Malajah Lentera - al Hikmah FSI FISIP UI

Page 1

Lentera | September 2015

1


2

Lentera | September 2015

EDITORIAL

Assalamu’alaykum Wr. Wb. Teman-teman Mahasiswa Baru, Menjadi mahasiswa—artinya siswa yang maha, bukanlah suatu tanggungjawab yang ringan; secara langsung maupun tidak langsung diemban tanggungjawab kepada masyarakat publik. Maka dari itu, mahasiswa biasanya dianggap sebagai bagian dari agen perubahan dalam bangsa ini. Mahasiswa biasanya selalu dijuluki sebagai orang-orang idealis non-kepentingan dengan caranya masing-masing untuk berkontribusi—yang tidak terlepas dari ideologi. Ideologi yang selama ini kita pahami sebagai suatu gagasan, buah pikiran, ide, yang menjelma pemikiran dialektis serta dapat berimplikasi pada tindakan sosial—pada dasarnya memiliki urgensitas yang tinggi di dalam kehidupan akademis kontemporer. Mengapa itu kian penting? Sebab tak jarang dari kita yang kehidupan sehari-harinya tidak dipengaruhi oleh ideologi yang dianut. Sebagai akademisi, barangkali kita perlu menilik ulang untuk apa berideologi di era yang krisis multidimensional ini? Secara pragmatis, ideologi dapat dijadikan identitas sosial dalam kehidupan bermasyarakat; tetapi apakah tujuan yang dituju dapat diterima? Mahasiswa yang berideologi adalah mahasiswa yang idealis, non-kepentingan, dan berpihak kepada rakyat. Hal itu selalu menjadi kebanggaan tersendiri setiap waktu jika mengingat perjuangan tempo dulu dalam rangka menegakkan perjuangan bangsa dan negara. Tapi bagaimana dengan ideologi yang lebih spesifik dari itu, berupa ideologi yang terbagi menjadi Islam, sosialisme atau komunisme yang kenyataannya (diskursusnya) berkembang di dalam kehidupan kampus dewasa ini? Mana yang seharusnya kita pertimbangkan dan kita lepaskan? LENTERA pada edisi kedua ini akan membahas mengenai bagaimana mahasiswa muslim dalam berideologi, serta menginformasikan secara garis besar mengenai jenis-jenis pemikiran/ideologi yang selama ini berkembang di ranah sivitas akademika Universitas Indonesia, khususnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik yang pada dasarnya begitu rentan terhadap pengaruh pemikiran Barat. Selamat membaca! Salam diskusi. Semoga Allah selalu merahmati teman-teman sekalian. Eveline Ramadhini


3

Lentera | September 2015

DAFTAR ISI

Daftar Isi EDITORIAL

3

Liputan Khusus

Sastra

20

Tauladan

4 22

Ilmiah

25

Khilafah

LIPUTAN UTAMA

Ilustrasi

11

17

DAFTAR ISI

SAMBUTAN

7

2

10 27

Opini Buku

30

17 Pemimpin Utama Yan Simba Patria Pemimpin Redaksi Eveline Ramadhini, Redaktur Artistik Nopitri Wahyuni, Desain Tata Letak Nopitri Wahyuni, Cover Ammar Yasir Penerbitan Khairunnisa Solihah, Penelitian Rakha G. Wardhana, M Raihan Sujatmoko, Sirkulasi Tri Nopiyanto, M Ikhsan Fadli, Reporter Intan Sari, Ismail Fajar, Ikhsan Fadli, Nur Oktavia Suryani


4

Lentera | September 2015

SAMBUTAN

Oleh : Rangga Kusumo | Ketua FSI FISIP

Muslim Yang Terbaik, Yang Paling Bermanfaat

Menjadi mahasiswa UI bagi setiap insan, khususnya kawan-kawan Mahasiswa Baru tentu menjadi hal yang sangat membanggakan sekali. Saya yakin sekali bahwa saat ini kawan-kawan akhirnya telah benar-benar menjadi Mahasiswa UI angkatan 2015. Hal itu bukanlah suatu hal yang kebetulan. Percayalah, tak ada yang kebetulan dalam hidup ini; Pasti ada alasan di balik takdir Allah yang akhirnya memilih kawan-kawan semua untuk menjadi Mahasiswa UI. Pertanyaan penting kemudian, akankah kita mampu menjadi hamba Allah yang mampu membuktikan kepada-Nya bahwa kita pantas menjadi Mahasiswa UI? Semoga bentuk syukur kita ucapkan atas nikmat yang besar ini. Pada akhirnya, sebagai seorang Muslim tentunya kita dapat membuktikan kepada Allah bahwa kita pantas menjadi Mahasiswa UI. Hal itu dapat diselerasakan dengan seorang muslim yang merujuk ke AlQuran dan Sunnah Rasul untuk menemukan jawaban atas semua pertanyaan. Buat saya, sederhana. Kuncinya ada di pesan Rasul yang mengatakan bahwa “Sebaik-baik kalian (manusia) adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada sesama.” Berbicara mengenai “manfaat”, tentu kata ini tidaklah asing lagi bagi seorang mahasiswa. Manfaat juga mungkin sering dikaitkan dengan bahasa-bahasa mahasiswa yang lebih familir

UI 26

***

Percayalah, tak ada yang kebetulan dalam hidup ini; Pasti ada alasan di balik takdir Allah yang akhirnya memilih kawan-kawan semua untuk menjadi Mahasiswa UI. Pertanyaan penting kemudian, akankah kita mampu menjadi hamba Allah yang mampu membuktikan kepada-Nya bahwa kita pantas menjadi Mahasiswa UI?

*** lainnya, seperti kontribusi, karya, pengabdian dan sebagainya. Apapun pemaknaannya, kawan-kawan akan menjadi orang yang manfaat ketika bisa kasih kebaikan apapun tanpa peduli sebesar apapun kebaikan itu. Dan, kawan-kawan menjadi orang yang paling nggak nyaman ketika lihat ada kondisi yang nggak baik-baik saja. Berbicara manfaat, harus juga berbicara tentang Islam itu sendiri. Islam sebagai Diin yang rahmatan lil ‘alamin memiliki sistem kehidupan yang sangat keren dan komprehensif sekali, kawan-kawan. Bayangkan, rujukan utama kita yakni Al-Qur’an


Lentera | September 2015

yang berisi berbagai macam hal, mulai dari penjelasan mengenai penciptaan alam semesta, penciptaan manusia, hukum waris, kisah-kisah nabi terdahulu yang sarat dengan nasihat agung dan lain sebagainya. Kerennya lagi, sejak dahulu ketika Al-Quran diturunkan di zaman Rasul sampai sekarang, tidak ada sama sekali satu ayat atau huruf pun yang berubah. Dan sunnah Rasul pun demikian kerennya. Ketika kita membuka mata di pagi hari sampai kita tidur lagi untuk istirahat di malam hari, Rasul mengajarkan cara-caranya secara lengkap dan detail, semua ada doanya. Hal kecil seperti keluar dari rumah, masuk WC hingga mengatur negara, Rasul ajarkan semuanya. Jadi, masihkah kita meragukan ajaran Islam yang agung ini? Masihkah kita tidak benar-benar mencintai Rabb, Allah SWT yang telah menciptakan dan mengatur semuanya? Hal penting lain dalam konteks menebar kebaikan dan mencegah keburukan, kita tak perlu menjadi orang yang benar-benar keren terlebih dahulu. Juga, kita tak perlu memiliki pola pikir bahwa kebaikan itu harus sealalu dikaitkan dengan halhal yang besar. Dalam konteks dunia akademik misalnya, tidak selalu harus menjadi orang yang memiliki IPK tinggi, konferensi ke negara lain, memenangkan berbagai kompetisi atau menjadi Mahasiswa Berprestasi. Tidak hanya selalu berkaitan dengan hal-hal yang seperti itu, meski hal itu juga sebenarnya bagian dari kebaikan yang dimaksud di sini. Kuncinya kakukan saja halhal yang bisa kawan-kawan lakukan, sekecil apapun kebaikan itu. Sesederhana yang Rasul ajarkan, menyingkirkan duri atau hal lain yang mengganggu di tengah jalan, karena kawan-kawan merasa hal itu dapat menggang-

gu orang lain, itu juga termasuk bagian dari kebaikan kawan-kawan. Memberi senyum tulus kepada saudara lain, mengucapkan salam atau mengucapkan kata-kata yang baik, juga itu bagian dari kebaikan kawan-kawan. Nah, sekarang udah tau ‘kan jadi orang keren di Kampus itu gimana? Simpel, kan? Intinya, untuk segala aktivitas kebaikan dan aktivitas untuk mencegah keburukan, just do it kawan-kawan!

***

Hal penting lain dalam konteks menebar kebaikan dan mencegah keburukan, kita tak perlu menjadi orang yang benar-benar keren terlebih dahulu. Juga, kita tak perlu memiliki pola pikir bahwa kebaikan itu harus sealalu dikaitkan dengan hal-hal yang besar.

***

Sekali lagi, selamat datang kawan-kawan Mahasiswa Baru FISIP UI 2015. Selamat memulai mengukir kenangan manis di kampus ini. Pastikan, masing-masing kita selalu menjadi orang-orang yang bersemangat menebar manfaat sebanyak-banyaknya, orang-orang yang selalu memiliki sensifitas hati untuk bergerak atas kondisi yang tidak baik-baik saja disekitar kita. Simpel, lakukan apa yang bisa kawan-kawan lakukan, semata-mata untuk membuktikan kepada Allah bahwa kita benar-benar pantas menjadi mahasiswa UI. Karena, sesuatu yang mengagumkan berawal dari langkah sederhana yang kita lakukan. Just believe! ***

SAMBUTAN

5


6 Mari meluruskan jalan, dimulai dari pikiran hingga perbuatan Lentera | September 2015

SAMBUTAN

Oleh: Yan Simba Patria | Ketua Al Hikmah Research Center

“Wahai kalian yang rindu kemenangan, Wahai kalian yang turun ke jalan Demi mempersembahkan jiwa dan raga, Untuk negeri tercinta� Indonesia telah melahirkan sejarah yang panjang, 70 tahun ia berlalu sebagai bangsa yang merdeka. Indonesia dengan berbagai dinamikanya; keberagaman, pertarungan ideolgi, egoisme kedaerahan, ancaman luar, sampai perang saudara, tetap mampu paling tidak untuk saat ini bertahan menjadi Negara kesatuan yang menyebut dirinya Republik Indonesia. Orang yang besar -atau lebih tepat- atau bangsa yang besar, ujar Soekarno, adalah mereka yang menghargai jasa jasa pendahulu dan tidak melupakan sejarah. Dalam perkembangan pemikiran di Indonesia masalah politik dan agama menjadi perdebatan yang selalu hangat bukan hanya dalam alam Indonesia merdeka, namun dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia hingga saat ini. Merdeka berarti terlepas dari setiap kekangan dari luar yang mengancam kedaulatan. Merdeka dalam alam Indonesia saat itu juga berarti melahirkan sebuah dasar negera, sebuah dasar Negara yang harus disepakati oleh seluruh elemen pendiri bangsa atau paling tidak harus dipaksakan agar terwujudnya Negara yang stabil. Sejarah bangsa ini mengatakan pada kita bahwa merumuskan dasar Negara yang satu adalah mempertemukan

ideologi yang berbeda. Pergolakan ideologi ini sebenarnya menjadi perdebatan-perdebatan tidak hanya dimulai pada tahap konstituante itu sendiri namun jauh sebelum itu perdebatan he-

*** semoga kita termasuk orang-orang yang ditunjukkan kepada jalan yang lurus baik dimulai dengan lurusnya pikiran, maupun lurusnya perbuatan. *** bat Komunis-Islam dalam Sarekat Islam telah terjadi. Maka menjadi penting untuk kembali menengok sejarah pembentukan dasar negera didalam Negara dengan mayoritas berkeyakinan Islam ini. Karenanya mempertanykan kembali ideologi adalah sebuah usaha untuk kembali mempelajari sejarah kebangsaan, karena para ideolog ideolog sejati dari setiap golongan lah yang dengan darah dan keringat mereka mampu membentuk sebuah Negara kesatuan yang kita sebut Indonesia hari ini. Dalam edisi kedua Majalah Lentera yang diterbitkan Al Hik-

mah Research Center dibawah lembaga Forum Studi Islam FISIP UI ini kami mencoba berikhtiar membangun kembali pemikiran seorang ideolog yang mampu mencintai diri sendiri, orang lain, dan bangsa. Tentu yang ingin kami bangun disini adalah kerangka berpikir Islam yang mana kami yakini sebagai satu-satunya kebenaran, seperti juga diyakini oleh para pendahulu. Kami percaya, bahwa dengan menulis pikiran kami akan lebih mengabadi daripada setiap kata yang kami ucapkan. Inilah juga yang menjadi alasan kami tetap berjuang menerbitkan satu majalah pemikiran yang ada ditangan saudara saat ini. Pada akhirnya, kami berdoa semoga kita termasuk orangorang yang ditunjukkan kepada jalan yang lurus baik dimulai dengan lurusnya pikiran, maupun lurusnya perbuatan. Kami berdoa pula untuk kejayaan bangsa ini, bangsa Indonesia. Di tangan para intelektual intelektual negeri ini Indonesi berharap, dan Universitas Indonesia adalah satu dari sekian banyak jalan mewujudkan kejayaan yang dinanti. Wallahu’alam


Lentera | September 2015

LIPUTAN UTAMA

7

Ketika Ideologi Dipertanyakan Kembali Oleh: Yan Simba Patria

“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam

pikiran apalagi dalam perbuatan”

Pramoedya Ananta Toer, dalam Novel “Bumi Manusia”

Memikirkan kehidupan adalah sebuah usaha untuk menuju kelayakan hidup; karena hidup yang tidak dipertanyakan, ujar Socrates, adalah hidup yang tidak layak dijalan. Ada saat ketika mendapati diri-sendiri bertanya-bertanya tentang persoalan-persoalan fundamental hidup, tentang alasan kehidupan, tentang konsep penciptaan, atau tentang keadilan. Sementara untuk “mengetahui” bagi manusia adalah bukan hal yang mustahil; karena setiap manusia normal sesungguhnya dan pada hakikatnya dapat mengetahui (‘ilm) dan mengenal (ma’rifat), memilih dan memilah, menentukan hukum mana yang benar dan yang salah, mengetahui keadilan dan kedzaliman, dan lain sebagainya. Maka dengan segala proses itulah kita telah sampai dalam sebuah proses berfilsafat atau mencinta kebijaksanaan. Pertanyaan kemudian yang muncul adalah; Bagaimana cara, dengan apa atau darimana manusia bisa mengetahui dan memastikan? Atau dengan meminjam istilah dalam diskursus filsafat modern: how is knowledge possible? Secara umum, manusia

menerima segala jawab atas pertanyaannya melalui empat sumber yaitu persepsi indra, proses akal sehat, dan intuisi hati serta informasi yang benar (khabar shadiq)1. Pertama, persepsi indra meliputi yang lima (pelihat, pendengar, perasa, penyium, penyentuh), ditambah indra keenam berupa sensus communis (al-hiss al musytarak) yang merupakan daya ingatan dan memori, daya penggambaran atau imajinasi, dan daya estimasi. Kedua, proses akal sehat berupa penggunaan nalar dan alur berpikir yang dengannya manusia bisa berartikulasi, menarik premis-premis, membuat analogi dan berkesimpulan. Ketiga, sumber “mengetahui” adalah intuisi hati, dengan intuisi hati ini manusia menerima pesan-pesan metafisika, isyarat-isyarat alam atau Pencipta, menerima pencerahan (ilham) dan sebagainya. Kemudian, sumber keempat adalah dengan khabar shadiq, yakni segala sumber yang bersandar pada otoritas. Dalam agama, segala firman dan ilmu dari Tuhan yang kebenarannya diterima dan diteruskan hingga akhir jaman adalah informasi yang benar (khabar shadiq).

