Bab 1_Berkenalan dengan Hutan Lambusango

Page 1

1 Berkenalan dengan Hutan Lambusango Pada bab ini Anda akan mendapatkan informasi mengenai: ? lokasi Hutan Lambusango; ? status Hutan Lambusango; ? kondisi geografis Hutan Lambusango; ? iklim di Hutan Lambusango; ? masyarakat sekitar Hutan Lambusango; ? daya tarik Hutan Lambusango.

1


A.

Di Manakah Hutan Lambusango Berada?

Hutan Lambusango yang berada pada posisi geografis antara 5°09'– 5°24'LS dan 122°43'–23°07'BT merupakan sebagian dari hutan yang terbentuk di Pulau Buton. Pulau yang bernama lain Butung ini memiliki panjang sekitar 130 km dan lebarnya sekitar 50 km. Daratan yang terbentuk ini merupakan daerah pegunungan. Puncak tertinggi pulau ini berada di Gunung Tobelo yang memiliki ketinggian 1.100 meter di atas permukaan air laut (dpl).

Skala: 1:2.125.000

Sumber: Atlas.

Gambar 1.1 Peta Sulawesi Tenggara.

2

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Secara teritorialitas, Pulau Buton termasuk dalam kawasan teritorial Republik Indonesia. Republik Indonesia ini merupakan negara kepulauan terbesar di dunia (malay archipelago). Negara kepulauan ini memiliki luas wilayah 780 juta ha. Luas wilayah tersebut terdiri atas daratan seluas 1,9 juta km2, laut 3,1 juta km2, dan perairan terbatas seluas 2,7 juta km2. Luas daratan tersebut mencakup 17.508 pulau yang berukuran besar dan kecil. Salah satu pulau tersebut adalah Pulau Buton yang berada di Provinsi Sulawesi Tenggara, dan berjarak 5 km dari pantai sebelah tenggara Sulawesi Tenggara. Adapun secara administratif, Hutan Lambusango berada di enam kecamatan, yaitu Kapontori, Laslimu, Lasalimu Selatan, Siontapina, Wolowa, dan Pasarwajo.

Sumber: PKHL, 2005. Gambar 1.2 Hutan Lambusango berada di jantung Pulau Buton.

Berkenalan dengan Hutan Lambusango

3


B.

Bagaimanakah Status Hutan Lambusango?

Di Pulau Buton telah ditetapkan empat kawasan konservasi hutan, yaitu Suaka Margasatwa (S.M.)Buton Utara (85.000 ha), Suaka Margasatwa Lambusango (27.700 ha), Cagar Alam (C.A.)Kakenauwe (810 ha), dan Taman Wisata Alam Tirta Rimba (488 ha). Seluruh kawasan tersebut dikelola oleh pemerintah pusat, yaitu Departemen Kehutanan melalui Balai Konservasi Sumberdaya Hutan (BKSDA) Sulawesi Tenggara yang merupakan unit pelaksana teknis Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHKA).

Gambar 1.3 Perbedaan status hutan di Lambusango yang terdiri atas suaka marga satwa dan cagar alam (warna merah), hutan produksi terbatas (warna hijau), dan hutan produksi (warna kuning). Sumber:dimodifikasi dari Carlisle , 2005.

4

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


S.M. Lambusango dan C.A. Kakenauwe berbatasan dengan kawasan hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan hutan produksi. Ketiga kawasan hutan yang terakhir (seluas Âą 35.000 ha) dalam era otonomi daerah dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Buton, yaitu Dinas Kehutanan Kabupaten Buton. Mengingat bahwa S.M. Lambusango dan C.A. Kakenauwe beserta hutan-hutan dengan status berbeda yang berada di sekitarnya merupakan satu kesatuan ekosistem yang tak terpisahkan. Oleh karena itu, untuk kepentingan efektivitas pengelolaannya, diperlukan adanya suatu komunikasi dan koordinasi yang intensif di antara instansi berwenang. Dengan demikian, seluruh kegiatan pengelolaan yang dilakukan akan bermuara pada kelestarian ekosistem hutan. Hutan inilah yang kemudian disebut sebagai Hutan Lambusango.

Gambar 1.4 Papan penunjuk Kekenauwe yang termasuk bagian dari Hutan Lambusango. Sumber: PKHL, 2005.

