Kita Sedang Sinting Penulis: Afrizal Akmal Copyright Š 2012 by Afrizal Akmal Layout sampul: Aloel Editing: AEF Publishing
Penerbit
Pustaka Kutaradja pustakakutaradja@gmail.com
Cetakan Pertama, 2012
ISBN 978-602-95075-1-5
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com ILP Center Lt. 3-01 Jl. Raya Pasar Minggu No. 39A Pancoran, Jakarta Selatan 12780
ii
Pengantar
Di negeri yang kerap dilanda bencana alam, rombongan kami yang terdiri dari beberapa orang berkunjung ke kediaman penguasa negeri. Beberapa pejabat mempermainkan kami, mereka menyuruh kami untuk melalui pintu belakang yang sempit. Saya berpendapat, “kami seperti sedang mengunjungi ketua penyamun, itu sebabnya kami tidak dibolehkan terangterangan memasuki pintu masuk yang ada di depan.� Setelah menolak dengan keras, barulah kami dibolehkan untuk masuk melalui pintu utama. Di dalam kediaman sudah ada jamuan makan siang, seseorang yang kelihatan ramah menyalami kami satu persatu dan mempersilahkan mencicipi makanan yang ada. Orang itu kemudian kami ketahui sebagai penguasa yang sedang memerintah negeri ini. Wajahnya paspasan dengan postur tubuh yang tidak tinggi. Selanjutnya kami berpindah ruangan dan masuk ke dalam inti pembicaraan. Seorang teman diantara kami mengeluarkan peta dan beberapa dokumen penting berkaitan dengan bencana banjir dan tanah longsor yang selama ini kerap terjadi di daerah kami. Dalam pertemuan singkat, penguasa itu sepakat untuk menindaklanjuti persoalan ini dan segera menerbitkan surat instruksi kepada seluruh jajaran pejabat yang ada di bawah kewenangannya. Para menteri dan beberapa tamu dari iii
negara asing pun turut diundang menyaksikan pendeklarasian instruksi itu. Inti dari instruksinya adalah menghentikan sementara seluruh penebangan hutan alam yang ada di negeri ini, memerintahkan prajurit-prajurit untuk menangkap dan menghukum setiap pelaku perusak hutan dan merekrut lebih banyak lagi polisi penjaga hutan. Alhasil, orang-orang yang melanggar hukum, prajuritprajurit dan para pejabat yang sudah terbiasa dengan praktik illegal itu mulai membencinya. Polisi hutan yang semula dimaksudkan untuk menjadi penjaga hutan malah ikut serta dalam praktik pencurian kayu. Karena tidak didukung penuh oleh pejabat-pejabat rakus yang ada disekelilingnya, dia pun tidak lagi sepenuhnya menegakkan instruksi itu. Tidak ada lagi kontrol terhadap pelaku illegal, tidak ada lagi hukuman bagi mereka yang melanggar hukum. Apa pun yang diminta oleh pejabat disekelilingnya, mulai dia berikan. Perlakuan istimewa pun dia berikan kepada orang-orang sekelilingnya. Para pejabat yang semula membencinya, kembali memuji-muji kebaikan dan hal-hal yang baik seputar pemerintahan ini. Sebagai penguasa yang tidak ingin digunjingi pejabatpejabatnya, dia memerintahkan pejabat berwenang untuk melipat gandakan gaji pegawainya, puji-pujian pun semakin datang berlipat ganda dari bawahannya. Kini, hutan di daerah kami kembali dijarah dan tak ada lagi yang mencegahnya. Bencana banjir bukan lagi tamu yang tak diundang, tetapi menjadi rutinitas bagi warga Gampong kami diantara kesesakan hidup lainnya.
