1
Edisi III XII 2011
“Tontonan Tidak Lagi Menjadi Tuntunan” barangkali ungkapan itu sangat tepat menyikapi maraknya sinetron pertelevisian belakangan ini, hingga kemudian sinetron “SAMPEYAN MUSLIM?” datang menawarkan konsep sosial yanglebih religius, dengan menyajikan lakon yang mengacu pada tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah yang di kemas dalam bentuk dakwah dan humor. sinetron yang masih merupakan garapan salah satu keluarga besar Pesantren Zainul Hasan Genggong ini, mencoba memformulasikan sisi vertikal dan horisontal secara proporsional ke dalam action aktor-aktornya. dengan harapan bisa menginspirasi perilaku masyarakat luas dalam dunia nyata. Saksikan setiap hari jam 19.00 sampai 20.00 WIB
2
Edisi III XII 2011
Dapur Redaksi
Terus Tumbuh Dengan Peningkatan Mutu Alhamudilillah, dengan semangat yang tak pernah lekang, Majalah Genggong telah terbit edisi ketiga. Majalah yang ada ditangan anda merupakan suatu perjuangan yang kami lakukan untuk menyajikan informasi-informasi aktual dan menarik untuk anda baca. Pembaca budiman, Majalah Genggong sebagai media pesantren, diharapkan mampu menjadi media terbaik dalam memberikan akses informasi keislaman dan memberikan wawasan keilmuan di bidang sosial, budaya, hukum dan pendidikan. Majalah Genggong, media yang selalu berpedoman pada Ahlussunnah Waljamaah anNahdliyah akan selalu hadir untuk memberikan yang terbaik. Untuk itu merupakan suatu keniscayaan bagi kami, adanya masukan dari pembaca dengan kritik dan sarannya demi kemajuan Majalah Genggong kedepan. Karena proyeksi untuk penerbitan Majalah Genggong edisi selanjutnya akan terbit setiap dua bulan. Sebab itu dukungan dari segenap elemen masyarakat, santri, alumni dan simpatisan merupakan kebutuhan yang tak terbantahkan. Dalam rangka peningkatan mutu Majalah Genggong ini, kami selalu berbenah diri untuk memperbaiki kekurangan yang ada dalam diri kami. Salah satu upaya kami adalah melakukan studi banding ke Buletin Sidogiri pada pertengahan bulan oktober yang lalu untuk mengetahui bagaimana sistem dan manajemen produksi serta sistem pemasaran yang diterapkan di Buletin Sidogiri sebagai bahan perbandingan untuk perbaikan bagi masa depan Majalah Genggong yang lebih gemilang. Sedapat mungkin kami berusaha untuk terus tumbuh, belajar berkarya dan memberikan yang terbaik bagi pembaca Majalah Genggong. “MAN JADDA WAJADA” Kalimat sakti berbahasa Arab ini bermakna ringkas tapi tegas ”Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil”, Kata mutiara sederhana ini sangat kuat tertanam di benak kami dan terus menjadi penguat semangat bagi Kru majalah ini. Kiranya, hadirnya Majalah Genggong edisi ke III dengan tema “Islam Agama Rahmatan Lil Alamin” dan “ Membangun Pendidikan Berkarakter Bangsa” memberikan manfaat bagi kita semua, manfaat di dunia, lebih-lebih di akhirat nanti. Amin ya Robbal ‘alamin Selamat membaca…
foto: Ayex
kunjungan Majalah Genggong ke Buletin Sidogiri.
Edisi III XII 2011
3
Daftar Isi Kolom Pendidikan Karakter; Dari Wacana ke Realitas 37 Dapur Redaksi 3 Daftar Isi 4 Surat Pembaca 5 Tajuk Rencana 6 Ibroh
7
12
Islam Agama Sosial
Pustaka Syarah Nadhom Safinatun Najah
Khazanah Mengurai Perkembangan Iptek Dalam Kandungan Al-Qur’an 63 Kelana Al-Wahan Melahirkan “Kaum Beragama Tak Beriman” 66
24
Kegagalan Lembaga Pendidikan Dalam Membangun Nilai Karakter Membangun Pendidikan Berkarakter bangsa 30
27
Konsultasi
37
71
Resensi Mantra Sakti Man Jadda Wajada 73
Bahtsu
Wawancara: Prof. Dr. H. M. Mas’ud Said, Ph.D
69
Humor
Opini: Pendidikan Padat Isi Miskin Makna 34
Pelindung: KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah, SH. MM Penanggung Jawab: KH. Fauzi Imron, Lc Penasehat: Gus dr. Moh. Haris Damanhuri Pimpinan Umum: Muhammad Qomaruzzaman Sekretaris Umum: Hasan Jazuli Bendahara: Edisi III XII 2011 Taufiq Hidayat
57
Pesantren Pesantren Ra’iyatul Husnan; Kental Dengan Aroma Genggong 60
Opini: Islam Antroposentris; sebuah kritik atas kemunduran islam 20
4
Sastra Ibu 48
51
16
Wawancara: Dr. H. Khairuddin Aqib, M.Ag Ta’allum 26
Budaya Ziarah Kubur; Antara Ritual dan Realitas 45
Figur Kiai Abdul Jalil; Dengan Pesona Kezuhudannya
Islam dan Modernitas; sebuah upaya mencapai harmonisasi kehidupan 8 Islam Agama Kemanusiaan
Artikel Lepas Membentuk Pribadi Santri Kontekstualis Dengan Berma’rifah Pada Rasulullah SAW 41
77
Tafsir Manusia Masuk Surga; Karena Amal atau Rahmat Allah? 79
Pimpinan Redaksi: Abdillah Luthfi Dewan Redaktur: Haqqul Yaqin Muslihati Redaktur Pelaksana: Imron Fahim, Ainul Yaqin Design: Ayex Reporter: Ibnu Arobi, Saiful Islam, H. Ali Makki, Fauziyah
Muh. Saifullah, Luthfi Hidayat, Babul Ariefandi, Arief Rizqi H, M. Kasyiful Anwar, Aziz Koresponden: Mufid El-Badrus Ahmad Makki H Khoiruddin Zaki Misnatun, Zainullah F. Marketing: H. Syamsuddin, Moh. Soim, Ali, Sholeh Hasan, Mahri, Muzammil Damanhuri, A. Subhan K.
Surat Pembaca Ketika itu saya mau membeli majalah favorit saya di NJ (Nurul Jadid, red) paiton, tanpa sengaja saya melihat seorang alumni Genggong membaca sebuah majalah mungil dengan cover KH. Mutawakkil Alallah, kemudian saya membeli darinya, setelah membaca isinya, ternyata sangat bagus, banyak informasi keislaman, juga banyak kisah yang menarik hati. Makanya saya tidak ingin ketinggalan membeli MG untuk edisi-edisi selanjutnya. Dengan membaca MG, saya seperti mendapat materi perkuliahan langsung dari Kyai Genggong, lewat MG ini, saya mendapat petunjuk Allah. Sumbang saran nih, bagaimana kalau pada edisi mendatang memuat biografi Kyai Sepuh dan karomahkaromahnya, Bahtsul Masail dan informasi jadwal agenda acara-acara besar Genggong. Demikian dari saya. Semoga MG semakin kreatif. Moch. Hasan Bashori. PonPes Nurul Yaqin Sumberanyar Paiton Saudara Hasan yang terhormat, Terimakasih atas perhatian dan doa anda untuk MG. Kami masih terus berbenah agar semakin hari MG ini semakin berkualitas. Untuk itu saran, kritik membangun dan kepedulian dari orang-orang seperti anda tetap kami perlukan. Alhamdulillah, sebagian dari saran anda sudah kami hadirkan pada edisi kali ini. Yakni bahtsul masail Dan Untuk Biografi kyai, ada K. Abd Jalil, sebagai salah satu masyayikh Genggong. Selamat membaca!!. Assalamu alaikum Saran untuk MG, 1. Bagaimana jika lembar konsultasi, bahasanya dirubah menjadi “SOWAN�, memuat Tanya jawab baik yang lewat sms atau email dari pembaca? 2. Kami tertarik pada lembar humor santri. Kalau bisa humornya diperbanyak dan diperkaya dengan gambar juga? 3. Jika bisa ada rubrik jelajah pesantren (Profil, sejarah, galeri dan pengasuh pesantren se indonesia. 4. Berita islam internasional itu perlu. Abdullah. Alumni Genggong Waalaikum salam Wr. Wb. 1. Usulan anda akan kami pertimbangkan 2. saran Anda untuk konten humor, pada edisi kali ini sudah kami beri rubrik khusus. 3. Alhamdulillah, edisi kali ini kami menampilkan profil Ponpes Ra’iyatul Husnan Wringin Bondowoso. 4. Saran yang sangat menarik. Kami sedang memperluas penyebaran reporter kami ke luar negeri. doakan kami pada edisi mendatang, Insyaallah berita islam internasional sudah bisa anda nikmati. Assalamu alaikum Saya salah seorang penikmat MG yang selalu menunggu terbitan berikutnya. Saya punya saran nih. Bagaimana kalau rubrik konsultasi bukan hanya soal remaja, persahabatan dan cinta. Tapi juga ada konsultasi agama, mengingat ini sangat penting dalam kehidupan di masyarakat? Terima kasih. Siti Aisyah, Probolinggo Waalaikum salam Wr. Wb. Terima kasih telah menjadi pembaca setia MG. Saran Anda sangat bagus, pada edisi kali ini sudah ada rubrik konsultasi agama, melalui rubrik Bahtsu. Redaksi Majalah Genggong menerima tulisan, artikel, opini, cerpen, puisi, atau karya ilmiah yang lain. kirim via email ke: majalahgenggong@yahoo. com. Tulisan adalah karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Redaksi berhak merubah bahasa atau tulisan, senyampang tidak merubah maksud dan isi tulisan. Tulisan yang dimuat akan mendapatkan T-Shirt Ekslusif Majalah Genggong.
Usulan, saran, kritik atau info penting untuk Majalah Genggong, silahkan kirim via Email: majalahgenggong@yahoo.com atau via sms: 085233333324 (Ayex), 085257846353 (Qomar). dengan menyertakan nama dan alamat.
Alamat Redaksi: Jl. Kapasan pajarakan kulon Kec. Pajarakan Kab. Probolinggo 67281 Tlp. (0335) 846995 Edisi III XII 2011 Email: majalahgenggong@yahoo.com Majalah Genggong @MajalahGenggong
5
Tajuk Rencana KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah, SH. MM. Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong
Islam; Rahmat Bagi Semesta Alam السالم عليكم ورحمةاهلل وبركاته بسم اهلل واحلمدهلل والصالة والسالم على رسوهلل سيدنا ومولنا . امابعد.محمد والحول وال قوت االباهلل وعلى أله وصحبه ومواله
6
Alhamdulillah, Majalah Genggong sudah bisa terbit untuk yang ketiga kalinya dengan harapan mudah-mudahan majalah ini membawa manfaat bagi kehidupan kita sebagai ummat beragama dan kehidupan kita sebagai bangsa dan bernegara indonesia. Majalah Genggong ini merupakan proses pengembangan sumberdaya manusia bagi santri dan alumi Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong. Untuk edisi kali ini membawa tema Islam Rahmatan Lil Alamin. Tema ini sangat penting sekali, mengingat banyaknya aliran-aliran atau gerakan-gerakan baik dalam negeri maupun sebagai imbas transnasional yang salah dalam mengartikan pengamalan dan pemahaman tentang syari’at agama islam. Alhamdulillah, di Indonesia ini, agama islam yang dibawa oleh wali songo telah disesuaikan dengan kultur Indonesia, sehingga agama dapat dikulturisasikan menjadi kultur bangsa indonesia. dan ini pula yang membuat agama islam yang disebarkan oleh para wali songo dan kemudian dilanjutkan oleh para santrinya yang kebanyakan adalah pendiri dan penerus pesantren-pesantren yang ada di bumi pertiwi ini dapat menjadi perekat komponen bangsa dan dapat menjadi penyatu komponen bangsa dalam rangka memperkuat negara kesatuan republik Indonesia, hal ini harus terus di pupuk dan dipertahankan. Mudah-mudahan kehadiran Majalah GeEdisi III XII 2011
nggong ini dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan kita beragama, kehidupan kita berbangsa, terutama untuk proteksi generasi muda dari pemahaman-pemahaman agama yang salah, dari dekadensi moral, dari budaya luar yang tidak sesuai dengan budaya bangsa indonesia, terutama tidak sesuai dengan Akhlaqul Karimah. Bagaimanapun juga subbanul yaum rijalul ghod pemuda hari ini adalah penerus hari esok. Sehingga peran serta pemuda didalam melanjutkan pemahaman islam Rahmatan Lil Alamin dibawah kepemimpinan ulama-ulama Nahdhatul Ulama dibawah arahan pengasuhpengasuh pondok pesantren, merupakan sesuatu yang sangat mendasar untuk dapat mempertahankan nasionalisme yang religius dan religis yang nasionalis, dan nasionalis yang tidak bertentangan dengan syariat agama yang dibawa oleh junjungan besar nabi Muhammad Sallalahualaihi Wasallam. Khusus para alumni dan santri, saya berharap, supaya telaten dan istiqomah menjadi pembaca Majalah Genggong, dan sekaligus memberikan masukan untuk Majalah ini. Sebab ini merupakan pengembangan dari amar ma’ruf nahi mungkar, pengembangan dari pada amanah yang di atsar-kan oleh para pendiri Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong. Maka sudah selayaknya dan seharusnya para alumni dan santri mendukung berkembangnya majalah ini. Selamat menikmati dan membaca Majalah Genggong ini. Semoga bermanfaat. Amin والسالم عليكم ورحمةاهلل وبركاته
Ibroh
www.ustadchandra.wordpress.com
Prolog; Memahami Makna Islam Sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin Laporan: Imron Fahim, Abdillah Luthfi, Ibnul ‘Arabi, H. Makki, Muh. Saifullah, Arief Rizqi H.
H
arun Yahya dalam artikelnya di www.harunyahya.com, menyebutkan bahwa selama 20 tahun terakhir, jumlah kaum Muslim di dunia telah meningkat secara perlahan. Angka statistik tahun 1973 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Muslim dunia adalah 500 juta; sekarang, angka ini telah mencapai 1,5 miliar. Kini, setiap empat orang salah satunya adalah Muslim. Bukanlah mustahil bahwa jumlah penduduk Muslim akan terus bertambah dan Islam akan menjadi agama terbesar di dunia. Peningkatan yang terus-menerus ini bukan hanya dikarenakan jumlah penduduk yang terus bertambah di negara-negara Muslim, tapi juga jumlah orang-orang muallaf yang baru memeluk Islam yang terus meningkat, suatu fenomena yang menonjol, terutama setelah serangan terhadap World Trade Center pada tanggal 11 September 2001. Serangan ini, yang dikutuk oleh setiap orang, terutama umat Muslim, tiba-tiba saja telah mengarahkan perhatian orang (khususnya warga Amerika) kepada Islam. Orang di Barat berbicara banyak tentang agama macam apakah Islam itu, apa yang dikatakan Al Qur’an, kewajiban apakah yang harus dilaksanakan sebagai seorang Muslim, dan bagaimana kaum Muslim dituntut melaksanakan urusan dalam kehidupannya. Ketertarikan ini secara alamiah telah mendorong peningkatan jumlah warga dunia yang berpaling kepada Islam. Hal luar biasa yang sesungguhnya sedang terjadi dapat diamati ketika kita mempelajari perkembangan tentang kecenderungan ini, yang mulai kita ketahui melalui surat-surat kabar maupun berita-berita di televisi. Perkembangan ini, yang umumnya dilaporkan sekedar sebagai sebuah bagian dari pokok bahasan hari itu, sebenarnya adalah petunjuk sangat penting bahwa nilai-nilai ajaran Islam telah mulai tersebar sangat pesat di seantero dunia. Dan kini seolah semakin nampak bahwa Islam menjadi rahmatan lil ‘alamin. Melihat perkembangan Islam yang semakin pesat tersebut, memunculkan beragam pertanyaan; pertanda apakah ini? Apakah Islam akan kembali pada masa keemasannya seperti yang pernah dicapainya dulu? Benarkah Islam hadir sebagai agama yang menjadi rahmat bagi alam semesta? Bagaimana Islam bisa memberikan sentuhan nilainya di era modern ini? Untuk mengetahui jawabannya, silahkan ikuti ulasan dari Majalah Genggong berikut. Selamat menikmati! Edisi III XII 2011
7
Ibroh
Islam dan Modernitas; Sebuah Upaya Mencapai Harmonisasi Kehidupan
D
8
i abad kedua puluh ini, ilmu pengetahuan telah memberi kepada umat manusia berkah yang sangat melimpah. Salah satunya adalah memberi kemudahan kepada manusia di dalam mencari materi, serta dalam memperluas horizon pemikirannya. Pada sisi yang lain, ilmu pengetahuan juga mendatangkan kegelisahan jiwa yang sangat hebat; semakin terkikisnya perhatian pada pedoman spritual dan etika “kebenaran dan keadilan” yang telah menjadi benteng kokoh setiap peradaban besar di masa lalu. Saat ini, hal-hal yang absolut tampaknya telah menjadi impian yang tidak bisa terwujud. Dunia kita kini adalah dunia yang sarat dengan relativitas baru dan menjadi sangat asing. Pada saat yang muncul tuntutan bagaimana menemukan sesuatu pengganti yang bermakna bagi kesadaran kita akan nilai yang telah hilang. Dunia, tanpa terkecuali, sedang mengalami proses modernisasi secara besar-besaran (the grand process of modernization). Istilah “modern” berasal dari kata Latin ‘moderna’ yang mempunyai arti ‘sekarang’, ‘baru’ atau ‘saat ini’. Sedangkan kata kerjanya adalah modernisasi. Menurut Karen Amstrong (2001), modernisasi selalu melibatkan globalisasi, sedangkan globalisasi mempunyai dampak terhadap terjadinya pertemuan antara budaya impor yang berwatak lebih maju (progres), dan mempunyai unsur kapitalistik yang nantinya menggusur eksistensi budaya lokal. Globalisasi juga akan melahirkan sekularisasi pemahaman dogma-dogma agama. Edisi III XII 2011
Akan tetapi, dalam realitasnya, modernisasi justru memberikan kenyamanan dalam sisisisi tertentu bagi kehidupan umat manusia. Ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi serta menguatnya akar-akar rasionalismenya, modernitas telah banyak membantu manusia meraih sesuatu yang dulunya dianggap mustahil dalam kehidupan ini. Cita-cita manusia untuk menaklukkan alam dan menguak misterinya sebagian besar dapat atau telah terwujud dalam kenyataan. Semuanya dapat dicapai sebagai berkah modernisasi. Namun, pada saat itu pula modernisasi juga membawa malapetaka yang besar yang belum terbayangkan sebelumnya. Modernisasi dengan globalisasinya merupakan fenomena yang tidak bisa dielakkan lagi, tak terkecuali oleh umat Islam. Karena itu menjadi penting mengidentifikasi problem yang sedang menghinggapi masyarakat Islam, dan bagaimana seharusnya Islam harus dimaknai dalam konteks modernitas.
Merunut Asal-Usul Modernitas
Istilah ”modernitas” berasal dari kata sifat moderna yang berarti baru. Istilah ini, pertama kali dipakai di dunia Kristen pada gugusan tahun 490 dan 500 M yang menunjukkan peralihan dari masa Romawi lama ke periode Masehi. Istilah ini juga memuat dua hal: pertama, konsep waktu (linear, teleologis, dan progresif). Kedua, bentuk kesadaran (subjek sebagai pusat realitas dan kritik). Seorang ahli sejarah ternama, Arnold Toynbee (1957), mengatakan bahwa modernitas telah dimulai menjelang akhir abad ke-
Ibroh
Prof. Dr. H. Ali Mufrodi, MA Guru Besar Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya
15, ketika orang Barat “tidak berterima kasih kepada Tuhan tetapi kepada dirinya sendiri atas keberhasilannya mengatasi kungkungan Kristen Abad Pertengahan�. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa modernitas merupakan kelanjutan kemajuan yang pernah terjadi di masa lalu. Yaitu, Masa Kuno (Yunani-Romawi) dan masa Abad Pertengahan (yang bertepatan dengan zaman keemasan Islam). Mengenai kapan zaman modern dimulai, sangat sulit ditentukan. Namun yang jelas pada abad ke 14 dunia Barat mengalami krisis, dan ini berlangsung sampai medio abad ke 15 yang ditandai oleh suatu gerakan populis yang dikenal dengan Renaissance. Kondisi di atas mengalami pasang-surut yang pada puncaknya terjadi dua peristiwa yang menjadi titik tolak kebangkitan peradaban Barat: pertama, revolusi industri di Inggris. Revolusi ini menganugerahkan kemajuan sangat pesat di pelbagai bidang kehidupan masyarakat Barat, sehingga Alvin Toffler (1982) menganggapnya sebagai gelombang kedua peradaban manusia, pasca gemuruhnya gelombang pertama yang ditandai dengan zaman pertanian. Kedua, revolusi Prancis (1789-1799) yang ditandai terjadinya pembangunan tatanan norma-norma baru dalam hubungan sosial umat manusia. Dengan dua peristiwa besar inilah, majunya
ilmu pengetahuan dan teknologi menemukan bentuknya. Menurut Franz Magnis Suseno (1998), ciri masyarakat modern adalah adanya proses industrilisasi, industrilisasi menjadi darah daging masyarakat, karena industrilisasi tidak hanya menentukan sisi ekonomi belaka, tetapi juga menjadi way of life masyarakat Barat. Pada perkembangannya, proses industrialisasi telah menghasilkan perubahan gaya hidup manusia yang sangat mendalam, yaitu semakin banyaknya pola dan sikap manusia yang hedonis dan mementingkan dirinya sendiri tanpa melihat ruang sosialnya. Selain itu bahwa teknologi sebagai aplikasi sains menempatkan homo faber (manusia sebagai makhluk pekerja) menjadi pusat sejarah. Teknologi dijadikan sebagai ilmu baru, yaitu ilmu yang secara khusus meneliti kekuatan alam dengan tujuan untuk memanfaatkannya bagi produksi industrial, dan akhirnya menciptakan masyarakat informasi. Saat ini manusia tidak lagi mengalami ketergantungan pada alam. Dengan sains dan teknologi manusia dapat menjinakkan alam, sekalipun hal ini tidak semuanya berdampak positif, manusia justru semakin kehilangan eksistensinya. Sikap berlebihan dalam mengelola alam (baca: eksploitasi) Edisi III XII 2011
9
Ibroh mengakibatkan bencana banjir, longsor dan lain sebagainya. Selain itu, proses industrialisasi juga ditandai perubahan mendasar dalam cara berpikir manusia. Perubahan ini tercirikan dengan adanya proses diferensiasi (perbedaan) antara masyarakat, alam dan realitas transenden yang terpahami sebagai realitas yang berbeda dan tidak ada sangkut pautnya antara yang satu dengan yang lain.
Mengurai Problem Umat Islam
10
Terlepas dari kapan modernitas itu lahir, yang perlu digarisbawahi, menurut Prof. Dr. H. Ali Mufrodi MA, bahwa sedari awal Islam sudah modern, karena sejak kelahirannya Islam dapat dan mampu menempatkan dan menyesuaikan dengan keadaan yang ada di sekitarnya, dan konstruksi modern tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam agama Islam. Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa agama Islam pernah menjadi inspirasi bagi terbentuknya peradaban dunia. Dengan kata lain, menurutnya, peradaban Islam pernah berada di garda paling depan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Hal ini terjadi karena umatnya (baca: umat Islam) sadar bahwa ilmu pengetahuan harus dicari dan dikembangkan untuk mempermudah jalannya kehidupan ini. Sebut saja misalnya, apa yang telah dilakukan oleh para intelektual Muslim seperti Ibn Hisyam, Al-Biruni, Ibn Sina, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali dan lain sebagainya. Senada dengan pendapat di atas, Dr. Maksum Nur ‘Alim, MAg. Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya ini juga berpendapat bahwa Islam sangat menganjurkan untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena Islam merupakan agama yang tidak alergi terhadap perubahan. Dengan kata lain, perubahan dalam ajaran Islam, seringkali disebut sebagai sunnatullah. Maka, suatu kewajaran jika manusia, atau kelompok masyarakat, atau juga lingkungan hidup, mengalami perubahan menuju kemajuan. Namun, dalam konteks kekinian, masyarakat Muslim berada di barisan paling belakang dalam menghadapi zaman yang dulunya pernah dirintis oleh para intelektual Muslim terkemuka. Usaha yang dulunya pernah digagas (baca: Edisi III XII 2011
mengembangkan ilmu pengetahuan), kini telah berada dalam dekapan Barat. “Hal ini terjadi karena umat Islam telah meninggalkan tradisi yang ada dalam ajaran Islam, yaitu mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan�, jelas Maksum Nur Alim. Menurut Maksum, ada beberapa faktor yang mendorong para ilmuwan Barat melakukan penelitian, nota bene hal ini tidak dimiliki oleh masyarakat Muslim yang rata-rata hidup di negara berkembang, di antaranya adalah: pertama, mereka didukung oleh infrastuktur riset yang lebih baik. Dukungan infrastuktur ini terutama berupa sumber daya finansial dan institusional. Kedua, mereka terkondisikan dalam tradisi yang baik dan benar. Tradisi melakukan riset dimaksudkan sebagai pengembangan teori keilmuan (theory building). Ketiga, mereka pada umumnya memiliki kemampuan teoritis dan metodologis yang baik. Hal ini terjadi karena mereka telah dibekali dengan pengetahuan ilmu-ilmu sosial yang baik pula. Keempat, dalam beberapa kasus, mereka memiliki referensi yang sangat memadai sehingga bisa dijadikan bahan komparasi untuk sebuah kasus yang diteliti. Terakhir, mereka lebih terbuka, untuk tidak menyebut lebih berani, untuk mengambil atau melakukan penelitian hingga sampai pada suatu kesimpulan. Keterbukaan mereka ini karena tidak dibelenggu oleh kendala ideologis dan politis dalam melakukan riset. Sungguhpun demikian, menurut Ali Mufrodi, majunya Barat juga tidak bisa dilepaskan dari andil yang telah diberikan para intelektual Muslim terutama Ibnu Rusyd. Ia sangat menginspirasi para ilmuwan Barat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan saat ini. Hal ini menemukan pembuktiannya dalam pengakuan Robin Kock, menteri luar negeri Inggris. Dalam sebuah orasinya menegaskan bahwa: sesungguhnya akar peradaban kami (baca: Barat) tidak hanya berasal dari YunaniRomawi, akan tetapi juga berasal dari Islam. Pada gugusan Abad ke-20 ini kita (baca: umat Islam) mulai sadar, dan kesadaran inilah yang melecut kita untuk mengejar kemajuan yang dicapai Barat. Hal ini dilakukan dengan cara menggali khazanah intelektual Islam yang berada dalam lempengan sejarah Islam.
Ibroh Untuk mengejar ketertinggalan di bidang intelektual, setelah mengalami masa stagnasi yang berkepanjangan, umat Islam harus bangkit mengejar ketertinggalan dengan peradaban lain. “Pengaruh mistik yang begitu kuat harus digantikan dengan pemikiran yang rasional agar lebih dapat menjawab tantangan kehidupan yang nyata. Islam juga harus mampu memberikan jawaban atas persoalanpersoalan umat manusia. Oleh sebab itu pemahaman atas berbagai segi kehidupan harus dimiliki dan dikuasai oleh umat Islam”, jelas Ali Mufrodi.
