Munasabah dalam Tafsir Salman ITB A. Pendahuluan Dunia dan alam semesta, telah menarik perhatian manusia sejak lama. Para filusuf dan ilmuwan seringkali mempertanyakan asal usul dan tujuan adanya dunia. Keteraturan dan ketidakteraturan dunia, merupakan salah satu pokok pertanyaan yang mereka ajukan. Pada umumnya, pertanyaan tersebut ditelaah melalui pendekatan ilmiah, atau dengan mengunakan hukum-hukum fisika. Sedangkan agama di sisi lain, menjawab pertanyaan tersebut dengan kepasrahan mutlak kepada Tuhan. Misalnya dalam agama Islam, al-Qur’an diepercayai sebagai firman Allah yang memuat segala informasi, sebagai petunjuk bagi manusia, agar selamat di dunia dan di akhirat. Benturan antara sains dan agama bukanlah sesuatu yang jarang terjadi, dalam sejarah kita menngenal adanya zaman pencerahan di Eropa. Salah satu upaya untuk mencari titik temu, antara sains dan agama adalah dengan menafsirkan al-Qur’an. Karena sains merupakan bagian dari ilmu, sedangkan ilmu berasal dari Allah, sebagaimana al-Qur’an juga berasal dari Allah. Seperti halnya ilmu, upaya penafsiran Al-Qur’an terus berkembang seiring dengan berkembangnya perdaban manusia. Meskipun tafsir bi al-ma’tsur mempunyai nilai kesakralan tersendiri, namun tafsir bi al-ra’yu menawarkan pendekatan yang bervariasi dalam menafsirkan. Pendekatan bahasa dan sufistik, telah dilakukan sejak zaman Sahabat, sebagaimana penafsiran Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas. Ulama-ulama generasi berikutnya, memperluas pendekatan dalam menafsirkan alQur’an, hingga kemudian mengenalnya sebagai corak penafsiran. Usaha tersebut tentu tidak terlepas dari kontroversial, khususnya pada corak tafsir ilmi. Sebuah penafsiran yang bercorak ‘ilmi adalah kecenderungan menafsirkan Al-Quran dengan memfokuskan penafsiran pada kajian bidang ilmu pengetahuan, yakni untuk menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan Ilmu dalam al-Quran. 1 Cakupan dari ilmu itu sendiri, pada dasarnya sangat luas, namun sebagian berpandangan bahwa tafsir ilmi hanya terfokus pada ayat-ayat kauniayah. Tafsir ini menggunakan metode maudhu’i, mengumpulkan berbagai ayat al-Qur’an sesuai dengan pendekatan ilmu pengetahuan yang digunakan. Di Indonesia perkembangan corak tafsir lebih banyak diwarnai dengan masalah fiqih dan kemasyarakatan. Salah satu terobosan dalam corak ilmi dilakukan oleh Tim Tafsir Ilmiah Salman Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 2014, dengan menerbitkan karya tafsir yang diberi judul Tafsir Salman. Tafsir ini menggunakan pendekatan ilmiah dengan metode munasabah, yang fokus pada juz 30. Pada setiap surat, diambil beberapa kata kunci yang dijadikan tema untuk membahas beberapa tema ilmu pengetahuan. Berangkat dari hal tersebut, makalah ini akan memcoba memaparkan rasioanalitas dalam Tafsir Salman. Harapan penyusun dalam pembahasan ini, agar dapat meneguuhkan kembali tafsir ilmi dalam khazanah ilmu tafsir, sehingga tidak dipandang sebelah mata hanya untuk islamisasi ilmu pengetahuan.
