5 minute read

Membangun Indonesia Melalui Revitalisasi Pendidikan

Membangun Indonesia Melalui Revitalisasi Pendidikan

Muhammad Idris

Advertisement

Tujuan pembangunan berkelanjutan atau dalam bahasa inggris dikenal Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan agenda pembangunan global yang secara resmi mengesahkan agenda tujuan pembangunan berkelanjutan pada tanggal 25 September 2015 sebagai ambisi pembangunan bersama hingga tahun 2030 di markas besar perserikatan bangsa-bangsa (PBB). Ada 17 capaian program pembangunan global, didalamnya pendidikan merupakan poin keempat dengan fokus berupaya untuk memastikan pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara, juga mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua kalangan. Pendidikan merupakan salah satu agenda penting untuk mencetak sumber daya manusia yang lebih baik, hal inilah yang menjadi concern lintas pemerintah negara-negara di dunia untuk mengentaskan kebodohan, sehingga prinsip no one left behind dapat terwujud.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbentang dari sabang sampai merauke dengan keragaman suku, agama, ras, dan antaretnis menjadi kebanggan tersendiri sebagai identitas kekuatan dan kekayaan suatu bangsa, namun muncul banyak

persoalan sosial yang menyapa dari sudut-sudut negeri, mulai masalah kemiskinan, kelaparan, kesenjangan sosial, maupun masalah pemerataan akses pendidikan di tiap kawasan kabupaten/kota. Permasalahan pendidikan acapkali menjadi salah satu agenda prioritas yang kini sudah dicanankan pendidikan gratis 12 tahun. Pemerintah melalui kementrian pendidikan dan kebudayaan (MENDIKBUD) telah menggiatkan pembangunan kualitas sumber daya manusia dengan menganggarkan dana triliunan rupiah untuk peningkatan kualitas pendidikan. Pemerataan pendidikan di tanah air telah mendapatkan perhatian serius sejak lama. Pemerataan ini mencakup dua aspek krusial yaitu persamaan untuk memperoleh pendidikan dan keadilan dalam mengenyam pendidikan, akses pendidikan yang merata berarti semua penduduk usia sekolah telah mendapatkan kesesempatan sama dan adil, akan tetapi hasil survei dari badan pusat statistik (BPS) dan Bank dunia pada tahun 2011 ditemukan bahwa area pedesaan persentasi sekolah yang memiliki guru dengan pendidikan sarjana, memiliki laboratorium, perpustakaan dan fasilitas penunjang lainnya selalu lebih rendah dari rata-rata nasional.

Sistem pendidikan yang baik menjadi faktor penting bagi kemajuan suatu negara dan peradaban dunia, berdasarkan

survei United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) terhadap kualitas pendidikan di negaranegara berkembang di Asia Pasifik, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara dengan kualitas pendidikan terbaik. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih membutuhkan perbaikan-perbaikan, kucuran dana untuk memajukan pendidikan berkisar Rp.444 T atau berkisar 20% dari total anggaran pembangunan dan belanja negara (APBN 2018) yang dirasa belum cukup menandingi kualitas pendidikan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Upaya inilah yang senantiasa pemerintah giatkan untuk meningkatkan rating pendidikan di tanah air.

Disamping itu ragam masalah yang dihadapi pemerintah dalam upaya memperbaiki pendidikan salah satunya adalah agenda perpolitikan di Indonesia memiliki impact besar terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, sehingga rutinitas lima tahunan menjadi kultur dalam merombak habis peraturanperaturan secara menyeluruh dan sangat sedikit produk kebijakan sebelumnya dilanjutkan. Belajar dari sejarah pembangunan candi borobodur dengan tiga kekuasaan kerajaan yang berbeda namun senantiasa mengikuti blue print yang telah menjadi komitmen dan pegangan bersama selama bertahuntahun, sampai sekarang candi Borobudur tetap berdiri kokoh

sesuai dengan desain awal yang hingga kini dipertahankan. Ketiadaan suatu blue print sebagai pedoman untuk menghasilkan produk kebijakan maka kita akan melihat tradisi yang terus berulang hingga kini yaitu:“beda menteri, beda sistem”. Ketidakjelasan sistem pendidikan di Indonesia menjadikan sekolah-sekolah di pelosok belum siap untuk mengimplementasikan kurikululum baru.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia merupakan anak kandung modernitas, jadi segala sesuatunya harus menjadikan barat sebagai tolak ukur kualitas pendidikan termasuk dalam hal penguasaan Bahasa internasional yang disepakati PBB sebagai lingua franca komunikasi lintas negara. Implementasi inilah yang belum secara merata tiap daerah kabupaten/kota, tidak hanya Bahasa global Bahasa resmi negara pun masih awam di daerah 3T (daerah tertinggal, terdepan, dan terluar), hal inilah yang menjadikan minimnya credit point Indonesia di mata dunia. Implementasi kelas internasional pun masih belum maksimal hanya sekolah-sekolah unggulan yang memiliki akses untuk membangun kemitraan dengan lembaga pendidikan di luar negeri.

