16 minute read
Antara yang Ideal dan yang Nyata
Kita sering berjuang untuk menghayati nilai-nilai kerajaan Allah.
Segalanya sangat mudah pada awalnya. Adam dan Hawa harus memelihara bumi dan taman tempat mereka ditempatkan. Karena mereka diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, mereka akan mencerminkan kebaikan Allah, kekudusan-Nya, dan pada akhirnya, karakter-Nya bagi semua ciptaan di sekitar mereka.
Itu tidak pernah terjadi. Dosa memisahkan manusia dari Tuhan. Kejatuhan membawa rasa sakit, kematian, pelecehan, kecemburuan, kekerasan, kelaparan akan kekuasaan men dominasi, dan banyak lagi sikap jahat di dunia ini. Keturunan Adam dan Hawa menjadi musuh terburuk mereka sendiri. Tuhan punya rencana untuk mengembalikan anak-anakNya yang hilang untuk kembali ke Taman Eden. Dia memang gil umat untuk menjadi milik-Nya dan menyinari dunia yang gelap ini dengan terang-Nya (Yes. 49: 6). Dia memberi mereka tanda-tanda dan ilustrasi rencana keselamatan-Nya (pikirkan, misalnya, Sabat atau tempat kudus); Hukum-hukum-Nya mencerminkan karakter-Nya dan menggambarkan nilai-nilai kerajaan-Nya dengan cara-cara praktis. Bagaimana anak-anak harus berhubungan dengan orang tua mereka dan sebaliknya; bagaimana kesetiaan menghasilkan pernikahan yang bahagia; bagaimana pembunuhan, pencurian, gosip, dan mengingini kepunyaan orang lain merusak tatanan sosial apa pun. Tuhan memperingatkan mereka untuk merawat para janda, anak yatim, orang luar, dan mereka yang tidak berdaya, dan untuk menegakkan keadilan secara adil. Ulangan 10: 12–22 menawarkan ringkasan yang baik dari prinsip-prinsip hukum Allah ini (Kel 22: 16–31).
Akan tetapi, kenyataan tampak berbeda kepada Israel menurut Alkitab. Selama ratusan tahun, para nabi Israel berbicara menentang pelecehan dan perilaku tidak etis. “Para kepalanya memutuskan hukum karena suap, dan para imamnya memberi pengajaran karena bayaran, para nabinya menenung karena uang, padahal mereka bersandar kepada TUHAN dengan berkata: “Bukankah TUHAN ada di tengah-tengah kita! Tidak akan datang malapetaka menimpa kita!” (Mikha 3: 11). Tuhan berulang kali berbicara melalui para nabi-Nya menentang sikap dan tindakan umat-Nya. “Melainkan jika kamu sungguh-sungguh memperbaiki tingkah langkahmu dan perbuatanmu, jika kamu sungguh-sungguh melaksanakan keadilan di antara kamu masing-masing, tidak menindas orang asing, yatim dan janda, tidak menumpah kan darah orang yang tak bersalah di tempat ini dan tidak mengikuti allah lain, yang menjadi kemalanganmu sendiri, maka Aku mau diam bersama-sama kamu di tempat ini, di tanah yang telah Kuberikan kepada nenek moyangmu, dari dahulu kala sampai selama-lamanya. Tetapi sesungguhnya, kamu percaya kepada perkataan dusta yang tidak memberi faedah” (Yer. 7: 5–7).
Israel jelas-jelas bergumul dengan penyembahan berhala (lih. 1 Raja-raja 12: 25–33; 16: 29–33; dll.), Tetapi tuntutan Allah yang terus-menerus telah disambut mereka dengan penyimpangan etika dan keyakinan mereka bahwa perilaku tidak etis dapat diimbangi dengan pengorbanan yang berlimpah (Hosea 6: 4–6; Mikha 6: 6–8). Allah Alkitab tidak dapat dimanipulasi oleh tampilan saleh aksi keagamaan atau pemberian mewah. Dengarkan seruan suara-Nya berdering tepat di abad ke dua puluh satu: “Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh, apabila kamu mempersem bahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu, Aku tidak suka, dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun, Aku tidak mau pandang. Jauhkanlah dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu gambusmu tidak mau Aku dengar. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gu lung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Amos 5: 21–24).
