Rumah Bantuan ya n a h Bukan Angka
Belajar Membangun Paska 2 Tahun Bencana Aceh Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh
Katahati Institute Januari, 2007
Rumah Bantuan, Bukan (hanya) Angka Housing Assistance, Not (just) Numbers Belajar Membangun Paska 2 Tahun Bencana Aceh Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh
Katahati Institute Katahati Institute berdiri pada tanggal 22 Juni 2001 dengan fokus aktifitas pada penguatan partisipasi publik,`hak asasi manusia dan perwujudan tata pemerintahan yang baik (good governance). Katahati Institute bersifat nirlaba, nonpartisan, serta memiliki komitmen untuk ikut serta sebagai`kelompok masyarakat yang ingin mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat madani yang berkualitas. Secara khusus Katahati Institute bekerja dalam isu Demokratisasi dan Tata Pemerintah.
Katahati Institute was found in June 22, 2001 with focus to strengthening public participation, human rights, and good governance. Katahati Institute is a nonprofit and non-parties organization, and has strong commitment to be involved as community group to realize a good quality of civil society. Katahati Institute is specifically works in Democratization and Governance issues.
Kertas Analisis Analysis Paper
Rumah Bantuan,
Bukan (hanya) Angka
Housing Assistance, Not (just) Numbers Belajar Membangun Paska 2 Tahun Bencana Aceh Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh
Katahati Institute Januari 2007
Daftar Isi | Contents Rekomendasi 8 Recommendation Ringkasan Eksekutif Executive Summary
10
Pengantar 12 Introduction Metodelogi 18 Methodology Komitmen sebagai Landasan & Motivasi Kerja Donor 20 Commitment as Donor's Basic and Motivation to Work Pentingnya suatu mekanisme The Importance of Mechanism
23
Membangun rumah juga ada kendala 27 Building Houses are Troublesome Too Material yang tersendat-sendat | Retarded Material 27 Ketersediaan Lahan | Land Availability 29 Koordinasi antar Donor | Donors Coordination 30 Piliih rumah dan pilih donor | Choosing Houses and Donors 31 Janji dan Komitmen Implementor | Implementer's Pledges and Commitments 32 Masyarakat tolak rumah tak bermutu | Community's Refusal to Low Quality Houses 34
Bagaimana Budaya kita Paska Bencana Our Culture After the Disaster
36
Perilaku; Adakah yang berubah | Behavior; Any changes? 36 Konflik Sosial dalam Proses Pembangunan Rumah | Social Conflict in House Building Process 38
Keinginan & Aspirasi 40 Expectation tension and Aspiration Donor | Donors 40 Masyarakat | Community 41 LSM Lokal | Local NGO 43
Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers
07
Kertas Analisis | Analysis Paper
Rekomendasi Recommendation Untuk BRR NAD-Nias
To BRR NAD-Nias
Membangun koordinasi lebih baik dengan para donor implementor sehubungan dengan perencanaan tata ruang daerah, plotting lokasi dan alokasi jumlah bantuan, mekanisme pelaksanaan pembangunan, dan limit waktu penyelesaian pekerjaan.
To build a better coordination with implementator donors regarding the district architecture, location plotting and assistance allocation, development implementation mechanism, and time limitation for the implementation.
Mencarikan solusi mengenai keminiman material dan juga transportasi yang dapat digunakan oleh donor untuk mempercapat realisasi bantuan perumahan. Lebih serius memperhatikan masalah kelebihan dan kekurangan jumlah rumah di setiap daerah, guna memperkecil terjadinya ketidakseimbangan bantuan dengan jumlah beneficaries. Turut membantu mencari penyelesaian terhadap berbagai pergeseran nilai, budaya dan perilaku yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Menegakkan supremasi hukum terhadap berbagai kasus dan pelanggaran yang dilakukan oleh semua pihak yang terlibat sebagai pelaku rehabilitasi dan rekonstruksi.
To find solution on limited material available and its transportation for the donors to be able to fasten the housing assistance project. To be more serious in handling the excess and shortages numbers of houses in every district, to minimize the inbalance of total assistance and beneficiaries. To be involve in solving the matter of changes of value, culture, and behaviour in the community during the rehabilitation and reconstruction implementation activities. To strengthen law supremacy in many cases and infringements by all parties related to the rehabilitation and reconstruction implementation
Untuk Pemerintah Daerah
To Government
Membantu para donor agar lebih memperhatikan prinsip-prinsip tata ruang guna mendukung program pembangunan yang berbasis manajemen lingkungan dan penanganan bencana.
To help donors to be aware of city interior design principals in order to support the program development which based on environmental and disaster handling. To be support donors regarding the lack land/location for the project to fasten the community relocation which until today is still in the temporary house.
Membantu para donor sehubungan ketiadaan lahan/lokasi pembangunan rumah guna mempercepat relokasi masyarakat yang hingga hari ini masih menempati hunian sementara. Turut berperanserta untuk mengawasi pembangunan yang tidak merugikan masyarakat dan sumberdaya alam yang ada di Aceh, seperti konservasi sungai, laut, hutan, dan air. Megendalikan dan mengawasi apratur pemerintahan di tingkat desa, agar tidak menyalahgunakan kewenangan untuk mencari keuntungan pribadi dan merugikan masyarakat di tengah-tengah proses rehab-rekon.
08
To participate in the development supervision, for not making any damages to community and natural resources in Aceh, i.e. river, ocean, forest, and water conservation. To control and supervise the government aparature in village level, to avoid any infringement that lead to personal benefit and damage community during the reconstruction process.
Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh
Rekomendasi | Recommendation
Untuk Donor & NGO Implementor Agar tetap menjaga komitmen untuk menuntaskan pembangunan guna mengurangi keresahan masyarakat terhadap rumah-rumah yang ditelantarkan donor begitu saja. Mengutamakan informasi dan akuntabilitas proyek sebagai bagian dari sistem transparansi untuk meminimalisir praktek korupsi. Agar menggunakan mekanisme pembangunan partisipatif agar masyarakat lebih percaya dan ikut bertanggungjawab terhadap jalannya pembangunan. Tetap mejalin koordinasi dengan pihak terkait, seperti pemerintah daerah/desa, masyarakat, dan pengusaha lokal guna terwujudnya pembangunan yang terpadu dan ramah lingkungan. Turut berusaha mencarikan jalan keluar guna membantu masyarakat yang tidak memiliki tanah untuk dapat memiliki rumah Agar ikut mengantisipasi terjadinya pergeseran nilai, perilaku dan budaya masyarakat setempat.
For Donors and Implementing NGOs To keep the commintment to finish the development in order to reduce community's complaints on unfinished donor's housing project. To prioritize project information and accountability as part of transparation, in order to minimize corruption. To use community participation mechanism in order to have community's trust and to have their accountibility in the development process To build coordination with related stakeholders; i.e. region/village government, community, and local bussinessman, in order to have a harmony and environment friendly development. To find solution for comminity who do not posses land to build a house. To anticipate any changes in value, behaviour and culture in local community.
Untuk Masyarakat
For the Community
Agar tetap mengedepankan perilaku jujur dalam segala hal, guna menghambat praktek penipuan dan manipulasi data yang berdampak pada ketidakseimbangan antara kebutuhan rumah di satu daerah dan dearah lain.
To prioritze honest in every aspects, to prevent any kind of data deception and manipulation which leads to inbalance of housing needs in one area and another.
Untuk dapat menerima dan bekerjasama untuk membantu donor mencari jalan keluar terhadap berbagai permasalahan yang terjadi, sehingga mempercepat proses relokasi masyarakat dari hunian sementara. Berpartisipasi aktif untuk mengawasi pekerjaan donor guna mengantisipasi praktek korupsi sekaligus menyelesaikan rumah dengan mutu dan waktu yang secepat mungkin.
Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers
To accept and cooperate with donors in finding solution of many problems encounters, in order to fasten the relocation proces from temporary houses. To participate in supervision of donor's performance, in order to avoid any corruption and at the same time to finish the house in good quality as fast as possible.
09
Kertas Analisis | Analysis Paper
Ringkasan Eksekutif Executive Summary
Rumah Bantuan, Bukan (hanya) Angka Housing Assistance, Not (just) Numbers Belajar Membangun Paska 2 Tahun Bencana Aceh Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh
Katahati Institute Januari 2007 Analisa ini diangkat dari permasalahan yang berhasil diidentifikasi oleh kegiatan advokasi dan fasilitasi lapangan yang dilakukan oleh Focal Point Katahati Institute, serta analisa media yang dilakukan sehubungan dengan pemberitaan media tentang proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang menghasilkan bahwa bantuan rumah adalah permasalahan utama. Untuk mempelajari hal tersebut digunakan model penelitian lapangan melalui teknik wawancara oleh peneliti Katahati Institute terhadap pihak-pihak terkait di 10 (sepuluh) wilayah kerja Focal Point dalam program Clearing House Advokasi Kebijakan (Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh). Dari hasil penelitian di lapangan didapatkan bahwa persoalan pembangunan rumah bukan sekedar memenuhi kebutuhan angka-angka. Berbagai faktor 10
This analysis is based on the problems which identified from field avocations and facilitations by Focal Point Katahati Institute, and media analysis regarding rehabilitation and reconstruction project which concluded that housing project is the main problem. We use field study methodology by interview with related stakeholders by Katahati Institute researchers in 10 (ten) Focal Point working area, under Clearing House Advocacy Policy program (Aceh Rehabilitation and Reconstruction). Based on the study, the main problem of housing project is not only to fulfill the numbers. Some factors that contribute in the slow process that took two years are; a) material supply retard, b) lack of land, c) lack
Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh
Ringkasan Eksekutif | Executive Summary
yang menyebabkan lambatnya realisasi bantuan rumah hingga merangkak pada waktu 2 (dua) tahun adalah; a) Tersendatnya pasokan material, b) Ketiadaan tanah atau lahan, c) Tidak ada koordinasi antar donor, d) Masyarakat mulai memilih donor dan rumah bantuan, e) Kurangnya Komitmen NGO implementor dilapangan, f) Penolakan masyarakat terhadap kualitas rumah yang dibawah standar. Selain itu penelitian ini menyajikan analisa terhadap pergeseran nilai dan budaya masyarakat yang menjadi faktor penghambat kesuksesan pembangunan itu sendiri, seperti; a) Perubahan perilaku masyarakat, korban dan donor pasca tsunami, b) Terjadinya konflik sosial dalam proses pembangunan rumah, c) Munculnya pola hidup konsumtif masyarakat Aceh pasca tsunami, d) Mulai merapuhnya aspek sosial budaya. Dengan demikian mewujudkan bantuan rumah adalah suatu program yang komprehensif, dan bukan sekedar mengejar perimbangan angka antara jumlah rumah dan kebutuhan pengungsi. Berbagai persoalan berada di belakang itu, sehingga terlihat ada donor bermasalah di mata masyarakat, bahkan ada juga donor yang baik karena berhasil membangun rumah dengan predikat memuaskan. Persoalan budaya juga sangat penting ditengarai, mengingat beberapa keadaan telah membuktikan bahwa telah terjadi pergeseran nilai dan juga perilaku khususnya dalam pranata sosial masyarakat Aceh semenjak digulirkannya proyek rehabilitasi dan rekonstruksi ini, dan ini menjadi tanggungjawab kita bersama untuk mengatasinya. Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers
of coordination between donors, d) community's preference for donors and housing type, e) lack of NGO implementer's commitment in the field, f) community's resentment toward housing quality which below their standard. The research also provide analysis on changes of value and culture in the community which brings obstacles for the development itself, i.e.; a) change of behaviors in the community, donors, and tsunami victims, b) social conflict in the housing development process, c) consumptive lifestyle after tsunami disaster, d) Decreasing of socio-culture aspects in the community. Based on that, housing project is a comprehensive program and it is not only to fill numbers between houses needed and numbers of IDP's. There are actually many problems behind that; in result that some donors still have problems according to community's perspective, although there are some donors which succeeded in their project with good approval from the community. Cultural problems are also important to be aware of, considering there are proven changes of value and behavior in Aceh after the launching of rehabilitation and reconstruction project. It is our responsibility to handle this matter.
