Bab 3_Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

Page 1

3 Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango Pada bab ini Anda akan kami ajak untuk mengenal konservasi dan permasalahan di Hutan Lambusango. Berikut ini adalah informasi yang akan Anda peroleh, yaitu: ? pengertian konservasi; ? manfaat konservasi; ? cara mengevaluasi hubungan hulu–hilir dalam pelestarian Hutan Lambusango; ? permasalahan konservasi di Hutan Lambusango; ? alasan mengapa Hutan Lambusango perlu dilestarikan.

63


A.

Apa Itu Konservasi Biologi?

Konservasi berasal dari bahasa Latin conservatio yang berarti menjaga atau mengawetkan. Konservasi secara menyeluruh meliputi aspek biotik dan abiotik suatu kawasan. Dalam tingkatannya, konservasi terbagi atas tiga tingkatan, yaitu konservasi genetik, komunitas (hingga ekosistem), dan lanskap. Konservasi biologi secara lengkap memiliki pengertian sebagai disiplin ilmu yang mempelajari segala aspek biodiversitas dengan tujuan menjaga atau mengawetkan sumber daya alam untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Dengan kata lain, disiplin ilmu ini bertujuan mengelola biodiversitas agar tetap berkelanjutan untuk kepentingan manusia. Untuk mencapai tujuan ini konservatoris biologi memerlukan masukan dari berbagai cabang disiplin ilmu lain di luar Biologi. Disiplin ilmu lainnya, seperti Antropologi dan Sosiologi dimanfaatkan untuk mengetahui karakteristik masyarakat sekitar hutan. Hasil kajian dari disiplin ilmu ini hanya merupakan data dasar yang selanjutnya harus ditindaklanjuti oleh aksi konservasi berdasarkan disiplin ilmu terapan. Ilmu murni dan ilmu terapan, keduanya saling mengisi untuk menghasilkan suatu aksi konservasi biologi di masyarakat. Kehutanan, Pertanian, dan Perikanan merupakan contoh ilmu terapan yang dipakai dalam manajemen hutan dan masyarakat sekitar hutan. Ilmu manajemen sumber daya ini bisa pula menjadi sumber gagasan dan pendekatan untuk pengembangan penelitian ilmu murni. Berikut ini adalah skema bagaimana keputusan yang diperoleh konservatoris biologi diperoleh. Pengalaman di Lapangan dan Penelitian Ilmu Murni Antropologi Biogeografi Ekologi Studi lingkungan Evolusi Genetika Biologi molekuler Biologi populasi Sosiologi Taksonomi

Manajemen Sumber Daya (Ilmu Terapan) Pertanian Perikanan Kehutanan Tataguna Lahan Kebun Binatang (konservasi ex situ) Kawasan konservasi alam (in situ) Sumber: Primack dkk., 1998.

Gagasan Baru dan Pendekatan

64

Gambar 3.1 Skema pengambilan keputusan konservatoris

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Seperti halnya seorang dokter, konservatoris biologi harus waspada terhadap temuan terakhir dan kajian berbagai disiplin ilmu. Baik itu berupa teori maupun aplikasinya. Melalui pengetahuannya dan berbagai disiplin ilmu ini, sumber masalah akan didiagnosis dan menetapkan tindakan yang tepat. Kewaspadaan ini tentunya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan biodiversitas. Biodiversitas ini tidak saja diartikan sebagai keragaman pada tingkat spesies saja, tetapi penting juga pada level genetik, komunitas (ekosistem), dan level landskap. Namun, di dalam pelaksanaannya, program konservasi ini tidak hanya melindungi aspek keragaman hayati penghuni hutan, tetapi harus mengaitkan dengan faktor manusia juga yang tinggal di sekitar kawasan konservasi. Itulah mengapa kegiatan Antropologi, Sosiologi, dan ilmu pendukung lainnya sangat diperlukan bagi konservasi biologi.

Sumber: PKHL, 2005.

Gambar 3.2 Sosialisasi Program Konservasi.

Sumber: Singer, 2005.

B.

Gambar 3.3 Penelitian Mammalia kecil yang dilakukan oleh ilmuwan (scientist) dan relawan Opwall.

Apakah Manfaat Mengkonservasi Hutan?

Hutan sebagai sumber plasma nuftah tentunya memiliki peranan penting dalam penyedia sumber daya alam hayati bagi manusia. Selain itu, hutan juga merupakan penyedia air dan udara bersih. Bagaimanakah hutan memberikan manfaatnya bagi manusia?

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

65


1. Hutan Sebagai Sumber Plasma Nuftah Plasma nutfah (grem plasma) adalah substansi pembawa sifat keturunan, dapat berupa organ utuh atau bagian dari tumbuhan atau hewan serta jasad renik. Plasma nutfah merupakan kekayaan alam yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional. Pemanfaatan plasma nutfah tidak terbatas hanya pada kalangan peneliti. Secara tidak sadar, masyarakat pedesaan dan perkotaan telah memperoleh manfaat dari hutan untuk kebutuhan pangannya. Semua hewan dan tanaman yang sekarang dimanfaatkan oleh manusia sebenarnya bersumber dari hutan. Banyak bibit tanaman bersumber dari tumbuhan liar hutan kemudian dikembangkan untuk menjadi kultivar-kultivar baru melalui pemuliaan tanaman. Beberapa jenis satwa liar telah berhasil didomestikasi menjadi hewan ternak yang bisa dikonsumsi oleh manusia. Contohnya Banteng (Bos javanicus). Semula satwa ini merupakan satwa liar, kemudian melalui proses domestikasi beratus-ratus tahun bisa dijinakan menjadi Sapi Bali. Sapi-sapi berwarna cokelat ini umum dikenal oleh masyarakat di Indonesia termasuk di Pulau Buton. Hutan diyakini pula menyimpan sumber Sumber: Hadian, 2005. Gambar 3.4 kekayaan tumbuhan obat yang belum Sapi Bali yang telah berhasil terungkap seluruhnya. Banyak bahan obat didomestifikasikan. modern dan tradisional bersumber dari hutan, tetapi masih lebih banyak lagi manfaat tumbuhan di hutan yang belum diketahui. Sangat disayangkan seandainya hutan itu hancur dan memusnahkan beberapa organismenya, sementara fungsi dan manfaat sumber plasma nutfah tersebut belum kita ketahui.

2. Hutan Sebagai Penyedia dan Pengatur Tata Air

Kondisi hutan selalu dikaitkan dengan bencana alam, banjir, tanah longsor dan kekeringan. Walaupun demikian, kontroversi tentang fungsi hutan masih juga sering terjadi. Sebagian orang menegaskan bahwa hutan berfungsi sebagai penghasil dan pengatur tata air. Sementara itu, sebagian lagi menyebutkan

