Kesaksian
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
Daftar Isi FOKUS 4 Menggagas Generasi Antikorupsi EKSPOSISI 10 Integritas Belaka Tidak Cukup: WAWANCARA 14 Pendidikan Itu Mewariskan Worldview
JELANG 32 Mengupayakan Transformasi Budaya AntiKorupsi 36
2
TILIKAN
DARI GRADUATE CENTER 37 Persiapan dan Pemilihan Kebutuhan Mendasar di Komunitas PERCIKAN 46 Si Mamon Takluk oleh Mahasiswa!
Rekomendasi Depag: FII/HM.02.2/619/2806/97 ISSN: 0215-9031 Ketua Yayasan: Tony Antonio Pemimpin Umum: Triawan Wicaksono Pemimpin Redaksi: Thomas Nelson Pattiradjawane Redaksi Senior: Polo Situmorang Tadius Gunadi Mangapul Sagala Daltur Rendakasiang Daniel Adipranata Redaksi: Yoel M. Indrasmoro Partogi Samosir Ruth Yuni Redaktur Pelaksana: Philip Ayus Alamat Redaksi/Administrasi/Distribusi: Kompleks Mitra Pintu Air, Jl. Pintu Air Raya 7 Blok C-5 Jkt 10710 Telp./Fax.: 021-3440305 / 021-3522170 E-mail: mediaperkantas@gmail.com kantanas71@gmail.com Rekening: BCA Cab. Pasar Baru No. 1063003542 a.n. Yayasan Perkantas *cantumkan keterangan “Untuk Berlangganan DIA”
Harga Majalah DIA Rp 6.000,00 (mahasiswa); Rp 10.000,00 (umum). Bea berlangganan + bea kirim 1 tahun (3x terbit) Rp 30.000,00 (mahasiswa); Rp 50.000,00 (umum). Jika Anda mentransferkan biaya berlangganan ataupun memberi dukungan untuk pelayanan Majalah Dia, mohon mengirimkan bukti transfer melalui fax atau e-mail dengan mencantumkan nama dan alamat lengkap.
Majalah Dia Edisi 2 | Tahun XXVI | 2012 Desain sampul: Philip Ayus Tata letak: Philip Ayus
Redaksi menerima kiriman naskah berupa artikel, kesaksian, resensi, cerpen, puisi, dsb. Kirimkan tulisan melalui email ke mediaperkantas@gmail.com dengan judul “Untuk Majalah Dia”.
Menggagas Generasi Antikorupsi
Daftar Isi
SUDUT PANDANG: 18 Jangan Hanya Menambah Pengetahuan 21 Penyadaran Antikorupsi Melalui Pendidikan Perdamaian 24 Pendidikan Antikorupsi 27 Pendidikan Antikorupsi: Tanggung Jawab Kita Bersama 30 Makan!
Penerbit: Yayasan Perkantas
Dat anglah K er ajaan-Mu Datanglah Ker erajaan-Mu
Salam
S
etelah kejatuhan rezim Suharto, rakyat berharap banyak pada Orde Reformasi yang diharapkan dapat membawa bangsa ini menuju kondisi yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana tersirat di dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjadi dasar negara kita. “Penyakit” yang paling ingin dibasmi ketika melengserkan The Smiling General pada waktu itu adalah KKN. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme begitu merajalela dan memberatkan rakyat banyak. Itu sebabnya, ketika Suharto lengser, segenap negeri riang bersorak. Akan tetapi, kegembiraan itu tak bertahan lama. Bagaikan perumpamaan satu roh jahat yang diusir dari tubuh namun kemudian kembali lagi dengan mengajak tujuh roh lagi yang lebih jahat, Indonesia seolah-olah malah menjadi “bancakan” bagi para oportunis. Bukannya makin berkurang, KKN justru bak jamur di musim penghujan. Kepala Pusat Penerangan Kemdagri, Reydonnyzar Moenoek, dalam sebuah acara baru-baru ini mengatakan, 70 persen dari 281 kepala daerah terjerat pidana korupsi. Sungguh ironis! Ironisnya lagi, kecenderungan yang ada menunjukkan bahwa para pelaku korupsi masih berusia muda. Sebut saja Gayus Tambunan yang masih berusia 32 tahun, Nazaruddin (33), Neneng (istri Nazaruddin) dan Wa Ode Nurhayati (30), Dhana Widyatmika (37), dan Angelina Sondakh (34), kesemuanya berusia di bawah empat puluh tahun dengan nilai korupsi yang fantastis. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam beberapa kesempatan selalu berikrar akan berada di barisan terdepan untuk memimpin pemberantasan korupsi. Lantas, apa saja langkah yang telah ditempuh Pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini? Salah satu yang hendak kita soroti dalam Majalah Dia edisi kali ini adalah salah satu upaya yang diikhtiarkan oleh Pemerintah, terkhusus dalam bidang pendidikan: penerapan kurikulum pendidikan antikorupsi. Tak hanya itu, kita juga akan menelisik sejauh mana peranan kaum muda (Kristen) Indonesia dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi di “tanah surga” ini. Kiranya sajian yang ditawarkan ke hadapan Pembaca kali ini benar-benar menggugah semangat untuk menjadi berkat bagi keluarga, gereja, masyarakat, negara, dan bahkan dunia, khususnya dalam memerangi korupsi dan mewujudkan masyarakat idaman yang gemah ripah loh jinawi, ayem tentrem karta raharja. Sama seperti yang kita ucapkan dalam Doa Bapa Kami, “Datanglah kerajaan-Mu… Jadilah kehendakMu di bumi, sama seperti di surga….”
Redaksi
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
3
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
Menggagas Generasi Antikorupsi
D
“
Dampak korupsi bukan tidak nyata, melainkan belum dikomunikasikan secara gamblang kepada masyarakat. diberi uang teh tersebut. Demikianlah, korupsi begitu membudaya dan memberatkan rakyat, terutama yang tak mampu mengakses layanan-layanan publik. Dampak korupsi bukan tidak nyata, melainkan belum dikomunikasikan secara gamblang kepada masyarakat. Orang-orang awam mungkin hanya tahu bahwa makin bertambah tahun, harga-harga akan semakin mahal, apalagi harga bahan kebutuhan pokok menjelang hari-hari raya. Padahal,
mahal dan sulitnya mengakses kebutuhan pokok itu acapkali bukan karena besarnya kesenjangan antara permintaan dan ketersediaan, melainkan kebijakan oknum pejabat yang mengutamakan keuntungan pribadi dan kroni-kroninya. Selain itu, rasanya kondisi yang kita alami sekarang di Indonesia hampir sama dengan apa yang terjadi di Hongkong sebelum ICAC terbentuk pada tahun 70-an. Korupsi sudah membudaya, alias sudah dianggap sebagai sebuah kewajaran. Seorang teman mengisahkan, bagaimana ia dan istrinya harus menyerahkan sejumlah uang terlebih dahulu kepada seseorang yang bertindak sebagai semacam makelar pekerjaan, hanya untuk mendapatkan sebuah pekerjaan di bagian produksi di sebuah pabrik di Karawang, Jawa Barat. Itupun harus melalui proses magang Tentunya, mereka bukan “korban” pertama dan satu-satunya dari budaya yang korup di situ. Hal itu sudah terjadi bertahun-tahun hingga dianggap sebagai sebuah kelaziman. Sungguh menyesakkan dada. Harga ketidakjujuran No free lunch. Tak ada makan siang yang gratis, begitu istilahnya. Dunia kita tak mengenal istilah anugerah. Bahkan grasi yang semestinya cuma-cuma diberikan Presiden kepada narapidanapun ternyata harus “dibeli” dengan harga yang sangat mahal— entah sepengetahuan Presiden ataupun tidak. KPK dan para penggiat antikorupsi sepertinya juga melihat betapa dalamnya kita terpuruk ke dalam pusaran korupsi, sampai-sampai mereka memasyarakatkan istilah yang sesungguhnya ironis sekali: “Berani jujur, hebat!”
Menggagas Generasi Antikorupsi
Fokus
4
alam sebuah percakapan di meja makan dengan pak Gideon Yung beberapa waktu silam, penulis tertarik dengan cerita beliau tentang sejarah terbentuknya ICAC—semacam KPK di Hongkong—karena beliau adalah saksi mata (dan bahkan salah satu penggerak, kalau penulis tidak salah ingat) gerakan mahasiswa yang memulai demonstrasi damai yang kemudian mengubah wajah Hongkong dari wilayah yang “super korup” menjadi salah satu kota paling bebas korupsi di Asia. Waktu itu, tutur pak Yung, korupsi begitu merajalela di Hongkong, mempengaruhi hampir semua sektor dan semua lapisan masyarakat. Kalau di sini kita mengenal istilah “uang rokok”, maka di Hongkong pada waktu itu, mereka mempunyai istilah “uang teh”. Bahkan sopir ambulanspun takkan mau berangkat menjemput pasien gawat darurat sebelum
Fokus
Ya, kejujuran menjadi begitu langka di negeri ini, sampai-sampai untuk melakukan hal yang seharusnya biasa itupun sudah dikatakan sebagai “berani” dan “hebat”! Dalam bukunya yang berjudul “Kebenaran dan Transformasi: Sebuah Manifesto Bagi Bangsa-bangsa yang Sedang Sakit” (TCI & LINK, 2009), Vishal Mangalwadi memberikan contoh yang menarik tentang dampak kejujuran dan kepercayaan terhadap harga barang dari pengalamannya membeli susu sapi di sebuah peternakan di Belanda: Kami masuk ke dalam ruang susu dan tak ada seorangpun di sana yang menjual susu. Saya mengira Jan (temannya di Belanda) akan membunyikan bel, tetapi ia hanya membuka keran, meletakkan buyung di bawahnya dan mengisinya. Kemudian ia menjangkau ke atas jendela dan mengambil sebuah mangkuk yang penuh berisi uang, mengambil uang dari dompet, meletakkan uang senilai 20 gulden ke dalam mangkuk, menaruh kembaliannya ke dalam sakunya, mengembalikan mangkuk itu, mengambil buyungnya dan kemudian melangkah pergi. Saya terbengongbengong…
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
Vishal melihat betapa efisiennya sistem jual-beli tersebut, dan itu berkat kejujuran dan kepercayaan yang dijunjung tinggi. Jika tak ada kepercayaan, tulis Vishal, maka pemilik peternakan harus mempekerjakan penunggu toko, yang upahnya tentu dimasukkan ke dalam variabel ongkos produksi, sehingga para pembeli susulah, sebagai konsumen, yang harus membayarnya. Belum lagi Pemerintah yang harus mempekerjakan pengawas kualitas susu, yang mungkin juga mau menerima suap dari peternak sapi, yang mungkin juga tidak jujur dengan menambahkan air pada susu yang dijual. Dampaknya jelas, penurunan kualitas susu dan kenaikan harga susu yang signifikan. Susu yang seharusnya bisa dibeli oleh siapapun kemudian menjadi sebuah barang mewah karena mahalnya. Jika sudah demikian, mana mungkin mengharapkan generasi yang sehat dan pintar? Kejujuran dan dunia pendidikan kita Ungkapan “berani jujur, hebat!” bahkan menjadi ironi di dunia pendidikan kita. Seorang siswa yang bertobat lewat persekutuan di sekolah dan bergabung dalam kelompok kecil di Semarang pada suatu ketika bercerita kepada penulis, bagaimana ia dipanggil oleh guru BK di sekolah
5
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
tahu? Rasanya, Pemerintahlah yang lebih memilih untuk menutup mata, terhadap nilai-nilai yang “dikatrol” sedemikian rupa sehingga tak mencerminkan tingkat kecerdasan anak yang bersangkutan, atau terhadap guru-guru “lugu” yang senantiasa berada di dalam dilema antara memelihara integritas dan nilai pendidikan ataukah berkompromi demi kesuksesan anak didik dan akreditasi sekolah. Kecurangan yang tersistem Ketika penulis menjadi pembicara di sebuah sekolah menengah atas di Depok, seorang murid mengangkat tangannya ketika penulis bertanya, siapa saja yang pernah dituding sebagai orang yang munafik. Ketika diminta menceritakan pengalamannya dituding sebagai orang yang munafik, dia mengatakan bahwa hal itu dialaminya pada waktu mengikuti Ujian Nasional SMP, karena menolak terlibat dalam contekmencontek yang dilakukan oleh temanteman sekelasnya. Sungguh ironis. Yang membuatnya lebih ironis adalah, kegiatan contek-mencontek itu bukan lagi merupakan kegiatan yang sembunyi-sembunyi dilakukan, melainkan telah berkoordinasi dengan guru. Kecurangan sudah tersistem dan dianggap wajar, konon untuk mencapai tujuan yang lebih mulia: nama baik sekolah dan kebahagiaan orang tua. Dan tak hanya berhenti sampai di situ, mereka yang menolak bekerja sama justru dianggap sebagai
Menggagas Generasi Antikorupsi
Fokus
6
dan diberi “wejangan” tentang pentingnya kesetiakawanan di dalam Ujian Nasional. Ia dianjurkan untuk ikut mencontek saja. Sekolah yang seharusnya menjadi “kawah Candradimuka” untuk mencetak “Gatotkacagatotkaca” yang akan menyelamatkan bangsanya, justru berubah fungsi 180 derajat menjadi seperti sarang penyamun, tempat orang-orang belajar berbuat kejahatan. Generasi seperti apakah yang hendak dihasilkan oleh sekolah-sekolah seperti itu? Dalam sebuah seminar mengenai pendidikan yang diselenggarakan oleh Kompas beberapa waktu lalu, Prof. Jalaludin Rahmat dengan jeli meringkas penyakit pendidikan di negara kita sebagai pendidikan yang mempertuhankan angka-angka. Institusi pendidikan kita terlalu sibuk mengejar nilai pelajaran, namun lupa menanamkan nilai-nilai kehidupan yang jauh lebih bermakna dan lebih luas serta lama dampaknya. Memang, Pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, nampaknya memberikan perhatian besar terhadap pengembangan karakter anak didik lewat penerapan kurikulum pendidikan antikorupsi. Akan tetapi, sungguhkah demikian? Pada kenyataannya, meskipun MK telah memutuskan bahwa UN yang ada saat ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan mewajibkan evaluasi ulang terhadap program tersebut, Pemerintah tetap saja bersikukuh menyelenggarakannya dari tahun ke tahun. Jika Pemerintah saja “berani” melangkahi keputusan MK, yang tentu saja sebuah tindakan yang tidak etis dan bahkan melanggar hukum, bagaimana mungkin kita bisa percaya bahwa mereka sungguh-sungguh memperhatikan masalah karakter, moral, atau etika? Atau mungkinkah Mendikbud tidak tahu seberapa besar implikasi kebijakan UN itu terhadap tata kehidupan dunia pendidikan di negeri ini? Masakan tidak
Fokus
“
pengkhianat. Kita tentu belum lupa dengan kisah ibu Siami dan Alif putranya yang diusir dari kampungnya karena dianggap mempermalukan kampung dan menyusahkan teman-teman Alif di SD, karena laporan mereka mengenai adanya kecurangan di sekolah ketika ujian nasional. Bayangkan saja jika anak-anak tersebut, biarpun mendapat berbagai teori tentang antikorupsi, melihat berbagai kecurangan yang ada dan dianggap biasa di sekitar mereka. Bayangkan, jika anak-anak itu beranjak dewasa dengan prinsip yang kacau tentang kebenaran tersebut, yakni bahwa kebersamaan lebih penting daripada kebenaran. Bukankah action speaks louder than words, tindakan itu lebih keras berbicara dibandingkan dengan kata-kata? Bagaimana mungkin prinsip-prinsip antikorupsi itu terinternalisasi dalam diri anak-anak didik, tanpa adanya keteladanan di sekitar mereka? Bagaimana bisa guru menanamkan nilai kejujuran, jika bahkan sejak masuk sekolah sudah ada kecurangan dalam penerimaan siswa baru, hingga untuk meluluskan siswa-
Jika penanggung jawab lembaga pendidikan dan staf pendidik tak memiliki pondasi yang kuat untuk menyelenggarakan pendidikan yang lurus, bisa-bisa yang terjadi adalah rasionalisasi, alias mencari alasan-alasan pendukung agar kecurangan-kecurangan yang dilakukan bisa “dimengerti.�
“PR� Kemdikbud Kemdikbud haruslah memastikan bahwa mereka memang memiliki kesungguhan untuk membangkitkan generasi antikorupsi untuk memperbaiki negara ini. Program pendidikan antikorupsi jangan sampai sekedar menjadi proyek katebelece yang ala kadarnya, sekedar untuk memberikan kesan bahwa mereka peduli dengan pemberantasan dan pencegahan korupsi, atau malah hanya menjadi kegiatan alias proyek baru untuk menambah pundipundi pribadi oknum-oknum tertentu. Nilainilai antikorupsi yang hendak ditanamkan haruslah bukan sekedar pengetahuan secara kognitif anak didik saja. Lingkungan dan sistem pendidikan juga seharusnya dievaluasi dan disesuaikan demi mendukung internalisasi nilai Program pendidikan antikorupsi jangan yang ingin ditanamkan. sampai sekedar menjadi proyek Oleh karena itu, subjek dari pendidikan antikorupsi katebelece yang ala kadarnya, sekedar seyogyanya bukanlah peserta untuk memberikan kesan bahwa didik (siswa/mahasiswa) saja, mereka peduli dengan pemberantasan melainkan para pendidik, para pejabat di semua institusi dan pencegahan korupsi pendidikan, dan juga pejabatsiswinya, sekolah mengupayakan berbagai pejabat di Kemdikbud, terutama yang cara termasuk mendistribusikan kunci posisinya rawan disalahgunakan. Sistem harus pula direvitalisasi. Birokrasi haruslah jawaban UN? Memang, mungkin tidak semua dibuat seefisien mungkin agar tak sekolah dan guru akan melakukan menyisakan celah untuk penyalah gunaan. kecurangan-kecurangan seperti itu. Akan Akan lebih baik jika langkah awalnya adalah tetapi, yang menjadi permasalahan di sini mengevaluasi kembali pelaksanaan UN adalah, jika di sebagian institusi pendidikan sebagaimana yang diputuskan oleh didapati berbagai modus kecurangan tersebut, Mahkamah Konstitusi. Lagipula, bukankah maka hampir bisa dipastikan bahwa hal yang perubahan itu paling baik dimulai dari diri sama bisa menular ke tempat-tempat lain. sendiri?
