Bab 2_Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

Page 1

2 Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango Pada bab ini Anda akan memperoleh informasi mengenai: ? karakteristik umum Hutan Lambusango; ? blok Hutan Lambusango yang unik; ? keragaman hayati di Hutan Lambusango.

23


Berdasarkan ekoregion dunia, hutan di Sulawesi telah diklasifikasikan oleh WWF dalam kategori hutan hujan dataran rendah dan hutan hujan pegunungan. Menurut Whitten (2005), hutan dataran rendah berada pada ketinggian 0–1.000 m dpl. Hutan dataran rendah ini terbagi atas hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, hutan di tepian sungai, hutan pada tanah ultra basis dan pada batu kapur (limestone), serta hutan musim. Hutan perbukitan berada pada ketinggian 1.000–1.500 m dpl. Di atas hutan perbukitan terdapat hutan pegunungan bawah yang berada pada ketinggian 1.500–2.400 m dpl. Sementara itu, hutan pegunungan atas berada pada ketinggian 2.400–3.000 m dpl, dan hutan subalpin berada pada ketinggian di atas 3.000 m dpl. Hutan dataran rendah memiliki keragaman hayati yang lebih tinggi dibandingkan tipe jenis hutan lainnya. Hal ini karena banyak organisme yang dapat beradaptasi pada wilayah ketinggian tersebut. Namun demikian, hutan ini sangat rentan terhadap kerusakan karena paling mudah dijangkau oleh manusia.

A.

Bagaimanakah Karakteristik Umum Hutan Lambusango?

Hutan merupakan kumpulan vegetasi. Oleh karena itu, karakteristik Hutan Lambusango dapat diwakilkan oleh vegetasi yang tumbuh di kawasan tersebut. Substrat hutan di Pulau Buton relatif miskin dengan unsur hara. Kondisi ini menyebabkan jumlah jenis tumbuhan per ha di Pulau Buton secara umum relatif sedikit. Tidak kurang dari 180 spesies pohon di Hutan Lambusango telah tercatat. Whitten, dkk. (2005) menyimpulkan bahwa hutan dataran rendah dengan substrat ultra basis di subkawasan Sulawesi, rata-rata hanya dihuni oleh 35 spesies tumbuhan (dbh lebih besar 15 cm) dalam wilayah 0,5 ha. Bandingkan dengan pulau besar di dekatnya. Di Pulau Kalimantan, jumlah jenis tumbuhan setiap 0,5 ha ditemukan sebanyak 50 spesies, sedangkan di Pulau Papua sebanyak 44 spesies.

24

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


I N F O Dbh =diameter at breast height atau diameter batang pohon setinggi dada. Sekitar 1,3 m dari permukaan tanah. Pada pohon berbanir tinggi (lebih dari 1,3 m dari permukaan tanah) dbh diukur pada ketinggian 20 cm di atas batas ujung banir.

Gambar 2.1 Pengukuran diameter batang oleh seorang peneliti tumbuhan. Sumber: Singer, 2005.

meter

Dalam suatu studi vegetasi yang telah dilakukan oleh O’ Donovan (2001–2003) di Hutan Lambusango blok Kakenauwe ditemukan betapa sedikitnya pohon tingkat bawah (<10 m) yang memiliki dbh >15 cm. Sementara itu, strata pohon dengan ketinggian 10–20 m lebih dominan.

40

30

20

10

10

20

30

40 meter

Sumber: O’Donovan, 2003.

Gambar 2.2 Profil hutan dataran rendah di salah satu plot Hutan Lambusango Blok Kakenauwe.

Hutan Lambusango secara suksesi dikategorikan sebagai hutan sekunder. Hal ini ditandai dengan berlimpahnya vegetasi lapisan bawah (0–10 m) dan tingginya tingkat kompetisi vegetasi lapisan bawah.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

25


Intensitas cahaya mataharinya pun dapat secara leluasa masuk ke dalam hutan. Hal ini karena pohon dengan diameter di atas 5 m dan tinggi di atas 40 m umumnya memiliki jarak tumbuh yang saling berjauhan.

Gambar 2.3 Intensitas cahaya matahari di Hutan Lambusango dapat mencapai vegetasi lapisan bawah.

Sumber: Singer, 2005.

Di beberapa blok kawasan hutan, sering dijumpai bekas-bekas kebun penduduk. Batu yang ditumpuk-tumpuk membentuk pagar di beberapa blok Hutan Lambusango merupakan bukti bahwa jauh sebelum Hutan Lambusango dijadikan sebagai kawasan konservasi telah dijadikan sebagai tempat berkebun dan rumah bagi penduduk. Lahan tersebut kemudian ditinggalkan dan berubah kembali menjadi hutan sekunder.

B.

Adakah Karakteristik Blok Hutan Lambusango yang Unik?

Di Hutan Lambusango bagian barat (dekat Dusun Watambo) terdapat suatu blok kawasan hutan seluas 500 ha yang memiliki fenomena langka dan menarik. Kawasan ini mirip seperti daerah hutan yang lazim pada ketinggian di atas 2.000 m dpl. Padahal, blok hutan ini hanya berada pada ketinggian 300–370 m dpl. Masyarakat Dusun Watambo menyebut wilayah ini sebagai Padang Kuku. Disebut dengan nama “padang� karena memiliki wilayah terbuka yang ditumbuhi pohon-pohon pendek,

26

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


rumput, dan semak belukar. Wilayah yang menghadap ke Teluk Kapontori ini berhubungan dengan lautan lepas. Kawasan puncak gunung ini begitu mengesankan. Posisi puncaknya yang relatif tinggi memberikan sudut pandang yang luas ke seluruh bentang lahan (landscape) di sekitarnya. Selain itu, posisinya yang menghadap lautan lepas memungkinkan Anda untuk menikmati pemandangan matahari terbit dan terbenam dengan sangat indah. Kawasan Padang Kuku didominasi oleh pohon-pohon kerdil (tinggi 1,5–10 m dengan diameter batang 20–40 cm) dengan daun kecil dan tebal. Hutan di Padang Kuku ini merupakan hutan kerdil (dwarf forest) atau disebut juga dengan hutan berawan (Tropical Montane Cloud Forest) dataran rendah. Disebut dengan hutan berawan karena seringnya hutan tersebut diselimuti awan (cloud). Hutan berawan ini memiliki komposisi flora dan kenampakan hutan yang sangat unik. Pohon-pohon hutan berukuran jauh lebih pendek, bengkok-bengkok, memiliki daun dengan ukuran kecil dan keras. Selain itu, hutan berawan miskin spesies. Kondisi demikian ini sama halnya dengan kondisi hutan subalpine. Perbedaanya dengan hutan kerdil berawan dataran tinggi adalah bahwa ukuran daunnya relatif lebih besar dan lantai hutannya tidak berlumut.

Sumber: L.A. Bruijnzeel dan L.S. Hamilton, 2000; Singer, 2005.

Gambar 2.4 Hutan berawan yang terbentuk pada elevasi rendah. Insert: vegetasi yang dijumpai di hutan berawan Padang Kuku.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

27


Fenomena alam yang mendasari keberadaan hutan ini adalah kondisi geologis pegunungan yang terekspose (menghadap) ke wilayah lautan luas (perhatikan kembali Gambar2.4). Hal ini menyebabkan massa udara yang mengandung uap air yang dihasilkan oleh proses evaporasi (penguapan) dari lautan menjadi lebih besar. Massa udara beruap air tersebut naik ke lereng pegunungan. Hal inilah yang menyebabkan wilayah Padang Kuku sering diselimuti oleh kabut. Hubungan antara keberadaan kabut terhadap kekerdilan pohon masih menjadi teka-teki dikalangan para ahli. Namun, umumnya mereka menduga bahwa keberadaan kabut telah menghambat penetrasi sinar matahari. Akibatnya, proses fotosintesa tumbuhan menjadi terhambat. Pertumbuhan pohon pun menjadi kerdil, berdaun kecil, dan tebal. Secara umum, korelasi antara elevasi hutan dan pohon ditunjukkan dengan fenomena semakin kerdilnya pohon seiring dengan semakin tingginya elevasi hutan dari permukaan laut. Hal ini berkaitan dengan semakin tingginya intensitas penutupan kabut (cloud incidence). 45

Hutan hujan dataran rendah Semakin berkabut

Ketinggian (meter)

Hutan pegunungan bawah 30

15

Hutan berawan pegunungan bawah

Hutan berawan pegunungan atas

Hutan berawan subalpin

0 Sumber: L.A. Bruijnzeel dan Hamilton, 2000

Gambar 2.5 Generalisasi ketinggian letak serangkaian formasi hutan di tropika basah

Pada pegunungan besar (yang terletak di pulau besar) yang berada jauh dari pantai (misalnya Gunung Pangrango dan Gunung Salak di Pulau Jawa), hutan pegunungan yang sering tertutup kabut ini baru terjadi pada elevasi lebih dari 2.000 meter. Namun, pada pegunungan di suatu pulau kecil yang berada di dekat pantai (seperti halnya Padang Kuku di Pulau Buton, Gunung Ranai di Pulau Natuna, dan Gunung Tinggi di

28

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Pulau Bawean), perubahan kenampakan dari hutan pegunungan bawah ke tinggi sering terjadi pada elevasi yang jauh lebih rendah, yaitu hingga kurang dari 500 m (Bruijnzeel dan Hamilton, 2000). Perbedaaan ketinggian keberadaan hutan berawan berkisar pada ketinggian 300–600 m dpl untuk pegunungan di suatu pulau kecil yang menghadap lautan luas. Adapun untuk pegunungan besar yang berada jauh dari pantai keberadaan hutan berawan berada di ketinggian lebih dari 2.000 m. Adanya perbedaan keberadaan hutan berawan ini biasa disebut sebagai massenerhebung effect (Bahasa Jerman yang artinya efek pengangkatan massa udara) atau telescoping effect (Perhatikan Gambar 2.6). Gn. Pangrango (Pulau Jawa) Ketinggian (meter)

3.000

Gn. Salak (Pulau Jawa)

2.500 Gn. Ranai (Pulau Natuna)

2.000 1.500 1.000 500

Gn. Tinggi (Pulau Bawean) Padang Kuku Sumber: L.A. Bruijnzeel dan Hamilton, 2000

Gambar 2.6 Fenomena pembentukan hutan berawan yang dapat terbentuk pada elevasi yang berlainan.