Kesenjangan mutu pendidikan masih menjadi kendala banyak negara termasuk Indonesia. Dalam memastikan ketersediaan akses pendidikan yang setara untuk semua

kalangan senantiasa digalakkan dari tahun ke tahun. Jumlah partisipasi pendidikan anak usia sekolah setiap tahun mengalami peningkatan yang signifikan, akan tetapi mutu pendidikan belum menjadi prioritas pemerintah, karena tingkat partisipasi usia sekolah yang tidak diiringi dengan ketersediaan kualitas pendidikan yang tidak baik, tidak akan berdampak banyak pada kualitas peserta didik. Sebagai negara kepulauan yang dibagi atas empat wilayah pembangunan, regional pembangunan empat yang berpusat di Makassar, Sulawesi selatan dan wilayah pengembangannya dikawasan Indonesia paling timur, akses mutu pendidikan belum terdistribusi secara merata, fasilitas yang memadai di kota-kota besar belum sepenuhnya dinikmati sekolah-sekolah yang berada di kawasan rural area.

Kesenjangan dalam dunia pendidikan menjadi big problem ketika pembangunan sarana dan prasarana pendidikan hanya terpusat di kota-kota besar sehingga label unggulan merupakan suatu kewajaran, lain halnya ketika kita mengunjungi kawasan yang belum dan bahkan tidak ada sekolah seperti di kawasan regional empat yang berada di kawasan Indonesia timur masih belum terjamah secara optimal, sehingga di negara kita masih didengar kata “sekolah darurat, sekolah alam, sekolah rimba, sekolah diatas kapal” yang kebanyakan diinisiasi oleh relawan

pendidik seluruh Indonesia. Terdengar unik akan tetapi ini merupakan bentuk otokritik bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan kesetaraan pendidikan, bicara masalah kualitas patutlah kita meneladani salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia yang tidak mengenal istilah sekolah unggulan atau terakreditasi, kebijakan pemerintah Finlandia dengan menghapuskan sistem klasterisasi atau pengelompokan sekolah terbaik dengan tidak, swasta dengan negeri menjadi factor berkurangnya kesenjangan dalam dunia pendidikan di negara tersebut.

Berangkat dari ragamnya masalah, maka penting untuk kita bersama-sama menawarkan langkah solutif bagi kemajuan pendidikan di negeri kita tercinta. Perkara yang paling menjadi sorotan di dunia pendidikan yaitu: pertama, mendorong pemerintah menyediakan akses sarana dan prasana pendidikan di kabupaten/kota yang masih jauh dari kata layak. Salah satu target capaian dari pembangunan global yaitu dengan ketersediaan pendidikan yang memadai, inklusif dan setara akan mewujudkan sektor sumber daya manusia yang berkualitas. Tidak bisa kita pungkiri bahwa keberadaan Indonesia sebagai penduduk terbanyak keempat di dunia ditambah lagi bonus demografi penduduk usia produktif, merupakan suatu kewajiban negara dalam memperbaiki tata

kelola sistem pendidikan. Kedua, Inkonsistensi dalam implementasi kurikulum yang dilematis mendorong terwujudnya blue print sistem pendidikan yang akan menjadi pedoman pemerintah tiga puluh tahun kedepan, hal ini sangatlah penting untuk menjadi bahan evaluasi bersama ketika suksesi kepemimpinan mampu mengubah segalanya dalam rutinitas lima tahunan pesta demokrasi. Ketiga, mendorong kemitraan global dalam mewujudkan globalisasi pendidkan, hal ini perlu juga menjadi perhatian generasi muda untuk senantiasa melek literasi,tegnologi, dan informasi. Klasterisasi tingkat literasi peserta didik, penguasaan Bahasa global, penguasaan tegnologi di era digital masih rendah bila dibandingkan negara tetangga Malaysia dan Singapura. Keempat, upaya untuk memperbaiki kualitas guru sebagai mesin penggerak dalam institusi pendidikan. Keempat paket solusi tersebut diharapkan menjadi pionir perbaikan kualitas sumber daya manusia. Akhirnya, bangkit-runtuhnya wibawah suatu bangsa terletak pada bagaimana kualitas pendidikannya.

This article is from: