Amr dan Nahy

Page 1

Amr dan Nahy: Penerapan QS. Al-Ahzab ayat 59 dan QS. An-Nur: 31 A. Pendahuluan Al-Qur’an sebagai firman Allah, mengandung berbagai aturan pokok dunia dan akhirat. Sebagian aturan tersebut, membahas tentang hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan sesama. Aturan-aturan tersebut ditegakkan agar manusia dapat selamat, baik di dunia maupun di akhirat. Nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu, salah satu tugasnya adalah memberikan pemahaman kepada manusia, khususnya para sahabat mengenai kandungan firman Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an. Beliau memberikan penjelasan tentang tata cara mengamalkan Al-Qur’an, baik melalui ucapan, prilaku, akhlak maupun ketetapan. Imam Ahmad meriwayatkan, ketika Siti Aisyah ditanya mengenai akhlak Rasulullah, beliau menyatakan bahwa, akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Setelah Nabi wafat, proses memahami Al-Qur’an tidak kemudian berhenti. Para Sahabat berusaha memahami dan menerapkan Al-Qur’an sesuai dengan tingkatan ilmunya masing-masing. Begitu pula pada masa tabi’in, tabi’ut tabi’in, hingga pada masa sekarang ini. Istilah memahami atau fiqh, pada perkembangnya mengalami pergeseran makna, menjadi memahami atau pemahaman hukum syara’ melalui ijtihad. 1 Imam Syafi’i rahimahullah, merupakan ulama pertama yang menghimpun tentang metode memahami Al-Qur’an, atau yang biasa dikenal dengan ushul fiqh. Salah satu pembahasan dalam ushul fiqh adalah mengenai kaidah amr dan nahy yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Pada prisnsipnya, lafadh yang mengandung perintah atau amr, menunjukkan pada kewajiban sebuah perbuatan, begitu juga sebaliknya dalam pelarangan atau nahy. Namun kemudian, tidak serta merta semua perintah atau larangan menunjukkan hal yang demikian, adakalanya lafadh amr atau nahy mengisyaratkan anjuran, kebolehan ataupun bahkan kebalikannya. Para ulama mempunyai perbedaan pandangan terhadap beberapa masalah dalam kehidupan bermasyarakat, salah satunya adalah masalah jilbab. Telah umum diketahui bahwa mengenai masalah jilbab, terdapat ulama yang mewajibkan dan ada yang membolehkan. Dalil Al-Qur’an tentang jilbab sendiri, umumnya yang dipakai adalah QS. Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31. Berdasarkan hal tersebut, penyusun akan memaparkan teori ushul tentang amr dan nahy. Setelah itu, akan mendeskripsikan penerapannya terhadap QS. AlAhzab ayat 59 dan An-Nur ayat 31. B. Amr dan Nahy Amr berasal dari kata

‫امر‬.

Kamus al-Munawwir memberikan pengertian kata ini

‫ طلب منه فعل شئ‬, menuntut darinya mengerjakan sesuatu, atau bisa dicakupkan pada kata memerintahkan. Sedangkan kata nahy berasal dari kata ‫نهي‬, berarti mencegah, sebagai,

melarang atau mengharamkan.

1 Imam Haramain, Waraqat fi Ushul Fiqh, penerjemah H. M. Basori Alwi, hal. 1

1


Sedangkan secara istilah, sebagaimana Imam Haramain dalam al-Burhan fi Ushul Fiqh, Imam al-Ghazali dalam al-Mustasfa, memberikan pengertian amr dan nahy secara hakikat sebagai2,

‫انه القول المقتضي طاعة المأمور بفعل المأمور به‬ Perkataan yang menuntut seseorang yang diperintah denghan mengerjakan apa yang diperintahkan.