Lebih Jauh Mengenal Operation Wallace Operation Wallacea merupakan sebuah organisasi nonpemerintah (ornop) yang bergerak di bidang wisata ilmiah. Ornop yang berkantor pusat di Inggris ini memiliki dua bidang kegiatan di lapangan, yaitu bagian darat (terrestrial) dan kelautan (marine). Di Indonesia sendiri, ornop ini sudah mulai beroperasi sejak 1995. Di Indonesia, organisasi ini disponsori oleh The Wallacea Foundation (TWF) dan selalu bekerja sama dengan Departemen Kehutanan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Kini, Operation Wallacea menjadi organisasi wisata ilmiah terbesar di Eropa. Hingga tahun 2006, tidak kurang dari 3.000 relawan (volunteer) dan peneliti (scientists), serta 2.000 staf lokal, bergabung dalam ekspedisi ilmiah yang telah menyebar di berbagai negara, yaitu di Indonesia, Honduras, Mesir, Afrika Selatan, dan Kuba. (www.opwall.com)

Berkenalan dengan Hutan Lambusango

5


C.

Bagaimanakah Kondisi Geografis Hutan Lambusango?

1. Kondisi Tanah Hutan Lambusango merupakan hutan hujan dataran rendah yang kondisi geologinya didominasi oleh batuan ultra basa dan kapur (limestone). Tanah yang terbentuk dari batuan ini mengandung magnesium dan mineral ferik. Jenis tanah ini memiliki tingkat kesuburan yang rendah. Oleh karena itu, tegakan hutan yang terbentuk relatif kurang rapat. Penetrasi radiasi matahari secara leluasa dapat masuk sampai ke lantai hutan yang menyebabkan semak dan tumbuhan bawah tumbuh subur. Selain itu, sifat batuan kapur yang tidak dapat menyimpan air, dan mudah Sumber: CD Photo Image. terlarutkan oleh air ini, menyebabkan lahan Gambar 1.5 yang terbentuk dari batuan ini bertopografi Kondisi permukaan bergelombang dengan cekungan-cekungan tanah limstone. dalam. Lapisan tanah yang terbentuk dari batuan ini umumnya tipis. Hal ini karena lambatnya proses pelapukan batuan dan tingginya laju erosi. Berbeda dengan tanah yang terbentuk dari aktifitas vulkanis yang umumnya memiliki lapisan tanah yang dalam, subur, dan memiliki daya ikat air (water-holding capacity) yang tinggi. Tanah yang terbentuk dari batuan kapur, selain tipis juga kurang subur serta bersifat kedap air. Air hujan yang jatuh di wilayah berkapur sebagian besar diteruskan, air tersebut kemudian mengalir pada rongga-rongga yang terbentuk oleh proses pelarutan batuan kapur oleh air hujan. Selanjutnya, terkumpul pada gua-gua yang berada di dalam tanah. Dengan demikian wilayah karst (lahan yang terbentuk oleh batuan kapur) sering disebut sebagai sumber air, mengingat air hujan yang jatuh tersebut, disimpan dalam rongga-rongga dan gua-gua di bawah tanah. Namun demikian, air

6

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


tersebut tidak tersedia pada lapisan permukaan tanah. Oleh karena itu, tanaman di wilayah tersebut sering kekurangan air. Penduduk yang ada di wilayah ini pun tidak secara mudah dapat menemukan sumber air, sebagaimana di wilayah bergeologi vulkanik. Di beberapa blok hutan, gua-gua dengan panjang sekitar 30–50 m bisa ditemukan. Gua-gua tersebut terbentuk di daerah yang tadinya tersusun atas batuan kapur karst. Batuan kapur tersebut tersusun atas kalsium karbonat. Karena hujan yang bersifat asam mengenai daerah ini, kalsium karbonat terlarut. Lama-kelamaan terbentuk ronga-rongga dan saluran-saluran serta ruangan yang semakin membesar hingga terbentuklah sebuah gua. Di dalam gua juga dapat ditemukan stalaktit dan stalagnit. Kedua batuan ini merupakan “pilar-pilar” yang terbentuk dari kalsium karbonat dengan berbagai campuran zat kimia alami. Campuran ini menjadikan warna pucat pada stalaktit dan stalagnit gua.

Sumber: Singer, 2005.

Gambar 1.6 Lanskap Hutan Lambusango bagian barat laut dilihat dari Gua Wangkaka.

Sumber: www.opwall.com.

Gambar 1.7 Stalagnit yang terbentuk di dalam gua.

