PERUBAHAN RUANG BUDAYA PADA SAAT UPACARA ADAT BERSIH DESA DI KAMPUNG CANDI PANGGUNG KOTA MALANG
Disusun oleh: ZAINAL MUTTAQIN NIM. 116060500111004
ARSITEKTUR LINGKUNGAN BINAAN PASCA SARJANA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2012
DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang ...............................................................................
1
I.2. Tujuan Penelitian ...........................................................................
2
BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1. Arsitektur dan Kebudayaan ........................................................
3
II.1.1. Gejala dan Wujud Kebudayaan...............................................
3
II.2. Upacara Adat ................................................................................
5
II.3. Perubahan Ruang Dalam Arsitektur ..........................................
6
II.3.1. Proses Perubahan Ruang .........................................................
6
BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1. Metode Penelitian ........................................................................
12
III.2. Tahap Persiapan Penelitian .......................................................
12
III.3. Tahap Pengumpulan Data ..........................................................
12
III.3.1. Data Primer ......................................................................
13
III.3.1. Data Sekunder ..................................................................
13
BAB IV TELAAH
RUANG BUDAYA UPACARA ADAT KAMPUNG CANDI
PANGGUNG IV.1. Tinjauan Umum ..........................................................................
14
IV.1.1. Karakter Fisik ...................................................................
14
IV.1.1.1. Letak Administrasi ............................................
14
IV.1.1.2. Pola Penggunaan Lahan ....................................
16
IV.1.1.3. Fasos dan Fasum ...............................................
16
IV.2. Sejarah Kampung Candi Panggung ..........................................
17
IV.3. Religi dan Adat ............................................................................
18
IV.4. Perubahan Ruang ........................................................................
18
BAB V KESIMPULAN .....................................................................................
29
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Di salah satu wilayah Kota Malang, Jawa Timur, terdapat satu kawasan yang masih mempertahankan nilai-nilai adat dan tradisi lokal, yang merupakan warisan leluhur dan masih dipertahankan hingga saat ini, tetapi belum terekspose dalam bentuk publikasi visual maupun kontekstual. Kawasan ini dikenal dengan nama permukiman Kampung Candi Panggung, yang berada di tengah Kota Malang, dengan ciri utama adalah masyarakatnya masih melaksanakan dan menjalankan tradisi budaya lokal dalam bentuk proses tradisi leluhur (budaya jawa) dalam keseharian kehidupannya. Kawasan Kampung Candi Panggung merupakan areal rural yang masih mempertahankan tatanan kehidupannya berdasarkan tradisi, perilaku dan budaya yang bersifat tradisional. Dari segi fisik dasar Kampung Candi Panggung didominasi oleh kawasan dengan topografi berkontur dengan tingkat kecuraman relatif datar. Hal ini memberikan pengaruh pada bentukan ruang pada wilayah yang cukup beragam. Sehingga pola penggunaan lahannya didominasi oleh kawasan tidak terbangun berupa areal persawahan, pekuburan dan sisanya adalah kawasan permukiman. Masyarakat Kampung Candi Panggung selama ini, dalam memperlakukan lingkungan permukimannya masih mengedepankan prinsip-prinsip kearifan dan nilai tradisi lokal, mulai dari proses pemilihan lahan, kemudian melakukan seleksi terhadap lahan atau tempat
untuk
digunakan sebagai kawasan permukiman. Kemudian adalah pembagian kawasan permukiman berdasarkan spesifikasi kegiatannya dengan memperhatikan keseimbangan lingkungan, penentuan arah hadap bangunan, jenis dan bahan bangunan terpilih dari alam yang digunakan secara bijak, serta teknologi lokal yang diterapkan. Nilai tradisi lokal disini berkaitan dengan tiga aspek utama yaitu sistem religi, organisasi kemasyarakatan dan mata pencaharian. Sistem religi, adalah menyangkut agama dan kepercayaan masyarakatnya, dimana terdapat nilai-nilai keyakinan dan kepercayaan yang dilaksanakan sebagi bentuk dan relevansi hubungan antara manusia dan Sang Pencipta. Sistem nilai religi disini, mengatur bagaimana seharusnya manusia berperi Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
1
kehidupan. Selanjutnya adalah organisasi kemasyarakatan, yaitu berkaitan dengan dengan struktur sosial dalam masyarakat, yang terwujud dalam bentuk hubungan antara sesama manusia dan organisasi yang dibentuk dalam kelompok masyarakat. Kemudian mata pencaharian adalah berkaitan dengan bagaimana cara masyarakat untuk mempertahankan hidup dengan melakukan suatu pekerjaan, dengan mempertimbangkan nilai-nilai tertentu terutama yang berkaitan dengan daya dukung dan kelestarian lingkungan. Ketiga aspek tersebut semuanya bermuara pada ruang yang akan digunakan, dan bentukan pola ruang tersendiri dalam kawasan pemukiman. Seiring perkembangan jaman, yang ditandai dengan kemajuan teknologi dan informasi yang melanda dunia, tentunya akan membawa dampak pada perubahan pola pikir dan pemahaman masyarakat, termasuk halnya masyarakat di Kampung Candi Panggung terutama berkaitan dengan aspek perilaku dan aktivitasnya. Selain itu adalah karena adanya penambahan jumlah penduduk yang secara terus menerus, memberikan pengaruh pada kebutuhan lahan untuk tinggal dan beraktivitas, mengakibatkan adanya pergeseran perilaku masyarakat.
I.2. Tujuan Penelitian
•
Tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah proses terjadinya perubahan ruang yang terjadi pada saat upacara adat bersih desa di Kampung Candi Panggung, Kota Malang, Jawa Timur.
