhur, sehat sejahtera, maju mandiri, kesetaraan dan keadilan gender serta kesadaran hukum dan lingkungan. 2. Misi a. Meningkatkan mental spiritual, pelaksanaan HAM, demokrasi, kesetiakawanan sosial, dan gotong royong. b. Meningkatkan pendidikan dan keterampilan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta meningkatkan pendapatan keluarga. c. Meningkatkan derajat kesehatan, kelestarian lingkungan hidup serta kehidupan yang berencana dalam semua aspek kehidupan dan perencanaan ekonomi keluarga dengan membiasakan menabung.

Dalam perjalanannya beberapa prestasi pernah diraih oleh PKK Desa Tegalsari kecamatan Ambulu memperoleh sejumlah prestasi yang cukup membanggakan sekali sehingga bisa memberikan nama baik kecamatan Ambulu dan juga nama baik untuk kabupaten Jember. PKK Desa Tegalsari yang merupakan salah satu lembaga kemasyarakatan desa yang menjadi wadah pemberdayaan perempuan sudah memiliki kegiatan rutin terutama dalam pelaksanaan program kerja. Kegiatan tersebut dijadwalkan berdasarkan atas kesepakatan bersama, untuk mempermudah dan menertiban pengurus, kader, dan anggota PKK Desa menjalankan tugasnya. Tanpa pemberitahuan dalam bentuk apapun, kalau jadwal kegiatan tiba mereka berbondong-bondong mendatangi tempat kegiatan, baik mereka menjadi pelaksana kegiatan maupun sasaran kegiatan. Sesuai dengan prinsip dasar pembangunan dan pemberdayaan masyarakat khususnya pemberdayaan perempuan, maka sumber pembiayaan kegiatan PKK didasarkan pada swadaya gotong-royong dan partisipasi masyarakat. Bantuan pemerintah dan bantuan sumber lainnya sifatnya sebagai pendorong dan perangsang untuk tumbuh dan berkembangnya swadaya gotong-royong dan partisipasi masyarakat. Program Pemberdayaan Perempuan di Desa Tegalsari Melalui PKK Desa Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Tegalsari adalah gerakan pembangunan masyarakat khususnya perempuan yang tumbuh dari bawah bertujuan untuk mewujudkan keluarga-keluarga sehat, sejahtera, maju dan mandiri, yang memiliki prinsip pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Sebagai wadah pelaksanaan pemberdayaan perempuan desa berbagai pelaksanaan kegiatan telah dilaksanakan. Pemberdayaan perempuan desa yang dilaksanakan oleh PKK Desa Tegalsari mencakup berbagai bidang, yaitu:

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 89 Lutfi Ariefianto

1. Bidang Kesehatan Posyandu atau Pos Pelayanan Terpadu merupakan suatu kegiatan dalam bidang kesehatan yang dilakukan dari, oleh, dan untuk masyarakat guna menyelenggarakan 5 kegiatan pelayanan dasar (KB, Kesehatan Ibu dan Anak atau KIA, Gizi, Imunisasi, Penanggulangan diare, dan ISPA) yang keberadaannya ada dalam kelompokkelompok masyarakat. Posyandu balita di Desa Tegaslari dibentuk sejak tahun 1999, yang sekarang berjumlah 4 posyandu. Tujuan dari Posyandu diantaranya adalah memelihara dan meningkatkan kesehatan dalam rangka mewujudkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga, meningkatkan kegotong-royongan masyarakat serta sebagai tempat untuk saling memperoleh dan memberikan informasi terutama dalam bidang kesehatan. Sasaran dari Posyandu adalah bayi, anak balita, ibu hamil, ibu menyusui, Wanita Usia Subur (WUS), dan Pasangan Usia Subur (PUS). Kegiatan yang dilakukan Posyandu yang berupa pelayanan gizi yang dilakukan adalah usaha posyandu dalam antisipasi kasus kekurangan gizi pada masyarakat terutama mereka yang rentan. Status gizi masyarakat dapat digambarkan terutama pada status gizi anak balita, ibu hamil, serta perempuan menyusui. Disini juga Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita seperti bubur kacang hijau, bubur ayam, dsb. Mengingat besarnya peranan Posyandu dalam masyarakat baik bagi para ibu (perempuan) atau pada masyarakat pada umumnya, maka keteraturan pelaksanaan Posyandu sangat diperlukan. Posyandu dilaksanakan setiap sebulan sekali. Upaya pemberdayaan perempuan dalam Posyandu terlihat dalam kader-kader yang terdiri dari perempuan yang terlatih dan terlibat dalam setiap kegiatan Posyandu yang sudah dilatih tentang bagaimana proses pemberian pelayanan kepada sasaran. Mereka sudah dididik tentang pengisian Kartu Menuju Sehat (KMS), penyuluhan upaya gizi keluarga, pencegahan diare, penimbangan

balita yang benar, dan pengetahuan tentang alat kontrasepsi KB. Kegiatan Posyandu lansia juga dilaksanakan di Desa Tegalsari, kegiatan ini bertujuan untuk menjaga kesehatan di usia lanjut. Salain itu sebagai ajang sosialisasi atau pertemuan antar lansia sehingga dapat berbincang dan saling bertukar pikiran sehingga tidak stress dalam menjalani harihari tuanya. Sasarannya adalah orang-orang yang sudah berumur 55 tahun ke atas baik laki-laki maupun perempua. Posyandu lansia dibentuk sejak tahun 2002 dengan dana swadaya masyarakat. Kegiatan Posyandu lansia adalah penimbangan dan pengukuran tinggi badan, pemeriksaan kesehatan seperti tensi darah, penyuluhan gizi dan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) seperti juga bubur kacang hijau, susu dan telur, bubur ayam, dll. Selain hal tersebut diatas juga dilaksanakan senam lansia, juga dalam rangka menjaga kesehatan lanjut usia. Program tersebut diatas merupakan wujud nyata dari pemberdayaan perempuan, karena perempuan mempunyai peran penting baik sebagai kader kesehatan yang terlatih dan terlibat secara aktif dalam memfasilitasi setiap kegiatan maupun warga perempuan yang berpartisipasi sebagai peserta. Dengan tetap eksisnya pelaksanakan Posyandu balita dan posyandu lansia maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pemberdayaan perempuan di bidang kesehatan di Desa Tegalsari sudah berjalan dengan baik, sudah sampai pada kesadaran mandiri (diri sendiri) akan pentingnya keterlibatan dalam bidang kesehatan. Keterlibatan bukan hanya sebagai penerima program (kelompok sasaran) tetapi lebih jauh terlibat dalam pelaksanaan program secara aktif. Bidang Ekonomi Bidang ekonomi yang dilakukan dalam rangka menunjang ekonomi keluarga ini diantaranya adalah melalui kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) yang pendiriannya sejak tahun 1999 binaan dari BKKBN.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 90 Lutfi Ariefianto

Dalam perkembangannya karena merasa anggotanya semakin besar, semua pengurus adalah ibu rumah tangga, yang mempunyai wawasan ke depan dalam membangun usaha, yang lebih dulu harus ditumbuhkan adalah jiwa wiraswasta. Pengembangan Usaha Kelompok UPPKS adalah merupakan kelompok usaha ekonomi produktif berbasis produk anggota. Artinya bahwa semua anggota kelompok mempunyai kesempatan dalam pengembangan usaha sehingga keragaman usaha inilah yang membuat kelompok UPPKS semakin dinamis dan berkembang. Jenis usaha yang dikembangkan adalah sebagai berikut; usaha Kelompok (simpan pinjam dan jasa) sedangkan usaha anggota (dagang sembilan bahan pokok, Produk jamu gendong, Menjahit pakaian, Produk kue kering, Produk minuman sehat, Produk ramuan sehat). Program tersebut diatas merupakan wujud nyata dari pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi. Karena pengurus maupun anggota kelompok yang terlibat secara aktif dalam segala kegiatan kelompok dalam rangka usaha peningkatan pendapatan keluarga melalui kelompok UPPKS yang secara kelembagaan bergerak di bidang ekonomi dalam rangka membantu keluarga meningkatkan penghasilan tambahan. Dengan melihat kegiatan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi di Desa Tegalsari melalui kelompok UPPKS tidak semuanya berjalan dengan baik. Walaupun sudah ada kesadaran secara mandiri akan pentingnya keterlibatan dalam bidang ekonomi ini, keterlibatan bukan hanya sebagai penerima program, namun terlibat dalam proses yang dilakukan kelompok dari pengorganisasian, permodalan, pengembangan produk, sampai pengembangan pasar. Bidang Pendidikan Pemberdayaan harus dimulai dari diri kita masing-masing dimana pendidikan merupakan faktor kunci, untuk itu Tim Penggerak PKK Desa Tegalsari beserta

kader-kadernya sebagai sarana pelaksana program maupun sasaran program harus dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar dapat melaksanakan peranannya secara maksimal, Program BKB yang diaplikasikan dalam bentuk kegiatan di masyarakat merupakan upaya strategis dalam membina dan mengembangkan konsep keluarga kecil mandiri dan sebagai bagian dari peningkatan mutu Sumber Daya Manusia sejak usia dini. Kegiatan pemberdayaan keluarga melalui pembinaan mental, karakter, dan kecerdasan anak semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Kegiatan-kegiatan itu merupakan bentuk nyata dari pemberdayaan perempuan bidang pendidikan di Desa Tegalsari, karena perempuan mempunyai peran penting baik sebagai kader maupun sebagai sasaran kegiatan telah terlibat aktif dalam segala kegiatan dalam rangka peningkatan mutu Sumber Daya Manusia melalui berbagai kegiatan seperti pelatihan kader-kader PAUD, kelompok BKB, yang secara kelembagaan bergerak di bidang pendidikan dalam rangka peningkatan pengetahuan dan keterampilan. Sehinga dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pemberdayaan perempuan di Desa Tegalsari juga sudah berjalan dengan baik. Sudah ada kesadaran secara mandiri akan pentingnya keterlibatannya dalam bidang pendidikan bukan hanya sebagai sasaran kegiatan tetapi juga terlibat dalam proses pelaksanaan program. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan desa Tegalsari sudah dapat memberdayakan dirinya di bidang pendidikan dalam rangka peningkatan pengetahuan dan keterampilannya. Bidang Politik Perempuan bukan cuma dituntut untuk memiliki peran domestik yaitu sebagai istri dan sebagai ibu dari anakanaknya, namun juga harus memiliki peran publik sebagai bagian dari bagian masyarakat. Peran politik tidak harus menjadi anggota legislatif ataupun eksekutif, sebagai anggota masyarakat biasa

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 91 Lutfi Ariefianto

perempuan juga dapat melaksakan perannya misalnya dengan terlibat dalam pengambilan keputusan publik, misal dalam rapat desa PKK Desa juga diikutkan, masuk BAPEPDES, aparat desa dan malah dari Tim Penggerak PKK Tegalsari ada yang menjadi anggota organisasi Perempuan Peduli Jember yang bergerak di bidang politik. Untuk ditingkat desa sudah dibentuk organisasi politik perempuan Kartini namun aktifitasnya belum begitu menonjol, sebagai tindak lanjut dari pendidikan politik yang mereka peroleh di kabupaten, yaitu program tata pemerintah Tanggap Gender kerja sama ADB ( Asian Development Bank ) dengan pemerintah daerah kabupaten Jember tahun 2005. PKK Desa Tegalsari diberi kesempatan untuk mengirim kadernya mengikuti pelatihan ini. Materi pelatihan dalam program tata pemerintahan tanggap gender adalah meliputi:pendidikan kewarganegaraan yang memuat tentang hak dan kewajiban perempuan sebagai warga negara. Dan penyusunan anggaran yang tanggap gender untuk membekali peserta memiliki kemampuan menyusun program-program yang tanggap gender di tempat kegiatan masing-masing. Sebagai tindak lanjut dari mengikuti program pelatihan tata pemerintahan tanggap gender, dibentuklah organisasi wanita Kartini. Tujuan dari organisasi ini adalah untuk menyebar luaskan materi yang diperoleh pada pelatihan tata pemerintahan tanggap gender dan wadah perempuan untuk menyampaikan aspirasinya bidang kepentingan publik di desa. Namun sayang dalam perkembangannya organisasi ini mati suri tanpa aktifitas apapun. Strategi PKK Desa Tegalsari dalam peningkatan Program Pemberdayakan Perempuan Desa Pemberdayaan perempuan yang berwawasan gender dalam Pembangunan Daerah harus masuk dan terintegrsi pada setiap sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini mengingat besarnya jumlah perempuan dan pentingnya peran

serta perempuan dalam Pembangunan Daerah. Perempuan sebagai potensi yang besar baik sebagai anggota keluarga yang melahirkan dan membesarkan generasi penerus bangsa maupun perempuan sebagai agen pembangunan yang memerlukan ruang gerak yang lebih luas di segala bidang (bidang sosial-budaya, pendidikan, ekonomi, kesehatan, politik, hukum dll). Mereka bukan hanya sebagai objek dalam pemberdayaan tetapi perlu dilibatkan dalam perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan program. Bahwa hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, yang akan terwujud apabila kesejahteraan keluarga dan masyarakat khususnya perempuan dapat dilaksanakan antara lain melalui kegiatan PKK, karena program dan kegiatan PKK merupakan bagian dari pembangunan yang perlu terus menerus dipacu seirama dengan dinamika pembangunan. PKK Desa Tegalsari sebagai salah satu wadah pelaksanaan pemberdayaan perempuan Desa harus selalu menata diri, perlu diimbangi dengan kesiapan Tim Penggerak PKK baik kelembagaan, program, dan administrasi dengan dukungan dana, sarana yang memadai, maupun kesiapan sumber daya manusianya. Sebagai lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang Pemberdayaan Perempuan PKK Desa Tegalsari harus berbenah diri, untuk membuka diri, dan mencari mitra kerja yang dapat bekerja sama dalam rangka pengembangan organisasi dalam mencapai tujuan yang telah dilaksanakan. Wadah pemberdayaan perempuan Desa Tegalsari selalu bergerak dinamis. Banyak hal yang telah dilaksanakan diantaranya adalah dimulai dari pembenahan kelembagaan yang harus didasarkan kepada kebutuhan pengembangan bidang-bidang strategi sesuai dengan sasaran dan tujuan yang dirumuskan dalam program kerja. Hal juga penting dilakukan PKK Desa Tegalsari adalah pengembangan Sumber

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 92 Lutfi Ariefianto

Daya Manusianya baik pengurus maupun kader-kadernya. karena dilandasi atas kesadaran bahwa masyarakat yang dilayani selalu bergerak dan berkembang dinamis. Karena tingkat pendidikan semakin tinggi, sehingga mutu dan tingkat pengetahuan pengurus dan kader PKK harus dikembangkan terus-menerus. Mengikuti pelatihan-pelatihan seperti pelatihan kader BKB, pelatihan kader Posyandu, pelatihan kader UPPKS, pelatihan keterampilan seperti menjahit, pengeringan biji dan buah, pelatihan dan pengelolaan PAUD. Hal ini dilakukan dengan bekerja sama dengan pemerintah daerah kabupaten melaui Dinas Kesehatan, Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Tenaga Kerja, dan PKK Kabupaten dan Kecamatan.

Pembahasan Program Pemberdayaan Perempuan di Desa Tegalsari Berbagai program kegiatan pemberdayaan perempuan yang dilaksanakan oleh PKK Desa Tegalsari pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan keluarga-keluarga sehat, sejahtera, maju dan mandiri. Hal ini disebabkan adanya tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat dan semakin kompleks, yaitu tuntutan kebutuhan pendidikan, kebutuhan memelihara dan meningkatan derajad kesehatan, kebutuhan untuk menikmati perkembangan dalam tehnologi, informasi maupun dalam bidang sosial budaya lainnya seperti hiburan yang ingin dipenuhi. Kesejangan antara tuntutan kebutuan yang ingin dipenuhi dengan kemampuan untuk memperolehnya yang menjadikan para perempuan desa merasa berkewajiban untuk membantu keluarga dalam memperkecil kesenjangan tersebut. Pada dasarnya manusia memiliki potensi dan daya untuk mengembangkan dirinya menjadi lebih baik dan bersifat aktif dalam upaya peningkatan keberdayaan dirinya. Maka menurut Kartasasmita dalam Sumaryadi (2005) hakekat dari

pemberdayaan tersebut adalah berada dalam diri manusia itu sendiri sedangkan faktor diluar diri manusia menjadi faktor stimulus, perangsang munculnya semangat, dorongan, atau motivasi pada diri manusia untuk memberdayakan dirinya sendiri, untuk mengendalikan dirinya sendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya. Pendekatan kebijakan yang berkaitan dengan kedudukan wanita dalam pembangunan /Women in development antara lain dikaji oleh Monser dalam Naqiyah (2005), yakni mengemukakan lima pendekatan sebagai berikut:(1) Pendekatan kesejahteraan (the welfare approach), (2) Pendekatan keadilan (the equiting approach), (3) Pendekatan pengentasan kemiskinan (the anti proverty approach), (4) Pendekatan efisiensi (the efficiency approach), (5) Pendekatan pemberdayaan Program kegiatan pemberdayaan perempuan desa melalui PKK Desa Tegalsari dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama, pendekatan kesejahteraan. Pendekatan ini menekankan pada tiga asumsi dasar yaitu : (a) wanita sebagai penerima pasif pembangunan, (b) peranan yang paling penting bagi perempuan adalah peran keibuan, (c) dalam aspek pembangunan ekonomi, mengasuh anak merupakan peranan perempuan yang paling efektif. Ketiga asumsi dasar ini tidak lagi berkenaan dengan perilaku kehidupan perempuan di Desa Tegalsari terutama yang menjadi pengurus, kader, dan anggota PKK Desa. Hal ini didasari oleh suatu kenyataan dimana berdasarkan deskripsi data yang telah diperoleh bahwa kaum perempuan sudah memulai memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas hidup rumah tangga baik dari demensi ekonomi, pendidikan, kesehatan, bahkan politik. Sedang pendekatan tersebut diatas mencerminkan ketergantungan kaum perempuan terhadap pria dimana perempuan hanyalah dianggap sebagai pendamping suami dalam mengurus rumah tangga. Perspektif pembangunan ekonomi dalam kaitannya dengan pendekatan

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 93 Lutfi Ariefianto

kesejahteraan menganggap peranan perempuan yang efektif hanya mengasuh anak. Mengarah bagaimana mempersiapkan manusia-manusia yang berkualitas di masa yang akan datang termasuk didalamnya menyediakan pendidikan bagi anak-anak. Namun belum menunjukkan secara langsung perannya dalam meningkatkan ekonomi dalam rumah tangga. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pendekatan kesejahteraan dengan tiga asumsi pada dasarnya tidak relevan dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan peradaban perempuan pada saat ini. Kedua, pendekatan persamaan. Pendekatan ini mengakui bahwa perempuan merupakan partisipan aktif dalam proses pembangunan melalui kerja produktif. Temuan yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan mulai menyadari akan ketergantungan tersebut. Sehingga muncul keinginan untuk melakukan sesuatu yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dengan mengikuti kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh PKK Desa. Pemahaman tersebut dapat diartikan bahwa dengan melakukan sesuatu yang bertujuan untuk mensejahterakan keluarga dapat menjadikan kaum perempuan mulai sejajar dengan pria. Atau dengan kata lain, bahwa pendekatan ini bertujuan menjelaskan perempuan dari yang sifatnya tergantung menuju ke arah kemandirian. Ketiga, pendekatan anti kemiskinan. Pendekatan ini sebenarnya hampir sama dengan pendekatan kesamaan tersebut diatas. Perbedaannya hanyalah terletak pada kehalusan arti. Dimana pendekatan kesamaan cenderung mengarah pada tuntutan persamaan hak dan kewajiban. Sedang pendekatan anti kemiskinan sasarannya adalah bagaimana memerangi kemiskinan. Keempat, pendekatan efisiensi. Pendekatan ini menjelaskan tentang pergeseran dari perspektif perempuan menuju pada perspektif pembangunan. Pergeseran ini didasari oleh suatu pemikiran bahwa dalam upaya peningkatan ekonomi, partisipasi perempuan di negara dunia ketiga secara

otomatis berkaitan. Maksudnya adalah munculnya pendekatan efisiensi ini karena sering terjadi pemborosan yang disebabkan oleh pemusatan perhatian hanyalah pada peningkatan kesamaan antara perempuan dan pria sedangkan perhatian pada pembangunan itu sendiri terabaikan. Kenyataan inilah yang menjadi perhatian pembangunan terfokus pada pembangunan itu sendiri, sehingga faktor-faktor yang menjadi penyebab pemborosan tersebut harus dihilangkan. Kajian yang ditempuh dalam pendekatan efisiensi ini muncul akibat banyak perempuan mulai tergeser dari pasar tenaga kerja dan diganti tehnologi yang pada umumnya dikuasai oleh pria. Kenyataaan ini disebabkan oleh perempuan yang masuk dalam pasar tenaga kerja lebih besar bersifat politis dimana hanya menjaga dan menjunjung kesamaan tanpa memperhatikan kualitas pekerja itu sendiri. Pada saat yang bersamaan juga, muncul suatu idiologi tentang perempuan, bahwa perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga. Pendekatan efisiensi ini menjadikan perempuan seolah-olah kembali pada pendekatan pertama. Berdasar deskripsi data penelitian ini, ditemukan bahwa sejak adanya PKK Desa Tegalsari tidak menunjukkan unefisiensi yang mengorbankan perempuan yang terjadi malah sebaliknya semakin berkembangnya kegiatan pemberdayaan perempuan yang dilaksanakannya. Sehingga semakin banyak melibatkan perempuan desa baik sebagai pelaksana kegiatan maupun sasaran kegiatan. Pendekatan kelima yaitu pendekatan pemberdayaan, menekankan pada fakta bahwa perempuan mengalami penekanan (operession) yang berbeda menurut bangsa, kelas, sejarah penjajahan kolonial, dan kedudukannya dalam orde ekonomi internasional pada masa kini. Dengan demikian wanita tetap harus pantang struktur dan situasi yang menekankan secara bersama pada ikatan yang berbeda. Pendekatan ini juga menekankan pentingnya wanita untuk meningkatkan keberdayaannya

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 94 Lutfi Ariefianto

dan mengartikan keberdayaannya bukan dalam konteks mendominasi orang lain dengan makna apa yang akan diperoleh wanita akan merupakan kehilangan bagi laki-laki, melainkan menempatkan pemberdayaan dalam arti kecakapan dan kemampuan perempuan untuk meningkatkan kemandirian (self – reliance) serta kekuatan dalam dirinya (Internal Strenght). Pemberdayaan seperti tersebut diatas bukan merupakan suatu hal yang baru bagi masyarakat desa Tegalsari karena faktorfaktor yang dimunculkan akibat dari pemberdayaan itu telah dipraktekkan oleh perempuan desa. Yang dimaksud pemberdayaan menurut PKK Desa Tegalsari dalam penelitian ini adalah tentang bagaimana meningkatkan profesionalisme sesuai dengan bidang-bidang pekerjaan masing-masing agar PKK desa Tegalsari dapat lebih berfungsi sebagai wahana untuk membantu perempuan desa meningkatkan kesejahteraan keluarga. Fenomena yang telah ditemukan dalam melihat kegiatan program pemberdayaan perempuan desa melalui PKK Desa Tegalsari bahwa telah melakukan berbagai kegiatan pemberdayaan perempuan. Diantaranya adalah pemberdayaan pendidikan, yang merupakan faktor kunci dari pemberdayaan masyarakat khususnya perempuan yang ditunjang dan dilengkapi pemberdayaan lainnya. Pada umumnya secara kuantitatif jumlah perempuan terdidik semakin meningkat dan jumlah perempuan buta aksara makin berkurang. Jumlah perempuan yang sekolah meningkat mulai dari pendidikan dasar ke pendidikan tinggi, walau makin tinggi tingkat pendidikan makin kecil jumlah perempuannya. Meskipun jumlah perempuan terdidik bertambah secara kuantitatif, tetapi dalam kenyataannya sering kali perempuan tidak mendapat akses pendidikan dan latihan, antara lain sebagai akibat streotipe dan prasangka negatif terhadap perempuan. Dari hasil penelitian di lapangan, bahwa keluarga antara masyarakat desa

Tegalsari sangat mendukung jika perempuan berpendidikan tinggi. Sehingga perempuan desa Tegalsari dapat mengakses kelas latihan-latihan keterampilan seperti menjahit, pengeringan biji-bijian, latihanlatihan kader seperti kader posyandu, kader BKB, kader PAUD dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka. Hal ini terjadi karena didukung oleh faktor sosial budaya yang berlaku di Desa Tegalsari.`Masyarakatnya termasuk masyarakat yang modern, sehingga mereka selalu membuka akses untuk kemajuan masyarakat dan desanya. Hal ini dilatarbelakangi bahwa penduduk Desa Tegalsari bukan penduduk asli mereka merupakan pendatang. Dengan demikian faktor ekonomi dan sosial budaya masyarakat Desa Tegalsari sangat mendukung pelaksanakan pemberdayaan perempuan desa di bidang pendidikan. Di samping pemberdayan pendidikan, juga dilakukan program pemberdayaan ekonomi bagi perempuan di Desa Tegalsari. Kegiatan yang dilakukan dalam menunjang ekonomi keluarga ini diantaranya melalui kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS). Bidang usaha dari kelompok UPPKS ini adalah simpan pinjam, yang dapat dijadikan sarana lembaga ekonomi desa maupun sarana lembaga keuangan desa, yang anggotannya dapat mengakses kredit dengan mudah dan murah sebagai modal usahanya. Jenis usaha UPPKS di Desa Tegalsari adalah dagang sembilan bahan pokok, produk jamu gendong, produk kue kering, minuman sehat dan ramuan sehat dari mahkota dewa, dan menjahit. Yang pemasarannya ditingkat lokal, regional, dan nasional. Kegiatan pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi di Desa Tegalsari belum berjalan dengan maksimal. Karena kurangnya dukungan modal, tehnologi, dan pasar diperlukan dari fihak pemerintah daerah sebagai aktor utama pelaksana pembangunan. Pemerintah Daerah Kabupaten Jember harus mampu menjadi katalisator dan mediator supaya perempuan Desa Tegalsari yang tergabung dalam

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 95 Lutfi Ariefianto

kelompok UPPKS dapat mengakses modal, tehnologi, dan pasar dalam memanfaatkan keterampilan yang telah dimiliki. United Nations dalam Roqib, (2002) menyatakan perlu meningkatkan kapasitas perempuan untuk dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan. Untuk itu pemberdayaan perempuan di bidang politik diperlukan, untuk menjamin kesamaan akses perempuan atas partisipasi penuh dalam struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan. Kepemimpinan dalam konteks pemberdayaan politik adalah kedudukan berkuasa dan berwenang untuk mengambil keputusan yang memperngaruhi kehidupan dan pekerjaan banyak orang dalam masyarakat (Tandala Prijono dan Pranarka, dalam Wiyoto (2005). Dalam proses pemberdayaan politik seorang pemimpin, khususnya perempuan perlu memiliki bekal kepemimpinan. Sebagai pemimpin perempuan harus mampu menggerakkan dan membuat perubahan-perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Seorang pemimpin perempuan juga perlu memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang didukung oleh kemauan dan keberanian dengan menggunakan kesempatan untuk menjadi teman seperjuangan lelaki. Pemimpin perempuan juga harus memiliki kepekaan terhadap lingkungannya sehingga dapat menampung aspirasi dan keinginan masyarakat serta mengantisipasi kemungkinan kesalahan yang timbul. . Program kegiatan pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh PKK Desa Tegalsari yang juga berjalan dengan baik adalah pemberdayaan di bidang kesehatan. Pemberdayaan bidang kesehatan diaktualisasikan melalui kegiatan posyandu balita dan posyandu lansia. Pelaksanakan posyandu tetap eksis sampai sekarang. Perilaku perempuan desa semacam ini adalah melihat PKK desa sebagai wadah untuk peningkatan kesejahteraan keluarga. Oleh karena itu mereka selalu berusaha menjaga dan melestarikan keberadaan PKK desa tersebut.

Dari beberapa program pemberdayaan yang ditemukan dalam penelitian ini nampak mempunyai satu kesatuan yang mendukung dari tujuan PKK itu sendiri. Dan dengan masuknya perempuan Desa Tegalsari sebagai pelaksana dan sasaran program menunjukkan telah terjadinya perubahan atau pergeseran tata nilai dalam mayarakat. Di landasi oleh pendekatan pemberdayaan menurut Moser dalam naqiyah (2005) maka dengan gerakan kaum perempuan berpartisifasi aktif dalam kegiatan pemberdayaan perempuan di PKK Desa Tegalsari, maka gerakan tersebut tidak hanya menggeser peran perempuan dari peran domestik yaitu dominan dalam rumah tangga menjadi peran ganda yaitu peran domestik dan publik tetapi juga menunjukkan bahwa kaum perempuan mampu memberdayakan dirinya untuk mengemban peran ganda tersebut. Dengan upaya pemberdayaan tersebut lambat laun akan terjadi pergeseran tata nilai dalam masyarakat Jember khususnya Desa Tegalsari bahwa konsepsi perempuan yang semula hanya sekedar �konco wingking� akan berubah karena melihat kenyataan bahwa perempuan juga mampu berperan ganda baik peran pada sektor domestik maupun pada sektor publik. Strategi PKK Desa Tegalasri dalam peningkatan Program Pemberdayaan Perempuan Desa Untuk memberdayakan kelompok yang tidak berdaya menjadi lebih berdaya, maka diperlukan strategi. Karena strategi merupakan sebuah jalan untuk mencapai tujuan, dalam pemberdayaan strategi lebih banyak membicarakan bagaimana yang belum berdaya menjadi lebih berdaya. Menurut Mahardika (2000:76) dikatakan bahwa dalam merancang strategi pemberdayaan dapat dilakukan dengan dua cara sekaligus,yaitu : a. Melakukan tindakan-tindakan guna mengubah kebijakan (policy) dan menghadirkan kebijakan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat sipil.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 96 Lutfi Ariefianto

Langkah ini diproyeksikan sebagai upaya untuk memperluas ruang rakyat untuk mengembangkan kapasitas kritisnya dengan bebas dan terjamin secara hukum dan politik. b. Mempersiapkan basis pendukung proes perubahan sosial yang menyeluruh Tindakan ini untuk mengembangkan suatu level kesadaran tertentu dikalangan masyarakat yang berkepentingan dengan perubahan dan pada gilirannya menjadi pijakan dalam membangun organisasi-organisasi masyarakat, yang independen dan dapat menjadi instrumen untuk mengubah ketidak adilan menjadi keadilan. Sebagai salah satu lembaga masyarakat yang menjadi wahana pemberdayaan perempuan, PKK desa Tegalsari dalam proses mencapai tujuan untuk memberdayakan perempuan desa yang belum berdaya menjadi berdaya, dan yang sudah berdaya menjadi lebih berdaya lagi. Sehingga diharapkan pemberdayaan perempuan di Desa Tegalsari melalu PKK Desa mencapai fase pemberdayaan emansipatoris, dimana perempuan sudah dapat menemukan kekuatan dirinya sehingga dapat melakukan pembaharuan dalam mengaktualisasikan diri. Puncak dari kegiatan masyarakat adalah ketika berada pada fase emansipasi ini. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagai lembaga yang menjadi motor penggerak dalam pemberdayaan perempuan desa, stretegi yang diterapkan PKK Desa Tegalsari meliputi dua strategi yaitu : 1. Strategi internal meliputi : a. Memperkuat kapasitas kelembagaan agar mampu menjadi motor penggerak dalam pemberdayaan perempuan desa. Demensi yang perlu dikembangkan meliputi : 1) Pengembangan program. Dengan memperbaiki kualitas program yang sudah ada dengan menjadikan sarana dan prasarana yang memadai dan mutu pelayanan

b.

2. a.

b.

yang lebih bagus, juga pengembangan program baru yang dirasakan sudah mendesak untuk dilaksanakan. 2) Pengembangan manajemen Pengembangan manajemen sudah dimulai sejak perencanaan program kerja, pembagian tugas dan fungsi yang jelas bagi pengurus, kader, dan anggota PKK Desa, kepemimpinan yang demokrasi, yang mengutamakan musyawarah, koordinasi yang baik dalam setiap permasalahan dalam organisasi. 3) Pengembangan budaya oganisasi Adanya aturan atas dasar kesepakatan bersama yang harus dilakukan dalam berorganisasi, proses demokrasi dan musyawarah mufakat harus dikedepankan dalam permasalahan oranisasi. Transpari dari pengurus dan anggota harus ditegakkan. Keberdayaan dan kemandirian organisasi harus ditunjung tinggi. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Yaitu peningkatan mutu dan pengetahuan pengurus dan kader, serta anggotannya melalui pendidikan seperti mengikuti pelatihan-pelatihan kader, yaitu kader posyandu, BKB, UPPKS, PAUD, dan mengikuti keterampilan menjahit dan pengeringan buahbuahan dan biji-bijian. Strategi Eksternal Membangun mitra kerja dengan pemerintah daerah dalam bidang teknis, keterampilan, pendanaan melalui instansi terkait (BKKBN, Dinkesos, PM, Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja dan Penanaman Modal, dan lain-lain). Menjalin kerja sama denga TP PKK Kecamatan dan Kabupaten dalam pameran produk PKK dalam rangka perluasan pasar, pelatihan kader, dan bantuan dana.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


c.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 97 Lutfi Ariefianto

Menjalin kemitraan dengan lembaga keuangan lokal yaitu Bank BPD cabang Jember untuk dapat mengakses kredit sebagai modal di bidang ekonomi melalui UPPKS. d. Mengikuti lomba baik di tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi, bahkan tingkat nasional. Strategi internal yang diterapkan PKK Desa Tegalsari dalam peningkatan program pemberdayaan perempuan, dalam rangka memperkuat kapasitas kelembagaan agar mampu menjadi motor penggerak pada pemberdayaan perempauan desa dan peningkatan SDM adalah merupakan strategi yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas , efisiensi, dan responsivitas dalam rangka kinerja PKK Desa tersebut.

Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi aktivitas PKK Desa dibutuhkan manajemen alternatif atau strategi yang tidak berlandaskan organisasi yang birokratif tetapi strategis. Dalam organisasi yang birokrasi, tiap aspek dari struktur dirancang untuk menjamin kehandalan tingkah laku dan pertanggungjawabannya terhadap pusat. Pusat mempunyai kontrol menyeluruh. Semua keputusan tentang inovasi tertentu, perubahan, atau adaptasi dalam strategi harus berasal dari pusat. Keadaan ini mengakibatkan organisasi menjadi kaku, dan kurang efektif bagi lingkungan yang sedang mengalami perubahan pesat Salah satu hal terpenting dari manajemen strategi adalah bagaimana mengembangkan daya tanggap organisasi yang lebih baik terhadap kebutuhan kelompok sasarannya. Sebagai salah satu agen pemberdayaan perempuan PKK Desa tegalsari harus berusaha mengembangkan program yang dirasakan perlu untuk kelompok sasarannya, baik dengan memperbaiki kualitas program yang sudah ada dengan dukungan sarana dan prasarana dan mutu pelayanan yang lebih baik. Dan juga pengembangan program baru yang dirasakan sudah mendesak untuk dilaksanakan.

Sebagai wahana pemberdayaan perempuan desa PKK Desa Tegalsari dengan berbagai kegiatannya dalam pengembangan program kurang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Hal ini akan menghambat proses pelaksanakan dalam pengembangan program untuk meningkatan mutu pelayanan terhadap kelompok sasaran. Strategi PKK Desa Tegalsari dalam peningkatkan program pemberdayaan perempuan selain menerapkan strategi internal dalam rangka penguatan lembaga dan peningkatan mutu SDM, juga harus didukung dengan penerapan strategi eksternal dalam rangka peningkatan hubungan dan kerja sama, dengan memperluas jaringan kerja (Netwoking). Pada umumnya terdapat dua jenis hubungan kerja, yaitu (1) jaringan kerja fungsional yang mementingkan partisipasi dan relevansi; dan (2) institusional, yang mementingkan keanggotaan, koordinasi, dan formalitas. PKK Desa Tegalsari menerapkan jaringan kerja yang sifatnya fungsional. Jaringan kerja ini meliputi bidang teknis, keterampilan, pelatihan, perluasan pasar, akses modal, dan bantuan dana. Jaringan kerja ini diperlukan untuk mengatasi berbagai keterbatasan baik yang terdapat pada individu, kelompok, maupun organisasi. Dalam era globalitasi dan sebagai antisipasi menghadapi abad 21, PKK Desa tidak dapat menutup diri terhadap pengaruh dan dampak dari luar, sehingga kemitraan perlu dibina agar efisiensi dalam pembagian kerja dan efektif dalam mencapai tujuan organisasi. Kemitraan yang dibangun oleh PKK Desa Tegalsari baru sebatas tingkat lokal yaitu TP. PKK. Kecamatan Ambulu, TP.PKK Kabupaten Jember, BPD Cabang Ambulu, dan pemerintah daerah Kabupaten Jember melalui instansi-instansi terkait. Kalaupun ada kerja sama dengan lembaga di atas tingkat Kabupaten melalui lembaga yang ada di Kabupaten. Hubungan yang dijalin PKK Desa Tegalsari dengan pemerintah khususnya

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 98 Lutfi Ariefianto

pemerintah daerah merupakan hubungan paralel. Dimana PKK Desa Tegalsari membangun mitra kerja dengan pemerintah daerah khususnya pemerintah Kabupaten Jember melalui instansi-intansi terkait (Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan dan sebagainya) dalam rangka kerja sama teknis, keterampilan, pendidikan dan pelatihan, serta pendanaan. Kerja sama yang dibangun antara PKK Desa Tegalsari dengan pemerintah daerah bersifat adanya saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lainnya sehingga menjadi mitra kerja. PKK desa bermitra dengan pemerintah akan banyak keuntungan terutama dapat dukungan baik teknis, keterampilan, pendidikan dan pelatihan, bahkan dana. Sehingga dalam menjalankan misi sebagai aktor pemberdayaan perempuan desa dapat berjalan lebih baik dari pada dilaksanakan sendiri. Demikian sebaliknya, pemerintah daerah yang menjadi agen pembangunan khususnya pemberdayaan masyarakat yang selalu membutuhkan dukungan dari masyarakat dalam setiap melaksanakan program-program pembangunan pemerintah daerah. Tanpa dukungan masyarakat setempat programprogram pembangunan khususnya pemberdayaan perempuan yang dilakukan pemerintah daerah tidak akan ada artinya. Masyarakat akan bersifat apatis terhadap apa yang dilaksanakan oleh pemerintah sehingga tujuan dari pemberdayaan yang dilaksanakan pemerintah tidak mencapai sasaran. Sebaliknya keterlibatan masyarakat sedemikian penting karena masyarakat mempunyai kemampuan untuk mendukung kualitas karya yang bermanfaat bagi kemajuan daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemitraan yang dibangun antara PKK Desa Tegalsari dengan Pemerintah Daerah melalui instansi-instansi terkait belum membuahkan hasil yang maksimal. Karena kerja sama yang dijalin dalam suatu program biasanya tidak dibarengi dengan program lanjutan, sehingga program yang sudah didapat tidak dapat dikembangkan.

Seperti misalnya program pelatihan keterampilan pengeringan buah-buahan dan biji-bijian karena setelah latihan tidak ada tindak lanjutnya akhirnya keterampilan yang dimiliki tidak dimanfaatkan. Pada hal, hal ini dapat dikembangkan dalam peningkatan pengembangan usaha ekonomi produktif melalui kelompok UPPKS yang sudah ada seandainya ada binaan lanjutan di bidang teknis, permodalan, dan pasar. Kerja sama yang dibangun dengan pihak swasta diantaranya BPD Cabang Ambulu dalam mengakses kredit juga memiliki dampak positif dalam pelaksanaan program pemberdayaan perempuan yang dilaksanakan oleh PKK Desa Tegalsari. Karena disadari faktor dana merupakan salah satu faktor penting dalam rangka mensukseskan suatu progrm pemberdayaan dengan didukung oleh faktor-faktor lain seperti SDM, sarana dan prasarana. Dengan mendapatkan dana dari fihak swasta yaitu BPD Cabang Jember dapat bermanfaat bagi peningkatan program pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi. Dengan demikian berarti dalam pelaksanakan program pemberdayaan perempuan di Desa Tegalsari bukan menjadi monopoli pemerintah daerah, namun sudah ada keterlibatan swasta dan masyarakat khususnya perempuan yang dalam administrasi publik disebut tiga pilar penyelenggarakan pembangunan negara yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat. (Wiyoto, 2005) Namun kerja sama yang telah dibangun perlu dimaksimalkan sehingga program pemberdayaan perempuan yang dilaksanakan membuahkan hasil yang maksimal sesuai sasaran. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian di Desa Tegalsari, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember dan pembahasan yang diuraikan di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan kegiatan pemberdayaan perempuan desa oleh PKK desa Tegalsari sudah berjalan dengan baik. Sudah ada kesadaran secara mandiri akan pentingnya keterlibatan

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 99 Lutfi Ariefianto

2.

perempuan desa dalam program pemberdayaan bukan hanya sebagai sasaran kegiatan tetapi juga terlibat dalam proses pelaksanaan program. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan Desa Tegalsari sudah dapat memberdayakan dirinya dalam rangka peningkatan kesejahteraan keluarganya. Aspek pemberdayaan perempuan yang dilakukan PKK Desa Tegalsari meliputi pemberdayaan bidang pendidikan, pemberdayaan bidang ekonomi, pemberdayaan bidang sosial-budaya, pemberdayaan bidang politik, dan pemberdayaan bidang kesehatan. Pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi dan politik yang belum dilaksanakan secara maksimal. Dari pemberdayaan bidang ekonomi melalui kelompok UPPKS. Sedang pemberdayaan perempuan di bidang politik melalui kelompok politik perempuan namun tidak ada aktifitasnya sama sekali. Strategi yang dilakukan PKK Desa Tegalsari dalam peningkatan program pemberdayaan perempuan desa menerapkan Strategi internal meliputi : Memperkuat kapasitas kelembagaan agar mampu menjadi motor penggerak dalam pemberdayaan perempuan desa dan pengembangan Sumber Daya Manusia ( SDM) dan Strategi eksternal : Membangun kerja sama dengan pemerintah daerah dalam bidang teknis, keterampilan, pendanaan melalui intansi terkait (Dinkesos, Dinas Kesehatan, Dinas Naker dan Penanam Modal, dll), Menjalin kerja sama dengan TP.PKK Kecamatan dan Kabupaten dalam pameran produk PKK dalam rangka perluasan pasar, pelatihan kader, dan bantuan dana, Menjalin kerja sama dengan lembaga

keuangan lokal yaitu Bank BPD cabang Ambulu untuk dapat mengakses kredit sebagai modal di bidang ekonomi melalui kelompok UPPKS yang dijadikan kredit modal bagi anggotanya, Mengikuti lomba baik ditingkat kecamatan, kabupaten, propinsi bahkan tingkat nasional. Saran Untuk mengoktimalkan peran PKK Desa Tegalsari dalam melaksanakan tugasnya sebagai wahana pemberdayaan perempuan desa di Kabupaten Jember, khususnyan Desa Tegalsari perlu didukung berbagai hal, yaitu : 1. Adanya peraturan daerah yang mengatur tentang pemberdayaan perempuan. Dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 berarti daerah diberi otonomi luas untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan itu daerah harus menyesuaikan diri untuk memiliki peraturan daerah dalam pelaksanaan kebijakankebijakan termasuk peraturan daerah tentang pemberdayaan perempuan. 2. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ke tingkat yang lebih tinggi bagi kader-kader PKK Desa sebagai fasilitator pemberdayaan perempuan desa. Pemberdayaan harus dimulai dari diri kita masing-masing dimana pendidikan merupakan faktor kunci, untuk itu kader-kader PKK Desa di Kabupaten Jember sebagai fasilitator pemberdayaan perempuan desa harus dibekali dengan pendidikan dan keterampilan yang lebih memadai agar dapat melaksanakan tugasnya dengan maksimal yaitu melalui pendidikan, kursus-kursus dan pelatihan-pelatihan. 3. Tersedianya fasilitas penunjang kegiatan pemberdayaan perempuan

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 100 Lutfi Ariefianto

yang lebih memadai di PKK Desa. Kebanyakan PKK Desa dalam melaksanakan aktifitasnya belum ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang memadai, untuk itu perlu dipenuhi fasilitas-fasilitas penunjang kegiatan dalam rangka pemberdayaan perempuan desa seperti sarana keterampilan, sarana pendidikan dan kesehatan, dan sarana pengempangan ekonomi produktif dan pemasarannya seperti koperasi wanita.

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan. 2003. Seks, Gender, dan Reproduksi Kekuasaan, Tarawang PresYogyakarta. Arikunto, Suharsimi.2006. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta Fakih, Mansour. 2009. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Faisal, Sanapiah. 2007. Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar Aplikasi. Malang : YA3 Direktorat Genderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri. 2005. Hasil Rapat Kerja Nasional VI PKK. Hadi, Sutrisno. 2004. Metodologi Research. (Jilid I). Jogjakarta: Andi Offset. Kantor Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Rencana Induk Pembangunan Nasional Pemberdayaan Perempuan Tahun 2000-2004.

Mahardika, Timur. 2000. Gerakan Masa : Mengupayakan Demokrasi dan Keadilan Secara Damai. Miles & Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Moleong, Lexy. 2006. Meteodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi) .Jakarta: PT Remaja Rosdakarya. Naqiyah, Najlah, 2005. Otonomi Perempuan. Bayumedia, Malang. Remi, Sutyastie S dan Tjiptoherijanto Prijono, 2002. Kemiskinan dan Ketidakmerataan Di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta. Roqib, Mohammad, 2002. Pendidikan Perempuan. Gama Media, Yogyakarta. Sugiyono, 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. C.V Alfabeta, Bandung. Sulistiyani dan Rosidah. 2003. managemen Sumber Daya Manusia : Konsep Teori dan Pengembangan Dalam Konteks Organisasi Publik, Graha Ilmu Yogyakarta. Sumaryadi, Nyoman I, 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom dan Pemberdayaan Masyarakat. Citra Utama, Jakarta. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Sekretariat Negara, Jakarta. Wiyoto, Budi (2005) Mengembangkan Riset Strategik Implementasi Kebijakan Publik Prespektif Good Governance, Partner Consulting, Malang.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


PERAN PEMBERDAYAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (PKK) DALAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DESA (Studi kasus pada kelompok PKK Desa Tegalsari Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember Juara tingkat Nasional) Lutfi Ariefianto1) PLS FKIP Universitas Jember1),2) Lutfipls.fkip@unej.ac.id1), 2) Abstrak

Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan upaya dilakukan PKK dalam rangka pemberdayaan perempuan, khususnya di Desa Tegalsari Kabupaten Jember. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis data model interaktif. Hasil penelitian Pelaksanaan pemberdayaan perempuan oleh PKK desa Tegalsari sudah berjalan baik. ada kesadaran mandiri pentingnya keterlibatan perempuan desa dalam program pemberdayaan bukan hanya sebagai sasaran kegiatan tetapi juga terlibat proses pelaksanaan program. pemberdayaan bidang ekonomi melalui kelompok UPPKS, bidang politik melalui kelompok politik perempuan namun tidak ada aktifitasnya. Strategi dilakukan PKK menerapkan Strategi internal, Memperkuat kapasitas kelembagaan untuk motor penggerak pemberdayaan perempuan desa dan pengembangan SDM. Strategi eksternal, Membangun kerja sama dengan pemerintah daerah dalam bidang teknis, keterampilan, pendanaan, Menjalin kerja sama dengan TP.PKK Kecamatan dan Kabupaten dalam pameran produk PKK dalam rangka perluasan pasar, pelatihan kader, dan bantuan dana, Menjalin kerja sama dengan lembaga keuangan lokal. Kata kunci:1 pemberdayaan Perempuan, PKK dan Strategi Pemberdayaan.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 2 Lutfi Ariefianto

PENDAHULUAN

Menurut Fakih dalam Rogib (2003:4) menerangkan bahwa perempuan dilarang keluar rumah, mengenyam pendidikan, dan mendapatkan pekerjaan yang layak sebagai mana laki-laki. Munculnya kaum perempuan yang memperjuangkan hak mereka yang dirasakan tersubordinasi, dengan tidak memberikan porsi yang cukup signifikan untuk memperoleh hak di berbagai bidang (baik bidang politik, pendidikan, sosial, ekonomi, hukum, dan hak asasi manusia) merupakan salah satu masalah yang saat ini menjadi sorotan publik. Populasi penduduk khususnya perempuan cenderung bertambah, dan pada sisi tertentu sering dipandang sebagai masalah pembangunan yakni dari segi kuantitas, karena pada tingkat tertentu menjadi beban pembangunan. Namun pada sisi lain perempuan dipandang sebagai aset pembangunan karena hakekatnya merupakan suatu sumber daya insani yang memiliki potensi yang dapat di dayagunakan dalam berbagai bidag dan sektor. Maka benang merah/ kontek yang menjadi sorotan adalah bagaimana mengelola berbagai aset yang melekat pada perempuan itu menjadi modal atau pendorong pembangunan nasional. GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) tahun 1999-2004 kebijakan tentang perempuan merupakan pengakuan prestasi perempuan terakhir ini. Intinya adalah adanya kesempatan yang pantas bagi perempuan untuk ikut serta dalam pembangunan dan kontribusi perempuan telah diakui dalam rencana kebijakan nasional sebagai suatu pernyataan niat politik warga negara Indonesia. menurut Roqib (2003:111) menerangkan Peran laki-laki dan perempuan yang dikontruksikan oleh kondisi sosial dan kultural inilah yang dapat menimbulkan ketidakadilan gender dalam bentuk marjinalisasi, subordinasi, stereotip, diskriminasi, kekerasan, beban kerja ganda, dan ketidak proposionalan.

Rangkaian solusi terhadap fenomena tersebut di atas, telah diupayakan suatu aturan dasar dan peraturan yang intinya mengangkat sosok perempuan sejajar dengan pria walaupun peran perempuan dalam berbagai bidang sosial, politik, ekonomi, pendidikan semakin mendapat perhatian, tetapi tidak pelak peran perempuan sering mengalami pasang surut. Kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual, perdagangan terhadap perempuan, merupakan kendala serius peningkatan kesetaraan perempuan. Meskipun beragam faktor yang melatarbelakangi pemberdayaan perempuan dan segala berbagai gejala penyebab ketidakberdayaan perempuan khususnya perempuan desa termasuk miskin, dibebani berbagai pekerjaan, buta aksara, bertanggung jawab atas kesehatan dan kesejahteraan anggota keluarganya tetapi dalam relitas komunitas masyarakat tertentu justru mereka diberi kesempatan untuk memainkan perannya sebagai insan yang memiliki potensi untuk diunjukkerjakan. Bertolak dari hal tersebut di atas Kabupaten Jember sebagai salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Timur telah mendinamisasikan komunitas perempuan berpartisipasi dalam pembangunan daerah. Pendinamisasi perempuan pedesaan telah mampu mengaktualisasikan perannya dengan membentuk kader-kader perempuan dalam membangun desa. Dalam rangka mendorong partisipasi perempuan dalam pembangunan dikembangkan kegiatan perempuan desa diantaranya melalui Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Gerakan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) adalah gerakan nasional dalam pembangunan masyarakat yang tumbuh dari bawah yang pengelolaannya dari, oleh, dan untuk masyarakat menuju terwujudnya keluarga yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, beraklak mulia, berbudi luhur, sejahtera, maju, mandiri, kesetaraan dan keadilan gender serta kesadaran hukum dan lingkungannya.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 3 Lutfi Ariefianto

Gerakan PKK bertujuan untuk memberdayakan keluarga untuk meningkatkan kesejahteraan menuju terwujudnya keluarga yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, beraklak mulia, berbudi luhur, sejahtera, maju, mandiri, kesetaraan dan keadilan gender serta kesadaran hukum dan lingkungannya. Sasaran gerakan PKK adalah keluarga baik di pedesaan maupun di perkotaan yang perlu ditingkatkan dan dikembangkan kemampuan dan kepribadiannya, dalam bidang Mental spiritual meliputi sikap dan perilaku sebagai insan hamba Tuhan, anggota masyarakat warga negara yang dinamis dan bermanfaat, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta Fisik material meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan, kesempatan kerja yang layak serta lingkungan hidup yang sehat dan lestari melalui peningkatan pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan. Dalam mencapai sasaran tersebut di atas gerakan PKK dengan 10 program pokoknya yaitu : (1) Pengahayatan dan pengamalan Pancasila, (2) Gotong royong, (3) Pangan (4) Sandang (5) Perumahan dan tata laksana rumah tangga (6) Pendidikan dan keterampilan (7) Kesehatan (8) Pengembangan kehidupan berkoprasi (9) Kelestarian lingkungan hidup dan (10) Perencanaan sehat. Kegiatan Pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga (PKK) ini dilakukan dari tingkat Kabupaten sampai ke tingkat Desa sebagaimana salah satunya yang berada di Kabupaten Jember di antaranya di Desa Tegalsari Kecamatan Ambulu memiliki program PKK yang di nobatkan sebagai peraih reward/penghargaan juara tingkat nasional. METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian bermaksud untuk menemukan, memahami, menjelaskan dan memperoleh suatu cerita tentang apa yang tersembunyi dibalik upaya pemberdayaan perempuan desa melalui Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Selanjutnya, bentuk yang dipilih dalam penelitian ini adalah “studi kasus�. Penelitian studi kasus adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif dan mendalam, terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu. Sehubungan dengan itu, dalam penelitian lapangan, peneliti akan mengumpulkan sejumlah informasi tentang pemberdayaan perempuan desa melalui kegiatan PKK dari Desa Tegalsari secara mendalam dan mendetail agar peneliti dapat menemukan dan menggambarkan berbagai aspek tindakan, sikap, perasaan, dan kata-kata tentang program PKK Desa dalam pemberdayaan perempuan di desa Tegalsari untuk menunjang kesejahteraan keluarga, strategi yang dilakukan PKK desa Tegalsari dalam program pemberdayaan perempuan desa. TempatPenelitian

Penelitian ini dilakukan di desa Tegalsari Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember. Lokasi tersebut memiliki kekhasan tersendiri khususnya kaum perempuan baik yang menjadi pengurus maupun anggota PKK Desa, dimana selain sebagai ibu rumah tangga, mereka aktif dalam memberdayakan dirinya dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang telah diprogramkan oleh PKK di desanya, dalam melaksanakan perannya dalam turut mensejahterakan keluarganya. Selain itu karena keberagaman penduduk, hal ini memudahkan penulis dapat memperoleh data yang diperlukan. Dan penulis berdomisili tidak jauh dari tempat lokasi penelitian sehingga dapat menekan waktu dan dana penelitian. Fokus Penelitian Moleong (2005) bahwa dengan penetapan fokus penelitian yang tepat dan jelas akan dapat menolong peneliti untuk mengambil keputusan yang tepat tentang data mana yang akan dikumpulkan dan mana yang kurang relevan. maka fokus penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Program pemberdayaan perempuan di Desa Tegalsari melalui PKK Desa.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


2.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 4 Lutfi Ariefianto

Strategi yang dilakukan PKK Desa Tegalsari dalam peningkatan program pemberdayaan perempuan desa.

Target/SubjekPenelitian

Informan ditentukan dengan memakai teknik ”snow-ball” artinya setelah memasuki lapangan penelitian, peneliti menghubungi informan tertentu untuk meminta keterangan padanya, kemudian informan tersebut ditanya juga siapa lagi kiranya menarik untuk dihubungi. Selanjutnya, informan itupun ditanya menunjuk beberapa orang lagi untuk dihubungi pada tahap berikutnya. Jadi, peneliti tidak akan berhenti pada satu atau beberapa informan saja tetapi semakin lebih banyak informan semakin banyak data dan informan yang diperoleh sehingga semakin lengkap pula data dan informasi yang didapat dan dengan sendirinya informan akan habis serta menunjukkan tingkat kejenuhan. Semua informan yang diwawancarai dipilih dengan cara ”purposive” dan atas dasar kelayakan yang bersangkutan. Informan khusus yang dipilih adalah pengurus dan anggota PKK Desa Tegalsari Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember, informan awal adalah ketua dan wakil Tim Penggerak PKK Desa Tegalsari yang menjadi penggerak dalam organisasi, informan selanjutnya para pengurus, kader, anggota, masyarakat lainnya. Penggunaan tehnik ini baru dihentikan apabila data yang diperoleh dianggap jenuh atau fenomena yang diteliti sudah tidak berkembang lagi sehingga sama dengan data yang telah diperoleh sebelumnya. Data, Intrumen, dan TeknikPengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif, proses pengumpulan data bergerak dari lapangan empiris dalam upaya membangun teori dan data, Proses pengumpulan data ini meliputi tahap-tahap sebagai berikut : 1. Proses Memasuki Lokasi Penelitian (Getting in) Proses memasuk penelitian adalah dimana peneliti melakukan try

out atau penelitian pendahuluan sebagai aktivitas pendeteksian lapangan. Sebelumnya peneliti mengadakan pendekatan yang sifatnya informal terhadap subyek penelitian untuk menjelaskan rencana dan maksud kedatangan peneliti secara etis dan simpati. Setelah ada kesepahaman, peneliti menjalin hubungan baik dengan sumber data (informan) yang dilakukan baik secara formal maupun informal. Untuk mendapatkan data yang valid dan reliabel, peneliti melakukan adaptasi dan proses belajar dengan sumber data sehingga dapat mengurangi jarak sosial antara peneliti dan sumber data.

2. Ketika Berada di Lokasi Penelitian

Pada tahap ini, peneliti berusaha melakukan hubungan langsung secara pribadi yang akrab dengan subyek penelitian. Dengan menggunakan tehnik snowball peneliti melakukan wawancara maupun observasi untuk mencari informasi yang tepat dan lengkap sesuai dengan fokus penelitian serta menangkap dan mencerna makna dari intisari dari informasi dan fenomena yang diperoleh tentang pemberdayaan perempuan desa melalui PKK Desa, baik yang dilakukan sendiri oleh perempuan desa maupun yang dilakukan oleh pihak lain. 3. Mengumpulkan data (Logging the Data) Untuk mengumpulkan data, peneliti menggunakan teknik-teknik pengumpulan data sebagai berikut : a. Wawancara mendalam (in-deptinterviewing) : teknik ini dilakukan dengan cara mewawancarai secara langsung dengan informan kapan saja dan dimana saja mereka berada tentang hal-hal yang berkaitan dengan fokus penelitian. Wawancara mendalam dimaksudkan untuk memperoleh data yang valid guna menjawab masalah penelitian b. Observasi/pengamatan terlibat : Teknik ini digunakan untuk melakukan studi kasus terhadap setiap gejala yang

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 5 Lutfi Ariefianto

berkaitan dengan pengembangan sejumlah kategori guna menjawab masalah penelitian dan memperjelas fokus penelitian. Pengamatan terlibat merupakan salah satu teknik pengumpulan data dan informasi pada saat peristiwa sedang berlangsung yakni : pada saat melaksanakan programprogam kegiatan, dan mengamati situasi sosial di lingkungan sekitarnya.. c. Teknik Dokumentasi: Melalui teknik ini, penulis mengutip isi dokumen yang berhubungan dengan data sekunder yaitu : Jumlah penduduk desa dan perinciannya sesuai dengan mata pencarian dan sebagainya, Monografi desa, potensi desa dsb, Jumlah perempuan yang menjadi pengurus PKK Desa, jumlah perempuan desa yang menjadi anggota PKK, dan bukti dari hasil-hasil kegiatan yang menunjang kesejahteraan keluarga. TeknikAnalisisData

Pengumpulan Data

Penyajian Data

Reduks i Data

Kesimpulankesimpulan: Penarikan/ verifikasi

Gambar 1 : Analisis Data Model Interaktif. Teknik Analisis Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis model interaktif (interactive model of analysis) sebagaimana yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992) bahwa analisis tersebut meliputi 3 tahapan yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Analisis model interaktif menurut Miles dan Huberman sebagaimana gambar 1. Yaitu :

a. Reduksi Data (reduction data), yakni data yang diperoleh di lokasi penelitian (data lapangan) dituangkan dalam uraian atau laporan yang lengkap dan terinci. Laporan lapangan akan direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting kemudian dicari tema atau polanya. Reduksi data berlangsung secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung. Selama pengumpulan data berlangsung diadakan tahap reduksi data, selanjutnya membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema membuat gugus-gugus dan menulis memo. b. Penyajian Data (data display), yakni memudahkan bagi peneliti untuk melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari penelitian. c. Penarikan Kesimpulan (conclucying drawing), yakni melakukan verifikasi secara terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung, yaitu : sejak awal memasuki lokasi penelitian dan selama proses pengumpulan data, peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang dikumpulkan dengan cara mencari pola, tema, hubungan persamaan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan sebagainya.yang dituangkan dalam kesimpulan yang masih bersifat tentatif. Akan tetapi dengan bertambahnya data melalui proses verifikasi secara terus menerus, maka akan diperoleh kesimpulan yang bersifat �grounded�.

HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Tegalsari Desa Tegalsari Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember Propinsi Jawa Timur telah banyak dikenal berbagai masyarakat Jawa. Karena desa ini merupakan desa migrasi konon dari asal ceritanya berasal dari kabupaten ponorogo dan sekitarnya. Kehidupan masyarakatnya selalu dinamis

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 6 Lutfi Ariefianto

dan ingin maju, hal ini terlihat dari banyaknya sarana dan prasarana desa yang dibentuk dan didirikan oleh masyarakat poskampling, balai kasun, dsb. Demikian pula dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan diantaranya adalah lembaga Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) desa. Lembaga PKK Desa Tegalsari adalah merupakan salah satu wadah perempuan Desa Tegalsari untuk memberdayakan dirinya dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan sebagai mitra kerja pemerintah dengan melalui pelaksanaan berbagai kegiatan yang telah diprogram dan dalam rangka pengoptimalan pelaksanaan 10 program pokok PKK. Terbentuknya lembaga PKK Desa Tegalsari ini sejak tahun 1999 sejalan dengan Desa Tegalsari ditetapkan sebagai desa definitif. Tujuan dari gerakan PKK adalah memberdayakan keluarga untuk meningkatkan kesejahteraan menuju terwujudnya keluarga yang beriman dan bertaqwa Kepada Tuhan YME, beraklak mulia dan berbudi luhur, sehat sejahtera, maju mandiri, kesetaraan dan keadilan gender serta kesadaran hukum dan lingkungan. 1. Visi Terwujudnya keluarga yang beriman dan bertaqwa Kepada Tuhan YME, beraklak mulia dan berbudi luhur, sehat sejahtera, maju mandiri, kesetaraan dan keadilan gender serta kesadaran hukum dan lingkungan. 2. Misi a. Meningkatkan mental spiritual, pelaksanaan HAM, demokrasi, kesetiakawanan sosial, dan gotong royong. b. Meningkatkan pendidikan dan keterampilan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta meningkatkan pendapatan keluarga. c. Meningkatkan derajat kesehatan, kelestarian lingkungan hidup serta kehidupan yang berencana dalam semua aspek kehidupan dan perencanaan ekonomi keluarga dengan membiasakan menabung.

Dalam perjalanannya beberapa prestasi pernah diraih oleh PKK Desa Tegalsari kecamatan Ambulu memperoleh sejumlah prestasi yang cukup membanggakan sekali sehingga bisa memberikan nama baik kecamatan Ambulu dan juga nama baik untuk kabupaten Jember. PKK Desa Tegalsari yang merupakan salah satu lembaga kemasyarakatan desa yang menjadi wadah pemberdayaan perempuan sudah memiliki kegiatan rutin terutama dalam pelaksanaan program kerja. Kegiatan tersebut dijadwalkan berdasarkan atas kesepakatan bersama, untuk mempermudah dan menertiban pengurus, kader, dan anggota PKK Desa menjalankan tugasnya. Tanpa pemberitahuan dalam bentuk apapun, kalau jadwal kegiatan tiba mereka berbondong-bondong mendatangi tempat kegiatan, baik mereka menjadi pelaksana kegiatan maupun sasaran kegiatan. Sesuai dengan prinsip dasar pembangunan dan pemberdayaan masyarakat khususnya pemberdayaan perempuan, maka sumber pembiayaan kegiatan PKK didasarkan pada swadaya gotong-royong dan partisipasi masyarakat. Bantuan pemerintah dan bantuan sumber lainnya sifatnya sebagai pendorong dan perangsang untuk tumbuh dan berkembangnya swadaya gotong-royong dan partisipasi masyarakat. Program Pemberdayaan Perempuan di Desa Tegalsari Melalui PKK Desa Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Desa Tegalsari adalah gerakan pembangunan masyarakat khususnya perempuan yang tumbuh dari bawah bertujuan untuk mewujudkan keluarga-keluarga sehat, sejahtera, maju dan mandiri, yang memiliki prinsip pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Sebagai wadah pelaksanaan pemberdayaan perempuan desa berbagai pelaksanaan kegiatan telah dilaksanakan. Pemberdayaan perempuan desa yang dilaksanakan oleh PKK Desa Tegalsari mencakup berbagai bidang, yaitu:

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 7 Lutfi Ariefianto

1. Bidang Kesehatan Posyandu atau Pos Pelayanan Terpadu merupakan suatu kegiatan dalam bidang kesehatan yang dilakukan dari, oleh, dan untuk masyarakat guna menyelenggarakan 5 kegiatan pelayanan dasar (KB, Kesehatan Ibu dan Anak atau KIA, Gizi, Imunisasi, Penanggulangan diare, dan ISPA) yang keberadaannya ada dalam kelompokkelompok masyarakat. Posyandu balita di Desa Tegaslari dibentuk sejak tahun 1999, yang sekarang berjumlah 4 posyandu. Tujuan dari Posyandu diantaranya adalah memelihara dan meningkatkan kesehatan dalam rangka mewujudkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga, meningkatkan kegotong-royongan masyarakat serta sebagai tempat untuk saling memperoleh dan memberikan informasi terutama dalam bidang kesehatan. Sasaran dari Posyandu adalah bayi, anak balita, ibu hamil, ibu menyusui, Wanita Usia Subur (WUS), dan Pasangan Usia Subur (PUS). Kegiatan yang dilakukan Posyandu yang berupa pelayanan gizi yang dilakukan adalah usaha posyandu dalam antisipasi kasus kekurangan gizi pada masyarakat terutama mereka yang rentan. Status gizi masyarakat dapat digambarkan terutama pada status gizi anak balita, ibu hamil, serta perempuan menyusui. Disini juga Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita seperti bubur kacang hijau, bubur ayam, dsb. Mengingat besarnya peranan Posyandu dalam masyarakat baik bagi para ibu (perempuan) atau pada masyarakat pada umumnya, maka keteraturan pelaksanaan Posyandu sangat diperlukan. Posyandu dilaksanakan setiap sebulan sekali. Upaya pemberdayaan perempuan dalam Posyandu terlihat dalam kader-kader yang terdiri dari perempuan yang terlatih dan terlibat dalam setiap kegiatan Posyandu yang sudah dilatih tentang bagaimana proses pemberian pelayanan kepada sasaran. Mereka sudah dididik tentang pengisian Kartu Menuju Sehat (KMS), penyuluhan upaya gizi keluarga, pencegahan diare, penimbangan

balita yang benar, dan pengetahuan tentang alat kontrasepsi KB. Kegiatan Posyandu lansia juga dilaksanakan di Desa Tegalsari, kegiatan ini bertujuan untuk menjaga kesehatan di usia lanjut. Salain itu sebagai ajang sosialisasi atau pertemuan antar lansia sehingga dapat berbincang dan saling bertukar pikiran sehingga tidak stress dalam menjalani harihari tuanya. Sasarannya adalah orang-orang yang sudah berumur 55 tahun ke atas baik laki-laki maupun perempua. Posyandu lansia dibentuk sejak tahun 2002 dengan dana swadaya masyarakat. Kegiatan Posyandu lansia adalah penimbangan dan pengukuran tinggi badan, pemeriksaan kesehatan seperti tensi darah, penyuluhan gizi dan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) seperti juga bubur kacang hijau, susu dan telur, bubur ayam, dll. Selain hal tersebut diatas juga dilaksanakan senam lansia, juga dalam rangka menjaga kesehatan lanjut usia. Program tersebut diatas merupakan wujud nyata dari pemberdayaan perempuan, karena perempuan mempunyai peran penting baik sebagai kader kesehatan yang terlatih dan terlibat secara aktif dalam memfasilitasi setiap kegiatan maupun warga perempuan yang berpartisipasi sebagai peserta. Dengan tetap eksisnya pelaksanakan Posyandu balita dan posyandu lansia maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pemberdayaan perempuan di bidang kesehatan di Desa Tegalsari sudah berjalan dengan baik, sudah sampai pada kesadaran mandiri (diri sendiri) akan pentingnya keterlibatan dalam bidang kesehatan. Keterlibatan bukan hanya sebagai penerima program (kelompok sasaran) tetapi lebih jauh terlibat dalam pelaksanaan program secara aktif. Bidang Ekonomi Bidang ekonomi yang dilakukan dalam rangka menunjang ekonomi keluarga ini diantaranya adalah melalui kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) yang pendiriannya sejak tahun 1999 binaan dari BKKBN.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 8 Lutfi Ariefianto

Dalam perkembangannya karena merasa anggotanya semakin besar, semua pengurus adalah ibu rumah tangga, yang mempunyai wawasan ke depan dalam membangun usaha, yang lebih dulu harus ditumbuhkan adalah jiwa wiraswasta. Pengembangan Usaha Kelompok UPPKS adalah merupakan kelompok usaha ekonomi produktif berbasis produk anggota. Artinya bahwa semua anggota kelompok mempunyai kesempatan dalam pengembangan usaha sehingga keragaman usaha inilah yang membuat kelompok UPPKS semakin dinamis dan berkembang. Jenis usaha yang dikembangkan adalah sebagai berikut; usaha Kelompok (simpan pinjam dan jasa) sedangkan usaha anggota (dagang sembilan bahan pokok, Produk jamu gendong, Menjahit pakaian, Produk kue kering, Produk minuman sehat, Produk ramuan sehat). Program tersebut diatas merupakan wujud nyata dari pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi. Karena pengurus maupun anggota kelompok yang terlibat secara aktif dalam segala kegiatan kelompok dalam rangka usaha peningkatan pendapatan keluarga melalui kelompok UPPKS yang secara kelembagaan bergerak di bidang ekonomi dalam rangka membantu keluarga meningkatkan penghasilan tambahan. Dengan melihat kegiatan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi di Desa Tegalsari melalui kelompok UPPKS tidak semuanya berjalan dengan baik. Walaupun sudah ada kesadaran secara mandiri akan pentingnya keterlibatan dalam bidang ekonomi ini, keterlibatan bukan hanya sebagai penerima program, namun terlibat dalam proses yang dilakukan kelompok dari pengorganisasian, permodalan, pengembangan produk, sampai pengembangan pasar. Bidang Pendidikan Pemberdayaan harus dimulai dari diri kita masing-masing dimana pendidikan merupakan faktor kunci, untuk itu Tim Penggerak PKK Desa Tegalsari beserta

kader-kadernya sebagai sarana pelaksana program maupun sasaran program harus dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar dapat melaksanakan peranannya secara maksimal, Program BKB yang diaplikasikan dalam bentuk kegiatan di masyarakat merupakan upaya strategis dalam membina dan mengembangkan konsep keluarga kecil mandiri dan sebagai bagian dari peningkatan mutu Sumber Daya Manusia sejak usia dini. Kegiatan pemberdayaan keluarga melalui pembinaan mental, karakter, dan kecerdasan anak semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Kegiatan-kegiatan itu merupakan bentuk nyata dari pemberdayaan perempuan bidang pendidikan di Desa Tegalsari, karena perempuan mempunyai peran penting baik sebagai kader maupun sebagai sasaran kegiatan telah terlibat aktif dalam segala kegiatan dalam rangka peningkatan mutu Sumber Daya Manusia melalui berbagai kegiatan seperti pelatihan kader-kader PAUD, kelompok BKB, yang secara kelembagaan bergerak di bidang pendidikan dalam rangka peningkatan pengetahuan dan keterampilan. Sehinga dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pemberdayaan perempuan di Desa Tegalsari juga sudah berjalan dengan baik. Sudah ada kesadaran secara mandiri akan pentingnya keterlibatannya dalam bidang pendidikan bukan hanya sebagai sasaran kegiatan tetapi juga terlibat dalam proses pelaksanaan program. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan desa Tegalsari sudah dapat memberdayakan dirinya di bidang pendidikan dalam rangka peningkatan pengetahuan dan keterampilannya. Bidang Politik Perempuan bukan cuma dituntut untuk memiliki peran domestik yaitu sebagai istri dan sebagai ibu dari anakanaknya, namun juga harus memiliki peran publik sebagai bagian dari bagian masyarakat. Peran politik tidak harus menjadi anggota legislatif ataupun eksekutif, sebagai anggota masyarakat biasa

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 9 Lutfi Ariefianto

perempuan juga dapat melaksakan perannya misalnya dengan terlibat dalam pengambilan keputusan publik, misal dalam rapat desa PKK Desa juga diikutkan, masuk BAPEPDES, aparat desa dan malah dari Tim Penggerak PKK Tegalsari ada yang menjadi anggota organisasi Perempuan Peduli Jember yang bergerak di bidang politik. Untuk ditingkat desa sudah dibentuk organisasi politik perempuan Kartini namun aktifitasnya belum begitu menonjol, sebagai tindak lanjut dari pendidikan politik yang mereka peroleh di kabupaten, yaitu program tata pemerintah Tanggap Gender kerja sama ADB ( Asian Development Bank ) dengan pemerintah daerah kabupaten Jember tahun 2005. PKK Desa Tegalsari diberi kesempatan untuk mengirim kadernya mengikuti pelatihan ini. Materi pelatihan dalam program tata pemerintahan tanggap gender adalah meliputi:pendidikan kewarganegaraan yang memuat tentang hak dan kewajiban perempuan sebagai warga negara. Dan penyusunan anggaran yang tanggap gender untuk membekali peserta memiliki kemampuan menyusun program-program yang tanggap gender di tempat kegiatan masing-masing. Sebagai tindak lanjut dari mengikuti program pelatihan tata pemerintahan tanggap gender, dibentuklah organisasi wanita Kartini. Tujuan dari organisasi ini adalah untuk menyebar luaskan materi yang diperoleh pada pelatihan tata pemerintahan tanggap gender dan wadah perempuan untuk menyampaikan aspirasinya bidang kepentingan publik di desa. Namun sayang dalam perkembangannya organisasi ini mati suri tanpa aktifitas apapun. Strategi PKK Desa Tegalsari dalam peningkatan Program Pemberdayakan Perempuan Desa Pemberdayaan perempuan yang berwawasan gender dalam Pembangunan Daerah harus masuk dan terintegrsi pada setiap sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini mengingat besarnya jumlah perempuan dan pentingnya peran

serta perempuan dalam Pembangunan Daerah. Perempuan sebagai potensi yang besar baik sebagai anggota keluarga yang melahirkan dan membesarkan generasi penerus bangsa maupun perempuan sebagai agen pembangunan yang memerlukan ruang gerak yang lebih luas di segala bidang (bidang sosial-budaya, pendidikan, ekonomi, kesehatan, politik, hukum dll). Mereka bukan hanya sebagai objek dalam pemberdayaan tetapi perlu dilibatkan dalam perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan program. Bahwa hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya, yang akan terwujud apabila kesejahteraan keluarga dan masyarakat khususnya perempuan dapat dilaksanakan antara lain melalui kegiatan PKK, karena program dan kegiatan PKK merupakan bagian dari pembangunan yang perlu terus menerus dipacu seirama dengan dinamika pembangunan. PKK Desa Tegalsari sebagai salah satu wadah pelaksanaan pemberdayaan perempuan Desa harus selalu menata diri, perlu diimbangi dengan kesiapan Tim Penggerak PKK baik kelembagaan, program, dan administrasi dengan dukungan dana, sarana yang memadai, maupun kesiapan sumber daya manusianya. Sebagai lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang Pemberdayaan Perempuan PKK Desa Tegalsari harus berbenah diri, untuk membuka diri, dan mencari mitra kerja yang dapat bekerja sama dalam rangka pengembangan organisasi dalam mencapai tujuan yang telah dilaksanakan. Wadah pemberdayaan perempuan Desa Tegalsari selalu bergerak dinamis. Banyak hal yang telah dilaksanakan diantaranya adalah dimulai dari pembenahan kelembagaan yang harus didasarkan kepada kebutuhan pengembangan bidang-bidang strategi sesuai dengan sasaran dan tujuan yang dirumuskan dalam program kerja. Hal juga penting dilakukan PKK Desa Tegalsari adalah pengembangan Sumber

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 10 Lutfi Ariefianto

Daya Manusianya baik pengurus maupun kader-kadernya. karena dilandasi atas kesadaran bahwa masyarakat yang dilayani selalu bergerak dan berkembang dinamis. Karena tingkat pendidikan semakin tinggi, sehingga mutu dan tingkat pengetahuan pengurus dan kader PKK harus dikembangkan terus-menerus. Mengikuti pelatihan-pelatihan seperti pelatihan kader BKB, pelatihan kader Posyandu, pelatihan kader UPPKS, pelatihan keterampilan seperti menjahit, pengeringan biji dan buah, pelatihan dan pengelolaan PAUD. Hal ini dilakukan dengan bekerja sama dengan pemerintah daerah kabupaten melaui Dinas Kesehatan, Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat, Badan Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Tenaga Kerja, dan PKK Kabupaten dan Kecamatan.

Pembahasan Program Pemberdayaan Perempuan di Desa Tegalsari Berbagai program kegiatan pemberdayaan perempuan yang dilaksanakan oleh PKK Desa Tegalsari pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan keluarga-keluarga sehat, sejahtera, maju dan mandiri. Hal ini disebabkan adanya tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat dan semakin kompleks, yaitu tuntutan kebutuhan pendidikan, kebutuhan memelihara dan meningkatan derajad kesehatan, kebutuhan untuk menikmati perkembangan dalam tehnologi, informasi maupun dalam bidang sosial budaya lainnya seperti hiburan yang ingin dipenuhi. Kesejangan antara tuntutan kebutuan yang ingin dipenuhi dengan kemampuan untuk memperolehnya yang menjadikan para perempuan desa merasa berkewajiban untuk membantu keluarga dalam memperkecil kesenjangan tersebut. Pada dasarnya manusia memiliki potensi dan daya untuk mengembangkan dirinya menjadi lebih baik dan bersifat aktif dalam upaya peningkatan keberdayaan dirinya. Maka menurut Kartasasmita dalam Sumaryadi (2005) hakekat dari

pemberdayaan tersebut adalah berada dalam diri manusia itu sendiri sedangkan faktor diluar diri manusia menjadi faktor stimulus, perangsang munculnya semangat, dorongan, atau motivasi pada diri manusia untuk memberdayakan dirinya sendiri, untuk mengendalikan dirinya sendiri berdasarkan potensi yang dimilikinya. Pendekatan kebijakan yang berkaitan dengan kedudukan wanita dalam pembangunan /Women in development antara lain dikaji oleh Monser dalam Naqiyah (2005), yakni mengemukakan lima pendekatan sebagai berikut:(1) Pendekatan kesejahteraan (the welfare approach), (2) Pendekatan keadilan (the equiting approach), (3) Pendekatan pengentasan kemiskinan (the anti proverty approach), (4) Pendekatan efisiensi (the efficiency approach), (5) Pendekatan pemberdayaan Program kegiatan pemberdayaan perempuan desa melalui PKK Desa Tegalsari dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama, pendekatan kesejahteraan. Pendekatan ini menekankan pada tiga asumsi dasar yaitu : (a) wanita sebagai penerima pasif pembangunan, (b) peranan yang paling penting bagi perempuan adalah peran keibuan, (c) dalam aspek pembangunan ekonomi, mengasuh anak merupakan peranan perempuan yang paling efektif. Ketiga asumsi dasar ini tidak lagi berkenaan dengan perilaku kehidupan perempuan di Desa Tegalsari terutama yang menjadi pengurus, kader, dan anggota PKK Desa. Hal ini didasari oleh suatu kenyataan dimana berdasarkan deskripsi data yang telah diperoleh bahwa kaum perempuan sudah memulai memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas hidup rumah tangga baik dari demensi ekonomi, pendidikan, kesehatan, bahkan politik. Sedang pendekatan tersebut diatas mencerminkan ketergantungan kaum perempuan terhadap pria dimana perempuan hanyalah dianggap sebagai pendamping suami dalam mengurus rumah tangga. Perspektif pembangunan ekonomi dalam kaitannya dengan pendekatan

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 11 Lutfi Ariefianto

kesejahteraan menganggap peranan perempuan yang efektif hanya mengasuh anak. Mengarah bagaimana mempersiapkan manusia-manusia yang berkualitas di masa yang akan datang termasuk didalamnya menyediakan pendidikan bagi anak-anak. Namun belum menunjukkan secara langsung perannya dalam meningkatkan ekonomi dalam rumah tangga. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pendekatan kesejahteraan dengan tiga asumsi pada dasarnya tidak relevan dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan peradaban perempuan pada saat ini. Kedua, pendekatan persamaan. Pendekatan ini mengakui bahwa perempuan merupakan partisipan aktif dalam proses pembangunan melalui kerja produktif. Temuan yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan mulai menyadari akan ketergantungan tersebut. Sehingga muncul keinginan untuk melakukan sesuatu yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dengan mengikuti kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh PKK Desa. Pemahaman tersebut dapat diartikan bahwa dengan melakukan sesuatu yang bertujuan untuk mensejahterakan keluarga dapat menjadikan kaum perempuan mulai sejajar dengan pria. Atau dengan kata lain, bahwa pendekatan ini bertujuan menjelaskan perempuan dari yang sifatnya tergantung menuju ke arah kemandirian. Ketiga, pendekatan anti kemiskinan. Pendekatan ini sebenarnya hampir sama dengan pendekatan kesamaan tersebut diatas. Perbedaannya hanyalah terletak pada kehalusan arti. Dimana pendekatan kesamaan cenderung mengarah pada tuntutan persamaan hak dan kewajiban. Sedang pendekatan anti kemiskinan sasarannya adalah bagaimana memerangi kemiskinan. Keempat, pendekatan efisiensi. Pendekatan ini menjelaskan tentang pergeseran dari perspektif perempuan menuju pada perspektif pembangunan. Pergeseran ini didasari oleh suatu pemikiran bahwa dalam upaya peningkatan ekonomi, partisipasi perempuan di negara dunia ketiga secara

otomatis berkaitan. Maksudnya adalah munculnya pendekatan efisiensi ini karena sering terjadi pemborosan yang disebabkan oleh pemusatan perhatian hanyalah pada peningkatan kesamaan antara perempuan dan pria sedangkan perhatian pada pembangunan itu sendiri terabaikan. Kenyataan inilah yang menjadi perhatian pembangunan terfokus pada pembangunan itu sendiri, sehingga faktor-faktor yang menjadi penyebab pemborosan tersebut harus dihilangkan. Kajian yang ditempuh dalam pendekatan efisiensi ini muncul akibat banyak perempuan mulai tergeser dari pasar tenaga kerja dan diganti tehnologi yang pada umumnya dikuasai oleh pria. Kenyataaan ini disebabkan oleh perempuan yang masuk dalam pasar tenaga kerja lebih besar bersifat politis dimana hanya menjaga dan menjunjung kesamaan tanpa memperhatikan kualitas pekerja itu sendiri. Pada saat yang bersamaan juga, muncul suatu idiologi tentang perempuan, bahwa perempuan adalah sebagai ibu rumah tangga. Pendekatan efisiensi ini menjadikan perempuan seolah-olah kembali pada pendekatan pertama. Berdasar deskripsi data penelitian ini, ditemukan bahwa sejak adanya PKK Desa Tegalsari tidak menunjukkan unefisiensi yang mengorbankan perempuan yang terjadi malah sebaliknya semakin berkembangnya kegiatan pemberdayaan perempuan yang dilaksanakannya. Sehingga semakin banyak melibatkan perempuan desa baik sebagai pelaksana kegiatan maupun sasaran kegiatan. Pendekatan kelima yaitu pendekatan pemberdayaan, menekankan pada fakta bahwa perempuan mengalami penekanan (operession) yang berbeda menurut bangsa, kelas, sejarah penjajahan kolonial, dan kedudukannya dalam orde ekonomi internasional pada masa kini. Dengan demikian wanita tetap harus pantang struktur dan situasi yang menekankan secara bersama pada ikatan yang berbeda. Pendekatan ini juga menekankan pentingnya wanita untuk meningkatkan keberdayaannya

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 12 Lutfi Ariefianto

dan mengartikan keberdayaannya bukan dalam konteks mendominasi orang lain dengan makna apa yang akan diperoleh wanita akan merupakan kehilangan bagi laki-laki, melainkan menempatkan pemberdayaan dalam arti kecakapan dan kemampuan perempuan untuk meningkatkan kemandirian (self – reliance) serta kekuatan dalam dirinya (Internal Strenght). Pemberdayaan seperti tersebut diatas bukan merupakan suatu hal yang baru bagi masyarakat desa Tegalsari karena faktorfaktor yang dimunculkan akibat dari pemberdayaan itu telah dipraktekkan oleh perempuan desa. Yang dimaksud pemberdayaan menurut PKK Desa Tegalsari dalam penelitian ini adalah tentang bagaimana meningkatkan profesionalisme sesuai dengan bidang-bidang pekerjaan masing-masing agar PKK desa Tegalsari dapat lebih berfungsi sebagai wahana untuk membantu perempuan desa meningkatkan kesejahteraan keluarga. Fenomena yang telah ditemukan dalam melihat kegiatan program pemberdayaan perempuan desa melalui PKK Desa Tegalsari bahwa telah melakukan berbagai kegiatan pemberdayaan perempuan. Diantaranya adalah pemberdayaan pendidikan, yang merupakan faktor kunci dari pemberdayaan masyarakat khususnya perempuan yang ditunjang dan dilengkapi pemberdayaan lainnya. Pada umumnya secara kuantitatif jumlah perempuan terdidik semakin meningkat dan jumlah perempuan buta aksara makin berkurang. Jumlah perempuan yang sekolah meningkat mulai dari pendidikan dasar ke pendidikan tinggi, walau makin tinggi tingkat pendidikan makin kecil jumlah perempuannya. Meskipun jumlah perempuan terdidik bertambah secara kuantitatif, tetapi dalam kenyataannya sering kali perempuan tidak mendapat akses pendidikan dan latihan, antara lain sebagai akibat streotipe dan prasangka negatif terhadap perempuan. Dari hasil penelitian di lapangan, bahwa keluarga antara masyarakat desa

Tegalsari sangat mendukung jika perempuan berpendidikan tinggi. Sehingga perempuan desa Tegalsari dapat mengakses kelas latihan-latihan keterampilan seperti menjahit, pengeringan biji-bijian, latihanlatihan kader seperti kader posyandu, kader BKB, kader PAUD dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka. Hal ini terjadi karena didukung oleh faktor sosial budaya yang berlaku di Desa Tegalsari.`Masyarakatnya termasuk masyarakat yang modern, sehingga mereka selalu membuka akses untuk kemajuan masyarakat dan desanya. Hal ini dilatarbelakangi bahwa penduduk Desa Tegalsari bukan penduduk asli mereka merupakan pendatang. Dengan demikian faktor ekonomi dan sosial budaya masyarakat Desa Tegalsari sangat mendukung pelaksanakan pemberdayaan perempuan desa di bidang pendidikan. Di samping pemberdayan pendidikan, juga dilakukan program pemberdayaan ekonomi bagi perempuan di Desa Tegalsari. Kegiatan yang dilakukan dalam menunjang ekonomi keluarga ini diantaranya melalui kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS). Bidang usaha dari kelompok UPPKS ini adalah simpan pinjam, yang dapat dijadikan sarana lembaga ekonomi desa maupun sarana lembaga keuangan desa, yang anggotannya dapat mengakses kredit dengan mudah dan murah sebagai modal usahanya. Jenis usaha UPPKS di Desa Tegalsari adalah dagang sembilan bahan pokok, produk jamu gendong, produk kue kering, minuman sehat dan ramuan sehat dari mahkota dewa, dan menjahit. Yang pemasarannya ditingkat lokal, regional, dan nasional. Kegiatan pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi di Desa Tegalsari belum berjalan dengan maksimal. Karena kurangnya dukungan modal, tehnologi, dan pasar diperlukan dari fihak pemerintah daerah sebagai aktor utama pelaksana pembangunan. Pemerintah Daerah Kabupaten Jember harus mampu menjadi katalisator dan mediator supaya perempuan Desa Tegalsari yang tergabung dalam

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 13 Lutfi Ariefianto

kelompok UPPKS dapat mengakses modal, tehnologi, dan pasar dalam memanfaatkan keterampilan yang telah dimiliki. United Nations dalam Roqib, (2002) menyatakan perlu meningkatkan kapasitas perempuan untuk dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan. Untuk itu pemberdayaan perempuan di bidang politik diperlukan, untuk menjamin kesamaan akses perempuan atas partisipasi penuh dalam struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan. Kepemimpinan dalam konteks pemberdayaan politik adalah kedudukan berkuasa dan berwenang untuk mengambil keputusan yang memperngaruhi kehidupan dan pekerjaan banyak orang dalam masyarakat (Tandala Prijono dan Pranarka, dalam Wiyoto (2005). Dalam proses pemberdayaan politik seorang pemimpin, khususnya perempuan perlu memiliki bekal kepemimpinan. Sebagai pemimpin perempuan harus mampu menggerakkan dan membuat perubahan-perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Seorang pemimpin perempuan juga perlu memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang didukung oleh kemauan dan keberanian dengan menggunakan kesempatan untuk menjadi teman seperjuangan lelaki. Pemimpin perempuan juga harus memiliki kepekaan terhadap lingkungannya sehingga dapat menampung aspirasi dan keinginan masyarakat serta mengantisipasi kemungkinan kesalahan yang timbul. . Program kegiatan pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh PKK Desa Tegalsari yang juga berjalan dengan baik adalah pemberdayaan di bidang kesehatan. Pemberdayaan bidang kesehatan diaktualisasikan melalui kegiatan posyandu balita dan posyandu lansia. Pelaksanakan posyandu tetap eksis sampai sekarang. Perilaku perempuan desa semacam ini adalah melihat PKK desa sebagai wadah untuk peningkatan kesejahteraan keluarga. Oleh karena itu mereka selalu berusaha menjaga dan melestarikan keberadaan PKK desa tersebut.

Dari beberapa program pemberdayaan yang ditemukan dalam penelitian ini nampak mempunyai satu kesatuan yang mendukung dari tujuan PKK itu sendiri. Dan dengan masuknya perempuan Desa Tegalsari sebagai pelaksana dan sasaran program menunjukkan telah terjadinya perubahan atau pergeseran tata nilai dalam mayarakat. Di landasi oleh pendekatan pemberdayaan menurut Moser dalam naqiyah (2005) maka dengan gerakan kaum perempuan berpartisifasi aktif dalam kegiatan pemberdayaan perempuan di PKK Desa Tegalsari, maka gerakan tersebut tidak hanya menggeser peran perempuan dari peran domestik yaitu dominan dalam rumah tangga menjadi peran ganda yaitu peran domestik dan publik tetapi juga menunjukkan bahwa kaum perempuan mampu memberdayakan dirinya untuk mengemban peran ganda tersebut. Dengan upaya pemberdayaan tersebut lambat laun akan terjadi pergeseran tata nilai dalam masyarakat Jember khususnya Desa Tegalsari bahwa konsepsi perempuan yang semula hanya sekedar �konco wingking� akan berubah karena melihat kenyataan bahwa perempuan juga mampu berperan ganda baik peran pada sektor domestik maupun pada sektor publik. Strategi PKK Desa Tegalasri dalam peningkatan Program Pemberdayaan Perempuan Desa Untuk memberdayakan kelompok yang tidak berdaya menjadi lebih berdaya, maka diperlukan strategi. Karena strategi merupakan sebuah jalan untuk mencapai tujuan, dalam pemberdayaan strategi lebih banyak membicarakan bagaimana yang belum berdaya menjadi lebih berdaya. Menurut Mahardika (2000:76) dikatakan bahwa dalam merancang strategi pemberdayaan dapat dilakukan dengan dua cara sekaligus,yaitu : a. Melakukan tindakan-tindakan guna mengubah kebijakan (policy) dan menghadirkan kebijakan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat sipil.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 14 Lutfi Ariefianto

Langkah ini diproyeksikan sebagai upaya untuk memperluas ruang rakyat untuk mengembangkan kapasitas kritisnya dengan bebas dan terjamin secara hukum dan politik. b. Mempersiapkan basis pendukung proes perubahan sosial yang menyeluruh Tindakan ini untuk mengembangkan suatu level kesadaran tertentu dikalangan masyarakat yang berkepentingan dengan perubahan dan pada gilirannya menjadi pijakan dalam membangun organisasi-organisasi masyarakat, yang independen dan dapat menjadi instrumen untuk mengubah ketidak adilan menjadi keadilan. Sebagai salah satu lembaga masyarakat yang menjadi wahana pemberdayaan perempuan, PKK desa Tegalsari dalam proses mencapai tujuan untuk memberdayakan perempuan desa yang belum berdaya menjadi berdaya, dan yang sudah berdaya menjadi lebih berdaya lagi. Sehingga diharapkan pemberdayaan perempuan di Desa Tegalsari melalu PKK Desa mencapai fase pemberdayaan emansipatoris, dimana perempuan sudah dapat menemukan kekuatan dirinya sehingga dapat melakukan pembaharuan dalam mengaktualisasikan diri. Puncak dari kegiatan masyarakat adalah ketika berada pada fase emansipasi ini. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagai lembaga yang menjadi motor penggerak dalam pemberdayaan perempuan desa, stretegi yang diterapkan PKK Desa Tegalsari meliputi dua strategi yaitu : 1. Strategi internal meliputi : a. Memperkuat kapasitas kelembagaan agar mampu menjadi motor penggerak dalam pemberdayaan perempuan desa. Demensi yang perlu dikembangkan meliputi : 1) Pengembangan program. Dengan memperbaiki kualitas program yang sudah ada dengan menjadikan sarana dan prasarana yang memadai dan mutu pelayanan

b.

2. a.

b.

yang lebih bagus, juga pengembangan program baru yang dirasakan sudah mendesak untuk dilaksanakan. 2) Pengembangan manajemen Pengembangan manajemen sudah dimulai sejak perencanaan program kerja, pembagian tugas dan fungsi yang jelas bagi pengurus, kader, dan anggota PKK Desa, kepemimpinan yang demokrasi, yang mengutamakan musyawarah, koordinasi yang baik dalam setiap permasalahan dalam organisasi. 3) Pengembangan budaya oganisasi Adanya aturan atas dasar kesepakatan bersama yang harus dilakukan dalam berorganisasi, proses demokrasi dan musyawarah mufakat harus dikedepankan dalam permasalahan oranisasi. Transpari dari pengurus dan anggota harus ditegakkan. Keberdayaan dan kemandirian organisasi harus ditunjung tinggi. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Yaitu peningkatan mutu dan pengetahuan pengurus dan kader, serta anggotannya melalui pendidikan seperti mengikuti pelatihan-pelatihan kader, yaitu kader posyandu, BKB, UPPKS, PAUD, dan mengikuti keterampilan menjahit dan pengeringan buahbuahan dan biji-bijian. Strategi Eksternal Membangun mitra kerja dengan pemerintah daerah dalam bidang teknis, keterampilan, pendanaan melalui instansi terkait (BKKBN, Dinkesos, PM, Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja dan Penanaman Modal, dan lain-lain). Menjalin kerja sama denga TP PKK Kecamatan dan Kabupaten dalam pameran produk PKK dalam rangka perluasan pasar, pelatihan kader, dan bantuan dana.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


c.

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 15 Lutfi Ariefianto

Menjalin kemitraan dengan lembaga keuangan lokal yaitu Bank BPD cabang Jember untuk dapat mengakses kredit sebagai modal di bidang ekonomi melalui UPPKS. d. Mengikuti lomba baik di tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi, bahkan tingkat nasional. Strategi internal yang diterapkan PKK Desa Tegalsari dalam peningkatan program pemberdayaan perempuan, dalam rangka memperkuat kapasitas kelembagaan agar mampu menjadi motor penggerak pada pemberdayaan perempauan desa dan peningkatan SDM adalah merupakan strategi yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas , efisiensi, dan responsivitas dalam rangka kinerja PKK Desa tersebut.

Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi aktivitas PKK Desa dibutuhkan manajemen alternatif atau strategi yang tidak berlandaskan organisasi yang birokratif tetapi strategis. Dalam organisasi yang birokrasi, tiap aspek dari struktur dirancang untuk menjamin kehandalan tingkah laku dan pertanggungjawabannya terhadap pusat. Pusat mempunyai kontrol menyeluruh. Semua keputusan tentang inovasi tertentu, perubahan, atau adaptasi dalam strategi harus berasal dari pusat. Keadaan ini mengakibatkan organisasi menjadi kaku, dan kurang efektif bagi lingkungan yang sedang mengalami perubahan pesat Salah satu hal terpenting dari manajemen strategi adalah bagaimana mengembangkan daya tanggap organisasi yang lebih baik terhadap kebutuhan kelompok sasarannya. Sebagai salah satu agen pemberdayaan perempuan PKK Desa tegalsari harus berusaha mengembangkan program yang dirasakan perlu untuk kelompok sasarannya, baik dengan memperbaiki kualitas program yang sudah ada dengan dukungan sarana dan prasarana dan mutu pelayanan yang lebih baik. Dan juga pengembangan program baru yang dirasakan sudah mendesak untuk dilaksanakan.

Sebagai wahana pemberdayaan perempuan desa PKK Desa Tegalsari dengan berbagai kegiatannya dalam pengembangan program kurang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Hal ini akan menghambat proses pelaksanakan dalam pengembangan program untuk meningkatan mutu pelayanan terhadap kelompok sasaran. Strategi PKK Desa Tegalsari dalam peningkatkan program pemberdayaan perempuan selain menerapkan strategi internal dalam rangka penguatan lembaga dan peningkatan mutu SDM, juga harus didukung dengan penerapan strategi eksternal dalam rangka peningkatan hubungan dan kerja sama, dengan memperluas jaringan kerja (Netwoking). Pada umumnya terdapat dua jenis hubungan kerja, yaitu (1) jaringan kerja fungsional yang mementingkan partisipasi dan relevansi; dan (2) institusional, yang mementingkan keanggotaan, koordinasi, dan formalitas. PKK Desa Tegalsari menerapkan jaringan kerja yang sifatnya fungsional. Jaringan kerja ini meliputi bidang teknis, keterampilan, pelatihan, perluasan pasar, akses modal, dan bantuan dana. Jaringan kerja ini diperlukan untuk mengatasi berbagai keterbatasan baik yang terdapat pada individu, kelompok, maupun organisasi. Dalam era globalitasi dan sebagai antisipasi menghadapi abad 21, PKK Desa tidak dapat menutup diri terhadap pengaruh dan dampak dari luar, sehingga kemitraan perlu dibina agar efisiensi dalam pembagian kerja dan efektif dalam mencapai tujuan organisasi. Kemitraan yang dibangun oleh PKK Desa Tegalsari baru sebatas tingkat lokal yaitu TP. PKK. Kecamatan Ambulu, TP.PKK Kabupaten Jember, BPD Cabang Ambulu, dan pemerintah daerah Kabupaten Jember melalui instansi-instansi terkait. Kalaupun ada kerja sama dengan lembaga di atas tingkat Kabupaten melalui lembaga yang ada di Kabupaten. Hubungan yang dijalin PKK Desa Tegalsari dengan pemerintah khususnya

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 16 Lutfi Ariefianto

pemerintah daerah merupakan hubungan paralel. Dimana PKK Desa Tegalsari membangun mitra kerja dengan pemerintah daerah khususnya pemerintah Kabupaten Jember melalui instansi-intansi terkait (Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan dan sebagainya) dalam rangka kerja sama teknis, keterampilan, pendidikan dan pelatihan, serta pendanaan. Kerja sama yang dibangun antara PKK Desa Tegalsari dengan pemerintah daerah bersifat adanya saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lainnya sehingga menjadi mitra kerja. PKK desa bermitra dengan pemerintah akan banyak keuntungan terutama dapat dukungan baik teknis, keterampilan, pendidikan dan pelatihan, bahkan dana. Sehingga dalam menjalankan misi sebagai aktor pemberdayaan perempuan desa dapat berjalan lebih baik dari pada dilaksanakan sendiri. Demikian sebaliknya, pemerintah daerah yang menjadi agen pembangunan khususnya pemberdayaan masyarakat yang selalu membutuhkan dukungan dari masyarakat dalam setiap melaksanakan program-program pembangunan pemerintah daerah. Tanpa dukungan masyarakat setempat programprogram pembangunan khususnya pemberdayaan perempuan yang dilakukan pemerintah daerah tidak akan ada artinya. Masyarakat akan bersifat apatis terhadap apa yang dilaksanakan oleh pemerintah sehingga tujuan dari pemberdayaan yang dilaksanakan pemerintah tidak mencapai sasaran. Sebaliknya keterlibatan masyarakat sedemikian penting karena masyarakat mempunyai kemampuan untuk mendukung kualitas karya yang bermanfaat bagi kemajuan daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemitraan yang dibangun antara PKK Desa Tegalsari dengan Pemerintah Daerah melalui instansi-instansi terkait belum membuahkan hasil yang maksimal. Karena kerja sama yang dijalin dalam suatu program biasanya tidak dibarengi dengan program lanjutan, sehingga program yang sudah didapat tidak dapat dikembangkan.

Seperti misalnya program pelatihan keterampilan pengeringan buah-buahan dan biji-bijian karena setelah latihan tidak ada tindak lanjutnya akhirnya keterampilan yang dimiliki tidak dimanfaatkan. Pada hal, hal ini dapat dikembangkan dalam peningkatan pengembangan usaha ekonomi produktif melalui kelompok UPPKS yang sudah ada seandainya ada binaan lanjutan di bidang teknis, permodalan, dan pasar. Kerja sama yang dibangun dengan pihak swasta diantaranya BPD Cabang Ambulu dalam mengakses kredit juga memiliki dampak positif dalam pelaksanaan program pemberdayaan perempuan yang dilaksanakan oleh PKK Desa Tegalsari. Karena disadari faktor dana merupakan salah satu faktor penting dalam rangka mensukseskan suatu progrm pemberdayaan dengan didukung oleh faktor-faktor lain seperti SDM, sarana dan prasarana. Dengan mendapatkan dana dari fihak swasta yaitu BPD Cabang Jember dapat bermanfaat bagi peningkatan program pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi. Dengan demikian berarti dalam pelaksanakan program pemberdayaan perempuan di Desa Tegalsari bukan menjadi monopoli pemerintah daerah, namun sudah ada keterlibatan swasta dan masyarakat khususnya perempuan yang dalam administrasi publik disebut tiga pilar penyelenggarakan pembangunan negara yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat. (Wiyoto, 2005) Namun kerja sama yang telah dibangun perlu dimaksimalkan sehingga program pemberdayaan perempuan yang dilaksanakan membuahkan hasil yang maksimal sesuai sasaran. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian di Desa Tegalsari, Kecamatan Ambulu, Kabupaten Jember dan pembahasan yang diuraikan di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan kegiatan pemberdayaan perempuan desa oleh PKK desa Tegalsari sudah berjalan dengan baik. Sudah ada kesadaran secara mandiri akan pentingnya keterlibatan

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 17 Lutfi Ariefianto

2.

perempuan desa dalam program pemberdayaan bukan hanya sebagai sasaran kegiatan tetapi juga terlibat dalam proses pelaksanaan program. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan Desa Tegalsari sudah dapat memberdayakan dirinya dalam rangka peningkatan kesejahteraan keluarganya. Aspek pemberdayaan perempuan yang dilakukan PKK Desa Tegalsari meliputi pemberdayaan bidang pendidikan, pemberdayaan bidang ekonomi, pemberdayaan bidang sosial-budaya, pemberdayaan bidang politik, dan pemberdayaan bidang kesehatan. Pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi dan politik yang belum dilaksanakan secara maksimal. Dari pemberdayaan bidang ekonomi melalui kelompok UPPKS. Sedang pemberdayaan perempuan di bidang politik melalui kelompok politik perempuan namun tidak ada aktifitasnya sama sekali. Strategi yang dilakukan PKK Desa Tegalsari dalam peningkatan program pemberdayaan perempuan desa menerapkan Strategi internal meliputi : Memperkuat kapasitas kelembagaan agar mampu menjadi motor penggerak dalam pemberdayaan perempuan desa dan pengembangan Sumber Daya Manusia ( SDM) dan Strategi eksternal : Membangun kerja sama dengan pemerintah daerah dalam bidang teknis, keterampilan, pendanaan melalui intansi terkait (Dinkesos, Dinas Kesehatan, Dinas Naker dan Penanam Modal, dll), Menjalin kerja sama dengan TP.PKK Kecamatan dan Kabupaten dalam pameran produk PKK dalam rangka perluasan pasar, pelatihan kader, dan bantuan dana, Menjalin kerja sama dengan lembaga

keuangan lokal yaitu Bank BPD cabang Ambulu untuk dapat mengakses kredit sebagai modal di bidang ekonomi melalui kelompok UPPKS yang dijadikan kredit modal bagi anggotanya, Mengikuti lomba baik ditingkat kecamatan, kabupaten, propinsi bahkan tingkat nasional. Saran Untuk mengoktimalkan peran PKK Desa Tegalsari dalam melaksanakan tugasnya sebagai wahana pemberdayaan perempuan desa di Kabupaten Jember, khususnyan Desa Tegalsari perlu didukung berbagai hal, yaitu : 1. Adanya peraturan daerah yang mengatur tentang pemberdayaan perempuan. Dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 berarti daerah diberi otonomi luas untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan itu daerah harus menyesuaikan diri untuk memiliki peraturan daerah dalam pelaksanaan kebijakankebijakan termasuk peraturan daerah tentang pemberdayaan perempuan. 2. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ke tingkat yang lebih tinggi bagi kader-kader PKK Desa sebagai fasilitator pemberdayaan perempuan desa. Pemberdayaan harus dimulai dari diri kita masing-masing dimana pendidikan merupakan faktor kunci, untuk itu kader-kader PKK Desa di Kabupaten Jember sebagai fasilitator pemberdayaan perempuan desa harus dibekali dengan pendidikan dan keterampilan yang lebih memadai agar dapat melaksanakan tugasnya dengan maksimal yaitu melalui pendidikan, kursus-kursus dan pelatihan-pelatihan. 3. Tersedianya fasilitas penunjang kegiatan pemberdayaan perempuan

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 18 Lutfi Ariefianto

yang lebih memadai di PKK Desa. Kebanyakan PKK Desa dalam melaksanakan aktifitasnya belum ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang memadai, untuk itu perlu dipenuhi fasilitas-fasilitas penunjang kegiatan dalam rangka pemberdayaan perempuan desa seperti sarana keterampilan, sarana pendidikan dan kesehatan, dan sarana pengempangan ekonomi produktif dan pemasarannya seperti koperasi wanita.

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan. 2003. Seks, Gender, dan Reproduksi Kekuasaan, Tarawang PresYogyakarta. Arikunto, Suharsimi.2006. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta Fakih, Mansour. 2009. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Faisal, Sanapiah. 2007. Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar Aplikasi. Malang : YA3 Direktorat Genderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri. 2005. Hasil Rapat Kerja Nasional VI PKK. Hadi, Sutrisno. 2004. Metodologi Research. (Jilid I). Jogjakarta: Andi Offset. Kantor Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia. Rencana Induk Pembangunan Nasional Pemberdayaan Perempuan Tahun 2000-2004.

Mahardika, Timur. 2000. Gerakan Masa : Mengupayakan Demokrasi dan Keadilan Secara Damai. Miles & Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Moleong, Lexy. 2006. Meteodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi) .Jakarta: PT Remaja Rosdakarya. Naqiyah, Najlah, 2005. Otonomi Perempuan. Bayumedia, Malang. Remi, Sutyastie S dan Tjiptoherijanto Prijono, 2002. Kemiskinan dan Ketidakmerataan Di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta. Roqib, Mohammad, 2002. Pendidikan Perempuan. Gama Media, Yogyakarta. Sugiyono, 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. C.V Alfabeta, Bandung. Sulistiyani dan Rosidah. 2003. managemen Sumber Daya Manusia : Konsep Teori dan Pengembangan Dalam Konteks Organisasi Publik, Graha Ilmu Yogyakarta. Sumaryadi, Nyoman I, 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom dan Pemberdayaan Masyarakat. Citra Utama, Jakarta. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Sekretariat Negara, Jakarta. Wiyoto, Budi (2005) Mengembangkan Riset Strategik Implementasi Kebijakan Publik Prespektif Good Governance, Partner Consulting, Malang.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


KEBERHASILAN KELOMPOK VOKASI BOGA DALAM MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT DI DESA GEMAWANG, KABUPATEN SEMARANG THE SUCCESS OF CULINARY GROUP VOKATIONAL IN EMPOWER THE COMMUNITY IN GEMAWANG VILLAGE, SEMARANG REGENCY Abdul Malik1) universitas negeri semarang, malofista@gmail.com Abstrak Penelitian ini bertujuan mengungkapkan keberhasilan kelompok vokasi boga dalam memberdayakan masyarakat di desa Gemawang kabupaten Semarang berkaitan dengan: (1) Pelaksanaan; (2) Hasil (3) Dampak; (4) Faktor pendukung dan penghambat pemberdayaan. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Subyek penelitian adalah tim pengembang desa vokasi, kepala desa, ketua dan anggota kelompok vokasi boga. Pengumpulan data melalui: wawancara; observasi; d a n dokumentasi. Teknik analisis data melalui: reduksi data; penyajian data; dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian mengungkapkan: (1) Pelaksanaan meliputi: identifikasi dan pembentukan kelompok; pemilihan ketua kelompok; pelaksanaan diklat; dan pertemuan rutin antar anggota kelompok. (2) Hasil berupa peningkatan kecakapan vokasi dan perkembangan kelompok usaha; (3) Dampak program berupa peningkatan ekonomi, status sosial dan perubahan budaya; (4) Faktor pendukung internal adalah kuatnya target meningkatkan kualitas hidup, dan faktor pendukung eksternal ialah kuatnya komitmen aparat desa dan adanya pembinaan instansi terkait. Faktor penghambat eksternal adalah terbatasnya modal serta banyaknya pesaing dalam pemasaran. Kata kunci: Kelompok Vokasi Boga, Pemberdayaan Masyarakat. Abstract This study aims to reveal the perception the success of cullinary vocational group in empower the community about: 1) Implementation; 2) Results; 3) The impact; and 3) supporting and inhibiting factors the empowerment. The study employed the qualitative descriptive approach. The research subjects comprised the team developing the vocational village, the village chief, the head of the program and membership. The data were collected through: interviews, observations, documentation. The data were analyzed through the stages of: (a) data reduction, (b) data display, and (c) conclusion drawing or verification. The study reveals the following findings: 1) Implementation the Vocational Village Program through several steps including: identification and determination of the group, election of the chairman, the implementation of vocational education and training, meeting for membership vocational group; 2) Output rural vocational program consisting of an increase in vocational skills for each member of the group and the development of business groups; 3) Impact of the vocational village program is the increased economic, social status and cultural; 4) Internal supporting factor is the presence of the ideals of the program participants to achieve a better life, and external contributing factors is the strong commitment by village officials, and special group. External limiting factor is the state of the weather, the limited capital and many competitors in marketing. Keywords: Cullinary Vocational Group, Community Empowerment

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 101

Abdul Malik PENDAHULUAN Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi. Kemiskinan ditandai oleh keterbelakangan dan pengangguran yang selanjutnya meningkat menjadi pemicu ketimpangan pendapatan dan kesenjangan antar golongan penduduk. Data BPS pada bulan Maret tahun 2013, penduduk miskin di tingkat nasional mencapai 11,37 persen atau 28,07 juta jiwa. Sementara di Jawa Tengah jumlah penduduk miskin mencapai 14,56 persen atau 4,733 juta jiwa. Tingginya angka kemiskinan tersebut disebabkan oleh tingginya angka pengangguran. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tahun 2012 6,32 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah 120.400.000. Sedangkan di Jawa Tengah TPT mencapai 1,02 juta orang atau 6,02 persen dari total angkatan kerja 16,99 juta orang. Di kabupaten Semarang, TPT mencapai 3,88 persen. Struktur tenaga kerja di Indonesia menurut tingkat pendidikan tergolong rendah. Hal ini dibuktikan dengan masih dominannya tenaga kerja lulusan SD ke bawah yang mencapai 49,21 persen atau 55,51 juta orang. Keadaan yang sama juga terjadi pada provinsi Jawa Tengah, tenaga kerja berpendidikan SD ke bawah mencapai 53,71 persen atau 8,58 juta orang. Begitu pun di kabupaten Semarang, tenaga kerja lulusan SD ke bawah mencapai 50,31 persen atau 258.390 orang. Data di atas menggambarkan bahwa struktur tenaga kerja dan kualitas SDM Indonesia masih rendah, sehingga menjadikan produktivitas dan rata-rata penghasilan pekerja Indonesia juga relatif rendah. Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan, Departemen Pendidikan Nasional (2009, p.iv), menilai masalah tersebut terkait dengan masalah mutu dan relevansi pendidikan nasional. Sistem pendidikan dan pelatihan yang diterapkan di Indonesia lebih berorientasi pada penawaran program dari pemerintah pusat (supply driven) bukan dari kebutuhan masyarakat. Akibatnya terjadi kesenjangan atau gap dan ketidakcocokan (mismatch) antara penawaran (supply) dengan permintaan (demand), yang pada gilirannya berdampak terhadap rendahnya produktivitas dan tingginya pengangguran. Sehubungan hal tersebut, salah satu Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 dirumuskan untuk mengatasi masalah kemiskinan di desa

dari segi ketenagakerjaan, kualitas sumber daya manusia, dan kualitas pendidikan, pemerintah meningkatkan akses orang dewasa untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan kecakapan hidup, pengembangan dan pembinaan desa/kelurahan vokasi berbasis keunggulan lokal. Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal (PAUDNI), menindaklanjuti RPJM (2010-2014) tersebut melalui Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan, dengan penyelenggaraan berbagai program yang mengarah pada pembekalan kepada masyarakat sebagai pembelajar yang berbasis pada pendidikan kecakapan hidup, untuk memenuhi kebutuhan warga masyarakat baik pada spektrum pedesaan, perkotaan, nasional, dan internasional. Pusat Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (P2PNFI) (sekarang P2PAUD DAN DIKMAS) Regional II yang mengembangkan model rintisan desa vokasi, yang diilhami dari program di Oita-Jepang dengan model The One Village, One Product (OVOP) yang artinya satu desa satu produk. Inovasi pengembangan desa di Jepang ini juga diadopsi di Thailand sejak tahun 2001 yang dikenal dengan program desa OTOP (One Tambon One Product) artinya, setiap satu kecamatan harus memiliki minimal satu komoditas ekonomi unggulan. (Denpaiboon & Amatasawatdee, 2012, p.53). Sebelum menetapkan desa yang menjadi model desa vokasi, P2PAUDNI melakukan studi eksplorasi. Penentuan lokasi desa vokasi ini berdasarkan penilaian yang berorientasi pada: (a) jumlah keluarga miskin tinggi; (b) sasaran garapan pendidikan kecakapan hidup (PKH) tinggi; (c) sudah ada embrio unit-unit usaha yang memiliki banyak potensi untuk dikembangkan; (d) memiliki potensi sumber daya yang bisa dimobilsasi untuk mendukung desa vokasi; (e) akses memadai (informasi, pasar, modal, bahan baku); (f) diutamakan yang sudah memiliki embrio program PNF (TBM dan PKBM); (g) banyak sasaran program pada jalur pendidikan non formal. Studi eksplorasi dilaksanakan terhadap 5 (lima) wilayah di Jawa Tengah, salah satunya desa Gemawang. Jumlah keluarga miskin di Gemawang cukup tinggi, yakni sebesar 1.736 orang. Sasaran garapan vokasi berjumlah 871 orang. Embrio unit usaha yang telah dimiliki sebanyak 17 jenis. Potensi sumber daya yang dimiliki berupa perkebunan kopi, wisata, lebah

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 102 Abdul Malik

madu, dan kelengkeng. Akses pasar tergolong cukup memadai untuk keberlangsungan usaha. Embrio program PNF yang dimiliki cukup variatif, ada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Taman Bacaan Masyarakat (TBM), Kelompok Belajar Paket B (KPB), Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Keaksaraan Fungsional (KF), dan Kursus Wirausaha Desa (KWD). Pada mulanya P2PAUDNI mengujicobakan model desa vokasi di Gemawang terhadap 4 kelompok, diantaranya: Batik; Boga; Alat Permainan Edukatif (APE); dan Pertanian. Perkembangan selanjutnya, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah dan Dinas Pendidikan Kabupaten Semarang mengembangkan beberapa kelompok, diantaranya Budidaya Kelinci; Madu Lebah; Garmen; Perikanan; Budidaya Jamur; Pupuk Bokashi; Kopi Bubuk; Pasta Indigo (pewarna batik alami). Berdasarkan studi penduhuluan yang dilakukan terhadap 12 kelompok tersebut, ditemukan bahwa kelompok vokasi boga merupakan salah satu kelompok yang paling mampu bertahan bahkan berkembang hingga saat ini. Anggota kelompok vokasi boga menggantungkan sepenuhnya pada usaha ini sebagai sumber penghasilan utama bahkan satusatunya sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Atas dasar inilah, maka penelitian ini hanya difokuskan kelompok vokasi boga. Berdasarkan kajian di atas, penelitian ini bermaksud untuk mengetahui lebih dalam tentang keberhasilan kelompok vokasi boga dalam memberdayakan masyarakat di desa Gemawang kecamatan Jambu kabupaten Semarang. METODE JenisPenelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif kualitatif. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2012 sampai dengan Agustus 2013. Tempat penelitian di desa Gemawang kecamatan Jambu kabupaten Semarang.

Subjek penelitian adalah anggota tim pengembang desa vokasi dari P2PAUDNI Regional II, kepala desa Gemawang, ketua program desa vokasi, dan peserta program/anggota kelompok vokasi boga. Prosedur

Sebelum menentukan teknik dan instrument pengumpulan data, untuk memudahkan peneliti memasuki setting penelitian, peneliti melakukan alur sistematika langkah-langkah sebagai berikut; (1) mencari informasi dari buku dan penelusuran data online; (2) mengurus izin pra-survey penelitian, untuk menjajaki dan mengetahui keadaan lapangan penelitian; (3) mengurus izin penelitian, sebagai syarat formal untuk melakukan penelitian; (4) membina hubungan baik dengan seluruh elemen yang terkait; (5) setelah kehadiran peneliti dapat diterima dengan baik, barulah peneliti memulai penelitian untuk mengumpulkan data atau informasi yang diperlukan. Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan dari hasil observasi dan wawancara dalam bentuk kata-kata, ucapan, isyarat, dan tingkah laku, serta gambar, sedangkan data sekunder adalah data pendukung yang terkumpul dari berbagai literatur, baik yang berupa buku, hasil penelitian, jurnal dan majalah serta internet. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi dilakukan dengan mengacu pada pedoman yang telah dipersiapkan terlebih dahulu dan dikembangkan pada saat pelaksanaan penelitian. Adapun teknik dan instrument pengumpulan data penelitian ini lebih rinci dijelaskan sebagai berikut: Metode Wawancara

Target/SubjekPenelitian

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 103

Abdul Malik Bentuk wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi wawancara bebas terpimpin.Wawancara dilakukan dengan menemui subjek atau informan yang dalam hal ini adalah para pelaku program desa vokasi, yaitu tim pengembang desa vokasi, kepala desa, ketua pelaksana, dan peserta program desa vokasi khususnya anggota kelompok vokasi boga untuk menggali data sesuai fokus penelitian. Pertama, dilakukan dengan tim pengembang desa vokasi dari P2PAUDNI kepala desa untuk mengungkap pelaksanaan program desa mulai dari latar belakang ditetapkannya desa Gemawang sebagai desa vokasi, proses pelaksanaan program desa vokasi di desa Gemawang, hasil dan dampaknya terhadap pemberdayaan masyarakat, serta faktor pendukung dan penghambatnya. Kedua, kepala desa untuk mengungkap pelaksanaan program desa mulai dari latar belakang ditetapkannya desa Gemawang sebagai desa vokasi, proses pelaksanaan program desa vokasi di desa Gemawang, hasil dan dampaknya terhadap pemberdayaan masyarakat, serta faktor pendukung dan penghambatnya. Ketiga, dilakukan dengan ketua pelaksana. Tujuan wawancara dilakukan untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan fokus penelitian. Keempat, dilakukan dengan peserta program desa vokasi, yakni dengan ketua dan/atau anggota kelompok vokasi boga. Adapun tujuan wawancara adalah untuk mengetahui pelaksanaan program desa vokasi, hasil dan dampaknya terhadap pemberdayaan masyarakat, serta faktor pendukung dan penghambatnya. Penyusunan pedoman wawancara didasarkan pada fokus penelitian yang dijabarkan dalam bentuk pertanyaan penelitian kemudian disusunlah indikatorindikatornya, sebagaimana dalam tabel 1 berikut.

Tabel 1 Kisi-kisi Pedoman Wawancara

Fokus Peneli Pelaksanaan tian

Indikator 1. Proses pelaksanaan program desa vokasi a. Identifikasi dan penetapan kelompok belajar b. Pemilihan ketua kelompok c. Pelaksanaan diklat d. Pertemuan rutin antar anggota kelompok

Hasil

2. Peningkatan kecakapan vokasi 3. Perkembangan kelompok usaha 4. Peningkatan ekonomi 5. Peningkatan status sosial 6. Perubahan budaya 7. Faktor pendukung a. Pendukung internal b. Pendukung eksternal 8. Faktor penghambat a. Penghambat internal b. Penghambat eksternal

Dampak

Faktor pendukung dan penghambat

Metode Observasi Observasi dimaksudkan untuk melihat secara langsung tentang kondisi yang terjadi selama dilapangan, baik yang berupa fisik atau perilaku yang terjadi selama penelitian. Observasi ini dilakukan dengan cara peneliti ikut mengamati kegiatan yang mereka lakukan dimulai bulan Februari s/d bulan Agustus 2013.

Tabel 2 Kisi-kisi Pedoman Observasi

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 104 Abdul Malik

Fokus Penelitian

Indikator

Hasil program desa vokasi

1. Perkembangan kelompok usaha

Dampak program

2. Peningkatan ekonomi 3. Peningkatan status sosial 4. Perubahan budaya

Faktor pendukung dan penghambat

5. Faktor pendukung a. Pendukung internal b. Pendukung eksternal 6. Faktor penghambat a. Penghambat internal b. Penghambat eksternal

Metode Dokumentasi Berkaitan dengan pengumpulan data dengan menggunakan metode dokumentasi adalah sebagai data sekunder untuk mendukung data primer. Metode ini penulis gunakan untuk memperoleh data yang bersifat dokumentatif, seperti monografi desa, profil desa vokasi meliputi latar belakang, visi dan misi, tujuan, fungsi, tugas pengelola, dan sasaran program desa vokasi, serta foto dan video selama kegiatan berlangsung. Kisi-kisi pedoman observasi disajikan pada tabel 3 berikut.

Tabel 3. Kisi-kisi Pedoman Dokumentasi Fokus Indikator penelitia n

Profil desa vokasi Gemawang

Pelaksanaan

Hasil

Dampak

Faktor pendukung dan penghambat

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Latar belakang Visi dan misi Tujuan Fungsi Tugas pengelola Sasaran program desa vokasi 7. Proses pelaksanaan program desa vokasi a. Identifikasi dan penetapan kelompok b. Pemilihan ketua kelompok c. Pelaksanaan diklat vokasi d. Pertemuan antar anggota kelompok 8. Peningkatan kecakapan vokasi 9. Perkembangan kelompok usaha 10. Peningkatan ekonomi 11. Peningkatan status sosial 12. Peningkatan budaya 13. Faktor pendukung 14. Faktor penghambat

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah model interaktif yang diajukan Miles dan Huberman (1994: 12). Ada empat komponen dalam model interaktif yang saling berinteraksi, yaitu: (1) Data collection (pengumpulan data) dilakukan dengan wawancara, observasi dan dokumentasi. (2) Data reduction (reduksi data), merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data kasar yang dilaksanakan selama berlangsungnya proses penelitian. Reduksi

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 105

Abdul Malik data merupakan bentuk analisis yang mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak diperlukan, dan mengorganisasikan data yang diperlukan sesuai fokus penelitian. (3) Data display (penyajian data), merupakan rangkaian informasi untuk mempermudah pemahaman yang disusun secara sistematis yang dapat berupa gambar, skema, dan tabel, sehingga mudah dipahami. (4) Conclution drawing and verification (penarikan kesimpulan dan verifikasi), merupakan proses akhir dalam aktivitas analisis data kualitatif. Penarikan kesimpulan dan verifikasi dilakukan berdasarkan hasil dari proses reduksi dan penyajian data. Langkah-langkah tersebut merupakan proses yang terjadi secara interaktif sebagaimana tersaji dalam gambar 1 berikut.

Gambar 1. Komponen Analisis Data: Model

Interaktif

2

Yuliasih

3 4

Sigit Supriyati

5

Yayuk

6 7 8 9

Sri Utami Sartimah Dadang Suratini

10

Isni

11 12 13

dan pingjet Bakso pangsit, pangsit kering, ceriping talas Pingjet Keripik singkong, lanting, keripik talas Keripik singkong, lanting Kerupuk rambak Keripik singkong Kerupuk rambak Lanting, keripik singkong Widaran, kembang goyang Lanting Kerupuk rambak Kerupuk rambak

Kristianingsih Laswantini Imam Supriyanto Sumber: Diolah dari Data Primer, Tahun 2013

Pelaksanaan program desa vokasi melalui beberapa tahapan, antara lain: (1) identifikasi dan pembentukan kelompok; (2) pemilihan ketua kelompok, sepenuhnya oleh anggota kelompok; (3) pelaksanaan diklat vokasi (4) pertemuan antar anggota kelompok dilaksanakan setiap satu bulan sekali setiap tanggal 15. Deskripsi tentang tahapan pelaksanaan program desa vokasi disajikan dalam tabel 5 berikut. Tabel 5. Tahapan Pelaksanaan Program Desa Vokasi Tahapan Pelaksanaan

Deskripsi Rangkaian kegiatan melalui: 1) Identifikasi dan pembentukan kelompok vokasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa anggota kelompok vokasi boga teridiri dari berbagai jenis usaha, diantaranya keripik singkong, keripiki tempe, lanting kerupuk rambak dan bakso. Secara lebih rinci disajikan pada tabel 4 berikut.

Tabel 4 Data Anggota Kelompok dan Jenis Produksinya No Nama Jenis Produksi 1 Sutarmiyah Keripik singkong, lanting, keripik talas, keripik tempe, tumpi, keripik daun singkong,

2) Pemilihan ketua kelompok 3) Pelaksanaan diklat

4) Pertemuan antar anggota kelompok vokasi

Hasil Penelitian

Rapat pengurus program dengan berbagai unsur desa dan tim pengembang Terpilih Ibu Sutarmiyah sebagai ketua Diklat tentang cara pengolahan keripik dan cara pengemasan serta manajemen usaha. Dilaksanakan setiap tanggal 15 dengan kegiatan arisan dan angsuran simpan pinjam.

Sumber: Diolah dari Data Primer, Tahun 2013 Hasil program desa peningkatan kecakapan

vokasi berupa vokasi dan

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 106 Abdul Malik

perkembangan kelompok usaha disajikan pada tabel 6 berikut. Tabel 6. Hasil Program Desa Vokasi Kelompok Vokasi Boga

Hasil Program Peningkatan Perkembangan kecakapan kelompok usaha vokasi Terjadi -Nama kelompok: Gema peningkatan, Boga Sari sebelumnya -Sekretariat: rumah SM hanya mampu (ketua kelompok) membuat -10 orang yang dilatih makanan dari sekarang menjadi 13 bahan dasar orang singkong -Penghasilan ketua sekarang mencapai Rp. mampu 2.000.000 /3-4 hari membuat dari (kotor), bahan tempe. -Penghasilan anggota Mampu Rp.1.200.000 – Rp. membuat 1.800.000/bulan kemasan yang -Pertemuan bulanan lebih menarik setiap tanggal 15 dari -Dana bergulir semula sebelumnya. Rp. 1.500.000 Kemampuan meningkat menjadi Rp. manajemen 4.000.000 lebih (Juni usaha 2013) meningkat

Sumber: Diolah dari Data Primer, Tahun 2013 Tabel tersebut menggambarkan bahwa hasil program desa vokasi berupa peningkatan kecakapan vokasi dan perkembangan kelompok usaha telah terjadi. Dampak program desa vokasi terhadap peserta program berupa peningkatan ekonomi, status sosial dan perubahan budaya. Secara ringkas, dampak program desa vokasi disajikan pada tabel 7. Tabel 7. Dampak Program Desa Vokasi Klp Vokasi Boga

Peningkatan Ekonomi Peningkatan pendapatan hingga Rp. 2 juta per produksi Terbukanya akses pinjaman modal dari lembaga keuangan

Dampak Peningkatan Status Sosial Peningkatan status sosial dengan lebih dipandang keberadaannya di masyarakat: menjadi ketua karang taruna desa Gemawang

Perubahan Budaya Terjadi perubahan gaya hidup sistem nilai, yang semula tidak percaya diri menjadi lebih percaya diri.

