1
ULAMA UMAT TELADAN RAKYAT
2
BUYA HAMKA
3
Terkenang
Yousran Rusjdi Hamka (1963- 2017) Semoga Allah membalas amal bajiknya semasa hidup, di antaranya setia merawat legasi karya-karya sang kakek juga ayahandanya.
ULAMA UMAT TELADAN RAKYAT
4
Yusuf Maulana Pro-U Media, Yogyakarta, 2018, 352 hlm. ISBN: 978-602-7820-94-4 Judul: Buya Hamka, Ulama Umat Teladan Rakyat Penulis: Yusuf Maulana Penyunting: Irin Hidayat Pemeriksa Aksara: M. Shiddiq P. Perwajahan Muka & Isi: Romadhon HanaďŹ Penata Letak: Aryamuslim Sumber foto sampul dari buku Hamka di mata hati umat
Penerbit: Pro-U Media Omah Dakwah Pro-U Media Jl. Jogokariyan 41 Yogyakarta 55143 Telp. (0274) 376301, Faks. (0274) 380495 Website: www.proumedia.co.id E-mail Redaksi: redaksi@proumedia.co.id E-mail Marketing: marketing@proumedia.co.id
BUYA HAMKA
5
Testimoni Para Tokoh Atas Buku
Buya Hamka; Ulama Umat Teladan Rakyat ْ َّ ٰ ْ َّ اﻟﺮ ِﺣﻴ ِﻢ ﷲ اﻟﺮﻤﺣ ِﻦ ِ ِۢ ا ْ ََ ُْ َ َْ َ َْ َ َْ ّ َ ُ اﺤﻟ َ ْﻤ َّ َو،ﺒﻟ أُ ُﻣ ْﻮر ا ُّ ْﻏﻴَﺎ َوا ّ ﻳْﻦ ُاﻟﺴ َﻼم َّ اﻟﺼ َﻼ ُة َو ﻦﻴ ﻌ ﺘ ﺴ ﻧ ﻪ ﺑ و ، ﻦﻴ ﻤ ﺎﻟ ﻌ اﻟ ب ر ﷲ ﺪ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ََ َ َ َ َّ َ ُ َ ْ ّ َ َ ْ َ ْ ُ ْ َ َ ْ َ ْ َْ َّ َ َ ْ َ َ َ ْ َﺒﻟ أ ﺳ ِﻴ ِﺪﻓﻨﺎ ﺤﻣﻤ ٍﺪ وﺒﻟ آ ِ ِ وأﺻﺤﺎﺑِ ِﻪ واﺤﻛﺎﺑِ ِﻌﻦﻴ،ﺮﺷ ِف اﻷﻧ ِﺒﻴﺎ ِء واﻟﻤﺮﺳ ِﻠﻦﻴ ْ ْ َُ َ ْ ََ ْ َّ َ َ ﺣ َﺴﺎن إ : أﻣﺎ َﻧﻌ ُﺪ،ﻰﻟ ﻳَ ْﻮمِ ا ِّ ﻳ ْ ِﻦ وﻣﻦ ﺗ ِﺒﻌﻬﻢ ﺑِ ِﺈ ِ ٍ Tidak pernah sekolah formal, tapi doktornya tiga. Tidak terdaftar di Universitas Al-Azhar, tapi justru Al-Azhar yang memintanya datang ke Cairo untuk diberi Dukturah Fakhriyah (Doktor Honoris Causa). Sempat ada rasa cemburu. Setelah membaca sedikit tentang kehidupannya; baru sadar, ternyata kita bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa bila dibandingkan dengannya. Dalam satu hembusan nafasnya, ada Tafsir Al-Azhar dan indahnya Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Dalam dirinya ada cinta negara dan semangat berkorban untuk agama. Lembut dalam bermazhab, tapi tegas dalam berprinsip. Lentur dan lunak tutur katanya, tapi keras berpegang teguh pada aqidah. Dialah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Pekanbaru, 5 Rabi’ul Awwal 1440 H / 13 November 2018 Datuk Seri Ulama Setia Negara Kayi Mangku Jagadilaga Haji Abdul Somad, Lc., M.A.
Testimoni Para Tokoh
6
“Pujangga, pemikir, da’i, alim, dan sasterawan, Hamka adalah tokoh yang tiada bandingannya di zaman kita. Namun, terdapat banyak lagi penulisan dan aspek pemikiran Hamka yang belum lagi dikaji dengan mendalam. Buku ini harus dibaca untuk kita memahami secebis sejarah perjuangan Islam di Indonesia yang telah dilupakan. Satu sudut sejarah yang dilihat daripada kacamata seorang ulama yang dicintai umat. Kita amat berterima kasih kepada Yusuf Maulana karena telah mengumpul dimensi karya Hamka yang kurang diterokai, kurang difahami dan kurang diberi keperhatinan. Mengagumkan!� Khairudin Aljunied, Ph.D. (Associate Professor Dept. of Malay Studies, National University of Singapore, penulis Hamka and Islam)
BUYA HAMKA
7
“Membuat sebuah buku tidaklah mudah, apalagi untuk menangkap api tauladan dari seorang tokoh ulama terpandang Indonesia, seperti Hamka, yang telah mampu melewati pusaran empat kekuasaan politik yang berbeda. Demikianlah, ‘seorang mulia jasa, yang bekerja yang berfikir, bukan buat ketika hidupnya, … tetapi buat orang yang akan datang di belakangnya’ (lihat: ‘Petuah Agus Salim’ di buku ini). Menurut saya, buku semibiografi yang ditulis oleh Yusuf Maulana ini mirip seperti apa yang pernah diutarakan oleh Hamka tentang Agus Salim, yakni berisi berbagai isu dan topik yang masih tetap aktual dan relevan, serta sangat bermanfaat bagi generasi Muslim milenial Indonesia, yang saat ini membutuhkan sikap ketauladanan dari seorang tokoh ulama.” Dr. Zeffry Alkatiri (Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas ndonesia; penerima Kusala Sastra Khatulistiwa untuk karyanya Post Kolonial dan Wisata Sejarah dalam Sajak)
Testimoni Para Tokoh
8
“Tiada kebetulan dalam hidup ini. Setiap peristiwa yang berlaku terhadap diri seseorang, walau baik ataupun buruk di mata manusia, mesti mengandungi hikmah kebaikan. Begitulah perjalanan hidup Buya Hamka, seorang ulama Alam Melayu yang cukup menginspirasikan dan menjadi ikon penting untuk para pendakwah. Usaha Yusuf Maulana menggali sejarah dari sisi yang belum pernah ditulis ini pasti memberi nilai tambah yang bermakna kepada sejarah hidup Buya Hamka, yang tentunya menjadi khazanah penting untuk dakwah masa mendatang. Dengan terbitnya buku ini mudah-mudahan penilaian terhadap sejarah perjuangan Buya Hamka akan lebih adil dan bermanfaat buat semuanya.� Ahmad Azam Ab Rahman (Presiden Wadah Pencerdasan Umat Malaysia [Wadah]; Deputi Sekretaris Jenderal The Union of NGOs of The Islamic World [UNIW])
BUYA HAMKA
9
Prakata
T
elah banyak beredar buku yang secara khusus mengulas riwayat hidup Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981), atau akrab dipanggil “Buya Hamka�. Ada yang diterbitkan di Indonesia, tak sedikit pula terbit di mancanegara, terutama di Malaysia. Penulisnya tak semata dari kalangan akademisi, malah lebih banyak peminat berasal dari kalangan pencinta sang ulama multitalenta tersebut. Tak tertinggal pula pihak keluarga almarhum Hamka turut berandil menuangkan kenangan dan pengalaman berkenaan dengan ayahanda mereka. Kiranya tak berlebihan kalau disebut banyaknya karya berkaitan dengan riwayat hidup dan gagasan Hamka masih bertalian erat dengan kecintaan masyarakat pada penulis Tasawuf Modern dan Tafsir Al-Azhar tersebut. Senyatanya, Hamka “berpisah� dengan umat untuk selama-lamanya dari alam dunia pada 24 Juli 1981. Namun, nama besarnya masih memadai untuk kita gali; menggali jejak-jejak pelajaran yang terkandung di sebaliknya untuk pelajaran hari ini dan esok. Betapa tidak, warisan ilmunya berjibun. Karena itu, amat rugi untuk melewatkan setiap denyut nadi
Prakata