•
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
2
BAB II KAJIAN PUSTAKA
II.1. Arsitektur dan Kebudayaan
Membicarakan arsitektur dari jendela antropologi hanya salah satu cara untuk melihat arsitektur dari orbit luarnya. Dengan meminjam jendela antropologi kita akan melihat arsitektur sebagai sebuah proses kebudayaan yang utuh. Gejala dan wujud kebudayaan dalam arsitektur merupakan indikasi yang semakin mendekatkan arsitektur dengan proses terciptanya kebudayaan. II.1.1. Gejala dan Wujud Kebudayaan Menurut J.J. Honingmann terdapat tiga gejala kebudayaan, yaitu ideas, activities dan artifacts (dalam Koentjaraningrat, 2005 hal 74). Koentjaraningrat sendiri menawarkan empat wujud kebudayaan, yaitu: kebudayaan sebagai nilai ideologis; kebudayaan sebagai sistem gagasan; kebudayaan sebagai sistem tingkah laku dan tindakan yang berpola; dan kebudayaan sebagai benda fisik (artifak) (Koentjaraningrat, 2005).
Kerangka Konsentris Kebudayaan Sumber: Koentjaraningrat (2005: 92)
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
3
Dari empat wujud yang ditawarkan dalam lingkaran kerangka kebudayaan di atas, masing masing memiliki kecenderungan bentuk yang berbeda satu dengan lainnya. Nilai-nilai budaya merupakan tahap filosofis atau ideologis yang terbentuk karena pengalaman manusia, tahap ini merupakan hasil pemikiran yang biasanya memiliki bentuk tekstual tersurat maupun tersirat dalam norma, aturan adat, cerita rakyat atau karya seni. Sistem budaya berupa gagasan dan konsep juga merupakan manifestasi hasil pemikiran. Tahap wujud ini juga memiliki bentuk tertulis tersurat dan beberapa dapat berbentuk gambar atau konfigurasi. Sistem sosial sebagai tahap wujud selanjutnya merupakan tindakan dalam rangka “mewujudkan� konsep. Tahap wujud ini dapat berbentuk tulisan, gambar, konfigurasi maupun kegiatan. Kebudayaan fisik merupakan wujud hasil dalam sebuah kebudayaan. Sehingga pada wujud terakhir ini kebudayaan memiliki bentuk paling nyata diantara bentuk yang lain. Pada wujud inilah kebudayaan seringkali sudah memiliki bentuk benda, sehingga dapat dilihat, disentuh dan dirasakan. Untuk membantu memahami Arsitektur sebagai sebuah wujud kebudayaan dapat dilakukan telaah melalui kacamata di atas. Untuk itu kegiatan ber-arsitektur perlu dipahami sebagai sebuah proses, dari ideologi yang melandasi, konsep, metode dan teknik yang digunakan, hingga hasil karya. Dalam kebudayaan terdapat unsur atau isi pokok kebudayaan yang bersifat universal yang berkaitan dengan kebudayaan dan oleh banyak ahli merumuskan
unsur-unsur
kebudayaan.
merumuskan tujuh unsur-unsur
Oleh
Koentjaraningrat
(1992)
kebudayaan dari berbagai kerangka
kebudayaan yang dikembangkan oleh sarjana antropologi di seluruh dunia. Unsur-unsur kebudayaan tersebut adalah : a. Sistem religi dan upacara keagamaan. b. Sistem dan organisasi kemasyarakatan. c. Sistem pengetahuan.
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
4
d. Bahasa. e. Kesenian f. Sistem mata pencaharian hidup. g. Sistem teknologi dan peralatan. II.2. Upacara Adat
Upacara (KBBI Poerwadarminto 1976: 1132) adalah peralatan (menurut adat) atau hal melakukan sesuatu perbuatan yang tentu menurut adat kebiasaan (agama). Sedangkan adat menurut Prof. Drs Suwaji Bastomi adalah segala keseluruhan aturan atau hukum yang tidak tertulis, tidak dibukukan yang mencakup segala aspek kehidupan. Adat menentukan hal-hal yang baik dan tidak baik bagi seseorang sebagai warga masyarakat. Jadi upacara adat adalah upacara yang berhubungan dengan adat suatu masyarakat berupa kegiatan manusia dalam hidup bermasyarakat yang didorong oleh hasrat untuk memperoleh ketentraman batin atau mencari keselamatan dengan memenuhi tata cara yang ditradisikan dalam masyarakatnya. Keberadaan adat istiadat dalam sebuah upacara tradisional tidak mengganggu kemajuan alam pikiran masyarakatnya, baik pedesaan maupun perkotaan. Adat istiadat yang terdapat dalam masyarakat mengandung nilai-nilai dan norma kehidupan yang tumbuh dalam masyarakat berguna untuk keseimbangan dalam tatanan kehidupan. Adat istiadat biasanya diwujudkan dalam bentuk upacara seperti halnya upacara tradisional, yang diwariskan secara turun-temurun dengan mengalami perubahan menuju perbaikan sesuai dengan tuntutan jaman. Upacara dalam pengertian ritual dapat diartikan sebagai suatu sistem aktifitas atau serangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku di masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa tetap yang tidak terjadi dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1984: 2). Upacara adat adalah kelakuan keagamaan sebagai usaha mendekatkan diri dengan tuhan atau leluhur melalui kekuatan gaib yang dianggap ada di sekitar mereka tinggal demi keselamatan dan kesejahteraan hidup bersama (Rahmat Subagyo melalui Maharkesti, 1989: 2). Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
5
II.3. Perubahan Ruang Dalam Arsitektur
Manusia sebagai makhluk individu sekaligus mahluk sosial, dalam kaseharian kehidupannya selalu melakukan interaksi baik dengan sesama manusia muapun lingkungan dimana manusia itu tinggal. Karena itu manusia memerlukan suatu sistem places (tempat- tempat tertentu) hal ini untuk mendukung masing-masing aktifitasnya, karena suatu aktifitas memerlukan tempat atau dilaksanakan pada suatu tempat tertentu, hal ini berarti bahwa manusia dalam mengembangkan kehidupan dan budayanya masih terdapat ketidakstabilan. Kebutuhan itu timbul karena adanya kesadaran orang terhadap suatu tempat yang lebih luas dari pada hanya sekedar masalah fisik saja (Zahnd, 1999). Selalu terjadi proses pencarian keseimbangan antara manusia dengan lingkungannya. Sebagai hasil dari proses tersebut, selalu terjadi perubahan ruang (LevyLeboyer, 1982:143) Faktor menyebab terjadinya perubahan ruang , diantaranya adalah :
Karakter individu pengguna ruang
Karakter masyarakat penghuni ruang
Faktor teknologi yang terkait langsung dengan bentukan arsitektural.
