Komite Politik Rakyat Miskin Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD)
Jalan Baru PRD-PAPERNAS: Mobilisasi Rakyat, Dagangannya;
Reformis Gadungan, Sekutunya; Ayo Ikut Pemilu/Pilkada, Untuk Revolusi! No. 1, Tahun 1, Januari, 2008
halaman 1
SIKAP Komite Politik Rakyat Miskin Partai Rakyat Demokratik (KPRM-PRD)
Redaksi Donni Pradana S.Hut Ganjar Krisdian SE Gregorius Budi Wardoyo Istikomah Manik Widjil Sadmoko Paulus Suryanta Ginting Vivi Widyawati Xaveria Zely Ariane
Kebangkitan demokratik kini adalah suatu kenyataan yang tak terbantahkan. Ia sedang maju dengan kesulitan yang lebih besar, dengan langkah yang lebih lambat dan melewati jalur yang lebih ruwet ketimbang yang kita bayangkan, akan tetapi, walaupun demikian, ia sedang maju. Sudah barang tentu, mempersatukan jutaan rakyat (terhisap dan tertindas) dalam kepemimpinan persatuan adalah suatu tugas strategitaktik yang amat sangat su kar; ia menuntut ketekadan, keuletan dan keberanian.
www.kprm-prd.blogspot.com pembebasan.kprm@gmail.com
Politik (alternatif) Rakyat Miskin adalah posisi politik Partai Rakyat Demokratik (PRD) sejak awal berdirinya, politik yang meletakkan perubahan dan kemenangan rakyat dilandaskan pada kekuatan sendiri, berdasar kekuatan gerakan. Posisi politik tersebut juga lah yang ditanggalkan oleh sebagian Pimpinan PRD—yang menyebut diri sebagai kaum mayoritas dalam PRD—seiring dengan kepentingan mereka untuk meleburkan diri (secara ideologi, politik, organisasi) ke dalam persatuan pemilu bersama partai kaum reformis gadungan dan sekutu pemerintahan agen imperialis, demi mendapatkan kesempatan masuk parlemen. Karenanya, kami, yang menamakan diri Komite Politik Rakyat Miskin (KPRM)–PRD, adalah sebagian PRD yang menolak menanggalkan politik rakyat miskin, menolak politik parlementaris—apalagi politik parlementaris-oportunis. KPRM–PRD berdiri memang dimulai dari paksaan (yang, dengan kekuatan otoritas-mayoritas Pimpinan PRD, kemudian menjadi keputusan resmi internal PRD) mendesakan terjadinya perpecahan/ pembelahan dalam partai atas posisi politik mendukung politik parlementaris-opurtunis atau sebaliknya mendukung politik membangun gerakan rakyat. Sekarang, posisi tidak demokratik atas pembelahan tersebut oleh pimpinan (mayoritas) PRD sudah kami mengerti sebagai kelaziman yang harus mereka lakukan (sebagai konskwensi posisi politik oprtunisnya); selanjutnya, yang lebih penting bagi KPRM-PRD, adalah berposisi nyata dalam pembangunan politik (alternatif) rakyat miskin bersama kekuatan gerakan rakyat lainnya, persatuan. Namun demikian, bukan berarti KPRM-PRD berlepas tangan terhadap kehancuran politik kerakyatan PRD karena, seiring dengan dinamika pembangunan gerakan rakyat (KPRM-PRD) bersama kekuatan gerakan rakyat lainya, sekaligus juga kami akan melanjutkan dan menguatkan perjuangan internal untuk mengembalikan PRD sebagai alat perjuangan politik rakyat miskin. Terhadap situasi ekonomi-politik sekarang, kaum gerakan dituntut untuk sanggup meneliti, menyimpulkan dan mengambil tanggung jawab. Rakyat semakin hari bertambah gamblang mengerti atas bertumpuknya persoalan yang nyata mereka hadapi. Semakin terbuka pula bagi kaum gerakan untuk menjelaskan kaitan persoalan sehari-hari rakyat dengan jaring penindasan imperialisme, bahkan bisa melampui atau menembus beribu ilusi yang terus dipertebal demi menutupi ketertundukan penguasa terhadap kepentingan imperialisme. Sekaligus terdapat harapan perubahan sejati bagi rakyat, bila kekuatan rakyat sendiri (dengan kaum gerakan di dalamnya) sanggup mencipta jaring perlawanan rakyat, yang luas dan semakin menyatu. Politik rakyat miskin dalam wujud nyatanya adalah perluasan dan penyatuan perlawanan rakyat, penyatuan mobilisasi-mobilisasi rakyat dengan mengusung tuntutan dan jalan keluar persoalan ekonomi-politik rakyat. Mobilisasi ini harus terus meluas dan mengisi setiap ajang politik rakyat, dan pemilu hanya lah salah satunya. Namun apapun ekspresi politik dari gerak politik rakyat miskin, hal utama yang tidak boleh dikompromikan adalah posisi untuk TIDAK dicampuri, TIDAK disubordinasi atau lepas dari pengaruh, dan (apalagi) TIDAK boleh dileburkan, dengan kekuatan pemerintah agen imperialis, tentara, sisa ORBA dan reformis gadungan. Ya, politik rakyat miskin adalah politik altenatif (tandingan) yang berbasiskan pada kekuatan perlawanan rakyat sendiri, dengan prinsip non-kooperasi dan non-kooptasi dalam berhadapan dengan musuh-musuh rakyat. Sesulit apapun, pembangun kekuatan perlawanan rakyat harus tetap dikerjakan, harus diatasi dan tidak boleh dihindari. Metode mobilisasi tiga bulanan adalah salah satu upaya yang disodorkan, dan terus bisa dikembangkan, untuk memperluas kekuatan perlawanan rakyat, membangun kesadaran politik, sekaligus mewujudkannya dalam metode perjuangan rakyat: menuntut dengan mobilisasi massa. Atas nama kemudahan-kemudahan untuk berkuasa (dengan alasan bisa melakuakan revolusi dari atas), termasuk menjadi parlementaris-oportunis, sejatinya sudah menanggalkan arah sejati perjuangan rakyat, sudah melepaskan diri dari politik kerakyatan.©
halaman 2
INTERNASIONAL
Dunia di Dalam Krisis! (antara terjun ke jurang atau membangun tangga-tangga alternatif) Zely Ariane Pengantar
lebih besar: perlambatan perekonomian AS, yang dapat juga menurunkan ekspansi global.”3 [catatan tambahan: perusahaan sekuritas terbesar Jepang, Nomura Holdings Inc., Senin 15/10 mengumumkan keputusannya keluar dari pasar surat berharga kredit perumahan dengan nasabah beresiko tinggi di AS, setelah membukukan kerugian besar—511 juta dolar AS— akibat krisis (kerugian dari bencana subprime mortgage4). Menurutnya, kredit macet bukan satu-satunya penyebab karugiannya di AS, basis nasabah yang juga melemah adalah sebab lainnya.]
1
Dunia
sedang dilanda krisis. Globalisasi neoliberal terbukti memanen kemiskinan dan memperdalam ketimpangan ketimbang kemakmuran dan pemerataan2. Tak perlu tesis yang terlalu rumit untuk dapat menyimpulkannya, walaupun membutuhkan suatu studi yang seksama untuk mengukur tingkat dan kadar krisis tersebut, khususnya yang terkait dengan produksi dan produktivitas. Menyusutnya legitimasi terhadap neoliberalisme dari hari ke hari, dari negeri ke negeri, adalah jawaban terhadap krisis ekonomi. Kehancuran tenaga produktif muda; kemiskinan; kehancuran industri; pengangguran; hilangnya kemampuan negara untuk mengontrol kenaikan harga dan memberikan berbagai jaminan sosial (welfare state), adalah sebagian wujud dari krisis ekonomi tersebut. Namun, kelompok mayoritas dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS) dengan sembrono menyimpulkan bahwa belum tersedia syarat bagi krisis ekonomi (di Indonesia) 1Bacaan pelengkap: [1] Situasi Internasional hasil Konferensi Nasional Perempuan Mahardhika, Maret, 2006; [2] Situasi Internasional hasil Kongres PAPERNAS, Februari 2007. 2Di tahun 1970 negeri-negeri industri maju mendapatkan 68% dari pendapatan dunia; di tahun 2000 meningkat menjadi 81%, meskipun populasi negeri-negeri tersebut turun 4%. GDP (Gross Domestic Product) per kapita negeri-negeri maju, di tahun 1970, sebesar $10,473; di tahun 2005 meningkat menjadi $26,201. GDP per kapita negerinegeri lainnya di dunia, setelah mengalami peningkatan dari $1,248, di tahun 1970, menjadi $1,690, di tahun 1980, kemudian melorot lagi menjadi $1,160 per tahun, di tahun 2000. Rasio ketimpangan, menurut IMF, dengan menjumlahkan peningkatan tersebut, di tahun 1970 adalah dari 8.4, dan menjadi 22.6, di tahun 2000. Perusahaan raksasa seperti Nestle, di tahun 2002, dapat meraih keuntungan lebih besar daripada GDP Ghana; serupa dengan Unilever yang, pada tahun 2003, keuntungannya lebih tinggi daripada GDP Mozambique. (Lihat data dan penjelasan lebih lanjut dalam Hasil Konferensi Nasional Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika, Maret 2006.)
yang berdampak luas, mendalam dan tibatiba terhadap rakyat, sehingga (mereka mengatakan) kalaupun potensi krisis akan muncul, maka tidak akan sampai menghasilkan krisis revolusioner. Sembrono sekali kesimpulan tersebut hingga sanggup melawan kekhawatiran para ekonom kapitalis sendiri: ”...Walaupun para ekonom anti-kapitalisme di dunia saat ini belum sampai pada kesimpulan bahwa ekonomi kapitalisme-neoliberal akan segera bergerak menuju kiamat, namun ‘para penjaga’ ekonominya—lembaga-lembaganya, para ekonom dan akademisinya—masih sangat was-was mengenai kondisi pasar ekonomi dan keuangan yang bisa saja lebih memburuk berdasarkan pengalaman siklus ‘krisis’ terakhir (sejak krisis Mexico tahun 1994 hingga gelembung ‘ekonomi baru’ AS tahun 2001). Membumbungnya defisit keuangan (CADs) AS, seiring dengan surplus keuangan (CASs) di kawasan Asia Timur (khususnya Cina, Jepang, Taiwan dan Korea Selatan), menjadi perhatian utama ‘para penjaga ekonomi’ itu. Hal itu tercermin dari keresahan-kerasahan berikut: •
•
Peringatan IMF terhadap para investor yang dianggapnya ‘mengabaikan kenyataan bahwa perekonomian global sedang menghadapi resiko besar’. Resiko itu termasuk perlambatan perekonomian AS; turunnya harga perumahan; kenaikan harga minyak; dan kenaikan tingkat suku bunga untuk menghambat tekanan inflasi. Data penjualan rumah AS menunjukkan terjadinya penurunan sebesar 4,1%, pada Juli, 2006, yang merupakan titik terendah sejak Januari, 2004 (angka penjualan rumah yang terkecil dalam 13 tahun terakhir). ”Dengan pasar perumahan di AS yang turun lebih cepat dibandingkan perkiraan, ada resiko
•
Di tahun 2005, ketika pertumbuhan ekonomi dunia mencapai 4,8%, konfigurasi ekonominya justru menunjukkan keanehan. Sejak era 1980-an, tak pernah terjadi tingkat defisit (CADs) yang lebih tinggi5; harga minyak juga lebih tinggi6; nilai tabungan personal di AS lebih rendah; dan suku bunga riil jangka panjang yang lebih rendah di Eropa, Jepang dan AS.7...” [Situasi Internasional hasil Kongres Papernas, Januari, 2007).
Kelimpahan barang tanpa daya beli (excess supply) adalah bentuk krisis yang sudah ada 3Green Left Weekly (GLW), 20 September, 2006, World Economy—Heading towards a Crash?, Dick Nichols. 4Semacam permainan sekuritas oleh perusahaan-perusahan raksasa, yang memiliki bisnis properti dengan cara menjual surat utang properti tersebut ke pasar saham atau perusahaan tangan kedua, seperti bankbank (yang tak jarang dimiliki juga oleh perusahaan-perusahaan tersebut). Banyak bank-bank di Jepang dikabarkan mengalami kerugian akibat pembiayaan subprime mortgage tersebut di AS. 5Defisit anggaran dan perdagangan adalah bentuk-bentuk kasus ekonomi yang, biasanya, akan diintervensi oleh IMF dengan segera. Namun karena AS identik dengan IMF, maka ekonomi defisit terbesar yang dialaminya tentu saja tak akan diintervensi IMF. 6Tidak pernah terjadi dalam sejarah kapitalisme modern harga minyak mentah dunia melonjak melampaui $85 AS/barrel (Kompas, 16 Oktober, 2007) 7Opcit, Green Left Weekly (GLW), 20 September 2006.
halaman 3 di depan mata. Bila pada Malaise 1929, modal hancur karena tidak bisa diinvestasikan ke dalam sektor riil, maka di masa kini modal lebih untung ditanamkan ke sektor finansial (perdagangan saham dan uang) karena sudah lama tidak bisa (baca: tidak cepat menguntungkan) ditanamkan ke sektor riil. Itulah (baca: tidak ada ekspansi modal ke sektor produktif) yang menjadi penyebab utama pengangguran, sebagai wujud krisis massal di dunia saat ini8. Memang, walaupun kapitalisme tambah menyengsarakan rakyat, dan siklus resesiresesi kecilnya bertambah sering, tapi konsentrasi/sentralisasi tenaga produktifnya juga makin mengerucut ke beberapa kapitalis9 serta produktivitasnya masih meningkat, sehingga BELUM menyebabkan kebangkrutan atau kehancuran produksi. Ketidakmampuan daya beli terhadap barangbarang pokok; pengangguran ekstrim; dan proyek imperialisme yang gagal di hampir semua negeri yang dihisapnya— biasanya karena perlawanan atau karena siklus krisis di negeri imperialis—belum menyebabkan kehancuran produksi. Krisis kapitalisme di negeri-negeri imperialis utama BELUM menyebabkan krisis global yang disebabkan oleh kehancuran produksi karena ketidakmampuan daya beli (baca: over produksi) yang ekstrim. Namun, yang mutlak untuk selalu dicatat adalah, bahwa perlawanan yang berhasil 8Peningkatan tertinggi penganggur muda selama dekade lalu terjadi di Asia Tenggara (85%), disusul Sub-Afrika Sahara (34%), Amerika Latin (23%), Timur Tengah (18%), dan Asia Selatan (16%). Lihat tulisan Toopay untuk pertemuan Presidium Nasional (Presnas) Papernas, yang mengutip laporan Organisasi Buruh Internasional, Global Employment Trends for Youth. 9Sekitar 0.13% penduduk dunia mengontrol 25% aset dunia, di tahun 2004; GDP 48 bangsa termiskin (1/4 dari negeri-negeri di dunia) lebih kecil ketimbang gabungan kekayaan tiga orang terkaya di dunia; lima orang terkaya di negeri-negeri terkaya menikmati 82% perluasan ekspor perdagangan dan 68% investasi asing langsung (foreign direct investment) — peringkat lima ke bawah hanya menikmati sedikit lebih banyak dari 1%; 50 juta orang terkaya di Eropa dan Amerika Utara berpendapatan sama denga 2,7 milyar rakyat miskin. Di bidang pertanian, menurut South Centre (2005), 85-90% perdagangan pangan dunia dikontrol 5 TNCs, 75% perdagangan sereal dikuasai 2 TNCs, 50% produksi dan perdagangan pisang dikuasi 2 TNCs, 3 TNCs menguasai 83% perdagangan coklat, 3 TNCs mengusai 85% perdangan teh, 5 TNCs menguasai 70% produksi tembakau, 7 TNCs menguasai 83% produksi dan perdagangan gula, 4 TNCs menguasai hampir 2/3 pasar pestisida, ¼ bibit (termasuk yang memiliki hak paten), dan menguasai 100% pasar global bibit transgenik. (Kompas, Opini, 16 Oktober, 2007).
(baca: kemandirian) di negeri-negeri yang dihisap/dijajahnya akan mempercepat krisis tersebut. Kapitalisme hanya sedang akan menurun—selain oleh sebab-sebab di atas, juga karena krisis pasar keuangan masih dapat ditoleransi dengan mendukung pelonggaran kebijakan fiskal dan moneter— dan syarat-syarat pematangan krisisnya serta gerakan perlawanannya harus terus kita persiapkan.
1. Krisis legitimasi neoliberalisme Bukti-bukti yang memperkuat kesimpulan bahwa neoliberalisme mulai kehilangan legitimasi, kehilangan landasannya, semakin bertambah. Di negeri-negeri Dunia Ketiga (baca: negeri terjajah/terhisap), neoliberalisme tak lagi mampu tampil dengan gaya aslinya10. Ia terpaksa meniru gaya negara kesejahteraan (Keynesianisme) (walfare state), agar terlihat manusiawi dan seakan-akan berhasil menabur derma kesejahteraan melalui: Millenium Development Goals (MDGs)11; atau/dan program-program konpensasi semacam Jaring Pengaman Sosial. Pemberian Nobel untuk Muhammad Yunus, yang berhasil mengembangkan sistem mikro kredit untuk orang miskin lewat Greemen Bank-nya, adalah bukti (baca: pengakuan) bahwa neoliberalisme tidak mampu menyejahterakan orang miskin. Sehingga sistem tersebut membutuhkan pihak-pihak ‘swasta’ maupun pemerintah untuk dapat membantunya menambal kemiskinan, agar sistim bisa tetap tegak12. Dengan demikian, kita bisa berkesimpulan: bahwa pemilihan Dominique StraussKahn, mantan menteri ekonomi Prancis dan tokoh Partai Sosialis Prancis, untuk memimpin IMF, adalah bentuk upaya untuk memperbaiki citra IMF (sebagai alat utama kebijakan neoliberalisme) yang sedang mengalami krisis legitimasi. Kahn 10Gaya asli neoliberalisme (melepas tanggung jawab negara terhadap pasar/free market) malah tak pernah diterapkan oleh negerinegeri perumusnya sendiri (AS, Inggris dan negeri Eropa lainnya). Dan, menurut PBB, negeri-negeri yang tidak menerapkan kebijakan neoliberalisme lah justru yang terbukti lebih sejahtera. 11Baca Materi Propaganda Papernas, 29 Maret, 2007. 12Menggunakan solusi ala negara kesejahteraan/Keynesianisme (menghendaki peran negara untuk memberikan subsidi sosial) tidaklah tabu bagi neoliberalisme— walaupun sebenarnya sudah melanggar resepnya sendiri. Namun, karena Keynesianisme dan neoliberalisme samasama menghendaki perlindungan terhadap kepemilikan pribadi atas alat produksi, maka keduanya tidak sanggup mengatasi globalisasi kemiskinan di dunia saat ini.
langsung mengangkat sebagian isu yang sudah meluas didukung dan diperjuangkan oleh gerakan massa bersama NGO anti neoliberalisme selama ini, yakni: reformasi dan demokratisasi IMF (selama ini, hak suara/sistem pengambilan keputusan dikelola berdasarkan kuota suara—AS memiliki kuota terbesar dengan hak suara 16,83% dari total 185 negara anggota, yang hanya memiliki hak suara 32%) (Kompas, 2 Oktober, 2007). Pemberian Nobel ekonomi tahun 2007 kepada Trio Ekonomi AS, Leonid Hurwicz, Erick S Maskin, dan Roger B Myerson, dengan teorinya yang membantu neoliberalisme menjelaskan kapan mekanisme pasar bisa bekerja secara efektif (Teori Desain Mekanisme), adalah cermin kebutuhan neoliberalisme menemukan landasannya kembali di tengah pengakuan mereka sendiri bahwa tidak semua negeri yang menjalankan mekanisme perekonomian pasar akan otomatis meraih sukses. Namun teori tersebut juga dipaksa kembali ke resepresep dasar negara kesejahteraan, dengan melihat bagaimana berbagai lembaga bisa mengalokasikan sumber daya sebaikbaiknya dan kapan intervensi pemerintah diperlukan dalam perekonomian.
2. Penjajahan modal asing (imperialisme AS) dalam krisis Semua modifikasi resep neoliberalisme tersebut hanya bertujuan untuk mengokohkan penjajahan modal asing di negeri-negeri Dunia Ketiga. Dan penjajahan modal tersebut berpusat pada penguasaan sumber-sumber enerji dunia (khususnya migas) oleh perusahaan-perusahaan enerji raksasa. Di dalam bukunya, Oil and World Politic (1991), Ted Wheelwright menyebutkan bahwa sejarah industri minyak dunia adalah kisah ekonomi politik abad ke-20 yang luar biasa. Hal tersebut meliputi hubungan yang penuh intrik dan penipuan antar kekuatan ekonomi, politik dan militer; yang menghasilkan perang, revolusi, konspirasi, korupsi, nasionalisme dan imperialisme. Nasionalisme Skotlandia; perkembangan Amerika Latin; kemerdekaan Puerto Rico; isolasi Kuba; kedaulatan Samoal; perlawanan sipil di Indonesia dan Nigeria; batas Israel; perseteruan AS-Sovyet [hingga yang paling terkini, serangan terhadap Axis of Evil (Kuba, Venezuela, dan Iran) oleh AS], masing-masing memiliki komponen minyak yang masuk dalam agenda paling utama korporasi internasional. Masing-masing memberikan dimensi global ekonomi politik minyak (Engler, 52). Lebih lanjut, Wheelwright menyebutkan bahwa studi klasik mengenai dinamika
halaman 4 internal hubungan antara kapitalisme dan imperialisme—yang telah mempengaruhi banyak pihak, dari Lenin hingga seterusnya—dilakukan oleh Hobson pada permulaan menurunnya Imperium Inggris di awal abad 20. Ia memberikan perhatian tidak saja pada kebutuhan paling penting dari imperium, yakni penguasaan bahan mentah; namun juga pada meningkatnya ketimpangan pendapatan yang mengarah pada akumulasi kapital, dan tekanan untuk menginvestasikannya ke luar negeri ketika pasar domestik kering (over supply). Kebutuhan untuk membiayai, mengelola, dan melindungi investasi mengarahkannya pada pertumbuhan/peningkatan suatu kelas finansial, pertumbuhan kekuatan militer, serta meningkatnya konsentrasi industri minyak. Kini para ekonom imperium dipaksa berfikir keras: bagaimana agar akumulasi modal dari hasil ekspansi pasar ke negeri jajahan dapat terus meningkatkan keuntungan dan tidak beralih tangan/kepemilikan. Sementara ekspansi modal tidak pernah secara nyata terjadi ke negeri-negeri terjajah, karena sebagian besar keuntungan yang mereka peroleh dibawa kembali ke negeri asal penjajah. Hanya ceceran kecil saja diperuntukkan bagi Corporate Social Responsibility/CSR di negeri-negeri setempat—itupun tidak ada paksaan legal. Sementara, kalaupun singgah di dalam negeri, maka tempat persinggahannya bukanlah sektor-sektor produktif yang dapat meningkatkan nilai tambah, melainkan sektor-sektor spekulatif (baca: perjudian portofolio, valuta asing, obligasi, spekulan properti, dan kredit konsumsi). Mekanisme yang sudah berlangsung lama tersebut bertambah rakus dan kalap ketika bertemu dengan situasi meningkatnya konsumsi enerji (migas) negeri-negeri imperialis, khususnya AS dan Cina, yang luar biasa pesat. Afganistan dan Irak kini sudah dianggap ‘berhasil’ ditundukkan. Iran akan menjadi sasaran berikutnya, karena negeri itu ibarat duri di dalam daging gemuk Timur Tengah yang penuh minyak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Iran adalah satu-satunya penghambat kepentingan AS atas cadangan minyak bumi di Laut Kaspia (206 miliar barrel) dan pembuatan (plus pengamanan) jalur pipa migas sepanjang Asia Tengah sampai Asia selatan. UNOCAL berencana membangun jalur pipa melalui Turkmenistan, Afganistan dan Pakistan (Iran terletak di antara kedua negara terakhir ini) untuk memasok minyak bumi dan gas bagi pasar Asia; demikian halnya Halliburton, yang hendak memulai eksplorasi besar-besaran atas 16% cadangan minyak bumi dunia yang terletak di Laut Kaspia itu. Oleh sebab itu Iran harus ditaklukkan. Dengan isu nuklir
dan senjata pemusnah massal—sebelumnya hal yang sama juga dituduhkan pada Irak sebagai pembenaran pendudukan—melalui PBB dan IAEA, penaklukkan Iran hendak dimulai. Di Asia Tenggara, penjajahan modal asing—yang sudah kuat dengan kehadiran Singapore—semakin diperkuat dengan mekanisme ASEAN Plus Three (ASEAN+3) bersama Cina, Jepang, dan Korea Selatan, ditambah dengan berbagai perjanjian bilateral. Para menteri perdagangan ASEAN, pada pertemuan di Kuala Lumpur tahun lalu, bahkan merekomendasikan percepatan pembentukan pasar tunggal regional Asia Tenggara dari semula pada tahun 2020 menjadi pada tahun 2015. Bahkan Jepang sudah mengusulkan proposal pembiayaan sebesar US$ 100 juta untuk penjajakan inisiatif tersebut. Tujuannya adalah menciptakan zona perdagangan bebas (free trade area) yang melibatkan 16 negara (10 negara ASEAN + Cina, India, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Selandia Baru). Jika FTA ini terwujud, maka akan melibatkan sekitar setengah dari penduduk dunia dan seperlima dari total perdagangan global13. Di Indonesia, pembentukan Free Trade Zone (FTZ), Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di Batam, Bintan, dan Karimun, sebagai hasil dari persetujuan kerjasama ekonomi Indonesia-Singapura, yang bertujuan untuk mendongkrak investasi, sudah disahkan menjadi UU. Di tengah ketidakmampuan (baca: ketiadaan rencana dan keberpihakan terhadap) industri nasional, upaya tersebut akan menjadi penyebab bencana jangka panjang karena industri Indonesia masih bergantung pada impor bahan baku dari negeri-negeri imperialis—sementara bahan mentah pun sudah dimiliki oleh imperialis. Sehingga FTZ, dalam kondisi tersebut, akan menyaratkan lumbung akumulasi modal borjuasi Asia dan imperium modal internasional, serta hanya akan menguntungkan segelintir elit pengusaha dan pemerintah, namun menghancurkan masa depan industri nasional. Perjanjian ekstradiksi Indonesia-Singapura [dalam bidang keamanan (latihan kemiliteran) dan politik (isu anti korupsi)] adalah ladang dominasi selanjutnya. Diketahui, ternyata lokasi kerjasama pertahanan meliputi ladang-ladang gas, seperti blok Natuna D Alfa, yang merupakan blok penghasil gas bumi terbesar di Asia Pasifik, yang mencapai 46,3 triliun kaki kubik (Trillion Cubic Feed/TCF). Rencana eksploitasi gas bahkan sudah dimulai dengan pengajuan proposal oleh Conocophilips, 13 Opcit, tulisan Toopay untuk Presnas Papernas.
Premier Oil dan Exxon Mobile (perusahaan pemasok gas utama ke Singapura) untuk membangun pipa-pipa gas bawah laut14. Bau imperium yang busuk tersebut semakin tercium melalui sikap mereka yang tidak konsisten terhadap demokrasi di Burma. Pemain-pemain baru, seperti India dan Cina, lepas tangan terhadap kejahatan junta. India menyatakan: bahwa hubungan dekat ke Timur melalui go east policy (kebijakan mengarah ke Timur) harus diperkuat lewat perdagangan, lalu lintas perbatasan darat, jaringan telekomunikasi, dan pembangkit tenaga listrik. Sementara, Cina, memiliki kepentingan terhadap akses ke gerbang yang menuju Samudra Hindia, yang menjadi lalu lintas perdagangan Cina. Tak ketinggalan Rusia, yang demi Atom Story Export (pusat riset nuklir Rusia)-nya; Zarubezhneft (perusahaan dagang enerji Rusia); Itera (penghasil gas); dan Silver Wave Sputnik Petroleum, yang sudah mengeksplorasi minyak lepas pantai bersama Petro China, berani tampil bodoh dengan tidak membela demokrasi di Burma. Namun, apakah kemudian Barat, yang diwakili oleh imperium AS, bersih dalam kasus tersebut? Tidak kah AS hanya sedang berusaha mencuci tangan, dan sedang memainkan peran bodoh dengan berlagak mendukung demokratisasi di Burma, namun melanggar demokrasi di Irak dan Venezuela? Menurut ulasan Ramzy Baroud, yang dikutip Kompas, 10 Oktober, 2007, dukungan AS terhadap Aung San Su Kyi hanyalah sekadar memelihara pijakannya di Burma jika suatu saat terjadi ketegangan dengan Cina (baca: jika suatu saat terjadi pergantian rejim/penjatuhan junta). Lebih lanjut Harian New Jersey Jewish Standard, seperti di kutip Kompas, mengatakan bahwa sulit bagi AS mengorbankan kepentingannya karena ada bisnis minyak AS di Burma. Harvard Bussiness Review menegaskannya, bahwa dukungan terhadap junta memang harus dilakukan demi cadangan gas Burma yang dikontrol rejim, yang selama ini sudah bermitra dengan raksasa minyak AS (Chevron) dan raksasa minyak Prancis (Total). Bahkan Menlu AS, Condolezza Rice, diketahui termasuk pejabat AS yang memiliki jabatan di Chevron. Sehingga tidak heran jika PBB, melalui petugas khususnya, Gambari, hanya melakukan serangkaian pertemuan tertutup dengan Junta dan seruan moral agar Junta menghentikan kekerasan. Tak ada pasukan ‘perdamaian’ PBB ke sana; tak ada embargo; apalagi misi ‘perang melawan teror’ hingga ‘pergantian rejim secara demokratik’ ala AS, seperti yang dilakukannya terhadap Irak, Afganistan, dan percobaan-percobaannya terhadap Iran, Kuba, Bolivia serta Venezuela. 14Ibid, Toopay untuk Presnas Papernas.
halaman 5 3. Krisis Politik Selain ditentukan oleh perlawanan terhadap penjajahan neoliberalisme, konfigurasi politik dunia masih ditentukan oleh dampak peristiwa 9/11, 2001. Peristiwa 9/11 adalah gerbang bagi perubahan peta politik dunia saat ini: pintu dari suatu bencana perang melawan terorisme yang tak berkesudahan; awal sebuah krisis politik yang tak mereda dan terus menajam. Hasilnya malah mengejutkan AS sendiri sebagai pencetus perang dan otak neoliberalisme: dia lah yang justru mulai didaulat sebagai musuh bersama. Paling tidak oleh negerinegeri Dunia Ketiga yang menjadi korban keganasan perang terhadap terorisme, serta korban kejahatan kebijakan neoliberalisme. Sebagian negeri di Timur Tengah mewakili yang pertama, dan sebagian lainnya di Amerika Latin mewakili yang kedua. Di AS sendiri sudah menyebar sentimen bahwa AS sudah kalah di Irak, dan mayoritas rakyat AS sekarang percaya bahwa kemenangan, dalam pengertian yang masuk akal, semakin mustahil. Serangan terhadap pasukan pendudukan masih mendekati rekor tertinggi; selain penahanan terhadap rakyat Irak, yang meningkat sebesar 50% sejak penyerbuan dimulai. Washington Post sendiri mempertimbangkan bahwa pengalaman pasukan AS ditembaki oleh rakyat Irak di Kadhimiyah, dekat Baghdad, memberi kesan kegagalan Irakisasi. Surat kabar tersebut melaporkan bahwa pasukan AS meminta pertolongan/dukungan dari pasukan Irak, namun tak satupun dari mereka merespon, padahal terdapat 2.700 pasukan Irak di tempat tersebut. Salah seorang prajurit Irak mengatakan bahwa, di Kadhimiyah, tentara Moqtada al Sadr’s, Tentara Mahdi “sekarang mengontrol Tentara dan Polisi Irak. Tidak ada yang dapat mengeksekusi perintah langsung untuk melakukan serangan dalam rangka menangkap mereka.”