2. Topografi

Hutan Lambusango berada pada ketinggian antara 50–780 meter dpl. Puncak tertingginya berada di daerah pegunungan Warumbia(8 km dari Dusun Watambo). Wilayah hutan ini cenderung datar, bergelombang, hingga berbukit-bukit yang memiliki kisaran rata-rata kemiringan antara 10°–30° (20–65%). Beberapa sungai yang membelah kawasan hutan ini relatif kecil dan tidak terlalu dalam. Rata-rata lebar sungainya kurang dari 5 m dengan kedalaman kurang dari 2 m, kecuali di bagian timur dan selatan Hutan Lambusango. Di bagian ini terdapat sungai yang memiliki lebar dan kedalaman

Berkenalan dengan Hutan Lambusango

7


yang lebih dibandingkan dengan sungai lainnya di Hutan Lambusango. Di bagian muara, lebar sungai bisa mencapai 20–30 m. Sungai-sungai tersebut bernama Minaga one, Kumele tondo, dan Winto.

Sumber: Singer, 2005.

Gambar 1.8 Sungai di blok Hutan Lambusango relatif tidak dalam dan tidak lebar.

Sumber: Singer, 2005.

Gambar 1.9 Aliran air yang deras di Sungai Winto.

Daerah Winto yang berada di Hutan Lambusango ini memiliki formasi batuan tertua. Di daerah Winto ini dapat ditemukan jenis batuan perselingan serpih, batu pasir, konglomerat, dan batu gamping. Sedimen formasi batuan tertua ini ditandai dengan adanya kandungan sedimen klastik daratan yang sedikit bersifat karbonat, mengandung sisa tumbuhan, kayu, dan sisipan tipis batubara. Formasi batuan ini diendapkan pada lingkungan neritik (Triono, 2002). I N F O Daerah neritik merupakan daerah laut dangkal, daerah ini masih dapat ditembus cahaya sampai ke dasar laut. Kedalaman daerah ini dapat mencapai 200 m. Biota yang hidup di daerah ini adalah plankton, nekton, neston, dan bentos. Sumber: www.ftp.ui.edu

Pulau Buton dan pulau-pulau kecil di sekitarnya terbentuk dari jenis batuan karang. Jenis pulau ini bercirikan adanya lembah yang curam dan mudah tererosi di beberapa daerah. Hal ini menandakan bahwa Pulau Buton tempat keberadaan Hutan Lambusango belum matang secara geologis. Gambar 1.10 Pulau yang terbentuk oleh karang. Sumber: www.abercrombiekent.

8

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


3.

Proses Geologi-Pembentukan Pulau Buton

Sekitar 280 juta tahun yang lalu, Bumi hanya terdiri atas satu benua besar, bernama Pangea. Kemudian, pada sekitar 250 juta tahun yang lalu, Pangea terpecah menjadi dua benua besar, yaitu Benua Laurasia dan Benua Gondawana. Benua Laurasia ini merupakan cikal bakal dari Benua Amerika Utara, Eropa, dan sebagian besar Asia sekarang. Adapun Benua Gondawana merupakan cikal bakal Benua Amerika Selatan, Afrika, India, Australia, Antartika, dan sebagian Asia sekarang. Amerika Utara

Eurasia

Amerika Selatan

India Afrika

Australia Antartika

Amerika Utara Eurasia Laurasia Afrika India Amerika Selatan Australia Antartika

Amerika Utara

Asia Eropa India

Amerika Selatan

Afrika Australia Antartika

Gambar 1.11 Proses terbentuknya permukaan bumi saat ini dimulai sejak 280 juta tahun yang lalu.

Bagaimana dengan pembentukan pulau-pulau di Indonesia? Perhatikan gambar berikut.

Berkenalan dengan Hutan Lambusango

9


Sumber: Audley-Charles, 1987 dalam Whitten, 2002.

Gambar 1.12 Pembentukan pulau-pulau di Indonesia termasuk Sulawesi.