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
7
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
“
menghasilkan output yang diinginkan keluarga. Cita-cita anakpun bisa “diintervensi” jika dianggap tidak “bonafit” atau tak bisa mengharumkan nama keluarga. Fenomena ini bahkan tak jarang terjadi di keluarga-keluarga Kristen yang konon dipanggil sebagai garam dan terang yang memberkati sekelilingnya. Anak-anakpun tumbuh dengan prioritas yang sempit: membahagiakan dan membanggakan keluarga. Bagaimana caranya? Menjadi “orang”, alias berhasil dalam menumpuk harta dan mendulang karir—tak peduli bagaimanapun cara mencapainya.
Peran gereja dan lembaga pendamping gereja Di gereja, yang terjadi juga hampir sama. Meskipun acapkali menyerukan pentingnya kesatuan Tubuh Kristus, pada kenyataannya masing-masing “merek” gereja menjadi komunitas-komunitas yang eksklusif, yang meski mungkin tak terucap, memandang gereja lain sebagai kurang beriman, kurang alkitabiah, dan sebagainya. “Segala kemuliaan bagi Tuhan” sering diteriakkan, namun seolah-olah itu sekedar slogan. Karena pada kenyataannya, “segala Kebanyakan keluarga di kemuliaan” itu “dibajak” oleh gereja atau Indonesia masih menempatkan para pelayan Tuhan. Bukannya mencetak garam dan terang bagi masyarakat, gereja anak sebagai “aset” keluarga sering tergoda untuk menggarami dan yang harus membahagiakan dan menerangi dirinya sendiri. “Memperlebar Kerajaan Allah” membanggakan orang tua diartikan secara denotatif, yakni maupun keluarga besarnya menambah jumlah kawanan domba—yang entah didapat dari mana—dan begitu, maka bagaikan meletakkan mobil- memperluas wilayah “kerajaan” gereja—tak mobilan di lintasan balap, demikianlah peduli bagaimana cara melakukannya. Saling kebanyakan orang tua di negeri kita rebut jemaatpun tak terelakkan, termasuk meletakkan anak-anaknya dalam sebuah alur menempuh jalan pintas untuk mengakali kompetisi. Anak yang pintar akan sangat aturan agar pembangunan gereja segera dapat dibanggakan, sedangkan yang biasa-biasa saja dilaksanakan. Sebuah gereja di Jakarta akan terus dipacu supaya jenius. Timur—entah bagaimana caranya—mendapat Sekolah (dan tempat-tempat kursus) izin dari Gubernur DKI sebelum ini untuk menjadi semacam karantina untuk memanfaatkan Ruang Terbuka Hijau. Warga
Menggagas Generasi Antikorupsi
Fokus
8
Peran keluarga Di sisi lain, kebanyakan keluarga (baca: orang tua) di Indonesia sepertinya juga belum memahami akan krusialnya peran mereka bagi upaya pemberantasan korupsi. Padahal, semua koruptor itu bertumbuh di dalam keluarga-keluarga, sementara keteladanan tentang tindak-pikir antikorupsi paling efektif diberikan melalui keteladanan orang tua. Masih banyak yang berpikir bahwa fungsi orang tua sebatas mencukupi kebutuhan jasmani anak, menyekolahkan, hingga mencarikan jodoh bagi anak. Istilah yang menyebut anak sebagai “titipan Tuhan” secara sadar atau tidak ditafsirkan sebagai tanggung jawab yang lebih berkonotasi sebagai “beban,” bukannya sebagai anugerah karena dipercaya sebagai mitra Allah untuk “memenuhi bumi” dengan orang-orang baik, jujur, dan takut akan Tuhan. Tak banyak pula keluarga yang melihat anak-anak dalam konteks kemasyarakatan ataupun kebangsaan. Kebanyakan keluarga di Indonesia masih menempatkan anak sebagai “aset” keluarga yang harus membahagiakan dan membanggakan orang tua maupun keluarga besarnya. Jika sudah
Eksposisi
setempat membawa permasalahan ini ke PTUN dan memenangkan kasus tersebut. Bagaimana gereja bisa turut berperan serta dalam pemberantasan korupsi, jika ia sendiri masih suka berkompromi? Di gereja-gereja yang “lurus,” berapakah di antaranya yang memasukkan topik kebangsaan, khususnya mengenai pemberantasan korupsi, di dalam “kurikulum” pembinaan jemaatnya? Bagaimana pula dengan lembaga-lembaga kerohanian kristen lainnya seperti Perkantas, LPMI, PPA, PMK/PAK, dan lain sebagainya, sudahkah nasib bangsa ini menjadi pergumulan yang utama, terkhusus soal korupsi yang merajalela? Berapa banyak buku rohani bertemakan pemberantasan korupsi yang telah diterbitkan? Baik gereja maupun lembaga pendamping gereja, sudah adakah jejaring bersama yang secara khusus mengampanyekan gerakan antikorupsi di gereja-gereja hingga ke jalan-jalan raya? Seberapa intens diadakan seminar atau diskusi mengenai “tips dan trik” agar bisa terjun ke dalam dunia bisnis, politik, hukum, dan pemerintahan tanpa harus tersandera sistem yang korup? Ataukah kita enggan meninggalkan nyamannya pola hidup asketisme yang mengejar kesalehan dan keselamatan pribadi semata? Ayo menyeberang! Ada sebuah ungkapan yang terkenal dalam bahasa Inggris, “All that is necessary for
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
the triumph of evil is that good men do nothing.” Kejahatan akan berkuasa ketika orang-orang baik tak berbuat apapun untuk melawannya. Terang takkan berguna jika diletakkan di bawah gantang. Garam juga takkan bermanfaat jika tak pernah ditaburkan ke dalam masakan. Firman Tuhan sendiri memberikan jaminan kepada orang percaya mengenai apa yang akan terjadi jika anak-anak-Nya bertindak proaktif dalam melawan tipu muslihat iblis, “Karena itu tunduklah kepada Allah, dan lawanlah Iblis, maka ia akan lari dari padamu!” (Yak. 4:7). Dari ayat yang sama juga bisa kita lihat bahwa ketundukan kepada Allah disandingkan dengan tindakan aktif untuk melawan iblis. Tindakan itu bukan pilihan, melainkan keduanya harus dilakukan secara simultan. Artinya, kita tidak bisa memproklamirkan diri tunduk kepada Allah, jikalau hanya sanggup berdiam diri ketika melihat iblis merusak perikehidupan masyarakat dan bangsa kita yang, seperti mimpi rasul Paulus tentang penduduk Makedonia (Kis. 16:9), seakan-akan berseru kepada kita: “Menyeberanglah ke mari dan tolonglah kami!” Indonesia memerlukan bukan saja kaum cerdik cendikia, melainkan juga kaum tulus dan setia; dan bukankah kita semestinya memenuhi kriteria itu? Jika para cendikia Kristen sibuk membangun kerajaannya sendiri, bagaimana mungkin bangsa ini diberkati? Dengan selalu mengingat Kristus yang telah “menyeberang” dari kekekalan kepada kefanaan untuk menyelamatkan kita, marilah kita juga meninggalkan menaramenara gading kita dan merebut sekolah, kampus, dan kantor kita dari bapa segala pendusta. Ayo menyeberang! (ays)
9
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
Integritas Belaka Tidak Cukup: Pemuda Kris ten dan P enanggulangan K orupsi Kristen Penanggulangan Korupsi Samuel Tumanggor*
“Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu.”
10
ketertinggalan di bermacam sektor bersaksi bahwa korupsi memang nyata di kantong-kantong Kristen. Jika sudah begitu, apalah arti Mazmur 119:9 yang kerap dihafal dan difavoritkan mudamudi Kristen? Apalah arti penegasan mimbar-mimbar Kristen bahwa integritas adalah obat mustajab bagi kekorupan? Tulisan ini akan membahas bahwa integritas belaka tidak cukup untuk menanggulangi korupsi yang sudah akut di tengah bangsa dan, khususnya, di kantong-kantong Kristen. Alkitab sendiri, seperti akan kita tinjau nanti, mengisyaratkan hal itu kepada kita. Secara Alami? Integritas alias “kelakuan bersih” tentu saja merupakan syarat mutlak penanggulangan korupsi—tetapi jelas bukan satu-satunya syarat. Sayangnya, kalangan Kristen saleh sering dijangkiti pola pikir naif yang memandang bahwa pertobatan pribadi atau “lahir baru” (yakni titik pangkal untuk berkelakuan bersih) dengan sendirinya akan menghasilkan perubahan masyarakat ke arah yang baik. “Mereka,” tulis Robert Kyle, “memandang pertobatan pribadi—bukan program-program sosial—sebagai jawaban untuk masalah-masalah sosial.” 1 Mereka “percaya bahwa pembaharuan sosial akan tumbuh secara alami dari kelakuan pribadi-
Menggagas Generasi Antikorupsi
Eksposisi
P
erkataan Mazmur 119:9 itu sudah menjadi salah satu ayat hafalan favorit bagi banyak muda-mudi Kristen. Bagaimana tidak? Berbagai pembinaan rohani begitu sering mengutipnya di depan mereka sambil menegaskannya sebagai obat mustajab bagi kekorupan. Integritas (“kelakuan bersih”) adalah lawan kekorupan, dan integritas ini dapat dipertahankan dan dijaga orang muda dengan cara mengacukan hidup kepada firman Allah. Tetapi, anehnya, kekorupan tetap merajalela di Indonesia. Bahkan pelakunya termasuk kalangan muda (Kristen) pula. Bukannya mengabdi kepada Indonesia, seperti yang dianjurkan secara tersirat oleh Sumpah Pemuda 1928, mereka malah ikut merompak tanah air dan bangsanya sendiri. Dan jika kita, umat Kristen, mau berkilah bahwa kita adalah kaum minoritas yang tak bisa berbuat banyak secara nasional, faktanya kekorupan menonjol pula di kantongkantong Kristen. Dari Tanah Batak sampai Tanah Dayak, dari Nias di ujung barat sampai Papua di ujung timur, dari Sulawesi Utara di batas utara sampai NTT di batas selatan, kita menyimak banyak berita korupsi. Sejumlah pejabat setempat, yang notabene orang Kristen, diciduk dan disidang dengan dakwaan korupsi. Kalaupun dakwaan itu sulit dibuktikan, pembangunan yang tersendat dan
Eksposisi
“
pribadi yang bertobat.”2 Akibatnya mudah ditebak: untuk menanggulangi persoalan sosial seperti korupsi, mereka cenderung mengejar pertobatan pribadi-pribadi sambil mengesampingkan hal-hal seperti kajian intelektual atau program sosial. Ya, kelakuan bersih orang-orang yang bertobat dari dosa tentunya bisa berdampak kepada masyarakat, tetapi tidak pasti “secara alami” akan mengubah masyarakat jadi saleh. Buktinya, meski tak pernah kekurangan orang “lahir baru,” Amerika Serikat tetap dibelit kebejatan—yang tak dilakukan, bahkan tak terpikirkan, oleh bangsa-bangsa non-Kristen. Demikian pula kantong-kantong Kristen dililit kemabukan, pergaulan bebas, korupsi meski KKR gencar digelar di sana dan tantangan bertobat sering ditanggapi beratus-ratus orang.
bisa tertahan di area nyaman saja dan tak pernah “dibenturkan” dengan kekorupan. Dalam hal ini, muda-mudi Kristen dapat meneladani Nehemia, yang rela berkorban dan bersusah-susah meninggalkan pekerjaan bergengsinya di istana Susan untuk kembali ke negeri Yehuda dan membangun tembok Kota Yerusalem. Idealisme mengantarnya mendatangi—bukan menghindari—kondisi yang sulit, sarat tantangan, bahkan mengancam nyawa. Idealisme mengajarinya memanfaatkan peluang untuk masuk ke kancah penanggulangan masalah di Yerusalem, bukan sekadar berdoa atau berandai-andai di Susan yang jauh. Iklim penggugah idealisme Nehemia terbentuk ketika beberapa orang Yehuda menggambarkan keadaan Kota Yerusalem yang mengenaskan. Dan jika kita, umat Kristen, mau berkilah Karena memang mencintai tanah bahwa kita adalah kaum minoritas air dan bangsanya, hati Nehemia remuk seketika itu juga dan yang tak bisa berbuat banyak secara angannya dibanjiri idealisme untuk nasional, faktanya kekorupan menonjol pulang membangun Yerusalem. Kalau kita membaca pula di kantong-kantong Kristen. riwayat para pemuda pencetus Teranglah bahwa umat Kristen Sumpah Pemuda 1928, kita akan mendapati harus celik akan faktor-faktor selain idealisme sejenis—dan juga iklim penggugah “kelakuan bersih” ketika berbicara tentang idealisme itu. Bukan tanpa kesulitan dan penanggulangan kekorupan. Gereja dan keberanian mereka mengikrarkan lembaga pelayanan Kristen hendaknya tidak keindonesiaan di zaman penjajahan Belanda! mengajari kaum mudanya menyederhanakan Pada masa kini, gereja dan lembaga perkara dengan ide “tumbuh secara alami” pelayanan Kristen harus menggembleng yang disebutkan Kyle di atas. kaum muda Kristen untuk punya idealisme Apa lagi yang dibutuhkan pemuda macam itu. Bukan sekadar dicerahi tentang Kristen selain “kelakuan bersih”? integritas, mereka juga harus dicerahi tentang adanya panggilan untuk berkorban dan Idealisme dan Iklim Penggugahnya bersusah-susah demi kebaikan bangsa. Bukan Pemuda Kristen butuh idealisme dan iklim sekadar diajari ayat-ayat tentang integritas, penggugah idealisme itu. Idealisme yang mereka juga harus diajari cara-cara melihat dimaksud di sini adalah idealisme untuk maju dan mengambil peluang untuk turut menghadapi kekorupan “muka dengan menanggulangi kekorupan di tengah negeri. muka”—sesuai dengan panggilan atau Dan iklim penggugah idealisme itu “penugasan” yang diterima dari Tuhan. harus dihidupkan di tempat-tempat Tanpa idealisme yang demikian, integritas pembinaan pemuda Kristen. Jangan lagi
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
11
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
gereja dan lembaga pelayanan Kristen hanya pandai menantang muda-mudinya untuk masuk ladang misi atau kependetaan tetapi tidak pandai menantang mereka masuk medan juang penanggulangan kekorupan di berbagai sektor kehidupan bangsa.
12
Menggagas Generasi Antikorupsi
Eksposisi
“
rutinnya dan mengingat bangsanya dalam doa. Ia juga giat belajar sehingga menguasai baik ilmu keras, seperti pengetahuan administrasi negara yang ditekuninya di Babel selama tiga tahun (Dan. 1:4-5,17), maupun ilmu lunak, seperti Tekad Baja dan Penguasaan Keilmuan kemampuan berdiplomasi dengan pemimpin Mendampingi idealisme, pemuda Kristen pegawai istana dan pengawas (“penjenang”) butuh tekad baja dan penguasaan keilmuan. asrama (Dan. 1:9-16). Di hadapan kekorupan, integritas belaka Tekad baja dan penguasaan adalah rapuh tanpa tunjangan tekad kuat, keilmuan serupa dimiliki pula oleh para dan semangat berintegritas belaka adalah sia- pemuda pengikrar Sumpah Pemuda 1928. sia tanpa pengetahuan tentang berbagai hal. Kita semua tahu bahwa mereka adalah kaum “Tanpa pengetahuan,” kata Kitab Amsal, terpelajar (karena benar-benar banyak “kerajinan pun tidak baik” (Ams. 19:2). belajar) yang berbulat tekad untuk Dalam hal ini, muda-mudi Kristen menegakkan jati diri keindonesiaan—apa pun dapat meneladani Daniel, yang mashur tantangannya. Pada masa kini, gereja Jangan lagi gereja dan lembaga dan lembaga pelayanan Kristen pelayanan Kristen hanya pandai harus menempa kaum muda untuk jadi orang bertekad menantang muda-mudinya untuk Kristen baja demi membantu mewujudkan masuk ladang misi atau kependetaan Indonesia yang lebih baik dan tetapi tidak pandai menantang mereka bersih. Bukan sekadar didorong menjaga integritas, mereka masuk medan juang penanggulangan untuk juga harus didorong untuk kekorupan di berbagai sektor mantap menjunjung idealisme, siap melawan arus bilamana kehidupan bangsa harus, dan berani kebulatan tekadnya dan menonjol “membenturkan” integritas mereka dengan keilmuannya. Apakah Daniel berintegritas? kekorupan. Pasti. Tetapi apakah Daniel bisa sukses Gereja dan lembaga pelayanan bekerja dan dipercaya di Kerajaan Babel dan Kristen pun harus menyemangati mereka Media-Persia semata-mata karena untuk menguasai rupa-rupa pengetahuan dan berintegritas? Tidak! keterampilan—sesuai dengan panggilan Ia punya tekad baja untuk melawan hidup masing-masing. Bukan sekadar didesak arus dalam hal yang diyakininya benar. untuk rajin mengkaji Alkitab, mereka juga Sewaktu banyak orang Yahudi berkompromi harus didesak untuk rajin mengkaji keilmuan dengan jatah ransum yang sudah sehingga tahu menggubah dan menggunakan dipersembahkan kepada berhala, ia menolak cara atau sistem terbaik demi mengatasi secara baik-baik—bukan secara beringas—dan penyakit bangsa seperti korupsi. meminta jenis makanan lain. Ketika banyak orang Yahudi tunduk saja kepada peraturan Peluang-peluang yang Dibukakan Tuhan untuk tidak berdoa kepada sembahan Di atas integritas, idealisme dan iklim manapun, ia tetap menjalankan sembahyang penggugahnya, tekad baja dan penguasaan
Eksposisi
keilmuan, sudah barang tentu pemuda Kristen butuh peluang-peluang yang dibukakan Tuhan. Semua hal lain itu tak akan berarti banyak sekiranya Tuhan tidak membukakan pintu kesempatan kepada kedudukan yang lebih strategis atau wewenang yang lebih besar untuk memerangi kekorupan. Nehemia, kita tahu, mendapat peluang pulang ke Yerusalem—peluang menerapkan idealismenya di kancah permasalahan—ketika Tuhan “meramahkan” hati Raja Artahsasta terhadap niat-niatnya. Daniel pun mendapat peluang kepada jabatan yang makin tinggi ketika Tuhan mengatur peristiwa-peristiwa yang membuat para penguasa Babel dan Media-Persia berkenan dan percaya kepadanya. Para pemuda penggubah Sumpah Pemuda 1928 juga mendapat peluang kepada kecerdasan dan perjuangan bangsa ketika Tuhan menggerakkan khalayak di Belanda untuk mendesak pemerintah Belanda membuka keran pendidikan bagi penduduk Nusantara. Dan mereka semua sigap memanfaatkan peluang-peluang itu, bukan tertegun atau berlambat-lambat dalam bimbang dan takut. Demikianlah gereja dan lembaga pelayanan Kristen harus melatih muda-mudi Kristen untuk bekerja sama dengan Tuhan— untuk mengandalkan, mengharapkan, dan memohon Tuhan membukakan peluangpeluang—dalam juang melawan korupsi. Gereja dan lembaga pelayanan Kristen juga harus melatih mereka untuk mengambil peluang-peluang itu begitu terbukakan. Dan semua ini menegaskan bahwa pembinaan rohani Kristen bisa dan harus berbuat lebih dari yang sudah-sudah untuk turut menyokong upaya penanggulangan korupsi di tengah bangsa. Pembinaan rohani Kristen harus beranjak dari pemikiran naif yang memandang bahwa integritas belaka atau “lahir baru” belaka cukup untuk membanteras wabah sosial seperti korupsi.