Sesuai laporan dari kantor akuntabilitas pemerintah AS, pandangan Washington bahwa pembangunan suatu pemerintahan boneka AS di Irak sudah cukup kredibel, ternyata untuk berfungsi sangat minimal saja sejauh ini sudah menunjukkan tandatanda kegagalan. Parlemen Irak tak kunjung mampu meloloskan perundangan penting yang telah lama disokong/diharapkan oleh AS: undang-undang perminyakan, yang secara formal akan membuka pintu bagi korporasi Barat untuk mulai pindah ke Irak. Sudah mulai terbuka pula wacana penyingkiran pemerintahan Irak saat ini (dibawah Perdana Menteri boneka AS, Malik al Maliki). Rencana penyingkiran tersebut merupakan suatu kemunduran politik yang sangat serius bagi Gedung Putih, serta akan menjadi penilaian yang buruk terhadap elit AS. Rencana untuk menyingkirkan kekuatan politik yang masih patuh menjalankan kehendak Washington dapat beresiko meningkatkan instabilitas. Perlawanan terhadap pendudukan Irak di AS sendiri menjadi semacam rutinitas, walaupun gerakan perlawanan tersebut masih terjebak sektarianisme, di satu sisi, dan elektoralisme di sisi lain. Berbagai jajak pendapat menyatakan AS sudah gagal di Irak, dan menghendaki penarikan pasukan AS dari Irak sesegera mungkin. Film dokumenter terbaru Michael Moore, Sicko, memberikan pengertian baru bagi rakyat AS terhadap persoalan yang lebih mendasar dihadapi rakyat AS ketimbang mengirimkan tentara ke Irak, yakni: kemiskinan dan ketiadaan perlindungan sosial yang parah. Krisis utang subprime (tangan kedua) mulai menghantam sektor kelas pekerja paling lemah di AS15—walaupun belum berbuah 15Reuters melaporkan pada 21 Agustus lalu bahwa surat utang rumah yang jatuh tempo meningkat 9% di bulan Juli, dan itu 93% lebih tinggi dibanding pada bulan yang sama
radikalisasi massa yang militan, namun perkembangan gerakan hak-hak imigran, termasuk kulit hitam16, memberikan landasan untuk memupuk investasi guna memanifestasikan radikalisasi tersebut. Instabilitas lainnya rentan terjadi di negerinegeri sekutu AS lainnya di Timur Tengah seperti Saudi Arabia dan Mesir. Saudi Arabia sejauh ini tidak berhasil membangun mekanisme demokratik yang akan mampu mengatasi ketegangan di dalam kerajaan, khususnya menyangkut besarnya porsi kelas kapitalis di luar keluarga kerajaan, sementara kerajaan tetap mempertahankan posisi istimewanya menyangkut perekonomian. Rejim pemerintahan Mesir pasca Mubarrak, sebagai sekutu kunci berikutnya, mengalami krisis legitimasi yang parah, setelah tahun lalu menghadapi gelombang pemogokan yang cukup signifikan. Awal September lalu, Standard & Poor menekankan perhatiannya terhadap kemungkinan terjadinya transisi rejim emerintahan di Mesir17. Oleh sebab itu, AS berkepentingan meningkatkan bantuan militernya untuk sekutu-sekutunya di Timur Tengah sebesar $63 Milyar AS selama 10 tahun ke depan, yang akan dialokasikan untuk persenjataan, termasuk kepada Israel sebesar $3 Milyar AS setahun; janji bantuan sebesar $1,3 Milyar AS untuk militer Mesir; dan menjual senjata ke Arab Saudi dan monarki-monarki Teluk Persia lainnya seharga $20 Milyar AS (Economist, 2 Agustus, 2007). Kegagalan AS dan Israel mengusir Hamas dari Jalur Gaza merupakan kelanjutan kemunduran dominasi AS sejak tahun lalu, tahun lalu. Terdapat satu surat utang yang jatuh tempo untuk tiap 693 rumah tangga. Di Detroit, Michigan, surat utang yang jatuh tempo meningkat 70% setiap bulannya–8.683 surat utang dalam satu bulan, di kota yang hanya 871,000 jiwa. [Little Insight into US capitalism: “Karena peminjam subprime (tangan kedua) mulai bangkrut akibat surat utang yang tak terbayar dengan jumlah yang meningkat pesat, pencari nasabah kartu kredit pun meningkatkan upaya mereka untuk menarik nasabah yang sejarah keuangannya rentan, menurut suatu firma penelitian pasar”; Boston Globe, 4 September: “...penawaran kartu kredit langsung kepada nasabah tangan kedua di AS melompat hingga 41% di paruh pertama tahun ini, dibandingkan paruh pertama tahun lalu, menurut Mintel International Group.” 16Mobilisasi sekitar 20.000 rakyat kulit hitam AS dalam rangka memperingati peristiwa pemenjaraan remaja kulit hitam, beberapa waktu lalu, adalah capaian yang menggembirakan. 17Rohan Pierce, anggota Nasional Committee (NC) Democratic Socialist Perspective, dalam Laporan Situasi Politik Internasional untuk sidang NC, akhir September, 2007; Activist 08, 2007.
halaman 6 terutama pasca kemenangan Hamas dalam pemilu Palestina. Namun pekerjaan Hamas akan semakin diperberat oleh kekuatan rejim Abbas yang memecah belah rakyat Palestina, melalui serangkaian negosiasi damai dengan Israel (baca: pengakuan Israel sebagai negara) yang difasilitasi oleh AS, serta krisis kemanusiaan di Jalur Gaza. (Untuk itu, seharusnya, selain politik bersenjata, politik mobilisasi massa haruslah diletakkan lebih ke depan untuk melawan adu domba serta meraih dukungan internasional kembali.) Kemunduran lainnya juga tampak pada kegagalan AS dalam mengisolasi Iran lewat IAEA dan PBB. Menyusul, krisis yang melanda rejim Musharraf (boneka AS) di Pakistan. Peningkatan gerakan militan, tuntutan perubahan konstitusi, dan pemogokan pengacara adalah guncangan yang tak tanggung-tanggung bagi diktator militer tersebut. Perlawanan yang berhasil oleh Kuba, Venezuela dan Bolivia, diikuti setapak demi setapak oleh negeri-negeri Amerika Latin lainnya, khususnya Nikaragua dan Ekuador (dalam kadar yang berbeda dengan tiga negeri pertama), telah memberi dampak yang tidak kecil terhadap penurunan dominasi ekonomi dan politik AS di dunia. Walk-outnya delegasi Kuba pada pidato Bush dalam sidang tahunan PBB bulan Agustus lalu adalah bentuk rangkaian protes pemerintah negeri-negeri tersebut, setelah setahun sebelumnya Chavez (Venezuela) serta Morales (Bolivia) dalam pidatonya membongkar kejahatan-kejahatan AS dan korporasinya di hadapan delegasi PBB. Perkembangan menggembirakan juga akan menggemparkan industri film, khususnya Hollywood, dengan masuknya kampanye budaya anti-imperialisme AS, melalui sineas AS sendiri: Kevin Spacey dan Danny Glover. Venezuela tahun lalu sudah mengumumkan akan memberikan bantuan jutaan dollar AS bagi kampanye kebudayaan anti imperialisme (seperti produksi buku bacaan, teater dan film). Baru-baru ini pemerintah Venezuela memberikan dana yang cukup besar bagi pembangunan industri film Venezuela untuk memulai kampanye tersebut. Kevin Spacey dilibatkan dalam proyek tersebut, termasuk untuk memfilmkan sejarah perjuangan anti kolonialisme Simon Bolivar, yang membebaskan Amerika Latin. Venezuela juga mendanai proyek film sejarah perjuangan pembebasan budak di Haiti, yang akan dikerjakan oleh Glover. Proses yang semakin radikal di Venezuela meningkatkan pengaruh ke level internasional. Terdapat tiga aspek pengaruh yang dapat disimpulkan disini: satu, dorongan integrasi Amerika Latin yang
dipimpin Venezuela semakin meningkat dan nyata; dua, pembangunan blok anti imperialis internasional dan solidaritas internasional yang dipasokkan Venezuela pada negeri-negeri tertindas; dan tiga, peran Hugo Chavez serta revolusi yang, secara politik, memberikan inspirasi bagi rakyat di dunia untuk bersikap terhadap imperialisme dan neoliberalisme. ALBA (alternatif Bolivarian untuk Amerika Latin) adalah langkah kongkrit integrasi, yang disebut pada point pertama di atas. ALBA tak lagi sekadar hanya suatu gagasan dan cita-cita yang baik, ia mulai berbentuk langkah-langkah kongkrit setelah bergabungnya Bolivia, menyusul Nikaragua dan Ekuador—bahkan Iran mulai menjadi peninjau. Menurut Kantor Informasi Venezuela di Washington, sejak ALBA ditandatangani pada bulan Desember, 2004, Venezuela telah menandatangani 15 persetujuan dengan 18 negeri-negeri di Amerika Latin dan Karibia. Kuba dan Venezuela sedang mengeksplorasi pembangunan industri agrikultur yang bertujuan untuk melindungi ketahanan pangan. Pada pertemuan tingkat tinggi ALBA ke-5 di Caracas April lalu, didiskusikan mengenai pembentukan 12 “perusahaan raksasanasional” yang akan “dikelola oleh negerinegeri anggota ALBA, yang aktivitasnya akan berfokus pada penguatan sektor-sektor kunci perekonomian nasional”, termasuk “pertanian, infrastruktur, telekomunikasi, pemasok (supply) industri, dan produksi semen”. Suatu perusahaan enerji akan melingkupi “produksi, pengolahan/ penyulingan (refining), penyimpanan, transportasi, dan distribusi minyak serta gas, termasuk pembangunan enerji alternatif di seluruh kawasan tersebut”. Inisiatif ALBA lainnya termasuk pembentukan bank untuk mendanai proyek “suatu rantai pasar ALBA termasuk barang-barang dari negeri-negeri anggota” dan “program pelatihan bagi masa depan pekerja-pekerja sosial”. Suatu badan ALBA untuk pergerakan sosial bahkan sudah dibentuk. Sebelum pertemuan PresidenPresiden Dewan ALBA selanjutnya, direncanakan untuk menggelar suatu pertemuan akbar gerakan sosial untuk mendiskusikan perjuangan melawan neoliberalisme di benua tersebut. Meski sudah memperlihatkan langkah-langkah kongkrit, alternatif terhadap ‘perdagangan bebas’ tersebut masih dalam tahap embrional (cikal bakal) nya. Pertumbuhannya masih kecil dan hanya mewakili sedikit ruang lingkup perdagangan Venezuela. Pada bulan Agustus lalu, diselenggarakan pertemuan tingkat tinggi Petro Caribe, yakni sebuah contoh yang baik tentang
bagaimana model integrasi ekonomi yang dipromosikan Venezuela bekerja secara nyata melawan imperialisme dan demi meningkatkan pembangunan. Sejak dibentuk tahun pada tahun 2004, 14 negerinegeri Karibia telah menandatangani persetujuan yang memberikan kepada mereka akses terhadap minyak Venezuela dalam bentuk-bentuk yang saling menguntungkan, termasuk membiayai pembeliannya melalui kredit bunga rendah jangka panjang dan membayarnya (secara barter) dengan barang-barang dan pelayanan. Venezuela menyediakan minyak untuk mengembangkan perusahaan minyak milik negeri-negeri Karibia, dan tidak mengikutsertakan pemain korporasi multinasional dalam berbagai kesepakatan. Proyek solidaritas internasional, yang juga sedang didorong semakin kongkrit oleh Venezuela adalah Bancosur, bank rakyat selatan. Bank tersebut sejak awal pembentukannya, tahun 2004, sudah diproyeksikan untuk mengganti peran IMF—yang merampok negeri-negeri miskin lewat kebijakan neoliberalnya sebagai syarat utang. Bank tersebut akan mendanai berbagai proyek publik untuk kemajuan tenaga produktif negeri-negeri lain (Amerika Latin menjadi proyek percontohannya). Pada tanggal 12 Oktober, 2007, pertemuan di Rio De Jeneiro dihadiri oleh Venezuela, Argentina, Bolivia, Brazil, Ekuador, Paraguay, dan Uruguay, untuk merumuskan dasar-dasar pendirian bank tersebut. Rencananya bank tersebut akan dideklarasikan pada awal November mendatang. Memang terdapat kontradiksi di antara pemerintah-pemerintah pendirinya, seperti pendapat Eric Toussaint, Presiden Komite Penghapusan Utang Luar Negeri Dunia Ketiga, yang mengatakan bahwa rancangan (draft) statuta yang dipresentasikan oleh Argentina dan Venezuela mengandung banyak elemen-elemen neoliberal, dan berspekulasi bahwa rancangan tersebut ‘ditentukan’ oleh Argentina dan, secara personal, tidak mungkin disetujui oleh Chavez. Brazil dan Argentina adalah dua di antara yang memanfaatkan kelemahan imperialisme AS, serta hubungan yang menguntungkan antar berbagai kekuatan, untuk bermanuver mendapatkan kesepakatan yang lebih baik bagi kelas kapitalis lokal mereka dalam hubungannya dengan imperialisme (seperti Argentina yang memutus ikatan dengan IMF dan melawan FTAA); sementara itu, pemerintahan-pemerintahan yang berbasiskan gerakan popular tak hanya mencari kesepakatan yang lebih baik saja, namun lebih pada tujuan untuk membebasakan diri dari imperialisme,
halaman 7 menghendaki revolusi berbasiskan mobilisasi rakyat tertindas untuk mengambil alih kekuasaan, seperti Kuba, Venezuela, Bolivia, dan sangat mungkin Ekuador. Baru-baru ini, Venezuela menyodorkan gagasan untuk memperluas sebagian proyek persatuan Amerika Latin-nya dengan Afrika. Pada bulan Juli diselenggarakan suatu pertemuan persiapan pertama bagi para koordinator pertemuan tingkat tinggi Amerika Selatan-Afrika yang ke-2. Pertemuan tersebut rencananya akan diselenggarakan di Venezuela, November, 2008. Sementara Bolivia, sebagai sekutu utama Venezuela, sedang menghadapi fase yang sangat berbahaya. Proses perubahan konstitusi masih mandeg akibat manuver dan berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh sayap kanan. Terjadi serangkaian mobilisasi kekerasan oleh sayap kanan; di sisi lain sektor-sektor sosial utama yang mendukung Morales dan pergerakan kaum pribumi, yang tak berhenti membantu, memulai melakukan kontra-mobilisasi terhadap sayap kanan; konferensi nasional kaum pribumi Bolivia baru-baru ini adalah salah satu bentuk konsolidasi untuk menggelar kontra-mobilisasi tersebut. Venezuela sendiri saat ini sedang menghadapi tiga persoalan besar dalam revolusinya: pertama, pembangunan instrumen politik bagi penuntasan revolusi (pesoalan Partai Persatuan Sosialis Venezuela-PSUV, yang akan dijadian alat tumpuan revolusi); kedua, perjuangan untuk reformasi konstitusional, yang akan melapangkan jalan bagi sosialisme; ketiga, perjuangan untuk membangun kekuatan rakyat. Perdebatan seputar pembentukan PSUV dan reformasi konstitusional mulai membuka kontradiksi di dalam kubu Chavista sendiri. Sekarang kita akan tinjau perlawanan terhadap neoliberalisme di negeri-negeri kapitalis maju, dengan mengambil contoh Prancis. Mengapa Prancis? Karena sejarah liberalisme politik dimulai di Prancis lewat Revousi Prancis; negeri kapitalis maju ini tak pernah sepi dari perlawanan; dengan posisi kelas pekerja yang kuat (meski dalam beberapa hal masih terkooptasi oleh aristokrasi serikat buruh dan politik reformis ala sosial liberal/keynesianisme); dan politisasi kaum imigran yang cukup cepat. Dalam film dokumenter Sicko, Moore memperlihatkan bahwa bertahannya— walaupun untuk meningkat di masa yang akan datang masih sangat sulit—jaminan sosial dan pelayanan publik (seperti mendapatkan pelayanan kesehatan gratis yang berkualitas di Prancis) amat sangat
ditentukan oleh mobilisasi rakyat dalam mempertahankannya. “Tanpa demonstrasi, rakyat Prancis tak mungkin mendapatkan pelayanan kesehatan gratis semacam itu hingga pelayanan-pelayanan sosial lainnya, yang harus terus difasilitasi negara18,” demikian peryataan salah seorang responden Moore dalam film tersebut. Baru-baru ini, setelah setahun sebelumnya terjadi rangkaian pemogokan massal yang menghidupkan jalan-jalan berbagai kota untuk menolak UU wajib kerja, Prancis kembali diguncang pemogokan buruh transportasi, khususnya kereta api, yang menolak perpanjangan usia pensiun yang ditetapkan oleh pemerintahan baru pimpinan Sarkozy. Perlawanan terhadap setiap jenis penurunan perlindungan sosial (wujud degradasi Keynesianisme), yang selama ini diterima rakyat, paling gencar terjadi di negeri tersebut. Rencana perpanjangan usia pensiun adalah bentuk kegagalan pemerintah Sarkozy meluaskan lapangan pekerjaan (semakin sedikit orang yang bekerja), sehingga semakin banyak pekerja calon pensiunan yang harus ditanggung oleh pajak—diambil dari pemotongan pendapatan untuk jaminan hari tua. Itulah bukti paling kongkrit kegagalan Keynesianisme mempertahankan derajat kesejahteraan rakyat tanpa menghisap tenaga kerja rakyat dan melucuti hak-hak yang sebelumnya sempat diterimanya. Sementara itu di Asia, pergerakan juga tidak berhenti, walaupun secara umum perkembangan politiknya masih lambat, dan gerakan kiri tidak cukup berkembang. Thailand, pasca mobilisasi besar rakyat menurunkan Thaksin, kini dihadapkan pada tantangan politik menuntut demokratisasi dari tangan tentara. Upaya-upaya rejim militer menggunakan kekuatan senjata untuk memobilisasi rakyat ke TPS—untuk memilih konstitusi baru—adalah arena perjuangan berikutnya yang cukup sulit di tengah fragmentasi kekuatan gerakan pasca tergulingnya Thaksin. Di Nepal, perjuangan rakyat terus berkembang dengan meningkatnya tuntutan yang kini dimenangkan dalam kekuasaan. Konstitusi baru yang memangkas habis kekuasaan monarki adalah lapangan perjuangan yang kini dikonsentrasikan oleh CPN-Maois. Penyerahan sebagian senjata adalah salah satu upaya kompromi yang dilakukan di dalam front untuk memenangkan syarat penghapusan monarki 18Sampai-sampai Negara memberikan pelayanan cuci pakaian gratis bagi setiap rumah tangga pekerja yang tidak sempat mencuci pakaiannya, dengan mendatangi rumah-rumah penduduk.
tersebut. Ketika proses tersebut berjalan lambat, CPN-M kembali memobilisasi perang rakyat di beberapa tempat, hingga mengancam untuk keluar dari parlemen (CPN-M termasuk mayoritas di parlemen) apabila konstitusi yang memasukkan pasal penghapusan monarki tidak dimenangkan. Krisis legitimasi terhadap pemerintahan Arroyo, di Filipina, terus berlanjut. Dipicu oleh kasus kecurangan suara dalam pemilu, yang sepanjang tahun lalu memanen mobilisasi besar, krisis politik kini membuka kasus korupsi dan penyuapan yang dilakukan Arroyo. Walau politisasi mobilisasi belum mampu menjatuhkan Arroyo, namun front persatuan Laban Ng Masa hingga saat ini masih bertahan—belum cukup informasi sejauh mana ia berkembang. Di dalam salah satu lokakarya (workshop), pada acara Latin America Asia Pasific Internasional Solidarity Confrence (LAAPISC) di Sidney baru-baru ini, Ric Rayes, seorang aktivis dari Laban Ng Masa, dalam merespon pertanyaan menyangkut bagaimana sikap kaum kiri Filipina menanggapi kekecewaan terhadap pemerintahan kapitalis, menyatakan bahwa: kaum muda Filipina terlalu memberikan peluang bagi para politisi korup. Mereka melakukan banyak kesepakatan dan aliansi dengan siapapun, dan kadang kaum kiri melakukan kesalahan serupa. Situasi tersebut hanya dapat diatasi dengan berkonsentrasi dan berupaya maksimal untuk tampil bersih. Menolak segala yang berhubungan dengan politik tradisional—politik uang, dan lain sebagainya. Terdapat kecenderungan bahwa taktik-taktik kaum kiri serupa dengan politik tradisional. Situasi tersebut tampaknya serupa pula dengan yang sedang dialami oleh para aktivis di Indonesia.
4. Perkembangan Politik Alternatif Seluruh situasi ekonomi politik dunia saat ini memberikan basis bagi politik alternatif. Karena itu membutuhkan kesimpulan situasi objektif dan strategi-taktik yang tepat di dalam negeri masing-masing. Secara umum, kecenderungan dan spektrum politik alternatif tidak begitu banyak berbeda. Namun beberapa perkembangan pentingnya, yang terkait dengan strategitaktik perjuangan di dalam negeri, yang meliputi isu-isu seperti politik front persatuan; pembangunan partai dan gerakan; sikap terhadap pemilu; dan pemerintahan koalisi kiri-tengah, akan diangkat secara ringkas disini (selain akan dibedah secara khusus pada kesempatan lain). Persoalan besar yang sedang dihadapi oleh partai kiri revolusioner, di tengah peluang politik alternatif yang terbuka saat ini,
halaman 8 hampir sama di manapun di dunia: bagaimana membangun partai dan membesarkan gerakan untuk merebut kekuasaan. Persoalan tersebut kemudian membawa pada perdebatan yang mendalam seputar strategi-taktik politik dan organisasi seperti apa yang tepat digunakan untuk merespon situasi tersebut. Perpecahan yang sedang terjadi di dalam PRD dan PAPERNAS sekarang merupakan cermin dari respon terhadap situasi tersebut, yang cepat atau lambat, dengan berbagai stimulus, pasti akan terjadi. Namun mayoritas di dalam partai ternyata lebih berani bodoh untuk menstimulus pembelahan PRD dengan sangat kasar dan anti demokrasi, demi mengamankan metode politik oportunis mereka. Broad left party (partai kiri-luas-BLP), adalah taktik pembangunan partai yang belakangan ini ramai menjadi bahan diskusi, perdebatan, dan analisa oleh partai-partai serta kelompok-kelompok kiri, utamanya di Eropa dan yang berafiliasi dengan internasionale ke-4 (Fourth Internasional-FI). Diluar FI, Democratic Socialist Perspective-Australia (DSP-Australia), sejak 3 tahun belakangan ini menghadapi perdebatan serupa. BLP menekankan taktik pembangunan partai melalui pembentukan partai persatuan kiri-luas yang baru, berbasiskan penyatuan o r ga n i s a s i - o r ga n i s a s i / p a r t a i - p a r t a i anti liberalisme atau kapitalisme yang hijau, demokratik, hingga revolusioner, termasuk aktivis-aktivis individual yang non afiliasi, dengan paltform perjuangan yang lebih rendah/transisional (sesuai kadar penerimaan anggota-anggota front). Politik semacam itu, di Eropa, diuji melalui intervensi peluang-peluang elektoral (sebagai partai politik persatuan). BLP sendiri merupakan produk dari situasi objektif yang, secara umum, menurut Francois Sabado—pimpinan Liga Komunis Revolusioner Prancis-LCR dan FI—adalah respon terhadap serangan neoliberalisme di Eropa, yang semakin brutal; tensi sosial dan politik yang meningkat akibat brutalitas tersebut; yang berkonsekwensi terhadap munculnya krisis politik perwakilan— terlihat dari tingginya angka golput; atau ditandai dengan meningkatnya kekecewaan terhadap partai-partai politik tradisional dan reformis, utamanya Partai Buruh. Partai sosialis Skotlandia (SSP), RESPECTInggris (sebelumnya Socialist Alliance), Left Bloc-Portugal, Die Linke-PDS-Jerman, adalah sebagian contoh partai persatuan kiri19 yang melakukan strategi-taktik politik 19Kiri dalam perspektif internasional lebih sering dianggap sebagai segala bentuk inisitatif, gerakan dan organisasi yang melawan neoliberalisme—dengan cara reformis maupun revolusioner. Untuk
semacam itu, dengan tipe yang berbedabeda satu sama lainnya. Terhadap taktik BLP ini, François Vercammen, anggota biro eksekutif FI, pada bulan Desember, 2004, berpendapat dalam International Viewpoint: “ ... di sisi lain, hubungan partai politik/gerakan sosial dipengaruhi oleh kekuatan ‘pergerakan’, mobilisasi, dan potensi politiknya—walau sangat tidak sama antara satu negeri ke negeri lainnya di Eropa. Salah satu aspek dari hal tersebut, dan bukan satu-satunya, adalah memenangkan kembali ruang politik oleh generasi baru. Namun, ruang tersebut cenderung merendahkan partai politik hanya pada fungsinya yang paling dasar: menawarkan deretan calon dalam pemilu. Aktivis-aktivis ‘gerakan’ menganggap dirinya sebagai suatu ‘entitas politik’ (subyek politik) yang belum siap untuk mendelegasikan suara dan pendapat mereka dalam rangka mendirikan partai politik. Demikian pula ‘partai revolusioner’, atau paling tidak lingkaran dari partai semacam itu, yang sering kali sangat kecil dan sektarian. Untuk membangun suatu ‘partai’ anti kapitalis yang pluralis, yang dapat bergerak mengatasi situasi ‘subjektif ’ yang baru ini, membutuhkan sebuah pendekatan yang baru pula.
revolusioner kepada tujuan membangun partai persatuan kiri-luas yang baru. Konsentrasi dikehendaki karena partai persatuan kiri yang luas itulah yang rencananya akan dibangun sejak sekarang. Soal konsentrasi itulah yang dua tahun lalu memunculkan faksi LPF (faksi partai Leninis) di dalam DSP, yang tidak setuju partai dikonsentrasikan pada pembangunan Socialist Alliance (SA). Ketidaksetujuan tersebut utamanya disebabkan karena tidak terdapat situasi objektif yang mendukung untuk menerapkan taktik partai persatuan ala SA saat ini (baca: SA tidak mencerminkan partai persatuan, hanya DSP yang berganti nama). Terakhir, LPF mulai menegaskan bahwa melanjutkan politik tersebut (dengan SA sebagai alat utamanya) sesungguhnya bermakna melikuidasi partai revolusioner (DSP).
Pengalaman PRC (Party Refoundation Communista-Italy) sangatlah menarik: sebuah partai yang memposisikan dirinya setara dengan gerakan sosial, tanpa mencari-cari hegemoni atau memanipulasinya. Aktivitasnya dalam Europe Sosial Forum, dan dalam demonstrasi satu juta massa, adalah salah satu contohnya. Beberapa pengalaman pembangunan BLP menghendaki pemindahan konsentrasi kekuatan dan sumber daya partai kiri-
FI sendiri sepertinya belum memiliki pakem tertentu terhadap taktik tersebut, kecuali bahwa pembangunan BLP adalah kebutuhan mendesak. Perdebatan masih terbuka apakah BLP mutlak dilakukan dalam berbagai situasi, atau disesuaikan dengan situasi masing-masing negeri, atau hanya sekedar wacana untuk memperkaya taktik perjuangan. Masih terdapat perbedaan dalam memandang model BLP yang harus dibangun, apakah diperlakukan sebagai partai elektoral semata? Atau diproyeksikan sebagai partai massa revolusioner yang harus dibangun sejak sekarang? Atau hanya aliansi untuk berkampanye? Termasuk di dalamnya perdebatan mengenai siapa yang harus membangunnya. Apakah kelompok yang anti kapitalis semata? Atau yang anti neoliberalisme namun belum/tidak anti kapitalisme?
memperlihatkan perbedaannya, sebutan kiri ditambahkan dengan ‘revolusioner’, ‘tengah’, ‘radikal’, ‘sosial demokrasi’ atau ‘sosial liberal’. Secara garis besar penggolongan tersebut menjadi kiri-anti kapitalis (yang membangun alternatif dengan melawan neoliberalisme dan kapitalisme), dan kirisosial liberal (yang melawan neoliberalisme tanpa melawan kapitalisme).
Yang pasti, Liga Komunis Revolusioner (LCR) Prancis menerapkan taktik tersebut dalam konteks yang berbeda. Dalam pemilu Prancis beberapa waktu lalu, LCR tidak beraliansi/berafiliasi dengan partai politik manapun, termasuk tidak mendukung calon Presiden satu-satunya dari ‘kubu kiri-partai sosialis’ (Segolene Royale—
halaman 9 yang anti liberalisme ekonomi tapi tidak anti kapitalisme), yang lolos pada putaran pemilu kedua. Hasilnya, suara untuk capres LCR, Olivier Besancenot, malah meningkat hingga 4% dibandingkan pemilu sebelumnya. Baru-baru ini LCR mengeluarkan resolusi yang mengajak seluruh elemen anti kapitalis—tak termasuk partai sosialis dan partai komunis Prancis, karena keduanya tidak anti kapitalis—untuk bersatu dalam proyek pembangunan sebuah partai anti kapitalis baru dengan platform menjatuhkan pemerintahan Sarkozy20. Taktik tersebut mungkin bersesuaian dengan pendapat Sabado, yakni: poros dari partai kiri baru tersebut kemungkinan adalah di luar dari organisasi-organisasi tradisional. Basis sosial dan politiknya akan mengandalkan pada generasi-generasi, pengalaman perjuangan, dan gerakan sosial baru. Ia akan menarik benang merah dari sejarah revolusionernya untuk menggambarkan kebijakan revolusioner di abad 21. Namun partai baru ini tidak akan terbentuk oleh dekrit. Ia harus merupakan hasil dari keseluruhan proses dari pengalaman politik yang ditandai oleh berbagai peristiwa atau penyatuan kekuatan-kekuatan yang signifikan yang menjadi landasan bagi reorganisasi gerakan kelas pekerja dan sebuah partai baru. Ia melanjutkan, bahwa signifikansi suatu partai politik yang baru adalah membangun sebuah strategi mediasi antara organisasi revolusioner yang ada saat ini dan pembangunan suatu partai massa revolusioner, yang tak terpisahkan dengan kemenangan kekuasaan revolusioner oleh kelas pekerja. Jika syarat-syarat untuk terjadinya suatu transformasi dari organisasi revolusioner tidak tersedia; jika bentuk kekuatan baru itu tidak lebih signifikan dari organisasi revolusionernya; dan kita tetap mempercepat irama serta modalitas pembangunan partai semacam itu, maka kita sudah kehilangan substansi—program, sejarah dan pengalaman revolusioner—tanpa mendapatkan perbesaran politik dan organisasi. 20Mereka menyatakan: “Tujuan kami bukanlah menyusun kekuatan penekan terhadap Partai Sosialis untuk mendorongnya “lebih ke kiri”. Tujuan kami memenangkan dukungan para aktivis sosialis dan komunis yang militan demi suatu perspektif yang independen. Dari sudut pandang ini, kesuksesan kampanye Olivier Besancenot merupakan poin yang menentukan untuk menciptakan syaratsyarat kemajuan bagi pembentukan partai baru tersebut. Fokus kampanye Olivier telah membentuk kerangka (skeleton) bagi program kekuatan baru tersebut: persoalanpersoalan sosial dan demokrasi dalam berbagai dimensi, seperti hak-hak kaum muda, feminis, ekologis, perlawanan terhadap logika kapitalis, pemilihan majelis rakyat, kontrol rakyat, kekuasaan untuk majelis/ dewan yang dipilih di komunitas dan tempat kerja.
Persoalan kemudian berkembang ketika taktik semacam itu dianggap sebagai SUATU FASE YANG HARUS DILEWATI/DILAKUKAN untuk melahirkan partai revolusioner. Setidaknya sebagian angota pimpinan mayoritas DSP, yang mengembangkan tesis itu, sudah bersetuju. Sedangkan yang minoritas (LPF) mengangap bahwa front persatuan hanyalah SALAH SATU TAKTIK perbesaran partai yang dapat dilakukan dalam beragam situasi, ia adalah salah satu saja dari seni pembesaran gerakan dan partai, yang tak akan habis-habisnya digunakan oleh partai revolusioner sebelum hingga sesudah revolusi sekalipun. Lalu bagaimana taktik BLP ini disikapi? Siapa yang harus dilibatkan? Bagaimana seharusnya sikap terhadap pemerintahan kiri-tengah? Model BLP ala SSP berbeda dengan RESPECT, demikian halnya sikap terhadap pemerintahan kiri-tengah ala PRCItalia dan LCR. PRC ‘mendukung dengan kritis’ (terlibat dalam) pemerintahan koalisi kiri-tengah Prodi. Sementara LCR bahkan tidak sudi mendukung calon Presiden dari Partai Sosialis yang kiri-tengah (padahal partai Sosialis begitu aktif dan terbuka mengajak berbagai kekuatan politik kiri untuk mendukungnya menjelang pemilu lalu)21. Terakhir model BLP ala SSP dan RESPECT mulai mengalami krisis dan kemunduran. Menurut ISM, tendensi di dalam SSP, kemunduran tersebut utamanya terletak pada penurunan (bahkan tidak adanya) program pendidikan dan kaderisasi Marxis yang terstruktur di dalam SSP. Sepertinya keseluruhan debat tersebut pada akhirnya harus dapat menyimpulkan bagaimana posisi partai pelopor Marxis-Leninis harus kita letakkan dalam beragam taktik untuk merespon perkembangan situasi objektif. 21Menurut Murray Smith, salah seorang pimpinan FI, pandangan partai sosialis Prancis, yang ‘bersetuju’ pada gagasan “kiri-plural”, tak hanya untuk kepentingan menambah suara di parlemen, namun sekaligus menutupi dan menjebak kekuatan kiri lainnya ke dalam kebijakannya, sehingga mencegah mereka tampil sebagai alternatif. Situasi tersebut juga mengancam PRC-Italia ketika berkoalisi dengan kiri-tengah. Dalam dokumen lain digambarkan bahwa diskusi di antara kaum kiri radikal sedang berkembang di seputar apakah proyek pembangunan (kembali) gerakan (buruh) yang konsisten, serta pembangunan kekuatan kiri yang anti neoliberal atau anti kapitalis, dapat atau tidak dapat dilakukan dengan aliansi atau dukungan perlementer, atau dengan berpartisipasi dalam koalisi bersama pemerintahan sosialliberal atau kiri tengah. Perdebatan tersebut telah berbuah perpecahan kaum kiri di Italia dan Brazil. Persoalan ini juga merupakan basis perbedaan di antara kaum kiri antineoliberal ketika pemilihan Presiden Prancis.
