Afrizal Akmal
ACEH
DALAM
KEKACAUAN EKOLOGI
Perang Ekologis yang Belum Selesai
Pustaka Kutaradja
Aceh dalam Kekacauan Ekologi Perang Ekologis yang Belum Selesai Penulis Afrizal Akmal Š2009, Pustaka Kutaradja Hak cipta dilindungi undang-undang Editor: Nury Dasfira Layout sampul: Aloel, Bombom Gambar Sampul: Anonymous Sambutan: Thayeb Loh Angen
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Akmal, Afrizal Aceh dalam Kekacauan Ekologi: Perang Ekologis yang Belum selesai; Penulis, Afrizal Akmal, Editor, Nury Dasfira; Pusaka Kutaradja, 2009. ISBN: 978-602-95075-0-8
Penerbit Pustaka Kutaradja Banda Aceh 23111 Call: 0651-7115277
Sambutan
Buku ini sadarkan kita bahwa usaha pemerintah selamatkan hutan di Aceh dikacaukan oleh beberapa petugas penyelamat hutan dari beberapa lembaga. Secara terselubung para penyelamat hutan itu malah menggagalkan misi yang dipercayakan pada mereka karena kepentingan pribadi dan kelompok. Usaha pemerintah Aceh untuk selamatkan hutan bagai kata pepatah Aceh, “Taharap keu pageue keubeue lam pade (memagari sawah agar selamat padi, di dalamnya ternyata ada kerbau yang ikut terkurung bersama padi).â€? Pemerintah Aceh harus bijak dan membuka diri terhadap semua masukan agar alam Aceh dapat diselamatkan. Buku ini tawarkan solusi pada kita hingga dapatkan jalan terang untuk selamatkan ekosistem di Aceh•
-
Thayeb Loh Angen, Pengasuh Rubrik Fokus Harian Aceh
Pengantar Penulis
â€œâ€ŚKesadaran kami bukanlah faktor penentu satu-satunya. Ada hal lain yang perlu dibenahi yakni mentalitas birokrasi culasâ€? (CBMA dalam Demo Interaktif, Bundaran Simpang Lima, Banda Aceh, 2007). Membangun kembali Aceh, telah memunculkan isu-isu penting tentang perubahan social dan lingkungan hidup. Kesalahan berpikir seringkali menjebak benak kita, karena itu maka perubahan kearah yang benar merupakan keniscayaan. Hanya sedikit keuntungan yang diterima rakyat Aceh dibandingkan dengan rusaknya lingkungan dan budaya Aceh akibat tangan-tangan korporasi asing dibalik dalih bantuan yang mereka berikan. Eksploitasi sumber daya alam Aceh terus berlanjut, sama seperti di masa-masa perang senjata. Para pebisnis besar telah menemukan rumus jitu untuk terus mendulang keuntungan besar. Proyek-proyek eksploitasi sumber daya alam justru hanya memberikan keuntungan besar kepada pembangun imperium (para penguasa yang tengah berlangsung), bukan kepada rakyat yang terkena dampak paling besar dari aktivitas eksploitasi itu. Kekacauan ekologi seringkali mendera kita. Maka bagaimana mengubah problem itu menjadi lebih baik? Sementara itu, kekacauan intelektual juga sering menipu kita. Jika bertemu dengan orang-orang yang tidak mempunyai kesempatan untuk hidup di lingkungan yang layak, sesungguhnya saudara-saudara kita itu tidak punya kesempatan hidup di lingkungan yang layak karena institusi-institusi sosial secara sengaja
menindas mereka, karena semua telah dimanimpulasi justru oleh negara. Kita berharap, semoga orang-orang ini pergi ke institusiinstitusi pemerintah dan minta pertanggungjawaban publik dari para pejabat negara. Dengan kesadaran seperti itu, semoga masalah sosial dan lingkungan hidup akan dipecahkan melalui tindakan bersama. Ketika artikel-artikel saya dimuat di Rubrik Fokus Harian Aceh, saya segera mendapat respon dari beberapa institusi. Alasannya sederhana saja, artikel itu telah mengganggu kenyamanan mereka. Padahal niat saya hanya untuk membantu menyuguhkan analitis dinamika dari sebuah pengelolaan hutan Aceh dan pengelolaan lingkungan hidup yang buruk. Hal ini saya lakukan tanpa pretensi yang berlebihan. Sekilas, nuansanya agak bersifat personal – seolah-olah saya benar-benar sedang mewakili diri sendiri. Mengalirkan “sensitivitas� dan sekaligus “kecemasan.� Walaupun ada saja yang merasa dikritik, yang saya lakukan disini hanyalah menuliskan kondisi obyektif dari carut marutnya pengelolaan lingkungan hidup serta ketimpangan social yang semakin nyata. Tetapi kemudian kenyataannya, kalimat-kalimat itu secara keseluruhan telah menjadi proyeksi dari permasalahan sosial. Apa yang saya tuliskan, menjadi bahagian yang dirasakan berulangulang oleh sebahagian besar masyarakat kita. Ini sulit saya pisahkan, karena obyeknya berdasarkan data, observasi dan pengalaman investigasi. Tulisan ini hanya sebuah usaha kecil untuk menginvestasikan pengalaman-pengalaman itu, yang mungkin saya tidak jauh berbeda dengan pengalaman-pengalaman masyarakat lainnya. Sebagai sebuah kumpulan dari artikel-artikel saya sebelumnya, tentunya buku ini masih jauh dari kesempurnaan, terutama menyangkut metodologi dan sistematika, bahasa lisan
yang tidak terstruktur, mungkin juga ada ilustrasi yang berlebihan, ini semata-mata saya lakukan agar mudah dipahami. Banyak simplikasi yang tak terhindarkan, beberapa gagasan diulang, atau redudansi disana-sini – tetapi saya percaya pada proses untuk menjadi sempurna. Saya ingin berterima kasih kepada Bung Redaktur Harian Aceh yang telah memuat artikel-artikel saya tersebut, hingga akhirnya saya mengumpulkannya kembali dalam sebuah buku. Tetapi secara khusus saya perlu berterima kasih kepada istri saya, perempuan yang telah banyak “menggangguâ€? penulisan buku ini – hingga akhirnya ia bersedia membantu editing. Empati mendalam kepada korban bencana alam, yang hakhak mereka dimanipulasi oleh birokrasi culas. Empati saya kepada orang-orang miskin di sekitar hutan, yang eksistensinya seringkali disalahkan. Terima kasih kepada teman-teman di lapangan yang selalu memberikan informasi berharga dan menginginkan namanya tidak disebutkan dalam ungkapan rasa terima kasih ini. Terima kasih kepada Muhammad Tito, petualang tua dan selalu mengamati persoalan-persoalan sosial, yang telah membaca beberapa bagian buku ini dan memberikan kritik serta apresiasi yang sangat berguna. Terima kasih atas kerja keras penerbit, hingga buku ini ada di tangan pembaca. Pujian dari awal hingga akhir kepada Mahaguru yang luar biasa dalam kampus tanpa batas, universitas yang tidak pernah mengenal batas ruang dan waktu, yaitu Allah. Pengerjaan dan penyelesaian buku ini telah menjadi nyata karena izin-Nya• Banda Aceh, 2009 Afrizal Akmal
Daftar Isi
Sambutan - iii Pengantar Penulis - iv 1. Hutan Aceh dalam Sejarah Imperium – 1 2. Aceh, Perang Ekologis yang Belum Selesai – 15 3. Aceh dalam Kekacauan Ekologi dan Ketimpangan Sosial – 25 4. Supermarket dalam Kawasan Ekositem Leuser – 37 5. Refleksi dari Banjir Aceh – 45 6. Ketika Aceh Membangun – 53 7. Selamatkan Hutan Cuma Judul Doang – 59 8. Mission Impossible – 65 9. Antara Penegakan Peraturan dan Fakta – 71 10. Daftar Tentatif – 87 Sumber Naskah – 91 Tentang penulis – 92
1 Hutan Aceh dalam Sejarah Imperium
Jika kita mempunyai persepsi bahwa pemerintah Indonesia ini dibangun untuk mengurus kesejahteraan rakyat, bahwa peran dasar pemerintah Indonesia adalah menjamin keadilan dalam akses pada kesempatan serta sumber daya alam bagi seluruh kemakmuran rakyat. Itu salah bung..! Buang jauh-jauh pikiran itu. Negara yang kaya akan hasil alam dan hutan tropis ini, kenyataannya tidak demikian. Negara ini begitu jauh merambah hak terhadap hutan untuk memperkaya pribadi pejabat mereka ketimbang menjaga hutan sebagai aset untuk bangsa. Hutan tidak hanya menjadi lahan korupsi, tetapi juga memicu imperialisme (kekuasaan yang menjajah) dalam bentuk kebijakan yang diatur secara formal oleh negara. Ironisnya, lembaga-lembaga yang berkampanye untuk pelestarian alam justru ingin mendapatkan legitimasi dalam mengambil alih sebagian kawasan hutan dan menyisihkannya untuk tujuan lingkungan global yang tidak jelas juntrungannya. Aceh memiliki sejarah panjang perebutan sumberdaya hutan, dari zaman kolonial Belanda sampai sekarang. Dalam konteks lain, hutan adalah bagian yang tak terpisahkan dari sejarah asal-
muasal terbentuknya wilayah Kerajaan Aceh di ”pulau samudra” (Sumatera) – (Baca: Tgk. Affan Jamuda dalam Hikayat Acheh). ”Asai nanggroë Acheh phon cit nibak rimba Tuhan, rimba raya nyang gohlom ramè ureung nanggroë, nyangna cit Aulia-aulia Allah. Teuma jiwangsa Parsi nyan neucah rimba neupeujeuet keutaNomorh blang bak neumeugoë, neupeupuga gampông bak neumeunanggroë ngon neumeu-aneuk cuco. Neumeu susah payah lam rimba Tuhan, mubagoë bala neurasa mulai bak binatang bueh, rimueng, uleue, buya. Bahpih meunan teutap neu-ilah daya neucah rimba ngon huteuen beuraleuen sampoë jeut keunanggroë”. (Tgk. Affan Jamuda dalam Pengajaran Peuturi Droe Këudroë, 1988). Masih menurut Tgk. Affan Jamuda, seiring berjalannya zaman - sekitar abad 14 Masehi, di wilayah pesisir hutan Aceh, telah ditanami lada yang lebat. Tanaman lada atau merica paling banyak ditanam di perbukitan yang mengarah ke Selat Malaka (sekitar perbukitan Krung Raya). Ini dimaksudkan agar petani-petani lada pada masa itu dapat memata-matai setiap kapal asing yang berlayar dan singgah diselat Malaka. Jika ada kapal asing yang mencurigakan, maka para petani lada tersebut segera melaporkannya ke Sultan. Pada masa itu, lada telah menjadi barang ekspor yang utama. Cina merupakan tujuan utama ekspor lada hingga berlanjut pada permintaan dari pedagang Barat, baik yang Islam maupun yang berbangsa Eropa. Laksamana Augustin de Beaulieu, seorang jenderal iringiringan kapal perniagaan ke Hindia Timur, yang terdiri dari orangorang Paris dan Rouen, dalam Mémoires yang ditulisnya setebal 123 halaman, menyebutkan di tahun 1621 lada-lada di Aceh dulunya sangatlah banyak, tetapi seorang raja melihat bahwa orang Aceh terlalu gemar menanamnya sampai melalaikan penggarapan tanah
untuk menanam padi. Setiap tahun beras menjadi mahal dan langka, hingga raja memerintahkan untuk mencabut semua tanaman lada. Keterangan tersebut, walaupun bersifat parsial (informasi yang terputus-putus) tetapi masih dapat dipertimbangkan untuk dipercayai. Selain lada, di hutan-hutan Aceh juga banyak dijumpai ulatulat penghasil sutera. Masih menurut Augustin de Beaulieu, sutera di Aceh kuning dan sangat digemari diseluruh Sumatra. Para petani mengusahakannya dalam jumlah yang sangat banyak. Hasil-hasil hutan lainnya seperti minyak tanah, juga sudah ditemukan di Deli. Raja Aceh pernah membakar dua kapal Portugis yang sedang diperanginya dengan minyak itu di dekat Malaka. Tanah cempaga atau belerang, kapur, kemenyan dan emas juga pernah ditemukan di masa itu. Utusan Belanda di Aceh, Tuan Croc pernah dihadiahi orang Aceh sebuah batu sebesar telur angsa yang kelihatan bergaris-garis emas. Seperti lada yang merah pada bulan Oktober dan hitam pada bulan Nomorvember, kota Aceh nampak sekali sebagai kota yang besar. Kedudukannya pada persimpangan pelayaran internasional merupakan sumber kekayaan yang sangat besar. Iskandar Muda-lah yang berhasil merumuskan politik dan melaksanakannya dengan baik selama 30 tahun ia menduduki tahta kerajaan (Baca: Kerajaan Aceh).
Agressi Netherland East Indies Laporan utama surat kabar The New York Times pada masa itu (Sabtu, 5 Juli 1873), memuat berita perselisihan yang dikeluarkan di Den Haag. Perselisihan itu direkayasa sedemikian rupa dengan maksud untuk merampas semua kekayaan alam Aceh, Belanda
menyebutkan bahwa Aceh melanggar perjanjian, merampok di laut dan melakukan perdagangan budak. Dengan alasan yang dicari-cari, Belanda juga mengatakan bahwa mereka tidak bermaksud untuk melakukan ‘agressi’ atau menjajah Aceh; maksud memerangi tidak lain, kecuali untuk menghukum bangsa Aceh yang selama ini bersalah dan supaya tercipta stabilitas keamanan di masa depan. Tetapi hal ini dibantah oleh Sultan Aceh. Surat kabar “Basirat� di Istanbul menulis bahwa, satu kapal perang Belanda menghampiri perairan Kuala Aceh dan meminta orang Aceh supaya menyerah kepada Belanda. Panglima Aceh naik kapal tersebut dan mengatakan kepada Belanda, bahwa Aceh adalah suatu negara dalam lindungan Sultan Turki, oleh sebab itu bendera Aceh sama dengan bendera Turki. Jika Belanda bermaksud untuk meminta sesuatu, perkara ini bisa diberi sepanjang tidak melanggar kedaulatan Khalifah Islam di Turki. Panglima perang hanya meminta bertemu dengan Sultan Aceh dan untuk itu mereka mendarat. Ketika menghadap, Sultan mengatakan seperti yang sudah Panglima Aceh katakan sebelumnya. Sesudah itu, kapal Belanda bertolak meninggalkan laut Aceh. Kemudian Sultan mengutus duta ke Istanbul memberitahu apa yang sudah terjadi dan meminta bantuan dari Khalifah Islam jika meletus perang dengan Belanda. Setelah hampir dua tahun kemudian, lebih dari 20 buah kapal perang berbendera Belanda berlabuh di Kuala Aceh. Utusan panglima Belanda membawa surat untuk diantar ke darat, yang meminta lima perkara supaya diterima oleh kerajaan Aceh: 1. Serahkan negara Acheh kepada Belanda dengan tidak melawan (tanpa syarat) dan terima bangsa Acheh dibawah jajahan Belanda.
2. Putuskan semua hubungan Acheh dengan negara-negara Eropah yang lain, begitu juga dengan Turki 3. Supaya menghentikan perdagangan budak di Pulau Sumatera dan menghentikan lanun (rompak) di laut 4. Supaya Acheh menyerahkan kepada Belanda semua Pulau Sumatera atau tanah Sumatera yang masih berada dibawah perlindungan Kerajaan Acheh 5. Menukar Bendera Acheh –Bintang Bulan– seperti Turki dengan Bendera Belanda. Sultan Aceh menolak semua isi ultimatum Belanda itu. Sebagai balasannya, Belanda melancarkan perang kepada Aceh sampai tahun 1942. Ribuan serdadu Belanda mati, termasuk Jenderalnya. Belanda akhirnya angkat kaki dari Aceh. Dikatakan oleh Sultan Aceh dalam pernyataan beliau kepada musuhnya, bahwa beliau, demi kemuliaan dirinya, tidak akan mau menjadikan Aceh sebagai budak bangsa lain; soal perdagangan budak seperti yang dituduh Belanda, hal itu sama sekali tidak benar. Aceh sudah terbukti mampu mengusir agressor Belanda dan Jepang dari bumi Aceh. Belanda, bukan saja terusir, lebih dari itu imperium Netherland East Indies yang beratus-ratus tahun sudah dibangun dan dipertahankan, akhirnya runtuh dan bangkrut karena terlalu lama mendanai perang melawan Aceh (Yusra Habib Abdul Gani dalam 5 April di bawah Bendera Belanda).
