Malajah LENTERA Edisi Desember - ARC

Page 1

Lentera | Desember 2015

1


2

Lentera | Desember 2015

EDITORIAL

Assalamu’alaykum Wr. Wb. Semoga salam dan kesejahteraan melingkupi kita semua. Waktu ialah suatu yang niscaya; Waktu berjalan pada semesta bukan semata konstruksi manusia, melainkan sebuah ketetapan yang mutlak dalam garis qadha dan qadar-Nya. Begitu halnya dengan kehidupan yang dianugerahkan. Manusia sebagai mikrokosmos yang berada dalam lingkup waktu yang bergerak linier seiring dengan zaman. Maka itu, setiap refleksi diri adalah bentuk evaluasi sekaligus kesyukuran pada Sang Ilahi yang membawa pada kecintaan terhadap kebijaksanaan. Lentera yang diupayakan sebagai majalah yang dapat menyuarakan tentang kebenaran (Al-Haqq), tahun ini coba merefleksikan dirinya lewat berbagai tulisan yang sudah terbit dari waktu ke waktu. Edisi pertama mencoba untuk membahas mengenai “Era Baru, Lembaran Baru” yang mengangkat tokoh pemikir berupa Ibnu Khaldun yang secara garis besar membahas mengenai paradigma berpikir sesuai Islam. Edisi kedua mengikhtiarkan tajuk “Ketika Ideologi Dipertanyakan Kembali” dengan mengangkat Tauladan berupa H.O.S Tjokroaminoto yang membahas mengenai Islam dan berbagai ideologi yang ada. Hal tersebut digaungkan sebagai ikhtiar untuk menyuarakan Islam sebagai agama yang Rahmatan lil ‘Alamiin—bahwasannya Islam dapat beririsan dengan paham semacam sosialisme, liberalisme, maupun paham lainnya. Bukan sekedar beririsan, namun Islam merupakan solusi bagi seluruh masalah yang ada di muka bumi ini. Kembali pada refleksi tentang perjalanan selama setahun ke belakang, memang belum banyak yang dapat Al-Hikmah Research Center suguhkan. Namun ikhtiar ini semoga dapat menjadi lumbung harapan, bahwa Islam masihlah cahaya yang dapat menunjukkan pada kebenaran; selayaknya lentera yang menerangi jalan setapak yang penuh kegelapan. Edisi ketiga ini merupakan hasil refleksi pada akhir tahun dengan tajuk yang dibawa “Sebuah Refleksi Akhir Tahun: Menagih Sumpah Pemuda Indonesia”. Semoga hal ini dapat menjadi salah satu kontribusi dalam ranah pemikiran; bahwa epistemologi merupakan hal yang konstruktif dalam membangun kehidupan yang lebih bijaksana. Selamat mengarungi! Semoga rahmat Allah selalu menyertai.


Lentera | Desember 2015

DAFTAR ISI

3

Daftar Isi 2

EDITORIAL

3

Sastra

4 26

Khilafah

11 33

22

INTERNASIONAL

LIPUTAN UTAMA Ilustrasi

12

Tauladan

DAFTAR ISI SAMBUTAN

7

20

30

Buku

Liputan Khusus

17 Pemimpin Utama Yan Simba Patria Pemimpin Redaksi Eveline Ramadhini, Redaktur Artistik Nopitri Wahyuni, Desain Tata Letak Yan Simba Patria Cover Yan Simba Patria Penelitian Rakha G. Wardhana, M Raihan Sujatmoko, Sirkulasi Tri Nopiyanto, M Ikhsan Fadli, Reporter Intan Sari, Ismail Fajar, Ikhsan Fadli, Nur Eka Oktavia S., Rakha G. Wardhana, Rijal Ramdhani


4

Lentera | Desember 2015

SAMBUTAN

Menjadi Pohon yang Berbuah Oleh David Sanjaya | Wakil Ketua FSI FISIP

Assalamu’alaykum Wr.Wb Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang tiada hentinya memberikan kita nikmat, nikmat menjadi seorang manusia yaitu memiliki akal sehat, hingga nikmat menjadi seorang muslim, yaitu dapat menggunakan akal sehat kita untuk mengenal dan bertindak berdasarkan perintah Tuhannya. Shalawat teriring salam harus kita junjungkan kepada nabi Muhammad saw, atas segala perjuangan beliau bersama para pemuda yang layak kita contoh dan aplikasikan pada zaman ini. Semoga Allah mudahkan. Amiin. Membuka tulisan ini, saya ingin berbagi kepada para pembaca sekalian satu ayat Qur’an yang boleh jadi ayat tersebut sudah mulai dilupakan bahkan tak kunjung kita lihat realisasinya pada mayoritas muslim di Indonesia. Allah berfirman dalam qur’an surat Ibrahim ayat 24-25

Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya (menjulang) ke langit (24) (pohon) itu menghasilkan buahnya pada setiap waktu dengan seizin Tuhannya. Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia agar mereka selalu ingat (25) Dalam salah satu tafsiran yang populer, yaitu tafsir Ibnu Katsir, perumpamaan kalimat yang baik ini menunjukkan bagaimana ciri-ciri seorang mukmin yang baik. Tauhid yang kuat layaknya akar yang kuat, amal sholih yang baik layaknya cabang pohon yang menjulang ke langit, serta kebermanfaatan dari amal sholih tersebut yang terus menerus layaknya buah dari pohon yang berbuah pada tiap waktu atas seizin Tuhannya. Perumpamaan tersebut dimaksudkan oleh

UI 26

Allah agar kita sebagai manusia selalu ingat bahwa tujuan akhirnya ialah buah yang memberi manfaat. Sungguh Allah Maha Kuasa apabila kita tadabburi ayat ini dan merefleksikannya dalam konteks masa kini. Pada tulisan ini, saya ingin sedikit mengajak pembaca untuk merenungi kedua ayat tersebut dengan akal sehat. Pertanyaan yang muncul, sudahkah kita menjadi pohon yang baik? Sudahkah kata-kata yang keluar dari mulut kita sebagian besar merupakan kalimat yang baik? Saya banyak merefleksikan diri dan melihat fenomena yang saat ini sungguh relevan dengan kedua ayat tersebut. Betapa saat ini acapkali kita jumpai muslim namun cukup jauh implementasinya dari setidaknya kedua ayat tersebut. Betapa ketauhidan, keilmuan yang dimiliki tidak menjadi cabang yang menjulang kuat. Sebagai contoh, kita berbicara masalah korupsi yang dilakukan


Lentera | Desember 2015

oleh pejabat-pejabat di Indonesia, bahkan acapkali mencaci mereka dan kebijakan-kebijakannya. Tapi kita tidak sadar, bahwa diri kita yang mengetahui kesalahan tersebut masih melakukannya, misalkan seperti menyontek, atau mengambil hak orang lain tanpa seizin pemiliknya. Kita mengetahui bahwa para pemimpin

***

Perumpamaan tersebut dimaksudkan oleh Allah agar kita sebagai manusia selalu ingat bahwa tujuan akhirnya ialah buah yang memberi manfaat.

***

kita di DPR acapkali bolos dan datang terlambat dalam siding, tapi kita tanpa sadar pun melakukan yang demikian dalam perkuliahan maupun kegiatan organisasi. Izinkan saya meniru apa yang Allah lakukan dengan menggunakan perumpamaan. Anggap saja ilmu yang kita miliki, layaknya air yang terhampar. Semakin luas pengetahuan, maka semakin air itu meluas bah-

kan hingga menjadi lautan. Tentunya amat baik manusia yang memiliki ilmu layaknya lautan yang luas. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya ialah, apakah potensi keilmuan yang berupa lautan tersebut telah dimanfaatkan semaksimal mungkin? Apakah itu untuk kepentingan sendiri atau kepentingan orang banyak? Berdasarkan pengalaman saya, inilah yang menjadi masalah bagi muslim saat ini. Banyak yang memiliki kapasitas keilmuan seluas lautan, bahkan samudra, namun tidak digunakan untuk hal yang baik dan juga tidak tercermin pada akhlaknya. Lebih parahnya lagi, laut tersebut hanya menjadi ombak yang menghantam pesisiran bahkan pemukiman warga, atau mengombang-ambingkan pelaut yang sedang berlayar. Keberadaan laut tersebut adalah hambatan bagi orang lain, apalagi bencana. Padahal, potensi sumber daya yang dimiliki laut tersebut dapat menghasilkan panganan yang halal lagi melimpah ruah atau dapat menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya. Bahkan sebuah kolam kecil saja dapat dimanfaatkan untuk ternak dan budidaya beberapa jenis ikan, apalagi lautan yang luas? Bila kita merasa khawatir setelah membaca tulisan ini,

5

SAMBUTAN maka bersyukurlah bahwa Allah masih memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita agar terus mengevaluasi diri. Kesombongan tidak menggerogoti hati kita yang rakus akan ilmu dan kekuasaan terhadapnya. Justru seberapa luas pun ilmu yang kita miliki menjadi pengingat bahwa kita memiliki tanggungjawab terhadap ilmu tersebut untuk diaplikasikan menjadi amal sholih, baik bagi diri sendiri maupun bagi banyak orang. Semoga Allah mengampuni saya yang tentunya masih belum memiliki ilmu seluas lautan, dan semoga Allah menguatkan pembaca untuk termotivasi mengimplementasikan tiap ilmu yang dimilikinya untuk kebaikan. *** Wa s s a l a m u ’a l a y k u m . Wr.Wb.


6

Lentera | Desember 2015

SAMBUTAN

Melihat Pemuda dalam Cerita Perjuangan Bangsa Oleh: Yan Simba Patria | Ketua Al Hikmah Research Center

“Wahai kalian yang rindu kemenangan, Wahai kalian yang turun ke jalan Demi mempersembahkan jiwa dan raga, Untuk negeri tercinta� Indonesia telah melahirkan sejarah yang panjang, 70 tahun ia berlalu sebagai bangsa yang merdeka. Indonesia dengan berbagai dinamikanya; keberagaman, pertarungan ideolgi, egoisme kedaerahan, ancaman luar, sampai perang saudara, tetap mampu paling tidak untuk saat ini bertahan menjadi Negara kesatuan yang menyebut dirinya Republik Indonesia. Orang yang besar -atau lebih tepat- atau bangsa yang besar, ujar Soekarno, adalah mereka yang menghargai jasa jasa pendahulu dan tidak melupakan sejarah. Dalam perkembangan pemikiran di Indonesia masalah politik dan agama menjadi perdebatan yang selalu hangat bukan hanya dalam alam Indonesia merdeka, namun dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia hingga saat ini. Merdeka berarti terlepas dari setiap kekangan dari luar yang mengancam kedaulatan. Merdeka dalam alam Indonesia saat itu adalah manifestasi dari semangat perjuangan pemuda, yang baik jiwa dan raga telah menyatakan janji dan memilih, “merdeka atau mati� Karenanya mengangkat kembali lembaran-lembaran cerita pejuang muda negeri ini adalah salah satu bentuk refleksi pada

diri pemuda saat ini tentang arti pentingnya perjuangan, jihad melawan kedzaliman, dan semangat memperbaiki keadaan. karena para ideolog-ideolog muda sejati dari setiap golon-

***

...mengangkat kembali lembaran-lembaran cerita pejuang muda negeri ini adalah salah satu bentuk refleksi pada diri pemuda saat ini tentang arti pentingnya perjuangan, jihad melawan kedzaliman, dan semangat memperbaiki keadaan.