Modernitas; Tantangan dan Solusi
Al-Qur’an secara desisif (sangat jelas) menempatkan manusia dalam posisi yang sedemikian sentral dan terhormat dalam kehidupan ini, yaitu sebagai “wakil” dan “partner” Allah di muka bumi atau khalifatullah fi al-ardh. Oleh karenanya, umat Islam sejatinya harus sadar akan tugas sejarahnya yaitu dalam menciptakan tatanan dan kondisi kehidupan yang terus-menerus menjadi lebih baik bagi seluruh manusia. Hal ini dimaksudkan demi mewujudkan cita-cita agama Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Masuknya modernitas ke dalam dunia Islam melewati proses yang disebut sebagai “serbuan”, hal ini pertama kali terjadi melalui peristiwa sejarah yang sangat populer, yaitu ekspedisi Napoleon Bonaparte ke Mesir (1798-1801), sehingga menyebabkan problem tersendiri terhadap umat Islam. Pergumulan antara Islam dengan modernitas merupakan salah satu agenda permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam, khususnya di belahan dunia ketiga. Realitas ini menimbulkan pendapat yang berbeda bagi intelektual Muslim dalam menyikapi modernitas. Sebut saja misalnya, Rifa’ah Rafi’ at-Tahtawi (18011873), Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), Rashid Ridha (1865-1935), dan lain sebagainya. Menurut Ali Mufrodi, salah satu terma penting Islam menghadapi modernitas adalah bagaimana melakukan reinterpretasi syariah, dengan meminjam pendapat Thariq Ramadhan, dengan tegas ia mengatakan bahwa syariah berasal dari dua sumber yang absolut; Al-
“Hal ini terjadi karena umat Islam telah meninggalkan terhadap tradisi yang ada dalam ajaran Islam, yaitu mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan”
Qur’an dan Sunnah, harus dibedakan dengan fikih, yang merupakan kodifikasi hukum oleh para sarjana. Di sini kemudian, Ramadan menjelaskan bahwa untuk memahami kedua sumber itu harus ada ijtihad yang dianggap sebagai sumber hukum ketiga setelah AlQur’an dan Sunnah. Dan baginya, memaknai syariah bukanlah sebagai kumpulan larangan, melainkan sebagai pemberi kebebasan bagi manusia, bukan sebaliknya. Dengan demikian, Ali Mufrodi dan Maksum Nur ‘Alim sama-sama sepakat bahwa reinterpretasi terhadap syariah menemukan relevansinya dalam konteks menyelesaikan problem modernitas yang sedang melanda umat manusia, tidak terkecuali masyarakat Muslim. Untuk itu, lebih lanjut keduanya juga menjelaskan, bahwa strategi yang harus disiapkan oleh umat Islam dalam menghadapi modernitas, dan agar tidak hanya menjadi penonton, bagaimana merevitalisasi tradisi-tradisi yang telah dikembangkan oleh intelektual Muslim klasik dengan cara mencari dan menggali ilmu pengetahuan Edisi III XII 2011
11
Ibroh seluas-luasnya. Tentunya, dalam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan umat Islam harus bersikap sabar, tekun dan teliti. Karena dengan ketiganya, umat Islam dapat bercermin dan intropeksi diri terhadap sesuatu yang dulunya pernah dimilikinya. Dalam analisa yang lebih kritis, meminjam pendapat M. Arkoun (1990), tugas intelektual Muslim saat ini adalah: pertama, melakukan klarifikasi historis (al-ida’ah at-tarikhiyyah) dengan berpikir ulang tentang pengalaman kesejarahan Islam selama empat belas abad. Kedua, menyusun kembali secara menyeluruh syariah, bukan hanya sebagai norma-norma untuk menyusun tatanan sosial-politik yang
ideal, akan tetapi lebih sebagai sistem semiologis untuk merelevansikan wacana AlQur’an dengan perjalanan sejarah manusia dan masyarakat. Ketiga meniadakan dikotomi antara iman dan nalar, wahyu dan sejarah, jiwa dan materi dan sebagainya demi tercapainya keserasian antara teori dan praktek. Dan untuk merealisasikan keinginan ini, harus terdapat ruang yang dapat menjamin suasana berpikir bebas dalam mencari kebenaran. Karena dengan demikian gagasan-gagasan yang muncul tidak akan terkungkung dalam ketertutupan atau, dalam peniruan-peniruan buta terhadap nilai-nilai yang ada. Wa Allahu a’lam.. []
Islam Agama Kemanusiaan 12
Manusia dilahirkan ke muka bumi memiliki peran sebagai seorang hamba dan fungsi sebagai seorang khalifah, tetapi tindakan manusia saat ini sudah tidak lagi sesuai dengan peran dan fungsinya, kenapa?
www.agengspreh.blogspot.com
F
Edisi III XII 2011
akta hari ini menunjukkan bahwa terorisme semakin leluasa bergerak di negari ini. Ironisnya hal ini dilakukan dengan mengatasnamakan agama. Salah satunya pengeboman di RAJA’s Bar dan Restaurant, Kuta Square, daerah Pantai Kute dan di Nyoman Cafe Jimbaran Bali yang menewaskan 22 orang dan 102 orang terluka. Pada tanggal 29 September 2011 juga terjadi pengeboman di Gereja Bethel Injil
Ibroh Sepenuh Keputon(GBIS Keputon), Kota Solo. Menurut Prof. Dr. HM. Ridlwan Nasir, tindakan terorisme maupun tindakan-tindakan kekerasan merupakan bentuk dan cermin bahwa manusia saat ini tidak lagi menjalankan peran dan fungsinya masing-masing. Ditegaskan oleh pria berkacamata ini, manusia sejatinya memiliki dua peran penting di muka bumi: pertama, manusia memiliki peran sebagai seorang hamba, yaitu manusia diharuskan menghamba kepada Allah SWT yang telah menciptakan semua makhluk di langit maupun di bumi. Bentuk penghambaan yang harus dilakukan salah satunya adalah melaksanakan ibadah mahdoh, seperti shalat, manusia yang menunaikan ibadah shalat baik yang wajib maupun yang sunnah maka akan terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Seperti yang dijelaskan di dalam Q.S. Al-Ankabuut : 45: “….Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar….” “Kalau shalat seseorang sudah bagus maka ia tidak akan melakukan tindakan-tindakan kekerasan seperti terorisme”. Selain itu, Direktur Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel ini juga menyatakan bahwa baik buruknya seseorang diukur dari shalatnya, k a l a u shalatnya b a g u s dan
Prof. Dr. H. Ridlwan Natsir, MA Direktur Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
istiqomah maka ibadah yang lain seperti zakat, puasa dan haji juga akan baik. “Shalat itu kan merupakan tiang agama. Kalau tiangnya tidak bagus, maka struktur bangunan yang lainnya akan ambruk”, paparnya. Di samping itu, pakar tafsir IAIN Sunan Ampel Surabaya ini menuturkan bahwa Allah SWT menciptakan manusia maupun jin tidak lain hanya untuk menyembah kepadanya, sesuai dengan isi QS. QS Adz Zariyat : 56 disebutkan bahwa: Artinya: “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah kepadaku.” Tafsir ayat Adz Zariyat ayat 56 di atas bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT hanya untuk menyembah kepadanya. Kata ‘menyembah’ sebagai terjemahan dari lafal ‘abida-ya’budu-‘ibadatun (taat, tunduk, patuh). Beribadah berarti menyadari dan mengaku bahwa manusia merupakan hamba Allah yang harus tunduk mengikuti kehendakNya, baik secara sukarela maupun terpaksa. “Jadi tidak ada alasan bagi seorang hamba untuk tidak mau menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah”, tegasnya. Di samping itu, mantan Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya ini juga menjelaskan bahwa peran manusia yang kedua, manusia memiliki fungsi sebagai seorang khalifah. Sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqoroh ayat 30: Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka : Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Dalam artian bahwa Allah SWT menciptakan manusia di muka bumi tidak hanya berperan sebagai seorang hamba tetapi manusia ditugaskan menjadi khalifah di muka bumi. Yang dimaksud kata khalifah ialah bahwa manusia diciptakan untuk menjadi penguasa yang mengatur apa-apa yang ada di bumi. Bentuk Edisi III XII 2011
13
Ibroh
Husnul Muttaqin Pakar Sosiologi IAIN Sunan Ampel Surabaya
14
pengamalan dari fungsi sebagai seorang khalifah bahwa manusia dituntut oleh Allah untuk melakukan hubungan dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. “Sehingga dari hubungan itu tercipta sebuah keharmonisan di bumi khususnya dalam kehidupan sosial”, jelas Profesor bidang tafsir ini. Ditambahkan oleh Prof. Ridlwan Nasir, bahwa ayat di atas juga menjelaskan bahwa manusia hidup di dunia ini tidak cukup hanya melakukan ibadah yang sifatnya ubudiyah saja, melainkan juga harus melakukan ibadah uhuliyah. Sehingga apabila hubungan antara manusia dengan manusianya sudah tidak baik, maka akan mengakibatkan sebuah kehancuran, akibatnya sesama manusia tidak lagi saling menyayangi dan menghargai, yang tidak seagama diteror, atau bahkan dibunuh. Tindakan seperti itu menandakan kondisi manusia yang sudah melenceng dari peran dan fungsinya sebagai seorang hamba dan khalifah. “Kerusuhan-kerusuhan di Indonesia ini bagi saya merupakan bentuk tergerusnya sikap toleransi antar sesama, baik yang beda agama, keyakinan maupun yang lain”, ujarnya. Hal senada juga disampaikan oleh Husnul Muttaqin, pakar Sosiologi Fakultas Edisi III XII 2011
Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, dia menjelaskan bahwa manusia itu harus menciptakan hubungan yang saling menghargai antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga tercipta masyarakat yang harmonis. “Kalau sudah saling menghormati maka masyarakat tidak lagi merasa takut akan ancaman-ancaman kekerasan”, tandasnya saat ditemui di ruang kerjanya. Sehingga, menurut laki-laki yang mengeluarkan zakat setiap bulan ini, manusia untuk bisa selalu berada dalam kodratnya sebagai seorang khalifah maupun sebagai hamba, membutuhkan agama yang mengatur dan memberikan rambu-rambu dalam menjalani hidup di dunia ini.
Agama Sebagai Kontrol Sosial
Salah satu fungsi agama adalah kontrol sosial. Dengan menjadikan agama sebagai kontrol sosial diharapkan manusia dapat membangun bentuk perilaku dan pola hubungan dengan sesama menjadi lebih baik. Oleh karena itu, sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Ridwan Nasir bahwa diutusnya nabi Muhammad sebagai khalifah ke muka bumi ini tidak lain hanya untuk rahmatan lil ‘alamin, yaitu pemberi rahmat kepada semua yang ada
Ibroh di muka bumi ini. Sesuai dengan firman Allah SWT “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107). Diutusnya Nabi Muhammad SAW dengan membawa ajaran Islam berarti Islam juga rahmatan lil’ alamin, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam (baca: manusia). Secara bahasa, ‘rahmat’ artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang. Atas dasar rahmatan lil’alamin agama menjadi kontrol dan memberikan batasan-batasan kepada manusia untuk selalu menghamba kepada Tuhannya dan melakukan tindakan-tidakan yang baik di muka bumi. “Jadi kalau ada yang melakukan kekerasan atas nama agama saya tidak sepakat, itu sama sekali tidak benar”, katanya sambil duduk di kursi kerjanya. Menurut Husnul Muttaqin, pria yang mendalami proyek Sosiologi Profetik ini menjelaskan bahwa manusia membutuhkan agama sebagai dasar dalam melakukan tindakan. “Agama adalah satu prinsip kepercayaan kepada Tuhan yang harus dimiliki setiap manusia, karena dengan beragama manusia bisa mengenal dirinya dan Tuhannya, dan dengan beragama manusia bisa tahu
hak dan kewajibannya sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan”, kata laki-laki yang tinggal di Kecamatan Sukodono, Sidoarjo ini. Islam, kata Dosen Sosiologi ini, adalah agama yang mengimani satu Tuhan yaitu Allah SWT dan meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusannya. Bagi umat muslim, Islam memberikan konsep tentang kehidupan yang sangat ideal dengan mengedepankan rasa solidaritas, saling menghargai dan menyayangi, pada siapapun baik muslim ataupun muslim. Karena konsep toleran itulah Islam bisa menyebar luas di Indonesia yang sebelumnya menganut agama Hindu-Buddha. “Akan tetapi saat ini masyarakat yang tindakannya sudah tidak sesuai lagi dengan ajaran Islam”, katanya sambil tersenyum. Karena penyampaian tentang konsepkonsep atau ajaran-ajaran Islam saat ini tidak disampaikan oleh tokoh masyarakat yang betul-betul paham tentang Islam, sehingga bagi orang yang baru masuk Islam atau masih dalam proses pencarian jati diri dalam Islam tidak akan bisa memahami Islam secara benar. “Oleh karena itu tokoh-tokoh masyarakat yang betul-betul paham Islam, khususnya para alumni pondok pesantren harus berperan aktif dalam proses penyampaian ajaran-ajaran Islam”, tegas alumni Universitas Gajah Mada Yogyakarta ini. []
Edisi III XII 2011
15
Ibroh
Islam Agama Sosial
M
16
isteri tujuan hidup manusia telah dijawab oleh al-Qur’an dalam Surat Adz-Dzariat ayat 56: “dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (ibadah) kepada-Ku.” Bahwa, tujuan penciptaan jin dan manusia murni merupakan bentuk pengabdian (ibadah) kepada Allah. Pola beribadah manusia sebagai tujuan hidup manusia terwujud dalam dua bentuk; pertama, ibadah mahdhoh (vertikal) hanya murni interaksi seorang hamba kepada Tuhannya. Kedua, ibadah ghairu mahdhoh (horizontal) yang polanya berhubungan dengan proses interaksi dengan sesama. KH. Zaini Mu’in, Dekan Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Nurul Jadid mengatakan bahwa Ibadah Ghairu Mahdloh adalah ibadah yang ma’qulatul ma’na artinya ibadah yang makna dan hikmahnya dapat dicerna oleh pikiran, baik karena memang dijelaskan oleh al-Quran dan as-Sunnah maupun nampak dari kehidupan nyata kaum muslimin itu sendiri. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada hakikatnya ibadah mahdloh bukan berarti tidak ada nilai sosialnya sama sekali seperti sholat, “mengapa kalau sholat dhuhur mesti empat rakaat dan sholat subuh dua rakaat dan lain sebagainya. Meskipun tidak menutup ruang untuk dapat direnungkan hikmahnya bagi orang-orang yang sudah sampai pada tingkatan tertentu di hadapan Allah. Sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqoroh :269 dikatakan bahwa Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat Edisi III XII 2011
mengambil pelajaran (dari firman Allah). Menurut Zaini Mu’in, nilai sosial dalam sholat dapat dilihat ketika sholat itu dilakukan dengan khusyuk dan memenuhi syarat dan rukunnya, maka akan membawa dampak sosial sebagaimana firman Allah QS. Al-‘Ankabut: 45 Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. Ketika tanha ‘anil fahsya wal mungkar ini tercapai sholat akan memiliki dampak sosial, misalnya terlindung dari perangai buruk orang lain dan orang lain juga terjaga dari kejahatan kita. “Hal ini merupakan sisi sosial sholat”, tegasnya. Hal senada disampaikan oleh Ahmad Juaini As’ad, M.Pd.I, pria muda yang menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Probolinggo ini menjelaskan bahwa sholat akan membawa ketenangan pada pribadi seseorang. Dengan ketenangan itu, seseorang lebih mudah mengontrol emosinya sehingga tidak reaksioner dalam menyikapi sebuah peristiwa. “Apalagi sholat berjamaah, jelas itu mengandung aspek sosial. Karena dengan sholat berjamaah kita akan bisa bersosialisasi dengan orang lain, selain untuk melatih kepekaan seseorang terhadap lingkungannya”, jelasnya. Sedangkan ibadah zakat, menurut Zainul Mu’in mempunyai dua dimensi; ada dimensi transendental yang langsung berkaitan dengan hak Allah, “tetapi yang paling dominan dalam ibadah zakat adalah dimensi sosialnya atau hak Adami”, tuturnya.
Ibroh Sementara itu, ibadah puasa juga memiliki nilai sosial karena puasa bukan hanya menahan haus, lapar dan menahan hubungan suami istri akan tetapi juga menimbulkan dampak yang dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Antara lain ketika ibadah puasa dilakukan dengan penuh disiplin dan taat asas, maka dampaknya adalah kepedulian terhadap sesama terutama terhadap kaum fakir dan miskin (mustad’afin). Menurut Gus Jon, begitu sapaan akrab Ahmad Juaini As’ad, ibadah puasa melatih kepribadian dengan karakter yang baik supaya memiliki kesabaran dan ketaqwaan yang tinggi. “Meskipun puasa merupakan ibadah yang sangat personal, tapi justru mampu membangun karakter yang peka sosial”, jelas pria yang pernah menjadi staf pengajar di MA Zainul Hasan 1 ini. Pernyataan di atas dipertegas oleh KH. Zainul Mu’in. Menurutnya, di antara hikmah puasa adalah supaya seorang muslim bisa merasakan penderitaan orang yang tidak berkecukupan. Sehingga dengan demikian, setelah melakukan training ritual puasa selama satu bulan, maka bentuk kesalehan sosial yang harus ditampakkan kemudian adalah pemberian zakat. “Bahkan orang yang memiliki
harta lebih bukan hanya diwajibkan berzakat melainkan juga di sunnahkan mengeluarkan sedekah tathawwu’nya”, tegasnya. Lebih lanjut, KH. Zainul Mu’in menambahkan bahwa ibadah haji, meskipun dalam setiap pelaksanaan ritual haji seolah hanya bersifat personal, namun justru di balik itu tersimpan sejuta makna. Diakui atau tidak, ibadah haji lebih banyak dimensi mahdlohnya, walaupun secara tidak langsung terdapat juga manfaat sosialnya, antara lain ketika ibadah haji yang sudah dilakukan itu mabrur. Maka diantara tanda kemabruran haji seperti dikatakan oleh Imam Nawawi didalam kitab Manasikul Hajj adalah perbuatan yang setelah melakukan haji itu lebih baik dari sebelum melakukan haji, dan ketika dikatakan lebih baik maka hal itu tidak hanya baik dalam spiritual tapi juga hubungan sosialnya. “Semisal sebelum melakukan haji perangainya sangat buruk terhadap sesama, setelah mendapatkan haji mabrur, maka orang lain akan selamat dari perangai buruknya. Disitulah unsur sosialnya”, tegasnya. Hal yang sama juga disampaikan Gus Jon, menurutnya, dalam ibadah haji, aspek sosial yang nampak adalah bagaimana seorang individu bisa meraih kesempurnaan dalam ibadah haji melalui penyatuan dengan individu yang lain. Sehingga pelaksanaan ibadah haji akan terasa lebih bermakna ketika dalam suasana tuntutan personal untuk penghambaan total kepada Allah, kita masih menanamkan kepedulian kepada anggota jamaah haji yang lain yang mengalami musibah. Hal semacam merupakan aspek ubudiyah murni, namun melatih kita untuk lebih bisa memahami orang lain. “Tentunya hal ini merupakan aspek untuk melatih supaya peka terhadap lingkungan sosial”, jelas putra pertama dari pasangan KH. Ali Munib As’ad dan Nyai Hj. Zainab Nurush Shofiyah ini. KH. Zainul Mu’in Dekan Fakultas Syari’ah IAI Nurul Jadid ketika mengisi Workshop Peningkatan Wawasan Kebangsaan di situbondo
Edisi III XII 2011
17
Ibroh Juaini As’ad, M.Pd.I Wakil Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Probolinggo
Fiqh Membangun Sosial
18
Gus Jon menambahkan bahwa ritual lain seperti tahlilan, jelas bisa mencetak pribadi yang peka sosial. “Ambil contoh, ketika sesorang itu tidak begitu peduli dengan lingkungannya, meskipun tetangganya menyelenggarakan acara tahlilan, diba’iyah atau acara maulid, dia tidak mau hadir, maka secara tidak langsung dia telah membentuk pribadinya sebagai pribadi yang tertutup, takut berhadapan dengan orang lain, menurut istilah madura takok ka semoh”, jelasnya. Oleh karena itu, ketika berhadapan dengan orang lain, secara psikis orang yang tidak peduli dengan kondisi lingkungannya akan minder. Sebaliknya, ketika seseorang peduli akan kegiatan dan acara di lingkungan sekitarnya, dia telah melatih mentalnya supaya tidak minder berhadapan dengan orang lain. “Dan secara otomatis, hal ini akan melatih seseorang untuk lebih peka terhadap kondisi sosial”, tegas ayah dari tiga putra ini.
Edisi III XII 2011
Kepekaan
Hukum Islam (baca: fiqh), yang menjadi pedoman bagi umat Muslim dan berlandaskan pada Al-Qur’an maupun Hadits, bukanlah sebuah ketentuan yang percuma. Tujuan dari diberlakukannya sebuah aturan (maqoshidus syar’i) adalah untuk tujuan ibadah dan tujuan sosial. Sebagaimana dijelaskan oleh KH. Zainul Mu’in, bahwa fiqih bagi umat Islam sebagai pengatur lalu lintas kepentingan, agar kepentingan semua orang itu bisa ter-ealisir dengan baik melalui agama. Beliau mencontohkan, “mengapa Islam melarang bai’ul gharar (jual-beli yang tidak jelas, -Red.)? Itu karena adanya kekaburan. Sementara itu, prinsip dasar yang paling menjiwai sistem muamalat adalah supaya kedua belah pihak sama-sama mendapatkan perlakuan adil dan mendapatkan keuntungan yang sama”, jelasnya dengan rinci. Lebih lanjut, KH. Zainul Mu’in menjelaskan bahwa pengertian adil dalam fiqh mu’amalat salah satunya dengan meniadakan unsur gharar atau ketidakjelasan sebuah transaksi, seperti ada larangan dalam hadits mengenai bai’ul hablil hablah, yaitu sistem jual beli anak hewan yang masih ada dalam kandungan induknya, seperti juga jual beli dengan cara munabadzah (transaksi dengan cara melempar dengan batu, -Red.) seperti yang berlaku pada zaman jahiliyah, karena di situ mengandung gharar. “Kecuali transaksi yang unsur maslahatnya lebih dominan dibanding ghararnya, maka hasil ikhtiyar fuqoha (ahli fiqh, -Red.) bisa ditolelir, seperti dalam akad salam (pesanan, -Red.) yang sebenarnya menurut qiyas fiqh itu tidak boleh, karena barang belum ada sementara uangnya didahulukan”, jelas dekan Fakultas Syari’ah IAI Nurul Jadid ini.
Ibroh Demikian juga seperti akad sewa di mana uang sudah dibayarkan, sementara manfaat barang yang disewa belum dinikmati oleh pihak penyewa. Tetapi karena unsur ghararnya kecil dan maslahatnya cukup besar maka fuqoha lebih mempertimbangkan kepentingan kaum muslimin. Hal ini menunjukkan Islam sangat peduli terhadap kehidupan sosial dalam mengatur kepentingan, baik antar individu maupun antar komunitas. Di sisi lain, Ahmad Juaini As’ad yang akrab disapa Gus Jon, juga menjelaskan bahwa sebagai manusia, kita dituntut untuk selalu berbuat baik, bahkan kepada orang yang jahat kepada kita. Konsep ini merupakan konsep Ihsan, di mana perilaku kita sebenarnya merupakan bagian terpenting dalam kehidupan kita. Aspek Islam, merupakan tata aturan yang, di samping mengatur pola hubungan secara vertikal hamba dengan Allah (hablum minallah) melalui ketentuan ubudiyahnya, juga mengatur pola interaksi horizontal dengan sesama manusia bahkan interaksi dengan alam (hablum
minannas dan hablum minal alam). “Oleh karena itu, di dalam fiqih termaktub dengan jelas dan lengkap mengenai aturan hubungan vertikal seperti ubudiyah, maupun aturan hubungan horizontal seperti muamalah, jinayah dan lainnya. Semua aturan itu bertujuan membentuk manusia yang utuh sebagai makhluk sosial. Aturan dalam Islam bertujuan membentuk pribadi yang tangguh sekaligus peka sosial’, jelas anggota dewan yang berangkat dari partai Golkar ini. Dalam aturan jual beli misalnya, antara penjual dan pembeli mengadakan interaksi. Pola ini mengharuskan keduanya mematuhi etika bisnis supaya jauh dari unsur penipuan dan ada upaya untuk saling mengenal dan memahami karakter masing-masing. “Ketika hal ini telah terbentuk, secara otomatis dia telah belajar untuk lebih peka kepada orang lain, menumbuhkan rasa saling pengertian dan saling menghormati”, pungkas pria kelahiran Probolinggo pada 28 Juli 1972 ini. []
FORMULIR BERLANGGANAN MAJALAH GENGGONG MOHON DICATAT SEBAGAI PELANGGAN MAJALAH GENGGONG Nama : ....................................................................................................................... Tempat/ tgl Lahir : ....................................................................................................................... Alamat : ....................................................................................................................... ............................................................. Kode Pos: ….................................... Telpon : HP:..............................Kantor : .........…… Rumah: ....................................... Mulai edisi : ...............................................… Banyaknya: ........................................ Eks Harga Berlangganan : Rp. 54.000,-/ 6 Edisi (Sudah diskon 10 %) Tidak Berlangganan : Rp. 10.000,-/ Eks - Biaya Ongkos kirim gratis dalam wilayah Jawa Timur - Biaya ongkos kirim diluar Provinsi Jawa Timur ditanggung Pelanggan Cara Pembayaran: Wesel (sertakan fotocopy resi) Tranfer Bank BCA Cabang Kraksaan a/c 2010328953, atas nama : Hasan Jazuli Pemohon (Nama Terang dan Tanda Tangan ) Keterangan lebih lanjut hub. Redaksi Majalah Genggong Jl. Kapasan Pajarakan Kulon Kec. Pajarakan Kab. Probolinggo Kode Pos : 67281 Tlp. Kantor : (0335) 846995 Hp. 085257856353 / 085233333324
Edisi III XII 2011
19
Ibroh Opini oleh: M. Faisol Fatawi *
Islam Antroposentris; Kritik Atas Kemunduran Islam
20
Kesadaran bahwa umat Islam berada dalam kemunduran sudah dirasakan hampir satu abad yang lalu. Titik balik inilah yang melahirkan kesadaran baru, yaitu kebangkitan Islam (ashr al-nahdlah) dan pembaharuan Islam (tajdid alislam)—terlepas dari beberapa ragam istilah yang digunakan. Isu kebangkitan islam diusung di berbagai belahan negara muslim atau yang mayoritas berpenduduk muslim. Kesadaran kebangkitan atau pembaharuan Islam sudah dimulai sejak Rifa’ah Thohthowi, Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridho dan lain-lain, dan terus berlanjut sampai sekarang di tangan para pemikir muslim seperti Abed al-Jabiri, Hasan Hanafi, Muhammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, Jasser Audah dan seterusnya. Tentunya, kebangkitan atau pembaharuan Islam tidak dimaksudkan mengubah atau memodifikasi ajaran dasar Islam, dan menggantikannya dengan ajaran-ajaran yang baru, yang disesuaikan dengan semangat zaman kekinian dan berbeda dengan sebelumnya. Pembaharuan islam tidak lain adalah usaha untuk memahami ulang atau reinterpretasi terhadap teks-teks keagamaan dan sumber-sumber tradisi lain yang mengiringinya, sehingga islam sebagai agama mampu merespon dan menjawab tantangan hidup yang dihadapi oleh umatnya. Arkoun menyatakan, bahwa al-Qur’an sebagai korpus resmi tertutup bersifat final. Al-Qur’an tidak akan dapat digantikan dengan teks-teks yang lain, karena memang proses pewahyuannya sudah berakhir seiring dengan wafatnya nabi Saw. Tetapi sebagai korpus resmi terbuka, alEdisi III XII 2011
Qur’an telah menyedot banyak perhatian para ilmuan maupun intelektual, muslim maupun non-muslim; menjadi objek pembacaan dan pemahaman yang darinya lahir berbagai teks keagamaan yang dalam titik tertentu dijadikan sebagai sumber rujukan melebihi teks alQur’an itu sendiri. Terdapat dua hal yang menyebabkan jumudnya Islam di tengah arus perubahan sosial yang semakin hari semakin menuju titik kemajuan akibat gerak modernitas yang tak terbendung. Pertama, miskin teori atau metodologi. Era kodifikasi (ashr al-tadwin) merupakan fase titik kemajuan yang dicapai umat Islam pada abad pertengahan. Di era ini lahir para ilmuan muslim; mereka menulis berbagai buku, menteorisasikan hasil temuannya, baik di bidang sains maupun agama. Al-Jabiri menggambarkan era kodifikasi ini sebagai titik puncak kemajuan dimana didalamnya terjadi proses ideologisasi, dekonstruksi dan negosiasi budaya. Namun sayangnya, semangat kreatifitas (al-ibda’) pasca era ini tidak dapat diwarisi dengan baik oleh generasi berikutnya. Akibatnya, pasca era kodifikasi lebih banyak melahirkan intelektual-intelektual yang memegang teguh semangat syurrah (memberi anotasi) dan naql (menukil dan menukil); memberi anotasi dan menukil karya-karya ulama terdahulu. Semangat kreatifitas dipasung oleh jargon
Ibroh
“Modernitas berpengaruh pada perubahan cara pandang masyarakat terhadap Tuhan, diri, dan alam sekitarnya.”
“tertutupnya pintu ijtihad”. Akibatnya, karyakarya para pendahulu dianggap sebagai rujukan yang dalam batas tertentu jatuh pada sikap pentakdisan berlebihan. Hilangnya ruang kreatifitas dalam batin generasi belakangan inilah yang disinyalir oleh al-Jabiri menjadi penyebab munculnya krisis teori. Kedua, menafikan dimensi sejarah. Sejarah merupakan aspek yang mengiringi dalam setiap lahirnya teks. Keduanya tidak dapat dipisahkan, terlepas dari saling keterpengaruhan yang mengiringinya. Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, kadang sebuah teks itu lahir karena adanya dorongan konteks yang berada di luar teks. Dalam kasus al-Qur’an, kita mungkin banyak menemukan adanya ayat-ayat yang diturunkan karena dorongan konteks atau peristiwa tertentu. Inilah yang dalam ulumul qur’an dikenal dengan asbabun nuzul. Artinya, bahwa dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat tertentu yang proses pewahyuannya didorong atau didahului oleh peristiwa tertentu. Di pihak lain, teks juga mampu mempengaruhi realitas di luar teks, baik secara langsung maupun tidak langsung. Prosesnya bisa terjadi dalam rentang waktu yang singkat atau lama. Al-Qur’an misalnya, sebagai sebuah teks telah mampu mengubah realitas masyarakat Arab yang pagan dan tribal, menjadi penganut agama tauhid dan menjunjung tinggi nilai-
nilai persaudaraan-persamaan. Jika saja alQur’an dalam proses pewahyuannya tidak dapat dipisahkan dari proses dialektika tekskonteks, maka menafikan aspek sejarah dalam memahami teks-teks keagamaaan, al-Qur’an khususnya dan teks-teks yang terlahir darinya (kutub al-turats), dapat memandulkan agama dalam menjawab tantangan relitas kekinian yang dihadapi umat Islam. Setidaknya, sikap penafian terhadap sejarah tergambar dalam cara umat Islam dalam memperlakukan kutub al-turats yang berlebihan; pensakralan terhadap pemikiran ulama terdahulu (taqdis al-afkar). Ini merupakan implikasi logis dari faktor pertama. Kedua hal tersebut diatas mengarahkan imaginasi sosial umat Islam berada dalam kungkungan logosentrime. Seorang muslim tidak lagi dapat mengungkapkan diri kecuali melalui media bahasa, tradisi kebahasaan dan tradisi teks tertentu. Persoalan dan tantangan yang dihadapi oleh umat dicarikan jawabannya pada teks-teks keagamaan dan atau teksteks otoritatif lainnya. Teks bersifat statik dan memiliki konteksnya, sementara realitas yang mengiringi setiap generasi terus bergerak dinamis dan menyisakan tantangannya sendiri. Akibatnya, muncul kebuntutan dalam merespon dan mencari jawaban atas tantangan yang berkembang di tengah masyarakat, sehingga mengantikan roda peradaban Islam.
Kemanusiaan verses Ketuhanan
Islam diturunkan untuk kemaslahatan manusia. Berbagai persoalan kemanusiaan, seperti dekadensi moral, pembunuhan anak perempuan yang tak berdosa, penindasan, kezaliman, kesewenang-wenangan dan seterusnya, merupakan persoalan nyata yang dihadapi oleh Rasulullah Saw ketika diperintahkan untuk mendakwahkan Islam. Persoalan kemanusiaan menjadi perhatian utama dalam dakwah kenabian. Bahkan dalam hal memberi putusan hukuman, Rasulullah pun lebih mendahulukan pendekatan pada sisi kemanusiaan ketimbang sisi yang lain. Sisi legal hukum dijalankan ketika pendekatan kemanusiaan mengalami jalan kebuntuan. Rasulullah pernah bersabda: “saya hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang terpuji.” Setidaknya, sabda ini menunjukkan betapa Edisi III XII 2011
21
Ibroh
22
sebuah agama itu hadir untuk kemaslahan umat manusia. Memang, era Rasulullah bukanlah era kita sekarang ini. Tetapi, persoalan kemanusiaan tetap saja menjadi fokus utama yang disoroti oleh agama Islam. Kita sekarang hidup di era modern dan global yang ditandai dengan kemajuan teknologi di berbagai aspek kehidupan. Modernitas berpengaruh pada perubahan cara pandang masyarakat dalam melihat Tuhan, diri dan alam sekitarnya. Berbagai persoalan sebagai akibat dari modernitas dan globalisasi menjadi tantangan nyata bagi umat Islam; masalah demokrasi, HAM, pluralisme, kemiskinan, minoritas muslim, fundamentalisme, terorisme dan setersuanya. Inilah persoalan kontemporer yang juga menjadi tantangan bagi agama Islam dalam konteks sekarang. Miskin teori dan penafian sejarah yang menyebabkan mandegnya pemikiran Islam, semakin menjauhkan umat Islam untuk merespon persoalan dan tantangan zaman. Pendekatan yang dipakai mengandalkan teksteks; jawaban-jawaban dikembalikan kepada teks-teks keagamaan melalui kerangka teologi yang bersifat ketuhanan an sich. Sebuah cara penyelesian persoalan yang berangkat dari frame ketuhanan, dan jauh dari realitas yang sebenarnya. Tentunya menjadi sebuah ironi, jika sistem akidah dalam agama disederhanakan kedalam persoalan-persoalan ketuhanan (teologi). Persoalan ketuhanan hanya salah satu hal dari sekian banyak hal yang menjadi perhatian Islam. Bahkan kalau boleh dikatakan, persoalan kemanusiaan
mendapat perhatian jauh lebih besar katimbang persoalan ketuhanan. Agar agama tidak nampak semakin mandul dalam mensikapi berbagai persoalan kontemporer, maka menarik untuk menyimak tawaran dan kritikan yang dilontarkan oleh Hasan Hanafi. Hanafi menyerukan untuk menjadikan aspek-aspek dan persoalan-persoalan kemanusiaan sebagai bagian dari sistem teologi Islam. Sehingga teologi Islam tidak lagi hanya mendiskusikan persoalan ketuhanan, tetapi persoalan kemiskinan, pe-nindasan, HAM, pluralisme dan seterusnya menjadi bagian dalam sistem teologi Islam; antroposentris. Paradigma yang dipakai adalah memahami Tuhan melalui realitas sosial dan problem yang mengitarinya. Bukan memahami Tuhan melalui dzat, sifat dan atau atribut yang menyertainya sebagaimana yang telah didiskusikan dalam teologi klasik. Pandangan Hanafi ini mungkin lebih mirip cara kaum sufi untuk mengenali Tuhan. Yaitu, “siapa mengetahui dirinya (baca: manusia), maka akan mengetahui Tuhannya.” Tetapi, tentunya tidak dalam kerangka untuk berekstasi atau meleburkan diri dengan-Nya. Memahami diri (manusia) dan segala yang melingkupinya untuk melakukan perubahan sosial menuju gerak kemajuan peradaban umat Islam. Antroposentrisme merupakan paradigma teologi yang menantang kita untuk membangun kreatifitas manusia agar tidak pasrah pada nasib, dan melakukan transformasi sosial. Bukankah “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika kaum itu tidak mengubah nasibnya sendiri”?[MF]
* M. Faisol Fatawi Tempat tanggal lahir: Gresik 1974, Pendidikan: MI Hidayatul Mubtadi’in Mojopuro Wetan Bungah (lulus 1987), MTs Ihyaul Ulum (lulus 1990), MA Ihyaul Ulum (lulus 1993), SI Fakultas Adab Jurusan Bahasa dan Sastra Arab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (sekarang berubah menjadi UIN Sunan Kalijaga), dan lulus tahun 1998. Pada perguruan tinggi yang sama, ia menyelesaikan jenjang Magister (S2), tepatnya Konsentrasi Akidah dan Filsafat (Jurusan Filsafat Islam) tahun 2004. Sekarang menyelesaikan program Doktor di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Aktivitas: Dosen tetap di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang pada Fakultas Humaniora dan Budaya Jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Karya: Beberapa karya terjemahannya telah diterbitkan, misalnya Hegemoni Quraisy karya Khalil Abdul Karim (diterbitkan LKiS Yogyakarta), Kritik Nalar al-Qur’an karya Ali Harb (LKiS Yogyakarta), Merpati Ladang Kapas karya Najib al-Kailani (Indonesiatera Magelang), Demit (Sebuah Antologi cerpen pilihan) karya Naguib Mahfoud (Pustaka Alif Yogyakarta) dan Historisitas Syari’ah karya Khalil Abdul Karim (Pustaka Alif Yogyakarta). Sempat menulis di beberapa koran, seperti Bernas, Solo Pos, Duta Masyarakat, Surya, majalah Gamma dan jurnal Taswirul Afkar.