11
Kertas Analisis | Analysis Paper
Pengantar Introduction
Gempa bumi yang berkekuatan 9,0 skala richter yang terjadi pada 26 Desember 2004 lalu, diiringi oleh gelombang tsunami menghancurkan lebih dari 180.000 unit rumah masyarakat di Aceh, yang mengakibatkan sekitar 500.000 jiwa masyarakat kehilangan tempat tinggal mereka. Untuk mengatasi krisis tempat tinggal tersebut (emergency), masyarakat korban tsunami direlokasi ke tenda-tenda darurat, dan kemudian berangsur-angsur dialihkan ke barak dan rumah bongkar pasang yang disebut dengan Hunian Sementara (Huntara). Berbagai pihak berkomitmen untuk merelokasi masyarakat dengan membuatkan kembali rumahrumah bagi mereka (rehabilitasi dan rekonstruksi), akan tetapi langkah ini terlihat sangat lambat, sehingga 2 tahun setelah tsunami masih banyak masyarakat yang tinggal di hunian sementara. Hal ini terbukti, menurut catatan pihak Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD–Nias hingga Juni 2006 sebanyak 41.734 unit rumah telah dibangun dari 120.000 rumah yang dibutuhkan. Sektor perumahan sangat penting artinya bagi masyarakat korban tsunami disamping berbagai sektor penting lainnya seperti bidang kesehatan, matapencaharian, makanan, dan langkah-langkah prevensi lainnya. Dengan tersedianya perumahan yang memadai, diharapkan masyarakat dapat
12
Earth quake with 9.0 Richter scale on December 26th, 2004, followed by huge tsunami which destroyed more than 180,000 houses and caused around 500,000 people left homeless. In respond of the emergency crisis, tsunami victims were relocated to emergency tents, and slowly moved to baracks and knockdown house or temporary houses. Many parties were committed to relocate the tsunami IDPs by building houses (rehabilitation and reconstruction), but this seems to go very slow, that until 2 years after tsunami still there are many IDPs who live in the temporary houses. According to Reconstruction and Rehabilitation Agency (BRR) NAD-Nias record, up to June 2006 there are only 41,743 houses out of 120,000 expected. Housing is a very crucial factor for the community aside from health, livelihood, food, and other prevention measures. It is expected that by living in a decent house, they would be able to keep their health and do their job, and be able to find their place in the social activity more convincingly. This is also stated in form of vision and operational mission of Housing and Settlement Deputy BRR NAD-Nias, which is “To rebuild a
Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh
Pengantar | Introduction
menjaga kesehatan dan menggeluti pekerjaan dengan baik, serta menatap berbagai pranata sosial dengan mantap.
better environment in Aceh and Nias in precise and harmonic way based on tsunami victims agreement”, with following actions;
Hal ini juga dituangkan dalam bentuk visi dan misi operasional Deputi Perumahan dan Permukiman BRR NAD-Nias, yaitu “Untuk membangun kembali kawasan permukiman yang lebih baik di Aceh dan Nias secara tepat dan terpadu dengan berbasis pada kemufakatan dengan masyarakat korban bencana”, maka dilakukan;
1. to return the victims to their houses as soon as possible;
1. Merumahkan kembali para korban yang kehilangan tempat tinggal secara cepat;
2. to build and prepare the new development of a better and safer housing area; 3. to strengthen community participatory in decision making and managing the house environment; 4. to optimize infestations performance;
2. Membangun dan mempersiapkan pertumbuhan kawasan permukiman yang lebih baik dan aman;
5. to support the growth of local economy and resources.
3. Memperkuat peranan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan kawasan permukimannya;
However, complaints still heard in December 2006 from the victims about not getting house assistance. Some of these were recorded during field visit under Clearing House Advocacy Policy Program (Aceh Rehabilitation and Reconstruction) by Katahati Institute, which placed its 10 members to 10 different barracks since September 2006. The main information was “The most urgent need from tsunami victims is housing”.
4. Mengoptimalkan kinerja investasi; 5. Mendukung pertumbuhan perekonomian dan sumberdaya lokal. Sungguhpun demikian, hingga Desember 2006 masih banyak masyarakat yang mengeluhkan bahwa mereka belum punya rumah. Hal ini juga diterima dengan jelas dari catatan informasi yang diperoleh dari rangkaian perjalanan kerja program Clearing House Advokasi Kebijakan (Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh) oleh Katahati Institute, yang telah menempatkan 10 (sepuluh) orang Focal Point di 10 (sepuluh) wilayah barak sejak September 2006 lalu. Informasi utama yang diperoleh bahwa “kebutuhan yang sangat mendesak bagi masyarakat korban tsunami saat ini adalah rumah”.
Also from monitoring result (Media Analysis), report on housing has been the highest issue so far. In fact it has high conflict potential, which accumulated in demonstration ended with violance in BRR NAD-Nias office a few months ago.
Demikian juga dari hasil pemantauan (Analisa Media), diperoleh informasi bahwa sektor perumahan menempati rangking pemberitaan tertinggi selama beberapa waktu ini, bahkan memiliki potensi konflik yang cukup tinggi, sebagaimana yang telah terakumulasi dengan demo yang berakhir secara anarkis di kantor BRR NAD-Nias beberapa bulan lalu.
Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers
13
Pengalaman masyarakat yang belum dapat rumah bantuan Community's experiences who still do not receive house assistance
“Hingga saat ini kami tidak memiliki rumah bantuan seperti yang dibangun untuk masyarakat di daerah lain. Dulu kami mengungsi ke kantor Camat, terus ada juga masyarakat yang mengungsi ke tempat saudara, dan ada juga yang kembali ke rumahnya dengan memperbaiki papannya yang sudah jatuh. Ada datang Pak Keuchik ke sini nanya dimana mau dibuatkan rumah, kata saya di sini, tapi sampai sekarang tidak datang-datang yang mau bangun, ada yang bilang kalau pengurusnya udah lari”.
“Until now we still don't get any housing assistance like the ones that other area receive. Previously we moved to Camat office, and there were some people who moved to their relatives, and some went back to their houses and fix their wood (wooden wall). Keuchik (Head of Village) ever came here and asked where do we want our house to build, I said here, but up to now none came to build, some say the developer had ran away.”
[Perempuan, Warga Barak Desa Blang Geulumpang Idi Rayeuk, 9 November 2006]
[Woman, community of barrack in Blang Geulumpang Idi Rayeuk village, November 9th, 2006]
“Kata pemerintah kota, kami cuma 2 tahun tinggal di barak ini, dan setelah itu kami akan mendapatkan rumah, jadi sampai saat ini belum ada kesimpulan untuk pindah ke rumah, ya… ini karena keterlambatan pemerintah setempat lah…!”. [Laki-Laki, Warga Barak Mon Geudong (asal Desa Pusong Baro), Lhokseumawe, 11 November 2006]
“City government told me that we would only stay in the barrack for 2 years, and after that we will receive a house, so up to now there is no conclusion whether we will move to a house, well… of course this is because the lateness of the government!” [Man, community of barrack in Mon Geudong (originally from Pusong Baro village), Lhokseumawe, November 11th, 2006]
Pengantar | Introduction
Permasalahan yang sering mewarnai pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap perumahan ini diantaranya adalah; 1. Kekurangan bahan bangunan. 2. Ketiadaan tanah/lahan yang layak untuk dibangun. 3. Sengketa antar donor yang berhak membangun. 4. Sengketa antara donor dan masyarakat mengenai mutu bangunan yang diperuntukkan kepada mereka, dan 5. Persoalan donor-donor yang terkesan berlepas tangan atas bangunan-bangunan rumah yang terbengkalai. Permasalahan yang paling tinggi pada proses realisasi bantuan perumahan ini adalah lantaran mutu bangunan yang dihandalkan donor dinilai masyarakat sangat rendah, sehingga beberapa kasus memperlihatkan bahwa masyarakat enggan menempati rumah tersebut (menolak), dan ada juga yang mencoba menempati rumah tersebut karena tidak ada rumah, walaupun pada intinya mereka sangat tidak puas. Demikian juga dengan para donor yang membiarkan saja bangunan rumah terlantar begitu saja tanpa segera menyelesaikannya. Masyarakat mengeluhkan hal ini karena sudah dua tahun mereka masih menunggu realisasi bantuan yang tidak kunjung selesai. Disamping itu ada juga diantara donor yang bermasalah dengan upah tukang, sehingga tukangpun berhenti bekerja, bahkan ada yang bergantiganti tukang beberapa kali hanya untuk satu rumah. Perlu dipahami juga bahwa informasi data di media terkadang terkesan sangat subjektif, bahkan hanya memihak pada opini korban saja, sehingga berbagai keluhan yang dirasakan oleh donor tidak diberitakan dengan baik. Hal ini penting mengingat bahwa pembangunan rumah bukan hanya masalah masyarakat, tapi juga permasalahan donor yang harus bekerja di masa dan medan yang tingkat kesulitannya tinggi.
Problems that mainly happen in fulfilling the community needs are: 1. lack of material 2. lack availability of land to build a house 3. dispute over which donors should build in where 4. dispute between donors and community over house quality, and 5. donors which seen to be irresponsible with their neglected houses The biggest problem in housing project implementation is the low quality of donor's houses, which caused community to be reluctant (refuse) to stay in the house, some stay in the house because they do not have houses, although bottom-line they are not satisfy with the house. Also, some donors just neglect their houses without finishing it. Community complaint about this because they have waited for two years to have their houses finished. Some donors also have problems with labor, which caused the labors quit, and even in some cases it took several changes of labor only to build one house. It is important to keep in mind that data information in media sometimes can be very subjective, some even take side on the victims only that donor's complains are sometimes kind of unheard. This is important considering housing project is not only community's problem, but also donors in which they have to work in high level of difficulties in time and situation.
Sengketa Antar Donor Sengketa Mutu Bangunan Donor Terkesan Berlepas Tangan Keterlambatan Koordinasi Kekurangan Logistik Sengketa/Ketiadaan Lahan Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers
15
Kertas Analisis | Analysis Paper
Penelitian ini mencoba mengangkat beberapa fenomena dasar yang menyebabkan keterlambatan realisasi bantuan rumah bagi masyarakat korban tsunami. Dan seobjektif mungkin diusahakan agar berbagai penyebab yang melatari problema masyarakat yang hingga saat ini belum memiliki rumah, dapat dijadikan acuan agar semua pihak terus berfikir ke depan guna mempercepat proses pembangunan tersebut.
This analysis also raises some basic phenomenal which caused the delay of housing assistance for tsunami victims. This analysis is also try to be as objective as possible to find out the cause of housing project delays, and furthermore it would fasten the process.
Untuk itu perlu disusun beberapa hipotesis sehubungan dengan tema penelitian tentang fenomena keterlambatan bantuan rumah ini;
Therefore there are hypothesis about the delay of housing assistance;
Komitmen dan realisasi pembangunan oleh donor; • Bagaimana komitmen dasar para donor dapat berpengaruh pada masing-masing program pembangunan rumah bantuan yang mereka laksanakan • Apakah komitmen tersebut berpengaruh pada jumlah dan kualitas rumah bantuan yang sedang atau telah mereka selesaikan. • Apakah strategi yang dilakukan itu sudah baik, atau perlu penyempurnaan ke masa yang akan datang. Kendala yang dihadapi dalam merealisasikan bantuan rumah; • Apa saja kendala yang dihadapi para donor untuk mewujudkan rumah bagi masyarakat korban tsunami. • Bagaimana kendala itu mereka hadapi hingga masyarakat tidak kecewa dengan hal itu. Pengaruh bantuan terhadap kondisi sosial dan budaya masyarakat saat ini; • Apa saja faktor-faktor sosial yang dapat membantu percepatan pembangunan rumah oleh donor. • Apa saja faktor-faktor sosial yang dapat menghalangi proses realisasi bantuan rumah tersebut. • Bagaimana proses perubahan sosial terjadi pada masa pelaksanaan proyek bantuan rumah korban tsunami Penelitian ini mencoba menemukan berbagai hal yang menjadi penyebab keterlambatan realisasi bantuan rumah bagi masyarakat korban tsunami, baik pada diri donor sendiri, maupun terhadap berbagai fenomena sosial dan budaya yang berkembang di tengahtengah masyarakat, sehingga permasalahan yang dilihat dalam hal ini memiliki hubungan keterkaitan satu sama lain. Penelitian ini memiliki dugaan kuat bahwa hubungan sebabakibat itu selalu terjadi dimanapun dan kapanpun, termasuk pada saat penelitian ini membuat pertanyaan, mengapa hingga dua tahun setelah tsunami masyarakat ada yang belum memiliki rumah bantuan. Sehingga bagian penting dari penelitian ini juga diperuntukkan kepada masyarakat Aceh sehubungan dengan beberapa kendala sosial yang selalu meliputi percepatan realisasi dimaksud.