Sumber: Diolah dari Data Primer, Tahun 2013 Berdasarkan tabel 7 tersebut, dapat dijelaskan bahwa dampak program desa vokasi berupa peningkatan ekonomi, status sosial dan perubahan budaya telah terjadi. Setiap kegiatan pasti memiliki pendukung dan penghambat. Faktor pendukung program

desa vokasi terbagi atas internal dan eksternal. Secara sederhana disajikan pada table 8 berikut. Tabel 8. Faktor Pendukung Program Desa Vokasi Klp Vokasi Boga

Faktor Pendukung Internal Eksternal Cita1. Komitmen yang kuat cita/target dari aparat desa meningkatk 2. Pembinaan/pendampi an taraf ngan dari dinas hidup terkait (P2PAUDNI, dinas pendidikan prov/kab dll)

Sumber: Diolah dari Data Primer 2013 Dari tabel 8 tersebut dapat diuraikan bahwa faktor pendukung keberhasilan program desa vokasi secara internal adalah kuatnya citacita/target meningkatkan taraf hidup keluarga. Faktor pendukung eksternal terdiri atas komitmen yang kuat dari aparat desa, pembinaan dari dinas terkait seperti P2PAUDNI, Dinas Pendidikan Kabupaten, Dinas Perindustrian dan lain-lain. Faktor penghambat terdiri atas internal dan eksternal. Secara ringkas disajikan pada tabel 9 berikut. Tabel 9. Faktor Penghambat Program Desa Vokasi Klp Vokasi Boga

Faktor Penghambat Internal Eksternal Tidak ada 1. Kondisi cuaca (hujan) hambatan pada saat proses produksi (pada kerupuk, udara lembab menyebabkan keluarnya jamur) 2. Terbatasnya modal mengakibatkan tidak mampu menyiapkan cadangan produk pada saat cuaca bersahabat

Sumber: Diolah dari Data Primer 2013 Dari tabel 9 di atas dapat diuraikan, bahwa tidak ada faktor penghambat secara internal. Faktor penghambat eksternal antara lain cuaca (hujan) menyebabkan proses produksi terganggu, keterbatasan modal, dan banyaknya pesaing dalam pemasaran. Pelaksanaan Program Desa Vokasi Pelaksanaan program desa vokasi di desa Gemawang diawali oleh perekrutan peserta program yang berasal dari berbagai latar belakang. Kelompok vokasi boga merupakan pengembangan, karena anggota kelompok ini telah memiliki usaha boga masing-masing. Oleh karena itu dari sisi karakteristik peserta program,

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 107

Abdul Malik kelompok vokasi boga tidak termasuk kategori menganggur sebagaimana dalam pedoman. (P2PNFI Reg. II, 2009, p.18). Karakteristik pendidik atau narasumber pada program desa vokasi, menunjukkan bahwa instruktur berpengalaman dan memiliki akses usaha. Narasumber pelatihan dari IKA Boga Semarang dan merupakan instruktur sekaligus pengusaha pada bidangnya masing-masing. Karakteristik pengelola atau pengurus juga sudah sesuai dengan kriteria, yakni merupakan lulusan S1. Selain itu, Ketua Program juga pernah menjadi pemuda pelopor tingkat nasional pada tahun 2005. Hal ini menunjukkan kemampuannya dalam bidang manajemen dan kepemimpinan tidak diragukan lagi. Hal ini sejalan dengan kriteria P2PNFI (2009, p.19) yang mengharuskan jabatan ketua diberikan kepada orang yang dipilih masyarakat, berpendidikan S1, memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan. Komponen dana memegang peranan cukup penting demi keberlangsungan program. Besaran dana kelompok vokasi boga mendapatkan dana Rp. 5.000.000. Proses pelaksanaan program desa vokasi dimulai dari penetapan lokasi yang akan dijadikan sebagai sasaran program desa vokasi melalui tahapan seleksi. Seleksi lokasi menurut Mulyono (2012, p.851) merupakan langkah awal dalam tahapan strategi pemberdayaan masyarakat. Pada tahap ini, Mulyono menyebut sebagai tahapan memetakan sasaran program. Tahapan seleksi wilayah (studi eksplorasi) yang dilakukan terhadap 5 (lima) wilayah di Jawa Tengah sebelumnya telah melewati serangkaian proses yang bersifat bottom-up, seperti menerima masukan/ usulan dari aparat desa dan melakukan diskusi dengan SKB-SKB di Jawa Tengah. Hal ini sejalan dengan sifat pemberdayaan yang lebih menggunakan pendekatan bottom-up daripada top-down. Soetomo (2011: p.106) menekankan bahwa peran pihak eksternal dalam proses pembangunan masyarakat lokal, sebaiknya atas permintaan masyarakat sendiri sesuai kebutuhan mereka. Pernyataan senada disampaikan Adams (2003: p.3), bahwa pemberdayaan yang sesungguhnya seharusnya berasal dari orangorang yang ingin diberdayakan, bukan hanya berasal dari pihak yang ingin memberdayakan mereka. Begitu juga dengan desa Gemawang yang diwakili oleh Kepala Desa (BS) yang mengirim surat kepada Kepala P2PAUDNI

(pihak eksternal) untuk menjadikan desa Gemawang sebagai pilot project Desa Vokasi. Sosialisasi pada program desa vokasi menurut Wrihatnolo & Dwidjowijoto (2007, p.3) sebagai tahapan penyadaran. Pada tahap ini masyarakat sasaran diberikan pencerahan agar terjadi penyadaran bahwa mereka juga berhak memiliki “sesuatu�. Program desa vokasi menyadarkan masyarakat bahwa mereka memiliki sejumlah potensi yang dapat dikembangkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Sulistiyani (2004, p.103), bahwa untuk mewujudkan derajat keberdayaan salah satu langkahnya adalah upaya penyadaran untuk memahami diri, potensi, kekuatan dan kelemahan, serta memahami lingkungannya. Selain itu, proses sosialisasi juga dapat menentukan minat atau ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi dalam program pemberdayaan masyarakat yang dikomunikasikan. Hal senada disampaikan WHO (1991) yang dikutip oleh Mayo (2006, p.156), bahwa partisipasi masyarakat dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat, ‘memungkinkan orang untuk memutuskan dan mengambil tindakan yang mereka percaya sangat penting bagi perkembangan mereka’. Pembentukan pengurus dilaksanakan melalui rembug desa yang kedua. Pemilihan ketua kelompok diserahkan sepenuhnya pada anggota kelompok masing-masing. Peran ketua kelompok sangat strategis dalam proses pemberdayaan masyarakat. Ketua kelompok dapat berperan sebagai stabilisator dalam kelompok. Suasana kelompok menurut Sudjarwo (2011, p.19) adalah salah satu unsur yang cukup menentukan apakah anggota merasa betah tinggal/tetap menjadi anggota atau tidak. Pelaksanaan diklat dilaksanakan sesuai kebutuhan belajar peserta program. kelompok boga membutuhkan penambahan cita rasa dan pengemasan, serta manajemen usaha. Diklat penambahan cita rasa ini dilaksanakan dengan pelatihan membuat keripik tempe. Diklat manajemen usaha diberikan setelah diklat tentang penambahan cita rasa dan pengemasan. Pelaksanaan diklat diikuti oleh 10 orang peserta. Pertemuan antar anggota kelompok vokasi boga dilaksanakan setiap tanggal 15 setiap bulan. Hasil Program Desa Vokasi Hasil program desa vokasi adalah terjadinya peningkatan kecakapan vokasi seperti penambahan cita rasa dan teknik pengemasan

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 108 Abdul Malik

yang menarik dan manajemen usaha yang lebih rapi. Selain peningkatan kecakapan vokasi, hasil program desa vokasi terlihat juga berupa perkembangan kelompok usaha. Hasil penelitian menunjukkan, perkembangan kelompok boga, seperti kerjasama antar anggota jelas nampak sekali. Anggota saling membantu memasarkan produk satu sama lain. Kekompakan tim terjaga dengan baik. Menurut Sudjarwo (2011, p.16), kata kunci dinamika kelompok ialah pada kekompakkan/ kesatuan kelompok (unity). Menurut Kindervatter (1979, p.64) karakteristik Pendidikan Non Formal (PNF) sebagai proses pemberdayaan adalah salah satunya fokus utama terletak pada warga belajar sebagai kelompok, bukan sebagai individu. Dari sisi penghasilan, anggota kelompok vokasi boga saat ini mampu membiayai hidupnya dari usaha ini. Bahkan ketua kelompoknya saat ini telah memiliki mobil pickup sebagai penunjang operasionalnya dalam memasarkan produk. Dampak Program Desa Vokasi Kindervatter (1979, p.13) mengemukakan empowering is: people gaining an understanding of and control over social, economic, and/or political forces in order to improve their standing in society Artinya, pemberdayaan diartikan sebagai seseorang memperoleh pemahaman dan pengendalian kekuatan sosial, ekonomi, dan/ atau politik untuk memperbaiki keberadaannya dalam masyarakat.

Dampak program desa vokasi diantaranya adalah peningkatan ekonomi, status sosial masyarakat dan perubahan budaya. Peningkatan ekonomi bisa dilihat dari peningkatan pendapatan peserta program. Peserta program yang dahulu belum mampu mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya, karena usaha (kerja) sebagai kuli bangunan dan “ngalas�, saat ini sudah mengalami peningkatan pendapatan tanpa harus “ngalas�. Selain itu ada juga peserta yang sebelumnya tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari sekarang sudah mampu, bahkan alat transportasi untuk pemasaran produk sudah menggunakan mobil pick-up. Selain peningkatan pendapatan, dampak lainnya adalah terbukanya akses terhadap

pinjaman modal dari lembaga keuangan baik Bank ataupun Non-Bank. Hasil penelitian menunjukkan, beberapa peserta program telah diberi kepercayaan oleh pihak Bank untuk meminjam dana puluhan juta hingga ratusan juta rupiah. Temuan tersebut sejalan dengan pendapat Sulistiyani (2004, p.103), terbukanya akses terhadap lembaga keuangan adalah termasuk tingkat keberdayaan yang kedua setelah tingkat keberdayaan terpenuhinya kebutuhan dasar. Dampak lainnya adalah peningkatan status sosial masyarakat. Peserta program desa vokasi yang hingga saat ini menekuni usahanya, kini lebih dipandang oleh masyarakat. Hal ini dapat ditunjukkan dengan semakin berpartisipasinya anggota kelompok dalam pembangunan masyarakat. Status sosial menurut Soekanto (2012, p.210) artinya adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dampak pemberdayaan pada program desa vokasi terhadap peningkatan sosial telah terwujud. Perubahan budaya masyarakat juga menjadi salah satu dampak program. Perubahan budaya yang diharapkan terjadi sebagai dampak program desa vokasi seperti yang tercantum dalam tujuan umum program desa vokasi, yaitu terciptanya sikap mental kewirausahaan. Sikap mental wirausaha diantaranya adalah adalah mempunyai visi atau pandangan jauh ke depan sebagai sasaran yang akan dituju dalam perjuangannya meraih kesuksesan dan mampu melihat peluang. (Astamoen, 2008, pp.53-54). Sikap mental di atas telah dimiliki oleh peserta program desa vokasi yang masih aktif menekuni usaha yang dilatihkan. Faktor Pendukung dan Penghambat Faktor pendukung dalam program dibagi menjadi dua, yaitu: pendukung internal dan pendukung eksternal. Adapun yang menjadi faktor pendukung internal adalah cita-cita atau target dari peserta program desa vokasi untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Target tersebut kemudian menjadi pendorong timbulnya semangat dari dalam individu tersebut untuk berusaha merubah (tidak nrimo) terhadap keadaan yang belum berdaya menuju keadaan yang lebih berdaya. Hal ini merupakan salah satu ciri dari individu modern yang disampaikan Kahl dan dikutip oleh Lauer (1993, p.147),

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 109

Abdul Malik manusia modern adalah orang yang aktif; ia berupaya membentuk kehidupannya dan memberikan tanggapan terhadap takdirnya (tidak nrimo). Sejalan dengan Kahl, Mc Clelland (1961) yang dikutip dari Hendytio dan Babari (1996, p.177) juga menyatakan pentingnya dorongan dari dalam diri seseorang (N ach/ need for achievement) bagi perbaikan keadaan diri dan lingkungannya. Faktor pendukung eksternal adalah komitmen yang kuat dari aparat desa, pembinaan dari P2PAUDNI Regional II, dan berbagai dinas terkait seperti Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Perindustrian, dan Dinas Koperasi dan UMKM. Dari hasil penelitian tidak terdapat faktor penghambat internal dalam kelompok ini. Hal ini terlihat dari semakin berkembangnya jumlah anggota kelompok dari semula 10 orang menjadi 13 orang. Penghambat eksternal, yaitu diantaranya cuaca pada saat proses produksi. Produksi kerupuk rambak jika cuaca hujan akan sulit kering hingga menimbulkan munculnya jamur. Faktor penghambat lainnya adalah keterbatasan modal. Karena keterbatasan modal produksi sedikit terhambat. Hal ini sejalan dengan penelitian Isife, et. al (2009, p.24) yang menemukan bahwa program-program dari pusat kerajinan tangan dan industri pedesaan sebagian besar masyarakat miskin terhambat oleh sumber daya keuangan. Faktor lainnya adalah faktor banyaknya pesaing dalam proses pemasaran. Simpulan dan Saran Simpulan Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dan pembahasan mengenai keberhasilan kelompok vokasi boga dalam memberdayakan masyarakat di desa Gemawang kecamatan Jambu kabupaten Semarang, maka peneliti mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pelaksanaan program desa vokasi terdiri dari: identifikasi dan pembentukan kelompok vokasi; pemilihan ketua kelompok; pelaksanaan pelatihan (diklat) vokasi dan manajemen usaha; dan pertemuan antar anggota kelompok. Program desa vokasi menghasilkan keluaran warga belajar yang mengalami peningkatan kecakapan vokasi dan perkembangan kelompok usaha. Kelompok boga dari 10 orang yang didiklat bertambah menjadi 13 orang yang aktif melakukan usaha. Penghasilan meningkat bagi semua anggota kelompok.

Program desa vokasi memiliki dampak terhadap peningkatan ekonomi, status sosial dan perubahan budaya. Peningkatan ekonomi berupa peningkatan pendapatan dan terbukanya akses terhadap lembaga keuangan. Peningkatan pendapatan dirasakan oleh semua anggota kelompok. Akses terhadap pinjaman modal dari lembaga keuangan juga dirasakan sangat terbuka. Dampak yang lain adalah terhadap peningkatan status sosial. Anggota kelompok vokasi saat ini lebih dipandang keberadaannya di masyarakat dengan banyak dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan sosial. Perubahan budaya, juga menjadi dampak program. Perubahan ke arah sikap mental wirausaha telah nampak pada peserta, seperti memiliki visi, mampu membaca peluang, dan percaya diri. Faktor pendukung internal adalah citacita/target yang kuat dari dalam individu peserta untuk meningkatkan kualitas hidup keluarganya. Faktor pendukung eksternal adalah komitmen yang kuat dari aparat desa, dan pembinaan dari instansi terkait. Faktor penghambat eksternal terdiri dari kondisi cuaca (hujan) yang menghambat proses produksi. Selain itu, keterbatasan modal dan banyaknya pesaing pada pemasaran juga menjadi penghambat eksternal. Saran Kepada Pemerintah, program-program yang bertujuan memberdayakan masyarakat agar selalu memperhatikan proses pelibatan masyarakat seperti yang seleksi lokasi hendaknya mempertimbangkan potensi yang dimiliki wilayah sasaran, baik potensi SDA maupun SDM. Sosialisasi sebaiknya melibatkan seluruh lapisan masyarakat, agar tujuan program dapat tercapai dengan baik. Proses pemberdayaan hendaknya diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat sasaran agar mereka merasa memiliki program tersebut. Kepada P2PAUDNI Regional II, perlu ditinjau ulang model desa vokasi yang telah diluncurkan dengan memperhatikan setiap tahapan seperti yang telah diteliti. Selain itu, pelaksanaan diklat/kursus keterampilan (kecakapan vokasi) yang belum memiliki embrio di wilayah sasaran, hendaknya dilakukan lebih lama dan mendalam agar keterampilan tersebut dapat benar-benar dikuasai dan kemudian menjadi sandaran hidup peserta program.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 110 Abdul Malik

Kepada pengurus program, perlu membangun hubungan yang sinergis dengan berbagai stakeholder antara lain: pemerintah; dunia usaha dan dunia industry (DUDI); lembaga keuangan, dan masyarakat sasaran, agar keberlanjutan program dapat terjaga dengan baik.

Alimandan S.U.). Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Mayo, M. (2006). Cultures, communities, identities cultural strategies for participation and empowerment. New York: Palgrave McMilland

Daftar Pustaka Adams,

R. (2003). Social work and empowerment (3 ed). New York: Palgrave McMilland

Astamoen, M.P. (2008). Entrepreneurship dalam perspektif kondisi bangsa indonesia. Bandung: Alfabeta. BPS, (2013). Berita resmi statistik, BPS Provinsi jawa tengah, No.69/11/33/Th.VII, 06 November 2013. Denpaiboon, C. &Amatasawatdee, C. (2012). Similarity and difference of one village one product (OVOP) for rural development strategy in japan and thailand. Japanese Studies Journal Special Issue: Regional Cooperation for Sustainable Future in Asia,52-62. Hendytio, M.K., & Babari, J. (1996). Pemberdayaan kelompok pekerja. Dalam Prijono, O.S., & Pranarka, A.M.W. (Eds). (1996). Pemberdayaan: konsep, kebijakan dan implementasi.(hal.173-192). Jakarta: Centre for Strategic and International Studies Isife, B.I., Nnodim, U.A., & Ochomma, U.C. (2009). Constraints to government’s capacity building programmes in rural communities of rivers state, Southern Nigeria. Current Research Journal of Social Sciences 1(2): 23-26. 2009 ISSN: 2041-3246 Kindervatter, S. (1979). Nonformal education as an empowering process. Amherst: Center for International Education. Lauer,

R.H. (1993). Perspektif tentang perubahan sosial. (Terjemahan

Mulyono, S.E., & Susilowati, I. 2012. The strategy of urban alleviation through empowering the young unemployed people in municipality of Semarang, Central Java-Indonesia: Introducing AB-G-C Collaboration. China – USA Business Review. 11(108): 844-853. 2012 ISSN: 1537-1514. P2PNFI. (2009). Model desa vokasi berbasis keunggulan komparatif lokal. Bidang Kajian Kursus dan Kelembagaan. P2PNFI Regional 2 Semarang. Soekanto, S. (2012). Sosiologi suatu pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. Soetomo. (2011). Pemberdayaan masyarakat mungkinkah muncul antitesisnya? Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudjarwo. (2011). Dinamika kelompok. Bandung: CV. Mandar Maju. Sulistiyani, A.T. (2004). Kemitraan dan modelmodel pemberdayaan. Yogyakarta: Penerbit Gava Media Wrihatnolo, R.R. & Dwidjowijoto, R.N. (2007). Manajemen pemberdayaan sebuah pengantar dan panduan untuk pemberdayaan masyarakat. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. PROFIL SINGKAT Abdul Malik, lahir di Serang 10 Maret 1981. Pendidikan S1 ditamatkan pada tahun 2006 di Universitas Negeri Semarang. Pendidikan S2 ditamatkan pada tahun 2014 di Universitas Negeri Yogyakarta. Bekerja di Universitas Negeri Semarang mulai tahun 2015 hingga sekarang.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PROGRAM PKM MENJAHIT DALAM MENUMBUHKAN SIKAP KEWIRAUSAHAAN di LKP MODES LATIFAH SIDOARJO-JAWA TIMUR Wiwin Yulianingsih Pendidikan Nonformal, Universitas Negeri Surabaya wiwin.yulianingsih@yahoo.co.id Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pelaksanaan dan hasil pemberdayaan perempuan melalui PKM menjahit dalam menumbuhkan sikap kewirausahaan. Metode penelitian menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah koleksi data, reduksi data, display data dan verifikasi. Sedangkan dalam uji keabsahan data peneliti menggunakan kredibilitas, dependabilitas, konfirmabilitas dan transferabilitas. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa pelaksanaan program PKM Menjahit dapat berjalan dengan efektif dan efisien, dimana dapat dilihat dari terselesainya tahapan demi tahapan dalam setiap komponen penyelenggaraan PKM yaitu 1). Identifikasi Peluang Usaha, 2). Pembelajaran Kewirausahaan dan Keterampilan, 3) Penilaian Hasil Pembelajaran 4).Pendampingan serta Perintisan Usaha sehingga menghasilkan peserta didik yang trampil dan memiliki motivasi untuk merintis usaha. Sedangkan sikap kewirausahaan peserta didik di LKP Modes Latifah Sidoarjo dibuktikan dengan tumbuhnya motivasi yang tinggi, disiplin, percaya diri, memiliki kreatifitas dan inovasi serta siap menghadapi resiko. Kata Kunci : Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat (PKM) Menjahit, Sikap Kewirausahaan WOMEN EMPOWERMENT THROUGH SEWING PKM PROGRAM IMPROVE ENTREPRENEURIAL ATTITUDE IN LKP MODES LATIFAH SIDOARJO, EAST JAVA

Abstract The purpose of this research is to describe the activity and the result of woman empowerment through sewing as a social entrepreneur education (PKM) to improve entrepreneurial attitude. The methods of the research are qualitative research and collecting data through observation, interviews and documents. The Data analysis techniques used in the research are data collecting, data reduction, data display and verification. In regard to data validity, the researcher uses credibility, dependability, confirmability, and transferrability. The result of this research shows that the activity of sewing as PKM may work effective and efficient. This can be seen from the facts that all stages of PKM components are completed. 1). Business opportunity identification, 2). Enterprenuership learning and skills, 3)learning outcomes assessment, 4) and guiden pioneering business,. In term of entrepreneurial attitude in LKP Modes Latifah Sidaorjo, the researcher can see it from motivation, disciplines, confidence, creativities, willingness to take risks and innovations within the participants. Keywords: Sewing PKM, Entrepreneurial Attitude


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 112 Wiwin Yulianingsih

PENDAHULUAN Pengangguran dan kemiskinan di Indonesia hingga saat ini masih merupakan masalah besar yang belum bisa terpe- cahkan. Penduduk miskin di Indonesia pada September 2014 sebesar 27,73 juta jiwa atau sebesar 10,96% dari total penduduk Indonesia (Sumber :statistik BPS, 2 Januari 2015). Dari jumlah tersebut sebagian besar berada di pedesaan. Jika di lihat dari latar belakang pendidikan para penganggur tersebut, 3,56% berpendidikan SD ke bawah, 8,37% berpendidikan SLTP, 10,66% berpendidikan SMA, 10,43% berpendidikan SMK, 7,16% berpendidikan Diploma, dan 8,02% berpendidikan Sarjana. Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan merupakan indikatot penting untuk me-lihat keberhasilan pembangunan suatu negara. Setiap Negara akan berusaha keras mencapai pertumbuhan ekonomi yang optimal dan menurunkan angka kemis-kinan. Di banyak negara di dunia syarat utama bagi terciptanya penurunan ke-miskinan adalah pertumbuhan ekonomi. Namun kondisi di negara-negara ber-kembang termasuk Indonesia per-tumbuhan ekonomi yang dicapai ternyata juga diiringi dengan munculnya permasalahan jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. (Naskah Akademik PNF Program Pemberdayaan, 2014:1). Ada banyak hal yang menyebabkan tingginya tingkat pengangguran tersebut. Salah satunya adalah sedikitnya jumlah wirausaha di Indonesia. Masyarakat Indo-nesia masih memandang bahwa bekerja sebagai pegawai atau karyawan dianggap lebih bergengsi dan menjamin ke-sejahteraan dibanding dengan berwirausaha. Untuk menjawab tantangan tersebut, penguatan sumber daya manusia khususnya dalam peningkatan mutu produk perlu didorong dan disiapkan kemampuannya. Menurut pendapat Sosiolog David Mc Clelland (dalam Suryono yoyon, dkk: 2012) suatu negara bisa menjadi makmur bila ada entrepreneur sedikitnya 2% dari jumlah

penduduknya. Singapura sudah 7,2%, sedangkan pada 2001 di Indonesia baru 0,18% dari penduduknya yang menggeluti dunia wirausaha (Radjasa hatta, Kompas: 2011). Hal ini juga menunjukkan bagaimana paradigma tentang pendidikan yang ditanamkan oleh penjajah, pendidikan hanya menyiapkan tenaga-tenaga terampil untuk keperluan birokrasi dan industri. Untuk mengatasi kemiskinan, salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan mengangkat harkat dan martabat keluarga miskin adalah dengan pemberdayaan masyarakat. Konsep ini menjadi sangat penting karena memberikan perspektif positif terhadap masyarakat miskin, yaitu melalui pemberdayaan perempuan dikembangkan oleh pendidikan nonformal, hal ini dilakukan dalam rangka pelayanan pen-didikan sepanjang hayat bagi masyarakat yang sangat membutuhkan. Dalam rangka turut serta meningkatkan jumlah wirausaha di Indonesia, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal dan Informal merintis program PKM. Pemberdayaan masyarakat yang saat ini digalakkan pemerintah yaitu dengan berbagai macam program yang pada dasarnya mempunyai tujuan sama yakni mewujudkan masyarakat Indonesia yang mempunyai nilai tambah berupa keterampilan tertentu agar mampu bertahan hidup. Sejalan dengan hal tersebut, Kindervatter (dalam Kamil 2009:54) memberi peran secara jelas tentang pendidikan nonformal dalam rangka proses pem-berdayaan (empowering process), peran pendidikan nonformal tidak saja mengubah individu, tetapi juga kelompok, organisasi, dan masyarakat yang meliputi peningkatan dan perubahan sumber daya manusia sehingga mampu membangun masyarakat dan lingkungannya. Pendidikan nonformal sebagai proses pemberdayaan mengandung arti luas, yakni mencakup meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan pengembangan kemampuan lainnya ke arah kema Pemberdayaan perempuan sebagai proses


Prosiding Seminar NasionalPendidikanNonformaldan Informal, - 113 Wiwin Yulianingsih

kesadaran terhadap parti-sipasi yang besar dalam perannya sebagai seorang ibu dan peran produksi. Memiliki peran ditengahtengah masyarakat untuk kelangsungan kehidupannya. Women’sEmpowerment:Concept and Beyond yaitu Empowement is a process of positive change that impoves women’ s fallback position and bargaining power wuthin a patriarchal stucture and identifity different causal pathways of change : material, cognitive, perceptual and relation. (Rahman, 2013:4 dalam Women’s Empower-ment). Sedangkan Rajawat (2003: 281) pendidikan dan ekonomi memiliki keterkaitan satu sama lain, hal ini diungkapkan dalam : Education is regarded as prepequisite for economic growth. The acceptance education as master determinan of long-term economic growth. The accepance education as master determinan of long-term economic growth, apart from all is other benefits in the develpoment process, has become for many person almost an article of faith. Although investment in people consists of such other factor as improvement in health increasing the output of foodgrains etc, the major componen of investment in human being is in the form of more and better education. Teori tersebut menyebutkan bawaha pendidikan mempeunyai keterkaitan terhadap peningkatan ekonomi sese-orang. Dengan memiliki investasi pendidikan, keterampilan atau skill tersebut seseorang dapat meningkatkan kesehatan, pangan dan lain sebainya. Sedangkan proses pelaksanaan pem-berdayaan melalui program pendidikan nonformal menurut Kindervatter (1997:154-159) yaitu : 1). Menyusun kelompok kecil sebagai penerima awal atas rencana proses pemberdayaan, 2). Mengidentifikasi atau membangun kelompok warga belajar tingkat wilayah, 3). Memilih dan melatih fasilitator kelompok, 4). Mengaktifkan

kelompok belajar. 5). Menyelenggarakan pert-emuanpertemuan fasilitator, 6). Men-dukung aktifitas kelompok yang sedang berjalan, 7). Mengembangkan hubungan antar kelompok. 8). Menyelenggarakan lokakarya untuk evaluasi. Melalui aktivitas pendidikan kewirausahaan masyarakat memungkinkan peserta didik dapat beradaptasi dengan berwirausaha secara mandiri sehingga dengan berwirausaha kesejahte Program PKM merupakan program pemberdayaan masyarakat guna menciptakan masyarakat yang memiliki kecakapan hidup dengan kemampuan kewirausahaan. Artinya setelah mengi-kuti program PKM, diharapkan lulusan dapat menjalankan usaha mandiri dan menciptakan lapangan kerja baru bagi dirinya dan orang lain. Bidang- bidang yang diharapkan muncul melalui program PKM dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori (Ditbi-nsuskel,2010:6), yaitu:1). Wirausaha bidang teknologi, wirausaha bidang layanan jasa, Wirausaha bidang ke-rajinan tangan dan Wirausaha bidang pertanian, peternakan, pekerbunan, kehutanan, dan perikanan. Dalam penyelenggaraan program PKM Keterampilan Menjahit di LKP Modes Latifah, bidang yang diajarkan kepada peserta didik adalah bidang PKM wirausaha bidang layanan jasa, yakni menjahit pakaian wanita dan anak. PKM adalah bagian dari pemberdayaan perempuan merupakan program pelayanan pendidikan kewirausahaan dan keterampilan usaha yang diselenggarakan oleh lembaga kursus dan pelatihan (LKP), atau satuan PNF lainnya dan organisasi kemasyarakatan atau organisasi sosial yang menye-lenggarakan program pendidikan dan pelatihan disesuaikan dengan kebu-tuhan dan peluang usaha yang ada di masyarakat. Menyelenggarakan program PKM artinya mendidik warga masyarakat agar menjadi wirausahawan, sehingga


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 114 Wiwin Yulianingsih

pada akhir pembelajaran peserta didik melakukan rintisan usaha melalui 4 tahapan yakni : 1). Identifikasi Peluang Usaha, 2).Pembelajaran Kewirau-sahaan dan Keterampilan, 3) Penilaian Hasil Pembelajaran 4). Pendampingan serta Perintisan Usaha.Sedangkan sikap kewirausahaan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1). Motivasi tinggi, 2). disiplin, 3). percaya diri, 4). kreatif dan inovatif , 5). Siap menghadapi resiko. Di Jawa Timur Tahun 2015 bantuan program untuk PKH mencapai 214 lembaga dan PKM mencapai 97 lembaga merata di beberapa kabupaten dan kota. Seperti halnya di kabupaten Sidoarjo, perolehan PKM di Kabupaten Sidoarjo sebanyak 3 lembaga (LKP) dan salah satunya adalak LKP Modes Latifah dengan jumlah peserta didik sebanyak 20 orang (sumber.diknas propinsi jatim, 2015). LKP Modes Latifah 3 (tiga) tahun berturut-turut mendapatkan pro-gram PKM dengan dana bantuan dari pemerintah pusat Dirjen PAUDNI melalui bidang PNFI dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur. LKP Modes Latifah memiliki konsen di bidang kursus menjahit pakaian wanita dan anak. Beralamatkan di Jalan Bohar No 27 RT 007 RW 013 Desa Bohar Timur Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo. Dengan demikian permasalahan yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana pelaksanaan pemberdayaan perempuan melalui program PKM keterampilan menjahit dalam menumbuhkan sikap kewirausahaan. (2). Bagaimana hasil pelaksanaan pemberdayaan perempuan melalui program PKM keterampilan menjahit dalam menumbuhkan sikap kewirausahaan di modes latifah Sidoarjo.

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Metode penelitian dengan pendekatan kualitatif, pendekatan yang dimaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005:135) mende-finisikan pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dalam upaya me-nemukan fakta dan data secara ilmiah yang melandasi penelitian, peneliti menetapkan untuk menggunakan metode kualitatif deskriptif, karena penelitian deskriptif adalah penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, mengenai sifatsifat populasi atau daerah tertentu. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di LKP Modes Latifah Kabupaten Sidoarjo. Selama 8 bulan dimulai pada bulan Mei – Desember 2015. Dengan alasan bahwa, LKP Modes Latifah telah lama menyelenggarakan kursus menjahit dan tiga kali berturut turut selama 3 tahun mendapatkan bantuan dana dari pemerintah Subyek Penelitian Subyek Penelitian penelitian ini yaitu instruktur yang berjumlah 4 orang dan peserta didik yang mendapatkan pelatihan program PKM tahun 2015 dengan jumlah 20 orang peserta didik. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini untuk mengumpulkan data-data yang dibutuhkan, peneliti menggunakan beberapa metode pengumpulan data antara lain metode observasi partisipatif, dimana peneliti terlibat dalam kegiatan pelatihan PKM pada subjek yang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Peneliti sebagai tim visitasi, dan sering bermitra dengan LKP Modes Latifah. Metode wawancara yang di-


Prosiding Seminar NasionalPendidikanNonformaldan Informal, - 115 Wiwin Yulianingsih

gunakan untuk memperoleh data-data atau informasi dari ketua penyeleng-gara, instruktur, maupun masyarakat di sekitar wilayah LKP Modes Latifah yang mengetahui adanya perubahan sikap kewirausahaan. Dan yang ter-akhir adalah metode dokumentasi yaitu metode metode pengambilan data de-ngan cara mengambil bahan dari benda-benda tertulis seperti buku-buku, doku-men atau arsip yang ada kaitannya dengan masalah yang dibahas. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini, menggunakan analisis uji teori karena data bersifat naratif. Teknik analisis data tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. (1). Koleksi data, 2). Reduksi data, 3). Display data, 4). Verifikasi data. Teknik pemeriksaan keabsahan data sangat diperlukan untuk mengetahui sejauh mana data itu valid atau tidak. Untuk menetapkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kreteria tertentu (1). Kredebilitas, 2) transferabilitas, 3). Dependabilitas 4). Konfirmabilitas. Pengumupulan data diperoleh pe-neliti dengan menggunakan beberapa instrumen penelitian. Adapun instru-men penelitian yang disiapkan oleh peneliti yaitu (1). Lembar observasi dalam pembelajaraan keterampilan pe-latihan menjahit pakaian wanita dan anak. (2). Daftar pertanyaan wawancara yang ditujukan untuk penyeleng-garaan program, instruktur dan peserta didik. (3). Dokumentasi dalam pembe-lajaraan keterampilan menjahit pakaian wanita dan anak. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis data dilakukan dari hasil pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Pengolahan data dalam penelitian ini mendeskripsikan dalam pembahasan mengenai pemberdayaan perem-puan melalui program PKM mejahit dalam menumbuhkan sikap kewirausahaan peserta didik program pendidikan Adapun analisis lebih lanjut mengenai penyelenggaraan PKM dengan meng-gunakan

unsur-unsur dalam program PKM adalah sebagai berikut: 1. Penyelenggaraan Program Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat di LKP Modes Latifah a. Identifikasi Peluang Usaha. Beberapa unsur yang mempengaruhi suksesnya sebuah program pember-dayaan masyarakat adalah pada aspek rekrutmen peserta didik. dan identifikasi peluang usaha. Pada program tersebut perlu dilakukan proses rekrutmen dan seleksi peserta didik yang memenuhi standar kualifikasi dan karakter yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Randall S. Schuler dan Susan E. Jackson (1997: 227) yang menyatakan bahwa rekrutmen adalah suatu upaya pencarian sejumlah calon yang memenuhi syarat dalam jumlah tertentu sehingga dari mereka dapat dipilih orang-orang yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan identifikasi peluang usaha juga sangat diperlukan untuk melihat pangsa pasar. Pendidikan kewirausahaan masyarakat merupakan salah satu program pemberdayaan masyarakat. Maka sangat perlu untuk mengetahui potensi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Menurut Notoatmodjo, soekidjo (2009: 19) tujuan analisis kebutuhan adalah untuk mencari atau mengidentifikasi kemampuan - ke-mampuan apa yang diperlukan oleh peserta didik dalam rangka menun-jang kebutuhan hidupnya. b. Pembelajaraan Kewirausahaan dan Keterampilan Pelaksanaan pelatihan merupakan suatu proses pembelajaran yang melibatkan berbagai unsur seperti peserta didik, pendidik, pengelola, sarana dan prasarana, kurikulum, dan unsur-unsur lain yang diperlukan (Sujarno, 2011: 28). Semua unsur tersebut terlibat membentuk suatu sistem di dalam pembelajaran pendidikan kewirausahaan masyarakat untuk membentuk jiwa kewirausahaan para peserta didik. Kegiatan pelatihan di LKP Modes Latifah menggunakan dua metode, yakni metode ceramah dan praktek. Tentu lebih banyak praktek karena komposisinya adalah 40 % ceramah dan 60 % adalah praktek. Ceramah terkait dengan apa saja yang dibutuhkan dalam ke-terampilan menjahit pakaian wanita dan anak. Sedangkan ceramah materi tentang memulai usaha dari kiat-kiat untuk sukses berwirausaha, bagaimana mengelola modal, bagaimana menarik minat


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 116 Wiwin Yulianingsih konsumen, bagaimana mengelola usaha dan lain sebagainya. Dengan demikian ada banyak keuntungan yang diperoleh peserta didik dari kegiatan PKM menjahit pakaian anak dan wanita peserta didik dapat belajar sambil berbuat (learning by doing). d. Penilaian Pembelajaraan Sudjana (2000: 267) mengemukakan bahwa, penilaian dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan secara sistematis untuk mengumpulkan, me-ngolah dan menyajikan data atau informasi yang diperlukan sebagai masukan untuk pengambilan ke-putusan. Seperti halnya yang dilakukan oleh LKP Modes Latifah, penilaian lebih di fokuskan terhadap rencana usaha untuk mengetahui kelayakan rencana usaha yang disusun oleh peserta didik. Penilaian ini digunakan sebagai acuan untuk mem-berikan persetujuan pemberian bantuan modal usaha. e. Pendampingan dan Perintisan Usaha Modal (capital) adalah segala bentuk kekayaan yang digunakan untuk menghasilkan kekayaan yang lebih besar (Kusuma santi, yetty. 2011: 7). Pemberian modal usaha diberikan secara berkelompok. Hal ini mengingat bahwa keterbatasan dana yang diberikan dari pusat memang tidak cukup jika diberikan secara individu, namun secara kelompok untuk usaha menjahit pakaian wanita dan anak. Dukungan keberlanjutan usaha dilakukan LKP Modes Latifah dengan menggunakan dua pola, yakni pola pendampingan dan pola perintisan usaha Menurut Kamil (2007: 169) pendampingan adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang yang bersifat konsultatif yaitu menciptakan suatu kondisi se-hingga pendamping maupun yang didampingi bisa berkonsultasi memecahkan masalah bersama-sama, interaktif, komunikatif, dan motifatif. Dalam penyelenggaraan program PKM di LKP Modes Latifah, kegiatan pendampingan dilaksanakan minimal dalam waktu selama 6 bulan. Hal ini terbukti dari beberapa peserta didik yang mulai merintis usaha, antara lain : menerima pesanan seragam batik anak-anak sekolah (SD, MI di sekitar lokasi), seragam TPQ, pendirian kios permak pakaian dan ada juga datang ke kantor-kantor untuk memperoleh pesanan baju batik , di kantor dinas pendidikan propinsi jawa timur, dinas pendidikan kota surabaya, BNI Sidoarjo, Bank Mandiri Sidoarjo.

2 Sikap Kewirausahaan dalam penyelenggaraan program PKM diharapkan mampu menumbuhkan naluri dan sikap kewirausahaan peserta didik. Berikut adalah sikap kewirausahaan yang tumbuh pada diri peserta didik: a. Motivasi tinggi Motivasi yang muncul setelah pembelajaran kewirausahaan dan keterampilan menjahit pakaian wanita dan anak ditunjukkan dengan perintisan usaha yang dijalankan oleh peserta didik yang merintis kios permak pakaian, usaha produksi jilbab anak, usaha pesanan baju batik sekolah, usaha menerima jahitan di rumah, usaha jahitan yang datang ke kantor/instansi. b. Disiplin Menurut Fakhruddin (2011: 16) Disiplin adalah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Sikap disiplin yang ditunjukkan oleh peserta didik meliputi disiplin waktu dan kualitas pekerjaan yang dihasilkan. Dalam hal ini peserta didik di tuntut untuk bisa me-nyelesaikan pekerjaan yaitu menye-lesaiakn seragam kegiatan peringan HAI untuk pegawai bidang PNFI dinas pendidikan propinsi jawa timur, me-nyelesaikan seragam TPQ Masjid Baitulrohman Bohar Taman Sidoarjo. Dengan tuntutan bisa mencapai target tersebut. c. Percaya diri Sikap percaya diri ini dibuktikan oleh peserta didik dengan kegigihannya dalam praktek berjualan langsung di pameran dan datang ke kantor/instansi. Kemudian sikap percaya diri juga ditunjukkan dalam keberanian peserta didik dalam memasarkan aneka macam batik tulis, batik cap dan batik yang dijual secara meteran. Bagaimana membuat konsumen yakin bahwa setelah membeli satu paket dengan kegigihan peserta didik untuk meyakinkan konsumen sehingga produk ini laku di pasaran. Ini merupakan strategi yang diterapkan oleh LKP Modes Latifah agar peserta didik memiliki percaya diri dan bisa merasakan secara langsung bagaimana teknik meyakinkan konsumen d. Kreatif dan inovatif


Prosiding Seminar NasionalPendidikanNonformaldan Informal, - 117 Wiwin Yulianingsih Menurut Zimmerer (dalam Alma Buchari, 2011: 71) Kreatifitas adalah kemampuan untuk mengembangkan ide baru dan menemukan cara baru dalam melihat peluang ataupun problem yang dihadapi. Kreatifitas peserta didik ditunjukkan dalam kemampuan untuk memanfaatkan bahan yang tersedia dan jarang digunakan, misal-nya saja bahan-bahan yang lebih bisa dimanfaatkan untuk hiasan di ujung tangan, ujung baju, bisa dimanfaatkan menjadi sebagai kerudung agar serasi dengan bajunya. Selain itu kain sisa-sisa jahitan dibuat untuk kreasi yang lain. Dari berbagai kreasi yang dihasilkan tersebut diharapkan dapat merangsang peserta didik untuk meningkatkan kreatifitasnya. e. Siap menghadapi risiko Sikap untuk siap menghadapi risiko ditunjukkan oleh peserta didik dengan keberaniannya dengan berani membuka pameran di stand dalam acara bazar di dinas pendidikan kab. sidoarjo, acara HAI dinas pendidikan propinsi jawa timur, datang ke instansi untuk promo paketan, bahan batik sekaligus model dan jahitannya, yang siap jadi dalam waktu satu minggu. Peserta didik menghasilkan pelanggan baru. Hal ini merupakan sikap kewirausahaan yang harus dimiliki oleh peserta didik. PENUTUP Pelaksanaan pemberdayaan perempuan melalui program PKM di LKP Modes Latifa dapat berjalan dengan efektif dan lancar. Hasil dari aspek-aspek dalam pelaksanaan PKM dapat dilihat dari 20 orang peserta didik yang mengikuti program, seluruhnya telah merintis sebuah usaha. Sikap kewirausahaan yang tumbuh setelah penerapan unsur-unsur dalam sikap kewirausahaan adalah peserta didik memiliki motivasi yang tinggi, dibuktikan dengan usaha yang sudah dirintis oleh seluruh peserta didik. Sikap disiplin peserta didik ditunjukkan dengan kete-patan waktu dan kualitas pekerjaan yang dihasilkan oleh peserta didik sudah sesuai dengan target yang telah di-tentukan. Sikap percaya diri pada peserta didik dibuktikan dengan kegigihannya dalam memasarkan produk aneka macam batik. Sikap kreatif dan inovatif pada peserta didik dibuktikan dengan keterampilannya dalam memanfaatkan bahan yang sederhana menjadi produk yang layak jual. Kemudian

yang terakhir adalah sikap untuk siap menghadapi resiko. Saran Menjalin kerjasama yang baik dengan berbagai pihak sehingga memudahkan peserta didik dalam mendapatkan modal lanjutan maupun memasarkan hasil produksinya, misalnya bekerja sama untuk seragam kantor, sekolah dan instansi yang lain. DAFTAR PUSTAKA Alma, buchari. 2011. Kewirausahaan Untuk Mahasiswa dan Umum. Bandung: Alfabeta Badan Pusat Statistik. 2012. Statistic Indonesia 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik Fakhruddin, dkk. 2011. Strategi Pengembangan Kewirausahaan Masyarakat. Semarang: Widya Karya Kamil, Mustofa. 2007. Model Pendidikan dan Pelatihan (Konsep dan Aplikasi). Bandung: Alfabeta Kusuma santi, yetty. 2011. Strategi dan Tata Cara Mendapatkan Modal Usaha. Surabaya: BPPNFI Reg IV Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Notoatmodjo, Soekidjo. 2009. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta Randall S. Schuler dan Susan E. Jackson. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia Men-ghadapi Abad 21. Jakarta: Erlangga Sudjana, Djuju. 2006. Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Sukamti, Umi. 1989. Manajemen Personalia/ Sumber Daya Manusia. Jakarta: P2LPTK Dikti Suryono, yoyon. 2012. Pembelajaran Kewirausahaan Masyarakat. Yogyakarta: Aditya Medis Mandala, Keshab. Concept and Types of Women Empowerment. Internasional Forum Journal of Teaching and Studies. 2013. 18-31. 52.

PROFIL SINGKAT

Wiwin Yulianingsih, Lahir di Tuban, 27 Juli 1979. Tahun 2002 menyelesaikan jenjang S1 pada Jurusan PLS FIP Unesa


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 118 Wiwin Yulianingsih

dan meraih gelar Magister Pendidikan dari Program Studi PLS-UM. Saat ini sedang menempuh S3 di Universitas Negeri Malang


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI KEWIRAUSAHAAN EKONOMI KREATIF BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Heryanto Susilo Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Surabaya heri_pls@yahoo.co.id Abstrak Pokok pikiran dalam tulisan ini adalah bahwa masyarakat perlu diberdayakan melalui berbagai macam pendekatan mulai dari aspek pengetahuan, sikap sampai pada perilaku yang mengarah pada nilai tambah (added value) sehingga masyarakat bisa menjadi bagian dari solusi. Untuk mencapai tersebut maka dibutuhkan pendekatan secara komprehensif, salah satunya adalah melalui pendekatan pendidikan untuk meningkatkan aspek kesadaran berpikir dan diiringi dengan kewirausahaan yang berbasis pada kearifan lokal masyarakat setempat. Pendidikan yang dimaksud adalah aktivitas yang direncanakan untuk memberikan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang mengarah pada perilaku kewirausahaan yang berbasis pada kondisi lingkungan dan masyarakat sekitar. Hasil dari pendekatan ini adalah tercipta masyarakat yang memiliki kemampuan untuk berdaya dalam menghadapi problematika kehidupan dan untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik. Kata kunci: pemberdayaan masyarakat, kewirausahaan dan kearifan lokal

COMMUNITY EMPOWERMENT THROUGH ENTREPRENEURSHIP CREATIVE ECONOMY BASED LOCAL WISDOM Heryanto Susilo Department of Non Formal Education Surabaya State University heri_pls@yahoo.co.id Abstract The main idea behind this article is that people need to be empowered through a variety of approaches ranging from aspects of knowledge, attitude to the behavior that leads to added value (added value) so that people can be part of the solution. To achieve such a comprehensive approach is needed, one of which is through education to raise awareness aspect of thinking and accompanied by entrepreneurship based on local wisdom of local communities. Education is meant planned activity is to provide the knowledge, attitudes and skills that lead to entrepreneurial behavior based on environmental conditions and the surrounding community. The results of this approach are created by people who have the ability to power in the face of problems life and to achieve a better standard of living. Keywords: community empowerment, entrepreneurship and local wisdom

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 120 Heryanto Susilo PENDAHULUAN Akhir-akhir ini muncul ke permukaan suatu fenomena positif di kalangan masyarakat yakni suatu aktivitas produktif yang memadukan kegiatan budaya dan industri dalam berusaha. Fenomena ini dikatakan positif karena dapat memenuhi harapan pemenuhan kebutuhan sebagian anggota masyarakat saat ini. Selain itu ia juga memiliki potensi besar untuk berkembang lebih jauh dan lebih luas. Fenomena tersebut tiada lain adalah aktivitas eknomi kreatif (creative economy) yang kini tengah tumbuh dan berkembang secara dinamis di tengah-tengah masyarakat di berbagai negara. Ekonomi kreatif muncul ketika saat ini sebagian besar manusia dan masyarakat larut dalam arus budaya massa, budaya yang berlingkup luas atau massif namun bernilai rendah karena lebih banyak menekankan aspek gaya dan kesenangan semata. Dalam situasi ini ekonomi kreatif dapat dilihat sebagai alternatif yang dapat diandalkan untuk dapat memberikan makna yang lebih bernilai luhur pada berbagai produk barang atau jasa. Ini tiada lain karena eknomi kreatif berbasis pada budaya dan produk budaya sebagai hasil ekspresi individu yang bernilai tinggi sehingga menuntut proses belajar dan terus belajar pada para pelakunya. (Cohn, 1979). Tumbuh dan berkembangnya ekonomi kreatif patut disambut gembira. Ketika masyarakat menghadapi berbagai krisis dan kesulitan, ekonomi kreatif tampil sebagai suatu solusi yang cemerlang dengan memberikan peluang yang besar. Betapa tidak, setiap orang atau komunitas dapat menjadi pelaku ekonomi ini dengan syarat utama memikili kreativitas dan inovatif dalam penciptaan produk serta pengeloaan usaha. Dalam ekonomi kreatif suatu produk yang ada dapat dikemas, atau suatu produk dapat dicipta dan dikemas sedemikian rupa sehingga memiliki nilai jual yang tinggi. Ekonomi kreatif memang lebih menekankan pada kegiatan berpikir kreatif dan inovatif yang pada dasarnya dapat dimiliki atau dikembangkan oleh setiap orang. Kegiatan berpikir tersebut mengarah pada kreasi sebagai mekanisme jawaban terhadap masalah dan tantangan yang dihadapi. Jawaban diformulasikan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada atau yang dapat diusahakan. Masyarakat memiliki peran penting manakala ekonomi kreatif ini mampu

memberdayakan pada tataran bagaimana memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengembangkan ide kreatif dan produk inovatif yang berdasarkan pada kekayaan atau karakteristik daerah agar keberlangsungan masyarakat memiliki makna sebagai pemilik dan pelestari kearifan budaya lokal masing-masing. Kondisi demikian bisa menjadi harapan yang dapat direalisasikan dalam berbagai semangat masyarakat untuk melakukan wirausaha yang berbasis pada karakteristik setempat sehingga nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi kekayaan daerah dapat terpelihara secara inovatif dan bernilai ekonomi sehingga secara tidak langsung masyarakat memiliki tingkat keberdayaan. Harapan inilah menjadi satu tantangan besar bagi semua pihak terutama bidang pendidikan yang memiliki peranan penting sebagai institusi yang dapat memberi solusi atas problematika masyarakat agar masyarakat memiliki kemampuan untuk menghadapi berbagai macam tantangan yang semakin kesini membutuhkan kecermatan dan kesiapan lebih cepat. Atas dasar kondisi sekarang dan harapan ke depan maka perlu meningkatkan masyarakat di level yang bawah yakni dengan memberi bekal pengetahuan dan pemahaman serta memberdayakan secara perilaku yang dapat menghasilkan ide dan perilaku inovatif produktif dalam memanfaatkan potensi lokal gar lebih berdaya. Tujuan penulisan ini secara eksplisit untuk memberikan pemahaman dan pandangan bahwa masyarakat memiliki potensi ekonomi kreatif yang dapat dioptimalkan dan bisa ditingkatkan dengan didampingi agar lebih berdaya dan mereka memiliki kemampuan melaksnakan wirausaha yang berbasis pada kearifan lokal masing-masing.

PEMBAHASAN Karakteristik utama ekonomi kreatif adalah bahwa ia berbasiskan kemampuan konseptual atau kognitif. Richard dalam Admin (2007) menyatakan bahwa seluruh umat manusia itu kreatif, yang membedakan adalah statusnya karena ada individu-individu yang secara khusus bergelut di bidang kreatif, dan mendapat faedah ekonomi secara langsung dari kegiatan tersebut ditegaskan lebih lanjut bahwa tempat-tempat dan kota-kota yang mampu

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 121 Heryanto Susilo menciptakan produk-produk baru yang inovatif paling cepat akan menjadi pemenang kompetisi di era ekonomi ini. Menurut Simatupang (2007), masukan utama ekonomi kreatif adalah gagasan yang kemudian diolah menjadi produk barang atau jasa yang bernilai ekonomi. Nilai ekonomi dari suatu produk di era kreatif bukan lagi ditentukan oleh bahan baku ataupun sistem produksinya seperti pada era industri, melainkan bergantung pada pemanfaatan kreativitas dan inovasi. Dengan realita ini masyarakat memiliki kesempatan untuk berkembang lebih baik. Untuk mengembangkan ekonomi kreatif, Indonesia masih jauh tertinggal dari negaranegara lain termasuk dari negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Konsep ekonomi kreatif itu sendiri bagi sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan sesuatu yang masih baru. Meskipun demikian, peluang yang dimiliki Indonesia untuk mengembangkan ekonomi kreatif ini adalah tinggi terutama karena potensi keanekaragaman seni, budaya, dan warisan budaya yang dimiliki daerah-daerah atau kota-kota di Indonesia. Semua daerah di Indonesia mempunyai keanekaragaman seni, budaya, dan warisan budaya, namun masalahanya tidak semua daerah mampu mengubahnya menjadi industri yang dapat membuka lapangan kerja, melakukan ekspor karya kreatif, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Karena kreativitas dan inovasi lebih berharga daripada sumber-sumber ekonomi lainnya, pemerintah sebagai regulator dan perusahaan sebagai operator memerlukan paradigma baru dalam kebijakan dan manajemen yang lebih cocok dengan kondisi ekonomi kreatif. 1. Pendekatan Pendidikan Non Formal Tumbuhnya ekonomi kreatif jelas perlu mendapat perhatian dari berbagai kalangan, khususnya dari mereka yang terkait dengan tugas atau aktivitas pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Dalam bidang pendidikan, respon secara positif akan berimplikasi baik pada aspek konseptual paragdima maupun pada segi metodologis manajemen pendidikan dan pembelajaran. Implikasi utama dari perkembangan ekonomi kreatif pada bidang pendidikan adalah pada perlunya perubahan paradigma dan pada pengelolaan pendidikan dan pembelajaran.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa praktek pendidikan dalam masyarakat kita sampai saat ini lebih banyak mengarah pada transfer ilmu pengetahuan, bukan pada pengembangan potensi yang dimiliki peserta didik. Pendidikan, khususnya sekolah formal, lebih banyak mengembangkan aspek kecerdasan. Padahal yang lebih dibutuhkan pada masa sekarang lebih pada daya kreasi dan inovasi individu dan masyarakat dalam menghadapi berbagai permasalahan dan tuntutan perkembangan yang terus meningkat. Oleh karena itu, maka Pendidikan Non Formal (PNF) lebih tepat sebagai sarana pendukung yang strategis melalui pelatihan dan pembelajaran berbasis kreatif. Pendidikan Non Formal memiliki sifat pengeloaan dan struktur kurikulum dan pembelajaran yang fleksibel. Selain itu pendidikan ini juga merupakan pendidikan yang berlangsung di tangah-tengah, atau bersama-sama dengan masyarakat. Berlangsung di tengah-tengah perkembangan masyarakat, termasuk dalam perkembangan ekonomi kreatif. Meskipun demikian, dengan terlebih dahulu mengadakan penyesuaianpenyesuaian tertentu yang berbasis pada kearifan lokal masyarakat setempat. Peningkatan pengetahuan masyarakat menjadi daya dorong di masyarakat sehingga pada gilirannya mereka melakukan mobilisasi pengetahuan, sikap dan perilaku yang dapat membangun diri, keluarga dan lingkungan untuk berubah ke arah yang lebih inovatif dan produktif sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. 2. Pendekatan Pemberdayaan Melalui Kewirausahaan Masyarakat Pendidikan berbasis kreatif sangat diperlukan pada masa sekarang ini. Dalam memasuki era global dan pasar bebas yang sangat kompetitif serta penuh ketidakpastian. Bangsa ini memerlukan manusia-manusia dengan akal budi, hati, keterampilan,yang produktif dengan dibekali pengetahuan dan sikap yang kompetitif dengan tetap mementingkan kemanusiaan. Dalam kaitan ini pendidikan merupakan faktor yang menentukan. Hal ini tiada lain karena melalui pendidikan manusia individu dan masyarakat dapat melengkapi dirinya baik dengan kelengkapan-kelengkapan intelektual dan emosional maupun dengan peralatan fisikmaterial. Manusia yang memiliki kemampuan-

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 122 Heryanto Susilo kemampuan intelektual, manajerial, dan teknik serta keterampilan memecahkan masalah. Manusia yang mampu mendayagunakan potensi-potensi yang masih terpendam secara optimal, mampu mengantisipasi ancaman dan memanfaatkan peluang dan mengembangkan kekuatan. Rose (1999) mengatakan bahwa “the welt of our nation is the sum of the brain of its people … their creativity and skills in their words, or best asset is the collective ability to learn fast and adapt though fully to situation we can't predict”. Dengan kreativitas dan keterampilan tertentu yang dimiliki lewat penerapan cara-cara belajar dan berpikir kreatif serta inovatif mereka dapat menghadapi berbagai perubahan dan kesulitan hidup. Mereka yang senantiasa berusaha menciptakan gagasan-gagasan baru dan menguasai pemecahan masalah dapat memperbaiki atau meningkatkan mutu kehidupannya. Jika dikaitkan dengan kewirusahaan maka ekonomi kreatif harus mampu mewujudkan halhal yang dapat dioptimalkan di dalam masyarakat yakni: a. Kewiarusahaan ekonomi kreatif mampu mewujudkan gagasan inovatif dari seseorang dalam bidang usaha. b. Kewiarusahaan ekonomi kreatif menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda dalam bidang usaha. c. Kewiarusahaan ekonomi kreatif mengganti tatanan ekonomi dengan mengenalkan produk, layanan, penciptaan pengelolaan, dan menggali bahan-bahan mentah baru dalam usaha. d. Kewiarusahaan ekonomi kreatif mampu melakukan proses untuk mengerjakan sesuatu yang baru. e. Kewiarusahaan ekonomi kreatif menciptakan inovasi dan kreativitas untuk memecahkan masalah-masalah dalam bidang usaha. f. Kewirausahaan ekonomi kreatif mampu mengembangkan ide-ide baru dan untuk menemukan cara-cara baru dalam memecahkan masalah dan memanfaatkan peluang dalam bidang usaha. g. Kewiarusahaan ekonomi kreatif menemukan cara-cara berfikir yang baru dan melakukannya dengan cara-cara tersebut dalam bidang usaha. Tujuan tersebut di atas, sejalan dengan pendapat Alma (2005: 31) yang menyatakan tujuan kewirausahaan adalah “…menciptakan

kesejahteraan buat orang lain dengan menemukan cara-cara baru untuk menggunakan resource, mengurangi pemborosan, dan membuka lapangan kerja yang disenangi oleh masyarakat”. Oleh karena itu dalam tujuan itu terkandung simpul-simpul yang berhubungan dengan konsep baru, pengelolaan, penciptaan, kemakmuran, dan penanggulangan resiko, serta memanfaatkan kemampuan berusaha. 3. Pendekatan Pemberdayaan Kearifan Lokal Masyarakat Masyarakat sebagai komponen dari pembangunan membutuhkan terobosan baru yang strategis. Hal ini bukan saja dilandasi oleh kebutuhan kondisi internal masyarakat, tetapi juga dipengaruhi tuntutan dinamika eksternal. Pada sisi eksternal, pengaruh globalisasi ekonomi, sosial budaya serta perkembangan industri dan teknologi informasi berimplikasi pada tingginya ruang kompetisi bagi setiap pemerintah daerah di indonesia. Realitas perkembangan zaman dewasa ini, berimplikasi luas terhadap kehidupan masyarakat, baik yang terkait dengan masalah sosial, budaya, politik, maupun ekonomi, termasuk di dalamnya pendidikan, kesehatan, dan daya beli. Dengan kata lain kualitas pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang rendah akan menjadi bagian dari problematika masyarakat dalam menghadapi tantangan dan perkembangan zaman. Mengkaji budaya lokal tidak lepas dari basic structure ekonomi suatu komunitas masyarakat lokal tempat budaya ada dan berkembang. Ketika globalisasi datang dengan dengan inovasi ekonomi ke seluruh dunia serta penyesuaian-penyesuaian politis dan budaya yang menyertainya mendorong integrasi internasional. Harapan besar tercurah untuk menjaga, melestarikan dan mengembangkan (tidak melepaskan orisinalitas) budaya dalam konteks budaya lokal dalam pembangunan sebagai indikasi ada kearifan budaya lokal. Pembangunan itu identik dengan adanya kesadaran baru, yang hadir dan diterima seiring masuknya budaya Impor yang akhirnya menjadi satu dengan budaya asli dalam konteks lokal. Meskipun demikian kita harus mengingat, tempat dan lingkungan punya pengaruh besar untuk mengkonstruksikan nilai-nilai, normanorma dengan segala unsur yang datang dari luar. Perhatian kebudayaan menjadi penting,

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 123 Heryanto Susilo karena pada sisi inilah kedalaman ilmu pengetahuan dan kesadaran akan eksistensi dapat ditemukan. Budaya memberikan senjata ampuh dalam membedah kondisi ekonomi masyarakat sehingga dapat mendorong karya kebudayaan menjadi kekuatan progresif karena karya kebudayaan memiliki kemampuan menghancurkan mitos-mitos destruktif yang disebarkan oleh para penganut pasar bebas. Sebuah karya kebudayaan mampu mengubah kesadaran bagi mereka yang menikmatinya maupun pelakunya (Nababan, 1995) Untuk menuju ke arah capaian tersebut maka pendidikan harus mampu mereposisi dan merekonstruksi diri dengan paradigma pemberdayaan yang berbasis pada kearifan local suatu masyarakat. Pendidikan sebagai pemberdayaan bertolak dari inner initiative, curiosity, and motivation. Dengan paradigma pendidikan ini berarti Bangsa Indonesia dapat melaksanakan fungsi pendidikan nasional mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa untuk menghadapi kehidupan ang lebih menantang. Secara eksplisit Kindervatter (1979) melihat pemeberdayaan sebagai instrumen untuk mendorong tumbuhnya people gaining, understanding, and controlling over, social, economic, or political forces in order to improve their standing in society. Proses pemberdayaan itu dapat dilakukan melalui community organization, self-management and collaboration, participation approaches, and education for the oppressor and injustice. Pendidikan sebagai proses pemberdayaan merupakan sarana strategis untuk mengangkat ndividu dan masyarakat masyarakat dari keterpurukan dan mengarahkan mereka kepada usaha (belajar) yang dapat membawa mereka ke situasi yang lebih baik. Terkait dengan kehidupan ekonomi masyarakat, pendidikan sebagai pemberdayaan termasuk dalam kegiatan ekonomi kreatif yang dapat mengarah pada pengembangan sikap mental wirausaha pada peserta didik. Timmon dalam Kuratko dan Hodgetts (1989) melihat kewirausahaan sebagai kemampuan membuat dan membangun visi dari sesuatu yang seolaholah tidak relevan, tidak kreatif, perhatian, prakarsa, dan analisisnya terhadap perkembangan sesuatu. Sejalan dengan itu,

kewirausahaan juga dapat dilihat sebagai penciptaan nilai tambah dengan memperhitungkan resiko dari suatu peluang usaha dan memobilisasi sumber-sumber daya dengan kemampuan manajemen untuk mencapai tujuan (Kao, 1991). Oleh karena itu, kegiatan pelatihan kewirausahaan ekonomi kreatif pada dasarnya menyangkut pembangunan jiwa, semangat; sikap mental dan watak; daya pikir; daya penggerak diri; mengelola risiko dan persaingan; kemampuan meyakinkan; dan keterampilan usaha. Dengan kata lain maka pendidikan menjadi berkualitas manakala ia tidak membuat atau tidak membiarkan peserta didik menjadi penganggur; melainkan membekali mereka untuk mampu mandiri, menghimpun dan mengelola modal dan melestarikan kearifan lokal sebagai upaya mempertahankan dan mengembangkan dirinya dalam kehidupan. PENUTUP Masyarakat sebagai komponen utama dalam pembangunan sangat penting karena pada masyarakat memiliki modal dasar yakni kemampuan dan motivasi yang dapat dijadikan kekuatan sosial dan ekonomi yang besar. Di samping itu juga masyarakat berada di lingkungan yang memiliki potensi sesuai dengan daerah masing-masing. Untuk membangun masyarakat yang berkualitas diperlukan beberapa pendekatan yang secara komprehensif. Pertama, dengan pendekatan pendidikan non formal yaitu dengan memberikan pola pendidikan yang dilaksanakan di luar sistem persekolahan untuk memberikan keterampilan yang memberi nilai tambah (added value) secara pengetahuan, sikap dan perilaku. Kedua, pendekatan kewirausahaan masyarakat yaitu dengan menciptakan kelompok aktivitas produktif di masyarakat yang inovatif dan kreatif untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Pendekatan kewirausahaan ini akan menjadi perintis dan menopang perekonomian masyarakat pada tataran mikro. Ketiga, pendekatan pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal, yakni membangun masyarakat yang tidak hanya secara sosial ekonomi saja namun harus memiliki nilai pelestarian kearifan lokal masyarakat setempat.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 124 Heryanto Susilo DAFTAR PUSTAKA Admin. 2007. Produk Kreatif Bakal Gantikan Era Informasi. East Java Business Portal, 16 Juli 2007. Alma, B. (2005). Kewirausahaan untuk Mahasiswa dan Umum. Bandung: Afabeta. Cohn, Elchanan. 1979. The Economics of Education: An Introduction. Massachussets: Ballinger Publishing Company. Kao, J.J. 1991. The Entrepreneur. New York: Jossey Prentice Hall Cliff. Kindervater, S. 1979. Non-Formal Educatio as an Empowering. Jakarta: Fourth AsiaFacific on Giftedness. Kurtako, D. 1989. Entrepreneurship: A Contemporary Approach. San Francisco: The Dryden Press. Nababan, A. 1995. Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia. Dalam Analisis. CSIS. November-Desember XXIV.

Rose, C. 1999. Accelerated Learning for 21 st Century: The Six Step Plan to Unlock Your Master Mind. New York: A Dell Trade Paperback. Simatupang, Togar M. 2007. Fondasi Ekonomi Kreatif. Jakarta: Samudera Buku. PROFIL SINGKAT Heryanto Susilo. Lahir di Cirebon Jawa Barat pada bulan Mei 1981, anak kedua dari lima bersaudara. Pendidikan S1 Jurusan PLS Universitas Negeri Surabaya (UNESA) lulus tahun 2005 dan melanjutkan S2 tahun 2006 di Jurusan yang sama PLS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) lulus tahun 2008. Sejak Desember 2008 menjadi staf pengajar di Jurusan PLS UNESA dan sekarang mendapat amanah menjadi Ketua Jurusan PLS UNESA sejak dilantik tanggal 3 Maret 2016. Aktivitas seharihari di kampus, selain menjadi dosen juga sering menjadi narasumber pada kegiatan Diklat bidang pengembangan SDM, melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENDAMPINGAN PENINGKATAN KETERAMPILAN WIRAUSAHA BARU INDUSTRI MAKANAN DAN MINUMAN BERBASIS BIJI-BIJIAN (Hasil Kegiatan Kajian 7 Kabupaten/ Kota di Jawa Timur Kerjasama Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur dengan Universitas Negeri Surabaya) Gunarti Dwi Lestari Dosen Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Surabaya tarie_henry@yahoo.co.id Abstrak Tujuan pendampingan peningkatan keterampilan wirausaha baru industri makanan dan minuman adalah menganalisis peran pendidikan nonformal dan informal dalam memperkuat UKM yang ada di Jawa Timur dalam hal optimalisasi potensi hasil tanaman lokal menjadi berbagai produk olahan yang bernilai ekonomi tinggi. Metode yang digunakan adalahdalam bentuk workshop, pelatihan dan pendampingan dalam bentuk kelas memasak (cooking class)pembuatan pengembangan produk olahan makanan dan minuman berbasis biji-bijian sesuai dengan ketersediaan di daerah terutama dalam bentuk kacang-kacangan untuk diproses menjadi angka produk olahan lauk, kue, dan minuman yang praktis dan layak dijual. Hasil dari kegiatan kajian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan pendampingan berjalan sesuai dengan perencanaan sehingga terbentuk kelompok wirausaha baru.Pengembangan komoditas biji-bijian sebagai sumber bahan pangan alternatif maupun sebagai komoditi olahan bernilai ekonomi tinggi bagi masyarakat di 7 (tujuh) kabupaten/kota telah dilakukan dengan baik dan lancar. Kata kunci: pemberdayaan masyarakat, wirausaha baru

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 126 Gunarti Dwi Lestari PENDAHULUAN Provinsi Jawa Timur memiliki 38 Kabupaten/Kota dengan basis ekonomi utama adalah pertanian dan perkebunan dan memiliki banyak komoditi yang dapat diolah menjadi bahan makanan dan minuman. Pengolahan berbagai komoditi lokal sangat potensial untuk dikembangkan karena bahan ini memiliki ketahanan simpan relatif panjang dan dapat diolah lebih lanjut menjadi berbagai jenis produk sehingga dapat menjadi bahan baku bagi industri makanan dan minuman. Kemudahan industri makanan dan minuman untuk memperoleh bahan baku akan mempercepat pertumbuhan ekonomi khususnya dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015 (MEA-2015). Melihat dampaknya yang begitu besar maka diperlukan eksplorasi lebih dalam terhadap komoditi lokal daerah yang potensial khususnya berbasis biji-bijian, sekaligus mengembangkan keanekaragaman jenis makanan dan minuman, memberikan alih teknologi pengolahan komoditi, serta dukungan program aksi yang nyata di lapangan untuk merangsang tumbuhnya peluang usaha (wirausaha) baru dan memperkuat UKM yang telah ada secara sinergi. Pengembangan komoditi lokal memerlukan dukungan pengembangan teknologi proses dan pengolahan serta strategi pemasaran yang baik untuk mengubah image pangan inferior menjadi pangan normal bahkan superior. Upaya peningkatan nilai tambah melalui agroindustri, selain meningkatkan pendapatan juga berperan dalam penyediaan pangan yang beragam dan bermutu. Aspek keamanan, mutu dan keragaman merupakan kondisi yang harus dipenuhi dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduk secara cukup, merata dan terjangkau (Rachman dan Ariani, 2002). Pola keanekaragaman pangan dapat diwujudkan sesuai dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang dimiliki (Menteri Negara Riset dan Teknologi, 2000). Dalam PP No. 68 tahun 2002 juga disebutkan bahwa penganekaragaman pangan dilakukan dengan mengembangkan teknologi pengolahan dan produk pangan. Prospek industri pangan di Jawa Timur cukup cerah karena tersedianya sumberdaya alam yang melimpah. Pengembangan industri pangan dengan memanfaatkan bahan baku dalam negeri akan menghasilkan produk-produk

yang memiliki nilai tambah tinggi terutama produk siap saji, praktis dan memperhatikan masalah mutu (Lukmito, 2004). Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah harga produk terjangkau, lokasi dekat dengan konsumen, tempat berbelanja yang nyaman dan penyajiannya yang baik (Ibrahim, 1997). Salah satu landasan dalam pengelolaan agribisnis adalah mempertemukan kebutuhan konsumen dengan sumberdaya yang tersedia, dalam hal ini untuk menentukan jenis produk yang harus dihasilkan, dan cara pengelolaan sampai pemasarannya (Nainggolan, 1997). Berlandaskan pemikiran dan fakta ini, alangkah tepat dan urgensinya, sehingga perlu dilakukan “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendampingan Peningkatan Keterampilan Wirausaha Baru Industri Makanan dan Minuman Berbasis Biji-bijian�. METODE Kegiatan pendampingan ini dilakukan dalam bentuk Workshop dan pelatihan dalam bentuk kelas memasak (class cooking) pembuatan pengembangan produk olahan makanan dan minuman berbasis biji-bijian sesuai dengan ketersediaan di daerah terutama dalam bentuk kacang-kacangan untuk diproses menjadi aneka produk olahan lauk, kue dan minuman yang praktis dan layak jual. Lokasi pelaksanaan kegiatan adalah wilayah Kabupaten Blitar, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Sidoarjo, Kota Surabaya, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Bangkalan, dan Kabupaten Sumenep. Kegiatan yang dilakukan pada 7 (tujuh) kabupaten ini diikuti oleh 25 (dua puluh lima) orang pada masing-masing kabupaten/kota dengan kriteria peserta meliputi: pelaku usaha masih skala rumah tangga/mikro, bergerak di bidang usaha produk olahan makanan dan minuman yang berbasis biji-bijian/kacangkacangan, dan usaha tersebut masih belum mempunyai/masih proses pengajuan PIRT. Materi yang disampaikan dalam kegiatan workshop adalah Tata Cara Penerbitan Sertifikat PIRT (Penyuluhan Industri Rumahtangga), Sanitasi dan Higiene dalam Industri Makanan dan Minuman, Manajemen Diri, Informasi Pengunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) dan Unsur Glutamat dalam Pengolahan Pangan.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 127 Rezka Arina Rahma

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelaksanaan pelatihan dan pendampingan ini secara keseluruhan dapat dirancang sebagai berikut, seperti tergambar pada skema di bawah ini:

Persiapan

Survey dan Pendataan

Pelaksanaan Kegiatan

Monitoring dan Evaluasi

1. Mobilisasi Team 2. Koordinasi Instansional

Pengumpulan Data: 1. UKM 2. Disperindag Provinsi 3. Disperindag Daerah 4. BPS Provinsi Jawa Timur 5. Dinas Kesehatan 6. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kegiatan: 1. Workshop 2. Pelatihan/Pr aktek

Pembahasan Pelaksanaan Kegiatan dan Monev

Laporan Pendah uluan

Draft Laporan Akhir

Laporan Akhir

Hasil akhir kegiatan pelatihan dan pendampingan (workshop) dilakukan penyebaran angket terhadap peserta dan ditengah-tengah kegiatan dilakukan pula kegiatan monitoring dan evaluasi. Hasilnya kurang lebih dapat dinyatakan sebagai berikut. Diketahui bahwa mayoritas peserta dari tujuh kabupaten/kota pernah tahu/mendengar tentang industri makanan dan minuman dan bahkan sebagian besar pernah mengikuti kegiatan

pelatihan dan pendampingan sejenis ini. Mayoritas pula peserta menginginkan perlunya kegiatan teori dan praktek dalam kegiatan workshop ini. Program ini ditindaklanjuti baik oleh mereka sendiri dan/atau difasilitasi oleh dinas terkait setempat. Sebagai bukti, sebagian besar mereka yang awalnya belum memiliki SPP-IRT di dalam produk olahan makanan dan minuman yang diproduksinya saat ini sudah memiliki SPP-IRT. Peserta workshop merasakan langsung adanya pengetahuan dan pengalaman baru karena ada beberapa produk varian yang berbeda dan baru dengan menggunakan bahan yang relative sama. Penyelenggaraan program tersebut sesuai dengan filosofi program pemberdayaan masyarakat yang dikemukakan oleh Dahama dan Bhatnagar (dalam Mardikanto dan Soebianto, 2012: 243) bahwa pemberdayaan harus dirasakan oleh masyarakat sebagai pemenuhan kebutuhan dan pemecahan masalah, memperbaiki mutu kehidupan masyarakat yang tidak menuntut banyak pengorbanan dari masayarakat, sesuai keinginan masyarakat, memanfaatkan potensi masyarakat; dan mencakup banyak dimensi perilaku manusia, yaitu perubahan sikap, kebiasaan dan pola pikir. Berdasarkan karakteristik peserta dapat dilihat bahwa mayoritas peserta di 7 (tujuh) kabupaten/kota adalah perempuan dan berusia rata-rata 31-50 tahun. Sebagain besar responden diketahui mayoritas para ibu-ibu rumah tangga yang sudah mempunyai usaha sendiri meski masih dalam skala rumah tangga/perorangan dengan jenis usaha makanan khususnya makanan ringan dan makanan basah. Karakteristik peserta pelatihan disajikan pada tabel di bawah ini. (Terlampir) Terkait dengan kejelasan materi baik teori maupun praktek, kesiapan alat, bahan dan sarana prasarana serta pelayanan dari panitia mereka menilai cukup hingga sangat jelas, layak, memuaskan dan memadai. Penilaian terhadap produk olahan berbasis biji-bijian dan kacang-kacangan yang banyak disukai baik dari sisi rasa, tekstur, tampilan, dan aroma, mereka menyatakan suka hingga sangat suka adalah sari kedelai dan bakpia kacang hijau. Hal ini sesuai dengan prosedur pemberdayaan yang disampaikan oleh Kamil (2009: 37), bahwa langkah-langkah pemberdayaan dalam pendidikan nonformal dijalankan dengan tiga unsure penting proses pemberdayaan yaitu memunculkan kepekaan, memberikan pelatihan kemudian pembinaan kepada warga belajar,

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 128 Gunarti Dwi Lestari berupa pengorganisasian atau pelembagaan. Setelah msyarakat mandiri, mereka juga melakukan inovasi sebagai proses pengembangan program. Factor pendukung dari keberhasilan kegiatan pendampingan ini salah satunya adalah dari komposisi tenaga ahli dari berbagai disiplin ilmu seperti yang dapat dijabarkan berikut ini: a. Pendidikan Luar Sekolah Latar belakang keahlian bidang Pendidikan Luar Sekolah diperlukan untuk menyampaikan pentingnya memahami usaha khususnya IKM terhadap keberlanjutan usaha. Adapun Pendidikan yang akan disampaikan meliputi bagaimana proses pemberdayaan masyarakat dan mengembangkan life skills. b. Teknologi Pangan Latar belakang keahlian bidang teknologi pangan diperlukan untuk menyampaikan potensi komoditas pertanian biji-bijian dan kacang-kacangan lokal yang harus dioptimalkan serta dampaknya terhadap peningkatan pendapatan masyarakat setempat dan pertumbuhan wilayah. Optimalisasi pemanfaatan terhadap komoditas biji-bijian dan kacang-kacangan lokal dilakukan dengan memperhatikan teknik pengolahan dan pengembangan produk makanan minuman serta syarat keamanan konsumsi. c. Manajemen Latar belakang keahlian bidang ekonomi diperlukan untuk menyampaikan pentingnya manajemen usaha khususnya IKM terhadap keberlanjutan usaha. Adapun manajemen pengembangan IKM yang akan disampaikan meliputi manajemen keuangan, manajemen proses produksi, manajemen ketersediaan bahan baku, dan manajemen pemasaran produk makanan minuman berbasis bijibijian d. Kimia dan Desain Kemasan Produk Latar belakang keahlian desain produk atau rumpun keahlian sejenis diperlukan untuk menyampaikan pentingnya estetika kemasan, standar minimal kemasan, dan variasi desain kemasan tampilan olahan makanan minuman berbasis tepung bijibijian terhadap daya saing produk di pasaran.

Implementasi peran pendidikan nonformal dalam pemberdayaan masyarakat di & kabupaten/kota ini adalah proses transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan yang terjadi di luar system pendidikan formal. Dalam konteks pengembangan programnya seringkali berhubungan dengan pemecahan masalah yang dialami manusia, terutama masalah yang berkaitan dengan pengembangan kemampuan, keterampilan dan keahlian khusus yang tidak dapat ditemukan dalam konteks pendidikan persekolahan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Program-program pemberdayaan utamanya pendidikan kecakapan hidup diintegrasikan dalam pemberdayaan lingkungan yang berbasis potensi lokal. Sehingga proses pemberdayaan masyarakat berpola pada pemberdayaan komunitas berbasis lingkungan dengan pengelolaan yang sistematis dan struktural. Dengan program dan proses tersebut masyarakat merasakan secara langsung manfaat pemberdayaan baik dari segi pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya. Saran Perlunya pemerataan program pemberdayaan di semua kabupaten/kota dengan melibatkan instansi yang terkait serta diperlukan pertisipasi masyarakat untuk turut serta mengeksplorasi potensi lokal. DAFTAR PUSTAKA Kamil, Mustofa. 2009. Pendidikan Non Formal. Bandung: Alfabeta. Mardikanto, Totok dan soebianto, Poerwoko. 2012. Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta Nainggolan, K. 1997. Peranan Industri Hulu dalam Mendukung Industri Pangan. Majalah Pangan. No.33, Vol.IX. Jakarta. Nainggolan, K. 2004. Strategi dan Kebijakan Pangan Tradisional dalam Ketahanan Pangan. BBKP, Departemen Pertanian. Jakarta.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 129 Rezka Arina Rahma

PROFIL SINGKAT

Penulis adalah dosen di Jurusan Pendidikan Nonformal Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya yang lahir di Semarang, 12 Juli 1961. Saat ini beliau sedang menempuh program doctor di

Universitas Negeri Malang. Selain menjadi dosen PNF Unesa, beliau juga sedang mendapat tugas tambahan sebagai Wakil Dekan 2 di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya masa bakti 2016-2020.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 130 Gunarti Dwi Lestari

Table Karakteristik Peserta

JENIS KELA MIN

USIA

LAKILAKI PEREMP UAN < 20 TAHUN 20-30 TAHUN 31-50 TAHUN > 50 TAHUN

NGA WI

SIDOA RJO

BANGKA LAN

SUME NEP

TULUNGA GUNG

BLIT AR

SITUBO NDO

1

2

9

6

18

10

4

24

23

21

19

7

15

21

0

0

0

0

0

0

0

2

2

5

7

3

4

2

21

22

17

15

20

19

21

2

1

3

3

2

2

2

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


PEMBINAAN PERILAKU KEWIRAUSAHAAN BERBASIS POTENSI LOKAL UNTUK KEMANDIRIAN USAHA PEMUDA KAWASAN WISATA CANDI “JIWA” Dayat Hidayat Program Studi Pendidikan Luar Sekolah, FKIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA) dayathidayat194@yahoo.com

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis pelaksanaan, pembinaan perilaku kewirausahaan untuk kemandirian pemuda di kawasan wisata sejarah candi “Jiwa” di Kecamatan Batujaya Kabupaten Karawang. Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Data dikumpulkan melalui teknik observasi, wawancara mendalam dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa perilaku kewirausahaan berbasis potensi lokal telah tumbuh dan berkembang di kalangan pemuda sebagai sarana pemberdayaan ekonomi kerakyatan. Pembinaan perilaku kewirausahaan dilakukan oleh Dinas Perindustrian serta Dinas Budaya dan Pariwisata Kabupaten Karawang. Dampak pembinaan perilaku kewirausahaan bagi para pemuda adalah tumbuhnya sikap kemandirian usaha sehingga dapat menggerakan dan mengembangkan pemberdayaan ekonomi kerakyatan berbasis potensi lokal bagi pemuda, keluarga dan masyarakat sekitar kawasan wisata sejarah candi “Jiwa”. Kata kunci : Pembinaan, Perilaku Kewirausahaan, Kemandirian.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 132 Dayat Hidayat PENDAHULUAN Strategi pengembangan kewirausahaan berbasis potensi lokal bagi masyarakat menitikberatkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dimotori oleh masyarakat dengan memanfaatkan sumber potensi-potensi lokal. Strategi kewirausahaan menggunakan pendekatan kewilayahan dan mengandalkan pada kebutuhan masyarakat, potensi, dan pelaku ekonomi lokal daerah tertentu (locality). Karekateristik utama strategi pembinaan perilaku kewirausahaan berbasis potensi lokal bagi pemuda di kawasan wisata candi “Jiwa” Kecamatan Batujaya Kabupaten Karawang diarahkan untuk memaksimalkan potensi lokal melalui pemanfaatan sumberdaya alam dan sumber daya manusia beserta budayanya. Pengembangan kewirausahaan dilaksanakan melalui identifikasi kebutuhan, kapasitas sumberdaya, dan perspektif masyarakat lokal. Artinya kegiatan kewirausahaan di kawasan wisata sejahar candi “Jiwa” sebaiknya dapat mengembangkan kapasitas berbagai sumberdaya untuk meningkatkan kemandirian ekonomi yang khas di wilayah tersebut. Namun demikian, pengembangan kewirausahaan tersebut tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi yang khas tetapi juga memperlakukan masalah-masalah ekologis dan sosial secara seimbang sehingga dapat menciptakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable development). Pengambilan keputusan untuk menentukan materi pembinaan kewirausahaan berbasis potensi lokal sangat ditentukan oleh masyarakat itu sendiri (self-determined). Pembinaan perilaku kewirausahaan berbasis potensi lokal dilaksanakan dalam kerangka wilayah sebagai tempat dimana sumberdaya alam dan manusia sebagai pelaku-pelaku ekonomi saling berinteraksi untuk membangun perekonomian masyarakat. Program pembinaan perilaku kewirausahaan berbasis potensi lokal bagi pemuda kawasan wisata sejarah candi “Jiwa”, berupaya memenuhi kebutuhan dan permintaan lokal melalui partisipasi aktif warga belajar dan masyarakat. Strategi ini bukan hanya bertujuan memperbaiki produktivitas ekonomi masyarakat, tetapi juga mendorong dan meningkatkan dimensi sosial dan budaya yang mempengaruhi masyarakat untuk meningkatkan kemandirian berwirausaha. Oleh karena itu, pembinaan

perilaku kewirausahaan dengan kelenturan dan kapasitas kewirausahaan serta organisasinya diharapkan menjadi strategi peningkatan kemandirian pemuda di wilayah kawasan wisata candi “Jiwa”. Potensi lokal merupakan masukan lingkungan dalam penyelenggaraan program pendidikan luar sekolah khususnya pelatihan kewirausahaan berbasis potensi lokal. Sudjana, D. (2004:33) mengemukakan bahwa potensi lokal berupa sumber daya lokal merupakan masukan lingkungan yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan program Pendidikan Nonformal dan Informal apabila ditinjau dari pendekatan sistem. Potensi lingkungan merupakan potensi sumber daya lokal yang memiliki kontribusi terhadap berlangsungnya proses pembinaan perilaku kewirausahaan berbasis potensi lokal bagi pemuda kawasan wisata sejarah candi “Jiwa”. Karena itu, potensi lokal merupakan syarat yang harus dipenuhi bagi pembangunan manusia, ekonomi, sosial, politik dan stabilitas demokrasi. Berbagai permasalahan dan penyimpangan yang terjadi di berbagai negara determinan utamanya adalah kecilnya potensi lokal yang tumbuh di tengah masyarakat. Potensi lokal yang lemah akan melemahkan semangat gotong royong, memperburuk kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas, dan menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyakat. Pembinaan perilaku kewirausahaan sebagai program Pendidikan Kewirausahaan masyarakat (PKM) telah banyak dilakukan. Pendidikan kewirausahaan yang telah dilaksanakan merupakan salah satu faktor penting untuk menumbuhkan dan mengembangkan hasrat, jiwa dan perilaku berwirausaha di kalangan masyarakat. Hasil penelitian yang telah menyimpulkan bahwa pelatihan secara efektif dapat meningkatkan efikasi diri dan perilaku berwirausaha pada masyarakat transisi di PKBM Jelita Masa Kabupaten Bandung (Saepudin, A. dkk, 2014). Program pembinaan perilaku kewirausahaan berbasis potensi lokal bagi pemuda kawasan wisata sejarah candi “Jiwa” memiliki tiga dimensi, yaitu 1) dimensi ekonomi yang ditandai oleh sistem produksi yang memungkinkan wirausahawan lokal dapat menggunakan faktor-faktor produktif secara efisien yang membuat mereka kompetitif di pasar, 2) dimensi kelembagaan yang ditandai oleh pelaku ekonomi dan sosial yang diintegrasikan dalam lembaga lokal yang


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 133 Dayat Hidayat membentuk sistem hubungan yang kompleks untuk memadukan nilai-nilai sosial dan budaya di dalam proses pembinaan perilaku kewirausahaan, dan 3) dimensi politik yang tercermin pada inisiatif lokal yang menekankan kepada penciptaan lingkungan lokal yang menstimulus produksi dan membuat pembangunan ekonomi lokal yang berkelanjutan (sustainable). Kondisi di atas yang mendasari bagaimana pembinaan perilaku kewirausahaan untuk kemandirian pemuda di kawasan wisata sejarah candi “Jiwa” di Kecamatan Batujaya Kabupaten Karawang dilaksanakan? Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis pembinaan perilaku kewirausahaan untuk kemandirian pemuda di kawasan wisata sejarah candi “Jiwa” Kecamatan Batujaya Kabupaten Karawang. Penelitian ini diharapkan memberi manfaat : 1) secara teoritis untuk mengembangkan teori yang memiliki relevansi dengan masalah kegiatan yang sejenis tentang pembinaan perilaku kewirausahaan bagi peningkatan kemandirian usaha masyarakat. Penelitian ini menjadi sarana pengembangan kemampuan akademis bagi pelaksanaan program-program PNFI yang lebih luas. 2) secara praktis, penelitian ini menjadi masukan bagi pembinaan perilaku kewirausahaan berbasis potensi lokal untuk kemandirian usaha pemuda kawasan wisata candi “Jiwa” agar berjalan dengan baik dan mencapai hasil yang lebih optimal. Pembinaan merupakan langkah keempat dari fungsi manajemen pendidikan nonformal setelah langkah-langkah perencanaan, pengorganisasian, dan penggerakan. Pembinaan dapat diartikan sebagai upaya memelihara membawa sesuatu keadaan yang seharusnya terjadi atau menjaga keadaan sebagaimana seharusnya. Dalam manajemen pendidikan nonformal, pembinaan dilakukan dengan maksud agar kegiatan atau program yang sedang dilaksanakan selalu sesuai dengan rencana atau tidak menyimpang dari yang telah direncanakan. Apalagi pada suatu waktu terjadi menyimpang maka dilakukan upaya untuk mengembalikan kegiatan kepada yang seharusnya dilaksanakan. (Sudjana, D. 2004:223) Dengan demikian, secara lebih luas pembinaan dapat diartikan sebagai rangkaian upaya pengendalian secara profesional terhadap semua unsur organisasi agar unsur-

unsur tersebut berfungsi sebagaimana mestinya sehingga rencana untuk mencapai tujuan dapat terlaksana secara berdaya guna dan berhasil guna. Unsur-unsur organisasi itu mencakup peraturan, kebijakan, tenaga penyelenggara, staf dan pelaksana, bahan dan alat (material), biaya, dan perangkat lainnya. Ilmu kewirausahaan merupakan disiplin ilmu yang mempelajari tentang nilai, kemampuan (ability) dan perilaku seseorang dalam menghadapi tantangan hidup untuk memperoleh peluang dengan berbagai resiko yang mungkin dihadapinya. Secara etimologi kewirausahaan merupakan nilai yang diperlukan untuk memulai suatu usaha (startup phase) atau suatu proses dalam mengerjakan suatu yang baru (creative) dan sesuatu yang berbeda (innovative). Bahkan secara sederhana kewirausahaan diartikan sebagai kemampuan wirausaha (Ibnu Soedjono, 1993; Meredith, 1996; Marzuki Usman, 1997 dalam Suryana, 2007:4). Winarto (2004:2-3) mengemukakan bahwa “entrepreneurship (kewirausahaan) adalah suatu proses melakukan sesuatu yang baru dan berbeda dengan tujuan menciptakan kemakmuran bagi individu dan memberi nilai tambah pada masyarakat.” Peter F. Drucker (1994) mengemukakan bahwa kewirausahaan adalah suatu kemamapuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (ability to create the new and different). Kewirausahaan merupakan terjemahan dari “entrepreneurship”, yang dapat diartikan sebagai “the backbone of economy”, yaitu syaraf pusat perekonomian atau sebagai ‘tail bone of economy’, yaitu pengendali perekonomian suatu bangsa (Soeharto Wirakusumo, S. 1997:1 dalam Suryana, 2007:4). Selanjutnya dikemukakan oleh John Kao (1991:14) dalam Sudjana, D. (2004:131) bahwa “kewirausahaan adalah sikap dan perilaku wirausaha. Wirausaha ialah orang yang inovatif, antisipatif, inisiatif, pengambil resiko, dan berorientasi laba.” Ini berarti kewirausahaan merupakan sikap dan perilaku orang yang inovatif, antisipatif, inisiatif, pengambil resiko, dan berorientasi laba. Perilaku kewirausahaan merupakan gambaran sifat atau karakteristik yang dimiliki oleh wirausahawan. Karakteristik orang yang memiliki jiwa kewirausahaan menurut Astamoen (2005:53) adalah : 1) memiliki visi, 2) kreatif dan inovatif, 3) mampu melihat


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 134 Dayat Hidayat peluang, 4) orientasi pada kepuasan konsumen atau pelanggan, laba dan pertumbuhan, 5) berani menanggung resiko dan berjiwa kompetitif, 6) cepat tanggap dan gerak cepat, dan 7) berjiwa sosial dengan menjadi dermawan (phylantrophis) dan berjiwa altruis. Istilah pemberdayaan merupakan proses transformasi sosial, ekonomi dan politik (kekuasaan). Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Pada dasarnya pemberdayaan diletakkan pada kekuatan individu dan sosial. Soetomo (2011:65) mengemukakan bahwa pada perkembangan terakhir pemberdayaan masyarakat menempatkan dirinya sebagai pendekatan yang banyak digunakan dalam berbagai kebijakan pembangunan masyarakat. Pendekatan ini dalam banyak hal dapat dilihat sebagai operasionalisasi dari perspektif atau paradigma pembangunan masyarakat. Kemandirian berwirausaha merupakan perpaduan kompetensi pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki wirausahawan. Kemandirian berwirausaha tercermin pada seseorang yang memiliki jiwa kewirausahaan. Dalam konteks bisnis, Thomas W. Zimmerer (1996) dalam Suryana (2007 : 2) mengemukakan bahwa “entrepreneurship is the result of a disciplined, systematic, process of applying creativity and innovations to need and opportunities in the marketplace”. Kewirausahaan adalah hasil dari suatu disiplin, proses sistematis penerapan kreativitas dan keinovasian dalam memenuhi kebutuhan dan peluang di pasar. Sikap dan perilaku disiplin, kreatif, dan keinovasian dalam memenuhi kebutuhan dan peluang di pasar merupakan gambaran kemandirian seseorang yang telam memiliki jiwa kewirausahaan. Pembinaan perilaku kewirausahaan bagi bagi pemuda kawasan wisata sejarah candi “Jiwa” merupakan suatu proses interaksi antara masukan mentah (raw input), masukan sarana (instrumental input), masukan lingkungan (environmental input), proses (process), keluaran (out put), pengaruh (imfact) dan masukan lain (other input). Semua komponen saling berinteraksi dalam tahapan pembinaan perilaku kewirausahaan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penilaian, hasil, dan pengaruh terhadap pemberdayaan ekonomi keluarga pemuda kawasan wisata sejarah candi “Jiwa”.

Berdasarkan latar belakang dan landasan teoritis yang telah dikemukakan di atas terkait dengan pembinaan perilaku kewiraushaan berbasis potensi lokal untuk kemandirian pemuda kawasan wisata sejarah candi “Jiwa” di Kabupaten Karawang, kerangka pemikiran divisualisasikan sebagai berikut :

Gambar 1. Kerangka Pemikiran, Pembinaan Perilaku Kewirausahaan Berbasis Potensi Lokal untuk Kemandirian Berwirausaha Alur kerangka pemikiran di atas menjadi latar belakang untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan pembinaan perilaku kewirausahaan berbasis potensi lokal dalam meningkatkan kemandirian pemuda kawasan wisata sejarah candi “Jiwa” Kabupaten Karawang yang cukup berhasil sehingga sehingga mampu bersaing memanfaatkan potensi lokal dalam mengembangkan jenis usahanya. METODE Jenis penelitian Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Metode ini digunakan untuk menggambarkan dan menganalisis fakta dengan interpretasi yang tepat terhadap kegiatan pembinaan perilaku kewirausahaan berbasis potensi lokal untuk kemandirian usaha pemuda kawasan wisata candi “Jiwa”. Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilakukan pada tahun 2014 di kawasan wisata budaya candi “Jiwa” kecamatan Batujaya Kabupaten Karawang sebagai kawasan cagar budaya yang sudah dikembangkan di awal tahun 2000an. Subyek penelitian Subyek penelitian dipilih secara purposif (sesuai dengan tujuan). Nasution (1996:11)


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 135 Dayat Hidayat menyatakan bahwa “metode naturalistik tidak menggunakan sampling random atau acak, dan tidak pula menggunakan sampel yang banyak”. Dalam penelitian ini subyek berjumlah enam orang yang terdiri dari tiga orang pemuda, seorang pembina kewirausahaan dari Dinas Kedudayaan dan Pariwisata dan seorang dari Dinas Perindustrian Kabupaten Karawang. Prosedur penelitian Penelitian dilakukan melalui langkahlangkah yaitu : 1) tahap orientasi untuk mendapatkan informasi tentang apa yang penting untuk ditemukan, 2) tahap eksplorasi untuk menentukan sesuatu secara terfokus, dan 3) tahap member check untuk mengecek temuan menurut prosedur dan memperoleh laporan akhir (Nasution, 1996:33-34).

HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan Program Kewirausahaan Secara konseptual, pembinaan perilaku kewirausahaan berbasis potensi lokal untuk kemandirian usaha pemuda kawasan wisata candi “Jiwa” berlandaskan kerangka filosofi, psikologis, dan sosiologis yang memandang perlunya pembinaan kewirausahaan untuk menumbuhkan aspek pemberdayaan ekonomi masyarakat. Perkembangan pembinaan kewirausahaan ini berlandaskan pada pola pembelajaran yang beorientasi pada kebutuhan orang dewasa (adult education), penelitian tentang otak manusia, model Lazanov, inovasi pendekatan modern seperti accelerated learning dan quantum learning (Sumpeno, W. 2009:46). Program pembinaan perilaku kewirausahaan berbasis potensi lokal untuk Data, Instrumen dan Teknik Pengumpulan kemandirian usaha pemuda kawasan wisata Data Data yang dikumpulkan merupakan data candi “Jiwa” diawali oleh identifikasi kualitatif dan kuantitatif, namun penyajian dan kebutuhan program kewirausahaan, untuk analisis data menggunakan narasi sebagai menentukan kebutuhan program pendekatan kualitatif. Instrumen dan teknik kewirausahaan yang dilaksanakan. Analisis ini pengumpulan data yang digunakan adalah dilaksanakan dengan sistematis dan obyektif observasi, wawancara mendalam (indepth untuk menentukan jenis program interview), dan analisis dokumentasi untuk kewirausahaan dibutuhkan, dan merumuskan menggambarkan data tentang pembinaan strategi, metode dan teknik pembinaan dan perilaku kewirausahaan berbasis potensi lokal pengembangan kewirausahaan. Analisis untuk kemandirian usaha pemuda kawasan kebutuhan dilakukan untuk mengetahui wisata candi “Jiwa”. pengetahuan, sikap, keterampilan, kebutuhan, keinginan dan motivasi yang sebenarnya dimiliki para pemuda untuk mengembangkan Teknik Analisis Data Teknik analisis data hasil penelitian yang usahanya. Dalam kegiatan ini pembina digunakan adalah model analisis interaktif dari memotivasi dan meningkatkan intensitas Miles dan Huberman (1992 : 20), yang komunikasi dengan para pemuda sehingga meliputi : 1) koleksi data (data collection), 2) diperoleh kejelasan, bahwa mereka betul-betul penyederhanaan data (data reductionaI), 3) akan mengikuti pembinaan kewirausahaan penyajian data (data display) dan 4) dengan sungguh-sungguh. pengambilan kesimpulan, serta verifikasi Proses assessment dilakukan untuk (conclusion: drawing verification). mengidentifikasi : 1) latar belakang para pemuda mengikuti pembinaan kewirausahaan, 2) berbagai potensi yang dimiliki serta dihubungkan dengan kebutuhan nyata mereka Pengumpulan Penyajian Data Data dalam mengikuti program kewirausahaan, 3) latar belakang kehidupan para pemuda di masyarakat dan di rumah, 4) kondisi Reduksi Data Kesimpulan dan lingkungan di mana mereka tinggal dan Verifikasi bekerja/berusaha, dan 5) kondisi kehidupan Data sehari-hari masyarakat di sekitarnya. Gambar 2. Komponen Analisis Data Model Identifikasi ini dilakukan untuk membantu Interaktif (Sumber : Miles and memecahkan persoalan-persoalan melalui Huberman, 1992:20). program kewirausahaan dan strategi yang diterapkan terutama dalam memilih desain dan tema-tema yang cocok dengan pengembangan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 136 Dayat Hidayat kewirausahaan di kawasan wisata candi “Jiwa”. Gambaran data di atas sejalan dengan pendapat Soetomo (2011:65) yang mengemukakan bahwa dalam pendekatan analisis program yang dilaksanakan untuk masyarakat, masyarakat sampai pada tingkat komunitas terbawah diberi peluang dan kewenangan dalam pengelolaan pembangunan termasuk dalam proses pengambilan keputusan sejak identifikasi masalah dan kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan dalam menikmati hasil pengembangan kewirausahaan. Strategi pengembangan kewirausahaan berbasis potensi lokal menitikberatkan proses peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dimotori oleh masyarakat lokal dengan memanfaatkan potensi-potensi lokal untuk pembangunan dalam upaya untuk memperbaiki kesejahteraan ekonomi masyarakat lokal. Strategi pengembangan kewirausahaan ini yang menggunakan pendekatan kewilayahan yang mengandalkan terutama sekali pada kebutuhan, potensi, dan pelaku lokal dari suatu daerah tertentu (locality) (Arsyad, L., Elan, D. dkk (2011:95) Pada pelaksanaan program kewirausahaan bagi pemuda kawasan wisata sejarah candi “Jiwa”, melibatkan berbagai pihak terkait, seperti ketua karang taruna, ketua masing kelompok usaha. Program pembinaan kewirausahaan secara keseluruhan berjalan sebagai berikut : 1) Ketua kelompok usaha yang melaksanakan kegiatan usaha mempelajari sampai memahami skenario pelatihan kewirausahaan. 2) Ketua kelompok usaha, yang melaksanakan kegiatan kewirausahaan menjalin kerjasama dengan dunia usaha dan industri (DUDI), perbankan dan perusahaan 'modal ventura' masing-masing minimal satu unit usaha untuk menjadi mitra kelompok usaha. 3) Kegiatan kewirausahaan di setiap kelompok usaha dikoordinasikan dengan mitra usaha terutama untuk praktek dan implementasi kewirausahaan. Pembinaan kewirausahaan bagi pemuda kawasan wisata sejarah candi “Jiwa” ini berdimensi pemberdayaan masyarakat lokal, yaitu pemberdayaan yang bukan sekedar proses penyampaian sikap, keingintahuan dan keterampilan, melainkan lebih menekankan pada upaya peningkatan dan pengembangan

kemampuan ekonomi masyarakat. Dalam meningkatkan kemampuan pengetahuan, sikap dan keterampilan kewirausahaan tersebut, proses pembinaan diharapkan dapat memecahkan masalah-masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat dalam kehidupannya. Pembinaan kewirausahaan ini merupakan proses pemberdayaan ekonomi yang menekankan pada peningkatan kemampuan kritis masyarakat dalam menganalisis setiap situasi ekonomi, sosial, dan politik yang dihadapinya, dan mengembangkan keterampilannya lebih lanjut dalam rangka memperbaiki taraf hidupnya (Kindervatter, S. 1979:12-13). Secara epistimologis, pembinaan perilaku kewirausahaan berbasis potensi lokal bagi kemandirian pemuda di kawasan wisata candi “Jiwa”, ini adalah pendekatan sistem yang dikembangkan oleh Sudjana, D. (2004:46). Komponen pembinaan perilaku kewirausahaan terdiri dari 1) masukan mentah, (raw input), 2) masukan sarana (instrumental input), 3) masukan lingkungan (environmental input), 5) masukan lain (other input), 6) proses (processes) 6) keluaran (output), dan 7) pengaruh (outcome). Pembinaan kewirausahaan sebagai proses pendidikan merupakan interaksi pembelajaran antara masukan sarana, terutama pembina, dengan masukan mentah yaitu para pemuda. Tujuan pembinaan terdiri atas tujuan pembinaan perilaku kewirausahaan sebagai keluaran (output), dan tujuan pembinaan akhir yaitu pengaruh kemandirian berwirausaha (outcome). Pengaruh berkaitan dengan manfaat atau kegunaan pembinaan yang telah diikuti para pemuda untuk kemajuan bagi dirinya, lembaga, masyarakat, dan lain sebagainya. Singkatnya, pembinaan perilaku kewirausahaan akan berhubungan erat dengan unsur-unsur pendidikan nonformal yang disusun secara sistemik, yaitu memuat komponen, proses, tujuan dan dampak. Dalam konteks Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI), Sudjana, D. (2004:131) mengemukakan bahwa kewirausahaan mengintegrasikan pada kegiatan belajar dan berusaha, baik di bidang industri dan perdagangan maupun jasa, sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan sumber-sumber yang tersedia di lingkungannya, pada dasarnya telah menyentuh upaya pembinaan dan pengembangan kewirausahaan. Kewirausahaan sangat penting bagi masyarakat, terutama di


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 137 Dayat Hidayat lapisan bawah (the grass-root level), dalam rangka proses pemberdayaan (enpowering process) masyarakat di bidang ekonomi yang terkait dengan bidang sosial, budaya, politik, dan sebagainya. Kewirausahaan menjadi salah satu alternatif untuk peningkatan daya saing masyarakat Indonesia dalam era globalisasi. PNFI membina dan mengembangkan kewirausahaan melalui dua pendekatan, yaitu : 1) mengintegrasikan materi pelajaran kewirausahaan ke dalam kurikulum/program dalam satuan dan jenis pendidikan luar sekolah. Kewirausahaan dapat dijadikan materi pokok atau tambah dalam pendidikan keluarga, kelompok belajar, kursus, dan satuan pendidikan sejenis, seperti pelatihan, penyuluhan, dan pusat magang. Demikian pula kewirausahaan dapat diintegrasikan ke dalam pendidikan umum, keagamaan, kedinasan, jabatan kerja, dan kejuruan/keterampilan, 2) Kewirausahaan menjadi program pendidikan tersendiri. Program ini dilakukan melalui pendidikan penyadaran diri (conscientization) bagi masyarakat, dan dapat pula dalam bentuk satuan pendidikan khusus seperti kelompok belajar, kursus, pelatihan, dan magang tentang kewirausahaan. Demikian pula bahwa kewirausahaan sebagai program mandiri ini dapat dilakukan melalui pendidikan kader, pendidikan massa, dan/atau pendidikan perluasan. Sudjana, D. (2004:132). Pembinaan Perilaku Kewirausahaan Pembinaan perilaku kewirausahaan yang dilaksanakan sesungguhnya bukan hanya sebatas cara mencari uang semata, namun lebih dari itu, berwirausaha merupakan bentuk aktualisasi untuk mampu mengasah dan memaksimalkan potensi diri. Karena itu, sekarang berkembang pemikiran di kalangan wirausahawan untuk melakukan perubahan orientasi masa depan, dengan merealisasikan secara kongrit bentuk kemandirian ekonomi melalui jalan berwirausaha. Pembinaan perilaku kewirausahaan berbasis potensi lokal untuk kemandirian usaha pemuda kawasan wisata candi “Jiwa�, dilaksanakan melalui lima langkah sebagai berikut : 1. Mengumpulkan informasi tentang kenyataan atau peristiwa yang benar-benar terjadi dalam kegiatan kewirausahaan berdasarkan rencana usaha yang telah ditetapkan.

2. Mengidentifikasi masalah yang akan muncul apabila terjadi ketidak-sesuaian antara kegiatan kewirausahaan yang telah direncanakan dangan pelaksanaan yang ada. 3. Menganalisis jenis-jenis masalah dan faktor-faktor penyebab timbulnya masalah tersebut, yang mungkin datang dari pelaksana, sasaran, fasilitas, biaya, proses, waktu, konsidi lingkungan, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pelaksanaan kewirausahaan. Di samping faktor penyebab, diidentifikasi pula sumber-sumber dan potensi-potensi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang timbul. 4. Mencari dan menetapkan alternatif pemecahan masalah sebagai upaya yang dapat dipertimbangkan berdasarkan sumber-sumber pendukung dan kemungkinan hambatan yang akan ditemui dalam upaya pemecahan masalah. Selanjutnya, menetapkan prioritas dengan mempertimbangkan sumber-sumber pendukung yang memadai, kurangnya kemungkinan hambatan, efisiensi dalam pelaksanaan kegiatan kewirausahaan. Pemilihan alternatif upaya dan penetapan prioritasnya dapat dilakukan secara bersama dengan masyarakat secara partisipatif. 5. Melaksanakan upaya pemecahan masalah yang dapat dilakukan pembina baik secara lngsung maupun secara tidak langsung. Ruang lingkup pembinaan dan pengembangan usaha bagi para pemuda di kawasan wisata sejarah candi “Jiwa� dilakukan meliputi bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, serta sumber daya manusia dan teknologi. Pembinaan dan pengembangan usaha di bidang produksi dan pengolahan, dilaksanakan dengan 1) meningkatkan kemampuan manajemen serta teknis produksi dan pengolahan, 2) meningkatkan kemampuan rancang bangun dan perekayasaan, 3) memberikan kemudahan dalam pengadaan sarana dan prasarana produksi dan pengolahan, bahan baku, bahan penolong dan kemasan, dan 4) menyediakan tenaga konsultan profesional di bidang produksi dan pengolahan. Pembinaan dan pengembangan usaha di bidang pemasaran, dilaksanakan dengan: 1) melaksanakan penelitian dan pengkajian pemasaran, 2) meningkatkan kemampuan manajemen dan teknik pemasaran, 3) menyediakan sarana serta dukungan promosi


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 138 Dayat Hidayat dan uji coba pasar, 4) mengembangkan lembaga pemasaran dan jaringan distribusi, 5) memasarkan produk usaha kecil, 6) menyediakan tenaga konsultan profesional di bidang pemasaran, 7) menyediakan rumah dagang dan promosi usaha, dan 8) memberikan peluang pasar. Pembinaan dan pengembangan usaha di bidang sumber daya manusia, dilaksanakan dengan: 1) memasyarakatkan dan membudayakan kewirausahaan, 2) meningkatkan keterampilan teknis dan manajerial, 3) membentuk dan mengembangkan lembaga pendidikan, pelatihan dan konsultasi usaha kecil 4) menyediakan tenaga pembina dan konsultan usaha kecil, 5) menyediakan tempat magang untuk praktik kewirausahaan. Pembinaan dan pengembangan usaha di bidang teknologi dilaksanakan dengan: 1) meningkatkan kemampuan di bidang teknologi produksi dan pengendalian mutu, 2) meningkatkan kemampuan di bidang penelitian untuk mengembangkan desain dan teknologi baru, 3) memberikan insentif kepada usaha kecil yang menerapkan teknologi baru dan melestarikan lingkungan hidup. 4) meningkatkan keijasama dan alih teknologi, 5) meningkatkan kemampuan dalam memenuhi standarisasi teknologi, 5) menumbuhkan dan mengembangkan lembaga penelitian dan pengem-bangan di bidang desain dan teknologi bagi usaha kecil. Metode atau cara-cara pembinaan pada umumnya dilakukan secara langsung melalui pertama, pembinaan individual (perorangan), yang dilakukan dengan cara memberikan dorongan, bantuan, dan bimbingan langsung, melalui teknik-teknik antara lain dialog, diskusi, dan peragaan. Kedua, pembinaan secara berkelompok yang memiliki kesamaan jenis usaha, melalui teknik-teknik seperti diskusi, rapat kerja, penataraan, lokakarya, demontrasi, pameran, dan karyawisata. Langkah-langkah pokok pembinaan perilaku kewirausahaan di atas dilaksanakan sesuai dengan kondisi lingkungan melalui sistem pengawasan dan supervisi. Langkahlangkah pokok pembinaan dirumuskan dengan : 1) menetapkan tolok ukur mengenai hasil pencapaian tujuan dan kegiatan untuk mencapai tujuan pembinaan kewirausahaan, 2) mengukur penampilan pelaksana dalam melakukan kegiatan kewirausahaan, 3) membandingkan penampilan dengan tolok

ukur yang telah ditetapkan, dan 4) memperbaiki kegiatan kewirausahaan yang dipandang perlu, sehingga kegiatan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Keempat langkah pembinaan itu berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Strategi pengawasan dan supervisi pembinaan kewirausahaan bagi pemuda kawasan wisatasejarah candi “Jiwa� dilakukan melalui langkah-langkah seperti : Langkah pertama, pengawas dari Dinas Perindustrian serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, menetapkan standar atau tolok ukur tentang hasil pembinaaan yang harus dicapai dan kegiatan yang harus dilaksanakan berkaitan dengan berbagai jenis usaha yang dijalankan. Langkah kedua, melakukan evaluasi terhadap hasil usaha yang telah dicapai dan kegiatan usaha yang telah dan sedang dijalankan. Langkah ketiga, membandingkan hasilhasil usaha nyata dalam pencapaian tujuan dan kegiatan yang faktual dengan tujuan yang seharusnya tercapai dan kegiatan usaha yang seharusnya dilakukan. Berkaitan dengan langkah pembinaan tersebut di atas, Sudjana, D. (2004:239-240) mengemukakan supervisi sebagai kegiatan pembinaan mempunyai tiga kegunaan. Pertama, supervisi berguna untuk meningkatkan kemampuan pengelola dan/atau supervisor dalam memberikan layanan kepada para pelaksana program. Kedua, supervisi bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan para pelaksana pendidikan dalam melaksanakan proses pengelolaan kegiatan belajar membelajarkan. Ketiga, hasil supervisi berguna untuk menyususn pedoman atau petunjuk pelaksanaan layanan profesional kepada pelaksana program pendidikan. Kemandirian Pemuda dalam Berusaha Tujuan akhir pembinaan perilaku kewirausahaan berbasis potensi lokal untuk kemandirian usaha pemuda kawasan wisata candi “Jiwa� ini adalah tumbuhnya wirausahan-wirausahan baru yang memiliki jiwa kewirausahaan. Dalam rangka mencapai kemandirian wirausahawan muda tersebut dilakukan melalui : 1) penataan alokasi sumberdaya, sumberdana dan sumber informasi yang transparan, 2) penataan strategi jangka pendek dan panjang, 3) penataan peran dan struktur organisasi kelompok usaha, 4) memperbaiki sistem komunikasi, 5) menata


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 139 Dayat Hidayat perencanaan usaha, 6) peningkatan pemahaman lingkungan sebagai potensi lokal usaha, dan 7) meningkatkan kerjasama baik internal maupun eksternal sebagai pengembangan kemitraan usaha. Kemandirian tersebut tercermin sebagai bentuk perwujudan sikap dan perilaku berwirausaha. Pada intinya kemandirian berwirausaha diartikan sebagai orang yang mengganti tatanan ekonomi dengan mengenalkan hasil dan layanan, menciptakan organisasi baru atau menggali bahan-bahan mentah yang baru. Hal ini berarti kewirausahaan menyangkut upaya seseorang untuk memperbaiki ekonomi melalui pengenalan produk, pengelolaan dan penggalian sumber-sumber baru untuk keperluan ekonomi. Bygrave (1994: 1) dalam Alma, B. (2004: 22) mengartikan enterpreneur “... as the person who destroyes the existing economic order by introducing new products and services, by creating new forms of organization, or by exploting new raw

materials”. Kewirausahaan diartikan yang sama dengan enterpreneurship dalam bidang usaha. Oleh karena itu, “... entrepreneurship secara sederhana sering diartikan sebagai prinsip atau kemampuan wirausaha” (Soedjono, 1993; Meredith, 1996; Marzuki, 1997). Kemandirian sikap perilaku kewirausahaan dapat tergambar pada terjadinya perubahan sikap percaya diri (self-confidence), mampu berorientasi tugas dan hasil, memiliki keberanian mengambil resiko, sifat kepemimpinan, keorisinilan, dan memiliki orientasi ke masa depan dalam menjalankan usahanya. Hal ini sejalan dengan pendapat Meredith, Geoffery G. et.al, (2005:5-6) yang mengemukakan ciri-ciri dan sifat-sifat perilaku wirausaha adalah sebagai berikut ini, Tabel 1. Ciri-ciri dan Sifat-sifat Wirausaha

Ciri-ciri Percaya diri

Watak Keyakinan, ketidaktergantungan, individualitas optomisme Berorientasikan tugas Kebutuhan akan prestasi, berorientasi laba, ketekunan, ketabahan, dan hasil tekad kerja keras, mempunyai dorongan kuat, energetik, dan inisiatif Mengambil risiko Kemampuan mengambil risiko, suka pada tantangan Kepemimpinan Bertingkah laku sebagai pemimpin, dapat bergaul dengan orang lain, menanggapi saran-saran dan kritik Orientasi masa depan Pandangan jauh ke depan dan perseptif Sumber: Meredith, Geoffery G. et.al, 2005:5-6 Kemandirian kewirausahaan para pemuda dalam mengembangkan usaha di kawasan wisata sejarah candi “Jiwa”, dilihat terjadinya peningkatan aspek pengetahuan, sikap perilaku dan keterampilan kewirausahaan. Dampak pembinaan perilaku kewirausahaan berbasis potensi lokal dalam meningkatkan kemandirian pemuda di kawasan wisata sejarah candi “Jiwa” menunjukkan hasil yang cukup baik. Dampak pembinaan tersebut dapat meningkatkan kesempatan kerja sehingga dapat mengurangi pengangguran, meningkatkan produktivitas kerja yang berimplikasi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Para pemuda dapat mengembangkan usaha sablon yang bergambar candi “Jiwa”, berbegai cindera mata, dan usaha kuliner “bandeng presto” sebagai potensi lokal yang dikembangkan sebagai unggulan di wilayahnya untuk meningkatkan pendapatannya.

Kemandirian berwirausaha merupakan tujuan pembinaan kewirausahaan yang berdampak pada pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kemandirian kewirausahaan para pemuda dalam mengembangkan usaha di kawasan wisata sejarah candi “Jiwa”, jika ditinjau dalam konsep pemberdayaan masyarakat pada sisi ekonomi, sejalan dengan konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan yang pada dasarnya diletakkan pada kekuatan individu dan sosial. Rappaport (1987) mengemukakan bahwa pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik dan hak-haknya menurut undang-undang. McArdle (1989) berpendapat bahwa pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 140 Dayat Hidayat secara konsekuen melaksanakan tersebut (Hikmat, H. 2010 : 3).

keputusan

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini memberikan kesimpulan yaitu bahwa pembinaan perilaku kewirausahaan dilakukan melalui identifikasi kebutuhan potensi lokal dalam merumuskan, menentukan tujuan, dan penyusunan program pembinaan kewirausahaan. Pelaksanaan pembinaan kewirausahaan dilakukan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Pada tahap pelaksanaan pembina memotivasi para pemuda kawasan wisata sejarah candi “Jiwa” untuk mengembangkan berbagai potensi usaha yang dijalankannya. Pembina membantu para pemuda agar saling membelajarkan antara pengalaman usaha yang telah dijalankan satu dengan lainnya. Pembinaan perilaku kewirausahaan berbasis potensi lokal untuk kemandirian usaha pemuda kawasan wisata candi “Jiwa”, dilaksanakan melalui lima langkah yaitu, mengumpulkan informasi, mengidentifikasi masalah, menganalisis jenis-jenis masalah dan faktor-faktor penyebab timbulnya masalah, mencari dan menetapkan alternatif pemecahan masalah, dan melaksanakan upaya pemecahan masalah yang berkaitan dengan pengembangan kewirausahaan. Ruang lingkup pembinaan kewirausahaan meliputi bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, serta pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Metode atau cara-cara pembinaan dilakukan secara langsung dengan pembinaan individual (perorangan), seperti memberikan dorongan, bantuan, dan bimbingan langsung, melalui teknik-teknik antara lain dialog, diskusi, dan peragaan. Selanjutnya pembinaan secara berkelompok yang memiliki kesamaan jenis usaha, melalui teknik-teknik seperti diskusi, rapat kerja, penataraan, lokakarya, demontrasi, pameran, dan karyawisata. Kemandirian kewirausahaan mulai terbentuk yang ditunjukkan adanya peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan kewirausahaan dari para pemuda yang mengembangkan berbagai jenis usaha di kawasan wisata sejarah candui “Jiwa”. Dampak kegiatan pembinaan perilaku kewirausahaan menunjukkan terjadinya peningkatan pendapatan para pemuda dalam mengembangkan berbabag jenis usahanya. Saran

Berdasarkan hasil temuan penelitian, saran yang dapat diberikan pertama, bagi penyelenggara pengembangan perilaku kewirausahaan di kawasan wisata sejara candi “Jiwa”, perlu melakukan pola pembinaan kewirausahaan sesuai dengan potensi lokal yang dimilikinya. Melalui penyempurnaan pembinaan ini diharapkan para pemuda dapat meningkatkan partisipasinya dalam kegiatan pembinaan sesuai dengan kemampuan dan jenis usaha yang sedang dikembangkan masing-masing. Untuk pengembangan perilaku kewirausahaannya, pembina melakukan kerja sama yang lebih luas dengan pihak-pihak seperti perusahaan industri, perbankan, instansi pemerintah maupun swasta sehingga dapat memperluas kesempatan peluang usaha. Kedua, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode studi kasus, sehingga banyak memiliki keterbatasan jika ditinjau dari segi metode penelitian dan masalah penelitian yang dikaji. Penelitian yang dilakukan secara terbatas pada beberapa subyek penelitian sehingga pengelolaan program pendidikan kewirausahaan belum dapat dibahas secara lengkap. Karena itu, untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dengan variabel lain yang belum diteliti.

DAFTAR PUSTAKA Alma, B. (2007). Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta. Arsyad, L., Elan, S. dkk. (2011). Strategi Pembangunan Perdesaan Baerbasis Lokal. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Astamoen, M. P. (2005). Entrepreneurship. Bandung: Alfabeta. Saepudin, A. dkk. (2015). Efektivitas Pelatihan dan Efikasi Diri dalam Meningkatkan Perilaku Berwirausaha pada Masyarakat Transisi. Jurnal Mimbar : Sosial dan Pembangunan, 31 (1), 93-102. Drucker, P. F. (1994). Innovation and Entrepreneurship, Practice and Principle. New York: Harper Business. Hikmat, H. (2010). Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press. Kindervatter, S. (1979). Nonformal Education as An Empoworing Process.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 141 Dayat Hidayat Massachusetts: Center for International Education University of Massachusetts. Miles, Matthew B. dan Huberman, Michael A. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Nasution (1996). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Meredith, Geoffery G. (2005). Kewirausahaan, Teori dan Praktik, Seri Manajemen Strategis No. 1. Jakarta: PT. Pustaka Bimanan Pressindo. Soetomo. (2011). Pemberdayaan Masyarakat, Mungkinkah Muncul Antitesisnya?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudjana, D. (2004). Pendidikan Nonformal, Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah, Teori Pendukung, Azas. Bandung: Falah Production. _________, (2004). Manajemen Program Pendidikan, untuk Pendidikan Nonformal, dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Falah Production. Sumpeno, W. (2009). Sekolah Masyarakat, Penerapan Rapid-Training Design Dalam Pelatihan Berbasis Masyarakat. Yogyakarya: Pustaka Pelajar. Suryana. (2007). Kewirausahaan, Pedoman Praktis Kiat dan Proses Menuju Sukses. Jakarta: Salemba Empat.

Winarto, P. (2004). First Step to be An Entrepreneur. Jakarta: Alex Media Komputindo. PROFIL SINGKAT Penulis dilahirkan di kota Karawang pada tanggal 17 Oktober 1967 sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara pasangan Andi Saputra (Alm) dan Ninin Masnin. Tahun 1990 melanjutkan pendidikan S1 di Jurusan Pendidikan Luar Sekolah FKIP Universitas Singaperbangsa Karawang dan selesai tahun 1995. Tahun 2001 melanjutkan pendidikan program S2 (Magister Pendidikan) pada Program Studi Pendidikan Luar Sekolah Program Pasca Sarjana (PPS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung selesai tahun 2003. Tahun 2009 melanjutkan pendidikan program S3 (Doktor Pendidikan) pada Program Studi Pendidikan Luar Sekolah Sekolah Pasca Sarjana (SPS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan selesai awal tahun 2014. Pada tahun 1997 diangkat sebagai Dosen Tetap Yayasan Pangkal Perjuangan dan mengabdikan diri di Program Studi Pendidikan Luar Sekolah FKIP Universitas Singaperbangsa Karawang hingga sekarang.


FUNGSI DAN PERAN KURIKULUM DALAM PEMBELAJARAN Sutangsa Mahasiswa SPS Universitas Pendidikan Indonesia sutangsasaja@gmail.com

Abstrak Kurikulum merupakan salah satu aspek penting dalam proses pembelajaran. Kurikulum dirancang dan dilaksanakan terutama untuk mencapai tujuan pembelajaran. Fungsi kurikulum dibagi menjadi dua yaitu fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum kurikulum yaitu Kurikulum berfungsi sebagai penyedia dan pengembang individu peserta didik. Fungsi khusus kurikulum meliputi: fungsi preventif, fungsi korektif, dan fungsi konstruktif. Dalam praktiknya, fungsi kurikulum dalam proses pembelajaran meluas yang mencakup fungsi kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, fungsi kurikulum bagi pendidik, peserta didik, orang tua peserta didik dan masyarakat. Sedangkan peranan kurikulum mencakup peranan konservatif, kritis dan evaluatif , serta peranan kreatif. Kata Kunci : Kurikulum dan pembelajaran


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 143 Sutangsa PENDAHULUAN Tugas utama seorang guru adalah membimbing, mengajar, serta melatih peserta didik secara professional sehingga dapat mengantarkan peserta didiknya kepada pencapaian tujuan pendidikan. Sehingga untuk melaksanakan tugas tersebut guru harus berpedoman pada suatu alat yang disebut kurikulum. Pengertian secara umum kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pengajaran, serta cara yang digunakan dalam menyelenggarakan belajar mengajar (UU No. 2 Tahun 1989). Tujuan kurikulum adalah sebagai arah, pedoman, atau sebagai rambu-rambu dalam pelaksanaan proses pembelajaran (belajar mengajar). Sedangkan fungsi kurikulum dibagi menjadi dua yaitu fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum kurikulum berarti kurikulum berfungsi sebagai penyedia dan pengembang individu peserta didik. Sedangkan fungsi khusus kurikulum terdiri dari: a.Fungsi preventif dimaksudkan agar guru terhindar dari melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan yang ditetapkan dalam kurikulum, b.Fungsi korektif, yang berarti bahwa kurikulum berfungsi sebagai rambu-rambu yang harus dipedomani dalam membetulkan pelaksanaan yang menyimpang dari kurikulum, dan c.Konstruktif, fungsi ini berarti bahwa kurikulum berfungsi untuk memberikan arah yang benar bagi pelaksanaan dan mengembangkan pelaksanaannya, asalkan arah pengembangannya mengacu pada kurikulum yang berlaku. Dalam praktiknya, fungsi dan peran kurikulum dalam proses pembelajaran tidak terbatas hanya pada fungsi umum dan fungsi khusus saja. Fungsi kurikulum terus meluas dan menyentuh seluruh komponen-komponen yang terlibat dengan kurikulum seperti fungsi kurikulum bagi pendidik,fungsi kurikulum bagi peserta didik, fungsi kurikulum bagi masyarakat, fungsi

kurikulum kepala sekolah, fungsi kurikulum bagi orang tua peserta didik dan sebagainya. PEMBAHASAN Fungsi dan peran kurikulum dalam proses pembelajaran Fungsi kurikulum identik dengan pengertian kurikulum itu sendiri yang berorientasi pada pengertian kurikulum dalam arti luas, maka fungsi kurikulum mempunyai arti sebagai berikut: a. Sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan pada suatu tingkatan lembaga pendidikan tertentu dan untuk memungkinkan pencapaian tujuan dari lembaga pendidikan tersebut. b. Sebagai batasan daripada program kegiatan (bahan pengajaran) yang akan dijalankan pada suatu semester, kelas, maupun pada tingkat pendidikan tersebut. c. Sebagai pedoman guru dalam menyelenggarakan Proses Belajar Mengajar, sehingga kegiatan yang dilakukan guru dengan murid terarah kepada tujuan yang ditentukan. Dengan demikian fungsi kurikulum pada dasarnya adalah program kegiatan yang tercantum dalam kurikulum yang akan mempengaruhi atau menentukan bentuk pribadi murid yang diinginkan. Sehubungan dengan interaksi antara komponen-komponen dalam pendidikan, fungsi kurikulum pun meluas, mencakup: Fungsi Kurikulum Dalam Rangka Pencapaian Tujuan Pendidikan Kurikulum pada suatu sekolah merupakan suatu alat atau usaha mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang didiinginkan sekolah tertentu yang dianggap cukup tepat dan krusial untuk dicapai. Salah satu langkah yang harus dilakukan adalah meninjau kembali tujuan yang selama ini digunakan oleh sekolah bersangkutan (soetopo & Seomanto, 1993:17). Dalam pencapaian tujuan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 144 Sutangsa pendidikan yang dicita-citakan, tujuantujuan tersebut harus dicapai secara bertahap yang saling mendukung. Sedangkan keberadaan kurikulum disini adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Fungsi Kurikulum Bagi Anak Dididik Keberadaan kurikulum sebagai organisasi belajar merupakan suatu persiapan bagi anak didik. Kalau kita kaitkan dengan pendidikan Islam, pendidikan mesti diorientasikan kepada kepentingan peserta didik, dan perlu diberi pengetahuan untuk hidup pada zamannya kelak. Nabi Muhammad Saw bersabda : didiklah anak-anakmu, karena mereka diciptakan untuk menghdapi zaman yang lain dari zamanmu. Sebagai alat dalam mencapai tujuan pendidikan, kurikulum diharapkan mampu menawarkan program-program pada anak didik yang akan hidup pada zamannya, dengan latar belakang sosihistoris dan cultural yang berbeda dengan zaman di mana kedua orang tuanya berada. Fungsi Kurikulum Bagi Pendidik Atau Guru Guru merupakan pendidik propesional yang secara implisit telah merelakan dirinya untuk memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang ada dipundak para orang tua. Orang tua yang menyerahan anaknya ke sekolah, berarti ia telah melimpahkan sebagian tanggng jawab pendidikan anaknya kepada guru atau pendidik. Hal ini, adalah bentuk harapan orang tua, supaya anaknya menemukan guru yang baik , kompeten, dan berkualitas (Ramayulis, 1996:39). Adapun Fungsi Kurikulum Bagi Guru Atau Pendidik adalah: (1) Sebagai pedoman kerja dalam menyusun dan mengorganisasi pengalaman belajar para anak didik. (2) Sebagai pedoman dalam mengadakan evaluasi terhadap perkembangan anak didik dalam

rangka menyerap sejumlah pengalaman yang diberikan. Langeveld mengajukan lima komponen yang berinteraksi secara aktif dalam proses pendidikan yakni: (1) Komposisi tujuan pendidikan, sebagai landasan idiil pendidikan dan yang dicapai melalui proses pendidikan tersebut. (2) Komponen terdidik, sebagai masukan manusiawi yang diperlukan sebagai subjek aktif dan dikenai proses pendidikan tersebut. (3) Komponen alat pendidikan, sebagai unsur sarana atau objek yang dikenakan kepada terdidik dalam proses pendidikan. (4) Komponen pendidik, merupakan unsur manusiawi yang membantu mengenalkan alat pendidikan kepada anak didik dan mengarahkan proses pendidikan menuju sasaran yang diharapkan sebagaimana tercantum dalam tujuan pendidikan. (5) Komponen lingkungan pendidikan, sebagaimana unsur suasana yang membantu dan membeikan udara segar dalam proses pendidikan (Supeno, 1995: 42-43). Fungsi Kurikulum Bagi Kepala Sekolah Kepala sekolah merupakan administrator dan supervisor yang mempunyai tanggung jawab terhadap kurikulum. Fungsi kurikulum bagi kepala sekolah adalah pertama, sebagai pedoman dalam mengadakan fungsi supervisi, yakni memperbaiki situasi belajar. Kedua, sebagai pedoman dalam melaksanakan supervise dalam menciptakan situasi untuk menunjang siuasi belajar anak ke arah yang lebih baik. Ketiga, sebagai pedoman dalam melaksanakan supervisi dalam memberikan bantuan kepasa guru atau pendidik agar dapat memperbaiki situasi mengajar. Keempat, sebagai seorang administrator, menjadikan kurikulum sebagai pedoman untuk mengembangkan kurikulum pada masa mendatang. Kelima, sebagai pedoman untuk mengadakan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 145 Sutangsa evaluasi atas kemajuan belajar mengajar (Soeopo dan Soemanto, 1993: 19). Fungsi Kurikulum Bagi Orang Tua Bagi orang tua, kurikulum difungsikan sebagai bentuk adanya partisipasi orang tua dalam membantu usaha sekolah dalam memajukan putraputrinya. Bantuan yang dimaksud dapat berupa konsultasi langsung ke sekolah atau guru mengenai masalah-masalah menyangkut anak-anaknya. Adapun bantuan berupa materi dari orang tua anak dapat melalui lembaga BP-3. Dengan membaca dan memahami kurikulum sekolah, para orang tua dapat mengetahui pengalaman belajar yang diperlukan anakanak mereka. Sehingga partisipasi orang tua inipun tidak kalah pentingnya dalam menyukseskan proses belajar-mengajar di sekolah. Meskipun orang tua telah menyerahkan anak-anak mereka kepada sekolah supaya diajarkan ilmu pengetahuan dan dididik menjadi orang yang bermanfaat bagi dirinya, orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama. Namun demikian, tidak berarti tanggung jawab kesuksesan anaknya secara total diserahkan kepada sekolah atau pendidik. Sebenarnya, keberhasilan tersebut merupakan hasil dari dari sistem kerjasama berdasarkan fungsi masingmasing, meliputi: orang tua, sekolah, dan guru. Oleh karena itu, pemahaman orang tua mengenai kurikulum merupakan hal yang mutlak. Fungsi kurikulum dalam Sekolah Tingkat Atas Fungsi kurikulum dalam hal ini dapat dibagi menjadi dua: (1) Pemeliharaan keseimbangan proses pendidikan dan (2) Penyiapan tenaga baru. Fungsi bagi masyarakat dan pemakai lulusan sekolah Kurikulum suatu sekolah juga berfungsi bagi masyarakat dan pihak pemakai lulusan sekolah bersangkutan. Dengan mengetahui kurikulum suatu sekolah, masyarakat, sebagai pemakai

lulusan, dapat melaksanakan sekurangkurangnya dua macam:  Ikut memberikan kontribusi dalam memperlancar pelaksanaan program pendidikan yang membutuhkan kerja sama dengan pihak orang tua dan masyarakat.  Ikut memberikan kritik dan saran konstruktif demi penyempurnaan program pendidikan di sekolah, agar lebih serasi dengan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja. Sementara itu, peranan kurikulum dalam proses pembelajaran, mencakup: a) Peranan Konservatif Kebudayaan sudah ada sebelum lahirnya suatu generasi dan tidak akan pernah mati walau generasi yang bersangkutan sudah habis. Kebudayaan yang diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah laku, bahkan kebudayaan terwujud dan didirikan dari perilaku manusia. Kebudayaan mencakup aturan yang berisi kewajiban dan tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak atau tindakan yang dilarang dan yang diizinkan. Semua kebudayaan yang sudah membudaya dan sudah ditransmisikan kepada anak didik selaku generasi penerus. Oleh karena itu, semua ini mejadi tanggung jawab kurikulum dalam menafsirkan dan mewariskan nilai-nilai budaya yang mengandung makna membina perilaku anak didik. Sekolah sebagai lambing sosial sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku anak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat. Jadi kurikulum bertugas menyimpan dan mewariskan nilai-nilai budaya (Wiryo Kusumo dan Mulyadi, 1988:7). b) Peranan Kritis dan Evaluatif Kebudayaan senantiasa berubah dan bertambah sejalan dengan perkembangan zaman yang terus berputar. Sekolah tidak hanya mewariskan kebudayaan yang ada, melainkan juga menilai dan memilih unsur-unsur kebudayaan yang akan diwariskan. Maksudnya, kurikulum itu


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 146 Sutangsa selain mentransmisikan nilai-nilai kepada generasi muda, juga sebagai alat mengevaluasi kebudayaan yang ada. Apakah nilai-nilai sosial yang ada atau dibawa itu sesuai atau tidak dengan perkembangan yang akan datang serta apakah perlu diadakan perubahan atau tetap seperti aslinya. c) Peran Kreatif Kurikulum melakukan kegiatan-kegiatan kreatif dan konstruktif, dalam arti menciptakan dan menyusun sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan sekarang dan masa mendatang dalam masyarakat. Guna membantu setiap individu dalam setap potensinya, kurikulum menciptakan pelajaran, pengalaman, cara berpikir, kemampuan dan ketrampilan baru, sehingga memberkan manfaat bagi masyarakat. Masyarakat Jepang mungkin bias menjadi sumber inspirasi bagi bangsa kita yang sedang bekerja keras untuk membangun meningkatkan sumberdaya manusia. Ilmu yang diserap bangsa Jepang sebenarnya second hand yang diambil dari Negara maju, atau hasil serapan dari Barat, tetapi bangsa ini tidak menerapkan konsep-konsep yang dipelajarinya begitu saja, melainkan mengembangkan konsep baru berdasarkan acuan yang mereka peroleh dari barat yang kemudian dipadukan dengan budaya dan karakteristik bangsanya KESIMPULAN Pengertian secara umum kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pengajaran, serta cara yang digunakan dalam menyelenggarakan belajar mengajar (UU No. 2 Tahun 1989). Tujuan kurikulum adalah sebagai arah, pedoman, atau sebagai rambu-rambu dalam pelaksanaan proses pembelajaran (belajar mengajar). Sedangkan fungsi kurikulum dibagi menjadi dua yaitu fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum kurikulum berarti kurikulum berfungsi sebagai penyedia dan pengembang individu

peserta didik. Sedangkan fungsi khusus kurikulum terdiri dari: a. Fungsi preventif dimaksudkan agar guru terhindar dari melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan yang ditetapkan dalam kurikulum, b. Fungsi korektif, yang berarti bahwa kurikulum berfungsi sebagai ramburambu yang harus dipedomani dalam membetulkan pelaksanaan yang menyimpang dari kurikulum, dan c. Konstruktif, fungsi ini berarti bahwa kurikulum berfungsi untuk memberikan arah yang benar bagi pelaksanaan dan mengembangkan pelaksanaannya, asalkan arah pengembangannya mengacu pada kurikulum yang berlaku. Dalam praktiknya, fungsi dan peran kurikulum dalam proses pembelajaran tidak terbatas hanya pada fungsi umum dan fungsi khusus saja. Fungsi kurikulum terus meluas dan menyentuh seluruh komponen-komponen yang terlibat dengan kurikulum seperti fungsi kurikulum bagi pendidik,fungsi kurikulum bagi peserta didik, fungsi kurikulum bagi masyarakat, fungsi kurikulum kepala sekolah, fungsi kurikulum bagi orang tua peserta didik dan sebagainya. Sedangkan peranan kurikulum dalam proses pembelajaran mencakup: a) Peranan konservatif b) Perananan kritis dan evaluatif c) Peranan kreatif DAFTAR PUSTAKA Schubert, William H, 1986. Curriculum, Perspectice, Paradigm and Possibility, Macmillan Publishing Co, New York. Beane, James A., et al, 1986. Curriculum Planning and Development, Aliyn and Bacon, Inc., Boston. Johnson Mauritz, 1977, Intentionality in Education, Center for Curriculum Research and Services, Albany, New York.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 147 Sutangsa Goodlad, John I, (Ed), 1979. Curriculum Inquiry, The Study of Curriculum Practice, McGrawHill Book, Co. New York. http://podoluhur.blogspot.com/2009/02/fu ngsi-dan-peran-pengembangankurikulum.html http://teoripembelajaran.blogspot.com/200 9/01/fungsi-kurikulum.html http://dadyx.blogspot.com/2008/01/i.html

http://koir.multiply.com/journal/item/9/ku rikulum PROFIL SINGKAT Sutangsa lahir di Bandung, 4 Agustus 1958, lulus S2 dari STIA Jurusan MSDA (Manajemen Sumber Daya Aparatur). Kemudian pada tahun 2015 melanjutkan S3 Program studi PLS UPI. Aktifitas saat ini sebagai PNS di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).