Pengalihan Imperium Pengalihan imperum Netherland East Indies ke imperium Soekarno, Soeharto dan penerus-penerusnya kini sudah nyata dan tengah berlaku. Aceh yang megah sebagai bangsa gagah berani dalam perang melawan imperium Netherland East Indies telah menjadi bangsa yang turun derajatnya dari sebuah bangsa, kini
hanya menjadi salah satu suku dari sebuah bangsa. Padahal Aceh, sebelumnya tegak sebagai suatu bangsa dan negara, memiliki: tanah, rakyat, pemimpin, bahasa, budaya, peradaban dan sejarah sendiri. Pembuatan kebijakan di masa imperium Soeharto sering kali disebut kebijakan berdasarkan politik birokrasi. kekuasaan dan peran serta dalam memutuskan kebijakan nasional hampir seluruhnya dikendalikan oleh pelaku-pelaku negara, terutama birokrasi. Secara politis, rakyat menjadi sangat tidak berdaya, sistem legeslatif dan yudikatif juga tidak berfungsi. Sejak masa imperium Soeharto, Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 adalah dasar hukum kebijakan pengelolaan sumber daya alam, yang merumuskan bahwa negara memiliki hak mutlak untuk mengendalikan seluruh sumber daya nasional Indonesia. Disektor kehutanan, dasar hukum utama adalah UndangUndang Pokok Kehutanan (UUPK) Nomor. 5/1967, sebagai tindak lanjut untuk merinci lebih jauh kedaulatan negara dalam pengelolaan sumber daya alam dan yang telah mengatur berbagai kebijakan di sektor kehutanan. Memberi mandat kepada pemerintah untuk merencanakan dan mengatur seluruh kepemilikan dan pengaturan pemanfaatan hutan di dalam lingkup kewenangannya. Kewenangan resmi Pemerintah Indonesia untuk menguasai lahan tidak bertuan, termasuk hutan masyarakat tradisional, serta mengalokasikan hak pengusahaan kepada perusahaan swasta atau memanfaatkan lahan untuk kepentingan lainnya, telah menyebabkan terjadinya tumpang tindih hak pemanfaatan serta akses antara hutan adat dan hutan negara. Kemarahan dan konflik serius antara berbagai pengguna hutan di Aceh pun terjadi selama
puluhan tahun, terutama konflik antara HPH dan perusahaan yang didukung negara dengan masyarakat setempat. Falsafah yang terkandung dalam UUPK 1967 tidak berbeda secara signifikan dengan Undang-undang Kehutanan kolonial pada tahun 1865. Walaupun kemudian pemerintah Indonesia tidak pernah mengakuinya.
Paradigma Jahat Ahli Kehutanan Ahli kehutanan telah dilatih untuk mengadopsi pemahaman yang jahat; �Hutan negara memberi manfaat terbesar bagi masyarakat, kehutanan ilmiah merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumber daya yang rasional dan efisien, dan memajukan pertumbuhan ekonomi melalui produksi hutan untuk negara merupakan komponen kunci bagi peran para sarjana kehutanan� (Peluso dalam “Righ Forest, Poor Peole: Resource Control and resistance in Java�, yang diterbitkan oleh University of California Press, 1992). Pada masa kolonial, Dinas kehutanan berusaha mengendalikan dan mengeksploitasi hutan di luar jawa secara terpusat melalui peraturan kehutanan yang seragam. Ahli kehutanan dilatih untuk mengadopsi paradigma di atas dan secara tak langsung memandang rendah cara pengelolaan sumber daya yang berbeda yang dilakukan oleh institusi lain. Mereka meyakini supremasi pengelolaan hutan berdasarkan kaidah ilmiah yang mereka buat. Pemahaman ini tertanam amat dalam di sebagian besar pembuat kebijakan sehingga mereka hampir tidak dapat menerima gagasan tentang pengelolaan hutan yang bersifat lebih rasional. Sebagai agen negara, birokrat kehutanan juga dicekoki dengan
pemahaman persatuan bangsa yang sentralistis dan berbasis “kekuasaan kejawaan� . Tidaklah mengherankan jika asumsi pemerintah tentang masalah pengelolaan hutan di Aceh berasal dari pengalaman yang diperoleh di Jawa. UUPK 1967 merupakan puncak upaya intensif pemerintah untuk menerapkan kebijakan pengelolaan hutan yang seragam di Jawa dan luar Jawa. Dengan Undang-undang ini, pengusahaan hutan oleh negara secara setralistik, yang dilembagakan Belanda di Jawa selama pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20, juga diterapkan di Aceh. Imperium Soeharto pada akhir 1960-an sampai pertengahan 1980-an, telah memperkuat monopoli atas penguasaan hutan, membangun sikap kebencian dan permusuhan terhadap praktekpraktek kehutanan lokal, dan menciptakan kerangka kelembagaan yang secara sistematis menghapus sistem pengelolaan lokal dari diskursus kehutanan formal. Peleceh dan permusuhan secara resmi terhadap praktekpraktek pengelolaan sumber daya hutan dan cara hidup masyarakat di dalam dan sekitar hutan itu pun dituangkan didalam formal kebijakan. Instrumen-instrumen kebijakan ditetapkan untuk merefleksikan penolakan total pemerintah terhadap akses masyarakat lokal pada hutan. Perladangan berpindah dinilai tidak produktif secara ekonomi serta merusak secara ekologis. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan dinilai terbelakang dan karenanya perlu di integrasikan ke dalam masyarakat umum. Sikap ini secara nyata diwarisi dari imperium Belanda. Sebagai contoh, dalam konferensi tingkat tinggi Biro Penyuluhan Pertanian Hindia Timur (East Indies Agriculture Extension Bureau) pada tahun 1930, salah satu rekomendasi yang mendesak berkaitan dengan kebutuhan untuk
menciptakan mekanisme hukum (dengan atau tanpa menyesuaikan dengan hukum adat) untuk menghentikan kegiatan perladangan berpindah yang merusak diluar Jawa (Departemen Kehutanan 1986). Pengendalian secara ketat terhadap sistem perladangan berpindah ini merupakan tujuan utama rencana pembangunan lima tahun pertama imperium Soeharto (1968-1974) dan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Ideologi yang cendrung negatif dan bermusuhan terhadap masyarakat penghuni hutan menghasilkan seperangkat kebijakan yang berusaha menjauhkan kelompok masyarakat ini dari hutan atau bertujuan mengubah praktek-prakek adat mereka dalam pengelolaan hutan menjadi cara hidup yang sesuai dengan keinginan pembuat kebijakan pada masa itu. Pembatasan akses petani pada hutan semakin dipertegas dengan pelarangan secara bertahap penebangan kayu skala kecil dan pengumpulan hasil hutan bukan kayu. Untuk menentukan kriteria dan mekanisme administrasi untuk pengusahaan hutan baik skala besar maupun kecil, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/1970; izin usaha skala besar (Hak Pengusahaan Hutan atau HPH) dikeluarkan oleh pemerintah pusat, sedangkan izin eksploitasi skala yang lebih kecil (Hak Pemungutan Hasil Hutan atau HPHH) dikeluarkan oleh pemerintah provinsi. Pada sistem HPHH, perorangan dan pengusahan setempat diperbolehkan memungut hasil hutan secara manual baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk pasar lokal (tidak untuk ekspor), namun peraturan yang sama juga membekukan akses masyarakat adat pada sumber daya di kawasan HPH.
Pemerintah pada masa itu, masih merefleksikan maksud jahatnya terhadap masyarakat lokal. HPHH ternyata tidak memberikan banyak keuntungan ekonomi kepada petani hutan karena mereka tidak memahami prosedur birokrasi yang berbasis perkotaan dan juga tidak mempunyai modal untuk memulai; keuntungan terutama masih saja dipetik oleh sekelompok orang kaya raya di kota yang Nomortabene dekat dengan pihak pemerintah. Kebijakan utama imperium Soeharto untuk mengubah dan mengatur hubungan antara hutan dan masyarakat terlihat dalam sebuah instrumen yang dinamai dengan program pemukiman kembali serta program pertanian menetap, yang dikombinasikan dengan pembatasan akses pada hutan secara paksa. PP Nomor 21/1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan serta kemudian PP Nomor 28/1985 tentang Perlindungan Hutan secara spesifik melarang akses masyarakat lokal pada hutan adat di dalam kawasan konsesi dan hutan lindung yang ditetapkan pemerintah. Gesekan antara pemerintah dan masyarakat pun mulai sering terjadi, yang dipicu oleh sikap pemerintah yang menganggap pemanfaatan sumber daya hutan oleh penduduk desa sebagai tindakan kriminal. Insiden-insiden antara masyarakat setempat dengan kepentingan bisnis kayu hutan yang didukung oleh pemerintah terjadi secara luas. Ketika berbagai insiden tersebut meluas menjadi tindakan kekerasan, pemerintah seringkali menggunakan kekuatan serdadu militer untuk menanggulanginya. Selanjutnya, pada pertengahan 1980an sampai 1997, program penghutanan sosial diadopsi dan secara bertahap dilembagakan ke dalam sistem pengelolaan hutan oleh negara,
meskipun hak kepemilikan dan pemanfaatan oleh masyarakat tradisional masih dianggap tidak sah. Karena berbagai desakan yang dibangun oleh berbagai komponen dan koalisi masyarakat sipil, pada tahun 1998 sampai sekarang, mulai terjadi titik tolak perubahan kebijakan. Pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal mulai dimasukkan ke dalam kerangka kerja kehutanan yang sah, walaupun sistem lokal ini masih berada dibawah sistem kehutanan pemerintah. Secara eklusif, meskipun masih diperlukan banyak revisi; Aceh memiliki Qanun Nomor 14 Tahun 2002 tentang Kehutanan, Qanun Nomor 15 Tahun 2002 tentang Perizinan Kehutanan, Qanun Nomor 20 Tahun 2002 tentang Konservasi Sumber Daya Alam, Qanun Nomor 21 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang member kewenangan pengelolaan sumber saya alam Aceh secara khusus. Lalu bagaimana dengan masa depan hutan Aceh memasuki dua tahun moratorium logging sejak diinstruksikannya pada tahun 2007 yang lalu oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf? Kita harapkan penyalahgunaan terburuk dari imperium lama sudah berakhir. Aceh memang sedang ditakdirkan melewati masa transisi yang sulit. Harus diingat, bahwa tidak ada satu lembaga resmi pun yang berhak mendeklarasikan diri sebagai pemangku hutan Aceh, �tidak juga Departemen Kehutanan� - kecuali masyarakat Aceh di dalam dan di sekitar hutan itu sendiri. Namun masih disayangkan, bahwa sejumlah Hak Guna Usaha (HGU) sekarang kembali di izinkan oleh pejabat Pemerintahan Aceh. Sekali lagi, izin HGU ini hanya mampu dimiliki oleh sekelompok orang yang kaya raya. HGU masih tidak memberikan banyak keuntungan ekonomi kepada petani hutan
karena masyarakat kecil tidak memahami prosedur birokrasi yang berbelit dan mahal. Pak tani kita tetap saja tidak mempunyai modal untuk memulai. Sebuah ketimpangan yang nyata? Semoga pemerintahan Aceh ke depan tidak lagi menjadi perpanjangan tangan dari imperium terdahulu. �Entah sampai kapan...� •
“Ideologi yang cenderung negative dan bermusuhan terhadap masyarakat penghuni hutan menghasilkan seperangkat kebijkan yang berusaha menjauhkan kelompok masyarakat ini dari hutan atau bertujuan mengubah praktek-praktek adat mereka dalam pengelolaan hutan menjadi cara hidup yang sesuai dengan keinginan pembuat kebijakan pada masa itu.�
2 Aceh, Perang Ekologis Yang Belum Selesai
Dalam sejarah perjuangan menuntut kemerdekaan Aceh pada masa lalu, perebutan sumber daya alam merupakan salah satu faktor yang melandasi perjuangan kemerdekaan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) - disamping faktor ideologi. Namun perampasan serakah yang melibatkan “pengusaha dan penguasa� Jakarta selama puluhan tahun menyebabkannya sumber daya alam Aceh terkuras habis. Perusahaan-perusahaan yang memegang konsesi hutan dari pemerintah Indonesia telah mendapatkan kekayaan triliunan rupiah di bawah dukungan serdadu dan rezim penguasa Indonesia pada masa itu. Data pemerintah provinsi Aceh pada masa itu (1998) menyebutkan bahwa para pemegang konsesi penebangan telah menebang lebih dari 600.000 hektar di hutan-hutan yang melingkupi dua wilayah kabupaten di Aceh Selatan dan Aceh Barat. Ini belum lagi termasuk data penebangan hutan yang dilakukan di wilayah-wilayah kabupaten lain diseluruh Aceh. Sementara itu, peperangan yang berlangsung sejak akhir tahun 1980-an menyebabkan ribuan orang kehilangan nyawa mereka, puluhan ribu
lainnya terpaksa meninggalkan kampung halaman dan mata pencaharian. Kini, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah menyatakan komitmennya untuk menghentikan peperangan militer. Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengikat diri dalam sebuah MoU di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 yang lalu. Nota Kesepahaman ini merinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi. Hal yang disepakati antara lain adalah: “Aceh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh�. Sebagai tindak lanjut yuridis dari Nota kesepakatan damai tersebut, disusunlah sebuah undangundang yang dikenal dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Sejak perjanjian itu, peperangan bersenjata dinyatakan berakhir. Tetapi segala sesuatu yang berkaitan dengan pengurasan sumber daya alam Aceh belum mengalami perubahan yang berarti. Penguasa Jakarta selalu saja disibukkan oleh prioritas persaingan politik menjelang pemilu 2009. UUPA, sejak diundangkan dalam lembaran negara dua tahun silam, ternyata masih banyak Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) yang menjadi kewajiban pemerintah pusat sampai kini belum juga diselesaikan; diantaranya adalah PP tentang pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi, Perpres tentang kerjasama pemerintah Aceh dengan lembaga atau badan di luar negeri (Serambi Indonesia, 12/12/08).
Implikasi Negatif Dibalik Euforia Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh. Secara sekilas, kebijakan tersebut akan memberi sumbangan pendapatan besar bagi Aceh. Angin segar inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh politisi tertentu untuk meyakinkan konstituen politiknya agar mempercayai mereka di pemilu mendatang. Janjinya tidak lain adalah memberi pelayanan kesehatan gratis dan bebas biaya pendidikan. Andai saja benar Aceh mendapatkan 70% dari pendapatan yang berasal hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya, jumlah itu sudah cukup untuk mendanai pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis bagi seluruh penduduk Aceh. “Andai-andai� tersebut “mengabaikan� bahwa tingkat pendapatan sekarang ini didapat secara tidak berkelanjutan. Bukankah hutan kayu, hutan rawa, dan cadangan ikan sudah berada dalam kondisi yang sangat buruk? Cadangan mineral juga bukannya tidak terbatas. Patut disayangkan bahwa diskursus publik belum menyentuh beberapa aspek substansial, khususnya yang menyangkut implikasi negatif dibalik euforia ini. Cadangan mineral sedang mengalami penurunan secara kuantitas, yang dengan demikian akan mengurangi secara drastis pendapatan potensial Aceh. Jadi, asumsi Aceh akan mendapat tawaran yang lebih baik dengan prospek pendapatan yang besar telah menimbulkan pandangan yang keliru. Asumsi pendapatan yang lebih besar ini juga tidak memperhitungkan biaya sosial dan lingkungan yang timbul akibat tingginya eskalasi pengurasan sumber daya alam tersebut pada masa lalu. Selama berpuluh-puluh tahun
eksploitasi sumber daya alam Aceh, kerugian kesehatan, kerusakan lingkungan dan hilangnya penghidupan belum pernah dihitung. Biaya hak asasi manusia yang tinggi akibat hubungan erat antara industri-industri dengan pihak serdadu Indonesia semasa konflik bersenjata juga tidak masuk dalam perhitungan pendapatan tersebut. Sejak tahun 1980-an sampai dengan pertengahan Desember 2008 sekarang ini, masyarakat Aceh terus didera oleh persoalanpersoalan lingkungan yang sangat serius. Banjir dan tanah longsor kerap menimbulkan korban jiwa. Serangkaian banjir akhir tahun ini telah menghancurkan lahan-lahan persawahan, menyapu rumahrumah penduduk. Situasi bertambah buruk ketika hujan deras mengguyur Pidie dan Pidie Jaya pertengahan Desember 2008 yang menyebabkan sejumlah sungai besar dan sungai kecil dikedua wilayah tersebut meluap dan mengenangi puluhan desa. Ratusan orang yang sawahnya hancur terancam kekurangan pangan di wilayah yang secara tradisional merupakan tempat surplus beras. Longsor berulangkali terjadi di jalan provinsi Bireuen-Takengon. Hamparan tanah milik masyarakat di Gampong Bidari kecamatan Langkahan Aceh Utara amblas dengan kedalaman mencapai 50 centimeter hingga satu meter. Sebanyak 47 kepala keluarga (KK) di perkampungan itu terpaksa meninggalkan rumah mereka yang retak dan hancur (Serambi Indonesia, 14/12/08). Secara ekologis, bencana demi bencana yang terjadi dewasa ini tidak terlepas dari kejahatan sistem pengelolaan lingkungan pada masa lalu, kerusakan satu sistem dimasa lalu akan diikuti oleh rusaknya sistem-sistem yang lain dimasa sekarang. Pertumbuhan ekonomi untuk mendongkrak kemajuan Aceh paska perjanjian damai dan terbentuknya pemerintahan Aceh yang baru dikhawatirkan juga masih akan jauh mereduksi kualitas lingkungan
dan sumber-sumber alam. Konsep pembangunan yang berkesinambungan telah diterjemahkan dengan keliru. Sustainable growth terjebak dalam jaring nihilisme (Baca: Ketika Aceh Membangun).