Membicarakan Kerangka Berpikir Telah menjadi perdebatan yang panjang tentang proses manusia mendapatkan apa yang disebut ‘kebenaran’. Perdebatan terjadi dari berbagai kalangan; kalangan yang mencoba menggunakan indra dan akal sebagai acuan utama, atau yang menggunakan pengamatan keadaan realitas (fenomena), atau kalangan yang mempertahan otoritas “informasi yang benar” yang berasal dari Tuhan sebagai sumber kebenaran, atau kalangan yang memisahkan atau mencampurkan segala acuan ilmu tersebut. Karenanya, dapat ditemukan muncul berbagai istilah tentang penafsiran ilmu seperti sekularisi ilmu, westernisasi ilmu, Islamisasi ilmu dan segala istilah lainnya. Para pemikir Barat—khususnya Eropa, mereka cenderung menafikkan tentang campur tangan agama atau Tuhan dalam proses manusia mengetahui kebenaran. Hal ini dimulai ketika filsuf Barat, Rene Descartes (m.1650) memformulasikan sebuah prinsip, aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum). Dengannya,


8

Lentera | September 2015

LIPUTAN UTAMA

Descartes telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. Hal serupa juga dilakukan filsuf lain selanjutnya seperti Thomas Hobbes (m.1679), Immanuel Kant (m.1804) sampai Jurgen Habernas. Sementara kalangan pemikir Timur, diwakili oleh cendekiawan muslim bertahan untuk menggunakan epistemologi Islam dalam menentukan kebenaran. Hal ini telah dilakukan oleh kalangan ulama baik zaman dahulu seperti Imam Al Ghazali (m. 1111) sampai ulama modern seperti Prof. Al-Attas, Syed Qutb, Syed Husain Nasser, hingga Hamid Fahmy Zarkasy. Perbedaan yang terjadi antara filsuf Barat dan filsuf Timur kemudian membentuk berbagai kerangka dan metode yang berbeda yang dengannya digunakan sebagai acuan berpikir. Dari kerangka-kerangka berpikir dasar tersebutlah nantinya akan mempengaruhi kita dalam berpikir, memandang segala sesuatu, dan meyakini kebenaran; Dalam istilah kekinian, mempengaruhi ideologi kita. Ideologi Sebagai Sebuah Pertanyaan Tak asing sepertinya istilah “ideologi” (idea dan logos) dalam kehidupan kita, terutama pada konteks kontemporer seperti ini. Secara umum, kita dapat mengartikan ideologi sebagai sebuah gagasan dasar dan acuan dalam berpikir yang melahirkan perilaku. Sejarah telah banyak membicarakan cerita-cerita keperpengaruhan dari banyak ideologi, beserta karakternya masing-masing. Kita ketahui bahwa paling tidak hingga saat ini tiga gagasan besar muncul sebagai representasi dari masing masing ideologi; Liberalisme, Islam, dan Komunisme. Sebagai sebuah konsekuensi dari perbedaan pe-

mikiran ini, maka definisi tujuan hidup, makna kebenaran dan keadilan semakin beragam lagi. Pertanyaannya adalah, kemana kita akan berpijak? Meyakini sebuah kebenaran ideologi artinya menggunakannya sebagai sebuah acuan bertindak dan menentukan segala macam solusi dalam menghadapi kehidupan. Perbuatan adalah cerminan pikiran, sementara

***

Sebagai seorang muslim, acuan-acuan nilai agama adalah sebuah keniscayaan dan keharusan yang digunakan sebagai sebuah seperangkat gagasan dasar dan acuan berperikalu. Dengan kata lain, agama menjadi sebuah ideologi.

*** pikiran adalah buah dari kepercayaan dari serangkaian nilai nilai dasar yang dianut. Dengan kata lain apa yang kita yakini –secara ideologis- akan mempengaruhi segala perbuatan. Sebagai seorang muslim, acuan-acuan nilai agama adalah sebuah keniscayaan dan keharusan yang digunakan sebagai sebuah seperangkat gagasan dasar dan acuan berperikalu sehingga dapat memberikan solusi menghadapi kehidupan. Dengan kata lain, agama menjadi sebuah ideologi. Begitupun sama dengan golongan lain menggunakan ideologinya yang berbeda sebagai seperangkat solusi dalam menghadapi kehidupan. Dalam naskah agama kami temukan sebuah tujuan yang sama dari ideologi yang men-

jadikan sebuah gagasan-gagasan dasar sebagai seperangkat solusi dalam kehidupan. maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.”2 …”Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk…3 Muhammad S.A.W sebagai penyampai ajaran Islam menyebutkan, “Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang teguh kepada keduaya, yaitu Kitab Allah (Quran)danSunnah (Hadis) Nabi-Nya”4 Walaupun demikian, sebenarnya terminologi ideology dalam Islam sama sekali tidak dikenal sebelumnya; sejarah perkembangan dunia Islam tidak memperkenalkan gagasan-gagasan dasar ini dengan istilah “ideologi”. Karenanya sebagai seorang muslim, ketika kita berbicara tentang “ideologi”, kita sebenarnya mengacu pada terjemahan dari kata bahasa Arab yang artinya adalah : “mabda’ ” yang berarti : 1) Dasar dimana sudut pandang kehidupan anda diatur, dari mana anda mengambilnya dan 2) seperangkat solusi untuk hidup sesuai dengannya. Sementara para cendekiawan muslim modern memilih mendefinisikan sebuah ideologi Islam sebagai Islamic Worldview, sebagai mana isitilah yang dipakai untuk western worldview, seculer worldview, jews worldview dan lainnya. Bagi Prof. Naquib al-Attas, worldview Islam adalah pandangan Islam tentang realitas dan kebenaran yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakikat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan


Lentera | September 2015

Islam adalah wujud yang total maka worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yaat al-Islam lil-wujud).5 Ideologi seorang Muslim Islam yang turun, tulis Dr. Hamid Fahmy, membekali manusia dengan seperangkat ritus peribadatan untuk beribadah kepadaNya dan pada saat yang sama juga mengajarkan pandangan-pandangan (view) fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, iman, ilmu, amal, akhlak dan lain sebagainya. Dengan bekal seperti itu Islam kemudian merupakan agama (din) dan sekaligus peradaban (madaniyyah) yang memiliki bangunan konsep (conceptual structure) yang disebut pandangan hidup (worldview). Inilah konsep konsep dari Islamic Worldview yang melandasi seorang muslim dalam kehidupannya.6 Pertanyaan fundamental yang muncul sebagai seorang yang terpelajar adalah, apa hakikat dan tujuan pandangan hidup ini sebagai seorang muslim? Tujuan ilmu dalam Islam, menurut Prof. Al Attas, adalah untuk menjadi manusia yang baik, manusia yang baik adalah manusia yang mengenal Tuhannya, tahu tujuan hidupnya. Karena segala macam pandangan hidup ini bermuara pada satu tujuan hakiki yaitu mengenal Tuhan dan mengetahui kenapa manusia diciptakan.7 Berlawanan dari pemikiran sekuler (seculum –keduniaan .penj) maka worldview (ideologi) dalam Islam menerangkan pula pandangan manusia tentang keadaan keadaan metafisika; tentang Tuhan, alam semesta, kehidupan setelah mati, kehidupan sebelum dilahirkan, surga, neraka, tentang jiwa dan ruh serta

tentang segala macam hal yang tidak hanya ditangkap oleh indra (empiris). Selain itu Islam juga mengenal dua konsep dalam penerapan segala hukumnya; eksoteris (lahir) dan esoteris (batin), yang mana adalah sesuatu yang oleh peradaban barat tidaklah menjadi acuan dan indikator. Pada akhirnya ketika ideologi seorang muslim dipertanyakan maka pandangan hidup seperti inilah yang akan keluar sebagai jawaban. Dengan Islamic Worldview seperti inilah seorang muslim hidup dan berperilaku (adab). Sebuah pertanyaan akan menjadikan kita kembali berpikir tentang sebuah pandangan hidup, “Apakah kita menganggap bahwa hidup hanya berawal di sini (dunia) dan di sini pula akan berakhir? Pernahkan terlintas bayangan bahwa ada sebuah rentang waktu jauh sebelum kita terlahir didunia manusia secara hakiki telah ada dan bersama Tuhannya” Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi. ...”8 Menjadi Seorang Muslim Pada akhirnya, menjadi seorang muslim adalah sebuah pilihan yang memiliki konsekuensi dan tanggung jawab yang besar. Sebab manusia memiliki kecenderungan untuk bebas, tak teratur, dan liar oleh hawa nafsu dan syahwat. Kecenderungan ini kemudian seolah dikekang dengan segala peraturan dan hukum dari pandangan hidup dalam Islam; syariat, hukum, fiqh, ancaman neraka, perintah, dan ibadah. Namun ketika dipahami dan direnungkan kembali apa

LIPUTAN UTAMA

9

sebenarnya dibalik itu maka, bukanlah sebuah kekangan dan larangan yang sebenarnya menjadi tujuan; karena seperti telah disampaikan sebelumnya tujuan hakiki dari Islamic Worldview adalah mengenal Tuhan. Dengan pengenalan ini muncul manusia manusia baik, manusia-manusia beradab seperti yang Al Attas kemukakan. Sehingga layaklah sebuah ungkapan, “Hidup adalah antara pilihan dan memilih; sementara memilih hidup adalah bukan pilihan, melainkan keberkahan. Lalu, siapa lagi yang lebih berhak kita pilih selain Pemberi Kerberkahan.” Sehingga siapa lagi yang berhak kita gunakan sebagai pandangan hidup selain yang datang dari Tuhan Semesta Alam. Wallahu ‘Alam. ***

Daftar Pustaka Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. 1Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, 2012. Jurnal Ta’dibuna. UIKA Bogor, nomor 2. 2[QS.Al-Maa-idah : 48] 3[Al Anaam : 61] 4[HR. Malik dalam Al-Muwaththa’ juz 2, hal. 899] 5S.M.N, al-Attas, “The Worldview of Islam, An Outline, Opening Adress”, dalam Sharifah Shifa al-Attas ed. Islam and the Challenge of Modernity, Proceeding of the inaugural Symposium on Islam and the Challenge of Modernity: Historical and Contemporary Context, Kuala Lumpur Agustus, 1-5, 1994, ISTAC, Kuala Lumpur, 1996, hal. 29 6Dr. Hamid Fahmy Zarkasy. http://hamidfahmy.com 7Adian Husaini. 2013. Filsafat Ilmu; Perspektif Barat dan Islam. Jakarta; Gema Insani. 8[Al Araf : 172]


10

Lentera | September 2015

Ilustrasi oleh Ismail Fajar


Lentera | September 2015

LIPUTAN KHUSUS

Islam dan Sosialisme: Mempertemukan Dua Perspektif Kajian Eksternal Jilid II dengan judul “Islam dan Sosialisme : Mempertemukan Dua Perspektif” (28/05) menghadirkan dua orang pembicara yaitu Ustad Tiar Anwar Bachtiar (Ketua Muda Persatuan Islam) serta Moh. Zaki Hussein (Editor IndoProgress) yang dilaksanakan di FISIP UI. Kajian ini dilatarbelakangi oleh niatan panitia dari ARC FSI 26 yang berusaha mempertemukan kedua pemikiran yang dulunya sempat memiliki hubungan tak harmonis ini. Pembahasan mengenai sosialisme dimulai oleh Moh. Zaki Husein dengan memaparkan bahwa Sosialisme adalah kritik terhadap sistem ekonomi kapitalisme yang berkembang di Eropa. Dilihat dari konteks historis, bentuk awal sosialisme sudah di Inggris sejak abad ke-16. Namun, sosialisme dalam bentuk modern baru muncul pada abad ke-19. Lanjutnya, “Sosialisme muncul sebagai respon terhadap perilaku para pemilik modal (borjuis) yang kerap kali menindas kaum buruh (proletar). Kaum proletar dimasa itu mengalami penderitaan karena hasil kerja mereka yang seharusnya mereka nikmati justru dinikmati kaum borjuis. Hal ini pun diperparah dengan perlakuan tidak layak dari kaum borjuis kepada kaum proletar seperti upah kecil, jam kerja terlalu banyak, dan lainnya.” Tambahnya, inti dari paham sosialisme adalah suatu usaha untuk mengatur masyarakat secara kolektif. Artinya semua

individu harus berusaha memperoleh layanan yang layak demi terciptanya suatu kemashlahatan bersama. Fokus dari sosialisme itu sendiri adalah kepemilikan alat produksi yang mencakup hajat orang banyak tidak sepatutnya diakui sebagai kepemilikan privat. Adapun barang-barang privat seperti (televisi, laptop, pulpen) tetap bisa diakui sebagai kepemilikan privat. Kaum sosialis menginginkan agar alat-alat produksi menjadi milik negara atau diawasi negara, karena industri tersebut menyangkut kepentingan umum atau merupakan industri yang sangat vital bagi kepentingan nasional. Sedangkan pembahasan Islam dan Sosialisme dijelaskan oleh Ustadz Tiar Anwar Bachtiar bahwa Islam sendiri pada dasarnya merupakan ajaran yang sangat mendukung kesejahteraan sosial. Hal tersebut terlihat dari adanya kewajiban zakat, anjuran untuk wakaf, dll. Selain itu, Islam sejak dulu juga sangat memperhatikan perihal ‘pertanahan’ yang juga sering diperjuangkan oleh para aktivis sosialisme. Sosialisme sendiri mendefinisikan keadilan sebagai entitas yang hanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup. Namun, Islam melihat bahwa keadilan tidak hanya dapat dilihat dari pemenuhan kebutuhan dasar hidup semata, keadilan dalam Islam juga memiliki kaitan dengan hubungan antara manusia dan Tuhannya. Lanjutnya ditekankan bahwa