Edisi III XII 2011
23
Edisi III XII 2011
Dr. H. Kharisuddin Aqib, M.Ag
Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya
www.at-thohir.blogspot.com
Wawancara
“Islam Tidak Cukup Dengan Pemahaman Saja�
I
slam dalam ajarannya sangat menekankan akan nilai rahmah dan rahim Tuhan. Dalam manifestasinya, sifat rahmah dan rahim termanifestasikan pada cinta, berkat, dan perasaan peduli terhadap sesama manusia. Namun, dalam perkembangannya, pandangan dan pemahaman ini dipersempit dalam pelbagai sektor saja dan tampak dalam permukaannya saja. Akibatnya, lanskap pemahaman akan ajaran Islam telah tereduksi pada pemenuhan pendakian spiritual secara individual saja, dan tanpa mempunyai dampak terhadap pemenuhan akan terjadinya transformasi sosial. Realitas yang demikian sangat tampak menyesakkan para penganutnya. Bagaimana hal yang demikian ini terjadi, berikut petikan perbincangan Kru Majalah Genggong dengan Dr. H. Kharisuddin Aqib, MA.g, Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya.
24
Menurut Bapak, bagaimana kita seharusnya memahami Islam? Islam tidak cukup dengan pemahaman saja, akan tetapi Islam juga harus dipahami dengan penghayatan dan pengamalan, sebab bisa saja pemahamannya benar tapi dalam penghayatan dan pengamalan berbeda jauh dengan konsep yang dipahami. Sebenarnya, yang menyembah pada Allah adalah jiwa, sedangkan badan hanya merupakan media peribadatan kita kepada Allah. Jadi, pada hakikatnya penghayatan inilah yang merupakan kebenaran Islam yang hakiki. Dengan hakikat seseorang bisa mencapai Tuhan. Karena dengan pemahaman yang benar, dan penghayatan serta pengalaman yang benar dalam beribadah, secara otomatis dia juga akan menjadi orang yang sholeh dan muslim yang benar. Lantas, bagaimana Islam mengajari ummatnya untuk beribadah? Manusia, alam dan seluruh makhluk hanya merupakan tajaaliyatullah (Bayangan Allah). Ketika kita beribadah pada Allah, maka ruh positif dari peribadatan tersebut juga mengenai pada bayangan-bayangan Allah. Sehingga, Edisi III XII 2011
dengan demikian secara otomatis ketika seseorang benar-benar beribadah pada Allah, maka dia juga akan berbuat baik pada seluruh aspek kehidupan yang bersentuhan dengannya. Kecuali orang yang ibadahnya terfokus pada selain Allah, maka dia tidak akan bisa mencapai Allah dan tentu saja dampak positif peribadatannya tidak bisa diharapkan, karena orientasinya bukan lillahi ta’ala melainkan ada kepentingan yang tersembunyi, tidak ada yang tahu selain Allah. Jadi, menurut Bapak tidak ada jarak antara ibadah yang sifatnya privat dengan ibadah yang bersifat sosial? Tidak ada, jika ibadahnya benar-benar hanya untuk Allah semata. Sebab, seperti yang dijelaskan di atas, seluruh makhluk hanyalah merupakan bayangan Allah, dan tidak ada yang lepas dari jangkauan-Nya. Jadi ketika kita menyembah pada dzat Tuhan berarti proses peribadatan itu juga mengenai pada seluruh makhluk-Nya, sebab sejatinya yang ada hanyalah Allah, sedangkan mahluk hanyalah bayangan-Nya. Misalnya, kita hormat pada bendera maka bayangannya pun juga terlihat
Wawancara
Dr. H. Kharisuddin Aqib, M.Ag
Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya
sebab ia merupakan satu kesatuan. Tapi ketika hormat pada bayangan bendera belum tentu kelihatan pada benderanya. Namun, bagaimana dengan orang yang secara dlohir ibadahnya terlihat kuat, akan tetapi masih lemah secara sosial, apakah tipologi orang seperti ini dapat disebut shaleh? Ya tidak. Kita sering menilai orang dari sosok luarnya saja atau secara dhohir saja, tapi belum tentu rohaninya sudah benar. Namun, ketika ibadah seseorang sudah baik dan benar, maka secara otomatis dia juga menjadi orang yang shaleh secara sosial tentunya. Seseorang beribadah hanya dalam rangka memenuhi tercapainya kualitas individu yang saleh, tanpa mempunyai dampak terhadap terbentuknya kesalehan sosial. Realitas inilah yang sejatinya jarang kita temukan akhir-akhir ini. Mahmoud Muhammad Thaha memaknai shalat bukan hanya sekedar gerakan, melainkan juga pengetahuan dan sikap. Dengan shalat, kita menjadi sadar dan ingat, serta kedamaian dalam hati dapat diwujudkan. Sehingga dalam realitas sosial kedamaian akan bisa diwujudkan dengan shalat yang benar, sadar, dan dewasa. Bagaimana menurut Bapak? Ya sama dengan tadi. shalat itu merupakan manifestasi dan miniatur seluruh peribadatan dalam Islam. Kalau sholatnya baik maka, baik juga amalnya. Begitu juga sebaliknya, jika shalatnya buruk maka buruk juga amalnya. Sebab shalat itu pada intinya untuk dzikrullah (mengingat Allah). Dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang dan damai. Jadi jika sholatnya belum bernilai dzikrullah, maka tidak akan menghasilkan kedamaian hati. Oleh karena itu, kalau sholatnya belum bisa menghasilkan ketenangan dan kedamaian hati, berarti kualitas shalatnya masih harus ditingkatkan. Menurut Bapak, dalam konteks masyarakat kita di Indonesia, yang mayoritas Islam, banyaknya tempat ibadah, masjid, mushalla, dan lain sebagainya, tentunya kesejahteraan
sosial bisa diwujudkan dalam waktu yang cepat. Namun, dalam realitasnya, pelaku tindak pidana korupsi, pelaku pemalsuan surat dan pengemplang pajak, pelaku tindak kekerasan adalah “mereka� yang notabene beragama Islam. Apakah dalam realitas yang demikian ini, ajaran agama Islam hanya dipahami pada dimensi permukaan saja tanpa menyelam lebih jauh terhadap sisi substansialnya? Memang yang banyak seperti itu, orang ber-Islam dalam artian sesungguhnya sejak zaman nabi dulu, komposisi keislaman dan ke-imanan seseorang itu seperti kerucut yang sangat lancip. Hanya sedikit orang yang punya kualifikasi sangat bagus. Hal ini terekam dalam peristiwa perang Uhud. Pada waktu itu rasulullah mampu mengumpulkan 1000 orang. Kemudian 700 orang disersi karena masuk orang munafik sehingga tersisa 300 orang muslim. Di saat perang, ketika panglima Qurays Kholid bin Walid melakukan tipu muslihat dengan meninggalkan barang jarahan dan berpura-pura meninggalkan medan peperangan, ternyata dari 300 mukmin hanya sekitar 70 orang yang tetap bertahan dan tidak tergoda. 70 orang inilah yang keislamannya dan ke-Imanannya teruji. Jadi dapat dipahami bahwa kualitas keber-Islaman masih harus terus ditingkatkan dan tanpa ada akhir. Jadi, bagaimana sejatinya hubungan Islam, Iman dan Ihsan harus dimaknai dan diterapkan dalam realitas kehidupan sosialkemasyarakatan? Ya three in one, dalam ber-Islam itu harus mampu menyeimbangkan ketiganya, dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Orang yang ber-Islam tapi tidak ber-Iman maka dia fasiq, sebaliknya orang yang ber-Iman tapi tidak ber-Islam maka dia zunduq, sedangkan orang yang ber-Iman dan ber-Islam itulah hakikat kebenaran Islam. Seorang bisa dikatagorikan sebagai muslim yang benar ketika seorang Muslim tersebut mampu menyeimbangkan Iman, Islam, dan Ihsan dalam kepribadiannya. []
Edisi III XII 2011
25
Ta’allum
Prolog; Membangun pendidikan Berkarakter Bangsa
www.widyamandala.ac.id
Laporan: Moh. Qomaruzzaman, Saiful Islam, Lutfiah, Babul Arifandi , Aziz
26
D
ekadensi moral sudah menjadi fenomena umum yang melanda umat manusia sekarang ini. Terutama peradaban barat yang menyuarakan kebebasan telah mengalami kerusakan moral yang luar biasa. Ironisnya budaya barat yang sudah mengalami kerusakan moral itu mereka sebarkan ke negara-negara berkembang. Akibatnya, budaya lokal masyarakat terkontaminasi dengan budaya barat, dan pada akhirnya budaya lokal mengalami kegoncangan dan semakin dekat dengan gaya hidup barat. Indonesia adalah satu korbannya. Melihat perkembangan terakhir di indonesia tergambar dengan jelas betapa merosotnya akhlak moral bangsa ini. Dekadensi moral terjadi terutama di kalangan remaja bangsa ini. Sementara pembendungannya masih berlarut-larut dengan konsep yang tidak jelas. Sehingga hal tersebut banyak di keluhkan orang tua, pendidik dan orang-orang yang berkecimpung di bidang agama, sosial, bahwa anak-anak remaja terutama yang sedang berumur belasan tahun yang masih berada dibangku sekolah banyak yang sukar dikendalikan, nakal, keras kepala, senang berbuat keonaran (tawuran), melakukan seks bebas dan hal-hal yang mengganggu ketertiban umum. Dalam hal ini peran media sangatlah besar, baik media cetak maupun elektronik. Coba kita lihat tayangan televisi yang bertema dunia sekolah, bukannya mengajak anak-anak indonesia untuk rajin belajar, film-film yang ada malah mengajak dan mencontohkan untuk berpacaran, hura-hura dengan gaya hidup yang glamor, dan bergaul bebas. Imbasnya benar-benar dirasakan oleh anak-anak indonesia, dari masyarakat kota sampai pedesaan. Akibatnya mereka mengalami kemerosotan moral yang cukup signifikan. Melihat probelmatika moral remaja yang semakin tidak terbendung, maka dibutuhkan adanya langka preventif dalam menanggulangi hal tersebut, seperti halnya; Bagaimana peran dan tanggung jawab orang tua dalam mendidik anaknya? dan bagaimana pendidkan di Indonesia mampu memberikan penanaman moral dalam setiap proses pendidikan? Untuk mengetahui jawabannya, silahkan ikuti ulasan dari Majalah Genggong berikut. Selamat menikmati!
Edisi III XII 2011
Ta’allum
Kegagalan Lembaga Pendidikan Dalam Membangun Nilai Karakter
P
erkembagan zaman kian hari terus meningkat, baik dalam ilmu pengetahuan dan teknlogi maupun perkembangan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Perkembangan yang terus menerus meningkat ini mempunyai efek positif terhadap kemajuan dalam bidang keilmuan. Tapi, di satu sisi juga mempunyai efek negatif, khususnyadalam penanaman moral satu bangsa. Dapat kita ketahui, hari ini, perkembangan keilmuan dan kemajuan teknologi di indonesia juga kian meningkat, tapi disisi lain, pendidikan moral di indonesia juga mengurangi penurunan. Hal terlihat di berbagai pemberitaan media masa, bagaimana sikap remaja kita, baik di tingkat SLTP maupun di tingkat SLTA, bahkan di Perguruan Tinggi banyak terjadi tawurantawuran, baik antar kelas maupun antar sekolah, tidak hanya itu, pengaulan bebas dan film-film porno yang beredar dikalangan, banyak yang masih berstastus berada dalam bangku sekolah atau menyandang status mahasiswa. Seperti contoh kasus, diberitakan Surya (10/10/2010), Sekitar 300 siswi Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) I Magetan, Jawa Timur, menjalani tes kehamilan bekerja sama dengan Dinas Kesehatan setempat. Tes kehamilan ini diperuntukkan bagi kelas XI, yaitu bagi siswi yang usai menjalankan ‘prakerin’ atau praktik kerja industri. Tujuan tes kehamilan itu adalah sebagai salah satu upaya penanggulangan kenakalan remaja atau pelajar yang menjadi kekhawatiran sekolah. Selain itu, juga langkah preventif adanya hubungan seks bebas pada anak usia sekolah. Persoalan lain yang hari banyak terjadi maraknya siswa memakai narkotika, korupsi di kalangan elit politik, sedangkan di sekolah,
Prof. Dr. Prof. Dr. Junaidi Ghoni Guru Besar UIN Sunan Maulana Malik Ibrahim Malang
contek masal, guru memberikan contekan pada siswa ketika UN, sehingga lulus 100% ketika UN bukanlah hal yang membangkan. Hal ini mencerminkan gagalnya sekolah dalam membagun nilai-nilai moral dan mental peserta didik di indonesia. Kalau kita cermati dan amati tujuan dari sistem pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-undang RI No 20 tahun 2003 menjelaskan tentang bagaimana membentuk kesadaran dalam diri peserta didik dan mengembangkan potensi dirinya serta memiliki kekuatan spritual keagamaan, kepribadian, akhlak mulia dan sekolah serta guru mampu menumbuh kembangkan keterampilan peserta didik . Tapi, pada kenyataanya tujuan dari sistem pendidikan nasional tersebut telah melenceng dalam prakteknya, problematika di atas contoh nyata bahwa sekolah telah gagal mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Karena tidak mampu mengemban fungsi dan tugas sekolah yang berorientasi membentuk manusia seutuhnya sesuai dengan tujuan sistem pendidikan nasional. Untuk menanggulangi persoalan-persoalan moral dan etika remaja, menurut Prof. Dr. Junaidi Ghoni, guru besar UIN Sunan Maulana Malik Ibrahim Malang menyatakan, �Karakter Edisi III XII 2011
27
www.metro.vivanews.com
Ta’allum
Razia tawuran pelajar
28
merupakan salah satu aspek kepribadian manusia indonesia, yang di yakini dapat berubah dari baik menjadi jelek atau sebaliknya. Jadi, pembangunan karakter itu sangat penting baik secara individu atau kelompok khususnya bagi bangsa indonesia. Terkait dengan itu, maka yang namanya karakter itu adalah sifat pembawaan yang tak terlepas dari proses kejadiaanya.” “Yang perlu di perhatikan ketika berbicara karakter bangsa, adalah upaya pengawasan yang dilakukan oleh lapisan masyarakat, utamanya orang tua, guru, tokoh masyarakat dan pemerintah” ungkap Prof. Jun, sapaan akarab beliau. “Pertama orang tua, karena orang tua merupakan orang pertama yang harus memahami kepribadiaan anak. Sebab Allah SWT telah memberi tuntunan melalui hadits nabi di saat ayah dan ibu sedang berkumpul, dan nabi memberikan contoh dengan melalui sholat, berdoa, berbuat baik agar di beri keturunan yang baik.” Beliau menjelaskan lebih lanjut, ”disebutkan dalam hadits nabi, kullu mauludin yuladu ‘ala alfitrah, fa abawahu yuhawwidanihi au yunasshironihi au yumajjisanihi. setiap bayi yang terlahir dalam keadaan fitrah (suci), kedua Edisi III XII 2011
orang tua-Nyalah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Dalam Pengertian hadits diatas, menurut Prof. kelahiran Sampang ini, “Ketika anak masih kecil dan berada dalam lingkungan rumah tangga, karakter pembiasaan pada anak sangat penting untuk dijaga, seperti halnya berbuat baik, berbuat sopan pada orang lain dan jujur pada diri sendiri, ataupun pada orang lain, ini harus dimulai dalam pendidikan keluarga, karena perilaku orang tua merupakan cermin bagi anak. setelah anak mulai bermain dengan anak-anak dan lingkungannya, maka pergaulan anak harus dijaga oleh orang tua, dengan siapa dia bermain. Sebab pengaruh lingkungan sangat besar efeknnya, tidak hanya itu, media yang di tonton anak dan bacaanbacaan yang bisa membawa anak pada hal negatif juga perlu dijaga oleh orang tua.” Ungkap Mantan Dosen UNZAH ini. Ada suatu perumpamaan, anak itu ibaratkan ranting pohon, ketika dari kecil pohon itu bengkok setelah besar akan sulit untuk meluruskanya. Karena itu anak waktu masih kecil pendidikan dalam keluarga harus benarbenar dijaga, supaya anak mempunyai dasar pendidikan moral yang kuat.
Ta’allum Dalam mendidik dan mengawasi anak, tidak hanya orang tua yang mempunyai tanggungjawab, tapi juga guru, karena waktu anak berada di sekolah gurulah yang bertanggungjawab terhadap pendidikan anak, Menurut Dosen UIN Sunan Maulana Malik Ibrahim malang ini, “Guru seperti diungkapkan Ki Hajar Dewantara adalah di gugu dan ditiru. Apalagi anak itu masih kecil, maka semua tingkah laku guru, ucapan guru, itu akan ditiru oleh anak, tidak hanya transfer ilmu yang diperhatikan oleh anak didiknya.� Maka dari itu guru harus profesional seperti tertuang dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Selain profesional guru juga harus dapat mencerminkan dirinya sebagai pendidik serta dapat dijadikan panutan bagi peserta didiknya. Hari ini pemerintah memberlakukan pendidikan karakter, hal ini adalah upaya untuk menanggulangi kenakalan remaja. Upaya tersebut oleh pemerintah di serahkan pada sekolah yang tak lain adalah guru. Guru sebagai pengajar dan juga pendidik wajib memasukkan
nilai-nilai karakter dalam silabus pelajaran yang akan dijadikan pedoman dalam setiap proses kegiatan belajar-mengajar. Tujuan sebenarnya dari pendidikan karakter ini adalah membentuk akhlak peserta didik yang dibiasakan mulai dini. Maka dari itu peran guru, orang tua dan masyarakat sangat penting. Untuk menciptakan lingkungan yang berkarakter diperlukan adanya perhatian dari semua pihak. Seperti halnya “kalau anak di sekolah, pedomannya adalah guru, kalau gurunya tidak bisa di gugu dan ditiru, bagaimana anak didiknya. Kalau dalam keluarga pedomannya orang tua, kalau orang tuanya tidak bisa digugu dan ditiru bagaimana dan kepada siapa anak harus bertanya, minta perlindungan dan belaian kasih sayang. Kenapa anak sering kaluar rumah, karena kedua orang tua sibuk kesana kemari mencari sesuap nasi, akhirnya anak ditinggal dan menyusu sama sapi. kalau dimasyarakat adalah tugas semua elemen masyarakat, baik tokoh masyarakat ataupun pemerintah.� Ungkapnya Prof. Jun pada Majalah Gengggong sambil bercanda. []
29
Edisi III XII 2011
Ta’allum
Membangun Pendidikan Berkarakter Bangsa
P
esantren Sebagai Basis Pendidikan
30
“Pendidikan sepanjang hayat” untaian kata ini seringkali kita dengar utamanya pada seminar-seminar pendidikan. Dalam kata tersebut tersirat makna bahwa sejak manusia lahir hingga meninggal senantiasa melakukan proses belajar dalam hidupnya, baik proses belajar secara formal (sekolah), maupun pengalaman langsung dalam kehidupan sosial masyarakat. Setiap persoalan yang dihadapi manusia dalam hidupnya tidak pernah lepas dari sebuah proses pembentukan karakter pada dirinya. Pendidian memiliki peran penting dalam setiap pengambilan keputusan yang pada akhirnya melahirkan sebuah pengalamanpengalaman baru dalam kehidupan. Berbicara pendidikan tidak pernah bisa terlepas dari pesantren sebagai pendidikan tertua di Indonesia, hingga saat ini model pendidikan pesantren masih bertahan meski tidak sedikit yang telah mengalami perkembangan dan pembaharuan di tengah-tengah modernisasi pendidikan di luar pesantren itusendiri. Mulanya pesantren merupakan sebuah padepokan para santri yang di prakarsai oleh Sunan Ampel di daerah Surabaya. Dari situlah cikal bakal berdirinya pesantren di Indonesia, lambat laun pesantren akhirnya menjadi sebuah pusat pendidikan masyarakat. Harus diakui bahwa pesantren-pesantren yang dulu pernah mengalami kejayaan, sebagian mengalami kesurutan sejarah karena regenerasi tenaga kependidikan yang tidak disiapkan dalam pengkaderan serius. Sementara arus perubahan yang sedemikian kuat terhadap pesantren, justru menjadikan dunia pesantren tertantang untuk menjawab problematika pendidikan di masyarakat. Kondisi pesantren di Indonesia pada umumEdisi III XII 2011
nya bersifat dinamis, dengan penyesuaian pada kebutuhan dan tuntutan zaman namun tanpa menghilangkan jati dirinya. Jati diri yang dimaksud adalah content pendidikan yang cenderung berbasis salafi, berakhlakul karimah, dan senantiasa menanamkan nilainilai terpuji pada santrinya, demikian yang dikemukakan Drs. Abdul azis Wahab, M.Ag, Kepala Biro Pendidikan Pesantren Zainul Hasan Genggong yang merupakan salah satu pesantren tertua di Probolinggo. Sementara menurut KH. Fauzi Imron, Lc selaku mantan ketua salah satu perguruan tinggi yang berada dibawah naungan pesantren, beliau menegaskan bahwa pesantren pada waktu itu hanya sebatas tafaqqul fiddin yakni tempat yang semata-mata murni mengajarkan ilmu keagamaan. “Pada masa penjajahan, pesantren salaf ini lalu berevolusi menjadi lembaga doktrinisasi perlawanan terhadap penjajah yang dikomandoi oleh para kyai sepuh” imbuhnya. Sementra pada masa kemerdekaan, pesantren mulai mengalami pergeseran system. Dalam perkembangannya, hingga saat ini sedikitnya ada 3 system yang dianut mayoritas pesantren indonesia. Pertama, pesantren klasik tradisional yang tetap bertahan dengan pola lama, dimana ilmu yang dikembangkan hanya ilmu salaf saja. Kedua, pesantren semi modern dengan ciri akulturasi antara pola lama yang salafi dengan dibumbui faham-faham modern. Dan ketiga pesantren era modern, dimana system yang dipakai cenderung mengedepankan kemajuan iptek, seperti yang dipraktekkan pondok modern Gontor Ponorogo. Pada perkembangan selanjutnya. pertumbuhan pesantren di Indonesia ternyata tidak hanya berperan dalam bidang ritual keagamaan, namun pengaruhnya telah
Ta’allum “merangsek” ke berbagai sendi kehidupan masyarakat. Pesantren turut berperan aktif dalam pembentukan karakter bangsa, tak terkecuali pada pengentasan dekadensi moral bangsa yang telah menjadi kasuistik nasional. Pesantren dengan nilai-nilai “aswaja” (paham para pengikut nabi dan sahabatnya) akan memperkuat nilai-nilai kesalehan pribadi. Kebebasan akademik yang mengabaikan etika tidak berlaku di pesantren, karena tujuan pesantren adalah mencetak santri yang kritis, cerdas namun beretika. Sebuah pendapat me-nyatakan bahwa sebelum reformasi, pendidikan pesantren berhasil mendidik tetapi gagal mengajar. Sebaliknya, lembaga pendidikan formal pemerintah berhasil mengajar tetapi gagal mendidik. Hal ini terjadi karena dalam system pengajarannya pesantren kaya “qudwah” (keteladanan) tetapi miskin modal, sementara lembaga pendidikan formal pemerintah unggul di sisi finansial tetapi tidak didasari qudwah yang baik layaknya pendidikan pesantren. Pasca reformasi, peran pesantren bisa lebih maksimal karena selain dibekali qudwah juga sudah dibekali tata kelola keuangan yang baik. Selain itu, kebijakan pemerintah yang melunak terhadap kebijakan otonom pesantren turut membantu memaksimalkan pengembangan pendidikan di pesantren. Hal ini, tentu berbeda dengan kondisi pesantren era orde baru dimana aktifitasnya selalu dalam kontrol penuh pemerintah.
Pendidikan Pesantren Membentuk Nilai Karakter Pendidikan modern diIndonesia dewasa ini se-benarnya dihadapkan pada dilema pendidikan yang cukup substansial, yaitu bahwa penyelenggaraan pendidikan hanyalah menitikberatkan kepada transmisi sains dan mengabaikan pendidikan karakter, padahal pendidikan sains yang tidak disertai pembinaan karakter akan membawa proses dehumanisasi. Jika ini yang terjadi, maka akan berimbas pada hilangnya nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme. Yang tak kalah mengerikan, adalah terbentuknya kepribadian
yang terbelah (split personality) pada peserta didik. Dan pesantren dinilai sebagai benteng pembangunan budi pekerti (akhlak) dan pusat pendidikan karakter bangsa, apalagi dengan pola pembinaan yang dilangsungkan selama kurang lebih 19 jam sehari. Terkait sistem pendidikan karakter di pesantren, Drs. Abdul Azis Wahab, M.Ag, menjelaskan bahwa perlu diupayakan langkah-langkah strategis sistematis meliputi pembelajaran yang tuntas dalam memberikan pemahaman, sehingga ada penguatan pemahaman baik materi maupun prakteknya. Selain itu, proses pendidikan pelatihan (drill) juga harus dikembangkan. Terakhir, adanya penerapan proses pembiasaan untuk berprilaku positif. Ketiga sub tersebut perlu digalakkan dalam segala proses pembelajaran pada pendidikan pesantren, sehingga ada kebutuhan untuk berprilaku baik yang pada akhirnya akan membentuk karakter siswa. Bagaimanapun, kurikulum yang ada harus bisa membentuk siswa yang cerdas baik cerdas intelektual, cerdas emosional maupun cerdas spiritual. Guru juga harus mampu mem-bentuk karakter siswa yang positif feeling, positif thinking dan positif action. Lebih jauh, pria yang juga menjabat sebagai Pembantu Ketua I Bidang Kemahasiswaan STAI Zainul Hasan ini juga menjelaskan beberapa benang kusut yang harus diurai
Drs. Abdul Azis Wahab, M.Ag Biro Pendidikan Pesantren Zainul Hasan Genggong
Edisi III XII 2011
31
foto: Qomar
Ta’allum
KH. Fauzi Imron, Lc DPP Tanaszaha Pesantren Zainul Hasan Genggong
32
lembaga pendidikan formal di pesantren jika ingin penanaman nilai karakter luhur bergerak simetris dengan out-put lulusan yang mumpuni. Menurutnya, latar belakang sosial siswa yang berbeda baik segi ekonomi, status sosial, maupun lingkungannya haruslah diperhatikan oleh para tenaga pendidikan pesantren. Selain itu, tingkat kesadaran santri pada umumnya tidak sama serta tingkat keterampilan guru yang juga berbeda, sehingga menyebabkan penerapan metodenya pun tidak maksimal. “Persoalan lainnya adalah tantangan dari luar seperti pengaruh teknologi dan globalisasi yang semakin merajalela serta “trend” pergaulan bebas di luar pesantren juga perlu diperhatikan”, jelasnya. Pandangan lebih minimalis dilontarkan KH. Fauzi Imron, Lc. Menurut pria yang kini menjabat sebagai salah satu ketua MUI Kabupaten Probolinggo ini, bahwa penanaman nilai karakter luhur di pesantren intinya ada pada qudwah (pola keteladanan), dimana seorang kyai/ustadz harus bisa menjadi panutan santrinya yang ditunjang dengan aktualisasi kurikulum secara luas, dalam arti kurikulum yang menyangkut pelajaran di dalam kelas dan diluar kelas (intra dan ekstra). Sementara masih adanya pesantren inklusif yang menolak ide-ide modernisasi, kurang maksimalnya peran tenaga pendidik dalam memberikan materi pelajaran, serta pengaruh Edisi III XII 2011
dunia informasi globalisasi yang semakin terbuka menjadi “pe-er” serius yang harus diselesaikan pesantren agar misi pengentasan dekadensi moral bangsa tercapai. Terkait indikator keberhasilan out-put lulusan, kedua tokoh ini bersepakat bahwa alumnus pendidikan pesantren saat ini haruslah memenuhi beberapa kriteria, diantaranya adalah lulusan pendidikan pesantren tetap memiliki kepribadian yang shaleh, lulusan pendidikan pesantren dapat diterima di sekolah favorit, dan lulusannya banyak menjadi praktisi publik sesuai dengan keahlian masing-masing.