Konsekwensi Logis Sebuah Investasi Rencana pembangunan Aceh 2007-2012 nyaris mabuk membicarakan pertumbuhan produksi. Kerjasama ekonomi regional dan global pun dibentuk, entah itu bernama perjanjian investasi sawit, perjanjian investasi pertambangan biji besi sampai perjanjian tambang batu bara. Lalu rencana peningkatan produksi ini dipandang sebagai angin syurga karena menjanjikan banyak keuntungan. Industri kelapa sawit dunia menginginkan kelapa sawit dari sumber yang berkelanjutan. Namun kenyataan di lapangan justru menunjukkan bahwa penggundulan hutan terus terjadi dan masyarakat terus menderita akibat tata kelola buruk serta eksploitasi oleh perusahaan kelapa sawit yang tidak bertanggung jawab. Industri kelapa sawit – RSPO telah membuktikan bahwa mereka belum dapat menyelesaikan masalah. Diakui atau tidak, banjir yang kerap terjadi dibagian timur Aceh adalah konsekwensi logis dari aktivitas perkebunan besar kelapa sawit yang tidak ramah. Mega industri diperkirakan juga akan jauh mengubah masa depan Aceh dan menjanjikan peningkatan kesejahteraan bagi lebih banyak rakyat Aceh. Namun sebaliknya, ada bahaya besar yang mengancam kehidupan dimasa depan. Skala produksi yang tinggi tentu membutuhkan masukan (input) yang tidak sedikit. Pengambilan masukan berupa sumber-sumber alam yang tak terbaharui akan menjelma menjadi sebuah eksploitasi lingkungan
yang mengerikan. Target produksi terpenuhi dan manusia masa kini mendapat keuntungan, tetapi manusia masa depan yang akan menerima konsekwensi mengerikan dari rusaknya lingkungan serta sumber-sumber alam sebagai bekal untuk bertahan hidup. Kita tidak perlu malu untuk belajar dari buruknya nasib rakyat India, ketika rezim liberalisasi ekonomi melepaskan kontrol dan membiarkan investasi parsial industri mengontrol pertambangan pada tahun 2000 lalu. Situasi bertambah buruk ketika pemerintah India mengembangkan kebijakan pada tahun 2006 yang mengizinkan penanaman modal asing 100 persen. Minat perusahaan pertambangan Barat tertuju pada peluang untuk mendapatkan cadangan mineral-mineral yang penting dan besar, dan membangun pasar mereka. India menjadi satu dari lima pasar terbesar di dunia untuk batu bara, baja, dan aluminium. Tetapi, kenaikan produksi ini hanya memberi kontribusi sebesar 2,5 persen untuk GDP negara itu pada sepuluh tahun terakhir dan memberi pemasukan sangat kecil bagi pemerintah India ketimbang yang semestinya (Sumber: Pantau, Posting 27 Agustus 2008). India boleh bangga dengan berbagai macam industri beratnya, usaha pengembangan sektor tekNomorlogi barunya, dan program ruang angkasa luarnya. Namun dibalik kenyataan megah itu, mayoritas rakyat India pada kenyataannya hidup di dalam kesuraman yang paling suram. Setelah lebih dari lima puluh tahun merdeka, India masih lebih miskin daripada negara tetangganya Pakistan atau Srilanka.
Cermin Historis Agaknya tidak terlalu berlebihan jika kita melihat sejenak kebelakang untuk bercermin pada “analisis historis� sewaktu
wilayah ”Netherlands East Indies” dibawah kuasa Belanda sejak tahun 1596-1850-an. Waktu itu belum ada tanda-tanda Belanda berbuat curang kepada Aceh. Sebagai mitra dagang, hubungan kedua negara semakin erat dengan ditanda tanganinya Perjanjian Persahabatan dan Perdagangan pada 30 Maret 1857. Tetapi rekayasa-rekayasa politik Belanda memasuki tahun 1870-an akhirnya dimulai. Penasehat sipil dan militer Belanda melontarkan ide kepada Ratu Yuliana dan Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang berpusat di Jawa yang berbunyi: ”Gubernur-Jenderal dari Paduka Yang Maha Mulia sudah siap sedia, pada saat ini, untuk menyatakan perang kepada Sultan Acheh dengan alasan pura-pura yang dicari-cari dan diadaadakan. “ ....Pernyataan perang atas kerajaan Acheh itu dengan niat untuk merampas kedaulatan dari Sultan Acheh dan merampok segala harta pusakanya. “....Saya tahu berapa harga Sumatera dengan luas wilayahnya yang tidak terhingga, yang membolehkan perluasan perusahaan-perusahaan kita dengan tidak ada batas sambil memperkuat kekuatan kita dari daerah-daerah yang kita kuasai untuk memeras kekayaannya secara lebih menguntungkan lagi”. (Sumber: Dahulu “Negara Protektorat” Sekarang “NAD”, ditulis oleh Yusra Habib Abdul Dani, Director Institute for Wthnics Civilization Research, Denmark). Perang senjata memang telah berakhir di Aceh, tetapi perang ekologis belum selesai. Sebut saja persoalan akut Kawasan Ekosistem Leuser, yang meliputi wilayah seluas 2,5 juta hektar yang membentang dari perbatasan propinsi Sumatra Utara dan Aceh ini masih saja terancam oleh aktivitas eksploitasi. Hal ini menandakan masih meningkatnya perlawanan terhadap para pekerja di “paruparu dunia” tersebut.
Sistem manajemen Kawasan tersebut saat ini didanai oleh AFEP (Aceh Forest and Environment Project) sebuah project yang didukung oleh “dewa-dewa pencipta kemiskinan” Multi Donor Fund (MDF). Sebuah lembaga “bisnis bantuan” yang patut dicurigai sebagai pembuat resep jitu dalam menciptakan bentuk kontradiksi, kebingungan dan juga merupakan pathologi kekacauan dimana setiap pemberian bantuan adalah alat untuk menciptakan penderitaan lewat kemiskinan dan akar budaya korupsi yang mereka ciptakan sampai hari ini di negeri-negeri bencana (Baca: Lords of Poverty). Bantuan AFEP senilai USD 3756 yang dikelola Yayasan Leuser Internasional (YLI) ini pantas mendapat kritikan tajam dari publik akibat tidak berkonsultasi dan tidak konferehensif dalam melibatkan partisipasi masyarakat. Akhirnya, secara objektif - sungguh tidak dapat dielakkan bahwa “ada keharusan” untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi Aceh secara optimal agar Aceh bisa kembali berdiri sejajar diantara bangsa-bangsa lainnya didunia, seperti kejayaan “endatu” (nenek moyang) kita pada zaman terdahulu. Namun demikian, agenda penyelamatan “moral dan lingkungan hidup” juga harus menjadi prioritas. “Perang” belum selesai teungku..! •
â€œâ€Śpeperangan bersenjata dinyatakan berakhir. Tetapi segala sesuatu yang berkaitan dengan pengurasan sumber daya alam Aceh belum mengalami perubahan yang berarti.â€?
3 Aceh dalam Kekacauan Ekologi dan Ketimpangan Sosial
Apakah mungkin memperlambat laju kerusakan bumi, memperlambat meluasnya lubang pada lapisan ozon, menghentikan penyebaran gas polutan yang mematikan, pencemaran air tanah, serta gejala degradasi lingkungan lainnya? Sadar atau tidak, merosotnya kualitas bumi merupakan sesuatu yang tidak berdiri sendiri. Ia berjalan linear bersama dengan ketimpangan sosial. Ketimpangan sosial ekonomi membuat masyarakat tertentu melakukan tindakan yang memboroskan sumber daya lebih dari kelompok masyarakat yang lain, merupakan sebuah paradoks. Sebagai contoh; “Kelompok masyarakat bermobil yang jumlahnya lebih sedikit, bisa mengganggu arus lalu lintas ribuan sepeda motor serta memberi ketidak-nyamanan bagi banyak pejalan kaki�. Masyarakat miskin di Banda Aceh harus membayar harga air bersih lebih mahal dari pedagang air keliling dibandingkan orangorang kaya yang dengan mudah mendapatkan layanan perusahaan air minum (PDAM) yang disubsidi negara. Ratusan jiwa warga Lhokseumawe yang miskin harus rela tidur dimalam-malam yang bising selama puluhan tahun lamanya,
menghirup udara yang tercemar Hydrogen Sulfur (H2S) dari industri tambang MOI dan PT Arun. Sementara itu, dibalik benteng mega industri itu – kelas mewah karyawan Exxon Mobil hidup penuh kegembiraan dan kenyamanan yang berlebih dengan berbagai sarana rekreasi yang sangat menghibur. Industri-industri itu telah merengguk begitu banyak keuntungan, sementara ditengah sistem lingkungan yang rapuh – masyarakat miskin disekitarnya harus menanggung kerugian berupa tercemarnya tambak-tambak udang milik mereka. Kekacauan ekologis dan ketimpangan sosial terus tumbuh. Rawa-rawa yang berperan penting untuk menjaga stabilitas iklim lokal, seperti curah hujan dan temperatur udara yang berperan positif terhadap produksi pertanian - kini dikalahkan oleh mesinmesin kapitalis dengan semangat hedonistis. Air dan ikan rawa sudah teracuni seiring teracuninya masyarakat lokal untuk berpikir instan. Tujuh belas gampong dikawasan lahan gambut Rawa Tripa di kabupaten Nagan Raya dan Abdya dulunya mampu menjual komoditi ikan lele segar dengan harga 60 ribu rupiah hingga 65 ribu rupiah perkilogram. Puluhan kilogram bisa mereka kumpulkan dalam setiap harinya. Tetapi setelah perubahan lahan hutan menjadi perkebunan sawit, masyarakat mulai kehilangan pencaharian. (Baca:Penurunan lahan gambut Tripa kurangi pendapatan warga, Harian Aceh, 03/2009). Lebah-lebah madu telah pergi, tumbuhan-tumbuhan obat telah punah, kerang-kerang yang menjadi sumber protein tinggi bagi masyarakat sekitar telah kehilangan tempat berbiak. Semua jasa ekologis ini hilang, seiring hilangnya hutan gambut Rawa Tripa. Luas hutan Rawa Tripa yang masih tersisa kini hanya ¹ 31.410 hektar atau sekitar 51 persen dari luas sebelumnya. Kondisi
ini akibat konversi lahan menjadi perkebunan sawit oleh sejumlah perusahaan perkebunan seluas ± 17.800 hektar. Sedangkan selebihnya sudah menjadi Areal penggunaan lainnya (APL). Berdasarkan pengamatan Walhi Aceh, kegiatan pembukaan lahan rawa gambut oleh perkebunan sawit terus berlangsung tanpa adanya pengendalian. Konversi lahan dengan cara yang tidak ramah lingkungan masih saja tetap dilakukan seperti membakar lahan dan mengeringkan rawa. (Baca: walhiaceh.org) Pendekatan pembangunan kebun kelapa sawit telah mempengaruhi pola penggunaan sumber daya langka. Perekonomian yang berorientasi pada surplus devisa ekspor seringkali mudah ditebus dengan pengorbanan berupa kekacauan ekologis. Adalah fakta, bahwa upaya menutupi sebuah ketidak becusan pengelolaan finansial oleh pemerintah setempat – telah dikoreksi dengan pemborosan sumber daya alam yang sangat fatal. Berkuasanya para developmentalis yang menggunakan indikator-indikator makro-ekonomi sebagai petunjuk seberapa jauh perekonomian suatu daerah dapat tumbuh, menimbulkan penyepelean prinsip pembangunan yang berkelanjutan. Pada saat yang sama, para pembisik bermuka dua yang dipercayai menjadi tim asistensi di kabupaten-kabupaten di Aceh masih saja gemar menyempitkan ’makna pembangunan’ menjadi sekedar ’pertumbuhan produksi’. Akibatnya, desain perencanaan ekonomi tidak memperhatikan kajian ekologis sebagai konsekuwensi dari setiap tindakan. Konsekuensi berikutnya adalah munculnya kecendrungan terbentuknya ketimpangan dalam lingkungan tersebut sebagai akibat ketiadaan ruang bagi setiap individu (perebutan terhadap lahan yang tersisa untuk mencari nafkah). Tumbuhnya ketimpangan
memiliki hubungan kausalitas yang erat dengan krisis sumber daya alam. Ketimpangan yang muncul dikalangan masyarakat juga berhubungan dengan kompleksnya kemiskinan serta mis manajemen pengelolaan tata ruang, yang akhirnya ikut memunculkan persoalan dibidang sanitasi lingkungan di pemukiman tersebut, kelangkaan air bersih, degradasi kesejahteraan sosial dan krisis pendidikan bagi kaum miskin itu. Komunitas masyarakat yang ’dipaksa untuk miskin’ itu, mau tidak mau harus hidup dilingkungan tersebut dengan sumber air bersih yang langka, sanitasi tempat tinggal yang sangat tidak mamadai, serta habitat yang sangat rawan konflik interpersonal; karena secara psikologis, kondisi tersebut berkorelasi positif terhadap pengendalian emosional seseorang. Ketatnya persaingan untuk mendapatkan sesuap nasi juga berkombinasi dengan kebijakan pemerintah daerah setempat yang diskriminatif terhadap mereka dan lebih mementingkan korporasi jahat industri sawit.
Dampak dari Kelapa Sawit Beberapa masalah yang perlu mendapatkan perhatian adalah dampak sosial dari industri kelapa sawit; industri kelapa sawit pada kenyataannya sering memberikan dampak buruk, selebihnya tidak banyak yang bisa diharap. Keuntungan ekonomi dari produksi kelapa sawit yang tidak didistribusikan secara merata, seringkali menciptakan kemiskinan dari hal tanah dari mereka yang tanahnya telah dirampas atau telah dijual untuk perkebunan kelapa sawit tanpa mengerti implikasi jangka panjang. Pembukaan lahan yang luas oleh peruahaan perkebunan kelapa sawit dapat merubah dinamika perekonomian
lokal, mengubah pemilik lahan menjadi tenaga upahan atau pekerja, dan mereka juga hanya memiliki sedikit alternatif dalam kesempatan kerja kecuali dengan perusahaan perkebunan itu. Keterbatasan pilihan pekerjaan seringkali menjadikan para pekerja tidak berdaya terhadap bayaran yang murah, standar kesehatan dan kenyamanan yang buruk. Sementara itu, jika ada petani perkebunan rakyat yang mengelola lahan mereka sendiri – juga tidak berdaya karena kebanyakan pabrik pengolahan tanda buah kelapa sawit dikelola oleh perusahaan besar. Konsekuensinya, para petani menjadi korban dari monopoli harga oleh perusahaan tempat mereka menjual hasil panen. Potensi pembangunan kelapa sawit yang dianggap menguntungkan, seringkali digunakan sebagai pembenaran dalam pemberian izin untuk pembersihan hutan konservasi yang bernilai tinggi. Walaupun sebenarnya bukan lokasi yang cocok untuk pengembangan kelapa sawit, sejumlah perusahaan telah mengantongi izin untuk perkebunan mereka dan mendapatkan lebih banyak keuntungan dari kayu yang mereka tebang, kadangkala bahkan tidak pernah ditanami kelapa sawit. Tanah-tanah gambut dan endapan carbon yang bernilai tinggi juga menjadi rusak. Cara yang paling cepat dan murah untuk membuka lahan adalah dengan cara membakar, sehingga menyebabkan polusi udara dan emisi gas rumah kaca. Api yang digunakan untuk membersihkan lahan juga seringkali menyebar diluar kontrol sehingga merusak vegetasi hutan inti dan ekosistem didalamnya serta mengusir binatang dan memusnahkan banyak tumbuhan obat. Ketika hutan diubah menjadi kebun kepala sawit, maka antara 80% hingga 100% binatang jenis reptil, mamalia dan burung tidak dapat bertahan hidup dalam lingkungan itu. Binatang-binatang tersebut akan menyerang beberapa perkampungan terdekat yang mereka jumpai
sebagai balasan atas perlakuan buruk manusia terhadap mereka (Baca:satwa menyerang manusia). Saat dalam tahap pertumbuhan, penggunaan herbisida dan pestisida berkadar racun tinggi seperti Gramoxone, Roundup dan Polaris sudah meluas. Dalam tahap pengolahan, limbah pabrik kelapa sawit seringkali menyebabkan pencemaran. Pembersihan lahan juga menyebabkan air sungai menjadi kekuningan dan keruh. Konsekuensi logis dari hal tersebut dan implikasi terhadap kesehatan dan mata pencaharian masyarakat setempat bisa menjadi sangat buruk. Kelapa sawit tidak menyimpan air sebagaimana hutan asli. Ketika tanah sudah dibersihkan dari hutan dan tumbuhan aslinya, banjir dan tanah longsor telah menjadi hal yang umum, Rumah, mata pencaharian bahkan nyawa juga sering melayang dengan frekuensi dan kerusakan yang terus meningkat. (Baca: Laporan Eye on Aceh).