Gerald A. Klingbeil adalah Associate Editor Adventist World.
Mengapa Etika Kita Penting Pikirkan tentang Transparansi dan Integritas
Alkitab menceritakan kisah Samuel, nabi Allah bagi bangsa Israel. Setelah mengurapi Saul sebagai raja pertama Israel dan bersiap untuk mengambil peran yang kurang menonjol, ia berbicara kepada umat Israel: “Akulah yang menjadi pemimpinmu dari sejak mudaku sampai hari ini. Di sini aku berdiri. Berikanlah kesaksian menentang aku di hadapan TUHAN dan di hadapan orang yang diurapi-Nya: Lembu siapakah yang telah kuambil? Keledai siapakah yang telah kuambil? Siapakah yang telah kuperas? Siapakah yang telah kuperlakukan dengan kekerasan? Dari tangan siapakah telah kuterima sogok sehingga aku harus tutup mata? Aku akan mengembalikannya kepadamu” (1 Sam. 12: 2, 3).
“‘Jawab mereka: “Engkau tidak memeras kami dan engkau tidak memperlakukan kami dengan kekerasan dan engkau tidak menerima apa-apa dari tangan siapa pun” (ayat 4). “Lalu berkatalah ia kepada mereka: “TUHAN menjadi saksi kepada kamu, dan orang yang diurapi-Nya pun menjadi saksi pada hari ini, bahwa kamu tidak mendapat apa-apa dalam tanganku.” Jawab mereka: “Dia menjadi saksi‘” (ayat 5).
Di akhir karier panjangnya melayani umat Tuhan, Samuel tidak hanya memiliki hati nurani yang jelas mengenai pelayanannya, tetapi orang-orang mengakui bahwa semua yang dia lakukan telah dicapai dengan transparansi dan integritas. Pola hidupnya harus menjadi model bagi kita semua. Sedihnya, kita hidup di zaman di mana integritas dan transparansi tampaknya merupakan peninggalan masa lalu yang ketinggalan zaman. Bahkan mereka yang kita pikir kita kenal dengan baik terkadang kurang jujur. Dan beberapa orang yang secara teratur muncul
di media berita sengaja mengaburkan batas antara kebenaran dan penipuan. Semuanya dimulai dengan karakter. Beberapa orang menggambarkan karakter sebagai sifat melakukan hal yang benar ketika tidak ada yang melihat. Ketika pikiran dan hati kita didamaikan, kata-kata dan tindakan kita konsisten. Sebagian besar dari kita menghabiskan hidup kita mencoba mendamaikan pikiran kita dengan tindakan kita. Allah melalui Yeremia berkata: “Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku” (Yer. 31: 33). Ini tidak terjadi dalam kehampaan. Transparansi dan integritas adalah kebajikan yang membutuhkan implementasi dan kultivasi. Itu datang dalam paket spiritual yang ditanamkan dalam diri kita
oleh Roh Kudus, tetapi itu membutuhkan pembelajaran di sepanjang kehidupan. Kita tidak bermoral dan baik oleh diri kita sendiri. Ellen White menulis: “Kristuslah sumber tiap dorongan yang benar. Dialah satu-satunya yang dapat menanamkan di dalam hati itu sifat melawan dosa. Tiap-tiap keinginan akan kebenaran dan kesucian, setiap keyakinan kesadaran akan dosa-dosa kita sendiri, adalah merupakan bukti bahwa Roh Kristus bekerja di hati kita.” 1 Tidak ada yang memonopoli transparansi dan integritas. Itu adalah masalah yang menyentuh kita semua. Kejujuran dan keterbukaan yang transparan adalah kualitas yang membuat segala sesuatunya jelas, mudah dimengerti. Itu adalah refleksi karakter.