‫القول المقتضي ترك الفعل‬ Perkataan yang menuntut untuk meninggalkan pekerjaan. Imam Haramain, dalam Waraqat-nya, juga memberikan pengertian senada tentang amr dan nahy, namun dengan memperinci siapa yang memerintah dan siapa yang diperintah,

‫و المر استدعاء الفعل بالقول مممنّ هو دونه على سبيل الوجوب‬

Amr / perintah artinya, “menyuruh berbuat kepada bawahan dengan ucapan yang bersifat mewajibkan.”3

‫ و يمدل على‬,‫و النهى استدعاء الترك بالقول مممنّ هو دونه على سبيل الوجوب‬ ‫فساد المنهمى عنه‬.

Melarang ialah, “menyuruh meninggalkan perbuatan kepada bawahan, dengan ucapan yang bersifat mewajibkan. Dan larangan tersebut menunjukkan akan rusaknya/batalnya/tidak sahnya perbuatan yang dilarang itu.”4

Pengertian tersebut mengisyaratkan adanya isti’lal, yaitu dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Sedangkan perintah atau larangan dari yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi disebut doa dan perintah atau larangan kepada yang setara atau sejajar disebut aliltimas.5 Pada hakikatnya, perkataan yang menunjukkan amr, berarti sebuah keharusan, atau dalam ilmu ushul dikenal dengan ijab. Begitu pula dengan perkataan yang mengandung nahy, pada hakikatnya menunjukkan larangan atau tahrim. Dinamakan pula sebuah perintah, apabila perkataan perintah atau larangan tersebut berasal dari atasan kepada bawahan. C. Bentuk dan Makna Bentuk atau shighot merupakan bentukan lafadh, dalam hal ini bentukan lafadh amr maupun nahy. Bentukan lafadh yang mengandung perintah ataupun larangan dalam al-Qur’an maupun al-Hadits bermacam-macam. Makna atau kandungan amr dan nahy, tidak selalu berarti ijab ataupun tahrim. Hal ini dikarenakan pada bentukan kalimatnya terdapat qorinah,

2 Imam Haramain, al-Burhan fi Ushul Fiqh, hal. 594. Lihat pula, Imam al-Ghazali, al-Mustasfa, Juz 3, hal. 119 3 Imam Haramain, Waraqat, hal. 11 4 Ibid, hal. 15 5 Muhammad bin Sholeh al-Utsmain, Prinsip Ilmu Ushul Fiqh, hal. 30.

2


dalil yang menunjukkan kepada arti lain.6 Secara umum, setidaknya terdapat tiga bentuk amr, yaitu:7 a. Berbentuk fi’il amr / perintah langsung. Seperti contoh dalam QS. Al-Baqarah: 221,

‫اقيموا الصلةا‬ b. Berbentuk mudhari’ yang didahului oleh lam amr. Sebagaimana dalam QS. Al-Hajj:2 9

‫ولي م‬ ‫طوفوا بالبيت العتيق‬

c. Bentuk lainnya yang semakna, seperti lafadh faradha, kutiba dan sebagainya yang menunjukkan makna perintah. Misalnya pada QS. Al-Baqarah: 183

‫كتبب عليكم الصيام‬ Imam ar-Razi, dalam kitabnya al-Mahsul, menyatakan bahwa, para ahli ushul telah sepakat untuk menetapkan bentuk if’al dalam 15 macam makna. Keseragaman makna ini disesuaikan dengan qorinah yang memperngaruhinya.8 a. Ijab. b. Nadb (anjuran). QS. An-Nur:33 “Dan berikanlah kepada mereka sebgaian dari ‫فكاتبوهم ان علمتم فيهم خيرا‬ harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.” Dan dekat kepada nadb, takdib (adab). Contoh pada hadits

‫كل ممما يليك‬

“Makanlah apa yang ada di depanmu” c. Irsyad (menunjuki). QS. Al-Baqarah:282 “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki”

‫واستشهدوا شهيدينّ منّ رجالكم‬

d. Ibahah (Kebolehan). Qs. Al-Baqarah 187

‫كلوا واشربوا‬

“Makanlah dan minumlah” e. Tahdid (ancaman). Qs. Fushilat; 40

‫اعملوا ما شئتم‬

“Berbuatlah sesukamu”

Dan dekat kepada tahdid, inzhar (peringatana). Qs. Ibrahim:30 “Katakanlah, bersuka rialah kamu, karena ‫المنار‬ sesungguhnya tempat kembalimu adalah neraka” f. Ikram: (memuliakan). QS. Al-Hijr: 46 “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera

‫قل تمتعو فان مصيركم الى‬

ّ‫ادخلواها بسلم امنين‬

6 Imam Haramain, Waraqat, hal. 12 7 Andewi Suhartini ,Ushul Fiqh, hal. 196-197 8 Ibid, hal 197-198. Lihat pula ar-Razi, al-Mahsul fi Ushul al-Fiqh, Juz 2, hal. 39-44. Lihat pula al-Ghazali, alMustasfa, Juz 3, hal. 128-130

3


dan aman” g. Taskhir (Penghinaan). QS. “Jadilah kamu sekalian kera yang hina” h. Ta’jiz (melemahkan). QS. Al-Baqarah:23 “Datangkanlah satu surat yang seumpama alQur’an”

ّ‫كنوا قردةا خاسعين‬ ‫فأتوا بسورةا منّ مثله‬

i. Taswiyah (mempersamakan). QS. At-Thur:16 “Bersabarlah kalian, atau jangan bersabar” j. Tamanni (angan-angan). Syi’ir Arab dari Ummul Qais “Wahai malam! Memanjanglah, wahai kantuk! Menghilanglah, wahai subuh! Jangan segera ‫لتطلع‬ datang”

‫فاصبروا اول تصبروا‬ ‫ياليل طل يا نوم زل يا صبح‬

k. Doa. QS. Shad: 35 “Ya Allah ampunilah aku” l. Ihanah, (meremehkan). QS. Ad-Dukhan: 49 “Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang perkasa!”

‫ر م‬ ‫ب اغفرلى‬ ‫ذق امنك أنت العزيز الكريم‬

m. Imtinan (bersyukur). QS. An-Nahl: 114 “Makanlah apa yang dirizqikan Allah kepadamu” n. Ihtiqori (mencela) “Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan!”

‫فكلوا ممما رزقكم ا‬ ‫ألقو ما أنتم ملقون‬

o. Takwin, (menaqdir jadi)

ّ‫كنّ فيكن‬

Jadilah! Imam Haramain dalam warqat-nya memberikan keterangan bahwa, bentuk perintah tidak selalu mengharuskan berulangnya perbuatan, kecuali terdapat dalil yang menunjukkan kepada maksud pengulangan tersebut. Sama halnya dengan keterangan tersebut, bentuk perintah tidak selalu mengharuskan kesegeraan pelaksanaan, kecuali terdapat dalil yang menunjuukkan kepada maksud tersebut.9 Ditambahkan pula bahwa, ketika pengerjaan suatu perintah membutuhkan terpenuhinya syarat, maka perintah tersebut juga berlaku untuk pengerjaan syaratnya. Sebagaimana perintah shalat, adalah juga perintah untuk wudlu yang menentukan sahnya shalat.10 Kaidah-kaidah yang masyur mengenai amr adalah sebagai berikut11: 9 Imam Haramain, Waraqat, hal. 13 10 Ibid

4


a.

b.

c.

d. e.

Pada dasarnya perintah itu menunjukkan wajib. Pada prinsipnya Amar (perintah) tidak menghendaki berulang-ulang Pada dasarnya perintah itu menghendaki berulang-ulangnya perbuatan yang diminta selagi masih ada kesanggupan selama hidup. Perintah mengerjakan sesuatu berarti juga perintah mengerjakan wasilahnya / perantara. Pada dasarnya perintah (Amar) itu tidak menuntut dilaksanakan segera.

‫ال ل و‬ ‫ب‬ ‫صجل بفى اللومبر لبولجوججوو ب‬ ‫ال ل و‬ ‫ضى التبوكلرار‬ ‫صجل بفى اللومبر لل يلوقتل ب‬ ‫ضى التبوكلرار جمددةال‬ ‫ال ل و‬ ‫صجل بفى اللومبر يلوقتل ب‬ ‫الجعومبر لملع ابلوملكابن‬ ‫اللومجر ببالدشويبئ الومرْر ببلولسائبلببه‬ ‫ال ل و‬ ‫ضى الفلوولر‬ ‫صجل بفى اللومبر لل يلوقتل ب‬ ‫اللومجر بلوعلد الندوهبي‬ ‫يجبعويجد اللبالحبة‬

Perintah sesudah larangan menunjukkan kebolehan.

Sedangakan mengenai bentukan nahy, pada umumnya terdapat dua bentuk, yaitu: a. Berbentuk mudhori’ yang didahului la nahy. Misalnya pada QS. Al-An’am: 152,

‫ول تقربوا مال اليتيم‬ Berbentuk pelarangan langsung dengan menggunakan kata nahy ( ‫) نهى‬, atau

b. yang semakna denganya. Seperti dalam QS. An-Nahl: 90

‫وينهى عنّ الفخشاء والمنكر وابغي‬ Atau dalam QS. Al-Maidah: 5 ,

‫حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير‬ Bentukan tersebut, sebagaiman amr, menunjukkan makna yang bermacammacam, di antaranya12: a. Tahrim, misalnya pad QS. Al-Baqarah: 221 “Dan jangnalah kamu nikahi wanita-wanita ّ‫المشركات حمتي يؤمن‬ musyrik sebelum mereka beriman” b.

Karahah, contohnya pada hadits Nabi SAW.

“dan janganlah kalian shalat di kandang unta” c. Doa, sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah: 286 “Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kejahatan” d.

‫ول تنكحوا‬

‫ول تصلوا فى أعطان البل‬ ‫رمبنا لتزغ قلوبنا‬

Irsyad, seperti pada QS. Al-Maidah:101

11 https://massalaam.wordpress.com/2011/08/13/kaidah-ushul-fiqih/ 12 http://www.muslimedianews.com/2015/02/pengertian-dan-penggunaan-shighot-al.html

5


“Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu niscaya akan menyusahkan kamu” e.

‫لتسألوا عنّ أشياء إن تبدلكم تسؤكم‬

Tahdid, sebagaimana pada perkataan,

‫ل تطع أمري‬

“Jangan patuhi perintahku” f. Tahriq, misalnya pada QS. Al-Hijr: 88 “dan janganlah kamu tunjukkan mata kamu kepada apa yang telah kamu berikan kepada golongan-golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan”

‫ولتممدمن عينيك مامتعنابه أزواجا منهم‬ ‫زهرةا الحياةا الدنيا‬

g. Ta’yis (putus asa), dalam QS. At-Tahrim: 7 “Wahai orang-orang kafir, janganlah kamu menyatakan alasan pada hari ini” h. Bayan al-Aqibah, pada QS. Ali-Imran: 69 “janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka hidup”

‫ياأيها الذينّ كفروا لتعذروا اليوم‬ ‫ول تحسبنّ الذينّ قتلوا في سبيل ا‬ ‫أمواتا ب أحياء‬

Makna nahy seperti yang dicontohkan di atas, tidak selalu kemudian menyebabkan perbuatan yang di larang itu hukumnya fasid atau rusak. Al-Ghazali, dan alRazi, berpendapat bahwa kerusakan hanya sebatas hukum ibadah, karena sebenarnya ibadah bertujuan untuk mengabdi kepada Allah. sedangkan Allah tidak mungkin dapat didekati dengan perbuatan yang di larangan-Nya. Contohnya larangan berpuasa pada hari raya dan hari tasyrik.13 kaidah-kaidah nahy yang umum diketahui adalah sebagai berikut14: a.

b.

c.

d.

Pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram.

‫ال ل و‬ ‫صجل بفى النلوهبي بللتلوحبرويبم‬

Pada dasarnya larangan mutlaq itu menghendaki pengulangan dalam segala zaman.

‫صضضضجل بفضضضى النلوهضضضبي الجم و‬ ‫ال ل و‬ ‫ضضضضى‬ ‫طللضضضوق يلوقتل ب‬ ‫التبوكلرالرىَ بفى لجبمويبع اللوزبمنلبة‬

Melarang dari sesuatu itu berarti memerintahkan sesuatu yang menjadi kebalikannya. Pada dasarnya larangan itu menunjukkan perbuatan yang dilarang (baik ibadah maupun mu’amalah).

‫ضبدبه‬ ‫ي لعونّ لشويئئ الومرْر بب ب‬ ‫النلوه ج‬ ‫ي يلجدلُل لعللى فللسابد الجمونبهىى لعونهج‬ ‫النلوه ج‬

13 http://www.muslimedianews.com/2015/02/pengertian-dan-penggunaan-shighot-al.html 14 https://massalaam.wordpress.com/2011/08/13/kaidah-ushul-fiqih/

6


D. Penerapan terhadap QS. Al-Ahzab: 59 dan QS. An-Nur: 31

‫ي هيأ هي يها ٱلن نبي ققلُ لل ه‬ ‫سابء ٱ ي‬ ‫ي‬ ‫ه‬ ‫ي‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫ه‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ن‬ ‫ني‬ ‫د‬ ‫ي‬ ‫ن‬ ‫ني‬ ‫م‬ ‫ؤ‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ن‬ ‫و‬ ‫ك‬ ‫ت‬ ‫نا‬ ‫ب‬ ‫و‬ ‫ك‬ ‫ج‬ ‫و‬ ‫ز‬ ‫ه‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ‫ه‬ ‫ق‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ق‬ ‫ب‬ ‫ه‬ ‫ب ن‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫يه‬ ‫ب ي‬ ‫ه‬ ‫من جل يهبيبهننن ذ يهل ب ه ه‬ ‫ن فههل ي يقؤذ هييننن وه ه‬ ‫فففوررا‬ ‫ه غه ق‬ ‫ب‬ ‫كا ه‬ ‫ن ٱلل ن ق‬ ‫ى أن ي قيعهريف ه‬ ‫ك أيدن ه ي‬ ‫ه ب بب‬ ٥٩ ‫ما‬ ‫نر ب‬ ‫حي ر‬ 59. Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang Jilbab adalah baju kurung yang longgar dilengkapi dengan kerudung penutup kepala. Secara garis besar, wanita-wanita muslim pada awal Islam di Madinah menggunakan pakaian yang serupa dengan wanita-wanita pada umumnya. Mereka memakai baju dan kerudung bahkan jilbab, tetapi leher dan dada mereka mudah terlihat. Keadaan semacam ini digunakan oleh orang-orang munafik untuk menggoda dan mengganggu wanita-wanita tersebut, termasuk para wanita mukminah. Ayat ini secara jelas memerintahkan agar jilbab yang mereka pakai hendaknya diulurkan ke badan mereka. Agar pakaian yang seperti itu, membedakan mereka dengan yang bukan muslimah, serta menghalau ganguan tangan atau lidah yang usil. Dari penjelasan tersebut, dapat ditarik pandangan bahwa illat hukumnya memakai jilbab menurut ayat ini adalah untuk menjadi pembeda dan menghindari gangguan.15 Kemudian pada QS. An-Nur 31, para ulama banyak tersita perhatiannya terhadap masalah larangan menampakkan zinah / hiasan, kecuali pada apa yang tampak darinya. Berikut redaksi ayat tersebut,

‫ه‬ ‫ض ي‬ ‫ن وههل‬ ‫ن وهي هيح ه‬ ‫ن ب‬ ‫من يه ب‬ ‫ميؤ ب‬ ‫نيظ فققرو ه‬ ‫ت ي هيغ ق‬ ‫وهققلُ ل يلل ق‬ ‫مين أيب يه‬ ‫جقهفف ن‬ ‫ف ظظ ه‬ ‫صربه ب ن‬ ‫ض ه‬ ‫هف ن ه‬ ‫مظظههفاا وهيلي ه يبظظرب ي‬ ‫ى‬ ‫ظظظظظ‬ ‫مففا ظ هههففهر ي بن‬ ‫ن بب ق‬ ‫مر ب ب‬ ‫ي قظظيب ب‬ ‫خ ق‬ ‫ن إ بنل ه‬ ‫ض ه‬ ‫ن بزين هت ههقفف ن‬ ‫دي ه‬ ‫ن ع هلف ي‬ ‫جيوبهانن وهل ييبدين زينتهففن إنل ل ببعففول هت به ه‬ ‫ن أ يهو هءاب هففاءب‬ ‫ق ق بب ه ق ب ه ب ههق ن ب قق‬ ‫ن أيو هءاب هففائ بهب ن‬ ‫ب ن‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫بعففول هت بهن أ يهو أ ي هبنففائ به ه ه‬ ‫ي‬ ‫نيأ‬ ‫ن أيو إ ب ظظظ يو‬ ‫قق‬ ‫وظظظ ب هبنفف ي‬ ‫خيهن بهب ن‬ ‫ن أيو أيبهنففابء ب ققعففول هت بهب ن‬ ‫ه ب ن‬ ‫ب ن‬ ‫خوت بهن أ يهو ن بسففائ بهن أ يهو مففا مل هك هففيت أ ي هيمنهففن أوه‬ ‫إيخون بهن أ يهو بن بي أ هه‬ ‫ه ه‬ ‫ه ب ن‬ ‫يه ب ن‬ ‫ه ي‬ ‫ب يه ب ن‬ ‫يه ق ق ن ب‬ ‫ه‬ ‫ق‬ ‫ن ل هفف يم‬ ‫لُ ٱظظل نفف ب‬ ‫ن غ ه ظظييرب أوول بففي ٱظظيلإ بيرب هففةب ب‬ ‫ن ٱللر ه‬ ‫ذي ه‬ ‫ل أوب ٱلط ل ظظيف ب‬ ‫جففا ب‬ ‫مفف ه‬ ‫ٱلت ينب ببعي ه‬ ‫ه‬ ‫ي‬ ‫و ه‬ ‫سااءء وههل ي ه يبظظرب ي‬ ‫مففا‬ ‫ظظظظظ‬ ‫ى ع هيويهر ب‬ ‫ن ب بففأير ق‬ ‫ت ٱلن ل ه‬ ‫م ه‬ ‫ن ل بي قيعل هفف ه‬ ‫جل بهب ن‬ ‫ض ه‬ ‫ي هظههقروا ع هل ي‬ ‫ه‬ ‫ن ل هعهل نك ق يم‬ ‫ميؤ ب‬ ‫ج ب‬ ‫ن ب‬ ‫ي قيخ ب‬ ‫مقنو ه‬ ‫من بزين هت بهبننن وهقتوب قويا و إ بهلى ٱلل نهب ه‬ ‫ه ٱيل ق‬ ‫ميععا أي ي ه‬ ‫في ه‬ ٣١ ‫ن‬ ‫حو ه‬ ‫ت قيفل ب ق‬ 15 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, hal. 171-173

7


31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung Terdapat pendapat bahwa illa yang terdapat pada ayat tersebut merupakan istisna’ muttashil (yang dikecualikan merupakan bagian dari apa yang disebut sebelumnya), dalam hal ini adalah zinah. Maka kemudian ayat tersebut akan berpesan, “hendaknya janganlah wanita-wanita menampakkan hiasan (anggota tubuh) mereka kecuali apa yang tampak.” Jika dipahami demikian, maka redaksinya tidak lurus. Karena apa yang tampak, mesti sudah kelihatan, dan tidak ada faedahnya untuk dilarang. M. Quraish Shihab kemudian menuturkan tiga pendapat lain, dalam memahami redaksi larangan tersebut. Pertama, memahami illa sebagai istisna’ munqhati’, dalam arti yang dikecualikan bukan bagian yang disebut sebelumnya. Hal ini kemudian bermakna, “janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka sama sekali, tetapi apay yang tampak secara terpaksa, maka itu dapat dimaafkan. Kedua, menyisipkan kalimat dalam penggalan ayat tersebut. Penyisipan ini kemudian akan bermakna, “janganlah mereka menampakkan hiasan (badan). Mereka berdosa jika demikian, tetapi jika tampak tanpa disengaja, maka mereka tidak berdosa.” Ketiga memahmi “kecuali yang tampak” dalam arti yang biasa dan atau dibutuhkan keterbukaannya, sehingga harus Nampak. Kebutuhan di sini dalam arti menimbulkan kesulitan bila bagian badan tersebut ditutup. Dalam ajaran Al-Qur’an, memang kesulitan merupakan faktor yang menghasilkan kemudahan. Ibnu Athiyah berpendapat: Menurut hemat saya, berdasarkan redaksi ayat, wanita diperintahkan untuk tidak menampakkan dan berusaha menutupi segala sesuatu yang berupa hiasan. Pengecualian, menurut hemat saya, berdasarkan keharusan gerak menyangkut (hal-hal) yang mesti atau untuk perbaikan sesuatu atau semacamnya. Jika rumusan tersebut diterima, maka tentunya yang dikecualikan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan mendesak yang dialami seseorang. Al-Qurthubi kemudian berkomentar:

8


Pendapat (Ibnu Athiyah) ini baik. Hanya saja karena wajah dan kedua telapak tangan seringkali (biasa) tampak–baik sehari-hari maupun dalam ibadah seperti ketika shalat dan haji–maka sebaiknya redaksi pengecualian “kecuali yang tampak darinya” , dipahami sebagai kecuali wajah dan kedua telapak tangan yang biasa tampak tersebut. Perbedaan pendapat selanjutnya mengenai penggunaan jilbab, terfokus dalam masalah aurat, yang mana para ulama pun berbeda-beda pendapat. Penyusun lebih condong terhadap pendapat yang dikemukakan Ibnu Athiyah, dikarenakan kebutuhan setiap wanita berbedabeda. Hanya saja, tetap harus mengikuti adab dan prilaku islami, tidak patut kemudian mengada-mengada, atau bahkan melakukan pekerjaan yang dilarang oleh syara’, untuk dijadikan alasan tidak memakai jilbab. E. Penutup Pada hakikatnya amr merupakan sebuah ketetapan yang harus dilaksanakan, sedangkan nahy menunjuk kepada sesuatu yang harus ditinggalkan. Namun kemudian, disesuaikan dengan qarinah yang ada, implikasi kedua teori tersebut bisa berubah. Tidak semua perintah berarti ijab dan tidak selalu larangan bermakna tahrim. Para ulama ushul kemudian mengembangkan beberapa kaidah yang bisa dipakai untuk menerapkan kedua hal tersebut, meskipun kaidah tersebut tidak selalu berlaku, tergantung qarinah yang ada. Perintah pemakaian jilbab pada QS. Al-Ahzab: 59 , menunjukkan pada pemiliharaan harga diri dan jilbab yang terulur kepada badan, menunjukkan sebagai identitas kaum wanita muslim. Sedangkan pada QS. An-Nur: 31, mengimplikasikan fleksibilitas hukum pemakaian jilbab ataupun penutupan aurat, yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan, namun tetap harus berpegang kepada muru’ah, adab dan akhlak. Wallahu A’lam.

Daftar Pustaka Al-Gazhali, Al-Mustasfa, Al-Utsmain, Muhammad bin Sholeh, Prinsip Ilmu Ushul Fiqh, Ar-Razi, al-Mashul fi Ushul al-Fiqh, Imam Haramain, Waraqat fi Ushul al-Fiqh, Imam Haramain, al-Burhan fi Ushul Fiqh, Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1996 Suhartini, Andewi, Ushul Fiqih, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam Kemenag RI, 2009

9


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.