Pembentukan kabut, pada dasarnya ditentukan oleh kelembapan dan suhu udara. Semakin lembap udara, semakin cepat terjadinya proses kondensasi. Oleh karena itu, semakin jauh letak suatu gunung dari laut, udara cenderung semakin kering. Hal ini menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk menuju ke titik kondensasi menjadi lebih lama. Pembentukan awan pun menjadi lama juga. Seiring pergerakan udara, pembentukan awan sempurna terjadi pada elevasi yang lebih tinggi (telescoping effect). Hal ini terjadi di Gunung Pangrango dan Gunung Salak. Sebaliknya, pada hutan pegunungan yang dekat dan menghadap ke laut, kelembapan udaranya akan tinggi. Tingginya kelmbapan udara ini menyebabkan terjadinya pembentukan awan pada elevasi yang sangat rendah (telescoping effect). Hal ini terjadi di Padang Kuku di Hutan Lambusango. Pengaruh hutan berawan terhadap fungsi hutan sebagai peyedia air akan dibahas di Bab 3.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

29


C.

Bagaimanakah Keragaman Hayati di Hutan Lambusango?

Istilah keragaman hayati digunakan untuk menggambarkan keanekaragaman bentuk-bentuk kehidupan, peran ekologis yang ditampilkan, dan keanekaragaman genetis yang dikandungnya. Keanekaragaman hayati membentuk dasar bagi kelangsungan semua kehidupan di Bumi. Dari sudut pandang ekologi, tumbuhan dan satwa yang berbeda menjalankan fungsi-fungsi ekologis yang sangat menentukan bagi kehidupan kita. Misalnya, tumbuhan menyediakan makanan bagi kita, pepohonan menyediakan kayu untuk bangunan. Selain itu, kulit kayu, daun, buah, dan bunga dapat dimakan atau sebagai sumber penting bahan obat-obatan. Pohon yang tinggi pun akan memberikan naungan, makanan, dan perlindungan bagi satwa, serta sebagai topangan bagi rotan. Keragaman peran ekologi ini ditampilkan pula oleh satwa. Misalnya, Kelelawar Buah (fruit bat) membantu proses penyerbukan tanaman pangan, seperti Pisang, Mangga, dan Pepaya. Contoh lainnya adalah aktivitas makan Burung Halo dan Andoke yang dapat membantu memperluas penyebaran pohon-pohonan yang bermanfaat bagi kehidupan. Dampak lebih lanjutnya adalah terbentuknya hutan yang seimbang. Hutan yang demikian ini mampu menyimpan air dan mengalirkannya secara terus-menerus sehingga pada musim hujan tidak menimbulkan banjir, dan tidak kekurangan air pada musim kemarau. Hutan pun mampu mencegah erosi dan longsor, menyediakan habitat, dan memberi udara yang bersih dan segar secara gratis. Singkatnya, keragaman hayati menyediakan tumbuhan dan satwa yang beragam. Darinya kita dapat menuai berbagai manfaat, baik langsung maupun tidak langsung. Kondisi inilah yang selama ini menjamin lingkungan kehidupan kita terasa tetap aman, nyaman, dan sejahtera. Komposisi vegetasi dan topografi hutan mempengaruhi tingkat keragaman satwa yang hidup pada suatu kawasan. Keragaman jenis tumbuhan di suatu kawasan hutan biasanya berbanding lurus dengan keragaman satwa di dalamnya. Semakin beragamnya suatu tumbuhan di suatu kawasan, semakin besar pula peluang tersedianya makanan

30

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


bagi berbagai makhluk hidup. Hal ini berlaku pula di kawasan Hutan Lambusango. Keragaman vegetasi di Hutan Lambusango relatif tinggi. Hal ini menyebabkan daya dukung lingkungan (carrying capacity) untuk berbagai jenis satwa menjadi tinggi. Tingkat keragaman satwanya pun menjadi relatif tinggi pula. Dalam suatu piramida makanan, vegetasi berfungsi sebagai bahan makanan (produsen) bagi berbagai jenis organisme. Tersedianya tumbuhan sebagai sumber makanan bagi hewan akan mengakibatkan efek berantai pada konsumen ke-1, konsumen ke-2, konsumen ke-3, hingga hewan pemangsa utama (top predator).

Gambar 2.7 Contoh piramida makanan yang terjadi di Hutan Lambusango.

Berikut ini beberapa keragaman hayati yang terdapat di Hutan Lambusango.

1. Keragaman Hayati Jamur

Jamur merupakan salah satu keunikan yang memperkaya keanekaragaman makhluk hidup di Hutan Lambusango. Jamur tidak memiliki klorofil. Oleh karena itu, jamur tidak termasuk Kingdom Plantae (tumbuhan) yang bersifat produsen. Hal ini menjadikan jamur sebagai organisme yang bergantung kepada organisme lain maupun sisa-sisa

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

31


organik. Jamur-jamur ini menghasilkan enzim yang dapat menguraikan material organik baik dari organisme hidup maupun yang telah mati. Hasil penguraian itu akan menghasilkan energi bagi jamur. Selain itu, beberapa unsur kimia hasil penguraian akan dilepasnya ke alam. Hal ini menyebabkan jamur memegang peranan penting dalam ekosistem Hutan Lambusango, yaitu sebagai salah satu bagian dari siklus unsurunsur kimia. Di hutan hujan tropis seperti Hutan Lambusango ini, jamur merupakan salah satu organisme yang mudah ditemukan. Pada musim penghujan, jamur akan lebih banyak tumbuh. Terutama di tempat-tempat yang lembap. Lebih spesifik lagi, jamur dapat tumbuh di permukaan tanah, pada tumbu han, dan sisa-sisa organisme seperti batang pohon yang telah mati. Beberapa jenis jamur mengandung protein yang tinggi dan baik untuk dimakan. Namun, tidak semua Sumber: Singer, 2005. Gambar 2.8 jenis jamur dapat dimakan, ada Jamur di pohon mati. beberapa jenis jamur yang beracun dan berbahaya jika dikonsumsi manusia. Jamur kuping (Auricularia auricula), merupakan jenis jamur yang dapat dimakan. Jamur ini tumbuh pula di Hutan Lambusango. Selain itu, Jamur karang (Clavaria abietina) pun ditemukan di Hutan Lambusango. Biasanya jamur ini dapat ditemukan di sekitar pinggiran sungai. Selain hidup di pinggiran sungai, Jamur karang dapat pula hidup di tanah lembap dengan seresah yang tipis. Jamur karang ini memiliki bentuk seperti bunga karang/bunga brokoli berwarna krem kekuningan, berdaging, kenyal, Sumber: Singer, 2005. licin, dan berair. Gambar 2.9 Jamur karang.

32

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


2. Keragaman Hayati Tumbuhan Seperti yang telah Anda ketahui, keragaman hayati tumbuhan Sulawesi lebih rendah dibandingkan dengan pulau-pulau utama lainnya. Lee dkk. (2001) menduga bahwa hal ini disebabkan oleh kurangnya jenis pohon Meranti (Dipterocarpacea). Sebagai perbandingan, jumlah Meranti yang telah tercatat di Sulawesi sebanyak 6 spesies, sedangkan di Kalimantan 267 spesies. Para ahli tumbuhan memperkirakan sekitar 5.000 spesies tumbuhan telah teridentifikasi di Sulawesi. Namun, informasi mengenai kelimpahan dan persebarannya masih sangat sedikit. Spesimen tumbuhannya pun masih sangat sedikit dibandingkan spesimen tumbuhan yang telah ada dari pulau-pulau besar lainnya di Indonesia. Oleh karena itu, keragaman hayati tumbuhan di Sulawesi belum banyak terungkap. Penelitian yang mengarah pada taksonomi tumbuhan di kawasan Hutan Lambusango sampai tahun 2005 juga belum banyak dilakukan. Namun, terdapat beberapa hal menarik yang dapat diketahui tentang aspek kehidupan tumbuhan di kawasan hutan ini. a. Lumut Lumut merupakan tumbuhan tingkat rendah yang termasuk dalam divisi Bryophyta. Lumut memiliki pigmen hijau daun yang menghasilkan klorofil a dan b. Oleh karena itu, tumbuhan yang tidak berpembuluh ini dapat melakukan fotosintesis. Tumbuhan lumut hidup di habitat yang lembap dan berair. Hal ini karena lumut tidak memiliki jaringan pengangkut. Air yang masuk ke dalam tubuh lumut dilakukan secara (imbibisi, yaitu kemampuan dinding sel dan isi sel untuk menyerap air dari lingkungannya). Kemudian, air tersebut didistribusikan ke bagian tumbuhan lainnya secara (difusi, yaitu proses perpindahan suatu zat dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah) maupun dengan daya kapilaris atau sitoplasma. Di Indonesia, telah teridentifikasi sebanyak 1.500 spesies lumut atau 9% dari jenis lumut yang tercatat di dunia (KLH, 1989). Tumbuhan lumut ini sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Hutan dengan penutupan kanopi rapat dan kelembapan tinggi, menjadi tempat yang baik untuk tumbuhan lumut. Akan tetapi, jika di daerah tersebut sudah ada pembukaan kanopi sehingga menyebabkan cahaya matahari masuk lebih banyak, dan suhu mikro udara berubah, kemungkinan lumut tidak

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

33


dapat tumbuh dengan baik. Untuk dapat hidup dengan baik, lumut memerlukan udara bersih. Di kota-kota besar yang udaranya sudah terkena polusi cukup berat, tumbuhan lumut tidak dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, lumut dapat dijadikan indikator kebersihan udara. Lumut-lumut di Hutan Lambusango banyak ditemukan melekat di berbagai tempat yang lembap dan tidak terlalu banyak terkena cahaya matahari. Misalnya, pada bebatuan, batang pohon, dan pohon yang telah tumbang. Di kawasan hutan yang memiliki ketinggian lebih dari 1.000 m dpl, kelembapannya akan semakin tinggi. Hal ini akan meningkatkan pula jumlah lumut yang dapat ditemukan. Lumut janggut (Usnea sp.) yang bentuknya mirip janggut (spesies lumut yang bisa tumbuh memanjang sampai 5 cm) merupakan spesies yang banyak dijumpai di Hutan Lambusango. Lumut ini tumbuh melekat pada batang dan ranting pohon. Sumber: Whithen dkk., 2002. b. Paku Gambar 2.10 Paku-pakuan termasuk ke dalam tumbuhan Lumut Janggut. berpembuluh tidak berbiji. Tumbuhan ini memiliki dua macam daun, yaitu daun berspora (sporofil) dan daun tidak berspora (tropofil). Kedua jenis daun tumbuhan ini memiliki jenis pigmen yang sama dengan Briophyta, yaitu pigmen klorofil a dan b. Oleh karena itu, tumbuhan ini dapat berfotosintesis. Pada saat daun masih muda, kelompok tumbuhan ini menampilkan ciri khasnya, yaitu pucuk daun yang menggulung. Tumbuhan ini umumnya menyukai naungan yang tidak terlalu rapat dan kelembapan cukup. Beberapa jenis paku di Sumber: Singer, 2005. antaranya ada yang tumbuh menempel pada Gambar 2.11 pohon lain (epifit). Saat ini jenis paku-pakuan Ciri khas paku ditunjukkan oleh menggulungnya daun muda.