Integritas adalah sifat jujur dan adil. Itu adalah kepatuhan terhadap prinsip-prinsip moral dan etika. Itu adalah kebenaran moral, keadaan utuh atau tidak terbagi. Ambiguitas dan kepalsuan adalah perilaku yang tidak dapat diterima. Sebagai gantinya, beberapa sudah mulai menggunakan istilah “integritas transparan.” 2
Keaslian dan Kehidupan Gereja
Bagaimanakah transparansi dan integritas hidup dalam konteks kehidupan gereja? Ketika kita berbicara tentang transparansi dan integritas, kita sebenarnya berbicara tentang keaslian. Keaslian dilihat oleh orang-orang Yunani Stoic “sebagai respons moral terhadap menurunnya nilai-nilai kewarganegaraan dan agama.” 3 Dalam kasus kita, perspektif yang kita pegang sebagai gereja Advent didasarkan pada pencarian kita akan kekudusan, kepercayaan, dan kebenaran saat kita berpegang teguh pada pandangan dunia yang transenden tentang etika dan moralitas.
Roh Kudus bersifat transformatif dalam hal kekudusan dan keaslian sejati. Keaslian termasuk kesadaran diri, menunjukkan keseimbangan dalam memproses pendapat orang lain, bertindak dalam batas-batas etika dan moralitas. 4
Transparansi dan Integritas dalam Alkitab
Alkitab banyak berbicara tentang orang yang bertindak dengan integritas dan transparansi. Raja Daud menulis: “Siapa yang boleh menumpang dalam kemah-Mu? Siapa yang boleh diam di gunung-Mu yang kudus? Yaitu dia yang berlaku tidak bercela, yang melakukan apa yang adil dan yang mengatakan kebenaran dengan segenap hatinya, yang tidak menyebarkan fitnah dengan lidahnya, yang tidak berbuat jahat terhadap temannya dan yang tidak menimpakan cela kepada tetangganya; yang memandang hina orang yang tersingkir, tetapi memuliakan orang yang takut akan TUHAN; yang berpegang pada sumpah, walaupun rugi; yang tidak meminjamkan uangnya dengan makan riba dan tidak menerima suap melawan orang yang tak bersalah. Siapa yang berlaku demikian, tidak akan goyah selama-lamanya” (Mzm. 15).
Daud juga bertanya: ”Siapakah yang boleh naik ke atas gunung TUHAN? Siapakah yang boleh berdiri di tempat-Nya yang kudus? “Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan dirinya kepada penipuan, dan yang tidak bersumpah palsu” (Mzm. 24: 3, 4).
Allah berfirman melalui Nabi Yeremia: “Aku akan memberi mereka satu hati dan satu tingkah langkah, sehingga mereka takut kepada-Ku sepanjang masa untuk kebaikan mereka dan anak-anak mereka yang datang kemudian” (Yer. 32: 39) .
Hidup dalam integritas dan bertindak secara transparan identik dengan kesucian dan bertindak dengan benar. Pertimbangkan yang berikut ini:
“Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya, tetapi pengkhianat dirusak oleh kecurangannya” (Ams. 11: 3).
“Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu” (Mzm. 51: 6).
Jalan orang benar adalah jalan hikmat dan integritas, dan hasil serta pengaruh kebenaran adalah kedamaian, dan kepercayaan diri yang tenang. Daud berdoa: “Tunjukkanlah kepadaku jalan-Mu, ya TUHAN, supaya aku hidup menurut kebenaran-Mu; bulatkanlah hatiku untuk takut akan nama-Mu” (Mzm. 86: 11).