iv
Ilustrasi di atas adalah sebuah pengantar buku, sekaligus analitik dinamika dari sebuah negeri yang carut marut. Buku ini berisi protes, ide dan refleksi dari situasi lingkungan hidup, ekonomi, serta realitas sosial lainnya. Semua tulisan dalam buku ini adalah himpunan yang saya pungut kembali dari postingan blog pribadi, obrolan berat dan ringan. Masa penulisan juga terentang sejak akhir tahun 2009 hingga pertengahan 2012. Banyak inkonsistensi, baik secara penulisan maupun gagasan yang disebabkan oleh perubahan pikiran dan ide selama kurun waktu penulisan. Izinkan saya atas pembelaan yang tidak penting ini. Akhirnya, saya senang jika ada yang memberi kritik. Sebab saya bukanlah si bijak yang menemukan semua jawaban dari masalah-masalah itu. Andalah yang akan menemukan banyak jawaban, saya masih mencarinya. Selamat membaca‌ Afrizal Akmal
v
vi
Daftar Isi
Pengantar – iii Catatan tentang ejaan – x Bagian 1: Kerapuhan-Kerapuhan 1. Modernitas Tanpa Rumus – 3 2. Skeptis Kehutanan Aceh – 7 3. Materialisme – 11 4. Konversi Hutan Terus Berlanjut – 13 5. Perubahan Perilaku Di Kota Kolonisasi – 15 6. Menopang Langit Runtuh – 19 7. Halimun – 23 8. Semadam – 25 9. Dinamika Gampong – 29 10. Berharap Kewajaran – 33 11. Petani Di Tepi Jurang – 35 12. Sepinya Gampong – 39 13. Good Local Governance? – 41 14. Di Bawah Demokrasi Yang Tragis – 45 Bagian 2: Mencari-Cari Alasan 15. Lingkar Konflik Sumber Daya Alam – 49 16. Aceh Dalam Mitos Pembangunan – 53 17. Mitos Seputar Tambang – 55 18. Restorasi Hutan – 57 19. Kamus Bohong Pak Menteri – 63 20. Bakong Pulo – 65 21. Seratus Milyar – 69 vii
22. 23. 24. 25. 26.
Kampanye Earth Hour – 73 Kebijakan Yang Bikin Sakit Kepala – 75 Kebohongan Negara – 77 Kementerian Yang Malas – 81 Pohon Tua dan Pagar Tinggi – 85
Bagian 3: Iklan Mereka 27. Sampah Visual dan Vandalisme Politik – 91 28. Negara Makelar – 93 29. Parpol dan Bencana – 95 Bagian 4: Kontradiksi, Kebingungan dan Pathologi 30. Reformasi, Tuan Tanah dan Jakal – 99 31. Nasi Bungkus Itu – 101 32. Histeria Massa – 103 33. Antroposentris – 107 34. Schizophrenia – 111 35. Buang Saja Buku Itu – 115 36. Di Bawah Kuasa Korporasi Tambang – 117 37. Trouble Maker – 119 38. “Pesta Pasir” Serdadu – 123 Bagian 5: Penderitaan Jangka Panjang 39. Perempuan Di Lapak Kota – 127 40. Di Kota Yang Tak Rapi – 129 41. Mengusap Kejenuhan – 133 42. Modernitas Elit – 137 43. Negara Yang Menindas – 141 44. Alue Tingkeum – 145 45. Tetarium – 149 46. Kita Belum Beres – 151 47. Tanah Milik Siapa? – 155 48. Kuli – 159 49. Lupa – 161 viii
Bagian 6: Dunia Yang Akan Kita Wariskan 50. Bangun Gampong – 165 51. Akuntansi Lingkungan – 167 52. Lestarikan Hutan Perlu Kesadaran – 169 53. Efisiensi Energi Menuju Keadilan – 171 54. Moratorium Tentara – 175 55. Bersahabat dengan Air – 177 56. Blue Print Untuk Rakyat – 179 57. Menabung Pohon – 183 58. Kebun Kayu – 185 59. Luput – 189 60. Mengganti Mie Instan – 191 61. Banjir, Sebuah Pesan Singkat – 193 62. Save Our Planet dengan Budaya Reparasi – 195 63. Hari Bumi – 199 64. Hari Air – 201 65. Saran dan Sinisme Pengelolaan Hutan – 205 Ucapan Terima Kasih – 207 Tentang Penulis – 209
ix
Catatan tentang ejaaan Untuk sebutan Desa, saya menggunakan kata yang lazim disebut di Aceh, yaitu Gampong. Kepala Desa disebut Geusyik. Krueng artinya Sungai. Pulo artinya Pulau. Pada beberapa bagian, saya menulis Kutaradja untuk sebutan ibukota Aceh. Ini agak khusus, sebab biasanya ibukota Aceh disebut Aceh saja, atau Banda Aceh.