Dst.
II.3.1. Proses Perubahan Ruang Melalui Tahapan berikut : a. Privatism Process Privatism process adalah bergabung dengan suatu kelompok tertentu dan merubah identitas pribadi menjadi identitas kelompok, akan membuat individu merasa ‘stabil’. Dari sinilah dimulailah proses
untuk
menghindarkan
diri
dari
keterlibatan
pada
masalah/urusan diluar kehidupan pribadinya (privatism) ( Nan Ellin,1997:32)
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
6
Menyebut privatization process sebagai suatu proses yang melibatkan pencarian stabilitas dalam suatu kondisi yang tidak stabil dan mengkhawatirkan,
tanpa bisa menemukan petunjuk sbg
pegangan. Hal itu memotivasi manusia untuk melakukan proses pengelompokan (clustering process) ( Jerome Binde, 1997:33) b. Clustering Process Suatu kelompok adalah hasil dari Clustering Process, artinya bahwa: Proses yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat yang memiliki banyak persamaan sebagai hasil dari seleksi habitat, selanjutnya mereka memilih lingkungan untuk tempat berhuni dengan kwalitas khusus yang sesuai dengan karakter mereka, menjadi suatu
‘kantung permukiman’. Banyaknya ‘kantung
permukiman’ menggambarkan adanya ‘kesatuan’ pada satu sisi, dan ‘pemisahan’ pada sisi yang lain (Rapoport, 1977:248) c. Inclusion-Exclusion Process I-EP
menyebabkan adanya ‘batas’ dan menekankan pada
‘identitas sosial’ sehingga membagi ‘kota’ menjadi 2 kelompok, yaitu
kelompok
(homogeneity)
masyarakat
yang
punya
dan kelompok masyarakat
kesamaan
sifat
yang mempunyai
perbedaan sifat (diversity) ( Rapoport, 1977:248) Keinginan untuk berkelompok, membuat terjadinya teritori yang dikontrol oleh kelompok tersebut. Hubungan sosial merupakan kunci terjadinya ‘ruang eksklusif’ suatu kelompok masyarakat. Ruang bersama ini selalu terjadi dari proses evolusi yang lama ( Smith, 1990:1) I-EP yang menyebabkan terjadinya ruang eksklusif, tak bisa dilepaskan dari hubungan erat manusia dan lingkungannya. Aturan implisit sistem dalam I-EP menyebabkan satu kelompok merasa lebih berkuasa dari kelompok yang lain, sehingga mempunyai power untuk menekan kelompok yang lain (Sibley, 1995:XI)
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
7
d. Categorization Process Categorization Process sebagai suatu proses penggolongan ruang, dimana tatanannya informal, tidak perlu stabil, dapat saja berupa penggolongan sementara, serta tidak terikat oleh peraturan yang formal. Pada saat manusia mengelompokkan diri dalam suatu kelompok, mereka memilah-milah ruang mana yang sesuai bagi mereka (Marcus & Cameron, 2002:43) e. Classification Process Sekelompok manusia yang tergabung dalam suatu kelompok tertentu, memilih tatanan yang bagaimana, yang sesuai
dengan
ruang & lingkungan mereka. Penggunaan berbagai macam kategori dan
tatanan
hidup,
adalah
bagian
dari
proses
klasifikasi.
Categorization process dan classification process adalah dua hal yang saling berurutan dan berkaitan satu sama lainnya ( Marcus & Cameron, 2002:43) f. Labeling Process Pemberian nama pada ruang (lingkungan) yang sudah mereka pilih untuk tempat hidup, serta telah ditentukan jenis tatanan yang sesuai
dalam
classification
process
sebelumnya.
Ini
untuk
mempermudah mereka mengingat fungsi ruangnya. Proses pengkategorisasi-an dan peng-klasifikasi-an sangat mempengaruhi proses pe-label-an ruang. Hasil dari proses ini adalah terciptanya ‘ruang yg dibatasi’ (boundaries) dan ‘kelompok ruang’ (cluster). Ruang dengan kategori yang sama akan membentuk ‘kelompok ruang’, sedangkan ruang dengan kategori berbeda akan berdiri sendirisendiri menjadi ‘ruang
yang
terbatasi’ ( Marcus & Cameron,
2002:45) g. Bordering Process Sekelompok manusia memberi batas bagi ruang yang satu dengan ruang yang lain, untuk mempermudah memperjelas fungsi Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
8
ruang masing-masing. Menyimpulkan adanya dorongan moral yang kuat (moral panic) yang membuat ‘batas’ menjadi fokus perhatian suatu kelompok masyarakat. Pembuatan ‘batas’ (secara simbolik ataupun fisik) merupakan cerminan ekspresi ketakutan suatu kelompok thd kelompok yg lain ( Sibley, 1995:45) Kebutuhan manusia untuk mengontrol akses menuju ke ruang yang dikuasainya dan kemudian menciptakan ruang yang terpagari. ( Smith, 1990:1 ) h. Mediating Power Process Pembatasan ruang berdampak pada terbentuknya ruang eksklusif dan inklusif., yang merefleksikan adanya pembagian kekuasaan dalam masyarakat. Selain itu juga menimbulkan penegasan penguasaan
ruang
berdasarkan
power
atau
kemampuan
pembentuknya yang tercermin dalam ruang tersebut. ‘Tempat’ (place) adalah perwujudan dari kekuasaan dalam arsitektur Kekuasaan dalam masyarakat ada 2 konsep : ( Kim Dovey, 1999:10) •
Kekuasaan untuk (power to), sebagai suatu bentuk kemampuan.