Peristiwa geologi pembentukan pulau-pulau di Indonesia bagian timur merupakan paling kompleks di dunia (Audley-Charles, 1981). Kerumitan ini bisa terlihat dari beberapa pulau yang berbentuk aneh, seperti pulau berbentuk anggrek, berbentuk laba-laba (Maluku), dan huruf yang goyang (Sulawesi). Pulau-pulau berbentuk aneh seperti ini telah menarik perhatian para ahli geologi dan ahli lainnya untuk terus mengetahui sejarah alam di kawasan Sulawesi. Sejarah pembentukan subkawasan Sulawesi ini diperkirakan mulai terjadi pada 250 juta tahun yang lalu. Masa disaat dinosaurus masih hidup di muka Bumi. Pada saat itu, Benua Gondawana mulai terpecah. Pada perkembangan selanjutnya, yaitu pada Zaman Kenozoikum periode Miosen (25 juta tahun yang lalu), merupakan peristiwa paling dramatik dalam sejarah geologi Indonesia. Hal ini karena lempeng Australia mulai bergeser ke sebelah utara yang berakibat pada melengkungnya bagian

10

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


timur lengkung Banda ke sebelah barat. Gerakan ke arah barat ini bergabung dengan desakan sepanjang patahan Sorong dari bagian barat Papua ke arah timur-barat. Peristiwa yang terjadi 19–13 juta tahun yang lalu ini diperkirakan menentukan bentuk khas Pulau Sulawesi seperti sekarang ini. Perhatikan gambar pembentukan Pulau Sulawesi berikut. Mindanau

Mindanau

Kalimantan

25–7 juta tahun yang lalu

Kalimantan

Sula wesi

Sula wesi

Kalimantan

Mindanau

7–2,5 juta tahun yang lalu Mindanau

2,5 juta tahun yang lalu

Sula wesi

Sula wesi

Kalimantan

sekarang

Gambar 1.13 Pembentukan Pulau Sulawesi.

Sumber: Kinnaird, 1995.

Sementara itu, subkawasan Sulawesi termasuk Pulau Buton, terbentuk dari hasil benturan berulang kali antara dua lempeng utama kerak bumi di bagian barat dan timur (proses tektonik). Hal ini menyebabkan terangkatnya beberapa pulau satelit di sekitar Pulau Sulawesi, termasuk terbentuknya Pulau Buton, Muna, dan Kepulauan Tukang Besi. Pulau Buton diperkirakan mulai terbentuk sekitar 7 juta yang lalu. Berdasarkan umur geologi, umur pulau ini masih relatif muda dibandingkan pulau besar lainnya di Indonesia, seperti Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa. Untuk lebih detailnya, Anda dapat membaca tabel berikut untuk mengetahui perkembangan sejarah geologi Sulawesi dari kurun waktu 350 juta tahun yang lalu.

Berkenalan dengan Hutan Lambusango

11


Tabel 1.1 Perkembangan Sejarah Geologi Pulau Sulawesi Zaman Kenozoikum

Mesozoikum

12

Periode

Kurun

Mulai (juta tahun)

Peristiwa Geologi

Peristiwa Biologi

Kuarter

Holosen

0,01

Tersier Jura

Pliosen

10

Sulawesi berhubungan dengan Kalimantan melalui laut dangkal. Saat itu, Selat Makassar menyempit.

Miosen

25

Sula/Bangai bertabrakan dengan Sulawesi Timur; semenanjung utara mulai berputar; Sulawesi Timur dan Barat mulai bersatu; vulkanisme mulai tersebar luas di Sulawesi Barat.

Hewan-hewan pemakan rumput berlimpah.

Oligosen

40

Bagian barat Indonesia dan bagian barat Sulawesi kurang lebih posisinya seperti sekarang.

Hewan pelari yang besar.

Eosen

60

Australia terpisah dari Antartika. Vulkanisme mulai timbul di bagian barat Sulawesi.

Hewan menyusui modern mulai banyak berkembang.

Kapur

145

Manusia pertama hidup.

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006

Tumbuhan bunga pertama dan punahnya dinosaurus serta Amonit pada akhir kapur.


Tabel 1.1 (sambungan)

Paleozoikum

Jura

215

Bagian barat Indonesia bersama dengan Tibet, Birma, Thailand, Malaysia, dan Sulawesi Barat terpisah dari Benua Gondawana.

Burung dan hewan menyusui pertama, Dinosaurus dan Amonit melimpah

Trias

250

Pangea terpecah menjadi dua: Laurasia dan Gondawana. Pulau-pulau dan bagian-bagian daratan Asia Tenggara merupakan bagian timur Benua Gondawana.

Dinosaurus pertama, pakis dan pohon jarum melimpah

Perm

280

Semua daratan menjadi satu benua, yaitu Pangea.

Karbon

350

Punahnya banyak bentukbentuk hewan laut, termasuk Trilobita. Hutanhutan pembentuk batubara luas. Hewan melata pertama, Hiu dan Amphibia yang berlimpah. Sumber: Whitten dkk, 2005

Berkenalan dengan Hutan Lambusango

13


D.