Pengalaman LPP (partai buruh Pakistan)22 membentuk aliansi sosialis untuk merespon pemilu tahun 2007 di Pakistan, dilandasi oleh situasi ketika tidak ada satu kekuatan politikpun yang maju dalam pemilu akan mendapatkan dukungan mayoritas, kecuali jika kelompok religius fundamentalis ikut bertarung dalam pemilu. Untuk kepentingan tersebut, rejim diktator Musharraf secara de-fakto melakukan aliansi dengan partaipartai relijius fundamentalis tersebut. Sementara itu, krisis ekonomi terus berlanjut akibat resep-resep neoliberal IMF dan Bank Dunia. Merespon situasi tersebut, LPP memandang perlu untuk menggagas persatuan kekuatan kiri untuk maju menjadi alternatif partai elektoral yang independen dalam pemilu, melawan partai-partai orang kaya dan partai-partai religius fanatik. Persatuan tersebut kemudian terbentuk, berkat inisiatif enam kekuatan politik progressif: partai pekerja nasional (NWP), yang memiliki program-program pro sosialis dan terlibat dalam beberapa aliansi anti neoliberalisme; LPP sendiri; pergerakan rakyat (AT), yang merupakan partai nasionalis radikal (dengan anggota paling banyak dibandingkan anggota aliansi lainnya); PMKP, bekas partai Maois yang masih memiliki basis tani yang cukup signifikan di beberapa tempat; MMKG yang dipimpin oleh aktivis-aktivis kiri dengan track record yang cukup bersih; dan front buruh (PMM), yang berbasis di Karachi serta banyak mengorganisir buruh. Keenam kelompok tersebut membentuk Pergerakan Rakyat Demokratik (AJT), yang telah mengumumkan kampanye melawan peningkatan militerisasi, cengkeraman imperialisme, dan fundamentalisme religius di Pakistan. Platformnya bahkan meliputi program-program anti imperialis, anti kapitalis, dan anti feodalisme, serta pembebasan perempuan dan kaum minoritas dari segala diskriminasi. Dalam tahap awal pembentukannya, AJT masih merupakan forum aktivitas bersama dan belum berbentuk alinsi. “Kami harus memberikan ruang bagi kelompok-kelompok yang ada untuk bekerja bersama dalam berbagai aktivitas dan melihat kemungkinannya ke depan, termasuk melibatkan lebih banyak kelompok kiri ke dalamnya. Selutuh partai di dalam AJT akan bekerja secara independen sekaligus bersamasama sebagai AJT”, demikian menurut pimpinan LPP, Farooq Tariq Pengalaman Partai Sosialis Malaysia (PSM), dalam memperjuangkan legalitas partainya, harus kita tiru. Status PSM saat ini sama dengan PRD ataupun PAPERNAS—negara tidak membiarkan partai-partai ini berdiri; dan mobilisasi 22LPP adalah anggota Fourth Internasional.
halaman 10 rakyat pendukungnya belum cukup kuat untuk mendobrak hambatan tersebut. Tapi berbeda dengan PAPERNAS, PSM matimatian memperjuangkan partainya agar diakui secara hukum sebagai partai politik dengan berbagai upaya yang sangat militan: baik di jalan-jalan maupun di ruang-ruang pengadilan. Sempat dalam pemilu beberapa waktu lalu PSM melakukan aliansi taktis dengan PKR (Partai Kedaulatan RakyatAnwar Ibrahim), dengan di dasarkan pada pertimbangan bahwa PKR adalah partai oposisi pemerintah. Namun aliansi tersebut tidak selangkahpun menyurutkan PSM dari upayanya memperjuangkan pendirian dan legalitas partainya sendiri sebagai satusatunya alternatif bagi masa depan rakyat Malaysia. Guna merespon oportunisme kaum mayoritas PRD—yang menganggap bahwa bergabung dengan PBR membuka peluang untuk merebut struktur, dan memperbaiki citra atau merubah PBR menjadi partai ‘progressif ’ (ada-ada saja!), atau bahkan merubah Indonesia menjadi mandiri melalui PBR di parlemen—ada baiknya kita berangkat ke Afrika Selatan, untuk memeriksa apa yang terjadi dengan Partai Komunis Afrika Selatan (SACP) dan serikat buruh Afrika Selatan (COSATU), yang menerapkan taktik “merubah dari dalam” ketika beraliansi—bahkan bukan melebur/ merger seperti rencana PAPERNAS merger kepada PBR)—dengan Kongres Nasional Afrika (ANC) untuk membentuk pemerintahan bersama. Dale Y McKinley23 mengulas keputusan Rapat Kerja ANC dan Kongres ke-12 SACP bulan Juni, 2007. “… selama 15 tahun, SACP dan Cosatu telah menipu: dengan berkutat pada strategi dan pilihan politik yang sama. Pilihan pertama adalah menjadi partner junior dalam sebuah aliansi yang tak akan pernah mereka kuasai/ kontrol (namun boleh jadi bisa menempati posisi-posisi kunci); melakukan politik ‘dukungan kritis’ terhadap (dan menuntut) implementasi kebijakan-kebijakan yang lebih pro rakyat miskin/pro intervensi negara; terlibat dalam kampanye-kampanye momentual yang ditujukan untuk memperlihatkan bahwa kelas pekerja masih merupakan kekuatan yang dapat diandalkan; sementara, secara bersamaan, terus menjadi bagian dalam mesin elektoral ANC dan berpartisipasi dalam pemerintahan (yang dijalankan oleh ANC melalui berbagai mekanisme kelembagaannya). 23Seorang aktivis forum anti-privatisasi/ gerakan sosial Indaba, yang pada akhir 1990’an merupakan kader full-time dan pimpinan SACP tingkat provinsi, sebelum disingkirkan oleh Komite Sentral pada tahun 2000.
Pilihan kedua: kembali ke landasan politik pengorganisasian dan mobilisasi kaum miskin serta kelas pekerja (yang harus secara nyata berbentuk aliansi praktis bersama organisasiorganisasi komunitas dan gerakan sosial) berdasarkan pada program tuntutan radikal untuk meredistribusi kepemilikan dan kekayaan, yang akan menjadi sebuah basis organisasional dan politik, baik untuk merubah kebijakan pemerintah/ANC—bukan melalui politiking/ bargain ‘orang dalam’, namun melalui mobilisasi massa dan perjuangan kelas— maupun membangun kembali kekuatan basis organisasional dan politik kiri yang sejati, untuk mengubah hubungan kekuasaan di dalam masyarakat Afrika Selatan (sesuatu yang tak semata-mata bergantung pada pemilu, dan maju sebagai kekuatan elektoral yang terpisah dari ANC).
aliansi (berapa kali strukturisasi tersebut bisa dilakukan?) akan membuat anggota/pengambil keputusan SACP/Cosatu menjadi lebih setara dengan ANC?
…Namun persoalannya adalah… pilihan kedua tak pernah sungguh-sungguh masuk dalam agenda. Sehingga hasilnya, mereka terus bermain dalam permainan politik aliansi.
…Sangat disayangkan, karena jawabannya adalah: mereka tidak ada disana. Tekanan dalam kongres hanya terkait dengan mobilisasi dan dukungan perjuangan komunitas serta gerakan sosial ini… tak lebih dari sekadar ‘angin panas’, akibat berlanjutnya politik pemasungan aliansi kiri (untuk alasan-alasan yang sudah dikemukakan di atas).
…Hasil yang sangat disayangkan, namun sudah dapat diramalkan: kerja-kerja politik praktis SACP dan Cosatu, selama beberapa tahun belakangan ini, telah terikat langsung dengan apa yang sedang terjadi di dalam aliansi ANC, suatu hubungan proporsional dalam rangka mengintensifkan perjuangan untuk posisi dan kekuasaan personal. Hal tersebut merupakan wujud logis dari suatu pendekatan/politik semacam itu, dan dengan efektif telah membuat loyo kemampuan SACP/ Cosatu dalam mengorganisir dan memobilisir sektor kaum miskin dan kelas pekerja dalam praktek (politik) yang sejati, padahal program dan kritikan mereka sebenarnya diuji dalam perjuangan nyata yang terjadi di lapangan pertarungan demokratik untuk mendirikan kekuasaan rakyat. …Di dalam ketiadaan pilihan lain yang dapat dipertimbangkan, apa yang terus menerus kita saksikan adalah pengulangan mantra yang sama—bahwa kaum kiri di dalam aliansi harus ‘mengelola/mengatur/mengotak-atik’ hubungannya dengan ANC, dan sekarang justru semakin erat mengelola implementasi dari ‘agenda-agenda pembangunan’ (pemerintahan ANC). Sekretaris Jenderal Cosatu, Zwlenzima Vavi, sekali lagi menegaskan hal tersebut dengan pernyataannya dalam kongres SACP: bahwa persoalan sebenarnya adalah “aliansi tersebut tidak mendorong transformasi secara bersamasama, yang menghasilkan pembedaan loyalitas”. Kemudian Vavi mengatakan bahwa Cosatu “telah menyerukan restrukturisasi aliansi sehingga tidak ada satupun komponen atau individu di dalam aliansi yang lebih menentukan strategi dan pengaturan”. Seakan-akan jika sesuatu dinyatakan dengan berulang-ulang maka orang (dalam hal ini para peserta kongres SACP/ Cosatu) akan percaya. Apakah Vavi atau yang lainnya… percaya bahwa ‘restrukturisasi’
…Apa yang tanpa sengaja terbongkar di dalam kongres SACP adalah, bahwa, ternyata, sangat sedikit upaya yang sudah dilakukan oleh mereka untuk merespon suara-suara rakyat. Sehingga syah lah pertanyaan: kemana saja SACP dan Cosatu selama ini, ketika ratusan protes warga/komunitas melancarkan tuntutan seputar pelayanan-pelayanan pokok; represi/penghancuran yang dilakukan negara terhadap aktivis-aktivis/komunitas tersebut?; dan terjadinya upaya untuk mempengaruhi mekanisme penyampaian suara dan politik pada pemerintahan lokal yang, sebenarnya, akan dibuat lebih partisipatif oleh rakyat?
…Ini merupakan alasan utama mengapa SACP/Cosatu menganggap gerakan sosial menjadi ‘masalah’ (bukan meletakkannya sebagai sekutu kiri untuk membangun pergerakan politik—yang bisa dilaksanakan di lapangan dan yang merakyat/membasis—dalam rangka perlawanan langsung terhadap kapitalisme pemerintah/ANC). Walaupun bagi mereka tidak menjadi ‘masalah’ menghujat pimpinanpimpinan tertentu ANC dan ‘kekuatan kelas’nya (hujatan dan kemarahan yang bahkan tak pernah dilakukan oleh gerakan sosial) namun, yang menjadi ‘masalah’, adalah ketika gerakan sosial membongkar alasan-alasan politik, ideologis, dan organisasional yang sesungguhnya dibalik meningkatnya kemarahan, dan oposisi praktis, terhadap ANC dan kebijakan yang mereka jalankan... Semua itu memang disebabkan karena SACP dan Cosatu menolak untuk memutus ikatannya dengan ANC, sehingga mereka harus mengadopsi politik/posisi yang seluruhnya kontradiktif—begitu kontradiktifnya sehingga, dalam perjuangannya, mereka lebih cocok untuk diterima dan memiliki hubungan yang lebih dekat dengan para kapitalis dan liberal, ketimbang rakyat miskin. Baru-baru ini, mobilisasi rakyat menolak IMF, yang berbuah kerusuhan, terjadi di Afrika Selatan—terkait kebijakan neoliberal yang melambungkan harga-harga kebutuhan pokok. Tidak ada satupun contoh empirik di dunia ini, di mana partai kiri berhasil memenangkan kekuasaan rakyat, atau paling tidak memenangkan tuntutan ekonomi
halaman 11
rakyat jangka panjang, dengan taktik hanya ‘merubah dari dalam’. Seluruh taktik yang demikian justru memakan korban sang partai kiri itu sendiri—perpecahan, kehilangan anggota-anggota militan, terkooptasi dan berubah menjadi kanan. Pengalaman PRC-Italia adalah yang paling terkini: ketika mereka harus berhadapan dengan perpecahan, akibat kecenderungan menghentikan politik mobilisasi massa melawan kebijakan Prodi (yang ternyata tidak konsisten menarik pasukan Italia dari Irak). PRC dianggap mulai terkooptasi (terikat tangan dan kakinya) dengan tetap bertahan di dalam pemerintahan Prodi yang sudah melanggar janji utamanya. Kini elemen-elemen militan dari PRC menyerukan diadakannya suatu kongres luar biasa agar memungkinkan terjadinya perdebatan dan konfrontasi ide/gagasan yang luas dan transparan. Bahkan mereka telah menyiapkan proposal jalan keluar dari krisis yang dihadapi oleh kaum kiri, sebagai proyek alternatif “membangun kembali sosialis”. Mereka mendukung pendekatan persatuan yang mampu membangun mobilisasi yang paling luas di atas landasan situasi objektif yang tersedia. Namun, berlandaskan pengalaman baru-baru ini—yakni mobilisasi menuntut penarikan pasukan Italia dari Irak pada tanggal 6 dan tanggal 16 Juni, 2007; termasuk serangkaian perlawanan di tingkat lokal (untuk mempertahankan pelayanan kesehatan dan lingkungan)—mereka yakin bahwa pembangunan kesepakatan untuk kerja-kerja bersama di tingkat lokal dan nasional (di seputar tujuan-tujuan spesifik dan dalam kerangka oposisi terhadap pemerintahan Prodi), harus menjadi suatu kerja prioritas saat ini. Di Jerman, Internasional Socialist Left—satu di antara dua organisasi FI di Jerman—mendukung lingkaran-lingkaran radikal yang berada di luar partai Die Linke PDS, seperti BAS di Berlin [yang melawan WASG (Berlin) dan PDS]. Mereka tak setuju dengan strategi Die Linke berkooperasi dengan pemerintah Merkel (di daerah/ negara bagian); menyerukan untuk melawan
opini mayoritas pimpinan nasional; tidak berpartisipasi dalam Die Linke; dan terus berjuang melawan kebijakan kooperatif. Mereka menyerukan pertemuan berbagai aliran dan individual yang konsisten berkesadaran anti-kapitalis “baik di dalam maupun di luar” partai baru tersebut pada tanggal 14 Oktober, 2007, di Berlin24. Pertemuan tersebut akan mendiskusikan posisi fusi, sekaligus tentang aktivitas bersama fusi tersebut pada tingkat kerjakerja ekstra-parlementer, pendidikan, dan koordinasi yang ketat antara kekuatan individual di Jerman yang bersepakat terhadap penggantian sistem kapitalis dengan ekonomi yang berlandaskan solidaritas: sosialis demokratik. Di Prancis, LCR menyatakan bahwa kemenangan elektoral tidak secara otomatis merupakan kemenangan sosial/popular. Untuk meraih kemenangan popular dibutuhkan mobilisasi dengan ukuran tertentu dan kesatuan dari seluruh kekuatan sosial dan politik kiri di negeri tersebut. Kehendak tersebut hanya mungkin terjadi bila bertumpu pada kekuatan perlawanan gerakan dalam menentang politik tradisional.
Penutup: Apa yang Harus Kita Selesaikan? Dalam hal pekerjaan solidaritas internasional, beberapa pekerjaan yang harus kita tekankan adalah: pekerjaan pembangunan kelompok-kelompok/ aliansi-aliansi/studi-studi solidaritas untuk Venezuela-Amerika Latin, dengan memprioritaskan pekerjaan pada kampuskampus di kota/wilayah di mana kita ada. Tujuan pokoknya ada dua: (1) rekruitmen mahasiswa di kampus-kampus tersebut, dan (2) perluasan kampanye alternatif dalam melawan neoliberalisme di lingkungan kampus dan politik nasional hingga mampu menstimulus perdebatan strategi-taktik 24Belum diketahui bagaimana perkembangannya sejauh ini.
alternatif di kalangan gerakan. Pekerjaan lainnya yang aku anggap penting adalah mendesak elemen-elemen progresif, utamanya di Malaysia, untuk melakukan kampanye pembelaan terhadap kaum buruh migran yang diperlakukan sewenangwenang oleh pemerintahan Malaysia. Upaya tersebut bisa berbentuk komite-komite solidaritas buruh migran di negeri-negeri sasaran buruh migran. Kemudian, sebagai salah satu elemen partai revolusioner di dunia, kita juga harus turut memperdebatkan strategi-taktik pembangunan partai yang, tentu saja, harus didasarkan pada situasi objektif dan subjektif organisasi—termasuk sejarah masyarakat dan politik kita sendiri. Bukan tak mungkin taktik BLP akan dibajak oleh sekelompok petualang oportunis partai yang bermimpi partainya akan cepat besar berdasarkan peluang-peluang elektoral semata, bahkan dengan menyatukan diri ke dalam partai borjuasi (dan berjuang di bawah bendera mereka). Usulan untuk mengubah PRD menjadi partai massa kini bertemu dengan taktik ‘pembesaran’ partai (entah partai yang mana) melalui fusikoalisi dengan partai borjuasi dalam pemilu tahun 2009. Keinginan untuk perbesaran partai adalah positif, namun menanggalkan prinsip-prinsip strategisnya adalah sama dengan terjun ke jurang dan membunuh alternatif. Menyikapi potensi krisis revolusioner, adalah sepenuhnya sesat pendapat (kaum mayoritas PRD-oportunis) yang menyatakan bahwa syarat-syaratnya belum ada; juga salah bila berpendapat: kalaupun potensinya ada, maka tak akan memiliki watak revolusioner. Mereka sampai-sampai buta pengetahuan sosialisme ilmiah, teori Marxisme revolusioner, mengenai potensi—sebuah potensi merupakan sesuatu yang dapat terjadi, sesuai dengan landasanlandasannya, sesuai dengan hukum-hukum ilmiahnya, bukan sesuatu yang sudah pernah terjadi atau harus terjadi pada waktu tertentu. Tentu saja, jika sesuatu telah terjadi maka terbuktilah potensi tersebut;
halaman 12 untuk peristiwa tersebut, terbukti nyata terjadi. Namun suatu fakta yang sudah terjadi/tercapai tidak mesti menunjukkan/ melambangkan potensi. Jadi, yang dianggap potensi (oleh PRD-oportunis) adalah sesuatu yang telah terjadi (yang akan dijadikan sebagai landasan strategi-taktiknya). SALAH. Itulah mengapa mereka tidak menghargai potensi gerakan perlawanan rakyat, dan mengambil jalan pintas: merger (menyubordinasikan diri) ke dalam PBR25. Di dalam tulisannya, Kampanye Pemilihan untuk Duma ke IV dan Tugas-tugas Kaum Sosial Demokrat Revolusioner, April, 1912, Lenin menegaskan bahwa krisis revolusioner yang sedang tumbuh itu tidak tergantung hanya pada kita; ia tergantung pada seribu satu sebab, pada revolusi di Asia dan pada sosialisme di Eropa. Akan tetapi apa yang hanya tergantung pada kita ialah melakukan pekerjaan yang gigih dan mantap di kalangan massa dalam semangat Marxisme, dan hanyalah pekerjaan semacam itu yang, kapanpun dilakukan, tak akan sia-sia. Jauh sebelumnya, di dalam Dari mana Kita Mulai (1901), ia sudah mengatakan bahwa pembangunan sebuah organisasi perjuangan dan memimpin agitasi-politik selalu menjadi pekerjaan pokok di bawah situasi apapun, dalam segala periode, termasuk periode yang ‘membosankan dan penuh kedamaian’, tak perduli ia ditandai oleh suatu ‘penurunan semangat revolusioner’. Justru dalam periodeperiode yang begitu, dan di bawah situasisituasi seperti itulah, kerja-kerja demikian (membangun organisasi dan memimpin agitasi-politik) sangat dibutuhkan, karena akan sangat terlambat untuk membentuk organisasi di masa-masa terjadinya ledakan dan riuh rendah pergolakan, atau partai itu harus berada dalam kondisi kesiagaan untuk beraksi sewaktu-waktu. Krisis revolusioner akan lahir dari kontradiksi di dalam ekonomi kapitalisme sendiri, namun ia tak bisa ditunggu, ia harus terus menerus didorong dan dipersiapkan kedatangannya oleh kekuatan pelopor26. Dan kitalah kekuatan itu: sebuah partai politik yang mampu memberikan rumah organisasional sekaligus identitas politik bagi rakyat miskin dan kelas pekerja.©
25PRD-oportunis menyimpulkan bahwa PBR adalah partai borjuasi-kerakyatan. ��“…Peningkatan (situasi revolusioner) itu tidak datang bagai halilintar di siang bolong. Tidak, ia telah dipersiapkan selama periode yang panjang oleh segala syarat-syarat kehidupan...” Lenin: Peningkatan Situasi Revolusioner, 1912.
halaman 13
nasional Gelembung Modal yang Justru Menghancurkan Sektor Riil
Di negeri ini
, Indonesia, kebijakan ekonomi pasar terbuka (baca: neoliberalisme) dianggap telah menjadi satusatunya mazhab ekonomi yang tepat bagi obat krisis yang berkelanjutan. Dibungkus rapi dengan selubung ekonomi Pancasila. Neoliberalisme sudah ditempatkan sebagai filosopi, kebijakan dan praktik ekonomi yang utama sehingga seolah-olah tidak ada alternatif lainnya di luar sistem tersebut. Maka, kebijakan neoliberalisme—yang dianggap sebagai rumus ekonomi yang benar—wajib untuk diterapkan sepenuhnya dalam pelbagai lini ekonomi. Itulah yang selanjutnya dilakukan oleh Pemerintahan SBY-JK dan para ekonom pendukungnya. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Kebijakan tersebut justru membawa kondisi perekonomian Indonesia—sebagai salah satu negara yang menjalankan “resep ekonomi” Washington Consensus1— terjerembab dalam jurang krisis ekonomi yang semakin dalam. Kondisi serupa terlihat jelas di berbagai negeri lainnya yang menjalankan konsep ekonomi pasar terbuka (economic free market), yang utamanya adalah negeri-negeri kreditor yang mendapatkan bantuan modal dengan syarat menjalankan paket kebijakan pasar. Akan tetapi, konsep ekonomi pasar terbuka yang diharapkan akan membangun keberlanjutan ekonomi (sustainability development) justru membuat negeri-negeri kreditor (seperti Indonesia) terus menerus berutang dan terus menerus membayar utang (debt sustainable). Hal tersebut disebabkan karena seluruh paket kebijakan ekonomi yang diberikan tidak (boleh) membangun kemampuan industri nasional negeri kreditor untuk tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, industrialisasi nasional negerinegeri kreditor justru ambruk dan sulit 1Washington Consesus (WC) yang dibuat pada tahun 1989 (meski, pada tahun 1990, baru disebut Konsensus Washington), lahir dari pertemuan International Finance Institution’s yang bermarkas di Washington. WC kemudian menghasilkan 10 langkah, tiga di antaranya merupakan bagian dari kebijakan makro-disiplin anggaran; liberalisasi suku bunga; dan kebijakan nilai tukar berbasis pasar. Sedangkan tujuh langkah lain merupakan bagian dari kebijakan strukturalprivatisasi, deregulasi, liberalisasi impor, liberalisasi investasi asing langsung, reformasi perpajakan, penjaminan hak kepemilikan, dan redistribusi dana-dana publik pada sektor pendidikan serta kesehatan.
Paulus Suryanta Ginting mengembangkan infrastruktur produksi dan tenaga produktifnya.
Financial Buble Dewasa ini, kebijakan liberalisasi keuangan yang diwujudkan dengan liberalisasi investasi langsung dan liberalisasi suku bunga tidak memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Jika ditilik secara historis, liberalisasi suku bunga dimulai sejak keruntuhan sistem kurs tetap ala Bretton Woods pada awal tahun 70an. Dan pada tahun itulah dimulai sistem kurs mengambang/bebas (freely floating system). Modal dan sistem keuangan telah dan akan diintegrasikan secara internasional dengan menuntut kebijakan liberalisasi keuangan2 pada komponen liberalisasi domestik3 dan internasional4. Saat ini, pasar keuangan global telah bergerak melampaui fungsi awalnya: memfasilitasi perdagangan dan penanaman modal lintas negara. Pasar keuangan tidak lagi sekedar mekanisme untuk menyediakan tabungan bagi investasi sektor produksi, justru kurang berkait dengan arus sumber daya riil dan investasi jangka panjang sektor produksi. Berkembangnya sistem kurs bebas dan membengkaknya aliran modal jangka pendek (short term capital) di berbagai negeri berkembang merupakan imbas dari (baca: konsekwensi logis) tidak berkembangnya sektor riil. Modal-modal yang ada tidak ditanamkan pada berbagai industri barang dan jasa karena dianggap tidak memberikan keuntungan yang signifikan—tentu saja karena rendahnya daya beli masyarakat. Melimpahnya barang2Liberalisasi keuangan di Indonesia dimulai pada tahun 1987 dengan keluarnya Paket Oktober, disusul dengan terbitnya Paket Oktober dan Paket Desember pada tahun 1988. 3Makna liberalisasi domestik: menuntut keaktifan kekuatan-kekuatan pasar dengan mengurangi peran negara di sektor keuangan. 4Sedangkan makna liberalisasi keuangan internasional: menuntut penghapusan kontrol dan regulasi dalam penanaman (inflows) dan pelarian (outflows) modal. Dengan komponen kunci, antara lain: a) deregulasi suku bunga; b) penghapusan kontrol kredit; c) swastanisasi bank dan instiusi keuangan milik negara; d) pembebasan jalan masuk sektor swasta, bankbank dan institusi keuangan asing ke dalam pasar keuangan dalam negeri; e) liberalisasi lalu lintas devisa, dengan mengizinkan devisa lintas batas negara.
barang (over-produksi) dan spekulan produk (barang) yang memainkan pasar dalam kepentingan sepihak, ditambah dengan rendahnya tingkat pembelian konsumen, telah membawa kapitalis internasional dan lokal untuk bermain dalam arena pasar valuta asing, portofolio, surat obligasi, dan derivatif modal. Situasi tersebut membuat kuat-lemahnya kurs mata uang suatu negeri menjadi ajang permainan investor modal dan spekulan keuangan. Dan mereka mendapatkan keuntungan besar (pelipatgandaan modal) tanpa adanya proses produksi dari arena tersebut. Keharusan siklus kapitalisme dan kegilaannya untuk meraup keuntungan maksimal justru membawa kapitalis keuangan (finance) pada jurang kehancurannya. Situasi tersebut tidak ditangani secara baik. Pemerintah justru meningkatkan Suku Bunga Indonesia hingga sebesar 8.75%. Tentu saja dalam pandangan klasik: bahwa dengan meningkatkan suku bunga maka akan menarik investasi masuk ke dalam negeri. Pilihan kebijakan ini justru tidak menguatkan posisi rupiah dalam meningkatkan mobilisasi dana (tabungan); melainkan semakin menumpukkan ketidakmampuan kreditor untuk membayar pinjamannya pada Bank. Suatu pilihan yang kontradiktif di tengah lemahnya pertumbuhan industri dan perdagangan nasional. Memang, di satu sisi, peningkatan Suku Bunga Indonesia akan menarik modal (inflows) asing untuk masuk, apalagi dalam posisi rendahnya suku bunga di negerinegeri maju (Amerika dan Jepang, yang bunganya 4%). Tetapi modal yang masuk tersebut tidak ditanamkan sebagai investasi riil melainkan dalam portofolio, valuta asing, obligasi, spekulan properti, dan kredit konsumsi. Terlebih lagi, penetrasi foreign direct investment—yang diharapkan menjadi ujung tombak ekonomi pasar (bagi penganut mazhab liberalisme), karena dianggap sangup mendongkrak perekonomian nasional—berbanding terbalik dengan tingkat penetrasi foreign portofolio Investment, yang justru menggelembung. Secara ekonomi, penggelumbungan arus modal foreign direct investment merupakan kondisi yang rawan—tidak langsung memberikan keuntungan positif bagi pembangunan industri riil; terlebih, modal yang masuk tidak bertahan dalam suatu negeri pada
halaman 14 waktu yang cukup lama. Dewasa ini, hot money dapat dipindahkan dari satu negeri ke negeri lainnya dalam waktu yang cepat. Padahal butuh waktu yang lama untuk menggunakan capital tersebut bagi proses produksi. Itulah mengapa foreign direct investment yang masuk tidak memiliki hubungan positif terhadap pembangunan industri. Bahkan, di beberapa negeri berkembang, peningkatan suku bunga dan liberalisasi arus invetasi memaksa negeri tersebut membayar biaya sebesar 10-20% dari Produk Domestik Brutonya (PDB) untuk portopolio dan surat obligasi. Penggelembungan portofolio investment dan hot money akan memicu ketidakstabilan neraca keuangan nasional dan devaluasi nilai mata uang rupiah. Kesimpulan tersebut tidak dapat dilepaskan dari fakta: lemahnya sistem keuangan nasional dan rendahnya produktiftas nasional. Kelemahan sistem keuangan suatu negeri akan memudahkan para spekulan saham dan modal untuk menarik seketika modalnya dari suatu negeri ke negeri yang memiliki nilai suku bunga yang menggiurkan. Dan instabilitas neraca keuangan dan devaluasi rupiah selanjutnya akan memperparah industri nasional karena meningkatnya biaya impor.
biaya belanja barang dan modal, pembayaran surat utang dan surat obligasi perbankan, serta biaya privatisasi. Konsep kebijakan manajemen keuangan tersebut tidak menekankan pada pembangunan industri nasional dan syarat-syaratnya. Itu terlihat dari masih rendahnya distibusi anggaran untuk subsidi sosial (seperti: pendidikan dan kesehatan). Memang, hal tersebut merupakan konsistensi atas pandangan mazhab liberalisme yang meniadakan campur tangan negara dalam kehidupan ekonomi-pertumbuhan ekonomi diberikan sebebas-bebasnya pada faktor-faktor dalam pasar itu sendiri.
Baik krisis yang terjadi di Meksiko (Tequila Efect), di Chili, dan devaluasi Bath di Thailand terjadi akibat sistem kurs bebas dan outflows capital. Krisis tersebut telah berhasil menggeret krisis di berbagai negeri di Asia (termasuk Indonesia). Penarikan modal besar-besaran dari negeri maju ke negeri berkembang, dan sebaliknya, telah mengakibatkan ketidakstabilan nilai tukar mata uang negeri-negeri berkembang. Efek Contagion dari ketidakstabilan pasar keuangan tersebut bahkan menyeret krisis di negeri-negeri yang memiliki cadangan devisa yang cukup. Ketiadaan sistem pertahanan keuangannya mengakibatkan kehancuran industri riil negeri-negeri berkembang karena tenaga produktif (terutama yang berteknologi tinggi) menjadi mahal untuk diimpor (dalam hitungan kurs dolar). Pelipatgandaan satu mata uang, di satu sisi, dan kehancuran mata uang negeri berkembang, di sisi lain, telah mengakibatkan nilai suatu produk melambung tinggi di luar batas kesanggupan daya beli masyarakat.
Situasi tersebut mengakibatkan negara tidak memiliki ketahanan keuangan secara nasional karena terlalu banyak modal yang lari keluar negeri (capital flights). Apabila pola yang serupa terus berlangsung—dan seperti itulah kecenderungannya—maka negara tidak akan sanggup menahan arus modal panas yang masuk dan keluar secara drastis, bahkan terhadap pengaruh efek tularnya sekalipun.
Utang dan Perdagangan Bebas Potensi krisis yang dipengaruhi oleh faktor buble economic tidak dapat dilepaskan dari faktor cadangan devisa dan sistem perdagangan yang dianut suatu negeri. Sebagai bagian dari negeri yang patuh pada kebijakan neoliberalisme, Indonesia, secara serius mendistribusikan anggarannya pada pembayaran utang utang luar negeri plus cicilan pokoknya plus biaya commitmen fee,
Sesungguhnya, pemerintah dapat mengurangi tingkat capital flights—tentu saja atas dasar kehendak politik (political will)—dengan cara melakukan lobby internasional, seperti yang dilakukan oleh Nigeria (meski tidak dapat dipisahkan dari pengaruh pemogokkan buruhburuh perusahaan minyak negara); atau memperjuangkan pemotongan sebagaian utang haram/najis (hair cut debt). Semisal, pengungkapan utang haram (oudious debt) pemerintahan masa Soeharto, yang diakui oleh Sumitro dan laporan tertutup World Bank: pemerintahan Soeharto sedikitnya telah menyalahgunakan dana pinjaman sebesar 30% sejak awal pemerintahannya hingga ia terguling; dalam bentuk yang lain, Indonesia sebenarnya dapat memperjuangkan penghapusan sebagian utangnya dengan memperjuangkan kenyataan bahwa Indonesia sudah dapat dikategorikan sebagai Heavily Indebted Poor Country (HIPC). Sebaliknya, yang getol dilakukan oleh pemerintah adalah melaksanakan sepenuhnya program
konversi utang (Debt Swapt), yang dananya berasal dari APBN. Program konversi utang tersebut pada prakteknya tidak mendapat capaian maksimal karena sasarannya yang fragmentatif dan terlalu banyak penyalahgunaan anggaran oleh para birokrat. Pada faktor lainnya, dialektika kapital dagang (dalam corak produksi kapitalisme) menuntut liberalisasi sepenuhnya sistem dan aturan perdagangan, yang sesungguhnya telah memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan kapital industri secara nasional. Sistem dan aturan perdagangan yang dibuat melalui tipu muslihat perundingan-perundingan (dalam putaran sidang World Trade Organization/ WTO) telah meliberalisasikan perdagangan barang, jasa dan bea tarif. Negeri-negeri yang secara ekonomi tumbuh dalam kondisi rendah teknologi dan kwalitas sumber daya manusia telah dipaksa untuk bersaing dalam pasar yang sepenuhnya terbuka, untuk bertarung dengan modal dan produk asing yang diproduksi dengan teknologi modern dan padat modal. Paska pemerintahan Soeharto, Indonesia, yang dijerumuskan kedalam kedikatoran modal asing, telah terjerembab pada liberalisasi perdagangan yang menghancurkan beberapa sektor industri dan pertaniannya. Yang sudah terlihat selama beberapa tahun belakangan ini adalah sektor manufaktur: bangkrutnya perusahaan-perusahaan tekstil dan produk tekstil, kayu, serta sepatu; gulung tikarnya beberapa perusahaan elektronik dengan modal menengah, karena politik dumping yang juga dilakukan oleh perusahaanperusahaan China dengan produk tekstil dan elektroniknya; hal serupa juga terjadi pada sektor pertanian dan peternakan. WTO, pada General Agreement on Agriculture, telah mematok beberapa produk pertanian yang boleh dan tidak untuk diliberalisasikan. pada saat ini, masuknya produk pertanian dan peternakan, ditambah praktek penyelundupan dan spekulan produk, telah menghancurkan harga produk pertanian petani dalam negeri—selain, memang, juga
halaman 15 sehingga tingkat harganya membumbung tinggi; h) semakin panjangnya birokrasi pasokkan (supply) enerji kepada konsumen (besar, menengah, maupun kecil)—yang tidak melalui monopoli perusahaan negara—mengakibatkan terhambatnya distribusi ke berbagai daerah; i) fragmentasi vertikal (pusat-daerah)—konsistensi dari logika desentralisasi5 dan dekonsentrasi— mengakibatkan satu situasi adanya daerah yang kelebihan enerji (surplus) dan daerah yang kekurangan (defisit) pasokkan enerji.
disebabkan ketidaksanggupannya untuk bersaing dengan produk pertanian luar (suatu kondisi yang logis karena faktor lemahnya modal, rendahnya teknologi, fragmentasi lahan, dan minimnya infrastruktur produksi (misalnya: jalan, listrik, sarana angkut, dan sebagainya). Pada tingkat ini, liberalisasi perdagangan telah mengakibatkan deindustrialisasi, sehingga fakta larinya modal (outflows) menengah (mid term capital) dalam berbagai sektor industri tidak dapat dielakkan. Kondisi tersebut hanya menambah deretan panjang pengangguran. Dan, pada sisi lain, menurunkan tingkat grafik kemampuan daya beli masyarakat. Liberalisasi perdagangan, selain (juga) mengakibatkan outflows, mengakibatkan pula ketidakstabilan pasokan barang dan harga di pasar. Karena, dalam sistem tersebut, pemerintah tidak boleh memiliki otoritas monopoli untuk mengatur pasokan barang dan penetapan harga di pasar. Pada tahap ini, dengan dilenyapkannya monopoli pemerintah terhadap pasar, liberalisasi perdagangan telah memarakkan spekulan-spekulan barang. Maka, liberalisasi perdagangan memberikan kekuasaan pada para pedagang dan spekulan untuk mengatur pasar, baik dalam jumlah pasokannya maupun permainan tingkat harganya. Pengurangan otoritas pemerintah terhadap pasar membuat pemerintah kehilangan haknya untuk mengatur stok minyak goreng, gula, beras, minyak tanah di pasar. Terlebih (dalam kasus minyak goreng) jumlah produksi CPO terbesar bukan lagi dari perusahaan negara melainkan berasal dari perusahaan perkebunan asing milik Malaysia.