Bahaya Besar Akibat Deforestasi Laporan dan peringatan resmi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) tentang risiko terjadinya kebakaran hutan di Aceh akibat peningkatan panas yang mencapai 34 derajat celcius seharusnya menjadi penting bagi semua pihak untuk ikut memberikan respon penanggulangan bersama. Berdasarkan pantauan satelit, sebanyak 22 titik api (hot spot) terdeteksi di Sumatra, 6 diantaranya di Aceh. Kelembaban udara juga dilaporkan sangat kering, yakni sekitar 52 hingga 94 persen walaupun hujan ringan masih terjadi. Peringatan kebakaran hutan ini tidak bisa dianggap remeh, karena dimusim kemarau (apa lagi jika terjadi kemarau yang
panjang), ketika kondisi alam semakin ekstrim, kebakaran hutan akan menjadi musibah yang sangat mengerikan dan menyengsarakan banyak orang. Yang jelas, deforestasi (penurunan kualitas hutan) semakin krusial karena menyangkut masa depan lingkungan global, fungsi hutan sebagai paru-paru bumi akan terganggu, iklim global akan terus meningkat diatas ambang yang diperkirakan, proses penggurunan meluas, biodiversitas akan semakin rusak dankeseimbangan ekosistem terganggu. Jika ini terjadi, Aceh akan menghadapi bahaya besar sebagai akibat deforestasi. Kecemasan ini lazim terjadi dalam proses yang berjalan linear dengan akselerasi perekonomian global menuju era liberalisasi. Semakin intens liberalisasi perdagangan, makin tinggi pula tingkat kegiatan ekonomi dan transportasi di Aceh. Dengan demikian pencemaran juga makin tinggi dan kegiatan yang bersifat merusak lingkungan akan makin sering terjadi, kondisi ini ikut memberi sumbangan terhadap meningkatnya panas bumi dan peningkatan penyebaran titik api (hot spot). Hal ini diperkirakan akan terjadi di Aceh dalam skala besar, seiring dengan banyaknya para investor tambang terbuka (seperti tambang biji timah, batu bara, biji besi dll.) yang diperkirakan akan melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Aceh. Banyaknya titik api (hot spot) akibat peningkatan panas bumi tidak terlepas dari ekses meningkatnya aktifitas ekonomi guna memenuhi tuntutan kebutuhan. Sayangnya, kebutuhan manusia modern semakin meningkat melebihi kebutuhan dasar. Padahal banyak yang tidak menyadari bahwa terdapat ambang batas sumber daya yang mampu disediakan oleh alam, bahkan udara juga memiliki ambang batas. Pencemaran udara oleh asap merupakan
contoh konkrit bahwa udara bersih sesungguhnya menjadi sesuatu yang sangat mahal. Variabel lainnya yang ikut berkorelasi adalah pembangunan pada strategi yang bertumpu kepada aspek pertumbuhan, termasuk diantaranya ekspor (ekspor hasil tambang) serta posisi cadangan devisa. Indikator ini sangat krusial sekarang, mengingat Aceh sangat potensial menjadi celah bagi aktor ekonomi global untuk melumpuhkan sendi-sendi perekonomian rakyat. Ingat..! Cara yang paling mudah dan murah untuk mendapatkan devisa ekspor adalah mengeksploitasi sumber daya alam, termasuk hasil tambang yang sekarang getol di investasikan. Bila pembangunan terus diarahkan kepada strategi yang hanya bertumpu pada aspek pertumbuhan seperti ini, maka dapat dibayangkan kondisi lingkungan seperti apa yang akan terjadi dimasa depan. Sungguh mengerikan. Pandangan holistik bahwa manusia, baik sebagai subyek maupun obyek pembangunan merupakan bagian ekosistem – sering dipakai dalam ekologi pembanguan. Interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup membentuk sistem ekologi – ini juga bisa disebut ekosistem. Ketika interaksi ini tidak lagi terjadi secara dinamis, maka inilah saat yang dinamakan kekacauan ekologis. Pada dasarnya pembangunan bertujuan untuk menaikkan tingkat hidup dan kesejahteraan rakyat. Tetapi sayangnya, seringkali para pengambil kebijakan justru tidak mampu merumuskan tujuan pembangunan untuk menaikkan mutu hidup rakyat, sehingga kebutuhan dasar rakyat tidak terpenuhi. Inilah yang disebut dengan degradasi mutu hidup yang disebabkan oleh pembangunan yang salah kaprah, padahal seharusnya pembangunan dapat diartikan sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat dengan lebih baik – bukan menjadi lebih buruk.
Jika pembangunan yang keliru terus berlangsung - maka di masa depan, rakyat akan berada pada posisi dimana tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar yang merupakan kebutuhan yang esensial, seperti; tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup hayati, tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup yang manusiawi dan tidak dapat memenuhi derajat kebebasan untuk memilih karena semuanya akan menjadi terbatas. Banyak kasus memperlihatkan, bahwa banyak jenis kebutuhan dasar untuk masyarakat kita masih belum terpenuhi dengan baik. Lihatlah begitu banyak rakyat di negeri ini yang masih kekurangan pangan, kekurangan air bersih dan tempat tinggal yang tidak layak. Ini artinya mutu lingkungan hidup rakyat sangat buruk. Karena itu pembangunan harus diarahkan kepada membaiknya mutu lingkungan hidup. Dalam usaha untuk memperbaiki mutu hidup, harus dijaga agar kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan pada tingkat yang lebih tinggi tidak menjadi rusak. Pembangunan yang keliru tidak dapat meningkatkan mutu hidup, melainkan justru kemerosotan - yang pada akhirnya akan mengakibatkan banyak kesulitan di masa depan. Aceh, sebagai sebuah pemerintahan baru yang memiliki dasar hukum yang eksklusif (Baca: UUPA) sangat membutuhkan instrumen-instrumen kebijakan dan implementasi pembangunan dengan pengelolaan lingkungan yang adaptif, cepat dan terarah. Pengelolaan lingkungan yang selama ini keliru harus dikoreksi secara cepat dan tepat, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan kondisi alam yang mulai berubah-ubah. Angin kencang disertai puting beliung dapat mengancam daratan dan atmosfer Aceh dengan kecepatan 10 sampai dengan 25
kilometer perjam (Baca: Laporan BMG,2008), menandakan bahwa kondisi alam Aceh tidak stabil. Kondisi alam yang sering berubah-ubah (ekstrim) di Aceh harus segera dicermati dan ditangani dengan pendekatan pengelolaan yang adaptif. Jika tidak, maka malapeta besar akan kembali datang dan ketimpangan sosial semakin menjulang •
“Adalah fakta, bahwa upaya menutupi sebuah ketidak becusan pengelolaan financial oleh pemerintah setempat – telah dikoreksi dengan pemborosan sumber daya alam yang sangat fatal.�
4 Supermarket dalam Kawasan Ekosistem Leuser
 Proyek Bencana yang Sedang Dirancang Dengan dalih meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sepuluh kepala daerah di Aceh sepakat membuka jalan akses dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Semua jalan yang dibangun tersebut merupakan jalur rawan longsor dan banjir bandang. Ini merupakan indikasi bahwa banyak kepala daerah di Aceh tidak taat tata ruang yang mengatur peruntukan lahan. Tragisnya, Yayasan Leuser Internasional (YLI) sebagai pelaksana Aceh Forest and Environment Project (AFEP) yang dipercayai mengelola Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dengan dana USD 2,223,215 yang berasal dari Multi Donor Fund (MDF) juga ikut berkomplot menandatangani kesepakatan pembukaan jalan itu pada 17 Maret 2009 dalam sebuah siasat di Blangkejeren. MDF dibawah pengawasan Bank Dunia dengan penuh percaya diri, siap memasang manusia-manusia keledai sebagai tunggangan, guna meramu resep jitu dalam menciptakan bentuk kontradiksi, kebingungan dan juga merupakan pathologi kekacauan yang mereka ciptakan sampai hari ini di ’negeri bencana yang direncanakan’, menciptakan penderitaan lewat kemiskinan dan akar
budaya korupsi dan kado bantuan peningkatan pertumbuhan ekonomi sebagai alat berdalih. Sementara itu, agen-agen bisnis bantuan yang saat ini menjabat di pemerintahan daerah di masing-masing kabupaten/kota sedang berkomplot untuk mengucurkan dana melalui APBK masing-masing daerah. Khusus pemerintah kabupaten Gayolues, saat ini sudah mengalokasikan 133 Milyar Rupiah dari dana otonomi khusus (otsus) untuk membangun jalan tersebut. Hal ini akan diikuti oleh Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Barat Daya, Aceh Singkil, Subussalam, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara dan Kota Langsa. Iming-iming untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ini telah menjadi sebuah paham kemanusiaan yang dibuat-buat untuk mencari keuntungan dalam perhitungan strategi komersil serta kendaraan penyebarluasan nalar jahat, yang memungkinkan penentuan setiap pengambilan kebijakan dalam proses pembangunan sebuah wilayah yang direkayasa oleh kekuatan kelompok industri-industri tertentu melalui kesepakatan rahasia yang dilakukan oleh para elit pemerintahan setempat didalam bentung alokasi dana resmi. Ada apa sebenarnya dibalik proyek pembangunan jalan dalam Kawasan Ekosistem Leuser tersebut? Adalah pertanyaan penting yang harus dibeberkan kepada publik demi kepentingan Aceh sebagai suatu bentuk kesadaran kolektif yang merasa bahwa semua kekayaan material dan inmaterial di dalam dan di atas tanah Aceh adalah milik bangsa Aceh, bukan milik para agen tertentu. Oleh sebab itu rakyat Aceh berhak dan berkepentingan untuk mengetahui, memelihara dan mempertahankannya dengan segala daya upaya sebagai wujud tanggung jawab bersama kepada bangsa Aceh.
Meski tingkat penggundulan hutan Leuser telah melambat sejak pemberlakuan moratorium logging pada tahun 2007 yang lalu, hilangnya hutan diperkirakan akan berlanjut di masa depan. Begitulah yang terjadi, orang-orang dengan penuh nafsu berupaya untuk membelah Leuser sepanjang lebih dari 81,8 kilometer yang menghancurkan lebih dari 80 kilometer hutan lindung dan memusnahkan berbagai jenis tanaman obat. Tidak ada lembaga resmi yang dapat dipercaya yang bisa memberikan batasan rincian terhadap kerugian ekonomis yang diderita selama dan sesudah pembangunan jalan itu terjadi. Ini artinya, bahwa jalan utama melintasi Leuser dipastikan akan diikuti pula dengan pembangunan jalan-jalan cabang lainnya. Dengan begitu sama artinya mempermudah masuknya truk-truk pengangkut kayu dan pengangkut hasil-hasil tambang liar. Perusahan-perusahaan logging akan jauh masuk kedalam kawasan-kawasan hutan, mengambil seluruh kayu bernilai tinggi dan keluar untuk pindah ke tempat lainnya melalui jalan-jalan yang dibangun negara. Jalan-jalan ini nantinya juga akan digunakan perusahaan ekplorasi dan eksploitasi hasil-hasil tambang untuk mengeruk lebih banyak lagi dari apa yang sudah mereka dapatkan saat ini. Maka sungguh tak dapat dielakkan, bahwa ini akan menyerupai sebuah supermarket logging dan supermarket tambang yang mengerikan di dalam kawasan ekosistem yang seharusnya dilindungi.
Gelombang Arus Dramatis Di Masa Depan Implikasi penting bagi pelestarian hutan adalah pergeseran alasan penggundulan hutan akibat alasan kemiskinan ke alasan perusahaan. Modus dari perusakan hutan akan berubah. Orang-
orang miskin di desa tidak lagi dominan sebagai pelaku perusakan hutan; setelah akses menuju hutan Leuser terbuka, penggundulan hutan secara substansial digerakkan oleh industri-industri besar dan globalisasi ekonomi, melalui penambangan timah hitam, penambangan kapur dan bahan baku semen, dan eksplorasi mencari material-material mineral bernilai tinggi lainnya yang menjadi sebab-sebab paling mengerikaan dari hancurnya hutan. Ide membelah hutan belantara Leuser selalu saja dilontarkan secara luas oleh kebijakan-kebijakan pemerintah kabupaten/kota untuk alasan pertumbuhan ekonomi pedesaan, yang mencakup konstruksi jalan, bersamaan dengan pertumbuhan populasi yang direkayasa secara cepat - seperti memasok sebanyak mungkin transmigran dari pulau jawa ke Aceh.. Inisiatif-inisiatif ini, mendorong munculnya gelombang arus yang dramatis para pendatang ke daerah perbatasan provinsi dan akan sering kali menyebabkan kerusakan hutan secara cepat. Setiap kali usulan-usulan pembukaan jalan semacam itu dilontarkan, para agen pelobi kebijakan akan mengangkat tangan penuh kegembiraan. Meski sangat banyak terjadi kegagalan yang kemudian membuat banyak orang menderita akibat longsor dan banjir bandang, usulan-usulan ini terus saja dibela dan tidak boleh pernah dihentikan demi alasan yang dicari-cari dengan dalih menciptakan daya dorong ekonomi pedesaan. Setelah terbangun, jalan-jalan ini melepaskan berbagai invasi hutan yang tak terkontrol oleh para pendatang, pemburu, dan makelar tanah. Hutan-hutan yang dulunya secara alami dimanfaatkan secara langsung oleh peladang, akan segera dengan cepat dilindas oleh bulldozer industri-industri berskala besar.
