Epistemologi Bayani

Page 1

EPISTEMOLOGI BAYANI Oleh : Aljuraimy

A. Pendahuluan Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat pengetahuan yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Seperti, Apa yang dikaji oleh pengetahuann itu? (ontologi), bagaimana caranya mendapatkan pengetahuan tersebut? (epistemologi), dan untuk apa pengetahuan termaksud dipergunakan? (aksiologi)1. Pengkajian suatu obyek sangat bergantung pada episteme, teori pengetahuannya, karena dengan episteme yang berbeda dapat melahirkan cara pandang yang berbeda terhadap obyek kajian dan menghasilkan kegunaan yang berbeda pula. Kajian epistemologi Barat mengenal tiga aliran epistemologi, yakni empirisme, rasionalisme dan intuitisme. Sedangkan dalam pemikiran filsafat Hindu, dinyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari teks suci, akal dan pengalaman pribadi.2 Pembahasan tentang epistemologi, juga tidak lepas dari perhatian para filusuf Islam. Al-Ghazali (1058-1111 M) misalnya, berpendapat bahwa manusia memiliki tiga alat untuk memperoleh pengetahuan, yaitu; panca indera, akal dan qalb. Ibnu Rusyd (1226-1198 M) mengungkapkan, bahwa jalan untuk mencapai pengetahuan ada dua macam, yaitu indera dan rasio, namun hanya pengetahuan yang dihasilkan rasio yang bisa dianggap pengetahuan sejati. Mulla Sadra (1571-1640 M) melahirkan al-Hikmah al-Muta’aliyah, yang berdasarkan pada intuisi-intelektual, pembuktian rasional dan syariat Islam. Pada era kontemporer, ‘Abid al-Jabiri (1936-2010 M), dengan proyek nalar Arab-Islamnya, mengkatagorikan epistemologi Islam dalam tiga bentuk, yaitu bayani, ‘irfani dan burhani.3 Penyusun akan membahas salah satu epistemologi yang dikategorikan oleh al-Jabiri, yaitu epistemologi bayani. Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung.4 Salah satu keunggulan bayani adalah akan menghasilkan al-‘Ilm al-Taufiqi, karena pokok bahasanya adalah nash yang berisi wahyu Allah.5 Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan teori dan sejarah perkembangan bayani dalam ranah pemikir Islam, metodologi bayani dan hubunganya dengan ilmu tafsir. B. Teori dan Sejarah Perkembangan Bayani Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferansi (istidlal). Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikanya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini 1

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, hal. 33-35 A. Khudori Soleh, Model-Model Epistemologi Islam, hal. 195 3 Fathul Mufid, “Perkembangan Paradigma Epistemologi dalam Filsafat Islam”, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Vol 17 No. 1 VI/2013, hal. 24-33 4 A. Khudori Soleh, Op.Cit. 5 Fathul Mufid, Op.Cit., hal 34 2

1


tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menetukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks6. Istilah bayani dari kata bahasa Arab, bayan, berarti penjelasan (eksplansi). Al-Jabiri, memberikan arti bayan sebagai al-fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah) dan al-dhuhur wa al-idhhar (jelas dan penjelasan). Makna al-fashal wa al-idhhar dalam kaitanya dengan metodologi, sedangkan infishal wa dhuhur berkaitan dengan visi (ra’y) dari metode Bayani. Sementara itu, secara terminologi, bayan mempunyai dua arti, yaitu (1) sebagai aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin tafsir al-khithabi) dan (2) syarat-syarat memproduksi wacana (syuruth intaj al-khithab).7 Pada masa al-Syafii (767-820 M), bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ashl (pokok) dan yang berkembang hingga ke far’ (cabang). Sedangkan dari segi metodologi, Al-Syafii membagi bayani ini dalam lima bagian dan tingkatan: 1. Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam Al-Qur’an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya. 2. Bayan yang beberapa bagianya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah 3. Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah 4. Bayan sunnah, sebagai uraian yang tidak terdapat dalam al-Qur’an 5. Bayan ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun sunnah Dari lima derajat bayan tersebut, al-Syafi’i kemudian menyatakan bahwa yang pokok (ushul) ada tiga, yaitu Al-Qur’an, sunnah dan qiyas kemudian ditambah ijma’.8 Al-Jahizh (781-868 M) kemudian mengkritik konsep bayan al-Syafii, menurutnya, apa yang dilakukan al-Syafii baru tahap bagaimana memahami teks, belum pada tahap bagaimana memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh. Karena itu, sesuai dengan asumsinya bahwa bayan adalah syarat-syarat untuk memproduksi wacana dan bukan sekedar aturan-aturan penafsiran wacana, Jahizh menetapkan syarat bagi bayani: 1. Syarat kefasihan ucapan 2. Seleksi huruf dan lafal-lafal sehingga apa yang disampaikan bisa menjadi tepat guna 3. Adanya keterbukaan makna, yaitu makna harus bisa diungkap dengan salah satu dari lima bentuk penjelas, yaitu lafal, isyarat, tulisan, keyakinan dan nisbah 4. Adanya kesesuaian antara kata dan makna 5. Adanya kekuatan kalimat untuk memaksa lawan mengakui kebenaran yang disampaikan dan mengakui kekalahan konsepnya sendiri9 Ibn Wahhab al-Khatib (870-950 M), menyatakan bayani bukan diarahkan untuk “mendidik” pendengar, melainkan metode untuk membangun konsep di atas dasar ashl-far’, 6