*** ganlah, yang dengan darah dan keringat mereka mampu membentuk sebuah Negara kesatuan yang kita sebut Indonesia hari ini. Dalam edisi ketiga Majalah Lentera yang diterbitkan Al Hikmah Research Center dibawah lembaga Forum Studi Islam FISIP UI ini kami mencoba berikhtiar merefleksikan semangat kita hari dalam bergerak, dengan melihat sejarah perjuangan pemuda-pemuda zaman

dulu yang terbukti mampu melahirkan sebuah kedaulatan yang bisa kita nikmati sampai hari ini. Seorangpemuda yang mampu mencintai diri sendiri, orang lain, dan bangsa. Tentu yang ingin kami bangun disini adalah perjuangan dalam kerangka seorang muslim yang mana kami yakini sebagai satu-satunya kebenaran, seperti juga diyakini oleh para pendahulu. Kami percaya, bahwa dengan menulis, pikiran kami akan lebih mengabadi daripada setiap kata yang kami ucapkan. Inilah juga yang menjadi alasan kami tetap berjuang menerbitkan satu majalah pemikiran yang ada ditangan saudara saat ini. Pada akhirnya, kami berdoa semoga kita termasuk orangorang yang ditunjukkan kepada jalan yang lurus baik dimulai dengan lurusnya pikiran, maupun lurusnya perbuatan. Kami berdoa pula untuk kejayaan bangsa ini, bangsa Indonesia. Di tangan para intelektual intelektual negeri ini Indonesia berharap, dan Universitas Indonesia adalah satu dari sekian banyak jalan mewujudkan kejayaan yang dinanti. Wallahu’alam


Lentera | Desember 2015

LIPUTAN UTAMA

7

Menagih Sumpah Pemuda Indonesia Oleh: Yan Simba Patria

“Sekarang, Bung! Sekarang! Malam ini juga!” kata Chaerul Saleh. “Kita kobarkan revolusi yang meluas malam ini juga. Kita mempunyai pasukan PETA, pasukan Pemuda, Barisan Pelopor, bahkan Heiho sudah siap. Dengan satu isyarat Bung Karno seluruh Jakarta akan terbakar. Ribuan pasukan bersenjata sudah siap sedia akan mengepung kota, menjalankan revolusi bersenjata yang berhasil dan menjungkirkan seluruh tentara Jepang.” Begitulah permulaan percakapan yang berlangsung pada tanggal 15 Agustus 1945, jam 10 malam antara serombongan pemuda dan Bung Karno di tempat kediamannya, Pegangsaan Timur No. 56. Pemuda dan idealisme adalah dua yang tak terpisahkan untuk memperkokoh penegakan ideologi yang diperjuangkan. Membahas idealisme dalam konteks sejarah sumpah pemuda adalah mencari makna ide politik yang ada dalam sumpah pemuda itu. Terlebih, membahas idealisme tersebut berarti membahas makna mengenai “siapakah pemuda itu”?

Sejarah Perjuangan Sumpah Pemuda terjadi pada akhir 1928, yakni pada masa penjajahan Belanda. Hal ini telah membuktikan bahwa sumpah ini mengandung makna perjuangan pemuda

sebagai anak bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa melalui pernyataan, tekad, dan ikrar bersama. Yang terjadi ketika itu adalah, sekelompok pemuda melakukan analisis terhadap hasil perjuangan bangsa Indonesia yang selalu gagal dan tetap terjajah. Akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa untuk menghadapi penguasa colonial diperlukan gerakan modern, yakni dengan sebuah “ideologi”. Ideologi ini berupa kontra-ideologi terhadap kolonialisme atau imperialisme. Para pemuda mulai terjun ke kancah politik untuk menghadapi penjajah dan mewujudkan cita­ citanya. Dalam


8

Lentera | Desember 2015

LIPUTAN UTAMA

artian pemuda bertekad membuat sebuah kesatuan masyarakat yang mengurus diri sendiri/berdiri (negara). Sementara itu, dalam hal ini para pemuda sebagai pejuang dan berusaha untuk mengurus keperluan untuk mewujudkan kemerdekaan. Para pemuda melakukan kegiatan politik dalam arti yang luas, yaitu merupakan suatu sistem yang saling bersangkut paut. Sebagai suatu sistem, politik meliputi tiga hal, yaitu (1) Kultur politik, (2) Struktur politik, dan (3) Proses politik. Perjuangan ini bisa terlihat dalam kegiatan politik pemuda pada berbagai segi. Dalam segi kepemimpinan gerakan pemuda dipegang oleh kaum intelektual yang berideologi nasionalisme, baik etno-nasionalisme maupun religio-nasionalisme. Mereka terdiri atas sekelompok kaum terpelajar, tamatan sekolah guru, sekolah dokter Jawa, dan sekolah Pamong Praja. Berkat pendidikan yang diperoleh,yang berarti kedudukan sosial penuh wibawa, kaum elite baru ini mengalami keresahan, tidak lain karena dimana-mana mereka masih membawa stigma sebagai inlander yang mengalami diskriminasi oleh kaum Eropa, meskipun tingkat pendidikan mereka menyamai kaum Eropa. Kebangkitan Nasional telah lahir dari kalangan pemuda. Bahkan mereka telah menjadi angkatan perintis ke-

merdekaan. Pelecehan terhadap pribadi serta perasaan kompleks inferioritas menimbulkan rasa kehilangan identitas. Penderitaan kolektif itu mendorong pemuda untuk membentuk organisasi sebagai wadah solidaritas yang sekaligus dapat dipakai sebagai simbol identitas kolektif mereka. Proses modernisasi yang sedang dihadapi para pemuda tersebut mengalami suatu transformasi struktural dari ikatan komunal menjadi ikatan asosional. Perlawanan secara fisik beralih bentuknya dengan berwujud pendidikan dan organisasi dengan tujuan membangkitkan kesadaran berbangsa (nasionalisme), pentingnya persatuan untuk menuju pada negara merdeka, agar tercapai masyarakat yang adil dan makmur. Segera saja setelah berdirinya Budi Utomo, diikuti dengan tumbuhnya organisasi-organisasi lain seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Taman Siswa, Jong Pasundan, Jong Sumatera, long Celebes, long Ambon, dan sebagainya. Berdirinya organisasi tersebut memberikan wadah sosial kaum terpelajar sekaligus memberikan identitas baru kepada generasi muda terpelajar. Memang perlu diakui bahwa etnosentrisme masih kuat dan cakrawala mental belum dapat mentransendensikan faktor etnisitas. Di pihak satu, generasi muda secara keseluruhannya menampilkan

citra pluralistik serta etnisitas yang mencolok dan di pihak lain menampilkan etnonasionalisme. Transformasi dari etnonasionalisme menjadi nasionalisme sepenuhnya adalah proses yang amat krusial dan hanya dapat dilaksanakan melalui aksi massa. Aksi massa ini benar-benar terwujud melalui Manifesto Politik tahun 1925 dan Sumpah Pemuda Tahun 1928. Salah satu perkumpulan yang memakai nama Indonesia ialah Perhimpunan Indonesia (Pl) yang sebelumnya lebih dikenal dengan nama Indische Vereeniging, sebagai organisasi terkemuka mahasiswa Indonesia di Belanda. Sumpah Pemuda memberikan berskala lebih besar dan terbuka, lebih massal dan dihadiri oleh lebih banyak pemuda, lebih bergairah dan bersemangat sehingga lebih banyak memberinspirasi dan publisitas (Sartono Kartodirdjo,1999:63). Nasionalisme Indonesia makin terwujud dengan hasil Kongres Pemuda II tanggal 27-28 Oktober 1928 yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang didirikan tahun 1926 di Jakarta. Kongres ini menghasilkan Sumpah Pemuda yang isinya telah lama kita kenal : 1. Kami putra dan putrid Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia. 2. Kami putra dan putrid Indonesia mengaku berbangsa


Lentera | Desember 2015

LIPUTAN UTAMA

satu bangsa Indonesia. 3. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia. Dari hasil Kongres Pemuda makin nyata pulalah perjuangan para pemuda mewujudkan integritas nasional sehingga dengan adanya peristiwa tersebut para pemuda dijuluki dengan Angkatan Penegas. Melihat lebih jauh lagi, perjuangan pemuda dalam menjaga integritas bangsa adalah sebuah perjuangan yang begitu besar dan penuh pengorbanan, Muhammad Hatta mengatakan: Sungguhpun begitu pemuda Indonesia banyak jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Berjuang untuk kemerdekaan tanah air dan keadilan sudah menjadi tradisinya, apalagi kalau mereka memperoleh pimpinan yang tepat, yang dapat memahamkan situasi yang sebenarnya. Kesalahan yang diperbuat para pemuda yang sedang menggelora tidak mengaburkan jasanya. “Apabila semangat pemuda tidak begitu meluap-luap pada permulaan

Revolusi Nasional kita,maka sukarlah kiranya menghidupkan perjuangan rakyat yang begitu hebat sehingga sanggup menderita bertahun-tahun Jamanya.

Menjadi Pemuda di Zaman yang Kian Tua Mengapa dalam sejarahnya, semangat juang dan kesadaran integritas nasional sedemikian kuat tumbuh dalam diri bangsa Indonesia, khususnya pada diri pemuda? Dari pembahasan terdahulu terungkap bahwa kepeloporan perjuangan didominasi oleh para pemuda. Oleh karena itu, batasan dan keadaan kejiwaan pemuda pantas diketengahkan dalam bahasan ini. Sebenarnya, cukup sulit untuk memberikan batasan tentang siapa yang disebut sebagai pemuda dan apa yang perlu dilakukan oleh pemuda zaman sekarang ini. Kami menampilkan cerita sumpah pemuda, bukan hanya sebagai romantisme masa lalu yang begitu heroik, atau nostalgia perjuangan un-

9

tuk hiburan semata. Refleksi dan inspirasi adalah agenda utama dalam penulisan sejarah ini. Sehingga mampu menjawab pertanyaan; apa yang pemuda Indonesia bisa lakukan pada konteks kekinian? Analisis dan daya kritis pemuda mampu menjadi bukti terciptanya sebuah gagasan besar untuk membentuk integritas nasional. Lebih konkret lagi adalah kongres pemuda baik I atau II. Yang terjadi kini, sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan kondisi pada masa sebelum 1928. Tantangan dari luar bangsa Indonesia begitu besar, kolonialisme dan imperialisme berubah nama dan wajah sementara perpecahan dan disintegrasi terjadi pada tubuh internal bangsa Indonesia, terkhusus pada para pemudanya. Banyak hal yang dapat dirumuskan dalam melihat fenomena kemunduruan berpikir pemuda seperti ini, dalam tataran epistemik kami melihat ada tiga hal mengapa semakin kesini semakin terlihat adanya kemunduran berpikir dan kemun-