10 Hamka, yang semasa hidupnya dikagumi sekaligus diteladani rakyat dari segenap lapisan. Lisan dan tulisannya adalah inspirasi. Demikian pula legasi yang dituturkan para anak didiknya dan orang-orang yang pernah berinteraksi dengannya. Buku yang di tangan pembaca ini merupakan ikhtiar untuk melengkapi khazanah yang ada dalam tema Hamka. Di antara ceritacerita seputar Hamka, tak semuanya diketahui banyak masyarakat. Sebagian cerita memang dibicarakan atau populer dari masa ke masa. Misalnya lapang dadanya Hamka terhadap Sukarno, Muhammad Yamin, dan Pramoedya A. Toer—tiga nama yang pernah berseteru dengan Hamka. Di balik cerita-cerita populer tentang Hamka, sebenarnya ada banyak lagi kejadian yang tak kalah “seru”; dari soal “kenakalan” Hamka bocah, mudah jatuh hatinya Hamka muda, hingga soal “makhluk halus” yang menemani Hamka semasa di penjara Orde Lama. Ada lagi cerita-cerita yang pernah diketahui masyarakat, tapi hanya bagian permukaan belaka, seperti posisi Hamka sebagai kolaborator Jepang kala menduduki Indonesia. Atau bagaimana hubungan Hamka dan Sukarno dirangkaikan dalam episode yang utuh, sebagaimana dimuat dalam buku ini. Di sisi lain, ada pula cerita di buku ini yang meluruskan informasi yang beredar di masyarakat, terutama di tengah maraknya pemanfaatan media sosial (social media). Pembaiatan Buya Hamka sebagai pengikut tarekat, misalnya, beredar luas kendati kejadian ini karangan kosong belaka. Demikian pula cerita tentang seorang kawan Hamka—sosok ulama juga—yang disangka anti-Pancasila. Namun, semua tuduhan itu hanya fitnah belaka oleh pihak-pihak tertentu. Buku ini bukanlah sebuah biografi yang disusun secara kronologis, apatah lagi menceritakan semua episode perjalanan Hamka. Buku ini dimaksudkan sebagai untaian pelajaran dari mozaik kehidupan Hamka yang begitu kaya hikmah. Cerita-cerita dalam buku ini bersumberkan dari banyak karya lawas beliau. Sebagian asal cerita
BUYA HAMKA
11 itu berupa “sambil laluâ€? dikisahkan Hamka, semisal sisipan cerita di bahasan Tafsir Al-Azhar. Begitu pula di buku tentang diri (Kenangkenangan Hidup, 4 jilid) ataupun sang ayah (Ayahku), di samping tentu saja karya-karya Hamka lainnya. Sebagian cerita diperoleh dari media massa era 1950-1980-an. Ada pula kisah dari tuturan orang lain, baik keluarga maupun anak murid dan relasi, dalam buku antologi mengenang Hamka. Beberapa syarahan anak Hamka dimasukkan untuk menguatkan dan mengonďŹ rmasi cerita yang ada. Akhirnya, semoga buku ini bisa menjadi bacaan penyubur nalar, menuju kebebasan jiwa dalam balutan ghirah dengan berasaskan tauhid. Kecintaan pada ulama, seperti Buya Hamka, demi Allah, bukan untuk kultus individu, melainkan untuk memetik teladan. Teladan yang kelak diterapkan dalam keseharian kita. Semoga buku ini membawa manfaat, membuka minda dan kelapangan hati pembaca budiman. Yogyakarta, Safar 1440 M / Oktober 2018 H Yusuf Maulana
Prakata
15
Daftar Isi Testimoni Para Tokoh ......................................................... 5 Prakata ............................................................................... 9 Penghargaan ....................................................................... 13 Daftar Isi ............................................................................. 15 Arloji Hamka ....................................................................... 19 1. Tamu Menyeramkan di Lepau .......................................... 20 2. Polah ‘Mantri’ Malik ......................................................... 26 3. Kawan Mengaji Hamka ..................................................... 32 4. Pelajaran dari Kerbau ....................................................... 36 5. Gema Pekik Zikrullah ....................................................... 39 6. Serban Kehormatan ......................................................... 43 7. Wasiat Hidup Ayahanda ................................................... 48 8. Ujung Iman Dua Bersaudara ............................................. 53 9. Benaman Perih yang Terubah ........................................... 71 10. Desiran Purnama Cinta .................................................... 81 11. Pikatan Kata di Mimbar .................................................... 88 12. Jalan Syahid Sang Teungku .............................................. 93 13. Semasa Dicerca ............................................................... 102 Kopiah Hamka ..................................................................... 117 1. Harga Malu Ulama ........................................................... 118
Daftar Isi
16 2. Pelajaran Mendengki........................................................ 123 3. Mengakali Aturan Agama ................................................. 129 4. Tegar Menolak Judi .......................................................... 133 5. Mengkhusyuki Kemerdekaan ........................................... 138 6. Menyandera Makna Toleransi........................................... 144 7. Toleransi Rumah Nomor 5 ............................................... 149 8. Bahasa bagi Iman Beda .................................................... 158 9. Sedekah yang Menginsafkan ............................................ 161 10. Mensahabati Kaum Papa .................................................. 164 11. Yaa-Siin Terakhir ............................................................. 168 12. Kenduri Berujung Cinta .................................................... 172 13. Menanggalkan Jabatan ..................................................... 180 14. Cekatan Tengku Besar .................................................... 184 15. Menjadi Kawan Seorang Budak......................................... 188 16. Nama Belakang Istri ........................................................ 191 17. Tanya Perempuan Petenis ................................................ 196 18. Protes pada Khatib .......................................................... 201 19. Kiai Jimat ......................................................................... 206 20. Peneman Ghaib Hamka .................................................... 210 Tongkat Hamka ................................................................... 221 1. Cermin Galileo Galilei ...................................................... 222 2. Islam Anti-Pancasila?........................................................ 227 3. Gerak Gerik Mematai ....................................................... 232 4. Memburu Penyeru Bersatu ............................................... 237 5. Memfitnah Ulama ............................................................ 242 6. Cerca Tanpa Bangsat ....................................................... 252 7. Tersandung di Muslihat Tan ............................................ 259 8. Rahasia Soetomo ............................................................. 272 9. Seteru Dua Kawan Lawas ................................................. 277 10. Membela Kaum Muda ...................................................... 292