34

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


yang telah tercatat sekitar 10.000 spesies yang tersebar di seluruh dunia, 1.250 hingga 1.500 di antaranya ditemukan di Indonesia. Di Hutan Lambusango sendiri hidup berbagai jenis tumbuhan paku, seperti Paku tiang dan Paku sarang burung/Bird-nest fern (Asplenium sp.). Disebut Paku sarang burung karena jenis tumbuhan ini mirip seperti sarang burung. Tumbuhan paku ini tumbuh secara epifit pada pohon lain. Dalam satu pohon besar, Asplenium nidus bisa ditemukan lebih dari 10 buah. Cyathea sp. disebut juga Pakis merupakan jenis tumbuhan tingkat rendah yang bisa tumbuh besar seperti pohon (tree fern) hingga bisa mencapai tinggi lebih dari 2 m. Tumbuhan Sumber: Singer, 2005. Gambar 2.12 ini tumbuh di permukaan tanah. Asplenium nidus. Paku-pakuan memiliki susunan daun menarik. Oleh karena itu, tidak sedikit berbagai jenis paku dijadikan sebagai tanaman hias. Selain itu, tumbuhan paku dapat dimanfaatkan pula sebagai sayur-sayuran, obat-obatan, dan kosmetika. c. Rotan dan Palem Rotan dan palem masuk ke dalam famili Palmae. Daun rotan dan palem memiliki ciri serupa, yaitu berdaun majemuk dan menyirip. Hal yang membedakannya adalah rotan memiliki duri tajam pada tangkai dan batangnya, sedangkan palem tidak memiliki duri tajam. Selain itu, diameter batang utama palem juga lebih besar. Secara alami, rotan dalam perkembangan dan pertumbuhannya selalu mengarah ke atas menuju cahaya matahari. Oleh karena itu, cahaya matahari merupakan faktor lingkungan yang sangat berperan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan rotan. Di dalam pertumbuhan dan perkembangannya, rotan bisa mengalami pertumbuhan sangat cepat (fast growing). Hasil penelitian Powling (2002–2005) menunjukkan bahwa pertumbuhan rotan bisa mencapai 0,7 m–1,4 m setiap tahunnya. Batang rotan pun bisa lebih cepat pertumbuhannya hingga mencapai 4 meter per tahun jika cahaya matahari yang diterima cukup baik. Masuknya cahaya matahari hingga mencapai lapisan bawah hutan, dapat menumbuhkan

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

35


vegetasi dengan berbagai ketinggian. Keragaman ketinggian pohon lapisan bawah ini dimanfaatkan oleh rotan untuk tumbuh dan merambat dengan relatif cepat. Keberadaan tumbuhan inang sebagai tempat merambat rotan sangat penting. Secara alami tumbuhan rotan akan mencari pohon inang. Sebelum menemukan pohon inang, pertumbuhan rotan akan melingkar ke sana-ke mari mencari pohon inang. Jika sudah menemukan pohon inang, secara cepat rotan tersebut akan menjulang ke atas untuk mendapatkan cahaya matahari. Tumbuhan rotan sangat disukai sebagai tempat bersarang berbagai jenis hewan, termasuk serangga. Burung-burung penghuni lapisan bawah (0–10 m), jenis pemakan serangga, seperti Pelanduk Sulawesi (Trichastoma celebense) dan Kehicap ranting (Hypothymis azurea) merupakan contoh hewan yang sangat menyukai keberadaan rotan. Sumber: Powling, 2005; PKHL, 2005. Gambar 2.13 Jumlah rotan yang tercatat di Rotan muda belum merambat. Sulawesi sebanyak 36 spesies (Dransfiled, 1974). Sedikitnya 17 spesies rotan berada di kawasan Hutan Lambusango (Powling pers.com). Ke-17 spesies rotan ini tumbuh luas di berbagai tipe topografi dan ketinggian yang berbeda. Beberapa jenis rotan yang telah berhasil teridentifikasi dalam nama ilmiah di antaranya Rotan torumpu (Calamus koordesianus), Pisi (C. leptostachys), Kai Sisau (C. minahassae), Lambang (C. ornatus), Buta (C. syphonospatus), Umol (C. simphysipus), dan Batang (C. zollingeri). Selain rotan, jenis tumbuhan lain yang termasuk famili Palmae adalah palem. Tumbuhan palem keberadaanya bersifat kosmopolitan. Artinya, dapat dijumpai di berbagai wilayah. Palem dapat dijumpai Sumber: www.plantapalm.com. di daerah tropis, subtropis, dataran rendah, dataran Gambar 2.14 tinggi, pegunungan, dan tanah yang subur maupun Palem baru.

36

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


gersang. Di manapun adanya, hal yang paling penting adalah adanya cahaya matahari yang langsung mengenai palem. Di Hutan Lambusango, telah ditemukan tidak kurang dari 6 spesies tumbuhan palem, di antaranya Palem baru (Caryota mitis), Noko (Daemonorops robusta), Hydriastele celebica, Wiu (Licula celebica), Lanu (Livistona ratundifolia), Nipa (Nipa fruticans), dan Sampu (Pinanga sp.). d. Tumbuhan berkayu Di Hutan Lambusango terdapat sedikitnya 75 spesies pohon dengan tingkat kerapatan 200–220 pohon per ha. (Gunawan, 2005). Hutan Lambusango didominasi pohon famili Verbenaceae (Vitex sp.) dan Monaceae (figs dan Ficus sp.). Pohon merupakan tumbuhan berkayu yang berdiameter > 35 cm, dan menjadi bagian penting bagi ekosistem hutan. Pohon-pohon yang tumbuh di hutan merupakan tempat berlindung bagi berbagai jenis hewan. Kanopi pohon dalam kawasan yang relatif luas merupakan ciri khas suatu hutan. Kanopi bisa berfungsi sebagai tempat bertengger dan koridor bagi berbagai jenis burung dan primata dalam berpindah tempat. Berbagai jenis serangga dapat hidup pada suatu pohon yang besar. Ketersediaan air di hutan dalam jumlah yang cukup, bergantung pula pada keberadaan pohon-pohon. Pada umumnya, pohon-pohon di hutan tropis dataran rendah memiliki ciri ujung daun penetes. Ujung daun dengan bentuk meruncing tersebut berfungsi untuk memudahkan air mengalir pada saat hujan. Dengan demikian, tidak terlalu banyak tumbuh epifit (Lumut daun dan Lumut hati) yang menempel pada daun (Whitten, 2002). Ujung daun meruncing ini sangat baik Sumber: Written. dkk., 2005. untuk memperkecil Gambar 2.15 massa butiran air Jenis-jenis daun penetes. (leafdrip) yang jatuh dipermukaan tanah. Kondisi ini akan memperkecil tumbukan air ke permukaan tanah, sehingga erosi permukaan (spash erosian) diperkecil. Beberapa pohon yang tumbuh di hutan hujan tropis memiliki banir dan dililit oleh liana. Pada pohon besar, tinggi banir pohon bisa mencapai 3 meter. Banir Gambar 1.16 Pohon berbanir. Sumber: Singer, 2005.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

37


ini berfungsi untuk memperkuat tegakkan tumbuhan dan memperluas cabang perakaran. Dengan demikian pohon dapat menyerap nutrisi lebih banyak (Kinnaird, 1995). Banir juga diduga berfungsi untuk mengurangi gaya tarik pada akar. Oleh karena itu, kemungkinan terjadi patahnya batang pohon berakar banir pada bagian dekat permukaan tanah menjadi lebih kecil. Ciri lain vegetasi hutan tropis dataran rendah ini adalah ditemukannya banyak liana. Liana adalah tumbuhan yang dapat me manjat dan menjalar seperti rotan. Namun, liana tidak memiliki nilai komersial seperti halnya rotan. Seperti halnya tumbuhan lain, liana bersaing dengan pohon-pohon yang terdapat di hutan dalam memperoleh cahaya, zat hara, dan air. Akibatnya, dalam pertumbuhannya, liana sering menggangu pohon yang dipanjatnya. Inilah sebabnya, pada hutan produksi yang dikelola Sumber: Kinnaird, 1995. dengan baik, batang-batang tumbuhan Gambar 2.17 pemanjat itu dipotong. Liana. I N F O Beberapa jenis liana mengandung banyak air yang aman diminum oleh manusia.

Pohon-pohon ara (fig trees) yang ditemukan di Hutan Lambusango sangat beragam. Pohon ini dapat berfungsi sebagai pemasok makanan yang melimpah untuk berbagai jenis satwa. Pohon ara memiliki beberapa keistimewaan secara biologis, di antaranya, buahnya cepat masak sehingga dapat tersedia sepanjang tahun. Buah pohon ara ini kaya dengan zat gula sehingga mudah dicerna oleh banyak binatang. Selain itu, terkandung pula zat kalsium yang tinggi dalam buah ara. Zat ini sangat baik untuk pertumbuhan tulang hewan dan perkembangan cangkang telur. Gambar 2.18 Salah satu jenis pohon ara yang tumbuh umum di Hutan Lambusango, buahnya menempel langsung pada batang (frutycaulis).

38

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006

Sumber: Singer, 2005.