Krisis Enerji Enerji, sebagai bagian penting dalam proses produksi dan distribusi, memberikan peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan suatu negeri. Dalam kondisi tersebut, Indonesia, yang sesungguhnya memiliki banyak potensi enerji yang dapat menyokong pertumbuhan industrialisasinya, justru mengalami
kesulitan. Fenomena mati lampu (blackout) di beberapa daerah, kelangkaan minyak dan gas, penutupan perusahaan pupuk— yang membutuhkan banyak gas untuk produksinya—memperpanjang deretan persoalan ekonomi di negeri ini. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kekurangan pasokan enerji bagi industri, distribusi, mobilitas, rumah tangga dan pariwisata, antara lain: a) sejak masa Soeharto, persoalan kurangnya peningkatan kapasitas infrastruktur produksi, efisiensi struktur dan manajemen produksi, serta kwalitas sumber daya manusia sudah menjadi persoalan klasik dalam industri enerji; b) keuntungan produksi enerji (semisal ketika adanya oil shock) tidak diutamakan bagi pembangunan industri hulu (upstream) melainkan disubtitusikan bagi anggaran lainnya atau disalahgunakan oleh para birokrat; c) kurangnya pengembangan riset teknologi. Pasca krisis ekonomi, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah memang tidak lagi berpihak kepada iptek, sebagaimana terlihat pada alokasi APBN. Anggaran riset iptek APBN, sebelum krisis ekonomi, yang semula hanya 0,2 persen dari produk domestik bruto (PDB), pada pasca krisis, merosot tajam menjadi 0,05 persen; d) tidak berjalannya program konservasi dan diversifikasi enerji (dengan konsep murah, aman, dan modern); e) liberalisasi industri enerji (minyak, gas, listrik)—yang diharapkan akan mengembangkan industri hulu—justru berlaku sebaliknya. Industri enerji yang berkembang justru pada downstream (industri hilir); f) liberalisasi industri enerji mengurangi peranan negara/ pemerintah untuk mengontrol produksi dan sasaran distribusi enerji. Akibatnya, produk enerji dijual keluar negeri (seperti minyak dan gas) dengan porsi yang menyebabkan terjadinya kekurangan pasokan minyak dan gas di dalam negeri; g) semakin banyaknya rantai pemain maka, di sisi lain, akan menyuburkan praktek spekulan. Praktek spekulan minyak dan gas, yang terstruktur secara internasional, mengakibatkan kebutuhan minyak atau gas yang harus dipenuhi, dibeli dari luar negeri—karena rendahnya produksi enerji dalam negeri—
Apabila tidak ada perubahan secara mendasar dalam menangani persoalan krisis enerji, maka akan mengakibatkan pembengkakan pada biaya produksi dan distribusi berbagai sektor industri serta ketergantungan pada pasokan enerji dari pasar internasional. Maka, dari beberapa faktor di atas: Pembengkakan keuangan (buble economic) dan liberalisasi perdagangan akan semakin memperdalam ketidaksanggupan daya beli dan deindustrialiasi [yang ditunjukkan dengan bangkrutnya berbagai perusahaan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal]. Pelarian modal asing jangka pendek (outflows short term capital) akan diikuti oleh kehancuran nilai mata uang rupiah dan pelarian modal menengah (outflows mid term capital) yang ada dalam industri riil karena mahalnya biaya enerji (yang dibeli dalam dolar), dan mahalnya tenaga produktif berteknologi tinggi. Terlebih-lebih, kebijakan liberalisasi perdagangan telah memukul produk-produk dalam negeri. Sehingga, kecenderungan krisis (seperti tahun 1998) berpotensi terjadi. Apalagi bila tidak ada perbaikan struktur ekonomi nasional secara signifikan, yang dapat menahan perilaku praktek spekulan para pemodal besar. Dan kepatuhan pemerintah menjalankan liberalisasi perdagangan barang dan jasa membuat kehancuran pasar dalam negeri, di tengah lemahnya daya saing produksinya—karena rendahnya teknologi dan kwalitas tenaga produktifnya. Atas situasi tersebut, berbagai konsesikonsesi imperialis dan agennya, baik dalam bentuk program MDG’s ataupun Askeskin, BLT, BOS, BOP tetap tidak dapat menahan potensi gejolak perlawanan anti pendindasan imperialisme. Sebab, pemerintahan agen imperialis tidak memiliki cukup modal bagi konsesi-konsesi dan sogokan-sogokan (ilusif) tersebut. Belum lagi, budaya korupsi yang memanfaatkan kemiskinan rakyat sebagai alat untuk memperkaya diri bagi kaum birokrat negeri ini. Suara-suara sumbang karena penambahan biaya tetek bengek setelah adanya BLT, BOS, BOP 5Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah daerah.
halaman 16 merupakan kenyataan tentang praktek pencarian keuntungan sepihak, yang masih menjadi budaya di negeri ini. Kenyataan sosial-ekonomi saat ini membuktikan bahwa pandanganpandangan Milton Friedman dan Frederich Von Hayek—bahwa akan ada kesetaraan persaingan yang sempurna dalam wilayah tingkat-permainan (level of playing field), yang akan menyeimbangkan semua pemilik komoditas (konvergensi)—justru beranjak pada ketidaksetaraan persaingan dalam berbagai tingkat permainan (divergensi). Sehingga, “globalisasi” modal barang dan jasa menjadi tidak diglobalkan. Melainkan dimonopoli oleh segelintir pemilik modal besar. Akhirnya, pandangan pertumbuhan dengan menetes ke bawah (tricle down effect) menjadi sekadar mimpi.
Politik Situasi tersebut akan membuka peluang radikalisasi massa dengan karakter populis, ekspresi atas penindasan terstruktur imperialisme. Radikalisasi-radikalisasi yang berkembang pada situasi tersebut masih berada dalam kondisi ekonomisspontan-fragmentatif. Radikalisasi dengan watak seperti itu memiliki kandungan yang berpotensi berkesadaran anti-imperialisme, meski belum sepenuhnya. Penindasan strukturalnya memudahkan gerakangerakan spontan tersebut sampai pada kesadaran anti-imperialisme (tentu saja, sebagaimana halnya dengan potensi, apabila diolah oleh kepeloporan politik). Dalam situasi saat ini, penindasan imperialisme dan radikalisasi (gerakan) spontan-fragmentatif tersebut telah memberikan landasan di kalangan elit politik (borjuis) dalam menerima dan mengangkat program anti penjajahan asing. Situasi tersebut tidak dapat dilepaskan pula atas perkembangan tokoh, pemerintahan dan sistem alternatif yang sedang berkembang di Amerika Latin ( Brazil, Bolivia, Cuba, Argentina, dan Venezuela). Keberanian pemimpin negeri-negeri tersebut dalam menerapkan suatu kebijakan di luar pandangan mainstream memberikan inspirasi positif kepada kalangan elit. Tapi, memang, kita tidak bisa melebih-lebihkannya hingga pada karakter penerimaan dan pelaksanaan programatik seperti masa Soekarno (misalnya). Elit Politik saat ini menerima pengaruh-pengaruh positif dari negerinegeri tersebut dan menggunakannya dalam kepentingan mencari popularitas belaka di hadapan rakyat miskin yang tertindas, dalam upaya menjadi “borjuis nasional” atau, bahkan, untuk menaikan tawar menawar (bargain) sebagai calo penjualan aset-aset bangsa. Hal tersebut harus dilakukan oleh seluruh blok elit (borjuis) dalam
kepentingan yang sejatinya: menjadi agen utama kapitalisme internasional. Beberapa faktor politik yang mempengaruhinya: 1) paska Pemilu 2004, dalam peta politik nasional, tidak terdapat sama sekali suatu dominasi ekonomi-politik satu golongan elit borjuis yang memimpin; 2) polarisasi ekonomi tersebut tidak dapat dilepaskan dari ketidaksanggupan kaum reformis gadungan untuk memimpin dan menahan kembalinya unsur-unsur kekuatan Orde Baru (GolkarMiliter). Dalam situasi tersebut, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh elit borjuis agar dapat sepenuhnya menjadi agen utama imperialisme di negeri ini, yakni: a) mengeliminir perkembangan kekuatan politik alternatif yang sedang berkembang. Hal tersebut dilakukan agar tidak menyulitkan posisi politik mereka pada pertarungan politik di Pemilu tahun 2009; b) menjinakkan kekuatan-kekuatan politik borjuis beserta alat politiknya melalui sistem politik yang mensyaratkan administratif formal; c) Membangun blok politik borjuis yang solid (Koalisi PDIP-Golkar+militer) namun jinak untuk memastikan proses kemenangan kaki-tangan mereka di Provinsi/Kota/Kabupaten sebab penetrasi modal sudah bergerak semakin bebas, mendalam, dan meluas hingga ke teritoriteritori tersebut. Tentu saja atas nama stabilitas dan pluralisme, meski kedua hal tersebut sangat kontradiktif untuk menjadi sebuah landasan pijak. Posisi seperti itu tentu saja akan diamini oleh mperialisme, sebab akan lebih mudah dan aman secara ekonomi-politik apabila kekuatan politik penguasa tidak terlalu fragmentatif; d) metode politik tersebut tetap akan dibingkai atas nama nasionalisme, keutuhan bangsa, demagogi populis, stabilitas politik-ekonomi dan perlawanan terhadap fundamentalisme Islam. Hanya dengan slogan-slogan tersebut dominasi politik mereka akan memiliki dukungan politik besar-besaran di kalangan massa rakyat yang luas. Bisa kah? Paska penjatuhan Soeharto, ruang demokrasi sudah mulai terbuka. Meski tidak sepenuhnya terbuka karena sisa-sisa Orde Baru dan militer hendak bangkit kembali. Dan upaya tarik menarik agar ruang demokrasi terbuka selebar-lebarnya,
seluas-luasnya, sepenuh-penuhnya terjadi antara sisa Orba dan militer, di satu sisi, melawan kelompok demokratik (gerakan demokratik), di sisi lainnya. Hari ini, ruang demokrasi tersebut masih terbuka—meski tidak sepenuhnya dan masih sering diganggu oleh kelompok milisi sipil reaksioner (FPI, GPK, GEPAKO, FBR, FAKI dan lain sebagainya), yang menjadi kaki tangan sisa-sisa Orba dan militer. Tapi ruang demokrasi tersebut masih sangat formal dan prosedural, penuh tipu muslihat— hanya dalam kepentingan dominasi elit politik dan tuntutan imperialisme—bukan dalam perspektif demokrasi (sepenuhpenuhnya) dan kesejahteraan sebagai syarat membangun bangsa seutuhnya. Terlepas dari seperti itu situasinya, capaian-capaian hari ini merupakan hasil jerih payah perjuangan bertahun-tahun untuk membuka ruang demokrasi yang sebelumnya tertutup rapat. Adalah salah apabila tidak memanfaatkan ruang demokrasi (democratic space) atau justru meninggalkannya. Sebab, mungkin ruang demokrasi yang sudah terbuka saat ini (meski memiliki batasan) akan menyempit karena bangkitnya (baca: restorasi) kekuatan sisa Orba dan militer yang anti demokrasi. Maka sangat penting bagi seluruh gerakan yang tersadarkan untuk memanfaatkan ruang demokrasi yang telah ada untuk tujuan membuka ruang demokrasi ini lebih lebih luas lagi (baca: sepenuh-penuhnya), atau memanfaatkannya untuk mengkampanyekan program-program alternatif, membangun kekuatan politik alternatif, dan mempopulerkan tokoh politik alternatif bagi rakyat (sebagaimana gerakan kiri dan nasionalis mempopulerkan Soekarno sebagai tokoh alternatif dalam rapat Ikada)
Gerakan dan Kesadaran Massa Dalam memanfaatkan atau mengolah berbagai arena dan momentum, sebagai konsekuensi kesetiaan terhadap prinsip (teori), harus tetap melihat secara jernih kekuatan dan kelemahan subyektif gerakan dalam sudut pandang saat ini (berdasarkan pengaruh warisan historis). Dan dengan tetap melihat ancaman-ancaman yang akan menghambat tujuan gerakan—membuka
halaman 17 sepenuh-penuhnya ruang demokrasi, propaganda program-program alternatif, dan melatih rakyat serta gerakan agar berkemampuan mewujudkan pemerintahan demokratis, modern, adil, dan sejahtera. Pada masa Orde Baru, berbagai persoalan muncul dan mempengaruhi gerakan hingga saat ini, yaitu: deideoligisasi, depolitisasi, deorganisasi dan pengaburan ingatan sejarah. Dan, lebih parahnya lagi, menghancurkan kebudayaan progressif bangsa Indonesia yang terlahir dari sebuah pergulatan sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan (pra Orde Baru). Kondisi tersebut mempengaruhi kondisi gerakan, antara lain: miskin terhadap konsepsi perjuangan (program dan strategi-taktik), struktur organisasi yang tidak meluas, elitis, sektarian, dan mobilisasi (radikalisasi) nya yang masih fragmentatif (terpecah-pecah) serta spontan (ekonomis). Namun demikian, gerakan demokratik memiliki kekuatan hasil dari keterlibatannya dalam proses perjuangan bersama rakyat, yakni: a) aksi massa telah menjadi budaya perlawanan bagi seluruh sektor masyarakat; b) kesadaran anti militerisme dan Orde Baru (walau belum sepenuhnya/total) masih terpatri dalam benak rakyat; c) ketidakpercayaan terhadap kaum reformis gadungan—yang menipu seolah-olah sanggup membawa rakyat pada kondisi demokratik, modern, adil, dan sejahtera; d) ketidaksukaan terhadap kejahatan-kejahatan milisi Sipil reaksioner; e) sudah sanggup menggulingkan pemerintah daerah (bupati, lurah) dan memaksa koruptor ditangkap dengan metode-metode radikal (aksi massa); f) penerimaan terhadap program anti penjajahan baru (ataupun nasionalisme dalam tingkat kesadaran awal) sudah bisa diterima oleh kaum miskin, kelas menengah dan bahkan oleh segelintir elit politik (borjuasi)—meski, dalam soal ini, borjuasi tidak hendak memompa rasa nasionalisme tersebut menjadi bentuk perjuangan anti imperialisme yang kongkrit, atau membangkitkan kembali nation and character building ala Soekarno; melainkan hanya pada upaya untuk mencari popularitas semata, demi keuntungan politik pada pagelaran Pemilu 2009. Itulah mengapa berbagai spanduk-spanduk pro rakyat miskin dan anti neoliberalisme banyak digelar oleh partai-partai politik borjuis, seperti yang dilakukan oleh PDIP. Seperti apapun karakter penerimaan dan pelaksanaan program elit politik pada masa sekarang ini, tetap memiliki keuntungan politik bagi gerakan: menggunakannya demi kepentingan perluasan kesadaran anti imperialisme. Kekuatan dan kelemahan tersebut harus dapat diolah sedemikian rupa dalam menghadapi ancaman yang tengah berkembang. Ancaman-ancaman tersebut
antara lain: Pertama, menguatnya sisa-sisa Orde Baru+militer, dengan (kecenderungan) mengarah pada koalisi PDIP-Golkar+militer untuk mendominasi peta politik nasional. Kepentingan utamanya tidak dapat dilepaskan dari kepentingan untuk mengeliminasi borjuasi lainnya dan juga kelompok alternatif yang membahayakan secara politik dan ekonomi. Serta, kepentingan sejatinya adalah untuk menjadi agen imperialis, boneka penjajah, komprador yang utama (terkuat). Dalam membenarkan posisi politik mereka, koalisi PDIP-Golkar selalu menegaskan bahwa tujuan koalisi mayoritas (PDIP-Golkar) adalah demi kesejahteraan dan pluralisme di bawah naungan stabilitas (dominasi mereka). Dua hal yang kontradiktif: stabilitas bukanlah padanan kesejahteraan dan pluralisme; padanan kesejahteraan dan pluralisme adalah DEMOKRASI. (misalnya: tidak mungkin buruh pabrik bisa mendapatkan upah, tunjangan, kesehatan dan rumah yang layak apabila kebebasannya untuk berkumpul (berorganisasi) dan menuntut (berpolitik) dihalangi-halangi atas nama stabilitas.) Kedua, menguatnya fundamentalisme agama (ekspresi dari kaum intelektual agama atas krisis kapitalisme) yang menolak kebebasan berekspresi; menolak sekularisme; menolak demokrasi. Ketiga, Menguatnya milisi sipil reaksioner yang menghambat perkembangan gerakan alternatif dengan cara-cara kekerasan/ anti demokrasi. Keempat, penetrasi modal kapitalisme yang semakin besar, yang mengakibatkan kehancuran dalam aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya. Kondisi-kondisi tersebut tidak pula menghilangkan peluang bagi gerakan demokratik untuk berkembang, meluas dan memimpin. Sejauh ia mampu melakukan beberapa hal, yaitu: 1) mengolah mobilisasi fragmentatif-spontan (ekonomis) itu menjadi mobilisasi yang menyatu, politis, dan nasional/internasional. Dilihat dari sebab-akibatnya, mayoritas radikalisasi yang muncul merupakan buah perlawanan dari penindasan kapitalisme (asing atau pun lokal) sehingga mudah untuk ditarik pada perjuangan anti imperialis dan anti kapitalisme. Tentu saja, sejauh kepeloporan
politik gerakan bisa mengolahnya; 2) dapat memukul mundur kekuatan terbesar agen imperialis, koalisi PDIP-Golkar (plus militer), yang hendak mengeliminir kekuatan alternatif dengan cara membunuh demokrasi dengan “demokrasi� (membuat UU Politik dan Sistem Politik yang ketat dan prosedural dalam demokrasi perwakilan; 3) dapat memaksimalkan berbagai arena/ ajang/panggung dalam kepentingan untuk mengkampanyekan secara maksimal program-program dan metode-metode yang radikal, militan dan demokratik.Š
halaman 18
nasional
P o l i t i k
R a k y a t
M i s k i n
Resume Diskusi Komite Politik Rakyat Miskin—Partai Rakyat Demokratik 1. demi setahap kemampuan industri (nasional) hancur, terutama tenaga produktif (force of production) nya, tidak signifikan lagi untuk membangun kemandirian. Dibandingkan Bangladesh saja, biaya peningkatan tenaga produktifnya bahkan lebih rendah—biaya peningkatan pelatihan dan peningkatan sumber daya manusianya di atas US$ 1.oo per kapita; sedangkan di Indonesia di bawah US$1. oo. Ekonom borjuis saja memintanya ditingkatkan, terutama dalam hal teknologi. Kemudian, investasi—baik dalam perdagangan, industri, atau pun jasa— semakin mengarah (baik swastanya maupun pemerintah) ke konsep penyaluran kapital asing. Kapital asing tersebut, sebenarnya, sudah tak bisa (baca: tak berkehendak) disalurkan/ditampung/ditanamkan kembali di negerinya sendiri1 sehingga gelembung modal (asing) tersebut berupaya dimasukkan ke dalam negeri, dan ditampung (baik oleh agen swastanya maupun pemerintah). Alat pendesaknya adalah lembaga-lembaga keuangan, perdagangan dan pembangunan dunia, seperti International Monetary Fund (IMF), World Trade Organization (WTO), World Bank (WB), kesepakatankesepakatan/lembaga-lembaga bilateral dan multilateral lainnya, dan lain sebagainya. Bahkan, perkembangan terbaru dalam sejarah penanaman modal asing di Indonesia adalah: modal-modal tersebut ditampung oleh berbagai BUMN secara besar-besaran—baik sebagai peserta modal maupun sebagai pembeli langsung BUMN dan bank-bank yang diambil alih pemerintah (yang sudah atau tetap bangkrut walaupun sudah dipasok BLBI). Investasi spekulatif yang sangat berbahaya adalah portofolio,
Setahap
1Ketimbang ditanamkan di sektor riil, dan di
dalam negeri margin keuntungannya kecil bila ditanamkan kembali, lebih baik ditanamkan sebagai modal spekulatif atau ditanamkan di negeri-negeri berkembang—terutama di sektor produksi yang akan memberikan landasan bagi diversifikasi produk, seperti sektor ekstratif pertambangan, mineral, enerji, kehutanan; telekomunikasi; dan di sektorsektor spekulatif portofolio, perdagangan saham, mata uang asing (currency), asuransi; serta yang lainnya. Margin keuntungan investasi modal tersebut menurun terutama karena menurunnya kemampuan daya beli masyarakat dalam sisitim kapitalisme.
yang tak bisa diinvestasikan di sektor riil tapi diperjudikan lewat lalu-lalang perdagangannya. Itulah juga mengapa lembaga-lembaga keuangan (kredit) asing mulai marak di Indonesia. 2. Dampak dari kebijakan ekonomi seperti itu adalah kenaikan harga dan turunnya daya beli rakyat2, terutama di sektor pertanian yang tak tersentuh modal—kecuali sektor agribisnis besar (seperti sawit, karet dan beberapa perkebunan besar negara). Dan pengangguran semakin terasa (juga peningkatannya). Itulah mengapa gerakan spontan mulai merebak dan meningkat di mana-mana, bahkan kwalitasnya pun mulai meningkat—peningkatan golput, penjatuhan pimpinan daerah dan sebagainya. (apapun alasannya, golput adalah cermin tak adanya harapan akan alternatif.) 3. Namun, berbeda dengan sebelum tahun 1998, sekarang gerakan spontan (dan tak spontan) terbagi dalam 2 spektrum. Spektrum 1 gerakan: mendekati tahun 1998, kaitan antara gerakan ’80an/’90an dengan gerakan ’98 mulai kelihatan putus (secara organisasional maupun pengaruh ideologis), apalagi beberapa gerakan yang tadinya memiliki pengaruh kuat masih bergerak di bawah tanah sehingga tak bisa terlibat penuh bersama gerakan ’98 dan kaitannya dengan gerakan mahasiswa melemah. Dan, setelah tahun 1998, 2 Karena hancurnya sektor riil akan
meningkatkan pengangguran; dan pendapatan yang diperoleh dari penjualan sumberdaya alam serta aset-aset nasional akan lambat (dan porsinya kecil) mengalir ke masyarakat strata bawah (trickle down effect yang tetesannya semakin lambat dan kecil)—itulah mengapa jarak strata menengah masyarakat dengan strata bawahnya semakin menajam. Logis pula mengapa kelas menengahnya belum radikal. Namun, sebagaimana layaknya dalam sistim kapitalisme maka, pada satu momen krisis yang lebih mendalam, jarak tersebut akan semakin kecil, mengerucut dibandingkan strata atas masyarakat, atau konsentrasi kekayaan oleh strata atas masyarakatnya akhirnya akan menendang strata menengahnya ke jajaran strata bawahnya.
beberapa elemen gerakan ’80an, ’90an dan ’98 mulai dikooptasi oleh elit-elit, kelompokkelompok, partai-partai kaum reformis gadungan—termasuk, contohnya, semua Ketua Umum PRD masuk ke kubu mereka. Sehingga, kaitan gerakan (spontan)—yang terus menerus berkembang dan meningkat saat ini—dengan gerakan ’80an dan ’90an semakin menurun. 4. Spektrum lain gerakan (spontan) lainnya, spektrum 2 gerakan, yang kwantitas (dan bahkan kwalitasnya mulai) meningkat secara signifikan di seluruh nasional (kecuali di daerah-daerah terpencil), adalah: gerakan spontan-ekonomisme-fragmentatif, yang tak memiliki atau kecil sekali kaitannya dengan gerakan ’80an, ’90an dan 1998, atau tak memiliki/kecil sekali kaitannya dengan spektrum 1 gerakan. Statistik aksinya sudah puluhan aksi per bulannya—yang menggembirakan, ketimbang sebelum tahun 1998—termasuk gerakan tani juga semakin meningkat, bukan saja dalam hal perebutan/ pendudukan (reclaiming) tanah, tapi juga dalam issues yang kurang kasat mata seperti soal pupuk, pengairan, harga gabah, impor beras dan lain sebagainya. Itulah kondisi objektif yang memudahkan—namun bisa dilihat sulit atau belum memadai (oleh kaum mayoritas di PRD dan PAPERNAS)— untuk diolah sebagai landasan memajukan gerakan; padahal, bukan kondisi obyektifnya yang menyulitkan atau belum memadai untuk diolah, namun karena kondisi subjektifnya yang tidak jalan. Itulah yang mendemorasilisasi mereka; buruk rupa cermin dibelah. 5. Kemudian, hal yang menggembirakan lainnya adalah: issues kemandiran bangsa, nasionalisasi, kontrak ulang dan sebagainya mulai diangkat oleh sebagian (kecil) kelas menengah dan elit politik—Amien Rais hendak bangkit lagi dengan mengangkat issues tersebut. Terlepas dari motifasi mereka yang sekadar mencari popularitas (menaikan nilai tawarnya) dan hendak meningkatkan harga jual sumber daya alam nasional (baca: harga jual bangsa) kepada imperialis.