1 Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, hal. 170
1
B. Pengertian, Sejarah dan Perkembangan Tafsir ‘Ilmi Secara bahasa tafsir berarti menerangkan dan menyatakan. Al-Zarkasy dalam alBurhan mengemukakan tafsir adalah menerangkan makna-makna Al-Quran dan mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.2 ‘Ilmy atau ilmi bisa juga disebut dengan kata ilmiah yang berarti sesuatu yang mengandung ilmu atau pengetahuan. Kata ‘ilm dan berbagai derivasinya kerap digunakan dalam Al-Quran dalam arti umum pengetahuan (knowledge), termasuk untuk sains dan ilmu-ilmu kemanusiaan (sciences of nature and humanities). Selain itu, dalam Al-Quran juga digunakan untuk pengetahuan yang diwahyukan (revealed) sekaligus digunakan untuk pengetahuan yang diperoleh di luar wahyu (acquired).3 Jadi secara bahasa dapat dikatakan bahwa tafsir ilmi berarti penafsiran ilmiah atau tafsir ilmiah. Cakupan yang luas dari pengertian secara kebahasaan tersebut, agak berbeda dengan pengertianya secara istilah yang dikemukakan oleh beberapa ulama. Seperti halnya pengertian yang dikemukakan Fahd Abdul Rahman, bahwa tafsir ilmi adalah ijtihad mufassir untuk mengungkap hubungan ayat-ayat kauniyah di dalam al-Qur’an dengan penemuanpenemuan ilmiah, yang bertujuan untuk memperlihatkan kemu’jizatan al-Quran. 4 Al-Dzahaby dalam kitabnya, memberikan pengistilahan yang lebih luas, yaitu penafsiran yang dilakukan dengan mengangkat teori-teori ilmiah dalam mengungkap kandungan ayat-ayat al-Quran, dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menggali berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan pandangan-pandangan filsafat.5 Pengetian tafsir ilmi di atas, tentu berbeda dengan pengertian takwil ilmi yang dikemukakan oleh Amin Abdullah. Menurut beliau, pendekatan takwil ilmi adalah sebagai model tafsir alternatif terhadap teks, menggunakan jalur lingkar hermenutis. Lebih lanjut dijelaskan, pendekatan ini mendialogkan paradigm bayani, burhani dan irfani dalam satu gerak putar, yang saling mngontrol, mengkritik, memperbaiki dan menyempurnakan. Pendekatan tersebut mensyaratkan untuk tidak hanya menafsirkan atau menakwilkan alQur’an dari satu sisi semata.6 Penggunaan pendekatan ilmiah dalam menafsirkan al-Quran tidaklah kemudian terhindar dari pro dan kontra. Pada dasarnya perbedaan tersebut bertiitk tolak atas pandangan terhadap al-Quran sendiri. Sebagaimana pandangan al-Ghazali yang menganggap al-Quran sebagai sebuah sumber pengetahuan. Mengutip Ibnu Mas’ud, al-Ghazali menyatakan bahwa, jika seseorang menginginkan pengetahuan masa lampau dan pengetahuan modern, selayaknya dia merenungkan al-Quran. Lebih lanjut dijelaskan pula, bahwa seluruh ilmu 2 Hasbbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran dan Tafsir, hal. 153 3 Ahmad Efendy, http://ahmadefendy.blogspot.com/2010/08/tafsir-ilmi-saintifik.html , 17-01-2018, 15.00 4 Izzatul Laila, Penafsiran al-Quran Berbasis Ilmu pengetahuan, Jurna Episteme, Vol. 9, No. 1, Juni 2014, hal. 48
5 Adz-Dzahaby, al-Tafsir wa al-Mufassirun li, hal 308 6 M. Amin Abdullah, al-Ta’wil al-‘Ilmi: kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci, Jurnal AlJami’ah, Vol. 39, No. 2, Juli-Desember 2001, hal. 362
2