A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Hal. 237 Ibid., hal 237-238 8 Ibid., hal. 238-239, Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, hal. 154-155 9 A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, hal. 239 7

2


dengan perpaduan antara metode fiqih dan teologi, karena yang perlu penjelasan tidak hanya teks suci. Ibn Wahhab menawarkan empat macam bayani: 1. Bayan al-i’tibar untuk mejelaskan sesuatu yang berkaitan dengan materi 2. Bayan al-i’tiqad berkaitan dengan hati 3. Bayan al-ibarah berkaitan dengan teks dan bahasa 4. Bayan al-kitab berkaitan dengan konsep-konsep tertulis10 Al-Syathibi (1336-1388 M), mengembangkan pemikiran Ibnu Hazm dan Ibnu Rusyd, berpendapat bahwa, dua teori utama dalam bayani, istinbath dan qiyas, hanya berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan. Padahal, penetapan hukum tidak bisa didasarkan pada sesuatu yang bersifat dugaan. Syathibi lantas menawarkan tiga teori untuk memperbarui bayani: 1. Al-istintaj, sama dengan silogisme, menarik kesimpulan berdasarkan dua premis yang mendahului. Menurut Syathibi, semua dalil syara’ mengandung dua premis, yaitu nazhariyah (teoritis-berbasis rasio, penelitian dan penalaran-premis minor) yang merujuk pada uji empiris suatu sebab hukum, dan naqliyah (transmitifpremis mayor) yang merujuk pada hukum itu sendiri dan mencakup kasus yang sejenis sehingga merupakan kelaziman yang tidak terbantah dan sesuatu yang mesti diterima. 2. Istiqra adalah penelitian terhadap teks-teks yang setema kemudian diambil tema pokoknya, tidak berbeda dengan thematic induction. 3. Maqashid al-syar’iyah, berarti bahwa diturunkanya syariah ini mempunyai tujuantujuan tertentu, yang kemudian terbagi dalam tiga macam, yaitu dharuriyat (primer), hajiyyah (sekunder) dan tahiniyah (tersier) Pada tahap ini, metode bayani telah lebih sempurna dan sistematis; proses pengambilan hukum atau pengetahuan tidak sekedar mengqiyaskan far’ pada ashl, tetapi juga lewat proses silogisme seperti dalam filasafat.11 C. Metodologi Bayani 1. Struktur Dasar Bayani Al-Jabiri bependapat, secara historis, bayani merupakan sistem epistemologi yang palng awal muncul dalam pemikiran Arab. Sistem ini menjadi dominan dalam bidang keilmuan pokok (indiginius), seperti filologi, yurisprudensi, ilmu hukum (fiqh) serta ‘ulumul Qur’an (interpretasi, hermeneutika dan eksegesis), teologi dialektis (kalam) dan teori sastra non-filosofis. Sisitem bayani lahir sebagai suatu kombinasi dari pelbagai aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah diskursus (interpreting of discourse), sekaligus menentukan berbagai prasyarat bagi pembentukan wacana. Konsepsi dasar dari sistem ini berupaya mengkombinasikan berbagai metode fiqh-yang dikembangkan oleh al-Syafi’iy dengan bermacam-macam metode retorika yang dikembangkan oleh al-Jahiz. Konsepsi itu terpusat pada relasi antara ujaran dan makna, selain para fukaha dan teolog mutakhir menambahkan

