Executive Summary (Laporan Sementara Hasil Penelitian)
Analisis, Evaluasi dan Perhitungan Harga Dasar BBM Bersubsidi Secara Eksak Firman Pramudya Dosen Politeknik Negeri Bandung firman@jtk.polban.ac.id firman@ibarsis.com
Sampai saat ini, masalah penentuan harga ‘BBM bersubsidi’ di Indonesia masih menimbulkan pro dan kontra yang tidak kunjung selesai. Di lain pihak, hingga saat ini masih belum ada orang yang melakukan penelitian khusus mengenai masalah ini. Suatu penelitian yang sama sekali terlepas dari isu pro dan kontra, terbebas dari kepentingan sosial-politik, atau alasan-alasan lain yang sifatnya argumentatif. Jadi pada hakekatnya sebuah penelitian selalu bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran ilmiah semata, dengan membiarkan fakta-fakta objektif itu berbicara sendiri, apa adanya. Sehubungan dengan itu, sejak ditandatanganinya nota kesepakatan kerja sama antara pihak perguruan tinggi Politeknik Negeri Bandung (Politeknik ITB) dengan pihak industri PT Ibar Sistem Solusi pada bulan Februari 2008, telah dilakukan pengkajian sistem informasi terkait BBM bersubsidi. Secara ringkas, lingkupan penelitian yang tengah dilakukan diperlihatkan oleh diagram berikut.
Laporan hasil penelitian berjudul Analisis, Evaluasi dan Perhitungan Harga Dasar BBM Ber-subsidi Secara Eksak ini merupakan bagian dari rangkaian penelitian di atas. Dalam konteks kita di sini, harga dasar BBM adalah titik harga eceran BBM per liter, dengan kondisi-kondisi masukan/asumsi APBN tertentu, yang menyebabkan pemerintah tidak memperoleh laba atau tidak memperoleh rugi sehingga nominal subsidi setara dengan nol. Harga dasar ini dapat dihitung secara eksak berdasarkan seluruh biaya (real cost) yang harus dikeluarkan dalam rantai proses produksi BBM dari hulu ke hilir, yang menyangkut komponen-komponen biaya pemasukan/pengeluaran dalam lifting minyak, production
sharing contrack, cost recovery, opportunity loss, domestic market obligation, profit pemerintah pusat dan daerah, ekspor-impor minyak/BBM, efisiensi pengilangan, biaya produksi, distribusi dan margin laba Pertamina, sejak minyak dieksplorasi dan dieksploitasi hingga tiba di SPBU-SPBU – pada kurs rupiah dan pada level harga minyak dunia tertentu. Kita juga dapat memasukkan faktor resiko biaya maksimum yang harus dikeluarkan menyangkut ‘kehilangan minyak’, ‘mafia perminyakan’, makelar minyak, condensate, HOMC, LPG, dan produk sampingan lainnya. Seluruhnya dapat dihitung secara eksak, sedemikian rupa, sehingga membentuk harga dasar BBM jenis tertentu. Sesuai dengan amanat dalam UUD 1945, maka metode yang digunakan dalam menetapkan harga dasar BBM bersubsidi adalah dengan cara mengalokasikan terlebih dahulu hasil produksi BBM nasional (baik itu yang berasal dari lifting nasional maupun yang berasal dari impor minyak) untuk kebutuhan BBM bersubsidi. Penelitian membuktikan bahwa seluruh kuota BBM bersubsidi nasional masih dapat dipenuhi oleh kapasitas kilang nasional yang ada pada saat ini. Selanjutnya, dengan menggunakan asumsi Departemen Keuangan sewaktu melakukan peng-kajian dalam menetapkan kenaikan harga BBM bersubsidi (30 April 2008), hasil perhitungan pada harga minyak dunia 120 USD menghasilkan harga dasar BBM bersubsidi dan nonsubsidi masing-masing sebesar Rp 3.659 dan Rp 8.420. Kedua harga dasar BBM ini telah memper-hitungkan seluruh komponen biaya terkait rantai produksi BBM dari hulu ke hilir, termasuk analisis resiko biaya tertinggi, dan juga biaya distribusi plus margin laba Pertamina. Hal itu berarti bahwa