11

Oleh: Ikhsan Fadli | di dalam Islam, pengaturan kesejahteraan sosial sendiri diatur dalam adab yang bersumber Al Quran dan Hadist. Hal ini jelas berbed adengan sosialisme yang mendasarkan setiap aplikasinya melalui penelitian yang berasal dari keadaan manusia dari unitunit terkecil masyarakat. Maka dari itu beliau menambahkan bahwa “Islam dan Sosialisme tak akan pernah bisa bersatu sepenuhnya meskipun ada beberapa hal yang bersinggungan. Islam dan sosialisme baru dapat pertemu dalam ranah aplikatif dan praktis.” Menurut Ustadz Bachtiar, yang menjadi tantangan bagi umat Islam sekarang adalah bagaimana Islam mampu menjawab tantangan zaman. Umat Islam harus memperkaya khazanah keilmuannya sendiri melalui penggalian kembali warisan-warisan masa lampau cendekiawan Muslim masa silam. Perbedaan ini membuat ilmu-ilmu dari Barat tidak bisa sepenuhnya diambil semuanya. Ditutupnya kajian dengan kalimat “Belajar dari ilmu-ilmu Barat sangat diperbolehkan, namun perlu diketahui bahwa pengalaman hidup orang Barat akan berbeda dengan kehidupan orang Islam; Persepsi orang Barat mengenai agama akan berbeda dengan persepsi orang Islam itu sendiri. Maka itu, umat Islam harus menyaring hal-hal yang didapat dari ilmu-ilmu Barat sembari memperkaya khazanah keilmuan Islam itu sendiri. []


12

Lentera | September 2015

LIPUTAN KHUSUS

Kajian Politik: Solidaritas Sosial dalam Perspektif Ibnu Khaldun Oleh: Rakha G. Wardhana Komunitas Penggenggam Hujan Universitas Indonesia bekerja sama dengan Al-Hikmah Research Center FSI FISIP UI (23/05) mengadakan kajian politik yang dilangsungkan di Gedung Zoya-Margonda, Depok. Kajian ini diisiolehpembicarayangmenjabat sebagai Ketua Umum Jaringan Budaya Ilmu, Randi Muchariman S.IP yang sekarang masih menjadi Mahasiswa S2 FISIPOL UGM. Kajian ini secara garis besar membahas tentang bagaimana sumbangsih Ibn Khaldun dalam menunjang dinamika diskursus, khususnya dalam bidang sosial-politik. Secara spesifik kajian ini membahas tentang solidaritas sosial atau disebut oleh Ibn Khaldun sebagai Ashabiyah. Menurut Kak Randi, Ibnu Khaldun pada masanya telah memproklamirkan ilmu baru, yaitu ilmu tentang peradaban atau ilmu tentang masyarakat manusia. Dalam merumuskan teori Ashabiyah tersebut, Ibnu Khaldun merujuk pada tumbuh

*** Secara umum, konsep Ashobiyah Ibnu Khaldun memiliki spektrum yang luas dalam menjelaskan relasi-relasi kultural maupun solidaritas ‘In Group’. Mulai dari solidaritas kekerabatan yang diikat oleh ikatan sedarah persaudaraan, solidaritas persekutuan, hingga yang paling mapan yaitu solidaritas kewilayahan yang diikat oleh rasa persatuan dan kesatuan kelompok wilayah maupun bangsa. ***

kembangnya organisasi maupun sistem kemasyarakatan dalam masyarakat nomaden serta masyarakat yang telah menetap. Ashabiyah yang berarti “solidaritas kelompok” merupakan faktor terpenting dalam perjalanan sebuah bangsa maupun kelompok masyarakat. Disini, ia menekankan bahwa kelompok masyarakat yang memilki ‘ashabiyah yang lebih unggul lebih dapat memiliki peradaban yang jauh lebih tinggi dan mampu mendominasi kelompok-kelompok yang lebih lemah. Secara umum, konsep Ashobiyah Ibnu Khaldun memiliki spektrum yang luas dalam menjelaskan relasi-relasi kultural maupun solidaritas ‘In Group’. Mulai dari solidaritas kekerabatan yang diikat oleh ikatan sedarah persaudaraan, solidaritas persekutuan, hingga yang paling mapan yaitu solidaritas kewilayahan yang diikat oleh


Lentera | September 2015

rasa persatuan dan kesatuan kelompok wilayah maupun bangsa. Dalam hal ini solidaritas kekerabatanlah yang tentunya memiliki rasa solidaritas yang paling kuat dibandingkan dengan bentuk solidaritas yang lain. Dalam kitabnya Al-Muqaddimah serta kitab Al-Ibrar, ketika menjelaskan konsep ‘Ashabiyah-nya, Ibnu Khaldun turut memproklamirkan teori siklus peradaban, dimana teori ini menjelaskan siklus tumbuh kembangnya peradaban yang tentunya diwarnai dan dipengaruhi oleh gejolak dan perkembangan solidaritas sosial yang mengikat suatu bangsa maupun kelompok masyarakat, mulai dari fase nomaden kesukuan, penaklukan wilayah, hingga fase mapan yang berakhir pada fase kemunduran. Apabila ditelusuri konsep ‘Ashabiyah, maka kita mendapati kenyataan bahwa solidaritas kelompok muncul tatkala sebuah kelompok masyarakat mulai menjalankan roda pemerintahan demi kelangsungan hidup masyarakatnya dengan cara hidup berpindah-pidah (nomaden). Dalam perjalananya, kelompok masyarakat yang nomaden tersebut mau tidak mauharusmenguasaiwilayahyang kaya akan sumber daya alam sebelum dikuasai oleh kelompok lain. Setelah menetapi suatu wilayah, lambat laun kelompok tersebut akan mampu menjalankan roda pemerintahanya secara menetap seiring berkembangnya pola peradaban yang menuntun pada penguasaan keterampilan bercocok tanam, berternak, dan jugaberdagang.Dalamkonteksini, sistempemerintahanyangtadinya berbasis kesukuan akan berubah menjadi lebih modern serta penuh keanekaragaman. Dari sini terciptalah model pemerintahan yang berbasis pada batas-batas wilayah yangmiripdengankonsep nation state atau negara bangsa. Fase mapan ini akan terjadi

tatkala kelompok tersebut telah banyak menaklukan kelompok lain diluar sukunya sehingga pengelolaan roda pemerintahanya menuntun diberlakukanya sistem sosial Politik yang jauh lebih maju. Dalam fase mapan, Ibnu Khaldun amat sangat menekankan pentingnya membangun militer dan prajurit perang yang kuat dan handal. Kerangka militer dan solidaritas sosial yang kuat akan menuntun masyarakatnya kepada penguasaan wilayah lain, sehingga masyarakat tersebut nantinya akanmampumenaklukkanbanyak bangsa di dunia (Zainuddin, 1992: 165). Akan tetapi, konsep Ashabiyah ini bisa saja menjadi destruktif apabila tidak dibarengi dengan penegakansupremasihukumyang adildanmenyeluruh.Sebab,ketidakadilandankepemimpinanotoriter terpusat yang tidak memperhatikan aspek pemenuhan kebutuhan masyarakat akan berakibat timbulnyaperpecahan dan kudeta olehkalanganinternalyangmenggalang kekuatan untuk menggulingkan roda pemerintahan.

***

Dari sinilah teori siklus peradaban ini mendapatkan penamaan sebagai ‘teori siklus’, karena pada dasarnya peradaban hanyalah berupa siklus yang pada awalnya tumbuh, berkembang, dan kemudian hancur dan digantikan oleh pemain peradaban yang baru.

*** Diakhirsiklusperadaban,bangsa yang telah lama menetap dan menjalankan roda pemerintahan yang telah mapan pada akhirnya

LIPUTAN KHUSUS

13

mengalami kemunduran. Kemunduran ini disebabkan oleh melemahnya mobilitas sosial seiring denganmenetapnyamasing-masing individu dalam suatu ruang lingkup wilayah. Mobilitas yang terhenti ini tercermin dari semakin kentaranya batas wilayah yang membatasi hubungan langsung dengan bangsa lain diluar wilayahnya. Kemakmuran yang dicapai oleh suatu bangsa turut pula mampu menyebabkan kemunduran yang diperparah oleh melemahnya rasa solidaritas akibat orientasi materi dan kekayaan yang berlebihan dari masing-masing individu. Selain itu, kemunduran peradaban jugadapatdisebabkanolehlemahnya pengawasan terpusat dalam pemerintahan seiring dengan semakin luasnya wilayah yang harus dikontrol,sehinggabanyakwilayah yang kemudian melepaskan diri. Dalam siklus peradaban ini, penaklukan dan perpecahan yang melanda suatu bangsa ataupun kelompok masyarakat dapat membentuk solidaritas baru yang dapatmenimbulkanpembentukan kelompok masyarakat baru yang diciptakanolehkekuatanbaruyang muncul dan dipelopori oleh kalanganyangberbeda.Darisinilahteori siklus peradaban ini mendapatkan penamaan sebagai ‘teori siklus’, karena pada dasarnya peradaban hanyalah berupa siklus yang pada awalnyatumbuh,berkembang,dan kemudian hancur dan digantikan olehpemainperadabanyangbaru. Dari pemaparan tersebut, tentunyakitasebagaiMahasiswayang mempelajari bidang ilmu yang berada dalam ranah sosial politik akan lebih mampu memahami konsep ‘ashabiyah yang banyak mengandung nilai-nilai sosial politik yang amat berguna untuk diimplementasikan oleh kita sebagai generasi yang nantinya akan mendudukistratapentingdalamkehiduan berbangsa dan bernegara. ***


14

Lentera | September 2015

LIPUTAN KHUSUS

Kalimat, “Rasulullah adalah seorang sosialis” tersebut diucapkan oleh Ustadz Nuim Hidayat, seorang Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) cabang Depok ketika memenuhi undangan kunjungan dari Al-Hikmah Research Center (24/05) di Masjid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia. Secara garis besar beliau membahas mengenai Islam dan Sosialisme secara historis, serta bagaimana kaitannya dengan kehidupan kontemporer. Aktivis INSIST ini melanjutkan bahwa Rasulullah kehidupannya sosialis (jiwa sosial—red)-nya tercermin dari pemberlakuan syariat berupa sistem zakat, infak dan sedekah, berbeda dengan sistem Barat yang memberlakukan sistem pajak kepada masyarakatnya. Dari sistem syariat yang sudah diberlakukan sejak jaman Nabi itu berimplikasi pada tidak adanya masyarakat yang miskin pada zaman Khaulafur Rasyidin; salah satu faktornya adalah dikarenakan transparansi yang tinggi dalam kepemilikan harta. Menurut Ustadz Nuim, ideologi pada dasarnya memiliki prinsip, teori dan implementasi/ praktik. Mengenai sosialisme,

beliau melanjutkan bahwa sosialisme pada dasarnya menekankan kepada kesejahteraan rakyat yang berusaha melawan persaingan kapitalisme. Lanjutnya, “Sosialisme memiliki akidah yang berbahaya, dikarenakan menghalalkan segala cara.” Akidah berbahaya yang dimaksud adalah akidah atheisme, yakni melandaskan keyakinan untuk meniadakan Tuhan sehingga dalam memandang suatu pemikiran melihat fakta lalu membuat kesimpulan—dalam artian hanya mengandalkan aspek rasionalisme, semacam tesis-antitesis-sintesa yang selalu digencarkan oleh pemikiran Barat hingga sekarang. Ketika ditanya pada beliau mengenai perbedaan antara sosialisme dan komunisme, beliau menjawab dengan singkat bahwa akidahnya sama saja, yaitu akidah atheis. Maka dari itu, beliau memberikan nasihat kepada kami bahwa kita harus benar-benar berilmu dalam memilih dan memilah suatu ideologi, sebab orang yang beradab adalah orang yang menghargai ilmu—ilmu yang haq. Kerusakan ilmu sekarang adalah dikarena-

kan tujuan yang tidak seharusnya—yakni tujuan materialistik (ekonomi). Sedangkan Islam sebetulnya dalam menuntut ilmu bukanlah demikian, melainkan mencari ridho Allah— untuk beribadah kepada Allah. Kunjungan sore itu ditutupnya dengan sebuah kutipan dari Umar ibn Khattab “Barangsiapa yang memahami jahiliyah, dia akan memahami (faqih) terhadap Islam.” Maka dari itu, kita perlu mengetahui bagaimana pemikiran Barat untuk dapat mengimplementasikan yang sesuai dengan jati diri Islam dan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dari masa terdahulu. /ER

Oleh: Eveline Ramadhini

Rasulullah Adalah Seorang Sosialis


Lentera | September 2015

LIPUTAN KHUSUS

15

Kuliah Filsafat Islam Syed Muhammad Naquib Al-Attas Oleh: Nur Eka Oktavia Suryani Kuliah FIlsafat Islam (KFI) Syed Muhammad Naqub Al Attas Angkatan III (13/06) yang diselenggarakan oleh Depok Islamic Study Circle (DISC) Masjid UI baru saja berakhir. Penutupan dilaksanakan di Aula Selatan Masjid UI dari pukul 8.00 s/d 14.40 WIB. Rangkaian acara diawali dengan sambutan dari Tri Subhi A. selaku Dewan Penyelia DISC Masjid UI, makan bersama, dan dilanjutkan dengan materi dari Ust. Adnin Armas selaku pemateri pada KFI yang dilaksanakan dari 28 Maret 2015 s/d Juni 2015 setiap Sabtu di N2.102 FISIP UI. Ust. Adnin Armas adalah pengampu dalam Kuliah Filsafat Islam, beliau merupakan murid langsung dari Syed Muhammad Naqub Al Attas di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) bidang Pemikiran Islam (Islamic Thought). Dalam penutupan yang ber-

langsung khidmat ini Ust. Adnin memberikan pesan bahwa kelanjutan studi pemikiran Islam baik oleh pelajar maupun masyarakat muslim harus membuahkan hasil yang berkelindan dengan bidang kehidupan yang peserta hadapi. Seperti salah satu peserta KFI yang sedang mengelola sebuah pesantren menjadi terinspirasi untuk memasukan nilai-nilai filsafat Islam dalam kurikulum pesantren yang beliau kelola. Selain itu, bagi mahasiswa/i peserta KFI, kajian filsafat ini tentu menjadi oase tersendiri ketika mempelajari Filsafat Islam Al-Attas, yang dengannya dapat memberikan wawasan mendalam mengenai Filsafat dan signifikansinya terhadap bidang studi yang dipelajari. Seperti salah satu peserta KFI yaitu Nurmalia, Mahasiswi Filsafat 2014 ini menuturkan bahwa dengan mengikuti KFI ini ia menjadi lebih paham dan terbu-

ka mengenai apa hakikat filsafat dalam pandangan alam Islam. KFI yang telah diselenggarakan oleh DISC (Depok Islamic Study Circle) Masjid UI selama 3 Angkatan. Kuliah ini dari awal telah menentukan tujuannya berupa terus berikhtiar melaksanakan sebuah kuliah pendek khususnya filsafat Islam dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas. Dengan kuliah ini diharapkan dapat turut serta membangun tradisi ilmiah khazanah keilmuan Islam pada kalangan pelajar maupun umum. Yang mana didapati peserta KFI ini sangatlah beragam, mulai dari karyawan, mahasiswa/i dan kalangan umum. Sekilas mengingat kembali materi kuliah yang telah disampaikan setiap dapat saya temukan sebuah kuliah pekanan yang padat berisi; dimulai dengan penjelasan mengenai biografi