tercakup dalam karya-karya dan sifat-sifat Allah, dan al-Quran adalah penjelasan dari esensi, sifat dan perbuatan-Nya.7 Kebalikan dari pandangan tersebut, Mahmud Shaltut menyatakan bahwa al-Quran turun bukan untuk menjelaskan teori ilmiah, sehingga cenderung terdapat takwil yang dipaksakan. Sependapat dengannya, al-Khuli menyatakan bahwa tidak mungkin al-Quran memuat teori-teori yang berubah-ubah, al-Quran memilik tujuan etis bukan kosmologis.8 Selain pandangan yang mendukung ataupn menolak tersebut, terdapat beberapa ulama yang memiliki pandangan moderat terhadap tafsir ilmi. Abbas Mahmud al-Aqqad menyatakan bahwa, semua orang bebas memahami kapan dan bagaimana terjadinya pemisahan, yang terdapat QS. Al-Anbiya ayat 309, tetapi tidak dibenarkan mengatasnamakan al-Quran menyangkut pendapatnya, karena al-Quran tidak menguraikannya. Bint al-Syathi’ secara tegas membedakan pemahaman dan penafsiran, sedangkan al-Thabathaba’i, lebih senang memahami penjelasan makna ayat-ayat al-Quran secara ilmiah dengan nama tathbiq (penerapan). Secara umum, pendapat moderat ini bertujuan untuk mengindari penyalahan terhadap al-Quran, bila terbukti teori atau penemuan ilmiah tersebut keliru.10 Terlepas dari perbedaan para pakar mengenai tafsir ilmi, benih lahirnya corak ini telah dimulai pada masa keemasan Islam, khususnya pada masa dinasti Abbasiyah. Persentuhan antara agama dan ilmu pengetahuan secara luas, terjadi ketika adanya interaksi dan penerjemahan karya-karya para ilmuawan dan filosof Yunani pada masa al-Makmun (w. 853 M).11 Tokoh yang paling mendukung pendapat tersebut adalah Abu Hamid al-Ghazali (10591111 M), yang sacara panjang menjelaskan hal tesebut dalam Ihya’ Ulumuddin dan Jawahir al-Qur’an. Fakhruddin al-Rozi (1209 M), meskipun tidak sepenuhnya sependapat dengan alGhazali, kitab tafsirnya lebih banyak mengurai masalah-masalah ilmu dan filsafat. Tidaklah mengherankan kemudian bila sebagian ulama berpendapat: semuanya ada di dalam kitab itu kecuali tafsir itu sendiri. Penilaian yang mirip, juga diberikan kepada Muhammad Rasyid Ridho (1865-1935) dengan Tafsir al-Manar dan Thantawi Jauhari (1870-1940) dengan Tafsir Al-Jawahir12 M. Quraish Shihab mengemukakan, bahwa setidaknya terdapat dua faktor yang mempengaruhi perkembangan tafsir Ilmi sejak pertengahan abad ke-19. Faktor pertama adalah adanya perasaan rendah diri para sarjana muslim, ketika melihat kemajuan dan kekutan Barat. Setiap ada penemuan baru, para cendikiawan Muslim menyatakan bahwa al7 Muhammad Julkarnain, Epistemologi Tafsir Kemenag: Tumbuhan dalam Prespektif al-Quran dan Sains, Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 1, Januari 2014, hal. 2. Lihat pula, M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, hal 203
8 Muhammad Julkarnain, hal 3 9 QS. Al-Anbiya’:30,”Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman”.
10 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hal 207-208 11 Izzatul, hal. 50, lihat pula M. Quraish Shihab, hal. 69 12 M. Quraish Shiahb, 153-155
3
Quraan sejak lama telah menyatakan hal tersebut (penemuan baru), al-Quran mendahului pengetahuan dan sebagainya. Kemudian mereka berusaha mencarikan ayat-ayat al-Quran yang sesuai dengan penemuan baru tersebut. Faktor kedua adalah akibat pertentangan antara gereja dan ilmuwan sejak abad ke-18 di Eropa. Pertentangan ini memuncak dengan lahirnya teori Charles Darwin (1859) tentang The Orign of Man dan teori-teori lainya, yang dihadapi gereja dengan cara penindsan dan kekejaman.13 Perbedaan motivasi dalam mencari titik temu antara agama dan ilmu pengetahuan mengakibatkan adanya sebagian cendikiawan Muslim yang memaksakan pendapat terhadap ayat al-Quran, sehingga tidaklah mengherankan bila terdapat beberapa ulama yang kemudian menolak adanya corak ini. C. Seputar Tafsir Salman Indonesia, sebagai Negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, juga mengalami perkembangan perihal penafsiran al-Quran. Perkembangan terkini mencatat, bahwa penafsiran al-Quran telah dilakukan sejak abad ke-16 M. Terdapat manuskrip tafsir sura al-Kahfi yang dibawa dari Aceh ke Belanda oleh Epirnus pada awal abad ke-17 M. 14 Corak penafsiran yang