PENDAMPINGAN SENTRA KEWIRAUSAHAAN DALAM PROGRAM DESA VOKASI SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEDESAAN Dr. Tri Suminar, M.Pd 1) Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES 1), tri.suminar@mail.unnes.ac.id1), Abstrak

Tujuan akhir dari kegiatan pembelajaran pelatihan pada program desa vokasi adalah terbentuknya sentra kewirausahaan yang dikelola masyarakat sasaran. Sentra kewirausahaan ini sebagai pusat pembelajaran dan percontohan pengembangan kewirausahaan yang diselenggarakan untuk memberdayakan masyarakat pedesaan. Pemberdayaan masyarakat mencakup beberapa bidang, meliputi: a) membudayakan kewirausahaan, b) meningkatkan kapasitas pusat-pusat unggulan produk, c) diversifikasi basis pembiayaan, d) memperluas jejaring kemitraan, e) mengembangkan pemasaran dan f) meningkatkan kualitas manajerial dan kepemimpinan. Wujud tercapainya tujuan pemberdayaan masyarakat dari program desa vokasi adalah tumbuh dan berkembangnya kemandirian masyarakat dalam mengelola wirausaha. Masyarakat mampu membuat keputusan secara mandiri setelah mempertimbangkan berbagai informasi yang diperoleh dari berbagai sumber, kemudian secara konsekuen mengimplementasikannya dalam mengelola wirausaha. Tercapainya tujuan pemberdayaan masyarakat pedesaan melalui program desa vokasi ini memerlukan kegiatan pendampingan sentra kewirausahaan, baik dalam bidang manajemen wirausaha, produksi maupun pemasaran produk. Kata kunci: pendampingan sentra kewirausahaan, program desa vokasi, pemberdayaan masyarakat desa1 MENTORING CENTER OF ENTREPRENEURSHIP IN THE PROGRAM VOCATIONAL VILLAGE AS MODEL OF RURAL COMMUNITY EMPOWERMENT Abstract The final goal of learning in vocational training in rural program is the creation of entrepreneurial centers managed by the target communities. This entrepreneurial centers as centers of learning and development pilot entrepreneurship organized to empower rural communities. Community empowerment covers several areas, including: a) cultivate entrepreneurship, b) increasing the capacity of centers of excellence products, c) diversify the financing base, d) expanding network of partnerships, e) develop marketing and f) improving managerial and leadership qualities. The achievement of empowering rural communities through rural vocational program requires entrepreneurial mentoring activities centers, both in the field of entrepreneurial management, production and marketing of products. Keywords: mentoring center of entrepreneurship, rural vocational programs, rural community empowerment

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 149 Tri Suminar

PENDAHULUAN

Upaya-upaya pembangunan terus dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Paradigma utama dalam pembangunan sejak awal abad XXI ini menerapkan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Pernyataan ini berdasarkan human capital theory yang dikemukan Cohn (1979: 128) menekankan bahwa manusia merupakan sumber daya utama yang berperan sebagai subjek baik dalam upaya meningkatkan taraf hidup dirinya maupun dalam melestarikan dan memanfaatkan lingkungannya. Salah satu kebijakan pemerintah Indonesia dalam rangka mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat adalah program Desa Vokasi. Kegiatan program desa vokasi adalah menciptakan masyarakat belajar keterampilan vokasional melalui pelatihan-pelatihan dan membentuk sentra wirausaha masyarakat. Tujuan pelatihan ini adalah mengembangkan kualitas sumber daya manusia agar mampu mengelola potensi lokal menjadi produk/jasa atau karya lain yang bernilai ekonomi tinggi. Singkatnya, program desa vokasi sebagai upaya pemberdayaan masyarakat desa menjadikan kawasan atau pusat tempat pemberi layanan belajar keterampilan dalam bentuk pelatihan atau magang bagi masyarakat desa dan terbentuk sentra-sentra wirausaha yang. sangat bermanfaat bagi masyarakat desa untuk meningkatkan perekonomiannya. Sentra kewirausahaan dari program desa vokasi memiliki arti yang sangat penting bagi Indonesia, termasuk pemerintah daerah provinsi Jawa Tengah. Selain berperan untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan, juga untuk meningkatkan aktifitas ekonomi berdaya saing global melalui pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) seiring semakin dekatnya pemberlakuan pasar regional ASEAN di akhir tahun 2015. Oleh karena itu, untuk merealisasikan program desa

vokasi ini pemerintah menggulirkan dana bantuan sejak tahun 2009. Program desa vokasi pertama kali diluncurkan secara nasional dengan melibatkan 3 desa pada setiap kabupaten, dan selanjutnya setiap tahun jumlahnya meningkat. Hasil evaluasi selama pelaksanaan dan pasca pelaksanaan program desa vokasi di Provinsi Jawa Tengah masih banyak kendala yang dihadapi. Kendala yang dihadapi pada pelaksanaan desa vokasi adalah manajemen pelatihan yang tidak berbasis mutu sehingga kurang efektif, (Suminar, 2011). Kendala pada pasca pelatihan hasil penelitian Ikhsan (2012) adalah kurangnya kemampuan dalam manajerial usaha, kurangnya kualitas keterampilan dan sistem usaha kelompok yang kurang dinamis dalam menghadapi masalah. Hasil penelitian (Ayuningrum, 2013) menunjukkan kurang meratanya perkembangan wirausaha desa yang berdaya saing dan tidak ada pendampingan pasca program. Pengaruh program desa vokasi di Kopeng Kabupaten Semarang terhadap peningkatan perekonomian masyarakat belum merata dan belum mandiri, salah satu penyebabnya adalah tidak ada pendampingan pasca program (Rifa’i, 2012). Berdasarkan paparan tersebut menunjukkan pentingnya fungsi kegiatan pendampingan sebagai peningkatan dari segi kualitatif, penyempurnaan program desa vokasi kearah yang lebih baik. Kegiatan pendampingan sangat dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan program yang melayani kebutuhan belajar keterampilan secara mandiri dan kemampuan mengelola wirausaha pada program desa vokasi yang lebih berkembang. Makalah ini bertujuan menjelaskan paradigma pengentasan kemiskinan dengan pendekatan pemberdayaan, program desa vokasi sebagai pemberdayaan masyarakat, sentra kewirausahaan dalam program desa vokasi dan kegiatan pendampingan sentra kewirausahaan untuk mencapai tujuan pemberdayaan masyarakat desa.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 150 Tri Suminar

PEMBAHASAN

a. Paradigma pengentasan kemiskinan dengan pendekatan pemberdayaan Memberdayakan masyarakat merupakan upaya memperkuat unsur-unsur keberdayaan masyarakat untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang berada dalam kondisi tidak mampu dengan mengandalkan kekuatannya sendiri sehingga dapat keluar dari perangkat kemiskinan dan keterbelakangan, atau proses memampukan dan memandirikan masyarakat (Kartasasmita, 1997: 74). Pihak lain, Prijono, dkk (1996: 27) menjelaskan pemberdayaan merupakan proses sosial dan personal untuk mendorong kekuatan, kompetensi, kreativitas dan kebebasan individu untuk bertindak. Sementara itu, masyarakat miskin merupakan kelompok masyarakat yang rentan dan lemah serta tidak memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berdaya. Program-program pengentasan kemiskinan sangat efektif menggunakan pendekatan pemberdayaan. Hasil penelitian terapan Raharjo (2015) mengenai pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir di Kecamatan Wedung Kabupaten Demak melalui pemberdayaan keluarga (POSDAYA) di bidang kesehatan, pendidikan, sosial budaya dan ekonomi dapat mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat pesisir perihal pola hidup sehat (norma keluarga sadar gizi), kebersihan lingkungan, mendidik dan merawat anak usia dini, dan memiliki keterampilan bekerja sebagai matapencaharian alternativ selain nelayan sehingga meningkatkan kesejahteraan keluarga nelayan dalam kehidupan sehari-hari. Strategi pemberdayaan yang diterapkan pada penelitian tersebut adalah “community organization” pada keluarga sebagai organisasi terbawah (grass root), yang bertujuan mengaktifkan kaum perempuan dalam keluarga untuk memperbaiki diri dan mengubah lingkungan sosio-ekonomi dan keberadaannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir yang mayoritas sebagai nelayan dan petani. Keluarga sebagai katalisator mendapat program pelatihan mengelola bank sampah,

kadarzi, parenting, dan pelatihan mengolah makanan berbahan dasar ikan hasil tangkapan nelayan sebagai matapencaharian baru. Hasil penelitian Anwar (2006) melaksanakan pembelajaran “vocational skills” sebagai proses pemberdayaan perempuan di Kecamatan Soropia, Sulawesi Tenggara. Program pemberdayaan melalui pembelajaran keterampilan vokasi efektif untuk meningkatkan kesadaran perempuan keluarga nelayan dalam berkomunikasi dengan masyarakat di luar sisem sosialnya, meningkatkan partisipasi dalam pembelajaran, meningkatkan aspirasi pendidikan dan tumbuhnya usaha-usaha produktif berbasis sosial budaya dalam bentuk industri rumah tangga dan hasilnya dapat dipasarkan, dan tumbuhnya kemandirian berusaha dan tumbuhnya sikap mental kewirausahaan di kalangan perempuan keluarga nelayan di suku Bajo, Sulawesi Tenggara. Program pemberdayaan melalui pembelajaran keterampilan vokasi dapat mengentaskan kemiskinan karena mampu meningkatkan kemampuan berwirausaha secara mandiri.

b.

Desa Vokasi sebagai Program Pemberdayaan Masyarakat Desa vokasi merupakan kawasan pendidikan keterampilan vokasional yang dimaksudkan untuk mengembangkan sumberdaya manusia agar mampu menghasilkan produk/jasa atau karya lain yang bernilai ekonomi tinggi, bersifat unik dan memiliki keunggulan komparatif dengan memanfaatkan potensi lokal. Kawasan pendidikan keterampilan vokasional merupakan suatu wilayah pedesaan yang menyelenggarakan berbagai jenis pendidikan keterampilan yang terintegrasi dengan proses produksi dan pemasaran produk, jasa atau karya; sebagai laboratorium sosial yang menjadi tempat uji coba dan/ atau pengembangan produk, jasa atau karya, dan sebagai tempat pemberi layanan belajar keterampilan atau magang bagi masyarakat (Depdiknas, 2009: 6). Tujuan program desa vokasi sebagai fasilitator bagi warga masyarakat, dapat belajar dan berlatih menguasai keterampilan

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 151 Tri Suminar

yang dapat dimanfaatkan untuk bekerja atau menciptakan lapangan kerja sesuai dengan sumberdaya yang ada di wilayahnya, sehingga taraf hidup masyarakat semakin meningkat. Dengan demikian desa vokasi merupakan wujud implementasi program pemberdayaan di bidang pendidikan kecakapan hidup dalam spektrum pedesaan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi kerakyatan. Pembangunan ekonomi kerakyatan bertujuan untuk mengembangkan sumberdaya manusia dan lingkungan yang dilandasi oleh nilai-nilai budaya dan pemanfaatan potensi lingkungan alam lokal untuk memperoleh pekerjaan yang berpenghasilan layak bagi masyarakat desa secara kesinambungan. Desa vokasi merupakan salah satu program pendidikan nonformal yang bertujuan memberdayakan masyarakat desa dengan strategi meningkatkan kemampuan masyarakat desa mengelola wirausaha berbasis unggulan lokal melalui pusat-pusat pembelajaran atau pelatihan yang dikelola oleh masyarakat. Desa vokasi mengemban misi mengentaskan kemiskinan desa. Program ini secara nasional telah dirintis sejak tahun 2009, termasuk di Provinsi Jawa Tengah. Bahkan Jawa Tengah tahun 2008 telah mendeklarasikan sebagai Provinsi Vokasi sebelum terlaksananya program desa vokasi. Upaya mencapai tujuan program desa vokasi tidak lepas dengan berbagai kendala. Sebagaimana hasil penelitian Ikhsan (2012) di Kopeng, Kabupaten Semarang menemukan beberapa kendala tujuan program desa vokasi belum tercapai secara optimal antara lain: (a) kurangnya kemampuan dalam manajerial usaha dikarenakan pengetahuan dan pendidikan yang rendah, (b) kurangnya kualitas produk barang atau jasa, (c) sistem usaha kelompok yang kurang dinamis dalam menghadapi masalah pemasaran produk. Sementara itu, hasil penelitian Ayuningrum (2013) menunjukkan kurang meratanya perkembangan wirausaha desa yang berdaya saing disebabkan tidak ada pendampingan pasca program, sehingga wirausaha masyarakat desa vokasi belum mandiri. Dampaknya, program desa vokasi di Kopeng

Kabupaten Semarang belum berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan perekonomian masyarakat secara merata dan mandiri. c. Sentra Kewirausahaan Masyarakat dalam Program Desa Vokasi pengembangan kewirausahaan yang diselenggarakan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi peserta didik dan masyarakat. Kemampuan kewirausahaan masyarakat dibelajarkan melalui rintisan atau pengembangan inkubator bisnis dan sentra usaha mandiri untuk meningkatkan penghasilan peserta didik dan masyarakat sekitar. Tujuannya membentuk atau mengembangkan wirausaha sesuai dengan potensi yang dimiliki di desa. Suryono (2012: 14) menjelaskan sentra kewirausahaan masyarakat sebagai formula kerja nyata pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan masyarakat mengembangkan kewirausahaan dengan bidang garapan meliputi: a) budaya kewirausahaan, b) peningkatan kapasitas pusat-pusat unggulan produk, c) diversifikasi basis pembiayaan, d) memperluas jejaring kemitraan, e) mengembangkan pemasaran dan f) peningkatan kualitas manajerial dan kepemimpinan. Rintisan kewirausahaan bertujuan pula menciptakan peluang sumber pendanaan lembaga yang berasal dari keuntungan unit usaha atau incubator wirausaha yang dikembangkan serta meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan keberanian usaha secara mandiri baik perorangan aupun kelompok. Kemandirian wirausaha menunjukkan kemampuan membuat keputusan secara mandiri setelah mempertimbangkan berbagai informasi yang diperoleh dari berbagai sumber, kemudian secara konsekuen mengimplementasikannya. Pembuatan keputusan ini memerlukan beberapa dukungan kemampuan yakni: kemampuan berpikir kritis, berkomunikasi, mencipta dan membarui, teknologi komunikasi, dan belajar kontekstual. Sentra kewirausahaan masyarakat dalam pelaksanaannya menggunakan pendekatan

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 152 Tri Suminar

bertahap, terencana, berkelanjutan dan komitmen bersama. Fokus kajian ini pada pelaksanaan sentra kewirausahaan program desa vokasi tahap berkelanjutan, khususnya pada sentra kewirausahaan yang mengalami permasalahan di bidang pemasaran produk dan membangun jaringan kemitraan. Hasil pembelajaran pelatihan program desa vokasi tidak hanya terbatas peserta didik memilki respon yang sangat baik terhadap program, meningkatkan partisipasi dalam proses pembelajaran dan kemampuan keterampilan vokasi yang prospektif, namun peserta didik dituntut mampu menjual produk keterampilannya sehinga dapat memberi nilai ekonomi. Penerapan model pelatihan pendampingan pemasaran dan jaringan kemitraan diharapkan dapat memberi solusi atas masalah kewirausahaan masyarakat, sehingga kewirausahaan tidak hanya dapat bertahan tetapi dapat berkembang pesat. Hasil penelitian Harini (2012: 633-649) menjelaskan adanya pengaruh pelatihan manajemen keuangan, manajemen pemasaran, manajemen SDM, manajemen produksi dan kewirausahaan terhadap kinerja UKM dalam melaksanakan manajemen dan kewirausahaan. Peningkatan kinerja UKM memerlukan dukungan berbagai pihak, dintaranya akademisi dalam melakukan survey analisis kebutuhan pelatihan dan fasilitasi pelatihan.. d. Pendampingan Sentra Kewirausahaan Masyarakat Sudjana (2007: 354) dan Anwar (2007: 50) menegaskan program pendampingan merupakan komponen pengembangan dari suatu manajemen, berupaya memperluas atau mewujudkan potensi-potensi, membawa suatu keadaan secara bertingkat kepada suatu keadaan yang lebih lengkap, lebih besar atau lebih baik, memajukan sesuatu dari yang sederhana kepada tahapan yang lebih kompleks. Sehubungan hal ini Direktorat Kursus dan Pelatihan pada tahun 2012 menegaskan pentingnya pendampingan program. Pendampingan adalah pekerjaan yang dilakukan oleh petugas lapangan atau fasilitator atau pendamping masyarakat

dalam berbagai kegiatan program. Pada prakteknya, bagi kalangan pengembang masyarakat, pendampingan lebih banyak ditujukan untuk pengembangan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin meskipun disertai penguatan organisasi dan kepemimpinan lokal. Kalangan lembaga pengembang program, terdapat semacam keyakinan bahwa salah satu tolok ukur keberhasilan program adalah adanya keberlanjutan setelah lembaga tidak bekerja di suatu masyarakat. Artinya, masyarakat mampu melanjutkan kegiatan setelah lembaga tidak mendampingi. Pengembangan institusi dan kepeloporan lokal biasanya sangat diperhatikan dalam rangka keberlanjutan program (dengan pemikiran bahwa pengembang masyarakat tidak akan bekerja selamanya di suatu komunitas). Kamil (2012: 169) menjelaskan pendampingan adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan seseorang bersifat konsultatif, yakni menciptakan suatu kondisi sehingga pendamping maupun yang didampingi bisa berkonsultasi memecahkan masalah bersama-sama, proses belajar sepanang hayat. Lebih lanjut ditegaskan kondisi pendampingan bersifat interaktif, komunikatif, motivatif, dan negosiasi. Interaktif yaitu antara pendamping dan yang didampingi harus sama-sama aktif. Komunikatif, yakni apa yang disampaikan pendamping atau yang didampingi dapat dipahami bersama. Motivatif yakni pendamping harus dapat menumbuhkan kepercayaan diri dan dapat memberikan semangat. Negosiasi, yakni pendamping dan yang didampingi mudah melakukan penyesuaian. Singkatnya, pendampingan terhadap sentra kewirausahaan masyarakat ini merupakan upaya pemberian fasilitasi tindak lanjut kegiatan pembelajaran pelatihan kewirausahaan untuk menerapkan kemampuan yang dikuasai pada konteks lapangan usaha. Pendampingan mempunyai tujuan membantu individu atau kelompok masyarakat dalam mengembangkan usahanya agar mampu mandiri. Peran seorang pendamping sebagai fasilitator, motivator, dan katalisator. Pendamping

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 153 Tri Suminar

sebagai fasilitator memiliki kemampuan mengkoordinasikan sumber daya di masyarakat yang memungkinkan kegiatan dan pengembangan kewirausahaan dapat berkembang secara optimal. Pendamping sebagai motivator memiliki kemampuan menggerakkan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Pendamping sebagai katalisator memiliki kemampuan menjembatani hubungan antara warga masyarakat pada sentra kewirausahaan dengan masyarakat lain dan pengusaha (DUDI) atau kemampuan menjalin kemitraan. Jim Ife & Longman (1995: 8) menyarankan para pendamping sebaiknya menggunakan metodologi atau metode/teknik-teknik partisipasi dengan melakukan penyesuaian (adaptasi dan modifikasi) untuk berbagai kebutuhan. Adaptasi metode/teknik partisipasi untuk kegiatan pelatihan masyarakat, dapat dikombinasikan dengan berbagai metode/teknik pembelajaran partisipatif lainnya (metode pendidikan orang dewasa). Oleh karena itu kegiatan pendampingan sebagai penguatan program desa vokasi pada sentra kewirausahaan masyarakat diutamakan dalam bentuk pelatihan/ bimbingan teknis pengembangan inkubator bisnis pada sentra kewirausahaan masyarakat, sekurang-kurangnya dalam hal peningkatan kualitas produk, pengemasan, dan pemasaran (networking). Kegiatan tersebut bertolak dari hasil evaluasi dan analisis terhadap kekurangan, keunggulan, dan potensi usaha yang dikembangkan oleh lembaga desa vokasi yang telah menerima bantuan dari pemerintah. Kegiatan pendampingan sebagai penguatan program yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan Nasional menyusun buku panduan (2014), agar pelaksanaan kegiatan berjalan dengan baik, lancar dan terarah sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Beberapa ketentuan perihal kegiatan penyelenggaraan pendampingan adalah sebagai berikut: 1) menyusun rencana pelaksanaan pendampingan sekurang-kurangnya berisi: 1) nama kegiatan, 2) tujuan kegiatan, 3) jadwal pelatihan/pendampingan/ bimbingan teknis,

yang menggambarkan waktu, materi, tutor atau instruktur atau nara sumber teknis atau fasilitator, bahan bacaan/buku rujukan. Tahapan kegiatan pendampingan sebagai penguatan kewirausahaan masyarakat sebagaimana hasil penelitian Kamil (2012) sekurang-kurangnya, meliputi: 1). Persiapan, dengan langkah-langkah yang ditempuh, antara lain adalah:(a). IdentiďŹ kasi kekurangan, keunggulan, dan potensi usaha lembaga yang didampingi untuk menyusun peta masalah dan kebutuhan belajar, (b). Penyiapan rencana dan jadwal kegiatan pelatihan pendampingan yang dituangkan dalam acuan pelaksanaan kegiatan, (c). Koordinasi pelaksanaan kegiatan; 2). Pelaksanaan, difokuskan untuk menyelenggarakan pelatihan atau pendampingan sentra kewirausahaan. Peserta didik yang terlibat di dalamnya yang antara lain: (a). Pelatihan peningkatan kualitas produk, (b). Pelatihan peningkatan pengemasan, (c). Pelatihan peningkatan pemasaran/ jejaring usaha, (d). Pendampingan manajemen pengembangan usaha, peningkatan kapasitas SDM dan lembaga, dan proses produksi, pengemasan, dan pemasaran; 3). Penilaian, dilakukan untuk mengukur kinerja hasil belajar/pendampingan. Penilaian dilakukan secara berkala selama masa pendampingan atau pembelajaran dan pada akhir pendampingan atau pembelajaran. Penilaian akhir bisa dikemas dalam bentuk pameran, lomba-lomba, dan sejenisnya. Rincian kegiatan pendampingan dijelaskan Kamil (2012: 170) meliputi: (a) identifikasi kebutuhan, analisis dan verifikasi data, (b) melakukan survey untuk memperoleh data dan fakta (empiris) daerah sasaran, (c) fasilitasi pelatihan keterampilan, (d) fasilitasi pengembangan kemandirian (wirausaha), (e) fasilitasi dalam penyusunan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, monitoring program kegiatan, (f) menyusun laporan. PENUTUP Berdasarkan uraian pembahasan di atas dapat disimpulkan program desa vokasi merupakan salah satu program pendidikan nonformal yang bertujuan memberdayakan

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 154 Tri Suminar

masyarakat desa dengan strategi meningkatkan kemampuan masyarakat desa mengelola wirausaha berbasis unggulan lokal melalui pusat-pusat pembelajaran atau pelatihan yang dikelola oleh masyarakat. Desa vokasi mengemban misi mengentaskan kemiskinan desa. Kegiatan pendampingan pada sentra kewirausahaan pada program desa vokasi sangat penting sebagai penguatan, yakni membantu individu atau kelompok masyarakat sasaran program desa vokasi dalam mengembangkan usahanya agar mampu mandiri. Peran seorang pendamping sebagai fasilitator, motivator, dan katalisator. Bentuk kegiatan pendampingan pada sentra kewirausahaan masyarakat diutamakan dalam bentuk pelatihan/ bimbingan teknis pengembangan inkubator bisnis pada sentra kewirausahaan masyarakat, sekurang-kurangnya dalam hal peningkatan kualitas produk, pengemasan, dan pemasaran (networking). DAFTAR PUSTAKA Abbas, T. (2010). Modal Manusia dan Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal EMabis. Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh. Volume 11. Nomor 3 Oktober 2010. Adisasmita, Rahardjo. (2006). Membangun Desa Partisipatif. Cetakan pertama. Yogyakarta. Graha Ilmu. Ainley, P & Corbett, J. (1994). From Vacationalism to Enterprise: social and life skills become personal and transferable. Britis Journal of Sociology of Education. Vol. 15. No. 3. 1994. Page 365 – 374. Anwar. (2007). Manajemen Pemberdayaan Perempuan (Perubahan Sosial melalui Pembelajaran Vocational Skill pada Keluarga Nelayan). Bandung: Penerbit Alfabeta. Cohn, E. (1979). The Economics of Education: An Introduction. Massachussetts: Ballinger Publishing Company. Harini, Sri. (2012). “Pengaruh Pelatihan Manajemen Keuangan, Manajemen Pemasaran, Manajemen SDM, Manajemen Produksi dan

Kewirausahaan Terhadap Kinerja UKM”. Prosiding Seminar Nasional Forum Bisnis dan Keuangan. ISBN: 978602-17225-0-3. Halaman 633-639. Hendro, (2011). Dasar-Dasar Kewirausahaan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hoffmann, A. M. (2010). Education and The Capabilities Approach: Life skills Education as a Bridge to Human Capabilities. am.hoffmann@ unesco.org. Download tanggal 02 Januari 2010 jam 11.59 WIB. Indarti, N dan Rokhima R. (2008). Intensi Kewirausahaan Mahasiswa: Studi Perbandingan Antara Indonesia, Jepang dan Norwegia. Jurnal Ekonomika dan Bisnis Indonesia, Vol. 23, No. 4, Oktober 2008. Isife, B.I, Ochoma, U.C. (2009). Constraints to Government’s Capacity Building Programmes in Rural Communities of Rivers State, Southern Nigeria. Current Research Journal of Social Sciences 1(2): 23-26. 2009 ISSN: 2041-3246 Jim Ife, Longman, (1995). Community Development ; Creating Community Alternatives, Vision, Analysis & Practice; pp 1-11. Kamil, Mustofa. (2007). Model Pendidikan dan Pelatihan (Konsep dan Aplikasi). Bandung: Penerbit Alfabeta. _____________.(2013). Strategi Kemitraan dalam Membangun Pendidikan Nonformal Melalui Pemberdayaan Masyarakat (Model Keunggulan dan Kelemahan). Bahan Kuliah Jurusan PLS UPI Bandung. Tidak dicetak. Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Petunjuk Teknis Pelaksanaan Program Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat Melalui Kursus dan Pelatihan. Raharjo Tri Joko, Tri Suminar, Wardono. (2015). “Coastal Community

Development Model Based In Nonformal Education Through Optimalization of Family Empowerment as a Poverty Reduction Strategy”. International Journal of Education and Research Contemporary Research Center Australia. Vol 3 No. 3 March 2015

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 155 Tri Suminar

ISSN 2201-6333 (Print) ISSN: 22016740 (online). Kourilsky, M. L. dan W. B. Walstad, (1998). Entrepreneurship and female youth: knowledge, attitude, gender differences, and educational practices”. Journal of Business Venturing 13 (1): 77-88. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa. (2009). Kajian Kerangka Acuan Identifikasi, Perancangan, Pengembangan Kurikulum dan Modul Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat. From Htttp:// www.jakarta.go.id Meredith, G. G. (1996). Kewirausahaan Teori dan Praktek. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Rifa’i, A. R.C. (2009). Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Nonformal. Semarang. Universitas Negeri Semarang Press. ___________. (2012). Pengkajian Program Desa Vokasi di Kabupaten Semarang Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011. Laporan Penelitian. Tidak dipublikasikan. FIP UNNES. Sudjana, D. (2004). Pendidikan Nonformal (Nonformal Education), Bandung: Falah Production. ______________,(2007). Sistem dan Manajemen Pelatihan: Teori dan Aplikasi. Bandung: Falah Production.

Suharto, E. (2005). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: PT. Refika Aditama. Sumahamijaya, S. Yasben, Darlis. Dana, Dadan, Agus. (2003). Pendidikan Karakter Mandiri dan Kewiraswastaan. Bandung: Penerbit Angkasa. Suryono, Yoyon. (2012). Pembelajaran Kewirausahaan Masyarakat. Yogyakarta: Kerjasama Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat Ditjen PAUDNI Kementerian Pendidikan Nasional dengan Jurusan PLS FIP Yogyakarta PROFIL SINGKAT Tri Suminar lahir di Tulungagung Provinsi Jawa Timur, tanggal 26 Mei 1967. Pendidikan S1 program studi Pendidikan Geografi IKIP Malang (UM), lulus tahun 1990; Pendidikan S2 program studi Pendidikan Luar Sekolah PPS IKIP Malang(UM), lulus tahun 1993. Pendidikan S3 program studi Manajemen Pendidikan PPS Universitas Negeri Semarang, lulus tahun 2012. Sejak tahun 1995 sampai sekarang sebagai dosen tetap pada jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Semarang. Mengampu mata kuliah Perubahan Sosial, Pengantar Sosiologi dan Antropologi, Manajemen Pelatihan, Perencanaan Program PNF.

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP DALAM MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN EKONOMI MASYARAKAT Rezka Arina Rahma Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Surabaya Rezka.arina@gmail.com

ABSTRAK Penyelenggaraan program pendidikan kecakapan hidup merupakan upaya nyata untuk mendidik dan melatih warga masyarakat di daerah perkotaan dan/atau pedesaan agar menguasai keterampilan fungsional praktis yang dapat dimanfaatkan untuk belajar baik di sector formal maupun informal sesuai dengan peluang kerja (job opportunities) yang ada dan usaha mandiri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui 1) Penyelenggaraan pendidikan kecapakap hidup dan manfaatnya bagi masyarakat Desa Ngabab 2) Pendidikan Kecakapan Hidup dalam mewujudkan kemandirian ekonomi masyarakat Desa Ngabab. Penelitian ini menggunakan teori strukturasi dari Anthony Gidden dan teori hegemoni dari Antonio Gramsci. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup yang diselenggarakan di Desa Ngabab merupakan suatu praktik sosial yang dikonstruksi secara struktural oleh para aktor dengan memperhatikan sumberdaya yang ada. Penyelenggaraan program kecakapan hidup dengan memberikan berbagai pelatihan sentra keterampilan telah berjalan dengan efektif dan efisien, dimana dapat dilihat manfaat yang sudah dirasakan masyarakat baik dari segi sosial maupun ekonomi. Kata kunci: pendidikan kecakapan hidup, kemandirian ekonomi masyarakat

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 157 Rezka Arina Rahma

PENDAHULUAN

Kemajuan suatu bangsa sangatlah ditentukan oleh kualitas dari sumber daya manusia yang dimiliki. Sumber daya manusia memiliki peranan yang sangat besar dalam memajukan sebuah bangsa yang berkualitas. Dalam UUD 1945 menegaskan jaminan atas hak warga Negara dalam kaitannya dengan pendidikan dan pekerjaan. Hal ini sesuai dengan pasal 28C ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidup dan untuk kesejahteraan umat manusia�. Namun dalam kenyataanya, pengangguran dan kemiskinan hingga saat ini masih merupakan masalah besar bangsa Indonesia yang belum bisa terpecahkan dengan tuntas. Menurut data BPS bulan Agustus 2012, jumlah pengangguran terbuka tercatat sebanyak 7,24 juta jiwa atau sebesar 6,14 % dari total angkatan kerja sebesar 120,41 juta jiwa. Pada tahun 2010 jumlah pengangguran terbuka di wilayah pedesaan lebih besar dibandingkan perkotaan, hal tersebut berbanding terbalik dengan jumlah pengangguran terbuka pada tahun 2011. Secara statistik tampak terjadi pergeseran peningkatan, yaitu dari jumlah total 7,70 juta orang penganggur terbuka, sebagian besarnya berada di wilayah perkotaan. Jumlah penganggur di daerah perkotaan saat ini tercatat sebanyak 5,2 juta (64%), berarti lebih besar dibandingkan dengan jumlah penganggur terbuka di wilayah pedesaan yaitu berjumlah sekitar 2,9 juta (36%) (Ditbinsuslat, 2012: 1). Salah satu penyebab tingginya angka pengangguran terbuka lebih besar di wilayah perkotaan adalah terjadinya kompetisi dalam memasuki lapangan kerja. Peningkatan jumlah pengangguran tersebut terjadi karena masih lemahnya kemampuan dalam pemberdayaan potensi lokal oleh penduduk di wilayah pedesaan yang menyebabkan angka urbanisasi meningkat, sehingga menyebabkan terjadinya penumpukan angka pengangguran terbuka di wilayah perkotaan. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa peran pendidikan nonformal dirasa sangat penting dalam rangka menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas di masa depan. Salah satu bentuk upaya nyata dalam mengentaskan masyarakat dari problematika

tersebut adalah dengan memberikan Pendidikan Kecakapan Hidup untuk menanamkan sikap kemandirian pada masyarakat, terutama dalam bidang ekonomi sehingga masyarakat dapat secara mandiri mencari dan memenuhi kebutuhan mereka baik dari segi sandang, papan, dan pangan tanpa bergantung dengan orang lain dan bahkan mampu menciptakan peluang usaha sendiri. Terlebih dengan adanya sumber daya yang ada di sekitar masyarkat yang begitu melimpah, sehingga masyarakat diharapkan mampu mengelola segala potensi sumber daya alam yang ada. METODE Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005:135) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dalam upaya menemukan fakta dan data secara ilmiah yang melandasi penelitian, peneliti menetapkan untuk menggunakan metode kualitatif deskriptif, karena penelitian deskriptif adalah penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, mengenai sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ngabab Kecamatan Pujon Kabupaten Malang. Target/Subjek Penelitian Dalam penelitian ini subyek penelitian terdiri atas informan utama yaitu warga masyarakat yang mengikuti program pendidikan kecakapan hidup yang berjumlah 30 orang, ketua penyelenggara, serta Narasumber Teknis (NST) yang memberikan pembelajaran atau pelatihan vokasi di desa Ngabab. Sedangkan data sekunder atau informan pendukung adalah orang yang sekiranya dapat melengkapi data dalam penelitian ini seperti Kepala Desa Ngabab, buku pedoman penyelenggaraan program PKH serta tokoh masyarakat yang ada di sekitar Desa Ngabab Kecamatan Pujon

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 158 Rezka Arina Rahma

Data, Instrumen, dan Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara terhadap sumber data primer yang terdiri dari Penyelenggara program pendidikan kecakapan hidup, Narasumber Teknis (NST), serta peserta didik program pendidikan kecakapan hidup. sedangkan data sekunder diperoleh dari informasi tokoh masyarakat. Selain itu peneliti juga melakukan observasi dengan mengamati kegiatan sehari-hari masyarakat dalam menjalankan usaha. Serta melakukan dokumentasi dengan mengambil gambar, video maupun data-data tertulis untuk mendukung hasil penelitian. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan melalui koleksi data, reduksi data (membuat ringkasan kontak, pengkodean dan pemilahan data temuan penelitian) kemudian disajikan dalam bentuk kalimat penjelasan, tabel dan bagan (display data), setelah itu diverifikasi untuk menemukan fakta / makna dari data yang diperoleh. Sedangkan untuk kebasahan data dilakukan melaui uji kredibiltas dengan menggunakan triangulasi dan member checks, kemudian diuji secaradependabilitas dan konfirmabilitas oleh pembimbing, kemudian dengan transferabilitas untuk mengetahui apakah penelitian ini dapat ditranfer atau diaplikasikan di tempat lain. HASIL DAN PEMBAHASAN Desa Ngabab pada dasarnya memiliki kekayaan alam yang melimpah namun tidak didukung dengan SDM masyarakat yang memadai. Mayoritas penduduknya adalah sebagai petani, hasil produksi pertanian yang yang banyak dihasilkan masyarakat adalah sayur mayur. Bahkan Desa Ngabab tercatat sebagai penghasil sayur mayur terbesar di Kabupaten Malang. Selain itu dari segi peternakan, setiap hari para peternak sapi mampu menghasilkan 12000 liter atau 12 ton susu yang kemudian disetorkan kepada Koperasi SAE, Koperasi susu terbesar se-Asia Tenggara.Sehingga perlu untuk menanamkan pengetahuan serta keterampilan untuk mengelola SDA yang ada. Penyelenggaraan program pendidikan kecakapan hidup merupakan upaya nyata untuk mendidik dan melatih warga masyarakat di daerah perkotaan dan/atau pedesaan agar

menguasai keterampilan fungsional praktis yang dapat dimanfaatkan untuk belajar baik di sector formal maupun informal sesuai dengan peluang kerja (job opportunities) yang ada, dan usaha mandiri atau membuka peluang usaha sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Kamil (2009: 30) yang mengemukakan bahwa pendidikan nonformal dalam konteks pengembangan programnya seringkali berhubungan dengan pemecahan masalah yang dialami masyarakat, terutama masalah yang berkaitan dengan kemampuan, keterampilan dan keahlian khusus yang tidak dapat ditemukan dalam konteks pendidikan persekolahan. Pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup melalui pelatihan ketrampilan yang diselenggarakan adalah pembuatan yoghurt, pembibitan wortel, dan pengemasan pupuk organik. Selain itu masyarakat mampu mengelola limbah kotoran ternak dengan memanfaatkannya menjadi biogas. Pelaksanaan model pembuatan biogas ini mendapat respon positif dari masyarakat mengingat terjadinya kelangkaan gas LPG sehingga mengakibatkan tingginya harga gas LPG. Oleh sebab itu pembuatan digester di Desa Ngabab meningkat, bahkan hingga saat ini jumlah digester yang ada di Desa Ngabab sudah mencapai 168 buah. Melihat keberhasilan pelaksanaan kegiatan tersebut membuat BP PAUDNI berusaha untuk terus mengembangkan Desa Ngabab menjadi kawasan yang memiliki sentra bermacammacam keterampilan mengingat melimpahnya potensi desa yang tidak hanya dari segi peternakan melainkan juga pertanian. Jika dicermati secara analisis teori strukturasi Giddens, perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Desa Ngabab ini seyognyanya tidak terbentuk dengan sendirinya atau BottomUp melainkan bersifat Top Down atau dengan kata lain by design oleh para aktor baik oleh kepala instansi Pemerintah maupun tokoh yang disegani masyarakat yang dalam hal ini adalah Kepala Desa Ngabab. Proses perubahan sosial ini selain ditentukan oleh aktor-aktor, struktur juga turut mendukung proses perubahan sosial yang terjadi di Desa Ngabab. Aturan-aturan serta sumberdaya yang ada pada program PKH beperan aktif dalam membentuk wajah baru bagi Desa Ngabab. Sehingga dapat dikatakan dalam analisis teori strukturasi ini terbangun karena adanya interaksi antara agen (tokoh) dan struktur dalam suatu praktik sosial yang terjadi secara terus menerus hingga menjadi sebuah kebiasaan atau rutinitas

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal- 159 Rezka Arina Rahma

dan direproduksi (Gidden, 1984).

dalam

kehidupan

sosial

Pendidikan kecakapan hidup dalam mewujudkan kemandirian ekonomi msyarakat Manfaat PKH bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat dapat dilihat dari beberapa aspek seperti pendidikan, sosial, ekonomi, serta budaya bagi masyarakat. berikut manfaat yang diberikan program PKH 1.Terbangunnya mindset / perubahan pola pikir masyarakat terhadap cara berperilaku. Menurut pendapat Sudjana, pendidikan khususnya pendidikan nonformal mempunyai peran untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan nilai-nilai. Sejalan dengan pendapat tersebut, adanya program PKH telah mampu memberikan pengetahuan serta membentuk sikap dan cara berperilaku peserta didik dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Perubahan perilaku masyarakat tercermin dari hilangnya kebiasaan membuang kotoran sapi ke selokan yang akhirnya bermuara ke sungai dengan membuangnya ke lubang galian atau digester biogas.Selain itu juga kebiasaan masyarakat yang sering menebang pohon di hutan untuk dijadikan kayu bakar sudah mulai ditinggalkan mengingat masyarakat telah terampil menggunakan kompor biogas.Selain itu limbah biogas (slurry) yang sudah tidak berbau dapat dimanfaatkan menjadi pupuk baik digunakan secara langsung menaburkan ke tanaman maupun dikemas dan diperjual belikan. 2.Terbangunnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan, Kebutuhan akan peningkatan penguasaan ilmu dan teknologi pada masa sekarang semakin dirasakan seiring dengan semakin meluas dan semakin rasionalnya hubungan-hubungan manusia dalam tatanan global masyarakat modern. Kamil (2010: 1) menyatakan bahwa individu-individu semakin membutuhkan wawasan-wawasan dan penguasaan keterampilan-keterampilan baru atau tambahan bagi penyesuaian dengan tuntutan dunia kerja, peningkatan karier, atau

aktualisasi diri di masyarakat. Adanya program PKH dengan berbagai pelatihan lifeskill memberikan banyak pengetahuan dan perubahan perilaku masyarakat, hal ini semakin berkembang hingga akhirnya membentuk kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan nonformal. Kesadaran tersebut dapat dilihat dari kepeduliannya untuk mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Al Mubarok dengan program lifeskill pupuk organik, biogas, dan TPA.Adanya PKBM ini berpotensi untuk diikuti program-program PNF lainnya seperti PAUD, Kesetaraan, dan Keaksaraan. 3.Adanya peningkatan ekonomi Program PKH telah berjalan sesuai dengan tujuan yaitu untuk meningkatkan produktifitas ekonomi serta kesejahteraan masyarakat melalui berbagai pendidikan keterampilan dan pelatihan yang ada di dalam program PKH baik berupa produk maupun jasa. Pendidikan nonformal membelajarkan warga belajar agar memiliki ketrampilan sehingga mereka mampu meningkatkan dan memanfaatkan sumberdaya alam guna meningkatkan taraf hidupnya.Menurut pendapat Anwar (2004: 20) mengatakan bahwa pendidikan kecakapan hidup memberikan bekal keterampilan yang praktis, terpakai, terkait, dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi dan industri yang ada di masyarakat. Hal ini tercermin dari kemampuan masyrakat memanfaatkan limbah kotoran menjadi biogas dapat menekan anggaran belanja masyarakat untuk membeli gas LPG, sehingga alokasi anggaran tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok lainnya atau bahkan ditabung untuk mengantisipasi kebutuhan yang mendadak. Selain itu dari hasil ketrampilan lainnya masyarakat dapat memproduksi yoghurt, benih wortel, dan pupuk organik yang bisa dijual agar memiliki keuntungan atau peningkatan pendapatan. Sedangkan dari segi jasa, masyarakat yang mengikuti program PKH telah sering diminta tetangganya untuk membuat digester.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 160 Rezka Arina Rahma

Bahkan beberapa peserta pelatihan keterampilan diantaranya sudah menjadi tenaga tekhnis khusus pembuatan digester biogas di kecamatan Pujon bersama Koperasi SAE dalam program Biru yang diselenggarakan oleh PT. Nestle dan HIVOS. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Penyelenggaraan program PKH di Desa Ngabab telah berjalan efektif dimana keseluruhan unsure dan komponen telah dilaksanakan secara sinergi sehingga mampu memberikan peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan bagi masyarakat untuk menunjang kemandirian ekonomi masyarakat. Saran Mengingat proses perubahan dan pembangunan masyarakat tidak dalam waktu yang singkat, perlu adanya pendampingan yang maksimal dari lembaga atau pemerintah daerah dalam menjaga kelestarian program PKH tersebut.

Patria, Nezar. 1999. Antonio Gramsci: Negara & Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kamil, Mustofa. 2009. Pendidikan Non Formal. Bandung: Alfabeta. Kamil, Mustofa.2010. Model Pendidikan dan Pelatihan (Konsep dan Aplikasi). Bandung: Alfabeta. Marzuki, Saleh. 2010. Pendidikan Nonformal: Dimensi dalam Keaksaraan Fungsional, Pelatihan, dan Andragogi. Bandung: Remaja Rosdakarya Moedzakir, Djauzi. 2013. Pendidikan Luar Sekolah: Revitalisasi Konsep. Malang: Aditya Media Publishing. Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Santoso, dkk. 2010. Model Pengembangan Desa Vokasi Melalui Pemberdayaan Sentra Vokasi Berbasis Pada Potensi Unggulan Lokal. Surabaya: BPPNFI Regional IV Sudjana, Djuju. 2004. Pendidikan Non Formal: Wawasan, Sejarah Perkembangan, Filsafat & Teori Pendukung, serta asas. Bandung: Falah Production PROFIL SINGKAT

DAFTAR PUSTAKA Anwar. 2004. Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education). Bandung: CV Alfabeta. Giddens, A. 1984. The Constitution of SocietyOutline of The Theory of Structuration. Polity Press

Penulis adalah asisten dosen di Jurusan Pendidikan Nonformal Universitas Negeri Surabaya yang lahir di Ponorogo, 31 Maret 1991. Pendidikan yang di tempuh yaitu S1 PLS Unesa lulus tahun 2013 dan S2 PLS Unesa lulus tahun 2015.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS KEWIRAUSAHAAN DALAM MENIINGKATKAN KECAKAPAN HIDUP Lilis Karwati Universitas Siliwangi Tasikmalaya Lilis.karwati03@gmail.com

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang pemberdayaan masyarakat berbasis kewirausahaan dan dampak hasil pelatihan keterampilan dalam meningkatkan kecakapan hidup. dilakukan pada masyarakat Cikoneng kabupaten Ciamis pada bulan januari-April 2016. Metode yang digunakan adalah deskriftif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah Masyarakat yang ada di kecamatan Cikoneng yang berasal dari latar belakang masyarakat kurang mampu secara ekonomi. Jumlah populasi yang diambil sebanyak 904 orang, dijadikan sampel penelitian berjumlah 32 orang. Berdasarkan hasil penelitian maka penulis menarik kesimpulan : 1) Penerapan aspek kewirausahaan sebagai kontribusi dari hasil pemberdayaan melalui pembelajaran pelatihan dalam meningkatkan kemampuan usaha dapat diterapkan oleh masyarakat cikoneng. 2) Menghasilkan dampak yang positif pada masyarakat dengan mengembangkan keterampilan yang dimilikinya dalam meningkatkan kecakapan hidup. Kata kunci : Pemberdayaan, kewirausahaan dan kecakapan hidup.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 162 Lilis Karwati A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu aspek penunjang suksesnya program pembangunan nasional, karena pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. peran pendidikan non formal adalah menyelenggarakan pendidikan kecakapan hidup memberi kesempatan memberdayakan masyarakat agar memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan menumbuh kembangkan sikap mental, kreatif, inovatif, bertanggung jawab serta berani menanggung resiko yang dapat dijadikan bekal untuk bekerja atau bewirausaha dalam upaya meningkatkan kualitas hidupnya.Basrowi (2011 :4 ) Wirausaha adalah pelaku kewirausahaan yang memiliki kreatifitas dan inovatif sehingga mampu menggali dan menemukan peluang usaha.Salah satu program pendidikan non formal melaksanakan pelatihan yang diintegrasikan kedalam pendidikan keterampilan. yang bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu sumber daya manusia, selanjutnya menurut Anwar ( 2003: 50) bahawa “Pelatihan adalah pendidikan singkat yang prosedural, sistimatis, dan terorganisir berupa pemberian pengetahuan personal non teknis dan keterampilan untuk tujuan tertentu” . Masih banyaknya kendala dalam melaksanakan program pelatihan diantaranya kurangnya memahami tentang proses pembelajaran pelatihan, rendahnya keinginan untuk menambah pengetahuan, wawasan wirausaha, kreativitas peserta belum mampu memanfaatkan peluang usaha tentang keterampilan yang diselenggarakan untuk meningkatkan kegiatan usaha.. upaya yang dilakukan oleh pemerintah atau lembaga lembaga pendidikan nonformal. sebagai upaya untuk membekali keterampilan fungsional, terutama untuk kesiapan bekerja maupun mengembangkan usaha mandiri sekaligus memanfaatkan peluang yang dimiliki oleh masyaarakat sehingga mampu mengimplementasikan dalam kehidupan. dikemukakan oleh Sudjana (2004:37) yaitu “ Hasil Pelatihan adalah keluaran (output) dari pelatihan. Keluaran (output) yaitu kuantitas lulusan yang desertai kualitas perubahan tingkah laku yang didapat melalui kegiatan belajar, perubahan tingkah laku mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotor yang sesuai dengan kebutuhan belajar yang mereka perlukan dapat membangkitkan minat membuka usaha

mandiri sebagai wujud implementasi hasil pelatihan untuk mengembang- kan potensi yang dimiliki oleh masyarakat. Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan diatas maka penulis merumuskan permasalahan penelitian ini adalah:”Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat berbasis kewirausahaan dalam meningkatkan kecakapan hidup .(Studi pada masyarakat Cikoneng Ciamis)”. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah , maka kajiaan ini bertujuan untuk : Untuk memperoleh data dan informasi tentang pelaksanaan pemberdayaan masyarakat berbasis kewirausahaan dalam meningkatkan kecakapan hidup. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Mengetahui data dan informasi tentang pelaksanaan pemberdayaan masyarakat berbasis kewirausahaan dalam meningkatkan kecakapan hidup. B. Kajian Pustaka Konsep Pemberdayaan Masyarakat Mewujudkan masyarakat pembelajar adalah juga proses pemberdayaan yang harus menerus dilakukan. Kegiatan pengembangan masyarakat ini difokuskan pada upaya menolong orangorang lemah yang memiliki minat untuk bekerja sama dalam kelompok, melakukan identifikasi terhadap kebutuhan, dan melakukan kegiatan bersama untuk memenui kebutuhan mereka. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat Dalam kajian teori ini akan disajikan beberapa pengertian Pemberdayaan atau sering disebut empowering, menurut Suryadi (2009:24) bahwa : Secara umum pemberdayaan masyarakat merupakan konsep yang berasal dari kata empowerment sebagai bentuk kata dari kata power yang bermakna sebagai “daya”. Daya dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam, tetapi dapat diperkuat dengan unsur-unsur penguatan yang diserap dari luar.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 163 Lilis Karwati Pemberdayaan itu sendiri menurut Zubaedi (2007:62) berarti menyediakan sumber daya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan dalam rangka meningkatkan kemampuan warga miskin untuk mementukan masa depannya sendiri dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakatnya. Menurut Kartasasmita (1997) dalam (Hartiaji, 2005:2003) ciri-ciri penduduk miskin (tidak berdaya) adalah sebagai berikut : a. Tingkat pendidikan dan pembimbingan yang rendah b. Jumlah anggota rumah tangga yang besar c. Sumber penghasilan utama dari kegiatan pertanian Pengertian pemberdayaan masyarakat sebenarnya mengacu kata “empowerment� yaitu mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki masyarakat. dalam pembinaan kecakapan hidup/life skills adalah penekanan pada pentingnya pemberdayaan yang mandiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri. Kesimpulan diatas mengungkapkan bahwa Pendidikan Luar Sekolah sebagai proses empowering adalah suatu pendekatan pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan pengertian dan pengendalian warga belajar terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan atau politik sehingga warga belajar mampu untuk meningkatkan taraf hidupnya dalam masyarakat, mellalui proses yang perlu (1) melatih tingkat kepekaan yang tinggi terhadap berbagai aspek perkembangan sosial, ekonomi dan politik selama proses pembelajaran (2) mempelajari berbagai macam keterampilan untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah yang dihadapi bersama (Sudjana, 1993:63). Kamil (2007: 151) Pelatihan sebagai proses pemberdayaan dan pembelajaran,artinya anggota masyarakat harus mempelajari sesuatu guna meningkatkan kemampuan keterampilan dan tingkah laku dalam pekerjaan dan kehidupan sehari hari dalam menopang ekonominya (pendapatan). pemberdayaan adalah proses pembangunan di masyarakat yang berinisiatif

untuk memulai kegiatan yang menghasilkan barang/jasa sehingga dapat mengembangkan segala potensi yang ada disekitar kehidupan masyarakat, agar masyarakat memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan dan memperbaiki taraf hidupnya. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Strategi dasar dalam pemberdayaan (pendekatan pelayanan masyarakat/ community Service Approach) pada umumnya dilandasi pada upaya mengoptimalkan fungsi manajemen Pendidikan Luar Sekolah. Kindervatter (1979:49) dalam Kamil, (2007:37) menjelaskan bahwa ada lima strategi pendekatan yang ditempuh dalam melaksanakan proses pemberdayaan yaitu: Needs Oriented, ialah pendekatan yang didasarkan kepada kebutuhan masyarakat, Endogenous, ialah pendekatan dengan cara menggunakan dan menggali apa yang dimiliki oleh masyarakat setempat, Self Reliant, ialah sikap yang perlu diciptakan pada setiap orang atau setiap warga belajar agar percaya diri atau memiliki sikap mandiri dan Ecologically Sound, ialah suatu pendekatan yang memperhatikan dan mempertimbangkan aspek lingkungan. Konsep Kewirausahaan Pengertian Kewirausahaan Melihat fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, Wirausaha sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan negara sebagaimana di kemukakan oleh kartawan (2010: 30) alasan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang memmilh pprofesi sebagai wiraiusaha ,antara lain : Bagian dari ibadah, perubahan paradigma, tingginya pengangguran, untuk mewujudkan impian,memperoleh kebebasan finansial, tren kekuasaan, ingin kaya, ingin menjadi bos, kepepet. Pada awalnya kewirausahaan dijumpai dalam dunia bisnis, akan tetapi akhir-akhir ini berkembang dalam berbagai aspek kehidupan. Suryana (2006: 2) mendefinisikan kewirausahaan (enterpreneurship) adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 164 Lilis Karwati peluang menuju sukses. Inti dari kewirausahaan menurut Drucker dalam Suryana (2006: 2) adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda melalui pemikiran kreatif dan tindakan inovatif demi terciptanya peluang. Sedangkan menurut Zimmerer dalam Kamil (2012:119) mendefinisikan kewirausahaan adalah penerapan kreativitas dan keinovasian untuk memecahkan permasalahan dan upaya memanfaatkan peluang yang dihadapi setiap hari, dengan demikian kewirausahaan adalah gabungan kreativitas, keinovasian, dan keberanian menghadapi risiko yang dilakukan dengan cara kerja keras untuk membentuk dan memelihara usaha baru. Karakteristik Kewirausahaan Kewirausahaan merupakan kegiatan yang menuntut karakteristik tertentu dari pelakunya dan kegiatan untuk melakukan usaha tersebut. Geoffrey dalam Suryana (2006:24) memaparkan karakteristik dan watak kewirausahaan sebagai berikut: Tabel. 1 Karakteristik dan Watak Kemandirian Karakteristik Percaya diri dan Optimis

Watak Memiliki kepercayaan diri yang kuat, mempercayai kemampuan dirinya untuk mengatasi masalah tersebut.

Berorientasi pada tugas dan hasil

Kebutuhan untuk berprestasi, berorientasi laba, mempunyai dorongan yang kuat, energik, tekun dan tabah, tekad kerja keras, serta inisiatif; Mampu mengambil resiko yang wajar dan menyukai tantangan;

Berani mengambil resiko dan menyukai tantangan Kepemimpinan

Keorsinilan Berorientasi kepada masa depan

Berjiwa kepemimpinan, mudah beradaptasi dengan orang lain dan terbuka terhadap saran dan kritik; Inovatif, kreatif, dan fleksibel Memiliki Visi dan Perspektif terhadap masa depan

Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills) Pengertian Pendidikan Kecakapan Hidup Istilah Kecakapan Hidup (life skills) diartikan sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan penghidupan secara wajar tanpa merasa tertekan,

kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya (Dirjen PLSP, Direktorat Tenaga Teknis, 2003). Indikator-indikator yang terkandung dalam life skills tersebut secara konseptual dikelompokkan : (1) Kecakapan mengenal diri (self awarness) atau sering juga disebut kemampuan personal (personal skills) (2) Kecakapan berfikir rasional (thinking skills) atau kecakapan akademik (akademik skills) (3) Kecakapan sosial (social skills) (4) Kecakapan vokasional (vocational skills) sering juga disebut dengan keterampilan kejuruan artinya keterampilan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu dan bersifat spesifik (spesifik skills) atau keterampilan teknis (technical skills). Menurut Jecques Delor mengatakan bahwa pada dasarnya program life skills ini berpegang pada empat pilar pembelajaran yaitu sebagai berikut : a. Learning to know (belajar untuk memperoleh pengetahuan) b. Learning to do (belajar untuk dapat berbuat /bekerja) c. Learning to be (belajar untuk menjadi orang yang berguna) d. Learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain) Penulis mengemukakan, perlunya life skills sampai kepada hasil yang dikeluarkan (by product) agar life skills betul-betul dapat dimanfaatkan kegunaannya oleh semua pihak. Pembahasan Hasil Penelitian Pada bagian ini, mengenai pembahasan hasil pengolahan data penelitian membahas hasil penelitian dan akan dibandingkan dengan teoriteori yang menjadi landasan dalam pelaksanaan penelitian. Pemberdayaan masyarakat berbasis kewirausahaan dalam meningkatkan kecakapan hidup Perencanaan Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa pada tahap “Perencanaan pelaksanaan pelatihan berbasisi kewiraiusahaan pihak penyelenggara melakukan identifikasi kebutuhan belajar masyarakat, perumusan tujuan, didasarkan atas kebutuhan dari dunia usaha yang


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 165 Lilis Karwati membutuhkan tenaga kerja terampil agar dapat membantu pendapatan keluarga. Tujuan diadakannya pelatihan keterampilan, untuk meningkatkan kemampuan berwirausaha guna untuk bekerja dan berwirausaha. Dan terakhir pada tahap perencanaan adalah menyusun program pelatihan. Pelaksanaan Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa pada tahap “Pelaksanaan pelatihan Bernbasis kewirauusahaan untuk pelaksanaan pelatihan yang terlihat dari sumber belajar/tutor, tempat ruang belajar, alat dan bahan yang lengkap .Sumber belajar / tutor telah memberikan materi baik teori maupun praktek sudah disampaikan sesuai dengan kurikulum dan modul yang telah disusun dan juga telah dibagikan kepada peserta pelatihan sebelumnya. Materi yang diberikan adalah mengenai materi kewirausahaan, praktek dan teori Menyulam Payet Mute dengan menggunakan metode orang dewasa (andragogy). Evaluasi Dari hasil wawancara dapat, pada tahap evaluasi, /Fasilitator sangat berperan dalam menilai/mengevaluasi hasil pelatihan Berbasis kewirausahaan pada masyarakat Cikoneng berkoordinasi dengan dinas setempat, dan didukung oleh penyelenggara/pengelola. Peran lain penilik adalah memonitoring selama berlangsung kegiatan pelatihan. Dampak Hasil Pelatihan Berbasis kewirausahaan dalam meningkatkan kecakapan hidup Melalui pelatihan Berbasis kewirausahaan dalam meningkatkan Kecakapan Hidup dapat mengahsilkan dampak yang positif dengan mengembangkan keterampilan Menyulam Payet Mute dan menjadi wirausaha yang mandiri dan harus memiliki sikap wirausaha sebagai berikut: Percaya Diri Kepercayaan diri merupakan sautu panduan sikap dan keyakinan seseorang dalam menghadapi tugas atau pekerjaan, Soesarsono (1988:33). Dalam praktik sikap dan kepercayaan ini merupakan sikap dan keyakinan untuk memulai, melakukan dan menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan yang dihadapi.optimisme dan keberanian mengambil resiko dalam menghadapi suatu tantangan dipengaruhi oleh kepercayaan sendiri.

Berorientasi tugas dan hasil

Seseorang yang selalu mengutamakan tugas dan hasil adalah orang yang selalu mengutamakan nilai-nilai motif berprestasi, berorientasi pada laba, ketekunan dan ketabahan, tekad kerja keras, mempunyai dorongan kuat, motivasi, energik dan berinisiatif, Berinisiatif artinya selalu ingin mencari dan memulai Suprapto (2010:214). Dalam kewirausahaan, peluang hanya diperoleh apabila ada inisiatif pengembangannya diperoleh dengan cara disiplin diri, berpikir kritis, tanggapan bergairah dan semangat berprestasi. Keberanian mengambil resiko Kemauan dan kemampuan untuk mengambil resiko merupakan salah satu nilai utama dalam kewirausahaan. Wirausaha yang tidak mau mengambil risiko akan sukar berinisiatif. Dalam situasi risiko dan ketidak pastian inilah wirausaha mengambil keputusan yang mengandung potensi kegagalan atau keberhasilan. Meredith (1996:38), ada dua alternatif atau lebih yang harus dipilih yaitu alternatif yang mengandung risiko dan alternatif konservatif. Pilihan terhadap risiko ini sangat tergantung pada sebagia berikut: Daya tarik dari setiaf alternatif Kesediaan untuk rugi Kemungkinan relatif untuk sukses atau gagal. Selanjtunya untuk mengambil risiko ditentukan oleh sebagia berikut: Keyakinan pada diri sendiri Kesediaan untuk menggunakan kemampuan dalam mencari peluang dan kemungkinan untuk memperoleh keuntungan Kemampuan untuk menilai situasi secara realitis. Diatas dikemukakan, bahwa pengambil risiko berkaitan dengan kepercayaan diri sendiri, artinya semakin besar keyakinan sesorang pada kemampuan sendiri,. Meredith (1999:39). Jadi pengambilan resiko lebih menyukai tantangan dan peluang. Oleh sebab itu, pengambilan risiko ditemukan pada orang-orang yang inovatif dan kreatif merupakan bagian terpenting dari perilaku kewirausahaan. C. Kesimpulan Kesimpulan dan rekomendasi mengenai keseluruhan hasil penelitianPemberdayaan masyarakat berbasis kewirausahaan dalam meningkatkan kecakapan hidup (Pada masyarakat Kecamatan Cikoneng Kabupaten Ciamis). Pada tahap perencanaan pelaksanaan pelatihan Berbasis kewirausahaan penyelenggara


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 166 Lilis Karwati melakukan identifikasi kebutuhan belajar masyarakat, perumusan tujuan, didasarkan atas kebutuhan masyarakat dilihat dari dunia usaha untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan pada masyarakat, untuk meningkatkan kemampuan berwirausaha guna untuk bekerja dan berwirausaha. Dan terakhir pada tahap perencanaan adalah menyusun program pelatihan. Untuk tahap pelaksanaan pelatihan berbasisi kewirausahaan dalam meningkatkan kecakapan hidup, dalam tahap perencanaan, sarana dan prasarana telah memadai untuk pelaksanaan pelatihan yang terlihat dari sumber belajar/tutor, tempat ruang belajar, alat dan bahan yang lengkap. Sumber belajar / tutor telah memberikan materi baik teori maupun praktek sudah disampaikan sesuai dengan kurikulum dan modul yang telah disusun dan juga telah dibagikan kepada peserta pelatihan sebelumnya. Materi yang diberikan adalah mengenai materi kewirausahaan, dengan menggunakan metode orang dewasa (andragogy). Evaluasi atau penilaian hasil pelatihan dilakukan oleh Penyelenggara, sumber belajar/Tutor dan melibatkan peserta pelatihan. Evaluasi dilakukan dengan cara diskusi dengan peserta didik dan penyelenggara, yaitu penilaian keterampilan berbasis wirausaha dalam meningkatkan kecakapan hidup dengan menggunakan analisis produk teori dan praktek berupa demontrasi, sedangkan alat evaluasi mengacu pada kurikulum dan modul yang telah disusun sebelumnya. Hasil pemberdayaan mayarakat berbasis kewirausahaan dalam meningkatkan kecakapan hidup Memiliki rasa percaya diri, karena kepercayaan diri memiliki nilai keyakinan dan tidak ketergantungan. Kepercayaan diri ini bersifat internal pribadi seseorang yang sangat relatif dan dinamis, dan banyak ditentukan oleh kemampuan untuk memulai, melaksanakan dan menyelesaikan suatu pekerjaan Implementasi dari upaya mengembangkan kecakaan hidup dalam berwirausaha

masyarakat menerapkan dengan cara “ Berorientasi tugas dan hasil�. diperkuat dengan niat dan tekad yang kuat, serta karsa yang besar, karena dalam kewirausahaan, peluang hanya diperoleh apabila ada inisiatif. dengan cara disiplin diri, berpikir kritis, tanggapan bergairah dan semangat untuk berprestasi D. DAFTAR PUSTAKA Alma,B. (2010) Kewirausahaan untuk majhasiswa dan umum .Bandung :ALFABETA Anwar. (2012) Pendidikan Kecakapan Hidup. Bandung: Alfabet Arikunto, S. (2010). Dasar – dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Atmodiwirio, S. 2002. Manajemen Pelatihan. Jakata : Ardadizya Jaya. Basrowi.(2011).Kewirausahaan untuk Perguruan Tinggi.Bogor : Ghalia Indonesia Carlos W. Moore, dkk. 2000. Kewirausahaan Manajemen Usaha Kecil, Jakarta: Salemba Empat. Hal 9-10 Faisal, S (2007). Format-format Penelitian Sosial: Dasar-dasar dan Aplikasi. Jakarta: CV Rajawali. Irianto, J. (2001). Prinsip-Prinsip Dasar Manajemen Pelatihan. Jatim : Insan Cendekia Kartika, I. (2011). Mengolah PelatihanPartisipatif. Bandung: Alfabeta Kamil, M. (2010). Model Pendidikan dan pelatihan (Konsep dan Aplikasi) Bandung: Alfabeta Kamil, M. (2009). Mengembangkan Pendidikan Nonformal Melalui PKBM Di Indonesia (Sebuah Pembelajaran Dari Kominkan Di Jepang). Criced University of Tsukuba. Kartawan ,(2010).Kewirausahaan untuk para calon entreprener.Bandung : Guardaya intimarta Kasmir, (2006). Kewirausahaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Lambing Peggy, Charles R. Kuehl. 2002. Entrepreneurship. New Jersey: Prentice Hall, Inc Hal 19-20 Moleong J, Lexy. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya. Nazir, M. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: Balai Pustaka Prijono, O. (1996). Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta : Centre For Strategic and International Studies.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 167 Lilis Karwati Rini Hidayaningrum (1994) Meningkatkan Motivasi Kursus. Bandung: IKIP Sudjana, D. (2000). Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Falah. Sudjana, D. (2004). Manajemen Program Pendidikan. Bandung: Falah. Sudjana, D. (2007). Sistem dan Manajemen Pelatihan, Teori dan Aplikasi, Bandung: Falah. Production Sudjana, D (2008) Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah. Bandung PT. Remaja Rosdakarya Sugiyono, (2009), Metode Penelitian Pendidikan, Bandung : Alfabeta Suryadi, Ace. (2009). Mewujudkan Masyarakat Pembelajar. Bandung : Widya Aksara Press. Suryana. 2006. Kewirausahaan Pedoman Praktis: Kias dan Proses Menuju Sukses.Jakarta: Salemba Empat. Suhardi, Y .(2011).Kewirausahaan.Bogor :Ghalia Indonesia Winarno Surakhmad, (2006), Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode Teknik. Bandung Tarsito Literatur Kelembagaan ---------. (2002). Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill) Melalui Pendekatan Broad-Besed Education (Draft). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. ---------. (2002). Panduan Fasilitasi 15 Langkah Pelaksanaan Program Pendidikan Kecakapan Hidup. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Direktorat Kepemudaan. ---------. (2007). Model Pengelolaan Kursus Wirausaha Desa Beorientasi Keunggulan Komparatif Lokal. Bandung : Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah. Balai pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BP-PLSP) Regional II Jayagiri. ---------. ( 2008). Pendidikan Kecakapan hidup Panduan bagi Instruktur dalam Membelajarkan Kecakapan Generik bagi Peserta Kursus Wirausaha. Bandung : Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Jendral Pendidikan Nonformal

dan Informal. Balai pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BP-PLSP) Regional II Jayagiri ---------. (2010). Pedoman Blockgrant 2010 Kursus Wirausaha desa. Jakarta : Kementrian Pendidikan Nasional. Direktorat Jendral Pendidikan Non Formal dan Informal. Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan --------. (2010). Pedoman Blockgrant 2010 Kursus Wirausaha Kota. Jakarta : Kementrian Pendidikan Nasional. Direktorat Jendral Pendidikan Non Formal dan Informal. Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan Peraturan Perundang-undanan. Penyelenggaraan Pendidikan Luar Sekolah. Peraturan Pemerintah No 73 Tahun 1991. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Cipta Jaya Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2004,Penerbit Sinar Grafika hal 52-53 Referensi Internet : Kuncoro, Onky S. (2013). Konsep Kewirausahaan dan Kemampuan Usaha. [online].

PROFIL SINGKAT Lilis Karwati lahir di Garut, 3 Oktober 1967. Menempuh Pendidikan Tinggi S1 PLS tahun 1991 dan S2 PKLH tahun 2010 di Universitas Siliwangi. Sekarang sedang melanjutkan S3 PLS di Universitas Pendidikan Indonesia. Pekerjaan dosen PLS Universitas Siliwangi Tasikmalaya.


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI KELOMPOK BELAJAR USAHA LIFE SKILL UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS HIDUP DI SANGGAR KEGIATAN BELAJAR (SKB) KOTA PAREPARE Nur Ida Dosen PLS Universitas Muhammadiyah Parepare

Abstrak Kemiskinan merupakan masalah utama yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia, termasuk di komunitas Kelurahan Lapadde, Kecamatan Soreang, Kota Parepare. Sebanyak 2.250 KK masih hidup dalam kemiskinan yang disebabkan ketiadaan atau keterbatasan dalam kepemilikan lahan, serta rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki, sehingga hanya bergantung pada satu sumber penghasilan tertentu. Kelompok Belajar Usaha Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kota Parepare merupakan salah satu wadah yang diharapkan dapat memberdayakan masyarakat dengan memberikan pelayanan keterampilan kerja sekaligus pengalaman berwiraswasta. Kajian Pemberdayaan Masyarakat Melalui Kelompok Belajar Usaha adalah Studi kasus dengan pendekatan kualitatif yang dimaksudkan untuk mengetahui berbagai permasalahan, hambatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan Kelompok Belajar Usaha dalam pemberdayaan masyarakat. Beberapa permasalahan yang dihadapi yaitu masih relatif rendahnya motivasi warga belajar, sarana dan prasarana yang kurang menunjang, dan pemasaran yang kurang berkembang di ekonomi lokal. Sedangkan faktor–faktor yang menyebabkan Kelompok Belajar Usaha kurang berkembang adalah : Jenis keterampilan yang tidak aspiratif, kurangnya kerjasama dengan kelembagaan lokal dan swasta, kualitas instruktur yang tidak profesional, dan kurangnya partisipasi atau dukungan dari masyarakat. Strategi pemecahan masalah yang ditawarkan dalam kajian ini meliputi : Program Pendidikan dan Pelatihan Menjahit dan Life Skill (membuat seserahan penganting) yang merupakan aspirasi dari warga masyarakat, Pengembangan Usaha Kelompok Belajar Usaha yang berkelanjutan, Pengembangan Usaha Mandiri dan Program Peningkatan Pelayanan Informasi SKB dan Kerjasama dengan Kelembagaan Lokal. Kata kunci: Kemiskinan, Pemberdayaan, Kelompok Belajar Usaha.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 169 Nur Ida PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang selalu menjadi isu sentral dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Meskipun kemiskinan pernah mengalami penurunan yang signifikan pada kurun waktu 1976 1996, dari 40,1% menjadi 11,3% dari total penduduk Indonesia (Huraerah, 2006), akan tetapi pasca krisis ekonomi tahun 1997, Indonesia ibarat sebuah kapal yang tenggelam. Kemiskinan di Indonesia masih tetap saja tinggi, bahkan angka kemiskinan pada dua tahun terakhir menunjukkan peningkatan, yaitu dari 35,10 juta jiwa pada tahun 2005, menjadi 39,05 juta jiwa pada tahun 2006 (BPS, 2006). Memang pertumbuhan penduduk memang dijadikan suatu faktor indikator pengukur suatu negara diklafisikasikan sebagai negara miskin, berkembang, atau negara maju. Dan ini sesuai dengan ketetapan dari Lembaga Organisasi PBB yang menangani masalah kependudukan yakni UNICEF. Bahwa pertumbuhaan penduduk menjadi salah satu indikator dari 4 indikator lainnya dalam menentukkan tingkat klasifikasikan negara tersebut indikator tersebut antara lain adalah Pendapatan perkapita, kematian bayi dan ibu melahirkan, pertumbuhan penduduk, dan angka rata-rata kelangsungan hidup.

Tabel Jumlah penduduk Indonesia terbaru Gambar tabel grafik Jumlah Penduduk Indonesia yang bersumber dari Badan Sensus Penduduk kita mengetahui bahwa pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia sangat melaju pesat. Karena pada zaman Orde Lama saja Jumlah penduduk Indonesia 97,1 juta jiwa dan pada akhir tahun 2010 jumlahnya dua kali lipat pnduduk jumlah penduduk

Indonesia semenjak kemerdekaan yakni degan jumlah 237,6 juta jiwa. Kemiskinan adalah suatu keadaan atau kondisi yang menggambarkan adanya ketimpangan antara kebutuhan dengan upaya pemenuhannya, sehingga timbul kesulitan dan kekurangan pada berbagai aspek kehidupan yang menyebabkan turunnya kualitas hidup manusia. Di wilayah perkotaan, beberapa kelompok yang termasuk dalam masyarakat miskin adalah tukang becak, pembantu rumah tangga, buruh bangunan, pedagang kaki lima dan sebagainya yang kebanyakan adalah pekerja sektor informal. Menurut Suharto (2006), setidaknya ada empat kategori kemiskinan yang ada dalam masyarakat Indonesia, yaitu : (1) kemiskinan absolut, (2) kemiskinan relatif, (3) kemiskinan kultural dan (4) kemiskinan struktural. Dalam perspektif struktural, kemiskinan yang diderita oleh segolongan masyarakat Indonesia disebabkan lemahnya struktur sosial yang ada, sehingga mereka tidak dapat ikut menggunakan sumbersumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Banyak hal yang menunjukkan bahwa, kelompok miskin sulit memanfaatkan peluang, dan kualitas sumber dayanya memang rendah. Secara ekonomis, yang tampaknya menjadi sorotan bahwa seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin adalah karena lack of resources (ketiadaan atau ketidak mampuan mengakses sumber daya) yang disebabkan kurangnya pengetahuan dan keterampilan, serta kurangnya dukungan pemerintah dan kelompok kuat (swasta), yang mana hal ini telah memudarkan spirit mereka untuk berupaya meningkatkan kesejahteraan, sehingga mereka hidup dengan sikap apatis dan putus asa yang pada gilirannya memicu munculnya berbagai permasalahan sosial. Mengatasi permasalahan ini, menurut Haraerah (2006), setidaknya terdapat empat strategi yang bisa dilakukan dalam mengatasi kemiskinan, yaitu : Pertama, karena kemiskinan bersifat multidimensional, maka program pengentasan kemiskinan seyogyanya juga diarahkan untuk mengikis nilai-nilai budaya negatif seperti apatis, apolitis, fatalistik, dan ketidakberdayaan. Kedua, untuk meningkatkan kemampuan dan mendorong produktivitas, strategi yang dipilih adalah peningkatan kemampuan dasar masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 170 Nur Ida melalui langkah perbaikan kesehatan dan pendidikan, peningkatan keterampilan usaha, teknologi, perluasan jaringan kerja (networking), serta informasi pasar. Ketiga, melibatkan masyarakat miskin dalam keseluruhan proses penanggulangankemiskinan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi,bahkan pada proses pengambilan keputusan. Keempat, strategi pemberdayaan, dimana masyarakat miskin dipandang sebagai kelompok yang mampu membangun dirinya sendiri jika pemerintah mau memberi kebebasan bagi kelompok itu untuk mengatur dirinya sendiri. Salah satu upaya pemerintah untuk memberdayakan masyarakat adalah melalui Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) “Suatu wadah berbagai pembelajaran masyarakat yang diarahkan pada pemberdayaan potensi untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi dan budaya. Pengelolaan SKB diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat (DOUM), artinya bahwa prakarsa penyelenggaraan pembelajaran diharapkan dapat tumbuh dan berkembang atas prakarsa dan kebutuhan masyarakat sendiri. Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) sebagai tempat pembelajaran masyarakat telah dirintis dan disosialisasikan pembentukannya oleh Direktorat Dikmas Ditjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknas sejak tahun 1998 sebagai respon atas meningkatnya angka anak putus sekolah serta meningkatnya jumlah penduduk miskin di Indonesia pasca krisis ekonomi. Dalam perkembangannya, SKB ternyata tidak sedikit menghadapi berbagai kendala dan hambatan. Menurut Kartika (2006), ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan di SKB yang memerlukan perhatian dari berbagai pihak terkait khususnya bagi pengelola SKB, yaitu : 1) Kurangnya sosialisasi tentang keberadaan SKB yang menyelenggarakan Program Pendidikan Kesetaraan (paket A, paket B, paket C), Keaksaraan Fungsional (KF), Kelompok Belajar Usaha (KBU) dan program lainnya; 2) Pandangan miring dari lingkungan masyarakat sekitar yang menganggap pendidikan di SKB sebagai pendidikan kelas dua yang ijazah lulusannya sekedar ”ijazah-ijazahan” dari yang bernama ”sekolah-sekolahan”,3) Kesulitan

untuk pindah ke jalur pendidikan formal bagi lulusan SKB atau PKBM paket A dan paket B, disebabkan kurangnya kemampuan pemerintah menegakkan aturan yang ada yaitu PP No. 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah (pasal 10 ayat (2) dan pasal 14 ayat (2) yang menyatakan lulusan paket A danpaket B dimungkinkan untuk pindah ke jalur pendidikan sekolah formal; 4) Terbatasnya sarana dan prasarana yang menunjang penyelenggaraan berbagai program pembelajaran di SKB atau PKBM. Berdasarkan laporan potensi Kelurahan Lapadde tahun 2006, jumlah penduduk miskin di Kelurahan Lapadde mencapai 2.250 KK atau 23, 69 % jumlah KK di Lapadde, (1.565 KK penerima BLT) dan pengangguran mencapai 6.931 orang (usia 15 – 55 tahun) atau19,48 % dari jumlah penduduk (diantaranya akibat penutupan TPA Lapadde) dan merupakan permasalahan sosial yang paling menonjol, dengan karakteristik (berdasarkan sampel yang diambil dalam kegiatan pemetaan sosial): Berpendidikan relatif rendah, bergantung pada satu sumber penghasilan tertentu, tidak memiliki keterampilan, tidak memiliki lahan untuk aktivitas ekonomi, kurang mendapatkan informasi dan tidak punya koneksi. Sedangkan anak putus sekolah di Kelurahan Lapadde pada tahun 2006 mencapai 192 anak untuk usia 7 – 12tahun, dan 132 anak untuk usia 13 - 15 tahun (Hasil Pendataan Keluarga BPMKB,2006). Tujuan Sanggar Kegiatan Belajar adalah untuk membantu kelangsungan pendidikan anak usia sekolah dari keluarga kurang mampu, serta memberikan keterampilan kerja bagi warga miskin dan pemuda sekitar yang tidak memiliki pekerjaan. Sanggar Kegiatan Belajar telah menyelenggarakan berbagai program pemberdayaan masyarakat, yaitu : Program Pendidikan Kesetaraan (Paket B dan Paket C), Program Keaksaraan Fungsional (KF), Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Program Kelompok Belajar Usaha(KBU) yang meliputi keterampilan membuat sapu ijuk, keterampilan assesoris penganting, keterampilan membuat makanan ringan, keterampilan elektro dan keterampilan membuat spare part motor yang diikuti pemuda dari Karang Taruna dan warga sekitar. Rumusan Masalah:


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 171 Nur Ida Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis menetapkan rumusan masalah kajian sebagai berikut :1. Apa saja permasalahan yang dihadapi SKB kota Parepare dalam pengelolaan KBU? 2. Faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi kekurangberhasilan SKB kota Parepare? 3. Apa saja hambatan dan permasalahan yang dihadapi warga belajar dalam mengembangkan usaha ekonomi produktifnya setelah mendapatkan keterampilan di SKB kota Parepare? 4. Strategi apa yang dapat dikembangkan KBU SKB kota Parepare dalam upaya pemberdayaan masyarakat? Tujuan Kajian: Tujuan dari kajian atau penelitian ini adalah :1. Mengetahui permasalahan yang dihadapi KBU SKB kota Parepare; 2. Mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi kekurangberhasilan SKB kota Parepare; 3. Mengetahui hambatan dan permasalahan warga belajar yang telah mendapatkan keterampilan di KBU SKB dalam mengembangkan usaha ekonomi produktifnya; 4. Merumuskan strategi pengembangan KBU SKB kota Parepare dimasa yang akan datang. TINJAUAN PUSTAKA Pemberdayaan Masyarakat: Seiring dengan semangat otonomi daerah, paradigma pembangunan diIndonesia telah mengalami pergeseran yang semula berorientasi pada produksi (product centered development), kini beralih pada pembangunan yang berorientasipada manusia(people centered development). Korten dan Carner (1993) dalamHikmat (2006) menyatakan bahwa konsep pembangunan yang berpusat padarakyat memandang inisiatif dan kreatifitas dari rakyat sebagai sumber dayapembangunan yang paling utama dan memandang kesejahteraan material danspiritual mereka sebagai tujuan yang hendak dicapai dalam pembangunan tersebut.Selanjutnya, ada tiga tema penting menurut Korten dan Carner yang dianggapsangat menentukan dalam konsep perencanaan pembangunan yang berpusat padarakyat, yaitu : Penekanan pada dukungan dan pembangunan usaha-usaha swadayakaum miskin untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri.2. Kesadaran bahwa meskipun sektor modern adalah

sumber utama bagipertumbuhan ekonomi yang konvensional, akan tetapi sektor tradisionalmenjadi sumber utama bagi kehidupan sebagaian besar rumah tanggamiskin.3. Kebutuhan adanya kemampuan kelembagaan yang baru dalam usahamembangun kemampuan para penerima bantuan yang miskin demipengelolaan yang produktif dan swadaya berdasarkan sumber-sumber daya lokal, Hikmat (2006). Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka pendekatan pemberdayaanmasyarakat semakin sangat diperlukan dalam pembangunan Indonesia dewasa ini.Pembangunan masyarakat melalui pendekatan pemberdayaan masyarakatdipandang sangat penting dengan pertimbangan-pertimbangan sebagaimanadiungkapkan oleh Hikmat (2006). Masyarakat yang sehat adalah produk dari masyarakat yang aktif. Proses perencanaan yang berasal dan diinginkan oleh masyarakatadalah lebih baik ketimbang perencanaan yang berasal dari penguasa. Proses partisipasi dalam pembangunan masyarakat merupakan pencegahan berbagai sikap masa bodoh dari individu-individu dalam masyarakat. Proses pemberdayaan yang kuat dalam upaya-upaya kemasyarakatanmerupakan dasar kekuatan bagi masyarakat yang demokratis. Sanggar Kegiatan Belajar: Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional, Pendidikan Non Formal (PNF) merupakan pendidikan yang memiliki fokus sasaran yang cukup luas serta beraneka ragam bentuk dan aplikasinya, semuanya dilakukan sesuai perannya sebagai penambah, pengganti dan pelengkap pendidikan formal. Salah satu penyelenggara program PNF itu adalah Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Untuk pelaksanaannya, SKB yang dimotori Pamong Belajar selalu merumuskan rencana serta langkah-langkah strategis dalam rangka mengoptimalkan segala potensi yang ada, sehingga diharapkan penyelenggaraan pendidikan non formal benar-benar dapat dirasakan peran dan manfaatnya oleh warga masyarakat sasaran, sehingga keberadaannya menjadi tolehan positif bagi penguasa otoda setempat sehingga akan “diperhatikan dan dilibatkan baik dalam program pembangunan daerah maupun dukungan anggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 172 Nur Ida Sanggar Kegiatan Belajar merupakan Unit Pelaksana Teknis dari Dinas Pendidikan mempunyai tugas pokok dan fungsi, diantaranya adalah (1)Pembangkitan & penumbuhan kemauan belajar masyarakat dalam rangka terciptanya masyarakat gemar belajar, (2)Pembuatan percontohan berbagai program pendidikan nonformal dan informal, (3)Pengendalian mutu pelaksanaan program pendidikan nonformal dan informal, (4)Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan bagi pelaksana pendidikan nonformal dan informal, (5) Penyediaan sarana dan fasilitas belajar, (6)Pengintegrasian dan pensinkronisasian kegiatan sektoral dalam bidang pendidikan nonformal dan informal. Program-program PNF yang ada di SKB adalah program PAUD , pendidikan kesetaraan paket A, B, dan C, serta berbagai program kecakapan hidup untuk membekali peserta didik dengan keterampilan yang “layak jual (marketable). Disamping itu, SKB bisa melakukan penyuluhan untuk menyadarkan bahaya merokok hinga bahaya narkoba, HIV/AIDS, Flu burung, Trafficking, bahaya Seks bebas dan tentang penyadaran akan bahaya resiko bencana dan masalah kemasyarakatan yang semakin komplek pun bisa menjadi bahan pembelajaran yang dikemas sedemikian rupa sehingga mudah dipahami oleh paserta didik yang tergabung dalam kelompok belajar. Semuanya ini diprogramkan dalam rangka untuk pembelajaran kaum tertinggal sehingga terbebas dari ketidak tahuan, dan untuk pembelajaran kaum tersingkir sehingga terbebas dari keterpinggiran dan ketidakberdayaan (Dit dikmas, 2009). Kelompok Belajar Usaha (KBU) Kelompok di artikan secara harfiah sebagi kumpilan dua orang atau lebih yang mengadakan interaksi baik secara fisik atau juga psikologis dengn konstan. Belajar adalah proses perubahan prilaku seseorang dari tidak bisa menjadi bisa. Usaha yaitu suatu tindakan seseorang yang di lakukan guna mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Menurut Kamil (2011:99) “Kelompok belajar usaha yaitu suatu kegiatan membelajarkan warga masyarakat untuk mengejar ketinggalan di bidang usaha, dengan cara bekerja, belajar dan berusaha, guna memperoleh mata pencaharian sebagai sumber penghasilan yang layak�. KBU

sebagai salah satu program pendidikan masyarkat yang di dalamnya da kegitan belajar dan berusaha. Melalui KBU, ditumbuhkan dan di kembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap berusaha dari warga belajar sehingga memiliki mata pencaharian sebagai sumber penghasilan, demikian pula KBU akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan mata pencaharian masyarkat di sekitarnya, dengan kata lain kelompok belajar usaha dapat diartikan sebagai suatu kegiatan membelajarkan warga masyarakat untuk mengejar ketinggalan di bidang usaha dengan cara bekerja, belajar, dan berusaha guna memperoleh mata pencaharian sebagai sumber penghasilan yang layak. Metode Penelitian Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan strategi studi kasus. Studi kasus merupakan pilihan yang relevan untuk mengkaji suatu komunitas, karena karakter pengembangan masyarakat yang harus menyesuaikan diri dengan konteks lokal, dan karena instrumen yang digunakan dalam kajian ini adalah manusia (pengkaji), maka disebut juga studi kasus instrumental (Sitorus &Agusta, 2006). Jenis Penelitian: Studi kasus ini berupaya mendokumentasikan dan mendeskripsikan secara lengkap dan mendalam tentang pelayanan kegiatan Kelompok Belajar Usaha (KBU)yang dilakukan SKB kota Parepare, baik kuantitas, kualitas maupun jangkauan pelayanannya. Oleh karenanya penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Sedangkan tipe kajian yang digunakan adalah tipe evaluasi formatif, yaitu kajian yang dimaksudkan untuk memperbaiki suatu intervensi (program, kebijakan, dan lain-lain); sebagai rekomendasi untuk perbaikan (Sitorus & Agusta, 2006). Waktu dan Tempat Penelitian: Penelitian (kajian) direncanakan pada pertengahan bulan April sampai dengan Mei 2016. Penetapan waktu ini didasarkan pada kalender akademik peneliti. Target dan Subyek Penelitian:


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 173 Nur Ida Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan subyektifmikro, yaitu mengkaji pandangan, keyakinan dan kontruksi realitas sosial, dimana pendekatan ini mengharuskan adanya interaksi langsung antara peneliti dan tineliti (Sitorus & Agusta, 2006). Pada kajian ini, peneliti (pengkaji) melakukan interaksi langsung dengan subyek penelitian (subyek kajian) yang meliputi : pengelola SKB, tutor, warga belajar, baik yang masih mengikuti KBU maupun yang sudah keluar, beberapa tokoh masyarakat, pengurus kelembagaan lokal dan aparat pemerintah lokal yang terkait dengan masalah penelitian untuk mengetahui pandangan, keyakinan dan realitas masalah yang berkaitan dengan kegiatan KBU SKB kota Parepare, serta faktor pendukung bagi pengembangan KBU SKB. Prosedur: Data, Instrument dan Teknik Pengumpulan Data Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam kajian ini meliputi :1. Data Primer : bersumber dari responden dan informan. Responden, yaitu : a, warga belajar yang mengikuti Kegiatan Belajar Usaha (KBU) di SKB kota Parepare, b. Informan, terdiri dari :1) Pengelola SKB, 2) Instruktur KBU, 3) Aparat Kelurahan Lapadde, 4) Aparat BPMKB Kota Parepare. Data Sekunder, bersumber dari dokumen SKB (Laporan kegiatan, program kerja, buku catatan pengelola/instruktur), dokumen Kelurahan Lapadde (Data potensi kelurahan, buku laporan/profile kelurahan), BPMKB Kota Parepare, Dinas Pendidikan Kota Parepare, Dinas Perekonomian dan Koperasi Kota Parepare, dan kelembagaan lokal. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :1. Studi dokumentasi, yaitu mempelajari data yang bersumber dari dokumen SKB, dokumen Kelurahan Lapadde, BPMKB, Dinas Pendidikan, Dinas Perekonomian dan Koperasi. Data yang akan dikumpulkan dari studi dokumentasi ini meliputi data tentang potensi wilayah kelurahan Lapadde, dan program-program pemberdayaan masyarakat yang berkaitan dengan pengembangan KBU SKB, 2. Obervasi partisipan (pengamatan berperan serta), yaitu melakukan pengamatan

dengan berinteraksi sosial dengan subjek kajian dalam lingkungan subjek kajian. 3. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui aktivtias Kegiatan Belajar Usaha yang dilakukan oleh warga belajar beserta instrukturnya, serta pihak-pihak yang terlibat. 4. Wawancara mendalam, yaitu mengumpulkan data dengan mengadakan tatap muka dengan responden dan informan dalam suasana kesetaraan, keakraban dan informal untuk memahami pandangan-pandangan, pemikiran, ide dan gagasan, pengalamanpengalaman, motivasi, faktor-faktor yang mempengaruhi sikap dan perilaku subjek dalam aktivitas KBU. Teknik Analisis Data: Analisis data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :1). Reduksi data, yaitu melakukan katagorisasi data. Kegiatan dalam reduksi data ini meliputi pemilihan data, pemilahan dan penyederhanaan data. Peneliti menyeleksi data yang telah dikumpulkan, kemudian membuat ringkasan dan mengkategorisasikan data berdasarkan tujuannya. Hasil dari pengkategorian data tentang permasalahan yang dikaji dijadikan konsep awal dalam diskusi kelompok. Selanjutnya dilakukan tukar pendapat dengan responden dan informan untuk memperoleh kategori data yang sesuai dengan kondisi yang ada. 2). Penyajian data, yaitu mengkonstruksi data dalam bentuk narasi dan grafikatau bagan, sehingga mempermudah dalam analisa data atau analisa masalah. 3). Penarikan kesimpulan, yaitu menghubungkan suatu masalah dengan permasalahan yang lain secara kualitatif melalui diskusi, sehingga ditemukan permasalahan yang sesuai dengan kondisi yang ada. Alur penarikan kesimpulan dimulai dari analisis permasalahan dalam pelaksanaan KBU SKB kota Parepare, faktor-faktor yang mempengaruhi kekurang berhasilan KBU, dan hambatan yang dihadapi warga belajar dalam mengembangkan usaha ekonomi produktifnya setelah mendapat keterampilan dan pengalaman usaha di KBU dan hubungan dari ke tiga aspek tersebut. Selanjutnya pada tahap akhir analisis dilakukan dengan menghubungkan program pengembangan KBU yang mampu mendorong pemberdayaan masyarakat berdasarkan peluang-peluang atau potensipotensi yang ada.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 174 Nur Ida HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa komunitas Kelurahan Lapadde merupakan salah satu daerah kantong kemiskinan yang ada di Kecamatan Soreang, Kota Parepare dengan karakteristik permasalahan diantaranya tidak dimilikinya lahan untuk produksi, relatif rendahnya tingkat pendidikan dan tidak dimilikinya keterampilan kerja. Kelompok Belajar Usaha (KBU) SKB kota Parepare adalah salah satu kelembagaan lokal yang dianggap dapat memberdayakan masyarakat karena memberikan pelayanan keterampilan kerja sekaligus pengalaman berwiraswasta. Beberapa permasalahan yang dihadapi KBU SKB kota Parepare yaitu masih relatif rendahnya motivasi warga belajar dalam mengikuti kegiatan KBU, sarana dan prasarana yang kurang menunjang, dan pemasaran yang tidak berkembang diekonomi lokal. Sedangkan faktor–raktor yang menyebabkan KBU kurang berkembang adalah : Jenis keterampilan yang tidak aspirastif, kurangnya kerjasama dengan kelembagaan lokal dan swasta, kualitas instruktur yang tidak profesional, dan kurangnya partisipasi atau dukungan dari masyarakat.Upaya pengembangan KBU SKB kota Parepare diawali dengan menampung aspirasi dari warga belajar, pengelola dan instruktur melalui suatu diskusi yang membahas evaluasi pelaksanaan kegiatan KBU. Berdasarkan hasil diskusi kemudian disepakati untuk mengembangkan KBU yang aspiratif dan partisipatif yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan swasta sesuai dengan konsep Good Governance (Tata Kelola Kepemerintahan yang baik). Strategi yang dapat terapkan atau program yang direncanakan melalui musyawarah yang dihadiri oleh stake holder terkait dalam pengembangan KBU SKB kota Parepare adalah meliputi : Program Pendidikan dan Pelatihan Menjahit dan keterampilan assesoris penganting yang merupakan aspirasi dari masyarakat, Program Pengembangan Usaha KBU yang berkelanjutan, Program Pengembangan Usaha Mandiri dan Program Peningkatan Pelayanan Informasi PKBM dan Kerjasama dengan Kelembagaan Lokal.

Tanggapan Masyarakat Kepemimpinan Lokal:

terhadap

Masyarakat Kelurahan Lapadde memberi dukungan dan kepercayaan yang tinggi kepada tokoh masyarakat yang dianggap memiliki kepedulian dan perhatian terhadap masalah-masalah yang dihadapi warganya. Kepemimpinan formal dalam hal ini aparat Kelurahan, Ketua RW dan Ketua RT memegang peranan penting dalam menjaga stabilitas kehidupan komunitas yang kondusif dan bersinergi dengan para pimpinan organisasi sosial dan keagamaan, sebagaimana disampaikan oleh Bapak SYP Sekretaris Kelurahan Lapadde : “Selama saya bekerja di Kelurahan Lapadde kurang lebih 13 tahun Kepatuhan masyarakat Lapadde terhadap pemimpin dalam hal ini pemerintah Kelurahan, Ketua RW dan Ketua RT cukup tinggi karena mereka memang dipilih oleh warganya. Namun demikian bagi Ketua RW atau Ketua RTyang kurang memberikan perhatian dan kurang peduli dengan masalah warganya terutama warga yang kurang mampu, biasanya warga menjadi kurang menghormati kepemimpinannya” . Hal senada juga disampaikan oleh Bapak SLT Ketua RW 10 Kampung Duri : “Masyarakat Kelurahan Lapadde, khususnya di warga RW 10 Kampung Duri umumnya patuh dengan kepemimpinan Ketua RW dan Ketua RT-nya, karena Ketua RW dan Ketua RT adalah tokoh masyarakat yang menjembatani atau memfasilitasi kebutuhan warga dengan program-program pemerintah, baik yang bersifat program bantuan seperti bantuan Raskin, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kartu Askeskin maupun program pembangunan”. Mendukung proses belajar, baik program pendidikan kesetaraan maupun KBU menggunakan gedung pendidikan dan beberapa gedung kecil untuk kantor dan ruang keterampilan yang pernah dibangun SMK Kosgoro di atas tanah milik warga seluas 750 M². Setelah kontrak sewa SMK habis, gedung tersebut kemudian disewa oleh SKB, yang memiliki ruangan atau 2 kelas dan beberapa gedungkecil lainnya untuk kantor dan tempat praktek keterampilan. Sarana dan prasarana yang ada masih dirasakan kurang oleh pihak pengelola, khususnya untuk pengembangan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 175 Nur Ida keterampilan dan belajar usaha yanghanya memiliki 1 ruang kelas berukuran 2 x 4 meter. Mengingat betapa penting dan strategisnya peran SKB dalam pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan Kelompok Belajar Usaha (KBU) yang memberikan pendidikan keterampilan dan pengalaman belajar usaha bagi warga miskin dan pengangguran, agar mereka memperoleh kesempatan lapangan kerjadan meningkatkan pendapatan, maka eksistensi KBU SKB perlu terus ditata dan dikembangkan, sehingga KBU nantinya diharapkan benar-benardapat menjadi salah satu pilihan masyarakat untuk mengembangkan kapasitas dirinya dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. KESIMPULAN 1. Karakteristik permasalahan diantaranya tidak dimilikinya lahan untuk produksi, relatif rendahnya tingkat pendidikan dan tidak dimilikinya keterampilan kerja. 2. Relatif rendahnya motivasi warga belajar dalam mengikuti kegiatan KBU. 3. Sarana dan prasarana yang kurang menunjang, dan pemasaran yang tidak berkembang diekonomi lokal. 4. Kualitas instruktur yang tidak profesional, dan kurangnya partisipasi atau dukungan dari masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA Adi Rukminto Isbandi. 1994. Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu KesejahteraanSosial. Jakarta : PT. Raja Grafindo PersadaAlma Buchari. 2006. Kewirausahaan. Bandung : Alfabeta BPMKB. 2006. Pendataan Keluarga. Parepare : BPMKBBPS Kota Parepare. 2007. Data Potensi Kelurahan. Lapadde : BPS Kota Parepare Derick W. Brinkerhoff & Arthur A. Goldsmith. 1992.

Promoting the Sustainability of Development Institutions : A Framework for Strategy “in World Development,Vol 20. No. 3 pp 369 - 382 Dinas Pendidikan Provinsi Sul-Sel. 2006. Direktori Pusat Kegiatan BelajarMasyarakat (PKBM). Parepare : Dinas Pendidikan (Sub Dinas Pendidikan LuarSekolah)Felix M.T. Sitorus & Agusta Ivanovich. 2006. Metodologi Kajian Komunitas. Bogor :Program Kerjasama Pendidikan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor danSekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian BogorHeryadi & Jati Sigit Waluyo. 2006. Hikmat Harry. 2006. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung : Humaniora Huraerah Abu, 2006. Strategi Penanggulangan Kemiskinan. Bandung : Pikiran Rakyat(Edisi Senin 2 Januari 2006). Komisi Nasional Indonesia Untuk Unesco (BP-PLSP Jaya Giri) & Sub Dinas PLSPropinsi Jawa Barat. 2006. Panduan Penyelenggaraan Pusat Kegiatan BelajarMasyarakat (PKBM). Bandung : BP-PLSP Regional II Jaya Giri PROFIL SINGKAT Nur Ida dilahirkan di Tanete-Pitumpanua Wajo, Sulawesi Selatan tanggal 09 September 1973, menempuh pendidikan tinggi di STKIP Muhammadiyah Parepare pada Program Studi Jurusan Pendidikan Luar Sekolah. Pada tahun 2009 menyelesaikan studi S2 program studi Pendidikan Luar Sekolah Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang dan pada tahun 2015 melanjutkan studi S3 pada program studi Pendidikan Luar Sekolah Universitas Pendidikan Indonesia. Pada tahun 1999 diangkat sebagai dosen Universitas Muhammadiyah Parepare.


PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP DI DESA WISATA BEJIHARJO Tristanti PLS FIP UNY tristanti@uny.ac.id Abstrak Peran perempuan desa wisata khususnya ibu rumah tangga dalam keluarga maupun masyarakat belum terwujud secara maksimal. Hal ini dapat terlihat dari posisi perempuan sebagai pihak kedua setelah laki-laki masih sering terjadi dalam masyarakat. Padahal perempuan seharusnya memiliki kepekaan dalam perubahan dan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Dengan demikian perlu adanya pemberdayaan bagi perempuan agar mereka mampu meningkatkan kemampuannya sehingga dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik. Salah satu program yang strategis untuk kaum perempuan adalah Pendidikan Kecakapan Hidup yang meliputi kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan akademik dan kecakapan vokasional. Melalui program ini perempuan dapat meningkatkan kehidupannya secara ekonomi, pendidikan dan sosial sehingga dapat mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Kata kunci: Pemberdayaan Perempuan, Pendidikan Kecakapan Hidup


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 177 Tristanti

A. Pendahuluan Perempuan dalam masyarakat memiliki peranan yang sangat penting. Selain sebagai pengelola keluarga juga memiliki peranan dalam kehidupan sosial masyarakat. Akan tetapi keberadaan perempuan dalam keluarga maupun masyarakat belum dihargai secara maksimal. Keberadaan perempuan di desa wisata Bejiharjo sebagian besar belum memiliki perkerjaan tetap selain sebagai ibu rumah tangga. Aktifitas mereka sehari-hari hanya mengurus rumah tangga dan membantu pekerjaan suami di sawah atau pekarangan. Ada sebagian yang berprofesi sebagai buruh, akan tetapi kegiatan tersebut tidak setiap hari melainkan pada musim-musim tertentu seperti musim tanam dan musim panen. Hal ini sejalan dengan penelitian Sujarwo dan Lutfi Wibawa (2012) menemukan bahwa masyarakat Desa Bejiharjo Kecamatan Semanu Kabupaten Gunung Kidul pada umumnya menganut paham patrilineal yang menyebabkan laki-laki memiliki dominasi yang sangat kuat. Laki-laki lebih berperan dalam hubungan antara keluarga dengan kelembagaan masyarakat, sehingga sangat melemahkan peran dan aktivitas perempuan pada organisasi masyarakat. Perempuan adalah masyarakat “kelas dua� yang seringkali tidak dapat memperoleh hak-haknya sebagaimana mestinya. Kondisi perempuan ibu rumah tangga di daerah ini, lebih banyak mengurus rumah, tanah pekarangan, sawah dan anak-anak di rumah, kalaupun ada sebagian perempuan ibu rumah tangga yang bekerja sifatnya hanya membantu suaminya mengurus lahannya sendiri atau ikut gotong royong membantu pengerjaan lahan tetangga. Wilayah dengan struktur tanah yang kering membuat daerah Bejiharjo memiliki banyak tanaman pekarangan seperti kacang, kedelai dan singkong. Meskipun Desa Bejiharjo memiliki banyak Sumber Daya Alam akan tetapi masyarakat khususnya kaum perempuan belum memiliki banyak keterampilan. Mereka hanya mengolah hasil panen dalam olahan yang sederhana, sehingga hanya untuk dikonsumsi dalam keluarga. Dalam hal ini perlu adanya pelatihan keterampilan yang merupakan bagian dari Pendidikan Kecakapan Hidup, sehingga mereka memiliki kemampuan yang dapat digunakan sebagai penunjang kehidupan yang

lebih baik. Pentingnya Pendidikan Kecakapan Hidup bagi perempuan di Bejiharjo melihat daerah ini adalah daerah wisata yang terkenal, sehingga sangat potensial ketika perempuan memiliki keterampilan yang bisa digunakan sebagai penunjang kehidupannya. Seperti dalam penelitian Sujarwo dan Lutfi Wibawa (2012) juga menemukan potensi yang dimiliki desa wisata Bejiharjo Kecamatan Karangmojo. Banyak potensi yang dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan perempuan terutama ibu-ibu rumah tangga yang tidak bekerja di Bejiharjo, antara lain; optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam (lahan dan wisata), sumber daya manusia (membantu dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan keterampilan kewirausahaan, memperluas akses dan jejaring sosial), karakter budaya (nilai rasa kebersamaan dan kegotongan yang kuat, wisata budaya, wisata religi dan adat), organisisasi ekonomi, organisasi kemasyarakatan. jejaring sosial dan modal sosial yang sangat potensial untuk dikembangkan. Oleh karena itu, salah satu program yang sangat strategis untuk diberikan yaitu melalui Pendidikan Kecakapan Hidup. B. Kajian Teori 1. Desa Wisata Bejiharjo Desa Wisata Bejiharjo merupakan desa wisata yang terletak di Kabupaten Gunungkidul dengan potensi wisata yang terkenal adalah goa. Wisata alam saat ini seperti goa merupakan tujuan wisata yang sedang berkembang dan banyak diminati oleh wisatawan. Hal ini dikarenakan adanya keindahan alam yang mampu menarik perhatian wisatawan. Menurut Chafid Fandeli (2001) secara lebih komprehensif menjabarkan desa wisata sebagai suatu wilayah pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian desa, baik dari segi kehidupan sosial budaya, adat istiadat, aktifitas keseharian, arsitektur bangunan, dan struktur tata ruang desa, serta potensi yang mampu dikembangkan sebagai daya tarik wisata, misalnya: atraksi, makanan dan minuman, cinderamata, penginapan, dan kebutuhan wisata lainnya. Desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 178 Tristanti

masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Suatu desa wisata memiliki daya tarik yang khas (dapat berupa keunikan fisik lingkungan alam perdesaan, maupun kehidupan sosial budaya masyarakatnya) yang dikemas secara alami dan menarik sehingga daya tarik perdesaan dapat menggerakkan kunjungan wisatawan ke desa tersebut (Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, 2011). 2. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan perempuan adalah usaha sistematis dan terencana untuk mencapai kesetaraan dan keadilan meliputi aspek kondisi (kualitas & kemampuan) atau posisi (kedudukan & peran) laki-laki dan perempuan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat berbangsa, dan bernegara. Tujuan pemberdayaan perempuan adalah untuk meningkatkan status, posisi dan kondisi perempuan agar dapat mencapai kemajuan yang setara dengan laki-laki (Sujarwo dan Lutfi, 2012). Keberadaan perempuan yang setara dengan laki-laki menjadikan perempuan merasa dihargai sehingga perempuan merasa percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki. Pemberdayaan perempuan meliputi seluruh aspek kehidupannya yaitu secara personal, akademik, sosial, politik dan ekonomi. Secara personal perempuan memiliki hak untuk diperlakukan adil dan diakui keberadaannya karena perempuan dan laki-laki sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Perempuan perlu diberdayakan dalam hal akademik karena perempuan mempunyai hak untuk pengasuhan anak dari dalam kandungan sampai usia dewasa. Secara sosial, perempuan mempunyai hak untuk berkomunikasi dalam masyarakat luas serta bertukar ide dan pengalaman dengan kelompok masyarakat. Dalam hal politik perempuan juga memiliki hak untuk duduk dalam sebuah jabatan masyarakat dan dalam hal ekonomi perempuan mempunyai hak untuk mengelola keuangan dan melakukan kegiatan yang berdampak pada perekonomian keluarga. Sementara itu menurut Darmanto (2010) aspek-aspek partisipatory dan adil meliputi; (1) punya kesamaan hak memperoleh akses atas sumberdaya dan pelayanan sosial, (2) menyangkut hak-hak dasar, (3) berkembang dalam kesamaan, (4) menguntungkan, (5) berkenaan dengan hasrat atau pun kebutuhan

individual untuk ikut andil bagi kepentingan bersama, (6) memanfaatkan secara optimal namun wajar apa yang telah tercipta di dunia ini, (7) lebih bercorak moral daripada hukum, dan (8) berkaitan erat dengan kebutuhan manusiawi khususnya. Salah satu penyebab ketidakberdayaan perempuan adalah ketidakadilan gender yang mendorong terpuruknya peran dan posisi perempuan di masyarakat. Perbedaan gender seharusnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak menghadirkan ketidakadilan gender. Namun perbedaan gender tersebut justru melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Manifestasi ketidakadilan itu antara lain (1) marginalisasi karena diskriminasi terhadap pembagian pekerjaan menurut gender, (2) subordinasi pekerjaan (3) stereotiping terhadap pekerjaan perempuan, (4) kekerasan terhadap perempuan, dan (5) beban kerja yang berlebihan (Sujarwo dan Lutfi, 2012). Peran perempuan yang identik dengan pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga tidak memiliki nilai tukar yang tinggi jika dibandingkan dengan peran laki-laki sebagai pencari nafkah keluarga. Pekerjaan perempuan di dalam rumah tangga cenderung dilihat sebagai pekerjaan yang kurang berharga dibandingkan dengan pekerjaan laki-laki yang dapat menghasiIkan uang. Perempuan dianggap lemah dalam hal kekuatan fisik dan juga dalam hal pengambilan keputusan. Hal tersebut menyebabkan perempuan selalu tergantung kepada laki-laki atau suami secara fisik maupn psikologis, sehingga menyebabkan perempuan selalu tunduk kepada laki-laki. Melalui pemberdayaan dan peningkatan peran wanita dalam bidang pariwisata diharapkan akan mampu meningkatkan: (1) kesejahteraan; (2) akses; (3) penyadaran; (4) partisipasi serta (5) kontrol perempuan dalam pembangunan pariwisata (Astuti, 2008). Menurut Jamieson (1993) pemberdayaan perempuan di bidang pariwisata lebih ditekankan pada: 1) organizing and managing the process yang menyangkut upaya perubahan sikap setelah sekian lama terbentuk dominasi pria di banyak bidang pekerjaan; 2) inventory process yang berkaitan dengan upaya


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 179 Tristanti

memberikan peluang kepada perempuan untuk mengembangkan kemampuannya sehingga mereka dapat berpartisipasi di bidang pembangunan masyarakat; dan 3) delivery process yang meliputi upaya memberikan kesempatan kepada perempuan untuk berpartisipasi dan berperan di bidang pembangunan pariwisata berkaitan dengan akomodasi, restoran, biro perjalanan, dan pengembangan berbagai produk budaya berupa seni dan tradisi sebagai daya tarik wisata. Astuti, dkk. (2008). Pendekatan yang digunakan mengacu pada 4 A (Atraksi, Aksesibilitas, Amenitas dan Aktivitas). Pengembangan model ini diharapkan dapat: (1) meningkatkan kuantitas dan kualitas produk pariwisata yang berupa barang maupun jasa; (2) meningkatkan akses ke informasi, baik yang berkaitan dengan pasar maupun modal; (3) meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan manajemen seperti AMT/ Achievement Motivation Training. Oleh karena itu, ada beberapa komponen penting yang perlu diperhatikan dalam upaya memberdayakan perempuan pedesaan, yaitu (1) organisasi dan kepemimpinan yang kuat, (2) pengetahuan masalah hak asasi perempuan, (3) menentukan strategi, (4) kelompok peserta atau pendukung yang besar, dan (5) komunikasi dan pendidikan. Sementara itu, salah satu upaya dalam memberdayakan sumber daya manusia, khususnya perempuan, adalah melalui penanaman dan penguatan jiwa dan praktek kewirausahaan.

3. Pendidikan Kecakapan Hidup dalam Pemberdayaan Perempuan Desa Wisata Pendidikaan Kecakapan Hidup (PKH) merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang sebagai penunjang keberhasilan dalam kehidupannya. Mustofa Kamil (2010) mengatakan bahwa kecakapan hidup adalah peningkatan kemampuan dan keterampilan yang memberi bekal dasar dan latihan yang dilakukan secara benar kepada masyarakat (peserta) tentang nilai-nilai kehidupan sehari-hari agar yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjalankan kehidupannya yaitu dapat menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya. Sedangkan menurut Menurut

Francis, M. bahwa life skills is as “skills that help an individual be successful in living a productive and satisfying life� (www.changingminds.org). Dengan demikian PKH merupakan keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap individu khususnya bagi kaum perempuan. Dalam melakukan kegiatan sehari-hari sebenarnya perempuan telah memiliki banyak keterampilan hidup mulai dari mengasuh anak, menyiapkan kebutuhan keluarga, mengelola keuangan dan kegiatan sosial masyarakat. Akan tetapi perempuan juga perlu memiliki keterampilan secara vokasional sehingga mampu membantu kebutuhan keluarga secara ekonomi. Sebuah keluarga yang ditopang oleh dua sumber financial akan lebih kuat jika hanya ditopang oleh satu sumber financial. Hal ini dimaksudkan apabila terjadi hal-hal yang tidak terduga pada kepala keluarga, seorang ibu atau istri masih bisa menjaga kestabilan kebutuhan keluarga. PKH tidak hanya mencakup pada keterampilan vokasional saja, akan tetapi meliputi kecakapan personal, kecakapan sosial dan kecakapan akademik. Oleh karena itu cakupan PKH sangat luas. Sejalan dengan pendapat Satori (Anwar,2006) cakupan kecakapan hidup sangat luas seperti kecakapan berkomunikasi, kecakapan membuat keputusan, kecakapan memanajemen waktu dan sumber daya dan kecakapan perencanaan. Adapun tujuan dari PKH menurut Mustofa Kamil (2010) dijelaskan dalam lima tujuan yaitu: (1) memberdayakan asset kualitas batiniyah, sikap dan perbuatan lahiriyah peserta masyarakat melalui pengenalan (logos), penghayatan (etos) dan pengamalan (patos) nilai-nilai kehidupan sehari-hari sehingga dapat digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya. (2) memberikan wawasan yang luas tentang pengembangan karir yang dimulai dari pengenalan diri, eksplorasi karir, orientasi karir dan penyiapan karir. (3) memberikan bekal dasar dan latihan-latihan yang dilakukan secara benar mengenai nilai-nilai kehidupan sehari-hari yang dapat memampukan masyarakat untuk berfungsi mengahadapi kehidupan masa depan yang sarat kompetensi dan kolaborasi sekaligus. (4) mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya melalui masyarakat


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 180 Tristanti

melalui pendekatan manajemen pembangunan dengan mendorong peningkatan kemandirian, partisipasi, dan fleksibilitas pengelolaan sumber daya masyarakat. (5) memfasilitasi masyarakat dalam memecahkan permasalahan kehidupan yang dihadapi sehari-hari. Kecakapan vokasional perempuan desa wisata bisa dikembangkan melalui keterampilanketerampilan yang bersifat praktek seperti keterampilan pengolahan makanan, keterampilan membuat aksesoris, dll. Hal ini bisa dikembangkan sesuai dengan karakteristik masyarakat desa wisata. Astuti dkk (2008) menyatakan bahwa kebutuhan perempuan pedesaan untuk meningkatkan partisipasinya di bidang pembangunan pariwisata cukup bervariasi berdasarkan karakteristik potensi desa dan masyarakatnya. Beberapa kebutuhan tersebut antara lain pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan dan bimbingan di bidang pengembangan atraksi/daya tarik seperti pertunjukan kesenian daerah, penyediaan homestay, pengetahuan dan ketrampilan di bidang usaha pariwisata seperti pembuatan souvenir, usaha katering, penyediaan sarana telekomunikasi/wartel, kesehatan, serta pengembangan usaha jasa pariwisata lainnya. Peluang yang tersedia bagi perempuan pedesaan wisata dalam meningkatkan partisipasinya di bidang pembangunan pariwisata cukup beragam antara lain membuka jasa akomodasi (penginapan) berupa homestay di desa-desa tujuan wisata, mengemas hasil pertanian menjadi paket oleh-oleh khas, membudidayakan tanaman hias untuk dijadikan oleh-oleh wisatawan, menyajikan hasil pertanian sebagai produk makanan khas, membuka warung makan, membuat cendera mata, membuka kios cendera mata, menyediakan jasa pemanduan wisata, membentuk kelompok seni pertunjukan yang melibatkan perempuan, membuka jasa katering, dan lain-lain. C.