•
Kekuasaan terhadap (power over) sebagai suatu bentuk hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
i. Marking Process / Identity Expression Process Ruang menjadi alat mengekspresikan diri sekelompok manusia. Selanjutnya mereka membuat ruangnya lebih mudah dikenal agar mereka bisa lebih exist di lingkungannya. ( Altman, 1980:137) Proses pembentukan teritori diawali dengan marking process – personalization proces – identityt expression process. Teritori pada akhirnya sering diberi ‘tanda’ tertentu oleh pemiliknya dan memamerkan kehadiran pemilik atau penguasa teritori tersebut. Proses personalisasi digunakan untuk merepresentasikan adanya perbedaan antar individu pemilik teritori dan pada kelompok masyarakat yang mana individu tersebut bergabung. Proses Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
9
pengekspresian identitas merupakan proses yang menekankan pada pengelolaan identitas untuk merepresentasikan hubungan antara individu dengan kelompoknya atau dengan lingkungan sosialnya. Fungsi utama dari proses personalisasi dan pemberian ‘tanda’ pada ruang/tempat adalah untuk menegaskan bahwa seseorang telah menguasai ruang tersebut (Altman, 1980:143) j. Polarization Process Pengelompokan ruang oleh sekelompok manusia dengan beragam
tingkat
kekuasaan
yang
dimilikinya,
seringkali
menimbulkan kesenjangan dan ketidakadilan antar kelompok masyarakat yang hidup berdampingan. (Report, 2001:33) Kondisi ‘ketidakadilan’ selalu menyebabkan fenomena yang telah tersebar di seluruh dunia sebagai ‘polarisasi’. Terdapat 4 aspek pada proses ini yang dicerminkan oleh fisik ruang kota, yaitu :
Naiknya jumlah orang miskin
Melebarnya jurang pemisah finansial antara si kaya dan si miskin
Makin banyaknya pemisahan kelas berdasarkan ekonomi
Makin tajamnya perbedaan si kaya dan si miskin dalam berbagai bidang Utamanya pada pemisah-misahan area permukiman kota yang
polanya disebut quartering. Suatu enclave, merupakan bentuk tipikal dari pola quartering. (Habitat, 2001:34) k. Quartering Process Merupakan
proses
terbentuknya
pola
permukiman
kota
berdasarkan proses olarisasi yang telah terjadi sebelumnya. Kelompok-kelompok hunian yang termarjinalkan, yang kalah power
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
10
dari
kelompok
hunian
yang
lain,
selalu
berusaha
untuk
menyeimbangkan diri. ( HABITAT , 2001) l. Environmental Change Process Kaum termarjinalkan, selalu berusaha meningkatkan tatanan hidupnya, yang seimbang bagi kehidupan seluruh penghuni lingkungannya berdasarkan sumber daya yang mereka miliki. ECP terkait dengan proses ‘dinamika ruang’ yaitu suatu tatanan lingkungan
(individu/keluarga/kelompok/masyarakat)
selalu
berupaya menyesuaikan kebutuhan mereka dengan potensi (sumber daya) yang dimiliki lingkungan tsb. Untuk mencapai itu, harus melalui suatu proses yang ‘fleksibel’ dan ‘dinamis’. Keseimbangan suatu
lingkungan
selalu
berubah.
Pembahasan
tentang
‘keseimbangan ruang’ ini untuk menegaskan bahwa ruang adalah suatu bentuk yang cenderung tidak stabil. Jika lingkungan dikaitkan dengan ‘perilaku sosial’ maka lingkungan dibaca sebagai ‘ruang’. Tapi jika lingkungan dikaitkan dengan ‘perilaku individu’ maka lingkungan dibaca sebagai ‘teritori’. ( Levy-Leboyer, 1982:121-144)
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
11
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
III.1. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah satu kesatuan sistem dalam penelitian yeng terdiri dari
prosedur dan teknik yang perlu dilakukan dalam satu penelitian (Nazir, 1988).
Metode yang digunakan dalam menelaah proses perubahan ruang budaya pada saat upacara adat bersih desa di permukiman Kampung Candi Panggung ini adalah metode Analisis Kualitatif. Metode penelitian kualitatif
sering disebut metode penelitian
naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting); disebut juga sebagai metode etnographi, karena pada awalnya metode ini lebih banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya; disebut kualitatif karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif (Sugiyono, 2009)
III.2. Tahap Persiapan Penelitian
Pada tahap ini dilakukan persiapan untuk pelaksanaan penelitian yang dilakukan dengan beberapa persiapan yaitu : •
Mengurus perijinan untuk pelaksanaan survey pada lokasi studi.
•
Mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan dalam pelaksanaan survey.
•
Menyiapkan chek list data dan disain survey untuk panduan dalam pelaksanaan penelitian.
•
Menyiapkan dan menyusun daftar pertanyaan untuk wawancara.
