Daftar Isi
ISSN: 2301-9212
Hendrajit
iii
EDITORIAL LAPORAN UTAMA
M Arief Pranoto 5 Meluruskan Hakekat dan Makna Perang Asimetris Hendrajit 17 Indonesia Sasaran Perang Asimetris Australia Mengkaji Ketegangan Indonesia – Australia dari M Arief Pranoto 31 Perspektif Geopolitik Hendrajit 48 Momentum Kerjasama Indonesia Malaysia Malaysia Ditekan Barat Untuk Tata Ulang Pengelolaan M Arief Pranoto 52 Minyak di Sabah M Arief Pranoto 55 Welcome to Asia Spring! KAJIAN ASIA
M Arief Pranoto 64 Mungkinkah Proxy War di Laut Cina Timur? Le Luong Minh, “Pintu Pembuka” Kerjasama Strategis Hendrajit 75 Indonesia-Vietnam di Asia Tenggara
KAJIAN TIMUR TENGAH
Dina Y Sulaeman 83 Palestina di Penghujung 2013 dan Rasionalitas Hamas Menyikapi Kebijakan Luar Negeri Indonesia di Timur Dina Y Sulaeman 87 Tengah Dina Y Sulaeman 92 Penghancuran Situs Kuno: dari Suriah hingga Jogja Hendrajit 96 Di Balik Persekutuan Strategis Arab Saudi-Israel
KAJIAN AFRIKA Konflik Maroko Versus Sahara Barat: Pola Kolonialisme M Arief Pranoto 100 Melestarikan Wilayah T ak Bertuan di Jalur Sutra Dina Y Sulaeman 107 Ikhwanul Muslimin vs Militer: Analisis Psikologi Politik KAJIAN EKONOMI-BISNIS
Ferdiansyah Ali 111 Saatnya Indonesia Akhiri Keanggotaan di WTO
115
CATATAN TENTANG PENULIS
Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: Hendrajit; Dewan Redaksi: M. Arief Pranoto, Sudarto Murtaufiq, Harri Samputra Agus, Andrianto, Joko Koentono, Rahadi T. Wiratama, Joko Wiyono, Dina Y. Sulaeman, Agus Setiawan, Nurman Diah; Redaktur Pelaksana: Rusman, Ferdiansyah Ali; Layout: Ferdiansyah Ali; Cover: Anang Soejagger, Anang Wicahyono
Editorial
Pentingnya Geopolitik
P
uji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, bahwa untuk kali kesekian kami hadir kembali ke hadapan anda, sidang pembaca.
Untuk edisi keempat kali ini, kajian kami fokuskan pada tren pergeseran arena konflik antara Amerika Serikat-NATO versus Cina-Rusia dari kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (heartland), ke Asia Pasifik. Beberapa indikasi memang memperkuat tren tersebut. Merujuk pada data yang disajikan oleh Global Fire Power 2013 terkait postur angkatan perang beberapa negara adidaya termasuk Amerika dan Cina, nampak jelas bahwa kawasan Asia Pasifik akan menjadi medan perang baru antara kedua negara adidaya tersebut. Maupun negara-negara sekutu dari kedua negara superpower tersebut. Berdasarkan peringkat Global Fire Power 2013, Amerika Serikat memiliki belanja militer sebesar (682 Milyar $ US), Cina (166 Milyar $ US), Rusia (90,7 Milyar $ US), Inggris (60,8 Milyar $ US), Jepang (59,3 Milyar $ US), Perancis (58,9 Milyar $ US), Arab Saudi (56,7 Milyar $ US), India (46,1 Milyar $ US), Jerman (45,8 Milyar $ US), Italia (34,0 Milyar $ US), Brasil (33,1 Milyar $ US), Korea Selatan (31,7 Milyar $ US), Australia (26.2 Milyar $ US), Kanada (22,5 Milyar $ US), Turki (18.2 Milyar $ US), sedangkan Indonesia (8.3 Milyar $ US. Jumlah belanja militer Indonesia sama dengan 1/20 belanja militer Cina dan 1/85 belanja militer Amerika Serikat. Menghadapi tren pergeseran sentral geopolitik tersebut, bagaimana kesiapan Indonesia mengantisipasi kemungkinan terjadinya Perang Asia Timur Raya jilid II? Berdasarkan serangkaian diskusi terbatas