dihadirkan oleh para ulama di Indonesia pun beraneka ragam, salah seorang yang mendokumentasikan corak penafsiran dalam era kontemporer adalah Nurdin Zuhri. Setidakanya, dalam bukunya Pasaraya Tafsir Indonesia, Zuhri mengemukakan adanya lima corak penafsiran dalam kurun waktu tahun 2000-2010. Adapun corak-corak tersebut adalah kebahasaan, sosial kemasyarakatan, fiqih, teologi dan sains.15 Lebih jauh, Zuhri menjelaskan bahwa ada dua karya yang dikategorikan termasuk dalam corak sains atau ilmi, yakni, Metode ayat-ayat Sains dan Sosial karya Andi Rosadisastra dan Ayat-Ayat Semesta: Sisi-Sisi Al-Quran Yang Terlupakan, karya Agus Purwanto. Rosadisastra mencoba untuk memhami sisi saintifik al-Quran, sekaligus metodologi tafsir al-Quran untuk menyingkap nilai-nilai sosio-yuridis. Sedangkan Purwanto menerapkan metode maudhui dalam menerapakan pendekatan sains, tema-tema yang dibahas antara lain, astronomi, relativitas dan kosmologi, mekanika kuantum dan transedensi. Purwanto mengumpulkan 800 ayat al-Quran guna memberikan inspirasi dan kontribusi bagi sains yang bersemangat qurani.16 Meneruskan estafet penafasiran dengan corak ilmi, pada tahun 2010, terbitlah Tafsir Ilmi Kementrian Agama RI. Tafsir ini merupakan buah karya tim yang terdiri dari 21 orang, dengan metode maudhui ayat-ayat kauniyah. Adapun motivasi penulisanya, yakni, 1. Respon terhadap perkembangan ilmu pengetahuan agar tidak kembali muncul sikap rendah diri terhadap kemajuan pengetahuan 2. Membangun budaya ilmiah antara al-Quran dan sains moderen, sehingga dapat menemukan titik temu antara sains dan agama Islam 3. Menjadi argument untuk menjelaskan ayat-ayat kauniyah secara saintifk17
13 Ibid. hal 76-80 14 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia,dari Hermeneutika hingga Ideologis, hal 53 15 M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia, hal 16 Ibid, hal. 147
4
Menyusul kemudian, pada tahun 2014 terbitlah Tafsir Salman, karya tim Tafsir Salman Institut Teknologi Bandung (ITB). Penerbitan karya ini, bermula dari permintaan Dr. Syarif Hidayat, selaku Ketua Pengurus Yayasan Pembina Masjid (YPM) Salman ITB, pada pertengahan tahun 2010. Menindaklanjuti permintaan tersebut, disepakati untuk membuat tim Tafsir Ilmiah Juz 30, dengan kegiatan sebagai berikut, 1. Diskusi kecil setiap pekan, dengan mengundang para pakar yang kompeten di bidangnya, termasuk ahli tafsir dan bahasa Arab 2. Menuliskan dan memplubikasikan hasil diskusi dalam bentuk buletin dan online, dengan tujuan mendapatkan masukan dan dakwah 3. Membukukan hasil diskusi dan buletin tersebut menjadi Tafsir Ilmiah Salman18 Secara kesuluruhan, penulisan buku Tafsir Salman bergantung kepada para kontributor yang termasuk di dalamnya para pakar sains, ilmu tafsir dan ahli bahasa Arab. Susunan tim Tafsir Ilmiah Salman ITB adalah sebagai berikut19: Penanggung Jawab : Dr. Ir. Syarif Hidayat Ketua : Dr. Yan Orgianus Wakil Ketua : Prof. Dr. Mitra Djamal Sekretaris : Dr. Muhammad Kusni Bendahara : Drs. Imam Chairul Basri Editor : Samsoe Basaroedin, B.E., Drs. Armahedi Mahzar, M. Sc. Dewan Redaksi : Ir. Fatchul Umam (Ketua), Samsoe Basaroedin, B.E., Drs. Budhiana Kartawijaya, Drs. Armahendi Mahzar, M.Sc., Ustadz Yajid Kalam, Ustadz Aceng Saefuddin, S.Ag., Ustadz Zulkarnain, Ustadz Yayat Spriatna, M.Ag. Kontibutor : (Alm.) Drs. Irfan anshory, Dr. Sony heru Sumarsono, Dr. Lulu Lusianti Fitri, Dr. Moedji Raharto, Prof. Ir. Iswandi Imran, MAS.C., Ph.D., Dr. rer.nat. Armi Susandi, M.T., Prof Dr. Ir. Iping Suprana, DEA, Dr. Kusnandar Anggadiredja, S.Si., M.Si., Ir. M. Akmasj Rahman, B.E., Dr. Eng. Teuku Abdullah Sanny, Prof Dr. Thomas Djamaluddin, Prof. Dr. Mitra Affandi, Dr. Yasraf Amir Piliang, M.A., Dra. Iip Fariha, M.Psi., Dr. Ing. Suparno Satria, DEA, Prof. Dr. Tati Syamsudin, M.S., DEA, Prof. Dr. rer.nat. Umar Fauzi, Haji Wawan Setiawan, Ustadz Yajid Kalam, Ustadz Andri Mulyadi, Ustadz Aceng Saefuddin, S.Ag., Ustadz Zulkarnain Redaksi : Salim Rusli (Pemimpin Redaksi), Irfan Habibie Martanegara,