10 11

Ibid., 240 Ibid., 240-242

3


prasyarat-prasyarat kepastian, analogi materi subjek dari laporan dan berbagai tingkat autentitasnya.12 Bayani memiliki suatu visi yang berpusat pada tiga prinsip utama, yaitu; (1) Diskontinuitas merujuk kepada prinsip bahwa semua bermula dari kehendak Tuhan, termasuk berbagai tindakan yang dinisbatkan kepada manusia. (2) Kontingensi, karena semua adalah kehendak Tuhan, maka ada kemungkinan bagi Tuhan untuk mencampurkan materi yang saling bertentangan dan kontradiksi. (3) Analogi, merupakan prinsip metodologi bayani, beroprasi dalam disiplin ilmu gramatika (nahwu) dan yurisprudensi (ushul fiqh), dari al-ashl ke kasus tertentu (far’), dan dari yang diketahui (syahid) kepada yang tidak diketahui (ghaib).13 Selain itu terdapat beberapa unsur-unsur pemikiran yang berkaitan dengan bayani, yaitu, membatasi pada wilayah permukaan bahasa dengan menghindari ta’wil, menganut pandangan la kaifa (tidak banyak bertanya soal “mengapa” dan “bagaimana”), berpegang kepada format-format bahasa dan bentuk-bentuk bayani yang bersifat keindraan, membatasi definisi yang menggambarkan sifat, bukan subtansi hakikat dan antikausalitas. Sebagai gantinya, episteme ini menganit pandangan munasabah (kesepadanan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya) dan adat (hukum kebiasaan, bukan kepastian), menolak ide ketidakberhinggaan serta segala yang berkaitan dengannya, pro qiyas fiqh dalam setiap penalaran, bertitik tolak dari pola baku fi’il dalam bahasa dan pemikiran dan mengaitkansegenap format bahasa serta pikiran ke bentuk baku ini. Unsur-unsur inilah yang berlaku dalam bayani dan dianut oleh “kaum tekstual” dan salaf yang mengkalim diri berpegang teguh pada orisinalitas dan autentisitas.14 2. Syarat-Syarat Mujtahid Imam al-Syafi’iy menyatakan, bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang ketika akan melakukan ijtihad atau qiyas, “orang tidak boleh melakukan qiyas kecuali jika memiliki perangkat untuk melakukannya, yakni, memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum yang ada dalam Kitabullah, ketentuan-ketentuannya, aspek sastranya, nasikh dan mansukh-nya, ‘am dan khas-nya, serta petunjuk-petunjuknya, dan orang tidak boleh melakukan qiyas kecuali memiliki pengetahuan tentang sunnah, pendapat-pendapat ulama’ sebelumnya, ijma’ dan perselisihan umat serta bahasa Arab.”15 Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat mujtahid adalah, (a) menguasai bahasa Arab secara sempurna, (b) mahir dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an, (c) mengerti isi dan maksud di dalam Al-Qur’an, (d) mengetahui hadits-hadits Nabi, (e) menguasai ilmuilmu hadits, dan (f) mengetahui fatwa-fatwa terdahulu. 3. Cara Mendapatkan Pengetahuan Untuk mendapatkan pengetahuan, bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi (lafal) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahwu dan sharaf 12

Damanhuri, Ijtihad Hermeneutis, hal. 72-73 Ibid., hal. 74-76 14 Ibid, hal. 76-77 15 Imam Syafi’i, Al-Risalah, dalam Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, hal. 155 13