66

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


bahwa hutan justru sebagai penguras air. Hal ini berkaitan dengan laju penguapannya yang tinggi. Sebagian orang lagi mempercayai bahwa hutan sebetulnya hanya berfungsi sebagai pengatur tata air (regulate water) dan bukan penghasil air (produce water). Perlu ditegaskan bahwa fungsi hutan pada dasarnya tidak dapat digeneralisasi. Fungsi hutan dapat sebagai pengatur tata air saja, atau dapat pula sekaligus berfungsi sebagai pengatur dan penghasil air. Fungsi hutan ini berkaitan dengan dengan karakteristik (tipe) hutan, keberadaan hutan, dan kondisi tanah serta geologis hutan tersebut berada. Berkaitan dengan fungsi pengaturan air, hutan dapat dibagi dua, yaitu sebagai berikut. (1) Hutan non-cloud forests, yaitu hutan yang memiliki laju penguapan yang relatif tinggi jika dibandingkan penutupan bukan hutan. Hutan yang demikan ini tidak mampu berfungsi sebagai penangkap kabut (cloud-stripping), namun hanya berfungsi sebagai pengatur tata air saja. (2) Hutan cloud-forests, yaitu hutan yang memiliki laju penguapan yang relatif rendah jika dibandingkan dengan penutupan bukan hutan dan hutan pada umumnya. Hutan demikian ini berperan sebagai penangkap kabut sekaligus berfungsi sebagai penghasil dan pengatur tata air. Secara lebih jelas penjelasan tersebut dapat Anda baca pada uraian berikut. a. Hutan yang Hanya Berfungsi Sebagai Pengatur Tata Air Hutan dapat dipandang dari tiga perspektif yang berbeda, yaitu tegakan pohon (trees), tanah hutan (forest soil) dan bentang lahan (forest landscape). Karakteristik dari ketiga kondisi ini mempengaruhi intensitas fungsi hutan sebagai pengatur tata air. 1) Hutan Sebagai Pengatur Tata Air Ditinjau dari Perspektif Tegakan Pohon Pohon sebagai bagian dari komponen hutan, memiliki laju transpirasi yang tinggi dibandingkan jenis vegetasi penyusun hutan lainnya. Selain itu, tajuk pohon lebih banyak menahan dan menguapkan kembali air hujan ke udara (intersepsi) dibandingkan rumput dan tanaman semusim. Dengan demikian, dari sisi pohon, hutan memang memiliki laju penguapan/ konsumsi air (evapotranspirasi/ET) yang lebih tinggi daripada penutupan lahan bukan hutan. Rata-rata konsumsi air tahunan hutan tropika basah dataran rendah yang berada sekitar 100 meter dari permukaan laut adalah

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

67


sebesar 1.415 mm. Adapun hutan pegunungan yang terletak pada ketinggian sekitar 1.750 m dari permukaan laut adalah sebesar 1.225 mm. Rata-rata ET tanaman pertanian per tahun antara 1.100–1.200 mm sehingga konversi hutan tropika basah menjadi tanaman pertanian di dataran rendah dapat mengurangi laju ET sekitar 200– 300 mm per tahun. Ada lima hal yang menyebabkan laju konsumsi air (ET) lahan berhutan lebih tinggi dibandingkan dengan lahan bukan hutan. (1) Hutan menyerap lebih banyak radiasi gelombang pendek (memiliki albedo yang rendah) dibandingkan dengan lahan bukan hutan sehingga tersedia energi yang lebih tinggi untuk 2 proses evapotranspirasi. (2) Hutan memiliki kekasaran permukaan daun yang lebih tinggi. Dengan demikian, hutan memiliki daya tahan yang rendah untuk mempertahankan butir-butir air yang menempel di tajuk hutan. (3) Hutan lebih banyak dipengaruhi oleh adveksi (aliran energi dari sekitar tajuk hutan yang berpengaruh terhadap peningkatan ketersediaan energi untuk proses intersepsi). (4) Hutan memiliki perakaran yang lebih dalam sehingga mampu menjangkau butir-butir air di dalam tanah untuk proses evapotranspirasi. Sebaliknya, tanaman di lahan bukan hutan cenderung memiliki akar yang pendek. Tanaman berakar pendek ini tidak dapat menyerap air tanah yang dalam. (5) Besarnya luas permukaan daun berpengaruh terhadap luasnya bidang penguapan. Jadi, jika ditinjau dari tegakannya, hutan non-cloud forests memang memiliki konsumsi air yang lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan bukan hutan. Sifat ini sering mendasari argumentasi berbagai pihak yang berpendapat bahwa hutan bukan penghasil air dan penutupan ini bahkan justru boros air sehingga mereka menyimpulkan bahwa fungsi hutan sebagai penghasil air sebetulnya adalah lebih sebagai mitos daripada kenyataan. 2) Hutan Sebagai Pengatur Tata Air Ditinjau dari Perspektif Tanah Hutan Di lain pihak pohon memberikan kemungkinan terbaik bagi perbaikan sifat tanah. Hal ini berkaitan dengan dihasilkannya serasah yang cukup tinggi oleh pohon. Akibatnya, kandungan bahan organik lantai hutan meningkatkan. Selain itu, kapasitas infiltrasi lantai hutan pun menjadi lebih tinggi dibandingkan penutupan lahan bukan hutan. Tebalnya lapisan serasah juga meningkatkan aktivitas biologi tanah. Pergantian

68

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


perakaran pohon (tree root turnover) yang amat dinamis dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan ditemukannya banyak pori-pori berukuran besar (macroporosity) pada tanah hutan. Akibatnya, tanah hutan memiliki laju perkolasi yang jauh lebih tinggi. Kelebihan hutan dibandingkan dengan penutupan bukan hutan dalam menahan laju erosi adalah terletak pada penutupan ganda hutan. Penutupan ganda hutan ini adalah kemampuan hutan untuk menghasilkan serasah dan menumbuhkan tumbuhan bawah yang biasanya cukup lebat di bawah naungan hutan dengan tajuk yang agak terbuka. Sebaliknya, penutupan pohon yang tanpa diimbangi oleh terbentuknya serasah dan tumbuhan bawah akan meningkatkan laju erosi permukaan. Hal ini berkaitan dengan energi kinetik tetesan hujan dari pohon setinggi lebih dari 7 meter justru lebih besar dibandingkan tetesan hujan yang jatuh bebas di luar hutan. Dalam kondisi ini, tetesan air tajuk (crown-drip) memperoleh kembali energi kinetiknya sebesar 90% dari energi kinetik semula. Di samping itu, butir-butir air yang tertahan di daun akan saling terkumpul membentuk butiran air (leafdrip) yang lebih besar sebinga secara total justru meningkatkan erosivitas hujan. Berbagai penelitian dengan menggunakan splash-cup menunjukkan bahwa butir-butir air yang jatuh di bawah tegakan hutan (yang tidak tertutup serasah dan tumbuhan bawah) menghasilkan dampak erosi percikan (splash erosion) yang lebih besar dibandingkan butir air hujan yang jatuh bebas di luar hutan. Kesimpulannya, walau hutan non-cloud forests memiliki laju penguapan yang tinggi, namun memberikan jaminan peresapan yang lebih tinggi dibandingkan penutupan bukan hutan. Dengan demikian, jumlah efektif air yang meresap ke dalam tanah bisa jadi lebih tinggi dibandingkan penutupan lahan bukan hutan. Karakteristik ini agak jarang diekspose bagi berbagai pihak yang berpendapat bahwa hutan adalah boros air. 3) Hutan Sebagai Pengatur Tata Air Ditinjau dari Perspekstif Landskap Dari sisi bentang lahan (landscape forest), hutan memberikan tawaran penggunaan lahan yang paling aman secara ekologis. Berikut ini adalah beberapa alasannya. (1) Di dalam hutan, sangat sedikit sekali ditemukan jalan-jalan setapak, tidak ada saluran irigasi, apalagi jalan berukuran