Kurikulum Pendidikan Pesantren Harus Multi Metodik
Dalam metode pendidikan modern (tak terkecuali di lingkungan pesantren), kurikulum selalu menjadi kajian strategis yang tak pernah lekang untuk dibahas. Kurikulum yang merupakan penyelenggaraan satuan pendidikan dalam dasawarsa tertentu pada suatu lembaga sebenarnya bisa berbentuk apa saja, asalkan memiliki peranan untuk mengembangkan potensi peserta didik dalam proses pendidikannya. Bahkan dalam hal ini,
“...penanaman nilai karakter luhur di pesantren intinya ada pada qudwah (pola keteladanan)”
Ta’allum pendidikan pesantren justru jauh sebelumnya sudah menjalankan model kurikulum yang tidak hanya sebatas pada materi pembelajaran di dalam kelas tetapi lebih dari pada itu, semua program kegiatan yang ada di pesantren memuat kurikulum yang dijalankan oleh para santri untuk mengembangkan keilmuan dan pengalamannya di mana saja, seperti melatih hidup sederhana, mengatur kepentingan bersama, mengurus kebutuhan sendiri, ibadah dengan tertib dan riyadhoh. kembali bapak Abdul Azis sapaan akrab pria yang sedang menempuh pendidikan S3 di Unisma Malang ini berpendapat bahwa metode pendidikan di pesantren haruslah multi metode, multi strategi, dan multi media. pemaduan metode klasik dan modern juga mutlak diperlukan, tak terkecuali dalam penerapan kurikulum, pelatihan, maupun praktek dilapangan, seperti sekolah system fullday, boarding school, dan sejenisnya. Pendapat serupa juga diungkapkan kiai Fauzi Imron, menurut tokoh pendiri Pondok Pesantren Islamiyah Salafiyyah Sumberanyar Paiton Probolinggo ini, metode pengajaran di pesantren era sekarang harus berubah lebih variatif dan inovatif. Pesantren akan tertinggal jauh jika metode pengajarannya tetap mengandalkan system klasikal maupun halaqoh. System pengajaran pesantren yang identik dengan wathonan (kyai membaca sementara santri mendengarkan) maupun sebaliknya sorogan (santri membaca
sementara kyai mendengarkan) harus dipadukan dengan metode-metode baru yang telah banyak diterapkan. Pada prinsipnya, content kurikulum di pesantren setidaknya tetap mempertahankan madrasah salafiah/madin, yang merupakan cikal bakal pengembangan pesantren dengan berorientasi pada kajian kitab-kitab salafi. Meski demikian, orientasi nasionalisme jangan sampai ditinggalkan sehingga santri meski mahir kitab salaf tetapi juga pandai sains dan informasi teknologi. Selanjutnya kurikulum salaf di pendidikan formal, dijadikan sebagai kurikulum (kearifan) lokal. Penanaman nilainilai keislaman, keimanan, dan keikhlasan dalam kehidupan pesantren melalui penguatan pemahaman, pelatihan, serta pembiasaan sehingga terbentuk karakter islami yang utuh. Dari beberapa uraian pendapat kedua tokoh diatas, setidaknya dapat memberikan konklusi sederhana, bahwa pesantren merupakan kawah candradimuka pendidikan karakter bangsa. Pesantren memberikan kontribusi signifikan dalam membangun moralitas dan karakter bangsa, dengan harapan pesantren mampu menjadi lembaga pendidikan terbaik guna mencetak karakter bangsa yang luhur dan cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual. Pesantren bukan sebagai pendidikan alternatif, namun sudah semestinya menjadi pilihan utama sebagai basis pendidikan karakter bangsa. []
Edisi III XII 2011
33
Ta’allum Opini oleh: Akh. Muzakki, Grad Dip SEA, M.Ag, M.Phil, Ph.D*
Pendidikan Padat Isi, Miskin Makna
34
S
ejak ditetapkannya Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 1959 melalui Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959 ter-tanggal 28 November 1959, sudah lima puluh tahun perkembangan pendidikan nasional bergerak dengan segala plus dan minusnya. Salah satu plusnya adalah semakin menguatnya kesadaran publik di negeri ini atas pentingnya pendidikan bagi pembangunan manusia beserta karakternya sebagai bangsa Indonesia. Namun, ironisnya, kesadaran itu ma-sih belum diikuti dengan pemahaman yang sempurna tentang esensi dari penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Pendidikan selama ini lebih dimaknai sebagai transmisi materi, dan bukan pembangunan karakter. Indikasi dari kecenderungan di atas jelas terlihat dari beberapa fakta yang menyembul ke permukaan. Setiap kali muncul sebuah kasus, setiap kali itu pula muncul keinginan dari sejumlah pihak untuk “memaksakan� masuknya daftar keinginan yang dimiliki ke dalam kurikulum pendidikan untuk memerangi kasus dimaksud. Saat korupsi semakin terasa mengharibiru negeri ini, sebagai misal, muncul keinginan agar pendidikan antikorupsi masuk ke dalam kurikulum nasional. Kehendak itupun menjadi diskursus publik yang mengemuka. Edisi III XII 2011
Ta’allum Saat kehendak tersebut berkembang, muncul pula kasus terorisme dan kekerasan di pentas nasional. Seakan tak mau kalah dengan korupsi, terorisme bergerak kencang untuk menjadi perhatian publik menyusul dampak negatif sosial-politik dan ekonominya yang hebat. Maka, muncul pula keinginan di sejumlah kalangan untuk memasukkan pendidikan antiterorisme ke dalam kurikulum nasional. Begitu pula dengan kasus narkoba. Menyusul efek negatif yang ditimbulkan narkoba pada anak, muncul desakan agar pendidikan anti-narkoba masuk ke dalam kurikulum mulai sekolah dasar. Bahkan, pada persoalan sangat teknis seperti tindak berlalu lintas, muncul keinginan agar ada kurikulum pendidikan lalu lintas menyusul mulai efektinya pada Januari 2010 UU Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009 yang menggantikan UU Nomor 14 Tahun 1992. Sebagai realisasi atas kepentingan itu, Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh bersama Kapolri Bambang Hendarso Danuri meneken nota kesepahaman bersama tentang pendidikan lalu lintas yang akan diajarkan mulai SD hingga SMA, bahkan perguruan tinggi (Jawa Pos, “Tertib Lalu Lintas Masuk Kurikulum,� 09/03/2010). Tulisan singkat ini akan mendiskusikan kecenderungan pendidikan di negeri ini. Untuk membahas persoalan ini, tulisan ini akan diawali dengan pencermatan atas makna esensial dari pendidikan itu sendiri. Selanjutnya, tulisan ini juga akan menganalisis ukuran keberhasilan pendidikan dalam menyelenggarakan fungsinya mengaktualisasikan makna esensialnya sebagaimana dimaksud. Dalam kerangka ini, pencermatan sekilas terhadap begaimana nilai pembangunan karakter diwadahi oleh UndangUndang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Makna Esensial
Bila setiap ada kasus sosial politik lalu memunculkan kehendak untuk menciptakan kurikulum pendidikan sebagai solusi antitesisnya, maka pendidikan nasional akan terjebak pada problem padat isi namun miskin makna.
Pada pendidikan yang padat isi namun miskin makna dimaksud, desain dan sekaligus proses penyelenggaraannya cenderung tak lebih dari sekadar menyampaian informasi melalui pembelajaran materi. Semua informasi dan atau materi yang kebetulan menjadi perhatian publik dianggap penting untuk dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum pembelajaran tanpa adanya proses seleksi esensial yang menunjuk kepada pemahaman dasar atas persoalan. Dalam proses seleksi esensial ini, bukan kasus perkasus yang menjadi perhatian. Akan tetapi, persoalan dasar yang menjadi pemicu atas munculnya kasus perkasus itu yang dipertimbangkan. Korupsi, terorisme, narkoba, dan lalu lintas adalah kasus-kasus yang muncul di permukaan. Makna dasar-esensial yang mengkerangkai kasus-kasus ini adalah menyangkut prinsip kultural namun mendasari bangunan kehidupan individu dan masyarakat seperti kejujuran, kedisiplinan, dan hidup sehat. Sementara itu, esensi pendidikan adalah transmisi nilai kultural (cultural transmission), dan bukan sekadar penyampaian informasi berupa kasus materi pembelajaran (Christopher Winch dan John Gingell, 2004:18). Pada pemahaman praktisnya, pendidikan yang esensial tidak mempertaruhkan diri pada hilir persoalan, dan lalu menjadikannya sebagai titik perhatian besar. Sebaliknya, pendidikan yang sarat makna esensial seharusnya lebih sibuk mengurusi dan menyelesaikan hulu persoalan. Korupsi, terorisme, narkoba, dan lalu lintas mestinya dalam konteks pendidikan nasional tidak diperlakukan sebagai hulu, melainkan hanya hilir.
Ukuran Keberhasilan
Sebagai konsekuensi dari perhatian atas makna esensial di atas, pendidikan nasional seharusnya bukan berorientasi pada seberapa banyak informasi materi dan atau seberapa tinggi terakomodasinya kasus-kasus di atas ke dalam proses pembelajarannya. Atau dengan kata lain, keberhasilan pendidikan nasional tidak ditakar dari seberapa akomodatifnya terhadap pembelajaran antitesis atas kasus korupsi, terorisme, narkoba, dan lalu lintas, Edisi III XII 2011
35
Opini
36
berdasarkan tingkat penguatan kasus-kasus dimaksud ke permukaan kehidupan individu dan publik. Alih-alih, yang seharusnya menjadi perhatian pendidikan nasional adalah penumbuhan nilai dasar kultural, di antaranya berupa kejujuran, kedisiplinan, dan hidup sehat, sebagaimana dijelaskan di atas. Artinya, pendidikan nasional seharusnya tidak tambal sulam dengan diderek oleh kepentingan “sesaat” dan kekinian, akan tetapi berorientasi kepada kepentingan besar ke depan yang melintasi dimensi kasus perkasus dan melayani kebutuhan universalnontemporer. Justeru, keberhasilan pendidikan pendidikan nasional kita sangat ditentukan oleh kesuksesannya sebagai medium penumbuh dan penguat nilai dasar kultural-kemanusiaan yang membentuk manusia Indonesia ini sebagai bangsa yang bermartabat. Kejujuran, kedisiplinan, dan hidup sehat merupakan contoh di antaranya. Otomatis, keberhasilan dalam melakukan penguatan atas nilai dasar kultural-kemanusiaan oleh pendidikan nasional tersebut dengan sendirinya akan penjadi pemicu dan pemantik bagi terselesaikannya persoalan hilir yang justru kontraproduktif bagi kehidupan individu dan masyarakat, seperti tindak kekerasan berwajah terorisme, konsumsi narkoba hingga ketidakdisiplinan dalam berkendara atau berlalu lintas. Dengan cara berpikir seperti itu, pendidikan bisa dikembalilkan kepada makna dan fungsi dasarnya sebagai pembebas dari keterbelakangan dan keterpurukan perilaku hidup, serta sekaligus penumbuh nilai dasar kemanusiaan. Mengapa begitu? Karena, pendidikan tidak sekadar menyelesaikan kasus di hilir kehidupan individu dan publik, akan tetapi menghujam masuk ke hulu atau lapisan dasar kehidupan, di antaranya melalui prinsip kejujuran, kedisiplinan, dan hidup sehat di atas. Dengan penguatan nilai dasar di hulu kehidupan dimaksud, pendidikan baru bisa bergerak secara fungsional bagi pembangunan karakter bangsa ini. Dengan penyelenggaraan pendidikan yang kaya makna dan bukan padat isi, Edisi III XII 2011
keberlangsungan semangat dan nilai dasar kultural-kemanusiaan yang menjadi landasan bagi pembangunan karakter bangsa bisa dipertahankan. Sebab, kasus boleh berganti, namun semangat dan nilai dasar kulturalkemanusiaan tetap harusnya tak lekang oleh perubahan waktu. Namun, ironisnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional justru cenderung miskin dalam menegaskan amanah mengenai pengembangan nilai karakter peserta didik. Dalam catatan saya, kata “karakter” hanya dua kali disebut dalam Undang-Undang tersebut. Yakni, pada bagian Penjelasan atas UndangUndang tersebut Pasal 37 (ayat 1). Penyebutan kata “karakter” dimaksud, itupun, dilakukan dalam konteks bahan kajian atau pembelajaran seni dan budaya serta pendidikan jasmani dan olahraga. Bunyi penjelasan pada pasal 37 (ayat 1) dimaksud berbunyi: “Bahan kajian seni dan budaya dimaksudkan untuk membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa seni dan pemahaman budaya. Bahan kajian seni mencakup menulis, menggambar/melukis, menyanyi, dan menari. Bahan kajian pendidikan jasmani dan olah raga dimaksudkan untuk membentuk karakter peserta didik agar sehat jasmani dan rohani, dan menumbuhkan rasa sportivitas.” Penyebutan kata “karakter” dan pemberian kerangka atasnya, sebagaimana dimaksud di atas, jelas merupakan bentuk pendegradasian, pereduksian, dan sekaligus pendevaluasian atas esensi nilai pengembangan karakter. Pasalnya, pengemasan nilai malalui kata “karakter” hanya disandingkan dengan bahan kajian seni dan budaya serta pendidikan jasmani dan olah raga. Hal yang demikian ini justru menunjukkan miskinnya strategi perencanaan, penguatan, dan pengarusutamaan nilai dan semangat pembentukan karakter bangsa. Maka, jangan heran jika penyelenggaraan pendidikan nasional masih menyisakan persoalan dari sisi ketercapaian dan ketuntasan pengembangan karakter bangsa ini. [] * Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pendidikan Diniyah (LPPD) Provinsi Jawa Timur
Wawancara
Prof. Dr. H . M. Mas’ud Said, Ph.D
Guru Besar Sosial dan Politik UM Malang
Membangun Nilai Karakter Bangsa
K
enakalan remaja di era modern ini sudah melebihi batas yang sewajarnya. Banyak anak dibawah umur yang sudah mengenal Rokok, Narkoba, Freesex, dan terlibat banyak tindakan kriminal lainnya. Fakta ini sudah tidak dapat diungkuri lagi, karena dapat kita lihat brutalnya remaja jaman sekarang di media masa maupun di sekitar lingkungan kita berada. Problematika tersebut mengidentifikasikan bahwa pendidikan moral remaja di bangsa ini telah mengalami degradasi. Berikut petikan lengkap wawancara wartawan Majalah Gengong dengan Prof.Dr. H. M. Mas’ud Said, Ph.D Guru Besar Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Malang yang juga menjabat sebagai Ketua Penelitian dan Pengembangan (LITBANG) PWNU Jawa Timur. Bagaimana menurut bapak tentang pendidikan moral bangsa hari? Jadi kalau kita berbicara moral bangsa, tidak lepas dari perkembangan teknologi mutakhir ini, sebab teknologi telah banyak digunakan dan menjadi kebutuhan bagi masyarakat, hampir disetiap elemen masyaraka dan sekolah teknologi dijadikan sarana media akses informasi, dan penggunaan media tersebut tergantung penggunanya apakah digunakan kearah positif atau negative. Contohnya televisi, intenet dan yang lainnya. Disamping itu, media mempunyai pengaruh besar tehadap perilaku seseorang, apalagi remaja dan anakanak yang keinginannya cenderung meniru seperti apa yang dilihat. Karena itu, dibutuhkan uswatun hasanah untuk mereka dari semua lapisan masyarakat. Terutama orang tua, para ulama atau kiai, tokoh masyarakat dan pemerintah yang bertanggung jawab menjadi kontrol sosial dan panutan bagi mereka. Para remaja hari ini membutuhkan panutan, seperti halnya di pesantren, kiai dan ustadz yang notabenenya adalah guru, kiai juga menjadi uswatun
hasanah bagi para santrinya. Oleh sebab itu, dalam lingkungan dan keluarga dibutuhkan uswatun hasanah bagi para kalangan remaja utamanya orang tua dan para guru disekolah. Tidak lepas dari semua itu, peran media bagaimana sekirannya seperti televisi dan meida yang lain bisa memberikan pendidikan kearah yang positif dan mendidik, sebab dalam kehidupan keseharian kita media menjadi tontonan yang sangat dominan. Prof. Dr. H . M. Mas’ud Said, Ph.D ketika membaca Majalah Genggong
foto: Fauziyah
Edisi III XII 2011
37
Wawancara Bagaimana dengan sekolah, apakah sekolah hari ini bisa dikatakan gagal dalam membentuk moral bangsa? Saya kira tidak, tapi hari ini kan pemerintah telah mengeluarkan peratuan penanaman nilai-nilai pendidikan karakter. Karena dengan nilai karakter tersebut diharapkan peserta didik mempunyai moral yang lebih baik, sebab peraturan pendidikan karakter yang telah diterapkan di sekolah-sekolah merupakan proses yang dilakukan pemerin-tah untuk mengantisipasi kenakalan remaja. Karena pendidikan yang ada di Indonesia ini kan
" Program pemerintah memasukkan nilai pendidikan karakter kesekolah adalah upaya untuk meminimalisir kenakalan remaja"
38
banyak, ada sekolah, madrasah, pesantren dan perguruan tinggi. upaya yang dilakukan pemerintah melalui jalur sekolah dengan memasukkan nilai-nilai karakter, saya kira awal yang bagus untuk membentuk dan menanmkan moral akhlaqul karimah pada remaja. Bagaimana dengan pembentukan manusia seutuhnya yang merupakan tujuan pendidikan yang diamanahkan Undang-Undang Pendidikan Nasional? Sebenarnya upaya pemerintah dalam meminimalisir kenakalan remaja telah dilakukan, seperti tertuang dalam UU, hanya realisasi dalam penanaman moral pada remaja kurang, dan hal ini telah diperbaiki dengan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah saat ini. Hanya kontroling dan pengawasan yang perlu di perketat. Supaya programprogram yang dicanangkan dapat terealisasi dengan baik dan benar.
Edisi III XII 2011
Prof. Dr. H . M. Mas’ud Said, Ph.D
Guru Besar Sosial dan Politik UM Malang
Apakah menjadi jaminan penerapan pendidikan karakter tersebut akan membentuk karakter moral siswa? itu tergantung bagaimana sistem yang diterapkan, Karena program pemerintah memasukkan nilai pendidikan karakter ke sekolah adalah upaya untuk meminimalisir kenakalan remaja, sebab yang mempengaruhi kepribadiaan seseorang banyak factornya, baik internal mapun eksteral. Kalau internal, bagaimana orang tua mendidik, mengawasi dan menjaga anak ke hal yang positif. Sedangkan ekternal, bagaimana peran lingkungan, baik di sekolah maupun pergaulan dengan teman dalam kesehariannya. Jadi, peraturan itu bisa menjamin atau tidak, sebenarnya tergantung dari usaha pemerintah, orang tua, tokoh masyarakat, kiai dan masyarakat itu sendiri. Menurut bapak model pendidikan seperti apa yang bisa dijadikan tolak ukur dalam menanamkan nilai pendidikan karakter itu sendiri? Di Indonesia, pesantren adalah salah satu pendidikan yang tetap eksis sampai hari ini, dengan pendidikan ala pesantrennya yang mengendapankan pendidikan agama dan penanaman akhlaqul karimah pada santri sejak dini dengan berpedoman pada kitab Ta’limul Muta’allim-nya telah membuktikan bahwa pesantren layak dijadikan barometer. Meski hari ini pesantren telah banyak melakukan pembenahan dalam sistem pendidikannya, mereka masih tetap mempertahankan pola tradisi yang diajarkan semasa wali songo, seperti pendidikan sorogan dan wetonan. Tapi yang perlu di perhatikan pesantren, dibutuhkan adanya filter dalam menghadapi kemajuan dibindang kemajuan ilmu dan teknologi, sehingga tidak merusak pesantren sendiridan pesantren mampu mempertahankan jati dirinya, seperti konsep yang dipakai pesantren selama ini“Almuhafadotu alal qodimissholeh wal ahdu biljadidil ashlah.� []
Kolom Achmad Safari
Pendidikan Karakter, Dari Wacana ke Realitas
J
ika kita mengamati fenomena dan realitas sosial di sekeliling kita, hati kita akan terasa sesak. Betapa tidak, perkelahian pelajar menjadi sebuah pemandangan yang tidak asing lagi. Belum lagi kenakalan remaja yang diikuti dengan penyalahgunaan narkoba. Yang lebih menyedihkan lagi adalah maraknya peredaran video mesum yang pelakunya adalah para pelajar yang masih bau kencur. Fenomena semacam itu semakin sering kita dengar dan lihat seolah-olah bukan lagi sesuatu yang menyedihkan. Bahkan karena seringnya peristiwa itu terjadi, kita lantas menganggap hal itu sebagai hal yang biasa. Jika sudah demikian, kita akan bertanya-tanya, mengapa hal itu terjadi? Mengapa masyarakat menganggap hal itu sebagai hal yang biasa? Bagi masyarakat yang masih memiliki hati nurani tentu
saja fenomena semacam itu sangat meresahkan dan membuat mereka sport jantung setiap saat. Mereka memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Oleh karena itu mereka tidak bisa menerima realitas sosial itu hanya dengan berpangku tangan atau berdiam diri saja. Mereka berupaya mencari cara agar fenomena dan realitas semacam itu tidak merebak ke mana-mana. Jika memungkinkan maka realitas sosial itu diubah menjadi sebuah realitas sosial yang sesuai dengan harapan mereka.
Pendidikan Karakter
Problematika manusia global saat ini sesungguhnya terletak pada moralitas dan pendidikan moral yang tidak mampu mengatasi moral bangsa. Oleh karena itu, ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyatakan perlunya pendidikan karakter bagi anak bangsa, maka secara serentak ajakan itu menjadi sebuah entripoint bagi pendidikan dan guru bangsa untuk kembali pada akar budaya bangsa Indonesia dalam mengembangkan pendidikan karakter. Pendidikan karakter sesungguhnya dapat dilihat dari dua sudut pandang besar, yakni bagaimana ia dapat mengenali, bersikap, dan mengelola diri sendiri, serta mengenali, bersikap dan mengelola orang lain. Lebih tegas lagi, pendidikan karakter adalah pijakan penting bagi kontrol sosial yang berbasis pada kesadaran terhadap diri sendiri. Para ahli menyebutkan sebagai ukuran atau indikator tentang kecerdasan manusia, yaitu kecerdasan intelegensi (Intelegence Quotient = IQ), kecerdasan emosi (Emotional Quotient = EQ), dan kecerdasan spiritual (Sprititual Quotient=SQ). Edisi III XII 2011
39
Kolom Dari berbagai sumber spirit religius dan nilai-nilai budaya, maka dipilih beberapa dimensi atau tema besar karakter bangsa Indonesia yang perlu dikembangkan, yaitu: kejujuran, keadlilan, kesederhanaan, kasih sayang, kesatuan, dan sebagainya. Sebenarnya jika kita melihat tema besar karakter bangsa Indonesia, maka kita sudah mengenal pendidikan budi pekerti atau akhlakul karimah yang dikembangkan di lingkungan pesantren maupun pendidikan keagamaan. Masalahnya adalah, mengapa realitas sosial kita begitu menyedihkan? Apakah anak-anak dan remaja kita tidak mengenal pendidikan budi pekerti atau pendidikan karakter? Sekarang ini pendidikan karakter baru ada dalam wacana. Artinya, pendidikan karakter baru disosialisasikan dalam kegiatan workshop, diklat, seminar, dan sejenisnya. Itupun dilakukan pada tataran birokrasi yang menangani pendidikan, yaitu Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) hingga ke level Dinas Pendidikan, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Kabarnya pendidikan karakter akan diberlakukan pada tahun 2013. Jika fenomena dan realitas sosial
anak-anak dan remaja kita semakin buruk, apakah kita menunggu hingga dua tahun lagi? Apakah nilai-nilai pendidikan karakter tidak bisa dikembangkan dan diterapkan mulai sekarang? Mungkin secara yuridis formal menunggu Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Akan tetapi, nilai-nilai yang perlu dikembangkan dalam pendidikan karakter dapat secara perlahan-lahan dikemas secara bagus untuk kemudian “disisipkan� dalam mata pelajaran yang sedang diajarkan. Dengan demikian diharapkan anak-anak dan remaja kita semakin akrab dengan ruh pendidikan karakter. Di sinilah sebenarnya guru ditantang untuk mampu mengemas pendidikan karakter menjadi pendidikan yang tidak sekedar menggururi, melainkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perilaku anak-anak dan remaja kita. Dengan kata lain dibutuhkan kreativitas guru untuk menyukseskan pendidikan karakter dalam pelaksanaan pendidikan kita. Semoga!
* Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Zainul Hasan Genggong
www.coretanofe.blogspot.com
40
Edisi III XII 2011
Artikel Lepas Ach. Noor Busthomi, M.Si *
Membentuk Pribadi Santri Kontekstualitas dengan Berma’rifah Pada Rasulullah SAW
" Ya Allah, berilah hidayah pada kaum ku karena sesungguhnya mereka tidak mengerti"
Ach. Noor Busthomi, M.Si ketika mengajar di pondok cabang Pesantren Zainul Hasan Genggong
M
anusia adalah satu-satunya makhluk Allah SWT yang paling sempurna. Hal ini terbukti dengan diberikannya perangkatperangkat tertentu yang tidak diberikan pada makhluk lain. Apabila kita ingin mengetahui tentang diri manusia maka kita harus mengetahui inti dari pada pribadi manusia itu, yang setidaknya terdiri dari dua unsur pokok : jasmani dan rahani. Jasmani adalah bentuk manusia yang diciptakan Allah SWT dengan perantara air sperma dan ovum yang diproses melalui suatu paket peralatan khusus yang diciptakan oleh-Nya dalam rahim seorang ibu. Sedangkan rahani tersebut diturunkan oleh Allah SWT kepada jasad dengan cara dan prosedur tersendiri. Diantara dua unsur di atas yang paling pokok adalah rohani, sebab di dalamnya terdapat qalbu dan aqlu. Aqlu adalah sebuah perangkat yang penciptaannya sangat hebat, sehingga dengan kecerdikan dan kejeniusannya sanggup mengobrak-abrik isi seantero jagat raya. Namun qalbu pun tidak kalah hebatnya sebab sebagai pengendali, pengatur, dan intelegen aqlu, sehingga segala sesuatunya berkenaan dengan aqlu dan anggota jasad lainnya hasil dari pengelolaan qalbu. Karena itu, qalbu harus senantiasa di service dan install ulang dengan berlandaskan dzikir kepada Allah SWT, sehingga menjadi suci dan jernih yang pada akhirnya dapat mengelola ‘aqlu dan anggota jasad lainnya ke dalam iman dan taqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan keterangan tentang pribadi manusia di atas maka Edisi III XII 2011
41
Artikel Lepas dapatlah kiranya mengerti dan mencontoh pada pribadi Rasulullah SAW, yang mana di dalam aspek jiwa setidaknya mengetahui dua jalur : secara ‘ilmiah dan bathiniah.
Konteks Ilmiah
Hal ini dapat mempelajari sejarah yang membicarakan pribadi Rasulullah SAW, yang tertuangkan dalam QS. Al-Taubah: 128. ٌ لَ َق ْد َجا َء ُك ْم َر ُس ُ يص َعلَي ٌ ول ِم ْن أَ ْن ُف ِس ُك ْم َعز ْك ْم ٌ يز َعلَ ْي ِه َما َع ِنتُّ ْم َح ِر ِ ٌ ين َرء ْ ِب ْالم َ ُؤ ِم ِن ُوف َر ِحي ٌم Sungguh Telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orangorang mukmin.
42
Ayat di atas mengandung pengertian bahwa dalam pribadi Rasulullah SAW terdapat perangkat-perangkat positif yaitu berat hatinya memikirkan penderitaan umat, sangat mencintai umat, dan amat kasih sayang terhadap orangorang mukmin. Ketiga perangkat positif tersebut termanifestasikan ketika tragedi Thaif di mana beliau ketika itu dilempari batu, dicaci maki, dan dihina oleh orang-orang kafir, hingga malaikat Jibril memohon ijin kepada beliau untuk dapat mengangkat gunung kemudian melemparkannya kepada orang-orang kafir itu, namun beliau melarangnya bahkan mendoakan mereka agar mendapatkan hidayah : أللهم اهد قومى فإنهم ال يعلمون Ya Allah, berilah hidayah pada kaum ku karena sesungguhnya mereka tidak mengerti. Cobalah kita meneliti secara singkat tragedi tersebut, kita tahu bahwa Jibril adalah malaikat yang paling mulia diantara malaikat lainnya dan kita tahu bahwa malaikat adalah yang tidak memiliki nafsu, lalu mengapa malaikat tersebut bisa marah hanya karena melihat ulah manusia yang menyakiti Rasulullah SAW. Bagaimana dengan pribadi beliau sendiri? Realitasnya Beliau tetap jernih hatinya, tidak membalas mereka dan menjauhi dari perilaku Edisi III XII 2011
negatif karena beliau dikendalikan oleh tiga perangkat positif di atas.