III.3. Tahap Pengumpulan Data
Pada tahap pengumpulan data dilakukan pemahaman terhadap karakteristik masyarakat dan budaya setempat, yaitu dengan melakukan pendekatan langsung pada Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
12
lokasi studi yang dilakukan dengan : III.3.1. Data Primer Data primer merupakan survey yang dilakukan dengan mendatangi langsung atau terjun langsung pada obyek dan lokasi studi, dengan dua pendekatan yaitu : 1. Observasi pada pemukiman masyarakat, dengan melakukan pengamatan terhadap beberapa aspek, yaitu : •
Pengamatan langsung aktifitas keseharian masyarakat baik di rumah maupun di luar rumah.
•
Pencatatan hasil pengamatan untuk kemudian diolah menjadi informasi atau data yang disesuaikan dengan variabel yang telah ditentukan.
•
Melakukan dokumentasi dengan media foto, video atau sketsa dan gambar sebagai pertimbangan untuk pembuktian kondisi yang ada di lapangan yang nantinya juga digunakan sebagai bahan analisis.
2. Observasi langsung pada bangunan pada permukiman di Kampung Candi Panggung 3. Wawancara langsung dengan pemuka agama/pemuka masyarakat, yang berisi pertanyaan dan berkaitan dengan variabel berikut: •
Kebudayaan Masyarakat dan perilaku
•
Tempat tinggal
•
Hubungan sosial dan sistim kekerabatan
4. Dalam pelaksanaan studi penelitian, obyek yang didatangi adalah masyarakat dan pemukiman serta beberapa rumah di Kampung Candi Panggung. III.3.2. Data Sekunder Data sekunder adalah kegiatan yang dilakukan dengan tidak langsung terjun ke lokasi studi melainkan mengumpulkan data atau informasi dari beberapa sumber , seperti : •
Instansi terkait.
•
Literatur/Buku.
•
Laporan penelitian.
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
13
BAB IV TELAAH RUANG BUDAYA UPACARA ADAT KAMPUNG CANDI PENGGUNG IV.1. Tinjaun Umum
Kampung Candi Panggung adalah sebuah kampung tradisional yang berada di tengah kota Malang yang masuk dalam wilayah Kecamatan Lowokwaru, Kelurahan Mojolangu, dan mempunyai luas wilayah sekitar 12.5 hektar. IV.1.1. Karakter Fisik Kampung Candi Panggung mempunyai karakter wilayah yang cukup berkontur dengan kemiringan yang relatif datar. Secara fisik kawasan pemukiman Kampung Candi Panggung merupakan wilayah lereng yang di kelilingi oleh aliran sungai. IV.1.1.1. Letak Administrasi Secara administrasi wilayah Kampung Candi Panggung mempunyai batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara
= Berbatasan dengan Perum. Permata Jingga
Sebelah Selatan
= Berbatasan dengan Pisang Kipas
Sebelah Timur
= Berbatasan dengan Perum. Griyashanta
Sebelah Barat
= Berbatasan dengan Teluk Cempi
Gambar 1 & 2: Karakter Fisik Kampung Candi Panggung
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
14
Gambar 3: Peta Kota Malang
Gambar 4 : Peta Lokasi Kampung Candi Panggung
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
15
IV.1.1.2. Pola Penggunaan Lahan Pemukiman masyarakat Kampung Candi Panggung adalah sebuah pemukiman kecil, pola penggunaan lahannya didominasi oleh kawasan tidak terbangun berupa makam, ladang, persawahan dan sisanya adalah kawasan permukiman.
Gambar 5: Peta Penggunaan Lahan Kampung Candi Panggung
IV.1.1.3. Fasos dan Fasum Fasilitas sosial yang ada di Kampung Candi Panggung berupa, Taman pendidikan Al-qur’an, Puskesmas pembantu, terdapat satu buah mesjid dan musholla serta fasilitas sosial lainnya. Fasilitas umum berupa infrastruktur seperti Jalan, yang berupa jalan aspal atau paving, PLN, PDAM dan Saluran Telpon
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
16
IV.2. Sejarah Kampung Candi Panggung
Kampung Candi Panggung pada awalnya adalah sebuah lahan basah yang hampir seluruh permukaan tanahnya di tutupi oleh air, yang kemudian secara alamiah mengering dan membentuk sebuah dataran yang dapat di huni oleh manusia. Terbentuknya kampung candi panggung di mulai pada akhir tahun 1920-an, dimana pada waktu itu hanya di tinggali oleh beberapa orang saja. Pemberian nama candi panggung tidak terlepas dari fenomena yang terjadi di daerah itu. Menurut cerita, di suatu tempat yang sekarang di sebut Pepunden banyu peres Beji Sari dulunya terdapat sebuah pohon besar yang tidak mempunyai daun sepanjang tahun, kemudian pohon itu di gunakan burung-burung burung untuk bertengger sambil berkicau seperti halnya sedang melakukan sebuah pertunjukan. Keanehan tersebut membuat pohon tersebut di sakralkan masyrakat masyrakat pada waktu itu dengan memberi sesaji berupa ’tumpeng candi murup’, murup serta di sekelilingnya di kasih penerangan berupa obor atau suluh.. Dari rangkain fenomena inilah di nama kampung candi panggung lahir.