16
Donor's commitment and implementation; • How donor's basic commitments influence the housing project • Whether the commitment gave influence on numbers and quality of the houses they have or are building. • Whether the implementation strategy is the best, or whether it needs any improvement in the future Challenges in housing implementation: • What are the challenges that donors have to deal in the implementation process • How to deal with it so that community will not be disappointed Effect of assistance towards the recent community's social and culture: • What social factors that can fasten donor's housing project • What social factors that might obstacle the implementation process • How social changes occurred during the housing project implementation This analysis is trying to find out the cause of housing project implementation for tsunami victims delay, both in donors and socioculture phenomena in the community. From here on we can see that the problem has much connectivity from one to another. The analysis also has a strong assumption that mutual relation always happen whenever and wherever; including when this analysis is questioning why after two years of tsunami there are still many community who do not get any housing assistance. Therefore part of this analysis is also for Acehnese regarding some social difficulty which always seems to be surrounding the process.
Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh
Kertas Analisis | Analysis Paper
Metodelogi Methodology Sifat & Jenis Penelitian
Analysis Type and Purpose
Penelitian ini menempatkan data dan informasi dari lapangan sebagai data utama, sehingga analisa yang diberikan lebih didominasi oleh data-data kualitatif dibandingkan dengan data-data yang bersifat kuantitatif. Selanjutnya data kualitatif tersebut dipilih sebagai kasus riil yang terjadi di masyarakat sehubungan dengan keterlambatan realisasi bantuan rumah bagi korban tsunami saat ini. Dengan sendirinya penelitian ini diarahkan pada model studi kasus (case study) pada fenomena lapangan yang dialami oleh masyarakat yang hingga saat ini masih tinggal di hunian sementara.
The research is using field data and information as the main data, thus analysis will be dominated by qualitative data rather than quantitative data. The qualitative data was chosen based on real cases in the community, related to the delay of housing realization for tsunami victims. Therefore this research tends to case study model which happens in the field, where people are still living in their temporary houses.
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di 10 (sepuluh) wilayah kerja program Clearing House Advokasi Kebijakan (Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh) Katahati Institute, yaitu Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireun, Aceh Utara/ Lhokseumawe, Aceh Timur, Aceh Jaya, Aceh Barat/ Nagan Raya, Aceh Singkil, dan Simeulue.
Responden & Alasan pemilihannya Setiap peneliti mewawancarai beberapa responden penting sehubungan dengan satu kasus yang sedang dipelajari. Sebagai responden utama adalahmasy arakat korban tsunami yang masih tinggal di h u n i an sementara (belum punya rumah), dan kepada m e r eka ditanyakan berbagai hal dan pengalaman mereka sehubungan dengan perolehan rumah bantuan yang hingga saat ini belum mereka terima. Setelah itu penggalian informasi terkait dilakukan dengan para tokoh masyarakat, sehingga diperoleh gambaran yang lebih lengkap sehubungan dengan persoalan rumah bagi korban tsunami yang belum terselesaikan.
Research Location The research was conducted in 10 Clearing House Advocacy Policy Program (Aceh Rehabilitation and Reconstruction) under Katahati Institute working area; Banda Aceh, A c e h B e s a r, P i d i e , B i r e u e n , A c e h Utara/Lhokseumawe, Aceh Timur, Aceh Jaya, Aceh Barat/Nagan Raya, Aceh Singkil, and Simeulue.
Respondent and Reasons Every researcher interviewed some respondents regarding case they studied. Main respondents are those who still live in the temporary houses (homeless), and were asked about their experiences on how they got their housing assistance which they do not receive yet. Information was also taken from community's figure, thus there would be a complete picture of unfi
Dari informasi yang disampaikan masyarakat, dicoba untuk mengidentifikasi salah satu atau beberapa donor yang terkait sebagai pihak pembangunan rumah di lokasi tersebut. Setelah dipastikan keterli batan mereka, kepada para donor implementor perumahan tersebut juga dilakukan serangkaian diskusi untuk melihat berbagai alasan sehubungan dengan keterlambatan penyelesaian tugas mereka.
18
Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh
Metodelogi | Methodology
Hasil wawancara tersebut secara umum akan dibandingkan dengan keterangan yang diberikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal, mengingat mereka memiliki tugas sebagai lembaga kontrol sosial terhadap setiap pembangunan yang dilaksanakan, termasuk di bidang rehabilitasi dan rekonstruksi paska bencana tsunami. Dari LSM lokal didapatkan keterangan tentang berbagai fenomena pembangunan rumah yang terjadi di wilayah kerja mereka, bahkan juga fenomena sosial masyarakat Aceh dalam scope penerimaan bantuan pada umumnya. Penelitian juga membutuhkan informasi dari responden lain, khususnya untuk mempelajari berbagai kondisi sosial yang berkembang saat ini tentang masalah perumahan. Untuk itu para peneliti juga melakukan wawancara dengan sosiolog dan budayawan Aceh untuk melihat beberapa faktor sosial yang terkadang dapat menjadi faktor pendukung dan juga penghambat proses pemberian bantuan rumah, bahkan penelitian ini juga ingin menemukan bentuk-bentuk pergeseran budaya masyarakat Aceh di masa rehab rekon ini. Ada budaya yang bersifat konstruktif sehingga dapat membantu proses rehab-rekon, dan juga ada budaya yang bersifat dekonstruktif yang diyakini sebagai penyebab terjadinya bias dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh saat ini.
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara. 3 (tiga) orang peneliti utama turun ke lapangan dan bekerjasama dengan para Focal Point Katahati Institute yang berada di lapangan, hingga menemukan suatu kasus dengan baik. Beberapa kasus yang ditemukan di bahas oleh para peneliti dengan mewawancarai berbagai pihak yang terkait dengan kasus tersebut hingga permasalahannya terjawab dengan tuntas.
Analisa Masalah & Penulisan Untuk memudahkan pengilustrasian dan pendeskripsian hasil penelitian, maka penulisan dilakukan menggunakan analisa induktif, dimana dengan berangkat dari kasuskasus yang terjadi di beberapa lokasi penelitian, diharapkan dapat dilakukan generalisasi pada kasus-kasus yang sama yang sedang terjadi di daerah lain. Alasan pemilihan teknik analisa ini adalah karena pertimbangan banyaknya permasalahan yang terjadi sehubungan dengan keterlambatan realisasi bantuan rumah, maka hanya beberapa permasalahan utama saja yang dipelajari untuk dijadikan sebagai gambaran umum.
Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers
nished housing project problems. From the community's information, we tried to identify one or some related donors as the implementer. After it confirmed, we arranged discussion with the implementing NGO to find out any reasons behind their delay. Generally, the result of discussion will be compared with any information to local Lembaga Swadaya Masyarkat (LSM), considering they have the duty as social control organization on every development, including post tsunami rehabilitation and reconstruction. From local LSM we get the information of housing project phenomena in their working area, as well as Acehnese social phenomena in the scope of beneficiaries in general. It also required other information from other respondents, especially to study the growing social condition in housing project implementation nowadays. Researchers also held an interview with Aceh sociologist and cultural observer to see some other social factors that might support and/or obstacle the housing project process. In fact, this research also finds many cultural changes during the rehabilitation and reconstruction project. There are cultures which considered to be deconstructive and believed to be the source of bias in the process of rehabilitation and reconstruction in Aceh.
Data Collecting Technique Data collecting was done by interview. Three main researchers went for field visit in cooperation with Katahati's Focal Point Institute in the field, until they found interesting case. Any cases found then discussed among the researchers by interviewing some related persons to the case, until the case solved.
Problem Analysis and Writing To make it easier on illustration and description of research result, report writing will be using inductive analysis. This means that it will be start with some cases in the field, and furthermore became more general to similar cases in other areas. Reason why this analysis technique was chosen was because many things contribute in the delay of housing project, so there's only the main problem to be studied as the general picture.
19
Kertas Analisis | Analysis Paper
Komitmen sebagai Landasan Motivasi Kerja Donor Commitment as Donor's Basic and Motivation to Work
Secara umum, setiap donor memiliki komitmen yang baik untuk mewujudkan pembangunan rumah bagi korban tsunami. Semua komitmen tersebut terkait erat dengan mekanisme pembangunan yang mereka lakukan, serta realisasi yang sudah dicapai hingga dua tahun pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi rumah bagi masyarakat korban tsunami. Kedua indikator ini dianggap penting mengingat bagaimanapun komitmen donor dalam menangani masalah penyediaan perumahan bagi korban tsunami, akan tetapi hingga saat ini masih banyak masyarakat yang tinggal di barak-barak dan rumah hunian sementara. Terlepas dari berbagai komitmen yang dinyatakan oleh donor, masyarakat menganggap bahwa yang terpenting itu adalah sejauh mana komitmen tersebut telah diwujudkan dengan baik oleh donor di lapangan. Donor juga diharapkan tidak sekedar membangun masyarakat secara fisik, akan tetapi yang terpenting adalah pembangunan masyarakat secara menyeluruh setelah semuanya hancur paska bencana. Dari komitmen tersebut, setiap donor juga memiliki janji (pledged) yang telah mereka sesuaikan dengan kemampuan finansial mereka sebagai donor, dan hal ini merupakan suatu aturan yang diberlakukan sama oleh BRR NAD-Nias kepada donor mana saja yang berkeinginan untuk membantu masyarakat dalam bidang perumahan. Dan dari janji yang telah diajukan pada BRR NAD-Nias hingga September 2006, terlihat bahwa sebagian besar donor belum menyelesaikan pembangunan rumah mereka.
20
In general, every donor has their commitment to realize the housing project for tsunami victims. Those commitments are closely related to their development mechanism, and what they have done so far two years after the disaster. Both indicators are very important considering that however donors committed, the fact now is that many still live in barracks and temporary houses. Aside from many commitment that donors stated, community only put their attention on how far does the commitment comes to realization. Donors were expected to rebuild the community not only physically, but also to re-build the community generally, after everything was ruined and damaged post tsunami. From the commitment, every donor have pledged according to their financial budget as donors. This was one of the rules made by BRR NAD-Nias to all and every donor who wished to deliver their assistance on housing project. From the pledges to BRR NAD-Nias which submitted up until September 2006, it was obvious that many donors still had not finished their job.
Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh
Pernyataan donor Tentang apa itu “Bantuan Rumah”
Donors' statement About what is “Housing Assistance”
International Organization for Migration (IOM) sebagai salah satu donor yang dinilai masyarakat paling cepat menangani permasalahan rumah bagi masyarakat korban tsunami meletakkan kebutuhan rumah ini sebagai kebutuhan yang sangat penting. Bagi IOM “Rumah lebih penting dari matapencaharian”, karena rumah adalah modal masyarakat untuk dapat merencanakan dan menatap kehidupan lebih baik.
International Organization for Migration (IOM) is one of the international organization which seen by the community to be the fastest in handling the problems and complaints, and put this assistance project as their most important project. For IOM, “house is more important than job,” because house is the capital where people can start with planning in it, and will be able to see the future clearly.
Demikian juga dengan Caritas Swiss, yang menyatakan bahwa “Rumah adalah segalagalanya dan tempat berteduh”. Rumah adalah pusat penataan kehidupan sosial di masyarakat, sehingga seluruh aktifitas penataan hidup dimulai dengan tersedianya rumah yang layak. Dengan menyadari hal ini, diharapkan para donor dapat mewujudkan rumah yang baik dan layak agar masyarakat dapat merasakan betapa berartinya rumah bagi mereka, walaupun rumah bantuan.
According to Caritas Swiss, which stated that, “House is everything and the place to stay”. House is the center of social order in the community, so all of life-arrangement activities start from a proper house. It is expected that donors realize the importance of a house is, and thus will build a good house for the tsunami victims, so that they would understand how precious their houses are, although was given as assistance.
Bagi pihak Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias sendiri “Perumahan yang baik akan membuat masyarakat hidup layak, tenang dan sehat” dijadikan sebuah motto untuk merealisasikan apa yang disebut bantuan perumahan bagi masyarakat. Jadi katakata layak di sini menandakan bahwa sebuah rumah merupakan pusat pengembangan kehidupan Masyarakat.