10

Lentera | Desember 2015

LIPUTAN UTAMA

duran moral dari pemuda di Indonesia yang disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, orientasi materialisme yang tinggi. Hal ini dapat sangat mengaburkan makna perjuangan bela tanah air dan agama. Munculnya ide ide egoisme dari diri pemuda pemuda Indonesia, yang akhirnya dapat disimpulkan bahwa kehidupan materialis lah yang menjadi tujuan hidup pemuda pemuda kebanyakan. Kedua, sekularisasi dalam sistem-sistem pendidikan. Tidak bisa dipungkiri bahwa pemisahan yang begitu keras antara dunia akademis dan agama terjadi hampir di setiap universitas. Melihat sejarah perjuangan yang telah dipaparkan, agama menjadi salah satu yang terbesar mempelopori semangat juang rakyat Indonesia waktu itu, nilai-nilai dalam agama mendorong pemuda-pemuda untuk tidak bertekuk lutut pada kezaliman kolonialisme dan keserakahaan imperialisme. Perintah jihad dalam Islam adalah sebuah bukti konkrit bahwa agama merupakan alat menghapuskan ketidakadilan. Namun yang terjadi sekarang, nilai-nilai agama mulai dipisahkan dengan keras dalam kehidupan keseharian pemuda, terkhusus mahasiswa. Bagaimana mungkin semangat perjuangan pemuda zaman dulu yang terbakar dengan nilai nilai agama dapat kembali ditegakkan pada pemuda pemuda zaman sekarang

yang jauh dari agama? Ketiga, hilangnya sensitifitas sosial, kultural dan politik. Secara akademik tentu kita melihat ada perkembangan yang begitu pesat pada pemuda Indonesia, universitas telah melahirkan jutaan sarjana dengan kemampuan intelektual yang tinggi. Namun akibat dari orientasi dan sistem sekuler yang telah berakar kuat dalam keseharian pemuda akhirnya menciptakan intelektual-intelektual muda yang jauh dari sensitifitas pada lingkungan sekitar. Pengamalan ilmu-ilmu akademis belum cukup mampu untuk menjawab tantangan zaman modern belakangan ini, kepahaman diri tentang ilmu-ilmu umum (fardu kifayah) tidak diimbangi dengan kepahaman ilmu-ilmu pokok (fardhu’ain) yang mana ilmu pokok ini barupa nilai-nilai agama. Karena memang ketika melakukan pengkajian-pengkajian serius dan filosofis tentang agama, maka akan muncul pribadi-pribadi yang mampu merumuskan solusi tepat yang harus dilakukan untuk menjawab kebutuhan zaman ini. Pada akhirnya, memang perlu ditata ulang dan disiapkan kegiatan pendidikan yang mengacu pada pembentukan afeksi yang berlandaskan moral agama bagi mahasiswa dan psikomotorik berupa sensitifitas sosial, kutural dan politik. Islam lebih jauh memberikan didikan kepada umatnya agar berusaha atau

berjuang dengan bersungguh-sungguh. “Dan barang siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alamâ€? [AI­Ankabut (29) : 6] Di sinilah letak semangat juang hasil pendidikan agama yang mesti diusahakan, baik kepada generasi tua maupun generasi muda atau para pemuda agar setiap generasi tetap berjuang atau dilandasi oleh fondasi yang kuat, yaitu agama. Maka, dengan semangat perjuangan yang berlandaskan nilai Islam, tiada lagi kegoyahan dalam berpikir dan menentukan orientasi sehingga konsistensi berjuang dapat terus dilakukan, khususnya pada bidang masing-masing. Selamat berjuang, kawan! *** Daftar Referensi Mohamad Roem, Penculikan, Proklamasi dan Penilaian Sejarah, (Semarang - Jakarta : Ramadhani-Hudaya 1970), h. 11 Doktorandus, Magister Pendidikan, dosen dan Dekan Fakultas Tarbiyah, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mohammad Hatta. Sekitar ProWamas/, (Jakarta: Tintamas 1970), h. 17


Lentera | Desember 2015

Ilustrasi

11

Ilustrasi oleh Ismail Fajar


12

Lentera | Desember 2015

LIPUTAN KHUSUS

Mengenal Diri Menuju Sang Ilahi Oleh : Intan Sari

Departemen Al-Hikmah Research Center mencoba berikhtiar untuk melaksanakan Kajian Rutin (18/09) di Gd. N2.1010 FISIP Universitas Indonesia. Kajian ini mengundang seluruh internal organisasi Forum Studi Islam setiap satu hingga dua bulan sekali dengan harapan dapat memberikan pemahaman yang baik dari dalam mengenai konsepsi Tuhan. Kali ini pembicara yang mengisi adalah Ustadz Lukman Tanjung, Lc. Dimulai dengan Q.S Al-A’raf ayat 172 yang menerangkan bahwa jiwa manusia telah bersaksi di alam jiwa bahwasanya Allah adalah Tuhan semesta alam. Jiwa kita telah mengemban amanah yang Allah tugaskan kepada masing-masing yang bahkan gunung sekalipun tidak sanggup memikul amanah tersebut (Q.S Al-Hasyr: 21). Amanah sebagai seorang ma-

nusia adalah menjadi khalifah di muka bumi. Menjadi khalifah dan menjalankan misi yang telah Allah tetapkan di Lauhul Mahfuz. Misi ini adalah blue print yang telah tertanam di dalam diri setiap jiwa. Misi ini tidaklah sama bagi setiap manusia. Insan akan diberikan kesuksesan dalam kegiatan yang dilakukannya apabila sesuai dengan blue print nya. Akan tetapi tidak semua manusia dapat menemukan mandat/misi nya. Pencarian mandat dalam diri merupakan proses panjang untuk mengenal diri sekaligus mengenalNya. Hanya sedikit manusia yang mengetahui misi hidupnya yang diberikan oleh Allah. Di antara yang sedikit ini adalah Muhammad Al-Fatih yang memimpin pasukan dalam menaklukkan Konstantinopel membuka cahaya Islam memasuki wilayah tersebut. Kepemimpinan Al-Fatih memimpin pasukannya mer-

upakan misi yang diberikan oleh Allah yang hanya ia yang mampu melakukannya. Sehingga insan yang telah mengetahui misi hidupnya pasti akan berhasil dalam mewujudkan misi tersebut. Proses pencarian ini adalah sebuah proses penyucian jiwa untuk mengenalNya. Seluruh alam semesta termasuk manusia dan makhluk hidup lainnya merupakan manifestasi keagungan Allah. Untuk mengenalNya, maka kita harus mengenal hakikat diri, untuk apa diciptakan, seraya bertaubat memohon ampun, membersihkan jiwa dan mengenalNya. Apabila kita telah mengenal Allah, Allah ridha dengan kita maka seluruh hijab rahasia alam semesta akan tersingkap melalui kehendakNya. Misi yang diberikan Allah dalam jiwa kita pun dapat kita ketahui. Untuk mengenalNya dibutuhkan ilmu. Oleh karena itu kita senantiasa harus menun-


Lentera | Desember 2015

tut ilmu yang mengantarkan kita kepada pemahaman mendekatkan diri dan mengenalNya. Misalnya dengan mengikuti kajian filsafat Islam, kajian tasawuf, membaca buku dan berkontemplasi, merenungkan ciptaanNya.

Menata Ulang Paradigma Diri Hal penting yang perlu kita lakukan sebagai langkah awal menujuNya adalah memerhatikan paradigma kita. Apakah kita masih mengacu dan berpaham pada sekulerisme? Ataukah kehidupan kita masih dipengaruhi oleh hedonisme? Sekulerisme berasal dari kata “secculum� yang berarti bumi. Sekuler bermakna kini dan disini. Sekulerisme hanya memerhatikan kondisi kekinian atau kondisi sekarang saat kita hidup di dunia yang masih membawa jasad dan melupakan kondisi nanti saat jiwa kita berada di akhirat. Seseorang yang mengacu kepada sekulerisme melupakan sisi spiritual, mengabaikan jiwa hingga hatinya tidak lagi hidup. Hedonis berarti manis, kesenangan. Hedonisme berarti gaya hidup yang hanya mengejar kesenangan. Apabila dalam hidup kita hanya mengejar kesenangan duniawi semata maka kita mengkuti paham hedonis. Kita lahir, tumbuh remaja, sekolah dan belajar, kemudian bekerja dan berumah tangga

lalu pada akhirnya mati kembali kepadaNya. Lantas apakah hidup kita hanya sekedar itu? Lalu kita mencari bagaimana kesenangan dalam hidup selalu dapat kita raih, misalnya harta, jabatan, popularitas, dll. Hati dan jiwa ini selalu menutupi hakikatnya yang hanya membutuhkanNya untuk diisi dengan hal lain selain untuk mengenalNya . Saat berada di puncak kesuksesan kita merasa sebagai orang yang paling bahagia, tetapi saat kita jatuh di jurang paling dasar jiwa kita kebingungan mencari arah pulang. Sejatinya, susah dan senang adalah Sunnatullah, maka menerima susah dan senang adalah sudah semestinya. Kesenangan dan kesedihan semuanya adalah ujian untuk menguji mana di antara manusia yang paling benar imannya. Kesedihan atau kemalangan juga sebagai peringatan agar kita kembali kepadaNya. Hati kita sejatinya hanya membutuhkanNya. Jiwa kita selalu mencari dan terus mencari keberadaan Tuhan dan untuk itulah dibutuhkan proses panjang dalam mengenalNya. Jasad kita hanya sementara ada di dunia, sementara ruh akan pulang kembali kepadaNya dan setiap jiwa akan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang telah dilakukan di dunia. Maka dari itu, penting untuk mengubah paradigma diri sesuai dengan hakikat manusia yang diciptakan

LIPUTAN KHUSUS

13

olehNya, hanya untukNya dan kembali kepadaNya. Maka tujuan hidup kita adalah untuk meraih ridhoNya. Paradigma ini yang seharusnya dimiliki setiap insan yang berakal. Menata kehidupan kita mulai dari menata jiwa kita yakni bertaubat kepada Allah, mengisi jiwa dengan nur ilmu melalui aql dan qalb dan senantiasa membersihkan hati dan jiwa dari segala penyakit mulai dari iri, dengki, sombong, marah, prasangka buruk dan hal-hal tercela lainnya. Proses penyucian jiwa ini adalah sebuah perjalanan panjang yang tidak mudah. Diri ini senantiasa diuji. Iman ini terkadang naik turun. Bahkan sholat pun kita masih lalai dari mengingatNya. Kesalahan selalu kita perbuat, lalu kita bertaubat kemudian secara sengaja atau tidak sengaja kita melakukannya lagi, kemudian bertobat lagi begitu seterusnya. Namun jiwa ini tidak bisa untuk tidak kembali kepadaNya. Walaupun sering melakukan banyak kesalahan namun Ia selalu menerima pintu tobat, sebab KaruniaNya melebihi kemurkaanNya. Menjadi manusia dengan jiwa yang telah disucikan (QS Al-Hadid: 96) tidak mudah namun apapun yang terjadi, biar diri ini tersungkur dan merangkak sekalipun jiwa ini selalu merindukanNya. ***