halaman 19 6. Hal lain yg menyulitkan (tapi memudahkan kita memahami musuh rakyat) yakni: karena kejatuhan Gus Dur, ada 3 kekuatan yang sedang dan akan berusaha terus berkuasa: 1) revitalisasi atau restorasi Orde Baru dalam manifestasi Golkar; 2) kaum reformis gadungan, terutama partai-partai yang menjadi benalu pada momen reformasi tahun 1998 dan setelahnya; 3) Tentara. Kejatuhan Gus Dur adalah cerminan bagaimana tentara mendukung kelompok (1 dan 2 tersebut) untuk menjatuhkan Gus Dur—terutama Ryacudu. Dan sekarang, kecenderungan ekonomi-politik mereka adalah menjadi agen modal (penjajah) asing. 7. Musuh lainnya: penjajah (modal) asing. Mereka sekarang sedang butuh pembuangan modal—bukan di Afrika, tentunya, kecuali di Afrika yang kaya sumberdaya alamnya, terutama yang kaya enerji (karena mereka belum bisa beralih seketika ke enerji lain), pertambangan lainnya, dan mineralnya. Dan, di negeri-negeri berkembang, reinvestasi modal asing dalam bentuk constant capital (dalam konsep force of production) peningkatannya sedikit/lambat. Dinamika modal (dalam konsep force of production) ada di negeri asalnya; sedikit saja keuntungan yang diperoleh di negeri-negeri berkembang, akan dengan segera ditransfer ke negeri asalnya—di Indonesia, tentu saja atas tekanan “moralitas kebijakan-kebijakan” neoliberalis dan alat-alatnya, undangundang lalu lintas devisa/modal sudah dan akan lebih dipermudah. Walaupun telah diaudit, tak ada aturan seberapa porsi yang harus ditanamkan kembali di dalam negeri. Itulah yang kemudian menjadi landasan bagi ajang kompetisi industri yang anarkis: masuk satu industri, maka industri (serupa) lainnya hancur—dan industri yang hancur justru industri yang banyak menyerap tenaga kerja, itulah mengapa mereka membutuhkan undang-undang yang menjamin outsourching, apalagi belakangan ini semakin anarkis. Konsekwensi langsungnya adalah: hancurnya produktivitas nasional; meningkatnya penganguran; dan turunnya daya beli mayarakat. 8. Soal budaya. Sekarang sudah mulai meningkat budaya ketidakpercayaan terhadap elit, alat-alatnya dan mekanismemekanismenya, dalam bentuk: SBY-JK tak bisa memberi jalan keluar; elit korup; pemilu bukan untuk partai alternatif; partai-partai politik yang ada bukan alternatif yang bisa memberikan jalan keluar. Dengan demikian, seharusnya, saatnyalah untuk mengolah gerakan karena hasilnya akan lebih menggembirakan; kondisi objektif lah yang
lebih banyak membantu kita. (Dalam konsep Tiga Serangkai dan Soekarno: ketika rakyat sudah tak percaya lagi pada penjajahnya, walau Belanda menawarkan Volksraad, jawabannya: NON-KOOPERASI. Lawan! Bahkan kompromi dianggap tak akan bisa memberikan jalan keluar.) 9. Kemudian tentang dua taktik. Kaum pelopor sekarang berada dalam lautan kesadaran reformis (itulah mengapa butuh kaum pelopor yang bekerja keras dengan alat-alatnya yang kreatif, tepat dan meluas). Di mana-mana bergejolak tuntutan reformisme. Agar lautan kesadaran reformis tersebut menguntungkan gerakan maka harus dimobilisir menjadi tindakan politik—namun demikian, harus ada kompartemen kesadaran sosialis di lautan reformisme tersebut agar tidak sesat atau berputar-putar pada jalan keluar dan hasil yang reformis; dan agar secara simultan bisa memberikan kesadaran sosialis, tidak menahapkannya. Kita ambil hikmahnya kejadian di Nigeria: buruh pertambangan minyaknya sanggup mogok selam 3 bulan, bahkan merembet ke mana-mana sehingga seluruh sektor perekonomian masyarakat lumpuh total, namun kesadarannya bukan kesadaran politik (tidak ada skenario politik melawan tentara) sehingga, ketika dipukul tentara, tak ada kesiapan untuk melawannya, dan kalah. Atau seperti LSM, yang tak menganjurkan untuk mengajarkan politik kepada rakyat—bahkan ada yang beralasan: nanti saja kalau massanya sudah besar. Sebesar apapun massanya, bila tak pernah diberikan acuan politik, maka akan semakin sulit untuk diajak bertindak politik (terlebih-lebih akan banyak dari kalangan pimpinan massanya yang akan menolaknya karena tidak sejak awal pimpinan massa tersebut diajarkan politik). Oleh karena itu, jangan disepakati bila PAPERNAS hendak dimatikan potensinya sebagai partai aternatif, yang akan memasokkan dan meyebarluaskan politik alternatif; lain lagi yang dapat diambil hikmahnya dari gerakan HAMAS yang, awalnya, memberikan kesadaran politis di landasan lautan kesadaran dan alat-alat reformis (koperasi dan advokasi) sehingga, setahap demi setahap, sesuai dengan pembesaran massanya, mereka bisa menjadi organisasi alternatif bagi rakyat: tetap melawan Israel (secara radikal dan militan), serta bisa memenangkan pemilu mengalahkan dominasi FATAH selama puluhan tahun. 10. Bagaimana situasi tersebut diolah dengan strategi-taktik kita—bisa saja dengan pemilu sebagai salah satu variabel politiknya, dan dengan koaliasi-pemilu sebagai salah
satu unsur taktisnya (tapi koalisi dengan siapa?). Seharusnya, kesadaran koalisi yang harus dipropagandakan adalah: kita bisa menyerang musuh (obyektif) bersama, yakni: penjajahan (modal) asing; sisa-sisa Orde Baru (terutama GOLKAR), tentara, dan kaum reformis gadungan, sebagai bahaya nyata, bahaya mendesak. Namun, layaknya dalam koalisi, tak jadi masalah bila hanya program miminum saja yang kemudian bisa diterima oleh sekutu kita, tapi program minimum tersebut tidak boleh kontradiktif atau kontra-produktif terhadap programprogram maksimum atau program sejati kita, atau kita dengan bebas, tak terikat, harus (di segala kesempatan) berupaya mempropagandakan program-program sejati kita. Oleh karena itu, koalisi dengan PBR TIDAK BOLEH!3 3 PBR ikut dalam Komite Persiapan Penerapan Syariah Islam di Makassar; pernyataan Bursyah Zarnubi, Ketua Umum PBR, yang menolak tuntutan 20% anggaran pendidikan dalam APBN (sesuai dengan UUD) dengan alasan bahwa anggaran negara belum mencukupinya karena pemerintah masih memiliki beban membayar utang luar negeri [itu artinya PBR tidak setuju program TRIPANJI (apapun kemudian penghalusan istilahnya) yang disodorkan PAPERNAS, karena salah satu program TRIPANJI adalah penghapusan utang]; Ketua PBR Sulawesi Barat menggunakan preman-preman bayaran untuk mengusir petani dari lahannya. Salah satu premannya kemudian dibunuh petani, dan sekarang beberapa petani dipenjarakan; anggota DPRD Labuan Batu, Sumatera Utara, yang juga ketua PBR setempat dan penampung sawit, menodongkan pistol pada salah seorang warga yang dituduh mencuri sawitnya; PBR mendukung pengesyahan UU PMA, impor beras di DPR; PBR adalah partai pendukung pemerintah; tidak benar di internal PBR ada pertarungan ideologis antara kaum muda versus ulama, karena kaum mudanya pun sebagian besar tidak pernah menunjukkan prestasinya sebagai pembela rakyat, baik sebagai anggota legislatif maupun sebagai anggota partai. Oleh karena itu, atau karena PBR adalah partai yang tidak populer di mata rakyat dan banyak melakukan hal-hal negatif terhadap rakyat, maka salah satu cara bila ingin menang pemilu dengan menggunakan nama PBR (memakai baju orang lain yang kotor), adalah: 1) kita harus mati-matian, habishabisan, membalikkan citra PBR (yang negatif tersebut) agar di mata rakyat citranya berubah menjadi PBR yang benar-benar membela rakyat; 2) cara lainnya adalah dengan menyogok rakyat yang tak sadar politik (politik uang). Saat ini, semua partai, terutama partai-partai besar, sedang membalikkan citranya karena telah gagal membela rakyat. Jadi: PBR harus bersaing dalam politik uang dengan partaipartai besar (yang, tentu saja, lebih banyak uangnya dan menguasai media massa; 3) atau PBR (bersama-sama partai kecil lainnya, termasuk PAPERNAS) mengsubordinasikan diri ke partai besar. Dan setelah itu, karena gabungan PBR dengan partai-partai kecil tersebut (termasuk PAPERNAS) harus diberi jatah kursi di parlemen atau jabatan di pemerintahan, maka gabungan partai besar dengan PBR (plus partai-partai kecil lainnya,
halaman 20 termasuk PAPERNAS) harus (bahkan sejak sekarang) mendepak atau mengalahkan salah satu partai besar yang sekarang bercokol di parlemen atau pemerintahan agar kursi dan jabatannya bisa dialihkan kepada gabungan PBR (beserta partai-partai kecil lainnya, termasuk PAPERNAS). Oleh karena itu, sejak sekarang, harus ada upaya untuk mendeskreditkan partai-partai lain (terutama partai besar). Sipakah partai besar yang harus disingkirkan tersebut? Tentu saja, seharusnya, GOLKAR, karena GOLKAR adalah sisa-sisa Orde Baru yang memiliki potensi untuk dibenci rakyat (bahkan bisa menyeret dukungan dari unsur-unsur yang tak setuju pada taktik pemilu, namun memiliki program anti sisa-sisa Orde Baru); jangan PDIP karena, walaupun mereka juga sudah tak dipercaya rakyat lagi, PDIP adalah partai yang paling “keras” beroposisi di parlemen. Kembali kepada taktik pertama (item nomer 1 di atas), maka: PBR dan partai-partai kecil (termasuk PAPERNAS) yang mengsubordinasikan dirinya kepadanya harus meningkatkan setinggi mungkin POPULARITASNYA sebagai partai pembela (sejati) rakyat (walau dengan program minimum sekalipun: seperti kesehatan, pendidikan dan demokrasi, serta yang lain-lainnya). Dengan demikian, perkerjaan berat tersebut harus didukung oleh MILITANSI TANPA BATAS— apalagi dalam tahap awal (saat popularitasnya belum meluas dan kuat)—strategi atas dan strategi bawah. Maka, agar maksimal, strategitaktiknya tidak boleh dikotori oleh apriori (subyektif) sebagaimana dalam strategi-taktik PAPERNAS, yakni: konsentrasi HANYA di arena pemilu/elektoral; apalagi strategi-taktik (anak kecil): konsentrasi di daerah pemilihan (DAPIL). Yang benar adalah: radikalisasi/ militansi tanpa batas dalam merespon potensi radikalisme di geopolitik (buruh, kaum miskin kota, mahasiswa, petani, dan lain sebagainya)— geopolitik dalam makna teritori yang statistik ekonomi-politiknya (formasi modal; mekanisme penghisapan/penindasannya, dan historis perlawanannya) dapat menjadi landasan mobilisasi radikalisasi massa. Dengan demikian, respon terhadap geopolitik maknanya: secepat mungkin menginvestigasi, menyadarkan, menyatukan dan memobilisasi/meradikalisir potensi-potensi di geopolitik tersebut baik secara sektoral maupun teritorial; atau memproses gerakan sektoral dan kedaerahan menjadi gerakan multi-sektoral dan nasional/ internasional (mulai dari daerah yang berdekatan serta bergejolak). Dan gerakan tersebut harus merupakan proses kesatuan strategi bawah dan strategi atas (yang bertugas mempercepat/memperluas agitasi-propagandanya). Popularitas program dan organisasi sebagai hasil, buah, panen, dari respon terhadap geopolitik justru memudahkan popularitas program dan organisasi di DAPIL. Arena pemilu, sebagai salah satu saja peluang untuk mendapatkan ajang dalam memperluas agitasipropaganda dan perang mendapatkan posisi, MERUPAKAN PANEN dari strategi-taktik pembangunan gerakan seperti itu—apalagi bila ada hambatan UU Pemilu, serangan kaum reaksioner dan kontra-revolusi lainnya, maka makna panen tersebut adalah memiliki kemampuan untuk mendobrak hambatanhambatan tersebut. [Dalam demokrasi liberal/ prosedural yang lebih “demokratik”, bisa saja peluang tersebut lebih mudah didapat. Tapi ada juga yang mengatasi hambatan-hambatan
halaman 21 tersebut dengan berkoalisi atau mengsubordinasikan dirinya (merger) kepada partai lain, seperti PAPERNAS]. Kemudian, erakan nasional/internasional multi-sektor tersebut, pada tahap tertentu, saat gerakannya belum memadai, bisa saja berusaha mengambil peluang pemilu dengan mendobrak hambatanhambatan tersebut (sejalan dengan perkembangan kwantitas massanya) untuk maju sebagai peserta pemilu dengan partai dan politik sendiri, PARTAI DAN POLITIK ALTERNATIF, PARTAI DAN POLITIK RAKYAT MISKIN. Dan karena menjadi peserta pemilu dengan menggunakan baju/ partai orang lain (yang busuk) akan memperberat beban bagi strategi-taktik pembangunan partai dan politik alternatif rakyat miskin, maka strategi-taktiknya harus terbebas dari ikatan moderasi (seperti pernyataan Bursyah Zarnubi tentang anggaran pendidikan di atas); pamrih (sebagaimana kita tahu, pamrih yang paling memberatkan adalah hal-hal negatif (seperti dijelaskan di atas) di kalangan anggota-anggota PBR; kelelahan berjuang di kalangan anggota-anggota PAPERNAS); dan strategi-taktik konsentrasi (baca: penjara; pemasungan) sekadar di ajang pemilu dan di DAPIL. Jadi, bisakah strategitaktik kaum mayoritas di PRD dan PAPERNAS berhasil menjadi strategi-taktik untuk memajukan partai serta politik alternatif rakyat miskin (dengan mengsubordinasikan diri kepada PBR)? TIDAK BISA! Karena strategi-taktiknya terikat oleh moderasi (khawatir menggangu kesepakatan dengan PBR; atau, menurut pimpinan-pimpinan PRD/ PAPERNAS, bila hendak mengritik PBR lebih baik secara tertutup di dalam kepempinan bersama—yang tak setara itu); strategitaktiknya (dipenjara) oleh konsentrasi di ajang pemilu dan di DAPIL; dilihat dari kondisi subyektifnya, banyak pimpinan kaum mayoritas di PRD dan di PAPERNAS sudah kelelahan dan tidak/belum teruji militansi kerjanya; serta digangu oleh perpecahan internal Stalinis (yang diciptakannya sendiri oleh kaum mayoritas dengan menyingkirkan atau mengisolasi kaum minoritas yang berbeda pendapat, padahal kaum minoritas bisa saja dan setuju diakomodir oleh konsep minoritas tunduk pada mayoritas—namun, setelah menyingkirkan kaum minoritas dari PRD, dengan referendum palsu, mereka malah menuntut kepatuhan kepada konsep “minoritas harus tunduk kepada mayoritas” di PAPERNAS dan ormas-ormasnya sembari, dengan segala cara, mencari alasan untuk menyingkirkan dan mengisolasinya. Semua itu, menurut mereka, agar ada kohesifitas dan tidak digangu oleh perbedaan pendapat. Oleh karena itu, beberapa terbitan mereka ditutup; kalaupun ada, harus melalui sensor yang ketat. Seandainyapun strategi-taktik kaum mayoritas tersebut tak digangu oleh hambatan-hambatan tersebut, tetap saja tak akan berhasil karena, terutama pada tahap awal, strategi-taktik untuk menjadi partai alternatif rakyat miskin (dengan mengsubordinasikan diri kepada PBR) memerlukan radikalisme/militansi tanpa batas, tanpa pamrih, dan bersih dari kontradiksi/ kontra-produktif yang ditimbulkan oleh citra negatif PBR di mata rakyat, serta internal PRD/PAPERNAS/dan ormas-ormasnya yang, sebenarnya, sudah mengandung bibit perpecahan; persatuan (untuk pemilu) dengan PBR berkontradiksi dan kontra-produktif
11. Salah satu strategi-taktik mengembangkan partai dan politik alternatif rakyat miskin lihat tulisan Arah Pengorganisasian Massa untuk Revolusi dengan Metode Tiga Bulanan. 12. Sekali lagi, dari fakta yang ada dalam analisa situasi nasional di atas, jelas program yang harus diperjuangkan adalah menghancurkan: 1) sisa-sisa lama (Orde Baru dan Golkar); 2) tentara. Karena mereka terus mengendap-ngendap untuk mencari celah menjarah ranah sipil kembali, bahkan sekarang semakin terbuka bergerak naik. Ilusi yang dibangun adalah bahwa militer masih bisa dikontrol oleh sipil— misalnya dengan adanya kementerian pertahanan dan keamanan, yang menterinya seorang sipil—tak terbukti di lapangan, mereka tetap saja tak bisa dikontrol (kasus penembakan di Pasuruan, misalnya). Bahkan sekarang perluasan pengaruh militer di partai-partai semakin kuat. Artinya masih ada problem tentara, Dwi Fungsi harus dituntaskan; 3) reformis Gadungan. Kita harus membongkar ilusi terhadap reformis gadungan, agar rakyat bertambah mengerti. Harus ditunjukkan bahwa program reformasi pun tidak mau mereka tuntaskan, hanya sekadar janji; 4) penjajahan modal asing dan kapitalisme. Bila kita tak berhasil menyelesaikan problem penjajahan modal asing, maka kita telah kehilangan potensi untuk mengembangkan force of production sosialisme. 13. Sebagian aspek yang harus ditekankan dalam agitasi-propaganda adalah: jangan percaya pada neoliberalisme, karena semangatnya adalah semangat penjajahan, semangat penghisapan. Karenanya konsep neoliberalisme harus dirubah menjadi konsep penjajahan; jangan percaya pada terhadap strategi-taktik pembangunan partai dan politik alternatif rakyat miskin. KARENA ITU, PERSATUAN (UNTUK PEMILU) DENGAN PBR TERSEBUT TIDAK PERLU. [Bahkan persatuan dengan PDIP-P, yang paling “vokal” sebagai oposisi di parelemen, pun tidak perlu karena PDIP sudah terbukti gagal, dan upayanya untuk mendaur ulang, membalikkan citra, partai serta ketuanya belum terbukti berhasil. Apalagi, terbukti, jumlah GOLPUT di Pemilu 2004 dan PILKADA semakin meningkat. Itu membuktikan tingkat kepercayaan dan harapan rakyat terhadap elitelit dan partai-partai lama semakin menurun. GOLPUT juga mencerminkan potensi adanya harapan rakyat akan partai/pimpinan alternatif (ingat Pemilu tahun 50an: rakyat baramairamai bangun pagi, seperti saat lebaran saja, masak, makan, lalu berangkat ke TPS, hingga tingkat GOLPUT nya di bawah 1%. Rakyat sedang berharap pada ideologi, program, partai dan pimpinan alternatifnya)].
sisa-sisa lama (Orde Baru dan GOLKAR); jangan percaya pada tentara (penindas rakyat); jangan percaya kaum reformis gadungan; jangan percaya partai-partai lama (yang bukan alternatif); yang lainnya adalah soal budaya: budaya kemandirian (anti penjajahan), budaya non kooperasi, budaya alternatif, budaya berlawan (radikal, militan, dan cerdik), budaya berorganisasi, budaya bersatu/kolektif, budaya membaca/ belajar, budaya bekerja, budaya cinta keilmiah-an, budaya sayang rakyat, kawan, dan sesama, budaya cinta lingkungan, budaya demokratik, budaya anti rasialisme, budaya kesetaraan gender, budaya toleran terhadap orientasi seksual, serta lain sebagainya. 14. Hegemoni kepemimpinan program dan politik partai alternatif rakyat miskin sendiri memang tak bisa berkembang bila dilepaskan dari persatuannya dengan kelompok-kelompok lain. Tapi harus hati-hati memahami kelompok-kelompok tersebut. Bahkan spektrum gerakan lama (’80an dan ’90an) pun banyak yang sudah tak bersih lagi, sudah terkooptasi, dan campur aduk antara yg radikal dan moderat, sehingga malah bisa memperlambat gerakan. Bahkan, gilanya, yang radikal bisa terkooptasi oleh yang moderat—apalagi, setelah kejatuhan Suharto, bila tak jeli, sulit untuk menilai kadar kwalitas mobilisasi (yang tidak sepenuhnya politis) yang dilancarkan oleh unsur-unsur (terutama LSM) yang, pada masa Suharto, bukan main moderatnya. Misalnya, sebagai contoh, spektrum gerakan ’80an dan ’90an sudah mulai mencoba mewujudkan proyek persatuan, namun konsolidasinya masih campur aduk, tanpa unsur pelopor (yang bebas dan berkehendak memiliki program serta metode politiknya sendiri). Layaknya proyek mimpi. Karena itu, pengolahannya: harus ada analisa dan penetapan rangking unsur-unsur yang harus dipersatukan sesuai dengan programprogram dan metode-metode politiknya, agar lebih cepat berkembang dan meluas. Masing-masing ada wadah persatuannya sendiri, namun kita tidak boleh sektarian dengan menghindarkan diri atau tidak terlibat dalam wadah-wadah persatuan yang program-programnya minimum dan metode-metode politiknya moderat. Bahkan kita harus juga mempelopori wadah-wadah seperti itu, sebagaimana layaknya kerja kaum pelopor di lautan kesadaran dan elemen-elemen reformis. Bila dapat diolah dengan efektif maka memungkinkan adanya perkembangan gerakan yang signifikan, sekaligus memungkinkan dihasilkannya figur-figur [yang, paling tidak, demokrat (sejati) atau populis] yang akan terus bertahan.
halaman 22 15. Isian politik dalam persatuan dengan unsurunsur reformis, pada tahap awal, minimal ada dalam batas-batas platform demokrasi dan kesejahteraan. Kemudian, bila ada landasan adanya komitemen kerja—terutama dalam upayanya menghancurkan sektarianisme, dengan melibatkan sebanyak mungkin unsur-unsur reformis [yang, bahkan, ada yang sudah menginginkan “alternatif ” (dalam pengertian mereka]—maka wibawa persatuan akan meningkat (apalagi bila massanya meluas), dan kepercayaan terhadap persatuan, dengan demikian, akan meningkat pula. Dan bisa saja, pada satu kondisi yang memadai, wadah persatuan tersebut akan bertransformasi menjadi partai dan mengambil taktik pemilu dengan politiknya sendiri (yang masih reformis sekalipun). Namun, pergerakan tersebut telah berhasil mengeliminir sisa-sisa politik lama; dan pergerakan tersebut tidak boleh dilepaskan dari konsep perjuangan kompartemen sosialis di lautan kesadaran dan politik reformis, agar kita bisa mengambil manfaat terhadap perkembangan persatuan tersebut (lihat tulisan: Arah Pengorganisasian massa untuk revolusi dengan Metode Tiga Bulanan). Prosesnya sekarang adalah pembesaran gerakan sendiri dan gerakan persatuan, dengan tanpa membatasi atau menahapnahapkan agitasi-propaganda sejati—tentu saja, dalam kesepakatan persatuan, kita akan dengan cerdik dan rendah hati4 bisa berkompromi menyepakati reformasi yang menguntungkan rakyat (yang tidak berkontradiksi dan kontra-produktif terhadap program-program kita). Hasil langsung dari strategi-taktik tersebut adalah: atmosir politik (yang semakin lama semakin meluas tapi mem–fokus) akan tetap terjaga (hidup), walaupun terdapat banyak kekuatan/gerakan (yang sebelumnya sulit untuk disatukan); dan atmosfir politik inilah yang justru akan menjadi landasan lebih mudahnya persatuan semakin meluas dan mem-fokus.
4 Dapat menempatkan berbagai individu,
kelompok, dan persatuannya sesuai dengan kapasitasnya, tidak akan memaksakan kehendak baik secara programatik maupun dalam metode politiknya, karena yang penting adalah bagaimana atmosfir politik—sebagai cerminan ekspresi ideologis dan metode politik persatuan—tetap bisa dihidupkan (bahkan diperluas), semoderat apapun (asal jangan kontradiktif dan kontra-produktif). Atmosfir politik seperti itulah justru yang akan mendorong (baca: memberanikan diri) unsur-unsur moderat dan memberikan landasan material bagi kaum pelopor untuk membawa persatuan tersebut ke arah momen eksekusi politiknya yang lebih berkwalitas dan nyata—apakah dalam manifestasi memenangkan pemilu atau pemberontakan rakyat.
16. Agar gabungan antar-sektor dan antarteritori dapat lebih cepat berkembang menjadi gerakan nasional/internasional yang berwibawa dan memiliki daya tempur maka, dalam tahap awal, harus segera ada seruan (dengan alat-alat medianya5) dan turne ke daerah-daerah (yang harus diproritaskan di teritori geopolitik): BAHWA GERAKAN ALTERNATIF HARUS MEREBUT HEGEMONI AGENDA POLITIK!-termasuk mengambil keuntungan dari perkembangan positif gerakan tani setelah kejatuhan Suharto. 5 Untuk
melihat rincian alat-alat media penyadarannya, lihat tulisan: Arah Pengorganisasian massa untuk revolusi dengan Metode Tiga Bulanan.
Gerakan tani harus disatukan (terutama dengan daerah-daerah terdekatnya yang berlawan) baik dengan sektornya sendiri maupun dengan sektor masyarakat lainnya, dan didorong agar mobilisasinya bisa mempengaruhi atmosfir politik dan kebijakan nasional/internasional. Mereka, setahap demi setahap, harus bergerak ke pusat-pusat kekuasaan, dari mulai ke kecamatan, ke kabupaten, ke propinsi, dan nasional (bahkan internasional). Selain itu, agar gerakan tani menemukan alat-alat dan saluran-salurannya untuk populer, agar gerakannya didengar secara luas.©
halaman 23
A R A H Koalisi (Ala PAPERNAS) Mematikan Pembangunan Gerakan Alternatif (Kritikan terhadap Proposal PRD) Gregorius Budi Wardoyo 1. Kritikan terhadap Latar Belakang Proposal PRD: Disampaikan bahwa mayoritas kelas elit adalah perantara sekaligus mandor bagi kepentingan imperialisme (modal asing). Apakah pernyataan tersebut bermaksud mengataka: ada sebagaian kecil kelas elit yang tidak menjadi mandor imperialis. Jika memang ada, mestinya ada penjelasan siapa saja mereka dan apa kepentingan ideologi politiknya, karena tidak menjadi mandor bukan sertamerta anti terhadap imperialis, apalagi melawannya. Disampaikan juga bahwa keresahan rakyat terus meningkat dan melahirkan perlawanan-perlawanan namun masih fragmentatif, dapat dikanalisasi secara prosedural dalam demokrasi liberal, dan miskin orientasi politik. Sekalipun upaya rejim untuk mengkanalisasi perlawanan rakyat terhadap imperialisme dilakukan dengan memaksakan demokrasi prosedural, namun bisa dikatakan upaya rejim tidak sepenuhnya berhasil, karena aksi–aksi massa tiap hari terus terjadi bahkan, di banyak tempat, dengan metode-metode yang radikal, sehingga demokrasi prosedural bukan makin menguat legitimasinya melainkan makin melemah. Demikian juga dengan angka golput yang tinggi dalam pemilihan kepala daerah, atau juga survey banyak lembaga yang menyatakan bahwa rakyat makin tidak percaya kepada parpol pemenang pemilu 2004, tidak percaya pada DPR, tidak pada percaya pemerintah, tidak percaya pada elit-elit politik, tidak percaya pada birokrasi maupun aparatus keamanan, dan tidak percaya pada hukum. Kenapa perlawanan rakyat masih fragmentatif dan “miskin orientasi politik”? Itu karena campur tangan kaum pelopor masih kurang baik secara ideologi, politik maupun organisasi. Seharusnya ini diakui oleh PRD dan kaum revolusioner lainnya, bahwa kemampuan mereka (secara subyektif) untuk mengintervensi perlawanan rakyat belum cukup kuat, baik dalam pekerjaan ideologi, pekerjaan politik maupun pekerjaan organisasi, bukan malah menyalahkan kondisi obyektifnya (yang sebenarnya kondusif bagi perlawanan politik yang sadar dan terorganisir). Karena rakyat Indonesia, juga rakyat di negeri manapun, hanya akan mendapatkan kesadaran
sejatinya—kesadaran sosialisme—jika kaum pelopor terus menerus mengintervensi dengan berbagai macam cara, dengan ketekunan, dengan ketelitian, dengan kesabaran yang tinggi. Pasca reformasi, rakyat Indonesia terus melawan karena tidak ada perubahan yang siginifikan buat mereka, malah makin dimiskinkan. Itulah sumber utama enerji partai revolusioner yang, kalau tepat diolah dengan baik, akan menjadi kekuatan sesungguhnya bagi pergantian sistem ekonomi-politik di Indonesia, dan akan menular ke negri-negeri lainnya. Juga dikatakan, dalam pendahuluan, bahwa belum ada alternatif yang sanggup tampil ke arena politik untuk memimpin, mengolah, dan mengarahkan keresahan rakyat tersebut menjadi perjuangan anti imperialisme yang efektif. Jelas, jelas sekali. Memang belum ada alternatif. Untuk kepentingan itulah PAPERNAS kita dirikan, agar rakyat miskin, rakyat yang melawan, mempunyai saluran perlawanannya, mempunyai ideologinya sendiri, mempunyai politiknya sendiri, dan mempunyai alat perjuangannya sendiri yang akan berhadapan dengan semua kekuatan politik anti rakyat baik imperialis maupun boneka-bonekanya di Indonesia. Dan pekerjaan untuk menjadikan PAPERNAS sebagai alternatif belum selesai, dan tidak akan pernah selesai sekalipun nantinya rakyat Indonesia sudah menang, karena masih ada tanggung jawab untuk membebaskan rakyat di negeri-negeri lain. PAPERNAS tidak didirikan semata-mata untuk PEMILU, tetapi sejatinya adalah untuk memimpin dan membesarkan gerakan rakyat, sehingga hidup matinya PAPERNAS bukan ditentukan oleh penguasa atau oleh siapapun (musuh rakyat), melainkan oleh rakyat sendiri, karena PAPERNAS adalah milik rakyat miskin. PRD juga menyampaikan: dalam proses sebelumnya, upaya membangun persatuan tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan, baik dengan unsur-unsur gerakan [lewat KPGR (Konferensi Persatuan Gerakan Rakyat), ABM (Aliansi Buruh Menggugat), dan PPR (Partai Perserikatan Rakyat)] ataupun dengan unsur-unsur moderat (intelektual, tokoh-tokoh politik, agamawan, ekonom, tokoh LSM, budayawan, dan lain sebaginya).
Betul, sudah ada upaya. Tapi, jika mau jujur, upaya untuk membangun persatuan tersebut, dalam rencana yang disusun pada saat itu, hanyalah dengan mencoba meluluskan proposal, bukan dengan kerja-kerja bersama dalam merespon momentum-momentum politik atau momentum-momentum perlawanan rakyat. Memang ada KPGR, namun itu bukan rencana kita, itu adalah usulan dari kawan lain di luar kita, yang kemudian kita sepakati dan kita coba kerjakan. Dalam prekteknya, memang unsur-unsur gerakan, terutama yang ada di Jakarta, tidak bersungguh-sungguh tapi, di luar Jakarta, sambutan terhadap KPGR ini cukup luas. Sayangnya, karena kelemahan kepemimpinan di Jakarta, sambutan yang luas di berbagai daerah tersebut tidak dapat dipertahankan dan diperluas. Padahal, terbukti, ketika kita memutuskan untuk membangun KP-PAPERNAS, sebagian unsur KPGR juga terlibat. Demikian juga halnya dengan ABM: sekalipun intervensi kita minimal, namun penerimaan ABM untuk menjadikan isian TRIPANJI menjadi PLATFORM ABM merupakan sebuah langkah maju, apalagi ABM bukan semata-mata aliansi taktis, melainkan aliansi semi permanen— bahkan, dalam perjalanannya, sekarang akan dimajukan menjadi aliansi permanen dalam bentuk konfederasi serikat buruh; dan, lebih dari itu, ABM telah mendorong terjadinya pembangunan persatuan dengan sektor/gerakan rakyat di luar buruh. Kerja-kerja tersebut, sayangnya, kemudian makin diminimalkan setelah KP-PAPERNAS terbentuk, karena sebagaian kawan menjadi anti atau tidak percaya bahwa capaian yang telah didapat akan bisa dimajukan. Alasan utama beberapa kawan itu: gerakan tersebut tidak mau ikut pemilu. Padahal gerakan tersebut memiliki platform anti imperialis dan punya jaringan yang juga luas. Apakah gerakan anti imperialis harus mau ikut pemilu dulu baru boleh diajak untuk bersatu oleh kita? Naïf alias bodoh: karena sesungguhnya persatuan anti imperialis adalah berkali-kali lebih penting, berkali-kali lebih utama daripada sekadar ikut pemilu. Dan sejarah di banyak negeri, juga di Indonesia, telah menunjukan bahwa pemerintahan borjuis bisa dikalahkan oleh gerakan rakyat di luar mekanisme pemilu. Apalagi pemilu di Indonesia, sistemnya jauh dari demokratik, bahkan menjauhkan rakyat dalam partisipasi yang sesungguhnya sehingga, seharusnya, ketika PAPERNAS memutuskan
halaman 24 mengintervensi pemilu, maka kerja utama PAPERNAS adalah mendobrak hambatanhambatan ’prosedur demokrasi’ yang dibuat oleh rejim, bukannya mengamini. Dan upaya mendobrak hambatan demokrasi tersebut, tidak cukup bersandar pada Aliansi Parpol untuk Keadilan, harus bersandar pada gerakangerakan mobilisasi massa, terutama massa yang sadar, massa yang militan, tentunya—dengan demikian membutuhkan pengorganisiran terlebih dahulu. Sedangkan Aliansi Parpol untuk Keadilan bisa dikatakan sangat cair— semua partai yang dirugikan oleh UU Pemilu atau RUU Pemilu bisa bergabung, termasuk partai Hanura maupun PKPB, yang pimpinanpimpinanya adalah antek-antek Suharto/ Orde Baru, pelanggar HAM, anti demokrasi. Bagaimana bisa: mengharapkan komitmen demokrasi pada mereka yang sejatinya anti demokrasi? Dalam Latar Belakang, PRD juga mengajukan pertanyaan apakah intervensi Pemilu 2009 tetap dipandang sebagai sesuatu yang obyektif dibutuhkan—dalam kerangka taktik menghadapi imperialisme? Bila tidak, seperti apakah garis politik lain yang dapat dijalankan oleh struktur Papernas sampai Pemilu 2009? Bila ya, terdapat kenyataan Papernas belum sanggup (berdasarkan laporan organisasi) memenuhi syarat-syarat yang diciptakan rejim, dan apakah melakukan koalisi dengan partai lain dapat menjadi kesepakatan kita untuk pilihan kerja politik ke depan? Ya, pemilu, sebagaimana juga panggung/ momentum politik lainnya, harus di intervensi, tapi intervensi tidak selamanya bermakna harus menjadi peserta agar mendapatkan keuntungan yang maksimal. Mega-Bintang-Rakyat (MBR), yang merupakan taktik intervensi pemilu oleh PRD pada tahun 1997, berhasil mengajak jutaan rakyat tumpah ruah ke jalan dalam mobilisasi-mobilisasi kampanye PPP di banyak kota, dengan mengusung semangat/ program Gulingkan Soeharto, Cabut Dwi Fungsi ABRI, Cabut Paket 5 UU Politik dan
program demokratik lainnya. Jutaan rakyat tersebut jelas merupakan hasil intervensi PRD, karena Pimpinan PPP maupun PDI Mega justru melarangnya, termasuk Rejim Soeharto pun melarang arak-arakan massa. Namun massa rakyat tidak mengindahkan laranganlarangan tersebut, mereka tetap tumpah dan bergerak di jalan-jalan sehingga, kemudian, dengan intervensi kaum pelopor yang terus berkelanjutan, akhirnya berhasil menjatuhkan Soeharto di tahun 1998—padahal pada Pemilu 1997 GOLKAR menang mutlak, dan Soeharto terpilih kembali menjadi Presiden hingga 2002. Selain itu, tindakan politik tersebut berhasil memukul mundur ABRI hingga ke pojok. Siapakah di antara kita yang berani mengatakan bahwa penjatuhan Soeharto dan kesanggupan memukul mundur ABRI bukan capaian yang luar biasa—padahal, pada waktu itu, PRD adalah partai terlarang, bergerak di bawah tanah, sedang dikejar-kejar, dan dengan jumlah anggota yang sangat sedikit. Ada juga pengalaman Intervensi lainnya yang dilakukan oleh Chavez pada pemilu 1994 di Venezuela: melakukan golput aktif dengan propaganda utama Bukan Pemilu, tapi Majelis Konstituante sehingga, kemudian, pada tahun 1998 berhasil memenangkan Chavez menjadi Presiden dengan program kerakyatannya. Padahal pada pemilu 1994, Chavez ditawarkan menjadi calon Presiden dari Partai Cauza R—partai kiri yang sudah punya kursi lumayan besar di parlemen pada watu itu—namun Chavez menolaknya, karena pemilu masih dikuasai oleh elit/parpol anti rakyat sementara kekuatan rakyat belum teroragnisir dengan cukup kuat. Chavez kemudian mengkampanyekan Bukan Pemilu,Tapi Majelis Konstituante dan terus mengkampayekan kebutuhan akan majelis konstituante pada tahun-tahun berikutnya sekaligus membangun struktur organisasi dan legalitas untuk memperjuangkannya. Dan, pada tahun 1996, dua tahun sebelum pemilu 1998, Chavez mengadakan survey pada 100 ribu rakyat1, yang isinya menanyakan pada rakyat: apakah rakyat menghendaki dirinya 1Survey yang sekaligus bermakna pengorganisasian.
mencalonkan diri menjadi Presiden pada Pemilu 1998 atau tidak. Dari 100 ribu orang responden, 87 % menyatakan, Chavez harus mencalonkan diri; survey berikutnya menanyakan: apakah mereka akan memilih Chavez atau tidak. Dari 100 ribu orang responden, 57 % menyatakan akan memilih Chavez. Akhirnya Chavez membentuk partai politik (dengan keterbatasan finansial danstruktur, bahkan kemanan dirinya), berpartisipasi dalam pemilu 1998, serta berhasil memenangkan pemilu dengan dukungan 57 % suara, sama dengan hasil survey sebelumnya. Dan kita semua tahu bahwa Chavez kemudian melakukan perombakan UUD secara radikal, sehingga UUD di Venezuela adalah UUD yang paling demokratik baik proses pembuatannya maupun isinya—termasuk banyak sekali program-program kerakyatan seperti pendidikan gratis hingga universitas, kesehatan gratis, menasionalisasi aset-aset negara yang telah dikuasai asing dan lain sebagainya. Apakah ini bukan capaian yang maksimal, sekalipun Chavez tidak ikut pemilu pada tahun 1994. Dalam kepentingan PAPERNAS SEBAGAI ALTERNATIF, apakah PAPERNAS harus IKUT PEMILU dengan TAKTIK KOALISI— sebenarnya bukan koalisi, tapi MERGER (melebur)—BERSAMA PARTAI BORJUIS (PBR, salah satunya)? Tentu tidak, karena: 1) rakyat Indonesia, seperti kesimpulan di atas, makin tidak percaya pada elit/parpol borjuis, termasuk mekanisme borjuisnya. Rakyat justru membutuhkan ALTERNATIF di luar PARTAI DAN ARENA MEKANISME BORJUIS, sehingga seharusnya KONSENTRASI/ PRIORITAS kerja PAPERNAS bukan di situ; 2) merger dengan borjuis (ala PEPRNAS) jelas akan mengikat tangan dan kaki PAPERNAS karena, belum apa-apa, sudah meminta TUMBAL, yakni: PAPERNAS sebagai PARTAI POLITIK DIBUBARKAN, diganti PAPERNAS sebagai ORGANISASI MASSA (yang didaftarkan ke DEPDAGRI, walaupun esensinya, katanya, tetap partai. Satu taktik yang membingungkan rakyat). 3) tidak ada satupun partai borjuis yang ada di PARLEMEN sekarang punya persepektif ANTI IMPERIALIS dan PERSPEKTIF DEMOKRASI, apalagi PBR dan PARTAI PELOPOR bahkan MENJADI PARTAI PENDUKUNG SBY-JK; 4) Papernas belum cukup kuat secara ideologi, politik dan organisasi untuk mencegah pengaruh-pengaruh busuk borjuis, jika terjadi MERGER. Namun jika koalisi terpaksa dilakukan karena ada situasi-situasi khusus—seperti ada potensi keuntungan yang sangat besar, atau ada ancaman terhadap demokrasi yang nyata dan sangat signifikan—maka bisa saja koalisi dijalankan dengan prinsip-prinsip yang tidak merugikan (kontra-produktif terhadap) kepentingan PAPERNAS sebagai PARTAI ALTERNATIF: 1) landasan Platform koalisi harus jelas, tidak boleh abstrak—sekalipun moderat—dan tidak boleh kontradiktif serta kontra-produktif terhadap program–program
halaman 25 PAPERNAS; 2) paling tidak di luar arena merger, harus ada kebebasan bagi PAPERNAS untuk melakukan aktifitas deologi, politik dan organisasinya—dalam hal ini, bebas mengkampanyekan Tripanji2 dan programprogram lainnya, bebas melakukan metodemetode perjuangannya, bebas menggunakan PAPERNAS sebagai PARTAI (tidak boleh dilarang, apalagi dibubarkan menjadi ormas), dan bebas melakukan kritikan terhadap sekutu baik karena kesalahan masa lalu, masa kini atau jika ada kesalahan sekutu di masa depan; 3) jika syarat tersebut terpenuhi, tetap saja pekerjaan koalisi merupakan PEKERJAAN SEKUNDER, BUKAN PEKERJAAN UTAMA, karena PEKERJAAN UTAMA PAPERNAS adalah MEMBANGUN POLITIK ALTERNATIF, POLITIK RAKYAT MISKIN.