For BRR NAD-Nias, “Good settlement will make community to live in proper, peace, and healthy” is their motto to implement the housing assistance for the community. Thus, concluded that a house is the center of community's live development.
Kertas Analisis | Analysis Paper
Berikut ini dapat dilihat beberapa donor dengan target penyelesaian pembangunan rumah di beberapa daerah yang ditemukan;
Below is the data of donors' percentage in finishing their housing projects in some areas;
Sumber | source: Wawancara dengan para donor November 2006 | Interview with donors on November 2006
Dari tabel di atas, terlihat bahwa sebagian besar donor belum dapat menyelesaikan bantuan rumah yang mereka janjikan dan keadaan ini menjadi fenomena umum proyek pembangunan rumah di seluruh daerah (kabupaten) di Aceh. Ironinya terkadang ada masyarakat yang mendapatkan jumlah rumah melebihi kebutuhan, namun juga ada yang belum dapat sama sekali. Permasalahan ini juga tidak berdiri sendiri, dimana antara satu donor dengan donor lainpun tentu memiliki permasalahan tersendiri sehubungan dengan keterlambatan mereka dalam menyelesaikan pekerjaan mereka. Akan tetapi mereka tetap berharap, bahwa dengan mekanisme dan model pelaksanaan yang lebih baik, akan diperoleh hasil yang baik pula.
22
From the table, it was shown that most donors can not finish their promised houses, and this situation is a common phenomenon in housing project across Aceh districts. Ironically, some receive more than they need, while others do not even get one. The problem does not stand alone, where even between donors have similarities in the cause of delays. But they are still optimistic that with good mechanism and implementation, the result will be good also.
Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh
Pentingnya suatu mekanisme The importance of a Mechanism
Untuk mengerjakan proyek bantuan rumah, pada umumnya masing-masing donor menggunakan mekanisme yang menurut mereka baik. Terkadang ada satu donor melibatkan berbagai pihak guna pelaksanaan dan pengawasan untuk mencapai mutu bangunan yang baik, dan terkadang ada juga donor yang hanya melibatkan satu atau dua pihak saja dalam mekanisme pembangunan, sehingga memiliki masalah yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan yang melibatkan banyak pihak, dan bahkan bisa juga sebaliknya.
To implement their housing project, donors have their own mechanism which best for them. Some donors involved many stakeholders for the implementers and supervisor in order to get the best quality, while other donors only involving one or two other stakeholders in their mechanism, so sometimes it caused a bigger problem, or even the other way around.
Permasalahan utama sebenarnya bukan terletak pada mekanisme yang digunakan saja, akan tetapi lebih pada sinkronisasi dalam sistem pembangunan yang dilaksanakan, yaitu pada konsep dan pelaksanaan yang baik. Tidak mungkin pembangunan rumah dapat diselesakan dengan cepat jika material dan transportasinya tersendat, demikian juga tidak mungkin bahwa masyarakat akan menerima semua rumah jika rumah itu tidak sesuai dengan standar mutu dan kesehatan bagi mereka.
The main problem is actually not only on the mechanism, but more to the synchronization on the implementation, which combine good concept and good execution. It is impossible that housing project can be done fast if the material is retarded, and also impossible for the community to accept a house which is under their standard quality and health.
Beberapa donor mencoba menerapkan prinsip Pembangunan yang berbasiskan Komunitas (Community Base Development) sebagai usaha untuk mewujudkan pembangunan yang partisipatif, sementara sebagian lainnya masih menerapkan prinsip konvensional dengan mengandalkan kemampuan kontraktor/developer lokal untuk mempercepat pembangunan. Namun demikian tujuan akhir yang ingin dicapai adalah untuk mewujudkan rumah yang dapat menunjang segala kebutuhan hidup masyarakat sebagaimana yang telah dijelaskan.
Some donors try to implement community base development principal, as to involve the community participation, while others still using their conventional principals which rely on local contractor/developer ability to finish the project. However, the final result of this project is to have a good house which supports community's life improvement as mentioned before.
Walaupun mekanisme tersebut telah dianggap cukup memadai oleh Multi Donor Fund (MDF), akan tetapi masih terlihat ada bagian-bagian dari sistem tersebut yang tidak terkontrol, sehingga menimbulkan berbagai keluhan.
Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers
Although this mechanism is seen to be a good way for Multi Donors Fund (MDF), but still, there are some parts of the systems which ran uncontrollable, and raised many complaints.
23
Kertas Analisis | Analysis Paper
“Banyak bahan pasir yang dikirim adalah pasir halus, sehingga penggunaan semen harus boros, demikian juga dengan besi yang seharusnya berukuran 12 yang dikirim ukuran 10. hal tersebut juga terjadi dengan batu bata, yang seharusnya dengan harga Rp. 390, dibeli seharga Rp. 270, sehingga mutunya kurang baik”.
Sebagai akibat dari tidak baiknya pengontrolan material ini, masyarakat mengeluhkan mutu rumah bantuan itu sendiri. “Bata yang digunakan untuk rumah saya tidak baik, karena sangat rapuh, dan juga banyak material yang diadakan dipinjam dari tempat lain, sehingga ketika saya minta lihat bon pembelian sebagai hak saya, mereka tidak mau kasi, jadi kelihatannya panitia itu semua bermain”.
Dengan demikian, mekanisme pengawasan menyeluruh itu tetap penting, terlebih lagi dengan melibatkan beneficaries sendiri sebagai penanggungjawab terhadap keputusan yang diambil. Masyarakat menginginkan pelibatan mereka di setiap tahap pelaksanaan pembangunan secara utuh, walaupun di beberapa sisi mereka juga harus menyadari sejauh mana kemampuan donor dengan aturan dasar pembangunan yang mereka paparkan, sehingga dengan komunikasi yang dibangun antara donor dan beneficaries akan terwujud pembangunan yang lebih partisipatif. Pembangunan yang kurang partisipatif pada umumnya banyak menuai masalah, baik pada tubuh donor, maupun dari beneficaries sendiri, terlebih lagi pada donor yang memanfaatkan pihak rekanan sebagai pihak pelaksana pembangunan, sehingga beneficaries benarbenar berperan sebagai penerima bantuan.
24
“We received much subtle sand so we use cements lavishly, also they sent iron with size 12 while we needed size 10. That goes also with bricks, usually it costs Rp. 390 per piece, but they bought with Rp. 270 and so the quality is not good.”
As a result of the bad material control, community complains about the quality of the house. “The bricks used for my house is not the good ones, it's very vulnerable, and many materials were taken from other places, so when I asked the receipt which is actually my right to ask, they didn't give it, it looks like the committee played a game”.
Thus, general supervision mechanism is very important, in particular by involving beneficiaries to participate as the caretaker of their own decision. Community wanted to be part of the whole implementation, although in the other hand they have to be aware of the donor's financial ability to implement their wish, so by communication that built between donors and beneficiaries will result in a more participative development. The less participative developments are generally raised many problems, both from donors and beneficiaries. In particular donors who use partnership as their project implementer, in which beneficiaries are playing their only role as beneficiaries only.
Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh
Model Re-Kompak Multi Donor Fund (MDF), mencoba menerapkan mekanisme pertisipatif dengan melibatkan peran aktif komunitas sejak awal (Re-Kompak). Mulai dari pengumpulan dan verifikasi data diserahkan pada masyarakat sebagai team penilai (team 9) dengan harapan dapat memperekecil maniulasi data beneficaries. Pelaksanaan dan penyediaan material bangunan juga diawasi langsung oleh beneficaries dengan menetapkan ketua kelompok (KP) untuk maksimal 10 unit rumah, sehingga mutu dan waktu penyelesaian bangunan dapat diusahakan secepat mungkin. Selain itu Re-Kompak juga menggunakan sistem pengontrolan yang berada di tingkat kecamatan untuk melaporkan pekerjaan yang sedang berjalan yang dilakukan oleh Fasrum di setiap kecamatan.
Re-Kompak Model Multi Donors Fund (MDF) tried the participative mechanism which involving community's participation from the beginning (Re-Kompak). Started from data collection and verification, were involving community as judging team (team 9) with expectation that it would minimize beneficiaries data manipulation. The implementation and material supply also supervised by beneficiaries by choosing 1 Chief of Group (KP) for each maximum 10 houses unit, to keep its quality in the limited time. ReKompak also uses controlling system in subdistrict level to report the on going works to Fasrum in every sub-district.
Kertas Analisis | Analysis Paper
Rekanan sebagai solusi BRR NAD-Nias Partnership is BRR NAD-Nias solution
Pelibatan masyarakat hanyalah pada tahap verifikasi data yang dilakukan oleh bagian Asistensi Perumahan dan Pemukiman (Asperkim) dengan kepala desa tempat pembangunan direncanakan, setelah data diperoleh BRR menyerahkan data dan pembangunan kepada kontraktor yang telah lulus verifikasi, dan ketika itu pula beneficaries tidak memiliki kesempatan lagi untuk berperanserta dalam proses pembangunan, walaupun katanya masyarakat berkesempatan untuk komplain atas ketidakberesan pekerjaan pihak rekanan, akan tetapi sekali lagi itu hanyalah hak untuk komplain, dan bukan partisipasi. Community involvement was only up until data verification which was done by Housing and Settlement Assistance (Asperkim) together head of village. After they got the data, then they handled it to selected contractor/developer. After that, community did not have any kind of participation and involvement in the development process. Although it said that community are free to send their complaints of any in order partnership, but again, it was only the right to complain, not participation.
Temuan terakhir oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah; sebanyak 1.409 rumah BRR NAD-Nias bermasalah. Diantara masalah itu disebutkan bahwa masyarakat tidak mau menghuni ratusan rumah bantuan BRR NADNias karena mutunya yang sangat menyedihkan, dan banyak juga rumah yang masih terbengkalai, tapi semua dana telah ditarik oleh kontraktor. Mekanisme ini juga diikuti oleh para donor lainnya, dengan mekanisme yang mereka miliki sendiri. Akan tetapi hanya sebagian kecil donor yang menggunakan mekanisme rekanan sebagai solusi percepatan pembangunan, bahkan banyak donor yang menangani sendiri rumah bantuan yang mereka buat dari awal hingga selesainya pembangunan. Walaupun masih banyak terdapat kekurangan di sana-sini, namun
26
The latest finding from Financial Supervision Agency (BPK) is; total 1,409 BRR NAD-Niasn housing projects are still in trouble. It was stated that some of the problem was many people refuse to stay in hundreds houses from BRR NAD-Nias because of its sad quality and there are many houses neglected, but all funding have been withdrawn by contractor. This mechanism was followed by other donors, similar but based on their own rules. But only small numbers of donors use partnership as their mechanism to fasten their development. In fact, many donors managed their own development from the beginning.
Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh
Membangun rumah juga ada Kendala Building Houses are Troublesome Too
Material yang tersendat-sendat
Stagnant Material
Fenomena ini terjadi di desa Kuala Peudawa Puntong, kecamatan Idi Rayeuk (Aceh Timur), dimana donor dalam hal ini yaitu BRR NAD-Nias, kesulitan untuk mendapatkan pasir sungai karena faktor cuaca (hujan). Pasir di daerah ini harus diambil dari sungai Arakundo, dan kemungkinan baru bisa dilakukan pada bulan Maret 2007 karena pada bulan November, Desember, dan Januari masih sering turun hujan, sementara pembangunan sudah berjalan sampai 60 %. Hal ini sepatutnya tidak bisa dibiarkan terus-menerus, dengan menunggu membaiknya cuaca, masyarakat juga masih berada di hunian sementara.
This phenomenon happened in Kuala Peudawa Puntong village, Idi Rayeuk subdistrict, Aceh Timur, where BRR NAD-Nias as donor, had difficulty to get river sand because of the weather (rain). Sand should be taken from Arakundo river, and possibly could be done by March 2007 because on November, December, and January are still raining season, while the implementation progress is already reached 60%. This should not let be happening; while waiting for the good weather, people still live in the temporary houses.
Hal serupa juga terjadi didaerah-daerah lain, seperti di desa Mon Kelayu, Kecamatan Gandapura (Bireuen), dimana lambatnya produksi kusen membuat tukang harus menunggu lama untuk membangun rumah masyarakat. Kusen di daerah ini diproduksi oleh satu produsen saja sehingga prosesnya menjadi lambat, sehingga pihak ReKompak dalam hal ini sebagai donor harus turun ke lapangan meluruskan kembali proses bantuan berbasis komunitas ini, sehingga semua komunitas
Similar in other areas, i.e. in Mon Kelayu village, Gandapura sub-district, Bireuen, where the stagnancy of material supply caused the labor to wait a long time to build houses. In this area, frames are produced only by one factory that makes the implementation slower, Re-Kompak as donor had to the field to straightening the community base program process, where community can be part of the process as
Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers
27
Kertas Analisis | Analysis Paper
Tukang juga sumber masalah Perginya kepala tukang tanpa memberi tahu juga menjadi sebab terhambatnya proses pembangunan rumah di desa Blang Geulumpang Kec. Idi rayeuk sebagaimana yang diceritakan oleh ibu Azizah salah seorang warga desa tersebut, informasi ini didapatkan dari anak-anak muda desa tersebut yang juga bekerja sebagai kernet bangunan di desa itu.
Labors are also troublesome Head of labors who went away without any notification is also one the causes of delays in Blang Geulumpang vilage, Idi Rayeuk, as mentioned by Ibu Azizah, a local community. This information was taken from youths in the village who also work as building labors in the village.
masyarakat yang ada di desa tersebut bisa ikut berpartisipasi dalam pembangunan, baik dengan memasok logistik bangunan maupun menjadi tukang. Dengan demikian akan membuat produksi kusen tidak lagi menjadi hambatan. Selanjutnya di Simeulue, rumah bantuan yang dibangun oleh CARE District Simeulu juga menghadapi masalah, donor kesulitan dalam mendapatkan logistik bangunan seperti yang terjadi di desa Latiung (Simeulu), mereka mendapatkan masalah dalam pengadaan kayu yang dibutuhkan CARE sejumlah 400m3. Adapun langkah yang telah mereka ambil adalah dengan berupaya memasok kayu dari Jakarta sebanyak 200 M3, dari dataran Aceh sebanyak 100 M3 dan dari Simeulue sendiri sebanyak 100 M3 sebagai bukti komitmen mereka dalam hal pengadaan kayu ini maka CARE sendiri saat ini sedang melakukan proses awal tender di Banda Aceh sehingga kayu bisa secepatnya dipasok dan pembangunan dapat dilanjutkan kembali. Berbagai langkah strategis sangat perlu dilakukan, mengingat masyarakat sudah sangat lama tinggal di barak, bahkan tenda. Hal yang sama juga harus dipikirkan pihak CARE terhadap masyarakat barak di desa Lambaro Skep (Banda Aceh), sehingga secara menyeluruh pembangunan rumah itu dapat diselesaikan oleh mereka.
28
logistic supplier or even labor. That made frame production was no longer a problem. In Simeulue, housing project by CARE District Simeulue also deals with problems; donor has the difficulty to get building logistics. In Latiung, Simeulue, the had difficulty in getting supply of 400 m3 woods. They tried to get the supply from Jakarta for 200 m3 and Aceh mainland for 100 m3, and from Simeulue for 100 m3. As their commitment to build houses with, CARE now is having tender for wood supplier in Banda Aceh, to avoid any lack of supply in the future. Many strategic steps need to be executed, considering people have lived for too long in the barracks or even tents. CARE should also think about people who live in barracks in Lambaro Skep, Banda Aceh in their strategic plan, so that overall development can be achieved.
Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh
Membangun rumah juga ada Kendala | Building Houses are Troublesome Too
Ketersediaan Lahan
Land Availibility
Sejak Tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004, banyak tanah-tanah masyarakat yang ikut terendam oleh air laut, bahkan tidak layak untuk didiami lagi. Masyarakat betul-betul kehilangan tempat tinggalnya bahkan kampung halamannya sendiri, sehingga mereka harus tinggal di lokasi lain yang bukan tempat asalnya. Ketiadaan tanah sebagai tempat relokasi korban menjadi masalah yang cukup signifikan ketika ada kontraktor/donor yang terganjal untuk membangun rumah.
Since tsunami hit Aceh on December 26, 2004, many land were drowning by sea, or some even not possible to live in. People lost not only their their houses, but also their villages, that they have to live in other area from their origin. The lack of land to be relocation place is a significant problem when contractor had to start to build the house.
Fenomena ketiadaan lahan ini terlihat di desa Kuala Peudawa Puntong, Kecamatan Idi Rayeuk (Aceh Timur), dimana ada masyarakat yang sebelum tsunami tinggal dengan meminjam tanah orang lain dipinggir pantai untuk mendirikan gubuk-gubuk dari kayu mendapatkan bantuan rumah, namun mereka tidak memiliki tanah sehingga kontraktor harus menunggu sampai mereka memiliki tanah sendiri. Selain itu ada juga masyarakat yang memang sebelum tsunami memiliki rumah di kampungnya, namun setelah tsunami kampung mereka tidak bisa ditempati lagi dikarenakan hancur dan terlalu dekat dengan pesisir. Hal ini juga membuat pemerintah daerah dan donor mengalami kesulitan dalam proses relokasi masyarakat ke daerah yang baru untuk membebaskan tanah yang akan dijadikan tempat relokasi seperti yang terjadi di desa Tanoh Darat (Aceh Barat), namun lokasi yang baru ini tidak cocok bagi masyarakat Padang Serahet, Lapang, Cukok Marek dan Alpen karena mereka mengeluh akibat tempat tersebut terlalu jauh dari pesisir pantai, dan ratarata masyarakat tersebut mengeluhkan jauhnya perjalanan yang harus ditempuh untuk menuju pantai, mengingat notabene profesi masyarakat tersebut adalah nelayan. Hingga saat ini kita masih melihat adanya barak-barak pengungsian yang masih penuh terisi oleh masyarakat korban tsunami, ada berbagai faktor lainnya yang menyebabkan masyarakat bersikeras untuk tetap tinggal di barak pengungsian, selain itu faktor tidak sempurnanya bangunan rumah juga memicu masyarakat untuk tetap tinggal dibarak dari pada tinggal di bangunan rumah yang dapat mengancam keselamatan jiwa mereka.
Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers
The lack of land phenomena can be seen in Kuala Pendawa Puntong village, Idi Rayeuk, Aceh Timur. People lived in a rented land before tsunami, and built their hut nearby the coast line. Since they do not owe any land, contractor had to wait until the community actually have their own land. Some people had their land before tsunami, but as tsunami hit Aceh, they can not go back to their land either because it is impossible to live in, or too close to the coast line. Government and donors have difficulties to find the new relocation land for them, like what happened in Tanoh Darat, Aceh Barat. In this new relocation land, relocated people are from Padang Serahet, Lapangm Cukok Malek, and Alpen, and they complain because the distance of the new place from the shore made them hard to go to work. Mainly they are fisherman. Until today we can still see many tsunami victims live in the barracks. There are many reasons why they prefer to stay in the barracks. Aside from its low quality, also they prefer to live in the barracks rather that to live in a house where they do not feel secure.
29
Kertas Analisis | Analysis Paper
Rumah enggan ditempati karena mutu rendah People are reluctant because of the low quality Hal ini terjadi pada Rumah Yayasan Berkati Indonesia (YBI) di desa Alue Deah Teungoh, dimana sebahagian besar masyarakat menolak untuk menempati rumah bantuan tersebut dikarenakan kualitas kayu yang tidak bagus masyarakat juga menambahkan bahwa “rumah bantuan dari YBI tersebut jika sudah datang angin kencang rumah tersebut bisa-bisa roboh karena kualitas kayu yang tidak sesuai dengan speck yang telah dijanjikan.” It happened to Indonesia Blessed Foundation (YBI) housing project in Alue Deah Teungoh, where mainly community refuse to live in the assistance house. They say that wood quality is not good and, “In YBI's house, when it comes a big wind, the house might crash down because the wood quality is not according to what they've promissed.”
Koordinasi antar donor
Donor's Coordination
Proses pemberian bantuan tanpa sebuah koordinasi akan membuat bantuan tersebut tumpang tindih dan terkesan lamban, hal ini terjadi di barak Mon Geudong (Lhokseumawe) dimana pada awalnya Caritas menjanjikan bantuan rumah kepada masyarakat barak Mon Geudong yang berasal dari desa Pusong Baro, namun yang meletakkan material bangunan dilokasi pembangunan di desa Blang Crum adalah pihak Tagana, karena pihak Tagana mengklaim bahwa mereka yang akan membangun rumah masyarakat barak tersebut. Sehingga per 11 November 2006 material bangunan tersebut masih terletak di sana tanpa diketahui kapan akan dibangun.
Assistance process without coordination would only make the process overlapping one another and retarded. This happened in Mon Geudong (Lhokseumawe) barrack, where initially Caritas pledged to build houses for Mon Geudong barracks occupants who came from Pusong Baro village. But then Tagana placed their material in Blang Crum, because Tagana claimed that they will build houses for the barrack community. Until November 11, 2006, there was no clarification over who will build houses and the materials remain in the same place.
BRR NAD-Nias dalam hal ini sebagai pihak yang berwenang untuk melakukan pengawasan rehab dan rekon di Aceh seharusnya lebih intens lagi dalam melakukan pengawasan terhadap ketumpangtindihan plotting lokasi pembangunan seperti di atas, sehingga masyarakat lagi-lagi tidak menjadi korban yang larut dalam penantian bantuan rumah yang tidak kunjung tiba.
30
In this case BRR NAD-Nias which has authority to do rehabilitation and reconstruction supervision in Aceh should be intensely supervise to avoid overlapping in location plotting. Again, the victims are community who does not know when the implementation will take place.
Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh
Membangun rumah juga ada Kendala | Building Houses are Troublesome Too
Pilih rumah dan Pilih donor Rumah bantuan yang diberikan kepada korban tsunami begitu beragam karena kemampuan masing-masing donorpun berbeda, sehingga pada akhirnya masyarakat berkesempatan pula melakukan seleksi terhadap pihak mana dan rumah model apa yang akan diperuntukkan kepada mereka. Hal ini merupakan buah dari kecemburuan sosial yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, karena bukan saja dari segi modelnya yang berbeda, tetapi ada beberapa rumah bantuan itu memiliki yang lebih besar dari yang lainnya, seperti yang terjadi di desa Kuala, Kecamatan Blang Mangat (Aceh Utara), dimana masyarakat lebih memilih menanti rumah bantuan BRR NAD-Nias yang permanen pada tahap kedua dari pada Rumah bantuan IOM yang bertipe knouckdown, dengan alasan rumah BRR NAD-Nias lebih kuat.
Rumah tidak ada, pemerintah desa pusing…!
Choosing house and choosing donors There are many variation of housing assistance for tsunami victims because of the different of donor's financial ability. This may give options to the community to do selection of which houses they prefer. But these also raise jealousy, because some will get bigger than others. In Kuala village, Blang Mangat, Aceh Utara, people prefer to wait for BRR NAD-Nias housing project rather than IOM's housing assistance because BRR build permanent houses while IOM build knockdown houses.
No housing, village apparatuses got dizzy
Minimnya pengetahuan masyarakat tentang siapa saja yang berhak menerima rumah bantuan menjadikan masalah tersendiri didalam pemerintahan desa tersebut, dimana kepala desa selalu dijadikan “kambing hitam” atas tidak meratanya bantuan rumah bagi masyarakat desa setempat, sebabagaimana diceritakan oleh kepala desa Lantik Kecamatan Teupah Barat.
With the minimum knowledge about the beneficiaries for housing assistance put another problem to the village authority, whereas the village head would be the “black goat” for the unfair distribution of housing assitsnce, as told by Keuchik of Lantik villag, Teupah Barat.
Hal yang sama juga terjadi di desa Blangcut, kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe dimana IOM mau membantu sebanyak 62 unit rumah ternyata pada saat dibangun hanya 38 unit saja, jadi sisanya adalah 24 unit lagi belum dibangun sampai dengan saat ini, sedangkan rumah sudah disurvey semuanya, bahkan sudah dibuat batas-batasnya saat ada warga yang sudah menebang pohon kelapa agar lahan dapat digunakan untuk membangun rumah, dan mereka yang tersisa ini menuntut haknya ini kepada Geuchik, “jadi keuchik termasuk beresiko juga sedikit” imbuh mukhtar syaha kepala desa Blangcut, ada warga yang punya pohon kelapa tersebut menuntut kepada geuchik, agar geuchik membayar pohon kelapa yang sudah ditebang tersebut seharga Rp.40 juta per batangnya, ini akan menjadi beban bagi seorang geuchik sebagai seorang pengayom bagi masyarakatnya.