BUYA HAMKA
17 11. Politik Pewahabian ........................................................... 297 12. Sangka Kelewat Pengikut Tarekat..................................... 302 13. Dzurriyat Rasul ................................................................ 327 14. Petuah Agus Salim ........................................................... 331 Kepustakaan........................................................................ 343 Penulis ............................................................................... 351
Daftar Isi
115
Dari kanan ke kiri: Hamka, K.H. Fakih Usman, Yunan Nasution, Osman Raliby, dan Prawoto Mangkusasmito, sedang menikmati hidangan dalam silaturahmi penerbit Pandjimas dengan para pemimpin dan penulis Islam. (Sumber: Pandji Masjarakat)
Hamka dan Siti Raham disambut antusias umat Islam di Nusa Tenggara pada 1966. (Sumber: Gema Islam)
Arloji Hamka
116
Berceramah di Gedung Kebangkitan Nasional, Jakarta pada akhir September 1975. (Sumber: Kiblat)
BUYA HAMKA
117
Kopiah Hamka “Hidupmu jang tiada mengenal putus asa, kesabaran dan ketenangan hatimu menanggung sengsara, dapatlah mendjadi tamsil dan ibarat kepada kami. Engkau telah mengambil djalan jang lurus dan djudjur di dalam memupuk dan mempertahankan tjinta.� ~ Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936) ~
Kopiah Hamka
118
Harga Malu Ulama
S
udah berpekan-pekan Idris, si tukang patri dari Minangkabau, menanti barang yang telah dikerjakannya untuk diambil sang pemilik. Namun, sang empu barang tidak kunjung muncul batang hidungnya. Padahal, Idris dan sang pemilik barang sudah membuat surat perjanjian. Sang empu barang mestinya tidak lupa. Sampai suatu ketika, empu barang datang menemui Idris. Lelaki asal Jawa Tengah yang mengabdi ke negara sebagai kapten TNI itu justru bukannya meminta maaf pada Idris. Sebaliknya, sang kapten muring-muring dan mengatakan bahwa pekerjaan Idris tidak memuaskan. Ditunjukkannya cacat dan cela barang patrian di depan Idris. Idris menjawab dengan mengeluarkan surat perjanjian yang dilanggar si kapten. Apa-apa yang diperintahkan kepadanya, menurut Idris, juga sudah dipenuhi. Rupanya kapten TNI itu keberatan dengan jawaban Idris. Ia salah terima.
BUYA HAMKA
119 “Jangan menjawab begitu kasar kepada saya,” katanya, “engkau tahu bahwa saya adalah kapten TNI. Saya punya banyak keperluan lain daripada menjaga janji kepada engkau. Siapa engkau?” “Mengapa Bapak tanyakan lagi kepada saya, sedang dari dulu Bapak sudah tahu bahwa saya tukang patri,” jawab Idris dengan sikap tenang. “Hidup saya cuma makan upah. Kalau cocok harga menjadi; kalau tidak, tidak apa. Tetapi meskipun saya hanya tukang patri, saya manusia, Bapak. Saya tahu harga diri, kalau Bapak berjalan lurus, berkata benar, saya segan kepada Bapak, baik Bapak kapten atau tukang patri sebagaimana saya.” Dengan sangat marah, si kapten mengangkat tangan hendak memukul Idris. Untung saja dia tidak membawa pistol! Di luar dugaan, tangan kanan si kapten ditangkap Idris lalu diputarnya ke bawah! Orang-orang yang menyaksikan segera memisahkan keduanya. “Karena Saudara Kapten tidak membawa senjata, biar saya beri senjata dan beramuk kita di sini. Saya menerima upah yang halal, bukan menjual diri!” tandas Idris yang masih dipegangi warga yang melerai. Sikap Idris yang pemberani dengan menangkap “provokasi” seorang kapten TNI dipahami Hamka, sumber yang dipetik dari kisah di atas dalam Ghirah dan Tantangan terhadap Islam (1985). Hamka menyebutnya sebagai “kesadaran harga diri”, yang disebut siri oleh orang-orang Makassar, Bugis, Mandar, dan Toraja. “Menurut pendapat saya sebagai bangsa Indonesia yang merdeka,” tulis Hamka, masih di buku yang sama, “kita mesti mempunyai siri mempunyai harga diri. Siri menurut ajaran agama Islam ialah kebebasan pribadi, kemerdekaan sebagai bangsa, tidak ada tempat takut melainkan Allah, tidak ada yang kuat dan tidak ada yang kuasa di dunia ini kalau tidak dengan izin Allah.” Siri ini sepadan dengan syaja’ah, dalam paparan Hamka. Perangai syaja’ah merupakan pertengahan antara pengecut (jubun) dan berani
Kopiah Hamka
120 babi (tahawwur). Jubun berarti seseorang itu yakin dirinya di pihak yang benar, tapi ia masih takut menyebutkan kebenaran itu. Ringkasnya, ia tidak mempunyai keberanian moral, dan lebih memilih untuk memendamnya. Tahawwur, sebaliknya, sudah tahu dirinya di pihak salah, tapi mati-matian menyatakan dirinya benar, sementara yang lain salah. Siri yang diperbuat Idris dalam cerita di atas berada di jalan kebenaran; ia mempertahankan hak-haknya yang dilecehkan konsumen. Maka, sudah sepatutnyalah Muslim yang hak-hak, termasuk identitas dan kepentingannya, diusik ataupun dirusak untuk tidak bungkam, terkecuali memang berada dalam status selemah-lemahnya iman. Atau, yang lebih parah lagi, berbalik arah dengan mendukung pihak yang merusak agama ini, dengan alasan yang dicari-cari dari dalil dan kaidah berislam. Siri dalam Islam bukan berarti mengabaikan perhitungan matang dalam melangkah. Siri dalam kondisi kekuasaan menindas jelas diperlukan. Apalagi ketika rasa malu dan menghormati diri tidak lagi dipandang penting. Kehormatan diri dicabik-cabik demi mengabdi pada kekuasaan yang merenggut rasa malu berasaskan iman. Bolak-balik diundang, dijamu, dan diceramahi oleh kekuasaan, tanpa menyadari ada muslihat yang di kemudian hari merugikan umat. Di sinilah pentingnya para ulama, sebagai pewaris para nabi, untuk menyadari status dan kedudukan mereka. Bukan dalam relasi kedudukan prestisius demi tawaran materi di dunia dari para penguasa atau pejabat. Dengan demikian, siri mestinya melekat dalam dada para ulama, tanpa mengenal batas waktu dan tempat. Betapa tidak, perilaku ulama yang gagal memegang teguh rasa malu atau siri ini akan berakibat pada praktik kekuasaan yang akan menyengsarakan rakyat ataupun umat. “Rusaknya rakyat tidak lain adalah karena kerusakan para penguasa. Dan rusaknya para penguasa ialah karena kerusakan ulama. Kalau bukanlah karena qadhi-qadhi yang jahat dan ulama yang jahat,