4


sebagai alat analisis. Kedua, menggunakan metode qiyas (analogi). Dalam kajian ushul alfiqih, qiyas diartikan sebagai memberikan keputusan suatu hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan illat. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam qiyas, yaitu: a. Al-ashl, yaitu nash suci yang memberkan hukum dan dipakai sebagai ukuran, b. Al-far’, sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash c. Hukm al-ashl, ketetapan hukum yang diberikan oleh al-ashl d. Illat, keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar penetapan hukum ashl Contoh qiyas adalah seperti soal penetapan hukum minuman arak dari kurma. Arak dari perasan kurma kurma disebut cabang (far’), karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, dan ia akan diqiyaskan pada khamer. Khamer adalah pokok (ashl), sebab ia terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya haram, alasanya (illat) karena memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena persamaan alasan anatara arak dan khamer, yaitu memabukkan.16 Menurut al-Jabiri, metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan ini digunakan dalam tiga aspek: a. Qiyas dalam kaitanya dengan status dan derajat hukum yang ada pada ashl maupun furu’. Bagian ini mencakup tiga hal, yaitu: (1) qiyas jali, dimana far’ mempunyai persoalan hukum yang kuat disbanding ashl, (2) qiyas fi ma’na alnash, dimana ashl dan far’ mempunyai derajat hukum yang sama, dan (3) qiyas al-khafi, dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut perkiraan mujtahid. b. Berkaitan dengan illat yang ada pada ashl dan far’, atau yang menunjuk ke arah itu. Bagian ini meliputi dua hal yaitu, (1) qiyas illat, yaitu menetapkan illat yang ada pada ashl kepada far’, (2) qiyas al-dilalah, yaitu menetapkan petunjuk yang ada pada ashl kepada far’, bukan illat-nya. c. Qiyas berkaitan dengan potensi atau kecenderungan untuk menyatukan antara ashl dan far’, yang oleh Al-Ghazali dibagi dalam empat tingkat, (1) adanya perubahan hukum baru, (2) keserasian, (3) keserupaan, dan (4) menjauhkan.17 4. Lafal dan Makna, Ushul dan Furu’ Berdasarakan kenyataan bahwa bayani berkaitan dengan teks dan hubunganya dengan “realitas”, persoalan pokok yang ada di dalamnya adalah sekitar lafal-makna dan ashl-far’. Menurut al-Jabiri, persoalan lafal-makna mengandung dua aspek, yaitu: a. Teoritis, dari sisi ini muncul tiga persoalan, yaitu; 1) Tentang makna suatu kata, apakah didasarkan atas konteksnya atau makna aslinya. Kaum Sunni, dengan asumsi dasar pengetahuan Arab, bahwa makna dan sistem berpikir lahir dari kata (teks), bukan teks lahir dari makna dan sistem berpikir. 2) Tentang analogi bahasa, dalam hal ini Ulama sepakat bahwa analogi diperbolehkan, tetapi hanya dari sisi logika bahasanya, bukan pada lafal atau redaksinya. 16 17

A. Khudori Soleh, Op.Cit., hal 248 Ibid, hal 250

5


3) Tentang pemaknaan al-asma’ al-syar’iyah. Al-Baqilani (950-1012 M) menyatakan, karena Al-Qur’an diturunkan dalam tradisi dan bahasa Arab, maka harus dimaknai sesuai dengan kebudayaan Arab. Sebaliknya, menurut Muktazilah, pada hal tertentu, lafal bisa dimaknai dengan pengertian lain, sebab Al-Qur’an sendiri tidak jarang menggunakan istilah Arab, tetapi dengan mankna sendiri yang berbeda dengan makna asalnya. b. Praktis, berkaitan dengan masalah penafsiran atas wacana syara’. Ulama fiqih banyak mengembangkan masalah ini, baik dari aspek kedudukan sebuah kata, penggunaan, tingkat kejelasan maupun metodenya.18 Selanjutnya soal ushul-furu’, Al-Jabiri berpendapat, ushul di sini tidak menunjuk pada dasar-dasar hukum fiqih, tetapi pada pengertian umum bahwa ia adalah pangkal dari proses penggalian pengetahuan. Al-Jabiri kemudian melihat tiga macam hubungan antara ushul dengan furu’: a. Ushul sebagai “sumber” pengetahuan yang cara mendapatkanya dengan istinbath. Istinbath menggali untuk mendapatkan sesuatu yang baru sehingga nash berkedudukan sebagai sumber pengetahuan. b. Ushul sebagai “sandaran” bagi pengetahuan yang lain, yang cara penggunaanya dengan qiyas baik qiyas illat ulama fiqih atau qiyas dilalah kaum teolog. c. Ushul sebagai “pangkal” dari proses pembentukan pengetahuan, yang caranya adalah dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul al-fiqih.19 5. Langkah-Langkah Qiyas dapat dilakukan ketika sumber-sumber hukum telah “diam”, tidak memberi jawaban. Jadi secara prosederal, suatu permasalahan yang membutuhkan ststus hukum, terlebih dahulu dicari penjelasnya dalam al-Qur’an. Jika kemudian tidak ditemukan di dalamnya, maka kemudian merujuk kepada as-Sunnah yang mutawatir, dan seterusnya hingga mencapai Ijmak, nash-nash ahad, petunjuk zhahir dalam al-Qur;an dan as-Sunnah, kemudian baru melakukan qiyas dengan memperhatikan urutannya. Secara terperinci dapat diurutkan bahwa proses dan prosedur ijtihad bayani model al-Syafi’i adalah sebagai berikut20: a. Nash-nash21 al-Kitab b. Nash-nash khabar mutawatir c. Ijma’ ulama terdahulu d. Nash-nash khabar ahad e. Petunjuk zhahir22 al-Qur’an dan sunnah f. Qiyas dengan memperhatikan urutan sebagai berikut: 1) Kaidah-kaidah kulliyah 18