Bagaimanakah Iklim di Hutan Lambusango?

Seluruh kepulauan Indonesia berada di lintasan khatulistiwa, posisi geografis ini membuat Indonesia memiliki iklim tropika (tropis) dengan ciri utama: (1) tingginya kelimpahan sinar matahari; (2) suhu rata-rata yang tinggi dan relatif stabil sepanjang tahun; (3) lama waktu siang dan malam hari yang sama sepanjang tahun. Selain itu, wilayah ini juga memiliki kelembapan udara yang tinggi. Pada waktu pagi hari (sebelum matahari terbit), kelembapan udara bisa mencapai 100% (artinya seluruh ruang yang tersedia di udara terisi penuh oleh uap air), kelembapan udara ini kemudian menurun seiring dengan semakin tingginya radiasi matahari. Penurunan kelembapan ini mencapai titik minimum pada saat matahari mencapai titik kulminasi (antara jam 12.00–13.00, saat itu kelembaban udara sekitar 40%). Perpaduan antara tingginya radiasi matahari, suhu, dan kelembapan berpengaruh terhadap tingginya keragaman hayati. Selain itu, berpengaruh pula terhadap karakteristik biologi hutan tropis Indonesia yang bersifat khas. Kekhasan ini ditunjukkan dengan: (1) dominasi pohon yang selalu hijau dan tidak menggugurkan daunnya (evergreen); (2) unsur hara yang terkonsentrasi pada biomasa (tubuh tanaman) hutan; (3) siklus hara yang cepat dan efisien dan hampir tertutup. Kondisi ini membuat hutan tropis di Indonesia, termasuk Hutan Lambusango mampu mempertahankan kesuburannya, walau berada pada tanah dan batuan (mineral) yang miskin hara (Purwanto dan Warsito, 2002). Posisi geografis wilayahnya menjadi sebab utama tingginya limpahan curah hujan, hal ini secara umum bisa dijelaskan melalui dua mekanisme pergerakan udara dan uap air sebagai berikut. Pertama, tingginya kelembapan udara dan intensitas radiasi matahari menyebabkan terangkatnya udara lembap dan panas yang kemudian membentuk awan panas cumulo-nimbus yang merupakan sumber curah hujan konvektif (hujan yang ditimbulkan oleh proses pemanasan dan penguapan setempat). Kedua, pergerakan angin muson yang membuat perbedaan yang jelas antara musim hujan dan kemarau di Indonesia. Pada saat musim dingin (winter) di belahan bumi utara (Eropa) dan musim panas (summer) di belahan bumi selatan (Australia) sekitar

14

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


November–April, menyebabkan angin muson bergerak dari belahan bumi utara menuju belahan bumi selatan. Pergerakan angin ini diikuti dengan penyerapan uap air yang cukup besar. Hal ini karena angin melintasi samudra yang luas (Samudra Hindia). Uap air inilah yang kemudian menjadi curah hujan. Akibatnya, terjadilah musim hujan di Indonesia. Sebaliknya, pada Mei–Oktober terjadi musim panas di belahan bumi utara, dan musim dingin di belahan bumi selatan. Hal ini telah membuat angin muson berganti haluan. Dari Muson Barat Laut yang banyak membawa uap air, menjadi muson tenggara. Oleh karena angin muson ini tidak cukup bekal uap air dari Benua Australia, timbullah musim kemarau di Indonesia. Kondisi ini berlaku pula di Pulau Buton.

E.

Siapakah Masyarakat Sekitar Hutan Lambusango?

Orang Buton merupakan masyarakat yang berada di sekitar Hutan Lambusango. Orang Buton ini merupakan bagian dari suku di Sulawesi Tenggara yang terdiri atas beberapa subetnis yang meliputi Wolio, Wanci, Tomia, Binongko, dan Kalisusu. Di kawasan timur Indonesia ini orang Buton dikenal sebagai suku bangsa maritim bersama dengan orang Bugis/ Makassar, dan Mandar. Zuhdi (1997) menyebutkan bahwa suku bangsa Buton, Bugis, dan Mandar dikenal sebagai suku maritim yang sering menjelajahi wilayah Nusantara hingga keluar batas wilayah Indonesia sampai ke Australia, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Cina. Sumber: Singer, 2005. Jumlah penduduk di Pulau Gambar 1.14 Buton/Butung (tidak termasuk Profil orang Buton dengan pakaian penduduk Pulau Kabaena dan adat pernikahannya. Wakatobi), sampai akhir tahun 2005 adalah sekitar 500.000 jiwa. Sekitar 95% penduduk di antaranya beragama Islam, sisanya beragama Protestan, Katholik, dan Hindu. Schrool (2003) menyebutkan bahwa pada tahun 1980, kepadatan