Pembahasan Pemberdayaan perempuan dimaksudkan agar perempuan memiliki keterampilan yang bisa digunakan sebagai penunjang kehidupannya dan keluarga. Keberadaan desa wisata membawa dampak tersendiri bagi masyarakat di sekitarnya. Dampak positif yang bisa dirasakan oleh

masyarakat adalah banyaknya peluang usaha yang bisa dilakukan, sehingga bisa mengurangi pengangguran. Akan tetapi semakin pesatnya persaingan menjadikan seseorang harus memiliki keterampilan yang berkualitas dalam artian keterampilan yang dimiliki harus memiliki nilai jual tinggi. Dengan demikian keterampilan yang dimiliki dapat bersaing bahkan dapat meningkat. Kaum perempuan di wisata Bejiharjo sudah memiliki keterampilan dalam pengolahan jajanan kuliner. Mereka sudah mampu mengolah makanan lokal yang merupakan hasil dari panen menjadi olahan sederhana. Pengolahan jajanan yang sederhana bukan tidak mungkin akan cepat tersingkirkan dengan produk-produk olahan modern. Oleh karena itu perlu adanya Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) bagi kaum perempuan khususnya dalam pengolahan jajanan kuliner. PKH bagi kaum perempuan tidak sebatas keterampilan vokasional saja akan tetapi menyangkut keterampilan yang lain yaitu keterampilan personal, keterampilan sosial, dan keterampilan akademik. Perempuan desa wisata yang sudah memiliki kecakapan vokasional, belum tentu mereka mampu bertahan dengan keterampilan tersebut. Hal ini dikarenakan kecakapan vokasional hanya terbatas pada kemampuan mewujudkan keterampilan secara vokasional. Akan tetapi mereka memerlukan kecakapan yang lain sebagai penunjang keberhasilan keterampilan yang dimiliki. Melalui kecakapan personal yaitu kecakapan yang menyadari keberadaan dirinya adalah ciptaan Tuhan sehingga dengan kesadaran tersebut membuat perempuan memiliki sikap dan perilaku yang baik dalam melakukan keterampilan yang dimilikinya. Melalui kecakapan akademik yaitu kemampuan dalam meningkatkan pengetahuan, perempuan dapat belajar dari pengalaman dan pengetahuanpengetahuan terbaru yang terjadi di masyarakat. Dengan kecakapan ini perempuan akan mudah dalam mengakses dan memilah informasiinformasi yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Oleh karena itu keterampilan yang dimiliki akan terus dikembangkan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kecakapan sosial juga sangat diperlukan oleh kaum perempuan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 181 Tristanti

sebagai penunjang keterampilan yang sudah dimiliki. Melalui kecakapan ini perempuan bisa melakukan komunikasi yang baik dengan masyarakat khususnya wisatawan yang berkunjung ke daerah wisata Bejiharjo. Melalui kegiatan pelatihan PKH ini perempuan dapat meningkatkan pengetahuan secara akademik dan penghasilan secara ekonomi. Perempuan desa wisata memerlukan banyak keterampilan karena melihat dari peluang yang bisa dikembangkang dengan hadirnya wisata pedesaan yang identik dengan kultur desa. Hal ini dikarenakan sebelumnya perempuan pedesaan berprofesi hanya sebagai ibu rumah tangga dan buruh harian. Akan tetapi sekarang dihadapkan pada nuansa pariwisata, sehingga mereka harus menyesuaikan kondisi lingkungan untuk tetap survive dalam menjalankan kehidupannya. Jika mereka tidak bisa dan tidak mau beradaptasi maka masyarakat luar akan mengambil peluang-peluang yang sudah diciptakan dengan kahadiran wisata pedesaan. Pelatihan pengolahan jajanan kuliner yang dikembangkan berbasis potensi lokal seperti singkong, kacang dan kedelai, sehingga perempuan pedesaan akan sangat mudah untuk menemukan bahan baku. Mereka bisa menemukannya dari hasil panen warga masyarakat, karena mayoritas hasil perkebunan warga masyarakat adalah aneka tanaman pekarangan. Potensi lingkungan dan tersedianya bahan merupakan stimulus yang harapkan dapat membangkitkan warga masyarakat khususnya ibu-ibu dalam mempraktekkan hasil belajarnya dalam kehidupan sehari-hari. Pemilihan dan penggunaan potensi lokal dan bahan yang tepat dalam pendidikan PKH, memiliki arti penting untuk mencapai keberhasilan dalam pemberdayaan perempuan. Keberhasilan dalam PKH banyak dipengaruhi oleh kondisi peserta didik, pendidik, kondisi lingkungan, fasilitas dan pemilihan materi yang sesuai dengan komunitas belajar. Kondisi peserta didik dibentuk dalam kelompokkelompok kecil, sehingga memudahkan dalam pembelajaran. Pendidik dalam pembelajaran memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang PKH. Kondisi lingkungan dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran keterampilan

D. Penutup Munculnya desa wisata menuntut masyarakat sekitar untuk ikut berperan aktif dalam melestarikan dan mengembangkannya ke arah kemajuan. Dalam hal ini khususnya kaum perempuan terdorong untuk ikut berpartisipasi dan mengambil peluang yang ada. Akan tetapi keterbatasan dalam pengetahuan dan keterampilan membuat kaum perempuan tidak bisa melakukan banyak hal. Selain itu anggapan bahwa keberadaan perempuan lebih lemah dibanding laki-laki menjadikan mereka selalu tergantung dengan laki-laki. Kondisi demikian mendorong pentingnya pemberdayaan bagi kaum perempuan untuk bisa memiliki pengetahuan dan keterampilan guna menunjang kesuksesan dalam kehidupannya. Kegiatan yang dapat dilakukan yaitu pemberdayaan perempuan melalui Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) dengan memanfaatkan potensi lokal. Melalui kegiatan ini diharapakn, 1) muncul kesadaran dan motivasi kaum perempuan untuk terus belajar dan mengembangkan keterampilan yang dimilikinya, 2) meningkatkan partisipasi dalam membelajarkan diri dan lingkungannya agar lebih produktif, 3) meningkatkan keberdayaan perempuan melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan dengan memanfaatkan potensi lokal. E. Daftar Pustaka Anwar.(2006). Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills Education).Bandung:Alfabeta Dwi Darmanto. (2010). Model Pemberdayaan Perempuan Melalui Kejar KF. Surabaya: BPPLSP Regional VI Surabaya Fandeli, Chafid. 2001. Dasar-dasar Manajemen Kepariwisataan Alam. Yogyakarta: Liberty Francis, M. (2007).Life skills education.Diaksesdariwww.changingmi nds.org padatanggal 22 September 2012 Ismi Dwi Astuti N, Rara Sugiarti, Gerarda Sunarsih, Sarah Rum H, Warto. (2008). Model Pemberdayaan Perempuan Pedesaan di Bidang Pariwisata. Jurnal Spirit Publik, Volume 4. Nomor 1 April


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 182 Tristanti

2008. ISSN 1908-0489 halaman 51-68 Universitas Sebelas Maret Surakarta Jamieson, W. (1995). Women’s role In Rural Cultural Tourism in Western Canada. Dalam Universal Tourism: Enriching or Degrading Culture. Jogjakarta: Gajah Mada University Press. hal 91 – 99. MustofaKamil.(2010). Model pendidikan dan pelatihan (Konsep dan Aplikasi).Bandung :Alfabeta Sujarwo dan Lutfi Wibawa (2012). Analisis Permasalahan Perempuan dan Potensi Lokal. laporan penelitian Yogyakarta; Fakultas Ilmu Pendidikan UNY (laporan penelitian tidak dipublikasikan)


STUDI EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN KESETARAAN PAKET B DENGAN PENDEKATAN CIPP DI KABUPATEN SEMARANG Fakhruddin & Utsman1) Jurusan Pendidkan Luar Sekolah FIP Unnes ut_unnes@yahoo.com ABSTRAK Wajib belajar 9 tahun secara perlahan dan pasti dapat meningkatkan partisipasi murni anak melanjutkan pendidikan SLTP yang hingga kini di Jateng baru menacapai 79,38% dan di kabupaten Semarang mencapai 87,12% dari 42.154, dan 2.028 orang tergabung pada Kejar Paket B (Kemetrian dan Kebudayaan Nasional, 2013). Pelaksanaan kejar Paket B yang berjalan selama ini mengalami berbagai persoalan sehingga tidak berjalan seperti yang diharapkan. Berdasarkan masalah tersebut dilakukan penelitian dengan tujuan untuk: 1) Mengetahui context yang relevan dengan program pembelajaran kesetaraan Paket B , 2) Mengetahui sistem input dalam pembelajaran kesetaraan Paket B, 3) Mengetahui sistem process pembelajaran kesetaraan Paket B, 4) Mengetahui product yang dihasilkan dari pembelajaran kesetaraan Paket B. Metode yang dipergunakan untuk melakukan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif pada beberapa SKB dan PKBM sebagai penyelenggaran pendidikan kesetaraan di kabupaten Semarang dengan menggunakan beberapa informan untuk menggali data tentang context, in put, process, dan product dalam pembelajaran program kesetaraan Paket B. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan dengan prosedur melakukan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, penafsiran data, dan menyimpulkan data. Hasil penelitian ini adalah 1) Context program pembelajaran kesetaraan Paket B secara umum kurang kondusif karena warga belajar belum merasakan belajar sebagai kebutuhan, sarana belajar kurang memadai, dan kondisi lingkungan sekitar dibeberapa daerah tidak mendukung, 2) In put pembelajaran kesetaraan Paket B masing-masing lembaga bervariasi, namun secara umum input sumber daya yang tersedia cukup memadai, sarana yang tersedia terutama di PKBM sangat minim, dan dana operasional kegiatan pembelajaaran sangat terbatas, 3) Process pembelajaran kesetaraan Paket B masih memiliki berbagai kelemahan, terutama proses pembelajaran yang dilakukan di PKBM, karena pengelola dan tutor tidak kuasa untuk meningkatkan aktifititas dan creatifitas belajar warga belajar yang memiliki motivasi belajar yang rendah, terutama di daerah yang tidak kondusif. 4) Product pembelajaran Kesetaraan Paket B secara kuantitas cukup baik karena sektar 75% warga belajar berhasil memperoleh predikat lulus Kejar Paket B, namun secara kualitas dapat dikategorikan kurang. Indikasinya nilai yang diperoleh rata-rata berada pada standar minimal lulus, walaupun ada beberapa yang lulus cukup baik. Kata kunci: Studi, evaluasi, kesetaraan, Paket B

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 184

Fakhruddin & Utsman PENDAHULUAN Pembangunan pendidikan di Indonesia hingga kini masih menyimpan berbagai persoalan, diantaranya adalah persoalan kualitas, internal-eksternal efesiensi, efektifitas, dan pemerataan pendidikan. Salah satu cara mengatasi persoalan adalah dengan dikeluarkan dengan kebijakan gerakan Wajib belajar (WAJAR) 9 tahun. Gerakan tersebut telah dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama wajib belajar 6 tahun bagi anak usia 7-12 tahun, dan tahap kedua wajib belajar 9 tahun bagi anak usia 13-15 tahun. Wajib belajar tahap pertama yaitu wajib belajar 6 tahun secara kuantitas telah menunjukkan keberhasilan nyata, hal ini dapat dilihat dari indikator partisipasi anak usia pendidikan sekolah dasar (usia 7-12 tahun) yang secara nasional telah mencapai 98,4% lakilaki dan 97,7% perempuan yang mengikuti pendidikan sampai tamat SD. (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013). Ini berati bahwa hampir semua penduduk usia 7-12 tahun telah mengikuti kegiatan wajib belajar selama 6 tahun. Wajib belajar tahap kedua yaitu wajib belajar 9 tahun secara perlahan dan pasti dapat juga meningkatkan partisipasi murni anak usia SLTP. Sebagai gambaran pada tahun 2008 angka partisipasi pada pendidikan SLTP 84,41%, pada tahun 2009 naik 1,3% menjadi 85,43, dan pada tahun 2010 naik 0,68% menjadi 86,11. (Sumber: www.bps.go.id, 2011). Kecenderungan ini juga terjadi di propinsi Jawa Tengah. Angka Partisipasi murni di Jateng sebanyak 79,38% dari 1.647.138 penduduk usia 13-15. Sebanyak 30.206 tergabung dalam program pendidikan Kejar Paket B. Sementara itu di kabupaten Semarang angka partisipasi murni pada pendidikan SLTP sebanyak 87,12% dari 42.154 anak usia 13-15 tahun, 2.028 tergabung pada Kejar Paket B (Kemetrian dan Kebudayaan Nasional, 2013) Menyadari perosalan kuantitas dan kualitas pendidikan tersebut, pemerintah terus mencari berbagai solusi untuk mengatasinya, salah satunya adalah dengan terus meningkatkan pelayanan pemerataan memperolah pendidikan tingkat SLTP melalui jalur pendidikan formal dan nonformal. Jalur pendidikan formal yang ditempuh dengan meningkatkan pelayanan melalui pendidikan SLTP konvensioanl, sedangkan jalur pendidikan nonformal dilakukan dengan cara membentuk Kelompok

belajar Pakaet B Setara SLTP yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarkat dengan mengemban misi untuk mengemban misi penuntasan wajib belajar 9 tahun. Meskipun Kejar Paket B setara SLTP telah dilakukan sejak lama, namun hingga kini belum dapat menuntaskan Wajar 9 tahun Kenyataan ini mengindikasikan masih ada persoalan-persoalan yang terkait dengan penyelenggaraan Paket B, padahal dana yang dikeluarkan jumlahnya cukup banyak. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi terhadap program pendidikan Kejar Paket B. Evaluasi program merupakan metode dan alat yang dipergunakan dalam teknologi evaluasi (Owston, 2007). Evaluasi program pendidikan dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan evaluasi. Penggunaan beberapa pendekatan evaluasi bukanlah sebuah fenomena baru, dan dianggap lumrah dalam praktek (Chavis, 2004). Bahkan Scriven (1997) menganjurkan melakukan evaluasi yang menggunakan berbagai komponen pendekatan yang berbeda, salah satunya adalah menggunakan pendekatan model context, input, process, product (CIPP) Stufflebeam, D. L. et. al. (2000).. Pendekatan dengan model CIPP dapat digunakan untuk membandingkan kinerja dari berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Secara garis besar evaluasi model CIPP akan dapat mengevaluasi context evaluation yang digunakan untuk melihat latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi yang dilakukan dalam suatu program yang bersangkutan; In put evaluation diperlukan untuk membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif yang diambil, rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk mencapain tujuan; Process Evaluation diarahkan untuk mengetahui seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan, apakah program terlaksana sesuai dengan rencana atau tidak. Product Evaluation diarahkan untuk melihat hasil program dan perubahan yang terjadi dipergunakan untuk mengambil keputusan (Stufflebeam, D. L. et. al. 2000). Bersarkan permasalahan yang diuraikan tersebut, penelitian ini mempersoalkan:

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar NasionalPendidikanNonformaldan Informal- 185 Nama Penulis

Bagaimanakah context program pembelajaran Kesetaraan Paket B di Kabupaten Semarang? Bagaimana sistem in put pembelajaran Kesetaraan Paket B di Kabupaten Semarang? Bagaimana sistem process pembelajaran Kesetaraan Paket B di Kabupaten Semarang? Bagaimana product pembelajaran Kesetaraan Paket B di Kabupaten Semarang? METODE Studi ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Menurut Sudjarwo (2001) dalam Iskandar pendekatan penelitian kualitatif harus memiliki prinsip yaitu peneliti harus menjadi partisipan yang aktif bersama objek yang diteliti., Metode pendekatan penelitian yang peneliti gunakan untuk menggali berbagai sumber data dengan pendekatan fenomologi. Menurut Creswell (2007) studi kasus adalah studi yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam, dan menyertakan berbagai sumber informasi. Penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat, dan kasus yang dipelajari berupa program, peristiwa, aktivitas, atau individu. Fokus dalam penelitian ini adalah context, input, process, dan product dalam program pendidikan kesetaraan Paket B. Context difokuskan pada kondisi lingkungan warga belajar, nilai-nilai yang terkait dengan pembelajaran, sarana dan prasarana yang ada, dan perubahan-perubahan yang diinginkan dalam pembelajaran. Input difokuskan pada penyediaan waktu administrasi, biaya, kreteria seleksi, penyediaan waktu administrasi, biaya, kreteria seleksi, tanaga pelaksana, peserta didik, kemitraan, pelatihan tenaga, dan penyususnan tujuan. Process difokuskan pada pemilihan, dan penempatan tenaga pelaksana, penetapan prioritas tujuan program, interakasi pembelajaran, bimbingan individual, dan penggunaan media. Product difokuskan pada karakteristik dan kompetensi yg dimiliki warga belajar, tujuan khusus dan kreterianya, ketepatan kegiatan, pencapaian hasil, pendidikan lanjut, pengembangan kinerja. Subjek penelitian ini dilakukan pada kelompok belajar Paket B di SKB dan PKBM di kabupaten Semarang. Sumber data primer diperoleh melalui wawancara dengan pengelola Kejar Paket B, Tutur/Pamong, warga belajar, dan tanaga teknis lainnya. Selain wawancara juga dicari sumber data melalui dokumendokumen yang terkait dengan konteks, input,

proses, dan produk dari keiatan program pendidikan pada Kejar Paket B. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) Teknik Observasi; digunakan untuk pengamatan pelaksanaan kegiatan pendidikan Kejar Paket B. Observasi digunakan untuk mengamti context, input, process, dan product program pendidikan Kejar Paket B. (2) Teknik wawancara mendalam digunakan untuk memperoleh data yang berhubungan dengan fokus penelitian, ((3) Teknik dokumentasi; digunakan untuk memperoleh data sekunder. Melalui dokumentasi akan diperoleh data tentang identitas dan jumlah peserta didik, struktur organisasi, sarana prasarana, prestasi yang diraih oleh peserta didik, dokumen kegiatan yang berhubungan dengan proses pengelolaan pembelajaran di program Paket B. Pembuktian temuan informasi atau hasil lapangan dilakukan pemeriksaan keabsahan data agar penelitian benar-benar dapat diandalkan. Seale (1999) menyatakan bahwa keandalan adalah jantung dari laporan penelitian kaulitatif. Oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan uji keahsahan data. Uji keabsahan dalam penelitian ini dilakukan antara lain dengan triangulasi, perpanjangan keikutsertaan, keajegan pengamatan, pemeriksaan sejawat melalui diskusi, analisis kasus negatif, dan pengecekan angggota. Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan dua stategi, yaitu pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian dengan beberapa metode, dan pengecekan derajat kepercayaan dengan beberapa sumber data dengan metode yang sama pada saat pencarian data di tempat kegiatan Kejar Paket B. Triangulasi dengan menggunakan sumber dilakukan dengan cara membandingkan dan mengecek bailk derajat kepercayaan informasi yang diperolah melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton, 2001). Cara yang dilakukan antara lain dengan membandingkan data hasil observasi dengan wawancara; membadingkan informasi yang diperoleh di muka umum dan secara pribadi; membandingkan saat situasi resmi waktu penelitian dan situasi infomal; membandingkan keadaan dalam perspektif orang yang berbeda; membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang ada. Analisis data dimaksudkan untuk menelaah seluruh data yang tersedia dengan berbagai sumber mulai dari wawancara,

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 186

Fakhruddin & Utsman observasi dan dokumentasi. Dari hasil perolehan data, mhasil penelitian dianalisis secara tepat agar simpulan yang diperoleh tepat pula. proses analisis data memiliki tiga unsur yang dipertimbangkan oleh penganalisis yaitu: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan simpulan. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Reduksi data memusatkan perhatian pada catatan lapangan yang terkumpul, yang selanjutnya data yang terpilih disederhanakan dengan mengklarifikasikan data atas dasar fokus penelitian, memadukan data yang tersebar, menelusuri tema untuk merekomendasikan data tambahan, kemudian peneliti melakukan abstraksi kasar menjadi uraian singkat atau ringkasan. Penyajian data dilakukan dengan penyajian informasi data yang diperoleh secara keseluruhan yang telah mengalami reduksi melalui bentuk naratif agar diperoleh penyajian data lengkap dari hasil pengumpulan data yang dilakukan. Dalam hal ini peneliti membuat teks naratif mengenai informasi yang diberikan oleh subyek penelitian. Menarik simpulan dibuat berdasarkan pada pemahaman terhadap data yang telah disajikan dan dibuat dalam pernyataan singkat dan mudah dipahami dengan menguji pada pokok permasalahan yang diteliti. HASIL DAN PEMBAHASAN Context Pembelajan Paket B Evaluasi konteks dipergunakan untuk melihat kebutuhan, masalah dan peluang untuk kegiatan pembelajaran. Context evaluations

assess needs, problems, and opportunities as bases for defining goals and priorities and judging the significance of outcomes. Kebutuhan yang diamati sebelum kegiatan pembelajara adalah kebutuhan, masalah, dan peluang bagi warga belajar untuk pembelajaran. (Stufflebeam, 2000). Warga belajar Paket B belum merasakan belajar sebagai sebagai suatu kebutuhan, sehingga tangung jawab dalam belajar kurang. Warga belajar umumnya tidak merasakan adanya problem yang dihadapi jika tidak belajar, hal ini terbukti dari kebiasaan membolos dan malas mengikuti kegiatan belajar dianggap sebagai suatu yang wajar.

Kegiatan pembelajaran Paket B melayani kebutuhan belajar pada masyarakat perkotaan, pinggiran, dan pedesaan serta semua komunitas masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang yang bervariasi. Demikian juga status pekerjaannya. Bagi yang sudah bekerja mereka belajar sesuai waktu luang yang dimiliki, dan yang belum bekerja dilakukan kompromi dan akomodasi antara pihak-pihak terkait. Melihat masalah input warga belajar dan sumber-sumber belajar, akan dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian lingkungan dalam membantu pencapaian tujuan dan objektif program. Evaluasi input untuk membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya (Stufflebeam, 2000). Umumnya warga belajar Paket B tidak menganggap bahwa belajar pada Paket B sebagai kebutuhan (need), akibatnya kegiatan pembelajaran yang mereka lakukan tidak maksimal. Sumber daya berupa tenaga pengelola Paket B secara umum memadai, terutama di SKB, karena pamong belajar Paket B di SKB cukup untuk mengelola kegiatan pembelajaran Paket B, bahkan bantuan dana dari pemerintah secara rutin walaupun tidak sebesar pada SLTP konvensional telah diterimanya. Input Pembelajaran Kesetaraan Paket B Komponen penting dalam evaluasi input meliputi : 1) Sumber daya manusia, 2) Sarana dan peralatan pendukung, 3) Dana atau anggaran, dan 4) Berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan “ (Utsman, 2014). Sumber daya menusia sebagai in put dalam pembelajaran pada Kejar Paket B sangat penting. Kenyatan ini disadari oleh para pengelola Paket B, karena itu sumberdaya manusia seperti tutor/pamong belajar, tenaga pengelola, dan tenaga adminstrasi lainnya diupayakan semaksimal mungkin kuantitas dan kaulitasnya, namun pada beberapa PKBM kauntitas sumberdaya

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar NasionalPendidikanNonformaldan Informal- 187 Nama Penulis

manusia sangat terbatas, karena sumberdana yang tersedia sangat terbatas sehingga tidak mampu mengadakan sumberdaya yang kuantitas dan kualitas baik. Input tutor atau pamong belajar Paket B yang berada di SKB dan PKBM berbeda dari berbagai aspek. Dari aspek pendidikan pamong belajar pendidikan kesetaraan Paket B di SKB rata-rata berpendidikan S1 dan bahkan beberapa berpendidikan S2 dari berbagai jurusan sesuai dengan bidang studi yang diajarkan pada pendidikan kesetraan Paket B. Mereka semua sudah berstatus sebagai pegawai negeri sipil dengan gaji standard gaji PNS ditambah dengan tunjangan lainnya. Secara ekonomi pamong belajar di SKB cukup memadai karena tiap bulan rutin menerima gaji dari pemerintah. Pengelola kegiatan belajar kesetaraan Paket B di SKB secara organisatoris cukup memadai karena dipimpin oleh seorang kepala SKB dibantu dengan tenaga adminstrasi, bendahara, dan berbagai seksi lainnya yang merangkap menjadi pamong belajar. Berbeda dengan pegeola pada kelompok belajar pendidikan kesetaraan pada paket B di PKBM. Semua pegelola bukan pegawan negeri, dengan demikian secara finansial pengelola belum memiliki penhasilan yang memadai, dan tidak jarang pengelola bekerja di luar PKBM yang dibina. Stategies yang dilakukan oleh pengelola pendidikan Paket B antara lembaga SKB dan PKBM berbeda. Lembaga SKB tidak terlalu sulit untuk mencari input peserta belajar, karena masyarakat sudah memahami bagaimana pelaksanaan pembelajaran di SKB. Peserta belajar yang beriminat belajar di SKB langsung datang mendaftar di SKB dan promosi untuk memperoleh input peserta didik dilakukan dengan cara memasang sapanduk penerimaa peserta belajar baru. Namun untuk PKBM strategi seperti tersebut tidak bisa dugunakan, karena peserta belajarnya bukanlah peserta yang memiliki kesadaran yang tinggi untuk mengikuti pendidikan kesetaraan Paket B.

Pengelola harus betul-betul berusaha mencari peserta belajar dengan berbagai bujuk rayu agar bersedia mengikuti pendidikan kesetaraan Paket B. Coverage atau jangkauan peserta belajar pendidikan kesetaraan Paket B antara peserta di SKB dan PKBM relatif berbeda. Dari segi tempat tinggal relatif sama, keduanya sama-sama berasal dari warga sekitar tempat kegiatan pembelajaran dilakukan. Namun dari usia, umumnya lembaga di SKB cenderung homogen karena peminatnya sebagian besar anak-anak tamatan SD yang baru lulus yang tidak melanjutkan sekolah pada lembaga pendidikan konvensional, sedangkan pada lembaga PKBM cenderung menjangkau siapa saja yang berminat utuk mengikuti pendidikan kesetaraan. Environment sebagai input dalam kegiatan pembelajaran sangat menentukan keberhsilan belajar. Lingkungan belajar pada pendidikan kesetaraan Paket B di SKB sudah representatif dan strategis dapat di jangkau dari berbagai penjuru dengan mudah, Sementara itu lingkungan belajar di PKBM sangat berbeda degan SKB. Pembelajaran di PKBM umumnya dilakukan dalam ruang dan lingkup terbatas, baik ruang, sarana prasarana, maupun lingkungan sosial masyarakatnya. Ini adalah persoalan yang penting harus diselsaikan agar kegiatan pembelajaran dapat dilakukan secara baik. Budget kegiatan pendidikan kesetaraan Paket B yang berada di SKB dan di PKBM berbeda. Budget kegiatan pembelajaran di SKB semuanya sudah menjadi tanggung jawab pemerintah. Semua peserta mendapatkan BOS karena usia wajar 9 tahun. Semuan tutor atau pamong belajar juga sudah diangkat menjadi PNS dengan gaji yang relatif cukup. Demikian juga biaya operasional manajerial juga mendapat bantuan dari pemerintah. Sementara di PKBM harus bekerja kerasa mencari dan menggalang dana dari berbagai pihak, karena setiap setiap PKBM mendapatkan bantuan secara rutin dari pemerintah untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 188

Fakhruddin & Utsman Process Pembelajaran Paket B Evaluasi proses. Worthen & Sanders (1990) menjelaskan bahwa, evaluasi proses memiliki tujuan: “ 1) do detect or predict in procedural design or its implementation during implementation stage, 2) to provide information for programmed decision, and 3) to maintain a record of the procedure as it occurs “. Pada dasarnya evaluasi proses ini untuk mengetahui sejauh mana rencana telah dilaksanakan dan komponen apa yang perlu diperbaiki. Dengan kata lain, evaluasi proses dalam model CIPP menunjuk pada kegiatan apa yang dilakukan dalam program, siapa orang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab program, kapan kegiatan akan selesai. Kegiatan pembelajaran pendidikan kesetaraan Paket B dimulai dari pengembangan (developing) rencana perangkat pembelajaran. Namun tidak semua tutor atau pamong belajar merancang perangkat pembelajaran secara baik. Untuk dapat merancang perangkat pembelajaran secara baik diperlukan pengetahuan yang memadai disamping perlu kemauan yang kuat untuk membuatnya. Perangkat pembelajaran yang dibuat kemudian di implemnetasikan sesuai rancangn yang dibuat. Jika antara rencana dengan implemntasi tidak konsisten maka capain hasil belajar tidak akan maksimal. Demikian juga ranncangan pembelajaran tidak ada artinya jika tidak didukung dengan sarana dan prasaran yang tersedia, karena tidak dapat diterapkan secara maksimal dalam pembelajaran. Rancangan pembelajaran Paket B di SKB lebih baik jika dibandingkan dengan rancangan pembelajaran yang ada pada PKBM. Hal ini disebabkan oleh berbagai fator antara lain karena sumberdaya dan sumberdana yang tersedia berbeda. Lama waktu implementasi pembelajaran dalam pendidikan kesetaraan Paket B di PKBM sangat bervariasi. Variasi tersebut dapat mempengaruhi kualitas hasil belajar warga belajar. Demikian juga kedisiplinan dalam belajar dapat berpeagruh

terhadap kualitas hasil belajar. Umumnya di PKBM pembelajaran dilakukan tidak setiap hari. Ada yang melaknakan pembelajaran 3 hari ada yang dua hari dalam seminggu. Sementara itu pada SKB kegiatan pembelajaran umumnya dilakukan seperti pada SLTP konvensional, yaitu setiap hari. Product Pembelajaran Paket B Evaluasi produk ini untuk membantu membuat keputusan selanjutnya, baik mengenai hasil yang telah dicapai maupun apa yang dilakukan setelah program itu berjalan. Evaluasi produk merupakan penilaian yang dilakukan guna untuk melihat ketercapaian/ keberhasilan suatu program dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya (Utsman, 2014). Produk kegiatan pembelajaran pendidikan kesetaraan dapat diartikan sebagai hasil kegiatan pembelajaran. Hasil kegiatan pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi tiga ranah kognitif, ranah psikomotorik, dan ranah afektif. Secara eksplisit ketiga ranah ini tidak dapat dipisahkan, karena setiap mata pelajaran selalu mengandung ketiga ranah tersebut, namun hanya penekanannya berbeda. Mata pelajaran praktek lebih menekankan pada ranah psikomotor, mata pelajaran pemahaman konsep lebih menekankan pada ranah kognitif. Namun kedua ranah tersebut mengandung ranah afektif. Ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik. Ranah psikomotor adalah ranah yang berhubungan aktivitas fisik Ranah kognitif berhubungan erat dengan kemampuan berfikir, termasuk di dalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis dan kemampuan mengevaluasi. Sedangkan ranah afektif mencakup watak perilaku seperti sikap, minat, konsep diri, nilai dan moral. Dalam paradigma lama, penilaian pembelajaran lebih ditekankan pada hasil (produk) dan cenderung hanya menilai kemampuan aspek kognitif, yang kadang-kadang direduksi sedemikian rupa

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar NasionalPendidikanNonformaldan Informal- 189 Nama Penulis

melalui bentuk tes obyektif. Sementara, penilaian dalam aspek afektif dan psikomotorik kerapkali diabaikan. Kemampuan afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, dan kemampuan mengendalikan diri. Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungakan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah subtaksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu evaluasi. Masalah afektif dirasakan penting oleh semua orang, namun implementasinya dalam pembelajaran Paket B masih kurang. Hal ini disebabkan merancang pencapaian tujuan pembelajaran afektif tidak semudah seperti pembelajaran kognitif dan psikomotor. Satuan pendidikan harus merancang kegiatan pembelajaran yang tepat agar tujuan pembelajaran afektif dapat dicapai. Pada evaluasi produk kegiatan pembelajaran Kesetaraan Paket B dapat dilihat dari dua aspek, yaitu kauntitas dan kualitas. Secara kuantitas tidak semua warga belajar kesetaraan Paket B dapat menyelsaikan program belajar sampai selesai, dan hanaya sekitar 75% dari warga belajar Paket B yang dapat mengakhiri belajarnya dengan memperoleh ijazah setera SLTP konvensonal. Secara kualitas memang tidak semua peserta Kejar Paket B kemapuan kognitif, afektif, dan psikomotorik kualitanya kurang baik, namun secara umum kualitas warga belajar Paket B lebih rendah dibandingkan dengan out put SLTP konvensional.

KESIMPULAN DAN SARAN Context program pembelajaran Kesetaraan Paket B di Kabupaten Semarang secara umum kurang kondusif karena warga belajar Paket B belum merasakan belajar sebagai kebutuhan karena warga belajar tidak merasakan adanya problem yang dihadapi jika tidak belajar, hal ini terbukti dari kebiasaan membolos dan malas mengikuti kegiatan belajar dianggap sebagai suatu yang wajar. Sedangkan In put pembelajaran Kesetaraan Paket B di Kabupaten Semarang masing-masing lembaga bervariasi, dan secara umum input sumber daya manusia yang tersedia cukup memadai, namun sarana yang tersedia terutama di PKBM sangat minim, demikian juga dana operasional kegiatan pembelajaaran sangat terbatas. Process pembelajaran Kesetaraan Paket B di Kabupaten Semarang masih memiliki berbagai kelemahan, terutama proses pembelajaran yang dilakukan di PKBM, karena pengelola dan tutor tidak kuasa untuk meningkatkan aktifititas dan creatifitas belajar warga belajar yang memiliki motivasi belajar yang redah, terutama di daerah yang kondisi alamnya tidak kondusif. Product pembelajaran Kesetaraan Paket B di Kabupaten Semarang secara kuantitas cukup baik karena sektar 75% warga belajar berhasil memperoleh predikat lulus Kejar Paket B dan atau lulus ujian persmaan, namun secara kualitas dapat dikategorikan kurang. Indikasinya nilai yang diperoleh rata-rata berada pada standard minimal lulus, walaupun ada beberapa lulusan yang nilainya cukup baik. Berdasarkan hasil temuan tersebut disarankan: Pertama, warga belajar yang belum menyadari kebutuhan belajar dan belum memanfaatkan kesempatan dalam pembelajaran secara maksimal, perlu adanya proses menyadaran yang kontinu terhadap kebutuhan belajar, disamping itu warga belajar perlu terus dimotivasi untuk memanfaatkan peluang belajar yang telah diberikan oleh berbagai pihak terkait. Kedua, kondisi sarana yang sangat minim untuk kegiatan pembelajaran, dan

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 190

Fakhruddin & Utsman pemasukan dana yang minim dari pihak terkait, disarankan pihak pemerintah, baik pemerintah daerah mapun pusat memberikan dukungan pendanaan kegiatan pembelajaran kesetaraan Paket B secara proporsional. Ketiga, randahnya motivasi dan minat belajar bagi warga belajar Paket B merupakan musuh utama pada kegiatan pembelajaran Paket B, oleh karena disarankan tutor/pamong dan pengelola kegiatan harus terus secara gencar untuk motivasi dan minat belajar yang rendah dengan berbagai strategi.

Owston, Ron (2007) Models and Methods for Evaluation. Toronto, Canada : York University,

DAFTAR PUSTAKA Ahmed, Manzoor. (1975). The Economics of Nonformal Education: Resources, Costs, and Benefits. New York: Preager Publishing.

Scriven, M. (1997). Minimalist theory: The least theory that practice requires. American Journal of Evaluation, 19, 575-604

-----. (1999). Pendidikan Indonesia Mengatasi Krisis-Menuju Pembaruan. Konferensi, Jakarta 23-28 Februari 1999. Jakarta: Depdiknas, Bappenas, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia -----.

(2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Cohn, Elchanan. (1979). The Economics of Education: An Introduction. Massachussetts: Ballinger Publishing Company Creswell, John W. 2007,Qualitative Inquiry & Research Design, Second Edition, Sage Publications, Inc., 2455 Teller Road, Thousand Oaks, California 91320, p.10 Chavis, D. (2004). Looking the enemy in the eye: Gazing into the mirror of evaluation practice. The Evaluation Exchange, 9, (8-9) Kementrin Pendidikan dan Kebudayaan (2013). APK/APM PAUD, SD, SMP, SMA, dan PT. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Markus, J.F. (1994). Studi evaluasi pelaksanaan program Coplaner propinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang: Universitas Nusa Cendana.

Stufflebeam, D. L. et. al. (2000). Evaluation Models Viewpoints On Educational and Human Services Evaluation. Second Edition. New York: Luwer Academic Publishers Stufflebeam, C.F. Madam and T. Kellaghan (eds.). (2000). Evaluation Models. Kluwer Academit Publishers. Boston. All rights reserved

Utsman (2014). Evaluasi Program Pembangunan Masyara kat dengan Model CIPP Makalah disajikan dalam Seminar dan Temu Akademisi Pendidikan Luar Sekolah tingkat Nasional pada tanggal 26 Nopember tahun 2014 di UPI Bandung dengan mengusung tema umum: “Penguatan Peran Pendidikan Luar Sekolah dalam Pembangunan Masyarakat. Waspodo. (1994). Studi tentang pemahaman partisipasi masyara-kat dalam perencanaan dan pengelolaan sumber-sumber pendidikan di sumatera Worthen, B. (1990). Program evaluation. H. Walberg & G. Haertel (Eds.), The international encyclopedia of educational evaluation (pp. 42-47). Toronto, ON: Pergammon Press.

PROFIL SINGKAT Utsman lahir di Jombang 04 Agustus 1957. Lulus S1 Jurusan Pendidikan Luar Sekolah dari IKIP Malang tahun 1980, pada tahun 1991 lulus S2 Jurusan Pendidikan Luar Sekolah dari IKIP Malang, dan pada tahun 2013 lulus S3 dari Universitas Negeri Yogyakarta, Saat ini bekerja sebagai tenaga pengajar di Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Semarang.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


OPTIMALISASI PERAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY TERHADAP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENGEMBANGAN PROGRAM-PROGRAM PENDIDIKAN NONFORMAL DAN INFORMAL Dr. M. Djauzi Moedzakir, M.A. Prodi PLS Pascasarjana UM djauzi_um@yahoo.com

ABSTRAK Makalah ini ditulis untuk menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana mengoptimalkan peran Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap program pemberdayaan masyarakat (PM) terkait dengan pendidikan nonformal (PNF) dan pendidikan informal (PIF). Ariefianto (2012) menemukan bahwa ternyata CSR selama ini lebih terpola hanya sebagai program pendistribusian dana. Hasil penelitian Moedzakir, dkk (2010a) di sisi lain menunjukkan bahwa core bisnis Prodi PLS di Indonesia terdiri atas tiga substansi utama, yaitu PNF, PIF, dan PM. PNF adalah aktivitas pendidikan terstruktur yang diselenggrakan di luar sistem persekolahan, PIF adalah pengalaman edukatif atau aktivitas pendidikan tak terstruktur yang diperoleh setiap orang di sepanjang hayat, sedangkan PM adalah aktivitas pendidikan terstruktur dan tak terstruktur yang ditujukan kepada kelompok atau komunitas. Jadi PM adalah PNF dan PIF untuk komunitas, atau dengan kata lain PM dapat dikembangkan melalui berbagai program PNF dan PIF. Kebutuhan belajar vokasional untuk peningkatan pendapatan suatu komunitas dapat dipenuhi dengan program-program kursus atau life skill, sedangkan pengembangan tradisi berqolbun salim suatu komunitas dapat diupayakan dengan program PIF berbasis keluarga. Peran CSR untuk PM dapat dioptimalkan melalui perencanaan berbasis identifikasi kebutuhan belajar masyarakat yang didukung oleh kerjasama dengan Prodi PLS. Kata kunci: pendidikan nonformal, pendidikan informal, pemberdayaan masyarakat, Corporate Social Responsibility


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 192 Dr. M. Djauzi Moedzakir, M.A. PENDAHULUAN Pemberdayaan masyarakat pada dasarnya merupakan sebuah upaya edukasi untuk komunitas (Sudjana, 1991). Upaya edukasi ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Sejak masa Orde Baru, pemikiran mengenai urgensi hal tersebut telah tertuang di dalam konsep dasar pembangunan nasional. Dinyatakan bahwa pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuh-nya (Repelita). Konsep dasar tersebut di satu sisi menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan nasional, sedangkan di sisi lain masya-rakat merupakan subyek dan sekaligus tujuan akhir pembangunan nasional. Di masa Orde Baru itu pula, secara yuridis sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai proses yang berlangsung sepan-jang hayat dan dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu pendidikan persekolahan dan pendidikan luar sekolah (UU No. 2 Tahun 1989). Pemberdayaan masyarakat memang merupakan sebuah konsep yang mengurus optimalisasi potensi sumber daya manusia. Pembangunan nasional merupakan sebuah gerakan komprehensif yang mencakup semua bidang kehidupan masyarakat. Namun demikian, karena realisasinya lebih diprioritaskan pada sektor atau bidang ekonomi, maka bidang edukasi kurang mendapat perhatian secara optimal, potensi masyarakat kurang terberdayakan, dan karenanya upaya pemberdayaan masyarakat masih perlu dibenahi dan ditindaklanjuti. Pengalaman ini menunjukkan bahwa pengembangan sumber daya manusia hanya akan terurus secara lebih tuntas oleh bidang edukasi dan bidang yang memberi layanan edukasi untuk masyarakat luas adalah Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Dalam rangka pengembangan lebih lanjut di masa mendatang, pemberdayaan masyarakat membutuhkan berbagai dukungan. Salah satu bentuk dukungan yang potensial dan patut diharapkan untuk hal tersebut adalah dukungan Corporate Social Resposibility (CSR), sebuah program pendanaan dari dunia usaha, khususnya BUMN, dalam rangka pelaksanaan kewajibannya untuk memenuhi UU No. 40 Tahun 2007. Yang menjadi persoalan adalah kecenderungan perusahaan

selama ini yang men-distribusikan dananya untuk program-program insidental. Akibatnya, pendistribusian dana tersebut kurang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar perusahaan. Dengan demikian, aktivitas CSR selain belum mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan juga merupakan suatu pemborosan. CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan dan pemberdayaan masyarakat merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. CSR pada dasarnya adalah sebuah program pengalokasian dana keuntungan perusahaan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat. Hal ini diharapkan merupakan sebuah komitmen perusahaan akan kepeduliannya terhadap kesejahteraan masyarakat lingkungan sekitar perusahaan. Sebagaimana diketahui, setiap perusahaan diwajibkan menyisihkan 2% (dua persen) laba bersihnya untuk Program Kemitraan dan 2% (dua persen) laba bersihnya lagi untuk Program Bina Lingkungan. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 Pasal 74 Bab V tentang Perseroan Terbatas sebagai pengganti UU No.2 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (Ariefianto, 2012). Kedua program tersebut biasa disingkat menjadi PKBL. Pada Bab II Pasal 2 Permen tersebut dimuat ketentuan setiap Persero dan Perum agar melaksanakan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan. Di Bab I Pasal I ayat 2 tercantum bahwa yang dimaksud Persero adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi kedalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% nya dimiliki oleh negara dengan tujuan utamanya mengejar keuntungan (Ariefianto, 2012). Peran CSR dalam konteks pemberdayaan masyarakat telah mengalami perubahan. Peran awalnya adalah sebagaimana yang diharapkan oleh penggagasnya, Howard R. Bowen pada tahun 1953, yaitu filantropis (Ariefianto, 2012). Di sini CSR merupakan program pemberian donasi kepada masyarakat dalam rangka kemanusiaan. Jadi dasar


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 193 Dr. M. Djauzi Moedzakir, M.A. pemberian bantuan yang dilakukan oleh perusa-haan kepada masyarakat adalah keikhlasan. Sekarang hal itu tampak lebih dimaknai sebagai pemberian bantuan yang simbiosis mutualisme (saling menguntungkan). Dengan kata lain, bantuan yang diberikan perusahaan merupakan sebuah upaya strategis perusahaan untuk menjaga hubungan baiknya dengan masyarakat guna menjaga keberlangsungan perusahaan. Dalam konteks seperti ini, perusahaan mendapatkan keuntungan, setidaknya pengakuan, dukungan, dan pengamanan dari pihak masyarakat sekitar untuk kelangsungan perusahaan yang bersangkutan. Sebaliknya pihak masyarakat juga memperoleh manfaat untuk peningkatan kesejahteraannya, termasuk sustainability atau kesinam-bungan usaha masyarakat. Jadi perusahaan tetap memberikan bantuan kepada masyarakat, tetapi dalam nuansa yang berbeda. Yang menjadi persoalan adalah pendistribusian dana keuntungan perusahaan masih belum dilakukan secara optimal. Banyak program-program sesaat atau insidental usulan pihak LSM yang justru dipenuhi, seperti program motivasi belajar siswa di SD, SMP dan SMA tertentu; pelatihan manajemen berbasis sekolah untuk para pimpinan sekolah, dan sebagainya. Hal ini terjadi di beberapa daerah yang justru memiliki banyak BUMN. Seharusnya dana keuntungan perusahaan digunakan untuk program-program pemberdayaan masyarakat yang lebih berbasis pada kebutuhan belajar masyarakat dan rencana yang berkelanjutan. Dengan demikian, ada identifikasi kebutuhan belajar terlebih dahulu. Selanjutnya berdasarkan hasil identifikasi tersebut dirancang programprogram yang tepat, strategis dan berkelanjutan. Setelah itu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, dilakukan pendampingan yang tuntas, dievaluasi secara sistematis dan dilakukan perbaikan-perbaikan. Jika tidak demikian, maka meskipun dana yang telah terdistribusi sudah cukup banyak, manfaatnya akan kurang bisa dirasakan oleh masyarakat. Dana yang terdistribusi selain tidak mencapai sasaran, juga justru merupakan sumber pemborosan. Kondisi semacam ini tentu tidak layak dibiarkan. Perusahaan yang baik tidak akan membiarkan kekeliruan yang sama terjadi untuk yang ke sekian kalinya. Perusahaan yang baik tidak akan hanya mementingkan asal sudah ada bukti pendistribusian dana CSR.

Akunta-bilitas pendistribusian dana dalam mencapai sasaran yang seharusnya akan menjadi taruhan kredibilitas perusahaan yang bersangkutan. Untuk sekedar contoh kasus, berikut diketengahkan hasil penelitian Ariefianto (2012) tentang program CSR PT Semen Gresik. Pengambilkan kasus CSR di PT Semen Gresik sebagai sasaran penelitian karena perusahaan tersebut memperoleh Impressive Social Report Award pada tahun 2005, sebuah penghargaan yang cukup membanggakan. Dari penelitian tersebut diketahui hal-hal sebagai berikut. Pertama, Program CSR PT Semen Gresik telah melaksanakan beberapa kegiatan pember-dayaan masyarakat, antara lain (a) bidang lingkungan (bersifat fisik): turut serta menjaga keseimbangan lingkungan, dan penghijauan (green zone); (b) bidang sosial: kesehatan (pengobatan gratis, bakti sosial, jaminan kesehatan), pendidikan (pemberian beasiswa, bantuan peralatan sekolah, pembangunan gedung sekolah), sarana umum (pembangunan tempat ibadah, jembatan, dan MCK; (c) bidang ekonomi: pembinaan dan pemberdayaan usaha kecil (pelatihan usaha dan pinjaman modal) telah mampu menghasilkan pengusaha-pengusaha baru yang mampu menolong diri sendiri dan orang lain. Jadi ketiga bidang pemberdayaan yaitu lingkungan, sosial dan ekonomi telah dijalankan secara lengkap. Kedua, dampak program CSR terhadap pemberdayaan masyarakat terlihat pada beberapa hal. (a) Di bidang lingkungan tidak banyak terlihat secara jelas karena belum menimbulkan rasa memiliki dan tanggungjawab, serta kurang mendorong partisipasi masyarakat. (b) Di bidang sosial: (1) kesadaran warga binaan akan pendidikan meningkat dan pendidikan vokasional menghasilkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran/sikap baru masyarakat; (2) kesehatan masih belum terwujud sebagai tindakan karena masih menyisakan sampah banyak berserakan, genangan air dalam drainase, dan sebagainya; dan (3) sarana umum kurang mendorong partisipasi. (c) Di bidang ekonomi: telah meningkatkan pengetahuan tentang kewirausahaan, jaringan usaha, membaca peluang, manajemen usaha,


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 194 Dr. M. Djauzi Moedzakir, M.A. kepemimpinan, komunikasi, negosiasi, dan sikap-sikap disiplin, percaya diri, bersemangat; namun tidak banyak yang berhasil mandiri karena warga masih sangat bergantung pada pinjaman modal. Ketiga, faktor pendukung dan penghambat keberhasilan. Faktor pendukung terletak pada aspek internal yaitu aspek kualitas dan kuantitas tenaga pelaksana, wawasan pengetahauan masyarakat, motivasi serta karakteristik religius masyarakat; dan aspek eksternal yaitu dukungan tokoh masyarakat. Selanjutnya faktor penghambat terletak pada kendala pihak birokratis, yaitu pemerintah daerah mengharapkan dana CSR dikelola pemerintah. Best practice di atas pun ternyata masih belum sepenuhnya didasarkan atas identifikasi kebutuhan belajar masyarakat yang cermat dan berkelanjutan. PT Semen Gresik tidak memiliki SDM yang berlatar belakang pendidikan relevan dengan pemberdayaan masyarakat dan baru paham bahwa di perguruan tinggi terdapat Jurusan atau Prodi PLS yang mengkaji pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian sebetulnya program CSR PT Semen Gresik masih bisa dikembangkan lebih bervariasi dan efektif di masa mendatang dengan pengembangan kerjasama institusional dengan Prodi PLS perguruan tinggi terdekat seperti UM. CORE BISNIS PROGRAM STUDI (PRODI) PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH (PLS) PLS pada dasarnya adalah sebuah bidang kajian yang perkembangannya di Indonesia memiliki historis tersendiri. Terlepas dari historis panjang bidang terkait di tataran internasional yang mungkin bisa dikaji garis atau hubungan interaksinya dengan yang terjadi di Indonesia, di tataran nasional sendiri PLS bermula sekurang-kurangnya dari tiga bentuk pendidikan yang berakar dari kehidupan masyarakat Indonesia sendiri sebagaimana yang dikemukakan Sudjana (dalam Moedzakir, 2013) sebagai berikut. (a) aktivitas pendidikan yang merupakan bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat secara turunmenurun (indigenous learning), (b) aktivitas magang dalam konteks

kehidupan ekonomi masyarakat, dan (c) berbagai kegiatan keagamaan yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Di tataran internasional, bidang kajian tersebut secara historis berasal dari teori andragogy (Marzuki dalam Moedzakir, 2013), yang secara etimologis berasal dari bahasa Latin andros atau andr (orang dewasa) dan agogus (pemimpin) serta dipahami secara utuh sebagai ilmu atau seni untuk membantu orang dewasa belajar. Istilah tersebut mula-mula dikenalkan oleh Alexander Kapp pada tahun 1833, kemudian sempat lenyap dan dilupakan orang sekitar 100 tahun karena ditentang Herbart, seorang filosuf Jerman, dan baru digunakan kembali oleh Eugen Rosenstock pada tahun 1921. Sejak itu andragogi tersebar luas ke berbagai negara Eropa, Kanada, dan Amerika Serikat serta negara lain. Selanjutnya berkat promosi Malcolm Knowles, konsep tersebut mengalami kemajuan yang makin pesat di Amerika dengan sebutan Adult Education dan sebutan-sebutan yang lain, termasuk Continuing Education. Berikutnya lahir konsep pendidikan formal, nonformal dan informal dari pemikiran seorang ahli perencanaan pendidikan dunia bernama Phillip H. Coombs pada saat terjadinya krisis pendidikan dunia tahun 1960-an, muncul gagasan-gagasan lifelong education dari Edgar Faure dalam sidang UNESCO tahun 1972, Education for All dan MDGs di beberapa sidang UNESCO berikutnya, serta pengusulan konsep lifelong learning sebagai paradigma pendidikan dunia dalam konferensi internasional UNESCO di Shanghai tahun 2011 (Torres, 2011). Pada saat yang beriringan, terjadi juga peristiwa-peristiwa monumental di dunia akademik di Indonesia melalui kelahiran Jurusan Pendidikan Sosial (Pensos) yang kemudian berkembang menjadi Jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Peristiwa ini bermula dari pembukaan Jurusan Pedagogik Sosial di Fakultas Pedagogik Universitas Gajahmada (UGM) pada tahun 1953 yang kemudian berdiri sendiri sebagai IKIP Yogyakarta, kemudian kelahiran Jurusan Ilmu Pendidikan Masyarakat pada tahun 1956 di PTPG Bandung yang kemudian berubah menjadi IKIP Bandung berikut perubahannya menjadi Jurusan Ilmu Pendidikan dan Pekerjaan Kemasyarakatan pada tahun 1960


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 195 Dr. M. Djauzi Moedzakir, M.A. dan menjadi Jurusan Pendidikan Sosial pada tahun 1964 dan secara serentak diikuti oleh pembukaan jurusan yang sama di beberapa IKIP induk antara lain IKIP Malang, IKIP Padang, IKIP Jakarta, dan IKIP Makassar pada tahun yang bersamaan. Pada tahun 1970-an jurusan tersebut mengalami peledakan peminat karena lulusannya diterima hampir dimanamana, kemudian tahun 1982 terjadi perubahan nama menjadi Jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS), selanjutnya pada tahun 1986 terjadi penutupan jurusan Pensos di beberapa perguruan tinggi di satu sisi, tetapi di sisi lain pada tahun 1989 lahir pengakuan yuridis terhadap eksistensi PLS dalam bentuk UU Sisdiknas Nomor 2. Lebih tragis lagi munculnya isyu pada tahun 1995 tentang penghapusan Jurusan tersebut di semua perguruan tinggi karena ditengarai “pohon ilmu� jurusan tersebut tidak jelas, sehingga para mahasiswa jurusan tersebut protes keras ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta. Setelah terjadi dialog antara Tim Konsorsium Ilmu Pendidikan Ditjen Dikti dan para utusan jurusan tersebut dari IKIP Yogyakarta dan IKIP Malang, diperolehlah keputusan yang menggembirakan yaitu jurusan PLS tetap mendapat ijin dibuka atas pertimbangan bahwa jurusan tersebut memiliki obyek forma yang berbeda dari Jurusan Sosiatri dan Pekerjaan Sosial. Perkembangan yang paling akhir adalah adanya upaya untuk mengubah nama jurusan tersebut menjadi Jurusan Pendidikan Nonformal, meskipun menurut penulis hal ini bisa berdampak ke pengkerdilan lingkup kajian keilmuan jurusan yang bersangkutan. Berdasarkan hasil penelitian kerjasama Jurusan PLS UM dan Direktorat Pendidikan Masya-rakat Ditjen PNFI tahun 2010, diketahui bahwa ternyata ada lebih dari 40 perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia yang tercatat memiliki jurusan atau program studi PLS dengan core bisnis keilmuan sebagaimana tercermin di kurikulum Prodi tersebut yang mencakup tiga substansi, yaitu pendidikan nonformal (PNF), pendidikan informal (PIF), dan pemberdayaan masyarakat (PM) (Moedzakir, dkk 2010a). Memang tak dapat dipungkiri adanya variasi pada kurikulum Prodi yang bersangkutan. Hal tersebut antara lain sebagai dampak dari beberapa perubahan nomenklatur Jurusan atau Prodi PLS dalam perjalanan sejarah Prodi

sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya. Selain itu juga sehubungan dengan adanya kecenderungan Prodi PLS di beberapa perguruan tinggi yang berkiblat ke perguruan tinggi tertentu. Beberapa perguruan tinggi yang cenderung mendapat kepercayaan menjadi rujukan antara lain adalah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Universitas Negeri Malang (UM), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Oleh karena itu penelitian tersebut menemukan adanya benang merah yang menggambarkan adanya core pada kurikulum Prodi PLS. Dengan ditemukan dan diakuinya tiga substansi di atas sebagai core bisnis Prodi PLS, tentu tidak dibenarkan jika ada Prodi PLS yang tidak mengkaji dan mengembangkan ketiga substansi tersebut dan jika ada alumni PLS yang tidak menguasai apalagi tidak memahami ketiganya. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat itu sendiri adalah sebuah istilah yang dulunya lebih dikenal dengan pengembangan masyarakat atau community development dan saat ini lebih banyak mengacu ke community empowerment. Pemahamannya adalah upaya terencana dan sistematis yang dilakukan oleh dan untuk masyarakat guna meningkatkan kualitas hidup di semua aspeknya (Sudjana, 1991). Program ini sejalan dengan tipe program developmental yang diketengahkan Boyle (1981). Sasarannya adalah komunitas, inti kegiatannya adalah membantu komunitas mengatasi masalah yang sedang mereka hadapi, cara yang digunakan adalah mengembangkan potensi, kapasitas atau kemampuan komunitas yang bersangkutan, baik kapasitas individu, kelompok ataupun kelembagaannya, dann target luarannya adalah meningkatnya kemampuan (pengetahuan/knowledge, keterampilan/skill, and sikap/attitude) komunitas. Ringkasnya, pemberdayaan masyarakat adalah aktivitas edukasi yang ditujukan kepada komunitas. Pendidikan Nonformal Selanjutnya pendidikan nonformal pada dasarnya adalah kegiatan pendidikan terstruktur yang berlangsung di luar sistem pendidikan persekolahan. Hal ini sesuai dengan definisi yang diberikan Jarvis (dalam


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 196 Dr. M. Djauzi Moedzakir, M.A. Hoare, 2001): “any form of systematic learning conducted outside of a formal education”. Jadi secara ringkas pendidikan nonformal adalah aktivitas pendidikan terstruktur yang diselenggrakan di luar sistem persekolahan, atau dengan kata lain upaya pemberdayaan individu melalui aktivitas edukasi terstruktur di luar sistem pendidikan persekolahan.

Pendidikan Informal Pendidikan informal atau informal education pada dasarnya adalah pengalaman edukatif yang diperoleh seseorang dalam interaksi kehidupan sehari-hari di sepanjang hayatnya. Pengalaman edukatif bisa diperoleh secara disengaja ataupun tak disengaja, atas inisiatif diri sendiri ataupun atas bantuan orang lain. Pengalaman tersebut terjadi di seluruh interaksi seseorang dengan pihak lain di sepanjang hayat, sehingga tidak mengenal batasan waktu dan tempat. Pihak yang berinteraksi pun tidak terbatas, sehingga bisa dengan sesama manusia dengan seluruh aspek budayanya maupun non manusia, termasuk alam semesta, juga dengan Tuhan beserta ajaranNya. Jarvis (2005) memang mendefinisikannya sebagai “the form of education that occurs when people learn informally from their invironment”, jadi sebagai aktivitas pendidikan. Namun demikian, berhubung pengalaman edukatif dalam kenyataannya jauh lebih banyak terjadi secara tak disengaja dan lebih merupakan proses belajar ketimbang proses pendidikan, para ahli lebih suka menyebutnya sebagai informal learning ketimbang informal education. Ringkasnya, pendidikan informal adalah semua pengalaman edukatif atau aktivitas pendidikan tak terstruktur yang diperoleh setiap orang di sepanjang hayatnya.

PENGEMBANGAN PROGRAMPROGRAM PENDIDIKAN NONFORMAL DAN INFORMAL UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Pada dasarnya PNF dapat dikembangkan dalam bentuk apapun, oleh siapapun, dan untuk siapapun. Yang penting wujudnya berupa aktivitas pendidikan terstruktur yang diselenggarakan di luar sistem

persekolahan. Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Pasal 1 dinyatakan bahwa PNF adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Selanjutnya di Pasal 26 Ayat 3 disebutkan bahwa PNF meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan kerja, pendidikan kesetaraan dan pendidikan lain yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik. Secara historis, kemunculan gagasan PNF adalah justru untuk memenuhi berbagai ragam kebutuhan belajar masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarakat di negaranegara dunia ketiga. PNF dapat dikembangkan untuk konteks bidang kehidupan, seperti ekonomi, politik, teknologi, kesehatan, seni budaya, dan keagamaan. PNF juga bisa dikembangkan untuk konteks kelompok usia, yaitu anak usia dini, anak usia sekolah, remaja, dewasa awal, dewasa pertengahan, dan lanjut usia. PNF juga bisa dikembangkan menurut karakteristik wilayah tempat tinggal, seperti wilayah pedesaan, perkotaan, pegunungan, pantai, perumahan, ataupun perkampungan padat penduduk (Kusnadi, 2006). PNF juga bisa dikembangkan menurut jenis kelamin, jenis profesi, cuaca atau musim, ketersediaan waktu, tempat dan seterusnya. Selanjutnya begitu pula halnya dengan PIF. Jenis pendidikan ini pada dasarnya juga dapat dikembangkan secara leluasa untuk konteks apapun, oleh siapapun, untuk siapapun, dimanapun dan kapanpun. Dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat, Jarvis menegaskan bahwa: “the groups of people learn through planned activities in an informal manner.” Dengan demikian PIF dengan capaian yang berupa pembentukan kepribadian dengan segala cakupan isinya seperti wawasan, persepsi, pemahaman, minat, semangat hidup, prasangka, asumsi, sikap, kebiasaan, nilai, keterampilan, sudut pandang, keyakinan dan sebagainya berlangsung di dalam kehidupan kelompok atau komunitas. Selanjutnya Jeff dan Smith (1999) menegaskan lebih lanjut bahwa: Undoubtedly the most common medium within informal education is


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 197 Dr. M. Djauzi Moedzakir, M.A. the spoken word, which clearly makes for rseponsiveness. The notion of dialogue also implies a particular kind of relationship between educator and learner and wetween learners, one which is based upon mutual respect. Adapun wadah yang paling autentik untuk keberlangsungan hal tersebut adalah kehidupan keluarga, pergaulan sehari-hari di luar keluarga, dan interaksi melalui berbagai media sosial. Oleh karena itu pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan informal pada dasarnya dapat dilakukan melalui pengembangan berbagai media pendidikan informal tersebut. Selanjutnya PNF dan PIF dapat dikembangkan dengan mengimplementasikan berbagai teori, pendekatan, strategi dan metode, mulai dari yang konvensional hingga yang mutakhir (Moedzakir, 2010b). Di antara teori, pendekatan dan strategi yang paling mutakhir adalah transformative learning sebagaimana yang diteliti oleh Moedzakir (2015).

PENUTUP Peran CSR terhadap program pemberdayaan masyarakat selama ini masih belum optimal. Banyak jenis program PNF dan PIF yang sebetulnya masih bisa dikembangkan lebih lanjut untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat belum terealisasikan. Setiap komunitas memiliki karakteristik dan kebutuhan belajar tersendiri. Oleh karena itu, langkah pertama yang mesti dilakukan perusahaan dalam mengembangkan programprogram pemberdayaan masyarakat adalah identifikasi kebutuhan belajar masyarakat sasaran. Berdasarkan hasil identifikasi ini dapat ditentukan secara lebih tepat dan dirancang secara sistematis berbagai program PNF dan PIF. Secara lebih tuntas, rangkaian aktivitas terkait dengan pengembangan berbagai jenis program PNF dan PIF dalam rangka pemberdayaan masyarakat ini dapat dioptimalkan melalui kerjasama antara perusahaan penyelenggara CSR dan Program Studi atau Jurusan PLS perguruan tinggi terdekat. Dengan kerjasama ini, baik masyarakat sekitar wilayah perusahaan

maupun pihak perusahaan akan memperoleh manfaat yang jauh lebih optimal. DAFTAR PUSTAKA Ariefianto, Lutfi. 2012. Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Semen Gresik (Persero) dan DampaknyaTerhadap Keberdayaan Masyarakat. Tesis. Tidak diterbitkan. Jeff T, and Smith,M. 1999. Informal Education – Conversation, Democracy and Learning. Derby: Education Now. Kusnadi. 2006. Masyarakat Humaniora.

Filosofi Pemberdayaan Pesisir. Bandung:

Moedzakir, M. Djauzi dkk. 2010a. Potensi dan Kontribusi Jurusan/Prodi Pendidikan Luar Sekolah terhadap Programprogram Pendidikan Masyarakat di Indonesia. Tidak dipublikasikan. Moedzakir, M. Djauzi. 2010b. Metode Pembelajaran untuk Program-program Pendidikan Luar Sekolah. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang (UM Press). Moedzakir, M. Djauzi. 2013. Pendidikan Luar Sekolah: Revitalisasi Konsep. Malang: Aditya Media Publishing. Moedzakir, M. Djauzi. 2015. Pembelajaran Transformatif untuk Pendidikan Nonformal, Pendidikan Informal, dan Pemberdayaan Masyarakat. Malang: Penerbit Elang Mas. Rencana Pembangunan Lima Tahun. Republik Indonesia. Sudjana, Djudju. 1991. Pendidikan Luar Sekolah: Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah & Teori Pendukung, Asas. Bandung: Penerbit Nusantara Press. Torres, Rosa Maria. 2011. Lifelong Learning Moving Beyond Education for All (EFA). In Yang, Jin and Valdes-Cotera, Raul (ed). Conseptual Evolution and Policy Developments in Lifelong Learning. Germany, Hamburg:


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 198 Dr. M. Djauzi Moedzakir, M.A. UNESCO Learning.

Institute

for

Lifelong

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Republik Indonesia.


PEMBERDAYAAN KELUARGA DALAM MEMBANGUN KARAKTER ANAK USIA DINI Emmy Budiartati1 PLS FIP UNNES Bundaemmy07@gmail.com ABSTRAK Anak dilahirkan dalam keadaan baik dan telah membawa potensi yang perlu dikembangkan sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan di masa depan. Potensi akan berkembang optimal jika lingkungan di mana anak berada cukup kondusif dan dilaksanakan sejak dini. Pendidikan bagi anak usia dini penting dilakukan, sebab merupakan dasar bagi pembentukan kepribadian manusia secara utuh, yaitu ditandai dengan karakter budi pekerti luhur, cerdas, dan terampil. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan para ahli bahwa pendidikan anak usia dini diberikan pada usia di bawah 6 tahun. Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi memiliki tujuan agar setiap pribadi semakin menghayati individualitasnya, mampu menggapai kebebasan yang dimiliki. Sehingga dapat semakin berkembang sebagai pribadi maupun warga negara yang bebas dan bertanggung jawab. Bahkan sampai pada tingkat tanggung jawab moral integral atas kebersamaan hidup dengan yang lain di dunia. Keluarga merupakan suatu lembaga tempat pembentukan karakter anak yang utama dan pertama. Meskipun demikian, keluarga tetap membutuhkan pihak lain di luar keluarga, yakni: sekolah (taman kanakkanak), dalam membentuk dan mengembangkan karakter anak usia dini. Hal ini karena keterbatasan kemampuan orang tua. Kata Kunci: Pemberdayaan Keluarga, Membangun Karakter, Anak Usia Dini.

ABSTRACT Children are born in decent condition and potential that suppose to be develope as preparation for their life in the future. Their potentials will develop optimally, as long as it is in conducived environment and early implemented. Early childhood education is important as the basic of the form of human personality as a whole, shown by their noble, intelligent, and skillful character. This is consistent with the statement of the experts that early childhood education is given at under 6 year’s old ages. Character education as a pedagogy has the aim that each person would have an individuality appreciation, so that they able to reach their freedom. Hopefully, they will be growing as free and responsible individuals and citizens. Even to the extent of integral moral responsibility on living with others in the world. The family is main and first child institution where character formed. Nevertheless, the family still needs external party, namely: school (kindergarten), in shaping and developing the character of early childhood. This is due to the limited abilities of the elderly. Keywords: Families Empowerment, Character Building, Early Childhood.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 200 Emmy Budiartati1 PENDAHULUAN Pada dasarnya anak dilahirkan dalam keadaan baik, dan telah membawa potensi yang perlu dikembangkan sebagai bekal untuk menghadapi kehidupan di masa yang akan datang. Potensi-potensi tersebut akan berkembang optimal jika lingkungan di mana anak berada cukup kondusif dan dilaksanakan sejak dini. Walaupun anak telah memiliki bermacam-macam potensi, sejatinya anak dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya dan membutuhkan pertolongan orang lain. Lingkungan yang pertama kali mengembangkan potensi-potensi dan memberikan pertolongan kepada anak adalah keluarga. Di dalam keluarga, orangtua akan memenuhi semua kebutuhan anak berupa pemenuhan kebutuhan fisik meliputi; makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan lain. Sedangkan kebutuhan nonfisik meliputi; kasih sayang, perhatian, belaian, pujian, teguran, dan pembiasaan-pembiasaan yang dapat mengembangkan potensi-potensi anak sejak lahir. Usia dini merupakan masa emas (golden age) di mana perkembangan fisik, kognitif, bahasa, dan sosial berlangsung sangat pesat. Masa ini merupakan masa peka untuk menerima rangsangan (stimuli) dan sangat menentukan bagi tumbuh kembang anak pada masa selanjutnya. Jika pada masa ini potensi anak tidak dikembangkan seoptimal mungkin, maka anak akan mengalami kerugian yang besar, sebab masa ini tidak pernah akan terulang lagi. Oleh sebab itu, menjadi tugas orang tua untuk membantu agar potensi anak dapat berkembang secara optimal. Hal tersebut sesuai dengan pendapat John Amus Comenius (1592-1670) seorang ahli pendidikan dan Pendeta Chekoslavia dalam bukunya The School of infant sebagaimana dikutip oleh Jamaris. Dalam buku tersebut ia menyatakan bahwa pendidikan telah dimulai sejak anak berada di pangkuan ibunya. Bagi Comenius pendidikan anak berlangsung sejalan dengan bermain karena bermain adalah realisasi dan pengembangan diri dan kehidupan anak. Bermain adalah dunia anak, dan merupakan suatu kegiatan yang menyenangkan, melalui bermain anak belajar banyak hal termasuk mengembangkan karakter. Selanjutnya Johann Pestalozzi (1746-1827) berpendapat bahwa pendidikan dimulai di rumah, melalui berbagai kegiatan yang dilakukan anak pada waktu bermain dan berbagai pengalaman indera yang

dialaminya bahwa self discovery merupakan proses belajar yang terbaik bagi anak usia dini. Pendapat dan Comenius dan Pestalozzi tersebut sejalan dengan pendapat Ki Hadjar Dewantara (1937) yang menyatakan bahwa pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya adalah; menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggitingginya. Jadi pendidikan adalah sebagai upaya untuk mengembangkan potensi manusia (anak) yang telah di bawa sejak lahir dan dilaksanakan sedini mungkin. Menurut Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan hanya suatu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Berarti bahwa tumbuhnya anak-anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kaum pendidik. Anakanak sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup, hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Jadi Kekuatan kodrati yang ada pada anak-anak itu tiada lain ialah segala kekuatan di dalam hidup batin dan hidup lahir dan anak-anak, yang ada karena kekuasaan kodrat. Kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya dan hidupnya kekuatan-kekuatan itu agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu. Karena pendidikan adalah sebagai tuntunan, maka semua potensi yang telah dimiliki anak sejak lahir, menjadi tugas pendidik untuk membantu mengembangkan sejak dini. Selanjutnya secara konsisten Ki Hadjar Dewantara menekankan pentingnya olah rasa di samping olah pikir (cipta) dan olah raga. Olah rasa menjadi penting karena kepekaan rasa yang akan menjadikan manusia yang berpikir (bercipta) unggul dan berkarsa tangguh tidak semena-mena pada pihak lain. Dengan olah rasa akan terbentuk manusia-manusia yang berwatak, antara lain, berintegritas antara pikir, kata, dan laku; jujur, rendah hati, disiplin, setia, menahan diri, bertenggang rasa, penuh perhatian, belas kasih, berani, adil, sabar, rajin, sederhana, taat hukum, berkepedulian terhadap manusia lain, terbuka, mau menerima perbedaan (demokratis), dan menghormati keragaman sebagai keniscayaan (Sumarta, 2000:182-183). Menjadi tugas orang tua sebagai pendidik bagi anak usia dini untuk mendidik dan mengembangkan nilai-nilai agar anak-anak kelak menjadi manusia yang berkarakter. Oleh sebab itu, perlu permberdayaan keluarga agar


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 201 Emmy Budiartati1 dapat berfungsi dan berperan sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak-anak mereka. PEMBAHASAN Konsep Dasar Anak Usia Dini Pendidikan bagi anak usia dini sangat penting dilakukan, sebab merupakan dasar bagi pembentukan kepribadian manusia secara utuh, yaitu ditandai dengan karakter budi pekerti luhur, pandai dan terampil. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan para ahli pendidikan anak bahwa pendidikan anak usia dini diberikan pada usia di bawah 6 tahun, bahkan sejak dalam kandungan. Pendidikan anak usia dini adalah suatu proses pembinaan tumbuh kembang anak usia lahir hingga enam tahun secara menyeluruh. Mencakup aspek fisik dan nonfisik, dengan memberikan rangsangan bagi perkembangan jasmani, rohani (moral dan spiritual), motorik, akal pikir, emosional, dan sosial yang tepat dan benar agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Upaya yang dilakukan mencakup stimulasi intelektual, pemeliharaan kesehatan, pemberian nutrisi, dan penyediaan kesempatan-kesempatan yang luas untuk mengeksplorasi dan belajar secara aktif (Direktorat Paud,2004:10). Jadi paud adalah: 1) Upaya untuk menstimulasi, membimbing, mengasuh, dan pemberian kegiatan pembelajaran yang akan menghasilkan kemampuan dan keterampilan pada anak; 2) Merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosioemosional (sikap dan perilaku serta agama), bahasa dan komunikasi; 3) Sesuai dengan keunikan dan pertumbuhan anak usia dini disesuaikan dengan tahaptahapperkembangan yang dilalui. (ha1 10-11). Berdasarkan pemahaman tentang pendidikan anak usia dini tersebut, pada hakikatnya anak usia dini adalah: a. Kelompok manusia yang berusia 0-6 tahun (di Indonesia berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas). Dan menurut para pakar pendidikan anak usia dini yang tergabung dalam National Association for the Education of Young Children (NAEYC) , yaitu kelompok manusia yang berusia 0-8 tahun (dalam Jamaris, 2006:3).

b. Kelompok anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang bersifat unik. Artinya, memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio-emosional (sikap dan perilaku serta agama), bahasa dan komunikasi yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang sedang dilalui oleh anak tersebut. c. Berdasarkan keunikan dalam tingkat pertumbuhan dan perkembangannya, anak usia dini terbagi dalam tiga tahapan, yaitu: (1) masa bayi, usia lahir 12 bulan; (2) masa toddler (batita), usia 1-3 tahun; (3) masa prataman kanak-kanak, usia 3-6 tahun; dan (4) masa kelas awal SD, usia 6-8 tahun. d. Pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini perlu diarahkan pada peletakan dasardasar yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia seutuhnya, yaitu: fisik, daya pikir, daya cipta, sosioemosional, bahasa dan komunikasi yang seimbang sebagai dasar pembentukan pribadi. Di dalam pelaksanaan program paud terdapat dua tujuan, yaitu tujuan utama dan tujuan penyerta. Tujuan utama (primary goal) dilaksanakannya paud adalah untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasanya. Karena itu, tujuan utama paud adalah memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak sedini mungkin yang meliputi aspek-aspek fisik, psikis, dan sosial secara menyeluruh yang merupakan hak anak. Dengan pertumbuhan dan perkembangan itu, anak diharapkan lebih siap untuk belajar lebih lanjut, bukan hanya belajar (akademik di lembaga paud), melainkan belajar sosial, emosional, moral, dan lain-lain pada lingkungan sosial. Tujuan penyerta (nurturing goal) paud adalah membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) Karena itu, menempatkan tujuan penyerta di atas segalanya mengandung resiko terhadap terjadinya praktikpraktik keliru yang terlalu berbobot akademik pada paud, seperti terbukti pada TK/RA selama ini (Supriyadi 2003).


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 202 Emmy Budiartati1 Mencermati uraian di atas paud sangat penting diberikan kepada anak usia dini, sebab: a. Dalam dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah penentu kehidupan pada masa mendatang. Di tangannyalah perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara berada. Pembentukan karakter bangsa dan kehandalan sumber daya manusia ditentukan oleh bagaimana memberikan perlakuan yang tepat kepada anak sedini mungkin. b. Usia dan kelahiran hingga enam tahun merupakan usia kritis bagi perkembangan semua anak, tanpa memandang dari suku atau budaya mana anak itu berasal. Stimulasi yang diberikan pada usia dini akan mempengaruhi laju pertumbuhan dan perkembangan anak serta sikap dan perilaku sepanjang rentang kehidupannya. c. Penelitian menunjukkan bahwa sejak lahir anak memiliki kurang lebih 100 miliar sel otak. Sel-sel syaraf ini harus secara rutin distimulasi dan didayagunakan agar terus berkembang jumlahnya. Jika tidak, jumlah sel tersebut akan semakin berkurang yang berdampak pada pangikisan segenap potensi kecerdasan anak. Pendidikan anak usia dini pada dasarnya berlangsung di mana dan kapan saja. Penyelenggara utama pendidikan anak usia dini adalah orangtua dan berlangsung di rumah/keluarga. Program paud sangat bervariasi, beberapa pendekatan lebih menekaikan pada perkembangan sosial, pendekatan lain lebih menekankan pada perkembangan kognitifnya. Sejumlah pakar dalam bidang pendidikan anak usia dini percaya bahwa kurikulum di kebanyakan taman kanakkanak dan program-program prataman kanakkanak saat ini terlalu banyak penekanan pada prestasi dan keberhasilan. Hal ini menyebabkan anak-anak mengalami tekanan yang terlalu dini dalam perkembangannya (Bredekamp & Shepard, 2002:242). Penekanan untuk pencapaian keberhasilan semacam itu sama sekali tidak sesuai dengan tujuan semula taman kanak-kanak didirikan. Pada tahun 1840-an, kepentingan Friedrich Froebel akan kualitas pendidikan bagi anak usia dini menuntunnya kearah pendidikan taman kanak-kanak, yang secara harfiah berarti “taman bagi anak-anak� pendiri taman kanakkanak itu mengerti bahwa, seperti tanaman yang bertumbuh, anak-anak memerlukan pengasuhan yang baik. Sayangnya, terlalu banyak taman

kanak-kanak saat ini telah melupakan pentingnya pengasuhan yang baik bagi anak usia dini bangsa ini. Di taman kanak-kanak yang berpusat pada anak (child-centered kindergarten), pendidikan melibatkan seluruh anak dan mencakup kepedulian akan perkembangan fisik, kognitif, dan sosial anak. Pembelajaran diorganisasikan sesuai dengan kebutuhankebutuhan, minat-minat dan gaya belajar anak. Penekanan adalah pada proses belajar dan bukan pada apa yang dipelajari. Setiap anak mengikuti suatu pola perkembangan yang unik dan anak usia dini paling baik belajar melalui pengalaman tangan pertama (langsung) dengan manusia dan benda-benda. Bermain sangat penting dalam perkembangan anak. Mencoba, menjelajahi, menemukan, menguji-coba, merestrukturisasikan, berbicara, dan mendengar ialah kata-kata yang menggambarkan program seperti itu, terkait erat dengan status perkembangan anak-anak usia 4 dan 5 tahun. Program didasarkan atas suatu keadaan yang tengah berlangsung, bukan atas suatu keadaan yang akan jadi (Santrock, 2002:242). Melalui kegiatan-kegiatan yang diikuti oleh anak usia dini yang menyenangkan di Kelompok Bermain dan Taman Kanak-kanak, diharapkan anak mendapatkan rangsangan dan kesempatan serta peluang yang besar untuk mengembangkan potensi sepenuhnya. Anak yang merupakan subjek sentral memiliki bakat, minat dan potensi yang tidak terbatas untuk dikembangkan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadapnya di dalam suasana kasih sayang, aman, terpenuhi kebutuhan dasarnya dan kaya stimulasi. Menurut Gardner lembaga paud harus mampu menstimulasi pengembangan potensi yang dimiliki anak mencapai 80%, sekaligus sebagai dasar perkembangan selanjutnya. Artinya program yang dilaksanakan benar-benar sebagai stimulans bagi potensi anak. Sesuai dengan karakteristik dan usia anak. Pendekatan yang tepat digunakan dalam kegiatan belajar adalah individual. Namun, dengan berbagai pertimbangan banyak TK mengutamakan pendekatan klasikal. Kondisi tersebut memberikan keuntungan bagi perkembangan sosial anak jika pengelompokan sesuai dengan karakteristik anak. Memperhatikan tahapan perkembangan yang sedang dijalani anak usia dini, menurut Petter anak memiliki berbagai kebutuhan, yaitu kebutuhan memenuhi konsep


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 203 Emmy Budiartati1 diri menentukan identitas diri, mengembangkan hubungan sosial. Disamping itu, anak juga memiliki kebutuhan yang lain, seperti: kebutuhan anak dalam bentuk berinteraksi dengan teman, berhubungan dengan kelompok, dan kebutuhan menyesuaikan diri dengan kehidupan taman kanak-kanak sebagai organisasi formal. Sehingga, dapat dinyatakan bahwa anak memiliki berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi. Dengan pendekatan klasikal tidak semua anak dapat memenuhi kebutuhannya dengan lancar. Ada anak yang mengalami kesulitan karena ketidaksesuaian dengan temannya, bentuk kegiatannya, dan lainnya. Selain itu dapat terjadi guru sulit mengidentifikasi karakteristik dan ketercapaian kebutuhan anak karena harus memperhatikan beberapa anak sekaligus. Kegiatan belajar dirancang dalam bentuk bermain. Dalam kondisi tersebut anak akan merasa senang dan asyik dalam melakukan berbagai kegiatan belajar. Dan kegiatan-kegiatan yang diikuti, anak dapat memperoleh pengalaman belajar. Pengalaman tersebut akan menjadi dasar bagi perkembangan kepribadian dan karakter anak. Membangun Karakter Anak Usia Dini Sebelum membahas lebih lanjut tentang pendidikan karakter, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian karakter. Karakter dipahami sebagai struktur antropologis dalam diri individu sehingga pendekatan atasnya bersifat prosesual, menekankan dimensi pertumbuhan menuju kesempurnaan. Karakter menjadi sebuah gerak dialektis proses konsolidasi individu secara dinamis, sehingga menghasilkan karakter kepribadian yang stabil. Menurut Mounier, karakter sebagai struktur dasar antropologis manusia yang terbuka pada yang transenden. Memahami karakter baginya adalah mengetahui ‘janji-janji’ yang membuat manusia itu terbuka pada kemungkinan mengatasi keterbatasan kodratinya. Terlebih, karakter membuat manusia mampu membuat proyek dan setia pada proyek hidupnya untuk mengarah ke masa depan. F.R. Paulhan menganggap karakter sebagai “apa yang membuat seorang pribadi itu dirinya sendiri, dan bukan yang lain.” Spranger mendefinisikan karakter sebagai “perilaku tipikal berbeda yang diyakini oleh pribadi berhadapan dengan nilai-nilai estetis, ekonomis, politis, social, dan religius.” Secara sintesis A.

Nicefero mendefinisikan karakter sebagai “ada aku di dalam masyarakat.” Yang dipelajari di dalam lembaga pendidikan, misalnya pemahaman dan pendalaman tentang ilmu-ilmu tertentu, sesungguhnya merupakan sebuah pengantar bagi pembelajaran hal-hal yang lebih esensial dan mendalam dalam hidup manusia, yaitu belajar membentuk diri menjadi manusia yang baik (bermoral), yang mengerti membedakan mana yang baik dan buruk, dan berani mengambil keputusan untuk bertindak secara benar. Hal-hal seperti ini seringkali tidak secara langsung dipelajari di paud, namun setiap individu di dalam lembaga paud semestinya memiliki pengalaman dalam melatihkan dan melaksanakan pembelajaran moral ini Komensky dalam Doni Koesoema, 2007:l49-l52, memandang bahwa kinerja pendidikan bukanlah sebuah karya yang langsung jadi. “Karya kita adalah masih dalam bentuk kasar, belum menjadi sebuah karya sungguhan.” Karya pendidikan mana yang dimaksud Komensky? Yaitu, karya pendidik sebagai guru yang mengajarkan kebijaksanaan yang membuat setiap individu memiliki jiwa besar nan teguh. Komensky memberikan 11 kanon bagi sebuah pembelajaran moral di taman kanakkanak. Kanon-kanon itu adalah: 1. Dalam diri kaum muda haruslah ditanamkan semua keutamaan tanpa mengecualikannya satupun. 2. Kemampuan dalam mengarahkan pertimbangan intelektual dalam membedakan secara jernih apa yang baik dan buruk (prudenza). 3. Keadilan. Keutamaan sejati terdapat dalam kemampuan diri untuk menimbang dan menilai segala sesuatu itu apa adanya, sesuai dengan halnya itu sendiri. 4. Sikap ugahari (la temperanza). Sikap ugahari merupakan kemampuan untuk mengaktualisasikan dan memuaskan dorongan-dorongan keinginan dalam diri serta tuntutan instink secara seimbang melalui cara-cara yang tepat. 5. Keteguhan (la fortezza). Orang yang belajar tentang nilai-nilai keteguhan ini terutama melalui cara-cara mengalahkan diri sendiri, tahan menanggung kesulitan dan penderitaan, mampu bergembira dan optimis di setiap waktu, mampu menahan rasa tidak sabar, mengeluh, atau amarah.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 204 Emmy Budiartati1 6. Bersikap adil. Melaksanakan keadilan dengan cara tidak melakukan hal yang jahat atau merusak bagi orang lain, memberikan kepada orang lain hak-haknya, menghindari diri dari keinginan untuk menipu dan mengelabui orang lain, dan menumbuhkan sikap melayani orang lain merupakan sikapsikap yang sangat diperlukan agar individu dapat bertindak adil. 7. Keutamaan akan keteguhan itu memiliki dua macam wajah. Yaitu, kesungguhan apa yang sedang dihadapi dan kesediaan menanggung derita atas jerih lelah dan pekerjaan/tugastugas. 8. Mengerjakan dengan kesungguhan apa yang sedang dihadapi dapat dilihat dari kenyataan bahwa anak didik itu memiliki kemampuan untuk setia pada tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya. 9. Jika anak-anak muda mampu memberi makna atas jerih payah dan kerja keras mereka, mereka akan melakukan segala sesuatu secara sungguh-sungguh dan menyenangkan. 10. Kesiapsediaan dan kemurahan hati melayani yang lain. 11. Penanaman keutamaan ini dimulai sejak dini. Sebelas kanon pengajaran moral ala Komensky, membuat pendidikan karakter menjadi sebuah pedagogi bagi setiap individu, terutama bagi pihak-pihak yang memiliki relasi terhadap lembaga pendidikan. Tidak peduli siapakah dia, tua-muda, senior-yunior, gurusiswa, karyawan-direktur, masyarakat-individu, keluarga-negara dll, mereka semua memerlukan pendidikan karakter demi perkembangannya sebagai individu dan anggota masyarakat yang mampu menghayati nilai-nilai yang diyakini sebagai sesuatu yang bermakna bagi dirinya sendiri dan bagi kemanusiaan. Pendidikan karakter menjadi pedagogi yang membebaskan individu sehingga ia dapat menghayati keunikannya, kekhasannya, tanpa takut bahwa dirinya akan distandanisasi atau disatuwarnakan dengan yang lain. Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi memiliki tujuan agar setiap pribadi semakin menghayati individualitasnya, mampu menggapai kebebasan yang dimilikinya sehingga ia dapat semakin bertumbuh sebagai pribadi maupun sebagai warga negara yang bebas dan bertanggung jawab, bahkan sampai

pada tingkat tanggung jawab moral integral atas kebersamaan hidup dengan yang lain di dunia. Pendidikan karakter sebagai pedagogi merupakan satu keping dari dua sisi paradigma pendekatan moral dalam pendidikan, yaitu, pendekatan moral dalam lingkup yang sempit, yaitu, dalam taman kanak-kanak dan dalam lingkup lebih luas, yaitu dalam relasi individu dengan lembaga lain, berupa peristiwa-peristiwa dalam dunia pendidikan. Sependapat dengan gagasan Komensky bahwa kepada anak seharusnya diajarkan nilainilai yang dianut di dalam masyarakat. Nilainilai tersebut adalah: 1. Nilai keutamaan; 2. Nilai keindahan; 3. Nilai kerja; 4. Nilai cinta tanah air; 5. Nilai demokrasi; 6. Nilai kesatuan; 7. Menghidupi nilai moral dan 8.Nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai tersebut merupakan bagian integral yang bisa dikembangkan dalam program pendidikan karakter di dalam keluarga dan di lembaga pendidikan. Pemberdayaan Keluarga dalam Membangun Karakter Anak Usia Dini Keluarga merupakan suatu lembaga tempat pembentukan karakter anak yang pertama dan utama, terlebih pada masa-masa awal perkembangan anak sebagai manusia. Dalam hal ini keluarga memiliki investasi afeksi yang tidak dapat tergantikan oleh peranan lembaga lain di luar keluarga, seperti taman kanak-kanak, lembaga agama, dan masyarakat. Jadi, sedekat apapun hubungan emosional antara pendidik dan siswa, meskipun mereka memiliki keterikatan emosional hampir sama dengan keterikatan emosional dengan orang tua di rumah, ikatan emosional ayah dan ibu merupakan sebuah pengalaman tak tergantikan yang menjadi modal dasar perkembangan emosi dan kedewasaan anak. Selain berfungsi sebagai lembaga pertama dan utama tempat anak menjalani sosialisasi, keluarga merupakan sebuah tempat bagi anak menerima pendidikan nilai. Anak banyak belajar dari cara bertindak dan cara berpikir orang tua. Mereka menjadi model peran pertama dalam pendidikan nilai. Jadi orang tua menjadi tempat pertama pembentukan karakter anak. Keluarga memiliki posisi sangat strategis sebagai tempat investasi emosional pertama anak dalam masa-masa awal perkembangannya, posisi istimewa dari orang


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 205 Emmy Budiartati1 tua juga bisa menjadi titik lemah bagi pembentukan karakter anak. Sebab, tidak ada korelasi antara kemampuan untuk melahirkan anak dan kemampuan diri orang tua untuk menjadi pendidik. Untuk menjadi orang tua hanya prasyarat biologis yang diperlukan, sedangkan untuk menjadi pendidik dibutuhkan pengalaman, keahlian, dan pemahaman tentang pedagogi. Jadi, visi pendidikan dan keyakinan fisiologis, dan pengalaman pribadi orang tua tentang pendidikan anak yang menentukan berhasil tidaknya orang tua menjadi pendidik nilai bagi anak-anaknya. Dalam kondisi tersebut, pendidikan karakter mengalami persoalan krusial, yakni relasi antara orang tua, taman kanak-kanak (sekolah), masyarakat, dan negara. Berkaitan dengan pendidikan karakter, institusi-institusi tersebut saling berebut untuk menjadi agen pembentukan kepribadian anak didik sesuai dengan system nilai yang mereka inginkan. Tidak jarang, system nilai yang ditawarkan oleh masyarakat dan negara berbeda dengan yang diyakini oleh orang tua. Di sini diperlukan pendekatan yang integral demi kesinambungan pendidikan karakter yang terjadi di rumah (dalam keluarga) dan di luar rumah (di tengahtengah masyarakat). Pendidikan karakter mengandaikan adanya integrasi pendekatan antara empat agen utama pendidikan, yakni keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat (termasuk di dalamnya institusi keagamaan), dan negara. Keempat pelaku utama pendidikan ini memiliki keprihatinan sama, yaitu bagaimana membĂŠntuk kepribadian anak-anak sehingga menjadi pribadi yang berkembang semaksimal dan sebaik mungkin. Keluarga memiliki peran sentral dalam proses pembentukan kepribadian anak ketika mereka mesti berelasi dengan agen pendidikan yang lain. Meskipun lembaga pendidikan yang ditawarkan oleh pelaku lain, misalnya oleh kelompok agama atau masyarakat umum, menjadi unsur tambahan proses pendidikan anak, tidak dapat menggantikan peranan keluarga. Keluarga tetap sebagai sebuah lembaga pertama dan utama tempat anak berkembang melalui ikatan emosional yang intim, mengalami rasa aman, terlindung, dan dicintai. Ini semua tidak dapat diberikan oleh pelaku pendidikan lain di luar lembaga keluarga. Tugas orang tua adalah menjadi semacam lahan tempat iak kelak semakin mampu mengembangkan kepribadian sehingga benar-

benar siap dan terampil ketika harus terjun ke dalam kehidupan bermasyarakat. Implementasi Pemberdayaan Keluarga dalam Membangun Karakter Anak Usia Dini Pemahaman orang tua tentang jenis pendidikan karakter yang diinginkan agar terbentuk dalam diri anak sangat bervariasi. Cara orang tua memilih lembaga pendidikan bagi anak, biasanya dengan menentukan visi pendidikan karakter dari orang tua. Setidaknya ada tiga pendapat tentang cara-cara orang tua membangun karakter bagi anak mereka jika dilihat dari cara menentukan pilihan lembaga pendidikan (sekolah). Pertama, orang tua yang menginginkan anaknya dididik dalam konteks multicultural. Kedua, orang tua yang menginginkan anaknya mengalami sebuah proses pendidikan yang bersinambung dengan pendidikan yang telah terjadi di rumah. Ketiga, ada orang tua yang tidak puas dengan pelayanan pendidikan yang diberikan oleh negara (lembaga paud umum) maupun pelayanan pendidikan oleh lembaga keagamaan (lembaga paud swasta keagamaan), sebab kedua lembaga ini memiliki pendekatan tradisional konservatif yang kurang relevan dengan tantangan zaman. Apapun pilihannya, orang tua tetap memiliki kepentingan bagi kemajuan pendidikan karakter anak-anaknya. Dalam hal ini tanggung jawab orang tua tidak hilang, tetapi diperluas dengan melibatkan lembaga lain karena alasan keterbatasan yang dimiliki. Keluarga memang merupakan tempat pertama dan utama di mana pendidikan karakter seharusnya muncul. Namun, lembaga paud juga memiliki tanggung jawab untuk menumbuhkembangkan karakter anak yang telah dipercayakan kepada mereka oleh orang tua. Tanpa peran dan keterlibatan aktif dari orang tua, pendidikan karakter di lembaga paud akan menjadi timpang dan tidak bersinambung. Pendidikan karakter di lembaga paud banyak berhubungan dengan penanamĂŁn nilai. Agar pendidikan karakter dapat dilaksanakan secara utuh dan integral, harus menggunakan metode yang tepat, sehingga tujuan pendidikan karakter akan terarah dan efektif. Ada lima unsur yang dapat dipertimbangkan dalam melaksanakan pendidikan karakter secara efektif: 1) Mengajarkan. Untuk dapat melakukan hal-hal yang baik, adil dan bernilai, pertamatama anak perlu mengetahui dengan benar apa itu kebaikan, keadilan, dari nilai. 2) Keteladanan. Anak lebih banyak belajar dan apa


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 206 Emmy Budiartati1 yang dilihatnya. Pendidikan karakter sesungguhnya lebih merupakan tuntunan, utamanya bagi kalangan pendidik sendiri. Sebab pengetahuan yang baik tentang nilai akan menjadi tidak kredibel ketika gagasan teoretis normatif nan apik itu tidak pernah ditemui oleh anak dalam praksis kehidupan di lembaga paud. 3) Menentukan Prioritas. Lembaga pendidikan memiliki prioritas dan tuntutan dasar atas karakter yang ingin diterapkan di lingkungannya bagi pelaksanaan dan realisasi atas visi lembaga pendidikan. 4) Praksis Prioritas. Unsur yang sangat penting bagi pendidikan karakter adalah bukti dilaksanakannya prioritas nilai pendidikan karakter tersebut. Berkaitan dengan tuntutan lembaga pendidikan atas prioritas nilai yang menjadi visi kinerja pendidikannya, lembaga pendidikan harus mampu membuat verifikasi sejauh mana visi sekolah telah dapat direalisasikan dalam lingkup pendidikan skolastik melalui berbagai macam unsure yang ada di lembaga pendidikan tersebut. 5) Refleksi. Karakter yang ingin dibentuk oleh lembaga pendidikan melalui berbagai macam program dan kebijakan senantiasa perlu dievaluasi dan direfleksikan secara bersinambung dan kritis. Kelima unsur tersebut dapat menjadi pedoman dan patokan dalam menghayati dan mencoba menghidupi pendidikan karakter di setiap keluarga. Lima unsur tersebut bisa dikatakan sebagai lingkaran dinamis dialektis yang senantiasa berputar semakin maju dan dapat bersinergi antara pendidikan karakter di keluarga dan di lembaga pendidikan anak usia dini. Pendidikan karakter memerlukan prinsip prinsip dasar yang mudah dimengerti dan dipahami oleh anak dan setiap individu di keluarga. Ada beberapa prinsip yang bisa dijadikan pedoman bagi pelaksanaan pendidikan karakter; 1) Karakter ditentukan oleh apa yang dilakukan, bukan apa yang katakan atau diyakini, 2) Setiap keputusan yang diambil akan menentukan hidup seseorang di masa datang, 3) Karakter yang baik mengandaikan bahwa hal yang baik dilakukan dengan cara-cara yang baik, bahkan apabila harus dibayar mahal, sebab mengandung resiko, 4) Perilaku buruk yang dilakukan oleh orang lain jangan dijadikan sebagai patokan, 5) Apa yang dilakukan

DAFTAR PUSTAKA Dewantara, Ki Hajar. 1977. Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Hukum Persatuan Taman Siswa.

seseorang memiliki makna dan transformative sehingga individu dapat mengubah dunia, 6) Bagi yang memiliki karakter baik memiliki kesempatan menjadi pribadi yang lebih baik, hal tersebut akan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk dihuni. Prinsip-prinsip tersebut jika diterapkan di keluarga, maka dibutuhkan orang tua yang berkarakter. Sebab tumpuan pendidikan karakter ada di pundak para orang tua. Konsistensi dalam membangun karakter tidak sekedar melalui apa yang dikatakan melalui pembiasaan di keluarga, melainkan nilai itu juga tampil pada diri orang tua dalam kehidupan nyata. Karakter orang tua menentukan warna kepribadian anak sebab tugas utama dan pertama dalam mengembangkan/membangun karakter anak usia dini adalah orang tua. Penutup Pendidikan karakter sebagai pedagogi merupakan satu keping dari dua sisi paradigma pendekatan moral dalam pendidikan. Pendekatan moral dalam lingkup sempit yaitu, di keluarga. Lingkup lebih luas yaitu, dalam relasi individu dengan lembaga lain, berupa peristiwa-peristiwa dalam dunia pendidikan. Keluarga memiliki peran sentral dalam proses pembentukan kepribadian dan membangun karakter anak ketika mereka mesti berelasi dengan agen pendidikan yang lain. Meskipun lembaga pendidikan yang ditawarkan oleh pelaku lain, misalnya oleh kelompok agama atau masyarakat umum, menjadi unsur tambahan proses pendidikan anak, tidak dapat menggantikan peranan keluarga. Keluarga tetap sebagai sebuah lembaga pertama dan utama tempat anak berkembang melalui ikatan emosional yang intim, mengalami rasa aman, terlindung, dan dicintai. Hal tersebut tidak dapat diberikan oleh pelaku pendidikan lain di luar lembaga keluarga. Tugas orang tua adalah menjadi semacam lahan tempat anak kelak semakin mampu mengembangkan kepribadian dan karakter sehingga benar-benar siap dan terampil ketika harus terjun ke dalam kehidupan bermasyarakat.

Hadis Fawzia Aswin. 2003. Kajian tentang Pendidikan Anak Usia Dm1 Usia Ditinjau dan Segi Psikokultural.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 207 Emmy Budiartati1

Bandung: Makalah Seminar dan Lokakarya Nasional PADU. Hurlock, Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak Jilid 2. (terjemahan). Jakarta: Penerbit Erlangga. JamariS, Martini. 2004. Perkembangan dan Pengembangan Anak Usia Taman Kanak-Kanak, Pedoman bagi Orangtua dan Guru. Jakarta: Program Pendidikan Anak Usia Dini, PPs Universitas negeri Jakarta. Pendidikan Anak Sejak Dini sebagai Usaha Konkrit dalam Mempersiapkan Aset Bangsa di Masa Depan, Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan Usia Dini pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. 2006. Koesoema A, Doni. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Mulyadi, Seto. 1997. Bermain itu Penting. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Semiawan Conny. 2003. Paradignia Baru Pendidikan Anak Dm1 Usia (PADU), Bandung: Makalah Seminar dan Lokakarya Nasional. Sumarta, I Ketut. 2000. Pendidikan yang Memekarkan Rasa (dalam Membuka Masa Depan AnakAnak Kita). Yogyakarta: Penerbit Kanisius. PROFIL SINGKAT Emmy Budiartati. Lahir di Demak Jawa Tengah pada 7 Januari 1956. Pendidikan S1 Jurusan PLS IKIP Negeri Semarang lulus tahun 1985 dan melanjutkan S2 tahun 1988 di jurusan yang sama lulus tahun 1992. Saat ini sedang menyelesaikan studi S3 prodi PAUD di UNJ. Sejak 1986 menjadi dosen di jurusan PLS IKIP Semarang (UNNES). Selain aktif menjadi dosen, juga menjadi pembimbing karya ilmiah bagi mahasiswa, instruktur pada program pembinaan pendidikan keluarga tingkat Jawa Tengah. Terlibat kerjasama di beberapa lembaga sebagai pengkaji materi, instruktur, dan nara sumber, melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat.


MODEL PEMBERDAYAAN PENYANDANG CACAT MELALUI PELATIHAN LIFE SKILL DAN PEMBENTUKAN INKUBATOR WIRAUSAHA Widodo Dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah FIP Unesa Widodo48@ymail.com Abstrak Pemberdayaan masyarakat adalah upaya memberikan ’penguatan’ terhadap sumberdaya manusia yang utuh dan menjamin adanya perubahan yang mengarah pada keadaan yang lebih baik. Banyak dimensi pemberdayaan yang harus diperhatikan untuk mencapai kondisi yang demikian. Dimensi “kunci” yang harus diperhatikan dalam pemberdayaan tersebut adalah subjek pemberdayaan dan objek pemberdayaan. Manusia merupakan subjek dari pemberdayaan, sedangkan objek pemberdayaan masyarakat adalah potensi yang ada pada masyarakat. Ketidakberdayaan merupakan kondisi tidak berkembangnya potensi dan aksesbilitas seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Penyandang cacat sebagai bagian dari manusia Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. UU No. 4 Tahun 1997, pasal 1 (ayat 1) dan PP No. 43 tahun 1998, pasal 1 (ayat 1) dengan tegas dinyatakan bahwa penyandang cacat “berhak mempunyai kesamaan kedudukan, hak dan kewajiban dalam berperan dan berintegrasi secara total sesuai dengan kemampuannya dalam segala aspek kehidupan dan penghidupannya”. Namun kenyataan masih banyaknya penyandang cacat dalam kondisi miskin belum berdaya. Sehingga memanfaatkan kecacatannya untuk mengemis atau menggantung hidupnya pada orang lain. Konsepsi pembangunan semakin mengarah pada penanganan manusia sebagai objek sekaligus subjek pemberdayaan tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh David Korten bahwa dimensi pembangunan bergeser dari pembangunan yang berdimensi pertumbuhan makro, basic needs development, yang kemudian mengarah people centre development. Pada dimensi lain, teori kebutuhan Maslow bahwa setiap manusia mempunyai kebutuhan dasar (fisik) sampai pada kebutuhan aktualisasi diri. Upaya yang dilakukan dengan melakukan untuk menciptakan kemandirian dengan pelatihan ketrampilan hidup (life skill) dan pembentukan inkubator wirausaha. Sehingga penyandang cacat miskin menjadi masyarakat mandiri dengan berbagai usaha yang dilakukan meskipun dengan keterbatasan. Kemandirian menjadi sangat penting dalam pemberdayaan penyandang cacat miskin dalam wujud memiliki usaha-usaha yang mampu menopang kehidupannya. Hasil menunjukkan model yang komprehensif dapat dijadikan sebagai rujukan dalam melakukan treatment pemberdayaan pada masyarakat penyandang cacat. Model dapat dikembangkan berdasarkan beberapa alasan, seperti; kontektual dimana model akan diterapkan, jenis kecacatan yang disandang masyarakat, jenis life skill yang sesuai dengan jenis kecacatan, dan dukungan keluarga sekitar. Keyword: Pemberdayaan, Penyandang Cacat, Life Skill, Inkubator Wirausaha, Kemadirian.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 209 Widodo A. PENDAHULUAN Pemberdayaan masyarakat merupakan istilah yang trend pada abad 21 ini. Dimana pergeseran pembangunan tidak lagi menekankan pada fisik infrastruktur, namun pada subjek pembangunan yaitu manusia. Pembangunan sumberdaya manusia yang utuh dan menjamin adanya perubahan yang mengarah pada keadaan yang lebih baik dan sejahtera. Beberapa dimensi pembangunan yang harus diperhatikan untuk mencapai kondisi yang demikian. Dimensi “kunci” dalam pembangunan tersebut adalah sumberdaya manusia. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh David Korten (dalam Moeldjiarto, 1995:34) bahwa dimensi pembangunan bergeser dari pembangunan yang berdimensi pertumbuhan makro, basic needs development, yang kemudian mengarah people centre development. Oleh Elliot dikutip dalam (Mardikanto dan Soebianto, 2015:162) menyatakan tiga (3) pendekatan yaitu pendekatan kesejahteraan yang berbasis paada kebutuhan pokok hidup, pendakatan pembangunan yang berbaisis pada pemenuhan infrastruktur, dan pemberdayaan masyarakat yang berbasis pada partisipasi dan keberdayaan mansyarakat sebagai subjek pembangunan. Dimensi people centre development adalah pembangunan pada akhir-akhir ini muncul sebagai salah satu isue yang telah “menglobal“. Upaya tersebut terfokus pada manusia yang selanjutnya muncul paradigma baru pembangunan manusia, diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (IPM/HDI). Kesejahteraan masyarakat merupakan indicator penting dalam HDI ini, dengan penjabaran sebagaimana dikemukakan diatas. Oleh karena itu pemberdayaan masyarakat terus dilakukan dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. Terlebih pada dunia pendidikan yang salah satu masalahnya adalah aspek relevansi pendidikan meliputi; kemitraan dengan DU/DI belum optimal, belum berbasis pada masyarakat dan potensi

daerah, dan kecakapan hidup yang dihasilkan belum optimal. Berdasarkan data dari Dinas Sosial propinsi JawaTimur tahun 2007 terdapat 145.311 orang penyandang cacat, yang sebagian besar diantaranya kondisinya miskin (penyandang cacat miskin). Sementara itu Sekretaris BKKKS, Sutopo Wahyu Utomo (BKKKS Jatim; 2005) mengatakan, saat ini jumlah penyandang cacat di Jatim saja mencapai 250 ribu orang sedangkan kapasitas pelayanan hanya sekitar 2000 orang pertahun. Pelayanan ini pun belum terstandarisasi dengan bagus. Kondisi inilah yang seharusnya diberikan prioritas pada penyandang cacat miskin dalam pengembangan dan pengentasan kemiskinan. Muaranya adalah kemandirian penyandang cacat dalam kehidupan dan penghidupannya. Penyandang cacat miskin merupakan komunitas marginal yang senantiasa tersisih dalam percaturan kehidupan. Penyandang cacat miskin sebagai pribadi maupun sebagai anggota keluarga maupun anggota masyarakat mempunyai hak dan tanggungjawab yang sama dengan masyarakat secara umum. Sebagai individu, penyandang cacat miskin memerlukan eksistensi dan mampu melaksanakan kewajibannya dikeluarga, tidak menjadi beban. Sebagai anggota masyarakat, mampu bermanfaat dan mandiri (tidak tergantung dengan orang lain). Akan tetapi kondisi ideal tersebut dalam kenyataanya sangat berbeda. Kondisi penyandang cacat miskin kurang berdaya. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model yang efektif dalam pemberdayaan masyarakat penyandang cacat ringan. Sehingga mampu mandiri dan bermanfaat dalam kehidupannya baik bagi diri maupun lingkungannya. Banyaknya penyandang cacat yang disebabkan berbagai hal, menambah ”beban” Jawa Timur dalam proses pembangunan sumberdaya manusia Jawa Timur. Kaum Penyandang cacat harus diberdayakan agar darinya terlahir kelompok-kelompok usaha baru melalui inkubator wirausaha. Kemudian secara


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 210 Widodo simultan akan menuju pada kehidupan yang sejahtera dalam lingkungan social maupun sejahtera dalam ekonomi dalam kemandirian. Istilah pembangunan, pengembangan sampai pada pemberdayaan merupakan metamorfisis estimologi dalam meningkatkan kehidupan masyarakat. Mardikanto dan Soebianto (2015:61) menyebutkan pemberdayaan merupakan proses yang terencana untuk meningkatkan skala/upgrade utilitas (kegunaan) dari obyek yang diberdayakan. Pemberdayaan manusia berarti meningkatkan kapasitas (kemampuan) individu, kelompok dan masyarakat untuk berpartisipasi memperoleh kesempatan dan mengakses sumberdaya dan layanan yang diperlukan guna memperbaiki mutu kehidupan. Pemberdayaan masyarakat dalam konteks pekerjaan sosial, sebagaimana yang dikemukakan oleh Payne (dalam Rukminto Adi, 2012:205) adalah ‘the have clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existing power, by increasing capacity and selfconfidence to use power and by transferring power from the environment to clients’. Yaitu membantu kliens memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan yang berkait dengan dirinya, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungan. Brokensha & Hodge (dalam Rukminto Adi, 2012:148) menyatakan Community development is a movement designed to promote better living for the whole community with the active participation and on the initiative of the community. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya (gerakan) yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup keseluruhan masyarakat melalui partisipasi aktif dan inisiatif masyarakat. Berarti partisipasi dan inisiatif masyarakat merupakan titik tekan

terjadinya pemberdayaan masyarakat. Partisipasi masyarakat yang termanifestasikan dalam kemandirian usaha dalam memenuhi kehidupannya merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam pemberdayaan masyarakat tersebut. Selain itu munculnya inisiatif (kreatifitas) masyarakat dalam hidup dan kehidupannya menduduki perinkat yang lebih tinggi, dimana masyarakat akan menjadi masyarakat mandiri. Sehingga indvidu, kelompok dan masyarakat dapat berfngsi dengan baik dalam memenuhi kehidupannya secara layak. Penyandang cacat merupakan manusia Indonesia yang mempunyai hak yang sama dengan manusia lain pada umumnya yaitu menjadi mandiri dan turut berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Partisipasi ini diwujudkan dalam sikap ”ketidaktergantuang” nya dengan masyarakat yang lain. Artinya para penyandang cacat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, tanpa manggantungkan dengan yang lain. Oleh karena itu perlu intervensi pada penyandang cacat dengan beberapa pendekatan, yaitu phsicology treatment dan skill treatment. Menurut Lippit (dalam Mardikanto dan Soebianto, 2015:123-125) memberikan tahap-tahap dalam pemberdayaan masyarakat sebagai berikut: 1. Tahap penyadaran, yaitu upaya yang dilakukan untuk menyadarkan masyarakat akan ’keberadaannya’ dengan berbagai potensi yang dimiliki. 2. Tahap menunjukkan adanya masalah, yaitu menemukan gap (kesenjangan) antara kondisi idela yang seharusnya dengan kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat yang memberikan penyadaran akan perlunya perubahan. 3. Tahap membantu memecahkan masalah yaitu melakukan analisis akar masalah dan alternatif pemecahannya. 4. Tahap menunjukkan pentingnya perubahan yaitu yang ’pasti’ terjadi pada masyarakat, namun bagaimana membuat ’rencana’ agar perubahan menuju ke arah yang diinginkan dan mensejahterakan.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 211 Widodo 5. Tahap melakukan pengujian dan demonstrasi yaitu menguji coba dan mendemonstrasikan alternatif pemecahan masalah untuk mengetahui kecocokan alternatif dalam memecahkan masalah dimasyarakat. 6. Tahap memproduksi dan publikasi informal yaitu meyampaikan keunggulan dan manfaat yang akan diperoleh masyarakat. 7. Tahap melaksanakan pemberdayaan yaitu memebrikan kesempatan masyarakat untuk melakukan dan menentukan pilihan-pilihan yang berkaitan dengan kehidupannya. Tahapan-tahapan intervensi penyandang cacat menurut Rukminto Adi (2012:85) sebagai berikut telah disesuaikan : 1. Fase persiapan. 2. Fase pengembangan kontak dengan sasaran. 3. Fase pengumpulan data dan informasi. 4. Fase perencanaan dan analisis. 5. Fase pelaksanaan. 6. Fase evaluasi. Pemberdayaan penyandang cacat dengan menggunakan pendekatan tersebut melalui tapan-tahapan implementasinya bermuara pada satu harapan bahwa penyandang cacat miskin menjadi marusia mandiri dengan life skill yang dimiliki dan soft Skill (percaya diri). B. METODE Jenis penelitian kualitatif deskriptif yang dilakukan di kabupaten Gresik dan kabupaten Sidoarjo. Subyek penelitian adalah para penyandang cacat yang dalam kondisi miskin dan terkategori kecacatan ringan (artinya masih memungkinkan dapat diberdayakan dengan life skill) sejumlah 50 orang. Model pemberdayaan penyandang cacat miskin adalah suatu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan penyandang cacat miskin. Program pelatihan ketrampilan adalah suatu program yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan comunitas penyandang cacat miskin melalui pelatihan berbagai keterampilan untuk meningkatkan

kemandirian penyandang cacat miskin dalam hidup dan kehidupan. Pendampingan dan kosultasi adalah suatu upaya dilakukan untuk melakukan pembinaan kepada kelompok usaha pasca pelatihan dilakukan dengan membentuk inkubator wirausaha. Data dikumpulkan melalui teknik wawancara, dan dokumentasi. Wawancara digunakan untuk mengumpulkan data tentang subyek meliputi identitas diri dan keluarga, social ekonomi, keinginan untuk mengikuti pembelajaran, serta jenis keterampilan yang dibutuhkan. Dokumentasi digunakan untuk menemukan jumlah penyandang cacat miskin produktif yang membutuhkan keterampilan, alamat, usia, tingkat pendidikan, dan lainnya. Penyandang cacat miskin yang telah berjalan untuk diberikan pelatihan usaha. Analisis data dilakukan menurut Miles & Huberman (2009) bahwa analisis kualitatif dengan model interaktif, dilakukan sebagai berikut: (1) Pengumpulan data. Pengumpulan data penelitian kualitatif dilakukan selama proses penelitian dilakukan. Data dalam bentuk catatan lapangan, manuskrip, dokumentasi, hasil wawancara pada saat pelaksanaan penelitian pada penyandang cacat miskin dan prosesnya. (2) Reduksi data penelitian dimaksudkan untuk memilih dan memilah data-data yang berkaitan dengan kebutuhan analisis penelitian dan yang tidak berkaitan dengannya. Data kualitatif dapat disederhanakan dan ditransformasikan dalam berbagai macam cara; melalui penseleksian data, ringkasan atau uraian singkat, pengelompokan sesuai dengan pokok bahasan. (3) Penyajian data. Penyajian data dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana upaya penelitian dilakukan, keterkaitan antara upaya yang dilakukan dengan subyek sasaran dalam penelitian. Penyajian data dilakukan dengan bentuk teks naratif dari hasil reduksi data yang telah dikelompokan menurut bahasan subyek penelitian. (4) Pengambilan kesimpulan/verifikasi. Kesimpulan yang diberikan berdasarkan data yang telah terpilih dan terpilah serta telah didisplay akan memberikan gambaran tentang proses


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 212 Widodo dan masalah yang ada dalam penelitian. Penarikan kesimpulan harus dilakukan secara hati-hati mengingat unsur “subyektifitas� dalam penelitian kualitatif sangat tinggi. Kesimpulan yang diambil dicek ulang dan dikonfirmasikan pada hasil pengumpulan data, reduksi data, dan penyajian data. Sehingga akan terjadi interaksi antara kesimpulan dengan data.

Pengumpu lan data

Penyajian data

Reduksi data

Penarikan Kesimpulan /verifikasi.

Gambar 1: Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif

C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian Secara lebih terperinci, alur atau langkah-langkah penelitian model pemberdayaan Penyandang Cacat melalui pembentukan Ikubator wirausaha, diuraikan melalui tahapan berikut: a. Tahap Awal Tahap Awal penelitian pemberdayaan penyandang cacat dialokasikan pada lokasi baru pada kecamatan ataupun Desa/Kelurahan yang terdapat banyak penyandang cacat (PENCA). Program ini dimaksudkan untuk memberikan landasan bagi pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan dwidaya, meliputi: (1) Pemberdayaan manusia yang tujuan utama pemberdayaan manusia adalah peningkatan kapasitas SDM, dengan orientasi pada (i) mendukung peningkatan mutu kehidupan penyandang cacat, (ii) peningkatan penguasaan keterampilan hidup (life skill) untuk menciptakan peluang usaha baru dan pengembangan usaha yang telah ada. (2) Pemberdayaan usaha yang bertujuan utama pemberdayaan usaha adalah pengembangan

usaha ekonomi produktif dan peningkatan pendapatan penyandang cacat serta penciptaan kesempatan kerja terutama bagi penyandang. Bentuk usaha ekonomi produktif yang dikembangkan melalui incubator wirausaha yang bergerak dalam sektor riil. Adapun kegiatan pada tahap Awal ini adalah sebagai berikut. 1) Identifikasi sasaran yang meliputi tempat sasaran yaitu daerah kecamatan atau desa/kalurahan yang memiliki penyandang cacat banyak. 2) Need Assesment, yaitu penilaian tentang kebutuhan penyandang cacat. Need assessment dilakukan untuk mendapatkan kebutuhan yang dirasakan oleh penyandang cacat yang seharusnya diberikan solusi. 3) Pengelompokan (classtering), yaitu mengelompokkan penyandang cacat sesuai dengan ketrampilan dan lokasi. Pengelompokan penyandang cacat dalam Inkubator wirausaha yang mempunyai lokasi berdekatan agar mudah dalam pengelolaan saha danpengembangannya. b. Tahap Treatment Treatment dilakukan melibatkan lembaga lintas sektoral yaitu pendidikan dan sosial. Kerjasama lintas sektoral ini ini dimaksudkan untuk menjamin sasaran pemberdayaan yang berada dibawah lembaga dinas sosial dapat diberikan pelatihan melalui rogram Pendidikan nonformal. Treatment merupakan perlakuan bagi penyandang cacat agar mencapai kemandirian. Treatment ini terdiri dari 4 aspek, yaitu 1) Religi-treatment, dari aspek agama sebagai dasar dalam memberikan treatmen. Religi sebagai dasar memberikan treatment dalam pemberdayaan penyandang cacat ringan. Penyandang cacat perlu diberikan penguatan dan penyadaran akan kondisi yang dideritanya. Sehingga menyadari ‘kondisi nol’ merupakan awal dalam treatmen. 2) PsichoTreatment yang menjadikan psikologi sebagai sasaran. Kondisi


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 213 Widodo psikologis penyandang cacat turut menentukan keberhasilan treatmen. 3) Skilltreatment yang menjadikan ketrampilan hidup (life skill) yang harus dikuasai. Skill treatmen berupa keterampilan vokasional yang dapat meningkatkan ‘keberfungsian’ seseorang dalam kehidupan mandirinya. 4) Sosiotreatment tentang resosialisasi yang mengingatkan peran dan posisi sosial dimasyarakat. Pergaulan hidup seseorang akan menentukan tingkat kekuatan hidupnya. Semakin seseorang mempunyai sikap sosial yang baik akan berdampak pada kehidupannya. Berbagai treatmen tersebut diberikan pada penyandang cacat ringan agar mempunyai kesadaran yang tinggi dalam menghadapi segala kondisi hidup. c.

Tahap pembentukan Inkubator Tahap lanjutan program pemberdayaan adalah dengan membuat inkubator wirausaha. Sasaranp enyandang cacat ringan yang sudah mendapatkan berbagai treatmen, terutama adanya keterampilan hidup yang telah dikuasai merupakan hasil yang baik. Sehingga potensi berkembang dengan memunyai spiritual yang mantap, sikap yang stabil, skill yang terampil, dan sikap sosial. Pada tahap ini kegiatan antara lain meliputi: 1) Pembentukan inkubator KWU Pembentukan kelompok usaha bersama diarahkan pada peningkatan kapasitas kelembagaan yang kuat sebagai bentuk upaya menciptakan; (i) struktur dan personalia pengurus, (ii) penyempurnaan AD/ART, (iii) peningkatan kapasitas manajemen organisasi, (iv) peningkatan legalitas, (v) Jaringan kerja. 2) Permodalan; capital stimulan. Pada kegiatan pemberian permodalan dimaksudkan untuk memberikan modal sebagai stimulant (rangsangan) pada inkubator KWU. Besar kecilnya modal ini ditentukan oleh jenis usaha yang diusulkan. Pemberian modal ini bertujuan untuk memberikan pancingan kepada para penyandang cacat untuk berusaha dengan lifeskill yang telah diberikan menuju

kemandirian yaitu mampu menolong dirinya sendiri. 3) Pendampingan. Inkubator yang telah terbentuk diberikan modal pancingan masih dibantu dalam pengelolaan usaha. Hal ini bertujuan agar inkubator KWU benar-benar bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan yaitu berkembangnya penyandang cacat ringan dalam bentuk usaha baru. 4) Konsultasi. Konsultasi usaha dilakukan kepada para penyandang cacat oleh petugas Inkubator KWU. Harapannya mampu memberikan arah perkembangan usaha yang lebih memberi keluasan jaringan usaha. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan kemampuan penyandang cacat dalam membangun sistem keterjaminan sosial secara mandiri dan berkelanjutan. d. Tahap Pemandirian Tahap pemandirian yaitu memberikan otoritas kepada penyandang cacat yang telah mendapatkan treatmen dan melalui ‘penggodogan’ diinkubator kewirausahaan. Kemandirian ini dapat dilihat dari seberapa jauh penyandang cacat yang telah terampil dapat mengaplikasikan ilmu dan keterampilannya dalam suatu usaha dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tahap pemandirian dilakukan dengan membentuk wirausaha baru, baik sebagai perorangan maupun kelompok usaha. Beberapa kegiatan dalam tahap pemandirian antara lain: (i) pembentukan menjadi home industri, (ii) pengembangan akses permodalan, manajemen, teknologi, pemasaran, dan (iii) bantuan teknis (technical assistance). Selain itu dengan membantu dalam menciptakan kemitraan yang dapat mendukung kemandirian penyandang dalam bentuk pemasaran produk, permodalan, pembinaan tehnis dalam bentuk penyediaan tenaga konsultan pengembangan, quality product, dan lain sebagainya yang memungkinkan Penyandang Cacat dapat berkembang dengan baik menuju kemandirian. e. Terminasi.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 214 Widodo Terminasi merupakan pemutusan hubungan kerja dengan penyandang cacat. Hal ini dilakukan masa waktu program telah berakhir dan kemandirian penyandang cacat dalam bentuk terciptanya usaha baru dan telah berkembang baik. Sehingga terminasi program dapat efektif menghasilkan penyandang cacat yang mandiri dan siap bersaing. Dibutuhkan dukungan pemerintah kota/ kabupaten membina dan terus melakukan monitoring dan evaluasi. f. Evaluasi /Feedback Evaluasi merupakan tahap akhir dari suatu program pemberdayaan penyandang cacat untuk mengetahui sejauhmana implementasi dan kemanfaat program. Keberhasilan pemberdayaan Penyandang Cacat melalui inkubator wurausaha dapat dilihat dari indicator keberhasilan program yaitu pemandirian penyandang cacat dalam bentuk usaha baru. Selain itu evaluaasi juga untuk melihat adanya hambatan dan daya dukung pelaksanaan program. Dari evaluasi inilah akan dijadikan pijakan kebijakan manajerial maupun program berikutnya. 2. Temuan Model Pemberdayaan Secara lebih detail tentang model pemberdayaan penyandang cacat melalui pelatihan lifeskill dan pembentukan inkubator wirausaha, dapat dilihat pada gambarkan sebagai berikut.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 215 Widodo MODEL PEMBERDAYAAN PENYANDANG CACAT MELALUI PELATIHAN LIFE SKILL DAN PEMBENTUKAN INKUBATOR KEWIRAUSAHAAN

EMPOWERING

DINAS SOSIAL

WIRAUSAHA PENYANDANG CACAT INDIVIDU

TREATMENT MIX:

IDENTIFIKASI SASARAN

NEED ASSESMENT & CLASSTERING

Religi

Psikologis INKUBATOR KEWIRAUSAHAAN

Life skill

Sosial

PENDIDIKAN NON FORMAL

FEEDBACK/EVALUASI

WIRAUSAHA PENYANDANG CACAT KELOMPOK

TERMINASI & PEMUTUSAN


3. Pembahasan a. Asas pemberdayaan Pemberdayaan penyandang cacat sampai pada kemandiriannya merupakan upaya memberikan penguatan dalam aspek agama, psikologis, sosial dan keterampilan hidup. Aspek pemberdayaan tersebut diberikan dengan secara simultan guna mengubah mindset penyandang cacat untuk menerima kondisi ’cacat’ sebagai kenyataan, tidak terlalu larut berkepanjangan dalam masalah ’kecacatan’, berusa bangkit menjadi pribadi mandiri dalam masyarakat. Hasil penelitian yaitu adanya model pemberdayaan penyandang cacat melalui pelatihan life skill dan pembentukan inkubator wirausaha. Model ini selanjutnya dibahas secara terperinci sebagai berikut. Pemberdayaan menurut Mardikanto dan Soebianto (2015:61) merupakan proses yang terencana untuk meningkatkan skala/upgrade utilitas (kegunaan) dari obyek yang diberdayakan. Pemberdayaan manusia berarti meningkatkan kapasitas (kemampuan) individu, kelompok dan masyarakat untuk berpartisipasi memperoleh kesempatan dan mengakses sumberdaya dan layanan yang diperlukan guna memperbaiki mutu kehidupan. Model pemberdayaan ini dimaksudkan merupakan strategi mempercepat terjadinya kemandirian penyandang cacat dengan terbentuknya usaha-usaha baru bagi penyandang cacat. Dengan mempunyai usaha sendiri, penyandang cacat diharapkan mampu memenuhi kebutuhan sendiri dalam kondisi keterbatasan fisik tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mikkelsen (Rukminto Adi, 2012:228) bahwa penyandang cacat dapat berpartisipasi dengan melibatkan diri secara sukarela dalam perubahan yang ditentukan sendiri oleh masyarakat. Sehingga prtisipasipenyandang cacat merupakan keterlibatannya dalam upaya pembangunan lingkungan, kehidupan, dan diri mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat dalam konteks pekerjaan sosial, sebagaimana yang dikemukakan oleh Payne (dalam Rukminto Adi, 2012:205) adalah ‘the have clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existing power, by increasing capacity and selfconfidence to use power and by transferring power from the environment to clients’. Yaitu membantu kliens memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan yang berkait dengan dirinya, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini

dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungan. Penyandang cacat setelah dilakukan pemberdayaan menjadi pribadi yang mandiri dalam menentukan kehidupannya. Brokensha & Hodge (dalam Rukminto Adi, 2012:148) menyatakan Community development is a movement designed to promote better living for the whole community with the active participation and on the initiative of the community. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya (gerakan) yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup keseluruhan masyarakat melalui partisipasi aktif dan inisiatif masyarakat. Penyandang cacat mempunyai hak yang sama dengan manusia lain pada umumnya yaitu menjadi mandiri dan turut berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Partisipasi ini diwujudkan dalam sikap ”ketidaktergantuang”nya dengan masyarakat yang lain. Artinya para penyandang cacat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, tanpa manggantungkan dengan yang lain. Menurut Lippit (dalam Mardikanto dan Soebianto, 2015:123-125) memberikan tahaptahap dalam pemberdayaan masyarakat sebagai berikut: (1) tahap penyadaran, yaitu upaya yang dilakukan untuk menyadarkan masyarakat akan ’keberadaannya’ dengan berbagai potensi yang dimiliki. (2) Tahap menunjukkan adanya masalah, yaitu menemukan gap (kesenjangan) antara kondisi idela yang seharusnya dengan kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat yang memberikan penyadaran akan perlunya perubahan. (3) Tahap membantu memecahkan masalah yaitu melakukan analisis akar masalah dan alternatif pemecahannya. (4) Tahap menunjukkan pentingnya perubahan yaitu yang ’pasti’ terjadi pada masyarakat, namun bagaimana membuat ’rencana’ agar perubahan menuju ke arah yang diinginkan dan mensejahterakan. (5) Tahap melakukan pengujian dan demonstrasi yaitu menguji coba dan mendemonstrasikan alternatif pemecahan masalah untuk mengetahui kecocokan alternatif dalam memecahkan masalah dimasyarakat. (6) Tahap memproduksi dan publikasi informal yaitu meyampaikan keunggulan dan manfaat yang akan diperoleh masyarakat. (7) Tahap melaksanakan pemberdayaan yaitu memebrikan kesempatan masyarakat untuk melakukan dan menentukan pilihan-pilihan yang berkaitan dengan kehidupannya.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 217 Widodo

Menurut Rukminto Adi (2012:85) fase dalam intervensi penyandang cacat sebagai berikut telah disesuaikan : 1) Fase persiapan meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut. a) Kontak dengan sasaran penyandang cacat yang teridentifikasi dengan kecacatan yang ringan. Kecacatan ringan ini dimungkinkan masih bisa dilakukan perlakuan dalam pemberdayaan. Sehingga kondiri kecacatan tidak ’terlalu’ menghambat dalam kemandiriannya. Semisal, masih berfungsi panca indra, atau tangan. b) Pengumpulan data dan informasi berkaitan dengan sasaran dan sistema sumber dalam memecahkan masalah. Informasi dan data menjadi prasyarat dalam melakukan treatment penyandang cacat ini. Terutama berkaitan dengan potensi yang dimiliki dan potensi sumber sekitar yang dapat digunakan dalam pemberdayaan. c) Identifikasi sasaran meliputi kondisi sosial ekonomi, psikologis, skill yang dimiliki, motivasi hidup. d) Perencanaan disusun berdasarkan data dan informasi serta hasil identifikasi sasaran dari berbagai latar belakang. Sehingga rencana disusun sesuai dengan kondisi sebenarnya dan dapat memecahkan masalah secara komprehensif. e) Classtering (pengelompokan sasaran) yaitu membuat pengelompokan penyandang cacat berdasarkan kecacatannyadan berdasarkan kebutuhan belajarnya. Pengelompokkan ini untuk mempermudah dalam memberikan treatment pemberdayaan. Sehingga masing-masing dapat diberdayakan berdasarkan masalah dan karakter serta life skill yang sesuai. 2) Fase pelaksanaan, meliputi kegiatan treatment sebaga berikut. a) Religi treatment yaitu perlakuan mengenai aspek agaman penyandang cacat, dengan tujuan untuk memberkan kesadaran akan pentingnya bersyukur terhadap nikmat yang telah diterima dari Allah SWT, bagaimanapun keadaannya. Treatment ini juga menjadi dasar bagi treatment berikutnya. b) Psyco treatment yaitu perlakuan dari aspek psikologis yang bertujuan menenangkan atau menstabilkan kondisi kejiwaan penyandang cacat.

c) Socio treatment yaitu perlakuan aspek sosial dan lingkungan sekitar. Aspek sosial penyandang cacat seringkali menjadi pemicu munculnya masalah ketidakmandirian. Oleh karena itu diperlukan untuk mempersiapkan lingkungan sosial sebagai aspek pendukung. d) Skill treatment yaitu pemberian keterampilan vokasional sebagai modal ilmu dan keterampilan dalam menuju kemandirian. Keberdayaan penyandang cacat dengan penguasaan keterampilan yang dapat dijadikan sebagai modal mandiri. 3) Fase evaluasi Fase evaluasi dan feedback untuk melihat bagaimana pengaruh treatment terhadap kemandirian dan hasil yang ditunjukkan dari kemandirian tersebut. Proses pemberdayaan secara lebih spesifik dapat dilihat kekurangan dan kelebihannya yang dapat dijadikan pijakan perubahan di masa mendatang. 4) Fase terminasi dan tindak lanjut. Pemutusan hubungan profesioanl dilakukan apabila sudah dirasa berhasil dalam menciptakan kemandirian penyandang cacat dengan pelatihan lifeskill dan pembentukan inkubator wirausaha. Sedangkan tindak lanjut program dengan melakukan kunjungan lapangan untuk memastikan usaha penyandang cacat berjalan dengan baik. Pemberdayaan penyandang cacat dengan menggunakan pendekatan tersebut melalui tapantahapan implementasinya bermuara pada satu harapan bahwa penyandang cacat miskin menjadi marusia mandiri. C. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan Pemberdayaan masyarakat mampu menyentuh lapisan masyarakat terbawah (marginal), termasuk para penyandang cacat yang secara fisik memiliki kekurangan. Penyandang cacat adalah manusia ciptaan Allah SWT dan warga negara yang memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dengan manusia lainnya. Oleh karena itu pemberdayaan pada penyandang cacat mutlak harus dilakukan secara lintas sektoral dari berbagai instansi dan peran serta masyarakat. Setelah mendapatkan pelatihan penyandang cacat memiliki kemandirian

217


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 218 Widodo

dengan memiliki usaha secara mandiri maupun berkelompok. 2. Saran Perlunya pemberian modal usaha harus disertai dengan pembimbingan dan pengawasan yang ketat, sehingga penyandang cacat akan serius dalam melakukan usaha. D. DAFTAR PUSTAKA __________. (2007) Angka,

Jawa Timur

dalam

BKKKS, (2005) Laporan tahunan pelaksanaan penanganan masalahmasalah sosial, Jawa Timur. Chambers, R. (1996) Parsitipatory Rural Appraisal. Memahami Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius. Gotosaputro dan Rangga (2015) Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (konsep, teori dan aplikasinya di Era otonomi daearah). Yogyakarta: Graha ilmu Mardikanto dan Soebianto (2015) Pemberdayaan Masyarakat dalam Prespektif Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta

Miles & Huberman (2009) Penelitian Kualitatif Moeldjiarto. (1995) Pembangunan Masyarakat, Yogyakarta: UGM PP no 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Rukminto Adi, Isbandi. (2012) Intervensi Komunitas dan Pengembangan Masyarakat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat. Depok: Rajawali Press. Tilaรกr,

H.A.R. (2001) Pendidikan Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia (Strategi Reformasi Pendidikan Nasional). Bandung: Remaja Rosdakarya.

Usman, Sunyoto (2003) Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Pelajar.