Ibid, hal 244-245 Ibid, hal 246 20 Lebih jelas lihat Damanhuri, Ijtihad Hermeneutis, hal. 103-108 21 Disini diartikan sebagai lafal yang secara pasti hanya mengindikasikan pada satu arti dan tidak dimungkinkan terjadinya ta’wil pada arti lainnya 22 Menunjukkan lafal kepada makna dasarnya, disamping itu ada kemungkinan untuk mengartikannya dengan makna yang lain, seperti makna majaz 19

6


2) Cakupan nash atau ijmak 3) Qiyas Mukhil 4) Qiyas al-Syabah23 6. Validitas Epistemologi bayani sebagai metode untuk memperoleh pengetahuan dari nash, maka pengetahuannya bersumber kepada Al-Qur’an, ijtihad Nabi, Qira’at, ijtihad ulama terdahulu (sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan seterusnya), isra’iliyat dan syair-syair jahiliyah.24 AlSyafi’i dalam konsepnya, menjelaskan bahwa bahasa Arab dapat memuat banyak hal, mulai A hingga Z, dari masa lalu sampai masa depan. Andaikan teks hanya mencakup dari A hingga K, maka untuk mencari status hukum dari L hingga Z harus dirujukkan pada sesuatu yang sudah jelas status hukumnya, yakni teks A hingga K.25 Episteme bayani, menuntut sebuah teks untuk berposisi sebagai subjek dan penafsir sebagai objek, nash menjadi dasar penafsiran dan bahasa menjadi tool of analysis-nya. Oleh karena itu validitas penafsirannya bergantung pada shahih tidaknya sanad dan matan riwayat dan kesesuaian antara hasil penafsiran dengan kaedah-kaedah kebahasaan dan riwayat hadis.26 D. Relevansi dengan Ilmu Tafsir Al-Quran memiliki keistimewaan bahwa kata dan kalimat-kalimatnya yang singkat dapat menampung sekian banyak makna. Ia bagaikan berlian yang memancarkan cahaya dari setiap sisinya. Jika memandang dari satu sisi, sinar yang dipancarkannya berbeda dengan sinar yang memancar dari sisi yang lain. Bahkan jika orang lain memandang, boleh jadi apa yang dilihatnya berbeda dengan apa yang telah dilihat27. Pada bagian awal telah dipaparkan bahwa, konsep bayani sejak masa al-Syafi’i hingga al-Syatibi telah mengalmi penyempurnaan-penyempurnaan. Fazlur Rahman, pemikir Islam kontemporer kemudian mengungkapkan, “Di samping kitab-kitab tafsir, kaum muslim telah merumuskan sejumlah besar karya mengenai metode-metode atau prinsip-prinsip penafsiran al-Qur’an yang disebut ushul al-tafsir.., mereka telah melakukan suatu jasa besar bagi upaya pemahaman alQur’an, penggunaan bahasa harfiah dan metaforisnya, juga dalam membedakan antara ayat-ayat yang mempunyai pengertian umum dan khusus, dan lain-lain. Usaha-usaha ini sebenarnya sangat penting untuk pemahaman terhadap teks alQur’an. walaupun demikian, terdapat suatu kebutuhan mendesak terhadap teori hermeneutika yang akan menolong kita dalam memahami makna al-Qur’an secara

23

Damanhuri, Op.Cit., 103-104 M. Jamil, Pergeseran Epistemologi dalam Tradisi Penafsiran Al-Qur’an, Jurnal Ilmiah Abdi Ilmu, Vol. 4, No. 1, Juni 2011, hal. 474 25 Damanhuri,Op.Cit., hal 16 26 M. Jamil, Op.Cit. 474 27 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, hal. 124-125 24