17 Muhammad Julkarnain, Hal. 5-6 18 Yan Orgianus, Tafsir Salman Tafsir Ilmiah Juz ‘Amma, pengantar, hal 5-6 19 Ibid, hal. 21
5
Trista Riskawati, Ilyaw Shidqul Aziz, Eko Apriansyah, Muh. Rizki Utama, Sunarko Dadjono, Utomo Priyambodo, Asih Purnamasari, Lily Nurlaily, Muh. Firman, Widi Astuti, Sra Herke Pratama Motivasi dalam penyusunan tafsir ini adalah untuk merubah pandangan, bahwa para ilmuwan Muslim mencari-cari kebenaran sains moderen dalam al-Quran. Karya ini mencoba merubah paradigma tentang tafsir ilmi, dengan menegaskan bahwa al-Quranlah yang mendorong dan menggalakan sikap ilmiah secara konsisten. Upaya pengambilan isyarat ilmiah di dalam al-Quran bukanlah bertujuan untuk menggantikan tafsir-tafsir yang telah ada, melainkan hanya sebagai pelengkap. Harapan yang timbul dari pembacaan bermacam jenis tafsir, akan menjadikan para pembaca sebagai seorang Muslim seutuhnya, yang mengamalkan Islam dalam dimensi personal, sosial, kultural, natural, intelektual dan spiritual.20 Tafsir ilmiah Salman, menafsirkan Al-Quran juz 30, dengan menggunakan corak ilmi yang memadukan naqli dan aqli secara proposional, menggunakan temuan-temuan ilmiah yang telah terbukti benar. Kitab-kitab tafsir terdahulu, digunnakan sebagai rujukan dan komparasi dalam hal naqli, terutama yang bercorak ilmi. Sedangkan dari segi aqli, digunakan sumber riset-riset kealaman mutakhir, dirverifikasi oleh para pakar yang sesuai dengan bidangnya, termasuk pakar bahasa Arab untuk masalah bahasa.21 Setiap surat dalam Juz ‘Amma ditafsirkan oleh beberapa pakar yang berbeda, disesuaikan dengan tema ilmiah surat, yang kemudian disebut sebagai kontributor. Satu surat dengan surat yang lain, memiliki jumlah kontributor yang berbeda, sesuai dengan kebutuhan dalam menarik isyarat ilmiah surat tersebut. Seperti misalnya dalam QS. An-Naba’, terdiri dari Mitra Djamal (Program Studi Fisika ITB), Armi Susandi (Kelompok Keahlian Sains Atmosfer ITB), Moedji Raharto (Program Studi Astronomi ITB), Sony Heru Sumarsono (Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB), Teuku Abdullah Sanny (Program Studi Teknik Geofisika ITB), Aceng Saefuddin (Bidang Dakwah YPM Salman ITB), Samsoe Basarudin (Staf Ahli Majelis Pembina YPM Salman ITB) dan Zulkarnaen (Bidang Dakwah YPM Salman ITB), namun pada QS. Al-Nazi’at, hanya terdiri dari Irfan Anshory (Tim Tafsir Salman ITB), Moedji Raharto (Program Studi Astronomi ITB), Yazid Kalam (Bidang Dakwah YPM Salman ITB) dan Zulkarnaen (Bidang Dakwah YPM Salman ITB). Teknik penulisan tafsir disesuaikan dengan tema ilmiah surat, sedangkan pengambilan jumlah tema setiap surat berbeda-beda. Terdapat surat yang mengandung lebih dari satu tema, QS. Al-Alaq mempunyai tema terbanyak, yakni empat tema. Khusus untuk QS. Al-Falaq dan Al-Nas ditafsirkan dalam satu pembahasan. Sub-bab sebagai penjelasan tema-tema tersebut juga bervariasi, namun umumnya terdiri dari lima sub-bab, yaitu pengantar, telaah kebahasaan, tafsir ilmiah terdahulu, tafsir ilmiah salman dan kesimpulan. Tafsir ini juga menerapkan metode yang digunakan Thantawi Jauhari, yakni menggunkan ilustrasi-ilustrasi sebagai pendukung penjelasan. Pada akhir buku, dicantumkan pula daftar istilah, yang memuat pengertian dari beberapa istilah ilmiah yang digunakan. 20 Ibid, hal. 25-26 21 Ibid, hal. 27-28
6