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

69


besar yang diperkeras. Semua hal tersebut dapat membentuk saluran drainase pada saat hujan. (2) Biomasa hutan yang tidak beraturan juga dapat berperan sebagai filter pergerakan air dan sedimen. (3) Hutan tidak memerlukan pengolahan tanah secara intensif yang membuat tanah lebih peka terhadap erosi. (4) Hutan dalam kondisi yang tidak terganggu lebih tahan terhadap kekeringan sehingga tidak mudah terbakar. Hutan sering disebut memiliki efek spons (sponge efect). Efek spons ini berkaitan dengan karakteristik tanah dan landskap hutan. Efek spons ini adalah kemampuan meredam tingginya debit sungai pada saat musim hujan dan memelihara kestabilan aliran air pada musim kemarau. Namun, tidak semua hutan dapat memiliki efek spons ini. Hanya hutan yang memiliki tanah cukup dalamlah (> 3 m) yang dapat memberikan efek spons. Kondisi hutan seperti ini akan berpengaruh secara efektif terhadap seluruh aspek hidrologi. Kegiatan restorasi hutan (reboisasi) pada lahan semacam ini memberikan dampak yang sangat jelas. Dampak tersebut berpengaruh dalam penurunan aliran langsung (Qf), debit puncak banjir (Qp), laju erosi dan sedimentasi, serta pengendalian kekeringan. Sebaliknya, deforestasi akan berdampak kemerosotan seluruh aspek tata air secara drastis. Sementara itu, hutan yang tumbuh pada suatu lahan dengan lapisan tanah yang tipis di atas batuan yang kedap air, akan menimbulkan aliran permukaan (saturation overlandflow) lantai hutan yang tinggi. Hal tersebut pun masih tetap berlaku meskipun penutupan hutannya bagus. Hal ini berkaitan pada kapasitas tanah untuk menyimpan air yang sangat terbatas. Dengan demikian, penutupan hutan seperti apa pun tidak berpengaruh terhadap pengendalian debit puncak banjir. Singkatnya, dalam kondisi semacam ini, ada atau tidak ada hutan, laju aliran permukaan dan debit puncak banjir tetap tinggi. Oleh karena itu, restorasi hutan tidak berpengaruh terhadap penurunan risiko banjir dan kekeringan. Kesimpulannya, tingginya konsumsi air dari lahan berhutan (tegakan hutan) dikompensasi dengan baik oleh perbaikan sifat tanah dan keamanan ekologis ekosistemnya. Jadi, secara keseluruhan hutan memiliki fungsi hidrologi yang lebih baik dibandingkan penutupan lainnya. Fungsi hutan sebagai pengatur tata air ini sangat ditentukan oleh kondisi tanah dan batuan (geologi) sebagai pembentuk lahan hutan.

70

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


b.

Hutan Berperan Sebagai Pengatur dan Penghasil Air (Cloud-Forests) Berbeda dengan hutan non-cloud forests yang memiliki laju evapotranspirasi tinggi, cloud forests memiliki laju evapotranspirasi yang relatif rendah. Laju evapotranspirasinya sekitar 308 mm hingga 392 mm per tahun (Brujnzeel, 1990). Dengan demikian, konversi cloud-forests menjadi penutupan bukan hutan akan meningkatkan ET. Cloud forest (Tropical Montane Cloud Forests) atau hutan berawan, sering pula disebut sebagai “hutan berlumut� (mossy forests). Hal ini berkaitan dengan posisi ketinggiannya dari permukaan laut. Hutan berlumut sering diselimuti oleh awan dan kabut secara menerus. Hal ini menyebabkan hutan memiliki biomas tinggi (daun, ranting, lumut, paku-pakuan, epifit, pohon).

Sumber: L.A. Bruijnzeel dan L.S. Hamilton, 2000.

Gambar 3.5 Hutan berlumut diindikasikan dengan banyaknya lumut yang tumbuh akibat tingginya massa udara yan g mengandung uap air.

Hutan berlumut ini berperan pula sebagai “penangkap� kabut (cloud stripping). Oleh karena itu, disebut pula dengan hutan berawan. Disebut

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

71


demikian ini karena hutan ini berperan sebagai inti kondensasi (codensation nucleus) yang mampu mencairkan awan dan kabut. Hasil pencairan ini akan diteteskan sebagai butir-butir air di lantai hutan. Proses ini dalam hidrologi dikenal dengan istilah intersepsi horizontal (horizontal interception). Berkaitan dengan itu, hutan ini memiliki peranan sangat besar bagi proses pengisian air daerah resapan di wilayah hulu. Besarnya pasokan air yang sampai dan diserap oleh lantai hutan (netprecipitation) hutan berawan ini diketahui jauh lebih besar dari curah hujan yang diterima di wilayah tersebut, yaitu lebih tinggi 20 persen pada musim hujan, dan bahkan lebih dari 100 persen pada musim kemarau. Oleh karena itu, hutan ini dapat diibaratkan sebagai "menara air" yang sanggup mensuplai air disaat kemarau panjang sekalipun, dalam kondisi ini hutan berperan sebagai pengatur tata air dan sekaligus penghasil atau penyimpan air. Tingginya peran pengaturan air dan besarnya kandungan spesies endemik, masih rendahnya pengetahuan tentang ekosistem ini dan tingginya ancaman dari hutan ini, membuat IUCN pada tahun 1995 bersepakat untuk mengampanyekan pelestarian hutan berawan yang bertajuk Decision Time for Tropical Montane Cloud Forests (Saatnya Bertindak Untuk Melestarikan Hutan Pegunungan Berawan). Hutan yang kini telah cukup langka ini masih dapat ditemukan di Hutan Lambusango. Wilayah hutan ini bernama Padang Kuku. Pohon-pohon di wilayah ini berukuran pendek dan berdaun tebal, hal ini berkaitan dengan sering terjadinya penutupan kabut. Lebih Jauh Mengenal Dampak Penggundulan Hutan Terhadap Hutan Sebagai penyedia dan Pengatur Air Hal buruk akan terjadi jika hutan ditebang habis, yakni akan terjadi erosi, baik pada lahan hutan dan dinding serta dasar sungai. Semuanya ini akan menyebabkan pendangkalan pada sungai. Pesisir pantai (estuari) akan terkena dampak pula karena lumpur yang berasal dari hutan terus terangkut sehingga air menjadi keruh dan terjadi pendangkalan. Berikut ini adalah ilustrasi perbandingan kondisi air tanah dan air permukaan tanah pada saat musim kemarau dan hujan di hutan terpelihara dan hutan yang gundul. Perhatikan kondisi aliran muka tanah (water table) dan volume air serta sedimentasi yang terbentuk di sungai.

72

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Gambar 3.6 Hutan terpelihara pada saat musim hujan.

Aliran muka air tanah

Gambar 3.7 Hutan terpelihara pada saat musim kemarau.

Aliran muka air tanah

Gambar 3.9 Hutan gundul pada saat musim kemarau.

Aliran muka air tanah

Sedimentasi

Aliran muka air tanah

Gambar 3.8 Hutan gundul pada saat musim hujan.

Sedimentasi

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

73


3. Hutan Sebagai Penyedia Udara Bersih

Berapa lama Anda dapat bertahan tanpa bernapas? Tidak lebih dari 2 menit bukan? Manusia tidak dapat hidup tanpa udara. Udara dibutuhkan untuk bernapas. Saat bernapas, manusia menghirup oksigen (O2) dan melepaskan karbon dioksida (CO2). Udara pernapasan ini dapat diperoleh di sekitar Anda. Namun, seiring dengan bertambahnya penduduk, penggunaan kendaraan, dan bahan bakar yang semakin meningkat, meningkatkan pula potensi pencemaran udara. Gas karbon dioksida (CO2) yang dikeluarkan manusia juga merupakan zat asam arang yang mencemari udara. Dapat dibayangkan, jika udara yang kita hirup telah tercemar cukup berat. Perasaan tidak nyaman untuk bernapas sering kita rasakan saat di dalam bus yang penuh sesak manusia. Hutan dapat menekan tingkat pencemaran udara. Polusi udara yang tidak menguntungkan makhluk hidup akan dinetralkan oleh pohonpohon yang hidup di hutan. Tumbuhan dalam proses hidupnya sangat memerlukan unsur-unsur yang tidak dibutuhkan bahkan beracun bagi manusia. Dalam proses fotosintesis, jutaan tumbuhan di hutan membutuhkan karbon dioksida untuk kemudian diolah dalam daun bersama air, dan unsur lain dengan bantuan sinar matahari. Pohon-pohon di hutan tersebut kemudian menghasilkan karbohidrat dan energi, sisa pembakarannya diC02 keluarkan berupa oksigen. Semakin C02 02 banyak karbon dioksida yang diserap oleh tumbuhan, oksigen yang dike02 luarkan akan berlimpah pula. 02 Udara bersih inilah yang sehat C02 untuk dihirup manusia. Gambar 3.10 Hutan Lambusango sebagai paru-paru Pulau Buton.