BUYA HAMKA
121 akan sedikitlah kerusakan pada para penguasa; karena mereka takut perbuatan mereka yang salah akan ditegur,� ucap Hamka dengan menyitir perkataan Imam al-Ghazali, saat Pekan Orientasi Ulama/ Khatib Seluruh Indonesia pada 6-12 Desember 1976 di Jakarta. Demikian dicatat jurnalis senior Rosihan Anwar dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka (1979:159). Ketika simbol-simbol keislaman tidak dihormati, bahkan cenderung dilecehkan, kekuasaan yang demikian mestinya dapat disikapi dengan beradab oleh para ulama. Bukan dengan lugu memercayai begitu saja kekuasaan yang mendadak baik hati dan mendekat pada para teladan umat. Ada musim kontestasi politik yang ingin diraih oleh kekuasaan demikian sehingga seyogianyalah para ulama menjaga harga diri, mempertahankan siri. Bukan berduyun-duyun menyambut undangan, tapi tanpa diiringi kesiapan untuk memberikan nasihat atas kekeliruan demi kekeliruan yang pernah dibuat kekuasaan zalim tersebut. Dalam hal ini, Hamka memperingatkan jauh-jauh hari sebelum dikenalnya musim berpenampilan islamis pada kalangan-kalangan yang berniat merebut simpati umat Islam dalam satu ajang pemilihan jabatan publik. Tulis Hamka, “Kalau siri yang sejati tidak ada, niscaya kita akan dijajah orang kembali, bukan saja penjajahan dari bangsa asing, bahkan daripada golongan yang kuat kepada yang lemah, daripada golongan yang merasa dirinya berkuasa kepada golongan yang tidak mempunyai kuasa apa-apa, selain dari keadilan sejati dan kebenaran sejati.� “Maka kalau tidak berani lagi mempertahankan keadilan dan kebenaran, berartilah bahwa diri telah punah, dan punah pulalah kemerdekaan,� pungkas Hamka dalam buku Ghirah. Adakah yang dibanggakan para ahli ilmu dan anutan umat selain menjaga siri? Menjaga harga diri yang tidak diragukan lagi bakal mendapat ganjaran besar dari Allah. Yang bahkan seorang tukang patri seperti Idris pun berani memperlihatkan sikap: betapa kehormatan itu penting dan mulia. Pantang untuk diinjak-injak, tak
Kopiah Hamka
122 peduli atas nama aktivitas atau agenda itu dicitrakan begitu indah dan menawan—meski sebenarnya hanya sekadar politis. Sungguh menyedihkan bilamana para ulama begitu terpukau dengan retorika dan wacana dari penguasa; lupa untuk mengingati aspirasi umat yang sekian purnama terus diimpit derita dan nestapa akibat kekuasaan tidak amanat dalam bekerja. Bila ini yang terjadi, jangan salahkan bila umat bertanya: berapa mahal siri para ulama? []
BUYA HAMKA
302
Sangka Kelewat Pengikut Tarekat
J
ubah berwarna indigo itu melambangkan kebesaran. Satu kehormatan ketika sang tuan rumah, K.H. Ahmad Sohibulwafa Tajul AriďŹ n yang akrab dipanggil Abah Anom, menyematkan di badan Hamka. Sementara Abah Anom memasangkan dengan dibantu seseorang yang sepertinya dari rombongan Majelis Ulama Indonesia, tangan kanan Hamka masih memegang tongkat. Beberapa pasang mata menyaksikan prosesi penghormatan sang tamu di Pesantren Suryalaya yang merupakan pusat Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah terbesar di tanah air. Sedianya, kunjungan Hamka sebagai ketua umum MUI pada sekira Januari 1981 itu sebentuk silaturahim. Merupakan tugasnya untuk mempererat ukhuwah dengan pelbagai komponen umat Islam, terlebih lagi masa itu Hamka baru saja terpilih kali kedua sebagai ketua MUI. Bisa saja pada kesempatan tersebut pihak tuan rumah menyematkan tanda penghormatan atas apresiasi, dukungan, ataupun kontribusi Hamka, baik sebagai ketua MUI maupun ulama yang menekuni tasawuf. Meski berasal dan dibesarkan di kalangan Kaum Muda yang sering dicirikan kritis, bahkan
BUYA HAMKA
303 antipati tasawuf; Hamka memilih sebaliknya. Sikapnya terhadap Tarekat Naqsyabandiyyah kontras dengan sang ayah, Haji Rasul, semasa hidupnya. Akan tetapi, kehadiran ke Suryalaya dan prosesi penyematan jubah pada Hamka itu di kemudian hari memunculkan kabar berbeda. Kejadian yang terjadi 28 tahun sebelumnya itu diangkat Sri Mulyati, dosen UIN Syarif Hidayatullah. Dalam sebuah pemberitaan di laman NU Online pada 15 Juni 2009 pukul 16:05, peraih gelar doktor filsafat dari Islamic Studies McGill University itu menyebutkan bahwa Hamka merupakan pengikut Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah dan telah berbaiat kepada Abah Anom, selaku mursyid tarekat. “Ini penelitian pribadi saya ketika menyelesaikan disertasi, ada fotonya ketika berbaiat dengan Abah Anom. Cuma ada sebagian orang Muhammadiyah yang tidak percaya,” katanya, mengutip dari pemberitaan di http://www.nu.or.id/post/read/17630/buya-hamkaternyata-pengikut-tarekat-qodiriyah-naqsabandiyah. Masih di laman yang sama, mantan Ketua Umum Fatayat NU itu menuturkan, Hamka sendiri pernah berujar di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi “Hampa”. “Saya tahu sejarahnya, saya tahu tokoh-tokohnya, tetapi saya tidak termasuk di dalamnya, karena itu saya mau masuk,” demikian papar Sri Mulyati menyebutkan perkataan Hamka. “Akhirnya beliau masuk, karena mungkin haus spiritual,” Sri Mulyati menandaskan. Disertasi doktoral Sri Mulyati meneliti peranan Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah, dengan memfokuskan pada Pesantren Suryalaya. Disertasi itu pada Agustus 2010 dibukukan dalam bahasa Indonesia dengan judul Peran Edukasi Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah dengan Referensi Utama Suryalaya. Di buku ini disebutkan bahwa sumber dibaiatnya Hamka oleh sang mursyid adalah berasal dari sekretaris pribadi Abah Anom ketika itu yang bernama H. Yusuf Hamzah (halaman 82, catatan kaki).