14

Lentera | Desember 2015

LIPUTAN KHUSUS

Kajian Islam dan Liberalisme

Oleh : Rakha G. Wardhana

Al-Hikmah Research Center bekerjasama dengan UI Liberalism and Democracy Study Club (UILDSC) berikhtiar untuk melaksanakan kajian eksternal yang berjudul “Islam dan Liberalisme” dalam rangka memberikan pencerdasan pada umat Islam mengenai makna Islam dan liberalism itu sendiri yang dapat dilihat secara historis hingga implementasinya sampai saat ini. Kajian ini dilaksanakan di Gedung N2.101 FISIP Universitas Indonesia (12/10/) yang pembicaranya dihadiri oleh Mahmuda Rizaldi (Kepala Bidang Minat dan Bakat Garuda Keadilan Jakarta), Muhammad Luthfi (Eks Presiden Direktur UILDSC) dan Raihan Sujatmoko (Direktur Kajian dan Riset UILDSC). Pembicaraan dimulai oleh Luthfi dengan topik Liberalisme. Pemikiran liberalisme memiliki perjalanan historis yang amat panjang. Semenjak era Yunani Kuno, para filsuf saat itu telah membumikan pertanyaan seputar

keberadaan alam semesta, hakikat keberadaan manusia serta bagaimana manusia saling bekerja sama dalam memenuhi kebutuhanya; yang tentunya tidak lepas dari kegiatan serta aktivitas politik. Selain itu, di masa itulah pemikiran maupun filsafat mengalami masa kejayaanya dengan karya-karya filsafat kuno, dan banyak diantaranya menjadi bahan perenungan maupun kritik bagi filsuf di era setelahnya. Pada dasarnya, liberalism memandang bahwa semua agama sama. Namun diperlukan adanya sekularisme— yakni upaya pemisahan antara agama dan Negara— untuk memudahkan persaingan bebas, khususnya pada aspek ekonomi. Beliau mengemukakan bahwa paham liberalisme memandang islam sebagaimana memandang agama-agama lainnya. Selama tak mengganggu pursuit of happines manusia, agama tidak akan menjadi persoalan bagi kehidupan

politik, sosial, dan ekonomi dalam berbangsa dan bernegara. Luthfi membahas secara menarik mengenai Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia. “Mungkin saja JIL itu lahir dari keinginan untuk memusnahkan sekat-sekat sosial yang membuat agama tak dapat berkembang dan stagnan. Namun saya pribadi tidak menyukai dengan gagasan yang dibawa, karena dapat merusak istilah ‘liberalisme’ itu sendiri,” tuturnya. Luthfi secara tegas menyatakan bahwa JIL bukanlah bagian dari Liberalisme yang diusung oleh UILDSC selama ini. Liberalisme dalam konteks ini adalah kebebasan dalam ekonomi, sosial dan politik. Borjuasi dapat dilakukan dalam Islam dalam rangka mendorong roda perputaran perekonomian umat. Sekumpulan pengusaha-pengusaha muslim yang tumbuh karena kebebasan pasar sepatutnya harus didukung oleh pemerintah.


Lentera | Desember 2015

Mahmuda sebagai pembicara kedua membahas tentang topik Islam. Menurutnya, pada dasarnya Islam tidak mengekang siapapun, terlebih lagi dalam urusan kebebasan. Hanya saja memang ada aturan-aturan yang diberlakukan; tetapi hakikatnya tidak mengekang, melainkan supaya ada keserasian dan kemaslahatan di dalam kehidupan dunia. Sebagai contoh, kasus orang Islam yang memberlakukan hukuman dipenggal kepalanya apabila murtad dari Islam, terdapat syarat-syarat yang sebelumnya diberlakukan. Dalam konteks murtad, syarat-syarat sebelum dipenggal kepalanya adalah (1) mengajak orang lain murtad, dan (2) menyebarkan berita kebohongan tentang Islam (fitnah). Jika itu dilakukan, maka hukuman penggal kepala berlaku. Pada akhir sesi, Raihan sebagai pembicara ketiga menjembatani pembicaraan dengan membahas lebih lanjut mengenai titik perbedaan antara antara nilai-nilai Islam dan liberalisme. Pada dasarnya, menurut Raihan,

epistemologi antara Islam dan liberalisme sudah berbeda. Maka dari itu, liberalisme hanya merupakan sebuah paham ataupun pemikiran yang berlandaskan ide kritis yang akan terus berkembang dan sifatnya kontekstual. Sedangkan Islam merupakan Ad-diin yang mewadahi dan mengatur seluruh lini kehidupan umat tanpa terkecuali. Apabila dikritisi lebih lanjut, konsep ekonomi dalam Islam cenderung mengarah pada pemikiran paham sosial demokrat. Sebab, terdapat unsur-unsur komunal dalam Islam dimana dalam Islam para pelaku ekonomi wajib hukumnya untuk menunaikan zakat dan mengangkat harkat dan martabat ekonomi umat sebangsanya. Selain itu, prinsip perdagangan dalam Islam juga berasaskan gotong royong, dimana setiap umat Islam wajib bersatu padu dalam memajukan perekonomian negeri tanpa tekecuali. Islam melarang segala bentuk pemisahan akan implementasian nilai-nilai Islam dalam taraf privat dan publik, atau biasa disebut dengan sekular-

LIPUTAN KHUSUS

15

isasi. Sebab Islam mewajibkan agar umatnya selalu melaksanakan nilai-nilai Islam dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Umat diwajibkan untuk terus berpedoman hukum-hukum Islam ketika melaksanakan interaksi sosial maupun politik dalam hierarki masyarakat. Dan ini tentunya bertentangan dengan nilai-nilai liberal yang selalu mendambakan sekularisme dalam ranah publik. Agama hanya berlaku di dalam taraf privat saja. Nilai-nilai dalam Islam pun mengandung ‘keharusan’ yang bersifat absolut. Biarpun begitu, Islam mewajibkan umatnya untuk terus menyebarkan nilai-nilai Islam tanpa ada kekerasan dibaliknya. Sehingga, Islam dan Liberalisme tidak dapat disatukan serta disamakan dalam konteks apapun. ***


16

Lentera | Desember 2015

LIPUTAN KHUSUS

Perjalanan Mengenal Diri untuk Mengenal-Nya Oleh Nur Eka Oktavia S.

Sabtu, 10 Oktober 2015, Studium Generale Kajian Tasawuf – “Perjalanan Mengenal Diri untuk Mengenal-Nya” yang diselenggarakan atas kerjasama ARC FSI FISIP UI dan Komunitas Penggenggam Hujan UI diselenggarakan di AJS FISIP UI. Kajian yang diisi oleh Ust Lukman Tanjung, Lc. sebagai Pembina Majelis Cahaya Hati dan Ketua Bidang Dakwah IKADI DKI Jakarta ini merupakan kajian pembuka yang disampaikan kepada civitas muslim UI maupun umum yang ingin mengetahui khazanah pengantar tasawuf. Kajian dibuka dengan penjelasan mengenai QS. Fushillat : 53 yang berarti “ Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al

Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”. Ust Lukman menyampaikan bahwa penjelasan ayat ini adalah khazanah tasawuf meliputi makna tanda kekuasaan Allah pada alam semesta dan bagaimana kita dapat menyadari khazanah semesta yang Allah perlihatkan pada jiwa kita sendiri. Karena itu terdapat sebuah atsar “Siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.” yang disampaikan oleh Ali bin Abi Thallib ra. Ustadz Lukman menjelaskan mengenai gambaran Tasawuf yang memang beragam. Ada yang terdiri dari berbagai tarekat dan ada pula yang sampai menyepelekan syariat. Namun, dalam sesi stadium generale kali ini, kita akan diajak pada pemahaman bahwa khaz-

anah Tasawuf tidak selamanya bercorak demikian. Ust Lukman menegaskan bahwa dalam Tasawuf adalah perjalanan mengenal diri dan Allah, yang semestinya tidak akan lepas dari penegakkan pilar-pilar Ad Diin yang terdiri atas Iman, Islam, dan Ihsan. Penegakan Iman dan Ihsan merupakan inti kajian dari khazanah Tasawuf; pun dengan penegakan Islam yang terdiri dari syariat. Penegakan syariat inilah yang semestinya juga dipahami sebagai bagian dari kajian Tasawuf. Dengan pemahaman Tasawuf yang menyeluruh inilah, diharapkan umat Islam terbuka mengenai hakikat Tasawuf, atau dalam istilah lain disebut Suluk. Dalam kesempatan Stadium Generale ini, Ustadz Lukman juga menjelaskan gambaran mengenai Suluk atau Tasawuf.


Lentera | Desember 2015

SASTRA

Suluk, dijelaskan sebagai sebuah tahapan untuk mengenal diri dan Allah yang melalui proses riyadhoh atau penempaan jiwa yang dibimbing oleh seorang Mursyid. Kajian Tasawuf yang sedang diselenggarakan oleh Komunitas Penggenggam Hujan UI maupun Studium Generale ini adalah baru merupakan Serambi Suluk, dengan kata lain, baru merupakan peta perjalanan dari bagaimana khazanah Suluk yang akan dijalankan oleh jiwa dalam kehidupannya. Baik Serambi Suluk maupun Kajian Suluk merupakan ikhtiar dalam rangka untuk mengenal, mendekat, serta mengetahui substansi Ad Diin. Bersuluk juga memiliki tujuan sejalan dengan tujuan hadirnya agama mulai dari jaman nabi Adam sampai Muhammad SAW; Tujuannya hanya satu, yaitu untuk mengenal Allah SWT (Ma’rifatullah). “Kadang kita baru tahu Allah tapi bilang sudah mengenal Allah. Hafal hadist dan hafal Al-Qur’an, namun belum tentu itulah indikator kita telah mengenal Allah.” Jelas Ust Lukman. Beliau juga menjelaskan bahwa Ulama Sufi besar seperti Al-Ghazali pun pada awalnya belum menemukan hakikat ketika mempelajari ilmu agama. Pada saat itu ia baru mempelajarinya dengan perantara indra dan logika saja. Namun, setelah melalui kontemplasi Tasawuf dan perjalanan yang panjang, akhirnya beliau terbuka pada khazanah hakikat. Fitrah Diri Insan Selain penjelasan mengenai khazanah Suluk, Ust. Lukman juga memberikan materi

yang dekat dengan bahasan Islam dalam tataran Ihsan. Seperti fitrah diri Insan yang menggambarkan bahwa setiap diri dianugrahkan kualitas diri yang ditanamkan Allah. Kualitas diri tersebut harus ditemukan oleh manusia untuk menjalankan tugasnya selama berada di muka bumi. Cara menemukan kualitas diri tersebut adalah dengan mengenal Allah. Karena hakikat manusia itu terdiri dari nafs yang berpendengaran, berpenglihatan serta terdiri dari qalb dan raga kita. Dalam QS Al-‘Araf : 172, nafs ini yang menyaksikan Allah SWT dan Allah telah memprogram kualitas diri dalam Qalbu kita, yaitu amanah yang berupa fitrah. Penerimaan amanah menyimpulkan bahwa kita dimuliakan Allah SWT. Selain amanah ada perjanjian, Orang yang Ad-Diin-nya tegak ia telah menemukan hakikat hidupnya. Salah satu contoh nyata orang yang telah tegak Ad-Diinnya adalah para Sahabat Nabi Muhammad SAW. Manusia memiliki sesuatu yang tidak dimiiki oleh alam, yaitu hawa nafsu. Alam semesta bekerja dengan energi atau yang kita kenal sebagai hukum alam. Manusia merupakan lintasan dalam energi minimalnya. Masing-masing bekerja sesuai untuk apa ia diciptakan, oleh karenanya tidak beralasan apabila seseorang merasa diriya lebih rendah dari orang sekitarnya. Dalam perjalanan mengenal diri dan mengenal Allah, manusia sulit untuk mencapai ma’rifatunafs dan ma’rifatullah. Karena jiwa masuk kedalam raga yang gelap. Inilah yang