PENANAMAN KARAKTER KEWIRAUSAHAAN WARGA BELAJAR PENDIDIKAN KESETARAAN MELALUI PKBM DESA WISATA Joko Sutarto Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. deztar@yahoo.co.id Abstrak Tujuan penelitian menganalisis proses pembelajaran bermuatan kecakapan hidup yang dikembangkan pendidikan kesetaraan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), menemukan model faktual yang telah dilakukan dalam penanaman karakter kewirausahaan warga belajar pendidikan kesetaraan bermuatan kecakapan hidup, dan merumuskan model konseptual penanaman karakter kewirausahaan warga belajar pendidikan kesetaraan bermuatan kecakapan hidup melalui PKBM. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, dan angket. Prosedur penelitian ini mengikuti alur studi literatur, servei lapangan, dan penyusunan model. Temuan penelitian menunjukkan: secara umum proses pembelajaran pendidikan kesetaraan bermuatan kecakapan hidup yang dikembangkan berada pada kategori sedang dengan persentase mencapai 60,7%; model faktual penanaman karakter kewirausahaan warga belajar dilakukan dengan pemberian keterampilan kecakapan hidup melalui kegiatan pembelajaran teori secara reguler yang dilakukan oleh semua tutor, dan belum melibatkan pelaku usaha; dan model konseptual disarankan dalam penanaman karakter kewirausahaan warga belajar mengikuti alur pemberian teori/praktek, pendampingan teknis, pemberian life skill dan pemagangan dengan melibatkan pelaku usaha mulai perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi, serta pendampingan aspek manajemen usaha, pemasasaran, dan pendanaan usaha. Kata Kunci: Penanaman karakter, Kewirausahaan, Kecakapan hidup. BUSINESS CHARACTERISTIC CULTIVATION OF EDUCATION EQUALITY LEARNING MEMBER THROUGH CENTRAL OF LEARNING AND EDUCATING ACTIVITY OF WISATA VILLAGE Abstract The aim of research in analyzing Life Skill learning process developed by education equality in Central of learning and educating activity find actual model executed in life skill business characteristics cultivation of equal education learning member, and formulate conceptual model of business characteristic cultivation of learning member of life skill equal education through central of learning and educating activity.Data collecting is done by interview and questionnaire.Research procedure based on literature study, area survey, and model arrangement. The finding of the result show: generally life skill equality of education learning process that has been developed are in the medium category that reach 60.7%.Factual model of business characteristics cultivation of learning member is executed by giving life skill in theoretical that is executed by all tutor, not involving business actor: and conceptual model that is suggested in business characteristics cultivation of learning member ruled bydoing theory and practice, technical companion, giving life skill and apprentice involving business actor from planning, executing, and evaluating, and management aspect companion as well, marketing, and business funding. Keywords: Characteristic cultivation, Business, Life skill.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 220 Joko Sutarto PENDAHULUAN Salah satu pilar program peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing melalaui layanan pendidikan nonformal melalui satuan pendidikan PKBM diarahkan pada penanaman karakter kewirausahaan sehingga setelah menyelesaikan pembelajaran berorientasi pendidikan kecakapan hidup (PHK) para lulusan dapat bekerja secara mandiri mengembangkan keterampilan yang telah diperolehnya. Kecakapan hidup seringkali disebut dengan kecakapan kejuruan, artinya kecakapan yang dikaitkan dengan bidang kehidupan nyata. Dengan model learning how to learn dan general life skill yang dimiliki mereka akan dapat mempelajari pengetahuan baru. Inovasi pendidikan di negara maju kini juga mengarah kepada pengembangan kecakapan hidup. Model pembelajaran terpadu (integrated learning) dan pembelajaran kontekstual (contextual taching and learning) merupakan model pembelajaran yang mengarah pada pengembangan kecakapan hidup (Blanchard, 2001; University of Washington, 2001). Model pembelajaran dengan pendekatan ini merupakan upaya mengatur agar pendidikan sesuai dengan kebutuhan nyata peserta didik agar hasilnya dapat diterapkan guna memecahkan dan mengatasi problema hidup yang dihadapi. Pendidikan kesetaraan sebagai salah satu program yang dilakukan PKBM dengan muatan kecakapan hidup semestinya juga menanamkan karakter kewirausahaan bagi warga belajarnya, sehingga dengan kecakapan hidup yang dimilikinya mereka akan memiliki karakter yang kuat untuk mengembangkannya melalui kegiatan berwirausaha. Pada dasarnya karakter kewirausahaan merupakan hal yang menjadi muatan penting warga belajar pendidikan kesetaraan. Wirausaha juga dapat diartikan kemauan dan kemampuan berdiri sendiri, merdeka lahir dan batin dengan tekat yang kuat berusaha mencapai kemajuan hidup dengan keluhuran budinya, serta dilandasi dengan rasa percaya pada diri sendiri untuk mencapai kemajuan, keberhasilan hidup tanpa bergantung pada orang lain. Drucker (dalam Danim, 2005: 3) mengartikan kewirausahaan sebagai semangat, kemampuan, sikap, perilaku individu dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan, cara kerja, teknologi, dan produk baru dengan mewujudkan efisiensi dalam rangka memberikan

pelayanan yang lebih baik atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Kewirausahaan merupakan suatu nilai yang diperlukan untuk memulai suatu usaha atau suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru dan berbeda. Kewirausahan merupakan penerapan kreativitas dan keinovasian untuk memecahkan permaalahan dan upaya untuk memanfaatkan peluang yang dihadapi sehari-hari. Drucker (1996) mengartikan kewirausahan sebagai semangat, kemampuan, sikap, perilaku individu dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Hisrich dan Peters (2000) menyatakan bahwa berwirausaha berarti melalukan proses menciptakan sesuatu yang berbeda dengan mengabdikan seluruh waktu dan tenaganya disertai menanggung resiko keuangan, kejiwaan, sosial dan menerima balas jasa dalam bentuk uang dan kepuasan pribadinya. Masalah yang menjadi fokus penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: (a) bagaimana proses pembelajaran bermuatan kecakapan hidup yang dikembangkan pendidikan kesetaraan di PKBM desa Wisata Tingkir Lor Kota Salatiga; (b) bagaimana model penanaman karakter kewirausahaan warga belajar pendidikan kesetaraan yang saat ini dilakukan, dan (c) bagaimana model konseptual yang dipandang tepat dalam penanaman karakter kewirausahaan warga belajar pendidikan kesetaraan bermuatan kecakapan hidup dengan pelibatan pelaku usaha mulai dari perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, dan pengembangan usaha. Sedangkan tujuan penelitian adalah: (a) menganalisis proses pembelajaran bermuatan kecakapan hidup yang dikembangkan pendidikan kesetaraan di PKBM desa Wisata Tingkir Lor Kota Salatiga, (b) menemukan model faktual yang telah dilakukan dalam penanaman karakter kewirausahaan warga belajar pendidikan kesetaraan bermuatan kecakapan hidup, dan (c) merumuskan model konseptual penanaman karakter kewirausahaan warga belajar pendidikan kesetaraan bermuatan kecakapan hidup dengan pelibatan pelaku usaha mulai dari perencanaan,


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 221 Joko Sutarto pelaksanaan pembelajaran, dan pengembangan model yang digunakan dikembangkan dengan usaha. memodifikasi langkah-langkah Borg & Gall Kerangka berpikir penelitian ini (1979: 775-776) dimulai dari tahap pendahuluan dibangun dengan pemahaman bahwa penanaman dengan kegiatan studi literatur dan servei karakter kewirausahaan masyarakat melalui lapangan; dan tahap pengembangan model kursus dan pelatihan yang diselenggarakan PKBM konseptual. merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam Target/Subjek Penelitian pendidikan kecakapan hidup sehingga masyarakat Subjek penelitian dipilih dengan memiliki keterampilan, pengetahuan, dan sikap porposive sampling, yaitu teknik teknik yang dibutuhkan dalam memasuki dunia kerja pengambilan sampel sumber data dengan baik bekerja mandiri (berwirausaha), memiliki pertombangan tertentu (Sugiyono, 2013:300). motivasi dan etos kerja yang tinggi serta dapat Pertimbangan yang dilakukan adalah bahwa menghasilkan karya-karya yang unggul dan sumber data sebagai orang yang mengetahui mampu bersaing di pasar global. Dengan makna data yang diambil dalam penelitian sehingga yang lebih luas penanaman karakter memudahkan peneliti menjelajahi objek atau kewirausahaan warga belajar melalui PKBM situasi sosial yang diteliti. Berdasarkan memerlukan adanya model yang tepat dengan objek/lokasi penelitian selanjutnya ditetapkan pelibatan aktor usaha yang dalam penelitian ini sebagai sumber data ditetapkan sejumlah 2 dimaknai sebagai pelaku usaha. METODE orang pengelola, 12 orang tutor, dan 4 orang Jenis Penelitian warga belajar yang telah lulus dan Penelitian ini menggunakan rancangan mengembangkan keterampilan dan kecakapan penelitian dan pengembangan (research and hidup yang dimiliki dengan berwirausaha. development) merujuk model yang dikembangkan oleh Borg and Gall (1989). Dalam penelitian ini Prosedur

Adapun prosedur pengembangannya terangkum dalam diagram di bawah ini: Tahap Pendahuluan Studi Literatur dan studi tentang model penanaman karakter kewirausahaan warga belajar

Servai lapangan untuk mengungkap model penanaman karakter kewirausahaan warga belajar pendikan kesetaraan melalui PKBM

Potret Model (Model Faktual)

Tahap Pengembangan Model Konseptual Model konseptual penanaman karakter kewirausahaan warga belajar pendidikan kesetaraan melalui PKBM

Perbaikan Dan Penyempurnaan

Validasi Praktisi (FGD)

Penyusunan Model Faktual


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 222 Joko Sutarto

Diagram Prosedur Penelitian

Data, Intrumen, dan Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, angket, dan observasi. Wawancara dan angket digunakan untuk mengungkap pelaksanaan pembelajaran dengan sasaran para penglola dan warga belajar. Wawancara dilakukan untuk menggali data tentang : (a) proses perencanaan, proses pengembangan kewirausahaan masyarakat (modal usaha, produksi, pemasaran, dan pengembangan usaha), dampak kewirausahaan, dan kendala/dukungan dalam pengembangan usaha melalui PKBM; dan (b) proses pembelajaran dan penanaman karakter kewirausahaan yang dikembangkan oleh PKBM. Observasi dilakukan untuk melihat secara nyata proses pembelajaran dan penanaman karakter kewirausahaan, dan sekaligus melihat praktek nyata kegiatan praktikum berwirausaha. TeknikAnalisis Data Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif (Moleong, 2007). Analisis deskriptif dilakukan dengan menggunakan deskripsi kata untuk memaknai dibalik semua yang terjadi bersifat alami, obyektif, apa adanya. Langkahlangkah analisis data model deskriptif ini adalah sebagai berikut: (1) deskripsi data, (2) reduksi data, (3), menyusun dalam satuan-satuan dalam bentuk kartu indeks, (4) kategorisasi data dengan coding, (5) pemeriksaan keabsahan data, (6) analisis data dan interpretasi data berdasarkan teori substantif. Berdasarkan temuan dan analisis data selanjutnya dirumuskan model (model konseptual) penanaman karakter kewirausahaan warga belajar pendidikan kesetaraan bermuatan kecakapan hidup melalui PKBM. HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Pembelajaran Pendidikan Kesetaraan bermuatan Kecakapan Hidup Proses pembelajaran pendidikan kesetaraan bermuatan kecakapan hidup melalui PKBM desa wisata Tingkir Lor Kota Salatiga dikembangkan mendasarkan pada asas pendidikan nonformal, yaitu learning to be, learning to do, dan learning to know yang dimulai dari penyiapan perangkat pembelajaran yang mendasarkan pada standar kompetensi yang akan dikuasai oleh warga belajar, belajar teori-teori dasar yang relevan dan dianggap penting dalam rangka menunjang usaha kejuruan, mempraktekkan teori yang telah disampaikan dalam proses pembelajaran. Hal yang selama ini belum dilakukan adalah pemberian kesempatan membuka usaha dengan menerapkan teori dan praktek yang telah dikuasai selama proses pembelajaran. Sedangkan pada tahap akhir proses pembelajaran juga belum adanya pendampingan dalam mengembangkan usaha, yang menyangkut pendampingan modal, teknis dan bantuan dalam pemasaran dari pelaku usaha setempat. Proses pembelajaran dalam pendidikan kesetaraan bermuatan kecakapan hidup diarahkan pada penanaman karakter berwirausaha dengan tekanan pada penguasaan: (a) pengetahuan tentang usaha dan peluang pasar, (b) keterampilan berproduksi sesuai dengan jenis kecakapan hidup yang dipilih seperti menjahit, konveksi, pembuatan makanan bakpia, ampyang, enting-enting gepuk dan semacamnya: (c) sikap kewirausahaan; dan (d) kemampuan berwirausaha. Model Penanaman Karakter Kewirausahaan bermuatan Kecakapan hidup Model faktual penanaman karakter kewirausahaan warga belajar berbasis kecakapan hidup yang dikembangkan selama ini oleh PKBM Desa Wisata Tingkir Lor Kota Salatiga dapat dijelaskan melalui diagram di bawah ini.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 223 Joko Sutarto Tutor

Nara Sumber teknis

Pendampingan modal

Merintis Usaha Teori

Praktek

Evaluasi Pendampingan manajemen dan Pemasaran

Diagram Model Penanaman karakter Kewirausahaan Warga Belajar

Berdasarkan pada diagram tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa penanaman karakter kewirausahaan berbasis kecakapan hidup dimulai dari: (a) pemberian pengetahuan dan pemahaman tentang bidang usaha, (b) mempraktekkan usaha berdasarkan pada penguasaan jenis usaha, (c) evaluasi penguasaan pengetahuan dan keterampilan, dan (d) merintis usaha berdasarkan jenis usaha yang telah dikuasai. Penanaman karakter kewirausahaan dilakukan dengan pemberian keterampilan kecakapan hidup melalui kegiatan pembelajaran teori secara reguler yang dilakukan oleh semua tutor, dan lebih bersifat memberikan motivasi akan pentingnya kecakapan hidup dalam menunjang kehidupan di masa depan. Sedangkan dalam pemberian keterampilan kecakapan hidup melalui kegiatan praktek dengan mendatangkan nara sumber teknis sesuai dengan jenis kecakapan yang dipilih oleh warga belajar. Suatu hal yang belum dilakukan dalam penanaman karakter kewirausahaan warga belajar dengan muatan kecakapan hidup adalah pelibatan unsur pelaku usaha setempat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengembangan usaha. Model penanaman karakter kewirausahaan yang dikembangkan PKBM desa Wisata Tingkir Lor Kota Salatiga sejalan dengan konsep pemberian muatan life skill yang dikembangkan dalam pendidikan kecakapan hidup melalui pendidikan nonformal. Life skill memiliki makna

yang lebih luas dari employability skill dan Vocational skill. Keduanya merupakan bagian dari program life skill. Life skill dapat dinyatakan sebagai kecakapan untuk hidup. Istilah hidup, tidak semata-mata memiliki kamampuan tertentu saja ( Vocational Job ), namun ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti membaca, menulis, menghitung, merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam tim, terus belajar di tempat bekerja, mempergunakan teknologi (Satori, 2002 ). Model Konseptual Penanaman Karakter Kewirausahaan Model konseptual (teoritis/hipotesis) yang ditawarkan dalam penanaman karakter kewirausahaan warga belajar pendidikan kesetaraan bermuatan kecakapan hidup melalui PKBM desa Wisata Tingkir Lor Kota Salatiga, didasarkan pada temuan lapangan dan kajian teoritis yang berkenaan dengan proses pendidikan/pembelajaran kewirasahaan. Berdasarkan kajian lapangan kelemahan utama dalam pembelajaran keterampilan kecakapan hidup adalah belum adanya pelibatan pelaku usaha yang difungsikan sebagai nara sumber teknis mulai tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan, sehingga bagi warga belajar yang tidak mampu mengembangkan keterampilan yang dimiliki dengan berwirausaha secara mandiri


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 224 Joko Sutarto tidak ada tindak lanjut secara nyata. Tawaran model ini berorientasi penyempurnaan model yang telah dilakukan selama ini seperti telah dipaparkan di atas, dengan modifikasi dimulai dari identifikasi masalah dan kebutuhan, pendampingan teknis, dan seterusnya pelibatan pelaku usaha mulai tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan Life skill dan proses pemagangan, pendampingan manajemen, pemasaran, dan penggalian bantuan kegiatan dari pemerintah. Model konseptual ini menawarkan berbagai keunggulan, yaitu: (a) sebelum kegiatan pembelajaran kecakapan hidup dimulai perlu dilakukan terlebih dahulu identifikasi masalah dan kebutuhan warga belajar, dan (b) dengan pelibatan pelaku usaha dalam tahap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan dimungkinkan penguasaan kecakapan hidup yang diberikan sesuai dengan kemampuan warga belajar dan adanya peluang untuk dikembangkan. Penanaman karakter kewirausahaan warga belajar pendidikan kesetaraan bermuatan kecakapan hidup melalui PKBM semestinya dirancang dengan pelibatan pelaku usaha mulai dari perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, dan pengembangan usaha. Pelaku usaha ini difungsikan sebagai nara sumber sekaligus sebagai profesional dan dilibatkan mulai dari perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, dan pengembangan usaha. Pelibatan semacam ini sejalan dengan temuan Lim et al. (2011: 12) yang menyatakan bahwa keberhasilan suatu program pendidikan perlu mendapatkan kemudahan salah satunya dalam memperoleh pembimbing atau narasumber selama perencanaan, pemberian

umpan balik, dan diskusi materi secara berkelanjutan. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan selalu berorientasi kepada pencapaian mutu. Upaya peningkatan mutu dan produktivitas dalam bidang apapun, tidak terlepas dari sistem manajemen yang dikembangkan, sehingga faktor pendampingan dan pembinaan dari pembimbing yang kompeten memainkan peranan penting dan menentukan (Stephanie R, 1997; Richard, A, 1996). Sikap dan perilaku sangat dipengaruhi oleh sifat dan watak yang dimilki oleh seseorang. Sifat dan watak yang baik, berorientasi pada kemajuan dan bersifat positip merupakan sifat dan watak yang dibutuhkan oleh seorang wirausahawan dalam menuju kesuksesan usaha yang dirintisnya. Dengan demikian Penanaman sikap dan perilaku atau karakter kewirausahaan masyarakat melalui kursus dan pelatihan yang diselenggarakan PKBM memerlukan sentuhan pembelajaran pendidikan nonformal yang mengarah pada prinsip “dialogis”- “swa-arah”“memberdayakan”. Hal ini sesui pandangan yang dikemukakan (Lashely, 2000; Diane, D., 2007) yang menyatakan bahwa pemberdayaan pengelolaan dan sumberdaya manusia dapat meningkatkan kinerja organisasi, kinerja organisasi yang rendah disebabkan oleh perencanaan yang kurang bermutu dan iklim organisasi yang kurang mendukung, setiap satuan pendidikan mempunyai karakter suasana kerja, yang akan mempengaruhi keberhasilan proses kegiatan pembelajaran.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 225 Joko Sutarto Pengembangan model dalam penanaman karakter kewirausahaan warga belajar, dijelaskan melalui diagram di bawah ini. Identifikasi masalah dan kebutuhan, pendampingan teknis Pengkajian teori dan praktek kewirausahaan

Pelaku Usaha

melalui

Perencanaan

PKBM

Kegiatan

Pelaku Usaha Kegiatan Pelaksanaan dan evaluasi kegiatan Life skill dan proses pemagangan

Desa Wisata Pelaku Usaha

Terbentuknya karakter kewirausahaan (mengembangkan usaha/bekerja pada pelaku usaha)

Pendampingan manajemen, pemasaran, dan penggalian dana kegiatan usaha melalui bantuan dari pemerintah

Model Konseptual Penanaman Kewirausahaan Warga Belajar


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 226 Joko Sutarto

Berdasarkan pada diagram tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa penanaman karakter kewirausahaaan warga belajar melalui PKBM desa Wisata Tingkir Lor Kota Salatiga diarahkan pada terbentuknya karakter kewirausahaan waraga belajar yang dicirikan adanya kegiatan nyata berupa pengembangan usaha dan sekaligus memasarkan hasil usaha. Terbentuknya karakter kewirausahaan warga belajar mengikuti alur kegiatan sebagai berikut: (a) pengkajian teori dan praktek kewirausahaan melalui PKBM Desa Wisata; (b) identifikasi masalah dan kebutuhan, pendampingan teknis untuk bekerja dan membentuk usaha bersama berdasarkan kebutuhan nyata warga belajar; (c) pemberian pengetahuan dan pemahaman tentang bidang usaha, dan keterampilan life skill; pemberian kesempatan pemagangan pada usaha sejenis yang dipandang lebih berhasil; dan (d) diusahakan adanya pendampingan manajemen, pemasaran, dan penggalian dana kegiatan usaha melalui bantuan dari pemerintah dan iuran anggota. Semua langkah (perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi) kegiatan pembelajaran dengan focus penanaman karakter kewirausahaan warga belajar tersebut memerlukan adanya pelibatan pelaku usaha yang difungsikan sebagai nara sumber teknis, penyandang dana, sekaligus sebagai konsultan pembelajaran sekaligus sebagai tempat praktek keterampilan kecakapan hidup yang dipilih warga belajar. Model teoritis ini dapat dikembangkan secara penuh maupun modifikasi sesuai karakter usaha bersama yang dilakukan melalui PKBM pada daerah yang bersangkutan, dengan fokus pemberian keterampilan kecakapan hidup (life skill) sebagai basis utama. Melalui pemberian keterampilan kecakapan hidup (life skill) dan penguasaan yang dimiliki

maka karakter kewirausahaan warga belajar yang dicirikan adanya kegiatan nyata berupa pengembangan usaha dan sekaligus memasarkan hasil usaha akan dapat diwujudkan. Dengan demikian peran atau pelibatan pelaku usaha dalam keseluruhan proses penanaman karakter kewirausahaan warga belajar mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiatan mutlak dilakukan, agar warga belajar mempunyai bekal pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dituntut dalam mengembangkan usaha, atau bekerja pada pelaku usaha melalui proses pematangan melalui pemagangan.Tentunya proses menuju terbentuknya karakter kewirausahaan warga belajar memerlukan adanya pendampingan manajemen, pemasaran, penggalian sumber dana usaha, dengan melibatkan pelaku usaha setempat, dan yang tidak kalah pentingnya adalah adanya proses pembelajaran kecakapan hidup atau kecakapan vokasional (life skill). Pembelajaran life skill sebagai sarana membentuk karakter kewirausahaan warga belajar melalui PKBM semestinya mengacu kepada prinsip-prinsip pembelajaran dengan karakteristik tertentu. Dalam merencanakan kegiatan usaha seharusnya didahului dengan analisis kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi, dan mempertimbangkan potensi lokal dan sumberdaya yang dimungkinkan dapat didayagunakan dalam mendukung keberlangsungan kegiatan kewirausahan masyarakat, baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya yang bukan manusia seperti bahan baku jenis usaha yang dikembangkan, peralatan, tempat usaha, pendanaan, peluang pasar dan lain sebagainya. Proses seleksi terhadap jenis usaha merupakan proses pengumpulan informasi, data, dan fakta menyeleksi berbagai ragam jenis usaha yang diinginkan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 227 Joko Sutarto

warga belajar, mengadakan pencatatan dari berbagai jenis usaha yang muncul, melakukan pengadministrasian dari berbagai jenis usaha yang telah berhasil dihimpun, dan penetapan jenis usaha yang dipilih berdasarkan prioritas secara tepat untuk ditindak lanjuti menjadi suatu rancangan program usaha yang siap ntuk dilaksanakan. Semakin tepat prioritas yang ditetapkan maka semakin banyak pula kesempatan bagi penyelenggara untuk menetapkan saran yang bermakna, dan berarti telah mengadakan pilihan yang tepat dari sekian banyak jenis usaha yang dihimpin agar secara bersama-sama dapat melangkah dari tempat di mana warga belajar berada ke tempat di mana warga belajar ingin berada. Karakteristik pembelajaran life skill adalah (a) terjadi proses identifikasi kebutuhan belajar, (b) terjadi proses penyandaran untuk belajar bersama, (c) terjadi keselarasan kegiatan belajar untuk mengembangkan diri, belajar, usaha mandiri, usaha bersama, (d) terjadi proses penguasaan kecakapan personal, sosial, kecakapan hidup, akademik, manajerial, kewirausahaan, (e) terjadi proses pemberian pengalaman dalam melakukan pekerjaan dengan benar, menghasilkan produk bermutu, (f) terjadi proses interaksi saling belajar dari ahli, (g) terjadi proses penilaian dari ahli, dan (h) terjadi pendampingan teknis untuk bekerja atau membentuk usaha bersama yang disepakati ( Depdiknas, 2003 ). Secara teoritis pembelajaran berbasis kecakapan hidup menurut Evans (1979) bertujuan untuk : a) memenuhi kebutuhan masyarakat akan tenaga kerja, b) meningkatkan pilihan pendidikan pendidikan bagi setiap individu dan c) mendorong motivasi untuk belajar terus Pendidikan vokasional adalah program pendidikan yang secara langsung dikaitkan dengan penyiapan seseorang untuk suatu pekerjaan tertentu. Oleh karena itu, di dalam proses penanaman karakter kewirausahaan

warga belajar secara implisit terkandung unsur-unsur berpikir (cognitive), berbuat (psychomotor), dan rasa (affective). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Secara umum proses pembelajaran pendidikan kesetaraan bermuatan kecakapan hidup yang dikembangkan pada PKBM desa Wisata Tingkir Lor Kota Salatiga berada pada kategori sedang dengan persentase mencapai 60,7%,. Proses pembelajaran teori dengan melibatkan instruktur dari dalam lembaga sendiri, belum melibatkan pelaku usaha yang difungsikan sebagai nara sumber teknis dalam rangka memberikan tambahan wawasan sekaligus pemberian motivasi. Penanaman karakter kewirausahaan warga belajar yang saat ini dilakukan adalah dengan pemberian keterampilan kecakapan hidup melalui kegiatan pembelajaran teori secara regular yang dilakukan oleh semua tutor, dan lebih bersifat memberikan motivasi akan pentingnya kecakapan hidup dalam menunjang kehidupan di masa depan. Suatu hal yang belum dilakukan dalam penanaman karakter kewirausahaan warga belajar dengan muatan kecakapan hidup adalah pelibatan unsur pelaku usaha setempat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pendampingan usaha, sehingga warga belajar yang sudah lulus pendidkan kesetaraan sukar untuk mengembangkan usahanya, dengan bekerja atau berwirausaha secara mandiri. Berdasarkan kajian lapangan kelemahan utama dalam penanaman karakter kewirausahaan warga belajar dengan muatan kecakapan hidup adalah belum adanya pelibatan pelaku usaha yang difungsikan sebagai nara sumber teknis mulai tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan pendampingan usaha, sehingga bagi warga belajar yang tidak mampu mengembangkan keterampilan yang dimiliki dengan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 228 Joko Sutarto

berwirausaha secara mandiri tidak ada tindak lanjut secara nyata. Saran Dalam pembelajaran kewirausahan warga belajar perlu melibatkan pelaku usaha setempat sebagai pembina kegiatan agar manajemen kegiatan pembelajaran sesuai dengan rambu-rambu yang ditentukan, dan sekaligus dapat dijadikan sebagai konsultan kegiatan pembelajaran. Penerapan model konseptual penanaman karakter kewirausahaan masyarakat yang dikembangkan memerlukan adanya partisipasi dan dukungan pimpinan daerah, oleh karena itu pengelola program perlu mengadakan konsultasi dan meminta bantuan bagi keberlangsungan kegiatan, seperti bantuan sarana prasarana, bantuan dana, dana bantuan berupa wadah pemasaran usaha, misalnya diikut sertakan pada pameran, workshop, dan media pertemuan lainnya. DAFTAR PUSTAKA Blanchard, Allan. 2001. Contextual Teaching and Learning. B.E.S.T. 2001. Borg, W.R dan Gall, M.D. 1989. Educational Research: An Introduction. New York: Longman. Danim,Sudarwan. 2004. Motivasi (Unsur, Tipe dan Tautannya dengan Kepemimpinan), (online), (http://multiply.com/user/join?conne ct=agungpia, diakses 2 Maret 2010). Diane, D. 2007. Organizational change and work related empowerment. Journal

of Nurshing Management. Vol 15, Pg. 500-507. Drucker, P.F. 1991. Inovasi dan Kewiraswastaan Praktek dan DasarDasar. Jakarta: Erlangga. Drucker P.F. 1996. Management: Task, Responsibilities, Practices. New York: Harper-Collins. Lashely, C. 1999. Employee empowerment in service: a framewark for analysis. Peronnel Review Vol 28, No 3 199, Pg.179. Lim., Lee, C. Saito, E. And Haron, S.S. 2011. Taking Stock of Lesson Study as a Platform for Teacher Development in Singapore. AsiaPasific Journal of Teacher Education Vol. 39 No. 4 353-365. Richard, A. 1996. Creating a Climate and Culture for Sustainable Organizational Change. Journal Organizational Dynamics. New York: Spring 1996. Vol 24 Iss. 4 Pg.6. Stephaine R. 1997. Influences of organizational culture and climate on individual creativity. The Journal of Creative Behavior. Vol 31, Iss. Pg.27. Satori. Djam’an. 2000. Implementasi Life Skill dalam Konteks Pendidikan di Sekolah. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Tahun ke-8 No.034. University of Washington, College of Education. 2001. Training for IndonesianEducational Team in Contextual Teaching and Learning. Washington USA : Seatle.


PENGELOLAAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN ALTERNATIF KOMUNITAS BELAJAR SEBAGAI KONSEP PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Imam Shofwan Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang ishofwan@mail.unnes.ac.id Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi Pendidikan Alternatif Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah berkaitan dengan pengelolaan pembelajaran berbasis komunitas belajar sebagai konsep pemberdayaan masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi interpretitif. Subyek penelitian adalah pendiri, pendamping dan warga belajar. Pengumpulan data dilakukan dengan: (1) riset kepustakaan, (2) teknik dokumentasi, (3) riset lapangan dengan cara (a) observasi partisipasi, (b) wawancara. Teknik sampling dilakukan dengan purposive dan snowball sampling. Keabsahan hasil penelitian dilakukan dengan validitasi dan reabilitas. Metode analisis data dilakukan dengan cara: (a) reduksi data, (b) penyajian data, dan (c) verifikasi. Hasil penelitian ini mengungkapkan: (1) konsep pendidikan alternatif, (2) pengelolaan pembelajaran yang dilakukan dengan (a) perencanaan pembelajaran yang disesuaikan berdasarkan kurikulum berbasis kebutuhan; (b) pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan yaitu kegiatan upacara, tawasi, harkes, kumpul kelas, kumpul forum, dan gelar karya; serta (c) evaluasi pembelajaran dilakukan sendiri dengan pengawasan temannya yang berpatokan pada ide, target, capaian dengan durasi yang telah ditentukan. Kata kunci: pengelolaan pembelajaran, pendidikan alternatif, berbasis komunitas MANAGEMENT OF ALTERNATIVE EDUCATION LEARNING COMMUNITY AS A COMMUNITY EMPOWERMENT CONCEPT Imam Shofwan Nonformal Education Department Education Faculty UNNES ishofwan@mail.unnes.ac.id Abstract This research is aimed at understanding the perception alternative education of Qaryah Thayyibah Learning Community related to learning management based on learning community as a concept of empowerment development. This research make use of qualitative imperative phenomenological approach. The subject of research are the founding, the company and learning member. Data collecting is done by (1) library research (2) documentation (3) area research by (a) participative observation (b) interview. Sampling technic is done by purposive and snowball sampling. The validity of the result of this research is done by validation and reliability. Methodological data analysis is done by: (a) data reduction (b) data presentation (c) verification. The result of the research reveal (1) alternative education concept (2) education management conducted by (a) learning planning adjusted to need based curriculum; (b) learning execution are: upacara, tawasi, harkes, kumpul kelas, kumpul forum, and gelar karya; (c) and self-learning evaluation supervised by friends and ruled by idea, target, achievement in certain duration. Keywords: learning management, alternative education, community based.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 230 Imam Shofwan PENDAHULUAN Pendidikan merupakan usaha yang paling strategis bagi pembangunan suatu bangsa salah satunya melalui pemberdayaan masyarakat. Peran pendidikan dapat mempengaruhi sumberdaya manusia baik secara kualitas dan kuantitas, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Suatu bangsa atau negara dapat dikatakan semakin maju dan berkembang diantaranya, apabila dalam pembangunan di bidang pendidikan diberikan perhatian secara maksimal dengan upaya penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana untuk memenuhi pendidikan bagi masyarakatnya. Perkembangan masyarakat tidak terlepas dari dunia pendidikan. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Adapun tujuan pendidikan menurut Delors, yang kemudian dikenal dengan empat pilar pendidikan versi UNESCO (1996) yang harus mendapatkan perhatian, yaitu: (1) learning to know, untuk mengetahui; (2) learning to do, belajar untuk dapat berbuat; (3) learning to be, belajar untuk menjadi dirinya; dan (4) learning to live together, belajar untuk hidup bersama dengan orang lain. Supaya tujuan pendidikan nasional berhasil untuk membangun sebuah bangsa dengan mencerdaskan kehidupan bangsa atau masyarakat dalam implementasinya sistem pendidikan di Indonesia dalam penyelenggaraanya dilakukan melalui tiga jalur pendidikan yang sesuai dengan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS pada Bab VI Pasal 13 yang berbunyi “Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya”. Akan tetapi dalam implementasinya dirasa tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, dengan alasan pendidikan tidak bisa mencerdaskan kehidupan bangsa atau masyarakat, akan tetapi pendidikan untuk mempersiapkan ke dunia kerja bukan untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Berkaitan dengan sejarah pendidikan di Indonesia dari masa lalu sampai dengan masa sekarang menurut Winarno Surakhmad pengamat pendidikan mengatakan bahwa pendidikan cenderung tidak saling terkait, bahkan tidak saling mendukung dengan apa yang hidup di dalam masyarakat. (Buku Kompas, 2007, p.xv). karena dianggap tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, maka munculnya

pendidikan alternatif yang dirasa mampu mewujudkan pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang utamanya adalah mencerdaskan bangsa dengan konsep pemberdayaan masyarakat. Berkaitan pendidikan alternatif yang dapat dikategorikan sebagai pendidikan nonformal sesuai dengan UU SISDIKNAS Bab I Pasal 1 (12) “Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang” yang pelaksanaan pendidikannya di luar sekolah atau disebut “pendidikan luar sekolah” dengan pelaksanaan atau penyelenggaraan pendidikan diatur yang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 55 tentang “Pendidikan berbasis masyarakat”. Adapun tokoh-tokoh yang mendirikan pendidikan alternatif diantaranya adalah (1) Romo Mangun Wijaya dengan melakukan pendidikan alternatif melalui Yayasan Dinamika Edukasi Dasar (DED) dengan konsep pemerdekaan dengan pembelajaran disesuaikan dengan eksploratif, kreatif, dan integral; (2) Butet Manurung melakukan Pendidikan pada Komunitas Orang Rimba, dengan konsep pendidikan berbasis realitas sosial dengan pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan komunitas; (3) Bahruddin melakukan pendidikan alternatif dengan konsep komunitas belajar untuk pemberdayaan desa dengan diberikan nama Qaryah Tahhyibah yang berarti desa yang berdaya, dengan pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan komunitas. (4) Y. Sari Jatmiko melakukan pendidikan pada kaum miskin di sekolah formal alternatif di SD Mangunan yang dikenal dengan “Mlarat ning Ningrat” dengan konsep mengenali dan mengembangkan potensi agar menjadi manusia dewasa yang mandiri. Diantara pendidikan alternatif tersebut, peneliti memfokuskan pada “Pendidikan Alternatif Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah di Kota Salatiga, karena menggunakan konsep pemberdayaan masyarakat untuk menciptakan masyarakat yang mandiri dan sejahtera. METODE Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologi interpretif yaitu “pemaknaan oleh objek itu sendiri, bukan peneliti’ mengungkap interprestasi masyarakat yang diteliti, bukan mengungkap interpretasi


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 231 Imam Shofwan peneliti”. (Muhajir, 2011, p.37). Adapun penelitian fenomenologi bertujuan untuk “mengetahui dunia dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung atau berkaitan dengan sifat-sifat alami pengalaman manusia, dan makna yang ditempelkan padanya”. (Kuswarno, 2009, p. 35). Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan selama dua tahun dimulai pelaksanaan dari bulan September 2011 dan sampai dengan bulan Juli 2013 yang bertempat pada pendidikan alternatif Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah yang beralamat di dusun Kalibening, desa Kalibening, kecamatan Tingkir, kota Salatiga provinsi Jawa Tengah. Target/Subjek Penelitian Sebagai key informan untuk mendapatkan data mengenai konsep pendidikan dan pengelolaan pembelajaran berbasis komunitas adalah pendiri Komunitas Belajar Qaryah Thayibah Salatiga. Subjek penelitian ini adalah pihak-pihak yang terkait diantaranya pimpinan atau pengelola, pendamping, dan warga belajar pada pendidikan alternatif di Qaryah Thayyibah Salatiga.

Prosedur Sebelum menentukan teknik dan instrument pengumpulan data, untuk memudahkan peneliti memasuki setting penelitian, peneliti melakukan alur sistematika langkah-langkah sebagai berikut; (1) mencari informasi dari buku dan penelurusan data online; (2) mengurus izin pra survey penelitian, untuk menjajaki dan mengetahui keadaan lapangan penelitian; (3) mengurus izin penelitian, sebagai formalitas untuk melakukan penelitian dan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan; (4) membina hubungan baik dengan seluruh elemen yang terkait; (5) setelah kehadiran peneliti dapat diterima dengan baik, barulah peneliti memulai penelitian partisipan untuk mengumpulkan data atau mengumpulkan informasi yang diperlukan. Selain teknik pengumpulan data yaitu instrument pengumpulan data. Menurut (Sugiyono, 2011, p.305) kualitas hasil penelitian dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu: (a) instrument penelitian, dan (b) kualitas pengumpulan data. Dalam penelitian kualitatif

yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri (human instrument) yang berfungsi untuk menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya. Peneliti kualitatif fenomenologi sebagai human instrument adalah kehadiran peneliti di lapangan adalah untuk mengungkap fenomena di balik peristiwa yang terjadi di lapangan dan dalam menetapkan fokus penelitian, dalam memilih informan sebagai sumber data, pengumpulan data, menilai kualitas data, menafsirkan data dan menyimpulkan data yang dilakukan oleh peneliti itu sendiri. Data, Intrumen, dan Teknik Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan dari hasil observasi dan wawancara dalam bentuk kata-kata, ucapan, isyarat, dan tingkah laku, serta gambar, sedangkan data sekunder adalah data pendukung yang terkumpul dari berbagai literatur, baik yang berupa buku, hasil penelitian, jurnal dan majalah serta internet. Adapun teknik dan instrument pengumpulan data penelitian ini lebih rinci dijelaskan sebagai berikut: 1. Metode Observasi Partisipan Observasi dimaksudkan untuk melihat secara langsung tentang kondisi yang terjadi selama di lapangan, baik yang berupa fisik atau perilaku yang terjadi selama penelitian. Observasi ini dilakukan dengan cara peneliti ikut berpartisipasi. Observasi partisipan adalah “pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan” (Mungin, 2011, p.118). Menurut (Johnson & Christensen, 2000, p.151) observasi partisipan adalah “observer-asparticipant researcher spends limited amount of time observing group members and tells member they are being studied” yaitu pengamat sebagai peserta peneliti menghabiskan waktu mengamati anggota grup terbatas dan memberitahu anggota mereka sedang dipelajari. 2. Metode Wawancara Bentuk wawancara yang dilakukan meliputi wawancara bebas terpimpin. Wawancara (interview) adalah situasi peran antar-pribadi bersemuk (face-to-face), ketika seorang-yakni


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 232 Imam Shofwan pewawancara-mengajukan pertanyaanpertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian, kepada seorang yang diwawancari, atau responden (Kerlinger, 2006, p.770). Wawancara dilakukan dengan menemui subjek atau informan yang dalam hal ini adalah para pelaku atau key informan dari pendiri, waga belajar dan pendamping belajar pada KBQT untuk menggali informasi atau data berkiatan dengan konsep pendidikan dan pembelajaranya serta pengelolaan pembelajaran berbasis komunitas. 3. Metode Dokumentasi Berkaitan dengan pengumpulan data dengan menggunakan metode dokumentasi adalah sebagai data sekunder untuk mendukung data primer. Menurut (Sukmadinata, 2002, p.221) merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisa dokumendokumen tertulis, gambar maupun elektronik. Metode ini penulis gunakan untuk memperoleh data yang bersifat dokumentatif seperti proses pengelolaan pembelajaran yang dilakukan. Teknik Analisis Data Menurut Bogdan (Sugiyono, 2011, p.322) analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Proses penelitian kualitatif dibagi menjadi tiga tahap yaitu: (1) sebelum memasuki lapangan, yaitu dengan membuat proposal penelitian dengan dikuatkan dengan data-data sekunder baik dari buku maupun dari media internet; (2) selama di lapangan dengan menggunakan model Miles dan Huberman (Komponen dalam analisis data pada gambar 2) ; (3) setelah selesai di lapangan, yaitu menulisnya dalam bentuk laporan penelitian. Data collection

Data display

Data reduction Conclusions: drawing/verif ying

Gambar 3. Komponen dalam analisis data (interactive model). Sumber: (Sugiyono, 2011, p.335) Langkah-langkah penelitian ini dalam pengolahan menggunakan analisis data yang dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, (Collection). Pengumpulan data dapat penelitian ini dilakukan dengan observasi, wawancara dan dokumentasi. Data-data tersebut dicatat dalam catatan lapangan berbentuk deskriptif tentang apa yang dilihat peneliti, apa yang didengar peneliti, dan apa yang dialami atau dirasakan oleh subjek penelitian. Kedua, (Reduction). Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan lapangan. Reduksi data berlangsung secara terus-menerus selama penelitian berlangsung. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang mempertajam, dan menggolongkan, serta mengarahkan, membuat yang tidak diperlukan, dan mengorganisasikan data yang diperlukan sesuai fokus permasalahan penelitian. Ketiga, (Display). Penyajian data yang paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif adalah berbentuk teks naratif dari catatan lapangan/file notes. Penyajian data adalah merupakan tahapan untuk memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan selanjutnya oleh peneliti, untuk dianalisis dan diambil tindakan yang dianggap perlu. Keempat, (Conclusions: drawing/verifying). Berdasarkan uraian di atas, secara umum analisis data dalam penelitian ini dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) Melakukan pencatatan semua temuan fenomena dilapangan baik melalui pengamatan, wawancara dan dokumentasi. (2) Menelaah kembali catatan hasil pengamatan, wawancara dan studi dokumentasi, serta memisahkan data yang dianggap penting dan tidak penting, pekerjaan ini diulang kembali untuk memeriksa kemungkinan kekeliruan klasifikasi. (3) Mendeskripsikan data yang telah diklasifikasikan dengan memperhatikan fokus dan tujuan penelitian. (4) Membuat analisis akhir yang memungkinkan dalam laporan. HASIL DAN PEMBAHASAN Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah sebenarnya adalah sekolah, akan tetapi tidak seperti pada sekolah-sekolah pada umumnya dikarenakan tidak ada struktur organisasi dan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 233 Imam Shofwan papan tulis, bangku-bangku (meja dan kursi) yang digunakan untuk pembelajaran. Semua tidak seperti di sekolah, dikarenakan memang bukan tempat sekolah pada umumnya, melainkan tempat untuk belajar bersama yang disebut dengan komunitas belajar yang sekarang sudah mempunyai gedung sendiri yang dulunya dirancang sendiri oleh warga belajarnya walaupun belum selesai di bangun. Sejarah Berdirinya Berdirinya KBQT sebenarnya tidak sengaja direncanakan, akan tetapi dikarenakan adanya insident atau bisa dibilang adanya kecelakaan begitu begitu Pak Din bercerita setiap ada tamu yang bertanya tentang sejarah awal berdirinya. Bagaimana tidak, waktu itu masih teringat dibenak pendiri pada bulan Juli 2003 adalah masa pendaftaran dan penerimaan siswasiswi SD/MI untuk masuk SMP. Waktu itu pula adanya keresahan yang melanda orangtua mengenai pendidikan anak-anaknya setelah lulus SD/MI yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi yaitu SMP/MTS. Akan tetapi mahalnya biaya pendidikan yang dirasakan, mulai dari seragam, biaya SPP bulanan, jarak yang cukup jauhdari rumah dan lain sebagainya menjadi persoalan bagi orangtua yang kurang mampu atau juga menolak sistem pendidikan yang ada. Ini pernyataan Pak Din saat diwawancari peneliti. Adanya permasalahan dalam bidang pendidikan yang dialami masyarakat di desa kalibening, terutama masyarakat yang tergabung pada Serikat Paguyuban Petani Qaryah Tahyyibah Kalibening Salatiga yang disingkat dengan SPP-QT mulai resah. Itulah awalnya ada ide gagasan dari seseorang yang bernama Ahmad Bahruddin nama dari bahasa arab yang mempunyai arti “lautan agama terbentang luas tak terbatas” dan komunitas memberikan nama sapaan akrabnya dengan panggilan Pak Din dan juga komunitas juga sering memanggilnya dengan sebutan atau panggilan Kepala Suku. Begitulah warga belajar atau orang komunitas belajar menyebut atau memanggilnya. Awal mulanya, Pak Din merencanakan mendirikan sekolah dengan mengundang anggota paguyuban petani dan masyarakat sekitar untuk melakukan rapat bersama, dan yang datang ada sebanyak 30 orangtua yang hadir untuk membahas persoalan tentang biaya pendidikan masuk SMP yang semakin mahal waktu itu, dan sebagai gagasan ide atau solusinya adalah menawarkan kepada orangtua untuk mendirikan

sekolah sendiri dengan biaya murah dan bermutu serta berkualitas. Adapun dari pertemuan tersebut, Pak Din menyatakan, “jika minimal ada 10 siswa, maka sekolah akan langsung didirikan”. Adapun dari ke-30 orangtua tersebut, ada dua argumen adanya yang pro dan kontra mengenai gagasan tersebut. Diantaranya yang kontra atau tidak mendukung dikarenakan masih meragukan akan kualitas pendidikannya yaitu, sebanyak 18 orangtua siswa. Adapun lainnya yang pro atau mendukung untuk mengiyakan atau sepakat dengan pemikiran beliau, hanya 12 orangtua dikarenakan ada yang memang tidak mampu secara finansial dan juga dikarenakan sealiran dengan pemikiran Pak Din yaitu sekolah yang tidak hanya untuk mengkonsumsi pengetahuan semata, tetapi sebaliknya memproduksi atau membuat karya sehingga bisa mandiri dalam kehidupannya kelak. Berkaitan dengan pemberian nama sekolahnya Pak Din pada awalnya memberikan nama sekolah dengan sebutan “SMP Terbuka Alternatif Qaryah Thayyibah (SMPT-AQT)”. Dinamakan “Sekolah Terbuka” karena masih menginduk di SMP N 10 Salatiga, dan “Qaryah Thayyibah yang berarti desa yang indah” yang sesuai dengan nama Paguyuban Petani di desanya. Selain itu tidak dipungkiri semakin tahun biaya sekolah semakin mahal, yang tidak berpihak pada rakyat miskin. Dengan adanya KBQT maka biaya pendidikan bisa menjadi lebih murah selain itu juga berkualitas karena akan mengedepankan karya-karya anak bangsa yang disesuaikan dengan bakat dan minatnya masingmasing. Konsep dan Teori Pendidikan Alternatif Mengenai konsep pendidikan adalah dengan menganut filosofi pendidikan kontruktivisme dimana memberikan pengertian dan pemahaman tentang problematik kehidupan yang sebenarnya dan selanjutnya warga belajar di dorong untuk dapat mengkaji dan menemukan hal baru dengan cara melakukan sharing pengetahuan/ pengalaman antar individu atau juga dengan pendamping. Dengan begitu maka akan ada proses kritis tentang bagaimana penyadaran dan pembebasan seperti konsepnya Paulo Friere. Sehingga akan menjadikan masyarakat berdaya dan mandiri untuk keberdayaan masyarakat dan menjadikan atau mewujudkan desa yang berdaya.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 234 Imam Shofwan Selama ini di desa ada lembaga pendidikan yang bernama sekolah terutama SD tetapi sangat disayangkan SD di desa tidak pernah berbicara tidak mengenai sumberdaya, kebudayaan, sejarah desa, karena telah diambil oleh negara (BSNP) dan disamaratakan sehingga nilai-nilai kemandiriannya hilang sehingga anak-anak belajar di SD itu serta merta berjarak dengan desanya sendiri akhirnya jauh dari desa, jika ada anak yang berprestasi malah akan meninggalkan desa, sehingga mempengaruhi keberkuasaan desa. Berkaitan dengan teori belajar yang dipraktikkan ternyata setelah peneliti melakukan diskusi dengan pendiri, pendamping dan observasi di lapangan, ternyata teori belajar yang dipakai adalah teori belajar orang dewasa. Teori belajar yang dipakai adalah teori orang dewasa karena warga belajar atau komunitas dalam belajar sesuai dengan kebutuhannya. Jadi tidak ada unsur keterpaksaan dalam melakukan belajar. Prinsip-prinsip Pendidikan Alternatif Adapun menurut prinsip-prinsip pendidikan sesuai dengan jumlah surat alfatheh yaitu mempunyai tujuh prinsip yang terdiri dari: (1) Membebaskan; berarti keluar dari belenggu legal formalistik yang selama ini menjadikan pendidikan tidak kritis dan kreatif. (2) Keberpihakan; bahwa pendidikan dan pengetahuan hak bagi seluruh warga dan membedakan yang kaya dan miskin. (3) Partisipatif; dalam merancang pembelajaran dilakukan secara partisipatif antara pengelola, murid, serta masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan. (4) Kurikulum berbasis kebutuhan; belajar adalah bagaimana menjawab kebutuhan yang disuaikan dengan keinginan. (5) Kerjasama; pembelajaran dibangun berdasarkan kerjasama, bukan kompetisi yang menjadikan pembelajaran tidak sehat. (6) Sistem evaluasi berpusat pada peserta didik; puncak keberhasilan pembelajaran adalah ketika warga belajar menemukan dirinya dan berkamampuan mengevaluasi diri sehingga tau persis potensi yang dimilikinya dan dapat mengembangkannya. (7) Percaya diri; pengakuan akan datang dengan sendirinya manakala kapasitas pribadi dari si subjek didik meningkat, dan bermanfaat kepada orang lain. Pengelolaan Pembelajaran Komunitas Belajar Pengelolaan program pendidikan mencakup komponen-komponen yang tidak sedikit tentunya. Untuk itu penelitian ini difokuskan pada pengelolaan proses

pembelajaran yang berkaitan dengan aspek (1) perencanaan pembelajaran, (2) pelaksanaan pembelajaran dan (3) evaluasi pembelajaran yang dilaksanakan oleh KBQT. 1. Perencanaan pembelajaran Berbicara mengenai perencanaan pembelajaran adalah rencana mengelola kegiatan pembelajar yang dilakukan oleh komunitas untuk komunitas dengan kesepakatan bersama, mungkin hampir sama tapi tidak serupa dengan slogan koperasi. Perencanaan pembelajaran dilakukan oleh masing-masing kelas dan disepakati bersama berkaitan dengan waktu dalam jumlah pertemuan tiap minggunya dan membahas pelajaran apa yang akan dipelajari secara bersama-sama sesuai dengan kesepakatan pula. mereka dalam merencanakan pembelajaran yang pertama disesuaikan dengan kebutuhan mereka, masing-masing warga belajar membuat ide/ gagasan sesuai dengan keinginannya selama satu minggu, satu bulan dan satu semester. Setelah itu idenya idu dilaksakanan sesuai dengan targetnya dari mingguan, bulanan dan sampai semesteran. Adapun mengenai perencanaan pembelajaran membahas mengenai, identifikasi kebutuhan pembelajaran, perumusaan tujuan pembelajaran, penyusunan program pembelajaran. Identifikasi kebutuhan pembelajaran Identifikasi kebutuhan pembelajaran disesuaikan dengan konsep pembelajarannya yang sederhana sekali, yaitu warga belajar harus membuat karya yang disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Jadi dengan begitu warga belajar akan mau dan mampu untuk belajar dengan senang tanpa ada unsur paksaaan. Perumusan tujuan pembelajaran Perumusan tujuan pembelajaran berkaitan dengan tujuan yang akan dicapai yaitu: keluaran pembelajaran yang dapat menjadikan anak berkembang sesuai dengan bakatnya, dapat mengembangkan bakatnya dengan menuangkan ide-idenya menjadi sebuah karya yang bisa dinikmati sendiri, dan bahkan bisa dinikmati oleh orang lain. Setelah lulus diharapkan warga belajar bisa mandiri dan mungkin bisa bekerja sesuai dengan hobynya masing-masing. Sehingga tidak akan adanya pengangguran atau paling tidak mengurangi pengangguran yang ada. Karena belajar disini pada intinya adalah agar anak-anak bisa produksi bukan konsumsi. Bisa bermasyarakat atau tidak kaku di masyarakat, karena pembelajaran di sini juga berbaur dengan masyarakat.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 235 Imam Shofwan Penyusunan program pembelajaran Komunitas dalam merencanakan pembelajaran yang pertama disesuaikan dengan kebutuhan mereka, masing-masing warga belajar membuat ide/ gagasan sesuai dengan keinginannya selama satu minggu, satu bulan dan satu semester. Setelah itu idenya idu dilaksakanan sesuai dengan targetnya dari mingguan, bulanan dan sampai semesteran. Penyusunan program pembelajaran, yang dilakukan berkaitan dengan aspek-aspek antara lain: (1) Pendekatan pembelajaran menggunakan pendekatan student center atau pendekatan berpusat pada siswa yaitu, siswa aktif alam melakukan pembelajaran, bukan pasif seperti yang dilakukan pada sekolah formal. (2). Metode pembelajaran, menggunakan metode diskusi atau sharing pendapat. Saling memberikan pengetahuan dan menambahkan pengetahuan sesama komunitas. (3) Teknik pembelajaran yang dilakukan adalah masing-masing anak membuat ide yang selanjutnya diwujudkan dalam target dan capain-capaian yang telah dilakukan dan selanjutnya dievaluasi. (4) Sarana dan prasarana digunakan komunitas lebih menggunakan sistem informasi misalnya browsing atau mencari tahu kepada orang yang mampunyai pengetahuan lebih, atau pada ahlinya. Selain itu sarana dan prasarannya dalam kegiatan pembelajaran ada seperangkat presentasi LCD dan Laptop. Seperangkat musik (gitar, bas dan melodi, orgen, ada juga buatan warga belajar sendiri). ada seperangkat sound yang dipakai untuk pentas di dalam dan juga di luar. (5) Materi dan bahan pembelajaran disesuaikan dengan keinginan mereka. Kalau mereka ingin belajar menggambar materinya alat-alat gambar, kalau mereka ingin belajar musik, materinya alat-alat music, mereka langsung praktik, tidak kebanyakan belajar melalui teori-teori seperti sekolah pada umumnya. 2. Pelaksanaan program pembelajaran Kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh komunitas adalah kegiatan adalah aktivitas belajar yang dilakukan selama seminggu dari hari senin sampai kembali hari senin lagi. Bentuk kegiatan pembelajarannya (1) upacara; setiap hari senin, yaitu kegiatan evaluasi komunitas. Apa kendala dan rencana yang akan dilakukan dan mengenai apa saja. (2) tawasi; kegiatan saling mengingatkan yang dilakukan setiap senin s/d kamis sehabis nduhur. Kegiatannya membaca asmaul husna dan mengaji dilanjutkan materi yang isinya saling mengingatkan. (3) kumpul

kelas; kegiatan per kelas. (4) kumpul forum. (5) harkes; kegiatan tentang materi kesehatan yang dilakukan setiap hari sabtu. (6) yang terakhir adalah GK gelar karya yang dilakukan setiap 6 bulan sekali. 3. Evaluasi Pembelajaran Berkenaan dengan penilaian pembelajaran berbeda dengan pendidikan formal, karena penilaian pembelajaran bisa dinilai oleh warga belajar itu sendiri, apabila antara ide dan target dan capaian berhasil, maka penilaian dianggap baik dan apabila itu tidak berjalan dengan baik, atau tidak sesuai dengan rencana, maka itu dikatakan tidak baik. Bukan berdasarkan nilai dengan angka-angka seperti yang dilakukan di sekolah konvensional. Bagus atau tidaknya, kalau temannya hanya memberikan masukan saja. semakin masukannya sedikit, berarti karyanya semakin berkualitas dan sebaliknya. PEMBAHASAN Konsep Pendidikan dan Pembelajaran Konsep Pendidikan Altermatif Pendekatan pembelajaran semacam KBQT, sama seperti halnya dengan pendekatan pembangunan masyarakat, menurut (Mustofa Kamil, 2009, p.47) yaitu, model pembangunan murni datang dari masyarakat atau masyarakatlah yang memiliki keinginan (kebutuhan) kemudian merencanakan, mengelola proses pembangunan dan memeliharanya. Konsep pendidikan menggunakan filosofi yang anutnya adalah Paulo Friere dengan sistem (1) pembebasan; yang artinya tidak adanya pihak yang merasa berkuasa. Dengan adanya pemikiran seperti ini, maka warga belajar dalam melakukan pembelajarannya dilaksanakan dengan penuh dengan kesadaran tanpa ada unsur paksaan dari lingkungan eksternal. dan (2) penyadaran; yang pada intinya adalah dalam proses pembelajaran ditumbuhkan kesadaran dirinya terhadap lingkungannya sehingga terciptanya berfikir kritis Konsep filosofi inilah yang menghapuskan adanya status perbedaan antara pendidik dan peserta didik. Yang menjadikan semua setara dalam pembelajaran, baik itu warga belajar atau pendamping yang pada intinya adalah sama-sama belajar. Selain itu dalam pendidikan yang dilakukannya adalah untuk menyadarkan warga belajarnya agar bisa mengelola sumberdaya alam atau potensi pedesaan untuk mewujudkan desa yang berdaya sesuai dengan namanya Qaryah


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 236 Imam Shofwan Thayyibah yang artinya desa yang berdaya, desa yang baik. Selain itu tujuan KBQT konsepnya adalah untuk memberdayakan potensi sumber daya manusia dan memanfaatkan potensi alam untuk menjadikan desa baik (thayyibah). Adapun mengenai tujuan pembelajarannya yang diterapkan adalah LCB (living center based) bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan untuk mengembangkan situasi belajar-mengajar yang memberikan kemampuan untuk peserta didik untuk berfikir kritis sehingga mereka dapat mengenali, menganalisa dan memecahkan masalah atau solusi-solusi yang timbul dalam dunia kehidupannya. Konsep Pembelajaran Komunitas Komunitas Belajar Qaryah Tayyibah atau yang disingkat dengan sebutan KBQT konsep pembelajarannya menganut filsafat kontruktivisme yaitu, dimana peserta didik dengan aktif memperoleh pengetahuannya sendiri sebagai subjek pembelajar, sehingga guru tidak berpartisipasi penuh dalam proses pembelajarannya. Selain itu juga melakukan rekontruktivisme, apabila dalam pembelajaran itu dirasa tidak sesuai dengan apa yang dilakukan dalam pembelajaran. Bukan menggunakan filsafat pendidikan yang menganut behavior yang di praktekkan pada sekolahan formal yaitu peserta didik menjadi objek pembelajar yang harus diberikan pengetahuan oleh gurunya, sehingga guru berpartisipasi penuh dalam proses pembelajarannya. Selain itu berkaitan dengan teori belajarnya adalah menggunakan teori andragogi yaitu teori belajar orang dewasa yang salah satu faktanya adalah belajar sesuai dengan kebutuhan. Maka dengan adanya kebutuhan, maka warga belajar akan belajar. Dengan begitu proses belajarnya akan menjadikan semangat, karena belajarnya sesuai dengan apa yang diinginkan dan dibutuhkan, serta bukan karena keterpaksaan atau adanya perintah dari atasan kepada bawahan yang seperti dilakukan pada pendidikan formal. Yang dirasa pendidikan sekarang ini masih mempraktekkan pembelajaran model pekerja/buruh. Bagaimana tidak, apabila ada guru, maka siswa akan belajar, jika tidak ada guru maka siswa akan dengan asik bermain. Begitu juga apabila guru menyuruh untuk belajar, maka siswa akan mengikutinya. Inilah sebenarnya pendidikan di Indonesia yang bisa dikatakan tidak humaniora atau memanusiakan manusia dan dalam belajarnya

mereka disamaratakan semua bagaikan motor atau barang elektronik yang cara memperlakukannya dengan perlakuan yang sama. Selain itu juga dalam pembelajaran di sekolah tidak mengembangkan dialog kritis antara pendidik dan peserta didik, dan tidak saling belajar. Kegiatan pembelajaran di sekolah cenderung lebih didominasi oleh guru yang berada dalam posisi menekan, sedangkan peserta didik berada pada situasi yang ditekan. Pengelolaan Pembelajaran Komunitas Pengelolaan pembelajaran di KBQT dilakukan oleh komunitas sendiri yang dilakukan per kelas yang membahas mengenai permasalahan yang dihadapinya misalnya persoalan target yang akan dicapai. Selain itu adalah pengelolaan pembelajaran dilakukan per forum yaitu membahas mengenai kesenangan atau bakat/minat yang ingin dipelajari di komunitas dan saling bertukar pikiran dan informasi pengetahuan untuk saling membantu dalam menghasilkan karya setiap individunya. Pada intinya semua kegiatan dirancang, diorganisasikan, dan digerakkan, serta dibina komunitas itu sendiri. Dan apabila merasa mempunyai kesulitan baru meminta bantuan kepada pendamping untuk memberikan masukan dan solusi jalan keluarnya. Ada kelas berdasarkan umur dan forum berdasarkan minat yang tidak bisa dipastikan masuk setiap hari atau seminggu masuk tiga kali dan ada juga yang seminggu hanya masuk sekali. Itu dirasa bukan yang terpenting, akan tetapi yang terpenting adalah komunitas atau masingmasing kelas dan tentunya masing-masing individu mempunyai target karya yang akan dihasilkan setelah melewati hari, minggu dan bulan selama mereka belajar yang nantinya akan dipaparkan atau di presentasikan atau juga diminta pertangungjawaban mereka masingmasing dalam kegiatan KG (gelar karya). Kegiatan gelar karya bisanya dilakukan setiap enam bulan sekali baik dilakukan setiap individu dan dilakukan setiap kelasnya. Berkaitan dengan pengelolaan pembelajaran KBQT yang diterapkan adalah selalu dirancang secara bersama-sama dan dilaksanakan secara bersama-sama dan dievaluasi bersama-sama, dengan melakukan musyawarah secara mufakat untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengelolaan tersebut sesuai dengan pendapat (Sudjana, 2000, p.17) mengatakan bahwa:


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 237 Imam Shofwan Manajemen merupakan serangkaian kegiatan, merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, mengendalikan dan mengembangkan terhadap segala upaya dalam mengatur dan mendayagunakan SDM, sarana dan prasarana secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Adapun mengenai pelaksanan pendidikan alternatif berbasis komunitas dalam pengelolaan program pendidikan melalui pembelajaran, peneliti membahas yang berkaitan dengan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi pembelajaran Perencanaan pembelajaran 1. Identifikasi kebutuhan belajar Secara individu anak disuruh mengindentifikasikan kebutuhannya masingmasing yang disesuaikan dengan bakat dan minatnya. Karena dengan begitu maka proses pembelajaran akan menjadi benar-benar dibutuhkan oleh individu dan menjadikan pembelajaran yang menyenangkan. Peneliti dalam melakukan identifikasi kebutuhan pembelajaran yaitu melakukan observasi dengan mengikuti kegiatan-kegiatan kelas dan ternyata mereka dalam melakukan identifikasi kebutuhan belajar dilakukan secara bersama-sama. Baik dilakukan secara berkomunitas, secara per kelas dan juga dilakukan secara per forum sesuai dengan bakat dan minatnya. Selain itu, identifikasi kebutuhan pembelajaran dilakukan juga setiap masingmasing individu setiap minggunya. Individu melalukan identifikasi berkaitan dengan pembelajaran yang akan dilakukan selama seminggu kedepan. 2. Perumusan tujuan pembelajaran Perumusan tujuan pembelajaran komunitas yaitu tujuan output atau keluaran dan tujuan outcome atau dampak, atau dapat dikatakan tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Adapun tujuan output atau jangka pendek meliputi karya yang dihasilkan warga belajar, dan outcome atau jangka panjang meliputi pengembangan ketrampilan hidup untuk terus bisa berkarya dalam kehidupan yang akan datang. Inilah yang membedakan antara pendidikan formal pada umumnya. Kalau di pendidikan formal itu lebih mementingkan akademik atau prestasi, sehingga ada persaingan antara siswa dalam belajar, sehingga ada hal-hal yang tidak diinginkan akan terjadi, seperti menghalalkan segala cara dalam hal ulangan

misalnya menyontek buku, menyontek temannya. Iya karena mereka dalam belajar seolah-olah tidak dibutuhkan dalam dunia kehidupannya atau belajarnya tidak bisa menjawab persoalanpersoalam masalah dalam hidupnya. Seperti yang dikatakan oleh Illich (1972) menggambarkan bahwa sekolah memonopoli pendidikan dan lebih menitikberatkan produknya berupa lulusan yang hanya didasarkan atas hasil penilian dengan menggunakan angka dan ijazah. (Sudjana, 2001, p.83) Berbeda dengan konsep pembelajaran di komunitas belajar ini yang mengedepankan karya, jadi setiap warga belajar diwajibkan mempunyai karya dan dengan karya maka warga belajar tidak bisa mencontek persis sama milik karya temannya. Justru dengan karya ini, masingmasing anak akan saling membantu dalam pembuatan karyanya dan tidak ada yang namanya kompetisi dalam membuat karya yang adalah saling memberikan masukan terhadap karya yang telah dihasilkan. 3. Penyusunan program pembelajaran a. Pendekatan pembelajaran Setelah peneliti melakukan observasi, ternyata pendekatan pembelajarannya adalah student center atau pendekatan berpusat pada siswa yaitu, siswa aktif dalam melakukan pembelajaran, bukan pasif seperti yang dilakukan pada sekolah formal. b. Metode pembelajaran Setelah peneliti melakukan observasi, ternyata dalam pembelajaran yang dilakukan adalah menggunakan metode active learning merupakan metode pembelajaran yang memposisikan warga belajar sebagai subjek dalam sistem pembelajaran. Dengan begitu warga belajar banyak melakukan diskusi atau sharing pendapat. Saling memberikan pengetahuan dan menambahkan pengetahuan sesama komunitas. Selain itu model pembelajaran yang dilakukan setelah melakukan observasi partisipan, menurut peneliti KBQT Salatiga dalam model pembelajarannya menggunakan Community Based Education (CBE) sebagai model pendidikannya, yaitu model pendidikan yang menyatu dengan masyarakat, pengelola, pendamping, dan warga belajar adalah masyarakat sekitar. Model pendidikan ini memberikan keutungan bagi warga belajar, karena meraka tidak merasa jauh dengan realistas sehari-harinya, atau tidak tercabut dari akar lokalitasnya sehingga ketika lulus mereka tidak merasa gagap


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 238 Imam Shofwan menghadapi permasalahan yang akan datang yang muncul di lingkungannya kelak. Karena dalam pembelajarannya tidak adanya jarak atau menjauhi masyarakat. Akan tetapi malah sebaliknya, dalam komunitas sangat berbaur sekali dengan masyarakat, karena memang tidak ada sekat dalam lingkungan pembelajarannya seperti di sekolah formal pada umumnya yang dibatasi tembok yang tinggi dan masyarakat tidak mengetahui kegiatan apa yang dilakukan dibalik tembok yang tinggi tersebut. c. Teknik pembelajaran Teknik dalam pembelajaran yang dilakukan adalah masing-masing anak membuat ide yang selanjutnya diwujudkan dalam target dan capain-capaian yang telah dilakukan dan selanjutnya dievaluasi. d. Sarana dan prasarana Selama kurang lebih selama hampir satu tahun peneliti melakukan observasi di lapangan, walaupun dilakukan tidak rutin, peneliti merasa sarana dan prasarana yang dimiliki KBQT cukup lengkap dalam mendukung kegiatan pembelajaran yang dilakukannya, walaupun tidak selengkap dan semahal sarana dan prasarana yang ada di sekolah formal, karena memang untuk biaya sekolah atau pendidikannya sudah berbeda sangat jauh sekali. Sarana prasarana itu seperti saja mengenai tempat pembelajaran sudah dibangun gedung yang dinamakan dengan RC (resort center) yang diartikan sebagai lumbung atau tempat tersedianya barang-barang yang dibutuhkan oleh komunitas. Adapun terkait dengan sarana dan prasarana yang digunakan dalam proses pembelajaran seperti yang dimaksud adalah alatalat musik, peralatan pembelajaran, LCD proyektor, buku-buku, yang semuanya itu selain ada yang beli juga diberikan oleh pemerintah dan tamu yang berdatangan sebagai kenangkenangan. Selain itu ada fasilitas internet yang digunakan untuk berselancar mencari pengetahuan-pengetahuan sesuai dengan bakat dan minatnya dan juga sebagai hiburan dalam waktu luangnya. Selain itu berkiatan dengan tempat pembelajaran, di komunitas belajarnya dilakukan sesuai dengan kesepakatan komunitas. Setelah peneliti melakukan observasi di lapangan, mengenai tempat dan kapan pembelajarannya memang tidak tentu. Kadang pembelajarannya ada yang dimulai pagi hari, ada yang dimulai dari siang hari. Tempat kegiatan pembelajaran semua, sebenarnya dilakukan sesuai dengan kesepakatan

komunitas, baik dari kumpul forum, kumpul kelas yang sesuai dengan yang dikatakan warga belajar sendiri yang mengalami yaitu “pembelajarannya dilakukan kebanyakan di gedung RC dan kadang juga di teras dan dimushola. Intinya tergantung kelas atau forumnya masing-masing�. e. Materi dan bahan pembelajaran Berkaitan dengan materi dan bahan pembelajaran yang digunakan adalah berdasarkan kebutuhan komunitas atau individual itu sendiri. Acuan utama dalam pembelajarannya adalah disesuaikan dengan kurikulum yang diyakini sangat berhubungan langsung dengan kehidupannya yang disebut kurikulum KBK, yaitu kurikulum berbasis kebutuhan. Misalnya warga belajar butuh belajar mengenai dunia komputer, maka warga belajar sebelum melakukan berlajar bersama-sama ada yang mencari referensi dulu di internet dan setelah itu sharing pengetahuan antar temannya. Berkenaan dengan materi belajar dan bahan belajar dapat disimpulkan bahwa materi dan bahan pembelajaran komunitas belajar adalah dari internet dan juga dari sharing pengetahuan dari teman dan lingkungannya. Selain itu membaca buku baik dari buku yang dibelinya sendiri, juga buku yang ada di perpustakaan. Selain itu juga komunitas juga mempunyai komunitas-komunitas di luar, biasanya komunitas di facebook atau mencari komunitas yang dirasa dapat membantu mereka dalam berkarya.

Pelaksanaan pembelajaran Kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh komunitas adalah kegiatan adalah aktivitas belajar yang dilakukan selama seminggu dari hari senin sampai kembali hari senin lagi. Peneliti menyimpulkan bentuk kegiatannya mempunyai nama-nama yang bisa dikatakan unik sebagai berikut: 1. Upacara Upacara adalah kegiatan yang dilakukan oleh komunitas baik dari semua kelas dan semua forum yang diselenggarakan setiap hari senin untuk melakukan evaluasi mingguan tentang permasalahan yang ada di komunitas, baik permasalahan individu, kelas dan rencana kegiatan yang akan dilakukan, misalnya kegiatan pentas, pembayaran iuran bulanan. Bentuk kegiatannya kumpul dalam satu ruangan, ada yang menjadi moderator yang biasanya oleh warga belajar yang setara kelas 3 SMA dan yang lainnya memberikan usul dan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 239 Imam Shofwan sarannya masing-masing. Jadi kegiatan upacara ini mirip dengan diskusi untuk mencapai mufakat antar komunitas yang dipimpin oleh seorang moderator. Dalam kegiatan upacara ini juga ada pendamping yang ikut hadir, biasanya yang hadir adalah pendamping inti. 2. Tawasi (Saling mengingatkan) Tawasi adalah kegiatan rutin yang dilakukan sehabis sholat nduhur dan mengaji bersama setiap hari senin s/d kamis. Adapun kegiatannya adalah melafadzkan asmaul husna (nama-nama Allah) dan dilanjutkan membawa ayat suci alqur’an setelah itu ada salah satu warga belajar yang mempresentasikan materi yang sifatnya mengingatkan teman-temannya. Adapun dari presentasi tersebut, apabila ada teman atau pendamping yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman, bisa saling melengkapi pengetahuan dan saling bertanya jawab, sehingga akan menciptakan interaktif dalam proses pembelajaran. Kegiatan tawasi ini biasanya dipimpin oleh Pak Ridwan sebagai pak Kyai atau Ustadz karena sehari-harinya dia selalu memakai songkok yang selalu membantu dalam komunitas. Biasanya yang mengikuti selain warga belajar juga ada pendirinya Pak Din, jika beliau tidak keluar kota atau ada kegiatan. 3. Harkes (Hari kesehatan) Harkes adalah kegiatan pembelajaran yang dilakukan setiap hari sabtu. Adapun bentuk kegiatannya adalah materi tanya jawab mengenai dunia seputar kesehatan dan juga olahraga yang biasanya didampingi oleh pendamping. Biasanya kegiatannya yang dilakukan dalam sebulan adalah dua kali teori atau diskusi dan dua kali olahraga. Kegunaan harkes adalah untuk menambah pengetahuan seputar kesehatan yang berguna untuk pencegahan/preventif. Alasan diadakan Harkes ini dikarenakan apapun pekerjaannya ternyata kesehatan itu sangat penting dan harta yang paling berharga. Sehingga dengan adanya harkes dimungkinkan komunitas tidak akan terkena penyakit atau jika menderita penyakit, maka akan bisa cepat lekas sembuh. 4. Kumpul kelas Kumpul kelas atau pertemuan yang diadakan masing-masing dalam kelas yang jadwalnya sesuai dengan kesepakatan bersamasama. Adapun nama-nama kelasnya dari awal komunitas ada sampai sekarang nama kelasnya berbeda-beda. Mengenai pemberian nama kelas disepakati bersama oleh kelas itu sendiri, jadi tidak sama tiap tahun atau ajaran barunya.

Adapun untuk nama kelas yang waktu peneliti observasi adalah sebagai berikut: a. THE NAIN artinya sembilan, karena muridnya berjumlah 9 warga belajar yang setara 1 SMP b. SEDDU (seed education) yang artinya benih pendidikan, yang setara 3 SMP c. OSA (oriza satifa) seperti pada, semakin berisi semakin merunduk) yang setara 1 SMA d. EKQ (elecktro kardiografi) alat detak jantung, karena kelas ini dulunya hampir mati, yang setara 2 SMA e. SARUNGI (sayuk rukun ngudi ilmu) bersama-sama rukun dalam mencari ilmu yang setara 3 SMA 5. Kumpul Forum Kumpul forum adalah kegiatan yang dilakukan oleh warga belajar yang mempunyai ketertarikan atau kesenangan dalam belajarnya. Warga belajar dalam memilih forum tidak diharusnya hanya memilih satu saja, akan tetapi jika minat mengikuti dua forum atau tiga juga tidak apa. Adapun berkaitan dengan forum dapat di kelompokkan sebagai berikut: a. Musik: forum musik ini kegiatannya adalah yang suka belajar menggitar, orgen, olah vocal dan juga jimbe. b. Teather: forum teather ini belajar yang berhubungan dengan drama, membuat film, dan pementasan-pementasan. c. Tulis: forum ini biasanya disebut dengan freedom writer yang ditulis antara lain ada cerpen, novel, puisi d. Lukis: forum ini kegiatan belajarnya adalah melukis, baik menggunakan pensil, juga menggunakan cat lukis e. Komputer: forum ini kegiatan belajarnya adalah belajar tentang komputer, baik mengenai hadware dan shofware. f. Bahasa inggris: forum ini kegiatan belajarnya adalah mempelajari bahasa inggris, cara menulis, bercakap-cakap dan sebagainya. g. Sanggar: forum kegiatan di sanggar ini belajar mengenai bentuk-bentuk tarian, dansa, wushu 6. Gelar Karya (GK) Gelar karya adalah kegiatan yang dilakukan setiap enam bulan sekali untuk menampilkan karya yang telah dihasilkan selama enam semester atau ritual yang dilakukan sebelum naik kelas. Kegiatan ini yaitu setiap individu mempresentasikan hasil karyanya di depan teman-temannya dan pembimbing, selanjutnya teman-teman memberikan kritik dan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 240 Imam Shofwan sarannya sesuai dengan pengetahuannya demi menjadikan karya akan lebih sempurna dan lebih bermanfaat untuk dirinya dan juga mungkin orang lain. Setelah dilakukan gelar karya individu juga biasanya dilakukan gelar karya per kelas dan per forum. Adapun kegiatan gelar karya biasanya disela-sela presentasi dari masing-masing individu ada semacam hiburan dari individu atau dari forum. Tak ketinggalan biasanya pendamping Tawasi Pak Ridwan dengan Suloknya mengumandangkan sholawatan dan Pak Awik sebagai pendamping musik mengirinya. Kegiatan gelar karya ini biasanya dilakukan dari pagi sampai sore hari dan semua pendamping, warga belajar dan pendiri juga hadir untuk menikmati karya-karya komunitas dan memberikan semangat dan kritik dan saran yang membangun untuk karya-karya komunitas ke depannya. Evaluasi pembelajaran Evaluasi pembelajaran atau penilaian dalam pembelajaran dalam KBQT dilakukan oleh dirinya sendiri. dengan kata lain sistem evaluasi berpusat pada peserta didik. Puncak keberhasilan pembelajaran adalah ketika si subjek didik menemukan dirinya, berkemampuan mengevaluasi diri sehingga tahu persis potensi yang dimilikinya, dan berikut mengembangkannya sehingga bermanfaat bagi yang lain. Berkenaan dalam hal penilian pembelajaran warga belajar yang disuruh menentukan sendiri penilainnya. Penilaian pembelajaran bukan dilakukan oleh guru/pendamping dan baik atau buruk nilainya bukan ditentukan karena bisa menjawab atau tidak menjawab soal pertanyaan yang diberikan, akan tetapi warga belajar mampu tidaknya melaksanakan rencana target bulanan atau semesteran yang telah ditetapkan sebelumnya. Jika targetnya bisa dilakukan atau sesuai dengan rencana yang rancang, maka dinilai berhasil dan sebaliknya. Jadi dari kesimpulan tersebut, memang penilaian dalam pembelajaran yang menentukan adalah dirinya sendiri. Kalau dirinya merasa sudah puas dengan target yang dicapai maka, itu dikatakan yang berhasil. Adapun dalam evaluasi pembelajar diperlukan pengawasan pembelajaran atau yang menjadikan pengendalian evaluasi adalah temannya sendiri di komunitas agar belajarnya bisa selalu ada progress atau kemajuan. Pada

intinya pengawasan dalam pembelajaran yang dilakukan oleh komunitas adalah yang melakukan pengawasan dilakukan oleh temannya sendiri, dengan begitu antara teman yang satu dan yang lainnya adanya interaksi saling mengingatkan saling memotivasi yang berkaitan dengan target belajar dan karya yang dibuat atau dihasilkan. Itulah salah satu fungsi pengawasan yang dilakukan oleh temannya yang berfungsi untuk saling berkomunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan deskripsi dan pembahasan hasil penelitian yang berkaitan dengan pendidikan alternatif Qaryah Tayyibah di Salatiga, maka peneliti dapat mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Konsep pendidikan alternatif Selain itu Konsep pendidikan menggunakan filosofi yang anutnya adalah Paulo Friere dengan sistem (1) pembebasan; yang artinya tidak adanya pihak yang merasa berkuasa. Dengan adanya pemikiran seperti ini, maka warga belajar dalam melakukan pembelajarannya dilaksanakan dengan penuh dengan kesadaran tanpa ada unsur paksaan dari lingkungan eksternal. dan (2) penyadaran; yang pada intinya adalah dalam proses pembelajaran ditumbuhkan kesadaran dirinya terhadap lingkungannya sehingga terciptanya berfikir kritis. 2. Konsep Pembelajaran Komunitas Pembelajarannya menggunakan filsafat kontruktivisme mengenai pemikiran belajarnya dengan dihadapkan pada permasalah yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat sehingga setelah kembali ke daerah asal atau lingkungannya tidak kaku atau beradaptasi lagi. Selain itu menggunakan teori pembelajaran yang andragogi yang disesuakan dengan kebutuhan dalam belajarnya. 3. Pengelolaan Pembelajaran Komunitas sesuai dengan slogan koperasi dari, oleh dan untuk komunitas. pembelajaran dibagi menjadi tiga bagian yaitu (1) Perencanaan pembelajaran: yang dirancang oleh untuk bagi komunitas yang disesuaikan berdasarkan kurikulum berbasis kebutuhan, (2) Pelaksanaan pembelajaran dilakukan seminggu antara


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 241 Imam Shofwan lain: upacara, tawasi, harkes, kumpul kelas, kumpul forum, gelar karya, (3) Evaluasi pembelajaran: dilakukan sendiri dengan pengawasan temannya sendiri yang berpatokan pada ide, target, capaian selama seminggu, sebulan dan semester yang telah dilakukan oleh masing-masing individu. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan peneliti di atas. Ada beberapa saran yang diajukan kepada pendidikan alternatif sebagai berikut: 1. Kepada penyelenggara: perlu adanya pendampingan yang lebih fokus lagi kepada masing-masing individual, supaya pembelajarannya benar-benar maksimal dan warga belajar secara optimal dapat mengembangkan potensi dan bakat yang dimilikinya. 2. Kepada komunitas: perlu adanya konsep penyadaran kepada warga belajar, sebelum awal pembelajaran dilakukan, agar masingmasing individu dalam pembelajaran bisa berjalan dan terlaksana dengan lancar sesuai dengan 7 prinsip-prinsip dalam pembelajaran komunitas. 3. Kepada pemerintah: agar memperhatikan pendidikan nonformal, khususnya komunitas belajar qaryah thayyibah yang keberadaannya tidak dipandang oleh sebelah mata. Untuk itu perlu adanya pendampingan-pendampingan yang dilakukan agar pendidikan alternatif seperti ini bisa dilaksanakan di setiap daerah untuk mempercepat pemberdayaan masyarakat desa.

DAFTAR PUSTAKA Kompas. (2007). Kurikulum yang mencerdaskan visi 2030 dan pendidikan alternatif. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Johnson & Christensen. (2000). Educational research: quantitative and qualitative approaches. Boston: Allyn and Bacon.

Kerlinger. (2006). Asas-asas penelitian behavioral. (Terjemahan Landung R. Simatupang). Yogyakarta: Gadjahmada University Press. (Buku asli diterbitkan tahun 1986) Kuswarno, Engkus. (2009). Metodologi penelitian komunikasi fenomenologi konsepsi, pedoman dan contoh penelitiannya. Bandung: Widya Padjajaran Muhajir, Noeng. (2011). Filsafat ilmu: ontology, epistimologi, axiology, first order, second order & third order of logics dan mixing paradigms implementasi metodologik. Yogyakarta: Rake Sarasin Burhan Mungin. (2011). Penelitian Kualitatif: komunikasi, ekonomi, kebijakan public, dan ilmu sosial lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Mustofa Kamil. (2009). Pendidikan nonformal. Bandung: Alfabeta. Sudjana, Djuju. (2001). Pendidikan luar sekolah, wawasan, sejarah perkembangan, falsafah, teori pendukung, asas. Bandung: Falah Production ____________.(2000). Manajemen program pendidikan: untuk pendidikan luar sekolah dan pengembangan sumberdaya manusia. Bandung: Falah Production Sugiyono. (2011). Metode penelitian kombinasi (mixed methods). Bandung: Alfabeta. Sukmadinata, N. S. (2012). Metode penelitian pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. PROFIL SINGKAT Penulis lahir di Pati 10 Juli 1984, pendidikan Sarjana di Universitas Negeri Semarang pada tahun 2002 – 2006 dan melanjutkan pendidikan Pascasaraja di Universitas Negeri Yogyakarta yang dilakukan pada tahun 2011 – 2013, dan sekarang aktif menjadi dosen di Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang dari tahun 2014 sampai sekarang.


PENDIDIKAN ANAK USIA DINI BERWAWASAN WISATA Sidik Nuryanto Universitas Muhammadiyah Ponorogo nuryantosidik@gmail.com

Abstrak Pariwisata saat ini sudah menjadi bagian dari kebutuhan manusia. Kemunculan desa wisata sebagai dampak positif dari kebutuhan wisata yang semakin tinggi. Di sisi lain juga terdapat dampak negatif seperti kerusakan ekosistem alam, maupun kecelakaan. Kekhawatiran lain muncul dari pelaku wisata maupun wisatawan yang kurang leluasa dalam menikmati destinasi wisata karena dibebani dengan keikutsertaan anak yang masih usia dini. Mereka khawatir jika anaknya diajak kurang leluasa dan resiko kecelakaan cukup besar. Pendikan anak usia dini (PAUD) berwawasan wisata dapat ditawarkan untuk menjadi solusi atas kekhawatiran tersebut. PAUD yang terletak di kawasan wisata secara umum memberikan pelayanan kepada para pelaku wisata maupun wisatawan disaat mereka sedang bekerja maupun berwisata. Bentuk layanan pendidikan untuk pelaku wisata mulai dari penitipan anak sampai taman kanak-kanak (TK). Adapun untuk wisatawan hanya penitipan anak. Kurikulum yang dikembangkan menggunakan alam sebagai bagian dari desa wisata, serta interpreneurship yang membekali anak usia dini dengan pengembangan wawasan kewisataan. Peran desa wisata dalam pendidikan adalah dengan adanya corporate sosial responsbility (CSR). Adapun wisatawan dapat berperan dengan cara membagikan inspirasi maupun pengalaman kepada peserta didik. Kata Kunci: Pendidikan anak usia dini, desa wisata, wawasan wisata


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 243 Sidik Nuryanto PENDAHULUAN Dunia pariwisata saat ini seolah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Semua orang membutuhkan pariwisata atau travelling sebagai sarana hiburan maupun sekedar jalan-jalan. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan akan liburan tersebut menjadi hal yang wajib bagi manusia. Terlebih bagi mereka yang kesehariannya sibuk dengan aktivitas pekerjaan atau rutinitas yang melelahkan sehingga pariwisata dianggap sebagai solusi untuk menghilangkan lelah maupun menyegarkan pikiran. Keberagaman keindahan alam Indonesia ternyata cukup menunjang pertumbuhan dunia pariwisata baik domestik maupun mancanegara. Hal tersebut dapat dilihat dari ulasan surat kabar online pikiranrakyat yang mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa jumlah pengunjung wisatawan mancanegara mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Secara kumulatif jumlah kunjungan wisatawan mancanegara pada Januari-Juli 2015 sebanyak 5.472.050 wisman atau tumbuh 2,69% dibandingkan periode yang sama (Januari-Juli) 2014 sebanyak 5.328.732. Jumlah yang demikian didominasi dari peningkatan kunjungan negara China, India, Mesir, dan Arab Saudi. Adapun China sebesar 19,99%, India 10,35%, Inggris 9,99%, Mesir 9,66% dan Arab Saudi 4,14%. Perkembangan kemajuan pariwisata Indonesia lebih maju bila dibandingkan dengan negara yang disekitarnya seperti Malaysia dan Singapura. Menurut Menteri pariwisata Arief Yahya yang dikutip dari pikiran rakyat.com menjelaskan bahwa pertumbuhan pariwisata Indonesia pada Junuari-Juli 2015 sebesar 2,69% jauh lebih baik dibandingkan pariwisata Malaysia maupun Singapura. Dari laporan mereka, pada Januari-Mei 2015 dibandingkan periode yang sama tahun lalu pariwisata Malaysia tumbuh negatif 8,6% begitu pula Singapura tumbuh minus 4,1%, sedangkan pariwisata Indonesia tumbuh positif 3,86%. Pertumbuhan positif terus berlangsung pada dua bulan berikutnya

Juni dan Juli 2015, yang secara kumulatif (Januari-Juli 2015) mencapai 2,69%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dunia pariwisata cukup berpotensi dalam meningkatkan pendapatan negara. Saat ini juga bermunculan wisata alternatif yang secara mandiri dikelola oleh desa atau yang disebut dengan desa wisata. Desa tersebut memiliki potensi destinasi wisata yang secara gotong royong atau swadaya masyarakat dikelola oleh masyarakat sekitar. Hal tersebut bisa dikatakan dengan konsep pemberdayaan masyarakat. Masyarakat dibuat berdaya atau bernilai guna dengan cara mengembangkan dan mengelola desa wisata. Perkembangan desa wisata di Indonesia juga mengalami kemajuan yang pesat. Berdasarkan data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, saat ini terdapat 978 desa wisata. Jumlah ini meningkat tajam dibanding tahun 2009, yang hanya tercatat 144 desa untuk tujuan pariwisata (suara merdeka.com) Kemunculan desa wisata yang semakin ramai memang membawa potensi yang cukup menggiurkan dalam segi ekonomi. Bidang pendidikan sebenarnya dapat dikembangkan dengan kemunculan desa wisata. Ini sebenarnya peluang untuk semakin memberdayakan masyarakat secara kompleks. Hal yang menjadi bidikan pendidikan adalah anak usia dini. Mengingat anak pada masa ini adalah masa keemasan yang paling tepat untuk meletakkan pondasi yang dasar kepada mereka. Pondasi ini yang akan menentukan keberhasilan mereka di masa mendatang. Kemunculan pendidikan anak usia dini (PAUD) dalam kompleks desa wisata untuk mengatasi rendahnya minat pendidikan oleh masyarakat. Asumsi mereka jika dilingkungannya sudah terdapat pekerjaan yang cukup menjanjikan maka mereka akan malas untuk belajar dan lebih mementingkan bekerja. Secara tidak langsung masyarakat mulai diarahkan untuk peduli dengan pendidikan dengan cara pemberdayaan masyarakat Layanan pendidikan PAUD yang diberikan cukup membantu kegelisahan para pengelola wisata maupun wisatawan. Pengelola wisata terkadang merasa terbebani


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 244 Sidik Nuryanto

ketika anaknya yang masih usia dini ditinggal saat bekerja, atau jika mereka ikut akan mengganggu pekerjaannya. PAUD berbasis wisata hadir untuk mengatasi hal tersebut. Para wisatawan juga tidak usah khawatir jika anaknya ikut ke lokasi wisata, karena PAUD telah menyediakan layanan penitipan anak yang mana mereka bukan hanya diasuh saja tapi juga mendapat sentuhan pendidikan. Kecelakaan anak di lokasi wisata maupun perbelanjaan karena kurangnya pengawasan dari orangtuanya marak terjadi. Mereka asik dengan kegiatannya sendiri sehingga mengabaikan keberadaan anaknya. Belum lama ini anak yang tecepit escalator mall karena ditinggal orangtuanya belanja, maupun anak tenggelam saat di kolam renang. Deskripsi sebelumnya merupakan keresahan masyarakat yang mana PAUD berwawasan wisata bisa menjadi alternatif solusinya. Adapun tujuannya adalah untuk memberikan layanan pendidikan dan keselamatan anak usia dini bagi pengelola wisata maupun wisatawan, memperkenalkan kepada anak tentang alam, serta orientasi pada interpreneurship. Ketiga hal tersebut diramu dalam sebuah kurikulum pembelajaran yang didalamnya relevan dengan tujuan tersebut. PEMBAHASAN Pendidikan anak usia dini merupakan jenjang pendidikan yang memberikan layanan pendidikan kepada anak pada rentang usia sejak lahir hingga 6 tahun (UU No. 137 tahun 2014). Pada tataran usia tersebut merupakan masa yang paling tepat untuk memberikan stimulasi pendidikan yang akan berdampak pada masa depannya kelak. Sehubungan dengan hal tersebut maka tujuan dari pendidikan anak usia dini adalah untuk merangsang enam kecerdasannya supaya berkembang secara optimal. Adapun kecerdasan tersebut adalah kecerdasan moral, kognitif, sosial emosional, bahasa, motorik, dan seni. Proses pembelajaran pada anak usia dini (PAUD) lebih menekankan dalam pembelajaran langsung, bermakna dan tidak verbalisme. Pembelajaran harus melibatkan

anak sesuai dengan objek yang dipelajarinya. Sepertinya halnya proses pendidikan PAUD di kawasan desa wisata yang merupakan bagian dari pendidikan yang berpusat desentralisasi. Maksudnya adalah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengelola pendidikannya secara mandiri atau sesuai kondisi di lapangan. Konsep ini merupakan lawan dari sentralisasi yang memberikan arahan kebijakan yang berpusat dari pusat. Gagasan tersebut ketika dilakukan di daerah akan sangat kesulitan mengingat kondisi geografi, sosial, dan ekonomi yang masing-masing daerah tidak sama. Hal ini didukung oleh Fuad (2014) yang menyatakan bahwa sentralisme menjadikan jarak semakin jauh antara sekolah dan masyarakat, menghasilkan individu yang mahir dalam kognitif, abstrak dan teoritis, pembelajaran tidak kontekstual, serta kurang memberdayakan sumber daya yang ada. PAUD berwawasan wisata sebagai langkah aplikatif dari desentralisasi pendidikan. PAUD yang memberikan layanan pendidikan sesuai dengan kekhasan masing-masing daerah. Pendidikan yang bernilai guna, mengingat kondisi daerah di lokasi wisata dan anaknya pun diberi wawasan kepariwisataan. Harapan kedepan mereka dapat mengoptimalkan wawasan pariwisata yang dimilikinya untuk mengembangkan desa wisata yang ada. Pendidikan yang dikembangkan ini menghilangkan konsep verbalisme dan berorientasi pada pengalaman langsung. ESENSI DESA WISATA Desa Wisata menurut Undang-undang Kehutanan (1999) diartikan sebagai suatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 245 Sidik Nuryanto Dari definisi tadi dapat diambil nilainilai yang menjadi bagian dari desa wisata. Di dalamnya terdapat adat istiadat, sosial budaya, maupun nilai luhur yang dijunjung tinggi masyarakat. Hal itulah yang seharusnya dikembangkan atau dihidupkan selalu melalui pendidikan. Layanan pendidikan anak usia dini menyiapkan anak untuk selalu menjunjung tinggi nilai yang ada di daerahnya (local wisdom). Jangan sampai pendidikan yang diberikan malah melupakan anak dengan budayanya mereka. Dalam mendukung upaya PAUD berwawasan wisata dengan mengangkat kearifan lokal perlu adanya peran serta dari masyarakat. Keikutsertaan mereka dalam mengelola wisata, kepedulian terhadap lingkungan serta pendidikan dapat diartikan sebagai wujud partisipasi masyarakat. Adapun partisipasi masyarakat oleh Mikkelsen (1999) dalam Soetomo (2010: 438) adalah keterlibatan masyarakat secara sukarela dalam pembangunan diri, kehidupan dan masyarakat. Partisipasi masyarakat lokal sebagi wujud proses pembangunan berkelanjutan yang dilakukan oleh masyarakat. Memaknai pembangunan dapat diartikan pembangunan secara material maupun mental. Pembangunan material berupa infrastruktur dilingkungan wisata seperti akses jalan,informasi tempat ibadah, homestay dan penjunjang lainnya. Adapun untuk mental adalah pembangunan sumber daya manusia sebagai salah satu pelaku atau manajemen wisata. Dengan berbekal pendidikan seperti pelatihan, seminar, maupun training diharapkan mereka dapat memberikan layanan yang maksimal kepada wisatawan. Pendidikan memiliki porsi yang besar karena pembangunan mental itu harus disiapkan sejak usia dini. Anak tidak hanya dimanjakan dengan pendidikan yang berada di lokasi wisata belaka, namun mereka harus dapat melihat sebagai pendidikan interpreneurship. Pendidikan kewirausahaan dapat menjadi program unggulan supaya anak ke depannya bisa melihat potensi wisata yang ada di daerahnya untuk dikembangkan sehingga lebih bernilai jual. Anak usia dini saat ini bukan sebagai pelaku

wirausaha atau pelaku wisata, namun mereka diberi wawasan tersebut supaya dikedepannya menjadi aktor perubahan dan pengembang desa wisata. Dalam menunjang partisipasi masyarakat tidak hanya berupa keikutsertaan warga dalam berbagai kegiatan, namun diperlukan anggaran yang menunjang keberjalanan proses pendidikan. Sumber dana tersebut dapat diambilkan dari sisihan dana sosial wisata atau corporate sosial responsbility (CSR). Besaran dana sosial kiranya cukup untuk penyediaan sarana atau infrastruktur lembaga pendidikan. Jika memang ada kelebihan dapat digunakan untuk menggaji pendidik maupun pengadaan kegiatan yang relevan. Sumber dana akan mudah didapatkan lagi ketika partisipasi masyarakat sudah kuat. Sebagai lokasi yang berada di daerah, maka wujud kepeduliannya dengan cara memberikan hasil panen kepada lembaga PAUD. Setiap warga yang memilki hasil panen diberi kewajiban untuk menyisihkan sebagian untuk pengembangan pendidikan. Dukungan itu tidak harus berupa uang atau materi, namun dapat diwujudkan dalam bentuk yang lain sesuai dengan kebutuhan lembaga. LANDASAN KEMUNCULAN Undang-undang nomor 20 tahun 2003 menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan tahapan usianya. Adapun untuk usia sejak lahir hingga 6 tahun pemerintah melayani pendidikan PAUD formal, nonformal, dan informal. Secara lebih lanjut pendidikan harus menjunjung tinggi nilai kultural sebagai bagian dari kemajemukan bangsa. Dengan begitu pentingnya masyarakat yang berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Dukungan masyarakat dapat diartikan partisipasi masyarakat dalam menunjang keberlangsungan pendidikan seperti penyediaan sarana dan prasarana maupun sumber daya manusia sebagai pengelola pendidikan. Undang-undang nomor 23 tahun 2003 tentang perlindungan anak, dapat dijadikan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 246 Sidik Nuryanto

pedoman bahwa lembaga pendidikan harus memberikan perlindungan dan kenyamanan bagi anak. Secara jelas isinya menjelaskan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dan diskriminasi. Maraknya kasus kecelakaan anak karena kurangnya pengawasan dari orangtua dapat menjadi modal untuk kemunculan PAUD berwawasan wisata ini. Lembaga ini memfasilitasi bagi para pengelola wisata maupun wisatawan untuk selalu dekat dengan orangtuanya. Aktivitas mereka baik berwisata maupun bekerja akan tetap tenang karena buah hati mendapatkan pengawasan dan sentuhan pendidikan. Deskripsi sebelumnya lebih mengerucut bahwa pendidikan itu harus disesuaikan dengan kebutuhan daerah bukan dari pusat. Konsep desentralisasi pendidikan menjadi solusi bahwa pendidikan itu sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Relevan dengan isi peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Masyarakat ditempatkan pada posisi sebagai otonom untuk menentukan, mengatur dan menyelenggaraka pendidikan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhannya (Fuad, 2014). Kurikulum bersifat dinamis dan progresif memenuhi tuntutan kemajuan zaman. Pendidikan tidak boleh bersifat kaku dalam menghadapi perubahan. Perubahan yang dimaksud dalam hal ini adalah kemajuan sosial budaya, pengetahuan dan teknologi. Saat ini dunia pariwisata seolah menjadi primadona bagi setiap orang. Kemunculan destinasi wisata yang baru pasti menarik perhatian bagi mereka, meskipun medan yang ditempuah sulit. Selain itu dukungan media sosial yang berperan untuk mengekspose segala kegiatan yang mereka jalani di lokasi wisata. Pendidikan menganggap hal itu sebagai peluang untuk tetap memberikan layanan pendidikan bagi anak usia dini. Memfasilitasi segala bentuk kegiatan yang mereka lakukan dengan bernilai belajar. Dengan demikian kurikulum yang dibuat

disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Adapun tujuannya adalah memberikan pengalaman belajar yang nyata, menyenangkan, dan benilai edukasi IMPLEMENTASI PAUD BERWAWASAN WISATA Pendidikan anak usia dini berwawasan wisata sejatinya lokasinya yang terletak di kawasan wisata yang didukung dengan pengembangan kurikulum yang mengangkat kekhasan wisata. Proses pembelajaran dilakukan dengan mengeksplorasi melibatkan alam sebagai media pembelajaran. Metode ini relevan dengan gagasan Jan Lightghart (1859) bahwa lingkungan atau alam itu menjadi sumber utama dalam belajar. Lingkungan tersebut menjadi laboratorium yang mendukung dalam proses pembelajaran yang dijalini anak didik (depdiknas, 2008) Pendidikan berbasis masyarakat tersebut dapat melibatkan peran serta dari masyarakat baik dari segi pengelola lembaga pendidikan maupun pendidik. Pendidik secara umum dapat diambilkan dari warga yang memiliki kompetensi pendidikan guru anak usia dini. Adapun untuk mengangkat kekhasan dari wisata, dapat melibatkan wisatawan untuk ikut serta menjadi pendidik. Mereka dapat mendidik dengan skill yang mereka miliki, baik dari pengalaman kerja, maupun bidang lain yang mereka geluti. Kehadiran wisatawan yang beragam setiap harinya menjadikan referensi keilmuan yang beragam, jadi anak tidak merasa bosan dengan pendidik setiap harinya. Kegiatan tersebut bisa dikatakan kelas inspirasi yang memberikan inspirasi kepada anak-anak didik. Pembelajaran dilakukan dengan praktis sesuai dengan keadaan dan kebutuhan di lingkungan. Montessori menjelaskan bahwa lingkungan pembelajaran (the learn environment) menekankan kesesuaian antara belajar, bermain dan lingkungan. (suyadi, 2010). Lingkungan di kawasan wisata yang memang sudah dikelompokkan berdasarkan jenisnya, dapat digunakan untuk sentrasentra pembelajaran. Sentra pembelajaran ini


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 247 Sidik Nuryanto memfasilitasi berbagai minat bermain yang dimiliki oleh anak, sehingga mereka akan senang denga aktivitas belajar yang dijalani. Guru cukup terbantu karena mereka hanya sebagai motivasi, pengawas, pendamping anak dalam pembelajaran. Anak sendiri yang aktif untuk memilih sentra belajar yang mereka inginkan. Hal ini bertujuan untuk merangsang semua perkembangan yang ada pada anak. Adapun sentra yang disediakan adalah sentra ibadah, bahasa, balon, bermain peran, seni musik, kinestetik, dan alam bebas. KESIMPULAN Pendidikan anak usia dini berwawasan wisata merupakan konsep pendidikan yang baru hasil pengembangan dari model yang ada. Kehadirannya untuk memenuhi tuntunan masyarakat yang menginginkan kenyamanan dalam bekerja dan berwisata. Pertisipasi masyarakat menjadi bagian penting dalam menunjang keberjalanannya. Mengingat pendidikan tersebut berorientasi pada desentralisme yaitu memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola pendidikannya secara mandiri. Pihak yang bertanggungjawab adalah masyarakat. Adapun pelaksanaan pendidikan memberikan pelayanan dari anak sejak lahir hingga enam tahun. Model kurikulum yang dikembangkan adalah memberikan wawasan alam dan wisata kepada anak. Tujuannya adalah membekali mereka dengan kewirausahaan supaya mereka kelak dapat

mengelola wisata masyarakat.

dan

memberdayakan

DAFTRA PUSTAKA Depdiknas. 2008. Model pembelajaran berbasis alam pendidikan anak usia dini formal dan nonformal. Jakarta: pusat kurikulum badan penelitian dan pengembangan pendidikan departemen pendidikan nasional. Nurhattati, Fuad. 2014. Manajemen pendidikan berbasis masyarakat konsep dan strategi implikasinya. Jakarta: PT Rajagrasindo. Soetomo. (2010). Strategi-strategi pembangunan masyarakat. Yogyakarya: Pustaka Pelajar. Suyadi, 2010. Psikologi belajar PAUD pendidikan anak usia dini. Jakarta: Pedagogia. Undang-Undang Kehutanan, 1999. Tentang Otonomi Daerah, UU. No. 22/99. Departemen Kehutanan. Jakarta.\ _____.2003. Undang-undang nomor 23 tahun 2003. Jakarta. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. _____2003. Undang-undang nomor 20 tahun 2003. Jakarta. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. _____2014.Undang Undang nomor nomor 137 tahun 2014. Jakarta. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.


PEMBERDAYAAN PEMUDA: SEBUAH TEORI MENUJU IMPLEMENTASI Lutfi Wibawa PLS FIP UNY lutfi_wibawa@uny.ac.id/luthfiuny@gmail.com Abstrak Kajian ini berupaya memaparkan tentang: Pertama, teori-teori pemberdayaan pemuda. Kedua, tingkatan dalam pemberdayaan pemuda. Ketiga, kajian perbedaan tingkatan dalam pemberdayaan pemuda. Kajian ini menggunakan metode analisis literatur, dengan melakukan studi komparasi dari berbagai sumber dan dilakukan analisis secara mendalam sehingga ditemukan kesimpulan yang dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah. Kajian ini menyimpulkan beberapa temuan: Pertama, pemberdayaan pemuda memiliki dasar teori yang sangat kuat yaitu pada tahapan proses dan hasil. Proses atau tingkat pemberdayaan pemuda memberikan kesempatan bagi kaum muda untuk mengembangkan keterampilan dan menjadi pemecah masalah dan pengambil keputusan. Pada level hasil atau tingkat keberdayaan, mengacu pada hasil dari proses pemberdayaan, termasuk konsekuensi dari upaya untuk mendapatkan kontrol di masyarakat dan efek dari intervensi yang dirancang untuk memberdayakan peserta. Kedua, teori pemberdayaan pemuda bisa dibagi ke dalam tiga tingkatan: pemberdayaan individu, pemberdayaan organisasi, dan pemberdayaan masyarakat. Ketiga, diperlukan artikulasi yang mendalam agar ditemukan perbedaan antara pengembangan individu, pemberdayaan kelompok dan memberdayakan pemuda untuk menjadi agen perubahan di masyarakat.

Kata Kunci : Teori, Pemberdayaan Pemuda


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 249 Lutfi Wibawa

PENDAHULUAN Pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan (Eko Sutoro:2002). Sementara menurut Ife pemberdayaan (empowerment) adalah sebagai upaya memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar dapat menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin. Empowerment is a process of helping disadvantaged groups and individual to compete more effectively with other interests, by helping them to learn and use in lobbying, using the media, engaging in political action, understanding how to ‘work the system,’ and so on (Ife, 1995). Konsep pemberdayaan lahir sebagai antitesis terhadap model pembangunan dan model industrialisasi yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasan terbangun dari pemusatan penguasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat yang pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum, dan ideologi yang manipulatif untuk memperkuat dan legitimasi; dan (4) kooptasi sistem pengetahuan, sistem hukum, sistem politik, dan ideologi, secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya. (Projono, O.S dan Pranarka, A.M.W :1996). Bidang pemberdayaan pemuda memiliki dasar teori yang sangat kuat, pada tahapan proses dan hasil. Proses atau tingkat memberdayakan memberikan kesempatan bagi kaum muda untuk mengembangkan keterampilan dan menjadi pemecah masalah dan pengambil keputusan. Pada level hasil atau tingkat dikeberdayaan, mengacu pada hasil dari proses pemberdayaan, termasuk konsekuensi dari upaya untuk mendapatkan kontrol di masyarakat dan efek dari intervensi yang dirancang untuk memberdayakan peserta. (Zimmerman, Marc A: 2000). Teori pemberdayaan pemuda bisa dibagi ke dalam

tiga komponen: pemberdayaan individu, pemberdayaan organisasi, dan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan pada level individu : remaja atau orang dewasa mengembangkan keterampilan untuk melakukan kontrol dan meningkatkan kompetensi, serta mengembangkan kesadaran kritis agar secara efektif berkolaborasi untuk kemajuan organisasi dan komunitas. (Zimmerman, Marc A. and Julian Rappaport:1998). Pemberdayaan organisasi : entitas yang menyediakan, dan manfaat dari, kesempatan bagi kaum muda atau orang dewasa untuk memperoleh keterampilan yang dibutuhkan untuk mendapatkan kontrol atas hidup mereka, memberikan alternatif untuk penyediaan layanan, serta entitas yang mengembangkan dan mampu memberikan pengaruh bagi pengambilan kebijakan. (Zimmerman, Handbook: 2000). Pemberdayaan masyarakat : upaya untuk meningkatkan masyarakat , menanggapi ancaman terhadap kualitas hidup , dan menyediakan untuk partisipasi warga di tingkat lokal, negara bagian, dan tingkat nasional.( Ibid, Meredith Minkler:1990). Marc Zimmerman, seorang peneliti terkenal di bidang teori pemberdayaan, mengartikulasikan perbedaan yang diperlukan antara pengembangan individu dan memberdayakan pemuda untuk menjadi agen perubahan di masyarakat. Pembangunan pemuda berpusat pada pengembangan kapasitas pemuda perorangan. pemberdayaan pemuda difokuskan pada menciptakan perubahan masyarakat yang lebih besar, dalam metode yang bergantung pada pengembangan kapasitas individu. Oleh karena itu organisasi yang beroperasi dengan kerangka pembangunan pemuda tidak saja menangani ketidakadilan sosial, melainkan mengembangkan individu dalam suatu masyarakat yang tidak adil dan tidak mengubah sumber masalah. Zimmerman merangkum teori sederhana: "Teori Pemberdayaan menghubungkan kesejahteraan individu dengan lingkungan sosial dan politik yang lebih besar, dan menunjukkan bahwa orang membutuhkan kesempatan untuk menjadi aktif dalam pengambilan keputusan komunitas dalam rangka meningkatkan kehidupan mereka, organisasi, dan masyarakat." (Zimmerman, Handbook:2000). Sementara berbagai peneliti telah menunjukkan bahwa teori ini, ada sedikit


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 250 Lutfi Wibawa catatan pelaksanaan, efektivitas, dan akuntabilitas pemberdayaan pemuda.( Ibid, Minkler,Health Behavior, 1990; and Linda Camino: 2008). Beberapa peneliti mengatakan alasan kurangnya bukti sederhana: Sulit untuk menerapkan teori, salah satu diantaranya tantangan intrinsik untuk menyertakan keinginan, ide, dan pengalaman orang-orang muda di mana seharusnya dapat mempengaruhi keputusan penting yang dibuat. (Zeldin, Shepherd, Julie Petrokubi, and Linda Camino:2008). Kesulitan lebih lanjut : implementasi pemberdayaan pemuda membutuhkan orang-orang muda untuk terlibat tidak hanya dalam keputusan pemrograman satu proyek tetapi juga dalam menjalankan organisasi. Hanya melalui perendaman ini bahwa masyarakat akan dapat mempromosikan pengembangan semua pemuda dan orang dewasa. (Ibid:2008). Peneliti lainnya menunjukkan bias yang melekat pada metode penelitian tradisional, di mana mengevaluasi efektivitas pemberdayaan pemuda terhalang karena perbedaan budaya, keragaman masyarakat, dan kurangnya kepercayaan antara evaluator dan masyarakat.( Damschroder LJ, Aron DC, Keith RE, Kirsh SR, Alexander JA, Lowery JC :2009). Sebagai jangkauan masyarakat berdasarkan metode penelitian partisipatif, demikian juga akan literatur efektivitas pelaksanaan teori pemberdayaan pemuda yang sangat terbatas.( Wallerstein, Nina:2010). Tulisan ini akan membahas lebih lanjut tiga tingkat pemberdayaan pemuda ( individu, organisasi, dan masyarakat). Dalam proses pemberdayaan dapat memberikan kontribusi untuk informasi praktek yang terbaik yang saat ini hilang dari banyak literatur. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih baik dari implementasi teori pemberdayaan pemuda melalui studi kinererja organisasi pemuda untuk melakukan perubahan pada individu, masyarakat, dan tingkat organisasi. PEMBAHASAN Level Individu Orang muda dapat memiliki efek yang kuat dan positif pada orang dewasa, organisasi, dan masyarakat.(Pittman, Karen, et al:2007). Melalui pemberdayaan proses seperti pengambilan keputusan belajar keterampilan, kesadaran kritis, mengelola sumber daya, dan bekerja dengan orang lain, baik pemuda dan

orang dewasa menjadi lebih siap sebagai agen perubahan. Di sisi lain, hasil diberdayakan memungkinkan individu untuk memperoleh kemampuan menkontrol diri, kesadaran kritis dan kesadaran partisipatif.( Zimmerman, Handbook, 2000). Kenyataan ini sesuai untuk memasukkan pemuda dalam inisiatif perubahan masyarakat. Pertama, orang-orang muda yang tidak proporsional terlibat dalam dan dipengaruhi oleh masalah yang menimpa masyarakat dan negara. (Zeldin, Youth-Adult Partnerships: 2008, and Zimmerman, Handbook, 2000). Kedua, tahap perkembangan anak muda membuat mereka terpisahkan untuk perubahan yang efektif dalam organisasi dan masyarakat, terutama mereka yang mengalami masalah akut, seperti obesitas remaja, penggunaan rokok, minum minuman keras, dan akses ke perawatan kesehatan. Selama masa muda, banyak anak muda yang didorong untuk mengeksplorasi isu-isu keadilan sosial di mana mereka menciptakan dan bereksperimen dengan prinsip-prinsip mereka sendiri dan ideide politik mereka, menyebabkan banyak terlibat dalam aksi berbasis masalah yang mereka hadapi. (Zeldin, Youth-Adult Partnerships: 2008) Ketiga, pemuda dapat merasa diberdayakan melalui hubungan mereka dengan orang dewasa, organisasi, dan masyarakat. Melibatkan pemuda dalam proses pengambilan keputusan memfasilitasi mereka dengan peluang dan potensi serta dukungan dari relevansi, keinginan, berdasarkan penyebab tindakan, membangun keterampilan, dan penegasan bahwa penelitian menunjukkan secara konsisten membantu remaja mencapai kematangan, kasih sayang, dan kesehatan mental yang kuat.( Pittman: 2007) Pemberdayaan Pemuda bertujuan untuk membantu kaum muda dalam mengembangkan rasa percaya diri dan keterlibatan dalam masyarakat, perasaan solidaritas kelompok, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses kolektif untuk mempengaruhi masyarakat. Pemuda juga mendapatkan kesempatan menjalankan aktifitas sehingga terampil, kritis, dan aktif dalam menciptakan perubahan masyarakat. Dalam kaitan ini terdapat tiga pendekatan meliputi bidangbidang berikut : 1. Pengembangan keterampilan : proses penguatan keterampilan dan pengetahuan untuk meningkatkan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 251 Lutfi Wibawa pengambilan keputusan yang efektif, interaksi yang positif dengan teman sebaya, dan advokasi masyarakat. 2. Kesadaran Kritis : proses mengidentifikasi informasi dan sumber daya yang diperlukan untuk menganalisis isu-isu yang mempengaruhi kehidupan dan lingkungan serta menyusun strategi pada cara-cara baru untuk bertindak sebagai agen perubahan di masyarakat. 3. Peluang : proses menciptakan platform untuk pengambilan keputusan, partisipasi, dan mengambil tindakan, yang dapat mengakibatkan perubahan masyarakat Pemberdayaan pemuda pada level individual mampu memberikan dampak dan memberi keuntungan bagi kaum muda dengan membantu dalam pencapaian kasih sayang, kesehatan, dan penguasaan keterampilan pengambilan keputusan, tetapi juga berdampak bagi orang dewasa dan organisasi yang dijalankan. Misalnya, orang dewasa dan organisasi menjadi lebih terhubung dan responsif terhadap pemuda dalam masyarakat, sehingga mengarah ke pembuatan program perbaikan. Orang dewasa mendapatkan kepuasan dalam menyampaikan pengetahuan dan bimbingan mereka kepada generasi berikutnya. Orang dewasa memiliki kesempatan untuk mengalami kompetensi langsung pemuda dan mulai melihat orang-orang muda yang nyata, dan berkontribusi. Selain itu, sinergi menjadi mungkin antara remaja dan orang dewasa yang berada di berbagai tahap kehidupan mereka, dan akibatnya memiliki kepentingan yang berbeda, keterampilan, dan pengalaman untuk membawa ke proses pengambilan keputusan dan meningkatkan serta memperbaiki perencanaan program.(Zeldin, Shepherd, et al:2000). Untuk alasan ini orang dewasa menemukan utilitas pemberdayaan pemuda dan perannya dalam menciptakan organisasi yang lebih fungsional dan masyarakat yang lebih adil. Organisasi dan komunitas juga mendapat manfaat dari pola pikir baru ini menciptakan perubahan kolaboratif dan sepenuhnya berpartisipasi dalam proses demokrasi. Dalam praktik pemberdayaan pemuda selayaknya mampu menciptakan jalur yang

memastikan pemuda diberdayakan secarab berkesinambungan. Sehingga para aktifis organisasi pemberdayaan harus berupaya secara efektif menerapkan teori pemberdayaan pemuda di tingkat individu, organisasi dan masyarakat. Banyak entitas sekarang termasuk pemuda di badan pembuat keputusan dan memberikan masukan yang sangat penting untuk keberlanjutan organisasi, serta memiliki dampak sistemik di masyarakat. Level Organisasi Peran organisasi dalam pemberdayaan pemuda dapat melayani tujuan ganda, yaitu satu bagi tim pemberdaya dan kedua yang diberdayakan. Beberapa organisasi memberikan kesempatan bagi orang untuk mendapatkan kontrol dari kehidupan mereka, yaitu organisasi pemberdayaan, sementara yang lain dapat mengembangkan kebijakan, mempengaruhi keputusan kebijakan, atau menawarkan alternatif yang efektif untuk penyediaan layanan, yaitu organisasi yang diberdayakan. Beberapa organisasi, mungkin melakukan keduanya, yang benar-benar menerapkan teori pemberdayaan pemuda. Ilustrasi lebih lanjut dari perbedaan pemberdayaan dan organisasi yang diberdayakan dapat dilihat melalui lensa entitas yang berlatih pengembangan pemuda dan orang-orang yang berlatih dalam pemberdayaan pemuda. Entitas yang memberdayakan untuk menumbuhkan rasa kontrol atas kehidupan individu, karena mereka memberikan kesempatan bagi kepemimpinan, membangun karakter, dan keterampilan pengambilan keputusan yang mungkin tidak ditemukan di entitas lain. Organisasi-organisasi ini berfokus terutama pada pembangunan pemuda. Entitas lain yang memfasilitasi pemuda untuk menjadi agent utama dalam proses pengambilan keputusan kebijakan. Pihak ini berpotensi memperluas pengaruh pemuda untuk masyarakat yang lebih luas dan lebih beragam serta pada akhirnya berdampak pada masyarakat yang lebih besar. Jika organisasi ini juga fokus pada pengembangan keterampilan individu dan pengambilan proses keputusan, mereka dianggap telah menerapkan teori pemberdayaan pemuda. Organisasi yang mempraktekkan teori pemberdayaan pemuda juga biasanya mematuhi prinsip pengambilan keputusan partisipatif. Otoritas pengambilan keputusan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 252 Lutfi Wibawa dan kekuasaan yang dimiliki oleh remaja dan orang dewasa memberikan rasa yang lebih besar dari kontrol dan kepuasan yang lebih besar. Dalam hal ini, pemberdayaan organisasi tidak hanya menguntungkan organisasi, tetapi individu ( baik remaja dan dewasa ), masyarakat di mana organisasi itu tumbuh dan beroperasi, serta akhirnya masyarakat secara umum. (Zeldin, Youth-Adult Partnerships, 2008 and Zimmerman, Handbook :2000) Organisasi yang memberdayakan pemuda adalah organisasi yang melayani peran ganda, sebagai sebuah organisasi yang diberdayakan dan sekaligus memberdayakan, sehingga dapat di sebut sebagai organisasi pembelajar dan organisasi yang efektif menerapkan teori pemberdayaan pemuda. Organisasi semacam ini pada tingkat individu, berfungsi sebagai entitas pemberdayaan bagi kaum muda dan staf orang dewasa. Pada tingkat organisasi, organisasi semacam ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan pengambilan keputusan secara bersama, perencanaan yang melibatkan seluruh anggota dan staf serta dalam implementasi mampu memberdayakan seluruh entitas organisasi yang mampu menghadirkan kebanggaan bagi seluruh anggota dan staff organisasi. Seluruh entitas organisasi (baik dewasa dan pemuda) mampu menerapkan budaya ,visi ,dan strategi yang mendukung pemberdayaan pemuda di tingkat individu dan masyarakat, yang menggambarkan perannya sebagai organisasi yang berdaya dan organisasi pembelajar. Literatur penelitian, seperti yang disebutkan, jarang pada efektivitas pemberdayaan pemuda di tingkat organisasi. Berikut ada enam poin manfaat pemberdayaan pemuda dalam level organisasi dan termasuk pemuda dalam proses pengambilan keputusan dalam organisasi (Zeldin:2000): 1. Prinsip-prinsip dan praktek keterlibatan pemuda dan pemberdayaan menjadi tertanam dalam budaya organisasi. 2. Orang-orang muda membantu memperjelas dan membawa diri fokus ke arah misi organisasi. 3. Perbaikan perencanaan program terjadi pada orang dewasa dan organisasi, secara keseluruhan,serta menjadi lebih terhubung dan responsif terhadap pemuda di masyarakat.

4. Organisasi menempatkan nilai yang lebih besar pada representasi dan inklusivitas. Mereka melihat manfaat dari beberapa program dan beragam kebutuhan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan dampaknya pada perencanaan program. 5. Memiliki pemuda sebagai pengambil keputusan membantu meyakinkan yayasan dan lembaga donor lainnya bahwa organisasi serius tentang mempromosikan pembangunan pemuda, serta, berpegang pada prinsip pemuda sebagai agen perubahan dan teori pemberdayaan pemuda. 6. Pemuda yang terlibat dalam pengambilan keputusan menyebabkan organisasi untuk menjangkau masyarakat dalam cara yang lebih beragam (misalnya advokasi masyarakat, pembuatan kebijakan , dan layanan). Level Masyarakat Pemberdayaan komunitas dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan kualitas masyarakat, merespon ancaman terhadap kualitas hidup, dan memberikan kesempatan untuk warga negara (baik remaja dan dewasa) untuk berpartisipasi. Mirip dengan individu dan organisasi, masyarakat dapat memberdayakan dan diberdayakan. Memberdayakan masyarakat memiliki karakteristik utama dengan cara membuka akses ke sumber daya, struktur pemerintahan yang terbuka, dan toleransi keragaman. Atau, sebuah komunitas diberdayakan memiliki karakteristik koalisi organisasi, kepemimpinan pluralistik, dan penduduk dengan keterampilan partisipatif. (Minkler, Health Behavior:1990). Sebuah komunitas yang diberdayakan diharapkan memiliki komponen yang saling bergantung yang berkolaborasi untuk secara efektif mengidentifikasi kebutuhan masyarakat, mengembangkan strategi untuk mengatasi kebutuhan tersebut, dan mencari sumber daya serta melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Melalui organisasi (dan para pengambil keputusan dari organisasi tersebut), sebuah komunitas yang diberdayakan akan memiliki sumber daya, dana, koalisi, dan jaringan yang memberikan kesempatan bagi warga untuk secara efektif


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 253 Lutfi Wibawa membawa perubahan melalui media, advokasi kebijakan, dan pengorganisasian akar rumput. Selanjutnya, dalam sebuah komunitas yang diberdayakan, pemberdayaan pemuda menjadi harapan untuk dilembagakan di mana pengambil keputusan melihat ke pemuda sebagai konstituen berharga untuk mengukur dan memberikan masukan serta mengumpulkan mengenai semua persoalan yang berdampak pada masyarakat. Akibatnya, agenda anggota masarakat mulai mencerminkan keprihatinan kolektif, prioritas, dan pendapat kelompok pemuda. (Zeldin:2000) Karakteristik ini secara kolektif memungkinkan komunitas yang diberdayakan untuk secara aktif berusaha melahirkan perubahan sistemik melalui advokasi kebijakan, di mana individu dan organisasi yang diberdayakan menempati di garis depan masyarakat yang lebih adil dan fair. Untuk melaksanakan pemberdayaan pemuda dengan komitmen, tujuan utamanya adalah untuk menciptakan masyarakat berdaya dan memberdayakan. Masyarakat yang responsif terhadap proses yang merangkul masukan dari orang-orang muda,dan melahirkan keterwakilan dari konstituen masyarakat sebenarnya. Pada dasarnya, jenis masyarakat berlatih tiga tingkat pemberdayaan, yaitu : 1. Model Pemberdayaan Pemuda pada level pertama,sebagai contoh melalui penyediaan pengembangan keterampilan bagi pemuda dan orang dewasa, mengidentifikasi sumber daya dan strategi yang membangun kesadaran kritis, dan membantu kaum muda dalam menciptakan platform kesempatan bagi kaum muda yang diberdayakan berperan aktif dalam pengambilan keputusan serta mampu menciptakan masyarakat yang berdaya. 2. Pada level kedua, mendorong komunitas untuk secara intrinsik memberdayakan dalam organisasi agar membantu orang-orang muda untuk mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi efisien dan produktif dalam pengambilan keputusan. Staf yang di isi orang-orang muda yang bekerja dalam organisasi dan membangun

kemitraan sehingga bisa mendorong perubahan pada masyarakat. 3. Pada lavel tiga, para pemuda bekerja membangun kemitraan dengan orang dewasa untuk menyajikan fakta, hadir untuk pembuat kebijakan, dan mendapatkan perhatian media. Melalui proses ini organisasi menjadi diberdayakan dengan menciptakan massa kritis pemuda yang memberikan masukan berharga bagi organisasi.Pada gilirannya, organisasi- ganisasi ini membina komunitas dan masyarakat yang menyambut untuk diberdayakan pemuda yang melahirkan perubahan sosial untuk kemajuan masyarakat. Meskipun ada banyak penelitian yang menggambarkan efektivitas organisasi yang diberdayakan dan memberdayakan, dari tiga tingkat teori pemberdayaan pemuda, tingkat masyarakat adalah yang paling jarang. Hanya ada sedikit bukti mengenai dampak yang siap dan dapat menunjukkan di tingkat masyarakat karena telah diberdayakan oleh pemuda melalui pengambilan keputusan dalam masyarakat. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa ada prevalensi peraturan dan kebijakan di tingkat lokal dan nasional. Pemuda baru sampai pada level obyek belum masuk sebagai bagian dari sobyek pemberdayaan. Inilah yang terjadi dalam konteks masyarakat indonesia. Untuk melakukan evaluasi per-bagian dari proses pemberdayaan, baik secara konseptual maupun dalam implementasinya memerlukan panduan. Konsep evaluasi pemberdayaan bisa mengadobsi dari konsep yang dikemukakan Fetterman dan Wandersman (2007). Konsep evaluasi ini lebih mengarah pada evaluasi faktor-faktor eksplisit daripada yang bersifat implisit. Fetterman menyampaikan 10 prinsip-prinsip dalam evaluasi pemberdayaan adalah sebagai berikut: 1. Improvement (peningkatan) 2. Community ownership(kepemilikan komunitas) 3.Inclusion (inklusi) 4.Democratic participation(partisipasi demokrasi) 5.Social justice (keadian sosial) 6.Community knowledge (tingkat pengetahuan komunitas)


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 254 Lutfi Wibawa 7.Evidence-based strategies (strategi berbasis alasan) 8.Capacity building (pengembangan kapasitas) 9. Organizational learning(Pembelajaran organisasi) 10.Accountability (akuntabilitas) (Fetterman dan Wandersman:2007) Secara mendalam untuk mencari perbedaan antara tiga teori pemberdayaan pemuda, diperlukan artikulasi yang mendalam agar ditemukan perbedaan antara pengembangan individu, pemberdayaan kelompok dan memberdayakan pemuda untuk menjadi agen perubahan di masyarakat. KESIMPULAN Pemberdayaan pemuda adalah pembangunan bertingkat yang memerlukan pemahaman tentang adaptasi individu, pengembangan organisasi, dan evolusi kehidupan masyarakat yang mewakili individu, organisasi, dan tingkat komunitas pemberdayaan. Pemberdayaan pemuda juga dapat terjadi pada proses dan hasil yang berorientasi pada pengembangan keterampilan dan peluang, serta menciptakan pemuda yang diberdayakan memiliki kontrol yang lebih besar di organisasi dan komunitas pengambilan keputusan. Bagi tim pemberdayaan untuk pemuda seharusnya mampu mengidentifikasi dan mengukur dampak pemberdayaan pemuda pada tiga level teori pemberdayaan pemuda, yaitu level individu, organisasi, dan masyarakat. Hal ini sebagai upaya untuk merasionalisasikan teori kedalam bentuk praktik yang nyata. Pemberdayaan pemuda dirancang terutama untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan responsif, hal ini bisa dilakukan dengan membangun kemitraan antara orangorang pemuda dengan orang dewasa untuk memberikan kontribusi pada masyarakat luas. Kesempatan membangun kemitraan ini sebagai upaya menuju efektifitas implementasi pemberdayaan pemuda pada tiga level pemberdayaan (level individu, organisasi, masyarakat), sehingga pemuda mampu menunjukkan kekuatannyauntuk berkontribusi kepada masyarakat Daftar Pustaka Eko Sutoro, 2002, Pemberdayaan Masyarakat Desa, Materi Diklat Pemberdayaan Masyarakat Desa, yang diselenggarakan

Badan Diklat Provinsi Kaltim, Samarinda, Desember 2002. Fetterman, David and Wandersman, Abraham, 2007, Empowerment Evaluation: Yesterday, Today, and Tomorrow, American Journal of Evaluation 2007 Ibid., Meredith Minkler, “Improving Health through Community Organization,” Health Behavior and Health Education: Theory, Research, and Education. San Francisco, CA: Jossey-Bass, 1990. Ibid., Minkler, Health Behavior, 1990; and Linda Camino, “Pitfalls and Promising Practices of Youth-Adult Partnerships – An Evaluator’s Reflection.” Journal of Community Psychology, Vol. 33, No. 1. 2005. Ibid; Zeldin, Youth-Adult Partnerships, 2008; and Zeldin, Youth In Decision-Making, 2000. Ife, J.W., (1995). Community Development: Creating Community Alternativesvision,Analysiis and Practice. Melbourne : Longman. Pittman, Karen, et al. Core Principles for Engaging Young People in Community Change. The Forum for Youth Investment, July 2007. Projono, O.S dan Pranarka, A.M.W (1996). Pemberdayan: Konsep, Kebijakan dan implementasi. CSIS; Jakarta Wallerstein, Nina, “Community-Based Participatory Research Contributions to Intervention Research: The Intersection of Science and Research to Improve Healthy Equity,” American Journal of Public Health, February 2010. Zeldin, Shepherd, et al. Youth in DecisionMaking: A Study on the Impacts of Youth on Adults and Organizations. Madison, WI: National 4-H Council, 2000. Zeldin, Shepherd, Julie Petrokubi, and Linda Camino. Youth-Adult Partnerships in Public Action: Principles, Organizational Culture, and Outcomes, University of Wisconsin-Madison, 2008 Zeldin, Youth-Adult Partnerships, 2008 and Zimmerman, Handbook, 2000. Zimmerman, Citizenship Participation, 1988. Zimmerman, Handbook, 2000 and Minkler, Health Behavior, 1990. Zimmerman, Marc A. “Empowerment Theory: Psychological, Organizational and Community Levels of Analysis.”


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 255 Lutfi Wibawa Handbook on Community Psychology, edited by J. Rappaport and E. Seidman,

New York: Plenum Press, 2000.


OPTIMALISASI PELATIHAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN BELAJAR MASYARAKAT Edi Widianto Jurusan pendidikan luar sekolah, fakultas ilmu pendidikan, universitas negeri malang e-mail: edi.widianto.fip@um.ac.id Abstrak Pelaku pemberdayaan masyarakat diharapkan mampu membawa perubahan sosial masyarakat ke arah yang lebih baik. Untuk mempercepat proses perubahan tersebut, maka kebutuhan belajar masyarakat harus dipenuhi terlebih dahulu. Jika kebutuhan belajar masyarakat telah terpenuhi maka prose perubahan dapat dipercepat. Untuk mempercepat kebutuhan belajar masyarakat tersebut, salah satunya dapat dilakukan melalui pelatihan. Dengan adanya pelatihan, maka masyarakat akan memiliki skill tambahan dan harapannya dapat diterapkan secara massal berkelompok untuk mengangkat derajat kemakmuran mereka. Masyarakat yang selama ini berada dalam belenggu kemiskinan dan ketidakberdayaan akan dibangkitkan semangat dan motivasinya dengan meningkatkan motivasi belajarnya. Pelatihan merupakan salah satu pendidikan nonformal yang dapat dijadikan alternatif untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi pada jalur pendidikan formal. Saat ini banyak sekali pelatihan-pelatihan pemberdayaan masyarakat diselenggarakan oleh lembaga pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengulas secara global tentang proses penyelenggaraan pelatihan pemberdayaan masyarakat berbasis life skill, kekuatan pelatihan pemberdayaan masyarakat, manfaat pelatihan pemberdayaan masyarakat. Kata kunci: pelatihan, pemberdayaan masyarakat, kebutuhan belajar, masyarakat.

OPTIMIZE COMMUNITY EMPOWERMENT TRAINING TO SUPPLY THE COMMUNITY LEARNING NEEDS Abstract Doer of community development is expected to bring social change towards the better. To speed up the process of change, then the learning needs of the community must be met first. If the learning needs of the community are met then the procedural changes can be accelerated. To accelerate the learning needs of the community, one of which can be done through training. With the training, then the public will have an additional skill and hope can be applied in bulk flocking to elevate their prosperity. People who have to be in the shackles of poverty and powerlessness will be raised spirit and motivation to improve learning motivation. Training is one of the non-formal education can be an alternative to supply the learning needs of the community that cannot be met in formal education. Currently, many community empowerment trainings organized by government agencies and nongovernmental organizations. The purpose of writing this article is to review the global process of community empowerment training event-based life skill, strength training community empowerment, community empowerment training benefits. Keywords: training, community empowerment, learning needs, community.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 257 Edi Widianto PENDAHULUAN Salah satu ciri utama dari program pemberdayaan masyarakat adalah adanya pelaku pemberdayaan yang biasanya berfungsi sebagai pendamping masyarakat. Hal ini sebagai bentuk dari strategi pendampingan yang dikembangkan dalam program-program pemberdayaan masyarakat. Seiring dengan proses desentralisasi di bidang berbagai bidang, maka hasilnya membawa dampak dan konsekuensi tersendiri. Apabila kita ingin membuat hasil pembangunan pedesaan yang lebih merata, maka strategi pembangunan yang partisipatif perlu dikembangkan (Soetrisno, 1995). Pelaku pemberdayaan masyarakat diharapkan mampu melakukan perubahan sosial. Mereka mempunyai tugas utama menyelenggarakan dialog dengan masyarakat untuk menggali kebutuhan nyata mereka, menggali sumber potensi yang tersedia, mendorong msyarakat untuk menemukan spesifikasi masalah yang harus dipecahkan, dan mengorganisir mereka untuk dapat mengambil tindakan yang tepat (Karwur, 2010). Pelatihan merupakan salah satu pendidikan nonformal yang dapat dijadikan alternatif untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi pada jalur pendidikan formal. Saat ini banyak sekali pelatihan-pelatihan pemberdayaan masyarakat diselenggarakan oleh lembaga pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Memang saat ini antara jumlah demand driven dan supply driven tidak sebanding jumlahnya. Seharusnya pendidikan sebagai penyedia supply driven dituntut untuk responsif menghadapi perubahan global dan tetap eksis menjaga potensi sumber daya lokal (Widianto, 2015). Kebutuhan masyarakat terhadap layanan pendidikan nonformal yang menyebabkan perlu adanya layanan pendidikan nonformal bagi masyarakat. Namun karena keterbatasan pemerintah dalam menyediakan layanan pendidikan, peran masyarakat melalui partisipasi aktif sangat dibutuhkan (Sudjana, 2001: 41). Menurut Sumpeno (2009: 133) menyatakan partisipasi merupakan serangkaian kegiatan yang sistematis dan terstruktur dengan melibatkan masyarakat untuk mengambil inisiatif, pengambilan keputusan, menetapkan tujuan, perencanaan, pengorganisasian, dan mengevaluasi dengan mengoptimalkan potensi dan kemampuan yang ada padanya.