2. Kritikan dalam Hal Analisa Situasi Nasional PRD menyatakan: demikian halnya dalam lapangan politik, belum ada suatu gambaran data maupun kejadian yang mengindikasikan adanya perubahan—yang mengharuskan kita meninggalkan arena elektoral— yang juga diamanatkan oleh Kongres Pembentukan Papernas di Kaliurang. Apa yang dimaksud dengan belum ada satu gambaran data atau kejadian yang mengindikasikan adanya perubahan yang mengharuskan kita meninggalkan arena elektoral? Jika pertanyaan ini dibalik secara negatif, apakah ada data-data yang menunjukan bahwa PARLEMEN di Indonesia bisa menjadi ajang bagi perubahan sejati?Apakah ada datadata yang menunjukan partaip-partai Borjuis di Indonesia punya perspektif anti Imperialis dan demokrasi? Jika PRD memahami dialektika sejarah mereka seharusnya mengerti bahwa aksi-aksi, YANG sekarang terusmenerus terjadi, adalah buah dari kegagalan sistem demokrasi prosedural dan neoliberalisme, adalah buah dari kegagalan partai-partai politik borjuis dalam memberikan jalan keluar, sehingga dapat manjadi potensi yang luar biasa besarnya bagi POLITIK ALTERNATIF, bagi POLITIK EKSTRA PARLEMEN, bagi PAPERNAS sebagai PARTAI RAKYAT MISKIN. Namun potensi tersebut harus diolah secara tepat, dengan kesabaran yang sepenuhpenuhnya dalam melatih massa, mendidik massa, menggorganisir massa dan menyatukan massa dalam kepemimpinan program/ politik, sehingga tidak mustahil akan lahir perubahan yang sejati dengan cara EKSTRA PARLEMEN. Namun jika PRD bermaksud MENUNGGU ADANYA GERAKAN 2Istilah TRIPANJI bisa saja diubah karena memberikan nuansa PKI; namun perubahannya tidak boleh abstrak (tidak kongkret) tidak boleh mengesankan eupimisme seperti: melindungi kekayaan alam untuk menggantikan nasionalisasi.
RAKYAT YANG REVOLUSIONER TANPA MENGOLAHNYA, maka ITU BERARTI PRD mengambil sikap BUNTUTISME, mengekor pada kesadaran massa—yang sekarang justru sedang tanpa pengolahan kaum revolusioner. Bagi PRD: harus ada PARASMANAN kesadaran massa yang maju— dan hal itu, katanya, disebut realistis, disebut sebagai tindakan politik kongkrit. Bagaimana mungkin ada parasmanan kesadaran massa yang maju bila tidak diolah oleh kaum pelopor, yang memasokkan kesadaran maju? MIMPI. PRD malah menganggap mengolah potensi tersebut sebagai mimpi, karena itu lebih baik mengambil jalan politik yang tidak bertumpu pada kesadaran maju massa (KARENA BELUM ADA), atau jalan pintas politik: menjadi peserta pemilu, APAPUN TUMBALNYA. Ada istilah untuk tindakan tersebut: PRAGMATIK, bahkan kapitulasi (baca: menyerah pada skenario musuh). Padahal, seharusnya, menjadi peserta pemilu (yang tidak mengorbankan segalanya) tujuannya justru untuk membantu pengolahan memajukan potensi kesadaran, tindakan politik, dan organisasi massa (sebagai yang pokok). Bisa saja PRD mengaku bahwa itulah sebenarnya yang akan dilakukan: memanfaatkan peluang pemilu dan duduk di parlemen/pemerintahan untuk menyadarkan massa. Bagaimana mungkin penyadaran massa akan efektif bila sebelumnya saja potensi kesadaran maju dan radikalisasi massa sudah dicemoohkan, dinilai rendah. Sejatinya, apa yang harus dikatakan PRD: Mari, kita mengolah kekuatan bakyat untuk berkuasa (salah satunya dengan cara menjadi peserta pemilu, tanpa mengorbankan segalanya) dan revolusi; dan jadikan pemilu serta parlemen untuk membantu membangkitkan kekuatan rakyat lebih jauh: revolusi. (Harus diingat kesadaran massa saat ini bisa saja dimanipulasi oleh borjuis bila tidak dipasokkan program sejati oleh kaum pelopor.) PRD mencoba agar taktiknya tidak menjadi mimpi, tidak sekadar menunggu kesadaran dan tindakan politik massa menjadi maju, yakni dengan menjadi OPPURTUNIS: 1) memanfaatkan keresahan rakyat, radikalisasi massa, dari parlemen (parlementaris); 2) atau mengambil untung dari hasil pekerjaan (tindakan/mobilisasi politik) orang/kelompok lain, juga dari parlemen. Ini persis sama seperti sikap PKS dan ormasormasnya—dulu, saat mereka masih di bawah tanah, saat PRD dan kelompok-kelompok demokratik lainnya menggorganisir gerakan penjatuhan kediktaktoran Soeharto (pada tahan 1980an hingga 1990an), PKS tidak terlibat sama sekali dalam gerakan tersebut, namun sedikit demi sedikit mereka membangun dan memperluas struktur seiring dengan terbukannya ruang demokrasi yang diperjuangkan PRD dan kelompok-kelompok demokratik lainnya, dan baru pada detik-detik terkahir penggulingan Soeharto, senat-senat yang mereka kuasai ikut turun ke jalan. Hasilnya, mereka sekarang besar, tetapi besar di atas darah pejuangpejuang demokrasi, darah kader-kader PRD saat itu, darah rakyat yang telah melawan
kedikaktoran Soeharto. Dan bagaimana bila semua orang dan kelompok berpendirian sama dengan PKS/ormas-ormasnya, bisakah ruang demokrasi dibuka lebih lebar (Baca: sehingga bisa membesarkan PKS dan ormas-ormasnya). Benalu dan buntutisme (karenanya pemimpi). Dalam hal analisa politik, PRD menyatakan bahwa, sekalipun ruang demokrasi menyempit dan kekuatan konservatif semakin menguat, celah untuk melawan imperialisme tetap terbuka, baik di arena parlementer maupun ekstra parlamenter. Kita juga sekata, bahwa upaya memundurkan demokrasi ini harus dilawan, agar semakin lapang jalan bagi rakyat untuk berdaulat sepenuhnya. Perlawanan ini nyata sedang kita lakukan. PRD mengatakan bahwa ada celah untuk melawan Imperialisme di arena PARLEMENTER dan EKSTRA PARLEMETER.. Sebenarnya, seberapa besar celah perlawnan terhadap imperialis di arena parlementer dibandingkan dengan arena di luar parlemen? Bila dianalisa dari partai-partai yang ada sekarang, dari aturan-aturan yang ada di arena parlemen, bahkan dari situasi di parlemen, sangat jelas bahwa celah itu sangat kecil. Sekalipun ada anggota PAPERNAS yang menjadi anggota DPR, celah itu masih sangat kecil, apalagi jika tidak ada gerakan massa di luar parlemen. Namun bandingkan dengan arena di luar parlemen, banyak sekali organisasi gerakan yang mengusung program anti imperialisme—walaupun belum bersikap soal taktik arena parlemen—banyak sekali aksiaksi di luar arena parlemen yang sangat maju metodenya, banyak sekali perlawanan rakyat (di luar arena perlemen) yang menolak dampakdampak neoliberalisme, dan semakin meningkat ketidakpercayaannya terhadap arena parlemen. Ekspresi GOLPUT jangan dianggap remeh menjadi semata teknis, tidak bisa bangun pagi, karena kerja, tidak terdaftar sebagai pemilih dan lain sebagainya. Karena rakyat akan bersemangat mengikuti pemilu dengan segala tetek-bengeknya kalau ada harapan perubahan yang akan diberikan setelah pemilu. Juga jangan anggap remeh ekpresi pengulingan kepala daerah-kepala daerah yang anti rakyat. Ini adalah celah yang luas sekali, belum lagi cakupan teritori dan sektornya, yang menyebar di seluruh Indonesia. Bahkan Hizbut Tahrir Indonesia—fundamentalis Islam—justru mengangkat program anti imperialis yang lebih maju dibandingkan dengan PDIP maupun PKB, apalagi PBR dan PELOPOR. Dengan demikian, jika berangkat dari politik kongkrit, politik nyata, politik rakyat, maka arena di luar parlemen lah yang memungkinkan menjadi arena utama untuk diolah oleh PAPERNAS, walaupun pada awalnya sulit populer—yang bisa diatasid engan program persatuan. Dalam hal kesadaran massa, PRD menyatakan bahwa sebagian besar dari aksi-
aksi perlawanan tersebut masih berada di bawah pengaruh kesadaran reformis, yang dapat diselesaikan, bisa dihentikan, dengan sogokan dan konsesi-konsesi. Karena itu, masih ada potensi rakyat akan kembali terseret menuruti kehendak partai-partai dan elit tradisional dalam suatu momentum politik yang muncul. Tentu saja kesadaran mayoritas rakyat adalah kesadaran reformis—kesadaran borjuis—dan ini asal usulnya sangat mudah dianalisa, yakni: ideologi borjuis jauh lebih tua, jauh lebih lama, dibandingkan dengan ideologi demokrasi kerakyatan, apalagi ideologi demokrasi kerakyatan di Indonesia telah dihancur-luluhlantakan pada tahun 1965 dan sepanjang Orde Baru berkuasa, bahkan hingga sekarang ideologi demokrasi kerakyatan tidak sepenuhnya bebas dipropagandakan. Dan kesadaran reformis rakyat ini, selamanya akan selalu begitu, jika kaum pelopor, kaum revolusioner, tidak mengintervensinya dengan penuh dalam situasi apaun dan dengan alasan apapun. Lebih jauh PRD menyatakan: Lebih gamblang dapat dijelaskan bahwa perkembangan kuantitatif tersebut belum sanggup mengatasi kelemahan mendasar dari seluruh perlawanan tersebut, yaitu; fragmentatif dan ketidakjelasan orientasi politik. Benar, PRD benar sekali, bahwa perkembangan kuantitatif perlawanan spontan belum sanggup mengatasi fragmentatif dan ketidakjelasan orientasi politik, serta seusungguhnya bukan hanya belum sanggup, melainkan tidak akan pernah sanggup. Massa rakyat, dengan pengalaman ditindas dan perlawanannya (yang tak tersadarkan)—juga harus dicatat, masih banyak lagi yang ditindas tetapi tidak melawan—akan memiliki kesanggupan untuk mengatasi persoalan fragmentasi dan orientasi politik seperti yang di maksudkan PRD, karena persoalan persatuan perlawanan, persoalan perebutan kekuasaan, persoalan sosialisme, hanya mungkin didapatkan oleh massa rakyat jika ada kekuatan politik pelopor yang memasoknya, mendidiknya dengan tak kenal lelah, dengan bacaannya, dengan aksi-aksinya, dengan organisasinya, dengan persatuanpersatuannya, dengan vergadering dan lain sebagainya. Sehingga keberadaan PRD dan organisasi politik lainnya, yang mengaku dirinya sebagai kekuatan politik kelas, kekuatan politik termaju dari massa rakyat miskin, seharusnya diabdikan ke arena tersebut, bukan sebaliknya: meninggalkan arena tersebut dan menunggu massa rakyat untuk sadar sendiri; baru kemudian setelah massa rakyat sadar, PRD akan bergerak di arena tersebut. Apalagi alasan meninggalkan arena tersebut? Karena ada arena lain, yakni arena parlemen yang sangat “nyata”, “kongkrit” yang, nyatanya, kongkritnya, tidak memiliki kesanggupan untuk membebebaskan massa rakyat miskin
dari cengkraman penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya. Dalam hal memandang gerakan, PRD menyatakan: Kaum pergerakan adalah salah satu fragmen dari luasnya fragmen rakyat yang berlawan. Sebagai salah satu fragmen, kaum pergerakan juga masih terpisah-pisah lagi ke dalam detail fragmen yang lebih luas, baik dalam hal pilihan praktik politik maupun pilihan alat yang digunakan. Mayoritas dari fragmen kaum pergerakan (yang relatif kecil dalam perimbangan dengan kekuatan elit secara keseluruhan) belum mempunyai orientasi politik, atau masih ragu-ragu dan lamban menentukan sikap. Sebagai fakta, betul apa yang disampaikan oleh PRD, namun tentu saja akan salah jika fakta tersebut kemudian dijadikan pembenaran untuk meninggalkan gerakan, karena selemahlemahnya iman kaum pergerakan (katakanlah pimpinan dan organisasi kerakyatan), merekalah yang paling maju dalam perjuangan melawan dominasi penjajahan imperialisme dan bonekabonekanya. Apakah PRD buta (mata dan hati) bahwa salah satu elemen pergerakan, yakni Aliansi Buruh Menggugat, adalah Organisasi yang dalam tindakan politiknya telah bergerak dengan mengusung TRIPANJI; atau KAU, yang sekalipun masih sangat elitis dalam makna organisi, namun kampanye-kampanye mereka soal penghapusan utang luar negeri, cukup efektif; apakah PRD juga buta (politik), bahwa Walhi (dengan jaringannya) cukup efektif mengkampanyekan tuntutan-tuntutan anti neoliberal; demkian juga dengan beberapa organ permanen kampus yang mengusung program anti neoliberal; dan banyak pula organorgan pergerakan yang mengusung program demokratisasi atau kombinasi keduannya. Sebagai fakta, tidak dapat dipungkiri bahwa jaringan organ pergerakan tersebut masih kecil, juga kemampuan propaganda dan mobilisasinya, namun fakta tersebut tidak bisa dijadikan alasan bagi partai pelopor untuk meninggalkannya, karena tugas menyadarkan, menyatukan, memperbesar gerakan adalah tugas partai pelopor.
halaman 26 3. Kritikan dalam hal Program Perjuangan
Tidak ada kritikan dalam hal program perjuangan.
4. Kritikan terhadap Strategi-Taktik Front Persatuan dan Koalisi Elektoral Sejauh unsur-unsur pendukung imperialis di dalam negeri masih dominan di lapangan politik, dan menguasai alat-alat kekuasaan negara, dan di lain pihak terdapat potensi unsur-unsur yang menentangnya, maka politik front persatuan mutlak kita butuhkan. Dalam logika front persatuan yang dimaksud oleh PRD, tidak ada keraguan sedikitpun bahwa kesamaan program anti dominasi imperialis adalah salah satu ukuran dalam hal penggalangan sekutu—logika yang kemudian dibantah sendiri oleh juru bicara–juru bicara PRD dalam Sidang Presidium Nasional PAPERNAS—bahkan PRD mengatakan, potensi unsur-unsur yang menentang dominasi imperialis pun wajib dijadikan sekutu. Artinya, kaum pergerakan, perlawanan spontan rakyat— karena perlawanan spontan rakyat menyimpan potensi anti dominasi imperialis—adalah sekutu sejati PRD, yang harus terus menerus diajak untuk membangun persatuan anti dominasi imperialis. Pada point selanjutnya , PRD menyatakan: Namun realitasnya kita (PAPERNAS) tidak bisa lolos sendiri, dan kesempatan untuk memanen keuntungan politik-organisasi pun tetap terbuka lewat koalisi. Secara teoritik (yang umum dan abstrak), tidak bisa dibantah bahwa taktik koalisi— bahkan (dalam hal ini) koalisi dengan kekuatan borjuis—dimungkinkan. Namun, koalisi dengan borjuis memiliki syarat-syarat situasi obyektif maupun subyektif yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu: 1) ada musuh bersama yang sedang mengancam perjuangan demokrasi dan sosialisme ke depan [FPI dan
halaman 27 kelompok-kelompok anti-komunis tidak bisa disimpulkan sebagai ancaman serius, tebukti rakyat bisa mengalahkannya saat ada upaya penghancuran (crackdown) terhadap PRD pada tahun 1996; juga rakyat bisa mengalahkannya pada saat kaum raksioner mengerahkan PAMSWAKARSA; bagaimana mungkin peluang demoktrasi liberal (sebagaimana yang disimpulkan PRD) yang lebih tebuka ketimbang sebelumnya tidak bisa dimanfaatkan untuk melawa FPI?]; 2) karena sifatnya yang momentual—lihat point pertama—maka koalisi tersebut tidak bisa diharapkan berjalan dalam jangka panjang, kecuali jika momentumnya bisa diprediksi akan panjang; 3) secara subyektif, harus ada kebebasan untuk melakukan aktifitas agitasi propaganda revolusioner dan aktifitas politik partai di luar arena/kesepakatan koalisi (apa yang diistilahkan: kita punya program dan politik sendiri yang tidak boleh dikerangkeng); 4) termasuk melakukan kritik/ oposisi terbuka terhadap program/tindakan politik sekutu yang mendukung imperialisme; 5) Program-program perjuangan koalisi haruslah program yang kongkrit dan spesifik—sekalipun minimum—agar mudah diterima oleh massa rakyat sekaligus mudah pula ditagih konsistensi perjuangannya. Dan yang tidak termasuk ke dalam kesepakatan platform koalisi, tentu saja boleh diwujudkan oleh kita sendiri, tanpa ikatan); 6) karena salah satu tujuan koalisi adalah memperbesar mobilisasi massa rakyat, maka sandaran utama koalisi adalah organorgan gerakan dan perlawanan spontan rakyat. Dari kenyataan saat ini, ancaman musuh bersama belum manifes di antara partai-partai borjuis; yang ada adalah: semua partai borjuis menjadi musuh bersama rakyat. Kalaupun ada rencana koalisi Golkar-PDIP, yang bisa saja akan menghambat perjuangan rakyat kedepan, namun belum terlihat kegelisahan di antara partai borjuis lainnya untuk melakukan perlawanan secara kuat, malah yang menjadi musuh bersama partai-partai borjuis adalah PKS, sekalipun PKS juga tidak kelihatan tindakan politiknya yang membela rakyat miskin—kecuali dalam bentuk karitatif. Koalisi obyektif dapat dijalankan selama masih dalam batas-batas politik yang menguntungkan bagi front persatuan. Kongkritnya, koalisi ini jangan sampai bertentangan dengan program perjuangan, harus mencerminkan persatuan dalam aspek program, struktur, dan sebagainya. Pernyataan PRD tersebut benar. Namun jika tidak ada syarat obyektifnya, maka koalisi tersebut hanyalah menjadi keinginan subyektif, sehingga harapan agar koalisi (dengan partai/ pihak borjuis) dapat berjalan sesuai dengan tujuan-tujuan perjuangan partai adalah omong kosong, apalagi dalam situasi di Indonesia saat ini tidak ada satupun partai borjuis pun—yang ada di parlemen—yang dapat disimpulkan tindakan politik-organisasinya membela kepantingan rakyat miskin, bahkan dalam
program darurat/mendesak sekalipun, apalagi memperjuangkan demokrasi dan melawan dominasi imperialis. Lebih lanjut PRD menetapkan syarat sekutu koalisi, yaitu: Syarat-syarat atau batasan dalam pembangunan Partai Koalisi secara prinsip: a) calon sekutu menerima platform dasar kita yaitu anti imperialisme atau ”dalam bahasa lainnya” (tanda kutip dari penulis tulisan ini, untuk menunjukkan bagaimana PRD bersilat kata); b) calon sekutu bukan berasal dari unsur kekuatan pokok penopang orde baru atau kekuatan reaksi yang anti demokrasi. Alat ukur kesepakatan tersebut apa? Menurut juru bicara-juru bicara PRD di Sidang Presidium Nasional PAPERNAS, alat ukurnya adalah kesepakatan di atas kertas, dalam bentuk MOU—yang, padahal, sampai sekarang, belum ada samasekali. Jika alat ukurnya adalah kesepakatan di atas kertas—apalagi cuma obrolan antara pimpinan PRD dengan pimpinan partai borjuis—sudah bisa terbayang bahwa koalisi yang dibangun akan sangat rentan, baik kemampuan berjuangnya maupun konsistensi perjuangannya. Bandingkan koalisi dengan Gus Dur (dengan platform anti sisa-sisa Orde Baru) dan Koalisi Nasional—yang antara lain melibatkan PNBK—(dengan platform anti neoliberal). Yang paling mampu menunjukan serangan politik cukup radikal adalah koalisi dengan Gus Dur, karena situasi obyektif pada saat itu memungkinkan, yakni: adanya ancaman dari kekuatan sisa-sisa Orde Baru yang ingin merestorasi diri dalam panggung kekuasaan Indonesia. Di banyak tempat, kantor-kantor Golkar menjadi sasaran aksi massa; bahkan, di Jawa Timur, kantor Golkar dibakar massa. Sedangkan Koalisi Nasional, sekalipun ada situasi obyektif yang juga menguntungkan, yakni kemarahan rakyat atas kebijakan Megawati untuk menaikkan harga BBM, TDL, tarif telpon secara bersamaan pada awal Januari 2003, namun tidak cukup kuat serangan politiknya, bahkan sekalipun mendapat respon yang cukup baik dari media massa pada saat konferensi pers di Gedung Juang, Jakarta, saat mengumumkan terbentuknya Koalisi Nasional ini. Pada saat Vergadering Koalisi Nasinal di Tugu Proklamsi—pada saat itu PRD dan ormas-ormasnya melakukan mobilisasi secara nasional—tidak ada mobilisasi sama sekali dari PNBK maupun partai/kelompok lainnya yang tergabung dalam Koalisi Nasional, bahkan Eros Djarot sebagai Ketua Umum PNBK, juga tidak hadir. Praktis, di lapangan, yang hadir hanya massa PRD dan ormas-ormasnya, serta dukungan massa dari Komite Anti Penindasan Buruh—Front Persatuan Buruh yang justru tidak tergabung dalam Koalisi Nasional. Jika pengalaman tersebut ditarik dalam konteks sekarang: koalisi yang dicita-citakan PRD berdiri di atas landasan situasi hampa-politik, tanpa terlebih dahulu menciptakan atmosfir gerakan perlawanan, atau tanpa musuh bersama
yang akan dilawan. Nasib koalisi tersebut akan jauh lebih buruk dibandingan Koalisi Nasional ataupun koalisi dengan Gus Dur. Dalam poin B, dikatakan bahwa calon sekutu bukan berasal dari unsur kekuatan pokok penopang Orde Baru atau kekuatan reaksi yang anti demokrasi. Seharusnya pengertian tersebut diberikan penjabaran yang lebih rinci, agar jelas apa yang dimaksudkan oleh PRD. Jika pengertian kekuatan pokok Orde Baru adalah semata-mata Golkar, maka PPP bisa dikategorikan sebagai calon sekutu (padahal PPP juga merupakan partai bentukan Orde Baru—hasil fusi yang dipaksakan tanpa perlawanan); atau bisa juga PKPB maupun Hanura dijadikan calon sekutu, karena selama Orde Baru, kedua partai tersebut belum ada, sekalipun pimpinan PKPB maupun Hanura adalah Orang-Orang yang memegang banyak jabatan penting selama Orde Baru. Lalu bagaimana dengan PDIP, apa kriterianya? PDIP bukan penopang utama Orde Baru, tetapi pernah memerintah dan bahkan pernah memberikan peluang menguatnya kembali Orde Baru (Golkar dan tentara) ke panggung kekuasaan politik. Bukankah kejatuhan Gus Dur adalah hasil Kolaborasi PDIP, GOLKAR, tentara, sisa-sisa Orde Baru dan Poros Tengah? Sekarang pun PDIP dan GOLKAR sedang membangun program stabilisasi politik demi kesejahteraan (ingat yang serupa dengan itu: Trilogi Pembangunan Orde Baru!) yang intensif melalui serangkaian pertemuan massal. Lalu Bagimana juga dengan partai-partai pendukung [emerintahan SBY-JK, baik yang sudah mendukung sejak pencalonan Sby-Jk di Pilpres 2004 seperti Partai Demokrat dan PKS maupun yang baru belakangan mendukung— dalam hal ini, PBR maupun PELOPOR termasuk partai-partai yang mendukung pemerintahan SBY-JK. Artinya, kualifikasi calon sekutu yang diajukan PRD sangat tidak lengkap karena bisa mengasilkan pengertian bahwa PAPERNAS bisa berkoalisi dengan PDIP, PPP, PAN, Partai Demokrat, PKS hingga koalisi dengan PKPB maupun Hanura. Atau dengan bahasa lain: selain Golkar, semua partai bisa diajak berkoalisi. Harusnya, sejarah partai-partai dijabarkan secara rinci, termasuk sepak terjanganya di daerah, agar bisa dilihat mana partai yang ketika diajak berkoalisi dapat memberikan keuntungan bagi perjuangan rakyat miskin ke depan; dan ketika tidak ada yang memenuhi syarat, tidak perlu PAPERNAS dipaksakan untuk berkoalisi. Setelah hal tersebut dijabarkan, baru lah PRD bisa berbicara apa saja potensi keuntungan kalau PAPERNAS berkoalisi; juga harus dijabarkan apa saja potensi kerugiannya—karena secara teoritik, koalisi itu ada di ranah kompromi, sehingga ada potensi kerugian juga yang harus diantisipasi. Namun, dalam Propasal PRD, dengan yakin PRD menyampaikan potensipotensi keuntungan yang menggiurkan seperti: bisa mempropagandakan program perjuangan melawan imperialisme beserta programprogram mendesaknya, menarik unsur-unsur anti imperialis dari kalangan kaum demokrat,
halaman 28
mengkonsolidasikan dan memajukan politik partai koalisi agar arah perjuangannya sejalan serta menguntungkan bagi perjuangan rakyat melawan imperialisme dan kaki-tangannya, serta dapat merangkul unsur-unsur maju di dalam partai koalisi, mempengaruhi—atau setidaknya menetralisir—unsur-unsur yang labil, dan mengisolir unsur-unsur yang konservatif di dalam partai koalisi. Tentu saja, secara konsepsi logika formal hal tersebut bisa dianggap ”benar” (sekalipun dalam kenyataannya tidak ada), namun jika diletakan dalam realitas kongkrit partai-partai yang ada sekarang, belum tentu semuanya bisa diwujudkan, apalagi PRD tidak menjabarkan apa saja potensi kerugian yang harus ditanggung oleh PAPERNAS saat berkoalisi. Dalam penjabaran taktik, PRD memegang ”teguh” konsepsi taktik utamanya yang disebut dengan konsentrasi ideologi, politik, organisasi dalam mengerjakan koalisi elektoral di teritorial pada daerah pemilihan (dapil). Konsepsi tersebut berangkat dari keyakinan bahwa taktik konsentrasi bisa mendorong maju koalisi—hingga sanggup menjadi alat perjuangan anti imperialisme yang efektif (dalam pengertian menjadi alternatif bagi rakyat). Rumusan tersebut sungguh menyedihkan, karena tidak berangkat dari situasi nyata, situasi kongkrit, bahwa partai-partai yang saat ini ada di parlemen sejatinya adalah partaipartai yang mendukung imperialisme. Sehingga mengharapkan adanya perubahan karakter ideologi, politik dan organisasi dari partaipartai ini, sekalipun ada PAPERNAS di dalamnya, adalah mustahil. Hal tersebut bukan permasalahan apakah calon sekutu bersedia menandatangani MOU, tetapi bagaimana karakter partai-partai tersebut, kelas-kelas (apa dalam masyarakat) yang membentuk dan menghidupka partai-partai tersebut, sehingga tidak bisa dengan gampang diberikan kesimpulan bahwa dengan MOU maka karakter partaipartai parlemen ini sudah atau akan berubah.
Apalagi rencana koalisi yang sudah dikerjakan oleh DPP PAPERNAS adalah koalisi dengan PBR-PELOPOR—itu artinya akan ada perjuangan internal di partai koalisi tersebut, yakni perjuangan untuk menghadapi dua partai politik yang karakter politik kelasnya adalah pendukung imperialis (yang akan sangat berat untuk memenangkannya). Dan karena konsepsi PRD mengabaikan potensi pembangunan gerakan anti imperlisme di luar koalisi, maka bisa dipastikan perjuangan internal di partai koalisi ini akan sulit dimenangkan karena tidak ada tekanan dari gerakan massa di luar koalisi. Dalam kepentingan menjalankan taktik koalisi (dengan konsentrasi di dapil), maka langkah awal yang harus dilakukan adalah: membalikan citra PBR (yang busuk dan sektarian) menjadi PBR yang berpihak pada rakyat dan demokratik. Itulah, katanya, yang (dalam proposal PRD) menjadi perspektif kerja mendesak. Menurut PRD, itulah tugas PAPERNAS dalam partai koalisi tersebut. Namun, jika tugas tersebut (disepakati secara sepihak) oleh PAPERNAS maka, obyektifnya, PAPERNAS akan berhadap-hadapan secara langsung dengan unsur-unsur dalam partai koalisi tersebut yang, sejatinya, adalah musuhmusuh rakyat. Mana mungkin partai koalisi tersebut akan memenangkan pemilu jika penuh dengan konflik internal. Dan karena PRD mengartikan intervensi pemilu sebagai keharusan menjadi peserta pemilu, itu artinya konflik internal tersebut akan berujung pada kompromi yang merugikan rakyat. Kaitannya dengan organisasi pendukung PAPERNAS, maka tentu saja politik koalisi tersebut akan sangat merugikan karena struktur organisasi yang selama ini terbangun [dengan politik yang baik (dalam ukuran organisasi progresif)] bahkan bisa mengalami kemunduran, akan ditinggal massa yang menyeberang ke organisasi yang lebih progresif.
5. Kritikan dalam hal Organisasi Dalam proposal PRD, pengertian partai persatuan yang dibangun ke depan dimanipulasi
sebagai koalisi (yang, sebenarnya merupakan merger/peleburan). Itulah sebabnya dikatakan bentuk partai koalisi tersebut adalah fusi. Padahal, secara politik maupun organisasi, pengertian antara koalisi dengan peleburan sangat jauh berbeda. Dalam koalisi, di luar hal-hal yang telah disepakati dalam koalisi, unsur-unsur penyusun koalisi masih memiliki independensi politik dan organisasi satu dengan lainnya. Dengan demikian, jika persatuan yang dibangun adalah koalisi, maka PAPERNAS masih memungkinkan menjalankan politiknya sendiri. Namun, jika persatuan yang dibangun bermakna peleburan, maka sedari awal PAPERNAS sudah kehilangan independensinya, karena secara politik dan organisasi sudah dilebur dengan unsur-unsur yang anti rakyat, sehingga politik organisasi PAPERNAS paling banter abu-abu atau, yang paling parah, justru menjadi sama dengan politik-organisasi unsur-unsur anti rakyat tersebut. Dan, tidak perlu menunggu lebih lama lagi, wajar bila PRD kemudian menyetujui agar PAPERNAS berubah “nama”—tekanan “kata PARTAI” dihilangkan diganti dengan persatuan dan lain sebagainya. Tentu saja orang bodoh sekalipun akan memahami bahwa hal tersebut bukan sekadar pergantian nama, melainkan perubahan karakter organisasi, dari sebuah partai politik menjadi organisasi massa, merubah sebuah alat tertinggi perjuangan politik massa menjadi alat pembelajaran perjuangan massa. Hal itu oleh PRD dianggap sebagai kewajaran, karena PAPERNAS harus tetap menjadi peserta pemilu (sekalipun menghilangkan ”kata” partai) karena sebuah partai politik, menurut PRD, harus menjadi peserta pemilu sebagai wujud konkrit politik kepartaiannya, dengan kata lain tidak ada gunanya membangun partai politik jika tidak menjadi peserta pemilu. Argumen itu saja sudah menyalahi sejarah PRD sendiri yang secara legal berdiri pada tahun 1996—dengan kerja-kerja ilegal pada tahuntahun sebelumnya—karena dalam dokumendokumen PRD pun banyak dijelaskan bahwa, sekalipun tujuan partai politik adalah untuk merebut kekuasaa namun, karena kepentingan rakyat yang diutamakan, maka cara menuju kekuasaan bisa bermacam-macam: bisa dengan ikut pemilu; bisa juga dengan boikot pemilu; bisa juga dengan cara-cara yang lainnya—bahkan, di banyak negeri, partai-partai politik terlibat dalam pemberontakan untuk merebut kekuasaan; juga di Indonesia, sebelum kemerdekaan, banyak partai politik yang menjalankan politik anti kompromi (non-kooperasi) dengan Belanda, sekalipun Belanda juga membuat lembaga parlemen yang disebut Volksrad. PKI, PNI, PARTINDO dan banyak partai lainnya menolak memasukan orang-orangnya ke dalam lembaga ini.