Perasaan sejuk dapat dirasakan saat berada di hutan, karena kita dapat bernapas lega saat menghirup udara bersih yang sehat dan ber-

74

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


limpah. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika keberadaan Hutan Lambusango dikatakan sebagai paru-paru Pulau Buton.

4. Hutan Membantu Pengendalian Penyakit Perubahan ekosisitem hutan dapat secara langsung meningkatkan patogen penyebab penyakit pada manusia, seperti kolera, dan meningkatkan populasi organisme pembawa penyakit, seperti nyamuk malaria dan tikus. Pada ekosistem yang rusak, pertukaran penyakit antara binatang, khususnya jenis Primata dan manusia sangat dimungkinkan. Salah satu contoh kasus di Kalimantan, penularan penyakit dari manusia ke Primata dan sebaliknya sering terjadi ( Putro, 2004). Selain itu, penduduk di sekitar hutan yang rusak lebih rentan terkena penyakit malaria. Lubang-lubang di bebatuan akan lebih terbuka, dan kawasan air tergenang bisa lebih banyak. Kondisi ini sangat potensial bagi nyamuk malaria untuk dapat berkembang biak. Terlebih lagi keberadaan ikan di sungai sangat dipengaruhi oleh kondisi hutannya. Pada hutan yang rusak, populasi ikannya akan berkurang, beberapa organisme sungai penyebab penyakit pada manusia dapat berkembang dengan baik karena populasi ikan sebagai pemakan organisme yang tidak menguntungkan manusia berkurang pula.

Sumber: Microsoft Encarta, 2005.

Gambar 3.11 Nyamuk Anopheles sp. penyebab penyakit malaria.

Penduduk sering memanfaatkan air secara langsung dari sungai untuk mandi dan minum. Risiko terkena penyakit kulit akan dirasakan penduduk karena kualitas sungainya sudah menurun. Beberapa penduduk yang terbiasa langsung meminum air dari sungai bisa terkena diare karena organisme penyebab timbulnya penyakit ini dapat berkembang lebih banyak di sungai tersebut.

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

75


5. Hutan Membantu Pengendalian Hama Banyak serangga hama dan penyakit pada tanaman budidaya dan ternak yang jenis dan kelimpahannya dikendalikan oleh kualitas ekosistem hutan di sekitarnya. Perubahan ekosistem hutan dapat meningkatkan hama dan penyakit tanaman budidaya dan ternak. Kerusakan ekosistem hutan dapat menyebabkan ledakan populasi serangga atau Mammalia yang mungkin menyerang tanaman budidaya yang ada di sekitar hutan. Contoh hewanhewan tersebut antara lain Belalang, Kumbang, Andoke, dan Babi Hutan. Kerusakan hutan akan mengusir banyak satwa termasuk Kelelawar Pemakan Serangga. Padahal, Kelelawar ini merupakan salah satu hewan yang berfungsi sebagai pengendali hama pertanian secara alami. Dalam satu malam, satu individu Kelelawar bisa memakan ratusan serangga yang melebihi berat tubuhnya. Terlebih lagi jika dalam satu koloni kelelawar. Mereka bisa menghabiskan serangga lebih dari satu ton. Bayangkan jika Kelelawar ini tidak ada di Pulau Buton, beberapa jenis serangga yang menjadi hama pertanian akan tumbuh lebih banyak dan menimbulkan banyak masalah bagi para petani. Penggunaan insektisida, selain memerlukan biaya tambahan, juga menimbulkan efek lain dengan turut matinya beberapa serangga yang menguntungkan pertanian. Sumber pangan penduduk dapat terkontaminasi oleh bahan kimia yang berbahaya bagi manusia.

6. Hutan Memiliki Nilai Estetika, Budaya, dan Spiritual Secara naluri, manusia akan merasa nyaman saat melihat keindahan pemandangan alam, seperti langit yang penuh bintang pada malam hari, pantai yang bersih, serta gunung yang hijau. Demikianlah manusia dibentuk oleh Sang Pencipta, mereka tidak dapat melepaskan mata batinnya dari unsur-unsur alamiah. Batin manusia akan merasa tenteram pula seandainya mendengar kicauan burung saling bersahutan di tepi hutan, gerakan dedaunan ditiup angin di antara pohon-pohon hijau rindang serta gemericik air yang mengalir di antara bebatuan sungai. Saat ini banyak orang kota yang stres dengan rutinitas kesehariannya, sebagai salah satu bentuk pengobatannya adalah mendekatkan diri dengan alam agar jiwanya lebih tenang. Beberapa jenis satwa dan tumbuhan di dalam hutan bisa menjadi sumber inspirasi bagi para seniman untuk menuangkan ekspresinya. Para

76

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


pelajar bisa mempelajari banyak aspek pengetahuan dalam hutan. Satwa seperti kancil dan buaya, bisa dijadikan sebagai sumber figur cerita anakanak (fable) di Indonesia. Setiap provinsi di Indonesia juga memiliki satwa kebanggaan yang bisa melambangkan identitas daerah masingmasing, termasuk Anoa yang menjadi identitas Sulawesi Tenggara.

Gambar 3.12 Logo Provinsi Sulawesi Tenggara. Sumber: www.menlh.go.id

Setiap agama mengajarkan agar kita bisa menyelaraskan hidup dengan lingkungan. Manusia tidak diperkenankan melakukan tindakan serakah menghabiskan sumber daya alam ini. Segala bentuk aksi yang berhubungan dalam pelestarian hutan, tentu akan mendapatkan ganjaran positif dari sang pencipta. Ajaran Islam sangat menaruh perhatian pada nilai-nilai ukuran seluruh ciptaan Tuhan. Islam secara tegas melarang umatnya untuk membuat kerusakan yang melampaui ukuran penciptaan di muka bumi.

C.

Bagaimanakah Mengevaluasi Hubungan Hulu–Hilir Dalam Pelestarian Hutan Lambusango?

Sebagaimana disadari bahwa pengelolaan sumber daya alam memerlukan batas wilayah agar kegiatan perencanaan, pelaksanaan kegiatan, serta monitoring, dan evaluasinya dapat dilakukan dengan batas yang nyata di lapangan. Pengelolaan sumber daya alam idealnya menggunakan batas ekosistem. Namun, penarikan batas tersebut tidak mudah, mengingat ekosistem bersifat terbuka. Dari komponen utama sumber daya alam, yaitu vegetasi, tanah, dan air, airlah yang dipandang memiliki pergerakan yang jelas dan mudah dibatasi wilayah pergerakannya dari hulu hingga ke muara (outlet). DAS (watershed, catchment area) atau daerah aliran sungai adalah wilayah yang memberikan kontribusi pada aliran sungai dan anak sungai.

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

77


Batas DAS dapat ditentukan dengan menghubungkan titik-titik tertinggi di sekitar aliran sungai dan anak sungai (batas topografi), tempat air mulai mengalir pada saat terjadi hujan. Batas DAS merupakan batas alam dan tidak berkaitan dengan batas administratif. DAS dapat pula didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas topografi tempat air hujan yang jatuh di wilayah tersebut mengalir ke sungaisungai kecil, menuju sungai besar, dan ke sungai utama hingga mengalir ke danau atau laut. DAS merupakan suatu unit hidrologi, yang terbagi ke dalam beberapa puluh atau ratus sub-DAS. punggung bukit

anak sungai

sungai utama

Gambar 3.13 DAS yang tersusun atas beberapa anak sungai dan satu sungai utama.