Jenis-jenis pohon yang ditemukan di dalam kawasan Hutan Lambusango antara lain Kayu besi (Mitocideros petiolata), Kuma (Palaquium obovatum), Wola (Vitex copassus), Bayam (Intsia bijuga), Cendana (Pterocarpus indicus), Bangkali (Anthocephallus macrophyllus), Kayu angin (Casuarina rumpiana), dan Sengon (Paraserianthes falcataria). Selain itu, pohon Bigi (Dillenia sp.) masih sering ditemukan di Hutan Lambusango, terutama di daerah blok hutan yang dahulunya telah dijadikan kebun oleh penduduk. Buah pohon ini bersegmen. Bagian dalamnya berwarna kuning dan bisa dimakan oleh manusia. Kelelawar, Monyet, dan Babi sangat menyukai buah ini. Pohon Wola (Vitex copassus) dan Maniaga merupakan pohon kelas satu. Jenis Sumber: Singer, 2005. Gambar 2.19 kayunya sangat baik dan sangat disukai Buah Bigi berwarna kuning penduduk untuk bahan bangunan dan bahan dan bersegmen. pembuatan perahu. Secara umum, pohon Wola ini dapat beradaptasi dengan baik di Hutan Lambusango. Populasi pohon Wola saat ini terancam mengalami penurunan cukup tinggi karena penduduk sering menebangnya untuk dijual ke pasar. Padahal, secara ekologis, pohon ini memiliki bunga yang disukai oleh beberapa jenis hewan seperti Lebah (Apis sp.). Beberapa jenis lebah sering ditemukan membuat sarang pada pohon Wola. Oleh karena itu, penurunan jumlah populasi pohon Wola diduga mempengaruhi perkembangan jumlah sarang madu yang terdapat di hutan. Kayu hitam/Eboni (Diospyros calebica) merupakan salah satu jenis pohon yang telah dilindungi oleh undang-undang karena kelangkaan dan endemisitasnya. Kayu Eboni ditemukan di Hutan Lambusango. Karakteristik kulit luar Eboni bergalur agak mengelupas dan kehitaman. Itulah mengapa disebut juga dengan kayu hitam. Eboni biasanya tumbuh secara mengelompok atau Sumber: Singer, 2005. Gambar 2. 20 Kayu hitam di Hutan Lambusango.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

39


kadang terpencar. Banyak dijumpai di hutan-hutan yang tanahnya berbatu-batu, tanah liat, dan berpasir. Keberadaan Eboni di Hutan Lambusango ini sudah sangat langka. Hal ini karena pohon Eboni secara terus-menerus dicari untuk dimanfaatkan penduduk. Harganya pun cukup tinggi di pasaran.

3. Keragaman Hayati Hewan

Hewan Sulawesi merupakan hewan yang paling khas di Indonesia, terutama untuk jenis Mammalia. Dari 127 spesies Mammalia yang ditemukan, 79 (62%) di antaranya bersifat endemik Sulawesi (lihat Tabel 2.1). Jumlah tersebut akan meningkat sampai 98% jika kelelawar tidak dimasukkan. Tabel 2.1

Persentase Jenis Hewan Menyusui, Burung, dan Melata Endemik di Tujuh Kawasan Utama di Indonesia. Hewan Menyusui

Burung

Hewan Melata

Sumatra

10

2

11

Jawa

12

7

8

Pulau

Kalimantan

18

6

24

Sulawesi

69

31

26

Nusa Tenggara

12

30

22

Maluku

17

33

18

Papua

58

52

35

Sumber : Anonim, 1982 dalam Whitten, 2005.

Penelitian dan monitoring satwa di Hutan Lambusango telah banyak di lakukan oleh tim Operation Wallacea dari tahun 1999–2005, terutama satwa kelas Vertebrata. Berikut ini adalah beberapa aspek kehidupan satwa yang terdapat di hutan lambusango. a. Invertebrata Sekitar 1,4 juta jenis organisme hidup telah ditemukan di muka Bumi ini. Satu juta di antaranya merupakan jenis Invertebrata (hewan tidak bertulang belakang). Serangga termasuk ke dalam hewan ini. Ukuran tubuh hewan ini memang kecil, namun serangga memiliki fungsi penting dalam ekosistem hutan. Di Hutan Lambusango terdapat berbagai jenis hewan Invertebrata, seperti semut, cacing, Tonggeret (Cicadas), dan kupu-kupu. Semut dan

40

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


cacing sangat membantu proses siklus nutrisi tanah. Belalang sembah dan laba-laba berfungsi sebagai pengontrol ekosistem, yaitu sebagai pemakan serangga lain yang populasinya berlebih. Tonggeret sering menempel pada pohon dan mengeluarkan suara. Suara ini dihasilkan dari kepakan sayapnya. Suara serangga ini terdengar keras pada siang hari dan tidak terdengar pada malam hari. Tonggeret merupakan contoh serangga yang melakukan ekdisis atau pergantian kulit. Hewan ini seringkali dikaitkan dengan perubahan musim. Jika banyak dijumpai hewan ini, masyarakat menduga musim kemarau telah datang. Gambar 2.21 Tonggeret pun merupakan sumber nutrisi bagi ikan, tupai, Tonggeret dan burung. Sumber: Microsoft Encarta, 2005. Kupu-kupu merupakan serangga yang sangat indah untuk diamati. Kondisi hutan yang mendapatkan cahaya matahari cukup baik untuk ditempati oleh 175 spesies Kupu-kupu. 30 spesies di antaranya endemik. Dalam ekologi, kupu-kupu berfungsi untuk menyebarkan polen dari satu bunga ke bunga yang lainnya. Kupu-kupu merupakan serangga yang sering ditangkap untuk dikoleksi. Warna silika yang indah dan mudah dalam proses pengawetannya, menyebabkan banyak orang ingin mengoleksi satwa ini. Sampai saat ini, di Hutan Lambusango belum Sumber: Singer, 2005. banyak penangkapan kupu-kupu untuk dijual Gambar 2.22 di pasaran. Namun, kerusakan hutan yang Idea sp. terjadi menyebabkan beberapa sumber nektar telah berkurang. Habitat hidup kupu-kupu juga menyempit. Akibatnya, daya dukung lingkungan kupu-kupu menjadi berkurang. Secara keseluruhan akan berdampak pada Sumber: Singer, 2005. menurunnya keragaman jenis kupu-kupu. Gambar 2.23 Beberapa jenis Invertebara air, seperti bentos, Idea sp. udang, ketam, capung, dan siput hidup juga di sungai Hutan Lambusango. Pembukaan hutan menjadi ancaman serius pada organisme yang terdapat di dalam sungai. Banyak organisme sungai yang bergantung pada alokton (bahan yang jatuh ke dalam sungai). Secara langsung maupun tidak langsung, hidup hewan Invertebrata ini sangat

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

41


bergantung pada daun-daun mati dan material tumbuhan lainnya yang jatuh ke sungai (Johnson, 1973 dalam Whiten, 2005). Salah satu hewan pengisap darah, Pacet (Haemadipsa sp.) hidup di Hutan Lambusango. Hewan ini menyukai daerah yang lembap, jumlahnya sering melimpah di daerah tertentu saat musim hujan. Pacet memiliki ukuran tubuh sekitar 3 cm, tetapi panjang dan beratnya dapat meningkat setelah mengisap darah hewan lain. Bobot badannya bisa meningkat hingga 10 kali setelah mengisap darah. Dalam Sumber: Singer, 2005. Gambar 2.24 sekali isapan, persediaan makanannya Pacet yang sedang menghisap diduga cukup untuk sedikitnya mencadarah dari tangan penulis. pai tiga sampai delapan bulan ke depan (Fogden dan Proctor dalam Whitten, 2005). Selain itu, Pacet seringkali mengisap darah manusia. Secara ekologis, Pacet diduga sebagai salah satu sumber makanan hewan lain seperti burung. I N F O Bagian tubuh manusia yang diisap Pacet kadang terus mengeluarkan darah (tetapi tidak membahayakan) hanya pada bekasnya saja kadang terasa gatal. Hal ini karena pacet mengeluarkan zat antipembekuan darah alami ( natural anticoagulan) saat mengisap darah.

b. Vertebrata 1) Ikan Air Tawar Ikan dan belut air tawar merupakan hewan bertulang belakang (Vertebrata) yang hidup di air. Walaupun hidup di dalam air, ikan dan Belut sangat bergantung pada kelestarian hutan. Tumbuhan yang ada di hutan berfungsi sebagai penahan air pada musim hujan sehingga air dapat dialirkan secara terkontrol melalui sungai. Seandainya hutan gundul, pada saat hujan, air tidak dapat tertahan dan terjadi aliran air permukaan (runoff) yang deras. Keadaan seperti ini dapat menyebabkan erosi pada lahan maupun pada dinding dan dasar sungai. Debit air di sungai pun menjadi tidak terkontrol, bahkan bisa menjadi keruh saat terjadi runoff. Akibatnya, kadar oksigen terlarut dalam air bisa berkurang. Kondisi seperti ini tentu akan menyebabkan lingkungan perairan yang tidak baik bagi seluruh organisame yang hidup di perairan.

42

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Selain itu, pinggiran sungai yang mendadak dibuka kanopinya akan berakibat buruk pula pada kondisi perairan sungai. Cahaya matahari yang masuk ke sungai menjadi berlebihan. Perairan sungai dapat mengalami perubahan fisik yang dramatis, suhu secara mendadak dapat meningkat. Hal ini dapat berakibat pada matinya ikan-ikan. Matinya ikan tersebut disebabkan karena perubahan gas-gas terlarut, termasuk oksigen yang berkurang seiring dengan meningkatnya suhu di sungai. Bersamaan dengan itu, laju konsumsi oksigen oleh organisme sungai pun meningkat. Terjadilah kompetisi perolehan oksigen oleh organisme yang hidup di sungai tersebut. Organisme yang kalah berkompetisi akan mati. Begitu pula pada saat kebakaran hutan terjadi, sekilas organisme di bawah air tidak terkena dampak. Sesungguhnya, pada saat kebakaran terjadi, suhu lingkungan di sungai pun akan bertambah panas. Beberapa organisme air pun akan mati akibat kebakaran hutan. Di kawasan Wallacea terdapat 50 spesies ikan air tawar endemik, 7 jenis ikan gabus (goby) di antaranya adalah endemik. Semula ikan air tawar di kawasan Wallacea merupakan ikan air laut yang hidup di terumbu karang. Ikan-ikan yang terdapat di Sulawesi, seperti ikan gabus merupakan ikan air asin yang toleran terhadap air tawar. Ikan-ikan gabus seperti Syciopus sp. dan Rhyachichthys aspro banyak ditemukan di bagian hulu sungai Hutan Lambusango. Suplai oksigen di daerah hulu sungai cukup melimpah karena di daerah ini banyak terbentuk riak-riak aliran sungai akibat air yang menghantam batuan. Tidak semua jenis ikan dapat ditemukan di daerah hulu sungai ini. Hanya ikan-ikan yang dapat beradaptasi pada aliran air cepatlah yang dapat beradaptasi. Bentuk tubuh ikan yang hidup di daerah hulu sungai harus bisa menyesuaikan dengan tekanan air yang mengalir sangat deras ( Bird, 2005).