Gambar 6: Analogi Awal dari Nama Kampung Candi Panggung
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
17
Yang menarik dari Kampung Candi Panggung ini adalah adanya pintu “Butulan� keberadaan pintu butulan adalah dikarenakan adanya kepercayaan atau mitos yang berkembang bahwa rumah bagai sosok manusia, rumah yang baik adalah rumah yang mempunyai pintu masuk dan pintu ke luar, selain untuk menjalin komunikasi dan keakraban. Pak Kirun
Pak Ngatman
Pak Djumain
Pak Toha
Bu Riatin
Gambar 7: Pola kekerabatan yang Membentuk Permukiman kampung Candi Panggung
IV.3. Religi dan Adat
Mayoritas pemeluk agama yang ada di Kampung Candi Panggung adalah beragama Islam. Seperti halnya pada masyarakat Jawa pada umumnya, hal ini dapat terlihat pada kegiatan seahari-hari serta adanya mesjid dan musholla di kampung tersebut. Masyarakat Kampung Candi Panggung masih memegang Adat dan istiadat budaya budaya leluhur meraka yang di refleksikan pada kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh kebudayaan yang masih mereka pertahankan sampai sekarang adalah kegiatan upacara adat yang di kenal dengan sebutan Bersih Desa. Bersih Desa berlangsung ssatu tahun sekali tepatnya setiap bulan Muharram.
IV.4. Perubahan Ruang
Upacara bersih desa di Kampung Candi Panggung, Kota Malang, Jawa Timur. merupakan suatu tradisi yang dianggap mempunyai makna religius bagi para Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
18
penduduknya. Oleh sebab itu satu tahun sekali tepatnya setiap bulan Muharram diadakan upacara bersih desa. Ritual bersih desa adalah upacara adat setempat yang sudah berjalan turun temurun. Sejak dibukanya areal kampung candi panggung pada akhir 1920-an, para sesepuh desa tersebut telah melaksanakan beberapa ritual rutin termasuk bersih desa itu. Berbagai rangkaian upacara adat tersebut adalah bagian ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang telah dilimpahkan-Nya. Upacara adat Bersih Desa ini secara umum memang untuk meminta keselamatan dan kesejahteraan kepada Yang Maha Agung. Namun dalam kenyataannya, masyarakat masih kuat mempercayai "kekuatan gaib", termasuk arwah nenek moyang atau leluhur. Masyarakat akan merasa tenang setelah melakukan upacara adat tersebut karena dengan demikian mereka akan memperoleh keselamatan dan "kekuatan" yang dianggap melebihi kekuatan diri sendiri. Yang penting adalah bahwa masyarakat harus mengadakan upacara walaupun hanya sederhana, sebab kalau sampai tidak menjalani upacara orang akan merasa khawatir atas keselamatannya. Tujuan lain yang umum dikenal dan dilakukan oleh masyarakat Kampung Candi Panggung adalah, sebagai berikut:
Terpadunya rasa keutuhan dan persatuan warga,
Kebersihan lingkungan dapat terjamin,
Kondisi desa dan masyarakat diberikan ketentraman lahir batin,
Terhindar dan bencana alam, dan
Terhindar dari serangan hama, sehingga dapat diberikan hasil yang berlimpah.
Acara bersih desa ini selanjutnya, terbagi ke dalam beberapa rangkaian acara. Hari pertama biasanya dikhususkan untuk ritual sesaji yang dipimpin sesepuh kampung dan segala persiapan terkait dengan rangkaian acara selanjutnya, kemudian sesaji tersebut diletakkan di tempat-tempat sakral di tiga tempat yaitu ; Pepunden banyu peres Beji Sari, Belik Lamer dan Belik Ngaglik, hal ini dimaksudkan untuk menghormati para leluhur serta memohon perlindungan agar dalam upacara bersih desa nantinya dapat berjalan dengan lancar. Adanya tempet-tempat sakral ini merupakan Inclusion-Exclusion Process dimana terjadinya ruang eksklusif yang tidak bisa dilepaskan dari hubungan erat manusia dan lingkungannya.
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
19
Gambar 8 : Lokasi Tempat Sakral Di kampung Candi Panggung
Proses pada hari pertama, dilakukan kerja bakti ( gotongg royong) pembersihan rumah, tempat ibadah, jalan,, selokan dan kuburan secara bersama-sama. sama. Kepala kampung berusaha membagi tugas masing masing-masing kelompok, secara serentak menurut RT masingmasing masing. Sekelompok RT ada yang menuju ke rumah Kepala kampung untuk pembuatan tarub yang aken dipasang di depan
halaman rumah. Pengelompokan jenis kegiatan
berdasarkan kesamaan karakter tersebut termasuk ke dalam clustering process, yaitu ketika sekelompok individu dengan sifat dan karakter yang sama membentuk suatu kelompok tertentu.
Gambar 9: Persiapan yang Dilakukan di Lokasi Pupunden
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
20
Di samping itu juga dipersiapkan gelaran (tikar), penyediaan alat-alat sesaji panggung, dan pembersihan alat-alat makan bersama (kenduri). Kemudian RT Iain mengganti pagar pada pohon Sana yang dikeramatkan, yang berada di Pepunden banyu peres Beji Sari yang konon dijadikan kerajaan para arwah yang nglambrang. Pembuatan sesaji dilakukan oleh warga kampung dengan tujuan agar roh halus penunggu tempat tersebut tidak mengganggu.
Gambar 10 & 11: Lokasi Tempat Sesaji di Letakkan
Hari kedua, acara berisikan kesenian-kesenian tradisional yang tetap terkait dengan penghargaan kepada alam yakni jaranan atau kuda lumping, tayub, bantengan, reok dan kasidahan yang dilakukan para warga di kampung candi panggung. Di hari ini pula ada acara makan bersama yang diikuti seluruh warga kampung, dan pada saat memasaknya pun para warga bergotong-royong memasak makanan tersebut. Proses hari kedua ini dimulai sejak pagi hari sesudah sholat subuh, dimana para warga khususnya ibu-ibu menyiapkan jenis-jenis makanan dan para lelaki membuat obor atau suluh yang akan di bawa nantinya pada saat waktu upacara di mulai. Proses pembuatan makanan ini berlangsung di dapur rumah masing-masing warga yang kemudian setelah selesai pembuatannya akan di letakkan di teras rumah sambil menunggu acara di mulai, sedangkan pembuatan obor atau suluh bertempat di depan rumah. Hal ini termasuk privatism process, yaitu proses perubahan ruang pada saat pembuatan sesaji atau makanan yang berada di dapur yang sifatnya privat, untuk kemudian di letakkan di teras rumah yang lebih bersifat publik, sehingga terjadi perubahan dari identitas pribadi menjadi identitas kelompok di karenakan keseragaman jenis sesaji tau makanan.