Di antara berbagai unit pengelolaan pembangunan yang dikenal saat ini, DAS dapat dipandang sebagai unit pembangunan berwawasan lingkungan ( ecodevelopment unit) yang handal. Dengan menggunakan batas DAS, hubungan keterkaitan dan kebergantungan antara berbagai komponen ekosistem (vegetasi, tanah, dan air), antara wilayah hulu (upstream) dan hilir (down stream) dan antara dampak yang bersifat on-site (di tempat) dan off-site (di hilir) dapat dianalisis dengan mudah dan jelas. Sebagai ilustrasi, dengan menggunakan ‘kacamata’ DAS, pengaruh suatu jenis kegiatan pengelolaan sumber daya alam di bagian hulu sungai akan secara jelas terlihat dampaknya di bagian hilir. Misalnya, kerusakan Hutan Lambusango yang berada di DAS Winto bagian hulu akan

78

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


menyebabkan menurunnya debit sungai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Wining, kondisi ini membuat hanya satu dari tiga turbin di PLTA Wining yang dapat berputar. Akhirnya, pasokan listrik pun merosot. Dampak selanjutnya adalah seringnya terjadi pemadaman listrik di Kota Bau-Bau. Demikian pula jika Anda melihat DAS Wonco. Sungai Wonco berhulu di Hutan Lambusango dan mengalir ke kawasan pesawahan yang ada di Desa Karing-Karing. Kerusakan hutan menyebabkan debit sungai akan berkurang pada musim kemarau. Kondisi ini akan mengurangi pasokan air irigasi di kawasan pesawahan. Jelaslah bahwa keterkaitan antara hulu dan hilir akan begitu nampak bila kita menggunakan batas DAS sebagai dasar analisis kita. Pembangunan yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan batas DAS, saat ini dikenal juga dengan pembangunan yang menggunakan pendekatan landskap.

D.

Apakah Manfaat Daerah Bantaran Sungai (Riparian) di Hutan Lambusango

Di dalam DAS terdapat bagian penting yang disebut dengan bantaran sungai. Bantaran sungai merupakan lahan kiri dan kanan sungai. Di lahan tersebut tumbuh vegetasi riparian yang memiliki fungsi utama sebagai penyangga/sempadan aliran sungai (Sotir, 1990 dalam Waryono, 2005). Tumbuhan dan ekosistem bantaran sungai sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya permukaan air sungai, biasanya basah karena pengaruh air yang meresap dari sungai. Dalam usaha konservasi tingkat landskap keberadaan bantaran sungai harus diperhitungkan. Bantaran sungai biasanya relatif sempit, tetapi memerankan peranan penting dalam siklus hidup berbagai jenis kehidupan liar (Briggs, 1999 dalam Waryono, 2005). Di banyak tempat, khususnya lahan terbuka, bantaran sungai dapat berfungsi sebagai koridor binatang liar dalam berpindah tempat. Sepanjang bantaran sungai yang ditempati oleh banyak variasi jenis tumbuhan, sangat disukai oleh berbagai jenis serangga, burung, Amphibi, Reptil dan Mammalia untuk berpindah tempat. Banyak hewan liar lebih menyukai bantaran sungai saat berpindah tempat karena di daerah tersebut tersedia relatif lebih banyak sumber makanan dan merasa lebih terlindungi oleh vegetasi.

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

79


mosaik bercak

matriks matriks

bercak bercak

matriks

koridor

Gambar 3.14 Bantaran sungai.

Sumber: Briggs, 2005.

Bantaran sungai, sebagai daerah perantara dataran yang lebih luas dari sungai itu sendiri, memiliki peran sangat penting bagi ekosistem sungai. Kualitas air sungai sangat ditentukan oleh kondisi bantaran sungai. Tumbuhan di bantaran sungai bisa berfungsi sebagai penyaring materi tanah, air, dan pengendali iklim mikro. Ikan, Invertebrata, dan organisme lain penghuni sungai dapat memperoleh manfaat dari material yang jatuh ke sungai.

E.

Apakah Permasalahan Konservasi di Hutan Lambusango?

Hutan Lambusango adalah paru-paru Pulau Buton dan warisan dunia yang harus dijaga kelestariannya. Keberadaanya saat ini telah mengalami ancaman dari tekanan penduduk. Permasalah penduduk yang utama di Pulau Buton adalah faktor ekonomi dan pendidikan. Banyak kalangan masyarakat yang tidak mengetahui dan menyadari fungsi hutan secara ekologis bagi manusia. Banyak di antara mereka memanfaatkan hutan hanya untuk mempertahankan hidupnya semata. Berikut ini adalah gangguan yang terjadi di Hutan Lambusango.

1. Pengrusakan dan Penurunan Luas Hutan di Pulau Buton

Berdasarkan hasil analisis kanopi hutan di Pulau Buton dari foto satelit oleh Carlisle (2005), diketahui hutan telah mengalami penyusutan dengan sangat cepat. Perhatikan gambar berikut.

80

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


a.

b.

Sumber: Carlisle, 2005.

Keterangan hutan

awan

bukan hutan

bayangan

air

tidak ada data

Gambar 3.15 Klasifikasi area hutan di Pulau Buton berdasarkan foto satelit. a. 29 Desember 1991 b. 16 Oktober 2003

Penyusutan hutan paling banyak terjadi di Pulau Buton bagian selatan, khususnya di Kota Bau-Bau dan sekitarnya. Hutan Wisata Tirta Rimbalah yang paling merasakan imbasnya karena paling dekat dengan pusat kota. Saat ini kondisi hutannya sudah rusak dan berubah fungsi menjadi lahan pemukiman dan perkebunan. Hutan dekat pusat kota Bau-Bau lainnya adalah Hutan Lambusango. Kerusakan yang terjadi di Hutan Lambusango

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

81


akan berakibat negatif terhadap kehidupan masyarakat sekitar, termasuk kehidupan masyarakat Bau-Bau. Tabel 3.1 Luas Kawasan Hutan di Pulau Buton dalam ha dan % Luas Kawasan Hutan (ha) Hutan %

1991

2002

2004

192,047

158,671

136,512

70,2%

58,0%

49,9% Sumber: Carlisle, 2005.

Persentase Luas Hutan

Dalam kurun waktu 9 tahun (1991–2002) luas hutan di Pulau Buton menurun sebanyak 12,2%. Dua tahun berikutnya (2002–2004) luas kawasan hutan menurun kembali sebanyak 8,1%. Penurunan ini diduga sebagian besar disebabkan oleh penebangan liar dan perubahan hutan menjadi lahan perkebunan dan pertanian. Hal ini berkaitan dengan terus bertambahnya penduduk di Pulau Buton yang berdampak pada tingginya tingkat kebutuhan lahan. Keadaan semakin memburuk ketika pada tahun 1999–2001 terjadi eksodus besar-besaran penduduk dari Pulau Maluku ke Pulau Buton. Hal ini menyebabkan semakin tingginya kebutuhan lahan baru sebagai tempat tinggal dan berkebun. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1980

1990

2000 Tahun

2010

2020

Gambar 3.16 Grafik persentase penurunan luas kawasan hutan di Pulau Buton hingga November 2004.

Padahal, idealnya suatu pulau membutuhkan luas hutan sekitar 30%. Tentunya, Pulau Buton sebagai pulau karang memerlukan luas hutan yang lebih dari 30%. Hutan tersebut berfungsi untuk menjaga keseimbangan alam. Jika penyusutan luas kawasan hutan di Pulau Buton ini terus terjadi, dapat dipastikan pengaruh hilangnya hutan di Pulau Buton lambat laun akan dirasakan penduduk.

82

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


I N F O Besaran kehilangan hutan di Indonesia selama periode 1997-2004 diperkirakan sebesar 4–7 kali luas lapangan bola per menit atau sebanding dengan 2–3,8 juta ha per tahun. Kalau setiap hektar hutan hanya menghasilkan 250 m3 kayu dan harganya Rp800.000,–/m3 , kehilangan tersebut sebanding dengan Rp400–760 triliun per tahun. Kehilangan ekonomi yang sesungguhnya dapat dipastikan jauh lebih besar daripada itu (Putro, 2004).

a.