Berkenalan dengan Hutan Lambusango

15


penduduk di Pulau Buton mencapai 44 jiwa per km2 dengan pertumbuhan kira-kira 2% per tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2004) Kabupaten Buton (terpisah dari Kota Bau-Bau, Buton Utara, Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana), memiliki pertumbuhan penduduk yang cenderung meningkat. Pada 1990 jumlah total penduduk laki-laki dan perempuan sebanyak 165.134 jiwa. Selanjutnya, 2004 mencapai 265.724 jiwa. Jumlah perempuan dari total pertumbuhan penduduk selalu sedikit lebih banyak daripada laki-laki. Perhatikan grafik berikut ini. 300.000

Jumlah Penduduk

250.000

200.000

150.000

100.000

50.000

Laki-laki

Perempuan

2004

2003

2002

2001

2000

1999

1998

1997

1996

1995

1994

1993

1992

1991

1990

0

Laki-laki+Perempuan

Sumber: BPS Buton, 2004.

Gambar 1.15 Grafik pertumbuhan jumlah penduduk Kabupaten Buton tahun 1990–2004.

1. Bagaimanakah Asal Muasal Orang Buton?

Sebelum tahun 1960, orang yang tinggal di Kesultanan Buton disebut orang Buton. Kesultanan ini meliputi pulau-pulau utama Buton (Butuni atau Butung), Muna dan Kabaena, Kepulauan Tukang Besi (sekarang bernama Wakatobi ) serta dua daerah di bagian tenggara Pulau Sulawesi (Rumbia dan Poleang). Pada 1960 kesultanan yang berusia lebih dari empat abad itu dibubarkan dan wilayah kesultanan tersebut dibagi menjadi dua kabupaten yang sepenuhnya dimasukkan ke dalam wilayah

16

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Indonesia. Kabupaten Muna terletak di utara Muna dan Buton, dan Kabupaten Buton meliputi bagian-bagian lain dari bekas wilayah kesultanan.

Gambar 1.16 Peta wilayah Kesultanan Buton/Wolio hingga 1960.

Lebih Jauh Mengenal Kesultanan Buton Menurut cerita penduduk setempat, pendatang dari Johor mendirikan kerajaan bernama Buton pada sekitar awal abad ke-15. Raja-raja Buton pernah menjalin hubungan dengan Kerajaan Hindu Majapahit di Jawa. Interaksi ini memungkinkan raja-raja pendahulu Buton menganut agama Hindu. Namun, setelah memasuki dinasti kerajaan keenam, masuklah agama Islam pada tahun 1540. Dengan demikian, muncullah kesultanan pertama di Buton. Di bawah kepemimpinannya, seluruh anggota kerajaan secara resmi masuk Islam. Saat ini sulit untuk menentukan dengan tepat siapa yang disebut orang Buton itu. Hal tersebut bergantung pada waktu dan keadaan. Saat ini, kebanyakan orang Muna tidak mau disebut sebagai orang Buton (Schrool, 2003). Pada dokumen barat, dijelaskan bahwa Kesultanan Buton terletak di titik strategis pada rute dari Jawa dan Makassar menuju Maluku (pusat produksi rempah-rempah Indonesia). Pada paruh pertama abad ke-17, Kesultanan Buton sulit mempertahankan