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
Ya, kita semua setuju bahwa integritas atau “kelakuan bersih” adalah penawar kekorupan yang tak dapat ditawartawar, karena memang begitulah faktanya dan begitulah yang dinyatakan Alkitab. Tetapi sekarang kita juga paham bahwa integritas bukanlah satu-satunya faktor, karena fakta dan Alkitab sendiri menunjukkan kepada kita faktor-faktor penting lain yang harus dilibatkan. Kiranya sejak sekarang kita bisa melihat gereja dan lembaga pelayanan Kristen giat menggugah kaum muda Kristen berperan aktif, tanpa berpikiran naif, untuk berkarya baik di tengah bangsa—termasuk berkarya memerangi kekorupan. Kiranya kita bisa menyaksikan kaum muda Kristen, dan kaum muda umat lain, bahu-membahu dalam menjunjung integritas, idealisme, tekad baja, penguasaan ilmu, dan pemanfaatan kesempatan yang dibukakan Tuhan—faktorfaktor yang sebetulnya dikenali secara universal—dan “membenturkan” semua itu dengan kekorupan. Dengan demikian, pemuda Kristen akan turut mempertahankan kebersihan tanah air dan bangsa Indonesia, yang telah diperjuangkan dan dibentuk generasi muda terdahulu dengan tunjangan faktor-faktor yang sama pula. *Penulis adalah pengarang buku dan fasilitator pelatihan penulisan
Catatan 1 Richard Kyle. Evangelicalism: An Americanized Christianity. New Jersey: Transaction Publishers, 2006, hal. 178. 2 Richard Kyle, hal. 41.
13
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
w Pendidik an Itu M e warisk an Worldvie orldview endidikan Me ariskan
T
Dalam wawancara kali ini, Majalah Dia berkesempatan untuk berbincang dengan Pdt. Em. Dr. Aristarchus Sukarto, BA, M.Th. yang saat ini menjabat sebagai Rektor Universitas Krida Wacana (Ukrida). Berikut sebagian percakapan Majalah Dia (MD) dengan pak Aristarchus Sukarto (AS):
14 MD: Bagaimana pendapat Bapak soal pendidikan antikorupsi yang sedang digencarkan oleh pemerintah? AS: Sebetulnya mulainya sudah lama, dicanangkan oleh PBB untuk seluruh dunia, bukan hanya Indonesia. Di Indonesia memang baru dimulai, karena adanya tuntutan untuk good governance, transparansi, dan sebagainya. Memang negara seperti Swedia menyusun kurikulum (antikorupsi), dan itu yang sekarang kita ikuti. Cuma kalau saya lihat di masyarakat kita itu kan harus mengikuti pola linier, di mana orang membuat perencanaan sampai pencapaian, lalu semua diukur dari situ, kemudian bisa dilihat ada penyimpangan atau tidak. Tapi kalau orang punya landasan berpikir tidak linier atau cyclic, maka tidak ada semacam akumulasi atau tujuan yang mau dicapai, sehingga muter aja.
Misalnya kalau orang yang berpikir linier melihat uang, ia akan berpikir untuk kehidupan yang lebih baik ke depan. Tapi kalau pola pikirnya cyclic, hidup ya begini ini, sehingga uang yang ada digunakan untuk kepentingan sekarang. Untuk masyarakat kita, pendidikan antikorupsi ya harus dimulai dari pembenahan budaya atau cara berpikir. Bukan dengan hanya membuat hukum. Orang itu jalannya kan dituntun oleh worldview yang dimiliki. Jadi itu yang perlu kita perhatikan dalam pendidikan antikorupsi. MD: Jadi, pendekatannya ke arah budaya? AS: Iya. Orang-orang Jakarta saja tidak semuanya berpikir linier sekali. Contohnya kalau kita mau membuat sebuah perusahaan atau sebuah kegiatan atau gereja mau maju ternyata tidak bisa karena ini, model pikirannya yang satu maunya linier, segala sesuatu terawasi dan ada auditnya, yang
Menggagas Generasi Antikorupsi
wawancara
erkait dengan penerapan kurikulum pendidikan antikorupsi yang merupakan hasil kerjasama Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Ketua KPK Abraham Samad menjelaskan bahwa pengajaran antikorupsi sebagai sisipan dalam kurikulum karakter bangsa pada pendidikan dasar dan menengah, serta pengintegrasian nilai antikorupsi dalam kurikulum pendidikan tinggi sejalan dengan program-program pendidikan yang selama ini dijalankan kedeputian pencegahan di KPK. Mendikbud sendiri menyatakan bahwa ditandatanganinya nota kesepahaman tersebut untuk menciptakan generasi baru yang tahan terhadap godaan-godaan korupsi. M Nuh juga menambahkan, “Kita ingin dunia pendidikan dan kebudayaan menjadi motor untuk membangun proses pembudayaan yang tahan terhadap korupsi� (Suara Merdeka, 09/03/ 12).
W a w ancara
satunya lagi berpikir, mengapa harus diaudit? Inilah praktek-praktek yang menyuburkan korupsi. MD: Kalau di Ukrida bagaimana? AS: Kami mulai masukkan, misalnya di mata kuliah pembinaan kepribadian. Ini pendidikan yang holistik, membentuk kepribadian. Misalnya, mahasiswa mulai diajarkan softskill-nya yang dilandasi dari worldview-nya. Bagaimana mempertanggung jawabkan tugas kalau menjadi panitia, bagaimana memperhatikan orang lain, bagaimana memandang uang itu mempunyai fungsi sosial, jadi tidak hanya untuk pribadi, ini diterapkan dalam softskill tadi. Makanya, di dalam MPK pasti ada pakar yang datang dari KPK memberikan kuliah tentang pemberantasan korupsi, mulai dari undangundangnya sampai contoh-contoh perilaku yang bisa dikatakan koruptif. Mahasiswa diajak mulai bertanggung jawab, memikirkan orang lain. Misalnya untuk masalah nilai, orang tua harus tahu. Mengapa harus tahu? Karena merekalah yang membiayai, sehingga mereka berhak untuk tahu. Hal-hal itu yang kami kemas dalam satu paket (pendidikan antikorupsi). Di Indonesia itu, apa-apa ditaruh ke dalam kurikulum, menurut saya itu superficial. Itu berat bagi anak-anak, dan fragmented, artinya tidak ada kaitan antara menghafal materi pelajaran antikorupsi dengan perilaku antikorupsi di kehidupan sehari-hari, kecuali kurikulum itu integrated. Makanya, di Ukrida kan saya memasukkan itu ke dalam pendidikan yang holistik itu tadi, mulai dari belajar Pancasila, kewarganegaraan, ilmu sosial dasar, lalu bagaimana keberagamaan dalam interaksi sosial. Dulu saya sebut itu metode isomeristik. Harusnya selain ada pembelajaran tentang bagaimana berlaku jujur dan tidak korup, juga diajarkan apa dampaknya jika ada korupsi. Orang hanya tahu korupsi itu membahayakan, tapi tidak tahu kenapa, bahkan justru senang-senang saja karena
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
Pdt. Em. Dr. Aristarchus Sukarto, BA, M.Th.
mendapat bagian. Ini menjadi seperti cerita Robin Hood, korupsi lalu bagi-bagi. Mereka semua malah mendewa-dewakan yang korupsi, karena mereka kesulitan hidup saat ini. Jadi sebetulnya kalau mengajarkan tentang antikorupsi kan seharusnya termasuk bagaimana membentuk masyarakat masa depan, bagaimana konsep tentang masyarakat yang bahagia, sehingga tahu kenapa harus tidak korupsi. Di dalam pendidikan yang holistik itu, mahasiswa-mahasiswa yang masih muda diajarkan untuk melihat kerangka sosial yang besar tadi. MD: Di Ukrida ada semacam KKN? AS: Saya baru saja memulainya. Sebenarnya (KKN) itu juga terkait dengan ini (pendidikan antikorupsi). Supaya anak-anak Jakarta memiliki kesadaran sosial, jadi lebih melihat orang lain. Ternyata, di sini mahasiswa yang dianggap selfish, setelah melihat orang yang menderita di Paralangon (Garut, Jabar—red), orangnya cacat, tak bisa memelihara ayam, dia membuatkan kandang dan sebagainya. Jadi, KKN bukan sekedar proyek pasang papan nama, karena yang saya tekankan
15
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
“ 16
misalnya untuk rekreasi dan sebagainya, karena kebutuhan mendasar terjamin. Kalau tidak, biarpun hukumnya kita pertajam dan kekuasaan hakimnya kita perkuat, kalau situasi begini terus, tetap saja dorongan untuk korupsi itu akan muncul.
MD: Mengapa muncul ide pendidikan antikorupsi, padahal kita kan negara yang religius? AS: Pendidikan itu kan sebetulnya bukan sekedar membuat seseorang itu menguasai matematika atau ekonomi, tapi juga mewariskan worldview tentang masyarakat, tentang kehidupan. Ini yang kita kurang tekankan. Sejak kecil, anak-anak kita Pendidikan itu kan sebetulnya dicekoki pemahaman bahwa yang pintar bukan sekedar membuat itu yang jago Matematika dan sebagainya. seseorang itu menguasai Anak-anak ini tak pernah diajak berpikir tentang masyarakat yang idaman itu matematika atau ekonomi, tapi seperti apa. Kita punya Pancasila dan juga mewariskan worldview Pembukaan UUD ’45, tapi penjabarannya tentang masyarakat, tentang tidak diajarkan kepada anak-anak kita. Sekarang kita sadar kok kondisi kita kehidupan. makin porak-poranda, korupsi biarpun dihantam sana-sini selalu muncul lagi. akumulasi uang sebagai kekuatan, maka saya Jalan pintasnya ya buat undang-undang, pasti cenderung korupsi. Akan tetapi, kalau diaplikasikan, lalu koruptornya dihukum. masa depan itu masyarakat yang bahagia, mau Tapi sebetulnya, menurut saya, kalau mau ya saling menunjang, lalu sistemnya bisa jalan, sejak dini. Dan itu tidak hanya sekedar orang itu akan membentuk sistem, sehingga kurikulumnya dibuat, tapi bagaimana sejak tidak kuatir. dini anak-anak itu diajarkan nilai-nilai sosial, Anak-anak muda kita itu kan sebetulnya misalnya diajak makan bersama-sama, untuk kuatir. Di Jakarta itu saya perhatikan, anak- berbagi dengan yang lain. Di gereja, kita juga mulai hilang. Gereja anak muda itu maunya kerja sehingga umur hanya menekankan 40 tahun sudah mapan, usia 50 tinggal seolah-olah berpikir, tidak bekerja pakai otot lagi, pertumbuhan kuantitatif atau jumlah anggota. sehingga memikirkan bagaimana Sadar atau tidak, itu yang menjadi mendapatkan uang yang cukup. Ini pasti penekanan, sehingga tidak peduli mendorong orang untuk mengumpulkan persekutuan temannya diambil. Sadar atau uang untuk pribadinya. Tapi kalau berpikir tidak, kita sedang mengajarkan membangun untuk masa depan bersama yang lebih baik, citra, bukan membangun masyarakat misalnya jaminan kesehatan masyarakat kerajaan Allah. Dalam hal PI saja kita kadanghingga hari tua dan sebagainya, maka orang kadang seperti itu (mengukur kuantitas). itu akan lebih membangun sistem. Tabungan Tujuan gereja itu kan sebenarnya bagaimana hanya untuk menambah kegembiraan saja, sih masyarakat kerajaan Allah, anak-anak
Menggagas Generasi Antikorupsi
wawancara
adalah kesadaran sosial itu. Saya juga sedang jajaki untuk KKN di daerah Jogja, bekerja sama dengan UKDW. Di Lampung, kami ada Puskesmas kecil, rencananya akan diperbesar untuk pemberdayaan masyarakat. Itu cara saya berpikir untuk mendidik anak-anak (mahasiswa) saya untuk mengatasi korupsi. Bagaimana masyarakat sejahtera dan saya sejahtera. Orang itu akan korupsi terus kalau dia ketakutan dengan masa depan. Nah, justru bagaimana kita membuat masa depan itu gambaran yang memang aman. Misalnya begini: kalau masa depan saya letakkan pada
W a w ancara
Tuhan yang mengenal Kristus itu menjadi komunitas yang bisa betul-betul mencerminkan Tuhan sendiri. Itu kan perlu latihan. Kalau inginnya bagaimana supaya terkenal, dihargai orang besar, dan sebagainya, itu bisa jadi sumber korupsi.
“
MD: Tentang gereja, bagaimana pendidikan antikorupsi di gereja selama ini? AS: Saya kira gereja masih lemah sekali dalam hal ini. Padahal, kalau melihat salah satu dari Sepuluh Perintah tentang jangan mengingini kepunyaan sesamamu, itu sebetulnya kan pendidikan antikorupsi, bagaimana kita menghargai hak orang lain dan hidup lurus. Tapi kalau kita tekankan hanya berkat untuk diri sendiri saja, kita takkan berkembang. Makanya saya lihat banyak tulisan tentang antikorupsi itu yang mengecam korupsikorupsi di luar gereja, tapi di gereja sendiri
pembelian obat, dia tidak pernah terbersit untuk mengambil pungli atau korupsi.
MD: Lalu soal keteladanan, adakah yang perlu diperbaiki di dunia pendidikan? Selama ini kurikulum dari Pemerintah kan sasarannya anak didik saja? AS: Seorang pendidik harus bisa menjelaskan konsep tentang guru/pendidik supaya diterima anak didik, misalnya guru itu membimbing, guru itu harus menerima murid, sehingga kalau guru itu datangnya terlambat, itu kan di bayangan anak-anak Sebetulnya seseorang menjadi itu akan ikut meniru. Di dunia mahasiswa juga sama. Misalnya kalau dosennya hanya korup itu kan bukan karena mengajar bahan yang itu-itu saja selama pegang anggaran lalu tiba-tiba bertahun-tahun, tidak ada pembaruan. korupsi, melainkan built up sejak Kemudian, dosen hanya mengajar, kemudian pergi begitu saja, padahal tugas dia anak-anak, jadi siswa dan dosen kan harusnya membimbing mahasiswa. mahasiswa, kalau dicari harus ada. Setidaknya pasang jam berkantor yang jelas, tak pernah memikirkan, kira-kira gerak saya supaya mahasiswa tahu kapan bisa bertemu. mengandung unsur korupsi atau tidak. Kalau dosen disiplin seperti itu, itu sudah memberikan keteladanan dalam hal MD: Sekarang, ada kecenderungan bahwa antikorupsi. tanggung jawab pendidikan diserahkan Sebetulnya seseorang menjadi korup itu kepada sekolah, bagaimana menurut Bapak? kan bukan karena pegang anggaran lalu tibaAS: Ya tidak bisa, karena pendidikan tiba korupsi, melainkan built up sejak dia kepribadian itu kan dari lingkungan terdekat. anak-anak, jadi siswa dan mahasiswa. Kalau Keluarga ikut menentukan konsep hidup common sense-nya yang diterima secara sadar anak-anak. Yang saya tekankan di keluarga, ataupun tidak ternyata membolehkan misalnya, bukan karena saya sebagai perilaku korup, maka ia bisa menjadi orang rohaniawan, maka anak-anak harus hidup yang korup. Pendidikan antikorupsi tidak berpengorbanan, pelayanan, tidak hanya itu, sekedar kurikulum tentang hukum dan tapi juga bagaimana hidup sejahtera sebagai tindakan hukum saja, tetapi juga karena orang yang sharing. Saya lihat dampaknya worldview yang dihidupi. (ays) waktu anak saya kerja di RS di bagian
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
17
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
Jangan Hany enambah P enget ahuan Hanyaa M Menambah Penget engetahuan Oleh Palti Hutabarat*
18
Transparency International (TI) mencatat bahwa Indeks Persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2011 berada di angka 3,0 dari rentang nilai 0 – 10. Indonesia berada di peringkat 100 dari 182 negara yang diberikan nilai. Semakin tinggi angka IPK sebuah negara, semakin bersih sebuah negara itu dari korupsi. Jika dilihat dari data 2006 (IPK 2,4) sampai 2011, IPK Indonesia hanya meningkat sebesar 0,6. Sebuah indikasi kurang seriusnya negara ini memberantas korupsi. Cegah korupsi sejak dini Korupsi adalah dosa. Oleh karena itu cara bekerjanya pun seperti dosa. Korupsi besar tidak mungkin terjadi tanpa adanya korupsi kecil-kecilan. Dengan kata lain orang yang saat ini tertangkap karena kasus korupsi pastilah orang yang sejak kecil terbiasa hidup tidak benar. Oleh karena itu, untuk melawan korupsi selain melakukan pemberantasan dengan hukum kita juga perlu melakukan pencegahan sejak dini. Menyadari pentingnya pencegahan korupsi sejak dini, KPK melakukan kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk memasukkan pendidikan antikorupsi di lembaga pendidikan mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai dengan perguruan tinggi. Pada tingkat SD sampai SMA, pendidikan antikorupsi akan dimasukkan dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Sedangkan di perguruan tinggi, akan dibuat mata kuliah khusus antikorupsi (kompas, 20/06/2012).