17


18

Lentera | Desember 2015

LIPUTAN KHUSUS

menjadi tantangan bagi nafs untuk bangun di alam semesta dan untuk mengenal Rabbnya. Alam dunia hanyalah alam bayangan, dalam kesulitan pendakian ke ma’rifatullah, maka ada satu hal fundamental yang akan membantunya, yakni: siapa yang mencintai bertemu Allah maka niscaya Allah mencintai bertemu dengan diri-Nya. Kanzun Makhfiy “Aku adalah Khazanah tersembunyi (Kanzun makhfiy). Kemudian aku cinta untuk dikenal, maka aku ciptakan makhluk dan aku membuat diriku dikenal oleh mereka, sehingga mereka datang untuk mengenalku” (Hadist Qudsi). Berdasarkan QS 51:56 “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” Menjelaskan bahwa tidak ada tujuan lain selain mengabdi kepada Allah, “Agar dia itu (manusia) mengenal Ku” (Ibnu Tirmidzi). Dalam Hadist Arba’in 38 pula dijelaskan bahwa semua yang ada di dalam diri manusia yang

mengontrol adalah Allah SWT. Apabila manusia mengenal Allah, maka hidupnya akan dikontrol oleh Allah. Tidak ada manusia yang sempurna kecuali Rasulullah. Maka kita harus berupaya sekuat tenaga untuk bisa mencontoh Rasulullah. Sebagai bagian dari bagaimana kita mengenal diri. Rasulullah Saw: Cermin yang Sempurna Pengenalan tentang asma-Nya bukan sekedar mengenal tanda tanda-Nya tetapi melihat dibaliknya yaitu Al-Haqq itu sendiri. Barang siapa yang mengenal nafsnya maka sungguh ia akan mengenal rabbnya. Rububiyyah merupakan martabat rendahnya, maka dengan ini maka Allah akan merndahkan dirinya supaya manusia mengenalnya. supaya dikena Al Insan. Tidak mungkin bagi manusia untuk dapat mempertanggungawabkan setiap tindak- tanduknya tanpa menemukan tujuan penciptaan yang unik per individunya menemukan kembali misi suci yang diembankan oleh Allah SWT. Manusia menjadi al Insan dimana

alif (Rabb) telah hadir sebagai pemelihara hingga kemudian berbuat dalam dan sesaui dengan misi hidup tersebut. Ungkapan “Manunggaling Kawula Gusti” yang terkenal oleh Syekh Siti Djenar bukan bermaksud Allah menyatu dengan Insan, tetapi sifat qudrat dan iradat Allah SWT lah yang menyatu dengan Al-Insan. Dan menyerahkan kalbunya hanya kepada kehendak Allah SWT. Kemudian kajian ditutup dengan informasi pendaftaran Kajian Tasawuf Pekanan yang akan di bina oleh Ust. Lukman Tanjung akan dilaksanakan Setiap Sabtu, Pukul 08.3010.30 bertempat di Pondok Rida (Belakang Rel FH UI) dekat Kos Pondok Ripi. Pada akhirnya, kami mengucapkan terimakasih kepada Komunitas Penggenggam Hujan yang telah turut membantu penyelenggaraan Stadium Generale Kajian Tasawuf bekerjasama dengan Al Hikmah Research Center dan FSI FISIP UI. (27/10/2015) ***


Lentera | Desember 2015

19


20

Lentera | Desember 2015

TAULADAN

Berguru Pada Hamka:

Panutan Sepanjang Masa Oleh: Nopitri Wahyuni Siapa yang tidak mengenal Hamka? Sebenarnya kita tak perlu mendeskripsikannya secara runtut lagi. Sosok kharismatik ini memang telah menempati setiap sela pencintanya. Ulama penting ini telah banyak berkiprah di berbagai bidang hingga namanya harum untuk dikenang. Namun, untuk bercerita tentang dirinya, terlalu sulit untuk ditumpahkan dalam hanya beberapa lembar kertas. Hamka merupakan ulama multidimensi dengan ragam sumbangsih yang telah menjadi pelajaran bagi siapapun Hamka bukan hanya seorang pemikir Indonesia dengan eksistensi yang mapan, tetapi kontribusi keilmuannya memang patut dijadikan panutan. Sebaiknya kita memang perlu mengulik

sedikit terkait sosok hebat ini. Siapakah Hamka? Mengapa kita perlu berguru padanya? Hamka ‘tuk Dikenal Hamka. Nama tersebut memang branding yang ciamik. Kita semua sudah tahu bahwa nama tersebut merupakan akronim dari nama panjangnya, Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau lahir di Maninjau, Sumatera Barat, tanggal 17 Februari 1908 Masehi atau sama dengan 14 Muharram 1326. Masa kecilnya sebenarnya tak banyak dihabiskan di kampung bersama ayahnya, Haji Rasul atau Abdul Karim Abdullah, dan ibunya, Siti Safiyah, seperti anak kebanyakan. Ayahnya merupakan ulama yang cukup tersohor, sehingga banyak menerima

undangan dakwah. Sampai suatu ketika, ia dan keluarganya harus pindah ke Padang. Hamka mendapatkan pendidikan informal dari ayahnya sendiri dan kakak perempuannya. Sedangkan pendidikan formal ia dapatkan dari sekolah dasar, Diniyah dan Sumatra Thawalib Padang Panjang. Di tempat terakhir tersebut, Hamka belajar banyak hal; fiqh, sorof, hadits, dan lain- lain, tetapi ia tidak memutuskan untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Gairah intelektualnya berkembang dengan pesat secara otodidak. Ini dibuktikan bahwa Hamka belajar dari banyak tokoh dan banyak tempat. Hamka belajar dari Muhammad Abduh ketika ia bertandang ke Padang


Lentera | Desember 2015

Panjang. Ia pun belajar dari H.O.S. Tjokroaminto mengenai gerakan Islam di Jawa. Ia belajar banyak hal sampai ia pun belajar ke Mekah pada tahun 1927. Setelah enam bulan di Mekah, Hamka kembali ke kampung halamannya dengan membawa gelar haji. Ia menjadi seorang guru agama di sebuah distrik di Sumatera sampai akhirnya ia kembali ke Padang untuk melancarkan kegiatan dakwahnya. Dengan umurnya yang muda (21 tahun) tersebut, ia menikah dengan Siti Raham dan memiliki 10 orang anak. Namun, istrinya harus berpulang lebih dahulu. Selepas 8 bulan kepergian istrinya, ia menikah kembali dengan seorang wanita Cirebon bernama Siti Khadijah. Selain mengharumkan keilmuan Islam di Indonesia, Hamka juga dikenal sebagai orang yang aktif di masa kemerdekaan. Ia banyak terlibat di partai Masyumi dan menjadi pemimpin dari beberapa majalah. Selain itu, ia juga menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari tahun 1975 sampai 1985. Pada wadah itulah, Hamka benar-benar menjadi pionir yang menjadikan lembaga tersebut sebagai representasi dari suara umat Islam. Berguru pada Hamka Lika-liku hidup dan pengalaman masa kecil menjadikan Hamka sebagai sosok yang teguh pada pendirian. Momentum yang paling diingat ialah ketika Hamka memper-

tahankan fatwanya mengenai haramnya keikutsertaan umat Islam dalam perayaan Natal. Bagaimana ia mempertahankan argumennya dengan landasan Qur’an, hadits, dan rasionalitasnya, sampai ia harus meletakkan jabatannya demi prinsip yang ia pegang. Keteguhan hati tersebut menjadi benteng dalam menepis oposisi dari manapun. Sejalan dengan kegemarannya pada ilmu, Hamka juga menyumbang pemikirannya dalam khazanah ke-Islaman. Karya monumentalnya ialah Tafsir Al-Azhar yang ia tulis selama ia dibui oleh rezim Orde Lama. Selain itu, ia juga menulis 113 buku lainnya, yang di antaranya: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tasawuf Modern, dan lain- lain. Ia pun memiliki beberapa karya penelitian, seperti: Lembaga Hidup, Revolusi Fikiran, dan beberapa lainnya. Karya- karya di atas merefleksikan Hamka sebagai pakar di berbagai bidang. Ia dikenal sebagai seorang ulama, dikenal pula pujangga, pendakwah, jurnalis, dan sebutan- sebutan lainnya. Kecintaannya pada ilmu ia tumpahkan dalam berbagai kiprah yang ia tekuni. Ketangguhannya ia salurkan dengan apik dalam menghadapi segala tekanan di ranah-ranah yang ia geluti. Ini Hamka. Mari, berguru! Hamka dan Panutan Sepanjang Masa: Sebuah Penutup Jika mendefinisikan Hamka dengan satu kata, maka pe-

TAULADAN

21

nulis mungkin hanya akan mengeluarkan kata “emas”. Sumbangsihnya terhadap ranah intelektualitas Islam Indonesia, tidak bisa hanya dijabarkan dalam daftar- daftar saja. Pengaruh keilmuan Islam-nya seperti sebuah kabar yang merdu, bagus di sanasini. Sastranya, karya- karya monumentalnya, kiprahnya, bukan main mekar bak harta karun. Hamka tak bisa dibilang ulama saja; sastrawan, politikus, reporter, silahkan Anda menambah daftar ini sepengatahuan anda tentang keharuman Hamka. Hamka, seperti yang terurai di atas, telah menyodorkan berbagai bukti bahwa ia memang patut dijunjung sebagai corong keilmuan oleh generasi masa depan. Formulasi unik dari rentetan kontribusinya menyentuh berbagai sisi kehidupan. Hamka telah memasang hal tersebut seperti pasak tegak- tegak. Apa yang diteguk saat ini seperti apa yang ia tuang dahulu, tetapi bedanya rasanya lebih manis. Seperti perjuangan Hamka dengan berbagai sumbangsihnya, ia menginspirasi siapapun dahulu, saat ini, dan masa yang akan datang. ***

Referensi: Ibrahim, Mazlan, Muhd Najib Abdul Kadir, dan Latifah Abdul Majid. 2012.” The Concept of Leadership from the Perspective Hamka.” Selangor: Journal of Applied Science Research, 8(8): 4328- 4334.


22 Kembali Pada-Nya Lentera | Desember 2015

Sastra

Jalaludin Rumi

Kembali Pada-Nya Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka, maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan. Begitulah caranya Jika engkau hanya mampu merangkak, Maka merangkaklah kepada-Nya. Jika engkau belum mampu berdo’a dengan khusyuk, maka tetaplah persembahkan do’amu yang kering, munafik dan tanpa keyakinan. Karena Tuhan dengan rahmat-Nya akan tetap menerima mata palsumu. Jika engkau masih mempunyai seratus keraguan mengenai Tuhan, maka kurangilah menjadi sembilan puluh sembilan saja. Begitulah caranya Wahai pejalan.. Biarpun telah seratus kali engkau ingkar janji Ayolah datang, dan datang lagi Karena Allah telah berfirman: “Ketika engkau melambung ke angkasa dan terpuruk ke dalam jurang. Ingatlah pada-Ku, karena Aku-lah jalan itu.”