Penyebab Pengrusakan dan Penurunan Luas Wilayah Hutan di Hutan Lambusango Dari berbagai tipe hutan yang ada di Indonesia, hutan dataran rendah menyimpan tingkat keragaman hayati yang tinggi. Namun demikian, seiring bertambahnya penduduk, hutan dataran rendah sudah sangat sedikit yang tersisa di Sulawesi. Diperkirakan tipe hutan dataran rendah akan hilang dari Sumatra pada tahun 2005, kemudian di Kalimantan pada tahun 2010 (Carlisle, 2005). Saat ini, Hutan Lambusango merupakan bagian penting hutan dataran rendah yang tersisa di Sulawesi. Sebagian besar hutan dataran rendah di Sulawesi sudah hancur karena penjarahan dan berubah menjadi pemukiman penduduk. Beruntunglah hutan dataran rendah di Pulau Buton ini masih dapat dipertahankan hingga sekarang. Kondisi topografi hutannya yang bergunung-gunung dan relatif terjal menjadikan kawasan Hutan Lambusango agak sulit dijarah secara besar-besaran. Namun demikian, ancaman yang kini terjadi terus berlangsung dan tidak bisa dianggap ringan. Berikut ini adalah penyebab rusaknya dan menurunnya luas wilayah Hutan Lambusango. 1) Pembalakan Kayu Penebangan kayu di Hutan Lambusango umumnya dilakukan dengan sistem tebang pilih (selective logging). Artinya, hanya pohon dengan diameter besar saja yang diambil. Proses pembalakannya dilakukan secara semi–manual, yakni penebangan dan penggergajian dilakukan dengan gergaji rantai (chainsaw). Kayu yang ditebang digergaji untuk dijadikan balok-balok dan papan-papan berukuran sedang. Selanjutnya, kayu olahan tersebut dipikul oleh manusia untuk dibawa keluar. Penebangan dengan sistem ini apabila dilakukan secara terkontrol, yaitu hanya

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

83


dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kayu masyarakat sekitar hutan, sebetulnya tidak terlalu bermasalah. Hal ini mengingat sumber daya hutan bersifat dapat diperbaharui. Selain itu, hutan memang diciptakan untuk memenuhi kepentingan masyarakat.

Sumber: Manurung, 2005.

Gambar 3.17 Penyitaan balok-balok kayu hasil penebangan gelap di Hutan Lambusango.

Akan tetapi, kini penebangan kayu di Hutan Lambusango telah dilakukan secara tidak terkendali, dan sebagian besar dilakukan untuk kepentingan bisnis. Hanya sedikit dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat sekitar hutan. Kayu Hutan Lambusango digunakan untuk mensuplai wilayah di luar Pulau Buton, seperti Kepulauan Wakatobi, bahkan hingga ke pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur. Kondisi ini menyebabkan tingginya kerusakan ekosistem hutan Lambusango selama 10 tahun terakhir. Jika laju penebangan hutan saat ini tidak dapat dikendalikan, Hutan Lambusango yang mempunyai luas 65.000 ha akan rusak parah. Kemungkinan yang tersisa hanya hutan-hutan kecil yang berada di beberapa bukit terjal yang sulit dijangkau manusia. 2) Pemungutan Rotan Pemungutan rotan seharusnya tidak menimbulkan dampak yang begitu berarti bagi kerusakan hutan. Hal ini mengingat rotan merupakan sumber daya hutan bukan kayu. Dengan demikian, pemungutan rotan seharusnya tidak akan menggangu keberadaan pohon sebagai penopang

84

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


utama kehidupan ekosistem hutan. Namun, jika kegiatan yang dilakukan di hutan ini dilakukan secara berlebihan, tentunya akan merusak ekosistem hutan juga. Saat ini kegiatan pemungutan rotan di Hutan Lambusango telah dilakukan secara berlebihan. Kini hampir seluruh Hutan Lambusango telah dijelajahi oleh para pemungut rotan. Hal ini berkaitan dengan semakin menipisnya potensi rotan. Akibatnya, para pemungut rotan bukan hanya sekadar ‘memungut’, namun lebih tepatnya ‘berburu’ rotan. Mereka tidak berburu rotan di hutan yang berstatus sebagai hutan produksi, hutan produksi terbatas, maupun hutan lindung saja, melainkan telah jauh merambah ke hutan konservasi yang berada di jantung Hutan Lambusango. Padahal seluruh sumber daya hutan di wilayah ini dalam status perlindungan secara total (protected area). Namun, apa mau dikata, rotan yang siap ditebang sudah jarang ditemukan di hutan yang berada relatif dekat dengan pinggir jalan angkutan, melainkan rata-rata berjarak antara 15–20 km dari pinggir jalan. Semakin menipisnya potensi rotan siap tebang ini, memaksa para pemungut rotan mengambil rotan yang masih muda atau belum masak tebang. Kondisi ini membuat semakin rusaknya tegakan rotan dan sulitnya rotan mempertahankan jenisnya. Jenis-jenis rotan yang bernilai ekonomi tinggi, seperti Rotan Batang dan Lambang, kini telah semakin sulit ditemukan. Akibatnya, perolehan rotan menjadi sedikit, namun waktu pemungutannya menjadi lebih lama. Kondisi ini sering membuat para pemungut rotan menjadi kurang sabar. Demi ke mudahan peng ambilan rotan, rotan yang terikat di pohon dan sulit diambil akan ditebang pohonnya. Apabila kondisi ini berlangsung terus, Sumber: Tim Coles, 2005. pemungutan rotan juga akan Gambar 3.18 berdampak pada kerusakan Pemungutan rotan di Hutan Lambusango tegakkan hutan. oleh penduduk setempat.

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

85


3) Pembukaan Lahan untuk Pertanian Ada 25 desa yang wilayahnya langsung berbatasan dengan Hutan Lambusango. Lahan di sekitar hutan ini, sampai akhir 2004, masih menjadi sasaran wilayah program transmigrasi. Antara 1999–2002, ratusan ribu hektare kawasan hutan di Kecamatan Lasalimu Selatan ditebang untuk dialihfungsikan menjadi pemukiman, untuk menampung para pengungsi dari Ambon. Kini secara perlahan, hampir seluruh desa di sekitar kawasan hutan memanfaatkan lahan hutan negara untuk memperluas daerah pertaniannya. Hal ini disebabkan karena kurang suburnya lahan pertanian mereka, rendahnya teknologi pertanian, juga oleh ketidak-jelasan batas kawasan hutan.

Gambar 3.19 Kawasan hutan yang dijadikan daerah pertanian.

Sumber: Opwall, 2005.

4) Penambangan Aspal Ada dua kompleks pertambangan aspal yang cukup besar yang berbatasan dan bahkan disinyalir sebagian kini sudah merambah kawasan konservasi. Pertama adalah kompleks pertambangan Kabongka (sebagian izin pertambangan di wilayah ini disinyalir telah masuk kawasan konservasi) dan kedua adalah kompleks pertambangan dekat Desa Lawele yang letaknya berdekatan dengan pelabuhan pengapalan aspal di Nambo. Penambangan aspal di wilayah ini dilakukan secara open-cast (membongkar permukaan lahan). Artinya, seluruh penutupan vegetasi

86

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


yang berada di permukaan tanah habis ditebang. Pembukaan permukaan lahannya dilakukan dengan menggunakan alat berat untuk mengeruk kandungan aspal. Metode penambangan semacam ini jelas berdampak pada kerusakan hutan secara total. Penebangan kayu yang dilakukan sebagai bagian dari proses penambangan juga akan mengundang terjadinya pembalakan secara ilegal, baik di wilayah yang memiliki izin penambangan maupun wilayah di sekitarnya. Pulau Buton memang dikenal memiliki kandungan aspal yang tinggi dan berkualitas. Namun, apabila kandungan aspal di bawah permukaan Hutan Lambusango terus digali, kesempatan bagi Hutan Lambusango untuk mempertahankan eksistensinya menjadi semakin kecil.