KESIMPULAN: 1. Bahwa PRD telah meremehkan kemampuan rakyat dan gerakannya untuk melakukan pembebasan (radikal)
halaman 29 bagi dirinya sendiri dari penjajahan imperialisme dan boneka-bonekanya; 2. Bahwa PRD telah meremehkan kemampuan rakyat dan gerakannya untuk membangun persatuan yang kokoh untuk membebaskan dirinya dari penjajahan imperialisme dan bonekabonekanya; 3. Bahwa PRD telah memberikan ilusi (baca: menipu) rakyat, dengan menyimpulkan bahwa perlawanan anti imperialisme dan bonekannya di parlemen (saat ini) sangat besar peluangnya; 4. Bahwa PRD telah menghancurkan politik dan alat perjuangan alternatif rakyat, yakni PAPERNAS dan organisasi pendukungnya, dengan meleburkan diri kepada partai penindas rakyat, sehingga mempersulit perjuangan rakyat ke depannya; 5. Bahwa PRD telah menjerumuskan PAPERNAS pada GARIS POLITIK PARLEMENTARIS.Š
halaman 30
m o b i l i s a s i
ARAH PENGORGANISASIAN MASSA UNTUK REVOLUSI DENGAN METODE TIGA BULANAN Resume Diskusi Komite Politik Rakyat Miskin—Partai Rakyat Demokratik LANDASAN
P
engorganisiran massa agar menjadi kekuatan revolusi—menghancurkan musuh, merebut kekuasaan, mendirikan dan mempertahankan kekuasaan baru—adalah pekerjaan membangun massa sadar yang terorganisir dan berkekuatan. Makna massa sadar harus dilihat dalam dua (2) pengertian: secara kognitif (kesadarannya) dan secara politik (tindakannya untuk berjuang). Massa sadar yang bertindak sebagai atau dalam pengertian kader, adalah massa maju yang berjuang membangkitkan dan berjuang bersama massa rakyat yang lain. Kader menjadi bagian dari setiap perlawanan massa, memajukan politik perlawanan tersebut, dan terus memperluas/memperbanyak massa maju atau kader lainnya di antara massa berlawan tersebut. Di sinilah pengertian kader sesungguhnya, sebagai kader revolusioner, yaitu selalu tidak pernah dan tidak bisa dipisahkan dari perjuangan massa—sehingga berbeda dengan aktifis salon (menara gading) (yang tidak berada di tengah massa berjuang), ataupun pekerja sosial (yang tidak berkehendak merevolusionerkan massa (secara kognitif dan tindakan). Pengertian kader dan pengorganisiran massa, sebagaimana dijelaskan di atas, adalah pengertian yang sekaligus menjawab pertanyaan: bagaimana kader tumbuh bersama kesadaran massa (yang masih masih reformis) dan memajukannya (menjadi revolusioner), sehingga batas kesadaran kader dengan kesadaran massa akan semakin menipis? Dengan demikian, pekerjaan membangun revolusi, dalam makna mendirikan pemerintahan rakyat (untuk memerintah dirinya sendiri) memiliki landasan nyatanya—nyata, benarbenar, sanggup mendirikan pemerintahan rakyat sendiri—karena massa telah memiliki kesadaran yang maju, memadai untuk mendirikan pemerintahannya sendiri. Kalaupun masih ada jarak antara kesadaran kader dengan massa, semakin hari jarak tersebut harus semakin menipis dengan
semakin memajukan kesadaran massa. Saat perlawanan massa semakin meningkat dan meluas—itu artinya kesadaran dan tindakan (politik) massa sedang meningkat dan meluas—partai seharusnya dibuka untuk massa. Tapi itu bukan berarti organisasi revolusioner melepaskan kreteria-kreteria dalam rekruitmennya, bukan berarti melemahkan syarat-syaratnya namun, pengertiannya adalah: secara organisasional partai harus peka dan dapat dengan segera mewadahi massa yang kesadaran dan tindakan (politik)nya sudah/sedang maju/ berkembang. Pengorganisiran massa dan radikalisasi tiga bulanan kepentingannya adalah untuk memajukan dan menguji kesadaran serta tindakan (politik) massa—sehingga semakin dekat dengan pengertian kader. [Bisa saja dibuat dua (2) atau empat (4) bulanan, tidak masalah, namun harus ada landasannya.] Pengalaman sehari-hari kami berada di tengah massa memberikan pengertian, dan sepenuhnya maklum bahwa: sekalipun massa telah sanggup menerima propaganda tentang revolusi, namun belum tentu massa tersebut siap bertindak memperjuangkannya— apalagi bila kwantitas massanya belum memadai, sehingga memang tindakan (politik) massa tidak boleh terlalu maju. Dalam situasi kontradiksi yang semakin tajam akibat meluasnya persoalan rakyat— terutama persoalan-persoalan mendesak yang gamblang terasa dan terlihat di depan mata oleh rakyat—hal terpenting dalam tahap awal menuju revolusi adalah bagaimana segala keresahan tersebut diorganisir (baca: disadarkan dan dimobilisasi) menjadi tindakan politik massa yang rapi, menjadi mobilisasi menuntut, serendah apapun isu yang sanggup dan akan diperjuangkan oleh rakyat. Mobilisasi tersebut merupakan wujud kongkrit, wujud nyata kesanggupan rakyat untuk memperjuangakan kepentingannya, ideologinya, yang tumbuh dari kesadarannya, atau merupakan tindakan (politik) utama yang menunjukkan dan menguji kekuatan rakyat sendiri. Bersamaan dengan mobilisasi atau tindakan politik tersebut, semakin hari juga harus dipastikan adanya
peningkatan kesadaran dalam politik massa. Dan sekalipun radikalisasi atau mobilisasi tiga bulanan ini dilakukan secara bertahap1, namun bukan berarti dalam pekerjaan penyadaran massa kita tidak boleh memberikan kesadaran tentang seluk beluk revolusi—baik dalam pengertian ideologinya, politiknya dan organisasinya; dalam pekerjaan menyadarkan massa, sedapat mungkin, kita tidak boleh menahap-nahapkan isian kesadaran tentang revolusi. Sehingga, walaupun massa sedang memperjuangkan tuntutan reformis, namun massa akan sadar bahwa perjuangan tersebut masih merupakan perjuangan reformis, belum revolusioner; itulah yang dinamakan kompartemen kesadaran revolusioner dalam lautan perjuangan reformis—yang secara bertahap, sesuai dengan syarat perluasan kesadaran revolusioner dan kwantitas massanya, akan berderap menuju revolusi. Kompartemen revolusioner tersebut—baik dalam pengertian kesadarannya, maupun para pekerja/aktivisnya—harus semakin meluas menutup/merubah kesadaran dan tindakan (politik) reformis. Pengertian revolusi secara mudah bisa diartikan sebagai perubahan tiga hal pokok, yakni: 1) peningkatan tenaga produktif (force of production); bahwa peningkatan kemakmuran (yang berdialektik, berkaitberkelindan) dengan perubahan budaya (baca: nilai-nilai baik) dan sebagainya memiliki dan tergantung pada landasan tenaga produktif; 2) perubahan hak milik atau transformasi pemilikan; 3) perubahan kesadaran massa, terutama kesadaran untuk memerintah dirinya sendiri (transformasi dari demokrasi perwakilan ke arah demokrasi langsung). Dengan demikian, sosialisme (yang tenaga produktifnya dapat melimpahkan kemakmuran dan pemilikannya adil) justru memberikan landasan material bagi peningkatan potensi manusia sampai ke tingkat individu yang, sebelumnya, potensi (individu) tidak bisa 1Misalnya, tuntutannya masih reformis, masih dalam hal kepentingan mendesaknya, karena memang kesadaran dan kwantitas massanya belum memadai.
halaman 31
berkembang karena landasan materialnya telah dirampas oleh pemilik/penguasa tenaga produktif. Potensi (semua) individu untuk menjadi dirinya sendiri akan sanggup dikembangkan. Oleh karenanya perjuangan kognitif (kesadaran) harus disatukan dengan tindakan perjuangannya/pemwujudannya. Dan agar kesadaran lebih mudah dapat didorong menjadi tindakan perjuangannya/ pemwujudannya, maka kita bisa berangkat dari persoalan mendesak rakyat, dari tuntutan-tuntutan darurat rakyat, dari persoalan yang kasat mata dilihat dan dihadapi rakyat. Situasi sekarang, karena terus menerus terjadi peningkatan dan perluasan penderitaan rakyat, mengakibatkan meluasnya lautan kesadaran ekonomis (reformis) di kalangan rakyat. Bahkan kesadaran reformis tersebut ada yang belum menjadi tindakan perlawanan; kalaupun ada perlawanan, yang semakin hari semakin meningkat kwantitas dan kwalitasnya, namun masih belum terorganisir secara nasional dan masih belum bersatu, terpecah-pecah. Kesadaran rata-rata massa adalah kesadaran reformis, ekonomis, dan itu merupakan realita yang harus diakui (untuk diatasi atau dimajukan, bukan disalahkan atau ditinggalkan). Kita tidak boleh idealis: mengharapkan kesadaran sosialis akan dengan mudah diterima dan diperjuangkan massa, atau datang (dari langit) dan muncul (dari bumi) dengan sendirinya. Lautan kesadaran reformis tersebut harus disimpulkan penyebab kongkritnya, sehingga bisa ditemukan bagaimana mengobatinya agar menjadi kesadaran revolusioner dan dapat dimobilisasi untuk memperjuangkan ideologi serta kepentingannya (bahkan tuntutan reformis/mendesak sekalipun). Bagaimana menghadapi dan mengatasi kenyataan kesadaran reformis tersebut, apakah hanya kita didik terus sampai mereka paham? Ya bisa saja, tapi lebih lama menyerapnya.
Contohnya, pembangunan Taman Siswa (dalam pandangan kolonial Belanda adalah sekolah-sekolah liar) yang didirikan Ki Hajar Dewantara. Apabila tidak diletakkan dalam gerak perlawanan atau tindakan politik massa—atau apa yang disebut dalam konsep bahasa Inggris sebagai scholar atau akademisi—maka pendidikan-pendidikan tersebut akan lebih sulit membangun massa sadar karena perjuangannya tidak menjadi nyata dirasakan dan disaksikan oleh massa sendiri. Kesadaran akan tuntutan reformis tersebut didorong (baca: diorganisir) menjadi tindakan (baca: mobilisasi) politik massa (yang meluas, membesar dan menguat) dalam memperjuangkan tuntutantuntuannya (ekonomis sekalipun), berupa mobilisasi-mobilisasi massa yang menuntut. Wadah-wadah rakyat yang bertujuan untuk menuntut harus terus menerus diperluas dan disatukan, bahkan persoalanpersoalan mendesak (dan tidak mendesak) lainnya yang belum jelas bagi rakyat harus diungkapkan dan ditunjukan kepada massa (saking banyaknya persoalan, sehingga kadang saling tumpang-tindihnya tak terlihat, tak kasat mata, misalnya: pengamen yang selalu diburu trantib bisa lalai atas persoalan kesehatan dan pendidikan anaknya. Pikirannya hanya berputar di sekitar bagaimana melepaskan diri dari buruan trantib). Segala persoalan mendesak rakyat ini harus terus diolah menjadi basis perlawanan rakyat. Rakyat harus bergerak untuk menuntut atau memperjuangkan kesejahteraannya, dengan metode proletar dalam bentuk: aksi massa. Tapi harus diingat, setiap perlawanan ekonomis dan reformis tersebut tidak boleh dilepaskan dari kompartemen sosialisme dan kesadaran sejati. Massa sadar atau kader sosialis harus terus menjadi bagian dari setiap gerak massa ekonomis ini. Kompartemen sosialis tersebut harus membesar dan terus membesar, walaupun awalnya kecil.
Tidak boleh seperti piramid; tidak boleh dibiarkan massa yang maju tidak membesar atau mengerucut. Apa tugas kompartemen sosialis tersebut? Selain menjadi kekuatan termaju dalam mewujudkan kesadaran ekonomis massa menjadi tindakan politik (dalam isu yang paling diterima massa), tugas kader revolusioner tersebut sejak awal adalah mengisi tuntutan-tuntutan reformis tersebut dengan pengertian sejati (menjelaskan kaitannya dengan sistim kapitalisme), terus menerus menjelaskan penyelesaian revolusioner yang sesejatisejatinya yang dibutuhkan rakyat sebagai jalan keluar bagi berbagai masalah yang dihadapinya. Walaupun wujudnya tetap tindakan (politik) reformis, tidak masalah, harus diterima sebagai kenyataan, sebagai cerminan kesadaran massa pada waktu sekarang. Karena itulah kita bisa berangkat dari kesadaran tuntutan reformis, yang akan didorong menjadi tindakan politik. Tapi sejak awal massa juga harus tahu bahwa jalan keluar sejatinya tidak bisa reformis, atau hal itu saja belum cukup. Jadi, rakyat tahu bahwa tuntutan tersebut hanya untuk sementara (sebelum kesadaran dan kwantitas massanya memadai), atau sekadar mengurangi kesulitan sehari-hari rakyat. Propaganda kaum revolusioner harus ditransfer menjadi pemahaman massa, walaupun perjuangannya masih seperti itu (masih reformis, masih berupa sekadar tuntutan yang bisa jadi dipenuhi pemerintah), atau belum sekaligus menyelesaikan semua masalah (karena penyelesaiannya belum ke akarnya) karena revolusi belum memadai syarat-syaratnya. Oleh karena itu, kesadaran massa harus diisi oleh pemahaman bahwa perjuangan reformis sekarang ini bukanlah akhir dari segalanya, atau perjuangan sekarang ini merupakan bagian dari suatu tahap dari arah revolusi. Karenanya, arah revolusi harus dijelaskan kepada massa secara lugas, gamblang, jelas dan kongkrit, dapat dimengerti rakyat. Massa harus sadar bahwa: seandainya pun negara/ pemerintah (atau pihak yang dituntut lainnya) memenuhi sebagian atau seluruh tuntutan reformis tersebut, namun hal tersebut hanyalah merupakan kemenangan kecil karena desakan rakyat, dan sebagai bagian untuk mendapatkan kemenangan sejati. Dan yang terpenting: mobilisasi massa tersebut bukanlah sekadar untuk menekan (bargain terhadap) negara/pemerintah (atau pihak yang dituntut lainnya); namun juga untuk memberikan contoh pada rakyat (terutama yang tidak berlawan) bahwa rakyat bisa memiliki kekuatannya sendiri, bahwa berjuang itu tidak mustahil, bahwa rakyat bisa memperjuangkan ideologi dan kepentingannya sendiri dengan kekuatannya sendiri, dengan politiknya sendiri—salah satunya, yang terpenting dan paling ampuh: dengan metode proletar; mobilisasi (aksi) massa. Sedangkan politik menekan, politik bargain dengan kekuatan
halaman 32 rakyat tapi hanya untuk kepentingan kelas lain (misalnya hanya untuk memperkuat tawar menawar terhadap elit atau kelompok/partai lain, untuk bersekutu dengan elit atau kelompok/partai lain, dan sebagainya) ADALAH SALAH—bahkan bisa melemahkan keyakinan rakyat atas kekuatannya sendiri. Politik bargain yang salah tersebut sekarang telah menjadi penyakit yang menghinggapi organisasi gerakan, dan tidak boleh dibiarkan. Agar mewujud menjadi mobilisasi—dengan sebelumnya ada proses (tahapan) investigasi dan peningkatan kesadaran massa—maka sebelumnya harus ada kesanggupan dari organisasi revolusioner untuk mewadahi massa. Lautan kesadaran reformis massa tersebut, yang selalu ada di sebagian besar tempat karena selalu ada himpitan persoalan mendesak yang dihadapi rakyat, harus bisa ‘ditangkap’, harus bisa diwadahi terlebih dahulu. Pewadahan tersebut akan memudahkan proses tiga bulanan dijalankan di tengah subjektif organisasi yang masih kecil. Pewadahan tersebut bisa dilakukan dengan berbagai bentuk dan berbagai cara terutama, tentu saja, lagi-lagi, berangkat dari kebutuhan mendesak massa berlandaskan issues yang sudah diinvestigasi dan disimpulkan. Misalnya dengan mendirikan Posko Pembelaan Rakyat Miskin untuk Berobat Gratis, atau Posko Pembelaan Rakyat untuk Mendapatkan Pendidikan Gratis, atau Posko Pembelaan Rakyat untuk Mendapatkan BLT, atau Posko Pembelaan THR Buruh dan sebagainya (kita harus jeli menginvestigasi dan menyimpulkannya). Dengan posko tersebut massa akan diberanikan mengadukan persoalan-persoalannya, dan posko tersebut dengan demikian mejadi penampung, wadah, bagi rakyat yang mengadukan persoalan-persoalannya dan segera dibantu memperjuangkannya—sehingga berkesempatan mendapat kepercayaan rakyat (apalagi jika segera mendapat hasil seperti bisa mengobati rakyat miskin secara gratis di rumah sakit). Bahkan dari keseriusan kita memperjuangkan saja— sekalipun belum berhasil—memungkinkan kita mendapatkan kepercayaan massa.2 Dengan selebaran dan alat-alat propaganda lainnya (kita harus kreatif menemukan alatalat atau cara-caranya) kita propagandakan (posko) bantuan pembelaan/advokasi untuk 2Namun kita harus hati-hati: jangan sampai kita seperti dewa penolong di mata rakyat. Karena itu, dalam perjalanan pengorganisasian, kita harus dengan sabar membimbing, mendampingi rakyat agar mereka sendiri bisa mengadvokasi/membela dirinya, keluarganya, tetangganya, teman-temannya atau massa lainnya—bahkan setelah kita bisa mengadvokasi rakyat, kita dengan santun memohon agar rumahnya bisa dijadikan posko advokasi, apalagi bila dirinya pun bisa diyakinkan menjadi pekerja poskonya.
mengurus persoalan-persoalan rakyat, agar bisa membantu mewadahi massa (dalam kantung-kantung massa) yang akan memperjuangkan persoalan-persolannya dengan program radikalisasi tiga bulanan. BENTUK-BENTUK KERJA Bentuk Kerja dalam melaksanakan radikalisasi tiga bulanan terdiri atas pekerjaan bertahap (dilakukan secara berurutan) dan pekerjaan simultan atau bersamaan (dilakukan secara bersamaan atau seiring dengan pekerjaan bertahap). Dalam hitungan tiga bulan atau 90 hari, pekerjaan-pekerjaan tersebut adalah sebagai berikut: I. Pekerjaan Bertahap 1. Investigasi (porsinya 10% dari seluruh waktu pekerjaan yang 90 hari, atau 10% dari 90 hari, yakni kira-kira 9 hari) Investigasi adalah pekerjaan pencarian data tentang karakter massa (baik secara ekonomi, politik maupun budaya), apakah itu secara teritorial ataupun secara sektoral. Sasaran/ arah investigasinya, selain di teritori basis yang sudah kita organisir, juga di teritori atau sektor yang direkomendasikan oleh kawan-kawan yang bekerja dalam pekerjaan perluasan, dari analisa geopolitik dan sebagainya. Dua masalah yang hendak diketahui dalam investigasi adalah: 1) kebutuhan-kebutuhan/persoalan-persoalan ekonomi (atau yang lainnya) yang sangat mendesak bagi rakyat. Tujuannya agar rakyat mau masuk dalam mimbar/wadah kita. 2) mengetahui apakah mereka mau melawan/berjuang atau tidak atas persoalan mendesak tersebut; 3) mengapa mereka mau atau tidak mau berjuang untuk mengatasi persoalan-persoalannya sendiri.3 3Itu (hanya) contoh sebagian hal-hal yang harus diketahui dalam investigasi program radikalisasi tiga bulanan untuk mengetahui kesiapan perjuangan massa (kita bisa berkreatif menemukan hal-hal yang harus dipertanyakan dalam investigasi sesuai dengan sektor, situasi dan kondisinya), misalnya: 1) apakah anda punya pengalaman memperjuangkan tuntutan mendesak anda?; 2) bila ya, apakah berhasil atau tidak?; 3) bila berhasil/tidak berhasil, kenapa; 4) bila tak pernah berjuang, mengapa?; 5) apakah anda sekarang berkehendak berjuang atau tidak?;
Banyak hal yang akan didapat dari investigasi tersebut, seringkali juga halhal negatif (misalnya bahwa, ternyata, massa sulit berjuang, takut dan sebagainya). Namun, apapun hasil investigasinya, akan sekaligus menjelaskan bagaimana organisasi mendapatkan kemudahan untuk mengajak dan menjadi bagian dari perjuangan massa. Sehingga, dari hasil data yang ada, akan bisa disiapkan bentuk perjuangan yang disanggupi massa, dan diketahui pula bagaimana kemudahan memajukan pemahaman/kognitif massa, serta sekaligus membangun kesiapan politik massa. Selain keuntungan dapat memperoleh data, pekerjaan investigasi tersebut juga secara bersamaan dapat melatih organisasi dan massa rakyat untuk mengenal serta berlatih menjalankan demokrasi langsung. Maksudnya, dalam mengorganisir kita bisa menyediakan ruang yang mengutamakan aspirasi atau pendapat massa dalam menentukan isi dan sasaran dari perjuangan mobilisasi atau radikalisasi tiga bulan ke depan. Pendapat massa terbanyak (mayoritas) tentang persoalan mendesaknya, yang dipandang harus segera diperjuangkan, merupakan landasan utama untuk merumuskan penyadaran dan tuntutan dalam radikalisasi yang akan dilaksanakan. Keterlibatan atau partisipasi massa dalam aksi juga akan lebih kuat atau lebih mungkin terjadi, karena sejak awal rencana aksi diletakkan pada kepentingan mendesak massa itu sendiri. Metode bertanya langsung ke rakyat sebelum keputusan diambil, bahkan harus diperjuangkan untuk menjadi metode/pola yang dilakukan negara sebelum membuat keputusan penting bagi rakyat (misalnya referendum sebelum buat UUPM, atau dalam pembuatan konstitusi, dan lain sebagainya)4. Dalam menjalankan investigasi, alat-alat yang dipergunakan untuk mengetahui pendapat massa bisa berupa: a) Angket: (i) diisi langsung oleh rakyat atau; (ii) (bila ada yang belum sanggup mengisi angket karena berbagai sebab) diisi sambil ditanya; b) dari perbincangan dengan massa; c) dari laporan organiser. Alat-alat investigasi tersebut bisa digunakan semuanya, secara bersamaan, atau bisa juga salah satunya. Namun, bila 6) bila ya/tidak, mengapa?; 7) menurut anda, apakah berjuang bersama itu ampuh atau tidak?; 8) apakah agama anda melarang untuk berjuang bersama?; 9) apakah anda menjadi anggota organisasi massa atau partai politik?; 10) apakah organisasi anda melarang atau menghambat perjuangan bersama?; 11) apakah anda puas dengan kinerja negara (pemerintah; DPRI, DPRD I/II, polisi/tentara, peradilan dan sebagainya)? 4Lihat Lampiran I: tentang demokrasi langsung yang pernah dipraktekan di Porto Alegre, Rio Grande do Sul, Brazil.
halaman 33 menggunakan salah satunya saja kadang tidak bisa menjangkau massa luas atau kadang ada kesulitan-kesulitan. Misalnya dengan angket, memang bisa lebih luas dan semakin banyak bisa memperoleh pendapat massa tentang persoalan dan kesanggupan berjuangnya dari satu-persatu massa, tapi seringkali juga ada kesulitan karena massa sulit mengisi angket (karena teknis atau banyak juga karena buta huruf). Selanjutnya, dari pekerjaan investigasi harus ada kesimpulan hasil investigasi. Hal terpenting dari pendapat massa yang harus diperhatikan adalah pada persoalan apakah massa siap melawan/memperjuangkan persoalan-persoalannya. Sekali lagi, hal prinsipil saat mendorong maju kesadaran ekonomis (reformis) adalah mewujudkannya menjadi tindakan politik massa, menjadi mobilisasi aksi massa. Sehingga harus dihargai betul kesanggupan massa untuk bergerak, dalam persoalan apapun. Kita harus mempelajari persoalan-persoalan yang, bagi massa, paling mendesak untuk diperjuangkan. Secara umum, persoalanpersoalan tersebut harus dilihat apakah: 1) merupakan kebutuhan mendesak rakyat yang sudah dipenuhi negara (tapi ada persoalan dalam pelaksanaannya); atau 2) merupakan kebutuhan mendesak rakyat yang belum dipenuhi oleh negara. Untuk kebutuhan mendesak yang sudah dipenuhi negara atau sudah menjadi program negara (tapi dalam pelaksanaannya masih ada persoalan, sehingga tidak diterima oleh massa di teritori yang sedang diinvestigasi), memang lebih mudah dituntut dan lebih cepat kemungkinannya untuk diselesaikan. Dengan demikian, kader-kader revolusi harus waspada karena tuntutan massa yang dengan mudah bisa dipenuhi negara (karena memang sudah menjadi program penerintah) bisa menyebabkan massa terilusi: percaya kepada negara sebagai pihak protagonis (pihak yang baik hati), bisa mengurus rakyatnya—Dinas Kesehatan yang memperhatikan rakyat, Dinas Sosial yang peduli dan sebagainya. Bahkan organisasi yang dilibatkan dalam pelaksanaan program pemerintah seperti itu akan serupa dengan pekerja sosial, atau bahkan menjadi kacung pemerintah. Bagaimana supaya tidak demikian? Agar tidak terbangun ilusi kepercayaan massa terhadap negara (yang sebenarnya bukan pihak yang baik dan dapat mengurus rakyatnya), maka harus disiapkan materi propaganda (sebagai isi tahap berikutnya: tahap penyadaran) tentang kemenangan sejati dan tentang kemenangan-kemenangan kecil yang mungkin didapat sebelum revolusi. Jadi, jangan sampai dibiarkan ada celah berkembangnya kesadaran massa untuk mempercayai negara borjuis ini, tidak perlu berterima kasih kepada negara dan harus berterimakasih pada perjuangan
rakyat itu sendiri. (Pengalaman di Jakarta, ketika tuntutan bisa dipenuhi pemerintah— karena memang sudah jadi program pemerintah—maka massa tetap bisa diajak untuk mengritik cara pemerintah yang salah dalam menjalankan program tersebut. Dan massa disadarkan bahwa kemenangan kecil tersebut bukanlah kemenangan sejati karena bisa dicabut kembali atau tidak diberikan lagi, dipotong subsidinya, seperti terjadi di negeri-negeri lain bahkan di negeri kita sendiri; kemenangan sejati adalah buah revolusi, karena revolusi bisa memberikan jalan keluar yang radikal atau menghilangkan akar penyebab persoalanpersoalan rakyat.) Sekali lagi, kesimpulan investigasi yang terpenting adalah dalam persoalan: apakah sebagaian besar massa sudah siap berjuang. Bisa jadi, dari 500 massa, hanya 50 massa saja yang menyatakan siap berjuang. Tidak masalah. Karena memang rata-rata massa yang ditemui adalah yang tidak mau menuntut, mereka biasanya akan berubah pikiran bila, misalnya, faedahnya sudah bisa dirasakan langsung. Tingkat kesadaran reformisnya bahkan juga bisa lebih rendah dari perkiraan organiser. Jadi memang tidak bisa dijamin bahwa setiap mendapat persoalan pasti akan melawan. Itulah kesadaran reformis—dan yang paling membahayakan adalah: bila sudah tak punya harapan bisa melawan atau berjuang, tak yakin bisa menang (ideologi yang paling berbahaya). Jadi, tidak benar pernyataan bahwa melawan adalah instink5 manusia, layaknya hewan. Manusia, karena punya kesadaran, dan tidak sekadar mengandalkan instink layaknya binatang, bisa saja tidak melawan bila ditindas (dengan alasan takut, sudah biasa dan terima saja, serta lasan-alasan lainnya). (Pada massa Suharto, banyak massa yang tidak berani melawan. Massa bisa berani melawan karena syaratsyaratnya telah dibuka oleh unsur-unsur pelopor; itulah mengapa sekarang, setelah Suharto jatuh, rakyat banyak yang bisa melawan.) Potensi perlawanan belum tentu dengan segera mewujud, manifes, tidak serta-merta (otomatis) bisa mewujud nyata. Itulah salah satu landasan dasar teori kepeloporan, harus ada tambahan penyadaran yang dipasok dari luar, dari kelas asing sekalipun, bagi perkembangan dan majunya perlawanan. Dari data hasil investigasi yang menyatakan bahwa masih banyak massa tidak mau melawan, kita harus menyimpulkan: apa saja penghambat 5Sebenarnya manusia (terutama yang sudah lepas masa bayinya) tak memiliki instink seperti binatang; paling-paling saat bayi, ketika dia lapar, dia akan menangis atau mencari buah dada ibunya (itupun setelah diajari). Manusia sepenuhnya merupakan bentukan (dialektika) dari luar dan dalam dirinya, bukan bentukan dari instink.
kesadaran massa di wilayah massa tersebut, dari mana sumbernya; misalnya, apakah ada oknum/lembaga yang menghambat kemajuan kesadarannya, atau karena sebab-sebab lainnya. Penyebabnya harus disimpulkan kemudian dicari obatnya (remedy). Jadi sebelum melangkah ke tahap dua, tahap penyadaran, harus juga ada kesimpulan tentang obatnya. Biasanya obatnya adalah pengertian atau penyadaran yang bisa menjelaskan tentang kesalahan dari kesadaran massa tersebut, atau obat untuk menghancurkan kesadaran palsu massa. 2. Penyadaran (porsinya 75% dari seluruh waktu pekerjaan yang 90 hari, atau 75% dari 90 hari, yakni sekitar 66 hari) Tahap kedua adalah penyadaran atau sering disebut tahap agitasi-propaganda. Dalam program radikalisasi tiga bulanan, tahap kedua ini merupakan pekerjaan yang paling banyak porsi waktunya. Karena dalam tahap inilah kesimpulan investigasi diolah, agar diketahui akar masalah mengapa massa tak sanggup berjuang, bagaimana mengobatinya agar betul-betul sanggup memperjuangkan persoalannya, dan mengerti kemenangan sejati yang harus dicapai. a. Penyadaran tentang tuntutan mendesak dan yang sejati
yang
Penyadaran untuk memahami masalah mendesak yang dihadapi massa (yang didapat dari hasil investigasi), sekaligus membangun keberanian berlawannya, adalah lebih mudah ketimbang pekerjaan propaganda untuk menjelaskan tentang bentuk perubahan sejati yang hendak dicapai—yang sedapat mungkin harus juga disampaikan, dalam berbagai cara dan bentuk. Di samping kita harus menjelaskan mengapa kita harus menuntut tanggung jawab negara dalam persoalan tersebut, kita juga harus menyampaikan apa akar persoalannya. Itulah tugas organiser: memberi pengertian radikal tentang problem yang akan dituntut; bahwa akarnya adalah persoalan sistem (kapitalis) yang berlaku saat itu. Karena itu, kita tidak boleh menyetujui pemahaman reformis massa terhadap masalah tersebut, tapi kita harus memberikan kesadaran radikal/revolusioner tentang problem reformis yang dituntut oleh massa. Misalnya dalam hal pendidikan, jangan dimaklumi alasan-alasan negara bahwa anggarannya kurang karena harus membayar utang luar negeri; atau sudah diupayakan (sehingga anggarannya hanya bisa sedikit meningkat); dan alasan-alasan lainnya. Akar persoalan tersebut, yakni adanya sistim (kapitalis), harus dijelaskan. Akar persoalan yang ditimbulkan oleh sistem (kapitalis) tersebut adalah: (1) penjajahan (baca: penghisapan)
halaman 34 asing dan agen-agennya di dalam negeri; (2) sisa-sisa lama (Orde Baru dan GOLKAR); (3) tentara; (4) reformis gadungan; (5) kebudayaan tak melawan, tak berorganisasi, dan tak bersatu. Karena penyadaran radikal/revolusioner tersebut berpotensi menjatuhkan dan menggantikan sistim (kapitalis) tersebut, maka pekerjaan penyadaran tersebut sering menghadapi bahaya/gangguan, dari siapapun dan di manapun. Namun karena penjelasan sejati tersebut tidak boleh ditinggalkan, karenanya harus disiasati, bukan diabaikan atau ditahap-tahapkan. Organisasi dan organiser harus jeli memanfaatkan ruang dan membangun ruang dari situasi yang ada, untuk memberikan tempat bagi propaganda revolusioner tentang akar masalah rakyat. Semua sektor masyarakat harus mendapatkan penyadaran tersebut, tak bisa ditunda atau ditunggutunggu lagi. Memang ada bahaya, tapi harus diatasi dan bukan dengan dicabut/ ditiadakan penyadarannya. Kalau hanya melakukan propaganda reformis, maka kita tidak beda dengan pekerja sosial radikal, tak punya arah revolusi. Bila pesoalannya adalah keamanan, maka yang perlu diatasi adalah keamanannya, bukan menanggalkan prinsip revolusionernya. b. Penyadaran tentang cara berjuang (dalam arah revolusi) Massa yang sedang menuntut kebutuhan mendesaknya harus sadar bahwa perjuangan tersebut adalah sebagai tahapan (sekolah) menuju revolusi, yakni untuk memudahkan hajat (survival) hidupnya dan agar mereka sadar bahwa, dengan berjuang bersama, mereka memiliki kekuatannya sendiri, apalagi jika bersatu dengan sektor lain. Itulah mengapa program radikalisasi tiga bulanan tersebut sedapat mungkin beranggotakan multisektor (melibatkan sektor lain masyarakat) dari berbagai tempat, daerah sampai ke tingkat nasional. [Walaupun dalam tahapan penyadaran, sebelum tahap mobilisasi multisektor, diperkenankan melakukan penyadaran dengan cara aksi sektoral ataupun di teritori-teritori tertentu saja—terutama bila masalahnya harus sesegera mungkin diatasi atau untuk menyerang musuh lokal (agar kita populer6 di teritori tersebut)]. Tapi hati-hati: aksi lokal dan sektoral tersebut (dari segi stamina dan dana) jangan sampai menggangu program mobilisasi/radikalisasi tiga bulanan tersebut. Sekali lagi, cara perjuangannya harus dalam arah revolusi, sehingga massa sadar bahwa perjuangan mereka sekarang adalah dalam kerangka revolusi. Sehingga: (1) secara ekonomi bisa menang; (2) secara 6 Maknanya positif, dalam arti: dicintai/ didukung rakyat.
politik sadar akan kekuatannya. Metodenya bisa berbagai cara, yang satu sama lainnya bisa saja simultan/bersamaan. Misalnya: keikusertaan dalam pemilu merupakan salah satu bagian saja dari siasat revolusi (sehingga keikursertaan dalam pemilu tidak menyimpang, kontradiktif, atau kontra-produktif terhadap arah revolusi); atau dengan mendirikan partai sendiri, partai alternatif (apalagi saat partai-partai yang ada sudah disimpulkan tidak dapat dipercaya lagi oleh rakyat); aksi menuntut; rapat akbar (vergadiring); membuat dan menyebarkan terbitan seluas-luasnya; dan lain sebagainya. c.
Alat-alat penyadaran
II (PENYADARAN). Begitulah kita mengukur penerimaan massa terhadap rencana program radikalisasi tiga bulanan. Dalam TAHAP III (MOBILISASI), setiap harinya harus ada (organiser) yang mengumpulkan tanda tangan absen keikutsertaan (aksi) tersebut. Dalam tahap ini juga diperiksa persiapan-persiapan lainnya, seperti: transportasi; perangkat aksi; evaluasi terhadap kecukupan dana; bentuk aksi; sasaran; kampanye ke media massa; pengamanannya; sampai warna, spasi huruf/kata/baris, bentuk huruf agar spanduk dan poster-posernya menonjol; lagu-lagu; yel-yel; slogan-slogan; dan lain sebaginya.
Banyak dan beragam: 1) penyadaran untuk meningkatkan kesadaran/koginitif, bisa berupa: pendidikan (termasuk pendidikan kelas); diskusi; bacaan/terbitan; pemutaran film; lomba/pentas baca puisi; panggung kesenian; seminar; debat publik (pengalaman di DKI, debat publiknya digelar di depan warga, menghadapkan wakil DPR, wakil pemerintah, dan wakil organisasi kita); dan lain sebagainya; 2) penyadaran untuk melatih tindakan politik, bisa berupa aksi-aksi sektoral atau teritorial setempat (aksi lokal). (Tapi, sekali lagi, aksi-aksi sektoral dan lokal jangan sampai menggangu program radikalisasi/aksi/mobilisasi tiga bulanan, baik dari segi stamina maupun dana); 3) Gabungan penyadaran (1) dan (2), terutama yang berupa vergadering atau rapat-rapat akbar (di semua tingkatan bahkan, semakin hari, vergaderingnya bukan saja sekadar di tingkat teritori yang tinggi, namun juga harus semakin didorong ke tingkat teritori bawah, di tingkatan RT, misalnya).