D. Munasabah dalam QS. An-Naba’ Tafsir Salman ITB Tafsir Ilmiah Salman mengambil tiga tema ilmiah dalam menafsirkan QS. Al-Naba’, dengan sub judul, hamparan yang diayun, siklus siang dan malam dan yang tercurah dari langit. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kontributor pada surat ini terdiri dari delapan orang, yang mencakup pakar fisika, atmosfer, astronomi, ilmu hayati, geofisika dan tiga pakar dalam kebahasaan dan agama Islam dari pengurus masjid Salman ITB. Surat ini tidak ditafsirkan secara keseluruhan, namun hanya 16 ayat awal yang terbagi dalam beberapa pembahasan berikut, No Ayat Pembahasan Ilmu peninjau . 1. 1-5 Pengantar Penghamparan litosfer lewar proses tektonik Geologi, Biologi lempeng 2. 6-8 Sejarah kehidupan dan Fisika Fenomena sistem yang berpasangan di alam. Siklus aktivitas manusia dalam pergantian 3. 9-11 Biologi siang dan malam Astronomi dan 4. 12-16 Kejadian langit dan cuaca Meteorologi Sebagaimana terlihat dalam tabel, tim Tafsir Salman mengelompokkan beberapa ayat yang mempunyai kesesuaian dengan tema, kemudian ditafsirkan oleh para kontributor. Teknik penafsiran maudhui seperti ini, mengumpulkan beberapa ayat untuk ditafsirkan, serupa dengan apa yang dilakukan oleh Muhammad al-Ghazali dalam A Thematic Commentary on the Qur’an dan Salwa M.S. El-Awa dengan Textual Relations in the Qur’an: Relevance, Coherence and Structure. Pengantar surat tercakup dalam penafsiran terhadap ayat 1-5. Bagian ini membahas tentang penaman surat, makna dari al-naba’i al-adzim, serta korelasi antar ayat tersebut. Tiga ayat berikutnya, mengambil tema hamparan yang diayun. Telaah kebahasaan mengambil beberapa lafadh untuk kemudian dianalisis secara balaghah. Seperti misalnya mahada dalam ayat 6, al-jibala dalam ayat 7 dan azwajan pada ayat 8, ketiga lafadh tersebut menjadi kata kunci dalam penafsiran bagian ini. Hanya saja, dalam telaah kebahasaan ini, penafsirnya terkesan kurang menguasai area kajiannya, dengan seringnya penggunaan kata “mungkin”. Namun terlepas dari hal tersebut, penyusun rasa penggunaan telaah bahasa ini hanya bertujuan untuk menentukan kata kunci dalam menarik isyarat ilmiah. Tafsir ilmiah terdahulu mengambil pendapat dari beberapa ahli tafsir dan pakar, yakni Mahmud al-Alusi al-Baghdadi dalam Ruh al-Ma’ani, Nawawi al-Bantani dalam al-Munir, alRozi dalam Mafatih al-Ghaib, Thantawi Jauhari dalam al-Jawahir, Maurice Bucaille dalam Bibel, Quran dan Sains Moderen, Agus Haryo Sudarmojo dalam Menyibak Rahasia Sains Bumi dalam al-Quran, Harun Yahya dalam Pesona al-Quran dan Ahmad Mahmud Sulaiman dalam Tuhan dan Sains. Berbagai pendapat tersebut diletakkan sedemikian rupa untuk mendukung kata kunci yang telah diungkapkan sebelumnya. Secara khusus, ayat 6-8 ditafsirkan oleh para kontributor dengan mengambil judul “yang diayun dengan lembut”. Pada pembahasan ini, ayat 6 ditelaah dengan prespektif 7
geologi dan geofisika, dengan pandangan sebagai kisah penghamparan geosfer atau litosfer. Penafsiran ini mengemukakan bahwa litosfer (lapisan paling atas planet bumi yang padat) bergerak sangat perlahan, sekitar 1-12 cm/tahun. Penafsiran ini sejalan dengan teori tektonik lempeng dalam sains moderen, bahwa bumi pada zaman purba terdiri dari benua-benua raksasa yang kemudian memisah. Salah satu bukti yang diajukan atas teori ini adalah adanya kesamaan jenis hewan di afrika selatan, Australia dan amerika lati, salah satu jenis tersebut adalah hewan marsupial yang memiliki kantung. Penjelasan tentang gerakan bumi berikutnya adalah mengenai pergantian kulit bumi dalam orde jutaan tahun, kerak tua dilumatkan dalam jalur subduksi dan kemudian dileburkan kembali dalam mantel bumi. Kerak baru dihasilkan di punggung tengah samudra, yang tumbuh dengan sangat perlahan. Penafsiran-penafsiran tersebut kemudian didikung dengan penggunaan lafadh naj’al dalam ayat 6, yang mana mengambil bentuk fi’il mudhori’,untuk menyatakan proses pergeseran sedang dan akan terjadi. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa pergerakan litosfer itu sendiri, bukanlah gerakan yang kaku, namun gerakan yang berayunayun atau mahd. Diperkuat kemudian dengan QS. Al-Naml ayat 88, yang menyatakan bahwa gunung dan pulau bergerak sebagaimana awan. Dibahas pula dalam hal pergeseran ini perihal masalah gempa. Digambarkan sebagaimana dalam sains, bahwa dengan gempa, bumi melepaskan energinya secara teratur setiap saat. Berikutnya dalam ayat 7, penyebutan gunung sebagai pasak bisa dijelaskan dengan sains moderen. Gunung dalam hal ini berfungsi untuk mengerem laju litosfer agar tidak terlalu cepat, yang akan menimbulkan goncangan yang kuat. Pasak gunung tersebut, berupa jalur magma sepanjang cekungan busur belakang (back arc basin). Meletusnya gununng, sebagaimana gempa juga merupakan kebutuhan. Karena jika tidak meletus, gunung akan menciptakan gempa-gempa baru. Letusan gunung juga memberikan kesuburan vegetasi disekitarnya, dan juga akan memutahkan bentuk aneka mineral dari perut bumi. Sedangkan pada ayat 8, dengan kata kunci azwajan, ditafsirkan dengan gerakan divergen (berpisah) dan convergen (bertemu) yang terjadi pada lempeng tektonik. Lempeangan bumi yang bertemu dan berpisah, masing-masing menghasilkan sesuatu, pertemuan tersebut menghasilkan gununng dan proses berpisah menghasilkan punggung tengah samudra dan pemekaran lantai samudra. Sudut pandang ilmu bumi, mengemukakan bahwa ketiga ayat ini berisi isu-isu besar yang terus diperbincangkan, seperti geologi, geofisika, biologi, palentologi, vulkanologi, dsb. Penafsiran yang dilakukan oleh para kontributor terhadap QS. Al-Naba’ ayat 6-8, dengan pendekatan ilmu bumi ini menunjukkan bahwa rasionalitas dapat ditangkap dengan merenungkan atau mencari isyarat dalam al-Qur’an. Tidaklah berlebihan kemudian, mengambil kembali pendapat Abu Hamid al-Ghazali, bahwa di dalam al-Qur’an terdapat isyarat tentang masa lalu dan masa akan datang. Bahasa Arab yang merupakan bahasa alQur’an, sangat kaya akan makna bila kemudian direnungkan kembali. Bukan hanya sebagai justifikasi bahwa ilmu pengetahuan tidak berbenturan dengan al-Qur’an, namun karena keterbatasan manusia dalam mengungkap makna al-Quran. Sehingga dapat dikatakan bahwa ilmu yang terdapat dalam al-Quran, belumlah tergali secara penuh, atau mungkin tidak akan pernah habis. Sebagaimana pernyataan Abdullah Darraz, al-Qur’an bagaikan intan yang
8
setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudutsudut yang lain.22 Teknik penafsiran serupa, juga diterapkan terhadap ayat 9-11 dan 12-16, yang masingmasing membahas masalah aktivitas manusia dalam pergantian siang dan malam dan kejadian yang ada di langit beserta siklus cuaca. Setelah mengungkapkan penafsiran terhadap tema-tema tersebut, ditariklah kesimpulan mengenai tema utam surat. Pada Qs. An-Naba’, didapati bahwa secara isyarat ilmiah, surat ini memberikan informasi tentang kejadian bendabenda bumi dan langit, seperti matahari, gunug dan tumbuh-tumbuhan. Selain itu, dikemukakan adanya harmonisasi alam yang berupa sistem berpasang-padangan, sebagaimana kejadian siang dan malam, begitu pula matahari, bumi, gunung, angkasa, bijibijian dan pertikel-partikel subatomic merupakan satu kesatuan, pasangan-pasangan yang saling melengkapi. Kesatuan ini sedemikian rupa, bagaikan permadani yang dihamparkan untuk menyambut kedatangan manusia.23 E. Penutup Berkembnagnnya corak penafsiran adalah suatu hal yang telah dan akan terjadi, seiring