Tongkat Hamka
304 Tak sekadar kabar telah berbaiatnya Hamka pada Abah Anom, belakangan muncul berita yang lebih detail bagaimana awal mula sampai prosesi pembaiatan itu terjadi. Setahun tepat kemunculan buku Sri Mulyati, beredar artikel berjudul “Karomah Abah Anom 15: Penyertaan Ulama Berwibawa ke TQN Suryalaya; Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah-Hamka”. Penulisnya Mohamad Ghouse Surattee, seorang dai Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah berkewarganegaraan Singapura, alumnus Al-Azhar, dan anggota Majelis Ugama Islam Singapura. Blog pribadi sang penulis menurunkan tulisan berseri tentang karamah Abah Anom. Tulisan tentang pembaiatan Hamka didasarkan kesaksian ayahanda Mohamad Ghouse dan seorang temannya di Facebook ditambah petikan berita pernyataan Sri Mulyati. Berikut ini salinan apa adanya tulisannya tersebut di tautan https://ghousekhan.blogspot.com/2011/08/ karomah-asbah-anom-15.html: Karomah Abah Anom 15 Penyertaan Ulama Berwibawa ke TQN Suryalaya Prof Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah - Hamka ‘’Hamka’’ adalah ringkasan dari nama penuhnya Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Lahir di desa Tanah Sirah, Sungai Batang, Maninjau, Minangkabau, Sumatera Barat, Indonesia, pada tanggal 16 Februari 1908 atau bertepatan dengan 13 Muharram 1326 H. Siapa sangka mantan pemimpin Pertubuhan Islam Muhammadiyah Buya Hamka ternyata mengikuti Thoriqoh Qodiriyah Naqsabandiyah dari Pondok Pesantren Suryalaya. Ketua MUI ( Majlis Ulama Indonesia ) pertama ini berbaiat kepada Abah Anom, mursyid thoriqah dari Pesantren Suryalaya Tasikmalaya lebih kurang pada awal tahun 1981. Ketika itu ayahanda Alfaqir, Hj Saleh Khan berada di Suryalaya menziarahi Abah Anom dan beliau mengkhabarkan kami bahawa apabila upacara baiát mengambil tempat, Abah dan Hamka masuk ke ruang peka-
BUYA HAMKA
305
rangan keluarga dan di tutup pintunya agar tidak di lihat-lihat orang semasa baiát di jalankan nanti. Ini cara terhormat bagi para ulama mengambil baiát. Perkara yang sama ini juga dilaporkan oleh Dr Sri Mulyati, pengajar tasawwuf UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baru-baru ini, sambil berkata : ‘Ini penelitian pribadi saya ketika menyelesaikan disertasi, ada fotonya ketika Buya Hamka berbaiat dengan Abah Anom. Ketika Buya Hamka berkunjungan ke Singapura pada tahun 1981, alfaqir sempat mendengar ceramahnya di Masjid Muhajirin, masih teringat jelas kata-katanya dan penjelasannya yang menunjukkan beliau sudah berbaiát dengan Abah, ketika dalam ceramahnya beliau berkata : ‘Dalam berzikir kepada Allah ada kaifiatnya kemana di palingkan kepalanya, dari bawah dahulu kemudian ke atas, lalu ke kanan dan kemudian ke kiri. Bukan sebarangan..mengeleng ketika lafaz nafi, meng ‘ia’ ketika lafaz isbat.., beliau berkata secara gurauan’-lebih kurang maknanya. Majlis tersebut adalah majlis ceramah beliau terakhir di Singapura yang dihadirikan oleh ribuan para jamaah yang mengejarnya untuk bersalaman, alfaqir berjaya dalam gelutan manusia untuk bersalaman dengannya...alhamdulilah. Mantan Ketua Umum Fatayat NU - Dr Sri Mulyati menuturkan, Buya Hamka sendiri pernah berujar di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi Hampa. Katanya lagi : ’Saya tahu sejarahnya, saya tahu tokoh-tokohnya, tetapi saya tidak termasuk di dalamnya, karena itu saya mau masuk’. Akhirnya beliau masuk, karena mungkin haus spiritual. Buya Hamka berkata: ‘diantara makhluk dan kholik itu ada perjalanan yang harus kita tempuh. Inilah yang kita katakan thoriqoh.’ Hamka memang dikenali memahami dunia Tasawuf. Salah satu karyanya adalah Tasawuf Modern, yang mengupas dunia
Tongkat Hamka
306
tasawuf dan penerapannya pada era modern ini. Masih ada satu lagi karya Tasawufnya yang terakhir belum dicetak. Buya Hamka wafat pada 24 bulan Julai tahun 1981 bertepatan dengan bulan Ramadhan dalam umurnya 73 tahun masehi. Seluruh ikhwan TQN Indonesia, Singapura dan Malaysia menunaikan solat Ghaib baginya sebagaimana yang diminta Pondok Pesantren Suryalaya. Tersebut kisah dalam facebook teman saya bernama Nen Maarof bahawa......” Buya Hamka pulang dari Mekah dan melawat Pondok Persantren Suryalaya (PPS). Katanya mendapat petunjuk Baginda saw agar melawat seorang hamba ALLAH yang ikhlas. Bila tiba di PPS.. didapati..kiyai mursyid disitu “sempoi” sahaja...tak berjubah, serban dan berjenggot macam fahamnya tentang sunnah. Para santri yakni muridin pun biasa saja... Maka dimohon izin untuk membetulkan keadaan pada pak kiyai mursyid itu...Maka dikisahkan 3 hari 3 malam..Buya Hamka asyik bagi ceramah jer...pelbagai ilmu khasnya Tasawuf yang mencakupi sunnah dan adab dicurahkan...pelbagai kesilapan pada persepsi beliau cuba dinasihati dan diperbetulkan.. Sehinggalah pada hari Buya Hamka ingin pulang...maka Pak Kiyai Mursyid pun memeluknya dan berkata...”Ucapan jutaan terima kasih atas banyak ilmu yang telah dicurahkan....tapi Abah mohon Buya katakan pada Abah...bagaimana mahu diamalkan semuanya...Abah sendiri tidak mampu, apatah lagi para santri sekalian...mohon ditunjuki ya Buya...” maka ketika itu...tiba tiba..Buya Hamka tersedar..dn menangis terisak isak serta melutut pada Pk Kiyai Mursyid...”benar Abah... ilmu yang banyak tidak guna jika tak dapat diamalkan.... Maka sekarang saya pula mohon Abah tunjukkan sebaik baik amalan...Maka Buya Hamka pun ditalqinkan dengan kalimah Ikhlas...La Ila Ha Ilal ALLAH”
BUYA HAMKA
307
Akhir hayat...sebelum Buya Hamka meninggal...beliau pergi berkhalwat khusus pada Muryid di PPS...maka seminggu sebelum masa itu tiba..Maka Kiyai Mursyid menyuruhnya pulang ke rumah....Selesaikan segala urusan wasiat pada keluargamu... dan tumpukan tawajuh sepenuhnya agar baik serta mulia kembalinya...masamu selepas solat Jumaat. Maka selesai solat jumaat...maka kembalilah Buya Hamka ke rahmatullah...dengan akhir kalam kalimah ikhlas yang dimuliakannya sebagai amalan harian....Cuma mejadi isu kerana jari telunjuk kananya masih gerak gerak sedangkan doktor sudah mengesahkan kematiannya.....seperti isyarat bertasbih. Maka dilaporkan pada Kiyai Mursyid. Maka Kiyai Mursyid dengan tersenyum.. menghantar wakilnya....Setibanya sang wakil... lantas memberi salam pada jenazah..dan mengatakan..�udah udah..ruhmu dan nyawamu sudah kembali..jasadnya harus tenang...jangan mencarik adat...� maka hentilah jari yang bertasbih itu. Al Fatihah kepada Buya Hamka...semoga digolongkan dalam golongan solihin. Amin.Amin Amin.-Tamat nukilan dari Nen Maarof Penyertaan Buya Hamka ke Thoriqah Qodiriyah Naqsyabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya bukan sahaja satu pencapaian murni bagi Buya Hamka sahaja, demi rohaninya, tapi ianya juga salah satu karomah Abah Anom... gai mana menumpahkan keinsafan kedalam diri manusia, apalagi ulama.