Pada tahap mobilisasi ini, bahkan pada tahap penyadaran, massa secara jelas mengetahui aksi yang akan dilakukan, dari isi tuntutannya (isuuenya) hingga teknisteknisnya. Sehingga jika di lapangan ada wartawan yang bertanya ke massa, mereka akan bisa menjawab dan memang mengetahui kepentingannya, sebagaimana layaknya massa sadar (tak seperti massa bayaran yang sekadar dimobilisasi). Dan kita juga tahu massa mana saja yang belum siap aksi—dan tugas kita lah untuk menyadarkan dan memberanikannya. Jumlah peserta aksi pun akan rinci sesuai dengan absen (1.313 orang, misalnya). Kalaupun berubah, jumlahnya tidak akan jauh berbeda dari daftar yang ada di absen (bahkan kadang-kadang lebih banyak karena, biasanya, massa mengajak mengajak teman atau keluarganya tanpa didaftarkan. Namun, sedapat mungkin harus didaftarkan agar dapat dikontrol dan dijaga. Selain itu, resiko penyusupan provokator ke dalam aksi bisa dikurangi).
3. Mobilisasi (porsinya 15% dari seluruh waktu pekerjaan yang 90 hari, atau 15% dari 90 hari, yakni sekitar 13-15 hari)
II. Pekerjaan yang dilakukan secara simultan atau bersamaan dengan pekerjaan bertahap
Pada tahap ini, kembali dijelaskan rencana mobilisasi (beserta rincian tuntutan, sasaran dan lain sebainya) dan ditanyakan kesanggupannya (dalam bentuk mengisi absen) untuk terlibat dalam aksi. Kesanggupan tersebut merupakan kreteria (tolak ukur) keberhasilan pekerjaan TAHAP I (INVESTIGASI) dan TAHAP
Pekerjaan yang tidak ditahap-tahapkan, yang dikerjakan sejak awal hingga aksi, dan selalu ada dan terus dikerjakan bersamaan dengan pekerjaan bertahap (investigasi, penyadaran dan mobilisasi), kita sebut pekerjaan simultan atau pekerjaan yang dilakukan secara bersamaan (dengan pekerjaan bertahap). Pekerjaan simultan ini meliputi pekerjaan-pekerjaan yang juga tidak boleh dipisahkan dari radikalisasi tiga bulanan. 1. Persatuan Kerja membangun persatuan dengan organisasi/individu lain sejak awal harus dilakukan dan ada petugas (khusus)nya yang ditunjuk7. Petugas untuk membangun 7Petugas yang ditunjuk biasanya adalah kawan yang sabar (tidak temperamen atau tidak cepat marah), santun, ulet, pandai menjelaskan (retorikanya rapi/sistimatis dengan
halaman 35 persatuan atau front ini akan menawarkan ke organisasi/individu lain untuk terlibat (seluruhnya atau sebagian) dengan tahapan radikalisasi tiga bulanan tersebut.8 Organisasi/individu lain yang sepakat terlibat atau sepakat menjalankan bersamasama rencana radikalisasi tiga bulanan tentu akan juga mengikuti dan melaksanakan semua pekerjaan tiga bulanan tersebut. Namun mereka bisa juga hanya terlibat dalam sebagian prosesnya saja: misalnya, saat bekerja sama dengan LSM, mereka hanya mau bekerjasama dalam program atau tahap investigasi. (Dengan demikian, selain kita dan LSM tersebut akan bersamasama memiliki data hasil investigasi, juga kita dan LSM bisa saling berbagi dalam membiayai program investigasi). Atau misalnya ada kelompok/pihak lain yang kalimat pendek-pendek), pandai dan rajin berkomunikasi, dan lain sebagainya. 8Walaupun kita harus berjuang mati-matian mempropagandakan program dan tuntutan kita, tapi kita tidak boleh memaksakan kehendak agar kelompok atau pihak lain selalu harus mengikuti program atau tuntutan kita saja; kita boleh saja menerima program atau tuntutan kelompok atau pihak lain, selama program dan tuntutannya tidak bertentangan, kontradiktif atau kontraproduktif terhadap perjuangan kita. Kalau kita memaksakan kehendak kita saja maka tujuan untuk membesarkan jumlah massa yang dimobilisasi akan sulit dicapai dan, selain itu, upaya untuk mengkondisikan agar atmosfir politik semakin tinggi, sering, dan meluas akan menjadi sekadar impian; bahkan, dalam program radikalisasi tiga bulanan, sesekali kita harus menjadwalkan mobilisasi massa kita dengan program atau tuntutan yang disepakati bersama dalam front (apalagi bila isssuenya memang mendesak atau penting). Tujuan dari taktik ini, yang paling utama, adalah: dengan taktik ini mobilisasi massa akan menjadi lebih besar, terjadwal dan rapi dan, dengan demikian, maka wibawa serta popularitas front bisa ditingkatkan dengan segera. Akibatnya, bila wibawa dan popularitas front bisa terlihat semakin meningkat (dalam prosesnya), maka kelompok dan pihak lain yang sebelumnya belum tergabung dalam front bisa dengan lebih mudah diajak atau secara sukarela bergabung. [Bahkan kelompok atau partai yang bertujuan memperoleh dukungan suara dalam pemilu, sebenarnya tidak boleh sektarian menganggap bahwa mobilisasi front yang tidak bertujuan untuk politik pemilu (elektoral) tidak memiliki manfaat untuk meningkatkan dukungan suara (apalagi bila kelompok dan pihak yang tergabung dalam front menolak terlibat dalam pemilu); bagaimana mungkin partai tersebut bisa merubah pendirian kelompok/pihak lain dan mendapatkan dukungan suaranya bila tidak pernah berjuang bersama mereka dan bergaul dengan mereka, apalagi bila dalam keadaan kesadaran GOLPUT semakin meningkat dan meliputi massa yang demikian besar. Pemikiran sektarian tersebut adalah cermin dari filsafat IDEALIS dan cara berpikir LOGIKA FORMAL; tidak mungkin telur bisa berubah jadi anak ayam bisa tidak dierami atau tidak ada panas tertentu yang mempengaruhi/ bersentuhan dengannya.
hanya mau terlibat dalam mobilisasi dan aksi (dengan menerima program/issue/ tuntutan yang kita usung), atau bentukbentuk kerjasama yang lainnya. Prinsip dari pekerjaan membangun persatuan tersebut adalah untuk memperbanyak sekutu dan sumber daya (massa, organiser, dan dana). Bahkan bisa jadi kita yang kemudian ikut dalam program kelompok/pihak lain atau front yang sudah ada, oleh karena tuntutan mereka lebih tepat, misalnya (tentu saja kita harus menjelaskannya kepada massa kita mengapa kita harus mengusung program/ issue/tuntutan front). Ada banyak lagi kemungkinan bentuk taktik persatuan yang dijalankan—bahkan, misalnya, bisa saja kelompok/pihak lain tidak mau dicantumkan sebagai penyelenggara aksi tapi hanya sebagai pendukung (sponsor) aksi (tercantum dalam statemen dan selebaran sebagai pendukung); atau sengaja (dengan persetujuan kelompok/pihak lain) kita mencantumkannya hanya sebagai pendukung aksi karena mereka memang tidak terlibat dalam program tiga bulanan sejak awal. Namun, di lapangan, kita harus memberikan kesempatan (demokratik) kepada mereka untuk berorasi. Semua itu agar mempercepat persatuan dan penggabungan antar kota/wilayah/sektor dari berbagai kekuatan demokratik. Unsurunsur kekuatan politik rakyat harus terus kita dorong bersatu, dan akan semakin mudah jika organisasi kita tidak sektarian, rendah hati dan tidak memaksakan kehendak. Dan akan semakin mudah bila proses persatuan tersebut menuju ke arah yang benar (tuntutannya semakin baik, membela rakyat, dan kelompok/pihak yang terlibat semakin bertambah). Dengan demikian massa, rakyat, secara umum akan melihat keseriusan kita membangun persatuan berbagai kekuatan politik demokratik yang menguntungkan rakyat. Kerjasama dengan organisasi politik lain yang sering atau pernah menjadi musuh rakyat akan kontra-produktif bagi politik alternatif, karenanya TIDAK bisa dijadikan sekutu atau membangun persatuan dengan pihak tersebut. (Pengecualian kerjasama
dengan pihak semacam itu adalah hanya jika sedang menghadapi serangan musuh yang lebih berbahaya bagi rakyat, dan pihak lain tersebut dengan tegas JUGA menyatakan perlawanan terhadap musuh rakyat tersebut). 2.
Perluasan
Pekerjaan perluasan bisa dibedakan dengan pekerjaan front atau persatuan—walaupun pekerjaan front mengandung unsur manfaat perluasan. Bahkan manfaat perluasan yang diberikan oleh front (secara manajemen) harus ditindaklanjuti oleh pekerjaan perluasan. Pekerjaan perluasan lebih bermakna memperluas perjuangan kita sendiri (baik secara teritori/struktur/massa, tuntutan, maupun sektor masyarakatnya). Pekerjaan perluasan tidak boleh kita abaikan, harus selalu dikerjakan, sehingga mempercepat pembesaran organisasi. Makna perluasan bisa dilihat dari: perluasan basis teritori (struktur dan massa), perluasan sektor, perluasan tuntutan dan lain sebagainya; dan perluasan itu ada yang terencana (mengolah teritori/struktur/ massa, tuntutan, maupun sektor masyarakat yang potensial akan bergolak) atau ataupun tidak terencana (misalnya, kita mengolah teritori/struktur/massa, tuntutan, maupun sektor masyarakat yang sudah/sedang bergolak, yang sudah manifes/berwujud). Perluasan harus menjadi bentuk kerja tersendiri, karenanya perlu ada orangorang khusus (SATGAS Perluasan) yang ditugaskan untuk pekerjaan perluasan tersebut. Petugas perluasan ini harus siap melakukan pekerjaan perluasan yang diolah dari setiap potensi yang datang (selain yang sudah direncanakan), termasuk misalnya dari hasil kerja persatuan/front yang berhasil mendapatkan peluang perluasan. Bahkan untuk mempercepat perluasan, bisa diputuskan bahwa sebagian besar organiser (75% nya, misalnya) dalam dua hari setiap minggunya melakukan pekerjaan perluasan atau berkeja sebagai
halaman 36 SATGAS Perluasan, apalagi bisa sudah ada massa maju (pengganti/second liner) untuk menjaga basis yang ditinggalkan selama dua hari dalam setiap minggunya itu. Biasanya, bila pekerjaan perluasan dilakukan secara bersama-sama, atau tidak sendiri-sendiri, maka keberanian organiser untuk melakukan pekerjaan perluasan akan terjamin. Dalam dua hari itu, pekerjaan basis bisa diserahkan kepada second liner (bila ada), atau massa maju yang sudah diberikan pendidikan dan diberikan/didelegasikan wewenang pekerjaan pengorganisasian basis yang sudah ada (sekaligus merupakan latihan dalam proses kaderisasi). Alat-alat atau media untuk melakukan perluasan bisa berbagai macam bentuk, misalnya, layaknya dalam pekerjaan penyadaran: pendidikan (termasuk pendidikan kelas); diskusi; bacaan/terbitan; pemutaran film; lomba/ pentas baca puisi; panggung kesenian; seminar; debat publik, dan lain sebagainya; atau misalnya dengan selebaran yang isinya menjelaskan bahwa kita bisa memberikan advokasi/pembelaan kesehatan dan pendidikan gratis kepada rakyat (dengan memberikan nama petugas kita, alamat terdekat, dan nomer telpon/handphone yang dapat dihubungi rakyat).
Untuk menentukan sasaran perluasan kita harus memahami watak geopolitik dan watak massanya. Teritori yang dipertimbangkan memenuhi syarat geopolitik sangat penting menjadi sasaran perluasan (baik dalam pengertian geopolitik teritorial maupun geopolitik sektoral), karena daya juang politiknya akan memiliki pengaruh politik yang tinggi/luas, baik ketika berhadapan dengan negara maupun untuk mempengaruhi teritori lain (sehingga perluasan selanjutnya ke teritori lai akan lebih mudah). Sasaran perluasan perlu juga dilihat dari watak massanya. Misalnya, perluasan ke lapisan masyarakat yang tak terlalu miskin bisa lebih mendapatkan massa yang lebih mudah untuk dimajukan sebagai organiser atau kader.
Pekerjaan perluasan tersebut akan salingmemberikan manfaat (dialektik) antara massa basis lama dengan massa basis baru: massa basis lama akan meningkat semangatnya bila mengetahui adanya perluasan basis massa baru; demikian pula sebaliknya, massa basis baru akan mau terlibat bila mengetahui sudah ada/banyak massa di daerah lain yang terlibat. (oleh karena itu, dalam selebarannya, juga harus dicantumkan massa basis-basis mana saja yang sudah mendapatkan manfaat advokasi/ pembelaan kesehatan dan pendidikan gratis.) Apalagi bila keterlibatan massa di basis lama stagnan, sulit meningkatnya, atau bahkan cenderung menurun. Selain itu, dengan perluasan, kita bisa mengukur kapan kita bisa meningkatkan tindakan dan/atau tuntutan politik kita, radikalisasi (KADANG, apalagi pada masa awal) harus diselaraskan dengan jumlah massa dan tingkat kesadaran/kesanggupan politiknya. [misalnya, saat kita hendak menggulingkan Soeharto, kita memiliki ukuran perluasannya: bila kita berhasil melibatkan 25% massa dari 98 kelurahan (di DKI Jakarta) di jalur revolusi9, maka Soeharto akan tumbang.
•
9Jalur-jalur penting tersebut termasuk: Senen-Kramat–Salemba–Matraman–(Tugu) Proklamasi–Pramuka–Jatinegara–Kampung Melayu–Casablanca–Otista–Dewi SartikaCawang–Cilitan–Gatot Subroto–Kuningan– Warung Buncit–mampang PrapatanSudirman–S. Parman–Bunderan Slipi–Pal Merah–Petamburan– Tanah Abang–Kampung Bali–Grogol–Daan Mogot–Roxy.
Pekerjaan perluasan tersebut juga bisa dikaji untuk diterapkan dalam pekerjaan perluasan di sektor-sektor mayarakat lainnya, misalnya di sektor buruh, tani dan lain sebagainya. 3. Dana Juang Dilihat dari sumbernya, dana juang bisa diperoleh dari dua sumber: Dari dalam:
Mutlak HARUS karena, dengan demikian, kita bisa menguji dan mengkur komitmen atau kesetiaan massa untuk mendanai perjuangannya sendiri. Dana dari dalam ini sebaiknya dipergunakan untuk item-item atau hal yang kaitannya dengan perjuangan massa sangat dekat, misalnya: untuk biaya mobilisasi aksi; untuk bacaan; untuk pendidikan; dan lain sebagainya. Memang sering tumpang tindih dengan sumber dana dari luar, tapi harus selalu diupayakan agar massa mendanai perjuangannya sendiri. Dalam pengalaman di DKI Jakarta, Serikat Rakyat Miskin Kota (SRMK) mengajurkan agar massa menyumbangkan dananya sebesar Rp.500,- per hari (sebagai tabungan). Kenapa harus per hari (atau per dua hari; di buruh, per minggu): itu agar meringankan massa memberikan dananya, ketimbang sekaligus Rp.15.000,- per bulan, berat. Dan agar terlaksana dengan baik, harus ada petugas keliling yang mengumpulkannya. (Rekor pengumpulan dana juang SRMK Jakarta: pernah mengumpulkan 45 jutaan rupiah dalam tiga bulan, dari keharusan terkumpul 90 jutaan rupiah). Banyak hambatannya, memang, tapi harus terus diupayakan metode terbaiknya, sesuai dengan watak massa masing-masing. •
Dari luar:
Bisa didapatkan dari kerjasama dengan kelompok/pihak lain atau dari unit usaha kita sendiri. Dan alokasi dananya, sebaiknya,
untuk yang kaitannya dengan perjuangan massa lebih jauh, misalnya untuk tranportasi organiser, untuk kesekretariatan, dan lain sebagainya. III. Pekerjaan Tambahan Selain pekerjaan bertahap dan pekerjaan simultan, ada juga pekerjaan tambahan yang dalam setiap periode tiga bulanan bisa berubah-ubah. Namun begitu, karena pekerjaan tambahan ini juga ditetapkan di satu periode tiga bulanan, maka pekerjaannya juga harus menjadi bagian dari program tiga bulanan dan hasilnya diteliti/dievaluasi bersama dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Dalam program tiga bulanan, SMRK DKI Jakarta pernah menetapkan pekerjaan tambahannya adalah sebagai berikut (untuk jadi acuan): 1. Pembangunan kompartemen: Misalnya, pembangunan kompartemen: a) Kepartaian; b) Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika c) Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker). Artinya dalam satu periode tiga bulanan (bisa saja terus berlanjut di tiga bulanan berikutnya) maka pekerjaan organisasi ditambah dengan pekerjaan membangun partai (nya) rakyat, Mahardhika, dan Jaker di setiap teritori. Sebenarnya, dari pengalaman, pembangunan kompartemen tersebut sangat membantu dalam perluasan dan penyadaran massa (massa jadi tidak cupet/parokial pemikirannya), serta membantu dalam menggalang sumberdaya organiser dan dana. 2. Pendidikan kader/massa maju: Tujuannya untuk mempertinggi pengetahuan, meningkatkan kemampuan dan pendelegasian wewenang kepada massa yang dianggap telah memenuhi kreteria maju; selain itu, juga agar pekerjaan perluasan dapat ditingkatkan dan diperingan (karena sumberdaya organisernya lebih banyak) dengan melimpahkan wewenang kepada massa maju untuk mengorganisir/ menjaga basis yang sudah ada, selama organiser lama bekerja menjadi petugas SATGAS Perluasan. Taktik ini berangkat
halaman 37 dari pengalaman: saat basis massa meluas, atau potensial meluas, tapi tak bisa ditangani karena organisernya tak mencukupi. 3. BUK (Badan Urusan Kontradiksi): Badan ini difungsikan untuk menyelesaikan persoalan personal antar kawan, antar massa, atau antara organiser dengan massa, yang mungkin muncul selama proses tiga bulanan. Persoalan antar personal tersebut penting untuk diperhatikan, dan sebisa mungkin segera diselesaikan, sehingga tidak menganggu pekerjaan-pekerjaan dalam tiga bulanan. 4. Unit Usaha: Pengembangan usaha ekonomi untuk membiayai organisasi, yang muncul dari potensi yang paling sanggup dikerjakan, sebagai bagian penting membangun kemandirian organisasi dalam memenuhi kebutuhannya. Seberapapun capaian awal dalam unit usaha organisasi ini, harus dihargai dan dikembangkan terus. Arah untuk mencukupi kebutuhan sendiri bagi organisasi harus dijadikan tujuan yang penting, arah yang penting, melalui dana juang dan unit usaha organisasi. 5. Manajemen: Yang harus dipelajari dari manajemen terutama tentang manajemen Gerak dan Waktu (Motion and Times Studies). Agar lebih peka melihat transaksi-transaksi kerja beserta variabel-variabel kerja apa yang harus dikerjakan dan diatur. Prinsipnya adalah: setelah ada penetapan strategi-taktik, harus ada pengelolaan bagaimana mencapainya, bagaimana melaksanakan dan mengatur waktunya. Hasil akhirnya akan seperti jadwal (schedule) kerja beserta personilnya. Kolektif harus peka bahwa, untuk mencapai tujuan tersebut dan untuk melaksankan strategi-taktik tertentu, pekerjaan apa saja yang harus dilaksanakan (dari yang paling rumit sampai yang sederhana), siapa-siapa saja yang mengerjakan, dan bagaimana jadwal waktunya, serta kemudian diatur menjadi pekerjaan yang bisa dijalankan. Yang terakhir, bisa diketahui mana yang harus dikerjakan secara bertahap, dan mana yang harus dikerjakan bersamaan. 6. Advokasi/Pembelaan: Pekerjaan advokasi atau pembelaan terhadap masalah-masalah rakyat sehari-hari (di luar program 3 bulanan) bisa menjadi pintu masuk (meraih simpati) massa agar massa bisa masuk ke dalam wadah-wadah pengorganisasian kita, sehingga bisa terjangkau oleh kerja penyadaran kita. Masalah-masalah rakyat tersebut misalnya bila ada massa yang sakit (dan memerlukan
pengobatan gratis), bila ada massa yang mau menyekolahkan anak-anaknya tapi tidak mampu (karenanya membutuhkan pendidikan gratis atau diperingan), bila ada massa yang kesulitan mengurus surat-surat di RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Walikota dan lain sebagainya (sehinga perlu didampingi dan diberikan penyadaran hukum), bila massa tidak berhasil mendapatkan manfaat dari program-program yang (sebenarnya) telah diberikan oleh pemerintah tapi di lapangan tidak mencapai sasaran (program BLT, konpensai gempa, misalnya) (sehingga membutuhkan arahan dan mobilisasi untuk menuntutnya), dan lain sebaginya. Namun, secara ideologis dan politik, pekerjaan advokasi juga mengandung bahaya: 1) organiser atau organisasi yang mendampinginya oleh massa akan dianggap sebagai dewa penolong; atau massa tak punya kesadaran akan kekuatannya sendiri. (oleh karena itu, massa juga harus diberikan pelatihan advokasi agar bisa mengadvokasi dirinya, keluarganya, teman-temannya dan masyarakat lingkungannya); 2) massa menganggap bahwa bila sudah diadvokasi maka persoalannya sudah selesai; massa tidak menganggap bahwa masih banyak (potensi) persoalan yang akan menimpa rakyat miskin; 3) massa tidak sadar bahwa hanya persoalan dirinya saja yang diselesaikan, hanya persoalan anggota (SRMK saja, misalnya) yang selesai, sedangkan persoalan massa di teritori lain, persoalan massa yang bukan anggota (SRMK) belum bisa diselesaikan— apalagi bila capaian atau metode-metode perjuangannya tidak tersebar secara luas sehingga massa dari teritori lain dan anggota organisasi lain tidak bisa belajar dan mengambil hikmah dari hasil perjuangan (SRMK, misalnya) (apalagi massa yang tak berorganisasi); 4) ini yang paling bahaya: massa, organiser, dan organisasinya, menganggap bahwa keberhasilan tersebut merupakan pemberian, kebaikan atau keberhasilan program pemerintah. Massa, organiser, dan organisasinya tak sadar bahwa keberhasilan tersebut adalah buah, panen, dari program-program menuntut/ radikalisasi massa. (Misalnya, DepKes atau Pemda bisa mempermudah advokasi kesehatan SRMK karena mereka sudah tahu radikalisasi SRMK yang dilakukan sebelumnya; banyak organisasi atau individu yang tidak seperti SRMK, kesulitan melakukan advokasi. Bahkan, sekarang, dari laporan oragnisernya, anggota-anggota SRMK sendiri mulai dipersulit melakukan advokasi di beberapa rumah sakit; contoh lain: dalam film SICKO, karya terbaru Michael Moore, yang dilarang diperkenalkan perdana (launching) di Amerika Serikat, dijelaskan bahwa banyaknya layanan publik yang diberikan pemerintah kepada warga Prancis adalah karena warganya sering menuntutnya. Sebagai contoh: bahkan bila warga Prancis dan keluarganya kerepotan
mencuci pakaian mereka, maka mereka bisa meminta Pemda setempat untuk datang mencucikannya, gratis); 5) dengan demikian, massa tidak mengerti tentang arah revolusi dari perjuangan sehari-harinya; hanya jadi penadah kebaikan pemerintah, kacung pemerintah, atau pekerja sosial saja. Demikian pekerjaan-pekerjaan menuju aksi tiga bulanan. Keseluruhan kerja tersebut saling terkait dan menjadi bagian tak terpisahkan dari konsepsi radikalisasi tiga bulanan, dan bukan sekedar jadwal aksi tiga bulan sekali. Aksi tiga bulan ini setahap demi setahap harus didorong peningkatannya (baik kwalitasnya maupun kwantitasnya). Misalnya, walau tuntutannya sama, tapi isi, kwalitas, radikalisasi dan jumlah mobilisasinya harus ditingkatkan. Dan harus menjadi program multi-sektor dari tingkatan teritori yang paling rendah sampai tingkatan teritori naional/internasional. Harus disatukan agar psikologi perjuangannya lebih bagus. Misalnya kepercayaan diri massa meningkat karena ada massa dari sektor lain yang terlibat, ada massa dari teritori lain yang terlibat, kekuatannya lebih besar. Oleh karenanya, menyertai pelaksanaan radikalisasi tiga bulanan tersebut, harus ada lembaga tambahan, yakni lembaga gabungan antar-sektor masyarakat (beserta rapatrapatnya), yang di dalamnya ada perwakilan tiap-tiap sektor masyarakat. Juga, selain ada rapat regular di tiap sektor dan antar-sektor masyarakat; dibutuhkan juga pertemuan konferensi-konferensi stratak, yang reguler dan meluas baik di sektornya sendiri maupun dalam gabungan antar-sektor masyarakat, untuk mengatasi hambatan-hambatan dan melakukan terobosan perjuangan, baik dalam hal strategi–taktik sektoral, antarsektor maupun antar-teritori. Dalam hal organisasi, radikalisasi tiga bulanan tersebut juga merupakan metode terstruktur yang perlu dikaji dan dicoba untuk dijalankan, dalam upaya menjawab persoalan kecilnya organisasi. Dalam situasi subjektif organisasi yang kecil, baik organisasi kita (maupun organisasi lain), akan lebih sulit untuk membangun kekuatan politik alternatif, walaupun secara objektif perlawanan rakyat meluas di mana-mana. Kecilnya organisasi harus diatasi, tidak boleh dihindari dengan kapitulasi (menyerah) kepada organisasi non-alternatif, karena hal tersebut adalah pokok. Hal yang pokok bagi revolusi, sesulit apapun, harus terus dikerjakan dan harus dicari kemudahankemudahannya oleh kaum revolusioner sendiri. Begitu menghindari yang pokok, maka seketika itu juga kita tergelincir dari arah politik alternatif, dari arah kemenangan rakyat, dari arah revolusi.Š
halaman 38
LAMPIRAN I
Pada tanggal 24 Agustus, 2006, serentak warga dari 4 kelurahan di Jakbar, Jaktim dan Jakut, yang mengatasnamakan Posko Perjuangan Rakyat Miskin Kota (POPRAM), melakukan demonstrasi di kelurahan dan kecamatannya, bahkan di BULOG DKI Jakarta. Tuntutannya antara lain pembagian RASKIN; perbaikan jalan; pengasapan DBD gratis; buku pelajaran/ seragam gratis; pengurusan KTP/KK gratis; pendidikan/kesehatan gratis; pemekaran RT bagi pemukiman (yang dianggap) liar; dan lain sebagainya. Jawabannya sudah bisa diperkirakan: akan ditampung dan diteruskan ke atas; atau masih kesulitan dana. Tapi ada jawaban yang di era reformasi seharusnya sudah tidak klise: intimidasi dan teror setelah demonstrasi (bahkan oleh preman yang dikerahkan RT)—jawaban sederhana bagi tuntutan warga yang masih dianggap “pelik”. Aku jadi teringat warga kota Porto Alegre, Rio Grande do Sul, Brazil, yang justru menyelesaikan tuntutan mereka sendiri dengan cara dan instrumen yang lebih berkualitas: DEMOKRASI; yang jawaban kategorial-kongkritnya adalah demokratisasi anggaran, atau yang mereka sebut Orcamento Participativo (Participatory Budget/Anggaran Partisipatoris/AP). AP sudah diterapkan selama 15 tahun di tingkat kota (Porto Alegre), dan 4 tahun di tingkat negara bagian (Rio Grande do Sul). Dan AP telah menarik perhatian banyak kalangan masyarakat sipil, pimpinan pemerintahan dan akademisi di tingkat lokal, nasional maupun internasional— bahkan Konfrensi PBB tentang Habitat ke-II di Istambul, Juni 1996, menyebut AP sebagai salah satu dari 42 contoh terbaik dunia dalam manajemen kota. Karena AP dianggap sebagai instrumen yang kuat dalam mendristribusikan pembelanjaan publik, mendemokratiskan pengawasan terhadap pemerintahan lokal, dan mendorong mengaktifkan warga masyarakat. Kenapa bisa demikian? Karena AP lebih menghargai kualitas demokrasi partisipatoris ketimbang demokrasi perwakilan; AP berhasil menyempurnakan demokrasi langsung ketimbang mendelegasikan keputusan melalui perwakilan. AP adalah proses demokrasi langsung, sukarela, dan universal, di mana warga diposisikan memiliki hak untuk mendiskusikan kemudian memutuskan kebijakan-kebijakan publik
warga, bukan elit,
yang jadi protagonisnya
dan anggaran pemerintah. Partisipasi warga tidak sekadar dibatasi pada pencoblosan saat pemilu. Lebih dari itu, warga juga turut memutuskan dan mengawasi aspek-aspek kunci administrasi publik, anggaran kota dan investasi; warga lah, bukan elit, yang menjadi protagonisnya—bahkan dibedakan dengan populisme Peron-ian, yang menormakan elit sebagai protagonisnya. AP memang masih menganggap penting demokrasi perwakilan namun dinilai belum mencukupi dalam proses peningkatan demokrasi masyarakat. Dengan demikian, AP (demokrasi langsung) akan dihadapkan pada wakil rakyat dan eksekutif (demokrasi perwakilan)—yang bahkan diposisikan tak boleh memiliki hak veto. Aspek-aspek penting lainnya: AP tidak menganggap remeh kapasitas warga dalam mengelola (governing) pemerintahan/ anggaran; AP juga diarahkan untuk meningkatkan solidaritas antar-warga dan menciptakan warga yang sadar. AP bisa disimpulkan merupakan capaian penting dalam kemanusiaan, setelah kegagalan (praxis, bahkan fisik) demokrasi ala Komune Paris dan Sovyet. Ada dua cara dan ruang untuk warga yang hendak bepartisipasi dalam AP: secara territorial, di regional mereka tinggal; atau secara tematik, tergantung area subyek tertentu. Dalam pertemuan utama regional, warga memilih 4 prioritas tertinggi dari daftar pengangaran ke depan. Di pertemuanpertemuan lokal yang lebih kecil warga akan memilih urutan prioritas pekerjaan dan layanan tertentu di pemukiman-regionalnya yang sesuai dengan 4 prioritas di atas. Sedangkan pertemuan tematik disediakan untuk membicarakan prioritas area subyek yang lebih besar/umum, dan juga untuk mewadahi unsur-unsur masyarakat yang tak bisa terlalu aktif dalam wadah teritorial, misalnya serikat buruh, gerakan mahasiswa, kebudayaan, lingkungan, pengusaha, pedagang kecil, dan lainnya. Dalam 1 tahun tahap-tahap yang harus dilalui oleh kedua struktur tersebut agar menghasilkan keputusannya adalah: pertemuan persiapan (Maret-April); babak awal petemuan majelis regional dan tematik (April-Mei); babak lanjutan (sampai ke tingkat pemukiman warga) forum regional dan tematik (MeiJuni/Juli); pertemuan besar majelis kota (Juli); pertemuan penetapan akhir penganggaran dan perencanaan investasi (Juli-Desember); pertemuan untuk merubah aturan dan kreteria teknik AP yang akan digunakan
Danial Indrakusuma
pada tahun depan (November-Januari). Kita akan lihat sebagian capain besar AP. Sebelum AP diterapkan: pelayanan publik sebagian besar lumpuh; infrastruktur perkotaan sebagian besar tak dipelihara; utang menumpuk; dan investasi menurun, karena salah urus serta korupsi. Setelah AP diterapkan: Porto Alegre, sekarang, pendapatan pajaknya meningkat hingga mencapai 50% dari pendapatan totalnya; 93% warganya menerima pelayanan air bersih; 83%-nya menikmati pelayanan kebersihan (termasuk saluran sanitasi); 250 Km jalan aspal telah dibangun (termasuk saluran gorong-gorongnya); antara tahun 1989-2000 pembelanjaan perumahan rakyat meningkat empat kali lipat; selama 10 tahun jumlah sekolah bertambah empat kali lipat; tingkat kegagalan pelajarnya menurun, dari 30% menjadi 10%; usaha-usaha komunitas mulai bisa dibiayai negara; pelayanan bis kotanya meningkat kuantitas dan kualitasnya— menyediakan tempat bagi penumpang berkursi roda; gaji buruh dan pegawai pemerintah kotanya selalu disesuaikan dengan inflasi; peningkatan pelayanan kesehatan dan infrastruktur perkotaan lainnya; dan, dalam 10 tahun terakhir, partisipasi warga dalam pertemuan regional dan tematik meningkat duapuluh kali lipat lebih, menjadi ribuan peserta. Bisa kah kita mengambil hikmahnya? Ada syarat historis yang belum bisa kita penuhi. AP merupakan sumbangan Partai Buruh Brazil (Partido dos Trabalhadores/ PT) bagi kota Porto Alegre dan negara bagian Rio Grande do Sol saat telah berhasil memenangkan calon-calonnya dalam pemilihan tingkat kota dan negara bagian, baik sebagai wakil rakyat maupun eskekutif. Dan komitmen untuk turut mendirikan PT (1980) merupakan cermin puncak kegemilangan perlawanan terhadap kediktatoran militer (1964-1980) dan penolakan kebijakankebijakan neoliberal (yang lebih memaksa sejak 1980). Dan yang terpenting: PT di kota dan negara bagian tersebut merupakan wujud toleransi (baca: kehendak bersatu) antara unsur-unsur kiri-tradisional, populis, sosial-demokrat, gerakan buruh dan teologi pembebasan. Tidak demikian hal nya PT di kota dan negara bagian lain, bahkan di tingkat nasionalnya: ditelikung kebijakan-kebijakan neoliberal, terlibat korupsi, dan menurun tingkat kemenangan elektoralnya.©