7


utuh. Sehingga bagian-bagina teologis, etis dan legal al-Qur’an menjadi suatu kesatuan yang menyeluruh dan padu.”28 Menanggapi hal tersebut, Damanhuri kemudian menambahkan bahwa, meskipun secara fisik kita memiliki al-Qur’an, namun dari segi spirit dan makna tidaklah demikian. Klaim bahwa al-Qur’an berlaku dan cocok sepanjang zaman dan segala tempat, akan menuntut pembuktian. Di sinilah kemudian berlaku “lingkaran hermeneutika”, yaitu proses dialog dan interogasi yang berlangsung antara al-Qur’an dan pembacanya. Adakalanya teks berdiri sebagai subjek, tetapi pada waktu yang sama bisa diposisikan sebagai objek.29 Sekedar pendekatan rasional-deduktif tidaklah cukup tanpa disertai kedekatan subjek pada objek dengan keterbukaan pikiran dan hati untuk mendengarkan serta memahami teks secara utuh. Dengan demikian, dalam memahami teks pembaca dituntut untuk berusaha memahami pribadi sang pengarang, situasi dan tradis sosial tempat ia hidup serta format teks yang ditulisnya. Namun bagaimana dengan al-Qur’an yang pengarangnya adalah Tuhan, yang berada di luar kategori historis dan psikologis? Dalam tradisi tafsir, pertanyaan ini dikembalikan dan dibatasi kepada asbabun nuzul atau konteks sosial-historis seputar turunnya al-Qur’an, terutama yang berhubungan dengan diri Nabi Muhammad saw sebagai penerimnaya.30 Hal yang paling pokok dalam tradisi Islam, bukan pada soal ketepatan pembaca/mujtahid menghadirkan kembali maksud pengarang yang sesungguhnya, tetapi lebih pada cara pembaca/mujtahid menghormati teks dengan berusaha memahaminya serta tidak mencoba menggantikannya. Dengan kata lain, pemahaman terhadap teks tidak harus berhenti pada objektivitas, tetapi juga subjektivitas perlu ditampakkan agar teks tetap menjadi pihak yang berwenang (otoritatif).31 Pengembangan metodologis dalam episteme bayani, yang pada mulanya hanya menonjolkan sisi otoritas dan kesakralan nash, dapat dilakukan dengan menerapkan teori sastra kontemporer tanpa meninggalkan kerangka teori epistme bayani itu sendiri. Usaha untuk menjadikan al-Qur’an sebagai literatur, yang dikembangkan oleh beberapa pemikir kontemporer, tidak harus diterima sebagai kebenaran mutlak. Tetapi, setidaknya mendekati kebenaran situasional, sebagai upaya untuk mencari metode pemahaman sederhana yang dapat diterima oleh pembaca kontemporer. 32 Sebagai akademisi Islam, cara pandang kita terhadap al-Qur’an dapat dilakukan dengan dua sisi. Satu sisi, kita meyakini bahwa al-Qur’an adalah wahyu serta sebagai data dan fakta sejarah. Dalam hal ini kita memposisikan al-Qur’an sebagai “wahyu” yang tidak terjamah. Di sisi lain, wujud riil al-Qur’an yang kita hadapai sekarang adalah berupa teks (mushaf) yang tersusun dari bahasa verbal (bahasa tulisan yang berasal dari lisan) yang mempunyai struktur, simbol dan sistem makna yang indah dan mendalam serta membentuk pandangan dunia yang khas. Terkait hal tersebut, maka kita bisa menerapkan teori sastra

28

Fazlur Rahman, Interpreting the Qur’an, dalam Damanhuri, Ijtihad Hermeneutis, hal. 167 Damanahuri, Op.Cit., hal. 173 30 Ibid., hal 174 31 Ibid., hal. 182 32 Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Strukturalisme, Semantik, Semiotika Dan Hermeneutika, hal 104 29