Menggagas Generasi Antikorupsi
Sudut Pandan g Pandang
S
epuluh tahun yang lalu, saya pernah terhenyak dengan perilaku korup Pegawai Negeri Sipil (PNS) kantor wilayah (kanwi) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) yang meminta uang kepada saya dan kakak saya untuk legalisir ijazah SMA saya. Padahal, tugas PNS tersebut hanyalah mengantar ijazah saya untuk ditandatangani. Anehnya, seorang ibu yang berada dekat kami malah mendorong kami untuk membayar uang Rp 5000,00 untuk legalisir. Menurut Ibu tersebut itu adalah hal yang “wajar”. Kami yang awalnya menolak pun akhirnya memberi uang itu dengan kesal dan malu. Kejadian di atas adalah sebuah contoh betapa bahayanya korupsi jika terus dibiarkan. Memberi uang “terima kasih”, memberi uang “damai”, membayar lebih untuk mempermudah birokrasi menjadi sebuah kewajaran. Padahal, tindakan itulah yang membuat korupsi berkembang biak dengan subur di negeri ini. Korupsi secara sadar atau tidak telah diajarkan turun temurun dalam kehidupan bermasyarakat. Korupsi menjalar dengan cepatnya seperti penyakit kanker. Empat belas tahun telah berlalu sejak tumbangnya rezim korup Suharto, akan tetapi korupsi di Indonesia bukannya berkurang, malahan bertambah parah. Dalam kasus terbaru yang sedang diusut Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), anggaran untuk pengadaan Al-Quran gratis pun turut dikorupsi. Para koruptor di negeri ini tidak lagi takut untuk mengorupsi anggaran kitab suci. Sungguh mengerikan!
Sudut Pandan g Pandang
“
Tindakan KPK untuk memasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum pendidikan adalah sebuah tindakan yang brilian. Tindakan pencegahan melalui pendidikan adalah cara pencegahan terbaik. Karena pendidikan mampu mengubah cara pandang dan pola pikir seseorang. Selain itu, semakin dini seseorang diajarkan pendidikan antikorupsi, semakin mudah dirinya dibentuk untuk tidak melakukan korupsi. Amsal 22:6 berkata, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu�. Orang muda yang dididik dengan benar akan memiliki hidup yang benar pula. Sebaliknya, jika dididik dengan tidak benar, pastinya mereka akan memiliki hidup yang tidak benar.
Sebagai seorang pendidik Kristen, kita punya peran besar untuk menanamkan nilai-nilai antikorupsi kepada anak didik Pendidikan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan bukan hanya membuat orang dari tidak tahu menjadi tahu, melainkan juga membuat orang mampu melakukan apa yang diketahuinya. Ketika pendidikan antikorupsi diterapkan, maka anak didik harus mampu untuk tidak melakukan korupsi. Sebagai seorang pendidik Kristen, kita punya peran besar untuk menanamkan nilainilai antikorupsi kepada anak didik. Memasukkan nilai-nilai kebenaran dalam setiap proses belajar mengajar, mengapresiasi setiap kejujuran anak didik dan menghukum segala kecurangan yang terjadi di dalam
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
kelas. Ketika hal itu dilakukan, maka seorang pendidik Kristen sedang melakukan pendidikan antikorupsi di dalam kelasnya. Rencananya pendidikan antikorupsi akan diterapkan mulai tahun ajaran 2012/2013 di jenjang pendidikan SD sampai SMA. Inspektur Jenderal Kemendikbud, Haryono Umar, menjelaskan bahwa materi untuk guru SD dan SMA telah selesai digodok. Materi untuk perguruan tinggi saat ini juga telah selesai dibahas oleh KPK dan Kemendikbud dan rencana akan segera diterapkan dalam kurikulum (kompas.com, 9 maret 2012). Penerapan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum, menurut saya, sangat tepat untuk segera diterapkan dalam lembaga pendidikan. Namun, yang perlu diwaspadai adalah jangan sampai pendidikan antikorupsi ini hanya sekedar menambah pengetahuan. Karena jika demikian, pendidikan antikorupsi hanya sekedar ajang mencari nilai sama seperti bidang ilmu yang lain. Pendidikan antikorupsi harus menjadi sarana pelatihan bagi para pelajar untuk bangga bisa hidup jujur dan berintegritas. Selain itu, lembaga pendidikan juga harus mulai menerapkan budaya jujur dan berintegritas di lingkungannya. Di mulai dari menuntut budaya jujur dan berintegritas para pengajar dan karyawannya. Mulai dari tidak telat untuk masuk sampai kepada pertanggungjawaban keuangan sekolah atau perguruan tinggi yang transparan. Jangan sampai pendidikan antikorupsi menjadi siasia ketika para pelajar melihat hidup para pengajarnya bertolak belakang dengan teori yang diajarkan. Pendidikan yang paling berdampak adalah pendidikan dari keteladanan, bukan teori. Lembaga pendidikan juga harus melakukan terobosan memberikan penilaian terhadap kejujuran dan integritas dalam rapor siswa atau KHS mahasiswa. Setiap siswa dan mahasiswa yang kedapatan curang dalam ujian harus mendapat hukuman pengurangan nilai. Sebaliknya, setiap siswa
19
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
dan mahasiswa yang mengerjakan ujian dengan jujur akan mendapatkan penambahan nilai. Bahkan mereka yang dipilih menjadi siswa dan mahasiswa teladan haruslah mereka yang jujur dan berintegritas dalam studinya.
*Penulis adalah Staf Mahasiswa Perkantas Riau
Jangan sampai lembaga kekristenan terseret kasus karena menerima uang hasil korupsi
Menggagas Generasi Antikorupsi
Sudut Pandan g Pandang
20
Peran kita Lalu apakah peran kita sebagai masyarakat, gereja, persekutuan, dan lembaga pelayanan Kristen dalam mendukung pendidikan antikorupsi? Cara mendukungnya adalah dengan menerapkan pendidikan antikorupsi dalam lingkungan masyarakat, gereja, persekutuan, dan lembaga pelayanan kristen. Keluarga yang adalah kelompok terkecil dalam masyarakat, harus membiasakan budaya jujur dalam kehidupannya. Setiap kejujuran mengakui kesalahan harus dipuji dan diapresiasi. Orang tua pun jangan malu untuk mengakui kesalahannya di depan anak-anak. Hal ini bisa jadi awal untuk hidup jujur dan berintegritas. Gereja juga bisa melakukan pendidikan antikorupsi dengan cara memberikan pembinaan kepada anggotanya mengenai korupsi. Jika perlu, undang KPK untuk memberikan pendidikan antikorupsi kepada setiap anggota. Selain itu penting juga bagi gereja waspada supaya tidak dijadikan tempat pencucian uang korupsi. Jangan sampai lembaga kekristenan terseret masuk dalam
kasus korupsi karena menerima uang korupsi. Persekutuan dan lembaga pelayanan Kristen juga bisa melakukan pendidikan antikorupsi di dalam pembinaannya. Perkantas saya pikir perlu juga memasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulumnya. Kurikulum pelayanan siswa, mahasiswa, dan alumni harus dimasukkan pendidikan antikorupsi. Bukan hanya dalam konteks mengetahui apa itu korupsi, tetapi juga bagaimana caranya menghindari dan melawan korupsi. Persekutuan-persekutuan kampus juga harus memasukkan pendidikan antikorupsi dalam pembinaan-pembinaan yang dilakukan. Hal ini akan membuat mahasiswa menjadi peka terhadap korupsi. Mari kita berharap pendidikan antikorupsi yang masuk dalam lembaga pendidikan di Indonesia akan mengurangi angka korupsi di negara ini. Mari kita juga melawan korupsi dengan menerapkan pendidikan antikorupsi dalam keluarga, gereja, persekutuan, dan lembaga pelayanan Kristen kita. Karena korupsi telah memiskinkan rakyat Indonesia. Jangan sampai kejadian buruk terusirnya ibu Siami dan putranya, Alif, karena membongkar kasus contek massal pada pelaksanaan Ujian Nasional terulang kembali.
Peny an Antik orupsi M elalui P endidik an P er damaian enyaa dar daran Antikorupsi Melalui Pendidik endidikan Per erdamaian
Sudut Pandan g Pandang
Purnawan Kristanto*
A
pa kita kita sedang berperang?� Demikian celetuk teman saat saya menyebut pendidikan perdamaian. Teman saya ini tidak sepenuhnya salah. Dulu, saya pun punya anggapan bahwa pendidikan perdamaian itu hanya dibutuhkan jika ada konflik senjata atau kekerasan fisik. Setelah saya pelajari, ternyata pendidikan perdamaian memiliki konteks yang lebih luas. Pendidikan perdamaian adalah bagian dari peace building. Yang dimaksud dengan peace building adalah upaya untuk membangun perdamaian yang lestari dengan mencari akar persoalan konf lik. Untuk itu, mereka menggunakan analisis struktural yang mengkritik developmentalisme. Hampir semua negara mengadopsi paham pembangunan ini. Secara konsep, tujuan dari pembangunan adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi semua warganegara. Mereka bermimpi, bahwa setiap orang dapat memiliki baju, rumah, makanan, pendidikan, dan pekerjaan yang layak. Warga negara juga memiliki pelayanan sosial, seperti kesehatan, sosial, dan keamanan. Demokrasi dilaksanakan, lalu kebudayaan bertumbuh, dan lingkungan hidup dilestarikan serta dilindungi. Akan tetapi dalam praktiknya, developmentalisme ini telah menciptakan berbagai masalah ketidakadilan. Di Indonesia, pemerintah Orde Baru menjalankan politik pembangunan ini dengan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional. Pemerintah memberi ruang yang bebas kepada para pemodal untuk menanamkan modal di
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
Indonesia dengan berbagai tawaran yang menggiurkan: Upah buruh yang murah, hukum lingkungan yang longgar, keringanan pajak, dan yang utama adalah dukungan stabilitas nasional. Untuk menciptakan stabilitas nasional, pemerintah menerapkan sistem sentralisasi. Pengambilan keputusan dibuat oleh penguasa yang dipatuhi oleh bawahan. Semua partai politik, media massa, dan birokrasi dimanfaatkan untuk kepentingan rezim Orba ini. Partisipasi rakyat dinihilkan. Namun agar tercipta kesan bahwa ada demokrasi, maka suara-suara rakyat ini ditampung oleh lembaga legislatif yang sebenarnya tunduk pada penguasa. Lembaga pendidikan juga tak luput dari eksploitasi oleh negara ini. Sebagai bagian dari birokrasi, departemen pendidikan menjadi alat yang ampuh untuk menjinakkan pikiran yang kritis dan menanamkan ideologi negara pada nara didik. Dengan kekuasaan yang memusat dan ketiadaan kontrol, maka pemerintah berpeluang melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Salah satunya adalah kesempatan melakukan korupsi. Lembaga yudikatif yang mestinya mengemban fungsi penyidikan atas praktik korupsi menjadi mandul karena lembaga ini tidak mandiri. Demi alasan “stabilitas nasional�, maka kasus korupsi haram untuk dibongkar karena dapat mengganggu iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi. Korupsi juga sengaja dibiarkan terjadi karena pemerintah pusat sendiri melakukan korupsi. Maka, praktik
21
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
ini “menetes” ke bawah sebagai sebuah kelaziman.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Kita didorong untuk menunjukkan solidaritas, bukan kasihan. Jika Anda memberikan sedekah pada pengamen anak jalanan itu adalah karena kasihan. Begitu uang yang Anda berikan itu habis, maka mereka akan kembali ke jalanan. Hidup mereka tidak berubah. Namun dengan menunjukkan solidaritas, maka Anda mendukung upaya mereka untuk memperbaiki hidup mereka. Di sini Anda dapat menggunakan pendidikan perdamaian. Di dalam pendidikan perdamaian ini, partisipan diajak untuk menganalisis akar
Sosialisasi Pendidikan Antikorupsi di Papua oleh KPK: di tengah konflik
Menggagas Generasi Antikorupsi
Sudut Pandan g Pandang
22
Konflik Maraknya korupsi tidak hanya menguras pundi-pundi negara, tetapi juga berpotensi menciptakan munculnya konf lik. Contohnya, dalam penggusuran tanah. Rakyat dipaksa meninggalkan tanah miliknya karena akan digunakan untuk pembangunan proyek pemerintah atau pabrik. Ganti rugi yang diterima pemilik tanah sangat rendah. Sisa pembayaran tanah dikantongi oleh calo-calo tanah yang bekerja sama dengan pemerintah. Namun demi “pembangunan”, mereka harus pindah. Rakyat yang tidak bisa menerima kondisi ini akan melawan balik. Contoh lainnya, penduduk di sekitar aliran sungai di perkotaan mengalami gangguan kesehatan karena mengkonsumsi air yang tercemar buangan pabrik. Pemerintah enggan menindak pabrik yang tidak memiliki fasilitas pengolahan limbah dengan dalih jika pabrik itu ditutup maka timbul pengangguran. Pada kasus-kasus tertentu, kasus pencemaran lingkungan
berakhir secara “damai,” sebagai penghalusan ungkapan dari penyuapan. Di sini tersimpan potensi konflik. Masih ada lagi potensi konflik akibat praktik korupsi. Akhir-akhir ini, kita cenderung menyelesaikan konflik dengan menggunakan kekerasan atau yang populer disebut aksi anarkis. Sebagai contoh, sekelompok massa di Lampung membakar pabrik karena tanah mereka diserobot untuk perkebunan. Di Bima, massa membakar rumah dinas bupati untuk menuntut pencabutan izin tambang.
Sudut Pandan g Pandang
“
kejujuran tidak cukup hanya diajarkan lewat bangku sekolah, melainkan harus dipraktikkan. “Membangun dan menegakkan budaya kejujuran itu harus diuji, tidak cukup hanya diajarkan, namun harus dipraktikkan dan dibudayakan sejak dini,” kata pak menteri. Di dalam pendidikan antikorupsi dibutuhkan keteladanan. Bagaimana mungkin mengajarkan antikorupsi pada murid-murid jika guru sendiri masih membolos mengajar atau “mendiskon” jam Pendidikan antikorupsi di sekolah pelajaran? Bagaimana mungkin Pendidikan dan pembudayaan menanamkan kejujuran jika pihak sekolah antikorupsi akan masuk ke kurikulum sendiri tidak jujur dalam mengelola BOS pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi (Bantuan Operasional Sekolah)? mulai tahun 2012. Pemerintah akan memulai Karena itu, saya meletakkan harapan proyek percontohan pendidikan antikorupsi pada lembaga-lembaga yang berada di luar di pendidikan tinggi. Materi antikorupsi ini struktural pemerintah untuk tidak akan menjadi mata kuliah tersendiri, mengkampanyekan budaya antikorupsi. LSM namun diselipkan di dalam mata kuliah di dan gereja dapat berperan melakukan penyadaran pada masyarakat akar rumput dan jemaat tentang penyebab dan akibat pendidikan antikorupsi itu bukan dari korupsi dengan metode partisipatif. dapat mengadopsi metodesekadar hafalan pelajaran, Mereka metode yang disediakan di dalam “Peace melainkan sebuah nilai yang Building.” Di dalam Peace Building ini, partisipan diajak melakukan analisis dihayati dalam kehidupan kritis tentang sebab-akibat dari korupsi berdasarkan kondisi nyata dalam perguruan tinggi atau mata pelajaran di kehidupan mereka. Jika mereka tahu bahwa sekolah. perilaku korupsi itu banyak merugikan, maka Di satu sisi, kabar ini menggembirakan. timbul kesadaran untuk hidup yang jujur dan Tapi di sisi lain, terselip pikiran skeptis transparan. mengingat Kementerian Pendidikan masih Untuk inilah kita dipanggil sebagai menjadi sarang bagi “tikus-tikus” koruptor. “peace maker”, sebagaimana dikatakan oleh Meski rezim Orde Baru sudah tumbang, Yesus, “Blessed are the peacemakers: for they shall reformasi di bidang pendidikan masih belum be called the children of God.” memuaskan. Perilaku para pendidik masih mewarisi mentalitas birokrat zaman Orba. *Penulis adalah penulis buku, aktivis LSM, dan Padahal, pendidikan antikorupsi itu bukan relawan tanggap bencana. Pernah ikut pelatihan sekadar hafalan pelajaran, melainkan sebuah Peace Building oleh Mindanao Peacebuilding nilai yang dihayati dalam kehidupan. Hal ini Institute, Filipina diakui sendiri oleh menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh. Dia mengatakan bahwa budaya antikorupsi dan
dari ketidakadilan yang mereka alami. Setelah itu merumuskan tindakan yang berbasis pada nilai-nilai berikut ini: ♦ Nir-kekerasan ♦ Menghormati HAM dan kebebasan orang lain ♦ Toleransi dan solidaritas ♦ Komunikasi yang transparan dan terbika ♦ Partisipasi penuh dan kesetaraan bagi perempuan
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
23
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
Pendidik an Antik orupsi endidikan Antikorupsi Victor Silaen*
24
Korupsi dan dampaknya Dewasa ini, korupsi telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Mengapa? Jelas, karena dampak negatif yang ditimbulkannya juga luar biasa. Korupsi itu merugikan dan merusak, baik negara maupun rakyat, dan tak hanya secara materil tapi juga non-materil. Karena korupsilah, maka Indonesia sulit maju dan lambat membangun. Sebab, kekayaan negeri
ini telah banyak dicuri oleh para “perampok berdasi� itu selama ini. Karena korupsi pulalah, Indonesia kerap dipermalukan di forum-forum regional maupun internasional. Bayangkan, menurut survei terbaru World Justice Project yang dirilis 13 Juni 2011, praktik korupsi di Indonesia menempati posisi ke47 dari 66 negara yang disurvei di seluruh dunia. Sementara di kawasan Asia Timur dan Pasifik, peringkat ketiadaan korupsi di Indonesia masuk di urutan ke-2 dari paling buncit sebelum Kamboja. Sementara menurut hasil survei Persepsi Korupsi 2011 terhadap pelaku bisnis yang dilakukan oleh Political & Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong, Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara di kawasan Asia Pasifik. Tidakkah hasil-hasil survei tersebut membuat kita malu? Terkait Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang katanya dulu akan berdiri di garda depan dan bekerja siang-malam dalam rangka memimpin upaya pemberantasan korupsi, ternyata akhir Februari lalu malah disoroti secara negatif oleh sebuah majalah ekonomi terkemuka di dunia, The Economist. Dalam tajuknya, majalah itu menyebut Presiden SBY tidak termasuk dalam kelompok orang Indonesia yang sukses mengelola negara dan partainya. Selain itu, The Economist secara terang-terangan menyebut SBY kini tampak seperti lame duck alias bebek lumpuh. “Barely half-way through his second term, Mr Yudhoyono already looks like a lame duck,� tulis majalah itu (dikutip dari www.inilah.com, 29/2/2012). Apa alasannya?