Gambar 2.25 Syciopus sp.

Sumber: Bird, 2002.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

43


Rhyachichthys aspro, bentuk tubuhnya beradaptasi untuk hidup di hulu sungai. Bagian depan tubuh rata dan sirip depannya lebih besar, memudahkan ikan ini bergerak dan menekankan tubuhnya pada bebatuan.

Gambar 2.26 Rhyachichthys aspro.

Sumber: Bird, 2002.

Keragaman ikan di daerah hilir sungai biasanya lebih beragam. Hal ini karena lebih banyak ikan yang dapat beradaptasi dengan aliran sungai yang tidak terlalu deras. Di bagian hilir sungai, kandungan oksigen yang ada dalam air tidak terlalu tinggi. Namun, biasanya makanan yang tersedia lebih beragam. Arus air yang lebih tenang serta ruang tepian sungai yang lebih luas memungkinkan hidupnya berbagai makhluk hidup. Larva capung dan beberapa hewan kelompok udang-udangan (Crustacea) merupakan contoh sumber makanan yang disukai ikan-ikan (Bird, 2005). Halfbeak (Nomorhamphus sp.) hidup lebih banyak dipermukaan air. Hal ini berkaitan dengan kedekatannya dengan sumber makanan berupa serangga yang jatuh dari pohon di pinggir sungai. Secara tidak langsung, pohon-pohon di pinggiran sungai pun menyuplai sumber makanan bagi ikan berupa serangga-serangga yang jatuh dari pohon ke air.

Gambar 2.27 Nomorhamphus sp.

Sumber: Bird, 2002.

Belut Sulawesi (Anguilla celebensis) dapat ditemukan pula di sungai yang berlumpur. Ukuran panjang belut ini bisa mencapai lebih dari 70 cm. Untuk mencapai panjang tersebut dibutuhkan waktu bertahun-

44

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


tahun. Belut yang disebut juga dengan nama Ikan sidat, termasuk ikan pemakan daging atau yang lebih populer dengan sebutan ikan karnivora. Di perairan umum, ikan ini lebih menyukai jenis hewan, khususnya organisme benthik seperti udang-udangan, cacing, atau berupa kepiting-kepiting kecil sebagai makanannya. Menurut hasil penelitian, Ikan sidat termasuk famili Anguillidae, dan ordo Apodes. Di Indonesia saat ini paling sedikit terdapat lima jenis Ikan sidat. Para pencari rotan dan madu menyukai belut ini untuk dimakan. Seringkali, mereka mengail binatang ini pada malam hari dengan menggunakan umpan, kail, dan senar. Racun kadang juga digunakan oleh mereka untuk mendapatkan hasil tangkapan lebih banyak. Tentunya, hal ini akan sangat merugikan bagi ekosistem sungai karena banyak makhluk Sumber: Singer, 2005. hidup lainnya yang akan mati terkena racun Gambar 2.28 Belut Sulawesi. tersebut. 2) Reptilia dan Amphibia Di Pulau Buton sedikitnya tercatat 67 spesies herfetofauna (12 spesies Amphibia dan 55 spesies Reptilia). Jumlah herfetofauna yang ditemukan di Pulau Kabaena sebanyak 36 jenis, sedangkan di Pulau Hoga sebanyak 12 jenis. Dari jumlah tersebut, sebanyak 43% herfetofauna Pulau Buton termasuk endemik Sulawesi, bandingkan dengan Pulau Kabaena yang hanya memiliki 29%, dan Hoga sebanyak 17% (Gillespie, 2005) Hutan Lambusango merupakan kawasan penting di Pulau Buton sebagai habitat herfetofauna. Di hutan ini terdapat tidak kurang dari 30 jenis Reptilia dan 7 jenis Amphibia. Reptilia merupakan jenis hewan melata, sedangkan Amphibia adalah binatang yang dapat hidup di dua tipe habitat (air dan darat). Kadal seperti Eutropis sp. banyak ditemukan di hutan ini. Selain itu, berbagai jenis ular berbisa seperti King kobra (Ophiopagus hannah) dan Latubemba (Pit viper) masih bisa ditemukan di Hutan Lambusango.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

45


Sumber: Gillespie, 2002.

Gambar 2.29 Ular Latubemba.

Sumber: Lardner, 2005.

Gambar 2.30 Kadal Eutropis sp. yang ditemukan di Hutan Lambusango.

Di samping Latubemba dan King kobra, ditemukan pula beberapa jenis ular unik, di antaranya: • ular berbentuk mirip cacing, yaitu Calamaria sp.; • ular Cylindrophis melanophus yang dapat mengangkat ekor untuk melindungi kepalanya dari ancaman;

Sumber: Lardner, 2005.

Gambar 2.31 Ular Cylindrophis melanotus dalam kondisi terancam.

•

46

Ular cincin mas (Boiga dendrophila) memiliki warna belang kuninghitam saat belum dewasa (juvenile). Setelah dewasa berubah warna menjadi hitam pekat (Larder pers.com).

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Pada musim hujan, Reptilia bisa lebih mudah untuk ditemukan. Beberapa jenis ular terpaksa harus keluar dari tempat istirahatnya yang basah terendam air. Sebagai hewan berdarah dingin (poikioterm), beberapa spesies Reptilia secara rutin harus mencari tempat-tempat hangat yang tersinari cahaya matahari. Di tempat itu, Reptilia akan berjemur untuk mempertahankan suhu

Sumber: Hadian, 2005.

Gambar 2.32 Ular King kobra yang sedang berjemur.

tubuhnya. Ular-ular dengan ukuran besar pun masih relatif banyak ditemukan di Hutan Lambusango. Pada ekpedisi Operation Wallacea 2005, dalam 2,5 bulan telah ditemukan Ular sanca kembang (Python reticulatus) sebanyak 6 ekor dengan panjang rata-rata 4,5 meter.

Sumber: Singer, 2005.

Gambar 2.33 Sanca kembang (Python reticulates), jenis ular besar yang umum ditemukan di Hutan Lambusango.

Pada malam hari, saat musim penghujan, Amphibia sangat aktif di sepanjang sungai. Musim penghujan merupakan saat yang tepat bagi

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

47


Amphibia untuk berkembang biak. Saat itu banyak telur katak diletakkan pada air yang relatif tenang. Beberapa katak akan tumbuh menjadi berudu dan katak dewasa. Selanjutnya, katak-katak ini menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem sungai. Beberapa jenis katak akan mati dimangsa oleh jenis ular yang hidupnya dekat sungai. Seperti halnya satwa lain, herpetofauna memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan. Amphibia dan reptilia bisa menjadi sumber makanan bagi satwa lain di hutan, seperti musang, tangkasi, dan burung pemangsa. Bagi petani, keberadaan herfetofauna sangat membantu dalam membasmi hama tanaman. Misalnya, ular dapat membantu untuk membasmi musuh utama petani, yaitu tikus. Katak juga bisa memakan beberapa jenis hama, seperti serangga terbang yang tidak menguntungkan bagi para petani. Beberapa contoh Amphibia di Hutan Lambusango adalah Bufo celebensis dan Rachopus monticola. Bufo celebensis merupakan jenis katak endemik dan paling umum ditemukan di Hutan Lambusango. Sementara itu, Rachopus monticola merupakan jenis katak yang memiliki banyak variasi warna tubuh (Larder, pers.com).

Sumber: Lardner, 2005; Singer, 2005.

Gambar 2.34 Rachopus monticola hijau berspot, hijau berbintik, dan kuning.

3) Aves Aves merupakan Vertebrata yang memiliki bulu dan sayap. Sayap ini digunakan burung untuk tebang. Hewan bersayap ini ikut menentukan dalam penentuan garis Wallacea sebagai pemisah Indonesia bagian barat dan timur, Alfred Russel Wallacea (1858) kali pertama terilhami oleh perbedaan keragaman burung. Weber (1904) berusaha membuat batas perimbangan fauna Asia dan Australia berdasarkan burung pula. Hal ini karena burung merupakan hewan Vertebrata yang relatif sensitif

48

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


terhadap perubahan lingkungan. Oleh karena itu, burung sering dijadikan sebagai indikator kualitas suatu lingkungan hidup. Tingkat keragaman burung yang relatif tinggi dari suatu daerah biasanya dapat menggambarkan bahwa lingkungan tersebut masih relatif baik. Kerusakan yang terjadi pada kawasan hutan, sering berpengaruh besar pada komposisi jenis burung di kawasan tersebut. Suatu blok hutan di kawasan Lambusango yang sebelumnya didominasi oleh Pelanduk Sulawesi (Trichastoma celebense) dan Kehicap ranting (Hypothymis azurea), tiba-tiba bisa berubah komposisinya seandainya di blok hutan tersebut terjadi pemotongan vegetasi lapisan bawah. Pelanduk Sulawesi dan Kehicap ranting merupakan burung spesialis penghuni vegetasi lapisan bawah. Seandainya secara tiba-tiba, vegetasi lapisan bawah dipotong secara besar-besaran, burung-burung ini pun akan segera berpindah tempat atau populasinya akan menurun drastis. Sedikitnya 230 spesies burung telah tercatat di kawasan Pulau Buton, Muna, Kabaena, dan Wakatobi. Dari jumlah tersebut 84 di antaranya termasuk endemik Sulawesi. Di Hutan Lambusango sendiri telah tercatat sedikitnya 95 spesies burung, 35 spesies (37%) di antaranya termasuk endemik Sulawesi, dan 1 spesies di antaranya termasuk endemik Sulawesi Tenggara. Burung Kakatua jambul-kuning (Cacatua sulphurea), termasuk jenis burung yang dilindungi undang-undang. Di dalam daftar IUCN (International Union for Concervation of Nature and Natural Resources), dalam Red Data Books, burung ini masuk dalam kategori rentan terancam punah (threatened) dan sudah sangat jarang ditemukan di Hutan Lambusango. Selain itu, burung ini pun masuk kategori Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endengerd Species for Wild Flora and Fauna) atau perdagangan flora dan fauna internasional. Artinya, perdagangan hewan secara internasional tidak dapat dilakukan, kecuali hasil budidaya hingga keturunan (filial) ke-2 (F2). Untuk mengeluarkannya ke luar negeri, Sumber: Gardner, 1997. sekali pun untuk keperluan penelitian harus diGambar 2.35 lengkapi izin dan melalui pengawasan yang Kakatua jambul-kuning. ketat.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