Berkenalan dengan Hutan Lambusango

17


kemerdekaannya dalam perebutan kekuasaan antara dua kesultanan Makassar dan Ternate. Oleh karena itu, pada 1613 Kesultanan Buton membuat perjanjian pertama dengan VOC. Saat itu Kesultanan Buton diwakilkan oleh sultan keempat La Elangi dan VOC oleh Gubernur Jenderal Belanda pertama PieterBoth. Perjanjian ini menjadi bekal Kesultanan Buton untuk menjaga kemerdekaannya terhadap Makassar dan Ternate. Namun, setelah Kesultanan Makassar ditaklukan oleh VOC pada tahun 1667–1669, Kesultanan Buton terbebas dari perebutan kekuasaan tadi. Sejak saat itu, Kesultanan Buton menjadi bagian dari wilayah Pax Neerlandica (Belanda). Selama abad ke-17, 18, dan ke-19, Kesultanan Buton berupaya menjadi kerajaan yang merdeka. Namun, pada abad ke-20, tahun 1906, pemerintah Hindia Belanda membuat persetujuan baru yang menyatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda dapat mencampuri urusan internal kesultanan. Tentunya, hal ini merupakan taktik dalam meredam keinginan Kesultanan Buton. Berbagai hal yang bersifat kesultanan mulai dikikisnya. Pemerintahan Hindia Belanda memainkan peranannya dengan mengembangkan sosio-budaya dan ekonomi yang baru, terutama yang berkaitan dengan pemerintahan, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan ekonomi. Hal ini bertujuan agar ada keterpaduan dengan sistem sosio-politik Hindia Belanda. Setelah memasuki era kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada tahun 1949, sistem sosio-politik Kesultanan Buton dipadukan dengan sistem sosio-politik negara Republik Indonesia. Keterpaduan atau penyatuan ini mencapai puncaknya pada 1960 dengan pembubaran kesultanan, beberapa bulan setelah wafatnya sultan terakhir (Schrool, 2003). Sampai saat ini masih dapat dilihat peninggalan zaman kesultanan, berupa benteng dan keraton di Kota Bau-Bau yang sebelumnya pernah menjadi ibu kota Kabupaten Buton. Kompleks keraton yang bernama Wolio Sumber: PKHL, 2005. ini dikelilingi oleh benteng sepanjang dua ribu Sumber: PKHL, 2005. tujuh ratus empat puluh meter. Benteng ini Gambar 1.17 dibangun dalam kurun waktu lima puluh tahun, Benteng sisa peninggalan melampaui tiga masa sultan yang berbeda.

Kesultanan Buton.

2. Apakah Mata Pencaharian Orang Buton?

Sebagai suku maritim, tentunya masyarakat Buton bermatapencaharian sebagai nelayan. Mereka mencari dan menjaring beragam jenis ikan, antara lain Ikan Tembang, Layang, Teri, Kembung, Kerapu, Cakalang, Tongkol, dan Tuna yang terdapat di wilayah kepulauan ini. Selain itu, masih banyak ditemukan hasil laut lainnya, seperti kerang-

18

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


kerangan, Udang, Teripang, dan Rumput Laut. Hasil laut tersebut banyak diperdagang kan di Kecamatan Pasarwajo. Sebagian hasil laut tersebut dikonsumsi sendiri, sebagian lagi diekspor ke Jepang dan Taiwan. Untuk mendukung kegiatan ekspor ini, pemerintah setempat telah membuat pelabuhan alam internasional di Kecamatan Pasarwajo. Pelabuan interna sional ini mampu mela buhkan kapal seberat 75.000 ton. Selain di Pasarwajo, Pulau Buton memiliki pelabuhan yang cukup besar di Kota Bau-Bau.

Sumber: PKHL, 2005.

Gambar 1.19 Pelabuhan Pasarwajo.

Sumber: PKHL, 2005.

Gambar 1.18 Potret nelayan di Pulau Buton.

Sumber: PKHL, 2005.

Gambar 1.20 Pelabuhan Bau-Bau.

I N F O Hingga tahun 2005, pelabuhan Pasarwajo yang mampu didarati kapal berat hingga 75.000 ton itu lebih banyak digunakan untuk pengangkutan aspal (Kompas , 2005).

Di samping kehidupan maritim, saat ini sebagian besar penduduk Buton bermatapencaharian dari sektor perkebunan dan pertanian, seperti jambu mente, cokelat, padi, kelapa, dan kopi. Hingga kini kebutuhan akan lahan perkebunan dan pertanian semakin tinggi seiring pertumbuhan penduduk dan masuknya penduduk pendatang.

Berkenalan dengan Hutan Lambusango

19


F.

Apakah Daya Tarik Hutan Lambusango?

1. Hutan Lambusango Berada di Kawasan Wallacea

Oleh karena berada di kawasan Wallacea, Hutan Lambusango memiliki flora dan fauna peralihan, yakni peralihan dari flora fauna oriental (Asia) ke Australia. Selain itu, Hutan Lambusango yang tumbuh di suatu pulau yang terisolasi oleh lautan yang dalam ini menyebabkan beberapa flora dan faunanya terisolasi juga. Dengan kata lain, spesies flora dan fauna endemik yang luar biasa banyaknya dapat ditemukan di Hutan Lambusango. Selain endemik, kemungkinan untuk menemukan spesies baru masih terbuka lebar di Hutan Lambusango. Pada bab selanjutnya, Anda akan kami ajak untuk mengenal kekayaan hayati (biodiversitas) Hutan Lambusango.