Tongkat Hamka
308 Kesaksian Sri Mulyati di laman NU Online ditanggapi meluas justru setelah beredar tulisan dari Mohamad Ghouse. Sebagai akademisi yang meneliti secara khusus peranan Suryalaya beserta Abah Anom, nama Sri Mulyati memberikan bobot dan jaminan tersendiri dalam benak publik. Kesaksiannya di laman NU Online dikutip di mana-mana meski lebih banyak yang berasal dari tulisan Mohamad Ghouse. Adapun informasi dari buku Sri Mulyati, tidak begitu banyak disimak publik yang membagikan tulisan Mohamad Ghouse, entah dalam edisi aslinya ataupun suntingan-terjemah dalam bahasa Indonesia. Di antara yang awal menyebarluaskan tulisan Mohamad Ghouse adalah akun Facebook Guru Mursyidku (16 Agustus 2011; https://idid.facebook.com/gurumursyidku/posts/...ulama.../1490017861267910/ tapi konten ini tidak tersedia lagi); laman PP Al-Itqon Patebon Kendal (5 November 2012; http://ppal-itqon.blogspot.com/2012/11/ kh-shohibulwafa-tajul-arifin-abah-anom.html); Dokumen Pemuda TQN News (23 Desember 2012; https://dokumenpemudatqn.blogspot.com/2012/12/memorial-kunjungan-profdrhaji-abdul.html?m=1). Mohamad Ghouse bagi para pengelola laman-laman ini bukanlah orang lain; dia adalah “ikhwan”, sebutan untuk sesama anggota laki-laki Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah. Tahun-tahun berikutnya, bermunculan salinan tulisan Mohamad Ghouse, baik yang menyebutkan namanya ataupun yang sekadar menuliskan “Ikhwan TQN PP. Suryalaya di Singapura” (merujuk pada namanya dan H. Saleh Khan). Tak sedikit yang mengedit dan mengindonesiakan tulisan itu lalu meniadakan namanya, tapi menyebutkan nama H. Saleh Khan (tidak lain ayahanda Mohamad Ghouse), semisal yang ditemukan pada buku Asep Salahudin (2013), Abah Anom: Wali Fenomenal Abad 21 & Ajarannya. Buku karya doktor dari Universitas Padjadjaran yang pernah mengabdi di Pesantren Suryalaya ini mengulas Hamka dalam subjudul “Hamka sebagai Ikhwan Suryalaya” pada halaman 47-49.
BUYA HAMKA
309 Itulah penggalan kisah Hamka dengan K.H. Ahmad Shohibul Wafa Tadjul Arifin atau lebih dikenal Abah Anom. Abah Anom (1915-2011) adalah sosok mursyid (guru ruhani) yang fenomenal. Bagai bintang yang menebar cahaya zikir dan berkah. Ratusan dan ribuan tamu, nyaris tiap hari, selama puluhan tahun, ia selalu ingin gembirakan dengan jamuan makan. Penyebaran tulisan kesaksian nyata dengan melibatkan tokoh terkemuka tentu saja memiliki nilai berita penting. Daya pikat sosok Hamka dan kesediaannya untuk dibaiat berikut proses yang menyertainya, mengundang keharuan dan emosi yang tinggi. Bagi kalangan pengamal dan/atau pendukung tarekat, berita ini serupa anugerah atau malah keberkahan dari Allah. Tulisan tersebut juga bisa menjadi penguat praktik tarekat yang dijalani dan—saat yang sama—menempatkan pihak pengkritik amalan tadi dalam posisi inferior. Ini jua berlaku tanpa kecuali terhadap pengagum Hamka, meski dilakukan secara halus dan tersirat. Tak heran bila ruang untuk menjadi amunisi membenarkan dan menguatkan hujah amaliah bertebaran. Kita kesampingkan dulu kemungkinan motivasi menyebarluaskan berita heboh semacam ini lantaran modus ekonomi dari kenaikan lalu lintas pengunjung laman sumber tulisan ataupun banyaknya penjualan buku. Contoh pihak yang “memanfaatkan” informasi dari Mohamad Ghouse adalah laman Duta Islam (22 Oktober 2016) dengan judul “Karomah Buya Hamka: Ketika Wafat, Jarinya Masih Bergerak Dzikir” (http://www.dutaislam.com/2016/10/ karomah-buya-hamka-ketika-wafat-jarinya-masih-dzikir.html). Tulisan-tulisan seputar bergabungnya Hamka dalam Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah akan memiliki makna dan kesan tertentu bagi pembaca. Dan ini disesuaikan dengan preferensinya berada di mana: pendukung ataukah penentang tarekat? Atau bisa juga bersikap wajar dan rasional menimbang fakta yang ada tanpa jatuh pada fanatisme tertentu. “Kita bisa mengambil hikmah bahwa seorang muslim yang sudah ‘Prof DR’ seperti Buya Hamka yang kita kenal sangat berkom-
Tongkat Hamka
310 petensi dalam bidang syariat dan selalu berpegang pada dalil/hujjah yang tarjih (kuat) sebagaimana motto dari saudara-saudara kita kaum Muhammadiyah namun setelah masuk tharekat sudah dapat menyampaikan bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi ‘Hampa’. Begitupula dengan DR Harun Nasution salah seorang ulama yang kita kenal sebagai pemikir rasional bahkan cenderung berpaham liberal dapat keheranan bahwa hanya dengan sholat tahajjud saja, seseorang bisa sembuh,” tulis pemilik blog beralamatkan http://salikiin.blogspot.com/2012/03/buya-hamka-tarekat-qodiriyah.html. Kata penulis di blog itu lagi, “Sebagian umat Islam kecenderungannya adalah mendekati materialisme atau kebendaan. Lebih melihat pada sudut jasmani dan lupa mendalami ruhani. Pada masa kini, pemahaman serba ilmiah/rasional/logika/dzahir/harfiah/tersurat dan melupakan hikmah/bathin/tersirat. Dahulu seorang murid jarang kita temui menanyakan kepada gurunya tentang sanad hadits atau keotentikan hadits. Dahulu kita berangkat dari keyakinan bahwa ulama adalah pewaris Nabi Muhammad Shallahu alaihi wasallam namun sekarang kita bisa temui murid yang berangkat dari saling ketidak-percayaan yang pada hakikatnya mereka berujung berprasangka buruk kepada Allah Azza wa Jalla.” Dengan segala hormat atas keharuan meruah dari banyak pihak yang senang mendengar dan membaca kesediaan Hamka— andai benar—dibaiat oleh seorang mursyid tarekat, ada baiknya fakta-fakta yang disampaikan sumber tulisan itu diteliti akurasinya. Jangan sampai, berita-berita yang bertebaran dan diyakini sebagai kebenaran sebuah karamah, rupanya dusta belaka. Tidaklah bijak upaya bertarekat yang hendak mendekatkan diri dalam “penyatuan” dengan kehendak Allah, malah menghalalkan dusta dan pemelintiran informasi.
Selepas membaca “Buya Hamka dan Abah Anom” (sebuah edisi ringkasan dan suntingan dalam bahasa Indonesia dari tulisan Mohamad Ghouse) pada pertengahan Januari 2015, saya berkomu-
BUYA HAMKA
341
Menghadiri halal bi halal keluarga besar Muhammadiyah pada 17 Oktober 1976 di Jakarta; Buya Hamka tampak kedua dari kanan. (Sumber: Pandji Masjarakat)
Presiden Suharto memberikan penghormatan terakhir di hadapan jenazah Buya Hamka. (Sumber: Pandji Masjarakat)
Tongkat Hamka
342
Usai dishalatkan di Masjid Al Azhar, jenazah Buya Hamka bersiap diberangkatkan ke permakaman Tanah Kusir. (Sumber: Pandji Masjarakat)
BUYA HAMKA
343
Kepustakaan 1.