Lentera | Desember 2015

Sastra

23

Ulasan kali ini akan membahas sebuah syair Rumi yang termaktub dalam buku al Matsnawi, yang dibuat oleh Rumi ketika di Turki. Buku ini merupakan magnum oppus beliau, yang ditulis berdasar kecintaan beliau kepada guru spiritualnya, Syamsuddin . “Luka adalah tempat melaluinya Sang Cahaya masuk Tak perlu kaucari cinta Kau hanya perlu menemukan penghalang-penghalangnya dihatimu” Substansi syair per kata dan kalimat dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, dimulai dari “Luka adalah tempat melaluinya Sang Cahaya masuk”. Kita pahami bahwa luka diartikan secara umum menjadi semua hal yang Allah hadirkan kepada hambaNya, atau lebih khusus diartikan musibah dan ujian. Dengan “luka”

atau musibah atau penderitaan ini manusia diuji. Dan Rumi percaya bahwa dengan penderitaan yang terjadi di dunia ini adalah untuk membersihkan hati seorang muslim, karena dapat kita bayangkan, kapankah manusia lebih mengingat Allah; ketika dia sedang senang dengan berita berita gembira, banyak rejeki, mendapat

kenikmatan kenikmatan hidup? Ataukah ketika musibah datang, ketika banyak masalah hadir, ketika mendapat cobaan? Diwaktu kapan manusia lebih mengingat Allah? Adalah rasa saat keadaan bersedih dengan cobaan. Dalam sebuah hadis disampaikan, “….sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla bila menyenangi suatu kaum


24

Lentera | Desember 2015

Sastra maka Allah akan menguji mereka.” (H.R. Tirmidzi) Kedua, “Sang Cahaya” dalam syair Rumi ini, “Cahaya” lebih diartikan sebagai Allah Azza Wa Jalla, kenapa? Terdapat dalam banyak sekali tempat di Al Quran, bahwa Allah menggunakan kata “cahaya” dalam mengartikan diriNya. Yang paling jelas adalah dalam surat Nur [24] : ayat 35. “Allah cahaya kepada langit dan bumi. Perumpaan cahayaNya seperti sebuah lubang yang tidak tembus yang didalamnya ada pelita…”. Ayat ini menjelaskan tentang struktur cahaya Allah yang dijelaskan dengan analogi sumber cahaya. Ketiga, “Melaluinya Sang Cahaya akan masuk”. Pertanyaannya, masuk ke-

manakah? Allah masuk kemana? penderitaan-penderitaan yang telah dilalui muslim dengan sabar dan ridho, akan membuat hatinya bersih dan kembali suci. Dan ia akan mulai menuju kepadaNya dengan iklhas, “jika ia mendekat padaKu sejengkal ,Aku akan mendekat padanya sehasta. Jika ia mendekat padaKu sehasta, Aku akan mendekat padanya sedepa. Jika ia datang padaKu dengan berjalan, Aku akan datang padanya dengan berlari” (HR Muslim) artinya bahwa Allah yang akan datang kepada kita untuk mengenalkan diriNya dengan caraNya yang misterius, kata Rumi. Dan secara sederhana kita artikan “Melaluinya Sang Cahaya akan masuk” berarti

proses Allah mengenalkan diriNya dalam hati manusia. Dalam hadits dikatakan “sesungguhnya langit dan bumi tidak akan mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimanya” dan memang hanya pada hati orang orang mukmin Allah bisa dikenal seperti saat kita mengenalNya dalam persaksian di alam seperti dalam surat al A’raf [7] : 172. Rumi telah masuk pada proses dia mengenal Allah lewat hatinya. Hanya ulama-ulama yang diberkahi hidayah dan jalan menujuNya saja yang dapat mencapai level keterbukaan seperti ini. Ia pun telah sampai pada keadaan mengingat waktu dimana manusia bersaksi da-


Lentera | Desember 2015

lam alam malukut seperti yang ada pada surat al A’raf ayat 172. Dan ketika telah masuk fase hidup ini maka terbuktilah hadis Rasulullah berikut ini, “Dunia adalah penjara seorang mukmin, dan surga orang kafir.” Keempat, “Tak perlu kaucari cinta”, kebanyakan orang di dunia ini mencari Allah dengan caranya masing-masing. Kadang ia mencoba menegakkan agama dengan berfokus pada syariat, “tegakkan syariat!” atau “tegakkan khilafah!” atau hal-hal lain yang berhubungan dengan syariat zahir atau fisik. Namun, yang terjadi hal-hal batin tidak mendapatkan porsi yang besar dalam untuk dibahas. Memang tidak salah untuk menjalankan syariat dengan ketat, namun akan lebih bijak ketika diimbangi dengan penegakkan syariat batin yang befokus pada “jiwa” manusia. Rumi mengatakan bahwa semestinya tak perlu kita mencari cinta di luar hatimu, karena sebenarnya apa yang kita butuhkan untuk mengenal Allah ada dalam hati sendiri, bukan ada di luar hati. Mari hayati hadis yang telah dipaparkan sebelumnya, “sesungguhnya langit dan bumi tidak akan mampu

menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimanya”. Kelima, “Kau hanya perlu menemukan penghalangpenghalangnya dihatimu” Kata ini menjelaskan bahwa untuk mengenal Allah dan Allah menngenalkan diriNya melalui cahayaNya (seperti ketika Dia mengenalkan diriNya kepada Musa di gunung Sina melalui penampakkan Cahaya) yang perlu dilakukan adalah mempersiapkan tempat Allah bersemayam, yaitu membersihkan hati. Atau secara khusus membersihkan “jiwa” atau Tazkiyatun Nafs. Dan penghalang-penghalang yang dimaksud Rumi adalah penyakit penyakit hati yang kebanyakan manusia terjebak didalamnya, dari yang paling kronis penyakitnya berupa kekafiran, syirik, munafik. Kemudian penyakit lainnya, seperti sombong, ujub, iri, dengki, takabur, dan lainnya. Yang intinya adalah egoisme diri, syahwat, nafsu, hawa. Dan semua keadaan itu merupakan hijab terbesar untuk bisa mengenal Allah. Bukti paling nyata bahwa kita masih terperangkap dalam penghalang-penghalangnya di hati” kata adalah ke-

25

Sastra tika kita sholat. Sudahkah kita selalu bisa khusuk, ketika sholat? Ataukah banyak pikiran yang berkecambuk di hati? Kebanyakan manusia masih sangat sulit untuk bisa khusuk dalam shalatnya, dan hanyalah orang orang yang telah mengenal Allah dengan hatinya dan dibuka hijab dalam hatinya yang bisa khusuk dalam Sholat. Pada akhirnya dalam syairnya Rumi memberitahu pada kita bahwa musibah yang Allah hadirkan dalam kehidupan seorang mukmin adalah bukti cintaNya kepada kita yang dengan musibah itu kita diajak kembali kepada Allah dengan hati yang bersih dan ridha. Lalu melalui hati yang telah bersih Allah masuk dalam hati seorang mukmin dan mengenalkan diriNya. Oleh karenanya, Rumi menasehati kita untuk berfokus pada pembersihan “jiwa” dengan cara memperbaiki diri dari penyakit-penyakit hati yang telah dibahas sebelumnya. Semoga hanya manfaat saja yang dapat diambil dari tulisan ini dan meninggalkan sisanya. /YSP Wallahu ‘alam


26

Lentera | Desember 2015

INTERNASIONAL

Intifadhah dan Refleksi Pemuda Masih hangat di benak kita peristiwa yang cukup bersejarah bagi rakyat Palestina, yaitu dikibarkannya bendera Palestina di Markas Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berlokasi di New York, Amerika Serikat. Berkibarnya bendera Palestina tersebut merupakan salah satu bukti adanya pengakuan dan rasa kepedulian dari masyarakat Internasional tentang nilai-nilai kemanusiaan serta HAM yang (mungkin selama ini) tidak didapat oleh warga Palestina, khususnya di daerah Gaza. Keberhasilan tersebut juga merupakan setetes embun harapan warga Palestina di balik segala macam perjuangan pemuda-pemuda Palestina melawan kaum zionis yang

tiada henti-hentinya mengusir, menembak, mengebom daerah-daerah pemukiman Palestina. Gerakan perjuangan itu bernama Intifadhah Intifadhah (intifāḍah) memiliki arti literal yaitu melepaskan. Intifadhah sendiri memiliki referensi luas terhadap beberapa gerakan yang ada di timur tengah. Saat ini, intifadhah merupakan bentuk utama dalam simbol perjuangan dalam melawan opresi pihak yang mengekang. Dalam konteks konflik Palestina-Israel, Intifadhah dapat diartikan sebagai daya upaya perjuangan mengusir pendudukan Israel terhadap wilayah Palestina. Dalam kronologi historis, telah terjadi beberapa kali kli-

Oleh: Rijal Ramdhani

maks dari gerakan Intifadhah. Di tahun 1965 misalnya, intifadhah telah berhasil menjadi bagian dari sejarah Bahrain dimana pemuda-pemuda beserta para pekerja melakukan aksi pengusiran terhadap pendudukan Inggris yang telah berlangsung cukup lama. Uniknya lagi, pergerakan ini dimulai dari salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di Bahrain yaitu SMA Manama. Motto pergerakan ini adalah “Turun! Turun! Kolonialisme” Intifadhah palestina sendiri mencapai klimaks pertamanya pada kisaran tahun 1987. Zachary Lockman dan Joel Beinin mengatakan pada bukunya yaitu Intifadhah: The Palestinian Uprising Against Israeli Occupation


Lentera | Desember 2015

INTERNASIONAL

bahwa ada sekitar 1.100 orang Palestina dibunuh oleh tentara Israel dan 164 orang Israel juga terbunuh. Tentu saja kausal terjadinya peristiwa ini adalah dikarenakan mulai agresifnya pemerintah Israel dalam pendudukan dan pembangunan wilayah pemukiman pemukiman di teritori Palestina. Setelah Intifadhah pertama, pergolakan konflik ini tidak berakhir begitu saja, meski pemimpin Palestina saat itu, Yasser Arafat telah menandatangani perjanjian Oslo pada Tahun 1993, tetap saja pihak Israel melanggarnya, dan pada akhirnya pada tahun 2000 Intifada Al-Quds atau intifadhah kedua kembali pecah. Kausal utama kali ini adalah persoalan Al-Aqsa yang menjadi tempat suci dan sakral bagi kaum muslimin yang juga dianggap sebagai tujuan akuisisi pihak Israel. Dalam Intifadhah yang berlangsung cukup lama ini, korban dari kedua belah pihak pun berjatuhan. Namun, karena perbedaan persenjataan yang timpang, korban lebih banyak yang berjatuhan dari sisi Palestina. Dari semua itu, Peristiwa yang paling menggugah dunia adalah konflik yang terjadi di kisaran 2008-2010. Dunia mulai membuka mata atas konflik tersebut karena mudahnya akses informasi dan berita keluar dari Palestina. Dunia disuguhkan dengan gambaran konflik hebat yang terjadi di bumi Palestina.