Menggagas Generasi Antikorupsi
Sudut Pandan g Pandang
P
entingkah Pendidikan Antikorupsi dilaksanakan di lembaga-lembaga pendidikan? Jelas penting. Kalau begitu, sebaiknya Pendidikan Antikorupsi ini dimulai dari jenjang pendidikan mana? Di pendidikan dasar, khususnya di SMA (Sekolah Menengah Atas), ataukah di pendidikan tinggi, dalam arti di universitas, sekolah tinggi maupun akademi? Menurut hemat saya, karena kurikulum pendidikan di SMA sudah sedemikian padatnya, mungkin lebih baik dimulai dari jenjang pendidikan tinggi saja. Nah, di perguruan tinggi, berdasarkan pengalaman saya sebagai dosen selama ini, kurikulumnya agak fleksibel, jadi Pendidikan Antikorupsi masih bisa disisipkan di sanasini sebagai mata kuliah pilihan, atau boleh juga ditambahkan sebagai mata kuliah wajib. Yang penting, bobotnya jangan terlalu berat. Maksimal dua SKS saja. Sebelum membahas mata kuliah Pendidikan Antikorupsi ini lebih mendalam, tentu kita perlu membicarakan terlebih dulu apa dan bagaimana itu korupsi. Dengan demikian, niscaya kita bersepakat nanti bahwa korupsi itu memang harus diperangi.
Sudut Pandan g Pandang
“
Karena ia begitu lamban bertindak dan kerap takut mengambil keputusan terkait kasuskasus korupsi. Baik di jajaran kabinet maupun di partainya, sejumlah orang yang terlibat korupsi dibiarkannya saja (tidak dipecat atau setidaknya dinonaktifkan), dengan alasan menunggu putusan pengadilan. Tapi herannya, di sisi lain, SBY malah pernah memberikan grasi kepada seorang terpidana koruptor dengan alasan sakit parah. Itulah Syaukani Hasan Rais, mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang tahun 2010 dibebaskan dari tahanan karena menerima “pengampunan” dari SBY sebagai kepala negara. Setelah bebas, Syaukani langsung diterbangkan ke vila pribadinya di sebuah perbukitan di Kalimantan Timur, untuk beristirahat di sebuah rumah asri seluas 30 hektar yang dilengkapi dengan istal kuda, area berkuda, landasan helikopter, dan kebun
mempengaruhi pihak lain dengan maksud agar pihak lain itu lalu melayani kepentingannya, juga termasuk korupsi. Itulah yang disebut suap—atau yang dalam bahasa sehari-hari sering disebut “setoran/ menyetor”, “sogokan/menyogok”, dan yang sejenisnya. Begitulah, cukup banyak jenis tindakan yang terkategori sebagai korupsi. Kalau mau memahaminya lebih dalam, silakan kunjungi situs korupedia.org. Kita patut bersyukur ada aktivis-aktivis antikorupsi yang selama ini telah berjerih-lelah dalam rangka berpartisipasi memerangi korupsi di negara ini. Salah satu karya mereka adalah sejenis ensiklopedia korupsi Indonesia itu. Kita bisa berkontribusi di dalamnya, misalnya dengan cara memberikan data-data korupsi atau fotofoto koruptor, dan lain sebagainya. Ayo, mari kita manfaatkan wahana yang tersedia ini. Jangan pasif, kalau betul-betul kita ingin menjadi berkat bagi Indonesia.
jangan sekali-kali memberi hormat kepada koruptor. Tak peduli mereka banyak uang dan kerap menyumbang bagi kegiatan-kegiatan sosial bahkan keagamaan kelapa sawit. Tidakkah ini melukai rasa keadilan kita? Sudah mencuri uang negara, kok malah diampuni, dan ternyata masih kaya-raya pula. Korupsi, secara sederhana, adalah tindakan perseorangan maupun kelompok untuk memperkaya diri sendiri dengan cara yang melanggar hukum. Apakah ia hanya terkait dengan orang-orang yang bekerja di lembaga-lembaga negara? Tidak. Di lembagalembaga non-negara pun korupsi bisa terjadi. Apakah ia hanya terkait dengan tindakan mencuri atau mengambil uang? Tidak, karena memberi uang pun (bahkan sesuatu yang bukan-uang), jika bertujuan
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
Jangan hormati koruptor Kembali pada korupsi, yang adalah sebentuk kejahatan luar biasa, maka upaya memeranginya pun harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa. Tentu ada banyak alternatif strategi yang bisa kita pikirkan. Namun yang pasti, jangan sekalikali memberi hormat kepada koruptor. Tak peduli mereka banyak uang dan kerap menyumbang bagi kegiatan-kegiatan sosial bahkan keagamaan. Kita tak boleh iba kepada mereka. Sebab, penghormatan dan iba membuat korupsi cenderung menjadi banal: sebuah proses (banalisasi) yang membuat tindakan kejahatan itu akhirnya dianggap “jamak”, sehingga tak lagi dipandang sebagai sesuatu yang harus diperangi. Kalau perlu bahkan para koruptor itu dipermalukan, agar efeknya membuat orangorang lain menjadi takut untuk melakukan
25
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
Pendidikan antikorupsi di perguruan tinggi Upaya lainnya, ya itu tadi: melaksanakan Pendidikan Antikorupsi di perguruan tinggi. Di sini, persekutuan mahasiswa maupun alumni Kristen boleh juga melakukan upaya yang paralel, dalam arti memasukkan beberapa topik terkait korupsi di dalam kurikulum pembinaan kerohaniannya. Untuk itu kita bisa merancangnya dari sekarang. Pendidikan Antikorupsi tentu saja memerlukan waktu lama untuk dapat menghasilkan perubahan-perubahan positif. Namun, kita boleh optimis bahwa para mahasiswa maupun alumni kelak dapat menjadi motor gerakan anti-korupsi di manamana. Apalagi di sisi lain, pemerintah cq Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bekerja sama dengan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah
mencanangkan untuk melaksanakan Pendidikan Antikorupsi mulai tahun ajaran baru 2012-2013. Oleh pemerintah, Pendidikan Antikorupsi ini akan diajarkan sejak tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan itu tak hanya diberlakukan bagi siswa, tetapi juga guru dan kepala sekolah. Hanya saja pelajarannya diintegrasikan dengan pendidikan karakter. Di sinilah bedanya dengan usulan saya di atas, bahwa Pendidikan Antikorupsi ini sebaiknya mandiri sebagai mata kuliah (atau mata pelajaran, kalau di sekolah). Tapi tak menjadi masalah jika ada sedikit perbedaan. Yang penting tujuannya adalah: memberi pemahaman kepada generasi muda peserta didik tentang apa dan bagaimana korupsi, mengapa korupsi harus diperangi, dan bagaimana cara-cara memeranginya. Hal lain yang juga penting adalah metode pendidikannya. Pendidikan Antikorupsi ini harus dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi kombinasi antara teori (perspektif sosiologis, hukum, dan lainnya), kunjungan lapangan, diskusi, simulasi, pemutaran film, dan lain sebagainya. Dengan demikian, diharapkan Pendidikan Antikorupsi tidak menjadi sebentuk pelajaran yang menjemukan. Khususnya melalui diskusi, peserta didik haruslah didorong untuk mengelaborasi perihal tindakan-tindakan (kebiasaan-kebiasaan) apa saja yang sebenarnya identik dengan korupsi, seperti sering terlambat dalam mengikuti sebuah kegiatan, terlambat masuk sekolah, menggunakan fasilitas sekolah untuk kepentingan pribadi, dan yang sejenisnya. * Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
Menggagas Generasi Antikorupsi
Sudut Pandan g Pandang
26
korupsi. Misalnya saja, menjatuhkan hukuman dalam bentuk berbagai jenis kerja sosial yang harus mereka lakukan di ruangruang publik seraya memakai busana khusus yang didesain untuk para koruptor. Atau, boleh juga seperti idenya Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, menempatkan mereka di “kebun koruptor” yang dapat disaksikan publik kapan saja. Pendeknya, ingatlah apa yang pernah dikatakan Mallam Nuhu Ribadu, Ketua Eksekutif Economic and Financial Crimes Commission (EFCC) Nigeria: “Kita punya masalah sama: kita cenderung memberi hormat kepada orang yang justru tidak layak dihormati. Kamu melecehkan dirimu, kamu melecehkan kebijakanmu. Kamu punya kesempatan baik, tapi kamu membuat para pencuri itu tetap jadi pencuri karena kecenderungan itu. Ini masalah tentang manusia, jadi jangan ada toleransi bagi para koruptor itu. Bawa mereka ke depan hukum. Di Nigeria, kami menangkap para koruptor kakap dan ini membuat ’trickle down effect” (Tempo, 16/9/2007).
Pendidik an Antik orupsi: T anggung Ja wab Kit sama endidikan Antikorupsi: Tanggung Jaw Kitaa Ber Bersama
Sudut Pandan g Pandang
Jose Bonatua Hasibuan, S.Pd*
K
orupsi berasal dari bahasa latin Corruptio yang artinya suatu perbuatan yang busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral menyimpang dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Menurut UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001, pelaku korupsi (baca: koruptor) didefinisikan sebagai setiap orang yang secara sadar melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri/orang lain/suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara. Tindakan korupsi hadir dalam bentuk yang beragam, mulai dari menyalah gunakan sarana yang ada padanya karena jabatan/kedudukan, menggelapkan uang, sampai menerima hadiah atau janji karena kewenangan/kekuasaan jabatannya. Pelakunya pun tak hanya penyelenggara negara, bisa juga orang per orang, pegawai negeri kelas “teri,� ahli bangunan, hakim, dan lain-lain. Dampaknya tidak hanya mengganggu efektivitas program pemerintah, tetapi lebih dari itu, merusak moral suatu bangsa dengan menggerogoti nilai-nilai tanggung jawab, kejujuran, disiplin, sederhana, kerja keras dan sebagainya. Peraturan Perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah muncul sejak 54 tahun silam melalui Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat No.PRT/Peperpu/ 013/1958. Berbagai tim bentukan Pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi pun terus bermetamorfosa, mulai dari Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
Pidana Korupsi (2000-2001), Komisi Pemberantasan Korupsi (20022003), hingga Tim Koordinasi Pemberantasan Tipikor (2005), Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (2009). Namun hingga saat ini, korupsi masih tumbuh subur di negeri ini. Data dari Transparency International Corruption Perception Index 2011 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada posisi ke100 dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 3 (skala dari 1 sampai 10). Bandingkan dengan Singapura, negara tetangga yang memiliki IPK 9,3. Semakin besar nilai IPK suatu negara, maka semakin bersih negara tersebut dari tindakan korupsi. Angka ini tidak berubah signifikan selama 10 tahun terakhir, hampir tidak berbanding lurus dengan berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam rangka menekan angka korupsi. Apa yang menyebabkan jalan buntu pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia? Izinkan saya memberikan analisa dari sudut pandang sebagai pendidik. Pertama, kita gagal menciptakan lingkungan anti-korupsi bagi generasi muda. Keluarga sebenarnya memberi peran strategis dalam menciptakan nilai-nilai anti-korupsi kepada anak seperti rasa tanggung jawab. Di dalamnya terkandung nilai-nilai kewajiban, amanah, berani menghadapi, tidak mengelak, ada konsekuensi, berbuat yang terbaik. Namun faktanya, jarang sekali orang tua yang melatih anaknya untuk memiliki nilai tanggung jawab. Setiap hari, orang tua yang memasukkan buku-buku ke dalam tas, anak-anak tidak dibiasakan untuk bangun pagi sendiri dan merapikan tempat tidur,
27
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Tujuan utama Pendidikan Anti-korupsi adalah perubahan sikap dan perilaku terhadap tindakan koruptif. Pendidikan Anti-korupsi membentuk kesadaran akan bahaya korupsi, kemudian bangkit melawannya. Pendidikan perlu dielaborasi dan diinternalisasikan dengan nilai-nilai antikorupsi sejak dini. Pendidikan anti-korupsi yang diberikan di sekolah diharapkan dapat menyelamatkan generasi muda agar tidak menjadi penerus tindakan-tindakan korup generasi sebelumnya. Tentu tak mudah mengimplementasikan rencana Pendidikan Anti-korupsi di sekolah. Perlu dipersiapkan guru-guru yang akan menyampaikan agar konten-konten pendidikan anti-korupsi yang dicanangkan dapat diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran. Hal ini tidak hanya mencakup metode penyampaiannya, tetapi juga bagaimana mengevaluasinya. Ini berarti, pendidik dan bahkan tenaga kependidikan harus mampu menjadi teladan dalam menunjukkan nilai-nilai anti-korupsi agar Pendidikan Anti-korupsi yang ditanamkan kepada peserta didik dapat berbuah. Dalam hal ini, panggilan pendidik Kristen sebagai garam dan terang semakin jelas yakni menyatakan natur dosa sebagai dosa yang harus diperangi dan menjadi teladan bagi peserta didik dalam menerapkan nilai-nilai anti-korupsi dalam kehidupan sehari-hari.
Membangun pendidikan antikorupsi Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) menargetkan Pendidikan Antikorupsi yang merupakan bagian dari Pendidikan Karakter akan diterapkan mulai tahun ajaran 2012/2013. Pendidikan Antikorupsi substansinya bukan merupakan mata pelajaran baru yang akan menambah beban peserta didik, ia bisa masuk ke setiap mata pelajaran, ke setiap pokok bahasan apa saja dan dapat diterapkan di semua jenjang
Melibatkan semua pihak Penerapan Pendidikan Anti-korupsi harus melibatkan semua pihak di lingkungan sekolah, perlu duduk bersama merancang implementasinya di dalam kurikulum untuk memetakan nilai-nilai anti-korupsi yang harus dicapai di setiap satuan pendidikan, siapa dan kapan disampaikan, termasuk mekanisme evaluasinya. Sekolah harus memiliki modul Pendidikan Anti-korupsi dan mencantumkannya dalam program tahunan
Menggagas Generasi Antikorupsi
Sudut Pandan g Pandang
28
makan disuapin, belajar disiapkan guru privat, PR dikerjakan dan banyak lagi kebiasaan yang tanpa sadar mencetak nilai-nilai korupsi. Termasuk gaya hidup sederhana yang jarang saya lihat dipraktekkan di keluargakeluarga Indonesia. Kedua, gagalnya pendidikan agama dan etika. Sebagai salah seorang pendidik, saya merasakan sistem pendidikan saat ini belum berhasil menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Pendidikan agama seolah-olah terpisah dari kehidupan sekuler. Keberhasilannya hanya diukur sampai tingkat pengertian dan kemampuan anak didik dalam melaksanakan praktek-praktek agamawi, bukan pada apresiasi pada penampakan nilai-nilai kebaikan. Sekolah secara rutin menyelenggarakan doa bersama menjelang UN, namun praktek-praktek kecurangan terorganisir dianggap hal yang wajar. Pendidikan moral tidak lagi dimasukkan ke dalam kurikulum, penekanan lebih ditekankan pada pendidikan kewarganegaraan, tanpa keteladanan dari pemangku kepentingan negara. Jika hal ini terus menerus dibiarkan, akan sulit berharap lahirnya generasi tanpa korupsi sehingga dimasa yang akan datang mimpi tercipta Indonesia yang bebas dari korupsi hanya sebatas retorika. Dalam hal inilah membangun suatu sistem pendidikan antikorupsi menjadi relevan, melawan korupsi dengan menanamkan nilai-nilai anti-korupsi pada generasi muda sejak dini.