Bagi orang Kristen, integritas, keaslian, dan transparansi adalah karakteristik penting.
dan transparansi adalah karakteristik penting, bukan karena sifat-sifat yang secara universal dikagumi oleh orangorang yang menjalani kehidupan publik, tetapi karena mereka diperlihatkan dengan sempurna dalam Tuhan kita Yesus Kristus. Salah satu hal yang membedakan Petrus dan Yohanes setelah kenaikan Kristus adalah bahwa orang-orang memperhatikan bahwa “orang-orang ini sebagai pengikut Yesus” (Kisah Para Rasul 4: 13. Mari mengisi pikiran kita dengan tantangan, peluang, dan hak istimewa karena kita mempraktikan kehidupan yang transparansi dan berintegritas. Kepercayaan adalah semua yang kita miliki sebagai orang Kristen. Inilah yang menggerakkan pengikut Tuhan untuk memenuhi fungsi mereka sendiri. Orang Advent tidak memiliki pilihan lain selain bersikap transparan dan bertindak dengan integritas.
1 Ellen G. White, Kebahagiaan Sejati (Indonesia Publishing House., 1992), hlm. 29. 2 www.terna.it/en-gb/chisiamo/trasparenzaeintegrita. aspx and thegreatworkplace.com/2568/transparent-integrity-where-is-mr-oz. 3 M. M. Novicevic, M. G. Harvey, et al., “Authentic Leadership: A Historical Perspective,” Journal of Leadership and Organizational Studies 13, no.1 (2006): 64-76. 4 B. J. Avolio and W. L. Gardner, “Authentic Leadership Development: Getting to the Root of Positive Forms of Leadership.” The Leadership Quarterly 16 (2005): 315-338.
Juan Prestol-Puésan adalah Bendahara General Conference, posisi yang telah dipegangnya sejak tahun 2015.
Paham Kesukuan Beracun
Apakah yang Dapat Kita Lakukan untuk Itu.
Tribalisme tampaknya sedang meningkat di seluruh dunia. Tren ini memengaruhi banyak segi kehidupan kita, khususnya etika kita. Bagaimanakah kita hidup dalam masyarakat terpolarisasi? Penulis dan komentator di seluruh dunia telah mencatat bahwa “Brexit” di Inggris, polarisasi politik di Amerika Serikat, delegitimasi Muslim di India, dan sentimen anti-imigran di seluruh lanskap politik Eropa juga tampaknya berasal dari kesukuan.
Dengan demikian kesukuan tidak terbatas pada primitif, atau daerahdaerah tertentu. Tribalisme menunjukkan dirinya sebagai kesetiaan yang teguh pada suatu kelompok—biasanya merugikan orang atau kelompok lain. Paradoksnya, ketika globalisasi memunculkan keseragaman budaya melalui teknologi dan media sosial, kekuatan bawah tanah kesukuan yang beracun menimbulkan polarisasi daripada persatuan. Pertambahan dalam fundamen talisme, tercermin dalam opini politik, retorika sosial, dan wacana keagamaan, terlalu sering mengakibatkan perpecahan antara kanan dan kiri, konservatif dan liberal. Ini mengarah pada gangguan dalam komunikasi dan kolaborasi— elemen-elemen penting untuk keharmonisan masyarakat.
Kebutuhan Kita akan Komunitas
Semua manusia memiliki kecenderungan alami untuk bergaul dalam kelompok karena kebutuhan kita akan keberadaan dan kepemilikan. Kebutuhan itu bukanlah kejahatan. Merupakan keinginan alami manusia untuk membentuk komunitas orang-orang dengan tujuan, kebutuhan, dan keinginan yang serupa. Tetapi tribalisme berubah menjadi racun ketika berusaha untuk menghilangkan mereka yang memiliki pandangan, pendapat, atau identitas yang berbeda. Itu berkembang dengan anggapan bahwa yang lain adalah musuh; sebuah situasi yang bertanggung jawab atas serangan antiSemit dan anti-Muslim di tempat-tempat ibadah, menyebabkan kematian para penyembah tak bersalah di Amerika, Selandia Baru, Israel, dan Afganistan. Ini telah mengakibatkan pembunuhan politisi yang pandangannya berbeda dari para penyerang mereka. Begitu lazimnya kondisi ini di media sosial sehingga beberapa orang percaya bahwa kita adalah zaman kesukuan.