Berkaitan dengan hal tersebut, kebutuhan belajar masyarakat dapat dipenuhi dengan cepat dengan jalan, masyarakat dipenuhi kebutuhan belajarnya melalui pelatihan. Dengan adanya pelatihan, maka masyarakat akan memiliki skill tambahan dan harapannya dapat diterapkan secara massal berkelompok untuk mengangkat derajat kemakmuran mereka. Masyarakat yang selama ini berada dalam belenggu kemiskinan dan ketidakberdayaan akan dibangkitkan semangat dan motivasinya dengan meningkatkan motivasi belajarnya. Pada dasarnya kemampuan belajar sepanjang hayat yang dilakukan oleh masyarakat akan membentuk masyarakat belajar yang mampu meningkatkan kapasitas individu untuk menciptakan masa depan yang baik melalui pengembangan keahlian dan kemampuan, kesadaran dan kepekaan, serta sikap dan keyakinan. Kenyataan di lapangan memang tidak semua masyarakat memahami kebutuhan belajarnya meskipun Maslow dalam Sudjana (2004: 188) menyatakan lima tingkatan kebutuhan yang harus dan dapat dipenuhi oleh manusia dalam mempertahankan dan mengembangkan kehidupannya. Lima tingkatan tersebut adalah kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan sosial, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Dengan adanya peran pendamping/struktur sebagai agen pembaharu dalam pelatihan pemberdayaan masyarakat diharapkan masyarakat memahami kebutuhan belajarnya yang selama ini unskilled agar menjadi skillful. Peran agen pembaru (change agent) menurut Schwartz dalam Wrihatnolo (2007: 175) antara lain: (1) sebagai catalisator yaitu memberi informasi penting dalam mememcahkan masalah yang dihadapi klien. (2) dinamisator membangkitkan semangat klien untuk mengatasi masalah yang dihadapi. (3) solution giver yaitu memberikan saran, alternatif yang ditawarkan kepada klien. (4) procces helper yaitu membantu klien dalam menjalankan proses pemecahan. (5) resource linker yaitu menghubungkan sumber-sumber yang dibutuhkan klien. Pada masa mendatang keahlian seseorang akan semakin diarahkan pada skill managerial yang semakin spesifik dan terarah. Hal itu akan dapat dicapai dengan

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 258 Edi Widianto

memperhatikan beberapa hal berikut ini: (1) mind worker yang mendayagunakan kemampuan intelektual dan daya inovasi (pada amasa yang akan datang jenis-jenis pekerjaan industri konvensional yang ditandai dengan pengulangan (repetition), pemilahan (fragmentation), dan sikap yang tidak manusiawi (dehumanisation) akan semakin tidak relevan lagi, (2) self training skills yaitu para pekerja harus memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang tujuan mereka mengerjakan sesuatu walaupun sangat kecil dan fragmental, (3) menuntut adanya multi-skills dalam era industrialisasi dan modernisasi, perubahan jenis keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan serta perubahan dalam tingkat kompkleksitasnya.

KEKUATAN PELATIHAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu cara kegiatan yang memberdayakan masyarakat tersebut agar mandiri. Pemberdayaan dilihat dari asal kata pemberdayaan (empowerment) dan memberdayakan (empower) berarti memberikan kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain dan sebagai upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan (Rasyad & Suparna, 2003: 43). Definisi lainnya diungkapkan Slamet (1992: 52) yang menyatakan pemberdayaan masyarakat adalah ungkapan lain dari tujuan penyuluhan pembangunan. Berdasarkan definisi tersebut intinya proses kegiatan pemberdayaan tidak hanya dilaksanakan dalam proses yang singkat untuk memberdayakan suatu masyakarakat agar mereka berdaya. Dalam proses perkembangan selanjutnya, pemberdayaan akan menghasilkan kecenderungan-kecenderungan sebagaimana yang dikemukakan Hikmat (2006: 43) yang menyatakan proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. (1) Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagai kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat agar individu yang bersangkutan menjadi lebih berdaya (survival of the fittes). (2) Pada proses menstimulasi, mendorong, atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk

menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.

Salah satu komponen terpenting dalam pemberdayaan masyarakat adalah pengorganisasian. Sebuah masyarakat akan menjadi sebuah kekuatan yang akan membawa perubahan-perubahan besar jika masyarakat tersebut mampu memenuhi kebutuhannya dan mandiri dalam hal mencukupi kebutuhannya tanpa tergantung pada pihak lain. Untuk mencapai proses tersebut, maka dibutuhkan sebuah pengorganisasian masyarakat. Proses pengorganisasian masyarakat ditujukan agar mereka mampu berdaya atas kegiatan yang dilakukan untuk perubahan yang lebih baik. Parwoto (2000) menyatakan pengorganisasian adalah segala hal yang dikerjakan dengan cara teratur ada pembagian tugas di antara individuindividu yang akan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas masing-masing ada kepemimpinan yang tidak hanya terlihat dari beberapa kepemimpinan diberbagai tingkatan. Salah satu cara untuk meningkatkan dan mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan yang demikian pesat adalah memacu semangat untuk berkembang, pantang menyerah dengan keadaan dan senantiasa peka terhadap kondisi yang berkembang. Rasyad dan Suparna (2003) menyatakan hasil perubahan sosial yang berdasarkan atas usaha-usaha sadar yang direncanakan secara masak dan pertumbuhan sosial yang terjadi di luar kemampuan dan wewenang manusia merupakan hasil perencanaan pembangunan (planned change product). Masyarakat yang sadar terhadap perubahan adalah masyarakat yang mampu membangun komunikasi dengan lingkungan sekitar, terbuka terhadap kritik maupun saran yang bersifat membangun. Hal ini akan merangsang masyarakat itu sendiri untuk senantiasa belajar. Ada salah satu resep yang bisa digunakan untuk mengembangkan semangat belajar masyarakat yaitu dengan membangun keterbukaan dan keberanian. Seiring perkembangan teknologi dan informasi yang sangat pesat maka masarakat pun harus membuka diri dengan perubahan dn keberanian untuk melindungi maupun memproteksi kearifan-kearifan lokal yang ada dalam masyarakat tersebut. Gagasan masyarakat harus mampu menetapkan kebutuhan mereka sendiri dan bagaimana memenuhinya, bahwa masyarakat pada tingkat lokal paling mengetahui apa yang mereka butuhkan dan

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 259 Edi Widianto

bahwa masyarakat seharunya mengarah dirinya sendiri dan berswadaya adalah menarik dan hal itu banyak literatur ekologis dan keadilan sosial (Ife & Tesoriero, 2008).

PROSES PENYELENGGARAAN PELATIHAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS LIFE SKILL Flippo (dalam Kamil, 2010: 3) menyatakan training is the act of increasing the knowledge and skill of an employee for doing a particular job. Definisi yang berbeda tentang pelatihan dikemukakan oleh Bernardin dan Russell (1998: 172) yang menyatakan training is defined as any attempt to improve employee performance on a currently held job or one related to it. This usually means changes in spesific knowledges, skills, attitudes, or behaviors. To be effective, training should involve a learning experience, be a planned organizational activity, and be designed in response to identified needs. Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pelatihan lebih lebih menekankan pada upaya pengenalan untuk mengembangkan kinerja pada pekerjaan yang dipikulnya maupun sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaannya. Sehingga proses perubahan perilaku, sikap, keahlian, dan pengetahuan peserta pelatihan terjadi secara khusus (specific). Oleh karena itu, agar pelatihan berjalan secara efektif, maka sebuah pelatihan sebaiknya didesain dalam sebuah pembelajaraan yang berbasis pada pengalaman-pengalaman. Selain itu, pelatihan harus menjadi kegiatan keorganisasian yang direncanakan dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan peserta pelatihan itu sendiri. Dalam perkembangannya, tujuan pelatihan ternyata tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap saja, akan tetapi juga untuk mengembangkan bakat seseorang, sehingga dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan yang dipersyaratkan (Rasyad, 2014) Idealnya pengetahuan dan ketrampilan peserta pelatihan setelah mengikuti pelatihan seharusnya meningkat. Namun jika pengetahuan dan ketrampilan peserta pelatihan justru menurun pasca pelatihan tentu saja ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Oleh karena itu, untuk memahami proses-proses penyelenggaraan sebuah pelatihan maka diperlukan pemahaman yang mendalam tentang tahapan-tahapan yang terjadi di dalamnya. Sedangkan sendiri life skill merupakan

pendidikan yang memberikan kecakapan sosial, kecakapan intelektual, kecakapan vokasional untuk bekerja, berusaha dan hidup mandiri (Suryadi, 2002: 22). Orientasi life skill lebih diarahkan pada kemampuan untuk membangun sikap kemandirian untuk mendapatkan ketrampilan sebagai bekal untuk bekerja dan mengembangkan potensi diri (skilled orientation) dari peserta pelatihan itu sendiri. Sebuah pelatihan pada umumnya dapat dibagi ke dalam tahapan, yaitu, pra-pelatihan penyelenggaraan latihan, dan pasca pelatihan. Pertama, pada tahapan pra-pelatihan diawali dengan memahami situasi yang dikehendaki melalui tingkah laku yang lebih efektif. Kuncinya terletak pada situasi dalam pekerjaan yang memerlukan perbaikan penampilan yang harus dicapai. Oleh karena itu, sebuah pelatihan sebaiknya harus dimulai dengan deskripsi tentang hal apa yang akan diubah melalui pelatihan tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka analissis tugas yang baku yang sebagian besar terbatas pada persyaratan teknis tidak akan mampu didefinisikan (Marzuki, 1992). Sebuah pelatihan yang berbasis life skill harus didesain agar mampu mempengaruhi kemampuan belajar bagi peserta pelatihan agar membawa dampak pada efektifitas pelatihan yang diikutinya. Kedua, pada saat seseorang mengikuti sebuah pelatihan, tentunya banyak pertanyaan yang dibawa dari rumah seperti misalnya, materi apa saja yang akan diperoleh, siapa saja peserta pelatihannya Selain pertanyaan dan kesan yang dihadapi pada saat mengikuti pelatihan, tentu saja peserta akan melihat seberapa jauh tingkat kebermanfaatan baginya, dan seberapa jauh keterlibatan dirinya dalam pelatihan tersebut. Penyelenggaraan pelatihan bagi masyarakat banyak sekali bentuk dan ragamnya. Ada yang berlangsung dalam bentuk sesi pertemuan (session), penyelenggaraan pelatihan di luar jam kerja (evening cource) maupun program pelatihan yang bersifat menetap (residential programme). Bentuk dan ragam penyelenggaraan pelatihan pemberdayaan masyarakat tergantung dari kebutuhan, cakupan, maupun kesiapan dari peserta pelatihan. Memang tidak ada jaminan bahwa yang dipelajari peserta sesuai dengan pilihannya. Justru bisa saja sebuah pelatihan yang telah diselenggarakan akan menimbulkan kekecewaan karena kurang relevannya desain pelatihan, panitia penyelenggara yang kurang profesional, narasumber yang kurang kompeten, tempat

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 260 Edi Widianto

pelatihan yang tidk nyaman, maupun manajemen waktu yang tidak efektif. Segala sesuatu yang terjadi dalam sebuah pelatihan seharusnya menghasilkan situasi yang menarik bagi peserta palatihan. Hal itu karena peserta pelatihan akan mencoba beberapa tingkah laku (behavior) yang baru dan membuat suasana yang menarik bagi peserta pelatihan. Melalui proses pembiasaan tingkah laku yang baru tersebut, diharapkan akan terbawa dalam kehidupan sehari-hari mereka. Namun kadangkala peserta pelatihan tidak menemukan manfaat apapun dalam pelatihan tersebut. Hal ini sangat tergantung pada motivasi dan tujuan peserta pelatihan dalam mengikuti sebuah pelatihan. Ketiga, pasca selesainya sebuah pelatihan, maka semua peserta pelatihan akan dibawa dalam situasi yang berbeda dengan situasi sebelumnya karena mereka akan kembali dalam kehidupan kesehari-harian mereka sendiri (berkumpul bersama keluarga). Setiap peserta pasca pelatihan akan dihadapkan oleh berbagai pesoalan baru dan antisipasi untuk mengatasi kendala tersebut. Harapannya adalah setelah peserta pelatihan menyelesaikan sebuah pelatihan, maka diharapkan terjadi perubahan baik sikap, pengetahuan, maupun ketrampilannya. Sebagai contoh, ketrampilan baru yang telah dipelajarinya disesuaikan dan dicocokkan dengan situasi kerja. MANFAAT PELATIHAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Manfaat bagi Peserta Pelatihan Beberapa kegiatan pelatihan maupun pendampingan masyarakat berguna untuk mendukung kegiatan peningkatan ekonomi masyarakat (income-generating activities) ke arah yang lebih baik. Apabila program-program yang bersifat bottom up tersebut dilaksananakan engan baik, maka akan meningkatkan ekonomi terutama terjadi di tingkat rumah tangga karena pada sektor rumah tangga inilah yang akan membantu penguatan ekonomi kerakyatan yang ada di Indonesia. Penggunaan sumber daya lokal yang bersifat energi terbarukan (renewable energy) juga dapat mengurangi pengeluaran sehingga meningkatkan aset keuangan rumah tangga. Dalam usaha berskala mikro akan membantu memperpanjang jam dagang mereka atau memperluas lingkup operasi mereka. Jadi, mlalui pelatihan pemberdayaan masyarakat yang

tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan membawa dampak pada produktivitas ekonomi yang lebih baik dan akan terus meningkat. Manfaat bagi Masyarakat Sekitar Agar mencapai hasil-hasil pembangunan yang berkelanjutan,sebuah pelatihan pemberdayaan masyarrakat perlu didesaindengan pendekatan yang bersifat partisipatif. Pendekatan pembangunan pada masyarakat yang bersifat partisipatif harus mulai masyarakat yang paling mengetahui tentang sistem kehidupan mereka sendiri. Pendekatan ini harus menilai dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka, dan memberikan sarana yang perlu bagi mereka supaya dapat mengembangkan diri (Rasyad, 2014). Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pelatihan pemberdayaan masyarakat melalui proses partisipatif dalam merencanaannya akan membawa dampak sebagai berikut: (1) tanggung jawab yang tinggi dari masyarakat itu sendiri, karena masyarakat akan penegakan aturan yang telah mereka buat dan disepakati bersama, sehingga biaya penegakkan hukum dan pengawasan akan menjadi lebih efisien; (2) masyarakat akan merasa memiliki dan dapat membuat aturan sendiri untuk ditetapkan di lingungannya; (3) masyarakat dapat membuat program penggalangan dana untuk operasional kegiatan, (4) menciptakan kesempatan kepada masyarakat untuk bekerjasama menuju pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. COREMAP II AD Manfaat bagi Stake Holder Respon masyarakat terhadap pelatihan pemberdayaan masyarakat akan direspon positif apabila ada nilai investasi dari masyarakat yang berkaitan dengan prioritas khususnya pada mata pencaharian mereka. Apabila nilai investasi tersebut tidak ada dalam konten pelatihan tersebut, maka sudah apat dipastikan pelatihan tersebut tidak akan berguna dan tidak mendapat respon dari masyarakat. Pada dasarnya manfaat ekonomi dan lingkungan dari sebagian besar dapat dirasakan dalam jangka menengah dan panjang oleh masyarakat. Oleh karena itu agar pelatihan pemberdayaan masyarakat dapat berjalan dengan baik, maka adanya kemampuan untuk memelihara sebagian besar investasi mereka. Jika kapasitas untuk memelihara dan mengelola investasi masih lemah.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 261 Edi Widianto

pemberdayaan masyarakat, (3) menciptakan lapangan kerja di kalangan masyarakat bawah untuk mengurangi angka kemiskinan.

PENUTUP Simpulan Pemerintah pusat dan daerah selama ini telah berupaya mempercepat proses pembangunan di segala bidang dengan menyelenggarakan berbagai pelatihan pemberdayaan masyarakat. Namun dari banyaknya pelatihan yang diselenggarakan, ternyata masih belum membawa dampak yang signifikan terhadap khalayak sasaran. Hal itu karena dilatarbelakangi oleh program pemerintah yang tidak menyentuh ada akar permasalahan yang ada. Penyelenggaraan pelatihan pemberdayaan masyarakat yang baik adalah pelatihan yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat mulai dari sejak menyusun kebutuhan belajar, merancang kurikulum, melaksanakan pelatihan, hingga melaksanakan monitoring dan evaluasi pelatihan pemberdayaan masyarakat tersebut. Harapannya agar ke kepannya pelatihan pemberdayaan masyarakat tersebut dapat diimplementasikan masyarakat alam kehidupan sehari-harinya yang pada akhirnya dapat menjadi masyarakat yang mandiri. Keberhasilan suatu pelatihan pemberdayaan masyarakat sangat dipengaruhi adanya tahapan persiapan yang baik dan berfungsinya peran fasilitator pemberdayaan. Selain itu, seluruh pelaksanaan program pelatihan juga perlu evaluasi yang mengacu pada pedoman yang ada. Rekomendasi Peranan pemerintah dalam mendukung sebuah kebijakan pembangunan sangat diharapkan oleh masyarakat khususnya masyarakat kalangan bawah. Untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut dibutuhkan proses percepatan pembangunan melalui pelatihan pemberdayaan masyarakat yang bersifat partisipatif. Ada beberapa hal yang dapat direkomendasikan untuk mengimplementasikan hal tersebut, (1) pemerintah harus menyediakan fasilitas penunjang pelatihan pemberdayaan masyarakat yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, (2) pemerintah menyediakan tenaga pendamping/fasilitator yang akan melatih dan mendampingi pelatihan pemberdayaan masyarakat yang kompeten dan ahli di bidang

DAFTAR PUSTAKA Bernardin & Russell. (1998). Human Resource Management. Singapore: McGrawHill Book Co. Hikmat, H. (2006). Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora. Ife, J & Tesoriero, F. (2008). Comunity Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kamil, M. (2010). Model Pendidikan dan Pelatihan (Konsep dan Aplikasi). Bandung: Alfabeta. Karwur, F.F., Simanjuntak, E., Palekahelu, D., Sudarwo, F., Winarno, W.H., Djahi, I., Langkun, J.F., & Ranimpi, Y. (2010). TOT: Modul Pelatihan Pelatih Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: The Institute for Good Governance and Regional Development (IGGRD). Marzuki, M.S. (1992). Strategi dan Model Pelatihan. Malang: IKIP Malang. Rasyad, A & Suparna, B. (2003). Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat. Malang: Universitas Negeri Malang. Rasyad, A. (2014). Pendidikan dan Pelatihan dalam Pemberdayaan Masyarakat. Malang: Elang Mas. Slamet, M. (1992). Perspektif Ilmu Penyuluhan Pembangunan Menyongsong Era Tinggal Landas. Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Soetrisno, L. (1995). Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Sudjana, H.D. (2001). Pendidikan Luar Sekolah: Wawasan, Sejarah, Perkembangan, Falsafah Teori, Pendukung, Asas. Bandung: Falah Production. Sudjana H.D. (2004). Pendidikan Nonformal: Wawasan, Sejarah Perkembangan, Filsafat & Teori Pendukung, Asas. Bandung: Falah Production. Sumpeno, W. (2009). Sekolah Masyarakat Penerapan Rapis-Training-Design dalam Pelatihan Berbasis

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 262 Edi Widianto

Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Suryadi, A. (2002). Memahami Life Skill. Jakarta: Media Indonesia. Widianto, E. (2015). Tantangan PLS Menghadapi Era Global Berbasis Kearifan Lokal. Prosiding, Scientific Forum-Faculty of Education Department of Science education (FIP-JIP) yang diselenggarakan oleh FIP UNG, tanggal 9-11 September 2015. Gorontalo: Universitas Negeri Gorontalo. Wrihatnolo, R. R & Dwidjowijoto, N. R. (2007). Manajemen Pemberdayaan (Sebuah Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

PROFIL SINGKAT

Edi Widianto dilahirkan di Kediri pada tanggal 15 November 1981, ia adalah anak ke empat dari empat bersaudara. Tamat SD tahun 1994, SMP tahun 1997, dan SMA tahun 2001. Pendidikan sarjana S1 ditempuh di Universitas Negeri Malang (UM) pada jurusan Pendidikan Luar Sekolah dan dinyatakan lulus pada tahun 2006 dengan predikat dengan pujian. Selanjutnya pada tahun 2011 dilanjutkan di jenjang pasca sarjana dengan mengambil program studi S2 Pendidikan Luar Sekolah dan dinyatakan lulus pada tahun 2013 dengan predikat dengan pujian. Pekerjaan yang ditekuni saat ini adalah sebagai dosen PNS di jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENDIDIKAN NONFORMAL

Dr. Khomsun Nur Halim,M.Pd Universitas Negeri Semarang nurhalimpls@gmail.com

Abstrak

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan depan ekonomi yang merangkum nilai – nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yang bersifat people centred, participatory, empowering, and sustainable. Pendidikan nonformal adalah usaha yang teroganisir secara sistematis dan kontinyu diluar sistem persekolahan, melalui hubungan sosial untuk membimbing individu, kelompok dan masyarakat agar memiliki sikap dan cita – cita sosial (yang efektif) guna meningkatkan taraf hidup dibidang materiil, sosial dan mental dalam rangka usaha mewujudkan kesejahteraan sosial. Tujuan pendidikan nonformal adalah menggambarkan pencapaian tingkat mutu yang seharusnya dicapai dalam program pembelajaran, mengacu pada visi, misi dan tujuan pendidikan nasional serta relevan dengan kebutuhan pemberdayaan masyarakat. Diputuskan oleh pengelola dan/atau penyelenggara pendidikan nonformal dengan memperhatikan masukan dari berbagai pihak. Disosialisasikan kepada segenap pihak yang berkepentingan. Obyek atau sasaran pendidikan nonformal doilihat dari segi pelayanan, segi sasaran khusus, segi pranata, segi layanan masyarakat, segi pelembagaan dan segi pengajaran. Patau sasaran pendidikan nonformal doilihat dari segi pelayanan, segi sasaran khusus, segi pranata, segi layanan masyarakat, segi pelembagaan dan segi pengajaran. Peran pendidikan nonformal untuk mendidik begitu banyak petani, pekerja, usahawan kecil dan lainnya yang tidak sempat bersekolah dan mungkin tidak memiliki ketrampilan maupun pengetahuan yang dapat diamalkan bagi dirinya sendiri maupun bagi pembangunan bangsanya. Kata Kunci: Pemberdayaan masyarakat, pendidikan non formal


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 264 Dr. Khomsun Nur Halim, M.Pd.

PENDAHULUAN Latar Belakang Pendidikan non-formal sebagai bagian dari sistem pendidikan memiliki tugas sama dengan pendidikan lainnya a(Pendidikan formal) yakni memberikan pelayanan terbaik terhadap masyarakat terutama masyarakat sasaran pendidikan non-formal. Sasaran pendidikan non-formal yang semakin luas yang tidak hanya sekedar berhubungan dengan masyarakat miskin dan bodoh (terbelakang, buta pendidikan dasar, keluar/putus pendidikan formal), akan tetapi sasaran pendidikan non-formal terus meluas maju sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan lapangan kerja dan budaya masyarakat itu sendiri. Mengingat sasaran tersebut, maka program/kegiatan pendidikan non-formal harus terus diperluas sesuai dengan kebutuhan dan kondisi perkembangan masyarakat. Pada prinsipnya perluasan kegiatan/program pendidikan nonformal harus sejalan dengan pemikiran baru tentang konsep belajar (learning) dimana belajar yang terkesan hanya berlangsung di sekolah (formal) kurang tepat lagi dan mulai bergeser ke luar setting (tempat) persekolahan. Hasil kajian Tim reformasi pendidikan dalam konteks Otonomi daerah (Fasli Jalal, Dedi Supriadi. 2001) disimpulkan bahwa apabila pendidikan luar sekolah (pendidikan non-formal) ingin melayani, dicintai, dan dicari masyarakat, maka mereka harus berani meniru apa yang baik dari apa yang tumbuh di masyarakat dan kemudian diperkaya dengan sentuhansentuhan yang sistematis dengan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Strategi itulah yang perlu terus dikembangkan dan dilaksanakan oleh pendidikan luar sekolah dalam membantu menyediakan pendidikan bagi masyarakat yang karena berbagai hal tidak terlayani oleh jalur formal/ sekolah. Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar

untuk kehidupan; mereka tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong untuk mengembangkannya melalui pendidikan non-formal berbasis masyarakat, yakni pendidikan non-formal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, maka sangat diperlukan strategi pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan non-formal. Proses pendidikan itu mengembang ke luar dari sistem-sistem formal terstruktur, ke dalam suatu sistem konfigurasi baru dari suatu rangkaian pemikiran dan pengalaman yang terpisah secara melebar, dan jenis pertemuan lainnya dengan mendayagunakan fasilitas yang tersedia. Peran pendidikan non-formal sebagai komplemen (pelengkap), suplemen (tambahan) maupun substitusi (pengganti) pendidikan formal (persekolahan) sehingga mampu mewujudkan program/ kegiatan pendidikan non-formal yang strategis dan fungsional bagi masyarakat. Sekolah sebagai satuan pendidikan formal tidak lagi menjadi satu-satunya wadah (wadah tunggal) dan memonopoli pendidikan (formal) persekolahan dan badan-badan bisnis tidak lagi mengurusi bisnis semata, akan tetapi sudah mulai bergeser ikut serta mengurusi pendidikan khususnya pendidikan non-formal. Lahirnya organisasi-organisasi baru berpenampilan pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan tanpa label sebagai tambahan, perluasan lanjutan dan lainnya memberi kesempatan dan kemudahan kepada masyarakat untuk belajar membelajarkan diri. Sehingga menjadi “self supporting organizations� untuk ikut andil mengembangkan pendidikan non-formal. Dalam hal ini, pendidikan nonformal berbasis masyarakat adalah pendidikan non-formal yang diselenggarakan oleh warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan dan berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan non-formal berfungsi


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 265 Dr. Khomsun Nur Halim, M.Pd.

mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional. Pendidikan non-formal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. DASAR TEORI Pendidikan non-formal dengan berbagai atribut dan nama atau istilah lainnya, baik disebut dengan mass education, adult education, lifelong education, learning society, out-of school education, social education, dll, merupakan kegiatan yang terorganisir dan sistematis yang diselenggarakan di luar subsistem pendidikan formal. (Sudjana, 1994:38. R.A. Santoso, 1955:10) Meskipun semua istilah tersebut memiliki perbedaan dan kesamaan dengan pendidikan non-formal, akan tetapi sangat sulit untuk merumuskan pengertian yang komprehensif dan berlaku umum, mengingat titik pandang yang berbeda. Berikut ini diuraikan berbagai definisi tentang pendidikan non-formal yang dikemukakan oleh para ahli : 1. Menurut Hamojoyo pendidikan non-formal adalah usaha yang terorganisir secara sistematis dan kontinyu di luar sistem persekolahan, melalui hubungan sosial untuk membimbing individu, kelompok dan masyarakat agar memiliki sikap dan cita-cita sosial (yang efektif) guna meningkatkan taraf hidup di bidang materil, sosial dan mental dalam rangka usaha mewujudkan kesejahteraan sosial. 2. Secara luas Coombs (1973:11) memberikan rumusan tentang pendidikan non-formal adalah

setiap kegiatan pendidikan yang terorganisasi, diselenggarakan di luar pendidikan persekolahan, diselenggarakan secara tersendiri atau merupakan bagian penting dari suatu kegiatan yang lebih luas dengan maksud memberikan layanan khusus kepada warga belajar di dalam mencapai tujuan belajar. 3. Niehoff, (1977:8) merumuskan pendidikan non-formal secara terperinci yakni : Nonformal education is defined for our purpose as the method of assessing the needs end interest of adults and out-of school youth in developing countries-of communicating with them, motivating them to patterns, and related activities which will increase their productivity and improve their living standard. 4. Sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan sosial dalam hal ini adalah semua kegiatan pendidikan termasuk di dalamnya pendidikan olah raga dan rekreasi yang diselenggarakan di luar sekolah bagi pemuda dan orang dewasa, tidak termasuk kegiatan-kegiatan pendidikan yang diselenggarakan dengan menggunakan kurikulum sekolah. (article. 2 lifelong learning in Japan, 1992:39) 5. Dari definisi-definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan non-formal dalam proses penyelenggaraannya memiliki suatu sistem yg terlembagakan, yang di dalamnya terkandung makna bahwa setiap pengembangan pendidikan non-formal perlu perencanaan program yang matang, melalui kurikulum, isi program, sarana, prasarana, sasaran didik, sumber belajar, serta faktor-faktor yang satu


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 266 Dr. Khomsun Nur Halim, M.Pd.

sama lain tak dapat dipisahkan dalam pendidikan non-formal. Berbicara tentang philosophy dan teori pendidikan non-formal, tidak terlepas dari pemahaman konsep tentang kegiatan belajar yang terjadi di tengah-tengah masyarakat atau dikenal dengan istilah learning society. Terciptanya masyarakat gemar belajar (learning society) sebagai wujud nyata model pendidikan sepanjang hayat mendorong terbukanya kesempatan menuntut setiap orang, masyarakat, organisasi, institusi sosial untuk belajar lebih luas. Sehingga tumbuh semangat dan motivasi untuk belajar mandiri terutama dalam memenuhi kebutuhan belajar sepanjang hayat, dan memperkuat keberdayadidikan (educability) agar mampu mendidik diri dan lingkungannya. Konsep belajar sepanjang hayat (lifelong learning) sebagai landasan pendidikan non-formal telah menjadi suatu kebutuhan vital untuk kelangsungan hidup setiap individu, masyarakat dan bahkan bangsa. Peran dan tanggung jawab pembelajar, tutor secara gradual mengalami pergeseran ke warga belajar sehingga warga belajar dapat berperan lebih bebas dan proaktif serta bertanggungjawab dalam memahami dan mengendalikan diri dan lingkungannya. Pendidikan non-formal sebagai modes of learning, memberikan akses pendidikan dan belajar lebih luas kepada warga belajar. Oleh karena itu, warga belajar berpeluang memiliki daya suai (adaptability), daya-lentur (flexibility), kapasitas inovatif dan “entrepreneurial attitudes and aptitudes.” Sehingga warga belajar tertantang mencari dan memperkuat “basic knowledge and competences, curiosity and motivations, critical and creative behaviors. ” untuk menciptakan situasi-situasi yang memungkinkan dirinya lebih mapan “to know how to learn, how to be, and know how to become : (a) Belajar berakhlak mulia; (b) Belajar untuk memahami; (c) Belajar berbuat; (d) Belajar hidup dalam kebersamaan; dan (e) Belajar mewujudkan jati diri.”

PEMBAHASAN A. Pentingnya Strategi Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Non Formal Strategi pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didisain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (J.R. David dalam Sanjaya, 2008:126). Selanjutnya dijelaskan strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien (Kemp dalam Sanjaya, 2008:126). Istilah strategi sering digunakan dalam banyak konteks dengan makna yang selalu sama. Dalam konteks pengajaran strategi bisa diartikan sebagai suatu pola umum tindakan guru-peserta didik dalam manifestasi aktivitas pengajaran (Ahmad Rohani, 2004 : 32). Sementara itu, Joyce dan Weil lebih senang memakai istilah model-model mengajar daripada menggunakan strategi pengajaran (Joyce dan Weil dalam Rohani, 2004:33). Nana Sudjana menjelaskan bahwa strategi mengajar (pengajaran) adalah “taktik” yang digunakan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar (pengajaran) agar dapat mempengaruhi para siswa (peserta didik) mencapai tujuan pengajaran secara lebih efektif dan efisien (Nana Sudjana dalam Rohani, 2004:34). Jadi menurut Nana Sudjana, strategi mengajar/ pengajaran ada pada pelaksanaan, sebagai tindakan nyata atau perbuatan guru itu sendiri pada saat mengajar berdasarkan pada rambu-rambu dalam satuan pelajaran. Berdasarkan pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa strategi pembelajaran harus mengandung penjelasan tentang metode/ prosedur dan teknik yang digunakan selama proses pembelajaran berlangsung. Dengan kata lain, strategi pembelajaran mempunyai arti yang lebih luas daripada metode dan teknik. Artinya, metode/prosedur dan teknik pembelajaran merupakan bagian dari strategi


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 267 Dr. Khomsun Nur Halim, M.Pd.

pembelajaran. Dari metode, teknik pembelajaran diturunkan secara aplikatif, nyata, dan praktis di kelas saat pembelajaran berlangsung. Strategi dan metode pengajaran merupakan salah satu komponen di dalam sistem pembelajaran, tidak dapat dipisahkan dari komponen lain yang dipengaruhi oleh faktor-faktor, antara lain : tujuan pembelajaran, materi ajar, peserta didik/siswa, fasilitas, waktu dan guru. Metode dan teknik di dalam kegiatan belajar mengajar bergantung pada tingkah laku yang terkandung di dalam rumusan tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, metode dan teknik pengajaran yang digunakan untuk tujuan yang menyangkut pengetahuan akan berbeda dengan metode dan teknik untuk tujuan keterampilan atau sikap. Contoh : 1) tujuan-tujuan yang menyangkut aspek pengetahuan ( siswa dapat menjelaskan cara penggunaan kosakata atau kalimat bahasa Inggris), 2) tujuan yang menyangkut aspek keterampilan (siswa dapat menggunakan kosakata atau pola kalimat bahasa Inggris dengan benar), 3) tujuan yang menyangkut dengan sikap (siswa menyadari pentingnya pengetahuan cara pemakaian kosakata atau kalimat bahasa Inggris dengan benar). Untuk tujuan yang pertama yaitu aspek pengetahuan dapat digunakan tanya jawab dan diskusi. Untuk tujuan kedua yaitu aspek keterampilan tentu saja perlu dipraktekkan bagaimana cara pemakaian kosakata atau pola kalimat bahasa Inggris baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan. Untuk tujuan ketiga, aspek sikap perlu memilih strategi yang lebih tepat, termasuk membiasakan pemakaian yang baik dan benar serta contoh dari guru. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan strategi pembelajaran : a.Faktor Tujuan Tujuan pengajaran menggambarkan tingkah laku yang harus dimiliki siswa setelah proses belajar mengajar selesai dilaksanakan. Tujuan merupakan faktor yang paling pokok, karena semua faktor

yang ada di dalam situasi pembelajaran termasuk strategi dan metode pengajaran, diarahkan dan diupayakan untuk mencapai tujuan. b. Faktor Materi Diliat hakekatnya, materi pembelajaran memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Karakteristik materi pembelajaran membawa implikasi terhadap penggunaan cara dan teknik dalam kegiatan belajar mengajar. Atas dasar inilah maka setiap bidang studi atau mata-mata pelajaran memiliki strategi yang berbeda dengan mata pelajaran lain, sehingga muncul metode khusus mata pelajaran, seperti metode matematika berbeda dengan metode IPS dan metode Bahasa. c. Faktor Siswa Siswa sebagai pihak yang berkepentingan di dalam proses belajar mengajar, sebab tujuan yang harus dicapai dalam kegiatan belajar mengajar adalah untuk mengubah prilaku siswa itu sendiri. Oleh karena itu, sangat tidak bijaksana bila proses belajar mengajar tidak didasarkan kepada faktor siswa itu sendiri. Strategi, metode dan teknik pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar, bergantung pada keadaan siswa. Maka dari itu perlu dipertimbangkan : siswa sebagai keeluruhan, siswa sebagai pribadi sendiri, dan tingkat perkembangan siswa. d. Faktor Waktu Faktor waktu dibedakan menjadi dua bagian, yaitu menyangkut jumlah waktu dan kondisi waktu. Hal yang menyangkut jumlah waktu ialah berapa lama waktu yang tersedia untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar untuk satu mata pelajaran (menit atau jam). Hal yang menyangkut dengan kondisi waktu ialah kapan atau pukul berapa pelajaran tersebut dilaksanakan (pagi, siang, atau malam). e. Faktor Guru Faktor guru adalah salah satu faktor yang memegang peranan penting diantara faktor-faktor yang ada. Pertimbangan semua faktor tersebut di atas akan sangat bergantung kepada kreativitas guru. Dedikasi dan kemampuan gurulah yang


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 268 Dr. Khomsun Nur Halim, M.Pd.

pada akhirnya mempengaruhi pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. (Rasdi Ekosiswoyo, 2007:76) B. Macam-macam Strategi Pemberdayaan Masyarakat Strategi pemberdayaan masyarakat dirumuskan berdasarkan hasil FGD, wawancara mendalam dengan keyperson. Berdasarkan hasil penelitian, maka didapatkan tiga strategi pemberdayaan masyarakat, yaitu : 1. Suplly lebih kecil dari Demand, Pelatihan ini adalah memberikan keterampilan kepada warga belajar yang dimulai dari dasar (keterampilan dasar) atau sesuai kemampuan yang sudah dimiliki sampai dengan masyarakat miskin yang menganggur memiliki keterampilan yang memadai sesuai dengan kebutuhan pasar, 2. Suplly sama dengan Demand, Pelatihan ini diberikan kepada warga belajar terutama untuk menumbuhkembangkan skill kewirausahaan karena warga belajar telah memiliki keterampilan sesuai dengan kebutuhan pasar, 3. Suplly tidak sama dengan atau lebih tinggi Demand, Pelatihan ini diberikan kepada warga belajar terutama untuk memfasilitasi peningkatan usaha atau memfasilitasi pencairan alternative pengembangan di luar kota Semarang karena warga belajar telah memiliki keterampilan tidak sama atau lebih tinggi dengan kebutuhan pasar (Todaro, 2000; Elchanan, 1979). Model strategi Peberdayaan Masyarakat berdasarkan hasil penelitian, model strategi pemberdayaan masyarakat untuk mewujudkan usaha mandiri bagi masyarakat

miskin menganggur yang belum maksimal. Untuk itu perlu disusun model strategi pemberdayaan masyarakat bagi masyarakat miskin. Model strategi pemberdayaan masyarakat disusun berdasarkan hasil sudi dan berdasarkan refrensi dari buku atau jurnal, model pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan oleh pemerintah. C. Model Strategi Pemberdayaan Masyarakat Model strategi pemberdayaan masyarakat yang selama ini telah dilakukan baik oleh pemerintah, agen pembaharu masih memiliki beberapa kelemahan. Pelaksanaan Model Strategi Pemberdayaan Masyarakat Model strategi pemberdayaan masyarakat dimaksudkan untuk mempermudah para agen pembaharu dalam melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat serta usaha mandiri bagi masyarakat miskin, menganggur dan memiliki potensi. Karena model strategi pemberdayaan tersebut merupakan sebuah proses dimana kegiatan dilaksanakan sesuai dengan model strategi yang telah dibentuk. Akibat belum terbangunnya model strategi pemberdayaan masyarakat maka, banyak program pemberdayaan yang tidak sesuai dengan sasaran serta tujuan yang diharapkan (Sihombing. 2005). Model strategi ini berlaku di wilayah perkotaan yang masyarakatnya memiliki tingkat ekonomi lemah (miskin) untuk diberdayakan agar memiliki keterampilan, pengetahuan dan sikap yang lebih baik, sehingga masyarakat miskin memiliki mata pencaharian dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. (Sunyoto, 2000; David, 2001)


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 269 Dr. Khomsun Nur Halim, M.Pd.

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Jayagiri pada tahun 2012 yang berjudul Strategi Optimalisasi Pemberdayaan Masyarakat Desa Tertinggal, diungkapkan beberapa strategi. Diantaranya adalah sebagai berikut : Strategi-1 Mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat desa tertinggal yang lebih proaktif, dinamis dan partisipatif, upaya yang dilakukan adalah : 1. Pendampingan oleh Fasilitator, memungkinkan warga masyarakat mampu mengidentifikasi kekuatankekuatan yang ada pada diri mereka, maupun mengakses sumber-sumber kemasyarakatan yang berada di sekitarnya. Pendamping juga biasanya membantu, membangun dan memperkuat jaringan dan hubungan antara komunitas setempat dan kebijakankebijakan pembangunan yang lebih luas. Para pendamping masyarakat harus memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai bagaimana bekerja dengan individu-individu dalam konteks masyarakat lokal, maupun bagaimana mempengaruhi posisi-posisi masyarakat dalam konteks lembaga-lembaga sosial yang lebih luas. 2. Melakukan koordinasi secara intensif tentang Program Pemberdayaan Masyarakat pada setiap jenjang Pemerintahan yaitu Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten, Kecamatan dan Desa untuk menyelaraskan kebijakan, strategi dan upaya-upaya percepatan pembangunan daerah tertinggal dalam rangka pemantapan ketahanan nasional. Koordinasi pelaksanaan Program

PNPM-Mandiri Perdesaan yang telah berlangsung dengan baik dapat terus dipertahankan dan menjadi contoh bagi programprogram pemberdayaan masyarakat lainnya di desa-desa tertinggal. 3. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat tertinggal baik melalui pendidikan dan pelatihan formal maupun non formal, dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan pemberdayaan kelembagaan masyarakat, pengetahuan pembangunan, maupun pengetahuan dan keterampilan dalam berusaha. Peningkatan pengetahuan masyarakat dilakukan mulai dari tingkat pendidikan anak usia dini melalui pemberdayaan masyarakat di setiap desa, pemerataan pembangunan sarana sekolah lanjutan pertama di desa dan sekolah menengah umum dan kejuruan di setiap kecamatan sampai pada jenjang perguruan tinggi, pemberian fasilitas beasiswa bagi peserta didik agar terus ditingkatkan supaya anak desa tertinggal dapat mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Tenaga pendidik di desa tertinggal juga harus lebih baik dan sama dengan kualitas tenaga pendidik yang berada di sekolahsekolah perkotaan. Fasilitas sekolah di desa yang lengkap dengan laboratorium dan perpustakaan sangat memungkinkan mempercepat kemajuan bidang pendidikan di desa-desa tertinggal. 4. Menyediakan pendanaan yang cukup, baik dari pemerintahan maupun dunia usaha. Hal ini diperlukan dalam pemberdayaan masyarakat diperlukan dana stimulan dan insentif bagi


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 270 Dr. Khomsun Nur Halim, M.Pd.

pelaksana pembangunan daerah tertinggal, agar dapat lebih meningkatkan gairah dan motivasi dalam pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat tertinggal. 5. Pemberdayaan masyarakat melalui kemitraan usaha dari BUMN/BUMD baik dalam pemberian bantuan teknis usaha maupun dalam pemberian bantuan permodalan dengan beban tidak memberatkan masyarakat. Bantuan permodalan yang diberikan baik menggunakan dana keuntungan usaha maupun dana Corporate Social Responsibility-CSR, serta kemitraan usaha lainnya seperti pemberian pinjaman modal dari BUMN/BUMD kepada para pengrajin industri kecil dari bagian keuntungan perusahaan sebagai kewajiban mereka untuk membantu masyarakat desa tertinggal. 6. Menyediakan sarana informasi dan komunikasi yang tepat agar setiap proses dan keberhasilan pembangunan daerah tertinggal melalui pemberdayaan masyarakat dapat dilihat, dipahami, diketahui bahkan dicontoh oleh masyarakat lainnya. Penyediaan informasi ini dapat berupa brosur, leflet, buku, papan informasi, radio, televisi, internet dan lainnya. Sarana informasi dan komunikasi juga diperlukan masyarakat untuk mendapat pengetahuan, informasi dan teknologi yang mungkin dapat diterapkan di desa tertinggal. Media sarana informasi seperti Internet Mobile sangat cocok disediakan pada desa-desa terpencil dan tertinggal yang belum memiliki fasilitas internet (warnet). Sudah saatnya Program Internet Masuk Desa

digalakkan oleh pemerintah termasuk desa-desa tertinggal yang dikelola melalui pemberdayaan masyarakat desa tertinggal. Strategi-2 Mendorong pemberdayaan perekonomian masyarakat desa tertinggal agar lebih berdaya, mandiri, memiliki kemampuan penguasaan teknologi dan pemasaran hasil, Upaya yang dapat dilakukan adalah : 1. Melakukan kerjasama yang intensif dengan perguruan tinggi, lembaga penelitian, dunia usaha, perbankan, koperasi dan pihak lembaga jasa keuangan (Perusahaan Lessing) lainnya untuk mempermudah masyarakat di desa tertinggal dalam mengakses permodalan, teknologi, dan pemasaran hasil produksi perekonomian masyarakat tertinggal. 2. Memberikan bantuan stimulan beberapa komoditas perekonomian kepada masyarakat desa tertinggal, berupa pemberian bantuan secara gratis benih padi, bibit karet, bibit kelapa sawit, bibit ternak, bibit ikan disesuaikan dengan potensi alam yang ada di desa tertinggal masingmasing, begitu juga bantuan sarana-prasarana pendukungnya yakni pupuk, pestisida, peralatan dan mesin, dan fasilitas pasar desa. 3. Pendampingan oleh petugas pendamping,


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 271 Dr. Khomsun Nur Halim, M.Pd.

fasilitator dan petugas penyuluh pertanian secara rutin dalam upaya membimbing masyarakat tani, peternak dan nelayan untuk meningkatkan usaha perekonomiannya di desa-desa tertinggal sampai pada pemasaran hasil. 4. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat tani-nelayan di desa tertinggal melalui kegiatan bimbingan teknis baik dilakukan oleh pemerintah daerah, pemerintah pusat maupun oleh perguruan tinggi, lembaga penelitian dan perusahaan besar yang berada di sekitar desa tertinggal. 5. Menyediakan fasilitas pemasaran seperti pasar hewan, pasar desa dan pasar kecamatan yang letaknya mudah dijangkau dari desa-desa tertinggal. 6. Menyediakan fasilitas skim kredit khusus untuk masyarakat desa tertinggal dengan persyaratan yang ringan, adanya penjaminan dan proses yang mudah dan cepat bagi masyarakat untuk mendapatkannya. Pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah pemberdayaan pemilikan faktor-faktor produksi, pemberdayaan penguasaan distribusi dan pemasaran, pemberdayaan masyarakat untuk mendapatkan gaji/upah yang memadai, dan pemberdayaan masyarakat untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan ketrampilan, yang harus

dilakukan pada beberapa aspek, baik dari aspek masyarakatnya sendiri, maupun aspek kebijakannya. Karena persoalan atau isu strategis perekonomian masyarakat bersifat lokal dan problem spesifik. Salah satu masalah yang dihadapi oleh masyarakat desa tertinggal adalah dalam hal akses untuk memperoleh modal. Dalam pasar uang, masyarakat perdesaan baik yang petani, buruh, pengusaha mikro, pengusaha kecil, dan pengusaha menengah, terus didorong untuk meningkatkan tabungan. Tetapi ketika mereka membutuhkan modal, mereka diperlakukan diskriminatif oleh lembaga keuangan. Sehingga yang terjadi adalah aliran modal dari masyarakat lemah ke masyarakat kuat. Lembaga keuangan atas posisinya sebagai perantara, maka di dalamnya berbagi resiko dengan nasabah peminjam, memberikan informasi kepada peminjam, dan menyediakan likuiditas. Kenyataan yang terjadi, kepada masyarakat lemah dan pengusaha kecil, perlakukan atas ketiga hal tersebut juga diskriminatif. Dan atas perlakuan yang tidak adil itu, masyarakat tidak memiliki kekuatan tawar menawar dengan pihak lembaga keuangan. Karena itu pemberdayaan masyarakat desa tertinggal juga diikuti dengan kemudahan mereka untuk mendapatkan akses modal dari perbankan. Penanganan kendala modal, kendala distribusi, dan kendala tanah tidak seluruhnya dapat dilakukan melalui upaya ekonomi semata. Karena banyak dimensidimensi politik yang harus ditangani. Oleh sebab itu, pemberdayaan perekonomian masyarakat tidak dapat dilakukan tanpa kebijakan politik.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 272 Dr. Khomsun Nur Halim, M.Pd.

Strategi-3 Mendorong pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan infrastruktur wilayah di desa tertinggal, upaya yang dapat dilakukan adalah : 1. Melakukan kerjasama pembangunan dengan pihak swasta yang memiliki kemampuan finansial dan fasilitas yang cukup guna melakukan pembangunan infrastruktur ke kawasan desadesa tertinggal. Pola yang dikembangkan adalah pola saling menguntungkan, serta dengan melibatkan masyarakat di sekitar lokasi pembangunan. Kerjasama ini dapat dilakukan dengan pemberian insentif kemudahan berinvestasi bagi usaha mereka yang terletak disekitar desa-desa tertinggal tersebut, seperti Perkebunan, Pertanian, Pabrik Industri dan lain-lain. 2. Menyediakan pendanaan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan di desa tertinggal secara terpadu antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah; Kebutuhan dana Pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan sangat besar, karena itu perlu dukungan terpadu dengan pemerintah pusat dan provinsi dalam pembangunan jalan dan jembatan ke desa-desa tertinggal. Desa tertinggal dan terisolir umumnya berada di daerah perairan yang berawa-rawa, berbukit dan pegunungan sehingga untuk membangun sarana jalan dan jembatan memerlukan dana yang sangat besar dan sangat membebani APBD Kabupaten tertinggal, karena itu diperlukan keterpaduan pendanaan bersama antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten tertinggal.

3. Mengikutsertakan dan memberdayakan masyarakat mulai dari tahap perencanaan dan persiapan melalui musyawarah perencanaan pembangunan desa dan kecamatan, dan pelaksanaan pembangunan secara padat karya atau menggunakan tenaga kerja lokal setempat agar masyarakat mempunyai rasa memliki pada hasil pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan tersebut, sehingga mereka dapat ikut membantu dalam pemanfaatan dan pemeliharaannya. Dengan demikian maka sarana jalan dan jembatan yang dibangun akan dapat bertahan lama dan dapat terpelihara dengan baik. 4. Memberdayakan kelembagaan masyarakat di desa tertinggal dalam proses pembangunan infrastruktur baik manajemen, pengelolaan, pengawasan, dan pemeliharaan. Pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan dengan cara padat karya atau system upah kepada kelompok kerja masyarakat desa itu sendiri. 5. Menyediakan infrastruktur lainnya seperti Sarana Pendidikan yang mudah dijangkau masyarakat desa tertinggal yang dilengkapi dengan keberadaan tenaga pendidik yang profesional, Sarana Kesehatan berupa Poskesdes atau Pustu di desa dilengkapi dengan sarana peralatan medis dan obat yang lengkap serta tenaga medis (Bidan dan Perawat) yang profesional, Sarana Air Bersih berikut sanitasi lingkungan, saluran drainase untuk mengantisipasi terjadinya banjir, dan sarana irigasi desa pada desa-desa potensi pertanian.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 273 Dr. Khomsun Nur Halim, M.Pd.

D. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat Dalam pemberdayaan masyarakat yang dalam kesempatan kali ini dilakukan melalui pendidikan nonformal bertujuan untuk membuat masyarakat menjadi mandiri, dalam arti memiliki potensi untuk mampu memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi, dan sanggup memenuhi kebutuhannya dengan tidak menggantungkan hidup mereka pada bantuan pihak luar, baik pemerintah maupun organisasi-organisasi nonpemerintah. Bantuan technical assistance jelas mereka perlukan, akan tetapi bantuan tersebut harus mampu membangkitkan prakarsa masyarakat untuk membangun bukan sebaliknya justru mematikan prakarsa. Dalam hubungan ini, kita dituntut menghargai hak-hak masyarakat yaitu Right of self – Determination dan Right for Equal Opportunity. Hak untuk menentukan sendiri untuk memilih apa yang terbaik bagi masyarakat, serta hak untuk memperoleh kesempatan yang sama untuk berkembang sesuai dengan potensi-potensi yang mereka miliki, melalui pendidikan non-formal tersebut. (Rasdi Ekosiswoyo,2007:54) E. Pelaksanaan Pemberdayaan Masyarakat Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat melalui Pendidikan Nonformal dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan. Ada beberapa pendekatan yang perlu dipergunakan dalam pendidikan non formal yang menekankan pada proses pemberdayaan antara lain yang dikemukakan oleh Kindervatter dalam Kusnadi (2007:222) terdiri atas : 1. Community organization, yaitu karakteristik yang mengarah pada tujuan untuk mengaktifkan masyarakat dalam usaha meningkatkan dan mengubah keadaan sosial ekonomi mereka. Hal yang perlu diperhatikan antara lain (a) Peranan partisipan

ikut terlibat dalam kepengurusan atau tugas kelompok; (b) peranan tutor hanya sebagai perantara, pembimbing dan motivator serta fasilitator; (c) metode dan proses mengutamakan metode pemecahan masalah, mengorganisasi masyarakat sebagai kekuatan dasar. 2. Participatory approaches, yaitu pendekatan yang menekankan pada keterlibatan setiap anggota dalam seluruh kegiatan, perlunya melibatkan para pemimpin, tokoh masyarakat serta tenagatenaga ahli setempat. 3. Education for justice, yaitu pendekatan yang menekankan pada terciptanya situasi yang memungkinkan warga masyarakat tumbuh dan berkembang analisisnya serta memiliki motivasi untuk ikut berperan serta. Sedangkan menurut Sudjana (2000), agar dapat pendidikan nonformal dapat memberdayakan masyarakat maka harus dilaksanakan berdasar lima strategi dasar yaitu : 1. Pendekatan kemanusiaan (humanistic approach), masyarakat dipandang sebagai subjek pembangunan dan masyarakat diakui memiliki potensi untuk berkembang sedemikianrupa ditumbuhkan agar mampu membangun dirinya. 2. Pendekatan partisipatif (participatory), mengandung arti bahwa masyarakat, lembagalembaga terkait dan atau komunitas dilibatkan dalam pengelolaan dan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. 3. Pendekatan kolaboratif (collaborative approach), dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat perlu adanya kerjasama dengan pihak lain


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 274 Dr. Khomsun Nur Halim, M.Pd.

(terintegrasi) dan terkoordinasi dan sinergi. 4. Pendekatan berkelanjutan (continuing approach), yaitu pemberdayaan masyarakat harus dilakukan secara berkesinambungan dan untuk itulah pembinaan kader yang berasaldari masyarakat menjadi hal yang paling pokok, dan 5. Pendekatan budaya (cultural approach), penghargaan budaya dan kebisaan, adat istiadat yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat adalah hal yang perlu diperhatikan. Berdasarkan lima pendekatan diatas, jika dipahami betul oleh para agent pembaharu (social change), termasuk didalamnya tenaga kependidikan Pendidikan Nonformal, akan memberikan kemudahan dalam menganalisis, mengembangkan dan melaksanakan program-program-program Pendidikan Nonformal atau Pendidikan Nonformal yang sesuai serta dibutuhkan warga masyarakat. Artinya program pendidikan yang dilaksanakan menyentuh dan mengangkat warga belajar/ masyarakat menjadi lebih baik dalam kehidupannya yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan (ekonomi), kesadaran akan lingkungan sosialnya atau warga belajar/masyarakat yang mengerti dan memahami bagaimana membangun dirinya (memberdayakan dirinya). F. Pendidikan Nonformal 1. Pengertian Pendidikan Nonformal Pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sistem pendidikan persekolahan yang berorientasi pada pemberian layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang karena suatu hal tidak dapat mengikuti

pendidikan formal di sekolah. Pendidikan nonformal, dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Napitulupu (1981) menyatakan bahwa pendidikan nonformal merupakan setiap usaha layanan pendidikan yang diselenggarakandi luar sistem sekolah, berlangsung seumur hidup, dijalankan dengan sengaja, teratur, dan berencana yang bertujuan untuk mengaktualisasikan potensi manusia seutuhnya yang gemar belajarmengajar dan mampu meningkatkan taraf hidupnya. Coombs dan Ahmed (1971) menyatakan bahwa pendidikan nonformal (nonformal education) mengacu pada... any organized educationalactivity outside the established formal sistems whether operating separately or as an importsnt feature of some broader activity that is intented to serve idedntifiable clianteles and learning objektives. Pengertian ini dapat dijelaskan bahwa pendidikan nonformal merupakan aktivitas pendidikan yang terorganisir di luar sistem sekolah formal, yang dimaksudkan untuk melayani aktivitas dan tujuan belajar masyarakat. Pendidikan nonformal tidak berada dan bergerak dalam kedudukan dan latar yang statis, tetapi justru mengandung muatan energy yang proaktif. Ia harus menjadi variabel pimpinan (leader sector) dan sekaligus variabel pendukung (supporting sector) dalam pelbagai situasi dan kondisi masyarakat yang heterogen. Berikut disampaikan beberapa batasan pengertian tentang pendidikan nonformal. Philip Combs menegaskan bahwa pendidikan nonformal adalah setiap pendidikan yang terorganisasi di luar sistem pendidikan formal, diselenggarakan secara tersendiri atau merupakan bagian penting dari suatu kegiatan yang lebih luas, yang


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 275 Dr. Khomsun Nur Halim, M.Pd.

ditujukan pada warga belajar di dalam mencapai tujuan belajarnya (WP. Napitupulu, 2002). Di pihak lain ada penjelasan bahwa pendidikan nonformal adalah setiap kegiatan pendidikan yang diorganisasikan di luar sistempersekolahan, baik yang diselenggarakan secara terpisah maupun secara terpadu untuk kegiatan-kegiatan yang amat penting dalam rangka untuk melayani peserta didik mencapai tujuan belajarnya (non formal education : any organized educational activity outside the established formal sistem, weather operating separately or as an important feature of some broader activity, that is intended to serve identifiable learning clienteles and learning objectives). (Tim Simkins, 2002). Pendidikan nonformal hampir selalu berurusan dengan usaha bimbingan, pembinaan dan pengembangan warga masyarakat yang mengalami keterlantaran pendidikan, dari keadaan yang kurang tahu menjadi tahu, dari kurang trampil menjadi trampil, dari kurang melihat ke masa depan menjadi seorang yang memiliki sikap mental pembaharuan dan pembangunan (WP. Napitupulu, 2002). Di dalam kegiatannya, hampir setiap program pendidikan nonformal selalu berupa kegiatan untuk mengubah sikap mental dan pola berpikir warga masyarakat dari apa yang ada sekarang ini ke arah apa yang seharusnya ada, menyadarkan orang untuk memahami keadaan dirinya agar ia bisa mengaktualisasikan dirinya tanpa bantuan orang lain, dengan semboyan “help the people to help them selves� dalam upaya untuk memperoleh lapangan pekerjaan dan untuk meningkatkan pendapatan. 2. Objek Pendidikan Nonformal Terutama Masyarakat yang Tidak Beruntung Program yang diselenggarakan melalui pendidikan nonformal dimaksudkan untuk melayani berbagai kebutuhan belajar mengajar masyarakat yang karena sesuatu hal tidak memperoleh kesempatan belajar di sekolah formal (Coombs, 2005). Kebutuhan

belajar yang dimaksud mencakup kesehatan, nutrisi, keluarga berencana, dan kebutuhan lain untuk memperbaiki kehidupan keluarga, mengembangkan sikap positif dan watak personal, meningkatkan produktivitas ekonomi, pendapatan keluarga, kesempatan pekerjaan, dan memperkuat institusi keswadayaan, pengaturan diri (selfgovernment), dan partisipasi masyarakat. Sementara itu, sasaran atau objek dalam program pendidikan nonformal mencakup bayi, anak usia dini, remaja, pemuda, orang dewasa dan orang tua. Evans (1979:43) menyatakan bahwa non-formal (out-of school) education is any non-school learning where both the source and the learner have conscious intent to promote learning. Pengertian ini mengindikasikan bahwa pendidikan nonformal merupakan aktivitas belajar yang berlangsung di luar sistem persekolahan, sumber belajar maupun warga belajar memiliki tujuan yang sama, yakni meningkatkan belajar. Jadi, pendidikan nonformal merupakan program pendidikan yang tidak mengenal umur. Sehubungan dengan itu, maka di dalam masyarakat bisa dijumpai adanya berbagai macam bentuk program pendidikan nonformal, seperti : 1. Program pendidikan pertanian yang meliputi pendidikan ketrampilan untuk usaha cocok tanam, beternak, memelihara ikan, berkebun, juga usaha untuk memelihara hutan, 2. Program pendidikan dan ketrampilan untuk mengolah hasil pertanian, peternakan, perikanan, hasil perkebunan dan hutan, 3. Program pendidikan teknologi dan mekanisasi dalam usaha pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, hasil perkebunan dan hutan, 4. Program pendidikan pertukangan, baik untuk tukang kayu maupun tukang batu, perbengkelan, baik bengkel las, bengkel sepeda/sepeda motor, bengkel mobil, reparasi radio dan lain-lain,


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 276 Dr. Khomsun Nur Halim, M.Pd.

5. Program pendidikan motongmemotong pakaian dan menjahit, memotong rambut, merias temanten dan kecantikan, pendidikan mengemudi mobil, pendidikan bahasa dan lain-lain, 6. Program pendidikan magnetik, admisitrasi dan pembukuan, bank dan perkreditan, pendidikan komputer, pendidikan seni bela diri dan lainnya. (Joko sutarto,2007:55) Dalam perspektif pendidikan sepanjang hayat, pendidikan nonformal merupakan pengejawantahan dari konsep pendidikan sepanjang hayat untuk melayani kebutuhan masyarakat yang karena sesuatu hal tidak memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan di sekolah. Implimentasi konsep pendidikan nonformal dapat berupa aktivitas pendidikan yang terorganisir ataupun tidak, dan terlembagakan ataupun tidak. Peserta didik pendidikan nonformal mencakup anak usia dini (balita), anak-anak dan remaja, orang dewasa, dan lanjut usia (Sudjana, 2000). Isu tentang pemerataan pendidikan atau kesempatan memperoleh pendidikan bagi masyarakat luas (education for all) merupakan pendorong bagi “lahirnya kembali� atau “ dibangkitkan kembali� kegiatankegiatan pendidikan di dalam masyarakat di luar lingkungan keluarga dan di luar sistem persekolahan. Pengertian tentang pendidikan bagi semua intinya menekankan bahwa dalam kehidupan modern setiap orang memerlukan kesempatan untuk belajar, baik anak, pemuda, wanita-pria dan orang dewasa, karena itu pendidikan untuk semua meliputi : a. Pendidikan dasar bagi anak usia sekolah, b. Pendidikan keaksaraan dasar bagi pemuda, dan orang dewasa yang belum pernah mengikuti pendidikan dasar, dan c. Pendidikan berkelanjutan bagi pemuda dan orang dewasa untuk

terus menjadikan pendidikan yang telah diperolehnya disesuaikan dengan perkembangan dan bermanfaat bagi kehidupan dan pekerjaannya. Maka lahirlah kemudian apa yang dinamakan dengan kegiatan-kegiatan pendidikan nonformal, yang sesungguhnya telah ada sejak adanya masyarakat manusia. Jadi pendidikan nonformal ini lebih tua bila dibandingkan dengan sistem pendidikan persekolahan karena ia telah hidup lama dan menyatu di dalam kehidupan setiap masyarakat, jauh sebelum muncul dan memasyarakatnya sistem pendidikan persekolahan. Pada awalnya pendidikan nonformal berbentuk pondok pesantren, yang proses pembelajarannya diarahkan pada pengembangan potensi pengetahuan, sikap, keterampilan, nilai-nilai keagamaan dan pengembangan nilai moral. Pendidikan nonformal merupakan bentuk kegiatan pendidikan yang terorganisasi atau setengah terorganisasi yang berlangsung di luar sistem persekolahan, yang ditujukan untuk melayani sejumlah besar kebutuhan belajar dari berbagai kelompok penduduk. Pelayanan yang diberikan itu misalnya dalam bentuk pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang relevan dan fungsional, agar mereka mampu meningkatkan mutu dan taraf hidup serta mampu berpartisipasi aktif, positif dan kreatif dalam pembaharuan dan pembangunan Negara/bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (WP. Napitupulu,1982).

3. Tujuan Pendidikan Nonformal Sistem Pendidikan Nasional hanya merupakan salah satu sistem dari pembangunan nasional, yang sengaja dirancang dengan penuh kesadaran dan dilaksanakan dengan sengaja dalam rangka untuk mencapai tujuan nasional dalam bidang pendidikan. Pendidikan nonformal sebagai subsistem dari sistem pendidikan nasional, diselenggarakan bersama-sama oleh


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 277 Dr. Khomsun Nur Halim, M.Pd.

pemerintah dan masyarakat, mempunyai tujuan untuk : 1. Meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa 2. Meningkatkan kecerdasan dan keterampilan 3. Mempertinggi budi pekerti 4. Memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air. 5. Menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri, serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Ini berarti bahwa pendidikan nonformal harus bisa membina dan mengembangkan potensi mental dan secara fisik selaras seimbang dan serasi bagi warga masyarakat supaya menyadari kodratnya sebagai makhluk Tuhan dan sebagai makhluk biologis. Sebagai makhluk Tuhan, diharapkan warga masyarakat memiliki daya kendali bagi tingkah laku dan perbuatannya; sebagai makhluk biologis, diharapkan agar warga masyarakat memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi tenaga yang produktif dalam rangka pembangunan. Pendidikan nonformal harus mampu mengaktualisasikan setiap potensi waraga masyarakat untuk menjadi manusia yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab akan sikapnya di dalam upaya untuk meningkatkan mutu dan taraf hidupnya. Seluruh program dan kegiatan pendidikan nonformal harus diarahkan untuk membebaskan warga masyarakat dari dalam pikiran yang dogmatis dan kaku, dari cara berpikir yang tradisional dan negatif, menjadi manusia yang mampu menemukan alternative dan berani mengambil keputusan untuk merintis pola hidup baru yang sesuai dengan kemampuan diri dan lingkungannya : Pendidikan nonformal harus dirancang agar mampu meningkatkan keterampilan warga masyarakat guna memanfaatkan dan mendayagunakan segala sumber yang ada di lingkungannya, untuk membangun hidupnya (Harsja W. Bachtiar,2005;15)

Dari apa yang sudah diuraikan di atas dapat disebutkan disini tujuan pendidikan nonformal adalah sebagai berikut : 1. Mengembangkan sikap dan kepribadian bangsa demi terwujudnya manusia Indonesia yang ber-Pancasila, yang memiliki kesadaran terhadap Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kesadaran bermasyarakat, mempunyai pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan, mempunyai sikap makarya serta mampu membudayakan alam sekitarnya. 2. Mengembangkan sumber daya manusia, baik daya fisiknya, dan pikirnya, daya cipta, rasa, dan karyanya (Sanapiah Faisal,1981). 3. Mengembangkan secara selaras, serasi dan seimbang kecerdasan sikap, kreativitas dan keterampilan dalam upaya meningkatkan mutu taraf hidup warga masyarakat bangsa dan negara (Harsja W. Bachtiar,1985). Secara ringkas bisa disebutkan bahwa tujuan program pendidikan nonformal adalah untuk merubah sikap mental dan pola berpikir warga masyarakat agar memiliki aktivitas dan kreativitas dalam berbagai bidang kehidupan, memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan sebagai syarat untuk meningkatkan mutu dan taraf kehidupan. 4. Pelaksanaan Pendidikan Nonformal dalam Kehidupan Masyarakat Pendidikan Nonformal dapat diselenggarakan melalui : - Kelompok Bermain - Taman Penitipan Anak (TPA) - Lembaga Kursus - Sanggar Pelatihan - Lembaga Pelatihan - Kelompok Belajar - Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) - Majelis Taklim - Posdaya


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 278 Dr. Khomsun Nur Halim, M.Pd.

-

Pelatihan Secara khusus disebutkan dalam pasal 26 ayat 5 bahwa kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup,dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kursus dan pelatihan diperjelas dalam penjelasan pasal 26 ayat 5 sebagai bentuk pendidikan berkelanjutan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dengan penekanan pada penguasaan keterampilan, standar kompetensi, pengembangan sikap kewirausahaan serta pengembangan kepribadian profesional. Kusus dan pelatihan dikembangkan melalui sertifikasi dan akreditasi yang bertaraf nasional dan internasional. Dari program – program Pendidikan Nonformal dalam pelaksanaannya masih menghadapi kendala antara lain : 1. Pendidikan anak usia din belum mendapat perhatian yang proporsional dibandingkan dengan pendidikan lainnya, seperti halnya pendidikan dasar 2. Masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran orangtua/masyarakat terhadap pentingnya PAUD, 3. Belum optimalnya sosialisasi PAUD keseluruh lapisan masyarakat 4. Masih lemahnya peran serta masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan kejar Paket A, B dan C 5. Program pendidikan kesetaraan masih dipandang sebelah mana, bila dibandingkan dengan pendidikan formal, masih ada instansi yang belum tahub ahwa penghargaan terhadap ijazah

Paket A,B, dan C sama dengan ijazah pendidikan formal 6. Lambatnya penangnan pemberantasan buta aksara karena kendala data yang tidak valid serta usia warga belajar 7. Adanya warga masyarakat yang sudah melek huruf kembali buta aksara karena kemampuannya tidak pernah digunakan 8. Masih adanya dea tertinggal di bidang pendidikan (masih ada yang buta aksara, putus sekolah, tidak memilik ketrampilan / keahlian) 9. Masih adanya bias jender disetiap jenjang/jenis, pekerjaan dan kesempatan serta 10. Tidak tepat sasaran dana (jumlah, penyaluran, pemanfaatan) dan waktu pelaksanaan dari bantuan /block grant yang diberikan pemerintah. (lihat Hatimah,2007) Untuk mengatasi persoalan diatas maka dibutuhkan model pengembangan Pendidikan Nonformal yang mencoba mengintegrasikan dari berbagai program yang direncanakan oleh pemerintah tidak berjalan sendiri – sendiri, yang berakibat hasilnya tidak optimal,, Pengintegrasian dapat dilakukan antara program pemberantasan buta aksara dengan program life skill, atau semua program yang ditawarkan pemerintah harus diintegrasikan dengan program kecakapan hidup, sehingga akan menghasilkan output yang diharapkan yaitu sumberdaya manusia yang berakhlak mulia, cerdas, trampil, dan mandiri dan ini merupakan tantangan bagi petugas Pendidikan Nonformal termasuk penilik Pendidikan Luar Sekolah untuk memikirkan bagaimana sebaiknya.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 279 Dr. Khomsun Nur Halim, M.Pd.

DAFTAR PUSTAKA Coom,Philip H, dan Jacques Hallak. 2005.Managing Eductaion Cost.New Yorl Oxford University Press Coom,Philip H.2004.Memerangi Kemiskinan di Pedesaan melalui Pendidikan Non-Formal (terjemahan).Jakarta:CV.Rajwali Harsja W.Bachtiar. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat.Yogyakarta: Pustaka Pelajar Mundzir,S.2010.Pendidikan Nonformal dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan.Malang:FIP Universitas Negeri Semarang, pendidikankarier.blogspot.com Napitupulu,WP.2002.Eksistensi dan Peran Pendidikan Non-Formal.Jakarta : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Kusnadi,dkk.2005.Pendidikan Keaksaraan, Filosofi, Strategi, Implementasi, Jakarta:Direktorat Pendidikan Masyarakat. Tilaar H.A.R.2000.Paradigma Baru Pendidikan Nasional.Jakarta:Rineka Cipta Sudjana, D.2000. Pendidikan Luar Sekolah, Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah, Teori Pendukung, Asas.Bandung:Falah Productions


PERAN DUNIA USAHA DAN INDUSTRI (DUDI) DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

WIWIN HERWINA Universitas Siliwangi Tasikmalaya lkp.yuwita@yahoo.co.id Abstrak Pengembangan Masyarakat (Community Development) merupakan proses membangun atau memperkuat struktur masyarakat (komunitas) agar menjadi suatu entitas yang otonom dan bisa menyelenggarakan kehidupannya serta melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia (human needs). Untuk melakukan pengembangan masyarakat dibutuhkan kehadiran dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Masyarakat dan DUDI merupakan sisi mata uang yang jelas keduanya tidak dapat dipisahkan. Dalam proses pengembangan sumber daya manusia, dibutuhkan kemitraan antara masyarakat dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Kemitraan dapat dilakukan dalam transfer teknologi, transfer pengetahuan/keterampilan, transfer sumberdaya (manusia), transfer cara belajar (learning exchange), transfer modal, atau berbagai hal yang dapat diperbantukan sehingga terpadu dalam wujud yang utuh. Dunia usaha dan industri merupakan lembaga ekonomi yang dapat dijadikan mitra (kerjasama) dalam pengembangan usaha yang dilakukan masyarakat, terutama dalam membina (kontrol), mengelola, memasarkan produk. Setelah terjalin kemitraan antara masyarakat dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI), maka dilakukan kegiatan pendampingan. Pendampingan mempunyai tujuan membantu individu masyarakat dan atau kelompok dalam pengembangan usahanya (mengoptimalkan potensinya) agar mampu mandiri antara lain memiliki sumber usaha yang tetap dan layak, sehingga dapat menjadi pengusaha yang berhasil dalam lingkungannya. Kata kunci: DUDI, pengembangan masyarakat

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 281 Wiwin Herwina

PENDAHULUAN

Pengembangan masyarakat merupakan kemampuan suatu negara atau suatu bangsa untuk terus berkembang baik secara kualitatif atau kuantitatif yang mencakup seluruh segi kehidupan bernegara dan bermasyarakat dan karena tidak berkembang hanya dalam arti peningkatan taraf hidup saja akan tetapi dalam segi kehidupan lainnya, manusia bukan hanya makhluk ekonomi, akan tetapi juga makhluk sosial dan makhluk politik. Oleh karena itu perlu diadakan perubahan struktur ekonomi dan non ekonomi. Pengembangan masyarakat pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan potensi masyarakat agar mampu meningkatkan kuwalitas hidup yang lebih baik bagi seluruh warga masyarakat melalui kegiatankegiatan swadaya. Memberdayakan masyarakat bertujuan "mendidik masyarakat agar mampu mendidik diri mereka sendiri" atau "membantu masyarakat agar mampu membantu diri merekka sendiri". Hal ini berarti bahwa di dalam proses pemberdayaan yang terjadi, masyarakat berperan secara aktif didalam mendesain dan merancang bentuk pemberdayaan itu sendiri. Untuk mencapai tujuan ini, faktor peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan formal dan nonformal perlu mendapat prioritas. Dengan demikian akan dicapai satu hasil pemberdayaan masyarakat dalam bentuk masyarakat yang mandiri, berswadaya, mampu mengadopsi inovasi, dan memiliki pola pikir yang kosmopolitan. Untuk melakukan pengembangan masyarakat dibutuhkan kehadiran dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Masyarakat dan DUDI merupakan sisi mata uang yang jelas keduanya tidak dapat dipisahkan. Dengan ini sudah barang tentu DUDI tidak pantas hanya menengadahkan tangannya ke atas, menunggu turunnya kualitas sumber daya masyarakat yang bermutu untuk menjadi SDM-nya. Minimal 5% dari dana keuntungan DUDI sepantasnya dapat dialokasikan untuk pengembangan masyarakat. Sudah saatnya kita bersatu, bekerjasama, saling membantu dan saling memperkuat sektor yang sudah baik untuk kemajuan bangsa PEMBAHASAN Pengembangan Masyarakat (Community Development) yang merupakan proses membangun atau memperkuat struktur masyarakat (komunitas) agar menjadi suatu

entitas yang otonom dan bisa menyelenggarakan kehidupannya serta melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia (human needs). Jadi, bagian penting dari program-program Pengembangan Masyarakat adalah upaya-upaya untuk mewujudkan desentralisasi dan otonomi masyarakat (sosial-budaya, ekonomi, politik). Pengembangan masyarakat memiliki fokus terhadap upaya menolong anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pengembangan masyarakat dapat didefinisikan sebagai metoda yang memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses�proses yang mempengaruhi kehidupannya (AMA, 1993). Pengembangan Masyarakat (Community Development) diselenggarakan dengan tujuan untuk mencapai kondisi masyarakat dimana transformasi sosial-budaya, politik, ekonomi, teknologi, dapat dilaksanakan oleh masyarakat secara berkelanjutan. Ada 3 karakter umum program Pengembangan Masyarakat (Community Development), yaitu4: (1) berbasis masyarakat (community-base) atau masyarakat sebagai pelaku utama (subyek) dalam perencanaan dan pelaksanaan program; (2) berbasis sumberdaya setempat (local resourcesbase), yaitu penciptaan kegiatan dengan melihat potensi sumberdaya (alam, manusia) yang ada; dan (3) berkelanjutan (sustainable) yaitu program berfungsi sebagai penggerak awal pembangunan yang berkelanjutan. Sasaran yang ingin dicapai oleh program Pengembangan Masyarakat (Community Development) adalah: pengembangan kapasitas masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sasaran pertama, dilakukan dengan upaya pemberdayaan (empowerment) masyarakat agar mereka dapat melakukan transformasi ekonomi, teknologi, dan sosial-budaya. Penguatan biasanya dilakukan terhadap institusi-institusi lokal yang ada dan berkembang di masyarakat, agar bisa menjadi simpul-simpul kepentingan masyarakat yang mampu bekerjasama dengan pihak lain (pemerintah dan swasta/industri) sehingga bersama-sama dapat membangun struktur masyarakat yang lebih baik. Pengembangan masyarakat (community development) dipandang sebagai strategi yang tepat untuk memberdayakan dan menigkatkan taraf hidup masyarakat luas. Namun perlu

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 282 Wiwin Herwina diingat bahwa setiap masyarakat mempunyai tradisi dan adat-istiadat yang berbeda, yang dapat menjadi potensi yang dapat dikembangkan sebagai modal sosial. Untuk itu dalam upaya pengembangan masyarakat, dibutuhkan strategi dan pendekatan yang tepat. Selain itu, perlu juga dilakukan pembahasan pengembangan masyarakat dalam konteks beragam pendekatan yang dapat dipandang sebagai cara-cara alternatif dalam melaksanakan pengembangan masyarakat. Strategi pengembangan masyarakat yang di ungkapkan Chin dan Benne (1961) dalam Nasdian (2006) antara lain rationalempirical, normative-reeducative dan powercoorcive. Rational-empirical menitik beratkan pada basis riset oleh beberapa ahli. Sedangkan normative-reeducative lebih terkait dengan sikap dan sistem nilai warga komunitas. Berbeda dengan kedua strategi tersebut, powercoercive lebih terkait dengan hubungan relasi kekuasaan dimana kekuasaan tersebut cenderung dipaksakan kepada komunitas. Asumsi-asumsi dasar strategi pengembangan masyarakat pada production centered development menyatakan bahwa asumsi tentang masyarakat dipandang sebagai komunitas yang tradisional dan memiliki pengetahuan yang rendah. Maka untuk memajukan komunitas tersebut diperlukan pengetahuan dari luar. Konsekuensi perencanaannya bersifat top-down, sentralistis, direncanakan oleh tenaga ahli dan lebih mengutamakan perencanaan pertumbuhan ekonomi makro. Konsekuensi perlakuan terhadap masyarakat memposisikan tenaga ahli sebagai pihak yang dilayani oleh masyarakat sehingga berimplikasi pada kehidupan sosial lebih menutupi realitas yang ada. Sedangkan tipe people centered development mengasumsikan masyarakat (komunitas) dibangun bukan karena mereka bodoh atau tidak mampu tetapi kemampuan yang dimiliki dioptimalkan sesuai dengan pengetahuan lokal dan teknologi tepat guna sebagai basis pengembangan masyarakat. Konsekuensi dari perencanaan ini menekankan pada aspek lokalitas, perencanaan secara otonomi berdasarkan lokalitas dan partisipasi masyarakat dan pemikiran otonomi ditekankan berdasarkan kebutuhan mikro. Sehingga konsekuensi perlakuan masyarakat memposisikan tenaga ahli sebagai fasilitator yang berimplikasi bagi kehidupan sosial yang lebih membuka realitas.

Pelaksanaan pengembangan masyarakat dapat dilakukan melalui penetapan sebuah program atau proyek pembangunan. Secara garis besar, perencanannya dapat dilakukan dengan mengikuti 6 langkah perencanaan, yaitu: 1. Perumusan masalah. Pengembangan masyarakat dilaksanakan berdasarkan masalah atau kebutuhan masyarakat setempat. Beberapa masalah yang biasanya ditangani oleh pengembangan masyarakat dalam kesehatan antara lain perilaku hidup bersih dan sehat, health seeking behaviour, deteksi dini, dan lain-lain. Perumusan masalah dilakukan dengan menggunakan penelitian (survey, wawancara, observasi), diskusi kelompok, rapat desa, dan sebagainya. 2. Penetapan program. Setelah masalah dapat diidentifikasi dan disepakati sebagai prioritas yang perlu segera ditangani, maka dirumuskanlah program penanganan masalah tersebut. 3. Perumusan tujuan. Agar program dapat dilaksanakan dengan baik dan keberhasilannya dapat diukur perlu dirumuskan apa tujuan dari program yang telah ditetapkan. Tujuan yang baik memiliki karakteristik jelas dan spesifik sehingga tercermin bagaimana cara mencapai tujuan tersebut sesuai dengan dana, waktu dan tenaga yang tersedia. 4. Penentuan kelompok sasaran. Kelompok sasaran adalah sejumlah orang yang akan ditingkatkan kualitas hidupnya melalui program yang telah ditetapkan. 5. Identifikasi sumber dan tenaga pelaksana. Sumber adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menunjang program kegiatan, termasuk didalamnya adalah sarana, sumber dana, dan sumber daya manusia. 6. Penentuan strategi dan jadwal kegiatan. Strategi adalah cara atau metoda yang dapat digunakan dalam melaksanakan program kegiatan. 7. Monitoring dan evaluasi. Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk memantau proses dan hasil pelaksanaan program. Pendekatan pengembangan masyarakat akan dilaksanakan sangat tergantung pada kondisi masyarakat bersangkutan. Kondisi ini berasal dari sistem budaya masyarakat tersebut. Selanjutnya mempengarui cara berpikir dan respon mereka terhadap pengembangan atau pembangunan itu sendiri. Salah satu pendekatan

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 283 Wiwin Herwina

yang digunakan adalah pendekatan sumber daya manusia. Pendekatan ini mengarah pada sumberdaya manusia yang mengarah kepada peningkatan kwalitas manusianya baik fisik dan sphikis, atau dengan kata lain pengembangan sumberdaya manusia adalah tumbuhnya wiraswasta. Dalam proses pengembangan sumber daya manusia, dibutuhkan kemitraan antara masyarakat dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Kemitraan dalam lingkungan masyarakat Indonesia, merupakan sesuatu hal yang tidak asing untuk diterapkan, karena bangsa ini sudah mengenal kemitraan sejak berabad-abad lamanya meskipun dalam skala yang sederhana, seperti gotong royong, sambat sinambat, partisipasi, mitra cai, mitra masyarakat desa hutan, mitra lingkungan dll. Dalam manajemen modern, baik dalam pengembangan sumberdaya manusia maupuan pengembangan kelembagaan/usaha, kemitraan merupakan salah satu strategi yang biasa ditempuh untuk mendukung keberhasilan implementasi manajamen modern. Kemitraan tidak sekedar diterjemahkan sebagai sebuah kerjasama, akan tetapi kemitraan memiliki pola, memiliki nilai strategis dalam mewujudkan keberhasilan suatu lembaga dalam menerapkan manajemen modern. Kemitraan dalam implementasi manajemen modern kesepahaman pengelolaan program, kesepahaman strategi pengembangan program antar lembaga yang bermitra merupakan faktor utama yang pertama kali harus menjadi perhatian. Oleh karenanya diantara lembaga yang bermitra harus ada pelaku utama kegiatan, sebagai lembaga/orang yang bertanggungjawab terhadap keberhasilan program (kegiatan). Kemitraan dapat dilakukan dalam transfer teknologi, transfer pengetahuan/ keterampilan, transfer sumberdaya (manusia), transfer cara belajar (learning exchange), transfer modal, atau berbagai hal yang dapat diperbantukan sehingga terpadu dalam wujud yang utuh. Wujud nyata kemitraan dapat disepakati sebagai sebuah konsep kerjasama di mana dalam operasionalisasinya tidak terdapat hubungan yang bersifat sub-ordinasi namun hubungan yang setara bagi semua �parties�. Sehingga dalam konsepsinya kemitraan memiliki prinsip yang harus menjadi kesepahaman diantara yang bermitra dan harus ditegakkan dalam pelaksanaannya meliputi: prinsip partisipasi, prinsip gotong royong (sambat sinambat), prinsip keterbukaan

(transparancy), prinsip penegakkan hukum (hak dan kewajiban, mengarah pada right-obligation, reward and punishment) dan prinsip keberlanjutan (sustainability). Dunia usaha dan industri merupakan lembaga ekonomi yang dapat dijadikan mitra (kerjasama) dalam pengembangan usaha yang dilakukan masyarakat, terutama dalam membina (kontrol), mengelola, memasarkan produk. Hal ini dilakukan agar produksi yang dihasilkan masyarakat betul-betul berkualitas dan dapat diterima (sesuai standar) serta dipasarkan secara baik sehingga masyarakat mampu mengembangkan usahanya dalam skala yang lebih luas. Untuk kepentingan itulah kemitraan dalam pengembangan usaha masyarakat dengan DUDI sangatlah diperlukan bagi pengusaha kecil dan menengah. Tujuan jaringan kemitraan adalah untuk memperlancar dan mengoptimalkan segenap potensi yang ada dalam rangka penyelenggaraan program usaha, sehingga tujuan program tercapai sesuai dengan rencana awal. Di samping itu pula tujuan pengembangan model kemitraan adalah, memformulasikan model yang efektif tentang kemitraan penyelenggaraan program usaha masyarakat dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Manfaat kemitraan antara masyarakat dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI), yaitu: 1. Efisiensi dan efektifitas yaitu, memproduksi barang dalam jumlah yang diharapkan dengan mengurangi faktor input dan meningkakan produksi (output) dengan menggunakan sumberdaya dalam jumlah dan kualitas yang besar. 2. Jaminan mutu, jumlah dan keberlanjutan mulai dari penyedia input, proses hingga output yang dihasilkan. 3. Mengurangi risiko dan meningkatkan keuntungan 4. Memberi manfaat sosial 5. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan 6. Mendukung keberlangsungan program Lembaga mitra dalam hal ini koperasi dan himpunan pengusaha kecil dan menengah yang sudah ada atau secara langsung anggota pengusaha (individu anggota masyarakat) bermitra dengan DUDI. Peran lembaga organisasi dalam hal ini adalah: (a) Lembaga usaha/pengusaha, sebagai: penyelenggara, penyedia fasilitas, penyedia tutor, penyedia dana dan pasar, mitra usaha. (b) Lembaga hendaknya

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 284 Wiwin Herwina mampu menganalisis kemungkinankemungkinan pengembangan jaringan kemitraan dalam rangka program kegiatan. Di Indonesia perusahaan Berau Cool, perusahaan batubara di Kalimantan Timur memiliki satu divisi yang amat terkenal dengan nama Community Development (COMDEV) yang tugasnya melakukan pembangunan masyarakat, termasuk di dalamnya mengadakan diklat bagi guru-guru sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah, kerja sama dengan lembaga Inservice Training yang ada. DUDI memiliki karakteristik sebagai institusi yang sangat berorientasi kepada aspek kualitas dan aspek keuntungan. Fasilitas modern DUDI dapat menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda. Budaya kerja DUDI juga demikian. Maka untuk meningkatkan SDM semua elemen yang terkait dengan DUDI harus bersinergi adapun, ketiga elemen tripusat pendidikan ( bagan paradigma hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat DUDI) harus dalam sinergi untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan, dan dengan layanan pendidikan yang bermutu, akan dihasilkan lulusan yang bermutu, dan dengan lulusan yang bermutu itulah yang kemudian akan direkrut oleh DUDI untuk menjadi SDM yang bermutu yang akan mengabdikan diri untuk DUDI. Langkah-langkah pelaksanaan kemitraan antara masyarakat dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI), adalah sebagai berikut: 1. Identifikasi Intern Lembaga Pada tahapan ini lembaga mengidentifikasikan komponen-komponen yang belum dimiliki untuk penyelenggaraan program yang akan menjadi kebutuhan program, langkah awal yang harus dilakukan yaitu lembaga menilai komponen apa yang harus ada pada penyelenggaraan program tersebut, Contoh dalam penyelenggaraan program pelatihan peningkatan kualitas produksi, yang harus disiapkan di antaranya; gedung, perlengkapan, bahan ajar, peralatan, tenaga pelatih, peserta dan dana, dari kebutuhan yang diperlukan apakah sudah terpenuhi semua yang ada di lembaga, kalau ada yang belum terpenuhi itulah kebutuhan yang harus dipenuhi untuk pelaksanaan program. 2. Merumuskan aspek yang perlu dimitrakan Dari hasil kegiatan identifikasi langkah selanjutnya menyusun prioritas kebutuhan. Berdasarkan data hasil identifikasi, sehingga

dari kegiatan ini akan diketahui komponenkomponen mana yang akan dimitrakan terlebih dahulu berdasarkan tahapan kegiatan pelaksanaan program dan juga menyususn kriteria-kriteria hasil identifikasi lembaga dibuat aspek-aspek yang akan dibutuhkan untuk penyelenggaraan program, kebutuhan tersebut akan menjadi aspek yang akan dimitrakan dengan lembaga lain dan juga menentukan kriteria calon mitra. 3. Setelah diketahui komponen-komponen yang akan dimitrakan langkah selanjutnya mencari lembaga calon mitra yang sesuai dengan kebutuhan dan kriteria yang telah ditentukan. 4. Membuat Kesepakatan dengan lembaga Calon Mitra 5. Setelah ada calon yang ditentukan berdasarkan kriteria yang dibutuhkan langkah selanjutnya membuat kesepakatankesepakatan berkenaan dengan hak dan kewajiban mitra kerja, keputusan tersebut berdasarkan persetujuan kedua belah pihak. Selanjutnya membuat peraturan-peraturan yang disepakati bersama, yang akan menjadi pedoman kedua belah pihak dalam rangka melaksanakan jaringan kemitraan. Setelah terjalin kemitraan antara masyarakat dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI), maka dilakukan kegiatan pendampingan. Pendampingan adalah suatu kegiatan yang dilakukan seseorang yang bersifat konsultatif yaitu menciptakan suatu kondisi sehingga pendamping maupun yang didampingi bisa berkonsultasi memecahkan masalah bersama-sama, interaktif yaitu antara pendamping dan yang didampingi harus samasama aktif, komunikatif yaitu apa yang disampaikan pendamping atau yang di dampingi dapat dipahami bersama (persamaan pemahaman), motivatif yaitu pendamping harus dapat menumbuhkan kepercayaan diri dan dapat memberikan semangat/motivasi, dan negosiasi yaitu pendamping dan yang didampingi mudah melakukan penyesuaian. Pendampingan menekankan pada pemberian fasilitasi secara penuh terhadap masyarakat (pengusaha kecil dan menengah) dalam menerapkan kemampuan yang dikuasainya pada konteks lapangan uasaha. Pendampingan mempunyai tujuan membantu individu masyarakat dan atau kelompok dalam pengembangan usahanya (mengoptimalkan potensinya) agar mampu mandiri antara lain memiliki sumber usaha yang tetap dan layak, sehingga dapat menjadi

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 285 Wiwin Herwina

pengusaha yang berhasil dalam lingkungannya. Melalui pendampingan ini diharapkan masyarakat mendapatkan berbagai medium untuk belajar dan mewujudkan proses belajar sepanjang hayat sesuai dengan kondisi dan potensi yang tersedia di lingkungannya. Pendampingan terhadap warga masyarakat (pengusaha kecil dan menengah) dilakukan pada kelompok masing-masing. Setiap kelompok di fasilitasi oleh pendamping. Peran yang harus dilakukan oleh seorang pendamping disesuaikan dengan ruang lingkup pendampingnya, peran-peran yang harus dimainkan pendamping. adalah �sebagai fasilitator, motivator, dan katalisator�, Apabila diadaptasi dalam kagiatan pemberdayaan masyarakat dalam rangka pengutan kewirausahaan adalah sebagai berikut. a. Fasilitator Seorang pendamping diharapkan dapat mengkoordinasikan sumber daya yang ada di sekitar masyarakat, sumber daya tersebut terbagi kedalam sumber daya yang besifat menusiawi dan non manusiawi yang memungkinkan kegiatan dan pengembangan kewirausahaan dapat berkembang secara optimal. b. Motivator Keberhasilan seorang pendamping, yaitu ditentukan oleh kemampuan dalam memotivasi warga masyarakat, yakni kemampuan menggerakan warga masyarakat untuk dirinya demi kesejahteraan bersama. c. Katalisator Untuk menjembatani hubungan warga masyarakat (pengusaha kecil dan menengah) dengan masyarakat lain dan pengusaha besar DUDI, seorang pendamping dituntut untuk berperan secara aktif sebagai seorang penghubung. Agar dapat menjalankan perannya dengan baik, pendamping harus hadir ditengah-tengah warga masyarakat, hidup bersama warga masyarakat dan menyelami kehidupan warga masyarakat. Kehadiran secara teratur dapat membantu memecahkan masalah yang terjadi di kelompoknya demi pemberdayaan kelompok yang makin mantap kearah penemuan diri dan kepercayaan diri. d. Tugas Pendamping (rincian tugas pendampingan) 1) Melakukan identifikasi kebutuhan, analisis dan verifikasi data

2) Melakukan survey untuk memperoleh data dan fakta (empiris) daerah sasaran 3) Fasilitasi pelatihan keterampilan 4) Fasilitasi pengembangan kemandirian (wirausaha) 5) Fasilitasi dalam penyusuan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring program kegiatan

PENUTUP Pengembangan Masyarakat (Community Development) merupakan proses membangun atau memperkuat struktur masyarakat (komunitas) agar menjadi suatu entitas yang otonom dan bisa menyelenggarakan kehidupannya serta melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia (human needs). Pengembangan Masyarakat (Community Development) diselenggarakan dengan tujuan untuk mencapai kondisi masyarakat dimana transformasi sosial-budaya, politik, ekonomi, teknologi, dapat dilaksanakan oleh masyarakat secara berkelanjutan. Untuk melakukan pengembangan masyarakat dibutuhkan kehadiran dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Masyarakat dan DUDI merupakan sisi mata uang yang jelas keduanya tidak dapat dipisahkan. Dalam proses pengembangan sumber daya manusia, dibutuhkan kemitraan antara masyarakat dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Kemitraan dapat dilakukan dalam transfer teknologi, transfer pengetahuan/keterampilan, transfer sumberdaya (manusia), transfer cara belajar (learning exchange), transfer modal, atau berbagai hal yang dapat diperbantukan sehingga terpadu dalam wujud yang utuh. Dunia usaha dan industri merupakan lembaga ekonomi yang dapat dijadikan mitra (kerjasama) dalam pengembangan usaha yang dilakukan masyarakat, terutama dalam membina (kontrol), mengelola, memasarkan produk. Di Indonesia perusahaan Berau Cool, perusahaan batubara di Kalimantan Timur memiliki satu divisi yang amat terkenal dengan nama Community Development (COMDEV) yang tugasnya melakukan pembangunan masyarakat, termasuk di dalamnya mengadakan diklat bagi guru-guru sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah, kerja sama dengan lembaga Inservice Training yang ada. Setelah terjalin kemitraan antara masyarakat dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI), maka dilakukan kegiatan pendampingan. Pendampingan mempunyai

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 286 Wiwin Herwina tujuan membantu individu masyarakat dan atau kelompok dalam pengembangan usahanya (mengoptimalkan potensinya) agar mampu mandiri antara lain memiliki sumber usaha yang tetap dan layak, sehingga dapat menjadi pengusaha yang berhasil dalam lingkungannya. Melalui pendampingan ini diharapkan masyarakat mendapatkan berbagai medium untuk belajar dan mewujudkan proses belajar sepanjang hayat sesuai dengan kondisi dan potensi yang tersedia di lingkungannya. DAFTAR PUSTAKA Alan Barker, (2003), How to be Better at Managing People, Jakarta, Gramedia Anwar Prabu, (2000), Manajemen Sumber Daya Manusia, Bandung, Rosda Arif Budimanta dan Bambang Rudito, (2008), Metode dan Teknik Pengelolaan Community Development, cet. Ke II, Jakarta: CSD. Christenson, J.A. and Robinson, J.W. (1989). Community Development in Perspective. Iowa State University Press, Ames Iowa. Mukaram, M. (2000). Manajemen Sumber Daya Manusia. Pusat Penerbit Administrasi Negara. Politeknik Negeri Bandung. Rivai, A.RC, (2009), Pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan Non Formal, Bandung, Rosda Suwatno. (1996). Pengantar Manajemen Sumber Daya Manusia. Teori dan Aplikasi. Bandung: Jurusan Pendidikan Ekonomi FPIPS IKIP Bandung.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


MODEL PENGEMBANGAN KEMITRAAN PKBM Karta Sasmita Universitas Negeri Jakarta sasmita@unj.ac.id Abstrak Kajian ini dilatar belakangi oleh meningkatnya kebutuhan belajar masyarakat yang terus berkembang. Digital literacy, sebagai salah satu contoh kebutuhan belajar masyarakat masa kini. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai salah satu satuan PNF yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan belajar masyarakat. Pada kenyataannya, keberadaan PKBM masih terbatas, dan masih banyak PKBM yang mengalami kesulitan untuk menjalankan program-program pembelajaran. Hibah-hibah yang diberikan pemerintah masih sangat terbatas, bahkan cenderung menjadi ketergantungan. Sehingga perlu dikembangkan pola kemitraan PKBM yang dapat mendorong kemandirian lembaga. Ini merupakan kajian pustaka yang bertujuan untuk menemukan konsep pengembangan kemitraan PKBM yang tepat. Berdasarkan hasil kajian terdapat beberapa model kemitraan yang diperoleh dari beberapa sektor, kesehatan, ekonomi dan pendidikan. Model kemitraan dalam sektor kesehatan, sektor usaha (ekonomi) dan sektor Pendidikan formal dapat menjadi rujukan PKBM dalam mengembangkan kemitraan. Namun hal terpenting dari keseluruhannya adalah implementasi, dan implementasi membutuhkan kesungguhan komitmen, berani keluar dari zona nyaman, dan memiliki self efficacy yang tinggi. Kata kunci: Kemitraan, PKBM, model DEVELOPING PARTNERSHIPS OF COMMUNITY LEARNING CENTER (CLC) Abstract The study was based on the increasing learning needs of society, as well as Digital literacy, as one example the learning needs of today's society. The Community Learning Center (CLC) as one of the Nonformal Education was required to meet the learning needs of the community. In fact, the CLC number was still limited, and lack of capability. Many CLC’s were experiencing difficulties to run well learning programs. Grants has given by the government were still very limited, even it was tended to depend. So it is necessary to develop a partnership CLC to promote independence of the institution. This is a literature review that aims to discover a suitable concept of partnership development of the CLC. Based on the results of the study, there were several partnership models obtained from several sectors, health, economy and education. Model partnerships (in the health sector, the business sector (economy) and the formal education sector) could be a reference to CLC in developing partnerships. The most important thing was implementation. It was required a high commitment and self efficacy, althought venture out of comfort zone. Keywords: partnerships, CLC, model

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 288 Karta Sasmita PENDAHULUAN Latar Belakang Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan institusi terdepan dalam penyelenggaran pendidikan nonformal di Indonesia. PKBM telah diamanahkan negara dan masyarakat untuk membina masyarakat agar berdaya. Angka buta huruf di Indonesia telah berkurang signifikan melaui program pemberantasan buta aksara yang pelaksanaanya dilakukan oleh PKBM. Lembaga yang bergerak dalam pendidikan nonformal ini juga telah berupaya melakukan berbagai program pemberdayaan seperti Kelompok Usaha Mandiri, Keaksaraan Fungsional, dan Pendidikan Kesetaraan. Dukungan pemerintah terhadap PKBM mendorong perkembangan PKBM dalam beberapa tahun ini. Dukungan ini dapat terlihat seperti pemberian bantuan sosial untuk menyelenggarakan program-program pemberdayaan seperti keaksaraan usaha mandiri, keaksaraan fungsional, program peningkatan kecakapan hidup, dan lain sebagainya. Dukungan pemerintah untuk PKBM dalam menyelenggarakan pendidikan non formal juga mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam layanan pendidikan non formal. Setidaknya ribuan orang telah mengikuti ujian kesetaraan, bahkan mereka yang tidak lulus ujian di Sekolah Menengah Atas lebih memilih ikut ujian Paket C dibanding mengulang di sistem yang sama. PKBM didirikan dan dikembangkan oleh berbagai pihak baik oleh masyarakat, lembaga (organisasi) sosial kemasyarakatan, keagamaan, maupun yang dibangun oleh pemerintah khususnya Dinas Pendidikan kabupaten kota serta dinas pendidikan kecamatan melalui Penilik Dikmas dan Pemerintah Desa/Kelurahan. Namun persoalan-persoalan yang melingkupi di dalamnya terus saja terjadi, hal ini diakibatkan oleh banyaknya PKBM yang didirikan bukan atas dasar kebutuhan masyarakat akan tetapi dibangun atas dasar kepentingan menyerap program pemerintah semata. Di samping itu pula PKBM belum benar-benar memainkan peranan sebagai fasilitator yang melakukan empowerment terhadap masyarakat. Bahkan masih banyak ditemukan PKBM yang dibentuk secara rekayasa. (Imam Prihadiyoko, Kompas, 13 Juni 2001)

PKBM pada hakikatnya berdiri atas kebutuhan masyarakat dan oleh masyarakat. Dasar pendiriannya lebih merupakan kepedulian terhadap permasalahan masyarakat dibanding berdasarkan kualifikasi dan kompetensi. Kemandirian PKBM sangat penting untuk keberlangsungan lembaga dan layanan pendidikan non formal yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun pembinaan pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk hibah, berdampak pada permasalahan pengelolaan lembaga, yaitu ketergantungan. Tidak sedikit PKBM yang hidup mati, hidup jika ada hibah dari pemerintah, dan akan mati jika tidak ada hibah. PKBM yang terdata oleh pemerintah sebanyak 8.575 PKBM (Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat, 2014), namun tidak diketahui berapa PKBM yang masih aktif. Oleh karena itu diperlukan model pengembangan kemandirian PKBM, agar PKBM tetap mampu melayani kebutuhan pendidikan masyarakat. Permasalahan Permasalahan yang dihadapi PKBM adalah terdapatnya kelangkaan sumber daya yang dimiliki oleh mereka, baik sumberdaya manusia, finansial, dan lainnya. Kebijakan pemerintah dalam pembangunan pendidikan sangat menitikberatkan pada pendidikan formal dan sistem persekolahan. Adapun perhatian pada pendidikan non formal masih sangat terbatas. Hal ini dapat dilihat dari alokasi anggaran dan fasilitas maupun berbagai sumberdaya lainnya yang jauh lebih besar dicurahkan bagi pendidikan formal dan sistem persekolahan. Bantuan pendanaan melalui hibah-hibah tidak serta merta menyelesaikan permasalahan, bahkan tidak sedikit yang justru mengalami ketergantungan dan hanya berjalan jika mendapat hibah dari pemerintah. Karena itu diperlukan upaya untuk memenuhi kelangkaan sumberdaya tersebut melalui penciptaan jaringan kerja. Melalui jaringan kerja ini, PKBM diharapkan mampu mengelola diri beserta layanannya secara mandiri. Untuk itu diperlukan model pengembangan kemitraan yang dapat diterapkan oleh para pengelola PKBM. Tujuan Kajian Kajian ini bertujuan untuk mengembangkan model kemitraan yang dapat dibangun para pengelola PKBM dalam menjalankan program-program pendidikan nonformal.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 289 Karta Sasmita Urgensi Kajian Hasil Kajian ini sangat berkaitan erat dengan upaya pencipataan PKBM yang mandiri dan mampu meningkatkan kualitas layanan pendidikan bagi masyarakat. Kehadiran PKBM sesungguhnya untuk memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat yang tidak mampu dipenuhi oleh pendidikan di sekolah. Karenanya PKBM harus terus ditingkatkan kualitas kelembagaan dan kualitas layanannya melalui program-program pendidikan. PKBM yang selama ini masih banyak bergatung pada program-program bantuan dari pemerintah, diharapkan dapat segera mandiri mengelola dan menjalankan program layanan pendidikan masyarakat. PERKEMBANGAN PUSAT KEGIATAN BELAJAR MASYARAKAT Pendidikan formal bukanlah satu-satunya jalur yang sempurna, dia masih memiliki keterbatasan, sehingga belum mampu menjawab kebutuhan pendidikan masyarakat secara keseluruhan. Pada konteks pendidikan dasar misalnya, yang dapat menjadi peserta didik di Sekolah Dasar hanyalah mereka yang berusia 712 tahun, sehingga bagi mereka yang berusia diatas usia sekolah atau usia dewasa tidak dapat ikut menjadi peserta didik. Subtansi materi juga terbatas pada yang sudah dikonstruksi secara nasional, peserta didik tidak dapat mengajukan materi sesuai dengan kebutuhannya. Sistem berjenjang juga terkadang menjadi kendala bagi mereka yang ingin mendapatkan keterampilan yang dapat diproses dengan waktu yang relative singkat. Hal lainnya adalah pendekatan pembelajaran, dimana peserta didik cenderung menjadi objek pembelajaran disbanding subjek pembelajar. Pengalaman para peserta didik tidak menjadi komponen masukan dalam proses pendidikan. Hal-hal tersebutlah yang mendorong akademisi Pendidikan Luar Sekolah mengkaji konsep andragogi. Konsep andragogi pertama kali dipopulerkan oleh Malcom Knowles pada tahun 1980 melalui bukunya yang berjudul “the art and science of helping adults learn”. Malcom Knowles memaparkan seperangkat asusmsi belajar orang dewasa sebagai berikut: • Bergerak dari ketergantungan ke kemandirian dimana pembelajar orang dewasa dapat membuat arah pembelajarannya

Mengambil pengalaman-pengalaman hidupnya yang digunakan untuk membantunya dalam belajar • Orang dewasa siap belajar jika dia menganggap hal tersebut berguna bagi kehidupannya • Orang dewasa cenderung belajar jika hal tersebut berfokus pada pemecahan masalah dan sesuatu yang dapat segera diaplikasikan. • Orang dewasa akan belajar jika motivasi itu dating dari dirinya sendiri disbanding dari luar. (TEAL Center Fact Sheet No. 11: Adult Learning Theories) Menurut Knowles (1984), perbedaan karakteristik pembelajar orang dewasa tersebut berimplikasi pada praktek pembelajaran, sehingga pendidik orang dewasa perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut • Buat suasana pembelajaran yang kooperatif • Identifikasi kebutuhan dan minat khusus dari pembelajar • Kembangkan tujuan pembelajaran berdasarkan kebutuhan, minat, dan tingkat keahlian pembelajar • Rancang kegiatan secara bertahap untuk mencapai tujuan • Berkolaborasi dengan para pembelajar dalam memilih metode, materi dan sumber pembelajaran • Mengevaluasi dan menilai kualitas pengalaman belajar sebagai bahan untuk pengembangan selanjutnya. Kenyataan lainnya mengenai pembelajar orang dewasa, mereka adalah para pembelajar Mandiri. Menurut Cross, sekitar 70 persen orang dewasa belajar secara self directed atau mandiri (Cross, 1981), dan sekitar 90% dari orang dewasa paling tidak melakukan sebuah proyek belajar mandiri per tahun (Tough, 1971). Hal ini pula yang melahirkan konsep pembelajaran mandiri atau Self Directed Learning. Selfdirected learning adalah sebuah proses belajar dimana seseorang mengambil inisiatif tanpa bantuan orang lain baik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan mengevaluasi pengalaman belajarnya sendiri (Knowles, 1975). Hasil kajian mengenai pendidikan orang dewasa serta kondisi sosial ekonomi di Indonesia telah menghasilkan sebuah satuan pendidikan nonformal, yaitu Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). PKBM hadir di Indonesia di tengah-tengah kondisi krisis sosial

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 290 Karta Sasmita

ekonomi nasional pada tahun 1998.Kehadiran PKBM sebenarnya memiliki latar belakang yang cukup panjang. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan formal dan system persekolahan ternyata tidak cukup untuk menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, tingginya tingkat buta aksara bagi orang dewasa, tingginya tingkat pengangguran, tingginya tingkat kemiskinan dan sebagainya. PKBM bukanlah sepenuhnya merupakan suatu konsep yang baru sama sekali. Sebagai contoh di Jepang PKBM dikenal sejak tahun 1949 dengan nama Kominkan. Kominkan telah turut memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi pembangunan kemajuan masyarakat Jepang.Sampai dengan tahun 2004 diperkirakan ada sekitar 18.000 Kominkan terdapat di seluruh Jepang. Untuk menggerakkan masyarakat agar terwujud PKBM di Indonesia, Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional merumuskan berbagai kebijakan dan program untuk mengidentifikasi dan memotivasi agar masyarakat dengan kesadarannya sendiri membentuk dan mengelola berbagai kegiatan pembelajaran bagi masyarakat sesuai kebutuhan dan potensi masing-masing. Gagasan ini mendapatkan sambutan cukup baik oleh masyarakat sehingga pada awal tahun 1998 mulai dikukuhkan keberadaan berbagai PKBM di berbagai wilayah di seluruh Indonesia. Sebagai contoh PKBM ALPA dan PKBM Buana Mekar di Bandung, PKBM RCC Garuda di Yogyakarta, PKBM Gajah Mada di Cirebon, PKBM Pionir di Solo, PKBM Giri Mukti di Balikpapan, PKBM Dahlia di Mataram, dan sebagainya. Sejak itu, PKBM semakin dikenal luas dan mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi dari sisi kuantitas. Pada tahun 2004 sudah terdapat lebih dari 3.000 PKBM di seluruh Indonesia.Pada tahun 2006 terdapat hampir dari 5.000 PKBM, dan pada tahun 2015 berdasarkan daftar NILEM, sudah terdapat 8575 PKBM di seluruh Indonesia (http://bindikmas.kemdikbud.go.id/, 2015). Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat yang berkembang di Indonesia merupakan partisipasi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat. Prinsip-prinsip andragogi sangat mewarnai penyelenggaraan layanan pendidikannya. Hal ini dapat dilihat dari program-program yang sediakan, seperti

program keaksaraan yang dibuat untuk pemberantasan buta hruf, program kesetaran yang dibuat untuk membantu orang dewasa mendapatkan pengakuan pendidikan secara formal, dan progam pendidikan kecakapan hidup yang dirancang untuk meningkatkan keterampilan masyarakat sehingga menjadi berdaya. Keberhasilan PKBM dapat dilihat dari empat parameter yaitu partisipasi masyarakat, manfaat bagi masyarakat, mutu dan relevansi program, dan kemandirian dan keberlanjutan lembaga (Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, 2012). Seperangkat parameter tersebut mendorong PKBM untuk memaksimalkan berbagai sumber daya, termasuk optimalisasi para mitra PKBM. MEMBANGUN KEMITRAAN Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 749), arti kata “mitra� adalah teman; sahabat, kawan kerja, pasangan kerja, rekan. Kemitraan artinya: perihal hubungan atau jalinan kerjasama sebagai mitra. Berdasarkan pendapat Hafsah (1999: 43) Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan strategi bisnis maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis. Menurut Keint L. Fletcher (1987): Partnership is the relation which subsists between persons carrying on a business in common with a view of profit. Kemitraan sesungguhnya upaya kerjasama yang saling menguntungkan antar kedua belah pihak. Terjadinya kemitraan adalah bila ada keinginan yang sama untuk saling mendukung dan saling melengkapi dalam upaya mencapai tujuan bersama. Kemitraan merupakan jalan untuk berkembang bersama lebih baik, sehingga kemitraan banyak menjadi pilihan dalam berbagai bidang. Dalam bidang pertanian misalnya, seperti yang dikatakan oleh Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Bungaran Saragih mengatakan pola kemitraan perkebunan kelapa sawit dan petani rakyat telah berhasil meningkatkan kesejahteraan serta membantu program pemerintah untuk membangun ekonomi daerah tertinggal (bumn.co.id, 2014).

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 291 Karta Sasmita Kemitraan dalam lingkungan masyarakat Indonesia, merupakan sesuatu hal yang tidak asing untuk diterapkan, karena bangsa ini sudah mengenal kemitraan sejak berabad abad lamanya meskipun dalam skala yang sederhana, seperti gotong royong, sambat-sinambat, partisipasi, mitra cai, mitra masyarakat desa hutan, mitra lingkungan dan lain-lain. Dalam manajemen modern, baik dalam pengembangan sumberdaya manusia maupuan pengembangan kelembagaan/usaha, kemitraan merupakan salah satu strategi yang biasa ditempuh untuk mendukung keberhasilan implementasi manajamen modern. (Mustofa Kamil, 2006) Kemitraan tidak sekedar diterjemahkan sebagai sebuah kerjasama, akan tetapi kemitraan memiliki pola, memiliki nilai strategis dalam mewujudkan keberhasilan suatu lembaga dalam menerapkan manajemen modern. Kemitraan dalam implementasi manajemen modern kesepahaman pengelolaan program, kesepahaman strategi pengembangan program antar lembaga yang bermitra merupakan faktor utama yang pertama kali harus menjadi perhatian. Oleh karenanya diantara lembaga yang bermitra harus ada pelaku utama kegiatan, sebagai lembaga/orang yang bertanggungjawab terhadap keberhasilan program (kegiatan). (Mustofa Kamil, 2006) Kekurangan dan kelebihan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga/orang itulah yang dimitrakan sebagi wujud kerjasama untuk saling menutupi, saling menambah, dan saling menguntungkan (mutualisme). Kemitraan dapat dilakukan dalam transfer teknologi, transfer pengetahuan/keterampilan, transfer sumberdaya (manusia), transfer cara belajar (learning exchange), transfer modal, atau berbagai hal yang dapat diperbantukan sehingga terpadu dalam wujud yang utuh. (Mustofa Kamil, 2006) Wujud nyata kemitraan dapat disepakati sebagai sebuah konsep kerjasama di mana dalam operasionalisasinya tidak terdapat hubungan yang bersifat sub-ordinasi namun hubungan yang setara bagi semua ”parties”. Sehingga dalam konsepsinya kemitraan memiliki prinsip yang harus menjadi kesepahaman diantara yang bermitra dan harus ditegakkan dalam pelaksanaannya meliputi: prinsip partisipasi, prinsip gotong royong (sambat sinambat), prinsip keterbukaan (transparancy), prinsip penegakkan hukum (hak dan kewajiban, mengarah pada right-obligation, reward and punishment) dan prinsip keberlanjutan (sustainability). (Mustofa Kamil, 2006)

Jejaring Kerja (kemitraan) atau sering disebut partnership, secara etimologis berasal dari akar kata partner. Partner dapat diartikan pasangan, jodoh, sekutu atau kompanyon. Sedangkan partnership diterjemahkan persekutuan atau perkongsian. Dengan demikian, kemitraan dapat dimaknai sebagai suatu bentuk persekutuan antara dua pihak atau lebih yang membentuk satu ikatan kerjasama di suatu bidang usaha tertentu atau tujuan tertentu sehingga dapat memperoleh hasil yang lebih baik. Pendapat senada disampaikan Agung Sudjatmoko dalam bukunya yang berjudul Cara Cerdas Menjadi Pengusaha Hebat bahwa ”kemitraan bisnis merupakan kerjasama terpadu antara dua belah pihak atau lebih, secara serasi, sinergis, terpadu, sitematis dan memiliki tujuan untuk menyatukan potensi bisnis dalam mengahasilkan keuntungan yang optimal”. Pengertian tersebut diatas tidak jauh berbeda dengan pendapat Dr. Frank Minirth dalam bukunya berjudul You Can. Ia mengungkapkan bahwa Jejaring Kerja adalah seni berkomunikasi satu sama lain, berbagi ide, informasi dan sumber daya untuk meraih kesuksesan individu ataupun kelompok. “networking is a process of getting together to get ahead. It is the building of mutually beneficial relationship”.– Networking adalah proses kebersamaan. Selain itu networking merupakan jalinan hubungan yang bermanfaat dan saling menguntungkan, tandasnya. Secara garis besar dalam membangun Networking haruslah berlandaskan prinsip saling menguntungkan dan komunikasi dua arah. Membangun Jejaring Kerja (kemitraan) Membangun Jejaring Kerja (kemitraan) pada hakekatnya adalah sebuah proses membangun komunikasi atau hubungan, berbagi ide, informasi dan sumber daya atas dasar saling percaya (trust) dan saling menguntungkan diantara pihak-pihak yang bermitra yang dituangkan dalam bentuk nota kesepahaman atau kesepakatan guna mencapai kesuksesan bersama yang lebih besar. PRINSIP-PRINSIP KEMITRAAN Prinsip utama bermitra adalah saling memerlukan, saling menguatkan, dan saling menguntungkan a). Prinsip Saling memerlukan. Menurut John L. Mariotti dalam hafsah (1999) kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan mengenal calon mitranya, mengetahui posisi keunggulan dan

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 292 Karta Sasmita

kelemahan usahanya. Pemahaman akan keunggulan yang ada akan menghasilkan sinergi yang bedampak pada efisiensi, turunnya biaya produksi dan sebagainya. Penerapannya dalam kemitraan, perusahaan besar dapat menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan yang kecil. Sebaliknya perusahaan yang lebih kecil, yang umumnya relative lemah dalam hal kemampuan teknologi, permodalan dan sarana produksi melalui teknologi dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar. Dengan demikian sebenarnya ada saling memerlukan atau ketergantungan diantara kedua belah pihak yang bermitra. b). Prinsip saling memperkuat Dalam kemitraan usaha, sebelum kedua belah pihak memulai untuk bekerjasama, maka pasti ada sesuatu nilai tambah yang ingin diraih oleh masing-masing pihak yang bermitra. Nilai tambah ini selain diwujudkan dalam bentuk nilai ekonomi seperti peningkatan modal dan keuntungan, perluasan pangsa pasar, tetapi juga ada nilai tambah yang non ekonomi seperti peningkatan kemapuan manajemen, penguasaan teknologi dan kepuasan tertentu. Keinginan ini merupakan konsekwensi logis dan alamiah dari adanya kemitraan. Keinginan tersebut harus didasari sampai sejauh mana kemampuan untuk memanfaatkan keinginan tersebut dan untuk memperkuat keunggulan-keunggulan yang dimilikinya, sehingga dengan bermitra terjadi suatu sinergi antara para pelaku yang bermitra sehingga nilai tambah yang diterima akan lebih besar. Dengan demikiaan terjadi saling isi mengisi atau saling memperkuat dari kekurangan masing-masing pihak yang bermitra. c). Prinsip Saling Menguntungkan Salah satu maksud dan tujuan dari kemitraan usaha adalah “win-win solution partnership� kesadaran dan saling menguntungkan. Pada kemitraan ini tidak berarti para partisipan harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, tetapi yang essensi dan lebih utama adalah adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing. Pada kemitraan usaha terutama sekali tehadap hubungan timbal balik, bukan seperti kedudukan antara buruh dan majikan, atau terhadap atasan kepada bawahan sebagai adanya pembagian resiko dan keuntungan proporsional, disinilah letak kekhasan dan karakter dari kemitraan usaha tersebut. Berpedoman pada kesejajaran kedudukan atau memiliki derajat yang setara bagi masing-

masing pihak yang bermitra, maka tidak ada pihak yang tereksploitasi dan dirugikan tetapi justru terciptanya rasa saling percaya diantara para pihak sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan atau pendapatan melalui pengembangan usahanya. KEMITRAAN PKBM Dalam era globalisasi, adalah suatu kenyataan bahwa tidak ada satu entitas yang mampu berdiri sendiri terpisah dari entitas yang lain. Secara garis besar, kita sangat membutuhkan Jejaring Kerja (networking) untuk menjadikan kehidupan kita lebih sukses. Agung Sudjatmoko (2009) menyatakan bahwa sukses atau gagalnya seseorang karena pilihan hidupnya sangat tergantung pada garis tangan dan campur tangan. Garis tangan terkait dengan nasib seseorang yang telah digariskan oleh Sang Kholik, sedangkan campur tangan merupakan usaha yang dilakukan seseorang untuk mendapat dukungan dari orang lain. Demikian pula PKBM, jika mau dikatakan professional maka sudah semestinya semua program terkoneksi dengan berbagai sumber dalam suatu Jejaring Kerja (networking). Meskipun kita berada di era modern, dimana segala sesuatu dapat dikendalikan dengan teknologi mutakhir, tetapi kesuksesan lembaga atau organisasi masih sangat bergantung pada keberhasilan menciptakan Jejaring Kerja (networking). Dengan kata lain, menjalin hubungan sosial dengan siapa pun menjadi bagian penting dalam segala aktivitas kehidupan PKBM sebagai lembaga yang berbasis keswadayaan. PENTINGNYA MEMBANGUN KEMITRAAN Mengapa membangun Jejaring Kerja menjadi sangat penting baik secara individu atau organisasi termasuk PKBM? PKBM tidak bisa eksis ditengah tingkat persaingan yang begitu berat tanpa membangun Jejaring Kerja. Hal ini disebabkan karena: 1) Sumber Daya PKBM terbatas; masih banyak PKBM yang memiliki keterbatasan sumber daya seperti kualifikasi dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan, fasilitas atau sarana-prasarana dan keuangan (permodalan). Keterbatasan ini mengakibatkan rendahnya mutu pelayanan PKBM. Untuk itu, PKBM perlu menjalin kemitraan (sharing)

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 293 Karta Sasmita

2)

3)

4)

5)

sumber daya dengan berbagai pihak untuk meningkatkan mutu layanan. Tersedianya berbagai potensi sumber daya di masyarakat yang dapat disinergikan dengan PKBM; di masyarakat tersedia berbagai sumber daya yang cukup potensial tetapi belum diberdayakan secara optimal oleh PKBM. PKBM tidak bisa hanya mengandalkan campur tangan pemerintah semata, tetapi harus mampu mengakses semua sumbersumber di masyarakat sesuai dengan spirit/jiwa PKBM itu sendiri yakni keswadayaan/kemandirian. Kedepan PKBM diarahkan untuk menjadi sebuah lembaga dengan tingkat kemandirian yang tinggi dan dikelola secara professional dan berorientasi profit. PKBM bisa memiliki tingkat kemandirian (indepndency) yang tinggi apabila mampu memberdayakan segenap sumber daya di masyarakat melalui pola kemitraan. Tingginya kesenjangan kompetensi antara lulusan PKBM dengan kebutuhan pasar kerja; sebagian besar PKBM belum memiliki akses yang luas dengan dunia usaha dan industri (dudi). Lemahnya link dengan dunia usaha dan industri menyebabkan kesenjangan kompetensi yang semakin lebar antara kompetensi lulusan dengan kebutuhan pasar sehingga banyak lulusan PKBM yang tidak terserap ke dunia kerja Adanya kecenderungan (trend) kebutuhan pasar kerja yang selalu berubah mengikuti perubahan masyarakat; kebutuhan pasar kerja dari waktu-kewaktu terus berkembang mengikuti perkembangan masyarakat. Informasi kecenderungan (trend) kebutuhan pasar kerja menjadi sangat berharga bagi PKBM dalam rangka pengembangan program pembelajaran yang inovatif dan laku di pasaran. Masih banyak PKBM yang jumlah peserta didiknya terus menurun dari waktu ke waktu; Tingkat persaingan antar PKBM untuk merebut pasar semakin ketat. Oleh karena itu, untuk meningkatkan jumlah peserta didik PKBM bisa membangun jaringan

dengan mitra kerja seperti sekolahsekolah, perkantoran , perusahaan. 6) Masih banyak PKBM yang kesulitan mendapatkan job order; PKBM yang mampu memberikan layanan pasca pembelajaran dengan menyalurkan lulusan kedunia kerja akan menjadi pilihan pertama masyarakat. Untuk itu, PKBM perlu membangun kemitraan dengan berbagai lembaga atau instansi dan dudi untuk mendapatkan job order. (Direktorat Kursus dan Kelembagaan, 2010), TUJUAN MEMBANGUN KEMITRAAN Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh PKBM dalam membangun Jejaring Kerja (kemitraan ) yaitu sebagai berikut: 1) Meningkatkan partisipasi masyarakat; Salah satu tujuan membangun Jejaring Kerja (kemitraan) adalah membangun kesadaran masyarakat terhadap eksistensi PKBM, menumbuhkan minat dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan PKBM. Masyarakat disini memiliki arti luas tidak hanya pelanggan (peserta didik) tetapi termasuk juga pengguna lulusan (user), dinas atau departemen terkait, organisasi kemasyarakatan , organisasi profesi, lembaga pendidikan, dunia usaha dan industri (dudi), tokoh masyarakat dan stake holder lainnya. 2) Peningkatan mutu dan relevansi; dinamika perubahan/ perkembangan masyarakat sangat tinggi. PKBM jika ingin tetap eksis harus mampu bersaing dengan kompetitor lain. Untuk itu, PKBM dituntut untuk terus melakukan inovasi, peningkatan mutu dan relevansi program pembelajaran sesuai kebutuhan pasar. Unttuk itu, membangun Jejaring Kerja (kemitraan) diperlukan guna merancang program pembelajaran yang inovatif, meningkatkan mutu layanan dan relevansi program dengan kebutuhan pasar. 3) Mensinergikan program; ada berbagai program dari berbagai pihak yang sebetulnya bisa disinergikan dengan program kerja PKBM, jika terbangun komunikasi dua arah yang baik satu

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 294 Karta Sasmita

4)

5)

6)

7)

sama lain seperti: a. Setiap perusahaan besar baik milik pemerintah atau swasta sudah pasti memiliki program corporate Social Responcibility (CSR) yang bisa disnergikan. b. Sekolah–sekolah yang belum memiliki laboratorium bahasa inggris dan komputer bisa bermitra dengan PKBM. c. Disnakertrans menyediakan bursa kerja khusus yang bisa diakases PKBM. d. Pemerintah melalui dinas pendidikan dan P2PNFI dan BPPNFI memiliki anggaran bantuan sosial untuk masyarakat tidak mampu yang bisa diakses PKBM. Meningkatkan daya serap lulusan PKBM ke dunia kerja; banyak PKBM yang masih beranggapan bahwa setelah peserta mengikuti ujian dan lulus maka selesailah sudah tanggungjawab PKBM. Paradigma diatas perlu dirubah bahwa tanggungjawab PKBM adalah sampai pada penanganan pasca pembelajaran yakni penempatan dan penyaluran output ke dunia kerja. Untuk itu, salah satu tujuan membangun Jejaring Kerja adalah peningkatan daya serap lulusan kedunia kerja. Sosialisasi, promosi dan publikasi; membangun Jejaring Kerja (kemitraan) dilakukan dalam upaya sosialisasi, promosi dan publikasi program unggulan dan produk PKBM sehingga PKBM semakin dikenal oleh masyarakat luas. Dengan semakin dikenalnya PKBM secara luas maka diharapkan dapat meningkatkan jumlah peserta didik dan pengguna lulusan. Peningkatan akses; melalui Jejaring Kerjasama yang semakin baik dan meluas maka secara otomotatis akan memperluas akses lembaga (akses informasi, teknologi, modal, pasar, praktek kerja industri/magang). Kemitraan dengan berbagai pihak terus dibangun baik dengan pemerintah sebagai pengambil kebijakan, dengan masyarakat selaku konsumen/pelanggan maupun dengan dudi selaku pengguna lulusan. Pencitraan publik; membangun image positip adalah salah satu tujuan kemitraan. Image yang positip

(seperti professional, unggul, kompeten) dapat dibangun melalui program kemitraan. Image positip menyangkut kredibilitas PKBM dimata masyarakat dan mitra kerja. 8) Penguatan kapasitas dan kapabilitas lembaga; membangun jaringan kemitraan juga sangat penting dalam upaya peningkatan kapasitas dan kapabilitas PKBM. Kapasitas menyangkut optimalisasi pelaksanaan fungsi PKBM, sedangkan kapabilitas menyangkut kemampuan PKBM itu sendiri untuk memproses input menjadi out put yang siap pakai.