Dukungan pun mulai berdatangan, aksi solidaritas pun mulai ramai. Namun, kecaman kembali muncul ketika kapal bantuan Mavi Marmara ditembaki oleh tentara Israel yang menyebabkan beberapa oraang terluka. Oleh karena itu, Israel dianggap menciderai perdamaian dunia. Bukan Hanya Konflik Keagamaan Pemahaman atas konflik Palestina dan Israel bagi sebagian besar masyarakat dunia termasuk sebagian besar kaum muslimin adalah murni konflik sakral keagamaan. Memang, hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya dalil Al-Quran yang menyatakan bahwa kaum muslimin dan Yahudi akan selalu dalam keadaan konflik. Berikut dalil yang tercantum dalam Al Quran Surah Al Baqarah 120 “Dan sekali-kali tidaklah ridha terhadap engkau orangorang Yahudi dan Nasrani itu, sehingga engkau mengikut agama mereka. Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah, itulah dia yang petunjuk. Dan sesungguhnya jika engkau turuti kemauan-kemauan mereka itu, sesudah datang kepada engkau pengetahuan, tidaklah ada bagi engkau selain Allah akan pelindung dan tidak pula akan penolong� Ayat di atas menunjukkan bahwa selalu ada alasan bagi kaum yahudi untuk menyerang kaum muslimin dengan berbagai cara. Untuk konflik Israel-Palestina, se-

27

baiknya kita berhenti menggunakan alasan keagamaan dan janji ayat untuk menginterpretasikan keadaan. Bukan bermaksud untuk menyalahkan ayat atau mendiskreditkan kemuliaan ayat Quran namun hal ini diperlukan untuk memberikan pemahaman kepada khalayak luas dan tidak terbatas pada kaum muslimin saja bahwa Palestina saat ini sedang dalam kondisi tertindas. Intifadhah yang dilakukan pemuda Palestina dapat dianalogikan dengan mudah. Misalnya jika negara kita tercinta Indonesia tiba-tiba diduduki secara paksa dan dengan kekuatan militer yang berlebihan oleh Malaysia, tentu kita sebagai rakyat akan marah dan berusaha menegaskan kedaulatannya dengan berjuang melawan negara tersebut. Sedikit banyak kondisi seperti inilah yang terjadi di bumi Palestina, dimana warga palestina benar benar terusik dengan adanya pendudukan dan pelebaran wilayah Israel yang semena-mena serta lebih sering melanggar pakta-pakta yang beberapa kali ditandatangani oleh kedua belah pihak. Intinya adalah bagaimana kita melihat konflik ini bukan hanya dari sisi agama dan keyakinan, karena jika dilakukan seperti itu terus menerus, maka tidak akan ada pemahaman dari kalangan lain yang sebenarnya menentang penindasan namun anti Islam. Kita harus tetap


28

Lentera | Desember 2015

INTERNASIONAL

meyakini ayat diatas sebagai satu kebenaran yang mutlak, namun interpretasinya yang ada di masyarakat mengenai konflik tersebut harus kembali diluruskan. Apa daya kita sebagai manusia biasa masih berpotensi salah dalam menerjemahkan ayat-ayat Allah yang sangat mulia dan pasti kebenarannya. Pernyataan senada juga pernah dilontarkan oleh Dr. Ahmad Ath-Thayyib, Syaikhul Azhar Asy-Syarif yang pernah mengajak bangsa Arab dan Pemimpinnya untuk mengedepankan berfikiran terbuka dan moderat dalam rangka menjaga semangat, peradaban, wawasan, dan kemajuan umat. Dan Al-Azhar memainkan peran signifikan, baik dalam percaturan nasional, sejarah, peradaban, dan tanggung jawabnya dalam mengemban cita-cita umat. Hal tersebut juga dapat menjawab pertanyaan “Apa seharusnya atau Apa urgensi Indonesia wajib membantu Palestina?”. Kita tidak lagi akan menjawab karena Indonesia mayoritas agamanya Islam dan Palestina juga Islam. Namun, kita harus menjawabnya dengan argumen bahwa “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”. Ya, kata-kata itulah yang me-

lekat di dalam alinea pertama pembukaan UUD 1945. Tidak akan ada kedamaian, tapi Kemenangan. Konflik yang berlangsung antar kaum Muslimin dan Yahudi (dalam hal ini Palestina dan Israel) memang cukup istimewa. Konflik keduanya memang tergambar pada sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang berbunyi “Belum akan tiba kiamat sehingga kaum muslimin memerangi kaum Yahudi. Kemudian mereka akan diperangi oleh kaum muslimin sehingga batu dan pohon sampai berkata: ‘Hai kaum muslimin, wahai hamba Allah, inilah seorang Yahudi tersembunyi di belakangku, datangilah dan bunuhlah”, kecuali pohon Ghargad. Sebab, sesungguhnya ia tergolong pohon kaum Yahudi” Untuk menyelaraskan misi pemahaman yang universal, seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya memang perlu untuk menyiratkan dalil-dalil agar tergambar seperti sebuah nilai esensial yang tidak hanya dapat diterima kaum muslimin saja. Namun, untuk hal yang dapat membakar semangat juang para kaum muslimin atas kemenangan, justru diperlukan dalil-dalil berupa janji Allah atas kehancuran kaum Yahudi tersebut. “Dan Telah kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: “Sesungguhnya

kamu akan membuat kerusakan di muka bumi Ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar”. Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, kami datangkan kepadamu hamba-hamba kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan Itulah ketetapan yang pasti terlaksana. Kemudian kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat(Nya) kepadamu; dan sekiranya kamu kembali kepada (kedurhakaan) niscaya kami kembali (mengazabmu) dan kami jadikan Neraka Jahannam penjara bagi orang-


Lentera | Desember 2015

INTERNASIONAL

orang yang tidak beriman.” ( QS al-Israa’ 17:4-8)” Setelah kita memahami ayat tersebut, akan muncul pertanyaan besar. Dimana letak kekuatan umat muslim sekarang? Umat muslim sekarang ibarat raksasa tidur yang menunggu untuk dibangunkan. Namun para pemimpinnya saat ini tengah di nina-bobokan oleh kelezatan dunia sehingga secara perlahan membuat rakyatnya menuju kehancuran. Kemenangan yang dijanjikan dideskripsikan sebagai kemenangan yang mulia oleh orang yang mulia. Permasalahannya adalah dimanakah posisi umat muslim saat ini? Apakah sudah menempatkan kemuliaannya dengan membuktikan ketaatannya kepada Allah SWT? Mungkin hanya diri-sendiri yang dapat menjawabnya. Oleh karena itu mari bersama-sama kita buktikan kemenangan itu karena tidak lain tidak bukan bahwa generasi kemenangan itu adalah generasi kita. Refleksi Intifadhah terhadap Pemuda Bung Karno pernah berkata “Beri aku 1000 orang tua maka akan kucabut semeru dari akarnya, beri aku 10 pemuda maka akan kuguncangkan dunia.” Kata-kata dari Bung Karno tersebut sebenarnya telah menegaskan betapa sentralnya peran pemuda dalam perkembangan peradaban dunia, dan tidak salah jika banyak orang yang berka-

ta bahwa masa depan dunia menjadi pikulan para pemuda generasi saat ini. Terutama bagi pemuda-pemuda Islam. Apalagi jika kita melihat salah satu hadis Nabi Muhammad SAW yang memposisikan “Pemuda yang tumbuh dengan kebiasan beribadah kepada Rabbnya” sebagai salah satu dari tujuh golongan manusia yang akan diberikan naungan di Padang Mahsyar. Bagaimana kita mewujudkannya? Salah satunya adalah dengan mengambil esensi dari gerakan intifadhah yang telah panjang lebar dijelaskan. Mengambil esensi disini bukan dimaksudnkan untuk menyamakan kondisi konflik yang berada di jazirah Arab dengan kondisi yang relatif stabil di Indonesia. Esensi Intifadhah yang berarti melepaskan bukan juga diimplementasikan dengan cara yang salah, misalnya bahwa kita harus melepaskan diri dari kekuasaan negeri ini karena menganggap pemerintahan sekarang adalah pemerintahan yang dzalim. Pada intinya hanya konsep “melepaskan” saja yang dipakai. Intifadhah disini dapat berarti Intifadhah melawan kemaksiatan, Intifadhah melawan kesesatan, Intifadhah melawan Hawa nafsu yang tidak baik, dan Intifadhah lainnya yang dapat berimplikasi menjadi kedekatan kita terhadap Allah SWT. Oleh karena itu, konflik Israel-Palestina ini dapat dijadikan refleksi untuk kita

29

sebagai pemuda harus memiliki nilai juang yang tinggi serta kepedulian bersama di dalam payung ketaatan kepada Allah SWT. Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Fadhilatul Ustadz Prof. Muhammad Mahdi Akif dalam salah satu konferensi Ikhwanul Muslimin (IM) “Jangan kalian lupakan Palestina! Ajarkan dan kenalkan Palestina kepada anak-anak kalian dan kerabat kalian. Posisikan Palestina di hati kalian, sehingga Palestina kembali lagi ke pangkuan kita dengan penuh kemuliaan” Pidato tersebut juga menunjukan bahwa pengetahuan lebih dini juga diperlukan untuk mencapai kemenangan. Hal tersebut dapat dilaksanakan oleh pemuda dengan cara terus menjadi pembelajar seumur hidup agar umat Islam menjadi umat yang kuat dan tidak mudah menjadi tipu daya musuh-musuh Islam. Dan semua itu berada di pundak dari para pemuda-pemuda. Mari membangunkan raksasa yang tertidur. ***


30

Lentera | Desember 2015

Khalifah

Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib Oleh Intan Sari Ali bin Abi Thalib ra. dilahirkan tepat di Ka’bah Masjidil Haram, kota kelahiran Bani Hasyim yaitu pada hari Jum’at 13 Rajab tahun 570 M (atau ada juga yang berpendapat sekitar tahun 600 M), atau pada tahun 21 sebelum Hijrah. Ali bin Abi Thalib merupakan saudara Rasulullah yang dekat dengannya sedari Ali kecil hingga dewasa dan menikahi anak Nabi Muhammad yakni Fathimah. Ayah Ali merupakan paman Nabi Muhammad SAW yang berarti bahwa ia dan Rasulullah adalah sepupu. Sejak masih berumur 6 tahun, Ali telah bersama dan menjadi pengikut setia Rasulullah. Ali bin Abi Thalib adalah khalifah Ar-Rasyidin ke empat setelah Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. Kepemimpinan serta

komitmennya terhadap Allah dan Rasulullah telah terbukti dalam berbagai perang. Hingga Rasulullah berkata, “Kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Hanya tidak ada nabi setelahku.” (HR. Muslim no. 4418). Ali bin Abi Thalib merupakan sosok pemimpin sederhana dan dekat dengan rakyat kecil. Kedudukannya sebagai khalifah tak menghalanginya untuk berbaur dengan masyarakat. Pernah suatu ketika dikisahkan, beliau memasuki sebuah pasar, dengan mengenakan pakaian setengah betis sembari menyampirkan selendang. Beliau mengingatkan para pedagang supaya bertakwa kepada Allah dan jujur dalam bertransaksi. Beliau menasihatkan, “Adilah da-

lam hal takaran dan timbangan” (Siyar a’laam an nubala’ 28: 235). Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa suatu hari beliau masuk pasar sendirian, padahal posisi beliau seorang Khalifah. Beliau menunjuki jalan orang yang tersesat di pasar dan menolong orangorang yang membutuhkan pertolongan. Saat menjadi khalifah, keadilan benar-benar tersebar. Bahkan tak hanya kaum muslimin yang merasakan, orang-orang non-muslim juga merasakan keadilan tersebut. Pada saat Ali berada di Sifin, baju besi beliau diambil orang. Ternyata baju besi itu dibawa oleh seorang Nasrani. Lalu Ali mengajaknya mendatangi seorang hakim, untuk memutuskan kepemilikan baju besi tersebut. Hakim tersebut adalah