Korporasi Jahat Penjual Hutan Aceh Dari sudut pandang lain, lihatlah siapa saja yang diuntungkan? AFEP yang dicitrakan sebagai pahlawan proyek hutan dan lingkungan Aceh; seringkali mendapat pujian dari tim pengawas Bank Dunia, meskipun kerja-kerja AFEP di lapangan sungguh sangat mengecewakan. Pada evaluasi 3 hari pelaksanaan proyek APEP 2007, tanpa rasa malu dan dengan penuh rasa percaya diri Joe Leitmann, ketua tim evaluasi Aceh Forest Environment Project (AFEP) dari World Bank mengungkapkan kepuasan yang dibuat-buat, ”I’m proud to be associated with this project” (“Saya merasa bangga berurusan dengan proyek ini”). Begitulah ungkapannya saat itu. Karena dinilai berkinerja baik pada tahun kedua dari pada tahun pertama, maka dalam tahun ketiga anggaran AFEP telah ditingkatkan secara signifikan sampai sekitar USD 6,969. Anggaran tahun ketiga (2008) akan menjadi yang terbesar selama masa program (Baca: Rencana kerja AFEP 2008). Sayang sekali, angka-angka yang dikucurkan Multi Donor Fund (MDF) itu ternyata bukan dari hasil penelitian lapangan secara teliti. Itu hanyalah hasil akal-akalan dari beberapa orang yang dikirim sebagai tim pengumpul informasi yang membuat perjalanan singkat kedaerah-daerah kabupaten, untuk melakukan pemotretan udara dan wawancara dengan pejabat lokal dan membuat perhitungan atas dasar wawancara itu. Untuk mendukung kerja-kerja AFEP, maka pembentukan dewan multi stakeholder yang memberi masukan dan solusi permasalahan yang berhubungan dengan pelaksanaan proyek mendapatkan prioritas tinggi di tahun ketiga (2008). Dewan multi stakeholder terdiri dari perwakilan-perwakilan dari kantor
Gubernur, institusi pemerintah yang berkaitan dengan kehutanan, konservasi, dan perkebunan, para Bupati dari semua kabupaten yang terdapat di dalam daerah proyek, akademisi, ilmuan, NGO/LSM, dan perwakilan dari DPRD kabupaten. Biaya operasi unit pengelolaan daerah sepanjang tahun akan didanai. Ini mencakup biaya komunikasi, peralatan penting, dan perjalanan. Ironisnya, bahwa tekat sepuluh daerah kabupaten/kota sudah bulat untuk membuka jalan membelah belantara Leuser dan Yayasan Leuser Internasional (YLI) juga sudah ikut menandatangani kesepatan itu (Baca: 10 daerah sepakat isolasi hutan Leuser dibuka, Serambi Indonesia, 19/3/09). Lalu apa artinya kucuran USD 479,243 dalam membentuk kerangka kerja kepemerintahan Multistakeholder untuk melindungi kawasan hutan dan ekosistem? (Baca: Komponen Anggaran AFEP 2008). Apa artinya USD 439,810 dalam membentuk, mendukung dan memperkuat mekanisme kepemerintahan untuk perlindungan hutan? USD 39,433 dalam membangkitkan dukungan institusi dan stakeholder terhadap perlindungan dan pengelolaan hutan? USD 39,433 untuk menggaji konsultan? Sekali lagi, Apa artinya total komponen USD 2,223,215 yang dilimpahkan Multi Donor Fund (MDF) untuk Proyek Hutan dan Lingkungan Aceh kepada Yayasan Leuser Internasional (YLI)? Proyek ini sebetulnya tidak terlalu buruk, tetapi karena digunakan seenaknya tanpa menghiraukan perasaan manusia lain, maka proyek tersebut merupakan perwujudan sifat buruk. Sangking buruknya, setiap beberapa dolar yang dikirimkan selalu saja diikuti oleh beberapa orang asing dari mereka. Proyek-proyek seperti itu hanyalah sebuah pemindahan dana bantuan dari negara-negara Barat ke tangan agen-agen yang tidak bertanggung jawab yang bahkan siap melakukan bencana
mengerikan berupa rusaknya lingkungan hidup yang menyebabkan masyarakat menjadi jauh lebih sengsara dari sebelumnya. Kenapa USD 2,223,215 diserahkan kepada orang-orang yang tidak memiliki sensitivitas? Angka-angka itu tidak pernah membuat rakyat kecil mampu meNomorlong diri mereka sendiri. Pada saat yang sama, proyek jalan yang membelah kawasan hutan hanya membangun benteng perlindungan bagi kelas baru yang kaya serta berkuasa, yang menyediakan pekerjaan bagi orangorang tersebut. Mencuri hak-hak istimewa rakyat miskin dari proposal yang mereka ajukan, yang tidak lain hanyalah perwujudan bisnis bantuan belaka dibalik rusaknya hutan hujan tropis yang kita punyai. Sebuah fakta, bahwa secara pragmatis institusi-institusi yang pernah mendapatkan dukungan USD 39,433 dari AFEP dalam membangkitkan dukungan institusi dan stakeholder terhadap perlindungan dan pengelolaan hutan; hanyalah menciptakan institusi yang berbuat seenaknya, sombong, paternalistis, bermoral pengecut, dan kebiasaan berdusta. Sungguh sebuah bentuk kontradiksi, kebingungan dan pathologi kekacauan di negeri bencana yang direncanakan. "Geutanyow sabe ji tipey..." (Kita selalu di tipu...) •
5 Refleksi dari Banjir Aceh
Bagi masyarakat Aceh, banjir adalah salah satu agenda rutin dari sekian kesesakan masalah hidup lainnya akhir tahun ini. Banjir adalah salah satu dari sekian banyak masalah yang timbul akibat kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS). Namun, degradasi daya dukung daerah tangkapan air akibat rusaknya tegakan hutan ini seringkali diabaikan dan tidak menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan penanggulangan. Bencana banjir yang kerap terjadi di Aceh patut menjadi bahan refleksi bagi kita semua. Apakah banjir merupakan bencana alam atau konsekwensi yang sifatnya logis dari ulah tangan manusia? Lalu bagaimana mengantisipasi agar tidak terjadi lagi dimasa yang akan datang? Adalah sebuah pertanyaan penting yang harus dicari jawabannya. Aceh menghadapi bahaya besar sebagai akibat deforestasi (penurunan kualitas hutan). Penebangan hutan hanya memberi manfaat ekonomi jangka pendek. Dalam jangka panjang, ancaman kerusakan ekosisitem akan menimbulkan kerusakan yang sangat serius, baik kerugian ekologis itu sendiri, kerugian sosial maupun
kerugian ekonomi (misalnya kerugian yang dialami oleh masyarakat korban banjir dan tanah longsor). Data kerugian masyarakat akibat banjir di kecamatan Trumon Timur, Aceh Selatan sejak pertengahan November hingga awal Desember 2008 meliputi 14 hektar tanaman jagung, 29 hektar tanaman cabe, 78 hektar nilam, 18 hektar tanaman coklat, 135 hektar tanaman padi 19 hektar tanaman kacang serta 634 ekor ternak unggas. Sedangkan di Kecamatan Delima, Aceh Pidie hingga 10 Desember 2008 tercatat 800 hektar sawah gagal tanam dan 30 hektar tanaman kakau baru berumur 5 bulan milik warga sekitar Krueng Baro juga ikut terendam banjir. Ini hanya data parsial dari 2 kecamatan, bayangkan besarnya jumlah kerugian - jika kita menjumlahkan semua data-data banjir dan tanah longsor dari seluruh kabupaten di Aceh? Sungguh kerugian yang sangat besar. Disisi lain, kecemasan terhadap dampak degradasi lingkungan hidup seharusnya membawa manusia pada suatu kesadaran tentang pentingnya pelestarian alam. Akan tetapi, perbedaan visi dan kepentingan seringkali menempatkan masalah ini dalam figura yang problematis. Salah satu contoh adalah munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang terkoordinir atau tidak - telah melakukan aksi-aksi demonstrasi yang justru meminta agar pelaku-pelaku penebangan liar yang ditangkap penegak hukum supaya dibebaskan tanpa syarat. Demo-demo masyarakat seperti ini terjadi berulang kali di Aceh, dimuat dan diberitakan dimedia-media lokal. Ada fenomena yang mencolok; disatu sisi para aktivis lingkungan hidup meminta agar pemerintah melakukan penegakan hukum terhadap para cukong dan pelaku penebang liar, tetapi dilain pihak disambut dengan perlawanan dari kelompok-kelompok tertentu karena kehadiran penegak hukum dengan pendekatan penyitaan tidak
gampang diterima oleh pelaku illegal logging dilapangan. Ini dilema bahwa pendekatan melalui Polhut (sekarang: bentara hutan) tidak akan menyelesaikan masalah. Sementara itu, di lapangan aparat juga sering terlibat suap dengan para pelaku. Lagi-lagi perbedaan visi dan kepentingan menjadi justifikasi untuk melegalkan perusakan hutan di Aceh. Jika ini terus terjadi, maka babak baru perusakan hutan Aceh telah ada didepan mata. Padahal Gubernur Pemerintahan Aceh Irwandi Yusuf baru saja menggagas dan memberi “judul baru� provinsi Aceh sebagai “Aceh Hijau� (baca: Selamatkan hutan, Cuma judul doang!). Disatu sisi pihak Gubernur Pemerintahan Aceh Irwandi Yusuf sadar terhadap pentingnya pelestarian alam, tetapi dilain pihak - kepentingan ekonomi yang berorientasi jangka pendek dari kelompok-kelompok tertentu masih dipertentangkan dengan kepentingan pelestarian ekologi. Akibatnya, agenda pelestarian alam yang berdimensi jangka panjang seringkali terabaikan.
Gerakan Advokasi Lingkungan Departemen Kehutanan sebagai sebuah institusi formal pemerintah belum bisa memberikan warna yang menarik pada isuisu kerusakan hutan. Atribut hijau ternyata tidak disokong oleh pikiran yang hijau pula. Institusi ini terjebak dalam formalisme birokratis dan in-efesien, menjadi hirarkis dan bersifat sentralistis. Lihat saja fakta gagalnya Dinas Kehutanan Aceh dalam mengimplementasikan instruksi Gubernur Pemerintahan Aceh tentang Moratorium Logging di Aceh. Sampai hari ini, belum ada instrument yang benar-benar bisa diandalkan untuk mengefektifkan Ingub Nomor 5 tersebut. Pada gilirannya institusi seperti ini justru menjadi kelompok perusak hutan. Tragis‌
Ditengah ciri elitis para pemangku kepentingan yang eklusif ini, bermunculan pihak-pihak non pemerintah seperti LSM (lembaga swadaya masyarakat) sebagai pendeterminasi. Gerakan adokasi yang dibangun lembaga non pemerintah lebih mampu memberi warna terhadap advokasi lingkungan hidup pada tingkatan yang berbeda-beda. Namun demikian gerakan advokasi yang didominasi oleh satu pihak ini pun, tanpa penyeimbang peran dari pihak lain juga akan kacau dan sulit untuk mencapai kompromi kebijakan. Advokasi lingkungan yang efektif dalam proses tawar menawar adalah pada pertalian kepentingan antara LSM, masyarakat korban dan pemerintah. Partisipasi dari masyarakat yang memiliki kesadaran tinggi terhadap pelestarian lingkungan adalah hal yang sangat penting untuk membentuk sebuah sinergi yang efektif.
Pengambilan Keputusan yang Salah Meskipun didalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) melarang adanya izin pengusahaan hutan di dalam kawasan Ekosistem Leuser. Namun belum ada instrument yang efektif untuk mengurangi degradasi kawasan Ekosistem Leuser (Kawasan Ekosistem Leuser mencapai 2,5 juta hektar atau setara dengan 40 persen luas daratan Aceh). Harus diingat juga bahwa UUPA memberikan kewenangan kepada pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota untuk memberikan izin konversi (pengalihan fungsi) kawasan hutan dan izin pengelolaan dan pengusahaan hutan. Kewenangan perizinan tersebut berpeluang terhadap alih fungsi kawasan hutan Aceh baik di dalam maupun di luar Kawasan Ekosistem Leuser jika tidak ada
kawalan yang ketat ditengah maraknya investasi pertambangan di Aceh. UUPA memberikan kewenangan kepada Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota untuk menetapkan peruntukan lahan dan pemanfaatan ruang untuk kepentingan pembangunan. Namun Kewenangan penataan ruang tersebut juga rentan bagi usaha penyelamatan hutan Aceh yang tersisa, dimana 50 persen wilayah daratan Aceh adalah hutan lindung dan kawasan konservasi. UUPA menegaskan kewajiban pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola kawasan lindung untuk melindungi keanekaragaman hayati dan ekologi. Kewajiban inilah yang harus diwujudkan untuk mendukung kehidupan jutaan masyarakat Aceh dan keberlanjutan perekonomian Aceh. Apakah butir-butir UUPA diatas mampu menjawab persoalan lingkungan hidup di Aceh pada masa depan? Secara pragmatis, pemerintah juga seringkali meletakkan kebijakan keliru untuk mendorong kegiatan ekonomi bagi tercapainya tujuan pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Sebut saja salah satu contoh seperti pemberian izin eksploitasi batu bara dan pertambangan biji besi di pantai barat dan pertambangan biji timah hitam galena di dalam kawasan lindung di Aceh Tenggara. Instrumen-instrumen kebijakan yang keliru seringkali mendorong masyarakat dan pelaku usaha untuk melakukan aktivitas berlebihan yang menyebabkan degradasi sumber daya alam dalam aktivitas ekonomi mereka. Kebijakan Dinas kehutanan yang tidak transparan dalam penyebaran data kerusakan alam ikut menyebabkan tingginya tingkat eksploitasi hutan. Padahal transparansi dalam penyebaran data penting untuk memberi kesadaran akan tantangan yang real
bagi masa depan lingkungan hidup Aceh. Hal ini penting dilakukan agar rakyat bersedia memberi respon secara kritis, langsung dan spontan terhadap semua aktivitas dan kebijakan dibidang lingkungan Hidup. Cara seperti ini akan efekti untuk memaksa para perencana pembangunan, industri dan para pengembang pemukiman yang terlibat konversi ekosistem hutan (yang secara ekologis sangat sensitif) untuk mematuhi kaidah-kaidah lingkungan. Ketiadaan harga dan pasar bagi jasa lingkungan hutan (jasa yang bisa dihasilkan dari hutan lindung dan atau hutan produksi dalam bentuk wisata alam, olah raga, pemanfaatan air, perdagangan karbon atau kegiatan penyelamatan hutan dan lingkungan) , menyebabkan rendahnya harga hasil hutan. Distorsi harga dan tidak efisiennya pasar dapat mengirim signal yang salah kepada masyarakat dan pelaku usaha mengenai nilai sumberdaya hutan. Hal ini mendorong masyarakat dan pelaku usaha untuk mengeksploitasi sumberdaya hutan secara berlebihan untuk merespon harga dan pasar yang mereka hadapi. Monopoli Departemen Kehutanan dalam pengelolaan hutan yang menafikan peran masyarakat lokal juga telah mendorong meNomornjolnya kepentingan kelompok tertentu. Dalam hal ini, negara gagal dalam mengatur kelembagaan pengelolaan hutan. Pada tataran masyarakat miskin sekitar hutan, kemiskinan seringkali menyebabkan ketergantungan berlebihan terhadap sumberdaya hutan. Ketika sumber penghidupan terbatas, orang tidak banyak punya pilihan kecuali melakukan eksploitasi sumberdaya hutan secara berlebihan guna menghasilkan pendapatan untuk kehidupan sehari-hari mereka. Jadi, kegagalan kebijakan, kegagalan pasar, kegagalan kelembagaan dan keadaan penghidupan yang tidak merata adalah empat kategori kerusakan hutan yang dipicu oleh keputusan
pemerintah yang lemah serta aparatur yang korup, gampang disogok oleh pelaku pelanggar hukum dilapangan. Melihat laju kerusakan hutan yang tidak pernah turun, bahkan meningkat dari waktu kewaktu, maka hanya ada kemungkinan yang sedikit bagi kondisi hutan Aceh. Pertama, membiarkan tetap rusak – tidak ada perubahan kecuali menunggu kehancuran hutan pada kondisi yang benar-benar habis (tandus). Kedua, mencoba memperbaiki. Namun secara pragmatis, perbaikan nampakya jauh lebih lamban dari kecepatan merusaknya. Sehingga dipastikan hutan Aceh akan tetap rusak. Ketiga, menyediakan dana yang besar dan memperbaikinya dengan paksa. Tetapi persoalannya siapakah yang cukup kuat untuk melakukannya. Apakah lembagalembaga publik cukup kuat dan berfungsi dengan baik untuk menjadi pahlawan? Kenyataannya lembaga publik di negeri ini tidak memainkan peran yang semestinya. Sehingga rusaknya hutan tidak dapat diatasi. Lalu apa yang mengganjal? Sehingga hutan kita tidak pernah dapat dikelola dengan baik. Apa yang sesungguhnya terjadi dibalik bencana-bencana banjir yang kita alami? Korupsikah? Moralitaskah? Hanya sekedar bencana alam biasakah? Apakah sudah tidak ada lagi kepentingan orang-orang untuk mematuhi perintah Tuhan menjaga kelestarian alam dan tidak membuat kerusakan di muka bumi? Ataukah mungkin kita telah menjadi orang-orang yang dinyatakan dalam A-Quran surat Al-Baqarah ayat 11-12: “Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” •
6 Ketika Aceh Membangun
Renungan kita yang paling kontekstual saat ini adalah betapa pertumbuhan ekonomi untuk mendongkrang kemajuan Aceh paska perjanjian damai dan terbentuknya pemerintahan Aceh yang baru dikhawatirkan akan jauh mereduksi kualitas lingkungan dan sumber-sumber alam. Konsep pembangunan yang berkesinabungan telah diterjemahkan dengan keliru. Sustainable growth terjebak dalam jaring nihilisme. Rencana pembangunan Aceh masih disibukkan pada membicarakan pertumbuhan produksi. Lalu rencana peningkatan produksi ini dipandang sebagai angin syurga karena banyak menjanjikan keuntungan. Diskursus publik belum menyentuh aspekaspek substansial, khususnya yang menyangkut implikasi negativ di balik pertumbuhan produksi. Pertumbuhan ekonomi hanya terjadi apabila kita berhasil memenuhi lebih banyak kebutuhan (needs) dengan ketersediaan barang langka yang sama dengan periode sebelumnya. Dengan logika seperti ini, mungkin saja pertumbuhan produksi meningkat, akan tetapi pertumbuhan ekonomi justru menurun.
Industri-industri mungkin akan tumbuh dan banyak menjanjikan peningkatan kesejahteraan bagi lebih banyak rakyat Aceh, tanpa disadari bahwa di masa depan ada bahaya besar yang akan mengancam kehidupan. Untuk itu sangat diperlukan perumusan solusi masalah kerusakan lingkungan hidup dalam jangka panjang. Pertama; pemahaman konseptual mengenai arti dan fungsi lingkungan hidup yang sesungguhnya. Sangat mendesak bagi kita untuk memunculkan dan menebalkan pemahaman semua pihak tentang arti dan fungsi lingkungan hidup bagi proses pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Misalnya banyak para pengambil kebijakan justru biasa berpikir bahwa hutan atau sumber daya alam lainnya seperti batu bara merupakan sumber ekonomi untuk pembangunan. Kerangka pikir ini sudah seharusnya diakhiri dan diganti atas pemahaman atas visi jangka panjang yang lebih rasional. Untuk itu, dibutuhkan proses fragmentasi pemikiran berjangka panjang, yang diupayakan agar termanifestasi pada taraf tingkah laku. Kedua; tatanan hukum, sistem yang berlaku, serta proses pengambilan kebijakan (policy). Menumbuhkan pertimbanganpertimbangan dalam proses penyusunan kebijakan dan tatanan hukum yang lebih peduli terhadap kelestarian lingkungan dan penumbuhan kesadaran mengenai makna kehidupan dalam jangka panjang. Orientasi yang parsial dan dilandasi motif mendahulukan kepentingan kelompok tertentu haruslah dipandang sebagai barang yang haram. Jangan jadikan reintegrasi Aceh sebagai justifikasi terhadap sebuah produk hukum. Aceh memang memiliki Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan sejumlah Qanun termasuk Qanun Nomor 21 tahun 2002 tentang pengelolaan
sumber daya alam, Qanun Nomor 15 tahun 2002 tentang perizinan kehutanan provinsi nanggroe Aceh darussalam. Instruksi Gubernur Nomor 5 tahun 2007 tentang Moratorium Logging. Ada juga inisiatif DPRA menyusun Prolega (Prioritas Legislasi Aceh) untuk periode 2007-2012. Akan tetapi seringkali landasan aspek legal dilemahkan sendiri oleh mekanisme penegakan hukum (law enforcement) yang tidak efektif. Lihat saja kasus-kasus penebangan liar dan pembakaran hutan serta galian C illegal yang terus saja terjadi yang eskalasinya semakin meningkat. Kasus-kasus itu seharusnya menjadi momentum yang tepat untuk meningkatkan kewibawaan perundangan, khususnya qanun dibidang lingkungan, melalui mekanisme penegakan hukum yang optimal. Oknum-oknum yang terlibat seharusnya mendapat sanksi pidana yang setimpal. Sayangnya ini tidak dilakukan. Ketiga; penebalan komitmen terhadap kelestarian lingkungan melalui penyebaran data kerusakan lingkungan akibat eksploitasi alam. Transparansi dalam penyebaran data kerusakan alam penting untuk memberi kesadaran akan tantangan yang real bagi masa depan Aceh. Hal ini penting dilakukan agar rakyat bersedia memberi respon secara kritis, langsung dan spontan terhadap semua aktivitas dan kebijakan dibidang lingkungan Hidup. Cara seperti ini akan efekti untuk memaksa para perencana pembangunan dan industri untuk mematuhi kaidah-kaidah lingkungan. Sayangnya ini juga tidak dilakukan.