Sudut Pandan g Pandang
sekolah. Tanggung jawab ini tidak hanya menjadi beban guru agama, setiap guru harus mengambil peran dalam menebarkan nilainilai anti-korupsi. Seorang guru Bahasa Indonesia misalnya, perlu memilih wacana yang mengandung pesan-pesan anti-korupsi di dalamnya dan kemudian memfasilitasi diskusi sehingga setiap peserta didik dilibatkan masuk ke dalam implementasi praktisnya. Jika buku paket yang digunakan tidak mengakomodir kepentingan tersebut, guru dituntut mendesain sendiri artikel bacaan yang akan dipakai dalam proses pembelajaran. Seorang guru sejarah harus mampu mendaratkan nilai keberanian pada peserta didik ketika materi perjuangan kemerdekaan Indonesia sedang dipelajari di kelas. Siswa didorong meneladani sikap berani yang ditunjukkan para pejuang kemerdekaan dengan cara sederhana seperti berani menolak ajakan seorang teman yang tidak baik meskipun berisiko untuk dijauhi. Seorang guru matematika harus memberikan penekanan pentingnya mengikuti kaidah dan aturan matematika dengan benar agar peserta didik bisa mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya. Gagasan besar mencegah praktik korupsi dengan menerapkan pendidikan Anti-korupsi akan berhasil jika didukung oleh semua pihak di luar lingkungan sekolah. Apalah gunanya jika di sekolah nilainilai anti-korupsi telah diajarkan namun di rumah anak-anak tidak pernah diberikan tanggung jawab walau hanya membersihkan kamar tidur dan mencuci piringnya setelah makan. Masyarakat berkontribusi dengan menegur anak-anak yang berkeliaran di luar sekolah pada jam pelajaran, memberikan sanksi sosial kepada para koruptor agar anakanak merasakan bahwa korupsi merupakan hal yang sedang diperangi bersama. Lembaga pelayanan harus mulai memikirkan programprogram aplikatif seperti sekolah alam.
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
Contoh materi Pendidikan Anti-korupsi di SD (Sumber : KPK)
Persekutuan Kristen harus menjadi model komunitas orang-orang yang peduli dan bergaya hidup sederhana, menanamkan budaya disiplin waktu ketika melakukan kegiatan. Kepada gereja Allah mengamanatkan supaya “apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun� (Ulangan 6 : 6-7). Untuk korupsi yang sudah membudaya dan mendarah daging, dibutuhkan pendidikan berbasis antikorupsi yang disampaikan berulang-ulang dan keroyokan. Setiap kita, baik sebagai guru, karyawan atau ibu rumah tangga Tuhan berikan tanggung jawab untuk mendidik generasi muda negeri ini bermental antikorupsi, menjadi agen pendidikan antikorupsi, agen perubahan bangsa. *Penulis adalah PNS di Dinas Pendidikan Riau, Guru di SMKN Pertanian Terpadu Riau, Saat ini sedang studi S2 Matematika di SPs IPB
29
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
Makan Yulius Tandyanto*
30
keduanya jelas-jelas berbeda? Korupsi adalah tindak-tanduk yang jahat dan merupakan pilihan hidup, sedangkan makan adalah tabiat yang baik dan merupakan keharusan. Justru persis di situlah letak krisisnya: intisari keburukan korupsi terjelmakan secara halus seiras2 apa-apa yang baik dan apa-apa yang harus dalam keseharian kita. Bahkan, dalam perikeimanan kita! MUNGKIN kegelisahan macam itulah yang dirasakan oleh ahli matematika Inggris, Bertrand Russell (1872-1970). Ia mulai mengunyah dan mencerna geliat Kristianisme di masanya, awal abad ke-20. Tampaknya Russell menengarai ketakpaduan antara apa yang dinyatakan oleh iman orang Kristen dan perilaku sehari-hari. Faktor emosional pada Kristianisme kala itu—yang memberikan rasa takut pada umat— membuat Russell mual. Syahdan, Russell mencurahkan pemikirannya akan situasi religius yang menurutnya korup itu pada pertemuan Perkumpulan Sekular Nasional (National Secular Society) cabang London Selatan. Kuliahnya dipaparkan pada hari Minggu, 6 Maret 1927 di balai kota Battersea, dengan judul yang kontroversial “Mengapa Saya Bukan Seorang Kristen” (Why I am not a Christian). Argumen Russell yang blak-Vblakan dan terkenal itu mendapat sambutan pedas dari salah satu pendebat seriusnya, Thomas Stearns Eliot (1888-1965). Di bulan Agustus
Menggagas Generasi Antikorupsi
Sudut Pandan g Pandang
B
arangkali korupsi itu suatu hal yang tak terelakkan. Ibaratnya seperti makan. Ya, makan yang sudah jadi rutinitas keseharian kita. Justru karena sifatnya yang cenderung teratur dan tidak berubahubah, kita sering melupakan “paras” lain dalam perihal santap-menyantap. Misalnya saja, kita kerap abai dan menganggap remeh para petani, nelayan, penjual di pasar, koki, pengantar makanan, dan beragam wajah lainnya yang sebetulnya sudah berjerih menghadirkan sepiring nasi lengkap dengan lauk dan sayurnya di hadapan kita. Kasarnya, kita hanya menghargai mereka karena mereka telah memenuhi kebutuhan kita. Nah, bukankah mengabaikan orangorang tersebut merupakan hal yang tak terelakkan? Apalagi kita hidup di zaman yang selalu tergesa-gesa dan terlalu banyak pilihan, rasanya tak sempat bercengkerama dengan mereka—bila tak mau mengatakannya sebagai hal yang absurd. Kalaupun ingat, sesekali kita mengucapkannya dalam doa sebelum makan. Semua polah ini terhisap dalam suatu sistem yang menampilkan wajah semangat zaman kini: ketergesaan. Jadi, kalau boleh disamakan dengan makan, korupsi pun tumbuh subur dalam suatu sistem yang berkanjang pada ketidakadilan dan keserakahan sejak masa karuhun1. Suka tak suka, kenyataan itu merupakan kebiasaan yang tak dapat kita sangkal di saat ini. Ah, tapi apatah tepat menyamakan tindakan korupsi dengan makan? Bukankah
Sudut Pandan g Pandang
tahun yang sama, Eliot menyiapkan beberapa argumentasi balasannya. Jika boleh diringkas, argumentasi Eliot seperti ini: pertama, bukankah alasan Russell tidak menjadi seorang Kristen sebetulnya juga merupakan faktor emosional? Eliot pun menjelaskan dua macam rasa takut: yang baik dan buruk. Baginya, rasa takut yang sepantasnya pada Tuhan jelas berbeda dengan rasa takut terhadap perampok. Dan yang kedua, Eliot menyatakan dengan nada mencela bahwa jika perbuatan dianggap paling penting ketimbang pernyataan iman, Russell tentu akan menyetujui kesimpulan argumennya. “Dengan demikian, ateisme hanyalah merupakan roman lain dari kekristenan,” sindir Eliot. Semenjak itu perdebatan pun terus berlanjut kian cadas. Namun, memasuki usia senjanya, Russell tampak menyetujui kesimpulan Eliot dalam pengertian tertentu. Ateisme merupakan suatu bentuk kelaparan dirinya akan kebenaran dalam sistem Kristianisme yang korup. Dalam permenungannya, Russell meratapi jarak antara suara yang berkata-kata pada rasionya dan keinginan emosionalnya untuk meyakini sesuatu: “Aku selalu sangat bergairah untuk menemukan dasar kebenaran dari berbagai emosi. Emosi yang diilhamkan oleh banyak hal yang tampaknya berdiri jauh dari kehidupan manusia dan yang layak mendapatkan rasa kagum. Naluriku memilih bersama para humanis, tapi emosiku memberontak dengan hebat. Dalam hal ini ‘penghiburan filsafat’ bukanlah untukku.” BOLEH JADI kita perlu rahang yang kuat dan usus yang baik untuk mencerna banyak
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
hal, termasuk perihal korupsi. Bertindak korup itu nikmat, seolah-olah tampak baik, dan menjadi keharusan dalam sistem yang telanjur rusak. Karena itu, kita perlu “melumatkan” berbagai kenyataan hidup yang menampilkan diri sebelum memutuskan untuk menelan atau memuntahkannya demi kesehatan tubuh. Demikian pula dalam menilai kisah Russell, pengalaman sahabat, ataupun cerita diri, kita perlu mengunyahnya baik-baik. Kebiasaan dan bertindak korupsi memanglah buruk, tapi jangan-jangan tidak seburuk pikiran korup dan pembenarannya yang bersifat dogmatis dan halus. Kita bisa saja berpikir untuk mendalami kitab suci sampai-sampai kita lupa diri dan telah menjadikannya berhala baru (bibliolatreia). Kita telah menggeser Tuhan dan membatasi keleluasaan-Nya. Pikiran korup adalah suatu hal yang tak tergelicikkan3, lebih-lebih kita bernapas dan tenggelam di dalamnya. Namun, dalam ketiadaberdayaan tersebut, alangkah bestari bila kita mau bertelut di hadapan Salib Kristus dengan sejujur-jujurnya dan sehormat-hormatnya. Bukan sebagai berhala, melainkan semacam simbol pengharapan. Kita yang terbatas mencoba meletakkan kembali bahwa korupsi adalah suatu yang buruk dan merupakan pilihan. Suatu pilihan di mana kita bila kita tidak melampauinya, kita adalah bagian dari korupsi. Korupsi di sana-sini. Harapan telah disemai. Dan, kita lapar .... Mari makan! *Penulis adalah alumnus Unpad, saat ini sedang menjalani matrikulasi untuk studi S-2 di STF Driyarkara
Catatan kaki: 1 Nenek moyang 2 Serupa, semacam 3 Terelakkan
31
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
M engupa an T orupsi engupayy ak akan Trr ans ansff ormasi Buda Budayy a Anti-K Anti-Korupsi Ruth Yuni T. Imanti*
P
nyaman untuk hidup dan bertumbuh bersama sebagai suatu bangsa. Kemarahan masyarakat terjadi ketika akses vital seperti kesehatan dan pendidikan menjadi begitu mahal. Padahal, negara sudah mengambil uang rakyat yang merupakan jerih payah mereka—yang seharusnya kembali dinikmati sebagai fasilitas publik. Banyak ahli mengatakan bahwa kondisi seperti saat ini adalah karena “salah urus negara” di mana permasalahan terletak pada pengelolaan maupun pengelolanya. Kemampuan mengelola yang baik tidak bisa lepas dari isu manusia sebagai isu sentral. Hal ini berkaca pada apa yang Kristus lakukan, di mana Ia menyentuh manusia, sebagai strategi gerakan reformasi paradigma dan budaya yang telah korup (penerapan taurat dan isu keselamatan bergeser dari makna seharusnya). Akhir-akhir ini kita mengenal istilah good governance, yang dimaknai sebagai pemerintahan yang bersih dari KKN. Pada prinsipnya, good governance merujuk pada suatu proses pemeliharaan dan pemulihan rasa saling percaya di dalam masyarakat (political trust). Kepercayaan di dalam konteks kemasyarakatan (bangsa) terdiri dari macro-level atau organizational trust dan micro-level atau individual political trust. Kehadiran lembaga KPK lahir sebagai suatu terobosan untuk memecah kebuntuan proses pemulihan kepercayaan di masyarakat. Jika pemberantasan korupsi
Menggagas Generasi Antikorupsi
Jelan g Jelang
32
ada hari-hari ini, kehidupan berbangsa di Indonesia menghadapi musuh bersama, yaitu korupsi. Media dipenuhi dengan berita tentang penangkapan para koruptor oleh lembaga yang rasanya paling populer saat ini, KPK. Tetapi apakah korupsi hanya dapat disembuhkan oleh kehadiran lembaga KPK? Politisi PDI Perjuangan di DPR, Dewi Aryani, menyatakan bahwa dari sekian banyak teori korupsi yang dipelajarinya, maka yang paling mudah dipahami sebagai penyebab korupsi adalah: niat, sistem yang memberikan celah, kebutuhan dan terakhir, tekanan dari pihak lain, termasuk parpol. Yang menarik, pengakuan legislator itu membahas korupsi yang sudah membudaya, yang berarti lebih tinggi dari kebutuhan maupun akibat dari sistem. Jika korupsi sudah menjadi budaya, maka korupsi sudah dianggap “benar” dan dibutuhkan; bukan karena korupsi itu benar, tetapi karena dianggap sebagai “jawaban” atas kebutuhan yang didasari nilai konsumerisme dan hedonisme. Di jaman ini, gaya hidup seperti itu sangat populer. Namun kenyataannya, masyarakat marah dan gelisah dengan kondisi ini, sehingga mengharapkan adanya perubahan. Budaya korupsi sesungguhnya menyimpan nilai kejahatan berupa perampasan hak orang lain. Korupsi memiliki dampak moral yang merusak seluruh sendi kehidupan, di mana tidak ada lagi rasa
Jelan g Jelang
“
baik. Selain itu, kepercayaan politis di tingkat organisasi maupun individu tergantung pada pembuatan kebijakan yang kredibel. Artinya, aturan yang dibuat harus memenuhi persyaratan standar kebijakan yang baik, yaitu berorientasi kepada kepentingan jangka panjang yang menguntungkan rakyat. Penerapan good governance, yang mengedepankan tranpsaransi maupun akuntabilitas, harus didukung oleh manajemen pemerintahan yang terbuka dan terkontrol dengan baik oleh masyarakat, baik melalui lembaga perwakilannya di DPRD, kelompokkelompok kritis, maupun melalui media. Dengan demikian, peluang terjadinya korupsi menjadi semakin sempit. Secara ringkas, Good Governance diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan Jika korupsi sudah menjadi budaya, maka yang mengikuti kaidahtertentu sesuai korupsi sudah dianggap “benar” dan kaidah prinsip-prinsip dasarnya. dibutuhkan; bukan karena korupsi itu Kunci utama memahami benar, tetapi karena dianggap sebagai good governance adalah “jawaban” atas kebutuhan yang didasari pemahaman atas prinsipprinsip di dalamnya, yaitu nilai konsumerisme dan hedonisme (Anung Karyadi, 2012): 1. Partisipasi semua warga masyarakat dalam pengambilan politis adalah penilaian warga negara keputusan, baik secara langsung bahwa sistem dan para pejabat politik maupun melalui lembaga-lembaga bertindak responsif, dan memiliki perwakilan sah, yang mewakili kemauan untuk melakukan yang benar kepentingan mereka secara walaupun tidak ada penyelidikan yang terus konstruktif. menerus (Miller and Listhaug 1990, 358). Hal ini bisa terjadi ketika masyarakat puas 2. Tegaknya supremasi hukum tanpa pandang bulu. dengan alternatif kebijakan yang ada (Miller 1974, 951) dan didukung oleh 3. Transparansi, yaitu pengelolaan arus informasi yang bebas di mana seluruh kekuatan institusi di tingkat legislatif dan proses pemerintahan dan lembagayudikatif. Individual political trust dapat lembaga informasi dapat diakses oleh terjadi jika para pemimpin politik secara pihak-pihak yang berkepentingan agar individu dapat dipercaya. Masyarakat akan terjadi pengawasan serta akuntabilitas percaya jika para pemimpin yang memegang jabatan benar-benar diyakini tidak berakar pada pemulihan kepercayaan politik, maka KPK suatu saat juga akan kehabisan energi. Ketua KPK mengatakan bahwa banyaknya kasus korupsi tidak sebanding dengan SDM yang tersedia. Jika hanya mengandalkan upaya kuratif seperti yang dilakukan KPK, maka masyarakat hanya akan menjadi masyarakat yang reaktif atau tidak dewasa dalam bernegara. Kedewasaan bernegara sangat penting, yang dibangun di atas moralitas bernegara, di mana asas kepercayaan dijunjung tinggi. Kepercayaan politis hanya terjadi jika setiap warga negara menghargai pemerintah dan institusi pendukungnya, di mana para pembuat kebijakan, yaitu para pemimpin politis menjalankan kebijakan sesuai janji/sumpah, efisen, adil dan jujur. Dengan kata lain, kepercayaan
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
33
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
Menggagas Generasi Antikorupsi
Jelan g Jelang
34
sangat krusial sebagai wadah utama mencetak para pemimpin yang dapat memulihkan kepercayaan masyarakat. 4. Budaya merupakan produk kristalisasi nilai-nilai selama kurun waktu tertentu. Ketika korupsi sudah menjadi budaya, maka terjadilah kristalisasi nilai ketidakadilan. Untuk mengubahnya, perlu upaya pembudayaan kembali nilai-nilai yang menjunjung keadilan sebagai langkah membangun kembali kepercayaan yang 5. kokoh. Pendidikan yang baik harus mencapai kristalisasi nilai-nilai yang menjamin terbentuknya kepercayaan hidup 6. bersama. Untuk itu dibutuhan pendidikan yang bersifat transformatif, yang ketika berperan di tingkat sistem atau organisasi, para pemimpin yang dihasilkan memiliki pula kompetensi manajemen perubahan. 7. Transformasi adalah perubahan yang mendasar, meliputi paradigma dan arah hidup. Perubahan tersebut tidak hanya bersifat fisik di permukaan, melainkan juga perubahan yang fungsional. Transformasi adalah hasil belajar yang bersifat permanen, bukan perubahan sementara untuk Untuk membentuk good governance, kepentingan tertentu demi memenuhi dibutuhkan pembentukan karakter para kepuasan jangka pendek semata. pemimpin yang layak dipercaya. Dengan Transformasi mengubah struktur watak demikian, ranah pendidikan menjadi manusia, sehingga memiliki sistem nilai hidup yang baik menurut ukuran nilai moral dan spiritual. Memberantas korupsi di Indonesia untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa tidak bisa dilakukan hanya dengan mengubah tampilan luar dan dilakukan oleh dan pada sebagian dari sistem sosial saja. Perlu proses perubahan yang disebut sebagai transformasi total. Nilai-nilai yang Siswa dan komitmen antikorupsi: butuh keteladanan para pengambil keputusan di pemerintah. Lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan. Dengan demikian berorientasi pada konsensus tata pemerintahan yang menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda. Kesetaraan semua warga masyarakat agar berkesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan. Efektivitas dan efisiensi proses pemerintahan dan lembaga-lembaga sesuai kebutuhan warga masyarakat dengan mengelola sumber-sumber daya seoptimal mungkin. Visi strategis para pemimpin dan masyarakat yang memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, dengan pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial.
Jelan g Jelang
“
kebiasaan peri laku anti korupsi, pada saat anak berusia 8-9 tahun. Masyarakat Kristen, khususnya kaum intelektual, dapat berperan sangat banyak dalam proses pendidikan atau transformasi anti-korupsi. Secara singkat, yang dapat dilakukan adalah: 1. Menguatkan peran pendidikan keluarga sebagai pembentuk nilai-nilai iman Kristen dengan pembiasaan perilaku anti korupsi sejak dini, terutama orang tua yang berperan sebagai teladan. 2. Menguatkan pemuridan di lingkungan anak Tuhan (gereja) mulai sejak masa dini, dengan pembinaan iman yang komprehensif meliputi penciptaan lingkungan yang bersih dari KKN. 3. Menguatkan institusi gereja dengan sistem manajemen yang menganut good Pembiasaan sejak kecil, misalnya dengan prinsip governance. perilaku anti-korupsi di usia 5 tahun pertama 4. Terlibat di dalam harus dilanjutkan dengan pendidikan etika, m a n a j e m e n yaitu penjelasan di balik kebiasaan peri laku anti perubahan di l i n g k u n g a n korupsi, pada saat anak berusia 8-9 tahun profesional dan masyarakat, misalnya dengan mendukung asas transparansi Pada masa 5 tahun pertama, skema dan akuntabilitas. Selain keteladanan, di dalam otak dan pola respon manusia pemanfaatan media juga penting masih f leksibel untuk dibentuk. untuk mendorong aktualisasi kedua Kristalisasi nilai yang dibangun sejak dini asas ini. pada periode tersebut akan sangat sulit diubah. Menurut teori pendidikan moral, 5. Mendorong pendidikan karakter pada kurikulum sekolah. “usia emas� kesiapan pendidikan moralitas berkisar antara usia 8-9 tahun, di mana *Pernulis bekerja sebagai konsultan lepas di seorang anak secara kemampuan kognitif bidang SDM, saat ini melayani sebagai sudah mulai mampu menyerap hal-hal Majelis Jemaat GPIB Petra Bogor yang bersifat abstrak. Oleh sebab itu pembiasaan sejak kecil, misalnya dengan perilaku anti-korupsi di usia 5 tahun pertama harus dilanjutkan dengan pendidikan etika, yaitu penjelasan di balik
mengutamakan pemenuhan kepentingan sendiri yang melahirkan ketamakan dan korupsi tidak bisa diubah hanya dengan menciptakan aturan baru. Perlu proses penyadaran akan kepedulian bersama dan dilanjutkan dengan memberlakukan sistem yang sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Pendidikan yang bersifat kristalisasi nilai-nilai anti-korupsi secara ideal dilakukan sejak masa kanak-kanak. Lima tahun pertama individu adalah pembentukan super ego dan kepribadian. Super ego berperan sebagai “penjaga� atau dikenal sebagai hati nurani untuk mengarahkan baik dan buruknya suatu tindakan. Sedangkan kepribadian adalah dasar bangunan dari individu untuk menghadapi situasi sosial di sekitarnya.
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
35
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
Tilikan
Resita Lubis Medan, Sumatera Utara
Arianto Batara Tomohon, Sulawesi Utara
M 36
enurut saya, kurikulum Pendidikan Antikorupsi tidak perlu, karena apabila sekolah sudah menyelenggarakan kurikulum yang telah ada dengan baik, otomatis di dalamnya ada muatan pembentukan karakter "antikorupsi", misalnya muatan pendidikan karakter atau muatan pembelajaran afektif. Mengapa korupsi tak kunjung berkurang di Indonesia? Jawabannya sangat kompleks dan tidak bisa dijawab hanya dengan penambahan kurikulum antikorupsi.
Weilin Han Jakarta
S
itus resmi KPK menyebutkan bahwa kurikulum anti korupsi diterapkan di tahun 2011, sementara Mendikbud menyatakan kurikulum tersebut akan diterapkan di tahun 2012. Dua informasi membingungkan ini bertolak belakang dengan indikator transparency dan accountability panduan Good Governance UN-ESCAP. Padahal, transparency dan accountability sangat erat hubungannya dengan anti-korupsi. Saya juga sangat berharap bahwa yang nanti diluncurkan memang adalah sebuah kurikulum. Bukan modul lepasan. Brain-based learning menyatakan bahwa sebuah informasi akan masuk ke dalam long term memory dan synapses di otak bertumbuh dengan baik ketika informasi itu disampaikan secara konstruktif, melalui experiential learning, dengan materi yang relevan & kontekstual bagi si pembelajar. Kita perlu banyak sekali teladan pelaku anti-korupsi yang bisa menjadi rujukan bagi anak-anak. Dengan demikian, pendidikan anti-korupsi menjadi sebuah pelajaran yang sangat “gue banget�.
P
endidikan harus dipandang secara holistik, artinya pendidikan tidak hanya melulu memerhatikan ranah kognitif peserta didik, tetapi juga memerhatikan skill dan terutama karakter. Jika pendidikan seperti ini, yang diwujudkan di sekolah-sekolah, maka menurut saya tidak perlu ada kurikulum (mata pelajaran/topik, dll.) yang secara khusus membahas antikorupsi. Hal yang tepat menurut saya adalah pembelajaran antikorupsi itu terintegrasi dalam seluruh pembelajaran, tercermin dari kehidupan keseharian antara guru dan peserta didik. Perwujudan lain adalah melalui penerapan peraturan-peraturan di sekolah. Contohnya adalah guru hadir di sekolah sebelum peserta didik hadir (teladan), memberikan konsekuensi bagi peserta didik yang terlambat, menerapkan konsekuensi bagi peserta didik yang menyontek, tidak membuat kunci jawaban UN (Ujian Nasional), guru tidak menerima uang terima kasih dari siswa, dan lain sebagainya.
Yanti Romauli Lampung
M
enurut hemat saya, pendidikan antikorupsi bukanlah solusi terbaik untuk mengatasi budaya korupsi. Mari lihat Singapura, yang mendapat predikat "negara paling bersih di kawasan Asia Tenggara". Googling saja kurikulum pendidikan yang diterapkan di Singapura mulai dari TK-PT, tidak ada yang berkaitan dengan politik. Tapi kenapa Singapura dapat bebas dari korupsi? Rahasianya mungkin keteladanan, teladan bicara lebih kuat daripada perkataan. Yang dibutuhkan generasi muda Indonesia adalah keteladanan yang baik (anti korupsi) dari para pemimpin dan orang tua, bukan menyisipkan teori tanpa aplikasi.
Menggagas Generasi Antikorupsi
Dari Graduate Center
Per siapan dan P emilihan ersiapan Pemilihan Kebutuhan M endasar di K omunit as Mendasar Komunit omunitas 1) Pelatihan Training of Fasilitator eran fasilitator sangat besar atau vital dalam menentukan keberhasilan kegiatan pengembangan masyarakat (community development/comdev). Sebab, seorang fasilitator menjadi kunci di tengah komunitas sejak lembaga comdev masuk, komunitas menyuarakan kebutuhan mendasar mereka, sampai tahap awal kegiatan sebagai salah satu solusi bersama untuk mengatasi permasalahan yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, kapasitas dan kemampuan dari seorang fasilitator harus dipastikan keandalannya sebelum terjun ke lapangan. Beberapa lembaga comdev melakukan pelatihan mendasar kepada fasilitator di lapangan. Pemerintah Indonesia pada awal tahun 2007 mencanangkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) melalui kegiatan yang digabungkan, yaitu Program Pembangunan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Pemerintah berkomitmen hendak menyusun suatu standarisasi dari kapasitas kompetensi fasilitator comdev. Graduate Center dalam rangka peningkatan kapasitas fasilitator comdev ini sejak tahun 2010 sudah melakukan pelatihan-pelatihan tenaga fasilitator melalui kegiatan rutin setiap bulan yang diadakan di Pintu Air. Adapun materi yang disampaikan, yaitu:
4. Analisa Prioritas dan Program: Mengetahui Kebutuhan Mendasar 5. Proposal Writing 6. Budgetting
P
1. Filosofi dan pengertian comdev 2. Peran Pemerintah dalam Pengembangan Masyarakat 3. Metodologi comdev : need assessment
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
Materi-materi tersebut disampaikan dengan metode seminar, diskusi maupun terjun ke lapangan, khususnya saat melakukan analisa prioritas kebutuhan mendasar masyarakat. Materi-materi lainnya yang direncanakan akan diberikan untuk jangka waktu ke depan sebagai alternatif tambahan yaitu terkait dengan metodemetode untuk memaksimalkan penentuan kebutuhan mendasar dari komunitas, antara lain: 1. Participatory Rural Appraisal (PRA) 2. Rapid Rural Appraisal (RRA) 3. Social Approach
2) Need Assessment Survey ada Bab 1 sudah diutarakan bahwa tim comdev pada percontohan pelayanan comdev Paksu Jakarta menggunakan need assessment approach. Pendekatan ini didukung dengan melakukan metode curah pendapat berkelompok (kelompok laki-laki dan kelompok perempuan) maupun per individu dengan menggunakan alat kuesioner yang telah dipelajari dan dilatihkan kepada masing-masing fasilitator. Kegiatan curah pendapat berkelompok dilakukan 1-2 kali setelah disepakati waktu pertemuan sebelumnya. Kuesioner yang disiapkan dijadikan pedoman awal bagi fasilitator tetapi tidak dapat dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi. Kuesioner yang disiapkan dapat dilihat pada boks berikut:
P
37
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
KUESIONER COMMUNITY DEVELOPMENT
II. Data Responden Nama : ................................................................................................ Alamat : ................................................................................................ Tempat/Tgl Lahir : ................................................................................................ Pendidikan terakhir : ................................................................................................ Status : ................................................................................................ Jabatan di Masyarakat : ...............................................................................................
38
III. Substansi 3.1 Pendidikan Anak 1. Berapa jumlah anak Bapak/Ibu sekarang ini? Laki-laki : ........., Perempuan: .......... 2. Apakah anak Bapak/Ibu masih sekolah saat ini? a. TK : .............. b. SD : .............. c. SMP : ............ d. SLTA: ............ e. D1/D2/D3/S1 : ................. 3. Apakah anak-anak Bapak/Ibu setiap hari masuk sekolah? ....................................... 4. Apakah sering bolos? ............................. 5. Apakah bisa mengerjakan tugas yang diberikan guru? .................................... 6. Bagaimana cara anak-anak mengerjakan PR? .................................................... 7. Pelajaran apa saja yang sulit pahami anak-anak untuk diikuti? ................................... 8. Apakah anak-anak ikut teman sekolah untuk belajar bersama? ............................. 9. Apakah Bapak/Ibu ingin ada yang mengajari anak-anak pelajaran tersebut selain guru? ......................... 10. Apakah Bapak/Ibu punya buku-buku pelajaran sekolah anak-anak di rumah? ......................... 11. Buku pelajaran apa saja yang tidak dipunyai? ....................................................
Menggagas Generasi Antikorupsi
Dari Graduate Center
I. Data Pewawancara Nama : ................................................................................................ Alamat : ................................................................................................ Nomor Telepon : ................................................................................................ Tanggal Wawancara : ................................................................................................ Lokasi Wawancara : ................................................................................................ Waktu Wawancara : ................................................................................................
Dari Graduate Center
12. Apakah sekolah mengijinkan untuk meminjam buku pelajaran dari perpustakaan? ... 13. Apabila sudah tidak bersekolah, a. Apakah alasan Bapak/Ibu tidak menyekolahkan mereka lagi? ......................... b. Apakah Bapak/Ibu ingin mereka meneruskan sekolahnya? .............................. c. Apakah anak-anak Bapak/Ibu dapat mengikuti pelajaran sekolah? ................. d. Pelajaran apa saja yang sulit dipahami anak-anak Bapak/Ibu? .......................... e. Apakah Bapak/Ibu menginginkan ada yang mengajari pelajaran tersebut selain guru? ....................................................................................................................... f. Mengapa? ..................................................................................................................... 3.2 Hubungan Keluarga dan Tempat Tinggal 1. Apakah semua anak-anak Bapak/Ibu masih hidup? ..................................................... 2. Apabila masih, dimana mereka tinggal sekarang ini? .................................................. 3. Apakah mereka tinggal bersama Bapak/Ibu sekarang ini? .......................................... 4. Apabila mereka tidak tinggal dengan orang tua sekarang ini, dengan siapa mereka tinggal sekarang ini? ........................................................................ 5. Siapa saja yang tinggal satu atap rumah dengan Bapak/ibu saat ini selain anakanak Bapak/Ibu? ..................... Berapa KK? .................................................... 6. Apakah alasan anak-anak tidak tinggal dengan Bapak/Ibu? ...................................... 7. Bagaimana hubungan Bapak/Ibu dengan anak-anak? ................................................. 8. Apakah Bapak/Ibu sering memukul anak-anak? .......................................................... 9. Apa alasan Bapak/Ibumemukul mereka? ....................................................................... 10. Saat memukul anak-anak, apa yang digunakan Bapak/Ibu? ..................................... 11. Bagian tubuh mana yang Bapak/Ibu pukul? ................................................................ 12. Berapa kali sehari Bapak/Ibu memukul mereka? ....................................................... 13. Apakah pasangan Bapak/Ibusaat ini masih tetap yang lama (orang tua kandung) dari anak-anak Bapak/Ibu saat ini? a. Ya, masih sama, b. Tidak, sudah bercerai 1x, c. Tidak sudah bercerai lebih dari 1x. 14. Apa yang menyebabkan perceraian Bapak/Ibu tersebut? .......................................... 15. Apakah Bapak/Ibu mempunyai kakak/abang atau Bapak/Ibu? .............................. a. Berapa jumlah kakak/abang? ............................................................... b. Berapa jumlah adik? ............................................................................... 16. Apakah kakak/abang dari Bapak/Ibu, tinggal bersama Bapak/Ibu saat ini ? .......................... a. Apabila Ya, apakah mempunyai kamar masing-masing? .................................. b. Apabila tidak, siapa saja yang tinggal sekamar dengan Bapak/Ibu? .............
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
39
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
3.3 Mata Pencaharian dan Ekonomi keluarga 1. Apa pekerjaan Bapak/Ibu? .............................................................................................. 2. Apa pasangan Bapak/Ibu juga bekerja saat ini? ......................................................... 3. Apa pekerjaan pasangan Bapak/Ibu saat ini? ............................................................... 4. Apakah Bapak/Ibu mengetahui berapa jumlah pendapatan per bulan? .................... Berapa jumlahnya? ............................................. 5. Apakah Bapak/Ibu mengetahui jumlah pendapatan pasangan Bapak/ibu saat ini? ............... 6. Apabila mengetahui, sebutkan berapa per bulannya atau per hari nya? ................................ 7. Siapa saja di keluarga Bapak/Ibu yang sudah bisa mendapatkan uang? ................................... 8. Apa saja pekerjaan mereka? .............................................................................................. 9. Apakah anak-anak Bapak/Ibu juga sudah dapat mendapatkan uang? ...................................... 10. Berapa yang anak-anak Bapak/Ibu dapat kumpulkan satu hari nya? ........................................
Menggagas Generasi Antikorupsi
Dari Graduate Center
40
17. Berapa orang yang tidur satu kamar dengan Bapak/Ibu? ................................ 18. Berapa ukuran kamar tidur Bapak/Ibu tersebut? ................................................. 19. Apa alas Bapak/Ibu tidur? a. Kasur b. Busa c. Tikar/ambal/karton tebal dilapis d. Koran/kertas biasa saja e. Lainnya .................................... 20. Berapa ukuran luas rumah Bapak/Ibu? ....................................................................... 21. Apakah milik Bapak/Ibu sendiri? .................................................................................. 22. Apabila kontrak/sewa, berapa biaya sewa per tahun? ............................................... 23. Apa bahan dasar bangunan rumah Bapak/Ibu yang tinggali saat ini? a. Beton/cor/bata/plester b. Setengah beton/bata, setengah papan/triplek/gedeg c. Bahan Papan/triplek/gedeg 24. Apa bahan dasar lantai? a. Porselen/tegel b. Semen/bata c. Tanah 25. Apakah kamar mandi terletak menyatu dengan bagian rumah tinggal Bapak/Ibu saat ini? ..............................................................
Dari Graduate Center
11. Apa pekerjaan anak-anak Bapak/Ibu? .......................................................................... 12. Apabila jenis pekerjaan Bapak/Ibu atau pasangan Bapak/Ibu atau anak-anak adalah bisnis/dagang, dari siapa sumber modalnya? a. Bapak/Ibu langsung b. Arisan bersama c. Pinjam dari keluarga dan tidak berbunga d. Pinjam dari koperasi, berapa bunganya per hari/bulan.......................... e. Pinjam dari tengkulak, berapa bunganya per hari/bulan ....................... f. Pinjam dari lainnya, bunganya per hari/bulan ............................... 13. Apakah Bapak/Ibu tidak mencoba meminjam dari perbankan? ............................. 14. Apa alasan Bapak/Ibu tidak meminjam dari perbankan? ......................................... 15. Apa jenis bisnis/dagangan yang dilakukan? ................................................................. 16. Berapa modal usaha bisnis/dagang tersebut? .............................................................. 17. Berapa keuntungan bersih yang didapati per hari? ..................................................... 18. Apakah Bapak/Ibu mempunyai catatan pengeluaran/pemasukan dari bisnis tersebut? ........................................................ 19. Apabila ya, apakah catatan tersebut berupa laporan debet/kredit? ....................... Kalau bukan apa bentuknya ................................. 20. Apakah Bapak/Ibu membutuhkan pemahaman tentang pengaturan pengeluaran/ pemasukan anggaran bisnis/dagang Bapak/Ibu sehingga usaha Bapak/ibu dapat lebih dikembangkan? ............................................................... 21. Sejak dari jam berapa Bapak/Ibu melakukan pekerjaan setiap hari dan sampai jam berapa? ............................................................... 22. Sejak dari jam berapa anak-anak Bapak/Ibu melakukan pekerjaan setiap hari dan sampai jam berapa? ............................................................... 23. Siapa yang menyuruh anak-anak Bapak/Ibu bekerja? ......................................................... 24. Apabila Bapak/Ibu yang menyuruh anak-anak bekerja, apa alasannya? ............................................................................................................................................. 25. Kepada siapa anak-anak menyerahkan uang yang didapatkan setiap hari? ........................................................................................................................................... 26. Apakah ada uang yang Bapak/Ibu simpan setiap hari? ........................................................ 27. Apa tujuan Bapak/Ibu menyimpan uang? .......................................................................... 28. Siapa yang mengajarkan cara pekerjaan yang Bapak/Ibu lakukan saat ini? ...................................................................................................................................... 29. Apakah Bapak/Ibu diminta untuk membayar kepada orang yang mengajarkan pekerjaan tersebut? ........... 30. Berapa yang Bapak/Ibu bayarkan (apabila berbentuk uang)? ............................................. 31. Apa yang Bapak/Ibu berikan (apabila berbentuk bukan uang)? .......................................
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
41
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
Menggagas Generasi Antikorupsi
Dari Graduate Center
42
3.4 Kebutuhan Dasar 1. Berapa kali sehari Bapak/Ibu dan keluarga makan? ............................................................. 2. Siapa yang memberi anak-anak Bapak/Ibu makan? a. Pagi? ........................................ b. Siang ? ...................................... c. Malam? ..................................... 4. Menu apa saja yang Bapak/Ibu dan keluarga makan setiap hari? a. Pagi? ............................................. b. Siang? ............................................ c. Malam? ......................................... 5. Apakah Bapak/Ibu dan anak-anak minum susu setiap hari? .......................................... a. Apabila Ya, siapa yang memberikan? ................................ b. Apabila Tidak, apa alasannya? .................................................... 6. Apakah Bapak/Ibu dan anak-anak suka minum susu? .................................................. 7. Susu jenis apa yang Bapak/Ibu dan anak-anak sukai? a. Bubuk, b. Kental Manis, c. Murni, d. Lainnya ..................... 8. Apakah Bapak/Ibu dan anak-anak pernah jatuh sakit? ........................................................ 9. Sakit apa saja? ................................................................................................................ 10. Apakah penyakit-penyakit Bapak/Ibu dan anak-anak tersebut sembuh sekarang ini (tidak kambuh lagi)? ....................................................................................................... 11. Apakah cara yang dilakukan menyembuhkan sakit Bapak/Ibu dan anak-anak? a. Dibawa ke puskesmas, dokter, bidan dsb nya b. Dibawa ke dukun c. Minum obat yang dijual bebas d. Minum tanaman obat-obatan e. Dibiarkan saja f. Lainnya ............................................................. 12. Siapa yang menolong Bapak/Ibu dan anak-anak saat sakit? .............................................. 13. Apabila Bapak/Ibu dan anak-anak dibawa ke dokter, puskesmas, bidan etc, siapa yang membayar pengobatannya? ......................................................................................... 14. Apakah Bapak/Ibu mendapatkan Gakin? .............. Berapa banyak per bulan? ............... 15. Apakah Bapak/Ibu mendapatkan biaya gratis pengobatan di puskesmas? ..................... 16. Apakah Bapak/Ibu mengeluarkan uang kepada RT setempat untuk memperoleh pengobatan gratis di puskesmas? ........................ Untuk apa uang tersebut? .........................
Dari Graduate Center
3.5 Kebersihan Diri dan Lingkungan 1. Berapa kali Bapak/Ibu dan anak-anak mandi dalam satu hari? ........................................... 2. Dimana Bapak/Ibu dan anak-anak mandi? ............................................................................ 3. Apakah Bapak/Ibu selalu pakai sabun mandi saat mandi? .................................................. 4. Apakah Bapak/Ibu selalu berganti pakaian setiap hari? ........................................................ 5. Apakah Bapak/Ibu selalu sikat gigi setiap hari? ..................................................................... 6. Apakah Bapak/Ibu selalu cuci tangan terlebih dahulu sebelum makan? ........................ 7. Apakah Bapak/Ibu sering gatal-gatal di kulit Bapak/Ibu? ..................................................... 8. Apakah Bapak/Ibu selalu pakai alas kaki kemana saja? ....................................................... 9. Dari mana sumber air yang Bapak/Ibu gunakan untuk memasak? .................................... 10. Berapa biaya yang Bapak/Ibu keluarkan untuk air bersih ini? ........................................... 11. Apakah lingkungan Bapak/Ibu tinggal sering terjadi banjir? ............................................. 12. Apa yang menyebabkan banjir di sekitar tempat Bapak/Ibu? ........................................... 13. Apakah pihak RT/RW/Kelurahan sudah mengetahui tentang banjir di sekitar Bapak/Ibu tinggal? ............................................... 14. Apakah ada tindakan RT/RW/kelurahan untuk mengatasi banjir tersebut? ............... 15. Apa tindakan nya? ........................................................................................................... 16. Apakah di Rumah Bapak/Ibu terdapat jaringan listrik? ....................................................... 17. Berapa daya (voltase) di tempat tinggal Bapak/Ibu saat ini? ...............................................
43 3.6 Perlindungan, Masalah Sosial 1. Apakah daerah tempat tinggal Bapak/Ibu pernah bekelahi dengan kelompok lain? ............................................ 2. Kelompok siapa? ................................................................................................................... 3. Apa penyebabnya? ................................................................................................ 4. Apakah ada korban jiwa? ................................................................................................... 5. Bagaimana penyelesaiannya? ......................................................................................... 6. Siapa yang membela Bapak/Ibu? ............................................................................................... 7. Apakah Bapak/Ibu tidak takut bertemu kelompok lain tersebut lagi? ............................... 8. Apakah memberikan uang kepada orang yang membela Bapak/Ibu? ............................... 9. Apakah Bapak/Ibu pernah dipalak orang di lingkungan Bapak/Ibu tinggal? ................ 10. Apa yang dimintakan orang tersebut dari Bapak/Ibu? ................................................ 11. Apakah Bapak/Ibu pernah dilecehkan secara seksual oleh orang lain di daerah sini? .................................................................. 12. Apakah yang dilakukan orang lain tersebut? ...................................................................... 13. Apakah Bapak/Ibu tidak melaporkan kepada RT/RW/kelurahan atau polisi? ..... 14. Apa yang Bapak/Ibu lakukan saat orang lain akan melecehkan Bapak/Ibu atau anak-anak secara seksual? .........................
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
3.7 Harapan dan Cita-cita 1. Apakah cita-cita Bapak/Ibu di masa depan? ............................................................. 2. Apakah Bapak/Ibu mengetahui cara untuk mencapai mimpi tersebut? ................. 3. Apakah Bapak/Ibu suka membaca? ................................................................................. 4. Apakah Bapak/Ibu bisa membaca dan menulis dengan lancar? ............................... 5. Apakah Bapak/Ibu ingin lancar membaca dan menulis? ............................................ 6. Apakah harapan Bapak/Ibu lainnya? ................................................................................. 3.8 Penggunaan Lahan dan Mayoritas Pekerjaan 1. Apakah rata-rata penggunaan lahan di sekitar Bapak/Ibu tinggal? .......................... 2. Apakah rata-rata jenis pekerjaan di sekitar Bapak/Ibu tinggal? ................................. 3. Berapa banyak KK di tempat Bapak/Ibu tinggal mendapat bantuan GAKIN maupunKartu Miskin? ........................................................................................
Menggagas Generasi Antikorupsi
Dari Graduate Center
44
15. Apakah daerah tinggal Bapak/Ibu sering mengalami kemalingan? ................................ 16. Apakah bentuk penjagaan yang lingkungan atau masyarakat lakukan? ............................ 17. Apakah Bapak/ibu mengikuti arisan lingkungan? .............................................................. 18. Berapa banyak jenis arisan yang Bapak/Ibu ikuti? ................................................................. 19. Siapa nama RT Bapak/Ibu? ....................................... 20. Siapa nama RW Bapak/Ibu? ....................................... 21. Siapa nama Lurah/kades Bapak/ibu? ........................................ 22. Siapakah tokoh masyarakat yang dikagumi Bapak/Ibu di sekitar rumah Bapak/ Ibu? .............. 23. Siapakah tokoh agama yang dikagumi Bapak/Ibu di sekitar rumah Bapak/Ibu? .............. 24. Siapakah tokoh adat yang dikagumi Bapak/Ibu di sekitar rumah Bapak/Ibu? .............. 25. Apakah peran tokoh-tokoh tersebut efektif membantu, menolong, melindungi Bapak/Ibu dan masyarakat? ........................................................... 26. Apakah Bapak/Ibu mengikuti perkumpulan suku Bapak/Ibu? ................. Suku apa? ........... 27. Ada berapa banyak perkumpulam suku di sekitar Bapak/Ibu tinggal? ............................. 28. Apakah pernah di daerah Bapak/Ibu tinggal, terjadi keributan antar suku? ..................... tahun berapa? ................................... Suku apa saja yang berselisih? .................................... 29. Apakah perselisihan tersebut sudah selesai tuntas? ............................................... 30. Siapa yang menyelesaikan? ............................................................................................
Dari Graduate Center
Sementara itu, curah pendapat secara individu dilakukan beberapa kali oleh fasilitator secara santai, menyesuaikan dengan waktu yang dimiliki oleh individu masyarakat. Individu yang disurvey dan digali kebutuhan mendasarnya adalah champion di tengah komunitas. Maksud dari champion ini adalah individu yang dianggap berpotensi untuk menjadi contoh awal di tengah komunitas. Hal ini dilakukan karena komunitas masih enggan dan menunggu bukti keseriusan lembaga pendukung dari fasilitator. Pemilihan individu sebagai champion didasarkan atas pengamatan mendalam oleh fasilitator dan yang didiskusikan dengan kelompok lembaga pendukungnya. 3)
Prioritas Kebutuhan dalam Komunitas Penentuan prioritas kebutuhan komunitas dilakukan secara partisipatif oleh komunitas
itu sendiri yang di fasilitasi oleh fasilitator yang disepakati. Proses penentuan tersebut dilakukan melalui analisa sebab-akibat yang diajukan oleh fasilitator dalam bentuk pertanyaan kepada komunitas sampai akhirnya ditemukan hal-hal mendasar penyebab permasalahan komunitas itu. Fasilitator akan membagi ke dalam 6 bagian utama kebutuhan yaitu; 1. Pendidikan 2. Kebutuhan mendasar (pangan) 3. Kesehatan individu dan lingkungan 4. Perlindungan diri dan sosial 5. Keuangan dan akses 6. Kerohanian Berikut di dalam boks hasil tahapan penentuan prioritas kebutuhan mendasar komunitas TPU Pondok Kelapa yang dilakukan Paksu Jakarta:
45
Hasil survey kelompok; 1. Kemampuan akademisi anak-anak komunitas rendah. 2. Kemampuan kewirausahan masyarakat rendah. 3. Akses modal untuk mengembangkan usaha yang ada (ikan asin, barang bekas, bengkel) susah didapat dengan bunga rendah. 4. Akses pemasaran susah didapatkan. 5. Air bersih susah diperoleh, harus antre. 6. Kebersihan lingkungan sangat rendah. Hasil survey individu (3-4 orang); 1. Tidak mengetahui teknik perbengkelan 2. Pengembangan usaha perbengkelan
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
majalah
dia
untuk dia yang ingin hidup dalam DIA
Menaklukkan Mamon Iwan Wibowo*
S
dan halaman rumah. Ketika anak mereka diopname, bergiliran kami menjaganya. Selama rumah direnovasi, kami jadi tukang, membantu sebisanya. Apa yang terjadi? Alkitab kami tergeletak di luar kamar atau lagu kristen terdengar nyaring dari kamar tak jadi masalah. Wesel dari orang tua tak kunjung tiba, bayar kost telat sedikit, telat lama, tak pernah ditagih. Bahkan satu dua kali uang kos kami mereka kembalikan! Apa penjelasannya? Bukan, itu bukan hubungan timbal balik biasa. Itu terjadi karena lambat laun tumbuh kasih diantara kami semua, lambat laun kami bisa menganggap satu sama lain sebagai keluarga. Dalam keluarga, hubungan timbal balik terjadi bukan karena kepentingan atau kewajiban. Itu terjadi begitu saja, secara alami belaka. Saling berbagi, menganggap sesuatu sebagai milik bersama itu menjadi naluri, menjadi pola pikir dan gaya hidup bersama! Dalam kondisi dan situasi seperti inilah sesungguhnya kami telah menaklukkan si Mamon. Ya, karena dalam relasi kasih di antara kami dan antara kami dengan pemilik kost itu uang menjadi hal yang tak terlalu utama, sehingga bisa dibilang si Mamon kehilangan relevansinya, kehilangan kuasanya! Belakangan ini, baru kusadari bahwa cara kami menaklukkan si Mamon itu sudah ditunjukkan oleh kitab suci. Itu adalah sesuatu yang Yesus maksudkan ketika menantang seorang muda kaya menjual seluruh hartanya, membagi-bagikannya kepada orang miskin, dan mengikut Yesus (Markus 10:17-27). Itu juga poin yang Yesus
Menggagas Generasi Antikorupsi
Percikan
46
i Mamon itu memang amat digdaya. Pesonanya menaklukkan siapa saja; tua-muda, pria-wanita, agama apa saja, semua ras manusia! Ia kaya pengaruh, ia limpah kuasa. Begitu tipis bedanya, entah kita sangat membutuhkannya atau sangat menyembahnya. Tak heran Allah mencemburuinya, serius meminta jawab kita: “Pilih AKU atau dia?!� Tapi hal paling berbahaya tentang si Mamon ini adalah: tak ada kata puas memilikinya. Ia membuat orang tak sudi berbagi rata. Ia membuat orang nekat mengambil resiko kehilangan segalanya dengan mencurinya, merampoknya, mengkorupsinya. Maka wajar jika kita pesimis bisa mengalahkannya. Memang tak ada yang bisa, tak ada caranya! Tapi, benarkah demikian, kawan? Tidak! Karena saat kuliah aku punya cara dan pernah bisa mengalahkan kuasanya. Berempat kami, kebetulan sekelas, satu rumah kost, sama-sama kristen. Uang bulanan dari orang tua tergolong kecil, namun kami kerap saling mentraktir. Stok mie instan di kamarku seolah milik mereka juga, dan bila milikku habis, aku mencarinya ke kamar mereka. Salah satu dari kami kerap dikirimi paket makanan oleh orang tuanya, bersamasama kami menghabiskannya. Jika ada diktat kuliah yang mahal, kami iuran, cukup beli satu saja untuk digunakan bersama. Dengan pemilik kost terbangun hubungan yang sama. Di jumpa pertama mereka tegas: “Tidak boleh ada salib-gambar kristen- lagu kristen di kamar!� Seiring waktu semua berubah. Kami biasakan tak hanya membersihkan kamar, tapi juga ruang tamu
Percikan
individualis. Dalam konteks hidup bersama dalam dimensi ekonomi Allah seperti ini mamon tetap memiliki fungsinya, tapi ia tak akan menjadi si Mamon yang digdaya, dan tak mudah kita jatuh menyembahnya, melainkan mamon sebatas menjadi pelayan kita. Indah bukan? Dan tak terasa mustahil lagi, bukan? Kebangkitan Kristus menjadi garansi, bahwa si Kebersamaan: Kunci Menaklukkan Mamon Mamon bisa kita buat miskin pengaruhnya, bisa kita buat tekankan saat menjawab pertanyaan para sekarat kuasanya. Dengan kasih kita pada murid: “Kami telah meninggalkan segala sesama anak bangsa, dengan natur berbagi sesuatu dan mengikut Engkau (apa yang yang Roh Kudus berdayakan dalam dan kami dapat?)� (Markus 10:28-31). Itu juga gaya melalui hidup kita, kita bisa kalahkan si hidup gereja mula-mula di mana jemaat Mamon. Apalagi, di tengah keluarga besar berbagi segala sesuatu karena merasa apa bangsa kita yang sampai hari ini pembagian yang mereka miliki adalah milik bersama (Kis kue kesejahteraan hasil pembangunan belum 2:44-45). Ini terkait dengan sistem ekonomi dinikmati semua kalang secara merata. Ayo Allah, dengan natur ekonomi dalam kerajaan mahasiswa, ayo alumni, kita bergerak Allah. bersama, menjadi solusi menular atas Seperti ini runtutannya: kelahiran baru parahnya budaya korup bangsa! kita (harusnya) berdampak pada cara Salam Optimisme Perubahan Indonesia! pandang kita terhadap sesama, membuat kita memandang orang lain sebagai saudara dari “Dan semua orang yang telah menjadi keluarga yang sama. Dalam sebuah keluarga, percaya tetap bersatu, dan segala akan merupakan sebuah skandal bila sang kepunyaan mereka adalah kepunyaan kakak berlimpah harta sementara adiknya bersama, dan selalu ada dari mereka yang miskin papa. Sebuah aib yang dikutuk menjual harta miliknya, lalu membagibersama bila sang adik berhasrat menguasai bagikannya kepada semua orang sesuai sebanyak mungkin harta keluarga, karena dengan keperluan masing-masing.� otomatis itu memperkecil porsi yang menjadi (Kis 2:44-45) hak kakaknya. *Penulis adalah staf Literatur Perkantas Dalam keluarga baru Allah yang menembus batas biologis bahkan batas bangsa-bangsa ini, distribusi-ulang kepemilikan (saling berbagi) menjadi gaya hidup semua anggotanya. Yang ditumbuhkan di dalamnya adalah sikap inter-dependent, saling bergantung, saling mengandalkan, bukan sikap independent yang egois dan
Majalah Dia | Edisi 2 Tahun 2012
47