Sayangnya, bahkan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, dengan cita-cita moral yang tinggi dan mandat Ilahi, tidak kebal terhadap pola pikir kesukuan ini, seperti yang diilustrasikan oleh dua kisah.
Belum lama ini saya berkhotbah di sebuah gereja di sebuah negara di mana pemilihan pemerintah baru-baru ini mengakibatkan perselisihan dan krisis dalam menjangkau rumah-rumah Advent yang menampilkan perkawinan antar budaya. Kebuntuan politik yang memicu ketegangan budaya antara dua suku besar memengaruhi pasangan menikah yang memiliki kepercayaan bersama yang kuat dan warisan Kristen. Sama seperti mengatakan, seorang teman saya menceritakan bagaimana, ketika dia meminta seseorang untuk membantu di San Antonio selama sesi General Conference (pada tahun 2015), dia ditolak, berdasarkan pakaian Afrika-nya. Dia diberi tahu: “Kalian memilih menentang pengurapan wanita dalam pelayanan Injil.” Kebetulan, teman saya bahkan tidak menjadi delegasi dalam sesi itu.
Cara ke Depan Bisakah kesukuan diatasi? Bisakah orang Advent hidup di atas kesukuan? Sebuah titik awal adalah untuk mengakui bahwa kesukuan adalah mode standar manusiawi kita. Sementara penelitian menunjukkan bahwa tidak
ada seorang pun yang terlahir rasis, suku, atau fundamentalis, melalui sosialisasi, anak-anak belajar sikap negatif terhadap mereka yang memiliki identitas berbeda melalui pengamatan. Di awal kehidupan kita sering diajarkan bahwa mereka yang berpenampilan, berbicara, dan bertindak seperti kita dianggap sebagai pribadi, sedangkan mereka yang memiliki identitas ber beda dianggap sebagai bukan pribadi. Pada tahap kehidupan selanjutnya, masyarakat mengajarkan dehumanisasi orang dengan identitas berbeda, menyebutkan mereka dengan nama seperti “anjing,” “kecoak,” “tikus,” atau “hama.”
Sejarah manusia dengan sedih mengungkapkan banyak momen ketika tribalisme tidak hanya dimaafkan, tetapi premis Kristen dikembangkan untuk mempromosikan ide-ide yang menyimpang ini. Pertimbangkan perbudakan Afrika-Amerika di Amerika Serikat, ideologi Nazi Hitler di Jerman sebelum Perang Dunia II, dan undang-undang apartheid di Afrika Selatan. Sayangnya, gereja Kristen sering terlibat dalam merasionalisasi dan membenarkan kesukuan.
Namun, Kristus mengajarkan prinsip-prinsip yang secara diametris bertentangan dengan setiap gagasan kesukuan. Dasar-dasar sentral kesukuan (yaitu, superioritas, identitas khusus, dan kesombongan) dihancurkan oleh ajaran dan teladan-Nya.
Pusat pengajaran Kristus adalah kerajaan Allah, kerajaan tempat ras, kelahiran, hak istimewa, atau status tidak diberikan izin masuk. Yesus berbicara tentang kelahiran baru, dimungkinkan oleh Roh Kudus, sebagai syarat masuknya. Dia juga mengajarkan bahwa etnis tidak secara otomatis memenuhi syarat siapa pun untuk kerajaan. Kristus mengkhotbahkan Injil inklusi daripada eksklusi; kedamaian dan toleransi daripada perang dan intoleransi, yaitu: “Berbahagialah orang yang membawa damai” (Mat. 5: 9).