Similarly happened in Bangcut village, Blangmangat, Lhokseumawe. IOM pledged to build 62 houses units but in fact there are only 38 houses. Up to now, the remaining 24 houses are still not built yet, although they have been surveyed villagers already mark their land bounderies in preparation to build a house, they who are left not getting assistance ask for their right to Keuchik “So Keuchik (title) is a bit risky”, added Mukhtar Syaha, Keuchik of Blangcut. There are also some people who ask for compensation to Keuchik because they have tear down their coconut tree to mark the house border, RP. 40 million per tree. This would be a weight on Keuchik as the one who considered to a wise man in his village.
Kertas Analisis | Analysis Paper
Pada akhirnya alokasi yang diberikan IOM kepada masyarakat korban tsunami tersebut dialihkan kepada masyarakat yang memiliki rumah tidak layak huni, dan mereka mau menerimanya, sehingga ketika rumah bantuan BRR NAD-Nias tidak juga dibangun maka masyarakat yang sebetulnya terkena dampak tsunami menjadi tidak terbantu, dan mereka terus mempertanyakan ini kepada geuchik, sehingga hal ini membuat geuchik kewalahan di satu sisi.
At the end, IOM housing allocation was for those who do not have proper houses, and they are willing to accept. So when BRR NAD-Nias still hasn't started building the houses, tsunami victims who initially the main beneficiaries became a side, and they start to ask about this to Keuchik.
Janji dan Komitmen Implementor
Implementer's pledges and commitments
Dari hasil pantauan Focal Point Katahati Institute diperlihatkan bahwa banyak NGO implementor dilapangan menjanjikan kepada masyarakat untuk membangun beberapa unit rumah namun realisasinya jauh berbeda dari yang dijanjikan. Seperti yang terjadi di desa Meunasah Tunong, kecamatan Blang Mangat (Aceh Utara), dimana IOM menjanjikan akan membangun sebanyak 62 unit rumah namun yang dibangun hanya sebanyak 54 unit saja. Masalah serupa juga terjadi di desa Alue Deah Teungoh (Banda Aceh) dimana per Oktober 2006 YBI menghentikan program bantuan perumahan kepada masyarakat secara sepihak dengan alasan kurangnya dana untuk merealisasikan bantuan. Mereka terkendala dengan alokasi anggaran dana yang tidak memadai, sehingga mereka hanya sanggup melakukan pembangunan sesuai dengan budget yang ada, sedangkan untuk tanah timbun yang menyerap dana mereka cukup banyak membuat mereka beralasan tidak sanggup lagi melakukan pembangunan. Pada akhirnya saat ini masyarakat desa tersebut tidak percaya lagi kepada pihak-pihak atau lembaga-lembaga manapun yang datang ke masyarakat untuk melakukan pendataan. Hal ini tampak seperti yang diungkapkan oleh Keuchik Pusong Baro, bahwa “Saya sudah malas openlah (peduli) terhadap orang yang datang cuma mendatamendata aja”. Sebenarnya transparansi dan musyawarah merupakan solusi untuk menengahi masalah ini, ketika NGO atau Donor terkendala dalam melakukan pembangunan, langkah koordinatif bersama dengan pihak desa bisa meredam prasangka-prasangka buruk terhadap NGO ataupun donor terkait, namun kesan yang didapat selama ini adalah bahwasannya donor terkesan menutup-nutupi masalah yang terjadi sehingga membuat masyarakat bertanya-tanya
32
Based on Katahati Institute's Focal Point monitoring in the field, it shows that many implementing NGOs promised to build certain numbers of houses but un reality is far from that. In Meunasah Tunong, Blang Mangat, Aceh Utara, IOM pledged to build 62 units but in reality it is only 54. Similarly, it happened in Alue Deah Teungoh village, Banda Aceh, where per October 2006, YBI stopped their assistance by the reason that they are running out of budget to finish the project. YBI could only finish their project according their existing money, and the can not afford to build for land congeries. Now the community do not trust any institution nor parties who came to do data collection. According to Keuchik Pusong Baro, “I don't care now, they come only to do data (collection).” Transparancy and discussion (musyawarah) actually are the solution to solve the problem. When donors or NGOs deal with problem during their implementation, a coordinative action could deem community;s prejudice towards donors and NGOs. The perspective so far is that donors are seen to hide their problems that caused the community to wonder which finally can only be surrended by faith. Donors
Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh
Membangun rumah juga ada Kendala | Building Houses are Troublesome Too
Donor lambat, masyarakat punya “inisiatif” Donors came late, community have “inisiative” Untuk menyikapi tidak jelasnya akses informasi tehadap lambannya pembangunan rumah korban tsunami oleh CARE Banda Aceh, maka masyarakat Lambaro Skep melalui pemerintah desa mengambil inisiatif untuk menurunkan bendera kaplingan CARE setengah tiang, langkah ini dimaksudkan bahwasannya masyrakat memberikan kesempatan kepada NGO lain yang mau membantu mendirikan rumah di wilayah mereka. (Yuli, Ely & Fardiansyah, hasil wawancara dengan warga barak Lambaro Skep Kec. Kuta Alam tanggal 7 Desember 2006) In respond of CARE Banda Aceh retarded implementation, Lambaro Skep community through village authority inisiatively pulled down CARE flag half mast. This action means that community is open for another chance for other NGOs to help them for house assistance. (Yuli, Ely & Firdiansyah, interview with Lambaro Skep barracks community, Kuta Alam, on December 7, 2006)
sampai akhirnya mereka hanya bisa pasrah pada keadaan yang terjadi. Seharusnya donor harus lebih bijak dalam mengambil keputusan untuk membantu masyarakat sehingga masyarakat tidak terkatung-katung dalam penantian yang tidak pasti. Saat ini masyarakat sangat membutuhkan rumah untuk membina hidup yang lebih mandiri.
Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers
should be more wise in decision making without leaving community in uncertainty. It is urget for the tsunami victims to be able to start an independent life.
33
Kertas Analisis | Analysis Paper
Masyarakat tolak rumah tak “bermutu� Dalam proses realisasi bantuan rumah bagi masyarakat, tidak sedikit yang membuahkan hasil dalam bentuk cibiran dari masyarakat akibat dari kinerja pihak-pihak dilapangan yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Hal ini terbukti berdasarkan hasil laporan Focal Point Katahati Institute pada tanggal 10 Oktober 2006 mengenai rumah bantuan yang dibangun oleh Yayasan Berkati Indonesia (YBI) yang kantornya berdomisili di kawasan Peunayong (Banda Aceh). Menurut masyarakat rumah yang dibangun YBI tidak layak huni dan tidak sesuai dengan standar mutu rumah yang telah ditetapkan. Temuan ini ditindaklanjuti dengan melakukan pengamatan di lapangan pada tanggal 12 Oktober 2006, yang hasilnya ditemukan bahwasannya keengganan masyarakat untuk menempati rumah bantuan YBI (yang dibangun di desa Alue Deah Teungoh dan desa Deah Baro) tersebut, karena proses pembangunan tidak sesuai dengan bestek. Sebagian kayu yang digunakan memakai kayu yang berkualitas rendah, sehingga kayu penutup dinding rumah telah berserbuk dan hampir semuanya lapuk dimakan rayap, ditambah lagi dengan penyelesaian bangunan yang tidak mencapai 100 %, namun rumah-rumah tersebut telah diresmikan oleh Kepala BRR NAD-Nias dan Koordinator YBI. Disamping fenomena itu, tidak semua bentuk bantuan rumah ditolak oleh penerima manfaat, masih ada bantuan rumah yang diterima dengan baik oleh masyarakat. seperti rumah bantuan dari NGO Budha Tsu-Chi.
Community refuse low-quality houses In fact, many houses only got jeered from the community because the implementation is not in accordance with the existed rules. It shows from Katahati Institute's Focal Point report on October 10, 2006 about YBI's housing project which office is in Peunayong, Banda Aceh. Community think that YBI houses are inproper and not according to the agreeable housing standard. This finding followed by field visit on October 12, 2006, and found out that people are reluctant to stay in YBI houses (in Alue Deah Teungoh and Deah Baro village) because the implementation was not according to plan. Some wood materials were using low quality wood, so the wooden walls are sawing and almost all parts were musted by termite, plus the houses were not fully 100% finished. But yet, those houses were all already officially handed from BRR NADNias to YBI Coordinator. But still, many houses are willingly accepted by community, like houses from NGO Budha Tsu-Chi.
Budha Tsu-Chi melakukan penanganan terhadap korban tsunami mulai dari barak pengungsian sampai kepada proses pembangunan rumah yang tertata rapi dan asri di desa Panteriek. Budha Tsu-Chi membangun rumah dengan type 36 (yang anti gempa ?) dengan luas lahan 160 m2. Mereka juga membangun berbagai fasilitas pendukung seperti mendirikan sebuah masjid, sekolah (TK dan SMP) dan fasilitas olah raga di areal perumahan. Menariknya pihak Budha Tsu-Chi juga melengkapi setiap rumah bantuan itu dengan 4 unit kursi dan 1 unit meja juga ditambah dengan 2 buah kasur tidur untuk dua kamar dan menyerukan pemilik rumah untuk menanam bunga atau pohon-pohonan sehingga ketika kita memasuki areal perumahan ini kita merasakan suasana yang sangat asri.
Budha Tsu-Chi supported the tsunami victims even from the barrack refugee up to build neat and nice houses in Panteriek village. Budha Tsu-Chi built Type-36 houses (anti-earthquake?) in 160 m2 land. They also built supporting facilities, i.e. mosque, school (kindergarten and junior high), and sport facilities. Interestingly, Tsu-Chi also put some furniture in every houses; 4 chairs, 1 table, 2 beds. They also asked the community to plant trees and flowers so the environment is very beautiful.
Sebagai bukti perhatiannya Budha Tsu-Chi kepada masyarakat setiap dua mingguan mereka melakukan pengontrolan terhadap rumah. Pada malam hari areal perumahan ini sangatlah terang dimana hampir disetiap jalannya terpancang tiang lampu sorot yang menambah elegannya suasana.
Budha Tsu-Chi also conduct control monitoring once every two weeks as a proof of their attention and commitment. At night, the surroundings are bright because they put lights along the street, adding elegance to the environment.
34
Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh
Kisah YBI di Desa Alue Deah Teungoh
YBI story in Alue Deah Teungoh village
YBI masuk ke desa Alue Deah Teungoh dengan niat untuk membangun beberapa unit rumah. Hal YBI or Indonesian Blessing Foundation came to ini dinilai baik pada awalnya oleh masyarakat. Alue Deah village with purpose to build some Masyarakat menilai pada waktu itu rumah YBI houses. Community thought that this merupakan rumah idaman untuk dihuni, maka foundation was really nice and that it would diadakanlah musyawarah gampong untuk build a good houses. So they held a village membicarakan hal tersebut. Selanjutnya YBI discussion about it. YBI then asked to have a meminta Kepala Desa untuk melakukan pendataan data collection of who should be eligible as beneficiaries. Community saw that there were terhadap siapa saja masyarakat yang akan dibantu. many infringement in the implementation, that Masyarakat melihat adanya kejanggalansome materials were not according to the kejanggalan dalam proses pembangunan, seperti previous agreement, and that it was going on material yang digunakan tidak sesuai dengan yang and on and on. tertuang di dalam perjanjian dan ini terus dikerjakan. When the houses finished in October 2006, Namun setelah rampung pada Oktober 2006 community complained to YBI (even when masyarakat mengeluhkan rumah bantuan dari YBI the development was about 50% finished) (hal ini telah dilaporkan kepada YBI sejak proses but there was no respond from YBI. YBI pembangunan masih 50%) tetapi hingga Oktober Office Manager, Ridwan Mangatur 2006 belum ada tindakan apa-apa dari YBI, namun confirmed that YBI do not responsible on konfirmasi dari Ridwan Mangatur (Office Manager YBI) any damages after the houses were bahwa YBI tidak bertanggung jawab terhadap handed to the community. (Interviewed on kerusakan yang terjadi setelah rumah resmi diserahkan November 18, 2006) According to kepada masyrakat dan menjadi tanggung jawab pemilik. community, they only receive the key and (wawancara 18 Nopember 2006). Namun menurut had to sign an agreement letter without pernyataan masyarakat bahwasannya mereka menerima checking first on the house condition. kunci rumah dan berkewajiban menandatangani surat penerimaan rumah tanpa melihat terlebih dahulu kondisi In the process, YBI never shared their bangunan rumah yang menurut YBI telah selesai budget plans to the community, thus community did not know how much dikerjakan. budget per houses did YBI build. The Dalam pembangunan rumah YBI juga tidak implementation was all done by YBI, memperlihatkan RAB pembangunannya kepada pihak and community were only involved in desa sehingga masyarakat tidak tahu berapa jumlah MCK development on the second alokasi anggaran per-satu unit rumah, pembangunan stage of progress. langsung dikerjakan oleh YBI sendiri, dan masyarakat Today, community prefer to stay in the hanya melakukan pengawasan terhadap pembangunan barracks than in the assist-ance MCK saja pada progres tahap kedua. house because of its low quality. Now Hari ini masyarakat lebih memilih untuk tinggal di barak YBI's housing assistance are daripada di rumah bantuan dengan tak berkualitas. Saat ini neglected and leaking from the banyak rumah bantuan YBI terbengkalai dan terus ceiling when the rain comes. mengalami kebocoran pada saat hujan.