I N F O

Gambar 1.21 Batas kawasan Wallacea di Indonesia.

Kawasan Wallacea membatasi satu wilayah dengan wilayah lain melalui garis imajiner. Garis imajiner ini diperkenalkan oleh seorang naturalis berasal dari Inggris yang sangat terkenal di dunia, bernama Alfred Russel Wallacea. Berdasarkan hasil penyelidikannya, Wallacea telah berhasil mendeskripsikan batas-batas kawasan secara zoogeografis yang kita kenal sebagai Garis Wallacea. Garis Wallacea dimulai dari arah timur laut ke barat daya, mengikuti kontur Dangkalan Sunda di sepanjang bagian timur Pulau Kalimantan dan Bali. Garis tersebut menandai peralihan antara flora dan fauna oriental yang kaya di sebelah barat dengan flora dan fauna yang miskin di sebelah timur. Sebelah utara kawasan Wallacea adalah Filipina, sebelah barat dibatasi Pulau Kalimantan, sebelah timur adalah Pulau Papua, dan sebelah selatan merupakan Samudra Indonesia serta Australia.

20

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006

Sumber: Robin Sprigett.

Sumber: Microsof Encarta, 2005.

Gambar 1.22 Alfred R. Wallacea


2. Hutan Lambusango Tumbuh di Pulau yang Kaya akan Kandungan Aspal Alami Di bagian tenggara Pulau Buton, aspal telah ditemukan meresap pada sedikitnya wilayah batuan kapur seluas 70.000 ha, dengan deposit sekitar 650 juta ton. Wilayah batuan kapur yang diresapi aspal ini tersebar dari Desa Lawele, Wariti, Kabongka, hingga ke Desa Wasiu.

Lawele

Wariti Kabungka

Wasiu

Sumber: Whitten, dkk., 2002.

Gambar 1.23 Sebaran endapan aspal di Pulau Buton.

Endapan aspal mulai dieksploitasi pada tahun 1920-an terutama digunakan untuk pengaspalan jalan. Aspal tersebut merupakan satusatunya sumber aspal alami di Asia Tenggara (van Bemmelen, 1970). Rata-rata sekitar 500.000 ton batuan beraspal dihasilkan setiap tahunnya (Anonim, 1985). Padahal, jika produksinya ditingkatkan menjadi 1 juta ton per tahun, Pulau Buton masih dapat memproduksi aspal selama 650 tahun. Suatu kandungan sumber daya alam yang melimpah. Selain itu, ternyata kadar aspal di Pulau Buton berkisar antara 20– 30% dan bisa diperoleh pada kedalaman 1,5 meter dari permukaan tanah. Bandingkan dengan aspal alam yang ada di Amerika Serikat yang hanya berkadar 12-15%, di Prancis (Danau Trinidad), kadar aspalnya hanya 6-10% juga baru bisa didapat ratusan meter dari permukaan tanah. Berkenalan dengan Hutan Lambusango

21


Aspal alam Buton sudah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda, tetapi masa "keemasannya" hanya sampai pada akhir tahun 1980-an. Saat itu, aspal Buton mulai dikalahkan oleh aspal minyak dalam proyek pengaspalan jalan. Oleh karena itu, berbagai terobosan telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas produk aspal Buton, di antaranya diolah dalam bentuk aspal mikro. Namun, tetap saja aspal tersebut tidak populer. Saat ini telah dikembangkan pula dalam bentuk Buton Granular Aspalt (BGA). Produk aspal BGA ini mulai diminati untuk pembangunan jalan, bahkan digunakan pula untuk pembangunan jalan tol dan landasan pesawat terbang. Peminatnya sampai di luar negeri, seperti Singapura, Vietnam, dan Cina.

Sumber: PKHL, 2005.

Gambar 1.24 Produk aspal BGA yang telah dikemas.

Sumber: PKHL, 2005.

Gambar 1.25 Produk aspal BGA siap dilabuhkan.

I N F O Keunggulan aspal alam dari Buton itu telah terbukti dalam proyek stabilisasi jalan di Sampit, Kalimantan Tengah. Setelah tiga tahun, kondisi badan jalan di daerah tersebut masih tetap stabil. Sumber: Kompas, 2005

22

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.