BUKU
•
Abdul Wadud Karim Amrullah, Dari Subuh hingga Malam; Perjalanan Seorang Putra Minang Mencari Jalan Kebenaran, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2012
•
Afif Hamka, dkk. (ed.), Buya Hamka, Jakarta: Uhamka Press, 2008
•
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik; Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Jakarta: Gema Insani Press, 1996
•
Alwi Shihab, Membendung Arus; Respons Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998
•
Asep Salahudin, Abah Anom: Wali Fenomenal Abad 21 & Ajarannya, Bandung: Noura Books, 2013
•
Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta: LP3ES, 1987
•
Cindy Adams, Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia, Jakarta: PT Gunung Agung, 1966
•
Daoed Joesoef, Dia dan aku; Memoar Pencari Kebenaran, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006
Kepustakaan
344 •
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta LP3ES, 1988 (cet. ke-4)
•
, Partai Islam di Pentas Nasional; Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, Bandung: Mizan, 2000
•
, Membincangkan Tokoh-tokoh Bangsa, Bandung: Mizan, 2001
•
Departemen Penerangan RI, …makin lama makin tjinta…Muhammadijah Setengah Abad 1912-1962, Jakarta: Departemen Penerangan
•
Hamka, Menunggu Beduk Berbunji, Jakarta: Firma Tekad, 1950 (cet. ke-3)
•
, Pribadi, Jakarta: Bulan Bintang, 1955 (cet. ke-2)
•
, 1001 Soal-soal Hidup, Jakarta: Bulan Bintang, 1958 (cet. ke-5)
•
, Angkatan Baru, Jakarta: Hikmat, 1962 (cet. ke-3)
•
, Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad, Jakarta: Pustaka Islam, 1962 (cet. ke-5)
•
, Lembaga Hikmat, Jakarta: Bulan Bintang, 1963 (cet. ke-3)
•
, Tasawuf Moderen, Jakarta: Djajamurni, 1970 (cet. ke-12)
•
, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”, Jakarta: Bulan Bintang, 1974
•
, Kenang-kenangan Hidup I, Jakarta: Bulan Bintang, 1974 (cet. ke-3)
•
, Kenang-kenangan Hidup II, Jakarta: Bulan Bintang, 1974 (cet. ke-3)
•
, Kenang-kenangan Hidup III, Jakarta: Bulan Bintang, 1974 (cet. ke-3)
•
, Kenang-kenangan Hidup IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1975 (cet. ke-3)
• •
, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1976 (cet. ke-6) , Falsafah Hidup, Jakarta: Umminda, 1981 (cet. ke 8)
BUYA HAMKA
345 •
, Ayahku; Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Jakarta: Umminda, 1982 (cet. ke-4)
•
, Kedudukan Perempuan dalam Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983 (cet. ke-3)
•
, Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian, Jakarta: Yayasan Idayu, 1983 (cet. ke-4)
•
, Islam: Revolusi Ideologi dan Keadilan Sosial, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984
•
, “Haji Agus Salim Sebagai Sastrawan dan Ulama”, dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim susunan Panitia Buku Peringatan Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984
•
, Ghirah dan Tantangan terhadap Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985 (cet. ke-3)
•
, Kebudayaan Islam di Indonesia Abad XV Hijrah, Jakarta: Panitia Nasional Menyambut Abad XV Hijriyah, 1986
•
, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996 (cet. ke-12)
•
, Dari Hati ke Hati; tentang Agama, Sosial-Budaya, Politik, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002
•
, Tafsir Al-Azhar Juz I, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005 (edisi baru)
•
, Tafsir Al-Azhar Juz II, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002 (edisi baru)
•
, Tafsir Al-Azhar Juz III, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003 (edisi baru)
•
, Tafsir Al-Azhar Juz V, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005 (edisi baru)
•
, Tafsir Al-Azhar Juz VI, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005 (edisi baru)
•
, Tafsir Al-Azhar Juz VII, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2007 (edisi baru)
Kepustakaan
346 •
, Tafsir Al-Azhar Juz X, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2010 (edisi baru)
•
, Tafsir Al-Azhar Juz XXIII, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005 (edisi baru)
•
, Tafsir Al-Azhar Juz XXIV, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002 (edisi baru)
•
, Tafsir Al-Azhar Juz XXVIII, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2008 (edisi baru)
•
, Tafsir Al-Azhar Juz XXIX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002 (edisi baru)
•
, Umat Islam Menghadapi Tantangan Kristenisasi & Sekularisasi, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003
•
, Teguran Suci & Jujur terhadap Mufti Johor; Sebuah Polemik Agama, Selangor: Pustaka Dini, 2010 (edisi terkini)
•
, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Jakarta: Bulan Bintang, 2012 (cet. ke-32)
•
, 4 Bulan di Amerika, Jakarta: Gema Insani, 2018 (edisi baru)
•
, Panggilan Bersatu; Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa, Yogyakarta: Galata Media, 2018
•
Iman Toto K. Raharjo & Suko Sudarso (ed.), Bung Karno, Islam, Pancasila & NKRI, Jakarta: Komunitas Nasionalis Religius Indonesia, 2006
•
Irfan Hamka, Ayah… Kisah Buya Hamka, Jakarta: Republika Penerbit, 2013 (cet. ke-3)
•
James R. Rush, Adicerita Hamka; Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2017
•
Junus Amir Hamzah, Hamka sebagai Pengarang Roman; Sebuah Studi Sastra, Jakarta: Megabookstore, 1963
•
Lambert Giebels, Soekarno; Biografi 1901-1950, Jakarta: PT Grasindo, 2001
BUYA HAMKA
347 •
Marwan Saridjo, Tragedi Daoed Joesoef: Catatan atas Otobiografi Dia dan aku, Jakarta: Yayasan Agali Aksara dan Penamadani, 2007
•
Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Jakarta: Pustaka Antara, 1966
•
Mohammad Zen, Memori Hamka di dalam Tafsir Al-Azhar, Kuala Lumpur: Darul Nu’man, 2014
•
Mussdicov, Kupasan “Islam dalam Madilog” Tan Malaka, Yogyakarta: N.V. Badan Usaha & Penerbit Muslimin Indonesia, 1950
•
Nabiel A. Karim Hayaze’, Kumpulan Tulisan & Pemikiran Hoesin Bafagieh, Tokoh PAI dan Nasionalis Keturunan Arab, Jakarta: Pustaka Menara, 2017
•
Nasir Tamara, dkk. (ed.), Hamka; di mata hati umat, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996 (cet. ke-3)
•
Rémy Madinier, Partai Masyumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral, Bandung: Mizan, 2013
•
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1981
•
Rusydi Hamka, dkk. (tim wartawan Panjimas), Perjalanan Terakhir Buya Hamka, Jakarta: Pandji Masjarakat, 1982 (cet. ke-2)
•
Shobahussurur (ed.), Mengenang 100 Tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Jakarta: Penerbit YPI Al Azhar, 2008
•
Solichin Salam, dkk., Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1979 (cet. ke-2)
•
Sri Mulyati, Peran Edukasi Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah dengan Referensi Utama Suryalaya, Jakarta: Prenada, 2010
•
Syed Hussein Alatas, Kita dengan Islam; Tumbuh Tiada Berbuah, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2015
•
Tan Malaka, Islam dalam Tinjauan Madilog, Jakarta: Widjaja, 1951
2.