Kertas Analisis | Analysis Paper
Bagaimana Budaya kita pasca Bencana Our Culture after the disaster
Perilaku; adakah yang berubah
Behaviour; Any changes?
Perilaku umum masyarakat di daerah bencana merupakan sebuah fenomena khusus yang selalu penuh dengan interaksi berbagai pihak. Perubahan dan pergeseran nilai selalu menjadi momok dan ketakutan tersendiri selain ketakutan tidak mendapat bagian dari prosesi per-bantuan yang ada.
General behaviour in disasterous area is a special phenomena which always full of interaction from different parties. Changes and shifts in value are always part of community's fear, aside from fear of not getting any assitance.
Budaya hidup ketimuran dengan prinsip-prinsip efisiensi, tenggang rasa dan gotong royong menjadi catatan sejarah saja di wilayah interaksi paska bencana. Sebagai contoh, harga sewa rumah meningkat tajam sekitar 10 hingga 20 kali lipat (kadang-kadang lebih). Sebuah rumah yang memiliki empat kamar di Banda Aceh yang biasanya berharga Rp 10 juta sebelum tsunami sekarang berubah menjadi sekitar Rp 100 hingga 200 juta. Lembaga pemberitaan Inggris, British Broadcasting Corporation (BBC) tidak sendiri dalam membayar sebanyak Rp 1 juta per hari untuk sewa rumah, beberapa media dan kelompok-kelompok lainnya juga melakukan tindakan “kriminal sosial” ini. Secara psikologis pengaruh yang disebabkan terjadinya tindakan kriminal sosial akan berdampak langsung terhadap tatanan kehidupan masyarakat seperti pola dan perilaku akan semakin jauh dari garis-garis sosial budaya masyarakat Aceh.
Eastern culture with the principle of efficinecy, empathy, and cooperation (gotong royong) are only in history in the post-disaster area. For example, rate of house rent is up 10 to 20 times more expensive than usual (or even more). A house with four bed rooms in Banda Aceh usualy rated around Rp. 10 million, but now it is around Rp. 100 million to 200 million. English news institution, British Broadcasting Corporation (BBC) is not the only one which pay for Rp 1 million per day to rent a house. Some other media and groups also do the same “social criminal”. Psychologycally, influence from social criminal will effect on community's life, i.e. behaviour and pattern will surely away from Acehnese cultural line.
Perubahan perilaku itu tidak hanya berhubungan dengan pola konsumtif namun juga berimbas kepada degradasi moral, seperti manipulasi data dan penipuanpenipuan lain yang terencana oleh masyarakat, korban, aparatur pemerintah dan donor sendiri. Di Desa Tibang
The change of behaviour is not only related to consumtive life-style, but also on moral degradation, like data manipulation and other planned deception by community, victims, government aparture, and even
36
Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh
Bagaimana Budaya kita pasca Bencana | Our Culture after the disaster
Korban Tsunami dapat 10 rumah Tsunami victims got 10 houses Penipuan yang terencana seperti temuan KPK yang mengungkapkan adanya salah seorang korban tsunami di Kelurahan Kampung Mulia memiliki 10 unit rumah bantuan. Ketika adanya bantuan pembangunan rumah di Kelurahan Kampung Mulia untuk korban tsunami, Ny. Darwati memanggil ke sembilan penyewa rumahnya dimintai fotocopy KTP guna didaftarkan sebagai korban untuk memperoleh rumah bantuan tersebut. Para mantan penyewa diberikan konpensasi untuk menempati rumah bantuan tersebut selama tujuh tahun tanpa membayar sewa, setelah itu berlaku kembali uang sewa.
Planned deception according to KPK finding shows that there is one tsunami victim receive 10 houses. When there was a data collection for eligible beneficiaries, Ms Darwati collected her 9 house-rental IDs to be copied and submitted those as beneficiaries. The 9 house-rental will be free of charge for seven years, but they will have to pay after the 7th year.
Kecamatan Syiah Kuala (Banda Aceh), 323 rumah yang dibangun telah melampaui kebutuhan masyarakat yang hanya berjumlah 300. Berdasarkan informasi di lapangan akan ada 30 rumah lagi yang akan dibangun BRR NAD-Nias tahun ini. Namun anehnya masih terdapat 6 KK lagi yang hingga saat ini belum memperoleh rumah bantuan. Fenomena ini disinyalir karena kedekatan warga dengan aparat desa, ada warga yang bisa mendapatkan rumah bantuan lebih dari satu.
donors. In Tibang village, Syiah Kuala, Banda Aceh, 323 houses were built over 300 inhabitants. Based on information, there wil be another 30 houses build bu BRR NAD-Nias this year. Ironically, there are 6 household who still don't get house assistance from it. This phenomena is seemengly because of the close relation to village authority, because there are some communities who receive more than one house assistance.
BRR NAD-Nias juga diharapkan mampu bertindak tegas pada setiap bentuk penyelewengan pada proyek-proyek rehab rekon Aceh, termasuk jika terbukti adanya praktek penipuan dan kolusi untuk mendapatkan rumah lebih dari satu. Hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan pembangunan rumah bantuan untuk korban tsunami.
BRR NAD-Nias is expected to be firm in every infringements occurred in rehabilitation and reconstruction in Aceh, including if there were deception and collusion to get more than 1 house. This might happen because of lack supervision in housing project for tsunami victims.
Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers
37
Kertas Analisis | Analysis Paper
Konflik Sosial dalam Proses Pembangunan Rumah
Social Conflict in Housing Development Process
Persaingan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat sudah menjadi rahasia umum baik dari segi harta, tahta hingga strata hidup. Persaingan ini memang tidak semuanya akan bermuara kepada konflik sesama masyarakat, tetapi ada juga persaingan yang menumbuhkan rasa introspeksi diri. Konflik dalam tatanan kehidupan masyarakat itu timbul karena terjadinya kesenjangan sosial yang dilakukan oleh oknum pengambil kebijakan mulai dari level atas sampai ke level bawah. Rasa keadilan selalu dijadikan variable penyebab timbulnya kesenjangan sosial. Pasca tsunami, konflik sosial yang terjadi dalam tatanan kehidupan masyarakat bermacam ragam seperti perselisihan pembangunan rumah bantuan diatas kuburan tanpa izin ahli waris di dusun Ulee Cot, Deah Glumpang, Kecamatan Meraxa (Banda Aceh).
Competition in community has been a general secret, both in posession and status in society. Competition is not always lead to community conflict, because sometimes it can growth a self introspection. Conflict in society is also part of social gap in society by policy maker in the higest level to the lowest level. Justice has always been the variable that triggers the social gap. Conflict posttsunami is various, like the dispute over housing development on cemetary land without any permission from the heritance in Ulee Cot, Deah Glumpang, Meuraxa, Banda Aceh.
Pembangunan terhadap rumah bantuan korban tsunami yang sempat memicu konflik juga dialami masyarakat di Desa Lantik Kecamatan Teupah Barat (Simeulue). Dari hasil assesment dan verifikasi lapangan, BRR NAD-Nias telah menyetujui pambangunan 89 unit rumah. Namun ketika kontraktor sedang mengerjakan pembangunan, pihak BRR NAD-Nias berencana ingin mengalihkan 25 unit rumah bantuan ke daerah lain, dengan alasan adanya tuntutan dari masyarakat lain yang mengatakan bahwa tidak semua masyarakat Desa Lantik berhak mendapat rumah bantuan. Kebijakan BRR NAD-Nias tersebut tidak mendapat persetujuan dari masyarakat karena sebelum proses pembangunan pihak BRR NAD-Nias telah melakukan verifikasi lapangan.
38
Housing project for tsunami victims also raised conflict in Lantik village, Teupah Barat, Simeulue. Nased on field assesment and verification, BRR NADNias has agreed upon 89 house assistances. During the implementation, BRR NAD-Nias planned to move the allocation of 25 houses to other area, because there were demands from community in other area that not all Lantik villagers should receive the assistance. BRR NAD-Nias policy to shift was strongly rejected by community, because before the development BRR have already conducted field verification.
Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh
Tanah kuburanpun disengketakan
Cemetery is even being disputed
Pihak ahli waris pemilik kuburan (Cut Nyak Salma dan HT. Raja Itam Azwar, SH) meminta agar rumah yang dibangun diatas kuburan tersebut segera dibongkar dan mengembalikan kuburan seperti sediakala. Diatas kuburan itu tidak hanya 4 unit rumah yang telah dibangun tapi direncanakan sampai 28 unit.
Heritance of the cemetary landlord (Cut Nyak Salma and HT Raja Itam Azwar, SH), asked to tear down the house which built on their cemetary land, and to return it as in original condition. There are not only four houses build on the land, there are 28 houses are planned to be build.
Menurut Keucik desa Alue Deah Tengoh, Azhari, beliau sudah pernah melarang untuk pembongkaran dan pembangunan rumah diatas kuburan tersebut. Namun pihak penerima rumah (Rahmad Muda) menjamin bahwa semua menjadi tanggung jawabnya, karena tanah tersebut milik kakek dan bapaknya secara turuntemurun dan bila ada gugatan dikemudian hari dia tidak akan melibatkan perangkat desa, hal ini ditulis dalam surat pernyataan yang bermaterai.
According to Keuchik Alue Deah Tengoh village, Azhari, he already warned the house owner not to build house on the disputed land. But the house owner (Rahmad Muda) guaranted that all will be under his responsibility, because the land belong to his family as heritance. And if there's any lawsuit, he would not involve village authorities. It was stated in the letter of agreement.
Meredam perselisihan tersebut Camat Meuraxa, Drs. Tarmizi memanggil Keuchik desa Deah Glumpang, Mahmud untuk memberikan penjelasan tentang 4 unit rumah bantuan tsunami yang dibangun diatas kuburan milik keluarga besar Alm. Uleebalang VI Peukan Bada. Selain Cut Nyak Salma, HT. Raja Itam Azwar, SH dan Rahmad Muda juga ada keluarga Gade yang mengklaim tanah tersebut milik keluarganya secara turuntemurun.
To redeem the dispute, Camat of Meuraxa called Keuchik Deah Glumpang village, Mahmud, to give explanation about the 4 houses for tsunami victims built on the land which belong to Uleebalang VI Peukan Bada family. Other than Cut Nyak Salma, HT Raja Itam Azwar, SH and Rahmand Muda, there is also Gade family who claim that the land belongs to his family as herritance.
(Serambi Indonesia, 25,26 dan 28 September 2006)
(Serambi Indonesia, 25, 26 and 28 of September, 2006)
Kertas Analisis | Analysis Paper
Keinginan & Aspirasi Wishes and Aspiration
Donor
Donors
Masalah yang paling besar dialami oleh donor internasional khususnya dalam pembangunan`perumahan layak huni untuk korban tsunami adalah pengadaan material kayu yang sulit didapatkan seperti yang dialami oleh Care International. Menurut koordinator Care International Distric Kabupaten Simeulue pihaknya tidak mau menggunakan kayu ilegal logging untuk membangun rumah di Simeulue. Proses pembangunan rumah Care International menggunakan sistem berbasis masyarakat, namun setelah melihat banyak permasalahan yang dihadapi seperti penggunaan material yang tidak jelas asalnya maka dialihkan pembangunan dengan sistem tukang. Dalam menghadapi permasalah pembangunan pihak Care International telah mengundang pihak kontraktor dan pengusaha untuk pengadaan kayu sebanyak 400 m3.