Konteks Batiniah
Apabila seseorang ingin mengetahui keadaan dan kedalaman sebuah jurang yang sebenarnya, maka ia harus masuk ke dalam jurang itu, demikian juga upaya berma’rifah pada Rasulullah SAW, maka kita harus mengisi qalbu dengan apa yang dipraktekkan pribadi beliau sebab dengan demikian kita akan merasakan seperti apa yang dirasakan beliau melalui pengelolaan batin agar semakin iman dan taqwa kapada Allah SWT, sebagaimana yang terungkap dalam QS. Al-Baqarah: 165. ُّحبُّوَن ُه ْم َك ُح ّب َِه ِّخذ ِم ْن ُدون َِه ُ َّو ِم َن ال َنّاِس َم ْن َي َت الل ِ الل أَ ْندَا ًدا ي ِ ِ ْ ِّه ْ َ َ َ َ َ َ ّاب أَ َن َ َرى ال َ ََوال َ َر ْو َن ال َعذ َ ِّذين ظلمُوا إِذ ي َ ِّذين آ َمنُوا أَ َش ُّد ُح ًبّا للِ َول ْو ي َ ْ َّه ِّه ُْ َ َ َ َ ّ ُ اب ِ الق َوَّة للِ َج ِميعًا َوأ َن الل ش ِديد ال َعذ Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). Supaya cinta itu sampai kepada alamatnya dengan benar dan selamat membawa hikmah, manfaat dan barakah maka cinta perlu dimanifestasikan dengan sebuah mekanisme yang terdapat dalam QS. Ali Imran: 31. ُْ ّْك ُم َُه ََّه ُ الل َو َي ْغ ِف ْر لَ ُك ْم ُذنُوب ُ ُحبب ُ َك ْم ِ ْ قل إِ ْن ك ْنتُ ْم تُ ِحبُّوَن الل َفا َتِّبعُو ِني ي ُّه ُ َ َ ور َر ِحي ٌم ٌ َوالل غف Katakanlah Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.» Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dari ayat di atas, dapat diambil pengertian bahwa setelah mengikuti Rasulullah SAW maka Allah mencintai kita, di mana hal ini cinta kita terbalas dan pada akhirnya dosa-dosa akan diampuni Oleh Allah SWT. Demikian juga
Artikel Lepas sebaliknya apabila seseorang mencintai Allah tapi tidak mengikuti Rasul maka cinta tersebut dikatakan dusta tak teralamatkan, sehingga tidak akan mendapat balasan dari-Nya. Dalam hal ini, mustahil ia mendapat maghfirah-Nya. Lalu mengapa kita harus mengikuti Rasulullah SAW? Jawabannya ada di dalam QS. Al-Ahzab : 21. َّر ُجو ََه ّان لَ ُك ْم ِفي َر ُسول َِه َ الل أُ ْس َو ٌة َح َس َن ٌة لِ َم ْن َك َ لَ َق ْد َك الل ْ ان ي ِ ّاآلخ َر َو َذ َك َر ََه يرا ً الل َك ِث ْ َو ْالي ِ َو َم Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. Gelar uswatun hasanah merupakan gelar yang diberikan langsung oleh Allah SWT kepada Rasul. Apabila ditanyakan lagi, mengapa Rasul dijadikan uswatun hasanah? Jawabannya terdapat pada QS. Al-Qalam : 04. ُُ َ َّ يم ٍ َوإِنَك ل َعلى خل ٍق َع ِظ Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung Dalam pribadi Rasul terdapat akhlaq mulia dan sangat patut untuk dijadikan suri tauladan bagi seluruh umat manusia, yang mana ini telah terbukti secara normativitas dan historisitas dalam segala perilaku beliau yang dilandasi dengan akhlaq mulia. Dengan akhlaq mulia tersebut beliau selalu unggul dalam segala sesuatu yang telah dikembangkan umat manusia, baik bahasa lisan, isyarat, maupun tulisan. Apabila kita konklusikan bahwa apa saja yang ada di jagad raya tidak akan cukup untuk mengungkapkan keagungan Rasulullah SAW secara tuntas. Adapun bukti bahwa beliau memiliki sifat khuluq ‘adzim, termaktub dalam QS.Al-Taubah : 128 di atas, yang tidak bisa dan tidak akan pernah bisa tertandingi oleh makhluk siapa pun. Menanggapi hal ini sebagian ahli psikologi (Barat) menyatakan bahwa perbuatan Rasul itu sangatlah tidak normal karena tidak sesuai
dengan kaedah umum yang mengemukakan bahwa adakah seorang pemimpin berkelakuan sepeti itu, hanya karena memikirkan umatnya? Namun Al-Qur’an berbicara lain. Namun demikian justru karena ketidaknormalan Beliau, Allah SWT mencintainya. Kemudian pada historisitas lainnya yaitu adanya tragedi hajar aswad (batu hitam yang berada di salah satu sudut Ka’bah, yang disunnatkan menciumnya ketika thawaf), di mana beliau berusia tiga puluh lima tahun, yang ketika itu kebetulan Ka’bah direhabilitasi. Setelah direhab tibalah waktunya peletakan hajar aswad tersebut ke tempat semula, lalu timbullah perselisihan di antara kafilah arab Mekkah dalam peletakan batu tersebut. Karea mereka merebut ingin memeletakkan batu itu, para kafilah itu saling mengklaim bahwa kafilahnya lah yang paling berhak meletakkannya, sambil menghunus pedang yang diikuti oleh teriakan salah satu dari kafilah : “kami lebih berhak, karena kami paling banyak berkorban”. Yang lain pun berteriak; “kami lah yang paling berhak, karena kami paling banyak mencucurkan darah”, dan seterusnya. Pada akhirnya diadakan sayembara bahwa siapa yang lebih dulu masuk masjid pada esok hari, maka dialah yang lebih pantas meletakkan hajar aswad. Ternyata yang masuk dulu ke masjid adalah Rasulullah SAW. Mestinya dalam peletakan hajar aswad terserah beliau, namun beliau memanggil seluruh pemimpin kafilah tanpa satupun yang tertinggal untuk sama-sama memegang ke dua ujung surban / selendang beliau. Hajar aswad diletakkan di tengah selendang itu, namun beliau yag meletakkan hajar aswad tersebut. Dari hal itu, dapat kita lihat bahwa Rasul tidak
“Perbuatan Rasul itu sangatlah tidak normal karena tidak sesuai dengan kaedah umum”
Edisi III XII 2011
43
Artikel Lepas
44
mengidap penyakit megalomania atau gila hormat dengan tidak meletakkan batu itu secara pribadi dan sewenang-wenang. Dengan demikian, beliau senantiasa memikirkan kemaslahatan umat manusia karea beliau tidak punya kepentingan pribadi. Sebagai pemimpin beliau memiliki visi dan missi (strategi yang baik dan berorientsi pada hikmah). Andaikan Rasul meletakkan hajar aswad itu sendirian, maka beliau tidak mendapatkan tempat di hati ummat. Dan andaikan salah satu dari kepala suku itu ada yang tertinggal maka akan terjadi berbagai konflik, di karenakan mereka tidak merasa di orangkan. Dari sini lah betapa baik dan indahnya falsafah kepemimpinan beliau yang benar-benar bijaksana, maka dari itu apabila pembaca ingin sukses maka rangkullah semua pihak yang terlibat dalam suatu urusan, berilah mereka kehormatan dan kepercayaan, agar kita dapat bekerja saling membantu dan melengkapi kekurangan (bukan mempraktekkan caracter assasination dan killed). Sejarah juga mencatat bahwa ketika beliau diberi kesempatan untuk minta apa saja yang beliau kehendaki, tetap yang diminta beliau agar menjadi seorang yang miskin, sungguh di luar dugaan. Hal ini bukan berarti beliau tidak bertanggungjawab kepada keluarganya, tetapi beliau hidupnya agar jauh lebih optimal untuk beribadah hanya kepada Allah Yang Maha Esa. Allah berfirman kepada Rasul; “Muhammad, kenapa engkau memilih miskin? Tidak memilih kaya? Yang bisa digunakan untuk berjuang”. Rasul menjawab ; “Gusti, harta itu membutuhkan perawatan, lalu berapa lama waktu saya untuk merawat harta kekayaan saya? Bila tiba waktu sore yang ada hanya lah menyia-nyiakan tenaga sehabis merawat harta. Lalu akankah saya sujud kepada Mu hanya dengan sisa tenaga saja. Tidak Gusti! Saya ingin persembahkan apa yang sangat terbaik untuk beribadah kepada Mu dan selamatkan ummat“. Akankah kita hanya berenak-enak dan bersantai-santai saja setelah mengetahui
Edisi III XII 2011
pengorbanan Rasul yang besar itu? Cukupkah kita hanya dengan mengkaji profil Rasul tanpa merealisasikan apa yang diperintahkan dan dipraktekkan Beliau? Setelah kita mengetahui sedikit tentang pribadi beliau, ada seorang muballigh mengatakan bahwa Rasul manusia biasa, dalam Al-Quran telah dijelaskan dalam QS. AlKahfi : 110 ُ ُوحى إلَ َّي أََنَّما إلَه ُ ُْ َ َ ّ ْ ُ َ اح ٌد َف َم ْن َك ان ِ ُك ْم إِلَ ٌه َو ِ ِ َ قل إَِنَما أ َنا بَش ٌر ِمثلك ْم ي َ ْ صالِ ًحا َوال ي ُش ِر ْك ِب ِعبَا َد ِة َر ِبِّه أ َح ًدا ْي َ َر ُجو لِ َقا َء َر ِبِّه َف ْل َي ْع َم ْل َع َمال Katakanlah Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya. Muhammad itu memang mitslukum (sama seperti kalian semua) maksudnya yang sama dalam kebutuhan makan, minum, tidur dan sebagainya yang berkaitan dengan insaniyah. Namun yang membedakan Rasul dengan manusia biasa lainnya adalah terletak pada lafadz “yuha ilayya” yaitu bahwa Rasul ”diberi wahyu” sedangkan kita tidak mendapatkannya. Dengan demikian tulisan ini sebelum berakhir bahwa sangat lah diharapkan pada kita terutama santri, agar tidak hanya mempelajari ilmu pengetahuannya tetapi yang terpenting adalah pengisian hati dengan perangkatperangkat positif yang telah disebutkan di atas dan berlandaskan akhlak mulia sehingga dapat mengelola segala tindakan untuk semakin menambah keimanan dan ketaqwaan pada Allah Al-Rahman Al-Rahim. [Nb]
* Staf pengajar MA Zainul Hasan 1 Genggong
Budaya
Ziarah Kubur; Antara Ritual dan Tradisi
B
erbicara kebudayaan Indonesia yang beragam nan eksotis seolah tak akan pernah habis keunikan demi keunikan sentuhan sisi sosial yang ada di dalamnya. Berabad lamanya kemajemukan tradisi ini tetap terjaga, meski tak sedikit orang yang mencoba mementahkan dan berusaha merubahnya. Namun, kelanggengan tradisinya pun tak mampu dipatahkan. Kebudayaan Indonesia seakan sudah mendarah daging disetiap masyarakatnya, yang terkadang dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk memecah persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia. Belum lagi jika tradisi dan kebudayaan yang bersentuhan dengan nilainilai spiritual keagamaan dan soial kemasyarakatan, mulai dari persoalan perbedaan ritual adat di sejumlah daerah timur dan utara Indonesia, hingga persoalan kontra persepsi ritual ibadah di pulau Jawa. Tradisi-tradisi tersebut diajarkan secara turun temurun dari masa ke masa. Baik melalui cerita rakyat “foklor” yang kemudian melahirkan sebuah kepercayaan dan keyakinan bahwa nilai tradisi akan berdampak baik bagi yang melaksanakan, melalui teks “scripture” ritual peribadatan sebuah agama, hingga akulturasi budaya asli Indonesia yang dipadu dengan ajaran keagamaan yang kemudian melahirkan sebuah tradisi kebudayaan baru tanpa merubah nilai dan norma yang ada. Proses pembentukan karakter tradisi kebudayaan inipun memakan waktu yang sangat lama, belum lagi pertentangan demi pertentangan yang terjadi
tatkala nilai yang ada mulai memasuki kehidupan masyarakat. Di Yogyakarta misalnya, sebuah akulturasi budaya pernah dilakukan oleh Raden Patah selaku adipati kabupaten Demak Bintara, pada sekitar tahun 1477 Masehi. Dengan persetujuan musyawarah para wali saat itu, beliau membangun masjid Demak. Untuk menyebarkan ajaran Islam, Raden Patah memadukan budaya gamelan yang tak lain adalah buah karya Sunan Giri dengan gending-gending milik Sunan Kalijaga hingga melahirkan alunan musik kesukaan masyarakat Yogyakarta kala itu, dan saat ini kebudayaan tersebut lebih dikenal dengan sebutan “sekaten”. Akulturasi budaya yang dilakukan Raden Patah awalnya bernama “syahadatain” yang berarti mengucapkan dua kalimat syahadat bagi masyarakat yang ingin memeluk agama Islam. Waktu terus berlalu, ritual “syahadatain” inipun berganti menjadi “sekaten” sebagai akibat perubahan pengucapan masyarakat Jawa. Tradisi ritual “sekaten” merupakan salah satu media syi’ar Islam pada masa itu secara terus-menerus selama 7 hari menjelang hari kelahiran Nabi Muhammad. Alasan penggunaan gamelan dan gending-gending Jawa bertujuan agar kegiatan tersebut menarik perhatian rakyat. Pembentukan tradisi ritual melalui pemaknaan teks “scripture” juga sering menjadi perbincangan banyak pihak. Kontra persepsi mengenai teks-teks kitab suci inilah kemudian melahirkan pandangan dan klaim beberapa golongan bahwa dirinyalah yang paling benar. Kemajemukan tradisi kebudayaan Indonesia yang sejatinya menjadi tali temali unik dan arifnya nilai ketimuran kita, justeru berbalik arah menjadi senjata untuk saling menghujat dan menjatuhkan yang satu dan yang lainnya. Lagi-lagi persatuan dan kesatuan kita terancam oleh Edisi III XII 2011
45
Budaya lahirnya berbagai pandangan miring tentang tradisi ritualitas yang dilakukan kelompok lain, hanya karena berbedanya persepsi terhadap teks-teks kitab suci. Sebut saja runcingnya persoalan pandangan tentang ziarah kubur. Jenis tradisi ritual kebudayaan ziarah kubur, disamping dilakukan oleh masyarakat santri tradisional melalui proses menyesuaikan diri dengan teks-teks normatif, dasar legitimasinya juga diperoleh melalui proses menyesuaikan diri dengan nilai-nilai lama yang tertanam di dalam tradisi masyarakat lokal. Nilai-nilai lama yang hidup di dalam masyarakat dilandasi kesadaran untuk melakukan aktivitas tradisi ritual ziarah kubur tersebut adalah sebuah penghormatan kepada para leluhur sehingga ritual ziarah kubur terusmenerus dilakukan secara berulang-ulang. Baru saja kita telah melalui bulan Ramadlan, kebiasaan masyarakat Jawa pada umumnya menjelang bulan suci itu sebagian masyarakat
muslim memiliki tradisi ziarah kubur. Tujuannya untuk mendoakan arwah kerabat keluarga yang telah mendahului mereka. Maka ada pula sebagian masyarakat kita yang menyebut bulan Sya’ban “bulan sebelum Ramadlan� itu dengan sebutan bulan ruwah yang berasal dari kata arwah. Karena pada bulan Sya’ban itu sebagian masyarakat melakukan ritual ziarah kubur. Meski pada dasarnya ritual ziarah kubur tidak harus dilakukan pada jelang Ramadlan atau saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adlha saja. Setiap saat pun ziarah ke kuburan jauh hari sudah dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Perbedaan pandangan yang melahirkan pertentangan sejumlah kelompok muncul dari pemaknaan teks Hadits Rasulullah SAW tentang larangan dan anjuran Rasul mengenai ziarah kubur. Mulanya berziarah kubur dilarang. Larangan Rasulullah SAW pada masa permulaan itu ialah karena masih dekatnya masa umat Islam kala itu dengan
Peziarah di Makbaroh Pesantren Zainul Hasan Genggong
foto: Ayex
46
Edisi III XII 2011
Budaya zaman “jahiliyah” dan kurang kuatnya aqidah Islam dikalangan kaum qurays. Namun saat akidah mereka kuat dan memiliki pengetahuan ke-Islaman yang cukup, Rasulullah SAW pun mengijinkannya kembali. Pandangan mengenai tradisi ziarah kubur sebagai ritual umat agama lain pun mencuat kepermukaan. umat agama lain melakukan hal yang sama seperti umat Islam dalam berziarah kubur, disebabkan kebutuhan yang sama terhadap konsumsi spiritual (rohani), yakni bertujuan untuk mengingatkan mereka terhadap kematian dan meminimalisir kecintaan terhadap duniawi. Masalah yang muncul dewasa ini di antaranya karena krisis spiritual yang menjamur. Era modern dengan berbagai perkembangan teknologi dan informasi, membuat manusia bekerja seperti mesin yang mengejar kecepatan dan ketepatan dalam hal materialistik. Lumrahnya sebuah mesin tidak memiliki semangat rohani seperti manusia yang mengakibatkan mereka jauh dari nilai-nilai kerohanian. Mereka lupa terhadap hari akhirat yang mengakibatkan hidup pragmatis, instant, mengenyampingkan moral, dan “berpikir pendek”. Modernitas dan perkembangan zaman tidak mesti membuat manusia lupa terhadap kematian. Melalui ziarah kubur, manusia dapat mengingat kematian dan akhirat. Karena mereka meyakini ada kematian dan kehidupan setelah mati, dan diharapkan manusia akan menjaga moralitas mereka terhadap sesama manusia. Umumnya berziarah ke kuburan atau makam adalah untuk mengingatkan mati. Namun bila berziarah ke makam ulama dan awliya “para wali”, tujuannya tidak sekedar mengingat kematian. Di pusara makam ulama dan awliya, para peziarah bisa mendoakan mereka dan bertawassul “berperantara” melalui perantara kemuliaan “karomah” mereka. Karena kemuliaan para arwah tersebut, maka sebagian orang menyebutnya “makam keramat”. Saat menziarahi makam ulama dan awliya, tidak dipungkiri bahwa sebagian dari peziarah terlihat meminta kepada kuburan. anggapan inilah yang menyebabkan munculnya pertentangan dari sejumlah pihak karena dianggap syirik. Secara kasat mata nampak para peziarah
seperti meminta kepada kuburan, secara hakikatnya lantunan do’a yang terucap dari lisan dan maksud yang mereka bawa adalah ditujukan kepada Allah. Para peziarah tetap meminta kepada Allah melalui perantara orangorang shaleh seperti ulama dan awliya. Selain meminta kepada Allah melalui perantara para wali-Nya, berziarah kepada ulama dan awliya pun bertujuan untuk meneladani kesalehan dan kemuliaan yang dilakukan semasa hidupnya. Maka berziarah ke berbagai makam ulama dan awliya merupakan sebuah keniscayaan dengan berbagai manfaat nilai positif. Betapapun ada sebagian kecil pihak yang tidak menerima ritual ziarah, itu disebabkan karena perselisihan paham tanpa harus menyinggung masalah akidah. Dan ini pun termasuk pada ranah furu’iyah. Maka sepatutnya pihak yang berseberangan dengan pemahaman seperti tertulis di atas, tidak mudah menganggap sesat atau kafir terhadap muslim lainnya. Dalam bahasa Jawa, ziarah lebih dikenal dengan istilah nyekar, berasal dari kata Jawa “sekar” yang berarti “bunga”, nyekar memiliki arti filosofis menabur bunga, yaitu “ritual” yang tak pernah tertinggal dari serangkaian prosesi ziarah selain berdoa. Seiring berjalannya waktu, bergeser makna dimana nyekar bisa diartikan juga ziarah kubur. Ziarah kubur tidak hanya milik Islam atau Jawa saja, setiap agama memiliki budaya ziarah tersendiri, Disinilah letak keunikan muslim Indonesia, mampu mengakulturasikan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal salah satunya akulturasi dengan budaya Jawa, dan dalam konteks ziarah kubur adalah terletak pada tradisi “nyekar”. Sayangnya fenomena tersebut oleh kalangan muslim moderenis dianggap “bid’ah” dan mendekati syirik. Dalam tradisi Jawa, konsep ziarah kubur dengan pendekatan Islami dilakukan oleh Walisongo, seperti Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan Sunan Giri. Intisari dari produk akulturasi nilai-nilai Islam dan tradisi Jawa ini lebih pada gambaran dan pembelajaran penyebaran islam tanpa kekerasan dalam bentuk apapun. nilai yang tertuang dalam konsep ziarah kubur bermuara pada satu hal yaitu kematian dan akhirat. [lh]
Edisi III XII 2011
47
Sastra Al-Faqir *
www.anekaremaja.blogspot.com
Ibu
48
J
alan raya di sebuah kota kecil itu basah oleh hujan yang mengguyur cukup deras. Daun daun di pohon tengah kota bergoyang malas mengikuti hembusan angin yang enggan bertiup karena hujaman hujan. Ditambah dinginnya malam yang menusuk walau banyak asap mengepul dari knalpot knalpot kendaraan yang berlalu lalang di sebuah persimpangan kota. Namun dinginnya udara itu tak membuat seorang wanita paruh baya yang duduk di bawah tiang lampu lalu lintas bergeming. Ia tak berusaha mencari perlindungan sebagaimana banyak orang berteduh agar terhindar dari hujan. Ia juga tidak menggubris suara klakson yang berbunyi karena kemacetan yang ada di persimpangan itu. Matanya dingin. Mengalahkan udara dingin malam itu. Wajahnya pucat dan tirus. Tampak jelas wajah itu letih karena menangis. Matanya lebam. Bibirnya bergetar. Tangannya mengepal entah karena tahan serbuan dingin yang mendera atau karena hatinya yang sedang gundah. Sejenak kemudian nafasnya mulai tidak beraturan. Bahunya berguncang. Ia Edisi III XII 2011
menangis. Ia tundukkan kepalanya namun untuk sepersekian detik kemudian dia tertawa keras .“Hahahahahahahahahahah a.....Jangan ambil milikku.... ahhaahahahahaha... jangan ambil anakku....ahahhahahahaha...� Si wanita itu terbatuk dan kembali ia menangis. Tertawa lagi lalu kembali menangis. Hujan yang deras makin mengguyur jalanan. Petir menyambar dan ciptakan gemuruh yang menggelegar memekakkan telinga. “Ibuu...ayo kita pulang...� Suara menghiba itu memecah pesona gelegar petir dan membuat si wanita yang dipanggil ibu itu menoleh perlahan ke arah suara di belakangnya. Ia melihat seorang anak perempuan berusia 15 tahunan dengan rambut panjang yang terurai hingga ke dadanya. Kusut dan kentara sekali rambut itu jarang sekali tersentuh sisir. Wajahnya terhias oleh bekas pukulan dan cakaran utamanya di daerah pipi. Di tangan dan kakinya lebam. Namun semua itu tak ia rasakan dihadapan wanita itu. Matanya mengartikan banyak kata. Sedih, takut, khawatir dan iba menyatu. Bercampur rasa sakit
Sastra hati yang luar biasa dari dalam lubuk hatinya. Dengan suara yang sedikit dipaksakan, kembali ia berkata: “Ibu, mari kita pulang...” Sang ibu berdiri dan tampak jelas wajah dengki dan benci menguar dari sorot matanya pada gadis tersebut. Dengan mata melotot, ia berkata: “Mau apa kamu disini?! Pergi sana!!’ Sang gadis tak bergeming. Sang ibu bangkit dari duduknya, ia cengkram tangan gadis belia itu, menyeretnya keluar dari kebisingan persimpangan jalan. Tak ia hiraukan suara klakson dan umpatan si empu mobil karena sang ibu menyeberang jalan tanpa hati hati dan sembrono. Gadis itu diam mengikuti langkah sang ibu. Wajahnya jelas ketakutan namun entah kenapa, ia terus mengikuti sang ibu hingga sampai di suatu tempat yang gelap di bawah jembatan yang tak jauh dari persimpangan tadi. Sebuah rumah bambu berdiri reyot di pinggiran sungai tersebut. Tanda lapuk dan berjamur menghiasi di banyak dinding yg terbuat dari anyaman bambu itu. Atap yang terbuat dari terpal sudah bolong di pinggirannya. Dua manusia itu berhenti di depannya. Suara air sungai yang deras karena curah hujan yang meninggi memecah keheningan malam itu. “Kau bukan anakku!” Suara sang ibu menggeram. Serak bagaikan suara auman serigala yang mendapatkan mangsanya. Si gadis menangis. Sang ibu yang mendorongnya jatuh tak ia rasakan karena ia merasa dorongan sang ibu bagaikan semilir angina di pagi hari di setiap hari. Tersedu ia menangis. Dengan tabah ia coba bangkit kembali. “Terserah ibu mau menganggap aku apa. Tapi kenyataan bahwa aku adalah anak ibu tidak bisa ibu pungkiri. Tidakkah ibu sadar. ibu hanya kurang sehat sejak kecelakaan yang aku alami bersama Dimas, putera ibu dan kakakku satu satunya. Dua bulan lalu.” Sang ibu menggeleng keras. Sesaat ia kembali menangis namun sedetik kemudian, kembali ia berteriak seakan memanggil semua makhluk malam yang berkeliaran malam itu. “Kau bukan anakku!! Anakku sudah mati dan kau memang penyebab dari semua ini!! Jadi kau
“Terserah ibu mau menganggap aku apa. tapi kenyataan bahwa aku adalah anak ibu tidak bisa ibu pungkiri”
sama sekali bukan anakku!! Anakku hanyalah Dimas!! Dimaaaas… anakkuuuuu…!” Si gadis menangis tersedu. Ia coba seka airmatanya dengan ujung bajunya. Lalu dengan tampang pantang menyerah ia coba rangkul ibunya dengan erat. Sang ibu hanya terdiam dan akhirnya jatuh terduduk. Dadanya terasa sesak. Pandangan matanya kembali kosong. Ia tak mengerti lagi perasaannya. Bahkan semilir angin dingin malam itu sudah tak ia rasakan lagi. Perih dan sakit hanya ia rasakan. Lidahnya kelu. Ia hanya bisa menangis dan menangis sekeras kerasnya. ### Siang itu sang ibu siap-siap untuk melakukan pekerjaannya. Menjadi tukang parkir di sebuah pertokoan yang berada di ujung jalan kota yang padat. Sebuah suara lelaki memanggilnya dengan lembut, “Mau siap-siap pergi,bu?” Sang ibu menoleh. Senyumnya langsung mengembang melihat seorang laki-laki bertubuh kurus dan wajah tirus dengan songkok hitam lusuh menghiasi kepalanya. Matanya memerah seperti letih menahan panasnya terik matahari di siang itu. Pipinya memerah menahan hawa panas yang berhembus di dalam rumahnya itu. Pakaian yang ia pakai jauh dari bersih. Baju kaos hitam lengan pendek dengan celana panjang berwarna oranye yang dipakainya terdapat bekas oli dan bau knalpot merebak saat ia duduk di sebuah dipan bambu yang masih kokoh walau sudah terdapat tambalan kayu lapuk di salah satu ujung kakinya. Namun senyum di bibirnya tak pernah lekang terlebih Edisi III XII 2011
49
Sastra
50
saat melihat ibunya yang sudah separuh baya dan masih segar bugar di siang itu. Sang ibu pun duduk di sebelah anaknya. “Ia nak. Tadi pagi waktu jaga kios koran ada orang yang ngemis di depan pasar sama perempuan gak tau ya. Kalo dari pakaiannya keliahatan mewah gitu. Eh, bukannya mau ngasih malah dikasih tahu suruh kerja lah. Suaranya juga sok tinggi. Ibu kasian. Makanya ibu datangi yang ngemis tadi. Tak tanyain darimana. Ternyata dia dari luar Jawa. Disini diterlantarkan keluarganya katanya. Kasian anak. Jadi tak kasih uang sama ibu. Seadanya dah! Pengen rasanya tak tampung di rumah kita ini.” Sang ibu melihat sekeliling rumah nya. Sekejap rasa sedih menghinggapi hatinya. “Bu, ibu tahu sendiri kan keadaan kita gimana. Rumah ini sudah untung gak digusur ama petugas satpol,bu. Kita sudah desak-desakan kumpul bertiga sama adik. Mau pindah gak bisa sekarang. Ibu jangan…” Sang ibu buruburu memegang pundak anaknya dan ia menggeleng. “Ndak nak. Jangan merasa terbebani dengan omongan ibu. Kita nemu kerja juga sudah untung. Kamu diterima di bengkel Pak Madin yang baik hati itu juga sudah untung. Padahal kan bukan saudara kita. Ibu juga nerima kok pagi dan siang ikutan kerja. Sudah lah jangan dibahas lagi. Oia, adikmu si Marni mana? Ibu gak ngeliat dia sepulang kerja di kios tadi.” “Marni baru cuci-cuci di sungai,bu. Agak jauh karena di depan rumah dangkal.” Suara kecil nan periang mengalun melalui dinding-dinding telinga sang ibu yang langsung tersenyum lebar melihat anak keduanya datang dengan membawa sekeranjang penuh pakaian yang sudah dicuci dan bersih. Sang ibu membelai rambut Marni yang basah. “Kamu barusan langsung mandi? Gak nunggu ibu?” Sang ibu bertanya “Marni sudah dari pagi bu, cuci-cuci trus langsung mandi. Kalau nunggu ibu,masih nanti sore kan. Sekalian tadi cari Koran atau kertas karton atau plastic yang bisa dijual ke Pak Madin. Mungkin aja kak Dimas bisa jualkan. Katanya Pak Madin buka usaha daur ulang ya kak?” Dimas tersenyum melihat ketulusan adiknya. Ia pun mengangguk. Ia melihat Marni Edisi III XII 2011
angkat satu persatu pakaian basah dari keranjang satu-satunya yang dimiliki keluarga tersebut dan di dasar keranjang, ada setumpuk Koran dan karton yang ditata rapi oleh Marni, adiknya. “Kok tumben,Mar?” Marni memonyongkan bibirnya mendengar ejekan kakaknya. “Eeeee… jangan salah. Marni tu gak mau cuma diem aja di rumah apalagi pas liburan sekolah kayak hari ini. Ibu sama kak Dimas sudah kerja keras. Marni kasian. Udah ah. Mending kakak cepet sholat dzuhur. Udah jam 2 tuh. Marni makmum sama kakak aja ya! Setelah itu Marni ikut kakak ke Pak Madin. Mau kasih dan tawar menawar sendiri.” Marni mengerlingkan matanya dengan genit kepada kakaknya tersebut. Dimas hanya ketawa sembari mengacak-acak rambut Marni yang sudah mulai mongering. Sang ibu hanya gelengkan kepala melihat tingkah laku anak-anaknya. “Ibu berangkat dulu ya. Tadi ibu sudah sudah sholat di langgar dekat kios sebelum pulang ke sini.” Kedua anaknya mengangguk. Namun sebelum Marni siap-siap untuk sholat dan Dimas bersiap ambil wudhu, sang ibu berkata kepada Marni, “Kalo bisa kamu jangan ikut kakakmu,Mar. Biar nanti malem ibu sama kamu saja yang ke Pak Madin. Ada yang mau ibu omongkan sama dia masalah tunggakan listrik kita.” “Sudahlah,bu. Biar Marni belajar mandiri dan tahu sama kerja kakaknya setiap hari. Jadi biar dia gak rewel.” Dimas pun mengedipkan matanya pada sang adik. Marni menjulurkan lidahnya sembari tersenyum. Sang ibu terdiam sesaaat. Namun kemudian, setelah menghela nafas panjang, sang ibu pun berkata: “Ya sudah. Jaga adikmu. Kau juga jaga diri baik-baik.” “Siap bu!” Kedua anak itu menyahut hampir serentak. Bersambung....
* Salah seorang Shohibul Bait Pesantren Zainul Hasan Genggong
Figur
N
Kiai Abdul Jalil; Dengan Pesona Kezuhudannya
un Abdul Jalil (panggilan mulia bagi kiai), begitulah sapaan akrab sosok kiai putra pasangan Kiai Ahmad Nahrawi dan Nyai Marfu’ah ini. Pernikahan beliau dengan nyai Mi’atun dikaruniai seorang putri bernama ruwaidah yang meninggal pada usia tujuh bulan. Peristiwa meninggalnya putri beliau cukup ironis, jika kebanyakan para orang tua berdo’a untuk kesehatan dan keselamatan anaknya, beliau justru berdo’a agar putri semata wayangnya segera meninggal dan kembali ke sisi Allah S.W.T. beliau mendo’akan putrinya meninggal agar kelak di akhirat menjadi “wildan” (anak yang menunggu kehadiran orang tuanya untuk masuk surga). Beliau wafat dalam usia 27 tahun pada selasa wage tanggal 1 Robi’ul Awal 1378 H yang bertepatan dengan tanggal 10 Juni 1967 M. Di komplek pesantren Zainul Hasan Genggong, beliau dikenal sebagai kiai yang ‘alim dengan pesona kezuhudannya, hal tersebut dapat kita lihat dari kehidupan sehari-harinya Edisi III XII 2011
51
Figur
Edisi III XII 2011
belajar kepada Kiai Syamsuddin yang tak lain adalah ipar kakek beliau sendiri yakni KH. Mohammad Hasan Genggong. Sebuah pendapat mengatakan bahwa beliau termasuk salah seorang kiai yang pernah menerima ilmu “ladzunni” (pangkat keilmuan langsung dari Allah melalui jalan karomah). Jika kebanyakan para ulama’ soleh mendapatkan ilmu “ladzunni” dengan cara memakan kayu “iktsir” (kayu yang berasal dari taman surga), namun beliau justru mendapatkan karomah ilmu “ladzunni” tersebut secara langsung. Ustadz Syaifuddin, seorang “khodim” yang mengabdi selama lima tahun kepada beliau menceritakan bagaimana hal ikhwal datangnya ilmu ladzunni tersebut. Pada suatu saat, Nun Abdul Jalil berkumpul seraya beramah tamah dengan para “khodimnya”. Syaifuddin mencoba memberanikan diri bertanya mengenai asal muasal nama beliau, sang kiai pun tidak keberatan menceritakannya. Mulanya beliau bercerita tentang seorang pemuda bernama Abdul Jalil di daerah warung dowo pasuruan yang setiap harinya dengan tekun dan sabar berjalan kaki sejauh delapan belas kilometer menuju pesantren Sidogiri untuk menimba ilmu kepada kiai Nawawi. Suatu ketika pemuda tersebut meminta do’a pada kiai Nawawi agar mudah memahami ilmu agama yang telah diajarkan. Kiai Nawawi justru memerintahkan pemuda tersebut untuk selalu membaca surah Yasin sebanyak empat puluh satu kali setiap selesai melaksanakan shalat
foto: Ayex
52
yang sangat sederhana.Dirumahnya yang hanya berdinding “gedek” (anyaman bambu) dengan lantai tanpa ubin dan beralaskan tikar yang telah robek disana-sini, bahkan tempat tidur beliaupun terbuat dari bambu tanpa kasur. Namun, beliau senantiasa hidup ikhlas dan selalu berserah diri kepada Allah sang pencipta alam semesta. Pesona kezuhudan beliau juga nampak pada pakaiannya yang compangcamping penuh tambalan. Jahitan demi jahitan baju dan sarung beliau sangat tidak rapih bahkan kontras antara benang jahitan dan baju yang ditambal. Dikalangan para santri dan masyarakat sekitar, beliau dikenal sebagai sosok kiai yang enggan memikirkan duniawi. Ketika beliau wafat pun hanya memiliki satu kain sarung saja, itupun kain sisa-sisa empat sarung lama beliau yang dijahit menjadi satu. Kebiasan putra-putra kiai dimasa lalu adalah bermukim bersama para santri di bilik kecil asrama santri pondok pesantren. Tempat bermukim beliau di pondok Genggong adalah asrama K persis di belakang masjid Al-barokah Genggong, asrama yang hanya memiliki tiga bilik kecil tersebut beliau tempati bersama sang kakak kiai Nawawi dan beberapa khodim yang mengabdi kepadanya. Keistiqomahan beliau dalam bermunajat kepada Allah, melakukan shalat tahajjud dan shalat dhuha biasa beliau lakukan di asrama tersebut. Bahkan, hingga kini para santri masih sering menggunakan asrama tersebut sebagai tempat tirakat (jalan mendekatkan diri kepada Allah). Ustadz Mohammad Hasan Qalyubi, salah seorang santri kuno dari pesantren tempat beliau tinggal menyebutkan, beliau dikategorikan sebagai “hinanya manusia dari pandangan fisik kemanusiaan”. Pasalnya, sejak lahir Nun Abdul Jalil menderita lumpuh dan harus dipapah jika hendak berjalan. Namun mengenai pengetahuan ilmu agamanya, beliau terkenal sangat “alim” (sebutan bagi orang yang mahir ilmu agama) meski sama sekali tidak pernah bersekolah. Beliau hanya sempat sekedar
sebelum direnovasi, di tempat inilah Nun Abdul Jalil bermukim bersama santri & khodimnya.