Gambar 3.20 Penambangan terbuka aspal di Pulau Buton.

Sumber: PKHL, 2005.

5) Perburuan Satwa Tingkat perburuan perdagangan satwa di Pulau Buton sebenarnya tidak terlalu marak dibandingkan kasus yang terjadi di beberapa pulau besar lain seperti Jawa, Papua, dan Maluku. Di pulau ini tidak ada pasar yang khusus menjual satwa-satwa liar. Namun demikian, masih sering dijumpai masyarakat di Pulau Buton berburu satwa dan memeliharanya dalam kandang. Satwa-satwa seperti Julang Sulawesi, burung elang, burung paruh bengkok (kelompok Kakatua dan Betet), Pergam (kelompok Merpati Hutan), dan Andoke sering dijumpai terkurung dalam kandang di rumah-rumah penduduk.

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

87


Alasan penduduk di Pulau Buton berburu satwa liar di hutan antara lain adalah untuk kesenangan bisa memiliki hewan piaraan di rumah serta faktor kebutuhan untuk memenuhi konsumsi makanan. Satwa yang paling sering diburu untuk dijadikan bahan makan antara lain, Ayam Hutan, Babi Liar (terbatas oleh Suku Bali), dan Anoa. Perburuan Anoa sampai saat ini sangat memprihatinkan. Anoa sebagai flagship spesies Provinsi Sumber: Opwall, 2005. Sulawesi Tenggara sampai saat ini masih diburu Gambar 3.21 untuk dijual dagingnya. Di beberapa pasar di Sisa potongan kepala Anoa hasil perburuan liar Kabupaten Buton, masih sering dijumpai pedadi Hutan Lambusango. gang yang menjajakan daging Anoa. Padahal, harga daging Anoa dipasaran umumnya lebih murah daripada daging Sapi. Daging Anoa dijual seharga Rp20.000–Rp25.000 per kg, lebih murah daripada daging Sapi yang saat ini harganya Rp35.000–Rp40.000 per kg. Jika pemanfaatan Anoa diasumsikan 24 ekor per tahun, diperkirakan dalam 20 tahun mendatang populasi Anoa di Hutan Lambusango akan musnah. 600

Laju Kepunahan Anoa yang Konstan

Jumlah Rata-Rata Laju Kepunahan

500

laju kepunahan 3 individu laju kepunahan 8 individu

400

laju kepunahan 9 individu 300

laju kepunahan 12 individu laju kepunahan 18 individu

200

laju kepunahan 24 individu 100

0 20

Tahun

40

50

Sumber: Wheller, 2005.

Gambar 3.22 Grafik laju kepunahan Anoa berdasarkan rata-rata kepunahan per tahun.

88

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Pemerintah, melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1990, jelas-jelas telah melarang perburuan satwa yang dilindungi. Kendala utama yang dijumpai di lapangan adalah masyarakat belum sepenuhnya mengetahui jenis-jenis satwa yang dilindungi. Selain itu, upaya penegakkan hukum masih lemah. Oleh karena itu, perburuan satwa di Hutan Lambusango masih berlanjut terus hingga sekarang.

b. Dampak Kerusakan dan Penurunan Luas Hutan Lambusango Berbagai akibat dari pengrusakan dan penurunan luas hutan dapat terjadi. Berikut ini adalah beberapa contoh akibat pengrusakan dan penurunan luas Hutan Lambusango. 1) Hilangnya Habitat Satwa di Hutan Lambusango Kerusakan hutan membuat runtuhnya seluruh ekosistem dan hilangnya habitat bagi hewan-hewan. Hilangnya habitat ini akan semakin terasa oleh kita saat hewan-hewan kebanggaan Sulawesi Tenggara, seperti Anoa (Bubalus sp.), Kuskus (Ailurops ursinus), Burung Julang Sulawesi (Aceros cassidix), Andoke (Macaca ochreata brunescens), dan Tangkasi (Tarsius sp.) mulai terancam punah. Di lain pihak berbagai hewan yang selama ini menggantungkan hidup dari hutan seperti babi, akan menjadi hama pertanian yang semakin mengganas. 2) Terbentuknya Jalur-Jalur Jalan di Hutan Lambusango Adanya aktivitas masyarakat di dalam hutan menyebabkan terbentuknya jalur-jalur jalan. Baik jalan untuk mencari rotan, pembalakan hutan, maupun perburuan hewan. Dengan adanya jalur-jalur jalan ini membuat Hutan Lambusango memiliki kemudahan yang sangat tinggi bagi masyarakat, baik untuk memungut rotan maupun menebang kayu. Namun, sebaliknya akan membuat hewan semakin terdesak dan kehilangan habitat alaminya. Dengan kata lain, Hutan Lambusango tidak lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk berlindung bagi beberapa hewan yang sensitif terhadap kehadiran manusia. Mengingat hampir seluruh hutan telah dipenuhi oleh jalur-jalur jalan rotan. Jalur-jalur jalan ini, di setiap jarak tertentu semakin melebar, khususnya di tempat-tempat pengumpulan rotan, atau pada tempat-tempat peristirahatan para perotan. Keberadaan jalur-jalur jalan rotan ini pada musim penghujan akan menjadi semacam ‘selokan’ air, yang mengalirkan aliran permukaan (sur-

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

89


face runoff) lantai hutan ke sungai-sungai kecil. Hal ini dapat mengurangi fungsi hutan sebagai penyimpan air dan pengendali banjir. 3) Fragmentasi Habitat Fragmentasi hutan merupakan fenomena terpecah-pecahnya ekosistem hutan menjadi luasan yang lebih kecil sehingga menghambat pergerakan satwa antarblok-blok hutan yang terpecah belah. Terpecah belahnya ekosistem hutan, sering terjadi akibat pembalakan hutan, pembukaan hutan untuk areal pertanian, juga pembangunan jalan-jalan yang memotong ekosistem hutan. Gambar berikut merupakan contoh hutan yang terfragmentasi di Hutan dataran rendah di blok Way Sekampung dan Way Seputih Bukit Barisan Selatan, Sumatra.

Sumber: Purwanto dan Hadiprakasa, 2004.

Gambar 3.23 Hutan pada tahun 1970-an. Saat itu, hutan di blok tersebut masih relatif baik sehingga beberapa Mammalia dan Aves dapat bebas bergerak dari satu lokasi ke lokasi lain.

Gambar 3.24 Hutan pada tahun 2002-an. Saat itu hutan dataran rendah telah terfragmentasi. Hal ini menyebabkan beberapa jenis satwa bergerak sangat terbatas. Satwa-satwa tersebut hanya dapat hidup berkompetisi pada ruang yang sempit dengan sumber makanan yang lebih terbatas pula.

Fragmentasi dapat mengisolasi pergerakan hewan dari kedua sisi hutan yang terpisah. Pembuatan jalur jalan juga menyebabkan bertambah luasnya daerah transisi (ecotone) dan meluasnya efek tepi (edge effect) hewan. Terbatasnya pergerakan hewan, khususnya jenis-jenis Mammalia dan Primata, mendorong proses perkawinan keluarga (inbreeding) menjadi semakin tinggi yang berakibat semakin rentannya kualitas genetis suatu jenis hayati. Salah satu contoh akibat fragmentasi yang terjadi di Hutan Lambusango adalah kemerosotan populasi Anoa. Kemerosotan populasi