The biggest challeng that international donor have to deal with in order to build a proper house is wood material supply, like the one that CARE International had to experienced in Simeulue. According to CARE International coordinator, the organization would not use any illegal logging to build house in Simeulue. Initially, the housing project was using a community-base mechanism, but as there were many problems encountered and unidentified source of material, it decided to shift the mechanism by using labors. CARE International have contacted many contractors and bussinessman to supply wood material in total of 400 m3.
Lain halnya dialami oleh pihak Australia Red Cross seperti diungkapkan oleh Shinta (koordinator lapangan), dalam proses pembangunan rumah bagi pengungsi Kuala Babek (Simeulue). Pihak Australia Red Cross merencanakan akan membangun 200 unit rumah tetapi sampai saat ini pembangunan belum dilaksanakan karena pengungsi yang menempati lokasi shelter/barak pengungsian banyak yang bukan korban tsunami. Dalam hal ini pihak Australia Red Cross sedang melakukan
Other experiences by Australian Red Cross, as confirmed by Shinta, the field coordinato, where Australian Red Cross planned to build 200 houses for IDPs in Kuala Bebek, Simeulue. But up to now it has not been implemented yet, because most IDPs are not tsunami victims. Now Australian Red Cross is doing data assesment and verification of conflict victims of who should be eligible to be beneficiaries. It is expected
40
Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh
Keinginan & Aspirasi | Wishes and Aspiration
assessment dan verifikasi data korban tsunami yang berhak menerima bantuan rumah dari Australia Red Cross, namun diharapkan masyarakat pengungsi yang tinggal di lokasi pengungsian harus benar-benar jujur dalam memberikan data. Irfan, ST (Divisi Perumahan BRR NAD-Nias Regional V Aceh Barat), menilai kendala dari lambatnya proses pembangunan rumah bantuan di Aceh Barat karena data penerima bantuan sering berubah-ubah, bila data sudah valid dan pembebasan tanah sudah dilakukan pembangunan rumah segera dilaksanakan.
that the refugees would give the data honestly and correctly. Irfan, ST (Housing Division Regional V Aceh Barat, BRR NAD-Nias) said that the cause of delay is the often changes of beneficiaries data. When data is valid and land is executed, housing project may proceed.
Masyarakat
Community
Masyarakat yang menempati barak Lambaro Skep (Banda Aceh) sangat mengharapkan agar rumah bantuan bisa segera dimilikinya karena sudah hampir 2 tahun mereka tinggal dibarak apalagi masa sewa lahan barak cuma 2 tahun.
Community in Lambaro Skep (Banda Aceh) barracks really wish that they would get their house assistance, because they have been living in the barracks for almost 2 years and the rent is only for 2 years.
Lain halnya pembangunan rumah korban tsunami di Desa Lantik Kecamatan Teupah Barat yang di bangun oleh BRR NAD-Nias sebanyak 89 unit sedang menuai permasalahan besar, berdasarkan pengaduan dari masyarakat desa lain kepada BRR NAD-Nias bahwa tidak semua masyarakat di desa Lantik Kec. Teupah Barat berhak menerima rumah bantuan, sehingga BRR NADNias akan mengalihkan 25 unit rumah bantuan tersebut ke daerah lain. Menurut Matnasah Kepala Desa Lantik Kec. Teupah Barat, masyarakat desa Lantik tidak setuju dengan keputusan BRR NAD-Nias yang akan mengalihkan 25 unit rumah bantuan ke daerah lain karena semula telah dilakukan assessment dan verifikasi data terhadap korban tsunami yang berhak menerima bantuan rumah dan BRR NAD-Nias telah menyetujui sebanyak 89 unit rumah. Persoalan ini hanyalah bersifat provokatif dari daerah lain yang tidak mendapat bantuan rumah, mereka memprovokasi pihak BRR NAD-Nias. Permasalahan pembangunan rumah juga dialami oleh desa Labuhan Bakti Kecamatan Teupah Selatan (Simeulue) yang merupakan salah satu daerah terparah diterjang tsunami, menurut pengakuan Iskandar Kepala Desa Labuhan Bakti, sampai saat ini desa tersebut belum tersentuh pembangunan baik perumahan maupun infrastruktur publik lainnya. Desa Labuhan Bakti pernah didatangi oleh Care International dan Re- Kompak, mereka berjanji akan membangun rumah untuk korban
Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers
On the other hand, a story from Lantik village, Teupah Barat, where BRR NADNias raised big complaints. Total of 89 houses built by BRR was complained by other village community because not all villager in Lantik should receive the assistance, so BRR allocated 25 of the 89 houses for other villages. According to head of Village, Matnasah, Lantik villagers disagree with BRR decision to change the allocation for Lantik village, because BRR already conducted data assesment and verification and from there on the decided to build 89 houses. This is more to provocation action from other villages which do not receive housing assistance. Housing problem also occurred in Labuhan Bakti village, Teupah Selatan, Simeulue, which was one of the most damaged area of tsunami. According to Iskandar, the village head of Labuhan Bakti, up to now there has been no housing assistance nor public infrastructure in the area. CARE International and Re-Kompak had visited the area and promised to build them
41
Kertas Analisis | Analysis Paper
tsunami, setelah masyarakat menyediakan lahan untuk pembangunan rumah yang telah dijanjikan oleh Care International dan Re-Kompak, namun sampai saat ini rumah yang dijanjikan itu belum terealisasikan. Padahal masyarakat telah menghabiskan dana Rp. 3.000.000,untuk mempersiapkan lahan dan administrasi, alasan dari Care International membatalkan pembangunan rumah karena pihak Re-Kompak akan membangun rumah di desa Labuhan Bakti. Masyarakat Labuhan Bakti berharap sebelum dibangun rumah, agar mereka bisa diberikan shelter untuk sementara, karena sudah 2 tahun masyarakat tinggal ditenda. Kebutuhan rumah di desa Labuhan Bakti sebanyak 258 KK sudah termasuk Kepala Keluarga tambahan, sebelum tsunami jumlah KK sebanyak 218 KK sampai saat ini tidak ada satupun rumah yang dibangun. BRR NAD-Nias juga pernah berjanji akan melakukan survey lapangan, namun sampai saat ini juga belum dilakukan. Keterlambatan pembangunan rumah di Aceh Singkil juga diungkapkan oleh Edi Manik dan Wahyuni penduduk Desa Lahan Baru Siti Ambia (Aceh Singkil), keterlambatan itu berawal disebabkan pembebasan tanah warga yang agak lama mengingat keterbatasan dana dari pemerintah daerah kemudian setelah pemerintah membebaskan tanah warga, pihak Caritas juga belum bisa melaksanakan pembangunan rumah karena jalan untuk mengantar logistik tidak bisa dilewati mobil berat. Pembangunan rumah di Desa Teluk Ambon dan Takal Pasir lumayan bagus karena kayu yang digunakan bagus dan rumah sesuai dengan keinginan masyarakat yang lengkap dengan listrik, kamar mandi dan tanki penampung air. Dari Aceh Barat persoalan pembangunan rumah bantuan seperti diungkapkan oleh Afrila Wakil Ketua Barak Padang Serahet yang sudah menempati barak sejak tanggal 1 Juli 2005, warga sangat kecewa atas kinerja NGO yang menangani rumah mereka karena sampai saat ini belum selesai juga, padahal lahan pembangunan rumah sudah ada. Khusus untuk Rumah bantuan masyarakat Padang serahet dibangun oleh NGO Caritas, sedangkan bagi yang statusnya penyewa dibangun oleh Budha Tsu-Chi. Hal yang sama juga diutarakan oleh M. Dahlan Ketua Barak Ceukok Malek masyarakat yang menepati barak Ceukok Malek yang sampai saat ini juga belum memiliki rumah bantuan.
42
house, but it did not happen. Community have spent Rp. 3 million on administrative and to prepared land. CARE International refused because Re-Kompak will build them house in Labuhan Bakti. Labuhan Bakti community only hope that even before donors build house, they would built temporary shelter. Community has been living in tents for almost 2 years now. Community needs houses for 258 households, which is already including additional householde, which previously before tsunami was 218 households. Today, there are still no houses built. BRR NAD-Nias ever promised to conduct field survey, but it hasn't been implemented up to now. Delays on housing implementation also stated by Edi Manik and Wahyuni, communities of Lahan Baru Siti Ambia village (Aceh Singkil). Delay was caused by the long process to free the land considering there were limitation in the government's budget. After government settled the land, Caritas could not start the implementation immediately because the location is hard to reach by hard vehicles. Housing project in Teluk Ambon and Takal Pasir are according to community's desire, because it has good quality of wood, along with electricity, bathroom, and water tank. Another housing project problem from Aceh Barat. According to Afrila, vice chief of Padang Serahek barrack, people already live in the barrack since July 1st, 2005, but the houses are not ready yet. They are very dissapoint with NGOs, while they have already provided the land. For those who had house before tsunami, will get housing assistance from Caritas, and those who rent house will get house assistance from Budha Tsu-Chi. M. Dahlan, chief of Ceukok Malek barracks expressed the same thing, that up to now Ceukok Malek community still have not received any housing assistance yet.
Learning to Develop 2 Years after Disaster in Aceh | Belajar Membangun Pasca 2 Tahun Bencana Aceh
Keinginan & Aspirasi | Wishes and Aspiration
LSM Lokal
Local NGO
Jairahim, Koordinator Solidaritas Anti Korupsi Simeulue (SAKSI), proses pembangunan rumah bantuan bagi korban tsunami di Kabupaten Simeulue mempunyai kendala yang sangat besar seperti kedudukan satuan kerja (satker) untuk Kabupaten Simeulue di tempatkan di Subulussalam (Aceh Singkil), sehingga antara pengambil kebijakan dengan kontraktor pelaksana proyek posisinya saling berjauhan. Dalam hal ini kontraktor jelas mengeluarkan biaya perjalananan yang cukup besar harus hilirmudik dari Simeulue ke Aceh Singkil, otomatis seperti kita ketahui bersama kontraktor tidak mau rugi karena mereka adalah orang yang mencari keuntungan. Kami mengharapkan kepada BRR sebelum mengadakan kontrak pembangunan rumah terlebih dahulu BRR melakukan perencanaan yang matang seperti verifikasi data faktual terhadap calon penerima bantuan dan lainnya, sehingga tidak terjadi keterlambatan seperti ini.
Jairahim, coordinator of Simeulue AntiCorruption Solidarity (SAKSI) said that housing development process for tsunami victims in Simeulue has big problem because the working unit (Satker) is placed in Subussalam (Aceh Singkil). It means that the y have wide distance between decision maker and policy implementator (contractor) in the field. Obviously, contractor has to spent more to transport between Simeulue and Aceh Singkil back and forth. Common sense, contractor would never want to have themselves loss because they always seek for benefit. We hope that BRR would conduct a well planning, like factual data verification to the beneficiaries candidates, so there won't be any delays as such.
Lebih lanjut ungkapan terhadap proses rahabilitasi dan rekonstruksi diungkapkan oleh Hafidh (Perwakilan LSM MaTA wilayah Aceh Utara/Bireuen) yang mengharapkan LSM/NGO Implementor memaksimalkan controlling terhadap pelaksanaan proses pembangunan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, agar sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Sedangkan masyarakat sendiri diharapkan agar lebih partisipatif terhadap proses pengawasan pembangunan perumahan mereka sendiri sehingga pembangunan sesuai dengan bastek yang telah ditetapkan.
Rumah Bantuan, Bukan [hanya] Angka | Housing Assistance, Not [just] Numbers
Moreover, expression toward Aceh rehabilition and reconstruction came from Hafidh (representative of local NGO MaTA in Aceh Utara/Bireuen) who wish that implementing NGO should maximize their control in the process, so that it would stick to the initial objection. Community are also expected to be more participative in the supervision process, so the development would go according to plan.
43