49


Dalam survey 1999–2005, burung Kakaktua jambul-kuning di Hutan Lambusango sudah sangat sulit dijumpai. Diperkirakan jumlah populasi yang tersisa tidak lebih dari 10 ekor. Kakatua jambul-kuning bersarang dalam lubang pohon, induk jantan dan betina bekerja sama dalam memelihara anaknya. Penduduk sekitar Hutan Lambusango menginformasikan, sebelum tahun 1970 populasi burung ini cukup melimpah. Burung ini pun dianggap sebagai hama karena sering memakan tanaman diperkebunan dalam kelompok besar. Kondisi seperti ini memicu perburuan Kakatua jambul-kuning. Sifat burung yang mudah dijinakkan seandainya dipelihara, menyebabkan permintaan pasar meningkat dan harga di pasaran relatif tinggi saat itu. Di kawasan hutan ini pula terdapat burung Kacamata Sulawesi (Zosterops consobrinorum). Burung ini termasuk endemik Sulawesi Tenggara. Disebut burung Kacamata karena di sekitar matanya terdapat lingkaran putih seperti menggunakan kaca mata. Burung yang berukuran relatif kecil (sekitar 11 cm) ini hidup bersama dalam kelompok yang berkisar antara 10–30 ekor atau ikut bergabung dengan spesies lain. Kebiasaan hidup bersama dalam kelompok besar diduga merupakan strategi burung dalam mencari makan dan menghindari bahaya Sumber: Kelly & Marples, 2003. burung pemangsa (raptor). Populasi Gambar 2.36 burung endemik Sulawesi Tenggara ini Burung Kacamata Sulawesi. masih relatif banyak. Burung merupakan jenis satwa yang sangat menakjubkan. Bulunya sangat indah dipandang dan suaranya amat merdu untuk didengarkan. Salah satu burung terindah di Hutan Lambusango dan termasuk endemik Sulawesi adalah burung Julang Sulawesi (Aceros cassidix), dalam bahasa daerah disebut burung Halo. Burung ini memiliki panjang tubuh 104 cm dan bentangan sayapnya dapat mencapai lebih dari 1 m. Bulu burung ini berwarna Sumber: www.opwall.com. hitam, dengan leher berwarna kuning Gambar 2.37 mencolok untuk julang jantan. Burung Halo jantan.

50

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Pohon-pohon besar sangat dibutuhkan oleh burung ini untuk bertahan hidup. Burung Julang Sulawesi hanya bisa berbiak pada lubang pohon besar. Betina mengerami anaknya selama 40 hari. Selama anaknya dierami, burung jantan memberi makan betina melalui lubang pohon. Lubang ini merupakan satu-satunya celah tempat Julang betina bisa melihat dunia luar. Burung ini sangat menyukai buah pohon Ara Besar (Ficus sp.) sebagai sumber makanan. Di Hutan Lambusango hidup spesies Aves unik dari kelompok Megapoda. Nama itu secara harfiah berarti ‘kaki besar’. Sumber: Kinnaird, 1995. Hewan ini dinamakan burung Gambar 2.38 Burung Halo jantan Gosong Filipina (Phillipine scrubfowl ). Burung Gosong di sarangnya. Filipina ini memi liki ukuran dan Sumber: Gardner, 1997. Gambar 2.39 bentuk tubuh seperti ayam dengan warna bulu cokelat Burung Gosong memiliki tua. Dalam berpindah tempat, burung ini lebih banyak kaki yang besar dan kuat. berjalan di atas tanah. Burung gosong memiliki perilaku yang khas dalam musim berbiak. Setelah induknya bertelur, telurnya tidak dierami. Telur tersebut hanya ditimbun dalam sebuah tumpukan material seperti gunung kecil (little mount) yang telah mereka buat sebelumnya. Tumpukan material tersebut terbuat dari seresah dan daun-daun kering. Selanjutnya, telur tersebut dibiarkan oleh induknya untuk menetas dengan sendirinya. Secara umum, fungsi keberadaan burung ini di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Sebagai penyebar biji-bijian (seed dispersal). 2. Pengendali hama, seperti burung pemakan serangga dan pemakan tikus. 3. Pengendali gulma (tumbuhan yang tidak menguntungkan petani). 4. Kotoran burung bisa meningkatkan kesuburan tanah. 5. Membantu proses penyerbukan beberapa tumbuhan. 6. Kicauan suara burung memberikan suasana damai dan memberikan hiburan tersendiri.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

51


4) Mammalia Mammalia merupakan binatang bertulang belakang yang menyusui anaknya dan mempunyai rambut. a) Mammalia Kecil Mammalia kecil merupakan hewan menyusui yang memiliki berat kurang dari 1 kg, tidak termasuk kelelawar dan Primata. Sebagian besar Mammalia kecil termasuk binatang pengerat (Rodentia), pemakan serangga (Insectivorous), dan bukan merupakan pemakan daging (Carnivore) (Grimwood, pers.com). Di Hutan Lambusango telah ditemukan tidak kurang dari 16 spesies Mammalia kecil. Sebanyak 12 jenis di antaranya merupakan endemik Sulawesi. Sebagian besar Mammalia kecil yang terdapat di Hutan Lambusango beraktivitas pada malam hari (nocturnal), dan menyukai hidup di dalam hutan. Pada jarak lebih dari 600 m dari pinggir hutan, Mammalia kecil endemik lebih banyak ditemukan (Grimwood, pers.com). Mammalia kecil mempunyai fungsi secara ekologis untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Hewan ini bisa berfungsi sebagai sumber makanan bagi satwa lain, seperti musang, burung, dan ular. Mammalia kecil sering menggali tanah sehingga berfungsi pula dalam mengemburkan tanah dan menyebarkan biji-biji tumbuhan. Beberapa biji jenis pohon tertentu, dalam pertumbuhan dan Sumber: Gillespie, 2002. perkembangannya memerlukan banGambar 2.40 tuan tikus untuk membuka lapisan Taeromy celebensis. tanah yang menutupinya (Perez dkk., 1997). Biji pada spesies pohon yang lain, hanya bisa tumbuh setelah tikus menguburkannya dalam tanah (Leigh dkk., 1993). b) Kelelawar Kelelawar merupakan hewan yang sangat unik. Mereka adalah satusatunya Mammalia yang dapat terbang karena tangannya berkembang menjadi sayap. Kelelawar dari sub-ordo Microchiroptera melahirkan anaknya dengan kaki keluar terlebih dahulu. Hal ini berbeda dengan Mammalia lain yang melahirkan anaknya dengan mengeluarkan kepala terlebih dahulu. Ada 18 ordo di seluruh dunia, sekitar 192 famili, dan

52

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


977 spesies kelelawar (Nowak , 1999). Jumlah spesies kelelawar merupakan kedua terbesar sesudah bangsa binatang pengerat dalam kelas Mammalia. Di Indonesia terdapat lebih dari 200 spesies kelelawar, atau sekitar 20% spesies kelelawar yang telah ditemukan di dunia. Sedikitnya 20 jenis kelelawar telah teridentifikasi di Hutan Lambusango. Sebanyak 17 spesies termasuk pemakan serangga terbang (insectivorous bat), sisanya sebanyak 3 spesies termasuk kelelawar pemakan buah (frugivorous bat) (Amalia, pers.com). Beberapa spesies kelelawar pemakan serangga memiliki kemampuan merelokasikan gema (echolocation) untuk menangkap mangsa. Saat berada pada vegetasi rapat, kelelawar tidak menabrak benda di depannya. Pada saat berekokolasi, kelelawar mengeluarkan gema yang bisa mengenai sebuah benda sehingga gema tersebut memantul dan dapat diterima kembali oleh telinga Sumber: CD. Photo Image. kelelawar. Oleh karena itu, jarak benda Gambar 2.41 tersebut dapat diukur. Ekolokasi yang dilakukan oleh Secara ekologi, peranan kelelawar kelelawar. sangat banyak. Misalnya, kelelawar mempunyai peranan yang sangat penting dalam memencarkan biji pohonpohon yang menghasilkan buah seperti Jambu air, Jambu biji, Kenari, Keluwih, Sawo, Namnaman, Duwet, dan Cendana. Kelelawar dapat membantu memencarkan biji ke tempat-tempat yang jauh lebih luas dibandingkan dengan yang dapat dilakukan oleh binatang-binatang lainnya. Peranan ini sangat penting dalam pemulihan hutan di daerah-daerah yang telah terganggu akibat kegiatan penebangan hutan atau kebakaran hutan (Suyanto, 2001). Kelelawar yang memakan nektar, seperti kalong yang besar dan juga beberapa jenis yang berukuran kecil, berperan sebagai perantara proses penyerbukan bagi vegetasi di hutan, termasuk pohon-pohon dengan nilai komersial tinggi, seperti Durian, Randu, dan jenis-jenis lainnya di hutan mangrove. Keragaman hayati, khususnya tumbuhan, dapat meningkat dengan terbawanya serbuk sari dari pohon-pohon oleh kelelawar yang terbang dalam jarak cukup jauh.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