jika premium bersubsidi dijual dengan harga di atas harga dasar Rp 3.905, maka pemerintah akan mendapat laba atau surplus. Sedangkan jika premium dijual di bawah harga dasar tersebut, berarti pemerintah harus mengeluarkan subsidi bagi rakyatnya. Jadi jelaslah bahwa harga premium sebesar Rp 6.000 yang berlaku sekarang ini bukanlah merupakan harga subsidi karena pemerintah akan mendapat surplus. Yang menjadi masalah utama dalam penelitian ini bukanlah besaran harga eceran ‘BBM bersubsidi’ itu sendiri. Akan tetapi, selain mempertanyakan transparansi pengelolaan BBM, penelitian ini juga mempertanyakan dari manakah asal-mulanya harga BBM sebesar Rp 6.000, Rp 5.500 dan Rp 2.500 itu, bagaimana dasar perhitungannya, dan mengapa disebut sebagai ‘harga subsidi’ kalau ternyata dengan harga-harga tersebut pemerintah memperoleh surplus puluhan triliun rupiah. Selanjutnya, karena pengelolaan migas di Indonesia hingga saat ini masih tidak jelas/tidak tranparan, maka penelitian ini akan menajukan konsep pengelolaan yang sistematis dan konstruktif, sesuai dengan yang telah diamanatkan oleh peraturan perundang-ungangan. Rumusan akhir yang dihasilkan, di samping menghasilkan pemodelan proses migas dari hulu ke hilir, juga dihasilkan model perhitungan matematik yang melibatkan hingga lebih dari 100 buah variabel yang bekerja secara simultan, berperan langsung dan saling bergantungan satu dengan yang lainnya. Model matematik ini kemudian diimplementasikan ke dalam bentuk program komputer yang siap pakai, sehingga dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam menentukan kebijakan nasional untuk menentukan harga eceran BBM bersubsidi/nonsubsidi, besaran subsidi BBM, kuota BBM, asumsi dalam APBN, dan sebagainya Contoh untuk itu misalnya adalah, jika kita ingin mengetahui : berapa besar subsidi BBM jika kita menetapkan kouta tertentu dengan biaya distribusi (alpha) tertentu; bagaimana perubahan laba pemerintah terhadap perubahan harga eceran BBM; berapa besar nilai tambah yang akan diperoleh jika kita memperbesar kapasitas pengilangan minyak dan/atau jika kita memperbesar lifting minyak dan/atau jika cost recovery diperkecil; dan sebagainya. Hasil-hasil perhitungan ini dapat kita transfer ke dalam bentuk tampilan grafik sesuai dengan kebutuhan.
A.`Tahapan Metodologi 1. Pemodelan Rantai Proses Pada Tahun 2007
Sistem prioritas memberi kesimpulan bahwa pengadaan BBM bersubsidi masih dapat dipenuhi oleh lifting dan pengilangan minyak nasional
2. Breakdown Skema Bagi Hasil Migas Tahun 2007 Komposisi Gross Revenue Migas (Sumber: NK APBN 2008)
Breakdown
4. Realisasi Fakta Tahun 2007 untuk Prediksi Tahun 2008 (Menggunakan Asumsi Depkeu dan Harga Minyak Dunia 120 USD)
5. Penurunan Model Matematik yang Melibatkan lebih dari 100 Variabel
B. Penyajian Hasil Perhitungan dalam Tampilan Grafik Asumsi Perhitungan untuk Prediksi Tahun 2008 • • • • • • • • • • • • • • • •
Lifting Minyak 927 rbph Kuota BBM Bersubsidi 35,9 jklpt Kuota Premium, Solar dan minyak tanah masing-masing sebesar 18,48 jklpt, 11 jklpt dan 7,56 jklpt Harga eceran Premium, solar dan minyak tanah masing-masing sebesar Rp 6.000, Rp 5.500, Rp 2.500 Kurs rupiah Rp 9.000 per USD Biaya distribusi dan margin laba Pertamina 9% Harga minyak dunia 120 USD per barel Kapasitas pengilangan minyak 855 rbph (tahun 2007) Skema bagi hasil lihat subbagian A.2 di atas Pembayaran minyak DMO dan profit pusat hanya dihargai sebesar biaya lifting, biaya produksi BBM (10 USD per barel), dan biaya distribusi dan margin laba Pertamina