Majalah dan Koran
•
Fadh Ahmad Arifan, “Buya Hamka Penganut Tarekat Sufi?”, Matan edisi 142, Mei 2018
•
Hamka, “Dari Jendela Ilmu”, Pandji Masjarakat nomor 13 Tahun I, 15 Desember 1959/15 Djumadilachir 1379
Kepustakaan
348 •
, “Untuk Jadi Perbandingan”, Gema Islam nomor 3 Tahun I, 15 Februari 1962/10 Ramadhan 1381
•
, “Chutbah Hari Raya Idul-Adha 1382 H.”, Gema Islam nomor 32, 15 Maret 1963/21 Zulhidjah 1382
•
, “Masalah Chilafijah, dan tentang Taklid dan Idjtihad (1)”, Gema Islam nomor 42 Tahun II, 15 Oktober 1963/26 Djumadilawal 1383
•
, “Masalah Chilafijah dan tentang Taklid dan Idjtihad (2)”, Gema Islam nomor 43 Tahun II, 1 November 1963/14 Djumadilachir 1383
•
, “Budi yang Baik Terkenang Jua”, Pandji Masjarakat nomor 216, 1 Februari 1977
•
, “Penjelasan Sekitar Terpilihnya Dr. Hamka sebagai Anggota Majelis Ta’sisi Rabithah Alam Islami”, Pandji Masjarakat nomor 309, 7 Shafar 1401/15 Desember 1980
•
, “Sekelumit Pengalaman Batin dari KTT Islam Taif, Pandji Masjarakat nomor 314 Tahun XXII, 5 Rabi’ul Akhir 1401/10 Februari 1981
•
James Robert Rush, “Hamka dan Indonesia Moderen”, Pandji Masjarakat nomor 379, 15 Shafar 1403/1 Desember 1982
•
Rusjdi Hamka, “Bismillah dengan Orde Baru”, Pandji Masjarakat nomor 8, 29 Januari 1967/9 Syawal 1386
•
, “Tongkat-tongkat Buya”, Pandji Masjarakat nomor 332 Tahun XXIII, 11 Syawal 1401/11 Agustus 1981
•
Selamat Ginting, “Petisi Perlawanan”, Republika, 9 November 2011/13 Dzulhijjah 1432
•
Tim Laporan Khusus 100 Tahun Mohammad Natsir, “Berpetisi tanpa Caci Maki”, Tempo nomor 3721/14-20 Juli 2008
3.
Internet
•
Afif Hamka, “Ayah Sejuta Umat & Jiwa Umatik: Almarhum Prof Dr Hamka”, Wacana Pemikiran Dakwah & Perjuangan oleh Dewan Besar
BUYA HAMKA
349 Kolej Dar al-Hikmah Malaysia pada 10 November 2014, https://www. youtube.com/watch?v=2YEj1BCvE8g diakses pada 28 Mei 2018 •
, “Legasi Hamka: Wacana Ilmu & Ziarah Silaturrahim Waris Buya Hamka”, Makan Malam Perdana di Bangi, Selangor, Malaysia 9 April 2016 oleh PMGK & Institut Darul Ehsan, https://www.youtube. com/watch?v=domihua7wfc diakses pada 28 Mei 2018
•
, “Untold Story Buya HAMKA di Mata Sang Anak”, Tabligh Akbar di Masjid Raya An Nur Provinsi Riau pada 8 Oktober 2016, https://www.youtube.com/watch?v=f0SQheICy1o diakses pada 28 Mei 2018
•
, “SatNite Move ON #4 - Meneladani Masa Muda Sang Buya” pada 8 Oktober 2016, https://www.youtube.com/ watch?v=vnhiHsnrgcY diakses pada 28 Mei 2018
•
Dokumen Pemuda TQN News, “Memorial Kunjungan Prof. Dr.Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka) ke Pesantren Suryalaya” https://dokumenpemudatqn.blogspot.com/2012/12/memorial-kunjungan-profdrhaji-abdul.html?m=1 diakses pada 10 Agustus 2018
•
Fadh Ahmad Arifan, “Buya Hamka Dibaiat Abah Anom?”, https:// indonesiana.tempo.co/read/26202/2014/12/03/filepenting.1/buyahamka-dibaiat-abah-anom diakses pada 10 Agustus 2018
•
Mohamad Ghouse, “Karomah Abah Anom 15 Penyertaan Ulama Berwibawa ke TQN Suryalaya Prof Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah, https://ghousekhan.blogspot.com/2011/08/karomah-asbah-anom-15. html diakses pada 10 Agustus 2018
•
Mohamad Ghouse, “Karomah Abah Anom 18 Tiga Orang Hindu Bertawasul Dengan Abah”, https://ghousekhan.blogspot.com/2011/08/ karomah-abah-anom-18.html diakses pada 10 Agustus 2018
•
Mutiarazuhud, “Buya Hamka Ternyata Pengikut Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah”, http://salikiin.blogspot.com/2012/03/buya-hamkatarekat-qodiriyah.html diakses pada 10 Agustus 2018
•
PP Al-Itqon Patebon, “Prof Dr Haji Abdul Malik Karim Amrullah - Hamka”, Kendal http://ppal-itqon.blogspot.com/2012/11/kh-
Kepustakaan
350 shohibulwafa-tajul-arifin-abah-anom.html diakses pada 10 Agustus 2018 •
Redaksi Duta Islam (ab), “Karomah Buya Hamka: Ketika Wafat, Jarinya Masih Bergerak Dzikir” (http://www.dutaislam.com/2016/10/ karomah-buya-hamka-ketika-wafat-jarinya-masih-dzikir.html diakses pada 10 Agustus 2018
•
Redaksi NU Online (mkf), “Buya Hamka Ternyata Pengikut Tarekat Qodiriyah Naqsabandiyah”, http://www.nu.or.id/post/read/17630/ buya-hamka-ternyata-pengikut-tarekat-qodiriyah-naqsabandiyah. diakses pada 10 Agustus 2018
•
Redaksi Sang Pencerah, “Meluruskan Fitnah Terhadap Buya Hamka Soal Tahlilan dan Dibaiat Abah Anom”, http://sangpencerah. id/2015/11/meluruskan-fitnah-terhadap-buya-hamka-soal-tahlilandan-dibaiat-abah-anom/ diakses pada 10 Agustus 2018
BUYA HAMKA
351
Penulis
Y
usuf Maulana lahir di Cirebon pada 21 Mei 1978. Terlibat dalam dunia pergerakan Islam sejak duduk di bangku sekolah menengah. Keterlibatan mendalam dalam aktivisme terjadi tatkala menggapai hikmah berilmu di pendidikan tinggi. Senyampang itu, kian kerap interaksi dengan aktivis pergerakan beragam latar, hingga tertempalah kemampuan menggali cakrawala dan khazanah keumatan. Hasilnya direeksikan dan dianalisis melalui koran dan internet. Buku-buku yang ditulis adalah Panggilan Bersatu (2018); Nuun, Berjibaku Mencandu Buku (2018); Mufakat Firasat (2017); Konservatif Ilmiah (2016); Berjamaah walau Tak Serumah (2016); Aktivis Bingung Eksis (2015); Tong Kosong Indonesia Bunyinya (2014). Karya intelektual lain berupa penulisan bersama tematik, dan karya
Penulis
352 suntingan tidak kurang 260 judul. Menulis aktif sebagai kolumnis lepas di SuaraMuslim.net dan RepublikaOnline. Saat ini, tinggal di Yogyakarta seraya mengasuh rumah baca Samben Library dan kurator Perpustakaan “Baitul Hikmah� Masjid Mardliyah UGM.
BUYA HAMKA