53


Kalong atau kelelawar pemakan buah-buahan memakan berbagai jenis buah-buahan, baik yang berasal dari pohon di hutan maupun pohon yang dibudidayakan. Saat akan memakan buah, kelelawar sangat pilihpilih mengenai keadaan buahnya. Buah dalam keadaan kurang masak dengan tingkat kematangan yang disukai manusia, sering kali tidak dimakan. Buah yang dimakan kelelawar cenderung merupakan buahbuah yang lunak, mengandung banyak cairan buah, agak berbau apek dan tengik. Selain itu, hanya buah yang terdapat pada posisi yang mudah diambil saja yang akan dimakannya. Dengan demikian, Sumber: Kingston, 2005. Gambar 2.42 pernyataan bahwa kelelawar pemaLenawai hardwick merupakan salah kan buah adalah hama kebun buahsatu jenis kelelawar terkecil di dunia buahan, sama sekali tidak beralasan yang dapat ditemukan di Hutan (Whitten, 2005). Lambusango. Sangat disayangkan, akhir-akhir ini banyak spesies kelelawar yang populasinya merosot, bahkan jenis-jenis tertentu yang terancam punah. Ancaman terbesar populasi pada Kelelawar adalah kehilangan habi tatnya. Di Hutan Lambusango terdapat kelompok kelelawar yang seharusnya bisa mencari makan di hutan dipaksa harus berpindah tempat. Tempat hidupnya di hutan yang sudah ditebang habis memaksa kelelawar untuk mencari tempat hidupnya di perkebunan penduduk. c) Mammalia Besar Selain Mammalia kecil dan kelelawar, di Hutan Lambusango pun terdapat berbagai jenis Mammalia besar. Berikut ini adalah beberapa Mammalia besar yang ada di Hutan Lambusango. (1) Anoa Anoa merupakan jenis Mammalia berkuku genap (Artiodactyla). Anoa merupakan hewan endemik berpostur besar Sulawesi. Selain terbesar, populasinya pun paling banyak ditemukan di Sulawesi Tenggara. Oleh karena itu satwa ini telah ditetapkan sebagai spesies kebanggaan (flagship species) oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Hal ini pula

54

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


yang menjadikan kawasan Hutan Lambusango menjadi kawasan konservasi. Sebab di hutan ini masih relatif banyak ditemukan Anoa. Hewan Mammalia ini merupakan hewan terkecil dari kelompok Bovini (sapi-sapian), dengan tinggi pundak sekitar satu meter, dan berat bisa mencapai 300 kg. Anoa memiliki tanduk panjang dan lurus-runcing. Tanduk ini bisa mencapai panjang 30 cm. Warna tubuhnya bisa cokelat atau pun hitam. Hewan ini pemakan daun-daun muda (browser), seperti daun bambu dan paku-pakuan. Terdapat dua jenis Anoa yaitu, Anoa dataran rendah (Bubalus depresicornis) dan Anoa dataran tinggi (Bubalus quarlesi). Walaupun demikian, Burton dkk. (2005) menyebutkan bahwa para ahli masih memperdebatkan jumlah spesies Anoa sebenarnya di alam. Ada kemungkinan, walaupun warna tubuh Anoa dataran rendah dan dataran tinggi agak berbeda, mereka masih disebut satu spesies karena dapat kawin satu dengan yang lainnya. Perilaku Anoa di alam belum banyak diketahui. Penduduk di Pulau Buton mengenal Anoa sebagai satwa agresif yang senang menyendiri dan hanya bertemu dengan pasangannya pada saat berbiak. Satwa ini kadang pula menyerang manusia jika merasa terganggu, terluka, atau sedang memelihara anak. Akan tetapi, pada dasarnya satwa ini lebih banyak menghindar seandainya bertemu manusia. Menurut Lee dkk. (2001), Anoa diduga menyukai genangan air dan lumpur, terutama kolam mata air mineral atau kolam yang memiliki kandungan garam alami yang menyembul di permukaan tanah (lick). Anoa telah ditetapkan oleh IUCN dalam Red Data Book sebagai spesies terancam punah (endangered). Dalam aturan perdagangan flora dan fauna internasional, Anoa termasuk dalam Appendix I CITES. Untuk dapat mengeluarkan Anoa atau sebagian anggota tubuhnya ke luar negeri guna kepentingan penelitian telah ada pengawasan yang sangat ketat. Wheleer (pers.com) menyatakan bahwa keberadaan Anoa di Hutan Lambusango diperkirakan tinggal 100–150 ekor. Sumber: Winarni, 2005. Gambar 2.43 Pendataan keberadaan populasi Anoa yang ditemukan di Anoa itu pun masih lebih banyak Hutan Lambusango.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

55


diketahui melalui jejak kaki (foot print) dan kotoran (faeces) bukan dari kontak langsung. Jumlah tersebut diperkirakan masih relatif banyak dibandingkan jumlah Anoa di kawasan konservasi lain di Sulawesi. Namun demikian, dalam monitoring yang telah dilakukan Wheeler dkk., pada tahun 2003–2005, diketahui bahwa populasi Anoa di kawasan Hutan Lambusango cenderung menurun. Gambar 2.44 Dari kiri ke kanan: jejak kaki sapi feral, Anoa, babi, dan Babi rusa. Sumber: Wheeler, 2004.

Penurunan populasi Anoa lebih banyak disebabkan oleh perburuan ilegal dan penyempitan habitatnya. Penduduk memburu Anoa untuk mendapatkan daging, kemudian dikonsumsi atau dijual. Tempat hidup Anoa menyempit karena penebangan liar dan konversi hutan jadi lahan perkebunan. Namun demikian, perkiraan ancaman yang dihadapi Anoa dari kegiatan konversi hutan menjadi areal pertanian dan kebakaran hutan masih sulit dilakukan karena masih sedikitnya data dan informasi mengenai kebutuhan habitat serta kebutuhan pakan Anoa (Burton dkk., 2005). Di beberapa lokasi sekitar Hutan Lambusango, keinginan penduduk untuk menangkap Anoa sudah menurun. Namun, masih banyak di antara penduduk yang tidak sengaja menangkapnya. Mereka mendapatkannya dari perangkap yang dipasang untuk sapi liar (feral cow) dan Babi, tetapi kadang mereka malah mendapatkan Anoa. (2) Andoke Di kawasan Sulawesi telah ditemukan 4 spesies monyet atau 7 subspesies monyet endemik dari genus Macaca. Semua jenis Macaca tersebut memiliki kemiripan dalam bentuk tubuh, warna rambut tubuh yang dominan hitam dan ekornya yang pendek, hampir tidak terlihat. Masing-masing jenis monyet yang ada di Sulawesi persebarannya tidak tumpang tindih (allopatry) (Whitten, 2002). Berdasarkan IUCN, Andoke (Macaca ochreata Sumber: www.opwall.com. brunescens) ini digolongkan jenis satwa dilindungi dan Gambar 2.45 Andoke dikategorikan ke dalam status rentan (vulnerable).

56

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


M.n.nigra

Dalam daftar CITES, andoke ini dimasukkan dalam Appendix II. Artinya, untuk masalah perdagangan internasional, hewan ini dapat diperdagangkan. Namun, dalam quota tertentu dengan pengawasan yang sangat ketat dan harus mendapatkan surat izin resmi. Hal ini karena Andoke merupakan jenis monyet endemik Buton dan Muna. Monyet Buton yang dalam bahasa Inggrisnya disebut Booted Macaque memiliki warna putih di bagian tangan dan kakinya, seperti memakai kaos kaki. Hewan ‘berkaos kaki’ ini memiliki ukuran tubuh sekitar 0,5– Sumber: Whitten dkk., 2002. 0,59 m, sedangkan berat badannya bisa Gambar 2.46 mencapai 12–17 kg. Hewan ini sangat meSebaran jenis monyet yang ada di Sulawesi. nyukai beberapa jenis makanan, seperti buah, bunga, jamur, daun, dan serangga. Pemangsa Andoke di Hutan Lambusango adalah ular Sanca kembang dan burung elang. Untuk menghindari dari pemangsa, Andoke hidup secara berkelompok sehingga sering ditemukan hidup bergerombol 10–40 ekor dalam satu grup. Primata ini memiliki sistem organisasi sosial multimalemultifemale. Artinya, dalam satu kelompok dapat hidup banyak jantan dan banyak betina. Namun demikian, dalam suatu kelompok Andoke, biasanya dipimpin oleh seekor pemimpin (leader). Pimpinan Andoke dalam suatu grup biasanya seekor jantan yang memiliki ukuran tubuh relatif besar dibanding anggota kelompok lainnya. Pemimpin grup ini sering memimpin anggota kelompoknya untuk bergerak mencari makan (foraging) atau memberi tanda bahaya dengan mengeluarkan suara (alarm calling) kepada anggota kelompoknya. Dalam pembagian ruang secara horizontal, dikenal daerah yang sangat dipertahankan oleh kelompok, disebut daerah teritori (teritory area). Daerah teritori ini akan dipertahankan secara keras, bisa sampai berkelahi seandainya ada kelompok Andoke lain berusaha untuk masuk. Populasi dan persebaran Andoke di Pulau Buton ini masih relatif cukup banyak. Namun, diduga telah terjadi penurunan populasi seiring dengan penyempitan habitatnya. Andoke masih mudah untuk dijumpai M.t.hecki

M.t.tonkeana

M.nigra nigrescens

M.o.ochreata

M.o.brunnescens

M.maura

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

57


di dalam hutan Lambusango. Di beberapa lokasi pinggiran hutan yang berbatasan dengan kebun penduduk, seperti Desa Kawele, kepadatan Andoke relatif lebih tinggi. Secara ekologis, Andoke memiliki fungsi menjaga keseimbangan ekosistem, terutama berfungsi sebagai penyebar biji-bijian di alam. Penyebaran biji dapat terjadi secara tidak sengaja. Biji-biji yang mengandung getah dapat menempel pada satwa berambut, seperti Andoke. Pada saat daya lekat biji tersebut terhadap rambut Andoke melemah, biji akan terlepas dan tersebarlah biji tersebut ke wilayah lain. I N F O Cara terbaik untuk mengusir Andoke dari kebun, yaitu dengan cara menanam beberapa tumbuhan cabe di pagar, menakutinya dengan lemparan batu sebelum Andoke merusak kebun (crop raiding), dan melakukan patroli bersama petani seandainya Andoke tersebut dalam grup besar. (Priston, 2005)