8


kontemporer semantik, strukturalisme, semiotika dan hermeneutika sebagai perangkat analisis dalam menafsirkan al-Qur’an.33 Kajian teori tersebut merupakan disiplin keilmuan yang mefokuskan kajian terhadap bahasa sebagai locus of meaning dengan sedikit perbedaan titik tekan dalam aplikasinya. Semantic memfokuskan usaha pencapaian makna sebagai sebuah pandangan dunia. Strukturalisme memfokuskan diri pada struktur (bahasa) teks dan wacana (discourse). Semiotika memfokuskan bahasa sebagai sebuah sistem tanda. Hermeneutika memfokuskan paradigm dan teori interpretasi dalam pengertian metode dan filsafaat interpretasi..34 E. Kesimpulan Epistimologi bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferansi (istidlal). Perkembangan metode bayani telah mengalami penyempurnaan-penyempurnaan sejak masa al-Syafi’i hingga pada masa kontemporer. Bayani mempunyai tiga prinsip utama, yaitu diskontinuitas, kontingensi dan analogi. Dengan syarat-syarat yang ketat, bayani berupaya untuk menunjukkan keotoritasan dan kesakralan teks. Bayani menempuh dua jalan untuk memperoleh pengetahuan, (1) berpegang pada redaksi (lafal) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahwu dan sharaf sebagai alat analisis. (2) menggunakan metode qiyas (analogi) yang dilihat dari tiga aspek, hubungan ashl dan far’, illat yang ada pada ashl dan far’ dan kecenderungan yang menyatukan antara ashl dan far’. Validitas penafsirannya bergantung pada shahih tidaknya sanad dan matan riwayat dan kesesuaian antara hasil penafsiran dengan kaedah-kaedah kebahasaan dan riwayat hadis Al-Qur’an dapat dipandang dalam dua konsep, sebagai wahyu dan sebagai mushaf. Penerapkan teori sastra kontemporer semantik, strukturalisme, semiotika dan hermeneutika sebagai perangkat analisis dalam menafsirkan al-Qur’an, dapat dimasukan dalam pengembangan metodologis episteme bayani. Wallahu a’lam. Daftar Pustaka Al-Jabiri, Muhammad Abed, Formasi Nalar Arab, Yogyakarta: IRCiSoD, 2014 Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Ilmu-ilmu Al-Qur'an, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002 ______, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009 Damanhuri, Ijtihad Hermeneteus, Yogyakarta: IRCiSoD, 2016 Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir, Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004. Khalil, Rasyad Hanan, Tarikh Tasyri’ al-Islami, alih bahasa: Nadirsyah Hawari, TarikhTasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, Jakarta: Azmah, 2009. Mustofa, A., Filsafat Islam, Bandung; CV. Pustaka Setia, 1997. Rahmatikawati, Yayan dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Strukturalisme, Semantik, Semiotika Dan Hermeneutika, Bandung: CV Pustaka Setia, 2013 Shihab, M. Quraih, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan, 2007. 33 34

Ibid., hal. 93 Ibid., hal. 93-94

9


______, Secercah Cahaya Ilahi, Bandung: Mizan, 2007. Soleh, A. Khudori, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014. Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:Penerbit Sinar Harapan, 1984 Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1996 Yunus Hasan, Abidu, Tafsir Alqur’an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir, (terj.) Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, M. Ag, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007 Wijaya, Aksin, 2016Nalar Kritis Epistemologi Islam Membincang Dialog Kritis Para Kritikus Muslim: Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Thaha Husein, M. Abid Al-Jabiri, Yogyakarta: Kalimedia, 2017 ______, Sejarah Kenabian dalam Prespektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah, Bandung: Mizan,

10


Lampiran: Tabel Perbandingan Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani No.

1.

ORIGIN (SUMBER)

 Nash/Teks/Wahyu (Otoritas Teks) Al-Khabar, Al-Ijma’ (Otoritas Salaf)  Al-‘Ilm Al-Tauqify

2

METODE (PROSES DAN PROSEDUR)

 Ijtihadiyyah - Istinbatiyyah / Istintajiyyah / Istidlaliyyah / Qiyas  Qiyas (Qiyas al-ghaib ‘ala al-shahid)

3

APROACH (Epistemologi)

 Lughawiyyah (Bahasa) - Dalalah Lughawiyyah

4

5

6

7

‘Irfani

Bayani

THEORETICAL FRAMEWORK

(KERANGKA TEORI)

FUNGSI DAN PERAN AKAL

TYPES OF ARGUMENT

TOLAK UKUR VALIDITAS KEILMUAN

 Al-Asl – al-Far’ - Istinbatiyyah (pola pikir deduktif yang berpangkal pada Teks) - Qiyas al-‘Illat (Fikih) - Qiyas al-Dalalah (Kalam)  Al-Lafz – al-Ma’na - Am, Khas, Musytarak, Haqiqat, Majaz, Muhkam, Mafassar, Zahir, Khafi, Musykil, Mujmal, Mutasyabih.  Akal sebagai pengekang/pengatur hawa nafsu  Justifikatif – Repetitif – Taqlidiy (Pengukuh Kebenaran/Otoritas Teks)  al-‘Aql al-Diniy  Dialektik (Jadaliyyah); al‘Uqul al-Mutanafisah - Defensif – Apologetik – Polemik – Dogmatik  Pengaruh pola Logika Stoia (bukan logika Aristotle)  Keserupaan/kedekatan antara Teks atau nash dan Realitas