Figur wajib. Selama dua tahun lamanya dengan tekun pemuda tersebut senantiasa melakukan apa yang diperintahkan kiainya. Meski telah cukup lama pemuda tersebut membaca surah Yasin, namun tidak ada perubahan yang berarti pada dirinya. Hingga akhirnya disuatu hari pemuda tersebut berpamitan pada kiai Nawawi untuk berziarah kepada kiai Abu Syamsuddin Batu Ampar Madura. Disanalah kemudian pemuda tersebut bermimpi bertemu nabi khidir yang memintanya memilih harta atau ilmu, dengan hati tulus pemuda tersebut lebih memilih ilmu daripada harta. Sang pemuda kemudian pulang ke Pasuruan, tak lama berselang pemuda tersebut dikenal “alim” ilmu agamanya dan dinikahkan oleh salah seorang putri dari kiai
pesan bahwa ke“alim”an beliau dalam ilmu agama adalah sebuah berkah dan karomah yang beliau miliki. Pernah disuatu ketika kakak beliau Kiai Ahmad Tuhfah Nahrawi bertanya apakah beliau tidak pernah berdo’a meminta ilmu, beliau menjawab lebih baik berdo’a meminta dibersihkan hati daripada banyak ilmu tapi nantinya justru lupa diri karena hati tidak bersih.
Senantiasa Bersilaturrahmi dan Berziarah
foto: Ayex
Peristiwa-peristiwa ganjil dan sulit diterima akal, tanpa sengaja sering muncul dari sosok Nun Abdul Jalil pada masa hidupnya, sejumlah santri dan khodimnya dibuat tercengang dengan kejadian-kejadian yang mereka alami. Kebiasaan Nun Abdul Jalil bersilaturrahmi kepada para ulama’ dan kegemaran beliau berziarah ke makam para wali mengisahkan sebuah cerita menarik. Suatu ketika Nun Abdul Jalil bertamu ke rumah salah seorang santri di daerah kecamatan Maron, dengan menggunakan Andong (kereta kuda jaman dulu) beliau bersama khodimnya menyusuri jalan tak rata menuju arah selatan pondok Genggong. Ketika rombongan beliau sampai di rumah santri yang dituju, beliau teringat bahwa kopyah yang biasa dikenakan tertinggal sebelum ditempati oleh Alm. KH.Sholeh Nahrawi, rumah ini di kediamannya. Kemudian beliau adalah kediaman Kiai Abdul Jalil meminta khodim yang menemaninya Nawawi Sidogiri. kembali ke pondok Genggong untuk Mendengar kisah tersebut, Kiai Ahmad mengambil kopyah tersebut. Tak berselang Nahrawi ayahanda Nun Abdul Jalil datang lama sang khodim pun kembali dari pondok bersilaturrahmi kepada pemuda tersebut Genggong dengan tangan kosong tanpa seraya meminta izin untuk memberikan nama membawa kopyah Nun Abdul Jalil. Rupanya putranya Abdul Jalil dan pemuda tersebut pun sang khodim baru saja mengalami kejadian mengijinkannya, dari situlah asal muasal nama magis diluar nalarnnya, pasalnya sang khodim Abdul Jalil disandangkan pada beliau. ketika tak kuasa mengangkat kopyah Nun Abdul Nun Abdul Jalil belum menyelesaikan ceritanya, Jalil dari atas mejanya. Bukan karena kopyah salah seorang “khodim” karena penasaran beliau terbuat dari bahan yang berat, namun kembali bertanya apakah ke”alim”an beliau karena meja tempat kopyah tersebut diletakkan mengenai ilmu agama sama dengan pemuda ikut terangkat saat kopyah dibawa. Sambil bernama Abdul Jalil tersebut. Sontak saja tersenyum beliau kembali meminta sang khodim beliau langsung mengalihkan pembicaraan kembali ke pondok Genggong untuk mengambil dan mengatakan bahwa dirinya masih bodoh. kopyah tersebut, kepada sang khodim beliau Nampaknya beliau terlihat menyampaikan menyatakan tidak ada kopyah yang menempel Edisi III XII 2011
53
Figur
Kerap Kali Berjumpa Rasulullah dan nabi Khidir Umumnya seorang kiai yang menjadi kekasih Allah memiliki karomah baik disaat masih hidup maupun setelah wafat. Tidak Edisi III XII 2011
asing lagi bagi para santri kuno pesantren Zainul Hasan Genggong mengenai kebiasaan Nun Abdul Jalil mengirim surat kepada nabi Khidir ‘alaihissalam melalui arus sungai yang berada disebelah barat pesantren Genggong. Pada saat-saat tertentu beliau senantiasa mengirimkan surat tersebut ketika sedang meminta rejeki kepada Allah. Jika surat yang beliau kirimkan dengan cepat terbawa arus sungai, maka hal itu merupakan sebuah isyarat bahwa beliau akan mendapatkan rizki. Namun jika surat yang beliau kirimkan melalui arus sungai tersebut hanya diam ditempat beliau melemparkannya, maka pertanda beliau belum mendapatkan rejeki dalam waktu dekat. Selain kebiasan mengirimkan surat, sering
melalui aliran sungai ini Kiai Abdul Jalil mengirim surat kepada Nabiyullah Khidir Alaihissalam
foto: Ayex
54
pada meja. Tak ayal sesampainya di kediaman Nun Abdul Jalil, kopyah tersebut ternyata tidak menempel lagi di meja. Diketahui bahwa Nun Abdul Jalil belum pernah menunaikan ibadah haji semasa hidupnya. Dimasa itu biaya perjalanan ibadah haji hanya enam puluh ribu rupiah, meski telah bertahun-tahun beliau mengumpulkan uang untuk perjalanan menunaikan haji, namun tetap saja jumlah tabungan beliau tidak mencukupinya. Uniknya, saat beliau bertamu kepada salah satu santrinya yang lain di desa liprak bagian selatan yang baru saja tiba dari tanah suci Makkah usai menunaikan haji, santri tersebut berkali-kali mengucapkan syukur karena telah berkesempatan bertemu beliau saat menunaikan ibadah haji di Makkah, padahal Nun Abdul Jalil jelas-jelas tidak pernah pergi ke Makkah untuk berhaji. Tidak hanya itu, saat H. Tohir salah seorang santri asal desa Ketompen kecamatan Pajarakan hendak menunaikan ibadah haji, beliau sempat menitipkan salam kepada santri tersebut untuk disampaikan kepada sembilan wali yang dikebumikan di (jabal auliya’) disekitar kota Makkah. Rupanya makam para wali tersebut tidak pernah diketahui oleh khalayak umum, karena tidak pernah tercantum dalam demografi kota Makkah. Santri yang menerima pesan itupun cukup kebingungan terhadap maksud dari salam beliau, karena takdhim kepada sang kiai santri tersebut tetap melakukan tugas yang telah diembannya. Sesampainya di kota Makkah, benar adanya makam sembilan wali tersebut berjejer di sebuah bukit, ironisnya bukit dan makam tersebut tidak pernah tampak karena memang tidak ada di dunia nyata. Usai menyampaikan salam beliau kepada sembilan wali yang dimakamkan di (jabal auliya’) tersebut, bukit dan sembilan makam pun menghilang dari pandangan mata.
kali nabi Khidir ‘alaihissalam hadir kerumah beliau baik melalui mimpi maupun hadir dalam dunia nyata. Melalui mimpi, Nun Abdul Jalil sering bertemu Rasulullah S.A.W. Tak heran jika dimasa itu setiap kali ada pejabat pemerintah berkunjung ke pesantren Zainul Hasan Genggong, beliau selalu keluar dari lingkungan pesantren. Pasalnya, jika beliau ikut terlibat dalam penyambutan tamu pemerintahan tersebut, Rasulullah S.A.W enggan kembali hadir dalam mimpi-mimpi beliau. Pernah suatu ketika Rasulullah S.A.W cukup lama tidak hadir menemui beliau, kemudian KH. Mohammad Hasan Genggong memberikan isyarat seraya bertanya apakah beliau tidak pernah didatangi lagi oleh orang yang telah
mati. Dengan ijin Allah, Rasulullah S.A.W kembali hadir menemui beliau. Dalam mimpinya, Rasulullah S.A.W pernah menegur beliau karena sempat memikirkan masalah duniawi. Disaat itu beliau tengah menyewa sebidang tanah sawah berukuran kurang lebih dua ratus meter persegi kepada seseorang dengan rencana akan menggarap sawah tersebut untuk ditanami. Kemudian Rasulullah S.A.W hadir ketika beliau tidur dan menanyakan mengapa beliau masih mencintai dunia. Saat terbangun dan tanpa berpikir panjang beliau langsung menyerahkan tanah sawah yang baru saja beliau sewa kepada tetangganya untuk ditanami, beliau menyerahkan sepenuhnya tanpa meminta imbalan apapun.
Ahli Dalam Memutuskan Hukum Fiqih
Dikalangan para santri kuno pondok Genggong, selain terkenal kezuhudannya sosok Nun Abdul Jalil juga dikenal mahir mengenai persoalan ilmu agama. Beliau ahli dalam ilmu fiqih dan hadits, beliau juga mahir dalam bidang ilmu ‘arut (ilmu tentang menciptakan sya’ir lagu) dan ta’bir mimpi. Ustadz Sholeh Hasan seorang santri yang sempat mengikuti masa hidup Nun Abdul Jalil menceritakan cara mengajar beliau, kebiasaan beliau mengajar para santri yakni pada pukul tiga dini hari dengan durasi waktu yang hanya sebentar saja sekitar lima hingga sepuluh menit. Cara mengajar beliau juga berbeda dari para kiai lainnya, setiap kali beliau memberikan penjelasan dan keterangan mengenai kitab yang diajarkan, beliau hanya menuliskan beberapa kalimat penting dari isi kitab tersebut. Disamping itu, kitab yang beliau ajarkan kepada para santri hanya ditempelkan saja ke wajah beliau, hal ini mengisyaratkan bahwa beliau telah menghafal dan memahami seluruh isi kitab tersebut. Setelah mengajar beliau hanya berdo’a semoga para santri mendapat ilmu yang barokah. Dengan kondisi fisik yang memiliki kekurangan tersebut, tidak menjadikan Nun Abdul Jalil dipandang sebelah mata oleh sejumlah kalangan. Beliau sering terlibat dalam beberapa kesempatan untuk memutuskan
Makam Kiai Abdul Jalil
foto: Ayex
Figur
persoalan hukum Islam pada masa itu. Bahkan beliau selalu dijadikan tempat bertanya pamandanya KH. Hasan Saifourridjal jika terdapat sebuah permasalahan hukum fiqih yang sulit untuk diputuskan. Sebuah sumber menyatakan bahwa pamanda beliau sulit memutuskan sebuah hukum fiqih mengenai masa iddah seorang istri yang telah dicerai suaminya, sang istri mengaku bahwa dirinya belum pernah melakukan hubungan intim dengan suaminya, namun sang suami justru membantah bahwa dirinya pernah melakukan hubungan intim dengan istrinya. Ketika persoalan hukum fiqih tersebut tidak dapat diputuskan oleh para ulama’ dimasa itu, beliau dengan tegas menyatakan bahwa sang istri yang telah diceraikan oleh suaminya tersebut tidak ada masa iddahnya dan boleh dinikahi oleh laki-laki lain. Pada tahun 1962, terjadi sebuah perbedaan pendapat yang melibatkan sejumlah ulama’ pada masa itu. Perselisihan pendapat terjadi antara KH. Hasan Saifourridjal pengasuh pondok Genggong, KH. Zaini Mun’im pengasuh pondok Nurul Jadid, dan KH. As’ad Syamsul Arifin pengasuh pondok Sukorejo Situbondo. Ketika itu ketiganya adalah pengurus Nahdlatul Ulama’, ketiganya terlibat perselisihan mengenai kontroversi boleh-tidaknya kaum perempuan memainkan drum band. Perlu diketahui pada masa itu merupakan masa penjajahan kolonial Belanda, dimana drum band biasa digunakan oleh orang Belanda sebagai media musik penyambutan tamu dan perang. Persoalan Edisi III XII 2011
55
Figur hukum fiqih tersebut semakin rumit dipecahkan karena antara KH. Hasan Saifourridjal yang menghukumi boleh dan KH. Zaini Mun’im yang menghukumi haram perempuan memainkan drum band menggunakan referensi yang samasama kuat dan meyebabkan keputusan hukum fiqih tersebut sempat tertunda beberapa saat. Akhirnya disuatu pagi sekitar pukul 9 Nun Abdul Jalil mendatangi kiai As’ad Syamsul Arifin di Situbondo, beliau menanyakan bagaimana hukum yang benar sesuai dengan keputusan Rasulullah S.A.W. kiai As’ad
Syamsul Arifin menyatakan bahwa Rasulullah S.A.W memutuskan boleh kaum perempuan memainkan drum band. Rupanya Rasulullah S.A.W telah terlebih dahulu hadir kepada ulama’ sepuh pengasuh pondok Sukorejo tersebut, kiai As’ad Syamsul Arifin menceritakan bahwa ketika Rasulullah S.A.W menemui beliau didampingi oleh KH. Mohammad Hasan Genggong dan kiai Ahmad Nahrawi Genggong yang tak lain adalah ayahanda Nun Abdul Jalil. [lh]
Segenap Pimpinan dan Kru
Mengucapkan
56
Selamat dan Sukses atas Wisuda Mahasiswa: - Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) - Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) - Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Tahun 2011 Pesantren Zainul Hasan Genggong
Semoga Mendapatkan Ilmu Yang Bermanfaat dan barokah
Edisi III XII 2011
Pustaka KH. Ahsan Malik Saif *
Syarah Nadhom Safinatun Najah
السالم عليكم ورحمة اهلل وبركاته بسم اهلل الرحمن الرحيم ومصليا على رسول هلل وعلى آله وصحبه ومن،حامدا هلل أما بعده،وااله Untuk ikut serta menyebarkan ilmu melalui majalah ini, sahabat redaksi Majalah Genggong, meminta kami untuk mensyarahi kitab karangan Almarhum Kiai Moh Hasan Genggong yang bernama “Nadhom Safinatun Najah” atas permintaan pembaca, Sebuah kitab yang mengulas dasar ilmu fiqh dikemas begitu indah dalam bentuk nadhom. Mengingat keterbatasan halaman, Syarah dalam tulisan ini kami buat sesingkat mungkin serta bertahap dalam setiap edisi. Mudah-mudahan tidak mengurangi faidahnya. Dengan ucapan “Bismillah” dan bertawassul kepada Rosulillah SAW, serta kepada muallif kitab tersebut, kami mencoba untuk memulainya, dan berdo’a semoga dari sedikit yang kami paparkan ini dapat memberi manfaat kepada kami pribadi dan pembaca sekalian. Semoga tak ada yang kami harapkan kecuali hanyalah ridlo Allah dan Rosul-Nya serta mengalirnya barokah dari Almarhum Kiai Hasan Sepuh, Amin.
Beliau, Kiai Hasan Sepuh berkata dalam Nadhomnya : بسم اهلل الرحمن الرحيم “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” Sebelum menulis nadhom ini, Almarhum KH. Muhammad Hasan mengawalinya dengan kalimat (Basmalah), yang menyiratkan sebuah makna : ((Dengan menyebut Asma Agung Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, aku menyusun kitab ini untuk mengharap keberkahan)). Beliau membuka karangannya ini dengan “Basmalah” karena beliau mengikuti Al-Qur’an yang mulia dan mengamalkan hadits Rosulillah shollahu ‘alaihi wasallam, dari Abu Hurairoh Rodliallahu ‘anhu, Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam, bersabda: كل أمر ذي بال رواه ألخطيب،اليبداء فيه ببسم اهلل الرحمن الرحيم فهو أقطع عن أبي هريرة رضي اهلل عنه مرفوعا “Setiap perkerjaan baik yang tidak di awali dengan membaca basmalah maka pekerjaan itu cacat” (Hadits riwayat Al-Khotiib dari Abu Hurairoh RA, hadits marfu’). Edisi III XII 2011
57
Pustaka
58
Maknanya, perkerjaan baik yang turut ditunjang oleh syara’ (seperti mengarang kitab yang bermanfaat ini) bila tidak didahului dengan basmalah, maka pekerjaan itu keberkahannya berkurang. Basmalah, memiliki paling tidak 5 hukum dalam membaca atau penggunaannya. Pertama, Wajib: seperti dalam sholat. Kedua, Haram: atas sesuatu yang memang haram pada dzatnya, seperti minum khomer (sambil baca basmalah). Ketiga, Sunnah: atas setiap urusan baik yang mendapat dukungan dari syara’, seperti berwudlu, atau mengarang kitab yang bermanfaat. Keempat, Makruh: atas hal yang makruh pada dzatnya, seperti melihat sesuatu yang dimakruhkan. Kelima, Mubah: atas hal-hal yang diperbolehkan, yang tidak punya nilai mulia seperti memindah barang ke tempat lain. Diantara keutamaan Basmalah juga, hadits Rosulullah Shollahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Pertama kali yang ditulis oleh AlQolam adalah “Bismillahirrohmaanirrohiim”. Bila kalian menulis sebuah kitab, maka tulislah dipermulaannya, dia pembuka semua kitab yang diturunkan, dan tatkala malaikat Jibril turun bersamanya, ia mengulanginya sebanyak 3x lalu berkata : “Basmalah itu untukmu dan ummatmu, maka perintahlah mereka agar tidak meninggalkannya dalam urusan-urusan mereka. Karena aku tidak pernah meninggalkannya sekejap matapun semenjak aku turun pada ayahmu Adam, dan begitu pula para malaikat”. (Ar-Risalah AlKubro Fil Basmalah, hal. 34. Muhammad Ali As-Shubban).
beliau memohon pertolongan untuk segala urusan dunia dan agama. Hal ini juga sebagai pengamalan dari hadits Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi : “”كل أمر ذي بال اليبداء بالحمد هلل فهو أقطع “Segala pekerjaan baik yang tidak di awali dengan Hamdalah, maka pekerjaan itu cacat”. (Hadits ini riwayat Abu dawud dan lainnya, Ibnu Sholah menganggap baik hadits ini). Secara terminologi, Hamdalah bermakna sanjungan dengan lisan yang penuh ketulusan tanpa dibuat-buat. Secara etimologi, hamdalah adalah sikap atau tindakan yang timbul untuk mengagungkan Allah sebab Allah telah memberi nikmat pada pemuji atau lainnya. Keluar dari definisi ini, sanjungan itu tidaklah disebut sebagai pujian yang menyimpan syukur, akan tetapi sekedar pujian saja. Seperti halnya seseorang memuji kemilau intan atas keindahannya bukan memuji untuk mensyukurinya. (Nailu Ar-Roja’, 22-23) Kalimat Hamdalah juga menyiratkan makna khobar, menyampaikan sebuah pesan yang mengabarkan bahwa yang berhak dipuji hanyalah Allah semata. Disitu juga terdapat tarbiyah, didikan untuk manusia dengan mengira-ngirakan kalimat : “Ucapkanlah (kalian semua) Alhamdulillah” (ringkasan dari Tafsir Baghowi, Bab Tafsir Fatihah).
الحمد هلل إله العالمين إياه أعبد وإياه أستعين “Segala Puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Kepada-Nya aku menyembah, dan kepadaNya aku memohon pertolongan”.
صلى وسلم على نبيه محمد خاتم أنبياءه وآله وصحبه حزب اهلل الحول القوة إال باهلل “Semoga sholawat dan salam selamanya atas Nabi-Nya, Nabi Muhammad sebagai penutup para Nabi-nabi-Nya.” “Dan semoga (pula) untuk keluarga, serta sahabat para pasukan Allah , Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan bantuan Allah”
Pada bait pertama dari nadhomnya, beliau memuji Allah Tuhan alam semesta sebagai tanda syukur atas segala karunia dari-Nya. Yang hanya kepadanya beliau menyembah dengan khusyuk serta khudlu’ dan kepadanya
Pada bait kedua dalam nadhom ini, beliau menghadiahkan do’a sholawat dan salam untuk Nabi Allah, yaitu Nabi Muhammad Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam sebagai penutup para Nabi. Hal ini juga dalam pengamalan
Edisi III XII 2011
Pustaka terhadap hadits Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, bersabda: “،كل أمر ذي بال اليبداء بحمد اهلل والصالة علي فهو أقطع ممحوق من كل بركة،”أبتر ”Setiap urusan baik, yang tidak didahului dengan Hamdalah dan Sholawat kepadaku, maka urusan itu akan terpotong, terputus dan terhapus dari tiap keberkahan”. (Hadist Riwayat Abdul Qodir Ar-Rohaawi dalam “AlBa’in) (Jala’ul Afham, hal : 19-20) Hamdalah dan sholawat adalah dua rangkaian kalimat yang di sampaikan dalam satu paket bersama, keduanya bagai tidak bisa di pisahkan. Hamdalah dan sholawat di ucapkan sebagai bentuk adab, tata krama, dan ta’dhim murni kepada Allah SWT serta RosulNya, juga mengharap mengalirnya keberkahan sepanjang masa. Sholawat juga termasuk anjuran yang Allah perintahkan kepada kita sebagai mukmin, tertulis dalam surat Al-Ahzab: 56 ِ ّإ َّن ََه َ َِّبي يَا أَُيَّها ال صلُّوا َ ِّذين آ َمنُوا َ الل َو َمال ِئ َك َت ُه ي ّ ُصلُّوَن َعلَى ال َن ِ َعلَ ْي ِه َو َسلُِّموا َت ْسلِيمًا “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” Bila bentuk sholawat itu dari Allah SWT (untuk Nabi) maka bermakna Rahmat (Kasih sayang dari-Nya). Bila datangnya dari Malaikat, maka bermakna Istighfar. Bila di sampaikan oleh Bani Adam, berarti sebuah Do’a. Rosul kita, Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wasallam, beliau lahir di Mekkah pada hari senin 12 Robi’ul Awwal tahun gajah. Beliau diutus saat umurnya mencapai 40 tahun, kemudian Hijroh ke Madinah Munawwaroh, meninggal dan dikebumikan disana. Wafatnya jatuh pada hari senin 12 Robi’ul Awwal tahun 11 Hijriyah, umurnya 63 tahun. Beliau adalah penutup para Nabi dan Rosul secara mutlak. Tak lupa, beliau juga menghadiahkan do’a
itu kepada keluarga Nabi dan para sahabatnya yang telah menjadi pejuang Allah SWT. Imam Syafi’i menyebutkan, maksud dari keluarga adalah orang-orang mukmin dari Bani Hasyim dan Bani Muttholib. Sedangkan sahabat adalah orang-orang yang berkumpul bersama Rosulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, dan beriman kepadanya didunia, saat hidupnya setelah ada mandat kenabian. Abu Zur’ah mengatakan; Jumlah sahabat Rosulullah -shollallahu ‘alaihi wasallam- terhitung sampai 124.000 sahabat ketika Rosulullah wafat. Dari keseluruhan sahabat, ada 10 sahabat yang utama, yaitu; para sahabat yang di beri kabar gembira dengan surga oleh Allah. Dari kesepuluh itu, ada 4 sahabat yang diutamakan, yaitu; Khulafa’urrosyidin. (Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali). Sahabat paling akhir yang meninggal, bernama Abu Thufail Al-Laytsi, wafat tahun 100 Hijriyah. وهذه منظومة سميتها نظم سفينة النجاة أصلها أرجو ه أن ينفع للطالب لي ولمن قبل من أحباب “Dan nadhom ini aku beri nama , Nadhom “Safinatun Najah” (seperti) kitab aslinya” “Aku mengharap pada Allah, semoga bermanfaat untuk semua penimba ilmu , Untukku, dan orang yang menerima sebagai kekasihku” Beliau memberi nama Nadhom ini : “Nadhom Safinatun Najah” yang diambil dari nama kitab aslinya; “Safinatun Najah”. Muallifnya adalah, Al-Allamah Al-Faqih Saalim bin Abdillah bin Sa’id bin Sumairin Al-Hadromy As-Syafi’i. Beliau berharap kepada Allah seraya berdo’a, semoga nadhom yang telah beliau tulis ini, isinya dapat memberi manfaat kepada mereka yang menimba ilmu, juga untuk beliau sendiri dan para kekasihnya yang menerima dengan senang hati. Wallahu ‘alam bisshowab. * Shohibul Bait Pesantren Zainul Hasan Genggong
Edisi III XII 2011
59
Pesantren
Pesantren Ra’iyatul Husnan; Kental Dengan Aroma Genggong
K
60
etika memasuki kawasan Bondowoso dari arah utara kita akan melewati jalan menanjak yang berliuk-liuk, itulah gunung arak-arak yang merupakan batas teretorial antara kabupaten Bondowoso dan Situbondo, melangkah lebih jauh kearah selatan kurang lebih 5 kilometer kita akan menjumpai desa Wringin yang merupakan tanah kelahiran seorang Ulama yang menjadi icont ” Barokah ” mengingat kedudukan yang disandangkan oleh Allah kepadanya disinyalir buah (barokah) dari khidmah (pengabdian) beliau kepada sang guru sewaktu beliau nyantri di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo, beliau adalah KH. Husnan Bin Muhsin Pengasuh Pondok Pesantren Roi’yatul Husnan. Ahmad Ro’i atau lebih dikenal dengan sebutan Bindhereh Madra’i (bahasa madura) nama kecil Kyai Husnan lahir dari keluarga yang secara finansial serba kekurangan namun demikian beliau adalah pemuda yang sabar dan tegar menerima keadaan. Sebagai putra dari seorang Pengasuh Musholla Ahmad Ro’i merasa perlu membekali dirinya dengan Ilmu agama hal itu terlihat ketika Ahmad Ro’i mulai beranjak dewasa beliau memohon restu kepada ayahandanya untuk mengabdikan hidupnya di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong guna memperdalam ilmu agama, setelah mendapatkan restu dengan kemantapan hati dan niat yang luhur Ahmad Ro’i berangkat menuju ke Genggong dengan berjalan kaki dalam jarak tempuh sekitar 60 Kilometer dan membawa perbekalan seadanya, beliau Edisi III XII 2011
menjalani kesehariannya dengan kondisi yang memprihatinkan, akan tetapi beliau tidak pernah menyerah pada keadaan, sepertinya beliau sudah sangat terlatih hidup serba kekurangan, dengan semangat yang berkobar beliau tetap komitmen dan konsisten pada apa yang menjadi niatnya semula yaitu mencari ilmu Allah. Sisi lain dari perjalanan Ahmad Ro’i dalam tholabul ‘ilmi sebagian besar waktunya beliau isi dengan ber-khidmah kepada sang guru, dengan dedikasi yang tinggi Ahmad Ro’i begitu telaten melayani setiap hajat gurunya hingga pada urusan dapur. Al Kisah, Sewaktu Kyai Moh Hasan Genggong menceritakan kepada para santri bahwa cincin Ibu Nyai jatuh ke dalam kubangan WC, tanpa di perintah siapapun Ahmad Ro’i menyelinap ke arah kubangan WC dimaksud, Khaddam itu langsung turun kedalam kubangan sembari mencari cincin dengan tangan telanjang, dalam waktu yang cukup lama akhirnya Ahmad Ro’i menemukan cincin Ibu Nyai dan menyerahkannya kembali kepada Kiyai Moh Hasan setelah cincin itu dibersihkan. Masih banyak kisah-kisah lain mengenai ihwal positif Ahmad Ro’i selama mengabdi di Genggong yang tidak mungkin kami tuliskan dalam profil singkat ini. itulah Ahmad Ro’i sepertinya beliau memang dilahirkan sebagai ibroh dan uswah hasanah (pelajaran positif dan suri tauladan) bagi setiap santri pada generasi berikutnya. Setelah selesai nyantri di Genggong beliau kembali tinggal di Wringin membantu ayahandanya menebarkan ilmu di jalan Allah.