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
21
Gambar 12: Proses Menyiapkan Makanan di Salah Satu Ruamah Warga
Proses acara di mulai pada pukul 7.00 pagi, ketika semua warga dan keseniankesenian tradisional yang ada di desa seperti jaranan atau kuda lumping, bantengan, reok dan kasidahan serta anak-anak TPQ ( Tempat Pendidikan Qur’an ) sudah berkumpul di tempat yang sudah di tentukan yaitu sebelah timur kampung candi panggung, yang berdekatan dengan lokasi mesjid. Dalam membentuk barisan, pengelompokkan disesuaikan dengan fungsi dari masing-masing peserta acara, di mulai dari barisan yang paling depan adalah anak-anak TPQ ( Tempat Pendidikan Qur’an ) beserta pendamping mereka seperti guru atau orang tua dengan membawa spanduk, di susul barisan kedua adalah kelompok ibu-ibu dan bapak-bapak kasidahan yang membacakan sholawat serta ayat-ayat Al-qur’an ketika upacara berlangsung. Di barisan ketiga terdapat kelompok warga kampung yang membawa sesaji atau makanan dan obor yang akan di taruh di Pepunden banyu peres Beji Sari, kemudian di barisan keempat terdapat kelompok jaranan atau kuda lumping dan di barisan kelima merupakan kelompok kesenian bantengan. Seluruh Peserta masing-masing kelompok di pimpin oleh seorang kordinator yang bertanggung jawab dalam mengatur barisan pada saat berjalan menuju Pepunden banyu peres Beji Sari. Pada tahap ini terjadi inclusion-exclusion process, dimana berkumpulnya kelompok-kelompok tersebut pada suatu tempat yang telah di tentukan sebelumnya sebagai awal dari proses acara. Adanya clustering process, di karenakan pengelompokan Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
22
jenis-jenis kesenian yang berkumpul di tempat tersebut tersebut. Bordering Process,, terbentuk dari adanya seorang kordinator yang bertanggung jawab dalam mengatur barisan sehingga terbentuk batas antara jenis kegitan satu dengan lainnya. Gambar : Persiapan Warga sebelum acara dimulai ( membuat obar dari bambu )
Gambar 13&14: Lokasi Berkumpulnya Warga dan Kesenian Desa
Gambar 15: Pengelompokan Warga dan Kesenian desa
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
23
Kesenian jaranan atau kuda lumping, bantengan, reok dan kasidahan merupakan kesenian yang berasal dari kampung mereka sendiri yang secara turun turun-temurun temurun masih di pertahankan sampai sekarang. Kesenian ini muncul secara bersamaan pada saat acara acaraacara tertentu seperti acara bersih desa yang dilakukan sekarang, sed sedangkan angkan untuk acara lainnya dengan kapasitas lebih kecil hanya beberapa kesenian saja yang di pentaskan. fenomena ini di sebut Categorization Process Process, dimana kegatan kesenian hanya muncul di saat acara-acara acara tertentu saja dengan memilah memilah-milah waktu dan upacara ara apa yang sesuai dengan jenis kesenian masing masing-masing. Ketika ketua adat kampung memberi aba aba-aba aba berupa kata sambutan yang dilanjutkan dengan membaca doa bersama, maka setelah itu seluruh peserta upacara bersih desa bergerak secara serentak berjalan menu menuju Pepunden banyu peres Beji Sari. Sari Di iringi dengan sholawat serta bacaan ayat ayat-ayat suci Al-qur’an qur’an yang di bawakan oleh kelompok kesenian kasidahan , peserta lainnya serentak mengikuti dengan khidmatnya. Jalan menuju pepundenpun penuh sesak dengan warga yang ikut berpartisipasi pada acara bersih desa ataupun hanya sekedar menyaksikan dari sisi jalan saat
prosesi sakral tersebut
berlangsung. Selain terjadi ruang Inclusion-Exclusion Process,, pada saat upacara di mulai, terbentuk juga Labeling Process dimana masyarakat atau warga kampung tersebut memberikan nama-nama nama tempat dimana proses upacara adat berlangsung seperti, tempat awal berkumpul, jalur lintasan budaya dan pepunden.
Keterangan : Pepunden
Jalur Lintasan
Awal Berkumpul
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
24
Gambar 16& 17: Alur Upacara Bersih Desa
Pada saat peserta mau memasuki area pepunden mereka di sambut dengan taburan bunga dan kertas, serta tidak lupa juga dengan membunyikan petasan, MC (Master Ceremony ) pada acara tersebut yang sudah berada lebih dulu di pepunden mengucapakan selamat datang pada warga serta kesenian desa di iringi dengan doa serta harapan agar upacara bersih desa pada hari itu berlangsung dengan lancar dan dalam keberkahan.