Lebih penting lagi, Yesus dengan tegas menyatakan bahwa dunia akan mengetahui kuasa Injil dan warga kerajaan-Nya dengan persatuan yang ditunjukkan melalui kehidupan para murid-Nya. Para murid memiliki beragam latar belakang, kepribadian, dan afiliasi politik. Matius adalah seorang pemu ngut cukai yang dihina; Simon adalah seorang Zelot, aktivis politik, atau revolusioner. Terlepas dari keyakinan politik dan agama mereka, Kristus, melalui kehidupan dan pelayanan-Nya, menyatukan “kaum liberal” dan “konservatif” ini, memimpin mereka dari polarisasi ke kolaborasi, misi, dan pelayanan bagi kerajaan Allah.
Pada masa-masa ketika orang-orang Kristen, termasuk orang Advent, sedang menggambar garis di pasir, membagi dunia menjadi mereka yang bersama “kita” dan mereka yang menen tang “kita”—pada saat ketika tembok pemisah dibangun— Yesus memanggil kita untuk mengingat bahwa “Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita” (Markus 9: 40).
Rasul Paulus mengingatkan orang percaya bahwa tidak ada pilihan untuk orang Yahudi atau Yunani, pria atau wanita,
budak atau bebas, tuan atau budak di kerajaan-Nya. Paulus memahami hal ini secara pribadi ketika Ananias datang untuk membaptisnya, dan menyebut teroris religius ini sebagai “Saudara Saul” (Kisah Para Rasul 9: 17).
Kitab Kisah Para Rasul menceritakan dua kisah kuat yang sangat kita butuhkan untuk diinternalisasi. Roh Kudus memimpin para pemimpin gereja yang dihormati Ananias (Kisah Para Rasul 9: 10–17), Petrus, dan para pemimpin gereja dalam sesi (Kisah Para Rasul 10; 11: 1–18) untuk menyadari bahwa ada tempat sebelum salib bagi semua orang. Injil Kristus mengubah naluri alami manusiawi kita dan nilai-nilai masyarakat sekuler terbalik.
Menghilangkan kesukuan yang beracun dari komunitas iman kita dimulai dengan introspeksi— mencari hati kita yang belajar bagaimana kita mendukung atau mempromosikan kesukuan, dan meminta hadiah pertobatan.
Selanjutnya, kita perlu bertelut dalam penyesalan di hadapan Tuhan untuk meminta hati dan sifat baru untuk membatalkan kesalahan yang telah kita sebabkan, secara sadar atau dalam ketidaktahuan. Kita harus keluar dari dinding kelompok suku kita untuk berada di dalam Kristus.
Ketiga, kita harus memulai misi penghancuran dinding ketika kita mempraktikkan dan memberitakan prinsip-prinsip tandingan budaya Kristus. Mari kita undang semua orang untuk merobohkan tembok “suku” manusia mereka untuk persekutuan universal Kristus. Ketika kita menyerahkan kebanggaan, eksklusivisme, superioritas, dan identitas kesukuan kita, kita akan bergabung dengan komunitas eskatologis, tanpa tembok dari setiap suku, bahasa, bangsa, dan orang-orang di lautan kaca untuk menyanyikan puji-pujian Tuhan.
Ketika dunia menjadi lebih gelap dan lebih terpolarisasi setiap hari, sekarang saatnya bagi gereja untuk menunjukkan kepada dunia seperti apa ecclesia Kristus, komunitas sejati, benar-benar terlihat—tanpa dinding, tanpa kasta, namun tak ternilai dalam pandangan Allah.
Kelvin Onongha, Ph.D., adalah profesor misi di Universitas Advent Afrika, yang berlokasi dekat Nairobi, Kenya.
Fitur
Tidak untuk Dijual
Ethics and church leadershi
G.T. Ng melayani sebagai Sekretaris Eksekutif General Conference (GC). Pesan berikut diadaptasi dari yang ia sampaikan kepada Komite Eksekutif GC selama pertemuan Rapat Tahunan 2019–Editor.