16

Lentera | September 2015

LIPUTAN KHUSUS

Syed Naqub Al Attas dan pengantar filsafat umum. Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan mengenai prinsip Ontologi (konsep wujud), Epistemologi (konsep ilmu) dan Aksiologi (konsep etika) yang selalu dijabarkan secara komparatif antara filsafat barat dengan filsafat Islam menurut Syed Naqub Al Attas. Materi-materi tersebut disampaikan secara bertahap sesuai dengan kronologi perkembangan keilmuannya. Tidak hanya menjelaskan secara komparatif, Ust. Adnin satu satunya pengajar, juga menyampaikan hikmah penting mengapa materi harus disampaikan sekaligus antara filsafat barat dan Islam. Menurut beliau, “Sains harus dikaji dengan kajian filsafat yang benar, agar ilmu pengetahuan yang berkembang hari ini tidak menjauhkan manusia dari Tuhannya.” Selain itu, Ust. Adnin juga berpesan bahwa pandangan filsafat Islam Al Attas bersumber dari kajian filsafat yang dikembangkan oleh para ulama terdahulu seperti Ibnu Sina, Fakhruddin Al Razi, Al Ghazali yang telah ratusan tahun mempelajari filsafat Yunani Kuno

seperti Aristoteles dan Plato dengan kajian filosofis dari Alqur’an sebagai sumber ilmu yang berupa wahyu. Salah satu materi yang dibahas mengenai filsafat barat dan Islam adalah pandangan mengenai manusia yang dibahas oleh filosof Yunani sebelum Socrates sebagai psuché atau jiwa. Aristoteles dalam bukunya De Anima (tentang Jiwa) menyebutkan pandangan filosof lain seperti Phytagoras, Democritus, Plato dan lainnya. Dalam buku Al Attas yang berjudul The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul (1990) beliau membahas mengenai hakikat manusia yang memiliki persaksian kepada Allah yang merujuk kepada Q.S Al A’raf :172. Pembahasan ini menjelaskan lebih lanjut mengenai pemikiran filosof Yunani Kuno dengan pandangan terhadap jiwa menurut Al-Kindi, Al-Farabi, Al Ghazali dan Ibnu Abbas yang menyebutkan bahwa sebagai makhluk rasional (rational animal), manusia dengan kemampuan yang dimilikinya mengimplikasikan kebebasan dalam memilih yang baik dalam diri manusia untuk mengatur dan memelihara diri dan jiwa

rasionalnya. Hal ini juga berkelindan dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles mengenai konsep keutamaan (arête) yaitu intetelektual dan moral yang diraih dari proses belajar dan praktik yang terus menerus karena setiap manusia dilahirkan dengan potensi dua keutamaan tersebut. Penutupan KFI pun usai pada saat adzan Ashar bergema di Masjid UI, Ust. Adnin sangat berharap agar kelanjutan dari alumni KFI adalah membuat forum diskusi yang akan melestarikan tradisi keilmuan Islam yang tidak hanya berhenti dalam kajian namun terbuka dengan setiap bidang Ilmu. Acara ditutup dengan sesi foto bersama seluruh peserta KFI dengan Ust. Adnin. Pada akhirnya, kami secara khusus mengucapkan banyak sekali terimakasih kepada Depok Islamic Study Circle atas undangannya menghadiri Kelas Filsafat Islam oleh Ust. Adnin ini, sehingga kami dapat turut serta mendapatkan hikmah yang terkandung dalam Filsafat Islam, dan turut serta melestarikan tradisi ilmiah khazanah keilmuan Islam. /editor: YSP


Lentera | September 2015

SASTRA

Sang Pencipta Ilusi Oleh Raihan Sudjatmoko I Tatap wajahku baik-baik, wahai sang pencipta ilusi! Engkau adalah seorang pemuda yang selama ini hidup dalam delusi Seluruh citra yang engkau bangun adalah dunia semu Yang hanya kau bumbui dengan makna seperti kata Albert Camus Sebagai seorang sahabat aku harus jujur Ilusi yang kau buat sungguh memabukkan Khamrpun bisa jadi hanya terasa seperti es campur Jika dibandingkan dengan ilusi yang kau ciptakan II Aduh, aku sebenarnya iri denganmu Berbekal kebun pengetahuan yang kering kerontang Alakazam! jadilah hologram raksasa dari pohon pengetahuan Konon luasnya hologram itu seluas lautan biru Ah, barangkali kau menilaiku terlalu tinggi kawan Kau pikir aku senang dengan segala kepalsuan ini? Akar pohon-pohon di kebunku tidaklah panjang Akan tetapi mereka terus mencekokiku dengan pertanyaan Seakan aku adalah manusia yang lahir pada zaman renaisans Tidak banyak yang tahu kalau ilusi ini menciptakan dinding kesendirian Sunyi, sepi, hampa terbuang di kabut keterasingan Tak ada kompas , masjid ataupun kuburan Setelah kau tahu akan kenyataan ini Masihkah kau menerimaku? Atau orang yang kau kagumi sebenarnya hanya delusi? Hanya aku dan refleksi ini terpaku menjadi satu

17


18

Lentera | September 2015

SASTRA

CERPEN

Asma Tuhan dalam Secangkir Kopi Oleh: Eveline Ramadhini

Di dalam sebuah ruangan berdebu penuh kayu lapuk, aku bercengkrama dengan diriku sendiri yang juga lapuk. Menikmati secangkir kopi hitam yang iklannya kulihat dari televisi. Kopi yang hitam. Sehitam langit malam kini. Bulan tak ada, bintang pun entah di mana. Berkutat dengan kursi goyang lapukku, bersama derit-

nya aku merenungi diri seraya menyeruput kopi. Sesekali mulutku melafalkan asma-asma Tuhan yang sembilan puluh sembilan. Hidupku yang sebatang kara tak ingin aku sia-siakan. Aku ingin larut pada Tuhanku, selarut gula yang melarut di kopi hitamku. ek

Tiba-tiba sesuatu mencolpunggungku. “Masihkah

Sang Sepi jadi sahabat karibmu?” Sang Angin datang tanpa mengetuk pintu. Kali ini Sang Angin menanyakan kabar Sang Sepi. Ingin menjawab, namun bingung apa yang mesti dijawab. “Entahlah, wahai angin… Aku tak pernah tahu keberadaannya kini. Yang aku tahu, sahabat karibku kini ialah secangkir kopi. Uapnya yang panas selalu


Lentera | September 2015

membuatku lupa akan keletihan yang terakumulasi sejak pagi,” Aku menyeruput kopi perlahan. Menikmati uapnya yang menjalar ke permukaan pipi dan hidungku; Merasakan setiap sentuhan uap yang menyebarkan panasnya ke pori-pori wajahku yang mulai keriput dikunyah usia. “Memang kenapa menanyakan padaku? Aku bukan siapa-siapanya, serius deh…” Aku mengacungkan jari telunjuk dan tengahku bersamaan menunjukkan keseriusanku. “Tak apa. Aku cuma penasaran mengapa batang hidungnya tak pernah terlihat kini. Biasanya ia bertamu ke rumahmu, dan kau berdua menghabiskan dua gelas kopi sambil sesekali terbahak,” Aku tak heran. Ternyata Sang Angin begitu panjang telinga mendengarkan pembicaraanku dengan sang sepi pada senja lalu. “Sebenarnya ada apa denganmu, wahai Angin? Mengapa kau selalu ingin tahu segala sesuatu yang berhubungan dengan hidupku? Tak cukupkah kemarin malam kau merasuki tubuhku? Sampai punggungku bergaris merah-merah seperti kepiting rebus! Aku sudah bilang, bahwa aku tak tahu keberadaan Sang Sepi, mungkin ia sedang bertapa di Gunung Sinabung!” Teriakku setengah membentak. Jantungku berdebar menahan amarah. Aku mulai tak nyaman dengan keberadaan Angin. Ia mengganggu malam romantisku dengan secangkir kopi hangat juga sebait asma-asma Tuhanku. “Ada apa denganmu? Kau mengidap darah tinggi, ya? Tak usah marah-marah begitu, kemarin aku hanya ingin berkenalan dengan tubuh hangatmu, makanya aku merasukimu. Maaf ya jika punggungmu jadi seperti kepiting rebus. Itu hanya sebagai simbol perkenalan kita tempo hari. Namaku Angin. Dan aku akan selalu ada di kehidupanmu,”

Sang Angin mengerlingkan mata. “Ah, sudahlah… Kemarin kau merasuki tubuhku hingga merah-merah punggungku. Pun sekarang kau telah menjadikan kopi hangatku menjadi dingin. Sebenarnya maumu apa? Ha?” Aku hampir melempar setengah cangkir kopiku yang mulai dingin.

*** Aku memilih diam pasrah. Tidak melanjutkan menyeruput kopiku karena sudah terlanjur dingin; Sedingin wajah Sang Angin kini. Aku hanya terus berkomat-kamit melafalkan asma-asma Tuhanku.

***

Sang Angin terlihat mulai emosional. Matanya yang tadi mengerling kini berkelit juling. Aku hampir tak bisa menebak apa ia melawak atau marah. Ia juga berkacak pinggang seolah tempat kami berada ini luas. Memanglah bahasa tubuhnya sombong. Ia mulai melangkah pergi; tapi justru ia terasa makin dekat. “Baik, kau ingin aku pergi dari hidupmu?” Ia mengancamku seolah-olah aku tak dapat hidup tanpanya. Aku memilih diam pasrah. Tidak melanjutkan menyeruput kopiku karena sudah terlanjur dingin; Sedingin wajah Sang Angin kini. Aku hanya terus berkomat-kamit melafalkan asma-asma Tuhanku. Rasanya perasaan sudah mati rasa. Hampir tak ada nafas yang bisa kuhirup. Ada yang menarik-narik ubun-ubun serta ujungujung jariku. Meski terbata, aku terus berusaha melafalkan asma-asma Tuhanku yang selalu kurindu. Udara perlahan nihil di

SASTRA

19

paru-paruku. Tenggorokan tercekat dahsyat. Bibirku ungu. Tubuhku bertubi-tubi dipaku pilu. Ingin teriak minta tolong, sungguh tak ada daya. Ah, apalah arti sebuah pertolongan? Sedangkan Tuhanku adalah Maha Penolong. Yaa Maulana, Yaa Maulana. Kutinggalkan seonggok raga yang tua. Jiwaku bebas, lepas menuju langit. Aku rindu, sungguh rindu kepada Dia, kekasihku. Cinta memanggil, di mana saja, kapan saja. Kami akan segera berangkat ke langit. Akan ikutkah? –Rumi *** Berita Pagi Ini: Seorang laki-laki meninggal misterius di rumahnya. Menurut penuturan tetangga,ia terkena gangguan psikologis bernama Skizofrenia(*. Sudah tujuh tahun lamanya ia ditinggal anak istrinya akibat sebuah kecelakaan bus TransJakarta. Barang bukti berupa secangkir kopi masih menjadi bahan penyelidikan bagi polisi. Hingga kini, masih belum diketahui penyebab pasti meninggalnya seorang berinisial FS (56) ini. Dugaan sementara, lelaki paruh baya itu terkena angin duduk. []

*** “Pada dasarnya, mati dalam kesendirian memanglah tak begitu baik. Tapi, justru itu jauh lebih baik daripada harus hidup dalam kesendirian, jadi aku mengirimnya pada tempat yang kurasa takkan membuat dia sendiri lagi.” Tutur Sang Angin, pada Sang Sepi yang sudah kembali. *** (*Gangguan psikologis di mana seseorang menjadi lebih halusinatif sehingga terlihat berbicara dengan dirinya sendiri.


20

Lentera | September 2015

TAULADAN

H. O. S. TJOKROAMINOTO: Bergerak Menuju Merdeka Bersama Islam Oleh: Ismail Fajar

Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau yang lebih familiar disebut H. O. S. Tjokroaminoto adalah salah satu tokoh pahlawan nasional yang banyak berkontribusi dalam pergerakkan nasional melawan kolonialisme Belanda pada masa penjajahan. Tjokroaminoto lahir pada tanggal 16 Agustus 1882 di Madiun, tepatnya di Desa Bukur. Ia adalah putra Raden MasTjokroamiseno, seorang priyai ningrat keturunan Susuhunan Surakarta sekaligus keturunan ulama masyhur di Madiun, Kyai Bagoes Kesan Besari. Tjokroaminoto adalah tokohpergerakkanyangmenjadikan Islam sebagai ideologi dalam perjuangannyamerebutkemerdekaan. Konteks Islam yang kental sekali dalam kegiatan pergerakkan sekaliguspemikiranTjokroaminoto ini dapat kita pahami dari konteks keluarganya. Selain merupakan keturunan dari ulama masyhur Kyai Bagoes Kesan Besari, kedekatandenganIslamjugadipengaruhi oleh istrinya sendiri yang menjunjung tinggi ajaran Islam. Istrinya, RadenAjengSoeharsikin–seorang putri patih Wakil Bupati Ponorogo yang bernama Raden Mas Mangoenkusumo yang juga masih keturunandariPanembahanSenopati dan Ki Ageng Mangir di Madi-

un–merupakan perempuan yang sangat solehah dan sangat taat pada ajaran Islam. Meskipun tidak mengenyam pendidikan sekolah, ia sangat menyukai pengajaran dan pengajian Islam. Ia juga dikenal sebagai istri yang halus budi pekertinya,baikperangainya,cekatan dan setia pada Tjokroaminoto. Dari Soeharsikin, Tjokroaminoto memiliki lima orang anak yang diantaranya Siti Oetari –yang kemudiandinikahkandenganSoekarno, Oetarjo alias Anwar, Harsono alias Moestafa Kamil, Siti Islamijah, dan Soejoet Ahmad. Dalam kesederhanaan, keluarga ini hidup harmonis dan bahagia. Ketaatan Soeharsikin pada ajaran Islam tercermin kala ketika suaminya bepergian. Ia selalu melaksanakan sembahyang tahajud, puasa dan berdoa untuk mengiringi keberangkatan suaminya. Banyak orang mengakui bahwa ketinggian derajat yang diperoleh Tjokroaminto sebagian besar berkat kesolehahan istrinya. Konteks keislaman tersebut kemudian juga berpadu dengan pemikiran modern yang didapatkannya melalui pendidikan ala Barat yang pernah ditempuhnya melalui sekolah-sekolah Belanda yang pernah dijajakinya. Sekolah-sekolahtersebutdiantaranya

adalah OSVIA (Opleidings School Voor Inlandsche Ambtenaren) di Magelang yang dijajaki sampai tahun 1902 dan BAS (Burgerlijke Avond School) yang dijajaki dari 1907-1910 di Surabaya. Dari hasil pendidikannya di OSVIA,Tjokroaminotosempatberhasil menjadi seorang juru tulis patih di Ngawi.Namun,pekerjaantersebut ia tinggalkan karena keengganannya menjadi seorang birokrat. Hal tersebut memicu pertengkarannya dengan mertuanya yang tidak setuju dengan keputusan Tjokroaminoto tersebut. Karena pertengkaran tersebut,pada1905, ia pergi meninggalkan kediaman mertuanya dan pergi mengembara ke Semarang. Di sanalah, perjalananTjokroaminotomenjadi seorangtokohpergerakandimulai. Di Semarang, ia menyambung hidupnya dengan bekerja sebagai kuli di pelabuhan. Pekerjaan barunya tersebut mendorong Tjokroaminoto untuk sering memperhatikan kehidupan kaum buruh; baik di perkebunan, kereta api, pengadilan, maupun di pelabuhan itu sendiri. Ia sangat dekat dengan kehidupan orang-orang yang tertindas. Pengalamannya tersebuttelahmembawapengaruh terhadap konteks pemikirannya