Memahat Ekosistem Pasca bencana stunami, Aceh dihadapkan pada kondisi dimana banyak sekali pendatang dari luar Aceh yang mencari pekerjaan di Aceh. Ini artinya Aceh akan menghadapi problem
populasi besar di masa depan, bukan hanya masalah sosial ekonomi dan politik, tetapi juga menyangkut lingkungan hidup. Lahan di Aceh tidak bertambah, sedangkan jumlah penghuninya semakin banyak. Hal ini akan menyebabkan krisis lingkungan yang berdampak pada tensi kehidupan sosial yang meningkat. Polusi udara misalnya, Banda Aceh mulai mengalami peningkatan suhu karena tidak tersedianya ruang-ruang hijau yang memadai. Banyak pohon besar malah ditumbangkan karena harus dilintasi kabel listrik PLN. Birokrasi kita lemah dalam manajemen membangun Banda Aceh yang asri. Hingga kini tidak jelas action plan dalam mengatasi tingkat pencemaran udara di Banda Aceh. Beberapa kawasan pegunungan hijau pinggiran laut yang beberapa waktu yang lalu menjadi tempat banyak orang selamat saat lari dari gelombang tsunami kini malah diratakan dan dikeruk untuk menimbun daerah kota yang lebih rendah. Lagi-lagi kota ini hanya diarahkan untuk membangun tiang tetapi ekosistemnya terpahat. Pembangunan fisik yang padat modal dan mengabaikan tata ruang telah memerosotkan kualitas sumber daya alam dan ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan pada masa depan. Deforestasi (pengundulan hutan) serta eksploitasi sumber daya yang tidak terbaharui (unrenewable resources) seperti bahan bakar fosil akan menempatkan generasi Aceh pada situasi yang problematis. Padahal pertambangan bahan bakar fosil haruslah dilihat sebagai sumber daya alam terakhir yang boleh di eksploitasi jika sumber-sumber lainnya telah habis, bukan malah memboroskannya pada masa sekarang. Sekarang ini Aceh mulai menuju ke kondisi perubahan yang buruk, Aceh akan menjadi arena segregasi sosial. Degradasi lingkungan mulai tumbuh secara linear dengan problem kemiskinan dan ketimpangan. Lapisan masyarakat yang kaya memiliki
kesempatan untuk menikmati kehidupan dalam lingkungan yang sehat, air bersih yang mencukupi kebutuhan. Sedangkan masyarakat miskin harus hidup dalam kelangkaan air bersih karena tidak tersentuh layanan perusahaan air minum negara. Suatu ironi muncul misalnya ketika kaum miskin di Banda Aceh harus membayar sangat mahal hanya untuk mendapatkan air bersih yang layak dikonsumsi dari penjaja air keliling. Sementara itu penduduk kelas menengah keatas mendapatkan suplai air bersih dari perusahaan air minum yang dikelola negara sehingga mampu mendistribusikan air dengan tarif yang murah. Ini adalah gambaran pertanggung jawaban ekologis yang timpang antara strata masyarakat. Betapa segresi sosial telah secara mencolok membedakan strata antara masyarakat. Segresi tersebut memiliki nuansa ekonomi politik yang sangat kompleks. Sebagai dampaknya, kaum miskin di Banda Aceh harus membayar biaya sosial, politik dan lingkungan yang lebih besar. Sementara yang kaya? Mendapatkan keringanan dari fasilitas yang dikelola negara. Pencemaran menimbulkan biaya ekonomis yang skala nominalnya tidak kecil. Pembangunan yang tidak terarah juga telah mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian, pembangkin listrik yang direncanakan menggunakan bahan bakar batu bara juga akan menambah buruk kadar polusi udara. Pertambangan biji besi akan mencemari kualitas air bersih; semuanya akan berimplikasi pada hilangnya produktifitas dan merosotnya tingkat kesehatan masyarakat Aceh dimasa depan. Banyaknya kerusakan tatanan ekologis di Aceh tidak semata-mata bisa diselesaikan dengan banyaknya qanun yang dilahirkan, tetapi juga perlu kapasitas berbagai institusi untuk mengimplementasikan kebijakan yang memihak lingkungan. Aceh
membutuhkan mental birokrasi yang bertanggung jawab yang punya aksi nyata bersama memelihara kelestarian lingkungan •
7 Selamatkan Hutan, Cuma Judul Doang!
Masih ingat dengan gagasan Pemerintah Aceh untuk mewujudkan Green Province (Provinsi Hijau) di Aceh? Gagasan itu muncul pada pertengahan tahun 2006. Saat itu, Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) juga baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Konsep Green Province ini muncul atas kesadaran untuk sesegera mungkin menyusun rencana pemanfaatan dan pengelolaan hutan Aceh yang lestari serta meningkatkan keseriusan upaya pemberantasan kegiatan eksploitasi hutan Aceh. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) memandatkan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan hutan Aceh yang lestari dengan cara diantaranya menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup, menjaga area bernilai konservasi tinggi serta mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Oleh karena itu gagasan ini mendapat dukungan banyak pihak karena moment itu dianggap sebagai kesempatan yang tepat bagi pemerintah Aceh untuk menerapkan Good Governance atau Tata
Pemerintahan yang baik dalam konteks pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dan berkelanjutan. UUPA saat itu dipandang memberikan potensi yang besar dalam peningkatan keadilan sosial, keberlangsungan ekonomi, pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dan pemerintahan yang baik di Aceh. Pembagian kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam yang mencakup tingkat Provinsi, Kabupaten sampai tingkat lokal (Mukim) dengan memperhatikan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, dianggap sebagai awal yang strategis untuk menjadikan Aceh yang lebih baik, yakni Aceh sebagai Provinsi Hijau. Sayangnya, sejak pertengahan 2006 hingga awal tahun 2007, judul yang sangat manis ini tidak mempunyai konsep dan implementasi. Akhirnya, gaungnya perlahan kabur dan menghilang entah kemana. Pemerintah Aceh sama sekali tidak siap untuk mengimplementasikan judul ini. Tidak punya jabaran konseptual, semuanya berhenti dan ”mati langkah” hanya pada ”judul doang”.
Moratorium Logging Pada 6 Juni 2007, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf selaku Kepala Pemerintahan Aceh, menyatakan pemberlakuan "Moratorium Logging" atau penghentian sementara penebangan hutan dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, untuk menyusun kembali strategi Pengelolaan Hutan Aceh melalui Redesign (penataan ulang). Reforestasi (penanaman kembali hutan) dan Reduksi Deforestrasi (menekan laju kerusakan hutan) untuk mewujudkan “Hutan Lestari, Rakyat Aceh sejahtera”.
Redesign, merupakan langkah untuk menata ulang hutan Aceh dan konsesi perizinan yang berkinerja buruk yang akan dituangkan dalam revisi rencana tata ruang untuk mewujudkan pembangunan Aceh yang berimbang secara ekologi, ekonomi dan sosial. Reforestrasi, sebagai bagian dari strategi pengelolaan hutan Aceh yang harus dimulai sekarang yaitu melakukan rehabilitasi hutan dan lahan melibatkan masyarakat. Reduksi laju kerusakan hutan, untuk menciptakan keseimbangan antara laju penghutanan dan pemanfaatan yang merupakan indikator pengelolaan hutan lestari melalui pengembangan sistem pengamanan hutan yang efektif dan penegakan hukum secara konsisten. Anehnya, ”judul” moratorium logging yang dipaksa untuk populer dengan konsep 3R ini sebenarnya bukanlah barang baru. Konsep 3R (Redesign, Reforestasi, dan Reduksi laju kerusakan hutan) adalah konsep usang Departemen Kehutanan yang dari dulu tidak pernah dilaksanakan. Jika dulunya ”judul” ini dipakai sebagai strategi untuk mewujudkan hutan lestari rakyat Indonesia Sejahtera, maka terkait dengan moratorium logging di Aceh, maka kata ”Indonesia” saja yang dirubah menjadi kata ”Aceh”, menjadi ”hutan lestari rakyat Aceh Sejahtera. Lalu inilah yang kemudian dikampanyekan sebagai alur pikir pengelolaan hutan lestari menuju pembangunan ”Aceh Baru”. Sungguh-sungguh jiplakan (Copy-Paste) yang menggelikan. Maka wajar saja jika dalam implementasinya, moratorium logging sungguh sangat tidak karuan dan Cuma ”judul doang”. Lagi-lagi Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam gagal dalam mengimplementasikan instruksi yang ditandatangani Gubernur Aceh tertanggal 6 Juni 2007. Hingga Satu
tahun Kebijakan Moratorium Logging, Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam belum mampu mengevaluasi status dan luas perizinan atau konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) yang tidak memenuhi atau melanggar kewajiban. Belum mampu memberikan progress penataan kembali arahan hutan sesuai dengan kebutuhan pembangunan berimbang antara kepentingan ekologi, ekonomi dan sosial. Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam belum mampu mengukur rasionalisasi jumlah industri kayu sesuai dengan ketersediaan bahan baku secara objektif. Belum mampu mengupayakan pengembangan hasil hutan bukan kayu. Belum mampu memberikan progress penataan kembali lembaga dan tata hubungan kerja pengelolaan hutan Aceh. Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam belum mampu meningkatkan pengawasan dan pengamanan hutan serta pemberian sanksi hukum terhadap pelaku pelanggaran hutan. Dinas Kehutanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam nyaris gagal dan belum menunjukkan progress penyusunan dokumen rencana strategis pengelolaan hutan Aceh. Gagal mencari alternatif pemenuhan kebutuhan kayu domestik, terutama untuk kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh, dari provinsi lain dan atau hasil pelelangan kayu temuan serta rampasan. Sampai dengan satu tahun kebijakan moratorium logging belum adanya mekanisme dan konsep yang benar-benar bisa menghentikan penebangan liar secara efektif dilapangan. Sementara itu, tambahan ribuan personil Polisi Hutan (Polhut) yang direkrut untuk mendukung implementasi moratorium logging tidak dapat diharap terhentinya penebangan liar karena kehadirannya dengan pendekatan penyitaan tidak gampang diterima oleh pelaku illegal logging dilapangan. Akhirnya terjadi sikap perlawanan
terhadap moratorium logging. Ini dilema bahwa pendekatan melalui Polhut tidak akan menyelesaikan masalah. Dengan jumlah perekrutan personil Polhut yang terus bertambah setiap tahunnya dan dengan kondisi penebangan liar yang tidak juga mereda merupakan tindakan pemborosan. Maka salah satu solusi yang bisa mengefektifkan moratorium logging adalah dengan pendekatan pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal itu sendiri melalui forum masyarakat desa sekitar hutan dengan memfasilitasi krisis yang mereka alami. Pendekatan ini lebih manusiawi daripada mendatangkan Polhut untuk menangkap masyarakat yang sudah turun-temurun bergantung pada hutan. Perlu langkah-langka konkrit untuk mengimplementasikan kebijakan moratorium logging. Pertama; identifikasi kebutuhan kayu untuk Aceh. Kedua: Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan. Ketiga; pemulihan kawasan darurat. Keempat; verifikasi perizinan hak pengelolaan hutan yang masih menunggak untuk segera membayar tunggakannya dan dana ini bisa digunakan untuk merehabilitasi kerusakan kawasan hutan. Kelima; resolusi konflik. Keenam; perlu aturan pendukung yang memadai. Melihat laju kerusakan hutan Aceh yang semakin meningkat, agaknya rentetan usaha pengelolaan hutan Aceh hanya terbatas dan berakhir pada �judulnya doang....�. Lalu sekarang pemerintah Aceh mulai menggulir lagi judul baru; Green Vission. Nah..!
Catatan tentang Green Aceh Beberapa catatan tentang Aceh Green, tampaknya perlu juga untuk diperhatikan. Dalam pandangan yuridis, Apakah Aceh Green yang dimaksud itu merupakan kebijakan publick atau bukan?
Apakah kebijakan tersebut merupakan kebijakan pemerintah atau kebijakan pemerintahan? Apakah kebijakan ini partisipatif atau instruktif tang topdown? Apakah telah ada paying hukum terhadap kebijakan ini? Payung hokum apakah yang paling tepat untuk mengatur Aceh Green ini? Apakah pengaturan Aceh Green telah mempertimbangkan sinkronisasi dan harmonisasi hukum? (Baca: Aceh Green, Apa itu? Taqwadin, 2008). Agaknya, penting untuk merumuskan konsep Aceh Green ini ke dalam Qanun Aceh sebagai paying hukumnya, agar Aceh Green tidak berakhir pada “judulnya doang…” •
8 Mission Impossible
Dengan menggunakan ukuran apapun, tampaknya jelas bahwa laju hilangnya hutan cukup mencemaskan. Banyak organisasi yang melaporkan kejadian penebangan liar, tetapi sebahagian besar dari mereka tidak punya kemampuan untuk mengambil tindakan nyata. Berbagai lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat lokal maupun lembaga-lembaga pemerintah telah mengadakan berbagai workshop untuk membahas isu ini dan mengusulkan berbagai rencana tindakan serta usulan kebijakan. Tetapi forum-forum seperti itu tidak berdampak nyata bagi berkurangnya penebangan liar di lapangan. Apapun perundang-undangan baru yang diusulkan - jika sistem hukum tidak dapat menegakkannya, maka tidak akan banyak artinya. Pernah juga dibuatkan workshop untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar hutan. Workshop-workshop seperti itu ternyata tidak membuat taraf hidup mereka meningkat, malah semakin terpuruk saja. Cara-cara seperti itu keliru, karena sering memandang masalah sosial sebagai masalah personal. Ketika kepada peserta workshop itu ditanyakan, “Apa problem yang paling besar dalam mengembangkan usaha mereka?� Ternyata sebahagian besar dari
mereka menjawab, “mereka sering dimintai macam-macam oleh pejabat berwenang ketika mengurusi izin usaha di kantor pemerintahan setempat.� Jadi jelas bahwa kemiskinan mereka sesungguhnya bukanlah masalah personal, tetapi telah menjadi masalah sosial. Karenanya, kita harus melihat masalah ini dari segi sebab-musabab (causes) dan selanjutnya dilihat dari segi akibatakibat (impacts). Mengapa penebangan liar sulit dikendalikan, meski kebijakan moratorium logging telah diberlakukan di Aceh? Mari kita analisa apa yang terjadi pada beberapa tingkatan yang berbeda; Pada tingkat masyarakat, yang paling penting adalah tersedianya lapangan pekerjaan dan pendapatan. Kebutuhan ekonomi jangka pendek kemungkinan menjadi komponen utama dalam pemikiran sebahagian masyarakat, ditengah kegamangan ekonomi saat ini. Realitas bahwa orang-orang disekitar mereka juga bekerja secara illegal, secara tidak langsung telah mempengaruhi mereka yang lain untuk melakukan pekerjaan yang sama. Ketika lebih banyak orang bekerja secara illegal di hutan dan kilang gergajian, maka sumber pendapatan demikian mulai dapat diterima secara sosial. Melemahnya pandangan kolektif dan positif tentang hutan mendorong lebih banyak lagi partisipasi dalam penebangan dan kilang liar. Ketika sistem hukum lemah dan ekonomi terpuruk, maka semua proses ini akan menguat, ditambah lagi jika ada rasa kebencian yang kuat terhadap kebijakan pemerintah atas hutan yang mereka anggap tidak adil. Permintaan akan kayu menciptakan permintaan akan tenaga kerja dan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal. Kemungkinan diraupnya keuntungan menimbulkan permintaan langsung akan kayu dan menyebabkan meningkatnya kapasitas
kilang, yang menimbulkan permintaan tambahan akan kayu, merupakan gambara tentang bagaimana faktor-faktor ekonomi berperan pada tingkat lokal. Pada tingkat pengusaha dan penguasa, kemungkinan adanya kolusi tampak jelas. Hal ini karena penguasa mempunyai kekuasaan untuk memberikan kontrak akses pada lahan hutan dan memastikan bahwa berbagai perundang-undangan dan peraturan bisa ditegakkan atau bisa saja diabaikan, tergantung kepada kesepakatan-kesepakatan yang dibuat secara politis dan bisnis. Ketika laba yang didapatkan pengusaha meningkat, pengaruh para pengusaha semakin kuat, sehingga dimungkinkan dilakukannya kerja sama illegal lebih banyak lagi dengan pejabat lokal yang hedonis. Andai saja sistem hukum bisa diperkuat, maka hal diatas mungkin dapat memberi pengaruh sebaliknya, yang menyebabkan penurunan partisipasi pejabat lokal dalam kegiatan illegal. Dengan demikian maka jumlah kerjasama dan laba illegal akan berkurang, sehingga menyebabkan melemahnya pengaruh pengusaha illegal. Sayangnya, sistem hukum di negeri ini sangat lemah. Politik, korupsi dan kolusi memainkan peran penting dalam alokasi kawasan perkebunan. Diperbolehkannya menjual kayu ketika wilayah hutan yang dikonversi ditebang habis untuk penggunaan lain, merupakan daya tarik ekonomi yang sangat menggiurkan dari konversi lahan hutan itu. Ada beberapa alasan penyebab terjadinya konversi lahan hutan menjadi kegunaan lain. Namun dalam banyak hal, konversi merupakan akibat langsung dari kebijakan resmi, termasuk pembangunan perkebunan kelapa sawit. Disini diperlukan kolusi untuk mendapatkan akses pada hutan yang sudah dialokasikan untuk penggunaan lain, terutama jika sebahagian besar hutan sudah
dialokasikan. Kolusi seperti ini sangat gampang terjadi karena kepemilikan lahan di negeri ini jarang diketahui dengan jelas, dan bahkan penyelesaiaan sementara atas konflik lahan mungkin memerlukan negosiasi bertahun-tahun. Untuk melaksanakan aktivitas mereka, para pengusaha membayar upah kepada penduduk setempat. Ketika kegiatan penebangan liar meningkat dan potensi pendapatan menjadi jelas, penerimaan kegiatan illegal oleh masyarakat setempat juga meningkat. Masyarakat menjadi tergantung pada kegiatan liar ini dan melihat bahwa hal itu tetap akan terjadi dengan atau tanpa partisipasi mereka sebab jika penduduk setempat tidak ada yang bersedia karena takut, maka para pengusaha akan membayar sedikit lebih tinggi kepada orang-orang upahan yang jauh dari tempat itu yang memang sangat membutuhkan kesempatan kerja. Dalam perspektif bisnis, kepentingan utama bagi bisnis adalah kemungkinan diraupnya laba sebanyak mungkin berkaitan dengan produksi kayu. Secara sederhana, hal ini berarti bisnis harus mempertimbangkan biaya, potensi penjualan, dan risiko yang berkaitan dengan produksi kayu. Jika kegiatan legal harus membayar beberapa jenis pajak, maka kegiatan illegal tidak membayar pajak tetapi membayar suap dan pungutan liar kepada para pejabat, polisi dan militer. Jalur ilegal dipandang lebih menguntungkan karena selain lebih murah, birokrasi illegal ini juga sangat praktis dan cepat dari segi waktu. Dengan obyektifitas seperti itu, maka biaya memproduksi satu produk illegal lebih rendah dari pada harga produk legal. Dengan demikian, produk legal tidak akan kompetitif di pasar. Hal ini disebabkan karena harga pasar bagi keduanya cenderung sama. Sebagai catatan tambahan, tampaknya sisa-sisa keterlibatan militer dan polisi dalam penebangan kayu liar masih saja terjadi.