(3) Tangkasi Tangkasi (Tarsius sp.) merupakan salah satu jenis Primata terkecil di dunia. Hewan ini memiliki ciri khas kepala bulat yang dapat berputar hampir 180°. Ukuran mata dan kupingnya besar. Berat badannya pun hanya 100–150 gram. Tubuhnya yang mirip tikus ini berukuran 120– 150 mm, dan memiliki ekor yang panjangnya sekitar 220–240 mm. Rambut tangkasi berwarna cokelat tua hingga kelabu. Kakinya yang panjang dipergunakan untuk memanjat dan meloncat. Sumber: opwall, 2005. Satwa ini termasuk insectivorous karena Gambar 2.47 Tangkasi sangat menyukai serangga, seperti Tangkasi (Tarsius sp.). belalang, kumbang, kepik, semut, dan tonggeret. Dalam beberapa literatur, tangkasi juga bisa memakan laba-laba, katak, ular, kadal kecil, kelelawar, dan burung. Di Hutan Lambusango, tangkasi sering terlihat hidup dalam kelompok kecil, berjumlah 4-6 ekor setiap grupnya. Daya jelajah satwa ini sekitar 2 ha (Lillie pers.com). Tangkasi di Sulawesi lebih banyak tersebar dan menempati berbagai tipe habitat dibandingkan Macaca (Shekelle dkk., 1997). Mereka dapat hidup hingga areal perkebunan dan dekat pemukiman penduduk. Setiap pagi, sekitar pukul 05.30–06.30 di Hutan Lambusango, suatu keluarga tangkasi mengeluarkan suara teriakan (calling) yang rumit

58

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


sebelum menempati tempat tidurnya. Tangkasi merupakan hewan noc turnal. Pada umumnya, Tangkasi jantan memulai suara panggilan dengan seri cicit yang teratur, dan yang betina ikut serta dengan seri suara panggilan yang menurun, kemudian suaranya cepat melonjak ke puncak dengan nada sangat tinggi. Suara teriakan ini menyatakan kepada anggota kelompok lain di sekitarnya bahwa pasangan “suami-istri� dalam keadaan baik-baik dan akan menggunakan wilayah kekuasaanya. Di dalam pemilihan tempat tidurnya, tangkasi yang hidup di Hutan Lambusango cenderung menggunakan pohon besar, lubang-lubang pohon, liana, dan lubang-lubang batu sebagai tempat tidur. Persebaran Tangkasi di dunia ini hanya sampai di Kalimantan, Filipina, dan Sulawesi. Terdapat 8 jenis Tangkasi yang tersebar di dunia, lima jenis di antaranya hidup dan merupakan Tangkasi endemik Sulawesi. Schekelle (pers.com) menyebutkan bahwa Tangkasi yang ada di Pulau Buton ini memiliki perbedaan dengan Tangkasi di pulau lain, terutama dalam suara dan karakteristik ekornya. Analisis DNA perlu dilakukan untuk menentukan apakah Tangkasi yang ditemukan di Pulau Buton ini subspesies atau spesies baru. Populasi dan persebaran Tangkasi di Hutan Lambusango masih relatif tinggi. Di Hutan Lambusango Blok C.A. Kakenauwe, Tangkasi relatif mudah ditemukan. Satwa ini dikenal tidak mengganggu manusia dan bukan merupakan hama bagi petani sehingga penduduk tidak membunuhnya. (4) Musang Musang termasuk salah satu hewan karnivora yang suka memakan bijibijian. Selain memakan biji-bijian, musang merupakan pemangsa darat terbesar di Pulau Buton. Di dunia ini telah tercatat 71 spesies hewan karnivora, famili Viverridae. Tiga jenis Musang yang telah tercatat di kawasan Wallacea, satu di antaranya adalah Sulawesi palm civet, termasuk jenis endemik Sulawesi. Spesies Musang yang terdapat di Hutan Lambusango adalah Musang Tenggalung (Viverra tangalunga), sedangkan Sulawesi palm civet keberadaanya masih berupa dugaan karena spesies ini diketahui hidup di Suaka Alam Buton Utara. Tubuh Musang Tenggalung seperti kucing, tetapi kepalanya mirip anjing. Warna tubuhnya belang, putih-hitam, memiliki berat 3,5–4,8 kg

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

59


dan panjang tubuh 60 cm. Musang Tenggalung merupakan jenis introduksi (masuk dari kawasan lain), berasal dari luar Pulau Buton. Kemudian, berkembang sangat baik di hutan Pulau Buton. Musang Tenggalung tersebar cukup baik pula hingga Malaysia, Sumatra, Kalimantan, dan Maluku (Seymour, pers.com). Populasi Musang Tenggalung bisa berkembang cukup baik di Hutan Lambusango karena satwa ini termasuk pemakan banyak pilihan makanan, terutama daging. Ayam hutan, burung, tikus, katak, telur, dan serangga merupakan jenis makanan yang sangat disukai oleh Musang Tenggalung. Berdasarkan hasil penelitian Seymour dkk. (20032005), Musang Tenggalung memiliki Sumber: Opwall, 2005. daerah jelajah per hari sekitar 30-180 Gambar 2.48 ha. Hewan ini lebih aktif pada malam Musang Tenggalung. hari dan kadang-kadang terlihat bergerak di jalan-jalan dekat pemukiman penduduk. Musang Tenggalung sangat mahir memanjat dengan menggunakan kakinya yang lentur berselaput serta bercakar semi-retractile (bisa ditarik sendiri). Musang sering hidup menyendiri. Seandainya Anda sudah tinggal di Hutan Lambusango selama berhari-hari, binatang ini menjadi lebih mudah mendekat. Mereka jadi tidak takut manusia, sering bermain di sekitar camp untuk mendekati tempat sampah di malam hari atau mengambil makanan seperti ikan asin yang ada di dapur. Secara ekologis Musang membantu penyebaran biji-bijian, misalnya pemencaran biji aren (Arenga pinata). Oleh karena biji aren tidak dicerna, biji aren tersebut akan dibuang bersamaan dengan feses. Biji aren yang telah dicerna melalui pencernaan Musang ini memiliki daya kecambah yang tinggi. Hal ini karena daging buah yang menyelubungi biji telah terkupas dengan sempurna. (5) Babi Liar Di Hutan Lambusango ditemukan dua jenis babi liar, yaitu Babi alang-alang (Sus scrofa) dan Babi berkutil Sulawesi (Sus celebensis). Ciri Sus scrofa saat masih kecil adalah warna tubuhnya yang belang dan cokelat muda. Sementara

60

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


itu, ciri khas Sus celebensis adalah pada saat dewasa memiliki tonjolan di dekat hidungnya. Kedua satwa ini saat dewasanya memiliki bobot tubuh sekitar 40–70 kg. Hanya Sus celebensis termasuk satwa endemik Sulawesi. Babi liar biasanya hidup dalam satu kelompok. Setiap induk dapat memiliki anak 2–6 ekor. Populasi Sus celebensis lebih sedikit dibandingkan dengan sus scropa. Keduanya termasuk satwa yang bisa menempati berbagai tipe habitat, di antaranya di daerah padang alang-alang, bakau, kebun penduduk, dan hutan. Persebarannya di Hutan Lambusango sangat mudah diketahui melalui pengamatan langsung, atau melalui Sumber: plala.or.jp. Gambar 2.49 jejak kaki dan kotoran. Babi berkutil Sulawesi. Kedua jenis babi liar tersebut bisa mengonsumsi banyak pilihan makanan, seperti cacing, buah yang jatuh, umbi-umbian, akar beberapa jenis tumbuhan, akar alang-alang, Mammalia kecil, dan bangkai binatang. Babi liar dianggap sebagai hama bagi tanaman penduduk. Oleh karena itu, beberapa penduduk lokal sekitar Hutan Lambusango masih memasang perangkap tradisional untuk menangkap babi. Setelah babi terkena perangkap, penduduk biasanya membunuhnya. Selain hidup liar, kedua jenis babi liar tersebut telah berhasil didomestikasi (dijinakkan) oleh penduduk (Macdonald , 1993). Macdonald (1993) menyebutkan bahwa ancaman lain pada Sus celebensis, yaitu adanya kontaminasi genetik, karena perkawinannya dengan Sus scropa. Saat populasi Sus celebensis semakin sedikit, untuk mempertahankan jumlahnya, binatang ini bisa dikawinkan dengan Sus Sumber: geocities.com. scropa. Variasi genetik alam Sus Gambar 2.50 celebensis di alam dikhawatirkan Belang pada tubuh anak Sus akan menurun. scrofa dapat menipu pemangsa.

Karakteristik dan Keragaman Hayati Hutan Lambusango

61


Babi mempunyai fungsi secara ekologis, tertutama dalam menggemburkan tanah saat mencari makan, dan menyebarkan biji-bijian. Beberapa jenis tumbuhan hanya akan tumbuh dan menyebar dengan baik setelah dibantu oleh babi. Babi liar bersama keluarganya sering ditemukan istirahat, mencari makan, dan membuang kotoran pada banir pohon. Kotoran babi tersebut bisa berfungsi sebagai pupuk alami, nutrisi tambahan bagi pohon. (6) Kuskus Kuskus termasuk binatang Marsupialia (Mammalia yang memiliki kantung di perutnya). Induk betinanya bisa membawa bayi dalam kantung tersebut. Satwa ini masuk satu ordo dengan Wallabi yang terdapat di Papua dan Kangguru yang terdapat di Australia. Terdapat dua jenis kuskus di Hutan Lambusango, yaitu Kuskus beruang (Ailurops ursinus) dan Kuskus kerdil (Stegocuscus celebensis). Disebut Kuskus beruang karena wajahnya yang mirip beruang. Kuskus beruang memiliki panjang badan dan kepala sekitar 56 cm. Ekornya yang panjang (54 cm) bisa memegang saat memanjat pohon (prehensil). Adapun Kuskus kerdil mempunyai ukuran badan lebih kecil dari Kuskus beruang. Kedua jenis satwa tersebut masuk dalam Mammalia endemik Sulawesi. Sumber: www.opwall.com. Gambar 2.51 Kuskus bergerak sangat lambat (slow moving). Kuskus beruang. Mereka sering terlihat jelas saat berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya. Kedua satwa sangat menyukai daun-daunan dan buah dari pohon ara. Kuskus beruang sangat selektif dalam memilih tumbuhan yang dimakan. Mereka memilih berdasarkan umur daun dan bagian daun yang akan dimakannya (pangkal, ujung, atau seluruh bagian). Sementara itu, Kuskus kerdil lebih menyukai buah sebagai makanan utamanya (frugivorous). Kuskus tidak mengganggu manusia dan bukan merupakan hama bagi petani. Walaupun belum ada monitoring khusus, populasi Kuskus di Hutan Lambusango masih relatif baik. Penduduk di sekitar Hutan Lambusango tidak memburu dan memakan hewan ini. Ancaman utama Sumber: www.opwall.com. keberadaan kuskus adalah hilangnya pohon-pohon dan Gambar 2.52 vegetasi lapisan bawah hutan untuk tempat berlindung, Kuskus kerdil. berbiak, bergerak, dan makan.

62

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.