iii
The Global Review Quarterly
Editorial
di Global Future Institute, kami sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Geopolitik harus dijadikan kerangka dasar atau bahan pertimbangan strategis dalam merumuskan kepentingan nasional Indonesia. Kepentingan nasional disusun dan dirumuskan tidak berasal dari ruang hampa, melainkan melalui dinamika politik dan pergolakan pemikiran serta visi yang berkembang di kalangan “Pemangku Kepentingan� kebijakan luar negeri dan pertahanan nasional kita. Jika para pemangku kepentingan (stakeholders) kebijakan luar negeri dan pertahanan kita abai geopolitik, maka tak akan mungkin menyusun dan merumuskan kepentingan nasional di bidang politik luar negeri dan pertahanan yang akan mampu memanfaatkan momentum pergeseran sentral geopolitik dari kawasan Heartland (daerah jantung) ke Asia Pasifik, demi kepentingan nasional RI. Untuk mengenali dan memahami masalah pokok yang mendasari terjadinya pergeseran sentral geopolitik dari kawasan Timur-Tengah dan Afrika Utara ke Asia Pasifik, maka edisi kita kali ini akan memusatkan kajiannya pada makna dan hakekat dari konsepsi Perang Asimetris. Sebuah konsepsi perang non militer yang sejatinya tidak jauh berbeda dengan Perang Simetris yang sepenuhnya mendayagunakan Angkatan Bersenjata sebagai perangkat perangnya. Baik Perang Simetris maupun Perang Asimetris, yang menjadi kerangka dasar analisis kajian kami kali ini, sejatinya merupakan modus operandi negara-negara kolonial barat, untuk menaklukkan wilayah geopolitik suatu negara yang menjadi target operasinya. Atas dasar pertimbangan nilai strategisnya dalam bidang Sumberdaya Alam maupun Sumberdaya Manusianya. Melalui kajian secara mendalam mengenai hakekat Perang Asimetris, kami berharap sidang pembaca akan mempunyai gambaran yang jelas mengenai latarbelakang maupun sasaran strategis sesungguhnya yang hendak dicapai oleh Amerika Serikat dan sekutusekutunya dari Uni Eropa, termasuk Australia, dengan menggeser Medan Perangnya dari kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, ke Asia Pasifik. Selamat membaca, dan tetaplah berpikir merdeka!
Hendrajit Direktur Eksekutif Global Future Institute
iv
The Global Review Quarterly
Laporan Utama
M. ARIEF PRANOTO, Research Associate Global Future Institute
Meluruskan Hakekat dan Makna Perang Asimetris
“ Perang Asimetris bukan merupakan bentuk perang yang dilancarkan oleh negara atau kelompok yang lemah terhadap negara atau kelompok yang kuat atau superpower, melainkan harus dibaca sebagai perubahan pola dan modus kolonialisme dari Hard Power ke Smart Power. Sehingga Perang Asimetris sejatinya merupakan perang favorit pilihan negara-negara kolonial barat...”