x
Bagian 1:
Kerapuhan-Kerapuhan
2
1
Modernitas Tanpa Rumus Kita telah membiarkan modernitas, digauli tanpa kebijaksanaan
Hari-hari penuh kerumitan bagi rakyat yang sedang meraba-raba merumuskan identitas dan kelas sosialnya jika dibandingkan dengan kelompok sosial lain yang gampang membeo dan menyederhanakan soal-soal. Tetangga saya yang wakil rakyat merasa kolot jika harus tinggal di lingkungan kaum susah, lalu membentuk kelompok sosial baru dengan cara membangun tempat tinggal baru sesama wakil rakyat. Sejak saat itu, rakyat yang dituduh “kolot� memecahkan persoalannya sendiri, sebab mengadukan kerumitan hidup kepada wakil rakyat biasanya sama buruk dengan kerumitan itu sendiri. Kesejahteraan begitu gampang dijanjikan, namun sulit disajikan. Tetapi rakyat selalu saja berbaik hati, sebab begitulah yang diajarkan. Ada pendar kemewahan yang hanya bercahaya di sekeliling elit politik dan kekuasaan saja, namun redup 3
dan gelap dalam realitas masyarakat yang sesunguhnya. Negeri ini dipenuhi kepura-puraan yang diwakili oleh minoritas “cacat� dan “kotor�. Inilah aib di kota yang sedang kita tinggali. Dimana visual telah menjadi menu harian yang sesungguhnya tidak bisa kita cicipi. Baliho tentang si fulan yang jujur, atau tentang partai fulan yang merakyat adalah sesuatu yang hanya bisa kita lihat, tanpa mengenyangkan hati dan pikiran. Yang ditawarkan adalah modernitas yang tak terumuskan. Lalu sebagian dari kita terjebak untuk beriman kepadanya. Mari kita hitung seberapa terasingnya kita dengan orang-orang yang kita wakilkan ketika ritual lima tahunan tiba. Bertahun-tahun kita hanya melihat kertas atau televisi tentang mereka yang membeo akan babak baru, kebangkitan baru dan entah apa lagi yang semuanya baru-baru. Lewat modernitas yang telah diimankan, mereka telah merayakan gambar dan membangun kota sebagai tempat tinggal tujuh keturunan. Tetapi mereka juga memahat gunung, menebangi hutan dan menghabisi sungai tanpa ampun. Kaum yang sengaja dikolotkan ternyata ikut-ikutan takjub terngaga ketika hasil hutan telah menjadi benda yang dipajang di toko-toko. Kapitalisme menjadi pemenang. Rakyat berada dalam pesona sihir yang menyesatkan, diwakili etalase tanpa misteri. Sebuah kesementaraan, sebab materi akan terus berganti atau diganti musim. Menyangkut dengan masyarakat yang mencari penghidupan dari hasil hutan, mereka adalah kambing 4
hitam yang malang, yang dikorbankan demi menyelamatkan seseorang dibalik bisnis kayu illegal. Sedangkan menyangkut elit kekuasaan, selama beberapa tahun berkuasa – mereka telah membekali diri dengan menginvestasikan kekayaannya.
Untuk dapat membaca seluruh halaman buku ini, anda dapat melakukan pemesanan buku edisi cetaknya. Lakukan pemesanan buku ke: admin@nulisbuku.com dengan subject: Beli buku "Kita Sedang Sinting". Cantumkan jumlah buku yang ingin dipesan, nama dan alamat lengkap, serta nomor telepon yang dapat kami hubungi. Setelah itu akan kami kirimkan biaya perinciannya serta ke rekening mana anda diminta untuk mentransfer nantinya.
5