Dalam beberapa bulan kita akan berada di Indianapolis, pada sesi General Conference (GC). Saya mendengar berbagai pertanyaan tentang tujuan sesi GC. ■ Benarkah Tuhan menunjuk, tetapi Panitia Pemilih mengecewakan? ■ Adakah yang namanya ambisi benar, atau ketamakan suci? ■ Kapankah giliran saya untuk melayani Tuhan dalam kapasitas penting? ■ Apakah yang saya perlukan untuk terpilih?
Pemilihan Ditentukan
Saya tidak dapat menemukan definisi yang tepat untuk “pemilihan gereja” dalam kamus, jadi saya membuat sendiri. “Pemilihan di Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh adalah proses bersama yaitu dengan sepatutnya membentuk komite tubuh Kristus dengan penuh doa memilih para pemimpin untuk melayani dalam posisi kepercayaan sebagai penatalayan untuk masa pelayanan yang ditentukan. Pada akhir periode pelayanan, para pemimpin terpilih melepaskan posisi kepengurusan mereka dan siap untuk ditugaskan kembali ke peluang layanan lainnya yang memenuhi misi gereja dan memajukan kerajaan Allah.”
Memahami Posisi
Posisi adalah penatalayanan dalam tindakan. Saat saya duduk di kursi ini, saya adalah seorang pelayan kursi itu, dari posisi itu, untuk periode yang ditentukan. Tetapi jika saya berpikir bahwa saya memiliki posisi itu, perilaku saya pasti akan berubah. Dalam pola pikir ini kita memiliki posisi, dan posisi itu memiliki kita. Kita ditentukan oleh posisi kita, dan harga diri kita didasarkan padanya. Orang-orang cenderung menghargai kita karena posisi kita, dan tidak harus seperti apa diri kita. Dan lebih buruk lagi, semakin lama kita menempati posisi itu, semakin kita terpikat padanya.
Jika kita mengubah pemikiran kita, posisi kita mengambil terang baru. Kita adalah pelayan, bukan pemilik. Kita tidak ditentukan oleh posisi kita, dan kita menerima bahwa masa jabatan kita terbatas. Kita siap untuk ditugaskan kembali jika Tuhan menghendakinya. Dan dengan demikian kita memiliki ketenangan pikiran. Mantan Ketua Divisi Amerika Utara Charles Bradford sering berkata: “Jika Anda tidak dapat
menerima untuk tidak terpilih, Anda tidak boleh menerima ketika terpilih.”
Pemimpin “Sejati”
Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh saat ini membutuhkan para pemimpin “Sejati,” karena Yesus adalah “Sejati.”
Para pemimpin sejati menolak untuk dibeli atau dijual. Integritas mereka tidak untuk dijual. Prinsip-prinsip mereka tidak untuk dijual. Kepemimpinan mereka tidak untuk dijual. Dan kesetiaan mereka kepada Tuhan tidak untuk dijual.
Dalam pemilihan gereja, bagaimanakah kita harus memilih? Menurut hati nurani, bukan kebijaksanaan politik. Pekerjaan harus dilakukan secara transparan dan tanpa konspirasi. Kita harus didorong oleh motif murni sebagai individu, bukan sebagai bagian dari aliansi politik. Kita harus ingat untuk menjadi pelayan yang setia dan tidak mencari bantuan untuk istilah lain.
Dan ketika kita memilih, kita berhati-hati untuk mengevaluasi kualifikasi. Kita harus puas dan menolak ketamakan, memandang ke Pemimpin Sejati, Yesus Kristus, yang memberdayakan kita untuk menolak dibeli atau dijual. Jika masa tugas kita berakhir, kita kemudian melepaskannya dengan rahmat, tetap berkata “baiklah-baiklah bagiku” di garis depan pikiran kita.
Itu harus menjadi komitmen kita sebagai pemimpin gereja ini.