Lentera | September 2015

yang membenci penjajahan dan cenderung sosialis –dalam artian bukan penganut sosialisme, tapi kecenderungan memikirkan kesejahteraan orang banyak. Hanya setahun di Semarang, ia kemudian pindah ke Surabaya dan bekerja di sebuah firma di sana. Bersamaan dengan ini juga lah Tjokroaminoto menempuh pendidikan di BAS (Burgerlijke AvondSchool).Dalamtahun-tahun awal setelah selesainya menmpuh pendidikan di BAS, Tjokroaminoto masih bekerja dan hidup berdampingan dengan rakyat jelata. Saat itu, ia pernah menjadi leerling machinistdanjugapernahmenjadi seorangchemikerdisebuahpabrik gula. Namun, setelah menekuni berbagai pekerjaan, akhirnya ia memilih menjadi seorang jurnalis. Terjunnyaiakeduniajurnalistik bukan sekedar dikarenakan kesukaannyapadamenulissemata,tapi karena ia juga sadar bahwa tulisan dapat menjadi alat perjuangan untukmelawanpenjajahan.Haltersebut dapat terlihat pada masa-masa awal ia menjadi seorang jurnalis. Banyak tulisan yang ia hasilkan yangkemudiandimuatdiberbagai surat kabar yang ada pada saat itu. Hal tersebut malah berlanjut, bahkan sampai ketika ia menjadi ketua PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia). Ketika itu, ia masih mampu menerbitkan beberapa surat kabar harian dan mingguan serta majalah, yang diantaranya seperti surat kabar Oetoesan Hindia, surat Kabar Fajar Asia, dan majalah Al-Jihad. Lebih dari itu, ia jugaberhasilmenelurkanbeberapa karya buku. Salah satu yang terkenal dan masih digandrungi sampai saat ini adalah bukunya yang berjudul Islam dan Sosialisme. Dalam perjalanan hidupnya, Tjokroaminoto juga telah menjadi guru bagi tokoh-tokoh pergerakkan nasional besar lainnya seperti Soekarno,Kartosuwiryo,Alimindan Musso. Hal ini diawali dari istrinya yang membuka rumahnya un-

tuk dijadikan tempat indekos bagi pelajar-pelajar yang menempuh pendidikan di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan HBS (Hollands Binnenlands School) di Surabaya. Dengan tujuan awal untuk membantu ekonomi keluarga, indekos ini ternyata malah melebihi tujuan ekonomi semata. Rumah tersebut dapat menjadi sarana bagi Tjokroaminoto untuk menyalurkan banyak pemikirannya pada anak-anak indekos yang sekaligusmenjadimurid-muridnya, termasukSoekarno,Kartosoewiryo, AlimindanMusso.Pemikirantersebut bahkan berkembang menjadi ideologi yang berbeda-beda yang dipakaiolehmurid-muridnyatersebut dalam melakukan pergerakan melawan penjajahan: Soekarno dengan Nasionalismenya, Kartosoewiryo dengan Islam fundamentalnya, dan Alimin dan Musso dengan Komunismenya. Namun, meskipun berbeda-beda ideologi, pemikiranTjokroaminoto tetap hidup di dalamnya. Semuanya sama-sama memiliki tujuan sama: mencapai kemerdekaan; membebaskan rakyat dari penjajahan; dan mencapai kesejahteraan bersama. Dalam bidang pergerakannya sendiri, Islam menjadi ideologi yang dipegang teguh oleh Tjokroaminoto. Dengan Islam, ia bersama-sama dengan Sarekat Islam (SI) –sebuah organisasi pergerakan pertama yang berskala nasional– terus melakukan upaya-upaya pergerakkan mencapai kemerdekaan. Diawali dengan menjadi ketua Sarekat Islam cabang Surabaya, ia kemudian berhasil menjadi pemimpin Sarekat Islam pada usia 35 tahun. Ia telah membawa Sarekat Islam yang tadinya sekedarsebuahorganisasipergerakkan ekonomi menjadi sebuah organisasi pergerakkan sosial-politik yang benar-benar berskala nasional. Ia, bersama-sama dengan Agus Salim dan Abdoel Moeis –Tiga Serangkai Sarekat Islam– telah berhasil membawa bibit-bibit ke-

TAULADAN

21

merdekaanbagiIndonesiadengan memaksa pemerintah kolonial untuk mengadakan sebuah parlemen yang juga terdiri dari kaum pribumi. Bahkan, pada gilirannya, Tjokroaminotojugadapatmembawa SI menjadi sebuah partai politik dengan berganti nama menjadi PSI yang kemudian berubah lagi menjadi PSII. Hal tersebut hanyalah beberapa hal dari banyak kontribusi besarnya terhadap pencapaian kemerdekaan Indonesia. Perjuangannya bersama Islam dan PSII terus berlanjut sampai akhir hayatnya tiba. Sampai saat sebelum menghembuskan nafas terakhirnya,Tjokroaminotobahkan masih menghadiri kongres-kongres yang diselenggarakan oleh PSII. Pada saat itu, ia sudah sakit-sakitan hingga kemudian harus terbaring lemah karena tidak mengistirahatkan diri dan memperparah sakitnya. Pada tanggal 17 Desember 1934, akhirnya ia menghembuskan napas terakhir dan dikebumikandiKuntjen,Yogyakarta. Namun, kepergiannya ini adalah bukan hal yang sia-sia. Dalam hidup, ia telah banyak berjasa. Tak pernah lelah menjadikan rakyat merdeka dan sejahtera. Namanya akan selalu terkenang sepanjang masa. Menjadi sosok teladan bagi nusa dan bangsa. Semoga keberlimpahan pahala selalu menyertainya. Aamiin.


22 Meninjau Kembali Cendekiawan Muslim di Indonesia: Implikasi pada Sistem Pendidikan Tinggi Kontemporer Lentera | September 2015

ILMIAH

Oleh: Eveline Ramadhini

Secara historis, Nusantara yangselanjutnyadisebutIndonesia merupakan wilayah yang memiliki cendekiawan muslim yang variatif dan memiliki latar belakang yang kompleks. Cendekiawan muslim ini memiliki peran yang sangat besar dalam mengembangkan agama Islam di Indonesia—setelah era Wali Songo. Hal itu dijelaskan melalui bukunya Lajur-Lajur Pemikiran Islam oleh Tiar Anwar Bachtiar. Dijelaskan bahwa sejak abad 20 Masehi, Indonesia mengalami peristiwa yang disebut sebagai‘Kebangkitan Nasional’yang merujuk pada keinginan bangsa Indonesia untuk terbebas dari KolonialismeBelanda(Bachtiar,2011). Maka berbagai respon diadakan untuk bersama-sama merdeka dari penjajahan Belanda, termasuk gerakan-gerakan Islam di dalamnya—yang notabene terbagi lagi menjadi dua kelompok besar sesuai dengan kepentingan dan ideologinya yang tidak terlepas juga dari perbedaan furu’iyyah yang mencakup 1) Mazhab fikih, 2) Tradisi sufisme, 3) Sikap terhadap budaya modern dan 4) Institusi pendidikan.Perbedaanyangakanlebih difokuskan dalam tulisan ini adalah aspek sikap terhadap budaya modern dan institusi pendidikan. Menurut Bachtiar, saat itu umat Islam terbagi menjadi dua ideologi, yaitu muslim Tradisional dan muslim Modern. Muslim tradisional cenderung Islam yang

tidak melakukan perubahan apapun sebagai upaya penolakan terhadap Belanda. Sistem yang diberlakukan masih tradisional, institusipendidikannyaberupapesantren. Sedangkan muslim modern cenderung mampu menerima perubahan yang ada dan memanfaatkan ‘kemajuan’ yang dibawa oleh Belanda. Contohnya dalam sekolah Muhammadiyah mengajarkan ilmu-ilmu umum serta menerapkansistempenyelenggaraan organisasi dan pendidikan (Alfian dalam Bachtiar, 1989). Maka dari itu, terdapat organisasi yang disebut Nadhatul Ulama (NU) yang berasal dari muslim Tradisional, serta Muhammadiyah yang mewakili muslim Modern. Meskipun kedua klasifikasi ini disebut oleh Bachtiar semakin bias, kedua organisasitersebutselanjutnyamengalami berbagai perkembangan dalammempengaruhiwarna-warni pergerakan Islam di Indonesia. Pasca kemerdekaan pada tahun 1945, dibentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini tercatat pada era Soekarno yang disebut Orde Baru. Era ini dapat dikatakan masih dalam tahap trial and error dalam pembentukan Negara. Hal ini dijelaskan oleh Bachtiar (hal. 31) sebagai berikut: SetelahIndonesiamerdeka,isu “nasionalisme”dan“kemerdekaan” sudah bukan lagi tema yang banyak diperbincangkan. Sebabnya jelas karena kemerdekaan secara

de jure dan de facto telah didapatkan setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Namun dari sisi wacana, baik di kalangan Islam maupun yang lainnya, masalah-masalah politik tetap menjadi domain wacana dominan. Hanya saja tema bergeser dari masalah nasionalisme dan kemerdekaan ke isu “dasar Negara” dan “konseptualisasi Negara”. Bentuk Negara yang berupa Demokrasimengalamiperubahan beberapakali,yakniperubahanparlemen, konsep Pembukaan UUD 1945 (preambule), Undang-Undang, Dasar Negara sampai pada atribut seperti Bendera Merah Putih, Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya” yang diciptakan oleh WR Supratman, serta Lambang Negara yang dikonsepkan oleh Sultan Hamid II, semuanya tidak lepas dari peran para cendekiawan Muslim. Terutama dalam pembentukan Pancasila, yang di dalamnya termaktub nilai-nilai Islam dan bahasa Islam, seperti Esa (ahad), Adab (adab), Adil (‘adl), Musyawarah dan lain sebagainya. (Lihat Bachtiar, 2011; Lihat Husaini). Tokoh-tokoh yang berperan dalam pasca kemerdekaan antara lain Soekarno, Mohammad Hatta, H.M Rasjidi, AhmadSubardjo,NurcholisMadjid dan Mohammad Natsir serta banyak cendekiawan muslim lainnya. Kepemimpinan Soekarno mulai runtuh ketika beliau menggagaskan tentang NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) menjadi


Lentera | September 2015

idealisme yang diterapkan oleh Bangsa Indonesia, namun gagal. Setelah itu, muncullah era kepemimpinan yang diprakarsai oleh Soeharto pada tahun 19601998 yang selanjutnya disebut dengan era Orde Baru. Pada saat itu, Muhammadiyah dengan tegasnya menolak mengenai idealisme yang dibawa oleh Soeharto, berupa modernisme dan pembangunan. Namun berbeda dengan NU yang cenderung untukmendukung—denganstrategi (siyasah) agar suara Islam tetap ada untuk konteks saat itu. Pada era tersebut, umat muslim modern kesulitan untuk mempertahankan ideologinya dikarenakan banyak hambatan-hambatan yang terjadi. Pasalnya, Soeharto tidak memiliki keberpihakan pada umat Islam modern saat itu. Hanya orang-orang Islam tertentu yang dianggap ‘tidak memberontak’ atau muslim yang dianggap melakukan ‘pembaruan’ saja yang dapat dipercaya oleh Soeharto. Muslim yang melakukan‘pembaruan’ ini pada era selanjutnya lebih populer disebut sebagai ‘Islam liberal’. Pasca orde lama yang disebut reformasi, umat Islam sudah mulai mengeluarkan lagi suara-suara idealismenya. Hal ini tidak lepas dari peran Prof. H.M. Rasjidi dalam mengirimkan banyak muslim untuk belajar di Barat selepas belajar dari Kairo. Awalnya tujuan pengiriman tersebut adalah untuk memperbanyak jumlah cendekiawan muslim di Indonesia, namun ternyata banyak muslim yang tidak sesuai dengan ekspektasi awal; yang dalam menyelami alam pikiran orientalisme, mereka bukanmendapatkansumberkekeliruan para Sarjana Barat tentang Islam, melainkan menelan segala sesuatu yang mereka katakan dengan tidak menggunakan daya kritis (Lihat Rasjidi, 2014; hal. 12-18). Cendekiawan muslim memiliki peran yang sangat signifikan dalam berperan untuk memberi-

kan pengaruh tertentu pada pembentukan Negara. Pemerintah di samping itu merupakan pihak yang cenderung otoriter dalam memangkas ideologi yang bertentangan dengan pemerintah. Maka pada era ini semakin kuat usaha umat Islam dalam mempertahankan ideologinya dengan berbagai cara,yakni1)Membangunperguruan tinggi Islam seperti STI, Islamic College, UIN, UII. 2) Membentuk organisasi-organisasi pelajar, pemuda dan mahasiswa seperti GPII, HMI, PII, IPNU, dan lain sebagainya (Lihat Bachtiar, 2011; hal. 42-50). Sepak Terjang Islam di Indonesia: Periode Orde Lama Hingga Pasca Orde Baru Terdapat berbagai sepak terjangdalamdinamikadiskursusbagi cendekiawan-cendekiawanmuslim pada era orde lama maupun orde baru, yakni mengenai perbedaan pendapat tentang konsep Negara dan agama Islam. Dalam era orde lama (Soekarno), terdapat pertentangan antara Mohammad Natsir dengan Nurcholis Madjid. Pertentangan tersebut adalah mengenai agama Islam, Politik dan Sekulerisme di Indonesia. Nurcholis Madjid dengan jargonnya “Islam Yes, Partai Islam No!”mengindikasikan bahwaMadjidmendukunggerakan sekulerismediIndonesiayangturut diaminiolehSoekarno.Sedangkan hal tersebut dibantah oleh Natsir, bahwa Islam dan Politik bukanlah kedua hal yang bertentangan; justru keduanya harus sama-sama ditegakkan sebab Islam sangat syumul mengatur seluruh sendi kehidupan;termasukaspekpolitik. Yang dimaksud Natsir bukanlah sistem Negara khilafiyyah, melainkan Negara Islam-Nasionalis. Sedangkan di era selanjutnya yakni orde baru, terdapat juga pertentangan antara H.M. Rasjidi dan Harun Nasution. Pasalnya, Harun Nasution yang menulis buku Islam

ILMIAH

23

Ditinjau dari Berbagai Aspeknya dianggap memberikan pemahaman-pemahaman yang keliru terhadap Islam, sehingga Prof. Rasjidi merasa perlu mengoreksi hal-hal yang dirasa kurang tepat dalam memandang agama Islam, yakni mengenaikeislamanyangtereduksi dikarenakan pengaruh dari orientalis Barat—yang menurut Rasjidimetodeorientalismenganggap Islam sebagai “gejala masyarakat yangperluuntukmenyesuaikandiri dengan peradaban Barat, sehingga identitas muslim akan hilang.” Terlebih lagi, buku tersebut menjadi rujukan bagi bakal cendekiawanmuslimdiperguruan tinggi, khususnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang selanjutnyaberkembangmenjadiUniversitas Islam Negeri (UIN) yang tersebar di banyak wilayah di Indonesia. Maka dari itu, Prof. Rasjidi menuliskan buku Koreksi terhadap Dr. HarunNasution:TentangIslamDitinjau dari Berbagai Aspeknya sebagai bentuk antitesa terhadap buku tersebut.Padatanggal3Desember 1975,bukutersebutmasihmerupakan laporan rahasia kepada Menteri Agama dengan harapan agar Depag mengambil tindakan terhadap buku Harun. Namun setelah satutahunlebihsurattersebuttidak ada tanggapan dari Depag sehingga pada tahun 1977 diterbitkanlah buku tersebut kepada umum. Adnin Armas pun mengamini koreksi Rasjidi terhadap Harun Nasution dengan mengatakan “Sekiranya saat itu gagasan H.M. Rasjidi diikuti oleh Kementrian Agama dan segenap sivitas akademik IAIN/UIN, boleh jadi aspirasi umat Islam di Indonesia akan terpenuhi, bahkan Indonesia bisa saja memiliki ulama intelek yang akan memenuhi harapan dan kebutuhan umat Islam di Indonesia.”. Pendapat tersebut mengindikasikan bahwa ada hal yang patut disayangkan mengenai kesalahan dalam memahamiIslamyangsebenarnya sehingga berimplikasi pada impe-


24

Lentera | September 2015

ILMIAH

rialisme akademis bagi perguruan tinggi dalam konteks masa kini. Implikasi: Imperialisme Akademis yang meng-Hegemoni di Dunia Perguruan Tinggi Dari sejarah yang telah dipaparkan di atas, maka penulis dapat memberikan sebuah implikasi bahwa paham sekulerisme, liberalisme, relativisme yang saat ini terjadi turut disebabkan oleh andil cendekiawan muslim dalam ranah perguruan tinggi di masa lalu. Dapat kita lihat bahwasannya saat ini kurikulum yang digunakan cenderung berkiblat pada Barat dengan mengesampingkan Islam—bahkan di universitas yang menyandang nama “Islam” itu sendiri. Terutama di UIN sebagai pusat univeritas Islam di Indonesia yang pertama berdiri dan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam memberikan sumbangsih pemikiran Islam terhadap sivitas akademika di universitas lainnya seperti di universitas sekuler negeri yaitu UI, ITB, UGM, dan lainnya. Hal ini disebut sebagai Imperialisme Akademis oleh Al-Attas. Al-Attas menyampaikan istilah Imperialisme akademis ini sebagai suatupenjajahanpadalevelakademik yang melekat di dalam masyarakat hingga sekarang, dan jarang disadari oleh sivitas akademika muslim di Indonesia—dalam artian telah menjadi Hegemoni dalam kehidupan akademik (Lihat Gramsci). Maka, implikasi yang lebih fatal lagi adalah akan banyak kecenderungandalammenghasilkan cendekiawan-cendekiawan muslim yang sekuler dan inferior terhadap agama Islam itu sendiri. Peran Cendekiawan Muslim Kontemporer: Menjadi Muslim Bahagia Permasalahan cendekiawan muslim saat ini adalah menge-

nai ‘kegelisahan intelektual’, yakni kita ber-Islam namun tidak mengenal Islam itu sendiri. Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam Risalah untuk Kaum Muslimin dijelaskan bahwa salah satu hal yang menjadi penyebab yaitu umat muslim yang terbagi-bagi menjadi empat golongan besar, yakni 1) Sekelompok muslim yang menganggap bahwa Islam adalah agama yang dapat berjaya apabila maju dalam segi ekonomi, politik dan militer, 2) Para intelektual yang terjebak pada imperialisme akademis, 3) Para fundamentalis yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran selain Islam; Barat adalah sesuatuyangbertentangandengan umat Islam dan 4) Orang-orang yang bijak, yakni orang yang berilmu. Dari klasifikasi tersebut, maka termasukyangmanakahkita?Yang terbaik adalah menjadi umat muslim yang bijak; yakni melalui ilmu. Dari yang Al-Attas jelaskan mengindikasikan bahwa ilmu adalah hal yang terpenting bagi umat muslim saat ini. Ilmu adalah jalan menuju kebahagiaan. Dikutip dalam Shalih Ahmad Asy-Syami yang dikatakan oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam Al-Muhadzdzab min al-Ihya sebagai berikut: Hal yang paling diinginkan manusia adalah kebahagiaan yang abadi. Hal yang paling dibutuhkan manusia adalah sarana menuju kebahagiaan. Dan itu semua hanya bisa diraih dengan amal. Sedangkan amal hanya bisa dilakukan dengan ilmu tentang cara beramal. Jadi, pangkal kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu. Dengan demikian, mencari ilmu adalah amal yang paling utama. Demikianpulayangtermaktub dalamKimiyaAl-Sa’adahatauKimia Kebahagiaan,Al-Ghazalimenjelaskanpulamengenaidefinisibahagia: Kebahagiaan sejati tak bisa dilepaskan dari makrifat—mengenal Tuhan. Tiap fakultas dalam diri manusia menyukai segala sesuatu yang untuk itu ia diciptakan.

Syahwat senang memenuhi ajakan nafsu, kemarahan menyukai balas dendam, mata menyukai pemandangan yang indah, dan telinga senang mendengar suara-suara merdu. Jiwa manusia diciptakan dengan tujuan agar ia mencerap kebenaran. Karenanya, ia akan merasa senang dan tenang dalam upaya tersebut. (hal. 22) Dari penjelasan-penjelasan tersebut, menjadi muslim bahagia seharusnya menjadi kehendak sejati bagi setiap muslim. Bahwa muslim sudah saatnya menghilangkan inferioritas di dalam tubuh umat Islam dengan cara memahami Islam secara kompeherensif dan berkesinambungan melalui ilmu, itulah jalan menjadi muslim yang bahagia. Setidaknya hal tersebut merupakan salah satu peranyangsaatinidapatdilakukan oleh cendekiawan muslim dalam menghadapi dinamika kehidupan diskursus kontemporer, yang diharapkankelakakanmenghasilkan manusia-manusia yang beradab (ta’dib) di masa mendatang. [ ] Referensi: Al-Attas,SyedMuhammadNaquib. (2001). Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC. Al-Ghazali, Imam. (450-550 H). Kimia Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi. Jakarta: Penerbit Zaman. Asy-Syami, Shalih Ahmad. (2014). Untaian Nasihat Imam Al-Ghazali. 2014. Jakarta: Turos Pustaka. Bachtiar, Tiar Anwar. (2011). Lajur-Lajur Pemikiran Islam: Kilasan Pergulatan Intelektual IslamIndonesia.Depok:Komunitas NuuN. Rasjidi, H.M. (1434 H). Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution: Tentang Islam Ditinjau dari


Lentera | September 2015

KHILAFAH

25

Kepemimpinan Umar bin Khattab Oleh: Rakha G. Wardhana

Kali ini LENTERA akan membahas mengenai diskursus keadilan yang telah diimplementasikan oleh sosok khalifah sekaligus sahabat Rasulullah SAW yang konon memiliki kemuliaan yang amat sangat besar dan sekaligus merupakan salah satu generasi pertama yang masuk Islam. Sesosok pemimpininidilahirkantigabelastahun setelah peristiwa tentara bergajah. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda tentang sosok pemimpin ini di dalam sebuah Hadist shahih yang dikeluarkan di dalam asshahihaini dari Sa’ad bin Abi Waqqas, “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah setan bertemu denganmu saat berjalan pada sebuah jalan kecuali setan itu mengambil jalan yang lain dari jalan yang engkau lalui”. Bahkan Abdullah bin Mas’ud sendiri meyakinkan bahwa setelah sosok ini masuk Islam, Islam mulai dianut secara terang-terangan. Pernyataan eksplisit ini tersirat dalam Hadist Bukhari yang berbunyi : “Kami dalam keadaan mulia sejak masuknya Umar ke Islam. Sesosok pemimpin ini turut dikategorikan sebagai salah satu sahabat Rasulullah yang dijanjikan kabar gembira atas jaminan

masuk Surga. Ketika ia menduduki kursi kepemimpinan, Umat Islam berhasil menaklukan Kerajaan Persia dan Romawi. Dialah pemimpin yang diberikan gelar Al-Faruq. Namanya adalah Umar Ibnul Khattab bin Nufail bin Abdil Uzza Al-Qurasy Al-Adwi. Saking mulianya sosok Umar Bin Khattab ini, banyak sekali Hadist yang menjelaskan tentang keutamaanya yang salah satunya ialah Hadist yang diriwayatkan oleh Turmudzi di dalam sunnahnya. Dari Uqbah bin Amir bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Seandainya ada seorang Nabi yang muncul setelahku maka Nabi itu adalah Umar.” Umar Bin Khattab mulai menjalankan amanahnya sebagai Khalifah Umat setelah meninggalnya Abu Bakar ash-Shiddiq pada tahun ke tiga belas Hijriyah. Semasa pemerintahanya umat juga berhasil menaklukan negeri Persia dan Romawi. Ketika Umat sedang dilanda masa paceklik, makanan sehari-harinya hanyalah roti dan minyak. Ia juga pernah berkata bahwa“Aku tidak akan merasakan kekenyangan sehingga bayi-bayi kaum Muslimim merasakan kekenyangan.”Walapun ditegur ister-

inya akibat hanya mengonsumsi roti dan minyak zaitun saja, Umar pun hanya menjawab : “ Bagaimanaakuakanmemenuhisumpahku, aku tak akan makan daging atau lemak sampai rakyatku selamat. Bagaimana aku bisa merasakan penderitaanrakyatkukecualimenjalani seperti yang mereka alami .” Dari kejadian ini, tentunya kita dapat menyaksikan secara tidak langsungketeladanankepemimpinan sang Khalifah. Sang khalifah benar-benar tidak mau merasakan kenikmatan apabila masih banyak Umat yang menderita. Selain itu, diriwayatkanpulakalaubeliaujuga tidak pernah mengkonsumsi harta milik Umat. Sungguh keteladanan yang belum bisa ditiru oleh satupun pemimpin di jaman sekarang. Keteladanan dalam Kepemimpinan Sosial-Politik Sekelumit ketladanan tadi masih belum ada apa-apanya dibandingkan keteladanan beliau dalam aspek sosial politik. Nah, disini kalian akan mengetahui diskursus macam apakah yang digunakan Umar Bin Khattab dalam mengemban amanahnya sebagai Khilafah. Umar adalah Khalifah pertama yang menaruh perhatian pada


26

Lentera | September 2015

KHILAFAH

perluasan dan renovasi Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Selain itu, beliau juga gencar melakukan pembangunan masjid hingga ke desa-desa seiring dengan dibangunya madrasah sebagai ladang pendidikan formal. Disamping fasilitas yang mendukung kegiatan keagamaan, Khalifah Umar juga sukses mengembangkan dan membangun banyak fasilitas penunjang kegiatan kenegaraan, mulai dari kantor pemerintahan, markas militer, perumahan, jalan, jembatan, dan sistem irigasi terpadu. Diluar itu, perbaikan jalan, dan pembangunan tempat berteduh di kawasan haji yang ia canangkan juga tidak terlepas dari rencana beliau dalam memberikan kenyamanan dan kemudahan dalam menunjangkegiatanibadahhaji.Dibidang kesehatan, Khilafah membangun banyak sekali rumah sakit, klinik, bahkan sarana kesehatan hewan. Yangmenakjubkanlagi,ternyata sang khalifah juga mempunyai terobosan yang cemerlang dalam tata usaha administrasi maupun politik. Khalifah Umar turut membentuk dewan-dewan negara seperti Dewan pembendaharaan, Dewan Tentara, Dewan Pembentuk UU, dan Dewan Kehakiman. Beliau berhasil meletakkan dasar undang-undangmaupunperaturan seperti peraturan yang mengatur toko-toko, pasar, dan masih banyak lagi. Selain itu, beliaulah khalifah pertama yang memisahkan kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Berbicara mengenai konsep keadilan yang seringkali digaung-gaungkan oleh penganut demokrasi, ternyata sang khalifah telah memberi contoh kepada kita bagaimana memperlakukan semua elemen masyarakat dalam kerangka keadilan. beliau pernah berpidato yang bunyinya : “Perlakukanlah semua orang di tempat kalian itu sama, yang dekat seperti yang jauh dan yang jauh seperti yang dekat.

Hati-hatilah terhadap suap dan menjalankan hukum karenahawa nafsu dan bertindak diwaktu marah. Tegakkan dengan benar walaupun sehari hanya sesaat.” Berkaca pada kinerja pemerintahanyangbeliauemban,realitasnyasangkhilafahtelahmengajarkan kepadakitatentangsuatunilai-nilai luhur Islam yang sekiranya menjamin keadilan maupun kemaslahatan bersama demi tegaknya suatu Ukhuwah yang diridhoi oleh Allah SWT. Nilai-Nilai yang diimplementasikan oleh Khalifah Umar salah satunya berbicara mengenai diskursus“kedaulatanRakyat”yang sudah barang bukti menjadi suatu diskursusyangkinidiimpi-impikan oleh seluruh masyarakat dunia. Diskursus yang diimplementasikan oleh sang khalifah sesungguhnya sudah menjadi nilai wajib bagi terselenggaranya pemerintahan kekhalifahan. Diskursus mengenai kedaulatan rakyat ini dapat kita saksikan di QS Ali Imraan : 159 yang berbunyi: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,tentulahmerekamenjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.SesungguhnyaAllahmenyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali Imran : 159) Dalam ayat ini terdapat kata “musyawarah”yang sudah barang bukti menjadi suatu nilai yang menjunjungtinggiasaskedaulatan rakyat. Sebab ayat ini menyiratkan kitauntukbermusyawarahterlebih dahulu dengan seluruh lapisan masyarakat yang sekiranya akan terkena dampak dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpin mereka.Penggalankalimat“kemudian apabila kamu telah membu-

latkantekad,makabertawakkallah kepada Allah” pada hakikatnya menyerukepadaUmatIslamuntuk selalu menjalankan perintah dan larangan Allah ketika berurusan dengan masalah duniawi, dan diiringi dengan kebulatan tekad disertai tawakkal kepada Allah SWT. Dari sini bahwa dalam merumuskan kebijakan sang khalifah wajib melakukan musyawarah terlebih dahulu untuk meminimalisirterjadinyaperpecahandiantara Umat. Poin yang kedua, supaya proses “musyawarah” ini bisa dijalankan dengan penuh amanah, maka pihak yang terlbat di dalamnya harus membulatkan tekad dan berserah diri kepada Allah SWT. Dari pernyataan ini sudah sepatutnya kita sebagai generasi penerus bangsa bisa belajar dari gaya kepemimpinan Khalifah Umar Bin Khattab yang benar-benar berlandaskan kitabullah ini. ***


Lentera | September 2015

OPINI

27

Wallahu A’lam Oleh: M. Raihan Sudjatmoko

Media memang telah menjadi corong penyaluran aspirasi politik yang sakti mandraguna. Bagaimana tidak? Kekuatan pengaruh media sudah sampai suatu titik dimana langgeng-tidaknya sebuah rezim berada di tangan media. Masih segar di ingatan kita peristiwa Arab Spring yang dimulai dari tersebarnya video seorang pedagang buah yang membakar dirinya ketika akan direlokasi oleh polisi Tunisia. Video ini membuat orang-orang di seluruh dunia sadar akan ketidakadilan rezim Zine El Ebiddine di Tunisia. Tidak lama kemudian, rezim otoritarianisme Zine El Ebiddine tumbang. Siapa aktor determinan dari peristiwa ini? Jawabannya adalah media. Tanpa media, video pembakaran diri tukang buah tersebut tidak akan tersebar secara masif dan masyarakat dunia tidak akan membantu masyarakat Tunisia untuk menekan rezim otoriter Tunisia untuk lengser. Berbicara tentang pengaruh media terhadap politik, faktor kepemilikan media menjadi suatu topik yang wajib untuk dibahas. Sudah bukan rahasia lagi kalau media tidak dimiliki oleh seorang atau sekelompok yang benar-benar netral dalam memandang sebuah fenomena. Hal ini menurut saya sebenarnya bukanlah masalah yang besar karena politik media tidak

bersifat monopoli tetapi, perang opini. Negara maju seperti Amerika Serikat pun afiliasi medianya terbagi dua yaitu, Demokrat dan Republikan. Mereka menyodorkan berita dari sudut pandang masing-masing dan pemirsa di rumah bisa memilah mana yang paling merepresentasikan realita yang terjadi. Yang menjadi masalah adalah jika, perang opini ini tidak lagi dilakukan dengan cara yang santun seperti, menggunakan fitnah, membuat pemberitaan yang provokatif, atau mengambil sumber berita yang tidak bisa dipercaya kebenarannya demi membela sebuah kepentingan. Baru-baru ini saya terkejut melihat salah satu portal media Islam memberitakan sebuah berita tentang kunjungan Perdana Menteri Turki, Recep Tayyip Erdogan ke Indonesia. Berita tersebut berisi tentang analisis politik yang diambil dari status facebook dari orang yang tidak dijelaskan asal-usulnya. Dari cara media tersebut mendapatkan berita saja bisa dikatakan kalau media tersebut telah mengacuhkan kaidah jurnalistik yang berlaku. Isinya pun tidak lebih baik dari metode pencarian beritanya. Metode analisis politik yang digunakan adalah analisis mimik muka Presiden Erdogan ketika bertemu Jokowi yang dicocokan dengan analisis politik yang ala

kadarnya tanpa teori-teori politik. Akhir artikel ditutup dengan Wallahu A’lam yang dalam bahasa Indonesia artinya, hanya Allah yang lebih tahu. Sebagai Mahasiswa Ilmu Politik yang beragama Islam dan memiliki ayah dan ibu yang bekerja sebagai wartawan dan wartawati saya sangat terpukul dengan fakta kalau ada artikel berita politik yang disadur dari status media sosial seseorang yang kredibilitasnya dipertanyakan. Ibu saya yang dulu ketika masih menjadi wartawati di sebuah media cetak yang meliput berita politik bisa murka jika membayangkan dirinya yang dulu kelelahan mengejar narasumber, membuat naskah salinan wawancara yang mungkin bisa memakan waktu semalam suntuk, dan belum lagi, kritik pedas yang harus ditelan pahit dari pemimpin redaksi jika berita yang ibu buat dinilai tidak memenuhi standar jurnalistik sedangkan portal berita ini hanya dengan modal menyalin mentah-mentah status media sosial seseorang yang bukan pakar dan mendapatkan perhatian penghuni dunia maya dengan mudah. Isi artikel yang menjelaskan pendekatan melihat mimik muka juga tidak disertakan sumber yang jelas tentang teori (saya asumsikan itu adalah teori psikologi) yang penulisnya gu-


28

Lentera | September 2015

OPINI

nakan dalam menganalisis kasus tersebut. Metode yang digunakan adalah mencocokan secara asal mimik muka Erdogan ketika bertemu Joko Widodo dan membandingkannya dengan saat Erdogan bertemu dengan mantan Presiden Israel, Shimon Peres. Penulisnya berkesimpulan kalau dilihat dari mimik mukanya, Erdogan sangat tidak menyukai Jokowi karena ia menampilkan mimik muka yang sama ketika menyemprot Peres di Forum Ekonomi di Davos. Akan tetapi, mari kita bicara kenyataan yang ada di depan mata. Apakah Erdogan menyemprot Jokowi dalam pertemuan kepresidenan? Tidak. Lalu apakah bisa dikatakan kalau Erdogan tidak suka dengan Jokowi? Bukankah tidak ada yang tahu isi hati kecuali Allah dan dirinya sendiri? Lalu bagaimana penulis artikel bisa merasa lebih tahu akan apa yang ada di dalam hati Erdogan tanpa menggunakan teori yang menjadi landasan dasar untuk menjustifikasi klaim tersebut? Lalu, kenapa ada media yang mau mempublikasikan analisis politik yang tidak kredibel dalam sebuah artikel? Artikel ini terlihat sangat provokatif dan berat sebelah. Padahal, bagi media massa sudah ada panduan dalam kode etik jurnalistik Bab II Pasal 5 yang berbunyi: Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan fakta dan opini sendiri. Karya jurnalistik berisi interpretasi dan opini wartawan, agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya. Selain itu pada pasal 10 dan 11 tertulis kalau wartawan harus memberi kesempatan hak jawab secara proporsional kepada sumber dan obyek berita dan harus meneliti kebenaran bahan berita

serta mempertimbangkan kredibilitas serta kompetensi sumber berita. Terlebih lagi, mereka memperkenalkan diri sebagai media dari agama tertentu. Agama apapun mengajarkan umatnya untuk selalu menghormati pemimpin mereka. Agama yang saya anut juga mengajarkan untuk teliti sebelum menanggapi sebuah kabar bahkan kabar yang datang dari orang fasik sekalipun. Lebih parah lagi mereka mencantumkan kalimat Wallahu A’lam sebagai kalimat penutup dalam pemberitaan yang provokatif ini. Makna dari kata Wallahu A’lam tidak bisa dianggap remeh. Dengan proses pencarian berita yang tidak mengindahkan kaidah jurnalistik, kata yang dimaksudkan untuk menunjukan sifat kerendahan diri dihadapan Sang Pencipta ini bisa terdegradasi maknanya menjadi seakan agama menjustifikasi pemberitaan yang tidak kredibel. Jika penulis atau dalam hal ini editor berita sadar akan keterbatasan ilmunya dihadapan Tuhan, harusnya ia justru berusaha lebih keras lagi dalam mencari berita dengan sumber kredibel karena Tuhan sangat senang dengan hambanya yang giat berusaha. Tulisan ini bukan hanya dimaksudkan untuk agama tertentu. Saya yakin kalau pada dasarnya tidak ada satu agama pun yang mengajarkan umatnya untuk memanipulasi pemberitaan. Agama sayapun tegas dalam hal ini. Katakan benar adalah benar dan katakan salah adalah salah. Media non-reliji pun juga banyak yang memberitakan sesuatu yang penerapan kaidah jurnalistiknya diragukan. Kesalahan bukan terletak pada identitas kelompok pemegang media tersebut. Media-media berbasiskan keagamaan juga lahir karena media-media besar sering memberikan penggam-

baran yang tidak tepat atas ajaran agama tertentu. Keberadaan mereka justru diperlukan untuk menghadirkan opini dari sudut pandang yang tidak dibahas oleh media-media besar. Kesalahannya terletak pada bagaimana cara mereka menyajikan berita yang tidak patuh kepada Kode Etik Jurnalistik. Akibat dari penyebaran berita yang tidak kredibel dan provokatif ini sangat fatal. Pertama, masyarakat yang membaca berita itu bisa terjauhkan dari kebenaran yang ada. Sebagai mahasiswa ilmu politik, saya tidak pernah diajarkan untuk memberikan analisis politik berdasarkan mimik muka dan saya tidak mau masyarakat melihat kalau metode membaca mimik muka tanpa teori yang bisa dibuktikan kebenarannya dinilai sebagai cara dalam mengamati fenomena politik. Media seharusnya menjadi corong pendidikan politik bagi masyarakat dengan mencari narasumber yang terpercaya dalam bidangnya. Jika ingin menganalisis hubungan diplomatik antara Indonesia dan Turki, carilah dosen ilmu hubungan internasional atau ilmu politik yang paham seluk beluk politik Turki dan Indonesia. Mereka adalah orang yang tepat untuk dimintai pendapatnya karena mereka memiliki ilmu yang relevan dengan apa yang ingin dicari oleh wartawan. Mewawancarai mereka juga merupakan bukti penghargaan terhadap ilmu mereka. Belajar ilmu politik tidaklah mudah dan mewawancarai orang yang ahli dalam bidang politik adalah apresiasi yang bisa media berikan kepada mereka dan ilmu mereka. Kedua, memberikan berita yang tidak kredibel disertai dengan pemberitaan yang provokatif menunjukan bentuk politik yang tidak santun. Politik yang tidak santun bisa bersifat


Lentera | September 2015

kontraproduktif pada masyarakat dan media itu sendiri. Jangan menganggap masyarakat seluruhnya bodoh dan tidak kritis dengan pemberitaan media. Akan terjadi pro dan kontra yang bersifat merusak masyarakat. Masih segar diingatan saya ketika hubungan saya dan mantan wali kelas saya pada saat SMP retak karena saya berusaha mengoreksi pemberitaan tentang seorang tokoh masyarakat saat Pemilu 2014 berlangsung. Pada saat itu memang atmosfer perdebatan antara satu kubu dengan kubu lainnya benar-benar destruktif. Perdebatan kedua kubu meruncing hingga ada tindakan pengkafiran dan penilaian “siapa yang merupakan pemilih yang cerdas� secara sepihak. Ini bukanlah hal yang diinginkan oleh masyarakat yang beradab dan berdebat secara santun. Akan tetapi, bagaimana mau menjadi bangsa beradab dan berpolitik santun jika setiap hari media-media selalu memberitakan informasi dengan provokatif? Hal ini juga kontraproduktif bagi nama baik media yang memberitakan. Gaya pemberitaan yang provokatif dengan isi berita yang mengada-ngada memang merupakan jalan pintas bagi media untuk mendapatkan sensasi dan ketenaran. Akan tetapi, apa jenis ketenaran tersebut? Perlu diketahui kalau tidak setiap ketenaran itu baik. Telanjang bulat ditengah keramaian dapat membuat siapapun yang melakukan itu terkenal akan tetapi, apa yang akan terjadi padanya setelah itu? Ia akan dikucilkan dari masyarakat, dianggap tidak bermoral, dan diperiksakan ke rumah sakit jiwa. Hal yang sama juga bisa berlaku bagi media yang tidak memenuhi Kode Etik Jurnalistik. Mereka akan dianggap tidak kredibel, bisa dituntut karena menyebarkan berita bohong, dan karya

mereka tidak diakui sebagai produk jurnalistik. Lebih parah lagi jika mereka membawa basis agama dalam identitas mereka. Ada banyak pembaca yang belum memahami ajaran agama tersebut yang langsung menghakimi agama tersebut seakan agama tersebut mengajarkan manipulasi informasi demi kepentingan agama. Mencantumkan kata Wallahu A’lam di akhir berita juga hanya akan menunjukan inferioritas wartawan yang malas untuk mencari sumber yang lebih kredibel. Malah, akan terkesan seperti melakukan pembenaran atas kemalasan tersebut dengan mengatakan kalau Tuhanlah yang lebih mengetahui. Akhirnya lagi-lagi yang disalahkan adalah ajaran agamanya. Hal ini bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh penganut agama apapun dan dimanapun. Pengaruh politik media terhadap masyarakat memang besar. Ia bisa menumbangkan sebuah rezim hanya dengan menyebarkan video pembakaran diri seorang tukang buah. Akan tetapi, kekuatan yang besar datang dengan tanggung jawab yang besar pula. Media menjadi contoh dalam menunjukkan sifat politik santun kepada pembacanya. Permasalahan yang terjadi pada media di Indonesia sekarang adalah pemberitaan mereka yang tidak bisa dijamin kredibilitasnya dan penulisan berita yang provokatif. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik yang harus dipatuhi oleh setiap media di Indonesia. Akibatnya sangat fatal. Masyarakat jadi semakin terjauhkan dari kebenaran. Akhirnya mereka jadi memiliki persepsi yang salah akan suatu fenomena. Contohnya adalah analisis mimik muka dalam mengetahui peristiwa politik yang tidak ada sama sekali dalam teori politik manapun yang pernah saya pelajari selama

OPINI

29

saya belajar ilmu politik. Selain itu, pemberitaan yang tidak kredibel dan provokatif dapat menyebabkan perpecahan di kalangan masyarakat karena media selalu menuliskan berita provokatif yang jauh dari representasi sikap politik santun. Terakhir, ini juga tidak baik bagi media itu sendiri terutama, bagi media berbasiskan golongan. Golongan mereka akan dinilai jelek oleh masyarakat karena pemberitaan segelintir media yang mengatasnamakan golongan mereka. Hal inikah yang ingin dicapai oleh media? Semoga media-media yang masih menggunakan metode jalan pintas dalam mencari berita segera berubah menjadi media idaman umat yang melakukan pemberitaan secara adil dan berimbang serta bersifat santun dalam memberitakan sesuatu. Bagaimana bisa menciptakan masyarakat yang bisa berpolitik santun jika setiap hari mereka membaca berita-berita yang ditulis secara tidak santun? Wallahu A’lam