P
eperangan asimetris atau asymmetric warfare kini kerap diperbincangkan orang dan banyak kalangan sebab dinilai sebagai kecenderungan baru dalam jagat politik dan keamanan. Tak boleh dipungkiri, bahwa karakter, ciri, serta sifatnya lebih soft dan seolah-olah lebih murah daripada peperangan simetris (symmetric warfare) yang mutlak harus mengerahkan kekuatan militer secara terbuka lagi cenderung high cost. Kendati watak dan perilaku asimetris lebih ‘lembut - murah’ dibandingkan hingar-bingar perang simetris, namun dalam hal korban serta kerugian-kerugian yang diderita sebuah negara tidak kalah ‘besar’ akibatnya daripada kerugian dan korban pada perang secara militer. Demikian pula
capaian hasil atau tujuan, tidak akan jauh berbeda antara keduanya atau mungkin sama bahkan bisa jadi lebih hebat lagi. Istilah lain asymmetric warfare yang mengemuka selain disebut perang non militer, dalam bahasa populer juga dinamai smart power, atau perang non konvensional, irreguler dan lain-lain. Berdasar penelusuran di berbagai literatur, inti dari definisi asymmetric warfare bisa dirangkum sebagai berikut: “suatu model peperangan yang melibatkan dua aktor atau lebih, dikembangkan melalui tata cara tidak lazim di luar aturan perang konvensional. Memiliki spektrum dan medan tempur yang luas meliputi hampir di setiap aspek astagatra (geografi, demografi, sumber daya alam/SDA, ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, dll)”. The Global Review Quarterly
5
Laporan Utama
HENDRAJIT, Direktur Eksekutif Global Future Institute
Indonesia Sasaran Perang Asimetris Australia
Pengantar
A
ustralia akan terus menyadap Indonesia, begitu pernyataan Perdana Menteri Australia Tony Abbott beberapa waktu yang lalu sebagaimana dilansir beberapa media massa di tanah air. Tentu saja pernyataan tersebut cukup provokatif di tengah memanasnya hubungan Indonesia dan Australia menyusul terungkapnya tindakan penyadapan terhadap Presiden SBY dan beberapa pejabat tinggi negara. Bahkan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Marciano Norman telah mengonfirmasikan bahwa dalam pertemuan dengan beberapa petinggi badan Australian Intelligence Service (ASIS), badan intelijen luar negeri Australia tersebut telah mengakui bahwa ASIS telah menyadap Indonesia. Dan
berjanji tidak akan mengulangi lagi aktivitas spionase tersebut. Maka dengan munculnya pernyataan Perdana Menteri Abbott tersebut selain tidak masuk akal, pada tataran politik bisa dibaca sebagai langkah yang konfrontatif tidak saja kepada Presiden SBY selaku kepala negara dan jajaran pemerintahan terkait bidang politik dan keamanan, bahkan terhadap seluruh komponen bangsa pada umumnya. Sebagaimana ditegaskan oleh Presiden SBY beberapa waktu berselang, setidaknya ada beberapa poin penting dari pernyataan presiden yang kiranya sudah cukup memadai sebagai dasar bagi Indonesia untuk bersikap keras dan tegas kepada Australia. Pertama, tindakan penyadapan yang dilakukan oleh Australia Signals The Global Review Quarterly
17
Laporan Utama
M. ARIEF PRANOTO, Research Associate Global Future Institute
Mengkaji Ketegangan Indonesia – Australia dari Perspektif Geopolitik
L
atar belakang tulisan ini sesungguhnya keprihatinan, betapa banyak anak bangsa dan segenap tumpah darah Indonesia masih tidak ‘satu suara’ dalam menyikapi ketegangan hubungan antara Indonesia – Australia (Aussie) akibat isue penyadapan intelijen Aussie terhadap beberapa petinggi Republik Indonesia (RI). Negara manapun di muka bumi, bila ‘disentuh' atau diganggu perihal "Kepentingan Nasional"-nya niscaya meradang, mengamuk, melawan dll, mungkin sudah menjadi kodrat alam. Apalagi jika yang disentuh perihal Kepentingan Nasional UTAMA seperti harga diri bangsa, kedaulatan negara dan sejenisnya. Maka sebagai konsekuensi logis, selayaknya segenap elemen bangsanya mutlak harus SATU SUARA, bukannya bermacam-
macam suara. Tetapi entah kenapa, tak sedikit tokoh-tokoh, para elit politik, kaum akademisi, kalangan awam, dll justru “berwarna-warni” dalam menyikapi peristiwa tidak beradab tersebut. Ada yang pro dan kontra. Penyadapan percakapan telepon Presiden, Ibu Negara, Wakil Presiden, dan beberapa Menteri RI sungguh melanggar etika diplomatik dan pakem apapun. Aksi intelijen tak senonoh oleh Aussie di era modern kini, justru semakin diperparah oleh sikap Perdana Menteri ( P M ) To n y A b b o t y a n g c u m a menyesalkan peristiwa tersebut tanpa permintaan maaf secara resmi. Benarbenar pongah! Apa boleh buat. Tulisan ini memang tidak akan mengkaji “warnaThe Global Review Quarterly
31