Lentera | Desember 2015

Khalifah

utusan Ali untuk bertugas di daerah tersebut. Namanya Syuraih. Di hadapan sang hakim, orang Nasrani tetap tidak mengaku kalau baju besi itu milik Ali. “Baju besi ini milikku. Amirul Mukminin sedang berdusta”. Lalu Syuraih bertanya kepada Ali radhiyallahu’anhu, “Apakah Anda memiliki bukti ya Amirul Mukminin?” Ali pun tertawa senang, melihat sikap objektif yang dilakukan hakim ,”Kamu benar ya Syuraih. Saya tidak ada bukti.” kata Khalifah Ali radhiyallahu’anhu. Akhirnya hakim memutuskan baju besi tersebut milik orang Nasrani. Sidang pun usai. Setelah berjalan beberapa langkah, si Nasrani tadi berkata kepada Ali radhiyallahu’anhu, “Aku menyaksikan bahwa hukum yang ditegakkan ini adalah hukumnya para nabi. Seorang Amirul Mukminin (penguasa kaum mukmin), membawaku ke hakim utusannya. Lalu hakim tersebut memenangkanku! Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dan baju besi ini, sejujurnya, milik Anda wahai amirul mukminin.” Lalu Ali meng-hibahkan baju tersebut untuknya (Tahdzib Bidayah wan Nihayah: 3: 281-282). Pengembangan dalam Bidang Pemerintahan Situasi ummat Islam pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib

sudah sangat jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Ummat Islam pada masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar Ibnu Khattab masih bersatu, mereka mempunyai banyak tugas yang harus diselesaikannya, seperti tugas melakukan perluasan wilayah Islam dan sebagainya. Selain itu, kehidupan masyarakat Islam masih sangat sederhana sebab belum banyak terpengaruh oleh kemewahan duniawi, kekayaan dan kedudukan. Namun pada masa pemerintahan Utsman keadaan mulai berubah. Perjuangan pun sudah mulai terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat duniawi. Oleh sebab itu, beban yang harus dipikul oleh penguasa selanjutnya semakin berat. Usaha-usaha Ali bin Abi Thalib dalam mengatasi persoalan itu tetap dilakukannya, walaupun ia memperoleh tantangan yang sangat luar biasa. Semua itu memiliki tujuan agar masyarakat merasa aman, tentram dan sejahtera. Usaha-usaha yang dilakukannya diantaranya: (1) Mengganti Para Gubernur yang diangkat Khalifah Usman bin Affan dan (2) Menarik kembali tanah milik Negara. Perkembangan di Bidang Politik Militer Khalifah Ali mempunyai kelebihan seperti kecerdasan, ketelitian, ketegasan, keberanian dan sebagainya. Karenanya saat ia terpilih sebagai khalifah, jiwa dan semangat itu masih mem-

31

bara didalam dirinya. Banyak usaha yang dilakukan, termasuk bagaimana merumuskan sebuah kebijakan untuk kepentingan negara, agama dan umat Islam kemasa depan yang lebih cemerlang. Selain itu, ia juga terkenal sebagai pahlawan yang gagah berani, penasihat yang bijaksana, penasihat hukum yang ulung, dan pemegang teguh tradisi, seorang sahabat sejati, dan seorang kawan yang dermawan. Khalifah Ali sejak masa mudanya amat terkenal dengan sikap dan sifat keberaniannya, baik dalam keadaan damai mupun saat kritis. Beliau amat tahu medan dan tipu daya musuh, ini kelihatan sekali pada saat perang Shiffin. Dalam perang itu Ali mengetahui bahwa siasat yang dibuat Muawiyah hanya untuk memperdaya kekuatan kekhalifahan Ali. Oleh karena itu, beliau menolak ajakan damai, sebab beliau sangat mengetahui bahwa Muawiyah adalah orang yang sangat licik. Namun para sahabatnya mendesak agar menerima tawaran perdamaian itu. Peristiwa ini lalu dikenal dengan istilah “Tahkim” di Daumatul Jandal pada tahun 34 Hijriyah. Peristiwa itu sebenarnya adalah bukti kelemahan dalam system pertahanan pada masa pemerintahan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib. Usaha Khalifah terus memperoleh tantangan dan selalu dikalahkan oleh kelompok


32

Lentera | Desember 2015

Khalifah

orang yang tidak senang pada kepemimpinannya. Karena peristiwa “Tahkim” itu, timbullah tiga golongan dikalangan umat Islam, yaitu Kelompok Khawarij, Kelompok Murjiah dan Kelompok Syi’ah (pengikut Ali). Ketiga kelompok itu yang pada masa selanjutnya adalah golongan yang sangat kuat dan yang mewarnai perkembangan pemikiran dalam Islam. Perkembangan di Bidang Ilmu Bahasa Pada masa Khalifah Ali, wilayah kekuasaan Islam telah sampai Sungai Efrat, Tigris, dan Amu Dariyah, bahkan sampai ke Indus. Akibat luasnya wilayah kekuasaan Islam dan banyaknya masyarakat yang bukan berasal dari kalangan Arab, banyak ditemukan kesalahan dalam membaca teks Al-Qur’an atau Hadits sebagai sumber hukum Islam. Ali menganggap bahwa kesalahan itu sangat fatal, terutama bagi orangorang yang akan mempelajari ajaran islam dari sumber aslinya yang berbahasa Arab. Kemudian Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Duali untuk mengarang pokokpokok Ilmu Nahwu (Qawaid Nahwiyah). Dengan adanya Ilmu Nahwu yang dijadikan sebagai pedoman dasar dalam mempelajari bahasa AlQur’an, maka orang-orang yang bukan berasal dari masyarakat Arab akan mendaptkan kemudahan dalam membaca dan memahami sumber

ajaran Islam. Perkembangan di Bidang Pembangunan Pada masa kekhalifahan Ali, terdapat usaha positif yang dilaksanakannya, terutama dalam masalah tatakota . Salah satu kota yang dibangun adalah kota Kuffah. Semula pembangunan kota Kuffah ini bertujuan politis untuk dijadikan sebagai basis pertahanan kekuatan Khalifah Ali dari berbagai rongrongan para pembangkang, misalnya Muawiyah. Akan tetapi, lama kelamaan kota ini berkembang menjadi sebuah kota yang sangat ramai dikunjungi bahkan lalu menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan keagamaan, seperti perkembangan Ilmu Nahwu, Tafsir, Hadits dan sebagainya. Pembangunankota Kuffah ini dimaksudkan sebagai salah satu cara Ali mengontrol kekuatan Muawiyah yang sejak semula tidak mau tunduk pada perintahnya. Karena letaknya yang tidak begitu jauh dengan pusat pergerakan Muawiyah, maka boleh dibilang kota ini sangat strategis bagi pertahanan Khalifah. ***


Lentera | Desember 2015

BUKU

33

Tasawuf Modern Oleh: M. Ikhsan Fadli

Judul Buku Penulis Penerbit Tahun Tebal Halaman

: Tasauf Modern : Buya Hamka : Republika : Maret, 2015 : 377

Buku Tasauf Modern ini ditulis oleh Almarhum Hamka sekitar tahun 30-an, sebagai kumpulan karangan bersambung dalam majalah Pedoman Masyarakat yang terbit di Medan. Pada waktu itu, Hamka pulalah yang menjadi pemimpin redaksi. Setelah selesai pemuatan dalam majalah, atas permintaan pembaca, Tasauf Modern kemudian diterbitkan sebagai sebuah buku untuk pertama kali tahun 1939. Penerbitan pertama ini ternyata mendapat sambutan dari masyarakat sehingga mengalami cetak ulang beberapa kali. Walaupun buku ini berjudul ‘Tasawuf Modern’, namun buku ini tidak berisi tentang laku bermacam-macam tarekat yang ada dalam jagad dunia tasawuf atau sejarah panjang tasawuf yang sebegitu kontroversialnya. Buku ini secara umum menjelaskan tentang konsep bahagia yang tak hanya memperhatikan as-

pek spiritual tetapi juga aspek sosial. Maksud tasawuf dalam buku ini yaitu bagaimana manusia keluar dari kungkungan rendah budi dan tercela menuju akhlak dan budi pekerti yang terpuji. Tasawuf membuat manusia keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai akhlak baik. Inilah tujuan awal hadirnya tasawuf yaitu membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi derajat budi dengan menekan segala tindak tanduk keburukan dan kerakusan. Konsep yang banyak dibahas oleh Hamka dalam bukunya ini salah satunya adalah tentang bahagia. Bahagia adalah tentang pembahasan yang tak akan pernah selesai untuk dikaji. Beliau memaparkan konsep-konsep bahagia dari para filsuf, ulama, hingga kanjeng Nabi Muhammad SAW. Ada tokoh yang menjelaskan bahwasanya bahagia itu adalah apabila melakukan

laku spritual tertentu. Beribadah siang malam, menyiksa badan hancur lebur hingga tercipta kebahagian yang terutamanya yaitu kebahagiaan batin. Ada juga yang menyatakan bahwa bahagia itu tidak ada, dan manusia seharusnya tak patut untuk mengejar kebahagiaan itu. Dan ada pula tokoh yang menyatakan bahagia adalah ketika seseorang telah berkontribusi kebahagiaan orang lain. Golongan ini berpendapat bahwasanya kebahagiaan pribadi hanya akan tercipta setelah orang tersebut mampu berpartisipasi secara aktif untuk membahagiakan orang lain. Terakhir, Hamka dengan menukil pendapat beberapa tokoh, memaparkan bahwa kebahagiaan itu berada di jalan tengah, antara jiwa yang penuh cahaya dan badan yang sehat bugar. Begitulah Buya Hamka menjelaskan perihal kebahagiaan di dalam bukunya berjudul ‘Tasawuf Mod-


34

Lentera | Desember 2015

BUKU

ern’. Kemudian, Hamka juga menyoroti laku para penggiat tasawuf yang cenderung antipati terhadap kehidupan sosial dan keduniawian. Beliau menyoroti ini dengan memaparkan argumentasi bahwasanya penataan batin harus sejalan dengan penataan lahiriah. Dimensi batin dan lahiriah pada dasarnya akan saling berdialektika dalam menghantarkan hamba pada Tuhan. Aspek batin dan lahiriah bersifat saling tumpang tindih, berkelindan, serta memengaruhi satu dengan yang lain. Dengan pemahaman seperti ini, bagi Hamka tidak ada yang salah dengan bekerja keras dalam urusan menata kehidupan dunia. Dan lebih jauh lagi, konsep ini merupakan aspek penting dalam membangun Islam dalam konteks sosial-masyarakat. Namun tentunya, segala kegemilangan dunia itu bolehlah hanya berada dalam ‘genggaman’ dan tak selaknya terpaut ke dalam hati seorang hamba. Jika diibaratkan, buku ini dapat dikatakan sebagai peta jiwa. Secara detil Hamka menjelaskan tentang apa itu syaja’ah, ‘iffah, hikmah dan ‘adalah. Beliau menjelaskan tentang konsep agama dalam dimensi trandensen dan sosial-masyarakat. Dalam menjawab persoalan-persoalan itu, Hamka memaparkannya dengan logat melayu yang sebegitu kentalnya. Terdapat pula ilustrasi yang digunakan

cenderung asing di telinga pembacanya. Namun begitu, gagasan-gagasan yang dipaparkan Hamka di buku ini tetaplah relevan sampai saat ini sebagaimana kata ‘modern’ dalam bukunya ini. Terakhir, penulis mengutip sajak dengan aroma melayu kental yang digunakan Hamka untuk menjelaskan tentang hakikat kehidupan dengan kalimat sebagai berikut:“Maka alam ini adalah laksana kebun bunga itu. Bunga-bunga yang ada di dalamnya ialah perjalanan kehidupan manusia. Kita cium setiap hari untuk menjadi keuntungan diri, yang busuk kita jauhi, durinya kita awasi, baunya dicium juga. Dari sebab memetik bunga dan menghindarkan durinya itu, kita merasakan lezat cita tenteram. Hamka mengajarkan kita tentang bagaimana berbahagia sebagaimana mestinya; yakni dengan memperhatikan aspek jiwa di dalam diri untuk kebutuhan mengenal Tuhan namun tidak mengabaikan konsep ‘kesalehan sosial’ di dalam hubungan horizontal dengan konteks masyarakat. ***


Lentera | Desember 2015

BUKU

35


36

Lentera | Desember 2015


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.