Pembayaran minyak cost recovery 4,8 milyar USD (tahun 2007), yang menghasilkan pembayaran sebesar 79% dari harga minyak dunia Pembayaran minyak untuk profit KKKS dan Pemda adalaha sebesar 85% dari harga minyak dunia. Seluruh lifting minyak nasional dialokasikan terlebih dahulu untuk kebutuhan BBM bersubsidi. Jika tidak mencukupi, baru diambil dari bagian impor minyak/BBM Tingkat laba/subsidi (pemerintah) dihitung berdasarkan selisih dari harga eceran () dengan harga dasar BBM bersubsidi Tingkat laba Pertamina dihitung berdasarkan perkalian 9% dari harga dasar BBM Analisis resiko biaya maksimum dihitung sebesar 17% dari harga dasar BBM
1. Komposisi Komponen Biaya yang Harus Dikeluarkan (Real Cost) Penjelasan: Import BBM (0%) dan Import crude oil (0%) tidak dibutuhkan untuk BBM bersubsidi. Karena dengan asumsi lifting 927 juta barel per hari dan efisiensi pengilangan sebesar 78%, maka akan dihasilkan sebanyak 42 jklpt (juta kilo liter per tahun). Jumlah ini lebih besar dari kuota BBM bersubsidi 2008 sebesar 36 jklpt. Domestic Market Obligation (4%) dan Profit Sharing Pemerintah Pusat (4%) merupakan jatah minyak rakyat, hanya dihitung biaya eksplorasi dan ekploitasi; biaya produksi BBM dan margin laba Pertamina. Cost Recovery (45%) dihitung berdasarkan skema bagi hasil migas Depkeu, sehingga NKRI harus membayar seharga 79% per liter dari harga minyak dunia.
Biaya yang harus dibayar untuk Profit Sharing KKKS (24%) dan Profit Sharing Pemda (8%) adalah sebesar 85% dari harga minyak dunia.
Analisis Resiko Tertinggi (8%) merupakan antisipasi biaya yang terjadi akibat kebocoran minyak, ‘broker minyak’, dan pengeluaran-pengeluaran lainnya. Pada hitungan selanjutnya, resiko biaya maksimum dihitung sebesar 17% dari harga dasar BBM bersubsidi. Margin Laba Pertamina dihitung berdasarkan ‘ketentuan yang baru’ sebesar 9% (sebelumnya 14%). Kesimpulan: dengan asumsi tingkat lifting > kuota BBM bersubsidi seperti sekaran ini, maka terlihat bahwa cost recovery dan profit sharing KKKS mendominasi harga dasar BBM bersubsidi.
2. Perubahan Harga Minyak Dunia terhadap Harga Dasar, Tingkat Laba dan Subsidi
Asumsi jika seluruh kuota BBM bersubsidi dijadikan premium: Grafik kiri Walaupun harga minyak dunia mencapai 200 USD per barel, harga dasar BBM bersubsidi tetap berada di bawah Rp 6.000. Pada asumsi harga minyak 120 USD, harga dasar BBM adalah sebesar Rp 3.905. Grafik kanan Surplus/subsidi dihitung berdasarkan kuota BBM bersubsidi dikali dengan selisih antara harga dasar BBM bersubsidi dengan harga eceran sebesar Rp 6.000. Grafik memperlihatkan penurunan laba sesuai dengan perubahan harga minyak dunia dari 110 USD per barel hingga 200 USD per barel. Terlihat juga bahwa walaupun harga minyak dunia mencapai 200 USD per barel, pemerintah masih memperoleh laba sehingga tidak perlu mengeluarkan subsidi.
Kondisi Riil: Grafik Kiri Tingkat laba total mulai setara dengan nol pada saat harga minyak dunia menembus 150 USD per barel. Mulai dari harga minyak dunia ini, jika harga premium, solar dan minyak tanah masing-masing masih tetap Rp 6.000, Rp 5.500 dan Rp 2.500, maka pemerintah harus mulai mengeluarkan subsidi bagi rakyat. Grafik Kanan Walaupun demikian, pada kondisi di atas tersebut, laba Pertamina terus meningkat sejalan dengan semakin melonjaknya harga minyak dunia.
3. Perubahan Lifting Minyak terhadap Harga Dasar, Tingkat Laba dan Subsidi
4. Perubahan Cost Recovery terhadap Harga Dasar, Tingkat Laba dan Subsidi
5. Perubahan Harga Eceran terhadap Harga Dasar, Tingkat Laba dan Subsidi