30

Lentera | September 2015

BUKU

Bung Hatta dan Pemikirannya Mengenai Ekonomi Islam

Oleh: Intan Sari

Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang memperjuangkan berdirinya NKRI. Hatta atau yang mempunyai nama lengkap Mohammad Athar, dikarenan dialek orang Minangkabau maka pengucapan Athar menjadi Atta atau Hatta. Hingga kemudian seluruh masyarakat Indonesia mengenalnya dengan sebutan Bung Hatta. Jika kita melihat pemikiran Bung Hatta, maka yang harus kita telaah terlebih dahulu adalah bagaimana latar belakang kehidupannya dari mulai ia kecil hingga remaja kemudian ikut memperjuangkan NKRI. Awal perjalanan kehidupannya Hatta telah terlebih dahulu mengenal Islam. Ayahnya adalah anak dari seorang Syekh. Hatta pun dibesarkan di lingkungan yang Islami, diantaranya ia pernah belajar dari ulama terkenal yakni Syekh Muhammad Djamil Djambek saat tinggal di Bukittinggi semasa kecil. Hatta menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat, kemudian di tahun ketiga ia pindah ke se-

kolah Belanda, yakni ELS. Kemudian ia menempuh pendidikan di MULO dan mendapat beasiswa untuk belajar di negeri yang pada waktu itu tengah menjajah NKRI yakni Belanda. Pada saat itu ia aktif di Jong Sumatranen Bond (JSB). Kemudian ia melanjutkan ke Sekolah Dagang Prins Hendrik School di Jakarta. Di sana ia sering bertukar pikiran dengan pamannya mengenai bisnis atau ekonomi dan perdagangan. Latar belakangnya yang kental dengan nilai Islam membentuk kepribadiannya dalam mengutamakan nilai-nilai dan ajaran Islam. Baik pemikirannya mengenai politik, sosial dan ekonomi. Hatta berlandasan pada suatu falsafah cita-cita atau ideologi ekonomi yang tidak sejalan dengan ideologi para pemikir barat yakni liberalisme dan sosial Marxisme. Ia beranggapan kedua hal tersebut tidak sesuai dengan apa yang selama ini ia pahami bahwa pada dasarnya manusia bukanlah Tuhan dan oleh karena itu manusia harus berlandasan

Data Buku

***

Judul : Bung Hatta dan Ekonomi Islam (RS) No. ISBN : 9789797094997 Penulis : Anwar Abbas Penerbit : Kompas Tgl terbit : Juni 2010 Jumlah Halaman : 352

*** pada ajaran Tuhan. Ia menolak paham sekulerisme yang memisahkan antara ekonomi dan agama. Sistem liberalisme yang menekankan pada kepentingan dan kebebasan individu, serta sosial Marxisme yang tidak mengenal hak kepemilikan individu dapat merusak kehidupan rakyat. Hatta menghendaki pembangunan ekonomi yang berdasar kepada


Lentera | September 2015

falsafah yang sarat dipengaruhi oleh ajaran agama, terutama dalam hal ini adalah Islam. Hal ini terlihat dari pandangannya mengenai alam dan manusia yang sesuai dengan ajaran Islam. Bahwa kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan di bumi, sedangkan manusia adalah khalifah untuk meemliha dan memakmurkan alam. Manusia sebagai pusat atau dalang dalam kehidupan, namun ia tidak setara dengan Tuhan karena Tuhanlah yang telah menciptakannya. Dapat dianggap pemikiran Hatta ini dengan istilah antrophosentrisme Islami. Karena yang utama adalah manusia itu sendiri, maka menurut Hatta dalam pembangunan tidaklah boleh hanya berorientasi kepada pertumbuhan. Tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana pembangunan itu bisa lebih memanusiakan manusia itu sendiri. Prinsip dan pandangan Hatta ini tentunya ikut andil dalam memengaruhi fondasi NKRI ditetapkannya dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Karena dari sanalah kita dapat melihat bagaimana cita-cita sosial dan tujuan ekonomi Hatta menjaddi cita-cita dan falsafah dari NKRI. Sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan yang Maha Esa menurut Hatta berarti politik negara mendapat dasar moral yang kuat dan mengikat kelima sila itu menjadi satu kesatuan. Pancasila telah memberi landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegaranya, terutama kehidupan ekonominya, dengan kehidupan ekonomi yang khas, yang bersifat religius dan tidak sekuler. Walaupun ia mempunyai pandangan Islam yang kuat, pemikirannya sedikit berbeda dari tokoh-tokoh Islam lain seperti Natsir dan Syafruddin Prawiranegara. Pada dasarnya Hatta

juga menginginkan sebuah negara dengan yang berdasarkan nilai-nilai Islam. Akan tetapi ia tidak menginginkan NKRI harus dibentuk dalam format negara Islam. Ia lebih mengedepankan isi dan substansi daripada format atau bentuknnya. Negara dan agama dapat sejalan, nilai-nilai Islam dapat diterima oleh semua pihak asalkan tidak menggunakan simbol-simbol dari Islam itu sendiri. Dengan begitu, menurutnya semua agama dapat menerimanya. Keyakinan Hatta akan kebenaran Islam, cara pandangnya yang sarat akan ajaran Islam membuatnya dapat diterima oleh para pemimpin Islam juga dikalangan nasionalis sekuler karena tidak membawa-bawa agama Islam secara langsung ke dalam kehidupan bernegara. Keislaman Hatta yang kuat memperlihatkan bahwa tujuan ekonomi yang dicita-citakannya adalah harus berjalan seiringan dengan tegaknya nilai-nilai ketuhanan dan moral sehingga keadilan sosial dalam arti yang sebenarnya dapat terwujud dan diwujudkan. Tujuan pembangunan ekonomi Indonesia menurutnya haruslah diarahkan kepada “bagaimana menciptakan suatu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.� Ia juga mengusung cita-cita sosialisme yakni sosialisme Islam. Karena bagaimanapun menurutnya dasar agama Islam jika dipikirkan secara konsekuen mutlak menuju kepada sosialisme. Namun, sosialisme Marxisme sebagai pandangan hidup materialisme tetap ditolak. Sosialisme Islam haruslah mutlak bersumber kepada Al-Qur’an dan disesuaikan kepada masyarakat Indonesia. Sejalan dengan tujuannya maka diperlukan nilai-nilai yang mengatur arah kehidupan perekonomian dan hal ini dinamakan sebagai nilai dasar fondasi pembangunan ekonomi yang men-

BUKU

31

jelaskan mengenai nilai dasar kepemilikan, nilai dasar keadilan dan nilai dasar kebersamaan dan kekeluargaan. Hal ini tentunya tidak lepas dari apa yang telah diatur dalam Al-Qur’an mengenai konsep manusia sebagai khalifah, begitu pula dengaan keadilan, kebersamaan dan kekeluargaan. Kemudian juga diperlukan nilai-nilai instrumental yang dapat berubah-ubah. Dalam pandangan Hatta, ada beberapa nilai instrumental yang perlu mendapat perhatian, diantaranya adalah nilai instrumental kerja sama ekonomi dan koperasi, serta demokrasi ekonomi dan peran pemerintah. Dengan ditegakkannya nilai-nilai tersebut, Hatta menginginkan Indonesia yang adil dan makmur. Yakni dapat mencapai kebahagiaan berupa pemenuhan dasar, mencapai kesejahteraan berupa pemenuhan kebutuhan sekunder atau bahkan tersier dan dengan tidak perlu merasa cemas akan masa depan serta jaminnan sosial saat tua, perdamaian baik ke dalam maupun keluar, yang terakhir adalah kemerdekaan.


32

Lentera | September 2015

BUKU


Lentera | September 2015

BUKU

33

Islam dan Sosialisme Oleh: Yan Simba Patria

Data Buku

***

Judul : Islam dan Sosialisme Penulis : H.O.S Cokroaminoto Penerbit : SEGAARSY Jumlah Halaman : 162

*** Membicarakan Islam dan Sosialisme dalam kerangka perjalanan sejarah Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari sosok seorang guru besar bangsa, Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Pahlawan nasional ini sekarang lebih dikenal dengan nama H.O.S Cokroaminoto, merupakan seorang pemimpin salah satu organisasi yaitu Sarekat Islam (SI). Sarekat Islam adalah sebuah organisasi yang sangat ber¬pengaruh dalam per¬gerakan nasio¬nal dan pemikiran-pemikiran Islam. Soekarno (proklamator RI), Semaoen (pen¬diri PKI), dan Kartosuwiryo (proklamator DI/NII) adalah beberapa orang

murid¬nya yang sangat ter¬kenal, mes¬kipun pada akhir¬nya mereka ber¬beda jalan. Tahun 1924 di Mataram Cokroaminoto,menulis buku “Islam dan Sosialisme”. Buku tersebut ditulis oleh Cokro, di samping karena pada waktu itu tengah terjadi pemilihan-pemilihan ideologi bangsa, juga lantaran pada waktu itu paham ideologi yang digagas para tokoh dunia sedang digandrungi oleh kalangan pelajar Indonesia, di antaranya sosialisme, Islamisme, kapitalisme dan liberalisme. HOS Cokroaminoto sebagai intelektual dengan ghirah ke-Islaman yang tinggi ingin menjawab salah satu ide dari paham-paham tersebut terutama sosialisme yang lebih mendapat tempat di hati rakyat Indonesia. Mereka menganggap sosialisme punya misi kuat untuk kepentingan rakyat, terutama kaum buruh, petani dan kelas pekerja lainnya. Karena itu, ia menawarkan sebuah gagasan sosialisme Islam. Tapi Cokro sadar bahwa realisasi dari gagasan ini di tingkat praksis akan menemui kesulitan, mengingat rakyat dihadapkan pada pemilihan ideologi yang ideal. Apalagi pada saat itu sudah berkembang ideologi sosialisme

dan komunisme yang dianggap lebih concern terhadap kaum mustadh’afin (kelas bawah, -pen).

*** Menurutnya, sosialisme Islam adalah “sosialisme yang wajib dituntut dan dilakukan oleh umat Islam, dan bukan sosialisme yang lain, melainkan sosialisme yang berdasar kepada azasazas Islam belaka.” ***

“Islam dan Sosialisme” sendiri memuat beberapa pembahasan. Pembahasan menyangkut kaitan sosialisme dengan Islam, kehidupan bangsa Arab pra Islam (sebelum Nabi), misi Nabi Muhammad yang bersifat sosialis, sikap sosialis sahabat-sahabat Muhammad. Prototipe sosialisme ala Islam, imperialisme muslim, agama


34

Lentera | September 2015

BUKU

dan sosialisme, pengelolaan pemerintahan secara sosialis juga menjadi pembahasan dari buku tersebut. Dalam buku tersebut HOS Cokroaminoto memulai tulisannya dengan sebuah pertanyaan apakah sosialisme Islam itu. Menurutnya, sosialisme Islam adalah “sosialisme yang wajib dituntut dan dilakukan oleh umat Islam, dan bukan sosialisme yang lain, melainkan sosialisme yang berdasar kepada azas-azas Islam belaka.” Lebih jauh dia menjelaskan “Cita-cita sosialisme di dalam Islam tidak kurang dari 13 abad umurnya dan tidak boleh dikatakan terbit dari pada pengaruhnya bangsa Eropah. ..azas-azas sosialisme itu telah dikenal di dalam pergaulan hidup Islam pada zamannya Nabi kita, Muhammad SAW.” Menurut Cokro, Islam secara tegas melarang (mengharamkan) riba (woeker) dan dengan begitu Islam menentang keras kapitalisme. “Menghisap keringatnya orang-orang yang beker-

ja, memakan hasil pekerjaannya lain orang, tidak memberikan bahagian keuntungan yang mestinya (dengan seharusnya) kebahagiannya lain orang yang turut bekerja mengeluarkan keuntungan itu, –semua perbuatan yang serupa ini (oleh Karl Marx disebut memakan keuntungan “meerwaarde” (nilai lebih) adalah dilarang dengan sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan memakan “riba belaka,” tulisnya. Islam melarang praktek riba karena dianggap benih kapitalisme atau meer warde dalam konsep Marx. Menurut HOS Cokroaminoto, dasar sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad adalah kemajuan budi pekerti rakyat. Hal ini tampak dalam pernyataannya, “Menurut pendapat saya dalam faham sosialisme ada 3 anasir, yaitu “kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan (gelijk-heid-equality), dan persaudaraan (broederschap-fraternity). Nilai sosialisme dalam Islam, lanjutnya, terlihat dari misi

yang disandang Muhammad bahwa ia datang untuk rahmat bagi seluruh alam. Jadi sejatinya orang Islam dimanapun berada selalu menebarkan cinta kasih dalam niat dan perbuatan, menyebarkan rasa kemanusiaan yang tinggi, menjunjung nilainilai luhur, bukan hanya pada ideologi atau agamanya saja tapi pada kemanusiaannya juga, bukan hanya pada manusia saja tapi pada makhluk lainnya juga. Melalui buku “Islam dan Sosialisme” itu pulalah, Ketua SI ini menuturkan sebuah tamsil tentang sosialisme Islami. Sebagai buku yang ditulis 90 tahun yang lalu buku ini menyajikan pemikiran yang menarik dan masih relevan, walaupun memang dalam buku kecil ini tidak bisa ditemukan pembahasan yang mendalam baik tentang Sosialisme, maupun Islam. Namun sebagai awal dari kajian antar dua ideologi ini, maka buku Islam dan Sosialisme karya H.O.S Cokroaminoto adalah karya yang tepat. ***


Lentera | September 2015

35

Dana Sosial Mushalla (DSM) Al-Hikmah FISIP UI.  Lembaga ini adalah lembaga yang bertujuan untuk menghimpun dan menyalurkan Zakat, Infaq, dan Shadaqah dari para dosen, karyawan, mahasiswa, alumni, dan orang tua mahasiswa di lingkungan FISIP UI. Dana yang berhasil dihimpun akan dipergunakan untuk pemberian beasiswa kepada mahasiswa yang membutuhkan, dukungan pendanaan bagi kegiatan keislaman di FISIP UI, pengelolaan Musholla Al-Hikmah FISIP UI, dan lain-lain.

NO REKENING DSM Untuk Zakat Untuk infaq

: Bank Mandiri Syariah No 7087987366 a.n. DSM AL HIKMAH FISIP UI : Bank Mandiri Syariah No 7087987579 a.n. DSM AL HIKMAH FISIP UI

Narahubung: (Harap konfirmasi (telepon atau sms) ke nomor HP narahubung jika sudah transfer


36

Lentera | September 2015


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.