Pesantren
KH. Husnan
61
KH. Husnan Mutawakkil Ridwan
Nyai Hj. Aisyah
Alm. KH. Abdullah Hafidz
Alm. KH. Saiful Haq
KH. Mukhlishul A’mal
KH. Manshur Ainul Yaqin
Nyai Hj. Sofiyah
KH. Muhammad Mahfudz
Edisi III XII 2011
Pesantren
62
Surau sederhana di depan kediamannya menjadi tempat beliau bersama ayahandanya mengajarkan ilmu agama kepada para santri. Hingga kemudian setelah ayahandanya wafat, beliaulah yang meneruskan perjuangan ayahandanya. Lambat laun para santri mulai banyak berdatangan dari segala penjuru guna nyantri kepada Kiyai Husnan hingga dirasa perlu beliau kemudian membangun asrama bagi para santri. Mulailah Kyai Husnan di kenal oleh masyarakat sebagai pengasuh Pondok Pesantren (pada saat itu orang menyebutnya “Pesantren Kiyai Husnan”), Dengan metode salaf beliau mengembangkan pendidikan di Pesantren yang di asuhnya, seperti membaca Al-Qur’an bersama para santri setiap kali selesai Sholat Subuh, mengajar kitab kuning setiap selesai Sholat Maghrib, di samping itu beliau sangat menekankan Sholat berjamaah kepada para santri hingga apaila terdapat santri yang meninggalkan sholat berjamaah tanpa alasan yang jelas beliau tidak segansegan men-ta’zir-nya. Begitulah Kiyai Husnan, dengan istiqomah dan tidak kenal lelah beliau ngemongi santri-santrinya, beliau menyadari bahwa pengasuh itu hakikatnya adalah pelayan bagi santri-santrinya sebagaimana peminpin hakikatnya pelayan bagi rakyatnya. Pada periode selanjutnya setelah Kiyai Husnan wafat (Tahun 1985) kepemimpinan Pesantren dilanjutkan oleh putra-putri Kiyai Husnan secara kolektif, di antaranya : Pengasuh I. KH Husnan Mutawakkil Ridlwan. Pengasuh II. Ny Hj A’isyah (istri dari KH Ahmad Asy’ari) Pengasuh III. KH Adullah Hafidz. (Alm) Pengasuh IV. KH Saiful Haq. (Alm) Pengasuh V. KH Mukhlishul A’mal. Pengasuh VI. KH Manshur ‘Ainul Yaqin. Pengasuh VII. Ny Hj Sofiyah (istri dari KH Ubaidillah N.Ch) Pengasuh VII. KH Muhammad Mahfudh. Karena dipandang perlu pertama kali putraputri Kiyai Husnan berinisiatif untuk memberikan nama pada Pesantren peninggalan Kiyai Husnan dengan nama “ Roi’yatul Husnan ” diambil dari nama kecil Kiyai Husnan yaitu “ Ro’i ” dan nama putra pertamanya yaitu “ Husnan ”. Menyadari bahwa zaman menuntut santri tidak hanya paham ilmu agama saja Edisi III XII 2011
melainkan juga harus menguasai ilmu umum, di bentuklah pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang tetap lebih menekankan pada pendidikan agama, pada awalnya Madrasah Ibtidaiyah ini merupakan Madrasah cabang Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong dan nama MI “Kholafiyah Syafi’iyah” adalah pemberian dari Kiyai Hasan Saifur Rijal yang Alhamdulillah hingga sekarang tetap terabadikan. Inilah fase transisi dimana putra-putri Kiyai Husnan yang sebelumnya terbiasa berdiri di posisi “kanan” (salaf) harus bergeser sedikit ke posisi “tengah” antara Qodimish sholih dan Jadidil Ashlah (antara pendidikan salaf dan pendidikan umum/ modern). Dengan tertatih-tatih Madrasah Ibtidaiyah dijalankan sandungan kerikil-kerikil tajam menjadi hikmah tersendiri dalam proses kematangan lembaga ini hingga ahirnya pada saat MI sudah menemukan jati dirinya barulah jajaran Pengasuh merasa perlu untuk mengembangkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Madrasah Tsanawiyah ( MTs ) dan Sekolah Menengah Atas Islam ( SMAI ) mengingat mayoritas santri yang mondok di Pesantren Ro’iyatul Husnan sebelumnya sudah selesai menempuh pendidikan MI/SD dan MTs/ SMP sewaktu di kampung halamannya. Siswasiswi lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Yayasan Pondok Pesantren Ro’iyatul Husnan pada awalnya murni dari para santri yang bermukim di Pondok Pesantren akan tetapi pada perkembangan selanjutnya siswasiswi yang ada juga input dari putra-putri masyarakat sekitar Pesantren, hal itu semakin menambah pesatnya kemajuan pendidikan tentunya dibarengi dengan pembenahan dan peningkatan kusalitas pendidikan dan sumber daya pengajarnya, sehingga pesantren Ro’iyatul Husnan tidak hanya besar secara kuantitas tapi juga mumpuni dalam kualitas. Alhamdulillah Sepertinya pencapaian semua itu merupakan buah dari haliyah Kiyai Husnan ketika beliau nyantri di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong yang ditopang oleh do’a kedua orang tua beliau, hingga dapat di tarik benang merah bahwa Ilmu dan Barokah itu sejatinya berbanding lurus. Wallahu A’lam Bish Shawab. [HM]
Khazanah
www.irilaslogo.wordpress.com
Mengurai Perkembangan Iptek Dalam Kandungan Al-Qur’an
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (13/10/11). Karena waktu yang diberikan sangat terbatas karena kesibukan beliau yang sangat padat, beliau tidak bisa kami wawancarai. Tapi, beliau memberikan angin segar pada kami dengan memperbolehkan untuk mempublikasikan mata kuliah umumnya di Majalah Genggong. Pada saat itu, tema yang diangkat adalah “Al-Qur’an Sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”. Dalam kuliah umumnya, Profesor kelahiran Rappang, Sulawesi Selatan ini menjelaskan bahwa, “Agama Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan,” jelasnya. ”Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ayatayat Al-Qur’an yang menganjurkan manusia untuk senantiasa menuntut ilmu, karena dalam Al-Qur’an kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak 854 kali.” Lanjutnya, “Bahkan dalam AlQur’an Allah SWT telah berjanji akan meninggikan derajat orangorang yang diberi ilmu pengetahuan, sebagaimana telah disebutkan dalam penggalan surat al-Mujadalah, ‘Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS al-Mujadilah:11). Oleh karena itu, manusia menurut AlQuran, memiliki potensi untuk meraih ilmu dan mengembangkannya dengan seizin Allah. Karena banyak bertebaran ayat yang memerintahkan manusia menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal tersebut. Sebab berkali-kali pula Al-Qur’an menunjukkan betapa tinggi kedudukan orang-orang yang berpengetahuan. Menurut alumni Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyah Malang ini, “telah banyak para pakar yang berbeda-beda pendapat dalam mendefinisikan tentang ilmu pengetahuan, Ali Syariati menyebutkan dalam bukunya Cakrawala Islam yang ditulis oleh Amin Rais bahwa ilmu adalah pengetahuan manusia tentang dunia fisik dan fenomenanya. Ilmu merupakan image mental manusia mengenai hal yang konkrit. Ia bertugas menemukan
B
erbicara Al-Qur’an dan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dalam konteks keindonesiaan tidak akan lepas dari sosok seorang profesor yang sangat produktif dan memiliki banyak karya tulis yang concern dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Diantara karya-karya beliau yang terkenal dan populer adalah Tafsir Al-Misbah, Tafsir al-Manar, Membumikan Al-Qur’an dan Wawasan AlQur’an. Demi mendapatkan pencerahan dari sang Profesor, Majalah Genggong berusaha menemui dan mewawancari beliau, yang tak lain adalah Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, saat mengisi kuliah umum di Pasca Sarjana
Edisi III XII 2011
63
64
hubungan prinsip, kausalitas, karakteristik di dalam diri manusia, alam, dan entitas-entitas lainnya.” Oleh sebab itu prinsip kausalitas yang ada dalam diri manusia telah menciptakan penemuan baru, dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang berkembang dari masa ke masa di dalam diri manusia telah menciptakan teknologi di alam raya ini, yang hari ini disebut era milenium. Menurut beliau perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang hari ini sangat pesat merupakan konsekuensi dari konsep ilmu dalam AlQur’an yang menyatakan bahwa hakikat ilmu itu adalah menemukan sesuatu yang baru bagi masyarakat, artinya penemuan sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui orang.” Lebih jelasnya Profesor lulusan Universitas al-Azhar Cairo ini menyebutkan, dalam surat Al-‘Alaq dijelaskan “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari ‘alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan pena, mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS Al’Alaq : 1-5. Menurut keterangan beliau, ayat di atas menjelaskan, “ini bukan sekadar menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak akan diperoleh kecuali mengulang-ulang bacaan atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan. Tetapi hal itu untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan bismi Rabbik [demi Allah] akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru, walaupun yang dibaca masih itu-itu juga” ungkapnya. Seperti contoh, “Melihat alam dari dulu ya seperi itu, matahari berkaidah seperti itu, angin seperti itu, bumi seperti itu, tetapi karena orang mengamati dan menelitianya berkali-kali, maka berkali-kali juga mereka mempersembahkan sesuatu yang baru” ungkap cendikiawan muslim Indonesia dan ahli tafsir ini. Lebih lanjut beliau menggambarkan kepada para audien yang begitu seriusnya mengikuti jalanya kuliah umum tersebut, “Dalam Al-Qur’an Edisi III XII 2011
foto: Fauziyah
Khazanah
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab ketika mengisi Kuliah Umum di UIN Maliki Malang
Allah telah menunjukkan isyarat-isyarat ilmiah, di antaranya: bagaimana asal usul kejadian alam raya, bagaimana proses turunnya hujan, bagaimana asal kejadian manusia. Saat ini teori-teori tentang asal usul kejadian alam raya, proses turunnya hujan, asal kejadian manusia dan sebagainya telah dirumuskan dengan claim penemunya masing-masing.” Ujar mantan Rektor IAIN Jakarta yang saat ini telah berubah menjadi UIN. “Hal ini belum diketahui atau ditemukan pada masa nabi, termasuk tentang sidik jari. Pastinya masih ada isyarat-isyarat ilmiah yang belum terungkap dan perlu diungkap. Oleh karena itu sebenarnya Al-Qur’an menghasilkan aneka ilmu, walaupun pada masa turunnya AlQur’an ilmu itu belum terbentuk”, tambahnya. Akan tetapi, beliau mengingatkan kita, bahwa sesuatu yang tidak mungkin terjangkau oleh nalar tidak perlu diteliti, karena menurut beliau hal itu adalah mubadzir. Seperti contoh alam metafisika tidak perlu diteliti, karena akal dan nalar kita tidak mampu mencapainya. Seperti dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (QS Al-Isra 85).
Khazanah Menurut sebagian ulama, Thabathaba’i berkesimpulan bahwa ruh yang ditanyakan dalam al-Quran surat al-Isra ayat 85 di atas, adalah berkaitan dengan hakekat ruh itu sendiri. Jawaban atas pertanyaan itu adalah bahwa ‘ruh itu urusan Tuhan’ dan ilmu yang dimiliki manusia berkaitan dengan hakekat ruh tidak memadai. Ruh memiliki wilayah dalam wujud ini, mempunyai kekhususan dan ciri-ciri serta dampak di alam raya ini yang sungguh indah dan mengagumkan, tetapi ada tirai yang menghalangi manusia untuk mengetahuinya, demikian menurut Thabathaba’i. Tapi beliau juga menjelaskan, bahwa manusia bukan tidak boleh melakukan penyelidikan lebih lanjut untuk menyingkap makna ruh ini. Hal ini dapat dilakukan karena dewasa ini telah tersedia bagi para ilmuwan sarana dan prasarana yang akan dapat mengantarkan manusia untuk mencari jawaban atas pertanyaan tentang ruh tersebut. Akan tetapi apa yang kemudian dilakukan manusia untuk mengetahui hakekat ruh ini dalam pengertian umum saja atau sampai hakikat yang detail? Sampai saat ini hakekat ruh ini masih menjadi misteri dan yang diperoleh para ilmuwan baru sampai pada hal-hal yang sifatnya umum saja. Lebih lanjut beliau juga mencontohkan pada audien bagaimana tentang persoalanpersoaalan jiwa manusia yang hari ini masih belum terungkap secara ilmiah. Contohnya secara ilmu pengetahuan, kesurupan itu bagaimana? Adalah keangkuhan intelektual jika kita menolak mati-matian, itu kan tidak benar. Tapi profesor kelahiran tahun 1944 ini menegaskan yang terpenting hari ini adalah bagaimana hasil penelitian yang dilakukan itu bisa bermanfaat untuk kemanusiaan. Karena ilmu itu tujuannya tidak boleh keluar dari nilainilai Islami yang sudah pasti, nilai-nilai tersebut membawa kepada kemaslahatan manusia. Seluruh ilmu, baik ilmu-ilmu teologi maupun ilmu-ilmu kealaman, merupakan alat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kaena hakikat ilmiah (apa pun itu) bersifat nisbi (relatif), sebab hakikat ilmiah merupakan kesepakatan para pakar dalam bidangnya pada waktu tertentu, dan hal itu bersifat sementara,
karena kesepakatn tersebut dapat berubahubah sesuai masa dan realitas yang ada. “Hal ini sesuai dengan pendapat Harun Nasution bahwa tidak tepat anggapan yang mengatakan bahwa semua ajaran agama bersifat mutlak benar dan kekal. Di samping ajaran-ajaran yang bersifat absolut benar dan kekal itu terdapat ajaran-ajaran yang bersifat nisbi, yaitu yang dapat berubah dan boleh diubah. Dalam konteks Islam, agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad memang terdapat dua kelompok ajaran, yaitu ajaran dasar dan ajaran dalam bentuk penafsiran dan penjelasan tentang perincian dan pelaksanaan ajaran-ajaran dasar itu,” jelasnya. Lebih lanjut, Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab menambahkan bahwa, “yang paling mampu mengembangkan IPTEK itu adalah orang-orang di lingkungan pendidikan, khususnya di tingkatan tertinggi. “Kita harus berusaha mengembangkan ilmu, tetapi ilmu yang kita kembangkan itu harus dikawal dengan iman dan takwa. Bahkan, bisa lebih bagus lagi jika kita tidak sekedar menyandingkan ilmu agama dengan ilmu umum, akan tetapi mengintegrasikan keduanya,” tutur mantan Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII (1998) ini. Oleh sebab itu, dugaan yang mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan penghambat perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan adalah tidak benar. Dari hasil temuan di berbagai ayat, tidak satupun yang melarang pengembangan ilmu pengetahuan, bahkan sebaliknya, Al-Qur’an selalu mendorong, sampai-sampai “menantang” kepada manusia untuk mempelajari seluruh alam semesta termasuk rahasia di balik alam fisik. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Al-Qur’an sangat menekankan peranan pengamatan dan penalaran, demikian wahyu dan ilham mempunyai peranan yang besar dalam mengungkap, memahami dan mengembangkan rahasia-rahasia di balik alam metafisik. Atas dasar itulah tujuan ilmu pengetahuan adalah untuk mensejahterakan, ketenangan dan ketentraman, bukan untuk digunakan sebagai alat kerusakan di muka bumi ini.[Qm/Ziah]
Edisi III XII 2011
65
Kelana K Ng H Agus Sunyoto
Al-Wahan Melahirkan “Kaum Beragama Tak Beriman”
D
66
alam pengajian bertema ‘manusia dan bencana’, Guru Sufi menguraikan tentang bencana besar yang dihadapi umat Islam akibat mewabahnya penyakit berbahaya yang disebut Al-Wahan. Menurut Guru Sufi, penyakit Al-Wahan itu sangat misterius karena belum ada satu pun alat teknologi bikinan manusia yang paling modern pun yang dapat memantau penyakit berbahaya itu. “Virus Al-Wahan sangatlah berbahaya,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Sebab hati (Al-Qalbu) manusia yang terkena virus itu, berangsurangsur menjadi rusak dan mengeras seperti batu. Manusia yang hatinya sudah membatu, hidup seperti mayat hidup alias Zoombie. Mereka itu tidak kenal lagi Tuhan Yang Mahagaib sebagai sesembahannya. Mereka hanya mengenal benda-benda. Mereka memuja dan menyembah benda-benda dan semua penguasa benda.” “Apakah itu sama dengan keadaan umat yang menyembah Fir’aun, Mbah Kyai?” tanya Dullah. “Seperti itulah gambarannya, seperti juga Bani Israil yang mengikuti Qarun dan Samiri, menyembah lembu emas yang dibikin sendiri,” sahut Guru Sufi. “Tapi Mbah Kyai,” sahut Dullah ingin Edisi III XII 2011
tahu,”Apakah sekarang ini kejadian seperti Bani Israil menyembah lembu emas itu bakal terulang? Bukankah umat Islam sudah tahu itu amaliah terkutuk?” “Esensi peristiwanya sama, tetapi bentuknya yang berbeda, seibarat penguasa-penguasa zaman sekarang yang menggunakan sebutan presiden, perdana menteri, raja, tetapi esensinya mereka itu adalah fir’aun-fir’aun zhalim yang diberi identitas lain,” sahut Guru Sufi. “Maaf, Mbah Kyai,” tukas Sukiran menyela,”Adakah peristiwa zaman sekarang ini yang kira-kira sama dengan kisah Qarun dan Samiri beserta pengikut-pengikutnya?” “Hmm,” Guru Sufi diam sejenak lalu berkata dengan nada tanya,”Kalian pernah tahu baca berita Menteri Agama dipenjara, Guru Besar Ketua KPU dibui, Gayus masuk hotel prodeo, Nazaruddin masuk rutan, wakil-wakil rakyat antri masuk bui, pejabat Diknas dipenjara, Kasek-kasek, Kadiknas-kadiknas korup, aparatur hokum terpusar dalam jaringan Mafia Hukum, dan hakim-hakim pengkhianat Tuhan yang menjadi bagian dari Mafia Hukum?” “Ya mesti sudah tahu beritanya, Mbah Kyai,” sahut Sukiran. “Kasus pemerasan Guru TK-PAUD oleh pemilik sekolah?” kata Guru Sufi,”Pemerasan
Kelana luar biasa biadab melebihi kepantasan exploitation de l’homme par l’homme, sebuah L’exploitation capitaliste.” “Wah serius ini, Mbah Kyai?” sahut Sukiran dan Dullah bersamaan,”Bagaimana ceritanya?”. “Tadi siang, Bu Yuli yang guru TK-PAUD As-Sakinah Mawadah Wa Rahmah ke sini. Ia melaporkan nasibnya yang buruk karena dizhalimi kasek sekaligus pemilik sekolah. Sebulan menjadi guru TK-PAUD, dia hanya dibayar Rp 200.000 yang sudah terpotong uang transport Rp 150.000 sebulan. Jadi upah bersih hanya Rp 150.000.” “Tapi Mbah Kyai, setahu saya upah guru TK-PAUD memang segitu,” sahut Sukiran. “Kalau sekedar jadi guru tidak masalah,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Bu Yuli selain mengajar juga disuruh mengurusi masalah administrasi sekolah dan menjaga kebersihan serta perbaikan sekolah, sehingga tiap hari harus berangkat ke sekolah jam 06.00 dan baru pulang dari sekolah jam 21.00.” “Masya Allah, itu melebihi kerja romusha zaman Jepang,” sahut Sukiran kaget. “Bahkan kalau hari minggu, Bu Yuli diwajibkan datang ke rumah pemilik sekolah untuk membantu tetek-bengek urusan rumah seperti mencuci pakaian, menyeterika, menyapu, mengepel, sampai mijitin pemilik sekolah. Jadi kerja jadi guru ditambah jadi babu, hanya diupah Rp 200.000. Padahal, ongkos transport ke rumah pemilik sekolah pulang-pergi Rp 10.000. Jadi sebulan empat kali sudah Rp 40.000. Jadi total upah bersih yang diterimanya dalam sebulan hanya Rp 10.000.” “Hwarakadah,” sahut Dullah mendecakkan mulut,”Itu sih siksaan neraka bukan kerja dunia. Kenapa sudah tahu seperti itu Bu Yuli tidak keluar?” “Katanya, sebelum diterima jadi guru diwajibkan menanda-tangani perjanjian di atas meterai. Isi perjanjian adalah kontrak kerja selama lima tahun. Dalam kontrak itu disebutkan, jika pihak guru akan keluar sebelum jatuh tempo lima tahun, maka pihak guru harus membayar ganti rugi kepada pemilik sekolah sebesar upah sebulan dikalikan sisa bulan yang belum dilewati. Padahal, Bu Yuli baru bekerja
delapan bulan. Jadi, kalau Bu Yuli keluar harus mengganti uang kerugian sekolah sebesar Rp 200.000 x 52 = Rp 10.400.000 - sepuluh juta empat ratus ribu rupiah.” “Wah itu sih bukan eksploitasi dan bukan pula pemerasan, tapi penipuan bajingan tengik,” sahut Sukiran marah. “Ada lagi Bu Nur yang melamar jadi guru di TK-PAUD Sang Cendekiawan Agung. Dia juga disodori kontrak kerja selama 15 tahun dengan upah Rp 250.000. Tapi lamaran itu dibatalkan, karena ia diberitahu oleh guru-guru di TKPAUD Sang Cendekiawan Agung untuk tidak meneruskan keinginan menjadi guru di situ. Karena eksploitasinya luar biasa. Guru-guru yang sudah bekerja tiga tahun rasanya sudah seperti di neraka. Bayangkan, dengan upah Rp 250.000 selama 15 tahun itu bagaimana? Apa nilai uang tidak merosot terus setiap tahunnya? Apa itu tidak sama dengan nilai upah Rp 10.000 sebulan pada tempo 15 tahun ke depan?” kata Guru Sufi memaparkan. “Wah itu rupanya sudah menjadi modus pemerasan dan penipuan baru ya Mbah Kyai?” kata Sukiran dengan menahan nafas,”Apa itu tidak perlu diangkat jadi bahasan nasional, Mbah Kyai?” “Malah ada lagi modus penipuan yang mencekik,” sahut Guru Sufi menjelaskan,”Para guru oleh pihak yayasan disuruh menandatangani kontrak, jika keluar sebelum jatuh tempo wajib membayar ganti rugi sebesar jumlah bulan yang tersisa belum dilewati dikalikan upah guru sebulan. Nah setelah guruguru tanda tangan, bulan depan gaji semua guru diturunkan 25%. Kalau ada guru yang protes dipersilahkan keluar dengan mengikuti syarat-syarat sesuai kontrak, yaitu mengganti kerugian sekolah sebesar jumlah bulan yang belum dilewati dikalikan upah guru sebulan.” “Naudzubillah tsumma naudzubillah,” sahut Dullah dan Sukiran bersamaan,”Bagaimana ini manusia-manusia pendidik bisa bermoral bejat melebihi binatang?” “Padahal, pemilik sekolah dalam mendoktrin guru-guru selalu menggunakan term-term agama seperti ikhlas, lillah, billah, tawadlu, zuhud, wara’, tidak pamrih,” ujar Guru Sufi. “Itu mulut bejat penipu berkedok agama,” sahut Sukiran,”Bagaimana bisa seperti itu? Edisi III XII 2011
67
Kelana
68
Maksud saya, bagaimana bisa ada manusiamanusia berubah jadi Iblis laknat seperti itu, Mbah Kyai?” Guru Sufi tidak menjawab pertanyaan Dullah, sebaliknya menyitir Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Tsauban ra yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda; “Akan datang suatu zaman di mana bangsa-bangsa dari seluruh dunia akan datang mengerumuni kalian bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni talam berisi hidangan untuk mereka”. Seorang sahabat bertanya, “Apakah jumlah kami amat sedikit pada hari itu?” Rasulullah Saw menjawab, “Bahkan kalian pada hari itu amat banyak sekali, tetapi kalian seumpama buih di permukaan ombak lautan. Allah mencabut rasa gentar terhadap kalian dari hati musuh-musuh kalian. Bahkan Allah akan melemparkan ke dalam hati kalian penyakit AlWahan.” Seorang sahabat bertanya: “Apakah ‘Al-Wahan’ itu, wahai Rasulullah?”. Rasulullah Saw menjawab,”Cinta dunia dan takut mati”. “Penyakit cinta dunia, Mbah Kyai,” kata Sukiran ingin penjelasan,”Apakah itu sama dengan faham materialisme, kapitalisme, pragmatisme, liberalisme, neo-liberalisme, hedonisme?” “Apa pun nama yang diberikan orang,” kata Guru Sufi dengan suara ditekan tinggi,”Yang pasti ciri-ciri manusia yang sudah terjangkit virus Al-Wahan adalah hati dan pikiran manusia senantiasa dipenuhi bayanganbayangan materi duniawi, yang membuat semua perilakunya berubah karena tercekam bayangan materi duniawi tersebut, Lidahnya bercabang seperti ular dan pintar sekali berbohong. Kakinya gampang menekuk jika berhadapan dengan harta benda dan terutama jika berhadapan dengan pemilik kekayaan duniawi. Kepalanya selalu mengangguk untuk mematuhi titah pemilik kekayaan. Tiada menit dan detik yang mereka lewati tanpa
memikirkan dan mengharapkan benda-benda duniawi. Allah Yang Mahagaib, tak sedikit pun dinggah di benak dan jiwa mereka, meski mereka bicara tentang Tuhan dan agama. Bahkan saat sembahyang pun, hati mereka mencuri bayangan benda dengan macammacam urusan duniawiah yang tak ada batas akhirnya.” “Kalau ada orang beragama yang menderita penyakit Al-Wahan sangat parah, apakah sebutan yang tepat bagi mereka?” Tanya Dullah. “Karena yang diserang Al-Wahan itu adalah Al-Qalbu,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Dan di dalam Al-Qalbu itu terletak Al-Iman, maka sebutan yang tepat untuk menyebut orangorang beragama yang mengidap penyakit Al-Wahan sangat parah itu dengan sebutan “Kaum Beragama Tidak Beriman” karena perilaku mereka pasti sudah sangat jauh dari kaidah-kaidah kepantasan orang beriman.” Dullah dan Sukiran sepakat dengan mengacungkan jempol ke atas. Namun beberapa orang jama’ah dari kampung sekitar dengan wajah blingsatan saling pandang satu sama lain dan tersenyum kecut sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Melihat hal itu, Guru Sufi buru-buru berkata,”Beruntunglah orangorang yang mendengar pengajian ini kemudian merasa tersindir, sebab mereka masih memiliki peluang untuk menggosok cermin qalbunya agar bersih dari kerusakan yang ditimbulkan virus Al-Wahan. Sebaliknya, celakalah mereka yang ketawa-ketiwi mendengar pengajian ini karena hati mereka sesungguhnya telah beku dan mengeras seperti batu.” “Waspadalah! Waspadalah! Wahai saudarasaudara yang masih memiliki Qalbu bersih! Waspadalah, karena virus Al-Wahan sekarang ini sedang mewabah dalam kehidupan sekitar kita.” Kata Dullah dilanjutkan Sukiran.
* H. Drs. K.Ng. Agus Sunyoto, M.Pd. Tempat dan tanggal lahir: Surabaya, 21 Agustus 1959. Alamat : Jl. Anila VI/9H/25, RT02/RW10, Perumnas Sawojajar II, Malang Pendididikan : SMAN 9 Surabaya Angkatan 1977, Perguruan Tinggi IKIP Negeri Surabaya Angkatan 1980, seni rupa FPBS. Pascasarjana IKIP Negeri Malang Angkatan 1986 · Magister Kependidikan/ M.Pd · PLS, FPS Dosen : Dosen Tamu FIB Univ. Brawijaya Hanya Dosen Tamu. September 2003 hingga sekarang Penulis : Penulis Tetap Radar Kediri (Jawa Pos Grup) Februari 1999 hingga sekarang · Kediri, East Java Karya Buku: Dajjal (LKiS, 2006), Rahwana Tattwa (LKiS, 2006), Suluk Abdul Jalil: Perjalanan Ruhani Syekh Siti Jenar (LKiS, 2003), Sang Pembaharu: Perjuangan dan Ajaran Syekh Siti Jenar (LKiS, dan 2004), Suluk Maulana Sungsang:Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syekh Siti Jenar (LKiS, 2005).
Edisi III XII 2011
Hum r Korban Impian Di sebuah pesantren, ada seorang santriwati bernama Siti, dia punya impian ingin menjadi ibu nyai (istri pengasuh pesantren). Tingkahnya semakin hari semakin dimiripmiripkan dengan gaya ibu nyai. Mulai dari ucapan, gaya berjalan, gaya duduk, pokoknya semua harus terlihat seperti ibu nyai. Pada suatu malam yang dingin, selesai kegiatan, santriwati-santriwati mulai menyiapkan bantal dan selimut untuk beristirahat, mereka tumpek blek, tidur dempet-dempetan dalam satu kamar. “Kasih tempat!! Kasih tempat, neng Siti mau tidur”. Perintah Siti seperti biasa. “Ayo minggir-minggir ibu nyainya tuh takut murka”. Sahut Zubaidah dengan tertawa kecil sambil memberi tempat pada Siti. Sekejap saja, suasana sudah hening. Mungkin karena kelelahan setelah seharian beraktifitas, mereka cepat sekali terlelap. Di tengah malam, di saat teman-temannya masih terlelap dalam mimpi-mimpi indah mereka, Siti terbangun karena dia merasa ada yang basah, ya lantai kamar itu basah, hujan dan gentengnya bocor?? Tidak. Teman siti ngompol? Juga tidak. “Waduh,payah, aku kok bisa ngompol gini yah, najis semua dah lantai dikamar ini” gumam Siti sambil berpikir apa yang harus dia lakukan tengah malam seperti ini. “Ngepel sendirian?? Ah enggak mungkin” Tiba-tiba akal cerdiknya muncul. Dia segera ganti pakaian, sontak dia bangunkan semua teman temannya yang sedang asyik tidur. “Ayo bangun-bangun, tidur kok kayak orang mati, AYO BANGUUUN!!!”.Teriak Siti sambil menggedor-gedor pintu. Dibangunin tidak seperti biasanya, mereka kaget dan langsung saja bangun dengan pikiran penuh tanda tanya. “Wihh...ada apa Sit, bangunin orang belum
waktunya gini. Usil banget kamu sih” Zubaidah membalas teriakan Siti. “Yahh..jangan sewot dulu dong. Liat tuh lantai basah semua gitu”. “Emangnya ni kenapa?” Tanya Eva dengan mengucek-ngucek matanya. “Barusan ada kucing kencing disini, kalian sih enak-enak tidur, ya udah, sekarang, ayo ambil ember, semua dan pel kamar ini”. Jawab Siti serius. Seperti terhipnotis teman-teman Siti langsung beranjak mencari ember. Rame-rame mereka mengepel kamar mereka. Sementara Siti senyum-senyum sendiri memperhatikan teman-temannya berhasil dikerjain. Begitu selesai, kamar kembali wangi dan bersih. Ditengah teman-teman yang kelelahan. Siti mulai angkat bicara. “Teman-temanku yang baik. Sebelumnya Siti minta maaf ya pada kalian karena Siti sudah mengganggu tidur kalian. Sekarang Siti mau jujur, boleh ya?” “Hah!! Maksud loh?” “Iya. Sebenernya....” “Udah deh Sit,maksudmu apa sih, to the point aja dah, gak usah bertele-tele”. Tukas temanteman Siti. “Janji gak marah ya?” “Oke..kami janji” “Sebenarnya yang kencing tuh bukan kucing tapi Siti sendiri yang ngompol”. “huaaaaaaaa!!!!!!” Siti segera diserbu teman-temannya, ada yang mencubit, ada yang menjewer. “Huahahahaaa..secara ibu nyai tuh kan memang wajib kalian bantu toh, masak mau ngepel sendiri, hahaha”. Bela Siti yang segera ngeluyur meninggalkan kamar dengan tertawa terkekeh-kekeh. “Huhh!!Awas kamu yahh!!!”
Kebiasaan Suasana kelas terdengar gaduh, hiruk pikuk siswa yang bercanda begitu membuat suasana tidak kondusif untuk proses belajar mengajar.
Maka untuk menyiasati hal ini, ibu guru mengajukan beberapa pertanyaan. “Budi, siapakah penemu telepon?” “Alexander Graham Bell, bu” Edisi III XII 2011
69
Hum r “Yak betul”. “Baduuuuu!!”. Panggil ibu guru setengah berteriak. Si badu yang sedari tadi asyik ngobrol sama temannya kaget mendapat giliran ditanyakan ibu guru. “Siapa penemu lampu?” Badu celingak clinguk, kebingungan. “Emang lampunya siapa yang ilang bu” “gerrrr!!!!!” Teriak yang lain. “Huhh...Lampunya Aladin”!! Jawab Bu guru setengah kesel. “Maksud bu guru tuh, namanya orang yang menemukan lampu pertama kali du” “Oooo...gak tau badu bu”. “Baiklah, Ibu guru kasih tau nama depannya, terus badu yang lanjutkan ya?!!. Penemu lampu pertama kali adalah Thomas Alfa???”
“Alfamart bu” “Waduh” “Ayo ucang, kamu yang jawab, penemu lampu adalah Thomas Alva??” “Alfatihah bu” “Ucaaaangg!!!!” “Saya bu, bener ya??”. “Salah cang, yang betul Thomas Alva Edison” bu guru membetulkan. “Teeeetttttt...tetttttt” Bel tanda jam pelajaran selesai berbunyi. “Baiklah anak-anak, kita tutup pelajaran hari ini dengan pembacaan surat Alfa???” “Alfatihah bu”. Jawab anak-anak serentak dan kompak. “Tu kan ujung-ujungnya jawabanku juga yang dipakai kan du” bisik si ucang bangga pada temen sebangkunya badu.
Pandai Memanfaatkan Peluang
70
Siang itu, udara sangat panas, matahari bersinar seolah-olah hendak membakar bumi. Di jalan yang mulai ramai, tampak siswa-siswa MTs Zainul Hasan pulang dari sekolah. Wajah mereka kelihatan capek ditambah cuaca yang sangat panas, rasanya semakin melengkapi penderitaan mereka. Jalan yang mereka lewati adalah jalan dekat kampus Stikes, Seorang ustadz yang juga melewati jalan yang sama, kaget dan penasaran, bagaimana tidak, Tampak kerumunan siswa-siswa itu berjejalan, ada yang duduk, ada yang berdiri. Yang mengherankan adalah, itu mereka lakukan didalam ruang mesin ATM. “Sedang apa mereka?” gumam si Ustadz mendekat. Melihat di luar ada ustadz mereka, mereka lantas keluar dan satupersatu bersalaman , Ustadz bertanya, “Ngapain kalian didalam situ?, ngambil uang?” “Hehehe..enggak ustadz, cuma numpang dingin, di dalam kan ada AC-nya”. “Hah!! hahahaha..”. Si Ustadz hanya bisa tertawa melihat tingkah laku anak didiknya. Kemudian mereka bubar dengan senyum-senyum sambil berlari-lari kecil. Masih terdengar mereka saling berbisik, “Malu deh ketahuan ustadz”. Edisi III XII 2011
Konsultasi Majalah Genggong menerima konsultasi seputar masalah asmara, persahabatan, keluarga, kesehatan & sosial. kirim via sms ke 085233333324 atau via email: majalahgenggong@yahoo.com, dengan disertai nama & alamat.
Rubrik konsultasi ini diasuh oleh Muslihati, M.Pd, Ahli Psikologi Pesantren Zainul Hasan Genggong.
www.chintamyinpaper.blogspot.com
Fall In Love? Assalamu Alaikum. Saya seorang remaja, 17 tahun… saya mohon bantuan solusi dari redaksi Majalah Genggong. sebagaimana remaja pada umumnya, saya mengalami apa yang mungkin orang biasa sebut “Fall In Love” pada seorang pria. Tapi, di satu sisi saya tidak ingin kebablasan. Prinsip seperti apakah yang harus saya pegang agar tindakan saya tidak sampai menciderai kehormatan saya sebagai wanita muslimah? Terima kasih. Wassalam. Nisa’, Kraksaan
Wa alaikum salam wa rohmah. Saudari nisa’ yang baik, Anda sedang berada dalam masa remaja yang indah. Dari sisi perkembangan psikologis, munculnya rasa suka pada lawan jenis merupakan salah satu bentuk perkembangan remaja. Namun sayang, terkadang banyak remaja yang terbuai oleh cinta yang dirasakannya di masa remaja, padahal cinta di masa remaja bukanlah cinta yang matang karena masih labil, dan sering kali diwarnai nafsu. Di samping itu cinta masa remaja belum dilandasi pertimbangan logis dan kebijaksanaan atas beragam persoalan kehidupan. Saudari nisa’, masa remaja sebaiknya diisi dengan kegiatan belajar dan berlatih untuk mengembangkan potensi diri yang terbaik
sembari beribadah dan berdoa. Yakinlah bahwa ketika Anda telah menjadi pribadi yang matang, memiliki kemampuan dan menjadi seorang profesional, Anda akan memperoleh cinta dari jodoh terbaik dan se-kufu yang dikirim oleh Allah swt. Karena itulah, maka sebaiknya mulai berpikir bahwa hidup bukan semata-mata untuk cinta, walaupun manusia pasti selalu membutuhkannya. Hidup akan berharga ketika kita mampu mewujudkan cita-cita dan impian, dan membahagiakan orang-orang yang sangat berarti dalam hidup kita (orang tua dan keluarga). Hidup juga menjadi mulia ketika selalu mempertimbangkan segala keputusan untuk bertindak selalu merujuk pada ajaran Islam.