90

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Anoa ini sebagian besar disebabkan oleh tingginya fragmentasi hutan, selain akibat dari penyusutan kualitas hutan dan tingginya aktivitas manusia di dalam hutan. Anoa adalah satwa yang sangat sensitif dan peka terhadap kehadiran manusia. Hewan ini menyukai hutan-hutan primer yang tidak pernah didatangi manusia. Oleh karena itu, ketika hutan-hutan mulai dirambah manusia untuk lahan pertanian, ditebang pohon dan rotannya, Anoa semakin terdesak dan semakin masuk ke hutan atau ke bukitbukit yang jarang didatangi manusia. Akibatnya, habitat mereka menjadi semakin sempit yang berdampak pula pada semakin terbatasnya sumber makanan. Semakin terisolirnya habitat Anoa berdampak pada merosotnya keragaman genetik dan meningkatnya risiko kepunahan populasi. 4) Berkurangnya Persediaan Air Tawar Dampak lainnya yang akan terjadi bagi masyarakat Pulau Buton adalah berkurangnya persediaan air tawar. Salah satu contoh nyata adalah di Kepulauan Wakatobi, dekat Pulau Buton, terutama daerah Binongko dan Ronduma. Di daerah ini, air tawar untuk minum sangat sulit untuk didapatkan. Hal ini karena luas hutan di Kepulauan Wakatobi sudah sangat sempit. Air hujan mengalir begitu saja tanpa adanya saringan melalui hutan. Walaupun dibuat sumur, air tawar masih relatif sulit untuk didapatkan. Air laut di sekeliling pulau juga dapat dengan mudah mengintrusi ke pulau karang ini. Hal ini selain disebabkan oleh kosongnya cadangan air tanah, juga hilangnya hutan bakau sebagai barier air laut. Kondisi serupa bisa saja terjadi di Pulau Buton apabila kerusakan hutan terus dibiarkan. Mengingat kepulauan Wakatobi dan Pulau Buton memiliki kesamaan geologi.

Aliran muka air tanah hutan terpelihara Aliran muka air tanah hutan gundul

instrusi air laut

Gambar 3.25 Perbedaan aliran muka air laut pada kondisi sebelum hutan ditebang dan kondisi setelah penebangan.

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

91


5) Dampak Global Kerusakan dan Penurunan Luas Hutan dapat Menimbulkan Efek Rumah Kaca Seperti yang telah Anda ketahui, tumbuhan hijau menyerap karbon dioksida untuk proses fotosintesis. Hutan yang tersusun atas berbagai jenis pohon dapat menyerap karbon dioksida lebih banyak daripada lahan rumput atau lahan dengan tipe vegetasi lain. Oleh karena itu, pengalihan fungsi hutan yang menghilangkan komponen vegetasinya dapat menimbulkan kenaikan kandungan karbon dioksida di udara. Gas CO2 bersama beberapa gas lain seperti metana bergabung dengan uap air membentuk suatu lapisan yang menyelubungi bumi, dikenal dengan atmosfer. Atmosfer ini berperan dalam mempertahankan kestabilan kehangatan suhu Bumi. Tanpa adanya atmosfer, suhu Bumi akan berkisar -40째C. Efek yang ditimbulkan lapisan ini mirip dengan ketika kita berada di dalam rumah kaca. Oleh karena itu, disebut juga efek rumah kaca. Cahaya

Penambahan CO2

Pengurangan CO2 dengan fotosintesis dapat menurunkan efek rumah kaca

CO2

CO2

Efek rumah kaca Panas

CO2

Gambar 3.26 Pengaruh karbon dioksida terhadap efek rumah kaca.

Bagaimana pengaruh karbon dioksida terhadap efek rumah kaca? Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar berikut. Pada kondisi normal, sebagian panas yang dipancarkan matahari akan diserap oleh permukaan bumi, sebagian lagi akan dikeluarkan dan beberapa darinya akan dipantulkan kembali ke Bumi. Dengan demikian, kehangatan suhu bumi dapat stabil. Namun, dalam kondisi lingkungan yang buruk seperti tingginya penebangan hutan dan tingginya

92

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


pembakaran bahan bakar fosil, akan meningkatan kandungan CO2 . Kondisi ini akan meningkatkan efek dari rumah kaca tersebut. Tingginya kandungan CO2 akan membuat selubung bumi menjadi lebih pekat. Akibatnya, panas matahari akan lebih banyak terperangkap di permukaan bumi. Suhu permukaan bumi pun akan meningkat sehingga dikenal istilah pemanasan global. Akibat lainnya adalah es abadi pada kedua kutub bumi akan mencair secara perlahan. Selanjutnya, pencairan es ini bisa menyebabkan permukaan laut naik. Sekarang permukaan air laut terus naik dengan kisaran 0,1– 0,25 cm/tahun. Pencairan kutub ini dapat terus meningkat dalam beberapa dasawarsa mendatang. Berikut ini adalah dampak yang mungkin ditimbulkan akibat dari pemanasan global. a. Memacu pertumbuhan dan perkembangan organisme patogen dan penular penyakit. b. Memacu perubahan iklim. Curah hujan di sebagian wilayah menurun, sedang di wilayah lain meningkat. Selain itu, frekuensi dan intensitas anomali iklim (kemarau panjang) serta frekuensi timbulnya badai semakin meningkat. c. Volume air laut bertambah (karena mencairnya es abadi di pegunungan tinggi, dan di kutub utara serta selatan). d. Memacu kenaikan muka air laut (karena memuainya volume air laut) sehingga memacu laju erosi pantai (abrasi), instrusi air laut, banjir, dan tenggelamnya pulau-pulau kecil. e. Punahnya berbagai jenis hayati, khususnya untuk jenis-jenis kehidupan liar yang sangat sensitif terhadap perubahan suhu udara.

F.

Mengapa Hutan Lambusango Harus Dilestarikan?

Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa Hutan Lambusango harus dilestarikan. Hutan Lambusango memiliki tingkat keragaman dan endemisitas yang cukup tinggi sehingga merupakan warisan dunia yang perlu dilestarikan. Berbagai satwa hanya dapat ditemukan di Pulau Buton ini. Anoa sebagai lambang Provinsi Sulawesi Tenggara berada di hutan ini. Kondisi ini menjadikan Hutan Lambusango sebagai magnet turis asing yang dapat memberikan devisa bagi pemerintahan setempat.

Konservasi dan Permasalahannya di Hutan Lambusango

93


Hutan yang tumbuh di pulau karang ini memiliki daya lenting yang rendah (low resillience) sehingga jika hutan telah rusak akan sulit untuk pulih (recovery) kembali. Hal ini karena pohon-pohon yang ada di hutan sekarang pun telah berkompetisi dengan keras untuk terus bertahan hidup. Akar-akar pohon tersebut telah berusaha untuk tumbuh mencari celah-celah di bebatuan karang untuk mengambil nutrisi dan air di dalam tanah. Di Kota Bau-Bau, pada tahun 2005, sering terjadi pemadaman lampu secara bergiliran. Salah satu penyebab dilakukan pergiliran penggunaan listrik ini karena debit air di PLTA Winning sudah mulai berkurang. Turbin pemutar air tidak dapat berputar dengan maksimal. Saat musim kemarau tiba beberapa penduduk sekitar Bau-Bau terpaksa harus membeli air tawar untuk kebutuhan hidupnya. Hal ini karena persediaan air tawar yang layak untuk diminum penduduk sudah semakin terbatas. Hutan Tirta Rimba (488 ha), sebagai hutan konservasi yang paling dekat ke Bau-bau, tadinya diharapkan dapat membantu pasokan air tawar ke kota ini. Namun, kondisinya sekarang sudah sangat memprihatinkan, hutannya sudah hancur akibat berubah fungsi menjadi lahan pemukiman dan perkebunan. Air terjun indah di Tirta Rimba yang tadinya bisa dilihat indah sampai tahun 1999 oleh para wisatawan, sekarang sudah tidak tampak lagi. Berdasarkan uraian di atas, tampaklah jelas mengapa Hutan Lambusango harus dilestarikan. Keberadaan Hutan Lambusango ini berpengaruh terhadap kehidupan di Pulau Buton, baik bagi manusia maupun bagi makhluk hidup lainnya.

Gambar 3.27 Air terjun di Hutan Lambusango. Sumber: Milsom, 2005.

94

Misteri Kekayaan Hayati Hutan Lambusango Singer dan Purwanto, 2006


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.