dengan perdaban manusia. Semakin banyak cabang dari ilmu pengetahuan, maka akan semakin punya corak penafsiran yang ada. Namun bukan berarti para mufasir kemudian dapat membabi buta dalam menafsirkan al-Quran dengan al-ra’yu, kaidah-kaidah pokok dalam menafsirkan tetap harus ditegakkan. Hal yang demikian, menuntut untuk melakukan penafsiran dengan model yang proposional, seimbnag antara naql dan aql. Naql yang shahih dijadikan batasan untuk keluar jalur dalam manafsirkan, begitu pula shihah al-aqidah bertujuan agar ra’yu tidak menjadi liar. Tim Tafsir Salman ITB, menyadiri perlunya untuk menghasilkan tafsir yang sehat, bukan seperti yang dilakukan sebagian cendikiawan Muslim terdahulu, yang hanya mencari justifikasi dalam al-Quran. Penafsiran yang dilakukan tidaklah secara sembarangan menerobos batasan-batasan bahasa, namun karena yang dilakukan adalah usaha menggali isyarat ilmiah, maka penjelasan tafsirnya bisa sedemikian rupa. Penggunaan ilmu munasabah juga dilkakuan oleh para penafsir, dengan mengelompokkan beberapa ayat yang memiliki kesamaan tema. Sebagaimana diutarakan di awal, bahwa tujuan penafsiran yang dilakuakan oleh tim Tafsir Ilmiah Salman ini, bukan untuk mengganti kitab tafsir yang telah ada, namun berfungsi sebagai pelengkap. Meskipun buku tafir ini terfokus pada masalah ilmu pengetahuan alam, namun secara subtansi, juga menyinggung masalah aqidah dan prilaku manusia. Tafsir Ilmiah Salman, secara keseluruhan memotivasi para pembacanya agar lebih mencermati dan merenungkan kejadian alam, sehingga menemukan kebesaran dan rahsia Allah di dalamnya. Manusia yang berakal sehat dan waras, tentu tidak akan mengeksploitasi alam secara berlebih, karena dibutuhkan harmonisasi anatara populasi manusia dan alam demi meneruskan generasi. Sebagaimana menafsirkan, menilai sebuah karya tafsir dapat dilakukan dari berbagai sudut. Sebuah karya tafsir, dapat diterima atau tidak, pada prinsipnya telah digariskan dalam kaidah tafsir, hanya saja terkadang kita cenderung kepada pendapat lama, baik itu menolak 22 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hal. 107. 23 Tim Tafsir Salman ITB, hal. 72-73
9
atau menerima. Seyogyanya kita menelaah pula mengapa dan bagaimana tafsir tersebut muncul serta penerimaan dan penolakan itu timbul. Hasil tafsir adalah merupakan sesuatu yang nisbi, sebagaimana ilmu pengetahuan, jika terjadi hal yang berkebalikan dalam suatu tafsir ilmi, bukan al-Quran yang kemudian disalahkan, tapi sudut pandang penafsir yang harus dibenarkan. Apakah kemudian, jika ilmu pengetahuan salah, maka dunia yang disalahkan? Wallahu A’alam. Daftar Pustaka Al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Bandung: PT. PustakaLitera AntarNusa, 2006 Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al-Qur’an, Yogyakarta: IRCiSoD, 2016 Baidan, Nasaruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016 Davies, Paul, Membaca Pikiran Tuhan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012 Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia, Jakarta: Teraju, 2003 Kholis Setiawan, M. Nur, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005 Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006 Shiddieqy, Hasbi Ash, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009 Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2007 _____, Kaidah Tafsir, Tanggerang: Penerbit Lentera Hati, 2015 Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh 2, Jakarta: KENCANA Prenamedia Group, 2014 Tim Tafsir Ilmiah Salman ITB, Tafsir Salman: Tafsir Ilmiah Juz ‘Amma, Bandung: Mizan, 2014 Zuhdi, M. Nurdi, Pasaraya Tafsir Indonesia, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2014
10