 Experience - Ar-Ru’yah al-Mubasyirah - Direct Experience; al-‘Ilm alHuduri Preverbal; Prelogical Knowledge  Al-Dzauqiyyah (al-Tajribah alBatiniyyah)  Al-Riyadah; al-Mujadalah; alKasyfiyyah;al-Israqiyyah; alLaduniyyah; Penghayatan batin/tasawuf  Psiko-Gnosi; Intuitif; Dzauq (Qalb) - Al-La’aqlaniyyah

   

Zahir – Batin Tanzil – Ta’wil Nubuwwah – Wilayah Haqiqi – Majazi

Burhani  Realitas/al-Waqi’ Sosial, Humanitas)  Al-‘Ilm al-Husuli

(Alam,

 Abstraksi (al-maujudah albari’ah min al-madah)  Bathiyyah – Tahliliyah – Tarkibiyyah – Naqdiyyah (alMuhakamah al-Aqliyah)  Filosofis-Scientifik  Al-Tasawwurat – al-tsadiqat; al-Hada – al-Burhan  Premis-premis logika (alMantiq) - Silogisme (2 premis = konklusi) A=B B=C A=C - Tahlilu al-anasir alasasiyyah li tu’ida bina’hu Bi syakilin yubarrizu ma huwa jauhariyyun fihi  Kulliy – Juz’iy: Jauhar – ‘Aradh

 Partisipatif - al-Hads wa al-Wijdan - Bila Wasitah; Bila Hijab

 Heuristik-Analitik-Kritis (alMu’anah wa al-mukabadah wa ijalah al-nazr)  Idraku al-sabab wa almusabbab  Al-‘Aql al-Kauniy

 ‘Atifiyyah – Wijdaniyyah  Spirituality (Esoterik)

 Demonstratif (Eksploratif; Verifikatif; Explanatif) - Pengaruh pola Logika Aristotle dan logika keilmuan pada umumnya

   

 Korrespondensi (Hubungan antara akal dan alam)  Koherensi (Konsistensi Logik)  Pragmatik (Fallibity of knowledge)

Universal Reciprocity Empati Simpati Understanding Others

11


8

9

10

PRINSIPPRINSIP DASAR

 Infisal (Discontinue) = Atomistik  Tajwiz (Keserbabolehan) = Tidak Ada Hukum Kausalitas  Muqarabah (Kedekatan, keserupaan) - Analogi Deduktif; Qiyas

 Al-Ma’rifah  Al-Ittihad/Al-Fana’ (al-Insan yadzubu fi al-Allah); al Insan (Partikular) yadzubu fi al-nas (Universal)  Al-Hulul (Allahu nafsahu yaghzu al-nafs al-insaniyyah fa yahulla fiha wa yatahawalu alinsan hina idzin ila kainin jadidin)

 Idrak al-asbab (Nizam alsababiyyah al-thabit); Prinsip Kasualitas  Al-Halmiyyah (Kepastian; Certainity)  Al-Mutabaqah baina al-‘aql wa nizam al-tabi’ah

KELOMPOK ILMU-ILMU PENDUKUNG

 Kalam (Teologi)  Fikih (Jurisprudensi)/Fuqaha’; Ushuliyyun  Nahwu (Grammar); Balaghah

 Al-Mutasawwiyah  Ashab al-Irfan/Ma’rifah (Esoterik)  Hermes/’Arifun

 Falasifah (Fakkar/Scholars)  Ilmuan (Alam, Sosial, Humanitas)

 Subjective (Theistic atau Fideistic Subjectivism)

 Intersubjective  Wihdatul al-wujud (Unity In Difference; Unity IN Multiplicity) - Ittihad al-‘Arif wa al’Ma’ruf (Lintas Ruang Dan Waktu); Ittihad al’aql, al-‘aqil wa al‘ma’qul

 Objective (al-Nazrah almaudu’iyyah)  Objective Rationalism (Terpisah antara Subjek dan Objek)

HUBUNGAN SUBJEK DAN OBJEK


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.