Edisi III XII 2011
71
Konsultasi
www.setowibisonosman8sby.blogspot.com
Antara Sahabat dan Pacar?
72
Salam hangat buat redaksi Majalah Genggong. Saya punya sedikit masalah, mungkin redaksi MG bisa membantu saya untuk menemukan solusinya. Ceritanya begini, saya memiliki dua orang teman yang sudah cukup lama bersahabat dengan saya, sebut saja namanya Ana & Ani (nama samaran). Belakangan mereka bertengkar dan saling tidak bertegur sapa hanya karena masalah cowok, sebut saja hasan (nama samaran). mereka berdua samasama menyukai hasan. Konflik dimulai saat hasan menyukai ani, dan tidak menghiraukan ana selaku sahabat ani, yang juga menyukai dirinya. Bagaimana cara agar hubungan persahabatan mereka kembali normal? Saya ingin membantu memperbaiki hubungan dua sahabat karib saya ini. Terima kasih. Wassalam. Indah sulastri, Probolinggo
Salam hangat juga buat saudari Indah… Niat Anda untuk membantu memperbaiki hubungan sahabat Anda sungguh mulia. Persahabatan itu akan indah bila masingmasing mampu menyelaraskan pengertian. Dan bahwa egoisme telah banyak membuat keretakan dalam sebuah hubungan tidak terbantahkan lagi. Jauhkan ego, atau ego akan menjauhkan kita dari indahnya persahabatan. Saudari Indah yang baik… semua kendali dalam masalah ini sebenarnya ada pada kedua sahabat Anda itu, yang bisa Anda lakukan adalah menasehati mereka dengan cara yang halus serta jauh dari kesan menggurui. Datangi mereka secara bergiliran, bicaralah dengan mereka dari hati ke hati. Tanyakan hal-hal berikut dan selanjutnya biarkan mereka yang memutuskan. Lebih penting manakah antara cinta kepada seseorang yang belum halal dengan indahnya cinta dalam persahabatan yang disukai agama?” “Jika ada masalah yang segera butuh penyelesaian, antara cinta yang belum halal
Edisi III XII 2011
dengan sahabat dekat, siapakah yang lebih dulu ada dan siap membantu menyelesaikannya tanpa melibatkan dosa?” Bila disodorkan pilihan, siapakah yang akan mereka pilih, pasangan yang lebih mengutamakan cinta yang halal atau yang menomorsatukan cinta yang tidak halal?” Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas paling tidak akan membuka cakrawala pertimbangan mereka. Jangan mencintai bila cinta itu tidak membaikkan kehidupan, sebab cinta yang baik bukanlah cinta yang melahirkan permusuhan. Allah berfirman dalam QS. Azzuhruf: 67 ُ َو َم ِئ ٍذ َبع ْض َع ُد ٌّو إِال ْال ُم َتِّقين ْ األخال ُء ي ِ ٍ ْض ُه ْم لَِبع “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa”. Semoga kita dilindungi Allah dari kelihaian syetan yang biasa tampil atas nama cinta. Wassalam.
Resensi
Mantra Sakti “Man Jadda Wajada” “Kalian tidak akan kami beri ijazah, tidak akan kami beri ikan, tapi akan mendapat ilmu dan kail. Kami, Para Ustad, ikhlas mendidik kalian dan ikhlaskan pula untuk mau di didik” --Begitu sambutan Kiai Rais dalam novel Negara 5 menara.
Judul : Negeri 5 Menara Pengarang : A. Fuadi Penerbit : PT. Gramedia Pustaka utama, Juli 2009 Jumlah Hal : 405 Peresensi : Moh Kasiful Anwar
Terinspirasi agar putranya menapak tilas perjalanan Buya Hamka, seorang Ibu menginginkan putranya menjadi pemuka agama hebat yang berbekal pengetahuan luas. Alif Fikri anak Semata Wayangnya, yang Sejak awal berpegang teguh pada cita-citanya, untuk menjadi seorang seperti insinyur B.J Habibie, kini Perlu mempetimbangkan kemauan dan Harapan sang Ibu. Keinginannya untuk belajar di bangku SMA, dan kemudian kelak yang ingin melanjutkan kuliah di UI, ITB hingga ke Negeri Jerman, terasa Lenyap Seketika. Dan Hampir separuh malam perdebatan antara Alif dan Ibunya terjadi, Namun Belum menemukan titik terang, kemana Alif akan Melanjutkan. Tiga Hari lamanya, Alif membekam diri dikamar, ia lakukan upaya Protes kepada ibunya, dengan Edisi III XII 2011
73
Resensi
74
secercah harapan akan meluluhkan hati ibunya, untuk mengijinkan anaknya Belajar di bangku SMA. Hingga Menginjak Hari Ke-empat usaha Alif tak membuahkan hasil. Sang Ibu hanya menyodorkan surat kiriman dari Pamannya yang berada dimesir, yang diselipkan dibawah sela pintu kamarnya. Dengan Raut Muka yang tidak bersemangat, Alif Membaca Isi surat dari pamannya, didalamnya tertera saran dari sang paman agar Alif Fikri melanjutkan belajar di salah satu pondok pelosok, di ponorogo jawa timur, salah satu pondok Madani yang terkenal dengan kedisiplinan setiap hari berbahasa inggris dan arab. Kebimbangan semakin menghantui pikiran Alif Fikri, untuk menguraikan kemana arah yang dia harus pijak. Walau Dengan suasana setengah Hati dan atas pertimbangan surat dari sang Paman, Alif Fikri menakdirkan nasibnya untuk berangkat ke pulau jawa, Meskipun menimbun segudang pertannyaan dalam angan-angannya. Di dunia barunya, di pondok pesantren Madani, Alif di pertemukan dengan beberapa teman yang berasal dari daerah asal yang Berbeda. Raja dari Medan, Atang dari Bandung, Dulmajid dari Sumenep, Said dari Surabaya dan Baso dari Gowa. Akhirnya mereka mengikat Jalinan Persahabatan dengan sebutan “Sahibul Menara” atau “Orang yang mempunyai Menara”. Berawal dari sinilah sebuah pengalaman, cerita dan kebersamaan di mulai. Di hari pertama masuk kelas, Mereka di perkenalkan dengan sebuah kata bak “Matera” ajaib, “Man Jadda Wajada” siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Seluruh seisi kelas bergemuruh ketika semua para murid mengucapkan secara bersama-sama yang langsung di komandoi oleh seorang ustad masing-masing. Itulah Pelajaran hari pertama di pondoknya sebuah kata yang sederhana tapi kuat, kelak yang akan menjadi kompas bagi sebuah kehidupan. Judul Novel Negara 5 Menara cukup menarik. Terkesan Berat dan Ambisius. Namun faktanya Novel ini tampil dengan BahasaBahasa Yang sederhana, apa adanya, Ringan dan Banyak Menambahkan percikan-percikan selera Humor yang sangat dalam. Novel ini Edisi III XII 2011
tampil berbeda dengan novel-novel pada lazimnya, sebuah pondok pesantren dengan paduan pendidikan di jadikan sebagai latar belakangnya. Mantan Wartawan Tempo ini mengambarkan dalam Novelnya, Bagaimana seorang Alif fikri dan sahibul menara ini mengarungi sebuah perjalanan dalam sebuah kehidupan pesantren. Dan melukiskan Semangat yang besar dan tekad nan kuat yang dipancarkan oleh para Pencari Ilmu di pondok madani ini, dibantu oleh sistem pembelajaran yang Baik.
Memahami pendidikan di dalam pondok pesantren, antara sebuah impian dan dorongan Motivasi
Sumbangan utama Novel ini, memperlihatkan sebuah anggapan salah yang selama ini sudah teradopsi, bahwa pondok pesantren sebagai tempat buat anak yang gagal produksi. Baik Hanya Karena tidak mampu menembus persaingan masuk di sekolah negeri, dan sebagai Ruang untuk perbaikan seorang anak yang sudah terlanjur nakal, Kemudian pondok pesantren sebagai jalan keluarnya, Pesantren diibaratkan sebagai alternatif menjadi bengkel untuk mengatasi Problema ini. Namun Novel ini Berkata lain, pondok pesantren Merupakan wadah untuk menimba belajar ilmu Agama Beserta beragam yang Lain. Kisah Pondok Madani, Dalam Novel ini yang dikisahkan mempunyai sistim kedisiplinan kelas tinggi, Pengembangan minat bakat di setiap Murid, dan Kurikulum dikelola dengan baik. Hingga Bisa mampu Mencetak lulusan yang memberikan kemanfaatan pada masyarakat dan Bangsa A. Fuadi mencermati bagaimana sebuah perjuangan Hidup dalam Sebuah Pondok Pesantren, Perwujudan dari Pendidikan Akhlak dicurahkan dalam bentuk saling menghormati dan menciptakan kebersamaan yang baik. Dalam Pondok Pesantren ilmu agama menjadi sebuah pilar Pembangunan jiwa dan menyiapkan Bekal diri untuk Akhirat, walakin tampa Harus melupakan Kebutuhan Ilmu umum. Nur Kholish Madjid dalam sebuah karangan Bukunya “Bilik-Bilik Pesantren” menjelaskan Peran Ganda sebuah Pesantren yaitu Amanat
Resensi dorongan Motivasi sekaligus obat bagi setiap Murid. Motivasi bukan hanya diperankan oleh Kiai Rais seseorang, Ustad-Ustad Pengajar juga mampu menjelma menjadi motivator, di setiap ruang-ruang Kelas belajar. Setelah sekian lama jalinan persahabatan sahibul menara itu terus tumbuh. Kecerian, Kesedihan, Rasa Takjub dan Rasa Mengharukan beriringan menemani mereka tumbuh dewasa. Rasa Sedih terasa saat menerima Hukuman, ketika melakukan pelanggaran. Dalam kehidupan perjalanan Shahibul Menara, Mereka tidak akan pernah melupakan kejadian yang sangat Menakjubkan, yang pernah mereka tonton saat Sosok seorang Kiai Rais yang selama ini mereka kagumi, Seorang penghafal al Qur’an dan sang Motivator yang berkarisma, Menjelma Menjadi pemain Sepakbola mengikuti pertandingan antara Para Ustad Vs All Star kelas 6, Bahkan yang lebih Mengherankan lagi, saat Kiai Rais Berhasil menyubangkan 1 Gol. Kebersamaan yang menjadi Favorit shahibul Menara yang sering mereka lakukan Bersama, Berkumpul di bawah menara disore hari, sembari menunggu jam Lonceng Pondok berbunyi, tanda adzan Maghrib akan tiba. Saat kesempatan suatu Sore, mereka mendapati awan-awan yang mereka lihat, melukiskan
www.standardberita.com
Agama Serta Keilmuan. Keduanya harus dilakukan secara serentak dan proporsional sehingga dicapai secara serentak. Usaha menciptakan lingkungan Belajar yang Efektif akan mampu menambah Motivasi Belajar, dan ini terbukti mujarab untuk mendukung sistem pendidikan yang diterapkan. Kedisiplinan mempunyai peran utama dalam pembentukan mental beserta kepribadian yang tangguh dalam setiap peserta didik. Kami sanggup membaca buku sambil berjalan, sambil bersepeda, sambil bersepeda, sambil antri mandi, sambil antri makan, sambil makan bahkan sambil mengantuk. Pendidikan Ini sengaja mengajarkan Candu, Candu ini ditawarkan siang malam, sedemikian rupa sehingga semua murid jatuh kepadanya. Kami telah ketagihan, Kami Candu Belajar. Dan Imtihan atau Ujian adalah pesta merayakan candu itu (hal 200) Di dalam novel ini juga di ceritakan seorang sosok seorang kiai, yang menjadi sosok seorang “Motivator” yang mempunyai peran sentral, dalam setiap perjalanan pendidikan murid-murid PM. Kiai Rais itu seperti “Mata Air Ilmu” Mengalir terus, Dalam seminggu ini kita pasti akan mendengar dia memberi Petuah berkali-kali,’’ Ujar Raja (hal 49). Dengan katakata indahnya Beliau Mampu memberikan
Edisi III XII 2011
75
Resensi
76
sketsa wajah Dunia. Sahibul Menara punya Potret masing-masing untuk mengambarkan sebuah wajah dunia itu, dan mereka terhanyut dalam impian, sesekali mereka berharap untuk memijakkan kaki di benua dan negara yang mereka impikan itu. Ketika “Ikhlas” Berbicara Petuah-petuah yang mempunyai nilai motivasi tinggi ini, dengan Nilai penguatan akan jati diri, hadir dalam setiap seorang murid menjadi ketika menjadi penghuni Baru hingga mereka lulus. Sejak Pertama Murid masuk, Kiai Rais sudah Mengajak seluruh seluruh murid-muridnya untuk membulatkan niatnya untuk belajar hanya karena Allah, untuk itu kalian tidak akan kami di beri ijazah, tidak akan kami beri ikan, tapi akan mendapat ilmu dan kail. Kami, Para Ustad, ikhlas mendidik kalian dan ikhlaskan pula untuk mau di didik” begitu sambutan Kiai Rais. (hal 50) Kekuatan ikhlas dalam proses belajar, akan mampu melahirkan Hasil yang membuka tirai hikmah: Ketika seorang Murid ikhlas diajar dan Guru ikhlas Mengajar. Keduanya akan saling menuai kesadaran sehingga tranformasi ilmu mengalir. Keihklasan dan Wakaf menjadi kunci kekuatan dalam Pondok Madani ini, Konsep “Mewakafkan diri” (hal 253) Artinya, Semua Waktu, pikiran dan tenaga diserahkan sepenuhnya buat pondok, tidak ada kepentingan pribadi, tidak ada harapan untuk mendapatkan imbalan dunia, tidak gaji, tidak Rumah, tidak segala-segalanya. Semuanya ikhlas hanya ibadah kepada Allah. Dan sebuah akhir dari cerita sebuah perjalanan dari shahibul menara, selepas dari masa pendidikan, setelah hampir 10 tahun lebih mereka tak bertemu, yang tak berkumpul Lagi di bawah menara, seraya menyaksikan langit saat sore tiba, seperti yang mereka lakukan seketika waktu di pondok. Menara tempat dimana mimpi-mimpi mereka itu bersemayam, hingga mereka membayangkankan Negara tujuan Kelak, Arab Saudi, Eropa, Mesir, dan Amerika Beberapa belasan tahun berlalu, mereka akhirnya bertemu. Alif, Atang Dan Raja. Trafal Square di kota London menjadi saksi pertemuan mereka. Alif ke London menjadi Panelis, untuk Edisi III XII 2011
menghadiri undangan dari The Wordl Inter Faith-Forum sebagai wartawan indonesia yang bertempat di AS, Atang mewakili dari Al-Azhar untuk membicarakan peran muslim melayu di Negara Arab, sedangkan Raja Sendiri telah satu Tahun tinggal di London Bersama Istrinya, dan selama dua tahun kedepan Raja akan tetap di london untuk memenuhi undangan komunitas muslim indonesia, untuk menjadi pembina Agama. Sedangkan Baso sang otak Brilirian, menerima Beasiswa Kuliah di Mekkah, dengan modal hafal luar kepala seluruh isi Al-qur’an. Dan Shahibul menara yang lain Said, dan Dulmajid, Said meneruskan Usaha keluarga, dipasar Ampel Surabaya. sesuai dengan cita-cita mereka berdua dahulu, mereka bekerjasama mendirikan sebuah pondok dengan semangat PM di surabaya. Kini Mimpi-Mimpi dibawah Menara itu menjadi sebuah kenyataan. Jangan Pernah Remehkan Impian, Walau setinggi Apapun, Tuhan Maha Mendengar. Setelah membaca seluruh Novel ini, banyak kandungan sejuta harapan, semangat yang luar biasa, idealisme dan kerja keras dalam meraih mimpi, dengan mengusung tema pendidikan yang dapat diambil Pelajaran berharga. Novel ini serupa dengan Novel “Tetralogi Laskar Pelangi” yang berkisah tentang perjuangan dalam mengejar cita-cita, tapi yang membedakannya setting novel ini di sebuah terjadi di Pondokan Islami. Disamping kelebihan yang terurai, penyampaian yang apa adanya, suasana didalamnya yang kurang dramatik dan kedalaman emosi yang kurang tergali, menjadi kelemahan dalam novel ini. Disamping nilai-nilai Tauhid dalam novel ini tidak disinggung secara tuntas, jadi terasa masih kurang lengkap. Karena nilai-nilai tauhid mempunyai nilai penting bagi sebuah kehidupan pesantren. Akan tetapi, itu semua tidak mempengaruhi terhadap kekuatan yang tersimpan dalam novel ini. Bagaiamanapun, A. Fuadi telah memberi kita sebuah karya tulisan yang sangat menginspirasi bagi semuanya, utamanya bagi pembentukan karakter pendidikan kita, dan bagi seluruh pihak yang bergelut dengan dunia pendidikan. [An]
Bahtsu
Majalah Genggong menerima konsultasi seputar masalah keagamaan. Pertanyaanpertanyaan pembaca akan dibahas dalam Bahtsul Masa’il Pondok barokatu Zainil hasanain Pesantren Zainul Hasan Genggong. kirim via sms ke 085233333324 atau via email: majalahgenggong@yahoo.com, dengan disertai nama & alamat.
Hasil Keputusan Bahtsul Masail Pondok Barokatu Zainil Hasanain Pesantren Zainul Hasan Genggong SHALAT DALAM DUNIA TERAPI ALTERNATIF
Analisis Masalah Pemanfaatan shalat sebagai salah satu alternatif terapi kesehatan makin marak seiring perkembangan hasil penelitian para pakar yang menunjukkan bahwa gerakangerakan dalam shalat sangat bermanfaat bagi kesehatan fisik dan psikis. Seseorang yang melakukan shalat dengan ikhlas dan thuma’ninah akan mengalami ketenangan jiwa terhindar dari kegelisahan kecemasan yang berlanjut dengan lancarnya sirkulasi darah dan berbuah terhindar dari penyakit jantung paru-paru dan masih banyak lagi. Dalam salah satu metode terapi kesehatan dengan shalat dianjurkan musholli tidak langsung ruku’ setelah membaca surat tetapi disambung dengan membaca Allah ()اهلل di dalam hati bersamaan masuknya napas dan membaca huu ( )هوketika keluarnya nafas atau mengadukan segala kerumitan hidup yang sedang dihadapi tetapi hanya di dalam hati tidak diungkapkan dengan kata-kata. Mengenai lamanya tergantung kenikmatan yang dirasakan mushalli. Teknis ini juga dilakukan dalam ruku’ i’tidal sujud dan gerakan shalat lain setelah bacaan yang disunnahkan. Dalam prakteknya ada kemungkinan memanjangkan i’tidal atau duduk di antara dua sujud bahkan mungkin ada orang yang shalat semata berharap mendapatkan manfaat kesehatan Pertanyaan 1: Bagaimana hukum memanjangkan rukun Qashir (pendek) dengan metode dan alasan di atas? Jawaban : Tidak boleh kecuali mengikuti pendapat Imam Qadli Abu Thayyib, beliau mengatakan bahwa memanjangkan rukun yang seharusnya pendek itu tidak membatalkan sholat, sebagaimana disebutkan dalam kitab Majmu’ Syarah Muhadz-dzab juz 4 halaman 126-127 126-127 المجموع شرح المهذب الجزء الرابع صح (فرع) قال االصحاب القيام والركوع والسجود والتشهد اركان طويلة بال خالف فال يضر تطويلها قال البغوي وال يضر ايضا تطويل التشهد االول بال خالف قال اصحابنا الخراسانيون واالعتدال عن الركوع ركن قصير امر المصلي بتخفيفه فلو اطاله عمدا بالسكوت أو القنوت حيث لم يشرع أو بذكر آخر فثالثة اوجه أصحها عند امام الحرمين وبه قطع البغوي تبطل صالته اال حيث ورد الشرع بالتطويل في القنوت أو في صالة التسبيح وقد قطع المصنف بهذا في قوله أو يطيل القيام بنية القنوت ومراده اطالة االعتدال وذكره في القسم الذى تبطل الصالة بعمده والثانى ال تبطل كما لو طول الركوع وبه قطع القاضى أبو الطيب والثالث ان قنت عمدا في اعتداله في غير موضعه بطلت صالته وان طوله بذكر Edisi III XII 2011
77
Bahtsu آخر ال بقصد القنوت لم تبطل هذا نقل االصحاب وقد ثبت في صحيح مسلم عن حذيفة رضى اهلل عنه أنه قال « صليت مع النبي صلى اهلل عليه وسلم ذات ليلة فافتتح البقرة فقلت يركع عند المائة ثم مضى فقلت يصلى بها في ركعة فمضى فقلت يركع بها ثم افتتح النساء فقرأها ثم افتتح آل عمران فقرأها يقرأ مترسال إذا مر بآية فيها تسبيح سبح وإذا مر بآية فيها سؤال سأل وإذ مر بتعوذ تعوذ ثم ركع فجعل يقول سبحان ربي العظيم فكان ركوعه نحوا من قيامه ثم قال سمع اهلل لمن حمده ثم قام طويال قريبا مما ركع ثم سجد فقال سبحان ربي االعلي فكان سجوده قريبا من قيامه « هذا لفظ رواية ملسم وفيه التصريح بجواز اطالة االعتدال بالذكر والجواب عنه صعب علي من منع االطالة فاالقوى جوازها بالذكر واهلل أعلم :واما الجلوس بين السجدتين ففيه وجهان مشهوران أحدهما أنه ركن قصير وبه قطع الشيخ أبو محمد والبغوى وغيرهما وصححه الرافعى والثاني أنه طويل قاله ابن سريج واالكثرون فان قلنا طويل فال بأس بتطويله عمدا وان قلنا قصير ففى تطويله عمدا الخالف المذكور في االعتدال Referensi lain bisa dilihat di kitab I’anatuttholibin juz 1 hal. 195 Pertanyaan 2: Bagaimana hukumnya melakukan shalat dengan tujuan untuk mendapatkan manfaat ?kesehatan fisik maupun psikis Jawaban: Sah namun bila motif kesehatan lebih dominan daripada motif ibadah atau sama maka tidak mendapatkan pahala. حاشية الباجوري الجزء األول صح 145 ولو نوى الصالة ودفع الغريم مثال صحت صالته ألن دفعه حاصل وإن لم ينوه كما لو نوى بصالته فرضا وسنة غير مقصودة كتحية وسنة وضوء بخالف ما لو نوى فرضا وسنة مقصودة كسنة الظهر لتشريكه بين عبادتين مقصودتين ال تندرج إحداهما في األخرى ولو قال أصلي لثواب اهلل أو للهرب من عقاب اهلل صحت صالته خالفا للفخر الرازي ولو قال شخص آلخر صل فرضك ولك علي دينار فصلى لهذه النية صحت صالته وال يستحق الدينار Referensi lainnya terdapat dalam kitab Al-fatawi Al-fiqhiyah Al-kubro juz 1 hal. 147-148 dan AlAsybah wan Nadhoir hal.21-22
TALQIN SETELAH RAMADHAN
Deskripsi Masalah Di sebagian daerah apabila ada orang meninggal dunia tepat pada bulan ramadhan setelah penguburan tidak langsung di bacakan talqin terlebih dahulu baru setelah bulan ramadhan selesai mereka membacakan talqin untuk si mayat tersebut, karena mereka menyakini kalau malaikat Munkar dan Nakir tidak akan datang pada bulan ramadhan. Pertanyaan ? Apakah bisa di benarkan tindakan sebagian orang tersebut di atas Jawaban: Tidak dibenarkan, sebab waktu masyru’nya (dianjurkannya) talqin adalah setelah dikuburkannya mayyit dan orang yang meninggal pada bulan Ramadlan tetap akan ditanyai oleh malaikat, hanya saja ia akan dimudahkan dalam menjawab. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj Fi Syarh Alminhaj juz 11 hal. 445
تحفة المحتاج في شرح المنهاج الجزء 11صح 445
فائدة ورد أن من مات يوم الجمعة أو ليلتها أمن من عذاب القبر وفتنته وأخذ منه أنه ال يسأل وإنما يتجه ذلك إن صح عنه صلى اهلل عليه وسلم أو عن صحابي إذ مثله ال يقال من قبل الرأي ومن ثم قال شيخنا يسأل من مات برمضان أو ليلة الجمعة لعموم األدلة الصحيحة
Referensi lain bisa dilihat dalam kitab yang sama juz 9 hal. 90 dan kitab Bughyatul Musytarsyidin hal 121. ][A.Y
Edisi III XII 2011
78
Tafsir Tafsir Muqoronah diasuh oleh KH. Moh. Hasan Saiful Islam Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong
Manusia Masuk Surga; Karena Amal atau Rahmat Allah?
Dalam Al-Qur’an surat Az-zuhruf ayat 72
ُ َ ْ َْ َ ُُوها ِب َما ُك ْنتُ ْم َت ْع َمل َ ور ْثتُم ون ِ َو ِتلك ال َج َنُّة الِّتي أ
“Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan”. Sementara dalam kitab Shohih Muslim ada bab ْ لَ ْن َي ْد ُخ َل أَ َح ٌد ْال َجنَّ َة ِب َع َملِ ِه بَل برحمة اهلل “Sesekali seseorang itu tidaklah masuk ke surga sebab amalnya tetapi sebab rahmat Allah”. Yang salah satu haditsnya sebagai berikut : وال أنا إال أن يتغمدني ربي برحمة: قال، وال أنت يا رسول اهلل ؟: فقيل، ما من أحد يدخله عمله الجنة Tidaklah amal seseorang itu memasukkannya ke dalam surga, lalu sahabat bertanya, “Tidak pula engkau ya rasulallah?”. “Tidak pula aku, kecuali Tuhanku mencakupiku dengan rahmat-Nya. Pertanyaan: Di Al-quran dikatakan manusia masuk surga sebab amalnya sedang di hadits sebab rahmat Allah. Bagaimana memahami dan mengkompromikan ayat dan hadits diatas?. Mohon penjelasan kyai. Jawab: Sejatinya manusia itu masuk surga memang dengan rahmat Allah, meski begitu manusia tetap harus beramal. Sebagaimana Allah singgung dalam QS. Al-buruj: 11, Lukman: 8, Annisa: 122 dan masih banyak ayat lain tentang janji surga bagi orang beriman dan beramal sholeh, termasuk ayat: ُ َ ْ َْ َ ور ْثتُم ُوها ِب َما ُك ْنتُ ْم َت ْع َملُون ِ َو ِتلك ال َج َنُّة الِّتي أ “Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan”. Amal itu berdasarkan rahmat Allah, masuknya manusia ke surga bukan semata-mata karena amalnya, karena kalau diukur amal manusia yang sedikit itu dibandingkan dengan kenikmatan yang Allah berikan disurga, sangat tidak berimbang. Anda Sholat 5 waktu sehari semalam selama 40 atau 60 tahun misalnya, lalu dengan amal yang sangat kecil itu, Allah memberi balasan besar berupa surga yang abadi dengan kenikmatan Edisi III XII 2011
79
Tafsir besar tak berbatas. Hal ini sangat tidak seimbang. Maka patutlah bila dikatakan manusia masuk surga itu bukan semata-mata karena amalnya melainkan karena rahmat Allah. Bila seseorang menanam satu biji rambutan kemudian dari satu biji itu tumbuh pohon rambutan, ada daun, dahan, ranting dan buah yang sangat lebat. Maka kalau di ibaratkan, amal itu seperti satu biji rambutan tersebut. Satu biji ibaratnya amal, lalu pohon, daun, dahan, ranting dan buahnya adalah rahmat Allah. Untuk mendapatkan satu paket pohon rambutan dan buahnya, dia harus berusaha dengan menanamnya. Tidak bisa seseorang mengatakan, “Saya ingin punya pohon rambutan yang tumbuh subur dan berbuah lebat tapi saya tidak mau menanamnya”. Sebagaimana dia juga tidak bisa mengatakan, “Saya ingin masuk surga dengan rahmat Allah tetapi saya tidak mau beramal.” Padahal yang benar, masuk surga itu rahmat dari Allah dan untuk mendapatkannya, ya harus beramal. Bayangkan dua kalimat yang enteng di lidah tapi berat di timbangan amal yaitu “subhanallah walhamdulillah wa la ilahaillah wallahu akbar”. Dua kalimat yang enteng tapi memberatkan timbangan amal. Sungguh ini takkan terjadi tanpa rahmat-Nya. Ukuran kalimat yang enteng ini disebut amal sementara berat di timbangan amal adalah rahmat Allah. Walaupun kadang juga ada,” jika Allah berkehendak”, seseorang yang amalnya tidak karuan kemudian Allah ampuni dosanya, tapi ini khoriqul asbab (keluar dari sebab). Makan sebagai pelantara bagi rasa kenyang, kalau anda tidak makan, ya lapar. Adapun sementara orang yang kenyang tanpa makan, tidak bisa dijadikan pedoman. Umumnya kalau mau kenyang, ya makan. Kalau mau dapat rahmat Allah, ya beramal. Inilah makna dibalik ungkapan Nabi: وال أنا إال أن يتغمدني ربي برحمة: قال، وال أنت يا رسول اهلل ؟: فقيل، ما من أحد يدخله عمله الجنة Tidaklah amal seseorang itu memasukkannya ke dalam surga, lalu sahabat bertanya, “Tidak pula engkau ya rasulallah?”. “Tidak pula aku, kecuali Tuhanku mencakupiku dengan rahmat-Nya.
80
Hadits senada dengan riwayat Imam Muslim di atas juga diriwayatkan Imam Abu Daud dan Imam Thabrani. Semua ini bertujuan agar manusia tidak takabbur dengan amalnya. Sebab betapa pun besar amal manusia, tetap tidak akan pernah sebanding bahkan malah tidak ada apa-apanya, bila diukur dengan besarnya karunia balasan dari Allah. Dan rahmat Allah meliputi segala sesuatu sebagaimana firman-Nya dalam Qs Al-’arof: 156: ُ ً َ ْك َق َ اآلخ َر ِة إ َنّا ُه ْد َنا إلَي َ ُْ ْ َ َيب ِب ِه َم ْن أَ َشا ُء َو َر ْح َم ِتي َو ِس َع ْت ُك َّل َش ْي ٍء َف َسأَ ْكتُبُ َها لِل ُ ص ِّذين ِ ال َع َذ ِابي أ ِ ِ ِ َواكت ْب ل َنا ِفي َه ِذ ِه ال ُّدنيَا َح َس َنة َو ِفي َّ ون ْ ِّذين ُه ْم ِبآيَا ِت َنا ي ْ ُّقون َوي َ ُُؤ ِمن َ َالزَكا َة َوال َ ُُؤت َ َي َت ون Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada Engkau. Allah berfirman: “Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”. Sederhananya, bukan tidak beramal baik lalu mengharap rahmat Allah, tapi beramal baiklah niscaya akan dirahmati Allah. Wallahu a’lam bisshowab.[A.Y]
Edisi III XII 2011
81
Edisi III XII 2011
82
Edisi III XII 2011