MODEL PENGEMBANGAN KEMITRAAN Menurut Beryl Levinger dan Jean Mulroy (2004), ada empat jenis atau tipe kemitraan yaitu: a. Potential Partnership Pada jenis kemitraan ini pelaku kemitraan saling peduli satu sama lain tetapi belum bekerja bersama secara lebih dekat. b. Nascent Partnership Kemitraan ini pelaku kemitraan adalah partner tetapi efisiensi kemitraan tidak maksimal c. Complementary Partnership Pada kemitraan ini, partner/mitra mendapat keuntungan dan pertambahan pengaruh melalui perhatian yang besar pada ruang lingkup aktivitas yang tetap dan relatif terbatas seperti program delivery dan resource mobilization. d. Synergistic Partnership Kemitraan jenis ini memberikan mitra keuntungan dan pengaruh dengan masalah pengembangan sistemik melalui penambahan ruang lingkup aktivitas baru seperti advokasi dan penelitian. Untuk mendapatkan model yang pas dalam pengembangan PKBM, beberapa model kemitraan dapat kita rujuk sebagai daar pengembangan kemitraan. Model-model yang ada sesungguhnya hasil praktik dari kemitraan dalam beberapa sektor, sektor kesehatan, sektor ekonomi, dan sektor pendidikan formal. 1. Model Kemitraan Sektor Kesehatan Secara umum, model kemitraan dalam sektor kesehatan dikelompokkan menjadi dua (Notoadmodjo, 2003) yaitu: a. Model I Model kemitraan yang paling sederhana adalah dalam bentuk jaring kerja (networking) atau building linkages. Kemitraan ini berbentuk

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 295 Karta Sasmita jaringan kerja saja. Masing-masing mitra memiliki program tersendiri mulai dari perencanaannya, pelaksanaannya hingga evalusi. Jaringan tersebut terbentuk karena adanya persamaan pelayanan atau sasaran pelayanan atau karakteristik lainnya. Model I dalam pengembangan PKBM telah dilakukan para penyelenggara misalnya dengan membentuk Forum PKBM baik nasional maupun daerah. b. Model II Kemitraan model II ini lebih baik dan solid dibandingkan model I. Hal ini karena setiap mitra memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap program bersama. Visi, misi, dan kegiatan-kegiatan dalam mencapai tujuan kemitraan direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi bersama. 2. Model Kemitraan dalam pengembangan Usaha Dalam pengembangan usaha terdapat beberapa pola, diantaranya yaitu pola inti plasma, pola subkontrak, pola dagang umum, pola keagenan, pola waralaba. (Soewito, 1992). Pola inti plasma mendudukan perusahaan besar sebagai pembina dan pengembang usaha kecil sebagai plasma. Pola ini membutuhkan komitmen dari kedua belah pihak, pihak plasma harus punya komitmen untuk dalam mengembangkan diri, dan perusahaan besar harus membina agar plasma ini dapat berkembang dan berdaya dalam waktu yang cukup lama. Dalam pengembangan PKBM, pola ini telah coba diterapkan oleh Pemerintah melalui bantuan-bantuan dan pembinaan langsung melalui aparatur dalamvbidang pendidikan nonformal. Pola subkontrak digunakan oleh perusahaan besar kepada perusahaan kecil untuk memproduksi bagian tertentu yang dibutuhkannya. Hal ini dilakukan karena kekurangan kapasitas dan kebutuhan efisiensi dibandingkan dilakukan sendiri. Pola subkontrak dalam pengembangan PKBM, memposisikan PKBM sebagai pelaksana kegiatan tertentu sebagai bagian kecil dari pencapaian tujuan yang besar. Pola dagang umum memposisikan perusahaan kecil sebagai pemasok kepada perusahaan besar. Dalam konteks PKBM, PKBM menjadi penyedia atas kebutuhan oleh lembaga yang lebih besar. Misalnya PKBM sebagai penyedia lulusan dengan kompetensi

tertentu sesuai yang dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan. Pola Keagenan memposisikan perusahaan kecil sebagai pemasar yang diberikan hak memasarkan barang dan jasa dari perusahaan besar. Belum ditemukan pola keagenan dalam konteks pengembangan PKBM. Pola waralaba merupakan kemitraan atas pemberian merek dagang, lisensi, serta saluran distribusi yang diberikan kepada penerima waralaba. PKBM sangat mungkin untuk melakukan pola waralaba ini jika mempunyai daya jual dan penyelenggaraan yang standar. Pola kemitraan dalam perdangangan sangat mungkin dilakukan oleh PKBM selama para pengelola dapat mengenai kondisi dan potensi PKBM, serta mampu merancang perwujudan visi dalam program kerja yang nyata. 3. Model Kemitraan Komunitas-KeluargaSekolah Dalam pendidikan formal telah ada model yang dikembangkan untuk membangun kemitraan. Salah satunya Model Proses Kemitraan 7 Tahap yang dikembangkan oleh Julia Bryan dan Lynette Henry di Amerika Serikat yang mengembangkan sebuah model untuk membangun kemitraan antara sekolah, keluarga dan masyarakat. Bagan. Model Kemitraan Seven-Stage Partnership Process Model (Julia Bryan dan Lynette Henry, 2012)

Model kemitraan yang ditawarkan oleh Julia Bryan dan Lynette Henry memiliki kejelasan langkah-langkah bagaimana membangun kemitraan dimulai dari langkah persiapan, menelaah kebutuhan dan keuatan, berkumpul dan bersatu, membuat visi dan rencana bersama, melakukan tindakan, mengevaluasi dan selebrasi kemajuan, dan memelihara atau menjaga momentum.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 296 Karta Sasmita Tahap persiapan Ada empat hal yang perlu dilakukan dalam tahap persiapan yaitu mengakrabkan diri dengan kelompok budaya yang dilayani oleh sekolah beserta masyarakat; gunakan model nasional, hasil penelitian, dan pahami peran sebagai dasar pembentukan visi; sejajarkan visi pendidik dengan visi sekolah untuk mendapatkan perhatian kepala sekolah; gunakan bukti berbasis hasil penelitian yang menunjukan bagaimana kemitraan mampu mengarahkan pendidikan pada peningkatan resilience dan prestasi akademik. Tahap Telaah Kebutuhan dan Kekuatan Ada lima hal yang perlu dilekukan untuk mengetahui kebutuhan dan keuatan untuk bermitra. Hal pertama adalah melakukan survei mengenai kebutuhan dan kekuatan kepada para siswa, personil sekolah, orang tua atau keluarga, dan anggota masyarakat. Langkah kedua yaitu melakukan penilaian face to face, berbicara langsung kepada setiap orang mengenai apa kebutuhan dan kekuatannya. Ketiga, menghadiri acara-acara komunitas/masyarakat, telaah siapa orang yang berpengaruh dalam komunitas. Berikutnya gali kemitraan-kemitraan yang telah dilakukan dan lihat bagaimana efektifitasnya. Langkah penting lainnya yaitu buat peta aset/potensi masyarakat/ komunitas. Tahap pengumpulan Tahap ini berguna untuk mengetahui siapa anggota kelompok yang potensial, mitra potensial, budaya dan orang yang berpengaruh, serta memahami peran dalam kemitraan. Untuk itu gunakan hasil dientifikasi kebutuhan dan keuatan pada tahap sebelumnya. Periksa kembali apakah data mengenai kebutuhan dan kekuatan itu tepat. Kemudian mintalah umpan balik dari para anggota lainnya serta ide-ide yang mungkin masih dapat dikembangkan. Langkah penting berikutnya adalah bangunlah hubungan dengan mitra potensial, orang berpengaruh dalam komunitas. Berbagilah dengan mitra potensial apa yang dapat mereka lakukan untuk membantu kita. Tahap Membuat Visi dan Rencana Bersama Untuk membuat visi dan rencana bersama, gunakanlah hasil identifikasi dalam membuat perencanaan kemitraan, baik dalam mengembangkan kemitraan yang telah ada, dan atau membuat kemitraan yang baru. Visi dan rencana yang telah dibuat kemudia

disosialisasikan kepada semua orang di sekolah agar mendapatkan balikan dan ide-ide yang memungkinkan rencana tersebut lebih tepat. Kemudian buatlah logic model, dan buatlah rencana satu tahu dan rencana 3-5 tahun. Buatlah timeline kegiatan kemitraan dalam tahun berjalan. Tahap tindakan Tahap ini menjelaskan apa tindakan dan strategi yang akan digunakan. Tahap ini dimulai dari pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dalam bermitra, implementasi timeline yang telah dibuat, mempersiapkan diri terhadap kemungkinan tantangan, dan libatkan media. Tahap Evaluasi dan Selebrasi kemajuan Tahap ini sama pentingnya dengan tahapan lainnya. Tahapa ini akan menilai bagaimana kesuksesan kegiatan kemitraan. Maka perlu ditentukan bagaimana melakukan evaluasi setiap kemitraan. Ukur dan evaluasi hasil-hasil dari implementasi kemitraan. Share prestasi yang telah dicapai dengan administrasi, guru, staf lain, mahasiswa, keluarga, dan masyarakat. Hal berikutnya adalah rayakan pencapain prestasi dengan para mitra, serta merayakan mitra itu sendiri. Tahap Memelihara Momentum Tahap ini berbicara bagaimana keberlanjutan dari kemitraan. Ada enam hal yang perlu dilakukan, yaitu 1. Tinjau ulang rencana Anda. 2. Gunakan hasil evaluasi untuk mengembangkan rencana. 3. Dapatkan umpan balik untuk mengembangkan dan melakukan revisi rencana tersebut. 4. Share rencana baru dengan siswa, keluarga, dan mitra masyarakat. 5. Hubungi mitra sebelum dan di awal tahun ajaran. Pertimbangkan ekstensi kemitraan yang ada. 6. Mengidentifikasi kemungkinan anggota baru dalam tim dan mitra baru baik sebagai staf baru atau orang tua yang setiap tahun datang ke sekolah. Model kemitraan sekolah, keluarga dan komunitas, dapat menjadi panduan yang digunakan untuk mengembangkan PKBM. Penerapan model ini membutuhkan komitmen pengelola dan para tenaga pendidik serta kependidikan untuk melakukan hal-hal yang tidak biasa dan berada diluar zona nyaman, untuk menjangkau masyarakat dan para mitra potensial, baik individual maupun kelembagaan. Harus memilki kesungguhan dalam mengkolaborasikan kekuatan, dan kemampuan pemberdayaan. Para pelaku kemitraan PKBM harus berani berkorban dan bersabar. Perlu diakui

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 297 Karta Sasmita memang membangun kemitraan cukup memakan waktu, tetapi perlu diyakini bahwa adalah investasi yang dapat menghasilkan manfaat substantif seperti tersedianya sumber daya, meningkatnya jumlah dan kualitas layanan dari PKBM, dan berdampak pada kualitas hidup masyarakat. Para pendidik dan tenaga kependidikan akan menginvestasikan waktunya, jika para pengelola PKBM menyadari bahwa kemitraan dapat membangun lingkungan yang kaya dengan aset dan program untuk meningkatkan keberhasilan para pembelajar di PKBM. Beberapa PKBM dapat dengan mudah melakukan kemitraan. Kemudahan ini karena didukung oleh iklim organisasi yang baik. Kepala PKBM yang terbuka dengan perubahan, dapat menghargai pendapat serta ide-ide untuk memajukan PKBM, menunjukan visi misi yang jelas dan sejalan, pembagian peran yang jelas dan sesuai, dapat menghasilkan etos kolaborasi dalam PKBM. Hal terpenting dalam menerapkan model kemitraan adalah kuatnya self efficacy dan mampu memahami serta merangkul para anggota serta pemimpin dan kolaborator di dalam lembaga. KESIMPULAN Prinsip utama bermitra adalah saling memerlukan, saling menguatkan, dan saling menguntungkan. Tujuan yang dapat dicapai oleh PKBM dalam kemitraan yaitu Meningkatkan partisipasi masyarakat; Peningkatan mutu dan relevansi; Mensinergikan program; Meningkatkan daya serap lulusan PKBM ke dunia kerja; Sosialisasi, promosi dan publikasi; Peningkatan akses; Pencitraan publik; Penguatan kapasitas dan kapabilitas lembaga. Ada empat jenis atau tipe kemitraan yang dapat dipilih yaitu Potential Partnership, Nascent Partnership, Complementary Partnership, dan Synergistic Partnership. Model kemitraan dalam sektor kesehatan, sektor usaha (ekonomi) dan sektor Pendidikan formal dapat menjadi rujukan PKBM dalam mengembangkan kemitraan. Namun hal terpenting dari keseluruhannya adalah implementasi, dan implementasi membutuhkan kesungguhan komitmen, berani keluar dari zona nyaman, dan memiliki self efficacy yang tinggi. DAFTAR PUSTAKA

Cross, K. P. (1981). Adults as learners: Increasing participation and facilitating learning. San Francisco: Jossey-Bass. Direktorat Kursus dan Kelembagaan, (2010), Membangun Jaringan Kerja, Modul 5, Direktorat Jenderal Pendidikan Non formal dan Informal, Kementrian Pendidikan Nasional Direktorat Pendidikan Masyarakat,( 1972) Pemberantasan Buta Huruf di Indonesia, Direktorat Pendidikan Masyarakat Muhammad Jafar Hafsah, (1999), Kemitraan Usaha, Pustaka Sinar Harapan , Jakarta. Julia Bryan and Lynette Henry (2012), A Model for Building School–Family– Community Partnerships: Principles and Process, Journal of Counseling & Development , October 2012 ,Volume 90, pp.408-420 Keint L Fletcher, 1987, The Law of Partnership, The Law Book Company Limited, Syidney Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan (2012)Standar dan Prosedur Penyelenggaraan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal Dan Informal, Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Knowles, M. (1975). Self-directed learning: A guide for learners and teachers. Chicago: Follett Publishing Company. Knowles, M. (1980). The modern practice of adult education: Andragogy versus pedagogy. Rev. and updated ed. Englewood Cliffs, NJ: Cambridge Adult Education. Knowles, M. and Associates (1984). Andragogy in action: Applying modern principles of adult learning. San Francisco: JosseyBass. Mustofa Kamil, (2006),Strategi Kemitraan Dalam Membangun Pnf Melalui Pemberdayaan Masyarakat, Makalah yang disampaikan pada seminar dan lokakarya Penyelenggeraan Pendidikan NonFormal dalam Era Otonomi Daerah Di Hotel Putri Gunung Lembang

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 298 Karta Sasmita

Kabupaten Bandung Tanggal 19 s.d 20 November 2006 Tough, A. (1971). The adult’s learning projects. Toron-to: Ontario Institute for Studies in Education Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta Pola Kemitraan Dorong Taraf Hidup Petani sawit, 3 November 2014, http://bumn.go.id/ptpn6/berita/2534/Pol a.Kemitraan.Dorong.Taraf.Hidup.Petani .sawit

Sudjatmoko. Agung. (2009). Panduan Lengkap Wirausaha. Cara Cerdas Menjadi Pengusaha. Jakarta: Visimedia Soewito, (1992). Pengembangan Industri Kecil, Suara Merdeka 12 Desember 1992 PROFIL SINGKAT Karta Sasmita, Tempat Lahir Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat, pada tanggal 13 Mei 1980. Pendidikan S1 PLS UNJ, S2 FISIP UI, S3 Manajemen dan Ekonomi Pendidikan CCNU. Dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


MANAJEMEN INOVASI WIRAUSAHA BERKARAKTER DI SKB KOTA GORONTALO Abdul Rahmat Dosen Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Gorontalo abdulrahmat@ung.ac.id Mira Mirnawati Dosen Universitas Negeri Gorontalo mirnawatimira@rocketmail.com Syaiful Kadir Kepala Sekolah SMAN I Kota Gorontalo iful_69@yahoo.co.id Abstrak Semakin tingginya jumlah penduduk dan jumlah lapangan pekerjaan terbatas telah menjembatani persaingan lapangan kerja sangatlah ketat, dan ini butuh penguatan karakter berwirausaha. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan penelitian kuantitatif. Teknik pengumpulan data yaitu angket. Teknik analisis data yang dipakai dalam menguji hipotesis analisis statistik regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Kepemimpinan wirausaha kepala SKB tidak memiliki hubungan positif dengan pengembangan karakter kewirausahaan warga belajar, (2) Budaya inovasi memiliki hubungan positif dengan pengembangan karakter kewirausahaan dan (3) Kepemimpinan wirausaha dan budaya inovasi secara bersama-sama memiliki hubungan positif dengan pengembangan karakter kewirausahaan warga belajar. Perlun sinergitas dan koordinasi yang baik secara optimal mampu memberikan kontribusi nyata dalam pendidikan karakter kewirausahaan bagaimana menjadi wirausaha yang baik dan stakholder sebagai aspek penting yang memberikan bantuan modal dan sarana prasarana dalam efektivitas pengembangan karakter wirausaha bertujuan untuk membangun budaya inovasi berwirausaha sebagai media penguatan pemberdayaan masyarakat. Kata Kunci: kewirausahaan, budaya inovasi, karakter, dan pemberdayaan masyarakat. PENDAHULUAN Pemerintah menyadari betul bahwa dunia usaha merupakan tulang punggung perekonomian nasional, sehingga harus diupayakan untuk ditingkatkan secara terus menerus. Melalui gerakan ini diharapkan karakter kewirausahaan akan menjadi bagian dari etos kerja masyarakat dan bangsa Indonesia, sehingga dapat melahirkan wirausahawan-wirausahawan baru yang handal, tangguh, dan mandiri. Kepemimpinan wirausaha merupakan kepemimpinan yang mengintegrasikan bakat para rekayator dan pemasaran dalam menciptakan proses dan produk jasa baru. Secara esensial memang ada perbedaan seseorang yang bekerja untuk memenuhi nafkah hidupnya dengan jalan bekerja dilembaga satuan pendidikan, dengan yang diberi peluang mengembangkan kreatifitas meningkatkan mutu sekaligus berkontribusi dengan kesejahteraanya. Sebelum mengembangkan jiwa kewirausahaan bagi

warga belajar, maka wirausaha harus ditanamkan terlebih dahulu bagi personil lembaga pendidikan seperti kepala SKB atau manejer, staf, guru, karyawan, implementasinya kepada warga belajar. Dengan demikian kepemimpinan wirausaha kepala harus dimiliki oleh setiap kepala SKB. Lelis (2011:4) Budaya Inovasi merupakan realisasi atas kreatifitas pikiran atau ide kepala SKB, pamong, staf serta warga belajar yang ada dilingkungan SKB itu sendiri. Kepala SKB yang memiliki jiwa wirausaha akan berinovatif tinggi akan mampu menggabungkan imajinasi dan pikiran kreatif secara sistematis dan logika. Dengan budaya inovasi segala sesuatu dapat menjadi baru, baik baru dalam konteks ruang maupun baru dalam konteks waktu. Barang dan jasa dapat dikatakan baru disuatu tempat dan tidak baru ditempat lain .tetapi saat ini kebaruan menjadi sangat universal karena akibat dari kemajuan tehnologi seakan menghapus batasan tempat


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 300 Abdul Rahmat kebaruan juga terikat waktu, yaitu pada zamannya dapat dikatakan baru tetapi di zaman berikutnya bisa dikatakan sudah usang (Tika, M.P. 2010:88). Hasil wawancara informal dengan beberapa orang lulusan SKB Kota Gorontalo menunjukkan sebagian besar (23 orang/ 92%) dari mereka bekerja diperusahaan-perusahaan dan hanya sebagian kecil (2 orang/ 8%) dari mereka berwirausaha atau bekerja sebagai wiraswasta. Hal ini berdasarkan hasil wawancara informal dengan 25 orang lulusan bulan Oktober 2013. Hasil wawancara memberikan gambaran ilustrasi jiwa wirausaha warga belajar yang sudah lulus masih sangat rendah, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor penghambat yaitu 1) kepala hanya berorientasi pada mutu akademik, hal ini digambarkan melalui kurikulum yang diterapkan belum menginternalisasikan nilai-nilai entrepreneurship yang mampu membentuk karakter entrepreneur pada warga belajar (belum adanya nilai-nilai entrepreneur ke dalam silabus dan RPP), 2) kurangnya jumlah pamong dalam melakukan pembinaan kewirausahaan untuk siswa, 3) terbatasnya pengalaman pamong dalam menanamkan jiwa kewirausahaan kepada warga belajar, 4) budaya kerja belum menampakkan semangat jiwa kewirausahaan yang dicerminkan dari aktivitas kepala SKB, pamong, tenaga administrasi bahkan warga belajar yang hanya menjadi pihak konsumtif, dan 5) terbatasnya kesempatan bagi warga belajar untuk berkreatifitas dan berinovasi dalam menumbuhkan potensi/jiwa kewirausahaan yang dimiliki. Menurut Colter (2014:3), kewirausahaan sering dikaitkan dengan proses, pembentukan, atau pertumbuhan suatu bisnis baru yang berorientasi pada pemerolehan keuntungan, penciptaan nilai dan pembentukan produk atau jasa baur yang unik dan inovatif. Kewirausahan diartikan secara harfian sebagai hal-hal yang menyangkut keberanian seseorang untuk melakukan kegiatan bisnis maupun non bisnis secara mandiri. (Daryanto dan Cahyono,2013:3). Ropke (2009:71) menyatakan kewirausahaan merupakan proses penciptaan suatu yang baru (kreasi baru) dan membuat sesuatu yang berbeda dari yang telah ada (inovasi), tujuannya adalah tercapainya kesejahteraan individu dan nilai tambah bagi

masyarakat. Karakter berwirausaha dihubungkan oleh hereditas (keturunan). Perilaku seseorang anak seringkali tidak jauh dari perilaku orang tua. Karakter juga dipengaruhi oleh lingkungan. Anak yang berada dilingkungan yang baik, cenderung akan berkarakter baik, demikian juga sebaliknya. Karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivation), dan keterampilan (skill). (Zubaedi, 2011:10). Berdasarkan definisi, di atas dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan adalah semangat, perilaku dan kemampuan untuk memberikan tanggapan yang positif dengan peluang memperoleh keuntungan untuk diri sendiri dan pelayanan yang lebih baik pada masyarakat, dengan selalu beruaha mencari dan melayani lebih banyak dan lebih baik, serta menciptakan dan menyediakan produk yang lebih bermanfaat dan menerapkan cara kerja yang lebih efisien, melalui keberanian mengambil risiko, kreativitas dan inovasi sera kemampuan manajemen. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Peneltian ini dilaksanakan di SKB Kota Gorontalo. Proses penelitian yang akan dilaksanakan diharapkan dapat selesai dalam waktu 6 bulan Juli-Desember 2015, mulai dari seminar usulan penelitian sampai penyelesaian laporan tesis. Adapun alasan peneliti menetapkan lokasi ini karena lokasi penelitian ini tidak sulit untuk di jangkau keberadaannya, sehingga dirasakan mudah bagi peneliti untuk melaksanakan penelitian. Selain itu, karena lokasinya mudah dijangkau dan terbilang dekat dengan tempat tugas peneliti maka akan menghemat biaya yang akan dikeluarkan nantinya pada saat penelitian. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan penelitian kuantitatif. Metode survei yang dimaksud adalah bersifat menjelaskan hubungan kausal dan pengujian hipotesis. Dalam metode penelitian ini ada tiga variabel yang diteliti: (1) variabel bebas atau independen variabel, terdiri atas dua buah, yakni Kepemimpinan wirausaha Kepala SKB (X1), dan budaya inovasi sekolah (X2), dan pengembangan karakter kewirausahaan (Y). Model hubungan antara ketiga variabel


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 301 Abdul Rahmat tersebut di atas dapat digambarkan dalam

bentuk desain berikut ini :

Variabel (X1) Kepemimpinan wirausaha kepala SKB

Variabel (Y) Karakter kewirausahaan warga belajar

Variabel (X2) Budaya inovasi SKB

Gambar 1. Konstalasi hubungan variabel Keterangan : perwakilan dari jumlah populasi sebagai Y : karakter kewirausahaan warga subjek penelitian. Arikunto (2006) belajar menjelaskan bahwa apabila subjek lebih X1 : kepemimpinan wirausaha dari 100 orang maka sampel diambil kepala SKB antara 10-15% atau 20-25% atau lebih. X2 : budaya inovasi SKB Teknik pengambilan sampel penelitian menggunakan Teknik Simple Random Populasi dan Sampel Pada penelitian ini populasinya Sampling, yang diperoleh berdasarkan adalah seluruh warga belajar dengan rumus Taro Yomane, Rakhmat jumlah siswa 199 orang. Sampel adalah (Riduwan, 2010)

n

N Nd 2  1

Dimana : n

= Jumlah sampel N = Jumlah populasi d2 = presisi yang ditetapkan Dalam penelitian ini jumlah 10%. Besarnya sampel diperoleh tampak populasi sebanyak 199 warga belajar, pada perhitungan berikut : dan tingkat presisi ditetapkan sebesar =

=

. ,

=(

).( ,

Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Untuk memperoleh data yang diinginkan, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu angket. Angket adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain bersedia memberikan respon (responden) sesuai dengan permintaan pengguna. Angket disebarkan pada responden dalam hal ini sebanyak 40 Tabel 1.: Skor Instrumen

=

,

= 67 responden

responden, dengan memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk menjawabnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil penjaringan data melalui instrumen penelitian yang telah diujicobakan menunjukkan hal-hal sebagaimana disampaikan pada tabel berikut:

Skor Teoritik Terenda Tertinggi h

Instrumen Variabel Karakter Kewirausahaan Warga Belajar

)

30

30

150

Skor Hasil Penelitian Terendah

Tertinggi

102

148


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 302 Abdul Rahmat

Kepemimpinan Wirausaha Kepala SKB Budaya Inovasi SKB

25

25

125

81

109

25 25 125 84 113 Secara lengkap deskripsi statistik masing-masing variabel seperti disajikan pada tabel 1 di atas dijelaskan sebagai berikut: 1. Data Pengembangan Karakter Kewirausahaan Warga Belajar (Y) Data hasil penelitian variabel terikat yaitu Pengembangan Karakter Kewirausahaan (Y) dijaring melalui penyebaran kuesioner dengan jumlah pertanyaan sebanyak 30 butir isntrumen dengan menggunakan skala pilihan jawaban skala lima (5 option), mempunyai skor teoritik antara 30 sampai 148. Sedangkan skor empirik menyebar dari skor terendah 81 sampai dengan skor tertinggi 148, dengan skor total yaitu 7460, rata-rata (M) 111,34, simpangan baku (SD) 13,510, modus (Mo) 110, Median (Me) 111 dan Varian 182,532. Untuk memberikan gambaran Pengembangan Karakter Kewirausahaan, dilakukan dengan membagi nilai rata-rata hasil penelitian dengan nilai maksimal dikalikan seratus. Setelah dilakukan perhitungan, diperoleh nilai Pengembangan Karakter Kewirausahaan adalah sebesar 75,23%. Penilaian ini memberikan gambaran secara deskriptif bahwa Pengembangan Karakter Kewirausahaan tergolong tinggi. 2. Data Kepemimpinan Wirausaha Kepala SKB (X1) Data hasil penelitian variabel terikat yaitu Kepemimpinan Wirausaha Kepala SKB (X1) dijaring melalui penyebaran kuesioner dengan jumlah pertanyaan sebanyak 25 butir isntrumen dengan menggunakan skala pilihan jawaban skala lima (5 option), mempunyai skor teoritik antara 25 sampai 109. Sedangkan skor empirik menyebar dari skor terendah 86 sampai dengan skor tertinggi 109, dengan skor total yaitu 6343, rata-rata (M) 94.67,

simpangan baku (SD) 7.762, modus (Mo) 101, Median (Me) 95.00 dan Varian 60.254. Untuk memberikan gambaran Kepemimpinan Wirausaha Kepala SKB, dilakukan dengan membagi nilai ratarata hasil penelitian dengan nilai maksimal dikalikan seratus. Setelah dilakukan perhitungan, diperoleh nilai Kepemimpinan Wirausaha Kepala SKB (X1) adalah sebesar 86,85%. Penilaian ini memberikan gambaran secara deskriptif bahwa kepemimpinan wirausaha kepala SKB Kota Gorontalo tergolong tinggi. 3. Data Budaya Inovasi SKB (X2) Data hasil penelitian variabel terikat yaitu Budaya Inovasi SKB (X2) dijaring melalui penyebaran kuesioner dengan jumlah pertanyaan sebanyak 25 butir isntrumen dengan menggunakan skala pilihan jawaban skala lima (5 option), mempunyai skor teoritik antara 25 sampai 113. Sedangkan skor empirik menyebar dari skor terendah 75 sampai dengan skor tertinggi 113, dengan skor total yaitu 6707, rata-rata (M) 100.10, simpangan baku (SD) 7.390, modus (Mo) 101 Median (Me) 101.00 dan Varian 54.610. Untuk memberikan gambaran Budaya Inovasi SKB (X2), dilakukan dengan membagi nilai rata-rata hasil penelitian dengan nilai maksimal dikalikan seratus. Setelah dilakukan perhitungan, diperoleh nilai Budaya Inovasi Sekolah (X2) adalah sebesar 88,59%. Penilaian ini memberikan gambaran secara deskriptif bahwa Budaya Inovasi SKB (X2) pada SKB Kota Gorontalo tergolong tinggi. Berdasarkan data tersebut dapat direkapitulasi angka statistik dari variabel Pengembangan Karakter


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 303 Abdul Rahmat

Wirausaha Warga Belajar (Y), Kepemimpinan Wirausaha Kepala SKB

(X1) dan Budaya Inovasi SKB (X2) sebagaimana tabel berikut.

Tabel 2: Rangkuman Perhitungan Statistik Dasar Statistics Kepemimpinan Wirausaha Kepala SKB N

Valid

67

Budaya Inovasi SKB 67

67

Missing 0 0 Mean 94.67 100.10 Median 95.00 101.00 a Mode 101 101a Std. Deviation 7.762 7.390 Variance 60.254 54.610 Range 28 29 Minimum 81 84 Maximum 109 113 Sum 6343 6707 a. Multiple modes exist. The smallest value is shown Pengujian Persyaratan Analisis Data variabel penelitian dianalisis dengan menggunakan statistik inferensial melalui teknik analisis regresi dan korelasi sederhana, regresi dan korelasi ganda, serta regresi dan korelasi parsial memerlukan beberapa persyaratan antara lain: 1) Data diambil dari sampel yang berupa pasangan data X dan Y yang diambil secara acak dan memenuhi sampel minimum. 2) Untuk setiap kelompok harga predictor X dan respons Y berdistribusi normal. 3) Hubungan pasangan data (X dan Y) bersifat linear. Sebagai persyaratan yang harus dipenuhi dalam penggunaan analisis ini, bahwa data hasil penelitian harus berdistribusi normal, oleh sebab itu perlu dilakukan pengujian normalitas data sebagai berikut. a. Pengujian Normalitas Data Tests of Normality

Pengembangan Karakter Wirausaha Warga Belajar 0 111.34 111.00 110a 13.510 182.532 67 81 148 7460

Pengujian Normalitas data dilakukan dengan SPSS 16.0 berdasarkan pada uji Tes Of Normality. Untuk mengetahui signifikan atau tidak signifikan hasil uji normalitas adalah dengan memperhatikan bilangan pada kolom sig pada Kolmogorov-Smirnov dan sebagai pembanding adalah Shapiro-Wilk. Untuk menetapkan kenormalan, kriteria yang berlaku adalah sebagai berikut: taraf signifikansi uji Îą=0,05, membandingkan p dengan taraf signifikansi yang diperoleh, Jika Sig. yang diperoleh > Îą=0,05, maka sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal, jika Sig. yang diperoleh < Îą=0,05, maka sampel bukan berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Pengujian normalitas data yang dilakukan dengan SPSS 16.0 pada Kolmogorof-Smirnov, dapat dilihat pada tabel berikut: Uji Normalitas Data


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 304 Abdul Rahmat

Kolmogorov-Smirnova Statistic Kepemimpinan Wirausaha Kepala SKB Budaya Inovasi SKB Pengembangan Karakter Wirausaha Warga Belajar

df

Sig.

Shapiro-Wilk Statistic

df

Sig.

.092

67

.200*

.965

67

.057

.067

67

.200*

.977

67

.254

.065

67

.200*

.987

67

.687

Uji linieritas dilakukan dengan a. Lilliefors Significance Correction mencari persamaan garis regresi variabel *. This is a lower bound of the true significance. bebas X1 Terhadap variabel terikat Y. Pada hasil di atas diperoleh semua berdasarkan garis regresi yang telah Sig. di atas 0,05. Dengan demikian, data dibuat selanjutnya diuji keberartian berdistribusi normal pada taraf koefisien garis regresi serta signifikansi 0,05. linieritasnya. Uji linieritas antara b. Pengujian Linearitas variabel bebas X1 dengan variabel 1) Uji Linieritas Variabel X1 Terhadap terikat Y menggunakan SPSS 16.0 dan Y hasil pengujian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4: Pengujian Linieritas Variabel X1 Terhadap Y

ANOVA Pengembangan Karakter Wirausaha Peserta Didik Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups 3732.604 24 155.525 .786 .733 Within Groups 8314.500 42 197.964 Total 12047.104 66 Hasil analisis pada tabel 4.4 Îą=0,05 maka Ho di tolak. Berdasarkan menunjukkan bahwa harga F sebesar hasil perhitungan bahwa sig 0,786 dengan signifikan 0,733. (0,733>Îą=0,05), berarti model regresi Interprestasi hasil analisis dilakukan linear. dengan: Jika nilai signifikansi yang diperoleh < Îą=0,05 maka Ho diterima, 2) Uji Linieritas Variabel X2 Terhadap dan apabila nilai signifikansinya > Y Tabel 5: Pengujian Linieritas Variabel X2 Terhadap Y ANOVA Pengembangan Karakter Wirausaha Peserta Didik Between Groups Within Groups Total

Sum of Squares df

Mean Square

F

Sig.

8623.188 3423.917 12047.104

344.928 83.510

4.130

.100

25 41 66


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 305 Abdul Rahmat

Hasil analisis pada tabel 4.5 menunjukkan bahwa harga F sebesar 4,130 dengan signifikan 0,100. Interprestasi hasil analisis dilakukan dengan: Jika nilai signifikansi yang diperoleh < α=0,05 maka Ho diterima, dan apabila nilai signifikansinya > α=0,05 maka Ho di tolak. Berdasarkan hasil perhitungan bahwa sig (0,100> α=0,05), berarti model regresi linear. Pengujian Hipotesis a) Hubungan kepemimpinan wirausaha kepala SKB (X1) dengan pengembangan karakter kewirausahaan warga belajar (Y) Hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah “terdapat hubungan kepemimpinan wirausaha kepala SKB dengan pengembangan karakter kewirausahaan warga belajar”,. Pengujian hipoteiss penelitian tersebut dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi, taraf signifikansi, koefisien determinasi. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh besarnya koefisien korelasi antara kepemimpinan wirausaha (X1) dengan pengembangan karakter kewirausahaan (Y) adalah -0,087. Nilai ini mempunyai arti bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut tergolong sangat rendah. Koefisien korelasi negatif (-0,087) menunjukkan bahwa hubungan antara kepemimpinan wirausaha dengan pengembangan karakter kewirausahaan tidak searah (berbanding terbalik). Artinya pengembangan karakter kewirausahaan peserta didik tidak memiliki keterkaitan dengan kepemimpinan wirausaha kepala SKB. Untuk menentukan apakah hubungan antara kepemimpinan wirausaha kepala SKB dengan pengembangan karakter kewirausahaan signifikan atau tidak dilakukan dengan kriteria sebagai berikut: Taraf signifikansi yang digunakan asalah α=0,05, membandingkan ρ dengan taraf signifikansi yang diperoleh. Jika Sig. yang diperoleh <0,05, maka

hubungan tersebut signifikan, jika Sig. yang diperoleh >0,05, maka hubungan tersebut tidak signifikan. Berdasarkan hasil perhitungan menghasilkan angka signifikansi (angka probabilitas) sebesar 0,485. Karena angka 0,485 > 0,05, ini mempunyai arti bahwa hubungan antara kepemimpinan wirausaha kepala sekolah dengan pengembangan karakter kewirausahaan adalah tidak signifikan. Setelah diperoleh koefisien korelasi dan signifikansi, maka selanjutnya dilakukan perhitungan terhadap koefisien determinasi. Perhitungan koefisien determinasi diperoleh sebagai hasil kuadrat dari koefisien determinasi sebesar -0,087. Angka ini mempunyai arti bahwa pengembangan karakter kewirausahaan tidak memiliki hubungan dengan variabel kepemimpinan wirausaha. b) Hubungan budaya inovasi sekolah (X2) dengan pengembangan karakter kewirausahaan peserta didik (Y) Hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah “terdapat hubungan budaya inovasi dengan pengembangan karakter kewirausahaan”,. Pengujian hipotesis penelitian tersebut dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi, taraf signifikansi, koefisien determinasi. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh besarnya koefisien korelasi antara budaya inovasi (X2) dengan pengembangan karakter kewirausahaan (Y) adalah 0,687. Nilai ini mempunyai arti bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut tergolong kuat. Koefisien korelasi positif (0,687) menunjukkan bahwa hubungan antara budaya inovasi dengan pengembangan karakter kewirausahaan searah. Artinya pengembangan karakter kewirausahaan memiliki keterkaitan dengan budaya inovasi. Untuk menentukan apakah hubungan antara budaya inovasi dengan pengembangan karakter kewirausahaan signifikan atau tidak dilakukan dengan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 306 Abdul Rahmat

kriteria sebagai berikut: Taraf signifikansi yang digunakan asalah Îą=0,05, membandingkan Ď dengan taraf signifikansi yang diperoleh. Jika Sig. yang diperoleh <0,05, maka hubungan tersebut signifikan, jika Sig. yang diperoleh >0,05, maka hubungan tersebut tidak signifikan. Berdasarkan hasil perhitungan menghasilkan angka signifikansi (angka probabilitas) sebesar 0,000. Karena angka 0,000<0,05, ini mempunyai arti bahwa hubungan antara budaya inovasi sekolah dengan pengembangan karakter kewirausahaan adalah signifikan. Setelah diperoleh koefisien korelasi dan signifikansi, maka selanjutnya dilakukan perhitungan terhadap koefisien determinasi. Perhitungan koefisien determinasi diperoleh sebagai hasil kuadrat dari koefisien determinasi sebesar 0,364. Angka ini mempunyai arti bahwa sebesar 36,40% variasi dari variabel Y (pengembangan karakter kewirausahaan) dapat diterangkan

dengan variabel X2 (budaya inovasi), sedangkan sisanya 63,60% diterangkan oleh faktor lain. c) Hubungan kepemimpinan wirausaha (X1) dan budaya inovasi (X2) secara bersama-sama dengan pengembangan karakter kewirausahaan (Y) Hipotesis ketiga yang diajukan dalam penelitian ini menyatakan bahwa “terdapat hubungan kepemimpinan wirausaha dan budaya inovasi secara bersama-sama dengan pengembangan karakter kewirausahaan. Pengujian hipotesis penelitian ini menggunakan analisis korelasi untuk menghitung besarnya koefisien koralasi, taraf signifikansi, koefisien determinasi. Untuk mengetahui hubungan secara simultan antara kepemimpinan wirausaha dan budaya inovasi dengan pengembangan karakter kewirausahaan, digunakan analisis koefisien determinasi dengan menggunakan SPSS 16,0. Hasil perhitungannya seperti tabel berikut:

Tabel 6: Model Summary Model Summary Model

R a

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .707 .499 .484 9.707 a. Predictors: (Constant), Budaya Inovasi Sekolah, Kepemimpinan Wirausaha Berdasarkan hasil perhitungan dapat Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui bahwa koefisien korelasi diketahui nilai R Square yang diperoleh berganda (R) = 0,707 yang adalah sebesar 0,499 atau 49,90%. menunjukkan adanya hubungan positif Sedangkan nilai Adjusted R Square secara bersama-sama antara yang diperoleh adalah sebesar 0,484 kepemimpinan wirausaha dan budaya atau 48,80%. Karena dalam penelitian inovasi dengan pengembangan karakter ini digunakan dua variabel bebas maka kewirausahaan. koefisisen determinasi yang digunakan Setelah diketahui ada korelasi adalah angka nilai Adjusted R Square positif secara bersama-sama antara sebesar 48,80%. Angka ini mempunyai variabel X1 dan X2 dengan variabel Y, arti bahwa sebesar 48,80% variasi selanjutnya digunakan analisis variabel Y (pengembangan karakter determinasi yang dimaksudkan untuk kewirausahaan peserta didik) dapat mengetahui seberapa besar derajat diterangkan dengan variabel X1 keeratan hubungan dengan antara (Kepemimpinan wirausaha) dan X2 kepemimpinan wirausaha dan budaya (Budaya inovasi). inovasi dengan pengembangan karakter Untuk mengetahui apakah variabel kewirausahaan. X1 (Kepemimpinan wirausaha) dan X2


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 307 Abdul Rahmat

(Budaya inovasi) secara simultan (Kepemimpinan wirausaha) dan X2 berpengaruh signifikan terhadap (Budaya inovasi) secara simultan variabel Y (pengembangan karakter berpengaruh signifikan terhadap kewirausahaan), digunakan uji F. tingkat variabel Y (pengembangan karakter signifikansi yang digunakan adalah 0,05. kewirausahaan). Uji F dilakukan dengan Kriteria pengujian yang digunakan, program SPSS 16.00 dan hasil apabila nilai signifikansi hasil perhitungannya seperti pada tabel perhitungan <0,05, maka variabel X1 berikut: 7: Analisis Of Varians (ANOVA) ANOVAb Model 1

Sum of Squares

df

Mean Square

Regression

6016.109

2

3008.054

Residual

6030.996

64

94.234

F

Sig. .000a

31.921

Total 12047.104 66 a. Predictors: (Constant), Budaya Inovasi Sekolah, Kepemimpinan Wirausaha b. Dependent Variable: Pengembangan Karakter Wirausaha Berdasarkan hasil perhitungan uji peserta didik. Artinya kepemimpinan Anova menghasilkan angka F sebesar wirausaha dan budaya inovasi secara 31,921 dengan tingkat signifikansi simultan berpengaruh positif dengan (angka probabilitas) sebesar 0,000. pengembangan karakter wirausaha. Untuk dapat digunakan sebagai model Untuk mengetahui variabel regresi dapat digunakan dalam kepemimpinan wirausaha dan budaya memprediksi variabel tergantung maka inovasi dengan pengembangan karakter angka signifikansi/probabilitas (Sig) wirausaha bersifat prediktif atau tidak, harus <0,05. Karena angka 0,000<0,05, maka dilakukan analisis regresi ganda. maka model regresi ini sudah layak Perhitungan menggunakan SPSS 16.0 untuk digunakan dalam memprediksi seperti tabel berikut: pengembangan karakter wirausaha 8: Coefficients Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients B

1 (Constant)

9.559

Kepemimpinan -.289 Wirausaha

Standardized Coefficients

Std. Error

Sig.

Beta

20.690 .155

t

.462 -.166

Collinearity Statistics Tolera VIF nce

.646

-1.868 .066

.987

1.013

Budaya Inovasi 1.290 .163 .706 7.930 .000 .987 1.013 a. Dependent Variable: Pengembangan Karakter Wirausaha Berdasarkan hasil perhitungan pada ᝸=9,559+-0,289X1+1,290X2. Hal ini tabel 4.10, regresi b1 sebesar -0,289 dan berarti dapat menjelaskan ramalan yang b2 sebesar 1,290 dan konstanta atau a akan menyatakan bahwa setiap kali sebesar 9,559. Maka dapat digambarkan terjadi peningkatan satu unit bentuk hubungan antara kedua variabel pengembangan karakter wirausaha, akan tersebut oleh persamaan regresi diikuti dengan meningkatnya budaya


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 308 Abdul Rahmat

inovasi sebesar 1,000 (1,290) unit pada konstanta 9,559, namun berbeda dengan kepemimpinan wirausaha kepala sekolah, meskipun tidak memberikan pengaruh terhadap pengembangan karakter wirausaha peserta didik meskipun mengalami penurunan sebesar satu unit. Untuk menguji pengaruh secara parsial variabel Kepemimpinan Wirausaha dan budaya inovasi dengan pengembangan karakter wirausaha, uji yang digunakan adalah uji t. berdasarkan hasil perhitungan, uji t terlihat pada kolom Sig. (angka probabilitas) ketiga

Pembahasan 1. Hubungan kepemimpinan wirausaha (X1) dengan pengembangan karakter kewirausahaan (Y). Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan bahwa kepemimpinan wirausaha tidak memiliki Hasil perhitungan analisis korelasi diperkuat dengan hasil perhitungan menghasilkan angka signifikansi (angka probabilitas) yaitu sebesar 0,485. Karena angka 0,485 > 0,05, ini mempunyai arti bahwa hubungan antara kepemimpinan wirausaha dengan pengembangan karakter kewirausahaan adalah tidak signifikan. 2. Hubungan budaya inovasi (X2) dengan pengembangan karakter kewirausahaan (Y). Berdasarkan hasil penelitian ini terdapat hubungan yang positif antara budaya inovasi dengan pengembangan karakter kewirausahaan. Berdasarkan tingkat hubungan budaya inovasi dengan pengembangan karakter kewirausahaan adalah 0,687. Nilai korelasi 0,687 mempunyai hubungan antara kedua variabel tersebut kuat. Hasil penelitian

variabel tersebut, yaitu konstanta, dan Kepemimpinan Wirausaha Kepala Sekolah kurang dari Sig. 0,05 sedangkan budaya inovasi kurang dari Sig. 0,05. Untuk mengetahui tingkat signifikan, maka angka signifikansi/probabilitas harus <0,05. Karena berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana pada tabel 4.9 angka signifikansi dari ketiga variabel tersebut, hanya variabel budaya inovasi sekolah yang <0,05, ini mengandung arti bahwa kepemimpinan wirausaha dan budaya inovasi secara parsial tidak berpengaruh signifikan dengan pengembangan karakter wirausaha. hubungan yang positif/signifikan dengan pengembangan karakter kewirausahaan. Hal tersebut didasari dengan pengujian korelasi menggunakan SPSS 16.0 yang memperoleh besarnya koefisien korelasi antara kepemimpinan wirausaha (X1) dengan pengembangan karakter kewirausahaan (Y) adalah -0,087. Artinya pengembangan karakter kewirausahaan peserta didik tidak memiliki keterkaitan/hubungan dengan kepemimpinan wirausaha. ini juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara budaya inovasi dengan pengembangan karakter kewirausahaan. Ini mengandung arti bahwa jika variabel budaya inovasi meningkat maka pengembangan karakter wirausaha akan semakin efektif. 3. Hubungan kepemimpinan wirausaha (X1) dan budaya inovasi (X2) secara bersama-sama dengan pengembangan karakter kewirausahaan (Y). Berdasarkan hasil penelitian ini terdapat hubungan yang positif secara bersama-sama antara kepemimpinan wirausaha dan budaya inovasi dengan pengembangan karakter kewirausahaan. Berdasarkan hasil penelitian, nilai korelasi tersebut adalah 0,488 yang berarti bahwa hubungan secara bersama-


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 309 Abdul Rahmat

sama antara kedua variabel tersebut sedang. Hasil penelitian ini juga menujukkan adanya pengaruh yang signifikan secara bersama-sama antara kepemimpinan wirausaha dan budaya

inovasi dengan pengembangan karakter kewirausahaan. Hal ini berarti bahwa jika variabel kepemimpinan wirausaha dan budaya inovasi baik maka pengembangan karakter kewirausaha peserta didik juga akan efektif.

Simpulan Dan Saran Simpulan Berdasarkan hasil pengolahan dan interprestasi data terhadap variable di atas, maka dapat ditarik beberapa simpulan, yaitu: 1. Kepemimpinan wirausaha kepala SKB tidak memiliki hubungan positif dengan pengembangan karakter kewirausahaan warga belajar. 2. Budaya Inovasi SKB memiliki hubungan positif dengan Pengembangan Karakter Kewirausahaan warga belajar di SKB Kota Gorontalo. 3. Kepemimpinan Wirausaha Kepala SKB dan Budaya Inovasi secara bersama-sama memiliki hubungan positif dengan Pengembangan Karakter Kewirausahaan warga belajar di SKB Kota Gorontalo.

Berdasarkan simpulan di atas, dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: 1. Dalam peningkatan pengembangan karakter kewirausahaan, perlunya sinergitas dan koordinasi yang baik dengan segenap komponen baik warga sekolah maupun stakholder yang secara optimal mampu memberikan kontribusi nyata dalam pendidikan karakter kewirausahaan. 2. Para pengambil kebijkan untuk mengupayakan dalam memberikan pembinaan kepada kepala SKB dan pamong mengenai pentingnya pengembangan jiwa kewirausahaan warga belajar di tengah-tengah era globalisasi saat ini. 3. Untuk penelitian selanjutnya agar dapat mengembangkan variabel yang digunakan dalam penelitian ini, atau menambah variabel yang terkait dengan pengembangan karakter kewirausahaan warga belajar.

Saran

DAFTAR PUSTAKA Chatab, Nevizond. 2007. Profil Budaya Organisasi. Bandung: Alfabeta Colter,Mary. 2000. Entrepreneurship in Action. USA:Prentice Hall Danim, Sudarwan. 2010. Kepemimpinan Pendidikan. Bandung: Alfabeta Daryanto dan Cahyono. 2013. Kewirausahaan. Yogyakarta: Gava Media Gunawan, Heri. 2012. Pendidikan Karakter. Bandung: Afabeta Lelis. 2011. Menumbuhkembangkan kepemimpinan wirausaha

dalam sistem manajemen pendidikan. Jakarta: Universitas Indonesia Maredith, Geoffrey. G. 2005. The Practice of Entrepreneurship.Genewa: International Labor Organization. Ropke,J. 2004. On Creating Entrepreneurial Energy in the Ekonomi Rakyat the case of Indonesian Cooperatives. (ISEI,Bandung) Jurnal Ekonomi Kewirausahaan. Volume III. No. 2. Juli 2004:43-61


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 310 Abdul Rahmat

Surya,Yuyus dan Bayu, Kartib. 2013. Kewirausahaan, Pendekatan karakteristik Wirausahawan Sukses. Jakarta: Kencana Sutrisno, Joko. 2003. Pengembangan Pendidikan Berwawasan Kewirausahaan Sejak Usia Dini. Jakarta: Depdiknas. Tika, M.P. 2010. Budaya Organisasi dan Peningkatan Wahab, Abdul Aziz. 2011. Anatomi

Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Wirasaputra, Totok. 2004. Entrepreneur: Anda merdeka jadi Bos. Jakarta: Tridarma Manunggal. Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Profil Singkat Penulis Abdul Rahmat, lahir di Sukabumi, 05 Maret 1978. Ia menyelesaikan program strata satu (SI) tahun 2002 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tahun 2004 ia memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Universitas Negeri Yogyakarta. Pada tahun 2012, ia memperoleh gelar Doktor (S3) di Universitas Negeri Jakarta. Sejak tahun 2008, ia mengabdi pada Universitas Negeri Gorontalo, baik sebagai dosen pengasuh mata kuliah ilmu pendidikan dan manajemen maupun sebagai pengelola, pembimbing dan pengembang kreativitas wirausaha mahasiswa. Sebagai akademisi, Abdul Rahmat aktif melakukan berbagai kegiatan keilmuan di tingkat regional dan nasional. Dia telah banyak menghadiri seminar di berbagai kampus dan provinsi, baik sebagai peserta maupun sebagai pembicara dan beberapa karyanya telah dimuat di jurnal nasional dan internasional, buku serta media cetak. Abdul Rahmat juga aktif dalam berbagai lembaga kajian dan pengembangan pendidikan. Sekarang sementara menjabat sebagai kepala pusat penguatan karakter dan PPL di Universitas Negeri Gorontalo dan dosen tetap pada prodi pendidikan luar sekolah Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo. Korespondensi melalui abdulrahmat@ung.ac.id atau 081244384444.


KEMITRAAN STRATEGIS UNTUK PENGUATAN PUSAT KEGIATAN BELAJAR MASYARAKAT (PKBM) YANG BERMUTU DAN BERKELANJUTAN Muhammad Arief Rizka1) dan Suharyani 2) Program Studi Pendidikan Luar Sekolah, FIP IKIP Mataram 1), 2) Email: m.ariefrizka@gmail.com1) dan suharyani.pls.ikip.mataram@gmail.com2) Abstrak Eksistensi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang semakin dinamis menjadi peluang strategis untuk dapat memberikan layanan Pendidikan Non Formal (PNF) yang lebih akomodatif bagi masyarakat. Kondisi aktual Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di satu sisi masih belum mampu memberikan garansi kualitas output dari penyelenggaraan program PNF, sehingga pengembangan kemitraan dengan berbagai stakeholders perlu untuk ditingkatkan. Melalui kemitraan strategis yang dikembangkan secara sinergis, esensinya adalah membangun kepercayaan dan terciptanya hubungan mutualis yang saling menguatkan sehingga penyelenggaran program PNF yang lebih bermutu dan berkelanjutan dapat terwujud secara optimal. Selain itu, melalui kemitraan yang luas akan memberikan peluang bagi pengembangan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) untuk dapat meningkatkan kualitas serta kuantitas sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kelembagaan. Kata kunci: Kemitraan, PKBM, Mutu, dan Berkelanjutan Abstract

Existence of CLC increasingly dinamic became a strategic opportunity could give services in Non Formal Education was more accomodating for community. Actual condition of CLC in one side was still not able to give guarantee quality of output from organization of PNF program, so that development of partnerships with various stakeholders needed to be improved. Through strategic partnerships developed in synergy, it built trust and created a mutual relationship so that the delivery of PNF program was higher quality and more sustainable could be realized optimally. In addition, through a broad partnership would provide opportunities in developing CLC could improve quality and quantity of resources based on society and institution needed. Keywords: partnerships, CLC, quality, and sustainable

PENDAHULUAN Dinamika kebutuhan belajar masyarakat yang semakin variatif dan memiliki diferensiasi pola, menunjukkan bahwa masyarakat telah mulai proaktif untuk mengembangkan wadahwadah pembelajaran yang aspiratif terhadap kebutuhan belajarnya. Dalam konteks kontemporer, masyarakat sudah mulai mengalami pergeseran values dalam berbagai aspek dan tentu ini memiliki konsekuensi logis terhadap pemenuhan kebutuhan hidupnya terutama dalam memperoleh informasi untuk kepentingan pengembangan diri, lingkungan, dan masyarakat secara keseluruhan. Akan tetapi, pergeseran yang terjadi juga menunjukkan bahwa era informasi (information

era) yang berkembangan pesat telah mengalami reduksi substansi dan bergerak ke arah era konseptual (conseptual era) (Pink, 2005), artinya bahwa masyarakat yang kreatif dan inovatif yang akan mampu menggerakkan roda kehidupan ke arah yang lebih baik. Perkembangan eksistensi satuan-satuan pendidikan memberikan harapan positif terhadap kemudahan akses layanan pendidikan yang bermutu dan berkeadilan bagi masyarakat. Dalam realitanya, kemudahan akses layanan pendidikan tersebut masih menemui hambatanhambatan sehingga menuntut eksistensi satuan pendidikan yang lebih akomodatif terhadap perkembangan kebutuhan belajar dan relevan dengan tuntutan kehidupan masyarakat. Satuan pendidikan formal (baca:: Sekolah) yang

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 312 Muhammad Arief Rizka dan Suharyani banyak berkembang dari sisi kuantitas, belum bisa memberikan garansi bagi kemudahan masyarakat untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu, sehingga urgensinya dibutuhkan satuan pendidikan yang lebih akomodatif dengan masyatakat, mengerti dan memahami akan kebutuhan belajar masyarakat, serta memiliki nilai tambah (added values) yang bersifat fungsional. Dalam konteks ini, satuan Pendidikan Non Formal (PNF) dapat menjadi prioritas sebagai wadah strategis pengembangan sumber daya manusia dan bukan hanya menjadi wadah alternatif. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 26 ayat (4) dijelaskan bahwa “Satuan Pendidikan Non Formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis”. Dalam dinamika perkembangannya di tengah-tengah masyarakat, eksistensi satuan Pendidikan Non Formal (PNF) semakin variatif dan dari sisi kuantitas menunjukkan tingkat pertumbuhan yang dinamis. Artinya bahwa, kebutuhan masyarakat akan eksistensi satuan Pendidikan Non Formal (PNF) telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan (inseparedability) dari upaya pengembangan masyarakat secara holistik. Sebagai contoh, perkembangan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) telah menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dengan berbagai konten program yang variatif dan akomodatif. Di sisi lain, realitas di lapangan menggambarkan bahwa eksistensi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) tersebut sebagian besar masih terbatas pada aktivitas rutinitas tanpa diperkuat dengan manajemen kelembagaan yang profesional dan memadai sehingga menyebabkan mutu (kualitas) dan keberlanjutan program masih menjadi persoalan utama. Dampak dari hal tersebut, eksistensi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) menjadi hanya terbatas pada aspek “implementasi”, belum secara menyeluruh untuk melalukan improvisasi dan bahkan inovasi. Untuk mengatasi persoalan tersebut, kemitraan atau kerjasama antar satuan atau lembaga maupun stakeholders (pemangku kepentingan) lainnya menjadi relevan dan sangat dibutuhakan untuk dapat memberikan penguatan dan pengembangan bagi peningkatan mutu dan keberlanjutan Pusat Kegiatan Belajar

Masyarakat (PKBM). Melalui kemitraan juga dapat memberikan dampak jangka panjang untuk bersama-sama mengembangkan metode bagi pencapaian visi secara kolektif. Pada dasarnya, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) memiliki hubungan interelasi dan interdependensi dengan masyarakat secara keseluruhan, sehingga untuk memperkuat eksistensi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) diperlukan komitmen dan sinergitas dalam pengembangan kerjasama yang akomodatif dan lebih mengembangkan dimensi mutualistik. PEMBAHASAN Konsep kemitraan Kemitraan atau jejaring kerja dilihat dari perspektif etimologis diadaptasi dari kata partnership yang berasal dari kata partner. Ensensi dari kata partner dapat dimaknai sebagai pasangan, jodoh, kampanyon, atau sekutu. Sedangkan partnership dimaknai sebagai perkongsian atau persekutuan. Sehingga definisi kemitraan dapat djelaskan sebagai suatu bentuk persekutuan antara dua pihak atau lebih yang membentuk ikatan kerjasama atas dasar kesepakatan dan rasa saling membutuhkan dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kapabilitas di suatu bidang tertentu sehingga dapat memperoleh hasil yang lebih baik (Sulistiyani, 2004). Eksplanasi dari Frank Minirth dalam Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan (2010) terkait dengan kemitraan mendefinisikan sebagai seni berkomunikasi satu sama lain, berbagi ide, informasi, pengalaman, dan sumber daya untuk meraih tujuan atau kesuksesan individu atau kelompok. “Networking is a process of getting together to get ahead. It is the building of mutually beneficial relationship”. Kemitraan adalah proses kebersamaan. Selain itu, kemitraan merupakan jaringan hubungan yang saling memberikan manfaat dan saling meguntungkan. Secara garis besar dalam membangun kemitraan haruslah berlandaskan prinsip saling menguntungkan dan komunikasi dua arah. Bertolak dari konsep tersebut, kemitraan pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) pada dasarnya dapat terbentuk apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Ada dua belah pihak atau lebih lembaga/organisasi

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 313 Nama Penulis 2. Memiliki kesamaan visi maupun misi dalam mencapai tujuan lembaga/organisasi maupun masyarakat 3. Memiliki kesepakatan atau kesepahaman tujuan 4. Saling percaya (trust) dan saling membutuhkan 5. Memiliki komitmen bersama untuk mencapai tujuan yang lebih besar Rasional dari pengembangan kemitraan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) tersebut merupakan suatu keniscayaan di tengah-tengah tinginya tingkat kompetisi antar satuan pendidikan. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang memiliki konsep mutu dalam pelayanannya akan mendapatkan respon dan apresiasi yang positif dari masyarakat sebagai sasaran maupun dari stakeholders lainnya. Sehingga membangun kemitraan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dengan komponen atau pemangku kepentingan lainnya yang memiliki kesamaan visi menjadi salah satu upaya strategis dalam melakukan penguatan kapasitas kelembagaan secara berkelanjutan. Membangun kemitraan strategis dengan masyarakat maupun stakeholders kunci lainnya menjadi sangat potensial untuk pengembangan eksistensi ke depan, baik secara personal maupun secara organisasional. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dalam konteks kekinian masih sulit bertahan dan memiliki daya saing tanpa berupaya membangun kemitraan. Perkembangan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang berkembang di masyarakat dari sisi kuantitas, masih berjalan dengan pola manajemen “as usual” (rutinitas). Tendensi (kecenderungan) dari pelayanan program Pendidikan Non formal (PNF) yang bermutu dan dapat memberikan garansi keberlanjutan bagi masyarakat masih menjadi persoalan sekaligus tantangan utama. Hal ini pada dasarnya disebabkan karena beberapa faktor, antara lain yaitu: 1. Sumber daya manusia PKBM yang “qualified” terbatas Kondisi faktual dari keberadaan pengelola maupun pelaksana programprogram PNF di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) masih terbatas dari sisi kuantitas maupun kualitas. Persoalan distribusi, kualifikasi, maupun kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan di Pusat Kegiatan

Belajar Masyarakat (PKBM) masih menjadi titik sentral kelemahan. Minimnya PTK PNF yang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang standart dapat menjadi penghambat pencapain pelayanan program PNF yang bermutu bagi masyarakat. Penguasaan kompetensi yang rendah dari PTK PNF secara korelatif berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat untuk dapat memperoleh pelayanan program pendidikan masyarakat yang bermutu. 2. Potensi sumber daya dilingkungan PKBM belum di berdayakan Sumber daya yang ada dilingkungan sekitar PKBM pada dasarnya sangat variatif dan potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber kekuatan dalam mendukung eksistensi peyelenggaran program PNF. Sumber daya teknologi, sumber daya alam, sumber daya manteri, maupun sumber daya manusia yang ada di masyarakat perlu diidentifikasi, digali, ditelaah, dan dianalisis untuk kepetingan pendukung penyelenggaran PNF di masyarakat. Masih banyak potensi sumber daya yang ada di masyarakat sifatnya hanya digunakan sebagai pelengkap dan penambah, yang seharusnya potensipotensi tersebut harus menjadi sumber dinamisator pengembangan PKBM. Pengembangan program-program PNF yang berbasis pada kearifan lokal dalam konteks kekinian lebih impresif dan memiliki nilai tambah jika dikomparasikan dengan program yang sifatnya “percontohan”. 3. Tingginya Miss-Match Penyelenggaraan program PNF di PKBM yang semakin berkembang di satu sisi belum disesuaikan dengan permintaan kebutuhan pasar atau kebutuhan masyarakat sebagai ‘pengguna’. Program-program PNF masih berjalan secara linear dengan kurang melakukan analisis strategis terhadap kebutuhan eksternal yang semakin dinamis dan simplistik. Tingginya miss-match dalam implementasi program-program PNF di PKBM berimplikasi pada rendahnya tingkat efektivitas dalam mengatasi masalah yang relevan dengan

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 314 Muhammad Arief Rizka dan Suharyani kebutuhan masyarakat. Untuk meningkatkan efektivitas dalam konteks keterpaduan program PNF, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) harus mampu menyesuaikan kapasitas yang dimiliki baik kapasitas internal maupun eksternal untuk mewujudkan keterhubungan dan kesesuaian output program dengan kebutuhan masyarakat. 4. Trend kebutuhan “pasar” yang selalu berubah Kondisi lingkungan eksternal yang dinamis dapat memberikan implikasi pada kemampuan daya tahan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) untuk memberikan pelayanan pendidikan yang lebih optimal. Ketidakmampuan membaca dan mengidentifikasi kebutuhan layanan pendidikan masyarakat yang semakin kompleks menjadikan menurunya kepercayaan masyarakat terhadap keberdaan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Sehingga kapasitas untuk dapat menyesuaikan “diri” dengan perubahan-perubahan lingkungan eksternal sangat penting untuk dikembangkan. 5. Dampak nir mutu, kesulitan “job order” Pola penyelenggaran program PNF yang masih bertumpu pada “hasil” pada konteks kekinian menjadi kurang relevan untuk menjawab kebutuhan akan mutu dari output layanan pendidikan. Budaya mutu pada prinsipnya harus menjadi panduan penyelenggaran program PNF di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sehingga akan berimplikasi pada meningkatkanya kepuasan “pelanggan” baik internal maupun eksternal. Di satu sisi, masyarakat sebagai sasaran Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) membutuhkan inovasi program-program yang dapat memberikan kontribusi langsung bagi pengembangan kualitas kehidupan masyarakat, baik untuk peningkatkan skills (keterampilan) bagi kebutuhan kerja maupun pengembangan taraf kehidupan ke arah yang lebih baik. Dinamika PKBM yang terus berkembang, tidak cukup hanya mengandalkan kekuatan internal yang ada, akan tetapi dimensi eksternal harus

mampu diterjemahkan secara cermat dan adaptif karena kekuatan dari sisi eksternal pada dasarnya menjadi penguat untuk eksistensi mutu pelayanan program PNF. Di samping itu, program Pendidikan Non Formal (PNF) yang berbasis kebutuhan masyarakat merupakan program yang tidak hanya memfokuskan pada kebutuhan jangka pendek, akan tetapi lebih berorientasi untuk pemenuhan jangka panjang. Sustainabilitas program Pendidikan Non Formal (PNF) adalah kemampuan suatu program untuk tetap eksis (terselenggara) dengan memenuhi aspek standar mutu dalam mengelola berbagai masukan (input) untuk berkembang dan berproduksi dengan stabil sehingga masukan tersebut menghasilkan nilai output (keluaran) yang optimal. Orientasi Kemitraan PKBM Membangun kemitraan pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan suatu keniscayaan di tengah arus lingkungan eksternal yang semakin dinamis dan penuh ketidakpastian. Menurut Tennyson (2003) membangun kemitraan “provides a new opprtunity for doing development better – by recognising the qualities and competencies and finding new ways of harnessing these for the common good”. Kemitraan antar lembaga dan stakeholders yang dikembangkan secara terstruktur serta dilatarbelakangi atas dasar persamaan visi, lebih dapat memberikan garansi pelayanan program PNF yang bermutu. Dari sisi sustainability (keberlanjutan) program, dengan adanya kemitraan yang solid dapat membawa arah pegembangan program yang terus dapat melakukan improvisasi dan bahkan inovasi sehingga eksistensi organisasional dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) menjadi lebih prospektif. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) harus dapat membangun kemitraan yang strategis dengan berbagai stakeholders baik yang bergerak diranah akademisi, birokrasi, swasta, maupun diranah “user” dari output program PNF tersebut. Membangun kemitraan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) pada umumnya bertujuan untuk (Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan, 2010): 1. Meningkatkan partisipasi masyarakat Pada dasarnya tujuan membangun kemitraan adalah membangun kesadaran masyarakat terhadap

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 315 Nama Penulis eksistensi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), menumbuhkan minat dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan PKBM karena pada dasarnya masyarakat yang harus aktif untuk menggerakkan PKBM tersebut agar lebih akomodatif. Masyarakat disini memiliki arti luas tidak hanya warga belajar sebagai sasaran, akan tetapi juga penerima manfaat (pengguna lulusan/user), dinas atau lembaga yang terkait, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga pendidikan, dunia usaha dunia industri (DUDI), tokoh atau elemen masyarakat, dan stakeholders lainnya. 2. Peningkatan mutu dan relevansi Dinamika perubahan masyarakat yang sangat tinggi menjadikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) harus mampu untuk bersaing dengan “kompetitor” yang lain. Oleh karena itu, PKBM dituntut untuk terus melakukan inovasi, peningkatan mutu dan relevansi program sesuai dengan kebutuhan masyarakat (pasar). Melalui pengembangan kemitraan ditujukan guna merancang program-program PNF yang inovatif, meningkatkan mutu layanan dan relevansi program dengan kebutuhan masyarakat luas. 3. Mensinergikan program Pada dasarnya jika terbangun kemitraan yang baik, banyak program-program dari berbagai pihak atau stakeholders yang dapat disinergikan dengan program kerja Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Misalnya, setiap perusahan baik milik pemerintah atau swasta pasti memiliki program Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan yang dapat disinergikan dengan program yang dileneggarakan oleh PKBM. Selain itu, lembaga-lembaga pendidikan formal (sekolah) yang belum memiliki laboratorium seperti laboratorium bahasa inggris, komputer, maupun dalam bentuk bengkel kerja dapat bermitra dengan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). 4. Meningkatkan daya serap output Banyak Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang bergerak

dalam pengembangan skills atau keterampilan masyarakat masih memiliki pandangan bahwa setelah warga belajar mengikuti proses pembelajaran dan lulus ujian kompetensi maka selesailah tanggung jawab lembaga tersebut. Dalam konteks kekinian paradigma tersebut harus dirubah dengan memperhatikan pada aspek “outcome” suatu program yakni sampai pada tahap penempatan dan penyerapan output (lulusan) ke dunia kerja. Oleh karena itu, salah satu tujuan kemitraan PKBM adalah untuk meningkatkan daya serap output program PNF ke dunia kerja. 5. Sosialisasi, promosi, dan publikasi Pada dasarnya, membangun kemitraan dilakukan dalam upaya untuk sosialisasi, promosi, dan publikasi program-program unggulan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sehingga semakin familiar dengan masyarakat luas. Konsekuensi dari semakin familiarnya Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), maka akan dapat berkontribusi terhadap meningkatnya jumlah warga belajar atau peserta didik dan pengguna lulusan dari PKBM tersebut. 6. Peningkatan akses Dengan membangun kemitraan yang semakin luas dan prospektif maka akan berimplikasi pada kemudahan akses Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) terhadap akses informasi, teknologi, modal, pasar, praktek kerja, magang dan lain sebagainya. Kemitraan dengan berbagai pihak terus dibangun baik dengan pemerintah sebagai pengambil kebijakan, masyarakat sebagai pelanggan, perguruan tinggi sebagai pembina dan pengembang ilmu, maupun dengan dunia usaha dunia industri sebagai pengguna lulusan dari PKBM. 7. Pencitraan publik Salah satu tujuan membangun kemitraan pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) adalah mengembangkan benchmark dan image positif kepada masyarakat selaku pelanggan atau sasaran. Benchmark dan image positif Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang Unggul,

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 316 Muhammad Arief Rizka dan Suharyani Profesional, Inovatif, dan Kompeten dapat dibangun melalui kemitraan yang strategis dengan berbagai stakeholders tersebut. Selanjutnya dengan membangun benchmark dan image positif dapat meningkatkan kredibilitas Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di mata masyarakat luas dan mitra kerja lainnya. 8. Penguatan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan Membangun kemitraan juga pada dasarnya memiliki nilai tambah untuk melakukan penguatan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Penguatan kapasitas menyangkut optimalisasi implementasi fungsi-fungsi kelembagaan PKBM, sedangkan penguatan kapabilitas kelembagaan menyangkut kemampuan PKBM itu sendiri untuk memproses input menjadi output yang siap di daya gunakan.

Kemitraan Strategis PKBM untuk Penguatan Mutu Pola pengembangan kemitraan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang terbuka dapat memberikan ruang yang lebih demokratis untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan program PNF. Keterbukaan dalam menjalin No 1

2

3

4

Lembaga/Instansi/Organisasi yang relevan Pemerintah Pusat dan Daerah

kemitraan dengan berbagai stakeholdres PNF akan berimplikasi pada kemudahaan berbagai akses sumber daya yang dapat didaya gunakan untuk kepentingan pencapain indikator mutu sehingga berkontribusi terhadap meningatkan kredibilitas terhadap eksistensi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Indikator mutu dari penyelenggaran program PNF pada dasarnya adalah meningkatnya kepuasaan (Edward Sailis, 2008) dan kepercayaan masyarakat sebagai pelangggan utama terhadap program PNF serta fungsionalitas atau kebermaknaannya terhadap perbaikan kualitas hidup masyarakat secara luas. Kemitraan strategis untuk penguatan mutu Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dapat dikembangkan dengan berbagai variasi visi dan tujuan kemitraan karena pada dasarnya heterogenitas jalinan kemitraan akan meningkatkan citra positif PKBM yang lebih akuntabel dan profesional. Pengembangan kemitraan pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dapat diidentifikasi berdasarkan peran dan fungsi masing-masing stakeholders, dan pada dasarnya harus disesuaikan dengan kebutuhan kapasitas kelembagaan. Berbagai stakeholders satuan PNF dapat dikembangkan untuk menjalin kemitraan strategis dalam kerangka penguatan mutu program dan kelembagaan PKBM seperti deskripsi tabel di bawah ini:

Pola Kemitraan

Peran Lembaga

Formulasi kebijakan dan Dukungan kebijakan yang pembinaan-pendampingan lebih akomodatif, termasuk teknis perijinan, perlindungan hukum, bantuan anggaran dan lainnya. DPR/DPRD (Pihak Legislatif) Dukungan politik (Budget, Penyusunan berbagai Peraturan Pendidikan, peraturan (legalitas Perlindungan, dan lainnya) formal/yuridis) tentang kebijakan PKBM termasuk dukungan penganggaran untuk APBN/D Dinas Pendidikan dan Pembinaan-pendampingan Dukungan kebijakan, Kebudayaan teknis kemudahan perijinan, bantuan anggaran, pengembangan model pembelajaran, dukungan manajerial, peningkatan mutu dan kompetensi PTK. Dinas Sosial, Tenaga Kerja, Pembinaan-pendampingan Dukungan penyaluran Koperasi, Ekonomi Kreatif, teknis lulusan ke DUDI, Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 317 Nama Penulis Pertanian, Perdagangan, Pariwisata, dan lainnya

dukungan pelaksanaan program kewirausahaan sebagai bentuk tindaklanjut pelatihan dalam bentuk pembinaan maupun permodalan. 5 Perguruan Tinggi Konsultan/Expert/ Jasa konsultasi, bimbingan, Pengembangan Penelitian pengembangan keilmuan dan produk, mitra untuk nara sumber dan lainnya. 6 PP-PAUDNI dan BP-PAUDNI Penjaminan Mutu Pengembangan model program, penyelenggara diklat atau orientasi teknis SDM PKBM, pengembangan SIM, penilaian kinerja, pendampingan ISO, bimbingan belajar PTK, dan lainnya 7 Dunia Usaha Dunia Industri Pengelolaan CSR Pengelolaan CSR untuk (DUDI) warga belajar PKBM Penyerap Output Menyerap lulusan PKBM, sebagai tempat magang atau praktek kerja warga belajar, dan lainnya 8 LSK, LSP, TUK Uji Kompetensi Penyelenggara dan penyedia fasilitas uji kompetensi 9 BAN PNF Akreditasi Melakukan akreditasi program PNF dan PKBM 10 BSNP Penetapan SPM atau Standar Menetapkan standar Nasional pelayanan minimal dan pencapain standar nasional pendidikan 11 Sekolah / Pondok Pesantren Share Sumber Daya Share pemanfaatan (Satuan Pendidikan Formal) laboratorium, fasilitas bengkel kerja, penyedia nara sumber teknis atau instruktur. Akses pasar Melakukan sosialisasi untuk rekrutmen warga belajar yang relevan dengan kebutuhan program PNF dan PKBM 12 Asosiasi Profesi Pengembangan Kelembagaan Peningkatan kompetensi PTK PKBM melalui pembinaan organisasi mitra Sumber: modifikasi dari Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan (2010). Melalui pengembangan kemitraan yang strategis dengan berbagai stakeholders kunci terebut, dapat menjadi triggers (pemicu) Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) untuk melakukan upaya-upaya imporvisasi dan

bahkan inovasi program serta kelembagaan. Upaya-upaya tersebut dapat terakumulasi dengan dukungan dari berbagai mitra lembaga yang memiliki persamaan visi dan misi secara integral. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 318 Muhammad Arief Rizka dan Suharyani (PKBM) harus mampu mengidentifikasi dan memperluas kemitraannya agar upaya-upaya inovatif tersebut dapat bersinergi sehingga orientasi mutu dari penyelenggaran PKBM lebih optimal tercapai. Prospek dari kemitraan pada dasarnya adalah membangun kepercayaan dan hubungan mutualis yang berimplikasi pada ketercapain tujuan yang bersifat kolektif. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang mampu menjalin jaringan kerja (kemitraan) secara strategis menjadi salah satu kunci bagi pencapaian mutu program PNF. Kemitraan yang luas akan memberikan peluang bagi pengembangan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) untuk dapat meningkatkan kualitas serta kuantitas sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan kelembagaan. Efikasi dari pengembangan kemitraan strategis dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dapat diidentifikasi jika: (1) perencanaan dilakukan secara partisipatif, melibatkan seluruh stakeholders kunci; (2) memiliki persamaan komitmen untuk mengembangkan PNF yang bermutu dan berkelanjutan; (3) memiliki kepedulian untuk saling melengkapi dan menguatkan sebagai upaya daya dukung kemitraan yang maksimal; (4) hubungan antara PKBM dengan lembaga mitra lebih bersifat horizontal (sejajar); dan (5) antara PKBM dengan lembaga mitra menjadikan budaya mutu sebagai dasar dari keseluruhan aktivitas penyelenggaran PNF. PENUTUP Eksistensi dari Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang semakin berkembang menjadi peluang strategis untuk dapat memberikan pelayanan pendidikan yang lebih akomodatif bagi masyarakat. Kondisi aktual Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di satu sisi masih belum mampu memberikan garansi kualitas output dari penyelnggaraan program sehingga pengembangan kemitraan dengan berbagai stakeholders perlu untuk ditingkatkan. Melalui kemitraan strategis yang dikembangkan secara sinergis, esensinya adalah membangun kepercayaan dan terciptanya atmosfer mutualis yang saling menguatkan sehingga penyelenggaran program PNF yang lebih bermutu dan berkelanjutan dapat terwujud secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat

Pembinaan Kursus dan Kelembagaan. (2010). Membangun Jejaring Kerja (Kemitraan). Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal. Kementerian Pendidikan Nasional. Pink, Daniel H. (2005). A Whole New Mind. Riverhead Books A Member of Penguin Group (USA) Inc: New York. Sallis, Edward. (2011). Manajmen Mutu Terpadu Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit IRCiSoD Sulistiyani, Ambar Teguh. (2004). Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta: Penerbit Gava Media. Tennyson, Ros. (2003). The Parthnering Toolbook. The International Business Leaders Forum (IBLF) and the Global Alliance for Improved Nutrition. PROFIL SINGKAT Muhammad Arief Rizka S.Pd., M.Pd lahir di Selong, 24 Januari 1988. Memperoleh gelar Sarjana pada program studi PLS FIP UNY (2006) dan gelar Magister pada program studi PLS PPs UNY (2012). Saat ini, aktif sebagai Dosen Tetap Yayasan Pembina IKIP Mataram pada Program Studi PLS sekaligus sebagai Ketua Pusat Studi Kewirausahaan dan Pemberdayaan Masyarakat di IKIP Mataram. Suharyani, M.Pd lahir di Keruak, 31 Desember 1973. Memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Fakultas Tarbiyah STAIN Mataram (2002) dan gelar Magister pada program studi PLS PPs UNY (2006). Saat ini, aktif sebagai Dosen Tetap Yayasan Pembina IKIP Mataram pada Program Studi PLS sekaligus sebagai Ketua Program Studi PLS FIP IKIP Mataram.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


PERAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DALAM PENGEMBANGAN PROGRAM PENDIDIKAN NON FORMAL Hiryanto Pendidikan Luar Sekolah FIp UNY hiryanto@uny.ac.id Abstrak Pendidikan nonformal sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang memiliki peran yang sangat penting dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang dicita-cita oleh founding father yang ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun saat ini peran PNF belum sebagaimana diharapkan karena masih ada sebagian anak bangsa yang memandang sebelah mata terhadap pendidikan nonformal tersebut. Belum berkembangnya peran PNF hal ini salah satu sebabnya kurangnya pendanaan tidak seperti pendidikan formal yang oleh pemerintah selalu mendapat perhatian, oleh karena itu diperlukan adanya terobosan dengan memanfaatkan adanya dana yang berasal dari perusahaan atau yang dikenal dengan CSR. Peran CRS dalam pengembangan program PNF dalam dilakukan dengan memberi bantuan langsung kepada masyarakat, melalui yayasan sosial, bermitra dengan pihak lain dan bergabung dengan konsorsium Kata kunci: Pendidikan Nonformal, Corporate Social Responsibility

Pendahuluan Pendidikan nonformal atau pendidikan luar sekolah merupakan kegiatan pendidikan yang dilakukan secara terorganisasikan, terencana di luar system persekolahan yang ditujukan kepada individu maupun kelompok masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Sedangkan menurut Undang-undang no 20 tahun 2003, dinyatakan , pada pasal 26 bahwa pada pasal (1) pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah adan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat,, pasal (2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional dan pengembangan sikap dan kepribadian professional., selanjutnya dalam pasal (3) pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan ketrampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan

kemampuan peserta didik. (4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat dan majelis taklim serta satuan pendidikan yang sejenis. Dewasa ini perkembangan pendidikan non formal yang diselenggarakan oleh masyarakat belum begitu menggembirakan, masyarakat masih memandang sebelah mata terhadap keberadaan pendidikan nonformal, sehingga yang diharapkan bahwa pendidikan nonformal menjadi pengganti, penambah dan pelengkap dari pendidikan formal belum sepenuhnya dapat terlaksana. Padahal jika pendidikan nonformal dirancang sedemikian rupa dengan baik, maka pendidikan nonformal sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, sebagaimana dinyatakan beberapa ahli, bahwa sebelum anak masuk sekolah sampai menjelang meninggal individu selalu membutuhkan pendidikan nonformal, sehingga dilihat kebermanfaatnya pendidikan nonformal sangat dibutuhkan sebagaimana dikemukakan oleh Marzuki (2009 : 107) yang menyatakan pendidikan nonformal adalah suatu kebutuhan karena di negara manapun di dunia ini pasti ada sekelompok orang yang memerlukan layanan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 320 Hiryanto pendidikan sebelum masuk sekolah, sesudah mereka menyelesaikan sekolah, ketika mereka tidak mendapatkan kesempatan sekolah bahkan ketika mereka sedang bersekolah sedangkan Santoso S Hamijoyo, menyatakan tujuan pendidikan nonformal adalah agar supaya individu dalam hubungannya dengan lingkungan social dan alamnya dapat secara bebas dan bertanggungjawab menjadi pendorong kea rah kemajuan, gemar berpartisipasi memperbaiki kehidupan mereka, sayangnya hingga saat ini walaupun secara yuridis sangat kuat tetapi dalam tataran implementasinya masih kurang mendapatkan perhatian. Belum berkembangnya program pendidikan nonformal, dikarenakan adanya kendala berupa kurangnya pendanaan, tidak seperti pendidikan formal, oleh karena itu diperlukan adanya terobosan agar programprogram pendidikan nonformal dapat berkembang dalam arti dapat diakses oleh banyak orang tetapi berkualitas dalam arti memiliki keragaman, salah satu terobosan yang dapat dimanfaatkan adalah memanfaatkan adanya corporate social responsibility (CSR) atau tanggungjawab social perusahaan yang memiliki dana cukup besar. Dalam makalah singkat ini akan dicoba dipaparkan bagaimana pemanfaatan CSR bagi pengembangan pendidikan nonformal ke depan dilihat dari sudut pandang etika sosial, sehingga tidak tergantung pada dana pemerintah semata. Konsep CSR Pada awalnya konsep CSR dilatarbelakangi oleh motivasi perusahaan yang sifatnya charity, dimana pelaksanaannya dalam bentuk pemberian bantuan kepada masyarakat miskin di sekitar perusahaan yang berupa uang atau pembuatan sarana tranportasi, dimana tujuannya ingin menghidari reputasi negative yang timbul dari masyarakat, seperti perusak lingkungan dan hanya mengejar keuntungan jangka pendek tanpa memikirkan dampak dikemudian hari. Dalam perkembangan selanjutnya konsep CSR berkembang dengan mengutakan program pemberdayaan masyarakat atau yang dikenal dengan istilah community development (CD), sebagaimana dikemukakan oleh Mukti Fajar (2010 : 8). Dalam konteks ini CSR, keberhasilan CD diukur berdasarkan kenaikan kualitas

kehidupan masyarakat di sekitarnya. Perkembangan berikutnya , sebagaimana dikemukakan oleh Budimanta (2008 : 21) CSR lebih dipahami sebagai komitmen perusahaan untuk membangun kualitas kehidupan yang lebih baik bersama dengan para pihak yang terkait, utamanya masyarakat di sekelilingnya dan lingkungan social dimana perusahaan tersebut berada yang dilakukan dengan kegiatan usahanya secara berkelanjutan. Sementara menurut The World Business Council for Sustainable Development, CSR didefinisikan sebagai komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti-komuniti lokal dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas hidup Pada tahun 1997, terdapat suatu keluaran yang cukup berpengaruh dalam konteks CSR yang dikemukakan oleh John Elkington dalam Wibosono (2007) melalui bukunya yang berjudul “Canibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business�. John Elkington mengemukakan konsep “3P� yaitu profit, people dan planet. Dalam konsep 3P terdapat makna yang terkandung bahwa perusahaan sebaiknya tidak hanya memburu keuntungan (profit), tetapi juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Konsep 3P inilah yang kemudian diimplementasikan oleh berbagai perusahaan bahkan dicantumkan pula dalam agenda-agenda perusahaan dalam upaya melakukan tanggung jawab sosialnya. CSR memiliki kaitan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang didefinisikan sebagai pembangunan atau perkembangan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Sejak istilah pembangunan berkelanjutan mulai populer, banyak dilakukan konferensi yang menunjukkan kepedulian masyarakat dunia akibat kecenderungan semakin menurunnya kualitas lingkungan. Konferensi tersebut yaitu konferensi lingkungan hidup di Stockholm, Swedia, yang menghasilkan resolusi monumental dengan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 321 Hiryanto membentuk badan khusus di PBB untuk masalah lingkungan. Dengan latar belakang yang sama, dilakukan pula KTT Bumi di Rio de Janeiro yang menghasilkan tiga dokumen hukum terikat (legally binding) dan tiga dokumen yang secara hukum tidak mengikat (nonlegally binding) (Wibisono, 2007). Di Indonesia, CSR mulai marak tahun 1990-an. Namun sampai saat ini masih terdapat perbedaaan dalam memahami konsep CSR. Pada dasarnya CSR merupakan suatu bentuk komitmen perusahaan untuk menyeimbangkan kepentingan bisnis, masyarakat dan lingkungan demi keberlanjutan perusahaan. Sebagai bentuk keseriusan pemerintah, CSR diatur dalam peraturan perundangan, antara lain UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Saat ini, praktik CSR yang dilakukan korporasi lebih banyak didorong oleh faktor eksternal (external driven). Ketika ada tekanan, demo dari masyarakat baru menggerakan korporasi untuk bermanis wajah dengan melaksanakan CSR, itupun masih banyak sebatas bantuan yang bersifat charity. Korporasi yang bergerak di sektor industri ekstraktif seperti minyak, gas, dan pertambangan yang justru banyak bermasalah. Kasus Buyat, PT. Freeport, PT. Newmon contoh terbaru tentang bagaimana realisasi tanggung jawab sosial itu Perusahaan dalam melakukan praktik CSR cenderung bersifat charity yang mengakibatkan masyarakat menjadi sangat tergantung dan manja. Konsep kedermawanan perusahaan dalam tanggung jawab sosial sudah tidak lagi memadai. Konsep ini membuat masyarakat menjadi peminta-minta. CSR merupakan upaya menegakkan etika bisnis di dalam lingkungan bisnis dan lingkungan alam. CSR haruslah dilihat kesukarelaan korporasi dalam mengintegrasikan keprihatinan sosial serta lingkungan ke dalam operasi bisnis dan di dalam interaksi mereka stakeholder. Praktik CSR merupakan bagian yang tidak terpisahkan untuk mencapai tujuan perusahaan secara komersial,

menjunjung tinggi norma-norma hukum, etika bisnis, adat-istiadat dan budaya dengan menghargai eksistensi setiap individu, masyarakat dan lingkungan. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa munculnya CSR didasarkan pada kewajiban dan tanggungjawab dari sebuah perusahan untuk peduli kepada karyawannya, masyarakat maupun lingkungan dimana perusahan itu berada, serta tidak sematamata mencari keuntungan. Menurut Arif Budimanta (2008), Model pelaksanaan CSR di Indonesia dapat dikategorikan menjadi empat model yakni: 1. Melalui keterlibatan langsung dimana program CSR dilakukan secara langsung oleh perusahaan, misalnya dengan kegiatan social atau penyerahan bantuan secara langsung kepada masyarakat, bisa juga dalam bentuk bantuan modal usaha bagi masyarakat local. 2. Melalui yayasan ataupun organisasi sosial. Ada beberapa perusahaan yang menyerahkan program CSR ke yayasan maupun organisasi sosial. Yayasan inilah yang akan mengelola berbagai kegiatan terkait pelaksanaan CSR. 3. Bermitra dengan pihak lain. Program CSR dilakukan melalui kerjasama dengan pihak lain baik itu lembaga sosial maupun organisasi non pemerintah, instansi pemerintah, perguruan tinggi, lembaga konsultan maupun pihak lain. Kegiatan ini mencakup kerjasama dalam mengelola seluruh kegiatan maupun hanya sebatas pengelolaan dana. 4. Bergabung dengan konsorsium. Perusahaan ikut mendirikan, menjadi anggota maupun mendukung sebuah lembaga sosial yang berbasis pada tujuan sosial. Konsorsium yang mendapat dukungan perusahaan akan aktif mencari kerjasama untuk kemudian mengembangkan program yang telah disepakati. Pelaksanaan CSR yang dilakukan oleh perusahaan memiliki beberapa faktor (Wibisono, 2007). Faktor-faktor tersebut yaitu komitmen kepemimpinan dalam perusahaan yang tanggap akan masalah sosial,


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 322 Hiryanto ukuran dan kematangan perusahaan, serta regulasi dan sistem perpajakan yang diatur pemerintah. Terkait dengan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah, maka dapat ditunjukkan bahwa semakin besar insentif pajak yang diberikan, akan lebih berpotensi memberi semangat kepada perusahaan untuk berkontribusi kepada masyarakat, demikian juga sebaliknya. Selain faktor-faktor tersebut, perusahaan juga memiliki berbagai cara dalam memandang CSR atau dapat dikatakan pula sebagai alasan perusahaan dalam melaksanakan CSR. Beberapa cara perusahaan dalam memandang CSR yaitu : a. Sekedar basa basi atau keterpaksaan, dimana perusahaan mempraktekan CSR hanya karena faktor eksternal (external driven), environmental driven (karena terjadi masalah lingkungan), serta reputation driven (karena ingin mendongkrak citra perusahaan). b. Sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance), dimana CSR yang dilakukan karena terdapat regulasi, hukum, dan aturan yang memaksanya. c. CSR diimplementasikan karena adanya dorongan yang tulus dari dalam (internal driven), perusahaan telah menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi kelangsungan bisnisnya, melainkan juga tanggung jawab sosial dan lingkungan. Sementara berdasarkan program yang diselenggarakan oleh perusahaan dalam mewujudkan tanggung jawab sosialnya, maka terdapat tiga kategori bentuk tanggung jawab sosial perusahaan sebagaimana di kemukakan oleh Rudito, dkk (2007) yaitu: a. Public relations; usaha untuk menanamkan persepsi positif kepada komunitas tentang kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan. Usaha ini lebih mengarah pada menjalin hubungan baik antara perusahaan dengan

komunitas, khususnya menanamkan sebuah persepsi yang baik tentang perusahaan (brand image) kepada komunitas. Kegiatan yang dilakukan biasanya berbentuk kampanye yang tidak terkait sama sekali dengan produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang bersangkutan. b. Strategi defensif; usaha yang dilakukan perusahaan guna menangkis anggapan negatif komunitas luas yang sudah tertanam terhadap kegiatan perusahaan terhadap karyawannya, dan biasanya untuk melawan `serangan` negatif dari anggapan komunitas atau komunitas yang sudah telanjur berkembang. Kegiatan ini biasanya dilakukan dengan sasaran yang berbeda dengan anggapan yang telah berkembang atau bertolak belakang dengan persepsi-persepsi yang ada di komunitas pada umumnya. c. Keinginan tulus untuk melakukan kegiatan yang baik yang benar-benar berasal dari visi perusahaan itu; melakukan program untuk kebutuhan komunitas atau komunitas sekitar perusahaan atau kegiatan perusahaan yang berbeda dari hasil dari perusahaan itu sendiri. Kegiatan perusahaan dalam konteks ini adalah sama sekali tidak mengambil suatu keuntungan secara materil tetapi berusaha untuk menanamkan kesan baik terhadap komunitas berkaitan dengan kegiatan perusahaan. Dibalik semua faktor yang mempengaruhi, tentunya perusahaan menginginkan perolehan keuntungan sebagai hasil dari penerapan CSR. Adapun benefits dan drivers tersebut (Wibisono, 2007) yaitu: a. Mempengaruhi dan mendongkrak reputasi dan brand image perusahaan. Dengan kontribusi yang positif, maka pasti reputasi dan image positif perusahaan akan meningkat.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 323 Hiryanto b. Layak mendapat social license to operate. Program CSR diharapkan akan menjadi bagian dari asuransi sosial yang akan menghasilkan harmoni dan persepsi positif dari masyarakat terhadap eksistensi perusahaan c. Mereduksi resiko bisnis perusahaan dengan melakukan langkah antisipatif dan preventif. d. Melebarkan akses sumber daya. Track record yang baik dalam pengelolaan CSR merupakan keunggulan bersaing bagi perusahaan yang dapat membantu untuk melancarkan jalan menuju sumber daya yang diperlukan perusahaan. e. Membentangkan akses menuju market. Investasi yang ditanamkan untuk program CSR dapat menjadi tiket bagi perusahaan menuju peluang pasar yang terbuka lebar, termasuk di dalamnya akan memupuk loyalitas konsumen dan membentuk pangsa pasar baru. f. Mereduksi biaya. Terdapat beberapa contoh yang dapat menggambarkan keuntungan perusahaan yang didapat dari penghematan biaya yang merupakan buah dari implementasi dari penerapan program tanggung jawab sosialnya. Salah satu contohnya yaitu upaya untuk mereduksi limbah dengan proses daur ulang ke dalam siklus produksi. g. Memperbaiki hubungan dengan stakeholder. h. Memperbaiki hubungan dengan regulator. Perusahaan yang menerapkan program CSR pada dasarnya merupakan upaya untuk meringankan beban pemerintah sebagai regulator. i. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan. Kesejahteraan yang diberikan pelaku CSR umumnya sudah jauh melebihi standar normatif

kewajiban yang dibebankan kepada perusahaan, sehingga wajar apabila karyawan menjadi terpacu untuk meningkatkan kinerjanya. j. Peluang mendapatkan penghargaan. Berdasarkan konsep dasar tentang CSR yang dewasa ini sudah berkembang tidak hanya sebagai kegiatan charity, atau kemanusiaan semata, melainkan sebuah upaya kepedualian sebuah perusahaan terhadap sekitarnya agar kehidupannya menjadi lebih baik, hal ini yang dapat dijadikan peluang bagi pelaksanaan pendidikan nonformal yang memiliki program untuk pengembangan pada masyarakat atau community development yang sejalan dengan program CRS, diperlukan adanya upaya sungguhsungguh dan konkrit agar peran CSR lebih optimal dalam ikut mengembangkan program pendidikan nonformal yang responsive dengan kebutuhan masyarakat. Langkah-langkah Pengembangan Pendidikan Nonformal melalui Optimalisasi peran CSR Lembaga pendidikan nonformal merupakan institusi social yang dalam operasionalnya lembaga PNF lebih bersifat nonprofit (social) dibandingkan dengan aktivitas komersialnya, sehingga dalam kaitanya dengan CSR lembaga Pendidikan Nonformal merupakan media social yang pentng dalam rangka menjembatani antara perusahaan dan masyarakat yaitu mempertemukan program perusahaan dengan kebutuhan masyarakat.. Kenapa melalui pendidikan nonformal, hal ini dikarenakan pendidikan memiliki peran strategis antara lain: 1) pendidikan dapat kontribusi terhadap keberlanjutan pembangunan, 2) pendidikan akan mengubah perilaku dan sikap dan sikap kea rah yang lebih baik serta mempengaruhi kualita hidup. Pendidikan nonformal dalam pelaksanaanya memiliki keterbatasan, terutama keterbatasan dalam sumberdaya karena aktivitasnya lebih banyak bersifat social, sehingga hampir dipastikan dalam PNF selalu ada keterbatasan baik dalam SDM maupun sumberdaya material. Untuk mengatasi persoalan di atas, maka upaya untuk mengandeng CSR dalam rangka pengembangan program pendidikan Nonformal menjadi sebuah alternative yang sangat mungkin untuk ditempuh, hanya saja persoalannya banyak para praktisi pendidikan nonformal tidak


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 324 Hiryanto mengetahui bagimana membangun kerjasama dengan CSR . Sebelum kita menjalin kerjasama dengan CSR tentunya perlu ada perencanaan yang matang dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut 1. Melakukan analisis kebutuhan, yang terdiri dari mencari informasi program CSR yang ada di wilayah kerja dari lembaga Pendidikan Nonformal, serta mencari contact personnya agar memudahkan jika sewaktu-waktu harus berkomunikasi, selanjutnya menyusun daftar kebutuhan dan menyusun draf rencana program. 2. Menyusun proposal, dengan menggunakan gaya bahasa yang memikat, sistematika penulisan yang baik dan benar, beri illustrasi yang menarik dan relevan, kemudian dijilid dan dipackaging yang menarik, sehingga kesan yang diterima oleh perusahaan bahwa yang dilakukan benar-benar sebagai kerja professional. 3. Langkah selanjutnya perlu adanya upaya untuk memperkenalkan diri dengan menceritakan siapa diri anda, latar belakang pendidikan, serta pengalaman professional dan keberhasilan apa saja yang pernah anda capai terutama pengalaman dalam menjalankan program, dalam proposal yang juga perlu dipaparkan dan jelaskan jenis program secara sederhana yang akan dilaksanakan, apa keunggulannya dan apakah memang diperlukan oleh masyarakat. 4. Langkah selanjutnya gambarkan siapa target kegiatan/program, jelaskan kenapa memilih sasaran tersebut, misalnya masih tingginya angka pengangguran, putus sekolah, gender dll, jika memungkinkan perkuat penjelasan atau argument dengan menceritakan pengalaman dan data riset yang dimiliki 5. Berikutnya adalah menjelaskan manfaat kegiatan yang diperoleh baik dari lembaga, perusahaan maupun sasaran/peserta program, serta jangan lupa jelaskan berapa banyak sasaran kegiatan, proyeksi sasaran program, bagaimana cara mengembangkan model program yang akan dilaksanakan, dan paparkan tentag

analisis potensi wilayah yang akan dilakukan untuk memperbesar peluang keberhasilan dan kelangsungan program yang akan dikembangkan 6. Selanjutnya gambarkan secara detail berapa besar biaya program dengan membuat rencana anggaran (RAB) secara detail, terukur dan realistis, jelaskan pula dalam program yang diusulkan output program, bagaimana hasil luaran program baik dalam kemanfaatan social, ekonomi maupun lingkungan, serta terakhir jelaskan mengapa program yang dikembangkan layak dan patut didukung dengan cara memaparkan tentang analisa potensi untuk memperbesar peluang keberhasilan dan kelangsungan program yang akan dilakukan. Penutup Pengembangan program pendidikan nonformal di Indonesia dapat berkembang dengan baik bila mana mendapat perhatian dari berbagai kalangan pemangku kepentingan dengan berbagai minat, kepentingan dan harapan masing-masing, seperti, yang dinyatakan oleh Sumarno (2013: 3) bahwa 1) masyarakat pada umumnya sangat mengharapkan pendidikan termasuk pendidikan nonformal yang baik, karena dipercaya akan berpengaruh terhadap kualitas manusia, masyarakat dan peradabannya, 2) gerakan masyarakat sipil yang dengan gigihnya memperjuangkan sistem pendidikan yang berpihak pada rakyat kebanyakan, sangat tidak setuju terhadap setiap hal yang dipahami mengandung orientasu elitis dan 3) dunia usaha dan industri baik sebagai salah satu pihak pemangku kepentingan maupun sebagai salah satu parameter, memiliki rasionalitas sendiri untuk mengarahkan pendidikan agar supaya cocok dengan konsep-konsep dasar ekonomi seperti investasi, produktivitas, relevansi dan efisiensi. Pengembangan PNF dapat berjalan dengan baik, manakala mendapat dukungan semua pihak termasuk dalam hal ini dunia usaha dan industri, karena pada prinsipnya pengembangan dunia usaha juga sangat dipengaruhi oleh kualitas dari pendidikan, oleh karena itu perlunya adanya peran CSR dari perusahaan untuk peningkatan kualitas pendidikan nonformal, yang selama ini kurang mendapatkan perhatian.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 325 Hiryanto Peningkatan peran CSR dalam pengembangan pendidikan nonformal juga harus diimbangi dari lembaga pendidikan nonformal sendiri untuk dapat mengembangkan programprogram yang memang dibutuhkan oleh masyarakat melalui analisis kebutuhan serta memang memiliki prospek untuk berkembang, sehingga pemberi dana lebih percaya, oleh karena itu memang perlu dipersiapkan secara sungguhsungguh, tetapi juga perlunya regulasi dan sosialisasi dari pemerintah berkait dengan CSR walaupun secara yuridis formal sudah ada, tetapi pada tataran implementatif masih perlu ditingkatkan, sehingga para penyelenggara pendidikan nonformal memahaminya. Daftar Pustaka Arif Budimanta, dkk. 2008. Corporate Social Responsibility: Alternatif Bagi Pembangunan Indonesia. Jakarta:

Indonesia Center for Development (ICDS)

Sustainable

Mukti Fajar. 2010. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Di Indonesia: Studi tentang Penerapan Ketentuan CSR Pada Perusahaan Multinasional, Swasta Nasional dan BUMN Di Indonesia, Jakarta: Pustaka Pelajar, Saleh Marzuki. 2009. Dimensi-dimensi Pendidikan Non Formal. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang Sumarno 2013. Pendidikan untuk Pencerahan dan Kemandirian Bangsa. Pidato Dies UNY ke 49. Yogyakarta: UNY Wibisono. Yusuf. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR (Corporate Social Responsibility. Gresik : Fascho Publishing.


PENGEMBANGAN KAPASITAS KEWIRAUSAHAAN SOSIAL MAHASISWA PLS MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS PENGALAMAN Entoh Tohani Jurusan PLS FIP UNY tohani@uny.ac.id Abstrak Tulisan ini berupaya memberikan pemahaman awal mengenai upaya mengembangkan kewirausahaan sosial bagi mahasiswa pendidian luar sekolah. Hal ini dikarenakan dalam kenyataan bahwa lulusan atau sarjana pendidikan luar sekolah merupakan salah satu orang yang memiliki peran strategis dalam memberdayakan masyarakat baik dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya sehingga terwujud kehidupan yang sejahtera. Disadari bahwa pengembangan kompetensi mahasiswa pada pendidikan ini bukan suatu hal yang mudah untuk dilakukan oleh penyelenggara pendidikan. Oleh karenanya, dipandang perlu menyelenggarakan proses pembelajaran yang menekankan pada pendekatan pembelajaran berbasis pengalaman merupakan salah satu cara untuk mewujudkan kompetensi tersebut. Kata kunci: kewirausahaan, sosial, pengalaman

PENDAHULUAN Mahasiswa jurusan pendidikan luar (PLS) sekolah merupakan individu yang diharapkan di masa depan sebagai orang yang dapat memberdayakan diri dan lingkungannya. Mahasiswa jurusan PLS diharapkan dan diorientasikan sebagai orang yang kelak mampu melakukan tiga fungsi yaitu: sebagai pendidik atau pamong yang dengan keprofesionalannya melakukan aktivitas edukasi dalam bentuk membelajarkan, membimbing, melatih dan mengembangkan peserta didik agar mereka dapat meningkatkan kualitas diri dan membelajarkan lingkungannya, kedua, fungsi sebagai manajer pendidikan yang memiliki makna bahwa lulusan atau sarjana pendidikan luar sekolah diharapkan mampu merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi berbagai program dan/atau kelembagaan pendidikan yang pada akhirnya aktivitas pendidikan dapat berjalan dengan efektif, efesien, dan akuntabel. Ketiga, lulusan atau sarjana PLS pun diharapkan menjadi pengembang masyarakat yang mampu memfasilitas, mengkoordinir, dan mengelola masyarakat dan mengoptimalkan sumber daya yang ada di masyarakat. Apabila ketiga kemampuan dimaksud sudah dapat terinternalisasi dalam diri para mahasiswa dan/atau lulusan pendidikan luar sekolah, nampaknya menciptakan masyarakat yang

kreatif dan produktif dapat dilakukan secara mudah. Namun disayangkan, dalam konteks pengembangan masyarakat tidak semua lulusan pendidikan luar sekolah dapat menjadi seorang lulusan yang bangga dengan keilmuannya dan akhirnya menjadi pribadi yang profesional dalam mengaplikasikan kompetensi sebagai lulusan atau sarjana pendidikan luar sekolah. Hal ini tidak dipungkiri bahwa berbagai faktor yang menyebabkan masalah ini muncul, yang salah satunya adalah kekurangoptimalan kompetensi kewirausahaan sosial (social enterpreneurship) yang dimiliki oleh mahasiswa. Artinya, proses pembelajaran yang dilakukan dalam lingkungan perguruan tinggi belum secara efektif membentuk, membangun, dan mengembangkan kapasitas ini. Oleh karena itu, sudah selayaknya peningkatan kapasitas ini dilakukan melalui berbagai aktivitas pembelajaran yang bermakna. Pentingnya kemampuan kewirausahaan sosial dimiliki mahasiswa pendidikan luar sekolah didasarkan pada dua pertimbangan penting. Pertama, dalam konteks global perkembangan masyarakat tidak selamanya mengarah pada peningkatan kualitas kehidupan, namun dapat mengarah pada kemunculan berbagai masalah kemiskinan, perbudakan, dsb. yang mana untuk mengatasi masalah-masalah


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 327 Entoh Tohani ini pemerintah tidak dapat dengan sendiri mengatasinya sehingga dibutuhkan keterlibatan dari individu atau kelompok. Individu-individu yang ikut terlibat dalam pengembangan masyarakat dimaksud sudah dapat diperkirakan bahwa mereka yang memiliki kepedulian dan harapan membangun kehidupan manusia menjadi lebih manusiawi, demokratis, dan sejahtera. Sebagai contoh, sosok Sardiman seorang warga masyarakat yang tinggal di perdesaan di Wonogiri, Jawa Tengah, dengan jerih payah dalam melakukan penghijauan pada hutan yang gundul akhirnya mampu menghasilkan sumber daya alam yang bermanfaat bagi kehidupan bukan hanya untuk keluarganya namun bagi penduduk di lima desa. Atau, Muhammad Yunus yang mampu membangun keberdayaan kaum perempuan dalam meningkatkan kesejahteraan ekonominya melalui pengembangan usaha ekonomi mikro “Garmeen Banking� di Bangladesh. Kedua, kurikulum yang dikembangkan pada program studi pendidikan luar sekolah yang berada di beberapa perguruan tinggi belum mengadopsi pemikiran atau kebijakan mengenai pengembangan kewirausahaan sosial. Hal ini diindikasikan belum adanya kegiatan pendidikan yang lebih berorientasi pada penguasaan muatan kewirausahaan sosial yang dididikan di jurusan pendidikan luar sekolah. Di perguruan tinggi, kewirausahaan ekonomi (economic entrepreneurship) lebih dominan dikembangkan di berbagai jurusan baik bisnis maupun nonbisnis walau disadari bahwa proses pembelajaran untuk kewirausahaan ekonomi ini pun cenderung menekankan pada pengembangan konseptual atau pengetahuan mengenai kewirausahaan, dan banyak pembelajaran kewirausahaan berorientasi praktik dalam mengelola bisnis usaha. Mendasarkan dua hal ini, pengembangan kewirausahaan sosial dipandang perlu dilakukan dalam konteks memberdayakan pendidikan dan pengembangan pendidikan. PEMBAHASAN Mendasarkan pada hal di atas, tulisan ini berupaya mengupas dan memberikan pemikiran kritis mengenai urgensi pengembangan kapasitas kewirausahaan sosial mahasiswa pendidikan luar sekolah dalam rangka mengembangkan masyarakat. Ulasan diawali dengan pemaparan mengenai konsepsi dan kompetensi kewirausahaan sosial. Selanjutnya diulas mengenai konsepsi pembelajarna berbasis

pengalaman. Terakhir, dikemukakan pengembangan kapasitas kewirausahaan sosial mahasiswa pendididikan luar sekolah yang berorientasi pada pembelajaran berbasis pengalaman. Kewirausahaan Sosial Dalam upaya menghasilkan lulusan yang siap memiliki kompetensi wirausahaan sosial, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai konsepsi kewirausahaan sosial. Terkait ini, para ahli sudah memberikan pandangan mengenai konsepsi tersebut. Pandangan mengenai kewirausahaan sosial bersifat multifacet atau multidimensi dan telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Dees (1998) memandang bahwa kewirausahaan sosial dimaknai sebagai proses dimana warga masyarakat membangun atau menstranformasikan lembaga untuk mengembangkan berbagai solusi bagi masalah sosial seperti kemiskinan, kesakitan, kebutaksaraan, kerusakan lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dll supaya terbangun kehidupan sosial yang baik untuk semua (Bornstein & Davis, 2010:1). Dalam pengertian ini, wirausahawan sosial yaitu orang yang melakukan perubahan sosial, menciptakan kombinasi baru dari sumber daya dan orang-orang yang secara signifikan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mengatasi masalahnya. Wirausahawan sosial bertindak untuk menciptakan nilai publik, memanfaatkan peluang baru, berinovasi dan beradaptasi, bertindak secara tepat, meninggalkan sumberdyaa yang tidak bisa mereka kendalikan, dan mengembangkan rasa tanggung jawab yang kuat. Austin, et. al. (2006) berpendapat kewirausahaan sosial dimaknai “social entrepreneurship, which refers to the identification, evaluation, and exploitation of opportunities leading to social value� (Puia & Jaber 2009). Kewirausahaan sosial didefiniskan sebagai aktivitas yang bernilai sosial dan inovatif yang terjadi dalam atau lintas sektor non profit, bisnis, dan pemerintahan. Stevenson & Wei-Skillern (2006) menekankan pula bahwa karakteristik kewirausahaan sosial mencakup: 1) inovasi, yang berarti kewirausahaan merupakan proses kreatif yang menggunakan suatu kesempatan untuk menghasilan sesuatu yang baru, 2) penciptaan nilai sosial, dimana tujuan sosial dari kegiatan wirausaha sosial dinyatakan dengan jelas, dan 3) loci yang bermakna bahwa aktivitas kewirausahaan sosial terjadi dalam


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 328 Entoh Tohani semua sektor dan interaksi kolaboratifnya (Cartert & Evans, 2006:70). Senada dengan pernyataan ahli di atas, Nicholls (2006:103) menyatakan kewirausahaan sosial memiliki dimensi: sosialibity, market orientation, dan innovation seperti dalam gambar di bawah 1. Ketiga dimensi ini merupakan satu kesatuan dalam konsep kewirausahaan sosial. Dimensi sosial mengandung makna bahwa aktivitas wirausahaan sosial tidak lepas dari kegiatan

yang terkait dengan konteks kehidupan sosial misalnya terkait dengan pengentasan kemiskinan, pengangguran, peningkatan kesehatan masyarakat, dsb, melibatkan berbagai pihak dalam operasionalnya, dan menandung makna bahwa aktivitas kewirausahaan ini dimaksudkan untuk mencapai kesejahteraan sosial. Orientasi pasar menunjukkan bahwa aktivitas kewirausahaan sosial dilakukan dalam bentuk kegiatan pengembangan masyarakat melalui usaha sosial (social entreprise).

Gambar 1 Dimensi kewirausahaan sosial

Secara khusus mengenai aspek dimensi innovasi, terdapat dua pandangan yaitu pendekatan individual dan pendekatan berorientasi proses. Pendekatan pertama menggambarkan bahwa seorang wirausahawan, sebagaimana dalam konteks wirausahaan ekonomi, adalah mereka yang memiliki keunggulan pribadi, “bussiness hero”, atau “opinion leader”. Dalam hal ini, seorang wirausahaan sosial dipahami sebagai orang yang mampu menjadi inovator, berani ambil resiko, memiliki kepemimpinan, atau memiliki keunggulan tertentu. Pandangan kedua mengungkapkan bahwa seorang wirausahaan sosial yang berhasil adalah mereka yang mampu menciptakan nilai sosial baru dengan mengelola sumber daya untuk menghasilkan produktivitas dan efektivitas. Mereka adalah orang yang mampu melakukan “descruptive” (Drucker, 2006). Dees (1998) mengungkapkan wirausahawan sosial yang

berhasil memainkan peran sebagai agen perubahan dalam sektor sosial dengan:  Mengadopsi suatu misi untuk menciptakan dan mempertahankan nilai sosial bukan hanya nilai pribadi  Mengorganisasi dan mengelola peluang-peluang baru untuk mencapai misi yang diharapkan  Mengembangkan suatu proses inovasi, adaptasi, dan belajar yang berkelanjutan  Bertindak dengan tegas tanpa dibatasi dengan sumber daya yang dimiliki  Menunjukkan rasa tanggung jawab yang besar terhadap para konstituen yang dilayani dan untuk outcome yang ditetapkan. Pendapat lain memandang bahwa kewirausahaan sosial merupakan kombinasi atau saling keterkaitan dari komponen atau


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 329 Entoh Tohani

aktivitas kewirausahaan, inovasi dan isu-isu sosial. Kewirausahaan sosial merupakan proses dinamis yang berusaha untuk mengeksploitasi inovasi yang terencana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan bersumber dari interaksi

diantara dimmensi individu, organisasi, lingkungan dan proses yang secara kolektif mengawali, mengarahkan atau berkontribusi pada perubahan sosial (Perrini & Vurro, 2010:169-173).

Model interaktif kewirausahaan sosial Kompetensi Wirausahaan Sosial Mahasiswa pendidikan luar sekolah setelah menyelesaikan studinya diharapkan bertindak sebagai wirausahaan sosial dalam mengembangkan masyarakat yang menjalankan fungsi sebagai advocate, broker, dan catalist (Apgar, 1976:136-137). Sebagai advocate, broker, catalist. Sebagai advocate, ia menjamin bahwa kebutuhan dan permintaan massyarakat secara persuasif dibawa pada perhatian atau urusan agen-agen publik yang relevan dan menggunakan berbagai sumber pengaruh dengan badan/organisasi di luar yang dapat mengembangkan partisipasi anggota mereka dalam program dan pelayanan. Sebagai broker, ia bertindak sebagia perantara dalam pemerolehan dana atau skills dari sumber daya dan menyediakan sumber daya manusia yang tepat. Sebagai katalist, seorang wirausahawan mensitumilasi perencanaan dalam koraloborasi dengan agent-anget lain atau usaha-usaha voluntir seperti dengan menyusun kelompok kerja, dan melakukan peran aktif, mendaftar dukungan dan saran pihak luar dan menyediakan modal “awal/pemicu� untuk mengembangkan program baru. Apgar

(1976:137) mencontohkan bahwa tiga peran dimaksud dalam bidang pendidikan yaitu seorang wirausahaan sosial dapat melakukan negosiasi terhadap negara untuk meningkatkan mutu sekolah publik (advocate), menginisiatifi diksusi dengan negara/pemerintah untuk mengembangkan dual use (catalist), dan menjamin koordinasi antara program perlindungan anak dan sekolah. Keberhasilan pelaksanaan dari fungsi seorang wirausahawan tersebut ditentukan oleh sejauh mana kompentensi yang dimiliknya. Kompetensi sebagai seorang wirausahaan sosial menggambarkan bahwa terdapat kemampuan dari seorang wirausahaan sosial untuk melaksanakan tugas atau fungsinya secara efektif dan akuntabel. Davis (2010:10) mengungkapkan bahwa karena wirausahaan sosial merupakan suatu proses yang melibatkan komitmen jangka panjang dan set-back yang kontinyu, maka wirausahawan sosial perlu memiliki: 1. Kemampuan untuk mengatasi apatisme, kebiasaan, ketidakkomprehensifan, dan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 330 Entoh Tohani

2.

3.

4.

5.

6.

ketidapercayaan ketika menghadapi resistansi yang kuat; Kemampuan untuk mengorganisasi perilaku, memobilisasi keinginan politis, dan meningkatan secara kontinyu idea-idea; Kemampuan mendengarkan, merekrut dan membujuk diantara orang-orang yang bekerja dengan, mengembangkan rasa akuntabilitas, dan kepemilikan untuk perubahan; Wirausaha sosial nyaman dengan ketidakpastian dan memiliki kebutuhan yang tinggi untuk otonomi; Kapasitas menghadirkan kebaikan/kenyamanan dan menyukseskan keberhasilankeberhasilan yang kecil; Melibatkan perilaku terpola yang baik yang dapat dicapai, memungkinkan orang lain dapat belajar untuk perilaku seperti wirausahawan sosial.

Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh London & Morfopoulos (2010:50) bahwa seorang wirausahaan sosial harus memiliki kompetensi yang dibutuhkan dalam menjakankan tugasnya. Kompetensi dimaksud adalah kompetensi transformasional, kompetensi manajemen transaksional, kompetensi advokasi. Kompetensi transformasional mencakup: a) transformational leadership, memotivasi dan menggerakan, menginspirasi, pemicu untuk keterlibatan, stimulasi intelektual, pertimbangan dan dukungan, dan memberdayakan; b) rainmaking, yang mencakup penggerak/pencari sumberdaya, pencari pendanaan, membangun konektivitas antara organisasi dan para stakeholders, c) teambuilding, mencakup menciptakan dan menguatkan visi yang terbagikan, menjadi fasilitator yang membangun kohesi, konsensus dan kerja sama, dan d) change management, meliputi mengidentifikasi kantong

penolakan/resistansi, mengatasi masalah, dan memelihara resilensi dan mengembangkan keterbukaan untuk berubah. Untuk melaksanakan kompetensi ini, keterampilan (skills) yang dibutuhkan untuk kompetensi tranformational antara lain berfikir kritis, berpandangan ke depan, mempengaruhi, menginspirasi, inovatif, mengelola diri, berbagi, mengembangkan, memberdayakan, dan generative learning. Sedangkan untuk kompeten manajemen transaksional meliputi: 1) pengembangan tim yang berkinerja baik, yang mencakup bakat yang tepat, mendeskripsikan struktur tugas dengan jelas, dan mengelola waktu secara realistik, 2) melakukan usaha dalam waktu yang panjang dengan struktur, aturan, dan nilai pendirian yang jelas, 3) mensupervisi voluntir dan membayar staff dan mengelola kinerja dalam cara yang sistematis, seperti merumuskan capaian kinerja, menetapkan tujuan, penyediakan pelatihan, memantau kinerja, memberikan umpan balik dan pendampingan, dan berpegang pada akuntabilitas proses dan hasil, dan 4) memelihat voluntir dengan memberikan penghargaan dan pengertian. Terkait dengan kompetensi ini diperlukan keterampilan mempromosikan dan pemasaran, pengetahuan keuangan, manajemen waktu, perencanaan dan pengorganisasian. Sedangkan kompetensi advokasi meliputi aktivitas untuk mendidik masyarakat, menyebarluaskan informasi, mengalisis kebijakan, mengembangkan partisipasi masyarakat, dan bernegosiasi. Sebagai seorang wirausahawan sosial, kemampuan membangun jejaring perlu dilakukan agar pemberdayaaan masyarakat dapat dengan cepat terbangun (Praszkier & Nowak, . Jejaring dalam konteks pemberdayan dimaknai menyatakan sebuah usaha atau kegiatan wirausaha harus didukung oleh kemampuan berjejaring sebagai kemampuan untuk bekerja secara internal dan eksternal (Osterle et al., 2001:5). Kemampuan ini mengarah pada pencapaian (a) sumber daya seperti tenaga kerja, manajer, dan sistem


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 331 Entoh Tohani

informasi, (b) proses bisnis seperti proses penjualan, dan unit usaha seperti kegiatan dalam rantai pemasokan, dan mendukung keterlibatan masyarakat, memfasilitasi tindakan kolektif, mengembangkan kesempatan untuk belajar dan refleksi, dan menyediakan saluran komunikasi yang baik (Gilchrist, 2009:61). Pengembangan kemampuan jejaring dapat dilakukan menumbuhkan kesadaran bahwa pentingnya berkoneksi dengan orang lain, membangun sikap positif dan otentik, mengutamakan mutu berjejaring, memegang etika jejaring, berkomunikasi dengan efektif dan dialogis, dan selalu bersikap positif dalam berjejaring untuk mendapatkan pekerjaan (Kramer, 2012). Pengembangan kapasitas wirausahaan sosial Mahasiswa pendidikan luar sekolah harus dapat memiliki kompetensi sebagai wirausaha sosial. Oleh karenya itu, dibutuhkan suatu kegiatan pengembangan agar kompetensi wirausahaan sosial mahasiswa, salah satunya dengan mengembangkan pembelajaran yang berbasis pada pengalaman dan praktik langsung (experiential based learning). Pembelajaran berbasis pengalaman merupakan proses pembelajaran yang dimaksudkan untuk membentuk kompetensi warga belajar dengan menggunakan pengalaman yang bermakna. Belajar berbasis pengelaman dimaknai sebagai the sense-making process of active engagement

between the innerworld of the person and the outer world of the environment (Beard & Wilson, 2006:19). Pada dasarnya, pembelajaran berbasis pengalaman merupakan proses dasar untuk semua proses kegiatan belajar karena ini menghadirkan transformasi pengalaman-pengalaman penting dan baru dan mengelola pengelaman-pengalaman dalam suatu suatu kerangkan konseptual yang lebih luas. Dari sudut pandang kontruktivistik, pembelajaran berbasis pengalaman memungkin warga belajar dapat mengkonstruk mana dari pengalaman mereka untuk menghasilkan pengetahuan melalui refleksi terhadap pengalamannya (Fenwick, 2003:21). Individu-individu mengkonstruk pengalaman baru melalui eksperimentasi, dibimbing oleh minat personal, memilih fokus-fokus belajar dari berbagai kemungkinan yang ada di lingkungan, dan menganalisis secara reflektif eksperiment dimaksud. Outcome dari pembelajaran ini adalah pertumbuhan personal (personal growth) yaitu individu yang matang dan capaian pengetahuan yang lebih baik. Terkait ini, Kolb (1984) menggambarkan bahwa proses belajar berbasis pengalaman mencakup pengalaman konkrit, observasi reflektif, konseptualisasi, dan eksperimentasi aktif (Illeris, 2009). Pengalaman dapat berbentuk pengalaman langsung, pengalaman dari orang lain, maupun pengalaman dari teks, literatur, atau sumber belajar lainnya.

Gambar 2 Siklus belajar Kolb


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 332 Entoh Tohani

Mendasarkan pada pemahaman di atas, pengembangan kapasitas kewirausahaan sosial mahasiswa dapat dilakukan dengan penyelenggaraan pembelajaran berbasis pengalaman. Fenwick (2003:4-5) memberikan gambaran bentuk aktivitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam konteks pendidikan orang dewasa antara lain: a) pembelajaran/pengalaman langsung berbasis lapangan seperti magang, kuliah kerja nyata, b) latihan belajar aktif berbasis kelas, c) program pelatihan outdoor yang direncanakan untuk mengembangkan kepemimpinan, pemecahan masalah, dan keterampilan berorganisasi (team skills), c) belajar melalu pemaknaan setiap pengalaman dalam kehidupan sehari-hari melalui program penugasan, dan d) pembelajaran melalui tindakan sosial, dimana warga belajar melakukan aktivitas nyata di masyarakat. Dalam membangun kompetensi kewirausahaan sosial, proses pembelajaran di perguruan tinggi dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain: a) mempelajari materi atau substansi dan mengetahui proses kewirausahaan sosial melalui pelaksanaan kursus/pembelajaran, b) melalui projek kelompok diharapkan warga belajar dapat mengelola masyarakat dan konfliks, c) melalui brainstorming, warga belajar dalam mengembangkan kemampuan mengindentifikasi solusi untuk mengatasi masalah, mengembangkan bisnis, visi dan misi, dan d) melalui presentasi dan aktivitas inisiasi, warga belajar dapat mengembangkan keterampilan interpersonal seperti berkembang saling percaya, sensitifitas budaya dan keterbukaan (Fish & Kim, 2014). Salah satu bentuk pendekatan pembelajaran berbasis pengalaman yang dapat dilakukan secara langsung guna membentuk dan mengembangkan kapasitas kewirausahaan sosial dari mahasiswa adalah dengan melakukan belajar secara langsung atau learning by doing. Chang, Benamraoui, & Rieple (2014) memberikan gambaran mengenai pelaksanaan

pembelajaran untuk mengembangkan kapasitas kewiriausahaan sosial melalui pendekatan learning by doing yang mana tahapannya sebagai berikut: 1. Induksi. Memberikan orientasi awal kepada mahasiswa mengenai tugas yang akan dilakukan dan mempersiapkan metode pengumpulan dan analisis data yang tepat. Dalam tahap ini pun kerja sama dengan mitra (pelaku bisnis sosial) perlu terjalin. Aktivitas pembelajaran dilakukan dengan: a) memberikan pemahaman awal kepada mahasiswa, b) meminta mahasiswa untuk melakukan kerja lapangan (field work) dengan mengunjungi usaha-usaha sosial, c) membimbing mahasiswa mengembangkan rencana baik kegiatan, waktu, sumber daya atau fasilitas, d) meminta mahasiswa mempresentasikan rencana kepada mitra yang telah disepakati, e) mahasiswa melakukan fund raising dan mengevaluasinya, f) mahasiswa mempresentasikan aktivitas fund raising dan rencana akhir kepada mitra dan memperoleh masukan, 2. Mengembangkan ide-ide yang valid. Mahasiswa diminta untuk melakukan kajian di luar kampus agar mereka mencapai pemahaman yang lebih komprehensif mengenai bisnis sosial, dan mampu mengidentifikasi prioritas utama dari rencana yang disusun. Dalam tahap ini, dibutuhkan feedback yang bermakna dari mitra yang terlibat. 3. Mengembangkan rencana operasional dan identifikasi sumber daya. Bersamasama dengan pendidik, mahasiswa menilai ulang rencana yang disususnya untuk mempertimbangkan kelayakan apakah rencana dapat didanai oleh mitra dan mendapatkan dukungan fasilitas kampus. 4. Negosiasi kesempatan. Pada tahap ini, mahasiswa diminta untuk melakukan negosiasi dengan pihak kampus dan mitra untuk mendapatkan sponsor/dukungan.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 333 Entoh Tohani

5.

6.

Implementasi. Mahasiswa mempraktikkan langsung rencana yang disusunannya dengan disertai oleh promosi dan pemasaran menggunakan berbagai media misalnya media sosial. Survival. Mahasiswa mempresentasi mengenai implementasi rencana bisnis sosialnya kepada mahasiswa lain. Antar mahasiswa dimungkingkan untuk saling memberikan masukan dan saling berbagi pengalaman yang bersifat konstruktif.

Praktik-praktik pembelajaran berbasis pengalaman yang dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kompetensi kewirausahan sosial harus dilandasi oleh pemikiran bahwa proses pembelajaran yang ada di perguruan tinggi perlu diarahkan kepada proses pendidikan atau pembelajaran yang menggunakan paradigma multidisiplin, interdisiplin bahkan transdisiplin. Paradigma monodisiplin dalam konteks ini perlu dikurangi bahkan perlu ditinggalkan karena dipandanga kurang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk membangun pemikiran atau pengetahuan yang lebih komprehensif dan perubahan lingkungan yang tidak mungkin dapat dikejar tanpa keterlibatan berbagai disiplin pengetahuan. Oleh karenanya, dalam proses pembelajaran pengembangan budaya saling membelajarkan dan berbagi pengetahuan perlu dibangun dalam kehidupan pembelajaran di perguruan tinggi. PENUTUP Proses pembelajaran dalam rangka mengembangkan kompetensi kewriasuahaan sosial bagi mahasiswa jurusan pendidikan luar sekolah bukan merupakan kegiatan yang mudah dilakukan. Aktivitas ini memerlukan dukungan dari berbagai pihak yang terlibat terhadap pelaksanaan aktivitas edukatif pendidikan di perguruan tinggi. Dukungan yang baik akan memudahkan terbentuk kompetensi dimaksud karena dimungkinkan terdapat berbagi sumberdaya yang dibutuhkan dalam proses pengembangan. Sudah pasti, syarat

terbangun kemitraan dengan melibatkan berbagai pihak baik pemerintah, organisasi, maupun masyarakat harus dilandasi oleh sikap saling peduli, saling membantu dan saling bekerja sama dalam rangka menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karenanya, pembelajaran yang dimaksudkan demikian harus dilakukan oleh pendidik yang dimiliki kemampuan memahami peluang yang dapat diakses, memobilisasi pihak terkait, dan mampu mengintegrasikan berbagai kepentingan dilandasi oleh pandangan menciptakan manusia yang berguna dan pembelajaran yang bermanfaat. REFERENSI Apgar, M. 1976. New perspective on community development. Berkshire: McGraw-Hill Book Company Limited. Beard, C. & Wilson, J.P. 2006. Experiential learning: A best practice handbook for educators and trainers. Philadelphia: Kogan Page Bornstein, D. & Davis, S. 2010. Social entrepreneurship: What everyone needs to know teaching notes. New York: Oxford University Press Carter, S. & Evans, D.J. 2006.Entreprise and small business: Principle, practice and policy. Harlow: Prentice Hall Chang, Jane, Benamraoui, A, & Rieple, A. 2014. Learning-by-doing as an approach to teaching social entrepreneurship. Innovations in Education and Teaching International, 2014, Vol. 51, No. 5, 459–471, http://dx.doi.org/10.1080/14703297. 2013.78525 Dees, J. G. 1988. The meaning of “social entrepreneurship�. https://entrepreneurship.duke.edu/ne ws-item/the-meaning-of-socialentrepreneurship/ Drucker, P. F. (1984). Innovation and entrepreneurship. California: Perfect Bound.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 334 Entoh Tohani

Fenwick, T.J.2003. Learning through experience. Florida: Krieger Publishing Company. Fish A.L. & Kim, Ji-Hee. 2014. MyLinkFace: Teaching social entrepreneurship. The BRC Academy Journal of Education, Vol. 4, No. 1, DOI: http://dx.doi.org/10.15239/j.brcacadj e.2014.04.01.ja02 Gilchrist, A. 2009. The well-connected community. Briston: The policy Press Hockerts,, K., Mair J., & Robinson, J. 2010. Values and opportunities in social entrepreneurship. Palgrave Macmillankai Hockertdeffrey Robinsones and Opport Illeris, K.2009. Contemporary theories of learning. Abingdon: Routledge Kramer, E. 2012. 101 successful networking strategy. Boston: Course Technology, Cengage Learning

London, M. & Morfopoulos, R.G. 2010. Social entrepreneurship. New York: Routledge Nicholls, A. 2006. Social entrepreneurship: New model of sustainable social change. New York: Oxford University Press Perrini, F. & Vurro, C.2010. Developing an Interactive Model of Social Entrepreneurship. Dalam Hockerts,K., Mair, J. Robinson, J. 2010. Values and Opportunities in Social Entrepreneurship. New York: Palgrave Macmillan Osterle, et al. 2001. The 8 strategy of networking development. www.forbes.com Praszkier, R. & Nowak, A. 2012. Social entrepreneuship. New York: Cambridge University Press Todeva, E. 2006. Business networks: Strategy and structure. London: Routledge


POLA AGEN PERUBAHAN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI JARINGAN PENDIDIKAN NONFORMAL DAN INFORMAL Zulkarnain

Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Malang Email: zulkarnain.fip@um.ac.id Abstrak Pemberdayaan masyarakat adalah serangkaian kegiatan dilakukan secara bertahap dalam mewujudkan masyarakat mandiri yang mampu mengenali masalahnya dan dapat mencari solusinya. Pelaku pemberdayaan masyarakat adalah seorang agen perubahan. Agen perubahan dalam hal ini adalah tokoh masyarakat dan kepala desa yang bertindak sebagai penghubung dan penggerak masyarakat. Tindakan agen perubahan yang dilakukan dimasyarakat haruslah sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakaat binaannya. Kesesuaian perilaku dengan tradisi masyarakat sangat mempengaruhi peran dan tugasnya dalam menyebarkan sebuah difusi inovasi. Tulisan ini mendeskripsikan beberapa studi pola peran agen peru-bahan dalam mengorganisir pemberdayaan masyarakat pedesaan di Jawa Timur. Ada tiga studi yang dideskripsikan dalam tulisan ini, yakni: (1) Studi di Dusun Bajulmati; (2) Studi di Desa Pelem, dan (3) Studi di Desa Pait. Berdasarkan hasil studi disimpulkan bahwa ada tiga pola agen perubahan, yakni: Pertama, pola agen perubahan dalam pemberdayaan masyarakat berbasis dari bawah terintegrasi pada potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang terdapat dalam masyarakat; Kedua; pola agen perubahan dalam pemberdayaan masyarakat melalui jaringan lembaga kursus sebagai pendidikan nonformal; Ketiga, pola agen perubahan dalam pemberdayaan masyarakat berbasis pasca penen pertanian.