Mereka yang sudah terbiasa bersekongkol dalam bisnis kayu haram dimasa penguasa terdahulu, saat ini cendrung mendukung penebangan liar - dari pada membatasinya. Faktor-faktor ini bergumpal dan membangun kerangka bagi penebangan liar dalam jumlah yang sulit dibatasi. Kasus-kasus kayu illegal yang terjaring petugas terus meningkat dari waktu kewaktu, ini menunjukkan sinyal bahwa penebangan liar di belantara hutan Aceh masih terus saja terjadi dan eskalasinya semakin meningkat sampai hari ini. Sekali lagi, pendekatan penyitaan di hilir tidak akan menghentikan laju kerusakan hutan jika tidak mendapat perhatian di hulu. Impossibility‌ •
“Politik, korupsi dan kolusi memainkan peran penting dalam alokasi kawasan perkebunan. Diperbolehkannya menjual kayu ketika wilayah hutan yang dikonversi ditebang habis untuk penggunaan lain, merupakan daya tarik ekonomi yang sangat menggiurkan dari konversi lahan hutan itu.�
9 Antara Penegakan Peraturan dan Fakta
Pengaturan kehutanan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) terdapat dalam bagian ketiga tentang pengelolaan sumber daya alam. Pada Pasal 156, berbunyi: (1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola sumber daya alam di Aceh baik di darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya. (2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi, dan budidaya. (3) Sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan. (4) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pemerintah Aceh dapat: a.
membentuk badan usaha milik daerah; dan b. melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara. (5) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, badan usaha swasta lokal, nasional, maupun asing. (6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) berpedoman pada standar, Norma, dan prosedur yang ditetapkan Pemerintah. (7) Dalam melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5), pelaksana kegiatan usaha wajib mengikutsertakan sumber daya manusia setempat dan memanfaatkan sumber daya lain yang ada di Aceh. Berdasarkan pasal di atas, mungkin saja dapat dipahami bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola sumber daya alam di Aceh baik yang di darat maupun yang di laut sesuai dengan kewenangannya. Makna ayat ini adalah, pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berhak, berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mengelola sumber daya alamnya, termasuk sumber daya kehutanan. Berhak, berarti ia memiliki kekuasaan ke dalam dan keluar terhadap sumber daya alamnya, khususnya sumber daya kehutanan untuk merencanakan, melaksanakan, memanfaatkan, dan mengawasi semua upaya tersebut, baik berupa eksplorasi, eksploitasi ataupun budidaya. Pemerintah Aceh memiliki pula kewenangan untuk melakukan tuntutan/gugatan sehubungan untuk mempertahankan haknya tersebut sepanjang sesuai dengan kewenangannya. Kewajiban merupakan konsekuensi juridis dari adanya hak. Terhadap hak-hak yang dimiliki Pemerintah Aceh terhadap sumber
daya alamnya, maka dibebankan seperangkat kewajiban kepadanya untuk juga merencanakan, melaksanakan, memanfaatkan, dan mengawasi keberadaan sumber daya alamnya. Hak dan kewajiban tersebut saling kait mengkait dan bersatu tak terpisahkan, yang dalam terminologi hukum disebut dengan tanggung jawab. Lantas sampai dimanakah batasan hak, kewajiban, tanggung jawab dan kewenangan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota dalam mengelolan sumber daya alam dimaksud? Adalah pertanyaan yang mesti dijawab dengan “jujur�, bukan dengan “pretensi� tertentu. Peraturan perundang-undangan baik yang mengatur tentang kewenangan pemerintahan provinsi ataupun pemerintahan kabupaten/kota, yang terdapat pengaturannya dalam Undangundang Nomor 11 Tahun 2006, serta peraturan perundangundangan yang mengatur tentang sektoral bidang sumber daya alam (pertambangan, kehutanan, perkebunan, perikanan, pertanahan, kelautan, dan lain-lain), perlu dikaji secara menyeluruh. Bagi badan-badan usaha yang akan mengelolan sumber daya alam di Aceh, di samping harus merujuk pada segala kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh, juga sekaligus diharuskan berpedoman pada norma, standar dan prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Lalu apakah benar badan-badan usaha yang mengelola sumber daya alam di Aceh, sama sekali tidak dibenarkan mengesampingkan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, yang notabene posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Aceh? Jika benar, apakah ketentuan ini tidak pula berarti, bahwa badan-badan usaha tersebut dapat saja mengabaikan atau tidak
memperdulikan segala regulasi yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Aceh? Apakah karenanya, badan-badan usaha yang mengelola sumber daya alam di Aceh harus mematuhi dan mengikuti semua norma, prosedur, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadapnya, baik yang diterbitkan oleh Pemerintah Aceh maupun oleh Pemerintah Pusat? Konsekuensi juridis dari adanya ketentuan dalam ayat (7) Pasal 156 UUPA, yang mengharuskan setiap badan usaha yang melakukan kegiatan usaha eksplorasi, eksploitasi, ataupun budi daya sumber daya alam, termasuk bidang kehutanan di Aceh, wajib mengikutsertakan sumber daya manusia setempat dan memanfaatkan sumber daya lain yang ada di Aceh, merupakan sebuah tantangan nyata bagi kalangan dunia usaha, pemerintah Aceh, maupun bagi kalangan masyarakat lokal di sekitar kegiatan usaha eksploitasi itu. Carut marut perizinan pengelolaan sumber daya alam masih sangat sering terjadi, seperti diberitakan; sejumlah warga di Kabupaten Aceh Barat mempertanyakan penambangan emas di Kecamatan Sungaimas yang dilakukan sebuah lembaga. Pasalnya disebut-sebut emas yang ditambang di lokasi itu sudah mulai diperjual-belikan, akan tetapi diduga masih belum jelas izin pengelolaan. Dampak kegiatan pertambangan memang telah memberikan asumsi keuntungan ekonomi sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan yang penting. Namun tak dapat dipungkiri pula bahwa side effect lain terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup (ecocide) dan hilangnya akses masyarakat lokal terhadap sumber daya mereka yakni tanah dan air, adalah sesuatu yang seharusnya juga dihitung (biaya eksternalitas).
Sebuah pelajaran berharga, menggambarkan bagaimana kebijaksanaan pertambangan ditujukan untuk melayani kepentingan investor dan pemerintah serta bagaimana hak-hak masyarakat atas tanah dan sumber daya dipinggirkan demi terlaksananya penggalian mineral. Sebagai contoh perusahaan pertambangan yang menyalahgunakan hak-asasi manusia, adalah PT Freeport Indonesia, perusahaan pertambangan raksasa emas dan tembaga di Papua yang dimiliki oleh perusahaan asing, Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa, Exxon Mobil untuk Migas di Aceh dan beberapa perusahaan tambang batubara di Kalimantan timur.
Perangkat Hukum Lingkungan Hidup Berbagai perangkat hukum telah dilahirkan; perangkat hukum perlindungan terhadap lingkungan hidup, secara umum telah diatur dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982. Namun berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan berbagai ketentuan tentang penegakan hukum sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Lingkungan Hidup, maka dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup diadakan berbagai perubahan untuk memudahkan penerapan ketentuan yang berkaitan dengan penegakan hukum lingkungan yaitu Undangundang Nomor 4 Tahun 1982 diganti dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaanya. Dalam penerapannya ditunjang dengan peraturan perundang-undangan sektoral. Hal ini mengingat Pengelolaan Lingkungan hidup memerlukan koordinasi dan keterpaduan secara sektoral dilakukan oleh departemen dan lembaga pemerintah non-departemen sesuai dengan bidang tugas dan tanggungjawab masing-masing, seperti
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Gas dan Bumi, Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan diikuti pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Qanun maupun Keputusan Gubernur. Tetapi kenyataannya, penegakan peraturan yang ada dengan fakta-fakta yang terjadi dilapangan sungguh tidak seperti yang diharapkan. Seluas 160 ribu hektar hutan lindung telah berubah menjadi area perkebunan, lahan pertanian kering, semak belukar, dan tanah terbuka (sumber: Siaran Pers Greenomics Indonesia, 8/5/08). Alih fungsi hutan lindung ini secara berangsurangsur terus meluas tanpa melalui prosedur yang sah. Beberapa Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK), seringkali dijadikan ajang tawar-menawar antara pemerintah kabupaten dan pihak-pihak tertentu, seperti investor yang ingin membuka kawasan perkebunan, pertambangan dan infrastruktur. Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) juga sering dikeluarkan oleh lembaga yang tidak kredibel. Padahal Lembaga yang berwenang mengeluarkan amdal harus diakreditasi secara ketat dan amdal yang disahkan pemda harus ada kontrol dari pemerintah pusat. Salah satu poros penting tidak kredibelnya amdal adalah lemahnya kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dalam mengoreksi amdal. Maka upaya memperkuat KLH perlu juga diupayakan. KLH juga harus didorong untuk menjadi lembaga yang bersih dan berwibawa. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang terdiri dari 126 pasal merekomendasikan disusunnya 19 Peraturan
Pemerintah dan 9 Peraturan Menteri; Pasal 11 PP Tentang Penyusunan Rencana Pelindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Penetapan Eko-region. Pasal 12 PP Tentang Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup. Pasal 18 PP Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Pasal 20 Peraturan Menteri (Permen) Tentang Baku Mutu, Air Limbah, Emisi dan Gangguan. Pasal 21 PP Tentang Kreteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup. Pasal 23 Permen Tentang Jenis Usaha dan Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi dengan AMDAL. Pasal 28 Permen Tentang Sertifikasi dan Kriteria Kompetensi. Pasal 29 Permen Tentang Lisensi. Pasal 33 PP Tentang AMDAL. Pasal 35 Permendagri Tentang Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantuan Lingkungan Hidup. Pasal 41 PP Tentang Izin. Pasal 43 PP Tentang Instrument Ekonomi Lingkungan Hidup. Pasal 47 PP Tentang Analisis Resiko Lingkungan Hidup. Pasal 51 Permen Tentang Audit Lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 48-51. Pasal 53 PP Tata Cara Penanggulangan Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Pasal 54 PP Tentang Tata Cara Pemulihan Lingkungan Hidup. Pasal 55 PP Tentang Dana Penjaminan. Pasal 56 PP Tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Pasal 57 PP Tentang Konservasi dan Pencadangan Sumber Daya Alam Serta Pelestarian Fungsi Admosfer. Pasal 58 PP Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Bencana ( B3). Pasal 59 PP Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Pasal 61 PP Tentang Tata Cara Pengendalian Dumping Limbah. Pasal 62 Permen Tentang Informasi Lingkungan Hidup. Pasal 65 Peraturan Menteri Tentang Tata Cara Pengaduan. Pasal 75 PP Tentang Tata Cara Pengangkatan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup dan Tata Cara Pelaksanaan Pengawasan. Pasal 83 PP Tentang Sanksi Administratif. Pasal 86 PP Lembaga Penyedia Jasa Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup. Pasal 90 Peraturan Menteri Tentang Kerugian Lingkungan Hidup. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) menjadi penting dalam UUPPLH ini (Pasal 15 - Pasal 18), Tata Ruang juga harus memasukkan KLHS sebagai dasar penyusunannya. Namun masih disayangkan, bahwa penetapan kriteria KLHS masih berorientasi kepada pasar bebas, eksploitasi sumber daya alam dan tidak memasukkan kriteria sosial dalam kajian KLHS, yang ada hanya kriteria; Ekonomi, Kebijakan, jasa/layanan ekosistem, adaptasi perubahan iklim yg mengarah kepada penjualan karbon (dagang karbon), potensi keanekaragaman hayati dan dampak resiko lingkungan hidup. UUPPLH ini tampaknya masih bertekuk lutut kepada keinginan pasar bebas, dimana masih dibenarkan kondisi lingkungan hidup dicemari secara legal (Pasal 20; Pasal 42; Pasal 43) dengan mendapatkan Izin dari Menteri, Gubernur dan Bupati atau yang dikenal dengan Izin Lingkungan (IL). Jadi menurut pasal ini Indonesia dijadikan pembuangan limbah sepanjang ada potensi ekonomi lingkungan hidup yang kemudian akan diatur didalam PP. Sedangkan pelanggaran atas Izin Lingkungan hanya dikenakan sanksi administratif berupa; teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan Izin Lingkungan Hidup dan pencabutan Izin Lingkungan yang dilakukan oleh Menteri, dan kepala daerah. Walaupun sanksi administratif ini tidak membebaskan penanggungjawab usaha untuk bertanggung jawab dalam pemulihan dan pidana (Pasal 76 - Pasal 83). Sementara kriteria baku kerusakan Lingkungan Hidup tidak memasukkan kriteria sosial sebagai salah satu itemnya (Pasal 21). Dumping limbah juga dibenarkan dalam UUPPLH ini yang dilakukan dengan Izin dari menteri dan kepala daerah (Pasal 60; Pasal 61) yang kemudian akan diatur dengan PP.
Pasal 48 – 52, audit lingkungan hidup dilakukan oleh badan independen (auditor) yang ditunjuk oleh penanggung jawab usaha (owner), kecuali jika owner tdk melakukan audit maka Menteri dapat menunjuk auditor independen yang sumber pendanaan auditnya dibebankan kepada owner. Sementara hasil audit wajib diumumkan oleh Menteri, tetapi tidak jelas tujuan diumumkannya kepada siapa. Sistem informasi Lingkungan Hidup (Pasal 62) juga wajib diumumkan kepada publik. Tetapi masih menjadi pertanyaan adalah yang diumumkan kepada publik itu sistem informasinya atau apa? Apakah hasil audit dari perusahaan adalah bagian dari informasi yang juga diumumkan kepada publik? Pemerintah dan Pemda juga memiliki Hak gugat (Pasal 90) melalui instansi pemerintah yang bertanggung jawab dengan mengajukan ganti rugi dan tindakan tertentu. Tindakan tertentu yang disebutkan disini juga menjadi tidak jelas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan tindakan tertentu tersebut, mengingat tidak ada definisi yang jelas tentang tindakan tertentu.