Gambar 18& 19: Memasuki Area Pepunden
Memasuki area Pepunden kelompok warga dan kesenian kemudian menempati posisi masing-masing yang telah di tentukan sebelumnya. Untuk anak-anak TPQ beserta pendamping mereka menempati area sebelah selatan pepunden, kemudian kelompok ibuibu dan bapak-bapak kasidahan berada disebelah timur dekat dengan alat-alat tanjidor. Di sebelah utara pepunden terdapat kelompok jaranan dan sesepuh kampung, tetapi sesepuh kampung menempati posisi lahan yang lebih tinggi dari yang lainnya, sedangkan posisi bantengan berada dekat dengan banyu peres biji sari. Untuk kelompok warga kampung Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
25
ketika mereka memasuki pepunden hal yang mereka lakukan terlebih dulu adalah meletakkan obor di sekitar pepohonan dan banyu peres biji sari yang kemudian dilanjutkan dengan meletakkan sesaji atau makanan di tempat yang telah di sediakan yang masih berada di area pepunden, setelah itu mereka bebas menentukan dimana posisi yang mereka inginkan pada saat acara berlangsung.
Gambar 20&21: Situasi dan Kondisi saat upacra adat sedang berlangsung serta menunjukkan posisi masing-masing Peserta
Pada saat seluruh warga berkumpul memasuki area pepunden, maka banyak terjadi proses pembentukan ataupun perubahan ruang yang terjadi di antaranya yaitu : Privatism process, yaitu proses ketika kelompok masing-masing warga dan kesenian berkumpul di area pepunden yang kemudian menjadi penggabungan kelompok pada satu tempat. Clustering process, terjadi di karenakan pengelompokan masing-masing warga dan kesenian yang berkumpul Pepunden dengan menempati posisi masing-masing tempat yang sudah di sediakan. Inclusion-Exclusion Process, terbentuk ketika para warga meletakkan obor dan sesaji atau makanan mengelilingi sumber banyu peres biji sari yang di sakralkan masyarakat setempat. Categorization Process dan Classification Process, terjadi pada saat kelompok kesenian memilah-milah ruang mana yang sesuai bagi mereka ketika persiapan di laksanakan.
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
26
Gambar 22: Posisi Tempat Berkumpul di Pepunden
Mediating Power Process, tejadi ketika para sesepuh kampung warga masyarakat Candi Panggung menempati posisi daerah utara dimana kondisi lahannya lebih tinggi dari yang lainnya.
Gambar 23&24: posisi Perletakan Makanan dan obor
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
27
Marking / Identity Expression Process, terbentuk ketika para warga dan peserta kesenian berkumpul, kemudian membentuk pola yang menghasilkan ruang di tengah, yaitu ruang pentas untuk melakukan pertunjukan. Environmental Change Process, dimana masyarakat kampung candi panggung menjadikan daerah teritori mereka yang berada di pepunden sebagai ruang budaya untuk pemersatu tanpa melihat status masing-masing individu.
Gambar 25 : Suasana Ketika upacar berlangsung
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
28
BAB V KESIMPULAN
Atas dasar pembahasan di atas, dapat dijelaskan bahwa makna bersih desa secara keseluruhan tidak dapat terpisahkan dari adat dan istiadat serta struktur sosial masyarakat kampung candi panggung. Bersih desa merupakan sebuah ritual yang membentuk kisah etnogarfi masyarakat setempat. Terbentuknya ruang-ruang budaya pada saat upacara berlangsung menjadi suatu kajian yang dapat di teliti melalui pendekatan sosio antropologi arsitektur. Secara umum proses pembentukan ataupun perubahan ruang yang terjadi pada saat upacara bersih desa berlangsung meliputi : Labeling Process dimana masyarakat atau warga kampung tersebut memberikan nama-nama tempat dimana proses upacara adat berlangsung seperti, tempat awal berkumpul, jalur lintasan budaya dan pepunden. Privatism process, yaitu proses ketika kelompok masing-masing warga dan kesenian berkumpul di area pepunden yang kemudian menjadi penggabungan kelompok pada satu tempat. Clustering process, terjadi di karenakan pengelompokan masing-masing warga dan kesenian yang berkumpul Pepunden dengan menempati posisi masing-masing tempat yang sudah di sediakan. Inclusion-Exclusion Process, terbentuk ketika para warga meletakkan obor dan sesaji atau makanan mengelilingi sumber banyu peres biji sari yang di sakralkan masyarakat setempat. Categorization Process dan Classification Process, terjadi pada saat kelompok kesenian memilah-milah ruang mana yang sesuai bagi mereka ketika persiapan di laksanakan. Mediating Power Process, tejadi ketika para sesepuh kampung warga masyarakat Candi Panggung menempati posisi daerah utara dimana kondisi lahannya lebih tinggi dari yang lainnya
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
29
Marking / Identity Expression Process, terbentuk ketika para warga dan peserta kesenian berkumpul, kemudian membentuk pola yang menghasilkan ruang di tengah, yaitu ruang pentas untuk melakukan pertunjukan. Environmental Change Process, dimana masyarakat kampung candi panggung menjadikan daerah teritori mereka yang berada di pepunden sebagai ruang budaya untuk pemersatu tanpa melihat status masing-masing individu.
Sosio – Antropologi Arsitektur – Kampung Candi Panggung
30
DAFTAR PUSTAKA
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta Bandung. Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta Jakarta. Koentjaraningrat. 1992. Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan. Gramedia Pustaka Utama Jakarta. Rapoport, Amos. 1977. Tentang Asal-Usul Kebudayaan Permukiman karangan dalam Pengantas Sejarah Perancangan Perkotaan. Intermatra Bandung.
Rinawati P. Handajani, 0421000028, Fenomena Pintu Butulan Di Kampung Candi Panggung Kota Malang. Tesis Program Pasca Sarjana Universttas Brawijaya,11 Oktober 2006. Zhand, Markus. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu, Teori Perancangan Kota dan Penerapannya. Kanisius, Yogyakarta.