Kata kunci: Agen perubahan, pemberdayaan masyarakat, nonformal, informal Pattern Change Agent Role in Empowering Communities Through the Non Formal and Informal Education Network abstract Community empowerment is a series of activities carried out in stages in order to realize an independent society that is people who are able to recognize the problem and seek a solution. Perpetrators of community empowerment is an agent of change. Agents of change in this case is acting as a liaison and community mobilization targets for empowerment. Actions undertaken in the community change agent must be in accordance with the values and norms that apply in masyarakaat auxiliaries. Conformity with tradition behavior greatly affects the role and tasks in deploying a diffusion of innovation. This paper explores some of the studies the pattern of change agent role in organizing the emergence of empower-ment of rural communities in Malang. There are three studies described in this article, namely:(1) Studies in the Village Bajulmati Gajahrejo; (2) Study on Rural Pelem District of Pare, and (3) Study in Pait village of Malang. Based on the results of the study concluded that there are three patterns of change agents, namely: First, the pattern of change agents in the community empowerment is integrated on natural resources and human resources present in the community; Second; the pattern of change agents in the community empowerment through the network of institutions courses as a unit out of school education; Third, the pattern of change agents in the post penen based community empowerment agriculture. Keywords : Agent of change, empowerment, non formal, informal


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 336 Nama Penulis

PENDAHULUAN Pemberdayaan masyarakat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara bertahap dalam rangka mewujudkan masyarakat yang mandiri yaitu masyarakat yang mampu mengenali masalahnya dan dapat mencari solusinya. Kemandirian masyarakat merupakan tujuan utama proses pemberdayaan dalam meningkatkan kualitas pembangunan sebuah bangsa. Menurut Suharto (2006) menjelaskan bahwa pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhannya seperti memiliki kepercayaan diri dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Chamber (dalam Anwas, 2013) menyatakan bahwa “individu yang menjadi sasaran pemberdayaan adalah mereka yaitu orang miskin yang seringkali tidak memiliki daya untuk berjuang karena sudah dilumpuhkan. Masalah-masalah tersebut timbul karena terbatasnya sarana informasi, ketiadaan dukungan dari segi ekonomi, ketiadaan pelatihan-pelatihan yang mendukung�. Segala bentuk masalah yang ada dikehidupan masyarakat diharapkan dapat terselesaikan melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat. Kegitan tersebut berperan penting dalam proses memampukan masyarakat agar mampu menyelesaikan masalah mereka dengan cara mereka sendiri melalui partisipasi.

Pelaku pemberdayaan masyarakat adalah seorang agen perubahan, dimana agen perubahan bertindak sebagai penghubung dan penggerak masyarakat sasaran pemberdayaan. Tindakan agen perubahan yang dilakukan dimasyarakat haruslah sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakaat binaannya. Agen perubahan (change agent) adalah orang yang bertugas mempengaruhi klien agar mau menerima inovasi sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh agen perubahan (change agency). Semua agen perubahan bertugas membuat jalinan komunikasi antara

pengusaha pembaharuan (sumber inovasi) dengan sistem klien (sasaran inovasi). Tugas utama agen perubahan adalah melancarkan jalannya arus inovasi dari pengusaha pembaharuan ke klien. Proses komunikasi ini akan efektif jika inovasi yang disampaikan kepada klien harus dipilih yang sesuai dengan kebutuhannya atau sesuai dengan masalah yang sedang dihadapinya. Agar jalinan komunikasi dalam proses difusi inovasi ini efektif, maka umpan balik dari sistem klien harus disampaikan kepada pengusaha pembaharuan melalui agen pembaharu. Dengan berdasarkan umpan balik ini pengusaha pembaharuan dapat mengatur kembali bagaimana sebaiknya agar komunikasi dapat lebih efektif. Tidak mudah menjadi agen perubahan, dan tidak semua orang mau menjadi agen perubahan. Agen perubahan biasanya adalah orang yang ditugasi oleh pemerintah untuk memberdayakan masyarakat, namun ada pula agen perubahan yang merupakan relawan dalam berbagai bidang tertentu. Hal tersebut dimaknai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 1099) bahwa “relawan merupakan orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela (tidak karena diwajibkan atau dipaksakan)�. Sesuai dengan pernyataan diatas, bahwa seorang relawan yang menjadi agen perubahan yang belum tentu ada di setiap wilayah, menjadi relawan yang menjadi agen perubahan haruslah memadukan antara rasa empati dan juga interaksi dengan masyarakat. Tulisan ini mendeskripsikan tentang: (a) pola peran agen perubahan dalam pemberdayaan masyarakat terintegrasi pada potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang terdapat dalam masyarakat di Dusun Bajulmati Desa Gajahrejo Kabupaten Malang; (b) pola peran agen perubahan dalam pemberdayaan masyarakat melalui jaringan lembaga kursus sebagai satuan pendidikan luar sekolah di Desa Pelem Kecamatan Pare Kabupaten Kediri; (c) pola peran agen perubahan dalam pemberdayaan masyarakat berbasis pasca


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 337 Nama Penulis

penen pertanian di Desa Pait Kecamatan Kasembon Kabupaten Malang. PEMBAHASAN Pola Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat di Dusun Bajulmati Desa Gajahrejo Kabupaten Malang Pemberdayaan masyarakat merupakan perubahan yang dirancang baik oleh pemerintahan desa atau agen perubahan sosial. Pengembangan masyarakat dari bawah (botttom up) lebih banyak melibatkan masyarakat sebagai pelaku pembangunan yang dimulai dari perencanaan pembangunan, pelaksanaan pembangunan dan menilai hasil serta pemanfaatan hasil pembangunan. Dalam hal ini pembangunan lebih dirasakan hasilnya oleh masyarakat karena pembangunan dirancang berdasarkan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian Munzir dan Zulkarnain (2015), dusun

Bajulmati Desa Gajahrejo Kecamatan Gedangan Kabupaten Malang dapat dideskripsikan bahwa pola peran agen perubahan dalam pemberdayaan masyarakat terpadu dan terintegrasi. Pemberdayaan masyarakat terpadu dilaksanakan agar dapat meningkatkan kualitas pembangunan sejajar dengan pembangunan desa lain bahkan dapat mengangkat harkat warga masyarakat yang sebagian besar hanya mengandalkan tenaga dengan upah yang rendah. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan Bapak SI sebagai agen perubahan bahwa: “selama ini warga masyarakat Bajulmati hanya mengandalkan tenaga kasar dengan upah yang rendah, sedangkan para pendatang pengelola tambak udang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi mendapatkan upah yang tinggi�. Pola Agen dalam pemberdayaan masyarakat digambarkan dalam diagram sebagai berikut.

Pembangunan Sumberdaya Manusia

Program Jasa: 1. Wisata Pantai 2. Susur Goa 3. Susur Sungai

Pembangunan Bidang Pendidikan

Konservasi Lingkungan: 1. Penanaman mangrove 2. Penanaman pohon pelindung 3. Tumpangsari lahan hutan 4. Pelepasan benih ikan di sungai

Pemberdayaan Masyarakat dari Bawah

Peran Agen Perubahan Melalui Lembaga dan individu

Program Kewirasuahaan: 1. Usaha Warung di Pantai 2. Jualan Bakso 3. Jualan Es Degan 4. Mracangan 5. Kripik Tempe 6. Tambal ban 7. Bengkel sepeda motor

Gambar 1. Pola Agen Perubahan di Dusun Bajulmati Desa Gajahrejo Kab. Malang


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 338 Nama Penulis

Sosok agen perubahan yaitu SI dan MJ yang mengembangkan dan menjadi penyebar inovasi khususnya dalam pendidikan berbasis masyarakat PAUD Bina Harapan, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Rumah Pintar Harapan, TK Harapan, TPQ Nurul Huda, Perpustakaan di Dusun Bajulmati, serta TK Tunas Harapan dan SD Harapan Goa Cina. Agen perubahan yaitu SI dan MJ yang mulai dari tahun 1989 telah melakukan upaya-upaya dalam proses mengembangkan pendidikan berbasis masyarakat dalam aspek peningkatan mutu sumber daya manusia. Latar belakang SI dan MJ mau menjadi relawan sebagai agen perubahan untuk mendidik, mengembangkan pendidikan adalah karena keprihatinan dan juga rasa tanggung jawab dalam meningkatkan kualitas hidup anak-anak dan masyarakat. Tidak banyak orang yang terpanggil untuk menjadi relawan dan mengabdikan diri untuk masyarakat tanpa mengutamakan kepentingan pribadi, utamanya kepentingan finansial serta kedudukan. Sosok SI dan MJ merupakan orang yang bukan berasal Dari Dusun Bajulmati namun memiliki kepedulian yang tinggi dalam kemajuan Dusun Bajulmati dan sekitarnya, utamanya dari segi pendidikan. Selain itu dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia warga Bajulmati Kegiatan pelatihan juga merupakan salah bentuk mendidik masyarakat yang sering dilakukan di Lembaga Sosial Pendidikan Harapan Bajulmati. Dalam mengadakan berbagai pelatihan perlu adanya kerjasama dan juga pemateri. Salah satu hal yang menjadi keuntungan di Dusun Bajulmati adalah banyaknya rekan dari SI dan MJ yang turut membantu mengadakan pelatihan, bakti sosial dan bantuan lainnya (Larasati, 2015). Pola peran pemberdayaan masyarakat yang dimulai dari peningkatan kualitas pendidikan dengan merintis pendidikan taman kanak-kanak (TK) yang dibangun oleh swadaya masyarakat sendiri, merintis SD Kecil, mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM), pemberdayaan dengan peningkatan pendidikan dasar baik

setingkat SD maupun sekolah lanjutan pertama, dan atas. Dalam menjalankan program pemberdayaan, agen perubahan selalu melakukan tahapan pertama yaitu untuk membina hubungan dengan berbagai elemen masyarakat, karena melalui menjalin hubungan akan tercipta komunikasi dan kepercayaan. Dengan terciptanya kepercayaan maka akan lebih mudah dalam mendiagnosa kebutuhan dan masalah masyarakat, karena infrormasi yang disampaikan masyarakat akan lebih valid dan sesuai dengan keadaan. Tahap yang dilalui oleh agen perubahan selanjutnya adalah dengan memberikan sumber penyelesaian masalah sehingga pemecahan masalah dapat dilakukan dan diterima oleh masyarakat/ sasaran kegiatan. Dengan meningkatnya kemampuan masyarakat dan adanya pemecahan masalah maka tahap akhir yang dilakukan oleh agen perubahan adalah menjaga kestabilan.

Tahapan pemberdayaan yang dilakukan oleh agen perubahan di lokasi penelitian adalah dimulai dari proses penyadaran masyarakat sehingga mampu meningkatkan kapasitas masyarakat dalam segi pengetahuan. Pembahasan mengenai teori pemberdayaan masyarakat dari pengertian, serta tahapan digunakan sebagai analisis tentang temuan lapangan yang terkait dengan bentuk kegiatan SI dan MJ dalam mendidik dan menjalankan pendidikan berbasis masyarakat, serta tahapan upaya yang telah dijalankan oleh SI dan MJ selama 20 tahun terakhir dalam bidang pendidikan sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat. Dalam peningkatan wawasan pendidikan agama serta pelestarian dan pengembang-an budaya. Pembelajaran dalam pendidikan agama di Dusun Bajulmati merupakan kebutuhan masyarakat, karena pada awal melaksanakan pemberdayaan masyarakat masih belum banyak warga yang memahami agama secara utuh. Pembelajaran pendidikan agama bagi masyarakat yang usia dewasa dilakukan melalui kegiatan pengajian, diba’an, tahlilan dan yasinan. Sedangkan untuk anak-anak melalui pendidikan di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA).


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 339 Nama Penulis

Pemberdayaan budaya lokal juga dilakukan melalui berbagai media yang ada di dalam masyarakat. Upaya peningkatan pendidikan masyarakat Dusun Bajulmati mengalami hambatan karena kondisi sosial ekonominya relatif rendah. Oleh karena itu peningkatan pendidikan harus diikuti oleh peningkatan ekonomi. Dalam pemberdayaan masyarakat bidang ekonomi masyarakat Dusun Bajulmati yang brkembang untuk meningkat tingkat ekonomi masyarakat yang dikelola agen sosial terdiri dari peningkatan ekonomi melalui wirausaha, dan pelayan jasa wisata edukatif. Pada kegiatan wirausaha masyarakat disana di ajarkan untuk menanam sayur mayur di pekarangan rumanhya fokus utamanya terlebih dahulu adalah terong, dan pokak dengan mengawinkan atau menyambung sampai 5-6 jenis terong.Selain itu juga masyarakat dilatih menjadi sebagai pemandu wisata dari masyarakat sendiri, peralatan yang digunakan awalnya pinjampinjam, perahu, pelampung awalnya cuman 3 kemudian ada sumbangan menjadi 7, dan menggunakannya sistem gantian. Awalnyasetiap pengunjung yang datang kita tawari bahwa didesa ini ada semacam paket wisata, ketika ditawari ternyata menarik dan kita ajak untuk menyusur sungai sama gowa, tenaga untuk sebagai pemandu wisata sekitar 12 orang, dan setiap pengunjung yang datang selalu terpukau dengan keindahan yang dimiliki dan lambat laun semakin banyak pengunjung yang datang dan kami layani dengan baik bersama masyarakat. Home stay dari dulu ada namun belum dikatakan home stay awalnya tahun 1994 dan dulu sistemnya nitip semacam lelang, jadi ketika ada tamu yang akan datang kami tawarkan kepada masyarakat ini ada tamu siapa kira-kira yang bisa menampung untuk sementara? Sehingga dari masyarakat ada yang bersedia. Home stay terbentuk 2013 sampai saat ini berjumlah 20 rumah namun yang lain juga siap untuk dijadikan home stay ketika ada wisatawan datang dalam jumlah yang banyak.

Kegiatan ekonomi melalui pelayanan Jasa, untuk bagian pelayanan jaza terbentuk tahun 2007. Pelayanan jaza yang dikembangkan adalah, sebagai tenaga pengajar di TPQ, TK, dan SD. Selain itu juga pelayanan jaza melalui sebagai Pemandu wisata dengan memanfaatkan masyarakat, yang pertama kali menyusur sungai dengan perahu, menyusur gowa, dan pantai dan menanam bibit pohon mangrove di pinggir pantai dusun Bajulmati. Sampai saat ini pelayanan jasa diserahkan langsung oleh masyarakat setempat untuk mengelolahnya. Pola Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat di Desa Pelem Kecamatan Pare Kabupaten Kediri Kampung Inggris adalah suatu komunitas lembaga kursus bahasa Inggris pada sebuah desa yang bernama Desa Palem dan Desa Tulungrejo Kecamatan Pare Kabupaten Kediri Provinsi Jawa Timur. Desa tersebut memiliki keunikan dan kelebihan yakni banyaknya jumlah lembaga kursus Bahasa Inggris kini jumlahnya sudah mencapai lebih dari 100 lembaga kursus dan dalam 1 (satu) tahun lembaga-lembaga kursus yang ada di Kampung Inggris Pare ini dapat menampung lebih dari 3000 peserta kursus (Sumber: Pusat Informasi Kampung Inggris, 2015). Kampung Inggris didirikan oleh Mohammad Kalend pada tahun 1976. Khalend Osen begitula saapaan akrabynya nama yang sering dipanggil oleh masyarakat di Kecamatan Pare adalah seorang santri asal Kutai Kartanegara yang tengah menimba ilmu di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Munculnya Kalend merintis sebuah tempat kursus Bahasa Inggris bernama Basic English Course (BEC) yang didirikan pada tahun 1977 dengan peserta sebanyak enam siswa, para peserta kursus tersebut terus dibina dan didik tidak hanya dalam kemampuan bahasa Inggris saja namun juga ilmu agama serta kecakapan akhlak.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 340 Nama Penulis

Munculnya lembaga kursus tersebut sebagai awal jembatan perubahan sosial yang terjadi oleh masyarakat di Desa Palem dan Desa Tulungrejo, dimana masyarakat merasakan perubahan yang terjadi dari tahun ke tahun. Keberadaan lembaga kursus yang semakin bertambah dan menyebar disekitar lingkungan kedua desa tersebut banyak memberikan peluang-peluang mata pencaharian baru. Dulunya masyarakat di dua desa tersebut sebagian besar bermata pencaharian pertanian sekarang mata pencaharian masyarakat sudah banyak berganti non pertanian. Sehingga daya tarik kampung Pare bukan hanya keistimewaan dalam bahasa Inggris tapi juga suasana khas kampung yang melengkapi daerah tersebut. Berawal dari dinamisnya perkembangan kursus bahasa Inggris dengan sistem pendekatan pendidikan luar sekolah, maka semakin meningkat pula dinamika ekonomi masyarakat yang menopang kebutuhan peserta didik atau warga belajar pada kampung Inggris tersebut, sehingga munculllah usaha-usaha ekonomi baru oleh masyarakat sekitar dan pendatang yang dapat meningkatkan ekonominya, seperti warung, rumah kos-kosan atau kontrakan, warnet, toko pakaian, khususnya busana muslim, usaha jajanan keliling, persewaan sepeda pancal, toko buku, dan usaha lain yang berkaitan dengan keperluan para peserta didik yang sebagian besar datang dari pelajar dan mahasiswa, bahkan pekerja dari pulau Jawa dan luar pulau Jawa. Hal ini tidak terlepas dari pola yang diterapkan oleh agen perubahan dalam mengembangkan kampung Inggris tersebut. Agen perubahan (change agent) adalah orang yang bertugas mempengaruhi klien agar mau menerima inovasi sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh pengusaha pembaharuan (change agency). Semua agen perubahan bertugas membuat jalinan komunikasi antara pengusaha pembaharuan (sumber inovasi) dengan sistem klien (sasaran inovasi). Tugas utama agen perubahan adalah melancarkan jalannya arus inovasi dari

pengusaha pembaharuan ke klien. Proses komunikasi ini akan efektif jika inovasi yang disampaikan kepada klien harus dipilih yang sesuai dengan kebutuhannya atau sesuai dengan masalah yang sedang dihadapinya. Agar jalinan komunikasi dalam proses difusi inovasi ini efektif, maka umpan balik dari sistem klien harus disampaikan kepada pengusaha pembaharuan melalui agen pembaharu. Dengan berdasarkan umpan balik ini pengusaha pembaharuan dapat mengatur kembali bagaimana sebaiknya agar komunikasi dapat lebih efektif. Perubahan terjadi disemua aspek kehidupan manusia, baik aspek ekonomi, sosial, politik, budaya dan pendidikan. Disadari atau tidak, perubahan dapat terjadi begitu saja pada diri kita maupun di sekeliling kita. Perubahan itu erat kaitannya dengan dinamika lingkungan yang dinamis, yang dapat berubah kapan saja, tanpa memandang waktu maupun tempat. Perubahan merupakan fenomena global yang tidak bisa dibendung, sehingga terkadang mengejutkan kita semua, tidak terkecuali organisasi besar sekalipun, baik nirlaba maupun laba. Itulah perubahan, betapa dahsyatnya dia mengguling dan menggulung siapa saja yang tidak siap menghadapinya, tanpa pengecualian. Perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, karena perubahan akan selalu ada dan bergulir terus menerus. Bahkan ada yang mengatakannya sebagai sesuatu yang abadi. Pola peran agen perubahan yang dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat di Desa Pelem melalui di awali berdasarkan penelitian Zulkarnain (2016) menjelaskan bahwa didirikannya lembaga kursus bahasa Inggris Basic English Course (BEC) melalui pengembangan lembaga kursus bahasa Inggris sebagai satuan pendidikan nonformal yang bertambah terus dan memunculkan peluang-peluang usaha dan jasa dalam meningkatkan ekonomi masyarakat. Hasil wawancara dengan Mr. Kalend, “ketika ia ingin mendirikan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 341 Nama Penulis

lembaga kursus ini, ia mengumpulkan tokoh masyarakat di sekitar lingkungan tempat tinggalnya bahwa ia akan mendirikan lembaga kursus. Dampak dari pendirian lembaga kursus ini akan meningkatkan ekonomi masyarakat, silahkan masyarakat memanfaatkan peluang-peluang dalam meningkatkan ekonomi. Kemudian agar lembaga bahasa Inggris terus tumbuh dan berkembang di lingkungan desa, maka peserta kursus yang telah lulus diminta untuk membuka lembaga-lembaga kursus lainnya. Desa ini yang dulu merupakan sebuah lahan subur dan luas dengan sekitar 18,000 petani yang bekerja mengolah AGEN PERUBAHAN

LEMBAGA KURSUS BEC

lahannya sekarang lebih dikenal sebagai Kampung Inggris. Meskipun Mohammad Kalend pribadi kurang menyukai sebutan “Kampung Inggris” tersebut karena seolah memiliki konotasi bahwa setiap orang di Desa Pare tersebut dapat bercakap dalam Bahasa Inggris namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa sejak sekitar tahun 2000an Desa Pelem telah berubah menjadi sebuah kampung yang berbasis agrikultur menjadi kampungindustri. Karena saat ini ada sekitar 150 buah kursus Bahasa Inggris yang terdapat. Pola Peran Agen dalam pemberdayaan masyarakat digambarkan dalam diagram sebagai berikut. LULUSAN/ ALUMNI BEC

-TOKOH MASYARAKAT - KEPALA DUSUN DAN PRANGKAT -

PAGUYUBAN USAHA DAN JASA: ● ASRAMA ● RUMAH KOS-KOSAN ● WARUNG MAKAN ● JASA PERSEWAAN SEPEDA ● JASA OLAHRAGA/FITNES ● JASA LOUNDRY ● JASA KOMPUTER/WARNET ● PEDAGANG CAMILAN KELILING: BAKSO, PANGSIT, SIOMAY, CILOK, DLL ● TOKO BUKU ● TOKO BUSANA MUSLIM ● WARUNG SEMBAKO ● DAN LAIN-LAIN

● LEMBAGA

KURSUS ● PAGUYU-

BAN LEMBAGA KURSUS (100 LEMBAGA KURSUS)

Gambar 2. Pola Peran Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat di Desa Pelem Desa ini. Dan sekitar 10 ribu siswa yang datang ke Desa Pare ini ketika musim libur sekolah tiba yaitu antar periode bulan Juni sampai Juli. Untuk memenuhi kebutuhan siswa sebanyak itu maka berbagai industri skala rumah tangga bermunculan. Misalnya yang pasti adalah tempat kost atau asrama. Nyaris setiap rumah di sepanjang Jalan Anyelir menyiapkan tempat kost baik bagi siswa

maupun siswi. Lalu yang menyolok lagi adalah munculnya berbagai warung makanan yang menjual berbagai makanan seperti pecel sayur, nasi rawon, mie rebus atau sekadar tempat kopi. Ada juga yang mencuri perhatian 87 yaitu menjamurnya tempat penyewaan sepeda. Sepeda bisa disewa dengan biaya Rp. 70 ribu rupiah perbulan. Kemudian banyak rumah yang membuka bisnis


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 342 Nama Penulis

penatu dan fotocopy. Bahkan juga toko buku kecil dan sederhana. Yang menarik adalah ketika menyusuri Jalan Anyelir di Desa Pare maka hampir tidak ditemui warung makanan Barat seperti hamburger atau hotdog atau fried chicken. Yang ada adalah warung warung makanan tradisional atau jajanan sederhana. Apabila fenomena ini dikaitkan dengan konsep akulturasi menurut Koentjaraningrat (1990:91) maka yang terjadi di Desa Pare adalah terjadinya suatu proses sosial masuknya budaya baru pada sekelompok individu yang telah memiliki budaya tersendiri. Dan sebagai akibatnya menurut Koentjaraningrat unsur unsur kebudayaan asing tersebut diterima oleh individu dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri. Akan tetapi proses sosial ini tidak menghilangkan kepribadian kebudayaan asli. Tampaknya penduduk Desa Pare menerima Bahasa Inggris sebagai bagian dari kebudayaan baru masyarakat. Menyadari pula bahwa dengan penguasaan Bahasa Inggris maka kesempatan bagi anak anak muda Pare untuk bekerja dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik terbuka luas. Akan tetapi tampaknya juga akulturasi budaya yang terjadi hanya sebatas pada penggunaan Bahasa Inggris secara meluas dan dalam pada masyarakat Desa tersebut. Namun penggunaan Bahasa Jawa sebagai Bahasa Ibu masyarakat masih tetap kental di pakai di rumah dengan sesama anggota keluarga. Hal tersebut terbukti dari wawancara dengan Toto pedagang batagor, ibu penjual pecel di seberang kampus Basic English Course maupun dengan Ibu Iin seorang pengajar Bahasa Inggris yang mengungkap bahwa dengan sesame anggota keluarga mereka masih bercakap dalam Bahasa Inggris dan memasak makanan tradisional Jawa. Sementara sesama siswa menggunakan Bahasa Inggris hampir 24 jam dalam sehari selama satu minggu. Pola Agen Perubahan dalam Pemberdayaan Masyarakat di Desa Pait Kecamatan Kasembon Kabupaten Malang.

Desa Pait secara struktural merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari sistem perwilayahan Kecamatan Kasembon kabupaten Malang, memiliki potensi yang cukup strategis dengan luas wilayah 512.866 Ha yang terbagi 5 (lima) dusun, yakni: Dusun Slatri, Dusun Bonjagung, Dusun Pait Utara, Dusun Bara’an, dan Dusun Tangkil. Potensi Desa Pait cukup besar, baik potensi sudah dimanfatkan maupun yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Potensi yang ada baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya perlu terus digali dan dikembangkan untuk kemakmuran masyarakat secara umum. Perekonomian Desa Pait secara umum didomnasi pada sektor pertanian dan peternakan yang sistem pengelolaannya masih sangat tradisional (pengolahan lahan, pola tanam maupun pemilihan komoditas produk pertaniannya). Produk pertanian desa Pait untuk lahan basah (sawah) masih monoton pada unggulan padi dan sedikit palawija, hal ini diakibatkan adanya struktur tanah yang mungkin belum tepat untuk produk unggulan pertanian di luar sentra padi. Oleh karenanya ada langkah strategis mengatasi persoalan pertanian dengan melakukan berbagai upaya-upaya perbaikan sistem irigasi/pengairan; pengggunaan teknologi tepat guna; perbaikan tanam dan pemilihan komoditas alternatif dengan mengkomunikasinnnya kepada pihak-pihak terkait. Sedangkan untuk lahan kering (tegal) produk unggulan masih didominasi oleh tanaman kayu hutan, dan durian disamping itu masih banyak lahan yang belum termanfaatkan secara produktif untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Langkah alternatif yang dilakukan Kepala Desa Pait sebagai agen perubahan dengan melakukan penyuluhan-penyuluhan dalam meningkatkan pemanfaatan lahan, pengadaan bibit-bit tanaman produktif dengan melibatkan instansi terkait, seperti dinas kehutanan, dinas pertanian, dan perkebunan.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 343 Nama Penulis

Peran agen perubahan di Desa Pait dilakukan oleh Kepala Desa melaksanakan sosialisasi bagi tokoh agama, tokoh masyarakat, dan lembaga-lembaga masyarakat tentang program-program pembangunan yang dilaksanakan, menjalin kerjasama dengan tokoh agama, tokoh agama, dan lembaga masyarakat dalam pembangunan, menfasilitasi permodalan usaha bagi ekonomi produktif dengan lembaga keuangan. Usaha yang dikembangkan adalah pasca panen produk pertanian, seperti: durian, dan singkong di buat menjadi makanan camilan. Usaha industri yang dikembangkan di Desa Pait yakni industri rumah tangga yang dikelola individu atau dikelola kelompok dengan memanfaatkan hasil bumi seperti rempah-rempah yang diolah menjadi simplesia dan jahe instan serta singkong yang diolah menjadi kripik singkong rasa gadung serta beberapa olahan pangan lainnya. Pengembangan usaha industri pedesaan dikelola oleh koperasi yang membantu anggota koperasi untuk memasarkan serta menyediakan alat dan bahan yang dibutuhkan oleh anggota kopreasi. Industri olahan pangan dan dodol durian yang dikelola PKBM Kecamatan Kasembon dilatarbelakangi oleh keadaan ibu-ibu yang pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga dan membantu suami di sawah, ibu-ibu tersebut menganggur setelah melaksanakan pekerjaannya sebgai ibu tumah tangga. Sehingga hal tersebut membuat fasilitator desa untuk bisa memberdayakan ibu-ibu dengan memanfaatkan potensi yanga ada di Desa Pait. Desa tersebut memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat berlimpah terumata pohon singkong dan pohon durian potensi tersebut belum dimanfaatkan dengan maksimal oleh masyarakat sekitar sehingga tidak memiliki nilai jual yang tinggi untuk menambah perekonomian keluarga. Kegiatan mencapai tujuan program, sebagai berikut: (a) pelatihan pengembangan usaha kelompok, (b) pelatihan peningkatan pembuatan bahan pangan

olahan, (c) asistensi/mengundang konsultan, (d) mengadakan kunjunghan belajar, (e) mengadakan pelatihan pengemasan bahan olahan, dan mendaftarkan produk olahan ke Dinkes untuk mendapatkan PIRT. PENUTUP Berdasarkan deskripsi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa: Pertama, pola peran agen perubahan dalam pemberdayaan masyarakat di Dsusun Bajulmati Desa Gajahrejo, Kecamatan Gedangan, Kabupaten Malang berdasarkan dari bawah serta terintegrasi pada potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang terdapat dalam masyarakat tersebut; Kedua; Pola peran agen perubahan dalam pemberdayaan masyarakat yang terjadi di Desa Pelem Kecamatan Pare Kabupaten Kediri melalui jaringan lembaga kursus sebagai satuan pendidikan luar sekolah; Ketiga, pola peran agen perubahan dalam pemberdayaan masyarakat di Desa Pait Kecamatan Kasembon Kabupaten Malang dilaksanakan berbasis pasca penen pertanian. DAFTAR PUSTAKA Abraham, M. Francis. 1982. Modern Sociological Theory. An Introductions. New York: Oxford University Press. Awang, San Afri dkk. 2001. Gurat Hutan Rakyat. Jogjakarta: Debut Press. Awang, San Afri. 1999. Forest For People. Berbasis Ekosistem. Bayu Indra Grafika, PT. Yogyakarta. Awang, San Safri. 2006. Sosiologi Pengetahuan Deforestasi (Konstruksi Sosial dan Perlawanan) Jogjakarta: Debut Wahana Sinergi. Coombs, Philip. H. and Ahmed, M. 1974. Attacking Rural Poverty: how nonformal education can help, Amerika: John Hopkins Univercity Press


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 344 Nama Penulis

Creswell, John W. 1998. Qualitative Inquairy and Research Design; Choosing Among Five Traditions. London: SAGE Publications.

Technology�, (Cam-bridge, Elsevier Science Ltd., 1996)

UK:

Rogers, Everett M, 1995, Diffusions of Innovations, Fifth Edition. New York: Tree Press.

Crombie White, Roger .1997. Pembaharuan Kurikulum, Sebuah Perayaan Praktik Ruang Kelas, Jakarta: PT. Gramedia

Suryosubroto, B. 1990. Beberapa Aspek Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka.

Soekanto. Soerjono. 1995. Sosiologi Sebagai Suatu pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada . Warsita, Bambang. 2008. Teknologi Pendidikan Landasan dan Aplikasinya, Jakarta: Rineka Cipta.

Ife, Jime dan Tesoriero, Frank. 2006. Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Global. Community Development. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Kementerian Pendidikan Nasional. 2010, Rencana Strategis Kementrian Pendidikan Nasional, Jakarta: Bina Darma Putra. Moleong, Lexy J, dkk .1997., Perubahan Terencana, Jakarta: PT. Margi Hayu Muslich Mansur. 2010, Melaksnakan PTK itu Mudah, Jakarta: PT. Bumi Aksara. Nicholls, R..1993. Managing Educational Innovation. London: George, Allen and Unwin. Plomp, Tjeerd & Donald P. Ely, “International Encyclopedia of Educational

Mundzir, S. 2008. Dinamika Partisipasi Pesanggem. Malang: Lembaga Penelitian UM Mundzir, S. 2009. Pengentasan Kemiskinan. Malang: Lembaga Penelitian UM Mundzir, S. 2012. Sosiologi Pendidikan (Kajian Teori Mikro Makro). Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan UM Wibisono, Koento. 1983. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Comte. Jogjakarta: Gajahmada University Press


STRATEGI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI DESA WISATA BEJIHARJO Yudan Hermawan Pengelola Desa Wisata Bejiharjo yudanhermawan@gmail.com

Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu konsep atau tindakan yang dilakukan oleh perusahaan sebagai rasa tanggung jawab perusahaan terhadap social maupun lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. Kajian ini menjelaskan studi kasus di salah satu desa binaan CSR BCA yaitu desa wisata Bejiharjo dengan destinasi yang terkenal berupa air bawah tanah atau di kenal dengan sebutan Goa Pindul. Kajian ini menjalaskan empat strategi yang dilakukan CSR dalam pemeberdayaan masyarakat desa wisata Bejiharjo: 1) Pelatihan Sentuhan Layanan Prima, 2) Penguatan Kelompok Ekonomi Produktif, 3). Pengembangan Sarana dan Prasarana Desa Wisata, 4) pelayanan kesehatan masyarakat desa wisata.

Kata Kunci: Corporate Social Responsibility (CSR) , desa wisata, strategi pemberdayaan


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 346 Yudan Hermawan

PENDAHULUAN

CSR (Corporate Social Responsibility) adalah suatu konsep atau tindakan yang dilakukan oleh perusahaan sebagai rasa tanggung jawab perusahaan terhadap social maupun lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. Selain CSR merupakan salah satu program dari perusahaan yang bertujuan untuk menumbuhkan rasa kepedulian sosial terhadap lingkungan di luar perusahaan. Lingkungan luar ini utamanya yaitu masyarakat baik masyarakat kota maupun desa yang secara langsung diajak untuk melakukan sebuah programdalam rangka meningkatkan kualitas dari sumber daya manusia dan akhirnya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. CSR perusahaan membawa dampak positif bagi kondisi lingkungan dan sosialekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi. Pogram CSR dapat diterapkan pada masyarakat melalui pemanfaatan potensi wisata yang ada di suatu daerah dalam upaya optimalisasi potensi ini kemudian dikembangkan dengan memberdayakan masyarakat yang ada di sekitar potensi tersebut. Program-pram CSR dalam pariwisata memiliki beberapa strategi yang mana disesuaikan dengan potensi yang dimiliki daerah tersebut. Makalah ini, menjelaskan kajian mengenai pemberdayaan masyarakat yang bekarja sama dengan CSR BCA dalam bidang pariwisata di salah satu Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu desa wisata Bejiharjo dengan destinasi yang terkenal berupa air bawah tanah atau di kenal dengan sebutan Goa Pindul selain potensi alam desa ini juga mempunyai potensi budaya. Namun masyarakat Bejiharjo merupakan masyarakat petani yang perlu pendampingan khusus untuk bisa manjadi masyarakat pelayan jasa sehingga dapat meningkatkan pendapatan mereka melalui dunia pariwisata. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis membuat makalah yang membahas mengenai “Strategi Corporate Social

Responsibility (CSR) dalam pemberdayaan masyarakat di desa wisata Bejiharjo.�

PEMBAHASAN 1) Corporate Social Responsibility (CSR) Corporate Social Responsibility (CSR) secara umum Philip Kotler dan Nancy Lee (2005) menjelaskan bahwa: CSR merupakan sebuah komitmen perusahaan untuk memajukan komunitas melalui praktek bisnis dan memberikan kontribusi dari sumber daya perusahaan itu sendiri yang dilakukan melalui penilaian yang baik. Pendapat lain Menurut Nor Hadi, (2011:48) pengertian CSR merupakan suatu satu bentuk tindakan yang berangkat dari pertimbangan etis perusahaan yang diarahkan untuk meningkatkan ekonomi, yang disertai dengan peningkatan kualitas hidup bagi karyawan berikut keluarganya, serta sekaligus peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar dan masyarakat secara lebih luas . Jadi, dari beberapa sumber tersebut dapat disimpulkan bahwa CSR merupakan suatu bentuk kepedulian sosial dari perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan selain bergerak dalam bidang bisnis atau untuk mencari keuntungan. CSR adalah suatu konsep atau tindakan yang dilakukan oleh perusahaan sebagai rasa tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat maupun lingkungan sekitar dimana perusahaan itu bekerja atau berdiri melakukan suatu program kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dan tentunya juga menjaga kelestarian lingkungan, memebrikan sumbangan beasiswa pada aspek pendidikan, dana untuk pemeliharaan fasilitas umum/masyarakar bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak, khususnya masyarakat yang ada di sekitar. CSR dilakukan oleh perusahaan dengan sukarela yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat dan menjaga lingkunganya. Perusahaan tersebut melakukan kepedulian sosial, salah satunya


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 347 Yudan Hermawan

dengan cara mengembangkan kualitas sumber daya manusia dan pelastarian lingkungan. Konsep CSR yang dilakuakan perusahan dengan melibatkan partisipasi dari masyarakat secara langsung sehingga program tersebut dapat berkelanjutan. 2) Kategori CSR

Kotler dan Lee (2005) CSR atau Corporate Social Responsibility terdapat enam kategori aktivitas. Keenam kategori tersebut yaitu: 1) Promosi kegiatan sosial (Cause Promotions) 2) pemasaran terkait kegiatan sosial (Cause Related marketing) 3) pemasaran kemasyarakatan korporat (corporate societal marketing) 4) kegiatan filatropi perusahaan (coorporate philanthropy) 5) kegiatan filatropi perusahaan (coorporate philanthropy), dan 6) praktik bisnis yang memiliki tanggung jawab sosial (socially responsible business practice). penjelasan lebih lanjut sebagai berikut: a. Cause Promotions (Promosi kegiatan social) Aktivitas CSR perusahaan menyediakan dana atau sumber daya lainnya yang dimiliki perusahaan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap suatu kegiatan sosial atau untuk mendukung pengumpulan dana, partisipasi dari masyarakat, atau perekrutan tenaga sukarela untuk suatu kegiatan tertentu. Tujuan dari promosi kegiatan sosial yaitu menciptakan kesadaran dan perhatian dari masyarakat terhadap suatu masalah dengan menyajikan angka-angka statistik serta fakta-fakta yang menggugah. Tujuan lainnya yaitu membujuk orang untuk menyumbangkan waktunya, untuk membantu mereka yang membutuhkan. Selain itu, tujuannya adalah untuk membujuk masyarakat untuk memperoleh informasi lebih banyak mengenai suatu isu sosial

dengan mengunjungi website tertentu, dan lain-lain.

b. Cause Related marketing (pemasaran terkait kegiatan social) Perusahaan memiliki komitmen untuk menyumbangkan persentase tertentu dari penghasilannya untuk suatu kegiatan sosial berdasarkan besarnya penjualan produk. Beberapa kegiatannya yaitu menyumbangkan sejumlah uang tertentu untuk setiap produk yang terjual, menyumbangkan sejumlah uang tertentu untuk setiap aplikasi atau rekening yang dibuka. Menyumbangkan persentase tertentu dari setiap produk yang terjual atau transaksi untuk kegiatan amal (charity). c. Corporate societal marketing (Pemasaran kemasyarakatan korporat) Perusahaan mengembangkan dan melaksanakan kampanye untuk mengubah perilaku masyarakat dengan tujuan meningkatkan kesehatan dan keselamatan publik, menjaga kelestarian lingkungan hidup, serta mensejahterakan kehidupan masyarakat. d. Coorporate philanthropy (Kegiatan filatropi perusahaan) Perusahaan memberikan sumbangan langsung dalam bentuk derma untuk kalangan masyarakat tertentu. Sumbangan tersebut biasanya berbentuk pemberian uang secara tunai, bingkisan atau paket, bantuan atau pelayanan secara adanya timbal balik. e. Coorporate philanthropy (kegiatan filatropi perusahaan) Perusahaan mendukung serta mendorong para karyawan, rekan pedagang eceran, atau pemegang franchise agar menyisihkan waktu mereka secara sukarela guna membantu organisasi-organisasi


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 348 Yudan Hermawan

masyarakat lokal maupun masyarakat yang menjadi sasaran program. f.

Socially responsible business practice (Praktik bisnis yang memiliki tanggung jawab social) Perusahaan melalukan aktivitas bisnis melampaui aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum serta melaksanakan investasi yang mendukung kegiatan sosial yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan komunitas dan memelihara lingkungan hidup. Beberapa aktivitas tersebut, yaitu membuat fasilitas yang memenuhi bahkan melebihi tingkat keamanan lingkunga dan keselamatan yang ditetapkan, mengembangkan perbaikan proses produksi barang dan jasa, seperti berbagai kegiatan untuk mengurangi penggunaan yang berbahaya. Seperti, mengurangi penggunaan bahan kimia dalam proses peningkatan pertumbuhan tanaman pangan.

3) Corporate Social responsibility (CSR) dalam Pariwisata Tanggung jawab perusahaan untuk turut membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) melalui program Bakti BCA memberikan bantuan untuk pengembangan potensi daerah di Desa Bejiharjo Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, yang memiliki objek wisata Goa Pindul melalui pengelola Wirawisata Goa Pindul yang terdapat di desa tersebut. Goa Pindul merupakan objek wisata yang menjadi salah satu penyangga ekonomi di Desa Bejiharjo. CSR (Corporate Social Responsibility) dalam bidang pariwisata adalah bentuk kepedulian pelaku bisnis pariwisata terhadap pelaku pariwisata, terutama masyarakat di sekitar lokasi perusahaan itu berdiri. Startegi yang dilakukan oleh pihak oleh BCA dalam pemberdayaan masyarakat di desa wisata Bejiharjo:

a) Pelatihan Sentuhan Layanan Prima Langkah pertama yang harus dilakukan yaitu dengan memberikan masyrakat pengetahuan mengenai dampak positif dan negatif dari pelaksanaan program CSR dalam membentuk suatu destinasi maupun pengembangannya. Setelah masyarakat mulai menerima dan mau menjadikan daerahnya sebagai lokasi pelaksanaan aktivitas CSR, kemudian sedikit demi sedikit masyarakat diwujudkan melalui pelayanan terhadap masyarakat, seperti pembekalan pendidikan mengenai pariwisata. Pengembangan goa Pindul tersebut ditandai dengan pelatihan soft skill yang mampu mendongkrak pendapatan atau perekonomian warga yang berada di sekitar goa. Peserta mendapat beragam materi pelatihan yang akan melengkapi mereka dalam memandu jenis wisata yang dikembangkan untuk melatih manajemen diri terutama kemampuan softskill dan pengembangan pribadi serta kepemimpinan. Adapun materi yang akan disampaikan mencakup pelatihan dinamika kelompok, bagaimana menerima tamu atau wisatawan saat berkunjung yang baik, bagaimana mengelola manajemen dalam homestay, dan lain-lain. Para peserta dilatih oleh para fasilitator yang telah berpengalaman di bidangnya. b) Penguatan Produktif

Kelompok

Ekonomi

Melengkapi masyarakat Goa Pindul dengan kemampuan serta keterampilan (soft skill) yang dibutuhkan oleh pemandu wisata outbound, PT Bank Central Asia Tbk (BCA) melalui program Bakti BCA menggelar Program Pengembangan Experiential Learning/Outdoor Training Wirawisata. Nantinya, paket wisata outbound inilah yang melengkapi paket wisata air di Desa Wirawisata Goa Pindul. Sebagai Diferensiasi Produk sehingga tercipta kelompok ekonomi baru sebagai


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 349 Yudan Hermawan

penguatan ekonomi masyarakat. Sealin itu juga pelatihan-pelatihan pada kelompok-kelompok msayarakat sekitar gao pindul separti untuk ibu-ibu PKK dengan pelatihan pembuatan makanan lokal, kelompok pemuda dengan pelatihan pembuatan blangkon sebgai oleh-oleh, dll c) Pengembangan Sarana dan Prasarana Desa Wisata

Program CSR dalam bidang pariwisata juga diwujudkan dalam bentuk penyediaan fasilitas-fasilitas yang digunakan untuk mendukung kegiatan wisata. Pihak PT Bank Central Asia Tbk (BCA) melalui program Bakti BCA membantu melalui pemangunan seperti pembangunan sekretariat, pemberian pelampung, ban dll. d) Pelayanan Masyarakat

Konsultasi

Kesehatan

Pelaksanaan program CSR dalam pariwisata juga harus memperhatikan segi kesehatan masyarakat. Penyuluhan kesehatan dan pengobatan gratis pada ibu dan anak di daerah Pindul ini bertujuan untuk memperbaiki kesehatan ibu dan anak di daerah. Ranah kesehatan memiliki jangkauan yang luas, tidak hanya sekedar mengenai pengobatan dan orang sakit. Pemberdayaan masyarakat dilakukan agar perilaku masyarakat sesuai dengan nilai-nilai kesehatan. Derajat kesehatan masyarakat pun diharapkan kian mengalami peningkatan. Selain itu, BCA pun menggelar pengobatan gratis dengan menghadirkan tenaga dokter untuk memberikan pemeriksaan kesehatan bagi warga sekitar. Hasil pendampingan BCA pada desa wisata Bejiharjo mulai berdampak positif. Jumlah pengunjung meningkat dari pada tahuntahun sebelumnya dan kesejahteraan masyarakat

pun semakin baik. Komitmen BCA dalam mendampingi pengelola desa wirawisata Goa Pindul telah membawa dampak yang signifikan bagi masyarakat. Proses tersebut dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat dengan senantiasa mendampingi dalam setiap tahunya, sehingga masyarakat benar-benar paham bagaimana mengelola suatu destinasi secara profesional. PENUTUP a. Kesimpulan Corporate Social responsibility (CSR) merupakan suatu program yang digunakan oleh perusahaan sebagai wujud kepedulian sosial terhadap masyarakat di suatu daerah sekitar perusahaan itu berada. CSR dimaksudkan agar suatu perusahaan, terutama perusahaan bisnis tidak hanya mencari keuntungan, melainkan juga aspek lain, yaitu kepedulian sosial. PT Bank Central Asia (BCA) Tbk melalui dana yang berasal dari CSR yang diwujudkan melalui program pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pariwisata yang ada di daerah desa wisata Bejiharjo. Kajian ini menjalaskan empat strategi yang dilakukan CSR dalam pemeberdayaan masyarakat desa wisata Bejiharjo: 1) Pelatihan Sentuhan Layanan Prima, 2) Penguatan Kelompok Ekonomi Produktif, 3). Pengembangan Sarana dan Prasarana Desa Wisata, 4) Pelayanan kesehatan masyarakat desa wisata. b. Saran Pelaksanaan dana CSR sebaiknya juga memperhatikan aspek lingkungan tidak hanya memperhatikan aspek pemberdayaan masyarakat karena CSR sebaiknya menjadi salah satu media untuk menjaga kelestarian lingkungan. Sehingga, program dalam pelaksanaan dana CSR perlu diperhatikan tentang kepedulian terhadap lingkungan. Hal ini dilakukan agar kegiatan pariwisata tidak menjadi penyebab kerusakan lingkungan, terutama terjadinya eksploitasi yang tanpa terkendali.


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 350 Yudan Hermawan

DAFTAR PUSTAKA

Hadi, Nor, Corporate Social Responsibility,Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011. Lee, Nancy dan Philip Kotler, Corporate Social Responsibility: Doing the Most Good for Your Company and Your Cause, New Jersey: John Wiley and Sons, Inc, 2005. Theresia, A., dkk. (2014). Pembangunan berbasis masyarakat. Bandung: Alfabeta. Theresia, A. (2014). Pembangunan berbasis masyarakat. Bandung: Alfabeta. Yulia. E, D. (2014) Analisis partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan wisata. Bogor: Institut Pertanian Bogor PROFIL SINGKAT Yudan Hermawan S.Pd, M. Pd. Lahir di Gunungkidul, 23 Maret. Pendidikan yang di tempuh yaitu S1 PLS UNY lulus tahun 2013 dan S2 PLS UNY lulus tahun 2015. Sekarang selain aktif di kampus UNY juga sebagai penggelola desa wisata Bejiharjo (GOA PINDUL) dan mendirikan lembaga pendidikan masyarakat.


MODEL PEMBELAJARAN PRA KEAKSARAAN UNTUK ANAK DENGAN METODE AKU CEPAT MEMBACA (ACM) SEBAGAI PELUANG BISNIS DI BIDANG JASA PENDIDIKAN NONFORMAL Nur Tsuroyah Pendidikan Luar Sekolah, Universitas Negeri Malang Tsuroyah_msm@yahoo.com Abstrak Salah satu aspek perkembangan yang perlu dikembangkan sejak usia dini adalah aspek perkembangan bahasa. Bahasa menjadi sarana bagi anak dalam mengembangkan keaksaraan. Pengenalan kekasaraan dilakukan melalui pendekatan yang sesuai dengan tahap perkembangan anak. Kompetensi Pra Keaksaraan adalah salah satu hal mendasar yang perlu dikenalkan kepada anak dan menjadi modal utama anak dalam proses pembelajaran ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Anak akan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan keaksaraan melalui hubungan terus menerus dengan buku, bahasa, pengalaman motorik kasar dan halus. Perkembangan pengetahuan keaksaraan harus dipelajari melaIui pengalaman yang menyenangkan yang disediakan untuk anak usia dini selama bermain (Yusro:2013). Menciptakan lingkungan yang kaya dengan “keaksaraan“ akan lebih mamacu kesiapan anak untuk memulai kegiatan. Meskipun kemampuan baca dan tulis (keaksaraan) terus dikembangkan sepanjang hidup, pengalaman baca tulis (keaksaraan) untuk anak usia empat dan lima tahun meletakkan dasar yang penting bagi pengembangan baca tulis di masa depan (Seefeldt & Wasik, 2008: 323). Metode Aku Cepat Membaca (ACM) adalah model pembelajaran pra keaksaraan untuk anak yang dirancang guna mempermudah dan membantu anak dalam memahami kemampuan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis secara mudah, cepat dan menyenangkan, yang disiapkan khusus untuk anak mulai usia dini agar lebih awal dapat menguasai keaksaraan. Pembelajaran ini juga menggunakan konsep bermain serta mengembangkan kreatifitas dan imajinasi melalui cerita, gerak dan lagu, aktivitas bermain baik di dalam ruangan maupun diluar ruangan beserta media-media pendukung lainnya. Model pembelajaran ini mengambil peranan yang berbeda dengan bimbingan belajar yang sudah banyak dikenal masyarakat. bimbingan belajar pada umumnya mengulang atau mengajarkan kembali pelajaran-pelajaran di pendidikan formal kepada peserta didiknya. Saat ini model pembelajaran pra keaksaraan berkembang sangat pesat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh banyaknya permintaan masyarakat akan kebutuhan belajar pra keaksaraan untuk anak-anak baik melalui jalur pendidikan formal maupun nonformal, yang dilakukan secara klasikal maupun privat. Guna memenuhi kebutuhan dan permintaan masyarakat tersebut maka pendidikan nonformal sangat tepat untuk mengisi kebutuhan tersebut menjadi sebuah peluang bisnis di bidang jasa pendidikan nonformal. . Kata Kunci : Model Pembelajaran Pra Keaksaraan, Metode Aku Cepat Membaca, Peluang Bisnis


PENDIDIKAN, BONUS DEMOGRAFI DAN CSR (Sebuah Upaya Konseptual Pendidikan Masyarakat 2020) Syamsuddin Jurusan PNF Prog. Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta syamsuddin.juhran@gmail.com

Abstrak Pemberdayaan masyarakat adalah suatu upaya atau proses dalam mengaktualkan potensi yang di miliki masyarakat melalui prosesi belajar. Dalam makalah ini, penulis akan menelaah model pemberdayaan masayarakat berbasis Corporate Social Responbility (CSR) sebagai upaya mengkonstruksi konseptual pendidikan masyarakat terkait Bonus Demografi 2020-2030. Masyarakat terdiri dari berbagai tipe; 1) Masyarakat primitif, 2) Masyarakat desa peradaban lama, 3) kota pra-industri, 4) Peradaban industri modern. Dari berbagai tipe-tipe tersebut tentu memiliki konseptual, metodologi dan model pemberdayaan masyarakat yang berbeda. Maka penulis mengupayakan satu konseptual Pendidikan pemberdayaan masyarakat di era bonus demografi. Meskipun upaya-upaya teoritis (konsep) dan aplikatif pemeberdayaan masayarakat telah banyak di kaji dan di uji coba serta beberapa yang telah di praktikan, tidak menutup probabilitas akan adanya satu model pemberdayaan masyarakat secara teoritis dan aplikatif untuk diterapkan secara unviersal. Kata kunci: potensi, konseptual, model, pemeberdayaan, demografi.probabilitas


MEMBANGKITKAN KEBANGGAAN ANAK USIA DINI BERBASIS BUDAYA LOKAL MELALUI DONGENG TOPENG MALANGAN Drs. Suyadi, S. Pd, MM PAUD Pelita Hati Kota Malang Email: (id4yus@yahoo.co.id) Abstrak Penelitian berjudul “Membangkitkan Kebanggaan Anak Usia Dini Berbasis Budaya lokal Melalui Dongeng Topeng Malangan” bertujuan untuk (1)Mendiskripsikan tentang maksud budaya lokal malang, (2)Mendiskripsikan topeng malangan sebagai salah satu budaya lokal, (3)Mendeskripsikan metode mendongeng dengan mengkombinasikan topeng Malangan untuk membangkitkan kebanggaan Anak Usia Dini terhadap budaya lokal. Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi literatur. Hasil penelitian (1)budaya lokal adalah nilai budaya yang dimiliki suatu daerah dan merupakan karaktristik unik yang ada di daerah tersebut. Salah satu budaya lokal kota malang adalah topeng malangan. (2)Wayang Topeng Malangan merupakan tradisi budaya dan religiusitas masyarakat Jawa semenjak Kerajaan Kanjuruhan yang dipimpin oleh Raja Gajayana semasa abad ke 8 M. (3)Mendongeng dengan topeng Malangan sangat penting sebagai upaya untuk membangkitkan kebanggaan Anak Usia Dini terhadap budaya lokal yang ada di kota Malang. Dengan pembiasaan pengenalan budaya lokal topeng malangan kepada anak sejak usia dini melalui mendongeng maka rasa empati dan rasa memiliki terhadap hasil budaya daerah akan tertancap kuat pada daya pikir anak. Sehingga mereka merasa memiliki dan mempertahankan budaya daerahnya dari pergeseran zaman dan globalisasi. Kata kunci: Topeng Malangan, Mendongeng, Budaya lokal. RAISING PRESCHOOLER’S PRIDE BASED ON THE LOCAL WISDOM THROUGH TOPENG MALANGAN’S FAIRY TALES Abstract A study entitled “Raising Preschooler’s Pride Based on the Local Wisdom through Topeng Malangan’s Fairy Tales” aimed to (1) describe the purpose of Malang local wisdom, (2) describe Topeng Malangan as one of the local cultures, (3) describe the method of storytelling by combining Topeng Malangan to raise preschooler’s pride toward the local wisdom. This study used a literature research method. Literature study is a way to solve the issues by tracing written sources that have been made previously. The results of this study were (1) local wisdom was a value of the culture of a region and a unique characteristic that existed in that area. One of the local wisdoms in Malang was Topeng Malangan. (2) Topeng Malangan’s puppet was a cultural tradition and religiosity of Java society since Kanjuruhan Kingdom which was led by king Gajayana during the 8th century AD. It could be interpreted about the function of Badut Temple (Badut = a show). It showed that the temple’s function as an educational show which was presented by the authority/king. (3) Storytelling by combining Topeng Malangan was essential as an effort to raise preschooler’s pride toward the local wisdom in Malang. With the habitual introduction about Topeng Malangan’s local wisdom to preschooler through storytelling, the sense of empathy and belonging to the local culture is strongly embedded on children’s cognitive. Therefore, they were able to maintain the local culture from the globalization era. Keywords: Storytelling, Local Wisdom, Topeng Malangan

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 2

Drs. Suyadi, S. Pd, MM PENDAHULUAN Indonesia adalah negara yang memiliki beraneka ragam budaya dan budaya lokal yang bernilai karaktristik tinggi. Budaya lokal antar daerah berbeda satu sama lain yang tentunya memiliki nilai budaya yang beragam dan merupakan salah satu penopang budaya nasional. Adapun yang dimaksud budaya lokal adalah nilai budaya dimiliki suatu daerah yang merupakan karaktristik unik yangdimilikidaerah tersebut dan sebagai ikon daerah tersebut. Budaya lokal bisa dikenalkan kepada anak melalui pendidikan sejak usia dini. Hal ini betujuan agar anak mengenal dan memahami budaya apa yang ada didaerahnya. Melalui pengenalan budaya lokal sejak dini maka anak mengetahui budaya-budaya yang ada didaerahnya dan selanjutnya anak-anak akan merasa bangga terhadap budaya lokal yang mereka ketahui didaerahnya. Pengenalan budaya lokal kepada anak sejak dini sangat penting karena pada usiadini ada masa emas/Golden Agedimana pada masa masa ini kemampuan anak akan berkembang cepat dan tentunya tidak akan terulang pada masa sesudahnya (Elizabeth. 1980). Untuk menumbuhkan pola pikir di masa keemasan anak maka diperlukan peran pendidik yang kreatif dan inovatif. Pendidik yang unggul adalah pendidik yang bisa memahami karaktristik anak usia ini secara lahiriah dan bathiniah. Proses pemahaman ini dituangkan dalam bentuk pembelajaran yang menarik dan menyenangkan misalnya dalam bentuk mendongeng di kombinasikan dengan topeng Malangan. Dengan mendongeng pendidik bisa memasukkan nilai budaya daerah yang dekat dengan dunia anak yaitu dengan menggunakan topeng Malangan. Dengan mendongeng menggunakan kombinasi topeng Malangan maka anak akan lebih menghayati dan memahami nilai budaya yang ada didaerahnya. Dengan menggunakan topeng Malangan pendidik akan memunculkan budaya lokal khususnya yang ada di kota Malang. Dengan mendongeng pembelajaran akan berkesan dan menarik bagi anak dan di sisi lain pendidik juga bisa mengangkat nilai budaya daerah Malang yaitu topeng Malangan. Dengan tujuan untuk mengenalkan dan meningkatkan rasa bangga anak terhadap budaya lokal yang ada didaerahnya (Syurkani. 2013). Hal ini merupakan strategi kreatif yang dapat dilakukan pendidik guna membangkitkan

kebanggan anak usia ini terhadap budaya lokal melalui mendongeng di kombinasikan topeng Malangan. PEMBAHASAN

1. Topeng Malangan Sebagai Salah Satu Budaya Lokal. Pada akhir abad XVIII tercatat adanya Wayang Topeng yang dipertunjukkan di Pendapa Kabupaten Malang, yaitu waktu pemerintahan Bupati Malang; A.A. Surya Adiningrat yang memerintah tahun 1898-1934 (Pigeaud, 1938). Supriyanto & Adi Pramono, 1997, Onghokham, 1972). Sekitar tahun 1930-an Pigeaud mencatat beberapa perkumpulan wayang topeng di Jawa, termasuk wayang topeng di daerah Malang bagian selatan; Senggreng, Jenggala, Wijiamba, dan Turen. Perkumpulan wayang topeng yang satu dengan perkumpulan yang lain masih saling berhubungan. Kontak antara perkum- pulan yang satu dengan perkumpulan yang lain dikarenakan kebutuhan pengadaan topeng. Perkumpulan yang tidak mempunyai pengukir topeng selalu memesan pada seniman pengukir topeng dari daerah lain. Mengingat waktu itu tidak banyak seniman pengukir topeng. Hanya beberapa seniman yang mempunyai kemampuan mengukir topeng, seperti Yai Nata dari Dusun Slelir. Di daerah Malang bagian utara hanya ada pengukir topeng yang ber-nama Reni. (Supriyanto 1997: Onghokham, 1972). Penyajian pertunjukan wayang topeng di Malang pada umumnya mem-pertunjukan lakon-lakon Panji atau sebutan Siklus Panji atau Roman Panji, yaitu: Malat, Wasing, WangbangWideha dan Kisah Angraeni. (Zoetmulder [1974] terjemahan Dick Hartoko, 1983:532539). Penyajian pertunjukan wayang topeng dengan tata urutan sebagai berikut: (1) Gending Giro (terlebih dahulu menabuh gending eleng-eleng, Krangean, Loro-loro, gending Gondel dan diakhiri dengan gending Sapu-jagad), (2)Pembukaan dengan tari Beskalan Lanang (topeng Bangtih), (3) Jejer Jawa (Kediri), (4) Perang Gagal (selingan tari Bapang), (4) Adegan Gunungsari-Patrajaya, (5) Adegan Jejer Sabrang (Klana Sewandana), (6) Adegan Perang Brubuh dan Bubaran (Supriyanto,1997).

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 3

Drs. Suyadi, S. Pd, MM 2. Makna Dongeng sebagai Media Pendidikan dalam Kehidupan Anak Usia Dini Dongeng adalah cerita yang tidak benarbenar terjadi dan dalam banyak hal sering tidak masuk akal (Nurgiantoro, 2005). Isbell (2004) menegaskan mendongeng mempunyai banyak kegunaan di dalam pendidikan utama anak. Dia menyimpulkan bahwa dongeng menyediakan suatu kerangka konseptual untuk berpikir, yang menyebabkan anak dapat membentuk pengalaman menjadi keseluruhan yang dapat mereka pahami. Dongeng menyebabkan mereka dapat memetakan secara mental pengalaman dan melihat gambaran di dalam kepala mereka, mendongengkan dongeng tradisional menyediakan anak-anak suatu model bahasa dan pikiran bahwa mereka dapat meniru. Sanchez (2009) mengungkapkan kekuatan utama strategi dongeng adalah menghubungkan rangsangan melalui penggambaran karakter. Dongeng memiliki potensi untuk memperkuat imajinasi, memanusiakan individu, meningkatkan empati dan pemahaman, memperkuat nilai dan etika, dan merangsang proses pemi k iran kritis/kreatif. Dongeng sebagai Media Pendidikan dalam Kehidupan Anak Usia Dini. Dunia dongeng adalah dunia anak yang menakjubkan. Dengan dongeng akan meningkatkan komunikasi dan kedekatan emosional antara pendidik dan anak. Sejak zaman dahulu, aktifitas mendongeng tidak hanya disukai oleh anak-anak namun juga orang muda hingga orang dewasa. Aktifitas ini dipercaya memiliki berjuta manfaat. Selain untuk memberi hiburan, juga menambah penegtahuan dan memperkaya akhlak atau moral seseorang terlebih anak-anak. Dunia dongeng adalah dunia anak yang menakjubkan. Dengan dongeng akan meningkatkan komunikasi dan kedekatan emosional antara pendidik dan anak.Sejak zaman dahulu, aktifitas mendongeng tidak hanya disukai oleh anak-anak namun juga orang muda hingga orang dewasa. Aktifitas ini dipercaya memiliki berjuta manfaat.Selain untuk memberi hiburan, juga menambah penegtahuan dan memperkaya akhlak atau moral seseorang terlebih anak-anak. Anak-anak adalah pribadi yang sangat membutuhkan banyak pelajaran dan pengalaman baru.Dengan media dongeng, anak seperti diajak berfantasi menuju alam imajinasi sambil meraup berjuta pengalaman baru.Agar anak tidak merasa bosan dengan dongeng yang kita

berikan, kita perlu belajar teknik-teknik dasar mendongeng. Teknik-teknik ini tidak terlalu sukar untuk dipelajari, apabila kita mau belajar untuk menjadi pendidik atau orang tua yang kreatif dalam mendidik sang buah hati. Menurut Syahban, hal-hal yang dapat anda pelajari dan perhatikan sebagai dasar teknik mendongeng bagi anak usia dini yaitu, antara lain: a) Memilih cerita b) Menguasai cerita c) Penokohan d) Alur e) Suasana f) Kontak mata dan fisik g) Media topeng atau boneka h) Iringan music PAUD memiliki peran dalam melestarikan kearifan lokal. Anak usia ini adalah sekelompok individu yang berada pada rentang usia antara 0-8 tahun. Anak usiadini adalah individu yang unik yang memiliki pola pertumbuhan dan perkembangan dalam aspek fisik, kognitif, sosial emosional, kreatifitas, bahasa dan komunikasi yang khusus sesuai dengan tahapan yang sedang dilalui oleh anak tersebut (Elizabeth B. Hurlock). Berdasarkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 anak usia dini adalah anak yang memiliki rentang usia antara 0-6 tahun. Taman kanak-kanak sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan anak usia dini berada pada jalur pendidikan formal sebagaimana tertuang pada pasal 28 ayat (3) bahwa pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman KanakKanak (TK), Raudhatul Athfal (RA) atau bentuk lain yang sederajat (UU SPN No. 20 Th.2003) Sedangkan kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan atau nilai-nilai pandanganpandangan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana penuh kearifan bernilai baik tertanan dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.Masingmasing daerah memiliki kearifan lokal yang sudah ditanamkan oleh para leluhur. Namun banyak pihak mungkin sudah menganggap nilainilai tersebut sebagai hal usang yang ditinggalkan dan diabaikan, dan lebih tertarik pada pandangan-pandangan baru yang sebenarnya tanpa pemahaman yang benar (www.kearifan lokal.com) Terkait dengan berbagai dinamika yang terjadi akhir-akhir ini, sudah saatnya untuk kembali menumbuhkan implementasi kearifan lokal bagi masyarakat kota Malang.Seni topeng

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 4

Drs. Suyadi, S. Pd, MM merupakan kesenian khas Indonsia yang sudah ada semenjak nenek moyang. Hampir semua daerah di Indonsia memiliki sejarah tentang pertunjukan topeng.Sejalan dengan jalur perkembangan zaman, topeng Malangan berangsur-angsur pudar dari kehidupan masyarakat karena tergerus oleh modernisasi. Hal ini salah satunya dikarenakan kurangnya sumber sejarah yang mencatat kesenian kesenian topeng Malangan. Kesenian ini merupakan salah satu pertunjukan tradisional populer khas jawa yang berada diwilayah Malang (www.Topeng Malang. Blogspot.com) Walaupun sekarang ini rasa kebanggaan mulai tergerus oleh modernisasi, tetapi kita harus memikirkan bagaimana cara menumbuhkan itu. Maka ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan peran anak usia dini dalam melestarikan kearifan lokal guna menumbuhkan rasa kebanggaan akan bangsa Indonesia, yaitu antara lain: 1. Memberikan pendidikan nilai pada anak usiadini 2. Pengembangan moral agama, keteladanan, pembiasaan, nasehat dan perhatian 3. Pengembangan sosial emosional, rasa tanggung jawab terhadap diri dan orang lain 4. Menerima tanggung jawabpribadi dengan baik 5. Menghormati dan merawat lingkungan sekitar 6. Mengikuti aktifitas rutin di lingkungan kelas 7. Mematuhi peraturan di kelas 8. Bermain dengan baik bersama teman 9. Berbagi dan menghormati hak orang lain 10. Mengembanngkan seni melalui mendongeng (www.kearifan lokal.com) Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal dapat ditumbuhkan dalam diri anak sejak usiadini melalui pendidikan nilai yang tercermin dan terintegrasi pada bidang pengembangan moral agama sosial,emosional, bahasa, seni yang terdapat pdaa pendidikan formal. 3. Strategi Pembelajaran dalam Membangkitkan Kebanggaan Anak Usia Dini melalui Topeng Malangan. Menurut Dharma dalam (Elizar dan Rusdinal, 2005:17) mengidentifikasi sejumlah karakteristik anak usia dini sebagai berikut: 1. Anak bersifat unik

2. Anak mengekspresikan perilakunya secara relatif spontan 3. Anak bersifat aktif dan energik 4. Anak itu egosentris 5. Anak memiliki rasa ingin tau yang kuat dan antusias terhadap banyak hal 6. Anak bersifat eksploratif dan petualang 7. Anak umumnya kaya dengan fantasi 8. Anak masih muda frustasi 9. Anak masih kurang pertimbangan dalam melakukan sesuatu 10. Anak memiliki daya perhatian yang pendek 11. Anak merupakan usia belajar yang paling potensial 12. Anak semakin menunjukkan minat terhadap teman Dari uraian tentang karakteristik di atas, menurut Sofa (2008) ditinjau dari sudut psikologi perkembangan anak maka dapat dibagi menjadi a) masa bayi, b) masa anak pra sekolah, c) masa anak sekolah dan d) masa remaja. Menurut Montesorri, govoelige periode yaitu masa permulaan perkembangan anak mulai dari lahir hingga 3-4 tahun yang lebih banyak dipengaruhi oleh “insting� semata. Saat inilah terbukanya jiwa kanak-kanak untuk menerima pengaruh-pengarug dari luar melalui panca indranya. Anak usia dini akan memperlihatkan permulaan diferensiasi jiwa kanak-kanak yang sifatnya kompleks dan menjadi trisakti yaitu pikiran, rasa dan kemauan.Kematangan fungsifungsi perkembangan pada diri anak tidak sama kecepatannya dan berlangsung pada kurun waktu yang tidak tepat. Ada anak yang cepat perkembangannya, namun ada pula anak yang lambat. Tugas-tugas perkembangan yang dilakukan seorang anak berhubungan dengan kompetensi dan kemampuan dalam dirinya yang diharapkan berkembang wajar sesuai perkembangan usia mentalnya. Berdasarkan karakteristik yang diungkapkan oleh beberapa pakar diatas maka anak memerlukan stimulus rangsangan pembelajaran yang menyenangkan dan dapat meningkatkan kreatifitas anak dalam proses belajar. Kegiatan bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain yang menyenangkan adalah melaui mendongeng. Mendongeng adalah sesuatu yang mengasyikan dan menyenangkan karena memuaskan dorongan fantasi anak. Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Oleh sebab itu, pembelajaran di TK hendaknya tidak terlepas dari permainan. Bermain adalah

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 5

Drs. Suyadi, S. Pd, MM cara yang paling baik untuk mengembangkan kemampuan sesuai kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum. Penggunaan metode bermain disesuaikan dengan perkembangan anak dimulai dari bermain sambil belajar (unsur bermain lebih besar) ke belajar sambil bermain (unsur belajar lebih besar). Permainan yang digunakan di TK adalah permainan yang merangsang kreatifitas anak yang menyenangkan (Standar Kompetensi). Dalam hal ini dongeng sangat cocok untuk memfasilitasi daya pikir dan imajinasi anak agar lebih berkembang. Melaui dongeng daya imajinasi anak akan berkembang dan berfantasi. Dongeng sangat diminati banyak orang mulai anak kecil sampai dewasa. Dengan dongeng pendidik atau orang tua bisa memasukkan unsur keagamaan, pembiasaan yang baik serta kearifan lokal yang ada di lingkungan anak. Salah satunya dengan Topeng Malangan. Dengan memasukkan budaya lokal seperti topeng Malangan dalam sebuah dongeng maka anak akan mengenal karakteristik budaya di daerahnya. Dengan dongeng yang terus dibiasakan dalam pembelajaran, maka anak akan merasa memiliki budaya daerahnya. Hal ini sebagai bekal untuk membangkitkan kebanggaan anak terhadap kearifan lokal di daerahnya yaitu topeng Malangan. Cara mengkombinasikan antara dongeng dengan topeng Malangan dalam pembelajaran adalah memasukkan dongeng dalam menu rencana kegiatan harian (RKH). Dongeng dengan topeng Malangan adalah cara yang efektif untuk menarik perhatian anak karena bentuk topeng yang beragam dan menarik. Berikut ini cara mengkombinasikan antara dongeng dengan topeng Malangan melalui skenario pembelajaran, yaitu: 1. Guru menyiapkan media Topeng Malangan dan tema dongeng yang akan ditampilkan 2. Guru mengajak anak untuk berbagi dan bertanya tentang tema pembelajaran 3. Guru menggali pengetahuan anak tentang Topeng Malangan melalui tanya jawab 4. Setelah percakapan dirasa cukup maka guru mulai mempersiapkan diri untuk mendongeng 5. Guru dibantu mitra kerja untuk mendemonstrasikan dongengTopeng Malangan 6. Dalam proses mendongeng, guru senantiasa mengikutsertakan anak didik melalui percakapan dan tanyajawab

7. Dongeng diakhiri dengan bernyanyi bersama antara pendidik dan anak 8. Setelah kegiatan selesai maka akan ada recalling kegiatan main Dalam hal ini terlihat guru dan anak berperan aktif dalam proses mendongeng, sehingga pembelajaran akan lebih menyenangkan dan berkesan bagi anak. Sehingga Topeng Malangan sangat cocok diterapkan dalam pembelajaran di taman kanakkanak. Berikut ini adalah skenario pembelajaran Dongeng Topeng Malangan yang dipraktekkan oleh pendidik dengan mitra kerja “Panji Laras Lahirnya Naga Tahun” Suatu malam Dewi Wadhal Wedhi bermimpi bertemu Panji Asmoro Bangun, dari mimpi itu ada rasa jadi kenyataan. Maka ia meminta kepada ayahnya Begawan Gajah Aboh untuk mengabulkan niatnya. Awalnya ayahnya menolak karena Panji sudah beristri yaitu Dewi Sekar Taji. Karena rasa cintanya kepada anak, maka ia mengabulkan dengan cara Dewi Wadhal Wedhi itu disihir jadi mirip Dewi Sekar Taji. Kemudian mereka berangkat ke kerajaan Jenggolo.Sesampainya disana, mereka melihat Dewi Sekar Taji sedang tidur.Kemudian Dewi Sekar Taji yang asli diculik oleh Begawan Gajah Aboh dan dibuang ke dalam hutan Lo Laras. Pada saat itu Dewi Sekar Taji dalam keadaan mengandung, dan beberapa bulan kemudian ia melahirkan. Kemudian anaknya diberi nama Panji Laras, ia punya teman seekor ayam jago. Lama-kelamaan ketika dewasa, Panji bertanya tentang keberadaan bapaknya.Ibunya bilang, ayahmu seorang raja bernama Panji Asmoro Bangun. Maka Panji Laras pun berangkat ke Jenggolo untuk mencari ayahnya dengan ditemani ayahnya. Di alun-alun Jenggolo ada seorang Pangeran bernama Panji Guro Wongso (anak dari Asmoro Bangun dan istri jadi-jadian) ia hobi adu ayam. Sesampai disana Panji Laras tertarik mengikuti sayembara. Panji Guro Wongso memberi hadiah sangat besar yaitu “Negoro Sigar Semongko” yaitu separuh kerajaan Jenggolo bagi pemenangnya. Maka ketika Panji Laras mengikuti sayembara, ia ditanya “Kamu punya apa Panji?”, Panji menjawab “Aku tidak punya apa-apa, tapi aku bersedia digantung jika ayamku kalah”. Lalu diadu, ternyata ayam Panji Guro Wongso kalah, tapi ia mengelak dan ia minta bertarung langsung dengan Panji Laras. Selama

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 6

Drs. Suyadi, S. Pd, MM perkelahian ini mereka dipisah oleh Semar. Kemudian Semar ini membuat sayembara “Barang siapa yang bisa masuk ke dalam kendi ini berarti ia adalah anak asli dari Panji Asmoro Bangun”. Akhirnya Panji Guro Wongsolah yang bias masuk ke dalam kendi tersebut, kemudian kendi itu ditutup oleh Semar dan ia tidak bias keluar. Semarpun berkata ”Apa ada manusia yang masuk ke dalam kendi kecuali bangsa jin”. Kemudian kendi tersebut dipecahkan oleh Semar dan Panji Guro Wongso pun berubah wujud menjadi naga tahun.Naga itu berkata “jika bentukku seperti ini maka apa yang harus aku makan”.Semar menjawab “Kamu boleh makan orang yang salah yaitu orang yang pindah rumah tetapi salah perhitungan menurut hitungan jawa”.Kalau menurut anak-anak: 1. Perjalanan Panji Laras dengan ayam jagonya mencari ayahnya 2. Sesampainya di alun-alun ia bertemu Panji Guro Wongso 3. Terjadi perang ayam 4. Semar dating melerai (bisa dimasukkan beberapa karakter untuk saling menyayangi)

Demi tercapainya cita-cita bangsa tersebut maka perlu diprsiapkan tenaga pendidik yang kreatifdan unggul yang dapat memfasilitasi dan membangkitkan kebanggaan anak usiadini terhadap kearifan lokal melalui mendongeng di kombinasikan topeng Malangan. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsini. 1998. Prosedur Penulisan. Jakarta. Rineka cipta Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), Pustaka Jaya, Jakarta. Dharma, Agus. 2002. Perkembangan Anak. Jakarta. Erlangga Hurlock, Elizabeth. 1978.Child Development. McGraw-Hill. Inc Hurlock, Elizabeth. 1980. Developmental Psikology. McGraw-Hill. Inc Nyoman Sirtha .2003“Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam http://www.balipos.co.id Pembaruan

Penutup Anak adalah aset berharga bagi orang tua, keluarga bahkan bagi negara. Pembelajaran dan pembiasaan yang baik tentu perlu dikenalkan kepada anak sejak usiadini termasuk pembiasaan tentang rasa bangga terhadap kearifan lokal dimana anak tersebut tinggal. Salah satunya adalah menumbuhkan kepada anak usiadini tentang rasa bangga terhadap kearifan lokal yang ada di kota Malang yaitu topeng malangan. Kearifan lokal dapat ditumbuh kembangkan kepada anak usiadini melalui pendidikan ditaman kanak-kanak. Dengan bermain sambil belajar atau beajar seraya bermain pembelajaran akan bertahan lama pada ingatan anak salah satunya dengan mendongeng. Mendongeng dengan mengkombinasikan topeng Malangan sangat penting sebagai upaya untuk membangkitkan kebanggaan anak usia ini terhadap kearifan lokal yang ada di kota Malang. Dengan pembiasaan pengenalan kearifan lokal topeng malangan kepada anak sejak usia dini melalui mendongeng maka rasa empati dan rasa memiliki terhadap hasil budaya daerah akan tertancap kuat pada daya pikir anak. Sehingga mereka merasa memiliki dan mempertahankan budaya daerahnya dari pergeseran zaman dan globalisasi.

Pramono, M. S. A. & Supriyanto, H. 1997. Dramatari Wayang Topeng Malang. Padepokan Sani Mangun Darmo. Santrock, John. W. Perkembangan Masa Hidup. Jakarta. Erlangga Sijabat,

Ridwan Max. 2001. Perkembangan. Jakarta IKAPI). Erlangga

Psikologi (Anggota

Syahban. 2002. Galakkan kembali Mendongeng kepada Anak. Jakarta. Republika Syurkani.2013. Asah Kecerdasan Anak dengan Mendongeng. Jakarta. Suara Wulan Astrini, dkk.2013 Semiotika Rupa Topeng Malangan (Studi Kasus: Dusun Kedungmonggo, Kec. Pakisaji, Kabupaten Malang. Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya Jurnal RUAS, Volume 11 N0 2, Desember 2013, ISSN 16933702.diakeses dari (ruas.ub.ac.id/index.php/ruas/article/vie w/142/0) pada tanggal 11 April 2016.

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


PENINGKATAN MUTU SARANA DAN PRASARANA LEMBAGA KURSUS DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) DI LKP KRESNA INFORMATIKA TULUNGAGUNG

Drs.H.USUP, SE, Ak, MBA, MM LKP Kresna InformatikaTulungagung usupbaru@yahoo.co.id Abstrak Suatu lembaga kursus dan Pelatihan (LKP) agar dapat berkembang dengan baik dan tetap eksis keberadaannya dalam menghadapi pasar bebas Asean, sangat dibutuhkan peningkatan mutu, sarana dan prasarana lembaga dan program-program kursus yang diselenggarakan didalamnya. Adapun peningkatan lembaga (mutu, sarana dan prasarana) yang dilakukan LKP Kresna Informatika Tulungagung adalah meliputi peningkatan kualitas sunber daya manusia, kurikulum, bahan ajar serta sarana dan prasarana yang memadai yang dibutuhkan oleh peserta didik sehingga menjadikan lulusannya kompeten dibidang masing-masing sesuai dengan kebutuhan pasar kerja (dunia usaha dan industri). Kesimpulan yang diperoleh dari penulisan Karya Nyata ini adalah dengan adanya peningkatan mutu sarana dan prasana LKP Kresna Informatika Tulungagung, hingga saat tetap eksis keberadaannya dan selalu menjadi pilihan utama peserta didik kursus yang mengambil program tersebut. Kata kunci : Peningkatan Mutu Sarana Dan Prasarana, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

THE IMPROVEMENT OF FACILITIES AND INFRASTRUCTURES’ QUALITIES OF THE COURSE TO FACE ASEAN ECONOMIC SOCIETY (MEA) IN LKP KRESNA INFORMATIKA TULUNGAGUNG Abstract In order to be well developed and existed to face ASEAN free trade, a course and training institute required improvements in qualities, facilities, infrastructures, and special course programs which were organized in it. The improvements of the institution which had been done in LKP Kresna Informatika Tulungagung included the improvement of the qualities of the human resources, curriculum, teaching materials, and adequate facilities and infrastructures required by learners in order to make the graduates competent in accordance with the labor market needs (business and industry). The conclusion obtained was due to the improvement of facilities and infrastructures’ qualities of LKP Kresna Informatika Tulungagung, until now still existed and always be the first choice of learners who took that program. Keywords: The Improvement of Facilities and Infrastructures’ Qualities, ASEAN Economic Society

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 2

Drs.H.USUP, SE, Ak, MBA, MM

PENDAHULUAN Pasar bebas Asia Tenggara pada awal bulan desember 2015 sudah mulai bergulir dibumi Indonesia ter-Cinta ini,mau tidak mau kita harus mengikuti aturan tersebut,kalau tidak mau cuma sebagai penonton dinegeri kita sendiri.Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pasti membawa dampak yang sangat luas disemua sektor,kalau tidak mempersiapkan diri sedini mungkin kita akan kalah bersaing disegala bidang. LKP Kresna Informatika sebagai salah satu Lembaga Kursus Pelatihan dan Bursa Kerja di Kabupaten Tulungagung harus berbenah diri semaksimal mungkin untuk menghadapi pasar bebas asia tenggara tersebut,diantaranya peningkatan mutu pelayanan,sarana dan prasarana agar tetap eksis keberadaanya. Dalam penulisan karya Nyata ini dibatasi pada peningkatan lembaga (mutu, sarana dan prasarana) yang dilaksanakan oleh LKP Kresna Informatika Tulungagung yaitu: (1) Bagaimana peningkatan lembaga yang dilakukan di LKP Kresna Informatika Tulungagung meliputi mutu,sarana dan prasarana. (2) Bagaimana peran LKP Kresna Informatika Tulungagung dimasyarakat dalam hal meningkatkan lembaga (mutu,sarana dan prasarana) dibidang pendidikan non formal. Adapun rumusan masalah dari karya nyata ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana peningkatan lembaga (mutu, sarana dan prasarana), LKP Kresna Informatika Tulungagung agar dapat memenangkan persaingan dan tetap eksis keberadaannya. (2) Bagaimana peningkatan lembaga LKP Kresna Informatika Tulungagung untuk dapat mencetak tenaga kerja yang kompeten sesuai dengan kebutuhan DUDI (Dunia Usaha dan Dunia Industri). (3) Bagaimana peningkatan lembaga dalam menghadapi pasar bebas Asia Tenggara di LKP Kresna Informatia Tulungagung. (4) Bagaimana peran serta dalam menghadapi masyarakat ekonomi asia (MEA) di LKP Kresna Informatika Tulungagung. Tujuan penulisan ini memberikan gambaran nyata dan peningkatan lembaga yang dilakukan oleh LKP Kresna Informatika Tulungagung yaitu: (1) Mendiskripsikan gambaran umum kegiatan yang dilalukan oleh LKP Kresna informatika Tulungagung. (2) Mendiskripsikan tentang peningkatan lembaga yang dilakukan LKP Kresna Informatika

Tulungagung. (3) Sebagai pengalaman tentang seluk beluk peningkatan lembaga kursus pelatihan dan bursa kerja. Manfaat dari penulisan karya nyata ini sebagai berikut : (1) Memberikan pandangan atau masukan Pengelola kepada LKP Kresna Informatika Tulungagung dalam peningkatan mutu, sarana dan prasarana lembaga. (2) Sebagai masukan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan nonformal.

PEMBAHASAN Pengertian Meningkatkan Meningkatkan yaitu menaikan derajad, taraf atau perubahan penyempurnaan dari produk yang sudah ada menjadi lebih baik dan sempurna. Pengertian Mutu Mutu merupakan kualitas, kandungan nilai yang harus dicapai oleh suatu lembaga atau perusahaan melalui peningkatan kualitas lulusan, sarana dan prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan. Pengertian Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana adalah tempat atau lokasi, alat yang dimiliki oleh suatu lembaga untuk menghasilkan lulusan atau output yang kompeten yang diperlukan oleh dunia usaha dan industry. Pengertian Pasar Bebas Asean (MEA) Pasar bebas asean merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara asean untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional asean dengan menjadikan asean sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya.1 Pengertian LKP LKP adalah Lembaga Kursus Pelatihan dan Bursa Kerja yang merupakan lembaga pendidikan nonformal yang memberikan

1

Niagahoster.Siapkan 6 Hal Ini untuk Hadapi Pasar Bebas ASEAN 2015.https://www.niagahoster.co.id/kb/tips-hadapipasar-bebas-asean (Diakses 19 November 2015).

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 3

Drs.H.USUP, SE, Ak, MBA, MM

pendidikan dan pelatihan ketrampilan, misal dalam bidang komputer, Teknisi Akuntansi, Bahasa Inggris dan sebagainya ( UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional ). Pengertian kewirausahan Kewirausahaan adalah sesuatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan (profit) serta kepuasan danmembawa manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Sejarah singkat LKP Kresna Informatika Tulungagung Lembaga Kursus Pelatihan dan Bursa Kerja Kresna Informatika Tulungagungdidirikan pada tanggal 1 Juni 1989 : 1. Program, kursus dan pelatihan yang diselenggarakan : Kursus Komputer, Mengetik Sistem 10 Jari, Teknisi Akuntansi dan Bahasa Inggris 2. Pendiri : Drs. H. USUP, SE, Ak., MBA, MM 3. Alamat Lembaga : Jl.Yos Sudarso 126 Tulungagung 4. Nama Lembaga : Kresna Informatika Course 5. Ijin Penyelenggaraan : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 6. Status Gedung Lembaga : Kontrak Lulusan LKP Kresna Informatika Tulungagung LKP Kresna Informatika Tulungagung telah berdiri selama kurang lebih 22 tahun,dan telah meluluskan warga belajar sebanyak kurang lebih 16.000 orang. Dari jumlah lulusan tersebut diatas ratarata para peserta didik dapat merasakan manfaat dari mengikuti kursus tersebut, yaitu dengan terciptanya tenaga trampil sehingga mudah mendapat pekerjaan, berwirausaha maupun melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.Peran kursus sangatlah nyata dapat menciptakan tenaga trampil.Disini LKP Kresna Informatika Tulungagung sudah dapat menciptakan tenaga trampil yang siap kerja. Standarisasi Sistem Belajar LKP Kresna Informatika Tulungagung 1. Konsep Belajar  75% Praktek  25% Teori

2. Media dan Alat Pembelajaran  Buku Panduan/Buku Modul  Komputer dan LCD Proyektor  Laptop  Tape, VCD Player, TV dan lain-lain Standarisasi Proses Belajar LKP Kresna Informatika Tulungagung 1. Kurikulum Berbasis kecakapan hidup (life skill) dan berorientasi pada teknologi dan kebutuhan pasar tenaga kerja serta SKKNI. Penekanan pada praktek, bersifat dinamis sesuai kemajuan teknologi serta kebutuhan DU/DI 2. Sistem Belajar a. Implementasi teknologi berbasis multimedia b. Orientasi belajar bersifat praktek, studi kasus dan berfokus pada peningkatan keahlian siswa c. Jumlah siswa + 20 orang/kelas d. Suasana belajar santai tetapi serius 3. Metode Penilaian Hasil Belajar Komponen Penilaian meliputi : tugas, diskusi dan ujian Sasaran Peserta Pelatihan 1. Penduduk usia produktif baik laki-laki maupun perempuan yang bisa membaca dan menulis. 2. Penduduk usia produktif baik laki-laki maupun perempuan yang tidak sekolah maupun yang masih sekolah. 3. Penduduk usia produktif baik laki-laki maupun perempuan yang belum bekerja maupun yang sudah bekerja 4. Minimal lulusan SLTA dari semua jenjang pendidikan, yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan ketrampilan 5. Disiplin dalam mengikuti program pelatihan PROFIL LKP KRESNA INFORMATIKA TULUNGAGUNG 1. Nama : KRESNA Lembaga INFORMATIKA 2. NILEK : 05129.4.1.0039./02/09/1 2/31 3. Status TERAKREDITASI BAN PNF Lembaga : SK.No : 007/SKEP/STSAKR/BAN PNF/VI/2012 Program

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 4

Drs.H.USUP, SE, Ak, MBA, MM

  

4.

5.

Komputer Bhs. Inggris Akuntansi

: 001/SKEP/STS: AKR/BAN PNF/I/2009 : 001/SKEP/STSAKR/BAN PNF/1/2009 007/SKEP/STSAKR/BAN PNF/V1/2011

Domisili Lembaga a. Alamat : b. Kelurahan : c. Kecamatan : d. Kabupaten : e. Propinsi : f. Kode Pos : Kontak Elektronik a. Telepon : b. Faximile : c. HP : d. e-mail : e. blog :

Jl. Yos Sudarso 108 Karangwaru Tulungagung Tulungagung Jawa Timur 66217

(0355) 322712 (0355) 395042 085 735 093 738 kresna_informatika@ya hoo.com kresnainformatika.blogs pot.com : YAYASAN

d. Setting Grafis e. Advertaising Perusahaan industri tenun untuk peralatan ABRI dan untuk kebutuhan rumah tangga(sumbu kompor) dll, Mitra Kerja Dalam melaksanakan kegiatan pendidikan ketrampilan LKP Kresna Informatika Tulungagung menjalin kerjasama dengan berbagai instansi pemerintah maupun swasta yaitu sebagai mitra kerja dalam meningkatkan mutu pendidikan, meningkatkan ketrampilan, mencari penglaman kerja sebagai bekal warga belajar dalam memasuki dunia usaha dan dunia industri. (daftar mitra kerja terlampir).

Meningkatkan Lembaga LKP Kresna Informatika Tulungagung Supaya lembaga bisa bersaing di pasar bebas Asia Tenggara, lembaga kursus harus meningkatkan mutu, saran dan prasarana agar 6. Status tetap eksis keberadaannya. LKP Kresna Lembaga Informatika Tulungagung selalu meningkatkan a. Nama KRESNA lembaga dibidang mutu, sarana dan prasarana. Lembaga INFORMATIKA Adapun meningkatkan lembaga yang dilakukan b. Tanggal 1 Juni 1989 LKP Kresna Informatika Tulungagung meliputi: Berdiri 1 Juni 1989 a. Pembelian tanah untuk perluasan gedung c. Tanggal LKP Kresna Informatika Tulungagung. Operasion b. Membangun gedung untuk penambahan al ruang belajar, aula yang presentatif dan 7. Ijin Operasional memadai. a. Dinas Pendidikan Kabupaten c. Update kurikulum. Tulungagung d. Penambahan fasilitas ruangan (kursi, meja, : 188/ /601/2013 AC dan LCD Proyektor).  SK e. Penambahan gedung asrama untuk peserta Komputer didik dan peserta pelatihan dari luar kota.  SK Bhs. : 188/ /601/2013 f. Iklan melalui radio dan TV local. Inggris : 188/ /601/2013 g. Surat kabar dll  SK h. Sponsor kegiatan Akuntansi melalui b. Ijin dari Dinas Sosial Tenaga Kerja dan i. Pengumuman-pengumuman informasi-informasi di swalayan yang Transmigrasi Kabupaten Tulungagung terkenal  SK Nomor : 563/169/110/2015 j. Pembentukan tim Voli Ball 8. Tempat Uji Kompetensi k. Mengikuti pameran-pameran pendidikan a. TIK : 050 yang diadakan oleh dinas pendidikan b. Teknisi : 031 – 66217 maupun pemerintah daerah. Akuntansi Semua yang dilakukan diatas dengan tujuan 9. Satus Gedung : Hak Milik meningkatkan mutu pelayanan dan kenyamanan 10. Jenis Usaha : persta didik, tenaga pendidik dan kependidikan Pendukung sehingga lebih nyaman. a. Rental Komputer b. Warnet Kresna c. Mini Market

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 5

Drs.H.USUP, SE, Ak, MBA, MM

Meningkatkan Produk atau Jasa Pada awal kegiatan Operasional pada tahun 1989 LKP Kresna Informatika Tulungagung membuka program kursus : 1. Kursus Akuntansi 2. Kursus Komputer 3. Bahasa Inggris 4. Kursus mengetik manual. Sesuai dengan perkembangan kebutuhan yang diperlukan oleh DUDI di Kabupaten Tulungagung dan sekitarnya akan tenaga kerja banyak di butuhkan karyawan yang menguasai kompetensi di bidang Akuntansi,Komputer dan Bahasa Inggris.Maka dari itu LKP Kresna LKP Kresna Informatika mulai tahun 2000 membuka Program Profesi 1 tahun Jurusan Akuntansi,Komputer Terpadu dan Bahasa Inggris berbasis kewirausahaan. Dengan program tersebut mampu mencetak tenaga kerja trampil yang sesuai dengan tuntutan dari DUDI yaitu menguasai Akuntasi, Komputer, Bahasa Inggris serta mempunyai jiwa wiraswasta Peningkatan MELEK LembagaLKP Kresna Informatika Tulungagung Sesuai dengan visi LKP Kresna Informatika Tulungagung yaitu menjadi Lembaga Kursus yang meluluskan tenaga trampil, handal, terpercaya, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta dibutuhkan oleh DUDI baik secara Nasional maupun Internasional maka pasar sasarannya adalah Masyarakat Tulungagung dan sekitarnya yang membutuhkan ketrampilan guna untuk mencari pekerjaan maupun karyawan yang ingin meningkatkan ketrampilan di bidangnya. Peran LKP Kresna Informatika Tulungagung Untuk menghadapi pasar bebas Asia Tenggara LKP Kresna Informatika Tulungagung terus meningkatkan lembaga secara terus menerus dan terencana, selain itu LKP Kresna Informatika Tulungagung juga menerapkan budaya kerja sebagai berikut : a. Positif thinking Selalu berpikir positif dan berjiwa positif b. Komitment Dengan semangat kerja senantiasa memperjuangkan visi dan misi c. Integritas Senantiasa menjunjung tinggi integritas pribadi dan lembaga d. Teamwork

Bersatu dan bekerja untuk kesuksesan bersama e. Success Kesuksesan lembaga adalah kesuksesan bagi semua. Dalam prakteknya peran LKP Kresna Informatika Tulungagung adalah sbb: 1. Strategi Dalam membatasi permasalahanpermasalahan yang timbul antara para pencari kerja dengan dunia usaha dan dunia industri dengan menitik beratkan pada penyelesaian yaitu : Apa, Mengapa, Siapa, Kapan, Dimana, dan Bagaimana sedangkan dalam proses penyelenggaraan kursus menitikberatkan pada peluang, peningkatan dan penciptaan. Penyelenggaraan kursus menitikberatkan pada (1) Peluang, (2) Peningkatan dan (3) Penciptaan. 2. Penempatan a. Penyebaran informasi lowongan kerja untuk memberikan informasi lowongan kepada warga belajarsetiap ada lowongan kerja selalu dipasang pada papan pengumuman lowongan kerja dan diinformasikan kepada warga belajar b. Rekrutmen lowongan kerja,melalui bursa kerja LKP Kresna Informatika Tulungagung mencari perusahaanperusahaan yang membutuhkan akan tenaga kerja yang sesuai dengan kursus yang ada c. Praktek kerja perusahaan,pada setiap akhir pendidikan program Pendidikan Profesi 1 tahun diwajibkan mengikuti praktek kerja selama 1 bulan di perusahaan-perusahaan mitra kerja untuk memperoleh bekal dan pengalaman di lapangan. d. Penempatan dan pemandirian,setiap ada permintaan tenaga kerja kami menyeleksi warga belajar untuk mendapatkan kesempatan dan kami selalu memberikan pembinaan,motivasi dan etos kerja.Pembinaan juga di lakukan bagi mereka yang berminat mandiri dengan memberikan pembelajaran tambahan misal untuk program Pendidikan Profesi 1 tahun setiap hari Jum’at mendapat praktek kewirausahaan dengan mendatangkan praktisi dari DUDI yang kompeten

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 6

Drs.H.USUP, SE, Ak, MBA, MM

dibidangnya seperti membuat kue,telur asin,maupun kerajinan tangan mulai dari proses pembuatan, pengemasan sampai dengan pemasarannya. 3. Meningkatkan Lembaga Meningkatkan lembaga yang dilakukan oleh LKP Kresna Informatika Tulungagung dalam rangka peningkatan kwalitas dan kwantitas dititikberatkan pada : Peningkatan mutu, sarana dan prasarana yaitu dengan cara mengupdate programprogram serta perbaikan saran dan prasarana yang memadai yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan tenaga kerja.

. 2010.Mutu Administrasi Lembaga (Tata Kelola).Jakarta:Direktorat Pembinaan Kursus dan Kelembagaan Direktorat Jendral Pendidikan Nonformal Kementrian Pendidikan Nasional.Modul 2. PROFIL SINGKAT    

PENUTUP Kesimpulan Dari pemaparan yang diuraikan didepan penulis dapat memberikan kesimpulan bahwa peningkatan lembaga di LKP Kresna Informatika Tulungagung sangat diperlukan untuk menghadapi pasar bebas Asia Tenggara. Saran Kami menyarankan kepada semua pengelola kursus marilah berperan aktif dalam peningkatan lembaga (mutu, sarana dan prasarana) untuk menghadapi pasar bebas Asia Tenggara sehingga selalu mendapatkan peserta didik sesuai harapan, tetapi jangan lupa membantu pemerintah dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan sumber daya manusia,mencetak tenaga trampil, membayar pajak dan marilah kita membantu masyarakat yang kurang beruntung untuk mendapatkan pendidikan kecakapan hidup yang layak dalam pencapaian hidup mereka baik dari segi pembiayaan, pelatihan pengembangan diri, kedisiplinan, etika dan pendekatan secara persuasif kepada warga belajar. DAFTAR PUSTAKA Niagahoster.Siapkan 6 Hal Ini untuk Hadapi Pasar Bebas ASEAN 2015.https://www.niagahoster.co.id/kb/t ips-hadapi-pasar-bebas-asean (Diakses 19 November 2015). Indonesia.Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sitem Pendidikan Nasional.

Nama Lengkap : Drs.H.USUP, SE, Ak, MBA, MM Tempat dan Tanggal Lahir : Tulungagung, 6 April 1962 Alamat: Ds. Jabalsari RT. 01 RW. 01 Kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung Pendidikan Formal: 1. Sarjana Muda Akademi Manajemen 2. Perpajakan dan Akuntansi (AMPA) Malang 3. SI Akuntansi Sekolah Tinggi Ekonomi GAJAYANA Malang 4. S1 Akuntansi Universitas BRAWIJAYA Malang 5. S2 Manajemen Keuangan AGYM Riwayat Pekerjaan: 1. Karyawan Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs. Wiyoko Suwandi dan Rekan Surabaya 2. Guru SMA Cokroaminoto Malang 3. Manajer Keuangan PT. INDO JAYA PALAPA RAYA Tulungagung 4. Kabag Accounting UD. Istana Motor Tulungagung Dealer Mobil Suzuki 5. Dosen Sekolah Tinggi Ekonomi MINAKSOPAL Trenggalek 6. Instruktur Kursus Institut MPU TANTULAR Tulungagung 7. Direktur Perusahaan Tenun Tjitro Wihardjo Ngunut Tulungagung 8. Direktur/Pimpinan LKP Kresna Informatika Tulungagung sampai sekarang. Jabatan organisasi: 1. Ketua HISPPI DPC Kab Tulungagung 2. Sekretaris 2 DPD HIPKI Propinsi Jawa Timur 3. Bidang Diklat DPD HISPPI Propinsi Jawa Timur 4. Ketua HIPNI DPC Kab Tulungagung 5. Sekretaris 1 HISPPI DPD Jatim 6. Asesor Madya BAN PNF 7. Penguji Nasional Bidang Teknisi Akuntansi

Copyright © 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


PERAN LEMBAGA KURSUS DAN PELATIHAN ( LKP ) DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Anik Wahjuningsih LKP Permata Dewi Kabupaten Blitar holy4ndro@gmail.com Abstrak Terjadinya krisis global kedua yang dialami seluruh negara di dunia sangat mempengaruhi kondisi perekonomian dalam negeri Indonesia. Hal tersebut berdampak terhadap kemiskinan , pengangguran dan anak anak putus sekoalah ini merupakan tantangan yang dihadapi dalam dunia pendidikan. Lembaga kursus dan pelatihan dengan berbagai kompetensi yang diberikan kepada masyarakat, memiliki peran yang sangat vital dalam menentukan daya saing bangsa. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk memberdayakan masyarakat adalah melalui lembaga pendidikan nonformal. Kehadiran Lembaga Pendidikan Kursus dan pelatihan sangat berperan penting dalam menuntaskan pengangguran dan kemiskinan masyarakat, hal ini terbukti dari minat masyarakat serta akses lembaga yang semakin menjangkau kebutuhan keterampilan dan keahlian sesuai kebutuhan pasar baik pedesaan maupun perkotaan. Selain memberikan kesempatan bagi masyarakat yang ingin mengembangkan keterampilannya pada jenis pendidikan tertentu yang telah ada di jalur pendidikan formal, Lembaga Pendidikan Kursus dan pelatihan juga memberikan kesempatan bagi masyarakat yang ingin mengembangkan pendidikan keterampilannya yang tidak dapat ditempuh dan tidak terpenuhi pada jalur pendidikan formal. Kegiatan kursus bukan hanya memberi harapan pada anak putus sekolah yang sulit mencari pekerjaan tetapi juga memberikan jalan bagi banyaknya lulusan pendidikan formal yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Oleh karena itu para pengelola lembaga kursus dan pelatihan harus bisa bergerak cepat mengikuti irama perkembangan dan tuntutan yang terjadi di masyarakat. Adapun Program - program Lembaga Pendidikan Kursus yang berperan dalam menanggulangi masalah pengangguran dan kemiskinan antara lain adalah Program Pendidikan Kecakapan Hidup, Program Kursus Para Profesi, Program Kewirausahaan. Kata Kunci: Lembaga Kursus dan Pelatihan ( LKP ), Pemberdayaan Masyarakat THE ROLE OF THE COURSE AND TRAINING INSTITUTE (LKP) FOR A SOCIETY EMPOWERMENT Abstract The second global crisis experienced by all countries in the world greatly affected the economic condition in Indonesia. Its impact was on the challenges faced in education. Various competencies which were given by courses and training institutes had vital role in determining the competitiveness of the nations. One of the efforts that could be done to empower the society was through non-formal educational institutions. The presence of courses and training institutes played an essential role in solving the unemployment and poverty, it was proved by the public interest and the institute access increasingly addressed the needs of skills and expertise as required by both rural and urban markets. In addition to providing an opportunity for people who wanted to develop their skills in a certain education that had existed in formal education, courses and training institute also provided an opportunity for people who wanted to develop their educational skills that could not be achieved in formal education. Courses did not only give hope for the school dropouts who got difficulties in finding job, but it also provided a way for many graduates of formal education who were unable to continue their education to a higher level. Therefore, the managers of courses and training institutes had to be able to move quickly to follow the rhythm of the developments and demands that occurred in society. The programs of the courses and training institutes that played roles in overcoming the unemployment and poverty issues were Life Skills Education Program, the Profession Course Program, and Entrepreneurship Program. Keywords: Courses and Training Institute (LKP), Society Empowerment Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 2 Anik Wahjuningsih PENDAHULUAN Latar Belakang Dunia pendidikan di Indonesia masih menyisakan tantangan yang cukup besar dalam mengemban amanat nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tantangantantangan tersebut berkenaan dengan ketersediaan, keterjangkauan, kualitas, kesetaraan, dan kepastian secara efisien dan efektif. Guna mengatasi tantangan-tantangan tersebut, pemerintah mengembangkan pilar-pilar strategi khusus, yakni: i) perluasan dan pemerataan pelayanan akses pendidikan, ii) peningkatan mutu, relevansi, daya saing pendidikan,dan iii) peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan pemberdayaan masyarakat. Dalam usaha mengimplementasikan strategi-strategi tersebut, dilakukan melalui 3 (tiga) jalur, pendidikan formal, non formal, dan informal. Pada jalur nonformal, salah satunya dilaksanakan melalui satuan pendidikan kursus dan pelatihan. Dalam UU Sisdiknas (UU No 20 th 2003) disebutkan lembaga kursus dan pelatihan (LKP) sebagai satuan pendidikan nonformal diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. LKP dapat menjadi usaha strategis bagi masyarakat dalam jalur pendidikan nonformal karena LKP merupakan agen-agen pendidikan yang penting serta memiliki akar yang kuat di tengah-tengah masyarakat guna mengembangkan kemampuan peserta didik dalam penguasaan keterampilan, pengembangan sikap kewirausahaan serta pengembangan kepribadian profesional. Mengingat strategisnya peran LKP, maka upaya pengembangan LKP dan layanannya difokuskan pada tiga dimensi, yakni i) tantangan dan peluang domestik, ii) tantangan dan peluang di tingkat internasional, dan iii) kondisi riil yang dihadapi secara internal LKP. Oleh karena itu, sampai saat ini telah hadir berbagai program antara lain: i) Akreditasi satuan dan program LKP (BAN PNF) dan Penilaian Kinerja LKP, ii) Program kopetensi pengelola LKP, iii) Program penguatan LKP, iv) Program penguatan kopetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan, dan v) Penguatan organisasi mitra.

Sejalan dengan upaya pemerintah tersebut, Lembaga kursus dan pelatihan sebagai salah satu agen pendidikan nonformal yang fokus kepada pendidikan berbasis Vokasional dan Kecakapan Hidup, juga mempunyai peranan untuk pemberdayaan masyarakat melalui layanan kursus dan pelatihan . Kehadiran Lembaga Kursus dan pelatihan sangat berperan penting dalam menuntaskan pengangguran dan kemiskinan masyarakat, hal ini terbukti dari minat masyarakat serta akses lembaga yang semakin menjangkau kebutuhan keterampilan dan keahlian sesuai kebutuhan pasar baik masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan. Selain memberikan kesempatan bagi masyarakat yang ingin mengembangkan keterampilannya pada jenis pendidikan tertentu yang tidak ada di jalur pendidikan formal, Lembaga Pendidikan Kursus dan pelatihan juga memberikan kesempatan bagi masyarakat yang ingin mengembangkan pendidikan keterampilannya yang tidak dapat ditempuh dan tidak terpenuhi pada jalur pendidikan formal. Kegiatan kursus bukan hanya memberi harapan pada anak putus sekolah yang sulit mencari pekerjaan tetapi juga memberikan jalan dan peluang bagi banyaknya lulusan pendidikan formal yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Oleh karena itu para pengelola lembaga kursus dan pelatihan harus bisa bergerak cepat mengikuti irama perkembangan dan tuntutan yang terjadi di masyarakat. Untuk menanggulangi masalah kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat . Pemberdayaan pada hakekatnya adalah upaya pemberian daya atau peningkatan keberdayaan. Pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai upaya untuk memandirikan masyarakat agar mampu berpartisipasi aktif dalam segala aspek kehidupan.. Kemandirian bukan berarti mampu hidup sendiri tetapi mandiri dalam pengambilan keputusan, yaitu memiliki kemampuan menjalani kehidupan dengan keaneragaman permasalan dan tantangan yang dihadapi termasuk aspek perekonomian . Dengan pemahaman seperti itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai proses terencana guna meningkatkan skala/upgrade utilitas dari obyek yang diberdayakan. Karena itu pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk terus menerus meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat bawah yang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dalam pengertian sehari-hari, pemberdayaan

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 3 Anik Wahjuningsih masyarakat selalu dikonotasikan sebagai pemberdayaan masyarakat kelas bawah (grassroots) yang umumnya dinilai tidak berdaya. Pengangguran dan kemiskinan merupakan masalah pembangunan di Negara Republik Indonesia tercinta. Kedua permasalahan ini memiliki keterkaitan satu sama lain. Kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin melainkan karena tak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada. Kemiskinan didefinisikan sebagai standar hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Secara ekonomis, kemiskinan juga dapat diartikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejehtaraan sekelompok orang. Kemiskinan memberi gambaran situasi serba kekurangan seperti terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki rendahnya pendapatan, dan terbatasnya kesempatan berperan serta dalam pembangunan Kemiskinan antara lain ditandai oleh: 1. Sikap dan tingkah laku yang menerima keadaan yang seakan tak dapat diubah, yang tercermin di dalam lemahnya kemauan untuk maju, 2. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia, 3. Rendahnya pendapatan, 4. Terbatasnya kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan. Kemiskinan diyakini sebagai akar permasalahan hilangnya martabat manusia, hilangnya keadilan, belum terciptanya masyarakat madani, tidak berjalannya demokrasi, dan terjadinya degradasi lingkungan (Faturochman, dkk., 2007) Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk memberdayakan masyarakat adalah melalui lembaga pendidikan non formal. Pendidikan non formal merupakan pendidikan alternatif setelah pendidikan formal. Kursus sebagai salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan pada jalur pendidikan non formal mempunyai kaitan yang sangat erat dengan jalur pendidikan formal. Selain memberikan kesempatan bagi peserta didik yang ingin mengembangkan keterampilannya pada jenis pendidikan tertentu yang telah ada di jalur pendidikan formal juga memberikan kesempatan bagi masyarakat yang ingin mengembangkan pendidikan

keterampilannya yang tidak dapat ditempuh dan tidak terpenuhi pada jalur pendidikan formal. Pendidikan non formal merupakanusaha masyarakat dalam mencari jalan keluar terhadap persoalan pendidikan formal yang tidak terjangkau oleh masyarakat. Perhatian pendidikan non formal lebih terpusat pada usaha-usaha untuk membantu terwujudnya proses pembelajaran di masyarakat. Hal ini sesuai dengan Pasal 55, UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 butir pertama yaitu, Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan non formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. 4Demokratisasi penyelenggaraan pendidikan, harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Masyarakat tersebut dapat berperanan sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Oleh karena itu masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan yang berbasis masyarakat, dengan mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standard nasional pendidikan. Partisipasi masyarakat tersebut kemudian tercipta sebuah lembaga kursus dan pelatihan yang bersumber dari masyarakat untuk masyarakat. Dalam menjalankan tugas sebagai penyelenggara kursus, Lembaga pendidikan non formal atau penyelenggara kursus dan pendidik atau instruktur kursus di berikan kebebasan dalam berorganisasi menjadi mitra pemerintah (Zam Zam Ali, 2012). Dalam rangka mengembangkan kemampuan dan ketrampilan masyarakat, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya dengan mengadakan pelatihan atau mengikutkan masyarakat pada pelatihan-pelatihan pengembangan kemampuan dan ketrampilan yang dibutuhkan Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk itu adalah melalui lembaga pendidikan non formal, dan salah satu lembaga pendidikan non formal tersebut adalah lembaga kursus dan pelatihan. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebenarnya sudah lama memberikan berbagai bantuan kepada

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 4 Anik Wahjuningsih lembaga kursus untuk memberikan kursus gratis khususnya bagi masyarakat yang kurang mampu hal tersebut semata mata hanyalah untuk pemberantasan kemiskinan dan penggangguran dalam rangka pemberdayaan masyarakat.. Menurut Kartasasmita ( 1996) bahwa ada tiga arah yang bisa dilakukan untuk memberdayakan masyarakat yaitu : a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensimasyarakat berkembang dengan memperkenalakan bahwa setiap masyarakat memiliki potensi untuk berkembang b. memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat dengan menyediakan input (masukan) serta pe,bukaan akses kepada berbagai peluang yag akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya dalam memanfaatkan peluang c. Melindungi masyarakat yang lemah dalam proses pemberdayaan agar tidak menjadi semakin lemah oleh karena kekurangberdayaannya dalam menghadapi yang kuat Ketiga arah pemberdayaan masyarakat diatas berpangkal pada dua sasaran utama, yaitu (1) melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan; (2) mempererat posisi masyarakat dalam struktur kekuasaan (Sumodiningrat, 1997). Untuk mewujudkan sasaran tersebut diperlukan suntikan modal usaha, penguatan institusi, pembangunan prasarana dasar dan menciptakan keterkaiatan desa kota yang harmonis dan terpadu. Hal ini terkait pula dengan penciptaan kesempatan kerja dan peluang berusaha yang memberikan kesempatan yang memadai bagi masyarakat. Dengan demikian berari setiap anggota masyarakat disyaratkan terlibat dalam proses pembangunan, mempunyai kemampuan yang sama dan bertindak rasional. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, memiliki kapasitas ekonomi, mandiri dan memiliki kemampuan untuk memiliki powers. PEMBAHASAN Peran LKP dalam Pemberdayaan Masyarakat Peran kursus dan pelatihan dalam memberikan layanan pengetahuan, keterampilan, dan sikap bagi masyarakat,

merupakan salah satu aspek yang sangat strategis dalam mendukung program pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Jumlah lembaga kursus dan pelatihan yang jumlahnya mencapai kurang lebih 17.805 LKP di Indonesia dan yang sudah divalidasi 10.909 (data Januari 2013), dengan berbagai jenis keterampilan merupakan kekuatan yang sangat besar dalam mendukung pemerintah untuk mewujudkan pengentasan kemiskinan dan pengangguran tersebut. Pengangguran dan kemiskinan di Indonesia masih cukup besar yang memerlukan perhatian pemerintah. Jumlah penganggur terbuka berdasarkan data BPS pada Agustus 2011 sebesar 7,70 juta jiwa atau 6,56% dari jumlah angkatan kerja (15 tahun ke atas), yaitu sebanyak 117,37 juta jiwa.Sementara itu, jumlah angkatan kerja setengah menganggur sebanyak 13,52 juta jiwa dan bekerja paruh waktu sebanyak 21,06 juta jiwa. Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang atau 12,36% dari jumlah penduduk Indonesia. Berdasarkan kenyataan tersebut, perlu segera dilakukan langkah-langkah strategis melalui pengembangan program yang secara langsung dapat mengurangi pengangguran. Penanganan masalah pengangguran akan berdampak pada penurunan angka kemiskinan dan tindak kriminal. LKP adalah salah satu solusi yang tepat dalam menanggulangi masalah pengangguran sekaligus kemiskinan dan tindak kejahatan karena LKP juga berperan sebagai pemberdayaan masyarakat guna mengentaskan kemiskinan dan tekanan-tekanan sosial ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat yang berakar pada faktor-faktor kompleks yang saling terkait. Ketidakmudahan dalam mengatasi faktor-faktor yang kompleks tersebut telah mempersulit untuk mengatasi secara efektif dan efisien persoalan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi masyarakat. Masyarakat yang didera oleh tekanantekanan sosial ekonomi yang terus menerus, mengakibatkan tumbuhnya sejumlah potensi kreatif untuk menghadapi kesulitan hidup. Namun strategi dan upaya seperti ini belum memberikan solusi terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Pilihan yang bisa dikembangkan untuk kepentingan peningkatan perekonomian dan pemberdayaan masyarakat

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 5 Anik Wahjuningsih melalui jalur pndidikan non formal yaitu LKP dengan berbagai macam program ketrampilan Berbagai program pendidikan di LKP terbukti mampu dalam pemberdayaan masyarakat dan membantu mengatasi kesulitan kehidupan masyarakat Serta mengentaskan kemiskinan Beberapa contoh kegiatan pemberdayaan antara lain : 1. Pola pengentasan kemiskinan melalui program pendidikan di LKP. 2. Program pengembangan pendidikan nonformal. 3. Pengembangan Program pendidikan luar sekolah, kewirausahaan dan Pendidikan keorang tuaan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat, secara lugas dapat diartikan sebagai suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat. Dari definisi tersebut terlihat ada 3 tujuan utama dalam pemberdayaan masyarakat yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat, mengubah perilaku masyarakat, dan mengorganisir diri masyarakat. Priyono (Arisah, 2009) memberikan makna pemberdayaan masyarakat sebagai upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional 2 maupun dalam bidang politik, ekonomi, psikologi dan lain-lain. Memberdayakan masyarakat mengandung makna mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawarmenawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan penekan disegala bidang dan sektor kehidupan . Kemampuan masyarakat yang dapat dikembangkan tentunya banyak sekali seperti kemampuan untuk berusaha, kemampuan untuk mencari informasi, kemampuan untuk mengelola kegiatan, kemampuan dalam pertanian dan masih banyak lagi sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Perilaku masyarakat yang perlu diubah tentunya perilaku yang merugikan masyarakat atau yang menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat muncul karena adanya suatu kondisi sosial ekonomi masyarakat yang rendah mengakibatkan mereka

tidak mampu dan tidak tahu. Ketidakmampuan dan ketidaktahuan masyarakat mengakibatkan produktivitas mereka rendah. Pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui: (1) Pengembangan masyarakat (2) Pengorganisasian masyarakat (Nuryasin, 2011) Pemberdayaan selalu mengacu kepada kelompok masyarakat yang berada di lapisan bawah yang karena posisinya itu seringkali menjadi korban dari dinamika pembangunan. Kelompok masdyarakat itu menyandang kondisi yang serba lemah dan kekurangandalam mutu dan taraf hidup, keterampilan, keswadayaan dan sbagainya. Oleh karena itulah, mereka perlu diberdayakan. Berdasarkan makna katanya, pemberdayaan atau empowerment. diartikan sebagai kekuatan yang berasal dari dalam yang dapat diperkuat denganunsur-unsur dari luar (Kartasasmita, 1996). Menurut Sutoro Eko (Cholisin, 2011) bahwa pemberdayaan sebagai proses mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Konsep pemberdayaan (masyarakat desa) dapat dipahami juga dengan dua cara pandang. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi berdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek. Penerima manfaat (beneficiaries) yang 3 tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri bukan berarti lepas dari tanggungjawab negara. Pemberian layanan publik (kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban) negara secara given. Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya ruang dan kapasitas mengembangkanpotensi-kreasi, mengontrol lingkungan dan sumberdayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah negara. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan.apa yang dikembangkan dari masyarakat yaitu potensi atau kemampuannya dan sikap

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 6 Anik Wahjuningsih hidupnya. Kemampuan masyarakat dapat meliputi antara lain kemampuan untuk bertani, berternak, melakukan wirausaha, atau ketrampilan-ketrampilan membuat home industri; dan masih banyak lagi kemampuan dan ketrampilan masyarakat yang dapat dikembangkan. Pada akhir tahun 1990-an, program pemberdayaan masyarakat sebagai ganti program pembinaan masyarakat mulai mendapat tempat karena bukti dan pengalaman empiris di banyak Negara. Program pemberdayaan menjadi new mainstream dalam pembangunan, dikembangkan dan diproosikan oleh program pemberdayaan masyarakat. Peran LKP sebagai Program pemberdayaan masyarakat berperan dalam partisipasi masyarakat, yang berpangkal dan berbasis pendidikan no fon formal yang programnya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan terbukti mampu memberikan alternatif pemecahan masalah kepada masyarakat. Peran LKP sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan. Dengan pemberdayaan masyarakat melalui peran LKP maka kesejahteraan masyarakat bisa meningkat ,. Pemberdayaan berarti apa yang telah dimiliki masyarakat adalah sumberdaya masyarakat yang perlu dikembangkan sehingga makin nyata kegunaannya bagi masyarakat sendiri. Dengan Pemberdayaan Masyarakat melalui peran LKP diharapkan : 1. Terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat termasuk kebutuhan dasar yang terdiri dari sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. 2. Meningkatkan sumber daya manusia dan pendidikan sehingga bisa ikut mensuseskan pembangunan. 3. Mengurangi pengangguran dan kemiskinan. 4. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Arah Peran LKP dalam Pemberdayaan Masyarakat 1. Menumbuhkan minat belajar khususnya dalam bidang ketrampilan. 2. Membantu masyarakat dalam menciptakan lapangan pekerjaan. 3. Membuka peluang berwirausaha. 4. Menampung anak anak yang putus sekolah atau kurang mampu. 5. Memberi pelatihan atau pendidikan yang tidak ada di pendidikan Formal.

6. Mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Peran LKP dalam pemberdayaan masyarakat dalam arti bahwa pemberdayaan diutamakan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan guna menghadapi tantangan hidup di masyarakat. Meningkatkan sumberdaya manusia sehingga akan bisa berperan aktif dan ikut andil dalam Pemantapan otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan yang mengembangkan peranserta masyarakat, dalam arti semakin memberikan kesempatan yang lebih besar terhadap masyarakat kelas bawah yang selama ini terpinggirkan dan tidak pernah dilibatkan dalam pengambil keputusan pembanguan. LKP sebagai Penguatan Kapasitas SDM 1. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Memberikan pembinaan individu /kelompok masyarakat sehingga terwujud SDM yang berkualitas melalui pendidikan ketrampilan di lembaga kursus, sehingga akan meningkatkan , kesejahteraan, peningkatan sosial, politik, dan budaya sehinngga mampu dan dapat bersaing di DUDI baik skala nasional maupun internasional. 2. Pengembangan kemampuan dalam permodalan. Kegiatan LKP dalam pemberdayaan masyarakat dalam bidang kursus dan ketrampilan diharapkan masyarakat mempunyai keahlian kusus dan dapat dikembangkan untuk berwirausaha dan berkembang untuk mengatasi persoalan hidup di masyarakat. . Peran LKP dalam Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat 1. Penciptaan lapangan pekerjaan alternatif sebagai sumber pendapatan lain bagi keluarga. 2. Mendekatkan masyarakat dengan pola pendidikan kursus dan ketrampilan dengan berbagai program sesuai degan yang dibutuhkan masyarakat. 3. Mendekatkan dengan masyarakat dengan sumber teknologi baru yang bisa dipercaya dan berdaya guna. 4. Mendekatkan dengan masyarakat. 5. Membangun solidaritas, gotong royong dan kebersamaan di masyarakat.

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 7 Anik Wahjuningsih Dampak peran LKP dalam pemberdayaan masyarakat Keberhasilan peran LKP dalam pemberdayaan masyarakat adalah tersejahteranya masyarakat baik dibidang pendidikan maupun status social dan budaya di masyarakat. sehingga tidak lagi terdapat permasalahan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan di masyarakat. Hal ini bisa diwujudkan secara lebih komprehensif, terpadu, menyangkut berbagai aspek kebutuhan, bukan kebutuhan pokok saja tetapi juga status sosial dan budaya. Tanggung jawab pemberdayaan masyarakat bukan hanya pada LKP tetapi juga pada pemerintah dan pihak-pihak non pemerintah yaitu, masyarakat sendiri, pengusaha swasta, usaha milik Negara dan lembaga swadaya masyarakat. Tanggung jawab membangun masyarakat pada hakekatnya merupakan tanggung jawab utama masyarakat itu sendiri. Supaya pembangunan masyarakat berlangsung dengan tepat maka pemerintah hanya mempersiapkan SDM guna peningkatan, perluasan serta pendalaman kegiatan-kegiatan yang telah dimiliki oleh masyarakat sendiri. Hal ini merupakan makna perberdayaan, yaitu mengembangkan apa yang telah ada pada masyarakat menjadi lebih besar skalanya, lebih berdaya guna dan bermanfaat Contoh Program LKP dalam Pemberdayaan Masyarakat 1. Kursus kursus ketrampilan yg bertujuan untuk memberikan atau meningkatkan ketrampilan seperti mengetik, tata kecantikan rambut, tata kecantikan kulit,,spa, tata rias pengantin,,montir,,menjahit, sablon, babysister, akupuntur dll. Sasaran lembaga ini mayoritas adalah para lulusan SMP dan SLTA yg tidak bisa melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi dan memerlukan sertifikat ketrampilan untuk mencari pekerjaan. 2. Pengembangan profesi seperti kursus sekretaris atau humas perusahaan ,akuntan public, kepribadian dll. Sasaranya adalah tamatan SLTA sampe Perguruan Tinggi dari yg belum bekerja sampe yg sudah bekerjaa ,namun ingin meningkatkan profesionalismenya. Jenis ketiga ini lebih mengarah pembentukan image dalam masyarakat , bukan hanya sekedar memberikan ketrampilan teknis saja.

Karena itu dari segi waktu pelaksanaan kursus lebih panjang ( antara enam bulan sampae dua tahun ) Selain banyak dan beragamnya jenis lembaga kursus dan pelatihan , pembinaan terhadap lembaga ini sering menjadi masalah . Dukungan pemerintah terhadap penyelengaraan pendidikan luar sekolah selama ini sangat minim . padahal lembaga kursus dan pelatihan membutuhkan dukungan yang lebih besar agar bisa berkembang dengan pesat. Terutama menghadapi era global dimana akan terbuka peluang bagi lembaga lembaga kursus asing masuk ke indonesia . hal ini ditambah degan kenyataaan bahwa selama ini ada kesan lembaga kursus diperebutkan oleh Departemen kebudayaan dan Departemen Tenaga Kerja . Akibatnya dalam pembianaan maupun perizinan terjadi tumpang tindih antara keduanya. Untuk mengatasi hal ini pemerintah kemudian mengeluarkan ketentuan baru dan kebijakan baru dibidang pendidikan dan pelatihan ini memberikan penegasan tentang perbedaan antara kursus yang berada dibawah wewenang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Latihan Kerja yang berada dibawah naungan Departemen Tenaga Kerja . Kursus adalah pendidikan luar sekolah yg program programnya diadakan untuk mereka yang belum ada kejelasan tempat kerja yang akan menampung . sedangkan pelatihan kerja adalah pendidikan pelatihan untuk mengisi lowongan kerja tertentu. Menyusul dikeluarkanya ketentuan baru bahwa lembaga kursus dan pelatihan harus terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal ( BAN PNF ) sesuai dengan Undang Undang No 32 tahun 2015 atas perubahan Undang Undang No 19 Tahun 2009 tentang Standart Nasional Pendidikan. Akreditasi adalah kegiatan penilaian terhadap kelayakan suatu program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan criteria yang ditetapkan oleh undang-undang dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi PNF. Setiap program dan satuan PNF harus memenuhi standart minimal yang telah ditetapkan pada surat keputusan mentri Pendidikan Nasional nomor 055/U/2001 tanggal 19 April 2001. Dalam UU RI No. 20/2003 Pasal 35 ayat (1), aspek yang perlu distandarisasi terdiri atas delapan, yaitu : (1) Standart Isi, (2) Standart Proses, (3) Standart Kompetensi Lulusan, (4) Standart Pendidik

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal, - 8 Anik Wahjuningsih dan tenaga kependidikan lainnya, (5) Standart Sarana dan Prasarana, (6) Standart Pengelolaan, (7) Standart Pembiayaan, dan (8) Standart Penilaian. Kedelapan standart ini harus ditingkatkan secara berencana, berkala, dan berkelanjutan. Seharusnya lembaga kursus tidak dianak tirikan lagi oleh pemerintah dalam system pendidikan nasional . dengan keanekaragaman lembaga ini mempunyai sifat dan tujuan yang sama yakni sebagai penunjang atau pelengkap dari system persekolahan yang ada. Sebagai pemacu karier bagi yang sudah bekerja . Intervensi pemerintah dalam batas batas tertentu memang diperlukan , kususnya untuk memacu mutu tenaga pengajar di lembaga lembaga kursus dan pelatihan tersebut. tetapi perlu diberikan kebijakan kebijakan yang tentunya bisa menjadikan perkembangan lembaga kursus dan pelatihan semakin maju. PENUTUP KESIMPULAN Peran LKP dalam pemberdayaan masyarakat telah terbukti dapat mensejahterakan masyarakat dan mengentaskan kemiskinn.Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan untuk membiayai investasi, kurangnya akses ke pelayanan public, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan social dan perlindungan terhadap keluarga, , dan menyebabkan jutaan rakyat tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara maksimal. Kemiskinan diyakini sebagai akar permasalahan hilangnya martabat manusia, hilangnya keadilan, belum terciptanya masyarakat madani, tidak berjalannya demokrasi, dan terjadinya degradasi lingkungan. Beberapa contoh kegiatan pemberdayaan antara lain : 1. Pola pengentasan kemiskinan melalui program pendidikan di LKP. 2. Program pengembangan pendidikan nonformal. 3. Pengembangan Program pendidikan luar sekolah, kewirausahaan dan Pendidikan keorang tuaan. Dengan Pemberdayaan Masyarakat melalui peran LKP diharapkan :

1.

Terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat termasuk kebutuhan dasar yang terdiri dari sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. 2. Meningkatkan sumber daya manusia dan pendidikan sehingga bisa ikut mensuseskan pembangunan. 3. Mengurangi pengangguran dan kemiskinan. 4. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat. SARAN Makalah ini masih memiliki berbagai jenis kekurangan oleh karena itu kritik yang sifatnya membangun sangat kami harapkan.

DAFTAR PUSTAKA Arisah. 2009. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Ekonomi Desa, Artikel. Jurnal Wacana Volume 12 No 2 April 2009 Cholisin. 2011. Pemberdayaan Masyarakat, Artikel(Online) (http://staff.uny.ac.id, diakses 30 Januari 2012. Departemen Pendidikan Nasional. 2010 Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Depdiknas, Jakarta Undang Undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 pasal 55 butir pertama Undang Undang No 32 tahun 2015 atas perubahan Undang Undang No 19 Tahun 2009 tentang Standart Nasional Pendidikan Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan PT Pustaka Cidestindo, Jakarta Wahjuningsih, Anik 2013. MaHaKeTang sebagai inovasi pembelajaran penataan sanggul ukel tekuk. Karya nyata untuk pengajuan lomba Apresiasi PTK PNF Tingkat Nasional , Lembaga Kursus dan Pelatihan Permata Dewi Kab Biltar Jawa Timur. Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini dan

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992


Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Nonformal dan Informal - 9 Anik Wahjuningsih Pendidikan Masyarakat Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Faturochman, dkk., 2007 Belum terciptanya masyarakat madani Artikel Kartasasmita ( 1996) Pemberdayaa Masyarakat .Artikel Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal ( BAN PNF ) surat keputusan mentri Pendidikan Nasional nomor 055/U/2001 tanggal 19 April 2001. Dalam UU RI No. 20/2003 Pasal 35

PROFIL SINGKAT Anik Wahjuningsih, Lahir Blitar 30 November 1964 Pernah bercita cita menjadi seorang Pramugari tetapi dilarang oleh orang tua karena orang tua seorang pedagang jadi harapan orang tua menjadi seorang pedagang . oleh sebab itulah setamat dari sekolah menengah atas melanjutkan sekolah di sekolah tinggi ilmu ekonomi Malang sampai semester dua terminal karna ayah sudah meninggal kondisi ekonomi keluarga semakin memburuk akhir .tahun 1985 saya memutuskan menikah dengan seorang Pedagang .sambil membuka beberapa toko saya sambil kursus ketrampilan program kecantikan seiring perjalanan waktu saya melanjutkan sekolah hingga tamat sarjana tahun 2008 jurusan Teknik Sipil karna termotivasi usaha suami di Kontraktor, Tahun 2012 saya menamatkan S2 di STIA Jakarta dan saat ini lagi menempuh pendidikan S3 di Univ Negeri Malang jurusan Pendidikan Luar Sekolah semester dua akhir. Pekerjaan saat ini selain menjadi anggota DPRD saya juga menjadi Asesor BAN PNF dan juga Anggota BAP Jawa Timur dan juga saat ini menjabat beberapa ketua organisasi diantaranya : 1. Ketua Kamar Dagang dan Industri / KADIN kab Blitar 2. Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Kab Blitar 3. Ketua Himpunan Seluruh Pendidik dan Penguji PNF Jawa Timur 4. Ketua Himpunan Wanita Karya Kab Blitar 5. Ket Bid Pendidikan Rias Pengantin Jawa Timur Alhamdulillah Sampai saat ini telah dikaruniai 3 orang putra

Copyright Š 2016, JPPM, Print ISSN: 2338-4743, Online ISSN: 2477-2992



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.