Fakta Penghancuran Rawa Gambut Tripa Keberadaan rawa gambut Tripa kini banyak mendapat tantangan. Dari 61.803 hektar luas hutan Rawa Tripa, yang tersisa kini hanya 31.410 hektar. Setiap bulannya, lebih dari 30 hektar lahan rawa di Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya, berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Ada sesuatu yang salah, yang telah dibuat umat manusia ketika berhubungan dengan alam. Kearifan tidak lagi membimbing manusia, yang membimbing justru nafsu dan keserakahan. Kalau kita mau belajar dari tsunami kemarin, rawa yang ada di daerah
pesisir Aceh secara alami sebenarnya dapat mencegah atau paling tidak mengurangi kerugian bencana tsunami. Alih fungsi Rawa Tripa tidak sesuai dengan kebijakan Kepala Pemerintahan Aceh Irwandi Yusuf tentang Aceh Greenvision, pembangunan kembali Aceh berdasarkan prinsip-prinsip yang ramah lingkungan. Habitat hidup satwa langka seperti Orangutan Sumatra dan berbagai jenis ikan bernilai gizi tinggi yang ada di Rawa Tripa terancam keberadaannya, termasuk ketersediaan sumber gizi alami bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Ada 15 perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan sawit yang kini melakukan pengeringan lahan gambut secara besarbesaran. Pembangunan drainase menuju ke Samudra Hindia di pantai barat Aceh oleh beberapa perusahaan, mengakibatkan penyusutan permukaan air di lahan gambut tersebut sampai satu meter dari kedalaman 3 meter hingga 5 meter (Data: Ekosistem Lestari). Menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Unsyiah, Prof. Dr. Zainal Abidin dalam Round Table Discussion bertajuk “Rawa Tripa�, menyatakan bahwa akar dari semua masalah yang ada muncul karena pemahaman yang keliru terhadap peran, fungsi dan manfaat Rawa Tripa. Selama ini ada pandangan jika Rawa Tripa dibiarkan apa adanya seolah-olah rawa itu menjadi sumber daya alam yang tidak berguna. Kesalahan berpikir seperti itu telah mendorong konversi Rawa Tripa untuk peruntukkan sawit yang dianggap lebih bernilai ekonomis.
Kecurangan HGU Berbagai laporan investigasi yang disampaikan Lembaga Swadaya Masyarakat, menunjukkan bahwa sejumlah perusahaan
perkebunan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) di hampir seluruh kabupaten di Aceh telah merambah hutan lindung dan hutan produksi. Luas lahan yang digarap oleh 16 dari 54 perusahaan perkebunan yang memegang hak guna usaha (HGU), baik di wilayah hulu maupun hilir Kabupaten itu telah melampaui luas izin yang diberikan, seperti di Kecamatan Seruway, Bendahara, Karang Baru, Banda Pusaka, Kejuruan Muda, Tamiang Hulu, dan Tenggulun. Hal ini, selain berdampak terhadap minimnya pendapatan dari sektor pajak bumi dan bangunan (PBB), juga menyebabkan lahan garapan masyarakat sekitarnya menjadi sempit (Sumber: Siaran Pers LSM Lembah Tari, 27/6/09). Sejumlah HGU yang ada di Aceh, tidak pernah melaporkan dampak lingkungannya sebagaimana diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Konsumsi Kayu Illegal Aceh Di saat moratorium pembalakan hutan diberlakukan, konsumsi kayu ilegal di Aceh dari tahun 2005 hingga 2008, yang juga digunakan untuk rehabilitasi infrastruktur setelah tsunami, nilainya mencapai 7,25 triliun rupiah. Lebih dari 200 ribu hektar hutan Aceh atau setara lebih dari tiga kali lipat luas Singapura, rusak akibat pembalakan liar sebagai pemasok kayu-kayu untuk proyek-proyek rekonstruksi Aceh. Kondisi tersebut merupakan bentuk kriminalitas lingkungan (environmental crime). Fakta di lapangan tak bisa ditutupi, selama rekonstruksi Aceh, kayu-kayu ilegal dari hutan Aceh diperjualbelikan dengan mudah (sumber: Greenomics, disiarkan oleh Antara News, 19 Mei 2009).
Tidak transparannya laporan pihak yang bertanggungjawab terhadap rekonstruksi Aceh dan Nias kepada PBB, patut disesalkan. Fakta ketidakberesan sebenarnya dapat dilihat dalam laporan audit keuangan dan kinerja Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Laporan tersebut tidak memasukkan masalah perusakan hutan Aceh yang dibalak secara liar dan masif sebagai sumber pemenuhan bahan baku kayu rekonstruksi.
Perangkap Industrialisasi Kapitalis Industrialisasi adalah penyebab yang dianggap paling bertanggung jawab pada eksploitasi alam, karena industrialisasi membutuhkan cukup banyak sumber daya yang di dapat dari alam. Kapitalisme dengan prinsip efisiensi, menghendaki efisiensi dengan cara sedapat mungkin memanfaatkan sumber daya dengan mengeruk habis mineral yang ada. Akibatnya, lihat saja gunung semen di Lhoknga, Aceh Besar, yang hampir rata dengan tanah karena PT Semen Andalas Indonesia (PT SAI) sedang mengeruk habis mineral di dalamnya. Tidak hanya itu saja, melainkan juga asap tebal yang membumbung dari cerobong pabrik dan zat-zat yang tak terlihat oleh mata, yang juga menimbulkan bahaya bagi masyarakat. Kita masih ingat tragedi PT Arun NGL Co, di Lhokseumawe, pada 22 April 2009, ketika konsentrasi gas H2S yang terbuang ke udara dari cerobong pabrik PT Arun itu mencapai 170 mg/m3 (Baca: hasil uji emisi Bapedal Aceh, 2009). Padahal, baku mutu yang dibolehkan Menteri Lingkungan Hidup dalam keputusannya Nomor 13 Tahun 2005, hanyalah 70 mg/m3. Seperti yang terjadi pada Rabu pagi hingga Kamis 22-23 April 2009, sekitar empat ratusan masyarakat di Desa Blang
Panyang, Kemukiman Paloh Timu, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe, mengalami sakit kepala, mual dan muntah, bahkan diantaranya ada yang langsung jatuh pingsan akibat terhirup aroma menyengat yang berasal dari PT Arun. Meskipun masyarakat yang menjadi korban telah direhabilitasi, tetapi pada kenyataannya; partikel-partikel asap PT Arun NGL Co dan gas-gas beracun lainnya dari industri tersebut secara perlahan terus saja menimbulkan polusi udara. Limbahlimbah gas itu terserap daun-daunan tanaman petani sekitarnya yang kemudian dikonsumsi kembali oleh masyarakat. Inilah contoh-contoh bentuk eksploitasi alam yang masih terus diperpanjang hingga nyaris tak berhingga. Kemerosotan lingkungan hidup akan berimbas langsung pada kemerosotan kesehatan dan pada akhirnya juga akan berimplikasi pada kemerosotan ekonomi. Misalnya, degradasi lingkungan di sekitar perusahaan justru akan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Orang harus mengalokasikan biaya ekstra untuk memperoleh air bersih dan melakukan treatment untuk udara dan air yang tercemar. Hingga hari ini masih tampak jelas adanya konflik penggunaan sumber daya alam, dan terlalu kuatnya legalisasi kuasa korporasi di Aceh, lemahnya koordinasi dan penegakan hukum, lemahnya kepekaan sumber daya manusia, dan terbatasnya dana dalam pengelolaan lingkungan hidup. Aktivitas ekonomi yang memperkosa alam seakan memperoleh pembenaran, pelestarian fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup dikorbankan untuk menutup kebocoran ekonomi yang sudah demikian berat. Pakar ekonomi terbukti gagal mempertemukan kepedulian mereka terhadap lingkungan dengan praktik nyata ekonomi dalam konsep pertumbuhan yang berkesinambungan (Sustainable growth). Inilah perangkap industrialisasi kapitalis yang digunakan
dengan sempurna oleh kuasa korporasi untuk mendorong lahirnya beragam peraturan perundang-undangan yang melegitimasi dominasi mereka di negeri ini.
Ketimpangan Disebuah negeri dimana peraturan dan perundangundangan yang ada tidak disokong oleh sebuah sistem penegakan hukum yang dijiwai “semangat moral”, maka semua penegakan peraturan hampir tidak mungkin dilakukan secara sungguh-sungguh. Terlebih lagi, birokrasi negeri ini sudah terbiasa dengan “suap.” Izin konversi bisa saja “diurus” walau itu di dalam kawasan yang sudah ditetapkan untuk dilindungi, sebagaimana dalam kasus Taman Hutan Raya Seulawah; begitu juga dengan Amdal. Adalah fakta, bahwa diberbagai kawasan eksploitasi pertambangan selalu menjadi kantong-kantong kemiskinan. Jika kemiskinan aktif terjadi karena seseorang kehilangan sumberdaya untuk memberdayakan diri dan mempertahankan hidupnya, maka kemiskinan pasif terjadi karena hilangnya akses untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan pemanfaatan sumberdaya yang ada di sekelilingnya. Meluasnya bentuk-bentuk kemiskinan aktif dan pasif inilah penyebab utama munculnya kemiskinan massif yang ditandai oleh kelaparan ditengah kemewahan, putus sekolah massal ditengah pemborosan anggaran pendidikan, keringkihan massal ditengah gaya hidup royal dan boros kaum pemodal. Fakta demikian terjadi pada hampir seluruh kawasan dimana kaum pemodal sektor pertambangan melakukan eksplorasi emas, tembaga dan berbagai jenis batu mulia, mineral, logam, timah, nikel, dan lainnya.
Lihatlah apa yang dilakukan pemerintah! ketika terjadi konflik antara rakyat dengan perusahaan pengelola tambang, pemerintah Indonesia lebih memilih membela pihak perusahaan ketimbang membela rakyat. Lebih getol membela korporasi asing ketimbang membela rakyat sendiri. Jika rakyat memprotes, maka nasibnya akan berakhir pada penangkapan. Di negeri ini, “sepanduk lawan senapanâ€? itu sudah biasa bung...â€? •
10 Daftar Tentatif
 Sebuah Agenda Kepedulian Setelah melakukan refleksi terhadap apa yang telah menjadi perhatian bapa bagian sebelumnya, di bagian terakhir ini penulis mengajukan suatu daftar tentative dari apa yang masih sangat perlu menjadi kepedulian kita. Ada beberapa hal yang menjadi agenda ke depan. Pertama, terdapat penguasaan tanah yang luas oleh serdadu di era konflik. Beberapa kasus, seperti tanah masyarakat desa Mane, Aceh Pidie, yang berubah menjadi Kompi Senapan, merupakan bagian kecil konflik terbuka yang pada saat kejadiannya dapat ditekan secara efektif melalui kekerasan. Rakyat kehilangan sarana produksi mereka yang paling penting, yaitu tanah. Perjuangan untuk mendapatkan tanah serta strategi dan kepentingan penguasaannya adalah sesuatu yang dalam lingkup kehidupan “pak tani kitaâ€? perlu mendapat perhatian semua pihak. Sungguh tidak wajar; tanah yang pada awalnya diperjuangkan mati-matian dengan taruhan harta benda dan nyawa itu, pada akhirnya dilepaskan begitu saja. Apa sesungguhnya makna tanah bagi rakyat dan negara saat ini – jika sangat mudah berpindah
tangan. Masihkah tanah dimaknai sebagai warisan “endatu� (nenek moyang) atau hanya komoditas semata? Sebagian besar konflik tanah hutan yang lain terpaksa terpendam bagai bom waktu, seperti kasus penyerobotan tanah Taman Hutan Raya (Tahura) Pocut Meurah Intan di Seulawah. Aceh Besar, untuk membangun Markas Komando Brimob, yang titik letusnya menunggu melonggarnya cengkraman dan tekanan imperium yang tengah berlaku. Kusutnya persoalan pertanahan terjadi karena kebijakan pertanahan selalu berganti-ganti seiring pergantian rezim penguasa. Disatu sisi, pemerintah menjadikan Undang-undang Pokok Agraria 1960 sebagai landasa hukum yang sah terkait persoalan pertanahan, namun disisi lain, banyak kasus pertanahan ditangani berbeda dan melenceng dari semangat undang-undang itu. Sikap “busuk� inilah yang kemudian membuahkan sengketa tanah yang tak jarang berbuntut kekerasan. Berapa banyak sengketa tanah dan kekerasan yang terjadi sepanjang periode imperium terdahulu? Tidak ada data yang benarbenar akurat untuk menjawab pertanyaan itu. Sampai sekarang persoalan-persoalan konflik pertanahan belum dipandang sebagai persoalan yang mendasar dalam pembangunan. Kedua, Masih banyak interaksi yang dirasa penting untuk ditelusuri lebih jauh, seperti; tercemarnya air lading yang kita minum. Sayangnya, ini tidak menjadi bagian yang kita cemaskan. Ketiga, dampak berbagai zat pencemar terhadap kesehatan para petani, oleh endapan berbagai jenis pestisida dan senyawa yang sangat toksik dan persisten di lingkungan. Penderitaan mereka pun belum menjadi kepedulian kita.
Keempat, serbuan varietas-varietas padi berumur pendek yang rendah gizi di kalangan petani di Aceh, telah mengalahkan varietas-varietas padi asli yang rasa dan nilai gizinya lebih tinggi. Kelima, dampak pembangunan irigasi “asal jadi”, telah menelantarkan ratusan hektar sawah rakyat selama bertahuntahun. Di beberapa tempat, sawah-sawah menjadi kering justru setelah irigasi dibangun. Masih banyak lagi interaksi yang dirasa penting untuk ditelusuri lebih jauh, yang masih saja luput dari kepedulian kita saat ini. Mengapa pencemaran udara oleh partikel-partikel berbahaya dari cerobong pembakaran perusahaan-perusahaan pemecah batu, yang menggerogoti paru-paru penduduk sekitarnya, tidak menjadi bahan keperihatinan sama sekali? Mengapa pengerukan tanahtanah gunung untuk dijadikan tanah uruk, yang menghancurkan benteng alami pemecah badai, tidak pernah dipersoalkan secara serius? Mengapa implikasi-implikasi ekologis dari peristiwaperistiwa bencana di Aceh seringkali terabaikan, ketimbang implikasi-implikasi ekonomi? Kritik atas rendahnya kepedulian terhadap aspek ekologis yang ditimbulkan, bukan sepenuhnya kita tujukan kepada para pemain di dalam institusi-institusi formal negara. Akan tetapi “otokritik” juga pantas kita tujukan kepada pemain di luar, yaitu organisasi non pemerintah. Semoga “kesalahan berpikir” dan “kekacauan intelektual” tidak menjebak benak kita. Semoga perubahan ke arah yang benar menjadi harapan yang nyata •
Sumber Naskah
Akmal A., 2006. Hutan Aceh, Antara Penegakan eraturan dan Fakta. CafĂŠ Tomodachi Bellagio Kav. E-4. Jakarta Selatan: Presentation Paper, disampaikan dalam Media Gathering Pemanfaatan dan Pengelolaan Hutan Aceh Pasca Pengesahan UUPA, 17 Oktober 2006. Akmal A., 2007. Illegal Logging Pasca Moratorium Logging. Pante Pirak CafĂŠ. Banda Aceh: Presentation Paper, disampaikan dalam Media Gathering, Climate Change, 2007. Akmal A., 2007. Ketika Aceh Membangun. Banda Aceh: Opini, Buletin Tanah Rencong, Walhi Aceh, 2007. Akmal A., 2008. Aceh, Perang Ekologis yang Belum Selesai. Banda Aceh: Rubrik Fokus Harian Aceh, 16 Desember 2008. Akmal A., 2008. Refleksi dari Banjir Aceh. Banda Aceh: Rubrik Fokus Harian Aceh, 13 Desember 2008. Akmal A., 2008. Selamatkan Hutan, Cuma Judul Doang!. Banda Aceh; Rubrik Fokus Harian Aceh, 6 Juni 2008. Akmal A., 2009. Aceh dalam Kekacauan Ekologi dan Ketimpangan Sosial. Banda Aceh: Rubrik Fokus Harian Aceh, 29 April 2009. Akmal A., 2009. Hutan Aceh dalam Sejarah Imperium. Banda Aceh: Rubrik Fokus Harian Aceh, 3 Juni 2009. Akmal A., 2009. Supermarket dalam Kawasan Ekosistem Leuser (Proyek bencana yang sedang dirancang). Banda Aceh: Rubrik Fokus Harian Aceh, 9 April 2009.
Tentang Penulis
Afrizal Akmal, lahir di Sigli, 1974. Sejak tahun 2000, aktif di dunia konservasi dan kampanye penyelamatan lingkungan hidup. Ia juga aktif menulis artikel dan release di media massa umum, khususnya di bidang konservasi sumber daya hutan dan lingkungan hidup. Release-releasenya pernah di muat di The Withley Laing Foundation, Berita Bumi, Tempo Interaktif, Harian Analisa, Pili.or.id, Wwf.or.id, Republika Online, Serambi Indonesia, Aceh Magazine.com, Waspada online, Detik,com, Media Bisnis online, Antara News dan lain-lain. Artikel-artikelnya juga pernah mengisi halaman Rubrik Fokus Harian Aceh. Inspirasi menulis, ia peroleh dari pengalaman bekerja pada investigasi kasus-kasus sumber daya alam di Aceh sejak tahun 2000. Penulis dapat di hubungi di email: akmal_senja@yahoo.com •